5. bab ii tinjauan pustaka - universitas mercu buana ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/5609/3/bab...

29
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Ayam Kampung Ayam kampung merupakan turunan panjang dari proses sejarah perkembangan genetik perunggasan di tanah air. Ayam kampung diindikasikan dari hasil domestikasi ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan ayam hutan hijau atau green jungle fowls (Gallus varius). Awalnya, ayam tersebut hidup di hutan, kemudian didomestikasi serta dikembangkan oleh masyarakat pedesaan (Yaman, 2010). Ayam kampung merupakan salah satu dari keluarga ayam buras yang dapat dimanfaatkan baik telur maupun dagingnya. Ayam kampung berukuran kecil dan mempunyai bentuk agak ramping. Ayam ini mempunyai warna bulu putih, hitam, coklat, kuning kemerahan, kuning ataupun kombinasi dari warna- warna tersebut (Cahyono, 2002). Di Indonesia, terdapat berbagai jenis ayam kampung, sebagian sudah teridentifikasi dan sebagian lagi belum. Pemahaman masyarakat tentang ayam kampung mungkin tiap daerah berlainan. Namun, secara umum ayam kampung mempunyai warna bulu beragam (hitam, putih, cokelat, kuning dan kombinasinya), kaki cenderung panjang dan berwarna hitam, putih, atau kuning serta bentuk tubuh ramping. Ayam kampung asli Indonesia yang sudah banyak dikenal misalnya ayam pelung, ayam kedu, ayam merawang, dan ayam sentul (Suharyanto, 2007). Akibat proses budidaya dan perkawinan antar keturunan secara alam atau liar, serta pengaruh lingkungan yang berbeda-beda maka terbentuklah berbagai macam tipe ayam dengan beragam penampilan fisik dan varietas (Nuroso, 2010). Ayam buras

Upload: others

Post on 19-Oct-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    Ayam Kampung

    Ayam kampung merupakan turunan panjang dari proses sejarah

    perkembangan genetik perunggasan di tanah air. Ayam kampung diindikasikan dari

    hasil domestikasi ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan ayam

    hutan hijau atau green jungle fowls (Gallus varius). Awalnya, ayam tersebut hidup

    di hutan, kemudian didomestikasi serta dikembangkan oleh masyarakat pedesaan

    (Yaman, 2010). Ayam kampung merupakan salah satu dari keluarga ayam buras

    yang dapat dimanfaatkan baik telur maupun dagingnya. Ayam kampung berukuran

    kecil dan mempunyai bentuk agak ramping. Ayam ini mempunyai warna bulu

    putih, hitam, coklat, kuning kemerahan, kuning ataupun kombinasi dari warna-

    warna tersebut (Cahyono, 2002).

    Di Indonesia, terdapat berbagai jenis ayam kampung, sebagian sudah

    teridentifikasi dan sebagian lagi belum. Pemahaman masyarakat tentang ayam

    kampung mungkin tiap daerah berlainan. Namun, secara umum ayam kampung

    mempunyai warna bulu beragam (hitam, putih, cokelat, kuning dan kombinasinya),

    kaki cenderung panjang dan berwarna hitam, putih, atau kuning serta bentuk tubuh

    ramping. Ayam kampung asli Indonesia yang sudah banyak dikenal misalnya ayam

    pelung, ayam kedu, ayam merawang, dan ayam sentul (Suharyanto, 2007). Akibat

    proses budidaya dan perkawinan antar keturunan secara alam atau liar, serta

    pengaruh lingkungan yang berbeda-beda maka terbentuklah berbagai macam tipe

    ayam dengan beragam penampilan fisik dan varietas (Nuroso, 2010). Ayam buras

  • 9

    di Indonesia memiliki berbagai macam jenis sesuai asal dan potensi pemanfaatanya,

    berikut dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Ayam buras di Indonesia, daerah asal, dan potensi pemanfaatannya

    Nama ayam Daerah asal Potensi pemanfaatan

    Pelung Cianjur Daging, suara

    Sentul Ciamis Dwiguna

    Nagrak Sukabumi Daging

    Banten Banten Petarung

    Ciparage Karawang Petarung

    Siem Jawa Dwiguna

    Wareng Jawa Petelur

    Kedu hitam Temanggung Petelur

    Kedu Putih Temanggung Petelur

    Kedu cemani Temanggung Obat tradisional

    Sedayu Magelang Pedaging

    Gaok Madura Daging

    Bangkalan Madura Dwiguna

    Olagan Bali Dwiguna

    Nusa penida Bali Petelur

    Nunukan Kalimantan Timur Petelur

    Ayunai Merauke Dwiguna

    Tolakai Sulawesi Selatan Petarung

    Tukung Kalimantan Barat Hias

    Sumatera Sumatera bagian Tengah Petelur

    Burgo Sumatera Selatan Hias

    Merawang Suamtera Selatan Petelur

    Kukuak balenggek Sumatera Barat Suara

    Melayu Suamtera Utara Dwiguna

    Bangkok Tersebar Petarung

    Bekisar Madura Suara

    Walik/Rintit Tersebar Hias

    Kampung Tersebar Dwiguna

    Maleo Sulawesi Tengah, Maluku Satwa Langka

    KUB Jawa Barat Dwiguna

    Sumber : Nataamijaya (2000)

    Ayam kampung atau dikenal juga sebagai ayam buras mempunyai banyak

    kegunaan dan manfaat untuk menunjang kehidupan manusia antara lain

    pemeliharaannya sangat mudah karena tahan pada kondisi lingkungan, pengelolaan

    yang buruk, tidak memerlukan lahan yang luas, bisa dilahan sekitar rumah, harga

  • 10

    jualnya stabil dan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ayam pedaging lain dan

    tidak mudah stress terhadap perlakuan yang kasar dan daya tahan tubuhnya lebih

    kuat di bandingkan dengan ayam pedaging lainnya (Nuroso, 2010). Selain

    kelebihan-kelebihan tersebut, ayam kampung juga memiliki beberapa kelemahan,

    antara lain sulitnya memperoleh bibit yang baik dan produksi telurnya yang lebih

    rendah dibandingkan ayam ras, pertumbuhannya relatif lambat sehingga waktu

    pemeliharaannya lebih lama, keadaan ini terutama disebabkan oleh rendahnya

    potensi genetik (Suharyanto, 2007).

    Ayam kampung mempunyai bobot hidup rata-rata 205,21 gram pada umur

    tiga minggu. Bobot ayam kampung mencapai 865 gram pada umur sembilan

    minggu (Santosa, 2004). Peranan ayam kampung sebagai penyedia daging dan telur

    untuk memenuhi konsumsi protein hewani sangat berarti terutama bagi masyarakat

    perdesaan. Kontribusi ayam kampung terhadap produksi daging unggas cukup

    tinggi. Pada tahun 2014 sampai 2018 terjadi peningkatan produksi ayam kampung

    sebanyak 10,86% dan pada tahun 2014 sampai 2016 konsumsi ayam kampung dari

    0,469 kg/kapita/tahun meningkat menjadi 0,626 kg/kapita/tahun (Anonim, 2017 ).

    Selera konsumen terhadap ayam kampung yang dari tahun ke tahun semakin

    meningkat. Besarnya permintaan akan produk ayam kampung belum mampu

    dipenuhi oleh peternak ayam kampung terutama bila permintaan dalam jumlah

    besar dan kontinu. Untuk mengatasi masalah ini perlu dicari berbagai alternatif

    untuk meningkatkan produktivitas ayam kampung.

  • 11

    Ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB)

    Ayam Kampung Unggul Balitnak atau yang disingkat ayam KUB (Hidayat

    dkk., 2011) adalah ayam kampung murni hasil dari seleksi galur betina selama 6

    generasi dimana satu generasi membutuhkan waktu penelitian selama kurang lebih

    12 sampai 18 bulan. Karakteristik warna bulu ayam KUB sama seperti ayam

    kampung pada umumnya. Bibit ayam KUB berasal dari ayam kampung unggul di

    DKI Jakarta dan berbagai daerah di Jawa Barat seperti Depok, Karakal Ciawi,

    Cianjur, Jatiwangi (Anonim, 2013).

    Ayam KUB jika dibandingkan dengan ayam kampung biasa mampu

    memproduksi telur lebih tinggi (Hidayat dkk., 2011). Ayam KUB memiliki

    beberapa keunggulan lainnya yaitu mampu menghasilkan telur mencapai 160

    sampai 180 butir/ekor/tahun, ayam dapat cepat bertelur kembali karena masa

    mengeram berkurang hingga tinggal 10%, ayam ini juga dapat tumbuh lebih cepat

    daripada ayam kampung biasa, dan rasa daging ayam KUB juga gurih, sama seperti

    ayam kampung pada umumnya (Anonim, 2016).

    Ciri-ciri indukan (parent stock) ayam KUB yaitu produksi telur lebih kurang

    180 butir per tahun sedangkan pada final stock sekitar 180-200 butir per tahun, awal

    bertelur pada umur 18 minggu, puncak produksi pada 27 minggu, daya tetas 84%,

    dan konsumsi pakan lebih kurang 90 gram per ekor per hari. Keunggulan parent

    stock ayam KUB antara lain produksi telur lebih tinggi, sifat mengeramnya lebih

    pendek, lebih tahan terhadap penyakit, dan konsumsi pakan lebih efisien (Anonim,

    2013).

  • 12

    Kegiatan seleksi untuk mendapatkan ayam kampung unggul, telah diawali

    sejak tahun 1997 dengan cara mengambil calon bibit dari berbagai daerah di Jawa

    Barat yang meliputi Jatiwangi, Depok, Karakal Ciawi, DKI dan Cianjur. Calon bibit

    ayam kampung tersebut, dipelihara secara intensif di kandang Percobaan Balitnak

    Ciawi. Perkawinan dilakukan dengan teknik kawin suntik (IB) yang diikuti dengan

    recording yang ketat untuk menghindari terjadinya in breeding. Selama periode

    pemeliharaan, diberikan pakan standard yang sesuai dengan kebutuhan gizi ayam

    kampung. Ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB) mempunyai kelebihan lainnya,

    yaitu mengandung gen MX++ 60%, gen penanda ketahanan terhadap flu burung

    sehingga membuatnya lebih tahan terhadap serangan AI. Sebagai perbandingan,

    ayam broiler tidak mengandung gen tersebut, sementara pada ayam kampung biasa

    kandungan gen tersebut di bawah 60% (Anonim, 2013).

    Pakan Ayam Kampung

    Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pemeliharaan

    ternak termasuk ternak ayam kampung, karena biaya untuk pakan mencapai 60–

    70% dari total biaya produksi. Hal ini disebabkan pakan merupakan sumber gizi

    dan energi sehingga ternak dapat hidup, tumbuh dan bereproduksi dengan baik

    (Mahfudz et al., 2004).

    Secara umum, kebutuhan gizi untuk ayam paling tinggi selama minggu

    awal (0-8 minggu) dari kehidupan, oleh karena itu perlu diberikan ransum yang

    cukup mengandung energi, protein, mineral dan vitamin dalam jumlah yang

    seimbang. Faktor lainnya adalah perbaikan genetik dan peningkatan manajemen

    pemeliharaan ayam kampung harus didukung dengan perbaikan nutrisi pakan

  • 13

    (Setioko dan Iskandar, 2005).

    Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan

    produktivitas ayam kampung dipengaruhi oleh imbangan protein dan energi

    metabolis pakan. Bobot badan ayam kampung umur 0-6 minggu yang diberi pakan

    mengandung protein 14% dan energi metabolis 2.300-2.900 kkal/kg, meningkat

    dari 35,9 g menjadi 45,5 g/ekor, memperbaiki konversi pakan dari 6,6 menjadi 4,2,

    dan meningkatkan bobot karkas dari 70,7% menjadi 73,4% (Resnawati 2012).

    Kebutuhan gizi ayam kampung sesuai dengan kandungan nutrisi yang dibutuhkan

    disajikan pada Tabel 2.

    Tabel 2. Kebutuhan gizi ayam kampung

    Gizi Pakan Umur (0-12 minggu )

    Energi Metabolis (kkal/kg) 2600(2)-2800(1)

    Protein Kasar (%) 17-20(2)

    SK (%) 4-7(2)

    LK (%) 4-7(3)

    Kalsium (%) 0,9(1)

    Fosfor Tersedia (%) 0,45(1)

    Sumber : (1) Iskandar (2010), (2) Nawawi dan Norrohmah (2002) dan (3) Zainudin,

    (2006).

    Pemberian pakan pada ayam kampung dengan imbangan protein 20% dan

    energi metabolis 2.800 kkal/kg meningkatkan bobot badan menjadi 520,6 g dan

    efisiensi konversi pakan 2,60 pada umur 8 minggu (Resnawati, 2005). Data ini

    menunjukkan bahwa kebutuhan imbangan protein dan energi metabolis untuk

    ayam kampung pedaging lebih rendah dibandingkan dengan ayam ras pedaging,

    yaitu 23% protein pada umur 0-6 minggu dan 20% pada umur >6 minggu, dengan

    energi metabolis 3.000 kkal/kg (NRC 1994).

    Sifat khusus unggas adalah mengkonsumsi ransum untuk memperoleh

    energi sehingga jumlah makanan yang dimakan tiap harinya berkecenderungan

  • 14

    berhubungan erat dengan kadar energinya. Bila persentase protein yang tetap

    terdapat dalam semua ransum, maka ransum yang mempunyai konsentrasi ME

    tinggi akan menyediakan protein yang kurang dalam tubuh unggas karena

    rendahnya jumlah makanan yang di konsumsi dalam tubuh unggas. Sebaliknya,

    bila kadar energi kurang maka unggas akan mengkonsumsi makanan untuk

    mendapatkan lebih banyak energi akibatnya kemungkinan akan mengkonsumsi

    protein yang berlebihan (Tillman et al., 1991).

    Kebutuhan Pakan Ayam KUB

    Bahan pakan pada ayam KUB dapat diberikan dengan lebih dari dua

    campuran. Adapun jenis bahan pakan yang dapat diberikan pada ayam berupa

    dedak padi, jagung, bungkil kelapa, bungkil inti sawit, tepung singkong, menir,

    beras, tepung ikan, ikan rucah, ikan asin, tepung daun lamtoro, dedak jagung, polar,

    sagu, tepung keong, tepung cangkang kerang, tepung kapur, bungkil kacang tanah,

    bungkil kedele, sorghum, asam amino, garam dapur, antibiotika, premix vitamin

    dan mineral serta herbal kesehatan untuk daya tahan tubuh seperti jamu ternak

    fermentasi dan anti koksidiosis (Hayanti, 2014).

    1. Bangsa ayam (tingkat produktifitas, ukuran tubuh, prilaku) Untuk ayam petelur

    pada masa bertelur membutuhkan pakan lebih banyak (Lihat Tabel 3).

    2. Kualitas bahan pakan (kadar serat kasar)

    3. Bentuk ransum

    - Mash atau tepung + biji pecah lembut, kasar

    - Crumble atau pelet pecah, granul

    - Pelet

  • 15

    4. Pemberian secara ad libitum (tidak terbatas)

    - Kering

    - Pasta /semi basah (Hayanti, 2014).

    Pemberian pakan berdasarkan:

    5. Umur ayam

    Kebutuhan pakan Ayam KUB sesuai umur dapat dilihat pada Tabel

    Tabel 3. Kebutuhan pakan ayam KUB berdasarkan tingkatan umur

    Umur ( minggu) Kebutuhan pakan ( g/e/hari )

    0-1 05-10

    1-2 10-15

    2-3 15-20

    3-4 20-25

    4-5 25-30

    5-6 30-40

    6-7 40-50

    7-8 50-70

    Menjelang bertelur 80-90

    Priode bertelur 90-100

    Sumber : Hayanti (2014)

    Rata-rata konsumsi pakan ayam KUB berkisar antara 101-105 g/ekor/hari

    mendekati konsumsi pakan ayam kampung lainnya. Rata-rata konsumsi pakan

    ayam KUB ini lebih tinggi dengan yang dilaporkan Hidayat et al. (2011) yaitu

    berkisar antara 81-85 g/ekor/hari dengan angka konversi pakan lebih besar (5,06).

    Pemenuhan kebutuhan pakan ayam KUB yang dipelihara peternak di Desa Teluk

    Cati, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan antara lain dengan

    memanfaatkan limbah pertanian. Bobot badan ayam KUB umur satu dan lima bulan

    di KBI masing-masing memperlihatkan rata-rata sebesar 455 g/ekor dan 1.780

    g/ekor, lebih tinggi dibandingkan dengan di tempat peternak yaitu 410 dan 1.670

    g/ekor. Rata-rata bobot badan ayam KUB ini lebih tinggi dengan yang dilaporkan

  • 16

    Hidayat et al., (2011) yaitu 1.318 g/ekor. Konversi pakan merupakan perhitungan

    antara jumlah konsumsi pakan dengan bobot badan atau berat telur yang dihasilkan

    selama pemeliharaan.

    Ayam KUB memiliki kinerja lebih baik dibandingkan ayam kampung biasa.

    Pembandingan kinerja ayam KUB dan ayam kampung biasa berdasarkan sistem

    pemeliharaannya dapat dilihat pada Tabel 4.

    Tabel 4. Perbandingan kinerja ayam kampung biasa dengan ayam KUB pada sitem

    pemeliharaan yang berbeda

    Cara

    pemeliharaan

    Uraian Ayam

    kampung

    KUB

    Ekstensif*) Semi Intensif*) Intensif*) Intensif

    Produksi telur

    (butir/induk/th)

    47 59 146 180

    Produksi telur (%) 13 29 40 44-70

    Frekuensi bertelur

    (kali/th)

    3 6 7 Tanpa

    clutch

    Setiap hari

    Puncak produksi

    (%)

    - - 50 65-70

    Umur pertama

    Bertelur (mg)

    28 22-26 20-24 20-22

    Daya tetas telur

    (%)

    74 79 84 85

    Bobot telur

    (g/butir)

    39-48 39-48 39-43 36-45

    Frekuensi

    terjadinya

    mengeram (%)

    100 100 30-100 10

    Konsumsi pakan

    (g/ekor/h)

    < 60 60-68 80-100 80-85

    Konversi pakan > 10 08-okt 4.9-6.4 3.8

    Mortalitas s/d 6

    minggu (%)

    50-60% 34-42

  • 17

    Konsentrat

    Konsentrat adalah suatu bahan pakan yang dipergunakan bersama bahan

    pakan lain untuk meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan makanan dan

    dimaksudkan untuk disatukan dan dicampur sebagai pakan pelengkap. Konsentrat

    atau pakan penguat dapat disusun dari biji-bijian dan limbah hasil proses industri

    bahan pangan seperti jagung giling, tepung kedelai, menir, dedak, bekatul, bungkil

    kelapa, tetes dan umbi. Peranan konsentrat adalah untuk meningkatkan nilai nutrien

    yang rendah agar memenuhi kebutuhan normal hewan untuk tumbuh dan

    berkembang secara sehat (Hartadi et al., 2005).

    Pakan konsentrat adalah pakan yang diproses dengan teknologi modern

    yang higinies yang memiliki nilai gizi dengan kisaran protein 17– 23% dan telah

    disusun sesuai kebutuhan ternak serta pemberiannya tidak perlu dicampur dengan

    bahan pakan lain. Pakan konsentrat terdiri dari 2 jenis yaitu pakan konsentrat

    sumber energi dan pakan konsentrat sumber protein yang memiliki kandungan

    protein mencapai 27–42% dan biasanya pemberiannya masih dicampur dengan

    bahan pakan lainnya (Anonim, 2002).

    Diwarta (2013) menyatakan bahwa terdapat berbagai macam bentuk pakan

    konsentrat yaitu; bentuk tepung (mash) yang biasanya diberikan untuk ayam petelur

    fase grower dan layer dan puyuh petelur fase stater dan layer; bentuk pellet,

    biasanya untuk ayam petelur fase layer dan ayam pedaging fase finisher; bentuk

    crumble (pecahan pellet), biasanya untuk ayam pedaging fase stater, ayam petelur

    fase starter, grower dan layer.

  • 18

    Keong Mas

    Keong mas (Pomacea canaliculata) adalah siput sawah dengan warna

    cangkang keemasan, kadang dianggap hama tetapi berprotein tinggi. Keong mas

    disebut hama karena menjadi pemakan tanaman padi di areal persawahan. Telur

    keong mas dapat menempel dan menetas pada batang padi, sehingga menyebabkan

    tanaman padi mati serta petani gagal panen. Keong memiliki kandungan gizi sangat

    tinggi karena daging keong mengandung protein. Daging keong dapat diolah

    menjadi bahan makanan dengan teknik pengolahan yang tepat. Misalnya, daging

    keong bisa dibuat menjadi keripik, kerupuk, tepung hingga pupuk dan campuran

    pakan ternak. Daging keong mas tidak haram karena hidup di satu alam dan tidak

    bertulang belakang (Sulistiono, 2010). Bentuk morfologi keong mas dapat dilihat

    pada Gambar 1.

    Klasifikasi keong mas (Pomacea canaliculata) menurut Cazzaniga (2002)

    adalah sebagai berikut:

    Filum : Molusca

    Kelas : Gastropoda

    Subkelas : Prosobranchiata

    Ordo : Mesogastropoda

    Famili : Ampullariidae

    Genus : Pomacea

    Spesies : Pomacea canaliculata

  • 19

    Gambar 1. Keong Mas (Pomacea canaliculata Lamarck)

    Sumber : a) (Afrianty, 2010).

    b) (Tamud, 2009).

    Keong mas hidup di kolam, sawah beririgasi dan kanal. Keong mas

    membenamkan diri pada tanah lembab selama musim kering. Keong mas dapat

    bertahan hidup hingga 6 bulan dengan melakukan estivasi dengan cara menutup

    operkulum dan membenamkan diri dalam tanah. Keong mas menjadi aktif kembali

    ketika tanah tempat hidupnya tergenang air. Keong mas dapat bertahan hidup pada

    kondisi lingkungan yang keras, seperti pada perairan tercemar atau perairan yang

    memiliki kandungan oksigen terlarut yang rendah. Hal ini dikarenakan keong mas

    memiliki insang (ctenidium) dan organ menyerupai paru-paru, sehingga

    memungkinkan keong mas dapat bertahan hidup di dalam dan di luar air (DA-

    PhilRice, 2001).

    Keong mas memiliki karakteristik khusus yang dapat digunakan untuk

    membedakan dengan keong-keong jenis lain yang hidup pada habitat yang sama.

    Keong mas dewasa memiliki cangkang berwarna coklat dan daging berwarna putih

    krem hingga emas kemerah-merahan. Ukuran tubuhnya sangat beragam dan

    bergantung pada ketersediaan makanan. Ukuran diameter cangkang keong mas

    dapat mencapai 4 cm dengan berat 10-20 gram. Keong mas memiliki umbilicus

    terbuka. Operkulum yang menutupi lubang aperture terbuat dari kitin dan

  • 20

    merupakan operkulum tipe konsentris (Ardhi, 2008). Perbedaan antara keong mas

    jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 2.

    Gambar 2. Perbedaan keong mas jantan dan betina

    (Sumber: DA-PhilRice, 2001)

    Keong mas dikategorikan sebagai hewan omnivora. Keong mas dapat

    memakan keong-keong jenis lain seperti Biomphalaria glabrata dan Bulinus sp.

    Keong Biomphalaria glabrata dan Bulinus sp merupakan inang perantara parasit

    trematoda dan dapat menyebabkan penyakit gatal (Sulistiono, 2007). Keong mas

    juga dapat bersifat kanibalisme memakan telur-telurnya dan juvenil-juvenil keong

    mas yang baru menetas (Horn et al., 2008).

    Pemanfaatan Keong Mas

    Pemanfaatan keong mas, baik dibidang penyediaan pangan maupun pakan,

    merupakan salah satu bentuk usaha pengendalian keong mas yang merupakan hama

    berbahaya bagi sektor pertanian, khususnya pertanian padi. Pengumpulan keong-

    keong di areal persawahan juga termasuk salah satu usaha pengendalian hama

    keong mas ini. Keong-keong yang terkumpul biasanya diolah menjadi bahan pakan

    bagi ternak. Pengolahannya sebagai bahan pangan telah banyak dilakukan, seperti

    fortifikasi daging keong mas dalam pembuatan kerupuk keong mas, fortifikasi

  • 21

    daging keong mas dalam pembuatan cracker “chicharon”, pembuatan kecap, sate

    keong, pepes keong, sambel keong, dendeng dan menu keong lainnya. Keong mas

    juga digunakan sebagai obat penyakit kulit, penyakit kuning, dan penyakit liver

    (Sulistiono, 2007). Selain itu, juga dapat bermanfaat untuk meningkatkan

    kecerdasan dan dapat meningkatkan vitalitas (Sumitro, 2009). Daging keong mas

    sebanyak 100 gram mengandung energi sebesar 83 kalori, fosfor 61 mg, sodium 40

    mg, potasium 17 mg, riboflavin 12 mg, niacin 1,8 mg, vitamin C, zinc, tembaga,

    mangan dan iodium (DA-PhilRice, 2001). Komposisi kimia keong mas dapat

    dilihat pada Tabel 5.

    Tabel 5. Komposisi Kimia Keong Mas

    Komposisi Kimia

    (%)

    Daging Lumat

    Segar1)

    Daging Segar2) Daging Segar3)

    Kadar Air 84,70 82,37 77,60

    Kadar Protein 9,33 8,69 12,20

    Kadar Lemak 0,91 0,78 0,40

    Kadar Abu 1,43 1,47 3,20

    Kadar Serat Kasar 3,10 6,68 -

    Karbohidrat 0,10 - 6,60 Sumber: 1) Nurjanah et al. (1996); 2) Kamil et al. (1998); 3) DA-PhilRice (2001).

    Pemanfaatan keong mas sebagai pakan ternak juga telah banyak

    dikembangkan. Dalam bentuk segar, keong mas digunakan sebagai pakan sumber

    protein untuk ternak itik, ayam broiler, burung puyuh, budidaya ikan patin, ikan

    gabus, ikan sidat, udang, kepiting dan lobster air tawar. Pemberian pakan berbasis

    protein keong mas pada ternak burung puyuh (Coturnix coturnix) dan budidaya ikan

    gabus (Chana striata) serta ikan sidat (Anguilla sp.), memberikan pertumbuhan

    yang baik pada hewan-hewan budidaya tersebut (Sulistiono, 2007).

    Daging keong mas yang akan digunakan untuk fortifikasi tepung ikan

    (pakan), harus diolah terlebih dahulu menjadi tepung keong mas. Hasil penelitian

  • 22

    Kamil et al. (1998) menunjukkan bahwa tepung keong mas memiliki kadar air

    sebesar 8,03-8,73%, kadar protein 65,50-70,67%, kadar lemak 1,27-1,43%, kadar

    abu 9,13-10,47%, kadar serat kasar 8,19-9,59%, dan kadar garam 0,56-1,69%.

    Kadar asam amino esensial tepung keong mas yang paling tinggi adalah leusin (44,8

    mg/g protein) dan terendah adalah metionin (10,54 mg/g protein). Jenis asam amino

    esensial yang paling sedikit adalah triptofan. Lisin yang biasanya menjadi asam

    amino pembatas, ternyata pada tepung keong mas ini memiliki skor kimia yang

    cukup (41,29 mg/g protein) dan tidak menjadi asam amino pembatas, sehingga

    dapat digunakan sebagai suplemen pakan yang kurang lisin (Sulistiono, 2007).

    Harmentis et al. (1998) telah mencoba membuat tepung daging keong mas

    (Pomacea canaliculata) untuk pakan ayam. Tepung daging keong mas dibuat

    dengan terlebih dahulu direndam dalam larutan kapur 5% selama 60 menit dan

    kemudian dikeringkan dengan sinar matahari. Tepung keong mas ini mempunyai

    kandungan protein kasar 46,2%, metionin 0,3%, lisin 1,37%, lemak 5,15%, serat

    kasar 1,43%, kalsium 2,98%, dan fosfor 0,35% serta dapat digunakan dalam ransum

    ayam broiler sebanyak 4%.

    Sinurat (1999) menyatakan tepung keong mas mempunyai kandungan

    protein 46,2%; metionin 0,3%; lisin 1,37%; lemak 5,15%; serat kasar 1,43%;

    kalsium 2,98%; fosfor 0,35% dan mengandung zat anti nutrisi. Proses perebusan

    dalam pembuatan tepung keong mas dapat mencegah dampak negatif zat anti nutrisi

    (Budiari et al., 2016), sehingga penambahan tepung keong mas yang memiliki

    kandungan nutrisi dan protein yang tinggi terutama pada perlakuan 4%, diduga

    memenuhi kebutuhan nutrisi ayam broiler.

  • 23

    Rodiallah (2018) dalam penelitiannya menyatkan bahwa penambahan

    tepung keong mas pada taraf 4% (R2) dalam ransum standar komersil mampu

    meningkatkan performa ayam broiler yang ditandai dengan peningkatan konsumsi

    ransum, pertambahan berat badan dan penurunan angka konversi ransum. Tepung

    keong mas dapat digunakan hingga taraf 4% dalam ransum standar komersil.

    Silase

    Ensilase merupakan metode untuk pengawetan pakan ternak yang telah

    digunakan secara luas melalui proses fermentasi secara alamaiah (Weinberg et al.,

    2004; Chen dan Weinberg, 2009). Silase berkualitas baik akan dihasilkan ketika

    fermentasi didominasi oleh bakteri yang menghasilkan asam laktat, sedangkan

    aktivitas bakteri clostridia rendah (Santoso et al., 2009). Prinsip pembuatan silase

    adalah mempertahankan kondisi kedap udara dalam silo semaksimal mungkin.

    Kondisi kedap udara dapat diupayakan dengan cara pemadatan bahan silase

    semaksimal mungkin dan penambahan sumber karbohidrat fermentabel.

    Prinsip dasar pembuatan silase adalah fermentasi pakan oleh mikroba yang

    banyak menghasilkan asam laktat. Mikroba yang paling dominan adalah dari

    golongan bakteri asam laktat homofermentatif yang mampu melakukan fermentasi

    dari keadaan aerob sampai anaerob. Asam laktat yang dihasilkan selama proses

    fermentasi akan berperan sebagai zat pengawet sehingga dapat menghindarkan dari

    bakteri pembusuk (Ridwan, 2005).

    Kushartono dan Iriani (2005) menjelaskan bahwa dalam pembuatan silase

    perlu diperhatikan beberapa aspek penting yang akan menunjang dalam hal

    pembuatan maupun ketersediaan silase. Aspek tersebut antara lain konsistensi,

  • 24

    ketersediaan bahan dan harga. Media fermentasi dalam pembuatan silase

    merupakan faktor penentu yang paling penting untuk pertumbuhan mikroba. Media

    fermentasi merupakan starter penentu cepat lambatnya proses fermentasi. Selain hal

    tersebut aspek kesukaan ternak terhadap bahan pakan juga perlu diperhatikan,

    karena ternak lebih suka pakan yang yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi

    berupa gula seperti rumput, shorgum, jagung, biji-bijian kecil, tanaman tebu,

    tongkol gandum, tongkol jagung, pucuk tebu, batang nanas, dan jerami padi

    (Anonim, 2011).

    Secara esensial tujuan peternak membuat silase adalah sebagai alternatif

    pakan ternak pada saat musim kemarau datang akibat susahnya memperoleh pakan

    ternak pada saat musim kemarau, meskipun hal ini sangat kontradiktif dengan

    kondisi ketersediaan pakan pada saat musim hujan, namun dengan adanya silase

    kesulitan dalam memperoleh pakan ternak pada musim kemaraupun dapat teratasi.

    Selain itu tujuan dibuatnya silase adalah untuk memaksimalkan pengawetan

    kandungan nutrisi yang terdapat pada bahan pakan ternak, agar bisa disimpan dalam

    kurun waktu yang lama (Anonim, 2011).

    Ratnakomala (2009) menambahkan bahwa pada saat proses ensilase terjadi

    3 proses perombakan yang penting yaitu proses yang terjadi pada pakan, proes

    kimiawi dan proses biologis. Silase atau yang akrab dikenal sebagai awetan basah

    pakan ternak yang merupakan hasil fermentasi dari bakteri asam laktat khususnya

    bakteri asam laktat homofermentatif. Pada masa ensilase sebagian bakteri golongan

    ini mampu memecah selulose menjadi hemiselulose menjadi gula sederhana.

    Sebagian lagi bakteri menggunakan gula sederhana tersebut menjadi asam asetat,

  • 25

    laktat atau butirat. Proses fermentasi yang sempurna haruslah menghasilkan produk

    berupa asam laktat, karena asam laktat yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat

    akan menghindarkan pakan dari kerusakan dan juga serangan bakteri pembusuk,

    sehingga pakanpun akan lebih awet dan tahan lama. Asam laktat yang terkandung

    dalam silase yang dikonsumsi digunakan oleh ternak sebagai sumber energi dan

    juga sebagai probiotik (Widyastuti, 2008).

    Ohmomo et al. (2002) menyatakan bahwa materi yang baik untuk

    pembuatan silase mempunyai kisaran kandungan bahan kering 35%-40%.

    Kandungan bahan kering yang kurang dari 35%, mengakibatkan hasil silase yang

    terlalu asam dan silase akan kelihatan berair. Cairan dalam silase yang keluar

    selama proses fermentasi akan mengakibatkan penurunan kandungan nutrisi silase.

    Dalam penelitian yang dilakukan oleh Thalib et al. (2000) dijelaskan bahwa

    derajat keasaman asam laktat adalah yang paling asam dibandingkan asam-asam

    organik yang lainnya yang terbentuk selama proses fermentasi, oleh karena itu

    penggunaan bakteri asam laktat sebagai inokulum dalam pembuatan silase sangat

    dianjurkan, karena dengan derajat keasaman yang dimiliki bakteri asam laktat dapat

    menghambat serangan dari bakteri yang merugikan.

    Tepung Silase Keong Mas

    Pemanfaatan keong mas sebagai pakan ternak merupakan salah satu solusi

    untuk mendapatkan pakan ternak alternatif dan berkualitas untuk mendorong

    peningkatan produksi usaha ternak. Daging keong dapat diberikan untuk pakan

    ternak dalam keadaan mentah (segar) maupun dalam bentuk olahan. Biasanya

  • 26

    keong mas dijadikan pakan pada jenis ternak seperti sapi, kambing, unggas (ayam,

    itik).

    Daging keong mas yang digunakan untuk substitusi konsentrat (pakan),

    harus diolah terlebih dahulu menjadi tepung keong mas atau tepung siput murbei.

    Hasil penelitian Kamil et al. (1998) menunjukkan bahwa tepung keong mas

    memiliki kadar air 8,03-8,73%, kadar protein 65,50-70,67%, kadar lemak 1,27-

    1,43%, kadar abu 9,13-10,47%, kadar serat kasar 8,19-9,59%, dan kadar garam

    0,56-1,69%. Kadar asam amino esensial tepung keong mas yang paling tinggi

    adalah leusin (44,8 mg/g protein) dan terendah adalah metionin (10,54 mg/g

    protein). Jenis asam amino esensial yang paling defisien adalah triptofan,

    sedangkan lisin yang biasanya menjadi asam amino pembatas, ternyata pada tepung

    keong mas ini memiliki skor kimia yang cukup (41,29 mg/g protein) dan tidak

    menjadi asam amino pembatas, sehingga dapat digunakan sebagai suplemen pakan

    yang kurang lisin. Komposisi asam amino esensial pada tepung keong mas dapat

    dilihat pada Tabel 6.

    Tabel 6. Komposisi asam amino tepung keong mas

    Jenis Asam Amino Kandungan

    (%) mg/g protein

    Arginin

    Histidin

    Isoleusin

    Leusin

    Lisin

    Metionin

    Fenilalanin

    Tirosin

    Treonin

    Valin

    4,3962

    1,3822

    2,3479

    4,4812

    4,1290

    1,0540

    2,0372

    1,9742

    2,4245

    2,6055

    43,962

    13,822

    23,479

    44,812

    41,290

    10,540

    20,372

    19,742

    24,245

    26,055

    Sumber : Kamil et al. (1998)

  • 27

    Pada pengembangan ternak ayam, keong mas merupakan pakan campuran

    sebagai sumber protein yang murah. Selain mengandung banyak protein, keong

    mas juga kaya akan kalsium. Penggunaan keong mas sebagai pakan itik sebagai

    sumber protein hewani telah dilakukan sejak tahun 1985 (Kompiang, 2009).

    Upaya untuk memaksimalkan pengawetan kandungan nutrisi yang terdapat

    pada bahan pakan ternak seperti keong mas, agar bisa disimpan dalam kurun waktu

    yang lama maka dilakukan proses fermentasi silase keong mas. Hal ini juga

    diperkuat dengan hasil analisa Laboratorium Tim Penelitian (Anonim, 2018), yang

    menyatakan kandungan zat makanan tepung silase keong mas pada Tabel 7.

    Tabel 7. Hasil Analisa Tepung Silase Keong

    Analisa Ulangan 1 Ulangan 2

    Air (%) 17,1607 17,1199

    Abu (%) 16,9175 16,9218

    Protein (%) 28,9254 28,9809

    Lemak (%) 1,4859 1,5390

    Serat Kasar (%) 9,4101 9,3421

    Karbohidrat (%) 26,1001 26,0961

    Energy (kal/100g) 237,4454 238,1467

    Sumber : Anonim (2018)

    Subhan et al. (2009) menyatakan bahwa kombinasi 39% sagu kukus dengan

    6% tepung keong mas dapat mengganti kebutuhan jagung kuning sebagai sumber

    energi dalam pakan tanpa mempengaruhi penampilan (bobot hidup, kenaikan bobot

    hidup konsumsi pakan dan konversi pakan), persentase karkas dan bagian-bagian

    karkas, bobot organ dalam (jantung, hati, rempela dan lemak abdominal) itik jantan

    umur 1 – 8 minggu.

    Pemberian tepung keong mas pada peternakan ayam broiler juga telah

    dilakukan oleh Widyatmoko (2008). Tepung tubuh dan cangkang keong mas

  • 28

    memberikan nilai pertumbuhan yang cukup baik, dimana dapat meningkatkan rata-

    rata harian produksi telur hingga 3,7% dari 84,3% menjadi 88%. Selain dalam

    bentuk tepung, silase daging keong mas juga telah terbukti menjadi sumber pakan

    ternak bagi ruminansia dan ayam buras (Anonim, 2006).

    Ayam buras membutuhkan pakan dengan kandungan protein 14-24%

    dengan jumlah pakan/harinya semakin meningkat seiring bertambahnya umur ayam

    (20 – 150 g/hari) (Pramudyati 2009). Pakan yang berbasis protein keong mas pernah

    diujicobakan pada peternakan burung puyuh dan memberikan pertumbuhan yang

    baik, dimana tepung ikan dapat disubstitusi atau diganti dengan tepung keong mas

    sampai 10% dalam ransum puyuh umur 56-70 hari (periode awal bertelur) dan tidak

    menurunkan bobot badan (Pramudyati, 2009).

    Karkas

    Karkas adalah bagian tubuh unggas setelah dikurangi bulu, darah, organ

    dalam, leher, kepala dan kaki. Hasil pemotongan ternak yang utama adalah karkas

    karena mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dari bagian-bagian non karkas.

    Produksi karkas erat hubungannya dengan berat badan, semakin tinggi berat badan

    dari seekor ternak, produksi karkasnya akan semakin meningkat (Murtidjo, 2003).

    Karkas maupun komposisi fisik karkas terdiri dari komponen tulang, otot,

    lemak, dan semua jaringan yang akan tumbuh dengan kecepatan yang berbeda-beda

    sesuai dengan berat badan ternak. Proporsi tulang, otot dan lemak sebagai

    komponen utama karkas, dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, temperatur,

    kelembaban dan nutrisi (Soeparno, 2009). Kualitas dan kuantitas ransum

    mempengaruhi berat karkas, makin baik kualitas dan makin banyak konsumsi

  • 29

    ransum maka berat karkasnya semakin tinggi. Organ tubuh seperti kepala, kaki,

    bulu dan organ dalam dapat mempengaruhi berat karkas, semakin tinggi berat organ

    tersebut maka berat karkasnya semakin rendah (Sudaryani dan Santo sa, 2010).

    Lebih lanjut Soeparno (2009), juga menyatakan bahwa bagian-bagian tubuh yang

    banyak tulang seperti sayap, kepala, punggung, leher dan kaki, persentasenya

    semakin menurun dengan meningkatnya umur ayam, karena bagian-bagian ini

    mempunyai pertumbuhan yang konstan pada ayam dewasa.

    Kualitas Fisik Daging

    Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil

    pengolahan jaringan-jaringan yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan

    gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 2005). Lawrie (2003)

    mendefinisikan daging sebagai jaringan hewan yang dapat digunakan sebagai

    makanan, sering pula diperluas dengan memasukkan organ organ seperti hati dan

    ginjal, otot dan jaringan lain yang dapat dimakan disamping urat daging.

    Kualitas fisik daging adalah karaketeristik daging yang dinilai oleh

    konsumen. Menurut Purbowati et al. (2006) beberapa karakteristik kualitas daging

    yang mempengaruhi daya terima konsumen terhadap daging yakni pH, daya ikat

    air, susut masak, warna dan keempukan. Soeparno (2005) menyatakan bahwa faktor

    kualitas daging yang dimakan meliputi warna, keempukan, tekstur, flavor (cita

    rasa), aroma (bau), dan kesan jus daging (juiciness). Disamping itu susut masak

    cooking lost ikut menentukan kualitas daging. Zat-zat yang terdapat dalam daging

    yaitu protein 19%, lemak 2,5%, air 75% dan 3,5% substansi non protein terlarut

    (Lawrie, 2003). Abustam (2009) menambahkan bahwa kualitas karkas dan daging

  • 30

    dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum

    pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah genetik,

    spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif

    (hormon, antibiotik dan mineral).

    Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain

    meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan

    daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan

    antibiotika, lemak intramuskular atau marbling, metode penyimpanan dan

    preservasi, macam otot daging dan lokasi otot daging.

    Karakteristik fisik daging segar sangat berpengaruh terhadap daya Tarik

    konsumen untuk membeli daging (Aberle et al., 2001). Pengujian kualitas fisik

    daging secara objektif dapat dilakukan dengan cara mengetahui daya putus Warner-

    Bratzler (WB), kekuatan tarik dan kompresi, kehilangan berat selama pemasakan

    (susut masak), pH, daya ikat air dan keempukan juga merupakan komponen kualitas

    daging yang diuji (Soeparno, 2005).

    Derajat Keasaman (pH)

    Keasaman daging ditunjukkan dengan nilai pH, pH ultimat daging adalah

    5,5 dan nilai pH ditentukan oleh kandungan glikogen daging (Soeparno, 2005).

    Penurunan pH akan mempengaruhi sifat fisik daging. Laju penurunan pH otot yang

    cepat akan mengakibatkan rendahnya kapasitas mengikat air, karena meningkatnya

    kontraksi aktomiosin yang terbentuk, dengan demikian akan memeras cairan keluar

    dari dalam daging. Suhu tinggi juga dapat mempercepat penurunan pH otot

    pascamortem dan menurunkan kapasitas mengikat air karena meningkatnya

  • 31

    denaturasi protein otot dan meningkatnya perpindahan air ke ruang ekstraseluler

    (Lawrie, 2003).

    Menurut Soeparno (2009), faktor yang mempengaruhi laju dan besarnya

    penurunan pH postmortem ini dapat dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu

    faktor intrinsik meliputi spesies, tipe otot dan glikogen otot sedangkan faktor

    ekstrinsik meliputi temperatur, lingkungan, perlakuan bahan aditif, dan stress

    sebelum pemotongan. Nilai pH daging akan mempengaruhi daya ikat air. Air yang

    semula terikat, dengan meningkatknya pH, akan berakibat pada lepasnya air yang

    terikat tersebut kemudian menjadi air bebas. Ketersediaan air bebas yang tinggi

    akan menyebabkan tingginya populasi bakteri di dalam daging (Soeparno, 2009).

    Lubis (2017) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa nilai pH daging

    ayam kampung jantan umur 26 minggu diperoleh sebesar 5,46. Nilai pH daging

    ayam KBKB jantan pada umur yang sama adalah 5,60. Nilai tersebut menunjukkan

    bahwa daging ayam KBKB jantan umur 26 minggu memiliki nilai pH yang lebih

    tinggi dari daging ayam kampung jantan pada umur yang sama, sehingga daging

    ayam KBKB jantan umur 26 minggu lebih empuk dibanding daging ayam kampung

    jantan pada umur yang sama. Bouton et al., (1971) dalam Lubis (2017) menyatakan

    daging dengan nilai pH tinggi lebih empuk daripada daging dengan pH rendah.

    Soeparno (2005) menambahkan daging dengan nilai pH tinggi biasanya

    mengandung jus yang lebih banyak sehingga daging lebih empuk. Jumlah asam

    laktat mempengaruhi nilai pH daging. Nilai pH daging juga berpengaruh terhadap

    keempukan daging. Peningkatan kadar glikogen daging dan kadar asam laktat akan

    menurunkan nilai pH akhir, keempukan dan susut masak. Kadar glikogen

  • 32

    mempengaruhi kadar asam laktat daging yang dihasilkan selama proses konversi

    otot menjadi daging.

    Pearson dan Young (1989) dalam Lubis (2017) menyatakan bahwa peran

    utama glikogen dalam otot postmortem adalah melepaskan glukosa, yang dapat

    dipakai untuk mengisi senyawa fosfat energi tinggi (ATP). Glikogen dirombak

    secara besar-besaran dan sangat bertanggung jawab dalam pembentukan asam

    laktat daging, yang menimbulkan penurunan pH yang terjadi dalam otot

    postmortem. Kadar glikogen otot yang tinggi akan menghasilkan asam laktat yang

    tinggi. Kadar glikogen memiliki korelasi negatif dengan pH daging (Hartati, 2012).

    Keempukan Daging

    Pengukuran keempukan daging sapi dilakukan menggunakan alat pemutus

    warner-bratzler (WB), daging direbus sampai temperatur dalam daging mencapai

    angka 81ºC, kemudian daging diangkat dan didinginkan. Sampel daging dibuat

    menjadi berbentuk balok empat persegi panjang dengan potongan searah serabut

    otot. Pengujian daya putus otot, dengan luas penampang sampel adalah 1,5 x 0,67

    cm = 1 cm2 (Soeparno, 2005).

    Keempukan daging merupakan faktor penting dalam pengolahan daging.

    Keempukan dapat diukur dengan nilai daya putus Warner-Bratzler (WB).

    Keempukan sangat berkaitan erat dengan status panjang sarkomer otot. Daging

    dengan sarkomer yang lebih pendek setelah fase rigormortis memiliki tingkat

    kealotan lebih tinggi dibanding yang sarkomernya tidak mengalami pemendekan

    (Swatland, 1984; Locker, 1985; Dutson, 1985). Kualiatas daging akan berpengaruh

  • 33

    pada penyimpanan suhu dingin, dan penyimpanan pada suhu dingin dapat

    mengakibatkan terjadinya pemendekan otot (Suryati, 2004).

    Menurut Pearson dan Dutson (1985) pada daging pre rigor yang disimpan

    pada suhu rendah mengakibatkan peningkatan konsentrasi ion Ca2+ bebas di luar

    membran retikulum sarkoplasmik. Hal tersebut memicu serangkaian reaksi yang

    mengakibatkan terbentuknya ikatan aktomiosin dan menghasilkan pemendekan

    sarkomer. Menurut Suryati dkk. (2004) Semakin tinggi nilai daya putus WB berarti

    semakin banyak gaya yang diperlukan untuk memutus serabut daging per

    sentimeter persegi, yang berarti daging semakin alot atau tingkat keempukan

    semakin rendah. Swatland (1984) dan Locker (1985) mengatakan bahwa

    peningkatan panjang sarkomer secara paralel akan meningkatkan keempukan.

    Menurut Pearson dan Young (1971), nilai keempukkan daging terbagi atas tiga

    kelompok, yaitu kisaran empuk dengan skala 0-3 Kg/g, cukup/sedang dengan skala

    3-6 Kg/g, dan alot dengan skala >6-11 Kg/g.

    Hasil penelitian yang diperoleh Lubis (2017) menyatakan bahwa daging

    ayam KBKB jantan umur 26 minggu memiliki keempukan sebesar 2.01 kg cm-2.

    Daging ayam kampung jantan pada umur yang sama memiliki keempukan sebesar

    2.99 kg cm-2. Hasil ini menunjukkan bahwa daging ayam KBKB jantan lebih

    empuk dibanding daging ayam kampung jantan pada umur yang sama.

    Keempukan dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik ternak serta

    interaksinya. Metode sensori untuk mengetahui kesukaan konsumen dapat

    dilakukan, tetapi membutuhkan waktu yang lama. Hasil pengujian keempukan

    daging dengan metode dengan warner bratzler dipengaruhi oleh tipe otot, preparasi

  • 34

    sampel, metode pemasakan, pelaksanaan prosedur, dan tipe panel (Destefanis et al.,

    2008).

    Susut Masak Daging

    Susut masak merupakan salah satu indikator nilai nutrisi daging yang

    berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat di dalam

    dan diantara serabut otot. Susut masak dipengaruhi oleh temperatur dan lama

    pemasakan. Besarnya susut masak dapat dipergunakan untuk mengestimasikan

    jumlah jus dalam daging masak. Daging dengan susut masak yang rendah

    mempunyai kualitas yang tinggi. Susut masak adalah proses selama pemasakan

    daging yang mengalami pengerutan dan pengurangan berat. Susut masak juga

    dipengaruhi oleh pH daging, dimana kenaikan pH daging akan menurunkan susut

    masak daging. Sifat mekanik daging termasuk susut masak merupakan indikasi dari

    sifat mekanik miofibril dan jaringan ikat, dengan bertambahnya umur ternak,

    terutama panjang sarkomer. Pada temperatur pemasakan 80oC, daging yang

    mengalami pemendekan dingin pada pH normal 5,4 - 5,8 menghasilkan susut masak

    yang lebih besar dari pada susut masak daging regang dengan panjang serabut yang

    sama. Produk daging olahan sebaiknya mengalami susut masak sedikit karena susut

    masak mempunyai hubungan erat dengan rasa/juiceness daging (Soeparno, 2005).

    Konsumsi pakan dapat mempengaruhi besarnya susut masak. Pendapat

    Soeparno (2005), bahwa pada umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi

    antara 1,5–54,5% dengan kisaran 15–40%. Daging bersusut masak rendah

    mempunyai kualitas yang relatif baik bila dibandingkan dengan daging bersusut

    masak tinggi, karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih

  • 35

    sedikit. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan

    dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara

    otot. Daya ikat air/WHC yang rendah akan mengakibatkan nilai susut masak yang

    tinggi. Water Holding Capacity sangat dipengaruhi oleh nilai pH daging. Menurut

    Soeparno (2005) apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik

    daging (5,0−5,1) maka nilai susut masak daging tersebut akan rendah.

    Hasil peneltian Lubis (2017) yang diperoleh menunjukkan bahwa rataan

    susut masak daging ayam kampung jantan umur 26 minggu mencapai 49,05% dan

    daging ayam KBKB pada umur yang sama sebesar 41,66%. Hal ini menunjukkan

    daging ayam KBKB jantan umur 26 minggu memiliki nilai susut masak yang lebih

    rendah dibanding daging ayam kampung jantan pada umur yang sama. Bobot yang

    hilang adalah akibat keluarnya air yang ada di dalam daging dan sebagian karena

    evaporasi air (Soeparno 2011).

    Daya Ikat Air

    Daya ikat air oleh protein daging dalam bahasa asing disebut sebagai Water

    Holding Capacity (WHC), didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk

    menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan,

    misalnya pemotongan, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Daging juga

    mempunyai kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari lingkungan yang

    mengandung cairan (water absorption). Ada tiga bentuk ikatan air di dalam otot

    yakni air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4–5% sebagai lapisan

    monomolekuler pertama, kedua air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari

    molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar kira-kira 4%, dimana lapisan kedua

  • 36

    ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat. Ketiga adalah lapisan

    molekul-molekul air bebas diantara molekul protein, besarnya kira kira 10%.

    Denaturasi protein tidak akan mempengaruhi perubahan molekul pada air terikat

    (lapisan pertama dan kedua), sedang air bebas yang berada diantara molekul akan

    menurun pada saat protein daging mengalami denaturasi. Kualitas karkas yang

    berhubungan dengan umur dan lemak intramuskuler mempunyai pengaruh terhadap

    daya ikat air (DIA) daging (Soeparno, 2005).

    Otot yang mempunyai kandungan lemak intramuskuler tinggi cenderung

    mempunyai DIA yang tinggi. Hubungan antara lemak intramuskuler dengan DIA

    adalah kompleks, lemak intramuskuler akan melonggarkan mikrostruktur daging,

    sehingga memberi lebih banyak kesempatan kepada protein daging untuk mengikat

    air. Kemampuan daging untuk menahan air merupakan suatu sifat penting karena

    dengan daya ikat air yang tinggi, maka daging mempunyai kualitas yang baik.

    Menurut Soeparno (2005) nilai daya ikat air (DIA) berkisar diantara 20% – 60%

    Persentase jumlah air yang keluar dari daging ayam kampung jantan umur 26

    minggu adalah 29,59%. Persentase jumlah air bebas yang keluar dari daging ayam

    KBKB jantan pada umur yang sama adalah 27,82% (Lubis, 2017).

    Hipotesis

    Substitusi konsentrat dengan tepung silase keong dalam pakan dapat

    mempertahankan kualitas fisik karkas ayam KUB meliputi uji pH, keempukan

    daging, susut masak, dan daya ikat air.