bab ii kusta

33
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEFINISI Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. (1) 2.2. ETIOLOGI Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. M.leprae berbentuk basil engan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alcohol serta Gram- positif. (1) 2.3. EPIDEMIOLOGI Penderita kusta tersebar diseluruh dunia dengan jumlah yang tercatat pada tahun 2000 berdasarkan WHO untuk kasus baru yang dilaporkan sebanyak 738.284 kasus. Sesuai data Departemen Kesehatan Indonesia pada akhir April 1999, jumlah penderita kusta

Upload: mia-san-mia

Post on 25-Jul-2015

110 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Kusta

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium

leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan

mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf

pusat. (1)

2.2. ETIOLOGI

Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A Hansen pada

tahun 1874 di Norwegia. M.leprae berbentuk basil engan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam

dan alcohol serta Gram-positif.(1)

2.3. EPIDEMIOLOGI

Penderita kusta tersebar diseluruh dunia dengan jumlah yang tercatat pada tahun 2000

berdasarkan WHO untuk kasus baru yang dilaporkan sebanyak 738.284 kasus. Sesuai data

Departemen Kesehatan Indonesia pada akhir April 1999, jumlah penderita kusta yang terdaftar di

Sulawesi Selatan sebesar 1.787 penderita yang terdiri penderita pausibasiler (PB) sebanyak 271

penderita dan MB sebanyak 1.516 penderita. Prevalensi kustayang terdaftar sebesar 2,2/10.000

penduduk.(5)

Di Kotamadya Makassar, data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Tingkat II sampai

April 1999 tercatat jumlah penderita kusta sebesar 74 penderita yang terdiri dari PB sebanyak 16

penderita dan MB sebanyak 58 penderita. Penderita baru selang tahun tersebut sebanyak 64

Page 2: BAB II Kusta

penderita yang terdiri dari PB sebanyak 20 dan MB sebanyak 44 penderita. Di Poliklinik Kulit

dan Kelamin RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar antara April 1998 – April 1999

terdapat 144 penderita yang terdiri dari PB sebanyak 55 penderita dan MB sebanyak 89

penderita.(5)

Penyakit kusta dapat menyerang semua orang, pria lebih banyak terkena dibanding

wanita dengan perbandingan 2:1, walaupun ada beberapa daerah yang menunjukkan insidens ini

hampir sama bahkan ada daerah yang menunjukkan penderita wanita lebih banyak.(5)

Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun demikian jarang dijumpai pada umur

yang sangat muda. Serangan untuk pertama kalinya diatas 70 tahun sangat jarang. Frekuensi

terbanyak adalah 15-29 tahun walaupun pernah didapatkan di pulau Nauru pada keadaan

epidemik penyebaran hampir sama pada semua umur.(5)

Beberapa faktor yang dapat berperan dalam kejadian kusta antara lain selain iklim, status

gizi, status sosial ekonomi dan genetik. Pada observasi menyatakan bahwa ada hubungan antara

kondisi sanitasi yang jelek dengan faktor risiko terjadinya kusta seperti yang dilaporkan dari

Malawi dan Punjab. (5, 7)

Nampaknya prevalensi dan insidens penyakit kusta bervariasi dari satu negara ke negara

lain dan bahkan satu wilayah dengan wilayah lain walaupun dalam satu negara sekalipun. (5)

2.4. PATOGENESIS

Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab

penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih

berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat

penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda. Banyak pasien terlihat kebal,

tapi menunjukkan kejadian imunologi tanpa pajanan utama dengan aktivasi limfosit ketika

Page 3: BAB II Kusta

terpapar antigen lepra. Pasien yang terinfeksi, penyembuhan sendiri terjadi pada tuberkuloid

polar.(8-10)

Bila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai

dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas selular

(SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid.(5)

Patogenesis dan gambaran klinis merefleksikan 4 sebab utama kerusakan jaringan.

Pertama derajat dimana imunitas mediasi sel diekspresikan. Lepra lepromatous

merepresentasikan kegagalan imun mediasi sel terhadap M.leprae dengan multipikasi bakteri,

penyebaran dan akumulasi antigen pada jaringan terinfeksi. Ketidakadaan limfosit yang

teraktivasi dan makrofag berarti kerusakan saraf berlangsung lambat dan gradual. Pada lepra

tuberkuloid, imun mediasi sel terekspresi secara kuat. Jadi infeksi direstrisikan pada satu atau

beberapa daerah kulit dan saraf tepi. Infiltrasi limfosit secara cepat menyebabkan kerusakan

saraf. Diantara 2 polar, ada bentuk borderline penyakit, dengan tingkat penyakit merefleksikan

keseimbangan imun mediasi sel dan beban basil.(9)

Kedua, tingkat penyebaran basil dan multipikasi. Dalam lepra lepromatous, penyebaran

basil melalui darah terjadi pada bagian superficial, termasuk mata, mukosa respiratori atas, testis,

otot kecil, tulang tangan, kaki, dan wajah, sebagaimana penyebaran pada saraf dan kulit. Pada

lepra tuberkuloid, multipikasi bakteri terbatas pada tempat tertentu dan basil tidak ditemukan

pada pembacaan. (9)

Ketiga, kehadiran komplikasi imunologi kerusakan jaringan : reaksi lepra Lepromatous,

BL) secara imunologis tidak stabil dan berisiko mengembangkan reaksi mediasi imunologi,

Reaksi tipe I (reversal) adalah reaksi hipersensitivitas delayed disebabkan peningkatan

munculnya M.leprae di kulit dan saraf. Reaksi tipe 2, eritema nodusum leprosum (ENL) karena

Page 4: BAB II Kusta

sebagian kompleks imun mengendap, dan terjadi pada pasien BL dan LL, yang memproduksi

antibodi dan punya beban antigen yang besar. (9)

Keempat, perkembangan kerusakan saraf dan komplikasinya. Kerusakan saraf terjadi

dalam 2 pengaturan, pada lesi kulit dan batang saraf tepi. Pada lesi kulit, serabut saraf otonom

dan sensoridermal yang mensuplai dermis dan subkutan rusak, mengakibatkan kehilangan

sensori lokal, dan tidak dapat berkeringat pada lesi kulit.(9)

Kelima, batang saraf tepi rentan terkena dimana mereka terletak superficial dan dalam

terowongan fibrosa. Pada tahap ini, peningkatan diameter saraf menyebabkan naiknya tekanan

intraneural, dengan konsekuensi kompresi saraf dan iskemik. Kerusakan pada batang saraf

perifer menghasilkan karakteristik kehilangan sensori dermatomal dan disfungsi otot yang

disuplai sarat tersebut.(9)

2.5. GAMBARAN KLINIS

Manifestasi klinis penyakit kusta biasanya menunjukkan gambaran yang jelas pada

stadium yang lanjut, dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisis saja. Suatu

penderita kusta adalah seseorang yang menunjukkan gejala klinis kusta dengan atau tanpa

pemeriksaan bakteriologis dan memerlukan suatu pengobatan.(5)

Gejala dan keluhan penyakit tergantung pada :(5, 11)

a. Multipikasi dan diseminata kuman M.leprae

b. Respon imun penderita terhadap kuman M.Leprae

c. Komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer

Ada 3 tanda cardinal yang kalau salah satunya ada sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari

penyakit kusta yakni :(5)

1. Lesi kulit yang anastesi

Page 5: BAB II Kusta

2. Penebalan saraf perifer

3. Ditemukannya M.leprae

1). Lesi kulit yang anastesi

Makula atau plakat atau lebih jarang pada papul atau nodul dengan hilangnya rasa raba,

rasa sakit dan suhu yang jelas. Kelainan lain pada kulit yang spesifik berupa perubahan warna

dan tekstur kulit serta kelainan pertumbuhan rambut.(5)

2). Penebalan saraf perifer

Penebalan saraf perifer sangat jarang ditemukan kecuali pada penyakit kusta. Pada daerah

endemik kusta penemuan adanya penebalan saraf perifer dapat dipakai utntuk menegakkan

diagnosis.(5)

3). Adanya M.leprae

Mycobacterium leprae terutama terdapat pada kulit, mukosa hidung dan saraf perifer

yang superfisial dan dapat ditunjukkan dengan apusan sayatan kulit atau kerokan mukosa

hidung.(5)

Kelainan kulit dapat berupa makula hipopigmentsi, eritema, infiltrate atau nodul. Jumlah

lesi bisa satu, beberapa atau hampir mengenai seluruh tubuh, dapat simetris atau asimetris. Bisa

ditemukan gangguan pembentukkan keringat dan kerontokan rambut akibat gangguan saraf

otonom.(5)

2.6. KLASIFIKASI

Page 6: BAB II Kusta

2.6.1. Klasifikasi penyakit kusta

Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi menahun yang disebabkan oleh M.leprae.

Mula-mula kuman ini menyerang kulit, mukosa, saluran napas, sistem retikuloendotelial, mata,

otot, tulang dan testis.(5)

Terdapat berbagai klasifikasi penyakit kusta sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan. Sampai saat ini untuk klasifikasi yang dipakai pada penelitian terbanyak adalah

klasifikasi Ridley & Jopling. Klasifikasi ini berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,

histopatologis dan mempunyai korelasi dengan tingkat imunologis, yaitu membagi penyakit

kusta dalam 5 tipe yaitu :(5)

1. Tipe Tuberkuloid (TT)

2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

3. Tipe Borderline (BB)

4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)

5. Tipe Lepromatous Leprosy (LL)

WHO mengelompokkan penyakit kusta atas dua kelompok :(5)

1. Tipe pausibasiler (PB) terdiri atas :

a. Tipe Intermediate (I)

b. Tipe Tuberkuloid (TT)

c. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

2. Tipe multibasiler (MB) terdiri atas :

a. Tipe Borderline (BB)

b. Tipe Borderline lepromatous (BL)

c. Tipe Lepromatous Leprosy (LL)

Page 7: BAB II Kusta

Gambar 2.1. Borderline Leprosy (8) Gambar 2.2 Borderline Lepromatous Leprosy(12) Gambar 2.3 Lepromatous Leprosy (13)

Gambar 2.4. Indeterminate Leprosy(13) Gambar 2.4. Tuberculoid Leprosy (12) Gambar 2.5. Borderline Tuberculoid Leprosy (13)

Page 8: BAB II Kusta

Tabel 2.1. Gambaran Klinik Bakteriologik, dan Imunologik Kusta Multibasilar (MB)(1)

Sifat Lepromatosa

(LL)

Borderline

Lepromatosa

(BL)

Mid Borderline

(BB)

Lesi

- Bentuk

- Jumlah

- Distribusi

- Permukaan

- Batas

- Anastesia

Makula

Infiltrat difus

Papul

Nodus

Tidak terhitung,

Praktis tidak ada

kulit yang sehat

Simetris

Halus berkilat

Tidak jelas

Biasanya tak

jelas

Makula

Plakat

Papul

Sukar dihitung,

masih ada

Hampir simetris

Halus berkilat

Agak jelas

Tak jelas

Plakat

Dome-shaped

(kubah)

Punch – out

Dapat dihitung,

kulit sehat jelas

ada

Asimetris

Agak kasar, agak

berkilat

Agak jelas

Lebih jelas

BTA

- Lesi kulit Banyak (ada

globus)

Banyak Agak banyak

Page 9: BAB II Kusta

- Sekret

hidung

Banyak (ada

globus)

Biasanya negatif Negatif

Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

Sumber : WHO

Tabel 2.2. Gambaran Klinik Bakteriologik, dan Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)(1)

Sifat Tuberkuloid

(TT)

Borderline

Tuberkuloid

(BT)

Indeterminate

(I)

Lesi

- Bentuk

- Jumlah

- Distribusi

- Permukaan

-

- Batas

- Anastesia

Makula saja;

macula dibatasi

infiltrat

Satu, dapat

beberapa

Asimetris

Kering bersisik

Jelas

Jelas

Makula dibatasi

infiltrate;

infiltrate saja

Beberapa, atau

satu dengan

satelit

Masih asimetris

Kering bersisik

Jelas

Jelas

Hanya infiltrat

Satu atau beberapa

Variasi

Halus, agak

berkilat

Dapat jelas atau

dapat tidak jelas

Tak ada sampai

tidak jelas

BTA

- Lesi kulit Hampir selalu

negatif

Negatif atau

hanya 1+

Biasanya negatif

Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif

lemah atau negatif

Sumber : WHO

Page 10: BAB II Kusta

2.6.2. Klasifikasi kerusakan saraf

Terdapat beracam-macam klasifikasi kerusakan saraf yang didasarkan atas hal berikut:(5)

1. Perlangsungan klinis

Gejala yang muncul yaitu :

a. Neuropati akut : terjadi nyeri spontan

b. Neuropati subakut : tmbulnya nyeri bila dirangsang/palpasi

c. Neuropati kronis : tidak memberikan keluhan nyeri

2. Gangguan fungsi

Gejala-gejala pada periode iritatif sebagai berikut :

a. Sensoris : disestesi, parestesi, hiperalgesi

b. Motoris : fibrilasi otot, kramp

Gejala-gejala pada periode defisif sebagai berikut :

a. Sensoris : hipestesi, anestesi

b. Motoris : paresis, paralisis

c. Autonom : tidak adanya keringat karena paralisis

3. Anatomi

Pada penyakit kusta terdapat predileksi khusus dari saraf-saraf yang diserang yaitu:

a. Nervus ulnaris

b. Nervus medianus

Page 11: BAB II Kusta

c. Nervus radialis

d. Nervus peroneus komunis

e. Nervus tibialis posterior

f. Nervus fasialis

Gambar 2.6. Claw hand pada kelumpuhan nervus ulnaris Gambar 2.7. Wrist Drop(11)

dan nervus medianus (11)

2.7. REAKSI KUSTA

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang

sebenarnya sangat kronik. (1)

a. E.N.L (Eritema nodusum leprosum)

E.N.L. terutama timbul pada lepromatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti makin

tinggi multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya E.N.L. Pada kulit akan timbul

gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan

tungkai.(1)

b. Reaksi reversal atau reaksi upgrading

Terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya

dengan cara mendadak dan cepat. Gejala klinis ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi

yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu relatif singkat. Artinya

Page 12: BAB II Kusta

lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula

menjadi infiltrat, lesi infiltrate makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah luas.(1)

2.8. KECACATAN KUSTA

a. Cacat Primer

Cacat primer disebabkan langsung oleh aktivitas penyakitnya sendiri yang meliputi

kerusakan akibat respons jaringan terhadap kuman penyebab. Kecacatan primer ini secara

langsung dapat mengenai kulit, tulang rawan, tulang dan kelenjar.(5)

b. Cacat Sekunder

Cacat sekunder adalah cacat yang tidak langsung disebabkan oleh penyakitnya

sendiri, tetapi diakibatkan oleh adanya anestesi dan paralise dari motoris. Keadaan ini pada

akhirnya dapat berakibat timbulnya berbagai bentuk luka, meliputi luka bakar, luka iris,

luka memar, distorsi sendi, dan sebagainya.(5)

Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya kecacatan dan perjalanannya antara

lain berhubungan dengan penderitanya sendiri, dengan penyakitnya, dan faktor lain adalah

sebagai berikut. (5)

1. Faktor yang berhubungan dengan penderitanya sendiri

a. Umur

Anak dan dewasa muda, lebih jarang daripada orang tua

b. Jenis kelamin

Pria lebih sering dari wanita

2. Faktor yang berhubungan dengan penyakitnya sendiri

a. Lamanya menderita sakit

Page 13: BAB II Kusta

b. Tipe penyakitnya

c. Saraf perifer yang diserang

3. Faktor lain

a. Pengobatan

b. Pekerjaan

c. Intelegensi

Page 14: BAB II Kusta

Tabel 2.3. Klasifikasi kecacatan menurut WHO, 1979

Derajat Tangan Kaki Mata Lain-lain

I Anestesi ulkus

superfisial

Anestesi ulkus

superfisial

Konjungtivitis Menyerang

laring

II Ulkus yang

dalam (belum

sampai tulang)

claw hand yang

masih mobil

Ulkus yang

dalam (belum

sampai

tulang) claw

toes

Lagopthalmus,

iritis atau

keratitis, mata

kabur

Kollaps pada

hidung

Absorbsi ringan

(sendi

interfalang

masih ada)

Absorpsi

ringan Drop

Out

Ulkus yang

dalam (mengenai

tulang) sendi tak

dapat digerakkan

Ulkus yang

dalam

(mengenai

tulang),

kecacatan otot

Mata kabur

yang berat

(jarak pandang

1 m)

Paralisis

fasialis

III Kontraktur

Absorpsi berat

(sendi

interfalang

hilang)

Absorpsi berat

(kurang 75 %

penyangga

BB yang

tersedia)

Kebutaan

Sumber : WHO

Page 15: BAB II Kusta

2.9. DIAGNOSIS

Diagnosis penyakit kusta biasanya dibuat dengan pemeriksaan klinik dibantu dengan

pemeriksaan bakteriologik, histopatologik, imunologi dan lain-lain. Tanda-tanda cardinal kusta

adalah anestesi, penebalan saraf di daerah yang terkena, adanya lesi-lesi kulit, ditemukan BTA.(5)

Diagnosis penyakit kusta dapat ditegakkan jika dijumpai paling sedikit dua dari tanda

cardinal yang pertama.(5)

Pemeriksaan laboratorium penyakit kusta meliputi:(5)

1. Pemeriksaan bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologik bertujuan untuk membantu menentukan diagnosis,

membantu menentukan klasifikasi, menilai hasil pengobatan, mencurigai resistensi terhadap

obat. Pemeriksaan bakteriologik terdiri dari :

a. Pemeriksaan apusan kulit

b. Kerokan hidung

c. Biopsi kulit atau saraf

2. Pemeriksaan histopatologik

Pemeriksaan histopatologik dapat membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit

kusta apabila manifestasi klinik dan bakteriologik tidak jelas.

3. Pemeriksaan imunologik

Pemeriksaan imunologik ini dilakukan tidak untuk menegakkan diagnosis, tetapi

hanya untuk membantu dalam menentukan klasifikasi dan perjalanan penyakit kusta.

Pemeriksaan imunologik terdiri atas :

1. Tes Lepromin

Page 16: BAB II Kusta

2. Tes Histamin

2.10. DIAGNOSIS BANDING

Hipopigmentasi atau plak eritematosa merupakan tanda klinis yang sering dijumpai pada

pasien yang baru didiagnosis sebagai kusta. Karena banyak kondisi lain menghasilkan lesi yang

serupa. Selain itu harus disertai dengan kehilangan sensori yang pasti untuk mendiagnosis

sebagai kusta. (14)

Telah terlihat bahwa beberapa hipestesi lesi kadang-kadang terlihat pada kondisi selain

kusta seperti dermatitis kronis dengan lesi kulit yang terjadi likenifikasi. Sedangkan lesi kulit

tanpa kehilangan sensori dapat juga dibingungkan dengan beberapa umum dermatosis sehingga

menghasilkan salah diagnosa. Di lapangan, kondisi lesi plak eritematosa kusta dapat sebagai

tinea, psoriasis, lupus vulgaris dan bercak hipopigmentasi sering dibingungkan dengan pityriasis

alba, pityriasis versicolor, dan vitiligo.(14)

Kelainan kulit yang menyerupai kusta :(5)

1. Makula hipopigmentasi

a. Pitiriasis alba

Merupakan macula berbentuk bulat, warna putih, lokalisasi pada muka.

Lesi dapat tunggal atau multiple dan banyak pada pipi. Biasanya menghilang

setelah anak dewasa. Tidak didapatkan penebalan saraf dan tes histamin normal.

b. Pitiriasis versikolor

Biasanya hipopigmentasi yang asimptomatik, multiple, jarang pada muka,

banyak pada badan da lengan. Diagnose dapat ditegakkan dengan pemeriksaan

KOH 10%, didapatkan spora, hifa pada kerokan kulit.

Page 17: BAB II Kusta

c. Dermatitis seboroik

Hipopigmentasi pada dada dan muka yang mirip dengan kusta. Adanya

gatal, skuama dan ketombe kulit kepala menunjukkan suatu dermatitis seboroik.

d. Tinea corporis

Bila perada pada aerah intertriginosa, lesi dapat hipopigmentasi. Kadang-

kadang tidak gatal, tetapi tidak anastesi.

e. Psoriasis

Lesi kulit yang khas berupa erupsi skuama berlapis seperti mika dengan

dasar yag eritematosa, lesi yang bervariasi banyak, dan dapat menyerang kulit

kepala, daerah fleksor, dan jari-jari.

2.11. PENGOBATAN

Pada tahun 1981, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan penggunaan

Multy Drug Treatment (MDT) untuk penderita kusta multibasiler (MB-MDT), menggunakan

dapson, rifampisin dan clofazimine untuk jangka waktu 24 bulan. Selanjutnya, ahli WHO pada

komite kusta (1998) merekomendasikan pemendekan MB-MDT sampai 12 bulan. Pengenalan

rejimen oleh WHO tahun 1981 MDT bertujuan untuk mengontrol terjadinya resistensi primer

dan sekunder terhadap pengobatan monoterapi, untuk mencegah resistensi lebih lanjut dari

Mycobacterium leprae terhadap antibiotik lainnya dan juga untuk mencegah terjadinya relaps.

MDT diperkenalkan dengan manfaat tambahan seperti pemantauan intens pasien, cakupan

populasi yang terkena dampak, peningkatan kedekatan antara penderita kusta dengan tenaga

medis. (15)

Obat tersebut diantaranya adalah rifampisin adalah obat anti kusta yang paling penting

dan merupakan dalam rejimen untuk tipe kusta pausibasiler (PB) dan multibasiler, (MB).

Page 18: BAB II Kusta

Meskipun WHO telah menyatakan bahwa tidak ada efek toxic yang dilaporkan obat ini pada

laporan bulanan, banyak penulis telah melaporkan rifampisin sebagai penyebab erupsi kulit,

thrombocytopenic purpura, hepatitis, sindrom seperti flu, anemia hemolitik, shock, insufisiensi

pernapasan dan gagal ginjal akut. Clofazimine paling aktif bila diberikan setiap hari, ditoleransi

dengan baik dan hampir tidak beracun, sedangkan Dapson biasa sangat aman dalam dosis yang

digunakan dalam MDT, dan menurut WHO efek samping yang jarang. efek samping utama

adalah reaksi alergi kulit, namun anemia hemolitik, methaemoglobinemia, ikterus,

agranulositosis, reaksi psikotik, dan 'sindrom dapson' juga telah dilaporkan.(15)

Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk membunuh kuman M.leprae sehingga tidak

berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit menjadi berkurang.(5)

Rejimen Pengobatan sebagai berikut : (5)

1. Tipe PB dengan lesi tunggal

Diberikan dosis tunggal rifampicine-ofloxacine-minocycline (ROM). Pada

dewasa(50-70 kg) diberikan Rifampisin 600 mg, Ofloxacin 400 mg, Minocycline 100

mg. Pada anak (5-14 tahun). Diberikan Rifampisin 300 mg, Ofloxacin 200 mg,

Minocycline 50 mg.

Pemberian pengobatan sekali saja dan langsung release from treatment (RFT).

Obat ditelan didepan petugas. Anak < 5 tahun dan ibu hami tidak diberikan ROM.

ROM merupakan bakterisidal baru yang diharapkan lebih diberikan sebagai dosis

tunggal.

2. Monoterapi

Page 19: BAB II Kusta

Dapson = DDS, Diamino Diphenyl Sulfon. Bersifat bakteriostatik yaitu

menghalangi/menghambat pertumbuhan kuman kusta.

Dosis :

a. Dewasa : 100mg/hari, secaraterus menerus

b. Anak-anak : 1-2 mg/kgBB/hari

Lama pengobatan, tergantung dari tipe penyakitnya.

Tipe T : ± 3 ½ tahun

Tipe I : 6 tahun

Tipe B/L : 10 – 15 tahun bahkan lebih

3. Multi Drug Treatment (MDT)

Sejak timbulnya masalah resistensi terhadap DDS, telah diambil suatu

kebijaksanaan untuk mengadakan perubahan dari pengobatan tunggal DDS menjadi

pengonbatan kombinasi. Tujuan pengobatan kombinasi adalah mencegah resistensi

terhadap obat hususnya DDS, mengobati resistensi yang telah ada, memperpendek

waktu pengobatan, pemutusan mata rantai penularan menjadi lebih cepat.

Rejimen pengobatan kombinasi sebagai berikut :

a. Pausibasiler :

Dapson 100 mg/hari, makan dirumah

Rifampisin 600 mg/bulan, makan dimuka petugas

Lamanya pengobatan 6 bulan, maksimal 9 bulan (6 dosis rifampisin).

Penderita yang tidak cocok dengan dapson, dapat diganti dengan klofasimin.

Page 20: BAB II Kusta

Penderita yang telah mendapat 6 dosis MDT dalam 6 bulan atau maksimal 9 bulan

dapat langsung dinyatakan RFT, asal tidak timbul lesi baru atau lesi semula

melebar.

b. Multibasiler :

Dapson 100 mg/hari, minum dirumah

Rifampisin 600 mg/bulan, minum dimuka petugas

Klofasimin (Lampren) 50 mg/hari, diminum di rumah dan 300 mg/bulan, diminum

dimuka petugas.

Lamanya pengobatan : 12 bulan, maksimal 18 bulan (12 dosis Rifampisin).

Bila ada kontraindikasi dapat diberikan kombinasi 600 mg rifampisin, 400 mg

ofloksasin dan 100 mg minosiklin selama 24 bulan.

4. Obat Antikusta Lain

a. Golongan Fluorokuinolon

Dari beberapa penelitian golongan kuinolon yang aktif terhadap M.leprae

adalah pefloksasin, ofloksasin dan sparfloksasin. Ofloksasin merupakan turunan

fluorokuinlon yang paling aktif terhadap M.Leprae in vitro. Dosis optimal harian

adalah 400 mg. dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman

M.Leprae hidup sebesar 99,9%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan

saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia,

nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi. Penggunaan pada anak, remaja,

wanita hamil dan menyusui harus hati-hati.(1, 5)

b. Etionamid / protionamid

Page 21: BAB II Kusta

Merupakan obat yang bersifat bakterisid terhadap M.leprae tetapi kurang kuat

dibandingkan rifampisin. Dosis yang digunakam 250-500 mg/hari untuk dewasa dan

4-5 mg/kgBB/hari untuk anak-anak. Untuk Indonesia obat ini tidak atau jarang

dipakai. (1, 5)

c. Golongan tiourea

Yang termasuk golongan ini adalah tiasetazon dan tiambutozin.

d. Minoksilin dan klaritromisin

Minosiklin termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Kurang bakterisidal

dibandingkan dengan rifampisin tetapi lebih efektif jika dibandingkan dengan dapson

dan klofasimin. Dosis standar harian 100 mg. Klaritromisin merupakan kelompok

antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap M.Leprae pada

tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat

membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari.(1, 5)

Pada reaksi kusta ENL obat yang sering digunakan adalah tablet kortikosteroid, antara

lain prednison. Dosisnya bergantung dari berat ringannya penyakit, biasanya prednisone 15-30

mg sehari, kadang- kadang lebih. Ada lagi obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu

thalidomide, tetapi harus berhati-hati karena memiliki efek teratogenik. Klofazimin keuali

sebagai obat antikusta dapat juga sebagai anti-reaksi ENL.(1)

Pada pengobatan reaksi reversal bila ada neuritis akut obat pilihan pertama adalah

kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan

prednisone 40-60 mg sehari kemudian diturunkan perlahan-lahan.(1)

Page 22: BAB II Kusta

2.12. PROGNOSIS

Beberapa tahun pertama setelah di terapi, masalah yang paling sulit adalah pengelolaan

sekunder terhadap perubahan defisit neurologis dan kontraktur pada tangan dan kaki.

Amyloidosis sekunder dengan gagal ginjal dapat mempersulit lamanya penyakit kusta. Reaksi

kusta tipe 1, dapat terjadi dalam 2-4 bulan pada individu dengan BT dan sampai 9 bulan pada

individu dengan BL. Reaksi kusta tipe 2 (ENL) terjadi pada 50% individu dengan LL dan 25%

dari mereka dengan BL dalam 2 tahun pertama pengobatan. ENL dapat dapat menyebabkan

komplikasi seperti uveitis, dacryocytitis, artritis, neuritis, limfadenitis, myositis, orkitis. (16)

2.13. PENCEGAHAN

Pencegahan khusus penyakit kusta belum ada. Salah satu upaya dalam pemberantasan

penyakit menular ini adalah dengan melakukan vaksinasi. Dalam upaya pengembangan vaksin

ada dua pendekatan yaitu :(5)

a. Imunoprofilaksis yang merupakan upaya untuk mendapatkan kekebalan pada orang yang

sehat yang mempunyai risiko untuk tertular kusta (prophylactic vaccine)

b. Imunoterapi bertujuan untuk memperbaki sistem imunitas seluler pada penderita kusta

lepromatosa di daerah enemik kusta yang tinggi (therapeutic vaccine). Sampai saat ini

berbagai penelitian vaksin untuk penyakit kusta, salah satu diantaranya adalah dengan vaksin

BCG, baik itu menggunakan BCG saja maupun dengan menggunakan campuran BCG dan

kuman M.leprae.

Meskipun vaksin BCG telah dirasionalisasi untuk digunakan dalam tuberkulosis,

perannya dalam pencegahan kusta dihipotesiskan pada awal 1939. Observasi ini kemudian

dikonfirmasi oleh beberapa peneliti dan menyebabkan serangkaian studi untuk mengevaluasi

efektivitas pelindung dari BCG terhadap lepra. Kisaran perlindungan diamati dalam penelitian

Page 23: BAB II Kusta

adalah sangat luas, yaitu 20-90%. Variasi efek perlindungan telah dikaitkan dengan beberapa

faktor yaitu strain, dosis dan jadwal vaksinasi BCG, karakteristik genetik dan fisiologis

penduduk, lingkungan mikobakteri dan bentuk penyakit dalam spektrum penyakit kusta.(17)

Adapun cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention disabilities

(POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang

cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai

gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin.(1)