isra’ mi’raj dalam tafsir bil ilmi (studi komparatif...
TRANSCRIPT
ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI
(Studi Komparatif Penafsiran al-Râzi dan Thanthawi
Terhadap QS. Al-Isra’: 1 dan QS. Al-Najm: 13-15)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Oleh:
Abdul Ghaffar
NIM: 105034001196
Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta 1431 H./2010 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI
(STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN AL-RAZI DAN THANTHAWI
TERHADAP QS. AL-ISRA’:1 DAN QS.AL-NAJM: 13-15)” telah diujikan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filasafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada
Program Studi Tafsir Hadis.
Jakarta, 15 Juni 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. M. Suryadinata, M.A Muslim, S.Th.I
NIP: 19600908 198903 1 005
Anggota,
Penguji I Penguji II
Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, M.A Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A
NIP: 19620624 200003 1 001 NIP: 19711003 199903 2 001
Pembimbing,
Dr. Yusuf Rahman, M.A
NIP: 19670213 199203 1 002
ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI
(Studi komparatif penafsiran al-Razi dn Thantawi
Terhadap QS. al-Isra: 1 dan Qs. al-Najm: 13-15).
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Oleh:
ABDUL GHAFFAR
105034001196
Pembimbing,
Dr. Yusuf Rahman, MA.
NIP. 19670213 199203 1 002
Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
1431 H. / 2010 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 15 Juli 2010
Abdul Ghaffar
i
KATA PENGANTAR
Berjuta puja, puji serta syukur aku haturkan kehadirat Allah SWT, Dia-lah
yang melimpahkan rahmat, karunia, kekuatan serta kesabaran kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul “ISRA‟ MI‟RAJ
DALAM TAFSIR BIL ILMI (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN AL-RAZI
DAN THANTHAWI TERHADAP QS. AL-ISRA‟:1 DAN QS.AL-NAJM: 13-
15)” ini.
Berjuta kangen yang meliputi cintaku kepadamu duhai Muhammad
Kekasih Allah, selayaknya shalawat dan salam untukmu. Saksikanlah ummat-mu
ini bershalawat kepadamu allahumma shalli ’ala sayyidina wa habibina
Muhammad, kiranya engkau lihatlah lambaian tanganku yang sangat bangga
menjadi bagian umat-mu yang mengemis syafaat darimu duhai Kekasih Allah.
Terwujudnya tulisan dalam bentuk skripsi ini, tentunya tidak lepas dari
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Terima kasih sebesar-besarnya
penulis haturkan pada segenap orang-orang terkasih yang berada di sekeliling
penulis, yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini :
1. Bapak Dr. Zainun Kamal, M.A. (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta), serta para pembantu Dekan.
2. Bapak Dr. Bustamin, M.Si selaku ketua jurusan dan Bapak Rifqi Muhammad
Fatkhi, MA. Selaku sekretaris jurusan.
3. Bapak Yusuf Rahman, MA selaku pembimbing yang tiada henti dan bosannya
memberikan arahan, kritik membangun dan bimbingan kepada penulis hingga
ii
mampu menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa pula kepada Bapak Eva Nugraha
M.A. sebagai dosen akademik juga teman diskusi penulis dan tak ketinggalan
Bapak Muslim yang telah banyak memudahkan urusan penulis.
4. Umi Wa Ode Zamani dan Abah A.Chodri Romli tercinta, serta kakak-kakakku
yang layak untuk aku jadikan cerminan hidup: Mbak Anisatul Maliha, Mas
Harisul Anas, dan Mas Khathibul Umam. Juga malaikat-malaikat kecilku
yang selalu membuat tersenyum dengan tingkah polahnya: Amira, Rian,
Nayla, dan Efal. Seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan doa,
dukungan baik moril maupun materil yang tak terhingga dalam menyelasaikan
skripsi ini.
5. Segenap Dosen Fakultas Ushuluddin yang telah berkenan memberikan
ilmunya, yang telah berkenan menemani dalam setiap langkah pencarian ilmu
dan bersedia mengajar penulis dalam setiap jengkal kebodohan.
6. Juga kepada sejumlah karyawan Perpustakaan Utama, Perpustakaan
Ushuluddin, Perpustakaan Pusat Studi al-Qur‟an Lentera Hati, serta
Perpustakaan Iman Jama‟ yang telah bersedia membantu penulis.
7. Terima kasih kepada Murizky Gayo atas kesabaran dan pengertiannya.
Teman-temanku; Mas Hafidin, Cak Beni, Kang Awang, Saomi, Chabibi,
Muis, Rony dll. Juga Teman-teman seperjuangan di tafsir hadis angkatan
2005, Mas Labib, Kang Asep, Kiyai Rosyidi, Cak Salman, Syarif, Zee, Laily,
Lili, Bedah, Itoh, Neneng, Syahid dsb, terima kasih untuk semua canda, tawa,
kekonyolan, diskusi, pinjam printer, minta kertas, bantu terjemah, minta
tolong foto copy dan yang terpenting adalah motivasinya dan telah bersedia
menemani perjalanan penulis selama ini.
iii
Dari sangat kecilnya yang dapat penulis lakukan dengan karya ini,
merupakan satu usaha kecil untuk berusaha ikut mengais sepercik air di hamparan
samudra ilmu Allah yang teramat luas. Dengan keterbatasan yang dimiliki
penulis, kekurangan pasti ditemui dalam banyak sisinya, karna kesempurnaan
hanya milik Allah semata.
Akhirnya, harapan penulis, semoga atas segala bantuan dan perhatian yang
diberikan mendapatkan balasan yang berlipat dari Allah SWT., amin. Selain itu
semoga segala aktivitas yang kita kerjakan diberikan kemudahan dan menjadi
nilai ibadah di sisi-Nya. Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih.
Jakarta, 2 Juni 2010
Abdul Ghaffar
iv
MOTTO PENULIS
”Yang terbaik dari kalian adalah
yang mempelajari al-Qur’an dan mengamalkannya”
”manusia terbaik adalah yang bermanfaat untuk orang lain”
”jangan mengejar bayangan karena kamu tidak akan
mendapatinya. Tapi kejarlah cahaya
maka bayangan akan mengejarmu”
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………. i
MOTTO PENULIS……………………………………………….. iii
DAFTAR ISI……………………………………………………… . iv
TRANSLITERASI………………………………………………… vi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………….. 7
C. Tujuan Penelitian ………………………………. 9
D. Manfaat Penelitian ……………………………... 9
E. Tinjauan Pustaka ……………………………….. 9
F. Metode Penelitian ………………………………. 11
G. Sistematika Penulisan …………………………… 12
BAB II. TINJAUAN UMUM ATAS ISRA’ DAN MI’RAJ
A. Definisi Isra‟ Mi‟raj …….………………………. 13
1. Etimologi ……………………………….. 13
2. Terminologi …………………………….. 14
B. Isra‟ Mi‟raj perspektif ahli tafsir ……………….. 15
C. Isra‟ Mi‟raj perspektif Rasionalis ………………. 17
D. Pro-kontra atas Isra‟ Mi‟raj ..…..……………….. 25
BAB III. MENGENAL AL-RAZI DAN THANTHAWI BESERTA
TAFSIRNYA
A. Fakhr al-Dîn al-Râzî .…………….………………. 29
1. Biografi singkat dan beberapa karyanya .......... 29
2. Selayang Pandang Tentang al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh
al-Ghaib .......................................................... 36
3. Latar Belakang Penulisan al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh
vi
al-Ghaib .......................................................... 39
4. Metode, corak dan sistematika penulisan al-Tafsîr al-Kabîr
Mafâtîh al-Ghaib ............................................. 39
B. Thanthawi Jauhari ……………………………….. 41
1. Biografi singkat dan beberapa karyanya ........... 41
2. Selayang pandang tentang al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an 42
3. Latar belakang penulisan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an 43
4. Metode, corak dan sistematika penulisan al-Jawâhir fî
Tafsîr al-Qur’an ............................................. 44
BAB IV. PENAFSIRAN AL-RAZI DAN THANTHAWI TERHADAP
ISRA’ MI’RAJ
A. Perbandingan kedua tafsir atas Qs. Al-Isra‟: 1 ……… 47
B. Perbandingan kedua tafsir atas Qs. Al-Najm: 13-15 .... 54
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................... 57
B. Saran-saran ............................................................ 58
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN ........................................................................................
vii
TRANSLITERASI
Skripsi ini menggunakan alih aksara (translitersi) yang mengikuti atau
sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam pedoman transliterasi
arab-latin dengan menggunakan pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis,
disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006-
2007.
I. Konsonan
Arab Latin Arab Latin Arab Latin
q ق z ز tidak dilambangkan ا
k ك s س b ب
l ل sy ش t ت
m م s ص ts ث
n ن d ض j ج
w و t ط h ح
h هـ z ظ kh خ
, ء „ ع d د
y ي gh غ dz ذ
f ف r ر
II. Vokal Pendek III. Vokal Panjang
_ _ : a أا : â
-- - : i إي : î
_ _ : u أو : û
viii
IV. Vokal Rangkap
ai : أي
au : أو
V. Singkatan
Swt : Subhanau wa ta‟ala
Saw : Shalla Allah „alaihi wa Sallam
Ra : Radhiya Allah „anhu
H : Tahun Hijriyah
M : Tahun Masehi
W : Wafat
Tt : Tanpa Tempat
Tth : Tanpa Tahun
Tp : Tanpa Penerbit
Ed : Editor
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Peristiwa Isra‟ dan Mi„râj tidak dapat ditangkap oleh akal manusia yang
penuh dengan segala keterbatasannya. Bagi manusia yang selalu memakai
kemampuan penalarannya, Isra‟ dan Mi„râj itu sangat tidak rasional dan tidak
sesuai dengan pengalaman hidup selama ini. Sangat mustahil seseorang dapat
menempuh jarak antara Makkah dan Yerusalem pulang-pergi pada waktu itu,
hanya dalam waktu kurang dari semalam : pergi dari Makkah ke Madinah dengan
mengendarai unta saja memerlukan waktu puluhan hari, apalagi naik dan
menerobos perbatasan langit yang tujuh cacah.1
Namun para mufassir tidak mempersoalkan apakah Nabi Muhammad
SAW memang ber- Isra‟ Mi„râj atau tidak, mereka lebih mempersoalkan apakah
Nabi Muhammad SAW ber-Isra‟ dengan jasadnya atau ruhnya saja. Dalam hal ini
ulama tafsir terpecah ke dalam dua golongan. Satu golongan mengatakan bahwa
Nabi Muhammad SAW ber-Isra‟ hanya dengan ruhnya saja dan golongan lain
mengatakan Nabi Muhammad SAW ber-Isra‟ berikut jasadnya.2
1 Achmad Baiquni, Al-Qur‟an dan Pengetahuan Kealaman (Yogyakarta: Prima bakti
Prima Yasa, 1997), h. 252. 2 Muhammad Jarir al-Thabari dalam Jâmi‟ al-Bayân fî Ta‟wîl al-Qur‟an (Muassasah al-
Risalah, 2000M/1420H) menjelaskan tentang pendapat para ulama mengenai peristiwa Isrâ‟ mirâj
berikut riwayat-riwayat yang digunakan oleh masing-masing pendapat, pendapat pertama
mengatakan bahwa Nabi SAW ber-Isrâ‟ dengan jasadnya (jilid17 h. 335), pendapat kedua dengan
jasad dan ruhnya (h. 348), pendapat ketiga dengan ruhnya saja dan tanpa jasad (h. 349). Lihat juga:
KH. Moenawar Chalil, dalam bukunya berjudul Peristiwa Isrâ‟ dan Mi‟râj (Jakarta: Bulan
bintang, 1975), yang telah mengklasifikasikan pendapat-pendapat mengenai hal ini, ia menulis:
“Tentang bagaimana terjadinya Isrâ‟ dan Mi‟râj yang dilakukan Nabi SAW. yakni apakah dengan
tubuh halus (ruhani) serta tubuh kasar (jasmani) nya, ataukah hanya tubuh halus (ruhani) nya saja.
Tentang ini antara para ulama, para cerdik pandai dan para sarjana sejak dari dahulu hingga
sekarang masih banyak pertikaian pendapat dan perselisihan paham, yakni:
- Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan ruh serta jasad
2
Berlainan dengan permasalahan di atas, para mufassir berpendapat sama
mengenai pengertian Isra‟ dan Mi„râj, yakni Isra‟ adalah perjalanan seorang
hamba (Muhammad SAW) di malam hari3 dari Masjid al-Haram ke Masjid al-
Aqsha. Dan Mi„râj adalah dinaikkannya Nabi Muhammad SAW dari Masjid al-
Aqsha menuju langit untuk melihat keajaiban besar4 dan bertemu dengan para
nabi5 dan kemudian berhenti di Sidratul Muntaha.
6
Hal yang penting untuk dikritisi adalah, bahwa ternyata tidak ada
perbedaan mendasar yang cukup mendominasi antar tafsir-tafsir bi al-Ma‟tsur7
dan bi al-Ra‟yi8 berkaitan dengan pembahasan mereka mengenai Isra‟ dan Mi„râj.
Misalnya saja dalam tafsirnya Abu Laits al-Samarkandi pada Bahr al-„Ulûm, yang
hanya menjelasakan Isra‟ dan Mi„râj secara tekstual dan kemudian mengutip
- Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan ruh saja
- Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan jalan mimpi
- Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan badan halus, tidak dengan jasmani dan tidak
dengan ruhani
- Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan wahdatul wujud
- Isra dilakukan dengan tubuh kasar serta ruhani, dan Mi‟rajnya dilakukan hanya
dengan ruhani saja” 3 Lihat: Abu Laits al-Samarkandi, Bahr al-Ulûm, Juz 2, h. 43. Lihat juga: Ismail bin
Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur‟an al-„Azîm (Dâr Thoyyibah li al-Nasyr, 1999), juz 5, h. 5. 4 Al-Alusi al-Baghdadi, Tafsir Rûh al-Ma„âni (Beirut: Dâr ihyâ‟ al-Turats al-„Arabi, 1405
H), juz 15, h. 12. 5 Abu Muhammad al-Husain al-Baghawi, Ma„âlim al-Tanzîl (Dâr Thayyibah li al-Nasyr
wa al-Tauzi‟, 1997), juz 5, h.58 6 Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fî ta‟wîl al-Qur‟an (Muassasah al-
risalah, 2000), juz 17, h. 333. 7 Tafsir bi al-Ma‟tsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih
menurut urutan yang telah disebutkan di muka dalam syarat-syarat tafsir. Yaitu menafsirkan al-
Qur‟an dengan al-Qur‟an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan
perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang
dikatakan tokoh-tokoh besar tabi‟in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para
sahabat. Lihat: Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur‟an (Jakarata, Halim Jaya, 2007),
h.482. Tafsir dengan sumber ini harus diikuti dan dipedomani karena ia adalah jalan pengetahuan
yang benar dan merupakan jalan paling aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan
kesesatan dalam memahami kitabullah (Studi ilmu-ilmu Qur‟an, h.486). 8 Adalah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya mufassir hanya berpegang pada
pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang di dasarkan pada ra‟yu (pemikiran) semata.
(Studi ilmu-ilmu Qur‟an, h. 488). Golongan salaf enggan dan berkeberatan untuk menafsirkan al-
Qur‟an dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui (h. 489).
3
riwayat-riwayat berkaitan dengan peristiwa ini9. Demikian juga dengan penafsiran
al-Thabari dalam Jâmi‟ al-Bayân fî Ta‟wîl al-Qur‟an yang setelah menjelaskan
kedudukan ayat secara tekstual, mengutip riwayat-riwayat sahabat dan para
tabi‟in, serta mengklasifikasi perbedaan-perbedaan riwayat-riwayat tersebut.10
Walaupun tentu kedua kitab tafsir di atas yang digolongkan oleh al-Dzhahabi
sebagai tafsir bi al-Ma‟tsur ini tidak bisa men-jenalisir bahwa tafsir bi al-Ma‟tsur
demikian seluruhnya.
Tidak berbeda jauh dengan kitab-kitab tafsir bi al-Ma‟tsur di atas, dalam
tafsir-tafsir bi al-Ra‟yi pun, misalnya penafsiran Abu Sa‟ûd al-„Imadi pada kitab
Irsyâd al-„Aql al-Salîm li mizâyan al-Kitâb al-Karîm yang hanya menjelaskan
ayat secara tekstual dan mengutip riwayat-riwayat terdahulu.11
Demikian juga
dengan tafsir al-Nasafi dalam kitabnya Madârik al-Tanzîl wa Haqâ‟iq al-Ta‟wîl.
Kedua tafsir ini pun tentu tidak dapat dijenalisir bahwa tafsir-tafsir bi al-Ra‟yi
demikian seluruhnya. Berbeda misalnya dengan penafsiran Fakhr al-Dîn al-Râzî
dalam Mafâtîh al-Ghaib. Di samping menjelaskan ayat secara tekstual, mengutip
riwayat-riwayat terdahulu, menjelaskan perbedaan-perbedaan pemahaman
sahabat, tabi‟in dan para ulama terdahulu, al-Râzî juga berusaha memberikan
penjelasannya dengan berbagai argumentasi rasional dengan dalil-dalil ilmiah
(dengan memakai ukuran waktu itu) seperti fisika kuantum (prinsip ketidakpastian
9 Lihat: al-Samarkandi, Bahr al-„Ulûm, juz 2, h. 493-492.
10 Lihat: Muhammad Jarir al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fî ta‟wîl al-Qur‟an (Muassasah al-
Risalah, 2000M/1420H), juz 17, h. 331-351 11
Lihat: Abu Sa‟ud al-„Imadi, Irsyâd al-„Aql al-Salîm li mizâyan al-Kitâb al-Karîm, juz
4, h.169-170.
4
dan indeterminisme),12
metafisika, kosmologi.13
Ia juga menggunakan
matematika, kimia dan biologi dalam penafsiran ayat-ayat lainnya.14
Tak berbeda jauh dengan metodologi tafsir-tafsir di atas, ketika berbicara
mengenai peristiwa Isra‟ dan Mi„râj, M.Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah-
nya yang notabene tafsir Indonesia dan bisa dikatakan sebagai tafsir „baru‟,
ternyata juga lebih menitikberatkan penjelasan tekstual dan mengutip riwayat-
riwayat mengenainya.15
Terlepas dari itu semua, jika melihat kembali fungsi diturunkannya al-
Qur‟an, maka para ulama sepakat bahwa al-Qur‟an adalah petunjuk untuk
manusia16
yang selalu relevan pada setiap zaman dan tempat. Di sisi lain, jika
turut menekankan prinsip fungsi ke-hidayah-an al-Qur‟an untuk manusia, maka
mau tidak mau harus menerima perkembangan tafsir al-Qur‟an sebagai
monitoring pemahaman masyarakat yang juga berkembang. Hal ini tidak lain
sebagai bentuk perwujudan relevansi al-Qur‟an tadi pada setiap zaman dan
kondisi.
Salah satu pemikir Muslim besar yang juga seorang mufassir, yakni
Muhammad Abduh, banyak memberi warna dan inspirasi karena menitik-
tekankan perkembangan dalam dunia tafsir serta mengkritisi tafsir-tafsir yang
telah ada sebelumnya, karena unsur hidayah pada tafsir-tafsir tersebut kurang
12
Setelah al-Râzî menjelaskan perbedaan ulama‟ mengenai Isra‟ Mi‟râj dan
mengklasifikasikannya menjadi dua hal, yakni : 1) konfirmasi kebolehan akal (itsbât al-Jawâz al-
„Aql), dan 2) kenyataan (al-Wuqû‟) dari peristiwa tersebut, ia menjelaskan bahwa gerakan yang terjadi secara cepat sampai batas ini adalah mungkin, dan Allah Maha Kuasa atas segala kemungkinan. Hal ini menunjukkan bahwa tercapainya gerakan dengan kecepatan tersebut tidak
ada halangan. Kemudian al-Razi menjelaskan secara rinci mengenai konfirmasi kebolehan akal
ini. (Lihat: al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Juz 9, h. 494) 13
Lihat : al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Juz 9, h. 495) 14
Achmad Baiquni, Al-Qur‟an dan Pengetahan Kealaman (Yogyakarta: Prima bakti
Prima Yasa, 1997), h. 81. 15
Lihat, M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2009), vol.7, h. 9-19 16
Sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al-Baqarah/2:185
5
dapat ditangkap oleh manusia. Hal ini tidak berlebihan karena pada kenyataannya
banyak ahli tafsir yang jiwanya dikuasai oleh ilmu balaghah misalnya, maka
dalam menafsirkan al-Qur‟an yang bersangkutan lebih menitik beratkan uraian-
uraiannya pada kaidah ilmu tersebut. Ada yang semangat dalam ilmu nahwu dan
sharaf, maka ia memusatkan perhatiannya pada masalah kedudukan kata di dalam
kalimat (I‟rab al-Kalimât) dan perubahan-perubahannya. Ada pula yang
menguasai ilmu sejarah, sehingga ia mengutamakan kisah dan riwayat, bahkan
ada yang berlebihan sehingga memasukkan dongeng-dongeng Yahudi
(Isrâ‟iliyyât) tanpa diteliti terlebih dahulu. Demikianlah seterusnya.17
Oleh karena itu berbagai cara tafsir yang dipengaruhi bermacam sikap dan
pandangan seperti di atas, menyulitkan pembacanya untuk memperoleh petunjuk
a-Qur‟an secara memuaskan hati. Dengan demikian fungsi al-Qur‟an sebagai
petunjuk kurang dapat ditangkap.
Di antara sekian sikap dan pandangan mufassir, al-Râzî misalnya
menafsirkan al-Qur‟an dari kaca mata ilmu pengetahuan yang lebih condong ke
arah sains. Terlebih ketika berbicara mengenai ayat-ayat yang mengarah kepada
alam, penciptaan, dan lain sebagainya seperti ayat yang menceritakan tentang
peristiwa Isra‟ dan Mi„râj ini. Hal ini sebenarnya bukan hal yang berlebihan
karena tafsir dengan corak seperti ini bertujuan untuk memudahkan manusia
menangkap petunjuk al-Qur‟an. Namun tafsir corak ini tentu saja tidak terlepas
dari kritik para ulama. Misalnya saja definisi yang diajukan oleh Amin al-Khûli
mengenai tafsir bil „ilmi adalah: "Tafsir yang memaksakan istilah-istilah keilmuan
kontemporer atas redaksi Al-Qur'an, dan berusaha menyimpulkan berbagai ilmu
17
Rif‟at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh (Jakarta: Paramadina,
2002), h. 100.
6
dan pandangan-pandangan filosofis dari redaksi Al-Qur'an itu."18
Demikian juga
dengan definisi yang diajukan oleh Abdul Majid Abdul Muhtasib, yaitu : "Tafsir
yang mensubordinasikan redaksi Al-Qur'an ke bawah teori dan istilah-istilah
sains-keilmuan dengan mengerahkan segala daya untuk menyimpulkan pelbagai
masalah keilmuan dan pandangan filosofis dari redaksi Al-Qur'an itu."19
Kedua definisi di atas tampak mirip, dan dapat kita berikan catatan dalam
dua hal yaitu: yang pertama, kedua definisi tersebut mendiskreditkan model tafsir
saintifik, sebab memberi kesan bagi orang awam yang membaca definisi itu
bahwa corak tafsir itu agar dihindari karena dinilai telah "menundukkan redaksi
Al-Qur'an" ke dalam teori-teori sains yang kerap berubah-ubah. Lagi pula sosok
Amin al-Khûli dan Abdul Muhtasib ini dikenal berada di barisan ulama yang
kontra dan tak merestui corak tafsir ini.20
Kedua definisi tersebut tak mampu menggambarkan konsep yang
sebenarnya diinginkan para pendukung tafsir bil „ilmi. Para pendukungnya tak
pernah berkeinginan untuk memaksakan istilah-istilah keilmuan modern kepada
redaksi Al-Qur'an, atau menundukkan redaksi Al-Qur'an itu kepada teori-teori
sains yang selalu berubah. Apa yang dimaksudkan para ulama pendukung corak
tafsir ini adalah berupaya menjelaskan salah satu aspek kemukjizatan Al-Qur'an
18
Abdul Majid al-Muhtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fi al-'Ashr al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Fikr,
1973), h. 309. 19
al-Muhtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fi al-'Ashr al-Hadîts, h. 247. 20
Mengenai tafsir bil „ilmi, Amin Al-khûli mengkritik keras dalam bukunya, ia menulis :
“Bagaimana mungkin prinsip-prinsip dasar kedokteran, astronomi, ilmu hitung, dan kimia
disimpulkan dari al-Qur‟an dengan cara sebagaimana yang dikatakan tadi, sementara prinsip-
prinsip tersebut pada saat ini tidak ada seorangpun yang memberikan kaidah pasti. Setiap sarjana
muncul merevisi prinsip tersebut dalam suatu waktu atau lebih. Apapun yang telah diformulasikan
oleh sarjana terdahulu pastilah mengalami perubahan, kemudian mengalami perubahan yang
lebih dahsyat untuk waktu berikutnya”. (Lihat: Amin al-Khûli, Metode Tafsir Sastra (Yogyakarta:
Adab Press, 2004), h.41.
7
agar mudah difahami oleh manusia modern, terlebih di saat rasa dan cita
kebahasaan Arab sudah sangat melemah, di kalangan orang Arab sekalipun.21
Apalagi kini, ilmu dan sains telah menyerbu seluruh sendi kehidupan umat
manusia. Oleh sebab itu kiranya, definisi yang lebih tepat untuk corak tafsir bil
„ilmi dan sesuai dengan realitas di lapangan adalah: "Tafsir yang berbicara tentang
istilah-istilah sains yang terdapat dalam Al-Qur'an dan berusaha sungguh-sungguh
untuk menyimpulkan pelbagai ilmu dan pandangan filosofis dari istilah-istilah Al-
Qur'an itu."22
Dengan latar belakang inilah penulis ingin mengkaji lebih dalam lagi
masalah ini. Untuk itu penulis mengajukan skripsi ini dengan judul: ISRA’
MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi komparatif penafsiran al-Razi
dn Thantawi terhadap QS. al-Isra: 1 dan Qs. al-Najm: 13-15).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan lebih jelas dan terarah serta tidak menyimpang jauh dari
pembahasan, penulis memberi batasan hanya pada pembagian Sayyid Muhammad
21
Dalam pandangan Muhammad Abduh, masyarakat amat membutuhkan petunjuk-
petunjuk guna mengantarkan mereka menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Masyarakat tidak
akan menanyakan hal-hal terkait kaidah bahasa, i‟rab, dan sebagainya, begitupula dengan Allah
Swt. Masih menurut Abduh, hal-hal tersebut yang terdapat dalam beberapa kitab tafsir di masanya,
dan masa-masa sebelumnya, justeru menjadikan kitab tersebut bagaikan pelajaran bahasa, dan
kitab-kitab yang seolah hanya merupakan penjelasan ulama yang berbeda-beda tersebut makin
menjauh dari tujuan diturunkannya al-Qur‟an. Lihat: Lihat M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-
Qur‟an: Studi Kritis Atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 20. 22
Syaikh Bakri Amin, al-Ta'bir al-Fanni fi al-Qur'an, (Beirut: Dâr al-Syurûq, 1980),
h.125
8
Ali Iyâzî dalam kitab al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhajuhum23
atas tafsir-tafsir
dengan corak bil „ilmi dalam pembahasan Isra‟ Mi„râj.
Dalam kitabnya, Ali Iyâzî membagi tafsir bil „ilmi menjadi dua bagian,
Yakni, 1) Tafsir-tafsir bil „ilmi periode salaf terdiri dari Jawâhir al-Qur‟an karya
al-Ghazâli, al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib karya Fakhr al-Dîn al-Râzî, al-
Burhân fî „Ulûm al-Qur‟an karya al-Zarkasyi, al-Itqân karya al-Suyûti. 2) Tafsir-
tafsir bil „ilmi periode khalaf terdiri dari Kasyf al-Asrâr al-Nûrâniyyah karya al-
Iskandârâni dan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur‟an karya Thanthawi.24
Dari dua pembagian Ali Iyâzî atas tafsir bil „ilmi di atas, penulis hanya
akan mengambil satu tafsir dari masing-masing periode untuk dibahas. Dari tafsir
periode salaf yakni al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib karya Fakhr al-Dîn al-
Râzî. Adapun dari periode khalaf yakni al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur‟an al-Karim
karya Thanthawi. Sedangkan ayat yang akan dibahas hanyalah Q.S. al-Isrâ‟ :1 dan
Qs. Al-Najm: 13-15.
Untuk memudahkan pembahasan dalam skripsi ini perlu adanya rumusan
permasalahan yang menjadi tema pokok yang dibahas dalam skripsi ini.
Permasalahan tersebut adalah :
1. Bagaimana tafsir-tafsir dengan corak bil „ilmi memandang peristiwa
Isra‟ dan Mi„râj ?
2. Apa perbedaan mendasar dari tiap tafsir dengan corak bil „ilmi
terhadap pembahasan Isra‟ Mi„râj ?
23
Sayyid Muhammad Ali Iyâzî, al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhajuhum, (Muassasah
al-Thaba‟ah wa al-Nasyr,1212) 24
Sayyid Muhammad Ali Iyâzî, al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhâjuhum, (Muassasah
al-Thaba‟ah wa al-Nasyr,1212), h. 94
9
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini, di samping ditujukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada program studi
tafsir-hadis, fakultas ushuluddin dan filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
juga ditujukan untuk menganalisis bagaimana bentuk saintifikasi al-Qur‟an pada
tasir-tafsir dengan corak bil „ilmi yang selama ini ada, khususnya pada ayat-ayat
mengenai peristiwa Isra‟ dan Mi„râj.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
pada kajian tafsir umumnya, khususnya pada kajian tentang saintifikasi al-Qur‟an.
Pada level akademik, diharapkan dapat memberi kontribusi bagi perkembangan
kajian akademik, khususnya tafsir, dan secara umum, penelitian ini
dipersembahkan sebagai sumbangsih bagi dunia pengetahuan di tengah-tengah
masyarakat.
E. Tinjauan Pustaka
Kajian saintifikasi al-Qur‟an mulai menyentil rasa ingin tahu (sense of
curiosity) penulis, saat membaca buku yang berjudul Terpesona di Sidratul
Muntaha,25
sebuah buku karya Agus Mustofa. Dalam buku tersebut, dijelaskan
bagaimana proses terjadinya peristiwa Isra‟ dan Mi„râj yang dialami Nabi SAW
melalui perubahan materi ke anti-materi, relativitas waktu dan reduksiasi dimensi
25
Agus Mustofa, Terpesona di Sidratul Muntaha, (Sidoarjo: PADMA Press, 2004)
10
ruang dan waktu. Kesimpulan pribadi penulis bahwa apa yang dijelaskan oleh
Agus Mustofa dalam buku tersebut adalah sebuah penafsiran terhadap al-Qur‟an
yang bercorak bil „ilmi, walaupun ia tidak memberi judul yang menandakan
bahwa buku itu adalah tafsir al-Qur‟an. Rasa ingin tahu penulis ini tidak
terpuaskan karena dalam bukunya, Agus Mustofa tidak menjelaskan hadis-hadis
atau riwayat-riwayat yang ia gunakan dalam penafsirannya untuk mengungkap
Isra‟ dan Mi„râj dari sisi sains. Rasa penasaran pun berlanjut dengan menelusuri
bagaimana kitab-kitab tafsir bil „ilmi menjelaskan peristiwa Isra‟ dan Mi„râj.
Rasa ingin tahu tersebut tetap terpupuk hingga saatnya penulis menyusun
skripsi. Dengan berpedoman antara lain pada kitab al-Mufassirûn hayâtuhum wa
minhajuhum karya Ali Iyâzî yang dalam kitab ini Ali Iyâzî mengklasifikasi kitab-
kitab tafsir dan menjelaskan biografi singkat tentang penulisnya. Penulis mencoba
menelusuri bentuk saintifikasi al-Qur‟an yang dijelaskan oleh para mufassir pada
kitab-kitab tafsir bil „ilmi.
Untuk karya berupa skripsi yang berkaitan dengan topik yang penulis
ketengahkan dalam penelitian ini, penulis menemukan skripsi dengan judul
Kajian Isra‟ dan Mi„râj Menurut Pandangan Fakhr al-Dîn al-Râzî dalam Tafsîr
Mafâtîh al-Ghaib.26
Adapun skripsi kedua yang penulis temukan berjudul
Menyingkap Tabir Kisah Isra‟ dan Mi‟râj (Telaah Penafsiran Q.S. al-Isra‟ :1
dan Q.S. al-Najm :1-18) Perspektif Tafsir al-Azhar.27
26
Adi Amir Zainun, “Kajian Isra‟ dan Mi‟raj Pandangan Fakhral-Din al-Razi Dalam
Tafsir Mafatih al-Ghayb”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2003) 27
Ahmad Firmansyah, “Menyingkap Tabir Kisah Isra‟ dan Mi‟raj (Telaah Penafsiran
Q.S. al-Isra‟ :1 dan Q.S. al-Najm :1-18) Perspektif Tafsir al-Azhar,” (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002)
11
Penulis menyadari, banyak karya yang telah membahas tafsir bil „ilmi,
terlepas dari pro dan kontranya. Namun, penulis melihat peluang melakukan
analisa untuk menjajaki kemungkinan pergeseran makna dalam tafsir-tafsir
dengan corak bil „Ilmi. Penulis berharap kajian awal ini memotivasi rekan-rekan
untuk lebih menggeluti kajian tafsir pada umumnya, khususnya tafsir
kontemporer, dan lebih khusus lagi pada bidang kajian saintifikasi al-Qur‟an.
F. Metode Penelitian
Setiap penulisan sebuah karya ilmiah haruslah menggunakan metode
penelitian. Dalam penulisan skripsi ini, metode yang penulis gunakan untuk
membahas masalah kisah Isra‟ dan Mi„râj adalah kepustakaan (Library
Research), yakni dengan cara membaca, meneliti serta menganalisa dari buku-
buku, majalah-majalah dan apa saja yang berkenaan dengan masalah yang penulis
bahas, yakni mengklasifikasi tafsir-tafsir bil „ilmi dengan cara melihat bagaimana
bentuk penafsiran pada ayat-ayat Isra‟ dan Mi„râj. Sedangkan data-data yang
diperlukan itu berasal dari sumber utama, dalam hal ini yang menjadi sumber
utama adalah kitab al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib karya Fakhr al-Dîn al-
Râzî dan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur‟an al-Karim karya Thanthawi.
Sedangkan mengenai teknik penulisan, penulis berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press (CeQDA) cetakan
ke-11, 2007.28
28
Tim Penulis, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) (Jakarta:
CeQDA, 2007)
12
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka penulis membagi ke
dalam beberapa bab, dan pada setiap bab terdapat beberapa sub-bab. Dengan
sistematika sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan berisi pokok permasalahan, pembatasan dan
perumusan masalah, metode pembahasan, dan sistematika penulisan.
Bab II : Tinjauan umum mengenai Isra‟ Mi„râj, meliputi definisi,
pandangan menurut para ahli tafsir dan ilmuan, serta pro-kontra yang meliputinya,
Bab III : Mengenal al-Razi dan Thanthawi beserta tafsirnya, yang terdiri
dari biografi singkat dan beberapa karya-karya mereka, selayang pandang tentang
tafisr keduanya, latar belakang penulisan tafsir, metode, corak dan sistematika
penulisan masing-masing tafsir.
Bab IV : Penafsiran al-Razi dan Thanthawi mengenai Peristiwa Isra‟ dan
Mi„râj, serta perbandingan antara kedua tafsir tersebut.
Bab V : Penutup meliputi kesimpulan dan saran-saran.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM ATAS ISRA’ DAN MI’RÂJ
A. Definisi Isra’ Mi’râj
1. Etimologi
Kata-kata Isra‟ dan Mi‟râj yakni dua kata dalam bahasa Arab yang
masing-masing mempunyai arti sebagai berikut: Isra‟ (اسزاء = berjalan malam)
adalah bentuk masdar dari kata asrâ yusrî ( يسزى -اسزى ) yang secara etimologis
berarti „berjalan pada malam hari‟, atau „membawa berjalan pada waktu malam‟.
Kata asrâ sendiri adalah mazîd bi harf (مزيد بحزف) kata kerja yang sudah
mengalami penambahan satu huruf, yaitu alif. Dengan demikian, asrâ berasal dari
sarâ yasrî saryan wa sirâyatan ( ايةسزى يسزي سزيا و سز ).1 Menurut Ibnu Manzur, di
dalam bukunya Lisân al-„Arab, kedua kata tersebut (asrâ dan sarâ) mempunyai
arti yang sama, yaitu: „perjalanan pada malam hari‟. Menurutnya, penambahan
alif pada kata asrâ itu adalah menurut bahasa penduduk hijaz, dan sebagai
buktinya al-Qur‟an menggunakan kedua kata tersebut dengan arti yang sama.
Misalnya, di dalam QS. Al-Isrâ‟ (17): 1 digunakan kata asrâ dan QS. Al-Fajr
(89): 4 yang menggunakan kata sarâ yasrî.2 Menurut Abu Ishaq, makna kedua
makna tersebut adalah „perjalanan yang dilakukan pada malam hari‟. Hanya saja,
pada QS. Al-Isrâ‟ (17): 1, Allah SWT memperkuat atau ta‟kîd kata asrâ dengan
al-Lail (malam). Pendapat lain, seperti yang dikutip oleh al-Raghib al-Asfahani di
1 Tim Penulis, Ensiklopedi Al-Qur‟an ajian Kosa Kata dan tafsirnya, (Jakarta: Yayasan
Bimantara, 2002), jilid 1, h. 1. 2 Muhammad bin Mukarram bin Manzur, Lisân al-„Arab, (Beirut: Dâr Shadir, tth), Juz
14, h. 377.
14
dalam Mu‟jam Mufradât li Alfâzi al-Qur‟an dan Mufradât fî Gharîb al-Qur‟an,
menyebutkan bahwa kata asrâ tidak berasal dari kata sarâ yasrî, tetapi dari kata
al-Sarâh (السزاة), yaitu al-Irtifa‟ wa al-„Uluw, kenaikan dan ketinggian, yang kata
dasarnya berasal dari saruwa sarwan wa sarâwatan (سزو سزوا و سزاوة). Di samping
itu, kata al-Sarâh juga berarti „ard wâsi‟ah (ارض واسعة = bumi yang luas),
sehingga makna firman Allah di dalam QS. Al-Isrâ‟ (17): 1 adalah “Maha suci
Allah yang memperjalankan hamba-Nya di tanah yang luas pada malam hari”.3
Adapun pengertian Mi‟râj adalah kata benda tunggal yang berarti al-
Sullam wa al-Mas‟ad ( عدصالسلم و الم = tangga dan atau alat untuk naik). Secara
bahasa, menurut Ibnu Faris, kata yang terdiri dari huruf „ain (ع), ra‟ (ر), dan jim
seperti kata ,(condong dan miring = ميل) menunjukkan tiga arti: pertama, mail (ج)
al-A‟raj (األعزج) yang terdapat di dalam QS. Al-Nur (24): 61. Kedua, ia juga bisa
menunjukkan kepada al-„Adad (العدد = bilangan). Dan ketiga, ia berarti al-Irtiqâ‟
wa al-Irtifâ‟ ilâ al-Sama‟ yang berarti meningkat dan naik ke atas langit.4
2. Terminologi
Isra‟ adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dengan arah horizontal,
yakni dari Masjid al-Haram di Mekkah sampai ke Masjid al-Aqsha di Yerusalem
yang dijalankan oleh Allah SWT pada malam hari. Perjalanan tersebut dilakukan
dalam satu malam.5
3 Tim Penulis, Ensiklopedi Al-Qur‟an ajian Kosa Kata dan tafsirnya, (Jakarta: Yayasan
Bimantara, 2002), jilid 2, h. 1. 4 Tim Penulis, Ensiklopedi Al-Qur‟an ajian Kosa Kata dan tafsirnya, (Jakarta: Yayasan
Bimantara, 2002), jilid 2, h. 2. 5 Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1996), cet.4,
h. 66.
15
Sedangkan Mi‟râj secara terminologi, menurut Ibnu Manzur berarti al-
Tarîq al-Lazî tas‟udu fîhi al-Syai‟ (الطزيق الذي تصعد فيه الشيئ = jalan yang digunakan
padanya oleh sesuatu untuk naik).6 Lebih jelasnya adalah dinaikkannya Nabi
Muhammad SAW dari Masjid al-Aqsha menuju langit untuk melihat keajaiban
besar7 dan bertemu dengan para nabi
8 dan kemudian berhenti di Sidratul
Muntaha.9 Di sini Nabi menerima wahyu yang mengandung perintah mendirikan
shalat lima waktu sehari semalam. Mayoritas ulama‟ berpendapat bahwa peristiwa
ini terjadi pada tanggal 27 Rajab, setahun sebelum Nabi SAW hijrah ke
Madinah.10
Berdasarkan keterangan hadis Nabi, dapat difahami bahwa perjalanan
malam itu berlangsung secepat kilat, dengan ditemani oleh malaikat Jibril dan
memakai kendaraan Buraq (akar katanya: barq, yang berarti kilat).11
B. Isra’ Mi’raj perspektif ahli tafsir
Peristiwa Isra‟ dan Mi‟râj Rasulullah SAW telah banyak menimbulkan
perbedaan pendapat. Pengertian menurut para ahli tafsir sangat penting, karena
peristiwa ini juga terdapat dalam al-Qur‟an. Di bawah ini penulis mengambil
beberapa pendapat dari beberapa ahli tafsir.
6 Muhammad bin Mukarram bin Manzur, Lisân al-„Arab, Juz 2, h. 320.
7 Al-Alusi al-Baghdadi, Tafsir Rûh al-Ma„âni (Beirut: Dâr ihyâ‟ al-Turats al-„Arabi, 1405
H), juz 15, h.12. 8 Abu Muhammad al-Husain al-Baghawi, Ma„âlim al-Tanzîl (Dâr Thayyibah li al-Nasyr
wa al-Tauzî‟, 1997), juz 5, h. 58. 9 Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fî ta‟wîl al-Qur‟an (Muassasah al-
risalah, 2000), juz 17, h. 333. 10
Ahsin W. al-Hafidz, M.A, Kamus Ilmu al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2006), cet ke-2,
h.125. 11
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:
Djambatan, 1992), h. 456.
16
1. Muhammad Jarir al-Thabari dalam tafsirnya mengatakan :
“Sesungguhnya Allah meng-isra‟-kan hambanya yakni Muhammad SAW.
dari Masjid al-Haram hingga Masjid al-Aqsha, ini sebagaimana yang
dikabarkan Allah kepada hamba-hambanya, dan sebagaimana kabar-kabar
dari nabi yang sangat jelas, bahwa sesungguhnya Allah membawanya ke
atas Buraq sehingga Dia mendatangaka nabi kepada-Nya.”12
2. Mustafa al-Maraghi dalam tafsirnya mengatakan :
“Isra‟ dan Mi‟râj terjadi setahun sebelum hijrah pada 17 Rabiul Awwal..
Cara keberangkatannya adalah dalam keadaan terjaga bukan tidur, dengan
mengendarai buraq. Hal ini berdasarkan pada pendapat sebagian ulama
yang mengatakan bahwa ayat tentang Isra‟ menegaskan bahwa Allah Swt
telah memperjalankan hamba-Nya, sedangkan hamba itu adalah kumpulan
dari ruh dan jasad. Oleh karena itu Isra‟ dan Mi‟râj pastilah terjadi dengan
jasad dan ruh.”13
3. Muhammad Ali al-Shabuny dalam tafsirnya Shafwat al-Tafâsir
menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan Isra‟ dan Mi‟râj
pada pertengahan malam dan perjalanan tersebut dilakukan dalam keadaan
sadar (tidak tidur) dengan ruh dan jasad.14
4. M. Husain Haikal berpendapat :
“Rasulullah SAW melakukan Isra‟ dan Mi‟râj hanya dengan ruhnya saja,
karena pada saat itu seluruh alam semesta sudah bersatu ke dalam jiwanya.
Haikal menyandarkan pendapatnya pada dua hal, pertama adalah hadits
dari Muawiyah bin Abi Sofyan yang menyatakan bahwa Isra‟ dan Mi‟râj
hanya dengan ruh saja. Kedua adalah dengan ilmu pengetahuan modern
yang telah mengakui Isra‟ dan Mi‟râj itu dengan ruh, karena apabila
tenaga-tenaga yang bersih itu bertemu, maka sinar yang benar itu akan
memancar.15
12
al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fî Ta‟wîl al-Qur‟an, juz.17, h. 350. 13
Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Marâghi, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth), jilid 5, h.5. 14
Muhammad Ali al-Sabuni, Safwat al-Tafâsir, (Beirut: Dâr al-Qur‟an al-Karim, 1980),
jilid II, h. 151. 15
Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1978),
h.170.
17
C. Isra’ Mi’râj perspektif Rasionalis
Sebagaimana diketahui bahwa peristiwa Isra‟ dan Mi‟râj menjadi tanda
tanya besar bagi akal manusia pada masa itu. Sebagai sebuah peristiwa
supranatural Isra‟dan Mi‟râj menjadi isu sentral di kalangan terpelajar Quraisy,
dan mungkin akan terus menjadi objek perdebatan pengetahuan yang aktual. Ada
baiknya kita mencoba menguji teori-teori pengetahuan yang ada untuk melakukan
tasdiq (assent; pembenaran) terhadap peristiwa Isra‟ dan Mi‟râj.
1. Teori Rasional
Teori rasional mempercayai adanya dua sumber konsepsi: pertama,
penginderaan (sensasi). Kita mengkonsepsi panas, cahaya, rasa dan suara karena
penginderaan kita terhadap semuanya. Kedua, adalah fitrah, dalam arti bahwa akal
manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak
muncul dari indera, tetapi sudah ada dalam lubuk fitrah. Indera adalah sumber
pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan sederhana,
sementara fitrah adalah yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi dalam
akal. Konsepsi Fitri itu adalah “ide Tuhan”.16
Menurut Descartes,17
agaknya
keputusannya tentang ide fitri ini karena ia menemukan hanya matematikalah
(ilmu pasti) yang merupakan kepastian, untuk satu hal yang irasional atau di luar
jangkauan ilmu pasti ia hanya mengatakan: “Bagaimana saya tahu dan meyakini
16
Lihat: Sayyid al-Islam Ayatullah al-‟Udzma Muhammad Baqir al-Shadr, Falsafatunâ:
Dirâsah maudlû‟iyah fî al-mu‟tarak al-Sira‟ al-Fikr al-Qa‟im baina al-Mukhtalaf al-Thayarat al-
Falsafiyah wa al-Falsafah al-Islâmiyyah al-Maddiyyah al-Diyaliktiyyah (al-Markasiyyah), (Qum,
Dâr al-Kutub al-Islamiyyah, 1981), h. 29. 17
Rene Descartes (1596-1650) adalah filosof, matematikawan dan ilmuwan Prancis.
Lahir di La Hume Tourine. Ia memulai filsafatnya dengan badai skeptisisme melalui dalilnya yang
terkenal: cogito ergo sum (I think, therefore I am; Aku berfikir, maka Aku eksis) yang juga dikenal
dengan imanensi Descartes. Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, cet. I 1995). h.76. Lihat juga: Siswanto, M. Hum, Dari Aristoteles sampai Derrida:
Sistem-sistem Metafisika Barat, (Pustaka Pelajar, cet. I Mei 1998 M), hal. 24-26.
18
tentang semua benda yang saya nyatakan saya ketahui?” doktrin rasionalitas
guncang karena ia tidak bisa menembus alam metafisik.18
Adapun bagi Kant,19
semua bidang pengetahuan manusia adalah fitri,
tetapi ia mengingkari adanya ide fitri –yaitu ide yang diketahui sebelum
pengalaman indrawi apapun. Ia menyatakan bahwa fakultas-fakultas sensibilitas
dan pemahaman kita memiliki struktur-struktur formal yang mempola
pengalaman kita. Ini berarti bahwa kausalitas-kausalitas tertentu yang kita
persepsi pada objek-objek diberikan kepada objek-objek itu dari struktur alami
sensibilitas dan pemahaman kita.20
Dalam peristiwa Isra‟ dan Mi„râj, kedua teori di atas menjadi mentah.
Sebab, pertama, peristiwa Isra‟ dan Mi„râj adalah sensasi Nabi seorang diri dan
tidak bisa dicarikan pembuktiannya secara umum. Penginderaan Nabi berfungsi
sebagaimana mestinya. Kedua, tidak ada ide fitrah atau penghayatan fitriah pra-
konsepsi Isra‟ dan Mi„râj. Ia menjadi pengalaman indrawi Nabi yang pure
sensasional.
Jika kita mengikuti hukum rasio, maka harus ada pengalaman intuitif yang
diakui secara umum kebenarannya. Ia adalah informasi primer, sementara pikiran
manusia adalah informasi skunder. Jika kita melakukan penjajakan teoritis
(melalui proses berfikir) tentang Isra‟ dan Mi„râj, maka kita akan menemukan dua
18
Lihat : Siswanto, Dari Aristoteles sampai Derrida: Sistem-sistem Metafisika Barat, h.
27-28. 19
Immanuel Kant (1724-1804) adalah filosof Jerman, lahir di Konigsberg. Pada usia 10
tahun ia masuk Collegium Fredicianum dengan niat mempelajari teologi –ia tumbuh menjadi
orang yang shaleh. Ketika ia masuk Universitas Konigsberg pada tahun 1740, ia mengembangkan
minat pada matematika, geografi fisik, fisika, logika dan metafisika. Kemudian ia mengajar pada
universitas tersebut. pada tahun 1770 ia diangkat menjadi profesor logika dan metafisika. Lihat:
Kamus Filsafat hal. 170. 20
Sayyid Baqir al-Shadr, Falsafatunâ, h. 29.
19
hal: pertama, pelaku peristiwa, kedua, peristiwa itu sendiri. Karena Isra‟ dan
Mi„râj bukan salah satu proporsi primer rasional, maka yang terjadi adalah aporia
(kebingungan), maka, kita harus kembali kepada sumber-sumber pengetahuan
yang ada yaitu nabi sendiri sebagai data primer (sedangkan rasio kita mau tak mau
hanya berfungsi sebagai data sekunder). Allah SWT menjadi fungsionaris tunggal
dalam rekayasa yang bernama Isra‟ dan Mi„râj ini.21
Kant juga menolak konsep a priori (pengalaman yang mendahului sebuah
kausa dan independen)22
dan menciptakan teori a posteriori (kausa (sesuatu)
datang sesudah pengalaman).23
Padahal keduanya sama-sama lemah. Semua
proporsi menuntut pengetahuan pendahuluan yang primer, yang jika ia
disingkirkan maka tidak akan pernah ada pengetahuan teoritis. Menyingkirkan
peran Allah dalam peristiwa isra‟ dan Mi„râj berarti menutup kemungkinan untuk
mengetahui Isra‟ dan Mi„râj sendiri. Isra‟ dan Mi„râj bukan peristiwa a priori nabi
karena ia tidak punya konsepsi fitri tentang itu.
Ayatullah Baqir al-Shadr menyatakan bahwa tidak ada gagasan apapun
dalam diri manusia pada saat lahir di muka bumi. Allah berfirman: “Dan Allah
yang mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian. Kalian tidak mengetahui
sesuatu pun. Dan ia menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan hati
agar kamu bersyukur. (QS. al-Nahl (16): 78).
Isra‟ dan Mi„râj juga bukan peristiwa a posteriori, tidak mengakibatkan
apapun. Pesan religius yang ada pada Isra‟ dan Mi„râj bukan pengangkatan status
21
Ini adalah metode Ayatullah Muhammad Baqir al-Shadr dalam membantah mutlaknya
teori penginderaan. Lihat: Sayyid Baqir al-Shadr, Falsafatunâ, h.37-38 22
Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 21. 23
Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 19.
20
nabi dari seorang hamba, tetapi adalah pengukuhan kehambaan melalui dialog
transendental setelah ketakwaan dan kesadaran nabi membuahkan keterikatan
yang immanent (tetap ada) sebelumnya.
2. Teori Empirikal
Teori empirikal mendasarkan diri pada eksperimentasi dan observasi
sehingga sangat mengagungkan penginderaan karena ialah yang membekali akal
manusia dengan konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan. Eksperimen-eksperimen
ilmiah telah menunjukkan bahwa indera adalah sumber pokok konsepsi, dengan
tidak menafikan kemampuan akal budi menghasilkan pengertian-pengertian
baru.24
Kegagalan teori empirikal, bahwa ia tidak menjelaskan apa-apa dengan
indera selain gejala yang beriringan dalam hukum kausalitas. Ilmu-ilmu
eksperimental yang menjelaskan kausalitas menyatakan bahwa air akan semakin
panas ketika diletakkan di atas api, dan kemudian mendidih, tetapi tidak
menjelaskan keharusan mendidih pada suhu tertentu. Kalau eksperimen empirikal
tidak mampu mengungkapkan konsep kausalitas, bagaimana pula konsep itu
muncul dalam akal manusia.
David Hume25
lebih akurat dalam menerapkan teori empirikal. Ia
mendefinisikan bahwa kausalitas tak mungkin diketahui oleh indera. Semua
adalah kebiasaan “pengasosiasian ide-ide”. Ia berkata: “Aku melihat bola bilyar
bergerak dan menabrak bola lain yang lantas bergerak. Tetapi dalam gerak bola
yang pertama, tak ada yang menunjukkan kepadaku keharusan gerak bola yang
24
Lihat: Sayyid Baqir al-Shadr, Falsafatunâ, h. 31-34. 25
David Hume (1711-1776) adalah filosof Scottish yang lahir di Edinburgh dan belajar di
Edinburgh University. Ia adalah tokoh empirisisme yang konsisten, ditokohkan bersama Locke
dan Barkeley. Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 140.141.
21
kedua. Indera batin menunjukkan kepadaku bahwa gerak anggota tubuh mengikuti
perintah kehendak. Tetapi itu tidak memberikanku pengetahuan langsung
mengenai hubungan yang mesti antara gerak dan perintah.26
Ia juga menjelaskan
bahwa tidak ada keharusan yang mengikuti sebuah kausa dengan efeknya. Kausa
dan efek dihubungkan dalam sebuah urutan temporal, keteraturan urutan,
kesinambungan dan keterkaitan yang konstan. Semua itu hanya masalah asosiasi
gagasan-gagasan kita, bukan masalah kekuatan produktif yang menghadirkan
sebuah efek dari sebuah kausa, atau menyebabkan sebuah kausa menuntut efek
tertentu.27
Ia mencontohkan bahwa cahaya yang keluar sebelum dentuman meriam
bukan penyebab suara atau terlontarnya peluru. Jauh sebelum Hume, al-Ghazali
telah menyatakan: “Ayam yang berkokok sebelum terbit fajar bukanlah penyebab
terbitnya fajar”. “Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke C dan dari
C ke D tidak membuktikan bahwa pergerakan dari B ke C disebabkan oleh
pergerakan dari A ke B”, kata Newton, penemu gaya gravitasi.
Jika demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam adalah “a
summary of statistical averages” (ikhtisar statistik pukul rata). Sehingga apa yang
dinamakan “kebetulan” bukan tidak mungkin juga suatu kebiasaan atau hukum
alam, kata Pierce, seorang ahli ilmu alam. Einstein menyatakan bahwa semua
kejadian diwujudkan oleh “superior reasoning power” (kekuatan nalar alam yang
superior). Inilah yang ditegaskan Allah dalam firmanNya sebagai pengantar
peristiwa Isra‟ dan Mi„râj: “Kepada Allah saja tunduk apa yang di langit dan apa
yang di bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat, mereka tidak
26
Lihat: Sayyid Baqir al-Shadr, Falsafatunâ, h.34-35. 27
Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 141.
22
menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan yang berkuasa atas mereka dan
melaksanakan perintahnya” (QS. al-Nahl (16): 49-50).28
Jika pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman
secara ilmiah terhadap peristiwa Isra‟ dan Mi„râj maka pemaksaan pembuktiannya
menyebabkan ia menjadi tidak ilmiah lagi. Apalagi jika diingat bahwa asas
filosofis ilmu pengetahuan adalah trial and error (yakni observasi dan
eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam yang berlaku di setiap tempat
dan waktu, oleh siapa saja), sedangkan peristiwa Isra‟ dan Mi‟raj hanya terjadi
sekali, tidak dapat diuji, diamati dan dilakukan eksperimentasi.
Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard,29
tokoh salah satu eksistensialisme
menyatakan: “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia
tidak tahu”. Immanuel Kant juga berkata: “Saya terpaksa menghentikan
penyelidikan ilmiah dan menyediakan waktu bagiku untuk percaya”.30
Kaum modernis, seperti M. Iqbal berpendapat, ketika membahas
perjalanan ke langit itu, telah menunjukkan bahwa Nabi dapat berbicara dengan
Allah dalam suatu hubungan “aku dan kau”. Bagi Iqbal hal ini merupakan suatu
koreksi amat penting atau doktrin “wahdat al-wujûd” bagi kalangan sufi.31
Peristiwa pengalaman naik ke langit itu menegaskan bahwa Allah
bukanlah suatu „prima causa‟ yang pasif lagi terpencil, namun benar-benar suatu
28
Lihat: Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, (Mizan, cet. X, Muharram 1416 H./1995 M), h. 340-341. 29
Soren Aaby Kierkegard (5 Mei 1813-11 November 1855) adalah filosof dan penulis
religous Denmark yang lahir di Copenhagen dan menempuh pendidikan di Unversitas
Copenhagen. Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 171. 30
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, h. 342. 31
Annemarie Schimmel, Dan Muhammad Adalah Utusan Allah, (Bandung: Mizan, cet.
IV, 1994), h. 225.
23
kekuatan personal yang dapat disapa dan dengan demikian membuktikan bahwa
ada kemungkinan dialog person dengan person yakni antara pencipta dan
makhluk.
Adapun mengenai buraq, Bahauddin Mudhary berkata bahwa buraq itu
mempunyai dua arti yaitu : Pertama, bagi ilmu pengetahuan eksakta buraq berarti
aliran elektris yang keluar dari benda mati. Kedua, bagi ilmu pengetahuan abstrak
buraq berarti aliran listrik yang keluar dari benda hidup, rohani. Buraq ialah
merupakan kendaraan yang digerakkan oleh tenaga atau kekuatan rohani
Rasulullahh SAW.32
Suatu peristiwa akan dikatakan masuk akal atau rasional oleh seseorang,
apabila pada dasarnya ia sesuai dengan pengalaman orang itu.33
Misalnya
jatuhnya sebuah benda yang terlepas dari tangan pemegangnya. Andaikan saya
mengatakan dalam sebuah cerita kepada orang-orang yang digolongkan sebagai
anggota suku terasing, bahwa ketika benda yang dipegang si Fulan terlepas dari
tangannya ia tak jatuh melainkan membumbumg di udara, maka mereka tentu
akan mengatakan bahwa saya berbohong, sebab mereka belum pernah melihat
benda yang “jatuh ke atas”. Tentu saja sikap mereka itu gigih dan kita tak perlu
heran sebab tak seorang pun diantara mereka pernah melihat membelikan anaknya
sebuah balon berisi gas seperti yang banyak dijual di kota. Bagi mereka benda
yang jatuh ke atas itu tidak ada, tidak masuk akal. Gejala semacam itu tidak
32
Bahauddin al-Mudhari, Menjelajah Angkasa Luar, (Surabaya: Pustaka Progresif,
1989), jilid 1, h. 41. 33
Achmad Baiquni, al-Qur‟an dan Imu Pengetahuan Kealaman, (Jogyakarta: PT.
Danabakti Prima Yasa, 1997), cet, 1, h. 247.
24
rasional menurut mereka karena berlawanan dengan pengalaman mereka sehari-
hari, meskipun di kota kejadian semacam itu sudah biasa.
Dari contoh di atas tampak bahwa kebenaran penilaian rasio seseorang itu
terbatas hanya seluas pengalaman observasi atau ilmiahnya. Dan oleh karena itu,
apabila seseorang hanya mengandalkan pada rasionya saja dan tidak mau
mempercayai apapun kecuali yang dapat disesuaikan dengan pengalamannya,
maka ia akan terbentur pada kesulitan yang tak akan dapat diatasinya.
Peristiwa Isra‟ dan Mi„râj memang merupakan suatu mukjizat yang sangat
luar biasa yang dianugerahkan kepada Nabi SAW, sebagai tantangan bagi
manusia yang disodorkan oleh Allah Swt setelah al-Qur‟an. Peristiwa mu‟jizat itu
tidak sama dengan ilmu pengetahuan hasil olahan manusia, karena antara ilmu
pengetahuan dan mu‟jizat itu bukan tandingannya.
Hal tersebut karena ilmu pengetahuan apapun jenisnya masih tetap
berpijak kepada hukum akal dan hukum alam, sementara mu‟jizat berada di luar
itu. Namun kajian ilmu tersebut dan hasilnya dapat dipergunakan untuk
memperkuat keyakinan terhadap sesuatu yang datangnya dari ke-Maha Kuasa-an
Allah.
Jadi peristiwa Isra‟ Mi„râj benar-benar terjadi dan kejadiannya adalah
Mu‟jizat dari Allah sedangkan Rasul hanya pelakunya saja.
Dari berbagai perbedaan pendapat yang ada, mengenai kisah ini, yang
begitu sengit, penulis setuju dengan apa yang dikemukakan oleh M. Quraish
25
Shihab, jika peristiwa ini kita terima dengan dasar iman dan keyakinan penuh,
maka tidak ada masalah apapun yang perlu diragukan.34
D. Pro-kontra atas Isra’ Mi’râj
Ada tiga hal yang menjadi perdebatan ulama seputar peristiwa Isra‟ dan
Mi„râj, yaitu:
1. Tempat pemberangkatan Rasulullah pada malam Isra‟ dan Mi„râj.
Ada dua pendapat tentang tempat pemberangkatan Rasulullah pada saat
Isra‟ dan Mi„râj, pertama, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa
Rasulullah pada saat Isra‟ dan Mi„râj berangkat dari rumah Ummu Hani‟ binti Abi
Thalib. Pendapat kedua, bahwa rasulullah berangkat dari Masjid al-Haram, yaitu
kawasan seputar Ka‟bah. Pendapat ini mendapat dukungan lebih kuat di kalangan
ulama. Ada juga yang berpendapat bahwa rasulullah keluar pada malam tersebut
dari rumah Ummu Hani‟ menuju Masjid al-Haram dan memulai perjalanan Isra‟
dan Mi„râj dari Masjid.35
2. Kapan peristiwa tersebut terjadi?
Karena peristiwa Isra‟ dan Mi„râj tidak diinformasikan al-Qur‟an dalam
satu kesatuan informasi ayat, dan juga karena sebagian hadis Nabi hanya
menyebut kenaikan Nabi ke langit, tanpa menyebut perjalanan ke masjid al-
34
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1998), cet. XVII,
h.338. Lihat juga buku Drs. H. Basri Iba Asghary, Solusi al-Quran tentang Problema Sosial,
Politik, Budaya, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 76 35
Tanpa penulis, Hadza al-Habib Muhammad Rasul Allah Shallallahu „alaihi wa sallam
ya Muhibb, (Jeddah: Maktabah al-Sawadi li al-Tauzi‟, cet. III 1409 H./1989 M. h. 135-136.
26
Aqsha, maka sebagian ulama‟ berkesimpulan bahwa Isra‟ dan Mi‟raj adalah dua
perjalanan Nabi Muhammad SAW pada dua malam yang berbeda. Mereka
cenderung menyimpulkan bahwa Mi„râj terjadi pada tahun ke-5 kerasulan (615/7
sebelum Hijrah), sedang Isra‟ pada tahun ke-11 atau 12 kerasulan (620 atau
621/622 sebelum Hijrah). Pada pihak lain, mayoritas ulama‟ berpendapat,
berdasarkan sejumlah hadis lainnya, bahwa Isra‟ dan Mi„râj itu terjadi dalam satu
malam saja.36
3. Apakah Isra‟ dan Mi‟raj merupakan perjalanan jasmaniah dan ruhaniah
Rasulullah?
Informasi-informasi yang bervariasi dari hadis-hadis Nabi, juga
menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat tentang berbagai aspek lainnya di
sekitar Isra‟ dan Mi„râj. Sebagian ulama berpendapat bahwa Isra‟ dan Mi„râj itu
berlangsung dalam keadaan mimpi, jadi pada saat tidur. Kesadaran Nabi
dibukakan sedemikian rupa, sehingga beliau mengalami perjalanan yang luar
biasa itu dan menyaksikan ayat-ayat keagungan Tuhan. Kebanyakan ulama
cenderung memahaminya secara harfi: Nabi dibangunkan dari tidurnya, kemudian
beliau dengan jiwa raganya dibawa oleh Jibril untuk menempuh perjalanan malam
yang amat jauh itu. Kendati berbeda pemahaman, kedua pihak tetap sama-sama
memandang bahwa pengalaman Isra‟ dan Mi„râj itu sebagai pengalaman luar
biasa, yang merupakan anugerah dari Tuhan dan sekaligus untuk menunjukkan
keluarbiasaan kualitas rohaniah yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW.37
36
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:
Djambatan, 1992), h. 457. 37
Tim Penulis, Ensiklopedi Islam Indonesia, h. 457.
27
Sebagian ulama salaf sepakat bahwa Isra‟ dan Mi‟raj Nabi Muhammad
SAW. itu dengan ruh dan jasad serta dalam keadaan terjaga (tidak tidur) dengan
alasan sebagai berikut: (a) kata „abd (hamba) menunjukkan manusia yang terdiri
atas jasad dan ruh. Jasad tanpa ruh adalah mayat, sedangkan ruh tanpa jasad tidak
dapat disebut sebagai hamba atau manusia. Dan jika Isra‟ dan Mi„râj itu dilakukan
dengan ruh saja, niscaya dalam QS. al-Isra‟ (17): 1 tersebut akan diungkapkan
dengan bi rûhi „abdihi (dengan ruh hambanya); (b) dalam QS. al-Najm (53) : 11
disebutkan: Penglihatan (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya dan
tidak (pula) melampauinya, ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW
benar-benar melihat tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah Swt dengan
segenap kesadarannya, sehingga tidak mungkin penglihatnnya keliru; (c) Jika
Isra‟ dan Mi„râj itu dilakukan dengan ruh saja atau hanya sebuah mimpi, niscaya
tidak akan muncul reaksi yang hebat dari orang-orang kafir Quraisy serta
kemurtadan beberapa orang Islam yang lemah imannya setelah Nabi
menyampaikan peristiwa tersebut, karena semua orang juga pernah bahkan sering
mendapat mimpi yang luar biasa (yang tidak pernah dipercayai oleh akal manusia)
dan mimpi yang bagaimanapun tidak pernah dibohongkan orang.38
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa Allah hanya
memperjalankan ruh Rasulullah saja dengan dasar: pertama, Mu‟awiyah bin Abi
Sufyan jika ditanya tentang Isra‟ dan Mi‟raj Rasulullah selalu mengatakan itu
adalah mimpi dari Allah, dan mimpi dari Allah adalah benar adanya. Kedua,
sebagian keluarga Abu Bakar menyatakan bahwa Aisyah tidak melihat Rasulullah
pergi atau menghilang pada malam itu. Ia diperjalankan ruhnya saja. Ketiga, al-
38
Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1996), cet.4,
h. 67.
28
Hasan berpendapat bahwa maksud dari firman Allah: “Dan tidaklah Kami
menjadikan penglihatan yang kami perlihatkan kepada Kamu sekalian kecuali
fitnah bagi manusia” adalah penglihatan pada saat tidur (kalimat al-ru‟ya
ditafsirkan mimpi, dan mimpi pasti hanya dialami oleh orang yang tidur).
Namun ketiga pendapat ini mendapat kritik dan dianggap lemah, karena
ketika terjadi peristiwa Isra‟ Mi‟raj Mu‟awiyah bin Abi Sufyan masih belum
memeluk aga Islam, sehingga pendapanya ditolak. Adapun Aisyah masih kecil
dan belum menjadi isteri Rasulullah SAW.
29
BAB III
MENGENAL AL-RAZI DAN THANTHAWI BESERTA TAFSIRNYA
A. Fakhr al-Dîn al-Râzî
1. Biografi Singkat dan Beberapa Karyanya
Fakhr al-Dîn al-Râzi adalah seorang argumentator Islam yang mempunyai
talenta besar. Gelar tersebut bukan hanya didapatkan begitu saja, melainkan
dengan upaya yang keras karena penguasaannya dalam bidang-bidang ilmu
pengetahuan seperti: Ilmu filsafat, Kalam, Argumentasi (Jalal), Ilmu Fiqh dan
Tasawuf.1 Bahkan ia juga disebut-sebut sebagai Hujjah Islam pada abad ke-7.
2
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Umar bin al-Husain3 bin al-
Hasan bin Ali al-Quraisi4 al-Bikri al-Taymi.
5 Laqabnya adalah al-Imâm, Fakhr al-
Dîn,6 al- Râzî, dan Syaikh al-Islâm
7. Kunyah-nya adalah Abu „Abdullah, Abu al-
Ma‟âny, Abu al-Fadhl, Ibnu Khatîb al-Râzî atau ibn al-Khatîb.8
1 Ali Hasan al-„Aridhl, Sejarah Metodologi Tafsir, (Jakarta, Rajagrafindo Persala), cet-1,
h.30-34 2 Mahmud Ayyub, al-Qur’an dan para Mufassirnya, (Jakarta, Pustaka Firdaus), Cet-1,
h.10 3Al-Umari menyebutkan perbedaan pendapat tentang nama kakek al- Râzî. Ada yang
mengatakan bahwa kakeknya adalah al-Husain bin al-Hasan dan adapula yang membaliknya
menjadi al-Hasan bin al-Husain. Lihat: Ali Muhammad al-Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî;
hayâtuhu wa ‘Asaruhu, (Uni Emirat Arab: al-Majlis al-„Ala li al-Syu‟un al-Islâmiyah, 1969), cet.
ke-3, h.28-29 4 Al-Râzî termasuk keturunan Abu Bakar al-Shiddiq r.a. Lihat: Imam al-Suyuthi, Tabaqât
al-Mufassirîn, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1980), h.99; Syamsu al-Dîn al-Dawuri, Tabaqât al-Mufassirîn,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), jilid 2, h.216 5 Al-Râzî berasal dari kabilah Tayyim Quraisi bukan kabilah Tayyim Tamimi. Tetapi ada
juga yang menyatakan bahwa ia berasal dari bani Tamimi. Lihat: Syaikh al-Islam ibnu Taimiyah,
Muqaddimah fi Ushul al-Tafsîr ma’a ‘Ardh Mujâz li Ittijâhat asyar al-Tafsîr li Abi Huzaifah
Ibrahim bin Muhammad, (Tonto: Dâr al-Shahabah li al-Turats, 1988), cet. Ke-1, h.30 6 Ibn Qadhi Syaihbah al-Dimasqi, Tabaqât al-Syafi’iyah, (Haidar abad: Dâirah al-Ma‟arif
al-Usmaniyah, 1979), jilid II, cet. Ke-1, h.81; Abi al-Fida‟ ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâl,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1987), jilid 5, juz 13, cet. Ke-3, h.60.
30
Ia Lahir di sebuah desa yakni Dhailam dekat kota Khurasan tepatnya di
kota Rayy, dalam kobilah Arab Hijaz yang bermadzhab Syafi‟i dalam fiqihnya,
serta dalam teologi mengambil aliran Asy„ariyah. Pada tanggal 25 Ramadhan, 534
H atau 544 H disini terdapat dua pendapat, pendapat pertama yakni 534 H ialah
pendapat Ibn Subki, sedangkan pendapat kedua 544 H ialah pendapat Ibn
Khulkan, seperti yang dikutip oleh al-„Umadi dalam kitabnya mendasarkan pada
pendapat kedua karena banyaknya riwayat terpercaya di dalamnya.9
Orangtuanya bernama Diyâ‟ al-Dîn Umar (w.559 H)10
, ia adalah salah
seorang ulama besar di kota Rayy, khususnya dalam bidang fiqh dan ushul.
Sebagai ulama besar, ia terkenal ahli pula dalam bidang teologi. Kitabnya dalam
bidang ini berjudul Ghayât al-Marâm yang terdiri dari dua jilid. Kitab ini dalam
jajaran kitab-kitab yang ditulis oleh kaum ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‟ah
merupakan kitab yang menduduki peringkat tertinggi. Di antara isinya yang
penting di bagian akhir kitab ini adalah penjelasan mengenai kelebihan tokoh Abu
Hasan al-Asy‟ary.11
Dia pernah belajar pada salah satu ulama hadis bergelar Muhy al-Sunnah
Muhammad al-Baghawi, belajar filsafat dan ilmu kalam (teologi) pada salah
seorang pemikir yang bernama al-„Alim al-Hakim al-Majd al-Jilli,12
ia adalah
seorang pemikir yang terkenal pada zamannya dan telah menulis beberapa karya.
7 „Adil Nuwaihid, Mu’jam al-Mufassirîn: Min Sadr al-Islâm hatta al-Ashr al-Hadhr,
(t.tp: Muassasah Nuwaihid al-Saqafah, 1986), jilid 2, cet. Ke-2, h.596. 8 „Adil Nuwaihid, Mu’jam al-Mufassirîn, h.596.
9 Ali Muhammal Hasan al-„Umadi, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî, Majlis al-Syu‟un al-
Islamiyah, cet-3, h.17. 10
Ia adalah Umar bin al-Husein bin al-Hasan al-Imam Diya‟ al-Dîn Abu al-Qasim al-
Râzî. Lihat: Ibn Qhadi Syaihbah al-Dimasyqi, Tabaqât al-Syafi’iyah, h. 82. 11
Ibn Qadhi Syaihbah al-Dimasqi, Tabaqât al-Syafi’iyah, h.23 . 12
al-Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî; hayâtuhu wa ‘Asaruhu, h.19
31
Di samping itu, al-Râzî juga mempelajari ilmu fiqh dan ushul fiqh dengan sanad
yang tersambung sampai Imam Syafi‟i dan ilmu kalam dengan sanad yang
bersambung sampai Imam al-Asy‟ary.13
Al-Râzî mengembara dan berkelana ke daerah-daerah bertetangga dengan
kawasan Rayy. Khawarizmi sebagai daerah yang mayoritas penduduknya
beraliran Mu‟tazilah merupakan daerah tujuannya untuk berdialog dan bertukar
fikiran. Daerah Transoksania (mâ wara al-Nahr) juga merupakan daerah tujuan
al-Râzî untuk berdialog dengan lawan-lawannya.14
Dialog yang dilakukannya
tidak hanya terbatas dengan golongan-golongan yang ada dalam Islam, akan
tetapi, diskusi-diskusi itu berkembang sampai dengan pemuka-pemuka agama
lain. Adapun dialog yang terpenting antara al-Râzî dengan tokoh-tokoh agama
lain adalah yang terjadi dengan salah seorang pendeta agama Nasrani di
Khawarizmi.15
Sayangnya dialog-dialog yang pernah berlangsung antara al-Râzî dengan
pemuka-pemuka golongan yang dinilainya sesat tidak memberikan keberuntungan
bagi dirinya. Karena itu ia terpaksa harus meninggalkan daerah Khawarizmi.
Peristiwa ini terjadi atas al-Râzî karena persekongkolan dan kerja sama antara
pihak lawan dan penguasa setempat untuk mengusirnya dari daerah tersebut.16
Karena ketajaman penalaran dan kuat argumen yang dibawa al-Râzî dalam
mempertahankan pendapatnya, maka perbedaan pendapat antara al-Râzî dan
13
Abd Aziz al-Majdub, al-Imâm al-Hakim Fakrh al-Dîn al-Râzî: Min Khilâl Tafsîrih,
(Libya, Dâr al-Arabiyah al-Kitab, 1400 H/1980 M), cet. ke-2, h.76 14
al-Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî; hayâtuhu wa ‘Asaruhu, h.32 15
Fakhr al-Din Muhammad bin Umar al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr,
1414 H/1993 M), jilid 1, h. 5 16
al-Umari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; hayatuhu wa ‘Asaruhu, h.32
32
lawannya menjadi bertambah jelas dan serius. Pada tahun 599 H, saat ia berada di
kota Farrukh terjadi perdebatan yang sangat seru dan tajam. Di antara mereka ada
yang menuduhnya sebagai seorang yang telah merusak ajaran dasar agama Islam.
Di samping menuduh, intimidasi dan penekanan terhadap dirinya, baik dengan
cara menuduhnya sebagai seorang kafir ataupun dengan membawa fitnah terus
berlangsung.17
Tujuh tahun setelah peristiwa berdarah tersebut, tepatnya pada tahun 606
H, al-Râzî menderita sakit keras dan merasa umurnya tidak panjang lagi, ia
memutuskan untuk memberi pesan kepada salah seorang muridnya yang setia,
Ibrahim bin Abu Bakar al-Istifhani. Pesan tersebut diberikan pada tanggal 21
Muharram 606 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1209 M.18
Delapan bulan
setelah wasiat itu disampaikan al-Râzî wafat di Herat pada hari Senin 1 Syawal
(Hari Raya Idul Fitri) tahun 606 H pada usia 62 tahun 6 hari.19
Perihal meninggalnya terjadi perbedaan pendapat, sebagian pengamat
menyatakan bahwa meninggalnya disebabkan ia mencela Aliran Karramiyah dan
telah membeberkan kesalahan-kesalahan mereka sehingga kemudian mereka
menculik dan meminumkan racun kepadanya.20
Ada juga yang mengatakan perihal terbunuhnya al-Râzî ini disebabkan
oleh pengikut aliran Mu‟tazilah yang melakukan tipu daya serta pada akhirnya
17
al-Umari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; hayatuhu wa ‘Asaruhu, h.109 18
al-Umari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; hayatuhu wa ‘Asaruhu, h.111 19
al-Umari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; hayatuhu wa ‘Asaruhu, h.6 20
Ali Hasan al-„Aridhl, Sejarah Metodologi Tafsir , h.31
33
meminumkan racun padanya. Akan tetapi ada juga yang mengatakan ia wafat
karena sakit keras yang dideritanya.21
Sebagai salah seorang ulama besar pada abad ke 7 H tentunya menguasai
ilmu-ilmu pengetahuan yang sangat luas terutama pada ilmu Naqli (akal).
Sebagaimana yang terdapat dalam karangan al-„Umadi ada beberapa karya yang
dihasilkannya, akan tetapi ini semua tidak dicetak keseluruhan kurang lebih ada
dua ratus karangan, di antaranya :22
(1). Bidang Tafsir diantaranya :
a. Tafsîr Mafâtih al-Ghayb (Kitab tafsir yang terkenal dengan sebutan
tafsir al-Râzî atau tafsir al-Kâbîr).
b. Tafsîr Sûrat al-Fâtihah23
c. Tafsîr Sûrat al-Baqarah ‘ala al-Wajh al-’Aql wa al-Naqli
d. Tafsîr Asmâ’ al-Husna (menjelaskan sifat-sifat Allah yang 99 dengan
penjelasan yang berdasarkan teologi Asy‟ariyah).
e. Asrâr Tanzîl wa anwâr al-Ta’wîl
f. Tafsîr sûrat al-Ikhlâs
(2). Bidang Ilmu Fiqh
a. Ahkâm al-Ahkâm
b. Kitab al-Mahsûl fî al-Fiqh
c. Kitab Syarh al-Wajiz fî al-Fiqh li al-Ghazâli
21
Ali Hasan al-„Aridhl, Sejarah Metodologi Tafsir, h.31 22
Untuk lebih lengkapnya, lihat: al-„Umadi, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî, h.209 23
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-
Hadits,2005), Jilid I, h. 249.
34
(3). Bidang Ushul Fiqh
a. Kitab al-Ma’âlim fî Ushûl al-Fiqh
b. al-Muhâsabah fî Ushûl al-Fiqh
c. Kitab al-Mahsûl fî Ushûl al-Fiqh
d. Kitab al-‘Arba’în fî Ushûl al-Fiqh
Pada karyanya mengenai hal yang berkaitan dengan fiqih dan ushul, ia
banyak mengutip pada pendapat Imam Syafi‟i.
(4). Bidang Biografi dan Zuhud
a. Fadhl al-Shahâbah al-Râsyidah
b. Manâqib al-Imâm al-Syâfi’i
c. Kitab Fî Damm al-Dunya (karya yang membahas masalah Tasawuf)
(5). Bidang Ilmu Kalam
a. Mahassal Afkâr al-Mutakallimîn wa al-Mutaakhirîin min Hukamâ’ wa al-
Mutakallimîn fî Ilm Kalâm
b. Kitab al-Mahsûl fî Nihâyah al-Uqûl fî Ilm al-Ushûl
c. Kitab al-Bayân wa al-Burhân fî al-Radd ‘ala Ahl Zhaigh wa al-Tughyân
d. Kitab al-Muhassal fî ‘Ilm al-Kalâm
e. Kitab al-Qadha wa al-Qhadir
f. al-‘Arba’în fî Ushûl al-Dîn
35
(6). Bidang filasafat
a. Ta’jiz al-Falâsifah
b. Mabâhits al-Masyriqiyah
c. al-Mathâlib al-‘Aliyah fî al-Hikmah
d. al-Mulakhkhas fî al-Falâsifah
(7). Bidang kedokteran
a. al-Tasyrîh fî al-Ra’s ila al-Haq
b. al-Jâmi’ al-Kabîr fî al-Thib / Athib al-Kabîr
c. Masâ’il fî al-Thibb
(8). Bidang ilmu Mantiq: Kitab Mabâhits al-Jadl
(9). Bidang ilmu bahasa dan balaghah:
a. Syarh al-Mufashshal fî al-Zamakhsari fî al-Nahw (menjelaskan tentang
kaidah nahwu yang terdapat dalam tafsir al-Kasyâf)
b. Nihâyah al-‘Ijaz fi Dirâyah al-I’jaz
c. Syarh Nahj al-Balâghah (Menjelaskan keindahan dalam bahasa Arab
terutama al-Qur‟an.
(10). Bidang Ilmu Kealaman
a. Mashâdir al-Iqlidas
b. Kitab fî al-Handatsah
(11). Bidang ilmu musik: Mausû’ah al-‘Ulûm
36
(12). Kitab-kitab lainnya:
a. Syarh al-Isyârah wa al-Tanbîhât li Ibn Sina
b. Ibthal al-Qiyâs (menolak qiyas yang diutarakan oleh pihak Mu‟tazilah)
c. Risâlah al-Jauhâr
d. Risâlah al-Hudûts
2. Selayang Pandang Tentang al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib
Tafsir ini juga dikenal sebagai Tafsîr al-Kabîr atau Tafsîr ar-Râzi. Ada
riwayat yang menjelaskan bahwa Fakhr al-Dîn al-Râzî tidak menyelesaikan tafsir
ini secara utuh (sampai surat al-Anbiyâ‟ saja).24
Seperti yang dituturkan al-
Dzahabi dalam kitabnya menukil pendapat Ibnu Qadhi Syuhbah dan Ibnu
Khalkân, bahwa yang melanjutkan adalah Syihabuddîn bin Khalîl al-Khûyi (w.
639 H.) dan Najmuddîn Ahmad bin Muhammad al-Qamûli (w. 727 H.) yang
melengkapinya lebih lanjut, demikian merujuk keterangan dari Ibnu Hajar al-
„Asqalâni dan Malâ Kâtib Jalbi.25
Sayyid Muhammad Alî Iyâzî, dengan merujuk keterangan Muhsin Abdul
Hamid, dalam hal ini memberikan klarifikasi bahwa sekelompok pembahas
menetapkan kitab tafsir ini sebagai karya mandiri dari Fakhr al-Dîn al-Râzî secara
24
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-
Hadits,2005), Jilid I, h. 250. 25
al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 249-250.
37
utuh. Karenanya, pendapat sebelum ini dianggap syubhat (meragukan) dan tidak
bisa dijadikan pegangan.26
Lepas dari polemik di atas, ini adalah salah satu kitab tafsir bi al-Ra’yi
yang paling komprehensif, karena menjelaskan seluruh ayat al-Qur‟an. Sang
pengarang terlihat berusaha menangkap substansi (ruh) makna yang terkandung
dalam teks al-Qur‟an. Muhsin Abdul Hamid menegaskan: “Dia (al-Râzî)
menggunakan ilmu-ilmu humaniora untuk menggapai tujuan (tafsir)-nya, yaitu
menetapkan keistimewaan akal dan ilmu di hadapan al-Qur‟an, membersihkan
dari kerancuan fikiran dan kedangkalan akal, serta menegaskan kebenaran riwayat
(teks) dengan kedalaman fikiran”.27
Adapun maksud dari tafsir ini dan segala uraiannya, antara lain: Pertama,
menjaga dan membersihkan al-Qur‟an beserta segala isinya dari kecenderungan-
kecenderungan yang rasional, tetapi justru dengan itu diupayakan bisa
memperkuat keyakinan terhadapnya (al-Qur‟an); Kedua, pada sisi lain, al-Râzî
meyakini pembuktian eksistensi Allah dengan dua hal, yaitu “bukti terlihat”
dalam bentuk wujud kebendaan dan kehidupan, serta “bukti terbaca” dalam
bentuk al-Qur‟an al-Karim. Apabila kita merenungi hal yang pertama secara
mendalam, maka kita akan semakin memahami hal yang kedua, menurutnya lebih
lanjut. Karena itu, dia merelevansikan antara keyakinan ilmiah dengan kebenaran
ilmiah dalam tafsirnya; Ketiga, al-Râzî ingin menegaskan bahwa sesungguhnya
studi balaghah dan pemikiran bisa dijadikan sebagai materi tafsir, serta digunakan
26
Sayyid Muhammad Ali Iyâzî, al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhâjuhum, (Muassasah
al-Thaba‟ah wa al-Nasyr, 1212 H), h. 652. 27
Ali Iyâzî, al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhâjuhum, h. 253.
38
untuk menakwil ayat-ayat al-Qur‟an, selama berdasarkan kaidah-kaidah madzhab
yang jelas, yaitu Ahlus Sunnah wal Jama‟ah.28
Namun, karena pembahasan di dalamnya menggunakan metode penalaran
logika dan istilah-istilah ilmiah, serta mencakup ilmu kedokteran, ilmu mantiq,
ilmu filsafat, dan ilmu hikmah, maka kitab ini terkesan kehilangan intisari tafsir
dan hidayah keislamannya. Sampai-sampai, sebagian ulama menilai “di dalamnya
(Tafsir al-Râzî) terkandung berbagai hal, kecuali tafsir”. Dengan bahasa lain, Abu
Hayyan menegaskan bahwa Fakhr al-Dîn al-Râzî menghimpun dan menjelaskan
banyak hal secara panjang lebar dalam tafsirnya, sehingga (seolah-olah) tidak lagi
membutuhkan ilmu tafsir.29
Dalam hal ini, wajar kiranya bila al-Dzahabi
menyebut tafsir ini sebagai ensiklopedi akademis dalam bidang ilmu kalam
(teologi) dan ilmu pengetahuan alam.30
Fakhr al-Dîn al-Râzî sangat mementingkan korelasi antar ayat-ayat al-
Qur‟an dan surat-suratnya, di samping penjelasan secara panjang lebar tentang
tata bahasa (gramatika).31
Walau mencakup pembahasan yang ekstensif mengenai
permasalahan filsafat, di antara berbagai aspek dari tafsir ini yang paling penting
adalah pembahasan tentang ilmu kalam. Pembahasan ini memuat persoalan-
persoalan yang berhubungan dengan Allah Swt. dan eksistensi-Nya, alam
semesta, dan manusia, yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan alam, astronomi,
perbintangan, langit dan bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, serta bagian-bagian
tubuh manusia.
28
http://minice1.blogspot.com/2008/07/tafsir-mafatih-al-ghaib.html 29
al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 249-253. 30
al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 253. 31
al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 251.
39
Tafsir ini merujuk pada kitab al-Zujâj fi Ma’âni al-Qur’an, Al-Farrâ’ wa
al-Barrâd, dan Gharîb al-Qur’an karya Ibnu Qutaibah dalam masalah gramatika.
Riwayat-riwayat (tafsir bi al-ma’tsur) yang jadi rujukan adalah riwayat dari Ibnu
„Abbas, Mujahid, Qatadah, Suday, Sa‟id bin Jubair, riwayat dalam Tafsir at-
Thabari (Jâmi’ al-Bayân) dan Tafsir Ats-Tsa‟labi (al-Kasyf wa al-Bayân), juga
berbagai riwayat dari Nabi Saw, keluarga dan para sahabatnya, serta tabi‟in.
Sedangkan Tafsir bi al-Ra’yi yang jadi rujukan ialah Tafsir Abu Ali al-Juba‟i,
Abu Muslim al-Asfahani, Qadhi Abd al-Jabbar, Abu Bakar al-Asham, Ali bin Isa
ar-Rummani, az-Zamakhsyari, Tafsir-tafsir Persia, dan Tafsir Abu al-Futuh al-
Razi.
3. Latar Belakang Penulisan al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghayb
Menurut Cyril Classe, penamaan tafsir ini dengan Mafâtîh al-Ghaib
diilhami oleh sebuah ayat dalam al-Qur‟an surat al-An‟am ayat 59 yang berbunyi:
“Pada sisi Allah terdapat kunci-kunci semua yang gaib (Mafâtîh al-Ghaib) dan
tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia (Allah) sendiri.”32
4. Metode, corak dan sistematika penulisan al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-
Ghaib
Komponen internal tafsir ini berbentuk bi al-Ra’yi sekaligus bi al-Ma’tsur,
dengan metode ijmali dan bercorak bil ‘ilmi. Sebagai seorang penafsir yang
32
Cyril Classe, “ar-Razi Fakhr ad-Din”, Ensiklopedi Islam (Ringkas), terj. Ghufran A.
Mas‟adi, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1996), cet. ke-1, h. 337
40
jenius, Fakhr al-Dîn al-Râzî menggunakan metode-metode yang berbeda dengan
tafsir-tafsir lainnya. Beberapa metode yang digunakan antaranya adalah :
a. Menjelaskan masalah-masalah fiqh
Dalam menjelaskan ayat ahkam (ayat-ayat hukum), al-Râzî cenderung
kepada madzhab Syafi‟i. Ia mengemukakan pendapat-pendapat dari berbagai
madzhab mengenai istinbath hukum fiqh, kemudian melakukan pentarjihan.
Namun ia sering mengemukakan bahwa pendapat Imam Syafi‟I lebih rajih
(unggul) daripada madzhab lain.33
b. Menjelaskan masalah qira‟at
Qira’at adalah cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur‟an sebagaimana yang
diucapakan Nabi Saw, lalu beliau mentaqrirkannya.34
al-Râzî banyak
memaparkan tentang perbedaan qira’at yang terjadi di kalangan ahli qira’at.
Terkadang ia mengungkapkan arti dari setiap qira‟at tersebut atau meng-i’rab
ayat-ayat ditinjau dari segi qira’at tersebut kepada ucapan para ahli ilmu nahwu.35
c. Menjelaskan tentang ilmu kalam
Dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan ilmu kalam, al-Râzî
lebih menonjolkan dirinya sebagai penganut al-Asy’ariyah yang kontra terhadap
golongan lain, terutama Mu’tazilah. Ia sering memaparkan pendapat-pendapat
Mu’tazilah kemudian pendapat-pendapat tersebut disanggah dan dipaparkan
33
al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 253. 34
Hasanuddin AF, Anatomi al-Qur’an: Perbedaan Qira’at dan pengaruhnya Terhadap
Istinbat Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. ke-1, h.113 35
al-Razi, Mafatih al-Ghaib, jilid 11, h. 110.
41
kelemahan-kelemahannya, walaupun terkadang argumennya tidak cukup
memadai dan memuaskan. 36
B. Thanthawi Jauhari
1. Biografi singkat dan beberapa karyanya
Thanthawi Jauhari lahir di Mesir pada tahun 1280 H / 1870 M. dan wafat
pada tahun 1358 H/1940 M.37
Thanthawi Jauhari adalah seorang yang menyukai
sastra, sehingga mendapat julukan Pujangga Mesir. Beliau juga tertarik akan
keajaiban serta fenomena alam dan ilmu pengetahuan. Mengenai karya-karya
Thanthawi Jauhari antara lain: Jawâhir al-Ulûm (mutiara-mutiara ilmu); Nizhâm
al-Âlam wa al-Umam (tata dunia dan umat manusia); al-Tâz al-Arsy (mahkota
yang bertahta); Jamâl al-Âlam (keindahan alam); al-Islâm wa al-Nizhâm (Islam
dan sistem); al-Hikmah wa al-Hukamâ’ (kebijaksanaan dan orang-orang yang
bijaksana) dan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an al-Karîm (Mutiara-mutiara dalam
tafsir al-Qur‟an yang mulia). Kitab ini merupkan karyanya yang terbesar dalam
bidang tafsir al-Qur‟an.38
Di Universitas al-Azhar, ia bertemu dengan seorang pembaharu
terkemuka, Muhammad Abduh. Baginya, Abduh bukan sekedar guru, tetapi juga
mitra dialog. Pergesekan pemikiran dengan Abduh memercikkan pengaruh besar
pada pemikiran dan keilmuannya terutama dalam bidang tafsir. Sebagai
akademisi, Thanthawi aktif mencermati perkembangan ilmu pengetahuan.
36
al-Razi, Mafatih al-Ghayb, jilid 11, h. 110. 37
al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 441. 38
al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 2, h. 442.
42
Caranya beragam, mulai dari membaca berbagai buku, menelaah artikel di media
massa, hingga menghadiri berbagai seminar keilmuan. Dari beberapa ilmu yang
dipelajarinya, ia tergila-gila pada ilmu tafsir. Di samping itu, Thanthawi juga fasih
berbicara tentang fisika. Menurutnya, ilmu itu harus dikuasai oleh umat Islam.
Hanya dengan cara itu maka anggapan bahwa Islam adalah agama yang
menentang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat ditepis.39
al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an al-Karîm adalah bentuk dari kepedulian dan
kecintaannya terhadap al-Qur‟an. Dengan kemampuannya ia berusaha
menafsirkan al-Qur‟an yang bercorak ilmu pengetahuan yang memang sangat
dibutuhkan oleh umat Islam saat ini.
Thanthawi Jauhari memulai penulisan kitab tafsir ketika menjadi pengajar
pada perguruan tinggi Dâr al-Ulûm, Mesir. Dari hasil mengajar, kemudian ia
membuat sebuah kitab tafsir yang terdiri atas dua puluh lima juz. Thanthawi
Jauhari sebagai muallif (pengarang dan penyusun) menamakan kitab tafsirnya
dengan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an al-Karîm.40
2. Selayang Pandang Tentang al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an al-Karim
Kitab al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an yang terdiri dari dua puluh lima juz
tersebut lebih banyak menyoroti tentang ayat-ayat Kauniyah yang identik dengan
kajian keilmuan dan sains. Maka oleh para mufassir kitab ini digolongkan sebagai
kitab tafsir bil ‘ilmi, yaitu kitab tafsir yang lebih cenderung membahas ayat-ayat
39
http://nazil06.blogspot.com/2010/01/tafsir-jawahir.html 40
al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 2, h. 442.
43
al-Qur‟an dari segi ilmu pengetahuan. Dalam penafsirannya ia menggunakan
teori-teori ilmiah.41
3. Latar Belakang Penulisan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an al-Karim
Thanthawi termasyhur karena kegigihannya dalam gerakan pembaruan
membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap penguasaan ilmu pengetahuan.
Karena itu, tidak berlebihan jika sejumlah kalangan menjulukinya "mufassir ilmu"
lantaran ilmu yang dikuasainya sangat luas dan mendalam.
Dalam muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa sejak dulu beliau
sering menyaksikan kejaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya
baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, evolusi matahari, perjalanan
bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak, kilat yang menyambar dan
listrik yang membakar serta keajaiban-keajaiban lainnya.
Selanjutnya ia menyatakan :"Ketika aku berpikir tentang keadaan umat
islam dan pendidikan-pendidikan agama, maka aku menuliskan surat kepada para
pemikir (al-'Uqalâ') dan sebagian ulama-ulama besar (Ajillah al-Ulamâ') tentang
makna-makna alam yang sering ditinggalkan dan tentang jalan keluarnya yang
masih sering dilakukan dan dilupakan. Sedangkan sedikit sekali dari mereka yang
mau berpikir tentang kejadian alam dan keanehan-keanehan yang
melingkupinya".
41
al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 2, h. 443.
44
Itulah yang mendorong Thanthawi menyusun pembahasan-pembahasan
yang dapat mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan Studi Ilmu
Alam.42
4. Metode, corak dan sistematika penulisan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an
Thanthawi Jauhari dalam menyusun kitab tafsir al-Jawâhir menggunakan
metode Tahlily, yakni menjelaskan tentang arti dan maksud ayat-ayat al-Qur‟an
dari sekian banyak seginya dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai dengan
urutannya di dalam mushaf melalui penafsiran kosa kata, penjelasan asbab al-
Nuzul, Munâsabah, dan kandugan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan
kecenderungan mufassir tersebut.43
Hal ini dapat dilihat dari bentuk
penyusunannya yang dimulai dengan penafsiran Basmalah sebagai ayat pertama
dalam surat al-Fatihah kemudian surat al-Baqarah dan surat-surat selanjutnya.
Dalam lembaran mukaddimah kitab tafsirnya ia menyebutkan “Kami memulainya
dengan surat al-Fatihah dan pertama-tama adalah Basmalah, demikianlah hingga
surat demi surat”.44
Ia memulai menafsirkan lafadz ayat-ayat yang ia kemukakan,
lalu dibacanya dengan syarah (penjelasan) dan penelitian. Cara yang digunakan
dalam penyusunan dan penafsiran dalam kitab al-Jawâhir antara lain, ia menulis
beberapa atau keseluruhan ayat-ayat al-Qur‟an sesuai dengan urutan surat dan
ayat. Setelah itu dijelaskan tafsir al-Lafadzh berupa kata-kata dan kalimat dari
seluruh ayat yang ditulisnya. Dilanjutkan dengan Syarh Idhah (penjelasan
42
http://nazil06.blogspot.com/2010/01/tafsir-jawahir.html 43
Definisi tersebut sesuai yang ada pada buku yang membahas ilmu al-Qur‟an. Lihat:
antara lain Azumardi Azra, Sejarah Ilmu Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 172 44
Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, (Kairo, Mathba‟ah al-Bab al-Halabi,
Tth), juz 1, h. 2.
45
ringkas) yang terkandung disertai pernyataan al-Qur‟an yang lain dan Hadis Nabi
Saw. Analisa penafsiran ilmiahnya dimasukkan pada sebuah penjelasan tersendiri.
Pada tahap berikutnya Thantawi Jauhari berupaya menafsirkan ayat-ayat
dari tiap surat yang ditulisnya dengan beberapa penjelasan dalam bentuk al-
Maqâm al-Fashl (dari tiap-tiap al-Fashl terdapat beberapa Maqâshid yang
menafsirkan kalimat dari tiap-tiap ayat yang tersebar di dalam al-Qur‟an secara
ringkas).
Untuk mendukung metodologinya Thantawi Jauhari memasukkan dalam
tafsir al-Jawâhir penjelasan-penjelasan berupa gambar tumbuh-tumbuhan, hewan,
pemandangan alam, manusia, eksperimen ilmiah, dan tabel-tabel ilmiah spesialis
dengan tujuan untuk memberikan gambaran yang transparan yang menjadikan
fakta-fakta tersebut benar-benar riil, layaknya fakta empiris.45
Dengan maksud menghindarkan dari kealfaan dalam penyusunan maupun
penjelasan, ia menggunakan lampiran pada akhiran juz, dengan kata lain ia
merancang secara luas disiplin keilmuan modern yang beragam. Dalam lembaran
mukaddimah kitab tafsir al-Jawahir ia menyatakan:
“Amma ba’d. Sesungguhnya kami telah berketetapan dalam beberapa
penjelasan kita al-Jawâhir fî tafsîr a-Qur’an al-Karim, bahwa kami
menyertainya dengan lampiran yang akan menjelaskan beberapa hal yang
lupa kami bahas dalam tafsir tersebut…. dan, insya Allah kami akan
mengemukakan hal-hal yang kami anggap urgen untuk memperluas
wawasan umat Islam”.46
Pemikiran metodologi yang dilakukan oleh Thantawi Jauhari tidak lepas
dari pengaruh dan tendensi Muhammad Abduh, yang sama-sama mufassir dan
45
Lihat: Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 1, h.209 46
Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 1, h.2
46
juga satu almamater di Dâr al-Ulûm sebagai guru, cendikiawan muslim serta
memiliki i‟tikad baik untuk memajukan dan membangkitkan pemikiran kaum
muslimin dari kemundurannya. Sebagaimana yang ia katakan dalam mukaddimah
tafsirnya :
“Banyak orang yang terpaku dengan lafadz-lafadz ayat, banyak menghafal
namun miskin berpikir. Akhirnya kreatifitas menjadi stagnan dan ilmu-
ilmu pun menjadi mati, sehingga ilmu lari ke barat, dan pihak timur
(Islam) kehilangan dasar dari atasnya secara cepat. Para ulama pasca kami
harus memikirkan pada apa yang telah kami ketengahkan dengan cerdas.
Mereka juga seharusnya mengkaji al-Qur‟an dengan metode seperti yang
telah kami jelaskan, hendaknya pandangan mereka menjadi terbuka”.47
Orientasi serta motivasi yang diambil oleh Thantawi Jauhari dalam
menyusun metodologi tafsir al-Jawâhir dilandasi pada suatu sikap bahwa tafsir
adalah sebagian anjuran dalam melakukan reformasi sosial, membersihkan agama
dari bid’ah, wahm (asumsi-asumsi keberagamaan tanpa pijakan metodologis),
khurafât, dan taklid. Ia pun berkeyakinan bahwa menafsirkan al-Qur‟an
merupakan tiupan rabbani dan isyarat-isyarat suci.
Menurut Thantawi jauhari ayat-ayat yang membahas masalah fiqh tidak
lebih dari seratus lima puluh ayat, sedangkan dalam ilmu alam terdapat tujuh ratus
lima puluh ayat. 48
Tanpa menghilangkan rasa hormatnya kepada seorang imam
dan mufassir klasik sebelumnya, ia mengeluhkan begitu banyak para mufassir
belomba-lomba menyusun kitab tafsir fiqh dibanding menyusun tafsir ‘ilmi.
47
Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 2, h.203 48
Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 25, h.53
47
BAB IV
PENAFSIRAN AL-RAZI DAN THANTHAWI TERHADAP ISRA’ MI’RÂJ
Bab ini berisi penjelasan QS. al-Isra‟: 1 dan Qs. al-Najm: 13-15 mengenai
Isra‟ Mi„râj dalam karya al-Râzî dan Thanthawi serta perbandingan atas
keduanya. Alasan kami memasukkan terjemah tesebut agar memudahkan
pembaca untuk mengikuti alur dari diskusi ini dan supaya lebih mengkerucutkan
persoalan yang akan dibahas di sini. Terjemah ini kami terjemahkan langsung dari
kitab aslinya dan telah kami edit. Namun berbeda dengan terjemah Tafsir Mafâtîh
al-Ghaib, mengingat al-Jawâhir fî Tafsir al-Qur’an ketika menjelaskan surat al-
Isrâ‟ membagi menjadi beberapa lathîfah, maka kami hanya menerjemahkan
lathîfah pertama yang memang menjelaskan ayat pertama dari surat al-Isrâ‟ ini.
A. Perbandingan kedua tafsir atas Qs. al-Isra’: 1
Bila dilihat dari sisi sistematika penafsirannya, Thanthawi lebih teratur
dalam penulisannya, ini dapat dilihat dari bagaimana Thanthawi memberikan sub
bab pada penjelasannya, baik itu terdiri dari tafsir lafdzi, riwayat-riwayat,
penjelasan global, pembahasan masalah, dilanjutkan dengan hikmah yang dapat
diambil. Berbeda dengan al-Râzi yang tidak memberikan batas dan atau sub bab
pada penjelasannya, sehingga hal ini membuat pembacanya memetakan atau
mengklasifikasikannya sendiri mana bagian-bagian tafsirnya.
48
Walaupun sumber yang digunakan adalah bi al-Ra’yi, sebuah tafsir tetap
harus menggunakan syarat-syarat tertentu. Untuk menjaga ke-Ma’tsur-annya,
tentu saja dalam sebuah tafsir harus terdapat tafsîr al-Qur’an bi al-Qur’an dan
riwayat-riwayat hadis, perkataan sahabat dan para tabi‟in.1 Mengenai ini
nampaknya baik Mafâtîh al-Ghaib ataupun al-Jawâhir fî Tafsir al-Qur’an
keduanya sama-sama menggunakan tafsîr al-Qur’an bi al-Qur’an dalam
penafsirannya. Ini dapat dilihat misalnya ketika al-Râzî mengutip firman Allah:
“yang perjalananya itu di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan
perjalananya di waktu sore sama dengan perjalan sebulan (pula)” untuk
membandingkan serta menjelaskan betapa maklumnya apa yang terkandung
dalam QS. Al-Isra‟ ayat 1 ini.2 Contoh lain bagaimana al-Râzi menafsirkan
potongan ayat Li nuriyahu Min Âyâtinâ merujuk kepada ayat lain dalam al-
Qur‟an, yakni QS. al-An‟âm ayat 75 yang berbunyi wa kadzâlika Nurî Ibrâhîm
Malakûta al-Samâwât wa al-Ardh.3 Sedang Thanthawi merujuk pada QS. Fushilat
ayat yakni Sanurîhim âyâtinâ fî al-Afâqi wa fî Anfusihim.4
Sebagaimana kitab tafsir pada umumnya, pada permulaan tafsirnya al-Râzi
dan Thanthawi juga menggunankan Tafsir lafdzi (Mufradât) untuk menjelaskan
secara bahasa makna dari kata per kata pada ayat secara keseluruhan. Dalam hal
1 Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an (Jakarata, Halim Jaya, 2007), h.482.
2 Fakhr al-Din Muhammad bin Umar al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr,
1414 H/1993 M), jilid 9, h. 496. 3 al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, jilid 9, h. 494.
4 Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, (Kairo, Mathba‟ah al-Bab al-Halabi,
Tth), juz 9, h. 14.
49
ini keduanya tidak berbeda jauh dalam memberi makna tiap-tiap kata pada ayat
ini. Namun keduanya sedikit berbeda ketika menjelaskan makna Min al-Masjid
al-Harâm.
Thanthawi menjelaskan bahwa kata ini menunjukkan pengertian masjid
dengan makna masjid yang sebenarnya, bukan dalam artian Tanah Haram secara
keseluruhan.5 Ini berdasarkan hadis Nabi SAW: “Ketika saya tidur di Masjid al-
Haram, di Hijr di sisi Baitullah (Ka’bah) antara tidur dan terjaga, datang kepada
saya Jibril dengan Buraq, dan naiklah buraq denganku menuju langit pada
malam itu”. Sedangkan al-Râzi setelah menjelaskan bahwa memang ada
perbedaan pendapat ulama‟ mengenai hal ini, pendapat pertama yang mengatakan
bahwa yang dimaksud di sini adalah Masjid al-Haram sesungguhnya, dan
pendapat lain berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW Isra‟ dari rumah Hani bint
Abi Thalib mengatakan bahwa yang dimaksud Masjid al-Harâm pada ayat ini
adalah Tanah Haram keseluruhannya, ini sebagaimana yang dikatakan oleh Abbas
bahwa Tanah Haram keseluruhannya adalah masjid. Di sini nampaknya al-Razi
lebih menjatuhkan pilihannya kepada pendapat yang terakhir, yakni maksud dari
ayat Min al-Masjid al-Harâm di sini adalah Tanah Haram keseluruhannya (tidak
sebatas Masjid al-Haram saja).6
5 Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 9, h. 5.
6 al-Razi, Mafâtih, jilid 9, h. 493-494.
50
Keduanya sama-sama tidak menjelaskan asbâb al-Nuzûl seperti ketika
mereka membahas ayat lain. Ini dapat dimaklumi karena memang tidak semua
ayat dalam al-Qur‟an terdapat asbâb al-Nuzûlnya, termasuk surat al-Isrâ‟ ayat
pertama ini.
Mengenai munâsabah (korelasi), Thanthawi lebih unggul karena pada
Lathifah pertama ia menjelaskan munâsabah antar surat, yakni dua surat sebelum
surat al-Isra‟; surat al-Hijr dan al-Nahl.
Dalam munâsabah dengan surat al-Hijr, ia menyimpulkan bahwa dalam
surat ini berisi penjelasan mengenai awal hingga akhir proses penciptaan,
kemudian proses ini diulang lagi. Dan dari kedua proses ini ada metode penengah
yang dapat menjelaskan tentang keajaiban-keajaiban.7
Disusul kemudian dengan munâsabah dengan surat al-Nahl yang
menjelaskan tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad SAW beserta sifat-sifat
mereka berdua yang terpuji. Kemudian surat ini ditutup dengan ayat yang
menegaskan bahawa Dia menyertai orang-orang bertakwa dan orang-orang baik.
Sehingga layaklah bila awal surat al-Isra‟ mengatakan Maha Suci Allah SWT.
Yang membawa berjalan hambanya-Nya. Karena hal yang akan disampaikan
berikutnya adalah peristiwa luar biasa yang menimbulkan ketidakpercayaan
banyak orang, maka pada surat sebelumnya Allah menegaskan bahwa Dia
7 Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 9, h. 12.
51
bersama dengan Nabi SAW, karena beliau adalah termasuk orang yang bertakwa
dan terpuji.8
Adapun mengenai substansi pokok isi penafsirannya, nampak jelas sekali
al-Râzi memberikan porsi besar penafsirannya dengan pendekatan fisika dan
kosmologi untuk menjelaskan betapa logisnya perjalanan Isra‟ dan Mi‟raj ini. Ini
dapat dilihat ketika al-Râzi menjelaskan perbedaan pendapat mengenai bentuk
perjanan Nabi SAW, ia membaginya menjadi dua hal, yakni 1) Konfirmasi
kebolehan akal, dan 2) Kenyataan dari peristiwa. Pada poin pertama, yakni
konfirmasi kebolehan akal al-Râzi mengatakan :
“Bahwa planet tersebut (bumi) bergerak dari permulaan sampai akhir
malam sekitar setengah lingkaran. Berdasarkan rumus geometri (ilmu
ukur) disebutkan bahwa, perbandingan antara satu diameter (garis tengah
suatu lingkaran) dengan satu lingkaran tersebut adalah 1:3 1/7 (satu
berbanding tiga satu pertuju). Maka perbandingan jari-jari (setengah
diameter) dengan setengah lingkaran adalah juga 1:3 1/7. Adapun ukuran
ketikan Rasulullah SAW Isra‟ dari Makkah hingga Mi„râj ke „Arsy di atas
planet ini (bumi) adalah bahwa beliau bergerak hanya setengah diameter
(satu jari-jari). Ketika gerakan setengah lingkaran dapat di tempuh dalam
ukuran waktu tersebut (pada malam hari), maka gerakan setengah diameter
(satu jari) adalah lebih memungkinkan lagi untuk ditempuh dalam ukuran
waktu yang sama.”9
Berbeda dengan Thanthawi yang sama sekali tidak menggunakan
hitungan-hitungan sebagaimana dalam ilmu exact, Thanthawi memberikan porsi
besar dalam penafsirannya dengan menggunakan ilmu jiwa (dalam arti ilmu yang
8 Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 9, h. 13.
9 al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, jilid 9, h. 495.
52
berbicara mengenai hakekat jiwa dan ruh). Misalnya ketika thanthwai
mengatakan:
“Jika dalam mimpi saja manusia bisa melihat perkara yang seharusnya
memakan waktu bertahun-tahun hanya dalam satu detik saja, maka
bagaimana dengan alam barzakh yg akan jelas hakekatnya bagi orang
yang mengalaminya. Dan disana akan ditampakkan kepada Rasulullah
SAW Nabi Adam, Isa, Idris, Harun, Musa dan Ibrahim, beliau adalah
orang paling mirip dengan Rasulullah”.
Dengan dua kacamata ilmu pengetahuan yang berbeda inilah sehingga
ketika mereka ikut masuk dalam perdebatan mengenai apakah Isra‟ dan Mi‟râj
dilakukan dengan ruh (rohani) saja atau dengan jasad (jasmani) juga, mereka
menjatuhkan pilihan sebagaimana pendapat mayoritas, yakni Isra‟ Mi‟râj Nabi
SAW terjadi dengan jasad dan ruh, tidak dalam keadaan tidur atau sebagaimana
mimpi.
Namun alasan al-Râzi dan Thanthawi berpendapat demikian tidaklah
sama. Al-Râzi beralasan bahwa jasad Nabi sangat mungkin sekali mengalami
peristiwa Isra‟ dan Mi‟raj dengan kecepatan yang tinggi. Ini sebagaimana yang ia
katakan:
“Berdasarkan geometri pula bahwa lingkaran matahari sama dengan 160
kali bola bumi. Kemudian kita menyaksikan bahwa tebit matahari berjalan
secara cepat. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan cepat yang mencapai
batas seperti disebutkan adalah sesatu yang mungkin pada dirinya”.10
10 al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, jilid 9, h. 495.
53
Sedangkan Thanthawi tidak membedakan antara Jasmani dan Ruhani
mengenai hal ini. Ia menggunakan dua istilah antara jasad lahiriyyah dan jasad
barzakhi (ruh) sebagaimana yang ia katakan:
Kalau kita katakan bahwa Isra‟ dan Mi„râj itu dengan jasad barzakhy maka
pendapat-pendapat yang berseberangan dalam hal ini akan mengerucut
menjadi satu. Jika Sayyidah Aisyah berkata bahwa nabi di-Isra‟ Mi„râj-kan
dengan ruhnya saja, kita katakan beliau benar, karena kondisi ini bukanlah
jasadiyah (lahiriyah) secara mutlak. Dan jika selain beliau berkata bahwa
nabi di-Isra‟ Mi„râj-kan dengan jasadnya, kita katakan juga : Ya anda
benar, karena menurut ahli ruh tidak ada perbedaan antara jasad
barzakhyah dan jasad lahiriyyah, karena jasad barzakhyah adalah
jembatan antara alam arwah dan alam lahiriyyah. Maka barangsiapa
berkata bahwa nabi Isra‟' dengan ruhnya saja berarti dia mendekati
hakekat kebenaran, dan barangsiapa berkata bahwa nabi Isra' dengan
jasadnya maka dia juga mendekati hakekat kebenaran, karena ini (ruh)
adalah kondisi pertengahan yang mana kecepatanya seperti kecepatan
mimpi, dan gambarannya menyerupahi gambaran jasad lahiriyah, ia akan
terbang lebih cepat dari pada kilat bahkan kecepatanya seperti kecepatan
lintasan pikiran, bukankah anda melihat bahwa seseorang dalam kamarnya
berada di timur dengan lintasan pikirannya kemudian berpindah ke barat
lebih cepat dari kedipan mata, keadaan ini seperti keadaan yang biasa
terjadi di alam ruh sana.
Perbandingan antara kedua penafsiran ini berikutnya adalah bagaimana
penafsiran mereka berupaya semudah mungkin bila dibaca oleh orang awam maka
unsur hidayahnya dapat mudah ditangkap. Ini sebagaimana yang dijelaskan pada
BAB I mengenai kritik Muhammad Abduh mengenai tafsir-tafsir yang telah ada
sebelumnya, yang menjelaskan terlalu panjang lebar berdasarkan ilmu yang paling
menonjol pada masing-masing mufassir sehingga terkadang susah menangkap
hikmah atau hidayah ayat yang dijelaskan.
54
Mengenai ini, al-Razi memang tidak mencantumkan hikmah dari
penafsirannya mengenai Isra‟ dan Mi‟raj secara khusus, sehingga pembaca harus
berupaya sendiri untuk menangkap hikmah apa yang tersirat dari penafsiran al-
Razi.
Berbeda dengan Thanthawi yang justru membuat sub bab tersendiri untuk
menjelaskan hikmah dan tujuan dari apa yang ditafsirkannya. Ia mengatakan
bahwa tujuan dari diturunkannya ayat yang berbicara mengenai Isra‟ dan Mi‟raj
ini bukanlah hanya sebatas untuk dibaca atau hanya untuk mengetahui mengenai
keadaan Rasulullah SAW semata, tetapi agar kita mengikuti syari‟at yang dibawa
Nabi dan ikhlas untik berdakwah kepada manusia sebagaimana dakwah Nabi
SAW.11
Thanthawi juga mengatakan dari peristiwa ini seyogyanya kita harus
membersihkan jiwa (ruh) kita dapat melihat tanda-tanda kebesaran-Nya yang
sebenarnya diperlihatkan kepada kita.
B. Perbandingan kedua tafsir atas Qs. Al-Najm: 13-15
Sebagaimana pada perbandingan penafsiran al-Razi dan Thanthawi pada
Qs. al-Isra‟ : 1, penafsiran keduanya pada Qs. Al-Najm: 13-15 pun bila dilihat dari
sistematika penulisannya penafsiran Thanthawi lebih unggul. Ini dikarenakan
pada penafsirannya, Thanthawi memberikan sub-bab pada penjelasan-
11 Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 9, h. 13.
55
penjelasannya mulai dari menulis ayat-ayat yang akan dibahas, penjelasan surat,
membagi tiap ayat pada beberapa penjelasan dan lain sebagainya. Dan dalam hal
ini Thanthawi memasukkan ayat 13 – 15 pada penjelasan mengenai diberikannya
wahyu kepada Nabi Saw dan proses taqarrub Nabi Saw kepada Allah.12
Pada sub-bab tafsir lafdzi, baik penafsiran al-Razi maupun penafsiran
Thanthawi keduanya langsung menjelaskan ayat yang dimaksud dengan panjang
lebar.13
Hal ini berbeda ketika keduanya pada ayat lain seringkali membedakan
sub-bab tersendiri antara tafsir lafdzi dan penjelasan ayat yang dimaksud.
Mengenai munasabah, penafsiran al-Razi nampaknya lebih jelas
menerangkan korelasi surat atau munasabah bayna al-surah. Al-Razi menjelaskan
bahwa munasabah surat al-Najm dengan surat sebelumnya yakni surat al-Thur
sangat kuat sekali. Menurutnya ini dapat dilihat pada bagaimana al-Razi
menjelaskan huruf wawu qasam yang ada pada awal surat al-Najm. Sedangkan
munasabah surat pada penafsiran Thanthawi walaupun menuliskan sub-bab
munasabah tersendiri, namun penjelasannya Nampak tidak sejelas penjelasan
munasabah al-Razi.
Mengenai substansi pokok penafsirannya, al-Razi pada ayat 13 dan 14
nampak lebih menekankan pengertian roâ hu (melihat-Nya) dan lafadz nazlatan
12 Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 23, h. 227.
13
Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 23, h. 227.
56
(turun). Sedangkan Thanthawi lebih menekankan pada pengertian lafadz roâ hu
(melihat-Nya).
Pada penjelasan ayat 15, al-Razi lebih menekankan penjelasan pengertian
lafadz jannah (surga). Menurutnya ada dua pendapat pengertian jannatu al-
Ma’wa, sebagian mengatakan itu adalah surge untuk orang-orang yang bertakwa,
sebagian berpendapat itu adalah surge bagi para syuhada‟. Al-Razi juga
menjelaskan bahwa ada sebagian yang membaca lafadz jannah dengan Jinnah
(tersembunyi).
Kedua penafsiran terhadap Qs. al-Najm : 13-15 nampak tidak menjelaskan
mengenai Mi‟raj Nabi Muhammad Saw dengan detail. Berbeda ketika keduanya
menjelaskan Qs. al-Isra‟: 1 yang selain menjelaskan Isra‟ Nabi Saw, juga
menjelaskan Mi‟raj Nabi Saw dengan detail dan jelas.
57
BAB V
PENUTUP
Penutup mengandung kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan poin-
poin penting hasil penelitian yang sekaligus merupakan jawaban terhadap
masalah. Sedangkan saran adalah usul atau saran dari penulis seputar penelitian
dan faktor-faktor pendukungnya, baik faktor akademis maupun non-akademis.
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, penulis dapat berkesimpulan bahwa tafsir bil ‘ilmi tdak
sepenuhnya selalu memandang Isra’ Mi’râj dengan teori-teori ilmu pengetahuan
modern yang bersifat exact dan kerap ditakutkan oleh para penolak tafsir bil ‘ilmi
karena teori-teori itu akan berubah-ubah di lain masa. Ini terbukti bagaimana
Thanthawi menjelaskan Isra’ Mi’râj jauh dari hitungan-hitungan saintis
sebagaimana al-Râzi.
Tafsir dengan corak bil ‘ilmi tidak berbeda dalam memandang pengertian
Isra’ dan Mi’raj, yakni adalah perjalanan Nabi SAW pada malam hari dari Masjid
al-Harâm ke Masjid al-Aqsha dan kemudian dilanjutkan menuju Sidrat al-
Muntaha di langit ke tujuh.
Adapun perbedaan mendasar antar tafsir bil ‘ilmi, dalam hal ini yakni
tafsir al-Râzî dan Thanthawi dalam penafsirannya mengenai Isra’ Mi’raj adalah
cara pandang dengan ilmu apa mereka melihatnya. Al-Râzi lebih banyak
menjelaskan hal ini dari sisi ilmu pengetahuan yang bersifat saintis seperti fisika
58
dan kosmologi. Sedangkan Thanthawi dalam penafsirannya mengenai ini lebih
tertarik melihatnya dari kaca mata ilmu jiwa yang menerangkan tentang hakekat
ruh.
B. Saran-saran
Berdasarkan apa yang telah penulis alami dan rasakan dalam penelitian
ini, dengan harapan perbaikan kualitas penelitian ini selanjutnya, penulis
menyampaikan beberapa usul dan saran sebagai berikut:
1. Penelitian mengenai saintifikasi al-Qur’an yang terjadi pada tafsir-
tafsir bil ‘ilmi perlu terus dilakukan dan dikembangkan untuk
memonitor apa yang ditakutkan oleh ulama’-ulama’ yang tidak setuju
dengan tafsir dengan corak bil ‘ilmi; yang beralasan bahwa teori-teori
sains selalu berubah mengikuti perkembangan.
2. Penelitian penulis masih terbatas pada perbandingan antara dua tafsir
bil ‘ilmi yang berlainan periode. Untuk penelitian selanjutnya,
mungkin bisa dikembangkan dalam tafsir-tafsir yang lain.
3. Penelitian dibatasi oleh beberapa hal, seperti waktu, dana, dan sumber
rujukan. Oleh karena itu, dibutuhkan persiapan yang lebih dini,
terutama dalam pencarian dan pengolahan data.
4. Dalam penelitian yang rujukan utamanya berupa buku-buku berbahasa
asing, penguasaan atas bahasa mutlak diperlukan demi kelancaran
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
al-„Aridhl, Ali Hasan. Sejarah Metodologi Tafsir. Jakarta: Rajagrafindo Persala.
Ayyub, Mahmud. al-Qur’an dan para Mufassirnya. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Azra, Azzyumardi. Sejarah Ilmu Ulum al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
al-Baghawi, Abu Muhammad al-Husain. Ma‘âlim al-Tanzîl. T. tp: Dar Thayyibah
li al-Nashr wa al-Tauzi‟, 1997.
al-Baghdadi, Al-Alusi. Tafsir Rûh al-Ma‘âni. Beirut: Dar ihyaa‟ al-Turats al-
„Arabi, 1405.
Baiquni, Achmad. Al-Qur’an dan Pengetahuan Kealaman. Yogyakarta: Prima
Bakti Yasa, 1997.
Chalil, Moenawar. Peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Classe, Cyril. Ensiklopedi Islam (Ringkas). terj. Ghufran A. Mas‟adi. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 1996. cet. 1.
al-Dawuri, Syamsu al-Dîn. Tabaqât al-Mufassirîn. Beirut: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyah. t.th. Jilid 2.
al-Dimasqi, Ibn Qadhi Syaihbah, Tabaqât al-Syafi’iyah. Haidar abad: Dâirah al-
Ma‟arif al-Usmaniyah. 1979. Jilid II, cet. 1.
al-Dzahabi, Muhammad Hussain. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo, Dar al-
Syuruq al-Mishriyyah, 1998.
Firmansyah, Ahmad. “Menyingkap Tabir Kisah Isra‟ dan Mi‟raj (Telaah
Penafsiran Q.S. al-Isra‟ :1 dan Q.S. al-Najm :1-18) Perspektif Tafsir al-
Azhar”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2002.
al-Hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Amzah. 2006. cet ke-2.
Haikal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Pustaka Jaya.
1978.
Hasanuddin AF, Anatomi al-Qur’an: Perbedaan Qira’at dan pengaruhnya
Terhadap Istinbat Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
cet. 1.
Hidayat, Rachmat Taufiq. Khazanah Istilah al-Qur’an. Bandung: Mizan. 1996.
cet.4.
al-„Imadi, Abu Sa‟ud. Irsyâdu al-‘Aqlu al-Salîm li mizâyan. T. tp: al-Kitâb al-
Karîm, t. th juz 4.
Ibn Katsir, Abi al-Fida‟, al-Bidâyah wa al-Nihâl. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah,
1987.
Ibn Manzur, Muhammad bin Mukarram. Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar Shadir. T.th.
Iyâzî, Sayyid Muhammad Ali. al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhâjuhum. T. tp:
Muassasah al-Thaba‟ah wa al-Nasyr. 1212.
Jauhari, Thanthawi. al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an. Kairo: Mathba‟ah al-Bab al-
Halabi, Tth.
al-Khûli, Amin. Metode Tafsir Sastra. Yogyakarta: Adab Press, 2004.
al-Majdub, Abdul Aziz. al-Imâm al-Hakim Fakrh al-Dîn al-Râzî: Min Khilâl
Tafsîrih. Libya: Dâr al-Arabiyah al-Kitab, 1400 H/1980 M. cet. 2.
al-Maraghi, Mustafa. Tafsir al-Maragi. Beirut: Dar al-Fikr. Tth. julid 5.
Moh. Rathomi, Abdai. Muhammad beraudiensi dengan Tuhan. Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1987.
Mudhari, Bahauddin, Menjelajah Angkasa Luar. Surabaya: Pustaka Progresif.
1989.
Mudhary, Bahauddin. Setetes Rahasia Alam Tuhan. Surabaya: Pustaka Progresif,
1996.
al-Muhtasib, Abdul Majid. Ittijâhât al-Tafsîr fi al-'Ashr al-Hadîts. Beirut: Dâr al-
Fikr, 1973.
Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistemologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2008.
Mustofa, Agus. Terpesona di Sidratul Muntaha. Sidoarjo: PADMA Press. 2004.
Nawawi, Rif‟at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh. Jakarta:
Paramadina. 2002.
Nuwaihid, „Adil. Mu’jam al-Mufassirîn: Min Sadr al-Islâm hatta al-Ashr al-
Hadhr. t.tp: Muassasah Nuwaihid al-Saqafah, 1986. Jilid 2, cet. 2.
al-Qattan, Manna‟ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Jakarata: Halim Jaya, 2007.
al-Razi, Fakhr al-Din Muhammad, Mafâtih al-Ghaib. Beirut: Dar al-Fikr. 1414
H/1993 M.
al-Sabuni, Muhammad Ali. Safwat al-Tafâsir. Beirut: Dar al-Qur‟an al-Karim.
1980. Jilid II.
Sa‟id Mubayyadh, Muhammad. Kisah Di Balik Isra’ Mi’raj. T. tp: PSIA, t. th.
al-Samarkandi, Abu Laits. T. tp Bahru al-‘Ulûm. T. th juz 2.
Schimmel, Annemarie. Dan Muhammad Adalah Utusan Allah. Bandung: Mizan,
cet. IV, 1994.
al-Shadr, Muhammad Baqir, Falsafatuna: Dirasah maudlu’iyah fi al-mu’tarak al-
Sira’ al-Fikr al-Qa’im baina al-Mukhtalaf al-Thayarat al-Falsafiyah
wa al-Falsafah al-Islamuyyah al-Maddiyyah al-Diyaliktiyyah (al-
Marksiyyah). Qum: Daar al-Kutub al-Islamiyyah. 1981.
Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2007.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. 1995.
------------------------. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2009 vol.7.
-------------------------. Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis Atas Tafsir al-Manar.
Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Siswanto, M. Hum. Dari Aristoteles sampai Derrida: Sistem-sistem Metafisika
Barat. Pustaka Pelajar, cet. I Mei 1998 M.
al-Suyuthi, Imam. Tabaqât al-Mufassirîn. Beirut: Dâr al-Fikr. 1980.
Taimiyah, Ibnu, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsîr ma’a ‘Ardh Mujâz li Ittijâhat
asyar al-Tafsîr li Abi Huzaifah Ibrahim bin Muhammad. Tonto: Dâr al-
Shahabah li al-Turats. 1988. cet. 1.
Al-Thabari, Muhammad bin Jarir. Jâmi’ al-Bayân fî ta’wîl al-Qur’an. T, tp:
Muassasah al-risalah, 2000 juz 17.
Tanpa Penulis, Hadza al-Habib Muhammad Rasul Allah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ya Muhibb. Jeddah: Daar al-Syuruq. 1989.
Tim Penulis, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi).
Jakarta: CeQDA, 2007.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta:
Djambatan. 1992.
Tim penulis Rosda. Kamus Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya. cet. I. 1995.
Al-Umari, Ali Muhammad. al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî; hayâtuhu wa
‘Asaruhu. Uni Emirat Arab: al-Majlis al-„Ala li al-Syu‟un al-Islâmiyah.
1969.
Zainun, Adi Amir. “Kajian Isra‟ dan Mi‟raj Pandangan Fakhral-Din al-Razi
Dalam Tafsir Mafatih al-Ghayb”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.
http://minice1.blogspot.com/2008/07/tafsir-mafatih-al-ghaib.html
http://nazil06.blogspot.com/2010/01/tafsir-jawahir.html
Lampiran 1: Terjemahan Tafsir Mafatih al-Ghayb atas Qs. al-Isra :1
Surat al-Isra’atau Banî Israil (Makkiyah, 111 ayat)
(kecuali ayat 26,32,33,57 dan 73-80 adalah madaniyah)
Bismillahirrahmanirram
“Maha suci allah SWT. Yang membawa berjalan hambanya-Nya pada suatu
malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”. (QS. al-Isra‟/17:1)
Menurut ibn „Abbas, surat ini adalah Makkiyah, kecuali mulai ayat “wa in
kâdû layastafizzûnaka min al-ardh ”(ayat 76) sampai “wa ij‟al lî min ladunka
sulthânan nashîran” (ayat 80) adalah madaniyyah, yang diturunkan pada saat
datangnya perutusan dari Tsaqif.
Dalam ayat ini terkandung beberapa persoalan:
1. Menurut kalangan ahli bahasa (nahwiyyûn), kata subhâna adalah ism „âlam,
sedangkan kata al-tasbîh adalah mashdar (kata benda). Maksud kata tersebut
adalah mensucikan Allah dari segala keburukan. Menurut shâhib al-nazhâm,
kata al-sabh secara etimologi adalah “al-taba‟ud” (menjauhkan) yang
ditunjukkan oleh firman Allah: Inna laka fi al-nahâr sabhan (sesungguhnya
kamu pada siang hari mempunyai urusan). Sedangkan pengertian: sabbaha
Allahu Ta‟âla adalah menjauhkan-Nya dan membersihkan-Nya dari segala
sesuatu yang tidak layak bagi-Nya. Kata al-tasbîh mengandung beberapa
pengertian: (1) Shalat, diantaranya adalah firman Allah: “Fa lawla annahu
kâna min al-musabbihîn.” Al-musabbih dalam ayat ini berarti orang yang
shalat disebut sebagai musabbih adalah karena ia mengagungkan Allah
melalui shalatnya dan mensucikan-Nya dari segala sesuatu yang tidak layak
bagi-Nya. (2) pengecualian, sebagaimana pada ayat “Qâla awsathuhum alam
aqul lakum lawlâ tusabbihûn.” Atau mengecualikan, tapi takwilnya juga
kembali pada pengagungan Allah dalam pengecualian dengan kehendak-Nya.
(3) Cahaya, seperti disebutkan dalam hadits “la ahraqat sabhâtu wajhihi mâ
adrakat min syay‟.” Sabhâtu wajhihi berarti cahaya wajahnya, yaitu cahaya
wajah yang menyebabkan orang yang melihatnya mengucapkan: Subhânallah
(Maha Suci Allah).
Kata asrâ menurut ahli bahasa sama dengan kata sarâ yang berarti
“berjalan di malam hari”. Sedangkan kata bi‟abdihi, para ahli tafsir sepakat
bahwa maksudnya adalah Muhammad SAW. Saya mendengar Syaikh Imam
al-Walid „Umar ibn al-Husayn mengatakan: “Saya mendengar Syaikh Imam
Abu Qasim Sulayman al-Anshari berkata: Ketika Muhammad SAW sampai
pada langit yang tertinggi, Allah berfirman kepadanya: Wahai Muhammad,
dengan apa aku memuliakanmu?” beliau menjawab: “Wahai tuhanku, agar
Engkau menisbatkan aku kepada diri-Mu dengan ibadah (menyembah kepada-
Mu)”. Maka Allah menurunkan ayat ini (Subhâlladzî asrâ bi‟abdihi laylan).
Kata laylan adalah keterangan waktu.
Jika dikatakan bahwa Isra‟ adalah berjalan di waktu malam, jadi
perjalanan itu hanya dilakukan pada malam hari, lalu apa urgensi
disebutkanya kata laylan (malam) dalam ayat ini?.
Maksud dari ungkapan kata laylan (malam) dengan lafadz nakirah
(abstrak) adalah sebagian kecil dari perjalanan di waktu malam, yaitu bahwa
Allah memperjalankan hamba-Nya dari Makkah ke Syam, suatu perjalanan
yang memakan waktu empat puluh malam, hanya sebagian dari waktu malam.
Dipergunakanya bentuk nakirah (abstrak) pada kata laylan menunjukkan
makna “sebahagian”. Para ulama berbeda pendapat mengenai malam tersebut.
Muqatil berpendapat bahwa malam itu adalah satu malam sebelum hijrah.
Penulis al-Kasysyâf mengutip dari Anas dan al-Hasan menyebutkan bahwa
malam itu adalah sebelum bi‟tsah (kenabian).
Firman Allah: “Min al-Masjid al-Harâm”, para ulama berbeda pendapat
mengenai tempat bertolaknya perjalanan Isra‟. Sebagian berpendapat bahwa
tempat itu adalah Masjid al-Haram itu sendiri, yaitu sebagaimana yang
ditunjukkan oleh zhahir ayat tersebut. Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa
beliau bersabda: “Ketika aku berada di Masjid al-Haram pada Hijr dekat
Ka‟bah antara bangun dan tidur, tiba-tiba Jibril datang kepadaku dengan
buraq”. Pendapat lain menyebutkan bahwa perjalanan Isra‟ dimulai dari
rumah Umm Hani binti Abi Thalib. Adapun maksud dari ungkapan al-Masjid
al-Haram adalah tanah suci, sebagaimana diriwayatkan dari Ibn‟Abbas bahwa
tanah suci seluruhnya adalah Masjid (tempat sujud). Ini adalah pendapat
mayoritas. Mengenai al-Masjid al-Aqshâ para ulama sepakat bahwa itu adalah
Bait al-Maqdis (Yerussalem). Disebut al-Aqsha adalah karena jaraknya yang
jauh antara Bait al-Maqdis ini dengan Masjid al-Haram. Maksud ungkapan
“al-ladzî bâraknâ hawlahu” adalah berkah dari buah-buahan dan bunga-
bunga. Pendapat lain menyebutkan bahwa hal itu disebabkan karena tempat
tersebut merupakan tempat tinggal para Nabi dan tempat turunya para
malaikat.
Perlu diingat bahwa kata ilâ (ke) dimaksudkan pada tujuan akhir. Maka
makna tersebut tersurat dari ilâ al-Masjid al-Aqshâ berarti benar-benar sampai
batas masjid tersebut. Tidak ada petunjuk yang jelas dalam ayat ini adapun
ungkapan “linuriyahu min âyâtinâ (agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian tanda-tanda kebesaran Kami) berarti adalah keajaiban-keajaiban dan
tanda-tanda yang menunjukkan kekuasaan Allah SWT yang diperlihatkan-Nya
kepada Nabi SAW pada malam itu.
Sebagian orang berpendapat bahwa ungkapan “Agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami” menunjukkan bahwa
Allah hanya memperlihatkan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya
kepada Nabi Muhammad SAW, karena kata “min” berarti “sebahagian”,
sedangkan tentang Ibrahim Allah berfirman: “Demikianlah Kami
memperlihatkan kepada Ibrahim para malaikat, langit dan bumi”, maka
Mi„râj Ibrahim lebih utama dari pada Mi„râj Muhammad SAW”.
Menurut kami, yang dilihat Ibrahim alaihissalam adalah para malaikat
langit dan bumi, sedangkan yang dilihat Muhammad SAW adalah sebagian
dari tanda-tanda kekuasaan Allah (tidak terbatas pada malaikat). Maka tidak
diragukan lagi bahwa tanda-tanda tersebut adalah lebih utama.
Kemudian Allah berfirman: “Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi
Maha Melihat”. Maksudnya adalah bahwa Allah yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada malam hari adalah Maha medengar pada perkataan
Muhammad dan Maha melihat pada perbuatan-perbuatan beliau. Dia Maha
mengetahui bahwa seluruh perbuatan beliau adalah terpuji dan terhindar dari
segala keriyaan, disertai kejujuran dan kesucian. Oleh karena itu pulalah,
Allah mengistimewakan beliau dengan kemulian-kemulian tersebut. Sebagian
pendapat menyebutkan bahwa maksudnya adalah Allah Maha Mendengar apa-
apa yang diucapkan mereka kepada Rasulullah SAW berkenaan dengan
perkara ini dan Maha Melihat apa-apa yang mereka lakukan terhadap
peristiwa ini.
2. Para ulama berbeda pendapat mengenai bentuk perjalanan (Isra‟) tersebut.
Mayoritas kelompok kaum muslimin berpendapat bahwa perjalanan itu adalah
dengan jasad Nabi SAW. Sebagian kecil yang lain berpendapat bahwa
perjalanan itu dengan ruh beliau. Diriwayatkan dari Muhammad ibn Jarir al-
Thabari dalam tafsirnya dari Hudzayfah, menurutnya hal itu seperti mimpi dan
jasad Rasulullah SAW tidak hilang, akan tetapi beliau melakukan perjalanan
dengan ruhnya. Riwayat ini juga diceritakan dari „Aisyah RA dan Mu‟awiyah
RA: ketahuilah bahwa perkara ini menyangkut 2 hal, yaitu: (1) konfirmasi
kebolehan menurut akal, dan (2) kenyataan dari peristiwa tersbut.
3.1. Yaitu konfirmasi kebolehan menurut akal, menurut kami bahwa gerakan yang
terjadi secara cepat sampai batas ini adalah mungkin pada dirinya, dan Allah
Maha Kuasa atas segala kemungkinan. Hal itu menunjukkan bahwa
tercapainya gerakan dengan kcepatan tersebut tidak ada halangan. Untuk
menjelaskan hal ini, kami perlu mengemukakan dua perspektif, yaitu:
3.1.1. Bahwa gerakan yang terjadi secara cepat pada peristiwa Isra‟ Mi‟râj
dapat di tunjukkan dari beberapa aspek berikut:
3.1.1.1. Bahwa planet tersebut (bumi) bergerak dari permulaan sampai
akhir malam sekitar setengah lingkaran. Berdasarkan rumus
geometri (ilmu ukur) disebutkan bahwa, perbandingan antara
satu diameter (garis tengah suatu lingkaran) dengan satu
lingkaran tersebut adalah 1:3 1/7 (satu berbanding tiga satu
pertuju). Maka perbandingan jari-jari (setengah diameter)
dengan setengah lingkaran adalah juga 1:3 1/7. Adapun ukuran
ketikan Rasulullah SAW Isra‟ dari Makkah hingga Mi„râj ke
„Arsy di atas planet ini (bumi) adalah bahwa beliau bergerak
hanya setengah diameter (satu jari-jari). Ketika gerakan
setengah lingkaran dapat di tempuh dalam ukuran waktu
tersebut (pada malam hari), maka gerakan setengah diameter
(satu jari) adalah lebih memungkinkan lagi untuk ditempuh
dalam ukuran waktu yang sama. Ini adalah petunjuk yang nyata
bahwa perjalanan dari Makkah ke atas „Arsy dalam ukuran
sepertiga malam adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Jika
demikian, perjalanan tersebut dapat terjadi setiap malam dan
itu lebih memungkinkan. Hanya Allah-lah yang lebih
mengetahui.
3.1.1.2. Aspek kedua, berdasarkan geometri pula bahwa lingkaran
matahari sama dengan 160 kali bola bumi. Kemudian kita
menyaksikan bahwa tebit matahari berjalan secara cepat. Hal
ini menunjukkan bahwa gerakan cepat yang mencapai batas
seperti disebutkan adalah sesatu yang mungkin pada dirinya.
3.1.1.3. Jika kenaikan jasad kasar dari pusat bumi ke atas „Arsy tidak
dapat diterima oleh akal, maka turun ruh halus dari atas „Arsy
ke pusat bumi tidak dapat diterima pula oleh akal. Maka, jika
pendapat yang menyatakan bahwa Mi‟raj Nabi Muhammad
SAW dalam satu malam tidak mungkin menurut akal, maka
pendapat yang menyatakan bahwa malaikat jibril turun dari
„Arsy ke Makkah dalam sekejap adalah tidak mungkin pula.
Jika kita memegang ketidak mungkinan ini, maka hal ini
merupakan penolakan atas kenabian seluruh nabi-nabi AS.
Sementara itu, pendapat menetapkan Mi‟raj ini merupakan
cabang dalam penerimaan kemungkinan dari asal kenabian.
Dengan demikian, dapat di pastikan bahwa orang-orang yang
berpendapat tidak mungkin terjadi gerakan yang cepat sampai
batas tersebut, mengharuskan mereka berpendapat pula
ketidakmungkinan turun malaikat Jibril dalam sekejap dari
„Arsy ke Makkah. Jika hal itu tidak benar, maka pendapat
inipun tidak benar.
Jika mereka berkata: kami tidak berpendapat bahwa Jibril
adalah jasad yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Kami berpendapat bahwa maksud dari turun jibril adalah hilang
tirai jasmani dari ruh Muhammad SAW sehingga tampak jelas
bagi beliau sebagian dari hal-hal yang ghaib dan yang nyata,
yang sebagianya hadir secara nyata pada zat Jibril.
Menurut kami, tafsir al-Qur‟an dengan cara demikian
adalah pendapat para ahli hikmah (failasuf). Sedangkan
mayoritass kaum muslimin berketetapan bahwa Jibril adalah
jenis makhluk dan turunnya ke bumi adalah gambaran dari
perpindahannya dari alam bintang ke Makkah. Jika demikian
maka pendapat yang disebutkan adalah kuat. Diriwatkan bahwa
ketika Nabi Muhammad SAW menceritakan kisahnya tentang
Mi‟râj tersebut, semua mendustakanya. Kemudian mereka
datang kepada Abu Bakar dan mereka berkata: “Sahabatmu
berkata begini dan begitu.” Abu Bakr menjawab: “Jika beliau
telah mengatakan demikian, maka itu adalah benar.”
Kemudian Abu Bakr datang kepada Rasulullah, lalu Rasulullah
menyebutkan perincian itu kepada Abu Bakr. Setiap beliau
menyebutkan sesuatu, Abu Bakr berkata: “Engkau benar”.
Ketika beliau selesai bercerita, Abu Bakr berkata: “Aku
bersaksi sesungguhnya engkau adalah benar-benar Rasulullah”.
Rasulullah berkata kepadanya: “Aku pun bersaksi bahwa
engkau adalah benar-benar orang yang membenarkan (al-
Shiddîq)”. Hasil perbincangan itu adalah bahwa Abu Bakr
seakan-akan mengatakan, Ketika aku menerima risalahnya,
Aku pun telah membenarkannya dalam perkara yang lebih
besar dari ini, jadi bagaimana mugkin aku mendustakan
perkara ini?.
3.1.1.4. Orang-orang yang beragama dan sistem kepercayaan menerima
keberadaan iblis dan mereka juga menerima bahwa iblis adalah
yang menghembuskan godaan kedalam hati manusia. Mereka
juga percaya bahwa iblis dapat berpindah-pindah dari Timur ke
Barat untuk menyebarkan godaan ke dalam hati manusia.
Ketika mereka menerima kemungkinan gerakan cepat iblis
seperti ini, maka penerimaan mereka atas kemungkinan
tersebut pada nabi-nabi besar adalah lebih utama. Kesan ini
kuat bagi orang yang menerima kenyataan bahwa iblis adalah
makhluk yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat
yang lain. Adapun orang-orang yang berpendapat bahwa iblis
adalah bagian dari ruh-ruh kotor yang jahat meyakini iblis
bukanlah jasad dan tidak pula bersifat jasmani. Penetapan ini
bukan berasal dari mereka, hanya saja mayoritas pemeluk
agama dan orang yang berkepercayaan sepakat bahwa iblis
adalah makhluk halus yang berpindah.
Jika dikatakan: Malaikat dan iblis dapat melakukan
gerakan cepat seperti itu karena mereka makhluk-makhluk
halus dan mereka tidak memiliki halangan apapun untuk
mencapai hal itu, sedangkan manusia, ia adalah makhluk kasar,
jadi bagaimana rasionalisasi terjadi gerakan yang cepat seperti
itu bagi manusia?
Kami menanggapi pernyataan demikian melalui
keadaan malaikat dan setan hanya untuk menunjukkan bahwa
gerakan yang ekstra cepat seperti demikian adalah sesuatu yang
mungkin terjadi. Adapun penjelasan mengenai kemungkinan
terjadi gerakan cepat itu berlaku juga bagi jasad manusia, maka
hal itu adalah persoalan lain dan kami akan menjelaskanya
nanti insya Allah.
3.1.1.5. Disebutkan di dalam al-Qur‟an bahwa angin membawa terbang
Nabi Sulaiman AS ke tempat-tempat yang jauh dalam waktu
yang singkat. Dalam menjelaskan perjalanan Sulaiman bersama
angin, Allah Ta‟âlâ berfirman: “yang perjalananya itu di
waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalananya
di waktu sore sama dengan perjalan sebulan (pula)”. Bahkan
menurut kami, indera menunjukkan bahwa ketika angin
berhembus sangat kencang sampai puncak kecepatanya, ia
dapat berpindah dari suatu tempat ke tempat yang jauh sekali
dalam sesaat. Hal demikian juga menunjukkan bahwa gerakan
cepat seperti itu adalah sesuatu yang mungkin terjadi pada
dirinya.
3.1.1.6. Al-Qur‟an menunjukkan bahwa seorang yang memiliki ilmu
dari al-Kitab dapat menghadirkan istana ratu Balqis dari ujung
Yaman ke ujung Syam (Syiria) dalam hitungan kedipan mata
(sebelum mata berkedip). Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab:
“Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum
matamu berkedip”. Jika hal demikian dapat terjadi pada
sebagian orang, maka kami mengetahui bahwa hal itu dapat
terjadi pada dirinya.
3.1.1.7. Sebagian orang berpedapat bahwa hewan hanya dapat melihat
benda-benda karena adanya cahaya keluar dari kedua matanya
dan berhubungan dengan benda yang dilihatnya. Kemudian,
jika kita membuka mata kita dan kita melihat kepada seseorang
yang kita lihat, maka berdasarkan teori di atas, cahaya mata
pindah dari mata kita kepada orang itu dalam waktu yang
singkat. Itu menunjukan bahwa gerakan nyata yang terjadi
dalam batas kecepatan ini merupakan sesuatu yang mungkin
terjadi, bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Berdasarkan
hal itu, maka gerakan yang mencapai puncak kecepatan adalah
perkara yang mungkin terjadi pada dirinya.
3.1.2. Dalam menjelaskan perkara gerakan yang mungkin terjadi pada dirinya,
maka adalah sesuatu yang wajib pula bahwa gerakan tersebut dapat
terjadi pada jasad Muhammad SAW (pencapaian gerakan yang sangat
cepat oleh Muhammad SAW bukan sesuatu yang tidak mungkin). Yang
menunjukkan hal itu adalah bahwa kami telah mengemukakan dali-dalil
yang pasti (qath‟i) bahwa setiap jenis saling menyerupai dalam
kesempurnaan esensinya. Maka, jika gerakan cepat seperti itu terjadi
pada sebagian jenis, hal itu wajib pula kemungkinan terjadi bagi seluruh
jenis. Hal itu meniscayakan kemutlakan bahwa terjadi gerakan cepat
tersebut bagi jasad Muhammad SAW adalah sesuatu yang mungkin
terjadi padanya.
Jika hal itu dapat di tetapkan, kami berpendapat: hal itu
ditetapkan berdasarkan bahwa pecipta alam semesta Maha Kuasa atas
segala kemungkinan-kemungkinan, dan ditetapkan pula bahwa terjadi
gerakan yang mencapai batas kecepatan tersebut bagi Muhammad
SAW adalah sesuatu yang mungkin. Maka merupakan sesuatu yang
wajib (niscaya) bahwa Allah Maha Kuasa atas hal itu dan saat itu, dan
berdasarkan penjelasan-penjelasan terdahulu, selayaknya kita
berpendapat bahwa ketetapan mengenai terjadi Mi‟râj adalah sesuatu
yang mungkin terjadi pada dirinya. Lebih jauh lagi dari persoalan ini
adalah hal itu menyisakan keajaiban, hanya saja keajaiban tersebut
tidak dikhususkan bagi perkara ini, tetapi hal itu terjadi pada seluruh
mukjizat. Berubah tongkat menjadi ular yang panjangnya mencapai
70.000 tali dan tongkat itu kemudian kembali lagi menjadi tongkat yang
kecil seperti semula adalah sesuatu keajaiban. Keluar unta besar yang
dari gunung al-„Asham dan bayang-bayang gunung yang besar di
angkasa adalah suatu keajaiban. Demikian pula dengan semua mukjizat,
jika hal itu semata-mata keanehan, maka hal itu harus di ingkari dan di
bantah, pandangan yang salah dalam menetapkan mukjizat perlu
dipatahkan. Sementara itu penetapan mukjizat adalah satu bagian dalam
penerimaan dasar kenabian, meskipun hal itu semata-mata sebagai
keajaiban, hal itu tidak harus diingkari dan dibatalkan. Demikian pula
dengan peristiwa Mi‟râj adalah sesuatu yang mungkin terjadi bukan
sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Allahu A‟lam.
3.2. Dalam pembahasan mengenai Mi‟raj, para peneliti berpendapat
bahwa,petunjuk ynag mengisyaratkan bahwa Allah yang memperjalankan
ruh Muhammad SAW beserta jasadnya dari Makkah ke Masjid al-Aqsha
adalah al-Qur‟an dan khabar. Dalil dari al-Qur‟an adalah ayat al-Isra‟ yang
menggunakan kata al-„Abd (hamba), yaitu bahwa kata tersebut merupakan
sebuah sebutan bagi jasad dan ruh.
Ketahuilah bahwa indikasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa
manusia adalah ruh saja atau jasad saja atau juga jasad dan ruh. Sedangkan
orang-oarang yang berpendapat bahwa manusia adalah semata-mata ruh,
mereka berargumentasi dengan beberapa aspek berikut. Pertama, bahwa
manusia adalah suatu kesatuan yang tetap sejak awal sampai akhir,
sedangkan pertikel-partikel dari jasad dalam keadaan berubah dan
berpindah-pindah, adapun yang lainya tidak berubah. Maka manusia
berubah karena badan tersebut. Kedua, bahwa manusia kadang-kadang
mengetahui dzatnya yang khusus ketika ia tidak mengetahui sebagian dari
partikel-partikel jasadnya. Jadi sesuatu yang diketahui mengubah sesuatu
yang terlupakan. Karena itu, manusia berubah karena badan tersebut.
Ketiga, sesuai dengan fitrahnya yang sehat, manusia mengatakan:
“tanganku”, ”kakiku”, ”jantungku”, atau “hatiku”. Demikian juga
ungkapan mengetahui bagian-bagian tubuh yang lain. Ia menisbatkanya
kepada dzatnya yang khusus. Sedangkan yang mendapat penisbatan
berbeda dari yang dinisbatkan kepadanya. Maka, dzat manusia yang khusus
harus mengikuti perubahan setiap anggota tubuhnya.
Jika ditanyakan: Bukankah ia menisbatkan dzatnya kepada dirinya
sendiri, sehingga ia mengatakan, “dzatku” dan “diriku”, sehingga hal itu
mengharuskan “dirinya” berubah karena “dzatnya”, dan ini tidak mungkin.
Kami menjawab bahwa kami tidak hanya berpedoman pada
lafadzh saja sehingga apa yang anda katakan demikian adanya. Tetapi kami
berpedoman pada akal saja, karena petunjuk akal menunjukan bahwa
manusia adalah wujud yang satu. Seuatu yang satu ini mengambil dengan
alat tangan, melihat dengan alat mata, dan mendengar dengan alat telinga.
Maka manusia adalah sesuatu yang satu. Anggota-anggota tersebut adalah
alat-alat dalam melakukan berbagai aktifitas. Hal tersebut menunjukkan
bahwa manusia adalah sesuatu yang berubah karena anggota-anggota tubuh
dan alat-alat tubuh tersebut. Berdasarkan perspektif ini, dapat ditetapkan
bahwa manusia adalah sesuatu yang berubah karena struktur tersebut dan
karena jasadnya.
Jika ditetapkan demikian, maka kami berpendapat bahwa firman
Allah: “Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya”, maksud
dari “hamba” disini adalah esensi ruh. Berdasarkan pandangan ini, maka
dalam ayat tersebut tidak terdapat petunjuk yang mengarah pada terjadi
Isra‟ tersebut dengan jasadnya.
Jika ditanyakan: Isra‟ dengan ruh bukanlah sesuatu yang diluar
kebiasaan, karena itu tidak selayaknya dikatakan: “ Maha suci Allah yang
telah memperjalankan hamba-Nya”.
Menurut kami, hal ini juga tidak mungkin, karena tidak ada
halangan untuk dikatakan bahwa ruh dapat mencapai (mengetahui) hal-hal
ghaib dan nyata yang tidak sama sekali dapat diketahui oleh yang lainya.
Jadi tidak ada halangan jika ada ungkapan ayat tersebut sesuai bagi-Nya.
Ini merupakan penentuan dari aspek pertanyaan berdasarkan penggunakan
ayat ini. Sebagai dalil untuk menetapkan bahwa Mi‟râj itu terjadi dengan
ruh dan jasad secara bersamaan. Jawabanya adalah bahwa lafadz “hamba”
disini mencakup ruh dan jasad. Dalilnya adalah firman Allah SWT :
“bagaiman pendapatmu tentang orang yang melarang seseorang hamba
ketika ia mengerjakan shalat”. Tidak diragukan lagi bahwa kata “hamba”
disini mencakup ruh dan jasad. Allah SWT juga berfirman dalam QS. al-
Jinn ayat 19: “Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri
menyembah-Nya (mengerjakan ibadat), hampir saja jin-jin itu desak-
mendesak mengerumuninya”. Yang dimaksud dengan kata “hamba” pada
ayat ini juga ruh dan jasad.
Sedangkan petunjuk dari khabar adalah hadis yang diriwayatkan
dalam kitab-kitab shahih dan derajatnya masyhur, yaitu yang menunjukkan
kepergian dari Makkah ke Bait al-Maqdis ke langit. Orang-orang yang
mengingkari hadis ini berargumen dengan mengemukakan beberapa
perspektif berikut:
3.2.1. Dari perspektif akal, mereka mengemukakan tiga perkara: (1)
gerakan yang sangat cepat tesebut adalah sesuatu yang tidak masuk
akal; (2) kenaikan benda yang berat ke langit juga merupakan
sesuatu yang tidak masuk akal; (3) naik benda tersebut ke langit
harus menembus atmosfir (orbit planet-planet lain), dan itu sesuatu
yang tidak mungkin.
3.2.2. Jika pengerian ini benar, maka hal itu merupakan mu‟jizat yang
paling besar dan itu mengharuskan diperlihatkanya kepada seluruh
manusia sehingga mereka dapat menjadikanya sebagai petunjuk
untuk membenarkanya dalam pengakuan Nabi Muhammad SAW
sebagai seorang nabi. Adapun tejadi peristiwa tersebut tanpa dilihat
dan tidak pula disaksikan oleh siapa pun, maka hal itu adalah sia-
sia, dan tidak layak bagi Allah yang Maha Bijaksana.
3.2.3. Mereka perpegang pada firman AllahSWT: “Dan Kami tidak
menjadikan mimpi yang telah Kami perliahatkan kepadamu,
melainkan sebagai ujian bagi manusia”. Kata “mimpi” yang
dimaksud dalam ayat ini tidak lain adalah peristiwa Isra‟ Mi‟râj
Nabi SAW, ketika mendengar peristiwa ini, mereka
mendustakannya dam mengingkarinya, sehingga peristiwa Mi‟râj
itu menjadi sebab terjadi bencana bagi manusia. Karena itu,
ditetapkan bahwa “penglihatan” itu dilihatnya pada saat tidur
(mimpi).
3.2.4. Bahwa peristiwa Mi‟râj ini mencakup perkara-perkara yang tidak
mungkin. Di antaranya riwayat yang menceritakan bahwa perut
Nabi SAW dibedah dan disuciakan oleh air Zamzam, dan itu jauh,
karena yang mungkin dicuci oleh air adalah najis-najis yang
tampak, dan dalam hal itu tidak ada pengaruhnya pada pembersihan
hati dari keyakinan-keyakinan yang bathil (salah) dan perilaku-
perilaku yang tercela. Riwayat lain adalah Buraq yang
dikendarainya dan itu juga jauh, sebab ketika Allah
memperjalankan Nabi SAW ke ruang angkasa, apakah itu
memerlukan Buraq. Kemudian riwayat yang menyebutkan bahwa
Allah SWT mewajibkan 50 waktu shalat, lalu disebutkan bahwa
Muhammad SAW masih terus mondar-mandir antara Allah dan
Musa AS, kewajiban shalat itu menjadi lima waktu shalat karena
belas kasihan Musa. Al-Qadli mengatakan: Hal ini menuntut
penghapusan hukum sebelum pemberlakuannya dan itu juga
mengharuskan adanya permulaannya. Hal demikian adalah tidak
mungkin bagi Allah. Karena itu, peristiwa tersebut mencakup suatu
perkara yang tidak dapat diterima dan karenanya hal itu ditolak.
Jawaban atas argumentasi yang berdasarkan perspektif
akal telah kami kemukakan sebelumnya dan kami tidak perlu
mengulangnya.
3.2.1.1. Jawaban atas keraguan yang kedua adalah: Firman Allah
SWT yang menyebutkan: “Supaya Kami memperlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami”
adalah ungkapan global. Perincianya dan penjelasanya
mengandung beberapa aspek :
3.2.1.1.1. Bahwa kebaikan-kebaikan surga adalah besar
dan keburukan-keburukan neraka adalah keras.
Seandainya Nabi SAW tidak menyaksikan
keduanya di dunia, kemudian menyaksikannya
pada permulaan hari kiamat, mungkin beliau
akan menyukai kebaikan-kebaikan surga dan
takut akan keburukan-keburukan neraka. Tetapi
ketika beliau menyaksikan keduanya didunia
pada malam Mi‟râj, maka kenyataan kedanya
tidak akan menggelisahkan hati beliau pada
hari kiamat, dan ketika itu beliau akan
mencurahkan seluruh perhatianya untuk
memberikan syafa‟at.
3.2.1.1.2. Tidak ada halangan bagi para nabi dan malaikat
untuk menyaksikan pada malam Mi‟râj, yang
mana hal itu menjadi sebab kesempurnaan
kemaslahatan beliau atau kemaslahatan
mereka.
3.2.1.1.3. Adalah suatu kemungkinan beliau naik ke
angkasa dan menyaksikan keadaan langit, kursi
Allah dan „Arsy-Nya, sehingga menyaksikan
keadaan dunia dan keburukan-keburukanya
menjadi sesuatu yang kecil dimatanya. Hal itu
akan menambah kekuatan dalam hatinya yang
mana dalam kekuatan tersebut, perjalanan
beliau dalam melaksanakan dakwah menjadi
lebih sempurna serta tidak gentar menghadapi
musuh-musuh Allah. Hal itu menjelaskan
bahwa orang yang menyaksikan kekuasaan
Allah SWT dalam konteks ini, keadaanya akan
berlipat ganda, begitupun kekuatan jiwanya dan
keteguhan hatinya dalam menghadapi setiap
tantangan dan dalam berjihat dan lain-lain
ketimbang orang yang tidak menyaksikanya.
Ketahuilah bahwa firman Allah:
“Supaya Kami memperlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami”
adalah sebagai dalil yang menunjukkan bahwa
manfaat Isra‟ tersebut adalah dikhususkan bagi
beliau dan kembali kepada beliau secara
khusus.
3.2.1.2. Jawaban atas keraguan ketiga adalah bahwa ketika kami
sampai pada akhir penafsiran dari ayat ini, kami
menjelaskan bahwa “penglihatan” itu adalah “penglihatan
yang nyata” dan bukan mimpi.
3.2.1.3. Jawaban atas keraguan keempat adalah bahwasanya tidak
ada kesulitan apapun bagi Allah SWT dalam melakukan
perbuatan-perbuatan-Nya, sesungguhnya Dia memperbuat
apa yang dikehendaki-Nya dan menentukan apa yang
dikehendaki-Nya pula. Wallahu A‟lam.
Lampiran 2: Terjemahan Tafsir Jawahir al-Qur‟an atas Qs. al-Isra :1
(Tafsir Lafdzhi)
Mensucikan (Subhâna –Maha Suci-) Allah, atau menjauhkan-Nya (dari
sifat-sifat buruk). Maka Subhâna adalah Ism yang bermakna al-Tanzih (yang
suci/jauh dari sifat-sifat buruk), maksudnya Allah membersihkan mukjizat yang
akan disebutkan setelah ini. (al-ladzî asrâ bi „abdihi –yang meng-Isra‟-kan
hambaNya-) yakni Muhammad SAW, adapun sarâ dan asrâ adalah dua bahasa
yang sama.
(Laylan –malam hari-) pada masa yang sedikit, dan ini menunjukkan
malam yang tidak diketahui/nakirah.
(Min al-Masjid al-Harâm –dari Masjid al-Haram-) itu adalah Masjid
yang sesungguhnya, bukan tanah Haram seluruhnya, ini berdasarkan sabda Nabi
Saw: Ketika saya tidur di Masjid al-Haram, di Hijr di sisi Baitullah (Ka‟bah)
antara tidur dan terjaga, datang kepada saya Jibril dengan Buraq, dan naiklah
buraq denganku menuju langit pada malam itu. Dan adapun Mi‟rajnya dari Bait
al-Muqaddas. Dan Nabi mengabarkan kepada kaum Qurays tentang kafilah
mereka, jumlah unta mereka beserta keadaan mereka. Nabi juga menceritakan
tentang keajaiban-keajaiban yang dilihatnya di langit. Nabi juga bertemu dengan
para Nabi dan ia sampai di Bait al-Ma‟mur dan Sidrat al-Muntaha. Dan adapun
Isra‟ ini terjadi sebelum Hijrah. Dan perbedaan pemahaman yang banyak terjadi
adalah apakah ini terjadi dalam keadaan terjaga atau tidur (mimpi). Adapun
Sayyidah „Aisyah berpendapat bahwa ini terjadi dengan ruh saja. Sedangkan
mayoritas pendapat berpendapat dengan jasadnya.
Dan firman Allah (Ilâ al-Masjid al-Aqshâ –ke Masjid al-Aqsha-)
maksudnya adalah Bait al-Muqaddas. (al-ladzî bârakna haulahu –yang telah
Kami berkahi sekelilingnya) dengan keberkatan-keberkatan agama dan dunia
karena ia adalah tempat turunnya wahyu dan tempat ibadah para nabi sejak masa
Nabi Musa as. Di sekitarnya terdapat pepohonan berbuah dan sungai-sungai yang
mengalir.
(Li Nuriyahu –agar Kami perlihatkan kepadanya-) yakni kepada Nabi
Muhammad SAW. (Min Âyâtinâ –sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami-)
dari keajaiban-keajaiban dalam ukuran kita, seperti kepergiannya dalam sekejap
malam pada jarak perjalanan satu bulan, dan ditampakkan Bait al-Muqaddas
kepadanya, dan para nabi mempercontohkan (shalat) kepadanya, dan berhentinya
beliau pada tempat-tempat mereka, serta penglihatannya kepada keajaiban-
keajaiban langit serta keanehan-keanehan para makhluk di dalamnya.
(Innahu Huwa al-Samî‟ –sesungguhnya Dia Maha Pendengar-) pada
perkataan-perkataan Nabi Muhammad SAW. (al-Bashîr –Maha Melihat-) dengan
perbuatan-perbuatannya dan Dia memuliakan dan mendekatkannya atas bilangan
yang tidak ia perkirakan.
(Lathifah pertama mengenai firman Allah SWT:
Subhâna al-ladzî asrâ- hingga akhir ayat)
Ketahuilah bahwa surat ini berhubungan dengan (surat) sebelumnya yang
susunannya mempunyai arti sesuai. Sesungguhnya (ayat ini) menerangkan apa
yang terdapat dalam surat al-Hijr dan al-Nahl yang susunannya memberikan
pengertian tentang awal mula penciptaan makhluk hingga akhir sebuah penciptaan
dan dari penjelasan ciptaan hingga proses perwujudannya, dan itu semua adalah
yang terdapat dalam surat al-Hijr. Kemudian diulang kembali menurut urutannya
yaitu dimulai dari yang lebih tinggi hingga ke yang lebih rendah. Dan kemudian
menyebutnya melalui metode penengah dari kedua pembahasan di atas, yang
apabila dilihat dari susunannya agar menjadi penentu terhadap beberapa kejaiban-
keajaiban untuk diketahui melalui metode penengah ini.
Dan al-Jahir mengatakan bahwa sesungguhnya keadilan, kebaikan,
bersedekah dan sebagainya, merupakan hal yang menyebabkan hidup yang
berbahagia. Kemudian surat sebelumnya menyempurnakan dengan menyebut
Ibrahim dan hartanya dari kemuliaan dan sifatnya yang terpuji. Dan kami
berpendapat sesungguhnya ia disifati dengan empat puluh sifat yang telah berlalu
keterangannya dalam surat al-Baqarah yang menukil dari beberapa mufassir
tentang konsep yang menjadi sebuah pandangan, karakter untuk dipelajari, dan
keutamaan untuk menjadi pegangan, dan pengetahuan untuk dijaga, dan Allah
untuk disembah, manusia untuk menjadi penunjuk dan pengarah menuju jalan
yang lurus dan persatuan umat. Lalu menyebutkan Nabi Muhammad dengan
semua sifat-sifat terpujinya. Kemudian surat (al-Nahl) ini ditutup dengan
menjelaskan keadaan dakwah yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan
merendahkan selain Nabi Ibrahim, lalu Allah memerintahkan untuk patuh kepada
orang-orang pilihan Allah dan memberikan nasehat kepada orang awam dan
berdebat dengan orang yang ingkar. Semua itu terdapat dalam surat al-Nahl yang
akhir surat tersebut berbunyi: Inna Allah ma‟a al-ladzi al-Taqaw wa al-ladzina
hum muhsinun. Dan apabila para nabi itu orang-orang yang baik, lalu siapa lagi?.
Dan Allah mempredikatkan Nabi Saw. sebagai seutama-utamanya orang yang
baik, dan beliau bersama Allah, dan Allah bersamanya. Maka surat setelahnya
(yakni surat al-Isra‟) itu diawali dengan hal yang memberikan pengertian yang
sama, dan apakah itu bersifat jismiyyah atau ma‟nawiyah, yaitu ayat yang
berbunyi: Subhana alladzi asra bi‟abdihi.
Allah berfirman sesugguhnya Ibrahim dan Muhammad Alaihumâ al-Salâm
naik ke langit dan ke tempat yang sempurna dan mereka sampai ke tempat yang
belum pernah sama sekali dicapai oleh semua orang. Dan hal itu tidak
memberikan pernyataan bahwa mereka berdua dan beberapa nabi bertemu Allah
secara hakekat, karena sesungguhnya Allah menyanjung dan memprioritaskan
(mereka berdua) dari makhluk (yang lain). Bahwa sesungguhnya Allah
menjalankan hambanya di malam hari dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha
bukanlah sebagaimana arti kebersamaan (antara Allah dan Muhammad –Penj)
yang kalian ketahui. Kedekatan para nabi dan para auliya‟ merupakan kedekatan
mengenai hidayah, irsyad dan tingginya pengetahuan –untuk menjelaskan ayat-
ayat Allah- dan memperlihatkan keajaiban-keajaiban Allah. Kemudian lihatlah
pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari mengenai hal itu bahwa
Rasulullah Saw. suatu malam berjalan dari Masjid al-Ka‟bah, ada tiga orang yang
mendatangi beliau sebelum diwahyukan kepadanya tentang Isra‟, sementara itu
beliau dalam keadaan tidur di Masjid al-Haram. Kemudian pada suatu malam
yang lain mereka mendatangi beliau (lagi), dalam keadaan beliau melihat dengan
hatinya dan matanya tertidur sedangkan hatinya tidak tidur. Begitulah para Nabi,
mata mereka tidur dan hati mereka tidak tidur. Lalu mereka (tiga orang tadi -penj)
tidak berbicara apapun kepada beliau sehingga beliau bermimpi dan mereka
membawa beliau dan meletakkan beliau di sisi sumur Zamzam, dan beliau
mengetahui salah satu dari mereka adalah Jibril. Dan di sini diceritakan
bagaimana Jibril membelah antara sebelah atas dada hingga perut bagian bawah
sehingga dada dan perutnya kosong. Kemudian dengan tangan Jibril dibasuh
menggunakan air zamzam hingga bersih perutnya. Dan diceritakan juga tentang
bejana dari emas yang di dalamnya ada tempat dari emas yang berisi iman dan
hikmh, maka diisilah dada beliau dengannya. Kemudian beliau naik ke langitnya
dunia, dan disini diceritakan pertanyaan para penghuni langit kepada beliau, Jibril
mengatakan : Muhammad bersamaku, lalu mereka bertanya: Sudah diutuskah dia
(menjadi rasul)?, Jibril menjawab: Ya. Lalu mereka berkata: Selamat datang. Dan
diceritakan tentang pertemuannya di langit dunia dengan Nabi Adam, dan
sesungguhnya di sana terdapat dua sengai, dan Jibril berkata bahwa dua sungai itu
adalah sungai Nil dan Furat, Lalu Nabi melihat sebuah sungai lain yang di atasnya
terdapat istana dari mutiara dan zabarjad (batu permata), lalu beliau
menyentuhnya maka jadi harum, maka nabi bertanya kepada Jibril (tentang hal
ini), ia menjawab: ini adalah al-Kautsar yang mana tuhanmu menyembunyikannya
darimu. Dan sesungguhnya di langit dunia, di sebelah kanan Adam ada hitam-
hitam dan di sebelah kirinnya ada hitam-hitam, dan bila ia melihat sebelah
kanannya maka ia tertawa, dan bila ia meliahat sebelah kirinya maka ia menangis.
Lalu Jibril menjelaskan kepada Nabi bahwa hitam-hitam yang ada di sebelah
kanan dan kirinya adalah anak cucunya, dan di sebelah kanan adalah penghuni
surge, di sebelah kiri adalah penghuni neraka. Kemudian di langit kedua bertemu
dengan Yahya dan Isa, mereka berdua adalah anak-paman, maka nabi
mengucpkan salam kepda mereka berdua dan mereka membalas dan
mengucapkan selamat datang. Dan di langit ketiga beliau bertemu dengan Yusuf.
Dan di langit ke empat bertemu dengan Idris. Dan di langit ke lima bertemu
dengan Harun. Dan di langit ke enam bertemu dengan Musa, dan ia sedang
menangis. Maka nabi bertanya, dan Musa menjawab : Saya menangis karena
seseorang diutus setelahku dan ia bersama umatnya masuk surga lebih banyak
daripada umatku yang masuk surga. Dan di langit ke tujuh beliau bertemu dengan
Ibrahim. Kemudian beliau naik ke Sidratul Muntaha maka nampaklah tiang-tiang
indah dan dedaunan yang lebar seperti telinga gajah. Kemudian Jibril berkata:
inilah Sidratul Muntaha. Maka ketika nabi melihat empat sungai, dua sungai
terlihat samar dan dua sungai terlihat jelas, lalu Jibril menjelaskan kepada beliau
bahwa dua sungai yang jelas adalah sungai Nil dan Furat, dan dua nilai yang
samar adalah dua sungai di surga. Kemudian beliau naik ke Bait al-Ma‟mur, dan
didatangkan kepadanya sebuah tempat berisi khamr, susu dan madu, maka aku
mengambil susu. Lalu Jibril berkata: itu adalah fitrah, kamu dan umatmu berada
di atas fitrah. Dan di sini diceritakan mengenai permasalahan shalat, dan telah ada
pada riwayat Muslim tentang sifat Bait al-Ma‟mur sesungguhnya setiap hari ada
tujuh puluh ribu malaikat yang memasukinya. Dan mengenai sifat Sidratul
Muntaha adalah perkara yang mana Allah menutupinya dan tidak seorang pun
dari makhluk-Nya yang dapat menceritakan sifatnya dengan baik. Dan Sidratul
Muntaha ini disebut sebagai isim karena pengetahuan para malaikat berhenti
mengenainya.
Dan telah ada beberapa riwayat lain, sesungguhnya Rasulullah Saw.
bersabda : Para Nabi-Semoga rahmat dan salam atas mereka- mempercontohkan
(solat) kepadaku, lalu aku shalat bersama mereka, kemudian nabi keluar ke
Masjidil Haram dan mengabarkannya kepada kaum Quraisy, maka terkejutlah
mereka dan orang-orang yang beriman murtad, kemudian beberapa orang
mendatangi Abu Bakar, lalu Abu Bakar berkata: Kalau nabi mengatakan demikian
maka itu benar, orang-orang tersebut bertanya: apakah kamu membenarkan nabi
akan hal itu?, Abu Bakar menjawab: Ya, aku membenarkannya. Maka dari itulah
Abu Bakar mendapat gelar al-Shiddiq (orang yang percaya). Dan ada seseorang
pada suatu kaum yang pernah datang ke Masjid al-Aqsha, kemudian mereka
bertanya kepada Nabi Saw.: Apakah kamu dapat menceritakan sifat-sifat Masjid
al-Aqsha kepada kami. Maka aku menceritakan sifat-sifat masjid itu. Dan Nabi
melihat Masjid al-Aqsha seakan-akan masjid itu diletakkan di seberang rumah
Aqil. Kemudian kaum tersebut berkata: Sungguh ceritamu kamu benar. Kemudian
kaum tersebut bertanya kepada Nabi Saw. tentang kafilah-kafilah mereka. Nabi
menjawab: Saya telah melewati kafilah bani Fulan, dan mereka kehilangan seekor
unta yang sedng mereka cari. Dan pada pelana mereka ada segelas air. Saya
kehausan. Maka saya ambil air itu dan saya minum kemudian saya letakkan lagi
di tempat semula. Tanyakanlah kepada mereka apakah mereka menemukan air itu
nanti bila mereka pulang. Kemudian nabi juga berkata: Saya juga melewati
kafilah bani fuln dan fulan dan fulan yang sedang duduk di atas kendaraannya.
Ketika seekor unta lari menghindariku, maka patahlah unta itu. Tanyakanlah hal
itu kepada kafilah tersebut. Nabi Saw juga berkata: mereka akan datang di awali
dengan seekor unta coklat tua, di atasnya ada permadani hitam dan dua karung
hitam, mereka akan tiba pada saat terbit matahari. Maka keluarlah mereka untuk
menyaksikan berita dari Nabi. Akhirnya datanglah kafilah itu didahului oleh unta
yang dikatakan oleh nabi tadi. Kemudian mereka berkata: Ini adalah sihir.
Kemudian diceritakan pula tentang para Nabi dalm keadaan shalat,
diceritakan bahwa Nabi Musa seperti laki-laki suku Sanu‟ah, dan Nabi Isa seperti
Urwah bin Mas‟ud al-Tsaqafi, dan Nabi Ibrahim yang mirip dengan Nabi Saw.
sendiri. Kemudian a berkata bahwa ia melihat Malaikat penjaga neraka.. Dan
adapun shalat nabi Saw bersama para nabi itu terjadi di Bait al-Muqaddas.
Kemudian diceritakan juga tentang bahwa sesungguhnya Buraqlebih rendah
daripada bughal dan lebih tinggi daripada keledai, ia meletakkan langkahnya pada
pandangannya yang paling jauh. Aku ditunggangkan di atasnya. Lalu kami
berangkat hingga ke langit.
Dan apakah itu semua terjadi sebelum tahun Hijrah?. Dan apakah itu
terjadi dalam keadaan tidur atau terjaga?. Dengan ruhnya atau jasadnya?. Dan
mayoritas berpendapat bahwa beliau isra‟ dengan jasadnya hingga sampai ke Bait
al-Muqaddas, lalu naik ke langit hingga berhenti di Sidrat al-Muntaha. Dalam
surat ini tidak disebutkan mengenai naiknya ke langit, namun hanya menyebutkan
mengenai isra saja hingga ke Masjid al-Aqsha. Adapun mengenai Mi‟râj tidak
disebutkan kecuali dalam hadis.
(Mendudukkan Permasalahan)
Sesungguhnya perkara-perkara ghoib ini tidak boleh kita pahami hanya
sebatas mengandalkan akal pikiran kita, karena akal manusia terlalu sempit untuk
mengetahuinya. Lalu bagaimana cara kita memahami Mu'jizat kenabian tersebut
(Isra‟ dan Mi„râj), Allah Swt berfirman: اق ف ف آ ا همآ وف أوآفس ىرهمآ ا س آاتى (akan
Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kebesaran Kami di segenap
penjuru dan pada diri mereka sendiri).
Maka ada baiknya kita simak penjelasan para ulama' ahli ruh berikut ini:
“Sesungguhnya jasad manusia itu tersusun dengan ruhnya, dan setiap jasad
terdapat didalamnya jasad lain semisalnya yaitu nurani atsiry (other material),
jasad ini sangat selaras dengan jasad lahiriyah kita. Maka jika manusia terlepas
dari jasad ini, baik melalui kematian, riyadloh atau melalui cara buatan lainnya,
dia akan melihat dalam dirinya sesuatu seperti dirinya, tidak ada perbedaan antara
dua jasad tersebut. Para ulama banyak menulis kitab-kitab untuk menjelaskan
masalah ini, sampai-sampai sebagian dari mereka berkata: Manusia sesudah
kematian, dia mengira dirinya masih hidup dan dia tidak tahu bahwa dirinya
sudah mati, kemudian dia akan sadar setelah dijelaskan kesalahanya ".
Berikut ini kisah Oliver Loudg, dan anaknya Raymond yang meninggal
dalam perang Jerman, dia berkata kepada bapaknya: “Wahai bapakku!
Sesungguhnya jasad kami disini (barzah) seperti jasad kalian, anggota tubuh kita
juga sempurna (seperti kalian) tetapi ini adalah jasad di alam lembut (barzah),
kami melihat jasad disini seperti jasad di alam kalian.
Jika anda memahami hal ini, maka tidak ada bedanya apakah Isra‟ dan
Mi„râj itu dengan jasad lahiriyah atau dengan jasad atsiry yang lembut (ruh), hal
itu bukanlah mustahil, karena keduanya berada dalam kekuasaan Allah.
Adapun jasad lahiriyah, maka pergerakan bintang-bintang menampakkan
keajaibannya dalam kecepatan perjalanannya, sebagaimana yang anda ketahui
dalam tafsir yg lalu. Begitupun jika kita katakan bahwa Isra‟ dan Mi„râj itu
dengan jasad barzakhy (ruh), maka itu bukan sesuatu yang aneh. Jasad ini akan
berjalan lebih cepat dari kedipan mata bahkan seperti kilauan kilat menuju ke
penghujung alam. Dan alam barzakh ini disebut ulama kita sebagai 'âlam al-
mitsâl, sebagaimana yg dikatakan oleh Plato, ini adalah alam yang ditampakkan
didalamnya bahwa para nabi shalat bersama Rasulullah SAW dan beliau melihat
mereka di atas langit sesuai dengan tingkatan kedudukan mereka.
Jika dalam mimpi saja manusia bisa melihat perkara yg seharusnya
memakan waktu bertahun-tahun hanya dalam satu detik saja, maka bagaimana
dengan alam barzakh yg akan jelas hakekatnya bagi orang yang mengalaminya.
Dan disana akan ditampakkan kepada Rasulullah SAW Nabi Adam, Isa, Idris,
Harun, Musa dan Ibrahim, beliau adalah orang paling mirip dengan rasulullah.
Bukankah anda melihat bahwa penyebutan kemiripan Nabi Ibrahim dengan
rasulullah itu sangat sesuai dengan penyebutan yang terdapat di akhir surat al-
Nahl, bahwa rasulullah SAW diperintahkan untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim,
maka dari itu beliau melihat Nabi Ibrahim di langit yang ketujuh bahwa beliau
mirip dengannya.
Kalau kita katakan bahwa Isra‟ dan Mi„râj itu dengan jasad barzakhy maka
pendapat-pendapat yang berseberangan dalam hal ini akan mengerucut menjadi
satu. Jika Sayyidah Aisyah berkata bahwa nabi di-Isra‟ Mi„râj-kan dengan ruhnya
saja, kita katakan beliau benar, karena kondisi ini bukanlah jasadiyah (lahiriyah)
secara mutlak. Dan jika selain beliau berkata bahwa nabi di-Isra‟ Mi„râj-kan
dengan jasadnya, kita katakan juga : Ya anda benar, karena menurut ahli ruh tidak
ada perbedaan antara jasad barzakhyah dan jasad lahiriyyah, karena jasad
barzakhyah adalah jembatan antara alam arwah dan alam lahiriyyah. Maka
barangsiapa berkata bahwa nabi Isra‟' dengan ruhnya saja berarti dia mendekati
hakekat kebenaran, dan barangsiapa berkata bahwa nabi Isra' dengan jasadnya
maka dia juga mendekati hakekat kebenaran, karena ini (ruh) adalah kondisi
pertengahan yang mana kecepatanya seperti kecepatan mimpi, dan gambarannya
menyerupahi gambaran jasad lahiriyah, ia akan terbang lebih cepat dari pada kilat
bahkan kecepatanya seperti kecepatan lintasan pikiran, bukankah anda melihat
bahwa seseorang dalam kamarnya berada di timur dengan lintasan pikirannya
kemudian berpindah ke barat lebih cepat dari kedipan mata, keadaan ini seperti
keadaan yang biasa terjadi di alam ruh sana.
Para ahli ruh berkata: sesungguhnya ruh itu berada di belakang jasad
barzakhy, bahkan mereka membagi tingkatan jasad itu menjadi tujuh dan ruh
berada di belakang semua itu.
Sesungguhnya saya sebutkan semua ini untuk membuka pintu analisa bagi
orang-orng yang mempunyai jiwa yang mulia sesudah kita supaya mereka mau
berfikir dan mengetahui hakekat diri mereka.
(Apa Tujuan dari Peristiwa Isrâ’ Bagi Kita)
Hendaklah manusia mengetahui bahwa Allah tidaklah menurunkan kisah
Isra‟ dalam al-Qur'an hanya sebatas untuk dibaca atau hanya untuk mengetahui
kondisi rasulullah semata. Akan tetapi Allah menginginkan dari kita agar kita
mengikuti agama dan syariatnya, supaya kita ikhlas dan berdakwah kepada
manusia sebagaimana dakwah Rasulullah SAW –yang mana Allah Swt berfirman
kepadanya: ىدا م ا محآ ك مقام Semoga tuhanmu memberikan kedudukan- عسى أنآ بآعثك رب
yang mulia kepadamu,- Allah berfirman dipertengahan surat al-Isra‟ dan
memerintahkan kepada beliau untuk bertahajjud agar meraih kedudukan tersebut,
dan di awal dikisahkan bahwa beliau di-Isra‟-kan, kemudian di akhir disebutkan
bahwa beliau mendapatkan kedudukan yang mulia tersebut dengan tahajjud.
Dan disebutkan pula bahwa ruh adalah urusan tuhan dan kita tidak diberi
pengetahuan dalam hal ini kecuali sedikit, hal ini menunjukkan bahwa masalah
ruh berada diluar pengetahuan kita, tetapi telah datang firnan Allah Swt yang lain
di surat Thoha: ا علآم و لآ رب زدآ Dan katakanlah: (wahai) tuhan tambahkanlah- وق
kepadaku ilmu pengetahuan- maka ini adalah tambahan (pengetahuan) yang
dimohonkan. Maka kita tidak akan diam dalam satu batasan saja agar kita tidak
menjadi orang yang taklid, bahkan kita harus semkin giat dalam mengkaji dan
menganalisa, karena Allah berfirman: ال ال قل آم إ ه الآعل تمآ م ا أوت Dan kalian tidak- وم
diberi pengetahuan dalam hal ini kecuali sedikit.
Maka wajib bagi kita untuk membersihkan jiwa kita dan memberikan
petunjuk kepada manusia dari kegelapan agar jiwa kita menjadi tinggi. Jika
rasulullah di-Isra‟-kan, bukan berarti supaya kita juga di-Isra‟-kan, akan tetapi
maksud dari semua itu agar jiwa kita tinggi, agar Allah juga merperlihatkan
kepada kita tanda-tanda kebesarannya.
Maksud dari pembahasan ini di dalam al-Qur'an adalah untuk membuka
pintu pemikiran kita tentang alam arwah supaya kita memahami bagaimana cara
kita membersihkan jiwa kita dan menjadikan jiwa kita di ufuk yang paling
tinggi. Dan hal itu tidak akan terwujud, kalau kita tidak mengerti hakikatnya dan
tidak mncari ilmunya yang mana dengan ilmu itu kita akan mencium aroma
arwah.
Ilmu tentang arwah ini telah tersebar di seluruh penjuru Eropa, ilmu ini
tidak ada bedanya dengan ilmu yang kita warisi dari para pendahulu kita.
Sesungguhnya seluruh arwah manusia berada di tempat yang tinggi, dan dengan
cara-cara tertentu manusia nantinya kan melihat hakekat semua ini – هآ هدي م وهللا
ستقم صراط م لى شاء إ -Dan Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia
kehendaki ke jalan yang lurus.–
Selaras dengan pembahasan kita ini, riwayat dari Imam Bukhari dalam bab
ta'bir mimpi, meskipun tidak menyebutkan tentang malam Isra‟ tetapi didalamnya
terdapat ilmu yang berharga yang tidak diketahui kecuali oleh para peneliti yang
cermat. Rasulullah diperlihatkan alam barzakh dalam mimpinya dengan gambaran
yang nyata, sampai-sampai para ahli filsafat terdahulu menghabiskan umurnya
dalam memikirkannya, seperti Qabs seorang filosof Yunani yang telah kita
sebutkan perkataannya dalam surat al-Baqarah.
Adapun Rasulullah SAW, beliau yang tidak bisa membaca dan menulis
telah melihat gambaran-gambaran yang menakjubkan, beliau ditampakkan
permisalan kejelekan dan kemuliaan yang mana itu menunjukkan bukti-bukti
kenabiannya, pada malan Mi„râj beliau juga melihat Adam tertawa kemudian
menangis.
Hal itu sebagaimana yang diriwayatkan al-Bukhari dari Samuroh bin
Jundab Ra. dia berkata: “Rasulullah SAW sering berkata kepada para sahabatnya:
Apakah salah satu diantara kalian ada yg bermimpi?. Kemudian diceritakan
kepada beliau sebuah mimpi. Setelah itu Rasulullah SAW berkata kepada kami:
Tadi malam aku didatangi dua orang laki-laki kemudian mereka membangkitkan
diriku, dan berkata kepadaku: Berangkatlah (pergilah), maka aku pergi bersama
mereka, kemudian kami menjumpai seorang laki-laki berbaring dan diatasnya ada
seseorang dengan membawa batu besar kemudian batu besar itu ditimpakan diatas
kepala orang berbaring tadi sampai kepalanya terbelah…… kemudian kepala
orang itu kembali seperti semula, lalu orang yang berdiri tadi melakukan hal yang
sama kepadanya, kemudian nabi berkata kepada dua orang yang membawanya:
Subhanallah ada apa dengan dua orang ini, lalu mereka berkata: Pergilah
pergilah!, kemudian kami pergi, lalu kami menjumpai seseorang yang terlentang
diatas tengkuknya, dan berdiri di atasnya seorang laki-laki dengan membawa besi
bengkok, kemudian dia mendatangi salah satu bagian wajahnya lalu memotong
sudut mulutnya hingga ke tengkuknya, dan memotong sudut hidungnya hingga ke
tengkuknya, dalam riwayat lain disebutkan kemudian dia membelahnya,
kemudian dia pindah ke sisi wajahnya yan lain dan melakukan hal yang serupa,
kemudian wajahnya kembali seperti semula dan orang tadi melakukan hal yang
serupa pula, lalu aku (nabi) berkata: Subhanallah ada apa dengan dua orang ini?.
Dua orang yang membawaku berkata: Pergilah pergilah!, kemudian kami pergi,
lalu kami menjumpai perapian dan di dalamnya ada suara gaduh setelah kita amati
ternyata di dalamnya ada laki-laki dan wanita-wanita yang telanjang, kemudian
datanglah kobaran api dari arah bawah menghampiri mereka, sehingga mereka
berteriak keras, lalu aku (nabi) berkata: Ada apa dengan mereka ini? Dua orang
yang membawa beliau berkata: Pergilah pergilah!, kemudian kami pergi, lalu
kami menjumpai sungai merah seperti darah dan didalamnya ada orang yang
berenang kemudian di tepi sungai ada laki-laki yang membawa batu yang banyak.
Dan tatkala orang itu berenang menghampirinya, maka dibukalah mulutnya dan
dimasukkan batu-batu itu kedalamnya, kemudian orang itu berenang lagi, dan
setiap orang itu berenang menghampirinya, maka dibukalah mulutnya dan
dimasukkan batu-batu itu ke dalamnya, lalu aku (nabi) berkata: Ada apa dengan
dua orang ini? Dua orang yang membawa beliau berkata: Pergilah pergilah!,
kemudian kami pergi, lalu kami menjumpai seorang laki-laki yang jelek dan ia
menyalakan api yang ada disampingnya, lalu aku (nabi) berkata: Ada apa dengan
orang ini? Dua orang yang membawa beliau berkata: Pergilah pergilah!,
kemudian kami pergi, lalu kami menjumpai sebuah taman yang didalamnya ada
cahaya yang bersemi di sekitarnya, dan di tengah taman itu ada seorang laki-laki
yang tinggi, aku hampir tidak bisa melihat kepalanya yang ada di langit, dan di
sekitar laki-laki itu ada banyak anak-anak kecil yang belum pernah aku
menyaksikan semisalnya, lalu aku (nabi) berkata: Ada apa dengan orang ini? dan
ada apa dengan anak-anak kecil ini? Dua orang yang membawa beliau berkata:
Pergilah pergilah!, kemudian kami pergi, lalu kami menjumpai sebuah taman
yang luas, belum pernah aku melihat taman seluas dan seindah itu, kemudian dua
orang yang membawaku berkata: Naiklah! Maka kami naik di dalamnya,
kemudian kita menjumpai kota yng dibangun dengan batu bata emas dan perak,
kemudian kami mendatangi gerbang kota, kami meminta dibukakan pintu,
kemudian pintu dibuka dan kami menjumpai orang-orang yang mukanya bagus
setengah dan jelek setengah, kemudian dua orang yang membawaku berkata
kepada mereka: Pergilah dan terjunlah ke sungai itu!, ternyata sungai itu panjang
mengalir dan airnya sangat putih, kemdian mereka terjun ke sungai itu, setelah itu
mereka kembali kepada kmi dalam keadaan sebagus-bagusnya rupa dan telah
hilang kejelekan dari mereka, kemudian dua orang yang membawaku berkata
kepadaku ini adalah surga Aden, dan itu adalah rumahmu, kemudian aku lihat ke
atas, dan aku dapati istana seperti awan putih, kemudian dua orang yang
membawaku berkata kepadaku ini adalah rumahmu, lalu aku berkata kepada
mereka: Semoga Allah memberkahi anda berdua, tolong biarkan aku
memasukinya! Mereka berkata: Bukan sekarang waktunya, lalu aku berkata
kepada mereka: Sungguh aku melihat dari tadi malam hal-hal yang menakjubkan,
apa maksud dari semua yang aku lihat ini?. Mereka berkata: Sekarang sudah
saatnya kami beritahukan kepadamu. Adapun orang pertama yang dipecahkan
kepalanya ia adalah orang yang mengerti al-Qur'an tapi menolaknya dan dia tidur
(lalai) dari sholat wajib. Adapun orang yang dipotong sudut mulutnya hingga ke
tengkuknya, dan dipotong sudut hidungnya hingga ke tengkuknya dan matanya, ia
adalah orang yang keluar dari rumahnya dan suka menyebarkan kebohongan.
Adapun laki-laki dan wanita-wanita yang telanjang mereka adalah para pezina.
Adapun orang yang berenang di sungai yang dibuka mulutnya dan dimasukkan
batu-batu kedalamnya, dia adalah pemakan harta riba. Adapun seorang laki-laki
yang jelek dan ia menyalakan api yang ada disampingnya, dia adalah Malik
penjaga neraka. Adapun seorang laki-laki yang tinggi di tengah taman itu adalah
Ibrahim alaihissalam. Adapun anak-anak kecil yang ada di sekitarnya, mereka
adalah anak kecil yang mati dalam fitrah, kemudian sebagian sahabat bertanya:
Ya Rasulullah apakah anak-anak kaum musyrikin juga termasuk? Beliau
menjawab: Ya. Adapun orang-orang yang mukanya bagus setengah dan jelek
setengah, mereka adalah orang-orang yang mencampur amal kebajikan dengan
amal kejelekan dan Allah mengampuni mereka”.