studi penafsiran muhammad rasyÎd rida dalam tafsir...

110
STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL- MANÂR DAN SAYYID QUTB DALAM TAFSIR ZILÂL AL-QUR’AN TENTANG PERANG (QITÂL) FÎ SABÎL ALLÂH DALAM ALQURAN SURAH AL-BAQARAH AYAT 190, 246 DAN AN-NISA AYAT 74-75 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Oleh : Tohirin NIM : 1112034000170 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

Upload: others

Post on 13-Jun-2020

18 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-

MANÂR DAN SAYYID QUTB DALAM TAFSIR FÎ ZILÂL AL-QUR’AN

TENTANG PERANG (QITÂL) FÎ SABÎL ALLÂH DALAM ALQURAN

SURAH AL-BAQARAH AYAT 190, 246 DAN AN-NISA AYAT 74-75

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh :

Tohirin

NIM : 1112034000170

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

Page 2: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi
Page 3: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

vi

STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR

AL-MANÂR DAN SAYYID QUTB DALAM TAFSIR FÎ ZILÂL AL-

QUR’AN TENTANG PERANG (QITÂL) FÎ SABÎL ALLÂH DALAM

ALQURAN SURAH AL-BAQARAH AYAT 190, 246 DAN AN-NISA AYAT

74-75.

Page 4: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

vii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “Studi Penafsiran Muhammad Rasyîd Rida dalam Tafsir

Al-Manâr dan Sayyid Qutb dalam Tafsir Fî Zilâl al-Qur’an tentang Perang

(Qitâl) Fî Sabîl Allâh dalam Alquran Surah al-Baqarah Ayat 190, 246 dan an-

Nisa Ayat 74-75” diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Universitas (UIN) Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam ujian munaqosah

pada 23 Juli 2019 di hadapan dewan penguji. Skripsi ini telah diterima sebagai salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag.) pada Program Studi

Ilmu al-Qur`an dan Tafsir.

Anggota,

Page 5: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada

alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam Surat Keputusan Rektor

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor 507 Tahun 2017 tentang Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi).

A. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

b Be ب

t Te ت

ts Te dan es ث

j Je ج

h Ha dengan garis bawah ح

kh Ka dan ha خ

d De د

dz De dan zet ذ

r Er ر

z Zet ز

s Es س

sy Es dan ye ش

s Es dengan garis bawah ص

d De dengan garis bawah ض

t Te dengan garis bawah ط

z Zet dengan garis bawah ظ

Koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع

gh Ge dan ha غ

f Ef ف

q Qi ق

Page 6: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

vi

k Ka ك

l El ل

m Em م

n En ن

w We و

h Ha هـ

Apostrof ` ء

y ye ي

B. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari

vokal tunggal dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih

aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Voka Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a Fathah

i Kasrah

u Dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuannya adalah sebagai berikut:

Tanda Voka Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي ai a dan i

و au a dan u

C. Vokal Panjang

Alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab dilambangkan

dengan harakat dan huruf, ketentuannya adalah sebagai berikut:

Tanda Voka Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ا ــ â a dengan topi di atas ــ

ي ـــ ــ î i dengan topi di atas ــ

ــ ــ و ــ û u dengan topi di atas

Page 7: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

vii

D. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu alif dan lam, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah

maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-

dîwân.

E. Syaddah (Tasydid)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang

yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ( -tidak ditulis ad (الض ر و ر ة

darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

F. Ta Marbûtah

Transliterasi untuk ta marbûtah ada dua, yaitu: ta marbûtah yang hidup atau

mendapat harkat fathah, kasrah atau dammah maka transliterasinya adalah /t/.

Sedangkan ta marbûtah yang mati atau mendapat harkat sukûn, transliterasinya

adalah /h/.

Jika pada kata yang berakhir dengan ta marbûtah diikuti oleh kata yang

menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta

marbûtah ditransliterasikan dengan ha /h/.

G. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (`) hanya berlaku bagi

hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal

kata maka ia tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.

Contoh:

ء ي

syai`un : ش

ت ر م umirtu : أ

Page 8: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

viii

H. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih

aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang

berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain

untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama

diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis

dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau

kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî,

al-Kindi bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam

alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak

tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka

demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari

dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya

berasal dari bahasa Arab. Misalnya, Abdussamad al-Palimbani tidak ditulis ‘Abd

al-Samad al-Palimbânî, Nuruddin al-Raniri tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

I. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)

ditulis secara terpisah. Berikut adalah contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam

bahasa Arab dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

اذ ت س

ب ال ه

dzahaba al-ustâdzu ذ

م للا ك ر ث

ؤ yu`tsirukum Allâh ي

ة ي ر

ص ع ال

ة ك ر ح

al-harakah al-‘asriyyah ال

للا

ل إ ه ل إ

ن ل

د أ ه

ش

asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أ

ح ال ك الص ل ا م

ن

ل و maulânâ malik al-sâlih م

Page 9: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

ix

ABSTRAK

TOHIRIN

Studi Penafsiran Muhammad Rasyîd Rida dalam Tafsir al-Manâr dan Sayyid

Qutb dalam Tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân tentang Perang (Qitâl) fî Sabîl Allâh

dalam Alquran surah al-Baqarah Ayat 190, 246 dan an-Nisa Ayat 74-75.

Skripsi ini mencoba mengomparasikan penafsiran dua mufassir modern,

yakni Muhammad Rasyîd Rida dalam tafsirnya al-Manâr dan Sayyid Qutb dalam

tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân tentang perang (qitâl) fî sabîl allâh dalam Alquran. Kedua

mufassir ini dan tafsirnya penting untuk dikaji, terutama tentang bagaimana

pandangan keduanya mengenai perang (qitâl) fî sabîl allâh dalam Alquran. Sebab,

meski dikategorikan hidup dalam satu masa dan tempat, namun pada perjalanannya,

keduanya memiliki corak pemikiran yang berbeda, terutama yang berhubungan

dengan jihad dan perang. Sebagai murid Abduh, Rida dikenal lebih modernis

dengan ide-ide pembaharuannya, Berbeda dengan Qutb. Sebagai salah satu tokoh

penting dalam organisasi Ikhwanul Muslimin, Qutb dikenal lebih progresif dan

radikal.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan. Untuk itu digunakan

bahan-bahan kepustakaan dengan sumber primer yakni kitab al-Manâr dan Fī Zilâl

Qur’an. dan beberapa sumber-sumber primer seperti tesis, skripsi, dan artikel

jurnal. Dalam mengolah data, penulis lebih dulu mengumpulkan ayat-ayat dalam

Alquran yang menyebut dan membahas qitâl dan kata fî sabîl allâh dalam Alquran.

Dari kedua kata itu, kemudian penulis mengumpulkan ayat yang menyebut

keduanya dalam satu ayat.

Dan, berdasarkan empat ayat yang dikaji dalam skripsi ini, yakni dalam

surah al-Baqarah [2] ayat 190, 246, an-Nisa [4] ayat 74-75, menemukan bahwa

keduanya tak memiliki perbedaan signifikan dalam memaknai perang (qitâl) fî sabîl

allâh dalam Alquran. Baik Rasyîd Rida maupun Sayyid Qutb, rupanya sama-sama

memaknai fî sabîl allâh sebagai upaya sungguh-sungguh untuk menegakkan

kalimat Allah Swt., dan menyiarkan Islam. Bukan untuk kepentingan pribadi,

kelompok, maupun kepentingan dunia. Namun, perbedaan cukup terlihat

bagaimana dalam beberapa penafsiran, Sayyid Qutb begitu tegas menafsirkan

perintah perang dalam Islam. Berbeda dengan Rasyîd Rida, yang meski tegas

namun masih cukup moderat.

Kata kunci: Qitâl, Fî Sabîl Allâh, Alquran, Tafsir al- Manâr, Tafsir Fī Zilâl Qur’an.

Page 10: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

x

KATA PENGANTAR

يمٱ لرنمحٱ لله ٱ مسب لرحهSegala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. atas segala

rahmat dan kehendak-Nya, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan.

Selawat dan salam semoga selalu tercurah kepada manusia paling sempurna,

junjungan semesta alam, pembimbing umat manusia, yakni Nabi Muhammad Saw.

Keselamatan semoga selalu menyertai keluarga, sahabat, dan para pengikutnya.

Semoga kita selalu mendapat syafaat darinya, baik di dunia maupun kelak di

akhirat.

Penulis sadar sepenuhnya skripsi ini tidak akan selesai tanpa bimbingan,

arahan, motivasi, dan kontribusi banyak pihak. Oleh karenanya, ucapan terimakasih

yang tulus dan tak terbilang, penulis tujukan kepada para dosen, keluarga, sahabat,

teman, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Maka, pada kesempatan

ini penulis mengucapkan terimakasih setulus dan sebanyak mungkin kepada:

1. Segenap sivitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayaullah

Jakarta: Ibu Rektor Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A.

beserta jajarannya; Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Yusuf Rahman, M.A.

beserta jajarannya; Ketua Program Studi Ilmu Alquran dan Tafsir periode

sebelumnya Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A. dan Sekretaris Jurusan Ibu Dra.

Banun Binaningrum, M. Pd; dan Ketua Program Studi Ilmu Alquran dan

Tafsir yang baru menjabat Eva Nugraha, M. Ag, dan Sekretaris Jurusan

Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH.

2. Bpk, Drs. H. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A. selaku dosen pembimbing

akademik sekaligus pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan

waktu agar skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Seluruh dosen dan karyawan Fakultsa Ushuluddin UIN Jakarta yang banyak

membantu penulis selama menempuk studi.

4. Kedua orang tua saya, yang kepada keduanya saya akan selalu menaruh

hormat. Dan akan terus menjadi orientasi hidup saya.

5. Kepada adik, semoga terus sehat dan kuat.

Page 11: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

xi

6. Kelurga pesantren Miftahul Mutaallimin dan seluruh pesantren Babakan

Ciwaringin Cirebon.

7. Kepada keluarga besar Ikatan Mutakharrijin Madrasah Aliyah Negeri

(IMMAN), Babakan Ciwaringin Cirebon, Cabang Jakarta. Terimakasih telah

menemani selama penulis menempuh studi.

8. Teman-teman IMMAN Jakarta angkatan 2012.

9. Teman-teman di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers

Mahasiswa (LPM) Institut. Teman-teman seangkatan 2013, Syah Rizal,

Erika, Nur Hamidah, Maulia. Terimakasih sudah menemani saya belajar di

sana.

10. Teman-teman Mawar Institut.

11. Teman-teman KBEA di Jogja maupun di Jakarta, terimakasih sudah banyak

memberikan ilmu di luar kelas. Kepada Aditia Purnomo, rekan yang

kepadanya saya akan selaku ingat.

12. Isty Puspitasari, terimakasih banyak sudah banyak menemani dan memberi

semangat sejauh ini.

13. Kepada semua sahabat, teman, rekan, yang tidak bisa saya sebutkan satu

persatu.

Semoga Allah Swt. memberi balasan berlipat kepada semua pihak atas

bantuan, dorongan, kebaikannya kepada penulis selama ini. Semogra skripsi ini

dapat bermanfaat. Amin

Ciputat, 15 Juli 2019

Tohirin

Page 12: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

xii

DAFTAR ISI

PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................................. v

ABSTRAK ................................................................................................ ix

KATA PENGANTAR .............................................................................. x

DAFTAR ISI ........................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 7

C. Batasan dan Rumusan Masalah ...................................................... 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 7

E. Kajian Terdahulu ............................................................................ 8

F. Metodologi Penelitian .................................................................... 11

G. Sitematika Penulisan ...................................................................... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERANG

A. Pengertian Perang (Qitâl) .............................................................. 15

B. Dasar Hukum Perang (Qitâl) ......................................................... 18

a. Perintah Berperang dalam Alquran .......................................... 18

b. Larangan Berperang dalam Alquran ......................................... 22

C. Tujuan Perang (Qitâl) ..................................................................... 26

D. Sejarah Perang (Qitâl) ................................................................... 28

E. Asbâb al-Nuzul Ayat-ayat Qitâl ...................................................... 34

BAB III RIWAYAT HIDUP M. RASYÎD RIDA DAN SAYYID QUTB

A. Riwayat Hidup M. Rasyîd Rida

a. Biografi Singkat dan Latar Belakang Pendidikan ..................... 40

b. Pemikiran M. Rasyîd Rida ........................................................ 44

c. Karya dan Tafsir ...................................................................... 47

d. Metode, Sumber, dan Corak Penafsiran .................................... 50

B. Riwayat Hidup Sayyid Qutb

a. Biografi Singkat dan Latar Belakang Pendidikan ..................... 51

b. Pemikiran Sayyid Qutb ............................................................. 54

Page 13: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

xiii

c. Karya dan Tafsir ...................................................................... 57

d. Metode, Sumber, dan Corak Penafsiran .................................... 61

BAB IV ANALISIS KOMPARATIF PEMIKIRAN M.

RASYÎD RIDA DAN SAYYID QUTB

A. Penjelasan Kata

a. Tafsir Ayat Qitâl dalam Alquran Menurut Mufassir ............... 62

b. Tafsir Ayat Fî Sabîl Allâh dalam Alquran

Menurut Mufassir ................................................................... 66

B. Tafsir Perang (Qitâl) Fî Sabîl Allâh

Menurut M. Rasyîd Rida ............................................................... 72

C. Tafsir Perang (Qitâl) Fî Sabîl Allâh

Menurut Sayyid Qutb .................................................................... 77

D. Persamaan dan Perbedaan Penafsiran M. Rasyîd Rida

dan Sayyid Qutb Tentang Perang (Qitâl) Fî sabîl Allâh

dan Pendapat Ulama Lain

a. Persamaan Penafsiran M. Rasyîd Rida dan Sayyid

Qutb Tentang Perang (Qitâl) Fî Sabîl Allâh ........................... 83

b. Perbedaan Penafsiran M. Rasyîd Rida dan Sayyid

Qutb Tentang Perang (Qitâl) Fî Sabîl Allâh ........................... 85

E. Relevansi Perang (Qitâl) Fî sabîl Allâh dalam Alquran

dengan Konteks Sekarang ............................................................. 86

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ...................................................................................... 90

B. Saran ............................................................................................ 90

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 92

Page 14: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perang, dalam Alquran sering terkonotasi dengan istilah qitâl dan jihâd.

Kata qitâl berasal dari kata qâtala-yuqâtilu-qitâl, sebagaimana banyak disebut

dalam beberapa ayat dalam Alquran, yang menyeru peperangan terhadap orang-

orang yang bersikap memusuhi Islam.1 Tepatnya sulasi majid satu huruf bab fi’âl

dari kata qâtala yang memiliki tiga pengertian: pertama, berkelahi melawan

seseorang. Misalnya, dalam QS. al-Baqarah [2]: 190-193. Sedangkan jihâd,

Alquran memakainya sebagai istilah mengerahkan segenap tenaga untuk

menyebarkan Islam dan membelanya.2

Dalam sejarah Islam, umat Islam telah terlibat dengan banyak peristiwa

peperangan, besar maupun kecil. Peperangan-peperangan itu umumnya banyak

terjadi di awal-awal penyebaran Islam, termasuk sejak zaman Rasulullah Saw.

Tercatat, tak kurang dari 19 sampai 21 peperangan terjadi di masa Rasulullah Saw.

Jumlah itu adalah total dari perang yang langsung dipimpin oleh Nabi

(perang ghazwa). Bahkan ada yang menyebut 27 kali. Jumlah itu belum termasuk

perang yang tidak dipimpin oleh nabi, atau terjadi pasca Nabi wafat yang disebut

perang sariyyah dan jumlahnya sampai 35 sampai 42 kali.3

Menurut Gamal al-Banna, usaha untuk memahami ayat qitâl tidak akan

tercapai dengan baik tanpa memahami konteks dan sebab-sebab yang

melatarbelakangi turunnya sebuah ayat. Perpindahan Nabi dari Mekah ke Madinan

bukan semata dimaknai sebagai perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Akan

tetapi, ada banyak aspek yang perlu dikaji dalam salah satu peristiwa besar dalam

sejarah umat Islam tersebut, baik dari kondisi sosio-kultural masyarakat, hingga

1 Ibn Manzur, Lisân al- ‘Arab, (Qâhirah: Dâr al-Ma’ârif, t.t), Jilid. V, h. 3531. 2 Muhammad Imarah, Hadza’ Huwa al-Islam: al-Samahat al-Islamiyah, Haqiqah al-

Jihad wa al-Qital al al-Ihrab (Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, 2005), h. 52. 3 A. Lalu Zaenuri, Qitâl dalam Perspektif Islam, JDIS Vol. 1, No. 1.

Page 15: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

2

politik. Meski pada akhirnya, kesimpulan yang bisa ditarik dari hijrah itu adalah

revolusi dalam metode penyebaran Islam oleh Nabi.4

Sementara beberapa peristiwa perang besar yang terjadi dan langsung di

pimpin oleh Nabi Saw., antara lain Perang Badar5, Perang Uhud, Perang Mu’tah,

Perang Ahzab, dan Perang Tabuk.

Lalu, apa yang melatarbelakangi banyak peperangan yang dilakukan dan

dialami oleh umat Islam, bahkan hingga kini? Dalam sebuah hadisnya, Nabi Saw.

bersabda, “Barang siapa berperang agar kalimat Allah tegak berdiri maka dia

berada di jalan Allah”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan lainnya). Dengan

demikian, perang dilakukan semata-mata karena Allah dan demi kejayaan agama-

Nya di Bumi. Sebagian mufassir berpendapat, seorang muslim yang berperang

harus mementapkan hatinya di jalan Allah sehingga ia harus bersungguh-sungguh

mengalahkan musuh. Oleh karena itu, seorang mujahid tidak diperbolehkan untuk

mati sia-sia dalam perang.6

Yusuf al-Qardhawi memberikan definisi berbeda antara jihad, peperangan

(al-qitâl), dan perang (al-harb). Peperangan (al-qitâl), menurut al-Qardhawi

menjadi bagian dari jihad, yakni berperang menggunakan senjata untuk

menghadapi musuh. Pemaknaan jihad sebetulnya didefinisikan sebagai

mencurahkan kemampuan dan tenaga.

Namun, pemaknaan tersebut direduksi menjadi peperangan (al-qitâl) untuk

menolong agama dan membela kehormatan umat. Peperangan tidak disebut sebagai

syariat kecuali bila dilakukan di jalan Allah Swt. Sementara perang (al-harb)

didefinsikan, satu kelompok yang menggunakan senjata dan kekuatan materi untuk

melawan kelompok lain. Makna jihad berkaitan dengan agama yang letak

perbedaannya pada tujuan, motif, akhlak, dan batasan. Sedangkan makna perang

4 Gamal al-Banna, Jihad, Terj. Tim Mata Air Publishing, Pengantar: Nasiruddin Umar

(Jakarta: MataAir Publishing, 2006), h. 71 5 Perang pertama yang dijalani umat muslim dan dipimpin oleh Nabi. Beberapa pendapat

mengatakan, dalam perang itu, umat muslim berjumlah 314. Ada yang mengatakan 317. Meraka

kira-kira terdiri dari 82 sampai 86 kaum Muhajirin, 61 kabilah Khazraj. Dari jumlah itu, ada dua

ekor kuda, milik Zubair bin Awwam dan Miqdad bin Aswa al-Kindi. Ada 70 unta yang ditumpangi

secara bergantian termasuk unta yang dinaiki Rasulullah Saw. Sementara di pihak lawan, berjumlah

sepulul kali lipat, atau lebih dari 1300 pasukan. Dengan 100 kuda, dan 600 perisai. Dalam perang

ini, umat Islam menang. 6 Nasir ad-Din Abu Sa’id ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn Muhammad as-Syirazi al-Baidhawi.

Anwar at-Tanzi I wa Asrar at-Ta’wi l, (Beirut: Dâr al-Ihyâ at-Turâs al-‘Arabi, 1418 H), Juz. II h.

84.

Page 16: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

3

berkaitan dengan dunia, tujuannya ialah hegemoni, menindas atau merampas

kekayaan orang lain.7

Saddam Husein Harahap, dalam tesisnya Perang dalam Perspektif Alquran

(2016) menyebut, kata qitâl dan berbagai derivasinya, baik fi’il maupun ism disebut

sebanyak 170 kali. Salah satunya tercantum dalam QS. al-Baqarah [2] ayat 190,

sebagai berikut:

إنه ٱلله ل يب ٱلمعتدين تلونكم ول ت عتدوا وقتلوا ف سبيل ٱلله ٱلهذين ي ق

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)

janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak

menyukai orang-orang yang melampaui batas".

Sementara itu, berbicara istilah-istilah perang dalam Alquran, tak terlepas

dari ayat-ayat yang berkaitan dengan istilah qitâl. Persoalannya kemudian, ayat-

ayat yang menyebut istilah qitâl tersebut, beberapa di antaranya juga berkaitan

dengan jihad. Menurut Quraish Shihab, jihad adalah perjuangan sungguh-sungguh

dengan mengerahkan kemampuan dan kekuatan yang dimiliki seseorang untuk

mencapai tujuan, khususnya melawan musuh, atau mempertahankan kebenaran,

kebaikan, dan keluhuran.

Adapun Aquran membagi jenis-jenis perang, yakni: 1) Perang fisik, yang

beberapa kali disebut dalam Alquran seperti dalam surah an-Nisa [4]: 74, al-

Baqarah [2]: 190, an-Nisa [4]: 39. 2) Perang (jihad) lisan, atau dakwah dengan

hikmah, yakni dengan mengemukakakn hujjah dan dalil-dalil dalam Alquran.

Perintah ini tercantum dalam surah al-Furqan [25]: 52, dan at-Taubah [9]: 73. 3)

Perang (jihad) dengan hati. Jihad dengan hati adalah upaya sungguh-sungguh untuk

membimbing hati yang berpaling dari selain Allah menuju ketaatan kepada-Nya.

Perintah ini tercantum dalam surah al-Hajj [22]: 78. 4) Perang (jihad) dengan harta

benda. Perintah ini tercantum dalam surah an-Nisa [4]: 95. Dan terakhir, 5) Perang

(jihad) dengan ideologi. Menurut Abdul Bawi Ramdhun, perang ini adalah perang

untuk memengaruhi psikologis musuh8. Perintah perang ini terdapat dalam surah

al-Anfal [8]: 43-44, dan al-Hasyr [59]: 2.

7 Yusuf al-Qardhawi , Fiqih Jihad, terj. Irwan Maulana Hakim, (dkk.), h. 25-27. 8 Abdul Baqi Ramdhun, Al-Jihadu Sabi’ luna, terj. Imam Fajruddin, h. 339.

Page 17: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

4

Di Indonesia, konsep jihad yang direduksi menjadi perang (qitâl), pernah

mencuat bersamaan dengan lahirnya reformasi. Sebagian kelompok pernah

menuntut agar Indonesia memberlakukan syariat Islam. Bagi mereka, upaya

memperjuangkan penegakkan syariat Islam adalah kewajiban setiap muslim. Oleh

karenanya, jihad bagi mereka merupakan jihâd fi sabîl allâh . Wacana tentang jihad

dan konsep-konsep yang dikemukakan sedikit banyak mengalami pergeseran dan

perubahan konteks dan lingkungan masing-masing pemikir.9

Dalam sebuah riwayat dijelaskan, ketika perjanjian Hudaibiyah—

kesepakatan damai antara umat Islam dan kafir Quraisy yang salah satu isinyanya

berupa izin bagi umat Islam untuk memasuki Mekah dan menunaikan haji—para

sahabat masih khawatir kalau kaum Quraisy tidak menepati janji mereka.

Menghalangi dan memerangi mereka masuk Tanah Haram. Dalam situasi itu, Allah

Swt. telah mengizinkan untuk melawan dan berperang jika kemungkinan perjanjian

itu dilanggar oleh mereka. Perintah Allah Swt. termaktub dalam surah al-Baqarah

[2]: 190-191.10

Riwayat tersebut secara eksplisit menjadi legitimasi bahwa Islam, memang

mengizinkan perang, tapi dalam beberapa situasi. Muhammad Khair Haykal

membagi perang (qitâl) menjadi dua, yakni perang defensif dan perang ofensif.11

Perang defensif, menurut Abdul Baqi Ramdhun adalah perang yang boleh

dilakukan setelah turunnya perintah perang. Perang ini ditujukan kepada orang-

orang yang memerangi saja. Dan tidak dianjurkan kepada mereka yang tidak

memerangi Islam. Sementara perang ofensif, menurut Abdul Baqi Ramdhun,

adalah perang untuk memerangi orang-orang kafir, baik didahului maupun tidak.

Izin perang ofensif diturunkan saat kaum kafir sudah di luar batas kemanusiaan

terhadap Nabi dan umat muslim. Artinya, izin tersebut bukan kewajiban, dan

dengan kata lain memerangi kaum kafir tidak berarti wajib.12

9 Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme

Hingga Post Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 127. 10 K.H.Q. Shaleh, H.A.A. Dahlan, dkk. Asbabun Nuzul (Bandung: Diponegoro, 2009), h.

58. 11 Muhammad Khair Haykal, al-jihad wa al-Qitāl, tt., (1996), h. 789. 12 Abdul Baqi Ramdhun, Al-Jihādu sabi luna, terj. Imam Fajaruddin, Jihad adalah Jalan

Kami (Solo: Era Intermedia, 2002), h. 31.

Page 18: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

5

Sementara menurut Wahbah Zuhaili, bahwa umat Islam tidak boleh memulai

peperangan kecuali bila orang kafir lebih dulu menyerang.13 Sayyid Sabiq

menegaskan bahwa perindah perangdalam Islam adalah dalam rangka

mempertahankan diri.14 Menurutnya, perang ekspansif yang bertujuan untuk

perluasan daerah, pengaruh, dan bermotivasi untuk mengumpulkan harta atau

memperluas kekuasaan yang menyebabkan kemusnahan suatu umat atau peradaban

adalah terlarang.15

Al-Habasyi, seorang ulama modern asal Libanon berpendapat, perang dalam

Islam yang bersifat mempertahankan diri (defensif), agama maupun tanah air, jelas

bertentangan dengan usul al-syari’ah; Alquran, hadis, ijma’ maupun fakta sejarah.

Misalnya pada Alquran surat at-Taubah [9] ayat 29:

ل يدينون دين لوا ٱلهذين ل ي ؤمنون بٱلله ول بٱلي وم ٱلخر ول ير مون ما حرهم ٱلله ورسولهۥ و قت غ وهم ٱلق من ٱلهذين أوتوا ٱلكتب حته ي عطوا ٱلزية عن يد رون ص

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)

kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan

oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar

(agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka,

sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan

tunduk”

Menurut al-Habasyi, QS. al-Taubah [9] ayat 29 menjelaskan kewajiban

memerangi orang-orang kafir, baik mereka menyerang maupun tidak.16 Sebab, ayat

tersebut secara umum memerintahkan memerangi orang-orang yang tidak beriman

kepada Allah dan hari akhir, tidak mengharamkan sesuatu yang diharamkan oleh

Allah dan Rasul-Nya, dan tidak memeluk agama yang benar, kecuali apabila

mereka maumembayar jizyah.

13 Wahbah Zuhayli, Atsar al-Harb fi-alFiqh al-Islami (Bairut: Dar al-Fikr, t.t) h. 106. 14 Sayyid Sabiq, Anasir al-Quwwah fi al-Islam, terj. Muhammad Abday Ratami

(Surabaya: Toko Nabhana, 1981), h. 272-274. 15 Sayyid Sabiq, Anasir al-Quwwah fi al-Islam, terj. Muhammad Abday Ratami, h. 272. 16 Al-Habasyi, Mukhtasar Bughyah al-Talib li Ma’rifati ‘ilm al-Din al-Wajib, (Bairut:

Dar al-Masyari: 2008), h. 205.

Page 19: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

6

Pertannyaannya, mengapa dua konsep mengenai perang (qitâl) itu bisa lahir,

dan pada perjalanannya, kemudian melahirkan dua kelompok Islam yang hari ini

kita kenal dengan kelompok moderat dan ekstremis. Keduanya, mempraktikkan

model keislaman yang berbeda dan saling menolak pemahaman masing-masing,

mengenai konsep Islam yang ramah dan toleran, dengan yang keras dan eksplosif.

Skripsi ini mencoba mengkaji secara komprehensif dua ulama dan karyanya,

yang dalam perjalanannya telah menjadi poros keislaman yang mempengaruhi

corak praktik keislaman, bukan hanya di Indonesia bahkan umat Islam di seluruh

dunia: yakni Rasyîd Rida dalam tafsir al-Manâr dan Sayyid Qutb dalam tafsir Fî

Zilâl al-Qur’ân.

Lewat karyanya, kedua ulama itu telah menandai lahirnya corak pandangan

keislaman yang agak berbeda, khususnya mengenai jihad dan qitâl. Meski

keduanya besar dan berada dalam waktu dan kondisi sosial budaya sama, yakni di

Mesir, beberapa pandangan Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb dinilai berbeda,

khususnya mengenai hubungan agama dan politik. Rasyîd Rida lewat tafsir al-

Manâr lebih menekankan pandangan moderat tentang konsep jihad. Sedangkan

Sayyid Qutb, dalam Tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân hingga kini menjadi pegangan

kelompok fundamentalis atau ekstremis, dalam merepresentasikan konsep jihad

dan perang. Beberapa faktor itulah yang menjadi alasan pemilihan dua ulama itu

dan karyanya untuk diangkat menjadi tema dalam skripsi ini.

Dalam pandangan Sayyid Qutb, jihad adalah perang ofensif melawan musuh

Islam. Ia juga memisahkan secara total hubungan muslim dan non muslim.17

Pandangan Sayyid Qutb tentu saja dipengaruhi oleh kondisi kehidupan sosial,

politik di Mesir. Berbeda dengan Sayyid Qutb, konsep jihad inklusif, moderat, dan

progresif justru ditawarkan oleh Rasyîd Rida. Rasyîd Rida menggariskan makna

jihad dan perang, adalah sikap defensif untuk menunjukkan kekuatan Islam yang

ramah namun tetap revolusioner. Maka penelitian ini akan mencoba

mengomparasikan kedua ulama modern tersebut dalam menafsirkan ayat perang

(qitâl) fî sabîl allâh dalam Alquran surah al-Baqarah [2] ayat 190, 246 dan an-Nisa

[4] ayat 74-75.

17 Qutb, Sayyid, Tafsir fi Zilāl al-Qur’an, (Beirut, Darusy Syuruq, 1992), h 228.

Page 20: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

7

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi beberapa

masalah sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan definisi tentang perang (qitâl) fî sabîl allâh di antara para

mufassir.

2. Sebagai dua ulama besar modern, Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb memiliki

dua pandangan yang cukup berbeda dalam menafsirkan perang (qitâl) fî sabîl

allâh dalam Alquran.

3. Terdapat banyak definisi tentang kata fî sabîl allâh dalam Alquran di antara

para mufassir.

4. Sebagai dua ulama besar modern, Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb memiliki

pandangan berbeda dalam mendefinisikan makna fî sabîl allâh dalam

Alquran.

5. Kini, banyak kelompok yang menggunakan ayat perang dalam Alquran

untuk melegitimasi tindak kekerasan atas nama agama.

6. Selain perang jihad, banyak kelompok yang memaknai kata fî sabîl allâh

dalam Alquran hanya bermakna perang.

C. Batasan dan Rumusan Masalah

Dengan mempertimbangkan identifikasi masalah di atas, penulis oleh karena

itu membatasi skripsi ini pada kajian penafsiran perang (qitâl) fî sabîl allâh dalam

Alquran surah al-Baqarah [2] ayat 190, 246 dan an-Nisa [4] ayat 74-75, dan

dirumuskan dalam rumusan masalah berikut:

• Bagaimana M. Rasyîd Rida dalam tafsir al-Manâr dan Sayyid Qutb dalam

tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân menafsirkan perang (qitâl) fî sabîl allâh dalam

Alquran surah al-Baqarah [2] ayat 190, 246 dan an-Nisa [4] ayat 74-75?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dan manfaat yang hendak

dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui lebih banyak kajian tentang perang fî sabîl allâh dalam

Alquran, dan pendapat para mufassir terhadap topik tersebut.

Page 21: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

8

2. Mengetahui pemikiran M. Rasyîd Rida dalam tafsir al-Manar dan Sayyid

Qutb dalam tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân tentang perang fî sabîl allâh dalam

Alquran.

3. Mengetahui ayat-ayat yang memerintahkan dan menjelaskan perang

menurut Islam dan pendapat para mufassir terhadap ayat tersebut.

4. Penulisan skripsi ini diharapkan memberi sumbangsih bagi pihak-pihak

yang hendak mendalami isu tentang studi perang dalam Islam, khususnya

dalam pandangan dua ulama besar dalam Islam yakni M. Rasyîd Rida dan

Sayyid Qutb.

5. Penulisan skripsi ini sekaligus sebagai penyelesaian tugas akhir dan syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag.).

E. Kajian Terdahulu

Konsep perang (qitâl) dalam Alquran memang bukan kajian baru. Penulis juga

telah menemukan beberapa karya ilmiah, baik skripsi maupun tesis dan buku yang

mengkaji tentang isu ini. Akan tetapi, penulis tidak menemukan judul yang serupa

dengan yang akan diangkat dalam skripsi ini. Berikut beberapa penelitian

sebelumnya yang pernah membahas perang (qitâl) dalam Alquran, khususnya

menurut penafsiran para ulama.

Pertama, skripsi berjudul “Etika Perang (Qitâl) dalam Surat al-Baqarah Menurut

M. Abduh dan Rasyîd Rida” karya Gunawa Jati Nugroho, Fakultas Ushuluddin,

UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008. Skripsi ini berbicara konsep perang

menurut Rasyîd Rida khususnya dalam tafsir Al-Manar. Melalui skripsinya,

Gunawan menjelaskan bahwa etika perang dalam Islam menurut kedua ulama itu

adalah perang defensif, di mana perang (qitâl) hanya boleh dilakukan sebagai

bentuk pertahanan. Selain itu, skripsi ini juga menjelaskan etika berperang,

sebagaimana diatur dalam Alquran. Antara lain, tidak boleh melukai orang tua,

perempuan, atau anak-anak yang tidak terlibat aktif dalam sebuah peperangan.

Perang juga tidak boleh merusak sarana dan fasilitas sosial.

Kedua, skripsi berjudul, “Nilai-Nilai Etis dalam Ayat Perang (Penafsiran Ayat-

Ayat Perang dalam Alquran)” karya Azam Anhar, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan

Kalijaga, Yogyakarta 2015. Lewat skripsinya, Azam menghimpun beberapa ayat

dalam Alquran yang menggunakan lema dan istilah perang (dalam bahasa Arab)

Page 22: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

9

lalu mengkajinya dalam empat sudut pandang, yakni aspek kemanusiaan,

perdamaian, persatuan, dan kesatria. Skripsi ini juga menjelaskan nilai-nilai etis

atau etika beperang berperang dalam berperang, seperti tidak melukai perempuan,

orang tua, dan anak-anak.

Ketiga, tesis berjudul, “Perang dalam Perspektif Alquran (Kajian Terhadap

Ayat-Ayat Qitâl)” karya Saddam Husein Harahap, Fakultas Ushuluddin, UIN

Sumatera Utara, Medan, 2016. Tesis ini secara spesifik mengkaji konsep qitâl

dalam Alquran menurut enam ulama dan tafsirnya, antara lain M. Quraisy Shihab

dalam Tafsir al-Misbah, Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, Al-Jashash

dalam Ahkam Al-Qur’an, ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, al-Qurthubi dalam al-

Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an, dan az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq

Ghawamid at-Tanzil. Selain perang (qitâl), tesis ini juga mengkalsifikasikan

beberapa istilah lainnya seperti ghazwah, sariyyah, dan jihad yang lebih general.

Saddam juga menjelaskan hukum, etika, dan faktor-faktor yang membolehkan

perang dalam Alquran.

Keempat, skripsi berjudul, “Penafsiran Qitâl dalam Tafsir Sufi: Studi atas Tafsir

Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi” karya Muhammad Juaeni, Fakultas Ushuluddin,

UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008. Skripsi ini melihat menafsiran qitâl dari

tafsir bercorak sufi. Menurutnya, ada keluasan makna yang menarik, yaitu qitâl

yang mengandung makna variatif berupa mencabut jiwa, nafsu amarah, nafsu setan,

pedang para mujahid, pedang cinta, lauhul azal, dan lain-lain.

Kelima, skripsi berjudul, “Makna Fî Sabîl Allâh dalam Alquran (Suatu Kajian

Tafsir Maudhu’iy)” karya Jamalia Idrus, Fakultas Ushuluddin, UIN Sultan Syarief

Kasim, Riau, 2011. Skripsi ini mengklasifikasikan makna fî sabîl allâh dalam dua

definisi: makna sempit dan luas. Dalam makna sempit, Jamalia mengutip pendapat

Ibnu Katsir, bahwa makna fî sabîl allâh didefinisikan sebagai jihad, berjuang di

jalan Allah Swt. Sementara dalam makna yang lebih luas, skripsi ini antara lain

mengutip pendapat antara lain al-Maraghi dan Buya Hamka, bahwa fî sabîl allâh

meliputi semua jenis kebaikan, ketaatan, atau semua jenis kegiatan sosial. Jamalia

secara khusus juga mengkritisi perbedaan pendapat pendapat di kalangan mufassir

dalam memaknai surat at-Taubah ayat 60 yang juga menyebut istilah fî sabîl allâh.

Page 23: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

10

Keenam, artikel18 berjudul “Islam dan Radikalisme: Telaah atas Ayat-ayat

“Kekerasan dalam Alquran” karya Dede Rodin, UIN Walisongo, Semarang, 2016.

Dalam makalahnya, Dede menegaskan bahwa jihad atau perang (Qitâl) berbeda

dengan aksi radikalisme. Tujuan utama jihad atau qitâl adalah welfare

(kesejahteraan), sementara radikalisme adalah warfare (peperangan). Maka, jihad

mestinya menjadi tanggung jawab semua muslim karena bertujuan positif.

Sementara itu, qital bersifat kondisional, temporal atau pilihan terakhir setelah tidak

ada cara lain kecuali perlawanan secara fisik. Selain itu, perang juga harus

memenuhi berbagai persyaratan yang sangat ketat.

Ketujuh, artikel19 berjudul “Konsep Perang dalam Islam Menurut Al-Habasyi:

Studi Kritis Terhadap Tafsir Liberal Ayat-ayat Perang” karya Asyhari, Fakultas

Tarbiyah, STAI Hasanuddin, Pare, 2015. Tulisan hendak membuktikan kekeliruan

pendapat dari kelompok ekstrem kiri (liberal) yang memahami konsep perang

dalam Islam adalah defensif, bukan ofensif. Menurut al-Habasyi perang ofensif

dibolehkan dalam Islam. Hal ini berdasarkan penjelasan Alquran, hadis, maupun

ijma’. Meski demikian perang dalam Islam juga harus memenuhi pra syarat yang

ketat. Sehingga dalih apapun yang digunakan, dalam aksi terorisme tidak dapat

dibenarkan.

Kedelapan, artikel20 berjudul “Jihad dan Hukum Perang dalam Islam” karya

Muflihatul Khairah, Fakultas Syariah, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2008. Jurnal

ini secara spesifik membahas relevansi antara jihad dan perang. Menurut Muflihatul

dalam kesimpulan makalahnya, jihad merupakan terminologi hukum Islam dalam

upaya seorang muslim melindungi dan mempertahankan agama dan masyarakat.

Sementara qitâl fî sabîl allâh merupakan bagian dari jihad yang bersifat defensif.

Kesembilan, buku Fiqih Jihad, yang diterjemahkan oleh Irwan Maulana Hakim,

(dkk.) karya Yusuf al-Qardhawi, Bandung, Mizan, 2010. Qardhawi dalam buku ini

membahas secara komprehensif jihad dalam tinjauan yang kompleks. Mulai dari

pengertian, konsep, macam, dan tujuan pada konteks hingga membawanya pada

18 Rodin, Dede, Islam dan Radikalisme: Telaah atas Ayat-ayat “Kekerasan dalam

Alquran, ADDIN, vol. 10, No. 1, Februari 2016. 19 Asyhari, Konsep Perang dalam Islam Menurut Al-Habasyi: Studi Kritis Terhadap

Tafsir Liberal Ayat-ayat Perang, Inovatif: Vol. 1 No. 1 tahun 2015. 20 Khairah, Muflihatul, Jihad dan Hukum Perang dalam Islam, Al-Qanun, Vol. 11 No. 2,

Desember 2008.

Page 24: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

11

konteks masyarakat sekarang. Bahasan perang menjadi tema terkait pada setiap

bab. Qardhawi menjelaskan perang antara melawan dan menyerang; kapan

dilakukan; ia membahas secara khusus bab penafsiran ayat-ayat perang serta

hadisnya.

Kesepuluh, buku Jihad dalam Alquran karya Muhammad Chirzin, Mitra

Pustaka, Yogyakarta, 1997. Buku tersebut menelaah jihad dalam pengertian umum

dari sisi normatif, historis, dan prospektif. Termasuk jihad perang yang terpaksa

dilakukan oleh umat Islam. Ia menyinggungnya dalam aspek historis secara singkat

dalam dua bab: jihad periode Mekkah dan periode Madinah.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian terhadap perang (qitâl) dalam beberapa

karya di atas, posisi penelitian akan fokus pada makna perang (qitâl) fî sabîl allâh

menurut dua ulama besar yang telah mempengaruhi corak keberislaman dalam

masyarakat. Selain kajian tafsir, skripsi ini juga akan membahas kajian historis yang

melatarbelakanginya.

F. Metodologi Penelitian

Dalam suatu karya ilmiah, termasuk skripsi, metode penelitian merupakan unsur

penting yang menentukan hasil dalam sebuah penelitian atau karya ilmiah tersebut.

Metode yang digunakan dalam skripsi ini meliputi seluruh perkembangan

pengetahuan dan tahapan dari awal hingga akhir; bagian khusus maupun umum dari

keseluruhan bidang dan obyek penelitian.21

Selanjutnya, untuk memfokuskan penelitian makna perang fî sabîl allâh dalam

kitab tafsir al-Manar dan tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân, akan menggunakan tahap

penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah kajian

pustakan (library research) yang fokus pada aspek pemikiran, sejarah, dan

beberapa tokoh lain yang berpengaruh pada kajian ini. Oleh karenanya, untuk

mendukung jenis penelitian ini, penulis mengumpulkan buku-buku primer

dan sekunder yang berkaitan dan mendukung studi penulisan ini.

21Anton Baker, Metode-metode filsafat, Jakarta, Ghalis Indonesia, 1984, h. 10.

Page 25: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

12

2. Pendekatan Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode literal,

yaitu dengan terlebih dulu membaca dan menelaah buku-buku yang

berkaitan dengan objek penelitian.

Sedangkan literatur yang dijadikan sumber data dalam melakukan

penelitian ini adalah:

a. Sumber Primer

Sumber primer adalah referensi utama yang digunakan dalam penelitian

ini, yaitu kitab tafsir al-Manar karya M. Rasyîd Rida dan tafsir Fî Zilâl al-

Qur’ân karya Sayyid Qutb.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah buku-buku, jurnal, atau karya ilmiah lain yang

membahas isu serupa yang dapat mendukung studi dalam skripsi ini.

c. Teknik Pengolahan Data

Dalam mengolah data yang berkaitan dengan fokus kajian makna perang

fî sabîl allâh dalam Alquran, penulis menggunakan beberapa tahapan

sebagai berikut:

1) Deskripsi

Deskripsi merupakan langkah awal dalam melakukan pengolahan data.

Dengan deskripsi, maka penelitian dalam skripsi ini menggunakan

penuturan dan penafsiran data yang tersedia, misalnya, mendeskripsikan

suatu kondisi yang berhubungan satu sama lain. Deskripsi juga dapat

menyajikan objek-objek atau kasus-kasus tertentu agar lebih detail.22

2) Analisis

Adanya deskripsi tentang istilah-istilah tertentu yang membutuhkan

pemahaman secara konsepsional guna menemukan pemahaman lebih

jauh, dengan melakukan perbandingan pikiran-pikiran yang lainnya inilah

22 Anton Baker dan A. Chris Zubair, Metodologi, Penelitian Filsafat, Yogyakarta,

Kanisius, 1990, h. 54.

Page 26: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

13

yang disebut dengan analisis.23 Tahap ini merupakan lanjutan dari teknik

deksipsi.

Dalam penelitian ini, studi yang hendak dianalisis bersumber dari kitab

tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan M. Rasyîd Rida dan tafsir

Fî Zilâl al-Qur’ân karya Sayyid Qutb dan derivasinya dalam Alquran.

Untuk menganalisis dan memaparkan kajian ini, skripsi ini menggunakan

metode berpikir:

a) Induksi, yakni proses penalaran dari hal-hal yang bersifat umum (proses

generalisasi).24

b) Deduksi, yaitu proses penalaran dari hal-hal yang besifat umum ke

khusus.25

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini akan memuat lima bab pembahasan di mana setiap bab terdiri dari

beberapa sub bab yang disesuaikan dengan kebutuhan dalam memberi penjelasan

secara komprehensif dan sistematis. Adapun sistematika penulisannya sebagai

berikut:

Bab pertama, pendahuluan. Bab ini memuat latar belakang, batasan, dan

rumusan masalah. Selain itu ada tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka,

metodologi penelitian yang akan digunakan, serta sistematika penulisan.

Latar belakang masalah akan memberikan deskripsi dan gambaran umum

tentang beberapa faktor yang melatarbelakangi diangkatnya penelitian dalam

skripsi ini. Kemudian, faktor-faktor tersebut akan diidentifikasi, dibatasi dan dibuat

dalam beberapa pertanyaan dalam bagian rumusan masalah. Tujuan dan manfaat

penelitian tentu berupa harapan agar kelak skripsi ini akan memberi tambahan

literatur dan bahan bacaan dalam isu-isu atau kajian-kajian serupa. Lalu disusul

dengan telaah pustaka. Dalam sub bab ini, akan dijabarkan beberapa penelitian lain

23 Louis Katsof, Pengantar Filsafat, terjemahan Soejono Soemargono, Yogyakarta, Tiara

Wacana, 1992, h. 18. 24 A. Muri Yusuf, Metodologi Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian

Gabungan,Jakarta, Prenadamedia Group, h. 19. 25 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta, Raja Grafindo Persana, 1996, hal 43-

44.

Page 27: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

14

yang sebelumnya pernah dilakukan dalam mengkaji topik serupa. Gunanya, agar

skripsi ini mendapat posisinya dalam beberapa penelitian lain tersebut, selain tentu

saja memberi tambahan literatur dalam isu ini.

Untuk mendukung penelitian ini agar berjalan dengan baik dan sistematis, maka

disusunlah metodologi penelitian. Metodologi penelitian merupakan metode yang

akan dilakukan dalam menyusun skripsi ini; jenis penelitian, sumber data, metode

olah dan analisis data. Tujuannya, agar hasil penelitian sesuai dengan kaidah yang

berlaku dan penelitian tersusun dengan baik. Sub bab terakhir dalam bab pertama

berupa sistematika penulisan. Bagian ini merupakan penjelasan ringkas dari kajian

yang akan dibahas dalam setiap bab skripsi ini. Secara sederhana, bab ini

merupakan kerangka dari seluruh penelitian isi penelitian.26

Bab kedua,definisi dan penjelasan secara umum. Bab ini akan memberi definisi

perang (qitâl ) secara umum, di samping memberi batasan pada tema ini agar hasil

penelitian bisa efektif dan efisien. Bab ini juga akan kembali meninjau bagaimana

sejarah membicarakan perang dalam sudut pandang Islam, serta bagaimana

kemudian para ulama dan mufassir memberi interpretasi berbeda mengenai hal ini.

Bab ketiga, makna perang (qitâl) fî sabîl allâh dalam pandangan M. Rasyîd

Rida dan Sayyid Qutb. Di samping memberi pandangan perang dari keduanya, bab

ini juga menceritakan riwayat hidup keduanya, mulai dari biografi, pemikiran, dan

karya-karyanya.

Bab keempat, analisis komparatif tentang makna perang (qitâl ) fî sabîl allâh

dalam Alquran. Bab ini merupakan bab inti di mana pandangan dua ulama modern

tersebut mengenai perang dalam Islam akan dijabarkan. Mulai dari persamaan,

perbedaan, hingga faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Pendalaman itu akan

dilihat dan diambil dari karya besar dua ulama itu, yakni tafsir al- Manâr dan tafsir

Fî Zilâl al-Qur’ân.

Bab kelima, kesimpulan dan saran. Bab ini adalah bagian terakhir dari hasil

penelitian skripsi ini yang akan memuat simpulan dan saran. Bagian ini akan bisa

juga berupa jawaban pokok terhadap uraian dari bab pertama hingga keempat.

Kesimpulan dan saran merupakan rekomendari dari penulis.

26 Buku pedoman Akademik Program Strata 1 Tahun 2011/2012 UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Page 28: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

15

BAB II

KAJIAN UMUM TENTANG PERANG DAN DASAR HUKUMNYA

A. Pengertian Perang (Qitâl)

Secara bahasa, perang adalah bentuk permusuhan antara dua atau beberapa

pihak. Baik antar perseorangan, kelompok, negara-bangsa melalui tentara, hingga

agama. Perang (qitâl) merupakan bentuk masdar dari kata qâtala-yuqâtilu, tepatnya

sulasi majid satu huruf bab fi’âl dari kata qâtala yang memiliki tiga pengertian:

pertama, berkelahi melawan seseorang. Kedua, memusuhi (adâhu) dan ketiga,

memerangi musuh (hârabahû al- ‘adâ’).1

Kata qitâl juga bisa berarti “meredakan” seperti contoh kalimat qatala al-barûd,

dan mencampuri sesuatu dengan yang lain, seperti contoh kalimat qataltu al—

homro bi al-mâ’i : saya mencampuri khamar dengan air.2 Kata qitâl juga salah satu

bentuk derivasi dari kata qatala yang memiliki beberapa arti sebagai berikut:

mencampur, mematikan atau membunuh, mengutuk, menolak keburukan,

menghilangkan lapar atau haus, menghina, merendahkan dan melecehkan.3

Sedangkan al-Qasimi mendefenisikan bahwa perang adalah melawan musuh

Islam berarti berjihad menghadapi mereka dengan tujuan dapat menghancurkan,

menundukkan, memaksa, atau melemahkan mereka.4

Dalam Alquran, selain al-qitâl, perang juga terjemahan dari kata al-harb dan al-

ghazwah. Namun, di antara ketiganya, kata qitâl lebih sering digunakan dalam

Alquran. Kata harb beserta derivasinya dalam Alquran disebutkan sebanyak enam

kali5, yaitu pada surah Al-Baqarah [2] ayat 279, al-Ma’idah [5] ayat 33 dan 64, al-

Anfal [8], ayat 57, at-Taubah [9] ayat 107, dan surah Muhammad [47] ayat 4.

Adapun bunyi ayat-ayat tersebut sebagai berikut:

QS. Al-Baqarah [2] ayat 279:

1 Ibn Manzur, Lisân al- ‘Arab, (Qâhirah: Dâr al-Ma’ârif, t.t), Jilid. V, h.3531. 2 Al-‘Allamah al-Râgib al- Asfahâni, Mufrâdât alfâz al-Qur’an, (Damaskus: Dâr al-Qalam,

2002), h.655-656. 3 Ibrahim Musthafa, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Maktabah asy-Syuruq ad-Daūliyyah,

t.t.), Jilid II, h.715. Lihat juga Lilik Ummu Kaltsum, Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam

(Jakarta: UIN PRESS, 2015). h. 155. 4 Al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wἷ l (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418), Juz. II, h.99. 5 Fu'ad ‘Abd al Bāqī, Mu‘jam al-Mufahras li Alfāz al-Qur'ān al-Karīm (Beirut: Dār al-

Fikr, 1994), h. 197.

Page 29: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

16

ذنوا برب تم ف لكم ر م ن فإن له ت فعلوا فأ لكم ل تظلمون ول أ ءوس ٱلله ورسولهۦ وإن ت ب مو

ون تظلم

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka

ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu

bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak

menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.

QS. al-Ma’idah [5] ayat 33 dan 64:

ؤا ٱلهذين ياربون ٱلله ورسولهۥ ويسعون ف ٱلرض فسادا أن ي قت هلوا أو ي ا جز صلهب وا أو ت قطهع إنهلك م همأيديهم وأرجل يا ولم ف ٱلخرة عذاب ف لم خزي ن خلف أو ينفوا من ٱلرض ذ ن ٱلد

عظيم

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah

dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka

dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan

bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang

demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di

akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”.

غ و بل يداه مبسوطتان ينفق كيف قالت ٱلي هود يد ٱلله مغلولة

لهت أيديهم ولعنوا با قالوا

هم ايشاء وليزيدنه كثي نا وكفرا طغينا رهب ك من إليك أنزل مها م ن ن ب وألقي وة وٱلب غضاء م ه ي ٱلعد

مة كلهما أوقدوا نر إل ي وم ٱ ل يب و ا ٱلله ويسعون ف ٱلرض فساد أطفأها ل لحرب القي ٱلله

ٱلمفسدين

“Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya

tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan

apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua

tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan

al-Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan

menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka.

Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka

sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah

memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah

tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.”

Page 30: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

17

QS. al-Anfal [8], ayat 57:

قفن ههم ف ٱلرب فشر د بم مهن خلفهم لعلههم يذهكهرون فإمها ت ث

“Jika kamu menemui mereka dalam peperangan, maka cerai beraikanlah

orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya

mereka mengambil pelajaran”

QS. at-Taubah [9] ayat 107:

ا وكفرا ضرارا ا ٱتهذوا مسجدوٱلهذين ٱلله ورسولهۥ حارب ل من ا ادص ر ٱلمؤمني وإ بي وت فريق

ذبون م لك يشهد إنه وليحلفنه إن أردن إله ٱلسن وٱلله من ق بل

“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan

masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin),

untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta

menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-

Nya sejak dahulu. Mereka Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak

menghendaki selain kebaikan". Dan Allah menjadi saksi bahwa

sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya)”.

QS. Muhammad [47] ayat 4:

ا ب عد وإمها فإذا لقيتم ٱلهذين وا ٱلوثق فإمها منه كفروا فضرب ٱلر قاب حته إذا أثخنتموهم فشد

هم ولكن ولو يشاء ٱلله لٱنتصر من لك لوا ب عضكم ب فداء حته تضع ٱلرب أوزارها ذ ب عض ل ي ب

لهم و ٱلهذين قتلوا ف سبيل ٱلله ف لن يضله أعم“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka

pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan

mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan

mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila

Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah

hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-

orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal

mereka”.

Page 31: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

18

Sedangkan Kata qitâl, dalam Alquran disebut sebanyak sembilan kali,6 yakni

pada surah al-Baqarah [2] ayat 216, 217, 246; surah Ali ‘Imran [3] ayat 121 dan

167; surah an-Nisa’[4] ayat 77; al-Anfal [8] ayat 65; al-Ahzab [33] ayat 25; dan

Muhammad [47] ayat 20. Penjabaran ayat-ayat tersebut akan dijelaskan pada bab

selanjutnya, sebab-sebab turunnya ayat qitâl dalam Alquran.

B. Dasar Hukum Perang (Qitâl)

Dasar hukum tentang perang (qitâl) berkaitan erat tentang perintah dan

larangannya dalam Alquran. Banyak ayat Alquran yang menyinggung tentang

perintah dan larangan berperang kepada Nabi Muhammad Saw., dan umat muslim.

Keduanya, selarik dengan beberapa faktor yang melatarbelakangi turunnya ayat-

ayat yang memerintahkan maupun yang melarang umat Islam dalam berperang. Di

antara beberapa alasannya adalah sebagai berikut:

a. Perintah Berperang dalam Alquran

1. Untuk membalas serangan musuh

Sebagai agama baru di tanah Arab, kedatangan Islam tentu memunculkan

kebencian dari kaum Quraisy sebagai pendahulu.7 Mereka beranggapan

bahwa agama baru yang dibawa Muhammad Saw., dianggap telah

mengganggu kepercayaan dan keyakinan mereka yang telah ada sebelumnya

dan telah diajarkan secara turun temurun di Jazirah Arab. Mereka, oleh

karenanya tak segan untuk melakukan penyerangan.8 Berbagai bentuk

serangan dan intimidasi terus diterima Nabi dan sahabat selama mereka dalam

masa-masa awal berada di Mekah. Meski demikian, Nabi tak kemudian

membalas semua perbuatan yang mereka terima, hingga pasca

perpindahannya ke Madinah, dan turunlah surah al-Baqarah [2] ayat 190

sebagai berikut:

6 Muhammad Fuâd Abd al-Bâqἷ, Mu’jam al-Mufahras li Al-fâz al-Qurân, (al-Qâhirah :

Dâr al-Hadἷs,t.t. ), h. 645. 7 Lilik Ummu Kaltsum, dkk., Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h. 159-160.

Page 32: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

19

إنه ٱلله ل يب ٱلمعت تلونكم ول ت عتدوا دين وقتلوا ف سبيل ٱلله ٱلهذين ي ق

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)

janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak

menyukai orang-orang yang melampaui batas”.

Ayat di atas turun ketika Nabi Saw. bersama para sahabat bermaksud

melaksanakan ibadah umrah ke Mekah. Sesampainya di daerah Hudaibiyah,

sebuah daerah yang sangat subur, tiba-tiba mereka dihadang oleh kaum

musyrik dan dihalangi agar tidak masuk ke kota Mekah. Akhirnya, selama

sebulan, mereka hanya berdiam di tempat mereka dihentikan.9

Kemudian kaum musyrik membuat perjanjian dan memberi kesempatan

kepada Nabi agar kembali lagi pada tahun berikutnya. Inilah yang dikenal

dengan Sulh al- Hudaibiyah (Perdamaian Hudaibiyah). Mereka berjanji akan

membiarkan Nabi Saw., bersama para sahabatnya melaksanakan ibadah

umrah selama tiga hari dan melakukan apa saja selama waktu tersebut. Nabi

menyepakati perjanjian tersebut lalu beliau kembali ke Madinah. Namun, para

sahabat Nabi meragukan komitmen kaum musyrik tersebut. Para sahabat tidak

yakin mereka akan memenuhi perjanjian tersebut. Kaum muslimin ragu kalau

mereka tidak akan menghalangi dan memerangi lagi, padahal mereka tidak

ingin berperang bulan-bulan haram dan wilayah haram. Kemudian turunlah

ayat di atas.10

2. Melindungi Kebebasan dalam Beribadah

Dalam Alquran surah al-Ma’idah [5] ayat 97 Allah Swt.

menjelaskan, bahwasanya Ia telah menjadikan Bait al-Haram (Ka’bah)

sebagai tempat untuk melaksanakan ibadah haji.

9Lilik Ummu Kaltsum, dkk., Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h.160. 10 Abu Abdillah Muhammad ibn ‘Umar al- Razi, Mafâtih al- Ghaib, (Beirut: Dâr Ihyâ’ at-

Turâṣ al- ‘Arabἷ , 1420 H/ 1990 M), Juz. V. h.287. Lihat juga al- Qurthubi, al- Jâmi’ li al- Ahkâm

al- Qur’an, ( Kairo: Dâr al- Kutub al- Misriyyah, 1964), Juz. II. H. 347. Lihat juga Lilik Ummu

Kaltsum, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h.161.

Page 33: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

20

ٱلكعبة ٱلب يت ٱلرام قيم و ل لنهاس ا جعل ٱلله لك لت علموا أنه ٱلله ئد ذ ٱلشههر ٱلرام وٱلدي وٱلقل

ت وما ف ٱلرض وأنه ٱلله بكل شيء عليم و ي علم ما ف ٱلسهم“Allah telah menjadikan Ka´bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan

dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya,

qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa

sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di

bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Dijelaskan juga dalam Tafsir Ayat-ayat Ahkam karya Lilik Ummu

Kaltsum dkk, bahwa Tanah Haram ini dijamin keamananya oleh Allah Swt.,

hal ini ditegaskan Allah dalam Alquran pada surah Ibrahim [14] ayat 35:

رهيم رب ذا ٱلب لد ءامنوإذ قال إب ٱجن بن وبنه أن ن هعبد ٱلصنام و ا ٱجعل ه“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini

(Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku

daripada menyembah berhala-berhala”.

Secara eksplisit, bahwa potongan ayat pertama di atas (QS. Ibrahim:35)

menegaskan larangan kepada kaum Muslimin untuk tidak berperang

diwilayah Tanah Haram. Akan tetapi, ayat tersebut juga memerintahkan

kepada kaum muslimin jika kaum musyrik melakukan penyerangan

ditempat itu.11

Al-Jasshash menjelaskan, bahwa Allah telah menjadikan Masjid al-

Haram sebagai tempat ibadah bagi umat beriman, tapi kaum musyrik

menjadikan rumah Allah itu sebagai tempat penempatan patung-patung

sembahan mereka. Mereka menghalngi kaum muslimin menggunakannya,

bahkan mereka mengusir keluar dari tanah kelahiran mereka.12 Pernyataan

itu berdasar pada QS. al-Baqarah [2]: 217.

11 Lilik Ummu Kaltsum, dkk., Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h.172. 12 Aẖmad ibn ‘Ali Abi Bakr al-Razi al- Jasshas. Ahkâm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Kutub

al- Ilmiyyah, 1405 H/ 1987 M), Juz. I. h. 402.

Page 34: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

21

ۦ وٱلمسجد سبيل عن وصد كبي فيه قتال قل فيه ل ٱلرام قتا لونك عن ٱلشههر يس وكفر به ٱلله

نة أكب من ٱلقتل ول ي زالون ي ق وٱلفت تلونكم حته ٱلرام وإخراج أهلهۦ منه أكب عند ٱلله

حبطت فأولئك ومن ي رتدد منكم عن دينهۦ ف يمت وهو كافر ي ردوكم عن دينكم إن ٱستطعوا

لهم لدون ف أعم ب ٱلنهار هم فيها خ يا وٱلخرة وأولئك أصح ن ٱلد“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram.

Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi

menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi

masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih

besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya)

daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai

mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran),

seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari

agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia

amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka,

mereka kekal di dalamnya”.

Segala upaya telah dilakukan oleh kaum musyrik untuk menghalangi

umat beriman dalam melakukan ibadah di Tanah Haram. Tujuannya adalah

untuk mengembalikan orang-orang yang telah beriman agar kembali ke

agama dan kepercayaan sebelumnya. Oleh karena itu, perang melawan

mereka tetap dibolehkan untuk melindungi dan memberikan kebebasan

kepada umat yang menjalankan ibadah.13

3. Untuk menegakkan kebenaran

Sebagaimana kedatangan Islam sejak awal, yakni untuk menghilangkan

tradisi-tradisi masyarakat Quraisy yang tidak buruk. Namun, niat baik

memang tak selalu diterima dengan baik. Meski sejak awal Nabi

Muhammad Saw. datang dengan wajah Islam yang santun dan tidak

sporadis, nyatanya sulit untuk diterima oleh kaum Quraisy. Bahkan

sebaliknya, Islam mendapat banyak perlakukan buruk dan intimidatif. Oleh

karenaya, kemudian Islam memerintahkan agar umat Islam bisa melawan

semua perlakuan-perlakuan itu. Dengan kata lain, Alquran kemudian

13 Lilik Ummu Kaltsum, dkk., Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h.176.

Page 35: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

22

membolehkan umat muslim untuk berperang melawan kaum Quraisy. Hal

ini sesuai dalam QS. at-Taubah ayat 12: م ل وإن نهكث وا أين هم م ن ب عد عهدهم ة ٱلكفر إنه تلوا أئمه أين لم لعلههم وطعنوا ف دينكم ف ق

ينت هون

“Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan

mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-

orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang

tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti”.

Ayat di atas menjelaskan perintah perang melawan para pemimpin kaum

musyrik. Perintah tersebut sebagai jawaban atau respons jika mereka

mengingkari janji yang telah disepakati bersama umat Islam. Oleh sebab itu,

perintah perang merupakan konsekuensi dari sikap mereka yang tidak

menepati janji. Janji yang telah dibuat di antara kaum muslimin dan kaum

musyrik adalah janji dalam melakukan kerjasama. Namun, kontrak kerja

sama tersebut dengan mudah dilanggar mereka. Ketika traktat politik

bernama Piagam Madinah dibuat Nabi Muhammad atas nama umat Islam

dan orang-orang Yahudi dan musyrik Madinah, namun dalam hitungan

bulan bahkan hari, piagam itu sudah dilanggar mereka.

Alih-alih bekerja sama membantu umat Islam sebagai sesama warga

Madinah, orang-orang Musyrik dan Yahudi Madinah itu justru membangun

aliansi dengan orang-orang musyrik Mekah memerangi umat Islam. Atas

peristiwa tersebut, maka meletuslah sejumlah peperangan antara umat Islam

dan orang Yahudi yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang Yahudi

“terlempar” dari tanah Madinah. Sejak itu hingga sekarang, Madinah tidak

lagi menjadi hunian prang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik.14

b. Larangan Berperang dalam Alquran

Pada mulanya, Islam datang dengan tanpa kekerasan. Apa yang dilakukan

Nabi Saw., di masa-masa awal penyebaran Islam di Mekah, dilakukan juga

dengan sembunyi-sembunyi dan ajakan ramah, atau dakwah bi al-hikmah. Para

14 Lilik Ummu Kaltsum, dkk., Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h.176-177.

Page 36: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

23

ahli tafsir juga sepakat bahwa sebelum periode hijrah, peperangan dilarang

dalam Islam.15 As-Shabuni menjelaskan beberapa alasannya:

1. Pada periode Mekah, kaum muslim secara kuantitas masih terbatas. Jika

dipaksakan berperang, penduduk Mekah akan enggan untuk masuk

Islam.

2. Menguji kesabaran kaum mukmin dalam melaksanakan perintah, dan

patuh pada komando Nabi Muhammad Saw. sambil menunggu izin

perang dari Allah Swt.

3. Menguji kesabaran kaum muslim dalam menerima gangguan dari para

pembenci Islam.16

Setelahnya, ayat perang kemudian turun pasca Nabi Saw., hijrah ke

Madinah. Meski begitu, hal itu tak sepenuhnya menjadi membuat kaum

muslim bebas dalam berperang. Alquran, dalam beberapa kondisi masih

melarang kaum muslim untuk berperang. Larangan-larangan tersebut sebagian

berkaitan dengan situasi tertentu, kelompok tertentu, dan di tempat tertentu:

1. Orang yang tidak melawan Islam

Kondisi ini adalah kebalikan dari situasi yang menyebabkan kaum

muslim akhirnya diizinkan untuk berperang. Jika perintah perang turun

pasca Nabi Saw., hijrah ke Madinah lantaran terus menerus mendapat

tekanan dari kaum kafir Quraisy, Islam melarang untuk lebih dulu memulai

perang. Hal ini sesuai dengan yang tercantum pada QS. Al-Baqarah

[2]:190, sebagai berikut:

إ وقتلوا ف سبيل ٱلله تلونكم ول ت عتدوا نه ٱلله ل يب ٱلمعتدين ٱلهذين ي ق

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)

janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak

menyukai orang-orang yang melampaui batas”.

15 Lilik Ummu Kaltsum, dkk., Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h.177. 16 Muẖammad ‘Ali As-Shabuni. Rawâi’ al-Bayân, Tafsἷ r Ayât al-Aẖkâm min al-Qur’ân,

(t.t: Dâr al- Kutub al-‘Ilmiyyah,1997), I.h. 212-213.

Page 37: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

24

Sebagian mufassir berpendapat, tindakan melampaui batas berarti

memerangi orang-orang yang tidak memerangi orang Islam atau berperang

bukan atas nama agama. Sementara menurut al-Mawardi, tindakan

melampaui batas berarti menyerang orang-orang musyrik yang tidak

terlibat dalam penyerangan, seperti perempuan dan anak kecil. Pendapat

tersebut juga diikuti oleh Ibnu ‘Abbad Mujahid dan Umar bin Abd al-

‘Aziz.17

2. Berperang melawan orang yang tidak terikat dengan perjanjian damai

Islam hadir sebagai agama yang membawa prinsip perdamaian. Nabi

Saw., oleh karenanya tetap memegang prinsip-prinsip ini agar tidak

memicu hal-hal yang menimbulkan perselisihan dan perdamaian. Untuk

menjaga visi ini, hal yang paling penting adalah kerjasama dan interaksi

social yang baik. Hal ini telah ditegaskan dalam QS. An-Nisa’ [4]: 90

sebagai berikut:

تل ن هم م يثق أو جاءوكم حصرت صدورهم أن ي ق نكم وب ي ب ي وكم أو إله ٱلهذين يصلون إل ق وم

تلوا ق ومهم ولو شاء لسلهطهم ي ق ت لوكم فإن ٱعت زلوكم ف لم ٱلله تلوكم وألقوا إليكم عليكم ف لق ي ق

لم فما جع لكم عليهم سبيل ٱلسه ل ٱلله“Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum,

yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang

yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk

memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu

Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka

memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi

kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak

memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka”.

Menurut Ibnu ‘Athiyah, ketentuan dalam QS. an-Nisa’: 90 terjadi di

awal Islam saat Rasulullah Saw., menyepakati gencatan senjata dengan

sebagian suku Arab. Kemudian ayat tersebut turun berkaitan dengan

17 Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muẖammad Ibn Muẖammad Ibn Habib al-Basrἷ al-

Bagdadἷ al-Mawardἷ . An-Nukât wa al-‘Uyūn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.),

Juz. I.h. 251.

Page 38: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

25

sebagian warga musyrik dari suku yang tidak memiliki perjanjian damai

dengan Rasulullah Saw., tetapi dia meminta suaka politik dan bergabung

dengan suku yang memiliki kerjasama dengan Islam.18

Ar-Razi juga menjelaskan bahwa setelah ada perintah perang kepada

kaum Muslimin melawan orang-orang kafir, ada dua kelompok dari mereka

yang dikecualikan.19 Adapun pengecualian tersebut sebagaiman dijelaskan

secara eksplisit pada ayat di atas mencakup: Pertama, adalah orang-orang

yang menjalin perjanjian berdamai dengan kaum Muslimin. Kedua, orang-

orang yang datang meminta suaka politik. Dua alasan tersebutlah, menurut

Ar-Razi, sebagai landasan untuk tidak memerangi mereka.20

3. Berperang di tempat ibadah

Islam melarang keras berperang di tempat ibadah. Sebab, tempat

ibadah adalah tempat yang disucikan dalam setiap ajaran agama.21 Tempat

ibadah, oleh karenanya harus harus bersih dari segala bentuk pertikaian

sesama manusia, terlebih peperangan dan pembunuhan. Salah satu tempat

ibadah yang oleh Alquran secara eksplisit dan tegas harus bersih dari segala

bentuk pertikaian adalah Masjidil Haram.

Sejak zaman Nabi Ibrahim As., Masjidil Haram telah menjadi tempat

ibadah kaum beriman untuk menunaikan ibadah haji dan umrah, dan

mendekatkan diri kepada Allah Swt. Oleh karenanya, Allah Swt., sangat

mengagungkan tempat tersebut dan kemudian menjaminnya sebagai tempat

yang paling dilindungi. Hal ini sesuai QS. al-Baqarah [2]: 191 sebagai

berikut:

ت لوهم حي تلوهم وٱق نة أشد من ٱلقتل ول ت ق ث ثقفتموهم وأخرجوهم م ن حيث أخرجوكم وٱلفت

ت لك جزاء ٱل عند ٱلمسجد ٱلرام حته ي ق ت لوهم كذ فرين لوكم فيه فإن قت لوكم فٱق ك

18 Abu Muẖammad ‘Abd al-Haqq Ibn Ghalib Ibn ‘Abd ar-rahman Ibn Tamam

Ibn ‘Athiyah. Al-Muharrar al-Wajiz fἷ Tafsἷ r al-Kitâb al- ‘Azἷ z, (Beirut: Dâr al-Kutub

al-‘Ilmiyyah, 1422 H), Juz II.h. 89. 19 Lilik Ummu Kaltsum, dkk., Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h.181.

20 Ar- Razi, Mafâtih al- Ghaib, Juz.X. h.172 21 Lilik Ummu Kaltsum, dkk., Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h.182

Page 39: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

26

“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah

mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu

lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi

mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat

itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka.

Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir”.

Menurut At-Thabari, bahwa ayat di atas merupakan larangan bagi

orangorang yang beriman untuk memulai peperangan melawan orang-orang

musyrik di Masjidil Haram sampai mereka memulainya terlebih dahulu.

Kalau mereka melakukan penyerangan dan pembunuhan di rumah Allah

tersebut, maka tidak masalah sekiranya umat Islam melakukan tindakan

balasan atas perbuatan buruk mereka tersebut.22

C. Tujuan Perang (Qitâl)

Mengapa sejarah penyebaran Islam banyak dilalui dengan peperangan.

Barangkali itu salah satu pertanyaan penting yang harus dijawab. At-Thabari

menjelaskan, peperangan bertujuan agar manusia tak lagi menyekutukan Allah Swt.

Tak ada lagi manusia yang menyembah patung, pepohonan, matahari, atau Sesutu

apapun sebagai tuhan. Dan sebaliknya, dapat menjadikan Allah sebagai Tuhan satu-

satunya.23 Ar-Razi menegaskan, perang merupakan salah satu usaha agar manusia

bisa melawan orang-orang musyrik dalam upaya untuk menegakkan agama Allah.

Tujuan tersebut, menurut ar-Razi bisa tercapai dengan cara berperang.24

Dalam Alquran surah al-Anfal [8] ayat 39 disebut bahwa tujuan perang qitâl

adalah agar tak ada lagi yang manusia yang musyrik. Sebaliknya, mampu

melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.

نة فإن ٱنت هوا فإنه ٱلله با ي عملون بصي ويكون وقتلوهم حته ل تكون فت ين كلهۥ لله ٱلد

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu

semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka

sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan”.

22 Muẖammad ibn Jarir at-Thabari. Jâmi’ al- Bayân fἷ Tawἷ l Ayi al- Qur’an, (Beirut:

Muassasah ar-Risalah, 2000), Jilid. III.h. 566-567 23 at-Thabari. Jâmi’ al- Bayân fἷ Tawἷ l Ayi al- Qur’an, Juz XIII, h. 570. 24 al- Razi, Mafâtih al- Ghaib, Juz. XV, h.483-484

Page 40: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

27

Ayat tersebut dengan terang menunjukkan perintah berperang melawan musuh.

Perintah dalam ayat tersebut jika ditelusuri lebih jauh, akan semakin lebih jelas

tentang perintah berperang dalam Alquran.25

Kata “fitnah” dalam ayat di atas, diartikan sebagai gangguan-gangguan

terhadap umat Islam dan Islam. Menurut An-Nasafi dan al-Maraghi, yang dimaksud

dengan “agama itu semata-mata untuk Allah” adalah tegaknya agama Islam dan

hilangnya kebatilan.

Sementara al-Jashash, mengutip pendapat Muhammad bin Ishaq menjelaskan,

maksud “fitnah” pada al-Anfal [8] ayat 39 adalah kekafiran, kerusakan, atau

kejahatan. Disebut kekafiran, sebab di dalamnya mengandung kerusakan.26

Pendapat serupa juga dijelaskan al-Wahidi, bahwa tujuan perang adalah agar tak

manusia meyakini ke-Esaan Allah dan hanya beribadah kepadanya.27

Tujuan di atas dipertegas dalam Hadis Nabi saw., “Barang siapa berperang agar

kalimat Allah tegak berdiri maka dia berada di jalan Allah” (HR. Bukhari, Muslim,

Abu Dawud dan lainnya). Dengan demikian, perang dilakukan semata-mata karena

Allah demi kejayaan agama-Nya di muka bumi. Allah menjamin pahala yang besar

bagi orang yang melaksanakannya, baik kalah maupun menang, baik terbunuh di

medan perang maupun tetap hidup dan kembali ke keluarganya. Perang

disyariatkan bukan untuk mencari kemuliaan duniawi atau popularitas pribadi,

golongan atau suku tertentu, melainkan untuk memperoleh keridaan Allah Swt.

Sebagian mufassir berpendapat bahwa seorang muslim yang berperang di

medan perang harus memantapkan hatinya di jalan Allah sehingga ia harus

bersungguh-sungguh untuk mengalahkan musuh. Karena itu, seorang mujahid atau

yang berperang di jalan Allah tidak boleh berniat hanya untuk terbunuh di

dalamnya.28

25 Lilik Ummu Kaltsum dkk.Tafsir Ayat Ahkam, h. 157. 26 Al-Jasshash, Ahkâm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al’Ilmiyyah), Juz IV, h. 229. 27 Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn ‘Ali al-Wahidi. Al-Wajἷ z fἷ Tafsἷ r

al-Kitâb al-‘Azἷ z, (Beirut: Dâr al-Qalam, 1415 H/1995 M), Juz. I, h. 155. 28 Nasir ad-Din Abu Sa’id ‘Abdullah Ibn ‘Amr Ibn Muhammad as-Syirazi al-Baidhawi.

Anwâr at-Tanzἷ l wa Asrar at-Ta‟wἷ l, (Beirut: Dâr al-Ihyâ’ at-Turâs al-‘Arabἷ , 1418 H), Juz. II,

h. 84.

Page 41: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

28

Dari semua pendapat di atas dapat disimpulkan. Pada intinya, perang

merupakan salah satu cara agar manusia menyembah Allah Swt. dan dengan tegas

melarang segala bentuk kekufuran yang yang bersifat menyekutukan-Nya.

D. Sejarah Perang (Qitâl)

Kebesaran Islam, tak dipungkiri lahir dari banyak darah yang mengalir dan

nyawa yang melayang. Dalam hal ini tentu saja, ada begitu banyak peperangan yang

diikuti oleh kaum muslim. Kedatangan Islam, pada faktanya bukan hanya

membawa pesan damai ke seluruh penjuru dunia, namun di balik itu, Islam juga

telah mengubah masyarakat Arab sebagai mesin perang yang tidak bisa dihentikan.

Sebelum Islam, orang Arab tidak mencari motif untuk melakukan perang mereka;

organisasi sosial mereka membutuhkan perang, dan tanpa kemenangan, itu akan

runtuh.

Bagi mereka perang adalah bagian alami dari kehidupan.29 Watak keras dan suka

perang yang dimiliki masyarakat Arab ini memang berkaitan dengan kondisi

geografis mereka, tidak ada sumber air yang mengalir berlimpah, yang ada

hanyalah lembah-lembah di musim hujan yang disebut oasis.30 Penduduk di

pedalaman terdiri dari suku-suku Badui yang berkelompok dan nomaden. Mereka

sering berebut air minum.31

Meski begitu, tanpa Islam, tidak mungkin penaklukan Suriah dan Irak akan

terjadi. Tanpa Islam dan kepribadian karismatik Muhammad, tidak mungkin

mereka akan mengatasi sifat kerasnya masyarakat kesukuan mereka dan

permusuhan yang tiada henti. Islam menyatukan mereka, menekan suku-suku dan

memberi mereka kesatuan yang memungkinkan penaklukan.

Di masa hidupnya, Nabi Muhammad Saw. sendiri tercatat telah mengikuti 19-21

peperangan (ghazwah). Jumlah itu adalah perang yang langsung dipimpin sendiri

oleh Nabi Saw. Bahkan, ada yang mencatat sampai 27 kali peperangan. Selain

ghzawah, ada pula peperangan-peperangan lain yang disebut sariyyah (yang tidak

29 George F. Nafziger and Mark W. Walton, Islam at War, (London: Praeger Publishers,

2003), h. 208. 30 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h.

25-26. 31 Jurji Zaidan, History of Islamic Civilization (New Delhi: Kitab Bhavan, 1978), h. 25-

26.

Page 42: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

29

dipimpin oleh Nabi Saw) atau perang kecil yang jumlahnya antara 35 sampai 42

kali peperangan.32

Menurut Gamal al-Banna, usaha untuk memahami ayat qitâl, dan sebagaimana

bentuk penerapannya, tidak akan tercapai dengan baik tanpa memahami kondisi

dan sebab-sebab yang melatarbelakangi ayat tersebut diturunkan, kepindahan dari

Mekah ke Madinah bukanlah semata perpindahan dari suatu tempat ketempat lain,

akan tetapi merupakan kepindahan dari sebuah model masyarakat ke model

masyarakat yang lain yang memiliki sifat, karakter serta memiliki spesifikasi

tersendiri yang sangat berbeda dibandingkan dengan spesifikasi yang dimiliki oleh

masyarakat Quraisy.33

Hijrah hanyalah langkah pertama dari Revolusi Islam. Islam bukan agama

kependetaan sebagaimana halnya gama-agama Arab lain yang telah ada, Islam

adalah agama revolusioner yang menggantikan pandangan kabilah dengan “umat”

dan kepercayaan nenek moyang dengan syariah, menggantikan berhala-berhala

dengan Allah Swt.34 Saat masih di Mekah, Nabi sebetulnya bisa menerima tawaran

dari suku Quraisy untuk menjadi pemimpin mereka. Namun Nabi menolak, sebab

ia ada bukan hanya untuk menjadi pemimpin dari satu kelompok masyarakat

tertentu, namun pemimpin semua umat. Terbukti, pada perjalanannya, Nabi bukan

hanya menyatukan masyarakat Arab yang telah biasa hidup dengan peperangan,

namun semua manusia dengan berada di bawah panji Islam. Meski kadang jalan itu

ditempuh Nabi dengan berperang.

Demikanlah Islam berada pada kondisi yang menuntut penggunaan pedang,

sementara kaum musyrik tidak berhenti sampai di situ saja, Yahudi juga demikian,

mereka tidak mau menghentikan desas desus fitnah miring serta provokasi yang

mereka lakukan, bahkan sebagian orang Badui dan pengikut Abdullah bin Ubey

yang disebut dalam Alquran sebagai kaum “munafik” juga tidak rela membiarkan

Islam dalam keadaan aman dan damai.

Perbenturan antara kebudayaan lama dan baru yang dibawa oleh Islam memang

mesti terjadi. Maka, Islam kali pertama berbernturan dengan budaya Paganisme,

32 A. Lalu Zaenuri. Qitâl Dalam Perspektif Islam, JDIS Vol. 1, No. 1. 33 Gamal al- Banna. Jihad, Terj. Tim MataAir Publishing, Pengantar: Nasiruddin Umar

(Jakarta: MataAir Publishing, 2006), h. 71. 34 Saddam Husain Harahap, Tesis, Perang dalam Perspektif Alquran, Program Studi

Tafsir Hadis, Program Pascasarjana, UIN Sumatera Utara (Medan:2016), h. 18.

Page 43: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

30

inilah perbenturan yang dialami dalam sejarah Islam atau yang disebut “benturan

peradaban”. Itulah posisi Islam dalam pengakuannya terhadap tindakan qitâl.35

1. Periodesasi Perang (qitâl)

Menurut pandangan Syeikh ‘Abd al-Aziz bin Baz, perang dalam Alquran

terbagi menjadi tiga periode:

Periode Pertama, umat Islam diizinkan berperang tanpa ada kewajiban

untuk itu. Dengan kata lain, bahwa perang belum merupakan suatu kewajiban.

Hal tersebut berdasarkan QS. Al-Hajj [22] ayat 39:

وإنه ٱلله على نصرهم لقدير أذن للهذيم ظلموا ت لون بنه ن ي ق

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena

sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar

Maha Kuasa menolong mereka itu”.

Periode Kedua, umat Islam diperintahkan untuk memerangi orang-orang

yang memerangi mereka saja, sementara orang-orang yang tidak memerangi

mereka tidak boleh diperangi. Dalam hal ini sesuai dengan firman Allah QS.

al-Baqarah [2] ayat 190:

إنه ٱلله ل يب ٱلمعت تلونكم ول ت عتدوا دين وقتلوا ف سبيل ٱلله ٱلهذين ي ق

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)

janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak

menyukai orang-orang yang melampaui batas”.

Periode Ketiga, umat Islam diperintahkan untuk memerangi orang-orang

musyrik secara mutlak, baik mereka yang memerangi umat Islam maupun

tidak. Tujuannya adalah agar kemusyrikan lenyap dari muka bumi dan manusia

semuanya tunduk kepada Allah.36 Hal ini dijelaskan pada QS. Al-Anfal [8]

ayat 39:

35 Al-Banna. Jihad, h.76. 36 Zaenuri. Qitâl, JDIS Vol. 1, No. 1.

Page 44: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

31

نة وقتلوهم حته فإن ٱنت هوا فإنه ٱلله با ي عملون بصي ويكون ل تكون فت ين كلهۥ لله ٱلد

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu

semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka

sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan”.

2. Perang (qitâl) di Masa Rasulullah Saw.

Berikut ini adalah beberapa peristiwa perang (qitâl) besar yang pernah

terjadi di masa Nabi Saw.:

a. Perang Badar

Perang Badar adalah perang pertama yang dilakukan oleh kaum

muslim. Perang ini sekaligus telah menguatkan posisi Nabi di tanah Arab.

Meski dengan jumlah pasukan yang jauh lebih sedikit dibanding musuh,

Nabi Bersama para sahabat berhasil memenangkan perang. Kemenangan

pada perang Badar disebut sebagai sanksi langsung dari Allah Swt., dengan

keyakinan bahwa Nabi Muhammad Saw., telah dikenal.37 Selain itu,

kemenangan itu juga menguatkan kedudukan pasukan muslim dalam

perang-perang setelahnya sebagai pasukan yang disiplin dan berani mati.

Kedua faktor inilah yang menjadi ciri khas perang umat Islam dalam 1.500

tahun berikutnya.38

Dalam perang itu, Rasulullah saw., berangkat bersama tiga ratusan

orang sahabat dalam perang Badar. Beberapa riwayat mengatakan mereka

berjumlah antara 313, 314, dan 317 orang sahabat. Mereka kira-kira terdiri

dari 82 atau 86 Muhajirin serta 61 kabilah Aus dan 170 kabilah Khazraj.

Kaum muslimin memang tidak berkumpul dalam jumlah besar dan tidak

melakukan persiapan sempurna. Mereka hanya memiliki dua ekor kuda,

memiliki Zubair bin Awwam dan Miqdad bin Aswad al-Kindi.

Di samping itu, mereka hanya membawa tujuh puluh onta yang

dikendarai secara bergantian, setiap onta untuk dua atau tiga orang.

Rasulullah saw., sendiri bergantian mengendarai onta dengan Ali dan

Mursid bin Abi Mursid Al Ghanawi. Sementara jumlah pasukan kafir

Quraisy sepuluh kali lipat. Tidak kurang seribu tiga ratusan prajurit. Dengan

37 George F. Nafziger and Mark W. Walton, Islam at War h. 6. 38 George F. Nafziger and Mark W. Walton, Islam at War, h. 7

Page 45: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

32

seratus kuda dan enam ratus perisai, serta onta yang jumlahnya tidak

diketahui secara pasti, dan dipimpin langsung oleh Abu Jahal bin Hisyam.

Sedangkan pendanaan perang ditanggung langsung oleh sembilan

pemimpin Quraisy. Setiap hari, mereka menyembelih sekitar sembilan atau

sepuluh ekor onta.39

b. Perang Uhud

Kekalahan diperang Badar menanamkan dendam mendalam di hati

kaum kafir Quraisy. Mereka pun keluar ke bukit Uhud hendak menyerang

kaum muslimin. Pasukan Islam berangkat dengan kekuatan sekitar seribu

orang prajurit, seratus orang diantaranya menggunakan baju besi, dan lima

puluh orang lainnya dengan menunggang kuda.

Di sebuah tempat bernama asy-Syauth, kaum muslimin melakukan salat

subuh. Tempat tersebut sangat dekat dengan musuh sehingga mereka bisa

dengan mudah saling melihat. Ternyata pasukan kafir Quraisy berjumlah

sangat banyak. Mereka berjumlah tiga ribu tentara, terdiri dari orang-orang

Quraisy dan sekutunya. Mereka juga memiliki tiga ribu onta, dua ratus ekor

kuda dan tujuh ratus baju besi.

Pada kondisi sulit tersebut, Abdullah bin Ubay, sang munafik,

berkhianat dengan membujuk kaum muslimin untuk kembali ke Madinah.

Sepertiga pasukan (sekitar tiga ratus prajurit) mundur, Abdullah bin Ubay

mengatakan, “Kami tidak tahu mengapa kami membunuh diri kami

sendiri?”

Namun, setelah kemundurun tiga ratus prajurit tersebut, Rasulullah

melakukan konsolidasi dengan sisa pasukan yang jumlahnya sekitar tujuh

ratus prajurit untuk melanjutkan perang. Allah memberi mereka

kemenangan, meski awalnya sempat kocar-kacir.40

c. Perang Tabuk

Perang Tabuk adalah merupakan kelanjutan dari perang Mu’tah. Pada

saat itu Romawi memiliki kekuatan militer paling besar. Kaum muslimin

mendengar persiapan besar-besaran yang dilakukan oleh pasukan Romawi

39 Zaenuri. Qitâl, JDIS Vol. 1, No. 1 40 Zaenuri. Qitâl, JDIS Vol. 1, No. 1

Page 46: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

33

dan raja Ghassan. Informasi tentang jumlah pasukan yang dihimpun adalah

sekitar empat puluh ribu personil. Keadaan semakin kritis, karena suasana

kemarau, kaum muslimin tengah berada di tengah kesulitan dan kekurangan

pangan.

Mendengar persiapan besar pasukan Romawi, kaum muslimin berlomba

melakukan persiapan perang. Para tokoh sahabat memberi infaq fî sabîl

Allâh dalam suasana yang sangat mengagumkan. Usman menyedekahkan

dua ratus onta lengkap dengan pelana dan barang-barang yang diangkutnya.

Kemudian ia menambahkan lagi sekitar seratus onta lengkap dengan pelana

dan perlengkapannya. Lalu ia datang lagi dengan membawa seribu dinar

diletakkan di pangkuan Rasulullah saw. Usman terus berinfak hingga

jumlahnya mencapai sembilan ratus onta dan seratus kuda, dan uang dalam

jumlah besar. Abdurrahman bin ‘Auf membawa dua ratus uqiyah perak.

Dan Abu Bakar membawa seluruh hartanya dan tidak menyisakan untuk

keluarganya kecuali Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan Umar datang

menyerahkan setengah hartanya. Abbas datang menyerahkan harta yang

cukup banyak. Thalhah, Sa’ad bin Ubadah dan Muhammad bin Maslamah,

semuanya datang memberikan infaknya. Ashim bin Adi datang dengan

menyerahkan sembilan puluh wasaq kurma dan diikuti oleh para sahabat

yang lainnya.

Jumlah pasukan Islam yang terkumpul sebenarnya cukup besar, tiga

puluh ribu personil. Tapi, mereka minim perlengkapan perang. Bekal

makanan dan kendaraan yang ada masih sangat sedikit dibanding dengan

jumlah pasukan. Setiap delapan belas orang mendapat jatah satu onta yang

mereka kendarai secara bergantian. Berulang kali mereka memakan

dedaunan sehingga bibir mereka rusak.

Mereka terpaksa menyembelih onta, meski jumlahnya sedikit, agar

dapat meminum air yang terdapat dalam kantong air onta tersebut. Oleh

karena itu, pasukan tersebut dinamakan Jaisyu al-‘Usrah, (pasukan yang

berada dalam kesulitan).41

41 Zaenuri. Qitâl, JDIS Vol. 1, No. 1

Page 47: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

34

Selain beberapa perang tersebut, ada pula perang Ahzab di mana ini adalah

perang yang dipimpin oleh dua puluh pimpinan Yahudi Bani Nadhir datang ke

Mekah, untuk melakukan provokasi agar kaum kafir mau bersatu untuk

menumpas kaum muslimin.

Selain itu ada Perang Mu’tah, di mana menjadi jalan pembuka untuk

menaklukkan negeri-negeri Nasrani. Pemicu perang Mu‟tah adalah

pembunuhan utusan Rasulullah yang bernama al-Haris bin Umair yang

diperintahkan menyampaikan surat kepada pemimpin Bashra. Al-Haris dicegat

oleh Syurahbil bin Amr, seorang gubernur di wilayah Balqa di Syam,

ditangkap dan dipenggal lehernya. Khusus perang ini, Rasulullah

mempersiapkan 3000 prajurit. Jumlah itu adalah jumlah terbesar yang

dipersiapkan Nabi selama memimpin perang.42

E. Asbâb al-Nuzul Ayat-ayat Qitâl

Kata qitâl, dalam Alquran disebut sebanyak sembilan kali,43 yakni pada surah al-

Baqarah [2] ayat 216, 217, 246; surah Ali ‘Imran [3] ayat 121 dan 167; surah an-

Nisa’[4] ayat 77; al-Anfal [8] ayat 65; al-Ahzab [33] ayat 25; dan Muhammad [47]

ayat 20. Berikut adalah sebab-sebab turunnya ayat qitâl dalam Alquran.

QS. al-Baqarah [2] ayat 216, 217, 246 :

ا شي تبوا أن وعسى لهكم خي وهو ا شي تكرهوا أن وعسى لهكم كتب عليكم ٱلقتال وهو كره ي علم وأنتم ل ت علمون و لهكم شر وهو ٱلله

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu

yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik

bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk

bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.

42 Zaenuri. Qitâl, JDIS Vol. 1, No. 1 43 Muhammad Fuâd Abd al-Bâqἷ, Mu’jam al-Mufahras li al-fâz al-Qurân, h. 645.

Menurut al-Asfahani, sebanyak 12 kali. Lihat Ar-Ragib al-Asfahani, al-Mufradat fi Garib al-

Qur’an, cet. ke-1, jilid 1 (Damaskus: Dar al-Qalam, 1412 H), h. 655. Menurut Lilik Ummi

Kaltsum dkk.Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h. 142, disebut sebanyak 13 kali ditambah beberapa bentuk

kata derivasinya.

Page 48: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

35

هر ٱلرام قتا يس فيه قتال قل فيه ل لونك عن ٱلشه ۦ وٱلمسجد سبيل عن وصد كبي وكفر به ٱللهنة أكب من ٱلقتل ول ي ز ٱلرام وإخراج أهلهۦ منه

وٱلفت تلونكم حته أكب عند ٱلله الون ي ق ومن ي رتدد منكم عن دينهۦ ف يمت وهو كافر ي ردوكم عن دينكم إن ٱستطع حبطت فأولئك وا

لهم ب ٱلنهار هم فيها ف أعم يا وٱلخرة وأولئك أصح ن لدون ٱلد خ“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram.

Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi

menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi

masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih

besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya)

daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai

mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran),

seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari

agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia

amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka,

mereka kekal di dalamnya”.

ب عد موسى إذ قالوا لنب أل ت ر إل ٱلمل من بن م إسرءيل من عث لنا ملك له تل ا ٱب سبيل ف ن ق

تم إن كتب عليكم ٱلقتال أله قال هل عسي قالوا وما لنا ٱللهتلوا تل ف سبيل ٱلله ت ق وقد أله ن ق

ا كتب عليهم ٱلقتال ت ولهوا إله قليل نائنا ف لمه هم أخرجنا من ديرن وأب عليم بٱلظهلمي و م ن ٱلله“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah

Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka:

"Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah

pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika

kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang". Mereka

menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal

sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?". Maka tatkala perang

itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa saja di

antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim”.

Sebab turunnya QS. Al-Baqarah ayat 217 menurut Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim,

at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al Baihaqi dalam sunannya,

meriwayatkan dari Jundub bin Abdillah bahwa Rasulullah mengutus beberapa

orang lelaki yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy. Ketika dalam perjalanan,

mereka bertemu dengan Ibn al-Hadrami.

Lalu, mereka membunuhnya dan mereka tidak tahu bahwa ketika itu adalah

bulan Rajab atau bulan Jumadil. Maka orang-orang Musyrik berkata kepada orang-

Page 49: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

36

orang Muslim, “Kalian membunuh pada bulan haram”. Maka turunlah Firman

Allah QS. Al-Baqarah ayat 217 di atas.44

Sebagian dari mereka berkata, “Jika mereka tidak mendapatkan dosa karena

yang mereka lakukan itu, maka mereka tidak mendapatkan pahala. Maka turun

jugalah firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 218. Ibnu Mandah menyebutkan riwayat

di atas dalam kitab aṣ-ṣaẖâbah dari jalur Usman bin Atha” dari ayahnya dari Ibnu

Abbas.45

QS. Ali ‘Imran [3] ayat 121 dan 167.

سيع عليم وٱللهعد للقتال وإذ غدوت من أهلك ت ب و ئ ٱلمؤمني مق

“Dan (ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah)

keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk

berperang. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Adapun sebab turunnya ayat di atas adalah Ibnu Abi Hatim dan Abu Ya’la

meriwayatkan dari al-Miswar bin Makhramah, dia berkata, “Saya katakan kepada

Ibnu Mas’ud, ‘Beri tahu saya tentang kisah kalian pada peperangan Uhud’. Ibnu

Mas’ud menjawab, ‘Bacalah ayat 120 dari surah ‘Ali ‘Imran, maka engkau akan

mendapati kisah kami’. Lalu turunlah ayat 121 surah ‘Ali ‘Imran hingga firman

Allah Swt. QS. Ali ‘Imran ayat 122 turun.”

Ibnu Mas’ud berkata lagi, ‘Mereka adalah orang-orang yang meminta jaminan

keamanan kepada orang-orang musyrik’, hingga firman-Nya, QS. ‘Ali ‘Imran ayat

143 turun. Ibnu Mas’ud berkata, ‘Itu adalah angan-angan para orang mukmin untuk

bertemu musuh, hingga firman-Nya turun QS. Ali Imran ayat 144. Ibnu Mas’ud

berkata lagi, ‘Itu adalah teriakan setan pada perang Uhud, yaitu, Muhammad telah

terbunuh’.

Hingga firmanya,.... Keamanan (berupa) kantuk...., maksudnya adalah membuat

mereka merasa mengantuk.

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, dia

berkata, Firman Allah QS. Ali Imran ayat 122.

44 Jalaluddin as-Suyuti, Sebab-sebab turunnya ayat al-Quran, Terjemahan: Tim Abdul

Hayyie,(Jakarta: Gema Insani, 2008) Cet.I. h.88-89. 45 As-Suyuti. Sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an, h.89.

Page 50: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

37

Ayat itu turun kepada kami, Bani Salamah dan Bani Haritsah.46 Ibnu Abi

Syaibah dalam al-Musannaf dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari asy-Sya’bi

bahwa pada Perang Badar orang-orang Muslim mendengar bahwa Kirz bin Jabir al-

Muharibi memberi bantuan kepada orang-orang musyrik. Hal itu membuat orang-

orang muslim merasa kacau. Lalu Allah menurunkan firman-Nya QS. Ali Imran

Ayat 124-125.

Kemudian Kirz mendengar berita kekalahan orang-orang musyrik. Maka dia pun

tidak jadi memberi bantuan kepada orang-orang musyrik dan Allah pun tidak

memberi bantuan pasukan lima ribu malaikat kepada orang-orang Muslim.47

وقيل لم قالوا لو ن علم قتال ولي علم ٱلهذين نف قوا

كم له ت عالوا قتلوا ف سبيل ٱلله أو ٱدف عوا ٱت هب عن

وههم مها لي هم للين ي قولون بف رب من أعلم با يكت هم للكفر ي ومئذ أق مون س ف ق لوبم وٱلله“Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada

mereka dikatakan: "Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah

(dirimu)". Mereka berkata: "Sekiranya kami mengetahui akan terjadi

peperangan, tentulah kami mengikuti kamu". Mereka pada hari itu lebih

dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. Mereka mengatakan dengan

mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih

mengetahui dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka

sembunyikan”.

QS. An-Nisa’[4] ayat 77:

ة ف لمها كت ة وءاتوا ٱلزهكو ب عليهم أل ت ر إل ٱلهذين قيل لم كفوا أيديكم وأقيموا ٱلصهلو

هم ٱلقتال إذا فريق ن شون م كت بت ل رب هنا وقالوا خشية ٱلنهاس كخشية ٱلله أو أشده ي

نا رت نا إل أجل علي يا قليل متع قل قريب ٱلقتال لول أخهن ٱت هقى ل من ٱلخرة خي و ٱلد

ول تظلمون فتيل

46 As-Suyuti. Sebab-sebab turunnya ayat al-Quran, h.131-132. Lihat juga HR Bukhari

dalam Kitab al-Magâzi, No. 3745 dan HR Muslim dalam Kitab al-Fadâ’i li aṣ-ṣaẖâbh, No. 4560. 47 As-Suyuti. Sebab-sebab turunnya ayat al-Quran, h.132-133.

Page 51: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

38

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka:

"Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan

tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba

sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh),

seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka

berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada

kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada

kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di

dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang

bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun”.

Sebab Turunnya ayat:

Nasa’i dan al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Abdurrahman bin

‘Auf dan beberapa rekannya mendatangi Nabi Saw., lalu mereka berkata, “Wahai

Nabi Allah, ketika kami masih musyrik, kami adalah orang-orang yang mulia.

Namun ketika kami beriman, kami menjadi orang-orang yang hina”.

Rasulullah Saw., pun bersabda, “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk

memafkan. Maka jangan kalian perangi orang-orang musyrik itu”.

Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau diperintahkan untuk memerangi musuh,

namun orang-orang tadi (Abdurrahman bin ‘Auf dkk.) enggan melakukannya.

Maka turunlah firman Allah, “Tidakkah engakau memperhatikan orang-orang

yang dikatakan kepada mereka, “Tahanlah tanganmu (dari berperang),....” hingga

akhir ayat.48

QS. al-Anfal [8] ayat 65

إن يكن م نكم عشرون ي ها ٱلنهب حر ض ٱلمؤمني على ٱلقتال بون ي غلبوا مائ تي وإن يكن ي ص

م ق وم م ن ألفا ي غلب وا م نكم م ائة هون ي فق له ٱلهذين كفروا بنه“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada

dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat

mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar

diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang

kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.”

Sebab Turunnya Ayat:

48 As-Suyuti. Sebab-sebab turunnya ayat Al Qur’an h.180-181. Lihat juga HR an-Nasa’i

dalam Kitâb al-Jihâd,No. 3036 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, No. 2338.

Page 52: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

39

Ishaq bin Râhawih, dalam al-Musnad-nya, meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia

berkata, “Ketika Allah mewajibkan agar setiap orang menghadapi sepuluh musuh,

mereka merasa keberatan. Maka Allah pun meringankannya sampai satu lawan dua.

Lalu Allah menurunkan ayat “... Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara

kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh ...,” hingga akhir

ayat.49

QS. al-Ahzab [33] ayat 25:

ٱلهذين كفروا بغيظهم ل قويا عزيز وكفى ا ي نالوا خي ورده ٱلله وكان ٱلله ٱلمؤمني ٱلقتال اٱلله

“Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka

penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun.

Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan

adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.

QS. Muhammad [47] ayat 20

ٱلهذين ف ٱلقتال رأيت فيها وذكر مة ك م سورة أنزلت فإذا وي قول ٱلهذين ءامنوا لول ن ز لت سورة

ٱلمغشي عليه من ٱلموت فأول لم نظر إليك ينظرون ق لوبم مهرض “Dan orang-orang yang beriman berkata: "Mengapa tiada diturunkan suatu

surat?" Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan

disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada

penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang

yang pingsan karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka”.

49 As-Suyuti, Sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an, h.269-270. Lihat juga Ibnu Kasir

Jilid IV. h.429. dan Lihat Fath al-Bâri, J.VIII. h.312 dan Lihat Tafsir al-Qurthubi, J. IV. h.2971.

Page 53: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

40

BAB III

RIWAYAT HIDUP M. RASYÎD RIDA DAN SAYYID QUTB

A. Riwayat Hidup M. Rasyîd Rida

a. Biografi Singkat dan Latar Belakang Pendidikan

“Aku tadinya menanggap saudaraku, adalah seorang nabi. Tapi ketika aku

tahu bahwa Nabi Muhammad Saw., adalah penutup seluruh nabi dan rasul,

aku menjadi yakin bahwa dia adalah seorang wali”. Demikian penuturan

Sayyid Shaleh, adik dari Sayyid M. Rasyîd Rida, atau masyhur dikenal M.

Rasyîd Rida, salah satu ulama penting di era modern, juga murid dari ulama

penting modern lain, Muhammad Abduh.1

Muhammad Rasyîd Rida Ibn Ali Rida Ibn Muhammad Syamsuddin Ibn

Bahauddin Ibn Manla Ali Khalifah, nama lengkapnya, lahir di Qalamun,

sebuah wilayah dari pemerintahan Tarablus Syam (satu wilayah yang kini

meliputi Lebanon, Palestina, dan Syuriah) pada 1282 H/1865 M. Lebih

spesifik, Qalamun adalah sebuah desa yang terletak di pantai Laut Tengah,

sekitar tiga mil dari kota Lebanon, yang waktu itu merupakan bagian dari

wilayah kerajaan Turi Utsmani.2 Perlu diketahui, waktu itu Turki Utsmani

(Ottoman) masih merupakan Daulah Islamiyah besar dan menjadi salah satu

pemerintahan adikuasa di dunia.

Rasyîd Rida berasal dari keluarga terhormat yang berhijrah dari Baghdad

dan kemudian menetap di Qalamun. Rasyîd Rida lahir tepat pada 18 Oktober

1865, di sebuah daerah dengan tradisi Islam Sunni yang kuat.3 Tempat

tarekat-tarekat berperan pernting.4 Kondisi sosil kultural inilah yang kelak

juga akan berpengaruh pada dasar keagamaan seorang Rasyîd Rida.

Gelar “Sayyid” diterima Rasyîd Rida dari ayah dan ibunya. Keduanya

berasal dari keturunan al-Husayn, putra Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah,

1 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:

Bulan Bintang, 1996), h. 45. 2 A. Athahillah, Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar (Cet. I:

Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h. 26. 3 Muhammad Imarah, Al-Masyru’ al-hadhari al-Islami diterjemahkan oleh Muhammad

Yasar, LC dan Muhammad Hikam, LC dengan judul Mencari Format Peradaban Islam, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2005), h.1. 4 Elizabeth Sirriyeh, Sufis and Anti Sufis diterjemahkan oleh Ade Alimah, dengan judul

Sufi dan Anti-sufi, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), h.146.

Page 54: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

41

Putri Rasulullah Saw. Itulah sebabnya, ia juga kerap menyebut tokoh-tokoh

ahl al-bayt seperti Ali bin Abi Thalib, al-Husain, dan Ja’far al-Shadiq dengan

Jadduna (nenek moyang kami).5 Selain mungkin karena ayah Rasyîd Rida

bernama al-Sayyid Ali- Rida adalah seorang Sunni bermazhab Syafi’i.6

Rida kecil hidup di daerah dengan tradisi keislaman Sunni yang kuat.

Sejak usia tujuh tahun, ia dimasukkan orang tuanya ke madrasah tradisional

di Qalamun. Ia belajar di taman-taman Pendidikan yang disebut al-Kuttab. Di

sana ia belajar membaca Alquran, menulis, dan berhitung. Ia belajar dari

banyak guru. Berbeda dengan anak-anak seusianya, Rida kecil dikenal

memang rajin dan banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan

membaca, selain memang memiliki kecerdasan yang tinggi.

Selesai di al-Kuttab di desanya, Rida lalu dikirim orang tuanya ke Tripoli

(Libanon) untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah dan mengajarkan ilmu nahwu,

Sharaf, akidah, fiqih, berhitung, hingga ilmu bumi. Ia belajar itu semua

menggunakan Bahasa Turki, sebab madrasah tempat ia belajar adalah sekolah

yang sengaja dipersiapkan untuk mencetak para pegawai pemerintah Turki

Utsmani.7 Rasyîd Rida, oleh karena itu, setelah mengetahui itu semua setahun

kemudia memutuskan untuk pindah ke sekolah Islam Negeri Madrasah

Wathaniyah Islamiyah yang merupakan sekolah terbaik waktu itu. Selain

menggunakan bahasa Arab, sekolah ini juga mengajarkan Rasyi Rida bahasa

Turki dan Prancis.8

Sekolah ini dipimpin oleh ulama besar Syam ketika itu, yaitu Syaikh

Husain al-Jisr yang kelak mempunyai andil besar terhadap perkembangan

pemikiran Rida sebab hubungan keduanya tidak berhenti meskipun kemudian

sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Dari Syaikh Husain al-Jisr pula,

Rasyîd Rida kelak mendapat kesempatan untuk menulis di beberapa surat

kabar Tripoli yang kelak mengantarnya memimpin majalah al-Manar.

5 Fahd al-Rumi, Manhaj al-Madrasah al-Aqliyyah al-Haditsah fi al-Tafsir, (Beirut:

Mu’assasah al–Risalah, 1981 M) h.172. 6 Muhammad Ibn Abdillah al-Salman, al-Syaikh al-Salafi wa al-Muslih (Cet. I Riyadh:

Jami’ah al-Imam Muhammad Ibn Su’ud al-Islamiyah, 1933), h. 18. 7 Ibrahim Ahmad al-Adawi, Rasyid Ridha al–Imam al-Mujahid, (Kairo: al-Muassasah

Mishiyyah al-Ammah,t.th), h.19. 8 A. Athahillah, Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar, h. 25.

Page 55: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

42

Selain Syaikh Husain al-Jisr, Sayyid Muhammad Rasyîd Rida juga

belajar dari Syaikh Mahmud Nasybah, seorang ulama ahli hadis.9 Darinya,

Rida banyak belajar hadis, dan oleh karenanya ia kemudian digelari

Voltaire10-nya kaum muslim karena kedalaman ilmu hadisnya. Rasyîd Rida

juga belajar hadis dari Syaikh Abdul Gani ar-Rafi. Kepadanya, Rasyîd Rida

belajar sebagian dari kitab hadis Nailul Authar (sebuah kitab hadis yang

dikarang Asy-Syaukani, seorang ulama bermazhab Syiah Saidiyah).11

Rasyîd Rida adalah seorang pembelajar yang tekun. Ia selalu bisa

membagi waktunya antara ilmu dan ibadah. Ibunda Rasyîd Rida bahkan

sempat bercerta, “Sejak M. Rasyîd Rida dewasa, aku tidak pernah melihat

dia tidur. Sebab, ia tidur setelah kami tidur, dan terbangun sebelum kami

terbangun”.

Dia begitu tertarik dan terkesan kepada al-Urwah al-Wusqa.12 Dan tentu

saja menemui dua orang ulama itu adalah impian seorang Rasyîd Rida.

Nahas, ia tak sempat bertemu Jamaluddin al-Afgani. Sebab, tokoh besar pada

masanya ini lebih dulu wafat. Pasca wafatnya Jamaluddin al-Afgani,

pilihannya hanya tinggal satu, ia harus menemui gurunya, Muhammad

Abduh. Rasyîd Rida tak lama akhirnya berangkat ke Mesir pada 1879 M.

9 Lihat lebih lanjut mengenai Syekh Muhammad Nasabah dalam Nurjannah Ismail,

Perempuan dalam Pasungan (Cet. I: Yogyakarta: LKIS, 2013), h. 131. 10 Voltaire adalah filosof Prancis yang mengkritik secara pedas pendapat para pemuka

agama dan masyarakat Prancis pada masanya serta tokoh yang mengantar tercetusnya Revolusi

Prancis tahun 1789 M. Lihat Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam

Sejarah (Cet.I: Jakarta: PT Dunia Pustaka, 1978), h. 65. 11 Syi’ah Zaidiyah dinisbatkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin. Ali Zainal Abidin yang

merupakan ayahandanya termasuk sosok yang cinta kepada para sahabat seperti Abu bakar, Umar

dan Utsman. Bahkan beliau menilai kalangan yang senantiasa mencaci maki para sahabat

merupakan kalangan yang melecehkan Islam dan bukan bagian dari Islam. Pemahaman ayahnya

tersebut rupanya diikuti oleh anaknya, Zaid bin Ali. Zaid bin Ali Zainal Abidin merupakan sosok

yang ‘alim, taqwa, pemberani, senatiasa berpegang kepada Alquran dan Sunnah. Tim Penulis MUI, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia (Cet I: Depok: Gema Insani, 2013),

h. 33-34. 12 Jemaah Al-‘Urwah al-Wutsqa adalah perkumpulan yang diketuai oleh Jamaluddin al-

Afghani dengan wakilnya, Muhammad Abduh. Perkumpulan ini dibentuk dengan tujuan

membangkitkan semangat perjuangan seluruh umat Islam dalam menentang ekspansi negara-negara

barat ke dunia Islam. Dan untuk mencapai tujuan tersebut, mereka menerbitkan majalah yang juga

diberi nama Al‘Urwah al-Wutsqa. Penerbitan majalah ini mengoncangkan dunia Islam dan Barat,

Majalah ini dibinasakan oleh penguasa-penguasa Inggris di dunia Timur. Penyebarannya di Mesir

dan India dilarang. Penyebaran ini hanya mungkin dilakukan dengan mengirimkannya secara gelap

kepada pihak-pihak yang berminat. Namun, larangan publikasi ini membuat majalah tersebut hanya

dapat bertahan delapan bulan, dengan delapan belas kali penerbitan

Page 56: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

43

untuk berusaha menemui Syaikh Muhammad Abduh.13 Kelak pertemuan ini

akan tercatat sebagai salah satu awal dari lahirnya salah satu karya penting

dari keduany, yakni Tafsir al-Manar.

Selain itu, pertemuan antara keduanya juga akan menjadi pertemuan

murid dan guru. Hubungan Sayyid Muhammad Rasyîd Rida dan Muhammad

Abduh, bermula dari interaksi Sayyid Muhammad Rasyîd Rida dengan

majalah Al-‘Urwah Al-Wusqa’, majalah yang diterbitkan oleh Jamaludin Al-

Afghani dan Muhammad Abduh di Paris. Tulisan-tulisan kedua pembaharu

tersebut memberi pengaruh besar kepada Sayyid Muhammad Rasyîd Rida,

sehingga mampu mengubahnya dari seorang pemuda sufi menjadi menjadi

pemuda yang penuh semangat.14

Setelah keberangkatannya ke Mesir pada 1979 M., Rasyîd Rida akhirnya

bertemu dengan M. Abduh pada 1898 M. (Rajab 1315 H.), hamper dua puluh

tahun sejak kepergiannya. Kepada M. Abduh, Rasyîd Rida memberikan saran

agar ia menulis tafsir Alquran dengan metode yang sama yang ia gunakan

dalam penulisan majalah al-‘Urwah al-Wustqa. Usai dua ulama itu berdialog,

M. Abduh akhirnya bersedia memberi kuliah tafsir di Jami’ al-Azhar kepada

murid-muridnya.15

Pasca wafatnya Muhammad Abduh, Sayyid Muhammad Rasyîd Rida

sempat kembali ke Damaskus pada 1908 M., sebelum akhirnya kembali ke

Mesir, lalu mendirikan Madrasah al-Da’wah wa al-Irsyad. Ia juga pernah

pergi ke Suriah dan menjadi ketua Muktamar Suriah. Namun pada 1920 M.,

Rasyîd Rida kembali ke Mesir. Beberapa tempat lain yang pernah ia singgahi

antara lain, India, Hijaz, dan Eropa, sebelum akhirnya menetap di Mesir

hingga wafat tepat pada usia 70 tahun pada Kamis, 23 Jumadil ‘Ula 1354 H,

bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M. dan dimakamkan di Kairo.16

13 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 45. 14 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 46. 15 A. Athahillah, Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar, h. 2. 16 Ali Rahnema (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 2009),

h.56.

Page 57: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

44

b. Pemikiran M. Rasyîd Rida

Sayyid Muhammad Rasyîd Rida sangat terpengaruh Ihya Ulum al-Din.

Kitab karangan Imam al-Ghazali itu sangat membantu membentuk pandangan

Rasyîd Rida, bukan hanya soal keimanan dan ketauhidan, tapi juga agar

setiap orang mampu menyadari konsekuensi dari setiap tindakannya. Kitab

tersebut bahkan dapat memancing Rasyîd Rida untuk memebacanya berulang

kali, hingga membentuk kepribadiannya.17 Selama dalam pengaruh al-

Ghazali itulah, Rasyîd Rida mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah,

mengamalkan ajaran-ajarannya, dan melaksanakan latihan-latihan ‘uzlah

yang sangat berat.

Beberapa tahun kemudian setelah tekun menjalani hidup sufi, Rasyîd

Rida menyadari bahwa ada begitu banyak praktik bidah dan khurafat dalam

ajaran laku hidup banyak orang dalam ajaran tersebut. Dan ia memutuskan

untuk meninggalkannya. Meski begitu, minat Rasyîd Rida pada laku tarekat

bukan sebatas pada mempelajari dan mengamalkannya secara pribadi. Setelah

ia sadar begitu banyak prilaku menyimpang dari orang-orang yang

mengamalkan laku sufi, Rasyîd Rida juga membantu masyarakat agar bisa

mengikuti jalannya, dengan membuka pengajian-pengajian, menebang

pohon-pohon yang menjadi sumber bidah dan khurafat, dan melarang

masyarakat untuk mencuri berkah dari kuburan-kuburan para wali dan ulama-

ulama.18

Perubahan pandangan Rasyîd Rida selama mengamalkan laku tarekat

muncul setelah ia juga tekun mempelajari kitab-kitab hadis. Perubahan itu

terutama muncul setelah ia terpengaruh oleh pandangan Syaikh Jalam al-Din

al-Afgani dan Muhammad Abduh dalam majalah al-‘Urwah al-Wutsqa. Rida

mempelajarinya sewaktu ia masih tinggal di Tripoli. Hingga ia akhirnya

berkeinginan untuk bertemu keduanya meski Jamal al-Din al-Afgani telah

lebih dulu wafat sebelum sempat ia temui.

Lama setelah ia banyak belajar dari Jamal al-Din al-Afgani dan

Muhammad Abduh, Rasyîd Rida mencoba menerapkan ide-ide pembaharuan

17 Ibrahim Ahmad al-Adawi, Rasyid Ridha al–Imam al-Mujahid, h. 36. 18 Muhammad Ibn Abdillah al-Salman, al-Syaikh al-Salafi wa al-Muslih. h. 36-38.

Page 58: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

45

yang dipelajarinya. Namun usahanya mendapat penolakan dan tekanan politik

dari Kerajaan Turki Utsmani. Rasyîd Rida akhirnya memutuskan untuk

pindah ke Mesir dan bisa menjumpai tokoh idolanya, M. Abduh.

Di Mesir, Rasyîd Rida kelak bukan hanya menjadi murid M. Abduh, tapi

juga menjadi orang yang melanjutkan konsep pemikiran kedua pendahulunya.

Selain tentu saja melahirkan karya besar yang banyak orang hari ini

mengenalnya sebagai kitab Tafsir al-Manar.

Melalui Tafsirnya, yaitu al-Manar Sayyid Muhammad Rasyîd Rida

berupaya mengaitkan ajaran-ajaran Alquran dengan masyarakat dan

kehidupan serta menegaskan bahwa Islam adalah agama universal dan abadi,

yang selalu sesuai dengan kebutuhan manusia di segala waktu dan tempat.

Muhammad Rasyîd Rida memiliki visi bahwa umat Islam harus menjadi

umat yang merdeka dari belenggu penjajahan dan menjadi umat yang maju”

sehingga dapat bersaing dengan umat-umat lain dan bangsa-bangsa barat

diberbagai bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, ilmu

pengetahuan dan teknologi.19

Berikut adalah beberapa ide pembaharuan yang dipublikasikan Rasyîd

Rida:

1. Kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan disebabkan

mereka tidak menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Banyak

perilaku mereka yang menyimpang dari Islam. Misalnya, menurut

Rasyîd Rida, anggapan yang menyatakn bahwa dalam Islam terdapat

ajaran kekuatan rohani yang membuat pemiliknya dapat memperoleh

segala apa yang dikehendakinya. Padahal menurut ajaran agama,

kebahagian dunia dan akhirat hanya dapat diperoleh melalui amal

usaha yang sesuai sunatullah.20

2. Kemunduran umat Islam juga disebabkan budaya paham fatalis

(Jabbariyyah). Sebaliknya, salah satu sebab kemajuan bangsa Eropa

adalah kemampun untuk berpikir rasional dan keluar dari kejumudan

dalam beragama. Padahal, Islam sebenarnya berisi ajaran yang

19 Andi Mappiaswan, Skripsi, Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam

Pengembangan Islam, (Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Alauddin Makassar: 2015), h. 24. 20 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 72

Page 59: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

46

mendorong umatnya untuk bersifat dinamis. Ajaran tersebut

terkandung dalam kata jihad, yang berarti berusaha keras dan

bersungguh sungguh dalam mencurahkan segenap pikiran, kekuatan,

dan berkurban, baik dengan harta benda maupun dengan jiwa raga.

3. Ilmu pengetahuan modern tidak bertentangan dengan Islam. Dan

sudah sepantasnya umat Islam mendambakan kemajuan, dengan

sungguh-sungguh mempelajarinya. Kemajuan yang pernah dicapai

umat Islam pada zaman klasik salah satunya karena kemajuan mereka

di bidang ilmu pengtahuan. Namun, ilmu pengetahuan tersebut telah

diabaikan oleh umat Islam yang datang kemudian, dan sebaliknya

dikembangkan oleh bangsa barat. Akibatnya, Islam mengalami

kemunduran sedangkan barat mengalami kemajuan. Karena itu, jika

umat Islam mempelajari ilmu pengetahuan dari barat, mereka

sebenarnya mempelajari kembali ilmu pengetahuan yang pernah

dimiliki.

4. Islam itu sederhana, baik masalah ibadah maupun muamalah. Ibadah

terlihat ruwet, karena hal-hal yang sunah dan tidak wajib dijadikan

hal-hal yang wajib. Hukum-hukum fiqih yang berkenaan dengan

kemasyarakatan meski didasarkan pada Alquran dan hadis, tidak

boleh dianggap absolut dan tidak dapat diubah. Hukum-hukum itu

ditetapkan sesuai kondisi suatu struktur sosial masyarakat.

5. Kemunduran umat Islam dalam bidang ini disebabkan perpecahan.

Oleh karena itu, jika ingin maju maka umat Islam harus mewujudkan

persatuan dan kesatuan yang bukan hanya didasarkan pada bahasa,

suku, atau etnis, tapi juga pada keyakinan. Rasyîd Rida, oleh

karenanya, menyeru umat Islam agar bisa bersatu dalam satu

keyakinan, sistem moral, konsep pendidikan, yang tunduk pada sistem

hukum di bawah negara. Bukan konsep negara seperti di Barat, namun

seperti pada al-Khulafa ar-Rasyîd in. Dalam hal ini, Rasyîd Rida

menganjurkan untuk membentuk organisasi al-Jami’ah al-Islamiyah

(persatuan umat Islam). Dalam politik, keterlibatan Rasyîd Rida

secara nyata juga terlihat. Ia pernah menjadi Presiden Kongres Suriah

Page 60: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

47

pada 1920, menjadi delegasi Palestina-Suriah di Jenewa pada 1921.

Rasyîd Rida juga pernah menjadi anggota Komite Politik di Kairo

pada 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Mekah pada 1926 dan

Yerussalem pada 1931.21

c. Karya dan Tafsir

Sayyid M. Rasyîd Rida cukup menghasilkan banyak karya semasa

hidupnya, antara lain Tarikh Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh ‘Abduh (Sejarah

Hidup Imam Syaikh Muhammad Abduh), Nida’ Li Al-Jins Al Latif (Panggilan

terhadap Kaum Wanita), Al-Wahyu Muhammad (Wahyu Allah yang

diturunkan kepada Muhammad Saw.), Yusr Al-Islam wa Usul At-Tasyri’ Al-

‘Am (Kemudahan Agama Islam dan dasar-dasar umum penetapan hukum

Islam), Al-Khilafah wa Al-Imamah Al-Uzma (Kekhalifahan dan Imam-imam

besar), Muhawarah Al-Muslih wa Al-Muqallid (dialog antara kaum

pembaharu dan konservatif), Zikra Al-Maulid An-Nabawiy (Peringatan

Kelahiran Nabi Muhammad Saw.), dan Haquq Al-Mar’ah As-Salihah (hak-

hak wanita Muslim).

Namun, di antara semua karya itu, Tafsir al-Manâr dikenal sebagai yang

paling fenomenal. Lengkapnya adalah Tafsir al-Qur’an al-Hakim.22 Tafsir ini

terdiri dari 12 volume, dan ditulis hanya sampai surah Yusuf ayat 53.23

Penulisan tafsir ini bermula dari kuliah tafsir Alquran yang diberikan

Muhammad Abduh di Universitas al-Azhar, antara tahun 1899-1905. Kuliah

itu kemudian dikumpulkan dalam sebuah catatan dan diterbitkan dalam

bentuk majalah al-Manâr yang kemudian dibukukan dengan nama Tafsir al-

Qur’an al-Hakim atau yang lebih populer Tafsir al-Manâr. Volume 1-3

(sampai surat al-Nisâ’ ayat 125) merupakan penafsiran Alquran berdasarkan

catatan dari Muhammad ‘Abduh. Sedangkan volume 4-12 (surat an-Nisa’ ayat

126 sampai dengan Yusuf ayat 110) adalah karya Rashid Rida sendiri yang

21 Muhammad Yasar, LC dan Muhammad Hikam, LC dengan judul Mencari Format

Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 87 22 Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran /Tafsir, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1994), h. 280. 23 Muhammad ‘Alî Iyâzî, al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran:

Mu’assasah al-Tabâ’ah wa al-Nasr, t.th), h. 664.

Page 61: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

48

jiwa dan idenya disesuaikan dengan pendapat gurunya. Oleh sebab itu, dalam

menafsirkan Alquran, Rashid Rida banyak mengikuti cara penafsiran M.

‘Abduh.

Majalah al-Manar mulai terbit pada 22 Syawal 1315 H./15 Maret 1989

M. Majalah ini terbit dalam bentuk tabloid, sekali dalam seminggu, kemudian

setengah bulan sekali, lalu sebulan sekali, bahkan kadang hanya sembilan

Edisi dalam setahun. Meski begitu, al-Manar masih bisa Rasyîd Rida

terbitkan hingga ia wafat 46 tahun kemudian (Rasyîd Rida wafat tepat pada

22 Agustus 1935 M).

Secara mendetail tidak ada referensi atau penjelasan mengenai alasan

penulisan Tafsir al-Manar. Namun, beberapa pengamat menyebutkan bahwa

pada dasarnya penulisan Tafsir al-Manar bermula dari gagasan pemikiran

dari tiga tokoh pembaharu dalam Islam yaitu Jamaluddin al-Afgani, Syekh

Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyîd Rida. Meski mereka

sepakat mengatakan bahwa penulis karya Tafsir al-Manar ini adalah hasil

tokoh yang ketiga.24

Mulanya, Rasyîd Rida sempat mengusulkan agar M. Abduh menulis kitab

tafsir. Namun hingga usulan itu mendapat hingga tiga kali penolakan oleh M.

Abduh, sekalipun ia menyadari pentingnya penulis tafsir. Di samping itu, M.

Abduh juga memiliki alasan, bahwa buku-buku tidak akan bermanfaat bagi

orang-orang yang dibutakan hatinya. Menurutnya, metode ceramah lebih

efektif daripada penulisan.25

Dalam penafsirannya, ‘Abduh tidak ingin terikat dengan pendapat mufasir

terdahulu, tetapi lebih cenderung mengombinasikan antara riwayat sahih dan

nalar rasional yang diharapkan bisa menjelaskan hikmah-hikmah syariat serta

eksistensi Alquran sebagai petunjuk manusia.26 Satu-satunya kitab tafsir yang

menjadi rujukan adalah Tafsîr Jalâlayn. Dalam hal ini Rashid Rida berbeda

dengan gurunya. Jika Abduh tidak banyak menukil pendapat para mufassir

terdahulu, Rida cenderung lebih akomodatif dan banyak menukil banyak

24 Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995),

h. 4 25Muhammad Imarah, Mencari Format Peradaban Islam. (Jakarta: PT

RajaGrafidoPersada, 2005), h. 2-3. 26 Muhammad Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (Kairo: t.p, 1954), h. 17.

Page 62: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

49

pendapat mufassir lain. Abduh mengkritik kita-kitab tafsir yang terlalu

banyak mengulas aspek bahasa dan perdebatan antar kelompok yang justru

akan mengesampingkan fungsi Alquran sebagai kitab hidayah.27

Meski ditulis juga oleh M. Abduh, namun 12 jilid Tafsir al-Manar lebih

populer dinisbatkan pada M. Rasyîd Rida. Sebab, disamping lebih banyak

yang ia tulis, pada bagian-bagian awal seperti pada surah al-Fatihah, al-

Baqarah, dan an-Nisa ditemui pula pendapat Rasyîd Rida yang ditandai

dalam kata اقول (saya berkata) sebelum uraian pendapat28 meski dalam lima

jilid pertama kitab ini ditulis oleh gurunya, M. Abduh dengan gagasan

pembaharuannya.

Sitematikan penulisan al-Manar menggunakan metode penulisan

mushafi. Hal itu bisa dilihat, dari susunan penulisan yang dimulai dari surah

al-Fatihah dan berakhir di surah an-Nas, kemudian dilanjutkan dengan

penjelasan ayat per ayat. Penjelasan dalam kitab ini disertai dengan asbab al-

nuzul, dan menjelaskan keutamaan pada setiap ayat.

Tafsir ini menjelaskan ayat-ayat Alquran dengan gaya menakjubkan dan

mengesankan, yang mengungkap makna ayat dengan mudah dan lugas, juga

mengilustrasikan banyak problematika sosial dan menuntaskannya dengan

perspektif aAlquran. Tafsîr al-Manâr adalah salah satu kitab tafsir yang

banyak berbicara tentang sastra budaya dan kemasyarakatan (adabî ijtimâ‘î).

Suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Alquran

pada segi-segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayat-

ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penekanan pada tujuan utama

turunnya Alquran, yakni memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia29 dan

merangkaikan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang

berlaku dalam masyarakat dan kemajuan peradaban manusia.

27 Dalhari, Jurnal, Karya Tafsir Modern di Timur Tengah Abad 19 dan 20 M, (Mutawatir:

Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis: 2013), Vol. 3, h. 68. 28Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir (Jakarta: BulanBintang,

1994), h. 34 29 Muhammad ‘Alî Iyâzî, al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran:

Mu’assasah al-Tabâ’ah wa al-Nasr, t.th), h. 669.

Page 63: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

50

d. Metode, Sumber, dan Corak Penafsiran

Dalam menyusun tafsir al-Manar, Rasyîd Rida menggunakan metode

penulisan tahlili (analisis). Hal itu terlihat dalam dari pola susunan

penafsirannya yang dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah

an-Nas sesuai susunan surah-surah dalam mushaf Utsmani.

Dengan metode penulisan ini Muhammad Abduh hendak menyoroti ayat-

ayat Alquran dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung

dalam ayat yang ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang

relevan dari setiap bagian ayat. Pemaparan itu diperkuat Rida dengan

pendekatan kebahasaan dan sastra, sehingga lebih memperdalam analisis.

Abduh dan Rida juga membatasi pengambilan riwayat-riwayat yang tidak

memiliki bukti kesahihannya.30

Sementara dari segi sumber penafsiran, Rasyîd Rida bisa dikatakan

mengolaborasikan antara sumber penafsiran bi al-ma’tsur (riwayat) dan bi al-

ro’yi (logika). Hal itu terlihat dari bagaimana ia menjadikan ayat-ayat Alquran

sebagai sumber utama penafsirannya. Apalagi jika kandungan ayat yang

ditafsirkan itu berkaitan atau dirinci oleh ayat-ayat lainnya.31 Rasyîd Rida

menjadikan hadis Nabi Saw, sebagai sumber kedua, dengan ketentuan hadis-

hadis tersebut memiliki kualitas sahih menurut standar ilmu hadis.

Untuk corak, setidaknya ada dua corak yang terlihat dalam model

penafsiran Rasyîd Rida, yakni corak al-Hida’I di mana dalam corak ini

dilatarbelakangi oleh pemikiran yang menjadikan hidayah atau akhlak

Alquran sebagai pusat dari usaha penafsiran terhadap Alquran. Hidayah

Alquran menjadi perhatian utama Rasyîd Rida dalam menafsirkan Alquran.

Selain al-Hida’I corak lain yang begitu terlihat yakni corak ilmi. Dalam corak

ini, ada kecenderungan Rasyîd Rida dan M. Abduh berupaya agar Alquran

memiliki relevansi dengan ilmu pengetahuan. Faizah Ali Syibromalisi dan

Jauhar Azizy, dalam bukunya Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern

(Jakarta, 2012), menjelaskan upaya Rasyîd Rida ini dilakukan agar

30 Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,

(Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, Maret, 2012), h. 96. 31 Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.

94.

Page 64: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

51

masyarakat dapat memahami pesan-pesan yang terkandung dalam Alquran

dalam menjawab tantangan dalam kehidupan sosial sehari-hari.

B. Riwayat Hidup Sayyid Qutb

a. Biografi Singkat dan Latar Belakang Pendidikan

Nama lengkapnya Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili. Ia lahir di

Musya, salah satu wilayah dari Provinsi Asyuth, kawasan dataran tinggi di

Mesir. Sayyid Qutb lahir pada 9 Oktober 1906.32 Anak sulung dari lima

bersaudara ini tumbuh dalam lingkungan dan keluarga yang taat beragama.

Ayah Sayyid Qutb, al-Hajj Qutb Ibrahim adalah anggota Partai Nasionalis

Mustafa Kamil dan pengelola majalah al-Liwa.33 Dengan kedudukannya

itulah, mendapat kepercayaan dari masyarakat di lingkungannya, hingga ia

wafat saat anak terakhirnya tengah menempuh pendidikan di Kairo.

Sementara Ibu Sayyid Qutb, bernama Fatimah adalah perempuan saleha

yang, tentu saja membesarkan anak-anaknya dalam corak pendidikan agama

yang taat.34 Hingga Sayyid Qutb tumbuh dewasa, Sang Ibu menyaksikan Qutb

sebagai seorang sastrawan sekaligus pegawai, bahkan sempat dalam beberapa

waktu lama tinggal bersama anaknya di Kairo. Sang Ibu wafat saat Sayyid

Qutb, menginjak usia 44 tahun atau pada 1940 M.

Sayyid Qutb adalah anak pertama dari lima bersaudara dengan seorang

saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan, yakni Muhammad, Nafisah,

Aminah, dan Hamidah.35

Jenjang pertama pendidikan Sayyid Qutb dimulai saat menginjak usia

enam tahun, ketika orang tuanya mengirim Qutb kecil ke sebuah madrasah

dan sekolah tradisional yang mempelajari Alquran tak jauh dari

lingkungannya. Di sekolah itu ia belajar selama empat tahun dan sudah hafal

32 Shalah Abdul Fatah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur;an Sayyid

Qutub, Terj. Salafuddin Abu Sayyid, (Era Intermedia, Solo, 2001), h. 23. 33 Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur’an Kontemporer, (Tiara Wacana Yogja, cet. I,

Yogyakarta), h. 111. 34 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, Juz 1. terj. As’ad Yasin, dkk., (Gema Insani,

Jakarta, 1992), h. 218. 35 John L. Esposito, Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern, (Mizan, Bandung, 2001),

jilid V, h. 69.

Page 65: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

52

Alquran saat berusia 10 tahun. Pengetahuannya tentang Alquran memberi

pengaruh yang besar dalam kehidupannya saat dewasa.36

Saat Revolusi Mesir pecah pada 1919, Sayyid Qutb berangkat dari

desanya ke Kairo untuk melanjutkan studi. Di sana, ia lalu bertemu dengan

Abbas Mahmud al-Aqqad, seorang sastrawan besar ketika itu, dan banyak

belajar dengannya. Lama belajar pada al-Aqqad ia lalu bergabung dengan

partai Ward. Qutb muda lalu pindah ke Hulwan untuk tinggal dengan

pamannya, yang berprofesi sebagai seorang jurnalis. Pada 1925 M, Sayyid

Qutb masuk ke lembaga pendidikan keguruan, dan lulus tiga tahun

kemudian.37

Pada 1930, beliau masuk sebagai mahasiswa di institut Darul Ulum,

setelah sebelumnya menyelesaikan tingkat tsanawiyah (tingkat menengah)

dari Tajhiziyah Darul Ulum, kemudian lulus dari perguruan tersebut pada

1933 dengan meraih gelar Lc dalam bidang sastra dan diploma dalam bidang

tarbiah. Setelah lulus kuliah, Sayyid Qutb bekerja di Departemen Pendidikan

dan beberapa kali berpindah tugas, mulai dari tenaga pengajar selama enam

tahun, menjadi pegawai kantor, dan terakhir bertugas di lembaga pengawasan

pendidikan umum hingga delapan tahun, hingga ia akhirnya departemen

tempat Qutb bekerja mengirimnya ke Amerika untuk menempuh Pendidikan

pada 1948.38

Di Amerika, ia tinggal selama dua tahun dan tiga kali belajar di tempat

yang berbeda: Wilson’s Teacher College di Washington, Greenley College di

Colorado, dan Stanford University di California.

Dalam dua tahun masa studinya, Sayyid Qutb melihat paham-paham anti-

tuhan, spiritual, sosial, ekonomi yang menimbulkan banyak kerusakan. Di

negara adikuasa inilah tumbuh kesadaran dalam diri Qutb, terutama saat ia

melihat banyak masyarakat yang senang atas kabar kematian Hasan al-Banna

pada awal 1949.

36 Yayasan Penyelenggara Penterjemah, Ensiklopedi Islam, Proyek peningkatan Prasarana

dan Sarana, (Depertemen Agama, Jakarta, 1993), h. 1039. 37 Shalah Abdul Fatah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur;an Sayyid

Qutub, Terj. Salafuddin Abu Sayyid, h. 27-28. 38 Shalah Abdul Fatah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur;an Sayyid

Qutub, h. 27-28.

Page 66: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

53

Saat kembali ke Mesir, Sayyid Qutb kemudian mengajukan surat

pengunduran diri dari pekerjaannya, dan memutuskan meluangkan banyak

waktunya untuk berdakwah dan menulis.39 Tak berselang lama ia juga

memutuskan bergabung dengan Ikhwanul Muslimin.40 Dalam organisasi ini,

Sayyid Qutb aktif dalam berbagai kegiatan, menulis berbagai artikel

keislaman yang cukup berani di berbagai surat kabar dan majalah, serta

menyiapkan berbagai kajian dan studi umum keislaman. Beliau juga menjadi

salah satu anggota Maktab Irsyad ‘Am dan menjadi ketua seksi penyebaran

dakwah, dan turut dalam memberi pengaruh wacana membawa revolusi

kepada masyarakat.

Revolusi Mesir yang pecah pada 1952 mendapat dukungan penuh dari

Ikhwanul Muslimin yang telah dipesenjatai dan mendapat pelatihan militer.

Hingga dua tahun kemudian atau 1954, Sayyid Qutb menjadi pemimpin di

harian Ikhwanul Muslimin. Namun, dua bulan kemudian, harian tersebut

dibredel atas perintah dari Presiden Mesir, Kolonel Abdul Nasser, karena

sebelumnya dinilai telah mengecam perjanjian Mesir-Inggris pada 7 Juli

1954. Sejak saat itu, Abdul Nasser menjadi musuh para anggota Ikhwanul

Muslimin.

Pembredelan harian Ikhwanul Muslimin, akhirnya disusul dengan

pembubaran organisasi itu dengan tuduhan telah melawan pemerintah resmi.

Para anggotanya ditangkap, tak terkecuali Sayyid Qutb yang ditahan tanpa

proses pengadilan. Baru setahun kemudian, atau pada 13 Juli 1955,

pengadilan umum memutuskan menjatuhkan hukuman kepada Sayyid Qutb

dengan tahanan selama 15 tahun. Sayyid Qutb sempat mendapat tawaran

bebas dari Presiden Abdul Nasser setelah belum genap setahun ditahan,

dengan syarat ia harus menyatakan permintaan maaf pada pemerintah atas

tindakannya. Namun tawasan itu ia tolak.

39 Shalah Abdul Fatah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur;an Sayyid

Qutub, h. 29. 40 Ikhwanul Muslimin adalah satu gerakan Islam yang mengajak dan menuntut tegaknya

syariat Allah, hidup di bawah naungan Islam, seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah Saw,

diserukan oleh para salafus-soleh, bekerja dengan-Nya dan untuk-Nya, keyakinan yang bersih yang

berakar teguh dalam hati, pemahaman yang benar, akal dan fikrah, syariah yang mengatur al-

jawarih, perilaku dan politik. Lihat: Zaimah dan Septian Min Ahdi, Makalah Tafsir Fi zhilalil

Qur’an Karya Sayyid Qutb, Fakultas Usuluddin IAIN Walisongo, Semarang, 2014, h. 1

Page 67: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

54

Sayyid Qutb menjalani tiga tahun pertama masa tahanannya dengan

kelonggaran. Keluarga Sayyid Qutb juga diperbolehkan menjenguk. Di masa

inilah, Sayyid Qutb menggunakannya untuk melanjutkan penulisan Tafsir Fî

Zilâl al-Qur’ân. Pada 1964, atas perintah Abdus Salam Arif, yang kelak

menjadi Presiden Irak, Sayyid Qutb dibebaskan saat kunjungannya ke Mesir.

Namun setahun kemudian, bersama saudaranya, Muhammad dan dua saudara

perempuannya, Hamidah dan Aminah, Sayyid Qutb kembali ditahan dengan

alasan yang sama, menumbangkan rezim dengan jalan kekerasan. Sayyid

Qutb bersama tiga saudaranya ditahan bersama 20 ribu, termasuk di antaranya

700 perempuan.

Masa-masa yang berat akan dialami Sayyid Qutb saat Presiden Abdul

Nasser kembali dari lawatannya ke Moskow. Ia menuduh Ikhwanul Muslimin

telah bekerjasama dalam usaha membunuhnya. Atas tuduhannya itu, tak

sampai setahuan, lewat UU No. 911 tahun 1966, Presiden Abdul Nasser telah

memberi kekuasaan penuh pada dirinya untuk menangkap tanpa proses

pengadilan yang dicurigai tergabung dalam misi penggulingan presiden.41

Pada Senin, 12 Agustus 1966 (13 Jumadil Awwal 1386), bersama dua

temannya (Abdul Fatah Ismail dan Muhammad Yusuf Hawwasy), Sayyid

Qutb akhirnya meninggal dalam tiang gantungan, meski banyak protes dari

berbagai penjuru dunia menolak keputusan pemerintah menghukum mati

tokoh penting Revolusi Mesir itu.42

b. Pemikiran Sayyid Qutb

Selain seorang mufassir, Sayyid Qutb juga dikenal sebagai salah satu

tokoh politik yang digolongkan pada kelompok fundamentalis dalam Islam.43

41 Sayyid Qutb, Perdamaian dan Keadilan Sosial, terj. Drs. Dedi Junaedi, (Akademika

Pressindo, Jakarta, cet. I, 1996), h.5-7. 42 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, Juz 1. terj. As’ad Yasin, dkk, h.319. 43 Istilah fundamentalsme pertama kali muncul dikalangan para penganut Kristen Protestan

di Amerika Serikat, sekitar tahun 1910-an. Fundamentaslisme dianggap sebagai aliran yang

berpegang teguh pada “fundament” agama Kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci agama itu

sendiri secara rigid dan literalis. Gerakan ini merupakan bagian dari fenomena responsi kalangan

konservatif terhadap perkembagan teologi liberal-modernisme dan gejala sekuler. Sedangkan

gerakan fundamentalisme Islam dapat diartikan, di antaranya, sebagai gerakan-gerakan Islam yang

secara politik menjadikan Islam sebagai ideologi dan secara budaya menjadikan Barat sebagai the

others. A. Maftuh Abegebriel dan Ibida Syitaba, Fundamentalisme Islam; Akar Teologis dan Politis,

dalam A. Maftuh Abegebriel, dkk, Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia, (Yogyakarta: Multi

Page 68: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

55

Ia telah merumuskan sejumlah agenda politik yang tertuang dalam berbagai

karyanya terutama Ma’alim fi at-Thoriq. Pemikiran-pemikiran politiknya

telah memberikan pengaruh pada gerakan-gerakan pemuda dalam melawan

Barat di berbagai negara, terutama Mesir. Secara tidak langsung mungkin

dapat dikatakan ada geneologi kekerasan yang dihubungkan dengan teori

politik Qutb yang mengakibatkan lahirnya golongan pejuang muslim garis

keras di beberapa belahan bumi.

Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, negara-negara Islam masih

menjadi koloni-koloni negara-negara Barat. Dalam kurun waktu itu, sejarah

mencatat, dinamika pemikiran Islam cukup kondusif meski dalam tensi politik

yang tinggi. Salah satu di antaranya tentu saja Sayyid Qutb. Kiprah dan

pemikiran Qutb telah banyak berpengaruh terhadap banyak gerakan-gerakan

Islam kontemporer, terutama pada Ikhwanul Muslimin, di mana dia akhirnya

menjadi salah satu petinggi di organisasi penting di Mesir itu.44

Muhammad Taufiq Barakat, dalam kitabnya yang berjudul “Sayyid Qutb:

Khulashatuhu wa Manhaju Harakatihi, membagi fase pemikiran Sayyid Qutb

menjadi tiga tahap. Pertama, tahap pemikiran sebelum mempunyai orientasi

Islam. Kedua, Tahap mempunyai orientasi Islam secara umum. Ketiga, Tahap

pemikiran berorientasi Islam militan.

Pada fase ketiga inilah, Sayyid Qutb mulai merasakan keengganan dan

muak terhadap westernisasi, kolonialisme dan juga terhadap penguasa Mesir.

Masa-masa inilah yang kemudian menjadikan Qutb aktif dalam

memperjuangnkan Islam dan menolak segala bentuk westernisasi yang kala

itu sering digembor-gemborkan oleh para pemikir Islam lainnya yang silau

akan kegemilingan budaya-budaya Barat.

Dalam pandangan Qutb, Islam telah memuat aturan komprehansif. Islam

adalah ruh kehidupan yang mengatur sekaligus memberikan solusi atas

Karya Grafika, 2004), h. 449 dan 502. Sedangkan dalam pengertian yang sesungguhnya

Fundamentalisme Islam dapat diartikan sebagai satu tradisi interpretasi sosio-religius (mazhab) yang

menjadikan Islam sebagai agama dan ideologi. Sehingga interpretasi yang dikembangkan di

dalamnya tidak hanya doktrin-doktrin teologi tetapi juga ideologis. Lihat: Hamim Ilyas, Akar

Fundamentalisme dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, h. 125. 44 Henry Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi,

(Hikmah, Jakarta, 2003), h. 280.

Page 69: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

56

problem sosial-kemasyarakatan. Selain itu, Barat sendiri menurut Qutb, telah

gagal memberikan perkembangan pada nilai-nilai bagi kemanusiaan. Dalam

pengantar bukunya Ma’alim fi Thariq, ia mengatakan: sekarang kemanusiaan

sedang berdiri di tepi jurang bukan lantaran ancaman penghancuran yang

melayang di atas kepalanya ini hanyalah gejala penyakit bukan penyakit itu

sendiri akan tetapi lantaran miskinnya kemanusiaan dalam hal memahami

“nilai” yang mungkin memelihara kehidupan manusia dalam bayangan

kemanusiaan, menjaga keselamatan dan memajukan kemajuan yang benar.

Kriteria pemikiran Sayyid Qutb, dalam Religious Resurgence yang diedit

oleh Anton dan Hegland, dengan bagus menyimpulkan proyek pemikiran

Qutb dengan pernyataan, “Islam adalah deklarasi pembebasan manusia dari

penyembahan terhadap sesama makhluk di muka bumi dan penyembahan

yang ada hanyalah pada Allah semata”. Deklarasi Islam dalam proyek

pemikiran Qutb itu tidak sebatas analisis filosofis dan kajian teoritis,

sebagaimana diklaim sebagian penulis, tetapi sekaligus sebagai deklarasi

yang bersifat progresif, aplikatif dan reaktif.45

Meski demikian, di jajaran para pemikir Islam di masanya, Qutb tak bisa

dikelompokkan dengan tokoh-tokoh reformis, semisal Abduh, sekali pun

pada beberapa sisi gerakan reformisme juga tampak jelas dalam gagasan dan

pemikiran Sayyid Qutb. Ada perbedaan mendasar antara Sayyid Quhtb dan

Abduh. Misalnya, bila Abduh berupaya mendekatkan Islam pada gagasan

keagamaan barat yang konsisten dengan rasionalitas sains dan sekularisme

masyarakat, maka tidak dengan Qutb. Bagi Qutb, justru melawan kemodernan

dengan cara yang modern. Sebaliknya, Qutb malah bisa dan mesti

disejajarkan dengan para pemikir Eropa dan Dunia, karena menolak dikotomi

antara mistisisme Timur dan rasionalisme Barat. Dengan kata lain, Qutb ingin

mengambil sikap otentik dari apa yang ia yakini dari agamanya, yakni sikap

pasrah (Islam).

Tampaknya Qutb dinilai radikal bukan karena dia telah mencela semua

pemerintahan muslim yang ada. Namun, dia berbicara mengenai pembebasan

45 Henry Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi, h.

282.

Page 70: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

57

umat manusia dari semua yang dapat menghalangi realisasi potensi yang telah

di ciptakan Tuhan bagi mereka. Sebagaimana di tulis Robert D. Lee dalam

Overcoming Tradition and Modernity: The Search for Islamic Authenticity,

Qutb berpendapat bahwa umat manusia yang otonom dapat melalui tindakan

berdasarkan keimanan dan kemauan untuk membentuk komunitas Islam yang

otentik. Dalam komunitas inilah, Qutb berkata bahwa pembebasan manusia

dapat di upayakan secara maksimal.46

Pada kesimpulan tentang kebebasan berkehendak, Qutb menyatakan

bahwa kebebasan ini adalah salah satu asas dari rukun untuk membangun

keadilan sosial dalam Islam, tetapi kebebasan ini adalah dasar yang paling

fundamental untuk menegakan bagian-bagian penting dalam mewujudkan

keadilan sosial.47 Dalam penjelasannya tentang kebebasan ia memulai dengan

pernyataan bahwa Islam memulai dengan membebaskan manusia dari

menyembah sesuatu selain Allah dan dari ketundukan kepada sesuatu selain

Allah. Maka tidak ada ketundukan kepada selain Allah termasuk juga pada

penguasa.

Mencermati gagasan ini, tersirat jelas pemikiran dan gerakan Qutb dengan

karakteristik otentisisme Islam (Islam otentik). Sayyid Qutb berkeinginan

besar ingin menampilkan Islam dalam wajah dan bentuknya yang modern,

tetapi memiliki sikap dan prinsip tegas. Itulah jalan Sayyid Qutb.48

c. Karya dan Tafsir

Sayyid Qutb meninggalkan sejumlah kajian dalam bidang sastra dan studi

keislaman49, berikut di antaranya:

1) At-Taswīrul Fanni fī al-Qur’ān (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1945) atau Seni

Penggambaran dalam al-Qur’ān, diterjemahkan oleh Khadijah

Nasution (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981).

46 Henry Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi, h.

283. 47 Sayyid Qutb, al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam (Kairo: Darul Kitab al-‘Arabi, 1967),

cet 7, h. h. 51. 48 Henry Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi, h.

284. 49 Muhammad Chirzin, Jihad Menurut Sayid Qutb dalam Tafsir Ẓilāl, (Era Intermedia,

Solo, 2001), h. 52.

Page 71: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

58

2) Masyāhid al-Qiyāmah fī al-Qur’ān (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1947) atau

Hari Akhir Menurut al-Qur’an, diterjemahkan oleh Abdul Aziz

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994).

3) Al-‘Adalah al-Ijtimā’iyyah fī al-Islām (Kairo: Dar al-Kitab al’Arabi,

1948) atau Keadilan Sosial dalam Islam, diterjemahkan oleh Afif

Mohammad (Bandung: Pustaka, 1994).

4) Fī Ẓilāl al-Qur’ān (Kairo: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, tanpa

tahun) atau Tafsir di Bawah Naungan al-Qur’ān, Juz I di terjemahkan

oleh Bey Arifin dan Jamaluddin Kafie (Surabaya: Bina Ilmu, 1982).

Manhaj Hubungan Sosial Muslim Non-Muslim, fī Ẓilāl, Juz IX,

diterjemahkan oleh Abu Fahmi, (Jakarta: Gema Insan Press, 1993).

Dasar-Dasar Sistem Ekonomi Sosial dalam Kitab Tafsir fī Ẓilāl al-

Qur’ān, diterjemahkan oleh Muhammad Abbas Aula, (Jakarta: Litera

Antarnusa, 1987). Pada tahun 1996 Afif Mohammad telah

menyelesaikan penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia, tetapi

hingga hari ini belum terbit.

5) As-Salām al-‘Alamī wa al-Islām (Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1951)

atau Jalan Pembebasan: Rintisan Islam Menuju Perdamaian Dunia,

diterjemahkan oleh Bedril Saleh (Yogyakarta: Shalahuddin Press,

1985).

6) Al-Mustaqbāl lī Haża ad-Din (Kairo: Maktabah Wahbah, tanpa tahun)

atau Islam Menyongsong Masa Depan, diterjemahkan oleh Tim

Shalahuddin Press, (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1987).

7) Haża ad-Din (Kairo: Dar al-Qalam, tanpa tahun) atau Inilah Islam,

diterjemahkan oleh Anwar Wahdi Hasi, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986).

8) Al-Islām wa Musykilāt al-Ḥāḍarah (Kairo: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-

‘Arabiyyah, 1962) atau Islam dan Problema-Problema Kebudayaan.

9) Khaṣa’iṣut at-Taṣawwuril Islāmī wa Muqawwīmatuhu (Kairo: Daru al-

Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1962) atau Karakteristik Konsepsi Islam,

diterjemahkan oleh Muzakir, (Bandung: Pustaka, 1990).

Page 72: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

59

10) Ma’ālim fiṭ-Ṭāriq (Kairo: Maktabah Wahbah, 1964) atau Petunjuk

Jalan, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin, (Jakarta: Media

Dakwah, 1994).

11) Ma’rākatūna Ma’al Yahūd, (Bairut: Daru asy-Syuruq, 1978) atau

Perbenturan Kita dengan Yahudi.

12) Dirāsat Islāmiyyah, (Kairo: Maktabah Lajtani asy-Syabab alMuslim,

1953) atau Beberapa Studi Tentang Islam, diterjemahkan oleh A.

Rahman Zainuddin, (Jakarta: Media Dakwah, 1982).

13) Nahwa Mujtāma’ Islāmi dalam al-Muslimun, tahun 1953-1954 atau

Masyarakat Islam, diterjemahkan oleh H.A. Muthi’ Nurdin (Bandung:

Al-Ma’arif, 1978).

14) An- Naqdul Adābi: Ushuluhu wa Manāhijuhu (Kairo: Daru al-Fikr al-

‘Arabi, tanpa tahun) atau Kritik Sastra: Prinsip Dasar dan Metode-

Metode.

15) Ma’rākah al-Islām wa ar-Ra’sumaliyah (Kairo: Dar al-Kitab al’Arabi,

1951) atau Perbenturan Islam dan Kapitalisme.

16) Fit-Tāriḥ: Fikrah wa Manāhij (Bairut: Daru asy-Syuruq, 1974) atau

Teori dan Metode dalam Sejarah.

17) Muhīmmah Asy-Syā’ir fī al-Hāyah (Kairo: Lajnatun Nasyr li

alJami’iyyin, tanpa tahun), atau Urgensi Penyair dalam Kehidupan.

18) Naqdu al-Kitāb Mustaqbal aṡ-Ṡaqāfah fī al-Misr (Jeddah: Ad-Dar as-

Su’udiyyah li-Nasyr wa-Tauzi’, tanpa tahun) atau Kritik Terhadap

Buku Masa Depan Peradaban di Mesir.

19) Ṭifli min al-Qaryāh (Kairo: Lajnatun Nasyr li al-Jami’iyyah, 1946) atau

Seorang Anak dari Desa.

20) Al-Asywak (Kairo: Daru Sa‟d Mishr bi al-Fujalah, 1947) atau

DuriDuri.

Selain itu, Sayyid Qutb juga pernah menulis beberapa studi namun

kemudian ditarik dari peredarannya, yakni:50

1) Mihimmah asy-Syā’ir fī al-Hāyah.

50 Shalah Abdul Fatah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur;an Sayyid

Qutub, h. 42.

Page 73: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

60

2) Dirāsah ‘asy-Syaūqi

3) Al-Murāhaqah Akhṭāruha wa ‘Ilājuha

4) Al-Mar’ah Lug Basiṭ

5) Al-Mar’ah fī Qaṣaṣ Najīb Maḥfuẓ

6) Diwān: Aṣdā’ az-Zāman

7) Diwān: al-Ka’s al-Masmūmah

8) Diwān: Qafīlah ar-Rāqiq

9) Diwān: Hulm al-Fajr

10) Qiṣṣah al-Quṭaṭ ad-Dhallāh

11) Qiṣṣah min A’māq al-Wādi

12) Al-Mażāhib al-Fannīyah al-Mu’aṣīrah

13) Aṣ-Ṣuwār wa aẓ-Ẓilāl fī asy-Syi’r al-Arābi

14) Al-Qiṣṣah fī al-Adāb al-Arābi

15) Syu’āra’ asy-Syahāb

16) Al-Qiṣṣah al-Hadīṡah

17) Arābī al-Muftāra ‘alaih

18) Asy-Syārif ar-Rīdha

19) Lahżat ma’ā al-Khalīdin

20) Amrīka Allāti Ra’aitu.

Adapun beberapa karya Sayyid Qutb yang mengakibatkan dirinya diburu

oleh rezim Presiden Abdul Naser dan dihukum mati, yakni:

1) Ma’ālim fī at-Ṭāriq, seri kedua.

2) Fī Ẓilāl as-Sīrah

3) Fī Maukīb al-Imām

4) Muqawwīmat at-Taṣawwur al-Islāmi

5) Nahwu Mujtamā’ Islāmi

6) Hażā Al-Qur’ān

7) Awwalīyyat fī Hażā ad-Din

8) Taṣwibat fī al-Fikr al-Islāmi al-Mu’āṣir.

Page 74: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

61

d. Metode, Sumber, dan Corak Penafsiran

Secara garis besar, bila mencermati metode penulisan Sayyid Qutb, akan

terlihat signifikan metode yang ia gunakan dalam menulis tafsirnya adalah

metode tahlili (analisis). Meski begitu, Qutb juga tidak sepenuhnya

menggunakannya secara mutlak. Sebab, dalam beberapa bagian, ia juga

menggunakan ayat lain dalam menafsirkan sebuah ayat di mana hal itu

merupakan salah satu contoh metode tematik. Namun itu juga tidak dapatnya

menyebutnya semi tematik, karena sayyid Qutb tidak memberi judul atau

tema dari ayat-ayat yang sedang ia tafsirkan.51

Lebih jauh mengenai sumber penafsiran Sayyid Qutb, tampaknya ia

begitu berhati-hati untuk tidak keluar dari riwayat-riwayat yang sahid

mengenai tafsir. Upaya itu ia lakukan dengan sebisa mungkin untuk selalu

merujuk pada kita-kita tafsir bi al-ma’tsur (riwayat). Namun demikian, di

samping itu ia juga kerap menggunakan bi al-ro’yi (logika), seperti

penafsirannya pada surah at-Taubah ayat 44-45. Dalam ayat yang

menjelaskan tentang jihad ini, Qutb menegaskan bahwa salah satu dari bentuk

jihad adalah dengan perang fisik. 52

Ada perubahan corak yang terlihat dalam penafsiran Sayyid Qutb.

Mulanya sebelum ditangkap, penafsiran Qutb lebih cenderung pada corak

penafsiran adabi ijtima’I, yaitu corak yang diperkenalkan M. Abduh. Dalam

corak ini, penafsiran lebih terlihat sebagai jawaban dan berdasarkan

kepentingan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Namun, pasca Qutb

cukup lama mendekam di penjara, ada perubahan corak yang terlihat, yang

bukan hanya corak adabi ijtima’I, namun ada pula corak perjuangan dan

pendidikan.53

51 Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.

138. 52 Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.

138. 53 Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.

139.

Page 75: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

62

BAB IV

ANALISIS KOMPARATIF PEMIKIRAN M. RASYÎD RIDA DAN

SAYYID QUTB

A. Penjelasan Kata

a. Tafsir Ayat Qitâl dalam Alquran Menurut Mufassir

Menurut bahasa, seperti dijelaskan dalam bab sebelumnya, perang adalah

bentuk permusuhan antara dua atau beberapa pihak. Baik antar perseorangan,

kelompok, negara-bangsa melalui tentara, hingga agama. Kata qitâl (قتال)

merupakan bentuk masdar dari kata qâtala-yuqâtilu ( اتلقاتل, يق ), tepatnya sulasi

majid satu huruf bab fi’âl dari kata qâtala yang memiliki tiga pengertian:

pertama, berkelahi melawan seseorang. Kedua, memusuhi (adâhu) dan ketiga,

memerangi musuh (hârabahû al- ‘adâ’).1

Penggunaan kata al-qitâl dalam Alquran, dengan berbagai bentuknya

disebut dalam al-Qur’an sebanyak 9 kali,2 yakni pada surah Al-Baqarah [2]

ayat 216, 217, dan 246; surah Ali ‘Imran [3] ayat 121 dan 167; surah An-Nisa’

[4] ayat 77; surah al-Anfal [8] ayat 65; surah al-Ahzab [33] ayat 25; dan surah.

Muhammad [47] ayat 20. Sedangkan derivasinya disebut dalam 157 ayat. 3

Selain al-qitâl, peperangan dalam Alquran juga terjemahan dari kata al-

hârb dan al-ghazwah. Namun, di antara ketiganya, kata qitâl lebih sering

digunakan dalam Alquran. Menurut istilah, perang dalam bentuk kata al-qitâl,

berbeda dengan potret kata al-hârb. Dalam bentuk kata, al-qitâl merupakan

bentuk pertentangan fisik antara kelompok yang bertengkar yang lebih

menunjukkan pada sisi taktis yang berakibat melayangnya nyawa karena

pembunuhan dan imbulnya kesengsaraan.4 Jika kata qitâl dalam Alquran,

menurut Fuad Abd Bagi disebut sebanyak sembilan kali, kata hârb beserta

1 Ibn Manzur, Lisân al- ‘Arab, (Qâhirah: Dâr al-Ma’ârif, t.t), Jilid. V, h.3531. 2 Muhammad Fuâd Abd al-Bâqἷ, Mu’jam al-Mufahras li Al-fâz al-Qurân, (al-Qâhirah :

Dâr al-Hadἷs,t.t. ), h. 645. Sedangkah Lilik Ummi Kultsum dan Abdul Moqsith Ghazali dalam

Tafsir Ayat-Ayat Ahkam mencatat sebanyak 13 kali dalam 7 surat. Jumlah itu beserta beberapa

bentuk derivasinya. Lihat Lilik Ummi Kultsum, Abdul Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam,

(Jakarta: UIN PRESS, 2015), h. 155. 3 Muhammad Fuâd Abd al-Bâqἷ, Mu’jam al-Mufahras li Al-fâz al-Qurân, h. 643-645. 4 Sa’id Ramadan al-Buthi, Fiqh al-Sirah (Beiru: Dar al-Fikr, 1986), h. 170.

Page 76: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

63

derivasinya dalam Alquran disebutkan sebanyak enam kali5, yaitu pada surah

Al-Baqarah [2] ayat 279, al-Ma’idah [5] ayat 33 dan 64, al-Anfal [8], ayat 57,

at-Taubah [9] ayat 107, dan surah Muhammad [47] ayat 4 (rincian ayatnya lihat

pada bab dua).

Penggunaan kata al-hârb, berarti penyerangan dan pertempuran yang

membabi-buta, tidak menggunakan aturan serta melanggar prikemanusiaan

serta bersifat habis-habisan.6 Oleh karenanya, perintah perang dalam Islam

(Alquran) tidak menggunakan kata al-hârb, melainkan al-qitâl.

Menurut Ibn Faris, qitâl memiliki dua pengertian, yaitu izlâl: yang berarti

merendahkan, menghina, melecehkan; dan imâtah: yang berarti membunuh

dan mematikan.7 Di samping pengertian tersebut, kata qitâl juga merupakan

salah satu bentuk derivasi dari kata qâtala yang memiliki beberapa arti seperti,

mencampur, mematikan atau membunuh, mengutuk, menolak keburukan,

menghilangkan lapar atau haus, menghina, merendahkan, dan melecehkan.8

Menurut para ahli tafsir, seperti yang dikemukakan Al-Qurthubi dalam

tafsirnya, qitâl didefinisikan berperang melawan musuh-musuh Islam dari

kalangan orang-orang kafir.9 Al-Qasimi mendefenisikan bahwa perang adalah

melawan musuh Islam atau berjihad menghadapi mereka dengan tujuan dapat

menghancurkan, menundukkan, memaksa, atau melemahkan mereka.10

Peperangan dalam Islam memliki aturan jelas yang menghargai nilai-nilai

kemanusiaan sebagaimana yang diajarkan Nabi Saw. Di antaranya, tidak boleh

ada dendam dalam peperangan, dilarang membunuh orang yang tidak ikut

berperang, tidak lari dalam peperangan, tidak boleh menikam dari belakang,

tidak boleh membunuh perempuan kecuali perempuan yang ikut berperang,

5 Fu'ad ‘Abd al Bāqī, Mu‘jam al-Mufahras li Alfāz al-Qur'ān al-Karīm (Beirut: Dār al-

Fikr, 1994), h. 197. 6 Abdullah al-Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam , Vol. IV (Jakarta: PT Ikhtiar Baru

Van Have, 1996), h. 1395. 7 Abἷ al- Ḫusain Aẖmad Ibn Faris Ibn Zakariyya, Mu’jam Maqâyis al-Lugah, Tahqiq

‘Abd As-Salâm Muẖammad Ḫarûn (Beirut: Dâr al-Fikr, 1979), Juz. V. h.56. 8 Ibrahim Musthafa, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Maktabah asy-Syuruq ad-Daūliyyah,

t.t.), Jilid II, h.715. Lihat juga Lilik Ummu Kaltsum, Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat

Ahkam, h. 155. 9 Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah, 1964).

Juz. III, h.38. Lihat juga Lilik Ummu Kaltsum, Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h.

156. 10 Al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wἷ l (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418), Juz. II, h.99

Page 77: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

64

tidak boleh membunuh dengan sadis, tidak boleh membunuh anak-anak, dan

tidak boleh merusak tanaman atau tumbuh-tumbuhan.

Meski demikian, menurut Quraish Shihab, pada dasarnya tak ada manusia

yang ingin berperang. Sebab, peperangan, walau bagaimanapun dapat

menimbulkan kerugian. Baik kerugian fisik seperti hilangnya nyawa, cedera,

maupun kerugian materi. Sekalipun bagi para sahabat Nabi Saw. sendiri, meski

itu merupakan anjuran untuk menegakkan keadilan dan kejayaan Islam.

Perang ibarat obat, yang tetap harus dimakan meski pahit untuk dirasakan,

namun akan berbuah manis jika telah sembuh dari sakit.

Sebagaimana dikemukakan Syalabi, bahwa Islam sebenarnya tidaklah

menginginkan peperangan. Secara fitrah, memang manusia cenderung tidak

menyukai perang dan kekerasan seperti disebut dalam QS. al-Baqarah [2]: 216.

Karenanya, ketika ayat ini turun, sebagian kaum muslim masih belum cukup

yakin dengan ayat ini untuk dijadikan alasan untuk melakukan peperangan.11

Hal tersebut juga dipertegas oleh Syihab ad-Din bahwa semua kata qitâl,

seperti tercantum pada QS. al-Baqarah [2] ayat 216-217 memang digunakan

Alquran untuk menyatakan perang, atau peperangan, yang merupakan

kewajiban yang dibebankan kepada orang-orang yang beriman. Qitâl yang

dimaksud pada ayat tersebut bermakna jihad, sebagaimana menurut Syihab ad-

Din:

كتب عليكم ٱلقتال أي فرض عليكم الهاد12

Ayat tersebut, lanjut Quraish Shihab, dari satu sisi mengingatkan

keniscayaan peperangan jika kondisi mengharuskannya. Kewajiban itu dilihat

dari kata كتب yang dihubungkan dengan kata qitâl. Sekalipun itu merupakan

perintah, namun pada dasarnya Islam merupakan agama yang membawa

kedamaian. Namun dalam satu kasus, jika suatu ketika daerah yang kita

11 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid I (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994), h.

154. 12 Syihab ad-Din Aẖmad Ibn Muẖammad al- Hâlim al-Misrἷ . At-Tibyân fἷ Tafsἷ r Garἷ b

al-Qur’ân, (Dâr: As-Saẖâbah at-Turâs bi Tanta, 1992), Juz. I, h.126.

Page 78: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

65

tempati mendapat serangan, maka hukum untuk mempertahankan tempat itu

merupakan suatu kewajiban.13

Kendati diwajibkan, dalam beberapa kondisi tak selamanya perang bisa

dilaksanakan, atau dalam bahasa lain, ada beberapa prasyarat yang harus

dipenuhi kapan dan di mana perang boleh dan harus dilakukan. Dalam QS. al-

Baqarah [2] ayat 217 disebutkan:

هر ٱلرام قتا لونك ع يس فيه قتال قل فيه ل ن ٱلشه ۦ وٱلمسجد سبيل عن وصد كبي وكفر به ٱللهنة أكب من ٱلقتل ول ي ز

وٱلفت تلونكم حته ٱلرام وإخراج أهلهۦ منه أكب عند ٱلله الون ي ق ومن ي رتدد منكم عن دينهۦ ف يمت وهو كافر

حبطت فأولئك ي ردوكم عن دينكم إن ٱستطعوا

لهم ب ٱلنهار هم فيها ف أعم يا وٱلخرة وأولئك أصح ن لدون ٱلد خ“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram.

Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi

menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah,

(menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari

sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih

besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya

memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari

agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa

yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam

kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di

akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.

Dalam ayat tersebut misalnya, perang hukumnya haram dilaksanakan

pada bulan-bulan haram, bahkan termasuk kategori dosa besar. Ar-Razi,

menerjemahkan ayat tersebut: “Berperang dalam buan itu adalah dosa besar,

dan (adalah berarti) menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada

Allah dan (menghalangi manusia dari) Masjidil Haram. Tapi mengusir

penduduknya dari Masjidil Haram (Mekah) lebih besar lagi (dosanya) di sisi

Allah”.

Pendapat ar-Razi barangkali berdasarkan pertimbangan, bahwa mengusir

Nabi dan sahabatnya dari Masjid al-Haram sama dengan menolak Islam.

13 M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan keserasian Alquran, (Jakarta:

Lentera Hati, 2008), Cet.X , Vol. 1, h.460.

Page 79: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

66

Definisi “fitnah” di sini berarti penganiayaan dan segala perbuatan yang

dimaksudkan untuk menindas umat Islam.

QS. al-Baqarah pada ayat di atas dengan kata lain menjelaskan, anjuran

perang dalam Islam pada perkembangannya memang terus bergerak dinamis.

Di masa-masa awal dakwah Nabi di Mekah, tak ada perintah perang bagi Nabi

Saw., sebab belum memenuhi prasyarat. Pasca hijrah, ketika penduduk Mekah

masih melakukan berbagai macam bentuk intimidasi dan represi, Allah Swt.

kemudian menurunkan perintah agar Nabi melawan penduduk Mekah. Namun,

dalam beberapa kondisi, seperti pada bulan haram atau di Masjid al-Haram,

perang juga tak boleh dilakukan.

b. Tafsir Fî Sabîl Allâh dalam Alquran Menurut Mufassir

Secara bahasa, kata fî sabîl Allâh terdiri dari tiga kata yang dirangkai

menjadi satu, yakni lafaz “fi” yang dalam bahasa Arab merupakan huruf jar14

artinya “di dalam”. Sedangkan lafaz sabîl Allâh terdiri dari dua kata, yakni

“sabîl” dan “Allah”, yang dalam ilmu tata bahasa Arab disebut mudhaf dan

mudhaf ilaih.15 Sabîl bermakna asli “al-Thariq” yang berarti “jalan”. Dalam

kamus Al-Munjid, sabîl Allâh adalah isim mufraf (kata tunggal). Sedangkan

dalam bentuk jama’ (jamak) yaitu: أسبله – أسبله – سبوله – سبل – سبل artinya, jihad,

menuntut ilmu, haji, dan apa saja yang diperintahkan Allah yang mengandung

unsur kebaikan. Selain sabîl, ada juga lafaz سبيله yang berarti jalan yang

dilewati.16

Berdasarkan kesepakatan ulama bahwa kata fî sabîl Allâh mempunyai dua

arti yakni; muwassain (meluaskan makna) dan mudhayyiqin (menyempitkan

makna).

Sementara menurut istilah, kata sabîl Allâh adalah kalimat yang bersifat

umum. Ia mencakup segala amal yang mengantarkan seseorang pada rida

Allah Swt. dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan

14 Huruf Jar adalah حرف يجر على إنحرار على إنحرار ما بعده “huruf-huruf yang menjarkan isim

yang sesudahnya. 15 Mudhof dan mudhaf ilaih itu adalah dua kalimat isim yang digabung menjadi satu

ungkapan supaya memberikan sebuah pemahaman yang bermanfaat. 16 Lausil Maluf, Kamus al-Munjid al-Lughah, (Bairut: Darul Masyrik, 2007), h. 320.

Page 80: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

67

larangan-Nya. Jadi, yang dimaksud sabîl Allâh adalah orang yang berjuang di

jalan Allah.17

Ibnu Atsir, seperti dikutip dalam Ensklopedi Islam memberi dua

pengertian pada kata “fi sabîl Allâh”. Pertama, bila kata ini disebut secara

mutlak atau sempit, biasanya digunakan untuk arti jihad (berperang melawan

orang kafir). Sebab, umumnya kata ini digunakan seolah hanya untuk

pengertian jihad.18 Kedua, dalam pengertian lebih luas, fi sabîl Allâh

digunakan untuk semua amal yang ikhlas ditujukan untuk mengabdikan diri

kepada Allah Swt., meliputi segala perbuatah baik, untuk pribadi maupun

untuk masyarakat.

Dalam Alquran, kata “fi sabîl Allâh” disebut sebanyak 45 kali, dari 42

surah dalam 13 surah,19 yakni pada surah al-Baqarah [2] ayat 154, 190, 195,

218, 244, 246, 261, 262, dan 273; surah Ali ‘Imran [3] ayat 13, 146, 157, 167,

dan 169; surah an-Nisa [4] ayat 74, 75, 76, 84, 89, 94, 95, dan 100; surah al-

Maidah [5] ayat 54; surah al-Anfal [8] ayat 60, 72, 74; surah al-Taubah [9] ayat

19, 20, 38, 41, 60, 81, 111, dan 120; surah al-Hajj [22] ayat 58; surah al-Nur

[24] ayat 22; surah Muhammad [47] ayat 4 dan 38; surah al-Hujurat [49] ayat

15; surah al-Hadid [57] ayat 10; surah al-Shaff [61] ayat 11; dan surah al-

Muzammil [73] ayat 20.

Di antara semua surah tersebut, berdasarkan turunnya, hanya surah al-

Muzammil [73] ayat 20 yang masuk kategori Makiyyah. Sementara sisanya

masuk dalam kategori Madaniyyah. Berikut, penulis cantumkan beberapa

kutipan ayatnya khususnya yang berhubungan dengan qitâl sesuai tema skripsi

ini:

QS. al-Baqarah [2] ayat 190:

17 Abdullah al-Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam , Vol. IV, h. 1523 18 Usaha sungguh-sungguh atau yang dalam Alquran disebut mujahadah. Dalam pengertian

khusus, mujahadah secara fisik disebut jihad. Sementara mujahadah dengan akal disebut ijtihad.

Secara umum, mujahadah dan ijtihad diartikan sama, yakni penumpahan segala kesempatan. Lihat,

Amir Nuddin, Ijtihad ‘Umar bin al-Khatab, (Jakarta: CV Rajawali, 1991), h. 53. 19 Jamalia Idrus, Makna Fi Sabilillah dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Tafsir Maudhu’iy,

(Skripsi, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis, UIN Sultan Syarif Kasim, Riau, 2011), h. 23-

35. Lihat Muhammad Fuâd Abd al-Bâqἷ, Mu’jam al-Mufahras li Al-fâz al-Qurân, h. 433-436.

Page 81: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

68

إنه ٱلله ل يب ٱلمعتدين تلونكم ول ت عتدوا وقتلوا ف سبيل ٱلله ٱلهذين ي ق

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,

(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah

tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.

Kata qitâl dalam ayat tersebut merupakan bentuk fi’il mudâri yang

menjelaskan bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah Swt. (mati)

sebenarnya mereka itu hidup namun di alam lain. Mereka mendapat nikmat

dari Allah, namun tidak menyadarinya.20

QS. al-Baqarah [2] ayat 246:

بن ب عد موسى إذ قالوا لنب أل ت ر إل ٱلمل من

م إسرءيل من عث لنا ملك له تل ا ٱب سبيل ف ن ق قالوا وما لنا

تلوا تم إن كتب عليكم ٱلقتال أله ت ق قال هل عسي تل ف سبيل ٱلله و ٱلله قد أله ن ق

ا كتب عليهم ٱلقتال ت ولهوا إله قليل نائنا ف لمه هم أخرجنا من ديرن وأب عليم بٱلظهلمي و م ن ٱلله“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil

sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi

mereka: "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang

(di bawah pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab:

"Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak

akan berperang". Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau

berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari

anak-anak kami?". Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka,

mereka pun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan

Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim”.

Ayat ini menceritakan tentang pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi

Musa as. Ketika mereka berkata kepada Nabi mereka, mereka menginginkan

seseorang yang diangkat menjadi raja untuk memimpin mereka berperang di

jalan Allah Swt., namun ketika perang itu telah diwajibkan kepada mereka,

mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja, dan Allah Maha

Mengetahui orang-orang yang zalim.21

20 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT.CV.Toha

Putra, 1989), h. 39. 21 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 60.

Page 82: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

69

QS. Ali ‘Imran [3] ayat 167.

وقيل لم ولي علم ٱلهذين نف قالوا لو ن علم قتال قوا

كم له ت عالوا قتلوا ف سبيل ٱلله أو ٱدف عوا ٱت هب عن

وههم مها لي هم للين ي قولون بف رب من أعلم با يكت هم للكفر ي ومئذ أق مون س ف ق لوبم وٱلله“Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada

mereka dikatakan: "Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah

(dirimu)". Mereka berkata: "Sekiranya kami mengetahui akan terjadi

peperangan, tentulah kami mengikuti kamu". Mereka pada hari itu lebih

dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. Mereka mengatakan dengan

mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih

mengetahui dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka

sembunyikan”.

Ayat ini menjelaskan kemahatahuan Allah terhadap orang-orang munafik.

Mereka diajak untuk berperang di jalan Allah dan apabila tidak termotivasi,

maka berperanglah untuk membela diri, keluarga, dan harta. Namun mereka

menghindar dengan alasan yang dibuat-buat, mereka lebih dekat dengan

kekafiran. Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan.22

QS. An-Nisa’ [4] ayat 84 (qitâl dalam bentuk fi’il Amr):

وحر ض تل ف سبيل ٱلله ل تكلهف إله ن فسك س ٱلهذين ٱلمؤمني عسى ٱلله ف ق

أن يكفه ب

س أشد ب وٱلله

يل تنك وأشد ا كفروا

“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani

melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para

mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan

orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras

siksaan (Nya)”.

Ayat ini menerangkan bahwa diperintahkan untuk berperang di jalan

Allah. Dalam ayat ini terdapat isyarat, bahwa Nabi SAW. diwajibkan

memerangi orang-rang kafir meskipun hanya sendiri, hal ini berkaitan dengan

22 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 105.

Page 83: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

70

ketidakmauan sebagian besar orang Madinah untuk ikut berperang Bersama

Nabi Saw. Allah telah menjanjikan kemenangan.23

Selain menyebut kata fi sabîl Allâh, empat ayat tersebut sekaligus

mengandung perintah qitâl. Dengan demikian, Alquran memang

memerintahkan agar umat Islam bisa berjuang di jalan Allah, sekalipun itu

harus melalui jalan perang.

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris memaknai, kata fi sabîl Allâh untuk

kepentingan umum, seperti tegaknya agama, negara, dan bukan untuk

kepentingan pribadi. Dalam kehidupan bermasyarakat, hal demikian bisa

termanifestasikan misalnya dengan membangun panti jompo, madrasah,

pesantren, membangun organisasi untuk kepentingan masyarakat, dan

sebagainya. Dalam kasus qitâl, dan lebih umum jihad, fi sabîl Allâh

direalisasikan dengan membeli senjata, atau memenuhi kebutuhan logistik para

prajurit.24

Sedangkan Yusuf al-Qardhawi berpendapat, tidak ada perluasa arti sabîl

Allâh, selain hanya untuk perbuatan yang menimbulkan kemaslahatan dan

untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Demikian halnya kata itu tak

dipersempit hanya untuk jihad.25 Tak jauh berbeda, Sayyid Sabiq

mengemukakan, fi sabîl Allâh secara definitif, merupaka jalan yang

mengantarkan pada keridaan Allah Swt., baik dengan ilmu maupun amal.26

Pendapat lebih tegas disampaikan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni.

Menurutnya, fi sabîl Allâh adalah lema dalam Alquran yang memiliki makna

secara mutlak, yakni untuk jihad. Sebab, sebagian besar ayat yang menyebut

fi sabîl Allâh, umumnya merupakan perintah jihad, kecuali beberapa ayat yang

menunjukkan perintah lain.27

Menurut Imam al-Ghazali misalnya. Ia memberi keterangan tentang lema

fi sabîl Allâh untuk para kelompok yang berhak menerima zakat, meski masih

dalam konteks peperangan. Hanya saja, Imam Ghazali lebih spesifik pada

23 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 133. 24 M.Abdul Qadir Abu Faris, Infaq al-Zakah fi al Maslahah al-Ammal, ahli bahasa: Said

Aqil al-Munawar, Kajian Kritis Pendayagunaan Zakat, (Semarang: Dina Utama, t.th), h. 52-53. 25 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 1991), h. 633. 26 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 3, (Bandung : PT al-Ma’arif, 1990), hal. 101. 27 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, h. 617.

Page 84: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

71

mereka yang berhak menerima bagian, sekalipun ia adalah orang kaya. Bagian

yang berhak mereka terima sebagai bantuan bagi mereka yang terlibat dalam

perang.

Salah satu ayat yang menyebut fi sabîl Allâh, dengan diiringi kata selain

jihad atau qitâl, antara lain terdapat dalam surah al-Baqarah [2] ayat 195, di

mana dalam ayat ini fi sabîl Allâh diiringi dengan kata infak:

إنه ٱلله يب ٱلمحسني وأنفقوا ف سبيل ٱلله ول ت لقوا بيديكم إل ٱلت ههلكة وأحسن وا

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu

menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,

karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.

Hal ini dipertegas dalam surah al-Baqarah [2] yang lain, yakni pada ayat

273:

سب هم ٱلاهل أغنياء من رض ٱل ف للفقراء ٱلهذين أحصروا ف سبيل ٱلله ل يستطيعون ضرب ي

هم ل يس لون ٱلنهاس إلاف ٱلت هعفف ت عرف هم بسيم ٱلله بهۦ عليم فإنه خي من تنفقوا وما ا

“(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan

Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu

menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta.

Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta

kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu

nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha

Mengetahui”.

Ayat ini mempertegas bahwa berjihad, bukan hanya dapat dilakukan

dengan jiwa, melainkan juga dengan harta kekayaan. Dua pilihan itu dilakukan

jika hanya dapat melakukan salah satu di antaranya, maka yang wajib itulah

yang dilakukan.

Hal itu sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir, bahwa orang-orang yang

berjihad mengabdikan dirinya kepada Allah Swt., mereka tidak memiliki

sarana untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Sebab, mereka terlalu

khusuk dalam berjihad, sehingga mereka tidak ada waktu untuk melakukan

Page 85: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

72

aktifitas lain, seperti berdagang atau mencari penghidupan lain.28 Oleh

karenanya, al-Maraghi menambahkan, mereka wajib diberi biaya. Termasuk

berjuang di jalan Allah di era sekarang, seperti orang-orang yang menyibukkan

diri untuk kepentingan publik, dan menegakkan Islam.29

Meski tak menyinggung kata qitâl atau jihad, para ulama tafsir memaknai

ayat ini masih dalam konteks peperangan, di mana infak di sini dimaksudkan

sebagai upaya untuk menegakkan Islam, dan untuk mengalahkan musuh. Oleh

karenanya, Buya Hamka menekankan bahwa dalam menghadapi musuh dalam

peperangan di jalan Allah Swt., penyediaan logistik untuk kebutuhan selama

peperangan harus dilipatgandakan.30

B. Tafsir Perang (Qitâl) Fî Sabîl Allâh Menurut M. Rasyîd Rida

Jika merujuk pada definisi sebelumnya tentang makna Fî Sabîl Allâh,

Rasyîd Rida termasuk kelompok ulama yang memberi makna muwassain

(meluaskan makna) terhadap definisi Fî Sabîl Allâh. Bagi Rasyîd Rida,

pengertian Fî Sabîl Allâh bukan hanya mutlak terkonotasi pada makna qitâl,

melainkan lebih umum, yakni berjuang untuk umum, seperti pengentasan

kemiskinan, kebodohan, dan lebih umum seperti membangun kualitas

masyarakat.31

Menurut Rida, sekalipun Nabi sendiri melakukan perang dan

memerintahkan berperang, namun perang yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.,

dan umat muslim saat itu bukan dengan tujuan penaklukan (The conquest),

namun lebih untuk mempertahankan diri (defensif).32 Pendapat itu sejalan

dengan pendapat pendahulunya, Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh,

serta para pemikir modernis sesudahnya seperti Mahmud Syaltut. Tentu saja

penafsiran Rasyîd Rida, maupun kedua gurunya dilatarbelakangi oleh kondisi

28 Imam Abi Fida al-Hafazh Ibnu katsir al-Damasyqiy, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim,

(Kairo: Darul Hadis, 2003), Jilid 1, h. 401. Ahli bahasa: Bahrun Abu Bakar, judul Tafsir Ibn

Katsir, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008). 29 Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Berut: Darul Fikr, 2006), h. 279. Ahli

bahasa: Anshori Umar Sitanggal, dkk, Terjemahan Tafsir al-Maraghi, Semarang: Toha Putra. 30 Hamka, Buya, Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 2007), Jilid I,

h. 452. 31 Djunaidi, Rasyid Ridha Ide-Ide Pembaharua”, (Jurnal Tajdid, Vol. IX, No. 2, 2010), h.

71. 32 Djunaidi, Rasyid Ridha Ide-Ide Pembaharuan, h. 71.

Page 86: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

73

sosial dan politik masyarakat Mesir yang tengah berjuang melepaskan diri dari

kolonialisasi Inggris.

Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyîd Rida misalnya, dalam menafsirkan

ayat perang (qitâl), pada QS. al-Baqarah [2] ayat 190, sebagai berikut:

ت وقتلوا إنه ف سبيل ٱلله ٱلهذين ي ق ٱلله ل يب ٱلمعتدين لونكم ول ت عتدوا

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,

(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah

tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.

Definisi “melampauai batas” dalam ayat di atas, menurut M. Abduh seperti

dikutip Rasyîd Rida dalam tafsirnya, adalah tak ikut memerangi orang-orang

yang tak terlibat dalam peperangan, seperti anak-anak, perempuan, orang sakit,

atau mereka yang sudah menyerah dan mengajak berdamai.33 Sekalipun musuh

adalah orang-orang yang lebih dulu menyerang dan memusuhi.

Meski ayat ini secara tegas memberi perintah agar umat Islam melakukan

perlawanan dengan jalan perang, Rasyîd Rida menafsirkan, ayat tersebut

memberi batasan agar umat Islam tidak melampauai batas dalam melakukan

perang dan melawan segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh orang-

orang kafir ketika itu.

Dengan kata lain, perang yang dilakukan semata-mata adalah untuk

penegakkan dan eksistensi Islam. Ayat ini sekaligus menjadi ayat kedua yang

melegalisasi perang, setelah turunnya surah al-Hajj [22] ayat 39.34

Lebih jauh mengenai surah al-Baqarah [2] ayat 190, sebagian mufassir juga

mengemukakan pendapat serupa, yakni mengenai etika perang. Dengan kata

lain, bahwa dalam berperang ada etika atau aturan yang harus diperhatikan oleh

kaum muslim dalam berperang. Salah satunya seperti dikemukakan al-

33 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur’an al-Hakim al-Syahrir bi Tafsir al-Manār,

Juz II, (Kairo: Dār al-Manar, 1954), h. 209. 34Ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Menurut Ibn al-‘Araby, ayat yang

memerintahkan perang pertama kali adalah QS. al-Hajj (22): 39. Ia beralasan adanya prinsip

tadarruj bahwa pada mulanya perang diizinkan kemudian diwajibkan. Sedangkan Menurut Rafi`

ibn Anas bahwa ayat perang pertama adalah QS. Al-Baqarah [2] ayat 190. Kemudian disusul QS.

Al-Hajj [22] ayat 39, dan seterusnya, dengan pengertian bahwa QS. Al-Baqarah [2]: 190 bersifat

menyerukan dalam rangka membalas setimpal. Sedangkan al-Hajj [22]: 39 bersifat memberi aturan

secara legal bahwa perang diizinkan.

Page 87: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

74

Mawardi, tidak boleh menyerang mereka yang tak terlibat dalam peperangan,

sekalipun mereka adalah orang musyrik.35

Asbâb al-Nuzul ayat tersebut, seperti diriwayatkan al-Wahidi dari jalur al-

Kalabi dari Abu Saleh dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Ayat di atas turun saat

Perjanjian Hudaibiyyah. Yaitu ketika Rasulullah dihalangi untuk mendatangi

Bait al-Haram, kemudian beliau diajak berdamai oleh orang-orang musyrik

agar kembali pada tahun berikutnya. Ketika tahun itu datang, beliau dan para

sahabatnya bersiap-siap untuk melakukan umrah qadha. Namun, mereka

khawatir jika orang-orang Quraisy tidak memenuhi janji mereka dan

menghalangi mereka lagi untuk memasuki Bait al-Haram, serta memerangi

mereka, sedangkan para sahabat tidak senang untuk berperang dengan

orangorang musyrik pada bulan-bulan Haram. Maka, Allah Swt., menurunkan

firmanNya ayat 190 surah al-Baqarah [2].36

Dalam ayat lain, tentang makna Perang (Qitâl) Fî Sabîl Allâh, misalnya juga

tercantum dalam surah al-Baqarah [2] ayat 246, sebagai berikut:

بن إسرءيل من ب عد م موسى إذ قالوا لنب أل ت ر إل ٱلمل من عث لنا ملك له تل ا ٱب سبيل ف ن ق

تل ف قالوا وما لنا أله ن قتلوا تم إن كتب عليكم ٱلقتال أله ت ق قال هل عسي سبيل ٱلله وقد ٱلله

ا كتب عليهم ٱلقتال أخرجنا من دي نائنا ف لمه هم ت ولهوا إله قليل رن وأب عليم بٱلظهلمي و م ن ٱلله

“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil

sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi

mereka: "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang

(di bawah pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab:

"Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak

akan berperang". Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau

berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari

anak-anak kami?". Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka,

mereka pun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan

Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim”.

35 Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Basri al-Bagdhadi al-Mawardi.

AnNukât wa al-‘Uyūn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), Juz. I, h. 251. 36 Jalaluddin as-Suyuti, Sebab-sebab turunnya ayat al-Quran, Terjemahan: Tim Abdul

Hayyie,(Jakarta: Gema Insani, 2008), Cet.I. h. 76

Page 88: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

75

Rasyîd Rida dalam tafsirnya menjelaskan, ayat ini bercerita tentang bangsa

Israil—setelah wafatnya Nabi Musa as.—yang bertanya kepada nabi mereka

yang bernama, Samuel, “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami

berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. “Mungkinkah kalian nanti

akan berperang?”, lalu mereka menjawab, “Kenapa kami tidak mau berperang,

padahal sesungguhnya kami telah diusri dari anak-anak kami?” Namun ketika

perang itu wajibkan kepada mereka, sebagian besar di antara mereka malah

berpaling, dan lalu mereka menyebrangi sungai Nil bersama Thalut. Hanya

beberapa saja dari mereka yang mau berperang.37

M. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa kata nuqâtil, atau tuqâtilū

keduanya bermakna, “kami akan berperang”, dan “kamu berperang”. Pada ayat

di atas dijelaskan kepada orang-orang yang beriman akan tabiat umat terdahulu

mereka yang meminta kepada Nabi Musa untuk ditetapkannya seorang raja,

yang nantinya bersama raja tersebut mereka akan ikut berperang. Namun, Nabi

Musa as. meragukan tekad mereka. Kemudian mereka menegaskan ungkapan

mereka dengan berkata “mengapa kami takut, padahal kami telah diusir dari

kampung kami.” Akhirnya keraguan Nabi terbukti, di mana pada saat itu ketika

mereka diajak berperang, banyak di antara mereka yang berpaling.38

Dalam ayat lain dijelaskan tentang perintah berperang (qitâl) Fî Sabîl

Allâh, yakni dalam surah an-Nisa [4] ayat 74, sebagai berikut:

يا ن تل ف سبيل ٱلله ٱلهذين يشرون ٱلي وة ٱلد تل ف سبيل ٱلله ف ي قتل أو ي غلب ف لي ق بٱلخرة ومن ي ق

ا عظيم فسوف ن ؤتيه أجرا“Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia

dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang

berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka

kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar”.

37 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur’an al-Hakim al-Syahrir bi Tafsir al-Manār,

Juz II, h. 476. 38 M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan keserasian Alquran, h. 530-

531.

Page 89: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

76

Menurut Abduh, seperti dikutip Rasyîd Rida dalam tafsirnya, ayat ini

menjelaskan prilaku orang-orang yang lemah imannya dengan menunda-nunda

dalam berperang di jalan Allah Swt. Kemudian Allah melalui ayat ini

menyebut bahwa orang-orang seperti itu adalah orang yang menjual akhirat

dengan dunianya.39

Sementara yang dimaksud fî sabîl allâh dalam ayat ini adalah jalan yang

benar. Dalam hal ini, perang dilakukan dengan tujuan untuk menolong agama

Allah Swt. Seperti mengangagungkan kalimat Allah, menyiarkan Islam, serta

melawan musuh yang mengancam keselamatan kaum muslim dan hendak

merampas tanah dan harta mereka. Dengan kata lain, fî sabîl allâh berarti

adalah ungkapan untuk menyatakan kebenaran.40

Keterangan di atas kemudian dilanjutkan pada ayat selanjutnya yakni, pada

surah an-Nisa [4] ayat 75, sebagai berikut:

تلون ف سبيل ٱلله وٱلمستضعفي م ن ٱلهذين ي قولون رب هنا وما لكم ل ت ق ن ٱلر جال وٱلن ساء وٱلولد

ذه ٱلقرية ٱلظهال أهلها وٱجعل لهنا من لهدنك ولي نك نصياا من لهد ٱجعل لهن و ا أخرجنا من ه“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-

orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang

semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini

(Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi

Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!" .”

Dalam ayat ini, Rasyîd Rida, seperti mengutip pendapat gurunya

menegaskan, lalu apa yang menjadikan kalian enggan ikut berperang di jalan

Allah Swt., padahal itu bertujuan untuk mencari kebenaran dan keadilan.

Sebagai bentuk penegasan dari makna perang fî sabîl allâh, secara implisit

Rida juga menjelaskan dalam ayat ini. Menurutnya, tak ada alasan lain untuk

ikut berperang selain untuk menjunjung tauhid di atas kemusyrikan.41

39 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur’an al-Hakim al-Syahrir bi Tafsir al-Manār,

Juz V, h. 257. 40 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur’an al-Hakim al-Syahrir bi Tafsir al-Manār,

Juz V, h. 258. 41 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur’an al-Hakim al-Syahrir bi Tafsir al-Manār,

Juz V, h. 259.

Page 90: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

77

Kata “ مستضعفي” dalam ayat di atas, menurut Rida adalah orang-orang

lemah dalam melawan para penguasa yang zalim. Mereka, kata Rida, adalah

saudara seagama sesama muslim. Menurut Abduh, yang dimaksud orang

lemah dalam ayat di atas adalah orang-orang yang dilemahkan keimanannya,

dengan cara dilarang untuk mengikuti Rasulullah Saw. Hijrah ke Madinah.

Allah Swt., kata Abduh, oleh karenanya memberi penyebutan khusus kepada

mereka. Ayat ini juga menjelaskan bahwa hubungan keimanan nyatanya lebih

kuat daripada nasab dan tanah kelahiran. Hal itu terlihat jelas dari doa mereka

yang hendak keluar dari Mekah dan hendak ikut Nabi hijarah ke Madinah.42

C. Tafsir Perang (Qitâl) Fî Sabîl Allâh Menurut Sayyid Qutb

Nama Sayyid Qutb ‘lahir’ dalam gejolak politik di Mesir yang tengah

memanas. Ia besar oleh pemimpin ‘bertangan besi’, Kolonel Gamal Abdul Nasser.

Sosoknya berkali-kali diburu, dan keluar masuk penjara karena terus menerus

memposisikan diri sebagai oposisi. Namun, justru karena itulah, ia kemudian juga

dikenal bukan hanya pemikirannya dalam bidang Islam, tapi juga sebagai tokoh

revolusioner Mesir.

Dalam sekitar 15 tahun masa penahannya di bawah kepemimpinan Abdul

Nasser itulah salah satu karya fenomenal Qutb dalam bidang keislaman lahir.

Mulanya, karya yang dikenal dengan Tafsir Fī Zilâl Qur’an itu disebarluaskan

lewat majalah bernama Al Muslimun, yang diasuh oleh Sa’id Ramadhan, selama

tujuh edisi berturut-turut. Persis di edisi ketujuh ia menyatakan berhenti untuk

menerbitkan majalah itu dan akan menuliskannya dalam sebuah kitab khusus, yang

akan diterbitkan dalam juz-juz secara berkelanjutan. Juz pertama tafsir itu terbit

pada Oktober 1952, lalu diikuti juz-juz berikutnya.43

Meski begitu, mengenai makna Fî Sabîl Allâh dalam Alquran, Sayyid Qutb

cenderung cukup moderat. Ia berkata, “Yang demikian ini merupakan bab yang

luas, yang meliputi semua bentuk kemaslahatan bagi banyak orang”.44 Pendapat ini

42 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur’an al-Hakim al-Syahrir bi Tafsir al-Manār,

Juz V, h. 259. 43 Shalah Abdul Fatah Al-Khalidi, Tafsir Metodologi pergerakan, terj. Asmuni Solihan

Zamakhsyari, (Yayasan Bunga Karang, Jakarta, cet. I, 1995), h. 18-19. 44 Sayyid Qutb, Fi Zilâl al-Qur'an, Jilid 3, (Beirut : Dar al-Syuruf, 1979), hal. 1670

Page 91: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

78

cukup berbeda dengan pendapat ulama pada umumnya yang memaknai Fî Sabîl

Allâh hanya terkonotasi dengan jihad atau perang.

Dr. Wahba al-Zuhayly misalnya. Menurutnya, Fî Sabîl Allâh adalah para

pejuang yang berperang di jalan Allah Swt., dengan tidak digaji, atau imbalan

apapun atas perjuangannya. Dan kelompok mereka itu tidak boleh menunaikan

ibadah haji dengan hartanya.45

Pendapat serupa disampaikan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni. Menurutnya,

kata Fî Sabîl Allâh telah bermakna mutlak sebagai jihad. Sebab menurutnya, ayat-

ayat dalam Alquran yang menyebut kata Fî Sabîl Allâh umumnya terkonotasi

dengan jihad dan qitâl.46

Untuk melihat lebih jauh pendapat Sayyid Qutb tentang makna perang (qitâl)

Fî Sabîl Allâh dalam Alquran, mari lihat penafsirannya terhadap QS. al-Baqarah [2]

ayat 190.

تلونكم ول ت عتد إنه ٱلله ل يب ٱلمعتدين وقتلوا ف سبيل ٱلله ٱلهذين ي ق وا

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)

janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak

menyukai orang-orang yang melampaui batas”.

Menurut Qutb, makna fî sabîl Allâh (di jalan Allah) dalam surah al-Baqarah

[2]: 190 di atas, adalah perang karena Allah, bukan untuk tujuan lain, di antara

tujuan-tujuan lain yang dikenal manusia dalam berperang. Lebih lanjut, menurut

Qutb, perang di jalan Allah bukan untuk meraih kehormatan maupun kedudukan

yang tinggi di muka bumi. Bukan pula untuk mendapat rampasan, atau bahkan

mendapat kedudukan yang tinggi di atas golongan-golongan lain.47

Menurut az-Zamakhsyari, surah al-Baqarah [2] ayat 190 berisi perintah untuk

memerangi orang-orang kafir.48 Sebab, semua penggunaan kata “qâtilū” (yang

tercantum dalam ayat tersebut) dalam Alquran, menurut az-Zamakhsyari adalah

perintah untuk memerangi orang-orang kafir, kecuali ayat 9 dari surah al-Hujurat.

45 Wahba al-Zuhayli, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung : PT. Remaja

Rosdakarya, 2000), h. 287. 46 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, h. 617. 47 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilâl Qur’an, Juz II. terj. As’ad Yasin, dkk., (Gema Insani,

Jakarta, 1992), h. 223. 48 Abu al- Qasim Maẖmud Ibn ‘Amr Ibn Aẖmad az- Zamakhsyari. Al-Kasysyaf ‘an

Haqâ’iq Ghawâmid at-Tanzἷ l, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-„Arabἷ , 1407 H), Juz II, h. 239.

Page 92: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

79

Selain mendefinisikan makna Fî Sabîl Allâh, ayat tersebut juga memberi

batasan dalam sebuah peperangan yang dilakukan kaum muslim. Menurut Qutb,

yakni pada kata ول ت عتدو (jangan melampaui batas). Dalam memaknai kata tersebut,

Qutb menjelaskan kedua belah pihak yang tengah berperang, dilarang untuk

mengganggu orang-orang yang tidak menimbulkan bahaya, seperti perempuan,

anak-anak kecil, orang tua, atau para ahli ibadah yang tidak melakukan aktifitas lain

selain beribadah, dari agama apapun mereka berasal, dan segala bentuk kebrutalan

lain yang pernah ada sebalum Islam selama berperang.49

Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Saw., sebagai berikut:

عن ابن عمر رضي هللا عنه قال : "وجد ت امرأة مقتولة ف بعض مغازي رسول سل م , فنهى رسول الل الل صل ى الل عليه وسل م عن قتل الل صل ى الل عليه و

"النساء والصبيان Ibnu Umar ra. berkata, “Saya menjumpai seorang wanita yang terbunuh

dalam salah satu peperangan Rasulullah Saw., lalu Rasulullah Saw.,

melarang membunuh wanita dan anak-anak.” (HR. Imam Malik, Bukhari,

Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi).

Dalam hadis lain, Abu Hurairah ra. berkata, “Rasulullah Saw., bersabda:

إذا قاتل أحدكم فليجتنب الوجه “Apabila seseorang dari kamu berperang, maka janganlah ia melukai wajah”.

(HR. Imam Bukhari dan Muslim).

Lebih lanjut, menurut Qutb, batasan-batasan itu harus ditaati saat berperang.

Sebab, kemenangan umat Islam dalam perang, semata-semata bukan hanya dengan

jumlah prajurit yang banyak atau persenjataan yang lengkap, melainkan ada sebab

pertolongan Allah Swt..50

Lebih lanjut, Sayyid Qutb menjelaskan dalam surah al-Baqarah [2] ayat 246,

tentang kisah Bani Israil pasca ditinggal Nabi Musa as., sebagai berikut:

49 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilâl Qur’an, Juz II. terj. As’ad Yasin, dkk., h. 223. 50 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilâl Qur’an, Juz II. terj. As’ad Yasin, dkk., h. 224.

Page 93: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

80

بن إسرءيل من ب عد موسى إذ ق م الوا لنب أل ت ر إل ٱلمل من عث لنا ملك له تل ا ٱب سبيل ف ن ق

قالوا وما لنا تلوا تم إن كتب عليكم ٱلقتال أله ت ق قال هل عسي تل ف سبيل ٱلله وقد ٱلله أله ن ق

ا كتب عليهم ٱلقتال ت ولهوا إله قليل أخرجنا من ديرن نائنا ف لمه هم وأب عليم بٱلظهلمي و م ن ٱلله

“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah

Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka:

"Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah

pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika

kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang". Mereka

menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal

sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?". Maka tatkala perang

itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa saja di

antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim”.

Ayat di atas menjelaskan tentang sifat khusus Bani Israil yang kerap

mengingkari janji, lari dari tanggung jawab, dan berpaling dari kebenaran yang

sudah terang. Namun menurut Sayyid Qutb, sifat yang demikian itu, bukan hanya

sifat satu golongan manusia. Itu adalah sifat umum yang ada pada semua golongan

manusia. Sifat itu, lanjut Sayyid Qutb diakibatkan karena pendidikan dan iman yang

belum matang. Dan untuk mengubahnya dengan cara Pendidikan iman yang tinggi,

dalam jangka waktu Panjang. Ia harus dibina secara cermat dan dibimbing dengan

teliti.51

Kemudian, untuk mengakhiri ayat tersebut, Allah berfirman, “Allah Maha

Mengetahui orang-orang yang zalim”. Menurut Sayyid Qutb, itu adalah sifat yang

diberikan Allah kepada perbuatan bangsa Bani Israil. Lebih lanjut menurut Qutb,

orang yang mengerti bahwa dia berada di atas kebenaran dan musuhnya di atas

kebatilan seperti pemuka-pemuka Bani Israil yang meminta kepada nabi mereka

supaya mengangkat seseorang penguasa (pemimpin) untuk memimpin mereka

dalam peperangan fî sabîl allâh kemudian dia berpaling dari jihad dan kebenaran

yang didiketahuinya maka yang demikian itu merupakan golongan orang zalim, dan

akan dibalas kezalimannya.52

51 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilâl Qur’an, Juz II. terj. As’ad Yasin, dkk., h. 317. 52 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilâl Qur’an, Juz II. terj. As’ad Yasin, dkk., h. 317.

Page 94: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

81

Dalam menafsirkan ayat tersebut, Sayyid Qutb cukup tegas menyatakan

bahwa, apa yang dilakukan oleh Bangsa Bani Israil adalah sebuah kezaliman. Ia

juga menjelaskan sifat itu sebetulnya bukan sifat khusus bagi satu golongan, namun

sifat umum semua manusia. Untuk menghilangkannya, Qutb memberi jalan keluar

yakni dengan pembinaan dengan teliti, sabar, agar tidak mudah terkejut dan

memandang sesuatu dengan tidak berlebihan.

Dalam ayat lain, tentang makna perang (qitâl) fî sabîl Allâh, bisa dilihat

penafsiran Sayyid Qutb pada surah al-Nisa [3] ayat 74, sebagai berikut:

تل تل ف سبيل ٱلله ف ي قتل ف لي ق يا بٱلخرة ومن ي ق ن أو ي غلب فسوف ف سبيل ٱلله ٱلهذين يشرون ٱلي وة ٱلد

ا ن ؤتيه أجرا عظيم“Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan

kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di

jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami

berikan kepadanya pahala yang besar”.

Sebagai pendahuluan sebelum menafsirkan ayat tersebut, Qutb menjelaskan

bahwa ayat tersebut menekankan orang-orang agar melihat sesuatu yang lebih

penting; lebih baik dan kekal yakni akhirat. Dan agar manusia dapat menukar

kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat. Kemudian Sayyid Qutb menyatakan

dengan tegas, “Menang atau mati syahid?”53 pernyataan itu bisa bisa dikatakan

sangat tegas dari seorang Sayyid Qutb agar umat Islam dapat melihat bahwa

kehidupan akhirat adalah kehidupan sebenarnya, dan lebih kekal daripada

kehidupan di dunia.

Dalam ayat ini, Sayyid Qutb tegas menekankan pentingnya berperang “di jalan

Allah Swt.,” Sebab Islam tak mengenal perang kecuali di jalan Allah. Islam

menurut Qutb, tak mengenal perang untuk mendapat rampasan dan kekuasaan, atau

karena alasan perang untuk pamor pribadi dan bangsa. Perang dalam Islam, oleh

karenanya bukan untuk ekspansi atau perluasan wilayah. Perang dilakukan untuk

menjunjung tinggi agama Allah Swt., yakni Islam. Menurut Qutb, saat seorang

Page 95: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

82

muslim berperang di jalan Allah, lalu ia terbunuh, maka ia mati dalam keadaan

syahid.54

Sampai pada titik ini, melihat penafsiran Sayyid Qutb, masih terlihat konsisten

memaknai makna perang (qitâl) fî sabîl Allâh dalam Alquran, yakni perang yang

dilakukan semata-mata karena tujuan agama, bukan untuk kepentingan pribadi atau

kelompok seperti bangsa, maupun untuk eksistensi dari kelompok lain.

Pemikiran Qutb yang lebih tegas lagi terlihat dalam penafsiran selanjutnya,

yakni pada surah al-Nisa [3] ayat 75.

تلون ف سبيل ٱلله ن ٱلهذين ي وٱلمستضعفي من ٱلر جال و وما لكم ل ت ق قولون رب هنا ٱلن ساء وٱلولد

ذه ٱلقرية ٱلظهال أهلها وٱجعل لهنا من لهدنك ولي ٱجعل لهنا من لهدنك نصياو ا أخرجنا من ه“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-

orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang

semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini

(Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi

Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!"

Menafsirkan ayat ini, Sayyid Qutb menjelaskan, “Bagaimana kamu duduk-

duduk saja dan tidak mau berperang di jalan Allah untuk menyelematkan orang-

orang tertindas, dari kalangan laki-laki, perempuan, dan anak-anak? Mereka yang

tertindas terlukis dalam pemandangan yang dapat memebangkitkan harga diri

seorang muslim, kehormatan seorang mukmin, dan menyentuh rasa belas kasihan

kemanusiaan secara mutlak”.55

Dalam ayat ini, tampaknya terlihat genuitas dari kerangka pemikiran Sayyid

Qutb sebagai salah satu tokoh penting revolusioner Mesir. Hal itu sesuai dengan

apa yang ia tulis dalam bukunya, Religious Resurgence. Dalam buku yang disunting

oleh Anton dan Hegland itu, Qutb menulis argumennya mengenai nilai-nilai dasar

Islam sebagai religion, “Islam adalah deklarasi pembebasan manusia dari

54 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilâl Qur’an, Juz V. terj. As’ad Yasin, dkk., h. 21. 55 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilâl Qur’an, Juz V. terj. As’ad Yasin, dkk., h. 22.

Page 96: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

83

penyembahan terhadap sesama makhluk di Bumi, yang ada hanya pada Allah

semata”.56

Dalam bukunya yang lain, Milestones, Qutb menulis, “Agama yang sejati

merupakan deklarasi universal kebebasan manusia dari penghambaan kepada orang

lain dan pada nafsunya sendiri yang merupakan sebentuk penghambaan. Ini berarti

agama adalah revolusi total dan serba melingkupi melawan kedaulatan manusia

dalam segala jenis, segala sistem dan keadaan, serta berontak sepenuhnya melawan

setiap sistem di mana otoritas sudah berada di tangan manusia dalam segala

bentuknya”.

Mencermati argumen Qutb di atas, tampaknya terlihat bagaimana ia menjadikan

Islam sebagai agama yang tegas dalam melihat segala bentuk penindasan. Qutb

menjadikan Islam sebagai agama yang progresif dan modern, namun tegas terhadap

kemurnian.

D. Persamaan dan Perbedaan Penafsiran M. Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb

Tentang Perang (Qitâl) Fî Sabîl Allâh

a. Persamaan Penafsiran M. Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb Tentang Perang

(Qitâl) Fî Sabîl Allâh

M. Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb adalah dua ulama yang masuk dalam

kelompok ulama-ulama modern. Beberapa nama lain yang masuk dalam

kelompok ini antara lain, al-Alusi (w. 1270 H), Jawhari al-Misri (w.1385 H),

al-Maraghi, Muhammad ‘Alî al-Sâyis (w. 1397 H), al-Sha’rawi (w. 1419 H),

Ali al-Shabuni, al-Tabataba’I, dan lain-lain.57

Umumnya ulama yang masuk kelompok ini lahir dan besar di Mesir sebut

saja Alî al-Sâyis dan al-Sha’rawi. Mesir di masa-masa lahirnya para mufassir

ini, adalah negara yang tengah berada dalam tensi politik yang tinggi, terutama

di bawah kepemimpinan Kolonel Gamal Abd Nasser. Namun, kondisi itu

bukan tidak membuat khazanah keilmuwan dalam Islam khususnya, mandeg

56 Henry Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi,

(Hikmah, Jakarta, 2003), h. 282. 57 Dalhari, Karya Tafsir Modern di Timur Tengah Abad 19 dan 20, Mutawatir: Jurnal

Keilmuwan Tafsir Hadis Vol 3, No. 1, (Sekolah Tinggi Agama Islam Diponegoro, Juni, 2013), h.

65-82.

Page 97: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

84

dan stagnan. Bahkan sebaliknya, banyak karya-karya besar kemudian lahir di

negara ini, sebuat saja kita tafsir yang dibahas dalam skripsi ini.

Mencermati pandangan M. Rasyîd Rida dalam Tafsir al-Manār dan Sayyid

Qutb dalam Tafsir Fī Zilâlil Qur’an, tentang makna perang (qitâl) fî sabîl Allâh

dalam Alquran, maka akan didapati beberapa kesamaan meski pada prinsipnya

mereka memiliki banyak pandangan yang berbeda dalam banyak aspek.

Berikut beberapa kesamaan keduanya dalam memaknai perang (qitâl) fî sabîl

Allâh dalam Alquran:

1. Rasyîd Rida dengan mengutip pendapat gurunya, Muhammad Abduh, tak

berbeda dengan Sayyid Qutb dalam memaknai surah al-Baqarah [2] ayat

190, sebagai ayat yang kali pertama turun untuk melegalisasi umat muslim

dalam berperang.

2. Melalui ayat yang sama, keduanya berpendapat bahwa perang yang

dilakukan kaum muslim tak lain hanya untuk alasan menegakkan agama

dan melawan tindakan represif dari orang-orang kafir Mekah saat

melanggar perjanjian Hudaibiyah.

3. Mengenai makna perang (qitâl) fî sabîl Allâh dalam ayat tersebut, Rasyîd

Rida dan Sayyid Qutb sepakat, bahwa definisi “di jalan Allah” adalah

tujuan satu-satunya dalam melakukan perang. Artinya, izin Alquran

terhadap perintah perang kepada kaum muslim, semata-mata karena untuk

membela Islam dan untuk berharap keridhaan Allah Swt., dan bukan

untuk tujuan lain, seperti untuk mendapat harta rampasan perang,

kekuasaan, nama baik pribadi, perluasan wilayah apalagi untuk mendapat

kedudukan lebih tinggi dari bangsa atau negara lain.

4. Melalui ayat ini pula, keduanya tak berbeda pendapat mengenai batasan-

batasan dalam berperang, seperti dilarang menyerang anak-anak,

perempuan, orang tua, orang sakit, atau orang yang mengajak berdamai,

dan mereka yang menimbulkan bahaya, dari latar belakang agama apapun

mereka.

5. Sekalipun dalam banyak hal mereka dikenal berada dalam posisi

pandangan berbeda—terlebih Sayyid Qutb sebagai tokoh pergerakan

Mesir— Qutb, justru cenderung lebih moderat dalam memaknai fî sabîl

Page 98: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

85

Allâh. Ia menuturkan, “Yang demikian ini merupakan bab yang luas, yang

meliputi semua bentuk kemaslahatan bagi banyak orang”.58

b. Perbedaan Penafsiran M. Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb Tentang Perang

(Qitâl) Fî Sabîl Allâh

Pada dasarnya, M. Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb adalah dua ulama yang

merefleksikan modernitas dan progresifitas. Pemikiran keduanya merupakan

cerminan kondisi sosial yang hidup di abad ke-19 dan 20. Sebagai ulama yang

lahir di akhir abad ke-19, tentu Rasyîd Rida berada dalam masa peralihan corak

orientasi pemikiran di kalangan ulama-ulama Timur Tengah pada masanya,

dari semula sangat teologis ke aktual. Sementara Sayyid Qutb, lahir di awal

abad ke-20, dan besar dalam kondisi sosial politik yang tengah memanas,

sebab dalam masa-masa usai Perang Dunia II.

Sebagai salah satu negara yang juga berada di bawah kolonialisasi negara-

negara Eropa, Mesir pada perjalanannya kemudian juga melahirkan banyak

ulama yang dibentuk dalam kondisi sosial politik negara tersebut. Dalam hal

ini, meski pada Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb hidup dalam kurun waktu yang

sama, namun dalam beberapa penafsirannya, terlihat bagaimana keduanya

sama sekali berbeda, berikut penulis jabarkan beberapa perbedaan di antara

keduanya, terutama dalam konteks memberi definisi perang (qitâl) fî sabîl

Allâh dalam Alquran:

1. Tak perbedaan signifikan antara keduanya dalam memaknai perang (qitâl)

fî sabîl Allâh dalam Alquran. Hanya saja, Rasyîd Rida dengan tegas

memberi prasyarat yang harus dipenuhi kaum muslim sebelum melakukan

peperangan, di antaranya perang harus dalam rangka melindungi negara,

pemerintah dan masyarakat. Pengertian itu dengan demikian telah

memberi kelonggaran terhadap makna “perang di jalan Allah,” sebagai

motif satu-satunya dalam berperang. Artinya, peperangan hanya boleh

dilakukan jika umat Islam berada dalam tekanan dan ancaman.

2. Perbedaan yang lebih kentara antara keduanya, terlihat dalam interpretasi

Sayyid Qutb pada surah al-Nisa [4] ayat 74-75. Dalam tafsirnya, Qutb

58 Sayyid Qutub, Fi Zilâl al-Qur'an, Jilid 3, hal. 1670.

Page 99: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

86

menulis, “Bagaimana kamu duduk-duduk saja dan tidak mau berperang di

jalan Allah untuk menyelematkan orang-orang tertindas, dari kalangan

laki-laki, perempuan, dan anak-anak? Mereka yang tertindas terlukis

dalam pemandangan yang dapat memebangkitkan harga diri seorang

muslim, kehormatan seorang mukmin, dan menyentuh rasa belas kasihan

kemanusiaan secara mutlak”.59 Dalam ayat ini, tampaknya terlihat

ofensifitas Qutb melawan segala bentuk ancaman dan penindasan.

3. Pandangan Sayyid Qutb dalam memaknai perang (qitâl) fî sabîl Allâh,

dalam perjalanannya terlihat bagaimana ia selama hidupnya

memposisikan diri sebagai orang yang melawan “tangan besi” Gamal

Abd. Nasser. Meski Mesir adalah negara dengan penduduk mayoritas

muslim, pemaknaan Qutb dalam hal ini tampaknya terlihat keras dan

radikal terhadap segala bentuk penindasan. Ia bukan hanya melawan

orang-orang kafir seperti latar belakang turunnya izin perang dalam surah

al-Baqarah ayat 190, namun segala bentuk penindasan terhadap

masyarakat, tetap harus dilawan.

E. Relevansi Perang (Qitâl) Fî Sabîl Allâh dalam Alquran dengan Konteks

Sekarang

Mayoritas ulama berpendapat bahwa umat islam tidak diperbolehkan memulai

peperangan. Perang, dalam Islam lebih bersifat defensif sebagai upaya

mempertahankan diri dari ancaman dan serangan.60 Hal ini diperkuat dengan

pendapat para ahli hukum fikih dari empat mazhab yang menyatakan, peperangan

yang dilakukan oleh kaum muslim terdahulu adalah karena penyerangan orang-

orang kafir. Dalam hal ini yang perlu dipertegas, adalah bukan kekafiran mereka

yang menjadi sebab Islam melakukan perang, melainkan serangan mereka yang

lebih dulu ditujukan para kaum muslim. Dengan demikian serangan hanya boleh

dilakukan jika Islam telah lebih dulu mendapat serangan.61

59 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilâl Qur’an, Juz V. terj. As’ad Yasin, dkk., h. 22.

60 Arif Chasbullah dan Wahyudi, Deradikalisasi Terhadap Penafsiran Ayat-ayat Qitâl,

(Jurnal Fikri, Vol.2, No. 2, Desember 2007), h. 418. 61 Syahrullah Iskandar, Kekerasan Atas Nama Agama (Tangerang: Pusat Studi al-Qur’an,

2008), 17–18.

Page 100: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

87

Pendapat ini sekaligus juga mematahkan pendapat sebagian sarjana Barat yang

menyatakan Islam tersebar dan besar dengan jalan pedang. Pendapat yang kerap

menyudutkan Islam misalnya Geertz Wilders.62 Ia melancarkan propaganda anti-

Islam dengan membuat film berjudul Fitna. Dalam film, ia mengilustrasikan

karikatur Nabi Saw., yang ia gambarkan sebagai pria bersorban dan tengah

membawa bom. Adegan itu yang lebih mengejutkan juga menampilkan ayat qitâl,

yang seolah menjadi legitimasi atas tindakan nabi dalam film tersebut.

Namun, sejarah membuktikan sebaliknya. Bahkan, di banyak belahan negara

lain, Islam tersebar dengan jalan damai, seperti di Indonesia. Hal inilah yang

melatar belakangi Thomas Carlel, Gustav le Bon, sejarawan asal Perancis

mengkritik keras tesis para koleganya yang menyatakan Islam tersebar melalui

jalan perang. Mereka berdua menafikan tesis para sarjana Barat tersebut. Apalagi

Islam mengizinkan untuk melakukan perang setelah lima belas tahun Rasulullah

mengembangkan dakwah Islam.63

Dalam konteks ke-Indonesia-an, pemahaman non-radikal dan moderat seperti

ini mutlak diperlukan. Mengingat masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai

macam suku dan agama yang berbeda. Keberagaman ini apabila tidak didampingi

dengan paham keagamaan yang moderat sangat memungkinkan terjadinya gesekan

atau konflik sara di tengah-tengah masyarakat.64

Upaya untuk memamahi Islam yang ramah dan tidak radikal di Indonesia sudah

digalakkan sejak tahun 80-an. Abdurahman Wahid dan Nurcholis Majid merupakan

representatif dari cendikiawan yang memperkenalkan tentang Islam yang berwajah

Indonesia. Kebhinekaan, toleransi dan nir-kekerasan adalah konsepsi yang

dielaborasi dengan berbagai doktrin dasar Islam yang fundamental. Bahkan dengan

62 Lahir di Venlo, Belanda 6 September 1963, adalah politikus sayap kanan Belanda dan

pendiri dan pemimpin partai untuk kebebasan (Partij Voor de Vrijheid- PVV) partai politik terbesar keempat di Belanda. Ia adalah anggota parlemen Belanda sejak tahun 1998. Haluan politik Wilders

adalah kanan nasionalis yang liberal. Ia juga dikenal anti-Islam dan anti-imigran. Pada tahun 2008,

ia bersama Arnoud Van Doorn membuat film pendek berjudul Fitna, yang menyulut kontroversi.

Film ini berisi tentang pandangannya mengenai Islam dan Alquran. Film ini dirilis di internet pada

tanggal 27 maret 2008. Wilders pernah menyuarakan usulan agar pemerintah Belanda melarang

Alquran. Lihat Arif Chasbullah dan Wahyudi, Deradikalisasi Terhadap Penafsiran Ayat-ayat Qitâl,

h. 418. 63 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an & Hadis (Jakarta: PT Elex

Media Komputindo, 2014), h. 3. 64 Arif Chasbullah dan Wahyudi, Deradikalisasi Terhadap Penafsiran Ayat-ayat Qitâl, h.

420.

Page 101: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

88

percaya diri, Ahmad Najib Burhani menyatakan perlunya mempopulerkan gagasan

Islam moderat Indonesia di dunia.65

Pada dasarnya, paham radikal dalam Islam disebabkan oleh kecenderung

memahami teks ayat secara parsial dan mengabaikan sisi historinya.66 Kondisi-

kondisi itulah yang kini tengah berkembang di banyak negara-negara di dunia. Ada

begitu banyak kepentingan kelompok namun menggunakan dalih agama, dan

berujung pada kontak fisik, dan lebih buruk bahkan hingga menimbulkan

peperangan antar bangsa dan negara.

Kondisi itu kini diperparah dengan perkembangan teknologi seperti internet

yang mengakibatkan pesan-pesan kebencian dan adu domba dengan begitu mudah

difabrikan dan disebarkan dengan cepat. Dengan tidak didasari pengetahuan yang

cakap dalam memverifikasi berita-berita yang beredar, kabar-kabar yang beredar di

tengah masyarakat akan mudah menimbulkan sentiment keagamaan.

Tentu saja itu bukan situasi yang bisa direspons sambil lalu. Menurut Dina

Sulaeman, dosen sekaligus peneliti Timur Tengah dalam status Facebooknya

menulis, “Kebencian yang sifatnya massal disebabkan oleh isu yang difabrikasi

(dibuat secara sengaja dengan berbagai metode dan strategi)”. Lanjutnya, ia

menulis, “Memfabrikasi isu yang membangkitkan kebencian jelas butuh dana

besar”.67

Yang paling menakutkan, menurut Dina, semua isu-isu yang menimbulkan

ketakutan macam itu dalam tahap yang paling kronis akan memunculkan ketakutan

terhadap hal-hal yang bersifat asasi, seperti keselamatan ekonomi, keselamatan

anak, dan beribadah. Sehinga, akan mengaburkan hal-hal yang bersifat logis.

Kondisi itulah yang kini tengah menyerang negara-negara berpenduduk mayoritas

muslim.

Data Global Terrorism Index (2014) menunjukkan, 78% kematian akibat

penyerangan atas nama agama, terjadi di negara-negara berpopulasi mayoritas

muslim: Irak, Afghanistan, Nigeria, Pakista, Suriah. Ironisnya, kelompok-

65 Syamsul Arifin dan Hasnan Backtiar, “Deradikalisasi Ideologi Gerakan Islam

Transnasiaonal Radikal, Harmoni, Vol. 12, No. 3 (September-Desember, 2013), h. 20 66 Arif Chasbullah dan Wahyudi, Deradikalisasi Terhadap Penafsiran Ayat-ayat Qitâl 67 Dina Sulaeman. 2019. Pembantaian dan Industri Kebencian (2), (Facebook). 23 April.

(Diakses 3 Mei 2019). Tersedia dari:

https://www.facebook.com/233756860383910/posts/655808028178789/

Page 102: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

89

kelompok yang melakukan penyerangan itu dilakukan oleh sesama muslim. Isu-isu

sentimen anti-Islam kini juga tengah berkembang di banyak negara di Barat.

Mencermati kondisi aktual tersebut, penting untuk kembali melihat dan

mengkaji ayat-ayat yang melegalisasi peperangan dan bagaimana pendapat ulama

mengenai itu.

Page 103: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

90

BAB V

PENUTUP DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka pada kesimpulan penafsiran

Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb mengenai perang (qitâl) fî sabîl Allâh dalam Alquran

akan terlihat beberapa kesamaan dan perbedaan. Di antara beberapa kesamaannya

antara lain, keduanya tak berbeda pendapat dalam menafsirkan surah al-Baqarah

[2] ayat 190 ayat pertama yang mengizinkan kaum muslim untuk berperang, bahwa

perang yang dilakukan oleh kaum muslim tak lain hanya untuk alasan menegakkan

agama dan melawan tindakan represif dari orang-orang kafir Mekah saat melanggar

perjanjian Hudaibiyah.

Adapun mengenai perang (qitâl) fî sabîl Allâh dalam ayat tersebut, Rasyîd

Rida dan Sayyid Qutb sepakat, bahwa definisi “di jalan Allah” adalah tujuan satu-

satunya dalam melakukan perang. Artinya, izin Alquran terhadap perintah perang

kepada kaum muslim, semata-mata karena untuk membela Islam dan untuk

berharap keridhaan Allah Swt., dan bukan untuk tujuan lain, seperti untuk mendapat

harta rampasan perang, kekuasaan, nama baik pribadi, perluasan wilayah apalagi

untuk mendapat kedudukan lebih tinggi dari bangsa atau negara lain.

Di samping kesamaan itu, keduanya namun begitu tetap memiliki perbedaan

meski tidak signifikan, di antaranya pada penafsiran Qutb pada surah al-Nisa [4]

ayat 74-75. Dalam ayat ini, terlihat ofensifitas Qutb melawan segala bentuk

ancaman dan penindasan.

Dalam perjalanannya, terlihat bagaimana Qutb selama hidupnya

memposisikan diri sebagai orang yang melawan penguasa yang zalim, terutama di

negaranya. Ia bukan hanya melawan orang-orang kafir seperti latar belakang

turunnya izin perang dalam surah al-Baqarah ayat 190, namun baginya segala

bentuk penindasan terhadap masyarakat, tetap harus dilawan.

B. Saran

Sebagai penutup dari penelitian ini, penulis hendak menyampaikan beberapa

saran dari hasil penelitian ini, sebagai berikut:

1. Pada dasarnya, tak ada agama apapun di dunia yang melegalisasi kekerasan

dalam bentuk apapun, apalagi perang yang akan menjatuhkan banyak korban.

Page 104: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

91

Begitu pula dalam Islam. Islam datang membawa pesan kedamaian. Maka

hendaklah kita sebagai umat Islam hendaknya tak melakukan sesuatu yang

memicu perselisihan, atau yang lebih jauh perang.

2. Di era informasi tersebar begitu cepat melalui internet dan sosial media, pesan-

pesan kebencian begitu mudah tersebar. Dan tak ada siapapun yang bisa

memprediksi dampaknya. Beberapa efek yang sementara bisa kita lihat hingga

hari ini, adalah banyak negara-negara yang hancur karena pesan-pesan

kebencian yang terfabrikasi.

3. Sebagai pemilik wewenang, negara harus berperan aktif mencegah segala

bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap kaum minoritas.

4. UIN Jakarta sebagai Lembaga Pendidikan harus terus memelihara marwah

Islam yang damai, sejuk dan toleran. Dan dapat menghalau segala bentuk akar-

akar kekerasan dan beragama dan bernegara.

Page 105: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

92

DAFTAR PUSTAKA

A. Athahillah. Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar.

Cet. I: Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006.

A. Muri Yusuf. Metodologi Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian

Gabungan. Jakarta, Prenadamedia Group.

Al-Adawi, Ibrahim Ahmad. Rasyid Ridha al–Imam al-Mujahid. Kairo: al-

Muassasah Mishiyyah al-Ammah,t.th.

Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah. Jakarta: Djambatan,

1995.

Anton Baker dan A. Chris Zubair. Metodologi, Penelitian Filsafat. Yogyakarta,

Kanisius, 1990.

Arifin, Syamsul dan Hasnan Backtiar. Deradikalisasi Ideologi Gerakan Islam

Transnasiaonal Radikal, Harmoni. Vol. 12, No. 3, September-Desember,

2013.

Al-Asfahâni, Al-‘Allamah al-Râgib. Mufrâdât alfâz al-Qur’an. Damaskus: Dâr al-

Qalam, 2002.

Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme

Hingga Post Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.

Al-Baidhawi Nasir ad-Din Abu Sa’id ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn Muhammad as-

Syirazi. Anwar at-Tanzi I wa Asrar at-Ta’wi l. Beirut: Dâr al-Ihyâ at-Turâs

al-‘Arabi, 1418 H, Juz. II

Al-Banna, Gamal. Jihad. Terj. Tim Mata Air Publishing, Pengantar: Nasiruddin

Umar Jakarta: MataAir Publishing, 2006.

Al-Bāqī, Fu'ad ‘Abd. Mu‘jam al-Mufahras li Alfāz al-Qur'ān al-Karīm. Beirut: Dār

al-Fikr, 1994.

_______, Mu’jam al-Mufahras li Al-fâz al-Qurân, al-Qâhirah: Dâr al-Hadἷs,t.t.

Buku pedoman Akademik Program Strata 1 Tahun 2011/2012 UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Al-Buthi, Sa’id Ramadan. Fiqh al-Sirah. Beiru: Dar al-Fikr, 1986.

Chasbullah, Arif dan Wahyudi. Deradikalisasi Terhadap Penafsiran Ayat-ayat

Qitâl, Jurnal Fikri. Vol. 2, No. 2, Desember 2007.

Chirzin, Muhammad. Jihad Menurut Sayid Qutb dalam Tafsir Ẓilāl. Era

Intermedia, Solo, 2001.

Page 106: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

93

Dahlan, Abdullah al-Azi. Ensiklopedi Hukum Islam. Vol. IV. Jakarta: PT Ikhtiar

Baru Van Have, 1996.

Dalhari, Jurnal. Karya Tafsir Modern di Timur Tengah Abad 19 dan 20 M.

Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis: 2013, Vol. 3.

Al-Damasyqiy, Imam Abi Fida al-Hafazh Ibnu katsir. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim.

Jilid 1, Kairo: Darul Hadis, 2003.

Djunaidi. Rasyid Ridha Ide-Ide Pembaharuan, Jurnal Tajdid. Vol. IX, No. 2, 2010.

Esposito, John L. Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern. Mizan, Bandung,

2001, jilid V.

F. Nafziger, George and Mark W. Walton. Islam at War. London: Praeger

Publishers, 2003.

Faris, M. Abdul Qadir Abu. Infaq al-Zakah fi al Maslahah al-Ammal. ahli bahasa:

Said Aqil al-Munawar, Kajian Kritis Pendayagunaan Zakat, Semarang:

Dina Utama, t.th.

Al-Habasyi. Mukhtasar Bughyah al-Talib li Ma’rifati ‘ilm al-Din al-Wajib. Bairut:

Dar al-Masyari: 2008.

Hamka, Buya. Tafsir al-Azhar Jilid I. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 2007.

Harahap, Saddam Husain. Tesis, Perang dalam Perspektif Alquran. Program Studi

Tafsir Hadis, Program Pascasarjana, UIN Sumatera Utara Medan:2016.

Hart, Michael H.. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Jakarta:

PT Dunia Pustaka, Cet.I, 1978.

Haykal, Muhammad Khair. al-jihad wa al-Qitâl. tt., 1996.

Ibn ‘Athiyah, Abu Muẖammad ‘Abd al-Haqq Ibn Ghalib Ibn ‘Abd ar-rahman Ibn

Tamam. Al-Muharrar al-Wajiz fἷ Tafsἷ r al-Kitâb al- ‘Azἷ z. Beirut: Dâr al-

Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422 H, Juz II.

Ibn Manzur. Lisân al- ‘Arab. Qâhirah: Dâr al-Ma’ârif, t.t, Jilid V.

Ibn Zakariyya, Abἷ al- Ḫusain Aẖmad Ibn Faris. Mu’jam Maqâyis al-Lugah, Tahqiq

‘Abd As-Salâm Muẖammad Ḫarûn. Beirut: Dâr al-Fikr, 1979, Juz. V.

Imarah, Muhammad. Al-Masyru’ al-hadhari al-Islami. Diterjemahkan oleh

Muhammad Yasar, LC dan Muhammad Hikam, LC dengan judul Mencari

Format Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

_______. Hadza’ Huwa al-Islam: al-Samahat al-Islamiyah, Haqiqah al-Jihad wa

al-Qitâl al al-Ihrab. Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, 2005.

Page 107: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

94

Al-Iyâzî, Muhammad ‘Alî. al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum. Teheran:

Mu’assasah al-Tabâ’ah wa al-Nasr, t.th.

Jamalia, Idrus. Makna Fi Sabilillah dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Tafsir

Maudhu’iy. Skripsi, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis, UIN Sultan

Syarif Kasim, Riau, 2011.

Al-Jasshash, Ahmad Ibn ‘Ali Abi Bakr ar-Razi. Ahkâm al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-

Kutub al’Ilmiyyah, 1994.

K.H.Q. Shaleh, H.A.A. Dahlan, dkk. Asbabun Nuzul. Bandung: Diponegoro, 2009.

Kaltsum, Lilik Ummu. Abd. Moqsith Ghazali. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam. Jakarta:

UIN PRESS, 2015.

Al-Khalidi, Shalah Abdul Fatah. Pengantar Memahami Tafsir Fi Zilâl Qur’an

Sayyid Qutb. Terj. Salafuddin Abu Sayyid, Era Intermedia, Solo, 2001.

_______. Tafsir Metodologi pergerakan. terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari,

Yayasan Bunga Karang, Jakarta, Cet. I, 1995.

Louis Katsof. Pengantar Filsafat. terjemahan Soejono Soemargono, Yogyakarta,

Tiara Wacana, 1992.

Maluf, Lausil. Kamus al-Munjid al-Lughah. Bairut: Darul Masyrik, 2007.

Manzur, Ibn. Lisân al- ‘Arab. Qâhirah: Dâr al-Ma’ârif, t.t, Jilid. V.

Mappiaswan, Andi. Skripsi, Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam

Pengembangan Islam. Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Alauddin

Makassar: 2015.

Al-Maraghi, Ahmad Mustofa. Tafsir al-Maraghi. Berut: Darul Fikr, 2006, Ahli

bahasa: Anshori Umar Sitanggal, dkk, Terjemahan Tafsir al-Maraghi,

Semarang: Toha Putra.

Al-Mawardi, Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Basri al-Bagdhadi.

AnNukât wa al-‘Uyūn, Juz. I. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.

Al-Misrἷ, Syihab ad-Din Aẖmad Ibn Muẖammad al- Hâlim. At-Tibyân fἷ Tafsἷ r

Garἷ b al-Qur’ân, Juz. I. Dâr: As-Saẖâbah at-Turâs bi Tanta, 1992).

MUI, Tim Penulis. Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia.

Cet. I. Depok: Gema Insani, 2013.

Musthafa, Ibrahim. al-Mu’jam al-Wasith. Jilid II, Mesir: Maktabah asy-Syuruq ad-

Daūliyyah, t.t.

Nasabah, Syekh Muhammad dalam Nurjannah Ismail. Perempuan dalam

Pasungan. Cet. I: Yogyakarta: LKIS, 2013.

Page 108: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

95

Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan.

Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Nuddin, Amir. Ijtihad ‘Umar bin al-Khatab. Jakarta: CV Rajawali, 1991.

Qardawi, Yusuf. Hukum Zakat. Jakarta: Lentera Antar Nusa, 1991.

Al-Qasimi. Mahasin at-Ta’wἷ l. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418, Juz. II.

Al-Qur’an al-Karim in MS. Word Versi 2.2.

Al-Qurthubi. al-Jami’ li Ahkâm al-Quran. Juz. III, Kairo: Dâr al-Kutub al-

Mishriyyah, 1964.

Qutb, Sayyid. al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam. Kairo: Darul Kitab al-‘Arabi,

1967, cet 7.

_______. Fî Zilâl al-Qur’ân. Beirut, Darusy Syuruq, 1992.

_______. Perdamaian dan Keadilan Sosial. terj. Drs. Dedi Junaedi, Akademika

Pressindo, Jakarta, cet. I, 1996.

_______. Tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân. Juz 1. terj. As’ad Yasin, dkk., Gema Insani,

Jakarta, 1992.

_______. Tafsir Fi Zilâl Qur’an. Juz II. terj. As’ad Yasin, dkk., Gema Insani,

Jakarta, 1992.

_______. Tafsir Fi Zilal al-Qur'an. Jilid 3, Beirut: Dar al-Syuruf, 1979.

Rahnema, Ali (ed). Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung: Penerbit Mizan,

2009.

Ramdhun, Abdul Baqi. Al-Jihâdu sabi luna. terj. Imam Fajaruddin, Jihad adalah

Jalan Kami. Solo: Era Intermedia, 2002.

Razi, Abu Abdillah Muhammad ibn ‘Umar. Mafâtih al- Ghaib, Beirut: Dâr Ihyâ’

at-Turâṣ al- ‘Arabἷ. 1420 H/ 1990 M, Juz V.

RI, Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: PT. CV. Toha

Putra, 1989.

Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Kairo, Darul Manar:1950.

_______. Tafsīr al-Qur’an al-Hakim al-Syahrir bi Tafsir al-Manār. Juz II, Kairo:

Dār al-Manar, 1954.

Al-Rumi, Fahd. Manhaj al-Madrasah al-Aqliyyah al-Haditsah fi al-Tafsir. Beirut:

Mu’assasah al–Risalah, 1981 M.

Page 109: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

96

Sabiq, Sayyid. Anasir al-Quwwah fi al-Islam. terj. Muhammad Abday Ratami

Surabaya: Toko Nabhana, 1981.

_______. Fiqih Sunnah. Jilid 3, Bandung : PT al-Ma’arif, 1990.

Al-Salman, Muhammad Ibn Abdillah. al-Syaikh al-Salafi wa al-Muslih. Cet. I

Riyadh: Jami’ah al-Imam Muhammad Ibn Su’ud al-Islamiyah, 1933.

As-Shabuni Muẖammad, ‘Ali. Rawâi’ al-Bayân, Tafsἷr Ayât al-Aẖkâm min al-

Qur’ân. t.t: Dâr Al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997.

Shiddieqy, Hasbi. Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran /Tafsir. Jakarta: Bulan

Bintang, 1994.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Alquran.

Jakarta: Lentera Hati, 2008, Cet. X , Vol. 1.

Sirriyeh, Elizabeth. Sufis and Anti Sufis. diterjemahkan oleh Ade Alimah, dengan

judul Sufi dan Anti-sufi. Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.

Sucipto, Henry. Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakr hingga Nasr dan

Qardhawi. Hikmah, Jakarta, 2003.

Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat., Jakarta, Raja Grafindo Persana, 1996.

Sulaeman, Dina. 2019. Pembantaian dan Industri Kebencian (2), (Facebook). 23

April. (Diakses 3 Mei 2019). Tersedia dari:

https://www.facebook.com/233756860383910/posts/655808028178789/

Ash-Suyuti, Jalaluddin. Sebab-sebab Turunnya Ayat al-Quran. Terjemahan: Tim

Abdul Hayyie, Jakarta: Gema Insani, 2008 Cet. I.

Syamsudin, Sahiron. Studi Al-Qur’an Kontemporer. Tiara Wacana Yogja, cet. I,

Yogyakarta.

Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern.

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, Maret, 2012,

Cet. 2.

At-Thabari, Muẖammad ibn Jarir. Jâmi’ al- Bayân fἷ Tawἷ l Ayi al- Qur’an. Beirut:

Muassasah ar-Risalah, 2000, Jilid III.

Al-Wahidi, Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn ‘Ali. Al-Wajἷ z fἷ

Tafsἷ r al-Kitâb al-‘Azἷ z. Beirut: Dâr al-Qalam, 1415 H/1995 M.

Yasar, Muhammad, dan Muhammad Hikam. Mencari Format Peradaban Islam.

Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

Page 110: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49054/1/SKRRIP… · vii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Studi

97

Yayasan Penyelenggara Penerjemah. Ensiklopedi Islam. Proyek peningkatan

Prasarana dan Sarana, Depertemen Agama, Jakarta, 1993.

Zaenuri, A. Lalu. Qitâl dalam Perspektif Islam. JDIS Vol. 1, No. 1.

Zaidan, Jurji. History of Islamic Civilization. New Delhi: Kitab Bhavan, 1978.

Zuhaili, Wahbah. Atsar al-Harb fi-alFiqh al-Islami. Bairut: Dar al-Fikr, t.t.