bab ii

23
BAB I PENDAHULUAN Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran nafas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernafasan kronik. World Health Organization (WHO) memperkirakan 100 – 150 juta penduduk dunia menderita asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa akan datang serta mengganggu proses tumbuh-kembang anak dan kualitas hidup pasien. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA Asma terdapat pada semua usia dan perjalanan penyakitnya tidak dapat diramalkan karena tergolong pada berbagai faktor. Gejala asma bervariasi dari ringan 1

Upload: yuliana-marbun

Post on 06-Nov-2015

223 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

asma

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran nafas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernafasan kronik. World Health Organization (WHO) memperkirakan 100 150 juta penduduk dunia menderita asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa akan datang serta mengganggu proses tumbuh-kembang anak dan kualitas hidup pasien.Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINAAsma terdapat pada semua usia dan perjalanan penyakitnya tidak dapat diramalkan karena tergolong pada berbagai faktor. Gejala asma bervariasi dari ringan sampai berat. Asma dapat dikontrol dengan berbagai cara, tetapi inflamasi yang ada di saluran nafas tetap ada meskipun gejala sudah tidak timbul selama bertahun-tahun. Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya penurunan frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama adalah menghindari factor penyebab. Dengan penatalaksanaan yang baik dapat membuat asma menjadi terkontrol yaitu gejala penyakit berkurang dan faal paru menjadi optimal.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI Asma adalah penyakit kronik saluran nafas yang ditandai oleh inflamasi kronik yang melibatkan berbagai sel inflamasi dengan karakteristik respon yang berlebihan terhadap berbagai rangsangan. gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.B. EPIDEMIOLOGIAsma merupakan masalah kesehatan dunia diperkirakan sebanyak 300 juta orang menderita asma, dengan prevalensi sebesar 1- 18 %, bervariasi pada berbagai negara. Kejadian asma dipengaruhi faktor genetik, lingkungan, umur dan terdapat kecenderungan peningkatan insidensinya terutama didaerah perkotaan dan industri akibat adanya polusi udara. Prevalensi di Indonesia adalah sebesar 5 7 %. PBB memperkirakan disability adjusted life years ( DALYs ) sebanyak 15 juta setiap tahun karena asma yang merupakan 1% dari beban global akibat penyakit. Mortalitas sebesar 250.000/tahun yang tidak proporsional dengan prevalensi penyakit. Polusi menyebabkan peningkatan asma diseluruh dunia. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.

C. FAKTOR RISIKO Secara umum faktor resiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:1. Faktor genetika. Hiperreaktivitas.b. Atopi/Alergi bronkus.c. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik.d. Jenis Kelamine. Ras/Etnik.2. Faktor lingkungana. Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur)b. Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut, susu sapi, telur)d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dll)e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)f. Ekspresi emosi berlebihg. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif. h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangani. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas tertentuj. Perubahan cuaca.

D. KLASIFIKASI Asma menurut Konsensus Internasional diklasifikasikan berdasarkan etiologi, beratnya penyakit, dan pola waktu terjadinya obstruksi saluran nafas.1. Klasifikasi Berdasarkan EtiologiA. Asma bronkial tipe non atopi (Intrinsik/cryptogenic). Pada asma golongan ini, keluhan tidak ada hubungannya dengan paparan (exposure) terhadap alergen dan sifat-sifatnya ialah: Serangan timbul setelah dewasa Pada keluarga tidak ada yang menderita asma Penyakit infeksi sering menimbulkan serangan Ada hubungan dengan pekerjaan atau beban fisik Rangsangan atau stimuli psikis mempunyai peran untuk menimbulkan serangkaian reaksi asma Perubahan-perubahan cuaca atau lingkungan yang non-spesifik merupakan keadaan yang peka bagi penderita.B. Asma bronkial tipe atopi (Ekstrinsik). Pada golongan ini keluhan ada hubungannya dengan paparan (exposure) terhadap alergen lingkungan yang spesifik. Kepekaan ini biasanya dapat ditimbulkan dengan uji kulit atau provokasi bronkial. Pada tipe ini mempunyai sifat-sifat: Timbul sejak kanak-kanak. Pada family ada yang menderita asma. Adanya eksim pada waktu bayi. Sering menderita rinitisC. Asma bronkial campuran (mixed). Pada golongan ini, keluhan diperberat baik oleh factor- faktor intrinsic maupun ekstrinsik

2. Klasifikasi berdasarkan berat penyakitBeratnya penyakit ditentukan oleh berbagai faktor yaitu: A. Gambaran klinik sebelum pengobatan, dilihat dari gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi -2 agonis, dan uji faal paru.B. Obat-obat yang digunakan untuk mengontrol penyakit. Dari gabungan tersebut asma diklasifikasikan menjadi intermiten, ringan, sedang, berat.

3. Klasifikasi berdasarkan pola waktu seranganKlasifikasi asma juga bisa dibuat berdasarkan pola waktu terjadinya serangan yang dipantau dengan pemeriksaan APE. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah: Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal paru

I. Intermiten Bulanan APE 80%

* Gejala < 1x/minggu * 2 kali sebulan* Tanpa gejala di luar serangan * Serangan singkat * VEP1 80% nilai prediksi APE 80% nilai terbaik * Variabiliti APE < 20%

II. Persisten Ringan Mingguan APE > 80%

* Gejala > 1x/minggu, * >2 kali sebulantetapi < 1x/ hari * Serangan dapat mengganggu aktiviti dan tidur * VEP1 80% nilai prediksi APE 80% nilai terbaik * Variabiliti APE 20-30%

III. Persisten Sedang Harian APE 60 80%

* Gejala setiap hari * > 1x / seminggu* Serangan mengganggu aktiviti dan tidur *Membutuhkan bronkodilator setiap hari * VEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik * Variabiliti APE > 30%

IV. Persisten Berat Kontinyu APE 60%

* Gejala terus menerus * Sering* Sering kambuh * Aktiviti fisik terbatas * VEP1 60% nilai prediksi APE 60% nilai terbaik * Variabiliti APE > 30%

E. PATOGENESIS Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan. Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik. Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif.Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitive terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator. Sel T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti IL2, IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat. Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratori dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat asma.Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.

Gambar 01. Patogensis Asma.Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.

Gambar 02. Proses imunologis spesifik dan non-spesifik

Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hiperaktivitas bronkus.

F. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :1. Anamnesa : Riwayat pengulangan batuk mengi, sulit bernafas, atau berat dada yang memburuk pada malam hari atau secara musiman. Riwayat asma sebelumnya Manifestasi atopik misalnya rhinitis alergika, yang bisa juga ada pada keluarga Keluhan timbul atau memburuk oleh infeksi pernafasan, rangsangan bulu binatang, serbuk sari, asap, bahan kimia, perubahan suhu, debu rumah, obat obatan ( aspirin, penghambat beta ), olah raga, rangsang emosi yang kuat Keluhan berkurang dengan pemberian obat asma2. Pemeriksaan Fisik : Dapat dijumpai adanya sesak nafas, pernafasan mengi dan perpanjangan ekspirasi tanda emfisema pada asma yang berat.a) Vital Sign Fitur umum dicatat selama serangan asma akut tingkat pernapasan cepat (sering 25 sampai 40 napas per menit), takikardia, dan pulsus paradoksus.b) PemeriksaanThorakPemeriksaandapat mengungkapkan bahwapasien yang mengalamiserangan asma dapat dijumpai: Inspeksi: sesak (napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal) Palpasi: biasanya tidak ditemukan kelainan, pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus Perkusi: biasanya tidak ditemukan kelainan Auskultasi: ekspirasi memanjang,wheezing3. Pemeriksaan Penunjang : Spirometri : ( Volum Ekpirasi Paksa 1 detik ) VEP1< 70% dari nilai prediksi menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas. Tes reversibilitas : peningkatan VEP1 12% dan 200 ml menunjukkan reversibilitas yang menyokong diagnosis asma Arus Puncak Ekspirasi ( APE ) : Reversibilitas. Peningkatan 60 L/menit ( atau 20% ) dengan pemberian bronkodilator ( misalnya 200-400 ugr salbutamol ), atau variasi diurnal dari APE 20% ( dengan bacaan 2x sehari > 10% ) menyokong diagnosis asma Variabilitas. Merujuk pada perbaikan atau pemburukan gejala atau fungsi paru dalam periode tertentu misal 1 hari ( variabilitas diurnal ), hari atau bulanan. Pengukuran Status AlergiUntuk mengidentifikasi komponen alergi pada asma dapat dilakukan pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum dan eosinofil. Uji ini dapat membantu mengidentifikasi faktor pencetus sehingga dapat dilakukan pencegahan terarah. Umumnya dilakukan skin prick test. Namun, uji ini dapat menghasilkan positif palsu maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi pajanan alergen dengan timbulnya gejala harus selalu dilakukan. Analisa Gas Darah Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma berat. Pada fase awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnea (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada stadium yang lebih berat pada PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnea. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadi hiperkapnea (PaCO2 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik. Foto ToraksPemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan.

G. PENATALAKSANAAN

Pengobatan Berdasarkan Derajat Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi menjadi: 1. Asma Intermiten a. Umumnya tidak diperlukan pengontrol b. Bila diperlukan pelega, agonis -2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif dengan agonis -2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan 2. Asma Persisten Ringan a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus atau terbagi dua kali sehari) dan agonis -2 kerja lama inhalasi Budenoside : 200400 g/hari Fluticasone propionate : 100250 g/hari Teofilin lepas lambat Kromolin Leukotriene modifiers b. Pelega bronkodilator (Agonis -2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila perlu 3. Asma Persisten Sedang a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi Budenoside: 400800 g/hari Fluticasone propionate : 250500 g/hari Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah teofilin lepas lambat Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah agonis -2 kerja lama oral Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 g/hari) Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah leukotriene modifiers

b. Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu Agonis -2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 34 kali sehari, atau Agonis -2 kerja singkat oral, atau Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol

c. Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis -2 kerja lama inhalasi

d. Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah

4. Asma Persisten Berat Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi Beclomethasone dipropionate: >800 g/hari Selain itu teofilin lepas lambat, agonis -2 kerja lama oral, dan leukotriene modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis -2 kerja lama inhalai ataupun sebagai tambahan terapi Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat mencegar efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi saluran napas atas

Gambar 1: Penatalaksanaan Berdasarkan Derajat Asma. Sumber: GINA, 2009.

H. Pencegahan AsmaUpaya pencegahan asma dapat ditujukan pada pencegahan sensitisasi alergi (terbentuknya atopi, nampaknya paling relevan waktu prenatal dan perinatal) atau mencegah terbentuknya asma pada individu yang tersensitisasi. Selain mencegah paparan tembakau / rokok waktu dalam kandungan atau setelah kelahiran, tidak ada intervensi yang terbukti dan diterima luas dapat mencegah terbentuknya asma.Hygiene hypothesis asma. Walaupun kontroversi nama telah membawa penegasan bahwa mencegah sensitisasi alergi harus focus mengarahkan kembali repons imun dari bayi ke Th1 atau modulasi T regulator cell. Tetapi strategi tersebut saat ini masuh merupakan alam hipotesis dan perlu penelitian lebih banyak.

BAB IIIKESIMPULAN Asma adalah penyakit kronik saluran nafas yang ditandai oleh inflamasi kronik yang melibatkan berbagai sel inflamasi dengan karakteristik respon yang berlebihan terhadap berbagai rangsangan. gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Penatalaksanaan asma yang benar adalah tidak hanya mengatasi serangan akut, akan tetapi penanganan jangka panjang yang bertujuan mencegah terjadinya serangan dan mengoptimalkan penderita sehingga dapat hidup produktif dan berkualitas, dengan mengatasi episode perburukan. Kerjasama dokter dan penderita dibutuhkan dalam penatalaksanaan jangka panjang, dengan tetap mempertimbangkan kemampuan penderita dalam menerima dan melakukannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dahlan Zulkarnain, dkk. 2012. Kompendium TATALAKSANA PENYAKIT RESPIRASI & KRITIS PARU. Jakarta : Perhimpunan Respirologi Indonesia.2. Rengganis, I. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 58. 2008.3. Perhimpunan Paru Indonesia. 2003. ASMA PEDOMAN & PENATALAKSANA DI INDONESIA.www.klikpdpi.com4. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;20097