dilema hukum - repository.uinjkt.ac.id

203
i Dilema Hukum Studi atas Pembunuhan Ghulām oleh Nabi Khidir Dalam Surah al-Kahfi Khairul Anam Sakha_Press

Upload: others

Post on 22-Feb-2022

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

i

Dilema Hukum

Studi atas Pembunuhan Ghulām oleh Nabi Khidir

Dalam Surah al-Kahfi

Khairul Anam

Sakha_Press

Page 2: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

ii

Dilema Hukum

(Studi atas Pembunuhan Ghulam oleh Nabi Khidirdalam

Surah al-Kahfi)

Penulis : Khairul Anam

ISBN : 978-602-72728-8-0

Editor : Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA

Penyunting : Ibnu Sanie

Cover : Khazin

Penerbit : Sakha Press

Redaksi : Jl. Gg. I Laok Lorong Lebbek Pakong

Pamekasan 69352

Email : [email protected]

Cetakan pertama, November 2020

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang

memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan

cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.

Page 3: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id
Page 4: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id
Page 5: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

1. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا B Be ب

T Te ت

ṡ es dengan titik atas ث

J Je ج

ḥ ha dengan titik bawah ح

Kh ka dan ha خ

D De د

Ż zet dengan titik atas ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy es dan ye ش

ṣ es dengan titik bawah ص

ḍ de dengan titik bawah ض

ṭ te dengan titik bawah ط

ẓ zet dengan titik bawah ظ

Page 6: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

vi

‘ عKoma terbalik di atas hadap

kanan

Gh ge dan ha غ

F Ef ؼ

Q Qi ؽ

K Ka ؾ

L El ؿ

M Em ـ

N En ف

W We ك

H Ha ق

Apostrof ’ ء

Y Ye م

2. Vokal

Vokal terdiri dari dua bagian, yaitu vokal tunggal dan

vokal rangkap. Berikut ketentuan alih aksara vokal tunggal:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal

Latin Keterangan

A Fatḥah ـ

I Kasrah ـ

U Ḍammah ـ

Page 7: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

vii

Adapun vokal rangkap ketentuan alih aksaranya adalah

sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal

Latin Keterangan

مـ Ai a dan i

كـ Au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang dalam bahasa

Arab dilambangakan dengan harkat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal

Latin Keterangan

Ā ى a dengan topi di

atas

Ī i dengan topi di atas

Ū ػي u dengan topi di

atas

4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam system aksara Arab

dilambangkan dengan huruf اؿ dialih aksarakan menjadi huruf

‘l’ baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf qamariyah.

Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl.

5. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau tasydīd yang dalam system tulisan Arab

dilambangkan dengan sebuah tanda (ـ), dalam alih aksara ini

Page 8: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

viii

dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan

huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak

setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.

Misalnya, kata الضركرة tidak ditulis ad-ḍarūrah tapi al-ḍarūrah.

6. Tā’ Marbūṭah

Kata Arab Alih Aksara Keterangan

Ṭarīqah Berdiri sendiri طريقة

-Al-jāmi‘ah al الجامعة الإسلامية

islāmiyyah

Diikuti oleh kata

sifat

waḥdat al-wujūd كحدة ال ج دDiikuti oleh kata

benda

Page 9: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................... iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................... v

DAFTAR ISI ...................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN .................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................. 1

B. Permasalahan .............................................................. 14

C. Tujuan Penelitian ....................................................... 16

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian .......................... 17

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ........................... 17

F. Metodologi Penelitian ................................................ 27

G. Sistematika Penulisan ................................................ 29

BAB II: DISKURSUS KISAH DAN POLA

PEMGAMBILAN HUKUM DALAM AL-QUR’AN ....... 33

A. Kisah dalam al-Qur’an ............................................... 33

1. Kisah dalam al-Qur’an adalah Peristiwa

yang Nyata........................................................... 34

2. Kisah dalam al-Qur’an Sebagai Simbol .............. 34

3. Macam-Macam Kisah dalam al-Qur’an............... 39

4. Sistematika Kisah dalam al-Qur’an ..................... 40

B. Pola Pengambilan Hukum dalam al-Qur’an ............... 44

1. Metode Bayāni ..................................................... 45

2. Metode Qiyāsī ..................................................... 48

3. Metode Maqāṣidī ................................................. 53

4. Metode Kompromistis antar Dalil

yang Bertentangan ............................................... 54

BAB III: PROFIL TAFSIR DAN KLASIFIKASI KISAH

NABI MUSA...................................................................... 56

A. Profil Tafsir ................................................................ 56

1. Tafsir Corak Sufi ................................................. 56

Page 10: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

x

2. Tafsir Corak Falsafi ............................................. 65

3. Tafsir Corak Adāb al-Ijtimāī .............................. 72

4. Tafsir Corak Aḥkām ............................................ 81

B. Klasifikasi Kisah Musa dalam al-Qur’an ................... 91

1. Kisah Musa terdiri dari Enam Episode ................ 91

2. Latar Belakang Perbedaan Pandangan Musa

dengan Khidir ....................................................... 92

BAB IV: ARGUMENTASI MUFASIR ATAS AYAT-AYAT

PEMBUNUHAN ................................................................ 93

A. Pola Penafsiran Kisah Nabi Musa dan Khidir ............ 93

1. Pengelompokan Ayat dalam Penafsiran Kisah

nabi Musa dan Khidir .......................................... 95

2. Penggunaan Ayat dan Hadis Sebagai Penjelas .... 133

3. Kecenderungan Fokus Bahasan ........................... 137

B. Hukum Pembunuhan Khidir terhadap Ghulām

dalam Surah al-Kahfi.................................................. 147

1. Kriteria Ayat-Ayat Pembunuhan ....................... 153

2. Tafsir atas Ayat-ayat Pembunuhan .................... 158

C. Pola Penafsiran terhadap Ayat-ayat Pembunuhan ..... 159

1. Penggunaan Ayat dan Hadis Sebagai Penjelas .... 159

2. Kecenderungan Fokus Bahasan ........................... 160

D. Interpretasi Atas Kemaksuman Nabi dalam

Kisah Pembunuhan Ghulām ....................................... 163

BAB V PENUTUP ............................................................. 183

A. Kesimpulan ................................................................. 183

B. Saran dan Kritik ......................................................... 185

DAFTAR PUSTAKA ........................................................ 186

BIODATA .......................................................................... 193

Page 11: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kitab petunjuk (QS. Al-Isrā’/17:9),

tidak hanya bagi orang-orang yang beriman (QS. Al-

Baqarah/2:2 atau QS. al-Naml/27:2-3), tapi juga petunjuk

bagi seluruh umat manusia (QS. Al-Baqarah/2:185). Ajaran

yang terkandung di dalamnya mencakup segala aspek

kehidupan manusia, meliputi dimensi akidah, akhlak maupun

hukum amali.1 Selain itu, al-Qur’an juga menjelaskan sejarah

umat-umat terdahulu. Bahkan tidak hanya persoalan dunia

yang dibahas, persoalan yang menyangkut kehidupan pasca

kehidupan di dunia, seperti maḥsyar, hari kiamat, surga dan

neraka semuanya dibahas dalam al-Qur’an.2 Sebagai kitab

suci yang diwahyukan kepada nabi Muhammad Saw, melalui

perantara Jibril, al-Qur’an diyakini oleh umat Islam sebagai

kitab yang universal berlaku untuk seluruh umat manusia

sepanjang zaman.3 Hal ini sebagaimana dilansir dalam firman

Allah Swt. QS. Al-An’ām/6:38.

Al-Qur’an tidak hanya mengajarkan kepada umat

manusia agar menjadi orang yang bertakwa (QS. Al-

1 Lajnah Pentashihihan Mushaf al-Qur’an Badan Litbang

dan Diklat Kementerian Agama, Tafsir al-Qur’an Tematik: Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia, seri 5, cet. I (Jakarta: Lajnah

Mushaf al-Qur’an, 2010), 2. 2 Ayat yang berkaitan dengan hari kebangkitan dijelaskan

dalan al-Qur’an, QS. Al-Zalzalah. 99: 1-6. Yang berkaitan dengan

surga misalnya terdapat dalam QS. Al-Nabā’/78 :21-22. Tentang

neraka QS. Āli ‘Imrān/3 :131. 3 M. Syakur Chudlori, ‚Tafsir Ahkam dan Kontekstualisasi

Hukum Islam‛ al-Maslahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam,

115. Lihat juga: Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an: Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur’an, cet. III (Jakarta:

Penamadani, 2005), 334.

Page 12: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

2

Baqarah/2:2). Ia tidak hanya menyajikan tuntunan ritual,

dalam rangka hubungan kedekatan antar manusia dengan

Tuhan (QS. Al-Dzāriyāt/51:56), tapi ia juga memberi

pengarahan dalam hubungan antar manusia bahkan hubungan

manusia dengan alam dan lingkungan (QS.Al-Ḥujurāt/49:13).4

Secara garis besar ulama membagi kandungan al-

Qur’an pada tiga bagian, yaitu Aqidah, Akhlak dan Syari’ah.

Aqidah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan dasar-

dasar keimanan, akhlak adalah segala sesuatu yang berkaitan

dengan etika, sementara Syari’ah adalah yang berkaitan

dengan segala aspek hukum yang muncul dari perkataan

(aqwāl) dan perbuatan (af’āl).5 Syari’ah dalam sistematika hukum Islam dapat

dikelompokkan menjadi dua, yaitu ibadah (ḥabl min Allāh)

dan mu’amalah (ḥabl min al-nās).6

Pembahasan tentang

4

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan, jilid 2 (Ciputat: Lentera

Hati, 2006), 35. 5 Syari’ah adalah aturan/hukum yang ditetapkan Allah Swt.

Kepada hambaNya, berupa agama, atau agama yang diperintahkan

Allah Swt. untuk dilaksanakan yang terdiri dari ibadat, seperti

puasa, salat, haji, zakat dan amala kebaikan lainnya (mu’āmalāt) dalam keberlangsungan hidup sehari-hari. Seperti jual-beli, aturan

perkawinan dan lain sebagainya. Lihat: Yusuf al-Qaraḍawī, Dirāsāt fī Fiqh al-Maqāṣid al-Syar’iyah bayn al-Maqāṣid al-Kulliyah qa al-Nuṣūṣ al-Jauziyah (Kairo: Dār al-Syurūq, 2006), 16. Lihat juga:

Muḥammad Syalṭūṭ, Al-Islām ‘Aqīdah wa al-Syarī’ah (Beirut: Dār

al-Fikr al-‘Arabī, 1958), 27. 6 Abdul Wahab Khallaf, Ilm Uṣūl Fiqh (Kairo: Dār al-

Kuwaitiyah, 1978), 32. Namun menurut Abd Moqsith Ghazali,

kategorisasi ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an paling tidak dibagi

menjadi empat tema pokok. Pertama, ayat-ayat ibadah, seperti

shalat, puasa, haji dan wudhu’. Kedua, ayat-ayat aḥwāl al-syahsyiah (hukum keluarga) atau hukum munakaḥāt. Seperti nikah, talak,

‘iddah, rujū’ dan nafkah. Ketiga, ayat-ayat yang berkaitan dengan

akad keperdataan secara umum. Seperti jual-beli, sewa-menyewa,

Page 13: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

3

syari’ah dalam al-Qur’an merupakan salah satu komponen

besar. Hal ini karena begitu banyaknya ayat-ayat al-Qur’an

yang berkaitan dengan hukum (Ayat-ayat aḥkām).7 Selain itu,

menjelaskan aspek hukum merupakan salah satu tujuan

diturunkannya al-Qur’an,8 oleh karena hukum mengatur hal-

hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia untuk

tercapainya kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.9

Perhatian ulama terhadap ayat-ayat Aḥkām

sebenarnya telah berkembang sejak awal abad Hijriyah.

Misalnya pada aba ke IV Hijriyah, yaitu masa kodifikasi kitab

tafsir, telah hadir sebuah kitab tafsir yang dikenal dengan

tafsir Fiqh yang paling masyhur, apalagi di kalangan

Hanafiyah. Yaitu tafsir Aḥkām al-Qur’ān karya monumental

Abū Bakr Aḥmad ibn ‘Alī al-Rāzī yang populer dengan

panggilan al-Jaṣṣaṣ (305-370 H). Ia adalah salah seorang

tokoh madzhab Hanafi yang mempunyai perhatian penuh

gadai, syuf’ah, muḍārabah dan piutang. Keempat, ayat-ayat yang

berkaitan dengan soal pidana (jināyat). Lihat: Lilik Ummi Klastum

dan Abd Moqsith Ghazali, Tafsir Ahkam, cet. I (Ciputat: UIN Press,

2015), 22-23. 7 Terdapat perbedaan ulama mengenai berapa jumlah ayat-

ayat hukum dalam al-Qur’an. Menurut Abdul Wahab Khallaf ada

368 ayat hukum (ayat yang berkaitan dengan hukum) dalam al-

Qur’an dengan kalsifikasi sebagai berikut: 40 ayat berkaitan dengan

ibadah, 70 ayat aḥwāl al-Syakhṣiyah: kawin, talak, waris dan

wasiat, 70 ayat mu’amalah, 30 ayat kriminal (Jināyah), 13 ayat

peradilan, 10 ayat hubungan antara orang kaya dan miskin, 10 ayat

tentang kenegaraan, dan 25 ayat tentang relasi dengan non muslim.

Lihat: Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Uṣūl Fiqh (Al-Qāhirah: Dār al-

Ḥadīts, 2003), 29. 8 QS. Al-Ra’d/23:38. QS. Al-Naḥl /16:44

9 Syafruddin, ‚Penafsiran Ayat Aḥkām al-Zuhailī dalam al-

Tafsīr al-Munīr‛ (Disertasi , Sekolah pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2008), 3.

Page 14: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

4

terhadap tafsir Aḥkām.10

Pada abad berikutnya lahir kitab

tafsir ahkam yaitu Aḥkām al-Qur’ān karya Abū Bakr

Muḥammad ibn ‘Abd Allāh Ibn al-‘Arabī (468-543 H), dan

seterusnya.

Perhatian ulama terhadap tafsir ahkam paling tidak

didasarkan pada enam alasan penting. Hal ini sebagaimana

dikemukakan oleh Muhammad Amin Suma dalam bukunya.

Pertama, Allah Swt. menurunkan al-Qur’an sebagai

(pedoman) hukum (al-Ra’d/13:37). Kedua, ayat mengenai

hukum merupakan ayat yang terpanjang dalam al-Qur’an,

yaitu ayat yang mengurai hutang-piutang (al-Baqarah/2:282).

Ketiga, banyaknya ayat al-Qur’an yang menyeru dalam

bentuk perintah untuk berbuat adil, jumlahnya ratusan ayat.

Keempat, hampir semua surah-surah panjang dalam al-Qur’an

mengandung aspek hukum. Kelima, banyaknya ayat al-Qur’an

yang mengandung aspek hukum. Keenam, dalam banyak ayat,

Allah Swt. Mengancam orang-orang yang melanggar hukum-

Nya.11

Adanya ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an

memberikan rasa aman dan memberikan perlindungan

terhadap hak-hak manusia. Penegakan hukum secara adil akan

melahirkan masyarakat yang sejahtera. Larangan membunuh,

perintah membayar zakat terhadap orang yang membutuhkan

akan membantu pemenuhan kebutuhan mereka, serta

pengharaman riba dalam mu’amalah adalah salah satu bentuk

kepedulian atas hak-hak manusia.12

Terkait jumlah ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an,

pendapat ulama terbelah menjadi dua. Pertama, bahwa ayat-

10

Syafruddin, ‚Penafsiran Ayat Aḥkām al-Zuhailī dalam

al-Tafsīr al-Munīr,‛, 5. 11

Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), 3-12.

12 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an:

Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan, 69.

Page 15: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

5

ayat hukum dalam al-Qur’an hanya terbatas pada beberapa

ayat saja. Hal ini bisa dilihat sebagai sebuah fakta bahwa

tidak semua ayat dalam al-Qur’an dapat dijadikan dalil

hukum fiqh. Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama.

Kedua, bahwa ayat-ayat hukum tidak terbatas pada ayat

tertentu, artinya bahwa seluruh ayat al-Qur’an (secara

implisit) mengandung hukum dan dapat dijadikan sumber

utama hukum fiqh. Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama,

seperti Najmuddin al-Ṭūfi, Ibn Daqīq al-‘Īd, al-Ṣan’anī dan al-

Syaukanī.13

Selain ayat aḥkām, al-Qur’an juga banyak memuat

kisah-kisah umat terdahulu sebagai pola komunikasi yang

dinilai efektif untuk menyampaikan nilai-nilai kebenaran

kepada manusia. Menurut sebagian tokoh, penyampaian

kisah-kisah tersebut dapat merangsang pembaca untuk

mencerna peristiwa yang terjadi di dalamnya. Doktrin-doktrin

yang terkandung di dalamnya akan mudah dipahami dan

dicontoh, karena secara tidak sadar ia akan masuk pada jiwa

si pembaca pada saat membacanya. Peristiwa yang terjadi

pada umat terdahulu yang disampaikan lewat kisah, dapat

dipahami oleh berbagai kalangan, baik orang biasa (awam)

atau orang terpelajar, sehingga nilai-nilai ajaran al-Qur’an

dapat berlaku untuk semua manusia.14

Kisah-kisah yang terdapat di dalam al-Qur’an secara

umum dapat dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, kisah para

nabi (qaṣaṣu al-anbiyā’). Kedua, kisah para tokoh, secara

individu atau kelompok. Baik tokoh protagonis dan bijak

maupun antagonis dan ingkar. Ketiga, kisah yang berkaitan

dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasul

13

Isnan Ansory, Mengenal Tafsir Ahkam (Jakarta: Rumah

Fiqih Publishing, 2018), 6 dan 9. 14

Muhammad Alghiffary, ‚Makna Simeosis Kisah Nabi

Nuh dalam al-Qur’an: Kajian Semiotika Umberto Eco‛ (Tesis,

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006), 2.

Page 16: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

6

Saw.15

Salah satu kisah yang terdapat dalam al-Qur’an yang

termasuk jenis yang pertama adalah kisah nabi Musa As dan

Khidir.16

Kisah tentang pengembaraan nabi Musa merupakan

salah satu kisah yang paling banyak dimuat di dalam al-

Qur’an. Tercatat lebih dari tiga puluh surah dalam al-Qur’an

yang memuat kisah nabi Musa. Kisah ini dinilai kental

dengan pelajaran dan hikmah serta pengalaman ruḥāniyah

karena menyuguhkan nilai-nilai teologis dan moralitas sosial

yang menjadi pesan utama yang akan disampaikan dalam

kisah ini.17

Kisah nabi Musa dan Khidir adalah kisah yang

mengandung sajian kontroversial. Beberapa tindakan yang

15

Rukimin, ‚Kisah Dzulqarnain dalam al-Qur’an Surah al-

Kahfi: 83-101 Pendekatan Hermeneutika‛ (Jurnal Studi Islam, Vol.

15, No. 2, Desember 2014: 138-159), 139. 16

Para ulama berbeda pandangan, apakah Khidir adalah

seorang nabi atau bukan? sebagian berpendapat bahwa Khidir

adalah hamba Allah Swt, yang shalih. Namun menurut Abī Hafs

‘Umar Ibn ‘Alī dalam tafsirnya menyebutkan bahwa menurut

mayoritas ulama Khidir adalah seorang nabi. Ada banyak dalil yang

dikemukakan atas kenabian Khidir. Antara lain adalah pertama, karena ia diberikan ‚rahmah‛ oleh Allah al-Rahmah adalah al-Nubuwah, al-Zukhruf: 23. Kedua, dianugerahi ilm ladunni, ini

menunjukkan bahwa ia dianugerahi ilmu tanpa perantara. Karena

dalam pandangan mereka bahwa siapapun yang dianugerahi ilmu

tanpa perantara manusia ia adalah seorang nabi, tapi pendapat ini

dianggap lemah. Ketiga, pernyataan musa yang memutuskan hendak

ikut kepada Khidir, karena seorang nabi tidak mungkin belajar

kepada selain nabi, dan lain sebagainya. Lihat: Abi Hafṣ ‘Umar Ibn

‘Alī, al-Lubāb fī ‘Ulūm al-Kitāb, juz 12 (Beirut: Dār al-Kutub al-

‘Alamiyah, tt), 529. Lihat juga: ‘Abd al-Wahhāb al-Najjār, Qiṣaṣ al-Anbiyā’, cet. I (Mesir: Dār al-Hadits, 2002), 343.

17 M. Faisol, ‚Interpretasi Kisah Nabi Musa Perspektif

Naratologi al-Qur’an‛ (Islamica: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 11,

No. 2, Maret 2017), 2.

Page 17: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

7

dilakukan oleh Khidir selama perjalanan menjadikan mereka

tak terhindarkan dari perdebatan, walaupun sebelumnya

Khidir telah mengingatkan Musa untuk tidak bertanya jika

terjadi sesuatu di tengah perjalanan. Namun beberapa

peristiwa yang tidak bisa dipahami dan dinalar berdasarkan

akal dan penglihatan nabi Musa, membuatnya tak

terhindarkan dari pertanyaan, bahkan protes. Misalnya,

perusakan kapal yang mereka tumpangi tanpa izin sang

pemilik, pembunuhan terhadap anak kecil yang mereka

jumpai, dan restorasi dinding roboh di sebuah kota yang

penduduknya tidak ramah dan tidak bersahabat dengan

mereka.18

Bahkan dalam beberapa tafsir disebutkan bahwa

penduduk kota tersebut sangat kikir.19

Terjadinya perdebatan antara nabi Musa dengan

Khidir dilatar belakangi oleh perbedaan sudut pandang dalam

melihat sesuatu. Nabi Musa memandang salah atas tindakan

yang dilakukan oleh Khidir lantaran bertolak dengan norma-

norma yang berlaku, sementara Khidir mempunyai alasan

tersendiri yang tidak dapat dijangkau oleh akal nabi Musa dan

manusia pada umumnya. Dari sini dapat dipahami bahwa

Musa merupakan representasi manusia secara umum,

sementara Khidir merupakan representasi dari Tuhan. Musa

menafsirkan segala sesuatu dengan menitikberatkan pada

nalar bayāni dan burhāni. 20 Sementara Khidir dapat

18

Djohan Effendi, Pesan-Pesan al-Qur’an: Mencoba Mengerti Intisari Kitab Suci, cet. I (Jakarta: Serambi Ilmu

Nusantara, 2012), 145. 19

Fakr al-Dīn al-Rāzi, Mafātiḥ al-Ghaib (Maktab al-

Syāmilah), 487. Aḥmad Musṭafā al-Marāghī (Maktab al-Syamilah) 20

Nalar bayāni biasanya terdapat dalam kajian ilmu

kebahasaan, seperti naḥwu, fiqh, teologi dan ilmu balaghah. Nalar

bayāni bekerja dengan menggunakan mekanisme yang sama

berangkat dari dikotomi antara lafadz/al-makna, al-aṣl/al-far’ dan al-jauhar. Sementara nalar burhāni adalah cara berfikir masyarakat

Arab yang bertumpu pada kekuatan natural manusia, yaitu

Page 18: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

8

menjangkau segala sesuatu yang akan terjadi dikemudian hari,

karena ia dianugerahi ilmu laduni.21 Namun, pembunuhan dan

penganiayaan adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam,

pelakunya diancam dengan hukuman Kisas,22

yaitu hukuman

yang telah ditetapkan secara tegas dalam al-Qur’an dan hadis.

Hukuman ini adalah bentuk perlindungan yang diberikan

kepada setiap individu agar terjamin keselamatan jiwa dan

kesempurnaan anggota tubuhnya. Ini menunjukkan bahwa

hukum Islam yang termuat dalam ayat-ayat al-Qur’an sangat

adil.23

Ini sekaligus mamatahkan sebagian pandangan bahwa

hukum pidana Islam adalah kejam, keras bertentangan dengan

HAM (Hak Asasi Manusia).24

berdasarkan pengalaman empiric dan penilaian akal dalam

mendapatkan pengetahuan tentang segala sesuatu, atau pengetahuan

yang bertumpu pada hukum sebab akibat. Lihat: M. Faisol.

‚Struktur Nalar Arab-Islam Menurut ‘Abid al-Jābiri‛ (Jurnal Tsaqafah, Vol. 6, No. 2, Oktober 2010), 339 dan 355.

21 Muhamad Agus Mushodiq, ‚Perilaku Patalogis pada

Kisah Nabi Musa dan ‘Abd dalam al-Qur’an: Telaah Epistimologi

al-Jābirī dan Semiotika Peirce‛ (Jurnal Ulul Albab, Vol. 19, No. 1,

2018), 71. 22

Qiṣaṣ secara etimologis berati mengikuti; menelusuri

jejak atau langkah. Sementara secara terminologi sebagaimana

dikemukakan oleh M. Nurul Irfan dalam bukunya dengan mengutib

beberapa pendapat ulama. Antara lain adalah pendapat al-Jurjanī,

yaitu mengenakan sebuah tindakan (sanksi hukum) kepada pelaku

persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut

(terhadap korban). Qiṣaṣ bisa karena melakukan jarīmah pembunuhan dan bisa juga karena melakukan jarimah penganiayaan.

Lihat: M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet. I (Jakarta:

Amzah, 2013), 4-5. 23

Abdurrahman Madjrie, Qisas: Pembalasan yang Hak (Jakarta: Khairul Bayan, 2003), 20.

24 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam:

Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda (Jakarta: Gema

Insani, 2003), VIII.

Page 19: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

9

Dalam hukum Islam, tidak ada suatu perbuatan baik

secara aktif (komisi) maupun pasif (omisi) kecuali telah

ditentukan hukumnya dalam al-Qur’an maupun hadis nabi.

Syari’at Islam telah menetapkan perbuatan tertentu sebagai

sebuah kejahatan dan sekaligus menetapkan hukumannya

dengan tujuan untuk melindungi kepentingan secara kolektif

dan sistem kehidupan bermasyarakat. Salah satu bentuk

kejahatan (jināyat) yang pelakunya mendapat kecaman

langsung melalui al-Qur’an dan hadis adalah kejahatan yang

menyebabkan hilangnya nyawa dan atau hilangnya sebagian

anggota tubuh manusia. Seperti pembunuhan, melukai orang,

kekerasan fisik atau aborsi dengan sengaja.25

Jarīmah atas kejahatan tersebut di atas adalah kisas,

hal ini sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an QS. Al-

Baqarah/2:178.26

Dengan merujuk pada QS. Al-Baqarah 178,

ulama sepakat bahwa pembunuhan dengan cara disengaja

pelakunya wajib dijatuhi hukuman kisas. Tetapi mereka

berbeda pendapat terkait definisi pembunuhan sengaja.

Perbedaan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Moqsith

Ghazali dalam bukunya, dilatarbelakangi oleh cara pandang

mereka dalam memahami kata ‚sengaja‛. Sebagian ulama

memahami pembunuhan sengaja tersebut ditentukan oleh

adanya niat, sementara sebagian yang lain mengatakan bahwa

kesengajaan tersebut ditentukan oleh alat yang digunakan,

yaitu benda yang dapat mematikan, baik benda tajam maupun

lainnya, baik secara langsung maupun tidak.27

25

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda, 21.

26 Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu

qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. 27

Lilik Ummi Kalstum dan Abd Moqsith Ghazali, Tafsir Ahkam, 115-116. Lihat juga: Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet. I (Jakarta: Amzah, 2013), 6.

Page 20: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

10

Secara eksplisit, tindakan Khidir terhadap anak

remaja yang belum dewasa yang tidak bersalah adalah

melanggar prinsip-prinsip Islam.28

Sebab, tujuan

diturunkannya syariat Islam adalah untuk menjamin

kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

Untuk tercapainya tujuan syariat Islam tersebut, maka harus

ada jaminan atas hak-hak dasar manusia, termasuk di

dalamnya hak anak. Paling tidak ada lima dasar pokok yang

harus dijamin dan dijaga dari manusia (al-ḍarūriyah al-khamsah), yaitu agama, jiwa, keterunan, harta dan akal.

29

Di bandingkan dengan hak-hak lainnya, baik yang

bersifat ḍarūriyah, seperti hak beragama, memelihara jiwa,

28

Tentu secara kasat mata ini bertentangan dengan prinsip

ajaran Islam, bahwa setiap bayi yang lahir ke dunia dalam keadaan

suci, maka orang tua dan lingkunganlah yang akan membentuk

karakternya. Lihat: Imran Siswadi, ‚Perlindungan Anak dalam

Perspektif Hukum Islam dan HAM‛, (Jurnal al-Mawarid, Vol. XI,

No. 2, September-Januari, 2011), 226. Lihat juga hadis yang

diriwayatkan oleh Imām al-Bukharī: Hadits diriwayatkan dari Adam, dari Ibni Abī Dzi’bin, dari Abī Salamah bin ‘Abd al-Rahmān, dari Abī Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw bersabda: ‚setiap anak dilahirkan dalam keadaan fiṭrah, maka orang tuanyalah yang mnjadikannya Yahudī, atau Naṣranī, atau Majusī. Seperti seekor ternak yang melahirkan anaknya, apakah engkau melihat cacat padanya?‛ (H.R. al-Bukharī).

29 Hak-hak tersebut merupakan sesuatu yang sangat

mendasar bagi kehidupan manusia dan ia bersifat kodrati yang

melekat pada diri manusia sejak lahir. Setiap individu membawa

hak-hak asasi tertentu sejak lahir dan tidak boleh

dilanggar/dihilangkan oleh siapapun. Lihat: David Weissbrodf,

‚Hak-hak Asasi Manusia: Tinjauan dari Perspektif Kesejarahan‛

dalam Peter Davies, Hak-hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia diterjemahkan dari Human Rights, 1991), 2. Lihat

juga: Azhariah Fatia, ‚Hak dan Perlindungan Anak dalam

Perspektif Hadis‛ (Tesis, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2007), 46-47.

Page 21: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

11

akal, harta dan harga diri, bersifat ḥājiyyāt, seperti mengatur

pola hubungan antarmanusia, atau taḥsiniyāt, yang berupa

akhlak dan tradisi mulia, maka hak yang paling mendasar bagi

manusia adalah hak hidup.30

Dalam Islam, tidak dibenarkan

bagi siapapun membunuh orang lain tanpa alasan yang

dibenarkan oleh syara’. Sebab satu pembunuhan terhadap

seseorang seolah-olah membunuh seluruh manusia.31

Pembunuhan terhadap anak remaja yang dilakukan

Khidir tentu saja bukan tanpa alasan. Selain alasan normatif

yang telah dijelaskan oleh Khidir kepada nabi Musa sebelum

keduanya berpisah sebagaimana yang terdapat dalam al-

Qur’an. Sebagai nabi, Khidir ‚tidak mungkin‛ melakukan

sesuatu sesuka hatinya apalagi tindakan kriminal, kalau tanpa

perintah dari Tuhan. Tetapi, protes yang disampaikan nabi

Musa kepada Khidir juga tidak sepenuhnya salah, sebab

tindakan Khidir tentu saja bertentangan dengan ajaran nabi

Musa yang dibawa dari Tuhan untuk disampaikan kepada

umatnya.

Ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan sebagai landasan

hukum atas pembunuhan yang sering kali penulis jumpai

dalam beberapa buku atau penelitian adalah sebagai berikut:

QS. Al-Baqarah/2:178-179, QS. Al-Nisā’/4: 92-93, QS. Al-

Māidah/5: 32 dan 45, QS. Al-An’ām/6: 151, QS. Al-Isrā’/17:

33, dan QS. Al-Furqān/2:68 dan 70.

Sejauh pelacakan penulis atas beberapa kita tafsir

ahkam, Mereka sepakat dalam menjadikan ayat-ayat tersebut

30

Shalahuddin Hamid, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam (Jakarta: Amissco, 2000), 36.

31 Maka barang siapa yang membunuh satu manusia tanpa

kesalahan, maka ia seperti membunuh manusia seluruhnya, dan barang siapa yang menghidupkannya maka ia seperti menghidupkan seluruh manusia. (QS. Al-Māidah/5:32). Lihat juga: QS. Al-

An’ām/6:151. QS. Al-Isrā’/17:31 dan 33. QS. Al-Māidah/5:45. QS.

Al-Baqarah/2:178.

Page 22: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

12

di atas sebagai dalil hukum pembunuhan dalam al-Qur’an.

Tapi tidak banyak dari mereka yang mencantumkan surah al-

Kahfi, ayat 74 yang mengisahkan pembunuhan yang

dilakukan oleh Khidir terhadap seorang anak (ghulām) yang

dijumpainya di perjalanan bersama nabi Musa, dalam

tafsirnya.

Berikut ini adalah hasil pelacakan penulis terhadap

beberapa kitab tafsir ahkam. Pertama, tafsir Rawā’i al-Bayān Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur’ān. Dalam tafsir ini Alī al-

Ṣābunī hanya mencantumkan QS. Al-Baqarah/2:178-179

dalam bab Fī al-Qiṣāṣi ḥayātu al-Nufūs dan QS. Al-

Nisā’/4:92-93 dalam bab Jarīmah Al-Qatl. 32 Kedua, tafsir

Taisīr al-Bayān li Aḥkām al-Qur’ān. Imām al-Mauzi’ī

mencantumkan QS. Al-Baqarah/2:178-179, QS. Al-

Māidah/5:45, dan QS. Al-Isrā’/17:33 dalam bab Min Aḥkām al-Qiṣāṣ, dan QS. Al-Nisā’/4:92-93 dalam bab Min Aḥkām al-Qiṣāṣ wa al-Diyāt.33

Ketiga, Tafsir Kanzu al-‘Irfān fī Fiqh al-Qur’an. Miqdād ibn ‘Abd Allāh ibn Muḥammad ibn al-Hasan

ibn Muḥammad al-Syayurī, menyebutkan QS. Al-

Baqarah/2:178-179, QS. Al-Nisā’/4:92-93, QS. Al-

Māidah/5:32 dan 45, dan QS. Al-Isrā’/17:33 dalam satu bab,

yaitu Kitāb al-Jināyāt.34 Keempat, tafsir Aḥkām al-Qur’an Lī Ibn al-‘Arabī. Ibn al-‘Arabī sama seperti mufasir yang

lainnya, ia juga mencantumkan ayat-ayat tersebut di atas

dalam kitab tafsirnya.

Peneliti berasumsi bahwa mereka sepakat dalam

menjadikan ayat-ayat tersebut sebagai dalil hukum atas

32

Muḥammad ‘Alī al-Ṣābunī, Rawā’i al-Bayān Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur’ān, juz II (Beirut: Maktab al-Ghazālī, tt), 168.

33 Al-Mauzi’ī atau Ibn Nuri al-Dīn, Taisīr al-Bayān Lī

Aḥkām al-Qur’ān (Libnan: Dār al-Nawādir, 2012 M), 217 dan 457. 34

Miqdād ibn ‘Abd Allāh ibn Muḥammad ibn al-Ḥasan ibn

Muḥammad al-Syayurī, Kanzu al-‘Irfān fī Fiqh al-Qur’ān (al-

Maktab al-Murtadiyah, Tt), 354-358.

Page 23: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

13

tindakan pembunuhan. Tapi tidak satu pun dari mereka

menjadikan ayat yang mengisahkan pembunuhan yang

dilakukan oleh Khidir sebagai dalil hukum, atau contoh

pembunuhan secara sengaja yang berdampak pada hukum

kisas, bahkan mereka tidak mencantumkan ayat tersebut

dalam kitab tafsirnya. Padahal kejadian tersebut, terjadi pada

masa nabi Musa di mana hukum kisas pertama kali

diterapkan. Hal ini bisa dilihat dari QS. Al-Māidah/5:32.35

Oleh sebab itu, peneliti perlu merujuk pada beberapa

tafsir lainnya yang lebih komprehensif, yang memuat seluruh

ayat al-Qur’an, dari surah al-Fātihah sampai surah al-Nās,

seperti tafsir al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān karya al-Qurṭubī

(untuk tafsir Ahkam). Untuk mengetahui bagaimana

penafsiran yang dilakukan oleh mereka terhadap ayat yang

mengandung diksi pembunuhan, terutama pembunuhan yang

dilakukan oleh Khidir kepada anak kecil yang dilakukan di

depan nabi Musa, sebagaimana diurai dalam surah al-Kahfi.

Akankah pembunuhan yang terdapat dalam kisah dijadikan

argumentasi hukum oleh para mufasir, terutama mufasir

ahkam. Karena tidak satupun dari tindakan manusia yang

terlepas dari hukum. Apalagi tindakan yang menyebabkan

hilangnya nyawa seseorang. Hukum yang diturunkan Allah

Swt, tentu saja tidak pandang bulu, secara tegas Islam

memandang sama manusia di hadapan hukum. Tetapi, jika

bertentangan antara penegakan hukum dengan keadilan,

seperti yang terjadi pada masa pemerintahan ‘Umar ibn

Khaṭṭāb, seorang pencuri yang tidak dikenai hukum potong

tangan dengan alasan kelaparan karena hidup di masa

paceklik. Tujuan adanya ḥudūd dalam Islam adalah untuk

35

Lihat: al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, juz VII (Beirut: Muassasah al-Risālah, 2006), 428.

Page 24: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

14

memberikan rasa takut pada orang lain. Penerapannya akan

mencegah orang lain untuk melakukan perbuatan serupa.36

Penelitian ini dipandang perlu untuk dilakukan,

karena sejauh penelusuran peneliti tampaknya belum ada yang

melakukannya dari sudut pandang hukum. Beberapa

penelitian seperti jurnal yang penulis temukan, membahas

kisah nabi Musa dan Khidir dari sudut pandang sejarah,

hermeneutika, epistimologi dan lain sebagainya. Seperti

jurnal yang ditulis oleh Muhamad Agus Mushadiq dengan

judul ‚Kisah Nabi Musa dan ‘Abd dalam al-Qur’an: Telaah Epistimologi al-Jābirī dan Semiotika Peirce‛ atau ‚Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Kisah nabi Musa dan nabi Khidir‛

dan ‚Pendidikan Karakter Guru dan Murid dalam Kisah nabi Musa dan nabi Khidir dalam Surah al-Kahfi Ayat 60-82‛ yang

ditulis oleh Jamal Abd Natsir, dan tesis Muhammad

Mushodiq dengan judul ‚Kisah Nabi Musa dan ‘Abd di dalam al-Qur’an: Studi Analisis Semiotika, Patologi Sosial dan Epistemologi ‘Ābid al-Jābiri ‛ dan lain sebagainya.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa

masalah yang dapat diidentifikasi sebagai beriku:

a. Pembunuhan yang dilakukan oleh nabi Khidir

terhadap anak kecil bertentangan dengan syari’at

yang dibawa oleh nabi Musa.

b. Khidir sebagai nabi, tidak ‚mungkin‛ melakukan

tindakan ‚kriminal‛ tanpa ada perintah dari Allah

Swt.

c. Nabi Musa memprotes tindakan nabi Khidir lantara

bertentangan dengan norma dan ajaran yang

dibawanya secara kasat mata.

36

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda, XIV.

Page 25: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

15

d. Agama melindungi Hak Asasi Manusia (HAM),

terutama hak untuk hidup, maka segala bentuk

pembunuhan terhadap orang yang tidak bersalah tentu

saja tidak dibenarkan oleh agama.

e. Membunuh satu orang yang tidak bersalah, maka

seperti membunuh seluruh manusia. Jika hukuman

terhadap pembunuh tidak ditegakkan, makan

pembunuhan tidak akan berkesudahan.

2. Perumusan Masalah

Dilihat dari kacamata hukum, pembunuhan secara

sengaja terhadap orang yang tidak bersalah, maka pelakunya

dijatuhi hukuman kisas (al-Baqarah. 2:178). Bertolak dari

pokok permasalahan tersebut di atas, sebagaimana diuraikan

dalam latar belakang masalah, makan ada beberapa masalah

yang akan menjadi pokok pembahsan dalam penelitian ini

yang dapat peneliti rumuskan sebagai berikut:

Pertama, Bagaimana pemaknaan mufassir aḥkam

terhadap surah al-Kahfi ayat 71-77 dalam kaitannya dengan

tindakan dan pembunuhan yang dilakukan oleh nabi Khidir

terhadap ghulām (yang masih suci)?

Kedua, Apakah ayat-ayat kisah yang mengandung

diksi hukum dijadikan sebagai argumentasi/dalil hukum oleh

para fuqahā sama seperti ayat-ayat hukum murni?

3. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah

yang telah peneliti paparkan di atas, maka untuk lebih

memfokuskan dan mengarahkan penulisan tesis ini pada tema

yang dibahas, perlu peneliti berikan batasan dari masalah

yang akan diteliti. Permasalahan yang akan dibahas dalam

tesis ini adalah pemaknaan para mufasir terhadap

pembunuhan yang dilakukan oleh Khidir terhadap seorang

anak yang tidak melakukan tindakan yang menyebabkannya

dikenai hukuman mati/kisas sebagaimana terdapat dalam

Page 26: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

16

surah al-Kahfi. Akankah hukum tetap menyatakan bersalah

atas pembunuhan yang dilakukan Khidir terhadap seorang

anak yang tidak berdosa itu. Pembahasan terkait hal tersebut

peneliti batasi pada surah al-Kahfi/18:71-77 dengan merujuk

pada beberapa kitab tafsir, kemudian menyebutkan ayat-ayat

hukum murni.37

Peneliti tidak hanya membatasi pada tafsir

ahkam, karena beberapa tafsir ahkam tidak membahas ayat

tersebut di atas, tetapi peneliti juga merujuk pada beberapa

kitab tafsir lainnya, untuk mengetahui pemaknaan mereka

terhadap ayat tersebut. Selain itu, peneliti juga menganalisa

ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil pembunuhan di

beberapa kitab tafsir ahkam.

Adapun kitab-kitab tafsir tersebut adalah: Tafsīr al-Jīlānī karya Abd al-Qādir Jailānī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Adzīm karya al-Tustārī, Laṭāif al-Isyārāt karya al-Qusyairī, Ḥaqāiq al-Tafsīr karya al-Sulāmī, al-Mizān karya al-Ṭabāṭabāī,

Mafātiḥ al-Ghaib karya al-Rāzī, Tafsīr al-Marāghī karya

Aḥmad Muṣṭafā al-Marāghī, Fī Dzilāl al-Qur’ān karya Sayyid

Quṭb, Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir al-Azhar karya Hamka, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān karya al-

Qurṭūbī, Aḥkām al-Qur’ān karya Ibn ‘Arabī, al-Tafsīr wa al-Bayān karya ‘Abd ‘Azīz Marzūq al-Ṭarīfī, al-Kasysyāf karya

al-Zamakhsyarī, dan Aḥkām al-Qur’ān karya al-Jaṣṣaṣ.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, penulis

berasumsi bahwa kisah pembunuhan yang dilakukan nabi

Khidir terhadap anak kecil dalam pengembaraan nabi Musa

dilihat dari sisi tafsir ahkam layak untuk dikaji, tidak hanya

37

Yang dimaksud dengan ayat hukum murni di sini adalah

ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan pembunuhan

yang digunakan sebagai argumentasi atas pembunuhan oleh para

ulama fikih dan para mufasir. Antara lain adalah QS. Al-

Baqarah//2:178-179 dan QS. Al-Māidah/5:45

Page 27: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

17

bertujuan untuk menemukan hikmah dibalik kisah tersebut,

tapi untuk menemukan kepastian hukum. Maka, secara

khusus penulis bertujuan untuk:

1. Mengetahui pemaknaan mufasir aḥkām terhadap

surah al-Kahfi ayat 71-77 dalam kaitannya dengan

tindakan dan pembunuhan yang dilakukan oleh nabi

Khidir terhadap ghulām (yang masih suci)?

2. Mengetahui ayat-ayat kisah yang mengandung diksi

hukum dijadikan sebagai argumentasi/dalil hukum

oleh para fuqahā sama seperti ayat-ayat hukum

murni?

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian

Dengan memperhatikan permasalahan sebagaimana

diurai dalam latar belakang di atas, penulis berasumsi bahwa

pembahasan tentang pembunuhan anak kecil yang terdapat

dalam surah al-Kahfi sangat layak untuk dibahas dari sisi

hukum. Karena sejauh penelusuran penulis, belum ada yang

melakukannya dari kacamata hukum. Yang banyak penulis

temukan adalah pembahasan kisah nabi Musa dan nabi Khidir

dari sisi sejarah dan hikmah, baik menggunakan pendekatan

hermenuitika atau pendekatan yang lainnya.

Adapun manfaat dari penelitian ini secara umum,

menjadi kontribusi penulis dalam memperkaya wacana kajian

hukum Islam, khususnya dalam bidang tafsir. Secara khusus

penelitian ini diharapkan mampu menguraikan sisi hukum

dari kejadian dalam kisah nabi Musa dan nabi Khidir dalam

surah al-Kahfi. Untuk mengetahui apakah ayat-ayat yang

berkaitan dengan kisah tersebut apakah dijadikan landasan

hukum oleh para mufassir ahkam, mengingat bahwa al-Qur’an

adalah pedoman umat manusia dalam segala aspek

kehidupannya. Untuk mengetahui, jika ayat-ayat tersebut

tidak dijadikan landasan hukum, lalu dijadikan apa oleh para

mufassir ahkam. Bahwa penelitian ini akan berguna bagi para

pengkaji hukum Islam, terutama dalam bidang tafsir ahkam.

Page 28: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

18

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian yang mengkaji tentang kisah nabi Musa

dan nabi Khidir telah dilakukan oleh banyak peneliti. Akan

tetapi kajian yang peneliti lakukan baik judul maupun

permasalahannya berbeda dengan penelitian-penelitian

terdahulu. Berikut akan diuraikan penelitian-penelitian

terdahulu yang berkaitan dengan tema yang peneliti bahas.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pembahsan tentang

kisah nabi Musa dan Khidir menarik perhatian para peneliti,

hal ini bisa dilihat dari jumlah penelitian yang terkait tema

tersebut, baik berupa disertasi, tesis, jurnal dan skripsi.

Demikian juga yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum,

dalam kaitannya dengan pembunuhan dalam al-Qur’an, telah

banyak dibahas oleh para peneliti. Pada bagian ini peneliti

akan mengemukakan dua jenis tema besar yang tentunya ada

kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan oleh

peneliti dalam bentuk tesis ini. Pertama, tema yang berkaitan

dengan permasalahan hukum pembunuhan atau ayat-ayat

hukum dalam al-Qur’an. Kedua, tentang kisah nabi Musa dan

Khidir dalam al-Qur’an dari berbagai perspektif. Namun, dari

sekian banyak penelitian tersebut, peneliti akan

mencantumkan sebagiannya saja. Hal ini dilakukan untuk

membuktikan bahwa permasalahan yang akan dibahas dalam

penelitian ini sama sekali tidak sama dengan permasalahan

yang dibahas pada penelitian-penelitian sebelumnya.

Di antara penelitian yang berkaitan dengan tema

tersebut di atas adalah: Lilik Ummi Kaltsum dan Moqsith

Ghazali, dalam bukunya ‚Tafsir Ayat-ayat Ahkam‛ mereka

menguraikan ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an, meliputi

ayat-ayat peperangan, jihad, ayat-ayat yang berkaitan dengan

pernikahan, ayat-ayat yang berkaitan dengan perceraian dan

ayat-ayat yang berkaitan dengan pembunuhan beserta jarīmah

atas pembunuhan baik disengaja atau tidak disengaja.

Sepanjang pembacaan penulis terhadap buku tersebut, tidak

ditemukan sub tema yang membahas tentang kasus

Page 29: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

19

pembunuhan yang dilakukan oleh nabi Khidir dalam kisah

pengembaraan nabi Musa. Pada sub tema Tafsir atas ayat-ayat pembunuhan, buku ini menitikberatkan pembahasannya

pada ruang lingkup pembunuhan disengaja atau tidak

disengaja, dan beberapa ayat yang dikutip terkait

pembunuhan, tidak ditemukan ayat yang berkaitan dengan

pembunuhan yang dilakukan nabi Khidir sebagaimana tertera

dalam surah al-Kahfi. Sudah barang tentu buku ini tidak sama

dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis.

Disertasi yang ditulis oleh Achyar Zein dengan judul

‚Kriteria Tindak Pidana dalam al-Qur’an‛ pada Pascasarjana

IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh. Disertasi ini untuk

menjawab beberapa permasalahan pokok terkait tindakan

pembunuhan dan sanksinya dalam al-Qur’an. Yaitu tentang

gambaran tindak pidana dalam al-Qur’an, penafsiran para

ulama terhadap ayat-ayat pidana (secara umum), pola

penalaran ayat-ayat pidana, dan alasan sebagian ulama

memberlakukan hukuman ta’zir terhadap ibadah.

Berdasarkan fokus pembahasan tersebut di atas, maka

disertasi ini lebih banyak mengurai tentang tindak pidana

dengan mengurai kriteria perbuatan-perbuatan yang

ditetapkan dalam al-Qur’an sebagai tindak pidana. Melalui

kriteria ini maka perbuatan-perbuatan yang tidak disebutkan

dalam al-Qur’an dapat dimasukkan ke dalam tindak pidana

jika sesuai dengan kriteria yang ada. Dengan kata lain,

tawaran-tawaran disertasi ini dalam rangka memperluas

tindak pidana bersifat ‚bebas terkendali‛.

H.A. Wardi Muchlis dalam jurnal yang berjudul

‚Ayat-ayat Pidana dalam al-Qur’an‛ penelitian ini tidak

hanya fokus membahas tentang hukum pembunuhan, tetapi

tindak pidana secara umum. Seperti berzina, mencuri dan lain

sebagainya. Karena ayat-ayat pidana itu adalah bagian dari

ayat-ayat hukum, maka, Wardi Muchlis membatasi

pembahasannya pada tafsir ahkam, khususnya Aḥkām al-Qur’an karya Ibn ‘Arabī, Tafsīr Ayāt al-Aḥkām karya

Page 30: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

20

Muḥammad ‘Alī Al-Says, dan Rawā’i al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Aḥkām karya ‘Alī al-Ṣābunī.

Di sini Muchlis mengemukakan perbedaan tiga

pendapat ulama di atas tentang jumlah atau batasan ayat-ayat

hukum dan pidana dalam al-Qur’an. Pertama, menurut Ibn

‘Arabī, jumlah ayat ahkam dalam al-Qur’an sebanyak 891

ayat, sementara ayat pidana sebanyak 71 ayat. Kedua, Ali al-

Says, menurutnya jumlah ayat ahkam sebanyak 314 dan ayat

pidana sebanyak 55 ayat. Ketiga, ‘Alī al-Ṣābunī, jumlah ayat

ahkam adalah 255 ayat dan ayat pidana sebanyak 41 ayat.

Ada sejumlah ayat yang disepakati oleh mereka bertiga

sebagai ayat ahkam dan ayat pidana, tetapi ada juga yang

menurut sebagian dimasukkan dalam kelompok ayat ahkan

dan pidana, sementara oleh yang lainnya tidak dimasukkan.

Dari fokus pembahasan dan pembatasan pada kitab

tafsir yang dikaji dalam penelitian ini, jelaslah bahwa terdapat

perbedaan yang mencolok dengan apa yang dilakukan oleh

peneliti dalam pembahasan tesis ini.

Jurnal yang ditulis oleh Bunyamin dengan judul

‚Qisas dalam al-Qur’an: Kajian Fiqh Jinayah dalam Kasus Pembunuhan Disengaja.‛ Penelitian ini berupaya mengkaji

ayat-ayat al-Qur’an yang bermuatan sanksi pembunuhan

dengan cara sengaja. Dilihat dari sudut pandang fikih jinayat,

sanksi pembunuhan sengaja termasuk bagian dari kisas, yaitu

pembalasan setimpal terhadap korban.

Eksistensi kisas dalam al-Qur’an adalah untuk

menciptakan keadilan sosial, sekaligus melindungi dan

menjaga hak hidup masyarakat dari kejahatan yang terkadang

dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.

Jelaslah bahwa fokus bahasan penelitian ini berbeda dengan

fokus bahasan penelitian yang dilakukan oleh peneliti.

Tesis yang ditulis oleh Agus Mushodiq dengan judul

‚Kisah Nabi Musa dan ‘Abd dalam al-Qur’an: Studi Analisis Semiotika, Patologi Sosial, dan Epistemologi ‘Ābid al-Jābiri‛

penelitian ini dalam pembahasannya lebih menitikberatkan

Page 31: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

21

pada analisa tanda yang terdapat dalam kisah nabi Musa dan

nabi Khidir secara khusus yang terdapat dalam surah al-Kahfi

dengan menggunakan pendekatan semiotika Charles Sanders

Peirce, sehingga temuan dari penelitian ini bukan bertumpu

pada hukum atas pembunuhan yang terdapat dalam kisah

tersebut, melainkan pada hikmah, dan tujuan disajikannya

kisah tersebut yang memiliki makna tersendiri, yaitu sebagai

ẓikrā (pengingat) bagi nabi Musa ketika ia diperintahkan

menemui nabi Khidir, lantaran pengakuannya bahwa tidak

ada manusia paling pandai di dunia, dan sebagai rusyda

(petunjuk) bagi manusia agar bersabar dengan ketetapan yang

telah Allah Swt, gariskan.

Sarjana lain yang menulis tentang kisah nabi Musa

dan nabi Khidir adalah Jamal Abd Nasir dalam jurnal dengan

judul ‚Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Guru dan Murid dalam Perspektif Kisah Musa dan Khidir dalam Surah al-Kahfi ayat 71-77‛. Penelitian ini fokus pada analisa nilai-nilai dan

hikmah yang terdapat dalam sajian kisah nabi Musa dan nabi

Khidir, yaitu tentang sikap seorang murid pada gurunya.

Kesimpulannya atau hasil temuannya adalah bahwa setiap

murid dituntut untuk selalu hormat pada gurunya dan jika

terjadi khilaf, segeralah meminta maaf. Kedua, bahwa

mencari ilmu itu tidak mengenal usia. Ketiga, bahwa jarak

yang jauh bukanlah sebuah alasan untuk tidak menimba ilmu

yang lebih luas. Meski ayat yang dianalisa mencakup semua

kisah perjalanan nabi Musa hingga bertemu nabi Khidir,

Jamal Abd Nasir tidak sedikitpun menyinggung tentang

implikasi hukum dari beberapa kejadian dalam kisah tersebut.

Ini sama sekali berbeda dengan apa yang ingin penulis

lakukan.

Islamica: Jurnal Studi Keislaman dengan judul

‚Interpretasi Kisah Nabi Musa Perspektif Naratologi al-Qur’an‛ yang ditulis oleh M. Faisol. Sebagaimana tergambar

dalam judulnya, penelitian ini fokus membahas kisah Nabi

Musa dengan pendekatan naratologi yaitu dengan mengkaji

Page 32: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

22

struktur kisah nabi Musa dalam al-Qur’an. Bahwa sajian kisah

nabi Musa dalam al-Qur’an hadir dalam bentuk fragmentatif,

tidak diulas secara utuh dari awal hingga akhir, tetapi dibagi

kedalam bagian-bagian kecil. Penelitian ini tidak fokus pada

ayat atau surah tententu yang mengandung kisah nabi Musa,

tetapi seluruh ayat atau surah yang mengisahkan nabi Musa

dibahas dalam penelitian ini.

Sepintas, penelitian ini juga menyinggung kisah nabi

Musa yang terdapat dalam surah al-Kahfi, dimulai dari 63-64

yaitu awal pertemuan nabi Musa dengan Khidir yang ditandai

dengan hilangnya ikan di suatu tempat tertentu, hingga akhir

perjalanannya dengan Khidir. Menurut M. Faisol, kisah ini

disajikan dengan sangat singkat dan padat. Sebagai

konsekuensi dari sajian kisah yang singkat adalah tidak

kurang menampilkan gambaran atau adegan-adegan yang

penyituasian yang berkepanjangan.

Dilihat dari fokus bahasan dalam penelitian ini,

sebagaimana telah disebutkan, tentu saja berbeda dengan

fokus penelitian yang dilakukan peneliti. Tidak ditemukan

titik persamaan fokus antara penelitian yang telah dilakukan

oleh M. Faisol dengan apa yang dilakukan peneliti saat ini.

Anita Fauziah dan Ahmad Syamsu Rizal dalam jurnal

dengan judul ‚Implikasi Edukasi Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam QS. Al-Kahfi/18:60-82: Studi Literatur terhadap 5 Tafsir Mu’tabarah‛ fokus kajian dalam penelitian

ini adalah mengkaji kisah nabi Musa dan Khidir dalam QS.

Al-Kahfi/18:60-82 serta implikasinya terhadap pendidikan

Islam, dengan merujuk pada lima kitab tafsir yang dipandang

Mu’tabarah, yaitu Tafsir al-Misbah, Tafsir Fī Dzilāl al-Qur’ān, Tafsir Ibn Katsīr, Tafsīr al-Marāghī dan Tafsir Aisar. Hasil temuan dari penelitian ini adalah bahwa implikasi

edukatif kisah nabi Musa dan nabi Khidir yang terdapat

dalam surah al-Kahfi meliputi komponen-komponen

pendidikan Islam, yakni 1. Tujuan pendidikan: pembinnan

akhlak 2. Karakter pendidik: sabar, bijaksana, ikhlas,

Page 33: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

23

mengenal kompetensi murid, berpengetahuan luas, menguasai

materi dengan baik, pemaaf dan tegas. 3. Karakter peserta

didik: sabar, patuh, mempunyai tekad yang kuat, sopan dan

rendah diri terhadap guru. 4. Materi: akidah dan akhlak. 5.

Metode: uswah hasanah dan tajribi, dan 6. Media: sikap dan

strategi guru.

Berdasarkan hasil temuan di atas, maka penelitian ini

berbeda dengan fokus bahasan penelitian yang dilakukan oleh

peneliti yang melihat kisah nabi Musa dan Khidir dari sudut

pandang hukum, yang menitik beratkan pada kasus

pembunuhan yang dilakukan oleh Khidir terhadap seorang

anak yang dalam pandangan nabi Musa tidak bersalah

sehingga tidak pantas untuk dibunuh.

Sri Haryanto dalam jurnal dengan judul ‚The Story of Phrpohet Khidir in Suluk Literature: Reception and Transformation‛ yang telah dipresentasikan pada kegiatan

Seminar Hasil Penelitian Kebahasaan dan Kesastraan, 07-09

Oktober 2015 di Baalai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penelitian ini mencoba melihat kisah Khidir dalam

sastra Jawa, khususnya sastra suluk, dengan menggunakan

teori resepsi dan transformasi. Adapun hasil temuan dari

penelitian ini adalah bahwa tokoh nabi Musa (sebagaimana

disebutkan dalam al-Qur’an) diganti dengan tokoh syekh

Malaya (dalam sastra suluk), inti ajaran ilmu ladunni yang

dimiliki oleh Khidir ditransformasikan dalam inti ajaran

kejawen manunggaling kaula-Gusti dalam sastra suluk. Oleh

karena itu, dalam sastra suluk, ajaran-ajaran yang

disampaikan oleh Khidir kepada Syekh Malaya dapat diterima

secara sempurna. Temuan ini sama sekali berbeda dengan apa

yang menjadi konsen pembahasan dalam pembahasan yang

akan diuraikan oleh peneliti pada tesis ini.

Tesis dengan judul ‚Kisah Nabi Musa dalam al-Qur’an: Analisis Kepribadian Nabi Musa Tinjauan Teori Kepribadia‛ yang ditulis oleh Ahmad Ashabul Kahfi Magister

Page 34: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

24

Aqidah Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran

Islam UIN Sunan Kalijaga.

Dalam tesis ini, Ashabul Kahfi membahas tiga

pertanyaan pokok, yaitu tentang struktur kisah nabi Musa

dalam al-Qur’an, gambaran kepribadian nabi Musa dalam

kisah yang terdapan dalam al-Qur’an, dan gambaran nabi

Musa ditinjau dari sisi kematangan beragama.

Dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra,

maka tesis ini menghasilkan: alur kisah nabi Musa adalah alur

maju, latar kisah nabi Musa adalah terdiri dari tempat, yaitu

Mesir, Madyan. Latar waktu, yaitu sore, malam, pagi, 10

tahun dan 40 tahun. Tokoh dalam kisah nabi Musa adalah

terdiri dari; tokoh utama yaitu nabi Musa, tokoh pendukung

yaitu Allah, nabi Harun, Putri nabi Syu’aib, nabi Syu’aib,

Fir’aun dan Samiri. Amanat yang terdapat dalam kisah nabi

Musa yaitu kesungguhan dan kesabaran dalam menghadapi

setiap permasalahan yang mendatangkan kesuksesan. Nabi

Musa adalah pribadi yang matang berdasarkan enam kriteria,

yaitu perluasan perasaan diri, hubungan diri yang hangat

dengan orang lain, keamanan emosional, memiliki persepsi

realitas, memiliki pemahaman diri, dan filsafat hidup yang

mempersatukan. Nabi Musa memiliki kematangan beragama.

Dengan fokus pembahasan seperti disebutkan di atas,

maka jelaslah perbedaan antara tesis ini dengan penelitian

yang akan dibahas oleh peneliti dengan tema kisah dan hukum

dalam al-Qur’an.

Selanjutnya, penelitian Mursalim dalam jurnal

dengan judul ‚Gaya Bahasa Pengulangan Kisah Nabi Musa a.s dalam al-Qur’an: Suatu Kajian Stilistika‛. Dalam penelitian

ini, Mursalim mencoba menganalisa gaya bahasa pengulangan

kisah nabi Musa yang terdapat dalam al-Qur’an mengingat

banyaknya ayat al-Qur’an yang menjelaskan kisah nabi Musa,

serta adanya banyak kesamaan dakwa secara setting social antara Musa dengan Muhammad. Sehingga, penelitian ini

Page 35: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

25

tidak sedikitpun menyinggung hukum fiqh yang terdapat

dalam kisah tersebut.

Berdasarkan kajian terdahulu yang relevan dengan

tema yang penulis tetapkan, sebagaimana diuraikan di atas,

penulis belum menemukan sebuah karya ilmiah yang

membahas kisah nabi Musa dan Khidir dari sudut pandang

hukum fiqh. Oleh karena itu, dengan penulisan tesis ini,

diharapkan dapat melengkapi kajian tentang kisah-kisah

dalam al-Qur’an, dan secara khusus kisah nabi Musa dan

Khidir dalam al-Qur’an.

F. Metodologi Penelitian

Merujuk pada pendapat Abuddin Nata dalam salah

satu bukunya, bahwa penguasaan materi keilmuan perlu

diimbangi dengan kemampuan dalam metodologi, sehingga

pengetahuan tersebut dapat dikembangkan. Oleh karena itu,

metodologi dalam sebuah penelitian merupakan sesuatu yang

sangat urgent.38

Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini secara umum mencakup empat hal penting.

Yaitu, jenis penelitian, sumber data peneitian, metode

pengumpulan data, dan metode analisis data.

1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian

kepustakaan (library research), yaitu penelitian dengan

mengumpulkan data-data dan menelaah buku-buku atau

literatur-literatur perpustakaan yang berkaitan dengan

pembahasan.39

Data yang akan dikaji adalah penafsiran yang

dilakukan oleh para ulama, terutama tafsir yang bercorak

ahkam yang berkaitan dengan penafsiran surah al-Kahfi yang

38

Abuddin Nata, Metodologo Studi Islam (Jakarta:

Rajawali Press, 2007), 148-149. 39

Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisiplinir (Yogyakarta: Paradigma, 2010), 134.

Page 36: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

26

mengandung kisah nabi Musa dan Khidir. Mengingat

penelitian ini bersifat teoritis, maka metode yang digunakan

adalah metode kualitatif, yaitu metode yang secara umum

dapat dimaknai sebagai prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata yang tertulis atau

perilaku yang diamati.40

2. Sumber Data

Sesuai dengan objek penelitian ini, maka teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah penelaahan dan

pengkajian terhadap bahan-bahan pustaka (book survey).

Untuk keperluan tersebut digunakan sumber data primer dan

sumber data sekunder.

a. Sumber Data primer yaitu, penafsiran para mufasir

terhadap surah al-Kahfi ayat 71-77 yang tertuang

dalam beberapa kitab tafsir. Yaitu sebagaimana

disebutkan dalam pembatasan masalah di atas, yang

meliputi empat jenis corak penafsiran, sufi, falsafi,

adāb al-Ijtimā’ī dan tafsir corak ahkam.

b. Sumber Data Sekunder yaitu, sumber yang berfungsi

sebagai penguat, pelengkap dan penyeimbanga data

untuk memecahkan masalah. Yaitu kitab-kitab tafsir

ahkam selain yang disebutkan di atas (kitab-kitab

tafsir Ahkam yang hanya memuat ayat-ayat al-Qur’an

yang berkaitan dengan hukum/tematik) yang

dipandang dapat mempertajam analisa. Sperti tafsir

40

Penelitian Kualitatif adalah sebuah penelitian yang

berlandaskan filsafat Pospositivisme, digunakan untuk meneliti

pada kondisi objek alamiah (sebagai lawannya eksperimen) di mana

peneliti adalah sebagai instrument kunci dengan hasil penelitian

yang lebih menekankan makna dari generalisasi. Lihat: Sugiono,

Metode Penelitian Kaualitatif (Bandung: Alfabeta, 2011), 9. Lihat

juga: Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya, 2013), 4.

Page 37: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

27

Aḥkām al-Qur’ān karya Ibn al-Faras al-Andalusī (w

599), Al-Qaul al-Wajiz fī Aḥkām al-Kitāb al-‘Azīz, Ahmad bin Yusuf al-Halabi (w 756 H), dan Tafsir Ayat al-Ahkam, karya Ali al-Sayis (w. 1396 H/1976

M), dan semua buku, artikel atau jurnal yang

berkaitan dengan tema yang peneliti bahas.

3. Metode Pengumpulan Data

Karena penelitian ini merupakan library research,

maka pengumpulan data dilakukan dengan melacak literatur-

literatur yang berupa kitab-kitab tafsir dan dikumpulkan

menjadi sebuah dokumen41

untuk dianalisa. Penelitian ini

berusaha mengkaji ayat-ayat yang telah ditetapkan di atas

dengan merujuk pada beberapa kitab tafsir.

Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

a. Melacak dan mengumpulkan tafsir-tafsir yang

bercorak hukum, sufi, falsafi, dan adāb al-Ijtimā’ī. b. Menentukan dan menafsirkan ayat-ayat yang

berkaitan dengan tema pembahasan, yaitu ayat-ayat

yang bekaitan dengan pembunuhan yang dilakukan

oleh Khidir pada anak kecil dan ayat-ayat tentang

pembunuhan secara umum

c. Menganalisa penafsiran para mufasir ahkam terkait

ayat-ayat tersebut di atas dengan melihat dari sudut

pandang fiqh.

41

Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atar karya-

karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan

contohnya catatan harian, sejarah kehidupan, cerita, biografi,

peraturan dan kebijakan. Lihat: Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D (Bnadung: Alfabeta, 2008), 240.

Page 38: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

28

4. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah bersifat interpretatif. Metode

interpretatif (interpretative approach) berarti menyilami

pemikiran seorang yang tertuang dalam karya-karyanya untuk

mengungkap makna, penafsiran dan atau pengertian yang

dimaksud secara khas sehingga tercapai sebuah pemahaman

yang diinginkan.42

Objek material dari penelitian ini adalah

ayat-ayat al-Qur’an yang secara khusus membahas kisah nabi

Musa dan nabi Khidir yang terdapat dalam surah al-Kahfi

ayat 71-77. Hal ini penulis lakukan guna meneliti lebih dalam

penafsiran para mufassir aḥkām terkait pembunuhan yang

dilakukan oleh nabi Khidir terhadap anak kecil yang tidak

berdosa. Setelah data-data yang terkait dikumpulkan, data

tersebut akan dianalisa dengan sudut pandang hukum fiqh.

G. Sistematika Penulisan

Sajian pembahasan dalam penelitian ini akan disusun

secara sistematik. Oleh karena itu penulis akan melakukan

pemetaan dalam bentuk urutan pembahasan menjadi enam

bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari latar

belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi dan

manfaat penelitian, penelitian terdahulu yang relevan,

metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab ini

bertujuan untuk memberikan gambaran dari keseluruhan

42

Metode content analysis adalah menganalisa data

melalui isinya melalui sumber primer, data tersebut dianalisa secara

kritis dari sudut pandang historis, sosial budaya. Lihat: Imam

Suprayogi dan Thobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, cet.

I (Bandung: Remaja Rosyda Karya, 2001), 71-73. Lihat juga:

Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisiplinir, 169-

173.

Page 39: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

29

permasalahan yang akan dibahas secara rinci pada bab-bab

berikutnya.

Bab kedua berisi tentang diskursus kisah dalam al-

Qur’an dan pengambilan/istinbāṭ hukum dalam al-Qur’an,

meliputi perdebatan para sarjana tentang kisah dalam al-

Qur’an antara nyata/fakta atau hanya sebagai simbol saja,

macam-macam kisah dalam al-Qur’an, sistematika kisah

dalam al-Qur’an, dan pola pengambilan hukum dalam al-

Qur’an, seperti metode istimbāṭ hukum dan contoh

pengaplikasian istimbāṭ hukum. Pembahasan ini penulis

letakkan pada bab kedua agar pembaca terlebih dahulu dapat

mengetahui pendapat para sarjana tentang kisah dalam al-

Qur’an, dan cara beristimbāṭ hukum dari suatu ayat al-

Qur’an.

Bab ketiga berisi tentang profil tafsir dan klasifikasi

kisah nabi Musa dan Khidir dalam al-Qur’an, meliputi profil

beberapa tafsir yang dijadikan pembanding dalam membahas

kisah nabi Musa dan Khidir, serta paparan kisah dari awal

perjumpaan nabi Musa dengan Khidir sampai ketidak sabaran

nabi Musa dalam melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi

selama perjalanan bersama Khidir. pembahasan ini sengaja

penulis uraikan pada ban ketiga, agar pembaca dapar

mengetahui berbagai pandangan mufasir, baik dari kalangan

mufasir ahkam, sufi, falsafi dan adabul ijtima’i. Sehingga

akan lebih mudah dalam menganalisa pada bab berikutnya.

Bab keempat berisi argumentasi para mufasir atas

ayat-ayat pembunuhan serta pola penafsirannya atas kisah

nabi Musa dan Khidir. Meliputi pengelompokan ayat tentang

kisah nabi Musa dan Khidir, penggunaan ayat dan hadis

sebagai penjelas dalam uraian mufasir, serta kecenderungan

fokus bahasan masing-masing mufasir. Kemudian tentang

kriteria ayat-ayat pembunuhan, dasar hukum pembunuhan dan

klasifikasi pembunuhan, pola penafsiran ulama atas ayat-ayat

pembunuhan, penggunaan hadis sebagai penjelas dan fokus

bahasan. Hal ini dimaksudkan .untuk mengurai dan

Page 40: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

30

menganalisa penafsiran ulama atas kisah nabi Musa dan

Khidir serta kasus pembunuhan secara umum yang telah

dibatasi pada ayat tertentu, guna untuk mendapatkan jawaban

dari rumusan masalah pada bab pertama.

Bab kelima berisi kesimpulan dan saran. Bab ini

diletakkan pada bagian akhir karena berisi jawaban dari

rumusan masalah yang telah ditetapkan pada bab pertama,

serta berisi saran untuk para pembaca yang budiman, dan

tentu saja penulis mengharapkan kritik konstruktif terhadap

hasil penelitian ini.

Page 41: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

31

BAB II

DISKURSUS KISAH DAN POLA PENGAMBILAN

HUKUM DALAM AL-QUR’AN

Al-Qur’an sebagai pedoman utama bagi umat Islam

yang bermuara pada kemaslahatan hidup di dunia dan di

akhirat. Al-Qur’an tidak hanya memuat tentang aqidah dan

syariat, namun juga tentang kisah-kisah yang terjadi baik

pada masa nabi Muhammad maupun sebelumnya. Secara garis

besar kisah di dalam al-Qur’an terdiri dari tiga kelompok,

yaitu; pertama, kisah tentang pribadi Rasulullah Saw, dan

dakwah islamiyah. Kedua, kisah tentang sebelum masa

Rasulullah Saw. Ketiga, kisah secara umum.1

Sedangkan menurut Muḥammad Quṭb bahwa di

dalam al-Qur’an terdapat tiga macam kisah. Pertama, kisah

yang ditunjukkan tempatnya, tokohnya, dan gambaran

kisahnya.2 Kedua, kisah yang menunjukkan peristiwa atau

keadaan tertentu dari pelaku sejarah tanpa menyebutkan

namanya dan tempat kejadiannya. Ketiga, kisah dalam bentuk

dialog.3

1 Jamal Abd. Nasir, ‚Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Guru

dan Murid dalam Perspektif Kisah Musah dan Khidir dalam Surat

al-Kahfi Ayat 60-82‛ (Jurnal Nuansa, 2018), 174. 2 Cerita pertama menggambarkan cerita nabi-nabi serta

akibat mereka yang mendustakan, dalam cerita ini baik nama,

tempat dan tokoh pelaku dari ceritanya disebutkan, cerita kedua

kisah tentang kedua putra nabi Adamyang mengadakan qurban, dari

beberapa qurban tersebut satu ditolak oleh Tuhan dan yang lainnya

diterima. Cerita ketiga adalah tentang kisah orang yang mempunyai

dua teman sebagimana dilukiskan di dalam surah al-Kahfi ayat 32-

43. 3 Rahmat Syafie, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka

Setia, 2012), 130.

Page 42: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

32

Tentu saja kisah-kisah yang tersurat di dalam al-

Qur’an mengandung makna dan hikmah yang sangat besar

yang perlu digali dan diaplikasikan dalam kehidupan umat

Islam.4

Kisah-kisah dalam al-Qur’an bertujuan untuk:

Pertama, mengokohkan legalitas kerasulan nabi Muhammad

dan sesungguhnya al-Qur’an merupakan wahyu Allah Swt.

Kedua, sebagai pemberitahuan bahwa Allah Swt, akan selalu

menolong rasul-Nya dan menghancurkan kaum kafir yang

selalu melawan terhadap nabi-Nya. Ketiga, berisi nilai agama

sekaligus pemantapan dasar-dasar ajaran agama.5

Menurut Sayyid Quṭb bahwa pengungkapan kisah-

kisah dalam al-Qur’an merupakan sebuah metode untuk

menyampaikan pesan-pesan yang ada di dalamnya, sehingga

dengan adanya kisah-kisah bukan berarti bahwa al-Qur’an

termasuk sebagian dari buku-buku sejarah dan meskipun di

dalamnya terdapat bahasa6 yang sangat indah bukan berarti

bahwa al-Qur’an termasuk dari salah satu buku sastra.7

4 Rukimin, Kisah Dzulqarnain dalam al-Quran Surat al-

Kahfi:83-101 (Jurnal Studi Islam, Univrsitas Muhammadiyah

Mataram, 2015), 141. 5 Jamal Abd. Nasir, ‚Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Guru

dan Murid dalam Perspektif Kisah Musa dan Khidir dalam Surat al-

Kahfi Ayat 60-82,‛. 174. 6

Rosihon Anwar, sebagai mana ia mengikutip hanafi

dalam Bukunya ‚Segi-segi Kesusastraan pada Kisah-Kisah al-

Qur’an‛ menjelaskan bahwa secara global, kisah-kisah dalam al-

Qur’an mengandung tiga unsur pokok, Yaitu‛ Pelaku (Al-Syakhsiyyah), Peristiwa (Ahdas), dan Dialog (Al-Hiwar) hampir

semua kisah dalam al-Qur’an terdapat ketiga unsur pokok tersebut,

hanya saja peran ketiga tidak sama, karena terkadang salah satu

ketiga unsur hilang. Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, 73. 7 Ira Puspita Jati, ‚Kisah-Kisah dalam al-Quran Perspektif

Pendidikan,‛ (Jurnal Didaktika Islamika, Universitas Wahid

Hasyim, 2014),77.

Page 43: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

33

A. Kisah dalam al-Qur’an.

Tidak sedikit para sarjana yang berkomentar tentang

tersuratnya kisah-kisah dalam al-Qur’an, baik dari kisah

sebelum kerasulan nabi Muhammad Saw, pada saat nabi

Muhammad Saw, jadi rasul atau setelahnya. Para mufasir

Indonesia memiliki kriteria khusus tentang metode yang

digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang

berkenaan dengan kisah-kisah tersebut.

Pemikir Yahudi dan Kristen secara khusus mencari

seberapa pengaruh Yahudi-Keristen dalam al-Qur’an,8

di

antara yang diteliti adalah tentang kisah-kisah nabi yang

terdapat di dalam al-Qur’an. Menurutnya kisah-kisah mereka

merupakan sebuah jiplakan yang diambil Nabi Muhammad

Saw, dari ajaran atau tradisi Keristen-Yahudi.9

Sebagaimana yang telah dijelakan Malik bin Nabi

bahwa ia menolak pandangan yang mengatakan bahwa agama

Yahudi dan Keristen telah menyusup ke dalam kebudayaan

8 Alasan dalam penelitiannya, berpijak pada dua alasan.

Pertama karena orang-orang Yahudi dan Keristen telah lama tinggal

di Mekkah dan Madinah, mereka semua tidak hanya sebatas tinggal,

namun ada sebagian yang menjadi pengajar agama, pedagang, dan

pemukim tetap. Menurutnya mereka yang membawa cerita-cerita

lama dan diadopsi atau diambil alih cerita tersebut oleh nabi

Muhammad. Kedua, karena nabi Muhammad tinggal dilingkungan

kaum Yahudi dan Keristen maka sedikit banyak keseharian nabi

Muhammad terpengaruh dari kehidupan mereka. Atas dasar

pemikiran inilah yang menjadi dasar dari keinginan mereka untuk

mencari tahu seberapa besar kontribusi Yahudi Keristen terhadap

Islam. Lihat di Macdonal, J. Joseph, In The Quran, Art. Dalam Muslim World no 46 (London: T.p, 1955), 113-131. Namun semua

pandangan mereka yang mengatakan bahwa kisah-kisah dalam

Quran telah diketahui oleh orang Arab Jahiliyah dan oleh nabi

sendiri sebelum mendapat wahyu, tidak mempunyai alasan yang

bersumber pada bukti sejarah yang dapat dipercaya. 9 Rahmat Syafie, Pengantar Ilmu Tafsir, 131.

Page 44: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

34

Arab, ia mengatakan seperti itu karena tidak adanya al-

Qur’an yang berbahasa arab, bahkan menurutnya tidak ada

bukti yang mengarah bahwa lingkungan nabi Muhammad

Saw, dipengaruhi oleh Yahudi Keristen.

Para cendikiawan seperti Quraish Shihab

menguraikan dalam bukunya, Kaidah Tafsir bahwa terdapat

dua pandangan mengenai kisah itu sendiri. Pertama, memahami bahwa semua kisah yang terdapat dalam al-Qur’an

memang benar-benar ada dan nyata telah terjadi di dunia.

Kedua, memahami bahwa kisah-kisah yang terdapat dalam al-

Qur’an hanyalah sebagai simbolik yang digunakan untuk

berdakwah, sehingga diyakini bahwa semua kisah-kisah

tersebut tidak pernah terjadi di dunia nyata.10

1. Kisah dalam al-Qur’an adalah Peristiwa yang Nyata.

Memahami bahwa kedudukan kisah-kisah yang

tercantum di dalam al-Qur’an sebagai suatu hal yang benar-

benar terjadi di dunia nyata. Seorang Muslim yang benar

adalah yang iman bahwa al-Qur’an merupakan kalām Allāh

yang suci dari penggambaran seni yang tidak peduli dengan

realitas sejarah. Semua kisah yang terkandung dalam al-

Qur’an merupakan sebuah kisah yang nyata yang dilukiskan

dengan indah dan menarik.11

2. Kisah dalam al-Qur’an hanya Simbol.

Ada beberapa cendikiawan muslim yang berpendapat

bahwa kisah-kisah di dalam al-Qur’an hanyalah simbolik dan

tidak pernah terjadi di dunia nyata,12

di antaranya:

10

Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Ciputat: Lentera Hati,

2013), 326. 11

Mannā’ al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu al-Quran, terj

(Jakarta: Pusataka al-Kaustar, 2006), 391. 12

Begitu juga para orientalis, mereka berpendapat bahwa

kisah-kisah dalam al-Quran merupakan sebuah cuplikan dari

Page 45: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

35

Abdullah Saeed adalah seorang profesor dalam bidang

Islamic Studies di Melbourne University, ia merupakan salah

satu pemikir kontemporer dalam bidang keislaman. Mengenai

kisah, Abdullah Saeed menyatakan bahwa kisah-kisah dalam

al-Qur’an lebih memiliki aspek psikologis daripada

faktualitas. Pernyataan tersebut berdasarkan pada hasil

penelitiannya yang berkesimpulan bahwa; ayat yang

menjelaskan tentang kisah tidak disertai dengan keterangan

sejarah secara detail, pengulangan satu tema kisah pada

berbagai tempat tidak secara berurutan.13

Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang kisah, ia

berpendapat bahwa ada sebagian mufasir yang enggan

menguji kebenaran historis dengan sumber-sumber di luar al-

Qur’an dan hadis, mereka beranggapan bahwa jika al-Qur’an

diuji dengan beberapa sumber di luar al-Qur’an dan hadis

maka secara tidak langsung akan merubah pada sakralitas al-

Qur’an, kecuali jika sumber yang digunakan berdasarkan pada

tradisi-tradisi yang ada di dalam Islam.14

Namun, ia

menyatakan bahwa kurangnya informasi mengenai sejarah

bukanlah hal yang sangat krusial bagi Islam kedepan, karena

al-Qur’an diturunkan bukan untuk catatan sebuah sejarah,

penjanjian lama, namun perlu digarisbahawi bahwa memang antara

al-Quran dan perjanjian lama memiliki persamaan dalam beberapa

kisah dan juga terdapat perbedaan antara keduanya. Persamaaan

antara keduanya bukanlah bukti bahwa yang datang kemudian

menjiplak dari yang sebelumnya, karena persamaan adalah akibat

persamaan sumber atau rujukan. Demikian juga antara al-Quran dan

Taurat, keduanya berasal dari sumber yang sama, pemberi informasi

tentang kisahnya sama, yakni Allah Swt. Lihat: Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 330.

13 Abdullah Saeed, Interpreting the Quran: Toward a

contemporary Approach (New York: Routledge, 2006), 94. 14

Abdullah Saeed, Interpreting the Quran: Toward a contemporary Approach, 94.

Page 46: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

36

melainkan pesan moral yang sangat penting untuk diambil

dan dipelajari.15

Muhammad Arkoun merupakan cendikiawan muslim

yang memahami al-Qur’an melalui pendekatan sejarah, karena

ia yakin bahwa al-Qur’an tidak bisa dipahami tanpa

mengaitkannya dengan sejarah.16

Baginya, sakralitas al-

Qur’an itu bukan sesuatu yang asli, melainkan sesuatu yang

diada-adakan untuk kepentingan lain seperti kepentingan

intelektual-politik.

Arkoun sebagai ilmuan yang memahami al-Qur’an

dari aspek sejarah menolak atas faktualitas al-Qur’an dalam

kisah-kisah al-Qur’an. Menurutnya, kisah-kisah yang

terkandung dalam al-Qur’an hanyalah simbolik untuk

menjustifikasi hukum-hukum yang hendak dipaksakan kepada

umat manusia. Kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan

peristiwa besar yang telah membentuk adu argumentasi hanya

untuk memantapkan sistem hukum yang ingin ditetapkan

kepada manusia melalui tokoh-tokoh simbolik.17

15

Muhammad Ridwan, ‚Studi Perbandingan Pemikirian

Muhammad Ahmad Kahallafullah dan Muhammad Abid al-Jabiri

tentang Kisah dalam al-Quran‛ (Tesis, Program Magister, Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), 48. 16

Mohammad Arkoun, Rethinking Islam Today, in Mappaing Isamic Studies, Genealogy, Continuity and Change

(Berlin: Mouton de Gruyter, 1997), 36-37 17

Arkoun mengatakan, sebenarnya kisah dalam al-Qur’an,

hadis Nabi, dan sirah selalu diketengahkan dalam bentuk

argumentasi rasional, padahal semua cerita sangat berutang kepada

imajinasi sosial yang mengkristalkan mitologi yang khas dalam

setiap kelompok. Sehingga al-Qur’an dijadikan sebagai sebuah

referensi utama yang menikmati efek canggih dalam tingkat

imajinasi sosial, namun tak bernilai apapun dalam penguatan

imajinasi sejarah. Lihat: Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal (Jakarta: Perpektif, 2012), 386.

Page 47: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

37

Kisah-kisah al-Qur’an secara umum dan kisah para

nabi secara khusus, memberikan kepada pembaca susunan dan

relasi aktansial yang menjadi plot dasar yang mampu

menggerakkan manusia terhadap kebenaran hakiki. Arkoum

juga berpendapat bahwa kisah-kisah para nabi dalam al-

Qur’an menuntut adanya analisis naratif untuk menunjukkan

bagaimana al-Qur’an membangun suatu bentuk makna yang

mempunyai cara kerja khusus dalam bahasa Arab.18

Muhammad Abduh dalam tafsir al-Mannar

menyatakan bahwa kisah-kisah yang terdapat dalam al-

Qur’an bertujuan untuk sebuah nasihat dan pelajaran, bukan

untuk perincian aspek sejarah. Abduh berpandangan seperti

itu karena menurutnya al-Qur’an mengisahkan yang haq dan

yang bathil, yang jujur dan yang dusta, dan yang bermanfaat

dan mudharat baik dari aqidah maupun tradisi umat-umat

terdahulu.19

Abduh memberikan contoh tentang pemahamannya

terhadap kisah Nabi Adam As, yang terdapat dalam surah al-

Baqarah/2:30 sebagai kisah simbolik. Menurutnya:

Pemberitaan Allah Swt, kepada malaikat tentang rencana-

Nya menetapkan khalifah berarti: bumi dan seisinya dengan

segala hukum alam yang menjadi ruh telah disiapkan oleh

Allah Swt, untuk dihuni oleh manusia yang diyakini bisa dan

mampu mengelolanya sehingga hubungan antara manusia dan

makhluk lainnya bisa terjalin dengan sempurna. Begitu juga

tentang pernyataan malaikat mengenai sifat khalifah yang

dapat menimbulkan kerusakan dan menumpahkan darah

adalah deskripsi tentang adanya potensi dalam diri sang

18

M. Faisol, ‚Interpretasi Kisah Nabi Musa Perspektif

Natorologi al-Qur’an‛ (Artikel: UIN Maulana Malik Ibrahim

Malang, 2017), 367. 19

Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, 367.

Page 48: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

38

khalifah untuk melakukan hal tersebut walaupun tidak

betentangan dengan kekhalifahan yang disandangnya.

Abduh mengakui bahwa al-Qur’an dalam

menyampaikan pesan-pesannya menggunakan gaya bahasa

dan tatacara yang berlaku pada sastra,20

sehingga tidak jarang

ditemukan unsur-unsur mitos dan khurafat sebagai alat

pengungkap gaya bahasa.21

Sementara Afif Abdul Fattah Tabbarah, menyatakan

bahwa kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an merupakan

kisah keagamaan.22

Menurutnya kisah tersebut hanya agar

para pendengar maupun pembaca bisa terpengaruh lalu

bergerak untuk menerima dan taat terhadap kehendak tuhan.

Allah mencantumkan kisah-kisah dalam al-Qur’an untuk

menjelaskan sebuah prinsip, mengajak kepada sebuah

pemikiran atau ide, menyeru kepada kebaikan dan

meninggalkan hal-hal yang dilarang.23

20

Sebagaimana Ibn Katsir ketika menganalisa lafaz al-Zikr dan al-Hazf dalam al-Qur’an selalu menganalisanya dengan

menggunakan gaya bahasa sastra yang jelas. Lihat: Muhammad

Ahmad Khalafullah, al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah, Seni, Sastra Dan Moralitas dalam Kisah-Kisah al-Quran (Jakarta: Paramadina

Pers, 2002), 109. 21

‘Abduh meyakini bahwa semua yang terkandung dalam

al-Qur’an, baik berupa kisah, hukum ataupun yang lainnya adalah

benar adanya. Unsur-unsur mitos dan Khurafat itu lahir dari

pemahaman atas gaya bahasa yang digunakan dalam al-Qur’an,

bukan berita yang terkandung di dalam al-Qur’an yang berupa

mitos. Khalafullah, al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah‛ Seni, Sastra Dan Moralitas dalam Kisah-Kisah al-Qur’an, 139.

22 Afif Abdul Fattah Tabbarah, Ruh al-Din al-Islami, 47.

23 Bakri Syaikh Amin, al-Ta’bir al-Fanni fī al-Qur’ān al-

Karīm (Bairut: Dār al-Ilmi li al-Malayin, 1993), 226-227.

Page 49: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

39

3. Macam-macam Kisah dalam al-Qur’an.

Dalam kitab Mannā’ al-Qaṭṭān dijelaskan bahwa

kisah-kisah dalam al-Qur’an terbagi menjadi tiga bagian:24

a. Kisah para nabi. Al-Qur’an memuat kisah tentang

perjalanan dakwah nabi dalam menyampaikan wahyu,

Mukjizat-mukjizat para rasul dan sikap umat yang

menentangnya, tahapan-tahapan dakwah dan

perkembangannya, serta akibat-akibat yang diterima

oleh mereka yang mempercayai dan mendustakannya,

seperti kisah nabi Nuh As, Ibrahim As, Musa As,

Harun As, dan Muhammad Saw.

b. Kisah-kisah yang berhubungan dengan masa lalu dan

tidak ddipastikan kenabiannya. Misalnya kisah Ṭālut

dan Jalāt, kisah Ashabul Kahfi, kisah dua putra

Adam, Dzulqarnain, Qarun, Maryam, kisah pasukan

gajah, dan lain-lain.

c. Kisah-kisah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw,

seperti perang Badar, perang Uhud yang tercantum

dalam surat Āli ‘Imrān, perang Ahzāb yang dijelaskan

dalam surah al-Ahzāb, perang Hunain dan perang

Tabuk yang dijelaskan dalam surah al-Taubat,

peristiwa hijrah, peristiwa Isrā’ dan Mi’rāj, dan lain-

lain.

Berbeda dengan al-Qaṭṭān, Rosihon Anwar membagi

kisah-kisah dalam al-Qur’an berdasarkan Panjang pendeknya

kisah yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Menurutnya kisah

dalam al-Qur’an terbagi menjadi tiga bagian, di antaranya:25

a. Kisah Panjang. Contoh kisah nabi Yusuf dalam

surah Yūsuf, hampir seluruh ayat dalam surah

tersebut menceritakan tentang nabi Yusuf, mulai

dari masa kanak-kanak, dewasa, hingga saat ia

24

Mannā’ al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu al-Quran, 387-

388. 25

Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, 73.

Page 50: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

40

memiliki kekuasaan. Contoh lainnya adalah kisah

nabi Nuh dalam surat Nūh dan kaumnya.

b. Kisah yang lebih pendek daripada yang pertama.

Seperti kisah Aṣhāb al-Kahfi dalam surah al-

Kahfi, kisah nabi Adam dalam surah al-Baqarah,

kisah Maryam dalam surah Maryam.

c. Kisah pendek. Kisah yang jumlahnya kurang dari

sepuluh ayat, seperti kisah nabi Hud dan nabi Luṭ

dalam surat al-A’rāf, kisah nabi Shaleh dalam

surat Hūd, dan lain sebagainya.

4. Sistematika al-Qur’an dalam Menyampaikan Kisah.

Kisah merupakan salah satu cara yang digunakan al-

Qur’an untuk menyampaikan pesan-pesan yang terkandung di

dalamnya,26

biasanya al-Qur’an lebih dahulu menyebutkan

kandungan suatu kisah secara umum, setelah itu barulah al-

26

Al-Qaṭṭān menjelaskan dalam buku Pengantar Studi Ilmu

al-Qur’an tentang faidah kisah-kisah dalam al-Qur’an di antaranya;

Pertama menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan

menjelaskan pokok-pokok syariat yang dibawa oleh para nabi.

Kedua meneguhkan hati Rasullah dan hati umat nabi Muhammad

atas agama Allah, memperkuat kepercayaan umat mu’min tentang

menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya

kebatilan dan para pembelanya. Ketiga membenarkan para nabi

terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta

mengabadikan jejak dan peninggalannya. Keempat menampilkan

kebenaran nabi Muhammad dalam dakwahnya dengan apa yang

diberitakannya tentang hal ikhwal orang-orang terdahulu di

sepanjang gurun dan generasi. Kelima menyingkap kebohongan ahli

kitab dengan cara membeberkan keterangan yang semula mereka

sembunyikan, kemudian menantang dengan menggunakan ajaran

kitab mereka sendiri yang masih asli, yaitu sebelum kitab itu

dirubah dan diganti. Keenam kisah termasuk salah satu bentuk

sastra yang menarik perhatian pendengar mempengaruhi jiwa.

Mannā’ al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu al-Quran, 387-389.

Page 51: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

41

Qur’an menguraikan secara luas. Sementara itu, jika al-

Qur’an hendak menyampaikan pesan-pesan dalam sebuah

kisah, cara yang digunakan untuk mengemukakannya dengan

pernyataan yang tegas secara berkala, baik berisi penolakan

maupun pengukuhan isi kisah.

Al-Qur’an diketahui bukan buku sejarah dan bukan

pula buku sastra. Al-Qur’an menyampaikan kisah-kisahnya

dengan cara yang memesona dan langgam bahasa yang

menarik. Sebagaimana yang diungkapkan Muhammad Quṭb,

bahwa al-Qur’an memiliki cara tersendiri untuk menjelaskan

kisah-kisah yang terdapat di dalamnya, di antaranya: Pertama,

al-Qur’an mengungkapkan dengan memulai dari akhir kisah

dan akibat yang dialami oleh tokoh-tokohnya, kemudian

meneruskannya ke awal cerita dan menjelaskan cerita-

ceritanya secara detail, seperti yang telah terjadi pada kisah

nabi Musa dan Fir’un.27

Kedua, al-Qur’an menyampaikan

rangkuman dari kisah-kisah, kemudaian menyampaikan kisah-

kisahnya secara terperinci dari awal hingga akhir cerita,

seperti pada kisah Ashab al-Kahfi. 28 Ketiga, al-Qur’an

menuturkan inti kisah secara langsung tanpa didahului oleh

muqaddimah atau rangkumannya, seperti kisah pada Nabi

Isa.29

Keempat, al-Qur’an mengubah kisah menjadi drama.

Al-Qur’an memulai cerita dengan beberapa kata, kemudian

membiarkan tokoh-tokohnya berbicara tentang diri mereka

sendiri, seperti pada kisa nabi Ibrahim dan Ismail ketika

27

Lihat: QS. Yūnus/10:83-89 dan QS. Al-Syu’arā’/26:52-

63. 28

Lihat: QS. Al-Kahfi/18:9-26. 29

Lihat: QS. Maryam/19:23-33.

Page 52: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

42

membangun Ka’bah.30

masih ada banyak cara al-Qur’an

menyampaikan kisah-kisah yang terkandung di dalamnya.31

Abdurrahman Dahlan dalam buku kaidah-kaidah

penafsiran al-Qur’an meringkas sistematika penyampaian al-

Qur’an terhadap kisah-kisah ke dalam beberapa metode.

Ketika al-Qur’an mengisahkan tentang Ashāb al-Kahfi, maka al-Qur’an terlebih dahulu menyebutkan ‚Apakah kamu mengira orang-orang yang mendiami gua dan raqim itu merupakan tanda-tanda kekuasaan kami yang mengherankan? (Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat perlindungan ke dalam gua, maka mereka berdoa: ‚Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dan sempurnakanlah untuk kami petunjuk yang lurus dalam masalah ini.‛ (QS. Al-Kahfi/18:9-10) baru setelah itu, al-

Qur’an menguraikan kisah tersebut sampai selesai, yang

diawali dengan kalimat: ‚Kami ceritakan kisah kami kepadamu dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada tuhan mereka,

30

Muhaammad Quthb, Manhaj al-Tarbiyyat al-Islamiyyat (T.t, T.p, 1967), 149-150.

31 Cara khas lain yang dipakai al-Qur’an ketika ingin

menyampaikan kisah-kisah di dalamnya yaitu Pertama al-Qur’an

menyembunyikan satu rahasia baik kepada pembaca maupun pada

tokohnya, kemudia rahasia itu diungkapakan secara mendadak baik

bagi tokoh maupun pembaca, seperti kisah nabi Musa dengan

hamba Allah dalam surah al-Kahfi. Kedua, al-Qur’an

mengungkapkan satu rahasia kepada pembaca, tetapi tokoh dalam

cerita itu sendiri tidak tahu rahasia apa yang akan disampaikan oleh

al-Qur’an. Ketiga al-Qur’an mengungkapkan sebagian rahasia al-

Qur’an kepada pembaca, tetapi rahasia itu tetap disembunyikan

kepada tokohnya. Sedangkan sebagian cerita lagi disembunyikan

pada keduanya, akan tetapi secara mendadak rahasia itu

diungkapkan kepada mereka, seperti kisah ratu Bilqis dengan nabi

Sulaiman. Mannā’ al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu al-Quran, 389-

391.

Page 53: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

43

dan kami tambahkan petunjuk kepada mereka.‛(QS. Al-

Kahfi/18:13)

Ketika al-Qur’an mengisahkan tentang Nabi Yusuf,

maka al-Qur’an memulainya dengan ayat, ‚Kami menceritakan kepada kisah yang paling baik, dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu.‛ (QS. Yūsuf/12:03)

setelah mengukukuhkan kebaikan kisah yang hendak

dikemukakan dan menceritakannya secara singkat tentang

bagaimana kisah nabi Yusuf sebenarnya, kemudian al-Qur’an

menegaskan bahwa, ‚ Sesungguhnya terdapat beberapa tanda kekuasaan Allah pada Yusuf dan saudara-saudaranya, bagi orang yang bertanya.‛ (QS. Yusuf/12:07) kemudian, barulah

setelah itu al-Qur’an menguraikannya secara deskriptif

sampai selesai.32

Dalam mengungkapkan kisah-kisah, al-Qur’an tidak

menggunakan sistematika yang lazim dalam

menyampaikannya, seperti rangkain peristiwa yang disusun

rapi, dijelaskan urutan dan susunan periodenya, tetapi sering

kali tempat dan palaku dalam kisah tersebut tidak dijelaskan

secara detail. Ketika al-Qur’an mengisahkan seorang tokoh

biasanya al-Qur’an tidak mengungkapkan kisah tokoh

tersebut secara utuh dari awal hingga akhir kehidupannya

dalam satu tempat kecuali nabi Yusuf, sedangkan kisah-kisah

nabi seperti nabi Ibrahim yang diungkapkan di 20 tempat

terpisah, kisah nabi Sulaiman dalam 3 tempat, sedangkan

kisah Isa di 8 tempat.33

Dalam pengulangan cerita seorang tokoh dalam

sebuah kisah yang terkandung di dalam al-Quranselalu

berkaitan dengan fungsi sejarah menurut al-Qur’an,

sedangkan tokoh yang menjadi pemeran utama dalam kisah

32

Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah penafsiran al-Quran (Bandung: Mizan, 1997), 188.

33 Rahmat Syafie, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung:

Pustaka Setia, 2012), 134.

Page 54: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

44

yang terkandung dalam al-Qur’an adalah para nabi, namun

ada sebagian tokoh yang bukan nabi seperti Luqman Hakim.34

B. Pola Pengambilan/Istinbāṭ Hukum dalam al-Qur’an.

Dalam pengambilan hukum-hukum syariah dari

sumber aslinya, diperlukan beberapa metode untuk menggali

hukum-hukum agar bisa dipahami oleh semua kalangan.

Menurut Ali Hasaballah bahwa terdapat dua cara pendekatan

yang dilakukan oleh para pakar istinbāṭ,35 Pertama, melalui

kaidah-kaidah kebahasaan. Kedua, melalui pengenalan

maksud syari’ah.36

Kata istinbāṭ diderivasi bahasa Arab yang artinya

adalah menarik atau mengeluarkan. Secara terminologi,

istinbāṭ dapat diartikan sebagai upaya melahirkan hukum dari

naṣ. Namun juga dapat diartikan sebagai ijtihad, yaitu sebuah

proses dan upaya melahirkan sebuah hukum dari dalil-dalil

tertentu dengan menggunakan metodologi istinbāṭ yang

dirumuskan dalam ilmu Ushul Fiqh.37

Dari pengertian istinbāṭ tersebut dapat tarik

kesimpulan bahwa, istinbāṭ’ adalah suatu upaya menemukan

hukum-hukum syara’ dari naṣ al-Qur’an dan al-Sunnah yang

dilakukan dengan cara mencurahkan kemampuan nalar dan

34

Rahmat Syafie, Pengantar Ilmu Tafsir, 135. 35

Kata istinbāṭ ketika dihubungkan dengan hukum maka

bisa menjadi suatu upaya penarikan hukum dari al-Qur’an dan

Sunah melalui jalan ijtihad. Sedangkan menurut istilah Istinbāṭ merupakan upaya mengeluarkan makna-makna dari naṣ-naṣ yang

terkandung di dalamnya dengan cara mengarahkan kemampuan dari

potensi naluriyah, sehingga dari nash-nash tersebut bisa

menghasilkan dua macam istinbath yang berbentuk lafziyah dan

maknawiyah. 36

Syafie H. Rahmat, Fiqih Mualamat (Bandung: Pustaka

Setia, 2001), 185. 37

Muchtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Cet. I

(Palembang: Universitas Sriwidjaya, 2001), 528.

Page 55: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

45

pikiran. Secara sepintas memang terdapat persamaan antara

pengertian istinbāṭ dan ijtihad. Namun pada hakekatnya

antara istinbāṭ dan ijtihad terdapat perbedaan. Ijtihad

mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan

istinbāṭ, karena istinbāṭ’ merupakan kerangka kerja dari

ijtihad. Fokus istinbāṭ adalah naṣ al-Qur’an dan al-Sunnah.

Oleh karena itu, usaha pemahaman, penggalian dan

perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut

istinbāṭ. Sedangkan pemahaman, penggalian dan perumusan

hukum yang dilakukan melalui metode qiyās, istiṣhāb, dan

istiṣlāh dan dalil rasional lainnya disebut ijtihad.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami

bahwa maksud dari istinbāṭ hukum adalah proses penalaran

atas ayat al-Qur’an dan Sunah sebagai sumber hukum Islam,

yang dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah tertentu. Proses ini

kemudian disebut dengan metode pengambilan/istinbāṭ hukum. Dalam melakukan penggalian hukum, para pakar

istinbath menggunakan empat metode. Yaitu metode bayāni, metode qiyāsi atau ta’līlī, metode iṣtiṣlāḥ/maqāsidī dan

metode kompromistis antar dalil yang bertentangan.38

1. Metode Bayānī Metode Bayani adalah melakukan proses

penggalian hukum syari’ah dari al-Qur’an dan sunnah

melalui konsep-konsep analisis teks wahyu atau suatu

upaya penemuan-penemuan hukum syar’i melalui

interpretasi kebahasaan atas teks wahyu.39

Istilah lain

dari metode ini adalah Mahāj Istinbāṭ al-Aḥkām min al-Nuṣūṣ.

38

‘Aṭa’ al-Raḥmān al-Nadwī, al-Ijtihād wa Dauruhu fī Tajdīd al-Fiqh al-Islāmī, Jilid. III (Dirāsāt al-Islamiyah al-

‘Alamiyah, 2006), 82. Lihat juga: Isnan Ansory, Mengenal Tafsir

Ayat Ahkam (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing), 26. 39

Al-Nadwī, al-Ijtihād wa Dauruhu fī Tajdīd al-Fiqh al-Islāmī, Jilid. III, 82

Page 56: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

46

Para ahli ushul fiqh telah mampu menciptakan

kaidah-kaidah kebahasaan untuk menggali hukum yang

dikandung dalam al-Qur’an dan sunnah. Bahkan mereka

mampu menciptakan konsep analisis teks, lebih maju

dari apa yang dilakukan oleh ahli bahasa.40

Istinbāṭ hukum dengan metode bayānī ini dapat

ditempuh dengan beberapa langkah, sebagai berikut:

pertama, mengkaji asbāb al-Nuzul baik makro maupun

mikro.41

Kedua, mengkaji teks al-Qur’an atau Sunah dari

sudut pandang kaidah kebahasaan (al-Qawāid al-Uṣūliyah al-Lughawiyah). Kajian ini meliputi tiga hal

pokok, yaitu analisis kata (al-Taḥlīl al-Ladẓī),42 analisis

makna (al-Taḥlīl al-Ma’nā),43

dan analisis dalil (al-Taḥlīl al-Dalālah).

44

40

Abdul Aziz ar-Rabiah, Ilmu Ushul Fiqh: Haqiqatuhu, Makanatuhu, Tarikhuhu, Maddatuhu (Riyadh, Maktabah al-Malik

Fahd, 1996), 292 41

Yang dimaksud dengan asbāb al-Nuzul/wurud makro

adalah sebab umum yang menjadi konteks sosial-politik, sosial-

budaya dan sosial-ekonomi. Sedangkan asbāb al-Nuzul/wurud mikro

adalah sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat

atau hadis. 42

Analisis lafaẓ ini bertumpu pada hal-hal berikut: 1.

Antara lafaẓ ‘Ām dan Khāṣ, 2. Haqīqah dan Majaz, 3. Muhkam, Mujmal dan Mutasyābih, 4. Ẓahir dan naṣ, 5. Musytarah dan

Mutarādif, 6. Amar dan Nahi. Lihat: Rahmawati, ‚Metode Istinbāṭ

Hukum: Telaah Pemikiran Teungku Muhammad Hasbi Ash

Shiddieqy‛ (Diesertasi. Program Pascasarjana Universitas Islam

Negeri Alauddin Makassar, 2014), 37-48. 43

Kajian makna dimaksudkan untuk bisa memastikan,

apakah: a) lafal dimaksud dimaknai secara haqiqi ataukah

dipalingkan pada makna majaz-nya? b) Lafal ẓahir dimaksud tetap

pada makna rajih-nya ataukah dipalingkan pada makna marjuh-nya?

c) Makna dimaksud adalah makna lughawi, syar’i, ataukah ‘urfi? d)

Yang manakah di antara makna-makna lafal musytarak yang

diambil atau semuanya diambil? e) Lafal dimaksud, di

Page 57: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

47

Ketiga, mengaitkan naṣ yang sedang dikaji

dengan naṣ lain yang mempunyai keterkaitan.45

keempat, mengaitkan naṣ yang sedang dikaji dengan Maqāṣid al-Syarī’ah (tujuan-tujuan Syariah). Maqāsid al-Syarī’ah

samping memiliki makna lughawi, apakah memiliki

makna syar’i atau ‘urfi dan makna manakah yang dipakai?

f) Shighat al-amr dimaksud tetap pada makna primernya ( و و وب ) ataukah dipalingkan pada makna sekunder (selain و و وب )? g) Shighat

an-nahi dimaksud tetap pada makna primernya ( تح ر ب ) ataukah

dipalingkan pada makna sekundernya (selain تح ر ب )? 44

Kajian ini menyangkut ketentuan hukum yang dapat

ditarik dari nash. Dalam hal ini terdapat dua

metode: pertama, metode Jumhur al_Ushuliyyin. Menurut Jumhur al-Ushuliyyin makna (hukum) suatu nash di samping bisa

diambil dari manthuqnya terkadang bisa diambil

dari mafhumnya. Manthuq sendiri ada dua: 1) sharih, dan 2) ghairu sharih. Sedangkan manthuq ghairu sharih itu sendiri ada tiga:

1) isyarah, 2) iqtidha’, dan 3) ima’. Sementara mafhum itu ada dua:

1) mafhum muwafaqah, dan 2) mafhum mukhalafah. Kedua, metode

Hanafiyyah. Menurut Hanafiyyah, makna (hukum) nash dapat

diambil dari empat pendekatan: 1) ‘ibarah al-nash, 2) isyarah an-nash, 3) iqtidha an-nash, dan 4) dalalah al-nash (mafhum muwafaqah dalam istilah Jumhur). Lihat: Abdul Wahab

Khallaf, ‘IlmUṣūl al-Fiqh (Kairo: Maktabah Da’wah al-Islam, 2002),143-152. Lihat juga: Muhammad wafa, Dalalah al-Khitab al-Syar’i bi Hukm al-Mantiq wa al-Mafhum (t.t, Dar al-Thiba’ah al-

Muhammadiyah, 1984), 5. 45

Nash-nash Syari’ah (al-Nuṣūṣ al-Syarī’ah) yakni al-

Qur’an dan Sunah merupakan satu kesatuan yang tidak bisa

dipisahkan. Suatu ayat ada keterkaitan dengan ayat yang lainnya,

demikian juga hadis antara satu dengan yang lainnya ada

keterkaitan. Suatu dalil/naṣ dapat berfungsi sebagai taukid, bayān al-Mujmal, Taqyīd al-Muṭlaq, Takhṣīṣ al-‘Am, dan Tauḍīh al-Musykīl bagi naṣ yang lain.

Page 58: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

48

lahir dengan mengacu pada naṣ-naṣ syariah.46

Artinya

bahwa syariah Islam lahir untuk mewujudkan

kemaslahatan bagi manusia di dunia dan akhirat,

sehingga perumusan hukum hendaknya mengacu pada

kemaslahatan manusia secara umum.

2. Metode Qiyāsī/Ta’līlī Metode qiyasi adalah ijtihad melalui

pendekatan qiyas atau metode qiyasi juga dapat diartikan

sebagai sebuah metode yang digunakan untuk

menemukan sebuah illat disyariatkannya suatu hukum.

Secara garis besar, tujuan utama dalam metode ini adalah

untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat dan

secara khusus setiap apa yang disyariatkan oleh Allah

mempunyai alasan secara logis dan tujuan masing-masing.

Ada beberapa tujuan yang diebutkan secara jelas, ada

yang hanya disebutkan hanya isyaratnya saja, dan ada

pula yang diketahui dengan merenung. Lalu ada alasan

yang bisa dijakangkau oleh manusia dan ada pula yang

tidak. Dan yang digunakan sebagai alat dalam metode

istinbath ini hanya alasan yang logis.47

a. Pengertian Qiyas.

Qiyas dapat didefinisikan sebagai berikut:

menyamakan kasus yang tidak memiliki

acuan nash dengan kasus yang memiliki acuan dalam

hal ketentuan hukumnya, ketika keduanya

memiliki ‘illat yang sama.48

Sebagai contoh,

minum khamr adalah kasus yang memiliki

acuan nash tentang hukumnya yaitu haram,

46

Al-Jizanī, Manhāj al-Salaf fī al-Jāmi’ bayn al-Nuṣūṣ wa al-Maqāṣid wa Taṭbīquhā al-Mu’āṣirah (Riyadh: al-Mamlakah al-

‘Arabiyah al-Su’udiyah , 2010), 42-43. 47

Isnan Ansory, Mengenal Tafsir Ayat Ahkam, 30 48

Abdul Wahab Khallaf, IlmUshul al-Fiqh, 52.

Page 59: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

49

sedangkan mengkonsumsi narkoba adalah kasus lain

yang tidak memiliki acuan nash tentang hukumnya.

Berhubung khamr dan narkoba memiliki ‘illat yang

sama yaitu memabukkan, maka mengkonsumsi

disamakan dengan minum khamr dalam hukumnya,

yaitu haram.

b. Rukun Qiyas

Rukun qiyas terdiri dari empat unsur, yaitu:

pertama, al-Aṣl, yaitu kasus yang memiliki ketentuan

hukum berdasarkan naṣ. al-Aṣl disebut sebagai al-Maqīs (yang diqiyasi) atau disebut juga al-Musyābah bih (yang diserupai). Dalam contoh di atas khamar sebagai al-Aṣl. kedua, al-Far’u, yaitu suatu kasus

yang tidak memiliki ketentuan hukum berdasarkan

naṣ. al-Far’u disebut sebagai al-Maqīs (yang

diqiyaskan) atau al-Musyābah (yang diserupakan)

semisal minumam keras atau narkoba dalam kasus di

atas. Ketiga, hukum aṣl (hukum asli) yaitu hukum

yang ditetapkan dalam naṣ. Misalnya keharaman

khamar yang ditetapkan dalam al-Qur’an. Keempat, ilat, yaitu sifat yang menjadi titik persamaan (al-jāmi’) antara al-Aṣl dengan al-Far’u, seperti sifat

memabukkan yang terdapat pada khamer dan narkoba

dalam kasus di atas. Keempat rukun ini adalah hal

yang paling mendasar dalam metode qiyas. Sebab,

dengan adanya kesamaan illat inilah, kasus-kasus

yang tidak ada hukumnya dalam Naṣ dapat diketahui

kepastian hukumnya.49

c. Syarat-Syarat Qiyas

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa rukun

qiyas ada empat, dan masing-masing rukun memiliki

49

Abdul Wahab Khallaf, IlmUshul al-Fiqh, 60.

Page 60: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

50

syarat. Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai

berikut: pertama, al-Aṣl harus memiliki ketentuan

hukum berdasarkan naṣ. kedua, a-lFar’u tidak boleh

memiliki ketentuan hukum berdasarkan naṣ. Ketiga, hukm al-Aṣl harus memenuhi beberapa syarat; 1)

berupa hukum syar’i ‘amalī yang ditetapkan

berdasarkan naṣ, 2) berupa hukum yang ma’qūl al-Ma’nā atau ta’aqquli, 3)berupa hukum yang tidak

hanya berlaku pada Aṣl.50

d. Macam-Macam Qiyas

‘Illat sebagai unsur terpenting dalam mekanisme qiyas ada dua: manṣūḥah (diketahui

melalui naṣ) dan mustanbaṭah (diketahui melalui

upaya penggalian). ‘illat manṣūḥah lebih jelas dari

pada ‘illat mustanbaṭah. Dilihat dari sisi ini, qiyās

dibagi menjadi: qiyas jalī dan qiyās khāfī. Qiyās jalī adalah qiyas yang didasarkan pada ‘illat yang

manṣūḥah (jelas karena ada naṣ-nya). Misalnya meng-

qiyas-kan nifas dengan haid dalam hal pelarangannya

untuk digauli oleh suaminya, dengan ‘illat azda, atau

didasarkan pada ‘illat mustanbaṭah, tetapi antara al-Aṣl dan al-Far’u dipastikan tidak adanya fāriq (sesuatu yang membedakan), atau terdapat fāriq tapi

tidak signifikan.51

Adapun contoh qiyās jalī pertama, yaitu meng-qiyas-kan memukul orang tua pada berkata uff dengan ‘illat al-adza’ (menyakiti). Maka, dengan ‘illat ini segala sesuatu yang dapat menyakiti orang tua baik berupa perkataan atau tindakan, hukumnya sama dengan berkata uff. Contoh qiyās jalī yang

50

Abdul Wahab Khallaf, IlmUshul al-Fiqh, 60-61. 51

Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, juz. I (Dimasyqa: Dar al-Fikr, 1986), 703.

Page 61: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

51

kedua adalah meng-qiyas-kan budak perempuan kepada budak laki-laki dalam hal al-Sirāyah (menjalarnya kemerdekaan sebagian pada seluruhnya). Perbedaan jenis kelamin secara syara’ tidak memiliki pengaruh dalam aḥkām al-‘Itq (pembebasan/pemerdekaan).

Sedangkan qiyas khafī adalah qiyas yang didasarkan pada ‘illat yang msutanbaṭah (‘illat yang digali dari al-Aṣl) jika antara al-Aṣl dan al-Far’u terdapat farīq yang signifikan.52 Seperti meng-qiyas-kan pembunuhan menggunakan benda tumpul pada pembunuhan menggunakan benda tajam dalam kewajiban adanya kisas dengan ‘illat al-qatl al-‘amd al’udwān (pembunuhan sengaja dengan melanggar hukum). Sangat mungkin perbedaan antara al-aṣl dan al-far’ memiliki pengaruh. Sebab itu, menurut

Abu Hanifah, pembunuhan dengan benda tumpul

tidak dikenakan kisas. Qiyas khafi semakna

dengan al-qiyas al-adnā.

e. Mekanisme Qiyas

Qiyas merupakan salah satu sumber hukum

yang paling subur untuk menyelesaikan persoalan-

persoalan yang ketentuan hukumnya tidak termaktub

secara eksplisit dalam al-Qur’an dan Sunah tetapi

memiliki al-ashl (induk) di dalam nash dan

atau ijma’. Contohnya yaitu pemberian kepada

pejabat adalah kasus yang sudah ada ketentuan

hukumnya yaitu haram berdasarkan nash hadits.

52

Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, Juz. I (Dimasyqa: Dar al-Fikr, 1986), 704.

Page 62: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

52

ايتح ال عومالر حتح تحامب كولهتحا هتحدتح53

‚seluruh hadiah atau pemberian terhadap pejabat adalah haram‛

Keharaman ini didasarkan pada ‘illat (alasan

hukum), yaitu khauf al-mail (tidak fair, pemberian

tersebut dapat mempengaruhi penerima untuk

memberikan perlakuan khusus terhadap pemberi,

mengikuti keinginan pemberi, dan memberikan

kebijakan yang tidak adil). ‘Illat khauf al-mail itu

tentu tak hanya ada pada hadaya al-‘ummal melainkan juga pada kasus-kasus lain.

Dengan demikian, membawa ‘illat khauf al-mail pada

kasus baru, maka banyak hal yang bisa ditangani.

Money politic adalah kasus baru (al-far’) yang

tidak ditemukan ketentuan hukumnya secara eksplisit

dalam naṣ atau ijma’. Akan tetapi, kasus ini dapat

disamakan dengan hadaya al-‘ummal karena

keduanya memiliki ‘illat yang sama, yaitu khauf al-mail (dikhawatirkan terjadi kecenderungan pada salah

satu pihak). Dengan demikian, hukum money politic adalah haram. Terlebih dalam negara

demokrasi yang menerapkan sistem pemilihan

pemimpin secara langsung, setiap warga negara yang

punya hak pilih memiliki kedudukan yang sangat

strategis (as-siyadah fi yad al-sya’bi), tidak kalah

strategisnya dengan pejabat negara atau hakim dalam

menentukan putusan hukum.

Qiyas dinilai benar secara metodologis bila

memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat

sebagaimana tersebut di atas. Qiyas yang tidak

53

Al-Munawi, Faidh al-Qadir, juz. VI (Bairut: Dar al-

Ma’rifah, tt), Juz VI, 353.

Page 63: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

53

memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut

adalah sebuah kekeliruan. Mekanismen inilah yang

membedakan antara qiyas dengan dalil-dalil sekunder

lainnya.

3. Metode Istishlahi/Maqāṣidī Metode Istishlahi merupakan sebuah metode

dalam penetapan sebuah hukum berdasarkan asas

kemashlahatan yang diperoleh dari hasil deduktif atas

hukum-hukum syariah, illat dan hikmahnya, serta kaidah-

kaidahnya yang umum dan universal. Metode ini dibagi

menjadi tiga bagian

1. Mashlahat daruriyyat merupakan hal-hal yang

menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang

harus ada demi kemashlahatan mereka.54

Apabila

mashlahat ini tidak direalisasikan maka akan

berdampak negatif pada kekacauan dan tidak

tercapainya kebahagiaan dunia akhirat.

2. Mashlahat hajiyyat merupakan hal-hal yang sangat

dibutuhkan dalam kehidupan manusia untuk

menghilangkan beberapa kesulkitan yang dialami,

namun tidak sampai merusak jika tidak

terealisasikan.

Mashlahat tahsiniyyat merupakan hal-hal yag menjadi

pelengkap, memperindah, dan merupakan sebuah kepatutan

dalam adat istiadat. Semua itu dilakukan dengan

meninggalkan hal-hal yang tidak pantas untuk dilakukan dan

melakukan terhadap hal-hal yang berimplikasi pada keindahan

yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.

54

Maṣalaḥah ini kemudian diklasifikaskan menjadi lima

jenis hifẓ al-dīn (penjagaan atas agama), hifẓ al-nafs (penjagaan atas

jiwa), hifẓ al-‘aqli (penjagaan atas akal), hifẓ al-nasl wa al-‘Iradh

(penjagaan atas keturunan dan kehormatan), hifẓ al-māl (penjagaan

atas harta).

Page 64: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

54

4. Metode Kompromistis antar Dalil yang

Bertentangan.55

Pada nyatanya, jumhur ulama mengatakan bahwa

tidak mungkin terjadinya pertentangan antar dalil-dalil

syariah khususnya al-Qur’an, karena al-Qur’an sudah

menjelaskan terkait masalah tersebut yang terdapat dalam

surah al-Nisā’: 82

افلا يتدبركف القراف كل كاف من عند غن الله ل جدكا فيو (82:النسأ)اختلافا كثنا

Tetapi dalam proses pengembangan dan

penggalian hukum dari dalil-dalil syariat tersebut secara

fakta memang sangat memungkinkan akan terjadinya

kontradiksi pada tingkat pemahaman. Jumhur ulam

mengatakan kontradiksi dengan istilah Ta’āruḍ ẓahiri.56

55

Isnan Ansory, Mengenal Tafsir Ayat Ahkam (Jakarta:

Rumah Fiqih Publishing), 32-35. 56

Berdasarkan inilah, terdapat empat metode yang

dikonsep oleh para ulama untuk mengkompromikan dalil-dalil yang

terkesan kontradiktif, di antaranya: pertama, al-jam’u wa al-taufiq

merupakan metode yang digunakan untuk mengkompromikan dua

dalil yang kontrakdiktif agar kedua dalil tersebut bisa digunakan

dan diamalkan. Kedua, metideal-Nasakh merupakan metode dalam

mengamalkan salah satu dalil yang kontradiktif, jika dapat

ditelusuri keberadaan dua dalil dari waktu persyariatannya dan tidak

mungkin untuk diamalkan semuanya di mana dalil yang datang

belakangan dinilai sebagai dalil yang menghapus hukum dalil yang

datang terlebih dahulu. Jika metode al-Jam’u tidak bisa digunakan

dan tidak dapat pula ditelusuri waktu persyariatannya, otomatis

tidak bisa menggunakan metode nasakh, sehingga ada metode lain

yang bisa digunakan yaitu, Ketiga, metode al-tarjīh yaitu,

melakukan penalaran dengan melihat indikator-indikator eksternal,

dalam rangka mengamalkan satu dalil di antara dua dalil yang

kontradiktif, jika metode ketiga juga tidak bisa digunakan, maka

metode keempat yang akan menjadi jalan keluarnya. Metode al-

Page 65: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

55

Tawaqquf yaitu, mendiamkan kedua dalil yang kontradiktif

tersebut untuk tidak diamalkan semuanya.

Page 66: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

56

BAB III

PROFIL TAFSIR DAN KLASIFIKASI KISAH NABI MUSA

Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa corak tafsir

yang secara umum digunakan oleh mufasir dalam menafsirkan

ayat-ayat al-Qur’an. Adapun corak tafsir yang akan diuraikan

meliputi corak sufi, falsafi, adab al-ijtimā‘ī, dan ahkam.

Beberapa corak penafsiran yang akan dibahas,

dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum tentang

pemaknaan kisah nabi Musa dan nabi Khidir dalam al-Qur’an

dari berbagai perspektif (sufi, filsafat, sastra dan hukum) serta

gambaran umum tentang pembunuhan dalam al-Qur’an.

Tetapi penjelasan lebih detail terkait hal tersebut akan diulas

pada bab berikutnya. Pada bagian ini peneliti hanya akan

memperkenalkan beberapa profil tafsir yang menjadi bagian

dari penelitian ini serta klasifikasi kisah nabi Musa dalam al-

Qur’am. Adapun beberapa tafsir tersebut adalah sebagai

berikut:

A. PROFIL TAFSIR

1. Tafsir Corak Sufi

a. Tafsīr al-Jailānī Karya ‘Abd al-Qādir al-Jailānī

Judul lenāgkapnya adalah Tafsīr al-Jailānī: Al-Ghauts al-Rabbānī wa al-Imām al-Samdānī. Berjumlah lima juz,

tafsir ini konon pernah hilang selama 800 tahun, sebelum

kemudian ditemukan di perpustakaan Vatikan dan ditulis oleh

Syekh Fāḍil al-Jailānī al-Ḥasanī al-Jimazraq, cucu ke-25

Syaikh ‘Abd al-Qādir, serta di-taḥqīq oleh Abū al-Ḥasan wa

al-Husein Aḥmad Farīd al-Mazīdī al-Hasanī. Menurut Al-

Mazīdī dalam mukadimahnya sebagai muḥaqqīq, Tafsīr al-Jailānī merupakan literatur baru dalam turats tafsir isyārī, tafsir bercorak sufi. Kata ‘al-Jailani’ sendiri adalah nama

nisbat. Sementara ulama mengatakan, Jilan, Kilan, atau Kil adalah suatu daerah di Tabaristan. Sebagian lainnya

Page 67: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

57

mengatakan bahwa Jailani dinisbatkan kepada kakeknya.

Nama lengkap Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī sendiri ialah

Syaikh Muḥyi al-Dīn Abū Muḥammad ‘Abd al-Qādir ibn Abī

Ṣāliḥ Mūsā ibn ‘Abd Allāh ibn Yaḥyā al-Zāhid ibn

Muḥammad ibn Dāwud ibn Mūsā ibn ‘Abd Allāh ibn Mūsā al-

Jawn ibn ‘Abd Allāh al-Muhīd yang dinisbatkan kepada al-

Maḥallī ibn Ḥasan al-Matsnā ibn Ḥasan ibn Abī Ṭālib.1

Al-Jailānī dikenal sebagai rajanya para wali dan diberi

gelar Al-Ghawts al-A‘ẓam. Sebelum masuk ke uraian

penafsiran ayat al-Qur’an, dalam muqaddimah kitab ini

terlebih dahulu mengulas tentang profil, sifat, keutamaan

Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī, dan argumentasi interuptif

terhadap mereka yang menentangnya. Sumber penafsiran

Tafsīr al-Jailānī adalah riwayat dan isyarat sufistik dari Syekh

‘Abd al-Qādir sendiri yang berupa nasihat. Karena singkat,

maka metode yang dipakai berarti metode ijmālī, dan karena

sesuai urutan surah seperti di mushaf maka teknik

penafsirannya tergolong taḥlīlī. Dalam pengantarnya, Syaikh

‘Abd al-Qādir mewanti-wanti agar pembaca tidak

menyalahkan dirinya atas apa yang disuguhkan dalam tafsir

ini. Sebab, ini merupakan upaya untuk menampakkan apa

yang samar dan mengkonkretkan apa yang masih abstraktif.

Ia juga mengatakan, hendaknya pembaca tidak melihat

kecuali dengan maksud mengambil pelajaran (‘ibrah) bukan

sekadar mengandalkan pikiran. Merasakan, menghayati, tidak

sekadar berargumentasi. Menggunakan kasyf, tidak hanya

perkiraan semu.2

Contoh corak sufi dalam tafsir ini bisa dilihat dalam

penafsiran basmalah. Lafaz بسم الله, ditafsirkan sebagai ‘Yang

1 Muh}y al-Di>n ‘Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni>, Tafsi>r al-Jaila>ni>:

Al-Ghawts al-Rabba>ni> wa al-Ima>m al-S{amda>ni>, juz 1, (Pakistan: Al-

Maktabah al-Ma‘ru>fiyah, 2010), 5. 2 Muh}y al-Di>n ‘Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni>, Tafsi>r al-Jaila>ni>,

51.

Page 68: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

58

Maha Membuka rasa ikhlas hamba-Nya menuju pintu-pintu

makrifat dan keyakinan’. Lafaz الزحمه ditafsirkan dengan

‘Yang Maha Pengasih memberikan akal yang memberi

petunjuk terhadap jalan yang lurus ṣirāṭ al-mustaqīm. Lafaz

ditafsirkan sebagai ‚Yang Maha Penyayang menjadikan الزحيم

seorang hamba berikrar pada tauhid sehingga mendapat rida-

keselamatan dalam surga-Nya‛.3 Ketika menafsirkan surah al-

Fatḥ/48, yang turun mengabarkan perihal penaklukan Mekah

ke tangan umat Islam, Syaikh ‘Abd al-Qādir menafsirkan

bahwa salah satu kemenangan ialah tersingkapnya rahasia-

rahasia tauhid, tersingkap dengan rahasia ketuhanan.

Karenanya, Allah Swt, memberikan nikmat kepada Rasulullah

melalui kemenangan (al-fatḥ) yang nyata melalui

pengilhaman kepadanya, memberikan jalan keluar dari

kesusahan, memudahkan naiknya derajat dari kebodohan-

kesesatan menuju puncak ilmu dan sampai kepada-Nya.4

Tafsīr al-Jailānī ini ditutup dengan nasihat sufistik.

Syekh ‘Abd al-Qādir mengatakan, ‚Takutlah, takutlah, wahai

pencari kebenaran-keikhlasan, dari mengikuti hawa nafsu dan

menuruti syahwat. Sesungguhnya manusia jika mengikuti

tuntutan nafsu, hatinya menjadi sarang setan. Tetapi jika ia

memerangi hawa nafsu dan menundukkannya, hatinya

menjadi tempat para malaikat‛.5 Tafsir ini merupakan tafsir

yang cukup unik dan menarik, karena bersumber dari mata

batin seorang sulṭān al-auīliyā’. Namun ia bukan literatur

pertama dalam tafsir sufi, tafsir isyārī. Secara periodik,

dibandingkan dengan tafsir karya Syaikkh ‘Abd al-Qādir al-

Jailānī, masih lebih awal tafsir sufi karya al-Tustarī.

3 Muh}y al-Di>n ‘Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni>, Tafsi>r al-Jaila>ni>,

juz 5, 3. 4 Muh}y al-Di>n ‘Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni>, Tafsi>r al-Jaila>ni>,

juz 5, 7. 5 Muh}y al-Di>n ‘Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni>, Tafsi>r al-Jaila>ni>:,

juz 5, 502.

Page 69: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

59

b. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm Karya al-Tustarī

Tafsir ini memang diproyeksikan memakai pendekatan

sufistik. Hal itu sebagaimana dikemukakan dalam

muqaddimah kitab ini. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm yang ditulis

oleh Abū Muḥammad Sahl ibn ‘Abd Allāh ibn Yūnus ibn ‘Īsā

ibn ‘Abd Allāh ibn Rafī’ al-Tustarī (w. 283 H/896 M) adalah

berdasarkan turats sufi. Oleh karena pendekatan yang

digunakan adalah sufistik, maka tujuan penafsirannya seirama

dengan tujuan tasawuf itu sendiri, yaitu meningkatkan

menuju kesempurnaan insani dan derajat keberuntungan

sesuai kadar kemampuan manusia.6

Menarik dicatat, al-

Tustarī mengatakan, pendekatan tasawuf yang ia gunakan

dalam menafsirkan al-Qur’an tidaklah untuk melangkahi

makna zahir ayat, seperti corak bahasa, dan makna-makna

zahir lainnya. Corak sufi, menurutnya, adalah sebagaimana

perkataan al-Suyūṭī yang dinukil dari Ibn ‘Aṭāillāh al-

Sakandarī. Pengarang Syarḥ al-Ḥikam tersebut mengatakan:

‚Ketahuilah bahwa tafsir sufistik ini bukanlah pengasingan makna terhadap kalam Allah dan Rasul, bukan melangkahi makna zahir dari ayat zahirnya. Akan tetapi, ayat zahir tersebut dipahami sebagaimana seharusnya, melalui pemahaman-pemahaman batin oleh mereka yang telah Allah bukakan hatinya. Ada hadis berbunyi: ‘Setiap ayat memiliki makna zahir dan batin’. Jangan sampai engkau menghalangi diri menemukan makna-makna (batin) tersebut dengan berkata interuptif: ‘ini (tafsir sufi) telah melangkahi kalam Allah dan Rasul’. Jelas itu bukan melangkahi. Jika bermaksud melangkahi, maka mufasir akan berkata: ‘Hanya begini maknanya’. Tetapi mereka tidak berkata demikian. Mereka mengakui makna zahir dari ayat

6 Abu> Muh}ammad Sahl al-Tustari>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-

‘Az}i>m, cet. ke-1 (Kairo: Da>r al-Haram li al-Tura>ts, 2004), 7.

Page 70: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

60

zahirnya, tetapi memahaminya sebagaimana Allah ilhamkan kepada mereka.‛7

Tafsir karya al-Tustarī ini bercorak analitis (taḥlīlī), menafsirkan sesuai urutan surah tetapi tidak menafsirkan

keseluruhan ayat pada masing-masing surah. Tafsir ini sangat

ringkas, hanya terdiri dari satu jilid, karena yang ditafsirkan

hanya sebagian ayat saja. Imam al-Qusyairī mengomentari

karya al-Tustarī ini dengan menguraikan keutamaan al-

Tustarī sendiri. Salah satu keutamaan tersebut ialah karomah

al-Tustarī yang punya kebiasaan berucap, ketika sedang

sendirian: ‚Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah

menyaksikanku‛. Kebiasaan tersebut yang kemudian

mengantarkannya berada di derajat kesufian. Tafsir ini adalah

bentuk konkret dari keistimewaan tersebut. Contoh corak sufi

dalam tafsir ini dapat dilihat: misalnya, ketika al-Tustarī

menafsirkan surah al-Taubah.

Surah al-Taubah/9:2, pada ayat فسيحىا ف الأرض, al-

Tustarī menafsirkannya dengan ‚berjalan di bumi dalam

rangka mengambil pelajaran sembari berikrar kepada Allah‛.

Pada ayat 111, ان الله اشخزي مه المؤمىيه أوفسهم و امىالهم بأن لهم الجىت,

al-Tustarī menafsirkan bahwa membeli diri dan harta yang

dimaksud adalah membelinya dari syahwat dunia dan dari

segala amal yang membuatnya selalu mengingat Allah Swt,

sehingga diri kita menjadi hamba yang ikhlas. Sementara itu

jika tidak menjual kehidupan dan syahwat tersebut kepada

Allah Swt, bagaimana mungkin ia bisa hidup bersama Allah

Swt, bagaimana mungkin mendapat kehidupan yang baik.

Nuansa sufistik sangat menonjol juga ketika al-Tustarī

menafsirkan kata taubah itu sendiri, pada ayat berikutnya,

Ia mengatakan, taubat adalah tidak pernah .الخبئبىن العببدون ,112

lupa dengan dosa yang diperbuat. Ia adalah tuntutan pertama

yang wajib ditempuh bagi yang ingin memperbaiki diri.

7 Abu> Muh}ammad Sahl al-Tustari>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-

‘Az}i>m, 45.

Page 71: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

61

Taubat tidak mungkin dilakukan, kecuali dengan menahan

diri, lalu berkhalwat, menyepi. Khalwat tidak terjadi kecuali

makan yang halal dan menunaikan kewajiban kepada-Nya.

Menegakkan kebenaran tidak tercapai kecuali dengan

menjaga jiwa-raga. Dan semua itu bergantung dengan

pertolongan Allah Swt.8

c. Laṭāif al-Isyārāt Karya al-Qusyairī

Dari penamaan tafsir ini, dapat dipahami bahwa tafsir

yang terdiri dari tiga juz ini menggunakan pendekatan isyārī, dalam menguraikan kandungan ayat-ayat al-Qur’n, atau

bercorak sufi. Nama lengkap penulisnya adalah Abū al-Qāsim

‘Abd al-Karīm ibn Ḥawāzin ibn ‘Abd al-Mālik ibn Ṭalḥah ibn

Muḥammad al-Istiwā’ī al-Qusyairī al-Naisābūrī al-Syāfi‘ī. Ia

dikenal sebagai sufi ahli hadis. Lahir pada 376 Hijriah, al-

Qusyairī yatim sejak kecil. Tetapi semangat keilmuannya

tampak sejak ia masih kecil. Belajar sastra Arab, lalu menjadi

santri Abī ‘Alī al-Daqqāq, keikhlasan, ketakwaan, dan cahaya

yang tampak di wajahnya diketahui oleh gurunya. Dalam

mukadimah, al-Qusyairī menjelaskan, tafsir Laṭāif al-Isyārāt adalah dalam rangka menguraikan sisi-sisi isyarat al-Qur’an

berdasarkan lisan ahli makrifat, baik melalui makna kata zahir

maupun konteksnya. Dengan tetap memohon kepada Allah

Swt, agar senantiasa dalam kebenaran dan bebas dari

penyimpangan, dijaga dari kekeliruan, serta tetap bersalawat

kepada Nabi agar mendapat syafaatnya. Permulaan penulisan

tafsir ini ialah tahun 434 Hijriah.9

Sebagaimana lumrahnya tafsir sufistik, Lat}a>if al-Isya>ra>t menguraikan makna ayat berdasar riwayat, tetapi tidak

8 Abu> Muh}ammad Sahl al-Tustari>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-

‘Az}i>m, 159-160. 9 Abu> al-Qa>sim ‘Abd al-Kari>m ibn H{awa>zin al-Qusyairi>,

Tafsi>r al-Qusyairi> al-Musamma> Lat}a>if al-Isya>ra>t, juz 1, (Beirut: Da>r

al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007), 5.

Page 72: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

62

berhenti dalam periwayan an sich. Lebih jauh pengalaman

batin mufasir juga menjelma sebagai penafsiran. Karenanya

apa yang teruraikan dalam tafsir ini adalah refleksi mufasir,

isyarat yang diserap dari batin al-Qur’an. Tafsir isya>ri> bukan

berarti sama sekali lepas dari nalar (bi al-ra’y) maupun

riwayat (bi al-ma’tsu>r). Lat}a>if al-Isya>ra>t menggunakan

metode tah}li>li>, analitis sesuai urutan surah dalam mushaf.

Menarik jika melihat uraian sufistik/isya>ri> al-Qusyairi> tentang

lafaz بسم الله pada basmalah. Al-Qusyairi> menjelaskan sebagai

berikut:

‚Suatu kaum ketika mendengar بسم, mereka mengartikan ba’ sebagai kebaikan Allah terhadap kekasih-Nya, sin sebagai rahasia-Nya untuk para sufi, dan mim sebagai nikmat-Nya kepada para wali. Dengan kebaikan Allah mereka mengetahui rahasia-Nya, dengan nikmat-Nya mereka menjaga perintah, dan dengan Allah Swt. mereka mengenal kekuasaan-Nya. Sementara kaum lainnya ketika mendengar lafaz بسم الله, menafsirkan ba’ sebagai bebasnya Allah dari segala keburukan, sin sebagai terhindarnya Allah dari segala aib, dan mim sebagai terpujinya Allah sebab sifat agungnya. Pendapat lain lagi menafsirkan ba’ sebagai kemuliaan Allah, sin sebagai keagungan-Nya, dan mim sebagai kekuasaan-Nya.‛10

Misalnya lagi ketika menafsirkan surah al-A’rāf/7:20,

tentang kisah Adam, Hawa, dan Iblis di surga. Setelah Allah

Swt, memerintahkan Adam berdiam di surga dan menjauhi

pohon khuld, Iblis menggoda Adam dan Hawa dengan

mengatakan: ك قاؿ ما نهاكما ربكما عن ىذه الشجرة الا اف تك نا ملكن اك تك نا من Menurut al-Qusyairī, keterpengaruhan Adam terhadap .الخلدين

10

Abū al-Qāsim ‘Abd al-Karīm ibn H{awāzin al-Qusyairī,

Tafsīr al-Qusyairī, juz 1, 9.

Page 73: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

63

godaan-hasutan Iblis bukan karena malaikat lebih mulia

daripada manusia sehingga Adam berhasrat menjadi malaikat.

Tidak. Adam dan Hawa memakan khuld disebabkan hawa

nafsu yang ada dalam mereka berdua. Potensi nafsu ini yang

menjerumuskan mereka. Ketamakan membuat mereka berdua

terkena balā’ dan ketakutan. Jadi, akar segala penderitaan

adalah tamak.11

Lat}āif al-Isyārāt menampilkan sisi esoteris

ayat yang jarang dijumpai dalam tafsir-tafsir bercorak

kebahasaan. Al-Qusyairi> berhasil menguraikan isyarat

tersembunyi dalam al-Qur’an.

d. H{aqāiq al-Tafsīr Karya al-Sulamī

Nama lengkap al-Sulami> yaitu Abū ‘Abd al-Rah}mān

Muh}ammad ibn al-Husein ibn Mūsā al-Azdi al-Silamī. Karya

tafsir sufinya, H{aqāiq al-Tafsī: Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz, di-

tah}qīq oleh Sayyid ‘Umrān.12

Al-Silamī adalah seorang ulama

sufi dari Khurasan yang lahir pada 330 Hijriah dan wafat pada

tahun 412 Hijriah. Dalam tafsirnya ini, al-Silami> tidak sama

sekali mengabaikan makna zahir, ia hanya cenderung

menghimpun pendapat para ahli hakikat satu sama lain, lalu

himpunan tersebut ia beri nama H{aqāiq al-Tafsīr. Ulama sufi

yang sering dikutip al-Silamī yaitu Ja‘far ibn Muh}ammad al-

S{ādiq, Ibn ‘Atā’ al-Sakandarī, al-Junaid, Fud}ail ibn Iya>d, dan

Sahl ibn ‘Abd Allāh al-Tustarī. Sungguhpun demikian,

beberapa ulama mengkritik keras tafsir ini.

Jalāl al-Dīn al-Suyūt}ī dalam kitabnya, T{abaqāt al-Mufassirīn, menganggap al-Silamī sebagai mufasir ahli bid’ah

dan penafsirannya buruk sekali. Abū al-H{asan al-Wāh}idī

bahkan lebih keras mengkritik, ia mengatakan bahwa kafir

11

Abū al-Qāsim ‘Abd al-Karīm ibn H{awāzin al-Qusyairī,

Tafsīr al-Qusyairī, juz 1, 327. 12

Abū ‘Abd al-Rah}mān Muh}ammad ibn al-H{usein al-

Silamī, H{aqāiq al-Tafsīr: Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz, cet. ke-1,

(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001). 55.

Page 74: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

64

jika sampai kita meyakini H{aqāiq al-Tafsīr sebagai tafsir.

Demikian karena, sebagaimana dituturkan Ibn Taimiyyah,

pengutipan dalam H{aqāiq al-Tafsīr adalah manipulatif.

Namun kemudian kritik-kritik tersebut ditanggapi oleh

muh}aqqiq. Kritik al-Suyūṭī dianggapnya berlebihan,

sementara pada kritik al-Wāh}idī, perlu digarisbawahi bahwa

al-Silamī tidak beriktikad karyanya sebagai tafsir. Ia

meyakininya sebagai isyarat samar yang perlu untuk

dijabarkan, dijelaskan.13

Corak sufi dalam H{aqāiq al-Tafsīr oleh al-Silamī

diproyeksikan sebagai label penafsiran tertinggi. Ia mengutip

riwayat Ja‘far ibn Muh}ammad bahwa al-Qur’an dibagi

menjadi empat aspek: ‘ibādah, isyārah, lat}āif, dan h}aqāiq.

‘Ibādah untuk orang awam, isyārah untuk orang-orang alim,

lat}āif untuk para wali, dan h}aqāiq untuk para nabi. Ia juga

mengutip riwayat Sayyidinā ‘Alī ibn Abī T{ālib yang membagi

makna al-Qur’an menjadi tujuh. Salah satunya ialah makna

hakikat (h}aqāiq).14

Dimensi h}aqāiq berada di atas lat}āif. Karenanya bisa kita lihat ketika al-Silamī menafsirkan

basmalah, penafsirannya lebih sufi daripada penafsiran al-

Qusyairī tentang basmalah dalam Lat}āif al-Isyārāt yang telah

diuraikan di atas. Tetapi semua pendapat adalah kutipan dari

satu mufasir, ditambah mufasir lain, dikumpulkan. Ini

barangkali yang menjadi ruang kritik terhadap H{aqāiq al-Tafsīr. Secara teknik, tafsir ini adalah ijmālī-tah}līlī, ringkas

dan sesuai urutan surah dalam mushaf.

Dalam menafsirkan بسم الله الرحمن الرحيم, corak sufi al-Silamī

mengemuka dengan jelas. Ia mengatakan:

‚Dikisahkan dari ‘Abbās ibn ‘At}ā’: ba’ dalam basmalah adalah kebaikan (al-birr) Allah terhadap

13

Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Muh}ammad ibn al-H{usein al-

Silamī, H{aqāiq al-Tafsīr, 11. 14

Abū ‘Abd al-Rah}mān Muh}ammad ibn al-H{usein al-

Silamī, H{aqāiq al-Tafsīr, 22.

Page 75: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

65

para nabi melalui pengilhaman risalah kenabian, sin adalah rahasia (sirr) Allah untuk ahli makrifat melalui pengilhaman kedekatan dengan-Nya. Sementara mim adalah nikmat (minnah) Allah terhadap para hamba saleh melalui rahmat dari-Nya. Al-Junaid mengatakan: lafaz بسم الله adalah Kemahaluhuran-Nya. Dalam lafaz الزحمه ada pertolongan-Nya, dan dalam الزحيم adalah kasih-sayang dan cinta-Nya.‛15

2. Tafsir Corak Falsafi

a. Al-Kasysyāf Karya al-Zamakhsyarī

Kitab Al-Kasysyāf: H{aqāiq Ghawāmid} al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta’wīl adalah karya fenomenal

Abū al-Qāsim Mah}mūd ibn ‘Umar ibn Muh}ammad ibn ‘Umar

al-Khawārizmi Jār Allāh al-Zamakhsyarī, cendekiawan

Muslim berdarah Iran yang lahir pada tahun 467 Hijriah/1075

Masehi. Al-Zamakhsyarī merupakan nama yang dinisbatkan

pada tanah kelahirannya, Zamakhsyar, salah satu daerah di

Khwarezmia. Semasa hidup, ia merupakan santri kelana. Pergi

ke Bukhara, Khurasan, Isfahan, Baghdad, lalu ke Mekah

untuk mengembara ilmu. Kelana intelektualnya menjadikan

al-Zamakhsyarī seorang penulis prolifik utamanya dalam

kebahasaan-kesusastraan. Secara akidah, ia menganut

Muktazilah, dan Al-Kasysyāf-nya juga banyak mengajarkan

ideologi yang dianutnya. Al-Zamakhsyarī wafat di

Khwarezmia pada tahun 538 Hijriah/1144 Masehi dalam usia

69 tahun.16

Tafsir setebal enam juz ini ditulis al-Zamakhsyarī

saat berkelana ke Mekah. Ia juga memiliki karya lain di

antaranya Asās al-Balāghah, Al-Fāiq fī Gharīb al-H{adīts, Al-

15

Abū ‘Abd al-Rah}mān Muh}ammad ibn al-H{usein al-

Silamī, H{aqāiq al-Tafsīr, 24. 16

Musā‘ad Muslim ‘Alī Ja‘far dan Muh}yī Hilāl al-Sarhān,

Manāhij al-Mufassirīn, (Tanpa Kota: Dār al-Ma‘rifah, 1980), 213.

Page 76: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

66

Mufas}s}al, Al-Maqāmāt, Rabī‘ al-Abrār wa Nus}ūs} al-Akhbār, dan Al-Ah}ājī al-Nah}wiyyah.

17

Tafsir Al-Kasysyāf tergolong literatur tafsir yang

sesuai ideologi Muktazilah, sehingga penafsirannya juga

seirama dengan konstruksi ideologi tersebut. Al-Zamakhsyarī

bertolak dari beberapa langkah metodis. Pertama,

menekankan penafsirannya dengan dua bidang keilmuan,

yaitu ‘ilm al-ma‘ānī dan ‘ilm al-bayān. Kedua, setiap

menafsirkan, ia memulainya dengan menyebut nama surah

dan jumlah ayat, terkadang juga menyebut sebab turunnya

ayat, menerangkannya satu per satu mulai dari aspek

gramatikal, susunan ayat, lalu persoalan-persoalan fikih dalam

pendapat ulama. Al-Zamakhsyarī juga mengulas qiraat demi

menemukan makna yang jelas, mengutip riwayat selama tidak

bertentangan dengan mazhabnya, dan banyak mengutip dari

ulama Muktazilah. Ketiga, sarat epistemologi Muktazilah.

Mengutamakan akal/nalar daripada hadis, ijmak dan qiyas,

menyucikan Allah dari kejisiman sehingga setiap ayat yang

memiripkan sifat Allah dengan sifat hamba selalu ditakwil.

Misalkan ayat tentang bersemayam (istawa>), tangan (yad) dan

wajah (wajh), maka ditakwil dengan kekuasaan, nikmat, dan

dzat-Nya. Keempat, memiliki perhatian yang lebih terhadap

aspek nahwu-kebahasaan. Al-Zamakhsyarī dikenal sebagai

ahli nahwu dan ahli bahasa. Ia banyak menulis dan mensyarah

kitab tentang diskursus tersebut. Kelima, tidak menafsirkan

dengan kisah-kisah isrāiliyyāt.18

Tafsir yang menggunakan teknik tah}līlī ini banyak

menuai kritik lantaran kelekatannya dengan doktrin-doktrin

Mu’tazilah bahkan mengajaknya. Ulama yang paling keras

17

Fahd ibn ‘Abd al-Rah}mān ibn Sulaimān al-Rūmī, Buh}ūts fī Us}ūl al-Tafsīr wa Manāhijuhū, (Riyadh: Maktabah al-Taubah,

1419 H), 153. 18

‘Alī Ja‘far dan Muh}yī Hilāl al-Sarh}ān, Manāhij al-Mufassirīn, 214-216.

Page 77: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

67

mengkritik yaitu Ah}mad ibn al-Munīr al-Iskandarī al-Mālikī,

dengan mengarang kitab ‚Al-Intis}āf min al-Kasysyāf‛ yang

isinya interupsi keras terhadap penafsiran al-Zamakhsyarī,

kejelakannya, kebid’ahannya, dan kebenciannya terhadap

golongan Sunni. Sementara itu, Imam Tāj al-Subkī

mengapresiasi Al-Kasysyāf sebagai tafsir agung yang ditulis

cendekiawan hebat, namun juga mengkritiknya karena al-

Zamakhsyarī termasuk ahli bid’ah yang terang-terangan akan

kebid’ahannya, juga karena keburukan pekertinya dengan

menjelek-jelekkan Sunni. Jalāl al-Dīn al-Suyūtī} bahkan

mengatakan: ‚Salah satu penafsiran yang tidak dapat diterima

yaitu Al-Kasysyāf-nya al-Zamakhsyarī. Di dalamnya banyak

menafsirkan ayat keluar rel, menuju ideologi yang rusak. Juga

banyak sekali berisi adab yang buruk kepada Nabi, para

sahabat, dan ahl al-sunnah. Al-Dzahābī benar ketika

mengatakan, ‘hati-hati dengan tafsir Al-Kasysyāf-nya al-

Zamakhsyarī.‛19

Kendati demikian, beberapa ulama mengapresiasi

ketinggian ilmunya dalam bidang linguistik. Al-Quft}ī menukil

Imam Abū al-Yaman Zaid ibn al-H{asan al-Kindī yang

mengatakan bahwa al-Zamakhsyarī adalah ulama paling non-

Arab alim tentang bahasa Arab di zamannya, juga memiliki

kepribadian wara’, saleh, dan banyak menelaah kitab maupun

menuliskannya. Banyak karya tentang sastra, gramatikal, dan

linguistik dihasilkan, termasuk juga dalam bidang tafsir dan

hadis-hadis bermasalah (ghari>b), serta banyak berkelana

memperkaya intelektualitasnya.20

Corak falsafi dalam tafsir

Al-Kasysyāf terletak dalam fondasi filosofis teologi

19

Jār Allāh Abū al-Qāsim Mah}mūd ibn ‘Umar al-

Zamakhsyarī, Al-Kasysyāf: H{aqāiq Ghawāmid} al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta’wīl, juz 1, (Riyadh: Maktabah al-‘Abikan,

1998), 26-29. 20

Jār Allāh Abū al-Qāsim Mah}mūd ibn ‘Umar al-

Zamakhsyarī, Al-Kasysyāf, juz 1, 17-18.

Page 78: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

68

Muktazilah yang ia anut. Misalnya ketika ia menafsirkan

surah al-Anbiya>’/21:30, tentang penciptaan langit dan bumi

yang awalnya bersatu padu. Kemudian Allah memisahkannya,

dan menciptakan segala yang hidup di dalamnya dengan air.

Menurut al-Zamakhsyarī, ayat tersebut di samping

menunjukkan kemukjizatan al-Qur’an, juga menunjukkan ke-

Mahakuasaan-Nya. Mencipta dari ketiadaan pun adalah

mungkin, apalagi hanya mematahkan sesuatu yang sudah ada.

Dan kita harus memosisikan diri sebagai orang yang

menyaksikan akan kebanarannya (maqām al-mar’iy al-masyāhid).

21 Ini mirip pendapat filsafat tentang teori

penciptaan alam semesta, yaitu ex nihilio dan teori big bang.

b. Mafātih} al-Ghaib Karya al-Rāzī

Nama lengkap penulisnya adalah Muh}ammad ibn

‘Umar ibn H{usein ibn H{asan ibn ‘Alī al-Taimī al-Bakrī.

Karena kealimannya, ia memiliki nama julukan Fakhr al-Dīn,

al-Rāzī, dan Syaikh al-Islām. Melihat rekam jejaknya, al-Rāzī

adalah cendekiawan yang konsen di pelbagai bidang

keilmuan. Ia dikenal sebagai ahli fikih, ahli ushul, teolog,

sekaligus juga dikenal sebagai filsuf. Sebagai ulama

bermazhab Sunni Asy‘ariyah, konsentrasinya dalam ilmu

teologi/kalam lebih mendalam ketimbang konsentrasinya

dalam ilmu ushul dan fikih. Sementaradi bidang filsafat

melahirkan beberapa karya, di antaranya ialah Syahr al-Isyārāt, Lubāb al-Isyārāt, dan Al-Mulkhis fī al-Falsafah.

22 Al-

Rāzī merupakan sosok cendekia interdisipliner. Karya-karya

lainnya juga tentang kedokteran, maka dari itu ia juga dikenal

sebagai dokter (tabīb).

21

Jār Allāh Abū al-Qāsim Mah}mūd ibn ‘Umar al-

Zamakhsyarī, Al-Kasysyāf, juz 4, 141. 22

Muh}ammad al-Rāzī Fakhr al-Dīn, Tafsīr al-Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-Tafsīr al-Kabīr wa Mafātīh} al-Ghaib, juz 1

(Beirut: Dār al-Fikr, 1981), 6.

Page 79: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

69

Dari karya-karya yang dilahirkan, Al-Tafsīr al-Kabīr atau yang familiar sebagai Mafātīh} al-Ghaib adalah karya

paling monumental dari al-Rāzī. Tafsir ini menjadi muara dari

keilmuan-keilmuan yang ia konsen di dalamnya. Saking

lengkapnya lanskap penafsiran yang dipakai al-Rāzī,

sementara ulama sampai menganggap Al-Tafsīr al-Kabīr bukan lagi kitab tafsir, karena memuat juga hal-hal lain yang

seringkali jauh lingkupnya dari ayat yang ditafsirkan. Salah

satu yang berkomentar demikian ialah al-Sādāfī dalam

kitabnya, Al-Wāfī bi al-Wāfiyāt.23 Memang faktanya al-Rāzī

menjejali tafsirnya dengan pendapat para filosof, dan

menguraikan satu pendapat dengan pendapat lainnya hingga

pembaca memahami cakrawala pemahaman yang luas. Ibarat

pedagang, ia berdagang semua kebutuhan, dan memberikan

kebebasan kepada pembeli untuk mengambil barang mana

yang dibutuhkan.

Mafātīh} al-Ghaib karya al-Rāzī ini terdiri dari 32 juz.

‘Alī Muh}ammad H{asan al-‘Imāriz setelah melakukan riset

mendalam tentang kitab tafsir al-Rāzī menyimpulkan bahwa

dalam lanskap pembahasan seluas itu, dalam jilid sebanyak

itu, tafsir ini telah tuntas. Memuat pelbagai pendapat mufasir,

seperti Ibn ‘Abbās, Ibn al-Kalbiy, Mujāhid, Qatādah, al-Sadī,

Sa‘īd ibn Jubair, Abū ‘Ubaidah, al-Farrā’, Muqātil ibn

Sulaimān, Qādī ‘Abd al-Jabbār, dan al-Zamakhsyarī.24

Pendapat Muktazilah yang dikutip oleh al-Rāzī dari al-

Zamakhsyarī adalah dalam rangka menolak dan mematahkan

argumennya. Dengan demikian, dari segi sumber, Mafātīh} al-

Ghaib tergolong kolaboratif antara berdasar riwayat (bi al-ma’tsūr) dan berdasar nalar (bi al-ra’y). Adapun teknik

penafsiran yang dipakai al-Rāzī ialah analitis (tah}līlī),

23

Muh}ammad al-Rāzī Fakhr al-Dīn, Tafsīr al-Fakhr al-Rāzī, 8.

24 Muh}ammad al-Rāzī Fakhr al-Dīn, Tafsīr al-Fakhr al-

Rāzī, 9.

Page 80: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

70

menguraikan secara runtun dari awal surah hingga akhir

dengan uraian analisis yang detail. Dan yang menonjol dari

analisisnya ialah kecenderungannya terhadap rasional-

filosofis.

Salah satu bukti bahwa Mafātīh} al-Ghaib adalah tafsir

bercorak falsafi dapat ditelisik ketika al-Rāzī menafsirkan

surah al-Anbiyā’/2:33, pada lafaz مل في فلل يسبحىن, tentang

peredaran tata surya. Redaksi yang digunakan al-Rāzī

biasanya ‘ ‘ atau ,’قبل جمهىر الفلاسفت lalu uraian ,’فقبلج الفلاسفت

filsafat disuguhkan. Dalam konteks aat tersebut, ia mengutip

pendapat filsuf yang menyanggah tesis pergerakan garis edar

dan diamnya planet. Yang bergerak bukanlah garus edarnya,

melainkan planet-planet yang melintasinya.25

Penafsiran

falsafi dalam Mafātīh} al-Ghaib biasanya mengiringi ayat-ayat

saintis dan ayat teologis. Meskipun juga berisi interupsi

terhadap pendapat para filosof secara detail, tafsir ini cukup

memberikan argumen kepada kita tentang corak baru dalam

penafsiran al-Qur’an ketika itu. Kendati sebagaimana

maklum, beberapa ulama mempermasalahkan tafsir ini justru

karena unsur falsafi itu sendiri.

c. Al-Mīzān Karya al-T{abāt}abā’ī

Pada abad ke-20, lahir juga tafsir bercorak falsafi.

Tafsir berjudul lengkap Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān ini

merupakan masterpiece Sayyid Muh}ammad H{usein ibn

Sayyid Muh}ammad yang nasabnya bersambung ke Syaikh al-

Islām al-T{abāt}abā’ī al-Tibrīzī hingga H{asan ibn ‘Alī ibn Abī

T{ālib. Al-T{abāt}abā’ī yang lahir pada 29 Dzulhāijjah 1321

Hijriah/1903 Masehi di kota Tibriz merupakan mufasir

kontemporer berhaluan Syiah dua belas imam. Seperti al-

Zamakhsyarī, al-T{abāt}abā’ī juga seorang pengelana ilmu,

mulai dari kota kelahirannya, Tibriz, hijrah ke Najaf di Irak

25

Muh}ammad al-Rāzī Fakhr al-Dīn, Tafsīr al-Fakhr al-Rāzī, juz 22, 168.

Page 81: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

71

dan menetap selama sepuluh tahun, lalu hijrah lagi ke Qom di

Iran dan menetap di sana hingga wafat pada 18 Muharram

1402 Hijriah. Konsennya dalam bidang filsafat menghasilkan

banyak karya selain tafsir Al-Mīzān, di antaranya yaitu Us}ūl al-Falsafah fī Khamsah Ajzā’, Bidāyah al-H{ikmah, ‘Alī wa al-Falsafah al-Ilāhiyyah, dan Al-Qur’ān fī al-Islām, Nihāyah al-H{ikmah.

26 Al-T{abāt}abā’ī belajar fikih dan ushul kepada Syekh

Muh}ammad H{usein al-Nā’inī dan Syekh Muh}ammad H{usein

al-Kambamī, belajar filsafat kepada Sayyid H{usein al -

Badkubī, tasawuf kepada Abū al-Qāsim al-Khunsarī, dan

belajar akhlak kepada H{āj Mirzā ‘Alī al-Qād}ī. Terhadap

diskursus filsafat dan tafsir, al-T{abāṭabā’ī mempelajarinya di

Qom, sejak tahun 1364 Hijriah.27

Tafsir setebal dua puluh jilid

ini adalah bukti ketekunan al-T{abāt}abā’ī dalam dua disiplin

ilmu tersebut. Ia menafsirkan al-Qur’an dari sudut pandang

f i l s a f a t .

Al-Mīzān merupakan salah satu tafsir penting di abad

modern, sekaligus tafsir utama dalam Syiah, setelah tafsir

Majma‘ al-Bayān-nya al-T{abrīsī. Namun demikian, Fahd al-

Rūmī mengatakan, tafsir ini tidak diperuntukkan kalangan

awam, melainkan kalangan ulama, karena pembahasannya

yang rumit. Sebagaimana Al-Kasysyāf yang dianggap tafsir

terbaik kecuali karena berisi doktrin Mu’tazilah, Al-Mīzān

juga tafsir terbaik di zaman modern andai di dalamnya tidak

berisi doktrin Syiah. Keistimewaan dimaksud ialah

pembahasannya yang ekstensif dan mengutip banyak literatur

tafsir sebelumnya. Dalam menafsirkan surah al-Māidah/5:116,

misalnya, al-T{abāt}abā’ī mengutip beberapa kitab tafsir seperti

26

Muh}ammad ‘Ali> Aya>zi>, Al-Mufassiru>n: H{aya>tuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Wiza>rat al-Tsaqa>fah wa al-Irsya>d al-Isla>mi>,

1414 H), 704. 27

Sayyid Muh}ammad H{usein al-T{aba>t}aba>’i>, Al-Mi>za>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, juz 1, (Beirut: Muassasah al-Isla>mi> li al-Mat}bu>‘a>t,

1997), ii-iii.

Page 82: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

72

Jāmi‘ al-Bayān-nya al-T {abar ī , Al-Kasysyāf-nya al-

Zamakhsyarī, Majma‘ al-Bayān-nya al-T{abrīsī, Mafātīh} al-Ghaib-nya al-Rāzī, Anwār al-Tanzīl-nya al-Baid}āwī, dan Rūh} al-ma’ānī-nya al-Alūsī. Dalam mukadimah, al-T{abāt}abā’ī

mengulas tentang mazhab tafsir, perbedaan mufasir

berdasarkan coraknya, baik teologi, falsafi, sufi, ‘ilmi,

kemudian menerangkan manhaj mana yang mesti diikuti.

Teknik penafsiran Al-Mīzān ialah tah}līlī, komprehensif dan

sesuai urutan surah dalam mushaf. Pada setiap surah yang

hendak ditafsirkan, secara sistematis, al -T {abāt }abā’ī

menjelaskan kategori ayat, Makkiyah atau Madaniyah, tujuan

pokoknya, menyertakan satu atau beberapa ayat, menguraikan

makna per katanya, mengulas aspek kebahasaan, kemudian

melakukan kontekstualisasi dalam menjelaskan makna.28

Sama sekali tidak sulit mencari corak falsafi dalam tafsir ini.

Sendi-sendi penafsiran Al-Mīzān senantiasa menyelaraskan

antara penjelasan secara Qur’ani, etis, dan filosofis. Maka

setiap satu topik penafsiran ayat, di keseluruhan kitab, pasti

dijumpai subbab bah}ts Qur’ānī dan bah}ts falsafī, juga bah}ts a k h l ā q ī , b a h } t s ‘ i l m ī d a n b a h } t s i j t i m ā ‘ ī .

3. Tafsir Corak Adab al-Ijtimā‘ī

a. Tafsīr al-Maraāghī Karya Mus}t}afā al-Marāghī

Ketika al-Qur’an diturunkan, masyarakat Arab pra-

Islam berada dalam tradisi jahiliah. Mereka menyembah

berhala, mengubur anak perempuan hidup-hidup demi

menjaga wibawa, juga khawatir kelaparan, suka berperang

antarsuku, serta tidak ada relasi keagamaan maupun politik.

Al-Qur’an turun dalam keadaan sosial seperti itu. Ia datang

membawa agama, mempererat persaudaraan, menguatkan

relasi. Dalam al-Qur’an ada spirit memperbaiki kondisi sosial-

politik masyarakat. Karena itu kemudian para mufasir juga

28

‘Ali> Aya>zi>, Al-Mufassiru>n: H{aya>tuhum wa Manhajuhum,

705-708.

Page 83: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

73

mengorientasikan penafsirannya untuk memperbaiki sosial-

masyarakatnya. Mufasir memosisikan diri sebagai dokter

terhadap lingkungan sekitarnya. Dari sini muncullah corak

baru dalam tafsir, yakni untuk memperbaiki sosial-

masyarakat (al-is}lāh al-ijtimā‘ī).29 Seperti itulah corak Tafsīr

al-Marāghī. Tafsir tersebut mencakup jawaban terhadap

persoalan di masanya. Al-Marāghī menuturkan bahwa

penulisannya dilatarbelakangi beberapa pertanyaan

masyarakat tentang tafsir mana yang lebih mudah untuk

diambil, diterapkan dalam kehidupan. Ia sekaligus

mengafirmasi bahwa penafsirannya berkaitan erat dengan

konteks masyarakat ketika itu.30

Sebelum menafsirkan, al-Marāghī memberikan

mukadimah seputar fungsi al-Qur’an bagi umat Islam,

tingkatan para mufasir, teknik penulisan al-Qur’an, pendapat

ulama tentang rasm Utsmānī, metodologi yang digunakan,

serta sumber penafsirannya. Tafsir yang dijadikan rujukan

pegangan oleh al-Marāghī yaitu tafsir al-T{abarī, al-Kasysyaf-nya al-Zamakhsyarī, Anwār al-Tanzīl-nya al-Baid}āwī,

Gharāib al-Qur’ān-nya al-Naisyābūrī, tafsir Ibnu Katsīr, Al-Bah}r al-Muh}īt} karya Abū H{ayyān, Rūh} al-Ma‘ānī-nya al-

Alūsī, dan Tafsīr al-Manār karya Muh}ammad ‘Abduh dan

Rasyīd Rid}ā. Tafsir sebanyak 10 jilid ini secara teknik

penafsiran adalah tah}līlī, sesuai urutan surah dalam mushaf.

Sistematika penulisannya yaitu menyebut nama surah, jumlah

ayat, tempat turun, urutan turunnya ayat, serta munasabah

ayat. Al-Marāghī menjelaskannya secara ringkas, disertai

tujuan surah dan asbāb al-nuzūl. Ia jarang mengutip riwayat,

kecuali jika mengharuskan sandaran periwayatan, tidak

mendominasi tafsir mainstream, serta tidak menguraikan

29

Fahd al-Ru>mi>, Buh}u>ts fi> Us}u>l al-Tafsi>r wa Mana>hijuhu>, 104-105.

30 ‘Ali> Aya>zi>, Al-Mufassiru>n: H{aya>tuhum wa Manhajuhum,

359.

Page 84: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

74

aspek gramatikal. Semua itu bagi al-Marāghī kurang krusial

karena memberi kesan seakan tafsir dikhususkan kepada

mereka yang paham ilmu-ilmu alat. Masyarakat di masanya

butuh tafsir instan yang bisa diterapkan dalam kehidupan

sehari-hari, yang sesuai konteks penfsiran tersebut

dilakukan.31

Al-Marāghī benar-benar menjadikan kisah penentuan

khilafah di bumi, bersujudnya para malaikat, maksiatnya Iblis,

dan penciptaan H{awa>’ sebagai medan penafsirannya,32

yang

membuat kita dengan mudah membaca orientasi ijtimā‘ī yang

ia usung. Ketika menafsirkan surah al-Baqarah/2:35-37, ada

satu persoalan yang menarik, yang ia ulas, yaitu tentang

penciptaan H{awā’. Al-Marāghī menentang pendapat yang

mengatakan bahwa H{awā’ diciptakan dari tulang rusuk

A<dam. Ia mengatakan, apa yang tertulis dalam surah al-Nisā’

[4]: 1 dan al-A‘rāf/7:189, atau yang diriwayatkan Nabi

melalui Abū Hurairah bahwa H{awā’ diciptakan dari tulang

rusuk yang bengkok (d}al‘ a‘waj), tidak bermaksud

menganggap H{awā’ benar-benar dari tulang rusuk. Pada ayat

di situ adalah ‘dari jenisnya’. Ini seperti مه kata ,مه وفس واحدة

yang tertera dalam surah al-Ru>m/30:21. Artinya, pasangan

kita bukan diciptakan ‘dari diri’ kita, melainkan ‘dari jenis’

kita, yaitu sama-sama manusia. Sementara itu, hadis Nabi

tadi tidak bisa dipahami secara harfiah. Bukan perempuan

yang diciptakan dari tulang rusuk, justru hadis tersebut

sekadar perumpamaan bahwa watak/karakter perempuan itu

seperti tulang rusuk yang bengkok—mudah patah. Bukan

orangnya, melainkan sifatnya.33

31

‘Ali> Aya>zi>, Al-Mufassiru>n, 360. 32

‘Abd al-Qa>dir Muh}ammad S{alih}, Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n fi al-‘As}r al-H{adi>ts, (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 2003),

328. 33

Ah}mad Mus}t}afa> al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi>, juz 1,

(Mesir: Maktabah wa Matba‘ah Must}afa> Alba>ni>, 1946), 89-90.

Page 85: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

75

b. Fī Z{ilāl al-Qur’ān Karya Sayyid Qut}b

Ditulis saat dipenjara, tafsir Fī Z{ilāl al-Qur’ān adalah

karya Sayyid Qut}b yang terkenal. Kitab tersebut jadi rujukan

terutama bagi para jihadis dan kalangan Muslim puritan.

Sayyid Qut}b sendiri disebut sebagai ulama ortodoks yang

mengajarkan konsep takfīrī. Ia memiliki pergerakan (h}arakah)

konfrontatif mirip pergerakan Khawarij di masa lalu. Baginya

dunia tengah ada dalam masa jahiliah dan diselimuti

kekafiran. Tafsir Fī Z{ilāl al-Qur’ān juga disinyalir mampu

memantik semangat puritanisme Islam. Usāmah Sayyid

Mah}mūd mengatakan, suatu ketika Abū Muh}ammad al-

‘Adnānī, Wakil Ketua ISIS, gemar membaca tafsir karya

Sayyid Qut}b tersebut bahkan mendalaminya selama dua puluh

tahun. Tidak berselang lama bagi al-‘Adnānī, setelah

mengetahui landasan konstitusi Suriah, untuk berkata:

‚Seluruh hukum yang kita gunakan adalah hukum kafir!‛34

Tafsir Fī Z{ilāl al-Qur’ān ada enam jilid. Bercorak adab al-ijtimā‘ī karena orientasi penafsiran Sayyid Qut}b adalah

memperbaiki tatanan masyarakat ketika itu. Motif

penafsirannya berusaha mengembalikan masyarakat kepada

Allah, dalam naungan-Nya. Bagi Qut}b, tidak ada kedamaian

di bumi, tidak ada ketenangan bagi masyarakat, tidak ada

keberkahan dan kesucian kecuali kembali kepada Allah swt.

Untuk kembali kepada Allah, hanya ada satu jalan, yaitu

menyeluruhkan hidup kepada Allah sesuai yang dituntun al-

Qur’an. Menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup,

penuntun langkah. Jika tidak, maka yang terjadi adalah

kerusakan di bumi (al-fasād fī al-ard}). Qut}b juga bersikukuh

menyampaikan, dalam mukadimahnya, tanpa berada di bawah

34

Usa>mah Sayyid Mah}mu>d, Al-H{aqq al-Mubi>n fi al-Radd ‘ala> Man Tala>‘aba bi al-Di>n (Abu Dhabi: Da>r al-Faqi>h, 2015), 18-

19.

Page 86: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

76

naungan al-Qur’an, maka sejatinya orang tersebut terjerumus

ke dalam penyembahan hawa nafsu, jauh dari Allah swt.35

Karena itu bisa dipahami bahwa Fī Z{ilāl al-Qur’ān

adalah tafsir purifikasi, pemurnian, meskipun dalam

penerapannya bertendensi ideologis. Ia menjadi identik

dengan ideologi Wahabi, atau identik dengan ideologi radikal

Khawarij. Dari segi sumber, Qut}b memang cenderung

mengutamakan riwayat (bi al-ma’tsūr) daripada rasionalitas

(bi al-ra’y). Kemiripan Qut}b dengan Khawarij tidak dalam

segi keyakinan melainkan semangat pergerakannya. Artinya,

Qut}b memiliki semangat rekonstruksi masyarakat ke arah

yang lebih murni, di bawah lindungan al-Qur’an, dan keluar

dari belenggu kejahiliahan. Sebagai contoh dari corak adab al-ijtimā‘ī yang diusung tafsir Fī Z{ilāl al-Qur’ān dapat dilihat

melalui penafsiran surah al-Māidah [5]: 44-47 tentang

memutuskan/mengambil hukum (tah}kim). Menurut Qut}b,

duduk perkara tiga ayat berurutan yang membahas tentang

tahkim itu adalah tentang keimanan dan kekufuran, Islam dan

jahiliah, syariat atau hawa nafsu. Tidak ada tengah-tengah.

Orang-orang mukmin adalah mereka yang berhukum dengan

apa yang telah ditentukan Allah, tidak menambah apalagi

mengganti, sedikit pun.36

Sementara itu, orang-orang kafir, fasik, dan zalim ialah

mereka yang tidak berhukum dengan ketentuan-Nya. Baik ia

menerapkan hukum Allah secara sempurna sehingga

dikatakan beriman, atau justru menerapkan hukum lain yang

tidak diizinkan oleh-Nya sehingga kafir. Seseorang yang

menerima putusan hakim yang berhukum sesuai ketentuan

Allah, maka ia berhak dianggap mukmin. Begitupun

sebaliknya. Tidak ada jalan tengah dari dualitas tersebut.

Tidak juga perlu diperdebatkan. Allah Swt. Mahamengetahui

35

Sayyid Qut}b, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n, Juz 1 (Kairo: Da>r al-

Syuru>q, 2003), 15. 36

Sayyid Qut}b, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n, juz 2, 888.

Page 87: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

77

apa yang benar-benar baik untuk hamba-Nya. Tidak juga

boleh berkata, jalan tengah diambil demi kemaslahatan

manusia, demi hak asasi kemanusiaan. Jika sampai berkata

demikian, maka orang tersebut telah keluar dari keimanan,

tak lagi laik disebut mukmin.37

Dengan teknik analitis

(tah}līlī), Qut}b melalui Fī Z{ilāl al-Qur’ān berusaha

memperbaiki tatanan masyarakat yang ketika itu menerapkan

hukum-hukum jahiliah, seperti demokrasi dan lain

sebagainya. Di sinilah corak adab al-ijtimā‘ī mengemuka.

Qut}b tak menekankan aspek fikih maupun aspek filsafat,

sehingga tak dibahas dalam tafsirnya. Ia berusaha menafsir

untuk mengkritik pemerintah dan tatanan masyarakat dan

negaranya ketika itu.

c. Tafsir Al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab

Tafsir setebal lima belas jilid ini merupakan

masterpiece Quraish Shihab, satu-satunya mufasir dari

Indonesia yang pemikirannya menjadi rujukan masyarakat

Indonesia. Ditulis di Kairo, saat ia menjadi Duta Besar RI

untuk Mesir, Tafsir Al-Mishbah ditulis dalam bahasa

Indonesia, mirip dengan Tafsir Al-Azhar karya Hamka yang

akan diulas di bagian selanjutnya. Quraish Shihab memang

memproyeksikan tafsirnya ini dapat menjadi tuntunan bagi

masyarakat, utamanya masyarakat Indonesia. Demikian

karena menurutnya, ‚keberadaan seseorang pada lingkungan

budaya atau kondisi sosial, dan perkembangan ilmu, juga

mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam menangkap

pesan-pesan al-Qur’an. Keagungan firman Allah dapat

menampung segala kemampuan, tingkat, kecenderungan, dan

kondisi yang berbeda-beda itu.‛38

37

Sayyid Qut}b, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n, juz 2, 888. 38

M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, volume 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2007), xvii.

Page 88: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

78

Selain itu, Quraish Shihab juga mengafirmasi bahwa

setiap upaya penafsiran, akan selalu dipengaruhi oleh latar

belakang mufasir itu sendiri. Mulai dari konstruksi sosial,

budaya, keagamaan, bahkan latar keilmuan, menjadi sarana

dari corak-corak penafsiran. Kecenderungan mufasir yang

beragam tersebut memantik ragam hidangan tentang pesan-

pesan Ilahi. ‚Jika Fulan memiliki kecenderungan hukum,

tafsirnya banyak berbicara tentang hukum. Kalau

kecenderungan si Anti adalah filsafat, maka tafsir yang

dihidangkannya bernuansa filosofis. Kalau studi yang

diminatinya bahasa, maka tafsirnya banyak berbicara tentang

aspek-aspek kebahasaan. Demikian seterusnya.‛39

Artinya,

menyadari hal tersebut, lahirnya tafsir baru merupakan suatu

keniscayaan. Quraish Shihab yang dari Indonesia tentu

memiliki konstruksi sosio-kultural yang berbeda dari,

misalnya, al-T{abari>, Sayyid Qut}b, atau Fakhr al-Dīn al-Rāzī.

Masyarakat Indonesia membutuhkan hidangan baru,

yang tidak mengambil dari produk tafsir ulama tadi, atau

mengambil secara komparatif untuk menemukan pemahaman

kontekstual sesuai konstruksi sosio-kultural masyarakat

Indonesia sendiri. Quraish Shihab tergolong bagian terakhir,

memadukan ragam pendapat mufasir, seperti Sayyid Qut}b

melalui Fī Z{ilāl al-Qur’ān dan Sayyid Muh}ammad Husein al-

T{abāt}abā’ī melalui Al-Mīzān. Kendati dua ulama tadi

kontroversial, yang satu dianggap ortodok-radikal, yang satu

karena berasal dari Syiah, yang kelak berimplikasi terhadap

kritik atas Tafsir Al-Mishbah sendiri, namun ada satu garis

besar kesamaan antara para rujukan Quraish Shihab, yaitu

tentang kesatupaduan al-Qur’an, tentang keterkaitan

antarsurah, tidak tercerai-berai sebagaimana yang dituduhkan

orientalis seperti Richard Bell yang mengkritik tajam

sistematika urutan ayat dan surah, sembari menyalahkan para

penulis wahyu.

39

M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, xvii.

Page 89: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

79

Karena itu di akhir mukadimah, Quraish Shihab

menegaskan ‚Dalam buku (Al-Mishbah, pen.) ini, pembaca

akan menemukan uraian-uraian para ulama itu, yang penulis

sadur dan persembahkan, semoga dapat membantu menampik

pandangan-pandangan keliru serta memperjelas apa makna

dan hubungan serasi antarayat dan surah-surah al-Qur’an.‛40

Teknik Tafsir Al-Mishbah adah analitis tematik (tah}līlī-mawd}ū‘ī), yaitu menguraikan makna ayat sesuai urutan surah

tetapi setiap ayat terkelompokkan sesuai tema-tema.

Misalnya dalam surah al-Fātih}ah. Quraish Shihab membagi

surah tersebut menjadi dua: kelompok I ayat 1-4, dan

kelompok II ayat 5-7. Corak adab al-ijtimā‘ī dapat dibaca

misalnya dalam penafsiran tentang auat pertama al-Fātih}ah,

lafaz بسم, penyebutan atas nama setiap melakukan sesuatu.

Quraish Shihab mengutip al-Zamakhsyari> bahwa orang-orang

Arab, sebelum Islam, menyebut tuhan mereka, بسم اللاث atau

,ketika hendak memulai pekerjaan. Menurutnya ,بسم العش

tradisi tersebut masih ada hingga kini, menyebut ‘Atas nama

Allah dan atas nama rakyat’ dengan tujuan mendapat rahmat

Tuhan dan demi kepentingan rakyat. Artinya pekerjaan

tersebut dilakukan atas perintah dan demi Allah, bukan

dorongan hawa nafsu.41

d. Tafsir Al-Azhar Karya Hamka

Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau disingkat

Hamka, adalah seorang kiai, sastrawan, cendekiawan

Muhammadiyah, sekaligus mufasir. Ulama kelahiran Tanah

Sirah, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, 16

Februari 1908 memiliki karya dalam pelbagai bidang, dan

pernah mendapatkan penghargaan Doctor Honoris Causa (Dr.

HC) dari Universitas Al-Azhar, Mesir. Menariknya, Hamka

mendalami banyak ilmu; filsafat, tasawuf, sastra, sejarah,

40

M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, xxviii. 41

M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, juz 1, 13

Page 90: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

80

sosiologi dan politik, secara autodidak. Sejak kecil, ia belajar

agama kepada ayahnya, hingga pindah ke Padang Panjang

pada usia 6 tahun. Usia 7 tahun sempat sekolah, tetapi

dilekuarkan karena kenakalannya. Sang ayah kemudian

mendirikan Sumatra Tawalib, dan di sanalah Hamka belajar

bahasa Arab.42

Sekitar 79 karya lahir darinya, di antara

bukunya yaitu Layla Majnun, Di Bawah Lindungan Ka’bah,

Tasawuf Modern, Islam dan Demokrasi, Di Tepi Sungai Dajlah, Falsafah Ideologi Islam, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Muhammadiyah di Minangkabau, dan

Tafsir Al-Azhar. Tafsir setebal 15 jilid ini dinamai Al-Azhar

untuk menyerupakan dengan asal tafsir disusun, yaitu kuliah

Subuh di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta.

Syekh Mah}mu>d Syalt}ut, Rektor Universitas Al-Azhar Mesir

ketika itu, yang memberikan nama masjid tersebut.43

Tafsir Al-Azhar ditulis saat Hamka dipenjara oleh

rezim orde lama selama dua tahun. Sistematikanya, Hamka

menjelaskan asbāb al-nuzu>l ayat yang hendak ditafsirkan,

memberikan mukadimah surah, dan setiap akhir bahasan juz

dicantumkan bibliografi yang dijadikan rujukan penafsiran.

Teknik penafsiran yang digunakan Hamka adalah tah}līlī, analitis, sesuai urutan surah dalam mushaf. Hamka

menghindari tafsir per kata (mufradāt), dan lebih menafsirkan

ayat secara menyeluruh. Jika Quraish Shihab, sebagaimana

diungkap sebelumnya, mengatakan bahwa setiap produk tafsir

selalu mencerminkan identitas keilmuan mufasir, maka

Hamka juga demikian. Kekagumannya terhadap pembaharu

Mesir, Muh}ammad ‘Abduh dan Rasyīd Rid}ā, membuat Tafsir Al-Azhar terpengaruh pemikiran ‘Abduh dalam Tafsīr Al-

42

Muhammad Hasbi Maulidi, ‚Konstrusi Perempuan dalam

Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka,‛ Tesis Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019, 59.

43 Avif Alviyah, ‚Metode Penafsiran Buya Hamka dalam

tafsir Al-Azhar,‛ Ilmu Ushuluddin, (Januari 2016), 27-28.

Page 91: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

81

Manār.44 Karena itu bisa dibaca coraknya, bahwa Tafsir Al-

Azhar juga diorientasikan untuk memperbaiki tatanan sosial-

kemasyarakatan (adab al-ijtimā‘ī), dan contohnya dapat

dilihat setip sendi-sendi penafsiran. Corak ini

memperlihatkan, misalnya, lokalitas Tafsir Al-Azhar. Kendatipun demikian, Hamka menegaskan, ia tidak

tendensius satu paham, ‚melainkan sedaya upaya mendekati

maksud ayat, menguraikan makna dan lafaz bahasa Arab ke

dalam bahasa Indonesia dan memberi kesempatan orang buat

berpikir.‛45

Maksudnya, ia menguraikan penafsiran, dan

kontekstualisasi terhadap sosial masyarakat partikular

dipersilakan.

4. Tafsir Corak Ahkam

a. Al-Jāmi’ li Ah}kām al-Qur’ān Karya al-Qurt}ubī

Kalaulah ada tafsir terbaik, lengkap, kritis, dan autentik

tentang hukum-hukum fikih, maka tafsir itu adalah Al-Jāmi’ li Ah}kām al-Qur’ān karya al-Qurt}ubī. Ulama bernama

lengkap Abū ‘Abd Allāh Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abū

Bakr ibn Farh} al-Ans}ārī al-Khazrajī al-Andalūsī al-Qurt}ubī

lahir di Cordoba, Andalusia, Spanyol sekarang. Ia kemudian

pindah ke Mesir dan menetap di sana hingga wafat pada 9

Syawal 671 Hijriah. Al-Dzahābī mengatakan, ‚Al-Qurt}ubī

adalah ulama interdisipliner yang sangat luas ilmunya,

memiliki karya yang merepresentasikan konsentrasinya

terhadap pengetahuan.‛ Andalusia, tempat ia dilahirkan,

ketika itu, merupakan negara dengan banyak kitab dan

penulis. Di Cordoba, kitab banyak sekali dan ilmu-ilmu

keagamaan sedang dalam kejayaan, seperti fikih, hadis, tafsir,

qiraat, nahwu, sejarah, dan sastra. Iklim sarat akademis ini

yang turut membentuk intelektualitas al-Qurt}ūbī. Ia adalah

44

Maulidi, ‚Konstrusi Perempuan dalam Tafsir Al-Azhar

Karya Buya Hamka,‛ h. 77. 45

Maulidi, ‚Konstrusi Perempuan...‛, 81.

Page 92: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

82

murid dari, di antaranya, Ibn Rawāj, Ibn al-Jummaizī, Abu> al-

‘Abbas Ah}mad ibn ‘Umar ibn Ibrāhim al-Mālikī al-Qurt}ubī,

dan H{asan al-Bakrī. Al-Qurt}ubī memiliki kepribadian zuhud,

konsisten, dan menghabiskan sebagian besar usianya untuk

ibadah dan berkarya. Masterpiece-nya ialah Al-Jāmi’ li Ah}kām al-Qur’ān sebanyak 10 jilid ini.

46

Menurut ‘Alī Ayāzī, tafsir al-Qurt}ubī adalah tafsir

paling lengkap tentang hukum-hukum fikih yang mengulas

pelbagai perbedaan mazhab, di samping i’rāb, balāghah,

qirāat, us}ūl, nāsikh-mansūkh, dan lainnya. Meskipun dirinya

pengikut mazhab Mālikī, al-Qurt}ubī juga menguraikan

mazhab lain. Ia memulai tafsirnya ini dengan mukadimah

yang sangat panjang, mulai dari mengulas keutamaan al-

Qur’an, cara tilawah, mewanti ahli al-Qur’an dari penyakit

riya’, tingkatan yang wajib ditempuh pengkaji al-Qur’an,

keutamaan tafsir al-Qur’an, cara belajar-memahami al-

Qur’an, makna sab‘atu ah}ruf, urutan surah dan ayat al-Qur’an,

makna surah dan ayat, kemukjizatan al-Qur’an, dan

argumentasi terhadap pengkritik al-Qur’an. Metodologi tafsir

ini yaitu dengan menguraikan ayat, i‘rāb-nya, ragam qirāat, kemudian penafsiran dan pendapat-pendapat tentangnya.

Kemudian al-Qurt}ubī menjelaskan aspek hukum fikih secara

rinci. Ulama sunni Asy’ariyah itu membela mazhab ahl al-sunnah. Tidak saja menyerang Muktazilah, bahkan juga

golongan politik-keagamaan.47

Corak hukum tafsir al-Qurt}uī

bisa dilihat, misalnya, bab haji dan umrah.

Dalam surah al-Baqarah/2:196, menurut al-Qurt}ubī, ada

silang pendapat tentang maksud و أحمى الحج و العمزة لله. Apakah

yang dimaksud menyempurnakan haji ialah menyatukan niat

46

Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Ah}mad al-Ans}a>ri> al-

Qurt}ubi>, Al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, juz 1, (Kairo: Da>r al-H{adi>ts,

1994), 6. 47

‘Ali> Aya>zi>, Al-Mufassiru>n: H{aya>tuhum wa Manhajuhum,

410-411.

Page 93: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

83

berhaji tanpa ada tujuan berdagang, misalnya, atau

menghindari sesuatu yang dilarang saat berhaji, atau yang

lainnya. Lalu al-Qurt}ubī mulai menguraikannya secara luas,

mulai dari mengutip hadis-hadis Nabi, imam pendapat imam

mazhab. Misalnya al-Qurt}ubī menjelaskan bahwa ayat

tersebut menunjukkan kebolehan ihram sebelum miqat, atau

ihram dari tempat miqat yang berbeda-beda. Dalam suatu

riwayat, Nabi Saw. me-mīqat-kan penduduk Madinah dari

Dzul Hulaifah, penduduk Syam dari Juhfah, penduduk Najed

dari Qarn, dan penduduk Yaman dari Yalamlam. Atau, al-

Qurt}ubi> juga menguraikan, bahwa ayat tersebut merupakan

dalil atas wajibnya umrah jika kata al-‘umrah dibaca fathah,

berposisi na’at pada al-h}ajj. Tetapi jika dibaca dhammah,

berposisi mubtada’, maka umrah menjadi tidak wajib.48

Tidak

sulit untuk menemukan, bahwa hukum fikih menjadi corak,

menjadi orientasi utama penafsiran al-Qurt}ubi>.

b. Ah}kām al-Qur’ān Karya Ibn al-‘Arabī

Salah satu karakter tafsir bercorak hukum ialah

kecenderungannya untuk menampilkan mazhab tertentu. Hal

ini bisa ditelisik melalui karya-karya tafsir yang dinisbatkan

pada mazhab mufasirnya. Setiap ahli fikih (fuqahā’) sudah

tentu adalah seorang yang ahli al-Qur’an dan hadis, tetapi

belum tentu mereka menulis kitab tafsir. Sementara itu, tidak

semua ahli tafsir adalah ahli fikih, karena tafsir sendiri

idealnya tidak selalu bersinggungan dengan corak fikih.

Karenanya, adalah tidak mengherankan jika kemudian lahir

tafsir yang mengikuti mazhab fikih tertentu. Al-Qurt}ubī, yang

telah diulas sebelumnya, melalui tafsir Al-Jāmi’ li Ah}kām al-Qur’ān, merupakan representasi mazhab Mālikī, sekalipun

keluasan tafsirnya juga mengulas mazhab-mazhab lainnya.

Dari kalangan H{anafī, lahir tafsir Ah}kām al-Qur’ān yang

48

Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Ah}mad al-Ans}a>ri> al-

Qurt}ubi>, Al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, juz 1, 733-736.

Page 94: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

84

ditulis oleh Abū Bakr al-Rāzī alias al-Jas}s}ās}. Judul yang sama,

Ah}kām al-Qur’ān, juga ditulis oleh Abū al-H{asan al-T{abari>

alias al-Kiyāhirasī yang bermazhab Syāfi‘ī. Yang hendak

diulas ini, Ah}kām al-Qur’ān karya Abū Bakr Ibn al-‘Arabī

adalah representasi mazhab al-Mālikī, semazhab dengan tafsir

al-Qurt}ubī. Kitab setebal empat juz ini di-tah}qīq oleh

Muh}ammad ‘Abd al-Khāliq ‘Abd al-Qādir.

Ibn al-‘Arabī bernama lengkap Abū Bakr Muh}ammad

ibn ‘Abd Allāh ibn Ah}mad al-Ma‘āfirī al-Andalūsī al-Isybilī.

Ulama yang lahir pada tahun 468 Hijriah atau 1076 Masehi

ini merupakan ulama terakhir Andalusia, juga anak dari

seorang ahli fikih di masanya. Kelana keilmuannya dimulai di

daerah kelahirannya, lalu rihlah ke Mesir, Syam, Baghdad,

dan Mekah. Ibn al-‘Arabī berguru kepada ulama setiap tempat

yang ia singgahi, hingga ia menjadi ahli fikih, ushul, hadis,

teologi, tafsir, sastra-syair, lalu kembali lagi ke daerah

asalnya, Isybili. Belum ada ulama interdisipliner yang alim

seperti beliau di daerahnya ketika itu.49

Tafsirnya ini, Ah}kām al-Qur’ān, merupakan tafsir pertama tentang yurisprudensi,

Ibn al-‘Arabī-lah yang memulai, kemudian disusul oleh tafsir

ah}kām lain seperti tafsir ah}kām-nya al-Jas}s}ās}.50

Dari segi

sumber, tafsir Ibn al-‘Arabī ini tergolong tafsir bi al-ma’tsūr, karena mufasir menguraikan penafsiran dengan mengutip

hadis, atsar, dan pendapat imam mazhab. Juga tergolong

tah}līlī karena sesuai urutan surah dalam mushaf.

Sistematikanya ialah, Ibn al-‘Arabī membagi satu per satu

ayat dari surah yang ditafsirkan, lalu potongan-potongan ayat

tersebut diulas dari pelbagai riwayat dan pendapat. Hukum

apa yang bisa diambil dari ayat tersebut juga teruraikan, yang

pendapatnya berkiblat kepada mazhab Mālikī. Agar tidak

49

Abu> Bakr Muh}ammad ibn ‘Abd Alla>h ibn al-‘Arabi>, juz

1, Ah}ka>m al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), viii. 50

Muh}ammad S{alih}, Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n fi al-‘As}r al-H{adi>ts, 371.

Page 95: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

85

mengambang, bisa dilihat ketika Ibn al-‘Arabī menafsirkan

surah al-Ma>idah/5:3, tentang sesuatu yang diharamkan. Allah

Swt, berfirman:

مي الخنزير كىمىا أيىل لغىن الل بو يـ كىلى تىةي كىالد يػ حيرمىت عىلىيكيمي المىنقىةي كىالمى قي ذىةي كىالميتػىرىديىةي كىالنطيحىةي كىمىا أىكىلى السبيعي إلا كىالمينخى

ـ تيم كىمىا ذيبحى عىلىى النصيب كىأىف تىستػىقسمي ا بلىزلاى يػ مىا ذىكلكيم فىلاى دينكيم من كىفىريكا الذينى يى ى اليػى ىـ فس ه ذى

متي كىأىبى دينىكيم لىكيم أىكمىلتي اليػى ىـ كىاخشى ف ىشى ىيم ىـ ديننا سلاى اضطير فىمىن عىلىيكيم نعمىت كىرىضيتي لىكيمي الإ

رىحيمه غىفي ره اللى فى ف لإ و ميتىجىان و غىيػرى ىمىصىةو

Menurut Ibn al-‘Arabī, ayat tersebut memuat 21

persoalan. Ia pun memaparkan keseluruhan persoalan tersebut

satu per satu. Ia juga mengutip Ima>m al-Sya>fi‘i> yang

mengatakan, ayat tersebut mengajarkan umat Islam bahwa

meskipun sembelihan itu sama-sama sekadar menumpahkan

darah hewan yang disembelih, namun di dalamnya harus ada

rasa penghambaan (ta‘abbud) dan niat mendekatkan diri

kepada Allah Swt. Tradisi jahiliah juga demikian, bertumbal

untuk berhalanya, menumpahkan darah tidak dengan nama-

Nya. Adapun dalam hal teknik penyembelihan, al-Syāfi‘ī

mengatakannya sah bilamana kerongkongan terputus.51

Pengutipan al-Syāfi‘ī lebih sering karena ia murid Imām

Mālik yang dalam beberapa hal, pendapatnya tidak memiliki

perbedaan yang berarti. Kecenderungan tafsir ini terhadap

mazhab fikih tertentu dapat dilihat dari diksi yang dipakai Ibn

al-‘Arabī tentang suatu hukum yang sedang ditafsirkan, yaitu

.yakni ‘ulama kami’, yakni Imām Mālik ,علمبءوب

51

Abu> Bakr Muh}ammad ibn ‘Abd Alla>h ibn al-‘Arabi>,

Ah}ka>m al-Qur’a>n, juz 2, 22-29.

Page 96: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

86

c. Al-Tafsīr wa al-Bayān Karya ‘Abd al-‘Azīz al-T{arīfī

Kitab tafsir ini, penulisannya, mirip dengan Tafsir Al-Azhar karya Hamka. Hamka menulis tafsirnya berdasarkan

kajian yang ia ampu secara rutin, begitupun dengan al-T{arīfī.

Baik Hamka maupun al-T{arīfī juga merupakan ulama

kontemporer yang hidup di tengah rezim otoriter. Bedanya,

Hamka menulis tafsirnya ketika ia dipenjara oleh rezim,

sementara al-T{arīfī justru dipenjara setelah penulisan

tafsirnya selesai. Murid al-T{arīfī, ‘Abd al-Majīd ibn Khālid al-

Mubārak mengatakan, tafsir ini dijelaskan al-T{arīfī ketika

mengisi kajian kepada para santrinya, dimulai pada Ramadan

1532 Hijriah dan rampung lebih dari 120 kali pertemuan.52

Dilansir Wikipedia, ‘Abd al-‘Azīz al-T{arīfī merupakan ulama

kelahiran Kuwait, 29 November 1976 yang menempuh

pendidikan di Fakultas Syariah Universitas Islam Muhammad

bin Saud. Ulama aliran salafi ini bermazhab fikih Hanbali.53

Ulama yang November nanti genap 44 tahun kini berada di

balik jeruji besi Kerajaan Arab Saudi. Al-T{arīfī ditangkap

pada 23 April 2016. Sudah empat tahun mufasir ini

mendekam di penjara. Penahanan Al-T{arīfī tentu dikritik

banyak aktivis, karena dianggap tidak memiliki alasan yang

jelas, meski ada rumor dikarenakan sering mengkritik

penguasa. Selain tafsir ini, beberapa karya al-T{arīfī antara lain

yaitu Al-Fas}l bayn al-Nafs wa al-‘Aql, Al-‘Ulamā al-Mītsāq,

dan Al-‘Aqliyyah al-Libirāliyyah fī Was}f al-‘Aql wa Was}f al-Naql.54

52

‘Abd al-‘Azi>z Marzu>q al-T{ari>fi>, Tafsi>r wa al-Baya>n li Ah}ka>m al-Qur’a>n, juz 1, (Riyadh: Maktabah Da>r al-Minhaj, 1436

H), 6. 53

Wikipedia, ‚Abdulaziz al

Tarefe,‛en.m.wikipedia.org/wiki/Abdulaziz_al_Tarefe (diakses pada

14 April 2020) 54

Munaji Habibullah, ‚Syaikh Abdul ‘Aziz At-Tharifi,

Sosok Alim Rabbani yang Berakhir di Balik Jeruji Besi,‛ safinah.id

(diakses pada 14 April 2020).

Page 97: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

87

Dalam mukadimah, al-T{arīfī mengatakan, salah satu

tujuan utama yang wajib digapai umat dari al-Qur’an ialah

mengetahui perintah, larangan, dan hukum-hukumnya. Siapa

pun yang memahami hukum-hukum Allah dalam al-Qur’an,

mengetahui maqās}id-nya, hatinya akan bertambah keimanan,

ketundukan, dan takzim kepada-Nya. Tetapi hukum yang ada

dalam al-Qur’an sifatnya global, tak terperinci. Ulama salaf

konsen mentadaburi al-Qur’an untuk mengambil ajarannya,

terutama perihal yurisprudensi. Jika sebagian orang

mengatakan, dalil hukum bersifat kontekstual-elastis, itu

keliru. Yang kontekstual adalah hukum keagamaannya,

sehingga ia tidak bisa diperbarui sekalipun pewahyuan sudah

final. Al-T{arīfī juga menguraikan bagaimana mazhab Syāfi‘ī,

Mālikī, H{anafī, dan Ah}mad ibn H{anbal memiliki keutamaan

masing-masing. Pendapat yang mereka kemukakan tidak

ditujukan untuk membuat kita pusing untuk memilih. Abū

H{anīfah berkata pada Abū Yūsuf, Syāfi‘ī kepada Rabī’,

Ah}mad kepada ‘Abdullāh anaknya, dan Mālik kepada Ibn al-

Qāsim: ‚Jika sudah jelas ada hadis sahih, ambillah, dan

tinggalkan pendapat/perkataanku.‛55

Pada intinya, al-T{arīfī, dalam tafsir ini, akan mengulas

tafsir ayat-ayat hukum, dengan diperkuat oleh riwayat hadis,

pendapat imam mazhab, dan secara spesifik mazhab Ah}mad

ibn H{anbal. Yang terakhir ini dipilih karena, menurut al-

T{arīfī, Ah}mad ibn H{anbal paling banyak meriwayatkan hadis,

mengulas ayat hukum, dan secara periode lebih akhir dari tiga

pendahulunya, yang artinya pendapatnya lebih komprehensif

karena Ah}mad mengetahui juga pendapat tiga mazhab

sebelumnya serta apa yang seharusnya diperbarui atau

dikembangkan.

Teknik tafsir al-T{arīfī adalah tah}līlī, yakni menafsirkan

ayat sesuai uutan surah dalam mushaf. Secara sistematis,

55

‘Abd al-‘Azi>z Marzu>q al-T{ari>fi>, Tafsi>r wa al-Baya>n li Ah}ka>m al-Qur’a>n, juz 1, 19.

Page 98: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

88

ketika menafsirkan ayat, al-T{arīfī membuat topik utama dari

ayat tersebut, lalu menguraikan ayat-ayat lain yang

berhubungan dengannya. Kemudian ia memaparkan beberapa

ketentuan hukum yang dimuat ayat tersebut. Misalnya ketika

al-T{ari>fi> menafsirkan surah al-Baqarah/2:43. Allah berfirman:

ك اقيم ا الصل ة ك ءات ا الزك ة ك اركع ا مع الراكعن ‚Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang yang rukuk.‛

Topik utama ayat tersebut dalam tafsir al-T{arīfī adalah

‘salat berjemaah’. Allah memerintahkan penunaian salat dan

zakat, tetapi salatnya harus berjemaah, tidak sendirian.

Demikian pemahaman harfiahnya. Ayat tersebut berkaitan

erat dengan surah al-Baqarah/2:83, 110, al-Nisā’/4:77,

Ibrāhīm/14:3, dan Maryam/19:55. Banyak ayat lain juga yang

berisi perintah sejenis. Jika diuraikan, maka ayat di atas

membuat beberapa hukum, yaitu: kewajiban salat dan zakat,

wajibnya salat berdiri bagi yang mampu, perintah merapatkan

dan meluruskan shaf salat, serta isyarat akan keutamaan

rukuk. Khitab yang terakhir ini sebagai nasakh atas salatnya

orang Yahudi yang tanpa rukuk. Allah bermaksud mencegat

mereka dari potensi menuduh Nabi Muhammad meniru cara

peribadatan mereka. Hukum lain yang dapat diambil ialah,

ayat tersebut menunjukkan keutamaan sujud daripada rukuk,

keutamaan juga kewajiban salat secara berjemaah, tidak salat

sendiri di rumah maupun di pasar. Keutamaan ini juga

didukung banyak riwayat hadis.56

Al-T{arīfī menguraikan

hukum-hukum yang bisa diambil dengan sangat lengkap.

Begitulah seterusnya. Tafsir ini memang diorientasikan untuk

menyaring hukum-hukum yang ada dalam ayat-ayat al-

Qur’an.

56

‘Abd al-‘Azi>z Marzu>q al-T{ari>fi>, Tafsi>r wa al-Baya>n li Ah}ka>m al-Qur’a>n, juz 1, 47-55.

Page 99: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

89

d. Ah}kām al-Qur’ān Karya al-Jas}s}ās}

Nama lengkapnya ialah Ah}mad ibn Abū Bakr al-Rāzī,

tetapi lebih familiar dengan panggilan al-Jas}s}ās}. Ia lahir di

Baghdad, tahun 305 Hijriah. Al-Jas}s}ās} merupakan santri dari

beberapa ulama terkemuka, yakni Abu> Sahl al-Zuja>j, Abu>

H{asan al-Karkhī, Abī Sa‘īd al-Barda‘ī, dan Mūsā ibn Nās}ir al-

Rāzī. Ia pergi ke Ahwaz, Iran, kemudian kembali lagi ke

Baghdad. Pergi lagi menuju Naisabur berdasarkan saran

gurunya, Abū H{asan al-Karkhī. Al-Karkhī kemudian

meninggal ketika al-Jas}s}ās} berada di Naisabur. Ia pun kembali

ke Baghdad pada tahun 344 dan menetap di sana untuk

mengajar. Beberapa karya lahir dari pengabdian intelektual al-

Jassas, seperti Syarh} Mukhtas}ar al-Karkhī, Syarh Mukhtas}ar al-T{ahāwī, Syahr al-Jāmi’ li Muh}ammad ibn al-H{asan, Syarh al-Asmā’ al-H{usnā, Kitāb fī Adab al-Qad}ā’, Us}ūl al-Fiqh al-Musammā bi al-Fus}ūl fī al-Us}ūl, serta Ah}kām al-Qur’ān yang

akan diulas di sini. Al-Jas}s}ās} juga menjadi rujukan dari

beberapa persoalan yang diajukan kepadanya.57

Kitab tafsir

tersebut di-tah}qīq oleh Muh}ammad al-S{ādiq Qamh}āwī.

Dalam mukadimahnya, al-Jas}s}ās} mengatakan, ilmu

yang paling utama untuk dipelajari adalah tauhid, pengesaan

terhadap Allah, dan mengetahui hukum-hukum yang

diajarkan dalam kitab-Nya.58

Menurut ‘Alī Ayāzī, tafsir ini

merupakan literatur fikih paling pokok terutama dalam

mazhab H{anafī. Al-Jas}s}ās} bertolak dari keseluruhan ayat al-

Qur’an, tetapi tidak mengulas kecuali yang berhubungan

dengan hukum fikih an sich. Sekalipun disusun sesuai urutan

dalam mushaf, namun kitab ini dibuat secara per bab,

sebagaimana bab-bab dalam kitab fikih. Namun demikian,

pendapat mazhab H{anafī begitu kentara di dalamnya, hingga

57

Abu> Bakr Ah}mad ibn ‘Ali> al-Ra>zi> al-Jas}s}a>s}, Ah}ka>m al-Qur’a>n, juz 1, (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>ts al-Isla>mi>, 1992), 4.

58 Abu> Bakr Ah}mad ibn ‘Ali> al-Ra>zi> al-Jas}s}a>s}, Ah}ka>m al-

Qur’a>n, 5.

Page 100: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

90

tidak sedikit dijumpai kritik keras terhadap mazhab yang

berbeda. Al-Jas}s}ās} mebafsirkan ayat berdasarkan hadis Nabi

dan atsar, pendapat para pengikut H{anafi> juga mazhab lainnya

tanpa memaparkan sumbernya. Ulasannya lekap dan luas.

Tidak berhenti pada penyebutan hukum yang bisa diistinbat,

al-Jas}s}ās} juga menguraikan silang pendapat ulama. Sampai-

sampai kitab ini mirip fikih perbandingan (muqāran). Banyak

ulasan fikih yang tidak berhubungan dengan ayat yang tengah

ditafsirkan, kecuali di ayat-ayat berikutnya.59

Misalnya ketika al-Jas}s}ās} menafsirkan ayat tentang

suluh}, surah al-Nisā’/4:128. Menurut al-Jas}s}ās}, makna nusyūz

di situ ialah sikap keras (taraffu’) suami terhadap istri,

sedangkan i‘rād} adalah bersikap tidak acuh. Allah

mempersilakan keduanya untuk berdamai (sulh}). Ibn ‘Abbās

meriwayatkan, bahwa keduanya juga dipersilakan berdamai

dengan cara pemotongan sebagian hak atau harinya. Atau,

dalam riwayat ‘Umar, apa pun yang menyebabkan keduanya

bisa damai maka itu diperbolehkan. Al-Jas}s}ās} mengutip

riwayat tentang asbāb al-nuzūl ayat tersebut, apakah itu

tentang kisah Saudah yang meminta Nabi untuk tidak

menceraikannya dengan cara memberikan harinya untuk

‘Aisyah, atau tentang suami yang bermaksud mentalak

istrinya karena berniat menikah lagi. Penjelasan kemudian

melebar terhadap bagaimana perihal nafkahnya, maharnya,

dan sebagainya.60

Corak ah}kām dalam tafsir ini sangat mudah

untuk ditemui, karena tidak sama dengan tafsir al-Qur’an

biasanya yang memaparkan penafsiran untuk mengurai makna

secara umum. Al-Jas}s}ās} memang mengorientasikan

penafsirannya hanya untuk menguraikan hukum-hukum yang

ada dalam al-Qur’an.

59

‘Ali> Aya>zi>, Al-Mufassiru>n: H{aya>tuhum wa Manhajuhum,

110-112. 60

Abu> Bakr Ah}mad ibn ‘Ali> al-Ra>zi> al-Jas}s}a>s}, Ah}ka>m al-Qur’a>n, juz 1, 269-270.

Page 101: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

91

B. Klasifikasi Kisah Musa dalam al-Qur’an

1. Kisah Musa Terdiri dari Enam Episode

Kisah Musa dalam al-Qur’an tidak semuanya

diuraikan secara detail. Al-Qur’an menarasikannya dalam

bentuk fragmentatif. Tidak disebutkan secara utuh tetapi

terbagi ke dalam bagian-bagian kecil. Dalam pandangan M.

Faisol, kisah Musa dalam al-Qur’an dapat diklasifikasikan ke

dalam enam episode. Episode I, tentang kelahiran dan

kehidupan Musa di Istana raja Fir’aun di Mesir. Episode ini

hanya disebutkan satu kali dalam al-Qur’an. Episode II, tentang pembunuhan Musa terhadap salah seorang penduduk

dan melarikan diri menuju kota Madyan. Episode III, tentang

kembalinya Musa ke Mesir dan diutus menjadi rasul untuk

melawan dan membebaskan Bani Israil dari kezaliman

Fir’aun. Episode IV, Musa meninggalkan Mesir menuju

Palestina. Episode V, Musa bertemu dengan Tuhan untuk

kedua kalinya. Episode ini disebut empat kali dalam al-

Qur’an, dan Episode VI, tentang pertemuan Musa dengan

Khidir, episode ini disebutkan dalam surah al-Kahfi.61

Adapun surah-surah yang mengandung kisah Musa

antara lain adalah: surah Ṭāha/20, surah al-A’rāf/7, surah al-

Qaṣaṣ/28, surah al-Naml/27, surah al-Kahfi/18, dan surah al-

Syu’arā’/26. Surah al-Qaṣaṣ memuat episode yang paling

lengkap dari kisah Musa di antara surah-surah yang ada.

Hal yang sama juga terdapat dalam surah Ṭāha, al-A‘rāf,

al-Qaṣaṣ dan al-Shu‘arā’. Surah al-Naml memiliki narasi

yang lebih rinci dalam mendeskripsikan penggalan episode

III dari kisah Musa, sedangkan surah al-Kahf secara lebih

spesifik mendeskripsikan cerita Musa dengan Nabi Khidir.

61

M. Faisol, ‚Interpretasi Kisah Nabi Musa Perspektif

Naratologi al-Qur’an‛ (Jurnal Studi Keislaman, Vol. 11, Mo. 2,

Maret 2017), 369.

Page 102: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

92

2. Latar Belakang Perbedaan Pandangan Musa dengan

Khidir

Perjumpaan Musa dengan Khidir sebagaimana telah

terekam dalam surah al-Kahfi adalah berawal dari sikap Musa

yang merasa dirinya paling pintar. Allhah Swt, menegur Musa

dan memberi tahu bahwa lain yang ilmunya lebih tinggi

daripada dirinya.62

Ia adalah Khidir. Sebab itu, Musa

memohon kepada Allah agar dapat berguru kepada Khidir,

kemudian Allah ijabah permohonannya. Tetapi pertemuan

keduanya tidak berlangsung lama lantaran perbedaan

pandangan dalam beberapa kasus yang terjadi saat sedang

dalam perjalanan.

Perbedaan tersebut di latarbelakangi oleh perbedaan

ilmu yang dimiliki keduanya. Musa melihat sesuatu dengan

sudut pandang syari’at yang termuat dalam kitabnya (Taurat),

sementara Khidir melihat sesuatu dari sudut pandang yang

berbeda, yaitu petunjuk langsung dari Allah dengan hikmah

dan ma’rifat. Dalam bukunya yang berjudul Mystycal Dimensions of Islam, Annemarie Schimmel menyebutkah

bahwa Khidir adalah salah satu dari empat nabi yang diyakini

sebagai sosok yang akan tetap hidup lantaran telah minum air

kehidupan. Tiga di antaranya adalah Idris, Ilyas, dan Isa.63

62

Sri Haryanto, ‚Kisah Nabi Khidir dalam Sastra Suluk:

Resepsi dan Transformasi‛ (Widyaparwa, Vil. 43, No. 2, Desember

2015), 184. 63

Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 202.

Page 103: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

93

BAB IV

ARGUMENTASI MUFASIR ATAS KISAH NABI MUSA

DAN KHIDIR DAN AYAT-AYAT PEMBUNUHAN

Dalam uraian sebelumnya (pada bab II) telah

disinggung mengenai diskursus kisah dalam al-Qur’an, yaitu

mulai dari definisi, macam-macamnya, hingga perdebatan

para sarjana tentang kisah dalam al-Qur’an. Kemudian

dilanjutkan dengan pembahasan kisah nabi Musa dan Khidir

secara umum (pada bab III), perjumpaan hingga

perpisahannya.

Selanjutnya, pada bab IV akan menganalisis kisah

nabi Musa dan Khidir dalam al-Qur’an dengan melakukan

penelusuran atas beberapa kitab tafsir dengan memperhatikan

beberapa hal terkait, di antaranya: pola penafsiran atas kisah

nabi Musa dan Khidir, pengelompokan ayat-ayat yang

berkaitan dengan kisah nabi Musa dan Khidir oleh para

mufasir, penggunaan ayat dan hadis dalam menafsirkan kisah

hingga kecenderungan fokus pembahasan masing-masing

mufasir. Kemudian dilanjutkan dengan menganalisa ayat-ayat

pembunuhan, mencari relasi hukum pembunuhan secara

umum dengan pembunuhan yang dilakukan oleh Khidir

sebagaimana tercantum dalam kisah.

A. Pola Penafsiran Kisah Nabi Musa dan Khidir

Kisah nabi Musa dan Khidir hanya disebutkan satu

kali dalam al-Qur’an, yaitu dalam surah al-Kahfi, meskipun

demikian, tidak seluruh ayat-ayat dalam surah al-Kahfi

bercerita tentang kisah keduanya. Hanya ada beberapa ayat

saja yang mengisahkan nabi Musa dan Khidir, mulai dari

perjumpaan keduanya di sebuah tempat yang secara eksplisit

Page 104: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

94

disebutkan dalam al-Qur’an (ma’jma’ al-Bahrain) hingga

perpisahannya lantaran nabi Musa tidak konsisten dengan

perjanjian yang telah disepakatinya. Al-Qur’an secara khusus

menceritakan keduanya dalam surah al-Kahfi, spesifik pada

ayat 60 sampai 82.1

Terdapat banyak ragam penafsiran di kalangan para

ulama atas kisah nabi Musa dan Khidir dalam al-Qur’an.

Namun, sebagai akademisi, penulis tidak bisa menyikapi

kisah ini dengan penerimaan mutlak tanpa sikap kritis, karena

yang demikian itu akan membawa seseorang pada sikap

apologi.

Jika kisah ini dilihat dari sudut pandang agama,

sebagaimana dilakukan oleh Sayyid Quṭb, maka kesimpulan

dari hasil penafsirannya cenderung memojokkan nabi Musa

yang dianggap tidak memiliki kesabaran dalam melihat

peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam perjalanan. Hal ini

berbeda dengan apa yang dilakukan oleh M. Ali dalam

mengkaji kisah ini dengan menggunakan pendekatan tasawuf

yang sangat memistikkan Khidir.

Perbedaan pendekatan dalam mengkaji kisah ini akan

melahirkan kesimpulan yang berbeda. Di sini peneliti akan

melihat kisah nabi Musa dan Khidir dari berbagai kitab tafsir

dengan corak yang berbeda, sehingga dalam kasus ini bisa

dilihat bagaimana tanggapan mufasir ketika menggunakan

corak penafsiran yang berbeda, apakah memiliki pandangan

yang sama atau bahkan berbeda.

Pada bagian ini, peneliti secara khusus, akan

menguraikan pola penafsiran para ulama terhadap kisah nabi

1 M. Faisol, ‚Struktur Naratif Cerita nabi Khidir dalam al-

Qur’an‛ (Adabiyyāt, Vol. X, No. 2 Desember, 2011), 10.

Page 105: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

95

Musa dan Khidir. Mulai dari pengelompokan ayat al-Qur’an

yang mengisahkan nabi Musa dan Khidir dan penggunaan

ayat dan hadis sebagai penjelas penafsiran. Uraian ini akan

dikemukakan pada poin-poin tertentu, sebagaimana berikut:

1. Pengelompokan Ayat dalam penafsiran Kisah

nabi Musa dan Khidir

Uraian tentang pemaparan para mufasir atas kisah

nabi Musa dan Khidir akan peneliti bahas pada bagian ini.

Uraian tersebut akan dimulai dari cara pengelompokan surah

al-Kahfi (ayat 71 sampai 78) ke dalam beberapa bagian dari

masing-masing para mufasir, yang dibatasi pada empat corak

tafsir. Yaitu tafsir corak sufi,2 tafsir corak falsafi,

3 tafsir corak

adāb al-Ijtimā’ī4 dan tafsir corak Aḥkām.5

2 Pengertian tafsir Sufi sangatlah beragam. Menurut al-

Dzahabī ialah menafsirkan al-Qur’an dari dua arah, yaitu naẓari dan

‘amalī. Lihat: al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Kairo:

Maktabah Wahbah, 2003). Menurut ‘Alī al-Ṣābunī, ialah

mentakwilkan al-Qur’an berbeda dengan zahirnya tentang isyarat-

isyarat tersembunyi yang hanya bisa diketahui oleh orang yang

dikaruniai ilmu ladunni, atau orang-orang arif bi Allāh seperti para

ahli suluk yang bermujahadah dengan menundukkan hawa nafsunya

untuk memperoleh cahata Allah Swt, sehingga bisa menembus

rahasia yang terdapat dalam al-Qur’an. Lihat: ‘Ali al-Ṣābunī, al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Mekkah: Dār al-Kutb al-Islāmiyyah,

2003), 191. Dalam pandangan al-Zarqānī, tafsir sufi adalah sebuah

upaya memahami al-Qur’an tidak dari makna zahirnya, tetapi upaya

untuk mengungkap makna batin atau isyarat-isyarat yang

tersembunyi yang hanya bisa diketahui oleh para ahli suluk dan ahli

tasawuf, serta memungkinkan adanya penggabungan antara makna

zahir dan makna batin. Lihat: al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirūt: Dār Ihyā al-Turats al-‘Arabī, 1995), 67.

Sedangkan menurut Subhi Ṣālih, upaya mentakwilkan ayat-ayat al-

Qur’an berbeda dengan makna zahirnya serta memalingkan seluruh

Page 106: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

96

a. Tafsir Corak Sufi

1. Tafsir al-Jailānī

Tafsir al-Jailānī adalah sebuah kitab tafsir yang

menyuguhkan nuansa sufistik. Hal ini karena penulis kitab

tafsir ini sangat menggemari ilmu tasawuf. Tafsir ini

mengulas semua ayat al-Qur’an. Ia menafsirkan seluruh ayat

makna di antara yang zahir dan yang tersembunyi. Lihat: Ṣubḥi al-

Ṣālih, Mabāḥits fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirūt: Dār al-‘Ilmi li al-

Malāyīn, tt), 29. 3

Tafsir Falsafi adalah tafsir yang menggunakan

pendekatan ilmu filsafat dalam menguraikan makna-makna al-

Qur’an. Sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir yang bercorak

kajian ilmu kalam merupakan bagian dari tafsir falsafi. Tafsir

dengan corak ini muncul karena banyaknya kitab-kitab filsafat yang

diterjemahkan sehingga memberikan pengaruh tersendiri pada para

penafsir al-Qur’an. Lihat: M. Abdurrahman Wahid, ‚Corak dan

Metodologi Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur Karya Hasbi al-

Shiddieqi‛ (Jurnal Rausyan Fikr Vol. 14, No. 2 Desember 2018),

408. 4 Tafsir Adāb al-Ijtimā’ī dalam pengertian terminologi

sebagaimana dikemukakan oleh al-Farmawi adalah sebuah

penafsiran yang melihat dari aspek keindahan redaksi al-Qur’an,

kemudian menyusun penjelasan atas ayat-ayat al-Qur’an dalam

suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan aspek hidayah al-

Qur’an bagi kehidupan masyarakat, dan menghubungkan makna-

makna al-Qur’an dengan hukum/tradisi kemasyarakatan tanpa

menggunakan istilah-istilah keilmuan yang rumit. Lihat: Abd al-

Ḥay al-Farmawī, al-Bidāyah fī Tafsīr al-Mauḍū’ī (Kairo: al-Haḍārah

al-‘Arabiyah, 1977), 23. Lihat juga: Quraish Shihab, Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi pada Sastra, Budaya dan Masyarakat‛ Makalah, 1984, 1.

5 Tafsir corak hukum adalah salah satu corak dari berbagai

corak tafsir yang lebih menitik fokuskan pada penafsiran ayat-ayat

tentang hukum yang berpotensi menjadi dasar hukum fikih. Lihat di

Ibn Juzai al-Kalbi, al-Tashīl li Ulum al-tanzil (Bairut: Dār al-Fikr,

T.th), 7.

Page 107: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

97

al-Qur’an, termasuk ayat yang sedang peneliti kaji, yaitu QS.

al-Kahfi/18:71-77.

Dalam menafsirkan surah al-Kahfi ayat 71-78, al-

Jilāni membagi menjadi empat bagian. Sebagian ayatnya

digabungkan dengan ayat sebelumnya, yaitu penafsiran ayat

71 dan 72 digabungkan kedalam penafsiran ayat 70.

Sementara ayat berikutnya, penguraiannya tidak digabungkan

dengan ayat lain. Adapun bentuk penguraiannya adalah

sebagai berikut:

Pertama, ayat 70-72

Pada bagian ini al-Jailānī menuturkan awal kisah

perjalanan nabi Musa dan Khidir yang hendak menyebrangi

lautan untuk sampai pada kota yang dituju, namun demikian,

al-Jailānī tidak menuturkan kota mana yang dituju oleh

keduanya. Sesampainya di tepi pantai, keduanya mendapati

sebuah perahu dan sekaligus menjadi tumpangannya dan tidak

dipungut biaya.

Al-Jailānī tidak secara panjang lebar menguraikan

kisah ini, dia hanya mempertegas apa yang terdapat dalam

teks ayat. Misalnya ketika Khidir mulai beraksi untuk

melubangi perahu dengan alat seadanya. Dalam pandangan al-

Jailānī, Khidir melubangi perahu tersebut dengan kapak untuk

mengambil satu atau dua papan yang menyebabkan bocornya

perahu yang ia tumpangi. Melihat perbuatan Khidir yang bisa

membahayakan semua penumpangnya, Musa pun seketika

memprotes Khidir atas perbuatannya.

Kedua, ayat 73-74

Pada bagian ini, setibanya di sebuah kota, Musa dan

Khidir bertemu seorang anak kecil (yang belum balig), pada

teks ayatnya Allah Swt, menyebut dengan kata gulām, sedang

Page 108: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

98

bermain dengan sekawanannya. Tanpa menjelaskan alasannya

terlebih dahulu kepada Musa sebagai orang yang menemani

perjalanannya, Khidir seketika membunuh anak tersebut.

Padahal dalam pandangan Musa, anak tersebut tidak berdosa

(tidak melakukan tindakan pembunuhan sebelumnya atau

tindakan kejahatan lainnya). Dipegangi kepala anak tersebut

lalu dibenturkan ke tembok sampai ia tidak bernyawa.6

Musa mulai kebingungan melihat anak yang tidak

berdosa (dalam pandangannya), tidak melakukan tindakan

yang menyebabkannya dijatuhi hukum qisas dibunuh dengan

sengaja. Padahal, sekalipun anak tersebut melakukan

pembunuhan sebelumnya, tetapi bukan wilayah Khidir untuk

membunuh anak tersebut sebagai hukuman kisas yang

diterimanya.7

6 Jika melihat dari hukum perlindungan anak, maka Hidir

tidak ada hak untuk mencabut nyawa siapapun termasuk nyawa

anak-anak yang berkeliaran sedang bermain dengan alasan apapun.

Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup tidak ada satupun yang

berhak untuk mengambil hak tersebut kecuali yang Mahakuasa. Jika

hidup di masa sekarang bahwa setiap pembunuhan pasti ada

balasannya dan dalam hal itu hanya bisa dilakukan oleh pihak yang

berwajib. Lihat: Shalahuddin Hamid, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam ( Jakarta: Amissco, 2000), 139Seperti yang telah

dijelaskan dalam al-Quran ‚ Dan janganlah kamu membunuh yang diharamkan Allah membunuhnya melainkan dengan suatu alas an yang benar ‚ (Q.S. Al-Isra: 33)

7 Menurutnya walaupun dia memiliki salah tidak

seharusnya dibunuh, apalagi pada saat itu anak kecil tak berdosa itu

dibunuh pada saat sedang bermain, seketika kepalanya dibenturkan

ke tembok sampai meninggal, namun karena Hidir adalah seorang

guru seperti yang diinginkan nabi Musa sebelum melanjutkan

perjalanan awal dan nabi Musa sudah melanggar yang ketiga kalinya

Page 109: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

99

Dalam pandangan al-Jailānī, puncak kemungkaran itu

adalah pembunuhan, karena pembunuhan yang tidak

dibenarkan syara’ merupakan dosa yang paling besar, terlebih

membunuh jiwa yang suci dari segala kemaksiatan.

Ketiga, ayat 75-76

Setelah Khidir mendengar protes/ingkar yang

dikemukakan nabi Musa kepadanya, Khidir mengingatkan

kembali kepada Musa, bahwa ia tidak akan sanggup

membersamainya. Dalam pandangan al-Jailānī tidak ada

kecocokan di antara keduanya, karena terdapat perbedaan

level atau porsi keilmuan antara keduanya.

Keempat, ayat 77

Ayat 77-78 mengisahkan nabi Musa dan Khidir tiba

di sebuah kota yang penduduknya kikir dan tidak memuliakan

tamu. Pada kelompok ayat ini al-Jailānī menafsirkannya per

kata atau per kalimat, tidak menguraikan kisah secara utuh.

2. Tafsir al-Qur’ān al-‘Adzīm al-Tustarī.

Sahl al-Tustarī adalah salah satu ulama yang

menafsirkan al-Qur’an dengan corak sufistik. Ia adalah salah

seorang sufi yang hidup di abad ke 3 H.8 Dalam menafsirkan

al-Qur’an ia menitikberatkan pada petunjuk isyārī yaitu

isyarat-isyarat baṭiniyyah, dengan tetap mempertimbangkan

penafsiran yang bersumber pada al-Qur’an dan hadis nabi

maka tidak salah jika Khidir memutuskan silaturrahmi bersama nabi

Musa sehingga nabi Musa tidak bisa membersamainya. 8 Umar abidin, ‚Ta’wīl Terhadap Ayat al-Qur’an Menurut

al-Tustari‛ (Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, vol. 15,

No. 2. Juli 2014), 220.

Page 110: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

100

serta yang memuat pendapat para tabi’in.9

Dengan latar

belakang kehidupannya yang seringkali diperlihatkan dengan

pengalaman dan pengamalan sufistik, terutama pamannya,

yaitu Muḥammad ibn Sawwār yang seringkali dijumpai

melakukan praktik dzikrullah. Dari kehidupan pamannya, ia

banyak mengambil pelajaran tentang pentingnya mengingat

Allah Swt, dengan selalu menyebut nama-Nya dalam hati.

Oleh karenanya, pem ikirannya yang dituangkan dalam kitab

tafsirnya syarat dengan nilai-nilai sufistik.10

Tafsir al-Qur’ān al-‘Aḍīm yang merupakan salah satu

karyanya, tidak menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara utuh.

Ia hanya menafsirkan sebagian ayat-ayat al-Qur’an. Bahkan,

menurut al-Dzahabī, al-Tustarī tidak menuliskan sendiri karya

tafsirnya tersebut, akan tetapi perkataan-perkataannya yang

menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang terpisah-pisah

dikumpulkan oleh Abu Bakar Muhammad ibn Ahmad al-

Baladi.11

Antara lain, ia tidak menafsirkan surah al-Kahfi ayat

71-77.

9 Ahmad Zaerozi, ‚Epistimologi Tafsir al-Tustari: Studi

atas QS. Al-Fajr‛ (Tesis, Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta,

2017), 103. 10

Sahl ibn Abdullah al-Tustarī, Tafsīr al-Tustarī by Sahl ibn Abdullah al-Tustarī, Great Commentaries on the Holy Qur’an, terj. Annabel Keeler and Ali Keeler, (Yordania: Royal Aal al-Bayt

Institute for Islamic Thought, 2011), xv. Lihat juga: Al-Tustarī,

Tafsīr al-Tustarī, Muhaqqiq: Ṭāha Abd al-Razzāq Sa’ad dan Sa’ad

Hasan Muhammad ‘Ali (Kairo: Darul Muharram li al-Turats, 2004),

67. 11

Muḥammad Husein Al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, juz. II (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 282.

Page 111: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

101

3. Laṭāif al-Isyārāt.

Al-Qusyairī adalah salah satu tokoh sufi, dikenal

zāhid, dan ramah terhadap masyarakat di mana ia tinggal.12

Selain dikenal dengan ke sufiannya, ia juga dikenal menguasai

ilmu tafsir, hadis, uṣūl, dan adab.13

Sepeninggal gurunya, Abū

‘Alī bin al-Husain, ia banyak bergaul dengan para ulama di

Naisabur. Ada dua ulama yang dikenal dekat dengan al-

Qusyairi yang mempengaruhi pemikirannya, yaitu Abū Abd

Raḥmān al-Sulamī (salah seorang tokoh sufi) dan Abū Ma’ali

al-Juwaini dikenal dengan ahli fikih dan ilmu kalam

terkemuka pada usia 20 tahun.14

Al-Qusyairī termasuk ulama

yang produktif yang menghasilkan banyak karya dari berbagai

cabang ilmu.15

Terutama dalam bidang tasawuf, sampai-

sampai ia disebut sebagai ulama pembela tasawuf.

12

Ahmad bin Muḥammad al-Adnarwi, Ṭabaqāt al-Mufassirīn, juz. I (Madinah: Maktabah al-‘Ulūm wa al-Hukm, 1997

M), 125. 13

Abū al-‘Abbās Syamsuddin, Wafāyah al-‘Ayan, juz. III

(Beirūt: Dār al-Ṣadr, 1990 M),205. 14

Tasya Kubra Zadah, Miftah al-Sa’adah wa Misbah al-ziyādah (Haidarabat: Da’irah al-Ma’rifāt al-Nizamiyah, tt), 189-

190. 15

Tidak kurang dari 29 karya monumental yang telah

diterbitkan. Di antara buku-buku yang telah diterbitkan adalah

Aḥkām al-Syar’ī, Adab al-Ṣūfiyyah, al-Arba’in fi al-Ḥadīṡ, Istifaḍah

al-Murādāt, Balagat al-Maqāṣid fi at-Taṣawwuf, Tartīb al-Sulūk fī

Ṭarīqillāh Ta’ālā, al-Tauḥīd al-Nabawī, al-Taisīr fī ‘Ilm al-Tafsīr

(buku ini dikomentari oleh tiga ulama besar dengan apresiasi

keilmuan yang sangat tinggi, yaitu Ibn Khaldūn, Tājuddīn al-Subki,

dan Jalāluddīn al-Suyūṭī, dan menurut mereka merupakan kitab ilmu

tafsir yang paling bagus dan jelas), al-Jawāhir, Ḥayāt al-Arwāḥ, al-

Dalīl ilā Ṭarīq al-Ṣalāḥ, Dīwān al-Syi’rī, al-Żikr wa al-Żakīr, al-

Risālah al-Qusyairiyyah fī ‘Ilm al-Tasawwuf (disusun tahun 438

H/1046), Sīrah al-Masyāyikh, Syarḥ al-Asmā’ al-Ḥusnā, Syikayat

Page 112: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

102

Laṭāif al-Tafsir adalah salah satu karya al-Qusyairī

dalam bidang tafsir, kitab ini disusun dengan pendekatan

tasawuf. Dalam tafsir ini, ia memcoba memadukan potensi

kalbu dan akal, sehingga kitab ini mudah dipahami oleh para

pembaca karena redaksi-redaksi yang digunakan sangat

sederhana, ringkas dan jelas.16

Demikian halnya tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya al-

Tustarī, Laṭāif al-Isyārāt juga tidak menjadikan surah al-Kahfi

71-77 bagian dari ayat yang harus diuraikan penafsirannya.

Sehingga peneliti tidak dapat menjelaskan makna ayat

tersebut dalam pandangan al-Qusyairī. Dua tafsir ini penulis

cantumkan dalam pembahasan ini, untuk menunjukkan bahwa

tidak semua tafsir sufi menjadikan kisah nabi Musa dan

Khidir sebagaimana terurai dalam ayat di atas sebagai bagian

dari peristiwa yang bernuansa sufistik. Hal serupa juga dapat

ditemukan bahwa tafsir ahkam pun banyak yang tidak

mencantumkan ayat tersebut dalam tafsirnya.

4. Ḥaqāiq al-Tafsīr.

Ḥaqāiq al-Tafsīr atau yang lebih dikenal dengan tafsir

al-Sulamī merupakan kitab tafsir yang bercorak sufi. Kitab ini

merupakan kitab yang sulit dipahami dikalangan publik.17

Ahl as-Sunnah bi Ḥikāyat Mā Nālahum min al-Ḥikmah, ‘Uyūn al-

Ajwibah, Laṭāif al-Isyārāt (penyusunannya setelah tahun 410 H/

1019 M). Dan masih banyak karya lainnya. Lihat: Pendahuluan al-

Qusyairī, Risālah al-Qusyairiyyah, terj. A. Ma’ruf Asrori (Jakarta:

Pustaka Amani, 2007), 10. 16

Muhammad Ali Iyazi, al-Mufassirūn wa Manhājuhum (Teheran: al-Tsaqafah al-Irsyād al-Islāmī, 1212 H), 604.

17 Pro kontra terhadap tafsir ini banyak dilontarkan oleh

para ulama terdahulu karena rujukan-rujukan yang dimuat banyak

mengacu pada Ja’far al-Shadiq, Dhun al-Nun Misri Junayd, Sahl al-

Page 113: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

103

Kitab tafsir ini tidak menafsirkan semua ayat yang

terdapat di dalam al-Qur’an, melainkan hanya sebagian ayat

saja yang ditafsirkan, surat al-Kahfi ayat 71-78 juga termasuk

pada ayat yang tidak ditafsirkan oleh al-Sulami, sehingga

penulis tidak menemukan pandangan-pandangan beliau

mengenai tema penelitian ini.

b. Tafsir Corak Falsafi

Dalam pembahasan ini, penulis mengambil empat

kitab tafsir yang memiliki corak falsafi agar bisa mengetahui

bagaimana pandangan ulama tafsir yang memiliki corak

falsafi berkomentar mengenai ayat 71-78 surah al-Kahfi.

Adapun kitab-kitab yang penulis ambil sebagai berikut:

1. Mafātiḥ al-Ghaib al-Rāzī.

Mafātiḥ al-Ghaib adalah salah satu tafsir falsafi yang

menguraikan ayat-ayat al-Qur’an secara utuh, dari surah al-

Fātiḥaḥ hingga surah al-Nās. Termasuk di dalamnya adalah

surah al-Kahfi, meskipun surah ini (dalam pandangan peneliti)

secara kasat mata tidak mengandung nilai-nilai atau dalil-

dalil filsafat.

Tusturi, Ibn Atha al-Baghdadi, Abū Bakar al-Wasīthī, dan yang

paling kontroversi ketika al-Sulami memuat pandangan Abu Mansur

al-Hallaj, seorang sufi martir yang digantung karena pemikirannya

tentang Wahdat al-Syuhud. Pada dasarnya kritikan pedas yang

dilakukan oleh al-Wahdidi dan Ibn Shalah tidak ditujukan pada

penafsiran sufi yang dikarang oleh al-Sulami tetapi lebih kepada

para pengikut mazhab Syafi’e untuk tidak memasukkan karya pada

kategori kitab tafsir jika hal yang ditulis sudah mengalami

penyempitan makna. Lihat: Kenneth honerkamp, Abu Abdul Rahman al-Sulami, On Sama Ectasy and Dance (Jurnal of The

History of Sufisme, 2003),7.

Page 114: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

104

Al-Rāzi sebagaimana mufasir lainnya, menafsirkan

kisah nabi Musa dan Khidir yang terdapat dalam surah al-

Kahfi dengan corak tafsir falsafi. Sejauh pelacakan peneliti

terhadap kitab tafsir tersebut, al-Rāzi membagi pembahasan

surah al-Kahfi ayat 71-78 menjadi tiga bagian, sebagai

berikut:

Pertama, ayat 71-73

Pada bagian ini, selain mengisahkan perjalanan nabi

Musa dan Khidir hingga mendapatkan tumpangan perahu

untuk menyeberang ke sebuah kota, al-Rāzi mengemukakan

dua pembahasan penting terkait pertanyaan nabi Musa ‚a

kharaqtahā li tughriqa ahlahā‛. Pertama, al-Rāzi

mengemukakan perbedaan penggunaan huruf ya dan huruf ta’

pada kata ليغزق/ -jika menggunakan ya maka isnād al لخغزق

gharqnya kepada pemilik kapal dan penumpangnya. Dan jika

menggunakan ta maka mukhāṭabnya adalah Khidir, artinya

adalah untuk menenggelamkan penumpangnya engkau wahai

Khidir.18

18

Ketika al-Razi memandang seperti itu, berbeda arah

ketika dipandang dari kajian semiotik, mengarahnya bukan lagi

pada siapa yang melubangi tetapi bahwa ketika Khidir melubangi

perahu apakah beliau melubangi perahu sudah atas persetujuan

terlebih dahulu dari pemilik kapal?, Bukankah apa yang telah

dilakukan oleh Khidir akan menimbulkan ketegangan hak milik,

solidaritas kekeluargaan karena dalam ayat tersebut tidak dijelaskan

secara detail apakah Khidir sudah memiliki izin atas perbuatannya.

Hal tersebut dijelaskan dalam al-Quran dengan menggunakan

jumlah syartiyah ‚idhā rakibā fī al-safīnat kharaqahā‛ (maka ketika

mereka menaiki kapal Khidir melubanginya) tanpa huruf Adawāt al-Rabt, beda halnya dengan ayat yang sesudahnya yaitu ‚idzā laqiyā ghulāman fa qatalahū‛ (ketika mereka berdua menjumpai seorang

anak, maka Khidir membunuhnya).

Page 115: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

105

Kedua, ketika nabi Musa melihat perkara yang secara

kasat mata adalah perbuatan mungkar (bertentangan dengan

agama), yaitu pelubangan perahu yang dilakukan oleh Khidir,

ia lupa dengan komitmen yang telah disepakati sebelumnya,

dan ini menurut pendapat yang setuju dengan penafsiran ini.

Sementara kelompok yang menolak kemaksuman

nabi menjadikan ayat ini sebagai argumentasi dari dua aspek.

Pertama, orang ‘alim yang dimaksud dalam ayat tersebut

(Khidir) adalah seorang nabi. Seandainya perkataan nabi

Musa ‚a kharaqtahā li tughriqa ahlahā‛ adalah benar, maka

Khidir telah melakukan dosa besar, dan jika yang dikatakan

nabi Musa salah, berarti dia telah berbohong. Kedua, sebelum

peristiwa itu terjadi, sudah ada kesepakatan dengan nabi

Musa untuk tidak menentang apapun yang dilakukan Khidir,

dan kesepakatan/janji tersebut berlaku dan mengikat.

Ketidakkonsistenan nabi Musa terhadap perjanjian yang telah

disepakati merupakan perbuatan dosa. Khidir merasa kecewa

atas apa yang dilakukan nabi Musa lalu mengakhiri

pertemanan mereka karena Nabi Musa telah melanggar

janjinya. Selama perjalanan nabi Musa sudah melanggar

janjinya untuk tidak bertanya mengenai hal yang akan terjadi

di antara keduanya.19

Kedua, ayat 74-76

Pada penafsiran ayat ini, al-Rāzi menjelaskan kosa

kata ghulām, zakiyyah dan nukrā. Pertama, tentang makna

kata ghulām, yang terkadang dimaknai pemuda yang sudah

baligh dengan dalil bahwa pendapat seorang guru lebih baik

19

Nurul Azizeh, Mukjizat Naratologis: Studi Andragogi

atas Kisah Musa Khidr dalam Surah Al-Kahfi 60-82 (Jurnal:

Universitas Nurul Jadid Paiton, 27 Juni 2019), 39.

Page 116: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

106

dari pada pandangan anak muda. Terkadang juga digunakan

untuk anak kecil, maka ini sudah jelas.

Al-Qur’an tidak menjelaskan tentang bagaimana cara

nabi Musa dan Khidir bertemu dengan gulām tersebut. apakah

ia sedang bermain dengan anak lainnya atau dia sedang

sendirian? Apakah dia muslim atau kafir? Apakah sudah balig

atau belum? Tapi jika dilihat dari redaksi ayatnya lebih cocok

digunakan untuk anak kecil. Karena anak kecil sekalipun

melakukan tindak pembunuhan, maka ia tidak dikenakan

hukum kisas sehingga tidak boleh dibunuh juga.20

Kedua, tentang penafsiran potongan ayat a qatalta

nafsan zakiyyatan bi ghairi nafsin. Dalam penafsiran ayat ini,

20

Dari beberapa hasil penelitian yang sudah ada, Penulis

berpikir bahwa pandangan hati lebih tajam daripada pandangan

mata, ketika nabi Musa hanya melihat kejadian pembunuhan yang

dilakukan oleh Khidir kepada seorang anak merupakan bentuk dari

salah satu hal yang dilarang oleh agama, sangat beda ketika Khidir

memandanganya dari sudut hakikatnya, karena Khidir mendapatkan

perintah langsung dari Allah dan sudah mengetahui apa yang akan

terjadi kedepannnya. Hukum yang dikeluarkan oleh nabi Musa

tetaplah tidak boleh karena nabi Musa berpandangan bahwa

diperbolehkannya dibunuh dalam agamanya ketika terjadi

pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang, apabila orang tersebut

tidak melakukan apa-apa maka hukum membunuhnya adalah dosa

besar, sekalipun akan terjadi pembunuhan apabila yang membunuh

adalah anak kecil maka tidak terjadi kisas pada anak tersebut,

karena seorang anak yang melakukakn pembunuhan tidak dikenakan

hukum. Menurut Anita Fauziah dalam penelitiannya bahwa iman

pada ketentuan Allah hukumnya wajib walaupun pada Dzahirnya

mendatangkan kemudaratan tapi pada hakikatnya kemaslahatan

yang datang. Lihat: Anita Fauziah, Implikasi Edukatif Kisah Nabi

Musa Dan Nabi Khidir Dalam Qs. Al-Kahfi/18: 60-82: Studi

Literatur Terhadap 5 Tafsir Mu’tabarah (Jurnal Tarbawi,

Universitas Pendidikan Indonesia, 2019),38.

Page 117: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

107

terdapat beberapa pembahasan. Pertama, tentang makna kata

zakiyyah. Terdapat perbedaan pendapat ulama dalam bacaan

dan makna kata zakiyyah. Imam Nāfi’, Ibn Katsīr dan Abū

‘Umr membaca ساميت dengan tambahan alif, selain mereka

membaca سميت tanpa tambahan alif. Kedua lafadz tersebut

mempunyai arti yang sama, yaitu suci. Sedangkan menurut

Abū ‘Umr kata الشاميت artinya adalah orang yang tidak pernah

berbuat dosa, sedangkan الشميت tanpa alif artinya adalah orang

yang pernah berbuat dosa kemudian bertaubat. Kedua, dzahir

ayat ini menunjukkan bahwa nabi Musa mendiskualifikasi

pembunuhan kecuali dengan alasan yang dibenarkan syara’,

seperti kisas. Itulah alasan yang paling kuat.

Ketiga, kata nukrā lebih buruk artinya daripada kata

imrā. Ini sekaligus menjadi dalil bahwa membunuh jiwa yang

tidak bersalah lebih buruk (lebih dibenci) dari pada melubangi

perahu, sebab melubangi perahu belum tentu menyebabkan

kematian, mungkin saja perahunya tidak tenggelam. Tetapi

apa yang telah dilakukan oleh Khidir merupakan hal yang

tidak masuk akal menurut nabi Musa karena harus membunuh

anak yang tidak bersalah.

Ketiga, 77-78

Ayat ini menceritakan nabi Musa dan Khidir yang

tiba di sebuah kota. Menurut al-Rāzi, kota itu bernama kota

Anṭākiyyah ada juga yang menyebutnya kota Aylah. Di kota

ini terdapat beberapa tradisi yang berbeda dengan kota-kota

lainnya. Pertama, memberi makan tamu bukanlah cara mereka

menghormati setiap tamu yang datang. Itulah sebabnya Musa

mengadu kepada Khidir, karena dalam tradisi nabi Musa tidak

demikian. Padahal, memberi makan orang yang sedang

kelaparan adalah perkara mubah, kecuali jika dikhawatirkan

Page 118: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

108

mati karena kelaparan. Kedua, kenapa Allah Swt, berkata حتحتلتحها تتحط عتحما أتحه لتح ق تح يتحة اس هو seharusnya menggunakan إرذا أتحتتحيا أتحه ا ر تتحط عتحمتح ,اس

jawabannya adalah untuk menta’kid. Ketiga, memberi makan

tamu adalah perkara sunah. Jika tidak dilakukan, berarti

hanya meninggalkan perkara sunah, dan meninggalkan yang

sunah bukanlah suatu kemungkaran.

Kenapa nabi Musa melakukan hal yang demikian

(protes karena tidak diberi makan), sampai-sampai melanggar

perjanjian yang telah disepakatinya, padahal ia adalah seorang

nabi yang mendapat julukan kalīmu Allāh. Sama sekali tidak

pantas melakukan hal yang demikian. Al-Rāzi kemudian

mengemukakan jawaban atas pertanyaan tersebut. Memang,

memberi makan tamu itu terkadang hukumnya sunah, tapi

kadang juga bisa wajib jika sudah sangat kelaparan yang

mengancam nyawa.21

21

Jika melihat pandangan al-Zamakhsyari dalam kitab

tafsir al-Kasysyaf bahwa memang dalam hak bertamu merupakan

hal yang sangat dianjurkan oleh nabi karena bisa menyambung tali

silaturrahmi bahkan meminta bertamu kepada seseorang hukumnya

sunah, tetapi dalam hal suguhan akan dikembalikan kepada pemilik

rumah walaupun pada dasarnya hukum asal emberikan suguhan

kepada tamu hukumnya mubah atau boleh dan tidak menuntut

pemilik rumah agar memberikan suguhan. Rasulullah bersabda:

من كاف يؤمن بلله كالي ـ الاخر فليقل خنا اك : عن ابي ىريرة رضي الله عنه اف رس ؿ الله صلى الله عليه وسلم قاؿركاه بخارم )كمن كاف يؤمن بلله كالي ـ الاخرفليكرـ ضيفو .كمن كاف يؤمن بلله كالي ـ الاخرفليكرـ جاره.ليصمت

(كمسلم Dari Abū Hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Barangsiapa yang iman kepada Allah dan hari akhir maka

berbicaralah dengan baik atau diam, dan : Barangsiapa yang iman

kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetanggamu, dan :

Barangsiapa yang iman kepada Allah dan hari akhir maka

hormatilah tamunya. (H.R Bukhari Muslim)

Page 119: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

109

Selanjutnya tentang firman Allah Swt, فأبىا أن يضيفىهمب

terdapat dua pembahasan: pertama, sebuah hadis dari nabi

Muhammad Saw, mereka adalah penduduk kota yang kikir.

Kedua, dalam beberapa kitab Hikāyāt ditemukan bahwa

mereka, penduduk kota tersebut merasa malu ketika ayat ini

turun, lalu mereka datang kepada Rasulullah dengan

membawa emas. Seraya berkata: wahai Rasulullah, kami akan

membayar dengan emas ini asal kamu mengganti huruf bā’

menjadi tā’, sehingga bacaannya menjadi فأحىا أن يضيفىهمب,

bukan فأبىا أن يضيفىهمب. Lalu Rasulullah menjawab:

sesungguhnya merubah huruf dalam firman Allah Swt, itu

sama saja memasukkan kebohongan dalam firmanNya.

2. Tafsir al-Mizān al-Ṭabāṭaba’ī

Tafsir al-Mizān adalah salah satu kitab tafsir yang

bercorak falsafi, yang tidak menafsirkan seluruh ayat al-

Qur’an. Surah al-Kahfi ayat 71-78 adalah termasuk ayat al-

Qur’an yang tidak dicantumkan dalam tafsir tersebut. Ini

menjadi salah satu bukti bahwa ulama yang beraliran filosofis

tidak semuanya mengkaji kisah tersebut dari sisi filsafat. Hal

ini sebagaimana tafsir sufi dan tafsir ahkam, banyak juga di

antara mereka yang tidak menafsir ayat tersebut.

3. Al-Kasysyāf al-Zamakhsyari.

Tafsir al-Kasysyaf adalah kitab yang dikarang oleh al-

Zamakhsyari pada masa keemasan Islam (Periode

Pertengahan). Kitab ini termasuk kitab yang sangat

monumental yang menggunakan metode bi al-Ra’yi yang

mendapatkan pujian dan pengakuan dari ulama terkemuka.

Sebagaimana para mufasir lainya, dalam penafsiran al-Qur’an

selalu dipengaruhi oleh aliran keagamaan dan keahlian

Page 120: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

110

mufasir.22

Dalam kitab al-Kasysyaf, al-Zamakhsyari

dipengaruhi oleh pemikiran rasionakitas paham mu’tazilah.23

Al-Zamakhsyari dalam menafsirkan kitabnya

menggunakan corak falsafi yang mengutamakan pada

pemikiran rasionalnya. Sejauh dari hasil pelacakan penulis

bahwa al-Zamakhsyari membagi pembahasan surat al-Kahfi

ayat 71-78 menjadi enam bagian, sebagai berikut:

Pertama, 71-72

Pada ayat ini selain mengisahkan perjalanan nabi

Musa dan Khidir hingga mendapatkan tumpangan perahu

untuk menyeberang ke sebuah kota, namun juga mengisahkan

bagaimana awal nabi Musa dan Khidir masuk ke dalam

perahu, yang mana mereka yang berada di dalam perahu

mengiranya para pencuri yang masuk dan ingin

menumpanginya, sehingga mereka sempat mengusirnya.

Namun sedikit ada teguran dari yang punya perahu Kemudian

si pemilik kapal bilang ‚aku melihat wajah para nabi‛ ada

yang mengatakan bahwa mereka (penumpang kapal) sudah

mengenalnya lalu membawanya tanpa biaya. Di pertengahan

22

Dara Humaira dan Khairun Nisa, Unsur I’tizali Dalam

Tafsir Al-Kasysyaf, Kajian Kritis Metodologi Al-Zamakhsyari

(Jurnal: Ilmu al-Qur’an wa Tafsir (IAT) UIN Sunan Kalijaga,

2016), 31. 23

Aliran paham keagamaan yang mempengaruhi kitab al-

Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari membuat para ulama yang lain

tidak enggan untuk berkomentar, pro kontra terhadap kitab tersebut

tidak sedikit dilontarkan. Di sisi lain, beliau juga menggunakan

corak teologis yang mengedepankan paham aliran dalam penafsiran,

sehingga dalam hal ini beliau mendapat tanggapan negatif dari

ulama tafsir ahlu sunah wa al-jamaah atas keberpihakannya

terhadap mu’tazilah.

Page 121: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

111

perjalanan Khidir melubangi perahu dengan pisau, dengan

mengambil satu atau papan dari kapal tersebut, lalu musa

menyumbatnya dengan bajunya sambil protes.24

Kedua, ayat 73

Pada ayat ini terdapat tiga penjelasan mengenai

perkataan nabi musa tentang lafadz بمب وسيج. Pertama sebagai

alasan bahwa nabi Musa bukan berniat untuk melanggar

wasiat Hidir melainkan karena lupa terhadap wasiatnya,

sehingga nabi Musa tidak pantas menerima celaan atau

hukuman hanya karena lupa. Kedua sebagai penjelasan

kepada Hidir bahwa nabi Musa tidak ingin bohong terhadap

perjanjian tetapi karena lupa. Ketiga untuk meninggalkan

wasiatnya, bahwa nabi Musa ada kesengajaan untuk

meninggalkan wasiatnya, bukan karena sebagai alasan untuk

melanggar janji.25

Ketiga, ayat 74-75

Mengenai lafadz Faqatalahu al-Zamakhsyari memiliki

beragam penafsiran terkait cara membunuh anak tersebut.

Ada yang mengatakan dengan membelit lehernya. Ada juga

yang mengatakan membenturkan kepalanya ke tembok. Dan

ada juga yang mengatakan disembelih dengan pisau.26

24

Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf (Beirut: Dār al-

Ma’rifah, 2009), 626. 25

Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf (Beirut: Dār al-

Ma’rifah, 2009), 626. 26

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa walaupun perahu

yang ditumpanginya sudah diambil salah satu papannya, namun

tidak tenggelam, sehingga mereka tiba di pantai dengan selamat,

tetapi setibanya di darat Khidir melihat anak-anak yang sedang

dalam perjalanan dan membunuhnya. Ada yang mengatakan

dibunuh dengan cara dicekik ada pulan yang mengatakan dibunuh

Page 122: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

112

Keempat, ayat 76

Ayat ini menjelsakan tentang bagaimana tanggapan

Hidir setelah peristiwa-peristwa yang terjadi antara Nabi

Musa dan Hidir, sehingga Hidir mengatakan bahwa jika nanti

kamu masih bertanya, maka kamu tidak boleh menjadi teman

saya lagi walaupun kamu mau minta untuk ditemanin.

Ada satu Qiraah bahwa lafadz فلاحصبحبىي dibaca

yang artinya tidak menjadi temannya. Sedangkan فلاحصحبىي

pada lafadz لدوي ada yang membaca dengan tanpa tasydid pada

Nun dan adapula yang membaca dengan sukun pada huruf

Dal. Hadist nabi Muhammad SAW ‚Semoga Allah

memberikan rahmat kepada Nabi Musa‛ dan nabi juga

bersabda ‚semoga Allah mencurahkan rahmatnya kepada nabi

Musa dan kita semua.

Kelima, ayat 77

Dalam ayat ini al-Zamakhsyari menjelaskan tentang

ilmu gramatikal pada ke 74-75, yaitu fa jawab li al-Syarthi.

Pada kata kharaqah tidak menggunakan fa jawab sementara

pada kata fa qatala menggunakannya, pada sama-sama ada

adat al-syarthi di depan yaitu idza. Karena kata qatalahu ini

termasuk jumlah syarthiyah yang di ma’thufkan pada kalimat

sebelumnya.

Kata zakiyah dimaknai yang suci dari dosa. Baik dosa

besar, karena tidak pernah terlihat melakukannya ataupun

dosa kecil karena belum baligh. Kata bighairi nafsin, tidak

pernah melakukan pembunuhan yang menyebabkan ia harus

di qisas. Kata nukran. Dimaknai dengan ingkar. Kata nukran

itu tingkat kemungkarannya lebih rendah dari kata imra.

dengan cara dipenggal lehernya, namun secara detail al-Quran tidak

menjelaskan bagaimana Khidir membunuh anak tersebut.

Page 123: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

113

Sebab, membunuh satu orang anak itu lebih kecil dari pada

menenggelamkan perahu yang di dalamnya banyak

penumpangnya.27

Keenam, ayat 78

Pada ayat yang ke 78 ini, al-Zamakhsyari menjelaskan

tentang gambaran perpisahan antara Hidir dan nabi Musa.

Nabi Hidir memberikan isyarat terhadap perpisahan tersebut.

Pada lafadz هذا ,هذا merupakan mubtada’ dan

khobarnya adalah lafadz فزاق yang artinya perpisahan, seperti

pada lafadz هذا اخىك maka lafadz هذا bukan isyarat terhadap

seseorang yang bukan saudara, dan lafadz هذا juga boleh

dijadikan isyarat untuk pertanyaan yang ketiga. Maksudnya

ketika dimunasabahkan dengan kajian ini adalah penentangan

ini penyebab terjadiya perpisahan.28

Sedangkan lafadz هذا فزاق بيىي وبيىل dibaca pertama kali

oleh imam abi abalah yang mana masdar lafadz فزاق

diidhofahkan pada dzarf seperti halnya masdar diidhofahka

pada maf’ul bih.

27

Qatadah berkata ‚Sungguh bahagia kedua orang tua yang

anaknya terlahir di dunia dan sungguh bersedih orang tua ketika

anaknya terbunuh. Dan seandainya anak tersebut tetap hidup tapi

membawa kemurkaan kepada orang tuanya. Maka dari itu

seseorang harus senang dan gembira atas keputusan Allah, karena

keputusannya bagi orang mukmin merupakan sebuah hikmah

baginya baik keputusannya membawa kebahagiaan ataupun

keputusan yang tidak disukainya. 28

Menurut al-Jalaini bahwa ketika Hidir mendengar

kembali protes Nabi Musa kepadanya, beliau langsung

mengingatkan kembali bahwa nabi Musa tidak akan sanggup

membersamainya, karena adanya banyak perbedaan di antara

keduanya, baik dari level keilmuan maupun kecocokan.

Page 124: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

114

c. Tafsir Corak Adāb al-Ijtimā’ī

1. Tafsir al-Marāghī,

Muṣṭafā al-Marāghī membagi menjadi dua kelompok

ayat. Tetapi ayat 71-74 digabungkan dengan sebelas ayat

sebelumnya, yaitu dari ayat ke 60-74. Yang kedua adalah

terdiri dari ayat 75-78.

Pertama, ayat 71-74

Menjelaskan perjalanan Musa dan Khidir. ‚Keduanya

berjalan ketepi pantai mencari perahu, salah satu di antara

penumpang perahu ada yang mengenali Khidir, kemudian

dibawalah mereka berdua tanpa dipungut biaya. Sesampainya

di tengah laut, Khidir berupaya menenggelamkan perahunya

dengan melubangi perahu tersebut, diambilnya satu atau dua

papan (dari bagian perahu) dengan pisaunya. Musa berkata

padanya, engkau telah berbuat kemungkaran yang amat besar.

Lalu ia mengambil bajunya untuk menutup lobang yang

dibuat Khidir.‛29

Engkau tidak akan mampu bersabar atas hal-hal yang

aku lakukan, Musa. Jangan engkau hukum aku karena

kelupaanku untuk berserah pada engkau, dan jangan persulit

aku untuk tetap mengikutimu.

Seturunnya dari perahu dan selamat dari tenggelam.

Keduanya berjalan ke tepi pantai. Lalu Khidir melihat

seorang anak bermain dan ia membunuhnya. Menurut al-

Maraghi, al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana Khidir

membunuh anak tersebut. memotong kepalanya atau

membenturkannya ke tembok atau dengan cara yang lain.

29

Ahmad al-Musthafa al-Maraghī, Tafsir al-Marāghī, Juz

15 (Mesir: Musthāfā al-Bābī al-Halbī, 1946),179.

Page 125: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

115

Kita tidak perlu memikirkannya, sebab, andai itu baik buat

kita, niscaya Allah menjelaskannya.

: قاؿ م سى عليو السلاـ للخضرأتقتل نفسا طاىرة من الذن ب بغن قتل نف محرمة؟ كخص ىذا من بن

مبيحات القتل كالكفر بعد الإيماف، كالزنا بعد الإحصاف، لنو أقرب إلى ال ق ع نظرا إلى حاؿ الغلاـ

Engkau telah melakukan sesuatu yang ditolak oleh akal dan

jiwa.

Kedua, ayat 75-78

Ada tiga langkah yang dilakukan oleh Muṣṭafā al-

Marāghī dalam menafsirkan ayat tersebut. yaitu, tafsīr al-

Mufradāt (makna perkata), maknā al-ijmālī (makna universal)

dan al-Īdhāh (penjelasan).30

لا يزاؿ الكلاـ متصلا فى قصص م سى كالخضر عليهما السلاـ، كلكن ل حظ فى تقسيم القرآف الكريم إلى أجزائو الثلاثن جانب اللفظ لا جانب المعنى، كلذا تجد نهاية جزء كبداءة آخر حيث لا يزاؿ الكلاـ فى معنى كاحد لم يتم بعد كما

ىنا

30

Ahmad al-Musthafa al-Maraghī, Tafsir al-Marāghī, Juz

15 (Mesir: Musthāfā al-Bābī al-Halbī, 1946),179.

Page 126: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

116

2. Fī Dzilāl al-Qur’ān Sayyid Qutb.

Ayat 71-77 surah al-Kahfi dalam tafsir Fī Dzilāl al-

Qur’ān, penjelasannya digabungkan dengan ayat lainnya,

yaitu ayat sebelum dan sesudahnya, dari ayat 60-82. Tetapi di

sini peneliti hanya akan mencantumkan penafsiran Sayyid

Qutb atas ayat 71-77 surah al-Kahfi.

Pola penafsiran yang dilakukan oleh Sayyid Qutb

adalah: Pertama, menguraikan tentang kisah yang terkandung

dalam ayat tersebut secara umum. Bahwa tidak ada

penyebutan tempat dan waktu kejadian, nama sesungguhnya

Khidir dan statusnya, apakah sebagai nabi, rasul atau hamba

yang shaleh? Semua ini tidak dijelaskan secara detail dalam

al-Qur’an. Kedua, setelah menguraikan secara umum, Ia

menafsirkan ayat per ayat. Di sini penulis akan langsung

melompat pada penafsiran ayat 71-77.

Ayat 71-77 ini dibagi menjadi tiga episode

Episode pertama, (Perusakan Perahu) ayat 71-73

Setelah keduanya bersepakat dan Musa menyetujui

persyaratan yang diajukan oleh Khidir, mereka pun berangkat

dan menaiki perahu bersama penumpang lainnya.

Sesampainya di tengah laut, Khidir mulai menunjukkan

perbuatan yang tidak mungkin Musa bersabar melihatnya,

yaitu melobangi perahu yang ditumpanginya. Dan betul, ia

pun mengingkarinya.31

Memang benar, tabiat nabi Musa adalah tabiat yang

responsif, refleks, dan peka yang menyala-nyala, sebagaimana

31

Sayyid Qutb, Fī dzilāl al-Qur’an, Juz IIIVX (Beirut, Dār

al-Syuruq, 1992), 31.

Page 127: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

117

terlihat jelas dari prilakunya dalam fase-fase kehidupannya.32

Pernah dia memukul roboh seorang Mesir yang dilihatnya

sedang berkelahi melawan seorang dari bani Israel, kemudian

dia (Musa) dengan salah satu gerakan refleksnya. Lalu ia

bertaubat memohon ampunan pada Tuhan. Pada hari kedua,

ketika melihat seorang bani Israel berkelahi dengan seorang

Mesir lainnya, Musa pun ingin memukul orang mesir itu

sekali lagi.

Tabiatnya memang begitu. Oleh karenanya, dia tidak

bisa menahan kesabarannya untuk tidak mengingkari perilaku

Khidir dan tidak mampu memenuhi janjinya ketika

dihadapkan dengan keanehan dan penyimpangan. Dengan

penuh kesabaran dan kelembutan, hamba shaleh itu

mengingatkan Musa akan komitmennya, dan Musa sesegera

mungkin meminta agar dimaafkan atas kealpaannya.

Episode kedua (Pembunuhan) 74-76

Dalam uraianya, Sayyid Qutb menjelaskan bahwa

pada episode kedua ini adalah pembunuhan yang benar-benar

terjadi. Pembunuhan yang disengaja, bukan hanya ancaman

32

Hal ini dapat dilihat ketika Khidir melubangi perahu dan

nabi Musa melihatnya, seketika itu nabi Musa langsung menegurnya

‚Jangan kamu lubangi perahu itu! Apakah kamu berniat untuk

menenggelamkan semua penumpang yang ada di dalamnya?‛

setelah nabi Musa menegurnya, beliau ingat pada janji yang pertama

kali dibuat oleh keduanya, bahwa nabi Musa tidak boleh menegur

apa yang dilakukan oleh Khidir. Setelah kejadian itu nabi Musa

minta maaf dan berkata ‚Janganlah engkau menghukumku karena

kelupaanku dan janganlah engkau bebabi dengan suatu kesulitan

dalam kehidupanku‛. Lihat: Sri Haryatmo, kisah nabi khidir dalam

sastra suluk: resepsi dan transformasi (Yogyakarta: Jurnal

Widyaparwa, 2015), 180.

Page 128: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

118

dalam bentuk angan-angan. Ini merupakan perbuatan keji

yang besar di mana Musa tidak mampu menahan

kesabarannya untuk tidak menegurnya, walaupun pada saat

yang bersamaan ia sadar akan janjinya.33

Pada saat ini Musa tidak dalam kondisi lupa ataupun

lalai, tapi ia benar-benar sengaja melakukannya karena

dianggap perbuatan yang sangat keji. Karena anak kecil yang

dibunuh tersebut dalam pandangan Musa adalah tidak

bersalah dan tidak berdosa sedikitpun. Anak kecil itu tidak

melakukan sesuatu yang mengharuskannya dibunuh. Bahkan

ia belum baligh, seharusnya ia tidak bertanggungjawab dan

tidak dihukum atas segala perilakunya.

33

Kegelisahan nabi Musa menggelora ketika Khidir

menunjukkan pelajarannya yang kedua kepada nabi Musa yaitu

pembunuhan terhadap anak kecil, ilmunya yang tidak sepadan

dengan Khidir membuat nabi Musa melanggar pada janjinya. Ada

yang berpendapat bahwa nabi Musa bertanya karena refleks atas

kepribadiannya yang tanggap jika menemukan hal yang tidak

sepemikiran dengan agamanya, ada juga yang berpendapat bahwa

nabi Musa bertanya karena lupa, lupa apda janjinya yang elah

disepakati berdua sebelum Khidir menyetujuinya menjadi muridnya.

Maksud dari pembunuhan seorang anak adalah misi penyelamatan

kedua orang tua anak tersebut dari kesesatan dan kekafiran.

Perbuatan yang akan dilakukan oleh seorang anak masuk dalam

kategori patologis. Mengingat bahwa perbuatan tersebut secara

teologis merugikan orang lain. Adapun misi yang dilakukan oleh

Khidir dilandaskan pada pengetahuan di masa depan atau sering

disebut dengan ilmu laduni. Dengan demikian, peneliti yakin bahwa

apa yang dilakukan Khidir juga dilandaskan pada penalaran ‘irfānī murni. Lihat: Muhamad Agus Mushodiq, Perilaku Patologis Pada

Kisah Nabi Musa Dan Khidir Dalam al-Quran: Telaah

Epistemologi āl-Jābirī Dan Semiotika Peirce (Jurnal: Institut Agama

Islam Ma’arif Metro, 2018), 77

Page 129: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

119

Episode ketiga (Dinding yang hampir runtuh dan

akhir dari petualangan) ayat 77-78

Keduanya tiba di sebuah kota yang penduduknya

sangat bakhil. Mereka tidak menjamu tamu yang lapar, tidak

pula menghormatinya sebagai tamu. Kemudian Khidir

menemukan dinding yang hampir runtuh. Allah Swt,

menggunakan kata yurīdu an yanqadda, seolah-olah dinding

tersebut memiliki kemauan dan kehidupan. Lalu Khidir

membetulkannya hiangga tegak kembali tanpa meminta upah

sedikitpun. Padahal keduanya sedang keadaan lapar. Wajar

saja kalau Musa protes dan mempertanyakan, kenapa tidak

minta upah?

3. Tafsir al-Mishbah Quraish Shihab.

Al-Misbah adalah salah satu tafsir kontemporer yang

menguraikan ayat-ayat al-Qur’an secara utuh, dari surah al-

Fātiḥah hingga surah al-Nās, termasuk surah al-Kahfi

diuraikan secara tuntas. Namun dalam membahasnya, Quraish

Shihab mengelompokkan ayat-ayat tersebut, artinya ia tidak

langsung menguraikan penafsirannya per ayat. Surah al-Kahfi

misalnya dibagi kedalam beberapa kelompok ayat. Namun, di

sini peneliti akan memfokuskan pada uraian ayat 71-78.

Dalam menafsirkan ayat ini, Quraish Shihab menjadikan tiga

kelompok ayat. Yaitu, 71-73, 74-75, dan 76-77.

Pertama, ayat 71-73

Sama seperti mufasir lainnya, sebelum menguraikan

secara detail makna ayat, ia mengemukakan makna secara

umum atau menerjemahkan makna teks al-Qur’an. Yaitu

tentang awal perjalanan nabi Musa dan Khidir menaiki perahu

Page 130: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

120

hingga kejadian pelubangan bagian tertentu dari perahu

tersebut oleh Khidir dan seterusnya.

Dalam ayat ini, Qurasih Shihab juga menjelaskan

makna kata inṭalaqā bahwa ia diambil dari kata iṭlāq yang

artinya adalah melepaskan ikatan. Itu artinya bahwa

perjalanan yang dilakukan oleh keduanya penuh semangat.

Sementara penggunaan kata dual/mutsannā dalam ayat ini

berarti dalam perjalanan tersebut, nabi Musa tidak lagi

mengikutkan pembantunya, ia hanya berdua dengan hamba

Allah yang shaleh itu. Ini agaknya karena perbedaan maqam

atau derajat pembantunya belum sampai pada tingkat

makrifat.34

Pelubangan atas perahu itu dilakukan karena hamba

Allah itu telah mengetahui sebelumnya apa yang akan terjadi.

Kemudian ia juga menjelaskan makna kata imrā kata

tarhaqunī, kata ‘usrā. Menurutnya, Al-Qur’an menggunakan

kata tersebut untuk menggambarkan kesulitan atau krisis

yang memuncak, seperti keadaan hari Kiamat yang akan

dialami oleh orang-orang kafir. Lalu mengutip surah al-

Furqān/25:26.

Permintaan nabi Musa dengan mengatakan: Janganlah

engkau menghukum aku dengan karena kelupaan ku, dan

34

Ketika kisah antara nabi Musa dan Khidir diperhatikan

dengan lebih seksama bahwa akan ditemukan perpebdeaan yang

sangat menonjol di Antara keduanya, bahwa nabi Musa merupakan

sebagai representasi dari manusia yang menafsirkan segala hal yang

terjadi dengan pengalaman yang pernah beliau alami secara empiris

yang menitikberatkan pada nalar Bayānī dan Burhānī, sedangkan

Khidir merupakan representasi dari Allah yang diberi mukjizat bisa

mengetahui masa depan yang oleh para cendikiawan biasa disebut

dengan ‚Ilmu laduni‛

Page 131: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

121

janganlah engkau bebani aku dalam urusanku dengan

kesulitan. Menurutnya, penggunaan dua kata ini menunjukkan

betapa beratnya beban yang dia pikul jika ternyata hamba

Allah Swt, (Khidir) tidak memafkannya atau tidak

mengizinkannya untuk belajar dan mengikutinya.

Kedua, ayat 74-75

Setelah permohonan maaf nabi Musa dikabulkan,

mereka meneruskan perjalanan dan meninggalkan perahu

yang ditumpanginya dalam keadaan selamat, lalu keduanya

berjumpa dengan seorang anak remaja yang belum dewasa,

maka segera dan serta merta dibunuhnya oleh Hamba Allah

yang Shaleh itu, dan Musa kembali menegurnya dan ia tidak

sedang dalam keadaan lupa. Karena pembunuhan itu

dipandang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, bukan

karena anak remaja itu melakukan pembunuhan sebelumnya.

Di sini Quraish Shihab menyoroti penggunaan kata

imrā dan kata nukrā. Kalau pada ayat sebelumnya nabi Musa

menggunakan kata imrā saat melihat Khidir melubangi

perahu, maka di sini ia menggunakan kata nikrā untuk

pembunuhan yang dilakukan Khidir. Kalau kata imrā

diterjemahkan dengan kata kesalahan yang besar maka, kata

nukrā di sini diterjemahkan dengan kemungkaran yang besar.

Hal ini karena pada kasus pertama tidak sampai menyebabkan

hilangnya suatu nyawa, sementara pada kasus yang kedua,

pembunuhan itu sudah benar-benar terjadi.

Selain itu, Quraish Shihab juga menyoroti kata

ghulām dan kata zakiyyah. Menurutnya, kata ghulām dapat

diterjemahkan dengan kata remaja, bisa juga menunjuk

kepada seorang pria. Jika diterjemahkan dengan remaja yang

belum dewasa, maka makna kata zakiyyah (kalimat

Page 132: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

122

setelahnya) adalah suci karena belum dewasa dan belum

dibebani tanggungjawab keagamaan, sehingga kesalahannya

tidak dinilai dosa.

Ketiga, ayat 76-77

Pada bagian ini nabi Musa sudah menyadari bahwa ia

telah melakukan dua kesalahan , tapi tekadnya yang kuat

untuk meraih ma’rifat, mendorongnya untuk memohon agar

diberi kesempatan sekali lagi dan berjanji ‚jika aku masih

bertanya lagi kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka

janganlah engkau menjadikan aku sebagai temanmu‛. Tetapi

tampaknya Musa benar-benar tidak sanggup untuk menahan

diri untuk tidak menanyakan sesuatu yang bertolak dari

nalarnya, padahal sebenarnya dalam hal ini, Musa tidak tidak

secara tegas bertanya, tetapi hanya memberikan saran saja,

dan saran itu lahir karena ia melihat kenyataan yang bertolak

belakang. Penduduk negeri itu enggan menjamu tamu yang

sedang membutuhkan makan, walaupun hamba Allah/Khidir

memperbaiki salah satu dinding di negeri itu.

Menurutnya, ayat ini menunjukkan betapa buruk

perlakuan penduduk negeri tersebut. Isyarat ini bisa dilihat

dari penyebutan secara tegas kata-kata ‚penduduk negeri‛,

padahal dalam banyak ayat, al-Qur’an hanya menggunakan

kata negeri/qariah untuk menunjuk penduduknya. Misalnya

QS.Yusūf/12:82.

لىصىادقي ف كىإنا كىاسأىؿ القىريىةى الت كينا فيهىا كىالعنى الت أىقػبػىلنىا فيهىا

Page 133: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

123

‚Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di

situ, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan

sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar".

Ketika kisah antara nabi Musa dan Khidir

diperhatikan dengan lebih seksama bahwa akan ditemukan

perbedeaan yang sangat menonjol di antara keduanya, bahwa

nabi Musa merupakan sebagai representasi dari manusia yang

menafsirkan segala hal yang terjadi dengan pengalaman yang

pernah beliau alami secara empiris yang menitikberatkan pada

nalar Bayānī dan Burhānī, sedangkan Khidir merupakan

representasi dari Allah yang diberi mukjizat bisa mengetahui

masa depan yang oleh para cendikiawan biasa disebut dengan

‚Ilmu laduni‛ sehingga Hidir melakukan semua perbuatannya

di depan nabi Musa atas dasar intuisi dari tuhan bukan dari

hasil pengalaman empiris yang pernah dialaminya.35

4. Tafsir al-Azhar Hamka

Hamka dalam tafsirnya al-Azhar menjadikan surah al-

kahfi pada beberapa kelompok kemudian diuraikan dalam

bentuk penafsiran. Untuk ayat 71-78 dijadikan dua kelompok

pembahasan. Ayat 71-73 pembahasannya digabungkan

dengan ayat sebelimnya, yaitu ayat 66-73. Kemudian

kelompok berikutnya dari ayat 74-78.

Pertama, 66-73

Meski di sini ayat 71-73 dikelompokkan dengan ayat

sebelumnya, penulis akan tetap fokus pada penafsiran ayat

71-73.

35

Muhammad Agus Mushadiq, Perilaku Patologis terhadap

kisah nabi Musa dan Abd (Jurnal Ulul albab: Institut Agama Islam

Ma’arif Mitro, 2018),71.

Page 134: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

124

Keduanya hendak menyeberang laut, lalu menumpang

pada sebuah perahu, tetapi sebelum sampai ke tempat yang

dituju, dibuatnya satu lobang pada perahu itusehingga air bisa

saja masuk dan akan menyebabkan perahunya keram. Melihat

kejadian tersebut, lupalah Musa akan janji yang telah ia

sepakati, dan nampaklah karakter aslinya (karakter responsif).

Bukankah dengan pelobangan itu berarti engkau hendak

menyebabkan penumpangnya tenggelam semua? Termasuk

engkau dan aku?

Apa yang dialami Musa di alami juga oleh

kebanyakan manusia. Seorang yang telah berjanji baik kepada

sesama manusia atau dengan Tuhan, terkadang ia lupa akan

janjinya jika ditimpa musibah. Misalnya kita memberi fatwa

kepada orang lain untuk sabar tatkala ditimpa musibah.

Namun, ketika ia kehilangan orang yang sangat dicintai, bisa

jadi ia juga harus diingatkan untuk bersabar.

Kedua, ayat 74-78

Hamka mengutip hadis nabi yang diriwayatkan oleh

Ibn Abbas. Dalam kutipannya ia berkata ‚Maka tersebutlah

dalam riwayat Ibn Abbas bahwa perjalanan itu mereka

teruskan, sehingga berjumpa dengan anak muda-muda

bermain-main. Di antara anak muda yang sedang banyak

bermain bersuka ria itu, kelihatan oleh Guru itu seorang di

antara mereka: ‚sehingga apabila keduanya bertemu seorang

anak muda, maka dibunuhnya lah (anak muda) itu.

Hamka juga mengomentari kata ghulām dalam ayat

tersebut. ia memaknainya dengan anak muda bisa juga

diterjemahkan dengan anak kecil.

Saat Khidir membunuh anak tersebut, Musa

tercengang dan meluaplah hatinya karena dianggapnya

Page 135: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

125

perbuatan Khidir tersebut sudah di luar garis, lalu bertanya

‚adakah patut engkau membunuh jiwa yang bersih‛ suatu

perbuatan yang bengis yang tidak akan dapat diterima oleh

siapapun yang ada rsa keadilan dan kebenaran. ndan

seterusnya.

d. Tafsir Corak Hukum

1. Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān

Al-Qurṭubī dalam penguraian surah al-Kahfi dibagi

memnjadi beberapa bagian. Untuk ayat 71-77 dibagi menjadi

tiga kelompok pembahasan.

Pertama, ayat 71-73

Dalam uraian ayat ini paling tidak ada dua masalah

besar yang dibahas oleh al-Qurtubi dalam tafsirnya, yaitu:36

1. Permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam

Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Misalnya

tentang kisah perjalanan nabi Musa dan Khidir hingga

naik perahu, dan perahunya dilubangi oleh Khidir

yang menjadi sebab terjadinya perdebatan dengan

nabi Musa.

Tentang perbandingan ilmu Musa dan Khidir dengan

ilmu Tuhan. Khidir berkata ‚ilmuku dan ilmumu

kalau dibandingkan dengan Ilmu Tuhan, seperti air

laut yang melekat di kaki burung perbandingannya

dengan air laut.

2. Tentang perusakan kapal. Perusakan kapal ini adalah

dalil bahwa bagi seorang wali atau penguasa, boleh

36

Abī Abdillah Muhammad, Tafsir Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, juz 13 (Beirut: al-Resalah Publisher, 2006), 327

Page 136: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

126

mengurangi sebagian harta anak yatim untuk

menyelamatkan yang lebih banyak. Misalnya dalam

perjalanan laut, boleh membuang sebagiannya pada

kondisi darurat, untuk menyelamatkan yang lainnya

supaya tidak tenggelam.37

Kedua, ayat 74-76

Tentang pembunuhan seorang anak. Pertama, terkait

kata al-Ghulām, al-Qurṭubi mengemukakan perbedaan ulama

dalam menjelaskata kata ghulām di sini. Apakah yang

dimaksud dengannya adalah remaja yang sudah bāligh atau

belum? Pertama, menurut al-Kilabi, ghulām adalah seorang

anak yang sudah memasuki usia bāligh, ia menjadi tukang

begal (mencegat jalan) yang menghubungkan antar dua desa.

Sedangkan orang tuanya adalah merupakan salah seorang

37

Disebut dalam sebuah kitab tafsir lainnya, dari Aliyah

bahwa pada saat Khidir mau melubangi perahu tidak ada

penumpang yang bisa melihat padanya kecuali nabi Musa karena

seorang hamba tidak bisa melihat orang lain tanpa seidzin Allah,

sehingga hanya nabi Musa yang bisa melihat Khidir saat melubangi

perahu, seandainya para penumpang bisa melihat Khidir saat mau

melubangi perahu pastinya semua penumpang akan mencegah

terhadap Khidir saat mau melubanginya, ada yang berpendapat

bahwa Khidir melubangi perahu di saat perahunya sudah dipinggir

dan semua penumpang sudah turun dari perahu. Ibn Abbās

berpendapat bahwa pada saat khidir mau melubangi perahu nabi

Musa berfikir dan berkata di dalam hatinya ‚saya tidak diciptakan

untuk menemani Khidir tapi untuk menemani Bani Israil setiap

hari‛ pada saat itu Khidir berkata ‚apakah kamu kira saya tidak

paham apa yang kamu katakan di dalam hatinya‛, lalu nabi Musa

berkata ‚menurut kamu apa yang saya pikirkan‛ nabi Khidir

menjawab ‚kamu tadi berkata bahwa kamu tidak diciptakan untuk

menemaniku tapi untuk menemani bani Israil‛. Lihat di kitab al-

‘arāis karangan imam al-Tsa’labī.

Page 137: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

127

tokoh di salah satu desa tersebut. namanya (anak tersebut)

adalah Syam’ūn, dan menurut al-Daḥḥāk adalah Haisūn.

Kedua, menurut Jumhūr ulama kata ghulām digunakan untuk

laki-laki yang belum bāligh sama halnya denga kata jāriyah

untuk anak perempuan yang belum bāligh. Kedua, terkait kata

zakiyyatan. Jumhur Ulama membaca zakiyyatan (tanpa alif)

sementara ulama Kūfā membaca zākiyyatan (dengan alif),

dikatakan maknanya adalah sama, meski menurut sebagian

yang lainnya berbeda, zākiyyah adalah anak yang tidak

pernah berbuat dosa sama sekali sementara zakiyyah adalah

pernah berbuat dosa lalu bertaubat.

Adapun pembunuhan anak tersebut oleh Khidir

dengan tiga cara, yaitu dicekik, dipukul dengan dan dicabut

lehernya. Menurut al-Qurṭubī, alasan Khidir membunuh anak

tersebut sangat kuat, ia menemukan dalam tulang bahunya

tulisan ‚dia adalah orang kafir yang tidak akan pernah

beriman kepada Allah selamanya‛.

Ketiga, ayat 77-78

Dalam urain dua ayat ini, al-Qurṭubi mengemukakan

tiga belas masalah yang berkaitan dengan ayat tersebut.

Pertama, Protes Nabi Musa karena tidak diperlakukan

sebagai tamu oleh penduduk setempat, padahal sudah

membantu membangun kembali tembok mereka yang hampir

roboh. Tampaknya nabi Musa sudah tidak sabar menghadapi

sikap Khidir dengan mengulang-ulang pertanyaan atau

protesnya padanya. Maka nabi Muhammad Saw, berkata

‚Semoga Allah merahmati/mengasihi Musa, aku lebih senang

seandainya dia mampu bersabar sehingga diceritakan secara

utuh tentang kisah keduanya (Musa dan Khidir) kepada kami.

Page 138: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

128

Kedua, ulama berbeda pendapat tentang Desa yang

dikunjungi oleh nabi Musa dan Khidir. Menurut Muhammad

ibn Sīrīn, ia adalah Desa terpelit dan paling jauh dari langit.

Ada yang menyebutnya berada di Romawi, Andalus dan lain

sebagainya.

Ketiga, dikatakan, bahwa perjalanan ini adalah

pendidikan buat nabi Musa, wajar kalau ia dihadapkan dengan

kesulitan-kesulitan. Seperti kelaparan. Dan ini adalah bentuk

hijrah nabi Musa yang akan mendapatka pertolongan dan

kekuatan.

Keempat, ayat ini sekaligus menjadi dalil bahwa

barang siapa yang merasakan lapar (sangat) wajib baginya

meminta sesuatu untuk sekedar menghilangkan rasa laparnya.

Maka menjadi sebuah kewajiban bagi tuan rumah untuk

memberi hidangan kepada tamunya yang sedang kelaparan.

Nabi Musa dan Khidir hanya meminta haknya sebagai tamu.

Kelima, tentang makna Jidār/tembok. Dalam hadis

dikatakan ‚Hatta yablugha al-Mā’u al-Jadra‛ air itu sampai

setembok.

Keenam, tentang tembok yang hampir jatuh/roboh.

Ini adalah majaz dan ini menunjukkan adanya majaz dalam al-

Qur’an meski sebagian yang lain mencegah penggunaan

majaz dalam al-Qur’an, antara lain adalah Abū Ishāq dan Abū

Bakr Muhammad al-Aṣbahānī.

Ketujuh, tentang firman Allah فأقبمه. Musa berkata

pada Khidir ‚jika engkau mau, niscaya engkau minta imbalan

untuk itu‛ karena itu sebuah pekerjaan yang pantas

mendapatkan upah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan

dari Ibn ‘Abbās dari Abū Bakr dari Rasulullah Saw. dijelaskan

bahwa dia (Musa dan Khidir) menemukan tembok yang

Page 139: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

129

hampir roboh, lalu mereka robohkan, kemudian dibangunnya

kembali. Bahwa apa yang dilakukan Khidir dalam hal ini

adalah perkara-perkara diluar kebiasaan, dan ini sekaligus

menjadi tanda karomah kewaliannya.

Kedelapan, tidak diperbolehkan bagi seseorang duduk

di tembok/dinding yang hampir roboh.

Kesembilan, dalil tentang kekaromahan para wali

sudah ditetapkan, baik ayat-ayat al-Qur’an atau hadis nabi.

Tidak ada yang mengingkarinya, kecuali ahli bid’ah dan

orang-orang fasik. Adapun di antara ke karamahan yang

ditampakkan Allah Swt, kepada hambanya adalah seperti

yang terjadi kepada Maryam, tumbuh suburnya buah-buahan

pada musim kemarau, dan apa yang tampak juga kepada

Khidir, seperti melubangi perahu. Namun, keanehan-keanehan

yang dilakukan oleh Khidir, seperti pelobangan perahu,

membunuh seorang anak dan membangun dinding bukanlah

tanda kenabiannya. Sebab, kenabian itu tidak bisa ditetapkan

hanya dengan hadis ahad. Karena ulama sepakat bahwa tidak

ada nabi lagi setelah nabi Muhammad.

Kesepuluh, boleh atau tidak seorang wali

mengumumkan kewaliannya? Ada dua pendapat. Pertama,

tidak boleh. Kedua, boleh bagi seorang wali menampakkan

kewaliannya, hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi

Saw.

Kesebelas, tidak dapat dipungkiri bahwa seorang wali

juga dapat memiliki harta dan tempat tinggal yang dpat

menjaga keluarganya. Banyak para Shahabat nabi yang punya

banyak harta padahal ia sekaligus menjabat sebagai

pemerintah.

Page 140: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

130

Keduabelas, tentang firman Allah Swt, لاححذ ث عليه اجزا

ayat ini sekaligus menjadi dalil diperbolehkannya minta upah,

dan ini adalah sunnah para nabi dan auliyā. Penjelasannya

akan diurai pada surah al-Qaṣaṣ.

Ketigabelas, tentang firman Allah Swt, سأوبئل. Bahwa

Khidir akan menjelaskan pada musa kenapa ia berbuat apa

yang telah ia perbuat.

Kitab tafsir Ahkām al-Qur’an Ibn ‘Arabī adalah kitab

tafsir yang dikarang oleh Ibn Arabi yang memiliki corak

hukum dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.38

Dalam

kepribadiannya beliau seorang yang memiliki budi pekerti

38

Dalam muqaddimahnya Ibn Arabī menjelaskan tentang

metode yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran

memulai pembahasannya dengan menyebutkan ayat, lalu

mengikutinya dengan kata-kata bahkan perhurufnya, kemudian

mulai mencari tahu kata tunggalnya, dan menyusunnya secara

idhafah dengan tidak meninggalkan sisi balaghahnya, setelah itu

masuk pada hukum-hukum yang bertentangan tanpa meninggalkan

aspek kebahasaan, kemudian membandingkan dengan apa yang ada

pada sunah dan shahih dan terakhir mencari jalan untuk

mengkompromikannya. Dalam kitab Manahij al-Mufassirin

karangan Mani’ Abdul Halim Mahmud dijelaskan bahwa metode

yang ditempuh oleh oleh Ibn Arabī dalam menulis tafsirnya adalah

dengan menyebutkan satu surat lalu menyebutkan sejumlah hukum

yang terdapat di dalamya, kemudian mensyarahkan secara

terperinci. Lihat di Mani’ Abdul Halim Mahmud, Manahij al-

Mufassirin, terj (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2006), 246

Page 141: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

131

yang baik, perangai yang baik, penyabar, dermawan, menepati

janjo dan kasih sayang terhadap orang lain.39

Dalam kitab Ibn Arabī pada surah al-Kahfi dari ayat

71-78 hanya membahas ayat 73, 76, dan 77 yang mana Ibn

Arabi membagi menjadi lima masalah.

Masalah pertama, ayat 73

Dalam masalah pertama ini Ibn Arabī menjelaskan

bahwa lupa itu tidak menjadi sebab adanya sangsi atau hukum

dalam hal ini seperti yang telah dijelaskan di ayat sebelumnya

bahwa lupa tidak termasuk ke dalam koridor taklif sehingga

apabila ada sebuah kewajiban yaang masuk pada taklif namun

suatu ketika lupa, maka dalam kasus tersebut tidak ada

hukum bagi orang tersebut.40

Seperti dalam masalah talaq,

ketika yang mengucapkan tersebut berada pada posisi lupa

maka hukum talaknya tidak terjadi.

Masalah kedua, ayat 76

Dalam ayat ini Ibn Arabī menjelaskan tentang syarat

atau kesepakatan yang mana syarat atau kesepakatan itu

sifatnya mengikat. Ibn Arabī menambahkan sebuah kaidah

yaitu المسلمىن عىد شزوطهم artinya orang Islam itu harus

menunaikan sebuah kesepakatan yang sudah dibuat.

Sedangkan kesepakatan yang paling pantas ditunaikan atau

dilaksanakan adalah kesepakatan yang dibuat oleh para nabi.

Pembahasan syarat yang dimaksud dalam ayat adalah

merupakan landasan atau pendapat yang berhubungan dengan

39

Ibn Arabī, Ahkām al-Qur’an, juz 1 (Beirut: Dār al-

Kutub al-Ilmiyah, 2003), 1-2. 40

Ibn Arabī, Ahkām al-Qur’an, juz 3 (Beirut: Dār al-

Kutub al-Ilmiyah, 2003), 241.

Page 142: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

132

syarat dan hukum-hukum yang berhubungan dengan syarat

serta sebagai dalil dalam iman, shuffah dan lain-lain.41

Masalah kelima ayat 76

Dalam ayat ini Ibn Arabī menjelaskan mengenai سؤال

(proses meminta) yang mana dalam kontek ayat ini lebih

mengarah kepada bagaimana cara menyambut tamu dan

menjamunya. Dari pemaparan tersebut timbul pertanyaan

apakah penghormatan terhadap tamu hukumnya wajib atau

sunah? Kalau hukum dalam سؤال الضيبف adalah boleh.

2. Al-Tafsīr wa al-Bayān Marzūq al-Ṭarifī

Kitab al-Tafsīr wa al-Bayān al-Ta’rifī merupaka

salah satu kitab tafsir yang bercorak Ahkam yang dikarang

oleh Abd. Aziz al-Marzuq, dalam kitab tafsir ini hampir

semua ayat dibahas di dalamnya, namun Abd. Aziz tidak

membahas surat al-Kahfi ayat 70-78 .

2. Penggunaan Ayat dan Hadis Sebagai Penjelas

Dalam menafsirkan kisah nabi Musa dan Khidir yang

terdapat dalam surah al-Kahfi ayat 71-77, terdapat ragam cara

penguraian dari para mufasir. Beberapa di antara mereka ada

yang menggunakan ayat al-Qur’an dan hadis nabi untuk

menjelaskan ayat yang ditafsirkan, ada yang menggunakan

pendapat sahabat hingga para tabiin. Tetapi ada juga yang

hanya memaparkan kisah tersebut tanpa merujuk/mengutip

ayat atau hadis sebagai penjelas. Bahkan ada juga ulama yang

tidak menafsirkan sama sekali ayat tersebut di atas.

41

Ibn Arabī, Ahkām al-Qur’an, juz 3 (Beirut: Dār al-

Kutub al-Ilmiyah, 2003), 241

Page 143: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

133

Adapun rincian penjelasannya akan peneliti paparkan

sebagaimana berikut:

a. Menggunakan Penjelas Ayat

Berdasarkan penelusuran peneliti terhadap berbagai

kitab tafsir sebagai mana disebutkan di atas, hanya ada dua

kitab tafsir yang menggunakan penjelas ayat dalam

menafsirkan kisah nabi Musa dan Khidir yang terdapat dalam

surah al-Kahfi 71-77. Dua kitab tafsir itu adalah tafsir al-

Misbah dan tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān.

Pertama, Quraish Shihab mengutip QS. al-

Furqān/25:26, ayat ini dikutip ketika Quraish Shihab

menjelaskan makna ‘usra yang terdapat pada ke 73, untuk

membandingkan makna kata ‘usrā yang terdapat pada ayat

tersebut dengan makna kata ‘usrā atau ‘asīrā yang terdapat

pada QS. Al-Furqān. Sehingga kesimpulan makna yang

dihasilkan adalah bahwa kata ‘ursā artinya adalah bukanlah

kesulitan biasa, tetapi kesulitan yang sangat tinggi, sampai

pada puncaknya, sebagaimana yang dialami orang-orang kafir

pada hari kiamat. Penggabungan dua makna kata yang sama

dari ayat yang berbeda memberikan kesan bahwa situasi yang

dihadapi nabi Musa ketika melanggar perjanjian yang telah

disepakatinya bersama Khidir adalah situasi yang amat sulit.

Karena ia benar-benar dalam keadaan lupa.42

Pada penafsiran ayat ke 76, tentang penduduk sebuah

kota, Quraish Shihab mengutip QS. Yūsuf/12:82, di mana

Allah Swt, pada ayat ini juga menyebutkan tentang penduduk

42

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Juz. VIII, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2002),

103.

Page 144: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

134

sebuah kota. Perbedaannya adalah pada surah al-Kahfi Allah

Swt, menyebut penduduk kota tersebut dengan ahl qariah

sementara pada surah Yūsuf Allah Swt, hanya menggunakan

kata qariah untuk menyebut penduduknya. Dalam pandangan

Qurasih Shihab penyebutan ahl qariah yang terdapat pada

surah al-Kahfi tersebut untuk menunjukkan betapa buruknya

perlakuan penduduk tersebut.

Kedua, tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān, berbeda dengan M.

Quraish Shihab, Sayyid Qutb mengutip ayat berbeda dalam

menjelaskan sikap spontanitas nabi Musa ketika melakukan

protes pertama pada Khidir saat melubangi perahu yang

tumpanginya. Dalam menggambarkan karakter nabi Musa,

Sayyid Qutb merujuk pada QS. Al-Qaṣaṣ/28:15, yaitu bahwa

karakter nabi Musa adalah responsif, refleks dan punya

kepekaan yang tinggi. Hal ini dapa dilihat pada fase-fase

kehidupannya, ia pernah memukul seorang Mesir yang

dilihatnya sedang berkelahi melawan seorang dari bani Israel,

kemudian ia membunuhnya dalam satu gerakan refleksnya.43

Karakter yang demikian ini sebagaimana tergambar dalam

surah al-Qaṣaṣ di atas.

b. Menggunakan Penjelas Hadis

Sebagian ulama dalam menafsirkan suatu ayat

tertentu mereka perlu merujuk pada beberapa hadis nabi.

Dalam kaitannya dengan ayat yang sedang dikaji dalam

penelitian ini, yakni surah al-Kahfi ayat 71-77, dengan jumlah

kitab tafsir yang telah ditentukan sebagaimana di atas, maka

yang hanya menggunakan hadis dalam mempertegas

penafsirannya hanya beberapa tafsir saja. Yaitu Tafsir al-

43

H, 331

Page 145: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

135

Jailānī, Tafsir al-Marāghī, Tafsir al-Azhar dan Tafsir al-

Kasysyāf.

Pertama, tafsir al-Jailānī, dari ayat 71-77 surah al-

Kahfi, al-Jailānī hanya mengutip satu hadis, yaitu pada

penafsiran ayat ke 75-76, di mana Khidir menyatakan kembali

pada Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya,

meski akhirnya Musa berjanji untuk tidak bertanya lagi untuk

kesekian kalinya. Hadis yang dikutip berkaitan dengan

tindakan nabi Musa yang melanggar kesepakatan untuk tidak

menanyakan sesuatu apapun yang akan dilihatnya.44

Kedua, Tafsir al-Marāghī, sama dengan tafsir al-

Jailāni, tafsir al-Marāghi juga mengutip hadis yang sama

dalam merespon sikap nabi Musa yang kelihatan tidak sabar

dalam menghadapi Khidir.45

Sepanjang pengamatan peneliti,

al-Marāghi hanya menyebutkan hadis ini dalam menafsirkan

ayat 71-77 surah al-Kahfi.

Ketiga, tafsir al-Azhar. Sebagaimana mufasir lainnya,

Hamka juga mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh

Ibn ‘Abbās dalam menjelaskan perjalanan nabi Musa dengan

44

Abd Qodir al-Jailānī, Tafsir al-Jailānī, Juz. III, cet. II

(Beirūt: Libanon Maktabah al-Istambulī, 2006), 218.

Adapun bunyi hadisnya adalah:

عن رس ؿ الله ص أنو قاؿ رحم الله أخ م سى استحى فقاؿ ذلك ل لبث مع صاحبو لبصر عن ابن عب عن ابي بن كعب قاؿ كاف رس ؿ الله صلى الله عليه وسلم اذاذكر احدا من النبياء بدأ بنفسو . أعجب العاجيب

الله علينا كعل م سى ل صبر مع صاحبو لرأالعجب العاجيب كلكنو قاؿ اف سألتك كانو قاؿ ذات ي ـ رحمة عن شيئ بعدىا فلا تصاحبني

45

رحمة الله علينا كعلى م سى، ل »: ركل فى الصحيح عن النبي صلى الله عليو كسلم أنو قاؿ صبر على صاحبو لرأل العجب، لكن أخذتو من صاحبو ذمامة

Page 146: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

136

Khidir hingga bertemu seorang anak remaja, kemudian Khidir

membunuh anak tersebut.46

Keempat, tafsir al-Kasysyāf. Al-Zamakhsyari

mengutip hadis yang sama dengan Ahmad Musṭafā al-

Marāghi dan al-Jailāni, yaitu hadis tentang sebuah keajaiban-

keajaiban yang akan diperlihatkan kepada umat Muhammad

Saw, seandainya nabi Musa bersabar dalam menghadapi sikap

Khidir selama ia berguru padanya.47

3. Kecenderungan Fokus Bahasan

a. Sosok nabi Musa

Nabi Musa48

merupakan Nabi yang paling banyak

dikisahkan di dalam al-Qur’an daripada nabi-nabi yang lain.

46

Dalam kutipannya ia berkata ‚Maka tersebutlah dalam

riwayat Ibn Abbas bahwa perjalanan itu mereka teruskan, sehingga

berjumpa dengan anak muda-muda bermain-main. Di antara anak

muda yang sedang banyak bermain bersuka ria itu, kelihatan oleh

Guru itu seorang di antara mereka: ‚sehingga apabila keduanya

bertemu seorang anak muda, maka dibunuhnya lah (anak muda) itu.

Lihat: Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz. XV (Jakarta: PT Pustaka

Panjimas), 236.

أخرجو ابن مردكيو من ركاية داكد بن أبى ىند عن عبد الله بن عمن عن سعيد بن جبن عن 47

فقاؿ إف سىأىلتيكى عىن شى ءو . رحمة الله علينا كعلى م سى استحيا عند ذلك»كفيها . ابن عباس فذكر القصةىا فىلا تيصاحبني بػىعدى

Lihat: Mustafā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī 48

Musa as memiliki nama lengkap Musa Ibn Imran Nabi

dan rasul Bani Israil, Di dalam al-Quran tidak disebut mengenai

nama Musa kecuali yang diberi kitab Taurat, menurut ahli kitab

Musa yang diceritakan di dalam surat al-Kahfi bukan Musa Ibn

Imran tetapi Musa Ibn Misya Ibn Yusuf Ibn Ya’qub yaitu Nabi

sebelum Nabi Musa ibn Imran, namun banyak ulama yang

berpendapat bahwa yang benar adalah Musa ibn Imran Nabi dan

Rasul Bani Israil.

Page 147: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

137

Dari berbagai peristiwa yang dialami oleh nabi Musa yang

dicantumkan di dalam al-Qur’an tetapi peristiwa yang sangat

ditekankan peristiwa mengenai aqidah ketauhidannya, dan

itu menjadi bukti bahwa nabi Musa tidak pernah mengajarkan

umatnya untuk menyembah patung, melainkan menyembah

Allah SWT.49

Dalam kisah nabi Musa al-Qur’an

menyuguhkan beberapa pesan Teologis dan sosial, sehingga

nilai-nilai inilah yang bisa dipetik dari kisah-kisah nabi Musa

bagi pembacanya.50

Dari 30 kisah nabi Musa yang dijelaskan di dalam al-

Qur’an, tidak semua ayat menjelaskannya secara detail.

Sebagian ayat hanya menjelaskannya hanya untuk diambil

hikmahnya bagi pembacanya. Dan sebagian besar

menjelaskannya secara eksplisit, namun narasi kisahnya

dijelaskan secara fragmentatif , tidak secara utuh mulai dari

awal hingga akhir kisah.51

Selain itu, nabi Musa adalah sosok yang sangat

dikagumi oleh umatnya lebih dari itu, bahkan jumlah umat

yang menyembahnya semakin meningkat, walaupun nabi

Musa sudah melarang umatnya menyembahnya namun

mereka tidak pernah menghiraukan. Beliau mulai terkenal

dikalangan umatnyan sejak abad ke 13 SM. Di masa

hidupnya, seperti yang dijelaskan dalam buku Exodus bahwa

49

Adrika Fithrotul Aini, Keberagaman Nabi Musa dalam

al-Quran (Skripsi: UIN Sunan Kalijaga, 2014),95. 50

Muhammad Ahmad Khalaf Allāh, al-Fann al-Qasasī fī al-Qur’an al-Karīm (Kairo: Maktabat al-Nahdah al-Misrīyah, 1951),

98-112. 51

M. faisol, Interpretasi Kisah Nabi Musa Perspektif

Naratologi al-Qur’an (Jurnal Islamica: UIN Malik Ibrahim, 2017),

368

Page 148: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

138

ada beberapa kelompok orang Yahudi yang suka

menentangnya. Namun, nabi Musa mampu merubahnya.

Beliau diagung-agungkan oleh orang-orang Yahudi.52

Di samping ketenarannya, tidak sedikit info mengenai

nabi Musa yang bisa dipercayai, bahkan ada spekulasi yang

mengatakan bahwa nabi Musa berasal dari mesir. Karena

melihat namanya yang berbau mesir. Semenjak menjadi nabi,

ada tiga hal besar yang dihubungkan dengan perbuatan nabi

Musa, Pertama: beliau disebut tokoh politik yang sangat

berpengaruh karena berhasil memindahkan yahudi secara

besar-besaran dari Mesir. Kedua, dia berhasil sebagai penulis

pertama dari panca jilid Injil yang sering dikaitkan dengan

‚Lima Buku Musa‛ serta karangannya Torat Yahudi. Ketiga,

banyak orang yang mengatakan bahwa Nabi Musa adalah

pendiri Monoteisme Yahudi, dan itulah yang menjadi alasan

kuat yang bisa menunjang hal itu.53

b. Pertemuan Musa dengan Khidir

Kisah awal mula pertemuan nabi Musa dan Khidir

ketika nabi Musa memberikan khutbah kepada umatnya yaitu

bani Israiel, kemudian di antara mereka ada yang bertanya

kepada nabi Musa perihal siapakah orang yang paling pintar

dan nabi Musa menjawab ‚Aku‛. Dan berawal dari itulah

kemurkaan Allah kepadanya, kemudian Allah memerintahkan

nabi Musa untuk menemui seorang hamba yang lebih pintar

52

Adrika Fithrotul Aini, Keberagaman Nabi Musa dalam

al-Quran (Skripsi: UIN Sunan Kalijaga, 2014),95. 53

Moch Hafidz Fitratullah, Implementasi Manajemen

Konflik dalam Menemukan Solusi Perbedaan Pendapat: Belajar dari

Kisah Nabi Musa dan Khidir dalam Surat al-Kahfi Ayat 60-82

(Tesis: UIN Malik Ibrahim, 2014),104

Page 149: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

139

darimu, dia tinggal di antara pertemuan dua lautan, kemudian

nabi Musa bertanya kepada Allah, ‚Bagaimana aku bisa

bertemu dengannya wahai Tuhanku‛ kemudian Allah

menjawab, ‚Bawalah seekor ikan dan apabila nanti kamu

kehilangan ikan itu maka itulah petunjuknya.54

Usaha nabi Musa untuk bertemu dengan Khidir

memakan waktu yang sangat lama, yaitu bertahun-tahun.

Sebuah perjalanan yang sungguh menyita waktu yang lama

dan tenaga.55

Dalam perjalannya tersebut nabi Musa tidak

sendirian, yaitu ditemani seorang muridnya yang sangat setia.

Setibanya di tempat tersebut (tempat di mana ikan yang

dijadikan petunjuk hilang seketika, nabi Musa mencarinya

dan akhirnya berhasil menemukannya, setelah itu malanjutkan

perjalanan hingga akhirnya bertemu dengan Khidir.56

Setelah nabi Musa menemukan orang yang dimaksud

di tempat yang telah ditentukan oleh Allah sesuai dengan

karakteristiknya (Khidir),57

nabi Musa langsung menyapa dan

berkenalan dengannya.58

Lalu nabi Musa menyampaikan

54

Mohd Faeez Ilias, Ibrah Kisah Nabi Khidir Dalam Surah

Al-Kahfi Terhadap Pengajaran Dan Pembelajaran Alaf Baru (Jurnal:

Kolej Universiti Islam Antarabangsa Selangor, 2016),4 55

Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang

ingin mencari ilmu itu memang harus membutuhkan waktu yang

lama, tenaga yang kuat, dan ini berlaku secara sistematik. Apalagi

ilmu yang akan dicari adalah ilmu baru yang memerlukan waktu

yang panjang untuk bisa menguasainya 56

M. Faisol, Struktur Naratif Cerita Nabi Khidir Dalam

Al-Qur’an (Jurnal: UIN Malik Ibrahim, 2011), 242 57

Alī ibn Ahmad, Fath al-Bārī Sharh Sahīh al-Bukhārī, Vol. 6 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1989), 53

58 Untuk mempertegas keseriusannya dalam berguru, Nabi

Musa menampakkan kerendahan dan keseriusan dirinya dalam

Page 150: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

140

hasratnya untuk menuntut ilmu dan menjadikannya guru

dengan perkatan yang sopan dan santun.59

c. Musa Mendaulat Khidir Sebagai Gurunya.

Setelah nabi Musa bertemu dengan Khidir, nabi Musa

langsung memintanya untuk menjadi gurunya. Nabi Musa

memohon agar diajarin ilmu yang paling tinggi, namun Khidir

tidak langsung menerimanya sebagai murid, beliau

memastikan apakah nabi Musa mampu atau tidak berguru

padanya. Mendapat respon tidak baik dari Khidir, nabi Musa

pun memaksanya. Berbagai bentuk negosiasi dilakukan oleh

nabi Musa untuk menjadi murid Khidir. Selang beberapa

waktu, akhirnya Khidir menerima nabi Musa menjadi

muridnya dengan syarat harus sabar dan tunduk kepadanya. 60

d. Khidir Memberi Pelajaran kepada Musa.

Setelah nabi Musa membaiat dirinya sebagai murid

dari nabi Khidir dan beliau menerimanya. Khidir akhirnya

memberikan beberapa pelajaran kepada nabi Musa.61

menimba ilmu dan berjanji untuk tidak melakukan kesalahan

terhadap peraturan yang dibuatnya. Minat saja tidak cukup bagi

seseorang yang ingin menuntut ilmu tanpa dibarengi dengan

keseriusan dan ketekunan. Jika melihat ulama-ulama terdahulu

mereka sangat rajin dan serius dalam mencari ilmu, sehingga

outputnya menjadi ulama-ulama besar yang terkenal dengan

kearifannya. 59

Jamal Abd. Nasir, Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Guru

Dan Murid Dalam Perspektif Kisah Musa dan Khidir dalam Surat

Al-Kahfi Ayat 60-82 (Jurnal: IAIN Madura, 2018), 181. 60

M. Faisol, Struktur Naratif Cerita Nabi Khidir Dalam

Al-Qur’an (Jurnal: UIN Malik Ibrahim, 2011), 243. 61

M. Faisol, Struktur Naratif Cerita Nabi Khidir Dalam

Al-Qur’an, 343.

Page 151: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

141

Keseriusan nabi Musa dalam berguru ditunjukkan dengan

kelakuannya yang mengikuti jejak guru kemana pun gurunya

pergi. Tentunya, perjalanan yang ditempuhnya menempuh

jarak yang cukup panjang dan melelahkan.62

Pelajaran

pertama Khidir merusak sebagian papan perahu hingga

berlubang. Secara spontan nabi Musa menegur perbuatan

gurunya dengan argumentasi yang logis berdasarkan ilmu

yang dimiliki oleh nabi Musa, karena perbuatan gurunya telah

dianggap menyalahi ajaran agama yang dipahami oleh nabi

Musa. Dalam hal ini, Khidir memberikan peringatan kepada

nabi Musa atas ketidaksabarannya, akhirnya nabi Musa minta

maaf dan memohon agar tetap menjadi muridnya. Kemudia

khidir menerima atas permintaan nabi Musa.63

Kemudian Khidir mengajaknya melanjutkan

perjalanan, tiba dipertengahan jalan mereka bertemu dengan

anak kecil yang sedang bermain, lantas Khidir membunuh

anak itu dengan membenturkan kepalanya ke tembok. Nabi

Musa merasa terkejut dan menegurnya, karena perbuatan

yang dilakukan oleh Khidir terhadap anak yang tidak berdosa

sangat bertentangan dengan agama, kemudian Khidir pun

menegurnya kembali, khidir memberikan satu kesenpatan

lagi, namun jika nabi Musa tidak mampu atas pelajaran yang

diberikan Khidir, maka Khidir tidak mau memberikannya

pelajaran lagi.64

62

Jamal Abd. Nasir, Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Guru

dan Murid dalam Perspektif Kisah Musa dan Khidir Dalam Surat

Al-Kahfi Ayat 60-82, 182. 63

M. Faisol, Struktur Naratif Cerita Nabi Khidir Dalam

Al-Qur’an (Jurnal: UIN Malik Ibrahim, 2011), 242. 64

M. Faisol, Struktur Naratif Cerita Nabi Khidir Dalam

Al-Qur’an, 243.

Page 152: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

142

Pada kesempatan ketiga, Khidir mengajak nabi Musa

berjalan lagi, setibanya di suatu daerah beliau menemukan

dinding bangunan yang hampir roboh, kemudian Khidir

menegakkannya kembali. Melihat kejadian aneh itu, nabi

Musa menegurnya kembali atas tindakannya tersebut.65

Dari

ketiga pelajaran terebut nabi Musa tidak berhasil

melanjutkan ke pelajaran berikutnya dan Khidir memintanya

untuk tidak menjadi muridnya lagi.

e. Khidir Memutuskan Berpisah dengan Musa

Setelah beberapa kejadian tersebut akhirnya Khidir

memutuskan untuk berpisah dengan nabi Musa dan nabi Musa

tidak boleh mengikutinya lagi. Namun sebelum berpisah

Khidir berkata ‚saya akan menjelaskan kepadamu perbuatan

yang engkau tidak mampu bersabar‛ Pertama tentang perahu

yang dilubangi itu adalah milik orang miskin yang bekerja di

laut, aku sengaja merusaknya karena di depan ada raja yang

berusaha merampas hasil kerja mereka. kedua, mengenai anak

yang sedang bermain lalu aku bunuh adalah dia dilahirkan

dari orang tua yang mukmin, aku khawatir anaknya akan

orang tuanya pada kesesatan, semoga tuhan memberikan anak

yang memiliki hati yang lebih baik dan lebih sayang kepada

orang tuanya. Ketiga, tentang tembok yang ditegakkan

kembali bahwa itu milik anak yatim yang mana di bawahnya

terdapat harta yang sengaja dikubur oleh orang tuanya untuk

mereka berdua, orang tuanya adalah seorang yang shaleh,

Khidir berharap tuhan menghendaki agar keduanya bisa hidup

sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya

65

M. Faisol, Struktur Naratif Cerita Nabi Khidir Dalam

Al-Qur’an, 244.

Page 153: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

143

sebagai rahmat. Setelah itu, Khidir berkata apa yang aku

perbuat bukan semerta-merta dari aku sendiri, namun itu

semua dari Tuhan.66

Akhirnya nabi Musa sadar ada banyak hikmah yang

terkandung di setiap apa yang dilakukan oleh Khidir, dan

beliau paham dan merasa bersukur karena telah dipertemukan

dengan hamba Allah yang sangat Shalih yang mampu

memberikan beberapa wejangan ilmu yang tidak dapat

diperoleh dari siapapun.67

f. Subjek Kisah

Dari kisah di atas, berbagai macam pokok

permasalahan yang terjadi dalam kisah Khidir dan nabi Musa

bisa kita ambil manfaatanya, di antaranya pertama Nilai

pendidikan. Dalam watak seseorang pastinya tidak lepas dari

sifat rasa ingin mengetahui terhadap sesuatu dan sifat itu

yang menjadi modal nabi Musa selalu bertanya terhadap

pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Khidir,68

baik ketika

66

Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV Darus Sunah, 2011), 302-

303. 67

Jamal Abd. Nasir, Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Guru

dan Murid dalam Perspektif Kisah Musa dan Khidir Dalam Surat

Al-Kahfi Ayat 60-82, 186. 68

Dalam posisinya, nabi Musa sebagai murid sedangkan

Khidir sebagai Guru. Dalam kisah bertemunya kedua insan tersebut,

diartikan dengan bertemunya dua pengetahuan yang berbeda. Nabi

Musa berfikir menurut pandangan Syariatnya sedangankan Khidir

berfikir menurut pandangan hakikatnya. Ahmad al-Syawi

menyebutkan bahwa ilmu yang dimiliki oleh nabi Musa adalah ilmu

Dzahir, sedangkan ilmu yang dimiliki oleh Khidir adalah ilmu

kasyfi. Dalam kisah di atas bahwa manusia perlu melakukan

tambahan pembelajaran tidak cukup hanya dengan ilmu yang

Page 154: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

144

terjadi dialog tentang perahu yang dilubangi oleh Khidir

dengan sifat spontannya nabi Musa menanyakan hal itu

karena apa yang telah dilakukan oleh Khidir bertolak

belakang dengan apa yang nabi Musa ketahui melalui

agamanya.69

Terdapat nilai-nilai yang sangat penting dari kisah

nabi Musa dan Khidir yang bisa diambil, nilai-nilai tersebut

perlu dimiliki oleh seorang guru dan murid saat

berlangsungnya proses belajar mengajar. Dialog yang terjadi

di antara keduanya mengandung nilai-nilai edukatif, yaitu

proses transformasinya ilmu dari Khidir ke nabi Musa. Di

mana nabi Musa mampu memahami apa yang disampaikan

oleh Khidir walaupun sering terjadi perdebatan di antara

keduanya karena beda dasar pengetahuannya.70

Kedua Tawadhu’, ketika nabi Musa berkhotbah dan

ditanya oleh salah seorang umatnya ‚adakah orang yang lebih

pintar darimu?‛ dan nabi Musa menjawab ‚tidak‛, bermula

dari itu Allah memperingatkannya, bahwa ada hambanya

dimiliki karena dalam setiap harinya ilmu akan selalu berkembang

mengikuti zaman, ketika hanya terpaku pada ilmu yang dimiliki

maka pengetahuannya hanya berdiam dan tidak ada perkembangan.

Lihat: Lukmanul Hakim, Pendidikan Karakter Rasa Ingin Tahu

Melalui Pembelajaran Konstruktif Dalam Kisah Musa Dan Khidir

(Jurnal Tarbawi: Uinversitas Muhammadiyah Tangerang, 2019),

139. 69

Lukmanul Hakim, Pendidikan Karakter Rasa Ingin Tahu

Melalui Pembelajaran Konstruktif Dalam Kisah Musa Dan Khidir

(Jurnal Tarbawi: Uinversitas Muhammadiyah Tangerang, 2019),

147. 70

Muh. Luqman Arifin, Nilai-Nilai Edukasi dalam Kisah

nabi Musa-Khidir dalam al-Quran (Jurnal Dialektika: Universitas

Peradaban, 2018), 32.

Page 155: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

145

yang lebih pintar darinya. Seketika itu nabi Musa mencarinya

uutk menjadikannya guru. Banyak pelajaran yang tidak

mampu dipahami oleh nabi Musa, mulai dari kenapa Khidir

melubangi perahu, Membunuh anak kecil, dan menegakkan

dinding rumah yang hampir roboh. Semua yang tidak

dipahami ditanya oleh nabi Musa ke gurunya. Ketika Khidir

menjelaskannya dan nabi Musa paham apa yang dijelaskan

baru nabi Musa sadar bahwa ilmu Allah luas cakupannya dan

apa yang diketahui oleh nabi Musa masih belum seberapa. 71

Sikap tawadhu yang dimiliki oleh nabi Musa untuk

belajar kepada Khidir seharusnya tertanam dalam diri

manusia, sehingga apa yang disampaikan oleh gurunya bisa

dipahami secara mendalam. Tawadhu sikap seseorangyang

tidak memandang bahwa dirinya lebih pintar dari orang lain.

Selain itu, tindakan nabi Musa memohon kepada Khidir untuk

menjadi gurunya merupakan sebuah etika seorang murid pada

gurunya, sehingga nabi Musa lebih terlihat rendah hati dan

tawadhu.72

Ketiga Sabar, berawal ketika Allah memerintahkan

nabi Musa bertemu seorang hambanya yang lebih pandai dari

nabi Musa. Dengan perjalanan yang sangat lama dan jauh,

nabi Musa ditemani umatnya yang sangat patuh padanya.

Dibekali seekor ikan sebagai petunjuk agar bisa berjumpa

dengan Khidir. Ketika bertemu dengan Khidir, nabi Musa

masih diuji kesabaran mengenai kesediaan Khidir menjadi

71

Muh. Luqman Arifin, Nilai-Nilai Edukasi dalam Kisah

nabi Musa-Khidir dalam al-Quran (Jurnal Dialektika: Universitas

Peradaban, 2018), 33. 72

Muh. Luqman Arifin, Nilai-Nilai Edukasi dalam Kisah

nabi Musa-Khidir dalam al-Quran, 34.

Page 156: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

146

gurunya. Negosiasi yang dilakukan nabi Musa merupakan

keinginannya untuk menjadi murid dari Khidir. Akhirnya

Khidir menerimanya dengan syarat harus sabar dan tidak boeh

banyak bertanya. Dalam hal ini, kesabaran nabi Musa

ditunjukkan ketika beliau harus menempuh perjalanan yang

sangat jauh dan memakan waktu yang lama.73

Dalam kisah ini, Khidir mengajak nabi Musa untuk

memanfaatkan semua alat inderanya agar bisa mencermati

semua pelajaran yang diterimanya. Bahkan nabi Musa diajak

untuk melibatkan hati dan pikirannya sehingga karakter

aslinya muncul secara spontan. Dari sanalah Khidir

mendidikanya, mengingatkan semua kesalahannya sehingga

akhirnya tercapailah kesabaran dari diri nabi Musa melalui

pembinaan akhlak.

B. Hukum Pembunuhan Nabi Khidir terhadap Ghulam

dalam Surat al-Kahfi

Ayat ahkam secara umum sebagaimana dikemukakan

oleh Ali bin Sulaiman al-Ubaid adalah ayat-ayat al-Qur’an

yang menjelaskan hukum- hukum fiqh (hukum-hukum

syari’ah yang bersifat praktis dan ‘amaliyah) dan menjadi

dalil atas hukum-hukumnya baik secara naṣ atau secara

istinbāṭ.74 Namun, menurut Moqsith Ghazali tidak ada ulama

yang mendefinisikan ayat-ayat ahkam ini secara serius, hal ini

karena sudah cukup jelas pengertian yang diambil dari kata

73

Anita Fauziah, Implikasi Edukatif Kisah Nabi Musa Dan

Nabi Khidir Dalam Qs. Al-Kahfi/18: 60-82: Studi Literatur

Terhadap 5 Tafsir Mu’tabarah ( Jurnal Tarbawi, Universitas

Pendidikan Indonesia, 2019), 40. 74

‘Alī ibn Sulaimān al-‘Ubaid, Tafsīr Ayāt al-Aḥkām wa Manhājuhā (Riyāḍ: Dār al-Tadmuriyah, 2010), 125.

Page 157: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

147

‚ayat hukum‛ itu sendiri. Dari sini dapat dipahami bahwa

ayat hukum adalah ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan

dengan perbuatan manusia (mukallaf).75

Di kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat

mengenai batasan ayat hukum dalam al-Qur’an. Beberapa

ulama berpendapat bahwa ayat hukum dalam al-Qur’an tidak

terbatas pada ayat-ayat tertentu. Mereka antara lain adalah

Najmu al-Dīn al-Ṭufī, Ibn Daqīq al-‘Īd, al-Ṣan’ānī dan al-

Syaukānī.76

Bagi mereka, seluruh ayat al-Qur’an mengandung

hukum, meski hanya terselip secara implisit dan tidak semua

orang mengetahuinya. Menurut al-Qarafi tidak satu ayat pun

dalam al-Qur’an kecuali di dalamnya terkandung suatu

hukum.77

Bertolak dari pendapat di atas, dalam pandangan

jumhur ulama, tidak semua ayat al-Qur’an dapat dijadikan

75

Lilik Ummi Kaltsum dan Abd Moqsith Ghazali, Tafsir Ahkam, cet. I (Ciputat: UIN Press, 2015), 11. Istilah ayat-ayat

hukum adalah untuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan

masalah-masalah hukum. Hal ini sama dengan penyebutan ayat-ayat

yang berisikan teologi disebut ayat-ayat kalam, ayat-ayat yang

berisi tentang etika disebut sebagai ayat akhlak, ayat-ayat yang

berisi tentang kisah disebut ayat al-Qaṣaṣ, demikian juga ayat-

tentang pendidikan disebut dengan ayat tarbawi, dan ayat yang

berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi disebut dengan

ayat al-Kauniyah. Lihat: Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 118.

76 Najm al-Dīn al-Ṭufī, Syarah Mukhtaṣar al-Raudah,577-

578. Badr al-Dīn Muḥammad bin ‘Abd Allāh bin Bihār Al-Zarkasyī,

al-Buhr al-Muhīṭ fī Uṣūl Fiqh, juz. VII, Cet. I (Libanon: Dār al-

Kutub al-‘Alamiyah Beirūt, 2000 M) h. 230. Al-Ṣan’ānī, Ijābah al-Sāil Syarh Bugyah al-Āmil, 384. Al-Syaukānī, Irsyād al-Fuhūl, 2/206.

77 Syihabuddīn al-Qarafī, Syarh al-Tanqīn, 1/437

Page 158: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

148

sebagai dalil hukum fiqh. Hal ini didasarkan pada fakta atas

keberadaan ayat-ayat hukum yang terbatas. Namun mengenai

kepastian jumlahnya, para fuqahā berbeda pendapat, sebagai

berikut. Ibn al-Mubārak (w. 181 H) 900 ayat, Abū Yusūf (w.

183 H) 1.100 ayat, Ibn Qudamah (w. 290 H) 500 ayat, Imām

al-Ghazālī (w. 505 H) 500 ayat, al-Rāzī (w. 639 H) 500 ayat,

Ibn Jazzāri al-Kalbī 500 ayat, Ibn al’Arabī (w. 543 H) 400

ayat, Ṭanṭawī Jauhārī (w. 1862 M) 150 ayat, Aḥmad Amīn (w.

1954 M)200 ayat, dan ‘Abd Wahhāb Khallāf (w. 1956 M) 228

ayat.78

Perbedaan tersebut paling tidak dipengaruhi oleh

beberapa faktor. Antara lain adalah perbedaan persepsi dalam

menentukan kriteria ayat-ayat hukum, ada ayat-ayat al-

Qur’an jika dilihat dari sisi tertentu ia mencerminkan ayat

hukum, tetapi pada sisi lain ia mengisyaratkan kelompok ayat

lain. Misalnya QS. Hūd/11:84.79

Tindak pidana pembunuhan merupakan perbuatan

yang melanggar hukum atau aturan yang telah ditetapkan

dalam al-Qur’an dan pelakunya diancam dengan sanksi

78

Asep Sulhandi, ‚Mengenal Ayat-ayat Hukum dalam al-

Qur’an‛ (Jurnal Samawat, Vol. 1, No. 1, 2017), 4.

79

بنا ن لىكيم مىا اللى اعبيديكا قػى ـ ى قىاؿى إلىى مىديىنى أىخىاىيم شيعىيػ تىنقيصي ا كىلاى غىيػريهي إلى وو مييو أى كىإ بخىنو أىرىاكيم إ كىالميزىافى المكيىاؿى خىاؼي عىلىيكيم عىذىابى يػى وـ مح

Ayat di atas, sekilas lebih menonjol aspek sejarah dan

teologinya. Sebab, kandungannya berupa perintah nabi Syu’aib

kepada kaumnya untuk menyembah Allah Swt, semata. Tetapi, bila

dicermati dari aspek lainnya, maka ayat tersebut dapat juga

diklasifikasikan ke dalam kelompok ayat-ayat hukum, dalam hal ini

larangan berbuat curang dalam bentuk apapun, termasuk

mengurangi takaran atau timbangan (sebagaimana disebutkan dalam

teks ayatnya). Lihat: Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, 32.

Page 159: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

149

pidana.80

Al-Qur’an dengan jelas mengisyaratkan bahwa

setiap individu memiliki hak hidup. Oleh karenanya, dalam

beberapa ayat, al-Qur’an melarang membunuh manusia

sekaligus memerintahkan untuk memelihara kehidupan.81

Ayat yang berkenaan dengan pembunuhan yang

pertama kali turun adalah QS. Al-Isrā’/17:33. Dalam

pandangan al-Qurṭubī, kandungan pokok ayat tersebut adalah

larangan membunuh seseorang tanpa alasan yang dibenarkan

syara’. 82 Kebolehan membunuh seseorang harus didasarkan

pada hakim dalam suatu pengadilan yang berkompeten.83

80

Kata Tindak Pidana berasal dari Istilah yang dikenal

dalam pidana Belanda, yaitu Strafbaar feit dan terkadang

menggunakan kata delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah,

2011), 23. Lihat juga: Suharto, Hukum Pidana Materiil: Unsur-Unsur Objektif sebagai Dasar Dakwaan, cet. I (Jakarta: Sinar

Grafika, 2002), 28. 81

Ahmad, ‚Konsep Hak-Hak Asasi Manusia dalam al-

Qur’an‛ (Disertasi, Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2005), 185 82

Abū ‘Abd Allāh muḥammad ibn Aḥmad al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, jilid. 7 (Mesir: Dār al-Kātib al-‘Arabī,

1967), 133. QS. Al-Isrā’ di atas sekaligus memberikan pengecualian

bahwa membunuh itu diperbolehkan dengan alasan yang sah atau

dibenarkan syara’, seperti kisas. Lihat: ’Alī ibn Aḥmad al-Wāḥidī,

al-Wajīz fī tafsīr al-Kitāb al-‘Azziz, Jilid. 2, cet. 1 (Damaskus: Dār

al-Qalam, 1415 H), 634. 83

Almaudūdi membedakan antara membunuh dengan

menghukum mati. Dalam pandangannya, hukuman mati itu adalah

menghilangkan satu nyawa demi menyelamatkan banyak nyawa,

dan berhak mengeksekusi adalah pengadilan yang telah ditunjuk

secara resmi oleh negara/pemerintah. Lihat: al-Maudūdi, Human Right in Islam (London: The Islamic Pondation, 1976), 22.

Page 160: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

150

Dalam konteks hubungan manusia dengan manusia,

dilihat dari sisi sejarah, praktik kezaliman dan tindakan

diskriminatif terhadap umat manusia sudah berlangsung sejak

adanya kehidupan manusia itu sendiri. Yaitu sejak terjadi

konflik dua anak Nabi Adam, Qabil dan Habil yang berakhir

dengan pembunuhan.84

Inilah awal mula terjadinya

pembunuhan dan berlangsung hingga saat ini.85

Ulama sepakat bahwa pembunuhan merupakan

perbuatan yang haram dilakukan dan memiliki implikasi di

dunia dan akhirat. Di akhirat pelaku pembunuhan (sengaja)

mendapatkan balasan sebagaimana disebutkan dalam surat

an-Nisā’/4:93, yaitu dimasukkan ke dalam neraka Jahanam,

dimurkai serta dikutuk oleh Allah Swt.86

Bahkan sebagaimana

disebutkan oleh Ibn Katsīr, membunuh seseorang dengan

sengaja merupakan dosa besar yang dalam beberapa ayat al-

Qur'an disejajarkan dengan dosa syirik. Namun demikian,

masih banyak orang yang menganggap hal tersebut hanya

sebagai tulisan tanpa memandang isi teksnya sehingga tidak

84

…dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya

kepada mereka tentang kisah kedua puta Adam, ketika keduanya

mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari

mereka berdua (Habil) diterima dari yang lain (Qabil) tidak

diterima. Dia (Qabil) berkata, ‚sungguh, aku pasti membunuhnmu!‛

dia (Habil) berkata, ‚sesungguhnya Allah Swt, hanya menerima

(amal) dari orang-orang yang bertakwa‛. QS. Al-Māidah/5:27. 85

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Badan Litbang

dan Diklat Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik: Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Lajnah

Pestashih Mushaf al-Qur’an, 2010), 299. 86

Ahmad Bahiej, ‚Memahami Keadilan Hukum Tuhan

dalam Qisas dan Diyat‛ (Jurnal as-Syi’rah, Vol. 39, N0. I, 2015), 4.

Page 161: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

151

sedikit orang masih melakukan tindakan pembunuhan kepada

orang lain.

Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan sebagai

landasan hukum atas pembunuhan yang sering kali peneliti

jumpai dalam beberapa kitab tafsir, buku dan literatur lainnya

adalah sebagai berikut: QS. Al-Baqarah/2:178-179,87

QS. Al-

Nisā’/4:92-93,88

QS. Al-Māidah/5:32 dan 45,89

QS. Al-

87

لىى كىالينػثىى بلعىبد كىالعىبدي بلير الير ى أىيػهىا الذينى آمىني ا كيتبى عىلىيكيمي القصىاصي القىتػعريكؼ فىاتبىاعه شى ءه أىخيو من لىوي عيف ى فىمىن بلينػثىى لكى حسىافو إلىيو كىأىدىاءه بلمى في ه من رىبكيم تى ذى لكى بػىعدى اعتىدىل فىمىن كىرىحمىةه تػىتػقي ف لىعىلكيم الىلبىاب أيكو ى حىيىاةه القصىاص كىلىكيم ( 178 )أىليمه عىذىابه فػىلىوي ذى

(179) 88

كىما كافى لميؤمنو أىف يػىقتيلى ميؤمنان إلا خىطىأن كىمىن قػىتىلى ميؤمنان خىطىأن فػىتىحريري رىقػىبىةو ميؤمنىةو كىديىةه ميسىلمىةه قي ا فى ف كافى من قػى وـ عىديكو لىكيم كىىي ى ميؤمنه فػىتىحريري رىقػىبىةو ميؤمنىةو كىإف كافى من قػى وـ بػىيػنىكيم إلى أىىلو إلا أىف يىصد

يـ شىهرىين ميتىتابعىن تػى بىةن منى الل كىكافى اللي د فىصيا نػىهيم ميثاؽه فىديىةه ميسىلمىةه إلى أىىلو كىتىريري رىقػىبىةو ميؤمنىةو فىمىن لمى يى كىبػىيػدان فىجىزاؤيهي جىهىنمي خالدان فيها كىغىضبى اللي عىلىيو كىلىعىنىوي كىأىعىد لىوي عىذابن (92)عىليمان حىكيمان كىمىن يػىقتيل ميؤمنان ميتػىعىم

(93)عىظيمان 89

لكى نىا من اىجل ذ تػىبػ ءيلى بىني عىل ى كى فى فىسىادو اىك نػىف و بغىن نػىفسنا قػىتىلى مىن اىنو اسرىاا

عنا الناسى قػىتىلى فىكىاىنىا الاىرض يػ عنا الناسى اىحيىا اىىا فىكىاىنىااىح ى كىمىن جى يػ ءىتػهيم كىلىقىد جىاا اف ي بلبػىين ت ريسيلينىا جى

ثيػرنا نػهيم كى لكى بػىعدى م نىا( 32 )لىميسرفػي فى الاىرض فى ذ تػىبػ كىالىن ى بلعىن كىالعىنى بلنػف النػف ى أىف فيهىا عىلىيهم كىكىن كىالجيريكحى قصىاصه ن بلس أىنػزىؿى بىا ىكيم لمى كىمىن لىوي كىفارىةه فػىهي ى بو تىصىدؽى فىمىن بلىن كىاليذيفى بليذيف كىالس

(45 )الظالمي فى ىيمي فىأيكلى كى اللي

Page 162: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

152

An’ām/6:151,90

QS. Al-Isrā’/17:31 dan 33,91

QS. Al-

Furqān/25:68.92

1. Kriteria Ayat-Ayat Pembunuhan (Pidana)

Sebelum menguraikan kriteria ayat-ayat pembunuhan,

terlebih dahulu penulis akan mengemukakan beberapa

pengantar tentang pembunuhan. Definisi pembunuhan adalah

bagian yang akan dibahas pada sub-bab ini. Hal ini untuk

mengetahui beberapa pandangan ulama tentang makna

pembunuhan, agar menjadi landasan atau rujukan dalam

menganalisa masala-masalah berikutnya.

Secara etimologi, pembunuhan atau al-Qatl

merupakan bentuk ketiga dari kata qatala-yaqtulu-qatlan yang

diartikan sebagai ‚pembunuhan‛ oleh Munawwir dalam

kamusnya.93

Berbeda dengan Munawwir, kata qatal dalam

pandangan Ibn Faris memiliki dua makna, yaitu idzlāl yang

berarti merendahkan, menghinakan dan melecehkan. Kedua,

imāṭah yang artinya adalah membunuh atau mematikan.94

90

ؽو دىكيم من إملاى ىيم نػىرزيقيكيم ىني كىلاى تػىقتػيلي ا أىكلاى كىمىا منػهىا ىهىرى مىا الفى ىاح ى تػىقرىبي ا كىلاى كىإ ىـ الت النػف ى تػىقتػيلي ا كىلاى بىطىنى لكيم بلى إلا اللي حىر تػىعقلي فى لىعىلكيم بو كىصاكيم ذى

ؽو 91 دىكيم خىشيىةى إملاى كيم نػىرزيقػيهيم ىني كىلاى تػىقتػيلي ا أىكلاى لىهيم إف كىإ ( 31 )كىبننا خط نا كىافى قػىتػىـ اللي إلا بلى عىلنىا فػىقىد مىظلي منا قيتلى كىمىن كىلاى تػىقتػيلي ا النػف ى الت حىر سرؼ القىتل مي فىلاى سيلطىانان ل ىليو جى

(33 )مىنصي رنا كىافى إنوي 92

ىـ اللي إلا بلى كىلاى يػىزني فى كىمىن كىالذينى لاى يىدعي فى مىعى الل إلى نا آخىرى كىلاى يػىقتػيلي فى النػف ى الت حىرلكى يػىفعىل منا يػىل ى ذى أىثى

93 Ahmad Warson Munawwir dan Muhammad Fayruz, Al-

Munawwir Kamus Indonesia-Arab, cet. I (Surabaya: Pustaka

Progresif, 2007), 164. 94

Abī al-Husain Aḥmad Ibn Fāris Ibn Zakariyā, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, (tt, Dār al-Fikr, tt), 715.

Page 163: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

153

Sementara menurut al-Rāghib al-Asfahānī kata al-Qatl

bermakna menghilangkan roh dari jasad.95

Adapun secara terminologi sebagaimana

dikemukakan oleh Waḥbah al-Zuḥailī dalam bukunya al-Fiqh

al-Islāmī wa Adillatuh adalah suatu perbuatan yang

mematikan atau perbuatan yang dapat menghancurkan

bangunan kemanusiaan.96

Abdul Qadir Audah mendefinisikan

pembunuhan sebagai suatu tindakan yang dapat

menghilangkan nyawa, ruh atau jiwa orang.97

Hal senada juga

dikemukakan oleh al-Jurjānī dalam Mu’jām al-Ta’rīfāt bahwa

pembunuhan adalah perbuatan yang menyebabkan hilangnya

nyawa seseorang,98

dan jika merujuk pada Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) maka, kata pembunuhan dapat

diartikan dengan proses, cara dan perbuatan membunuh.99

Meskipun banyak mengandung ayat-ayat tentang

hukum, al-Qur’an tidak dapat dikatakan sebagai kitab

hukum.100

Melainkan sebuah pedoman hidup yang utuh dan

95

Al-Rāghib al-Asfahānī, Mu’jam Mufradāt al-Fāẓ al-Qur’ān, (Damsik: Dār al-Qalām, 229), 655.

96 Wahbah al-Zuhailī, Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillātuh, jilid,

VI (Damaskus: Dār al-Fikr, 1989), 217. 97

Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jinai al-Islamī, Jilid. II, (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī), 6.

98 ‘Alī Ibn Muḥammad al-Sayyid al-Syarīf al-Jurjānī,

Mu’jām al-Ta’rīfāt, (Beirūt: Dār al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1983), 172. 99

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 13.

100 Al-Qur’an bukan kitab undang-undang hukum, tetapi ia

adalah kitab petunjuk. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan hukum

yang terdapat di dalam al-Qur’an tidak bersifat rinci sebagaimana

dalam buku-buku hukum, tetapi hanya berupa kaidah-kaidah atau

petunjuk umum. Dari kaidah umum inilah kemudian dikembangkan

oleh para ulama untuk menjawab persoalan-persoalan yang tidak

Page 164: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

154

komplet, yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia.

Seperti Akidah (al-A’rāf/7:54), Ibadah (al-Dzurriyāt/51:56),

Akhlak (al-Ahzāb/33:21), Hukum (al-Ra’d/13:37), dan Kisah

(Yusūf/12:3).101

Semua ketetapannya didasarkan pada prinsip-

prinsip umum, karena itulah tidak ada bab-bab atau bagian-

bagian yang baku di dalam al-Qur’an. Itulah sebabnya

penafsiran atas al-Qur’an terus berkembang sesuai situasi dan

kondisi.102

Untuk mengetahui ciri-ciri ayat al-Qur’an yang

seringkali dijadikan dalil hukum atas pembunuhan oleh para

ulama, maka peneliti telah melakukan penelusuran dan

pelacakan terhadap beberapa kitab fikih dan tafsir-tafsir

Ahkam, khususnya pada bab Kisas atau pembunuhan,

mengumpulakan sejumlah ayat-ayat al-Qur’an yang dikutip

oleh para mufasir dan fuqaha kemudian dianalisa.

Berikut ini adalah beberapa hasil pelacakan peneliti

terhadap beberapa kitab tafsir Ahkam, hal ini sebagaimana

yang telah dikemukakan pada bab I, namun pada bab ini akan

ditambah sejumlah tafsir lainnya untuk memperkaya data

yang akan dianalisa.

terdapat hukumnya dalam al-Qur’an tetapi mempunyai kesamaan

‘illat. Lihat: Achyar Zain, ‚Kriteria Tindak Pidana dalam al-

Qur’an‛ (Disertasi, Pascasarjana IAIN Al-Raniry Darussalam Banda

Aceh, 2009), 49. 101

H.A. Wardi Muslich, ‚Ayat-ayat Pidana dalam al-

Qur’an‛ (Jurnal al-Qalam, Vol. XVIII, No, 90-91), 50. Lihat juga:

Ahmad Izzan, Ulum al-Qur’an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas al-Qur’an, cet. 5 (Bandung: Tafakur Kelompok

Humaniora, 2013), 159. 102

Abd al-Hamid Mutawallī, Mabādī’ Nizām al-ḥukm fī al-Islām Ma’a al-Muqāranah bi al-Mubādi’ al-Dustūriyah al-Hadīthash, (Iskandariyah: Mansya’ah al-Ma’arif, 1978), 239.

Page 165: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

155

Ayat-ayat tersebut di atas dapat ditemukan di dalam

beberapa kitab tafsir ahkam pada pembahasan atau bab yang

berbeda. Pertama, tafsir Rawā’i al-Bayān karya ‘Alī al-Ṣābunī

(L. 1930 M), QS. Al-Baqarah/2:178-179 disebutkan dalam

bab al-Qiṣāṣ fī Ḥayāt al-Nufūs. QS. Al-Nisā’/4:92-93

disebutkan dalam bab Jarīmah al-Qatl. 103 Kedua,tafsir al-

Bayān li Aḥkām al-Qur’ān karya al-Muzi’ī (w. 825 H), QS.

Al-Baqarah/2:178-179, QS. Al-Māidah/5:45 dan QS. Al-

Isrā’/17:33 disebutkan dalam bab Min Aḥkām al-Qiṣāṣ,QS.

Al-Nisā’/4:92-93 disebutkan dalam bab Aḥkām al-Qiṣāṣ wa

al-Diyāt.104 Ketiga, tafsir Kanzu al-Irfān fī Fiqh al-Qur’ān

karya Jamāl al-Dīn al-Miqdād ‘Abdillāh al-Sayūri (w. 826 H),

QS. Al-Baqarah/2:178-179, QS. Al-Nisā’/4:92-93, QS. Al-

Māidah/5:32 dan 45, dan QS. Al-Isrā’/17:33, disebutkan

dalam bab Kitāb al-Jināyāt. 105 Keempat,tafsir Aḥkām al-

Qur’ān karya Ibn al-‘Arabī (468-543 H), QS. Al-

Baqara/2:178-179, QS. Al-Maidah/5:45, QS. Al-Isrā’/17:33,

kesemuanya disebutkan dalam bab Qisas.106

Kelima, tafsir

Aḥkām al-Qur’ān karya al-Kiyā al-Harrāsī (w. 504 H), QS.

Al-Baqarah/2:178-179, QS. Al-nisā’/4: 29, QS. Al-

103

Muḥammad ‘Alī al-Ṣābunī, Rawā’i al-Bayān Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur’ān, juz II (Beirut: Maktab al-Ghazālī,

tt), 168. 104

Al-Mauzi’ī atau Ibn Nuri al-Dīn, Taisīr al-Bayān Lī Aḥkām al-Qur’ān (Libnan: Dār al-Nawādir, 2012 M), 217 dan 457.

105 Jamāl al-Dīn al-Miqdād ‘Abdillāh al-Sayūri, Kanzu al-

‘Irfān fī Fiqh al-Qur’ān (al-Maktab al-Murtadiyah, 1373 H), 354-

358. 106

Abū Bakr Muḥammad bin ‘Abdillāh Ibn al-‘Arabī, Aḥkām al-Qur’ān, Juz. I (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Alamiyah, tt),

89.

Page 166: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

156

Māidah/5:32 dan 45 dan QS. Al-Isrā’/17:33.107

Keenam, tafsir

Aḥkām al-Qur’ān karya Ismā’īl bin Isḥāq (w. 282 H), QS. Al-

Baqarah/2:178-179, QS. Al-Māidah/5:45 dan QS. Al-

Isrā’/17:33.108

Ketujuh,tafsir al-Tafsīr wa al-Bayān li Aḥkām

al-Qur’ān karya ‘Abd al-‘Azīz bin Marzūq al-Ṭarīfī, QS. Al-

Baqarah/2:178179 (juz I), QS. Al-Nisā’/4:92-93 (Juz II), QS,

al-Māidah/5:45 (Juz III), QS. Al-An’ām/6:151 (Juz III), dan

QS. Al-Isrā’/17:31 dan 33 (Juz IV).109

Kedelapan, tafsir

Aḥkām al-Qur’ān karya Abū Bakr Aḥmad ‘Alī al-Rāzī al-

Jaṣṣāṣ (w. 370 H), QS. Al-Baqarah/2:178-179, QS. Al-

Māidah/5:45, QS. Al-Isrā’/17:33, disebutkan dalam bāb al-

Qiṣaṣ dan Kayfiyah al-Qiṣāṣ.110

Berdasarkan data-data berupa ayat-ayat al-Qur’an

yang berkaitan dengan pembunuhan, sebagaimana dipaparkan

di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kriteria ayat

pembunuhan adalah sebagai berikut:

Pertama, di dalamnya terdapat kata qatala

(membunuh), baik dalam bentuk fi’il māḍi (قخل), fi’il muḍāri’

mufrad (يقخل) dan fi’il muḍāri’ jama’ ( حقخلىا, يقخلىن ) atau dalam

bentuk masdar ( قخل- القخل )

Kedua, di dalamnya terdapat kata qiṣaṣ disandingkan

dengan pembunuhan, kehidupan melukai bagian tubuh.

107

‘Imād al-Dīn Muḥammad al-Ṭabarī al-Kiyā al-Harrāsī (Beirūt: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1983), 45.

108 Al-Qāḍī Abī Isḥāq Ismā’īl bin Isḥāq, Aḥkām al-Qur’ān,

Cet. I (Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 2005 M), 65. 109

‘Abd al-‘Azīz bin Marzūq al-Ṭarīfī, al-Tafsīr wa al-Bayān li Aḥkām al-Qur’ān, Cet. I (Riyāḍ: Maktabah Dār al-Manhāj,

1438 H) 110

Abū Bakr Aḥmad bin ‚Alī al-Rāzī al-Jaṣṣāṣ, Aḥkām al-Qur’ān, Juz. I (Beirūt: Dār iḥyā’ al-‘Arabī, 1992 M), 171.

Page 167: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

157

2. Tafsir atas Ayat-ayat Pembunuhan

Sebelum menguraikan penafsiran ayat-ayat

pembunuhan, terlebih dahulu telah peneliti kemukakan

tentang ayat-ayat pembunuhan dalam al-Qur’an serta

kriterianya. Ayat-ayat pembunuhan sebagaimana

dikemukakan di atas, akan dilihat dari sejumlah kitab tafsir

ahkam pada sub bab ini.

Penjelasan ini penting dikemukakan untuk dijadikan

acuan/dalil terhadap pembunuhan yang memiliki motif yang

sama dengan uraian yang terdapat dalam penjelasan beberapa

ayat pembunuhan yang akan peneliti paparkan. Namun, pada

bagian ini peneliti membatasi pada sebagian ayat saja. Yaitu:

QS. Al-Baqarah/2:178-179, QS. Al-Maidah/5:32 dan 45 dan

QS. Al-Isrā’/17:33.

Adapun tafsir Ahkam yang fokus kajian peneliti

adalah:

1. Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān al-Qurṭubī

Dalam al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān uraian tentang

QS. Al-Baqarah/2:178-179 terdapat dalam juz 3, QS. Al-

Māidah/5:32 terdapat dalam juz 7, QS. Al-Māidah:45 pada

juz 8, sedangkan QS. Al-Isrā’/17:33 terdapat dalam juz 13.

2. Aḥkām al-Qur’ān Ibn ‘Arabī

Dalam Aḥkām al-Qur’ān Ibn ‘Arabī, QS. Al-

Baqarah/2:178 terdapat dalam juz 1, QS. Al-Māidah/5:32

terdapat dalam juz 2. Tetapi penafsiran ayat 32 digabungkan

dengan penafsiran ayat sebelumnya, yaitu ayat 31-32.

Sementara al-Māidah/5:45 terdapat pada juz 2,

penafsiran ayat ini juga digabungkan dengan penafsiran ayat

Page 168: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

158

sebelumnya, yaitu 41-44. Dan QS. Al-Isrā’/17:33 terdapat

pada juz 4.

3. Al-Tafsir wa al-Bayān Abd Aziz Marzūq al-Ṭarifī

Dalam kitab al-Tafsīr wa al-Bayān Abd. Aziz Marzuq

al-Ta’rīfī, kitab yang dikarang langsung oleh Muhammad ibn

‘Alī ibn Abdillah tidak membahas atau menafsirkan semua

surat yang terdapat dalam al-Quran termasuk surat al-Kahfi.

4. Aḥkām al-Qur’ān al-Jaṣṣaṣ

Dalam Aḥkām al-Qur’ān al-Jaṣṣaṣ, al-Baqarah/2:178

terdapat pada juz 1, QS. Al-Māidah/5:32 dan 45 terdapat

dalam juz 4. Namun, penjelasan al-Māidah 32 dikutip ketika

menjelaskan ayat ke 31.

Dari sejumlah tafsir ahkam yang peneliti sebutkan di

atas, tidak satupun ditemukan dalam pembahasan atau

penafsiran ayat-ayat pembunuhan, kasus pembunuhan yang

dilakukan oleh nabi Khidir terhadap ghulām. Begitu juga

ketika peneliti menganalisa ayat yang mengisahkan

pembunuhan nabi Khidir dalam beberapa tafsir tersebut, tidak

ditemukan salah satu di antara mereka yang menjadikan

pembunuhan nabi Khidir ini sebagai pembunuhan yang

berimplikasi pada hukum kisas.

C. Pola Penafsiran terhadap Ayat-ayat Pembunuhan

1. Penggunaan Ayat Hadis sebagai Penjelas

Dalam penafsiran suatu ayat dalam al-Quran, tidak

sedikit para mufasir yang menggunakan rujukan atau kutipan

sebuah hadis. Seperti yang dikutip oleh Ibn Arābī dalam kitab

tafsir Ahkām al-Qur’an pada surat al-Baqarah/02:179 dia

Page 169: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

159

mengutip salah satu hadits111

nabi untuk menjelaskan tentang

hukum qisas.112

Begitu pula al-Qurtubi dalam kitab Al-Jāmi’

li Aḥkām al-Qur’ān, beberapa hadits yang dia kutip untuk

menjelaskan bagaimana hukum qisas pada surat surat al-

Baqarah/02:179 seperti yang dikutip pada kitab shahih

Bukhārī,113

selain al-Bukhārī, al-Qurtubi juga mengutip hadits

yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad

2. Kecenderungan Fokus Pembahasan

Dalam menafsirkan ayat al-Quran, mufasir tidak

hanya mencantumkan bagaimana pendapatnya tentang sebuah

peristiwa yang terjadi, tetapi mereka juga mencantumkan

ayat al-Quran, beberapa hadits yang berkaitan bahkan

pendapat-pendapat para tabi’īn dan ulama yang ikut

menyumbangkan pendapatnya mengenai hukum tersebut.

a. Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān al-Qurṭubī

Dalam kitab al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān al-Qurṭubī,

penulis membatasi ayat-ayat pembunuhan dalam tiga surat.

YAitu surat al-Baqarah/02: 178-179, Al-Isrā’/17:33, dan Al-

Māidah/5:32.

111

عن السن عن سمرة قاؿ رس ؿ الله صلى الله عليه وسلم من قتل عبده قتلناه 112

Ibn Arabī, Ahkām al-Qur’an, juz 2 (Beirut: Dār al-

Kutub al-Ilmiyah, 2003), 92 113

: كاف بني اسرائيل القصاص، كلم تكن فيو الدية، فقاؿ الله لذه الامة: عن ابن عباس قاؿ لىى ) ( شى ءه أىخيو من لىوي عيف ى فىمىن بلينػثىى كىالينػثىى بلعىبد كىالعىبدي بلير الير كيتبى عىلىيكيمي القصىاصي القىتػ

عريكؼ كىأىدىاءه إلىيو حسىافو )فالعف ، اف يقبل الدية فى العمد لكى )يتبع بلمعركؼ كيؤدم بحساف (فىاتبىاعه بلمى ذى لكى بػىعدى اعتىدىل فىمىن )قبلكم كاف من على كتب مما( ىفي ه من رىبكيم كىرىحمىةه ؿ قب قتل( أىليمه عىذىابه فػىلىوي ذى

.قب ؿ الدية

Page 170: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

160

Pertama, al-Baqarah/02: 178-179.

Al-Qurṭubī menjelaskan bahwa dalam surat al-

Baqarah/02: 178-179 terdapat tujuh belas permasalahan

mengenai hukum dalam pembunuhan.

a. Dalam masalah yang pertama bahwa al-Qurtubi

mengutip hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, al-

Nasāī, dan al-Dāraquṭniyyu114

yang menyatakan bahwa

pada masa Bani Isrāīl terlah terjadi qisas namun tidak

ada denda terhadap orang yang diqasas, sehingga

turunlah surat al-Baqarah/02: 178-179. Untuk

menjelaskan bagaimana hukum dari qisas tersebut, selain

mengutip dari al-Bukhārī, al-Qurṭubī juga mengutip dari

al-Sya’biyyu mengenai ayat al-ḥurru bi al-ḥurri wa al-

Abdu bi al-al-Abdi wa al-untsa bi al-untsa bahwa ayat

ini turun pada dua golongan arab yang saling membunuh,

dan mereka berkata maka kami membunuh hamba kami

fulān ibn fulān.

b. Dalam masalah kedua tentang ayat Kutiba alaikum al-

Qisās menurut al-Qurṭubī bahwa lafadz Kutiba memiliki

makna furiḍa artinya diwajibkan atau tetap. Pada

masalah yang kedua al-Qutubi mengutip perkataan Umar

ibn Abī Rabi’ah115

bahwa ‚Diwajibkan pembunuhan dan

membunuh kepada kami dan atas orang yang

terpandang‛.

114

: كاف بني اسرائيل القصاص، كلم تكن فيو الدية، فقاؿ الله لذه الامة: عن ابن عباس قاؿ لىى ) (مءه شى أىخيو من لىوي عيف ى فىمىن بلينػثىى كىالينػثىى بلعىبد كىالعىبدي بلير الير كيتبى عىلىيكيمي القصىاصي القىتػ

عريكؼ كىأىدىاءه إلىيو حسىافو )فالعف ، اف يقبل الدية فى العمد لكى )يتبع بلمعركؼ كيؤدم بحساف (فىاتبىاعه بلمى ذى لكى بػىعدى اعتىدىل فىمىن )قبلكم كاف من على كتب مما( ىفي ه من رىبكيم كىرىحمىةه قتل قبل (أىليمه عىذىابه فػىلىوي ذى

.قب ؿ الدية115

كتب القتل كالقتاؿ علينا كعلى الغانيات جر الذي ؿ

Page 171: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

161

c. Masalah ketiga al-Qurṭubi menjelaskan bahwa qisas

terjadi ketika wali pembunuh menginginkan untuk

dibunuh karena mengikuti perintah tuhan.

d. Masalah keempat bahwa tidak ada perbedaan tentang

qisas dalam pembunuhan, bahwa qisas hanya dilaksnakan

oleh pemerintah. Diwajibkan bagi pemerintah

menegakkan qisas dan melaksakan cambuk. Menurut al-

Qurtubi bahwa hukum Qisas adalah tidak lazim, karena

apabila hukum Qisas adalah lazim maka tidak bisa

diganti dengan yang lain selamanya, karena ketika wali

yang dibunuh merelakan tidak diqisas dan diganti dengan

denda atau bahkan dimaafkan maka hukumnya boleh

e. Masalah kelima mengenai ayat al-ḥurru bi al-ḥurri wa al-

Abdu bi al-al-Abdi wa al-untsā bi al-untsā. Terjadi

perbedaan dalam menakwilkan ayat tersebut, ada yang

mengatakan bahwa ayat tersebut turun untuk

menjelaskan macam hukum dalam pembunuhan, ayat

tersebut menjalaskan hukum orang merdeka ketika

membunuh orang merdeka, budak membunuh budak,

perempuan membunuh perempuan dan hukum qisas tidak

terjadi ketika pembunuhan dilakukan oleh beda jenis

contoh budak dibunuh oleh orang merdeka, maka yang

membunuh tidak dikenakan hukum qisas. Dalam

menjelaskan ayat ini, al-Qurṭubi mengutip ayat lain yaitu

surah al-Maidah/05: 45 dan mengutip dari hadis nabi

yang diriwayatkan oleh Ahmad bahwa nabi membunuh

orang yahudi sebab membunuh perempuan, dan

dikatakan dari Ibn ‘Abbās bahwa ayat al-ḥurru bi al-ḥurri

wa al-Abdu bi al-al-Abdi wa al-untsā bi al-untsā dihapus

oleh surat al-Māidah/05: 45

f. Masalah keenam bahwa orang kufah dan tsauri bahwa

qisas juga terjadi pada orang merdeka yang membunuh

Page 172: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

162

budak, atau muslim membunuh dzimmi dengan mengutip

pada surat al-Māidah/05:45, mereka berkata ‚ada

kesamaan antara Muslim dengan kafir Dzimmi dari segi

kehormatan yang hanya dicukupkan dengan qisas.

g. Masalah ketujuh mengenai tentang pendapat jumhur

ulama bahwa orang muslim tidak diqisas sebab

membunuh orang kafir, mengenai pendapat ini, al-

Qurtubi mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh

Bukhārī116

bahwa orang muslim tidak dibunuh karena

membunuh orang kafir. Dalam pendapatnya bahwa

hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari adalah hadits

shahih yang mengkhususkan ayat yang umum.

h. Masalah yang kedelapan, Al-Qurṭubi mengutip hadis

yang diriwayatkan oleh Alī ibn Abī Ṭālib bahwa ada ayat

di atas turun untuk menjelaskan hukum ketika terjadi

perbedaan antara yang dibunuh dan yang membunuh.117

D. Interpretasi Atas Kemaksuman Nabi dalam Kisah

Pembunuhan Ghulām

Kisah dalam surah al-Kahfi/18 ayat 74 yang

mengisahkan fenomena menarik yang melibatkan dialog

antara Khidir dan Musa apabila dilihat sebagai perbuatan

menusiawi yang dapat berimplikasi pada hukum jinayah maka

akan bertentangan dengan konsep kesucian profetik yang ada

dalam doktrin Islam.118

Implikasi dari adanya pandangan yang

kontradiksi dalam kisah pembunuhan anak kecil (gulām)

116

قاؿ النبي ص ؿ، لايقتل مسلم بكافر، اخرجو البخارل عن عل ابن ابي طالب 117

Maksud adanya perbedaan adalah ketika seorang

merdeka membunuh budak, laki-laki membunuh perempuan,

perempuan membunuh laki-laki. 118

Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’ (Qum: Kutubi

al-Najafi, t.tn.), 14.

Page 173: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

163

dengan konsep ‘iṣmat al-anbiyā’ maka kiasan tersebut harus

dipandang bukan sebagai perbuatan tercela atau pidana. Ada

alasan mengapa kisah tersebut tidak dapat diterapkan dengan

dalih ‘iṣmat al-anbiyā’. Sehingga kisah pembunuhan ghulām

dapat dipahami dalam beberapa aspek.

Pertama, nabi Khidir dan nabi Musa merupakan nabi

yang telah dipilih oleh Allah sebagai kekasih-Nya. Orang

yang dipilih Allah sebagai seorang nabi tidak mungkin

melakukan perbuatan dosa karena perbuatan ini merupakan

salah satu dari perbuatan setan. Setan selalu menyeru manusia

kepada jalan kesesatan sedangkan nabi selalu menyeru

manusia ke arah kebenaran. Antara kesesatan dan kebenaran

tidak dapat dipersatukan dan saling menegasikan. Sehingga

perbuatan nabi tidak dapat disamakan dengan perbuatan

setan. Perbuatan nabi selalu dibimbing oleh Allah dan

mengajak manusia untuk mengesakan-Nya.119

Perbuatan nabi selalu dihubungkan dengan konsep

kesucian profetik (‘iṣmat al-anbiyā’). Konsep ini menyatakan

bahwa seorang nabi yang telah dipilih oleh Allah

mengharuskan dia terbebas dari segala perbuatan yang dapat

mengakibatkan melakukan dosa atau melakukan suatu

kehinaan.120

Kesucian para nabi dari melakukan perbuatan

maksiat atau melakukan suatu perbuatan tercela disebabkan

setiap tingkah lakunya dibimbing oleh Allah Swt. (al-

Najm/53:3-4). Dengan demikian para nabi selalu dijaga oleh

Allah untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Sifat tercela

atau maksiat yang dimaksud dapat mencakup perbuatan atau

perkataan dari seorang nabi. Contoh dari perbuatan yang

tidak baik adalah nabi tidak pernah mencuri, berzina, dan

119

Ibn Taymi>yah, Al-Furqa>n Bayn Awliya>’ al-Rah}ma>n wa Awliya>’ al-Shayt}a>n (Damaskus: Maktabah Da>r al-Baya>n, 1985), 7.

120 Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 16.

Page 174: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

164

membunuh tanpa alasan yang jelas (bāṭil).121 Justeru seorang

nabi selalu melakukan perbuatan baik seperti memberi kasih

sayang kepada semua orang, memberi makan orang yang

butuh, menyantuni fakir miskin, dan melakukan perang yang

sesuai dengan perintah Allah. Sedangkan sebagian dari

perkataan yang buruk dan tidak mungkin dilakukan oleh para

nabi seperti berdusta, menyakiti hati orang lain, menyela

orang lain, dan berkata yang tidak baik, sebaliknya nabi selalu

berkata baik seperti menyampaikan firman Allah secara jujur,

berkata baik dan benar, dan selalu mengajak orang untuk

mengesakan Allah.122

Salah satu faktor yang menyebabkan seorang nabi

‚berdosa‛ adalah melakukan perbuatan tercela seperti

membunuh. Membunuh adalah suatu perbuatan

menghilangkan nyawa manusia tanpa ada asalan yang jelas

yang dapat membenarkan perbuatan membunuh tersebut

seperti orang yang zina muḥṣān atau dalam keadaan

berperang melawan orang kafir.123

Pada dua contoh terakhir

perbuatan membunuh dapat dibenarkan karena ada tuntunan

dari syariat (Allah). Namun sebaliknya apabila tidak ada

tuntunan dari syariat, siapa pun tidak dapat dibenarkan

membunuh seseorang tanpa hak.

Dalam kasus surah al-Kahfi/18:74 yang melibatkan

dialog antara Khidir dan Musa bertemu dengan seorang

ghulām, terlihat peristiwa yang sangat nyata, jelas dan tegas

yaitu terjadi pembunuhan terhadap ghulām oleh Khidir

dengan menggunakan redaksi qatala.124

Redaksi tersebut

121

Ibn Kathi>r, Qis}as} al-Anbiya>’ (Kairo: Dar al-Ta’li>f,

1968), 67. 122

Ibn Kathi>r, Qis}as} al-Anbiya>’, 68. 123

Abu> Bakr bin Muh}ammad al-H{usayni>, Kifa>yat al-Akhya>r (Surabaya: Dar al-‘Ilm, t.tn), 160, 169.

124 Ibn Manz}u>r, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar Sadir, t.tn),

10/49.

Page 175: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

165

merupakan kata yang lebih khusus dari kata jaraḥa yang

berarti melukai.125

Apabila kata jaraḥa merupakan tindakan

yang dapat menyakiti bagian tubuh seseorang namun sifat

merusak yang terdapat pada kata tersebut tidak fatal, namun

pada kata qatala unsur melukai sampai pada tindakan yang

fatal yaitu sampai terenggutnya nyawa seseorang. Penjelasan

secara leksikal terhadap kata qatala merupakan fakta historis

bahwa khidir telah membunuh seseorang di depan mata Musa.

Bagaimana fenomena pembunuhan Khidir terhadap

ghulām dapat dijelaskan menyangkut masalah ‘iṣmat al-anbiyā’. Apakah kisah pembunuhan Khidir terhadap ghulām

hanya merupakan kisah fiktif belaka yang sengaja direkam

dalam al-Qur’an sebagai pelajaran bagi umat Islam? Atau

apakah membunuh seorang ghulām oleh Khidir merupakan

bentuk perintah dari Allah sehingga dapat dikatakan bahwa

peristiwa pembunuhan tersebut didasarkan pada hukum

Allah? Atau bisa jadi perilaku membunuh merupakan sesuatu

yang dapat ditolerir pada zaman Musa khususnya terhadap

orang yang mempunyai kesalahan khusus seperti orang yang

membangkang, durhaka, atau melakukan hal tercela lainnya.

Segala kemungkinan yang penulis jelaskan memiliki

probabilitas pembahasan yang dapat menunjukan bahwa

peristiwa pembunuhan oleh Khidir merupakan sesuatu yang

tidak salah. Mengapa dapat dikatakan demikian karena

menyangkut bahwa Khidir adalah nabi Allah yang terbebas

dari perbuatan dosa dan maksiat. Argumen yang dapat

diajukan di sini terkait dengan membunuh ghulām oleh Khidir

adalah bahwa kisah pembunuhan merupakan kisah fiktif yang

sengaja dibuat Al-Qur’an sebagai suatu permisalan atau

sebagai contoh (‘ibrah).

Muhammad A. Khalafullah dalam al-Fann al-Qaṣaṣ fī al-Qur’ān mengingatkan bahwa narasi kisah dalam al-Qur’an

hendaknya tidak dipahami sebagai fakta yang benar-benar

125

Ibn Manz}u>r, Lisan al-‘Arab, 2/422.

Page 176: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

166

terjadi pada kehidupan nyata.126

Karena hal tersebut akan

menjerumuskan kita pada pemahaman bahwa al-Qur’an

adalah kitab sejarah yang merekam setiap peristiwa historis

secara mendetail. Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad tentu bukan kitab sejarah yang menyajikan fakta-

fakta sejarah dan dapat dijadikan referensi dalam kajian

sejarah umat manusia. Namun harus dipahami bahwa gaya

bahasa al-Qur’an merupakan gaya bahasa pilihan yang

menjadikan al-Qur’an sebagai mu’jizat dalam agama Islam.

Unsur sastra lebih ditonjolkan dalam al-Qur’an daripada

menyajikan unsur sejarah.127

Unsur sastra ini pula yang

menjadikan interpretasi atas ayat al-Qur’an tidak akan habis

dan tidak akan usang dimakan zaman.

Dalam kisah pembunuhan terhadap ghulām oleh

Khidir tidak harus dimengerti bahwa hal tersebut benar-benar

terjadi pada kehidupan lampau, namun dapat dipahami

sebagai kisah simbolik.128

Kisah simbolik sangat berguna

dalam menarasikan berbagai kisah-kisah tentang keagamaan.

Afif ‘Abd al-Fattāh Tabbarah mengatakan bahwa kisah dalam

al-Qur’an dibuat hanya untuk mempengaruhi pendengar atau

pembaca untuk tergerak hatinya dan menerima kisah tersebut

sebagai bagian kisah yang dinarasikan oleh Allah dalam al-

Qur’an.129

Apabila pendekatan sebagaimana ditawarkan oleh

Thabbarah diterapkan dalam kisah Khidir maka akan

menghasilkan suatu rangkaian narasi bahwa kisah

pembunuhan Khidir merupakan aspek simbolis keagamaan

126

Muhammad A. Khalafullah, Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah (Jakarta: Paramadina, 2002), 159.

127 Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar

(Yogyakarta: eLSAQ, 2005), 25. 128

Muhamad Agus Mushodiq, ‚Perilaku Patalogis pada

Kisah Nabi Musa dan ‘Abd dalam al-Qur’an: Telaah Epistimologi

al-Jābirī dan Semiotika Peirce‛ Jurnal Ulul Albab, Vol. 19, No. 1,

(2018), 71. 129

Afif ‘Abd al-Fattah Tabbarah, Ruh al-Din al-Islami, 47.

Page 177: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

167

yang bertujuan untuk mempengaruhi pembaca atau pendengar

kisah al-Qur’an terhadap kedigdayaan Khidir atas Musa.130

Khidir sebagai orang yang lebih dihormati dan diakui

kehebatannya oleh Musa memerankan tokoh yang memiliki

ilmu pengetahuan yang sangat luas. Sedangkan Musa, harus

menerima pengajaran ilmu dari Khidir. Efeknya adalah Musa

harus mengikuti apa yang akan diajarkan Khidir tanpa harus

ada protes dan pertanyaan yang menyangkal dari pengajaran

Khidir. Ketika Khidir melakukan pembunuhan sesungguhknya

ia sedang memberi pengajaran kepada Musa tentang suatu

pengetahuan yang tidak diketahui oleh Musa.131

Anak yang

dibunuh Khidir pada hakikatnya bukan merupakan anak yang

disangka suci oleh Musa, namun anak yang penuh dengan

dosa dan dikhawatirkan akan menyebabkan kesengsaraan

kepada orang tuanya, sehingga Khidir membunuh anak

tersebut dengan melalui perintah Allah.132

Musa tidak dapat

menyangkal pengajaran tersebut karena sudah ada perjanjian

dari awal untuk tidak melakukan protes dalam proses belajar

mengajar. Maka dari segi sastra, sebenarnya yang hendak

diungkapkan dalam al-Qur’an adalah suatu simbol

keagamaan, bukan dalam pengertian fakta sejarah yang benar-

benar terjadi pada masa lampau.133

Simbolisme dalam kisah Khidir dan Musa dapat

memberi pelajaran tentang bagaimana seharusnya hubungan

130

M. Faisol, ‚Struktur Naratif Cerita nabi Khidir dalam

al-Qur’an‛, Adabiyyāt, Vol. X, No. 2 (Desember, 2011), 10. 131

Muhamad Agus Mushodiq, ‚Perilaku Patologis Pada

Kisah Nabi Musa dan Khidir Dalam al-Quran: Telaah Epistemologi

āl-Jābirī Dan Semiotika Peirce‛, Jurnal Institut Agama Islam

Ma’arif Metro, 2018, 77. 132

Fakh al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghayb (Beirut: Dar al-

Fikr, 1981), 21/155-6., Ahmad bin Mustafa al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi> (Kairo: Mustafa al-Babi> al-Halabi>, 1946), 15/179.

133 Muhammad A. Khalafullah, Al-Qur’an Bukan Kitab

Sejarah, 160.

Page 178: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

168

antara guru dan murid dalam proses pedagogik. Pengajaran

yang ditransfer dari guru ke murid bisa meniru pelajaran dari

kisah dua nabi Allah ini. Pelajaran yang baik seharusnya

menempatkan guru pada posisi yang dihormati dan sang

murid harus menuruti semua yang dikatakan oleh guru. Murid

hendaknya jangan terlalu banyak memprotes pelajaran yang

diajarkan oleh guru, karena sikap protes berasal dari sikap

tergesah-gesah seorang murid dalam menerima suatu ilmu.

Selain itu, pengajaran ilmu yang baik hendaknya dilakukan

dengan cara praktek supaya murid dapat langsung

mempraktekan ilmu yang diajarkan oleh sang guru.134

Simbolisme kisah Khidir dan Musa dapat pula

bermakna ilmu lahir dan batin. Ilmu lahir merupakan ilmu

perolehan yang didapat dari proses kognitif, sedangkan ilmu

batin merupakan pengajaran yang diberikan Allah kepada

orang yang dikehendakinya, bahkan tanpa melalui usaha

sekalipun.135

Pada umumnya manusia hanya mengenal ilmu

lahir dalam menghukumi suatu kasus. Namun dalam kisah

Khidir dan Musa dapat dilihat bagaimana Khidir mengajarkan

ilmu batin kepada Musa tentang sesuatu yang tidak diketahui

Musa melalui pancaindra atau bukti empiris. Musa hanya

menjustifikasi suatu yang tampak di matanya bahwa ghulām

yang dibunuh Khidir merupakan seorang yang bersih dari

dosa (zakiyah), namun pengetahuan Khidir tentang ghulām

lebih mendalam daripada Musa, karena pengamatan Khidir

lebih baik daripada Musa.136

134

Nurul Azizeh, ‚Mukjizat Naratologis: Studi Andragogi

atas Kisah Musa Khidr dalam Surah Al-Kahfi 60-82‛, Jurnal Universitas Nurul Jadid Paiton, (Juni 2019), 39.

135 Ahmad bin Mustafa al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi>,

15/173. 136

‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni> (Karachi: al-

Maktabah al-Ma’rufah, 2010), 90., Ahmad bin Mustafa al-Mara>ghi>,

Tafsi>r al-Mara>ghi>, 15/175.

Page 179: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

169

Kemungkinan selanjutnya yang dapat diungkapkan di

sini melalui kisah pembunuhan ghulām oleh Khidir adalah

bahwa pembunuhan tersebut merupakan bentuk perintah

langsung dari Allah, sehingga ketika Khidir membunuh

ghulām tidak dapat dipersalahkan apalagi dikenakan hukum

qiṣaṣ. Argumen ini bisa digunakan dengan merujuk pada

indikasi pada surat al-Kahfi/18:82. Pada ayat ini dijelaskan

bahwa Khidir tidak melakukan hal demikian berdasarkan

kemauannya sendiri (wa-mā fa‘altuhu ‘an amrī). Dengan

demikian maka sesungguhnya ada Zat yang menyuruh Khidir

melakukan pembunuhan, yaitu Allah. Allah memerintahkan

Khidir untuk membunuh ghulām dengan alasan bahwa anak

tersebut telah melakukan tindakan kesesatan (ṭughyānan) dan

kekafiran (kufran). Tindakan ghulām ini dikhawatirkan akan

menyeret kedua orang tuanya ke dalam hal yang sama yaitu

kesesatan dan kekafiran. Pembunuhan terhadap ghulām

dimaksudkan untuk menyelamatkan nyawa orang banyak

(bapak, ibu dan mungkin keluarga lainnya) dari perbuatan

tercela.137

Pemaknaan terhadap simbolisme pembunuhan

dalam ayat ini menunjukan pemilihan terhadap sesuatu yang

lebih bermanfaat dan mencegah kemudharatan.

Pertanyaan yang bisa diajukan di sini adalah apakah

boleh membunuh seseorang dengan alasan khawatir atau

takut seseorang tersebut berbuat kerusakan yang besar?

Pertanyaan ini sebenarnya problematis, satu sisi jawaban

spontan adalah membunuh orang hanya karena khawatir atau

takut, tidak diperbolehkan sama sekali. Namun di sini lain,

kenyataannya Khidir membunuh seseorang karena alasan

khawatir dan takut. Maka pertanyaan di atas dapat dijawab

dengan melalui pengakuan Khidir sendiri bahwa ia

mengklaim perbuatan membunuh terhadap ghulām tidak sama

sekali didasarkan pada kemauan dirinya sendiri, melainkan

137

Sayyid Qutb, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Shuruq,

1412 H.), 4/2280.

Page 180: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

170

kemauan Allah. Seandainya dalam al-Qur’an tidak ada kata

wa-mā fa‘altuhu ‘an amrī maka dapat dipastikan bahwa status

hukum Khidir adalah sebagai tersangka pembunuhan dan

harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku di masa

Musa. Namun mengingat membunuh ghulām merupakan

suatu perintah (amr) dari Allah maka mau tidak mau Musa

tidak dapat memprotesnya dan melayangkan suatu hukuman

terhadap Khidir karena ada perintah dari Allah.138

Dalam

kaitan dengan konsep ‘iṣmat al-anbiyā’ maka sesungguhnya

perbuatan Khidir tidak dapat digolongkan sebagai suatu

pembunuhan atau pembangkangan terhadap aturan hukum.

Perintah Allah merupakan hal mutlak yang harus dilakukan

bagi setiap utusan-Nya, dan tidak ada kesempatan bagi

utusan-Nya untuk tidak melakukan perintah Allah. Jadi pada

dasarnya pembunuhan yang dilakukan Khidir terhadap

ghulām atas dasar khawatir dan takut didasarkan pada

perintah Allah, apabila tidak demikian maka Khidir tidak

akan membunuh ghulām tersebut.139

Dari argumentasi di atas

menunjukan Khidir walaupun melakukan tindakan

pembunuhan tidak mengotori kemaksuman seorang nabi.

Khidir masih berstatus sebagai seorang nabi Allah yang suci

dari tindakan tercela dan terhindar dari perbuatan maksiat.

Ada satu argumentasi yang dilontarkan kepada Fakhr

al-Dīn al-Rāzī untuk menyebut bahwa seorang nabi juga dapat

berdosa atau melakukan tindakan maksiat. Pertanyaan

tersebut berasal dari diksi yang digunakan dalam al-Qur’an

yang menyebut kata imrā (kesalahan yang besar), pada surah

al-Kahfi/18:71 dan nukrā (melakukan perbuatan munkar),

pada surah al-Kahfi/18:74.140

Kedua kata tersebut

mengindikasikan bahwa ada suatu kesalahan atau dosa yang

138

Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 83. 139

Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 83. 140

Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati,

2010), 7/315.

Page 181: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

171

dilakukan Khidir seperti yang disangkakan Musa. Pertanyaan

di atas dijawab al-Rāzī dalam buku ‘Iṣmat al-Anbiyā’ sebagai

berikut:

Al-Rāzī terlebih dahulu memberikan tafsiran terhadap

firman Allah ‚sesuatu kesalahan yang besar (nukrā)‛. Al-Rāzī

berpendapat arti firman tersebut adalah sesuatu yang

mencengangkan. Ada pula yang mengartikan dengan sesuatu

kemung-karan. Tidak ada masalah kalau kita menafsirkannya

dengan makna yang pertama. Akan tetapi kalau ditafsirkan

dengan makna yang kedua, maka jawaban dari kalimat imrā

dan nukrā, memiliki beberapa segi pemaknaan.141

Pertama, tampilan luar dari perbuatan tersebut adalah

mungkar dan diingkari oleh orang yang menyaksikannya,

sebelum ia mengetahui sebabnya. Dengan kata lain ketika

Musa menuduh Khidir telah melakukan imra atau nukra sesungguhnya perkataannya tersebut sebelum mengetahui

hakikat yang sebenarnya dari status ghulām yang dibunuh

oleh Khidir.142

Musa memandang bahwa ghulām merupakan

orang yang dapat dikategorikan sebagai orang yang tidak

berdosa (zakiyah). Maka wajar apabila seketika dan dengan

responsif Musa menjawab tindakan Khidir sebagai imra dan

nukra.143

Kedua, huruf syarat dari kalimat di atas dibuang,

sehingga seakan-akan Musa mengatakan, ‚kalau kamu

(Khidir) membunuh ghulām karena kezaliman, maka kamu

telah melakukan sesuatu yang mungkar‛.144

Interpretasi yang

dilakukan al-Rāzī dalam hal ini memungkinkan adanya huruf

yang dibuang dalam al-Qur’an berupa jawab dari syarat ‚fa-qatalahu‛, yaitu ucapan yang tidak terangkum dalam teks al-

Qur’an. Teks yang tidak tampak tersebut menyebutkan bahwa

141

Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 84. 142

Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 84. 143

Ahmad bin Mustafa al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi>, 15/173., Sayyid Qutb, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n, 4/2280.

144 Fakh al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghayb, 21/156.

Page 182: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

172

Musa mengatakan bahwa apabila tindakan pembunuhan

tersebut dilakukan Khidir karena ia telah berbuat kezaliman

terhadap ghulām maka dapat dipastikan bahwa Khidir telah

melakukan suatu perbuatan yang mungkar. Ketiga, ucapan

nukrā bermakna sesuatu yang mencengangkan. Sebab, orang

akan mengatakan kalimat ‚innahu nukran wa mungkaran‛

untuk sesuatu yang dianggap aneh atau kejadian yang luar

biasa mengejutkan.145

Konteks yang menyelimuti Khidir dan

Musa dengan sikap responsif Musa terhadap tindakan Khidir

membunuh ghulām menjadikan batin Musa terguncang dan

membuatnya bersikap kaget dan tercengang karena melihat

sesuatu yang aneh luar biasa. Dengan demikian perkataan

nukra oleh Musa tidak menunjukan bahwa benar-benar Khidir

telah melakukan suatu kesalahan.

Pandangan al-Rāzī di atas merupakan pembelaannya

terhadap beberapa diksi al-Qur’an yang disalahartikan oleh

sebagian orang dan sangat bisa ayat tersebut ditafsirkan

dengan cara yang salah untuk melegitimasi bahwa seorang

nabi dapat berbuat salah dan melakukan suatu kemaksiatan.

Pembelaan al-Rāzī menguatkan argumentasi tentang

kemaksuman para nabi, bahkan untuk kasus pembunuhan

yang dilakukan Khidir terhadap seorang ghulām.146

Al-Rāzī

sangat menekankan sikap kemaksuman para nabi dalam

rangka untuk menunjukan bahwa semua yang dilakukan oleh

nabi merupakan berasal dari Allah dan berdasarkan petunjuk

dari-Nya. Kesucian para nabi ini juga pada akhirnya akan

berimplikasi pada sifat nabi yang lain seperti jujur (ṣidiq),

cerdas (faṭanah), dapat dipercaya (amanah) dan penyampai

wahyu Tuhan yang kredibel (tablīgh).147

Ayat tentang pembunuhan dalam surat al-Kahfi/18:74

dapat pula diartikan sebagai suatu tindakan yang dapat

145

Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 84. 146

Ibn Kathi>r, Qis}as} al-Anbiya>’, 3/175. 147

Fazlurahman, Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1987), 15.

Page 183: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

173

ditolerir pada zaman Musa khususnya terhadap orang yang

mempunyai kesalahan khusus seperti orang kafir terhadap

hukum Allah atau orang yang membangkang, durhaka, atau

melakukan hal tercela lainnya. Orang dengan kriteria yang

disebutkan tersebut dalam pandangan hukum Musa adalah

diperbolehkan untuk dibunuh dengan catatan mendapatkan

legitimasi (pembenaran) dari Allah.

Hukum asal dari mumbunuh orang yang tidak berdosa

pada hukum Musa adalah tidak boleh (haram). Status hukum

ini dapat dilihat dari wahyu yang diturunkan Allah kepada

Musa ketika berada di gunung Ṭūr al-Sīnā, di mana Musa

mendapatkan sepuluh perintah Tuhan (the Ten Commandment). Sepuluh perintah Tuhan yang dimaksud

meliputi beribadah hanya kepada Allah, menghormati orang

tua, memelihara hari Tuhan, larangan terhadap berbuat zina,

membunuh, menghujat, mencuri, berbuat tidak jujur, hasrat

akan hal-hal yang dilarang dan larangan terhadap

pemberhalaan.148

Salah satu hukum Musa yang sangat berkaitan dengan

fenomena dalam surat al-Kahfi [18] ayat 74 adalah ‚dilarang

membunuh‛. Orang yang membunuh jiwa yang tidak berdosa

atau membunuh tanpa hak akan dikenakan sanksi pidana dan

akan menerima hukum yang setimpal. Jadi dalam klausul

pernyataan di atas menyiratkan boleh membunuh dengan

kategori tertentu yaitu membunuh dengan cara yang tidak

batil atau membunuh yang dapat dibenarkan. Apakah ada

membunuh yang dapat dibenarkan dalam hukum Musa, jika

demikian apakah hal tersebut akan bertentangan dengan

sepuluh perintah Tuhan. Singkatnya, membunuh adalah suatu

perbuatan yang dilarang dan akan dihukum dengan setimpal,

namun ada beberapa pengecualian di mana membunuh tidak

148

Perjanjian Lama, Kitab Keluaran 20:2-17., Ulangan 5:6-

21.

Page 184: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

174

dapat dijatuhi hukuman kepada orang yang membunuh.149

Hal

ini karena orang yang membunuh berdasarkan atas prinsip-

prinsip dasar yang ada pada zaman tersebut yaitu terdapat

pengecualian bagi orang yang kafir dan melakukan dosa besar

boleh dibunuh.150

Statemen di atas mendapatkan bukti penguat dari

kasus pembunuhan yang dilakukan Musa terhadap orang

Koptik seperti yang tercantum dalam surat al-Qaṣaṣ/28:15

‚Fawakazahū Mūsā fa-qaḍā ‘alayh‛ (lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu). Pada ayat ini jelas disebutkan

bahwa Musa membunuh seorang Koptik yang sedang

berkelahi dengan pengikutnya (dari Bani Israil). Ketika itu,

seorang dari Bani Israil meminta bantuan Musa untuk

mengalahkan salah satu dari orang Koptik yang sangat

tangguh. Kemudian Musa membantu pengikutnya tersebut

dan dengan seketika Musa meninju orang Koptik sampai

meninggal.151

Dalam kasus ini, Musa akan menjadi pendosa

lantaran membunuh seorang Koptik, salah satu pengikut

Fir’aun, apabila memang orang tersebut tidak pantas untuk

dibunuh. Berbeda perkara apabila Musa membunuh orang

Koptik karena memang orang tersebut pantas untuk dibunuh,

lantaran sebab kekafirannya atau berbuat salah dan tindakan

membunuh tersebut berdasarkan perintah Allah. Maka dalam

kasus kedua, tindakan membunuh yang dilakukan Musa tidak

dapat dianggap salah.

Dari dua alasan pembunuhan yang dilakukan Musa

terhadap orang Koptik, manakah yang kuat dan dapat

dipertanggungjawabkan, apakah Musa membunuh seorang

149

Muhammad ‘Ali al-Sha>bu>ni>, Rawa>’i‘ al-Baya>n fi> Tafsi>r A<ya>t al-Ah}ka>m (Beirut: Maktabah al-Ghaza>li>, 1980), 1/492.

150 Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 83.

151 Kisah pemukulan Musa kepada orang Koptik dapat

dibaca dalam Muhammad Jari>r al-T{abari>, Ja>mi‘ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’an (Kairo: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 19/536-8.

Page 185: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

175

yang pantas untuk dibunuh ataukah Musa membunuh orang

yang tidak pantas untuk dibunuh. Kedua alasan tersebut

menimbulkan konsekuensi yang berbeda dilihat dari sudut

pandang Musa sebagai seorang nabi yang memiliki sifat

terbebas dari kesalahan (ma’ṣūm).152

Kita akan mulai melihat

dari pandangan pertama bahwa Musa memukul mati orang

Koptik karena ada alasan yang kuat untuk membunuh

sehingga pantas bagi Musa tidak melakukan hal yang berdosa

atas perbuatan membunuh. Namun demikian masalah lain

muncul ketika dihubungkan dengan ayat selanjutnya di mana

dikatakan bahwa ‚hādzā min ‘amal al-syaiṭān‛ (ini adalah perbuatan setan) (al-Qaṣaṣ/28:15) dan ‚qāla rabbī innī ẓalamtu nafsī‛ (Musa berkata: Ya Tuhanku, aku telah berbuat zalim terhadap diriku sendiri). 153

Musa mengakui bahwa

dirinya telah melakukan suatu perbuatan dosa. Apakah

pengakuan Musa ini dapat dianggap bahwa sebenarnya

pembunuhan yang dilakukan Musa berimbas pada Musa telah

berdosa dan oleh karena itu Musa mengatakan bahwa dia

talah berbuat zalim.

Al-Rāzī dalam ‘Iṣmat al-Anbiyā’ memberikan

beberapa komentar atas kasus di atas. Menurut al-Rāzī,

seorang Koptik yang dibunuh Musa memang secara hukum

Musa pantas untuk dibunuh karena dianggap orang kafir dan

melakukan pembangkangan terhadap Musa.154

Apabila

demikian adanya, maka sesungguhnya tindakan Musa tersebut

tidak dianggap sebagai suatu kesalahan. Berbeda dengan

persepsi bahwa orang Koptik tersebut tidak kafir atau

membangkang Musa. Dalam hal ini al-Rāzī mengatakan

bahwa ketika terjadi percekcokan antara pengikutnya (Bani

Israil) dan orang Koptik (pengikut Fir’aun), Musa berusaha

152

Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 83. 153

Al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghayb, 24/233-4., Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 84.

154 Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 84.

Page 186: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

176

melerai keduanya dan berusaha menolong dan membela

pengikutnya. Namun dalam usaha itu, Musa emosi dan naik

pitam sehingga kemarahannya memuncak sampai tidak dapat

mengontrol sikapnya. Dalam keadaan tidak dapat mengontrol

tersebut tanpa sengaja Musa melayangkan tangan ke arah

orang Koptik sampai terbunuh.155

Dengan demikian Musa

membunuh orang Koptik karena khilaf dan dapat dianggap

sebagai pembunuhan tidak disengaja.

Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa

seorang nabi pun boleh melakukan dosa kecil. Perbuatan

membunuh terhadap orang Koptik oleh Musa dilakukan

dengan tanpa sengaja, sehingga tidak dianggap sebagai bagian

dari dosa besar. Orang yang telah melakukan dosa kecil,

bukan dosa besar seperti membunuh dengan sengaja dan

menyekutukan Tuhan, dapat diampuni dengan cara perbanyak

melakukan istighfar kepada Allah dan segera bertaubat

meminta kepada Allah dengan sungguh-sungguh tidak akan

melakukan hal tersebut kembali.156

Kemudian Musa langsung

meminta ampun kepada Allah dan Alllah langsung

mengampuni perbuatan Musa (faghafara lahu). Dengan

demikian perbuatan membunuh yang dilakukan Musa tidak

dianggap sebagai dosa besar dan sudah diampuni oleh Allah.

Sedangkan orang yang tidak menyetujui pendapat

bahwa para nabi dapat berbuat dosa kecil, tidak menafsirkan

tindakan berdosa kepada Musa, karena ia membunuh seorang

Koptik tanpa disengaja.157

Argumentasi tersebut diperkuat

dengan satu penafsiran atas ayat ‚ini adalah perbuatan setan‛.

Ayat ini mengandung beberapa segi pemaknaan. Pertama,

Allah menganjurkan Musa untuk menangguhkan pembunuhan

terhadap orang-orang kafir sehingga datangnya kondisi

155

Al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghayb, 24/233-4., Ahmad bin

Mustafa al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi>, 20/44. 156

Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 84. 157

Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 84.

Page 187: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

177

tertentu yang memungkinkan. Kemudian ketika Musa

membunuhnya maka ia telah meninggalkan anjuran dari

Allah. Dengan demikian firman Allah ‚ini adalah perbuatan setan‛ bermakna bahwa kelancangan Musa untuk

meninggalkan anjuran merupakan perbuatan setan.158

Kedua,

bisa juga maksudnya bahwa perbuatan orang yang terbunuh

itu adalah perbuatan setan. Artinya penjelasan bahwa orang

yang menyimpang dari perintah Allah pantas untuk dibunuh

dan firmannya hādzā (ini)-dari kalimat hādzā min ‘amal al-syaiṭān—merupakan isyarat kepada orang yang terbunuh.

Artinya orang yang terbunuh itu adalah pengikut dan tentara

setan.159

Sebagaimana dikatakan, si fulan [melakukan]

perbuatan setan, artinya dia menjadi pengikutnya.160

Sedangkan firman Allah ‚qāla rabbī innī ẓalamtu nafsī faghfirlī‛ (Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku) (al-Qaṣaṣ/28:16),

senada dengan ucapan Adam, ‚ẓalamnā anfsanā‛ (Kami telah menganiaya diri kami sendiri) (QS. al-A’rāf/7:23). Ayat di

atas dapat memiliki dua pemahaman. Pertama, kata ẓalamtu nafsī diartikan sebagai usaha sunggung-sungguh yang ada

dalam diri Musa untuk memutuskan segala sesuatu yang

berbau keduniawian dan akan mencurahkan segalanya hanya

untuk beribadah kepada Allah. Kedua, ayat tersebut juga

diartikan sebagai bentuk pengakuan atas kelalaian yang

dilakukan Musa dalam menunaikan hak-hak-Nya-walaupun

sama sekali tidak ada dosa atau dirinya tidak mendapatkan

pahala atas perbuatan yang dianjurkan. Sementara maksud

firman Allah ‚karena itu ampunilah aku‛ ialah berikan aku

158

Ahmad bin Mustafa al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi>, 20/44.

159 Sayyid Qutb, Fi> Z{ilal al-Qur’a>n, 5/2682.

160 Ibn Manzu>r, Lisa>n al-‘Arab, 5/209.

Page 188: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

178

ketaatan sehingga aku dapat mencurahkan ibadah kepada-

Mu.161

Kembali pada permasalahan kemaksuman Khidir atas

pembunuhan ghulām dalam surah al-Kahfi/18:74. Apa yang

tertera dalam diksi al-Qur’an yang menyatakan bahwa Khidir

‚faqatalahu‛ (membunuh ghulām) tidak dapat dianggap

sebagai suatu tindak pidana yang dapat mengakibatkan Khidir

mendapat hukuman qisas.162

Pembunuhan ghulām oleh Khidir

diinterpretasikan sebagai suatu peristiwa yang mendapatkan

pembenaran dari Allah sebagai pembuat syariat. Khidir sadar

bahwa segala tindakan yang dilakukannya tidak semata

berdasarkan kemauan dan hawa nafsunya, tapi semuanya

berdasarkan pada perintah, kuasa dan kehendak Allah. Hal ini

yang menyebabkan Khidir bersikap pasrah dengan keputusan

Allah dan ia mengatakan ‚wamā fa‘altuhū ‘an amrī‛ (saya tidak melakukan hal tersebut berdasarkan keinginanku sendiri). Khidir menyadari dan tahu bahwa tindakan

pembunuhan terhadap ghulām tidak akan menyebabkan

dirinya terperangkan hukum Musa yang tidak

memperbolehkan membunuh seseorang.163

Hukum Musa

menyebut membunuh seseorang sama sekali tidak

diperbolehkan bahkan termasuk dosa yang besar, namun

mendapat pengecualian pada kasus-kasus tertentu. Kasus

tertentu yang dapat dilihat dari tindakan Khidir adalah ia

membunuh ghulām yang dalam pandangan Musa sebagai

161

Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 84. 162

Hal ini dilihat dari tidak tercantumnya kasus

pembunuhan ghula>m oleh Khidir sebagai kasus pembunuhan yang

dapat berimplikasi hukum qisas oleh para mufasir ayat ahkam, Al-

Qurt}ubi>, al-Ja>mi‘ Li-Ah}ka>m al-Qur’a>n (Riyad: Dar ‘Alam al-Kutub,

2003), 11/19-22. 163

Perjanjian Lama, Kitab Keluaran 20:2-17., Ulangan 5:6-

21

Page 189: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

179

seorang yang tidak berdosa (zakiyah).164

Apakah memang

demikian adanya? Atau dalam pandangan Khidir ghulām tersebut tidaklah seorang yang tanpa dosa, bahkan ia

memiliki dosa yang besar sehingga boleh dibunuh.

Perbedaan pandangan tentang kebolehan membunuh

orang dalam kisah Khidir dan Musa berpangkal pada status

ghulām, apakah ia tidak berdosa ataukah berdosa. Dalam

pandangan Musa, ghulām tersebut tidak mempunyai dosa

atau paling tidak ghulām tidak melakukan tindakan kejahatan

sebelumnya. Musa membahasakan keadaan ghulām yang

tidak berdosa dengan sebutan zakiyah. Al-Rāzī dalam

tafsirnya menyatakan bahwa ghulām merupakan orang yang

pernah berbuat dosa namun ia sudah bertaubat. Musa

memandang apabila ghulām berstatus zakiyah, maka

seharusnya Khidir tidak boleh melakukan qisas kepadanya.

Namun sebaliknya, Khidir melihat ghulām tidak termasuk

dalam kategori zakiyah seperti yang dinyatakan Musa, dan ia

telah melakukan perbuatan tercela yang memungkinkan ia

untuk di-qisas.165

Al-Qurṭubī dalam Tafsirnya lebih

mengartikan kata zakiyah sebagai orang yang suci dari dosa,

baik dosa besar maupun kecil karena statusnya belum

baligh.166

Di sini lah letak ketidaksepahaman antara Khidir

dan Musa dalam memandang status ghulām.

Apakah menjadi salah apabila Musa memprotes

tindakan Khidir karena telah membunuh ghulām. Lalu

mengapa Musa masih terus menemani Khidir setelah banyak

kejanggalan yang terdapat pada diri Khidir? dan apakah

Khidir dapat dianggap berdosa karena membunuh ghulām?

bagaimana akhir kisah yang terjadi antara Khidir dan Musa?

dan apakah Khidir dapat dikenakan hukum qisas oleh Musa?

164

Al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghayb, 21/156., Ahmad bin

Mustafa al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi>, 15/173. 165

Al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghayb, 21/156. 166

Al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi‘ Li-Ah}ka>m al-Qur’a>n, 11/19-20.

Page 190: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

180

Semua pertanyaan di atas akan dijawab dalam perspektif

bahwa seorang nabi adalah orang pilihan yang tidak mungkin

berbuat buruk dan maksiat, apalagi membunuh tanpa hak,

karena status kenabian telah dijaga kema‘ṣūmannya oleh

Allah.

Protes yang dilayangkan Musa kepada Khidir,

walaupun sebelumnya Khidir telah memberikan wanti-wanti

kepada Musa supaya tidak memprotes segala sesuatu yang

akan terjadi diperjalanan, diakibatkan ia tidak dapat

menerima tindakan Khidir yang dinilai tidak sesuai dengan

hukum Allah yaitu membunuh. Terlebih membunuh orang

yang tidak mempunyai dosa (zakiyah) dan orang tersebut

tidak pernah membunuh orang lain sehingga boleh untuk

diqisas (bi-ghayr nafs). Ada dua alasan mengapa Musa

memprotes Khidir ketika membunuh ghulām, yaitu sifat dari

ghulām yang zakiyah dan bi-ghayr nafs. Wajar kiranya Musa

memprotes sesuatu yang dianggap janggal baginya yang

menghukumi sesuatu dilihat dari sudut pandang lahir suatu

fenomena. Lalu yang menjadi aneh adalah kenapa Musa masih

saja mengikuti Khidir ketika sudah mengetahui ada

kejanggalan?. Al-Qur’an menarasikan bahwa Allah menyuruh

Musa menemui dan mengikuti hambanya yang saleh, yaitu

Khidir, yang telah diberikan ilmu pengetahuan dari Allah.

Musa mengikuti Khidir untuk kiranya diberi pengajaran yang

telah diberikan Allah kepada Khidir (QS. Al-Kahfi/18:66).

Alasan ini yang menyebabkan Musa terus mengikuti Khidir

sampai waktu perpisahan bahkan ketika Khidir melakukan

banyak sesuatu yang janggal dalam hati Musa.

Khidir membunuh ghulām dan dengan seketika Musa

memprotesnya. Sikap Musa menandakan, dalam pandangan

Musa, Khidir telah melakukan suatu kesalahan yang fatal

yaitu membunuh seseorang yang tidak pantas untuk dibunuh.

Tindakan Khidir dilihat dari sudut pandang hukum Musa

adalah berdosa. Allah dalam perintah kepada Musa melarang

untuk membunuh. Orang yang melakukan pembunuhan

Page 191: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

181

terhadap orang lain, maka akan dihukum qisas yaitu hukum

dibunuh juga. Dalam perjalanan dengan Khidir, Musa banyak

menemukan pelanggaran hukum oleh Khidir, yang seharusnya

hukuman setimpal dapat diterapkan kepada Khidir.

Pada akhir perjalanan antara dua nabi Allah tersebut,

Musa akhirnya tidak bisa menghukum Khidir. Teks yang

dinarasikan dalam al-Qur’an tidak menyinggung sama sekali

sesuatu yang dapat menjadi bukti bahwa Khidir telah

melakukan suatu kesalahan bahkan justeru keterangan

panjang lebar yang dipaparkan Khidir terkait dengan beberapa

peristiwa yang membuat janggal Musa dapat membuat Musa

terpana oleh retorika dan ilmu yang dimiliki Khidir. Pada

akhir dialog Khidir menyebut ketika ia membunuh ghulām

sesungguhnya bukan berasal dari kemaunnya sendiri, namun

Allah lah yang menyuruhnya untuk membunuh ghulām.

Sampai di sini dialog antara Khidir dan Musa terputus dalam

narasi al-Qur’an. Al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana

sikap Musa kepada Khidir selanjutnya, apakah Musa

memberikan hukuman qisas pada Khidir atau tidak sama

sekali.167

Hal ini juga menyangkut sifat legenda Khidir yang

datang dengan tiba-tiba dan dapat menghilang dengan tanpa

ketahuan orang. Misteri Khidir banyak disinggung dalam

perjalanan para Nabi.168

Namun titik tekan yang hendak

167

Keterputusan kisan antara Khidir dan Musa ini yang

menyebabkan dalam tafsir Ahkam tidak dijelaskan status hukum

kepada Khidir. Dalam tafsir Ahkam tidak disebutkan status hukum

Khidir juga dapat diartikan sebagai tafsiran ulama atas kisah ini

tidak berdampak pada menjadikan sumber hukum bagi

pemberlakukan qisas. Tafsiran ulama berkonklusi bahwa Khidir

tidak bersalah dan tidak dapat diqisas karena mendapatkan perintah

langsung dari Allah untuk melakukan pembunuhan kepada ghula>m.

Al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi‘ Li-Ah}ka>m al-Qur’a>n, 11/19-22., al-Sha>bu>ni>,

Rawa>’i‘ al-Baya>n fi> Tafsi>r A<ya>t al-Ah}ka>m, 1/492. 168

Abu Isha>q al-H{uwayni>, Qis}s}at al-Mu>sa> wa Khidr (Beirut: Dar al-Fikr, t.tn.).

Page 192: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

182

dibuktikan dalam al-Qur’an adalah bahwa Khidir tidak

melakukan kesalahan yang menyebabkan ia harus dihukum,

karena semua yang terjadi adalah berdasarkan perintah dan

kemauan dari Allah (wa-mā fa‘altuhu ‘an amrī). Keadaan ini

yang memaksa Musa mengambil sikap menerima alasan dari

Khidir dan tidak menghukumnya.

Interpretasi atas tindakan Khidir yang membunuh

ghulām dan berbagai tindakan lain yang mengarahkan pada

persepsi bahwa Khidir melakukan tindakan berdosa dilakukan

oleh para mufasir seperti al-Rāzī, al-Zamakhsyarī, al-Marāghī,

Sayyid Qutb dilakukan dalam rangka menjaga kemaksuman

para nabi. Khidir merupakan salah satu dari nabi pilihan Allah

dan dengan demikian dijaga dari melakukan tindakan tercela

dan maksiat. Adapun teks al-Qur’an yang secara diksi atau

bahasa menyebutkan perkataan membunuh (qatala) tidak

dapat dipahami secara tekstual bahwa nabi telah melakukan

perbuatan dosa. Pembunuhan terhadap ghulām dalam kasus

Khidir dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa ghulām yang dibunuh bukan seseorang yang zakiyah dan bukan dalam

kategori bi-ghayr nafs sehingga boleh untuk dilakukan

tindakan qisas. Selain itu tindakan Khidir tersebut semata

bukan merupakan kemauannya sendiri tapi berasal dari perintah Allah Swt.

Page 193: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

183

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pemaknaan terhadap peristiwa yang terjadi antara

Khidir dan Musa seperti digambarkan dalam surah al-

Kahfi/18:71-7 yang dilakukan oleh mufasir aḥkām

menunjukan bahwa tidak terdapat mufasir yang memahami

tindakan pembunuhan yang dilakukan Khidir terhadap

ghulām sebagai suatu tindakan yang dapat berimplikasi pada

qisas. Mufasir aḥkām memberi makna terhadap ayat tersebut

sebagai suatu tindakan yang tidak dapat dipermasalahkan

sebagai tindak pidana. Kata qatala yang berarti membunuh

seperti yang disebut dalam teks al-Qur’an tidak langsung

dihukumi oleh mufasir sebagai sebuah kesalahan mutlak

Khidir. Namun kata tersebut dan juga serangkaian peristiwa

dalam surat al-Kahfi di atas dilakukan beberapa ta’wil supaya

menunjukan bahwa Khidir pada akhirnya tidak dapat disalah-

kan dengan hukum Musa. Ta’wilan yang dimaksud adalah

mufasir melakukan pembelaan terhadap status ghulām yang

dibunuh oleh Khidir. Walaupun dalam sudut pandang Musa,

perbuatan tersebut adalah salah, namun Musa tidak langsung

menghukum Khidir, bahkan terus menemani Khidir sampai

akhir perjalanan. Musa tidak dapat menghukum Khidir karena

pada hakikatnya ia melakukan tindakan membunuh ghulām

bukan berasal dari kemauannya sendiri tapi berdasarkan

perintah Allah.

Pemaknaan mufasir terhadap tindakan pembunuhan

Khidir kepada ghulām digiring pada status kemaksuman para

nabi (‘ishmat al-anbiyā’). Khidir merupakan salah satu dari

Page 194: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

184

nabi pilihan Allah yang diutus untuk memberikan pengajaran

kepada Musa. Dalam surat al-Kahfi, bentuk pengajaran Khidir

menemukan problem hukum yang dilakukan Khidir. yaitu ia

membunuh seorang ghulām. Membunuh merupakan tindakan

keji dan mungkar bahkan termasuk dalam dosa besar. Satu

dari sepuluh perintah Tuhan (ten commandment) yang

diturunkan kepada Musa adalah larangan untuk membunuh.

Seseorang yang membunuh orang lain tanpa hak maka akan

dibalas dengan balasan yang setimpal yaitu qisas. Namun

dalam hukum Musa, ada beberapa kasus pembunuhan yang

dapat dibenarkan karena mendapatkan legitimasi dari Allah,

yaitu membunuh orang yang kafir, membangkang para

perintah Allah dan melakukan perbuatan zina bagi orang yang

menikah (muḥṣan). Kasus pembunuhan ghulām oleh Khidir

dipahami sebagai suatu tindakan yang dapat dibenarkan

karena, seperti yang dikatakan al-Rāzī, bisa jadi ghulām tadi

dicap sebagai orang pendosa atau karena Allah

memerintahkan untuk membunuhnya. Dua alasan tersebut

menunjukan bahwa status kemaksuman Khidir masih terjaga

dan oleh karena itu ia tidak mendapat hukuman qisas dari

Musa.

Peristiwa pembunuhan ghulām oleh Khidir tidak

dijadikan sebagai dalil hukum untuk melakukan qisas oleh

para ulama karena menyangkut peristiwa umat terdahulu.

Status hukum yang diterapkan pada masa Nabi Musa tidak

dapat diterapkan pada masa Nabi Muhammad kecuali ada

penetapan dari Nabi sendiri dalam ajaran agamanya. Tindakan

membunuh merupakan tindakan yang mutlak tidak

diperbolehkan pada masa Nabi Musa dan Nabi Muhammad.

Hukuman orang yang melakukan pembunuhan juga sama

Page 195: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

185

yaitu diqisas, karena nyawa harus dibayar dengan nyawa. Para

mufasir tidak pernah menjadikan kasus pembunuhan ghulām

oleh Khidir seperti tercantum dalam surah al-Kahfi/18:74

sebagai argumentasi qisas dalam Islam. Hal ini dikarenakan

Pembunuhan Khidir tidak dilakukan dengan sengaja atau

berdasarkan kemauannya sendiri. Dengan kata lain Khidir

melakukan pembunuhan dengan cara hak dan alasan yang

dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, yaitu bahwa

status ghulām yang dibunuh tidak dalam status zakiyah dan

bi-ghayr nafs seperti dalam persepsi Musa.

B. Saran-saran

Penelitian ini hanya dapat melihat satu aspek dari

sederet peristiwa pembunuhan yang ada dalam al-Qur’an yang

tidak dianggap sebagai dalil atau argumentasi qisas dalam

hukum Islam. Masih banyak aspek atau ayat lain yang belum

diekspos dalam penelitian ini. Ada banyak redaksi yang

mengambil terma qatala (membunuh) dalam al-Qur’an tetapi

tidak dijadikan landasan hukum oleh mufasir aḥkām.

Penelitian lanjutan tentang tema dan pembahasan seperti ini

masih memungkinkan untuk dibahas secara lebih

komprehensif.

Page 196: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

186

Daftar Pustaka

Al-Qur’an dan Tarjamah

Ali, M. Rahasia Makrifat Nabi Khidir as. Bandung: Oase

Publishing House, 2011.

Ansory, Insan. Mengenal Tafsir Ahkam. Jakarta: Rumah Fiqih

Publishing, 2018.

Anwar, Syamsul. Studi Hukum Islam Kontemporer. Jakarta:

R.M Books, 2007.

‘Audah Jāser. Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah. Terj. Rosidin dan Ali Abd Mun’im.

Bandung: Mizan, 2015.

Al-Baghāwī, Abū Muḥammad al-Husein ibn Mas’ūd. Ma’ālim al-Tanzīl fī Tafsīr al-Qur’ān. Tanpa Tenpat: Dār

Ṭayyibah, 1997.

Bidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, tt.

Danesi, Louise. Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Effendi, Djohan. Pesan-Pesan al-Qur’an: Mencoba Mengerti Intisari Kitab Suci. Jakarta: Serambi Ilmu

Nusantara, 2012.

Al-Farmawi, ‘Abd al-Ḥay. Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mauḍū’ī. Mesir: Maktabah Jumhuriyah, 1997.

Al-Husairi, Ahmad Muhammad. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam: Telaah Ayat-ayat Hukum Seputar Ibadah,

Page 197: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

187

Muamalah, Pidana dan Perdata. Abdurrahman Kadi

(trj). Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014.

Hamid, Shalahuddin. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam. Jakarta: Amissco, 2000.

Hamka. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.

Ibn al-‘Arabī, Aḥkām al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Kutub al-

‘Alamiyah, 2003 M.

Ibrahim, Duksi. Metode Penetapan Hukum Islam: Membongkar Konsep Istiqra’ Ma’nawi Asy-Syatibi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2013.

Ikhwan. Hak Asasi Manusia dalam Islam. Jakarta: Logos

Wacana Ilmu. Cet. I, 2004.

Irfan, Nurul dan Musyarofah. Fiqih Jinayah. Jakarta: Amzah,

2013.

Irfan, Nurul. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta:

Amzah, 2011.

Izzan, Ahmad. Ulumul Qur’an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas al-Qur’an. Bnadung: Tafakur:

Kelompok Humaniora, 2013.

Al-Jābiri, Muḥammad ‘Ābid. Formasi Nalar Arab. Imam

Khoiri (terj). Yogyakarta: IRCiSoD, 2014.

Kalstum, Lilik Ummu dan Ghazali, Abd Moqsith. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam. Ciputat: UIN Press, 2015.

Khalaf, Abdul Wahab. Ilm Uṣūl Fiqh. Kairo: Dār al-

Kuwaitiyah, 1978.

Page 198: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

188

Khalafullah, Muhammad Aḥmad. Al-Fann al-Qaṣaṣī fī al-Qur’ān al-Karīm, al-Qur’an Kitab Sejarah. Zuhairi Misrawi dan Aris Maftukhin (terj).

Jakarta:Paramadina, 2002.

Al-Khālidi, Ṣalāh. Kisah-kisah al-Qur’an Pelajaran dari Orang-orang terdahulu. Jakarta: Gema Insani Press,

1996.

Al-Qurṭubī. Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān. Muassasah al-

Risālah, 2006 M.

Al-Qaraḍāwi, Yūsuf. Dirāsah fi Fiqh Maqāṣid al-Syarī’ah Bayn al-Maqāṣid al-Kulliyah wa al-Nuṣūs al-Juz’iyah. Kairo: Dār al-Syurūq, 2008

Al-Qaṭṭān, Mannā’. Mabāhist fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut:

Maktabah Wahbah, 2000.

Rafsanjani. Keadilan Sosial: Pandangan Islam tentang HAM, Hegemoni Barat dan Solusi Dunia Modern. Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia, 2001.

Raya, Ahmad Thib. Rasionalitas Bahasa al-Qur’an: Upaya Menafasirkan al-Qur’an dengan Pendekatan Kebahasaan. Jakarta Selatan: Fikra Publishing. Cet.

I, 2006.

Al-Ṣabuni, Muḥammd ‘Alī. Rawā’i al-Bayān: Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur’ān. Damaskus: Maktabah al-

Ghazālī, 1980.

Santoso, Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana Agenda. Jakarta:

Gema Insani, 2003.

Page 199: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

189

Shihab, M Quraish. Membumikan al-Qur’an: Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan. Ciputat: Lentera Hati,

2006.

Suma, Muhammad Amin. Pengantar Tafsir Ahkam. Jakarta:

Rajawali Press, 2001.

Syahidin. Metode Pendidikan Qur’ani: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Misaka Galiza, 1999.

Al-Tarifī, ‘Abd al-‘Azīz ibn Marzūq. Al-Tafsīr wa al-Bayān li Aḥkām al-Qur’an. Saudi: Maktabah Dār al-Manhāj,

1438 H.

Zahrah, Muḥammad Abū. Al-Jarīmah wa al-‘Uqūbah fī al-Fiqh al-Islāmī. Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1997.

Zaydān, ‘Ābd al-Karīm. Al-Mustafād min Qaṣaṣ al-Qur’ān. Lebanon: Mu’assasah al-Risālah Nasyirūn, 2009.

Artikel Jurnal

Abdillah, Junaidi. ‚Radikalisme Agama: Dekonstruksi Tafsir

Ayat-Ayat Kekerasan dalam al-Qur’an‛. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam. Vol. 8.

No. 2. (Desember, 2014).

Anisah, Siti. ‚Penerapan Hukum Qisas untuk Menegakkan

Keadilan‛. Jurnal Syariah. (Juli, 2016).

Asnawi, Habib Shulton. ‚Hak Asasi Manusia dan Barat: Studi

Kritik Hukum Pidana Islam dan Hukuman Mati‛.

Supermasi Hukum. Vol. 1. No. 1. (Juni, 2012).

Arfan, Abbas. ‚Maqāṣid al-Syarī’ah Sebagai Sumber Hukum

Islam: Analisis Terhadap Pemikiran Jasseer Auda‛.

Page 200: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

190

Al-Manāhij: Jurnal Kajian Hukum Islam. Vol. VII.

No. 2. (Juli, 2019).

Bahiej, Ahmad. ‚Memahami Keadilan Tuhan dalam Qisas dan

Diyat‛. Asy-Syi’rah. Vol. 39. No. I, 2005.

Bunyamin. ‚Qisas dalam al-Qur’an: Kajian Fiqh Jinayah

dalam Kasus Pembunuhan Disengaja‛. Jurnal al-‘Adl. Vol. 7. No. 2. (Juli, 2014)

Darussamin, Zikri. ‚Qisas dalam Islam dan Relevansinya

dengan Masa Kini‛. Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum. Vol. 48. No. I. (Juni, 2014).

Faisol, M. ‚Interpretasi Kisah Nabi Musa Perspektif

Naratologi al-Qur’an‛, Islamica: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 11. No. 2. (Maret, 2017).

----------. ‚Struktur Naratif Cerita Nabi Khidir dalam al-

Qur’an‛. Adabiyyāt. Vol. X. No. 2. (Desember,

2011).

Fahruddin, M. Mukhlis. ‚Konsep Pendidikan Humanis dalam

Perspektif al-Qur’an‛. Tesis. Yogyakarta: UIN

Sunan Kalijaga. 2008

Fauzi, Ahmad. ‚Pengembangan Human Relation Perspektif

Nilai-Nilai al-Qur’an‛. Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis. Vol. I. No. 2. (Desember, 2011).

Harahap, Zul Anwar Ajim. ‚Konsep Maqasid al-Syari’ah

Sebagai Dasar Penetapan dan Penerapannya dalam

Hukum Islam Menurut ‘Izzuddin bin ‘Abd al-

Salam‛. Tazkir. Vol. 9. (Juli-Desember, 2014).

Kholiq, M. Abdul. ‚Kontroversi Hukuman Mati dan

Kebijakan Regulasinya dalam RUU KUHP: Studi

Page 201: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

191

Komparatif Menurut Hukum Islam‛. Jurnal Hukum. Vol. 14. No. 2. (April, 2007).

Mushodiq, Muhammad Agus. ‚Perilaku Patologis pada Kisah

Nabi Musa dan ‘Abd dalam al-Qur’an: Telaah

Epistemologi al-Jābirī dan Semiotika Peirce‛. Ulul Albab. Vol. 19. No. I. 2018.

Muslich, Wardi. H.A. ‚Ayat-Ayat Pidana dalam al-Qur’an‛.

Al-Qalam. Vol. XVIII. No. 90-91. Tt.

Mursalim. ‚Gaya Bahasa Pengulangan Kisah Nabi Musa a.s.

dalam al-Qur’an: Suatu kajian Stilistika‛, Lentera, Vol. I. No. I, (Juni, 2017).

Nasir, Jamal Abd. ‚Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Guru dan

Murid dalam Perspektif Kisah Musa dan Khidir

dalam Surah al-Kahfi Ayat 60-82‛. Nuansa. Vol. 15.

No. I. (Januari, 2018).

Rodin, Dede. ‚Islam dan Radikalisme: Telaah Ayat-ayat

Kekerasan dalam al-Qur’an‛. Addin. Vol. 10. No. 1.

(Februari, 2016).

Rukimin. ‚Kisah Dzulqarnain dalam al-Qur’an Surah al-

Kahfi: 83-101‛, Profetika: Jurnal Studi Islam. Vol.

15. No. 2. (Desember, 2014).

Siswandi, Imran. ‚Perlindungan Anak dalam Perspektif

Hukum Islam dan HAM‛. Al-Mawarid. Vol. XI. No.

2. (September-Januari, 2011).

Syafrul. ‚Paradigma Tafsir Ahkam Kontemporer: Studi Kitab

Rawai’u al-Bayan Karya ‘Ali al-Ṣabunī‛. Jurnal Syahadah. Vol. V. No. 1. (April, 2017).

Page 202: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

192

Sumardi, Dedy. ‚Hudūd dan HAM: Artikulasi Penggolongan

Hudūd Abdullahi Ahmed an-Na’im‛. Miqot. Vol.

XXXV. No. 2. (Juli-Desember, 2011).

Tauhid, Ahmad Zainut. ‚Hukuman Mati Terhadap Pelaku

Tindak Pidana Terorisme Perspektif Fikih Jiayah‛.

Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia. Vol. I. No. 2.

(Mei, 2012).

Yusuf, Imaning. ‚Pembunuhan dalam Perspektif Hukum

Islam‛. Jurnal Nurani. Vol. 13. No. 2. (Desember,

2013).

Page 203: Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id

193

BIOGRAFI SINGKAT

Khairul Anam lahir di Sumenep Madura pada tanggal

23 Mei 1990. Pendidikan Formalnya dimulai dari Madrasah

Ibtidaiyah Nurul Hikmah Kolo-Kolo III, di Kampung

halaman, Kangean Sumenep, dan lulus pada tahun 2004.

Kemudian nyantri di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-

Bata Pamekasan Madura, sekaligus melanjutkan pendidikan

jenjang Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah

(MA) 2004-2009. Alumni S1 jurusan Tafsir Hadis Universitas

Islam (UIN) Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekarang

sedang menempuh studi S2 di Sekolah Pascasarjana UIN

Jakarta pada jurusan Pemikiran Islam.

Setelah lulus MA Mambaul Ulum Bata-Bata, sempat

mengabdi di Masyarakat selama satu tahun, yaitu dengan

mengajar di pesantren dan mengisi ceramah di Masjid baik di

dalam atau di luar pesantren.

Selama di pesantren aktif di berbagai organisasi intra

maupun ekstra. Menjadi wakil ketua OSIS MA Mambaul

Ulum Bata-Bata (2008-2009), Ketua Kajian Aktif

Musyawarah Santri (KAMUS) PP. Mamabaul Ulum Bata-

Bata (2007-2009), Anggota Lembaga Pengembangan Bahasa

Arab (2007), dan menjadi ketua perhimpunan santri dari

berbagai pesantren di Kolo-Kolo Kangean-Ketua Ikatan

Santri dan Masyarakat (IKSAMA) (2008-2012).

Adapun karya tulis yang sudah terpublikasikan berupa

buku berstandar Nasional adalah ‚Kajian Tafsir dan Hadis

Kontemporer: Otentisitas, Kisah dan Metodologi. Buku ini

merupakan kompilasi dari berbagai tema kajian tafsir dan

hadir yang ditulis oleh sekelompok orang.