studi komparatif penafsiran rasyÎd rid dan...

109
STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN T ABAT ABÂ’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Th. I) Penulis: Ahmad Hazami NIM. 106034001215 JURUSAN TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H. / 2011 M.

Upload: vuongmien

Post on 06-Mar-2018

236 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN

TABATABÂ’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Th. I)

Penulis:

Ahmad Hazami

NIM. 106034001215

JURUSAN TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1432 H. / 2011 M.

Page 2: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN

TABATABÂ’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Th. I)

Penulis:

Ahmad Hazami

NIM. 106034001215

Dibawah Bimbingan:

Dr. M. Suryadinata, MA

NIP. 19600908 198903 1 005

JURUSAN TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1432 H. / 2011 M.

Page 3: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Studi Komparatif Penafsiran Rasyîd Ridâ Dan

Tabatabâ’i Terhadap Surat Al-Mâidah Ayat 67” telah diujikan dalam sidang

Munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pada tanggal 23 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana program strata satu ( S1 ) pada jurusan Tafsir-

Hadis.

Jakarta, 23 Juni 2011

Sidang Munaqasyah

Ketua,

Dr. Bustamin, M.Si.

NIP. 19630703 199803 1 003

Sekretaris,

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M. A

NIP. 19711003 199903 2 001

Penguji I,

Dr. Bustamin, M.Si.

NIP. 19630703 199803 1 003

Anggota,

Penguji II,

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M. A

NIP. 19711003 199903 2 001

Pembimbing,

Dr. M. Suryadinata, MA

NIP. 19600908 198903 1 005

Page 4: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

iv

ABSTRAKSI

Skripsi ini membahas tentang perbandingan atau komparasi terhadap

dua orang mufassir yaitu Muhammad Rasyîd Ridâ dengan kitab tafsirnya

Tafsir al-Manâr dan Muhammad Husain al-Tabataba’i dengan kitabnya Al-

Mîzân fî Tafsîr al-Qur’an mengenai tafsirannya tentang surat al-Mâidah ayat

67. Kedua mufassir tersebut mewakili golongan mazhab aqidahnya masing-

masing, Rasyîd Ridâ mewakili golongan Ahlu Sunnah sedangkan Tabataba’i

mewakili Syiah Itsnâ ‘Asyariyah. Perbedaan mazhab menjadi menarik dalam

meguraikan perbandingan penafsiran keduanya, sehingga keduanya banyak

mengemukakan argumen secara naqliyah juga ‘aqliyyah.

Perbedaan yang sangat signifikan adalah tentang sabab turun ayat 67

surat al-Mâidah ini, karena berawal dari perbedaan sebab turun ayat tersebut

maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat menjadi

perbedaan yang sangat besar antara Rasyîd Ridâ dan Tabataba’i. Dintara

perbedaan kandungan ayat tersbut adalah tentang pesan penting dalam

penyampaian risalah (tablîgh al-risâlah), penundaan dalam penyampaian

risalah (wahyu), hal yang berkaitan tentang peristiwa turunnya ayat dan makna

‘ishmah Nabi dalam ayat tersebut. Peristiwa Ghadîr Khum dan tentang makna

wali dalam sebuah hadis yang berkaitan tentang sebab turunnya ayat, menjadi

pembahasn khusus oleh Rasyîd Ridâ dan Tabataba’i dalam menjelaskan ayat

ini. Tentu saja kedua mufassir tersebut mempunyai pandangan tersendiri

mengenai makna wali dalam hadis yang terkenal dengan hadis Ghadîr Khum

tersebut.

Page 5: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur tersanjung hanya bagi Allah SWT., yang dengan taufiq-Nya

penelitian berjudul “STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN

TABATABÂ’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67” ini dapat selesai, demikian

juga, salawat serta salam semoga tercurahkan untuk baginda Rasulullah SAW beserta para

keluarga dan sahabatnya.

Sebagai karya tulis yang da‟ if, terutama di dalam penelitian ini masih terdapat

banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka yang mau

menelaah dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan

penulis di dalam melakukan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini tak luput dari jasa lembaga dan orang-

orang tertentu yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun materil. Atas

segala bantuan tersebut, penulis sampaikan banyak terima kasih; khususnya kepada:

1. Segenap civitas Akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.

Komaruddin Hidayat (Rektor) dan Prof. Dr. Zainun Kamal, MA (Dekan

Fakultas Ushuluddin) beserta para jajarannya.

2. Dr. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan Tafsir-Hadis) dan Dr. Lilik Ummi Kaltsum,

MA (Sekjur Tafsir-Hadis).

3. Dr. M. Suryadinata, MA, selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan

waktunya di tengah-tengah kesibukan beliau untuk membantu, membimbing,

dan mengarahkan penulisan skripsi ini.

4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan Tafsir-

Hadis, khususnya Ustâdz Rifqi Mukhtar (sekaligus sebagai guru ngaji kitab

Mukhtâshor Ihyâ ‘Ulumi al-Din) yang telah banyak berbagi ilmu kepada

Page 6: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

vi

penulis, sehingga berkat merekalah penulis mendapatkan setetes ilmu

pengetahuan.

5. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan

Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Iranian Corner yang telah memberikan

pelayanan dalam memberikan literatur kepada penulis dalam menyusun skripsi

ini.

6. Kedua orang tua penulis (Alm) Baba H. Ja’anih bin Ji’ih dan Ibu Hj. Aminah

yang selalu memberikan motivasi, bimbingan, pendidikan, dan pengajaran,

serta senantiasa mendoakan penulis untuk mencapai kesuksesan di masa depan.

7. Bang Ali, Ka Nunung, Ka Ida, Bang Aab, Pulloh, Ami minta maaf kalau sering

ngerepotin, manja dan ngga’ mau ngalah, doain agar Ami bisa memberikan

yang terbaik untuk orang tua dan keluarga. Yayah, Ka Winda, Bang Muslih,

Om Emi, Ka Ibah dan semua ponakan-ponakan kecilku, terima kasih untuk

support dan hiburannya. Saudara sekaligus sahabat sejati, Oppie el-Achyati.

8. Sahabat-sahabat penulis mahasiswa Tafsir-Hadis angkatan 2006/2007

khususnya, Gus Enju S. Th. I, Irfan, Haikal, Tubi, Encin dan Umam, semoga

kita menjadi orang yang sukses dan mendapat keberkahan atas semua yang

diraih. Hidup JOMBLONDET. Harfa, Didit dan Aang, tetap semangat

kuliahnya.

9. Abang-abang pembimbing dunia organisasi dan diskusi, Fajar S. Th. I, Muslim

S. Fil. I, Iweng S. Th. I, Muammar S. Th. I, Kemal S. Fil. I, Amri, Naldhy,

Sella dan Fikri S. Th. I. Teman-teman seperjuangan: Iqbal, Ramfalak, H. Dika,

Bara, Fitroh, Jazuli, Anwar, dan lain-lain. Sahabat kecil penuh daya juang

tinggi: Topan, Djarwo, Fuad, Dani, Dwi, Dimas, Usep dan lain-lain.

Page 7: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

vii

10. Rekan-rekan HMI Komisariat Fakultas Ushuluddin Cabang Ciputat, BEM

Jurusan Tafsir Hadis, BEM Fakultas Ushuluddin, PARMA Ushuluddin, IRMA

Kemang dan Forum-forum diskusi keliling Jakarta Selatan-Ciputat.

11. Terakhir, untuk seluruh orang yang pernah melihat saya, bertemu dengan saya,

dan bertukar pikiran dengan saya.

Jazâkumullah ahsan al-Jazâ, Âmîn…

Jakarta, 4 Juni 2011

Penulis

Page 8: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI1

Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan

B be

T te

Ts te dan es

J Je

H h dengan garis bawah

Kh ka dan ha

D da

Dz De dan zet

R Er

Z Zet

S Es

Sy es dan ye

S es dengan garis bawah

D de dengan garis bawah

T te dengan garis bawah

Z zet dengan garis bawah

„ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan

Gh ge dan ha

1 Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105

Page 9: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

vii

F Ef

Q Ki

K Ka

L El

M Em

N En

W We

H Ha

„ Apostrof

Y Ye

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih

aksaranya adalah sebai beeriku:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

______ a fathah

______ i kasrah

______ u dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ai a dan i ____ي

و__ __ au a dan u

Page 10: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

viii

Vokal Panjang (Madd)

Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dengan topi di atas ــا

î i dengan topi di atas ــي

û u dengan topi di atas ـــو

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh

huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân

bukan ad-dîwân.

Syaddah (Tashdid)

Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini

tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan

berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,

demikian seterusnya.

Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat

contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti

oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut

diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf

/t/ (lihat contoh 3).

Page 11: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

ix

Contoh:

no Kata Arab Alih aksara

1 tarîqah

2 al-jâmî ah al-islâmiyyah

3 wahdat al-wujûd

Huruf Kapital

Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih

aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang

berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain

yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan

lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang

ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal

atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid Al-

Ghazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.

Page 12: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................ i

PENGESAHAN PEMBIMBING.................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN................................................. iii

ABSTRAKSI ................................................................................... iv

KATA PENGANTAR...................................................................... v

PEDOMAN TRANSLITERASI..................................................... viii

DAFTAR ISI.................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN.................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah...................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................. 13

C. Tujuan Peneltian.................................................. 14

D. Tinjauan Pustaka.................................................. 15

E. Metodologi Penelitian.......................................... 15

F. Sistematika Penulisan.......................................... 16

BAB II PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ TERHADAP

SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67 DALAM

TAFSIR AL-MANÂR.............................................. 18

A. Riwayat Rasyîd Ridâ dan Tafsir Al-Manâr....... 18

a. Riwayat Hidup Rasyid Ridâ.......................... 18

b. Riwayat Tafsir Al-Manâr............................... 23

c. Metode dan Corak Tafsir Al-Manâr.............. 25

B. Penafsiran Rasyîd RidâTerhadap

Surat al-Mâidah Ayat 67...................................... 28

Page 13: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

xi

BAB III PENAFSIRAN TABATABA’I TERHADAP

SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67 DALAM

TAFSIR AL-MÎZÂN................................................ 37

A. Riwayat Tabataba’i dan Tafsir Al-Mizan............ 37

a. Riwayat Hidup Tabataba’i............................. 37

b. Riwayat Tafsir Al-Mîzân............................... 44

c. Metode dan Corak Tafsir Al-Mîzân............... 45

B. Penafsiran Tabataba’i Terhadap

Surat al-Mâidah Ayat 67...................................... 48

BAB IV ANALISA KOMPARATIF PENAFISRAN

RASYÎD RIDÂ DAN TABATABA’I TERHADAP

SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67............................ 56

A. Sebab Turun Surat al-Mâidah ayat 67................. 56

B. Ghadîr Khum dan Wilâyah ‘Ali bin Abî Tâlib.... 67

C. Perintah Tablîgh Risâlah..................................... 78

D. ‘Ishmah Nabi saw................................................ 83

BAB V PENUTUP................................................................. 87

A. Kesimpulan......................................................... 87

B. Saran-saran.......................................................... 89

DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 91

LAMPIRAN...................................................................................... 93

Page 14: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seorang muslim dalam seluruh sendi kehidupannya dibimbing dan

diatur oleh dua warisan peninggalan Rasulullah saw. yaitu al-Qur‟an dan al-

Sunnah atau hadis Nabi sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam khutbah al-

Wadâ’ :

“Dari Ibnu Abbas r.a: Bahwa Rasulullah saw. berkhutbah kepada

manusia dalam haji wada‟ dan bersabda: “Wahai manusia,

sesungguhnya aku telah meninggalkan di antara kalian yang jika kalian

berpegang teguh padanya niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya,

yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya”.1

Tentang keterjagaan dan kemurnian al-Qur‟an Allah swt. sudah

menjaminnya sebagaimana tercantum dalam al-Qur‟an surah Al-Hijr ayat 9:

إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون

1 Abu Bakr Ahmad bin al Husain bin Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubrâ lil-Baihâqi, (Dar

el-Fikr Beirut, 1996) Juz 10, h. 114

Page 15: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

2

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan

sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”

Dalam memahami al-Qur‟an membutuhkan penafsiran yang bisa

menjelaskan maksud ayat sehingga pesan Tuhan bisa dipahami dengan jelas,

dan untuk memahami kandungan ayat al-Qur‟an dengan benar perlu

mempelajari tafsir karena merupakan ilmu syariat yang paling agung dan tinggi

kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasan dan

tujuannya, serta sangat dibutuhkan sepanjang zaman, karena manusia

membutuhkan petunjuk ilahi. Tanpa tafsir, seorang Muslim tidak dapat

menangkap mutiara-mutiara berharga dari ajaran Tuhan yang terkandung di

dalam al-Qur‟an.

Setidaknya ada tiga yang membuat dan menentukan tingginya

kedudukan tafsir. Pertama, bahwa bidang yang menjadi objek kajian tafsir

adalah kalam ilahi yang mulia yang merupakan sumber segala ilmu agama dan

keutamaan. Di dalamnya terhimpun berbagai aturan untuk kebaikan hidup

manusia. Kedua, tujuannya adalah untuk mendorong manusia berpegang teguh

dengan al-Qur‟an dalam usahanya memperoleh kebahagiaan sejati dunia dan

akhirat. Ketiga, dilihat dari kebutuhan pun sangat jelas bahwa kesempurnaan

mengenai bermacam-macam persooalan, baik agama maupun keduniaan,

memerlukan ilmu syariat dan pengetahuan mengenai seluk beluk agama. Hal

itu sangat tergantung pada ilmu pengetahuan tentang al-Qur‟an yaitu tafsir.2

2M. Quraish Shihab, kata pengantar, Rif‟at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir

Muhammad Abduh, (Jakarta: Paramadina, 2002) hal, xiii

Page 16: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

3

Upaya penafsiran al-Qur‟an sendiri telah berjalan sejak kitab suci masih

diturunkan kepada Rasulullah saw., yaitu oleh Rasul sendiri, orang pertama

yang menjelaskan maksud-maksud al-Qur‟an kepada umatnya. Kemudian

dilanjutkan oleh para Sahabat, kalangan ulama Tabi‟in, dan seterusnya secara

bersambung dari satu generasi ke generasi umat Islam berikutnya, hingga di

zaman modern ini. Sudah barang tentu, tafsir yang dihasilkan pada satu zaman

tidak terlepas dari masalah kultural dan intelektual serta kecenderungan

mufassirnya. Lagi pula zaman membutuhkan penafsiran yang berbeda pula,

selaras dan sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat yang

terjadi.

Di dalam perjalanan Islam sebagai suatu agama sejak semula sudah

dikatakan sebagai agama yang sejak kemunculannya dianggap mengandung

muatan-muatan politis. Hal ini disebabkan karena di dalam sejarah tercatat

sebuah kisah yang menggambarkan hal tersebut, para sejarawan (muarrikhûn)

banyak yang menuturkan kisah seorang bernama „Afîf al-Kindi, seorang

pedagang yang sempat pergi ke Mekkah pada saat musim haji kemudian di

sana ia bertemu dengan paman Nabi saw yaitu al-Abbas, dan pada saat itu ia

melihat seorang laki-laki yang sedang sholat menghadap kiblat (Ka‟bah), lalu

disusul dengan seorang pemuda dan perempuan yang turut shalat bersamanya.

Maka ia bertanya kepada al-Abbas: “Agama apakah ini?”. Al-Abbas

menjawab: “ini adalah Muhammad Ibnu Abdullah, putra saudara laki-lakiku,

Page 17: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

4

dia (Muhammad) menganggap dirinya Rasulullah saw, berobsesi untuk

menggulingkan Persia dan Romawi.”3

Kisah tersebut sering menjadi bukti bahwa Islam datang sudah

mempunyai tendensi politis yaitu dalam hal ingin menggulingkan Persia dan

Romawi, di mana saat itu keduanya adalah sebagai kekuatan adikuasa di dunia.

Apabila hal itu dibenarkan maka wajar bila dalam Islam banyak terjadi faksi-

faksi (al-firaq) karena hal yang awalnya bersifat politis kemudian merembet

kepada persoalan keyakinan (aqidah).

Bangsa Arab yang mempunyai letak geografis di daerah gurun pasir,

mempengaruhi watak mereka yang seperti pasir yaitu sulit untuk bersatu.

Watak itu juga membuat mereka menjadi bangsa yang memilki fanatisme

tinggi sekaligus fatalisme mengakar dan tidak heran jika mereka saling

bermusuhan antar suku (kabilah) meskipun hanya mengenai urusan sepele.4

Maka pada saat itu Allah mengutus Rasulullah saw sebagai penyampai risalah

Islam untuk menekankan persaudaraan dan persatuan yaitu dengan

memperbaiki akhlak bangsa Arab, dan Rasulullah pun beusaha keras merubah

keadaan bangsa Arab agar hidup dalam persaudaraan dan persatuan.

Nabi saw dalam masa kenabian telah berusaha keras untuk mengikis

jiwa kesukuan dan meruntuhkan dinding pemisah yang memisah-misah mereka

atas dasar kesukuan, mereka harus disatukan dalam keimanan. Namun yang

pasti, tidaklah mudah mengubah mereka dalam kurun waktu 23 tahun menjadi

3 Said Aqil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis, (Jakarta: Pustaka

Cendekia Muda, 2008) h. 15

4 Said Aqil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis. h, 16

Page 18: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

5

masyarakat yang ternaungi sistem Islami yang tidak lagi menganggap

perbedaan kesukuan kecuali sebagai tanda pengenal, dan menerima bahwa nilai

kemuliaan hanya ditentukan oleh ketakwaan.

Banyak bukti yang menunjukkan dalamnya watak kesukuan yang masih

ada saat itu, seperti pada kasus perselisihan antara seorang dari kalangan

Anshar dan seorang dari kalangan Muhajirin sepulang dari pertempuran bani

Mustahkiq yang hampir saja menimbulkan perkelahian, bukan hanya antara

mereka berdua namun juga melibatkan kaum Anshar dan Muhajirin. Lalu Nabi

saw. cepat-cepat meredamnya dan bersabda, “Tinggalkan slogan itu!

Sesungguhnya ia adalah slogan jahiliah.” Kemudian dalam peristiwa

kambuhnya jiwa fanatisme lama antara suku „Aus dan Khazraj yang terwakili

oleh dua tokoh mereka, yaitu Sa‟ad bin Mu‟adz dari suku „Aus dan Sa‟ad bin

Ubadah dari suku Khazraj, „Aisyah mengatakan, “Sebelumnya ia adalah orang

saleh, namun ia terhanyut dalam fanatisme (Hammiyah), sehingga hampir-

hampir mereka berperang sementara Nabi saw berdiri diatas mimbar lalu beliau

menenangkan mereka hingga redalah emosi masing-masing pihak.5

Keadaan yang membuktikan masih adanya fanatisme kesukuan bukan

berarti apa yang telah beliau lakukan untuk mengikis dan menghilangkan

fanatisme gagal seluruhnya. Sesungguhnya beliau telah berhasil menumbuhkan

semangat persaudaraan dan persatuan antar suku, masih adanya perselisihan-

perselisihan kecil adalah hal wajar melihat watak bangsa Arab yang memang

keras.

5 Lihat, Ali Zainal Abidin, Identitas Mazhab Syiah, (Jakarta: Ilya, 2004) h. 86-87

Page 19: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

6

Keadaan mulai berubah lagi setelah Rasulullah wafat, semangat

persaudaraan dan persatuan mulai mengalami kemunduran. Bahkan dalam

sejarah tercatat sebelum jenazah beliau di makamkan telah terjadi perseteruan

mengenai pengganti kepemimpinan (khalîfah) sebagai pemimpin Islam,

peristiwa itu terkenal dengan Saqîfah. Perseteruan debat yang berlangsung di

kediaman Saqîfah Bani Sa‟ad yang melibatkan golongan Anshor dan golongan

Muhajirin ini berakhir dengan terpilihnya Abû Bakar al-Siddîq sebagai

Khalîfah pertama. Respon atas terpilihnya Abû Bakar pun bermacam-macam,

ada sebagian yang membaiat secara langsung, ada juga yang menyatakan tidak

mau untuk membai‟at dan tidak sedikit pula yang menyatakan keluar dari

Islam (murtad). Keadaan ini juga semakin buruk ketika „Ali bin Abî Thâlib

juga tidak mau membai‟at Abû Bakar sebagai khalîfah.6

Fakta sejarah tersebut memberikan indikasi bahwa pascawafat Nabi

saw fanatisme muncul kepermukaan lagi dan sulit dibendung. Pada saat itu,

meskipun umat Islam masih bersatu dalam urusan aqidah dan syariat, namun

mereka mulai terkoyak-koyak dalam kehidupan politik.

Masalah kepemimpinan pascawafat Nabi saw ini adalah cikal bakal

friksi dan kontroversi yang berkepanjangan dalam batang tubuh umat Islam,

sebagian memandang bahwa persoalan kepemimpinan hanyalah isu historis

politis bukan persoalan teologis. Sebagian lain justru memandang bahwa

persolan kepemimpinan di samping bersifat historis, juga terkait isu teologis

yang terkait dengan keselamatan seorang manusia di dunia dan akhirat.

6 Lihat, Said Aqil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis. h, 17-19, O.

Hasyem, Saqifah: Awal Perselisihan Umat, Muhammad Baqir Shadr, Kemelut Kepemimpinan

Setelah Rasul, (Jakarta: As-Sajjad, 1990).

Page 20: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

7

Ada satu pertanyaan mendasar mengenai masalah ini yaitu,

bagaimanakah sikap Nabi saw dalam hal kepemimpinan pascawafatnya nanti,

karena seorang yang memimpin pasca beliau harus menjalankan misi dakwah

yang telah beliau sampaikan?. Dari pertanyaan inilah muncul beberapa asumsi

jawaban atas sikap yang mungkin bisa diambil beliau sebelum wafat, yaitu:

1. Beliau bersikap pasif, yaitu acuh tak acuh.

2. Beliau menyerahkan pembentukan kepemimpinan kepada umat

melalui konsep syuro (musyawarah).

3. Beliau menunjuk pemimpin yang diputuskan berdasarkan nash dan

penunjukkan Allah melaui Rasulnya.

Ketiga asumsi jawaban itu merupakan keharusan bagi Nabi saw untuk

mengambil sikap sebelum beliau wafat. Dari ketiganya ada dua yang menjadi

pembahasan khusus yaitu bahwa Nabi saw menyerahkan pembentukan

kepemimpinan kepada umat melaui konsep Syûrô, dan Nabi saw menunjuk

pemimpin yang diputuskan berdasarkan nash dan penunjukkan Allah melaui

Rasulnya. Kedua asumsi itulah yang menjadi argumen dan doktrin kuat dalam

memahami konsep kepemimpinan dan siapa yang berhak menjadi pemimpin

pascawafat Nabi saw.

Didalam fakta sejarah seperti yang diuraikan sekilas di atas

menjelaskan bahwa yang menjadi pemimpin Islam pascawafat Nabi saw adalah

Abû Bakar al-Siddîq, beliau terpilih setelah beberapa Sahabat melakukan

musyawarah (syûrô). Hal ini yang memberikan asumsi bahwa Nabi saw

Page 21: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

8

meyerahkan kepemimpinan kepada umat, karena umat telah pandai dan

mempunyai kemampuan untuk memilih seorang pemimpin yang layak.

Berbeda dengan yang berpendapat bahwa masalah kepemimpinan

pascawafat Nabi saw adalah perkara yang sudah ditetapkan oleh Allah melalui

Rasulnya. Asumsi ini muncul karena ada nash-nash yang mengindikasikan

bahwa Nabi saw telah menunjuk seorang pemimpin untuk menggantikannya,

dan nash-nash tersebut menunjuk „Ali bin Abî Thâlib yang berhak menjadi

pemimpin pascawafat Nabi saw.

Salah satu nash yang dianggap menjadi argumen kuat bahwa Nabi saw

telah menunjuk seorang pemimpin setelah beliau wafat. Hadis ini dikenal

sebagai hadis Ghadîr Khum, sebuah hadis yang berisi tentang masalah

penunjukan pemimpin yang dilakukan oleh Nabi Muhammad untuk menjadi

pengganti beliau setelah wafat nanti. Sebuah hadis yang diyakini oleh mazhab

Syiah sebagai argumentasi kuat bahwa yang berhak memangku kepemimpinan

pasca Nabi saw adalah keponakannya yaitu „Ali bin Abî Thâlib. Syiah

meyakini benar bahwa „Ali bin Abî Thâlib ra adalah Imam kaum Muslim

sesudah Rasulullah saw. dan seharusnya menjadi khalîfah pertama sesudah

Rasul saw.7 Hal ini tentu saja berlainan dengan keyakinan mazhab Ahlus

Sunnah yang meyakini bahwa Abû Bakar bin Siddîq lah yang berhak menjadi

pemimpin saat itu.

Hadis tersebut adalah:

7 M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, (Jakarta:

Lentera Hati, 2007) h. 122

Page 22: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

9

Artinya : Berkata kepada kami Muhammad bin Basysyâr dan Syu‟bah

dari Salamah bin Kuhail, ia berkata aku mendengar Abu al-Tufail

berkata dari Abî Sarîhah atau dari Zaid bin Arqom dari Nabi Saw.

Bersabda: barang siapa yang menjadikan aku pemimpinnya maka Ali

adalah pemimpinnya juga.8

Hadis tersebut turun ketika beliau selesai melakukan Haji Wadâ’ di

hadapan kaum muslimin di suatu tempat yang bernama Ghadîr Khum, oleh

sebab itu hadis tersebut dikenal dengan sebutan hadis Ghadîr Khum.

Hadis ini turun bertepatan tanggal 18 Dzulhijjah, usai Nabi Muhammad

saw melaksanakan haji terakhirnya (haji wadâ’), Nabi Muhammad saw pergi

meninggalkan Mekkah menuju Madinah, di mana beliau dan kumpulan kaum

Muslimin sampai pada suatu tempat bernama Ghadîr Khum (saat ini dekat

Juhfah). Itulah tempat di mana orang-orang dari berbagai penjuru saling

menyampaikan salam perpisahan dan kembali ke rumah dengan mengambil

jalan yang bereda-beda.9 Di sana Nabi saw menyampaikan khutbah-

khutbahnya di depan ratusan ribu kaum Muslimin, dalam khutbahnya beliau

membacakan ayat hampir 100 ayat al-Quran, dan kira-kira sebanyak 73 kali

mengingatkan perbuatan masa depan mereka di kemudian hari.10

Dan salah

satu bagian akhir dalam isi khutbanya adalah hadis Ghadîr Khum ini.

8 Al-Imam al-Hafiz Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah al-Tirmidzi, Sunan at-

Tirmizy, no. 4077, (Software: al-Maktabah asy-Syamilah), h. 317

9 Digital Islamic Library Project, Ensyclopedia of Shia, diterjemahkan Antologi Islam,

penj, Rofik Suhud dkk, (Jakarta: Al-Huda, cet ke II, 2005), h. 288

10

Rofik Suhud dkk, Antologi Islam, h. 289

Page 23: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

10

Mazhab Syiah berpendapat bahwa hadis Ghadîr Khum merupakan

wasiat Rasulullah saw yang menghendaki „Ali menjadi pemimpin dan Amîrul

Mukminîn sepeninggalnya.11

Mereka berkeyakinan masalah kepemimpinan

adalah masalah prinsip teologis dan suksesi kepemimpinan adalah merupakan

proses wasiat. Wasiat dalam doktrin Syiah sesungguhnya bukanlah pemilihan

atau pencalonan, melainkan pengangkatan yang dilakukan oleh Nabi suci

dengan mengumumkan seorang mukmin yang paling saleh sebagai pengganti

beliau dalam mendakwahkan pesan Islam.12

Di lain pihak berpendapat bahwa

tampuk kepemimpinan umat bukanlah suatu proses wasiat atau suatu yang

diwariskan. Pewarisan kepemimpinan adalah salah satu hal yang tidak dapat

dibenarkan dan diakui dalam Islam.13

Dalam hal ini penulis mencoba mengkaji sebuah ayat al-Qur‟an yang

mempunyai keterkaitan dengan serangkaian perbedaan pendapat mengenai

kepemimpinan pasca wafat Nabi saw Ayat tersebut terdapat dalam surat al-

Mâidah ayat 67 yaitu:

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari

Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,

berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara

kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi

petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-Maidah/5 : 67)

11 Mustofa Al-Syak‟ah, Al-Islam bi la Mazahib, diterjemahkan oleh A. M. Basalamah

dengan judul Islam Tidak Bermazhab, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 134

12

Ali Syariati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, (Jakarta: Mizan, 1995) h. 64

13

Mustofa Al-Syak‟ah, Islam Tidak Bermazhab, h. 135

Page 24: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

11

Jika diperhatikan secara detail, di dalam ayat tersebut ada sebuah pesan

(risâlah) yang sangat penting yang harus disampaikan oleh Rasul dan jika

Rasul tidak menyampaikannya maka Rasul dikatakan belum menyampaikan

amanat yang seharusnya disampaikan, dan seharusnya pesan tersebut bukan

risalah yang telah Rasul pernah sampaikan lalu beliau sekedar mengulangnya

kembali sebagai bentuk pengingatan kepada umatnya. Jadi risalah tersebut

adalah sebuah risalah yang belum pernah disampaikan oleh Rasul dan sifatnya

sangat penting untuk disampaikan kepada umatnya.

Keterkaitan ayat tersebut dengan masalah kepemimpinan pasca wafat

Nabi adalah karena bagi Syiah ayat tersebut turun setelah Nabi saw melakukan

haji wadâ’ sehingga ayat tersebut turun dalam rentetan peristiwa Ghadîr

Khum. Bagi kalangan Syiah ayat tersebut mengindikasikan sebuah pesan

(risâlah) yang sangat penting agar kemudian disampaikan kepada umatnya dan

ayat ini juga ditunjukkan kepada „Ali as. Pesan yang harus disampaikan itu

adalah yang disebutkan dalam hadis Ghadîr Khum yaitu penunjukan sekaligus

pengangkatan „Ali sebagai wâli dan pemimpin pascawafat Rasulullah saw.14

Tabataba‟i berpendapat mengenai ayat ini bahwa secara lahiriah makna

ayat ini mengandung perintah pada Rasulullah saw untuk menyampaikan

sesuatu yang berbahaya dan menakutkan, kemudian Allah swt menjanjikan

kepadanya pemeliharaan dari gangguan manusia. Apabila diperhatikan dari

sisi letaknya ayat ini diapit tentang ayat-ayat yang mebicarakan Ahli Kitab

yakni al-Mâidah ayat 66 dan al-Mâidah ayat 67. Akan tetapi dapatlah

14 Rofik Suhud dkk, Antologi Islam, h. 288-289

Page 25: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

12

dipastikan bahwa ayat ini tidak berkaitan dengan ayat-ayat sebelum dan

sesudahnya dari segi susunan ayat dan tidak mempunyai hubungan dengannya

dalam untaian kalimatnya, tiada lain ayat ini diturunkan sendiri, dan ketakutan

akan menyampaiknnya adalah bukan kepada Ahli Kitab yang karena takut mati

di jalan Allah, melainkan kekhawatiran Nabi saw kepada manusia untuk

menyampaikannya sehingga menunggu pada momen yang sesuai.15

Adapun sebab turunnya ayat ini memang terjadi perbedaan pendapat,

ada yang menyebutkan bahwa ayat ini turun saat permulaan Islam dan yang

lainnya berpendapat ayat ini turun setelah Nabi saw melakukan haji wada‟ di

Ghadîr Khum.16

Perbedaan pendapat inilah yang mungkin menjadi sebuah perbedaan

pemahaman antara Ahlu Sunnah dan Syiah, dimulai dari perbedaan sabab

trurunnya sampai kepada penafsiran ayat secara keseluruhan, dan bukan hanya

itu, perspektif sejarah menjadi penting dalam memahami ayat tersebut. Maka di

sini penulis ingin mengetahui lebih jauh perbedaan penafsiran ayat tersebut

antara mufassir Ahlu Sunnah dan Syiah. Dari Ahlu Sunnah penulis memilih

tafsir yang ditulis oleh Muhammad Rasyîd Ridâ yaitu Tafsîr al-Qur‟an al-

Hakîm atau yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Manâr, sedangkan dari Syiah

penulis memilih Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‟an yang ditulis oleh Muhammad

Husain al-Tabataba‟i.

15

lihat. Tabataba‟i, Tafsir Al-Mizan; Mengupas Ayat-ayat Kepemimpinan, pen,

Syamsuri Rifa‟i, (Jakarta: CV. Firdaus, 1991), h. 149-153

16

Lihat Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-

Manâr, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah) Jilid I, hal, 463

Page 26: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

13

Alasan penulis memilih kedua tafsir tersebut selain dikarenakan

perbedaan mazhab mufassirnya17

juga dikarenakan kedua tafsir tersebut

termasuk dalam tafsir kontemporer sehingga pemikiran dan penafsirannya bisa

dimasukkan dalam konteks kekinian. kedua tafsir tersebut juga banyak

menggunakan argumen rasional setelah mengemukakan beberapa kesesuaian

(munâsabah) ayat, hadis dan juga pandangan mufassir-mufassir lainnya.

Dengan uraian di atas maka penulis mengambil judul penelitian ini

“STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN

TABATABA’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam melakukan studi komparatif ini penulis membahas penafsiran

Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i yang terdapat dalam karyanya yaitu kitab Tafsîr al-

Qur‟ân al-Hakîm (Tafsir al-Manâr) dan al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‟ân dengan

merujuk kepada satu ayat yaitu surat al-Mâidah ayat 67 dan yang menjadi

fokus kajiannya adalah mengenai sebab turunnnya ayat dan pesan penting

dalam tablîgh al-risâlah dalam ayat tersebut.

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka perumusannya adalah:

1. Bagaimana penafsiran Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i tentang surat Al-

Mâidah ayat 67 secara umum.

2. Bagaimana penjelasan Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i secara khusus tentang

sebab turunnya ayat, keterkaitan ayat dengan peristiwa Ghadîr Khum,

17 Lihat Sayyid Muhammad Ali Iyâzi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum,

(Teheran: Wazarah al-Tsaqofah wa al-Irsyad al-Islam) hal, 664 dan 703

Page 27: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

14

pesan penting dalam tablîgh al-Risâlah yang diperintahkan dalam surat al-

Mâidah ayat 67 dan makna ‘ishmah.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dalam skripsi ini penulis membagi tujuan penelitian ini pada

tujuan khusus dan tujuan umum:

a. Tujuan Khusus

Penelitian ini secara akademis bertujuan untuk memahami perbedaan

penafsiran antara Rasyid Ridha dan Thabathaba‟i dalam menafsirkan

ayat al-Qur‟an.

b. Tujuan Umum

a) Memberikan kontribusi wawasan dan memperkaya khazanah

intelektual seputar hadis kepada umat Islam khususnya kepada

penulis.

b) Mendorong umat Islam memahami al-Qur‟an dengan benar dan

tidak bertentangan dengan hadis serta kehidupan manusia.

c) Mengajak kepada umat Islam untuk bisa menyikapi dengan bijak

setiap perbedaan pendapat dengan menjunjung tinggi semangat

Ukhuwwah Islâmiyyah.

d) Untuk melengkapi sebagian dari persyaratan guna memperoleh

gelar akademik Sarjan Strata Satu (S-1) pada Jurusan Tafsir Hadis

Fakultas Ushuluddin Universitas Syarif Hisayatullah Jakarta.

Page 28: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

15

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini secara teoritis dapat memberikan

pemahaman tentang bagaimana suatu al-Qur‟an dan hadis dapat dipahami

dengan benar. Sehingga tidak terlalu kaku dengan pengamalan al-Qur‟an

dan hadis yang menjadi pedoman kita.

D. Tinjauan Pustaka

Sejauh penelusuran yang penulis lakukan, penelitian tentang masalah

ini masih belum ada yang melakukannya. Peneliti hanya menemukan satu

skripsi yang hanya membahas tentang metode pendidikan dalam surat al-

Mâidah ayat 67 yang ditulis oleh Zulkarnaen Fadly (Pendidikan Agama

Islam/2009) dengan judul “Metode Pendidikan Islam dan Relevansinya dengan

Metode Dakwah: Kajian surat al-Nahl ayat 125, al-Mâidah ayat 67 dan surat

Ali „Imrân ayat 159”. Skripsi ini membahas metode pendidikan dan dakwah,

dan tidak ada analisa khusus mengenai ayat dalam surat al-Mâidah ayat 67.

Tentu saja penelitian tersebut berbeda dengan penulis yang menganalisa

secara khusus ayat tersebut dan melakukan komparasi penafsiran dari dua

mufassir.

E. Metodologi Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan kajian literatur

dan kepustakaan. Data utama adalah al-Qur‟an dan yang menjadi kitab

analisa utama adalah kitab Tafsîr al-Qur‟ân al-Hakîm (Tafsir al-Manâr)

karya Muhammad Rasyîd Ridâ dan al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‟ân karya

Page 29: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

16

Muhammad Husain al-Tabataba‟i, serta data sekunder dari buku-buku,

artikel dan lain-lainnya yang mempunyai kaitan dengan permasalahan

yang sedang diangkat.

2. Metode Pembahasan

Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif-analitis,

sebagai upaya mengkaji kemudian memaparkan keadaan objek yang akan

diteliti dengan merujuk pada data-data yang ada (baik primer maupun

sekunder) kemudian menganalisisnya secara proporsional dan

komprehensif dengan pendekatan komparatif, sehingga akan tampak jelas

perincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok

permasalahan dan akan menghasilkan pengetahuan yang valid.

3. Tehnik Penulisan

Penulisan skripsi ini mengacu pada Buku Pedoman Penulisan Karya

Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Desertasi) terbitan CeQDA Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab yang merupakan suatu

rangkaian penulisan yang saling berhubungan, dengan uraian sebagai berikut:

Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan

pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Page 30: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

17

Bab II berisi tentang riwayat hidup Rasyîd Ridâ, riwayat kitab Tafsir al-

Manâr, metode dan corak Tafsir al-Manâr dan kajian terhapad penafsiran

Rasyîd Ridâ tentang surat al-Mâidah ayat 67.

Bab III berisi tentang riwayat hidup Tabataba‟i, riwayat kitab Tafsir al-

Mîzân, metode dan corak Tafsir al-Mîzân dan kajian terhapad penafsiran

Tabataba‟i tentang surat al-M^aidah ayat 67.

Bab IV berisi tentang pokok kajian yaitu penafsiran mengenai kajian

inti yang dibahas yaitu membahas surat al-Mâidah ayat 67 secara global yang

kemudian memfokuskan pembahasan kepada permasalahan sabab turunnya

ayat, keterkaitan dengan peristiwa Ghadîr Khum, pesan penting dalam tablîgh

al-Risâlah yang diperintahkan Allah kepada Nabi saw., dan penjelasan tentang

makna ‘Ishmah dan kafir dalam ayat tersebut. Setelah itu melakukan analisa

perbandingan terhadap kedua penafsiran tersebut dan mengutip beberapa

pendapat para ulama tafsir mengenai hal tersebut.

Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari masalah-

masalah pokok dalam penelitian ini dan saran.

Page 31: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

18

BAB II

PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH

AYAT 67 DALAM TAFSIR AL-MANÂR

A. Riwayat Rasyîd Ridâ dan Tafsir al-Manâr

a. Riwayat Hidup Rasyîd Ridâ

Qalamun adalah sebuah desa yang dekat dengan kota Tripoli,

Libanon. tempat kelahiran Sayyid Muhammad Rasyîd Ridâ pada tanggal

27 Jumadi al-Ûla 1282 H atau 18 Oktober 1865 M. Saat itu Libanon

merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Turki Utsmani.1 Menurut salah

satu riwayat bahwa Rasyîd Ridâ mempunyai silsilah dari Husain bin „Ali

bin Abî Tâlib, cucu Nabi saw., oleh karena itu beliau diberi gelar Sayyid.

Keluarga beliau dikenal dengan sebutan Syaikh merupakan keluarga yang

sangat taat dalam beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama.2

Beliau mengawali pendidikan di desanya dengan membaca al-

Qur‟an, menulis dan berhitung. berbeda dengan anak-anak lain yang

sebaya dengannya, beliau lebih senang menghabiskan waktunya untuk

belajar dan membaca buku dari pada bermain.3 Sejak kecil ia telah

memiliki kecerdasan yang tinggi dan keterkaitannya terhadap ilmu

pengetahuan.

1 A. Athaillah, Rasyîd Ridâ: Konsep Teologi dalam Tafsir Al-Manar, (Jakarta: Erlangga,

2006), h. 26

2 Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), h. 162

3 Kufrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), cet

III, h, 161

Page 32: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

19

Setelah lancar membaca dan menulis, beliau kemudian masuk ke

madrasah Rusydiyyah, sekolah milik pemerintah Tripoli. Hanya dalam

waktu lima tahun beliau belajar nahwu dan sharaf dan ilmu agama lainnya

seperti aqidah dan ibadah, ilmu bumi dan matematika. Namun bahasa yang

dipakai di madrasah tersebut bukanlah bahasa Arab, melainkan bahasa

Turki. Hal itu tidak mengherankan karena madrasah tersebut milik

Pemerintah Turki Utsmani. Di samping itu tujuan madrasah milik

pemerintah tersebut adalah untuk mempersiapkan sumber daya manusia

yang akan menjadi pegawai pemerintah Turki Utsmani.4 Karena enggan

menjadi pegawai pemerintah kemudian beliau melanjutkan ke sekolah

Islam Negeri, dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, yang

didirikan dan dipimpin oleh seorang ulama besar Syam Syaikh Husain al-

Jisr, ide pembaharuan pada diri ridha sangat dipengaruhi oleh pemikiran-

pemikiran gurunya Syaikh al-Jisr.

Rasyîd Ridâ juga seoarang pengikut tarekat, yaitu Tarekat al-

Naqsyabandiyah, berdasarkan pengalamannya di dunia tarekat, ia

menyimpulkan bahwa ajaran-ajaran tarekat yang berlebihan dalam cara

beribadat dan pengkultusan seorang guru membuat seorang mempunyai

sikap statis dan pasif, sikap-sikap seperti itu jelas merugikan umat Islam.

Ide-ide pembahruan penting yang dibawa Rasyîd Ridâ adalah

dalam bidang agama, bidang pendidikan dan bidang politik. Dalam bidang

agama ia berpendapat bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi

4 A. Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi dalam Tafsir Al-Manar, h. 27

Page 33: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

20

mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam secara murni seperti yang

dipraktekan pada masa Rasulullah Saw dan sahabat-sahabatnya, melainkan

ajaran-ajaran yang sudah banyak bercampur dengan bid’ah dan khurafât.

Selanjutnya ia menegaskan, jika umat Islam ingin maju, mereka harus

kembali berpegang kepada al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah saw. dan

tidak terikat dengan pendapat ulama-ulama terdahulu yang tidak lagi

sesuai dengan tuntutan hidup modern.5 selain banyak belajar, beliau juga

menekuni perkembangan dunia Islam melalui media masa al-Urwah al-

Wutsqâ yang sekaligus memberikan pengaruh besar pada perkembangan

jiwanya.6

Rasyîd Ridâ sangat ingin menemui al-Afghani tetapi keinginannya

tersebut tidak tercapai, karena al-Afghani lebih dahulu meninggal sebelum

Rasyîd Ridâ sempat menemuinya, dan yang hanya sempat beliau temui

adalah Muhammad Abduh yang ketika itu berada dalam pembuangan di

Beirut, dengan tekad untuk melepaskan umat Islam dari belenggu

keterbelakangan dan kebodohan.7

Di Mesir, Rasyîd Ridâ mengungkapkan keinginannya untuk

menerbitkan suatu surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial,

budaya dan agama. Kemudian terbitlah majalah al-Manâr pada tahun

1898 M, dengan tujuan yang sama dengan al-‘Urwatul Al-Wutsqâ, yaitu

memajukan umat Islam dan menjernihkan agama Islam dari segala paham

5 Kufrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, h, 163

6 M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar (Jakarta:

Lentera Hati, cet II, 2007), h. 76

7 Kufrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, h, 163

Page 34: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

21

yang menyimpang. Dari tulisan-tulisan Rasyîd Ridâ yang diterbitkan Al-

Manâr mengenai catatan-catatan tafsir, beliau memberi saran kepada

gurunya untuk menafsirkan al-Qur‟an dengan tafsiran yang relevan sesuai

dengan tuntutan zaman. dan kemudian dibukukanlah catatan-catatan

tersebut menjadi tafsir al-Manâr.8

Rasyîd Ridâ memiliki ide pembaharuan dalam bidang agama,

pendidikan dan politik serta mengajak kepada umat Islam agar kembali ke

zaman awal dengan aqidah murni bersandar kepada al-Qur‟an dan al-

Hadis.9 Agar terlepas dari keyakinan umat Islam yang berupa tahayul dan

bid‟ah, faham fatalisme dan paham-paham yang diajarkan oleh tarekat-

tarekat tasawuf. Di samping itu pula bagi beliau wahyu senantiasa

mendorong umat untuk menggunakan akal, oleh karena itu beliau juga

melarang sikap taqlid dan beliau pun menghargai akal manusia.

Menurutnya akal dapat dipakai untuk memahami ajaran mengenai

kehidupan masyarakat yang memiliki keadaan berubah-ubah.10

Dalam pemikiran-pemikiran Ridha yang telah dikemukakan tidak

jauh berbeda dengan pemikiran-pemikiran guru beliau Abduh dan Al-

Afghani. Muhammad Abduh dengan al-Urwah al-Wutsqâ mampu

mengubah kesufian jiwa Rasyîd Ridâ menjadi pemuda yang penuh

semangat.

8 Kufrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, h, 162

9 Kufrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, h, 162

10

Muhaimin, Pembaharuan Islam Refleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-tokoh

Muhamadiyah, (Cirebon: Pustaka Dinamika, 2000), h. 18

Page 35: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

22

Kalau semula usaha Rasyîd Ridâ hanya terbatas pada perbaikan

akidah dan syariat masyarakat, menjauhkan mereka dari kemewahan

duniawi dengan mempratekkan zuhûd, selanjutnya ia beralih pada usaha-

usaha membangkitkan semangat umat Islam untuk melaksanakan ajaran

islam secara utuh, serta membela dan membangun negara dengan ilmu

pengetahuan dan industri. Bahkan beliau bisa memahami ajaran Islam

dengan suatu jalan baru, yakni bahwa Islam bukan hanya agama ruhani-

ukhrowi semata, melainkan juga agama ruhani jasmani, ukhrowi dan

duniawi yang bertujuan antara lain memberi petunjuk kepada manusia

untuk menguasainya dengan sungguh-sungguh.11

Perhatiannya yang sangat besar di bidang pendidikan adalah alasan

mengapa ia selalu menghimbau dan mendorong umat Islam untuk

menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga

pendidikan. Menurutnya umat Islam hanya akan maju apabila menguasai

bidang pendidikan.12

Keaktifan Rasyîd Ridâ di dunia politik menghantar ia menjadi

Presiden Kongres Suriah tahun 1920, delegasi Palestina – Suriah di

Jenewa tahun 1921, Komite Politik di Kairo tahun 1925 dan menghadiri

Konferensi Islam di Mekkah tahun 1926 dan di Yerussalem tahun 1931.

Ide-idenya yang penting adalah mengenai persaudaraan Islam (Ukhuwwah

al-Islâm). Ia melihat salah satu penyebab kemunduran umat Islam ialah

perpecahan yang terjadi di kalangan mereka, untuk itu ia menyeru umat

11 Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan (Yogyakarta: LKIS, 2003),cet. I, h. 132

12

Kufrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, h. 163

Page 36: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

23

Islam agar bersatu kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral,

sistem pendidikan dan tunduk pada satus sitem hukum dalam satu

kekuasaan yang berbentuk Khilâfah. seperti pada masa al-Khulafâ al-

Râsyidîn.

Pada tanggal 23 Jumadil Ula 1354 H atau tanggal 22 Agustus 1935

M, Muhammad Rasyîd Ridâ wafat disebabkan mengalami kecelakaan dan

geger otak.13

Beberapa karya Rasyîd Ridâ, diantaranya yaitu :14

1. Al-Hikmah al-Syar’iyyah fi Muhkamât ad-Dadiriyah wa al-Rifâ’iyyah

2. Al-Azhar dan al-Manâr

3. Târikh al-Ustâdz al-Imâm al-Syaikh Muhammad Abduh

4. Nidâ’ li al-Jinsi al-Latîf

5. Dzikra al-Maulid al-Nabawi

6. Risâlatu Hujjat al-Islâm al-Ghazali

7. Al-Sunnah wa al-Syi’ah

8. Al-Wahdah al-Islamiyyah

9. Haqîqatu al-Ribâ

10. Tafsîr Surat al-Kautsar, al-Kâfirûn, al-Ikhlâs dan Al-Mu’awwidzatain

b. Riwayat Tafsir al-Manâr

Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm adalah nama Tafsir al-Mânar

merupakan penisbatan atas majalah yang diterbitkan oleh Rasyîd Ridâ.

Berjumlah dua belas jilid tafsir ini bertujuan untuk memberikan

13 M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar , h. 82

14

M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar, h.79-80

Page 37: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

24

pemahaman bagi umat Islam bahwa Kitâbullâh merupakan sumber ajaran

agama Islam membimbung manusia ke arah kebahagiaan dunia dan

akhirat.15

Tafsir al-Manâr pada dasarnya merupakan hasil karya tiga orang

tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamaluddin al-Afghâni, Syaikh Muhammad

Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyîd Ridâ. Tokoh pertama menanamkan

gagasan perbaikan masyarakat kepada sahabat dan muridnya, Syaikh

Muhammad Abduh. Oleh tokoh kedua ini gagasan itu dicerna, diterima

dan diolah kemudian disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat al-

Qur‟an.16

Tokoh ketiga yang kemudian menulis semua yang disampaikan

oleh sahabat dan gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.

Ringkasan dan penjelasan itu kemudian dimuat secara berturut-

turut dalam majalah al-Manar, yang dipimpin dan dimilikinya itu dengan

judul “Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm” yang disadur dari kuliah Muhammad

abduh. Abduh sempat menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surat al-

Fatihah sampai dengan surat an-Nisa ayat 125.

Kemudian Rasyîd Ridâ menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an secara

sendirian yang pada garis besarnya mengikuti metode dan ciri-ciri pokok

yang digunakan oleh gurunya sampai dengan surat Yusuf ayat 52.17

Oleh

karena itu tafsir al-Manâr yang terdiri dari 12 jilid itu lebih wajar untuk

dinisbahkan kepada Rasyîd Ridâ, sebab disamping lebih banyak yang

15 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

(Beirut: Dar al-Ma‟rifah), jilid I, h. 4

16

M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar , h. 84

17

M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar , h. 84

Page 38: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

25

ditulisnya, baik dari segi ayat maupun halamannya, juga karena dalam

penafsiran ayat-ayat surat al-Fâtihah, surat al-Baqarah, dan surat al-Nisâ

ditemui pula pendapat-pendapat Rasyîd Ridâ yang ditandai olehnya

dengan menulis kata “aqûlu” sebelum menguraikan pendapatnya sendiri.18

c. Metode dan Corak Tafsir Al-Manâr

Rasyîd Ridâ dalam Muqaddimah tafsirnya mengatakan:

Kitab ini merupakan satu-satunya kitab yang menghimpun riwayat-

riwayat yang shahih dan pandagan akal yang tegas, yang

menjelaskan hikmah-hikmah syariah serta sunnatullâh yang

berlaku terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi al-Qur‟an

sebagai petunjuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat, serta

membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum muslim

dewasa ini yang telah berpaling dari petunjuk itu, serta

membandingkan pula dengan keadaan para salaf (leluhur) yang

telah berpegang dengan tali hidayah itu. Tafsir ini disusun dengan

redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari istilah-istilah

ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang awam tetapi

tidak diabailan oleh orang khusus (cendekiawan). Itulah cara yang

ditempuh oleh filosof Islam al-Ustâdz al-Imâm Syaikh Muhammad

Abduh dalam pengajaran di al-Azhar.19

Apabila melihat penjelasan mengenai riwayat Tafsir Al-Manâr

maka sudah barang tentu metode dan corak Tafsir Al-Manâr yang ditulis

oleh Rasyîd Ridâ ini juga mengikuti metode dan corak yang digunakan

oleh gurunya Muhammad Abduh. Metode yang digunakan adalah analisis

ayat tahlîli20

dan corak penafsirannya adalah adabi ijtimâ’i21

(sastra

kemasyarakatan).22

18 M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar , h. 85

19

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

(Beirut: Dar al-Ma‟rifah) Jilid. I, h. 1

20

Metode Tahlili, Berasal dari kata halala Yuhalilu, Tahlili yang berarti mengurai atau

menganalisis. Metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur‟ ân dengan

memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang

Page 39: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

26

Corak Penafsiran Al-Manâr berorientasi pada sosial, sastra dan

kemasyarakatan, suatu corak yang menitikberatkan penjelasan ayat al-

Qur‟an pada segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun

kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan

penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur‟an, yakni membawa petunjuk

dalam kehidupan, kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut

dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan

perkembangan dunia.23

Menurut Rasyîd Ridâ seperti yang diakuinya sendiri bahwa

terdapat beberapa perbedaan dirinya dengan gurunya Muhammad Abduh

dalam menulis al-Manâr. Dalam pernyataannya dia menjelaskan bahwa dia

menggunakan metode penafsiran yang berbeda dengan metode yang telah

digunakan gurunya. Metode tersebut adalah memperluas penjelasan

dengan hadis-hadis sahih, menahqiqan sementara kosa kata kalimat dan

masalah-masalah yang telah menimbulkan perbedaan pendapat di

terdapat dalam Al-Qur‟ ân Mushaf Utsmani. Tafsir ini disebut juga Tajzi‟ i (parsial). Lihat M.

Quraish Shihab, Tafsir al-Qur‟ ân Al-Karîm, h. V, (pengantar), lihat juga Sejarah „Ulum al-

Qurân (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), cet. Ke-1, h.172-192

21

Corak Adabi Ijtima‟ i adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟ ân

berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan

menekankan tujuan yang pokok diturunkannya al-Qur‟ ân, lalu mengaplikasikannya pada tatanan

sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan

perkembangan masyarakat. Lihat Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun,

(Kairo: Dar al-Kutub al-haditsah, 1986) Jilid. II, h. 574

22

Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Kutub al-

haditsah, 1986) Jilid. III, h. 214

23

M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar , h. 5

Page 40: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

27

kalangan ulama juga memperbanyak ayat-ayat penguat yang dipetik

berbagai surat.24

Menurut Harun Nasution seperti yang dikutip oleh A. Athaillah

bahwa perbedaan tersebut antara lain terlihat pada masalah-masalah

teologi dan dalam menafsirkan ayat-ayat antropomorfisme Abduh lebih

liberal daripada Ridâ.25

Adapun M. Quraish Shihab mengklasifikasikan

perbedaan tersebut, yang diantaranya :26

1. Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan

hadits-hadits Nabi saw.

2. Keluasan Pembahasan tentang penafsiran ayat-dengan ayat yang lain.

3. Penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang hal-hal yang

sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya, dengan tujuan

mengantar kepada penjelasan tentang petunjuk agama, baik yang

menyangkut argumentasi keyakinan maupun pemecahan problem-

problem yang berkembang.

4. Keluasan pembahasan tentang arti mufradât (kosakata), susunan

redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama dalam bidang

tersebut.

24 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid I, h. 16

25

A. Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi dalam Tafsir Al-Manar, h. 5

26

M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar,h. 85-86

Page 41: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

28

B. Penafisran Rasyîd Ridâ tentang surat al-Mâidah ayat 67

“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari

Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,

berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara

kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi

petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-Mâidah/5 : 67)

Rasyîd Ridâ dalam menafsirkan ayat ini pada mulanya ingin

menegaskan bahwa seruan kata “Rasul” dalam ayat tersebut menunjukkan

bahwa ada dua tema besar yang dibahas dalam ayat tersebut yaitu seruan

kepada Ahli Kitab untuk masuk Islam dan tentang persoalan-persoalan

agama.27

penjelasan Rasyîd Ridâ ini seolah mengemukakan bahwa sebab

turunnya ayat ini pada awal kenabian karena menyangkut seruan kepada Ahli

Kitab untuk masuk Islam.

Rasyîd Ridâ pun juga menjelaskan dalam tafsirnya bahwa memang

terjadi perbedaan pendapat oleh para mufassir tentang sebab turunnya ayat ini.

Pendapat yang pertama mengatakan bahwa turunnya ayat ini terjadi pada masa

awal Islam sedangkan pendapat kedua megatakan bahwa ayat ini turun untuk

„Ali bin Abî Tâlib pada hari Ghadîr Khum.28

27 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 463

28

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsir al-Qur’an al-Karim Asy-Syahir bi Al-Tafsir Al-Manar,

jilid 6, h. 463

Page 42: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

29

Dalam menafsirkan “ ربك زل إنيك ي Rasyîd Ridâ ” يا أيها انرسىل بهغ يا أ

menyampaikan sebuah riwayat yang juga sekaligus menunjukkan sebab

turunya ayat ini yaitu pada awal permulaan Islam. Dia sepakat dengan

pendapat para ulama tafsir al-Ma’tsûr, apabila ayat ini tidak menyangkut

masalah Ahli Kitab maka tidak sesuai dengan ayat setelahnya, yaitu dengan

pengertian bahwa Allah berkata: “Sampaikanlah apa yang diturunkan

kepadamu tentang perkara Ahli Kitab dan jika kamu bertanya apa yang harus

disampaikan maka jawablah “Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak

dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran

Taurat, Injil, dan al-Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu"... .”.29

Kemudian Rasyîd Ridâ meyebutkan hadis Ibn „Abbâs yang

diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dan Adh-Dhiyâ‟ yaitu :

“Rasulullah Saw ditanya: Ayat apa yang diturunkan dari langit, yang

paling menghawatirkan kamu? Nabi Saw menjawab: Aku berada di

Mina pada musim haji, ketika itu orang-orang musyrik Arab dan

manusia yang tidak dikenal identitasnya berkumpul, kemudian turunlah

Jibril dan menyampaikan ayat: “ ” ,

kemudian aku berdiri di „Aqobah dan berseru: “wahai manusia, siapa

yang akan menolongku menyampaikan risalah Tuhanku dan Pemilik

syurga? wahai manusia katakan: Tiada Tuhan selain Allah dan aku

Rasul Allah, maka kalian akan beruntung dan behasil dan bagi kalian

surga.” Dan Nabi berkata, maka tak tertinggal seorang pun laki-laki,

wanita dan anak-anak, semuanya melempar dengan tanah dan batu, dan

mereka meludahi mukaku, mereka sambil berkata, Pendusta, keluar dari

agama. Kemudian Ali menyarankan dan berkata: Wahai Muhammad

jika engkau Rasul Allah, maka sekaranglah waktu engkau harus

mendoakan mereka sebagaimana Nuh berdo‟a untuk kaumnya dengan

kehancuran, maka Nabi Saw berdo‟a: “Ya Allah berilah petunjuk

kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu dan tolonglah aku agar

mereka mencintaiku dalam ketaatan kepadaMu”. Kemudian datanglah

29 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 467

Page 43: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

30

pamannya Al-„Abbas untuk meenyelamatkan beliau dari mereka dan

menghalau mereka dari Nabi Saw.” 30

Rasyîd Ridâ secara panjang lebar membahas tentang pendapat Syiah

yang manyatakan bahwa ayat ini turun di Ghadîr Khum berkenaan dengan

pengangkatan Imam „Ali bin Abî Tâlib sebagai Khalîfah setelah Rasulullah

saw. Beliau mengutip pendapat al-Tsa‟labi dalam tafsirnya yang menyatakan

bahwa :

“Sungguh perkataan ini dari Nabi Saw tentang wilayah Ali yang

tersebar di seluruh penjuru negeri, hingga perkataan itu samapai kepada

al-Harits bin Nu‟man al-Fahri, kemudian ia datang kepada Nabi Saw

karena ia ragu tentang berita itu. Ketika itu Nabi Saw berada di Abthah

lalu beliau menjelaskan dan memberi pengertian kepadanya tentang hal

itu. Dia berkata kepada Nabi Saw – dia adalah salah seorang sahabat

besar Nabi Saw – wahai Muhammad engkau telah menerima perintah

dari Allah untuk kami, agar kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain

Allah dan sesunguhnya engkau adalah Rasul Allah, maka kami

menerimanya – ia juga menyebutkan seluruh rukun Islam – kemudian

engkau belum puas dengan hal ini, sehingga engkau mengangkat kedua

tangan anak pamanmu dan mengutamaknnya atas kami, lalu engau

berkata : Bararangsiapa menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah

pemimpinnya, maka apakah ini dari kamu atau dari Allah? Nabi saw

menjawab: Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, masalah ini

adalah perintah Allah. Lalu al-Harits berpaling dan pergi sambil

mengucapkan: “Ya Allah jika perintah ini benar –benar dari sisimu,

maka turunkan kepada kami hujan batu dari langit atau berikan kami

siksa yang pedih. (Q.S. al-Anfal: 32).” Maka sebelum ia sampai pada

tujuan perjalanannya, Allah menghujaninya dengan batu, maka jatuhlah

dia sebab keinginannya dan keluarlah batu itu dari duburnya. Lalu

Allah menurunkan ayat: “seorang peminta telah meminta kedatangan

azab yang menimpa untuk orang-orang kafir yang tiada seorang pun

dapat menolaknya. (Q.S. al-Ma‟arij: 1-2).”31

Akan tetapi menurut Rasyîd Ridâ riwayat ini maudhû’ dan surat al-

Ma‟ârij ini Makiyyah dan apa yang Allah ceritakan itu adalah perkataan

30 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 467

31

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 464

Page 44: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

31

sebagian orang-orang kafir Quraisy: “Ya Allah jika perintah ini benar-benar

dari sisimu”, sebagai peringatan sebelum hijrah, peringatan ini terdapat dalam

surat al-Anfâl yang diturunkan sebelum perang Badar dan sebelum surat al-

Mâidah turun antara tiga sampai sembilan tahun. Riwayat itu menjelaskan

bahwa al-Hârits adalah seorang muslim kemudian murtad. Ia belum dikenal di

kalangan para sahabat Nabi saw Adapun Abhtah adalah suatu tempat di

Mekkah, sedangkan Nabi saw belum kembali dari Ghadîr Khum ke Mekkah,

bahkan setelah Haji Wadâ’ beliau singgah di Ghadîr Khum menuju ke

Madinah.32

Kemudian berkaitan dengan pendapat Syiah yang menjadikan sebuah

hadis “ فعهي يىنا ت يىنا ك ي ” sebagai dalil kepemimpinan „Ali bin Abî Tâlib

pasca wafat Nabi saw., Rasyîd Ridâ mengutip hadis tersebut dalam tafsirnya.

Beliau mengakui hadis tersebut karena hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam

Ahmad dalam Musnadnya dari jalur al-Barra‟ dan Buraidah. Imâm Tirmîdzi,

Imâm Nasâ‟i dan Al-Diyâ‟ dalam kitab Al-Mukhtâroh dari jalur Zaid bin

Arqom, sebagian dari mereka menganggap hadis tersebut Hasan dan Adz-

Dzahabi menganggap hadis tersebut Shahîh.33

Rasyîd Ridâ juga menjelaskan pendapat Ahlu Sunnah yang mengakui

hadis tersebut, akan tetapi menurutnya hadis wilâyah tersebut bukan bermakna

Imâmah atau Khilâfah (kepemimpinan) melainkan mempunyai makna

“penolong dan yang mencintai” sebagaimana yang Allah katakan tentang

32 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 464

33

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 464

Page 45: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

32

orang-orang mu‟min dan kafir “Sebagian mereka adalah penolong bagi yang

lainnya”.34

Menurut Rasyîd Ridâ perbedaan pendapat tentang masalah

kepemimpinan pasca wafat Nabi saw adalah sebuah perdebatan yang memecah

belah kaum Muslim, menimbulkan permusuhan, kebencian dan selama

fanatisme mazhab lebih diutamakan maka tidak ada harapan untuk menemukan

kebenaran dalam menyikapi masalah perbedaan35

.

Di samping pendapatnya tentang adanya perbedaan antara mazhab Ahlu

Sunnah dan Syiah, Rasyîd Ridâ mengemukakan pendapatnya sendiri bahwa

sesungguhnya seandainya masalah Imâmah sudah dibuktikan dalam nash baik

al-Qur‟an ataupun hadis maka pastilah nash tersebut mutawâtir dan jelas, dan

seandainya „Ali menjadi pemimpin yang mengurus perkara kaum Muslimin

seharusnya pada hari wafat Nabi saw., dia berkhutbah menyampaikan nash –

penunjukan kepemimpinannya sebagai pengganti Nabi saw – dan

menjelaskannya dengan sebaik-baiknya kepada kaum Muslimin saat itu.

Merupakan kewajiban bagi „Ali untuk menyampaikannya kalau ia menganggap

masalah kepemimpinan pasca wafat Nabi saw adalah perkara yang ditentukan

oleh Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi dia tidak mengatakannya, bahkan tidak

seorangpun dari para keluarganya dan penolongnya yang menggunakan ayat

34 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 465

35

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 466

Page 46: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

33

ini pada kejadian hari Tsaqifah ataupun kejadian hari musyâwarah setelah

wafatnya Umar.36

Lebih tegas Rasyîd Ridâ menjelaskan bahwa kalau saja Nabi saw. ingin

memberikan dan menunjukkan nash tentang siapa yang menjadi khalîfah

setelahnya dalam perintah penyampaiannya tersebut maka seharusnya Nabi

saw. mengatakannya pada Haji Wadâ‟ dan meminta kepada seluruh manusia

saat itu untuk bersaksi maka mereka pun akan bersaksi dan Allah

menyaksikannya.

Rasyîd Ridâ ingin meyampaikan dalam penjelasannya bahwa tidak ada

keterkaitan masalah wasiat khilâfah dalam ayat ini dengan perkara Ahli Kitab

(ayat sebelum dan sesudahnya) karena ini tidak sesuai dengan balaghah al-

Qur‟an. Seandainya saja meninggalkan keterkaitan ayat ini dengan ayat

sebelum dan sesudahnya, lalu ayat ini berdiri dengan sendirinya, dan kalimat “

نى تفعم وإ ” yang menjadi jumlah syarat setelah kalimat perintah “ بهغ ”,

kalimat tentang „ishmah dan kalimat tentang peniadaan hidayah kepada orang-

orang kafir, maka tetap saja tidak sesuai dan tidak dapat diterima maksud dari

tugas penyampaian kepada manusia tersebut tentang kekuasaan Ali, karena

seharusnya makna yang terkandung dalam ayat ini sesuai dengan dzatnya

secara jelas bukan karena sebatas taklid.37

Selanjutnya dalam menjelaskan “ ا بهغت رسانت نى تفعم ف menurut ” وإ

Rasyîd Ridâ adalah “jika kamu tidak mengerjakan apa yang diperintahkan

36 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 466

37

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 466

Page 47: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

34

kepadamu untuk menyampaikan dari apa yang diturunkan kepadamu

seluruhnya – seluruh umat – atau khusus kepada Ahli Kitab – yaitu dengan

menyembunyikannya bahkan menundanya karena takut dapat ancaman atau

gangguan berupa perkataan ataupun juga tindakan, maka baginya adalah belum

menyampaikan risalah dan belum mengerjakan sebab alasan diutusnya, dan

tugasnya adalah menyampaikan apa yang diturunkan Tuhan kepadanya.”38

Rasyîd Ridâ mengemukakan pendapat para ulama yang diantaranya

berpendapat bahwa apabila tidak menyampaikan seluruh yang diturunkan

Tuhan kepadamu (Nabi saw) dengan menyembunyikan sebagiannya, maka

bagimu belum menyampaikan sama sekali, karena menyembunyikan sebagian

sama saja dengan menyembunyikan secara keseluruhan.39

Pendapat ini

mempunyai pengertian bahwa masalah wahyu adalah masalah keseluruhan dan

tidak terbagi-bagi.

Rasyîd Ridâ berpendapat bahwa untuk menjelaskan pengertian tentang

penyampaian ini seperti halnya dengan peristiwa yang disebutkan dalam surat

al-Ahzâb ayat 39 yaitu:

(yaitu) orang-orang yang menyapaikan risalah-risalah Allah, mereka

takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun)

selain kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pembuat perhitungan.

38 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 468

39

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 468

Page 48: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

35

Ayat tersebut penjelasan setelah cerita tentang peristiwa Zaid dan

Zainab yang bercerai kemudian Allah memerintahkan Nabi saw untuk

menikahi Zainab. Ini adalah peristiwa yang paling berat yang duturunkan

kepada nabi saw karena berkaitan tentang kepribadiannya yang mulia.40

Rasyîd Ridâ menegaskan bahwa ada hikmah dalam perintah

penyampaian risalah ini, pertama, hikmah yang dinisbatkan kepada Rasul saw

bahwasanya perintah untuk tabligh adalah ketetapan Allah dan tidak ada

pilihan bagi Rasul saw untuk menyembunyikannya bahkan menundanya

berdasarkan ijtihad Rasul saw sendiri. Kedua, hikmah yang dinisbatkan

kepada manusia agar mengetahui hakikat kesuruhan dari nash, maka tidak

terjadi... apabila terjadi perselisihan dalam pendapat dan pemahaman.41

Selanjutnya dalam menafsirkan “ اناس ك ي يعص Rasyîd Ridâ ” وانه

mencantumkan sebuah riwayat dari mufassir al-ma’tsûr, Tirmidzi, Abu Syaikh,

al-Hâkim, Abu Na‟im, al-Baihaqi dan Tabrâni dari beberapa para sahabat

bahwa “Rasulullah saw. dijaga di Makkah sebelum turunnya ayat ini, dan

ketika turun ayat ini Rasulullah tidak dijaga lagi, dan Abû Tâlib adalah orang

yang pertama memperhatikan untuk menjaga Nabi saw. demikian juga Abbâs,

dan diriwayatkan pula dari Jâbir dan Ibn Abbâs bahwasanya Nabi saw. dijaga

dan pamannya Abû Talib selalu mengutus seorang lelaki dari bani Hasyîm

untuk menjaganya, sampai turun ayat ini, dan Nabi saw. berkata “wahai

pamanku, sesungguhnya Allah telah menjagaku dan tidak usah kau mengutus

40 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 469

41

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 469

Page 49: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

36

seseorang (untuk menjagaku)”.42

Sehingga kemudian makna “اناس ك ي ” يعص

adalah “Allah menjagamu dari penyerangan mereka, dan maksud dari “اناس ”

di sini adalah orang-orang kafir.43

Penafsiran Rasyîd Ridâ tentang “اناس ” adalah orang-orang kafir, maka

beliau pun menafsirkan kalimat “ نا يهدي انقىو انكافري انه mempunyai ” إ

keterkaitan dengan penjelasan “اناس ” yaitu kalimat tersebut adalah sebuah

penegasan tentang ‘Ishmah Nabi saw dengan pengertian bahwa Allah tidak

memberi petunjuk kepada mereka yang menggangu Nabi saw dalam

menyampaikan risalah, mereka itu adalah orang-oarang kafir, dengan begitu

kalimat-kalimat Allah tegak dan sempurna maka nabi saw pun bisa

menyelasikan misi agamanya dengan sempurna.44

Demikianlah Rasyîd Ridâ dalam menafsirkan surat al-Mâidah ayat 67

ini, beliau sebelum menguraikan pendapatnya, beliau banyak mengulas terlebih

dahulu pendapat ulama tafsir juga rujukan dari kitab-kitab hadis. Sehingga apa

yang beliau tafsirkan sesuai dengan yang beliau inginkan dalam menafsirkan

al-Qur‟an, yaitu menjadikan terlebih dahulu hadis-hadis dan pendapat ulama

sebagai penjelasnya.

42 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 471

43

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 471

44

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 471-472

Page 50: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

37

BAB III

PENAFSIRAN TABATABA’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67

DALAM TAFSIR AL-MÎZÂN

A. Riwayat Tabataba’i dan Tafsir Al-Mîzân

a. Riwayat Hidup Tabataba’i

Sayyid Muhammad Husain Tabataba‟i yang lebih dikenal dengan

Tabataba‟i, seorang ulama terkemuka pada masanya. Dia adalah seorang

Iran asli (waktu itu masih bernama Persia). Dia dilahirkan tanggal 9

Dzulhijjah 1321 H/ / 1892 M, dalam satu keluarga keturunan Nabi

Muhammad saw. yang selama empat belas generasi menghasilkan ulama-

ulama terkemuka di Tabriz.

Tabataba‟i muda dibesarkan dalam keluarga ulama-ulama saleh

yang sangat dikenal kebijakan dan semangat keberagamannya. Ibunya

meninggal dunia ketika ia masih berumur lima tahun, dan kemudian

ayahnya menyusul ketika ia masih berumur sembilan tahun. Kemudian ia

beserta adiknya diserahkan kepada seorang pelayan laki-laki dan

perempuan oleh seorang wali yaitu orang yang mengurus harta

peninggalan ayahnya.1

Tabataba‟i adalah salah seorang ulama yang mempelajari filsafat

materialaisme dan komunisme, lalu mengkritik dan memberi jawaban

yang mendasar. Tabataba‟i juga mempelajari Fiqh dan Ushul Fiqh dari dua

1 Sayyid Muhammad Husain Thabathaba‟i, Inilah Islam; Upaya Memahami Seluruh

Konsep Islam Secara Mudah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), cet II, h. 15

Page 51: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

38

Guru besar saat itu Mirza Muhammad Husain Na‟ini dan Syekh

Muhammad Husein Isfahâni. Dia sangat tekun mempelajari seluruh seluk

beluk matematika tradisional dari Sayyid Abul Qâsim Khawansari.

Tabataba‟i juga mempelajari filsafat Islam tradisional, al-Sifâ oleh

Ibnu Sina, Asfâr oleh Mulla Shadra dan Tamhid al-Qawaid oleh Ibnu

Turkah dan Sayyid Husain Badkuba‟i. Beliau juga murid dari Sayyid Abul

Hasan Jilwah dan Aqa‟ „Ali Mudarris Zanusi dari Teheran. Beliau telah

mencapai tingkat ilmu Ma‟rifah dan Kasyyaf. Beliau mempelajari ilmu ini

dari seorang guru besar Mirza „Ali al-Qâdhi.2 Kemudian Tabataba‟i

meninggal dunia di Aban pada tanggal 18 Muharram 1412 H / 1981 M.3

Tabataba‟i memperoleh pendidikan awal di tangan keluarganya.

Namun setelah ayahnya wafat, pendikan Tabataba‟i diserahkan kepada

guru privat yang sering datang ke rumah-rumah. Di bawah asuhan guru

privat ini, dia mempelajari bahasa persia dan dasar-dasar ilmu agama

selama enam tahun.

Setelah itu, mulai tahun 1911 M sampai 1917 M beliau

melanjutkan studi tradisionalnya tentang al-Qur‟an dan pelajaran agama di

kota Tabriz. selama tujuh tahun (1918-1925), Tabataba‟i mulai belajar

bahasa Arab, mengkaji ajaran agama dan teks-teks klasik agama Islam.

Pada tahun 1925, Tabataba‟i memasuki studi formal di Universitas

Syi‟ah Najaf. Di Najaf inlah dia berhasil menguasai ilmu-ilmu naqliyah

2 Sayyid Muhammad Husain Thabathaba‟i, Inilah Islam; Upaya Memahami Seluruh

Konsep Islam Secara Mudah, h. 17

3 Sayyid Husein Nasr, “kata pengantar”, dalam Thabathaba‟i, Islam Syi’ah, (Bandung:

Mizan, 1990), h. 8

Page 52: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

39

dan aqliyyah. karena peran dan pengaruh sangat penting dalam pendidikan

maka perlu disebutkan nama-nama beberapa gurunya. Beliau belajar Fiqh

dan Ushul Fiqh kepada Mirza Muhamad Husain Na‟ini dan Syeikh

Muhammad Husain Isfahani. Kepada mereka berdua, Tabataba‟i belajar

selama sepuluh tahun sehingga ia sangat menguasai bidang ini. bahkan

menjadi seorang mujtahid yang terkenal dan berpengaruh dalam bidang

sosial politik.

Pada waktu bersamaan Tabataba‟i juga mempelajari bidang

gramatika, sintaksis, retorika baik itu ushul fiqh, mantiq, filsafat serta

teologi. Sehingga kajian itu menutup kajian bacaannya dalam bidang

selain filsafat dan ilmu keruhanian.

Akan tetapi, hal itu bukan jalan hidupnya. Dia sangat tertarik

kepada ilmu ’aqliyah. Dia belajar dengan penuh ketekunan cabang ilmu ini

yang pada jantungnya terdapat filsafat Islam. Dia mulai mencari guru-guru

tertbaik dalam bidang ini, yaitu orang-orang yang telah melestarikan

kehidupan filsafat Islam di Iran. Dia mengkaji al-Syifâ karya Ibnu Sina,

Asfar karya Mulla Shad al-Din al-Syirazi, Tamhid al-Qawaid karya Ibnu

Turkah dan Tahdzib al-Akhlaq karya Ibnu Maskawaih. Literatur filsafat

tersebut dipelajarinya di bawah bimbingan seorang filosof terkemuka saat

itu, Sayyid Husain Badkuba‟i. Di samping itu, dia mengkaji matematika

tradisional dengan guru Sayyid Abu al-Qasim Khawansari.

Sebagai tambahan terhadap pelajaran formal atau disebut dengan

hushuli, Tabataba‟i juga mempelajari ilmu hudhûrî. Sebagai guru satu-

Page 53: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

40

satunya dalam bidang ilmu hudhûrî adalah Mirza „Ali al-Qâdhi. Guru

inilah yang memperkenalkan kepada Tabataba‟i karya Ibnu „Arabi yang

berjudul Fushûsh al-Hikam.

Memperhatikan latar pendidikan diatas, segera tampak adanya

perpaduan ilmu naqliyyah dan ‘aqliyyah pada Tabataba‟i. Tidak salah bila

Hossein Nasr menyebutnya sebagai filosof, teolog dan sufi yang didalam

dirinya kerendahan hati seorang sufi dan kemampuan analisa intelektual

berpadu.

Setelah tamat studi di Universitas Najaf, minat intelektual

Tabataba‟i tetap menggebu, terutama ia sangat tertarik mempelajari ilmu

‘aqliyyah. Akan tetapi, karena kesulitan ekonomi, Tabataba‟i kembali ke

kota kelahirannya pada tahun 1935. Di Tabriz, dia tidak dapat terhindar

dari pemenuhan kebutuhan ekonomi untuk bertahan hidup. mata

pencahariannya selama di Tabriz adalah bertani. Kehidupan bertani

dijalaninya selama sepuluh tahun sebagai masa-masa yang kering dan jauh

dari kegiatan ilmiah dan pemikiran Tabataba‟i.4

Wajar setiap orang pernah mengalami masa-masa yang pahit dan

manis dalam kehidupannya. Ia sendiri telah mendapati jati dirinya dalam

berbagai keadaan dan berhadapan dengan segala maca pasang surut

kehidupan, terutama karena ia telah menghabiskan sebagian besar usianya

sebagai seorang anak yatim, atau seorang asing yang jauh dari sahabat dan

teman-temannya, apalagi sarana penghidupannya untuk keluar dari

4 Sayyid Muhammad Husain Thabathaba‟i, Inilah Islam; Upaya Memahami Seluruh

Konsep Islam Secara Mudah, h. 17

Page 54: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

41

kesulitan-kesulitan lainnya. Akan tetapi, ia selalu merasakan bahwa sebuah

tangan ghaib (Allah) telah menyelamtkan dari segala bahaya besar dan

suatu pengaruh yang misterius telah membimbingnya melewati seribu

rintangan menuju tujuan hidupnya.

Kemudian Tabataba‟i melupakan akan segala sesuatu yang indah

dan buruk di dunia ini dan menganggap kejadian-kejadian yang manis dan

yang pahit tak ada bedanya. Beliau menghindari kontak ssosial dengan

siapa pun selain para ulama. Beliau juga mengurangi makan, tidur dan

mengabaikan sisa waktu dan sumber dayanya untuk keilmuan dan

penelitian. Beliau menghabiskan malam dengan belajar sampai fajar

(terutama di musim semi dan musim panas) dan ia selalu memeriksa lebih

dahulu mata pelajaran hari esok, serta melakukan latihan apa saja yang

diperlukan untuk menyelesaikan setiap masalah yang timbul. sehingga

ketika pelajaran di kelas dimulai ia telah memahami dengan baik masalah

yang akan dibahas oleh gurunya. Beliau tidak pernah mengajukan

persoalan atau kesalahan apapun ke hadapan gurunya.5

Bersamaan dengan masa-masa di Tabriz, pecahlah Perang Dunia II.

Perang Dunia ini membawa akibat buruk di Iran. Oleh karena itu,

Tabataba‟i pindah ke kota Qum pada tahun 1946, tepatnya desa Darakah,

sebuah desa kecil di sisi pegunungan dekat Teheran, di tempat inilah

Tabataba‟i menghabiskan musim panasnya, menyingkir dari panas. Di

5 Sayyid Muhammad Husain Thabathaba‟i, Inilah Islam; Upaya Memahami Seluruh

Konsep Islam Secara Mudah, h. 17

Page 55: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

42

kota Qum ini, ia mulai aktif dalam aktivitas keilmuan sampai dengan

wafatnya.

Pada tahun 1324 H / 1945 M, ketika ia pindah ke kota Qum ia

menjadi pengajar di kota suci itu, sebagai seorang mujtahid, ia

menitikberatkan pada pegajaran Tafsir al-Qur‟an, Filsafat dan Tasawwuf.

Dengan ilmu yang luas dan penampilannya yang sangat sederhana,

membuatnya mempunyai daya tarik khusus bagi muridnya. Beliau

menjadikan ajaran Mulla Shadra sebagai kurikulum penting.

Aktivitas keilmuan Tabataba‟i, memberikan identifikasi bahwa dia

telah meberikan pengaruh besar bagi kehidupan intelektual di Iran. Beliau

telah mencoba meweujudkan suatu intelektual baru diantara kelompok-

kelompok yang berpendidikan modern. Kelompok elit baru tersebut akan

diperkenalkan dengan intelektualitas Islam seperti juga dengan dunia

modern. Banyak mahasiswanya yang berhasil tampil sebagai tokoh

intelektual gemilang. Sebagai seorang mufassir besar dan filosuf sekaligus

sufi, ia telah mencetak murid-muridnya menjadi ulama yang intelektual

seperti Mutahhari seorang Guru Besar di Universitas Teheran dan Sayyid

Jalâluddin Asytiyâni seorang Guru Besar di Universitas Masyhad.6

Meskipun tugas utamanya sebagai seorang pengajar dan

pembimbing di beberapa Universitas, Tabataba‟i masih menyibukkan diri

dengan menulis banyak buku dan artikel yang memperlihatkan

6 Tabataba‟i, Tafsir al-Mizan; Mengupas Ayat-Ayat Kepemimpinan, (Jakarta: CV.

Firdaus, 1991), h. I-II

Page 56: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

43

kemampuan intelektual dan kedalaman pengetahuannya dalam bidang

keagamaan.

Adapun karya Tabataba‟i adalah sebagai berikut :

a. Berbentuk buku: 1). Al-Mîzân fi Tafsîr Al-Qur’ân. Karya Tabataba‟i ini

tergolong paling penting dan monumental terdiri dari dua puluh jilid.

2). Ushûl Falsafah wa Rawis Rialism, terdiri dari lima jilid. 3).

Hâsyiyah bar Asfâr , adalah anotasi dari karya Mulla Shadra yang

berjudul Asfâr. 4). Musâhabât ba Ustâdz Qurban, karya ini terdiri dari

dari dua jilid yang berdasarkan atas tanya jawab antara Thabathaba‟i

dan Henry Corbin. 5). „Ali wa Falsafah al-Ilâhiyât. 6). Syi’ah dar

Islâm. 7). Qur’an dar Islâm.

b. Berbentuk makalah: Risâlah dar Hukûmât Islâmi, Hâsyiyah Kifâyah,

Risâlah dar Qawwah wa Fi’il, Risâlah dar Itsbât Dzât, Risâlah dar

Shifât, Risâlah dar Af’âl, Risâlah dar Insân Qabl Al-Dunya, Risâlah

dar Nubuwwât, Risâlah dar Walayât, Risâlah dar Musytaqqât, Risâlah

dar Burhân, Risâlah dar Tahlîl, Risâlah dar Tarkîb dan Risâlah dar

Nubuwwât wa Manâmât.

Tabataba‟i juga seorang pengarang dan penulis berbagai artikel

yang hadir selama dua puluh tahun belakangan dalam jurnal-jurnal

Maktaba Tasyayyu’, Maktab Islâmi, Ma’ârif Islâm dan dalam koleksi-

koleksi seperti The Mulla Sadra Commermoration Volume dan

Marja’iyyât wa Ruhaniyât.

Page 57: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

44

b. Riwayat Tafsir Al-Mîzân

Dalam Penafsirannya Tabataba‟i merujuk pada penafsiran masa

periode pertama yang menafsirkan ayat per ayat dengan dijelaskan ayat

lain yang berhubungan dengat ayat tersebut dan masa periode kedua yang

menafsirkan ayat dengan dijelaskan dari beberapa riwayat saja.

Thabathaba‟i mengambil nama al-Mîzân (dengan judul aslinya Al-

Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân), yang mempunyai makna timbangan yaitu suatu

yang digunakan untuk mengukur penafsiran pada masa itu. Oleh karena itu

beliau menggabungkan corak penafsiran pada masa periode awal dan

periode kedua untuk menjelaskan tafsir al-Qur‟an melalu penafsiran ayat

per ayat dengan dijelaskan oleh ayat lain yang berhubungan pada masa

periode pertama, serta diperjelas lagi oleh riwayat-riwayat pada masa

sebelumnya.7

Tabataba‟i melihat pada zaman sahabat Nabi saw, seperti Ibnu

Abbâs, Abdullah bin Umar, Ubay bin Ka‟ab dan para mufassir lainnya

pada masa periode pertama, penafsiran pada waktu itu tidak lebih

menjelaskan ayat-ayat sekaitan dengan sastra dan sebab-sebab turunnya,

dan sedikit menjelaskan ayat dengan ayat, demikian juga sedikit penafsiran

mereka yang menggunakan riwayat-riwayat dari Nabi Muhammad saw

tentang peristiwa sejarah atau realita-realita tertentu dari suatu peristiwa,

kebangkitan dan lainnya.

7 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, (Teheran: Dar al-

Kutub al-Islamiah, 1392 H), Jilid I, h. 10

Page 58: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

45

Sedangkan pada masa periode kedua pun menggunakan metode

dan cara yang sama dalam penafsirannya oleh sebagian mufassir dari

kalangan Tabi‟in seperti Mujâhid, Qatadah, Ibnu Abî Lailî, al-Suddî, al-

Sya‟bi dan lainnya. Kemudian mereka merujuk kepada riwayat-riwayat itu

dalam menjelaskan peristiwa sejarah dan realita-realita ciptaan seperti

awal kejadian langit, bumi, lautan, Iran Saddad (kota kaum „Ad),

peristiwa-peristiwa para Nabi yang dianggap salah, penyimpangan

terhadap kitab-kitab suci dan hal-hal yang sejenisnya. sebagian penafsiran

itu diwariskan dari kelompok sahabat sehingga mewarnai bentuk-bentuk

penafsiran dan pengkajian di kalangan Tabi‟in.

Oleh karena itu Tabataba‟i mengatakan bahwa setiap mufasir telah

memandang al-Qur‟an dari sudut pandang intelektual mereka masing-

masing dan mengetengahkan interpretasi berdasarkan keinginannya. Atas

dasar itulah dia mencoba mengangkat satu corak penafsiran bukan hanya

dari satu kandungan al-Qur‟an saja. Akan tetapi. ia menghubungkan satu

ayat ke ayat yang lainnya dan disandingkan dengan riwayat-riwayat baik

dari segi kisah maupun penjelasan yang berkaitan dengan ayat yang

ditafsirkannya.8

c. Metode dan Corak Tafsir al-Mîzân

Mengingat al-Qur‟an bagaikan lautan yang keajaiban-keajaibannya

tidak pernah habis dan kecintaan kepadanya tidak pernah lapuk oleh

zaman, adalah sesuatu yang dapat dipahami jika terdapat ragam metode

8 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, Jilid I, h. 4

Page 59: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

46

untuk menafsirkannya.9 Penulis menyimpulkan bahwa tafsir al-Mîzân

karya Tabataba‟i menggunakan metode Tahlîli.10

Metode Tahlîli yang diterapkan Tabataba‟i dalam menafsirkan al-

Qur‟an terlihat jelas. Tabataba‟i menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan

memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang

ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna yang tercakup

diantaranya pengertian kosa kata, sebab-sebab turunnya, konotasi

kalimatnya, kaitannya dengan ayat-ayat yang lain serta kaitannya dengan

pendapat sahabat, tabi‟in dan ahli tafsir lainnya.

Corak penafsiran al-Mîzân menggunakan kajian-kajian falsafî,

ilmiah, tarikh, sosial dan akhlâqî, jika hal ini dibutuhkan dalam kajian

tafsir al-Mîzân. Berdasarkan metode itu, dalam tafsir al-Mîzânnya berkisar

pada:

1. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya,

Hidup, Pengetahuan, Kekuasaan, Pendengaran, Penglihatan, Kesan dan

lainnya.

2. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan Allah Swt

seperti penciptaan, perintah, kehendak, keinginan, penunjukkan,

9 Tabataba‟i, Tafsir al-Mizan; Mengupas Surat Al-Fatihah, (Jakarta: CV. Firdaus, 1991),

Cet I, h. XII

10

Metode Tahlili, Berasal dari kata Hallala Yuhallilu, Tahlili yang berarti mengurai atau

menganalisis. Metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur‟ ân dengan

memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang

terdapat dalam Al-Qur‟ ân Mushaf Utsmani. Tafsir ini disebut juga Tajzi‟ i (parsial). Lihat M.

Quraish Shihab, Tafsir al-Qur‟ ân Al-Karîm, h. V, (pengantar), lihat juga Sejarah Ulum al-Qurân

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), cet. Ke-1, h.172-192

Page 60: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

47

penyesatan, qadha’ dan qadar , pemaksaan dan penyerahan, ridha dan

murka, dan lainnya.

3. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perantara-perantara yang terjadi

antara Allah dan manusia, seperti hijab-hijab, lembaran, pena, Arasy,

Kursi, Baitul Ma‟mur, langit dan bumi, Malaikat, syaitan, jin dan

lainnya.

4. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia sebelum dunia

5. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia di dunia seperti pengenalan

terhadap bermacam-macam sejarah, pengenalan terhadap dirinya,

pengenalan terhadap dasar-dasar sosial, pengenalan terhadap Kenabian,

Risalah, wahyu, ilham, kitab, agama dan terhadap syari‟at. Dalam bab

ini pembahasan maqam-maqam para Nabi yang dapat diambil pelajaran

yakni kisah-kisah mereka yang telah dikisahkan.

6. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia sesudah dunia yakni Alam

Barzakh dan Hari Kebangkitan.

7. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan akhlak manusia. Bab ini berkaitan

dengan maqam-maqam para ‘Auliya dijalan ubudiyah yakni Islam,

Iman, Ihsan, Ikhlas dan lainnya.

Adapun ayat-ayat tentang hukum, Tabataba‟i dalam tafsir al-Mîzân

tidak menjelaskan secara rinci karena masalah ini merujuk kepada fiqh.

Sistematika Tafsir al-Mîzân didahului dengan muqaddimah, yang

kemudian Tabataba‟i mengelompokkan ayat secara berurutan sesuai

dengan surat dalam al-Qur‟an, kemudian ayat tersebut ditafsirkan melalui

Page 61: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

48

pencarian makna dari lafazh tersebut yang kemudian ia tafsirkan dengan

menyandingkan riwayat-riwayat yang bersumber dari Ahlul Bait yang

kemudian dihubungkan dengan ayat yang berkaitan, juga menggunakan

metode kajian-kajian falsafi, ilmiah, tarikhi, sosial dan akhlâqi, jika hal ini

dibutuhkan dalam kajian tafsir al-Mîzân.

Tafsir al-Mizan terdiri dari 20 jilid yang mempunyai sistematika

yang sama, kecuali jilid pertama yang ditambah dengan muqaddimahnya.

Sedangkan jilid ke dua sampai ke dua puluh menggunakan sistematika

yang sama.

B. Penafsiran Tabataba’i Terhadap Surat Al-Mâidah Ayat 67

“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari

Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan

itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah

memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah

tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-

Maidah/5 : 67)

Tabataba‟i dalam menafsirkan surat al-Mâidah ayat 67 ini secara

umum ingin menyampaikan bahwa ayat ini menjelaskan persoalan penting

yang harus disampaikan yaitu mengenai kedudukan „Ali bin Abî Tâlib

sebagai wali dan pengganti Nabi dalam urusan agama dan keduniaan.11

Oleh karena itu Tabataba‟i yang menggunakan metode Tahlîli dalam

11 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,Vol. 3, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 140

Page 62: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

49

penulisan tafsirnya, membahas secara panjang lebar tentang ayat ini dari

mulai sebab turunnya sampai pada pembahasan secara detail ayat per ayat.

Menurut Tabataba‟i secara lahiriah ayat ini mengandung perintah

kepada Rasulullah saw untuk menyampaikan sesuatu yang berbahaya dan

menakutkan, kemudian Allah swt. menjanjikan kepadanya pemeliharaan

dari gangguan manusia.12

Tabataba‟i menggambarkan bahwa ada

kekhawatiran Nabi saw dalam menyampaikan pesan sehingga Nabi

mendapat penekanan bahwa pesan itu harus disampaikan dan mendapat

jaminan bahwa Allah memelihara dari gangguan manusia.

Tabataba‟i juga menjelaskan tentang letak ayat ini yang diapit oleh

dua ayat yang membahas tentang keadaan Ahli Kitab, kehinaan dan

keburukan akibat perbuatan mereka, yakni banyak berbuat zalim terhadap

apa yang telah diharamkan oleh Allah dan mengingkari ayat-ayat-Nya.

kedua ayat tersebut adalah :

“Dan Sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum)

Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka

dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas

dan dari bawah kaki mereka. diantara mereka ada golongan yang

pertengahan. dan Alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh

kebanyakan mereka.” (Q.S. Al-Maidah/5 : 66)

12 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 42

Page 63: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

50

“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama

sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil,

dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu".

Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari

Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada

kebanyakan dari mereka; Maka janganlah kamu bersedih hati

terhadap orang-orang yang kafir itu.” (Q.S. Al-Maidah/5 : 68)

Tabataba‟i berpendapat bahwa jika diperhatikan secara teliti maka

dapat dipastikan dan tidak perlu diragukan bahwa ayat ini (surat al-Mâidah

ayat 67) tidak berkaitan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya (al-

Mâidah ayat 66 dan 68) dari segi susunan ayat dan tidak mempunyai

hubungan dengannya dalam untaian kalimatnya.13

Alasan yang dikemukakan Tabataba‟i adalah karena apabila ayat

ini mempunyai hubungan dengan ayat sebelum dan sesudahnya dalam satu

kesatuan yang saling berkaitan tentang perkara Ahli Kitab, maka

mempunyai kesimpulan bahwa perintah Nabi yang terpenting adalah

menyampaikan perintah Allah tentang masalah Ahli Kitab dan

menjelaskan apa yang dimaksud “ ربك زل إنيك ي -dalam ayat ini (al “ يا أ

Maidah: 67) adalah “apa yang diperintahkan untuk disampaikan” yang

terkandung dalam ayat :

13 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 43

Page 64: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

51

“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama

sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil,

dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu".

Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari

Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada

kebanyakan dari mereka; Maka janganlah kamu bersedih hati

terhadap orang-orang yang kafir itu.” (Q.S. Al-Maidah/5 : 68)

Akan tetapi susunan dalam ayat 67 ini menolaknya, karena kalimat

“ اناس ك ي menunjukkan bahwa masalah yang harus ”وانهه يعص

disampaikan dalam ayat ini adalah masalah yang sangat penting dan

mengandung kekhawatiran pada jiwa Nabi saw atau agama Allah dari segi

keselamatan penyampaiannya, sedangkan sesungguhnya keadaan orang-

orang Yahudi dan Nasrani pada zaman Nabi saw tidak menunjukkan

sesuatu yang bahaya yang membolehkan nabi saw menunda penyampaian

perintah atau mengakhirkannya pada suatu momen.

Menurutnya ayat tentang Ahli Kitab tidak mengandung perintah

dan tantangan yang hebat dari perintah sebelumnya, Nabi saw. telah

diperintahkan menyampaikan sesuatu yang lebih berbahaya dari tantangan

orang-orang Yahudi, seperti penyampaian masalah Tauhid dan

penghancuran berhala-berhala di tengah-tengah kaum kafir Quraisy dan

musyrikin Arab. Sehingga tantangan dan keangkuhan orang-orang Yahudi

dan Ahli Kitab tidak mengandung kekhawatiran dan bahaya untuk

Page 65: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

52

menyampaikan perintah kepada mereka dan tanpa janji pemeliharaan

Allah dari gangguan mereka.14

Tabataba‟i sebelum menafsirkan “ ربك زل إنيك ي yakni tentang “ يا أ

apa yang diperintahkan kepada nabi saw., beliau menjelaskan adanya

bentuk kekhawatiran Nabi saw untuk menunda penyampaiannya pada

momen yang sesuai, seandainya Nabi saw tidak merasa khawatir dan tidak

menundanya maka tidak perlu ada penegasan kepada Nabi saw.

sebagaimana firmannya “ ”.

Menurut Tabataba‟i ayat-ayat yang turun pada awal kenabian tidak

ada penegasan seperti itu, maka jelas ayat ini bukan untuk Ahli Kitab

sebagaimana pernyataannya “Nabi saw tidak pernah menunda

penyampaian perintah sehubungan dengan Ahli Kitab walaupun beliau

menghadapai tantangan yang hebat dari orang-orang Yahudi mulai awal

hijrah ke Madinah hingga berkahir dalam peristiwa khaibar dan lainnya”.15

Lebih tegasnya Tabataba‟i menegaskan bahwa kekhawatiran Nabi

saw terhadap Yahudi dan Nasrani bukan karena takut mati di jalan Allah,

enggan mengorbankan jiwanya atau tidak mau menukar jiwanya dengan

sesuatu demi perintah Allah. Menurutnya hal seperti itu tidak mungkin

terjadi dalam sejarah dan realita kehidupan Rasulullah saw.16

Sepertinya

yang dimaksud kekhawatiran Nabi saw dalam menundanya menurut

Tabataba‟i adalah khawatir perpecahan ditubuh umat Islam sendiri.

14 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 42-43

15

Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 42

16

Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 43

Page 66: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

53

Pernyataan Tabataba‟i dalam tafsirnya tersebut sesungguhnya ingin

menegaskan bahwa ayat ini tidak ada hubungan dengan ayat sebelum dan

sesudahnya dan turunnya ayat ini juga bukan untuk awal permulaan Islam

yakni pada awal kenabian, sebagaimana yang dijelaskan oleh banyak para

mufassir. Apabila ayat ini turun untuk awal kenabian dan kekhawatiran

Nabi saw karena takut mati di jalan Allah oleh ancaman Yahudi dan

Nasrani sehingga menunda penyampaian, maka bertolak belakang dengan

dengan ayat firman Allah dalam surat al-Ahzâb ayat 38-39.17

Hal ini dikarenakan apa yang dimaksud Tabataba‟i dalam “ زل يا أ

ربك diturunkan untuk masalah wilâyah „Ali bin Abî Tâlib. Allah ” إنيك ي

swt. memerintahkan menyampaikan masalah ini dan Nabi saw merasa

khawatir mereka menuduh beliau terlalu memperhatikan putra pamannya,

Rasulullah menunda penyampaian masalah ini dari saat ke saat sehingga

turunlah ayat ini yang mengharuskan penyampaian masalah ini, lalu Nabi

menyampaiakannya di Ghadîr Khum, pada waktu itulah nabi bersabda:

“Barangsiapa menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka „Ali

pemimpinnya”. 18

Kemudian Tabataba‟i dalam menjelaskan makna “ رسانته ” yang

terkandung dalam kalimat “ ا بهغت رسانته نى تفعم ف adalah suatu risalah ” وإ

yang diamanatkan kepada Rasulullah yaitu pentingnya peranan hukum ini,

sehingga mempunyai kedudukan, apabila tidak disampaikan maka sama

halnya belum menyampaikan satupun risalah-risalah yang diembannya,

17 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 43

18

Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 48

Page 67: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

54

yakni apabila tidak sampai pada manusia dan diperjelas kebenarannya

maka sama halnya belum menjelaskan satupun kebenaran dari bagian-

bagian agama.19

Dalam menjelaskan “ اناس ك ي Tabataba‟i menafsirkan ” وانهه يعص

bahwa ‘Ishmah para Nabi adalah Allah memelihara mereka dengan

sesuatu yang khusus bagi mereka yaitu kesucian jiwa, memberikan

pertolongan dengan mengokohkan pendirian mereka, kemudian

memberikan ketenangan, memelihara mereka dan memberikan taufiq.20

Akan tetapi menurut Tabataba‟i makna „Ishmah tersebut tidek

relevan dengan ayat ini “ اناس ك ي secara lahiriah ayat ini ,” وانهه يعص

merupakan ‘Ishmah dalam pengertian memelihara dan menjaga dari

kejahatan manusia yang diarahkan kepada jiwa Nabi saw, tujuan-tujuanya

yang Islami, keberhasilan penyampaian, keberuntugan usaha dan makana-

makna lain sesuai dengan kesuciannya.

Thabathaba‟i menegaskan bahwa menghubungkan ‘Ishmah dengan

manusia “اناس ” bukanlah pemeliharaan seperti penganiayaan fisik atau

membunuh meracuni, akan tetapi pemeliharaan dari kejahatan manusia

yang memutarbalikkan perkara kepada Nabi saw, yang hal ini dapat

meruntuhkan kejayaan ilmu-ilmu agama. Karena itu lah kata “ ” dalam

ayat ini menurutnya adalah gambaran sikap pribadi negatif dari orang-

orang beriman, munafik dan hatinya berpenyakit.21

19 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 49

20

Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 50

21

Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 51

Page 68: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

55

Selanjutanya dalam menjelaskan “ انهه نا يهدي انقىو انكافري ” إ

Tabataba‟i memfokuskan pada pemaknaan “kafir”. Makna “kafir” yang

dimaksud dalam ayat ini adalah mereka sekelompok manusia yang

sifatnya telah disebutkan yaitu sikap pribadi negatif dari orang-orang

beriman, munafik dan hatinya berpenyakit. Sehingga maksud dari “ انهه نا إ

adalah Allah tidak memberi petunjuk/hidayah kepada ” يهدي انقىو انكافري

mereka dalam siasat dan tipu daya dan Dia memelihara Nabi saw. dari

sebab-sebab yang berlaku yaitu sikap-sikap negatif yang akan mereka

lakukan.22

Seperti dalam penafsiran-penafsiran ayat lainnya, Tabataba‟i untuk

menguatkan argumennya, secara khusus dia melakukan “kajian riwayat”.

Dan dalam ayat ini dia mengkaji riwayat sebab turunnya ayat ini dan

menyebutkan beberpa pandangan mufassir yang mendukung argumennya

juga mengkritik beberapa pandangan mufassir yang berbeda dengannya.

22 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 52

Page 69: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

56

BAB IV

ANALISA KOMPARATIF PENAFISRAN RASYÎD RIDÂ DAN

TABATABA’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67

A. Sebab Turun surat al-Mâidah ayat 67

Mengenai sebab turun ayat ini Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i mempunyai

perbedaan pendapat yang sangat luas. Rasyîd Ridâ dalam pembahasan awal

ayat ini sudah menjelaskan bahwa memang terjadi perbedaan pendapat oleh

para mufassir tentang sebab turunnya ayat ini. Menurutnya terjadi perbedaan

pendapat oleh para mufassir tentang sebab turunnya ayat ini, pendapat yang

pertama mengatakan bahwa turunnya ayat ini terjadi pada masa awal Islam

sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa ayat ini turun untuk „Ali bin

Abî Tâlib pada hari Ghadîr Khum.1

Akan tetapi Rasyîd Ridâ dalam penjelasannya lebih sependapat dengan

yang mengatakan bahwa ayat ini turun pada permulaan Islam yaitu untuk Ahli

Kitab sebagaimana pendapat ulama tafsir al-Ma‟tsûr2. Beliau menyatakan

bahwa apabila ayat ini tidak menyangkut masalah Ahli Kitab maka tidak sesuai

dengan ayat setelahnya, yaitu dengan pengertian bahwa Allah berkata:

“Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu tentang perkara Ahli Kitab dan

1 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

(Beirut: Dar al-Ma‟rifah), jilid 6, h. 463

2 Al-Ma‟tsûr yang dimaksud disini adalah metode tafsir bil ma‟tsur yaitu upaya

menjelaskan al-Qur‟an dengan mengutip penjelasan yang sudah ada. Jadi orang tidak

mengemukakan pendapat dia, tapi hanya mengutip pendapat yang ada. Misalnya menafsirkan ayat

al-Qur‟an dengan ayat al-Qur‟an, menafsirkan ayat al-Qur‟an dengan sunah Nabi dan menafsirkan

ayat al-Qur‟an dengan ucapan sahabat. Lihat Jalaludin Rahmat, Belajar Mudah Ulum al-Qur‟an,

(Jakarta: Lentera, 2002), h. 223.

Page 70: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

57

jika kamu bertanya apa yang harus disampaikan maka jawablah “Katakanlah:

"Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu

menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan al-Qur‟an yang diturunkan

kepadamu dari Tuhanmu"... .”.3

Rasyîd Ridâ mengambil riwayat dalam memperkuat argumennya yaitu

hadis Ibnu „Abbâs yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dan A-Diyâ‟ yaitu:

“Rasulullah saw ditanya: Ayat apa yang diturunkan dari langit, yang

paling menghawatirkan kamu? Nabi saw menjawab: Aku berada di

Mina pada musim haji, ketika itu orang-orang musyrik Arab dan

manusia yang tidak dikenal identitasnya berkumpul, kemudian turunlah

Jibril dan menyampaikan ayat: “ ربك زل إنيك ي , ” يا أيها انرسىل بهغ يا أ

kemudian aku berdiri di „Aqobah dan berseru: “wahai manusia, siapa

yang akan menolongku menyampaikan risalah Tuhanku dan Pemilik

syurga? wahai manusia katakan: Tiada Tuhan selain Allah dan aku

Rasul Allah, maka kalian akan beruntung dan behasil dan bagi kalian

surga.” Dan Nabi berkata, maka tak tertinggal seorang pun laki-laki,

wanita dan anak-anak, semuanya melempar dengan tanah dan batu, dan

mereka meludahi mukaku, mereka sambil berkata, Pendusta, keluar dari

agama. Kemudian Ali menyarankan dan berkata: Wahai Muhammad

jika engkau Rasul Allah, maka sekaranglah waktu engkau harus

mendoakan mereka sebagaimana Nuh berdo‟a untuk kaumnya dengan

kehancuran, maka Nabi saw berdo‟a: “Ya Allah berilah petunjuk

kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu dan tolonglah aku agar

mereka mencintaiku dalam ketaatan kepadaMu”. Kemudian datanglah

pamannya Al-„Abbas untuk meenyelamatkan beliau dari mereka dan

menghalau mereka dari Nabi saw.” 4

Tabataba‟i jelas berbeda dalam menjelaskan sebab turunnya ayat ini,

dalam masalah ini beliau sangat panjang lebar membahasnya. Dan ini wajar

saja karena ayat ini juga sebagai dalil bagi mazhabnya yaitu Syiah untuk

menunjukkan bahwa ayat ini turun untuk „Ali bin Abî Tâlib. Pada awal

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 467

4 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 467

Page 71: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

58

penjelasan ayat beliau telah menyatakan bahwa jika diperhatikan secara teliti

maka dapat dipastikan dan tidak perlu diragukan bahwa ayat ini (surat al-

Mâidah ayat 67) tidak berkaitan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya (al-

Mâidah ayat 66 dan 68) dari segi susunan ayat dan tidak mempunyai hubungan

dengannya dalam untaian kalimatnya.5 Tabataba‟i ingin memastikan bahwa

ayat ini khusus dan sendiri.

Tabataba‟i beragumen bahwa apabila ayat ini mempunyai hubungan

dengan ayat sebelum dan sesudahnya dalam satu kesatuan yang saling

berkaitan tentang perkara Ahli Kitab, maka mempunyai kesimpulan bahwa

perintah Nabi saw. yang terpenting adalah menyampaikan perintah Allah

tentang masalah Ahli Kitab dan apa yang dimaksud “ ربك زل إنيك ي dalam “ يا أ

ayat ini (al-Mâidah: 67) adalah “apa yang diperintahkan untuk disampaikan”

yang terkandung dalam ayat :

“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama

sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al

Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa

yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan

menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka;

Maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir

itu.” (Q.S. Al-Maidah/5 : 68)

5 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 43

Page 72: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

59

Dan dengan tegas beliau menyatakan bahwa dalam ayat 67 ini

menolaknya, karena kalimat “ اناس ك ي menunjukkan bahwa ”وانهه يعص

masalah yang harus disampaikan dalam ayat ini adalah masalah yang sangat

penting dan mengandung kekhawatiran pada jiwa Nabi saw. atau agama Allah

dari segi keselamatan penyampaiannya, sedangkan sesungguhnya keadaan

orang-orang Yahudi dan Nasrani pada zaman Nabi saw tidak menunjukkan

sesuatu yang bahaya yang membolehkan nabi saw menunda penyampaian

perintah atau mengakhirkannya pada suatu momen.

Menurutnya ayat tentang Ahli Kitab tidak mengandung perintah dan

tantangan yang hebat dari perintah sebelumnya, Nabi saw telah diperintahkan

menyampaikan sesuatu yang lebih berbahaya dari tantangan orang-orang

Yahudi, seperti penyampaian masalah Tauhid dan penghancuran berhala-

berhala di tengah-tengah kaum kafir Quraisy dan musyrikin Arab. Sehingga

tantangan dan keangkuhan orang-orang Yahudi dan Ahli Kitab tidak

mengandung kekhawatiran dan bahaya untuk menyampaikan perintah kepada

mereka dan tanpa janji pemeliharaan Allah dari gangguan mereka.6

Tabataba‟i dalam kajian riwayat di tafsirnya banyak menyebutkan

riwayat-riwayat tentang sebab turun ayat tersebut dan beliau juga mengkritik

pendapat yang berbeda dengannya. Beberapa kitab yang disebutkan

Thabathaba‟i dalam tafsirnya mengenai sebab turun ini bahwa untuk perkara

„Ali bin Abî Tâlib diantaranya dalam kitab Tafsir al-Ayyasy, kitab al-Bashâ‟ir,

tafsir al-Tsa‟labi, tafsir al-Burhân, Tafsir Majma‟ al-Bayân, kitab Nuzûl al-

6 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 42-43

Page 73: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

60

Qur‟an oleh al-Hâfizh Abu Na‟im, kitab Fushûl al-Muhimmah oleh al-Maliki,

kitab al-Shimthin oleh al-Hamawaini dan juga tafsir al-Manar7. Dan

menurutnya semuanya itu juga berdasarkan dari jalur periwayatan yang

berbeda-beda.8 Bunyi redaksi riwayat tersebut antara lain adalah:

9

Dari Ibn Abî Hâtim, Ibn Mardawaih dan Ibn „Asâkir dari Sa‟id al-

Khudrî berkata ayat ini turun (Hai Rasul, sampaikanlah apa yang

diturunkan kepadamu dari Tuhanmu) kepada Rasulullah saw pada hari

Ghadîr Khum tentang „Ali bin Abi Tâlib.

Perbedaan Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i tentang sebab nuzul ayat

tersebut kesemuanya berdasarkan beberapa riwayat hadis. Akan tetapi menurut

pandangan pribadi Rasyîd Ridâ tidak ada keterkaitan masalah wasiat khilâfah

dalam ayat ini dengan perkara Ahli Kitab (ayat sebelum dan sesudahnya)

karena ini tidak sesuai dengan balaghah al-Qur‟an, dan seandainya saja

meninggalkan keterkaitan ayat ini dengan ayat sebelum dan sesudahnya, lalu

ayat ini berdiri dengan sendirinya, dan kalimat “ نى تفعم yang menjadi ” وإ

jumlah syarat setelah kalimat perintah “ بهغ ”, kalimat tentang „ishmah dan

kalimat tentang peniadaan hidayah kepada orang-orang kafir, maka tetap saja

7 Tabataba‟i dalam tafsirnya khususnya dalam kajian riwayat, banyak mengkritik

pendapat Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar. Tabataba‟i hidup setelah Rasyîd Ridâ wafat, maka

dalam penulisan tafsir al-Mîzân beliau telah banyak membaca tentang tafsir al-Manâr, sehingga

beliau mengkritik pendapat yang berbeda dengannya dalam Tafsir al-Manâr.

8 Lihat Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 53-61

9 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 58

Page 74: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

61

tidak sesuai dan tidak dapat diterima maksud dari tugas penyampaian kepada

manusia tersebut tentang kekuasaan „Ali, karena seharusnya makna yang

terkandung dalam ayat ini sesuai dengan dzatnya secara jelas bukan karena

sebatas taklid.10

Pandangan Rasyîd Ridâ ini menampik pernyataan mazhab Syiah

termasuk Tabataba‟i yang menjadikan ayat ini berdiri dengan sendirinya –

tanpa ada keterkaitan dengan ayat sebelum dan sesudahnya – dan ayat ini untuk

perkara wasiat kepada „Ali bin Abî Tâlib.

Apabila melihat perbedaan sebab turun yang dijelaskan di atas maka

terjadi perbedaan tempat sebab turun ayat tersebut. Rasyîd Ridâ yang

mengatakan bahwa ayat ini turun pada awal kenabian, mempunyai pengertian

bahwa ayat ini turun di Makkah, dengan kata lain ini adalah ayat Makkiyyah.

Berbeda dengan pendapat Tabataba‟i yang mengatakan bahwa ayat ini turun di

Ghadîr Khum untuk „Ali bin Abî Tâlib, yang berarti ayat ini turun di Madinah

atau dengan kata lain ayat ini adalah Madaniyyah.

Dalam kitab al-Durr al-Mantsûr karya karya Jalâluddin al-Suyûti,

beliau menyebutkan beberapa riwayat tentang sabab turun ayat ini. Jalâluddin

al-Suyûti seolah mengakui bahwa memang banyak perbedaan dalam sabab

turunnya ayat ini berdasarkan berbagai periwayatannya,11

beberapa diantara

riwayat yang disebutkannya juga terdapat dalam tafsir Rasyîd Rida dan

10 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 466

11

Lihat Jalâluddin al-Suyûti, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma‟tsûr, (Dar al-Kutub

Ilmiyyah, Beirut, 1990), jilid 2, hal, 528-530

Page 75: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

62

Tabataba‟i yang dijadikan sebagai dalil bagi keduanya tentang sebab turun ayat

ini sebagaimana yang dijelaskan di atas.

Riwayat-riwayat tentang sabab turun ayat ini diantaranya adalah:12

Dari Abû al-Syaikh dari al-Hasan bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah mengutusku untuk menyampaikan risalah, lalu

aku merasa khawatir dan aku tahu bahwa manusia akan

mendustakanku; kemudian Allah memberi jaminan kepadaku untuk

menyampaikan risalah atau mengazabku, lalu Allah menurunkan “Hai

Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.

Dari Ibn Abî Hâtim, Ibn Mardawaih dan Ibn „Asâkir dari Sa‟id al-

Khudrî berkata ayat ini turun (Hai Rasul, sampaikanlah apa yang

diturunkan kepadamu dari Tuhanmu) kepada Rasulullah saw pada hari

Ghadîr Khum tentang „Ali bin Abi Tâlib.

12 Lihat Jalâluddin al-Suyûti, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma‟tsûr, (Dar al-Kutub

Ilmiyyah, Beirut, 1990), jilid 2, hal, 528-530

Page 76: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

63

Dari Ibn Mardawaih, al-Diyâ‟ dalam al-Mukhtâroh dari Ibn „Abbâs

berkata : “Rasulullah saw ditanya: Ayat apa yang diturunkan dari langit,

yang paling menghawatirkan kamu? Nabi saw menjawab: Aku berada

di Mina pada musim haji, ketika itu orang-orang musyrik Arab dan

manusia yang tidak dikenal identitasnya berkumpul, kemudian turunlah

Jibril dan menyampaikan ayat: “ ربك زل إنيك ي , ” يا أيها انرسىل بهغ يا أ

kemudian aku berdiri di „Aqobah dan berseru: “wahai manusia, siapa

yang akan menolongku menyampaikan risalah Tuhanku dan Pemilik

syurga? wahai manusia katakan: Tiada Tuhan selain Allah dan aku

Rasul Allah, maka kalian akan beruntung dan behasil dan bagi kalian

surga.” Dan Nabi berkata, maka tak tertinggal seorang pun laki-laki,

wanita dan anak-anak, semuanya melempar dengan tanah dan batu, dan

mereka meludahi mukaku, mereka sambil berkata, Pendusta, keluar dari

agama. Kemudian Ali menyarankan dan berkata: Wahai Muhammad

jika engkau Rasul Allah, maka sekaranglah waktu engkau harus

mendoakan mereka sebagaimana Nuh berdo‟a untuk kaumnya dengan

kehancuran, maka Nabi saw berdo‟a: “Ya Allah berilah petunjuk

kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu dan tolonglah aku agar

mereka mencintaiku dalam ketaatan kepadaMu”. Kemudian datanglah

pamannya Al-„Abbas untuk meenyelamatkan beliau dari mereka dan

menghalau mereka dari Nabi saw.”

„Ubaid bin Humaid, al-Tirmidzi, Ibn Jarîr, Ibn al-Mundzir, Ibn Abî

Hâtim, Abû Syaikh, al-Hâkim, Abû Nu‟aim, al-Baihaqi keudanya

dalam kitab al-Dalâil dan Ibn Mardawaih meriwayatkan dari „Âisyah

berkata, " Nabi saw selalu berada dalam kawalan ketat, sehingga

Page 77: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

64

turunlah ayat, (Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia)

kemudian beliau keluar menampakkan kepalanya dari dalam mesjid

Quba seraya berseru, 'Hai manusia! Pergilah kamu sekalian,

sesungguhnya Allah telah memelihara diriku.

Tabrani, Abû al-Syaikh dan Abu Naim meriwayatkan dalam kitab al-

Dalâil, Ibnu Mardawaih dan Ibnu „Asâkir meriwayatkan dari Ibnu

Abbas, ia berkata: Nabi saw perlu pendamping untuk menjaganya,

maka diutuslah Abu Thalib untuk mendampinginya. Setiap hari tokoh-

tokoh dari Bani Hasyim menjaganya. Kemudian Nabi saw bersabda:

Wahai pamanku, Allah telah menjagaku sehingga aku tidak perlu lagi

pendamping untuk menjagaku.

Ibnu Abî Hâtim meriwayatkan dari Jâbir bin „Abdullah, ia berkata:

Ketika Rasulullah saw berada dalam peperangan Bani Anmar, beliau

berhenti di Dzat Ar-Riqa‟. Ketika beliau sedang duduk di dekat sumur

dan menyelonjorkan kedua kakinya, Ghaurits bin Harits berkata: Aku

akan membunuh Muhammad. Kemudian para sahabatnya berkata

kepadanya: Bagaimana mungkin kamu bisa membunuhnya? Aku

berkata kepadanya: Berikan pedangmu padaku, jika ia memberikan

pedangnya kepadaku aku akan membunuhnya. Kemudian ia

mendatangi Rasulullah saw dan berkata: Wahai Muhammad, berikan

pedangmu padaku, aku ingin melihatnya. Rasulullah saw

memberikannya, dan ia gemetar tangannya. Kemudian Rasulullah saw

bersabda: “Kekuatan Allah berada di antara aku dan keinginanmu.”

Ketika itulah Allah menurunkan ayat “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang

diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.”

Page 78: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

65

Demikianlah diatas beberapa riwayat tentang sebab turun ayat ini yang

penulis kutip dalam kitab al-Durr al-Mantsûr karya karya Jalâluddin al-Suyûti.

Sebenarnya riwayat yang terdapat dalam kitab tersebut masih banyak sesuai

dengan jalur periwayatannya, akan tetapi penulis melihat beberapa riwayat

tersebut mewakili dari perbedaan tentang riwayat-riwayat lainnya.

Penulis mengutip apa yang disampaikan M. Quraish Shihab tentang

ayat ini dalam tafsirnya Al-Misbâh. Di dalam tafsirnya beliau mengutip

pendapat Tâhir Ibn „Âsyûr yang menilai penempatan ayat ini di sini (di antara

ayat 66 dan 68) merupakan sesuatu yang musykil, karena surat al-Mâidah

merupakan salah satu surat terakhir yang turun, sedangkan ketika itu Rasul saw

telah menyampaikan seluruh ajaran agama yang turun hingga ketika itu,

Seandainya ayat ini turun pada awal masa kenabian, maka apa yang yang

diperintahkan di sini dapat dimengerti dan dipahami sebagai mengukuhkan

Nabi saw dan meringankan beban mental beliau. Tetapi, karena surat ini

merupakan salah satu surat terakhir yang turun, dan beliau sendiri telah

melaksanakan tugas penyampaian risalah, agamapun telah disempurnakan,

maka sebenarnya pada saat turunnya tidak ada lagi yang diperintahkan untuk

disampaikan. Karena itu hanya ada dua kemungkinan yang dapat dikemukakan

menyangkut penempatan ayat ini dalam surat ini dan sesudah uraian ayat-ayat

sebelumnya yaitu:13

13 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol.

3, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 150

Page 79: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

66

1. Ayat ini turun untuk sebab tertentu, yang mengundang adanya ayat

yang mengukuhkan beliau agar menyampaikan sesuatu yang berat

untuk beliau sampaikan.

2. Ayat ini turun sebelum turunnya surat al-Maidah, dan ini didukung

oleh banyak riwayat.

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Ibn „Âsyûr menolak

kemungkinan kedua, karena menurut Ibn „Âsyûr berarti ayat ini telah turun

bertahun-tahun dan dibaca tanpa ada tempatnya dan dengan demikian semua

riwayat yang menguraikan sebab turunnya ayat ini pada masa-masa sebelum

turunnya surat al-Mâidah kesemuanya tertolak. Pendapat Ibn „Âsyûr ini

kemudian dibahas oleh M. Qurais Shihab, menurut beliau sepanjang yang

diketahuinya, tidak mutlak satu ayat dalam satu surat otomatis turun pada tahun

yang sama dengan turunnya ayat-ayat yang lain.14

Kemudian M. Quraish Shihab memberikan dua contoh alasan, salah

satunya adalah tentang lima ayat surat Iqra‟, menurutnya merupakan wahyu

pertama yang diterima. Ayat keenam dan seterusnya turun jauh sesudah

turunnya kelima ayat pertama itu. Ini terbukti dari kandungan ayat-ayat itu

yang menguraikan pembakangan Abû Jahl dan upayanya melarang Nabi saw.

shalat, dan tentu saja hal itu baru terjadi setelah Nabi saw. secara terang-

terangan menyebarkan dakwah. Hal ini baru terjadi sekitar tiga tahun setelah

turunnya kelima ayat pertama itu.15

14 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol.

3, h. 150

15

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol.

3, h. 151

Page 80: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

67

Penjelasan M. Quraish Shihab tersebut ingin menegaskan bahwa ada

hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Beliau sependapat dengan al-

Biqâ‟i, Fakhruddin al-Râzi, Sayyid Quthb dan pada prinsipnya juga sejalan

dengan Ibn „Âsyur, yang menjelaskan bahwa ayat ini tentang pemeliharaan

Nabi saw dari gangguan dan tipu daya orang-orang Yahudi dan Nasrani –

karena ayat-ayat yang mendahuluinya demikian juga sesdudahnya, berbicara

tentang mereka.16

Apabila Rasyîd Ridâ menolak pendapat mazhab Syiah – termasuk

pendapat Tabataba‟i – tentang sebab turunnya ayat ini untuk „Ali bin Abî Tâlib

dan ayat ini juga berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan ayat sebelum dan

sesudahnya, maka M. Quraish Shihab pun menolak pendapat tersebut.

Menurut M. Quraish Shihab apa yang dikemukakan oleh Tabataba‟i

masih timbul persoalan, selain alasan yang kurang jelas tentang mengapa ayat

ini tidak ada keterkaitan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, di sisi lain juga

mengapa objek yang ingin disampaikan tidak disebut, kalau hal tersebut

sedemikian penting?.17

Penulis melihat apa yang dikemukakan oleh Rasyîd Ridâ – demikian

pula dengan M. Quraish Shihab – sebenarnya telah dijawab oleh Tabataba‟i

dalam tafsirnya. Menurut Tabataba‟i tentang objek yang disampaikan adalah

tentang „Ali bin Abî Tâlib, dan ini didukung oleh riwayat-riwayat tentang

sebab turun ayatnya. Objek yang dimaksud Tabataba‟i dan penganut mazhab

16 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol.

3, h. 152

17

Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,

Vol. 3 h. 151

Page 81: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

68

Syiah tersebut adalah hadis wilâyah atau terkenal pula dengan hadis Ghadîr

Khum, yang berkenaan dengan pengangkatan „Ali bin Abî Tâlib sebagai

pemimpin pasca wafat Nabi saw. Untuk mengantar pada penjelasan ini, penulis

membahas dalam sub bab berikutnya, dan masih dalam bingkai komparatif

penafsiran Rasyîd Ridâ dengan Tabataba‟i.

B. Ghadîr Khum dan Wilâyah ‘Ali Bin Abî Tâlib

Pada tahun kesepuluh Hijriah, Nabi Muhammad saw. mengemukakan

niatnya untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Hal itu disampaikan

secara luas kepada kaum Muslimin pada saat itu. Bagi mereka yang ingin ikut

bersama Nabi Saw dianjurkan untuk terlebih dahulu berkumpul di Madinah.

Dengan demikian, berdatanglah kaum muslimin untuk pergi ke Mekkah

melaksanakan haji bersama Nabi Muhammad saw.

Dicatat dalam sejarah bahwa ada 90.000 orang yang ikut bersama Nabi

saw pada saat itu, dan ada juga yang mengatakan bahwa yang ikut bersama

Nabi saw sekitar 114.000 orang.18

Setelah melaksanakan rukun haji, maka

Nabi saw bersama rombongan kaum muslimin pada saat itu meninggalkan

Mekkah menuju Madinah dan sampai di suatu tempat bernama Ghadîr Khum.

Ghadîr Khum adalah nama dari suatu tempat yang terletak tiga mil dari

Juhfa. Ghâdir Khum biasa juga disebut Wâdi Khum, yang merupakan tempat

yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw. untuk berkhutbah tentang

18 Lihat Muhammad Haykal, Hayât Muhammad, diterjemahkan oleh Ali Audah dengan

judul Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Pustaka Jaya, 1979), h. 602

Page 82: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

69

keutamaan „Ali bin Abî Tâlib, dalam perjalanan pulangnya menuju Madinah

setelah melaksanakan haji Wadâ‟.

Tempat tersebut sangat terkenal dalam sejarah Islam, karena Ghadir

Khum merupakan tempat persinggahan Nabi Muhammad Saw dengan

mayoritas sahabat. Itulah tempat orang-orang dari berbagai penjuru saling

menyampaikan salam perpisahan dan kembali ke rumah dengan mengambil

jalan yang berbeda-beda.19

Di sana Nabi saw. menyampaikan khutbah-

khutbahnya di depan ratusan ribu kaum Muslimin, dalam khutbahnya beliau

membacakan ayat hampir 100 ayat al-Quran, dan kira-kira sebanyak 73 kali

mengingatkan perbuatan masa depan mereka di kemudian hari.20

Keterkaitan peristiwa Ghadîr Khum ini menyangkut tentang sebab

nuzul ayat yang telah dikemukan di atas. Rasyîd Ridâ dalam tafsirnya

membahas khusus tentang masalah ini dan hadis yang turun berkenaan

tentangnya. Yang dimaksud Rasyîd Ridâ di sini adalah hadis tentang wilâyah

„Ali bin Abî Tâlib atau yang dikenal sebagai hadis Ghadîr Khum, hadis

tersebut adalah :

Artinya : Berkata kepada kami Muhammad bin Basysyâr dan Syu‟bah

dari Salamah bin Kuhail, ia berkata aku mendengar Abu al-Tufail

berkata dari Abî Sarîhah atau dari Zaid bin Arqom dari Nabi Saw.

19 Digital Islamic Library Project, Ensyclopedia of Shia, diterjemahkan Antologi Islam,

penj, Rofik Suhud dkk, (Jakarta: Al-Huda, cet ke II, 2005), h. 288

20

Rofik Suhud dkk, Antologi Islam, h. 289

Page 83: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

70

Bersabda: barang siapa yang menjadikan aku pemimpinnya maka Ali

adalah pemimpinnya juga.21

Dalam tafsirnya Rasyîd Ridâ mengutip hadis tersebut, beliau mengakui

hadis tersebut karena hadis tersebut diriwayatkan oleh Imâm Ahmad dalam

Musnadnya dari jalur al-Barrâ‟ dan Buraidah. Imâm Tirmidzi, Imam Nasâ‟i

dan Al-Diyâ‟ dalam kitab Al-Mukhtâroh dari jalur Zaid bin Arqom, sebagian

dari mereka menganggap hadis tersebut Hasan dan Al-Dzahabi menganggap

hadis tersebut Sahîh.22

Rasyîd Ridâ berpendapat tentang makna maula / wilâyah dalam hadis

tersebut. Akan tetapi sebelum mengemukakan pendapatnya, beliau

menjelaskan pendapat Ahlu Sunnah yang menyatakan bahwa hadis wilâyah

tersebut bukan bermakna Imâmah atau Khilafah (kepemimpinan) melainkan

mempunyai makna “penolong dan yang mencintai” sebagaimana yang Allah

katakan tentang orang-orang mu‟min dan kafir “Sebagian mereka adalah

penolong bagi yang lainnya”.23

Kemudian Rasyîd Ridâ menyatakan pendapatnya sekaligus menguatkan

pendapat Ahlu Sunnah bahwa sesungguhnya seandainya masalah Imâmah

sudah dibuktikan dalam nash baik al-Qur‟an ataupun hadis maka pastilah nash

tersebut mutawâtir dan jelas. Seandainya Ali menjadi pemimpin yang

mengurus perkara kaum Muslimin seharusnya pada hari wafat Nabi saw dia

berkhutbah menyampaikan nash – penunjukan kepemimpinannya sebagai

21 Al-Imam al-Hafiz Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah al-Tirmidzi, al-Jami‟ al-

Shahih (Sunan al-Tirmidzi), (Beirut: Dar alKutub „Ilmiyah, t.t), Juz v, h. 590

22

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 464

23

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 465

Page 84: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

71

pengganti Nabi saw – dan menjelaskannya dengan sebaik-baiknya kepada

kaum Muslimin saat itu. Merupakan kewajiban bagi „Ali untuk

menyampaikannya kalau ia menganggap masalah kepemimpinan pasca wafat

Nabi saw adalah perkara yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya akan tetapi

dia tidak mengatakannya, bahkan tidak seorangpun dari para keluarganya dan

penolongnya yang menggunakan ayat ini pada kejadian hari Tsaqîfah ataupun

peristiwa hari musyâwarah setelah wafat Umar.24

Untuk menegaskannya lagi Rasyîd Ridâ menjelaskan bahwa kalau saja

Nabi saw ingin memberikan dan menunjukkan nash tentang siapa yang

menjadi khalîfah setelahnya dalam perintah penyampaiannya tersebut maka

seharusnya Nabi saw mengatakannya pada Haji Wadâ‟ dan meminta kepada

seluruh manusia saat itu untuk bersaksi maka mereka pun akan bersaksi dan

Allah menyaksikannya. Pendapat Rasyîd Ridâ ini ingin membantah argumen

mazhab Syiah yang menjadikan pengertian wilâyah sebagai Imâmah atau

Khilâfah yang mempunyai pengertian sebagai pemimpin dan pemegang

kekuasaan yang harus diikuti.

Sedangkan Tabataba‟i seperti dalam penjelasan mengenai sebab nuzul

ayat ini jelas mengatakan bahwa ayat ini turun dalam masalah wilâyah

(kepemimpinan) „Ali bin Abî Tâlib. Allah swt memerintahkan menyampaikan

masalah ini dan Nabi saw merasa khawatir mereka menuduh beliau

memperhatikan putera pamannya. Rasulullah menunda penyampaian masalah

ini dari saat ke saat sehingga turunlah ayat ini yang mengharuskan

24 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 466

Page 85: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

72

penyampaian masalah ini, lalu Nabi saw menyampaikannya di Ghadîr Khum.

Pada waktu itulah Nabi bersabda :25

من كنت مولاه فعلي مولاه

Nabi Saw. Bersabda: barang siapa yang menjadikan aku pemimpinnya

maka Ali adalah pemimpinnya juga.

Dalam kajian riwayat yang ditulis oleh Tabataba‟i dalam tafsirnya

menjelaskan tentang sabab nuzul ayat 67 surat al-Mâidah maka kemudian

bersamaan pada saat itu turunnya sabda Nabi saw tersebut, menurutnya hadis

tersebut mutawatir, dikutip dari jalur-jalur Syiah dan Ahlu Sunnah lebih dari

100 jalur. Riwayat itu telah diriwayatkatkan oleh banyak sahabat Nabi saw.

antara lain: Al-Barra‟ bin „Azib, Zaid bin Arqam, Abu Ayyub Al-Anshari,

Umar bin Kahttab, Ali bin Abi Thalib, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-

Ghiffari, Amar bin Yasir, Busraidah, Sa‟ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin

Abbas, Abu Hurairah, Jabir bin Abdullah, Abu Sa‟id Al-Khudri, Anas bin

Malik, Imran bin Al-Hashin, Ibnu Abi Aufa, S‟danah, dan istri Zaid bin

Arqam.26

Menurut Tabataba‟i adanya kepemimpinan perkara umat suatu hal yang

dibutuhkan dalam agama dan tidak perlu ditutup-tutupi. Nabi saw mengangkat

pemimpin-pemimpin pemerintahan untuk mengatur urusan ummat Islam di

daerah seperti Mekkah, Thaif, Yaman dan lainnya, dan beliau mengangkat

panglima dalam setiap peperangan dan pasukan yang dikirim ke seluruh

penjuru negeri. Apa bedanya antara masa hidup Nabi saw dan sesudah

25 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, h. 48

26

Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3. h. 59

Page 86: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

73

wafatnya, sehingga tidak membutuhkan masalah ini setelah beliau wafat,

sementara kebutuhan terhadap masalah ini sangat diperlukan dari zaman ke

zaman?.27

Pendapat Rasyîd Ridâ tentang pengertian maula dan juga tuntutannya

adanya keharusan nash khusus yang menjelaskan tentang kepemimpinan „Ali

bin Abî Tâlib dan bahkan seharusnya disampaikan juga oleh „Ali di hari

wafatnya Nabi Saw, sepertinya ditolak oleh Tabataba‟i dengan kembali kepada

kandungan ayat ini yaitu “ ربك زل إنيك ي bahwa apa yang ” يا أيها انرسىل بهغ يا أ

harus disampaikan itu bersifat penting dan sebagai suatu dalil yang

mewajibkan menyampaikan sesuatu yang dijelaskan oleh ayat itu dan

ditegaskan kepada Rasulullah saw.

Menurut Tabataba‟i sesuatu yang diturunkan kepada Nabi saw dari

Tuhannya tidak dijelaskan dengan sebuah nama, tetapi diungkapkan dengan

suatu sifat, dan sesuatu yang diturunkan kepadanya menunjukkan

keagungannya dan menunjukkan bahwa masalah ini bukan buatan Rasulullah

saw., dan tidak ada alternatif lain untuk menyimpan dan menunda

penyampaiannya.28

Pernyataan Tabataba‟i tersebut mewakili pendapat mazhab Syiah

karena beliau adalah seorang Syiah. Menurut Syiah kata maula / wilâyah itu

diartikan sebagai yang memiliki keuasaan dan harus diikuti kepemimpinannya,

seperti yang terdapat dalam kata-kata yang sering dipergunakan orang, seperti

wali kota, wali murid, wali mempelai wanita dan lain-lain, yang semuanya

27 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3. h. 48-49

28

Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, Juz 3, h. 49

Page 87: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

74

menunjukkan arti “orang-orang yang memiliki kekuasaan atas orang-orang

tertentu.”29

Dengan begitu apa yang disampaikan oleh Tabataba‟i tentang

pentingnya penyampaian risalah dalam ayat ini adalah sebuah hadis wilâyah

„Ali bin Abî Tâlib tersebut, dan makna maula / wilâyah bukanlah makna

seperti yang dikatakan oleh Ahlu Sunnah. Karena apabila terminologi maula /

wilâyah seperti yang digunakan oleh Ahlu Sunnah, bukankah semua orang tahu

pada saat itu bahwa kedudukan Ali bin Abi Thalib dan peranannya bersama

Rasulullah saw dalam menjalankan misi dakwah?.

Dalam al-Qur‟an kata wali yang bentuk jamaknya awliya mempunyai

beberapa pengertian. Diantaranya dapat dikemukakan sebagai berikut:30

1. kata wali yang berarti pelindung. tedapat dalam QS. Al-A‟raf: 196,

QS. Al-Baqarah: 107 dan 257, QS. Ali „Imran: 68, QS. Al-

An‟Am:51 dan 70, QS. Al-Taubah: 74 dan 116, QS. Al-Kahfi: 26,

QS. Al-Jatsiyah: 19, QS. Al-Syura: 8-9, dan 44 yang berarti

pemimpin.

2. kata wali yang berarti penolong. Terdapat dalam QS. Al-Isra: 111,

QS. Al-Syura: 31, QS. Al-Baqarah: 120, dan QS Al-Sajadah: 4.

3. kata wali yang berarti kawan atau teman setia. Terdapat dalam QS.

Al-Nisa: 144 dan QS. Fusshilat: 34.

Kontroversi makna wali dalam hadis Ghadîr Khum tersebut yang

menimbulkan cikal bakal kontroversi tentang kepemimpinan pasca wafat Nabi

29 HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., (Yogyakarta: Aynat

Publishing, 2010), h. 8

30

HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., h. 42

Page 88: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

75

saw, karena dinterpretasikan berbeda oleh kalangan Mazhab Ahlu Sunnah dan

Syiah. Bila Ahlu Sunnah mengartikan kata tersebut sebagai pelindung,

penolong ataupun orang yang mencintai, maka Syiah mengartikan kata wali itu

sebagai pemimpin. Agaknya kedua pengertian tersebut mendapat pembenaran

dari al-Qur‟an, tergantung bagaimana bunyi redaksi yang di dalamnya termuat

kata wali itu.

Apabila kata tersebut dilihat dari segi historis pengucapannya (ketika

Nabi Muhammad saw mengumpulkan para sahabat di Ghadîr Khum dan

bersabda hadis tersebut), maka tampaknya ucapan Nabi saw tersebut

mengindikasikan bahwa wilâyah atau kedudukan sebagai pemimpin

pascawafat nabi saw adalah „Ali bin Abî Tâlib.31

Apa yang dikemukakan Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i seperti yang

dijelaskan di atas, mereka mempunyai perbedaan yang sangat luas

pemahamannya tentang peristiwa Ghadîr Khum dan wilâyah „Ali bin Abî

Tâlib. Dalam kajian riwayat yang ditulis oleh Tabataba‟i dalam masalah ini,

ada hal yang menarik, yaitu beliau mengkritik pendapat Rasyîd Ridâ ketika

mengutip hadis berkenaan tentang „Ali bin Abî Tâlib dan sabab nuzul ayat ini

untuknya. Hadis tersebut adalah:

“Sungguh perkataan ini dari Nabi Saw tentang wilayah „Ali yang

tersebar di seluruh penjuru negeri, hingga perkataan itu sampai kepada

al-Harits bin Nu‟man al-Fahri, kemudian ia datang kepada Nabi saw.

karena ia ragu tentang berita itu. Ketika itu Nabi saw. berada di Abthah

lalu beliau menjelaskan dan memberi pengertian kepadanya tentang hal

itu. Dia berkata kepada Nabi saw. – dia adalah salah seorang sahabat

besar Nabi saw. – wahai Muhammad engkau telah menerima perintah

dari Allah untuk kami, agar kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain

31 HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., h. 147

Page 89: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

76

Allah dan sesungguhnya engkau adalah Rasul Allah, maka kami

menerimanya – ia juga menyebutkan seluruh rukun Islam – kemudian

engkau belum puas dengan hal ini, sehingga engkau mengangkat kedua

tangan anak pamanmu dan mengutamaknnya atas kami, lalu engau

berkata : Bararangsiapa menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah

pemimpinnya, maka apakah ini dari kamu atau dari Allah? Nabi saw

menjawab: Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, masalah ini

adalah perintah Allah. Lalu al-Harits berpaling dan pergi sambil

mengucapkan: “Ya Allah jika perintah ini benar –benar dari sisimu,

maka turunkan kepada kami hujan batu dari langit atau berikan kami

siksa yang pedih. (Q.S. al-Anfâl: 32).” Maka sebelum ia sampai pada

pada tujuan perjalannannyam, Allah menghujaninya dengan batu, maka

jatuhlah dia sebab keinginannya dan keluarlah batu itu dari duburnya.

Lalu Allah menurunkan ayat: “seorang peminta telah meminta

kedatangan azab yang menimpa untuk orang-orang kafir yang tiada

seorang pun dapat menolaknya. (Q.S. al-Ma‟ârij: 1-2).”32

Setelah mengutip hadis tersebut, Rasyîd Ridâ menilai bahwa riwayat ini

maudhu‟ dan surat al-Ma‟ârij ini Makiyyah dan apa yang Allah ceritakan itu

adalah perkataan sebagian orang-orang kafir Quraisy: “Ya Allah jika perintah

ini benar-benar dari sisimu”, sebagai peringatan sebelum hijrah, peringatan ini

terdapat dalam surat al-Anfâl yang diturunkan sebelum perang Badar dan

sebelum surat al-Mâidah turun antara tiga sampai sembilan tahun. Riwayat itu

menjelaskan bahwa al-Hârits adalah seorang muslim kemudian murtad. Ia

belum dikenal di kalangan para sahabat Nabi saw. Adapun Abhtah adalah suatu

tempat di Mekkah, sedangkan Nabi saw belum kembali dari Ghadîr Khum ke

Mekkah, bahkan setelah Haji Wadâ‟ beliau singgah di Ghadîr Khum menuju

ke Madinah.33

32 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 464

33

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 464

Page 90: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

77

Tabataba‟i mengkritik pendapat Rasyîd Ridâ tersebut yang menyatakan

bahwa hadis tersebut maudhû‟, surat al-Ma‟ârij adalah Makkiyyah, surat al-

Anfâl turun sebelum hijrah, Hârits bin Nu‟mân adalah seorang muslim

kemudian murtad dan dia tidak dikenal di kalangan para sahabat. Kritikan

Tabataba‟i tersebut sebagai berikut:

“Pernyataan al-manar bawa riwayat itu maudhu‟ dan surat Al-Ma‟arij

itu adalah surat Makkiyyah, ia menggunakan sebagian riwayat dari Ibn

Abbas dan Ibn Zubair sebagai dalil pendapatnya bahwa surat Al-

Ma‟arij turun di Makkah. Aduhai disayangkan! Apa yang

mengunggulkan riwayat ini terhadapat ayat itu. sementara semuanya

adalah ahad? Kami terima bahwa surat al-Ma‟arij adalah surat

Makkiyyah sebagaimana yang dikuatkan oleh kandungan sebagian

besar ayat-ayatnya, tetapi apa dalilnya bahwa seluruh ayat surat Al-

Ma‟arij itu Makkiyyah? Surat ini adalah surat makkiyyah, tapi khusus

dua ayat ini bukan Makkiyyah, sebagaimana surat Al-Maidah adalah

surat madaniyah yang turun pada akhir masa Nabi saw., dan yang di

dalamnya terdapat ayat yang dibahas (al-Maidah: 67). Ayat ini, oleh

beberapa mufassir dinyatakan turun di Makkah pada awal kenabian.

Jika boleh meletakkan ayat Makkiyyah al-Maidah: 67 ke dalam surat

Madaniyah (al-Maidah), maka boleh pula meletakkan ayat Madaniyah

(al-Ma‟arij: 1-2) kedalam surat Makkiyah (al-Ma‟ârij). Kemudian

tentang surat al-Anfal turun sebelum hijrah, dalam masalah ini

pengarang al-manar berpendapat tanpa hujjah untuk membedakannya,

tetapi bagi seorang mufassir yang mengenal sturktur kalimat, ia tidak

akan mendekati keraguan tentang firman Allah swt. surat al-Anfal: 32

dengan adanya makna kandungan makna pada kalimat: “

” di dalmnya terdapat “isim isyarah, dhamir munfashil dan

kata al-Haqq yang didahului oleh alif lam”, maka jelaslahbahwa

kalimat “ ” bukan yang dinisbatkan kepada berhala, yang keluar

dari mulut orang musyrik yang hatinya goncang dan menghina

kebenaran. Kalimat ini tiada lain adalah ucapan yang tunduk pada

maqam rububiyyah, dan memandang bahwa perkara-perkara yang benar

jelas dari sisi Allah, dan hukum-hukum syariat turun dari-Nya.

Kemudian ia menggantung setiap perkara kepada Allah swt, tanpa

mengetahui dalil yang pasti bahwa kebenaran itu hanya dari-Nya, ia

merasa berdosa sebab masalah itu, maka ia berdoa untuk dirinya dengan

doa yang tercela dan bosan hidup. Kemudian tentang Harits bin

Nu‟man, dalam hal ini perlu diketahui, apakah ada diantara para sahabat

Nabi saw yang menghafal nama-nama setiap orang yang melihat Nabi

Page 91: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

78

saw dan beriman kepadanya, atau beriman kepadanya kemudian

murtad?.” 34

Kritikan Tabataba‟i sepertinya ingin mempertanyakan alasan kenapa

Rasyîd Ridâ mengutip riwayat tersebut dan seolah menunjukkan bahwa itu

dalil bagi orang Syiah tentang sabab nuzul al-Mâidah: 67 untuk nash wilâyah

„Ali bin Abî Tâlib. Akan tetapi pada akhirnya dia menolak riwayat tersebut.

Tabataba‟i menegaskan bahwa riwayat tersebut ahad bukan mutawâtir. Dan

pernyataan Rasyîd Ridâ tentang hadis itu maudhû‟ tidak didasarkan pada

qorînah yang pasti.35

Adapun mengenai hadis Ghadîr Khum mempunyai redaksi yang

berbeda-beda, hadis tersebut terdapat dalam kitab al-Jâmi‟ al-Shahîh karya

Imâm al-Turmudzî,36

Sunan Ibnu Mâjah37

dan Musnad Ahmad bin Hanbal.38

Menurut HM. Attamimy dalam bukunya Ghadîr Khum, beliau setelah

melakukan takhrîj hadis tersebut menyatakan bahwa kualitas sanad hadis

tersebut shahih, hal ini memungkinkan karena periwayat tersebut semuanya

bersambung kepada nabi saw dan memiliki kepribadian yang tsiqoh, yaitu

suatu predikat yang memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan karenanya

periwayatan dengan kualitas hadis tersebut dapat dipercaya.39

Lebih tegas

Attamimy menegaskan bahwa setelah melakukan telaah matan hadis, seluruh

34 Lihat Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, Juz 3, h. 55-57

35

Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, Juz. 3, h. 57

36

Lihat Abû „Îsa Muhammad bin Îsa ibn Saurah, al-Jâmi‟ al-Shahîh (Sunan al-

Turmudzi), (Beirut Dar al-Kutub Ilmiyah) h, 590

37

Lihat al-Hâfiz Abû „Abd Allah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Mâjah,

Juz I (Semarang Toha Putra) h, 43

38

Lihat Ahmad bin Hanbal, Musnad Imâm Ahmad bin Hanbal, juz V (Beirut: Maktab

Islami), h. 350, 356, 358, 361, 370 dan 439

39 HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., h. 138

Page 92: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

79

hadis tentang Ghadîr Khum dikategorikan hadis yang berkualitas shahîh, baik

sanad maupun matannya. 40

C. Perintah Tablîgh Al-Risâlah

Perbedaan Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i tentang sabab nuzul ayat ini

berpengaruh pula terhadap penafsirannya terhadap ayat, seperti yang dijelaskan

sebelumnya bahwa Rasyîd Ridâ menganggap bahwa ayat ini turun pada awal

kenabian sedangkan Tabataba‟i pada saat setelah Nabi saw melaksanakan haji

wadâ‟, maka target kepada siapa risalah tersebut disampaikan dan isi

risalahnya yang terkandung dalam ayat al-Mâidah: 67 ini mengalami

perbedaan juga.

Rasyîd Ridâ yang mengakui ayat ini turun pada awal kenabian,

menjadikan sasaran penyampaian risalah adalah Ahli Kitab sehingga apa yang

dibicarakan dalam ayat ini keseluruhan adalah seruan kepada Ahli Kitab untuk

masuk Islam dan tentang persoalan-persoalan agama.41

Dalam menafsirkan “ ربك زل إنيك ي beliau mengutip ” يا أيها انرسىل بهغ يا أ

sebuah riwayat yang juga sekaligus menunjukkan sebab turunnya ayat ini yaitu

pada awal permulaan Islam. Dia sepakat dengan pendapat para ulama tafsir al-

Ma‟tsûr, apabila ayat ini tidak menyangkut masalah Ahli Kitab maka tidak

sesuai dengan ayat setelahnya, yaitu dengan pengertian bahwa Allah berkata:

“Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu tentang perkara Ahli Kitab dan

jika kamu bertanya apa yang harus disampaikan maka jawablah “Katakanlah:

"Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu

40 HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., h. 141

41

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 463

Page 93: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

80

menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan al-Quran yang diturunkan

kepadamu dari Tuhanmu"... .”.42

Tentu saja penafsiran Rasyîd Ridâ ini berbeda dengan Tabataba‟i

seperti yang dikemukakan sebelumnya dalam masalah sabab nuzul ayat

tersebut. Akan tetapi yang menarik dalam analisa ini adalah perbedaan

keduanya dalam memahami diperbolehkan atau tidaknya bagi seorang Nabi

saw untuk menyembunyikan atau menunda dalam penyampaian risalah.

Rasyîd Ridâ ketika menafsirkan “ ا بهغت رسانته نى تفعم ف menurutnya ” وإ

adalah “jika kamu tidak mengerjakan apa yang diperintahkan kepadamu untuk

menyampaikan dari apa yang diturunkan kepadamu seluruhnya – seluruh umat

– atau khusus kepada Ahli Kitab – yaitu dengan menyembunyikannya bahkan

menundanya karena takut dapat ancaman atau gangguan berupa perkataan

ataupun juga tindakan, maka baginya adalah belum menyampaikan risalah dan

belum mengerjakan sebab alasan diutusnya, dan tugasnya adalah

menyampaikan apa yang diturunkan Tuhan kepadanya.”43

Penafsiran Rasyîd Ridâ tersebut jelas mengindikasikan bahwa tidak

diperbolehkan bagi seorang Nabi saw untuk menyembunyikan bahkan

menunda menyampaikan risalah sesuai dengan ijtihad atau kehendak Nabi saw

sendiri. Beliau sepakat dengan pendapat para ulama bahwa apabila tidak

menyampaikan seluruh yang diturunkan Tuhan kepadamu (Nabi saw.) dengan

menyembunyikan sebagiannya, maka bagimu belum menyampaikan sama

42 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 467

43

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 468

Page 94: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

81

sekali, karena menyembunyikan sebagian sama saja dengan menyembunyikan

secara keseluruhan.44

Pendapat ini mempunyai pengertian bahwa masalah

wahyu adalah masalah keseluruhan dan tidak terbagi-bagi.

Menurut Rasyîd Ridâ ada hikmah yang harus dimengerti dengan jelas

dalam penyampaian risalah ini yaitu:

1. Hikmah yang dinisbatkan kepada Rasul saw. bahwasanya perintah

untuk tabligh adalah ketetapan Allah dan tidak ada pilihan bagi

Rasul saw untuk menyembunyikannya bahkan menundanya

berdasarkan ijtihâd Rasul saw sendiri.

2. Hikmah yang dinisbatkan kepada manusia agar mengetahui hakikat

keseluruhan dari nash, maka tidak terjadi perselisihan dalam

pendapat dan pemahaman.45

Penjelasan Rasyîd Ridâ ini berbeda dengan Tabataba‟i. Dari awal

penafsirannya tentang ayat ini, beliau sudah menjelaskan bahwa secara lahiriah

ayat ini mengandung perintah kepada Rasulullah saw untuk menyampaikan

sesuatu yang berbahaya dan menakutkan, kemudian Allah swt menjanjikan

kepadanya pemeliharaan dari gangguan manusia.46

Tabataba‟i menggambarkan bahwa ada kekhawatiran Nabi saw dalam

menyampaikan pesan sehingga Nabi saw mendapat penekanan bahwa pesan itu

harus disampaikan dan mendapat jaminan bahwa Allah memelihara dari

gangguan manusia. Beliau menjelaskan adanya bentuk kekhawatiran Nabi saw

44 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 468

45

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 469

46

Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 42

Page 95: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

82

untuk menunda penyampaiannya pada momen yang sesuai, seandainya Nabi

saw. tidak merasa khawatir dan tidak menundanya maka tidak perlu ada

penegasan kepada Nabi saw. sebagaimana firman-Nya “ ا بهغت نى تفعم ف وإ

.” رسانته47

Dalam tafsirnya Tabataba‟i menjelaskan alasannnya bahwa ayat ini

mengungkapkan tentang hukum yang didalamnya mengandung kekhususan

bagi Nabi saw dengan suatu keistimewaan kehidupan, yang keistimewaan ini

juga diinginkan oleh yang lain. Masalah inilah yang harus disampaikan oleh

Nabi saw, sementara masalah ini diinginkan juga oleh manusia. Karena itulah

Nabi saw merasa khawatir untuk menyampaikan dan menjelaskannya. Maka

Allah mempertegas agar beliau segera menyampaikannya, menjanjikan

kepadanya pemeliharaan dari gangguan manusia, dan berjanji tidak akan

meberi petunjuk kepada mereka yang melakukan tipu daya.48

Penjelasan Tabataba‟i di atas mengindikasikan bahwa

diperbolehkannya berijtihad bagi Nabi saw untuk menunda penyampaian

risalah. Perintah untuk menyampaikan risalah dari Allah dalam ayat ini ini

adalah bentuk peringatan bagi rasul saw untuk menyampaikannya dan saat itu

adalah momen yang tepat yakni pada peristiwa Ghadîr Khum.

Ijtihad yang dilakukan oleh Nabi saw. dalam menunda penyampaian

dikarenakan beliau mempunyai firasat yang sangat buruk. Bukan khawatir

karena faktor ancaman dari Ahli Kitab, Yahudi atau Nasrani, akan tetapi dari

tubuh umat Islam sendiri. Oleh karena itu Nabi saw. tidak ada alternatif lain

47 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 43

48

Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 48

Page 96: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

83

untuk menyimpan atau menundanya. Menurut Tabataba‟i dengan dasar ini,

masalah itu menjelaskan kepada manusia, mengisyaratkan bahwa Nabi saw.

benar dalam firasatnya tentang mereka dan kekhwatirannya terhadap mereka,

dan mengisyaratkan bahwa ia harus menjelaskan melalui lisan dan

keterangannya.49

Demikianlah nampak jelas perbedaan antara Rasyid Ridâ dan

Tabataba‟i dalam menafsirkan perintah tablîgh (menyampaikan) risalah dan

ancaman kepada Rasulullah saw apabila tidak menyampaikannya.

D. ‘Ishmah Nabi saw

Setelah mengungkapakan perbedaan yang sangat luas antara Rasyîd

Ridâ dan Tabataba‟i dalam pembahasan sebelumnya, maka kemudian berlanjut

dalam penafsiran mereka tentang „Ishmah dalam kalimat “ اناس ك ي ”وانهه يعص

dan Kâfir dalam kalimat “ انهه نا يهدي انقىو انكافري .” إ

Nampak penafsiran dan penjelasan sebelumnya membuat penafsiran

kedua kalimat ini sebagai pendukung dengan argumen sebelumnya. Rasyîd

Ridâ dalam menjelaskan “ اناس ك ي mencantumkan sebuah riwayat ” وانهه يعص

dari mufasir al-ma‟tsûr, Tirmidzi, Abu Syaikh, al-Hakim, Abu Na‟im, al-

Baihaqi dan Thabrani dari beberapa para sahabat bahwa “Rasulullah saw dijaga

di Mekkah sebelum turun ayat ini, dan ketika turun ayat ini Rasulullah tidak

dijaga lagi, dan Abû Tâlib adalah orang yang pertama memperhatikan untuk

menjaga Nabi saw demikian juga Abbas.

49 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 49

Page 97: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

84

Diriwayatkan pula dari Jabir dan Ibn Abbâs bahwasanya Nabi saw

dijaga dan pamannya Abû Talib selalu mengutus seorang lelaki dari bani

Hasyim untuk menjaganya, sampai turun ayat ini, dan Nabi saw berkata “wahai

pamanku, sesungguhnya Allah telah menjagaku dan tidak usah kau mengutus

seseorang (untuk menjagaku)”.50

Sehingga kemudian makna “اناس ك ي ” يعص

adalah “Allah menjagamu dari penyerangan mereka, dan maksud dari “اناس ”

di sini adalah orang-orang kafir.51

Penafsiran Rasyîd Ridâ ini sekali lagi mempertegas bahwa sebab

turunnya ayat ini adalah untuk Ahli Kitab, sehingga jaminan dari Allah adalah

“penjagaan” dari Ahli Kitab yang ingin mengintimidasi Nabi saw berupa

perkataan maupun tindakan, yang dapat mengganggu proses dakwah Nabi saw.

Karena itu Rasyîd Ridâ penafsirannya tentang “ اناس ” adalah orang-

orang “kafir”, sehingga beliau pun menafsirkan kalimat “ انهه نا يهدي انقىو إ

yaitu kalimat ” اناس“ mempunyai keterkaitan dengan penjelasan ” انكافري

tersebut adalah sebuah penegasan tentang „Ishmah Nabi saw. Dengan

pengertian bahwa Allah swt tidak memberi petunjuk kepada mereka yang

menggangu Nabi saw dalam menyampaikan risalah, mereka itu adalah orang-

oarang kafir, dengan begitu kalimat-kalimat Allah tegak dan sempurna maka

nabi saw. pun bisa menyelasikan misi agamanya dengan sempurna.52

50 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 471

51

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 471

52

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 471-472

Page 98: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

85

Apabila yang dimaksudkan Rasyîd Ridâ adalah bentuk penjagaan dari

Allah dari gangguan orang-orang kafir, maka Tabataba‟i jelas berbeda

sebagaimana penafsiran kalimat-kalimat sebelumnya dalam ayat ini. Tabataba‟i

berpendapat bahwa secara lahiriah ayat ini merupakan „Ishmah dalam

pengertian memelihara dan menjaga dari kejahatan manusia yang diarahkan

kepada jiwa Nabi saw, tujuan-tujuanya yang islami, keberhasilan penyampaian,

keberuntugan usaha dan makana-makna lain sesuai dengan kesuciannya.53

Pendapat Tabataba‟i ini menguatkan apa yang sudah dijelaskannya

tentang perintah penyampaian risalah, bentuk kekhwatiran Nabi saw adalah

bukan dari Ahlu Kitab ataupun kafir. Akan tetapi dalam batang tubuh umat

Islam sendiri. Oleh karena itu menghubungkan „Ishmah dengan manusia “الناس

” disni menurutnya bukanlah pemeliharaan seperti penganiayaan fisik atau

membunuh dan meracuni, akan tetapi pemeliharaan dari kejahatan manusia

yang memutarbalikan perkara kepada Nabi saw, yang hal ini dapat

meruntuhkan kejayaan ilmu-ilmu agama. Lebih tepatnya kata “ اناس ” dalam

ayat ini menurutnya adalah gambaran sikap pribadi negatif dari orang-orang

beriman, munafik dan hatinya berpenyakit.54

Dan pendapat Tabataba‟i tentang makna “kafir” yang dimaksud dalam

ayat ini adalah mereka sekelompok manusia yang sifatnya telah disebutkan

yaitu sikap pribadi negatif dari orang-orang beriman, munafik dan hatinya

berpenyakit. Sehingga maksud dari “ انهه نا يهدي انقىو انكافري adalah Allah ” إ

tidak memberi petunjuk/hidayah kepada mereka dalam siasat dan tipu daya dan

53 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 51

54

Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 51

Page 99: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

86

Dia memelihara Nabi saw. dari sebab-sebab yang berlaku yaitu sikap-sikap

negatif yang akan mereka lakukan.55

Dalam perbedaan Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i tersebut ada

persamaannya, yaitu keduanya tidak memahami „Ishmah di sini sebagai bentuk

pemeliharaan atau keterjagaan dari Allah dengan sesuatu yang khusus bagi

Nabi saw. yaitu kesucian jiwa. Akan tetapi Allah menjaga dan memelihara dari

bentuk gangguan orang-orang kafir – ataupun yang tergolong sifat orang-orang

kafir (menurut Tabataba‟i) – dalam menyampaikan risalah.

Demikianalah dari keseluruhan analisa komparatif penafsiran antara

Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i. Banyak perbedaan mendasar dari keduanya.

Terutama dalam masalah sebab turun surat al-Mâidah ini, sehinnga

menimbulkan perbedaan dalam penafsiran kandungan ayat tersebut.

55 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 52

Page 100: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

87

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis membuat analisa dan menguraikan pembahasan dari

bab ke bab, mengenai penafsiran surat al-Mâidah ayat 67 menurut Rasyîd Ridâ

dalam tafsirnya al-Manâr dan Tabataba’i dalam al-Mîzân, maka penulis

menilai terdapat perbedaan yang signifakan dalam menafsirkan ayat tersebut.

Penulis menilai apa yang ditafsirkan oleh keduanya berlandaskan

kepada background keyakinan mazhabnya masing-masing. Rasyîd Ridâ yang

bermazhab Ahlu Sunnah mencoba mempertahankan argumennya, begitu pula

dengan Tabataba’i yang bermazhabkan Syiah Itsna ‘Asyariyah, dan sengaja

penulis memilih kedua mufassir tersebut berdasarkan mazhab keduanya yang

berbeda. Sehingga menghasilkan perbedaan ataupun persamaan yang mungkin

didapat dalam memahami ayat tersebut.

Dalam penafsiran ayat ini, ada banyak perbedaan yang didapat oleh

kedua mufassir tersebut. menurut analisa penulis, pangkal penyebab perbedaan

keseluruhan dalam memahami ayat tersebut adalah tentang sebab turunnya

ayat. Kedua muafassir banyak mengutip dan menggunakan riwayat tentang

sebab turunnya ayat ini, yang kemudian diikuti oleh argumen pemikirannya.

Rasyîd Ridâ menyatakan bahwa ayat ini turun untuk awal kenabian.

Sedangakan Tabataba’i menyatakan ayat ini turun setelah Nabi saw,

Page 101: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

88

melaksanakan haji wadâ di suatu tempat yang disebut Ghadîr Khum dan ayat

ini untuk ‘Ali bin Abî Tâlib.

Perbedaan mengenai sebab turun ayat ini berimbas kepada perbedaan

penafisran tentang perintah Tablîgh Risâlah dan makna ‘Ishmah Nabi saw

dalam ayat tersebut. Keterkaitan peristiwa Ghadîr Khum dan Wilâyah ‘Ali bin

Abî Tâlib dalam penafsiran ayat ini juga berawal dari perbedaan sebab turun

ayat, Rasyîd Ridâ secara khusus membahasnya bertujuan mempertegas

penolakan terhadap pendapat mazhab Syi’ah yang mendukung sebab turun ayat

ini dalam peristiwa Ghadîr Khum dan untuk ‘Ali bin Abî Tâlib.

Sebenarnya yang disayangkan oleh penulis adalah banyak riwayat yang

berbeda mengenai sabab turunnya ayat tersebut. Dalam kitab al-Durr al-

Mantsûr karya karya Jalâluddin al-Suyûti, beliau menyebutkan beberapa

riwayat tentang sabab turun ayat ini. Jalâluddin al-Suyûti seolah mengakui

bahwa memang banyak perbedaan dalam sabab turunnya ayat ini berdasarkan

berbagai periwayatannya, dalam kitabnya tersebut beliau mengutip dari nama-

nama besar dan masyhûr seperti Ibnu Abî Hâtim, al-Turmudzî, al-Baihaqî,

Ibnu Mardawaih, ‘Abd bin Humaid, al-Tabrânî, Abû Nua’im, Ibnu Jarîr

Ahmad bin Ja’dah dan lain-lain.1

Adapun tentang hadis Ghadîr Khum dan tentang makna wali yang

dibahas dalam kedua tafsir tersebut, penulis menilai bahwa hadis tersebut

shahih dan mutawâtir secara sanad dan matannya mengikuti apa yang sudah

dilakukan penelitiannya oleh HM. Attamimy dalam tesisnya yang kemudian

1 Lihat Jalâluddin al-Suyûti, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr, (Dar al-Kutub

Ilmiyyah, Beirut, 1990), jilid 2, hal, 528-530

Page 102: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

89

dijadikan sebuah buku.2 Akan tetapi memang terjadi perbedaan dalam

pemaknaan wali dalam hadis tersebut.

Menarik dalam menganalisa kedua penafsiran ini adalah penggunaan

argumen rasioanal dan filosofi dalam memahami ayat. Argumen rasional dan

filosofi keduanya lah yang membuat perbedaan dalam riwayat sebab turunnya

dan kandungan ayat ini menjadi melebar luas akan tetapi jelas.

B. Saran-saran

1. Dalam al-Qur‟ an mengandung 114 surat. Maka, jangan hanya terfokus

pada satu surat saja.

2. Dalam Al-Qur‟ ân terdapat banyak ayat-ayat mengenai persoalan agama

dan kisah. Tujuan utama dari kisah yang terdapat di dalamnya adalah agar

manusia dapat mengambil pelajaran, karena kisah-kisah tersebut sarat

dengan petunjuk.

3. Kepada peneliti yang tertarik untuk membahas tentang ayat ini, agar bisa

membahas lebih lengkap dan dalam lagi, karena dalam penelitian ini

masih banyak kekurangan dan kelemahan.

4. Perbedaan muncul disebabkan oleh perbedaan interpretasi teks yang

seharusnya disikapi penuh toleransi. Oleh karena itu bagi yang mempunyai

sudut pandang lain dalam penelitian ini, dianjurkan untuk melakukan

penelitian yang sama dengan mengemukakan argumentasi secara

akademik.

2 Lihat HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., (Yogyakarta:

Aynat Publishing, 2010)

Page 103: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

90

5. Penelitian terhadap tokoh Rasyîd Ridâ dan Tabataba’i sudah banyak

dilakukan, namun masih banyak ruang untuk dikaji dan diteliti. Oleh

karena itu, peneliti sarankan supaya pengkaji tafsir al-Qur‟ ân semakin

mengembangkan kajiannya untuk menambah khasanah keilmuan Islam

dan menjadikan al-Qur‟ ân semakin praktis dan mudah dipahami bagi

para pembacanya.

6. Penulis berharap ada yang meneliti tentang sebab turunnya ayat ini

berdasarkan kajian riwayat mengacu pada ‘ulum al-Hadis. karena dengan

itu bisa diketahui dengan jelas riwayat yang shahih, bukan sekedar kutipan

dalam kitab-kitab tafsir ataupun sejarah.

Page 104: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

91

DAFTAR PUSTAKA

A. Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi dalam Tafsir Al-Manar, Jakarta:

Erlangga, 2006

al-Baihaqi, Abu Bakr Ahmad bin al Husain bin Ali, Sunan Al-Kubra lil-Baihaqi,

Beirut: Dar el-Fikr, 1996

Abidin, Ali Zainal Abidin, Identitas Mazhab Syiah, Jakarta: Ilya, 2004

al-Dzahabi, Muhammad Husein, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Kairo: Dar al-Kutub

al-haditsah, Jilid III, 1968

al-Suyûti, Jalâluddin, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr, Beirut: Dar al-

Kutub Ilmiyyah, Juz II, 1990

Digital Islamic Library Project, Ensyclopedia of Shia, diterjemahkan oleh Rofiq

Suhud dkk dengan judul Antologi Islam, Jakarta: Al-Huda, cet ke II, 2005

Haykal, Muhammad, Hayât Muhammad, diterjemahkan oleh Ali Audah dengan

judul Sejarah Hidup Muhammad Jakarta: Pustaka Jaya, 1979

HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., Yogyakarta:

Aynat Publishing, 2010

Ismail, Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan, Yogyakarta: LKIS, 2003

Iyazi, Muhammad Ali, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Teheran:

Wazarah al-Tsaqofah wa al-Irsyad al-Islam

Mufradi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997

Muhaimin, Pembaharuan Islam Refleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-

tokoh Muhamadiyah, Cirebon: Pustaka Dinamika, 2000

Ridho, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Qur’an al-Hakim al-Syahiir bi Tafsir al-

Manar, Beirut: Dar al-Ma’rifah,

Ridwan, Kufrawi (ed), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet.

ke III, 1994

al- Syak’ah, Mustofa, Al-Islam bi la Mazahib, diterjemahkan oleh A. M.

Basalamah dengan judul Islam Tidak Bermazhab, Jakarta: Gema Insani

Press, 1994

Page 105: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

92

Shadr, Muhammad Baqir, Kemelut Kepemimpinan Setelah Rasul, Jakarta: As-

Sajjad, 1990

Shihab, M. Quraish, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, Jakarta:

Lentera Hati, 2007

________________, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,

Vol. 3, Jakarta: Lentera Hati, 2007

________________, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar

Jakarta: Lentera Hati, cet II, 2007

Siradj, Said Aqil, Ahlussunnah Wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis, Jakarta:

Pustaka Cendekia Muda, 2008

Syariati, Ali, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, Jakarta: Mizan, 1995

Al-Thabathaba’i, Muhammad Husain, Al-Mizan Fi Tafsir Al-Qur’an, Teheran:

Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1392 H

________________, Tafsir Al-Mizan; Mengupas Ayat-ayat Kepemimpinan, pen.

Syamsuri Rifa’i, Jakarta: CV. Firdaus, 1991

________________, Tafsir al-Mizan; Mengupas Surat Al-Fatihah, pen. Syamsuri

Rifa’i, Jakarta: CV. Firdaus, 1991

________________, Inilah Islam; Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam

Secara Mudah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996

Page 106: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

93

Lampiran

KLASIFIKASI RIWAYAT SEBAB TURUN SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67

No

Riwayat

Rasyîd Rida

(Tafsir al-Manâr)

Tabatabâ’i

(Tafsir al-Mizân)

Disebutkan Alasan Disebutkan Alasan

1.

Rasyîd Ridâ dalam

penjelasannya lebih

sependapat dengan

yang mengatakan

bahwa ayat ini turun

pada permulaan

Islam yaitu untuk

Ahli Kitab

sebagaimana

pendapat ulama

tafsir al-Ma’tsûr.

Beliau menyatakan

bahwa apabila ayat

ini tidak menyangkut

masalah Ahli Kitab

maka tidak sesuai

dengan ayat

setelahnya, yaitu

dengan pengertian

bahwa Allah

berkata:

“Sampaikanlah apa

yang diturunkan

kepadamu tentang

perkara Ahli Kitab

dan jika kamu

bertanya apa yang

harus disampaikan

maka jawablah

“Katakanlah: "Hai

ahli Kitab, kamu

tidak dipandang

beragama sedikitpun

hingga kamu

menegakkan ajaran-

Tabataba’i

menyebutkan

riwayat ini, tetapi

beliau

menolaknya

karena

menurutnya ayat

ini tidak berkaitan

dengan kisah

tersebut. Beliau

hanya membahas

apa yang

disebutkan oleh

Rasyid Rida

dalam tafsirnya.

Page 107: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

94

.

ajaran Taurat, Injil,

dan al-Qur’an yang

diturunkan

kepadamu dari

Tuhanmu"... .”

2.

Rasyid rida

mendukung

argumennya dengan

menyebutkan apa

yang sudah

disampaikan oleh

para ahli tafsir yang

mengutip riwayat

secara turun-

menurun.

Tabataba’i

menolak riwayat

ini dengan alasan

riwayat ini turun

dipertengahan

waktu Nabi Saw

tinggal di

Makkah, maka

hal ini tidak

relevan dengan

makna ayat ini.

3.

-

Salah satu riwayat

yang digunakan

Tabataba’i

sebagai dalil kuat

tentang sebab

turun ayat ini, dan

juga diriwayatkan

Page 108: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

95

juga dalam kitab

Nuzul al-Qur’an

oleh al-Hafizh

Abu Naim

bersanad pada Ali

bin Amir dari

Abu al-hajjaf dari

al-A’masy dari

Athiyah.

4.

-

Tabataba’i

menolak riwayat

ini karena tidak

relevan dengan

ayat.

5.

-

Menurut

Tabataba’i

riwayat ini

tertolak, riwayat

ini di Makkah

padahal secara

lahiriah ayat ini

Page 109: STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5038/1/AHMAD... · maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat

96

turun di Madinah.