bab ii tinjauan pustaka a. 1. pengertian materialismeeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3424/4/skripsi...

22
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Materialisme 1. Pengertian Materialisme Materialisme dalam psikologi didefinisikan sebagai suatu keyakinan yang berkenaan dengan seberapa penting perolehan dan pemilikan barang dalam hidup (Richins dan Dawson, 1992). Belk (1985), mendefinisikan materialisme sebagai the importance a consumer attaches to worldly possessions (sebuah kelekatan konsumen pada kepemilikan barang duniawi yang penting). Definisi tersebut menegaskan bahwa materialisme terkait dengan masalah kepemilikan barang duniawi yang dianggap penting dalam hidup. Pada definisi yang lain, materialisme adalah pandangan yang berisi orientasi, sikap, keyakinan, dan nilai-nilai hidup yang menekankan atau mementingkan kepemilikan barang- barang material atau kekayaan material di atas nilai-nilai hidup lainnya, seperti yang berkenaan dengan hal-hal spiritual, intelektual, sosial, dan budaya (Kasser, 2002). Dari pendapat para ahli di atas disimpulkan bahwa materialisme mengacu pada keyakinan berkenaan dengan seberapa penting perolehan dan pemilikan barang yang bersifat material dalam hidup individu. 2. Aspek-aspek materialisme Menurut Richins dan Dawson (1992), Individu yang materialistis dikenal meyakini 3 keyakinan yang mana ketiganya merupakan aspek-aspek nilai materialisme, yaitu: a. Acquisition Centrality

Upload: others

Post on 05-Dec-2019

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Materialisme

1. Pengertian Materialisme

Materialisme dalam psikologi didefinisikan sebagai suatu keyakinan yang

berkenaan dengan seberapa penting perolehan dan pemilikan barang dalam

hidup (Richins dan Dawson, 1992). Belk (1985), mendefinisikan materialisme

sebagai the importance a consumer attaches to worldly possessions (sebuah

kelekatan konsumen pada kepemilikan barang duniawi yang penting). Definisi

tersebut menegaskan bahwa materialisme terkait dengan masalah kepemilikan

barang duniawi yang dianggap penting dalam hidup. Pada definisi yang lain,

materialisme adalah pandangan yang berisi orientasi, sikap, keyakinan, dan

nilai-nilai hidup yang menekankan atau mementingkan kepemilikan barang-

barang material atau kekayaan material di atas nilai-nilai hidup lainnya, seperti

yang berkenaan dengan hal-hal spiritual, intelektual, sosial, dan budaya

(Kasser, 2002).

Dari pendapat para ahli di atas disimpulkan bahwa materialisme mengacu

pada keyakinan berkenaan dengan seberapa penting perolehan dan pemilikan

barang yang bersifat material dalam hidup individu.

2. Aspek-aspek materialisme

Menurut Richins dan Dawson (1992), Individu yang materialistis dikenal

meyakini 3 keyakinan yang mana ketiganya merupakan aspek-aspek nilai

materialisme, yaitu:

a. Acquisition Centrality

10

Keyakinan bahwa kepemilikan barang dan uang adalah tujuan hidup yang

paling penting. Individu yang materialistis menempatkan barang tersebut

dan pemerolehannya di pusat kehidupan mereka. Kepemilikan barang

memberikan makna bagi hidup dan memberikan tujuan bagi aktivitas atau

usaha keseharian. Pada titik ekstremnya, individu materialis dapat

dikatakan memuja benda-benda, dan pengejaran atas benda-benda tersebut

menggantikan tempat agama dalam menstruktur kehidupan dan

mengarahkan perilaku mereka.

b. Acquisition as the Pursuit of Happines

Keyakinan bahwa barang dan uang adalah jalan utama untuk mencapai

kebahagiaan personal, kehidupan yang lebih baik, dan identitas diri yang

lebih positif. Satu alasan mengapa harta benda dan perolehannya menjadi

sangat penting bagi individu yang materialis adalah karena mereka

memandang ini penting bagi kepuasan hidup dan well-being mereka.

Individu materialis mengejar kebahagiaan lewat perolehan barang

ketimbang lewat cara yang lain, seperti hubungan personal, pengalaman,

atau prestasi.

c. Possession-Defined Success

Keyakinan bahwa kepemilikan barang dan uang merupakan alat ukur

untuk mengevaluasi prestasi diri sendiri juga orang lain. Individu yang

materialis cenderung untuk menilai kesuksesan diri dan orang lain dari

jumlah dan kualitas barang yang dikumpulkan. Mereka memandang

kesejahteraan atau well-being material sebagai bukti kesuksesan dan

kebenaran cara berpikir (right-mindedness). Nilai suatu kepemilikan

11

barang tidak hanya dari kemampuannya untuk memberikan status, tetapi

juga memproyeksikan kesan diri yang diinginkan dan identitas individu

sebagai partisipan dalam kehidupan sempurna yang dibayangkan.

Menurut Belk (1985), individu yang materialistis dapat dijelaskan melalui

aspek-aspek berikut:

a. Kepemilikan (Possessiveness)

Kepemilikan adalah kecenderungan dan tendensi untuk menahan kontrol

atau kepemilikan milik individu. Ruang lingkup kepemilikan tersebut

meliputi kepedulian individu atas kehilangan harta bendanya baik melalui

tindakan mereka sendiri maupun orang lain. Individu tersebut lebih

menyukai kontrol yang lebih besar atas objek yang diperoleh melalui

kepemilikan tersebut. individu yang memiliki tingkat materialisme tinggi

menganggap penting kelekatan pada kepemilikan barang duniawi,

kepemilikan tersebut menjadi pusat sentral kehidupan individu yang

diyakininya memberikan sumber kepuasan dan ketidakpuasan dalam hidup

(Belk, 1985).

b. Ketidakmurahan hati (nongenerosity)

Ketidakmurahan hati adalah sebuah sikap ketidak bersediaan individu

memberikan kepemilikan barangnya untuk orang lain. Individu yang

materialistis cenderung dimotivasi oleh sifat egois. Individu tersebut lebih

mementingkan diri sendiri atas orang lain. Ketidak-sediaan meminjamkan

atau menyumbangkan harta benda kepada orang lain dianggap sebagai

ekspresi dari sifat kepribadian individu materialistis (Husna, 2016).

c. Kecemburuan/iri hati (envy)

12

Kecemburuan/iri hati adalah sebuah sikap interpersonal individu yang

melibatkan ketidaksenangan dan niat buruk pada individu lain dalam

kebahagiaan, kesuksesan, reputasi atau kepemilikan apa pun yang

diinginkan. rasa iri hati pada individu materialis ditetapkan pada

kepemilikan barang orang lain. iri hati tersebut berorientasi pada

kepemilikan individu lain atas sesuatu. Seperti halnya kepemilikan

(Possessiveness) dan ketidakmurahan hati (nongenerosity), iri hati (envy)

di sini dipahami sebagai ciri umum daripada sikap tertentu terhadap

individu. individu yang iri hati mengharapkan kepemilikan harta benda

dari individu lain. Individu yang iri hati juga membenci mereka yang

memiliki harta yang diinginkannya dan merasa direndahkan secara pribadi

oleh individu lain yang memiliki benda-benda yang diinginkan, terutama

jika individu lain tersebut dipandang kurang layak memiliki harta tersebut

(Shoeck, dalam Belk, 1985).

Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa aspek

materialisme menurut Richins dan Dawson (1992), terdiri dari kepemilikan

barang milik material dan uang adalah tujuan hidup yang paling penting,

barang sebagai jalan utama untuk mencapai kebahagiaan personal, barang

milik sebagai alat ukur kesuksesan, sedangkan menurut pendapat Belk (1985),

aspek materialisme terdiri dari kepemilikan, ketidakmurahan hati dan

kecemburuan/iri hati.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan aspek materialisme menurut

pendapat Richins dan Dawson (1992) karena cakupan penjelasan setiap

aspeknya lebih luas serta sesuai dengan permasalahan pada subjek yang

13

peneliti angkat. Selain itu banyak penelitian sebelumnya yang menggunakan

aspek-aspek materialisme Richins dan Dawson sebagai orientasi nilai

individual.

3. Faktor-Faktor Materialisme

Ada berbagai pengaruh eksternal maupun internal yang tidak sehat, yang

mengaktivasi materialisme pada diri individu. Menurut Husna (2015),

terdapat beberapa penelitian terkait dengan tema materialisme dan telah

ditemukan sejumlah faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah:

a. Faktor psikologis, berupa harga diri yang rendah dan kecemasan akan

kematian dan rasa tidak aman.

b. Faktor keluarga, berupa pengasuhan keluarga yang tidak suportif dalam

membangun self-esteem yang positif, orangtua yang tidak nurturant, dan

(hanya) menekankan kesuksesan finansial serta stres dan konflik dalam

keluarga.

c. Faktor pergaulan, berupa penolakan teman dan pengaruh teman yang

materialistis, serta perbandingan sosial dengan teman atau figur di media.

d. Faktor lingkungan, berupa lingkungan yang menggoda dan media yang

mendorong konsumerisme.

e. Faktor religius, berupa rendahnya religiusitas dan kebersyukuran.

f. Faktor jenis kelamin. Menurut Mangestuti (dalam Djudiyah dan Sumantri,

2015), mahasiswa perempuan lebih materialis dan memiliki

kecenderungan belanja kompulsif yang lebih tinggi dibanding dengan laki-

laki. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perempuan memiliki

persentase berbelanja lebih besar dibanding dengan laki-laki.

14

g. Faktor kemudahan berhutang (kartu kredit). Anak-anak muda sekarang

memiliki nilai materialistik tinggi karena mereka mendukung kredit. Bank

yang memberikan fasilitas kredit ataupun toko yang memberikan layanan

pembelian secara kredit juga mampu membuat orang suka berbelanja

maupun memiliki nilai materialistik tinggi.

Menurut Kasser (dalam Djudiyah dan Sumantri, 2015), ada beberapa

faktor yang membentuk nilai materialisme pada diri individu diantaranya

yaitu:

a. Psychological inscurity, yaitu ketidakamanan psikologis. Individu yang

merasa tidak aman secara psikologis dapat melakukan kompensasi dengan

berjuang keras untuk materi. Ketidakamanan psikologis dapat bersumber

dari:

1) Pola asuh. Orang tua yang kurang mendukung tumbuhnya rasa aman

pada anak akan menghasilkan anak-anak yang kurang aman secara

psikologis.

2) Orang tua yang bercerai atau berpisah. Orang tua yang bercerai atau

berpisah juga akan menghasilkan anak-anak yang tidak aman secara

psikologis, sehingga mereka cenderung lebih materialis.

3) Deprivasi ekonomi. Orang yang berasal dari keluarga yang secara

ekonomi kurang, cenderung lebih materialistik karena merasa kurang

aman dengan kondisinya. Hasil penelitian menemukan bahwa individu

yang berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi kurang

menguntungkan seringkali lebih materialis.

15

b. Tayangan peran model yang materialis

1) Tayangan Iklan. Iklan di berbagai media yang menayangkan gaya

hidup yang menganggap penting materi dapat membuat individu

menjadi materialis. Iklan di TV sering kali menggambarkan gambaran

ideal dari selebriti dan kehidupannya. Ia akan mendorong pemirsa

untuk membandingkan kehidupan sendiri dengan image ideal.

2) Orang tua yang materialis. Orang tua yang materialis cenderung

menghasilkan anak-anak yang materialis. Orang tua yang memiliki

harapan tinggi terhadap materi, akan menghasilkan anak-anak yang

cenderung materialis.

3) Peer group yang materialis. Peer group materialis yang dijadikan

referensi dalam berperilaku juga akan berpengaruh pada temannya.

Komunikasi dengan peer merefleksikan interaksi dengan teman.

Individu yang sering kali berkomunikasi dengan teman mungkin

menunjukkan kebutuhan yang kuat untuk diterima oleh peer.

Perbandingan sosial dengan teman merupakan prediktor yang lebih

baik pada materialisme dibanding dengan figure di media. Hal ini

mungkin disebabkan karena teman lebih mudah diakses dan pola-pola

konsumsi mereka lebih konkrit dan lebih mudah untuk diobservasi.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa faktor yang

mempengaruhi materialisme seseorang menurut Kasser (dalam Djudiyah dan

Sumantri, 2015), terdiri dari psychological inscurity yaitu ketidakamanan

psikologis dan tayangan peran model yang materialis. Menurut beberapa

16

penelitian yang terkait dengan tema materialisme diperoleh beberapa faktor

diantaranya: faktor psikologis, berupa harga diri yang rendah, kecemasan akan

kematian dan rasa tidak aman, faktor keluarga, berupa pengasuhan keluarga

yang tidak mendukung dalam membangun self-esteem yang positif, orangtua

yang tidak nurturant, dan (hanya) menekankan kesuksesan finansial dan stres

dan konflik dalam keluarga, faktor pergaulan, berupa penolakan teman dan

pengaruh teman yang materialistis, serta perbandingan sosial dengan teman

atau figur di media, faktor lingkungan, berupa lingkungan yang menggoda

serta media yang mendorong konsumerisme, faktor kemudahan berhutang

kemudian faktor religius, berupa rendahnya religiusitas dan kebersyukuran

(Husna, 2015), dan faktor jenis kelamin (Mangestuti dalam Djudiyah dan

Sumantri, 2015).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor yang

berhubungan dengan materialisme adalah religiusitas. Peneliti memilih faktor

religiusitas disebabkan oleh beberapa alasan diantaranya adalah belum adanya

penelitian terkait dengan faktor religiusitas sebagai variabel yang berhubungan

dengan materialisme pada mahasiswa usia remaja akhir. Kemudian terkait

dengan faktor lainnya, peranan faktor religiusitas cukup menonjol karena

nilai-nilai religiusitas lebih melekat pada internal jiwa individu. Nilai-nilai

religiusitas tersebut dapat melandasi sikap dan pandangan individu di dalam

menghadapi lingkungan hidup yang terpapar nilai-nilai materialisme, sehingga

individu tersebut tidak mudah terjebak pada nilai-nilai materialisme tersebut.

Menurut Jalaluddin, (2016) bahwa nilai-nilai religiusitas sebagai realitas yang

abstrak menjadi daya dorong atau prinsip yang menjadi pedoman hidup.

17

Dalam realitasnya, nilai memiliki pengaruh dalam mengatur pola tingkah laku,

pola berpikir, dan pola bersikap. Dari beberapa hasil penelitian juga ditemuka

kesimpulan bahwa individu yang memiliki religiusitas tinggi berdampak

negatif yang signifikan pada materialisme dan berdampak positif pada

kepuasan hidup (Rakrachakarn et al. dalam Husna, 2016). Kasser, dkk, (dalam

Husna, 2015) menyatakan bahwa nilai-nilai religiusitas berlawanan dengan

nilai-nilai materialisme. Lebih lanjut Menurut Djudiyah dan Sumantri, (2015)

bahwa religiusitas merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk

meminimalisir nilai materialistik pada mahasiswa.

B. Religiusitas

1. Pengertian Religiusitas

Glock dan Stark (dalam Jalaluddin, 2016) menyatakan, bahwa religiusitas

adalah tingkat penghayatan individu dalam usaha mendekatkan diri kepada

Tuhan yang mencakup dimensi keyakinan (ideologi), praktik agama

(ritualistik), pengalaman (eksperiensial), pengetahuan (intelektual) dan

pengamalan (konsekuensial). Kelima dimensi tersebut saling berhubungan,

saling terkait, serta saling menentukan dalam membentuk religiusitas.

Nurcholish Madjid (dalam Jalaluddin, 2016) meyatakan, bahwa religiusitas

adalah tingkah laku yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaannya kepada

kegaiban atau alam gaib, yaitu kenyataan-kenyataan yang supra-empiris. Ia

meletakan sesuatu yang empiris sebagai mana layaknya, tetapi ia meletakkan

nilai sesuatu yang empiris di bawah supra-empiris.

Ancok dan Suroso (dalam Purwadi, 2007) mengartikan religiusitas sebagai

keberagamaan yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang

18

bukan hanya terjadi ketika individu melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi

juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan

supranatural. Sumber keagamaan adalah rasa ketergantungan yang mutlak.

Adanya ketakutan-ketakutan akan ancaman dari lingkungan alam sekitar serta

keyakinan manusia tentang segala keterbatasan dan kelemahannya. Rasa

ketergantungan yang mutlak ini membuat manusia mencari kekuatan sakti dari

sekitarnya yang dapat dijadikan sebagai kekuatan pelindung dalam

kehidupannya dengan suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya yaitu

Tuhan.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas

adalah tingkat penghayatan individu dalam usaha mendekatkan diri kepada

Tuhan yang mencakup dimensi keyakinan (ideologi), praktik agama

(ritualistik), pengalaman (eksperiensial), pengetahuan (intelektual) dan

pengamalan (konsekuensial). Kelima dimensi tersebut saling berhubungan,

saling terkait, serta saling menentukan dalam membentuk religiusitas pada diri

individu.

2. Dimensi-dimensi Religiusitas

Menurut Glock dan Stark (dalam Jalaluddin, 2016) religiusitas terdiri dari

lima macam dimensi, yaitu:

a. Dimensi keyakinan (ideologi) menunjukkan tingkat keyakinan atau

keimanan individu terhadap kebenaran ajaran agama, terutama terhadap

ajaran-ajaran agama yang bersifat fundamental dan dogmatik. Walaupun

demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya

19

diantara agama-agama, tetapi juga seringkali juga diantara tradisi-tradisi

dalam agama yang sama.

b. Dimensi praktik agama (ritualistik) mencakup perilaku pemujaan, ketaatan

dan hal-hal yang dilakukan individu untuk menunjukan komitmen

terhadap agama yang dianutnya. Praktik agama ini terdiri dari ritual dan

ketaatan. Ritual mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan

formal dan praktik-praktik suci yang dilakuakn para pemeluknya.

Sedangkan ketaatan dan ritual bagaikan ikan dalam air.

c. Dimensi pengalaman (eksperiensial) berkaitan dengan pengalaman

keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi

yang dialami individu atau didefenisikan oleh suatu kelompok keagamaan

(atau suatu masyarakat) terhadap komunikasinya terhadap Tuhan.

d. Dimensi pengetahuan (intelektual) menunjukkan tingkat pengetahuan dan

pemahaman individu terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama yang

termuat dalam kitab suci atau pedoman ajaran agamanya.

e. Dimensi pengamalan (konsekuensial) mengacu pada identifikasi dari

akibat-akibat keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan individu

dari hari ke hari seperti perilaku individu yang dimotivasi oleh ajaran

agamanya atau seberapa jauh individu menerapkan ajaran agamanya

dalam perilaku hidupnya sehari-hari. Dimensi ini merupakan efek

seberapa jauh kebermaknaan religiusitas individu. Jika keimanan dan

ketaqwaan individu tinggi, maka berdampak positif pada perilaku individu

dalam kehidupan sehari-hari.

20

Menurut John E. Fetzer (1999) dimensi religiusitas terdiri dari dua belas

dimensi diantaranya yaitu:

a. Daily spiritual experiences

Merupakan dimensi yang memandang dampak agama dan spiritual dalam

kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini daily spiritual experiences

merupakan persepsi individu terhadap sesuatu yang berkaitan dengan hal

yang transenden (Tuhan, sifat-Nya) dan persepsi interaksi dengan

melibatkan transenden dalam kehidupan sehari-hari, sehingga daily

spiritual experiences lebih kepada pengalaman dibandingkan kognitif,

Underwood (dalam Fetzer, 1999). Persepsi “merupakan kesadaran intuitif

mengenai kebenaran langsung atau keyakinan yang serta merta mengenai

sesuatu” (Chaplin, 2011). Jadi, daily spiritual experiences merupakan

kesadaran individu terhadap sesuatu yang berkaitan dengan hal yang

transenden, yang mampu memberikan pengaruh terhadap kehidupannya

sehari-hari.

b. Meaning

Konsep Meaning dalam hal religiusitas sebagaimana konsep meaning

yang dijelaskan oleh Fiktor Vrankl yang biasa disebut dengan istilah

kebermaknaan hidup. Adapun meaning yang dimaksud disini adalah yang

berkaitan dengan religiusitas atau disebut religion-meaning yaitu sejauh

mana agama dapat menjadi tujuan hidupnya, Pargament (dalam Fetzer,

1999). Individu yang hidupnya dilandasi dengan agama akan merasa

bahwa dirinya mempunyai tanggung jawab untuk menjadi individu yang

21

bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, dan berharga di hadapan

Tuhannya.

c. Values

Konsep values menurut Merton (dalam Fetzer, 1999) yaitu

menggambarkan nilai-nilai yang terkandung dalam agama sebagai tujuan

hidup, dan norma-norma sebagai sarana untuk tujuan hidup tersebut. Para

ahli yang lain menganggap bahwa values sebagai kriteria yang digunakan

orang untuk memilih dan membenarkan tindakan (Williams dan

Kluckhohn dalam Fetzer, 1999). Aspek ini menilai sejauh mana perilaku

individu mencerminkan ekspresi normatif atau keimanan agamanya

sebagai nilai tertinggi. Dengan kata lain, konsep values yang dimaksud

adalah pengaruh keimanan terhadap nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai

tersebut mengajarkan tentang nilai agama yang mendasarinya untuk saling

menolong, melindungi dan sebagainya.

d. Beliefs

Konsep beliefs menurut Idler (dalam fetzer, 1999) merupakan sentral dari

religiusitas. Beliefs merupakan keyakinan akan konsep-konsep yang

dibawa oleh suatu agama. Sebagai contoh dalam ajaran agama Islam,

konsep beliefs dikenal dengan istilah rukun iman, yaitu: iman kepada

Allah, Malaikat, Kitab (Al-Qur’an), Rasul, hari akhir, takdir qodho dan

qodar. Iman adalah “ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan

amalan dengan anggota badan”. Dari pengertian tersebut, maka yang

dimaksud dengan beliefs atau iman yaitu keyakinan yang diucapkan

dengan lisan, dihayati dengan hati, dan diamalkan dengan perilaku.

22

e. Forgiveness

Dimensi forgiveness menurut Idler (dalam Fetzer, 1999) mencakup

lima dimensi turunan, yaitu:

1) Pengakuan dosa, yaitu melakukan pengakuan atas kesalahan ataupun

dosa yang telah diperbuat, baik kepada sesama manusia maupun

kepada Tuhan.

2) Merasa diampuni oleh Tuhan, yaitu merasa bahwa Tuhan akan

mengampuni kesalahan yang telah diperbuat dengan cara bertaubat

kepada Tuhan.

3) Merasa dimaafkan oleh orang lain, yaitu merasa bahwa individu lain

memberi maaf terhadap dirinya yang pernah melakukan kesalahan.

4) Memaafkan orang lain, yaitu memberi maaf kepada individu lain yang

telah melakukan kesalahan terhadap dirinya.

5) Memaafkan diri sendiri, yaitu memberi maaf kepada diri sendiri atas

kesalahan yang telah diperbuat dengan cara menyesali perbuatan

tersebut.

f. Private Religious Practices

Private religious practices menurut Levin (dalam Fetzer, 1999)

merupakan perilaku beragama dalam praktik beragama yang meliputi

ibadah, mempelajari kitab, dan kegiatan-kegiatan lain untuk meningkatkan

religiusitasnya. Ibadah merupakan perbuatan untuk menyatakan bakti

kepada Tuhan yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan

menjauhi larangan-Nya. Sedangkan mempelajari kitab disini berarti tidak

23

hanya sekedar membaca kitab suci, tetapi juga memahami kandungan dari

isi kitab suci tersebut.

g. Religious coping

Religious coping menurut Pargament (dalam Fetzer,1999) merupakan

coping stres dengan menggunakan pola dan metode religious. Bentuk

religious coping diantaranya berdoa, beribadah untuk menghilangkan

stres, dan sebagainya.

h. Religious Support.

Religious support menurut Krause (dalam Fetzer, 1999) adalah aspek

hubungan sosial antara individual dengan pemeluk agama sesamanya.

Religious support juga dapat terjadi antara individual dengan

kelompok/lembaga dalam agamanya.

i. Religious history

Dimensi ini mengukur sejarah keberagamaan tiap individu. Sebagai

perbandingan untuk mengukur partisipasi keberagamaan individu saat ini.

j. Commitment

Konsep commitment menurut Williams (dalam Fetzer, 1999) adalah

seberapa jauh individu mementingkan agamanya, komitmen, serta

berkontribusi kepada agamanya. Komitmen dalam mementingkan

agamanya dapat dimisalkan dengan kesungguhan individu untuk berusaha

menerapkan keyakinan agama yang dianutnya ke dalam seluruh aspek

kehidupan. Sedangkan kontribusi individu terhadap agamanya dapat

berupa pemberian sumbangan baik moril maupun materil demi syiar

agamanya.

24

k. Organizational religiousness

Konsep Organizational religiousness menurut Idler (dalam Fetzer, 1999)

merupakan konsep yang mengukur seberapa jauh individu ikut serta dalam

organisasi keagamaan yang ada di masyarakat dan beraktifitas di

dalamnya. Dalam hal ini termasuk perilaku dan sikap terhadap individu

terhadap organisasi keagamaan.Yang termasuk ke dalam perilaku terhadap

organisasi keagamaan misalkan, keaktifan seseorang untuk melibatkan

dirinya dalam kegiatan organisasi keagamaan. Sedangkan yang termasuk

ke dalam sikap terhadap organisasi keagamaan misalkan, seseorang

merasa senang apabila mengikuti organisasi keagamaan bersama orang

lain yang seagama.

l. Religious preference

Konsep Religious preference menurut Ellison (dalam Fetzer, 1999) yaitu

memandang sejauh mana individu membuat pilihan dalam memilih

agamanya dan memastikan pilihan agamanya tersebut, yang termasuk

pandangan individu dalam memilih agamanya misalkan, merasa bangga

ataupun nyaman atas agama yang dianutnya. Sedangkan yang termasuk ke

dalam individu memastikan pilihan agamanya misalkan, dia merasa yakin

bahwa agama yang dianutnya akan menyelamatkan kehidupannya kelak.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa dimensi

religiusitas menurut Glock dan Stark (dalam Jalaluddin, 2016) terdiri dari

dimensi Ideologi, ritual, pengalaman, intelektual dan pengamalan. Menurut

pendapat Fetzer (1999), dimensi religiusitas terdiri dari daily spiritual

experiences, meaning, values, beliefs, forgiveness, private religious practices,

25

religious coping, religious Support, religious history, commitment,

organizational religiousness, religious preference.

Berdasarkan dimensi-dimensi yang telah dijelaskan di atas, peneliti

memilih untuk menggunakan dimensi dari Glock dan Stark (dalam Jalaluddin,

2016), karena dimensi tersebut lebih relevan dan lebih komprehensif, dimensi

religiusitas Glock dan Stark memberikan penjelasan lebih dalam dan

menyeluruh dari berbagai sisi tentang religiusitas, tidak hanya dalam hal yang

tampak namun juga aktivitas yang tidak tampak seperti orientasi nilai individu.

Selain itu banyak penelitian sebelumnya yang merujuk pada dimensi Glock

dan Stark terkait dengan religiusitas.

C. Hubungan Antara Religiusitas dengan Materialisme

pada Mahasiswa

Dewasa ini, Indonesia dikenal sebagai negara yang masyarakatnya

beragama dan sangat mementingkan religi dalam hidupnya, hal ini bisa dilihat

pada ideologi dasar negara yang meletakan keTuhanan di posisi teratas.

Fenomena semangat pendalaman ajaran agama pada generasi muda di

Indonesia menunjukan gejala peningkatan (Afiatin, 1998). Individu yang

religius diketahui memiliki keyakinan, ketaatan, pengalaman, pengetahuan dan

pengamalan yang diarahkan secara sadar dan sungguh-sungguh pada ajaran

agamanya. Individu yang religiusitasnya tinggi cenderung memiliki regulasi

diri yang baik sehingga tidak kompulsif dalam berbelanja (Djudiyah dan

Sumantri, 2015).

Religiusitas merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk

meminimalisir terbentuknya nilai materialistik dan belanja impulsif maupun

26

kompulsif. Komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai agama yang telah

diinternalisasinya akan berfungsi sebagai regulasi diri mapun kontrol diri

dalam berperilaku. Individu yang memiliki religiusitas tinggi mampu menunda

kegembiraan dengan baik serta memiliki performance yang lebih baik pada

pengukuran prestasi akademik dan penyesuaian sosial (McCullough dan

Willoughby, 2009).

Menurut Joung, (2013) mahasiswa saat ini sangat memperhatikan

penampilan, dan memiliki sikap konsumtif terhadap barang yang

pembeliannya cenderung tidak direncanakan (compulsive), dan lebih banyak

dari yang dibutuhkan. Pusat perbelanjaan modern, seperti supermarket dan

mall selalu dipenuhi oleh kalangan muda berstatus mahasiswa yang

menunjukan perilaku konsumtif. Lingkungan hidup mahasiswa saat ini juga

serat dengan nilai-nilai materialistis. Individu tersebut menjadi mudah

terpengaruh oleh lingkungannya yang menyebabkan munculnya materialisme

di kalangan mahasiswa. (Johan dan Cahyo, 2016).

Individu yang materialistis juga dapat diketahui dari nilai yang dianutnya,

yang menekankan kepentingan pada pemilikan harta benda dan

pemerolehannya sebagai tujuan hidup, parameter kesuksesan, dan sumber

kebahagiaan (Richins dan Dawson, 1992). Individu yang materialistis

melakukan konsumsi demi konsumsi itu sendiri, karena tujuan hidupnya

berhenti pada pemerolehan barang dan harta benda. Mereka memandang harta

benda dan uang adalah kunci kebahagiaan dan kesuksesan sosial, dan

mengabaikan pentingnya hubungan sosial, pengalaman, dan prestasi. Mereka

27

menilai kesuksesan diri dan orang lain berdasarkan jumlah dan kualitas harta

benda yang dikumpulkan (Husna, 2016).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa religiusitas menjadi salah satu

faktor yang berhubungan dengan materialisme pada mahasiswa. Karakteristik

dari mahasiswa yang memiliki religiusitas dapat dijelaskan melalui dimensi

religiusitas yaitu, dimensi ideologi, ritual, pengalaman, intelektual, dan

pengamalan. Kelima aspek tersebut berhubungan dengan aspek-aspek

materialisme yaitu, kepemilikan barang milik material dan uang adalah tujuan

hidup yang paling penting, barang sebagai jalan utama untuk mencapai

kebahagiaan personal dan barang milik sebagai alat ukur kesuksesan.

Dimensi religiusitas yang pertama adalah dimensi kepercayaan (ideologi)

terhadap Tuhan yaitu, keimanan individu terhadap ajaran-ajaran agamanya,

terutama yang termuat dalam kitab suci atau pedoman ajaran agamanya. Serta

keyakinan atau keimanan individu terhadap kebenaran ajaran agama, terutama

terhadap ajaran-ajaran agama yang bersifat fundamental dan dogmatik.

Individu yang memiliki kepercayaan yang tinggi pada Tuhan, mereka akan

meletakan Tuhan sebagai tujuan hidup yang paling penting karena individu

yang religius memiliki pemahaman bahwa hanya dengan menuju Tuhan,

kebahagiaan sejati bisa didapatkan. Hal tersebut tentu berhubungan dengan

materialisme individu yang hanya membatasi kebahagiaan sebatas

kepemilikan benda-benda material semata. Aspek materialisme berupa tujuan

hidup materialistis yang menekankan akan pentingnya kepemilikan barang dan

uang pun akan berkurang dengan sendirinya karena tuntutan keimanan dan

28

ajaran agama yang fundamental dengan hanya menuju Tuhan (Jalaluddin,

2016).

Dimensi yang kedua adalah dimensi praktik agama (ritualistik) yang

mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan individu

untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik agama

ini terdiri dari ritual dan ketaatan yang ditandai dengan seberapa jauh

kepatuhan individu dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual yang

diperintahkan oleh agamanya. Kepatuhan ini ditunjukkan dengan meyakini

dan melaksanakan kewajiban-kewajiban secara konsisten. Individu yang selalu

taat menjalankan ajaran agamanya akan mengurangi sikap konsumtifnya

karena di dalam agama terdapat ajaran tentang dilarangnya sikap hidup

berlebihan terhadap barang materil yang identik dengan aspek materialisme

yang meyakini bahwa barang dan uang adalah jalan utama untuk mencapai

kebahagian personal, kehidupan yang lebih baik, dan identitas diri yang lebih

positif (Ahyadi, 2011).

Dimensi yang ketiga adalah dimensi pengalaman keagamaan

(eksperiensial) yaitu, pengalaman, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan

sensasi-sensasi yang dialami individu terhadap komunikasinya dengan Tuhan.

Individu yang yang mengalami pengalaman spiritual akan menilai kesuksesan

seseorang berdasarkan pencapaian pada pengalaman spiritual tersebut. Hal ini

disebabkan oleh adanya perbedaan orientasi hidup antara Individu yang

religius dengan individu yang materialis, di dalam ajaran agama, tujuan

tertinggi dari kehidupan manusia adalah perjumpaannya dengan Tuhan dalam

Syurga. Hal tersebut jelas berbeda dengan individu materialistis yang

29

menekankan aspek kepemilikan barang dan uang sebagai alat ukur untuk

mengevaluasi prestasi dan tolak ukur kesuksesan diri sendiri juga orang lain.

Individu yang materialistis hanya melihat kesuksesan seseorang sebatas pada

pencapaian materi seperti memiliki barang dan uang. Mahasiswa yang

mengalami pengalaman spiritualitas dalam hidupnya akan menilai kesuksesan

seseorang tidak hanya pada pencapaian materi semata tapi kesuksesan tersebut

diartikan sebagai pengalaman spiritualitas itu sendiri seperti kedekatan dan

perjumpaan dengan Tuhan (Purwadi, 2007).

Dimensi yang keempat adalah dimensi pengetahuan (intelektual) yang

ditunjukkan dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman individu terhadap

ajaran-ajaran agamanya, terutama yang termuat dalam kitab suci atau

pedoman ajaran agamanya. Hal tersebut berpengaruh pada penurunan nilai

materialisme. Individu yang religius memandang kesuksesan sejati dapat

diperoleh tidak hanya dengan perolehan benda material semata tapi lebih dari

itu, kesuksesan menurut individu yang memiliki religiusitas tinggi adalah

perjumpaan dengan Tuhan, baik itu dalam dimensi kehidupan saat ini maupun

kehidupan setelah kematian (Jalaluddin, 2016).

Dimensi yang kelima adalah dimensi pengamalan (konsekuensial) yang

mengacu pada identifikasi dari akibat-akibat keagamaan, praktik, pengalaman

dan pengetahuan individu dari hari ke hari seperti perilaku individu yang

dimotivasi oleh ajaran agamanya atau seberapa jauh individu menerapkan

ajaran agamanya dalam perilaku hidupnya sehari-hari. Hal tersebut tentu

berhubungan dengan meminimalisir terbentuknya nilai-nilai materialistik.

30

Komitmen yang tinggi dalam beragama akan berfungsi sebagai kontrol diri

dalam menghadapi nilai-nilai materialisme (Djudiyah dan Sumantri, 2015).

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif

antara religiusitas dengan materialisme pada mahasiswa. Artinya, semakin

tinggi tingkat religiusitas individu maka semakin rendah tingkat

materialismenya. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat religiusitas

individu maka semakin tinggi tingkat materialismenya.