bab ii kasbes.doc
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. SINDROMA KORONER AKUT (SKA)
A. DEFINISI
Sindroma koroner akut suatu keadaan gawat darurat jantung
dengan manifestasi klinis berupa perasaan tidak enak di dada atau gejala-
gejala lain sebagai akibat iskemia miokard. Sindrom koroner akut
mencakup :
a. Infark Miokard Akut dengan elevasi segmen ST (STEMI)
b. Infark Miokard Akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI)
c. Angina Pektoris tak stabil (Unstable Angina) 1
B. PATOFOSIOLOGI
Dasar patofosiologi dari sindrom koroner akut adalah erosi,
keretakan, atau rupture plak aterosklerosis yang telah ada sebelumnya.2
Ruptur plak ditemukan pada 56%-95% SKA, Forrester yang
memeriksa dengan angioskopi intraoperatif mendapatkan 95% SKA
ditemukan rupture plak. Pecahnya atau robeknya plak bermula dari proses
aterogenesis yang kemudian mengalami komplikasi. Tidak semua plak
yang terjadi pada ateogenesis jadi plak yang tidak stabil, hal tersebut
bergantung dari terbentuknya kap dan lipid core yang ada dan
berhubungan dengan tampilan klinis yang ditemukan. Evolusi dari plak
yang stabil menjadi tidak stabil melalui tahapan yaitu: aktivasi endotel,
kemudian LDL masuk ke dalam sel dan teroksidasi, kemudian memacu
produksi sitokindan protease, sehingga mengakibatkan rupture plak.
Aktifasi endotel dipacu oleh: factor risiko tradisonal, homosistein, factor
imunologik. Masuknya LDL ke dalam sel dipacu oleh transport protein,
HDL, APO A1, sedangkan yang lainnya dipacu oleh makrofag, mast cell,
T-lympocyte, protease, dan apoptosis.
Faktor yang mempengaruhi instabilitas dan rupture plak adalah:
16
a. Faktor eksternal :
- sistemik : lingkungan internal / factor farmakologik
- factor intrinsic dari plak: besarnya plak, lokasi plak,
kepadatan lipid dan ketebalan kap yang menyelimuti
plak.
b. Faktor internal:
- aktifasi sel inflamasi
- infeksi
- disfungsi endotel
- proliferasi sel otot polos
Lima puluh persen SKA dicetuskan oleh latihan fisik yang berat,
stress emosional, hawa dingin, waktu pagi hari, awal minggu (hari
senin), infeksi, peningkatan aktivitas saraf simpatis sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan darah tiba-tiba, peningkatan aliran
darah koroner, peningkatan kontraktilitas otot jantung sehingga
kebutuhan dan suplai oksigen tidak seimbang.
Lebih dari 75% thrombus yang ditemukan pada pasien SKA
terletak di tempat dimana plak mengalami rupture. Bila plak yang tidak
stabil mendapat pencetus maka kap yang tipis tersebut akan koyak dan
kemudian terjadi pembentukan thrombus yang dimulai dari fisura atau
robekan kap tadi hingga menjadi red clot.
Faktor yang mempengaruhi respon trombogenesis di tempat kap
yang terkoyak tadi adalah :
1. susbtrat trombogenik yang memang selalu berada di tempat
tersebut
2. iregularitas permukaan plak dan sempitnya stenosis; semakin
tajam lengkungan kap stenosis semakin mudah terjadi proses
trombogenesis
3. keseimbangan trombotik trombolitik yang etrganggu misalnya
hiperagregabilitas, hiperkoagulabilitas dan menurunnya
fibrinolisis.3
17
C. DIAGNOSIS SKA
Diagnosis SKA ditegakkan secara tradisional ditegakkan
berdasarkan symptom klinik, tampilan EKG dan nilai petanda biokimia.
a. symptom klinik
Nyeri dada tipikal (angina) berupa nyeri dada substernal,
retrosternal, dan prekordial. Nyeri seperti ditekan, ditindih benda berat,
rasa terbakar, seperti ditusuk, rasa diperas dan dipelintir. Nyeri menjalar
ke lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula dan dapat juga ke
lengan kanan. Nyeri dapat membaik atau hilang atau tidak membaik
dengan istirahat, obat, atau nitrat. Dapat diserai dengan gejala lain seperti
mual, muntah, keringat dingin, dan lemas.1 Apabila keluhan terjadi
dengan durasi lebih dari 20 menit secara klinik dimanifertasikan
sebagai angina pectoris tidak stabil. Bila serangan menetap hingga lebih
dari 1 jam kemungkinan disebabkan karena infark miokard akut.
b. tampilan EKG
Pada infark miokard akut yang berkembang penuh, daerah
infakr terdiri atas area nekrotik yang dikelilingi oleh cidera (injury) dan
kemudian area iskemik.4 Daerah nekrotik akan memberikan gambaran
gelombang Q abnormal.4 Area mikardium yang mengalami cidera akan
menghasilkan elevasi segmen ST. Tepat pada saat proses infark dimulai,
gelombang T pada sadapan diatas daerah yang terkena menjadi sangat
tinggi (T hiperakut) sebagai akibat dari iskemi sudendokardium.5
Tampilan ini kemudian diikuti oleh elevasi segmen ST (fase akut) yang
kemudian menenggelamkan gelombang T. Gelombang T hiperakut
memiliki kemaknaan yang setara dengan elevasi segmen ST. Selang
beberapa jam hingga hari (fase evolusi), segmen ST mulai kembali ke
garis isoelektrik bersamaan dengan perubahan gelombang T dari positif
menjadi negative, simetris, dan dalam sebagai akibat dari iskemi
transmural.5
a. Angina pectoris tidak stabil: depresi segmen ST dengan
atau tanpa inversi gelombang T, kadang-kadang elevasi
18
segmen ST sewaktu ada nyeri, tidak dijumpai
gelombang Q.
b. NSTEMI : depresi segmen ST, inverse gelombang T
dalam
c. STEMI : hiperakut T, elevasi segmen ST, gelombang Q
inverse.1 elevasi segmen ST >2 mm pada 2 atau lebih
sandapan prekordial yang berdampingan atau elevasi
segemen ST > 1 mm pada 2 sandapan ekstremitas.11
c. Petanda biokimia
Petanda biokimia yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis SKA adalah CKMB, LDH, Troponin dan
mioglobin.
CKMB
CKMB telah digunakan secara rutin dan
digolongkan sebagai petanda yang spesifik dan
sensitive serta hemat biaya. Dalam myocardium
terdapat 55% CKMB. Batas nilai normal CKMB adalah
10-13 IU/L. Nilai CKMB dalam plasma akan naik
secara bermakna dalam waktu 6-10 jam, mencapai
puncak dalam waktu antara 14-46 jam dan kembali ke
nilai normal dalam 42-72 jam setelah serangan
jantung.6
Pada umumnya apabila kadar CKMB > 2 kali nilai
normal, pasien diputuskan sebagai penderita infark
miokard akut. Apabila CKMB normal atau sedikit naik,
diputuskan sebagai unstable angina. Kadar CKMB
dapat terjadi peningkatan positif palsu akibat trauma
otot skelet
LDH
LDH dan isoenzim lainnya terutama digunakan
untuk pasien yang datang terlambat (antara 48-72 jam
19
setelah nyeri dada). Aktifitas LDH akan mencapai
puncak antara 48-72 jam dan bertahan hingga 10-14
hari setelah serangan jantung.
Troponin
Troponin T dan I merupakan petanda yang spesifik
dan sensitive untuk menilai kerusakan miosit sehingga
digunakan sebagai petanda baku emas dalam diagnosis,
stratifikasi resiko dan pengobatan SKA.7 Peningkatan
troponin pada pasien AMI setelah 3-4 jam dan akan
bertahan hingga 3 minggu.
Mioglobin
Kadar mioglobin meningkat lebih awal daripada
CKMB, tetapi kegunaannya pada pasien AOTS
memiliki keterbatasan.7
Gambar Keberadaan Biomarker Jantung untuk Diagnosis AMI
20
D. STRATIFIKASI DIAGNOSIS SINDROM KORONER AKUT
observasi nyeri dada kategori
ECG dengan elevasi segmen ST ya ------------- infark miokard
|
tidak |
|
|
Peningkatan Troponin T/I ya ------ infark atau UAP
|
Tidak |
|
|
ST depresi atau iskemia selama monitoring ya ----- UAP
|
Tidak |
|
|
Peningkatan Troponin T/I yang diulang (4-6 jam) ---- infark atau UAP
|
Tidak |
|
|
Dipertimbangkan untuk rawat jalan
21
E. STRATIFIKASI STATUS HEMODINAMIK
Klasifikasi status hemodinamik menggunakan pembagian
menurut Killip.
KELAS KLINIK DAPATAN KLINIK
I Tak ada tanda gagal jantung
II Gagal jantung ringan / moderat, ronki terdengar < 50% dari
lapangan paru
III Edema paru, ronki terdengar hingga >50% lapangan paru
IV Syok kardiogenik (TD sistolik <90 mmHg, denyut jantung
meningkat, akral dingin, produksi urin 1 cc/kgBB/jam)
F. STRATIFIKASI KELISTRIKAN JANTUNG
Stratifikasi kelistrikan jantung menyangkut gangguan
hantaran, dan gangguan irama supraventrikuler maupun ventrikuler.
Stratifikasi perlu dilakukan agar kita dapat mengetahui apakah hal
tersebut sudah terjadi sejak semula ataukah akibat pengobatan yang
diberikan (antara lain akibat reperfusi miokardium).8
G. STRATIFIKASI RESIKO
Stratifikasi risiko ditujukan untuk memprediksi kejadian
yang mungkin dijumpai. Stratifikasi risiko menurut the Agency for
Health Care Policy ad Research/ AHCPR dan data dari the Trombolysis
in Myocardial Infarction/ TIMI trial (TIMI risk score). Dalam
menggunakan TIMI risk score yang perlu diingat adalah variable yang
digunakan untuk pasien UAP dan NSTEMI berbeda dengan variable
predictor resiko STEMI.9,10
Tabel TIMI Risk Score for UAP dan NSTEMI (0-7)
Umur ≥65 tahun 1
≥3 faktor risiko PJK (riwayat keluarga, hipertensi, DM,
dislipidemia, perokok aktif)
1
Angiografi stenosis (>50%) 1
22
Konsumsi aspirin dalam 7 hari terakhir 1
Angina dalam <24 jam terakhir 1
Peningkatan biomarker jantung 1
Deviasi segmen ST (depresi segmen ST atau elevasi
transien segmen ST)
1
Tabel TIMI Risk Score for STEMI (0-14)
Umur >75
Umur 65-75
3
2
DM, Hipertensi, atau angina 1
Tekanan darah sistolik <100 mmHg 3
HR >100 kali/menit 2
Killip II-IV 2
BB < 67 kg 1
Anterior ST elevasi atau LBBB 1
Waktu mendapatkan terapi > 4 jam 1
Pasca infark miokard akut penderita dapat saja mengalami
gagal jantung, rupture jantung, re-infark, iskemi rekuren, aritmia atau
bahkan mati mendadak. Stratifikasi risiko berkaitan dengan tiga kategori
utama komplikasi IMA, yaitu aritmia, disfungsi ventrikel kiri dan
iskemia. Timbulnya aritmia atau gagal jantung atau iskemia rekuren
kapanpun dapat meningkatkan resiko. Stratifikasi resiko harus dilakukan
saat pertama kali masuk rumah sakit, saat perawatan di rumah sakit dan
saat keluar rumah sakit.
Penilaian saat masuk rumah sakit menilai beberapa factor
demografis dan histories tertentu berkaitan dengan jenis kelamin, usia >
70 tahun, riwayat diabetes, riwayat angina dan riwayat IMA
sebelumnya. Adanya diabetes meningkatkan resiko sebesar 4 kali lipat.
Penilaian EKG yang menunjukan infark dinding anterior memiliki
mortalitas yang lebih disbanding penderita infark dinding inferior.
Begitu juga apabila didapatkan elevasi ST dibanyak sandapan. Penderita
23
infark ventrikel kanan dan inferior atau apabila ada blok sandapan
tingkat tinggi (Mobitz tipe II, blok AV tingkat II atau III) atau apabila
ada gangguan konduksi interventrikuler atau ada downsloping segmen
ST yang menetap dan gelombang Q pada banyak segmen, atrial fibrilasi
memiliki prognosis yang buruk.
Penilaian saat di rumah sakit apabila ada iskemia rekuren
dan reinfark pada infark sebelumnya akan memperburuk prognosis.
Timbulnya angina pasca IMA akan memperburuk prognosis pula karena
terdapat jaringan miokard yang terancap mengalami infark.
Penilaian saat keluar dari rumah sakit, dilakukan upaya
untuk identifikasi risiko penderita terhadap kemungkinan terjadinya
reinfark dan kematian. Biasanya melibatkan kateterisasi jantung dan
arteriografi koroner dan bila ada indikasi dilakukanlah revaskularisasi
koroner. 3
H. VARIABEL PROGNOSTIK PASCA IMA
1. Riwayat Penyakit
- riwayat infark sebelumnya
- riwayat diabetes
- riwayat hipertensi
- riwayat merokok
Pemberian trombolitik yang tertunda 1 jam memperlihatkan
peningkatan 1,6 kematian per 1000 penderita.
2. Petanda Jantung
Penderita IMA dengan peningkatan total CKMB, TnT, atau
TnI secara konsisten menunjukkan peningkatan resiko
kejadian kardiak termasuk kematian.
TnT merupakan pertanda prognostic penting bagi
timbulnya kematian dan IMA khususnya pada satu tahun
pertama. Penderita IMA dengan peningkatan TnI
cenderung untuk jantuh pada gagal jantung, syok, kematian
24
dan dalam jangka panjang TnI masih merupakan predictor
untuk mortalitas dan morbiditas.
3. C-reactive protein
Kenaikan konsentrasi CRP sebesar 1,142 ln mg/l
meningkatkan risiko koroner sebesar 50%. Hal ini oleh
karena CRP secara langsung berperan pada proses
patogenesis atherothrombosis, dimana CRP merupaka
stimulator kuaat terhadap produksi tissue factor oleh
makrofag. Tissue factor ini merupakan inisiator utama
proses koagulasi.
4. Remodel dan Dilatasi Ventrikel Kiri
Pasca infark, zona infark mengalami peregangan, zona non
infark mengalami hipertrofi volume overload dan dilatasi
ventrikel. Hal ini menyebabkan distorsi pola normal
sehingga ventrikel menjadi spheres dan dalam bentuk
anatomical yang seperti ini cenderung terjadi gagal jantung.
Fungsi ventrikel kiri juga merupakan factor prognosis yang
penting. Fungsi ventrikel dapat juga diukur dengan
echocardiografi, ventrikulografi radionuklir ataupun sine-
angiografi. Dengan menggunakan foto polos dada yang
dibuat pada 24 jam pertama, apabila tidak dijumpai tanda
kongestif atau pembesaran jantung pda foto polos dada
tersebut resikonya rendah.3
I.TERAPI PADA SINDROMA KORONER AKUT
Tirah baring di ICCU
Pasang infuse intravena dengan NaCl 0,9% atau
dekstrosa 5%
Oksigenasi dimulai 2 L/menit selama 2-3 jam dilanjutkan
bila saturasi oksigen arteri rendah (<90%)
Pasang monitor EKG secara kontinyu.
25
Atasi nyeri dengan nitrat
sublingual/transdermal/ntrogliserin titrasi (kontraindikasi
bila tekanan sistolik <90 mmHg, bradikardia <50x/menit,
takikardia) atau morfin 2,5 mg (2-4mg) intravena, dapat
diulang setiap 5 menit sampai dosis total 20 mg atau
petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg
intravena.
Antitrombotik berupa aspirin (160-345 mg) bila ada
alergi atau intoleransi dapat diberikan tiklopidin atau
klopidogrel.
Trombolitik berupa streptokinase 1,5juta unit dalam 1
jam atau activator plasminogen jaringan (t-PA) bolus 15
mg dilanjutkan dengan 0,75 mg/kgBB (maksimal 50 mg)
dalam jam pertama dan 0,5 mg/kgBB (maksimal 35 mg)
dalam 60 menit jika elevasi segmen ST >0,1 mV pada
dua atau lebih sandapan ekstremitas atau > 0,2 mV pada
dua atau lebih sandapan prekordial berdampingan.
Antikoagulan digunakan heparin. Heparin
direkomendasikan untuk pasien yang menjalani
revaskularisasi perkutan atau bedah, pasien dengan
resiko tinggi terjadi emboli sistemik seperti infark
miokard anterior luas, fibrilasi atrial, riwayat emboli atau
diketahui ada thrombus ventrikel kiri yang tidak ada
kontraindikasi heparin. Heparin diberikan dengan target
aPTT 1,5-2 kali control. Pada angina pectoris tak satabil
5000 unit bolus intravena, dilanjutkan dengan drip 1000
unit/ jam heparin sampai angina terkontrol dengan
menyesuaikan aPTT 1,5-2 kali control. Pada AMI, yang
ST elevasi >12 jam diberikan heparin bolus intravena
5000 unit dilanjutkan dengan infuse selama rata-rata 5
hari dengan menyesuaikan aPTT 1,5-2 kali control.
26
Atasi rasa takut atau cemas dengan diazepam 3 x 2,5mg
oral atau IV
Pelunak tinja laksadin 2 x 15 ml
Penyekat beta diberikan bila tidak ada kontraindikasi
Penghambat ACE diberikan terutama pada infark mokard
yang luas atau anterior, gagal jantng tanpa hipotensi,
riwayat infark sebelumnya
Antagonis calcium (verapamil) untuk NSTEMI atau
UAP bila nyeri tidak teratasi.
J. KOMPLIKASI
Fibrilasi Atrium
Fibrilasi ventrikel
Takikardia ventrikel
Bradiaritmia dan Blok
Gagal jantung akut, edema paru, syok kardiogenik
Perikarditis
Komplikasi mekanin seperti rupture m. papilaris, rupture
septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel.
HIPERTENSI
I. Pendahuluan
Rose mendefinisikan hipertensi sebagai suatu tingkat tekanan
darah dimana pemeriksaan dan terapi untuk menurunkannya akan berefek
lebih baik.4 Tingginya tekanan sistolik dan diastolik berhubungan dengan
risiko penyakit kardiovaskuler ( PKV) dan penyakit ginjal kronik ( PGK).
JNC 7 melaporkan bahwa :5
1. Pada usia lebih dari 50 tahun , tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg
lebih merupakan faktor risiko PKV dari pada tekanan diastolik.
2. Risiko PKV semakin meningkat pada tekanan diatas 115/75 mmHg,
dan meningkat dua kalinya dengan setiap peningkatan 20/10mmHg.
27
3. Penderita dengan tekanan 120-139 dan tekanan diastolik 80-89 mmHg
dianggap sebagai prehipertensi dan harus mendapatkan modifikasi
gaya hidup untuk mencegah PKV.
4. Thiazid ( dengan Atau tanpa obat lain) seharusnya digunakan pada
setiap penderita hipertensi tanpa komplikasi .
5. Kebanyakan penderita hipertensi akan membutuhkan obat
antihipertensi lebih dari dua jenis.
6. Tekanan darah lebih dari 20/10 mmHg di atas target harus mendapat
tambahan terapi 2 jenis obat yang salah satunya adalah tiazid.
Pada makalah ini akan dibahas perkembangan terakhir pengelolaan
hipertensi.
II. Klasifikasi
JNC 7 melaporkan klasifikasi hipertensi yang berbeda dengan JNC
VI yaitu :
Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi Tekanan Sistolik mmHg Tekanan Diastolik mmHg
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage 1
Hipertensi stage 2
140-159
≥160
90-99
≥100
Adanya hubungan antara berbagai tingkat tekanan darah dan risiko
PKV menyebabkan berbagai macam klasifikasi hipertensi. WHO / ISH
tetap mempertahankan klasifikasi tahun 1999 ( tabel 2) dengan
menekankan bahwa level dimana disebut hipertensi tidaklah suatu titik
yang kaku. Level tersebut dapat lebih tinggi atau lebih rendah dari level
tersebut sesuai dengan risiko PKV dari masing-masing individu. Sebagai
contoh , tekanan normal tinggi dapat dianggap hipertensi pada penderita
dengan risiko tinggi dan sebaliknya dianggap normal pada penderita
dengan risiko rendah.
Tabel 2. Stratifikasi dan klasifikasi Hipertensi
Faktor risiko Normal Normal tinggi Grade 1 Grade 2 Grade 3
28
dan riwayat
penyakit
Sistolik 120-
129
Diastolik 80-
84
Sistolik 130-139
Diastolik 85-89
Sistolik 140-159
Diastolik 100-
109
Sistolik 160-179
Diastolik 100-
109
Sistolik ≥180
Diastolik ≥ 110
Tanpa Faktor
risiko
Risiko rata-
rataRisiko rata-rata Risiko rendah Risiko sedang Risiko tinggi
Faktor risiko 1-2 Risiko rendah Risiko rendah Risiko sedang Risiko sedangRisiko sangat
tinggi
Faktor Risiko ≥3
atau TOD arau
diabetesRisiko sedang Risiko tinggi Risiko tinggi Risiko tinggi
Risiko sangat
tinggi
Penyakit
penyertaRisiko tinggi
Risiko sangat
tinggi
Risiko sangat
tinggi
Risiko sangat
tinggi
Risiko sangat
tinggi
NB : TOD: kerusakan target organ
Faktor Risiko Kardiovaskuler
- Tekanan sistolik dan diastolik
- Pria > 55 tahun
- Wanita > 65 tahun
- Merokok
- Dislipidemia
- Riwayat keluarga kejadian penyakit jantung prematur
- Obesitas sentral
- C reactive protein ≥ 1mg/dl
Komplikasi target Organ ( TOD)
- Hipertrofi ventrikel kiri
- Penebalan dinding arteri atau plag aterosklerosis
- Creatinin : pria > 1,3-1,5 mg/dl
Wanita > 1,2-1,4mg/dl
- Mikroalbuminuria : 30-300mg/24jam
Albumin creatinin ratio : pria ≥ 22, wanita ≥ 31mg/g
29
Penyakit Penyerta
Penyakit serebrovaskular
Penyakit jantung : infark miokard
Angina
Revaskularisasi koroner
Gagal jantung kongestif
Penyakit ginjal : nefropati diabetik
Gagal ginjal
ProteinurIA
Penyakit Vaskular perifer
Retinopati lanjut : perdarahan, eksudat dan papiludema
III. Diagnosis
Langkah diagnosis diambil untuk mengetahui : 4
1. Tingkat tekanan darah yang tetap
2. Mengidentifikasi hipertensi sekunder.
3. Mengevaluasi faktor risiko lainnya, kerusakan target organ dan
penyakit penyerta.
Langkah- langkah pemeriksaan meliputi :
1. Pengukuran tekanan darah berulang.
Tekanan darah mengalami variasi yang besar baik dalam sehari
maupuin di antara hari yang berbeda sehingga pengukuran tekanan
darah harus dilakukan beberapakali pada keadaan yang berbeda. Jika
tekanan darah hanya meningkat ringan maka pengukuran diulang
selama beberapa bulan. Jika tekanan darah sangat meningkat dengan
kerusakan target organ dan risiko PKV maka tekanan darah diulang
dalam beberapa hari atau minggu. 4 JNC 7 menyebutkan bahwa
diagnosis hipertensi ditegakkan berdasarkan rata-rata dari 2 atau lebih
pengukuran posisi duduk pada setiap 2 atau lebih kunjungan.5
Pengukuran dapat dilakukan berdasarkan pemeriksaan sendiri di
rumah dan pemeriksaan ambulatory 24 jam dengan ambang hipertensi
yang berbeda.
30
Tabel 3. Ambang tekanan darah pada berbagai pengukuran
Tekanan sistolik Tekanan Diastolik
Pengukuran di klinik
Pengukuran ambulatory 24
jam
Pengukuran di rumah
140 90
125 80
135 85
DIKUTIP DARI KEPUSTAKAAN 1 DAN 22. Riwayat penyakit 4, 5
Riwayat penyakit yang seharusnya dicari adalah :
- Lama dan level tekanan darah sebelumnya.
- Gejala yang mengarah pada hipertensi sekunder dan obat yang
dapat menyebabkan naiknya tekanan darah.
- Gaya hidup seperti diet lemak hewani, garam dan alkohol,
merokok, aktifitas fisik dan penambahan berat badan sejak awal
usia dewasa.
- Riwayat penyakit dahulu : penyakit jantung koroner, gagal jantung,
diabetes melitus, gout, dislipidemi, bronkospasme, atau penyakit
lainnya dan obat yang dipakai.
- Terapi antihipertensi sebelumnya.
- Riwayat pribadi, keluarga dan lingkungan.
3. Pemeriksaan fisik
Pengukuran tekanan darah juga dilakukan pada lengan
kontralateral. 5
Pemeriksaan fisik harus mencari adanya tanda kerusakan target organ,
faktor risiko ( obesitas sentral) dan kemungkinan penyebab hipertensi
sekunder yaitu :
Tanda hipertensi sekunder : 4, 5
- Tanda sindroma Cushing
- Stigmata kulit neurofibromatosis ( feokromositoma)
- Palpasi pembesaran Ginjal ( ginjal polikistik)
31
- Murmur abdomen ( hipertensi renovaskular)
- Murmur precordial ( Koartasio aorta)
- Tekanan darah femoral yang berkurang dan denyut yang terlambat
dan mengurang ( koartasio aorta)
Tanda kerusakan organ : 4, 5
- Otak : murmur di arteri leher, defek motorik dan sensorik.
- Kelainan funduskopi.
- Jantung : tanda pembesaran jantung, irama jantung, gallop, ronki
basah, dan udem.
- Arteri perifer : pulsasi yang hilang, berkurang atau asimetri,
ekstremitas dingin dan lesi kulit iskemi.
4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan rutin meliputi :
- Gula darah, Kolesterol total, HDL, TGA puasa, asam urat,
creatinin serum, Kalium serum, Hemoglobin dan hematokrit,
urinalisis, dan elektrokardiogram.
Pemeriksaan yang direkomendasikan :
Ekokardiografi, USG karotis, C-reactive Protein,
Mikroalbuminuria, proteinuria kwantitatif, funduskopi.
Pemeriksaan lebih lanjut :
- Hipertensi komplikasi: pemeriksaan fungsi otak, jantung dan
ginjal.
- Pemeriksaan hipertensi sekunder : pemeriksaan renin, aldosterone,
kortikosteroid, katekolamin, arteriografi, USG ginjal dan adrenal,
MRI otak.
IV. Terapi
Pedoman untuk memulai terapi anti hipertensi berdasarkan dua kriteria
yaitu :
1. Total risiko kardiovaskuler ( tabel 2)
32
2. Level tekanan sistolik dan diastolik.
Rekomendasi terapi WHO/ISH tidak lagi terbatas pada hipertensi stage
1 dan 2 tetapi juga penderita dengan tekanan darah normal tinggi. Bukti-
bukti penelitian menunjukkan bahwa penderita dengan tekanan darah <
140/90 dengan riwayat stroke, TIA , jika tidak diterapi memiliki insiden
kejadian Kardiovaskular 17% dalam 4 tahun, dan risiko turun24%dengan
penurunan tekanan darah ( PROGRESS Study), demikian juga pada HOPE
study terhadap penderita normotensi dengan risiko koroner tinggi.
Pemberian terapi pada penderita dengan tekanan darah normal
tinggi terbatas pada penderita dengan risiko tinggi sedangkan penderita
dengan risiko sedang dan rendah hanya dilakukan pengawasan ketat dan
perubahan gaya hidup.
Gambar 1. Pengelolaan hipertensi
33
Mulai obat segeraKaji faktor risiko lain, TOD,diabetes, penyakit penyerta
Modifikasi gaya hidupKoreksi risiko lain atau
penyakit lain
ATDS 130-139 atau TDD 85-89
( TD normal tinggi )
BTDS 140-179 atau TDD 90-109
( Hipertensi stage 1 dan 2 )
CTDS>180 atau TDD>110
( Hipertensi stage 3 )
Kaji faktor risiko, TOD,diabetes,penyakit penyerta
Faktor risiko, TOD,diabetes, penyakit penyerta,
Modifikasi gaya hidupkoreksi risiko, penyakit penyerta
Modifikasi gaya hidupkoreksi risiko, penyakit penyerta
Dikutip dari WHO/ISH 4
Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan
efektifitas obat antihipertensi dan menurunkan risiko kardiovaskular. Sebagai
contoh, perencanaan diet natrium 1600 mg mempunyai efek yang sama dengan
pemberian terapi 1 macam obat.
Tabel 4. Modifikasi gaya hidup untuk mengatasi hipertensi
Modifikasi RekomendasiPerkiraan Penurunan
Tekanan darah sistolik
- Penurunan BB Pertahankan BMI 18,5-24,9 5-20 mmHg/ 10 kg
- Perencanaan pola makan Konsumsi kaya buah, sayur dan 8-14 mmHg
34
Tentukan faktor risiko absolut
Sangat tinggi Tinggi Sedang rendah
Mulai mulai Monitor Tidak ada Obat obat TD intervensi
Tentukan faktorrisiko absolut
Sangat tinggi Tinggi Sedang rendah
Mulai Mulai monitor TD monitor TDObat obat Faktor risiko lain Faktor risiko lain Minimal 3 bulan 3 – 12 bulan
TS >140 TS < 140 TD > 90 TD< 90 Tx Obat Monitor
TS ≥140-159 TS < 140TD ≥90-99 TD < 90 Pertimbangkan monitorTerapi obat
rendah lemak
- Diet rendah Natrium Diet Natrium tidak lebih dari 2,4 g
Na atau 6 g NaCl
2-8 mmHg
- Aktivitas Fisik Aktifitas aerobik minimal 30 menit
sehari
4-9 mmHg
- Konsumsi alkohol sedang Konsumsi alkohol tidak lebih dari 2
gelas sehari.
2-4 mmHg
Dikutip dari JNC 7 5
Terapi Farmakologi
Bukti-bukti penelitian terbaru menunjukkan bahwa penurunan tekanan
darah dengan obat Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor, angiotensin
receptor blockers (ARBs), β blocker, calcium chanel blocker dan thiazhide akan
mengurangi semua komplikasi hipertensi.2
Thiazide , berdasarkan hasil beberapa penelitian , merupakan dasar dari
terapi hipertensi.Diuretik merupakan terapi hipertensi yang dapat mencegah
komplikasi kardiovaskuler yang tak tertandingi. Diuretik dapat meningkatkan
efektivitas antihipertensi dari berbagai jenis obat, dan bermanfaat dalam mencapai
target tekanan darah dan lebih baik dari golongan antihipertensi lain.
Thiazide seharusnya digunakan sebagai terapi awal bagi sebagian besar
pasien hipertensi, baik tunggal maupun kombinasi dengan obat lain.
Penderita dengan penyakit penyerta diberi terapi sesuai dengan indikasi .
Hipertrofi Ventrikel Kiri
Regresi ventrikel kiri dapat dicapai dengan menurunkan tekanan darah
dengan cara menurunkan barat badan, pembatasan natrium dan terapi dengan
semua obat hipertensi kecuali vasodilator langsung seperti hydralazine dan
minoxidil.
Penyakit Jantung Iskemi
PJI merupakan komplikasi hipertensi yang paling sering. Pada penderita
hipertensi dengan angina stabil, pilihan pertama terapi adalah β blocker dan
sebagai alternatif adalah calcium antagonis kerja panjang. Penderita dengan
angina tak stabil dan infark miokard akut , sebagai terapi pilihan pertama
35
adalh ACE inhibitor dan β blocker dengan tambahan obat lain jika perlu.
Penderita dengan pasca infark miokard, pilihannya adalah ACE inhibitor, β
blocker dan antagonis aldosteron terbukti paling menguntungkan.5
Gagal Jantung
Penderita dengan disfungsi ventrikel asimptomatik terapi yang
direkomendasikan adalh ACE inhibitor dan β blocker. Penderita dangan
disfungsi ventrikel simptomatik dan penyakit jantung terminal
direkomendasikan dengan ACE inhibitor, β blocker, ARB dan aldosteron
antagonis bersama diuretik loop.5
Diabetes.
Pilihannya adalah thiazide, β blocker, ACE inhibitor, ARB dan calcium
antagonis untuk menurunkan risiko kardiovaskuler dan stroke. Untuk
menurunkan progresivitas nefropati diabetik dan albuminuria yang digunakan
adalah ARB dan ACE inhibitor . ARB terbukti menurunkan progresivitas
makroalbuminuria.5
Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai :
1. Fungsi ekskresi menurun dengan perkitraan GFR kurang dari
60mL/menit per 1,73m2
2. Adanya albuminuria > 300mg/hari atau 200mg albumin per gram
creatinin.
Target terapi bertujuan memperlambat perburukan fungsi ginjal dan
mencegah penyakit jantung dengan target TD < 130/80mmHg. Obat yang
tampaknya paling menguntungkan adalah ACE inhibitor dan ARB kecuali bila
ada hiperkalemia. Pada GFR < 30mL/menit per 1,73m2, diperlukan kombinasi
dengan diuretik Loop.5
Penyakit cerebrovaskular
36
Risiko dan keuntungan mendadak tekanan darah pada stroke akut masih
belum jelas. Penurunan tekanan darah sementara sampai 160/100mmHg
dinilai cukup sampai kondisi stabil. Frekwensi Stroke berulang diturunkan
dengan kombinasi ACE inhibitor dan Thiazide.5
Penyakit Arteri Perifer (PAP)
Risiko PAP setara dengan risiko PJI. Setiap jenis obat dapat digunakan
untuk PAP.Faktor risiko lain harus dikoreksi dan diberi aspirin.5
Hipertensi pada Lanjut Usia
Dua pertiga penderita lanjut usia (>65 tahun) menderita hipertensi.Terapi
pada lanjut usia prinsipnya sama dengan terapi hipertensi golongan usia muda
tetapi dengan dosis awal yang lebih rendah.5 Dalam beberapa penelitian
menunjukkan bahwa yang menjadi lini pertama pada terapi hipertensi sistolik
terisolasi adalah diuretik dan Calcium antagonis dihydropyridine.4
Hipertensi pada wanita Hamil
Pilihan antihipertensi pada wanita hamil adalh methyldopa, β blocker dan
vasodilator. 5
Target Terapi
Target penurunan tekanan darah adalah kurang 140/90mmHg yang
dapat menurunkan komplikasi penyakit jantung.
Pada penderita hipertensi dengan diabetes dan penyakit ginjal maka
targetnya adalh kurang dari 130/80mmHg. Pada lanjut usia penurunan
tekanan sistolik di bawah 140 mmHg sulit dicapai. 1,2 Bila proteinuria <1g/hari
maka target tekanan darah adalah 130/85mmHg dan bila > 1g/hari maka
targetnya adalah 125/75mmHg.
Strategi Terapi
Pada kebanyakan pasien, terapi dimulai bertahap, dan target tekanan
darah dicapai dalambeberapa minggu.Untuk mencapai target tekanan darah,
tidak jarang diperlukan kombinasi dengan beberapa obat.Pada Hipertensi
Stage 1, terpi dimulai dengan monoterapi. Penelitian ALLHAT, yang
37
merekrut stage 1 dan 2 menunjukkan bahwa 60% penderita tetap
menggunakan monoterapi.Penelitian HOT pada Hipertensi stage 2 dan 3
menunjukkan hanya 25-40% penderita yang tetap monoterapi.
Pada penderita diabetes, kebanyakan penderita memerlukan sekurang-
kurangnya 2 obat.
Berdasarkan tingkat tekanan darah awal dan ada atau tidaknya
komplikasi, tampaknya baik monoterapi maupun kombinasi cukup beralasan.
Keuntungan menggunakan monoterapi adalah bila penderita ternyata
tidak toleran dengan obat pertama maka dapat segera diketahui dan diganti
obat lain. Sedangkan keuntungan terapi kombinasi adalah lebih besar
kemungkinan mengontrol tekanan darah dan komplikasi, masing-masing obat
dapat diberi dengan dosis kecil sehingga efek samping minimal.5
Kombinasi obat yang direkomendasikan adalah : 5
- Diuretik dan β blocker
- Diuretik dan ACE inhibitor atau angiotensin receptor antagonist
- Calcium antagonist dan diuretik
- Calcium antagonist dan B Blocker
- Calcium antagonis dan ACE inhibitor atau angiotensin receptor
antagonis
- α blocker dan β blocker
- Kombinasi lain : obat efek sentral demham ACE inhibitor dan
angiotensin receptor antagonist
2.3 DISLIPIDEMIA1
Dislipiddemia merupakan kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh
kelainan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah
kenaikan kolesterol total, kenaikan kadar trigliserid serta penurunan kadar
kolesterol HDL. Dalam proses terjadinya aterosklerosis ketiganya mempunyai
peran penting yang berkaitan sehingga dikenal sebagai triad lidpid. Secara
38
klinis dislipidemia dibagi menjadi 3 yaitu, hiperkolesterolemia,
hipertrigileridemia, dan campuran hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia.
Klasifikasi kadar kolesterol adalah sebagai berikut:
Kolesterol LDL
<100 mg/dl Optimal
100-129 mg/dl Hampir optimal
130-159 mg/dl Borderline
160-189 mg/dl tinggi
>190 mg/dl Sangat tinggi
Kolesterol total
<200 mg/dl Idaman
200-239 mg/dl borderline
≥240 tinggi
Kolesterol HDL<40 mg/dl rendah
≥ 60 mg/dl tinggi
Untuk mengevaluasi penyakit jantung koroner (PJK) perlu diperhatikan
faktor – faktor resiko lainnya:
Merokok
Umur (pria ≥45 tahun, wanita ≥ 55 tahun)
Kolesterol HDL rendah
Hipertensi (TD sistolik ≥140/90 atau dalam terapi antihipertensi)
Riwayat penyakit jantung koroner dini (fisrt degree: pria <
55tahun, wanita < 65 tahun)
ATP III menggunakan Framingham Risk Score (FRS) untuk
menghitung besarnya risiko penyakit jantung koroner pada pasien dengan
39
≥ 2 faktor risiko meliputi: umur, kadar kolesterol total, kolesterol HDL,
kebiasaan merokok dan hipertensi. Penjumlahan skor pada FRS akan
menghasilkan angka presentase risiko PJK dalam 10 tahun. Ekivalen risiko
PJK mengandung risiko kejadian koroner mayor yang sebanding dengan
kejadian PJK yakni dalam 10 tahun sebesar 20%, terdiri dari:
Bentuk klinis lain dari aterosklerosis: penyakit arteri perifer,
aneurisma aorta abdominalis, penyakit arteri karotis yang
simptomatis.
Diabetes Mellitus
Faktor risiko multipel yang menpunyai faktor risiko PJK dalam
10 tahun > 20%
Peningkatan kadar trigliserida juga merupakan faktor risiko
independen untuk terjadinya PJK. Faktor yang mempengaruhi tingginya
trigliserida:
Obesitas, berat badan lebih
Inaktivitas fisik
Merokok
Asupan alkohol berlebih
Diet tinggi karbohidrat (> 60% asupan energi)
Penyakit DM tipe 2, gagal ginjal kronik, sindroma nefrotik
Obat: kortikosteroid, estrogen, retinoid, penghambat beta
adrenergik dosis tinggi
Kelainan genetik / riwayat keluarga
Klasifikasi derajat hipertrigliseridemia
40
Normal : <150 mg/dl
Borderline : 150-199 mg/dl
Tinggi : 200-499 mg/dl
Sangat tinggi : ≥ 500 mg/dl
Terapi dislipidemia berupa:
Non farmakologis
o Diet, dengan komposisi:
Lemak jenuh < 7% kalori total
PUFA hingga 10% kalori total
MUFA hingga 10% kalori total
Lemak total 25-35% kalori total
Karbohidrat 50-60% kalori total
Protein hingga 15% kalori total
Serat 20-30 gr/hari
Kolesterol <200 mg/hari
o Latihan jasmani
o Penurunan BB bagi yang gemuk
o Menghentikan kebiasaan merokok dan minum alkohol.
Terapi farmakologis
o Pasien dengan hiperkolesterolemia
Golongan statin ( HMG-CoA reductase inhibitor)
Simvastatin 5-40 mg
Lovastatin 10-80 mg
Pravastatin 10-40 mg
41
Fluvastatin 20-80 mg
Atorvastatin 10-80 mg
Golongan bile acid sequestrant
Kolestiramin 4-16 mg
Golongan nicotinic acid
Nicotinic acid (immediate release) 2x100
mg sampai dengan 1,5-3 gr
o Pasien dengan hipertrigliseridemia
Obat penurun kadar kolestero LDL atau
Ditambahkan obat fibrat atau nicotinic acid,
golongan fibrat terdiri dari:
Gemfibrozil 2 x 600 mg atau 1 x 900 mg
Fenofibrat 1 x 200 mg
Terapi hiperkolesterolemia untuk pencegahan primer dimulai
dengan statin atau bile acid sequesterant, atau nicotinic acid.
Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila terget
LDL sudah tercapai pemantau an dilakukan setiap 4-6 bulan. Bila
setelah 6 minggu terapi, target belum tercapai: intensifkan/ naikkan
dosis statin atau kombinasi dengan yang lain. Bila setelah 6
minggu berikutnya terapi non farmakologis tidak berhasil
menurunkan kadar kolesterol, maka terapi farmakologis
diintensifkan. Pasien dengan PJK, kejadian koroner mayor atau
dirawat untuk prosedur koroner diberiterapi obat saat pulang dari
RS jika kolesterol LDL > 100 mg/dl.
42
Tabel Target Kolesterol LDL:
Kategori Risiko Target
LDL
Kadar LDL untuk
mulai perubahan
gaya hidup
Kadar LDL untuk
mulai terapi
farmakologis
PJK atau
ekuivalen PJK
(FRS > 20%)
<100 ≥100 (100-
129);optional
130
Faktor risiko ≥ 2 <130 ≥130 ≥130 (FRS 10-20%)
160-189; optional
Faktor risiko 0-1 <160 ≥160 ≥190 (160-
189;optional)
2.4. HUBUNGAN ANTARA DISLIPIDEMIA, DM, DAN SINDROMA
KORONER AKUT11
Diabetes mellitus dan sindrom metabolik memiliki kelainan dasar yang
sama yaitu adanya resistensi insulin. Pada mereka ini, metabolisme lipoprotein
sedikit berbeda dengan mereka yang bukan resistensi insulin. Dalam keadaan
normal tubuh menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Pada keadaan
resistensi insulin, hormone sensitive lipase di jaringan adiposa akan menjadi aktif
43
sehingga lipolisis trigliserid di jaringan adiposa semakin meningkat. Keadaan ini
akan menghasilkan asam lemak bebas yang berlebihan. Asam lemak bebas akan
memasuki aliran darah, sebagian akan digunakan sebagai sumber energi dan
sebagian akan di bawa ke hati sebagai bahan baku pembentukan trigliserid. Di hati
asam lemak bebas akan menjadi trigliserid kembali dan menjadi bagian dari
VLDL. Oleh karena itu, VLDL yang dihasilkan pada keadaan resrtensi insulin
akan sangat kaya akan trigliserid diebut enriched trigliserid VLDL.
Dalam sirkulasi trigliserid yang banyak di VLDL akan bertukar dengan
kolesterol ester dari kolesterol LDL yang akan menghasilkan LDL yang kaya akan
trigliserid tetapi kurang kolesterol ester. Trigliserid yang dikandung oleh LDL
akan dihirolisis oleh enzim hepatic lipase (yang biasanya meningkat pada
resitensi insulin) sehingga menghasilkan LDL yang kecil tetapi padat atau small
dense LDL yang sifatnya mudah teroksidasi dan sangat aterogenik. Trigliserid
VLDL yang besar juga dipertukarkan dengan kolesterol ester dari HDL dan
menghasilkan HDL miskin kolesterol ester tapi kaya trigliserid. Kolesterol HDL
yang demikian lebih mudah dikatabolisme oleh ginjal sehingga jumlah HDL
serum menurun.
LDL yang meningkat akan mempercepat evolusi dari plak yang stabil menjadi
tidak stabil melalui lima tahap, yaitu aktivasi endotel, kemudian LDL masuk ke
dalam sel dan teroksidasi, kemudian memacu produksi sitokin dan protease
sehingga menyebabkan rupturnya plak. Plak yang ruptur merupakan salah satu
faktor penyebab timbulnya sindroma koroner akut.
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesis. Panduan Pelayanan Medik. 2008. Pusat
Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta
2. Fuster V, Badimon L,
Badimon JJ, Cheresbro JH. The Pathogenesis of Coronary Artery Disease and
Acute Coronary Syndrome. New England Journal Medicine 1992;326:242-250
45
3. Diagnosis dan Tata Laksana
Hipertensi, Sindrom Koroner Akut dan Gagal Jantung. 2001. Balai Penerbit RS
Jantung Harapan Kita:Jakarta
4. Schamroth L. Myocardial
Death, Injury, and Ischemia. In: Schamroth L (ed) An introdustion to
electrocardiography. 3th edition. Oxford: Blackwell Scientific Publications.
1996: 11-48
5. Schaub FA. The ECG in
Cardiac Infarction. In: Schaub FA (ed) Fundamentalas of Clinical Symposia,
The Electrocardiography. Basle : ciba-geigy limited; 1996: 45-58
6. Robert R, Morris D, Pratt
Cm, Alexander RW. Pathophysiology, Recognition and Treatment of Acute
Myocardial Infarction and Its Complication. In : Schlan RC, Alexander RW,
O’Rouke RA, Sonnenblick EH (eds). Hrts’s The Heart Arteries and Veins 8th
edition. International Edition. New York: Mc Graw Hill Inc; 1994:1107-84
7. Klootwijk P. Hammc. Acute
Coronary Syndrome: diagnosis. Supplement to the Lancet, June 1999; 10-15
8. Brezinki DA.
Supraventrikular Arrythmias and Heart Block, in Acute Myocardial Infarction.
Acute Coronary Care 2nd edition. Mosby, 1995: 617-623
9. Mattew V, Farkouh M,Grill
DE, Urban LH, Cusma JT, Reeder GS, et al. Clinical Risk Stratification
Correlates With The Angiographyc Extent of Coronary Artery Disease in
46
Unstable Angina. Journal of the America College of Cardiology. 2001; 37;
2053-58
10. Antman EM, Cohen M,
Bernink PJLM, et al. The TIMI Risk Score For Unstable Angina/non-ST
elevation MI: A Method for Prognostcation dan Therapeutic Decision
Making.JAMA.2000; 284 (7): 835-842
11. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V. 2009. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
12. Diabetes mellitus. Dalam:
Isselbacher, Braunwald, Wilson, et al, Asdie AH (Editor). Harrison, prinsip-
prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi 13. Jakarta: EGC, 2000: 2196 – 217.
13. Darmono. Seri kuliah
endokrinologi-metabolik. Semarang: Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam FK
UNDIP, 1991. Foster DW.
14. Handoko T, Suharto B.
Insulin, glukagon, dan antidiabetik oral. Dalam: Farmakologi dan terapi. Edisi 4.
Jakarta: Gaya Baru, 1994: 467-81.
15. Diabetes mellitus. Dalam :
Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC,1995:1115 – 1119.
16. Mansjoer A, Triyanti K,
Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W, editor. Kapita selekta kedokteran. Edisi
3. Jakarta: Media Aesculapius, 2001: 580-88.
47
17. Rachmawati B. Diabetes
mellitus. Dalam: Diktat pegangan kuliah Patologi Klinik II. Semarang: Bagian
Patologi Klinik FK UNDIP, 1999.
18. Kaufman KD, Karam JH.
Diabetes mellitus. Dalam: Skach W, Daley CL, Forsmark CE; Secilia I, alih
bahasa; Ronardy DH, editor. Penuntun terapi medis. Edisi 18. Jakarta: EGC,
1996: 440-63.
19. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Informatorium obat nasional Indonesia 2000. Jakarta: CV. Sagung Seto, 2000:
263-66.
20. Djokomoeljanto R. DM :
faktor resiko keberhasilan pengobatan. Disampaikan pada forum pertemuan
Fak. Psikologi Unika. 2 November 1998.
21. Waspadji S. Diabetes
mellitus. Dalam : Noer SM (editor). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Jilid 1.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996 : 586-664
48