bab ii kasbes.doc

49
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SINDROMA KORONER AKUT (SKA) A. DEFINISI Sindroma koroner akut suatu keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis berupa perasaan tidak enak di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard. Sindrom koroner akut mencakup : a. Infark Miokard Akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) b. Infark Miokard Akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) c. Angina Pektoris tak stabil (Unstable Angina) 1 B. PATOFOSIOLOGI Dasar patofosiologi dari sindrom koroner akut adalah erosi, keretakan, atau rupture plak aterosklerosis yang telah ada sebelumnya. 2 Ruptur plak ditemukan pada 56%-95% SKA, Forrester yang memeriksa dengan angioskopi intraoperatif mendapatkan 95% SKA ditemukan rupture plak. Pecahnya atau robeknya plak bermula dari proses aterogenesis yang kemudian mengalami komplikasi. Tidak semua plak yang terjadi pada 16

Upload: abu-unaysah

Post on 25-Jan-2016

236 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II kasbes.doc

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. SINDROMA KORONER AKUT (SKA)

A. DEFINISI

Sindroma koroner akut suatu keadaan gawat darurat jantung

dengan manifestasi klinis berupa perasaan tidak enak di dada atau gejala-

gejala lain sebagai akibat iskemia miokard. Sindrom koroner akut

mencakup :

a. Infark Miokard Akut dengan elevasi segmen ST (STEMI)

b. Infark Miokard Akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI)

c. Angina Pektoris tak stabil (Unstable Angina) 1

B. PATOFOSIOLOGI

Dasar patofosiologi dari sindrom koroner akut adalah erosi,

keretakan, atau rupture plak aterosklerosis yang telah ada sebelumnya.2

Ruptur plak ditemukan pada 56%-95% SKA, Forrester yang

memeriksa dengan angioskopi intraoperatif mendapatkan 95% SKA

ditemukan rupture plak. Pecahnya atau robeknya plak bermula dari proses

aterogenesis yang kemudian mengalami komplikasi. Tidak semua plak

yang terjadi pada ateogenesis jadi plak yang tidak stabil, hal tersebut

bergantung dari terbentuknya kap dan lipid core yang ada dan

berhubungan dengan tampilan klinis yang ditemukan. Evolusi dari plak

yang stabil menjadi tidak stabil melalui tahapan yaitu: aktivasi endotel,

kemudian LDL masuk ke dalam sel dan teroksidasi, kemudian memacu

produksi sitokindan protease, sehingga mengakibatkan rupture plak.

Aktifasi endotel dipacu oleh: factor risiko tradisonal, homosistein, factor

imunologik. Masuknya LDL ke dalam sel dipacu oleh transport protein,

HDL, APO A1, sedangkan yang lainnya dipacu oleh makrofag, mast cell,

T-lympocyte, protease, dan apoptosis.

Faktor yang mempengaruhi instabilitas dan rupture plak adalah:

16

Page 2: BAB II kasbes.doc

a. Faktor eksternal :

- sistemik : lingkungan internal / factor farmakologik

- factor intrinsic dari plak: besarnya plak, lokasi plak,

kepadatan lipid dan ketebalan kap yang menyelimuti

plak.

b. Faktor internal:

- aktifasi sel inflamasi

- infeksi

- disfungsi endotel

- proliferasi sel otot polos

Lima puluh persen SKA dicetuskan oleh latihan fisik yang berat,

stress emosional, hawa dingin, waktu pagi hari, awal minggu (hari

senin), infeksi, peningkatan aktivitas saraf simpatis sehingga

mengakibatkan peningkatan tekanan darah tiba-tiba, peningkatan aliran

darah koroner, peningkatan kontraktilitas otot jantung sehingga

kebutuhan dan suplai oksigen tidak seimbang.

Lebih dari 75% thrombus yang ditemukan pada pasien SKA

terletak di tempat dimana plak mengalami rupture. Bila plak yang tidak

stabil mendapat pencetus maka kap yang tipis tersebut akan koyak dan

kemudian terjadi pembentukan thrombus yang dimulai dari fisura atau

robekan kap tadi hingga menjadi red clot.

Faktor yang mempengaruhi respon trombogenesis di tempat kap

yang terkoyak tadi adalah :

1. susbtrat trombogenik yang memang selalu berada di tempat

tersebut

2. iregularitas permukaan plak dan sempitnya stenosis; semakin

tajam lengkungan kap stenosis semakin mudah terjadi proses

trombogenesis

3. keseimbangan trombotik trombolitik yang etrganggu misalnya

hiperagregabilitas, hiperkoagulabilitas dan menurunnya

fibrinolisis.3

17

Page 3: BAB II kasbes.doc

C. DIAGNOSIS SKA

Diagnosis SKA ditegakkan secara tradisional ditegakkan

berdasarkan symptom klinik, tampilan EKG dan nilai petanda biokimia.

a. symptom klinik

Nyeri dada tipikal (angina) berupa nyeri dada substernal,

retrosternal, dan prekordial. Nyeri seperti ditekan, ditindih benda berat,

rasa terbakar, seperti ditusuk, rasa diperas dan dipelintir. Nyeri menjalar

ke lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula dan dapat juga ke

lengan kanan. Nyeri dapat membaik atau hilang atau tidak membaik

dengan istirahat, obat, atau nitrat. Dapat diserai dengan gejala lain seperti

mual, muntah, keringat dingin, dan lemas.1 Apabila keluhan terjadi

dengan durasi lebih dari 20 menit secara klinik dimanifertasikan

sebagai angina pectoris tidak stabil. Bila serangan menetap hingga lebih

dari 1 jam kemungkinan disebabkan karena infark miokard akut.

b. tampilan EKG

Pada infark miokard akut yang berkembang penuh, daerah

infakr terdiri atas area nekrotik yang dikelilingi oleh cidera (injury) dan

kemudian area iskemik.4 Daerah nekrotik akan memberikan gambaran

gelombang Q abnormal.4 Area mikardium yang mengalami cidera akan

menghasilkan elevasi segmen ST. Tepat pada saat proses infark dimulai,

gelombang T pada sadapan diatas daerah yang terkena menjadi sangat

tinggi (T hiperakut) sebagai akibat dari iskemi sudendokardium.5

Tampilan ini kemudian diikuti oleh elevasi segmen ST (fase akut) yang

kemudian menenggelamkan gelombang T. Gelombang T hiperakut

memiliki kemaknaan yang setara dengan elevasi segmen ST. Selang

beberapa jam hingga hari (fase evolusi), segmen ST mulai kembali ke

garis isoelektrik bersamaan dengan perubahan gelombang T dari positif

menjadi negative, simetris, dan dalam sebagai akibat dari iskemi

transmural.5

a. Angina pectoris tidak stabil: depresi segmen ST dengan

atau tanpa inversi gelombang T, kadang-kadang elevasi

18

Page 4: BAB II kasbes.doc

segmen ST sewaktu ada nyeri, tidak dijumpai

gelombang Q.

b. NSTEMI : depresi segmen ST, inverse gelombang T

dalam

c. STEMI : hiperakut T, elevasi segmen ST, gelombang Q

inverse.1 elevasi segmen ST >2 mm pada 2 atau lebih

sandapan prekordial yang berdampingan atau elevasi

segemen ST > 1 mm pada 2 sandapan ekstremitas.11

c. Petanda biokimia

Petanda biokimia yang dapat digunakan untuk

mendiagnosis SKA adalah CKMB, LDH, Troponin dan

mioglobin.

CKMB

CKMB telah digunakan secara rutin dan

digolongkan sebagai petanda yang spesifik dan

sensitive serta hemat biaya. Dalam myocardium

terdapat 55% CKMB. Batas nilai normal CKMB adalah

10-13 IU/L. Nilai CKMB dalam plasma akan naik

secara bermakna dalam waktu 6-10 jam, mencapai

puncak dalam waktu antara 14-46 jam dan kembali ke

nilai normal dalam 42-72 jam setelah serangan

jantung.6

Pada umumnya apabila kadar CKMB > 2 kali nilai

normal, pasien diputuskan sebagai penderita infark

miokard akut. Apabila CKMB normal atau sedikit naik,

diputuskan sebagai unstable angina. Kadar CKMB

dapat terjadi peningkatan positif palsu akibat trauma

otot skelet

LDH

LDH dan isoenzim lainnya terutama digunakan

untuk pasien yang datang terlambat (antara 48-72 jam

19

Page 5: BAB II kasbes.doc

setelah nyeri dada). Aktifitas LDH akan mencapai

puncak antara 48-72 jam dan bertahan hingga 10-14

hari setelah serangan jantung.

Troponin

Troponin T dan I merupakan petanda yang spesifik

dan sensitive untuk menilai kerusakan miosit sehingga

digunakan sebagai petanda baku emas dalam diagnosis,

stratifikasi resiko dan pengobatan SKA.7 Peningkatan

troponin pada pasien AMI setelah 3-4 jam dan akan

bertahan hingga 3 minggu.

Mioglobin

Kadar mioglobin meningkat lebih awal daripada

CKMB, tetapi kegunaannya pada pasien AOTS

memiliki keterbatasan.7

Gambar Keberadaan Biomarker Jantung untuk Diagnosis AMI

20

Page 6: BAB II kasbes.doc

D. STRATIFIKASI DIAGNOSIS SINDROM KORONER AKUT

observasi nyeri dada kategori

ECG dengan elevasi segmen ST ya ------------- infark miokard

|

tidak |

|

|

Peningkatan Troponin T/I ya ------ infark atau UAP

|

Tidak |

|

|

ST depresi atau iskemia selama monitoring ya ----- UAP

|

Tidak |

|

|

Peningkatan Troponin T/I yang diulang (4-6 jam) ---- infark atau UAP

|

Tidak |

|

|

Dipertimbangkan untuk rawat jalan

21

Page 7: BAB II kasbes.doc

E. STRATIFIKASI STATUS HEMODINAMIK

Klasifikasi status hemodinamik menggunakan pembagian

menurut Killip.

KELAS KLINIK DAPATAN KLINIK

I Tak ada tanda gagal jantung

II Gagal jantung ringan / moderat, ronki terdengar < 50% dari

lapangan paru

III Edema paru, ronki terdengar hingga >50% lapangan paru

IV Syok kardiogenik (TD sistolik <90 mmHg, denyut jantung

meningkat, akral dingin, produksi urin 1 cc/kgBB/jam)

F. STRATIFIKASI KELISTRIKAN JANTUNG

Stratifikasi kelistrikan jantung menyangkut gangguan

hantaran, dan gangguan irama supraventrikuler maupun ventrikuler.

Stratifikasi perlu dilakukan agar kita dapat mengetahui apakah hal

tersebut sudah terjadi sejak semula ataukah akibat pengobatan yang

diberikan (antara lain akibat reperfusi miokardium).8

G. STRATIFIKASI RESIKO

Stratifikasi risiko ditujukan untuk memprediksi kejadian

yang mungkin dijumpai. Stratifikasi risiko menurut the Agency for

Health Care Policy ad Research/ AHCPR dan data dari the Trombolysis

in Myocardial Infarction/ TIMI trial (TIMI risk score). Dalam

menggunakan TIMI risk score yang perlu diingat adalah variable yang

digunakan untuk pasien UAP dan NSTEMI berbeda dengan variable

predictor resiko STEMI.9,10

Tabel TIMI Risk Score for UAP dan NSTEMI (0-7)

Umur ≥65 tahun 1

≥3 faktor risiko PJK (riwayat keluarga, hipertensi, DM,

dislipidemia, perokok aktif)

1

Angiografi stenosis (>50%) 1

22

Page 8: BAB II kasbes.doc

Konsumsi aspirin dalam 7 hari terakhir 1

Angina dalam <24 jam terakhir 1

Peningkatan biomarker jantung 1

Deviasi segmen ST (depresi segmen ST atau elevasi

transien segmen ST)

1

Tabel TIMI Risk Score for STEMI (0-14)

Umur >75

Umur 65-75

3

2

DM, Hipertensi, atau angina 1

Tekanan darah sistolik <100 mmHg 3

HR >100 kali/menit 2

Killip II-IV 2

BB < 67 kg 1

Anterior ST elevasi atau LBBB 1

Waktu mendapatkan terapi > 4 jam 1

Pasca infark miokard akut penderita dapat saja mengalami

gagal jantung, rupture jantung, re-infark, iskemi rekuren, aritmia atau

bahkan mati mendadak. Stratifikasi risiko berkaitan dengan tiga kategori

utama komplikasi IMA, yaitu aritmia, disfungsi ventrikel kiri dan

iskemia. Timbulnya aritmia atau gagal jantung atau iskemia rekuren

kapanpun dapat meningkatkan resiko. Stratifikasi resiko harus dilakukan

saat pertama kali masuk rumah sakit, saat perawatan di rumah sakit dan

saat keluar rumah sakit.

Penilaian saat masuk rumah sakit menilai beberapa factor

demografis dan histories tertentu berkaitan dengan jenis kelamin, usia >

70 tahun, riwayat diabetes, riwayat angina dan riwayat IMA

sebelumnya. Adanya diabetes meningkatkan resiko sebesar 4 kali lipat.

Penilaian EKG yang menunjukan infark dinding anterior memiliki

mortalitas yang lebih disbanding penderita infark dinding inferior.

Begitu juga apabila didapatkan elevasi ST dibanyak sandapan. Penderita

23

Page 9: BAB II kasbes.doc

infark ventrikel kanan dan inferior atau apabila ada blok sandapan

tingkat tinggi (Mobitz tipe II, blok AV tingkat II atau III) atau apabila

ada gangguan konduksi interventrikuler atau ada downsloping segmen

ST yang menetap dan gelombang Q pada banyak segmen, atrial fibrilasi

memiliki prognosis yang buruk.

Penilaian saat di rumah sakit apabila ada iskemia rekuren

dan reinfark pada infark sebelumnya akan memperburuk prognosis.

Timbulnya angina pasca IMA akan memperburuk prognosis pula karena

terdapat jaringan miokard yang terancap mengalami infark.

Penilaian saat keluar dari rumah sakit, dilakukan upaya

untuk identifikasi risiko penderita terhadap kemungkinan terjadinya

reinfark dan kematian. Biasanya melibatkan kateterisasi jantung dan

arteriografi koroner dan bila ada indikasi dilakukanlah revaskularisasi

koroner. 3

H. VARIABEL PROGNOSTIK PASCA IMA

1. Riwayat Penyakit

- riwayat infark sebelumnya

- riwayat diabetes

- riwayat hipertensi

- riwayat merokok

Pemberian trombolitik yang tertunda 1 jam memperlihatkan

peningkatan 1,6 kematian per 1000 penderita.

2. Petanda Jantung

Penderita IMA dengan peningkatan total CKMB, TnT, atau

TnI secara konsisten menunjukkan peningkatan resiko

kejadian kardiak termasuk kematian.

TnT merupakan pertanda prognostic penting bagi

timbulnya kematian dan IMA khususnya pada satu tahun

pertama. Penderita IMA dengan peningkatan TnI

cenderung untuk jantuh pada gagal jantung, syok, kematian

24

Page 10: BAB II kasbes.doc

dan dalam jangka panjang TnI masih merupakan predictor

untuk mortalitas dan morbiditas.

3. C-reactive protein

Kenaikan konsentrasi CRP sebesar 1,142 ln mg/l

meningkatkan risiko koroner sebesar 50%. Hal ini oleh

karena CRP secara langsung berperan pada proses

patogenesis atherothrombosis, dimana CRP merupaka

stimulator kuaat terhadap produksi tissue factor oleh

makrofag. Tissue factor ini merupakan inisiator utama

proses koagulasi.

4. Remodel dan Dilatasi Ventrikel Kiri

Pasca infark, zona infark mengalami peregangan, zona non

infark mengalami hipertrofi volume overload dan dilatasi

ventrikel. Hal ini menyebabkan distorsi pola normal

sehingga ventrikel menjadi spheres dan dalam bentuk

anatomical yang seperti ini cenderung terjadi gagal jantung.

Fungsi ventrikel kiri juga merupakan factor prognosis yang

penting. Fungsi ventrikel dapat juga diukur dengan

echocardiografi, ventrikulografi radionuklir ataupun sine-

angiografi. Dengan menggunakan foto polos dada yang

dibuat pada 24 jam pertama, apabila tidak dijumpai tanda

kongestif atau pembesaran jantung pda foto polos dada

tersebut resikonya rendah.3

I.TERAPI PADA SINDROMA KORONER AKUT

Tirah baring di ICCU

Pasang infuse intravena dengan NaCl 0,9% atau

dekstrosa 5%

Oksigenasi dimulai 2 L/menit selama 2-3 jam dilanjutkan

bila saturasi oksigen arteri rendah (<90%)

Pasang monitor EKG secara kontinyu.

25

Page 11: BAB II kasbes.doc

Atasi nyeri dengan nitrat

sublingual/transdermal/ntrogliserin titrasi (kontraindikasi

bila tekanan sistolik <90 mmHg, bradikardia <50x/menit,

takikardia) atau morfin 2,5 mg (2-4mg) intravena, dapat

diulang setiap 5 menit sampai dosis total 20 mg atau

petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg

intravena.

Antitrombotik berupa aspirin (160-345 mg) bila ada

alergi atau intoleransi dapat diberikan tiklopidin atau

klopidogrel.

Trombolitik berupa streptokinase 1,5juta unit dalam 1

jam atau activator plasminogen jaringan (t-PA) bolus 15

mg dilanjutkan dengan 0,75 mg/kgBB (maksimal 50 mg)

dalam jam pertama dan 0,5 mg/kgBB (maksimal 35 mg)

dalam 60 menit jika elevasi segmen ST >0,1 mV pada

dua atau lebih sandapan ekstremitas atau > 0,2 mV pada

dua atau lebih sandapan prekordial berdampingan.

Antikoagulan digunakan heparin. Heparin

direkomendasikan untuk pasien yang menjalani

revaskularisasi perkutan atau bedah, pasien dengan

resiko tinggi terjadi emboli sistemik seperti infark

miokard anterior luas, fibrilasi atrial, riwayat emboli atau

diketahui ada thrombus ventrikel kiri yang tidak ada

kontraindikasi heparin. Heparin diberikan dengan target

aPTT 1,5-2 kali control. Pada angina pectoris tak satabil

5000 unit bolus intravena, dilanjutkan dengan drip 1000

unit/ jam heparin sampai angina terkontrol dengan

menyesuaikan aPTT 1,5-2 kali control. Pada AMI, yang

ST elevasi >12 jam diberikan heparin bolus intravena

5000 unit dilanjutkan dengan infuse selama rata-rata 5

hari dengan menyesuaikan aPTT 1,5-2 kali control.

26

Page 12: BAB II kasbes.doc

Atasi rasa takut atau cemas dengan diazepam 3 x 2,5mg

oral atau IV

Pelunak tinja laksadin 2 x 15 ml

Penyekat beta diberikan bila tidak ada kontraindikasi

Penghambat ACE diberikan terutama pada infark mokard

yang luas atau anterior, gagal jantng tanpa hipotensi,

riwayat infark sebelumnya

Antagonis calcium (verapamil) untuk NSTEMI atau

UAP bila nyeri tidak teratasi.

J. KOMPLIKASI

Fibrilasi Atrium

Fibrilasi ventrikel

Takikardia ventrikel

Bradiaritmia dan Blok

Gagal jantung akut, edema paru, syok kardiogenik

Perikarditis

Komplikasi mekanin seperti rupture m. papilaris, rupture

septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel.

HIPERTENSI

I. Pendahuluan

Rose mendefinisikan hipertensi sebagai suatu tingkat tekanan

darah dimana pemeriksaan dan terapi untuk menurunkannya akan berefek

lebih baik.4 Tingginya tekanan sistolik dan diastolik berhubungan dengan

risiko penyakit kardiovaskuler ( PKV) dan penyakit ginjal kronik ( PGK).

JNC 7 melaporkan bahwa :5

1. Pada usia lebih dari 50 tahun , tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg

lebih merupakan faktor risiko PKV dari pada tekanan diastolik.

2. Risiko PKV semakin meningkat pada tekanan diatas 115/75 mmHg,

dan meningkat dua kalinya dengan setiap peningkatan 20/10mmHg.

27

Page 13: BAB II kasbes.doc

3. Penderita dengan tekanan 120-139 dan tekanan diastolik 80-89 mmHg

dianggap sebagai prehipertensi dan harus mendapatkan modifikasi

gaya hidup untuk mencegah PKV.

4. Thiazid ( dengan Atau tanpa obat lain) seharusnya digunakan pada

setiap penderita hipertensi tanpa komplikasi .

5. Kebanyakan penderita hipertensi akan membutuhkan obat

antihipertensi lebih dari dua jenis.

6. Tekanan darah lebih dari 20/10 mmHg di atas target harus mendapat

tambahan terapi 2 jenis obat yang salah satunya adalah tiazid.

Pada makalah ini akan dibahas perkembangan terakhir pengelolaan

hipertensi.

II. Klasifikasi

JNC 7 melaporkan klasifikasi hipertensi yang berbeda dengan JNC

VI yaitu :

Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi Tekanan Sistolik mmHg Tekanan Diastolik mmHg

Normal < 120 < 80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi stage 1

Hipertensi stage 2

140-159

≥160

90-99

≥100

Adanya hubungan antara berbagai tingkat tekanan darah dan risiko

PKV menyebabkan berbagai macam klasifikasi hipertensi. WHO / ISH

tetap mempertahankan klasifikasi tahun 1999 ( tabel 2) dengan

menekankan bahwa level dimana disebut hipertensi tidaklah suatu titik

yang kaku. Level tersebut dapat lebih tinggi atau lebih rendah dari level

tersebut sesuai dengan risiko PKV dari masing-masing individu. Sebagai

contoh , tekanan normal tinggi dapat dianggap hipertensi pada penderita

dengan risiko tinggi dan sebaliknya dianggap normal pada penderita

dengan risiko rendah.

Tabel 2. Stratifikasi dan klasifikasi Hipertensi

Faktor risiko Normal Normal tinggi Grade 1 Grade 2 Grade 3

28

Page 14: BAB II kasbes.doc

dan riwayat

penyakit

Sistolik 120-

129

Diastolik 80-

84

Sistolik 130-139

Diastolik 85-89

Sistolik 140-159

Diastolik 100-

109

Sistolik 160-179

Diastolik 100-

109

Sistolik ≥180

Diastolik ≥ 110

Tanpa Faktor

risiko

Risiko rata-

rataRisiko rata-rata Risiko rendah Risiko sedang Risiko tinggi

Faktor risiko 1-2 Risiko rendah Risiko rendah Risiko sedang Risiko sedangRisiko sangat

tinggi

Faktor Risiko ≥3

atau TOD arau

diabetesRisiko sedang Risiko tinggi Risiko tinggi Risiko tinggi

Risiko sangat

tinggi

Penyakit

penyertaRisiko tinggi

Risiko sangat

tinggi

Risiko sangat

tinggi

Risiko sangat

tinggi

Risiko sangat

tinggi

NB : TOD: kerusakan target organ

Faktor Risiko Kardiovaskuler

- Tekanan sistolik dan diastolik

- Pria > 55 tahun

- Wanita > 65 tahun

- Merokok

- Dislipidemia

- Riwayat keluarga kejadian penyakit jantung prematur

- Obesitas sentral

- C reactive protein ≥ 1mg/dl

Komplikasi target Organ ( TOD)

- Hipertrofi ventrikel kiri

- Penebalan dinding arteri atau plag aterosklerosis

- Creatinin : pria > 1,3-1,5 mg/dl

Wanita > 1,2-1,4mg/dl

- Mikroalbuminuria : 30-300mg/24jam

Albumin creatinin ratio : pria ≥ 22, wanita ≥ 31mg/g

29

Page 15: BAB II kasbes.doc

Penyakit Penyerta

Penyakit serebrovaskular

Penyakit jantung : infark miokard

Angina

Revaskularisasi koroner

Gagal jantung kongestif

Penyakit ginjal : nefropati diabetik

Gagal ginjal

ProteinurIA

Penyakit Vaskular perifer

Retinopati lanjut : perdarahan, eksudat dan papiludema

III. Diagnosis

Langkah diagnosis diambil untuk mengetahui : 4

1. Tingkat tekanan darah yang tetap

2. Mengidentifikasi hipertensi sekunder.

3. Mengevaluasi faktor risiko lainnya, kerusakan target organ dan

penyakit penyerta.

Langkah- langkah pemeriksaan meliputi :

1. Pengukuran tekanan darah berulang.

Tekanan darah mengalami variasi yang besar baik dalam sehari

maupuin di antara hari yang berbeda sehingga pengukuran tekanan

darah harus dilakukan beberapakali pada keadaan yang berbeda. Jika

tekanan darah hanya meningkat ringan maka pengukuran diulang

selama beberapa bulan. Jika tekanan darah sangat meningkat dengan

kerusakan target organ dan risiko PKV maka tekanan darah diulang

dalam beberapa hari atau minggu. 4 JNC 7 menyebutkan bahwa

diagnosis hipertensi ditegakkan berdasarkan rata-rata dari 2 atau lebih

pengukuran posisi duduk pada setiap 2 atau lebih kunjungan.5

Pengukuran dapat dilakukan berdasarkan pemeriksaan sendiri di

rumah dan pemeriksaan ambulatory 24 jam dengan ambang hipertensi

yang berbeda.

30

Page 16: BAB II kasbes.doc

Tabel 3. Ambang tekanan darah pada berbagai pengukuran

Tekanan sistolik Tekanan Diastolik

Pengukuran di klinik

Pengukuran ambulatory 24

jam

Pengukuran di rumah

140 90

125 80

135 85

DIKUTIP DARI KEPUSTAKAAN 1 DAN 22. Riwayat penyakit 4, 5

Riwayat penyakit yang seharusnya dicari adalah :

- Lama dan level tekanan darah sebelumnya.

- Gejala yang mengarah pada hipertensi sekunder dan obat yang

dapat menyebabkan naiknya tekanan darah.

- Gaya hidup seperti diet lemak hewani, garam dan alkohol,

merokok, aktifitas fisik dan penambahan berat badan sejak awal

usia dewasa.

- Riwayat penyakit dahulu : penyakit jantung koroner, gagal jantung,

diabetes melitus, gout, dislipidemi, bronkospasme, atau penyakit

lainnya dan obat yang dipakai.

- Terapi antihipertensi sebelumnya.

- Riwayat pribadi, keluarga dan lingkungan.

3. Pemeriksaan fisik

Pengukuran tekanan darah juga dilakukan pada lengan

kontralateral. 5

Pemeriksaan fisik harus mencari adanya tanda kerusakan target organ,

faktor risiko ( obesitas sentral) dan kemungkinan penyebab hipertensi

sekunder yaitu :

Tanda hipertensi sekunder : 4, 5

- Tanda sindroma Cushing

- Stigmata kulit neurofibromatosis ( feokromositoma)

- Palpasi pembesaran Ginjal ( ginjal polikistik)

31

Page 17: BAB II kasbes.doc

- Murmur abdomen ( hipertensi renovaskular)

- Murmur precordial ( Koartasio aorta)

- Tekanan darah femoral yang berkurang dan denyut yang terlambat

dan mengurang ( koartasio aorta)

Tanda kerusakan organ : 4, 5

- Otak : murmur di arteri leher, defek motorik dan sensorik.

- Kelainan funduskopi.

- Jantung : tanda pembesaran jantung, irama jantung, gallop, ronki

basah, dan udem.

- Arteri perifer : pulsasi yang hilang, berkurang atau asimetri,

ekstremitas dingin dan lesi kulit iskemi.

4. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan rutin meliputi :

- Gula darah, Kolesterol total, HDL, TGA puasa, asam urat,

creatinin serum, Kalium serum, Hemoglobin dan hematokrit,

urinalisis, dan elektrokardiogram.

Pemeriksaan yang direkomendasikan :

Ekokardiografi, USG karotis, C-reactive Protein,

Mikroalbuminuria, proteinuria kwantitatif, funduskopi.

Pemeriksaan lebih lanjut :

- Hipertensi komplikasi: pemeriksaan fungsi otak, jantung dan

ginjal.

- Pemeriksaan hipertensi sekunder : pemeriksaan renin, aldosterone,

kortikosteroid, katekolamin, arteriografi, USG ginjal dan adrenal,

MRI otak.

IV. Terapi

Pedoman untuk memulai terapi anti hipertensi berdasarkan dua kriteria

yaitu :

1. Total risiko kardiovaskuler ( tabel 2)

32

Page 18: BAB II kasbes.doc

2. Level tekanan sistolik dan diastolik.

Rekomendasi terapi WHO/ISH tidak lagi terbatas pada hipertensi stage

1 dan 2 tetapi juga penderita dengan tekanan darah normal tinggi. Bukti-

bukti penelitian menunjukkan bahwa penderita dengan tekanan darah <

140/90 dengan riwayat stroke, TIA , jika tidak diterapi memiliki insiden

kejadian Kardiovaskular 17% dalam 4 tahun, dan risiko turun24%dengan

penurunan tekanan darah ( PROGRESS Study), demikian juga pada HOPE

study terhadap penderita normotensi dengan risiko koroner tinggi.

Pemberian terapi pada penderita dengan tekanan darah normal

tinggi terbatas pada penderita dengan risiko tinggi sedangkan penderita

dengan risiko sedang dan rendah hanya dilakukan pengawasan ketat dan

perubahan gaya hidup.

Gambar 1. Pengelolaan hipertensi

33

Mulai obat segeraKaji faktor risiko lain, TOD,diabetes, penyakit penyerta

Modifikasi gaya hidupKoreksi risiko lain atau

penyakit lain

ATDS 130-139 atau TDD 85-89

( TD normal tinggi )

BTDS 140-179 atau TDD 90-109

( Hipertensi stage 1 dan 2 )

CTDS>180 atau TDD>110

( Hipertensi stage 3 )

Kaji faktor risiko, TOD,diabetes,penyakit penyerta

Faktor risiko, TOD,diabetes, penyakit penyerta,

Modifikasi gaya hidupkoreksi risiko, penyakit penyerta

Modifikasi gaya hidupkoreksi risiko, penyakit penyerta

Page 19: BAB II kasbes.doc

Dikutip dari WHO/ISH 4

Modifikasi gaya hidup

Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan

efektifitas obat antihipertensi dan menurunkan risiko kardiovaskular. Sebagai

contoh, perencanaan diet natrium 1600 mg mempunyai efek yang sama dengan

pemberian terapi 1 macam obat.

Tabel 4. Modifikasi gaya hidup untuk mengatasi hipertensi

Modifikasi RekomendasiPerkiraan Penurunan

Tekanan darah sistolik

- Penurunan BB Pertahankan BMI 18,5-24,9 5-20 mmHg/ 10 kg

- Perencanaan pola makan Konsumsi kaya buah, sayur dan 8-14 mmHg

34

Tentukan faktor risiko absolut

Sangat tinggi Tinggi Sedang rendah

Mulai mulai Monitor Tidak ada Obat obat TD intervensi

Tentukan faktorrisiko absolut

Sangat tinggi Tinggi Sedang rendah

Mulai Mulai monitor TD monitor TDObat obat Faktor risiko lain Faktor risiko lain Minimal 3 bulan 3 – 12 bulan

TS >140 TS < 140 TD > 90 TD< 90 Tx Obat Monitor

TS ≥140-159 TS < 140TD ≥90-99 TD < 90 Pertimbangkan monitorTerapi obat

Page 20: BAB II kasbes.doc

rendah lemak

- Diet rendah Natrium Diet Natrium tidak lebih dari 2,4 g

Na atau 6 g NaCl

2-8 mmHg

- Aktivitas Fisik Aktifitas aerobik minimal 30 menit

sehari

4-9 mmHg

- Konsumsi alkohol sedang Konsumsi alkohol tidak lebih dari 2

gelas sehari.

2-4 mmHg

Dikutip dari JNC 7 5

Terapi Farmakologi

Bukti-bukti penelitian terbaru menunjukkan bahwa penurunan tekanan

darah dengan obat Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor, angiotensin

receptor blockers (ARBs), β blocker, calcium chanel blocker dan thiazhide akan

mengurangi semua komplikasi hipertensi.2

Thiazide , berdasarkan hasil beberapa penelitian , merupakan dasar dari

terapi hipertensi.Diuretik merupakan terapi hipertensi yang dapat mencegah

komplikasi kardiovaskuler yang tak tertandingi. Diuretik dapat meningkatkan

efektivitas antihipertensi dari berbagai jenis obat, dan bermanfaat dalam mencapai

target tekanan darah dan lebih baik dari golongan antihipertensi lain.

Thiazide seharusnya digunakan sebagai terapi awal bagi sebagian besar

pasien hipertensi, baik tunggal maupun kombinasi dengan obat lain.

Penderita dengan penyakit penyerta diberi terapi sesuai dengan indikasi .

Hipertrofi Ventrikel Kiri

Regresi ventrikel kiri dapat dicapai dengan menurunkan tekanan darah

dengan cara menurunkan barat badan, pembatasan natrium dan terapi dengan

semua obat hipertensi kecuali vasodilator langsung seperti hydralazine dan

minoxidil.

Penyakit Jantung Iskemi

PJI merupakan komplikasi hipertensi yang paling sering. Pada penderita

hipertensi dengan angina stabil, pilihan pertama terapi adalah β blocker dan

sebagai alternatif adalah calcium antagonis kerja panjang. Penderita dengan

angina tak stabil dan infark miokard akut , sebagai terapi pilihan pertama

35

Page 21: BAB II kasbes.doc

adalh ACE inhibitor dan β blocker dengan tambahan obat lain jika perlu.

Penderita dengan pasca infark miokard, pilihannya adalah ACE inhibitor, β

blocker dan antagonis aldosteron terbukti paling menguntungkan.5

Gagal Jantung

Penderita dengan disfungsi ventrikel asimptomatik terapi yang

direkomendasikan adalh ACE inhibitor dan β blocker. Penderita dangan

disfungsi ventrikel simptomatik dan penyakit jantung terminal

direkomendasikan dengan ACE inhibitor, β blocker, ARB dan aldosteron

antagonis bersama diuretik loop.5

Diabetes.

Pilihannya adalah thiazide, β blocker, ACE inhibitor, ARB dan calcium

antagonis untuk menurunkan risiko kardiovaskuler dan stroke. Untuk

menurunkan progresivitas nefropati diabetik dan albuminuria yang digunakan

adalah ARB dan ACE inhibitor . ARB terbukti menurunkan progresivitas

makroalbuminuria.5

Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai :

1. Fungsi ekskresi menurun dengan perkitraan GFR kurang dari

60mL/menit per 1,73m2

2. Adanya albuminuria > 300mg/hari atau 200mg albumin per gram

creatinin.

Target terapi bertujuan memperlambat perburukan fungsi ginjal dan

mencegah penyakit jantung dengan target TD < 130/80mmHg. Obat yang

tampaknya paling menguntungkan adalah ACE inhibitor dan ARB kecuali bila

ada hiperkalemia. Pada GFR < 30mL/menit per 1,73m2, diperlukan kombinasi

dengan diuretik Loop.5

Penyakit cerebrovaskular

36

Page 22: BAB II kasbes.doc

Risiko dan keuntungan mendadak tekanan darah pada stroke akut masih

belum jelas. Penurunan tekanan darah sementara sampai 160/100mmHg

dinilai cukup sampai kondisi stabil. Frekwensi Stroke berulang diturunkan

dengan kombinasi ACE inhibitor dan Thiazide.5

Penyakit Arteri Perifer (PAP)

Risiko PAP setara dengan risiko PJI. Setiap jenis obat dapat digunakan

untuk PAP.Faktor risiko lain harus dikoreksi dan diberi aspirin.5

Hipertensi pada Lanjut Usia

Dua pertiga penderita lanjut usia (>65 tahun) menderita hipertensi.Terapi

pada lanjut usia prinsipnya sama dengan terapi hipertensi golongan usia muda

tetapi dengan dosis awal yang lebih rendah.5 Dalam beberapa penelitian

menunjukkan bahwa yang menjadi lini pertama pada terapi hipertensi sistolik

terisolasi adalah diuretik dan Calcium antagonis dihydropyridine.4

Hipertensi pada wanita Hamil

Pilihan antihipertensi pada wanita hamil adalh methyldopa, β blocker dan

vasodilator. 5

Target Terapi

Target penurunan tekanan darah adalah kurang 140/90mmHg yang

dapat menurunkan komplikasi penyakit jantung.

Pada penderita hipertensi dengan diabetes dan penyakit ginjal maka

targetnya adalh kurang dari 130/80mmHg. Pada lanjut usia penurunan

tekanan sistolik di bawah 140 mmHg sulit dicapai. 1,2 Bila proteinuria <1g/hari

maka target tekanan darah adalah 130/85mmHg dan bila > 1g/hari maka

targetnya adalah 125/75mmHg.

Strategi Terapi

Pada kebanyakan pasien, terapi dimulai bertahap, dan target tekanan

darah dicapai dalambeberapa minggu.Untuk mencapai target tekanan darah,

tidak jarang diperlukan kombinasi dengan beberapa obat.Pada Hipertensi

Stage 1, terpi dimulai dengan monoterapi. Penelitian ALLHAT, yang

37

Page 23: BAB II kasbes.doc

merekrut stage 1 dan 2 menunjukkan bahwa 60% penderita tetap

menggunakan monoterapi.Penelitian HOT pada Hipertensi stage 2 dan 3

menunjukkan hanya 25-40% penderita yang tetap monoterapi.

Pada penderita diabetes, kebanyakan penderita memerlukan sekurang-

kurangnya 2 obat.

Berdasarkan tingkat tekanan darah awal dan ada atau tidaknya

komplikasi, tampaknya baik monoterapi maupun kombinasi cukup beralasan.

Keuntungan menggunakan monoterapi adalah bila penderita ternyata

tidak toleran dengan obat pertama maka dapat segera diketahui dan diganti

obat lain. Sedangkan keuntungan terapi kombinasi adalah lebih besar

kemungkinan mengontrol tekanan darah dan komplikasi, masing-masing obat

dapat diberi dengan dosis kecil sehingga efek samping minimal.5

Kombinasi obat yang direkomendasikan adalah : 5

- Diuretik dan β blocker

- Diuretik dan ACE inhibitor atau angiotensin receptor antagonist

- Calcium antagonist dan diuretik

- Calcium antagonist dan B Blocker

- Calcium antagonis dan ACE inhibitor atau angiotensin receptor

antagonis

- α blocker dan β blocker

- Kombinasi lain : obat efek sentral demham ACE inhibitor dan

angiotensin receptor antagonist

2.3 DISLIPIDEMIA1

Dislipiddemia merupakan kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh

kelainan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah

kenaikan kolesterol total, kenaikan kadar trigliserid serta penurunan kadar

kolesterol HDL. Dalam proses terjadinya aterosklerosis ketiganya mempunyai

peran penting yang berkaitan sehingga dikenal sebagai triad lidpid. Secara

38

Page 24: BAB II kasbes.doc

klinis dislipidemia dibagi menjadi 3 yaitu, hiperkolesterolemia,

hipertrigileridemia, dan campuran hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia.

Klasifikasi kadar kolesterol adalah sebagai berikut:

Kolesterol LDL

<100 mg/dl Optimal

100-129 mg/dl Hampir optimal

130-159 mg/dl Borderline

160-189 mg/dl tinggi

>190 mg/dl Sangat tinggi

Kolesterol total

<200 mg/dl Idaman

200-239 mg/dl borderline

≥240 tinggi

Kolesterol HDL<40 mg/dl rendah

≥ 60 mg/dl tinggi

Untuk mengevaluasi penyakit jantung koroner (PJK) perlu diperhatikan

faktor – faktor resiko lainnya:

Merokok

Umur (pria ≥45 tahun, wanita ≥ 55 tahun)

Kolesterol HDL rendah

Hipertensi (TD sistolik ≥140/90 atau dalam terapi antihipertensi)

Riwayat penyakit jantung koroner dini (fisrt degree: pria <

55tahun, wanita < 65 tahun)

ATP III menggunakan Framingham Risk Score (FRS) untuk

menghitung besarnya risiko penyakit jantung koroner pada pasien dengan

39

Page 25: BAB II kasbes.doc

≥ 2 faktor risiko meliputi: umur, kadar kolesterol total, kolesterol HDL,

kebiasaan merokok dan hipertensi. Penjumlahan skor pada FRS akan

menghasilkan angka presentase risiko PJK dalam 10 tahun. Ekivalen risiko

PJK mengandung risiko kejadian koroner mayor yang sebanding dengan

kejadian PJK yakni dalam 10 tahun sebesar 20%, terdiri dari:

Bentuk klinis lain dari aterosklerosis: penyakit arteri perifer,

aneurisma aorta abdominalis, penyakit arteri karotis yang

simptomatis.

Diabetes Mellitus

Faktor risiko multipel yang menpunyai faktor risiko PJK dalam

10 tahun > 20%

Peningkatan kadar trigliserida juga merupakan faktor risiko

independen untuk terjadinya PJK. Faktor yang mempengaruhi tingginya

trigliserida:

Obesitas, berat badan lebih

Inaktivitas fisik

Merokok

Asupan alkohol berlebih

Diet tinggi karbohidrat (> 60% asupan energi)

Penyakit DM tipe 2, gagal ginjal kronik, sindroma nefrotik

Obat: kortikosteroid, estrogen, retinoid, penghambat beta

adrenergik dosis tinggi

Kelainan genetik / riwayat keluarga

Klasifikasi derajat hipertrigliseridemia

40

Page 26: BAB II kasbes.doc

Normal : <150 mg/dl

Borderline : 150-199 mg/dl

Tinggi : 200-499 mg/dl

Sangat tinggi : ≥ 500 mg/dl

Terapi dislipidemia berupa:

Non farmakologis

o Diet, dengan komposisi:

Lemak jenuh < 7% kalori total

PUFA hingga 10% kalori total

MUFA hingga 10% kalori total

Lemak total 25-35% kalori total

Karbohidrat 50-60% kalori total

Protein hingga 15% kalori total

Serat 20-30 gr/hari

Kolesterol <200 mg/hari

o Latihan jasmani

o Penurunan BB bagi yang gemuk

o Menghentikan kebiasaan merokok dan minum alkohol.

Terapi farmakologis

o Pasien dengan hiperkolesterolemia

Golongan statin ( HMG-CoA reductase inhibitor)

Simvastatin 5-40 mg

Lovastatin 10-80 mg

Pravastatin 10-40 mg

41

Page 27: BAB II kasbes.doc

Fluvastatin 20-80 mg

Atorvastatin 10-80 mg

Golongan bile acid sequestrant

Kolestiramin 4-16 mg

Golongan nicotinic acid

Nicotinic acid (immediate release) 2x100

mg sampai dengan 1,5-3 gr

o Pasien dengan hipertrigliseridemia

Obat penurun kadar kolestero LDL atau

Ditambahkan obat fibrat atau nicotinic acid,

golongan fibrat terdiri dari:

Gemfibrozil 2 x 600 mg atau 1 x 900 mg

Fenofibrat 1 x 200 mg

Terapi hiperkolesterolemia untuk pencegahan primer dimulai

dengan statin atau bile acid sequesterant, atau nicotinic acid.

Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila terget

LDL sudah tercapai pemantau an dilakukan setiap 4-6 bulan. Bila

setelah 6 minggu terapi, target belum tercapai: intensifkan/ naikkan

dosis statin atau kombinasi dengan yang lain. Bila setelah 6

minggu berikutnya terapi non farmakologis tidak berhasil

menurunkan kadar kolesterol, maka terapi farmakologis

diintensifkan. Pasien dengan PJK, kejadian koroner mayor atau

dirawat untuk prosedur koroner diberiterapi obat saat pulang dari

RS jika kolesterol LDL > 100 mg/dl.

42

Page 28: BAB II kasbes.doc

Tabel Target Kolesterol LDL:

Kategori Risiko Target

LDL

Kadar LDL untuk

mulai perubahan

gaya hidup

Kadar LDL untuk

mulai terapi

farmakologis

PJK atau

ekuivalen PJK

(FRS > 20%)

<100 ≥100 (100-

129);optional

130

Faktor risiko ≥ 2 <130 ≥130 ≥130 (FRS 10-20%)

160-189; optional

Faktor risiko 0-1 <160 ≥160 ≥190 (160-

189;optional)

2.4. HUBUNGAN ANTARA DISLIPIDEMIA, DM, DAN SINDROMA

KORONER AKUT11

Diabetes mellitus dan sindrom metabolik memiliki kelainan dasar yang

sama yaitu adanya resistensi insulin. Pada mereka ini, metabolisme lipoprotein

sedikit berbeda dengan mereka yang bukan resistensi insulin. Dalam keadaan

normal tubuh menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Pada keadaan

resistensi insulin, hormone sensitive lipase di jaringan adiposa akan menjadi aktif

43

Page 29: BAB II kasbes.doc

sehingga lipolisis trigliserid di jaringan adiposa semakin meningkat. Keadaan ini

akan menghasilkan asam lemak bebas yang berlebihan. Asam lemak bebas akan

memasuki aliran darah, sebagian akan digunakan sebagai sumber energi dan

sebagian akan di bawa ke hati sebagai bahan baku pembentukan trigliserid. Di hati

asam lemak bebas akan menjadi trigliserid kembali dan menjadi bagian dari

VLDL. Oleh karena itu, VLDL yang dihasilkan pada keadaan resrtensi insulin

akan sangat kaya akan trigliserid diebut enriched trigliserid VLDL.

Dalam sirkulasi trigliserid yang banyak di VLDL akan bertukar dengan

kolesterol ester dari kolesterol LDL yang akan menghasilkan LDL yang kaya akan

trigliserid tetapi kurang kolesterol ester. Trigliserid yang dikandung oleh LDL

akan dihirolisis oleh enzim hepatic lipase (yang biasanya meningkat pada

resitensi insulin) sehingga menghasilkan LDL yang kecil tetapi padat atau small

dense LDL yang sifatnya mudah teroksidasi dan sangat aterogenik. Trigliserid

VLDL yang besar juga dipertukarkan dengan kolesterol ester dari HDL dan

menghasilkan HDL miskin kolesterol ester tapi kaya trigliserid. Kolesterol HDL

yang demikian lebih mudah dikatabolisme oleh ginjal sehingga jumlah HDL

serum menurun.

LDL yang meningkat akan mempercepat evolusi dari plak yang stabil menjadi

tidak stabil melalui lima tahap, yaitu aktivasi endotel, kemudian LDL masuk ke

dalam sel dan teroksidasi, kemudian memacu produksi sitokin dan protease

sehingga menyebabkan rupturnya plak. Plak yang ruptur merupakan salah satu

faktor penyebab timbulnya sindroma koroner akut.

44

Page 30: BAB II kasbes.doc

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter

Spesialis Penyakit Dalam Indonesis. Panduan Pelayanan Medik. 2008. Pusat

Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta

2. Fuster V, Badimon L,

Badimon JJ, Cheresbro JH. The Pathogenesis of Coronary Artery Disease and

Acute Coronary Syndrome. New England Journal Medicine 1992;326:242-250

45

Page 31: BAB II kasbes.doc

3. Diagnosis dan Tata Laksana

Hipertensi, Sindrom Koroner Akut dan Gagal Jantung. 2001. Balai Penerbit RS

Jantung Harapan Kita:Jakarta

4. Schamroth L. Myocardial

Death, Injury, and Ischemia. In: Schamroth L (ed) An introdustion to

electrocardiography. 3th edition. Oxford: Blackwell Scientific Publications.

1996: 11-48

5. Schaub FA. The ECG in

Cardiac Infarction. In: Schaub FA (ed) Fundamentalas of Clinical Symposia,

The Electrocardiography. Basle : ciba-geigy limited; 1996: 45-58

6. Robert R, Morris D, Pratt

Cm, Alexander RW. Pathophysiology, Recognition and Treatment of Acute

Myocardial Infarction and Its Complication. In : Schlan RC, Alexander RW,

O’Rouke RA, Sonnenblick EH (eds). Hrts’s The Heart Arteries and Veins 8th

edition. International Edition. New York: Mc Graw Hill Inc; 1994:1107-84

7. Klootwijk P. Hammc. Acute

Coronary Syndrome: diagnosis. Supplement to the Lancet, June 1999; 10-15

8. Brezinki DA.

Supraventrikular Arrythmias and Heart Block, in Acute Myocardial Infarction.

Acute Coronary Care 2nd edition. Mosby, 1995: 617-623

9. Mattew V, Farkouh M,Grill

DE, Urban LH, Cusma JT, Reeder GS, et al. Clinical Risk Stratification

Correlates With The Angiographyc Extent of Coronary Artery Disease in

46

Page 32: BAB II kasbes.doc

Unstable Angina. Journal of the America College of Cardiology. 2001; 37;

2053-58

10. Antman EM, Cohen M,

Bernink PJLM, et al. The TIMI Risk Score For Unstable Angina/non-ST

elevation MI: A Method for Prognostcation dan Therapeutic Decision

Making.JAMA.2000; 284 (7): 835-842

11. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Edisi V. 2009. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

12. Diabetes mellitus. Dalam:

Isselbacher, Braunwald, Wilson, et al, Asdie AH (Editor). Harrison, prinsip-

prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi 13. Jakarta: EGC, 2000: 2196 – 217.

13. Darmono. Seri kuliah

endokrinologi-metabolik. Semarang: Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam FK

UNDIP, 1991. Foster DW.

14. Handoko T, Suharto B.

Insulin, glukagon, dan antidiabetik oral. Dalam: Farmakologi dan terapi. Edisi 4.

Jakarta: Gaya Baru, 1994: 467-81.

15. Diabetes mellitus. Dalam :

Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC,1995:1115 – 1119.

16. Mansjoer A, Triyanti K,

Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W, editor. Kapita selekta kedokteran. Edisi

3. Jakarta: Media Aesculapius, 2001: 580-88.

47

Page 33: BAB II kasbes.doc

17. Rachmawati B. Diabetes

mellitus. Dalam: Diktat pegangan kuliah Patologi Klinik II. Semarang: Bagian

Patologi Klinik FK UNDIP, 1999.

18. Kaufman KD, Karam JH.

Diabetes mellitus. Dalam: Skach W, Daley CL, Forsmark CE; Secilia I, alih

bahasa; Ronardy DH, editor. Penuntun terapi medis. Edisi 18. Jakarta: EGC,

1996: 440-63.

19. Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.

Informatorium obat nasional Indonesia 2000. Jakarta: CV. Sagung Seto, 2000:

263-66.

20. Djokomoeljanto R. DM :

faktor resiko keberhasilan pengobatan. Disampaikan pada forum pertemuan

Fak. Psikologi Unika. 2 November 1998.

21. Waspadji S. Diabetes

mellitus. Dalam : Noer SM (editor). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Jilid 1.

Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996 : 586-664

48