tetanus otogenik
DESCRIPTION
kepaniteraan klinik tht tetanus otogenikTRANSCRIPT
TETANUS OTOGENIK
A. DEFINISI
Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat
yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani.
Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan
serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat.
Dalam tubuh kuman ini akan berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin antara
lain tetanospasmin yang secara umum menyebabkan kekakuan, spasme dari otot
bergaris.
B. ETIOLOGI
Tetanus otogenik disebabkan oleh kuman Clostridium tetani yang dapat berkembang
biak pada secret purulen di liang telinga dan dapat masuk ke telinga tengah pada
penderita OMSK. Kuman tersebut juga dapat berasal dari oropharing yang masuk ke
telinga melalui tuba eustachius.
Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk
batang yang langsing dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar
0,3–0,5 um, termasuk gram positif dan bersifat anaerob. Clostridium
Tetani dapat dibedakan dari tipe lain berdasarkan flagella antigen.
Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong
dengan ujung yang butat, khas seperti batang korek api (drum
stick) Sifat spora ini tahan dalam air mendidih selama 4 jam, obat
antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila dipanaskan selama 15–20
menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka spora dapat
hidup di tanah berbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Juga dapat
merupakan flora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing,
kucing, tikus, ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi
bentuk vegetatif dalam anaerob dan kemudian berkembang biak.
2
Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa
antiseptik Kuman tetanus tumbuh subur pada suhu 17°C dalam
media kaldu daging dan media agar darah. Demikian pula dalam
media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat
mengfermentasikan glukosa.
Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2
macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanospasmis merupakan protein dengan berat molekul 150.000
Dalton, larut dalam air labil pada panas dan cahaya, rusak
dengan enzim proteolitik. tetapi stabil dalam bentuk murni dan
kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin
ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat
dan menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot
dan kejang–kejang. Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel–sel darah
merah.
C. EPIDEMIOLOGI
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat jarang
dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di samping
sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang berkembang
termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini disebabkan karena
tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan
luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya
kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.
Perkiraan angka kejadian umur rata–rata pertahun sangat meningkat sesuai
kelompok umur, peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 5–19 tahun dan
20–29 tahun, sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 30–39
tahun dan umur lebih 60 tahun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka kejadian
lebih banyak dijumpa pada anak laki–laki; dengan perbandingan 3:1.
D. PATOFISIOLOGI
Port of entry pada tetanus otogenik yaitu melalui telinga yang
3
sudah lama terinfeksi biasanya pada anak-anak yang sudah lama
mengalami otitis media/ otitis media supuratif kronik. Clostridium
tetani dapat berproliferasi hanya jika potensi oksidase-reduksi lebih
rendah daripada jaringan normal. Luka yang cukup dalam pada
otitis media akut supuratif mendukung kondisi untuk pertumbuhan
dari organism anaerob yang kemudian dapat diikuti dengan tetanus.
Biasanya tidak ada portal masuk yang terlihat ditemukan.
Clostridium tetani masuk kedalam telinga melalui luka dalam bentuk spora.
Pada OMSK kuman ini bias masuk karena kontaminasi saat mengorek telinga, dan
melalui air saat mandi. Pada OMSK terjadi perubahan jaringan di telinga tengah yang
menyebabkan area-area yang relative iskemik sehingga oksigenase jaringan
terganggu. Disamping itu kuman aerob yang ada juga mengkonsumsi oksigen
sehingga keadaan seperti ini menjadi tempat yang baik untuk tumbuhnya kuman
anaerob yang masuk. Masa inkubasi kuman ini adalah 3-14 hari, bisa lebih cepat atau
lama kemudian sampai lingkungan kuman baik untuk tumbuh.
Ketika keadaan mendukung, basil bermultiplikasi pada lokasi tempat inokulasi primer
dan menghasilkan toxin. Toxin kemudian menjelajah secara sentripetal di dalam
axoplasma dari serat alpha motorik dan berakumulasi pada neuron motorik pada
endoplasma reticulum membrane. Pada tahun 1902, Marie dan Morax mengemukakan
rute akses toxin menuju system saraf pusat ini, seperti yang dilakukan Meyer dan
Ransome pada tahun 1903. Terbukti secara eksperimental bahwa toxin tidak
mematikan jika neuron motorik local sudah rusak. Toxin dapat dinetralisir jika bebas
dan hanya sedikit yang dinetralkan jika toxin ini berada pada permukaan sel.
Pinositosis, mengatur toxin, dan mengubahnya menjadi tidak dapat dinetralisir.
Sehingga fiksasi toxin terhadap neuron dan akibat internalisasi menghasilkan efek
irreversible. Pemotongan membrane protein sel neuron host oleh neurotoxin yang
aktif mengkatalis mengakibatkan pada blockade neuroexositosis yang persisten dan
berkesinambungan. Blockade ini mengakibatkan adanya penyebaran impuls yang
tidak terkendali, hiperrefleksia, dan kontraksi otot konstan. Otot yang terkuat,
biasanya ekstensor, mengalami efek yang paling besar. Toxin juga memberikan
pengaruh terhadap system saraf simpatik.
E. GEJALA KLINIS
4
Lokasi sumber infeksi yaitu otitis media dapat terlihat jelas dengan beberapa
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis OMSK yang aktif kemudian diikuti dengan
penggunaan otoskop untuk melihat lokasi perforasi, kondisi remnant membrane
timpani dan cavum timpani. Sebelum terlihat gejala tetanus, pasien biasanya
mengeluhkan gangguan pada telinga seperti adanya gangguan pendengaran atau
adanya riwayat keluar cairan.
Penyakit tetanus otogenik ini bermula secara berangsur-angsur dengan
peningkatan kekakuan otot volunteer secara progresif, biasanya otot rahang dan leher
yang terkena pertama kali. Dalam 24-48 jam setelah onset penyakit, rigiditas dapat
berkembang sempurna dan menyebar cepat sampai seluruh tubuh dan ekstremitas.
Diikuti dengan spasme otot rahang dan trismus (lockjaw). Mengerutnya dahi dan alis
dan sudut dari mulut memberikan penampakan wajah yang aneh yang biasa disebut
risus sardonikus. Leher dan punggung menjadi kaku dan melengkung (opistotonus).
Dinding perut menjadi seperti papan dan ekstremitas biasanya kaku dan ekstensi.
Spasme paroxysmal nyeri yang berlangsung beberapa detik hingga menit
mungkin diprovokasi oleh stimulus ringan pada penglihatan, pendengaran, atau
sentuhan, seperti cahaya lampu, keributan tiba-tiba dan pengengaran pasien. Risus
sardonikus dan opistotonus yang paling terlihat selama spasme ini berlangsung.
Mulanya spasme terjadi pada interval yang jarang, disertai relaksasi sempurna
diantara serangan. Kemudian spasme terjadi lebih sering, lebih panjang, dan lebih
sakit. Keterlibatan otot pernapasan, terjadinya obstruksi laring akibat spasme laring,
atau akumulasi sekresi pada daerah tracheobronkial dapat menyebabkan terjadinya
distress pernapasan, asfiksia, koma dan kematian. Dapat pula terjadi retensi urin
akibat terlibatnya spincter pada kandung kemih.
Manifestasi klinis dari keterlibatan system saraf simpatis dapat berupa
hipertensi labil, takikardia, vosokonstriksi perifer, aritmia, keringat berlebih,
hypercapnia, ekskresi ketokolamin berlebih, dan late-hypotension.
Selama penyakit ini berlangsung, fungs indra pasien biasanya baik. Demam
biasanya rendah bahkan tidak ada. Pasien yang sembuh biasanya afebris. Setelah
beberapa minggu spasme paroxysm berkurang keparahan dan kekerapannya sampai
secara perlahan menghilang. Pada umumnya trismus merupakan gejala terakhir yang
bertahan. Pasien dengan penyakit yang fatal biasanya demam, disertai dengan
kematian pada kebanyakan kasus sebelum penyakit memasuki hari kesepuluh.
Cairan spinal pasien dengan tetanus normal. Sel darah putih perifer juga dapat
5
normal atau sedikit meningkat. Kebanyakan pasien dengan tetanus memperlihatkan
manifestasi menyeluruh (generalized tetanus) seperti dijelaskan diatas. Namun pada
umumnya, generalized tetanus dapat terjadi setelah cephalic tetanus (tetanus
otogenik).
F. DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus seringkali cukup dengan melihat gejala klinik. Pada anamnesa
pasien biasanya tidak pernah mendapat imunisasi tetanus. Biasanya terdapat riwayat
luka atau infeksi dalam tempat masuknya kuman seperti luka tusuk, OMSK dan
sebagainya. Pemeriksaan laboratorium sebenarnya tidak perlu,. Jumlah sel darah putih
tidak jelas meningkat, kimiawi cairan otak normal, mungkin ada peningkatan cairan
serebrospinal karena kontraksi otot. Pemeriksaan mikrobiologi kultur dari tempat
infeksi hanya positif 1/3 kasus.
Tetanus harus dibedakan dengan trismus karena kelainan gigi, fase akut
poliomyelitis, meningitis, rabies, keracunan trichin dan tetani. Berkembangnya
trismus, rhisus sardonikus, rigiditas tonik menyeluruh, dan spasme pada pasien
dengan sensorik baik, dan dengan riwayat pasien dengan infeksi telinga, terutama
OMSK (Otitis media supuratif kronik), cairan purulen keluar dari meatus akustikus
eksternus, terlihat gambaran jaringan granulasi pada daerah meatus akustikus
eksternus, membrane tympani sudah mengalami perforasi kemungkinan dikarenakan
adanya koleastoma sehingga sangat mengarahkan diagnosis pada tetanus otogenik.
Suhu tubuh pasien biasanya normal, terdapat sedikit peningkatan jumlah kadar
leukosit polimorfonuklear, tentunya tidak ditemukan luka-luka ditempat lain maupun
riwayat trauma. Penemuan Clostridium tetani dari dalam luka pada telinga tentunya
sangat memastikan diagnose tetanus ootogenik.
1. Anamnesa
- Pasien mengeluhkan gejala-gejala tetanus seperti : sulit membuka mulut, otot-otot
kaku, kejang, biasanya tidak demam, namun jika ada demam ringan.
- Tidak ditemukan luka terbuka pada daerah tubuh.
- Tidak ada riwayat trauma.
- Riwayat sakit telinga beberapa hari yang lalu dengan gejala OMSK (otitis media
supuratif kronik) antara lain : adanya gangguan pendengaran, sakit pada telinga,
6
keluar cairan dari telinga yang berbau seperti nanah yang kental.
2. Pemeriksaan Fisik
- Adanya inflamasi yang terlihat pada liang telinga luar-dalam.
- Nyeri yang hebat, yang ditandai dengan kekakuan pada jaringan lunak pada ramus
mandibula dan mastoid.
- Jaringan granulasi terdapat pada dasar hubungan tulang dan tulang rawan.
- Tampak adanya perforasi pada membrane tympani.
- Tampak cairan purulen kental yang keluar dari membrane timpani.
- Nervus kranialis harus diperiksa karena pada tetanus otogenik ini nervus-nervus
kranialis ikut terlibat terutama N.VII, N.IV, N.IX, N.X, N.XII dapat terkena juga
- Status mental harus diperiksa. Gangguan status mental dapat menunjukan adanya
komplikasi intracranial.
- Demam tidak umum terjadi.
3. Pemeriksaan Penunjang
- Jumlah leukosit biasanya normal atau sedikit meningkat.
- Laju endap darah meningkat bervariasi rata-rata 87 mm/jam.
- Kultur dan tes sensitivitas dari liang telinga perlu dilakukan sebelum pemberian
antibiotic.
- Organism penyebab Clostridium tetani diharapkan ditemukan pada kultur
sehingga akan langsung memudahkan diagnose terutama tujuan pengobatannya.
- CT-scan dan MRI keduanya berguna untuk memeriksa perluasan inflamasi
terhadap anatomi jaringan lunak, pembentukan abses, dan komplikasi intracranial.
G. DIAGNOSIS BANDING
Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan
sukar sekali dijumpai dari pemeriksaan fisik, laboratorium test
(dimana cairan serebrospinal normal dan pemeriksaan darah
rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan
SERUM aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-otot
tubuh), serta riwayat imunisasi yang lengkap atau tidak lengkap,
kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus dan kesadaran yang
tetap normal.
7
1. Meningitis bacterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada da kesadaran
penderita biasanya menurun. Diagnosis ditegakkan dengan
melakukan lumbal pungsi, dimana adanya kelainan cairan
serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein
meningkat dan glukosa menurun.
2. Poliomyelitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai
adanya trismus. Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukan
lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan pemeriksaan
serologis, titer antibody meningkat.
3. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain.
Trismus jarang ditemukan, kejang bersifat klonik.
4. Keracunan strychnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik
umum.
5. Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana kadar
kalsium dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk
spasme otot ialah karpopedal spasme dan biasanya
diikuti dengan laringospasme, jarang dijumpai trismus
6. Retropharyngeal abses
Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak
ada.
7. Tonsillitis berat
Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tapi trismus
ada.
8. Efek samping fenotiasin
Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa
sindrom ektrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis
dan kekakuan otot.
8
9. Kaku kuduk juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia
lobaris atas, miositis leher dan spondilitis leher.
H. KOMPLIKASI
1. Pada saluran pernapasan
Oleh arena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya kejang menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukar menelan air liur dan makanan dan minuman sehingga sering terjadi pneumonia aspirasi, atelektasis akibat obstruksi oleh secret. Pneumothoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
2. Pada kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa
takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan
miokardium.
3. Pada tulang dan otot
- Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot.
- Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat kejang yang terus menerus terutama pada anak dan orang dewasa, beberapa peneliti melaporkan juga dapat miositis ossifikans sirkumskripta.
4. Komplikasi yang lain
- Laserasi lidah akibat kejang- Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja- Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin
yang menyebar luas dan mengganggu pusat Pengatur suhu.
I. PENATALAKSANAAN
Prinsip pengobatan tetanus otogenik adalah segera menetralisasi toksin yang
beredar di sirkulasi, mengeradikasi sumber tetanospasmin, serta perawatan pendukung
yang intensif. Eradikasi sumber infeksi dalam hal ini masteidektomi, harus secepatnya
dilakukan tetapi dengan mempertimbangkan kondisi umum pasien demi keamanan
tindakan operasi. Perawatan infeksi di telinga bisa dilakukan dengan membersihkan
9
dengan larutan perioksida 3% agar drainase cairan dari telinga tengah baik.
a. Medikamentosa
1. Antibiotik
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis
50.000 Unit / KgBB/12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari.
Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat
lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis
tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ).
Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis
200.000 unit /kgBB/24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari
C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai
adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat
dilakukan.
2. Anti toksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG)
dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM
tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung
"anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi allergi yang serius.
Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus
antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U,
dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin
dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan
secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu
30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan
secara IM pada daerah pada sebelah luar.
3. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan
bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang
berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan
10
secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar
terhadap tetanus selesai.
Berikut ini tabel petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka
Tabel 1 : petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka
J. PENCEGAHAN
a. Imunisasi aktif
Di Indonesia dengan adanya program Pengembangan
Imunisasi (PPI) selain menurunkan angka kesakitan juga
mengurangi angka kematian tetanus. Imunisasi tetanus biasanya
dapat diberikan dalam bentuk DPT; DT dan TT.
o DPT : diberikan untuk imunisasi dasaro DT: diberikan untuk booster pada usia 5 tahun; diberikan pada anak
dengan riwayat demam dan kejan
o TT: diberikan pada: ibu hamil Anak usia 13 tahun keatas
Sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi, imunisasi dilakukan pada usia
2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan booster dilakukan pada usia 1,5–2 tahun dan usia
5 tahun. Dosis yang diberikan adalah 0,5 cc tiap kali pemberian secara
intramuskuler.
b. Imunisasi pasif
Diberikan antitoksin, pemberian antitoksin ada 2 bentuk, yaitu:
- ATS dari serum kuda;
11
- Tetanus Immunoglobulin Human (TIGH).
Dosis yang dianjurkan belum ada keseragaman pendapat
- 1500–3000 u i.m
- 3000–5000 u i.m. Pemberian ini sebaiknya didahului dengan tes
kulit dan mata. Dosis TIHG: 250–500 u i.m
Pemberian ATS/TIGH atau Toksoid Tetanus maupun antibiotic
tergantung dari kekebalan seseorang apakah orang tersebut
sudah pernah mendapat imunisasi dasar dan boosternya, berapa
lama antara pemberian toksoid dengan terjadinya luka.
Rhinitis Vasomotor
Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa
adanya infeksi, alergi, eosinophilia, perubahan hormonal (kehamilan,
hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi, antihipertensi, aspirin,
klorpromazin, dan obat topikal dekongestan hidung).
Etiologi yang paling sering digunakan untuk menjelaskan patofisiologi
rhinitis vasomotor adalah neurogenic (disfungsi sistem otonom). Hidung
dipersarafi oleh persarafan otonom yaitu simpatis dan parasimpatis.
Simpatis bekerja untuk membuat hidung menjadi vasokonstriksi dan
terjadi penurunan sekresi hidung akibat pelepasan noradrenalin dan
neuropeptide Y. Sedangkan parasimpatis bekerja dengan melepaskan
asetilkolin dan vasoaktif intestinal peptide sehingga terjadi vasodilatasi
dan peningkatan sekresi hidung yang menyebabkan kongesti hidung.
Pada rhinitis vasomotor, terjadi akibat ketidakseimbangan impuls saraf
otonom pada mukosa hidung yang berupa bertambahnya aktivitas sistem
parasimpatis.
Gejala klinik dari rhinitis vasomotor sering dicetuskan oleh berbagai
rangsangan non-spesifik seperti asap, bau menyengat, minum beralkohol,
udara dingin, pendingin, kelelahan, stress. Gejala yang ditimbulkan
seperti gejala rhinitis alergi, gejala yang dominan adalah hidung
12
tersumbat, bergantian kiri dan kanan sesuai posisi, terdapat rinore yang
mukoid atau serosa. Biasanya gejala memburuk pada pagi hari saat
bangun tidur akibat perubahan suhu dan udara.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan eliminasi dari anamnesis adanya
rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran hidung yang khas
berupa edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau pucat.
Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol. Terdapat sekret
mukoid pada rongga hidung, tetapi dapat juga berupa serosa dan
berjumlah banyak.
Penatalaksanaan secara garis besar meliputi; penghindaran
pencetus/stimulus, pengobatan simtomatis, dengan obat dekongestan
oral, cuci hidung dengan larutan garam fisiologis, dapat juga diberikan
kortikosteroid topikal 100-200 mikrogram/l.
Rhinitis medikamentosa
Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan
respons normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian
vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu
lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang
menetap.
Patofisiologi rhinitis medikamentosa berupa akibat pemakaian topikal
vasokonstriktor topikal yang berulang menyebabkan terjadinya fase
dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokonstriksi sehingga
timbul gejala obstruksi. Adanya gejala obstruksi tersebut menyebabkan
pasien memakai obat tersebut kembali yang menyebabkan aktivitas dari
tonus simpatis menghilang sehingga terjadi dilatasi dan kongesti jaringan
mukosa hidung.
Gejala yang dikeluhkan biasanya hidung tersumbat terus menerus dan
berair. Pada pemeriksaan tampak edema/hipertrofi konka dengan sekret
13
hidung yang berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka
tidak menghilang.
Penatalaksanaan dengan menghentikan pemakaian obat tetes atau
semprot vasokonstriktor hidung. Untuk mengatasi sumbatan berulang
dapat diberikan kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek dan dosis
diturunkan perlahan.
Rhinitis atropikan
Rhinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa
hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mongering sehingga
membentuk krusta yang berbau busuk. Paling sering terkena adalah
wanita usia dewasa muda.
Etiologi yang sering dipakai adalah adanya infeksi oleh kuman yang
spesifik seperti Klebsiella ozaena, Stafilokokus, Streptokokus, dan
Pseudomonas aeruginosa. Dapat juga disebabkan akibat defisiensi besi,
vitamin A, dan sinusitis kronik.
Gejala dan tanda berupa keluhan seperti napas berbau, ingus kental
kehijauan, adanya kerak (krusta) hijau, gangguan penghidu, sakit kepala
dan merasa hidung tersumbat. Pada pemeriksaan ditemukan rongga
hidung lapang, konka inferior dan media menjadi hipotrofi atau atrofi,
adanya sekret purulent dan krusta yang berwarna hijau.
Pengobatan diberikan antibiotika spektrum luas atau sesuai dengan uji
resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat. Dapat pula diberikan obat
cuci hidung berupa larutan garam hipertonik. Apabila pengobatan
konservatif tidak berhasil dapat dilakukan tindakan operasi dengan
penyempitan lubang hidung dengan implantasi.
14
15