bab ii tinjauan pustaka a. 1. pengertian kecemasan …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3292/3/bab...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecemasan Berbicara Di Depan Umum.
1. Pengertian Kecemasan Berbicara Di Depan Umum
Kecemasan berasal dari kata anxius (latin) yang menurut Calhoun dan Acocella
(1990) yaitu ketakutan yang tidak nyata, suatu perasaan terancam sebagai tanggapan
terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak mengancam. Freud (dalam Suryabrata, 2011)
mengemukakan kecemasan adalah suatu pengalaman yang menyakitkan dan
menimbulkan ketegangan - ketegangan dalam tubuh. Ketegangan ini adalah akibat dari
dorongan-dorongan dari dalam atau dari luar dan dikuasai oleh susunan urat syaraf
yang otonom. Kondisi psikologis seseorang yang cemas antara lain adanya perasaan
was-was, gelisah, khawatir, merasa tidak tenang, tertekan dan merasa jiwanya
terancam, merasa tidak berdaya.
Menurut Rogers (2008) terdapat perbedaan antara berbicara di depan umum dengan
pembicaraan biasa. Pada konteks pembicaraan biasa, individu merasa aman
menyampaikan pikiran-pikirannya. Bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
pembicaraan biasa adalah adanya proses memberi dan menerima, proses komunikasi
dua arah (dialog). Berbeda dengan berbicara di depan umum, begitu individu mulai
berbicara di depan umum, secara otomatis individu tersebut menjadi pemimpin dan
memegang kendali penuh dari banyak orang. Proses komunikasi berubah menjadi satu
arah (monolog).
Kecemasan berbicara di depan umum pada mulanya dikenal dengan “Demam
Panggung” dan difokuskan pada kecemasan berbicara di depan umum (Rahayu, 2003).
12
McCroskey (1984) menyebutkan kecemasan berbicara didepan umum sebagai
“communication apprehension”. Apollo (dalam Wahyuni, 2015) menyebut kecemasan
berbicara di depan umum dengan istilah reticence, yaitu ketidakmampuan individu
untuk mengembangkan percakapan yang bukan disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan akan tetapi karena adanya ketidakmampuan menyampaikan pesan secara
sempurna, yang ditandai dengan adanya reaksi secara psikologis dan fisiologis.
McCroskey (dalam Anwar, 2009) menyebutkan ada empat jenis Communication
Apprehension (CA), yaitu CA as trait, CA in generalized context, CA with generalized
people, CA as a state. Kecemasan berbicara di depan umum termasuk dalam jenis CA
in generlized context, yaitu individu mengalami kecemasan berbicara saat berapa pada
situasi tertentu, tapi tidak pada situasi lainnya.
Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa kecemasan berbicara di depan umum adalah ketidakmampuan
individu untuk mengembangkan percakapan yang bukan disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan akan tetapi karena adanya ketidakmampuan menyampai–kan pesan secara
sempurna, yang ditandai dengan adanya reaksi secara psikologis dan fisiologis.
2. Aspek-aspek Kecemasan Berbicara Di Depan Umum.
Rogers (2008) membagi komponen kecemasan berbicara di depan umum menjadi
3 bagian, yaitu :
a. Komponen Fisik, biasanya dirasakan jauh sebelum memulai pembicaraan. Gejala
fisik tersebut dapat berbeda-beda pada setiap individu. Beberapa contoh gejala
13
fisik yang dimaksud adalah detak jantung semakin cepat, suara yang bergetar, kaki
gemetar, kejang perut, sulit untuk bernapas dan hidung berlendir.
b. Komponen proses mental, misalnya sering mengulang kata atau kalimat, hilang
ingatan secara tiba-tiba sehingga sulit untuk mengingat fakta secara tepat dan
melupakan hal-hal yang sangat penting. Selain itu juga tersumbatnya pikiran
membuat individu yang sedang berbicara tidak tahu apa yang harus diucapkannya
selanjutnya.
c. Komponen emosional, yang termasuk komponen emosional ialah adanya rasa
tidak mampu, rasa takut yang bisa muncul sebelum individu tampil dan rasa
kehilangan kendali. Biasanya secara mendadak muncul rasa tidak berdaya seperti
anak yang tidak mampu mengatasi masalah, munculnya rasa panik dan malu
setelah berakhirnya pembicaraan.
Selain Komponen kecemasan berbicara di depan umum yang dikemukakan oleh
Rogers (2008) , Bower (1986) membagi komponen kecemasan berbicara di depan
umum menjadi tiga, yaitu :
a. Perilaku, yaitu gerakan anggota badan yang dapat dilihat orang lain, misalnya
kontak mata, ekspresi muka dan postur tubuh. Hal ini dapat berwujud : kikuk ketika
mendekati podium, melangkah tanpa tujuan, menggerak-gerakkan anggota tubuh
tanpa diperlukan, (meremas-remas tangan, menyembunyikan tangan), berdiam diri
seperti patung, memandang sekeliling tapi bukan pendengar, memegang sesuatu
untuk mencari kekuatan dan memegang alat peraga dengan kikuk.
14
b. Gambaran Mental, yaitu citra yang dibawa dalam pikiran, misalnya merasa tampak
tua, bodoh, tidak menarik dan membosankan.
c. Sensasi fisik, yaitu reaksi yang dirasakan individu, misal otot tegang, berkeringat,
mulut kering, detak jantung lebih keras, muka merah, nafas tidak teratur,
kerongkongan tersumbat, muka tegang, tidak mampu bicara keras, gerakan otot
tidak terkontrol, sensasi badan dan suara bergetar.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa menurut Rogers
(2008) komponen kecemasan berbicara di depan umum yang terdiri dari Komponen
Fisik, Komponen proses mental, Komponen emosional, sedangkan menurut Bower
(1986) Komponen kecemasan berbicara di depan umum terdiri dari Perilaku, gambaran
mental, sensasi fisik. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan komponen
kecemasan berbicara di depan umum yang dikemukakan oleh Rogers (2008). hal ini
dikarenakan komponen kecemasan berbicara di depan umum yang di kemukakan oleh
Rogers lebih mudah dikemukakan dan diobservasi.
3. Penanganan Untuk Mengurangi Kecemasan Berbicara Di depan Umum.
Berdasarkan beberapa penelitian, diketahui ada beberapa pelatihan yang dapat
digunakan dalam mengatasi atau mengurangi tingkat kecemasan. pelatihan tersebut
adalah :
a. Pelatihan Keterampilan Mengelola Kecemasan
Pelatihan keterampilan adalah pelatihan yang diterapkan agar individu
memiliki keterampilan baru sehingga dapat meningkatkan perasaan mampu,
karena setidaknya individu memiliki bekal untuk mengelola dirinya pada saat
15
menghadapi situasi ketika harus berbicara di depan umum, sehingga individu dapat
menerapkan keterampilan yang dimilikinya ketika harus berbicara di depan umum.
Pelatihan keterampilan mengelola kecemasan, pada dasarnya mengajarkan
individu cara mengelola emosi dengan mengubah cara berpikir, dan relaksasi, serta
melatih individu untuk berbicara di depan umum (Fatma, 2008).
b. Pelatihan Relaksasi Otot
Relaksasi merupakan salah satu teknik atau metode di dalam terapi perilaku
yang dapat digunakan untuk membuat otot-otot yang tegang ketika individu
mengalami kecemasan berbicara di depan umum menjadi rileks. Belajar
melemaskan otot-otot yang tegang dalam badan, maka rasa takut dapat dikontrol.
Individu yang melakukan relaksasi ketika mengalami kecemasan berbicara di
depan umum, maka reaksi-reaksi fisiologis yang dirasakan individu akan
berkurang, sehingga akan merasakan rileks. Ketika individu berada dalam kondisi
rileks maka individu dapat berpikir dengan tenang dan berkonsentrasi, akibatnya
individu mampu berbicara dengan lancar (Bower dalam Utami dan
Purnamaningsih, 1998)
c. Pelatihan Berpikir positif
Pelatihan Berpikir positif, merupakan kemampuan untuk menerapkan pola
pikir yang positif. Hal ini merupakan salah satu solusi untuk mengurangi
kecemasan menghadapi ujian. Dengan cara mengubah cara berpikir yang negatif
menjadi positif maka individu yang semula mempunyai kecemasan menghadapi
ujian akan menjadi lebih percaya diri. individu yang berpikir positif akan timbul
16
keyakinan bahwa individu tersebut mampu untuk berbicara di depan umum
(Pangastuti, 2014)
Berdasarkan beberapa cara menangani atau mengurangi kecemasan berbicara yang
di telah dikemukakan beberapa para ahli di atas, peneliti memilih Pelatihan Berpikir
positif dalam mengurangi tingkat kecemasan berbicara di depan umum. Alasan
dipilihnya pelatihan berpikir positif dalam penelitian ini karena pelatihan berpikir
positif terbukti lebih efektif dibandingkan dengan pelatihan lainnya, hal ini dibuktikan
dengan hasil persentase penurunan kecemasan.
Pada pelatihan keterampilan pengelolaan emosi terjadi penurunan kecemasan
berbicara di depan umum sebesar 53,88% (Fatma, 2008), sedangkan pada pelatihan
relaksasi terjadi penurunan kecemasan berbicara di depan umum sebesar 43,94%
(Purnamaningsih,1998), dan pelatihan berpikir positif terjadi penurunan sebesar
79,56% (Pangastuti, 2014). Hal ini didukung dalam pernyataan Cooper dan Duffy
(Andhika & Rochman, 2012) yang menyatakan bahwa dengan adanya masalah yang
terjadi karena dipertahankan oleh disfungsional kognisi dan keyakinan tertentu
sehingga hal yang perlu diubah melalui pola pikirnya terlebih dahulu. Hal ini pun
didukung pula oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Machmudati (2013)
yang mengatakan adanya pengaruh pelatihan berpikir positif terhadap penurunan
kecemasan mengerjakan Skripsi pada mahasiswa fakultas umum UIN Sunan Kalijaga.
Hal ini diperkuat pula oleh penelitian lainnya yang dilakukan Prakoso dan Partini
(2004) yang mengatakan adanya pengaruh negatif yang signifikan antara berpikir
positif dengan kecemasan berbicara di depan umum. Melihat penelitian-penelitian
terlebih dahulu seperti yang dikemukakan di atas tampaknya belum ada yang
17
melakukan penelitian berkaitan dengan pengujian pengaruh pelatihan berpikir positif
terhadap kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa. Penelitian yang akan
dilakukan saat ini, subyek penelitiannya ialah mahasiswa Universitas Mercu Buana
Yogyakarta, dengan demikian peneliti menjamin keaslian penelitian ini dan perbedaan
lainnya terkait penelitian ini dengan berbagai penelitian sebelumnya adalah, penelitian
yang akan dilakukan ini adalah penelitian eksperimen yang dimana dengan jenis
kecemasan yang berbeda dengan penelitian di atas, dan penelitian lainnya dilakukan
hanya untuk melihat hubungan antar variabel saja. Dalam penelitian ini peneliti juga
menggabungkan aspek berpikir positif dari albercht (1992) dengan Konsep Ellis A-B-
C (Corey, 2010) yang belum pernah dilakukan oleh penelitian di atas. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya
dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.
B. Pelatihan Berpikir Positif
1. Pengertian Pelatihan Berpikir Positif
Menurut kamus bahasa Indonesia (Purwadarminta, 1976), pelatihan adalah
pelajaran untuk membiasakan/memperoleh suatu kecakapan. Jewell & Siegall (dalam
Sianturi, 2013) menyebutkan bahwa pelatihan adalah pengalaman belajar yang
terstruktur dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan, keterampilan khusus
dan pengetahuan atau sikap tertentu. Kemampuan itu meliputi potensi fisik dan mental
sedangkan keterampilan merupakan potensi khusus. Sedangkan Goldstain (Rahayu,
2004) mengatakan bahwa pelatihan adalah suatu usaha yang terencana untuk mencapai
keterampilan, peraturan, konsep atau sikap yang dihasilkan dari perkembangan
18
perfomance (kinerja) dalam lingkungan yang lain, artinya pelatihan merupakan usaha
terencana yang diselenggarakan untuk mencapai penguasaan keterampilan,
pengetahuan, dan sikap-sikap yang sesuai dengan tujuan tertentu.
Wheelen (dalam Wulandari, 2005) menjelaskan bahwa pelatihan adalah salah satu
metode untuk mendidik seseorang sehingga menguasi kemampuan-kemampuan yang
diperlukan untuk lebih efektif dalam melakukan aktivitas. Individu yang telah
mengikuti pelatihan akan dituntut dapat berlatih mengenai materi yang disampaikan
dalam pelatihan. Pelatihan merupakan salah satu metode yang cukup efektif untuk
mengembangkan sumber daya manusia (Parcek dalam Harjana, 2002). Menurut
Thanan (2001) menandaskan bahwa metode pelatihan saat ini telah menjadi sarana
pendidikan yang penting, karena pendidikan tidaklah cukup dengan mengubah
pengetahuan semata, melainkan juga harus mengubah aspek lain seperti keterampilan,
keyakinan, orientasi serta pengalaman lapangan dengan mengubah metode, suasana
dan waktu.
Pelatihan mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap melaksanakan suatu
pekerjaan yang berhubungan dengan tugas tertentu. Pelatihan merupakan upaya
sistematis untuk mengembangkan sumber daya manusia, baik individu maupun
kelompok. Pelatihan juga bermanfaat untuk menanggulangi permasalahan yang
muncul dalam kehidupan manusia. Pelatihan merupakan sekumpulan kegiatan yang
bertujuan untuk memperbaiki pengetahuan dan skill individu, dengan berdasarkan
pertimbangan bahwa kegiatan tersebut bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari
(Ridha dalam Huda, 2004). Sehingga dapat disimpulkan pelatihan merupakan usaha
19
terencana yang diselenggarakan untuk mencapai penguasaan keterampilan,
pengetahuan, dan sikap-sikap yang sesuai dengan tujuan tertentu.
Menurut Mangkunegara (2008) ada beberapa komponen pelatihan dan
pengembangan, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Tujuan dan sasaran pelatihan dan pengembangan harus jelas dan dapat diukur.
2) Para pelatih (trainers) harus memiliki kualifikasi yang memenuhi.
3) Materi latihan dan pengembangan harus disesuai kan dengan tujuan yang hendak
dicapai.
4) Metode pelatihan dan pengembangan harus sesuai dengan kemampuan peserta
pelatihan
5) Peserta pelatihan dan pengembangan (trainee) harus memenuhi syarat yang
ditentukan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa komponen dalam suatu
pelatihan terdiri dari tujuan, sasaran pelatihan harus jelas dan dapat diukur, pelatihan
harus memiliki kualifikasi yang memenuhi, materi pelatihan sesuai dengan tujuan yang
akan dicapai, metode pelatihan disesuaikan dengan kemampuan peserta, serta pelatihan
harus memenuhi persyaratan.
Hardjana (2001) menyatakan bahwa pelatihan terdiri dari tiga tahapan, dimana
masing-masing tahap terdiri dari beberapa metode berbeda :
1) Tahap awal pelatihan ( pemanasan/ ice breaking)
2) Tahap proses inti pelatihan, yaitu tahap pengelolaan sesi-sesi dalam pelatihan
meliputi :
20
a) Tahap informatif, yaitu metode pelatihan yang bertujuan untuk menyampaikan
informasi, penjelasan, data, dan pemikiran. Bentuknya berupa pengajaran,
ceramah, bacaan terarah, atau diskusi panel.
b) Tahap partisipatif-eksperiensial, yaitu metode yang melibatkan peserta dan
memberi kemungkinan untuk ikut mengalami apa yang diajarkan. Bentuknya
berupa study kasus, peragaan peran, latihan simulasi, atau demonstrasi.
c) Taham eksperiensial, yaitu metode yang memungkinkan peserta untuk ikut
terlibat dalam pengalaman penuh untuk “belajar sesuatu” dari padanya.
Bentuknya berupa penugasan, permainan manajemen, atau latihan kepekaan.
3) Tahap menutup pelatihan (evaluasi dan Follow up).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pelatihan terdapat tiga
tahapan, yaitu tahap awal pelatihan, tahap proses inti, dan tahap menutup pelatihan.
Menurut As’ad (2001) penetapan metode-metode pelatihan adalah suatu langkah
setelah penetapan kriteria dengan alat-alat ukurnya. Metode-metode dalam pelatihan
dapat diungkapkan sebagai berikut :
1. Metode off-site
a. Teknik-teknik presentasi informasi disini dimaksudkan sebagai suatu cara
pendekatan untuk mengubah : skills, knowledge, dan attitudes dari peserta
latihan dengan tanpa meminta mereka berpartisipasi dalam suatu simulasi
pekerjaan. Adapun teknik-teknik yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Lecture (kuliah, ceramah)
Kuliah merupakan suatu yang disampaikan secara lisan untuk tujuan-tujuan
pendidikan. Metode ini bisa dipakai untuk kelompok yang besar sehingga biaya
21
per peserta relatif lebih rendah, selain dari pada itu bahan pengetahuan yang
diberikan akan banyak dalam waktu yang relatif singkat. Kelemahan yang
utama adalah metode ini kurang bisa membuat aktif para peserta karena
komunikasi yang hanya searah sehingga tidak ada umpan balik. Selain daripada
itu, kuliah cenderung untuk menekankan faktor ingatan saja akan fakta-fakta
dan gambar-gambar.
2) Television and films
Pengguna TV dan film sebagai suatu metode penyampaian untuk suatu
program latihan mempunyai keuntungan-keuntungan yang spesifik bila
dibandingkan dengan metode kuliah. Keuntungan tersebut antara lain:
a. Pada TV bisa disajikan contoh-contoh nyata terutama pada kejadian-
kejadian yang perlu ditonjolkan.
b. Pada tv bisa melukiskan kejadian-kejadian yang tidak bisa digambarkan
apabila menggunakan metode kuliah/ceramah,
misalnya : open heart surgery (pembedahan jantung).
c. Apabila penyelenggaraan program latihan dibagi dalam kelompok-
kelompok dan serentak, maka tape TV atau copy film bisa dikirimkan ke
semua untuk dipergunakan dalam waktu latihan yang sama.
3) Conference (discussion)
Konferensi merupakan pertemuan formal dimana terjadi diskusi
ataupun konsultasi tentang suatu hal yang penting (Munandar dalam As’ad,
2001). Dalam hal ini, konferensi lebih menekankan adanya diskusi
kelompok kecil, bahan yang terorganisir, serta keterlibatan peserta secara
22
aktif. Dalam hal ini jelas bahwa peserta memainkan suatu peran aktif dalam
diskusi dan akan memperoleh feed back karena interaksi mereka dalam satu
kelompok. Menurut Mc Cormick & Tiffin (dalam As’ad, 2001) tujuan dari
metode konferensi ini ialah :
a. Mengembangkan keterampilan-keterampilan personil dalam pembuatan
keputusan dan pemecahan masalah.
b. Menyampaikan informasi-informasi (bahan-bahan) yang relatif baru.
c. Secara langsung bisa mengubah sikap-sikap peserta seperti yang
diinginkan dari pelatihannya.
4) Program instruction (PI)
Program instruction adalah bimbingan berencana atau instruksi bertahap.
Program ini terdiri dari satu urutan langkah atau yang berfungsi sebagai
pedoman dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau suatu kelompok tugas
pekerjaan. Ciri-ciri Program instruction adalah:
a. Bahan latihan dibagi menjadi bagian-bagian yang kecil.
b. Bagian bagian ini disusun menurut urutan tertentu dari yang paling
mudah (simple) ke yang paling sulit (complex)
c. Pada akhir dari setiap urutan langkah tersebut, peserta diminta untuk
memberikan suatu respons untuk bisa dinilai seberapa jauh
pengetahuannya pada langkah tersebut.
d. Perserta segera diberitahu jawaban yang benar atau salah yang
diperbuatnya. Jika responnya itu benar maka peserta bisa langsung
23
melanjutkan ke langkah urutan berikutnya, demikian pula apabila respon
itu salah maka perlu perlakuan tersendiri sampai responnya benar.
Keuntungan dari metode ini (PI) adalah:
a. Peserta dapat belajar sesuai dengan tempo belajarnya sendiri.
b. Bahan yang harus dipelajari di bagi-bagi ke dalam satuan-satuan kecil,
sehingga mudah diserap dan diingat.
c. Ada umpan balik secara langsung
d. Ada partisipan secara aktif
e. Latihan bisa diselenggarakan dimana saja dan kapan saja.
5) Computer – Assisted Instruction
Pengajaran dengan komputer adalah cara yang lebih baru dalam bidang
metodologi pengajaran. Menurut Goldstein (dalam As’ad) dalam metode ini
individu secara langsung berinteraksi dengan sebuah komputer pada mesin-
mesin ketik elektonic. Komputer dalam hal ini mampu untuk mengevaluasi
kemajuan belajar dari orang yang dilatih sesuai kebutuhan dan
kemampuannya.
6) T.Group (or) sensitivity training
Melalui interaksi kelompok yang tidak terstruktur di mana setiap anggota
dalam kelompok diajak berkumpul bersama dalam suasan yang bebas dan
terbuka untuk meningkatkan toleransi.
7) Teknik pengembangan manajemen yang populer digunakan adalah dengan
T.Group atau biasa dikenal dengan sensitivity training ataupun dikenal
dengan istilah pendidikan laboratori. Model ini menjadi sangat terkenal oleh
24
karena perusahaan-perusahaan yang menginginkan pengembangan
manajemennya dengan teknik ceramah dan diskusi kurang berhasil.
8) Behaviour modelling
Goldstein (dalam As'ad, 2001) telah menerapkan prinsip-prinsip modelling
dalam suatu program pengembangan tentang cara pengawasan yang di
dalam baik bagi para manager kepada bawahan. Latihan dimulai dengan
diskusi mengenai perilaku kepemimpinan dalam melakukan pengawasan
dengan menggunakan videotapes . dalam setiap film yang diputar
memperlihatkan seorang figur yang melalukan jenis-jenis tingkah laku untuk
ditiru.
b. Simulation method
Metode merupakan berusaha menciptakan suatu situasi yang merupakan
tiruan dari keadaan nyata. Dalam hubungan dengan training, maka suatu
simulasi adalah suatu jenis alat atau teknik yang menjalin setepat mungkin
kondisi-kondisi nyata yang ditemukan dalam pekerjaan. Adapun di antara
metode-metode simulasi di antaranya adalah :
1) Studi kasus (case study)
Suatu kasus adalah uraian tertulis atau lisan tentang maslah dalam
perusahaan atau tentang keadaan perusahaan selama jangka waktu tertentu
yang nyatanya atau hipotesis yang didasarkan pada kenyataan.
2) Role play
Peran adalah suatu pola perilaku yang diharapkan. Peserta diberitahu
tentang keadaan dan perannya yang harus dimainkan tanpa skenario. Role
25
playing terutama digunakan untuk memberikan kesempatan kepada para
peserta untuk mempelajari keterampilan hubungan antar manusia melalui
praktik dan untuk mengembangkan pemahaman akan pengaruh kelakuan
mereka sendiri pada orang lain.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode dalam suatu
pelatihan yaitu metode/teknik off-side yang terdiri dari teknik-teknik presentasi
informasi dan simulation method. Metode-metode yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu teknik-teknik presentasi informasi berupa Lecture (kuliah, ceramah) , Television
and films, dan Conference (discussion).
Berpikir Positif adalah suatu kemampuan individu untuk melihat yang dirasa tidak
mengenakkan secara lebih objektif, tidak langsung menyalahkan diri sendiri, dan
mengenali kemampuan-kemampuan yang ada dalam dirinya sehingga pola pikirnya
yang semula negatif menjadi lebih realistis (Rachmahana dalam Nurindah dkk, 2012).
Peale (dalam Nurindah,2012) menjelaskan bahwa individu yang berpikir positif akan
memberikan dampak pada kesuksesan, menghasilkan optimisme, memiliki
kemampuan memecahkan masalah dan menjauhkan diri dari perasaan takut akan
kegagalan. Individu juga akan melihat pada kekuatan diri dengan dasar pemikiran
bahwa setiap orang sama berartinya dengan orang lain. Di samping itu pula seseorang
akan menyesuaikan diri dari keadaan yang akan menimbulkan perasaan dan pikiran
yang tidak mengenakkan. Secara psikologis seseorang yang memiliki cara berpikir
positif akan merasakan ketenangan, penuh optimisme, penuh penerimaan, mempunyai
harga diri yang baik, dapat mengambil hikmah dari suatu keadaan. Sebaliknya
26
seseorang yang berpikir negatif akan selalu merasa cemas, tegang, kurang optimis
dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi.
Rea & Burwell (dalam Nurindah dkk, 2012) mengatakan bahwa berpikir
positif merupakan strategi merefleksikan usaha yang dilakukan seseorang untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dianggap penuh dengan tekanan. Berpikir
positif dapat juga diartikan sebagai usaha yang dilakukan untuk melihat segala sesuatu
tidak hanya sebatas pada kegagalan dan berpikir positif ini menjadikan sarana untuk
dapat mengatasi berbagai pikiran negatif (Raviv dalam Nurindah dkk, 2012). Albercht
(1992) menyatakan berpikir positif sebagai perhatian yang tertuju pada subyek dan
menggunakan bahasa positif untuk membentuk dan mengungkapkan pikiran.
Menurutnya individu yang berpikir positif akan mengerahkan pikirannya kepada hal-
hal yang positif, berbicara tentang kesuksesan dari pada kegagalan, cinta kasih daripada
kebencian, kebahagiaan dari pada kebencian, keyakinan daripada ketakutan, kepuasan
daripada kekecewaan sehingga individu akan bersikap positif dalam menghadapi
permasalahan.
Definisi lain menurut Caprara & Steca (2006) berpikir positif yakni melihat
suatu realitas atau kejadian yang dialami secara positif. Berpikir positif juga merupakan
suatu strategi yang merefleksikan usaha yang dilakukan oleh mahasiswa untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dinilai penuh tekanan (Wadsworth et al.,
2004). Sehingga disimpulkan berpikir positif kemampuan individu untuk melihat yang
dirasa tidak mengenakkan secara lebih objektif, tidak langsung menyalahkan diri
sendiri, dan mengenali kemampuan-kemampuan yang ada dalam dirinya sehingga pola
pikirnya yang semula negatif menjadi lebih realistis. Muallifah (2009) menyatakan
27
bahwa berpikir positif merupakan salah satu cara berpikir yang lebih baik menekankan
pada hal-hal yang positif, baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun situasi yang
dihadapi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan berpikir positif
merupakan usaha terencana yang diselenggarakan guna mencapai kemampuan
individu untuk berpikir yang lebih baik menekankan pada hal-hal yang positif, baik
terhadap diri sendiri, orang lain, maupun situasi yang dihadapi.
2. Aspek-aspek Berpikir Positif
Albrecht (1992) menyatakan bahwa dalam berpikir positif terdapat aspek-aspek
sebagai berikut :
a. Positive verbalization (ungkapan Positif)
Positive Verbalization (ungkapan positif) berhubungan dengan harapan positif
tentang diri individu.
1) positive ecpectation (Harapan yang positif)
Harapan yang positif dalam hal ini ketika menyampaikan sesuatu lebih
dipusatkan pada hal yang positif. Menurut Albrecht (1992) positive ecpectation
adalah bila melakukan suatu lebih memusatkan perhatian dan kesuksesan,
optimis, pemecahan masalah, dan menjauhkan diri dari rasa takut akan
kegagalan serta selalu menggunakan kata-kata yang mengandung harapan
positif seperti “saya dapat melakukannya”. Seseorang yang memiliki harapan,
impian atau cita-cita akan cenderung lebih positif, hal ini terjadi karena dibalik
impian pasti ada emosi yang mendasarinya.
28
2) Self Affirmation (afirmasi diri)
Afirmasi Diri ialah memusatkan perhatian pada kekuatan diri, melihat diri
secara positif dengan pemikiran bahwa setiap orang sama berarti dengan orang
lain (Albrecht, 1992). Seseorang yang memiliki pikiran positif akan yakin
terhadap dirinya sendiri serta pada orang lain. melalui pikiran positif seseorang
akan terdorong untuk melakukan suatu hal yang baru dan menggunakan
kesempatan yang ada (Jim Dornan & Jhon Maxwell dalam Asmani, 2009)
3) No Judgement Talking (Pernyataan yang tidak menilai)
Pernyataan yang tidak menilai yaitu suatu pernyataan yang lebih
menggambarkan suatu keadaan. Pernyataan ini dimaksud sebagai pengganti
pada saat sesorang cendrung memberikan pernyataan yang bersifat negatif
terhadap suatu hal. Saat individu melihat atau menghadapi suatu hal secara
sadar maupun tidak sadar individu tersebut akan memberikan sebuah penilaian
terhadap apa yang dilihatnya tersebut. Memberi penilaian itu penting
dikarenakan penilaian merupakan perwujudan dari cara pandang kita terhadap
suatu situasi atau seseorang. Penilaian tersebut juga akan terbentuk menjadi
label atau citra diri terhadap sesuatu hal ataupun seseorang. Sebuah penilaian
yang muncul dari dalam diri individu memang terlihat secara spontan dan
sederhana. Selain itu memberikan sebuah penilaian hanya sebagian kecil dan
proses kognitif individu, namun individu harus berhati-hati atau bijaksana
dalam memberikan sebuah penilaian terhadap suatu hal (Albercht ,1992)
4) Realistic Adaptation (Penyesuaian Diri terhadap kenyataan)
29
Penyesuaiaan diri yang realistis ialah mengakui kenyataan dan berusaha
menyesuaikan diri dari penyesalan, frustasi dan menyalahkan diri sendiri.
Seorang yang dapat menerima kenyataan dengan baik, maka cenderung
memiliki jiwa yang sehat (albercht , 1992)
Ubaedy (dalam Christiningsih, 2017) menyatakan bahwa dimensi-dimensi
berpikir positif dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Muatan pikiran
Berpikir positif merupakan usaha mengisi pikiran dengan berbagai hal yang
positif atau muatan yang positif. Adapun yang dimaksud dengan muatan positif
untuk pikiran adalah sebagai bentuk pemikiran yang memiliki kriteria: benar
(tidak melanggar nilai-nilai kebenaran), baik (bagi diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan), dan bermanfaat (menghasilkan sesuatu yang berguna).
b. Penggunaan pikiran
Memasukkan muatan positif pada ruang pikiran merupakan tindakan positif
namun tindakan tersebut berada pada tingkatan yang masih rendah jika muatan
positif tersebut tidak diwujudkan dalam tindakan nyata. Oleh karena itu isi
muatan yang positif tersebut perlu diaktualisasikan ke dalam tindakan agar ada
dampak yang ditimbulkan.
c. Pengawasan pikiran
Aktivitas ini mencakup usaha untuk mengetahui muatan apa saja yang
dimasukkan ke ruang pikiran dan bagaimana pikiran bekerja. Jika diketahui
terdapat hal-hal yang negatif ikut ke ruang pikiran maka perlu dilakukan
tindakan berupa mengeluarkan hal-hal yang negatif tersebut dengan
30
menggantinya dengan yang positif. Demikian pula jika ternyata teridentifikasi
bahwa pikiran bekerja tidak semestinya maka dilakukan usaha untuk
memperbaiki kelemahan atau kesalahan.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek berpikir
positif menurut Albercht (1992) adalah Positive expectation (harapan positif), self
affirmation (afirmasi diri), non judgmental talking (pernyataan yang tidak menilai),
reality adaptation (penyesuaian diri terhadap kenyataan). Kemudian aspek-aspek
berpikir positif menurut Ubaedy (dalam Christiningsih, 2017) adalah Muatan pikiran,
penggunaan pikiran, pengawasan pikiran. Penelitian ini menggunakan aspek-aspek
yang dikemukakan oleh albercht (1992) yakni Positive expectation (harapan positif),
self affirmation (afirmasi diri), non judgmental talking (pernyataan yang tidak menilai),
reality adaptation (penyesuaian diri terhadap kenyataan) dan aspek ini akan diadaptasi
sebagai modul pelatihan berpikir positif yang akan diintegrasi dengan teori Ellis A-B-
C yang akan dibuat menjadi modul Pelatihan berpikir positif.
A adalah keberadaan suatu fakta, suatu peristiwa yang menyenangkan maupun
yang tidak menyenangkan, tingkah laku dan sikap seseorang yang terjadi dalam hidup,
B adalah pikiran-pikiran otomatis yang muncul membantu kita untuk menafsirkan
dunia sekitar kita, menggambarkan apa yang terjadi, dan mencoba untuk memahami
itu dengan membantu kita menafsirkan peristiwa, pemandangan, suara, bau, dan
perasaan. Pikiran secara otomatis bisa muncul begitu saja di benak kita terhadap
terjadinya suatu peristiwa. Sedangkan C adalah reaksi emosional yang di timbulkan,
emosi yang dialami oleh individu lainnya bisa berbeda-beda, meskipun peristiwa yang
dialami sama (Corey,2010). Mustaffa (2006) mengatakan untuk mengubah perasaan
31
negatif, individu harus berpikir dengan cara yang berbeda. Menurut Carlson & Knaus
(2014) hubungan dari ketiga konsep A,B, dan C tersebut saling berkaitan dan timbal
balik. Bisa berbentuk linier, namun juga berbentuk lingkaran yang searah atau
sebaliknya.
Teori A-B-C Ellis juga berlandaskan pada penjelasan Quilliam (2007) yang
mengungkapkan bahwa ada tiga elemen penting yang harus dibedakan dan
diidentifikasi untuk mengubah pandangan dari negatif menjadi positif, yakni perasaan,
pemikiran, dan keyakinan. Indikator yang paling besar dari sikap positif dan sikap
negatif adalah emosi individu. Semakin individu menyadari sinyal emosi tersebut,
individu akan semakin mampu mengalihkan perasaan dari negatif ke positif. Bila ada
peristiwa yang mengganggu emosi individu, selalu ada pemikiran yang menyertai.
Pemikiran itu bisa menyangkut apa yang terjadi sekarang, ingatan akan masa lampau,
atau ramalan masa depan. Didasar pemikiran individu terdapat keyakinan, gagasan
mengakar dalam sebagai hasil pengalaman. Satu keyakinan negatif dapat mengubah
kegembiraan dalam hidup individu. Namun, jika individu menganalisis sebuah
keyakinan negatif dan mengubah menjadi positif, seluruh pendekatan individu
terhadap hidup akan meyakinkan.
Keyakinan termasuk salah satu bentuk berpikir positif. Keyakinan menjadi
fondasi untuk melakukan suatu hal. Individu akan bertindak ketika yakin pada dirinya
sendiri bahwa dirinya mampu melakukannya, maka usaha akan berjalan setengah hati,
sehingga hasilnya tidak akan maksimal, sebab segala hal yang didasari dengan tidak
yakinan akan berujung pada kegagalan. Begitu pula sebaliknya, individu yang
bertindak dengan penuh keyakinan pasti bertindak secara sungguh-sungguh, sehingga
32
hasilnya lebih maksimal. Tindakan apa pun yang diawali dari keyakinan akan
menghasilkan keberhasilan. Jika hasilnya adalah kegagalan, maka individu akan
menganggap kegagalan tersebut sebagai jalan menuju keberhasilan sehingga individu
akan mempelajari kegagalan tersebut dan terus berupaya agar keyakinannya benar-
benar terwujud (Chatton, 2016)
Pelatihan berpikir positif ini akan dilakukan sebanyak dua kali pertemuan
dengan menggunakan konsep experiental learning yaitu pembelajaran yang dilakukan
secara langsung dengan memaknai praktik permainan yang diberikan dan teknik-teknik
presentasi informasi dan simulation method yang di dalamnya terdapat beberapa sesi
praktik games yang merupakan hasil dari integrasi dari aspek-aspek berpikir positif
menurut Albercht (1992) dengan teori A-B-C Ellis. Praktik games dalam pelatihan ini
dibagi menjadi 4 macam games yang mengacu pada aspek-aspek berpikir positif
menurut Albercht (1992), meliputi : games “Ayo berkaca” (afirmasi diri), games “aku
pasti bisa” (harapan positif), games “bagaimana diriku?” (pernyataan yang tidak
menilai), games “tebak-tebakan” (penyesuaian diri terhadap kenyataan). Pada tiap-tiap
sesi praktek games tersebut akan diberikan pemahaman mengenai teori A-B-C Albert
Ellis, dengan mempraktikkan secara langsung mengenai suatu peristiwa (A) yang akan
memunculkan pemikiran (B) atau peristiwa tersebut, sehingga akan berpengaruh pada
emosi dan tindakkannya (C). Dengan harapan pelatihan berpikir positif ini dapat
membantu memunculkan pemikiran positif yang sebelumnya adalah pemikiran negatif
(B) atas terjadinya suatu peristiwa (A), sehingga akan berpengaruh pada emosi dan
tindakkan yang positif juga (C).
33
Pertemuan pertama pada pelatihan ini diisi dengan pembukaan dan pengenalan
awal mengenai berpikir positif (definisi, aspek, dan manfaat berpikir positif),
penyampaian materi mengenai pikiran mempengaruhi emosi (perasaam) . praktik ice
breaking, praktik games “ayo berkaca”, serta praktik games “aku pasti bisa”,
pertemuan kedua berupa praktik ice breaking, pemutaran video, praktek games
“Bagaimana diriku”, praktik games “ tebak-tebakan”, evaluasi, serta penutupan dan
doa.
Individu dapat dikatakan sudah bisa berpikir secara positif apabila peningkatan
pada keempat aspek berpikir positif menurut Albercht (1992) yaitu mampu untuk
afirmasi diri, memiliki harapan yang positif, mampu untuk memberi pernyataan yang
tidak menilai, serta menyesuaikan diri terhadap kenyataan. Adapun program pelatihan
berpikir positif menurut albercht (1992) dengan menggunakan teori A-B-C Ellis dapat
diuraikan sebagai berikut :
Pertemuan pertama pada pelatihan ini pada sesi pertama diisi dengan
pembukaan dan perkenalan, sesi ini bertujuan untuk membuka acara pelatihan berpikir
positif dan untuk lebih mengakrabkan peserta pelatihan. Pada sesi pertama ini juga diisi
dengan ice breaking dalam pelaksanaannya akan memotivasi peserta untuk terlibat
aktif sejak awal sesi pelatihan dan sebagai saran menciptakan kondisi-kondisi
kesetaraan antara sesama peserta dalam pelatihan.
Sesi kedua diisi dengan pengenalan awal mengenai berpikir positif (definisi,
aspek, dan manfaat berpikir positif) dan penyampaian materi mengenai teori A-B-C
Ellis tentang pikiran dapat mempengaruhi emosi (perasaan). Sesi ini bertujuan untuk
membantu peserta dalam memahami tentang berpikir positif dan pikiran
34
mempengaruhi emosi. Sehingga peserta memahami dasar-dasar teori yang akan
dipelajari dalam pelatihan berpikir positif.
Sesi ketiga dalam pelatihan ini diisi dengan pemberian kemampuan berpikir
positif kepada subjek berdasarkan dari aspek menurut albercth (1992), yang kemudian
di tuangkan dalam bentuk games yaitu games “ayo berkaca” (afirmasi diri), Games
“Aku pasti bisa” (harapan yang positif), Games “Bagaimana diriku?” (pernyataan yang
tidak menilai), Games “tebak-tebakan” (pernyataan yang tidak menilai), pemutaran
video dan ice breaking dengan tujuan agar subjek mampu untuk berpikir positif.
Dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Afirmasi Diri (ayo berkaca)
Pada tahap ini, membantu individu untuk lebih memfokuskan pada kekuatan
dan kelbihan yang dimiliki dalam diri masing-masing. Langkah pertama adalah
proses membantu individu untuk membayangkan dan memfokuskan pada
kekurangan-kekurangannya yang dimiliki untuk mengetahui emosi (C) dan
pikirannya yang muncul (B) . langkah kedua adalah proses membantu individu
membayangkan dan memfokuskan kelebihan-kelebihan yang dimiliki untuk
mengetahui emosi (C) dan pikiran yang muncul (B). Tujuan akhirnya yaitu
membantu individu agar dapat melihat diri sendiri dari segi positifnya saja sebagai
bentuk kekuatan diri. Dalam hal ini diri sendiri dianggap sebagai (A) yang akan
memunculkan pemikiran mengenai dirinya sendiri (B) baik pikiran positif maupun
pikiran negatif, sehingga akan berdampak pula pada emosi yang positif maupun
negatif juga (C). Pada sesi ketiga bagian dua ini, individu diharapkan untuk bisa
memandang diri sendiri dari segi positifnya saja (B), sehingga akan menghasilkan
35
emosi yang positif juga (C). Menurut Safitri dan Effendi (2011) menggunakan
kalimat afirmasi adalah salah satu cara untuk meningkatkan pikiran positif dan suara
hari yang positif. Games ini diberikan dengan cara bercermin.
b. Harapan yang positif (aku pasti bisa)
Tahap ini membantu individu untuk lebih berkonsentrasi pada kesuksesan,
memecahkan masalah, serta berani dalam menghadapi tantangan. Prosesnya yaitu
dengan melakukan lempar bola ke keranjang yang dilakukan sebanyak dua kali.
Lemparan bola pertama dilakukan tanpa adanya keyakinan dalam diri dan lemparan
bola kedua dilakukan dengan penuh keyakinan. Hal ini membantu individu agar
lebih mudah untuk membayangkan dan membandingkan emosi serta pemikiran
yang muncul saat sebelum melempar bola yang pertama dengan melempar bola
yang kedua. Adanya harapan yang positif dalam diri individu dalam meraih
kesuksesan, tergantung pada pola pikirnya. Pikiran yang positif dalam diri individu
(B) akan memunculkan emosi yang positif pula (C) sehingga muncul harapan yang
positif untuk meraih kesuksesan. Dalam hal ini kesuksesan yang belum tercapai
tersebut dianggap sebagai suatu peristiwa (A) yang tergantung pada keyakinan
masing-masing individu (B) baik positif maupun negatif. Individu yang kurang
yakin dan berpikir bahwa dirinya tidak akan mampu untuk bisa berhasil dan sukses
(B) akan menjadi pesimistis dan kurang bersemangat (C). Individu yang yakin
dengan kemampuannya sendiri dan berpikir bahwa dirinya mampu untuk bisa
berhasil dan sukses (B) akan mudah menjadi optimis dan termotivasi untuk lebih
semangat dan giat (C). Diharapkan individu mampu untuk memiliki harapan yang
positif agar bisa berhasil meraih kesuksesannya. Games ini diberikan dengan cara
36
melempar bola ke keranjang sebanyak dua kali (sebelum dan setelah diberi
keyakinan).
d. Pemutaran Video
Tahapan ini membantu peserta untuk memberikan contoh kepada para peserta
mengenai kekuatan berpikir positif dan contoh prasangka buruk dalam kehidupan
nyata atau kehidupan sehari-hari, sehingga peserta dapat melihat manfaat dan
kekuatan dari berpikir positif. Film yang akan diputar adalah tentang individu yang
berprasangka buruk dengan orang lain dan film tentang manfaat dan kekuatan dari
berpikir positif.
e. Pernyataan yang tidak menilai (bagaimana diriku?)
Suatu pernyataan yang lebih menggambarkan keadaan daripada menilai
keadaan. Pada tahap ini membantu individu untuk tidak terlalu mudah menilai
negatif terhadap segala sesuatu hal yang terjadi. Prosesnya yaitu dilakukan dengan
cara menggambarkan fisik teman yang bertujuan untuk mengetahui pikiran
individu yang muncul (B), serta emosinya (C) setelah mengetahui kekurangan fisik
temannya tersebut. Tujuan ditahap ini yaitu mengajarkan remaja untuk tidak
terlalu cepat menilai segala sesuatunya secara negatif, akan tetapi cukup
menggambarkan perihal yang dilihatnya saja. Individu yang cukup
menggambarkan sesuatu yang terjadi sama halnya dapat berpikir secara netral (B),
akan tetapi individu yang mudah menilai negatif mengenai sesuatu yang terjadi
(B), maka akan berdampak negatif pula pada emosinya. Dalam hal ini, fisik dari
teman individu dianggap sebagai suatu situasi (A) yang akan dilihat ataupun dinilai
oleh individu lainnya sehingga memunculkan pemikiran (B) dan emosi (C)
37
mengenai teman tersebut. Individu yang bisa menggambarkan saja tanpa harus
menilai fisik temannya tersebut (B), maka tidak akan berdampak pada emosinya
(C), akan tetapi individu yang langsung memberikan penilaian negatif atas fisik
temannya yang dilihatnya (B) maka akan berdampak pada emosi yang negatif juga
(C). Diharapkan individu cukup menggambarkan saja mengenai sesuatu yang
dilihatnya atau peristiwa yang sedang dialaminya, sehingga pikiran yang muncul
juga akan netral tanpa harus berpikir negatif terhadap sesuatu tersebut atau
peristiwa yang sedang dialaminya. Pada tahap ini diberikan permainan berupa
menebak fisik teman.
f. Penyesuaian diri terhadap kenyataan (Tebak-tebakan)
Tahap ini membantu individu untuk mengakui kenyataan dan segera berusaha
menyesuaikan diri dari penyesalan, frustasi dan menyalahkan diri. proses yang
dilakukan yaitu menunjukkan sebuah barang bekas berupa botol berlubang untuk
mengetahui pikiran yang muncul dalam diri masing-masing individu mengenai
barang tersebut (B). Barang bekas yang di perlihatkannya tersebut bisa
memunculkan pikiran yang berbeda-beda pada masing-masing individu, bisa
menganggap barang bekas itu masih berguna atau bahkan menganggap tidak
berguna dan memilih untuk dibuang. Hal ini membantu individu dengan
membayangkan apabila dirinya berada diposisi barang bekas tersebut, akan
memilih untuk meratapi kekurangan yang dimilikinya atau tetap memilih untuk
bangkit dan bersemangat dalam menjalani aktivitasnya. Individu akan diarahkan
untuk berusaha mampu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dan
menjalani aktivitas sehari-hari dengan menerima diri sendiri apa adanya. Dalam
38
hal ini, botol berlubang diproyeksikan sebagai diri sendiri yang penuh kekurangan
dianggap sebagai situasi (A), sehingga akan memunculkan pemikiran individu atas
situasi tersebut (B) baik positif maupun negatif. Individu yang berpikiran negatif
(B), maka akan menganggap benda tersebut sudah tidak berguna yang berarti
individu menganggap dirinya yang penuh dengan kekurangan dan merasa dirinya
tidak berguna bagi individu lain (C). individu yang berpikiran positif (B), maka
akan menganggap benda tersebut masih bisa digunakan yang berarti individu
menganggap kekurangan yang dimiliki tersebut bukanlah sesuatu yang merugikan
akan tetapi sesuatu yang harus disyukuri. Pada tahap ini diberikan permainan
berupa menebak boto yang berlubang.
Sesi keempat diisi dengan evaluasi dan penutupan serta doa. Evaluasi
bertujuan Untuk mengetahui sejauh mana peserta benar-benar paham mengenai
berpikir positif setelah mengikuti serangkaian proses pelatihan berpikir positif.
Sedangkan penutupan serta doa bertujuan untuk mengakhir serangkaian proses
pelatihan berpikir positif dengan harapan memberikan manfaat bagi para peserta.
C. Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif Terhadap Kecemasan
Berbicara Di Depan Umum
Berpikir merupakan hal dasar yang dilakukan individu dalam menanggapi
stimulus atau kejadian yang terjadi di luar diri individu tersebut. Canfield & Hansen
(dalam Elfiky, 2009) menemukan informasi bahwa setiap hari manusia menghadapi
lebih dari 60.000 pikiran. Ketika seseorang mengarahkan pemikirannya ke arah
positif maka sekitar 60.000 pemikiran serupa akan diakses oleh otak, begitu pula
39
sebaliknya (Reivich & Shatte,2002). Individu yang berpikir positif adalah individu
yang mempunyai cita-cita yang positif, memahami dan memanfaatkan kelebihan dan
kekurangan yang dimiliki dan menilai positif segala permasalahan.
Pemikiran atau berpikir positif diarahkan pada pemecahan masalah sedangkan
pemikiran atau berpikir negatif muncul dalam bentuk alasan-alasan atas kegagalan
atau usaha untuk menghindari perilaku pemecahan masalah (Abraham, 2004).
Berpikir positif dapat diartikan sebagai pemusatan perhatian pada hal-hal positif serta
menggunakan bahasa yang positif untuk membentuk serta mengekspresikan pikiran,
sedangkan berpikir negatif merupakan hal sebaliknya (Albercht, 1992)
Ada tiga elemen penting yang harus dibedakan dan diidentifikasi untuk
mengubah pandangan dari negatif menjadi positif, yakni perasaan, pemikiran, dan
keyakinan. Indikator yang paling besar dari sikap positif dan sikap negatif adalah emosi
individu. Semakin individu menyadari sinyal emosi tersebut, individu akan semakin
mampu mengalihkan perasaan dari negatif ke positif. Bila ada peristiwa yang
mengganggu emosi individu, selalu ada pemikiran yang menyertai. Pemikiran itu bisa
menyangkut apa yang terjadi sekarang, ingatan akan masa lampau, atau ramalan masa
depan. Didasar pemikiran individu terdapat keyakinan, gagasan mengakar dalam
sebagai hasil pengalaman. Satu keyakinan negatif dapat mengubah kegembiraan dalam
hidup individu. Namun, jika individu menganalisis sebuah keyakinan negatif dan
mengubah menjadi positif, seluruh pendekatan individu terhadap hidup akan
meyakinkan (Quilliam, 2007).
Keyakinan termasuk salah satu bentuk berpikir positif. Keyakinan menjadi
fondasi untuk melakukan suatu hal. Individu akan bertindak ketika tidak yakin pada
40
dirinya sendiri bahwa dirinya mampu melakukannya, maka usaha akan berjalan
setengah hati, sehingga hasilnya tidak akan maksimal, sebab segala hal yang didasari
dengan tidakyakinan akan berujung pada kegagalan. Begitu pula sebaliknya, individu
yang bertindak dengan penuh keyakinan pasti bertindak secara sungguh-sungguh,
sehingga hasilnya lebih maksimal. Tindakan apa pun yang diawali dari keyakinan
akan menghasilkan keberhasilan. Jika hasilnya adalah kegagalan, maka individu akan
menganggap kegagalan tersebut sebagai jalan menuju keberhasilan sehingga individu
akan mempelajari kegagalan tersebut dan terus berupaya agar keyakinannya benar-
benar terwujud (Chatton, 2016). Hal ini diterangkan dalam teori A-B-C dari Ellis
yang mengatakan A adalah keberadaan suatu fakta, suatu peristiwa yang
menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, tingkah laku dan sikap seseorang
yang terjadi dalam hidup, B adalah pikiran-pikiran otomatis yang muncul membantu
kita untuk menafsirkan dunia sekitar kita, menggambarkan apa yang terjadi, dan
mencoba untuk memahami itu dengan membantu kita menafsirkan peristiwa,
pemandangan, suara, bau, dan perasaan. Pikiran secara otomatis bisa muncul begitu
saja di benak kita terhadap terjadinya suatu peristiwa. Sedangkan C adalah reaksi
emosional yang di timbulkan, emosi yang dialami oleh individu lainnya bisa berbeda-
beda, meskipun peristiwa yang dialami sama, sehinggal emosi yang akan dihasilkan
akan bergantung dari bagaimana individu memproses peristiwa yang dialaminya
(Corey,2010). Menurut Ellis peristiwa yang terjadi pada individu akan direaksikan
sesuai dengan cara berpikir atau system kepercayaannya. Jadi konsekuensi reaksi
yang dimunculkan seperti senang, frustasi, cemas, dan sebagainya bukanlah akibat
peristiwa yang dialami individu melainkan karena cara berpikirnya (Lubis, 2011).
41
Kemampuan berpikir positif sendiri merupakan suatu keterampilan kognitif
yang dapat dipelajari melalui suatu pelatihan (Kholidah,2009). Pelatihan merupakan
salah satu usaha yang dapat dilakukan guna mengajarkan pengetahuan, sikap, maupun
keterampilan yang berkaitan dengan tugas tertentu (truelove dalam Kholidah & Alsa,
2012). Pelatihan berpikir positif merupakan usaha yang dilakukan untuk mengajarkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk memusatkan perhatian pada hal-hal
positif serta menggunakan bahasa yang positif untuk membentuk serta
mengekspresikan pikiran. Pelatihan berpikir positif merupakan kegiatan sistematis
yang dilaksanakan dengan acuan panduan yang dikembangkan dari teori yang ada.
Pelatihan berpikir positif akan mengarahkan individu untuk memperoleh kecakapan
dalam menyajikan pengalaman-pengalaman secara lebih lengkap dengan cara yang
sehat berdasarkan kenyataan yang ada, penuh daya cipta dan sifatnya menyeluruh
sehingga mampu menumbuhkan dan memaksimalkan energi untuk memberikan
keyakinan dalam merespon stimulus sehingga individu memilik harapan untuk
mencapai hasil yang terbaik sesuai tujuan hidupnya (Peale dalam Pangastuti, 2014)
Berpikir positif terdiri atas 4 aspek. Pertama adalah aspek positive expectation
merupakan pemusatan perhatian pada kesuksesan optimis, pemecahan masalah, serta
menjauhkan diri dari rasa takut gagal serta selalu menggunakan kata-kata yang
mengandung harapan. Ketika individu mengharapkan hal terbaik bagi diri sendiri maka
pikiran akan berusaha untuk membawa orang tersebut kepada hasil yang sesuai dengan
pikiran yang ada begitu pun sebaliknya (elfiky, 2009). Individu yang memiliki harapan,
impian atau cita-cita akan cenderung lebih positif, hal ini terjadi karena dibalik impian
pasti ada emosi yang mendasarinya (Albercht, 1992). Individu yang memiliki harapan
42
positif akan berusaha untuk mengubah rasa takut ataupun perasaan tidak mampu yang
bisa muncul sebelum individu tampil di depan umum menjadi lebih percaya diri dan
optimis ( Purnamaningsih, 2010). Sehingga ketika individu yang memiliki harapan
positif dihadapkan pada situasi berbicara di depan umum, individu tersebut akan
memiliki rasa percaya diri dan optimis, individu yang memiliki harapan positif akan
memusatkan perhatiannya pada kesusksesan, pemecahan masalah dan menjauhkan diri
dari rasa takut akan kegagalan. Berbeda halnya dengan individu yang tidak memiliki
harapan positif, individu akan merasa cemas ketika dalam situasi berbicara di depan
umum karena individu tersebut akan berpikir bahwa apa pun yang dilakukannya akan
menimbulkan kegagalan dan tidak dapat memecahkan masalah yang dialaminya
sehingga hal tersebut membuat individu merasa takut, putus asa, gemetar, berkeringat,
dan lain-lain.
Kedua adalah self affirmation (afirmasi diri) adalah pemusatan perhatian dan
kekuatan diri, melihat diri secara positif dengan pemikiran bahwa setiap orang sama
berarti dengan orang lain (albrecht, 1992). Perasaan rendah diri dan tidak mampu akan
menghalangi tercapainya harapan, tetapi kepercayaan diri akan menghantarkan
seseorang pada kesadaran diri dan pencapaian sukses. Menilai kembali kelebihan-
kelebihan pribadi adalah hal yang sangat penting. Evaluasi yang dilakukan dapat
membuat seseorang menyadari kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi suatu
kondisi sehingga dapat menghentikan keraguan diri sendiri dan dapat lebih mampu
mengatasi kesulitan yang muncul. Selain itu, pola pemikiran yang yakin dan optimis
dapat memodifikasi atau mengatasi keyakinan yang menekan atau masalah yang
terjadi. Hal ini akan mengenyahkan atau memaksa keluar semua pikiran dan keraguan,
43
semua rasa ketakutan dan ketidakyakinan (Prakoso, 2014). Individu yang mampu
mengafirmasi diri ketika dihadapkan pada situasi berbicara di depan umum, individu
tersebut akan memusatkan perhatiannya pada kekuatan dan kelebihannya yang
dimilikinya sehingga individu menjadi lebih percaya diri dan mampu untuk berbicara
di depan umum. Berbeda halnya dengan individu yang tidak mampu mengafirmasi diri,
individu tersebut akan merasa cemas karena hanya akan memusatkan perhatiannya
pada kekurangan dan ketidakmampuan yang dimilikinya, sehingga hal tersebut akan
membuat individu menjadi melupakan kata-kata penting, berbicara terbata-bata,
mengulang kata, gemetar dan bahkan mengalami kejang perut.
Ketiga adalah no judgement talking atau pernyataan yang tidak menilai
merupakan suatu pernyataan yang lebih pada penggambaran diri daripada penilaian
keadaan. Bersifat luwes dan tidak fanatik dalam berpendapat. Secara umum seorang
akan berusaha untuk konsisten antara sikap dan perilaku (Feldman, 2012). Sikap
merupakan hal yang penting karena kerap kali mempengaruhi tingkah laku seseorang,
terlebih saat sikap yang dimiliki kuat dan mantap. Sikap sulit untuk diubah, sikap
mempengaruhi persepsi dan pemikiran kita terhadap isu, orang, objek, atau kelompok
dengan kuat (Baron, & Byrne, 2004).
Sikap positif akan membantu individu mengakses ingatan mengenai hal sangat
penting maupun pengalaman positif dan sifat negatif adalah sebaliknya. Sehingga
individu akan mampu menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan tanpa
melupakan hal penting (Elfiky, 2009). Individu yang memiliki kemampuan pernyataan
yang tidak menilai jika dihadapkan pada situasi berbicara di depan umum akan merasa
lebih rileks dan percaya diri karena apa yang dilihatnya hanya akan diberikan
44
gambarannya saja tetapi tidak memberikan peniliaian terhadap hal tesebut. Contohnya
ketika individu berbicara di depan umum kemudian ada yang menertawakannya, maka
individu tersebut akan memberikan gambaran bahwa temannnya sedang tertawa,
namun tidak memberikan penilaian bahwa temannya tertawa karena pemampilannya
buruk. Berbeda dengan individu yang tidak memiliki kemampuan pernyataan tidak
menilai, individu tersebut akan merasa cemas, gemetar, takut, dan berkeringat ketika
dihadapkan pada situasi berbicara di depan umum karena individu akan memberikan
penilaian kepada respon yang diberikan orang lain, sehingga individu tersebut merasa
bahwa dirinya sedang diadili, merasa penampilan dan gerak-gerik serta ucapannya
sedang jadi bahan perhatian atau dengan kata lain hal tersebut dikarenakan pikiran-
pikiran yang negatif dan tidak rasional.
Aspek yang terakhir adalah Realistic Adaptation atau penyesuaian diri terhadap
kenyataan merupakan keadaan dimana individu mengakui kenyataan dan segera
berusaha menyesuaikan diri dari penyesalan, frustasi, dan menyalahkan diri sendiri.
Menerima kenyataan dengan baik dan mencoba menghadapinya dengan baik.
Penyesuaian diri yang baik membantu individu untuk menguasai diri (Semium, 2006).
Ketika individu dapat menerima suatu kenyataan yang terjadi termasuk keadaan diri,
maka individu akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk memperbaiki diri serta
akan lebih tahu apa yang harus dilakukan, dan individu akan lebih percaya diri dan
optimis ketika harus berbicara di depan umum (Rahayu, 2013). Individu yang mampu
menyusaikan diri terhadap kenyataan, ketika dihadapkan pada situasi berbicara di
depan umum akan mampu mengatasi rasa takut dan cemas yang dialaminya dan
mencoba menghadapinya dengan baik, sehingga individu tersebut akan berani dan
45
mampu untuk berbicara di depan umum. Berbeda halnya dengan individu yang tidak
mampu beradaptasi dengan kanyataan, individu akan merasa tertekan, frustasi, cemas,
takut, gemetar. Individu yang mengalami kecemasan pada saat berbicara di depan
umum akan sulit mengatasi rasa cemas yang dialaminya, dan akan sulit menyesuaikan
dengan keadaannya yang sedang dialaminya.
Pelatihan berpikir positif sendiri sebagai perlakuan yang akan diberikan tidak
terlepas dari berbagai hasil penelitian yang telah membuktikan pengaruh intervensi
pelatihan berpikir positif terhadap penurunan kecemasan berbicara di depan umum.
Penelitian-penelitian tersebut di antaranya yakni yang dilakukan oleh Sianturi ( 2014)
yang menerapkan pelatihan berpikir positif sebagai upaya menurunkan kecemasan
menghadapi ujian pada siswa SMA, dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa
pelatihan berpikir positif berhasil menurunkan kecemasan berbicara di depan umum
padan siswa SMA.
Berdasarkan pemaparan di atas terkait pelatihan berpikir positif serta kaitannya
dengan kecemasan berbicara di depan umum maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan
berpikir positif dapat menurunkan kecemasan berbicara di depan umum pada
mahasiswa.
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan kecemasan berbicara di depan
umum antara sebelum dan setelah diberikan pelatihan berpikir positif pada mahasiswa.
46
Kecemasan berbicara di depan umum mengalami penurunan setelah diberikan
pelatihan berpikir positif.