ii. tinjauan pustaka a. temu ireng (curcuma aeruginosa roxbeprints.mercubuana-yogya.ac.id/5591/3/bab...
TRANSCRIPT
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Temu ireng (Curcuma aeruginosa Roxb.)
Temu ireng merupakan tumbuhan semak, batang berwarna hijau dan agak
lunak karena merupakan batang semu yang tersusun atas kumpulan pelepah daun,
panjang batang kurang lebih 50 cm dan tinggi tumbuhan dapat mencapai 2 m. Temu
ireng merupakan tumbuhan yang dapat hidup secara liar di hutan-hutan jati, Temu
Ireng adalah sejenis tumbuhanan yang rimpangnya dimanfaatkan sebagai campuran
obat atau jamu (Mardalina, 2011). Tanaman temu ireng merupakan tumbuhan yang
memiliki klasifikasi dan karakteristik morfologi sebagai berikut.
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma aeruginosa R.
Temu ireng mempunyai rimpang berwarna gelap memiliki aroma khas.
Daun tunggalnya berbentuk bulat telur dengan helaian daun berwarna hijau,
bertulang daun menyirip, dan permukaan bagian atas terlihat garis-garis cokelat
membujur. Pelepahnya melekat satu dengan yang lain hingga membentuk batang.
Sementara bunga majemuk berwarna ungu merah dengan tangkai yang panjang
mencapai 35 cm terutama di Pulau Jawa dari ketinggian 400-1.750 m di atas
permukaan laut dan tumbuhan ini menyukai tanah subur (Mursito, 2003).
5
Tanaman temu ireng berbunga pada umur lima bulan. Bunga berwarna
ungu, sedangkan tangkai bunga berwarna hijau. Jika dipotong melintang, rimpang
berwarna putih dan berbentuk cincin. Jika diiris-iris, rimpang akan tampak seperti
cincin berwarna biru atau kelabu. Kulit rimpang tua umumnya berwarna putih
kotor, sedangkan dagingnya kelabu. Rimpang cukup harum dan berasa getir.
Kedalaman rimpang sekitar 11,60 cm; dengan panjang akar 17 cm, ketebalan
rimpang muda sekitar 2,20 cm. Jumlah rimpang tua rumpun sekitar sembilan buah;
sedangkan rimpang muda sekitar lima buah (Rahmat, 2004). Temu ireng
merupakan tanaman semusim dengan umur rata-rata sembilan bulan.
Rimpang temu ireng mengandung saponin, minyak atsiri, flavonoid,
kurkuminoid, zat pahit, damar, lemak, mineral, minyak dan saponin. Kandungan
minyak atsiri terbesar terdapat pada irisan temu ireng, dan kadar minyak atsiri
maksimal terdapat pada waktu rimpang belum bertunas dan mengeluarkan batang
atau daun yang tumbuh (Widyawati et al, 2003).
Temu ireng mengandung minyak atsiri (turmerone, zingiberene),
kurkuminoid (kurkumin I, II, dan III), alkaloid, saponin, pati, damar atau getah, dan
lemak (Setiyono dan Bermawie, 2014). Zat warna kuning kurkuminoid terdiri dari
62% kurkumin dan 38% desmetoksikurkumin (Sari, 2008). Disamping itu, tanaman
ini mengandung flavonoid dan polifenol (Nugrahaningtyas, et al. 2005).
Saponin yang banyak terkandung dalam tanaman telah lama digunakan
untuk pengobatan tradisional (Deore et al., 2009 dalam Wink, 2015). Saponin
merupakan senyawa dalam bentuk glikosida yang tersebar luas pada tanaman
6
tingkat tinggi serta beberapa hewan laut dan merupakan kelompok senyawa yang
beragam dalam struktur, sifat fisikokimia dan efek biologisnya (Patra dan Saxena,
2009 dalam Addisu dan Assefa, 2016). Pada tanaman, saponin tersebar merata
dalam bagian-bagiannya seperti akar, batang, umbi, daun, bijian dan buah (Vincken
et al., 2007).
Minyak atsiri adalah zat berbau yang terkandung dalam tanaman. Minyak
ini disebut juga minyak menguap (volatile oi), minyak eteris (ethereal oil), atau
minyak esensial (essential oil). Minyak atsiri dalam keadaan segar dan murni
umumnya tidak berwarna, tetapi ada yang pada penyimpanan lama warnanya
berubah menjadi lebih gelap karena oksidasi (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Rimpang temu ireng merupakan salah satu tanaman obat tradisional yang
dapat dimanfaatkan sebagai obat cacing (anthelmintik) (Kurniaputri et al, 2009).
Kurkuminoid diketahui memiliki efek antitoksin (Setiyono dan Bermawie, 2014),
dan flavonoid berkhasiat sebagai antihipertensi, merangsang pembentukan
estrogen, antifungal, dan insektisida (Nugrahaningtyas et al., 2005). Sesquiterpene
dan monoterpene juga terkandung dalam temu ireng yang dapat dimanfaatkan
sebagai anti bakteri. (Kamazeri et al., 2012). Temu ireng juga mengandung
senyawa beracun antara lain methyltetracyclo, tetradecane, epicurzerenon dan cis-
1,3-dimethyl-2- methylene cyclohexane yang menginduksi apoptosis hepatosit
(Hestianah et al., 2014). Selain itu monoterpene (1,8-cineol dan camphor) juga
mempunyai potensi beracun dengan merusak membran organela sel (Yuliawati dan
Hestianah, 2010).
7
Rimpang rasanya pahit, tajam dan dingin. Rimpang berkhasiat untuk
membangkitkan nafsu makan, melancarkan keluarnya darah kotor setelah
melahirkan, penyakit kulit seperti kudis, dan borok, perut mules (kolik), sariawan,
batuk, sesak nafas, dan cacingan, encok, kegemukan badan (Setiawan, 2005).
B. Antioksidan
Antioksidan merupakan suatu zat yang mampu menetralisir atau meredam
dampak negatif dari adanya radikal bebas. Radikal bebas sendiri merupakan suatu
molekul yang mempunyai kumpulan elektron yang tidak berpasangan pada suatu
lingkaran luarnya.Manfaat dari antioksidan untuk menangkal radikal bebas ini yang
menjadikan antioksidan sangat banyak diteliti oleh para peneliti. Berbagai hasil
penelitian, antioksidan dilaporkan dapat memperlambat proses yang dapat
diakibatkan oleh radikal bebas seperti adanya tokoferol, askorbat, flavonoid, dan
adanya likopen (Andriani, 2007).
Radikal bebas adalah senyawa oksigen yang reaktif dan tidak memiliki
elektron yang tidak berpasangan. Jika tubuh memiliki kadar radikal bebas yang
tinggi memicu munculnya berbagai macam penyakit degeneratif. Adanya
antioksidan yang dapat membantu melindungi tubuh dari radikal bebas dan dapat
mengurangi atau meredam dampak negatif dari radikal bebas tersebut, antioksidan
menjadi suatu komponen yang sangat penting. Antioksidan sendiri merupakan
suatu molekul yang sangat reaktif yang dapat menghambat adanya reaksi oksidasi
pada tubuh dengan mengikat radikal bebas (Hery, 2007).
Mekanisme yang paling umum terjadi dimana radikal bebas dapat melawan
pertahanan antioksidan, radikal bebas tersebut akan menyerang komponen biokimia
8
di dalam tubuh dan membentuk hydroperoksida. Dalam bentuk patofisiologis
tersebut, sel akan mulai memproduksi radikal bebas dalam jumlah banyak,
dikarenakan stres eksogen (unsur kimia, fisik dan biologi) dan atau
aktivitasmetaboliknya (khususnya pada membran plasma, mitokondria, retikulum
endoplasma, dan sitosol), sitosoldiantaranya terdapat radikal hidroksil (HOH) yang
berbahaya, merupakan salah satu reaktive oxygen species (ROS) yang paling
berbahaya. Radikal hidroksil dapat menyarang setiap macam molekul (termasuk
karbohidrat, lemak, asam amino, peptide, protein, nukleotid, asam nukleat dan lain-
lain). Akibat dari proses ini, setiap molekul akan kehilangan satu elektron dan
kemudian menjadi radikal. (Iorio, 2007).
Terdapat banyak bahan pangan yang dapat dijadikan sumber antioksidan
yang alami misalnya yaitu rempah-rempah, teh, coklat, dedaunan, biji-biji serealia,
sayuran, sumber bahan pangan yang kaya akan enzim dan protein. Tumbuhan pada
umumya merupakan sumber senyawa antioksidan alami yang berupa senyawa
fenolik yang terletak pada hampir seluruh bagian tumbuhan yaitu pada kayu, biji,
daun, buah, akar, bunga ataupun serbuk sari (Sarastani, 2002).
Antioksidan mengandung senyawa fenolik atau polifenolik yang
merupakan golongan flavonoid. Senyawa flavonoid sebagai antioksidan pada masa
sekarang ini sangat banyak diteliti, karena senyawa flavonoid yang terdapat pada
antioksidan memiliki kemampuan untuk merubah atau mereduksi resiko yang dapat
ditimbulkan oleh radikal bebas dan juga dapat dimanfaatkan sebagai anti-radikal
bebas (Munisa, et al. 2012).
Antioksidan dapat digolongkan menjadi antioksidan primer (Chainbreaking
9
antioxidant) dan antioksidan sekunder (preventive antioksidant) (Pokorny et al.,
2011). Antioksidan primer dapat bereaksi dengan radikal lipid dan mengubahnya
menjadi bentuk yang lebih stabil. Sebuah senyawa dapat disebut sebagai
antioksidan primer apabila senyawa tersebut dapat mendonorkan atom hidrogennya
dengan cepat ke radikal lipid dan radikal antioksidan yang dihasilkan lebih stabil
dari radikal lipid atau dapat diubah menjadi produk lain yang lebih stabil (Pokorny
et al., 2011). Senyawa yang termasuk dalam kelompok antioksidan primer (Chain-
breaking antioxidant) adalah vitamin E (tokoferol), vitamin C (asam askorbat), β-
karoten, glutation dan sistein (Amirah et al, 2012). Adapun kelompok senyawa
antioksidan yang terkandung didalam temu ireng antara lain, yaitu :
1. Kurkumin
Kurkumin merupakan senyawa kurkuminoid yang merupakan pigmen
warna kuning pada rimpang temyawak dan kunyit. Senyawa ini termasuk golongan
fenolik. Kelarutan kurkumin sangat rendah dalam air dan eter, namun larut dalam
pelarut organik seperti etanol dan asam asetat glasial. Kurkumin stabil pada suasana
asam, tidak stabil pada kondisi basa dan adanya cahaya. Pada kondisi basa dengan
pH diatas 7,45, 90% kurkumin terdegradasi membentuk produk samping berupa
trans-6-(4-hidroksil-3’-metoksifenil)-2,4-diokso-5-heksenal (mayoritas), vanillin,
asam ferulat dan feruroil metan. Sementara dengan adanya cahaya, kurkumin
terdegradasi menjadi vanillin, asam vanilat, aldehid ferulat, asam ferulat dan 4-
vinilguaiakol (Brat et al., 2008). Struktur kimia kurkuminoid yang terdiri atas
kurkumin, demetoksikurkumin dan bis-demetoksikurkumin ditampilkan pada
Gambar 1.
10
Gambar 1. Struktur kimia kurkumin, demetoksikurkumin dan bis-
demetoksikurkumin
Sumber : Nimse dan Pal (2015)
Kurkumin menunjukkan aktivitas antioksidan yang luar biasa dan telah
ditemukan sebagai pereda radikal bebas yang sangat baik. Kurkumin memiliki
kemampuan antioksidan yang sebanding dengan vitamin E. aktivitas radikal bebas
dari kurkumin berkorelasi dengan gugus OH fenolik dan gugus CH2 dari bagian β-
karoten. Radikal bebas dapat mengalami transfer elektron atau atom H abstrak dari
salah satu dari dua situs ini. Namun, radiolisis denyut dan metode biokimia lainnya
dikreditkan aktivitas antioksidan kurkumin ke grup OH fenolik (Nimse dan Pal,
2015).
11
Gambar 2. Mekanisme penghambatan radikal bebas oleh kurkumin yang
diinisiasi oleh gugus fenolik
Sumber : Nimse dan Pal (2015)
Gambar 2 menunjukkan mekanisme otoksidasi kurkumin yang diprakarsai
oleh abstraksi hidrogen dari salah satu gugus hidroksil fenolik. Radikal fenoksil
bergerak kedalam rantai karbon meninggalkan kuinon methida yang akhirnya
dipadamkan oleh molekul air. Radikal methida melakukan 5-ekso-siklisasi dengan
ikatan ganda memberikan cincin siklopentadione dan menghasilkan radikal
berpusat karbon (Nimse dan Pal, 2015).
12
Reaksi kurkumin dengan oksigen molekuler (O2) menghasilkan radikal
peroksil. Radikal peroksil kemudian direduksi menjadi hidroperoksida dengan
mengabstraksi atom hidrogen dari molekul kurkumin lainnya, menyebarkan reaksi
berantai autoksidasi. Selanjutnya, hydroperoxide kehilangan air dan menata
kembali kedalam spiro-epoxide. Hidrolisis epoksida oleh kelompok hidroksil (air
yang diturunkan), menghasilkan pembentukan produk akhir bicyclopentadione.
Telah ditemukan bahwa kompleks tembaga kurkumin (curcumin-Cu (II))
menunjukkan aktivitas SOD yang menjanjikan, dengan peningkatan khasiat
antioksidan (Nimse dan Pal, 2015).
2. Polifenol
Polifenol merupakan senyawa turunan fenol yang mempunyai aktifitas
sebagai antioksidan. Antioksidan fenolik biasanya digunakan untuk mencegah
kerusakan akibat reaksi oksidasipada makanan, kosmetik dan plastik. Fungsi
polifenol sebagai penangkap dan pengikat radikal bebas dari rusaknya ion-ion
logam. Kelompok fenolik terdiri dari asam fenolat dan flavonoid. Senyawa
polifenol banyak ditemukan dalam buah, sayuran, kacang-kacangan, sereal, teh,
dan anggur (Rahardjo, 2006).
a. Flavonoid
Senyawa fenolik atau polifenolik antara lain dapat berupa golongan
flavonoid. Kemampuan flavonoid sebagai antioksidan telah banyak diteliti.
Flavonoid memiliki kemampuan untuk merubah atau mereduksi radikal bebas dan
juga sebagai anti radikal bebas (Giorgio, 2000).
Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder
13
yang paling banyak ditemukan didalam jaringan tanaman (Rajalakshmi dan
Narasimhan, 1985). Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa fenolik dengan
struktur kimia C6-C3-C6. Kerangka flavonoid terdiri atas satu cincin aromatik A,
satu cincin aromatik B, dan cincin tengah berupa heterosiklik yang mengandung
oksigen dan bentuk teroksidasi cincin ini dijadikan dasar pembagian flavonoid
kedalam sub-sub kelompoknya. Sistem penomoran digunakan untuk membedakan
posisi karbon disekitar molekulnya (Cook dan Samman, 1996).
Gambar 3. Struktur Flavonoid
Sumber : Kumar dan Panday, 2013
b. Flavonoid sebagai antioksidan
Flavonoid telah dilaporkan dapat mencegah atau menunda sejumlah
penyakit kronis dan penyakit degeneratif seperti kanker, kardiovaskular penyakit,
artritis, penuaan, katarak, kehilangan ingatan, stroke, penyakit alzheimer, radang,
infeksi (Pham-Huy, et al 2008). Mekanisme antioksidan flavonoid : menekan
pembentukan spesies oksigen reaktif dengan menghambat kerja enzim maupun
dengan mengikat unsur-unsur yang terlibat dalam produksi radikal bebas,
peredaman spesies oksigen reaktif, melindungi antioksidan tubuh (Kumar and
Pandey, 2013). Flavon dan katekin merupakan jenis flavonoid yang paling kuat
dalam melindungi tubuh terhadap spesies oksigen reaktif (ROS). Sel-sel tubuh dan
14
jaringan secara terus menerus terancam oleh kerusakan akibat radikal bebas dan
ROS yang di hasilkan selama metabolisme oksigen normal ataupun yang diinduksi
oleh kerusakan eksogen. Quercetin, kaemferol, morin, mirisetin bekerja sebagai
antioksidan yang memberikan efek positif lain seperti anti inflamasi, anti alergi,
anti virus, serta anti kanker (Winarsi, 2014).
3. Tanin
Tanin merupakan senyawa kimia yang tergolong dalam senyawa polifenol
(Deaville et al., 2010). Tanin mempunyai kemampuan mengendapkan protein,
karena tanin mengandung sejumlah kelompok ikatan fungsional yang kuat dengan
molekul protein yang selanjutnya akan menghasilkan ikatan silang yang besar dan
komplek yaitu protein tanin. Tanin mempunyai berat molekul 0,5-3 KD. Tanin
alami larut dalam air dan memberikan warna pada air, warna larutan tanin bervariasi
dari warna terang sampai warna merah gelap atau coklat, karena setiap tanin
memiliki warna yang khas tergantung sumbernya (Ahadi, 2003).
Tanin pada tanaman diklasifikasikan sebagai tanin terhidrolisis dan tanin
terkondensasi. Tanin terhidrolisis merupakan jenis tanin yang mempunyai struktur
poliester yang mudah dihidrolisis oleh asam atau enzim, dan sebagai hasil
hidrolisisnya adalah suatu asam polifenolat dan gula sederhana. Golongan tanin ini
dapat dihidrolisis dengan asam, mineral panas dan enzim-enzim saluran
pencernaan. Sedangkan tanin terkondensasi, yang sering disebut proantosianidin,
merupakan polimer dari katekin dan epikatekin (Maldonado, 1994). Tanin yang
tergolong tanin terkondensasi, banyak terdapat pada buah-buahan, biji-bijian dan
15
tanaman pangan, sementara yang tergolong tanin terhidrolisis terdapat pada bahan
non-pangan (Makkar, 1993).
Menurut Susanti (2000), sifat utama tanin pada tanaman tergantung pada
gugus fenolik-OH yang terkandung dalam tanin. Secara garis besar sifat tanin dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1. Tanin secara umum memiliki gugus fenol dan bersifat koloid.
2. Semua jenis tanin dapat larut dalam air, kelarutannya besar dan akan bertambah
besar apabila dilarutkan dalam air panas. Begitu pula dalam pelarut organik
seperti metanol, etanol, aseton dan pelarut organik lainnya.
3. Reaksi warna terjadi bila disatukan dengan garam besi. Reaksi ini digunakan
untuk menguji klasifikasi tanin. Reaksi tanin dengan garam besi akan
memberikan warna hijau dan biru kehitaman, tetapi uji ini kurang baik karena
selain tanin yang dapat memberikan reaksi warna, zat-zat lain juga dapat
memberikan reaksi warna yang sama.
4. Tanin mulai terurai pada suhu 98,8 0C.
5. Tanin dapat dihidrolisis oleh asam, basa, dan enzim.
6. Ikatan kimia yang terjadi antara tanin-protein atau polimer lainnya terdiri dari
ikatan hidrogen, ikatan ionik, dan ikatan kovalen.
7. Tanin mempunyai berat molekul tinggi dan cenderung mudah dioksidasi
menjadi suatu polimer, sebagian besar tanin amorf (tidak berbentuk) dan tidak
mempunyai titik leleh.
8. Warna tanin akan menjadi gelap apabila terkena cahaya atau dibiarkan di udara
terbuka.
16
9. Tanin mempunyai sifat bakteristatik dan fungistatik.
Keberadaan tanin dalam tanaman berfungsi untuk pertahanan diri tanaman
dari serangan bakteri, fungi, virus, insekta herbivora dan vertebrata herbivora.
Selain itu, senyawa ini juga penting untuk mencegah degradasi nutrien yang
berlebihan di dalam tanah. Dengan demikian simpanan nutrien di dalam tanah
untuk periode vegetasi berikutnya dari tumbuhan dapat terpenuhi (Leinmüller et al.,
1991).
Uji aktivitas antioksidan terdiri atas metode in vivo dan in vitro. Para
peneliti lebih mengembangkan metode in vitro karena metode in vivo
membutuhkan waktu pengerjaan yang lama. Metode antioksidan secara in vitro
terbagi menjadi metode 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH), xantin oksidase,
tiosianat, dan deoksiribosa (Sharma, 2014).
1. Metode DPPH
Metode absorbansi radikal DPPH merupakan metode yang sederhana,
mudah, dan menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit dengan waktu yang
singkat (Hanani, et al 2005). Pengukuran aktivitas antioksidan sampel dilakukan
pada panjang gelombang 517 nm yang merupakan panjang gelombang maksimum
DPPH, dengan konsentrasi DPPH 50 μM. Adanya aktivitas antioksidan dari sampel
mengakibatkan perubahan warna pada larutan DPPH dalam etanol yang semula
berwarna violet pekat menjadi kuning pucat (Andayani, dkk 2008).
Metode DPPH merupakan pengukuran penangkal radikal bebas sintetik
dalam pelarut organik pada suhu kamar oleh suatu senyawa yang mempunyai
17
aktivitas antioksidan. Proses penangkalan radikal bebas ini melalui mekanisme
pengambilan atom hidrogen dari senyawa antioksidan oleh radikal bebas sehingga
radikal bebas menangkap satu electron dariantioksidan. Metode ini juga merupakan
pengujian aktivitas antioksidan yang paling cocok bagi pelarut etanol dan metanol
seperti yang dilakukan oleh Rochmantika dkk, (2012).
2. Metode Xantin Oksidase
Metode xantin oksidase menentukan nilai inhibisi sampel terhadap radikal
bebas. Perhitungan aktivitasinhibisi radikal bebas menggunakan superoksida
dismutase (SOD) (Giri dkk, 2014). Metode xantin oksidase adalah metode dengan
prinsip metabolisme xantin-xantin oksidase, yang menghasilkan radikal anion
superoksida. Superoksida dismutase (SOD) mengubah superoksida menjadi
hidrogen peroksida (H2O2) sehingga metode ini dapat digunakan untuk mengukur
aktivitas antioksidan dalam meredam radikal anion superoksida. Metode ini tidak
memerlukan waktu yang lama pada pengukuran, namun metode ini melewati
beberapa tahap inkubasi dalam pembentukan radikal bebas. (Young dkk, 2013).
3. Metode Tiosianat
Metode tiosianat menentukan aktivitasradikal bebas menggunakan senyawa
pembanding sebagai kontrol positif. Sebanyak 2 mL sampel dicampur dengan 2,05
mL asam linoleat dan bufer fosfat pH 7,0 diinkubasi di tempat gelap pada suhu 37o
C. Jumlah peroksida yang terbentuk ditentukan dari serapan warna merah pada
panjang gelombang 500 nm dengan penambahan FeCl2 dan amonium tiosianat.
18
Pengukuran dilakukan setiap 24 jam hingga dicapai absorbansi maksimum
(Sharma, 2014).
Metode tiosianat adalah metode dengan prinsip lipid peroksidasi. Metode
ini menggunakan asam linoleat, yaitu asam lemak tidak jenuh yang bertindak
sebagai radikal bebas (Hanani dkk, 2006). Metode ini secara spesifik dapat
mengukur jumlah radikal bebas berdasarkan peroksidasi lipid, yaitu pembentukan
radikal alkoksi. Namun, metode ini memerlukan proses pengukuran serapan yang
lama. Pengukuran serapan harus terus dilakukan hingga dicapai nilai absorbansi
maksimum (Sharma, 2014).
4. Metode Deoksiribosa
Metode deoksiribosa menggunakan reaksi degradasi deoksiribosa dengan
radikal bebas yang dihasilkan dari larutan besi (II) sulfat dan hidrogen peroksida.
Radikal bebas dicampurkan dengan ekstrak dan 2-deoksiribosa. Reaksi ini
membentuk malonaldehida (MDA). Antioksidan dalam ekstrak tanaman akan
mencegah radikal hidroksil merusak 2-deoksiribosa, sehingga produk MDA
terhambat. Kemudian larutan diberikan tiobarburat (TBA) yang akan berikatan
dengan MDA dan menyebabkan warna merah (Young dkk, 2013).
Metode ini memerlukan senyawa pembanding sebagai kontrol positif.
Jumlah MDA diamati sebagai hasil dari peredaman radikal bebas oleh antioksidan.
Reaksi pembentukan radikal bebas oleh FeSO4 dan H2O2 menghasilkan radikal
hidroksil yang diukur dengan metode deoksiribosa. Metode ini dapat mengukur
potensi antioksidan yang menghambat radikal hidroksil 32. Metode ini memerlukan
19
tahapan yang lebih banyak dibandingkan metode in vitro yang lainnya karena
produk MDA harus dihentikan terlebih dahulu oleh TBA sebelum dilakukan
pengukuran nilai serapan pada panjang gelombang yang ditentukan (Atun, 2010).
C. Blanching
Blanching merupakan suatu cara atau perlakuan pemanasan tipe pasteurisasi
yang dilakukan pada suhu kurang dari 100°C selama beberapa menit, dengan
menggunakan air panas atau uap. Proses blanching termasuk ke dalam proses
termal dan umumnya membutuhkan suhu berkisar 75 – 95°C selama 10 menit.
Tujuan utama dari blanching ialah menonaktifkan enzim dalam bahan pangan,
diantaranya adalah enzim peroksidase dan katalase. Kedua jenis enzim ini paling
tahan terhadap panas. Namun bukan hanya enzim yang menjadi nonaktif, sebagian
dari mikroba yang ada dalam bahan pangan tersebut pun ikut mati. Blanching pada
umumnya dilakukan untuk sayur-sayuran dan buah-buahan yang akan dikalengkan
atau dikeringkan (Dian Aphe, 2011).
Menurut Sebayang (2005), blanching bertujuan untuk menonaktifkan enzim
yang terdapat pada permukaan bahan tersebut, dan juga untuk mempermudah
pengeringan. Tujuan utama blanching yaitu: 1) menginaktivasi enzim-enzim dalam
bahan yang dapat menimbulkan reaksi-reaksi yang merugikan, 2) membersihkan
produk dari kotoran-kotoran yang melekat, 3) mengurangi jumlah mikroorganisme,
4) menghilangkan udara yang terdapat dalam rongga-rongga antar sel dalam
jaringan bahan, 5) melenturkan jaringan bahan agar mudah dikemas.
Ada dua metode blanching yang umum digunakan yaitu dengan uap air
panas (hot steam blanching) dan dengan air panas (hot water blanching). Metode
20
blanching dengan steam blanching dilakukan dengan cara bahan pangan diberi uap
panas yang dihasilkan dari air hangat (pengukusan). Uap air akan masuk dan
melewati seluruh jaringan dari bahan pangan tersebut (Fellows; Sharma et al. 2000).
Metode blanching yang digunakan dalam penelitian biasanya adalah steam
blanching dan water blanching selama beberapa menit tergantung dari bahan
pangan yang digunakan.
Hal ini sesuai dengan teori Fellows; Sharma et al. (2000) bahwa hot water
blanching lebih murah dan lebih hemat energi tetapi lebih banyak komponen larut
dalam air yang menghilang seperti vitamin dan mineral. Bahan pangan seperti buah
dan sayur seringkali disimpan dalam bentuk produk beku, kering atau bentuk
kalengan. Bentuk olahan ini akan memperpanjang umur simpan bahan disamping
juga akan mempermudah dan mempersingkat waktu pengolahan bahan tersebut
menjadi produk akhir. Blanching merupakan perlakuan pemanasan awal yang
biasanya dilakukan pada buah dan sayur segar. Walaupun secara umum proses
blanching bertujuan untuk memperbaiki mutu produk, tujuan khusus dari proses
blanching bervariasi dan tergantung pada proses pengolahan yang akan dilakukan
(Desroiser, 1988).
Proses blanching dapat menyebabkan kerugian pada bahan, yaitu
kehilangan zat gizi yang larut dalam air dan peka terhadap panas, menghambat
proses pengeringan bahan-bahan yang mengandung pati menyebabkan kerusakan
tekstur bila waktu blanching terlalu lama. Beberapa metode blanching diketahui
bahwa kecepatan destruksinya terhadap nutrisi dan enzim yang tahan panas
mempunyai respon yang sama, sehingga menaikkan maupun menurunkan suhu
21
tidak akan merubah situasi. Sehingga blanching dapat dioptimasi dengan beberapa
faktor lain, seperti hilangnya zat nutrisi yang terlarut, kerusakan akibat oksidasi dan
lain-lain. Berdasarkan hal tersebut proses blanching paling optimum dilakukan
dengan proses High Temperature Short Time dimana blanching dilakukan dalam
waktu yang cepat dengan metode Steam Blanching, karena pada proses ini
pelarutan zat nutrisi yang disebabkan karena bahan yang tidak tahan terhadap panas
dan mudah larut dalam air dapat dikurangi (Praptiningsih, 1999).
Penelitian ini menggunaan larutan blanching asam sitrat 0,05% dan waktu
selama 5 menit dikarenakan menurut (Pinelo dkk., 2004 dalam Pujimulyani dkk,
2010) Blanching asam sitrat 0,05 % selama 10 menit menunjukkan kadar flavonoid
total turun dibanding 5 menit, hal ini diduga waktu blanching yang lebih dari 5
menit dapat menyebabkan kerusakan flavonoid.
D. Gula
Tanaman tebu (Saccharum Officinarum L.) merupakan salah satu tanaman
penting yang bermanfaat sebagai penghasil gula. Lebih dari setengah produksi gula
berasal dari tebu. Menurut Sudiatso (1982), batang tebu merupakan bagian
terpenting dalam pembuatan gula karena mengandung nira. Untuk pembuatan gula,
batang tebu yang sudah dipanen diperas dengan mesin pemeras (mesin press).
Setelah itu, nira atau air perasan tebu tersebut disaring, dimasak, dan diputihkan
menjadi gula pasir.
Gula adalah suatu karbohidrat sederhana karena dapat larut dalam air dan
langsung diserap tubuh untuk diubah menjadi energi. Penambahan gula dalam
22
pembuatan serbuk instan berfungsi sebagai bahan pemanis, penambahan rasa,
pembentukan gel dan pengawet alami.
E. Serbuk Instan
Menurut Permana (2008), minuman serbuk instan dapat diartikan sebagai
produk pangan berbentuk butir-butiran (serbuk) yang dalam penggunaannya mudah
larut dalam air dingin atau air panas. Salah satu keunggulan sediaan yang telah
diolah adalah memiliki umur simpan yang tahan lama daripada bentuk segar.
Produk pangan instan didefinisikan sebagai produk dalam bentuk konsentrat atau
terpekatkan dengan penghilangan air sehingga mudah ditambah air (dingin atau
panas) dan mudah larut (Hartomo dan Widyatmoko, 1993). Produk instan paling
disukai oleh masyarakat karena kepraktisannya yang bisa dikonsumsi (siap saji)
dengan adanya penambahan air hangat atau panas.
Menurut Standar Nasional Indonesia 01-4320-1996, serbuk minuman
tradisional adalah produk bahan minuman berbentuk serbuk atau granula yang
dibuat dari campuran gula dan rempah-rempah dengan atau tanpa penambahan
bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diijinkan.
Menurut Verral (1984), minuman serbuk (pangan instan) dapat diproduksi
dengan biaya lebih rendah daripada minuman cair, minuman instan juga
didefinisikan sebagai produk yang tidak atau sedikit sekali mengandung air dengan
berat dan volume yang rendah. Serbuk instan yang diperoleh haus memenuhi syarat,
yaitu mudah untuk dituang tanpa tersumbat, tidak higroskopis, tidak menggumpal,
mudah dibasahi dan dapat larut. Pembuatan serbuk instan dilakukan dengan
penambahan komponen lain atau bahan tambahan pangan, seperti gula. Penambhan
23
gula ini bertujuan untuk mendorong proses kokristalisasi, bahan pengawet,
pemanis, serta penambah energy. Menurut Iskandar dan Tajudin (1990),
kokristalisasi adalah suatu proses pemisahan dengan cara pemekatan larutan sampai
konsentrasi bahan yang terlarut (solute) menjadi lebih besar daripada pelarutmya
pada suhu yang sama.
Minuman serbuk yang telah diolah dalam penyajian bentuk bubuk (instan)
merupakan suatu alternatif yang baik untuk menyediakan minuman menyehatkan
dan praktis. Permasalahan yang umum terjadi pada pembuatan serbuk instan adalah
kerusakan akibat proses pengeringan yang umumnya memerlukan suhu pemanasan
tinggi (lebih 60oC) seperti hilang atau rusaknya komponen flavor serta terjadinya
pengendapan pada saat serbuk dilarutkan dalam air, sehingga untuk mengantisipasi
hal tersebut perlu menggunakan metode pengeringan yang baik dan penggunaan
bahan penstabil yang berfungsi melapisi komponen flavor serta mencegah
kerusakan komponen-komponen bahan akibat proses pengeringan (Intan, 2007).
Penyajian minuman instan tak lagi memerlukan penyeduhan dengan air
mendidih, namun cukup dengan air suam-suam kuku atau bahkan dengan air dingin.
Bahan serbuk yang telah diberi perlakuan instan akan menjadi mudah larut dan
terdispersi. Serbuk instan memiliki ciri tidak higroskopis (menyerap air) sehingga
tidak menggumpal dan apabila dibasahi maka serbuk instan akan terdispersi,
melarut, serta stabil (tetap instan). Pembuatan produk pangan secara instan
mempermudah dalam penyajian, transportasi maupun masalah penyimpanan. Pada
minuman instan dalam kemasan jumlah air dikurangi sehingga mutu produk lebih
24
terjaga dan tidak mudah kotor serta terjangkit bibit penyakit (Hartomo dan
Widyatmoko, 1993).
Keuntungan dari suatu bahan ketika dijadikan minuman serbuk adalah mutu
produk dapat terjaga dan tanpa pengawet. Semua hal tersebut dimungkinkan karena
minuman serbuk instan merupakan produk dengan kadar air yang cukup rendah
yaitu sekitar 3-5% (Rengga dan Handayani, 2004).
Berbagai macam metode pengeringan yang digunakan dalam pembuatan
minuman serbuk antara lain menggunakan pengering semprot atau spray drying.
Kendala jika menggunakan metode ini adalah dari segi biaya sangat mahal sehingga
tidak cocok untuk usaha menengah ataupun usaha kecil (Permana, 2009).
F. Serat Kasar
Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat terhidrolisis oleh
bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan kadar serat kasar yaitu asam
sulfat (H2SO4 1,25%) dan natrium hidroksida (NaOH 1,25%). Serat kasar
merupakan bagian dari karbohidrat dan didefinisikan sebagai fraksi yang tersisa
setelah didigesti dengan larutan asam sulfat standar dan sodium hidroksida pada
kondisi yang terkontrol. Pengukuran serat kasar dapat dilakukan dengan
menghilangkan semua bahan yang larut dalam asam dengan pendidihan dalam
asam sulfat (Hunter, 2002).
Bahan makanan yang mengandung banyak serat kasar lebih tinggi
kecernaannya dibanding bahan makanan yang lebih banyak mengandung bahan
ekstrak tanpa nitrogen (Arif, 2006). Prinsipnya komponen dalam suatu bahan yang
tidak dapat larut dalam pemasakan dengan asam encer dan basa encer selama 30
25
menit adalah serat kasar dan abu sebagaimana pendapat Allend (1982) yang
menyatakan bahwa serat kasar adalah karbohidrat yang tidak larut setelah dimasak
berturut-turut dalam larutan asam sulfat dan NaOH. Untuk mendapatkan nilai serat
kasar, maka bagian yang tidak larut tersebut (residu) dibakar sesuai dengan
prosedur analisis abu. Selisih antara residu dengan abu adalah serat kasar (Ridwan,
2002).
Langkah pertama metode pengukuran kandungan serat kasar adalah
menghilangkan semua bahan yang terlarut dalam asam dengan pendidihan dengan
asam sulfat bahan yang larut dalam alkali dihilangkan dengan pendidihan dalam
larutan sodium alkali. Residu yang tidak larut adalah serat kasar (Soejono, 1990).
Kadar serat pangan pada kunir putih dan bubuk kunir putih dalam 100 g
yaitu 2,6 g dan 6,90 g (Lukman, 1984). Selanjutnya penelitian Ghozin (2014), kadar
serat kasar kunir putih yang mealui proses pengolahan penggilingan yang berulang
mengalami peningkatan walau tidak signifikan sebesar 3,4% sampai 4,15%.
Rimpang temulawak kering mempunyai kandungan serat kasar 6,89% (Suwiah,
1991).
G. Uji Organoleptik
Pengujian organoleptik adalah pengujian bahan secara subjektif
menggunakan panca indera manusia. Penilaian organoleptik sangat penting dalam
pengembangan produk makanan kaitanya dengan perbaikan gizi. Uji organoleptik
atau disebut juga sensory evaluation atas indera penglihat, indera pembau, indera
26
perasa dan indera pendengar. Penentuan penerimaan terhadap produk makanan
dapat dilakukan melalui uji hedonic atau kesukaan (Kartika dkk., 1988).
Uji organoleptik yang biasa digunakan dalam industry pangan adalah uji
kesukaan (hedonik) dan uji mutu hedonik panelis diminta tanggapanya mengenai
kesukaan dan ketidaksukaan terhadap suatu produk pada uji hedonik, sedangkan uji
mutu hedonik tanggapan yang diberikan berdasarkan kesan baik atau buruk.
Menurut Kartika dkk., (1998), uji hedonik bertujuan untuk mengetahui respon
panelis terhadap sifat mutu yang umum misalnya warna, aroma, tekstur dan rasa.
Uji mutu hedonik digunakan untuk mengetahui respon terhadap sifat-sifat produk
yang lebih spesifik.
Penilaian organoleptik yang disebut juga penilaian indera atau penilaian
sensorik merupakan suatu cara penilaian yang sudah sangat lama dikenal dan masih
sangat umum digunakan. Metode penilaian ini banyak digunakan karena dapat
dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Dalam beberapa hal penilaian dengan
indera bahkan memeliki ketelitian yang lebih baik dibandingkan dengan alat ukur
yang paling sensitif (Meilgaard et al, 1999). Penerapan penilaian organoleptik pada
prakteknya disebut uji organoleptik yang dilakukan dengan prosedur tertentu. Uji
ini akan menghasilkan data yang penganalisisan selanjutnya menggunakan metode
statistika (Kartika, 1992).
Uji organoleptik yang digunakan yaitu uji hedonik (uji kesukaan) terhadap
25 orang panelis. Panelis dimintakan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau
sebaliknya (ketidaksukaan). Tingkat-tingkat kesukaan disebut sebagai skala
hedonik. Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut rentangan skala
27
yang dikehendakinya. Skala hedonik dapat juga diubah menjadi skala numerik
dengan angka mutu menurut tingkat kesukaan. Dengan data numerik ini dapat
dilakukan analisis data secara parametrik (Lestari, 2015).
H. Hipotesis
Variasi penambahan gula dan larutan blanching diduga mempengaruhi
tingkat kesukaan, aktivitas antioksidan, serat dan flavonoid minuman instan temu
ireng
28