tetanus otogenik

20
TETANUS OTOGENIK A. DEFINISI Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani. Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat. Dalam tubuh kuman ini akan berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin antara lain tetanospasmin yang secara umum menyebabkan kekakuan, spasme dari otot bergaris. B. ETIOLOGI Tetanus otogenik disebabkan oleh kuman Clostridium tetani yang dapat berkembang biak pada secret purulen di liang telinga dan dapat masuk ke telinga tengah pada penderita OMSK. Kuman tersebut juga dapat berasal dari oropharing yang masuk ke telinga melalui tuba eustachius. Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk batang yang langsing dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um, termasuk gram positif dan 2

Upload: matthew-kevin-hendrianto

Post on 14-Dec-2015

12 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

kepaniteraan klinik tht tetanus otogenik

TRANSCRIPT

Page 1: Tetanus Otogenik

TETANUS OTOGENIK

A. DEFINISI

Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat

yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani.

Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan

serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat.

Dalam tubuh kuman ini akan berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin antara

lain tetanospasmin yang secara umum menyebabkan kekakuan, spasme dari otot

bergaris.

B. ETIOLOGI

Tetanus otogenik disebabkan oleh kuman Clostridium tetani yang dapat berkembang

biak pada secret purulen di liang telinga dan dapat masuk ke telinga tengah pada

penderita OMSK. Kuman tersebut juga dapat berasal dari oropharing yang masuk ke

telinga melalui tuba eustachius.

Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk

batang yang langsing dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar

0,3–0,5 um, termasuk gram positif dan bersifat anaerob. Clostridium

Tetani dapat dibedakan dari tipe lain berdasarkan flagella antigen.

Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong

dengan ujung yang butat, khas seperti batang korek api (drum

stick) Sifat spora ini tahan dalam air mendidih selama 4 jam, obat

antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila dipanaskan selama 15–20

menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka spora dapat

hidup di tanah berbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Juga dapat

merupakan flora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing,

kucing, tikus, ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi

bentuk vegetatif dalam anaerob dan kemudian berkembang biak.

2

Page 2: Tetanus Otogenik

Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa

antiseptik Kuman tetanus tumbuh subur pada suhu 17°C dalam

media kaldu daging dan media agar darah. Demikian pula dalam

media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat

mengfermentasikan glukosa.

Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2

macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.

Tetanospasmis merupakan protein dengan berat molekul 150.000

Dalton, larut dalam air labil pada panas dan cahaya, rusak

dengan enzim proteolitik. tetapi stabil dalam bentuk murni dan

kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin

ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat

dan menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot

dan kejang–kejang. Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel–sel darah

merah.

C. EPIDEMIOLOGI

Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat jarang

dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di samping

sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang berkembang

termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini disebabkan karena

tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan

luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya

kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.

Perkiraan angka kejadian umur rata–rata pertahun sangat meningkat sesuai

kelompok umur, peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 5–19 tahun dan

20–29 tahun, sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 30–39

tahun dan umur lebih 60 tahun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka kejadian

lebih banyak dijumpa pada anak laki–laki; dengan perbandingan 3:1.

D. PATOFISIOLOGI

Port of entry pada tetanus otogenik yaitu melalui telinga yang

3

Page 3: Tetanus Otogenik

sudah lama terinfeksi biasanya pada anak-anak yang sudah lama

mengalami otitis media/ otitis media supuratif kronik. Clostridium

tetani dapat berproliferasi hanya jika potensi oksidase-reduksi lebih

rendah daripada jaringan normal. Luka yang cukup dalam pada

otitis media akut supuratif mendukung kondisi untuk pertumbuhan

dari organism anaerob yang kemudian dapat diikuti dengan tetanus.

Biasanya tidak ada portal masuk yang terlihat ditemukan.

Clostridium tetani masuk kedalam telinga melalui luka dalam bentuk spora.

Pada OMSK kuman ini bias masuk karena kontaminasi saat mengorek telinga, dan

melalui air saat mandi. Pada OMSK terjadi perubahan jaringan di telinga tengah yang

menyebabkan area-area yang relative iskemik sehingga oksigenase jaringan

terganggu. Disamping itu kuman aerob yang ada juga mengkonsumsi oksigen

sehingga keadaan seperti ini menjadi tempat yang baik untuk tumbuhnya kuman

anaerob yang masuk. Masa inkubasi kuman ini adalah 3-14 hari, bisa lebih cepat atau

lama kemudian sampai lingkungan kuman baik untuk tumbuh.

Ketika keadaan mendukung, basil bermultiplikasi pada lokasi tempat inokulasi primer

dan menghasilkan toxin. Toxin kemudian menjelajah secara sentripetal di dalam

axoplasma dari serat alpha motorik dan berakumulasi pada neuron motorik pada

endoplasma reticulum membrane. Pada tahun 1902, Marie dan Morax mengemukakan

rute akses toxin menuju system saraf pusat ini, seperti yang dilakukan Meyer dan

Ransome pada tahun 1903. Terbukti secara eksperimental bahwa toxin tidak

mematikan jika neuron motorik local sudah rusak. Toxin dapat dinetralisir jika bebas

dan hanya sedikit yang dinetralkan jika toxin ini berada pada permukaan sel.

Pinositosis, mengatur toxin, dan mengubahnya menjadi tidak dapat dinetralisir.

Sehingga fiksasi toxin terhadap neuron dan akibat internalisasi menghasilkan efek

irreversible. Pemotongan membrane protein sel neuron host oleh neurotoxin yang

aktif mengkatalis mengakibatkan pada blockade neuroexositosis yang persisten dan

berkesinambungan. Blockade ini mengakibatkan adanya penyebaran impuls yang

tidak terkendali, hiperrefleksia, dan kontraksi otot konstan. Otot yang terkuat,

biasanya ekstensor, mengalami efek yang paling besar. Toxin juga memberikan

pengaruh terhadap system saraf simpatik.

E. GEJALA KLINIS

4

Page 4: Tetanus Otogenik

Lokasi sumber infeksi yaitu otitis media dapat terlihat jelas dengan beberapa

pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis OMSK yang aktif kemudian diikuti dengan

penggunaan otoskop untuk melihat lokasi perforasi, kondisi remnant membrane

timpani dan cavum timpani. Sebelum terlihat gejala tetanus, pasien biasanya

mengeluhkan gangguan pada telinga seperti adanya gangguan pendengaran atau

adanya riwayat keluar cairan.

Penyakit tetanus otogenik ini bermula secara berangsur-angsur dengan

peningkatan kekakuan otot volunteer secara progresif, biasanya otot rahang dan leher

yang terkena pertama kali. Dalam 24-48 jam setelah onset penyakit, rigiditas dapat

berkembang sempurna dan menyebar cepat sampai seluruh tubuh dan ekstremitas.

Diikuti dengan spasme otot rahang dan trismus (lockjaw). Mengerutnya dahi dan alis

dan sudut dari mulut memberikan penampakan wajah yang aneh yang biasa disebut

risus sardonikus. Leher dan punggung menjadi kaku dan melengkung (opistotonus).

Dinding perut menjadi seperti papan dan ekstremitas biasanya kaku dan ekstensi.

Spasme paroxysmal nyeri yang berlangsung beberapa detik hingga menit

mungkin diprovokasi oleh stimulus ringan pada penglihatan, pendengaran, atau

sentuhan, seperti cahaya lampu, keributan tiba-tiba dan pengengaran pasien. Risus

sardonikus dan opistotonus yang paling terlihat selama spasme ini berlangsung.

Mulanya spasme terjadi pada interval yang jarang, disertai relaksasi sempurna

diantara serangan. Kemudian spasme terjadi lebih sering, lebih panjang, dan lebih

sakit. Keterlibatan otot pernapasan, terjadinya obstruksi laring akibat spasme laring,

atau akumulasi sekresi pada daerah tracheobronkial dapat menyebabkan terjadinya

distress pernapasan, asfiksia, koma dan kematian. Dapat pula terjadi retensi urin

akibat terlibatnya spincter pada kandung kemih.

Manifestasi klinis dari keterlibatan system saraf simpatis dapat berupa

hipertensi labil, takikardia, vosokonstriksi perifer, aritmia, keringat berlebih,

hypercapnia, ekskresi ketokolamin berlebih, dan late-hypotension.

Selama penyakit ini berlangsung, fungs indra pasien biasanya baik. Demam

biasanya rendah bahkan tidak ada. Pasien yang sembuh biasanya afebris. Setelah

beberapa minggu spasme paroxysm berkurang keparahan dan kekerapannya sampai

secara perlahan menghilang. Pada umumnya trismus merupakan gejala terakhir yang

bertahan. Pasien dengan penyakit yang fatal biasanya demam, disertai dengan

kematian pada kebanyakan kasus sebelum penyakit memasuki hari kesepuluh.

Cairan spinal pasien dengan tetanus normal. Sel darah putih perifer juga dapat

5

Page 5: Tetanus Otogenik

normal atau sedikit meningkat. Kebanyakan pasien dengan tetanus memperlihatkan

manifestasi menyeluruh (generalized tetanus) seperti dijelaskan diatas. Namun pada

umumnya, generalized tetanus dapat terjadi setelah cephalic tetanus (tetanus

otogenik).

F. DIAGNOSIS

Diagnosis tetanus seringkali cukup dengan melihat gejala klinik. Pada anamnesa

pasien biasanya tidak pernah mendapat imunisasi tetanus. Biasanya terdapat riwayat

luka atau infeksi dalam tempat masuknya kuman seperti luka tusuk, OMSK dan

sebagainya. Pemeriksaan laboratorium sebenarnya tidak perlu,. Jumlah sel darah putih

tidak jelas meningkat, kimiawi cairan otak normal, mungkin ada peningkatan cairan

serebrospinal karena kontraksi otot. Pemeriksaan mikrobiologi kultur dari tempat

infeksi hanya positif 1/3 kasus.

Tetanus harus dibedakan dengan trismus karena kelainan gigi, fase akut

poliomyelitis, meningitis, rabies, keracunan trichin dan tetani. Berkembangnya

trismus, rhisus sardonikus, rigiditas tonik menyeluruh, dan spasme pada pasien

dengan sensorik baik, dan dengan riwayat pasien dengan infeksi telinga, terutama

OMSK (Otitis media supuratif kronik), cairan purulen keluar dari meatus akustikus

eksternus, terlihat gambaran jaringan granulasi pada daerah meatus akustikus

eksternus, membrane tympani sudah mengalami perforasi kemungkinan dikarenakan

adanya koleastoma sehingga sangat mengarahkan diagnosis pada tetanus otogenik.

Suhu tubuh pasien biasanya normal, terdapat sedikit peningkatan jumlah kadar

leukosit polimorfonuklear, tentunya tidak ditemukan luka-luka ditempat lain maupun

riwayat trauma. Penemuan Clostridium tetani dari dalam luka pada telinga tentunya

sangat memastikan diagnose tetanus ootogenik.

1. Anamnesa

- Pasien mengeluhkan gejala-gejala tetanus seperti : sulit membuka mulut, otot-otot

kaku, kejang, biasanya tidak demam, namun jika ada demam ringan.

- Tidak ditemukan luka terbuka pada daerah tubuh.

- Tidak ada riwayat trauma.

- Riwayat sakit telinga beberapa hari yang lalu dengan gejala OMSK (otitis media

supuratif kronik) antara lain : adanya gangguan pendengaran, sakit pada telinga,

6

Page 6: Tetanus Otogenik

keluar cairan dari telinga yang berbau seperti nanah yang kental.

2. Pemeriksaan Fisik

- Adanya inflamasi yang terlihat pada liang telinga luar-dalam.

- Nyeri yang hebat, yang ditandai dengan kekakuan pada jaringan lunak pada ramus

mandibula dan mastoid.

- Jaringan granulasi terdapat pada dasar hubungan tulang dan tulang rawan.

- Tampak adanya perforasi pada membrane tympani.

- Tampak cairan purulen kental yang keluar dari membrane timpani.

- Nervus kranialis harus diperiksa karena pada tetanus otogenik ini nervus-nervus

kranialis ikut terlibat terutama N.VII, N.IV, N.IX, N.X, N.XII dapat terkena juga

- Status mental harus diperiksa. Gangguan status mental dapat menunjukan adanya

komplikasi intracranial.

- Demam tidak umum terjadi.

3. Pemeriksaan Penunjang

- Jumlah leukosit biasanya normal atau sedikit meningkat.

- Laju endap darah meningkat bervariasi rata-rata 87 mm/jam.

- Kultur dan tes sensitivitas dari liang telinga perlu dilakukan sebelum pemberian

antibiotic.

- Organism penyebab Clostridium tetani diharapkan ditemukan pada kultur

sehingga akan langsung memudahkan diagnose terutama tujuan pengobatannya.

- CT-scan dan MRI keduanya berguna untuk memeriksa perluasan inflamasi

terhadap anatomi jaringan lunak, pembentukan abses, dan komplikasi intracranial.

G. DIAGNOSIS BANDING

Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan

sukar sekali dijumpai dari pemeriksaan fisik, laboratorium test

(dimana cairan serebrospinal normal dan pemeriksaan darah

rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan

SERUM aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-otot

tubuh), serta riwayat imunisasi yang lengkap atau tidak lengkap,

kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus dan kesadaran yang

tetap normal.

7

Page 7: Tetanus Otogenik

1. Meningitis bacterial

Pada penyakit ini trismus tidak ada da kesadaran

penderita biasanya menurun. Diagnosis ditegakkan dengan

melakukan lumbal pungsi, dimana adanya kelainan cairan

serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein

meningkat dan glukosa menurun.

2. Poliomyelitis

Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai

adanya trismus. Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukan

lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan pemeriksaan

serologis, titer antibody meningkat.

3. Rabies

Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain.

Trismus jarang ditemukan, kejang bersifat klonik.

4. Keracunan strychnine

Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik

umum.

5. Tetani

Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana kadar

kalsium dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk

spasme otot ialah karpopedal spasme dan biasanya

diikuti dengan laringospasme, jarang dijumpai trismus

6. Retropharyngeal abses

Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak

ada.

7. Tonsillitis berat

Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tapi trismus

ada.

8. Efek samping fenotiasin

Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa

sindrom ektrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis

dan kekakuan otot.

8

Page 8: Tetanus Otogenik

9. Kaku kuduk juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia

lobaris atas, miositis leher dan spondilitis leher.

H. KOMPLIKASI

1. Pada saluran pernapasan

Oleh arena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya kejang menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukar menelan air liur dan makanan dan minuman sehingga sering terjadi pneumonia aspirasi, atelektasis akibat obstruksi oleh secret. Pneumothoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.

2. Pada kardiovaskular

Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa

takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan

miokardium.

3. Pada tulang dan otot

- Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot.

- Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat kejang yang terus menerus terutama pada anak dan orang dewasa, beberapa peneliti melaporkan juga dapat miositis ossifikans sirkumskripta.

4. Komplikasi yang lain

- Laserasi lidah akibat kejang- Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja- Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin

yang menyebar luas dan mengganggu pusat Pengatur suhu.

I. PENATALAKSANAAN

Prinsip pengobatan tetanus otogenik adalah segera menetralisasi toksin yang

beredar di sirkulasi, mengeradikasi sumber tetanospasmin, serta perawatan pendukung

yang intensif. Eradikasi sumber infeksi dalam hal ini masteidektomi, harus secepatnya

dilakukan tetapi dengan mempertimbangkan kondisi umum pasien demi keamanan

tindakan operasi. Perawatan infeksi di telinga bisa dilakukan dengan membersihkan

9

Page 9: Tetanus Otogenik

dengan larutan perioksida 3% agar drainase cairan dari telinga tengah baik.

a. Medikamentosa

1. Antibiotik

Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM.

Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis

50.000 Unit / KgBB/12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari.

Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat

lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis

tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ).

Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis

200.000 unit /kgBB/24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.

Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari

C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai

adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat

dilakukan.

2. Anti toksin

Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG)

dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM

tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung

"anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat

mencetuskan reaksi allergi yang serius.

Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus

antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U,

dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin

dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan

secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu

30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan

secara IM pada daerah pada sebelah luar.

3. Tetanus Toksoid

Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan

bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang

berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan

10

Page 10: Tetanus Otogenik

secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar

terhadap tetanus selesai.

Berikut ini tabel petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka

Tabel 1 : petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka

J. PENCEGAHAN

a. Imunisasi aktif

Di Indonesia dengan adanya program Pengembangan

Imunisasi (PPI) selain menurunkan angka kesakitan juga

mengurangi angka kematian tetanus. Imunisasi tetanus biasanya

dapat diberikan dalam bentuk DPT; DT dan TT.

o DPT : diberikan untuk imunisasi dasaro DT: diberikan untuk booster pada usia 5 tahun; diberikan pada anak

dengan riwayat demam dan kejan

o TT: diberikan pada: ibu hamil Anak usia 13 tahun keatas

Sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi, imunisasi dilakukan pada usia

2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan booster dilakukan pada usia 1,5–2 tahun dan usia

5 tahun. Dosis yang diberikan adalah 0,5 cc tiap kali pemberian secara

intramuskuler.

b. Imunisasi pasif

Diberikan antitoksin, pemberian antitoksin ada 2 bentuk, yaitu:

- ATS dari serum kuda;

11

Page 11: Tetanus Otogenik

- Tetanus Immunoglobulin Human (TIGH).

Dosis yang dianjurkan belum ada keseragaman pendapat

- 1500–3000 u i.m

- 3000–5000 u i.m. Pemberian ini sebaiknya didahului dengan tes

kulit dan mata. Dosis TIHG: 250–500 u i.m

Pemberian ATS/TIGH atau Toksoid Tetanus maupun antibiotic

tergantung dari kekebalan seseorang apakah orang tersebut

sudah pernah mendapat imunisasi dasar dan boosternya, berapa

lama antara pemberian toksoid dengan terjadinya luka.

Rhinitis Vasomotor

Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa

adanya infeksi, alergi, eosinophilia, perubahan hormonal (kehamilan,

hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi, antihipertensi, aspirin,

klorpromazin, dan obat topikal dekongestan hidung).

Etiologi yang paling sering digunakan untuk menjelaskan patofisiologi

rhinitis vasomotor adalah neurogenic (disfungsi sistem otonom). Hidung

dipersarafi oleh persarafan otonom yaitu simpatis dan parasimpatis.

Simpatis bekerja untuk membuat hidung menjadi vasokonstriksi dan

terjadi penurunan sekresi hidung akibat pelepasan noradrenalin dan

neuropeptide Y. Sedangkan parasimpatis bekerja dengan melepaskan

asetilkolin dan vasoaktif intestinal peptide sehingga terjadi vasodilatasi

dan peningkatan sekresi hidung yang menyebabkan kongesti hidung.

Pada rhinitis vasomotor, terjadi akibat ketidakseimbangan impuls saraf

otonom pada mukosa hidung yang berupa bertambahnya aktivitas sistem

parasimpatis.

Gejala klinik dari rhinitis vasomotor sering dicetuskan oleh berbagai

rangsangan non-spesifik seperti asap, bau menyengat, minum beralkohol,

udara dingin, pendingin, kelelahan, stress. Gejala yang ditimbulkan

seperti gejala rhinitis alergi, gejala yang dominan adalah hidung

12

Page 12: Tetanus Otogenik

tersumbat, bergantian kiri dan kanan sesuai posisi, terdapat rinore yang

mukoid atau serosa. Biasanya gejala memburuk pada pagi hari saat

bangun tidur akibat perubahan suhu dan udara.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan eliminasi dari anamnesis adanya

rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Pada

pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran hidung yang khas

berupa edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau pucat.

Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol. Terdapat sekret

mukoid pada rongga hidung, tetapi dapat juga berupa serosa dan

berjumlah banyak.

Penatalaksanaan secara garis besar meliputi; penghindaran

pencetus/stimulus, pengobatan simtomatis, dengan obat dekongestan

oral, cuci hidung dengan larutan garam fisiologis, dapat juga diberikan

kortikosteroid topikal 100-200 mikrogram/l.

Rhinitis medikamentosa

Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan

respons normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian

vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu

lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang

menetap.

Patofisiologi rhinitis medikamentosa berupa akibat pemakaian topikal

vasokonstriktor topikal yang berulang menyebabkan terjadinya fase

dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokonstriksi sehingga

timbul gejala obstruksi. Adanya gejala obstruksi tersebut menyebabkan

pasien memakai obat tersebut kembali yang menyebabkan aktivitas dari

tonus simpatis menghilang sehingga terjadi dilatasi dan kongesti jaringan

mukosa hidung.

Gejala yang dikeluhkan biasanya hidung tersumbat terus menerus dan

berair. Pada pemeriksaan tampak edema/hipertrofi konka dengan sekret

13

Page 13: Tetanus Otogenik

hidung yang berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka

tidak menghilang.

Penatalaksanaan dengan menghentikan pemakaian obat tetes atau

semprot vasokonstriktor hidung. Untuk mengatasi sumbatan berulang

dapat diberikan kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek dan dosis

diturunkan perlahan.

Rhinitis atropikan

Rhinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya

atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa

hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mongering sehingga

membentuk krusta yang berbau busuk. Paling sering terkena adalah

wanita usia dewasa muda.

Etiologi yang sering dipakai adalah adanya infeksi oleh kuman yang

spesifik seperti Klebsiella ozaena, Stafilokokus, Streptokokus, dan

Pseudomonas aeruginosa. Dapat juga disebabkan akibat defisiensi besi,

vitamin A, dan sinusitis kronik.

Gejala dan tanda berupa keluhan seperti napas berbau, ingus kental

kehijauan, adanya kerak (krusta) hijau, gangguan penghidu, sakit kepala

dan merasa hidung tersumbat. Pada pemeriksaan ditemukan rongga

hidung lapang, konka inferior dan media menjadi hipotrofi atau atrofi,

adanya sekret purulent dan krusta yang berwarna hijau.

Pengobatan diberikan antibiotika spektrum luas atau sesuai dengan uji

resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat. Dapat pula diberikan obat

cuci hidung berupa larutan garam hipertonik. Apabila pengobatan

konservatif tidak berhasil dapat dilakukan tindakan operasi dengan

penyempitan lubang hidung dengan implantasi.

14

Page 14: Tetanus Otogenik

15