bab ii kusta
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium
leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan
mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat. (1)
2.2. ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A Hansen pada
tahun 1874 di Norwegia. M.leprae berbentuk basil engan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam
dan alcohol serta Gram-positif.(1)
2.3. EPIDEMIOLOGI
Penderita kusta tersebar diseluruh dunia dengan jumlah yang tercatat pada tahun 2000
berdasarkan WHO untuk kasus baru yang dilaporkan sebanyak 738.284 kasus. Sesuai data
Departemen Kesehatan Indonesia pada akhir April 1999, jumlah penderita kusta yang terdaftar di
Sulawesi Selatan sebesar 1.787 penderita yang terdiri penderita pausibasiler (PB) sebanyak 271
penderita dan MB sebanyak 1.516 penderita. Prevalensi kustayang terdaftar sebesar 2,2/10.000
penduduk.(5)
Di Kotamadya Makassar, data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Tingkat II sampai
April 1999 tercatat jumlah penderita kusta sebesar 74 penderita yang terdiri dari PB sebanyak 16
penderita dan MB sebanyak 58 penderita. Penderita baru selang tahun tersebut sebanyak 64
penderita yang terdiri dari PB sebanyak 20 dan MB sebanyak 44 penderita. Di Poliklinik Kulit
dan Kelamin RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar antara April 1998 – April 1999
terdapat 144 penderita yang terdiri dari PB sebanyak 55 penderita dan MB sebanyak 89
penderita.(5)
Penyakit kusta dapat menyerang semua orang, pria lebih banyak terkena dibanding
wanita dengan perbandingan 2:1, walaupun ada beberapa daerah yang menunjukkan insidens ini
hampir sama bahkan ada daerah yang menunjukkan penderita wanita lebih banyak.(5)
Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun demikian jarang dijumpai pada umur
yang sangat muda. Serangan untuk pertama kalinya diatas 70 tahun sangat jarang. Frekuensi
terbanyak adalah 15-29 tahun walaupun pernah didapatkan di pulau Nauru pada keadaan
epidemik penyebaran hampir sama pada semua umur.(5)
Beberapa faktor yang dapat berperan dalam kejadian kusta antara lain selain iklim, status
gizi, status sosial ekonomi dan genetik. Pada observasi menyatakan bahwa ada hubungan antara
kondisi sanitasi yang jelek dengan faktor risiko terjadinya kusta seperti yang dilaporkan dari
Malawi dan Punjab. (5, 7)
Nampaknya prevalensi dan insidens penyakit kusta bervariasi dari satu negara ke negara
lain dan bahkan satu wilayah dengan wilayah lain walaupun dalam satu negara sekalipun. (5)
2.4. PATOGENESIS
Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda. Banyak pasien terlihat kebal,
tapi menunjukkan kejadian imunologi tanpa pajanan utama dengan aktivasi limfosit ketika
terpapar antigen lepra. Pasien yang terinfeksi, penyembuhan sendiri terjadi pada tuberkuloid
polar.(8-10)
Bila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai
dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas selular
(SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid.(5)
Patogenesis dan gambaran klinis merefleksikan 4 sebab utama kerusakan jaringan.
Pertama derajat dimana imunitas mediasi sel diekspresikan. Lepra lepromatous
merepresentasikan kegagalan imun mediasi sel terhadap M.leprae dengan multipikasi bakteri,
penyebaran dan akumulasi antigen pada jaringan terinfeksi. Ketidakadaan limfosit yang
teraktivasi dan makrofag berarti kerusakan saraf berlangsung lambat dan gradual. Pada lepra
tuberkuloid, imun mediasi sel terekspresi secara kuat. Jadi infeksi direstrisikan pada satu atau
beberapa daerah kulit dan saraf tepi. Infiltrasi limfosit secara cepat menyebabkan kerusakan
saraf. Diantara 2 polar, ada bentuk borderline penyakit, dengan tingkat penyakit merefleksikan
keseimbangan imun mediasi sel dan beban basil.(9)
Kedua, tingkat penyebaran basil dan multipikasi. Dalam lepra lepromatous, penyebaran
basil melalui darah terjadi pada bagian superficial, termasuk mata, mukosa respiratori atas, testis,
otot kecil, tulang tangan, kaki, dan wajah, sebagaimana penyebaran pada saraf dan kulit. Pada
lepra tuberkuloid, multipikasi bakteri terbatas pada tempat tertentu dan basil tidak ditemukan
pada pembacaan. (9)
Ketiga, kehadiran komplikasi imunologi kerusakan jaringan : reaksi lepra Lepromatous,
BL) secara imunologis tidak stabil dan berisiko mengembangkan reaksi mediasi imunologi,
Reaksi tipe I (reversal) adalah reaksi hipersensitivitas delayed disebabkan peningkatan
munculnya M.leprae di kulit dan saraf. Reaksi tipe 2, eritema nodusum leprosum (ENL) karena
sebagian kompleks imun mengendap, dan terjadi pada pasien BL dan LL, yang memproduksi
antibodi dan punya beban antigen yang besar. (9)
Keempat, perkembangan kerusakan saraf dan komplikasinya. Kerusakan saraf terjadi
dalam 2 pengaturan, pada lesi kulit dan batang saraf tepi. Pada lesi kulit, serabut saraf otonom
dan sensoridermal yang mensuplai dermis dan subkutan rusak, mengakibatkan kehilangan
sensori lokal, dan tidak dapat berkeringat pada lesi kulit.(9)
Kelima, batang saraf tepi rentan terkena dimana mereka terletak superficial dan dalam
terowongan fibrosa. Pada tahap ini, peningkatan diameter saraf menyebabkan naiknya tekanan
intraneural, dengan konsekuensi kompresi saraf dan iskemik. Kerusakan pada batang saraf
perifer menghasilkan karakteristik kehilangan sensori dermatomal dan disfungsi otot yang
disuplai sarat tersebut.(9)
2.5. GAMBARAN KLINIS
Manifestasi klinis penyakit kusta biasanya menunjukkan gambaran yang jelas pada
stadium yang lanjut, dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisis saja. Suatu
penderita kusta adalah seseorang yang menunjukkan gejala klinis kusta dengan atau tanpa
pemeriksaan bakteriologis dan memerlukan suatu pengobatan.(5)
Gejala dan keluhan penyakit tergantung pada :(5, 11)
a. Multipikasi dan diseminata kuman M.leprae
b. Respon imun penderita terhadap kuman M.Leprae
c. Komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer
Ada 3 tanda cardinal yang kalau salah satunya ada sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari
penyakit kusta yakni :(5)
1. Lesi kulit yang anastesi
2. Penebalan saraf perifer
3. Ditemukannya M.leprae
1). Lesi kulit yang anastesi
Makula atau plakat atau lebih jarang pada papul atau nodul dengan hilangnya rasa raba,
rasa sakit dan suhu yang jelas. Kelainan lain pada kulit yang spesifik berupa perubahan warna
dan tekstur kulit serta kelainan pertumbuhan rambut.(5)
2). Penebalan saraf perifer
Penebalan saraf perifer sangat jarang ditemukan kecuali pada penyakit kusta. Pada daerah
endemik kusta penemuan adanya penebalan saraf perifer dapat dipakai utntuk menegakkan
diagnosis.(5)
3). Adanya M.leprae
Mycobacterium leprae terutama terdapat pada kulit, mukosa hidung dan saraf perifer
yang superfisial dan dapat ditunjukkan dengan apusan sayatan kulit atau kerokan mukosa
hidung.(5)
Kelainan kulit dapat berupa makula hipopigmentsi, eritema, infiltrate atau nodul. Jumlah
lesi bisa satu, beberapa atau hampir mengenai seluruh tubuh, dapat simetris atau asimetris. Bisa
ditemukan gangguan pembentukkan keringat dan kerontokan rambut akibat gangguan saraf
otonom.(5)
2.6. KLASIFIKASI
2.6.1. Klasifikasi penyakit kusta
Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi menahun yang disebabkan oleh M.leprae.
Mula-mula kuman ini menyerang kulit, mukosa, saluran napas, sistem retikuloendotelial, mata,
otot, tulang dan testis.(5)
Terdapat berbagai klasifikasi penyakit kusta sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan. Sampai saat ini untuk klasifikasi yang dipakai pada penelitian terbanyak adalah
klasifikasi Ridley & Jopling. Klasifikasi ini berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,
histopatologis dan mempunyai korelasi dengan tingkat imunologis, yaitu membagi penyakit
kusta dalam 5 tipe yaitu :(5)
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
3. Tipe Borderline (BB)
4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)
5. Tipe Lepromatous Leprosy (LL)
WHO mengelompokkan penyakit kusta atas dua kelompok :(5)
1. Tipe pausibasiler (PB) terdiri atas :
a. Tipe Intermediate (I)
b. Tipe Tuberkuloid (TT)
c. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
2. Tipe multibasiler (MB) terdiri atas :
a. Tipe Borderline (BB)
b. Tipe Borderline lepromatous (BL)
c. Tipe Lepromatous Leprosy (LL)
Gambar 2.1. Borderline Leprosy (8) Gambar 2.2 Borderline Lepromatous Leprosy(12) Gambar 2.3 Lepromatous Leprosy (13)
Gambar 2.4. Indeterminate Leprosy(13) Gambar 2.4. Tuberculoid Leprosy (12) Gambar 2.5. Borderline Tuberculoid Leprosy (13)
Tabel 2.1. Gambaran Klinik Bakteriologik, dan Imunologik Kusta Multibasilar (MB)(1)
Sifat Lepromatosa
(LL)
Borderline
Lepromatosa
(BL)
Mid Borderline
(BB)
Lesi
- Bentuk
- Jumlah
- Distribusi
- Permukaan
- Batas
- Anastesia
Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Tidak terhitung,
Praktis tidak ada
kulit yang sehat
Simetris
Halus berkilat
Tidak jelas
Biasanya tak
jelas
Makula
Plakat
Papul
Sukar dihitung,
masih ada
Hampir simetris
Halus berkilat
Agak jelas
Tak jelas
Plakat
Dome-shaped
(kubah)
Punch – out
Dapat dihitung,
kulit sehat jelas
ada
Asimetris
Agak kasar, agak
berkilat
Agak jelas
Lebih jelas
BTA
- Lesi kulit Banyak (ada
globus)
Banyak Agak banyak
- Sekret
hidung
Banyak (ada
globus)
Biasanya negatif Negatif
Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif
Sumber : WHO
Tabel 2.2. Gambaran Klinik Bakteriologik, dan Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)(1)
Sifat Tuberkuloid
(TT)
Borderline
Tuberkuloid
(BT)
Indeterminate
(I)
Lesi
- Bentuk
- Jumlah
- Distribusi
- Permukaan
-
- Batas
- Anastesia
Makula saja;
macula dibatasi
infiltrat
Satu, dapat
beberapa
Asimetris
Kering bersisik
Jelas
Jelas
Makula dibatasi
infiltrate;
infiltrate saja
Beberapa, atau
satu dengan
satelit
Masih asimetris
Kering bersisik
Jelas
Jelas
Hanya infiltrat
Satu atau beberapa
Variasi
Halus, agak
berkilat
Dapat jelas atau
dapat tidak jelas
Tak ada sampai
tidak jelas
BTA
- Lesi kulit Hampir selalu
negatif
Negatif atau
hanya 1+
Biasanya negatif
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif
lemah atau negatif
Sumber : WHO
2.6.2. Klasifikasi kerusakan saraf
Terdapat beracam-macam klasifikasi kerusakan saraf yang didasarkan atas hal berikut:(5)
1. Perlangsungan klinis
Gejala yang muncul yaitu :
a. Neuropati akut : terjadi nyeri spontan
b. Neuropati subakut : tmbulnya nyeri bila dirangsang/palpasi
c. Neuropati kronis : tidak memberikan keluhan nyeri
2. Gangguan fungsi
Gejala-gejala pada periode iritatif sebagai berikut :
a. Sensoris : disestesi, parestesi, hiperalgesi
b. Motoris : fibrilasi otot, kramp
Gejala-gejala pada periode defisif sebagai berikut :
a. Sensoris : hipestesi, anestesi
b. Motoris : paresis, paralisis
c. Autonom : tidak adanya keringat karena paralisis
3. Anatomi
Pada penyakit kusta terdapat predileksi khusus dari saraf-saraf yang diserang yaitu:
a. Nervus ulnaris
b. Nervus medianus
c. Nervus radialis
d. Nervus peroneus komunis
e. Nervus tibialis posterior
f. Nervus fasialis
Gambar 2.6. Claw hand pada kelumpuhan nervus ulnaris Gambar 2.7. Wrist Drop(11)
dan nervus medianus (11)
2.7. REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. (1)
a. E.N.L (Eritema nodusum leprosum)
E.N.L. terutama timbul pada lepromatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti makin
tinggi multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya E.N.L. Pada kulit akan timbul
gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan
tungkai.(1)
b. Reaksi reversal atau reaksi upgrading
Terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya
dengan cara mendadak dan cepat. Gejala klinis ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi
yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu relatif singkat. Artinya
lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula
menjadi infiltrat, lesi infiltrate makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah luas.(1)
2.8. KECACATAN KUSTA
a. Cacat Primer
Cacat primer disebabkan langsung oleh aktivitas penyakitnya sendiri yang meliputi
kerusakan akibat respons jaringan terhadap kuman penyebab. Kecacatan primer ini secara
langsung dapat mengenai kulit, tulang rawan, tulang dan kelenjar.(5)
b. Cacat Sekunder
Cacat sekunder adalah cacat yang tidak langsung disebabkan oleh penyakitnya
sendiri, tetapi diakibatkan oleh adanya anestesi dan paralise dari motoris. Keadaan ini pada
akhirnya dapat berakibat timbulnya berbagai bentuk luka, meliputi luka bakar, luka iris,
luka memar, distorsi sendi, dan sebagainya.(5)
Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya kecacatan dan perjalanannya antara
lain berhubungan dengan penderitanya sendiri, dengan penyakitnya, dan faktor lain adalah
sebagai berikut. (5)
1. Faktor yang berhubungan dengan penderitanya sendiri
a. Umur
Anak dan dewasa muda, lebih jarang daripada orang tua
b. Jenis kelamin
Pria lebih sering dari wanita
2. Faktor yang berhubungan dengan penyakitnya sendiri
a. Lamanya menderita sakit
b. Tipe penyakitnya
c. Saraf perifer yang diserang
3. Faktor lain
a. Pengobatan
b. Pekerjaan
c. Intelegensi
Tabel 2.3. Klasifikasi kecacatan menurut WHO, 1979
Derajat Tangan Kaki Mata Lain-lain
I Anestesi ulkus
superfisial
Anestesi ulkus
superfisial
Konjungtivitis Menyerang
laring
II Ulkus yang
dalam (belum
sampai tulang)
claw hand yang
masih mobil
Ulkus yang
dalam (belum
sampai
tulang) claw
toes
Lagopthalmus,
iritis atau
keratitis, mata
kabur
Kollaps pada
hidung
Absorbsi ringan
(sendi
interfalang
masih ada)
Absorpsi
ringan Drop
Out
Ulkus yang
dalam (mengenai
tulang) sendi tak
dapat digerakkan
Ulkus yang
dalam
(mengenai
tulang),
kecacatan otot
Mata kabur
yang berat
(jarak pandang
1 m)
Paralisis
fasialis
III Kontraktur
Absorpsi berat
(sendi
interfalang
hilang)
Absorpsi berat
(kurang 75 %
penyangga
BB yang
tersedia)
Kebutaan
Sumber : WHO
2.9. DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit kusta biasanya dibuat dengan pemeriksaan klinik dibantu dengan
pemeriksaan bakteriologik, histopatologik, imunologi dan lain-lain. Tanda-tanda cardinal kusta
adalah anestesi, penebalan saraf di daerah yang terkena, adanya lesi-lesi kulit, ditemukan BTA.(5)
Diagnosis penyakit kusta dapat ditegakkan jika dijumpai paling sedikit dua dari tanda
cardinal yang pertama.(5)
Pemeriksaan laboratorium penyakit kusta meliputi:(5)
1. Pemeriksaan bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik bertujuan untuk membantu menentukan diagnosis,
membantu menentukan klasifikasi, menilai hasil pengobatan, mencurigai resistensi terhadap
obat. Pemeriksaan bakteriologik terdiri dari :
a. Pemeriksaan apusan kulit
b. Kerokan hidung
c. Biopsi kulit atau saraf
2. Pemeriksaan histopatologik
Pemeriksaan histopatologik dapat membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit
kusta apabila manifestasi klinik dan bakteriologik tidak jelas.
3. Pemeriksaan imunologik
Pemeriksaan imunologik ini dilakukan tidak untuk menegakkan diagnosis, tetapi
hanya untuk membantu dalam menentukan klasifikasi dan perjalanan penyakit kusta.
Pemeriksaan imunologik terdiri atas :
1. Tes Lepromin
2. Tes Histamin
2.10. DIAGNOSIS BANDING
Hipopigmentasi atau plak eritematosa merupakan tanda klinis yang sering dijumpai pada
pasien yang baru didiagnosis sebagai kusta. Karena banyak kondisi lain menghasilkan lesi yang
serupa. Selain itu harus disertai dengan kehilangan sensori yang pasti untuk mendiagnosis
sebagai kusta. (14)
Telah terlihat bahwa beberapa hipestesi lesi kadang-kadang terlihat pada kondisi selain
kusta seperti dermatitis kronis dengan lesi kulit yang terjadi likenifikasi. Sedangkan lesi kulit
tanpa kehilangan sensori dapat juga dibingungkan dengan beberapa umum dermatosis sehingga
menghasilkan salah diagnosa. Di lapangan, kondisi lesi plak eritematosa kusta dapat sebagai
tinea, psoriasis, lupus vulgaris dan bercak hipopigmentasi sering dibingungkan dengan pityriasis
alba, pityriasis versicolor, dan vitiligo.(14)
Kelainan kulit yang menyerupai kusta :(5)
1. Makula hipopigmentasi
a. Pitiriasis alba
Merupakan macula berbentuk bulat, warna putih, lokalisasi pada muka.
Lesi dapat tunggal atau multiple dan banyak pada pipi. Biasanya menghilang
setelah anak dewasa. Tidak didapatkan penebalan saraf dan tes histamin normal.
b. Pitiriasis versikolor
Biasanya hipopigmentasi yang asimptomatik, multiple, jarang pada muka,
banyak pada badan da lengan. Diagnose dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
KOH 10%, didapatkan spora, hifa pada kerokan kulit.
c. Dermatitis seboroik
Hipopigmentasi pada dada dan muka yang mirip dengan kusta. Adanya
gatal, skuama dan ketombe kulit kepala menunjukkan suatu dermatitis seboroik.
d. Tinea corporis
Bila perada pada aerah intertriginosa, lesi dapat hipopigmentasi. Kadang-
kadang tidak gatal, tetapi tidak anastesi.
e. Psoriasis
Lesi kulit yang khas berupa erupsi skuama berlapis seperti mika dengan
dasar yag eritematosa, lesi yang bervariasi banyak, dan dapat menyerang kulit
kepala, daerah fleksor, dan jari-jari.
2.11. PENGOBATAN
Pada tahun 1981, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan penggunaan
Multy Drug Treatment (MDT) untuk penderita kusta multibasiler (MB-MDT), menggunakan
dapson, rifampisin dan clofazimine untuk jangka waktu 24 bulan. Selanjutnya, ahli WHO pada
komite kusta (1998) merekomendasikan pemendekan MB-MDT sampai 12 bulan. Pengenalan
rejimen oleh WHO tahun 1981 MDT bertujuan untuk mengontrol terjadinya resistensi primer
dan sekunder terhadap pengobatan monoterapi, untuk mencegah resistensi lebih lanjut dari
Mycobacterium leprae terhadap antibiotik lainnya dan juga untuk mencegah terjadinya relaps.
MDT diperkenalkan dengan manfaat tambahan seperti pemantauan intens pasien, cakupan
populasi yang terkena dampak, peningkatan kedekatan antara penderita kusta dengan tenaga
medis. (15)
Obat tersebut diantaranya adalah rifampisin adalah obat anti kusta yang paling penting
dan merupakan dalam rejimen untuk tipe kusta pausibasiler (PB) dan multibasiler, (MB).
Meskipun WHO telah menyatakan bahwa tidak ada efek toxic yang dilaporkan obat ini pada
laporan bulanan, banyak penulis telah melaporkan rifampisin sebagai penyebab erupsi kulit,
thrombocytopenic purpura, hepatitis, sindrom seperti flu, anemia hemolitik, shock, insufisiensi
pernapasan dan gagal ginjal akut. Clofazimine paling aktif bila diberikan setiap hari, ditoleransi
dengan baik dan hampir tidak beracun, sedangkan Dapson biasa sangat aman dalam dosis yang
digunakan dalam MDT, dan menurut WHO efek samping yang jarang. efek samping utama
adalah reaksi alergi kulit, namun anemia hemolitik, methaemoglobinemia, ikterus,
agranulositosis, reaksi psikotik, dan 'sindrom dapson' juga telah dilaporkan.(15)
Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk membunuh kuman M.leprae sehingga tidak
berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit menjadi berkurang.(5)
Rejimen Pengobatan sebagai berikut : (5)
1. Tipe PB dengan lesi tunggal
Diberikan dosis tunggal rifampicine-ofloxacine-minocycline (ROM). Pada
dewasa(50-70 kg) diberikan Rifampisin 600 mg, Ofloxacin 400 mg, Minocycline 100
mg. Pada anak (5-14 tahun). Diberikan Rifampisin 300 mg, Ofloxacin 200 mg,
Minocycline 50 mg.
Pemberian pengobatan sekali saja dan langsung release from treatment (RFT).
Obat ditelan didepan petugas. Anak < 5 tahun dan ibu hami tidak diberikan ROM.
ROM merupakan bakterisidal baru yang diharapkan lebih diberikan sebagai dosis
tunggal.
2. Monoterapi
Dapson = DDS, Diamino Diphenyl Sulfon. Bersifat bakteriostatik yaitu
menghalangi/menghambat pertumbuhan kuman kusta.
Dosis :
a. Dewasa : 100mg/hari, secaraterus menerus
b. Anak-anak : 1-2 mg/kgBB/hari
Lama pengobatan, tergantung dari tipe penyakitnya.
Tipe T : ± 3 ½ tahun
Tipe I : 6 tahun
Tipe B/L : 10 – 15 tahun bahkan lebih
3. Multi Drug Treatment (MDT)
Sejak timbulnya masalah resistensi terhadap DDS, telah diambil suatu
kebijaksanaan untuk mengadakan perubahan dari pengobatan tunggal DDS menjadi
pengonbatan kombinasi. Tujuan pengobatan kombinasi adalah mencegah resistensi
terhadap obat hususnya DDS, mengobati resistensi yang telah ada, memperpendek
waktu pengobatan, pemutusan mata rantai penularan menjadi lebih cepat.
Rejimen pengobatan kombinasi sebagai berikut :
a. Pausibasiler :
Dapson 100 mg/hari, makan dirumah
Rifampisin 600 mg/bulan, makan dimuka petugas
Lamanya pengobatan 6 bulan, maksimal 9 bulan (6 dosis rifampisin).
Penderita yang tidak cocok dengan dapson, dapat diganti dengan klofasimin.
Penderita yang telah mendapat 6 dosis MDT dalam 6 bulan atau maksimal 9 bulan
dapat langsung dinyatakan RFT, asal tidak timbul lesi baru atau lesi semula
melebar.
b. Multibasiler :
Dapson 100 mg/hari, minum dirumah
Rifampisin 600 mg/bulan, minum dimuka petugas
Klofasimin (Lampren) 50 mg/hari, diminum di rumah dan 300 mg/bulan, diminum
dimuka petugas.
Lamanya pengobatan : 12 bulan, maksimal 18 bulan (12 dosis Rifampisin).
Bila ada kontraindikasi dapat diberikan kombinasi 600 mg rifampisin, 400 mg
ofloksasin dan 100 mg minosiklin selama 24 bulan.
4. Obat Antikusta Lain
a. Golongan Fluorokuinolon
Dari beberapa penelitian golongan kuinolon yang aktif terhadap M.leprae
adalah pefloksasin, ofloksasin dan sparfloksasin. Ofloksasin merupakan turunan
fluorokuinlon yang paling aktif terhadap M.Leprae in vitro. Dosis optimal harian
adalah 400 mg. dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman
M.Leprae hidup sebesar 99,9%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan
saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia,
nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi. Penggunaan pada anak, remaja,
wanita hamil dan menyusui harus hati-hati.(1, 5)
b. Etionamid / protionamid
Merupakan obat yang bersifat bakterisid terhadap M.leprae tetapi kurang kuat
dibandingkan rifampisin. Dosis yang digunakam 250-500 mg/hari untuk dewasa dan
4-5 mg/kgBB/hari untuk anak-anak. Untuk Indonesia obat ini tidak atau jarang
dipakai. (1, 5)
c. Golongan tiourea
Yang termasuk golongan ini adalah tiasetazon dan tiambutozin.
d. Minoksilin dan klaritromisin
Minosiklin termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Kurang bakterisidal
dibandingkan dengan rifampisin tetapi lebih efektif jika dibandingkan dengan dapson
dan klofasimin. Dosis standar harian 100 mg. Klaritromisin merupakan kelompok
antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap M.Leprae pada
tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat
membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari.(1, 5)
Pada reaksi kusta ENL obat yang sering digunakan adalah tablet kortikosteroid, antara
lain prednison. Dosisnya bergantung dari berat ringannya penyakit, biasanya prednisone 15-30
mg sehari, kadang- kadang lebih. Ada lagi obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu
thalidomide, tetapi harus berhati-hati karena memiliki efek teratogenik. Klofazimin keuali
sebagai obat antikusta dapat juga sebagai anti-reaksi ENL.(1)
Pada pengobatan reaksi reversal bila ada neuritis akut obat pilihan pertama adalah
kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan
prednisone 40-60 mg sehari kemudian diturunkan perlahan-lahan.(1)
2.12. PROGNOSIS
Beberapa tahun pertama setelah di terapi, masalah yang paling sulit adalah pengelolaan
sekunder terhadap perubahan defisit neurologis dan kontraktur pada tangan dan kaki.
Amyloidosis sekunder dengan gagal ginjal dapat mempersulit lamanya penyakit kusta. Reaksi
kusta tipe 1, dapat terjadi dalam 2-4 bulan pada individu dengan BT dan sampai 9 bulan pada
individu dengan BL. Reaksi kusta tipe 2 (ENL) terjadi pada 50% individu dengan LL dan 25%
dari mereka dengan BL dalam 2 tahun pertama pengobatan. ENL dapat dapat menyebabkan
komplikasi seperti uveitis, dacryocytitis, artritis, neuritis, limfadenitis, myositis, orkitis. (16)
2.13. PENCEGAHAN
Pencegahan khusus penyakit kusta belum ada. Salah satu upaya dalam pemberantasan
penyakit menular ini adalah dengan melakukan vaksinasi. Dalam upaya pengembangan vaksin
ada dua pendekatan yaitu :(5)
a. Imunoprofilaksis yang merupakan upaya untuk mendapatkan kekebalan pada orang yang
sehat yang mempunyai risiko untuk tertular kusta (prophylactic vaccine)
b. Imunoterapi bertujuan untuk memperbaki sistem imunitas seluler pada penderita kusta
lepromatosa di daerah enemik kusta yang tinggi (therapeutic vaccine). Sampai saat ini
berbagai penelitian vaksin untuk penyakit kusta, salah satu diantaranya adalah dengan vaksin
BCG, baik itu menggunakan BCG saja maupun dengan menggunakan campuran BCG dan
kuman M.leprae.
Meskipun vaksin BCG telah dirasionalisasi untuk digunakan dalam tuberkulosis,
perannya dalam pencegahan kusta dihipotesiskan pada awal 1939. Observasi ini kemudian
dikonfirmasi oleh beberapa peneliti dan menyebabkan serangkaian studi untuk mengevaluasi
efektivitas pelindung dari BCG terhadap lepra. Kisaran perlindungan diamati dalam penelitian
adalah sangat luas, yaitu 20-90%. Variasi efek perlindungan telah dikaitkan dengan beberapa
faktor yaitu strain, dosis dan jadwal vaksinasi BCG, karakteristik genetik dan fisiologis
penduduk, lingkungan mikobakteri dan bentuk penyakit dalam spektrum penyakit kusta.(17)
Adapun cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention disabilities
(POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang
cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai
gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin.(1)