istighfar dan taubat dalam al-qur’an (studi...

110
ISTIGHFAR DAN TAUBAT DALAM AL-QUR’AN (Studi Penafsiran Al-Alûsî) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Muhammad Irwan Fadli NIM 11140340000277 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2019 M

Upload: others

Post on 28-Jan-2020

35 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • ISTIGHFAR DAN TAUBAT DALAM AL-QUR’AN (Studi Penafsiran Al-Alûsî)

    SKRIPSI

    Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

    Untuk Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

    Oleh: Muhammad Irwan Fadli

    NIM 11140340000277

    PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

    FAKULTAS USHULUDDIN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

    HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1441 H/2019 M

  • ABSTRAK

    Muhammad Irwan Fadli. Nim : 11140340000277. Istighfar Dan Taubat Dalam Al-Qur’an (Studi Penafsiran Al-Alûsî)

    Di dalam al-Qur’an Allah SWT banyak menyebutkan lafaz istighfar dan taubat baik tersendiri maupun dalam satu ayat. Istighfar dan taubat yang disebutkan tersendiri memiliki makna yang sama. Adapun istighfar disebutkan bersamaan memiliki makna yang berbeda tetapi memiliki satu tujuan. Hal ini sama seperti lafaz mukmin dan muslim atau fakir dan miskin. Dengan ini, penulis akan mengkaji ayat lafaz istighfar yang bersamaan dengan lafaz taubat. Supaya dapat mengetahui makna masing-masing dan tujuan dari keduanya.

    Terkait metode penelitian penulis ini termasuk dalam kategori kepustakaan (library research). Pendekatannya menggunakan pendekatan Tahlîlî (analisis) yakni dengan pengumpulan data dan mengadakan studi penelaahnya terhadap buku-buku dan literatur-literatur yang ada sehingga memperoleh data-data yang berhubungan dengan masalah yang akan dipecahkan.

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka diperoleh beberapa hasil yaitu Istighfar dan taubat dalam empat ayat yang telaah dikaji memiliki perbedaan makna satu dengan yang lainnya. Istighfar diartikan meminta ampun atas dosa-dosa yang telah dikerjakan, atau diartikan memohon ampun atas dasar keimanannya. Sedangkan taubat diartikan menyesal dan kembali agar tidak mengulangi dosa yang dilakukan, atau diartikan tawassul, yakni mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bentuk Isyari dari penafsiran ayat ini tidak terdapat dalam penafsirannya. Kata Kunci : Taubat, Istighfar, Tahlîlî, Al-Alûsî

    i

  • KATA PENGANTAR

    Assalamu’alaikum Wr.Wb

    Puji syukur kehadirat Allah SWT. penulis panjatkan atas

    segala rahmat, karunia, taufiq, dan hidayat-Nya yang tidak

    mampu dihitung oleh hamba-Nya, sehingga penulis dapat

    menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu

    tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, rasul pilihan

    yang membawa cahaya penerang dengan ilmu pengetahuan.

    Semoga untaian doa tetap tercurahkan kepada keluarga, sahabat

    serta seluruh pengikutnya sampai akhir zaman.

    Alhamdulillâh, penulis bersyukur dapat menyelesaikan

    skripsi ini melalui upaya dan usaha selama menyusun skripsi ini.

    Meskipun dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan

    dan kelemahan, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT

    semata.

    Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa

    terselesaikan skripsi ini tidaklah semata atas usaha sendiri, namun

    berkat bantuan motivasi dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk

    itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

    1. Ibu Prof. Dr. Hj Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, MA,

    selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah

    memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh

    studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.Bapak Dr. Yusuf

    Rahman, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    ii

  • iii

    2. Bapak Dr, Eva Nugraha, M.Ag selaku ketua jurusan dan

    bapak Fahrizal Mahdi, Lc, MIRKH selaku sekretaris

    jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis berterima kasih,

    karena beliau telah membantu dan memberikan kesempatan

    kepada penulis melanjutkan studi S1. Semoga Allah SWT

    selalu memberikan kemudahan dari setiap langkah beliau.

    3. Bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA, yang telah bersedia

    meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan

    arahan untuk segera terselesaikannya skripsi ini. Semoga

    bapak dan keluarga sehat selalu, panjang umur, dan murah

    rejeki.

    4. Bapak Ustadz Ahmad Rifqi Muchtar, MA, selaku

    pembimbing akademik yang telah memberi saran dan

    masukan penulis selama perkuliahan S1 di UIN Jakarta.

    5. Segenap seluruh dosen program Ilmu al-Qur’an dan Tafsir,

    penulis mengucapkan banyak terima kasih karena telah

    sabar dan ikhlas mendidik serta banyak memberikan

    berbagai macam ilmu kepada penulis. Semoga ilmu yang

    penulis dapatkan bermanfaat dunia dan akhirat.

    6. Segenap kepala dan staff karyawan serta staff Perpustakaan

    Fakultas Ushuluddin dan karyawan Perpustakaan Umum

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Serta staff perpustakaan

    Iman Jama’, Perpustakaan Daerah Jakarta Selatan. Penulis

    mengucapkan terima kasih banyak atas pelayanan pustaka

    dalam penulisan skripsi ini.

  • iv

    7. Teruntuk orang tuaku ayahanda Hadi Marwan dan ibunda

    Mardiyah yang selalu memberikan arahan dan dukungan

    baik berupa moril maupun materil serta doa yang tiada

    henti dari keduanya. Sehingga penulis dapat melanjutkan

    pendidikan ke jenjang perkuliahan sampai lulus. Kepada

    adik penulis yang bernama Pandji Mulawarman dan Imam

    Bukhori, kepada kakak sebapak penulis yang bernama

    Kakak Nur beserta suaminya, Kak Yani beserta suaminya,

    Abang Yanto beserta istrinya yang selalu membantu

    penulis. Semoga Allah SWT selalu meridhoi setiap

    langkahnya dan selalu melimpahkan Raḥmān dan Raḥīm-

    Nya kepada mereka. Āmīn Yā Rabbal’ālamīn.

    8. Ust Aan yang telah meluangkan waktu untuk membantu

    penulis dalam menulis karya ilmiah ini. Semoga ust Aan

    dan keluarga selalu diberikan kesehatan dan keberkahan.

    9. Keluarga besar alm H. Abdul Karim dan Hj. Masnah. Saya

    mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas

    suport dan motivasinya. Terutama kepada Ibu Hj. Diana

    Fitria dan alm Ust H. Ahmad Syarif S,Pdi. Serta kaka dari

    Ibu Diana yaitu Ibu Lisma dan suami.

    10. Kawan-kawan penulis Adib, Mae, Tantri, Achi, Riha, Dwi,

    Eva dan kawan-kawan Th G 2014,

    11. Kawan-kawan diskusi Azam, Chaidir, Rifqi, Imam

    Hudhori, Arif, Asywar, Syafi’i dll

    12. Keluarga besar MSPP (Majelis Silaturrahmi Pemuda-

    Pemudi Pancoran)

  • v

    13. Kawan-kawan penyemangat dalam penulis menyusun

    Skripsi; Ira, Tata, Laila, Anzah, dll

    14. Kawan-kawan ngopi (ngobrol pencari inspirasi) Syehu,

    Raja, Apri, Faikar, Adan, Kanzul, Fikry, Ali, Burhan, Anas,

    Amin, Mirza, Agung, Mbot, Iqbal, Elgi, Imam N, Roi, dll

    15. Kawan-kawan jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan

    2014 yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang rela

    berbagi ilmu, tawa, canda serta support kepada penulis.

    Peneliti menyadari bahwa keilmuan dan wawasan peneliti

    masih sedikit, bilamana tulisan ini masih terdapat kekeliruan

    mohon dimaafkan. Akan tetapi peneliti sudah berusaha

    semaksimal mungkin dengan kemampuan yang ada untuk

    menyelesaikan skripsi ini.

    Peneliti berharap tulisan ini bisa bermanfaat dan

    memberikan motivasi kepada para pembaca, serta memberikan

    kontribusi yang signifikan bagi penelitian selanjutnya.

    Wasalamu’alaikum Wr.Wb.

    Jakarta, 14 Agustus 2019

    Penulis

    Muhammad Irwan Fadli

  • PEDOMAN TRANSLITERASI

    Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini

    berpedoman pada buku “Pedoman Penullisan Kaya Ilmiah

    (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang diterbitkan oleh Tim

    CeQDA (Center For Quality Development dan Assurance) UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

    A. Konsonan HURUF

    ARAB NAMA

    HURUF

    LATIN KETERANGAN

    alif - Tidak dilambangkan ا

    ba’ b Be ب

    ta’ t Te ت

    tsa’ ts Te dan Es ث

    jim j Je ج

    Ḥa’ ḥ حHa dengan titik di

    bawah

    kha’ kh Ka dan Ha خ

    dal d De د

    dzal dz De dan Zet ذ

    ra’ r Er ر

    vi

  • vii

    zai z Zet ز

    sin s Es س

    syin sy Es dan Ye ش

    Ṣad ṣ صEs dengan titik di

    bawah

    Ḍad ḍ ضDe dengan titik di

    bawah

    Ṭa ṭ طTe dengan titik di

    bawah

    Ẓa ẓ ظZet dengan titik di

    bawah

    ‘ ain‘ عKoma terbalik hadap

    kanan

    ghain gh Ge dan Ha غ

    fa f Ef ف

    qaf q Ki ق

    kaf k Ka ك

    lam l El ل

    mim m Em م

  • viii

    nun n En ن

    wau w We و

    ha’ h Ha ه

    hamzah ` Apstrof ء

    ya’ y Ye ي

    B. Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia,

    terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau

    diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah

    sebagai berikut:

    1. Vokal Tunggal

    Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

    َ A Fatḥah ا

    I Kasraḥ اِ

    ُ U Ḍammah ا

  • ix

    2. Vokal Rangkap

    Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

    ai a dan i َىي

    au a dan u َىو

    3. Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam

    bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

    Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

    â a dengan topi di atas َبا

    î i dengan topi di atas ِ�ي

    û u dengan topi di atas ُبو

    4. Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab

    dilambangkan dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf

    /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf kamariah. Contoh:

    al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.

    5. Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab

    dilambangkan dengan sebuah tanda ( ّ◌ ) dalam alih aksara ini

    dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf

  • x

    yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku

    jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

    sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata

    ,tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah ( الضرورة )

    demikian seterusnya.

    6. Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah

    terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut

    dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal

    yang sama juga berlaku jika tamarbûtah tersebut diikuti oleh kata

    sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah

    tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut

    dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

    No Kata Arab Alih Aksara

    Tarîqah طر�قة 1

    al-jâmî’ah al-islâmiyyah �سالمیة ا�جامعة 2

    wahdat al-wujûd الوجود وحدة 3

    7. Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak

    dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga

    digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam

    Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan

    permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama

  • xi

    diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang,

    maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri

    tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû

    Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan

    Al-Kindi.

    Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat

    diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai

    huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut

    EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian

    halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

    Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh

    yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak

    dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab.

    Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad

    al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

    8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun

    huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa

    contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab,

    dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

    Kata Arab Alih Aksara

    ُْسَتاذ

    َُھَب �

    َ dzahaba al-ustâdzu ذ

    ْجُر ََبَت �

    َ tsabata al-ajru ث

    ة ة الَعْصِر�ََّ

    حَركَ

    al-harakah al-‘asriyyah ا�

    ة اِھر الَعْقِلیََّ al-mazâhir al-‘aqliyyah املظ

  • xii

    Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama

    diri mereka. Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli

    orang Arab tidak perlu dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish

    Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd; Mohamad Roem, bukan

    Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahmân.

  • DAFTAR ISI

    ABSTRAK .......................................................................... i KATA PENGANTAR ......................................................... ii PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................... vi DAFTAR ISI ...................................................................... xiii

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah .................................... 1 B. Identifikasi, Batasan Dan Rumusan Masalah .... 5 C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ......................... 7 D. Tinjauan Pustaka ................................................. 8 E. Metode Penelitian .............................................. 12 F. Sistematika Penulisan ........................................ 14

    BAB II AL-ALÛSI AL-BAGHDADÎ DAN KITAB TAFSIR RÛH AL-MA’ÂNÎ

    A. Biografi al-Alûsi 1. Seputar Kehidupan al-Alûsi .............................. 16 2. Karya – Karya al-Alûsi ...................................... 19

    B. Profil Kitab Tafsir Rûh Al-Ma’ânî 1. Historis Kitab Tafsir Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’an

    al-‘Azîm wa Sab’u al-Matsânî .......................... 20 2. Sumber Dan Metode Penafsiran Kitab Rûh al-Ma’ânî

    ............................................................................ 23 3. Corak Dan Sistematika Penafsiran Kitab Rûh al-

    Ma’ânî................................................................ 25

    BAB III ISTIGHFAR DAN TAUBAT

    A. Istighfar 1. Pengertian Istighfar .......................................... 32 2. Syarat – Syarat Dan Macam-Macam Istighfar

    .......................................................................... 34 3. Tujuan Dan Manfaat Beristighfar ................... 38 4. Contoh Ayat Istighfar Dalam al-Qur’an ......... 43

    xiii

  • xiv

    B. Taubat 1. Pengertian Taubat ............................................ 47 2. Syarat – Syarat Dan Macam-Macam Taubat

    .......................................................................... 51 3. Tujuan dan Manfaat Bertaubat ........................ 55 4. Contoh Ayat Taubat Dalam al-Qur’an ............ 58

    BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN AL-ALÛSI TERHADAP LAFAZ ISTIGHFAR YANG DISEBUTKAN BERSAMAAN DENGAN LAFAZ TAUBAT DALAM SURAH HUD

    A. Penafsiran Al-Alûsi Dalam Tafsir Rûh Al-Ma’ânî QS. Hûd [11]: 3 ......................................................... 64

    B. Penafsiran Al-Alûsi Dalam Tafsir Rûh Al-Ma’ânî QS. Hûd [11]: 52 ....................................................... 72

    C. Penafsiran Al-Alûsi Dalam Tafsir Rûh Al-Ma’ânî QS. Hûd [11]: 61 ........................................................ 76

    D. Penafsiran Al-Alûsi Dalam Tafsir Rûh Al-Ma’ânî QS. Hûd [11]: 90 ........................................................ 82

    E. Hikmah Istighfar dan Taubat .............................. 84

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ...................................................... 85 B. Saran-Saran ....................................................... 85

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................ 87

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah Al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT yang diturunkan

    kepada Nabi Muḥammad SAW, ditulis dalam bentuk mushaf,

    diriwayatkan secara mutawatir, bagi yang membacanya termasuk

    ibadah dan surat terpendeknya memiliki kemuliaan yang lebih

    tinggi daripada seluruh isinya.1 Al-Qur’an di dalamnya memuat

    ajaran moral, sosial, budaya, dan peradaban manusia secara

    universal. Ia diyakini tidak akan pernah hilang seiring dengan

    zaman. Perkembangan al-Qur’an selalu dinamis. Hal ini terbukti

    munculnya karya-karya tafsir, dari klasik hingga kontemporer.

    Dengan berbagai corak, metode dan pendekatan yang digunakan

    oleh masing-masing mufassir.2

    Dalam kehidupan di dunia yang tidak kekal ini. Manusia

    tidak pernah luput dalam melakukan larangan dari Allah SWT.

    Larangan itu merupakan suatu hal yang bersifat kenikmatan bagi

    dirinya, tetapi menimbulkan kesengsaraan atau kecelakaan bagi

    pelakunya.3 Manusia tidak dapat terlepas dari perbuatan dosa dan

    kesalahan seperti halnya Malaikat. Tetapi manusia adalah insan

    yang senantiasa terlibat dalam konflik antara baik dan buruk.

    Baik kepada Allah SWT maupun kepada manusia lainnya.

    1 Muhammad ‘Abdul ‘Aẓîm al-Zurqânî, Manâhilu al-‘Irfân fî ‘Ulûmul Qur’an, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), h. 300.

    2 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: Lkis, 2010), h.1.

    3 Abd Chafidz Farchun, Hidup Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1996), cet I, h.119.

    1

  • 2

    Manusia yang melakukan kebaikan akan menjadi insan yang

    mulia, sebaliknya jika melakukan keburukan maka akan menjadi

    kehinaan.

    Allah SWT memberi jalan kepada manusia untuk memilih

    tetap dalam dosa atau mendapatkan ampunan. Jika manusia

    memilih mendapat ampunan, maka Allah SWT telah memberi

    kesempatan kepada manusia untuk bertaubat. Misalnya, jika

    seseorang terkena penyakit karena dosa-dosa yang diperbuatnya

    dan ingin kembali sehat, maka ia harus bertaubat. Itulah cara

    pengobatan yang Allah SWT berikan kepada mereka yang

    mendapat penyakit secara metafisik. Karena jalan keluar bagi

    orang yang berbuat dosa hanyalah bertaubat.4 Sebagaimana

    dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

    ا ِإنَّ ِلَك َوَأْصَلُحوْۤ َء ِجبَهاَلٍة مثَُّ اَتبـُْوا ِمْن بـَْعِد ذٰ ا ٱلسُّوْۤ يَن َعِمُلوْ مثَُّ ِإنَّ رَبََّك ِللَّذِ بـَْعِدَها َلَغُفوٌر رَِّحيمٌ رَبََّك ِمنْ

    Artinya: “Kemudian, Sesungguhnya Tuhanmu terhadap orang-orang yang yang mengerjakan keburukan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaikinya. Sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl [16]: 119).5

    Manusia yang memohon ampun atas dosanya haruslah

    diniatkan untuk mendapat ampunan dari Allah SWT. Tidak hanya

    untuk dosa pada saat ini tetapi dosa masa lalu serta dosa masa

    4 Maimunah Hasan, Al-Qur’an dan Pengobatan Jiwa, (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2001), h. 41.

    5 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid V, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990), h. 477-478.

  • 3

    mendatang jika memang ada. Ini merupakan kewaspadaan batin,

    karena dosa seberat debu ternyata telah menyebabkan orang tidak

    masuk surga, terlebih bila dalam diri manusia masih banyak

    berbagai macam dosa. Istighfar ibarat sabun pencuci dosa.

    Dengan membiasakan mengucap lafaz istighfar, dosa itu dapat

    segera terhapus sebelum terlanjur berkarat dalam hati dan jiwa

    manusia serta menjadi noda yang sulit hilang.6

    Bertaubat diwajibkan atas manusia kepada Allah SWT dari

    perbuatan dosanya. Supaya manusia benar-benar taat kepada

    Allah SWT dan dapat melakukan kebaikan apapun.7 Menurut

    Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, bersegera melakukan taubat adalah

    kewajiban. Taubat harus dilakukan secepatnya. Jika seseorang

    menunda-nunda taubat atas dosanya, ia harus segera bertaubat

    atas penundaan taubat yang ia lakukan.8

    Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang menyebutkan lafaz

    istighfar dan taubat. Baik disebutkan tersendiri maupun

    bersamaan dalam satu ayat. Seperti lafaz muslim dan mukmin,

    keduanya ada yang disebutkan tersendiri dan ada juga disebutkan

    secara bersamaan.

    Lafaz istighfar yang disebutkan tersendiri dalam satu ayat

    maknanya mencakup makna dari lafaz taubat, sebaliknya jika

    lafaz taubat yang disebutkan tersendiri dalam satu ayat maknanya

    mencakup makna dari lafaz istighfar. Sedangkan, jika keduanya

    6 Majdi Muhammad Asy-Syahawi, The Secret Of Istighfar, (Jakarta : Gema Insani, 2009), h. 21-22.

    7 Imam al-Ghazâlî, Minhâjul ‘Âbidîn, terj. Abul Hiyaḍ, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2009), h. 47

    8 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, At-Taubah Wal Inâbah, terj Abdul Hayyie al–Kattani, (Jakarta: Gema insani, 2006), h. 163.

  • 4

    disebutkan secara bersamaan ada sesuatu yang berbeda. Istighfar

    yang disebutkan di sini tidaklah sama dengan taubat. Istighfar

    memiliki makna sendiri dan taubat memiliki makna sendiri.

    Seperti dalam al-Qur’an,

    ٍل مَُّسمًّى َويـُْؤِت َأجَ ًعا َحَسًنا ِإٰىل ُميَتِّْعُكم مََّتاا ِإلَْيِه ا رَبَُّكْم مثَُّ تُوبـُوْۤ َوَأِن ٱْستَـْغِفُروْ َعَلْيُكْم َعَذاَب يـَْوٍم َكِبْريٍ تـََولَّْوا فَِإّىنِ َأَخاُف َوِإنْ ◌ۖ َفْضٍل َفْضَلهُ ُكلَّ ِذيْ

    Artinya; “Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (QS. Hûd [11] : 3).9

    Menurut Ibnu al-Qayyim, tentang lafaz istighfar bersamaan

    dengan lafaz taubat dari ayat di atas yakni, istighfar adalah

    menghilangkan kejelekan, sedangkan taubat adalah meminta

    adanya manfaat (kebaikan).10 Sedangkan menurut Yûsuf al-

    Qardâwî, istighfar adalah memohon perlindungan dari dosa yang

    lampau. Sedangkan makna taubat adalah kembali dan memohon

    perlindungan dari akibat keburukan yang dikhawatirkan akan

    muncul di masa yang akan datang.11

    9 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid IV, h. 461.

    10 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, Madârijus Sâlikîn, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), h.307-309.

    11 Yûsuf al-Qardâwî, Taubat, (al-Taubah ilâ Allah), terj. Kathur Suhardi, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 1998), h. 54.

  • 5

    Ayat di atas tertulis lafaz istighfar diikuti dengan lafaz

    taubat. Sehingga kedua lafaz tersebut memiliki makna dan tujuan

    masing-masing. Walaupun keduanya berbeda, tetapi saling

    melengkapi satu sama lainnya. Selain itu, masih ada tiga ayat

    dalam surah Hûd seperti ayat di atas.

    Tidak sedikit orang memahami istighfar itu termasuk

    taubat. Jika disebutkan tersendiri memang memiliki makna yang

    sama. Akan tetapi, jika istighfar dan taubat bersamaan, keduanya

    memiliki makna berbeda. Istighfar belum tentu taubat,

    sebaliknya. Seperti mukmin dan muslim disebutkan bersamaan,

    apakah mukmin sudah tentu muslim ?. Hal ini pasti ada rahasia

    dibalik kedua kata baik istighfar dengan taubat atau muslim

    dengan mukmin.

    Atas dasar ini penulis tertarik untuk melakukan kajian lebih

    dalam mengenai lafaz istighfar yang disebutkan bersamaan

    dengan lafaz taubat menggunakan Penafsiran al-Alûsî.

    Oleh karena itu, judul skripsi penulis yakni “Istighfar Dan

    Taubat Dalam al-Qur’an (Studi Penafsiran al-Alûsî)”.

    B. Identifikasi, Batasan, Dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Beberapa masalah yang dapat teridentifikasi dari latar

    belakang di atas adalah:

    a. Mengkaji Ruang Lingkup Istighfar

    b. Mengkaji Ruang Lingkup Taubat

    c. Menjelaskan Semua Makna Ayat dari Lafaz Istighfar

    d. Menjelaskan Semua Makna Ayat dari Lafaz Taubat

  • 6

    e. Menjelaskan Semua Makna Ayat dari Lafaz Istighfar

    yang Disebutkan Bersamaan Dengan Lafaz Taubat

    Menurut Para Mufassir

    f. Menjelaskan Makna Ayat Dalam Surah Hûd Tentang

    Lafaz Istighfar yang Disebutkan Bersamaan dengan

    Lafaz Taubat Menurut Para Mufassir.

    g. Menjelaskan Makna Ayat Dalam Surah Hûd Tentang

    Lafaz Istighfar yang Disebutkan Bersamaan dengan

    Lafaz Taubat Menurut Imam Al-Alûsî.

    2. Batasan Masalah Dari identifikasi masalah di atas, penulis tertarik mengkaji

    lafaz istighfar yang disebutkan bersamaan dengan lafaz taubat

    menurut Imam al-Alûsî dalam QS. Hûd [11] ayat 3, 52, 61, dan

    90. Pembatasan ini bertujuan supaya pembahasan mengenai

    makna lafaz istighfar yang disebutkan bersamaan dengan lafaz

    taubat lebih fokus dan tidak keluar dari latar belakang yang telah

    dijelaskan.

    3. Rumusan Masalah Setelah dibatasi masalah yang akan dikaji. Rumusan

    masalah dari skripsi ini adalah “Bagaimana Analisis Lafaz

    Istighfar yang disebutkan Bersamaan Dengan Lafaz Taubat

    dalam Surat Hûd Ayat 3, 52, 61, dan 90 Menurut al-Alûsî

    (Tafsir Rûh al-Ma’ânî)”

  • 7

    C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok masalah di atas maka hal yang ingin

    dicapai melalui penelitian ini ialah;

    1. Menjelaskan penyebutan lafaz istighfar yang disebutkan

    bersamaan dengan lafaz taubat dalam al-Qur’an.

    2. Mengetahui makna lafaz istighfar yang disebutkan

    bersamaan dengan lafaz taubat dalam QS. Hûd ayat 3,

    52, 61, dan 90 dalam tafsir al-Alûsî.

    3. Menganalisa lafaz istighfar yang disebutkan bersamaan

    dengan lafaz taubat menggunakan tafsir al-Alûsî.

    b. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini dalam bidang studi al-

    Qur’an dan tafsir adalah:

    1. Dalam konteks keilmuwan Islam, hasil penelitian ini

    akan memberikan informasi penting terkait dengan

    dinamika keilmuwan Islam di Indonesia, dapat

    menambah wawasan dan khazanah khususnya di bidang

    tafsir al-Qur’an.

    2. Bagi dunia akademik, hasil penelitian ini bisa menjadi

    bahan rujukan di bidang studi tafsir al-Qur’an di

    Indonesia.

  • 8

    D. Tinjauan Pustaka Sebagai upaya untuk menghindari kesamaan terhadap

    penelitian yang telah ada sebelumnya, maka peneliti mengadakan

    penelusuran terhadap penelitian-penelitian yang telah ada

    sebelumnya, maka peneliti mengadakan penelusuran terhadap

    peneliti-peneliti yang telah ada. Berikut ini beberapa peneliti

    skripsi yang relevan terhadap tema peneliti yang peneliti angkat,

    diantaranya :

    1. Skripsi yang ditulis oleh Aminah Rahmi Hati Hsb, yang

    berjudul “Metode dan Corak Penafsiran Imam al-Alûsî

    Terhadap al-Qur’an (Analisa Terhadap Tafsir Rûh al-

    Ma’ânî)”.12 Skripsi ini membahas biografi dari Imam al-

    Alûsî beserta metode dan corak serta sistematika dari kitab

    tafsir Rûh al-Ma’ânî.

    2. Jurnal yang ditulis oleh Yeni Setianingsih dengan judul

    “Melacak Pemikiran al-Alûsî Dalam Tafsir Rûh al-

    Ma’ânî”. 13 Artikel ini membahas biografi al-Alûsî dan latar

    belakang dari tafsirannya. Ia juga menjelaskan metodologi

    kitab tafsirnya serta implikasi penafsirannya dari kitab tafsir

    Rûh al-Ma’ânî.

    3. Skripsi yang ditulis oleh Nurul Faizah, yang berjudul

    “Terapi Istighfar Untuk Mengatasi Seorang Remaja yang

    Suka Marah Kepada Orangtua di Kelurahan

    12 Aminah Rahmi Hati Hsb, Metode dan Corak Penafsiran Imam Al-Alusi Terhadap Al-Qur’an (Analisa Terhadap Tafsir Rûh Al-Ma’ânî), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2013).

    13 Yeni Setianingsih, Melacak Pemikiran Al-Alûsî Dalam Tafsir Rûh Al-Ma’ânî. Kontemplasi. Vol. 5, 1, 2017.

  • 9

    Morokrembangan Surabaya.”14 Dalam skripsi ini

    menerapkan istighfar (memohon ampun) atas kesalahan

    remaja kepada orangtuanya.

    4. Skripsi yang ditulis oleh Abdul Hadi yang berjudul

    “Keutamaan Istighfar Dalam Kitab al-Azkâr al-

    Nawâwiyyah”.15 Skripsi ini mengkaji hadis-hadis tentang

    keutamaan orang yang beristighfar, atas dosa-dosa yang

    dilakukan oleh manusia.

    5. Skripsi yang ditulis oleh Zaky Taofik Hidayat, yang

    berjudul “Konsep Taubat Dalam al-Qur’an Menurut Sayyid

    Qutb”.16. Dalam skripsi ini umat Islam dapat mengetahui

    dan mengamalkan ajaran taubat dengan benar sesuai

    dengan sunnah Rasulullah SAW.

    6. Skripsi yang ditulis oleh Muhamad Nazeri, yang berjudul

    “Konsep Taubat Menurut Syaikh ‘Abdul Qâdir al-

    Jailânî”.17 Skripsi ini membahas konsep taubat dalam

    pandangan Syekh ‘Abdul Qâdir al-Jailânî menggunakan

    corak tasawuf, yakni menutup pintu-pintu dosa yang

    14 Nurul Faizah, Terapi Istighfar Untuk Mengatasi Seorang Remaja yang Suka Marah Kepada Orangtua di Kelurahan Morokrembangan Surabaya, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018).

    15 Abdul Hadi, Keutamaan Istighfar Dalam Kitab al-Azkâr al-Nawâwiyyah, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2007).

    16 Zaky Taofik Hidayat, Konsep Taubat Dalam al-Quran Menurut Sayyid Qutb, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2010).

    17 Muhamad Nazeri, Konsep Taubat Menurut Syekh ‘Abdul Qâdir al-Jailânî, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry Darussalam, 2018).

  • 10

    dilakukan pada masa lalu dan akan menutup dosa pada

    masa yang akan datang.

    7. Skripsi yang ditulis oleh Sayid Qutub, yang berjudul

    “Taubat Dalam al-Qur’an dan Analisis Terhadap

    Perspektif Quraish Shihab”.18 Dalam skripsi ini dijelaskan

    penafsiran tentang ayat-ayat taubat dari kisah para Nabi

    menggunakan penafsiran Quraish Shihab.

    8. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Arif Zunaidi, yang

    berjudul “Konsep Taubat dan Implementasinya Menurut

    Perspektif Imam an-Nawawî”.19 Skripsi ini membahas

    konsep taubat menurut Imam Nawawi. Menurutnya, ada

    tiga macam syarat untuk bertaubat, Pertama, hendaklah

    menghentikan seketika itu juga dari kemaksiatan yang

    dilakukan. Kedua, supaya menyesali kesalahannya kerana

    telah melakukan kemaksiatan, dan Ketiga, berniat tidak

    akan mengulangi lagi perbuatan maksiat itu untuk selama-

    lamanya. Jika salah satu dari tiga syarat di atas tidak

    terpenuhi maka taubatnya menjadi tidak sah.

    9. Jurnal yang ditulis oleh M. Sidik dengan judul “Tobat

    Dalam Perspektif al-Qur’an”.20 Artikel ini mengkaji makna

    dari sebagian ayat tentang taubat dalam perspektif al-

    Qur’an. Salah satunya jika manusia berbuat dosa dan

    18 Sayid Qutub, Taubat Dalam al-Qur’an dan Analisis Terhadap Perspektif Quraish Shihab, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2009).

    19 Ahmad Arif Zunaidi, Konsep Taubat dan Implementasinya Menurut Perspektif Imam an-Nawawî, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo Semarang, 2018).

    20 M. Sadik, Tobat Dalam Persektif al-Qur’an. Hunafa. Vol. 7, 10, 2010.

  • 11

    maksiat maka akan datang suatu bencana dan malapetaka.

    Baik dosa itu dilakukan oleh pribadi maupun berjamaah.

    Sebagai solusinya mereka harus istighfar dan taubat dengan

    sungguh-sungguh.

    10. Jurnal yang ditulis oleh Septiawadi dengan judul “Tafsir

    Sufistik Tentang Taubat Dalam al-Qur’an”.21 Artikel ini

    terdapat ayat-ayat tentang taubat menurut kepada Sa‘îd

    Hawâ pengarang tafsir al-Asâs fî at-Tafsîr. Poin inti dari

    jurnal ini adalah taubat sangat berpengaruh nyata

    membentuk pribadi yang tawadu’ dan menjaga perilaku

    serta ucapan dari hal-hal yang mencemari kesucian jiwa.

    11. Jurnal yang ditulis oleh Rakhmawati dengan judul “Urgensi

    Taubat Dalam Kehidupan Manusia”.22 Artikel ini

    membahas tentang taubat, yakni upaya menyucikan diri

    dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di samping itu,

    taubat berimplikasi positif pada kehidupan seorang muslim

    pasca ia bertaubat. Hal ini akan nampak dalam

    pergaulannya sehari-hari, ia tidak lagi melakukan hal-hal

    yang dilarang oleh Allah SWT seperti menggibah,

    memfitnah, atau menyakiti orang lain. Segala hal yang

    dilakukan senantiasa menjadi rahmat bagi diri dan

    lingkungannya. Perilaku orang-orang yang telah

    memutuskan secara sadar untuk bertaubat kepada Allah

    21 Septiawadi, Tafsir Sufistik Tentang Taubat Dalam al-Qur’an. Studi Agama dan Pemikiran Islam. Vol. 7, 2, 2013.

    22 Rakhmawati, Urgensi Taubat Dalam Kehidupan Manusia. Madani. Vol. 4, 1, 2014.

  • 12

    SWT akan berbeda jika dibandingkan orang yang taubatnya

    masih sebatas ucapan saja.

    Setelah penulis meneliti semuanya, penelitian penulis

    berbeda dengan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu,

    penulis mencoba untuk menjelaskan analisis lafaz istighfar yang

    bersamaan dengan lafaz taubat dari tafsir al-Alûsî.

    E. Metode Penelitian 1. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis

    penelitian library research yaitu jenis penelitian kualitatif

    dengan mengadakan studi penelaah terhadap buku-buku,

    literatur-literatur, dan laporan-laporan yang ada sehingga

    memperoleh data-data yang berhubungan dengan masalah yang

    akan dipecahkan.23 Data diambil dari berbagai sumber tertulis,

    yakni berupa buku-buku atau dokumentasi dan lain-lain.

    2. Sumber Data Adapun sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi

    dua kategori, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber

    data primer merupakan rujukan utama yang menjadi landasan

    data yang akan dicari dan dianalisis. Sedangkan sumber data

    sekunder adalah sumber data lain yang berkaitan dengan tema

    penelitian guna memperoleh kelengkapan data penelitian.

    Dalam penelitian ini, sumber data primer yang digunakan

    adalah al-Qur’an dan terjemahannya, as-sunnah dan kitab Tafsir

    23 Muhammad Nazir, Metode Penulisan, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), h.24.

  • 13

    Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’an al-‘Azîm wa Sab’u al-Matsânî

    (Karya Mahmûd al-Alûsî) yang menjadi inti dalam kajian

    penulis.

    Sumber data sekunder adalah kamus klasik di antaranya

    yaitu Mu‘jâm Mufahrâs li al-Fâẓ al-Qur’an al-Karîm,24 dan

    kamus al-Qur’an lainnya. Selain itu, penulis juga mengambil dari

    kitab tafsir lain, kitab hadis, buku-buku, jurnal, artikel-artikel,

    dan skripsi, dengan pokok permasalahan yang sama dengan tema

    penelitian ini dan dianggap penting untuk dikutip dan dijadikan

    informasi tambahan.

    3. Metode Pengolahan Data Pengolahan data pada penelitian ini, penulis menggunakan

    metode deskriptif-analitis. Metode deskriptif yaitu suatu metode

    yang bermaksud untuk menggambarkan data-data dalam

    menjelaskan sebuah hipotesa, untuk menjawab pertanyaan yang

    menyangkut dari pokok permasalahan.25 Sedangkan analitis yaitu

    sebuah tahapan, untuk menguraikan atau menafsirkan data-data

    yang telah terkumpul dan tersusun secara sistematis.26 Jadi

    metode deskriptif analitis adalah sebuah metode pembahasan

    untuk memaparkan data yang tersusun dengan melakukan kajian

    dan tafsiran terhadap data-data tersebut melalui interpretasi yang

    tepat.

    24 Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Mu‘jâm Mufahrâs li al-Fâẓ al-Qur’an al-Karîm. (Bairut: Dar al-Fikr, 1980).

    25 Jonathan Sarwono, Pintar Menulis Karya Ilmiah: Kunci Sukses dalam Menulis Karya Ilmiah, (Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2010), h. 34.

    26 M. Jamiluddin Ritonga, Riset Kehumasan, (Jakarta: Grasindo, 2004), h.64.

  • 14

    4. Tehnik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku

    “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan

    Disertasi)”, yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta 2017.

    F. Sistematika Penulisan Agar penulisan dapat tersusun dengan rapi dan sistematis,

    penulis menyusunnya sebagaimana berikut:

    Bab Pertama berisi pendahuluan. Bab ini mencakup latar

    belakang masalah, identifikasi, batasan dan rumusan masalah,

    tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode

    penelitian dan sistematika penulisan.

    Bab Kedua berisi biografi al-Alûsi al-Baghdadî dan profil

    kitab tafsir rûh al-ma’ânî, yang terdiri dari; Pertama, seputar

    kehidupan al-Alûsi dan karya – karya al-Alûsi. Kedua, historis

    kitab rûh al-ma’ânî fî tafsîr al-qur’an al-‘azîm wa sab’u al-

    matsânî, sumber dan metode penafsiran, corak dan sistematika

    penafsiran.

    Bab Ketiga berisi uraian tentang gambaran umum istighfar

    dan taubat, yang terdiri dari dua sub bab yaitu; Pertama,

    penjelasan tentang istighfar terdiri dari pengertian, syarat-syarat

    dan macam-macam, tujuan dan manfaat, dan contoh ayat istighfar

    dalam al-Qur’an. Kedua, penjelasan tentang taubat terdiri dari

    pengertian, syarat-syarat dan macam-macam, tujuan dan manfaat,

    dan contoh ayat taubat dalam al-Qur’an.

  • 15

    Bab Keempat berisi tentang analisis penafsiran al-Alûsi

    terhadap lafaz istighfar yang disebutkan bersamaan dengan lafaz

    taubat dalam surah Hûd terdiri dari lima sub bab. Pertama,

    penafsiran al-Alûsi dalam tafsir rûh al-ma’ânî QS. Hûd [11] ayat:

    3. Kedua, penafsiran al-alûsi dalam tafsir rûh al-ma’ânî QS. Hûd

    [11] Ayat: 52. Ketiga, penafsiran al-alûsi dalam tafsir rûh al-

    ma’ânî QS. Hûd [11] Ayat: 61. Keempat, penafsiran al-alûsi

    dalam tafsir rûh al-ma’ânî QS. Hûd [11] Ayat: 90. Dan kelima,

    Hikmah istighfar dan taubat.

    Bab Kelima, berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan

    dan saran-saran. Kesimpulan atas kajian yang terdapat dalam

    penelitian dan memberikan saran-saran agar peneliti selanjutnya

    bisa dengan mudah mencari kekurangan dalam kajian ini.

  • BAB II

    AL-ALÛSI AL-BAGHDADÎ DAN KITAB TAFSIR RÛH AL-

    MA’ÂNÎ

    A. Biografi al-Alûsi 1. Seputar Kehidupan al-Alûsi

    Nama lengkap al-Alûsi ialah Abû Sanâ’ Syihâb al-Dîn al-

    Sayyid Mahmûd Afandi al-Alûsi al-Baghdadî1 yang merupakan

    mufassir kondang asal Irak. Ia dilahirkan pada hari Jum‘at,

    tanggal 15 Sya‘bân 1217 H/1802 M, di daerah dekat Kurkh,

    Baghdâd, Irâk. Ia dikenal dengan nama al-Alûsi karena, nama

    yang dinisbatkan kepada kampung yang bernama Alûsi, yaitu

    suatu pulau yang terletak di tepi barat sungai Eufrât antara Syâm

    (Syiria) dan Baghdâd.2

    Dalam pengembaraannya menuntut ilmu, ia banyak belajar

    dan membaca kitab-kitab warisan ulama sebelumnya di bawah

    bimbingan ayahnya. Ketika berumur sepuluh tahun ia telah

    mempelajari beberapa cabang ilmu pengetahuan seperti, fiqh

    syâfi‘iyah dan hanafiyah, mantiq, dan ḥadîts.3 Selain itu, dia juga

    belajar tasawuf dari seorang sufi bernama Syaikh Khalid al-

    Naqshabandi.4 Ketika umurnya 20 tahun ia telah mendalami

    kajian tafsir al-Qur’an. Kemudian ketika berumur 21 tahun, ia

    1 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), h. 130.

    2 Mannâ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulum al-Qur’ân, terj. Drs. Mudzakkir AS, (Jakarta: PT. Litera Antar Nusa, 1992), h. 521.

    3 Muhsin Abdul Hamîd, Al-Alûsi Mufassîrûn, (Baghdad: Matba’ah al-Ma’ârif, 1968), h.42.

    4 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 1 (Bairut, Dar al-Fikr, 1983), h. 3.

    16

  • 17

    diberi kepercayaan oleh gurunya, Syaikh ‘Alâu al-dîn untuk

    mengajar di madrasah al-Khotuniyah.5 Di samping itu, ia diminta

    oleh Haji Nu‘mân al-Bahjah untuk mengajar di madrasah yang

    dipimpinnya. Dan ia tidak bertahan lama mengajar, dikarenakan

    banyak yang tidak setuju dengan dirinya.

    Al-Alûsi merupakan salah seorang ulama di Irâk yang

    pernah menjabat sebagai mufti Baghdâd, pemikir dan ahli

    polemik. Pengetahuannya yang luas menjadikan dirinya diberikan

    gelar, yang berarti ‘allamah yaitu seorang ulama besar baik

    dalam ilmu naqlî (al-Qur’an dan al-Hadits) maupun dalam ilmu

    ‘aqli (berdasarkan akal) yang mengetahui setiap cabang dan dasar

    dari kedua bidang ilmu tersebut.6

    Dalam bidang aqidah al-Alûsi mengikuti aliran sunni

    mâturîdiyya. Sedangkan dalam bidang fiqh pada mulanya ia

    bermadzhab syâfi‘iyah,7 kemudian ia pindah ke mazhab

    hanafiyah di tahun 1248 H. Ia menjabat sebagai ketua badan

    perwakafan lembaga pendidikan al-Marjaniyah, yaitu sebuah

    yayasan pendidikan yang mensyaratkan penanggung jawabnya

    seorang tokoh ilmuan. Lalu dia berhenti pada bulan syawwâl

    1263 H, karena ia fokus menyusun tafsir hingga selesai.8

    Selama menuntut ilmu al-Alûsi memiliki beberapa guru dan

    memiliki beberapa murid. Adapun guru-gurunya, antara lain:

    5 Muhsin Abdul Hamîd, Al-Alûsi Mufassîrûn, h. 42. 6 Muhammad Husaîn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo:

    Dar al-Kutub, 1976), juz I, h. 352. 7 Eva Amalia Megarestri, Study Tematik Terhadap Penafsiran al-

    Qur’an Tentang Ayat Sajadah dan Munasabahnya Dalam Tafsir Rûh al-Ma’ânî, (Skripsi: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003), h. 44-46.

    8 Muhammad Husaîn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz I, h. 302.

  • 18

    a. Ayahnya sendiri Baharuddîn al-Alûsi (lahir 1248 H - wafat

    1291 H).

    b. Pamannya, al-‘Allamah as-Salafî Nu‘mân Khaîruddîn Abû

    al-Barakât al-Alûsi.

    c. Ismâ‘îl bin Musthafâ al-Mushili (lahir 1200 H – wafat

    1270). Dia juga mempelajari ilmu tafsir dari Syaikh

    Bahaulhaq al-Hindi, seorang ulama keturunan India yang

    menetap di Baghdâd (lahir 1256 H - wafat 1300 H).

    Adapun dalam cabang ilmu Muṣṭalah al-Hadîts, dia belajar

    kepada Syaikh Abdussalâm bin Muhammad bin Said an-

    Najd, yang lebih populer dengan nama asy-Syawwaf (lahir

    1243 H – 1318 H). Salah satu guru Imam al-Alûsi yang lain

    adalah Syaikh Muhammad Amîn al-Khurâsânî al-Fârisî,

    dan lain-lain.

    Adapun murid-muridnya yang terkenal, antara lain:

    a. Muhammad Bahjah al-Atsary (lahir 1322 H – wafat 1416

    H).

    b. Ma‘rûf al-Rasâfî (lahir 1294 H – wafat 1364 H).

    c. Nu‘mân bin Ahmad bin al-Haq Ismâ‘îl al-A’dhani al-

    Ubeidi (lahir 1293).

    d. Alî Alâuddîn al-Alûsi (lahir 1277 H – 1340 H).

    e. Abdul Azîz al-Rasyîd al-Kuwaîtî (wafat 1357 H).

    f. Ṭalḥah bin Ṣalih al-Dânî (lahir 1310 H – wafat 1365 H).

    g. Abdul Laṭîf, ia seorang ahli bahasa (wafat 1363 H).

    h. Abbâs al-Bazâwî, ia seorang ahli sejarah dari Irak yang

    masyhur (wafat 1971 H).

    i. Munîr al-Dâdî (lahir 1313 H – wafat 1340 H).

  • 19

    j. Sulaîmân al-Dakhîl al-Najdî (lahir 1244 H, wafat 1364 H)9

    Al-Alûsî wafat diusianya yang ke-53 tahun pada hari

    Jum‘at tanggal 25 Dzulqa‘dah 1270 H/1854 M. Jasadnya

    dimakamkan di dekat makam Syaikh Ma‘rûf al-Karakhi, salah

    seorang tokoh sûfî yang sangat terkenal di kota Kurkh.10

    2. Karya-karya al-Alûsi Terdapat hampir 56 judul buku yang ditulis oleh Al-Alûsî,

    di antaranya

    a. Ghoyah al-Amâni fî al-Radh ala an-Nabhani, sebuah kitab

    bantahan atas kitab “Syawâhid al-Haq” karya al-Nabhani

    yang berisikan kebodohan, nukilan-nukilan palsu, pendapat

    yang lemah dan dalil-dalil yang dibalik dalam

    permasalahan “ Bolehnya istighasah kepada selain Allah

    SWT, dan celaan-celaan terhadap para ulama penolong

    sunnah, semisal Ibnu Taimiyyah”.

    b. Rûh al-Ma’ânî fi Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm wa as-Sab’u

    al-Matsânî, atau yang lebih dikenal dengan tafsir Rûh al-

    Ma’ânî. Tafsir ini merupakan karya yang populer dalam

    bidang tafsir.

    c. Al-Hasyiat ‘alâ al-Qatri fî al-Nahw. Kitab ini membahas

    gramatika bahasa Arab.

    d. Al-Ajwibah al-‘Irâqiyyah ‘alâ As’ilah al-Irâniyah. Kitab ini

    membahas dalam bidang kenegaraan.

    9 http://muhyi414.blogspot.com/2012/04/imam-al-Alûsî. html. Rabu, 15/ 5/ 2019.

    10 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol. I, h. 4.

  • 20

    e. Al-Ajwibah al-‘Irâqiyyah ‘an As’ilah al-Luhûriyah. Kitab

    ini juga membahas dalam bidang kenegaraan.

    f. Durrat al-Gawwâs fî Awhâm al-Khawwas. Kitab ini

    membahas dalam bidang tasawuf.

    g. Al-Nafahat al-Qudsiyyah fî al-Mabahits al-Imamiyah.

    Kitab ini juga membahas dalam bidang kenegaraan.

    h. Syarh al-Sâlim fî al-Manthiq.

    i. Nasywat al-Syamul fî al-dzahab il Istambul.

    j. Nasywat al-Mudam fî al-‘Awd ila dâr al-Salam.

    k. Gharaîb al-Ightirab wa nazhat al-Albab, dan lain-lain.11

    Di antara karya-karya tersebut, karya yang paling populer

    ialah yang dikenal dengan tafsir al-Alûsî atau disebut tafsir Rûh

    al-Ma‘ânî.

    B. Profil Kitab Tafsir al-Alûsi 1. Historis Kitab Tafsir Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’ân

    al-‘Azîm wa Sab’u al-Matsânî

    Latar belakang penulisan kitab tafsir Rûh al-Ma’ânî

    terkesan cukup mistis. Al-Alûsî menulis tafsirnya terdorong dari

    sebuah mimpi, meskipun sebelumnya telah ada ide untuk menulis

    tafsir tersebut. Ia memang ingin sekali menyusun sebuah kitab

    tafsir yang dapat mencakup persoalan-persoalan yang dianggap

    penting bagi masyarakat waktu itu. Namun ia senantiasa

    dihinggapi keragu-raguan untuk merealisasikan ide tersebut.

    Akhirnya, pada suatu malam, tepatnya pada malam Jum‘at bulan

    11 Mani’ ‘Abdul Halim, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 205.

  • 21

    Rajab tahun 1252 H, dia bermimpi disuruh Allah SWT untuk

    melipat langit dan bumi, kemudian disuruh untuk memperbaiki

    kerusakan-kerusakan yang ada padanya. Dalam mimpinya, ia

    seolah-olah mengangkat salah satu tangannya ke langit dan

    tangan yang lainnya ke tempat air. Namun, kemudian ia

    terbangun dari tidurnya. Mimpi tersebut lalu ditakwilkan dan

    ternyata ia menemukan jawabannya dalam sebuah kitab bahwa

    mimpi itu merupakan isyarat untuk menyusun kitab tafsir.12

    Penulisan kitab tafsir dilakukan oleh al-Alûsî pada tanggal

    16 Sya‘bân 1252 H saat ia berusia 34 tahun, pada masa

    pemerintahan Sultan Mahmud Khan bin Sultan Abdul Hamîd

    Khan. Ia menyelesaikan penyusunan kitab tersebut pada malam

    selasa di bulan Rabî‘ul Âkhir tahun 1267 H, kurang lebih kurun

    waktu 15 tahun. Setelah ia meninggal kitab tersebut

    disempurnakan oleh putranya yaitu Sayyid Nu‘mân al-Alûsi.

    Kitab ini kemudian diberi judul, Rûh al-Ma’ânî Fî Tafsîr

    Al-Qur’ân al-‘Aẓîm wa al-Sab’ al-Masânî oleh Perdana Menteri

    Ali Ridho Pasha. Karena nama tersebut sesuai dengan tujuan

    awal penulisannya, yaitu “semangat makna dalam tafsir al-Qur’an

    yang agung dan sab‘ul mastanî”. Lalu al-Alûsi pun

    menyetujuinya dengan nama Rûh al-Ma’ânî Fî Tafsîr al-Qur’ân

    al-‘Aẓîm wa al-Sab’ al-Masânî yang di dalamnya terdiri dari 16

    jilid. Jilid 1:635 halaman, 2:272 halaman, 3:416 halaman, 4:319

    halaman, 5:270 halaman, 6:238 halaman, 7:399 halaman, 8:395

    halaman, 9:431 halaman, 10:380 halaman, 11:251 halaman,

    12 http://muhyi414.blogspot.com/2012/04/imam-al-alusi.html. Rabu, 15/ 5/ 2019.

  • 22

    12:347 halaman, 13:206 halaman, 14:300 halaman, 15:248

    halaman, dan 16:523 halaman. Diterbitkan Beirut dengan

    penerbit: Dar al Kutub al-Ilmiyah.13

    Setelah tafsirnya selesai, al-Alûsî melakukan perjalanan ke

    Konstatinopel pada tahun 1267 H/1850 M, di mana menurut

    sebagian riwayat ia tinggal selama dua tahun (1267 H-1269

    H/1850 M-1852 M). Di sana ia menunjukkan tafsirnya kepada

    Sultan yang berkuasa saat itu, yaitu Abdul Majid Khan untuk

    mendapatkan pengakuan dan kritik. Dan mendapatkan apresiasi

    yang luar biasa dari Sultan, kemudian ia dihadiahi emas seberat

    timbangan kitab tersebut.14

    Kitab tafsir Rûh al-Ma‘ânî merupakan karya Imam al-Alûsi

    yang terbesar. Kitab ini berisi pandangan dari kalangan ulama

    salaf maupun khalaf dan mengandung kesimpulan dari kitab-

    kitab tafsir sebelumnya seperti tafsir Ibnu Athiah, Ibnu Hibbân,

    Abû Hayyân, az-Zamakhsyari, Abû al-Sa‘ûd, al-Baîḍawî dan al-

    Razi,15 untuk menguatkan pendapat al-Alûsi. Ia berusaha

    bersikap netral dan adil ketika menukil tafsir-tafsir tersebut dan

    selanjutnya mengemukakan komentar serta pendapatnya sendiri

    tanpa terpengaruh pada salah satu tafsir tersebut. Ketika menukil

    tafsir-tafsir terdahulu, ia menggunakan beberapa istilah antara

    lain “qâla syaikh al-Islâm” bila menukilkan dari tafsir Abu al-

    13 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol I, h. 4. 14 Abdul Mustaqim, Rûh al-Ma’ânî karya al-Alûsî dalam Muhammad

    Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir; Menyuarakan Teks Yang Bisu, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 154.

    15 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 161.

  • 23

    Sa‘ûd, “qâla al-qadlî” bila dari tafsir al-Baîḍawî, dan “qâla al-

    imâm” bila menukilkan dari tafsir al-Razi.16

    2. Sumber Dan Metode Penafsiran Kitab Rûh al-Ma‘ânî a. Sumber Penafsiran Kitab Rûh al-Ma‘ânî Sumber-sumber penafsiran yang dipakai al-Alûsî adalah

    memadukan sumber al-ma‘tsur (riwayat) dan al-ra‘yi (ijtihad).

    Artinya dalam menafsirkan suatu ayat ia menggunakan sumber

    riwayat dari Nabi SAW atau sahabat atau bahkan tabi’in tentang

    penafsiran al-Qur’an dan terkadang menggunakan ijtihad dirinya

    sehingga keduanya dapat digunakan secara bersama-sama,

    sepanjang hal itu dapat dipertanggungjawabkan akurasinya.

    Keterlibatannya dalam mazhab Abu Hanifah ternyata banyak

    mempengaruhi kajian rasionalisasi tafsirnya. Hal ini seperti

    diakuinya bahwa dinamika pemikiran Abu Hanifah sarat dengan

    sistem ijtihad.

    Berdasarkan hal inilah tafsir al-Alûsî digolongkan kepada

    tafsir bil ra‘yi, karena dalam tafsirnya lebih mendominasi

    ijtihadnya. Hal ini juga bisa dilihat pada isi muqaddimah

    kitabnya, ia menyebutkan beberapa penjelasan dan argumen

    tentang bolehnya tafsir bil-Ra’yi, termasuk kitab tafsir bil-

    Ra’yinya tersebut.17

    Meskipun begitu, al-Alûsî mampu mensintesiskan makna

    tersurat dan tersirat atau ẓahîr wa bâṭin baik ayat yang manqul

    (naql, riwayat, normatifitas) dan ma’qul (aqli, dirayat,

    16 Muhammad Husaîn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz. 1. h. 356.

    17 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 1, h. 6.

  • 24

    historisitas). Artinya, ia tidak murni hanya mengedepankan

    ijtihadnya semata. Namun, dia mampu memilah pendapat yang

    shahih dengan merujuk riwayat-riwayat terdahulu, baik yang

    diterima dari Nabi SAW, sahabat, tâbi‘în maupun kisah

    isrâîliyât.18

    b. Metode Penafsiran Secara historis, setiap penafsiran pasti menggunakan satu

    atau lebih metode dalam menafsirkan al-Qur’an. Pilihan metode-

    metode tersebut tergantung kepada kecenderungan dan sudut

    pandang masing-masing mufasir, serta latar belakang keilmuan

    dan aspek-aspek lain yang melingkupinya.19

    Al-Alûsî memandang al-Qur’an merupakan kitab yang

    sempurna dan harus digali sedalam-dalamnya, maka metode yang

    dipakai oleh al-Alûsî dalam menafsirkan al-Qur’ân adalah

    metode tahlîlî.20 Karena dengan metode tersebut, akan

    menghasilkan suatu penafsiran yang komprehensif dan

    menyeluruh baik dari berbagai aspek seperti bahasa, kosa kata,

    dan pendapat ulama. Karena dengan begitu, al-Qur’an benar-

    benar dapat dibaca dan mampu memberikan pencerahan dengan

    sempurna oleh umat Islam.

    18 Isrâîliyât adalah berita atau cerita-cerita yang bersumber dari Ahl Kitab, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam. Namun dalam hal ini, cerita yang bersumber dari Yahudi jauh lebih banyak dari pada yang bersumber dari orang-orang Nasrani.

    19 M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 37-38.

    20 Salah satu yang menonjol dalam tafsir tahlîlî (analisis) adalah bahwa seorang mufassir akan berusaha menganalisis berbagai dimensi yang terdapat dalam ayat yang ditafsirkan. Baik dari segi bahasa, asbâb al-nuzûl, nasikh-mansukhnya dan lain-lain. Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 32.

  • 25

    Sebagaimana mufassir yang menggunakan metode tahlîlî,

    al-Alûsî menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara runtut dari awal

    hingga akhirnya, dan surat demi surat sesuai dengan urutan

    mushaf ‘Utsmânî. Untuk itu, dia menguraikan kosa kata dan

    lafadz serta menginterpretasikan (al-bayân) ayat-ayat al-Qur’an

    sesuai dengan makna yang dikehendaki dan merelevansikan

    dengan surah sebelumnya.21

    3. Corak Dan Sistematika Penafsiran Kitab Rûh al-Ma‘ânî a. Corak Penafsiran Kitab Rûh al-Ma‘ânî Muhammad Quraish Shihab menyebutkan corak tafsir yang

    dikenal luas dewasa ini, yakni corak tafsîr fiqh, atau hukum,

    corak tafsîr falsafi, corak tafsîr ‘Ilmi, corak bahasa, corak tafsîr

    adabi al-ijtima‘i (sosial kemasyarakatan), dan corak tafsir sûfî.22

    Setiap mufassir yang memiliki bidang keahlian tertentu dan

    menafsirkan al-Qur’an berdasarkan latar belakang keahlian dan

    ilmu-ilmu yang dimilikinya, kemudian munculah corak tafsir

    yang bermacam-macam.

    Adapun kategorisasi corak tafsir sûfî terbagi menjadi dua,

    yaitu al-tafsîr sûfî nazari sebagai turunan dari tasawwuf nazari

    (aliran yang berusaha menemukan wujud Tuhan dalam

    makhluknya) dan al-tafsîr sûfî al-isyârî sebagai turunan dari

    tasawwuf ‘amali (aliran yang berusaha lebih dekat dengan Allah

    21 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i dan Cara Penerapannya, terj, Rosihon Anwar (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002), h. 12.

    22 Muhammad Chirzin, Jihad Menurut Sayyid Qutb dalam Tafsir Ẓilâl al-Qur’an, (Solo: Era Intermedia, 2001), h. 79.

  • 26

    SWT, bahkan ingin menyatu). Adapun pembahasannya adalah

    sebagai berikut:

    Al-Tafsîr al-Sûfî al-Nazari

    Al-tafsîr sûfî nazari adalah tafsir yang berpegang pada

    metode simbolis yang tidak berhenti hanya pada aspek

    kebahasaan saja. Tafsir ini sering digunakan untuk memperkuat

    teori-teori mistis dari kalangan ahli sûfî. Ulama yang dianggap

    ahli dalam bidang ini adalah Muhyîddîn bin ‘Arabî, karena ia

    dianggap sering bergelut dengan kajian tafsir ini. Corak tafsir sûfî

    Ibn ‘Arabî banyak diikuti oleh murid-muridnya. Selain itu,

    pemikirannya banyak terpengaruh oleh teori-teori filsafat

    sebagaimana bisa dilihat dalam kitab-kitabnya seperti al-Futûhât

    al-Makkiyah dan Fusûs al-Hakîm. Dalam dua kitab ini kita akan

    banyak melihat ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan berlandaskan

    teori sûfî filosofis.23

    Al-Tafsîr al-Sûfî al-Isyârî

    Menurut al-Dzahabi tafsir ini ialah menakwilkan ayat-ayat

    al-Qur’an yang berbeda dengan maknanya yang nyata

    berdasarkan isyarat (petunjuk) khusus yang diterima oleh para

    ahli sûfî.24

    Dengan kata lain, tafsîr isyârî merupakan usaha menta’wil

    ayat-ayat al-Qur’an berbeda dari makna lahirnya menurut isyarat-

    isyarat rahasia yang ditangkap oleh para ahli ilmu dan maknanya

    dapat disesuaikan dengan kehendak makna lahir dari ayat al-

    23 Muhammad Husaîn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz II, h. 297-298.

    24 Muhammad Husaîn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz II, h. 308.

  • 27

    Qur’an. Lahir batin merupakan konsep yang dipergunakan kaum

    sufi untuk melandasi pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an

    khususnya dan melihat dunia umumnya. Pola sistem berpikir

    mereka adalah berangkat dari yang dzahir menuju yang bathin.

    Bagi mereka bathin adalah sumber pengetahuan sedangkan

    dzahir teks adalah penyinar. Rujukan yang mereka pakai adalah

    pernyataan yang selalu dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib,

    bahwa setiap ayat al-Qur’an memiliki empat makna: dzahir,

    bathin, had, dan matla’. Al-Ghazâlî sendiri menegaskan bahwa

    selain yang dzahir, al-Qur’an memiliki makna bathin.

    ‘Abdullah (al-Muhasibi) dan Ibn al-‘Arâbî memberikan

    penjelasan pernyataan tersebut, bahwa yang dimaksud dengan

    zahir adalah bacaan dan yang batin adalah takwilnya. Sementara

    Abû ‘Abdurrahmân mengatakan bahwa yang dimaksud dengan

    dzahir adalah bacaannya, sementara yang bathin adalah

    pemahamannya.25

    Khalid ‘Abdurrahmân al-‘Ak membagi tafsir isyârî

    berdasarkan isyaratnya dalam dua bagian, yaitu: pertama, isyarat

    khafiyah (indikasi yang tersembunyi) di mana yang

    memperolehnya hanyalah ahli taqwa dan ulama di dalam

    membaca al-Qur’an, kemudian mendapat intuisi-intuisi mistik

    yang bermakna. Kedua, isyarat jaliyah (indikasi jelas) yang

    dikandung ayat-ayat kauniyah di dalam al-Qur’an yang

    25 Al-Jabiri. Bunyah al-‘Aql al-‘Arâbî, (Beirut: Markaz al-Dirasah, 1990), h. 277.

  • 28

    mengisyaratkan dengan jelas adanya ilmu-ilmu seperti era

    modern.26

    Al-Alûsî banyak mengedepankan paradigma tafsir sûfî al-

    isyârî, yaitu suatu tafsir yang mencoba menerapkan dimensi

    makna bathin berdasarkan isyarat atau ilham dan ta’wîl sûfî.

    Tafsir sûfî al-isyârî mengarahkan sasaran penafsirannya pada

    pengungkapan makna ayat-ayat al-Qur’an yang tersirat dan juga

    berusaha menelusuri daya cakup al-Qur’an yang tersusun dari

    makna eksoterisnya secara transparan dan menjadikan

    pendekatan tafsirnya sebagai dua koin mata uang yang tidak

    dapat terpisahkan. Dalam usaha menelusuri maknan yang tersirat,

    bukanlah satu-satunya yang dikehendaki oleh ayat, akan tetapi

    lebih merupakan perluasan makna dari maknanya yang tersurat.27

    Karena itu, al-Alûsî menitikberatkan pada penafsiran ayat secara

    tersurat (eksotoris) kemudian diteruskan dengan menunjukkan

    beberapa muatan makna yang samar dan tersembunyi atau tersirat

    (esoteris) dibalik ayat secara kontekstual.

    Kecenderungan al-Alûsî terhadap tasawwuf ini terlihat

    dalam tafsir yang ditulisnya, dia mengatakan:

    “ Tidaklah seyogyanya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa al-Qur’an mempunyai bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah SWT Yang Maha Pencipta dan

    26 Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sûfî, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, vol. 3, 2, 2003, h. 58.

    27 Wahib, Perspektif Tafsir Sûfî-Isyârî: Studi Atas Pemikiran Al-Alûsî dalam Tafsir Ruh al Ma’ânî, (Tesis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1997), h. 51-52.

  • 29

    Maha Pelimpah kepada batin-batin hambanya yang dikehendaki.”28

    Mengapa al-Alûsî membawa tafsirnya ke arah sûfî al-

    isyârî? Menurutnya, untuk sampai ke ilmu hakikat, seseorang

    tidak diperbolehkan mengabaikan ilmu syari’atnya. Untuk

    memahami makna esoteric (bathin) suatu ayat, telebih dahulu

    harus dikupas dulu makna eksotoris (dzahir). Pendapat ini dapat

    dilihat saat ia menafsirkan surat al-Kahf [18]: 65.

    نَ فـََوَجَدا عَ ٰاتـَيـْْن ِعَباِدَ�ۤ ْن ِعْنِدَ� َوَعلَّْمنَ ُه َرمحَْ اْبًدا مِّ ِعْلًماُه ِمْن لَُّد�َّ اًة مِّ

    Artinya: “Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami”. (QS. al-Kahf [18]: 65).29

    Dalam menafsirkan kalimat wa’allamnâhu mil-ladunnâ

    ‘ilmân, al-Alûsî menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan

    dasar yang dipakai oleh para ulama untuk menetapkan adanya

    ilmu laduni (ilmu hakikat) atau ilmu bathin (esoteris), yaitu ilmu

    yang diberikan langsung oleh Allah SWT yang tidak dapat

    diperoleh tanpa taufiq-Nya, atau dapat dikatakan juga sebagai

    ilmu gaib. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa untuk memperoleh

    ilmu ini ada dua kemungkinan.

    Pertama dengan perantara wahyu dari malaikat, seperti

    yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Kedua melalui isyarat

    28 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol I, h. 192. 29 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid V, h.

    767-768.

  • 30

    dari malaikat yang disebut ilham, dapat diterima nabi maupun

    selain nabi. Untuk memperoleh ilham tersebut diperlukan

    pensucian batin (tathîr al-qalb). Untuk memperoleh tathîr al-

    qalb, menurut al-Alûsî harus melalui ilmu syari’at.30 Itu artinya,

    ia menentang keras seseorang yang meninggalkan syari’at dengan

    dalih telah sampai kepada hakikat. Ini semakin menguatkan

    pendapatnya bahwa dia tidak menafikkan makna eksotoris suatu

    ayat.

    Adapun syarat-syarat tentang bolehnya menafsirkan al-

    Qur’an secara isyârî adalah: penafsiran isyârî tidak boleh

    menafikan apa yang dimaksudkan makna dzahir, harus ada nas

    lain yang menguatkannya, tidak bertentangan dengan syara’ dan

    akal, serta harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir

    dan makna lain yang selain zhahir.31 Dari syarat-syarat tersebut

    jelas bahwa tafsir Rûh al-Ma’ânî karya al-Alûsî ini telah

    memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai tafsir yang

    bernuansa sûfî al-isyârî.

    b. Sistematika Penafsiran Sistematika penafsiran yang ditempuh oleh al-Alûsî

    biasanya menggunakan langkah-langkah di bawah ini:32

    Menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an dan langsung

    menjelaskan makna kandungan ayat demi ayat.

    30 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol VIII, h. 330. 31 Muhammad Husaîn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn ssirun,

    Juz II, h. 263. 32 http://islamiceducatione.blogspot.com/2014/06/kajian-tafsir-ruhul-

    ma’ani-al-alusi/.10-04-2019.13.37 wib.

    http://islamiceducatione.blogspot.com/2014/06/kajian-tafsir-ruhul-ma'ani-al-alusi/.10-04-2019.13.37http://islamiceducatione.blogspot.com/2014/06/kajian-tafsir-ruhul-ma'ani-al-alusi/.10-04-2019.13.37

  • 31

    Dalam analisisnya terkadang juga al-Alûsî menyebutkan

    asbâb al-nuzûl terlebih dahulu, namun kadang ia langsung mengupas dari segi gramatikanya, kemudian

    mengutip riwayat hadits atau riwayat tabi’în.

    Menerangkan kedudukan suatu kata atau kalimat yang

    ada di dalam ayat tersebut dari segi kaidah bahasa (ilmu

    nahwu).

    Menafsirkan dengan ayat-ayat lain.

    Memberikan keterangan dari hadits Nabawi bila ada.

    Mengumpulkan pendapat para penafsir terdahulu.

    Langkah-langkah ini digunakan dalam menafsirkan ayat-

    ayat al-Qur’an dengan mengacu pada susunan surah yang ada di

    dalam al-Qur’an.

  • BAB III

    ISTIGHFAR DAN TAUBAT

    A. Istighfar 1. Pengertian Istighfar

    Secara etimologi (bahasa) istighfar berasal dari bahasa Arab

    ghafara-yaghfiru-ghufrân yang berarti mâlibâsu yaṣûnahu ‘ani

    al-danasi (pakaian yang bersih dari kotoran)1. Kata yang

    semakna dengan ghufrân adalah maghfiroh, yang artinya

    penutupan atau pengampunan yang diberikan Allah SWT

    terhadap kejahatan yang dilakukan oleh manusia. Kata ghafara

    jika ditambahkan tiga huruf alif, sin, dan ta akan menjadi

    istaghfara-yastaghfIrû-istighfârân. Penambahan tiga kata

    tersebut terkandung makna ṭalabu al-maghfiroh yang artinya

    meminta ampun.2

    Sedangkan secara terminologi (istilah) istighfar adalah

    memohon ampun. Ampunan bukan hanya untuk menghapuskan

    dosa akan tetapi sebagai pemeliharaan dari kejahatan dan dosa.

    Menurut al-Râghib al-Aṣfahânî kata istighfar adalah meminta

    ampunan dengan ucapan dan perbuatan, karena apabila istighfar

    hanya sekedar ucapan saja tanpa diiringi perbuatan yang baik

    maka hal tersebut termasuk pekerjaan pendusta.3

    1 Al-Râghib al-Aṣfahânî, Mufradât Alfâz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), h. 374.

    2 Al-Râghib al-Aṣfahânî, Mufradât Alfâz al-Qur’an, h. 470-474. 3 Ainul Haris, Kunci-Kunci Rizki Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah,

    (Jakarta: Darul Haq, 2002), h. 10.

    32

  • 33

    Dengan demikian istighfar ialah suatu perkara istimewa

    yang dianugrahkan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya,

    supaya manusia termotivasi ke jalan yang benar dan kembali

    kepada-Nya. Istighfar juga dapat mendatangkan kebaikan dan

    mencegah kejahatan di dunia maupun di akhirat bagi manusia.4

    Memohon ampun sangatlah penting bagi manusia. Bukan

    karena manusia mempunyai kesempatan untuk berbuat dosa,

    tetapi karena Allah SWT berulangkali memerintahkan lewat

    firman-firman-Nya baik dari al-Qur’an maupun lisan utusan-Nya

    (Rasulullah SAW).5 Seperti dalam al-Qur’an,

    ِإنَّ اهللََّ ۚ◌ ُقْل َ� ِعَباِدَي الَِّذيَن َأْسَرُفوا َعَلٰى َأنـُْفِسِهْم َال تـَْقَنطُوا ِمْن َرْمحَِة اهللَِّ يًعا ِإنَُّه ُهَو اْلَغُفوُر الرَِّحيمُ ۚ◌ يـَْغِفُر الذُّنُوَب مجَِ

    Artinya: “Katakanlah : “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar [39] : 53).6

    Dari definisi istighfar di atas baik menurut etimologi

    maupun terminologi, penulis dapat mengambil kesimpulan.

    Bahwa istighfar adalah permohonan ampun kepada Allah SWT

    atas dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh manusia. Allah SWT

    4 Abdul Hadi, Keutamaan Istighfar Dalam Kitab al-Azkâr al-Nawâwiyyah, h. 15-16.

    5 Su’aib H. Muhammad, 5 pesan al-Qur’an, (Malang; UIN Maliki Press, 2011), h. 87.

    6 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid VIII, h. 490..

  • 34

    akan mengampuni dosa-dosa manusia jika mereka memohon

    ampun kepada-Nya.

    2. Syarat – Syarat Dan Macam-Macam Istighfar a. Syarat – Syarat Istighfar Istighfar yang diterima oleh Allah SWT harus memenuhi

    syarat-syaratnya. Menurut Yûsuf al-Qardâwî syarat-syarat

    istighfar, antara lain:7

    Niat yang benar dan ikhlas semata ditujukan kepada Allah SWT. Karena Allah SWT tidak menerima amal

    perbuatan manusia kecuali jika amal itu dilakukan

    dengan ikhlas semata untuk-Nya. Allah SWT berfirman:

    يَن ُحنَـَفاۤ ا ٱهللََّ ُخمِْلِصَني لَ ا ِإالَّ لِيَـْعُبُدوْ أُِمُروْ َوَماۤ ا ا ٱلصََّلٰوَة َويـُْؤتـُوْ َء َويُِقيُموْ ُه ٱلدِِّلَك ِدينُ ۚ◌ ٱلزََّكٰوَة ٱْلَقيَِّمةِ َوذَٰ

    Artinya:“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah SWT dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5).8

    7 Yûsuf al-Qardâwî, Taubat, (al-Taubah ilâ Allah), terj. Abdul Hayyie al Kattani, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998), Cet. I.

    8 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid X, h. 766-767.

  • 35

    Dan sabda Rasulullah SAW, َا ِلُكلِّ اْمِرٍئ َما نـََوى َا ْاَألْعَماُل اِبلنِّيَّاِت َوِإمنَّ ِإمنَّ

    Artinya: “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).

    Hati dan lidah secara bersamaan melakukan istighfar.

    Sehingga tidak hanya lidahnya yang berkata: aku

    beristighfar kepada Allah SWT, sementara hatinya ingin

    terus melakukan maksiat. Ibnu Abbas r.a berkata, “orang

    yang beristighfar kepada Allah SWT dari suatu dosa

    sementara ia masih terus menjalankan dosa itu maka ia

    seperti orang yang sedang mengejek Rabbnya!”. Seorang

    sufi besar Rabi’ah al-‘Adawiyah r.a berkata, “istighfar

    kita butuh kepada istighfar lagi! Jika istighfar kita hanya

    dengan lidah saja, tidak disertai dengan hati”.

    Maksudnya istighfar yang dilakukan dengan kelalaian

    hati, butuh kepada istighfar lagi dari kelalaian itu sendiri.

    b. Macam – Macam Istighfar Berikut ini macam-macam istighfar dari lafaz,

    diantaranya;9

    Lafaz paling utamanya adalah yang dikenal dengan

    Sayyidul Istighfar (penghulu istighfar), yaitu

    mengucapkan:

    9https://aslibumiayu.net/5982-lafadz-lafadz-istighfar-yang-bisa-digunakan-untuk beristighfar.html. Diambil dari artikel berjudul “al-Istighfâr: Fadlâ`iluh, Awqâtuh, Shiyaghuh” karya Muhammad bin Ibrahim al-Hamd oleh Abu Shofiyyah).

    https://aslibumiayu.net/5982-lafadz-lafadz-istighfar-yang-bisa-digunakan-untuk%20beristighfar.htmlhttps://aslibumiayu.net/5982-lafadz-lafadz-istighfar-yang-bisa-digunakan-untuk%20beristighfar.html

  • 36

    اللَُّهمَّ َأْنَت َريبِّ َال ِإَلَه ِإالَّ َأْنَت َخَلْقَتِين َوَأَ� َعْبُدَك َوَأَ� َعَلى َعْهِدَك َوَوْعِدَك َمااْسَتطَْعُت َأُعْوُذ ِبَك ِمْن َشرِّ َما َصنَـْعُت َأبـُْوُء َلَك بِِنْعَمِتَك َعَليَّ َوَأبـُْوُء ِبَذْنِيب

    نـُْوَب ِإالَّ َأْنتَ فَاْغِفْرِيل فَِإنَُّه الَ يـَْغِفرُ الذُّ Artinya: “Ya Allâh! Engkaulah Rabbku, tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain-Mu, Engkaulah Yang menciptakanku, dan aku adalah hamba-Mu, aku berada diatas ikatan dan janji-Mu selama aku mampu, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang aku buat, aku mengakui kepada-Mu atas nikmat-Mu kepadaku, dan aku juga mengakui kepada-Mu dosa-dosaku; maka ampunilah aku karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Engkau” (HR. Bukhari no. 6306).

    Lafaz: ْهللاَ َأْستَـْغِفرُ اْلَعِظْيم (Aku mohon ampun kepada Allah SWT yang Maha Agung).

    Lafaz: َربِّ اْغِفْر ِيل (Tuhanku, ampuni aku).

    Lafaz: َّنُوَب ِإال اللَُّهمَّ ِإىنِّ ظََلْمُت نـَْفِسى ظُْلًما َكِثريًا َوَال يـَْغِفُر الذُّاْلَغُفوُر الرَِّحيمُ أَْنَت ، فَاْغِفْر ِىل َمْغِفرًَة ِمْن ِعْنِدَك ، َواْرَمحِْىن ِإنََّك أَْنَت

    Artinya: “Ya Allah, sungguh aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak, sedangkan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Maka itu ampunilah aku dengan suatu pengampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Bukhari no. 834 dan Muslim no. 2705).

    Lafaz: َالتـَّوَّاُب وْ َربِّ اْغِفْر ِيل َوُتْب َعَليَّ ِإنََّك أَْنَت التـَّوَّاُب اْلَغُفْوُر، أ الرَِّحْيمُ Artinya:“Tuhanku! Ampunilah aku dan berilah taubat kepadaku, sesungguhnya Engkaulah Maha Penerima

  • 37

    taubat lagi Maha Pengampun, (atau) Maha Penerima taubat lagi Maha Pengasih”.

    Lafaz: ُْب ِإَلْيهِ َأْستَـْغِفُر هللاََ الَِّذي َال ِإَلَه ِإالَّ ُهَو ْاَحليُّ اْلَقيـُّْوُم َوأَتـُو Artinya: “Aku memohon ampun kepada Allah SWT Yang tidak ada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Dia Yang Maha Hidup Lagi Maha berdiri sendiri, dan aku bertaubat kepada-Nya”

    Jika tidak hafal dengan kalimat itu, maka cukuplah dengan

    ucapan astaghfirullâhal ‘adzim atau rabbighfirlî. Namun perlu

    diketahui, sesuai mengerjakan istighfar di atas. Rasulullah SAW

    berkata,

    َوَمْن قَاَهلَا ِمَن النـََّهاِر ُموِقًنا هِبَا ، َفَماَت ِمْن يـَْوِمِه قـَْبَل َأْن ُميِْسَى ، فـَُهَو ِمْن ْبَل َأْن ُيْصِبَح ، َأْهِل اْجلَنَِّة ، َوَمْن قَاَهلَا ِمَن اللَّْيِل َوْهَو ُموِقٌن هِبَا ، َفَماَت قـَ

    فـَْهَو ِمْن َأْهِل اْجلَنَّةِ Artinya: “Barangsiapa membaca istighfar di siang hari dengan penuh keyakinan lalu yang bersangkutan meninggal sebelum petang datang, maka ia termasuk ahli surga. Dan barang siapa membacanya di malam hari dengan penuh keyakinan lalu yang bersangkutan meninggal sebelum subuh datang, maka dia termasuk ahli surga” (HR. Bukhari no. 6306).10 Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah istighfar terbagi

    menjadi dua bagian. Pertama, istighfar mufrad ialah istighfar

    yang diucapkan dengan lafaz sendiri. Seperti perkataan Nabi

    Shaleh as dalam al-Qur’an,

    َ َلَعلَُّكْم ۚ◌ قـَْبَل احلََْسَنةِ قَاَل َ�قـَْوِم ِملَ َتْستَـْعِجُلْوَن اِبلسَّيَِّئِة َلْوَال َتْستَـْغِفُرْوَن اهللّٰ تـُْرَمحُْونَ

    10 Su’aib H. Muhammad, 5 pesan al-Qur’ân, Jilid II, h. 89-90.

  • 38

    Artinya: “Dia (Saleh) berkata, “Wahai kaumku! Mengapa kamu meminta disegerakan keburukan sebelum (kamu meminta) kebaikan? Mengapa kamu tidak memohon ampunan kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat?”. (QS. An-Naml [27]: 46)11

    Kedua, istighfar maqrûn bi al-taubah ialah istighfar yang

    disertai dengan taubah. Seperti perkataan Nabi Syu’aib as dalam

    al-Qur’an,

    ِإنَّ َرىبِّ َرِحيٌم َوُدودٌ ۚ◌ َوٱْستَـْغِفُرْوا رَبَُّكْم مثَُّ تُوبـُْوۤا ِإلَْيِه Artinya: “Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.” (QS. Hûd [11] : 90).12

    3. Tujuan Dan Manfaat Beristighfar a. Tujuan Beristighfar Manusia beristighfar pasti memiliki tujuan, diantaranya:

    Istighfar merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

    Hamba yang taat adalah hamba yang selalu mohon

    ampun kepada Allah SWT. Banyak perintah Allah SWT

    dalam al-Qur’an yang menyuruh hamba-Nya untuk

    beristighfar.

    Istighfar merupakan sebab untuk diampuninya dosa.

    Sebab turunnya hujan, mendapatkan harta dan anak serta

    masuknya manusia ke dalam surga. Nabi Nuh berkata

    11 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid VII, h. 240.

    12 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid IV, h. 561-562.

  • 39

    ketika mendakwahi kaumnya, sebagaimana firman Allah

    SWT:

    رَبَُّكْم ِإنَُّه َكاَن َغفَّارًا . يـُْرِسِل السََّماَء َعَلْيُكْم ِمْدرَارًا .فـَُقْلُت اْستَـْغِفُروا َوُميِْددُْكْم أبَِْمَواٍل َوبَِنَني َوَجيَْعْل َلُكْم َجنَّاٍت َوَجيَْعْل َلُكْم َأنـَْهارًا

    Artinya:“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nûh [71]: 10-12).13

    Kekuatan menjadi bertambah dengan istighfar. Allah

    SWT berfirman,

    َقْوِم اْستَـْغِفُرْوا رَبَُّكْم مثَُّ تـُْوبـُوْۤ ًة َويـٰ ا ِالَْيِه يـُْرِسِل السََّمۤاَء َعَلْيُكْم مِّْدرَارًا وَّيَزِدُْكْم قـُوَّ ِاٰىل قـُوَِّتُكْم َوَال تـَتَـَولَّْوا ُجمْرِِمْنيَ

    Artinya: “Dan (Hûd berkata): ”Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabbmu lalu taubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa”. (QS. Hûd [11]: 52).14

    13 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid. X, h. 390.

    14 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid IV, h. 524.

  • 40

    Penyebab mendapatkan kesenganan yang baik. Allah

    SWT berfirman,

    ا ِالَْيِه ُميَتِّْعُكْم مََّتاًعا َحَسًنا ِاٰىل َاَجٍل مَُّسمًّى وَّيـُْؤِت وََّاِن اْستَـْغِفُرْوا رَبَُّكْم مثَُّ تـُْوبـُوْۤ ْۤ َوِاْن ۗ◌ ُكلَّ ِذْي َفْضٍل َفْضَلهُ َاَخاُف َعَلْيُكْم َعَذاَب يـَْوٍم َكِبْريٍ تـََولَّْوا فَِاّينِ

    Artinya:“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. ika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (QS. Hûd [11]: 3).15 Terhindar dari azab Allah SWT. Allah SWT tidak akan

    mengazab orang yang selalu beristighfar. Dia Allah

    SWT berfirman,

    بـَُهْم َوَأْنَت ِفيِهْم ُ لِيـَُعذِّ بـَُهْم َوُهْم َيْستَـْغِفُرونَ ۚ◌ َوَما َكاَن اهللَّ ُ ُمَعذِّ َوَما َكاَن اهللَّ Artinya:“Dan Allah SWT sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah SWT akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (QS. Al-Anfâl [8]: 33).16 Istighfar merupakan kebutuhan seorang hamba. Ia

    dibutuhkan oleh hamba-hamba Allah SWT karena

    mereka selalu berbuat kesalahan sepanjang malam dan

    15 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid IV, h. 461.

    16 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid III, h. 752-753.

  • 41

    siang hari. Jadi, bila mereka beristighfar, Allah SWT

    pasti mengampuni mereka.

    Penyebab turunnya rahmat Allah SWT. Rahmat akan

    turun dengan sebab istighfar. Allah SWT berfirman,

    َلْوَال َتْستَـْغِفُروَن اهللََّ َلَعلَُّكْم ۖ◌ قَاَل َ� قـَْوِم ِملَ َتْستَـْعِجُلوَن اِبلسَّيَِّئِة قـَْبَل احلََْسَنِة تـُْرَمحُونَ

    Artinya:“Dia berkata: "Hai kaumku mengapa kamu minta disegerakan keburukan sebelum (kamu minta) kebaikan? Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah SWT, agar kamu mendapat rahmat.” (QS. An-Naml [27]: 46).17 Istighfar merupakan kaffarat (Penghapus dosa) yang

    dilakukan dalam suatu majlis.

    Mengikuti Sunnah Nabi SAW. Seseorang yang

    melakukannya berarti telah meneladani Nabi SAW,

    sebab beliau beristighfar di dalam satu majlis sebanyak

    70 kali. Dalam riwayat yang lain disebutkan, sebanyak

    100 kali.

    b. Manfaat Beristighfar Ibnu al-Qayyim mengatakan bahwa memohon ampun

    memiliki pengaruh yang luar biasa untuk menghilangkan

    penderitaan, ketakutan, kesedihan, kesulitan, dan penyakit hati.

    Orang-orang yang biasa melakukan dosa pada gilirannya akan

    merasakan kebosanan, dan pada saat itulah ada keinginan untuk

    melakukan dosa-dosa yang lain. Cara menghilangkannya adalah

    17 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid VII, h. 240.

  • 42

    dengan memohon ampun kepada Allah SWT dan bertaubat

    kepada-Nya.18

    Kalimat istighfar diucapkan dengan penuh keikhlasan untuk

    memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah SWT. Rasulullah

    SAW menganjurkan untuk membaca istighfar setiap saat, agar

    selalu didekatkan kepada Allah SWT. Apabila mengucapkan

    istighfar dengan hati yang ikhlas, walaupun hanya satu kali.

    Maka Allah SWT akan mengampuni pembacanya. Allah SWT

    selalu mengampuni dosa-dosa hambanya betapapun besar dan

    banyaknya selama hamba-Nya mau meminta ampunan kepada-

    Nya.19 Rasulullah SAW menjelaskan fadhilah membaca istighfar,

    diantaranya:

    Mendapat pengampunan dari Allah SWT dan rizki yang

    tidak terduga.

    Menenangkan diri ketika marah.

    Mendapatkan jalan keluar dari kesusahan dan

    kesempitan.

    Istighfar tempat berlindung kaum mukminin saat muncul

    tanda-tanda ancaman Allah SWT yang diciptakan-Nya

    untuk menakut-nakuti hamba-hamba-Nya, seperti

    gerhana.

    Istighfar merupakan obat kekeringan, kemandulan, dan

    kemiskinan.

    18 Su’aib H. Muhammad, 5 pesan al-Qur’ân, Jilid II, h. 236. 19 Kaserun AS. Rahman, Kitab Istighfar, (Tangerang: Anggota IKAPI,

    2015), h. 2.

  • 43

    Istighfar, sifat kaum mukmin yang mendapat sanjungan

    Allah SWT.20

    Istighfar akan mendapatkan keturunan yang baik.

    Istighfar termasuk satu dari dua hal yang dapat

    membinasakan setan.

    Dengan membaca istighfar seorang hamba akan menjadi

    sebaik-baiknya manusia.

    Allah SWT menghamparkan tangan-Nya siang dan

    malam bagi orang yang beristighfar.

    Istighfar anak akan mengangkat kedudukan orang tua.

    Istighfar akan menghapuskan kenistaan-kenistaan lisan

    dan menyelamatkan dari sifat riya.

    Istighfar akan membantu dalam menghafalkan al-

    Qur’an.21

    4. Contoh Ayat Istighfar Penulis mencatumkan tiga contoh dari lafaz istighfar

    tersendiri. Berikut ayat dan penafsirannya;

    a. Terkadang Istighfar Juga Bisa Menjadi Haram. Misalnya,

    istighfar untuk orang kafir. Allah SWT berfirman,

    َما َكاَن لِلنَِّيبِّ َوالَِّذيَن آَمُنوا َأْن َيْستَـْغِفُروا لِْلُمْشرِِكَني َوَلْو َكانُوا ُأوِيل قـُْرَىبٰ ِمْن بـَْعِد َما تـَبَـنيََّ َهلُْم َأنـَُّهْم َأْصَحاُب اجلَِْحيمِ

    20 Ismail Al-Muqaddam, Fikih Istighfar, (Jakarta: Geramedia Pustaka Utama, 2016), h. 21-33.

    21 Muhammad Arifin Ilham, Dahsyatnya Kekuatan Dzikir dan Sedekah, (Jakarta: Zikrul Hakim (Anggota IKAPI, 2017), h. 140-155.

  • 44

    Artinya: “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah SWT) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwsannya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahannam.” (At- Taûbah [9]: 113).22

    Imam al- Nawawî berkata,” Menshalatkan orang kafir dan

    memohonkan ampun bagi mereka hukumnya haram, berdasarkan

    nash-nash al-Qur’an dan ijma’ ulama.”23

    Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini menggambarkan

    orang musyrik yang telah pasti kemusyrikannya baik dia kerabat

    Nabi ataupun kerabat orang yang beriman, tidak patut Nabi dan

    orang beriman untuk memohon ampun kepada Allah SWT

    untuknya. Karena orang musyrik telah menyekutukan Allah

    SWT.24

    Di dalam kitab Tafsir Qurthubi, dijelaskan bahwa

    (istighfar) memohon ampun untuk orang musyrik itu tidak

    diperbolehkan. Adapula istighfar di sini diartikan menshalatkan.

    Sebagian ulama berkata, Aku tidak pernah meninggalkan shalat

    jenazah atas seorang ahli kiblat, walaupun dia wanita Habasyi

    yang hamil akibat zina. Karena tidak pernah mendengar Allah

    SWT melarang kita menshalatkan jenazah kecuali orang-orang

    musyrik.25

    22 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid IV, h. 261.

    23 Ismail Al-Muqaddam, Fikih Istighfar, h. 8-9. 24 M. Quraish Shihab, AL-LUBÂB Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari

    Surah-Surah al-Qur’an, (Tanggerang: Lentera Hati, 2012), h. 595. 25 Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, ( Jakarta: Pustaka Azzam,

    2008), h. 686-687.

  • 45

    b. Nabi Shaleh as Menyuruh Golongan Yang Menolak

    Ajakannya Untuk Istighfar (Memohon Ampun) Kepada

    Allah SWT.

    َلْوَال َتْستَـْغِفُروَن اهللََّ ۖ◌ قَاَل َ� قـَْوِم ِملَ َتْستَـْعِجُلوَن اِبلسَّيَِّئِة قـَْبَل احلََْسَنِة َلَعلَُّكْم تـُْرَمحُونَ

    Artinya: “Dia berkata: "Hai kaumku mengapa kamu minta disegerakan keburukan sebelum (kamu minta) kebaikan? Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah, agar kamu mend