skripsi anjar mahanani (g1d008020)

143
DURASI PEMBERIAN TERAPI MUSIK KLASIK MOZART TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA ANAK SKRIPSI Oleh: ANJAR MAHANANI G1D008020 KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEPERAWATAN PURWOKERTO 2013

Upload: bien-grunch

Post on 23-Oct-2015

423 views

Category:

Documents


67 download

TRANSCRIPT

DURASI PEMBERIAN TERAPI MUSIK KLASIK

MOZART TERHADAP TINGKAT KECEMASAN

PADA ANAK

SKRIPSI

Oleh:

ANJAR MAHANANI

G1D008020

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEPERAWATAN

PURWOKERTO

2013

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Anjar Mahanani

NIM : G1D008020

Tempat, tanggal lahir : Karawang, 02 Februari 1990

Alamat : Ds. Purwasari RT 01 RW 03 no.83. Kecamatan Purwasari.

Kabupaten karawang, Jabar 41373

Email : [email protected]/ [email protected]

Riwayat Pendidikan :

1. SD Negeri 1 Purwasari (2002)

2. SMP Negeri 2 Cikampek (2005)

3. SMA Negeri 5 Karawang (2008)

4. Mahasiswa FKIK, Jurusan Keperawatan, Universitas

Jenderal Soedirman

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

Pertama dan utama untuk Allah swt, atas segala Karunia dan nikmatNya

Ibuku tercinta Sri Suhartati yang telah membimbing, menjaga, memberikan motivasi

dan memberikan kasih sayang yang tulus, for me ”You are my everything”

Kakak saya tercinta Wina Kusnia yang selalu memberikan dukungan, motivasi,

bimbingan dan support untuk saya

Kakak-kakakku yang selalu aku sayangi (Yuda, Mima, Kania, Tantri, Mei, Jajat

Muzizat, Ari, Sigit, Bayu) terimakasih atas support, kasih sayang dan

bimbingannya

Untuk Ibu Aris Fitriyani dan Ibu Dian Ramawati terimakasih atas bimbingannya

dalam penyusunan skripsi ini, dan terimakasih untuk Ibu Desiyani Nani selaku

penguji skripsi yang telah memberikan saran dan masukan untuk menyempurnakan

skripsi ini

Sahabat-sahabat terbaikku (Lia, Lintang, Dani, Retno, Nunu)

Teman-teman kelompok KKN yang selalu mendukungku (Bagus, Nabila, Mas

Anam & Andri)

Teman-teman seperjuangan A1

Dosen pengajar & staff jurusan keperawatan

Almamaterku Universitas Jenderal Soedirman

PERNYATAAN

Dengan ini, saya menyatakan bahwa dalam karya tulis ilmiah ini tidak terdapat

karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan atau

kesarjanaan lain di suatu perguruan tinggi. Sepanjang pengetahuan saya, juga

tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang

lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar

pustaka.

Purwokerto, Agustus 2013

Anjar Mahanani

G1D008020

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian

berjudul “Durasi Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart Terhadap Tingkat

Kecemasan Pada Anak” Penelitian ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat

untuk mendapat gelar sarjana pada Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan

Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Dalam

penyusunan usulan penelitian ini, penulis banyak mendapat bantuan dari banyak

pihak, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan ucapan

terima kasih kepada :

1. dr. Hj. Retno Widiastusi, MS, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-

Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman.

2. Made Sumarwati, MN, selaku Ketua Jurusan Keperawatan Universitas

Jenderal Soedirman.

3. Aris Fitriyani S. Kep., Ns., MM., selaku dosen pembimbing I yang telah

bersedia memberikan bimbingan sejak awal sampai akhir penyusunan

usulan penelitian ini.

4. Dian Ramawati, M. Kep., Ns., selaku dosen pembimbing II yang telah

bersedia memberikan bimbingan sejak awal sampai akhir penyusunan

usulan penelitian ini.

5. Desiyani Nani, S. Kep., Ns., M.Sc., selaku dosen penguji yang telah

berkenan memberikan pengarahan demi kesempurnaan usulan penelitian

ini.

6. Dr. Muh. Basalamah, SpA selaku pembimbing di RSUD Banyumas yang

telah berkenan memberikan bimbingan selama penelitian di RSUD

Banyumas.

7. Erma Dwi K. S.Kep., Ns., Kusriyati. AMK., dan seluruh perawat di ruang

Kanthil RSUD Banyumas yang telah berkenan memberikan bimbingan

dan motivasi selama penelitian di ruang Kanthil.

8. Keluarga yang telah memberikan dukungan moral dan material guna

terselesaikannya usulan penelitian ini.

9. Teman-teman keperawatan angkatan 2008 yang telah memberikan

dukungan serta bantuan hingga usulan penelitian ini dapat terselesaikan.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas bantuan

moral maupun material dalam penulisan usulan penelitian ini.

Penulis menyadari masih banyak ketidaksempurnaan dalam penyusunan

usulan penelitian ilmiah ini, oleh karena itu diharapkan kritik maupun saran yang

bersifat membangun demi hasil yang lebih baik. Semoga penelitian ini mendapat

ridho dari Alloh SWT dan bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Purwokerto, Agustus 2013

Anjar Mahanani

G1D008020

Jurusan Keperawatan

Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan

Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto

2013

DURASI PEMBERIAN TERAPI MUSIK KLASIK MOZART TERHADAP

TINGKAT KECEMASAN PADA ANAK

Anjar Mahanani1, Aris Fitriyani, S.Kep., Ns., MM

2, Dian Ramawati, M. Kep., Ns

3

ABSTRAK

Latar belakang: Hospitalisasi merupakan suatu proses oleh suatu alasan yang

terencana atau darurat, sehingga anak harus dirawat di rumah sakit yang dapat

menyebabkan anak mengalami kecemasan. Untuk mengatasi kecemasan dapat

diberikan penatalaksanaan psikoterapi, salah satunya adalah dengan musik klasik

Mozart.

Tujuan: Penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pengaruh durasi

pemberian terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat kecemasan pada anak yang

mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD

Banyumas.

Metode: Jenis penelitian Quasy Experiment dengan pendekatan pretest-posttest

with control group design. Menggunakan teknik purposive sampling, yang

berjumlah 30 anak dan dianalisis dengan Mann-Whitney dan Wilcoxon.

Hasil: Hasil analisis didapatkan p value sebesar 0,025, nilai p value < α

(0,025<0,05). Sehingga terdapat perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi

musik klasik Mozart terhadap tingkat kecemasan pada anak yang mengalami

hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD Banyumas.

Kesimpulan: Terdapat perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi musik klasik

Mozart terhadap tingkat kecemasan pada anak yang mengalami hospitalisasi saat

dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD Banyumas.

Kata kunci: Hospitalisasi, Kecemasan anak, Musik Klasik Mozart.

Nursing Department

Faculty of Medicine and Health Scineces

University of Jenderal Soedirman

Purwokerto

2013

DURATION OF MOZART CLASSICAL MUSIC THERAPY FOR

REDUCING CHILDREN'S ANXIETY LEVEL

Anjar Mahanani1, Aris Fitriyani, S.Kep., Ns., MM

2, Dian Ramawati, M. Kep., Ns

3

ABSTRACT

Background: Hospitalization is a process by which a planned or emergency

reasons, so the children being hospitalized and it cause children to experience

anxiety. In order to reduce the anxiety can be given psychotherapy. The music

therapy is a form of psychotherapy , one of which is Mozart classical music.

Purpose: The research was to determine the differences effect of duration Mozart

classical music therapy in reducing anxiety level of hospitalized children during

examination of vital signs in RSUD Banyumas.

Methods: The type of research was quasy experiment with pretest-posttest with

control group design approach. Using a purposive sampling technique, whose

sample of 30 children and were analyzed with Mann-Whitney and Wilcoxon. Result: Result of analysis obtained p value of 0,025, so p value < α

(0,025<0,05), so that there was different effect of duration Mozart classical music

therapy of 45 minutes in reducing anxiety level of hospitalized children during

examination of vital signs in RSUD Banyumas.

Conclusion: There was a different effect of duration Mozart classical music

therapy in reducing anxiety level of hospitalized children during examination of

vital signs in RSUD Banyumas.

Keywords: Children’s anxiety, Hospitalization, Mozart classical music therapy.

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii

RIWAYAT HIDUP……………………………………………………… . iii

PERSEMBAHAN………………………………………………………… iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN……………... v

PRAKATA .......................................................................................... ........ vi

ABSTRAK................................................................................................... viii

ABSTRACT................................................................................................. ix

DAFTAR ISI ............................................................................................... x

DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xvi

DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... xvii

DAFTAR SINGKATAN............................................................................. xviii

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian...................................................................... 7

D.Manfaat Penelitian.................................................................... 8

E. Keaslian Penelitian ................................................................... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori ......................................................................... 12

1. Terapi Musik .................................................................... 12

a. Pengertian Musik .......................................................... 12

b. Musik Klasik ................................................................ 13

c. Pengertian Terapi Musik .............................................. 14

d. Pengertian Terapi Musik Klasik Mozart ...................... 14

e. Cara Kerja Terapi Musik .............................................. 15

f. Tata Cara Pemberian Terapi Musik .............................. 16

2. Kecemasan ........................................................................ 17

a. Pengertian Kecemasan ................................................. 17

b. Tanda dan Gejala Kecemasan.................................. .... 18

c. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan ..... ..... 20

d. Teori Tentang Kecemasan ............................................ 21

e. Faktor Presipitasi Kecemasan ...................... ................ 23

f. Tingkat Kecemasan ...................................................... 24

g. Rentang Respon Kecemasan..................................... ... 25

h. Gangguan Kecemasan Menurut DSM-IV................ .... 26

i. Penatalaksanaan Kecemasan ........................................ 29

j. Akibat Kecemasan......................................................... 30

k. Instrumen Pengukuran Kecemasan................................ 31

3. Hospitalisasi........................................................................ 36

a. Pengertian Hospitalisasi................................................. 36

b. Dampak Hospitalisasi.................................................... 37

c. Kecemasan Hospitalisasi................................................ 38

d. Reaksi Anak Terhadap Sakit dan Hospitalisasi.............. 38

B. Kerangka Teori... ...................................................................... 51

C. Kerangka Konsep ..................................................................... 52

D. Hipotesa Penelitian .................................................................. 53

BAB III METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian ...................................................................... 54

1. Jenis Penelitian…………………………………............... . 54

2. Lokasi Penelitian………………………………................ . 55

B. Populasi dan Sampel ................................................................ 55

C. Variabel Penelitian .................................................................. 57

D. Definisi Operasional ................................................................. 58

E. Instrumen Penelitian ................................................................. 60

F. Validitas dan Reliabilitas ......................................................... 61

G. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 62

H. Pengolahan dan Analisis Data .................................................. 64

I. Etika Penelitian ........................................................................ 67

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil……………………………………………………….. ... 69

1. Karakteristik Responden……………………………........... 69

2. Tingkat kecemasan Akibat Hospitalisasi………………... 71

3. Perbedaan Tingkat Kecemasan Anak Sebelum Terapi

Musik Klasik Mozart Pada Kelompok 30 menit dan 45

Menit.................................................................................. 75

4. Pengaruh Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart

Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Anak Yang

Mengalami Hospitalisasi Pada Kelompok Terapi 30

Menit dan Kelompok Terapi 45 Menit.............................. 77

5. Tingkat Kecemasan Anak Sesudah Terapi Musik Klasik

Mozart Pada Kelompok 30 Menit dan 45 Menit................ 79

B. Pembahasan…………………………………………………... 80

1. Karakteristik Responden…………………………...... ...... 80

2. Tingkat Kecemasan Responden…………………… .. ...... 85

C. Kelemahan Penelitian…………………………………......... .. 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan……………………………………….................... 95

B. Saran………………………………………………………..... . 96

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1. Definisi Operasional………..………………………………….......... 59

4.1. Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUD

Banyumas……………………………………………………........... 69

4.2. Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Usia……………........... 70

4.3. Distribusi jumlah responden berdasarkan penyakitnya…………….. 71

4.4. Distribusi jumlah responden berdasarkan tingkat kecemasan pada

anak akibat hospitalisasi (5-10 tahun) di RSUD Banyumas sebelum

diberikan terapi……………………………………………………... 72

4.5. Distribusi jumlah responden berdasarkan tingkat kecemasan pada

anak akibat hospitalisasi (5-10 tahun) di RSUD Banyumas setelah

diberikan terapi………………………………………….................. 73

4.6. Tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi antara kelompok

terapi 30 menit dan kelompok terapi 45 menit sebelum dilakukan

pemberian terapi musik klasik Mozart……………………………... 76

4.7. Perubahan tingkat kecemasan akibat hospitalisasi sebelum dan

setelah pemberian terapi musik klasik Mozart pada kelompok

terapi 30 menit (n=15)………………………………………............ 78

4.8. Perubahan tingkat kecemasan akibat hospitalisasi sebelum dan

sesudah pemberian terapi musik klasik Mozart pada kelompok

terapi 45 menit (n=15)……………………………………………… 79

4.9. Tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi antara kelompok

terapi 30 menit dan kelompok terapi 45 menit sesudah dilakukan

pemberian terapi musik klasik Mozart…………………………....... 80

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. Kerangka teori...... …………..………………………………..……

2.2 Kerangka Konsep…………………………………………………..

51

52

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Permohonan Menjadi Responden

Lampiran 2. Lembar Persetujuan Responden

Lampiran 3. Lembar Data Demografi Responden

Lampiran 4. McMurtry Anxiety Scale

Lampiran 5. Surat Ijin Penelitian Dari Jurusan Keperawatan FKIK UNSOED

Untuk Direktur RSUD Banyumas

Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian Dari Jurusan Keperawatan FKIK UNSOED

Untuk Kepala Diklit RSUD Banyumas

Lampiran 7. Surat Ijin Penelitian Dari Jurusan Keperawatan FKIK UNSOED

Untuk Kepala BAPPEDA Kabupaten Banyumas

Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian Dari Jurusan Keperawatan FKIK UNSOED

Untuk Kepala Bakesbangpolinmas Kabupaten Banyumas

Lampiran 9. Surat Rekomendasi Penelitian Dari Bakesbangpolinmas Kabupaten

Banyumas

Lampiran 10. Surat Ijin Penelitian Dari BAPPEDA Kabupaten Banyumas

Lampiran 11. Surat Keterangan Penelitian Dari RSUD Banyumas

Lampiran 12. Dokumentasi Penelitian

Lampiran 13. Blangko Bimbingan

Lampiran 14. Rekap Hasil Penelitian

DAFTAR SINGKATAN

ACTH : Ardenal Corticotropin Hormon

BOR : Bed Occupancy Rate

DF : Dengue Fever

DSM-IV : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,

4th Edition

DSS : Dengue Syock Syndrom

F : Febris

F, SE : Febris dengan suspek epilepsi

GABA : Aminobutirik-gamma neuroregulator

GNA : Glomerulo Nefritis Akut

HRS-A : Hamilton Rating Scale for Anxiety

KD : Kejang Demam

PJB ; Penyakit Jantung Bawaan

RCMAS : Revised Children’s Manifest Anxiety Scale

SCAS : Spence Children’s Anxiety Scale

SCAS Preschool : Spence Children’s Anxiety Scale Preschool

SN : Sindrom Nefrotiis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa kanak-kanak dalam disiplin ilmu psikologi merupakan rentang yang

cukup panjang yaitu antara usia 2 tahun sampai dengan 11 atau 12 tahun. Dengan

mempertimbangkan karakteristik dan tugas perkembangan yang berbeda, masa

anak terbagi menjadi dua periode yaitu periode anak awal dan anak akhir. Periode

anak awal berkisar dari usia dua sampai dengan enam tahun (2-6 tahun) dan

periode anak akhir dari usia enam sampai dengan tibanya masa kematangan secara

seksual, yaitu masa pubertas. Pengklasifikasian anak awal dan anak akhir

mengacu pula pada usia dimana anak awal merupakan usia prasekolah dan anak

akhir merupakan usia sekolah dasar (Maslihah, 2006).

Anak usia prasekolah dan usia sekolah rentan terkena penyakit, sehingga

banyak anak pada usia tersebut yang harus dirawat di rumah sakit dan

menyebabkan populasi anak yang dirawat di rumah sakit mengalami peningkatan

yang sangat dramatis (Wong , 2009). Di Indonesia 30% dari 180 anak antara 3

sampai 12 tahun mempunyai pengalaman dengan rumah sakit (Smetz cit Luthfi,

2007). Rata-rata anak mendapat perawatan selama enam hari. Selain

membutuhkan perawatan yang spesial dibanding pasien lain, anak sakit juga

mempunyai keistimewaan dan karakteristik tersendiri karena anak-anak bukanlah

miniatur dari orang dewasa atau dewasa kecil. Dan waktu yang dibutuhkan untuk

merawat penderita anak-anak 20-45% lebih banyak daripada waktu untuk

merawat orang dewasa (Aidar, 2011).

Umumnya anak yang sudah agak besar jika dirawat di rumah sakit akan

timbul rasa takut baik pada dokter ataupun perawat, apalagi jika anak telah

mempunyai pengalamanan mendapatkan imunisasi. Dalam bayangannya, perawat

atau dokter akan menyakiti dengan cara menyuntik. Selain itu anak akan merasa

terganggu hubungannya dengan orang tua atau saudaranya. Lingkungan di rumah

tentu berbeda bentuk dan suasananya dengan alat-alat yang ada di ruang

perawatan. Reaksi pertama selain ketakutan juga pasien kurang nafsu makan

bahkan anak yang masih kecil menangis, tidak mau minum susu atau makan

makanan yang diberikan (Ngastiyah, 2005).

Reaksi tersebut terjadi karena perawatan anak di rumah sakit merupakan

pengalaman yang penuh dengan stres, baik bagi anak maupun orang tua.

Lingkungan rumah sakit itu sendiri merupakan penyebab stres dan kecemasan

pada anak. Pada anak usia sekolah yang dirawat di rumah sakit akan muncul

tantangan-tantangan yang harus dihadapinya seperti mengatasi suatu perpisahan,

penyesuaian dengan lingkungan yang asing baginya, penyesuaian dengan banyak

orang yang mengurusinya, dan kerapkali harus berhubungan dan bergaul dengan

anak-anak yang sakit serta pengalaman mengikuti terapi yang menyakitkan

(Supartini, 2004).

Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak

pada anak. Jika seseorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut akan

mudah mengalami krisis karena : (1) Anak mengalami stres akibat perubahan

terhadap status kesehatannya maupun lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari,

dan (2) Anak mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanisme koping untuk

mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian yang bersifat menekan. Reaksi anak

akan mengatasi krisis tersebut dipengaruhi oleh tingkat perkembangan usia,

pengalaman sebelumnya terhadap proses akibat sakit dan dirawat, sistem

dukungan (support system) yang tersedia, serta ketrampilan koping dalam

menangani stres (Nursalam, 2005).

Seorang anak bila menghadapi lingkungan yang baru dikenal akan

mengalami perasaan takut dan cemas apalagi bila harus menjalani rawat inap atau

hospitalisasi (Aidar, 2011). Hospitalisasi merupakan suatu proses oleh karena

suatu alasan yang terencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di

rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke

rumah. Anak yang sakit dan harus dirawat dirumah sakit akan mengalami masa

sulit karena tidak dapat melakukan kebiasaan seperti biasanya. Lingkungan dan

orang-orang asing, perawatan dan berbagai prosedur yang dijalani oleh anak

merupakan sumber utama stresor, kecewa dan cemas, terutama untuk anak yang

pertama kali dirawat dirumah sakit (Elfira, 2011).

Hospitalisasi bagi anak dan keluarga adalah suatu pengalaman yang

mengancam dan stresor, keduanya dapat menimbulkan krisis bagi anak dan

keluarga. Umumnya orangtua yang anaknya mengalami hospitalisasi akan

bersikap penolakan, ketidakpercayaan akan penyakit anaknya, marah, dan rasa

bersalah karena tidak mampu merawat anaknya, rasa takut, cemas, frustasi, dan

depresi. Reaksi terhadap penyakit atau masalah diri yang dialami anak seperti

perpisahan, tidak mengenal lingkungan atau lingkungan yang asing, kehilangan

kontrol, menarik diri, serta lebih peka dan pasif seperti menolak makan (Hidayat,

2005). Tidaklah mengejutkan bila masuk rumah sakit dikaitkan dengan

kecemasan dan ketakutan. Bukan hanya pada orang dewasa, pada anak-anak pun

mereka mempunyai rasa takut terhadap penyakit yang pada akhirnya berhubungan

dengan ketakutan dan kecemasan akan rumah sakit. Bahkan untuk anak yang

masih kecil kecemasan dan kegelisahan orang tua dapat dengan mudah

mempengaruhinya (Aidar, 2011).

Kecemasan merupakan suatu keadaan perasaan kepribadian, rasa gelisah,

ketidaktentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual

yang tidak diketahui atau dikenal (Laraia & Stuart, 2007). Kecemasan merupakan

suatu sinyal yang menyadarkan, ia memperingatkan adanya bahaya yang

mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi

ancaman, untuk mengatasi kecemasan dapat diberikan penatalaksanaan

psikoterapi, salah satu bentuk dari psikoterapi adalah terapi musik (Kaplan &

Sadock, 2002).

Musik digunakan sebagai salah satu terapi pegobatan untuk menurunkan

kecemasan terutama pada pasien dalam kondisi kritis. Implementasi dari terapi

musik dapat mengurangi kecemasan yang akhirnya berkaitan dengan proses

pemulihan yang lebih cepat. Musik yang memiliki tempo lambat dan

menenangkan bisa menjadi terapi yang dapat diartikan sebagai pengobatan. Musik

memiliki aspek terapeutik, sehingga musik banyak digunakan untuk

penyembuhan, menenangkan, dan memperbaiki kondisi fisik dan fisiologis pasien

maupun tenaga kesehatan, karena berdasarkan penelitian ditemukan bahwa saraf

penerus musik dan saraf penerus rasa sakit adalah sama, sehingga para dokter

menggunakan musik sebagai terapi (Musbikin, 2009).

Studi pendahuluan dilakukan oleh peneliti melalui observasi pada pasien

anak di ruang Kanthil RSUD Banyumas, buku registrasi pasien masuk dan

wawancara dengan perawat yang bertugas di ruangan tersebut. Berdasarkan data

yang diperoleh melalui buku registrasi pasien masuk didapatkan data bahwa

jumlah pasien anak pada bulan Januari-Mei 2012 berjumlah 541 anak, sedangkan

pada bulan Mei 2012 pasien anak di ruang Kanthil berjumlah 133 anak, dengan

jumlah 5 penyakit teratas adalah penyakit diare cair akut (37 pasien anak), kejang

demam (15 pasien anak), febris (12 pasien anak), broncho phneumoni (10 pasien

anak) dan abdomen pain (5 pasien anak).

Selama bulan Januari–Desember 2011 rata-rata Bed Occupancy Rate

(BOR) di ruang Kanthil adalah 58,3% dengan demikian apabila dibandingkan

dengan standar nasional 75-85% maka pemakaian tempat tidur yang tersedia di

ruang Kanthil pada bulan Januari–Desember 2011 belum efisien. Sedangkan rata-

rata Bed Occupancy Rate (BOR) untuk 3 bulan terakhir (bulan April–Juni 2012)

adalah 56,08% dengan jumlah rata-rata pasien perhari adalah 18 orang. Ketika

dilakukan observasi terdapat 12 pasien anak yang sedang dirawat di ruang

tersebut, 9 diantaranya tidak kooperatif terhadap tindakan keperawatan yang

diberikan dan mengalami kecemasan yang ditandai dengan anak mengeluarkan

respon menangis jika ada perawat datang, meronta-ronta, memeluk ibunya dan

sikap acuh terhadap orang lain.

Hasil wawancara dengan perawat, perawat di ruang Kanthil mengatakan

sebagian besar anak tidak kooperatif dan mengalami kecemasan terhadap tindakan

keperawatan yang diberikan dan perawat lebih banyak bekerja sama dengan orang

tua saat melakukan tindakan keperawatan, dan mahasiswa profesi yang bertugas

di ruang Kanthil mengatakan bahwa banyak pasien anak yang menangis ketika

didekati oleh perawat. Berdasarkan kasus di atas perlu dilakukan tindakan untuk

mengurangi kecemasan pada pasien anak tersebut, salah satu tindakan yang dapat

dilakukan untuk mengurangi tingkat kecemasan pada anak adalah dengan

diberikannya terapi farmakologi dan terapi non-farmakologi. Terapi non-

farmakologi diantaranya adalah terapi musik klasik, sedangkan di RSUD

Banyumas belum menyediakan terapi musik dalam pemberian asuhan

keperawatan pada anak untuk mengurangi tingkat kecemasan anak saat dilakukan

hospitalisasi.

B. Perumusan Masalah

Hospitalisasi dan lingkungan rumah sakit merupakan penyebab stress dan

kecemasan pada anak (Supartini, 2004). Dampak yang dapat ditimbulkan akibat

kecemasan karena hospitalisasi adalah anak akan merasa ketakutan, menangis,

tidak mau makan dan minum (Ngastiyah, 2005). Kurangnya pengetahuan tentang

rutinitas dan pengobatan di rumah sakit seperti rutinitas pemeriksaan tanda-tanda

vital menjadi salah satu hal yang membuat anak takut dan sulit beradaptasi

sehingga menyebabkan bertambahnya kecemasan pada anak (Rudolf, 2004).

Beberapa cara relaksasi bisa digunakan untuk menurunkan kadar hormon

penyebab stres dan kecemasan, misalnya dengan meditasi ataupun dengan

terapimusik. Tetapi cara paling efektif untuk menurunkan kadar hormon stres

adalah dengan mendengarkan musik klasik (Musbikin, 2009).

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan

pada penelitian ini yaitu “Adakah perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi

musik klasik Mozart terhadap tingkat kecemasan pada anak yang mengalami

hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD Banyumas?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Perbedaan Pengaruh Durasi

Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart Terhadap Tingkat Kecemasan Pada

Anak Usia 5 sampai 10 Tahun Yang Mengalami Hospitalisasi di RSUD

Banyumas.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran karakteristik anak yang mengalami hospitalisasi di

ruang Kanthil RSUD Banyumas (usia, jenis kelamin dan jenis penyakit).

b. Mengetahui tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada anak usia 5

sampai 10 tahun saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di ruang

Kanthil RSUD Banyumas sebelum diberikan terapi musik klasik Mozart.

c. Mengetahui tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada anak usia 5

sampai 10 tahun saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda di ruang Kanthil

RSUD Banyumas sesudah diberikan terapi musik klasik Mozart.

d. Mengetahui perbedaan skor penurunan tingkat kecemasan akibat

hospitalisasi pada kelompok perlakuan 30 menit dan kelompok 45 menit

saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di ruang Kanthil RSUD

Banyumas sebelum dan sesudah diberikan terapi musik klasik Mozart.

D. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penulisan

yang hendak dicapai, maka manfaat yang dapat diharapakan dari penelitian ini

adalah :

1. Bagi institusi Rumah Sakit

Dapat diterapkan sebagai asuhan keperawatan dalam pemberian terapi musik

klasik Mozart untuk menurunkan tingkat kecemasan pada pasien anak selama

hospitalisasi, dan dapat diterapkan sebagai asuhan keperawatan dalam

kegiatan perawatan sehari-hari.

2. Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu literatur di

keperawatan anak dan menjadi tambahan informasi yang berguna bagi para

pembaca untuk meningkatkan mutu pendidikan keperawatan anak, khususnya

dalam penanganan kecemasan pada anak yang mengalami hospitalisasi.

3. Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai informasi dalam memberikan asuhan

keperawatan berupa pemberian terapi musik klasik Mozart untuk menurunkan

kecemasan akibat hospitalisasi pada anak dan memberikan pengetahuan

bahwa terapi musik klasik Mozart perlu dilaksanakan untuk mendukung

proses penyembuhan.

4. Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai data untuk penelitian selanjutnya, dan

menambah literatur tentang terapi musik klasik Mozart terhadap kecemasan

akibat hospitalisasi pada anak di ruang perawatan anak.

5. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan baru dalam memberikan asuhan keperawatan untuk

menurunkan tingkat kecemasan pasien anak saat hospitalisasi dengan cara

pemberian terapi musik klasik.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran pustaka, beberapa riset penelitian yang sejenis

yaitu oleh Rahayu (2011) dengan judul Pengaruh Mendongeng Terhadap

Penurunan Tingkat Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Anak Usia (6-8 tahun)

Sekolah di Ruang Aster RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Penelitian ini menggunakan desain penelitian One Group Pra-Post Test Design,

dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling dan uji analisis yang

digunakan pada penelitian ini adalah adalah analisis statistik uji Wilcoxon. Hasil

yang diperoleh sebelum dilakukan perlakuan mendongeng sebanyak 63,2%

mengalami kecemasan berat dan 36,8% mengalami kecemasan sedang.

Sedangkan setelah dilakukan perlakuan mendongeng sebanyak 5,3 % mengalami

kecemasan ringan, 89,5% mengalami kecemasan sedang dan 5,3% tetap

mengalami kecemasan berat. Hasil uji Wilcoxon, dengan z hitung sebesar 3,728

dan Aasym sig nya sebesar 0,000 (nilai p). Hal ini menunjukan bahwa nilai p

value<0,05, yang berarti ada pengaruh yang sangat signifikan antara sebelum dan

sesudah anak diberikan terapi mendongeng. Berdasarkan hasil penelitian tersebut

dapat disimpulkan bahwa terdapat penurunan stres hospitalisasi pada pasien anak

usia 6-8 tahun setelah dilakukan terapi mendongeng. Persamaan penelitian ini

dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti terletak pada persamaan uji

statistiknya yaitu uji Wilcoxon, variabel terikatnya yaitu tingkat kecemasan anak

akibat hospitalisasi dan perbedaannya terletak pada variabel bebasnya.

Penelitian Farida (2010) dengan judul Efektifitas Terapi Musik Terhadap

Penurunan Nyeri Post Operasi Pada Anak Usia Sekolah Di RSUP Haji Adam

Malik Medan. Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimen, dengan

jumlah sampel 14 orang yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok intervensi

dan kelompok kontrol, dengan menggunakan teknik purposive sampling. Data

dapat dikumpulkan dengan menggunakan Face Pain Rating Scale. Data yang

sudah dikumpulkan di analisa dengan uji t (t-test) dengan tingkat kemaknaan 5%

(α= 0,05). Pada kelompok kontrol, hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh

terapi musik terhadap intensitas nyeri paska operasi tidak bermakna yaitu 0,200

(p>0,05). Sedangkan pada kelompok intervensi terapi musik mempunyai

pengaruh yang signifikan terhadap intensitas nyeri yaitu 0,000 (p<0,05). Sehingga

dapat diketahui bahwa terapi musik dapat memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap intensitas nyeri paska operasi pada anak. Persamaan penelitian ini

dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti terletak pada persamaan teknik

pengambilan sampel yaitu purposive sampling, variabel bebasnya yaitu terapi

musik dan perbedaannya terletak pada variabel terikatnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Terapi Musik

a. Pengertian Musik

Menurut Campbell (2001) musik merupakan suatu bentuk seni

yang menyangkut organisasi atau kombinasi dari suara atau bunyi dan

keadaan diam yang dapat menggambarkan keindahan dan ekspresi dari

emosi dalam alur waktu dan ruang tertentu. Musik dapat menyebabkan

terjadinya kepuasan estetis melalui indera pendengaran dan memiliki

hubungan waktu untuk menghasilkan komposisi yang memiliki kesatuan

dan kesinambungan. Musik didefinisikan sebagai suara dan diam yang

terorganisir melalui waktu yang mengalir (dalam ruang), beberapa

kesimpulan sementara dan pertanyaan yang muncul adalah musik berasal

dari suara, suara berasal dari vibrasi dan vibrasi adalah esensi dari segala

sesuatu (Eagle cit Amsila, 2011).

Musik adalah bunyi atau nada yang menyenangkan untuk didengar.

Musik dapat keras, ribut, dan lembut yang membuat orang senang

mendengarnya. Orang cenderung untuk mengatakan indah terhadap musik

yang disukainya. Musik ialah bunyi yang diterima oleh individu dan

berbeda bergantung kepada sejarah, lokasi, budaya dan selera seseorang

(Willougnby 1996 cit Farida 2010).

Melalui musik juga seseorang dapat berusaha untuk menemukan

harmoni internal (inner harmony). Jadi, musik adalah alat yang bermanfaat

bagi seseorang untuk menemukan harmoni di dalam dirinya. Hal ini

dirasakan perlu, karena dengan adanya harmoni di dalam diri seseorang, ia

akan lebih mudah mengatasi stres, ketegangan, rasa sakit, dan berbagai

gangguan atau gejolak emosi negatif yang dialaminya. Selain itu musik

melalui suaranya dapat mengubah frekuensi yang tidak harmonis tersebut

kembali ke vibrasi yang normal, sehat, dan dengan demikian memulihkan

kembali keadaan yang normal (Merrit, 2003).

b. Musik Klasik

Musik klasik merupakan sebuah musik yang dibuat dan

ditampilkan oleh orang yang terlatih secara profesional melalui pendidikan

musik. Musik klasik juga merupakan suatu tradisi dalam menulis musik,

yaitu ditulis dalam bentuk notasi musik dan dimainkan sesuai dengan

notasi yang ditulis. Musik klasik adalah musik yang komposisinya lahir

dari budaya Eropa dan digolongkan melalui periodisasi tertentu (Kamus

Besar Bahasa Indonesia, 2008). Sebuah penampilan musik klasik memiliki

atmosfir yang serius. Penonton diharapkan untuk diam dan tidak banyak

bergerak agar tiap nada dalam komposisi yang dimainkan dapat terdengar

dengan jelas. Penampil musik klasik diharuskan untuk berbusana formal

dan terlibat secara langsung dengan penonton. Pada musik klasik,

improvisasi dilakukan dalam bentuk interpretasi. Improvisasi sering

dilakukan pada periode baraque, terutama oleh J.S Bach. Pemain dapat

mengimprovisasi chord maupun melodi (Kamien, 2004).

c. Pengertian Terapi Musik

Terapi musik adalah sebuah terapi kesehatan yang menggunakan

musik di mana tujuannya adalah untuk meningkatkan atau memperbaiki

kondisi fisik, emosi, kognitif, dan sosial bagi individu dari berbagai

kalangan usia (Suhartini, 2008). Terapi musik adalah materi yang mampu

mempengaruhi kondisi seseorang baik fisik maupun mental. Musik

memberikan rangsangan pertumbuhan fungsi-fungsi otak seperti fungsi

ingatan, belajar, mendengar, berbicara, serta analisi intelek dan fungsi

kesadaran (Satiadarma, 2004).

d. Terapi Musik Klasik Mozart

Musik klasik Mozart adalah musik klasik yang muncul 250 tahun

yang lalu. Diciptakan oleh Wolgang Amadeus Mozart. Musik klasik

Mozart memberikan ketenangan, memperbaiki persepsi spasial dan

memungkinkan pasien untuk berkomunikasi baik dengan hati maupun

pikiran. Musik klasik Mozart juga memiliki irama, melodi, dan frekuensi

tinggi yang dapat merangsang dan menguatkan wilayah kreatif dan

motivasi di otak. Musik klasik Mozart memiliki efek yang tidak dimiliki

komposer lain. Musik klasik Mozart memiliki kekuatan yang

membebaskan, mengobati dan dan menyembuhkan (Musbikin, 2009).

e. Cara Kerja Terapi Musik

Musik bersifat terapeutik artinya dapat menyembuhkan. Salah satu

alasannya karena musik menghasilkan rangsangan ritmis yang kemudian

ditangkap melalui organ pendengaran dan diolah di dalam sistem saraf

tubuh dan kelenjar pada otak yang selanjutnya mereorganisasi interpretasi

bunyi ke dalam ritme internal pendengarnya. Ritme internal ini

mempengaruhi metabolisme tubuh manusia sehingga prosesnya

berlangsung dengan lebih baik. Dengan metabolisme yang lebih baik,

tubuh akan mampu membangun sistem kekebalan yang lebih baik, dan

dengan sistem kekebalan yang lebih baik tubuh menjadi lebih tangguh

terhadap kemungkinan serangan penyakit (Satiadarma, 2002). Sebagian

besar perubahan fisiologis tersebut terjadi akibat aktivitas dua sistem

neuroendokrin yang dikendalikan oleh hipotalamus yaitu sistem simpatis

dan sistem korteks adrenal (Prabowo & Regina, 2007).

Hipotalamus juga dinamakan pusat stres otak karena fungsi

gandanya dalam keadaan darurat. Fungsi pertamanya adalah mengaktifkan

cabang simpatis dan sistem saraf otonom. Hipotalamus menghantarkan

impuls saraf ke nukleus-nukleus di batang otak yang mengendalikan

fungsi sistem saraf otonom. Cabang simpatis dari sistem saraf otonom

bereaksi langsung pada otot polos dan organ internal untuk menghasilkan

beberapa perubahan tubuh seperti peningkatan denyut jantung dan

peningkatan tekanan darah. Sistem simpatis juga menstimulasi medula

adrenal untuk melepaskan hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin

ke dalam pembuluh darah, sehingga berdampak meningkatkan denyut

jantung dan tekanan darah, dan norepinefrin secara tidak langsung melalui

aksinya pada kelenjar hipofisis melepaskan gula dari hati. Ardenal

Corticotropin Hormon (ACTH) menstimulasi lapisan luar kelenjar adrenal

(korteks adrenal) yang menyebabkan pelepasan hormon (salah satu yang

utama adalah kortisol) yang meregulasi kadar glukosa dan mineral tertentu

(Atkinson cit Primadita, 2011).

Salah satu manfaat musik sebagai terapi adalah self-mastery yaitu

kemampuan untuk mengendalikan diri. Musik mengandung vibrasi energi,

vibrasi ini juga mengaktifkan sel-sel di dalam diri seseorang, sehingga

dengan aktifnya sel-sel tersebut sistem kekebalan tubuh seseorang lebih

berpeluang untuk aktif dan meningkat fungsinya. Selain itu, musik dapat

meningkatkan serotonin dan pertumbuhan hormon yang sama baiknya

dengan menurunkan hormon ACTH (Satiadarma, 2002). Pemberian

intervensi terapi musik klasik membuat seseorang menjadi rileks,

menimbulkan rasa aman dan sejahtera, melepaskan rasa gembira dan

sedih, melepaskan rasa sakit dan menurunkan tingkat stres, sehingga dapat

menyebabkan penurunan kecemasan (Musbikin, 2009). Hal tersebut terjadi

karena adanya penurunan Ardenal Corticotropin Hormon (ACTH) yang

merupakan hormon stres (Djohan, 2005).

f. Tata Cara Pemberian Terapi Musik

Belum ada rekomendasi mengenai durasi yang optimal dalam

pemberian terapi musik. Seringkali durasi yang diberikan dalam

pemberian terapi musik adalah selama 20-35 menit, tetapi untuk masalah

kesehatan yang lebih spesifik terapi musik diberikan dengan durasi 30

sampai 45 menit. Ketika mendengarkan terapi musik klien berbaring

dengan posisi yang nyaman, sedangkan tempo harus sedikit lebih lambat,

50 - 70 ketukan/menit, menggunakan irama yang tenang (Schou, 2007).

2. Kecemasan

a. Pengertian Kecemasan

Kecemasan adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak

didukung oleh situasi. Kecemasan merupakan alat peringatan internal yang

memberikan tanda bahaya kepada individu (Videbeck, 2008). Cemas

merupakan suatu keadaan yang wajar, karena seseorang pasti

menginginkan segala sesuatu dalam kehidupannya dapat berjalan dengan

lancar dan terhindar dari segala marabahaya atau kegagalan serta sesuai

dengan harapannya. Banyak hal yang harus dicemaskan, salah satunya

adalah kesehatan, yaitu pada saat dirawat di rumah sakit (Nevid, 2005).

Gangguan kecemasan dapat ditandai hanya dengan rasa cemas,

atau juga dapat memperlihatkan seperti fobia atau obsesif dan kecemasan

muncul bila gejala utama tersebut dilawan. Kecemasan diperantarai oleh

suatu sistem kompleks yang melibatkan (sedikitnya) sistem limbik

(amigdala, hipokampus), thalamus, korteks frontal secara anatomis dan

norepinefrin (lokus seruleus), serotonin dan aminobutirik-gamma

neuroregulator (GABA), reseptor GABA berpasangan dengan reseptor

benzodiazepin pada sistem neurokimia. Hingga saat ini belum diketahui

jelas bagaimana kerja bagian-bagian tersebut dalam menimbulkan

kecemasan (Tomb, 2004).

Kecemasan adalah keadaan emosi yang tidak memiliki objek yang

spesifik dan kondisi ini dialami secara subjektif. Cemas berbeda dengan

rasa takut. Takut merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang

berbahaya. Cemas adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut

(Stuart, 2001). Kecemasan memiliki dua aspek yakni aspek yang sehat dan

aspek membahayakan, yang bergantung pada tingkat kecemasan, lama

kecemasan dialami, dan seberapa baik individu melakukan koping

terhadap kecemasan. Kecemasan dapat dilihat dalam rentang ringan,

sedang, berat sampai panik. Setiap tingkat menyebabkan perubahan

fisiologis dan emosional pada individu (Videbeck, 2008).

Pada anak usia sekolah ketakutan dan kecemasan dapat

ditunjukkan secara langsung melalui tingkah laku, contohnya watak

pemarah. Sumber ketakutan dan kecemasan pada anak sekolah tahun

pertama dapat berupa bayangan atau ancaman yang tidak berbentuk,

misalnya kegelapan. Kecemasan anak usia sekolah lebih terpusat pada hal

yang nyata, misalnya cedera tubuh atau bahaya alam. Selama masa

sekolah akhir sampai remaja, prestasi di sekolah dan hubungan sosial

menjadi sumber kekhawatiran utama (Aidar, 2011).

b. Tanda dan Gejala Kecemasan

Tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukkan atau dikemukakan

oleh seseorang bervariasi, tergantung dari beratnya atau tingkatan yang

dirasakan oleh idividu tersebut (Hawari, 2004). Keluhan yang sering

dikemukakan oleh seseorang saat mengalami kecemasan secara umum

menurut Hawari (2004), antara lain adalah sebagai berikut: (1) Gejala

psikologis : pernyataan cemas, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri,

mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang, gelisah, dan mudah

terkejut; (2) Gangguan pola tidur dan mimpi-mimpi yang menegangkan,

(3) Gangguan konsentrasi dan daya ingat; dan (4) Gejala somatik : rasa

sakit pada otot dan tulang, berdebar-debar, sesak nafas, gangguan

pencernaan, sakit kepala, gangguan perkemihan, tangan terasa dingin dan

lembab, dan lain sebagainya.

Menurut Stuart (2001) pada orang yang cemas akan muncul

beberapa respon yang meliputi : (1) Respon fisiologis diantaranya: (a)

Kardiovaskular : palpitasi, tekanan darah meningkat, tekanan darah

menurun, dan denyut nadi menurun; (b) Pernafasan : nafas cepat dan

pendek, nafas dangkal dan terengah-engah; (c) Gastrointestinal : nafsu

makan menurun, tidak nyaman pada perut, mual dan diare; (d)

Neuromuskular : tremor, gugup, gelisah, insomnia dan pusing; (e) Traktus

urinarius : sering berkemih; (f) Kulit : keringat dingin, gatal, dan wajah

kemerahan; (2) Respon perilaku: respon perilaku yang muncul adalah

gelisah, tremor, ketegangan fisik, reaksi terkejut, gugup, bicara cepat,

menghindar, kurang kooordinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal

dan melarikan diri dari masalah; (3) Respon kognitif: respon kognitif yang

muncul adalah perhatian terganggu, pelupa, salah dalam memberikan

penilaian, hambatan berfikir, kesadaran diri meningkat, tidak mampu

berkonsentrasi, tidak mampu mengambil keputusan, menurunnya lapangan

persepsi dan kreatifitas, bingung, takut, kehilangan kontrol, takut pada

gambaran visual dan takut cedera atau kematian; dan (4) Respon afektif:

respon afektif yang sering muncul adalah mudah terganggu, tidak sabar,

gelisah, tegang, ketakutan, waspada, gugup, mati rasa, rasa bersalah dan

malu.

c. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan menurut Stuart dan Sundeen

(1998) adalah:

1) Usia atau tingkatan perkembangan

Semakin tua usia seseorang, tingkat kecemasan dan kekuatan

seseorang semakin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap

masalah yang dihadapi.

2) Jenis kelamin

Menurut jenis kelamin, laki-laki lebih tinggi kecemasannya

dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dibuktikan dari hasil

pemeriksaan asam lemak bebas menunjukan nilai yang tinggi pada

laki-laki dibandingkan dengan wanita.

3) Pengalaman individu

Pengalaman individu sangat mempengaruhi respon kecemasan karena

pengalaman dapat dijadikan suatu pembelajaran dalam menghadapi

suatu stressor atau masalah. Jika respon kecemasan yang semakin

berkurang bila dibandingkan dengan seseorang yang baru pertama kali

menghadapi masalah tersebut.

d. Beberapa Teori Tentang Kecemasan

Beberapa teori memberikan kontribusi terhadap kemungkinan faktor

etiologi dalam pengembangan kecemasan. Menurut Stuart & Laraia

(2007) teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :

1) Teori Psikoanalitik

Pandangan psikoanalitik menyatakan kecemasan adalah konflik

emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian, yaitu id dan

superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif seseorang,

sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan

dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego berfungsi

menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan, dan fungsi

kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

2) Teori Interpersonal

Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan

takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal.

Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti

perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kelemahan spesifik.

Individu dengan harga diri rendah mudah mengalami perkembangan

kecemasan yang berat.

3) Teori Perilaku

Menurut pandangan perilaku, kecemasan merupakan hasil dari frustasi

yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk

mencapai tujuan yang diinginkan. Faktor tersebut bekerja menghambat

usaha seseorang untuk memperoleh kepuasan dan kenyamanan.

4) Teori Keluarga

Teori keluarga menunjukkan bahwa kecemasan merupakan hal yang

biasa ditemui dalam suatu keluarga. Kecemasan ini terkait dengan

tugas perkembangan individu dalam keluarga. Anak yang akan dirawat

di rumah sakit merasa tugas perkembangannya dalam keluarga akan

terganggu sehingga dapat menimbulkan kecemasan.

5) Teori Biologis

Teori biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus

untuk benzodiazepin. Reseptor ini mungkin membantu mengatur

kecemasan. Penghambat asam (GABA) juga mungkin memainkan

peran utama dalam mekanisme biologis berhubungan dengan

kecemasan. Selain itu, telah dibuktikan bahwa kesehatan umum

seseorang mempunyai akibat nyata sebagai predisposisi terhadap

kecemasan. Kecemasan mungkin disertai gangguan fisik dan

selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stresor.

e. Faktor Presipitasi Kecemasan

Stuart (2001) mengatakan bahwa faktor presipitasi/stresor pencetus

dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu :

1) Ancaman Terhadap Integritas Fisik

Ancaman terhadap integritas fisik seseorang meliputi ketidakmampuan

fisiologis atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup

sehari-hari. Kejadian ini menyebabkan kecemasan dimana timbul

akibat kekhawatiran terhadap tindakan pemasangan infus yang

mempengaruhi integritas tubuh secara keseluruhan. Pada anak yang

dirawat di rumah sakit timbul kecemasan karena ketidakmampuan

fisiologis dan menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas sehari-

hari, seperti bermain, belajar bagi anak usia sekolah, dan lain

sebagainya.

2) Ancaman Terhadap Rasa Aman

Ancaman ini terkait terhadap rasa aman yang dapat menyebabkan

terjadinya kecemasan, seperti ancaman terhadap sistem diri seseorang

yang dapat membahayakan identitas, harga diri dan fungsi sosial

seseorang. Ancaman ini dapat terjadi pada anak yang akan dilakukan

tindakan pemasangan infus dan bisa juga terjadi pada orang tua.

Ancaman yang terjadi pada orang tua dapat disebabkan karena orang

tua merasa bahwa anak mereka akan menerima pengobatan yang

membuat anak bertambah sakit atau nyeri.

f. Tingkat Kecemasan

Peplau (1963) dikutip oleh Stuart (2001), mengidentifikasi

kecemasan dalam empat tingkatan dan menggambarkan efek dari tiap

tingkatan. Setiap tindakan memiliki karakteristik lahan persepsi yang

berbeda tergantung pada kemampuan individu dalam menerima informasi/

pengetahuan mengenai kondisi yang ada dari dalam dirinya maupun dari

lingkungannya.

Tingkat kecemasan menurut Peplau (1963) yang dikutip oleh

Stuart (2001) itu dapat dibagi menjadi empat meliputi :

1) Cemas Ringan

Cemas ringan merupakan cemas yang normal yang berhubungan

dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan

seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya,

seperti melihat, mendengar dan gerakan menggenggam lebih kuat.

Kecemasan tingkat ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan

pertumbuhan dan kreativitas.

2) Cemas Sedang

Cemas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal

yang penting dan mengesampingkan hal yang lain, sehingga seseorang

mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu

yang lebih terarah. Kecemasan ini mempersempit lapang presepsi

individu, seperti penglihatan, pendengaran, dan gerakan menggenggam

berkurang.

3) Cemas Berat

Cemas berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang

cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik

dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan

untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak

pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.

4) Panik

Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Rincian

terpecah dari proporsinya. Individu yang mengalami panik tidak

mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan hal itu

dikarenakan individu tersebut mengalami kehilangan kendali, terjadi

peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk

berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan

kehilangan pemikiran yang rasional. Panik melibatkan disorganisasi

kepribadian. Individu yang mengalami panik juga tidak dapat

berkomunikasi secara efektif. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan

dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus menerus dalam waktu

yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian.

g. Rentang Respon Kecemasan

Rentang respon individu terhadap cemas berfluktuasi antara respon

adaptif dan maladaptif. Rentang respon yang paling adaptif adalah

antisipasi dimana individu siap siaga untuk beradaptasi dengan cemas

yang mungkin muncul. Sedangkan rentang yang paling maladaptif adalah

panik dimana individu sudah tidak mampu lagi berespon terhadap cemas

yang dihadapi sehingga mengalami ganguan fisik, perilaku maupun

kognitif (Stuart, 2001).

Seseorang berespon adaptif terhadap kecemasannya maka tingkat

kecemasan yang dialaminya ringan, semakin maladaptif respon seseorang

terhadap kecemasan maka semakin berat pula tingkat kecemasan yang

dialaminya, seperti gambar dibawah ini:

Respon adaptif Respon maladaptif

Ringan Sedang Berat Berat sekali

h. Gangguan Kecemasan menurut Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders, 4th Edition (DSM-IV)

DSM-IV menuliskan gangguan kecemasan berikut ini:

1) Gangguan panik dan agorafobia

Gangguan panik adalah episode ketakutan yang sangat sering terjadi

yang memiliki banyak tanda-tanda fisik dan gejala. Agoraphobia

adalah ketakutan yang tidak masuk akal yaitu takut pada orang

banyak. Ketakutan agorafobia biasanya melibatkan karakteristik

kelompok situasi yang termasuk berada di luar rumah sendirian, berada

di antara orang banyak atau berdiri dalam antrian, berada di jembatan,

dan perjalanan di bus, kereta, mobil, atau pesawat (Chandler, 2008).

2) Fobia sosial

Fobia adalah suatu ketakutan yang tidak rasional yang menyebabkan

penghindaran yang disadari terhadap objek, aktivitas atau situasi yang

ditakuti. Fobia sosial disebut juga gangguan kecemasan sosial, ditandai

dengan ketakutan yang berlebihan tehadap penghinaan dan rasa

memalukan di dalam berbagai lingkungan sosial. Tipe umum fobia

sosial seringkali keadaan yang kronis dan menimbulkan

ketidakberdayaan yang ditandai oleh penghindaran fobik terhadap

sebagian besar situasi sosial (Kaplan & Sadock, 2002).

3) Gangguan obsesif- kompulsif

Obsesi adalah pikiran, perasaan, ide, atau sensasi yang mengganggu.

Kompulsi adalah pikiran atau perilaku yang disadari, dibakukan, dan

rekuren, seperti menghitung, memeriksa atau menghindari. Obsesi

meningkatkan kecemasan seseorang, sedangkan kompulsi menurunkan

kecemasan seseorang. Tetapi jika seseorang memaksa untuk suatu

kompulsi, kecemasan akan meningkat. Seseorang dengan gangguan

obsesi-kompulsif biasanya menyadari irasionalitas dari obsesi dan

merasakan bahwa obsesi dan kompulsi sebagai ego-distonik.

Gangguan obsesi-kompulsif dapat merupakan gangguan yang

menyebabkan ketidakberdayaan, karena obsesi dapat menghabiskan

waktu dan dapat mengganggu secara bermakna pada rutinitas normal

seseorang, fungsi pekerjaan, aktivitas sosial yang biasanya, atau

hubungan dengan teman dan anggota keluarga (Kaplan & Sadock,

2002).

4) Gangguan stress paska traumatik

Rasa takut yang wajar setelah beberapa hal yang benar-benar

mengerikan terjadi pada seseorang di masa lalu terus menyebabkan

kesulitan, meskipun trauma mengerikan telah selesai (Chandler, 2008).

5) Kecemasan pemisahan

Ketakutan yang tidak masuk akal terpisahkan dari orang tua atau

pengasuh. Ini adalah kekhawatiran tentang menjadi jauh dari rumah

atau jauh dari orang tua yang tidak dipengaruhi oleh usia anak, budaya,

dan gaya hidup. Contoh dari kecemasan pemisahan adalah sebagai

berikut: anak yang lebih muda akan mengamuk ketika ibunya mulai

melakukan pekerjaannya atau pada anak yang lebih tua akan mulai

terjadi gejala panik apabila dalam waktu 2 jam ibunya tidak kembali,

dan yang paling umum adalah mimpi bahwa orang tuanya

mendapatkan kecelakaan mobil, rumah terbakar, hilang di mal,

sekolah, toko dan tersesat di perjalanan berkemah. Semua tanda-tanda

serangan panik dapat terjadi ketika orangtua meninggalkan anak.

Biasanya timbul sakit kepala berat, mual, muntah, sesak nafas tepat

sebelum sekolah atau sebelum orang tuanya pergi bekerja (Chandler,

2008).

6) Kecemasan umum

Setiap orang memiliki teman atau tetangga dengan masalah ini. Pada

anak-anak ketakutan tergantung pada tahap perkembangan, tetapi

mereka semua memiliki karakteristik tertentu. Sepanjang hari anak-

anak menemukan sesuatu yang mereka takuti di setiap kesempatan.

Kecemasan dan kekhawatiran yang terkait dengan tiga (atau lebih) dari

enam gejala berikut dengan setidaknya beberapa gejala hadir dalam

beberapa hari dan selama 6 bulan terakhir (catatan: hanya satu item

yang diperlukan pada anak). Gejala tersebut diantaranya: kegelisahan

atau perasaan tegang, mudah lelah, sulit berkonsentrasi/pikiran

kosong, mudah tersinggung, ketegangan otot dan gangguan tidur

(kesulitan untuk tertidur atau tidur tidak memuaskan dan gelisah).

Fokus dari kecemasan dan kekhawatiran tidak berhubungan dengan

beberapa gangguan kejiwaan lainnya. Kecemasan, khawatir atau gejala

fisik menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau

penurunan bidang penting sosial, pekerjaan, atau gangguan fungsi.

Kecemasan itu timbul bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu

obat, obat lain atau penyakit medis(Chandler, 2008).

i. Penatalaksanaan Kecemasan

Menurut Kaplan & Sadock (2002) penatalaksanaan yang paling

efektif untuk pasien dengan gangguan kecemasan adalah sebagai berikut:

1) Psikoterapi

Pendekatan psikoterapetik utama untuk gangguan kecemasan adalah

kognitif-perilaku, suportif, dan berorientasi tilikan. Teknik terapi

kognitif-perilaku memliki kemanjuran jangka panjang dan jangka

pendek. Pendekatan kognitif secara langsung menjawab distorsi

kognitif pasien, dan pendekatan perilaku menjawab keluhan somatik.

Teknik utama yang digunakan dalam pendekatan perilaku adalah

relaksasi dan biofeedback. Teknik relaksasi yang dapat diberikan

antara lain adalah terapi musik, nafas dalam, dan guidance imagenary.

Psikoterapi berorientasi-tilikan memusatkan untuk mengungkapkan

konflik bawah sadar dan kekuatan ego. Terapi suportif menawarkan

ketentraman dan kenyamanan pada pasien.

2) Farmakoterapi

Dua jenis obat utama yang harus dipertimbangkan dalam pengobatan

gangguan kecemasan adalah buspirone dan benzodiazepin. Obat lain

yang mungkin berguna adalah obat trisiklik (imipramin), anti

histamine, dan antagonis adrenergik beta (propanol).

j. Akibat Kecemasan

Akibat dari kecemasan adalah timbulnya ketegangan motorik,

hiperaktivitas otonomik, dan kewaspadaan kognitif. Ketegangan motorik

paling sering dimanifestasikan sebagai gemetaran¸ kegelisahan dan nyeri

kepala. Hiperaktivitas seringkali dimanfestasikan oleh sesak nafas,

keringat berlebih, palpitasi, dan berbagai gejala gastrointestinal.

Kewaspadaan kognitif ditandai oleh sifat lekas tersinggung dan mudahnya

pasien dikejutkan (Kaplan & Sadock, 2002).

k. Instrumen Pengukuran Kecemasan Pada Anak

Untuk mengukur tingkat kecemasan anak terdapat beberapa

instrumen pengukuran kecemasan anak, diantaranya adalah sebagai

berikut:

1) Tingkat kecemasan dapat diukur dengan menggunakan alat ukur

(instrumen) yang dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale for

Anxiety (HRS-A), yang terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-

masing kelompok di rinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih spesifik

(Hawari, 2004). Menurut Hawari (2004) gejala-gejala yang lebih

spesfik adalah sebagai berikut:

a) Perasaan cemas : cemas, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri

dan mudah tersinggung.

b) Ketegangan : merasa tegang, lesu, tidak dapat beristirahat dengan

tenang, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar dan gelisah.

c) Ketakutan : pada gelap, pada orang asing, ditinggal sendiri, pada

binatang besar, pada keramaian lalu lintas dan pada kerumunan

orang banyak.

d) Gangguan tidur : sukar untuk tidur, terbangun pada malam hari,

tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu, banyak mimpi, mimpi

buruk dan mimpi yang menakutkan.

e) Gangguan kecerdasan : sukar berkonsentrasi, daya ingat menurun

dan daya ingat buruk.

f) Perasaan depresi (murung) : hilangnya minat, berkurangnya

kesenangan pada hobi, sedih, terbangun pada saat dini hari dan

perasaan berubah-ubah sepanjang hari.

g) Gejala somatik/fisik (otot) : sakit dan nyeri di otot, kaku, kedutan

otot, gigi gemerutuk dan suara tidak stabil.

h) Gejala somatik/fisik (sensorik) : tinnitus (telinga berdenging),

penglihatan kabur, muka merah atau pucat, merasa lemas dan

perasaan ditusuk-tusuk.

i) Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) : takikardi

(denyut jantung cepat), berdebar-debar, nyeri di dada, denyut nadi

mengeras, rasa lesu/lemas seperti mau pingsan dan detak jantung

menghilang/berhenti sekejap.

j) Gejala respiratori (pernafasan) : rasa tertekan atau sepit di dada,

rasa tercekik, sering menarik nafas dan nafas pendek/ sesak.

k) Gejala gastrointestinal (pencernaan) : sulit menelan, perut melilit,

gangguan pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan, perasaan

terbakar di perut, rasa penuh atau kembung, mual, muntah, BAB

konsistensinya lembek, sukar BAB (konstipasi) dan kehilangan

berat badan.

l) Gejala urogenital (perkemihan dan kelamin) : sering buang air

kecil, tidak dapat menahan BAK, tidak datang bulan (tidak dapat

haid), darah haid berlebihan, darah haid sangat sedikit, masa haid

berkepanjangan, masa haid sangat pendek, haid beberapa kali

dalam sebulan, menjadi dingin (frigid, ejakulasi dini, ereksi

melemah, ereksi hilang dan impotensi).

m) Gejala autonom : mulut kering, muka merah, mudah berkeringat,

kepala pusing kepala terasa berat, kepala terasa sakit dan bulu-bulu

berdiri.

n) Tingkah laku/sikap : gelisah, tidak tenang, jari gemetar,

kening/dahi berkerut, wajah tegang, otot tegang/mengeras, nafas

pendek dan cepar serta wajah merah.

Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka (skor) antara

0-4, dengan penilaian sebagai berikut :

Nilai 0 = tidak ada gejala (keluhan)

Nilai 1 =gejala ringan

Nilai 2 = gejala sedang

Nilai 3 = gejala berat

Nilai 4 = gejala berat sekali/ panik

Masing-masing nilai angka (skor) dari ke 14 kelompok gejala tersebut

dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui

derajat kecemasan seseorang, yaitu : total nilai (skor) : kurang dari 14

= tidak ada kecemasan, 14-20 = kecemasan ringan, 21-27 = kecemasan

sedang, 28-41= kecemasan berat, 42-56 = kecemasan berat sekali

(Hawari, 2004).

2) Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS) adalah instrumen kecemasan

untuk mengukur kecemasan pada anak usia sekolah. Instrumen

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kecemasan

Spence Children's Anxiety Scale (SCAS) yang telah dimodifikasi oleh

Wedyana (2009) dan digunakan sebagai instrument dalam

peneltiannya yang berjudul Hubungan Pola Asuh Orang Tua Terhadap

Tingkat Kecemasan Anak Usia Sekolah Yang Menjalani Rawat Inap di

RSUD. Prof. Dr. Margono. Instrumen ini terdiri dari 32 pertanyaan,

yang memiliki total skor 96. Responden diminta untuk menunjukkan

frekuensi setiap gejala yang terjadi pada empat skala poin mulai dari

tidak pernah (skor 0) sampai poin selalu (skor 3). Hasil kuesioner akan

menjadi kriteria tingkat kecemasan anak: ringan (skor <16), sedang

(skor 17-32), berat (skor 33-48), dan berat sekali/panik (skor >49).

3) Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS) preschool adalah instrumen

kecemasan untuk mengukur kecemasan pada anak usia prasekolah.

Skala ini terdiri dari 28 pertanyaan kecemasan, Skala ini dilengkapi

dengan meminta orang tua untuk mengikuti petunjuk pada lembar

instrumen. Jumlah skor maksimal pada skala kecemasan SCAS

Preschool adalah 112. 28 item kecemasan tersebut memberikan

ukuran keseluruhan kecemasan, selain nilai pada enam sub-skala

masing-masing menekankan aspek tertentu dari kecemasan anak, yaitu

kecemasan umum, kecemasan sosial, gangguan obsesif kompulsif,

ketakutan cedera fisik dan kecemasan pemisahan (Spence, 2011). Hasil

total skor kuesioner akan menjadi kriteria tingkat kecemasan anak,

dengan rentang skor kecemasan sebagai berikut: ringan (skor < 28),

sedang (skor 28-56), berat (skor 57-84), dan sangat berat/panik (skor

>85). Jumlah pertanyaan dalam instrumen ini terdiri dari 6 sub-skala

kecemasan dan pada item pertanyaan sebagai berikut:

a) Kecemasan umum (1, 4, 8, 14 dan 28)

b) Kecemasan sosial (2, 5, 11, 15, 19 dan 23)

c) Gangguan obsesif kompulsif (3, 9, 18, 21 dan 27)

d) Ketakutan cedera fisik (7, 10, 13, 17, 20, 24 dan 26)

e) Kecemasan pemisahan (6, 12, 16, 22 dan 25)

4) Faces anxiety scale for children dikembangkan oleh McMurtry

(2010) untuk mengukur kecemasan/rasa takut pada pasien anak di unit

perawatan intensif. Anak-anak sering diminta untuk melaporkan

kecemasan / ketakutan sebelum dan selama prosedur medis yang

menyakitkan, sebelumnya dilakukan penyelidikan awal dari sifat

psikometri dari skala kecemasan wajah. Faces anxiety scale for

children menunjukkan berbagai tingkat kecemasan. Skor 0

memberikan gambaran tidak ada kecemasan sama sekali, skor 1

(menggambarkan lebih sedikit kecemasan), skor 2 (menggambarkan

sedikit kecemasan), skor 3 (menggambarkan kecemasan) dan skor 4

(menggambarkan kecemasan yang ekstrim pada anak).

3. Hospitalisasi

a. Pengertian Hospitalisasi

Hospitalisasi adalah proses karena suatu alasan yang terencana atau

darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit. Menjalani terapi

dan perawatan sampai dipulangkan kembali ke rumah. Di rawat di rumah

sakit tetap merupakan masalah besar dan menimbulkan ketakutan, cemas,

bagi anak. Dampak hospitalisasi yang dialami bagi anak dan keluarga akan

menimbulkan stres dan tidak merasa aman. Jumlah dan efek stres

tergantung pada persepsi anak dan keluarga terhadap kerusakan penyakit

dan pengobatan (Supartini, 2004).

Hospitalisasi adalah kondisi yang dapat menyebabkan krisis pada

anak sakit dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak

berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru bagi anak yaitu

rumah sakit, sehingga kondisi tersebut dapat menjadi faktor penyebab stres

baik terhadap anak maupun keluarga (Wong, 2009).

Hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam bagi

individu karena faktor penyebab stres yang dihadapi dapat menimbulkan

perasaan tidak aman, seperti : lingkungan asing, berpisah dengan orang

yang berarti, kurang informasi, kehilangan kebebasan dan kemandirian,

pengalaman yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan dan perilaku

petugas rumah sakit. Semakin sering berhubungan dengan rumah sakit,

maka bentuk kecemasan semakin kecil atau sebaliknya (Elfira, 2011).

b. Dampak Hospitalisasi

Anak akan cenderung lebih manja, minta perhatian lebih pada

orang tua serta bersikap cuek pada perawat yang akan merawatnya karena

anak belum dapat beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit. Stres yang

umumnya terjadi berhubungan dengan hospitalisasi adalah takut akan

unfamiliarity, lingkungan rumah sakit yang menakutkan, rutinitas rumah

sakit, prosedur yang menyakitkan, dan takut akan kematian. Reaksi

emosional pada anak sering ditunjukkan dengan menangis, marah dan

berduka sebagai bentuk yang sehat dalam mengatasi stres karena

hospitalisasi (Elfira, 2011).

Anak sering menganggap sakit merupakan hukuman untuk

perilaku buruk, hal ini terjadi karena anak masih mempunyai keterbatasan

tentang dunia di sekitar mereka. Anak juga mempunyai kesulitan dalam

pemahaman mengapa mereka sakit, tidak bisa bermain dengan temannya,

mengapa mereka terluka dan nyeri sehingga membuat mereka harus pergi

ke rumah sakit dan harus mengalami hospitalisasi. Reaksi anak tentang

hukuman yang diterimanya dapat bersifat pasif, kooperatif, membantu atau

anak mencoba menghindar dari orang tua, dan anak menjadi marah.

Sehingga anak kehilangan fungsi dan kontrol sehubungan terganggunya

fungsi motorik yang mengakibatkan berkurangnya percaya diri pada anak,

sehingga tugas perkembangan yang sudah dicapai dapat terhambat. Hal ini

membuat anak menjadi regresi; ngompol lagi, suka menghisap jari dan

menolak untuk makan. Anak cenderung mengalami pengekangan yang

dapat menimbulkan kecemasan pada anak sehingga anak merasa tidak

nyaman akan perubahan yang terjadi pada dirinya (Elfira, 2011).

c. Kecemasan Hospitalisasi

Umumnya reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena

perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh, dan rasa nyeri. Pada anak yang

mengalami perawatan di rumah sakit biasanya timbul reaksi, antara lain:

menolak makan, sering bertanya, menangis perlahan, dan tidak kooperatif

terhadap petugas kesehatan. Sehingga perawatan di rumah sakit menjadi

kehilangan kontrol dan pembatasan aktivitas. Seringkali hospitalisasi

dipersepsikan oleh anak sebagai hukuman, sehingga ada perasaan malu,

takut sehingga menimbulkan reaksi agresif, marah, berontak, dan tidak

mau bekerja sama dengan perawat (Rahayu, 2011).

d. Reaksi Anak Terhadap Sakit dan Hospitalisasi

Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit

dan dirawat di rumah sakit sehingga anak harus beradaptasi dengan

lingkungan rumah sakit (Wong, 2009). Reaksi hospitalisasi pada anak

bersifat individual dan sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan

anak. Pengalaman sebelumnya di rumah sakit, sistem pendukung yang

tersedia dan kemampuan koping yang dimiliki anak (Supartini, 2004).

Menurut Supartini (2004) reaksi anak terhadap sakit dan hospitalisasi di

pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :

1) Perkembangan anak terhadap sakit berbeda-beda sesuai tingkat

perkembangan anak. Berkaitan dengan umur anak, semakin muda anak

maka akan semakin sukar baginya untuk menyesuaikan diri dengan

pengalaman di rumah sakit.

2) Pengalaman dirawat di rumah sakit sebelumnya

Apabila anak pernah mengalami tidak menyenangkan saat dirawat di

rumah sakit sebelumnya, akan menyebabkan anak takut dan trauma,

sebaliknya apabila saat dirawat di rumah sakit anak mendapatkan

perawatan yang baik dan menyenangkan maka anak akan lebih

kooperatif pada perawat dan dokter.

3) Dukungan keluarga

Anak akan mencari dukungan yang ada dari orang lain untuk

melepaskan tekanan akibat penyakit yang dideritanya. Anak biasanya

akan meminta dukungan kepada orang terdekat dengannya contohnya

orang tua atau saudaranya. Perilaku ini biasanya ditandai dengan

permintaan anak untuk ditunggui selama dirawat di rumah sakit,

didampingi saat dilakukan treatment padanya, minta dipeluk saat

merasa takut dan cemas bahkan sangat merasa ketakutan.

4) Perkembangan koping dalam menangani stresor

Apabila mekanisme koping anak baik dalam menerima keadaan bahwa

dia harus di rawat di rumah sakit maka akan lebih kooperatif anak

tersebut dalam menjalani perawatan di rumah sakit.

Proses perawatan yang seringkali butuh waktu lama akhirnya

menjadikan anak berusaha mengembangkan perilaku atau strategi dalam

menghadapi penyakit yang dideritanya. Perilaku ini menjadi salah satu

cara yang dikembangkan anak untuk beradaptasi terhadap penyakitnya.

Menurut Aidar (2011), beberapa perilaku itu antara lain :

1) Penolakan (avoidance)

Perilaku dimana anak berusaha menghindar dari situasi yang

membuatnya tertekan. Anak berusaha menolak treatment yang

diberikan, seperti tidak mau disuntik, tidak mau dipasang infus,

menolak minum obat, bersikap tidak kooperatif kepada petugas medis.

2) Mengalihkan perhatian

Anak berusaha mengalihkan perhatian dari pikiran atau sumber yang

membuatnya tertekan. Perilaku yang dilakukan anak misalnya

membaca buku cerita saat di rumah sakit, menonton televisi (TV) saat

dipasang infus, atau bermain mainan yang disukai.

3) Berupaya aktif (active)

Anak berusaha mencari jalan keluar dengan melakukan sesuatu secara

aktif. Perilaku yang sering dilakukan misalnya menanyakan tentang

kondisi sakitnya kepada tenaga medis atau orang tuanya, bersikap

kooperatif terhadap petugas medis, minum obat teratur, beristirahat

sesuai dengan peraturan yang diberikan.

4) Mencari dukungan (support seeking)

Anak mencari dukungan dari orang lain untuk melepaskan tekanan

akibat penyakit yang dideritanya. Anak biasanya akan minta dukungan

kepada orang yang dekat dengannya, misalnya dengan permintaan

anak untuk ditunggui selama dirawat di rumah sakit, didampingi saat

dilakukan treatment padanya, dan minta dipeluk atau dielus saat

merasa kesakitan.

Reaksi anak terhadap hospitalisasi menurut golongan umur dibagi menjadi

2, yaitu:

1) Reaksi Anak Pra-Sekolah terhadap Hospitalisasi

Usia prasekolah merupakan kelompok usia tiga sampai enam tahun.

Penyakit yang sering ditemukan pada anak usia prasekolah yaitu

penyakit menular atau infeksi seperti cacar air (varicella), parotitis

(mumps), konjungtivitis, stomatitis, dan penyakit parasit pada usus.

Beberapa kondisi penyakit menyebabkan anak harus dirawat di rumah

sakit dan mendapatkan prosedur invasif (Hockenberry & Wilson,

2007).

Anak usia prasekolah juga mengalami stres apabila

mendapatkan perawatan di rumah sakit (hospitalisasi) sebagaimana

kelompok anak usia lain. Perawatan anak prasekolah di rumah sakit

memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan yang dirasakannya

aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan, yaitu lingkungan

rumah, permainan, dan teman sepermainannya (Supartini, 2004).

Anak usia prasekolah menganggap hospitalisasi merupakan

pengalaman baru dan sering membingungkan yang dapat membawa

dampak negatif terhadap perkembangan normal. Hospitalisasi

membuat anak masuk dalam lingkungan yang asing, dimana mereka

biasanya dipaksa untuk menerima prosedur yang menakutkan, nyeri

tubuh dan ketidaknyamanan (Wong, 2009).

Perawatan di rumah sakit membuat anak kehilangan kontrol

terhadap dirinya. Perawatan di rumah sakit juga mengharuskan adanya

pembatasan aktivitas anak sehingga anak merasa kehilangan kekuatan

diri. Perawatan di rumah sakit sering kali dipersepsikan anak

prasekolah sebagai hukuman sehingga anak akan merasa malu,

bersalah, atau takut (Supartini, 2004). Respon anak untuk memahami

nyeri yang diakibatkan oleh prosedur invasif yang menyakitkan bagi

anak tergantung pada usia anak, tingkat perkembangan anak, dan

faktor situasi lainnya (Hockenberry & Wilson, 2007).

Karakteristik anak usia prasekolah dalam berespon terhadap

nyeri diantaranya dengan menangis keras atau berteriak;

mengungkapkan secara verbal ”aaow” ”uh”, ”sakit”; memukul tangan

atau kaki; mendorong hal yang menyebabkan nyeri; kurang kooperatif;

membutuhkan restrain; meminta untuk mengakhiri tindakan yang

menyebabkan nyeri; menempel atau berpegangan pada orangtua,

perawat atau yang lain; membutuhkan dukungan emosi seperti

pelukan; melemah; dan antisipasi terhadap nyeri aktual (Hockenberry

& Wilson, 2007).

Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia

prasekolah adalah dengan menolak makan, sering bertanya, menangis

walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap petugas

kesehatan. Ketakutan anak terhadap perlukaan muncul karena anak

menganggap tindakan dan prosedurnya mengancam integritas

tubuhnya. Hal ini menimbulkan reaksi agresif dengan marah dan

berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak

mau bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan pada orangtua

(Supartini, 2004). Anak prasekolah akan mendorong orang yang akan

melakukan prosedur yang menyakitkan agar menjauh, mencoba

mengamankan peralatan, atau berusaha mengunci diri di tempat yang

aman (Wong, 2009).

2) Reaksi anak usia sekolah (6-12 tahun) terhadap hospitalisasi

Anak usia sekolah stresor yang dihadapi anak yang dirawat di

rumah sakit adalah lingkungan baru dan asing, pengalaman yang

menyakitkan dengan petugas, prosedur tindakan keperawatan,

diagnotik dan terapi, berpisah dengan orang tua dalam arti semetara.

Kondisi ini akan menyebabkan anak mengalami kecemasan (Rasmun,

2004). Anak usia sekolah membayangkan dirawat di rumah sakit

merupakan hukuman, dipisahkan, merasa tidak aman dan

kemandiriannya terlambat. Mereka menjadi ingin tahu dan bingung,

anak bertanya kenapa orang itu, mengapa berada di rumah sakit,

bermacam pertanyaan dilontarkan karena anak tidak mengetahui yang

sedang terjadi (Wong & Whaley, 2007).

Kecemasan pada anak usia sekolah adalah kecemasan karena

perpisahan dengan kelompok, mengalami luka pada tubuh dan nyeri

dan kehilangan kontrol juga dapat menimbulkan kecemasan (Wong &

whaley, 2007). Menurut Wong & whaley (2007) kecemasan yang

terjadi pada usia sekolah selama hospitalisasi dapat disebabkan karena:

a) Cemas karena perpisahan

Anak usia sekolah memiliki koping yang lebih baik terhadap

perpisahan, namun keadaan sakit akan meningkatkan keinginan

mereka untuk selalu ditemani oleh orang tua. Anak usia sekolah

lebih merasa cemas karena berpisah dengan sekolah dan aktivitas

sehari-hari mereka dibandingkan cemas karena berpisah dengan

orang tua. Reaksi yang umum terjadi pada anak usia sekolah

karena perpisahan adalah merasa sendiri, bosan, merasa terisolasi,

dan depresi.

b) Kehilangan kontrol (Loss Of Control)

Anak usia sekolah, aktivitas yang dibatasi seperti bed rest,

penggunaan kursi roda, kehilangan privasi serta rutin di rumah

sakit akan menghilangkan kekuatan diri dan identitas dari anak.

Reaksi yang mungkin muncul pada anak adalah perasaan depresi,

menunjukkan rasa permusuhan dan frustasi.

c) Luka pada tubuh dan rasa sakit atau nyeri

Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak berpisah dengan

lingkungan yang dicintainya, yaitu keluarga terutama kelompok

sosialnya dan menimbulkan kecemasan. Kehilangan kontrol juga

terjadi akibat dirawat di rumah sakit karena adanya pembatasan

aktivitas.

Anak usia sekolah telah mampu mengkomunikasikan rasa sakit

yang mereka alami dan menunjukkan lokasi nyeri tersebut. Respon

terhadap nyeri yang ditunjukkan diantaranya: melihat perilaku dari

anak lain yang lebih kecil terutama saat dilakukan prosedur tindakan

yang menyebabkan nyeri, perilaku mengulur waktu dengan berkata

“tunggu sebentar” atau “saya belum siap”, menggigit bibir dan

memegang sesuatu dengan erat (Aidar, 2011).

Kehilangan kontrol tersebut berdampak pada perubahan peran

dalam keluarga, akan kehilangan kelompok sosialnya karena ia biasa

melakukan kegiatan bermain atau pergaulan sosial, perasaan takut

mati, dan adanya kelemahan fisik. Reaksi terhadap perlakuan atau rasa

nyeri akan ditunjukkan dengan ekspresi baik secara verbal maupun non

verbal. Anak usia sekolah sudah mampu mengontrol perilakunya jika

merasa nyeri, yaitu dengan menggigit bibir dan atau menggigit dan

memegang sesuatu dengan erat (Wong & Whaley,2007).

4. Tanda Vital

a. Pengertian Tanda Vital

Pemeriksaan tanda-tanda vital adalah sebuah proses dari seorang ahli

medis ataupun praktisi kesehatan memeriksa tubuh pasien untuk

menemukan tanda klinis penyakit. Pengukuran yang paling sering dilakukan

oleh praktisi kesehatan adalah pengukuran suhu, nadi, tekanan darah,

frekuensi pernapasan dan saturasi oksigen. Sebagai indikator dari status

kesehatan, ukuran-ukuran ini menandakan keefektifan sirkulasi, respirasi,

fungsi neural dan endokrin tubuh. Karena sangat penting, maka disebut

dengan tanda vital. Banyak faktor seperti suhu lingkungan, latihan fisik, dan

efek sakit yang menyebabkan perubahan tanda vital, kadang-kadang di luar

batas normal. Pengukuran tanda vital memberikan data untuk menentukan

status kesehatan klien yang lazim (data dasar), seperti respon terhadap stres

fisik dan psikologis, terapi medis dan keperawatan, perubahan tanda vital,

dan menandakan perubahan fungsi fisiologis.Perubahan pada tanda vital

dapat juga menandakan kebutuhan dilakukannya intervensi keperawatan dan

medis. Tanda vital merupakan cara yang cepat dan efisien untuk memantau

kondisi klien atau mengidentifikasi masalah dan mengevaluasi respon klien

terhadap intervensi. Teknik dasar inspeksi, palpasi dan auskultasi digunakan

untuk menentukan tanda vital (Potter & Perry, 2005).

b. Cara Pengukuran Tanda-tanda Vital Pada Anak

Menurut Potter & Perry (2005) pedoman berikut ini adalah pedoman

cara pengukuran tanda-tanda vital pada anak.

1) Langkah-langkah mengukur tekanan darah :

a) Saat diperiksa, pasien duduk dengan santai, sebaiknya pengukuran

dilakukan beberapa menit setelah mulai duduk dan dalam ruangan

yang tenang.

b) Lengan yang diukur harus dalam keadaan bebas (tidak tertutup

pakaian yang ketat di bagian lengan), sehingga manset dapat terlilit

dengan baik.

c) Memilih manset yang baik, yaitu manset yang dapat melilit 40%

lengan atas bagian tengah. Pemakaian manset berukuran standar pada

lengan yang berukuran besar dapat mempengaruhi pembacaan tekanan

darah. Sehingga sebaiknya jangan memaksakan manset pada lengan

yang berukuran besar.

d) Lilitkan manset pada tengah lengan ke atas dengan bola manset berada

di tengah arteri brachialis, dan batas bawah manset dengan siku

kurang lebih 1 inci (sekitar 2,5 cm) di atas lipat siku.

e) Pastikan manset sejajar dengan posisi jantung.

f) Pompa tensimeter sampai manset mengembang dan catat tekanan saat

bunyi denyut nadi terdengar jelas. Pompa kembali sampai kurang

lebih 30 mmHg diatas tekanan ini.

g) Lepaskan pompa dan tunggu sekitar 30 detik kemudian memompa

kembali sampai denyut terdengar lagi.

h) Catat hasil tekanan darah sistolik dan diastolik. Untuk pembacaan

sistolik, catat di mana denyut terdengar sebanyak 2 kali secara

berurutan untuk pertama kali setelah pompa dilepaskan. Untuk

pembacaan diastolik, catat saat denyut menghilang (tidak terdengar

lagi).

i) Tunggu 30 detik untuk mengulangi prosedur ini pada lengan yang

sama.

Ukuran-ukuran manset:

a) Usia 0-12 bulan : Lebar manset 2 inci (5 cm)

b) Usia 1-5 tahun : Lebar manset 3 inci (7.5 cm)

c) Usia 6-12 tahun : Lebar manset 4 inci (10 cm)

d) Usia > 12 tahun : Lebar manset 5 inci (12.5 cm)

Pasanglah manset melingkari lengan atas atau tungkai atas, dengan batas

bawah lebih kurang dari 3 cm dari siku.

2) Cara Mengukur Denyut Nadi

a) Dengan menggunakan 2 jari yaitu telunjuk dan jari tengah, atau 3 jari,

telunjuk, jari tengah dan jari manis jika kita kesulitan menggunakan 2

jari.

b) Temukan titik nadi ( daerah yang denyutannya paling keras ), yaitu

nadi karotis di cekungan bagian pinggir leher kira-kira 2 cm di

kiri/kanan garis tengah leher ( kira-kira 2 cm disamping jakun pada

laki-laki ), nadi radialis di pergelangan tangan di sisi ibu jari.

c) Pada bayi dan anak d bawah 2 tahun laju nadi dihitung dengan meraba

arteri brakialis atau arteri femoralis.

d) Nadi dapat pula di raba di tempat- tempat lain yang letak arteriny

superficial seperti arteri temporalis, arteri carotis dan arteri dorsalis

pedis.

3) Laju Pernafasan

Penghitungan laju pernapasan pada bayi dan anak paling tepat bila

dilakukan pada waktu tidur. Laju pernapasan dapat dihitung dengan

beberapa cara:

a) cara inspeksi : pemeriksa melihat gerakan nafas dan menghitung

frekuensinya. Cara ini tifdak praktis dan tidak di anjurkan karena

pemeriksa harus melihat gerakan nafas dan detik jarum jam sekaligus.

b) Cara palpasi : tangan pemeriksa diletakkan pada dinding abdomenatau

dinding dada pasien kemudian dihitung gerakan pernapasan yang

terasa pada tangan tersebut, sementara pemeriksa memperhatikan

jarum jam.

c) Cara auskultasi: stetoskop didengarkan dan dihitung bunyi

pernapasan.

d) Semua perhitungan harus dilakukan selama satu menit penuh.

c. Nilai Normal Tanda-tanda Vital Pada Anak

Pengukuran fisiolgis, elemen kunci dalam mengevaluasi status fisik

fungsi vital anak, mencakup suhu tubuh, denyut nadi, frekuensi pernapasan

dan tekanan darah. Bandingkan setiap catatan fisiologis dengan nilai normal

untuk kelompok usia tersebut, selain itu bandingkan nilai yang diperoleh

pada kunjungan sebelumnya dengan catatan yang ada saat ini. Seperti pada

sebagian besar prosedur yang dilakukan pada anak, anak yang lebih besar

dan remaja diperlakukan hampir sama dengan orang dewasa (Muscari,

2005). Adapun nilai normal tanda-tanda vital pada anak adalah sebagai

berikut:

1) Tekanan Darah

Rentang sistolik normal anak usai 1-7 tahun (usia dalam tahun + 90) dan

usia 8-18 tahun (2x usia dalam tahun + 83). Sedangkan rentang diastolik

normal anak usia 1-5 tahun (56 mmhg) dan usia 6-18 tahun (usia dalam

tahun + 52) (Muscari, 2005).

2) Denyut Nadi

Rentang denyut nadi normal pada anak usia 2-10 tahun saat istirahat dan

terbangun adalah 70-110 kali/menit dan usia 10 tahun-dewasa adalah 55-

90 kali/menit (Muscari, 2005).

3) Frekuensi Pernapasan

Frekuensi pernapasan normal pada anak usia 6 bulan-2 tahun adalah 20-

30 kali/menit, anak usia 3-10 tahun adalah 20-28 kali/menit dan anak

usia 10-18 tahun adalah 12-20 kali/menit (muscari, 2005).

4) Suhu

Rentang suhu normal anak sama dengan suhu orang dewasa (36,5-37,5

derajat celcius) (Muscari, 2005).

B. Kerangka Teori

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dijelaskan oleh Aidar (2011), Djohan

(2005), Kaplan & Sadock (2007), Musbikin (2009), Satiadarma (2002), Stuart &

Sundeen (1998), Stuart & Laraia (2007) dan Wong & Whaley (2007), maka

dibentuk kerangka teori penelitian yang dapat dijelaskan melalui Gambar 2.1

sebagai berikut:

Gambar 2.2 Kerangka Teori Penelitian

Reaksi anak:

1. Melakukan penolakan

(penolakan pemeriksaan

TTV)

2. Mengalihkan perhatian

3. Berupaya aktif

4. Mencari dukungan

Hospitalisasi Pada Anak

Menyebabkan anak

mengalami:

1.Perpisahan

2.Kehilangan control

3.Luka pada tubuh dan nyeri

Rileks, rasa aman & sejahtera,

melepaskan rasa gembira &

sedih, melepaskan rasa sakit &

menurunkan tingkat stres

Meningkatkan serotonin

dan menurunkan hormon

ACTH

Terapi musik klasik

mozart untuk mengatasi

kecemasan

Kecemasan akibat

hospitalisasi

Faktor-faktor yang

mempengaruhi kecemasan:

1. Usia

2. Jenis kelamin

3. Pengalaman individu Penurunan tingkat kecemasan

pada anak

Non-farmakologi

Teori-teori tentang

kecemasan:

1.Teori psikoanalitik

2.Teori interpersonal

3.Teori perilaku

4.Teori keluarga

5.Teori biologis

Farmakologi

Penatalaksanaan kecemasan

C. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan fokus penelitian yang akan diteliti, kerangka konsep

ini terdiri dari variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent).

Adapun kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Keterangan:

: Diteliti

: Tidak diteliti

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Kelompok

kontrol

Terapi musik

klasik Mozart

selama 30

menit

Penurunan tingkat

kecemasan anak

yang mengalami

hospitalisasi

Pretest

(kecemasan anak

hospitalisasi saat

pemeriksaan TTV)

Dengan menggunakan

McMurtry Faces

Anxiety scale

Pretest

(kecemasan anak

hospitalisasi saat

pemeriksaan TTV)

Dengan menggunakan

McMurtry Faces

Anxiety scale

Post-test

(kecemasan anak

hospitalisasi saat

pemeriksaan TTV)

Dengan menggunakan

McMurtry Faces

Anxiety scale

Kelompok

perlakuan

Terapi musik

klasik Mozart

selama 45

menit

Post-test

(kecemasan anak

hospitalisasi)

Dengan

menggunakan

SCAS

Post-test

(kecemasan anak

hospitalisasi saat

pemeriksaan TTV)

Dengan menggunakan

McMurtry Faces

Anxiety scale

1. Usia

2. Jenis kelamin

3. Jenir penyakit

4. Pengalaman

individu

D. Hipotesa Penelitian

Ada dua hipotesis yaitu hipotesis statistik atau disebut juga hipotesis nol (Ho) dan

hipotesis kerja (Ha) disebut juga dengan hipotesis alternatif. Hipotesa penelitian

adalah jawaban sementara penelitian atau dalil sementara yang sebenarnya akan

dibuktikan dalam penelitian (Notoatmojo, 2002). Hipotesis yang digunakan dalam

penelitian ini adalah:

Ha : Ada perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi musik klasik Mozart

selama 30 menit dan 45 menit terhadap tingkat kecemasan pada anak yang

mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD

Banyumas.

Ho : Tidak ada perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi musik klasik Mozart

selama 30 menit dan 45 menit terhadap tingkat kecemasan pada anak yang

mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD

Banyumas.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, Jenis penelitian

ini menggunakan penelitian Quasi eksperimental dengan rancangan penelitian

pretest-posttest with control group design, dengan pendekatan pretest-posttest

with control group design pengukuran dilakukan pada kedua kelompok,

sebelum (01 dan 03) dan setelah periode perlakuan (02 dan 04), sehingga

diperoleh 4 hasil pengukuran (Saryono, 2011). Kelompok perlakuan diberikan

terapi musik klasik Mozart selama 45 menit dan kelompok kontrol selama 30

menit.

01 >---------------- (X) ---------------- 02

03 >----------------- (X) --------------- 04

Keterangan :

(X) = Pemberian terapi musik klasik Mozart

01 = Pengamatan/test sebelum dilakukan perlakuan 30 menit

02 = Pengamatan/test setelah diberikan terapi musik klasik Mozart 30 menit

03 = Pengamatan/test sebelum dilakukan perlakuan 45 menit

04 = Pengamatan/test setelah diberikan terapi musik klasik Mozart 45 menit

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di RSUD Banyumas selama 3 bulan pada 17

Januari 2013 - 20 April 2013.

B. Populasi dan Sample

1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam

suatu penelitian (Saryono,2011). Populasi adalah wilayah generalisasi yang

terdiri atas : obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik

tertentu yang diterapkan peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Sugiono, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien

anak rawat inap di RSUD Banyumas, dalam satu bulan terakhir yaitu bulan

Mei 2012 jumlah pasien anak yang dirawat di ruang Kanthil sebanyak 133

pasien .

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang mewakili populasi tersebut

(Saryono,2011). Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiono, 2007). Teknik pengambilan sampel

yang digunakan pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik

non probability sampling dengan cara purposive sampling yaitu pengambilan

sampel yang didasarkan pada pertimbangan tertentu seperti waktu, biaya, dan

tenaga (Saryono, 2011).

Keterangan:

n = Besar sampel

N = Besar populasi

= Standar deviasi normal untuk α= 0.10 (1,64)

d = Tingkat kesalahan yang dipilih (d=10% atau 0,1)

p = Proporsi target populasi yaitu 50%

q = Proporsi tanpa atribut 1-P (1-0,5)

Berdasarkan rumus diatas maka dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut:

n = 44,88

n = 45

Berdasarkan perhitungan dengan rumus tersebut di atas diperoleh besar

sampel dalam penelitian ini sebanyak 45 pasien anak, yang dibagi

dalam 2 kelompok perlakuan.

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

1) Anak usia 5-10 tahun.

2) Anak yang telah mengalami perawatan selama 2 hari.

3) Anak yang mengalami kecemasan ringan dan sedang akibat

hospitalisasi.

4) Tingkat kesadaran compos mentis.

5) Tidak menderita gangguan pendengaran.

6) Anak yang ditunggu oleh orang tuanya selama dirawat di

Rumah Sakit.

7) Orang tua setuju anaknya menjadi responden.

b. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:

1) Anak dengan kebutuhan khusus ( anak dengan autism, anak

dengan hiperaktif, anak dengan tunagrahita, anak yang berada

di ruang isolasi).

2) Pasien yang mengkonsumsi obat-obatan anti ansietas.

C. Variable Penelitian

Variabel penelitian adalah sesuatu yang bervariasi (Saryono, 2011).

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas (independent) dan

variabel terikat (dependent).

1. Variabel bebas (Independent Variable) adalah variabel yang merangsang atau

menstimulasi variabel target (Saryono, 2011). Variabel bebas adalah variabel

yang nilainya menentukan variabel lain (Nursalam, 2003). Variabel bebas

dalam penelitian ini adalah terapi musik klasik Mozart.

2. Variabel terikat (Dependent Variable) adalah variabel yang timbul akibat dari

efek penelitian (Saryono, 2011). Variabel terikat adalah variabel yang

dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas (Hidayat, 2007).

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat kecemasan anak yang

mengalami hospitalisasi di ruang Kanthil RSUD Banyumas.

3. Variabel pengganggu (confounding)

Variabel pengganggu dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, jenis

penyakit dan pengalaman individu.

D. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional dibuat untuk memudahkan pengumpulan data dan

menghindarkan perbedaan interpretasi serta membatasi ruang lingkup variabel

(Saryono, 2011). Setiap variabel harus dirumuskan secara operasional untuk

memudahkan pemahaman dan pengukuran setiap variabel yang ada dalam

penelitian. Adapun definisi operasional dari penelitian ini sebagai berikut:

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi

Operasional

Alat Ukur Hasil Ukur Skala

1. Variabel bebas :

Terapi musik

klasik Mozart

Terapi musik klasik

Mozart yang

diperdengarkan

pada anak pra

sekolah untuk

mengurangi tingkat

kecemasan, musik

yang dipilih untuk

terapi adalah musik

klasik Mozart yang

berjudul Mozart

Wombsong Musical

Soup. Diberikan

dengan durasi 30

menit pada

kelompok kontrol

dan 45 menit pada

kelompok

perlakuan

menggunakan

headset. Terapi

musik diberikan

pada pagi hari

setelah anak selesai

mandi dan sarapan.

1. Diberikan

terapi musik

klasik Mozart

selama 30

menit

2. Diberikan

terapi musik

klasik Mozart

selama 45

menit

Nominal

2. Tingkat

kecemasan anak

yang mengalami

hospitalisasi

Kecemasan yang

timbul pada anak

yang dirawat di

rumah sakit setelah

hari ke-2

hospitalisasi dan

diukur pada hari ke-

3

Faces

anxiety

scale for

children

Skor 0 (tidak

ada

kecemasan

sama sekali),

skor 1 (lebih

sedikit

kecemasan),

skor 2 (sedikit

kecemasan),

skor 3

(kecemasan)

skor 4

(kecemasan

ordinal

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti

dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih

baik sehingga lebih mudah diolah (Saryono, 2011). Instrumen penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah faces anxiety scale for children

dikembangkan oleh McMurtry (2010) untuk mengukur kecemasan/rasa takut pada

pasien anak di unit perawatan intensif. Anak-anak sering diminta untuk

melaporkan kecemasan/ketakutan sebelum dan selama prosedur medis yang

menyakitkan, sebelumnya dilakukan penyelidikan awal dari sifat psikometri dari

skala kecemasan wajah. Faces anxiety scale for children menunjukkan berbagai

tingkat kecemasan. Skor 0 memberikan gambaran tidak ada kecemasan sama

sekali, skor 1 (menggambarkan lebih sedikit kecemasan), skor 2 (menggambarkan

sedikit kecemasan), skor 3 (menggambarkan kecemasan) dan skor 4

(menggambarkan kecemasan yang ekstrim pada anak).

yang ekstrim)

3. Jenis kelamin Klasifikasi jenis

seksual yang

dimiliki oleh anak

Kuesioner Perempuan: 1

Laki-laki: 2 nominal

4. Usia .Lamanya waktu

hidup responden dari

sejak lahir sampai

dengan terakhir pada

saat penelitian

dilakukan (dalam

tahun)

Kuesioner,

wawancara

usia responden

dalam tahun

rasio

F. Validitas dan Reliabilitas Instrumen

1. Uji Validitas

Validitas merupakan suatu indeks yang menunjukan alat ukur itu

benar-benar mengukur apa yang diukur (Saryono, 2011). Pengukuran validitas

kuisioner dilakukan untuk mengetahui tingkat ketepatan dan kecermatan alat

ukur untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Notoatmojdo, 2003).

Penelitian ini tidak melakukan uji validitas lagi, karena instrumen yang

digunakan untuk penilaian dalam penelitian ini merupakan instrumen baku

yang biasa digunakan untuk mengetahui tingkat kecemasan. Adapun nilai uji

validitas yang telah didapatkan oleh McMurtry bahwa r hitung lebih besar dari

r tabel, dengan nilai r hitung adalah sebesar 0.78.

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukan sejauh mana suatu

alat pengukuran dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Saryono, 2011). Hal

ini berarti menunjukan sejauh mana hasil pengukuran dua kali atau lebih

terhadap gejala yang sama, dengan pertimbangan reliabilitas harus dilakukan

pada pertanyaan-pertanyaan yang sudah memiliki validitas (Notoatmojdo,

2003). Penelitian ini tidak melakukan uji reliabilitas lagi, karena instrument

yang digunakan untuk penilaian dalam penelitian ini merupakan instrument

baku yang biasa digunakan untuk mengetahui tingkat kecemasan. Berdasarkan

uji reliabilitas yang telah dilakukan oleh McMurtry didapatkan bahwa

berdasarkan hasil perhitungan uji reliabilitas menggunakan Alpha Cronbach

diperoleh nilai r alpha lebih besar dari nila r table dengan hasil reliabilitas

yaitu sebesar 0,77 yang artinya reliable dan dapat digunakan dalam penelitian.

G. Teknik Pengumpulan Data

1. Cara Pengumpulan Data

a. Pengumpulan data dilakukan di RSUD Banyumas setelah mendapat ijin

dari Direktur RSUD Banyumas, Kepala instalasi rawat inap dan Kepala

ruang rawat Kanthil.

b. Memilih data responden yang memenuhi kriteria inklusi untuk dipilih

menjadi sampel.

c. Memberikan penjelasan kepada responden dan orang tua tentang tujuan

dari terapi musik.

d. Memberikan lembar informed consent sebagai bentuk persetujuan dengan

orang tua responden, dan meminta orang tua responden untuk memberikan

tanda tangannya pada lembar persetujuannya tersebut.

e. Melakukan pengukuran kecemasan anak sebelum diberikan terapi musik

klasik Mozart saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital menggunakan

faces anxiety scale for children.

f. Memberikan terapi musik pada responden.

g. Melakukan pengukuran kecemasan anak setelah diberikan terapi musik

klasik Mozart saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital menggunakan

faces anxiety scale for children.

2. Jenis Data

a. Data Primer

Data primer disebut juga data tangan pertama. Data primer diperoleh

langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran

atau alat pengambilan data, langsung pada subyek sebagai sumber

informasi yang dicari (Saryono, 2011). Data primer dalam penelitian ini

diperoleh oleh peneliti secara langsung dari hasil wawancara dengan

menggunakan kuesioner dan hasil pengamatan langsung di lapangan

(ruang Kanthil RSUD Banyumas).

b. Data Sekunder

Data sekunder disebut juga data tangan kedua. Data sekunder adalah data

yang diperoleh dari pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari

subyek penelitian (Saryono, 2011). Data sekunder digunakan untuk

melengkapi dan mendukung data primer. Data sekunder dalam penelitian

ini diperoleh oleh peneliti dari pihak RSUD Banyumas. Data yang

diperoleh berupa: jumlah pasien rawat inap anak, usia pasien, jenis

penyakit, lama rawat pasien dan nama pasien.

H. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan data

Menurut Saryono (2011) langkah-langkah dalam memproses data terdiri

dari:

a. Editing

Data yang terkumpul selanjutnya disusun. Editing adalah memeriksa

daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para pengumpul data.

Tujuannya adalah mengurangi kesalahan atau kekurangan yang ada di

daftar pertanyaan.

b. Coding

Coding adalah mengklasifikasikan jawaban dari para responden ke

dalam kategori. Klasifikasi data merupakan usaha untuk

menggolongkan, mengelompokkan dan memilah data berdasarkan

klasifikasi tertentu. Kegiatan ini akan memudahkan dalam menguji

hipotesis.

c. Encoding, scoring dan membuat isian data

Scoring adalah memberikan penilaian terhadap item-item yang perlu

diberi penilaian atau skor.

d. Tabulating: menghasilkan rangkuman data.

Tabulating adalah pekerjaa membuat tabel. Jawaban-jawaban yang

telah diberi kode kemudian dimasukkan ke dalam tabel. Langkah

terakhir dari penelitian ini adalah melakukan analisa data. Selanjutnya

data dimasukkan ke komputer dan dianalisis secara statistik.

2. Analisa Data

Setelah data terkumpul maka dilakukan analisa data dengan

perhitungan statistik dengan cara:

a. Analisa Univariat

Analisa univariat merupakan analisis yang dilakukan terhadap tiap

variabel dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisa ini hanya

menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel

(Notoatmodjo, 2003). Pada penelitian ini akan diketahui distribusi

frekuensi mengenai karakteristik umur responden, jenis kelamin

responden, dan lama hari rawat responden.

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat merupakan analisis yang dilakukan terhadap dua

variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo,

2003). Analisis bivariat dalam penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat

kecemasan anak dengan melihat pre test dan post test. Analisis ini

menggunakan uji statistik Uji Mann-Whitney dan Wilcoxon. Uji Mann-

Whitney merupakan uji non-parametrik yang digunakan untuk

membandingkan dua mean populasi yang berasal dari populasi yang

sama. Uji Mann-Whitney juga digunakan untuk menguji apakah dua

mean populasi sama atau tidak. Untuk menghitung nilai statistik uji

Mann-Whitney, rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Keterangan:

U = Nilai uji Mann-Whitney

N1= sampel 1

N2= sampel 2

Ri = Ranking ukuran sampel

Uji statistik Wilxocon merupakan uji dua sampel berhubungan

(dependen), dimana terdapat tahap sebelum (pretest) dan sesudah

(posttest) perlakuan pada masing-masing kelompok. Uji statistik

Wilxocon dipilih dalam penelitian ini karena skala data yang

digunakan adalah ordinal dan pelaksanaan penelitiannya dilakukan

dengan adanya hubungan yaitu tahap pretest dan posttest (Saryono,

2011). Dalam penelitian ini, uji statistik Wilcoxon digunakan untuk

mengetahui pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat

kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi sebelum-sesudah

diberikan terapi pada kelompok responden yang diberi perlakuan

terapi musik klasik Mozart 30 menit dan sebelum-sesudah diberikan

terapi pada kelompok yang diberi terapi musik klasik Mozart selama

45 menit. Adapun rumus uji statistik Wilcoxon yaitu:

th =

Se=

Keterangan:

D =deviasi/selisih antara nilai sesudah dengan nilai sebelum (Xssd-Xsbl)

= rata-rata deviasi

Se= standard error nilai deviasi

SD= standard deviasi

n = banyak data.

I. Etika Penelitian

Etika adalah prinsip moral yang memengaruhi tindakan (Saryono, 2011). Etika

penelitian menurut Hidayat (2007), terdiri dari 3 macam yaitu:

1. Informed Consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan

responden, dengan bentuk lembar persetujuan. Lembar persetujuan diberikan

sebelum penelitian kepada responden yang akan diteliti. Lembar ini dilengkapi

dengan judul penelitian dan manfaat penelitian, sehingga subjek mengerti

maksud dan tujuan penelitian. Bila subjek menolak, maka peneliti tidak boleh

memaksa dan harus tetap menghormati hak-hak subjek.

2. Anonimity

Anonimity digunakan untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan

mencantumkan nama responden, tetapi pada lembar tersebut diberikan kode

pengganti nama responden.

3. Confidentiality

Informasi yang telah dikumpulkan dari responden akan dijamin kerahasiaanya

oleh peneliti, dan hanya akan digunakan untuk pengembangan ilmu.

Penelitian ini mencantumkan semua nama dan sumber kutipan yang

diambil peneliti, baik dari buku, skripsi maupun jurnal. Dalam penelitian ini

responden bersedia secara sukarela sebagai responden. Penelitian ini

memperhatikan kerahasiaan, sehingga menggunakan inisial saja dan menjamin

semua informasi yang dikumpulkan dalam penelitian tidak dibuka di depan

publik, kecuali data ilmiah yang dijadikan variabel dalam penelitian ini. Sebelum

penelitian dilakukan, terlebih dahulu peneliti memberikan lembar persetujuan

kepada setiap responden, sehingga responden dapat memutuskan bersedia ataupun

menolak untuk menjadi sampel penelitian.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini berjumlah 15 orang pada kelompok

yang diberi perlakuan terapi musik klasik Mozart selama 30 menit dan 15

orang pada kelompok yang diberi perlakuan terapi musik klasik Mozart

selama 45 menit, sehingga jumlah responden seluruhnya adalah 30 orang,

dengan karakteristik yang terdiri dari jenis kelamin, usia anak dan tanda-tanda

vital.

a. Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi jumlah responden berdasarkan jenis kelamin dapat

dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di

RSUD Banyumas

No Jenis kelamin Kelompok Jumlah Presentase (%)

30 menit 45 menit

1 Laki-laki 6 7 13 43,3

2 Perempuan 9 8 17 56,7

Total 15 15 30 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa responden yang

terbanyak pada kedua kelompok adalah berjenis kelamin perempuan,

dengan rincian pada kelompok 30 menit sebanyak 9 orang dan pada

kelompok 45 sebanyak 8 orang, dengan jumlah presentase keselurahan

sebesar 56,7%.

b. Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Usia

Responden dalam penelitian ini berusia antara 5 sampai 10 tahun.

Distribusi jumlah responden berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Usia

No Umur

(tahun)

Kelompok Jumlah

Presentase

(%) 30 menit 45 menit

1 5 7 2 9 30

2 6 5 2 7 23,3

3 7 0 4 4 13,3

4 8 2 1 3 10

5 9 0 1 1 3,4

6 10 1 5 6 20

Total 15 15 30 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 4.5. dapat diketahui bahwa responden yang

terbanyak pada kelompok 30 menit adalah berusia 5 tahun yaitu sebanyak

7 orang, sedangkan pada kelompok 45 menit adalah berusia 10 tahun

sebanyak 5 orang.

c. Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Penyakit

Responden dalam penelitian ini menderita berbagai macam

penyakit. Distribusi jumlah responden berdasarkan penyakitnya dapat

dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Distribusi jumlah responden berdasarkan penyakitnya

No Nama penyakit Kelompok

Jumlah Presentase

(%) 30 menit 45 menit

1 Febris 5 5 10 33,3

2 PJB (Penyakit

Jantung Bawaan) 1 0 1 3,3

3 Vomitus 1 0 1 3,3

4 DSS (Dengue

Syock Syndrom) 1 0 1 3,3

5 KD (Kejang

Demam) 2 1 3 10

6 Retensi urine 1 0 1 3,3

7 SN (Sindrom

Nefrotis) 2 1 3 10

8 VSR 1 0 1 3,3

9 Thypoid 1 0 1 3,3

10 HSP 0 1 1 3,3

11 Gizi buruk 0 1 1 3,3

12 GNA (Glomerulo

Nefritis Akut) 0 3 3 10

13 DF (Dengue

Fever) 0 1 1 3,3

14

F, SE (Febris

dengan suspec

epilepsi)

0 2 2 6,7

Total 15 15 30 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 4.3. dapat diketahui bahwa jenis penyakit yang

terbanyak diderita oleh responden pada kedua kelompok adalah febris (F),

dengan rincian pada kelompok 30 menit sebanyak 5 orang, sedangkan

pada kelompok 45 menit sebanyak 5 orang.

2. Tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi

a. Distribusi jumlah responden berdasarkan tingkat kecemasan pada anak

akibat hospitalisasi (5-10 tahun) di RSUD Banyumas sebelum diberikan

terapi.

Responden dalam penelitian ini mengalami tingkat kecemasan yang

berbeda-beda akibat hospitalisasi sebelum diberikan terapi musik klasik

Mozart. Distribusi jumlah tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi (5-

10 tahun) di RSUD Banyumas sebelum diberikan terapi dapat dilihat pada

tabel 4.4.

Tabel 4.4. Distribusi jumlah responden berdasarkan tingkat kecemasan

pada anak akibat hospitalisasi (5-10 tahun) di RSUD Banyumas

sebelum diberikan terapi.

No Tingkat

Kecemasan

Kelompok

Jumlah Presentase

30

menit %

45

menit %

1 Tidak ada

kecemasan

- - - - - -

2 Lebih sedikit

kecemasan

8 26,7 9 30 17 56,7

3 Sedikit

kecemasan

7 23,3 5 16,7 12 40

4 Mengalami

kecemasan

- - 1 3,3 1 3,3

5 Kecemasan

ekstrim

- - - - - -

Total 15 15 30 100

Sumber: Data Primer. N=30. Tahun 2013.

Berdasarkan tabel 4.4. diperoleh bahwa tingkat kecemasan anak

akibat hospitalisasi di RUSD Banyumas sebelum diberikan terapi dibagi

dalam beberapa kategori tingkat kecemasan,pada hasil penelitian ini

tingkat kecemasan responden lebih banyak terdapat pada kategori tingkat

lebih sedikit kecemasan, hal itu dapat terlihat dari presentase yang

diperoleh yaitu 26,7% pada kelompok perlakuan terapi musik klasik

Mozart selama 30 menit dan 30% pada kelompok perlakuan terapi musik

klasik Mozart selama 45 menit.

b. Distribusi jumlah responden berdasarkan tingkat kecemasan pada anak

akibat hospitalisasi (5-10 tahun) di RSUD Banyumas setelah diberikan

terapi.

Responden dalam penelitian ini mengalami tingkat kecemasan yang

berbeda-beda akibat hospitalisasi setelah diberikan terapi musik klasik

Mozart. Distribusi jumlah tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi (5-

10 tahun) di RSUD Banyumas setelah diberikan terapi dapat dilihat pada

tabel 4.5.

Tabel 4.5. Distribusi jumlah responden berdasarkan tingkat kecemasan

pada anak akibat hospitalisasi (5-10 tahun) di RSUD

Banyumas setelah diberikan terapi.

No Tingkat

Kecemasan

Kelompok

Jumlah Presentase

30

menit %

45

menit %

1 Tidak ada

kecemasan

2 6,7 5 16,6 7 23,3

2 Lebih sedikit

kecemasan

8 26,7 10 33,3 18 60

3 Sedikit

kecemasan

3 10 - - 3 10

4 Mengalami

kecemasan

2 6,7 - - 2 6,7

5 Kecemasan

ekstrim

- - - - - -

Total 15 15 30 100

Sumber: Data Primer. N=30. Tahun 2013.

Berdasarkan tabel 4.5. diperoleh bahwa tingkat kecemasan anak

akibat hospitalisasi di RUSD Banyumas setelah diberikan terapi dibagi

dalam beberapa kategori tingkat kecemasan, pada hasil penelitian ini

tingkat kecemasan responden lebih banyak terdapat pada kategori tingkat

lebih sedikit kecemasan, hal itu dapat terlihat dari presentase yang

diperoleh yaitu 26,7% pada kelompok perlakuan terapi musik klasik

Mozart selama 30 menit dan 33% pada kelompok perlakuan terapi musik

klasik Mozart selama 45 menit.

Kelompok 30 menit sebelum diberikan terapi musik klasik Mozart

jumlah responden yang mengalami lebih sedikit kecemasan sebanyak 8

orang, tetapi setelah diberikan terapi musik klasik Mozart jumlah pasien

yang tidak mengalami perubahan (tetap pada tingkat lebih sedikit

kecemasan) sebanyak 5 orang, 1 orang responden mengalami peningkatan

kecemasan menjadi cemas dan 2 orang responden lainnya menjadi tidak

mengalami kecemasan. Sedangkan jumlah pasien yang mengalami sedikit

kecemasan sebelum dilakukan terapi musik klasik Mozart berjumlah 7

orang, tetapi setelah diberikan terapi musik klasik Mozart jumlah

responden yang tidak mengalami perubahan (tetap pada tingkat sedikit

kecemasan) sebanyak 3 orang, responden yang mengalami penurunan

tingkat kecemasan menjadi lebih sedikit kecemasan sebanyak 3 orang dan

1 orang mengalami peningkatan kecemasan menjadi cemas. Perubahan

tingkat kecemasan pada kelompok 30 menit ini dapat dilihat pada lampiran

data kecemasan responden.

Kelompok 45 menit sebelum diberikan terapi musik klasik Mozart

jumlah responden yang mengalami lebih sedikit kecemasan sebanyak 9

orang, tetapi setelah diberikan terapi musik klasik Mozart jumlah pasien

yang tidak mengalami perubahan (tetap pada tingkat lebih sedikit

kecemasan) sebanyak dan 2 orang responden lainnya menjadi tidak

mengalami kecemasan. Sedangkan jumlah pasien yang mengalami sedikit

kecemasan sebelum dilakukan terapi musik klasik Mozart berjumlah 5

orang, tetapi setelah diberikan terapi musik klasik Mozart semua

responden mengalami perubahan tingkat kecemasan, 3 orang mengalami

penurunan kecemasan menjadi lebih sedikit kecemasan, dan 2 orang

mengalami penurunan menjadi tidak cemas. Sebelum diberikan terapi

musik klasik Mozart 1 orang responden mengalami kecemasan, tetapi

setelah diberikan terapi responden menjadi tidak cemas. Adapun pada

kelompok 45 menit ini terdapat responden yang tertidur ketika diberikan

terapi musik klasik Mozart. Perubahan tingkat kecemasan pada kelompok

30 menit ini dapat dilihat pada lampiran data kecemasan responden.

3. Perbedaan Tingkat Kecemasan Anak Sebelum Terapi Musik Klasik

Mozart Pada Kelompok 30 Menit dan 45 Menit

Tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi berbeda-beda, namun

sebelum dilakukan penelitian lebih lanjut dan pemberian perlakuan berupa

terapi musik klasik Mozart pada responden, peneliti melakukan penilaian

tentang tingkat kecemasan awal pada responden kelompok terapi 30 menit dan

kelompok terapi 45 menit dengan menggunakan uji statistik Mann-Whitney.

Uji statistik Mann-Whitney digunakan untuk menguji dua sampel tidak

berhubungan (independen), dengan syarat datanya skala ordinal. Uji statistik

ini digunakan untuk mengetahui tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi

sebelum dilakukan terapi musik klasik Mozart pada kelompok terapi 30 menit

dan terapi 45 menit, serta untuk mengetahui perkembangan tingkat kecemasan

akibat hospitalisasi sesudah dilakukan terapi musik klasik Mozart pada

kelompok terapi 30 menit dan terapi 45 menit.

Tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi antara kelompok terapi 30

menit dan kelompok terapi 45 menit sebelum dilakukan pemberian terapi

musik klasik Mozart dari hasil analisis uji Mann-Whitney dapat dilihat pada

tabel 4.6.

Tabel 4.6. Tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi antara kelompok terapi

30 menit dan kelompok terapi 45 menit sebelum dilakukan

pemberian terapi musik klasik Mozart.

Sebelum

Kelompok n Z test p Value

30 menit 15 -0,328 0,743

45 menit 15

Total 30

Berdasarkan Tabel 4.6. diketahui bahwa hasil analisis dari uji statistik

Mann-Whitney pada saat sebelum terapi diperoleh nilai p value sebesar 0,743

dengan α=0,05. Karena nilai p value>0,05, maka Ho diterima yang berarti

tidak ada perbedaan tingkat kecemasan pasien yang mengalami hospitalisasi

pada kelompok 30 menit dan kelompok 45 menit, dengan kata lain kelompok

30 menit dan kelompok 45 menit memiliki tingkat kecemasan yang sama

sebelum dilakukan pemberian terapi musik klasik Mozart.

4. Pengaruh Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart Terhadap Tingkat

Kecemasan Pada Anak Yang Mengalami Hospitalisasi Pada Kelompok

Terapi 30 Menit dan Kelompok Terapi 45 Menit.

Sesuai dengan hasil analisis uji statistik Mann-Whitney diatas yang

menunjukan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kecemasan pasien yang

mengalami hospitalisasi pada kelompok 30 menit dan kelompok 45 menit,

maka dapat dilanjutkan dengan pemberian perlakuan berupa pemberian terapi

musik klasik Mozart pada responden kelompok 30 menit dengan pemberian

terapi musik klasik Mozart selama 30 menit dan pemberian terapi musik

klasik Mozart pada responden kelompok 45 menit dengan pemberian terapi

musik klasik Mozart selama 45 menit. Untuk melihat pengaruhnya terhadap

tingkat kecemasan akibat hospitalisasi sebelum dan sesudah pemberian terapi

musik klasik Mozart pada kedua kelompok responden maka digunakan uji

statistik Wilcoxon. Uji statistik Wilcoxon digunakan untuk menguji dua sampel

yang berhubungan, dimana terdapat tahap pretest dan posttest perlakuan pada

masing-masing kelompok. Tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada

masing-masing kelompok dengan menggunakan uji Wilcoxon, dapat dilihat

pada tabel 4.7. dan tabel 4.8.

a. Perubahan Tingkat Kecemasan Akibat Hospitalisasi Sebelum Dan Setelah

Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart Pada Kelompok Terapi 30 Menit

(n=15).

Perubahan tingkat kecemasan akibat hospitalisas sebelum dan

setelah pemberian terapi musik klasik Mozart pada responden kelompok

30 menit dapat dilihat pada tabel 4.7.

Tabel 4.7. Perubahan tingkat kecemasan akibat hospitalisasi sebelum dan

setelah pemberian terapi musik klasik Mozart pada kelompok

terapi 30 menit (n=15)

Variabel N Mean Z test p Value

Tingkat kecemasan

anak sebelum terapi

30 menit

15 4.00

-1,134 0,257 Tingkat kecemasan

anak sesudah terapi

30 menit

15 4.00

Sumber: Data Primer. n=15. Tahun 2013.

Berdasarkan tabel 4.7. hasil analisis menggunakan uji statistik

Wilcoxon dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) diperoleh nilai p

value adalah 0,257 dengan demikian p value > α (0,257 >0,05), maka Ho

diterima. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa

tidak terdapat pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat

kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan

tanda-tanda vital di RSUD Banyumas pada kelompok 30 menit.

b. Perubahan Tingkat Kecemasan Akibat Hospitalisasi Sebelum Dan Setelah

Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart Pada Kelompok Terapi 45 Menit

(n=15).

Perubahan tingkat kecemasan akibat hospitalisas sebelum dan

setelah pemberian terapi musik klasik Mozart pada responden kelompok

30 menit dapat dilihat pada tabel 4.8.

Tabel 4.8. Perubahan tingkat kecemasan akibat hospitalisasi sebelum dan

sesudah pemberian terapi musik klasik Mozart pada kelompok

terapi 45 menit (n=15).

Variabel N Mean Z test p Value

Tingkat kecemasan

anak sebelum terapi

45 menit

15 0,00

-2,724 0,006

Tingkat kecemasan

anak sesudah terapi

45 menit

15 5,00

Sumber: Data Primer. n=15. Tahun 2013.

Berdasarkan tabel 4.8. hasil analisis menggunakan uji statistik

Wilcoxon dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Berdasarkan hasil

uji ini, didapatkan nilai p value adalah 0,006 dengan demikian p value < α

(0,006<0,05), maka Ho ditolak dan Ha diterima. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa terdapat pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap

tingkat kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi saat dilakukan

pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD Banyumas pada kelompok 45

menit.

5. Tingkat Kecemasan Anak Sesudah Terapi Musik Klasik Mozart Pada

Kelompok 30 Menit dan 45 Menit

Uji statistik yang selanjutnya digunakan adalah uji statistik Mann-

Whitney. Berdasarkan hasil uji statistik Wilcoxon yang menyatakan bahwa

terdapat pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat kecemasan

anak yang mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda

vital di RSUD Banyumas pada kelompok 45 menit, maka perlu dilakukan uji

untuk mengetahui perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi musik klasik

Mozart terhadap tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada kelompok 30

menit dan 45 menit dengan menggunakan uji statistik Mann-Whitney.

Tabel 4.9. Tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi antara kelompok terapi

30 menit dan kelompok terapi 45 menit sesudah dilakukan

pemberian terapi musik klasik Mozart.

Sesudah

Kelompok n Z test p Value

30 menit 15

-2,246 0,025 45 menit 15

Total 30

Berdasarkan tabel 4.9. diketahui bahwa hasil analisis dari uji statistik

Mann-Whitney pada saat sesudah perlakuan diperoleh nilai p value sebesar

0,025 dengan α=0,05. Karena nilai p value < 0,05 (0,025<0,05) maka Ho

ditolak yang berarti terdapat perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi

musik klasik Mozart terhadap tingkat kecemasan pada anak yang mengalami

hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD

Banyumas pada kelompok terapi 30 menit dan 45 menit sesudah diberikan

terapi musik klasik Mozart, dengan kata lain antara kelompok 30 menit dan 45

menit memiliki tingkat kecemasan yang berbeda setelah dilakukan pemberian

terapi musik klasik Mozart.

B. Pembahasan

1. Karakteristik Responden Di RSUD Banyumas

a. Jenis Kelamin

Jumlah penduduk anak Indonesia pada rentang usia 5-12 tahun

menurut hasil Sensus Penduduk 2010 adalah 18.680 juta anak laki-laki dan

17.714 juta anak perempuan (Profil Anak Indonesia, 2012). Jumlah pasien

anak usia 5-10 tahun di ruang Kanthil selama penelitian adalah 37 orang

anak perempuan dan 49 orang anak laki-laki (buku register ruang kanthil,

2013). Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah responden terbanyak

berdasarkan jenis kelamin adalah perempuan pada kelompok 30 menit

sebanyak 9 orang dan pada kelompok 45 menit sebanyak 8 orang, dengan

jumlah presentase keseluruhan sebesar 56,7%. Karena usia responden

dalam penelitian ini mempunyai rentang antara usia 5 tahun sampai

dengan 10 tahun, hal itu sesuai dengan pernyataan Monks, Knoers, dan

Rahayu (2006), bahwa anak usia sekolah mengalami kecemasan dan

kecakapan verbal lebih banyak pada anak perempuan. Sedangkan agresi,

aktifitas, dominasi, impulsifitas, kecakapan pengamatan ruang dan

kecakapan kuantitatif lebih banyak pada laki-laki. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh peneliti juga sesuai dengan penelitian Sari dan Sulisno

(2012) bahwa anak perempuan lebih cemas daripada anak laki-laki karena

anak perempuan lebih sensitif dan mendapat stressor lebih intensif

daripada anak laki-laki yang eksploratif.

Hasil penelitian tidak sesuai dengan pendapat Wong (2007) yang

menyatakan anak perempuan pada umumnya lebih adaptif terhadap

stressor dibanding anak laki-laki. Stimuli yang mengawali atau

mencetuskan perubahan disebut stressor. Stressor menunjukkan suatu

kebutuhan yang tidak terpenuhi dan kebutuhan tersebut bisa saja

kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial, lingkungan, perkembangan,

spiritual, atau kebutuhan kultural (Potter & Perry, 2005). Selama

hospitalisasi anak-anak mengalami stress akan kebutuhan psikologis

seperti perhatian dari orang tua dan keluarga, kebutuhan sosial seperti

bertemu dengan teman-temannya, kebutuhan lingkungan seperti anak

ingin berada di lingkungan rumahnya dan kebutuhan perkembangan

seperti bermain dengan teman sebaya. Anak laki-laki merupakan salah

satu faktor risiko yang membuat anak-anak tertentu lebih mudah

tersinggung dibandingkan anak lain dalam kondisi stress saat hospitalisasi

(Wong, 2007).

b. Usia

Berdasarkan buku register di ruang Kanthil diketahui bahwa

selama penelitian jumlah pasien anak usia 5 tahun adalah sebanyak 24

anak, usia 6 tahun sebanyak 14 anak, usia 7 tahun sebanyak 12 anak, usia

8 tahun sebanyak 16 anak, usia 9 tahun sebanyak 4 anak dan usia 10 tahun

sebanyak 16 anak. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh

peneliti diketahui bahwa responden yang terbanyak pada kelompok 30

menit adalah responden berusia 5 tahun yaitu sebanyak 7 orang, dan pada

kelompok 45 menit jumlah responden terbanyak adalah responden berusia

10 tahun yaitu sebanyak 5 orang. Masa kanak-kanak dalam disiplin ilmu

psikologi merupakan rentang yang cukup panjang yaitu antara usia 2 tahun

sampai dengan 11 atau 12 tahun. Dengan mempertimbangkan karakteristik

dan tugas perkembangan yang berbeda, masa anak terbagi menjadi dua

periode yaitu periode anak awal dan anak akhir. Periode anak awal

berkisar dari usia dua sampai dengan enam tahun (2-6 tahun) dan periode

anak akhir dari usia enam sampai dengan tibanya masa kematangan secara

seksual, yaitu masa pubertas. Pengklasifikasian anak awal dan anak akhir

mengacu pula pada usia dimana anak awal merupakan usia prasekolah dan

anak akhir merupakan usia sekolah dasar (Maslihah, 2006).

Apabila dilihat dari klasifikasi pembagian kelompok usia, maka

jumlah responden terbanyak ada pada kelompok anak usia prasekolah

yaitu berjumlah 16 orang (usia 5-6 tahun), dan sisanya berjumlah 14 orang

berada pada kelompok anak usia sekolah. Berdasarkan hasil penelitian

diketahui bahwa jumlah mayoritas anak yang mengalami kecemasan

akibat hospitalisasi adalah anak usia prasekolah dengan jumlah 16 orang.

Umumnya anak usia pra sekolah jika dirawat di rumah sakit akan timbul

rasa takut baik pada dokter ataupun perawat, apalagi jika anak telah

mempunyai pengalamanan mendapatkan imunisasi. Dalam bayangannya,

perawat atau dokter akan menyakiti dengan cara menyuntik. Selain itu

anak akan merasa terganggu hubungannya dengan orang tua atau

saudaranya. Lingkungan di rumah tentu berbeda bentuk dan suasananya

dengan alat-alat yang ada di ruang perawatan. Reaksi pertama selain

ketakutan juga pasien kurang nafsu makan bahkan anak yang masih kecil

menangis, tidak mau minum susu atau makan makanan yang diberikan

(Ngastiyah, 2005). Kecemasan pada anak usia sekolah adalah kecemasan

karena perpisahan dengan kelompok, mengalami luka pada tubuh dan

nyeri dan kehilangan kontrol juga dapat menimbulkan kecemasan (Wong

& whaley, 2007).

Dampak hospitalisasi pada anak yaitu anak akan cenderung lebih

manja, minta perhatian lebih pada orang tua serta bersikap cuek pada

perawat yang akan merawatnya karena anak belum dapat beradaptasi

dengan lingkungan rumah sakit. Stres yang umumnya terjadi berhubungan

dengan hospitalisasi adalah takut akan unfamiliarity, lingkungan rumah

sakit yang menakutkan, rutinitas rumah sakit, prosedur yang menyakitkan,

dan takut akan kematian. Reaksi emosional pada anak sering ditunjukkan

dengan menangis, marah dan berduka sebagai bentuk yang sehat dalam

mengatasi stres karena hospitalisasi (Elfira, 2011).

c. Jenis Penyakit

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti diketahui

bahwa jenis penyakit yang terbanyak diderita oleh kedua kelompok adalah

febris (F), dengan rincian pada kelompok 30 menit sebanyak 5 orang,

sedangkan pada kelompok 45 menit sebanyak 5 orang. Febris (demam)

adalah kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 380C) dan sebagai respon

normal tubuh terhadap infeksi, infeksi merupakan penyebab demam

terbanyak pada anak-anak. Suhu tubuh dikendalikan oleh suatu bagian dari

otak yang disebut hipotalamus. Hipotalamus berusaha agar suhu tubuh

tetap hangat (36,5-37,50C) meskipun lingkungan luar tubuh berubah-ubah.

Hipotalamus mengatur suhu dengan cara menyeimbangkan antara

produksi panas pada otot dan hati, dan pengeluaran panas pada kulit dan

paru-paru. Ketikaa terjadi infeksi, sistem kekebalan tubuh meresponnya

dengan melepaskan zat kimia dalam aliran darah. Zat kimia tersebut akan

merangsang hipotalamus untuk menaikkan suhu tubuh dan akhirnya akan

menambah jumlah sel darah putih yang berguna dalam melawan kuman

(FKUI, 2007). Pada penelitian ini mayoritas responden mengalami febris,

karena febris merupakan tanda dan gejala dari penyakit lainnya sehingga

perlu dilakukan observasi lebih lanjut agar tidak terjadi komplikasi

lanjutan dan merupakan kebijakan rumah sakit.

2. Tingkat Kecemasan Responden

a. Perbedaan Tingkat Kecemasan Anak Sebelum Terapi Musik Klasik

Mozart Pada Kelompok 30 Menit dan 45 Menit

Hasil penelitian menunjukan bahwa pada awalnya tingkat

kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi di RSUD Banyumas tidak

memiliki perbedaan antara kelompok 30 menit dan kelompok 45 menit.

Hal itu terlihat pada tabel 4.6. dimana diperoleh nilai p value sebesar 0,743

dengan α=0,05. Karena nilai p value>0,05, yang berarti tidak ada

perbedaan tingkat kecemasan pasien yang mengalami hospitalisasi pada

kelompok 30 menit dan kelompok 45 menit, dengan kata lain kelompok 30

menit dan kelompok 45 menit memiliki tingkat kecemasan yang sama

sebelum dilakukan pemberian terapi musik klasik Mozart, hal ini

merupakan syarat baik dilakukannya penelitian eksperimental.

Pendekatan riset eksperimental membandingkan 2 kelompok yang

homogen, seperti contoh subjek responden yang memiliki nyeri angina

ringan dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok pertama sebagai kelompok

eksperimental dan kelompok lainnya sebagai kelompok kontrol, pada awal

perlakuan kedua kelompok tersebut memiliki tingkat nyeri angina yang

sama, kemudian diberikan perlakuan pada kelompok eksperimental untuk

melihat apakah ada perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok

tersebut (Demsey P.A & Demsey A. D., 2002). Sesuai dengan tinjauan

pustaka diatas maka pada pendekatan eksperimental kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan memiliki kesetaraan (homogen), sehingga

eksperiment dapat dilakukan untuk melihat perubahan pada kedua

kelompok untuk melihat hasil signifikan setelah eksperiment. Peneliti

melakukan pengukuran terlebih dahulu tentang tingkat kecemasan anak

yang mengalami hospitalisasi untuk memastikan perubahan tingkat

kecemasan setelah diberikan terapi musik klasik Mozart.

b. Perubahan Tingkat Kecemasan Akibat Hospitalisasi Sebelum Dan

Sesudah Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart Pada Kelompok

Terapi 30 Menit

Berdasarkan tabel 4.7. menunjukan bahwa pada kelompok 30

menit tidak menunjukan perubahan tingkat kecemasan yang signifikan

pada saat sebelum dan sesudah terapi. Hasil analisis menggunakan uji

statistik Wilcoxon dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) diperoleh

nilai p value adalah 0,257 dengan demikian p value > α (0,257 >0,05),

maka Ho diterima. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan

bahwa tidak terdapat pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat

kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan

tanda-tanda vital di RSUD Banyumas pada kelompok 30 menit. Hal ini

dapat disebabkan karena ketika diberikan terapi musik klasik Mozart

responden juga mendapat tindakan invasif yang menimbulkan rasa sakit

sehingga meningkatkan kecemasan.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Miller & Bornstein cit

Schou (2008) dalam perbandingan beberapa metode yang dilakukan oleh

Miller dan Bornstein didapatkan hasil bahwa pemberian terapi musik

selama 30 menit tidak memiliki efek meningkatkan relaksasi. Sehingga

mereka menyarankan untuk menambah durasi pemberian terapi musik

yang lebih lama, hal ini diharapkan akan memberikan hasil yang lebih

baik. Tetapi penelitian ini tidak sejalan dengan dengan hasil penelitian

Suhartini (2008) Terapi musik adalah sebuah terapi kesehatan yang

menggunakan musik di mana tujuannya adalah untuk meningkatkan atau

memperbaiki kondisi fisik, emosi, kognitif, dan sosial bagi individu dari

berbagai kalangan usia. Pemberian terapi musik selama 30 menit efektif

untuk menurunkan perubahan respon fisiologis terhadap kecemasan yang

dirawat diruang ICU-ICCU. Dan hasil penelitian ini juga tidak sejalan

dengan hasil penelitian Arslan, Ozer, & Ozyurt (2008). Pemberian durasi

musik selama 30 menit penggunaan terapi musik bermanfaat sebagai

intervensi keperawatan mandiri untuk mengelola kecemasan pra operasi

pada pasien yang menjalani operasi urogenital. Mendengarkan musik yang

dipilih sendiri selama periode pra operasi secara efektif dapat mengurangi

tingkat kecemasan dan harus menjadi alat yang berguna ketika sesi pra

operasi.

c. Perubahan Tingkat Kecemasan Akibat Hospitalisasi Sebelum Dan

Sesudah Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart Pada Kelompok

Terapi 45 Menit

Berdasarkan tabel 4.8. hasil analisis menggunakan uji statistik

Wilcoxon dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Berdasarkan hasil

uji ini, didapatkan nilai p value adalah 0,006 dengan demikian p value < α

(0,006<0,05), maka Ho ditolak dan Ha diterima. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa terdapat pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap

tingkat kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi saat dilakukan

pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD Banyumas pada kelompok 45

menit.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sendelbach & Halm cit

Arslan, Ozer & Ozyurt (2007) Tingkat kecemasan pada kelompok musik

secara statistik signifikan lebih rendah pada post test setelah diberikan

terapi musik selama 45 menit dibandingkan pada kelompok kontrol. Studi

eksperimental menyelidiki efek fisiologis dan psikologis musik pada

pasien yang menjalani operasi jantung menemukan penurunan tingkat

kecemasan kelompok musik. Studi yang menyelidiki efek musik pada

pasien yang lebih tua yang menjalani operasi jantung, tingkat kecemasan

kelompok yang diberi terapi musik lebih rendah daripada kelompok

kontrol. Setelah terapi musik selama 45 menit pada pasien operasi jantung

ditemukan bahwa musik menjadi lebih bermanfaat untuk relaksasi dan

menunjukkan ada perbedaan dalam kelompok, yaitu menunjukkan

penurunan kecemasan pada semua kelompok setelah sesi pra operasi dan

sesi pasca operasi . Pengaruh yang signifikan ditemukan ketika

membandingkan tindakan dilakukan setelah sesi pra operasi dan setelah

sesi pasca operasi antara sesi hari ke tiga dan empat, dan perbedaan

signifikan yang diidentifikasi dalam efek antar kelompok (Schou, 2008).

d. Tingkat Kecemasan Anak Sesudah Terapi Musik Klasik Mozart Pada

Kelompok 30 Menit dan 45 Menit

Berdasarkan tabel 4.9. diketahui bahwa hasil analisis dari uji

statistik Mann-Whitney pada saat sesudah perlakuan diperoleh nilai p value

sebesar 0,025 dengan α=0,05. Karena nilai p value < 0,05 (0,025<0,05)

maka Ho ditolak yang berarti terdapat perbedaan pengaruh durasi

pemberian terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat kecemasan pada

anak yang mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-

tanda vital di RSUD Banyumas pada kelompok terapi 30 menit dan 45

menit sesudah diberikan terapi musik klasik Mozart, dengan kata lain

antara kelompok 30 menit dan 45 menit memiliki tingkat kecemasan yang

berbeda setelah dilakukan pemberian terapi musik klasik Mozart.

Perubahan tingkat kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi

antara kelompok yang diberi terapi musik klasik Mozart selama 30 menit

dan 45 menit mengalami perbedaan. Berdasarkan hasil penelitian,

menunjukan bahwa tingkat kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi

sesudah diberikan terapi musik klasik Mozart pada kelompok 30 menit

tidak mengalami perubahan yang signifikan jika dilihat dari hasil p value,

sedangkan pada kelompok 45 menit mengalami perubahan yang signifikan

jika dilihat dari hasil p value.

Perubahan pada kelompok 45 menit dapat terjadi karena adanya

pengaruh durasi yang lebih lama yaitu selama 45 menit pada saat

pemberian terapi musik klasik Mozart, dan pada kelompok 30 menit

sebelumnya terdapat beberapa masalah, diantaranya ketika diberikan terapi

musik terdapat peningkatan kecemasan yang dialami responden akibat

prosedur invasif. Pada kelompok 45 menit ada responden yang tertidur

saat diberikan terapi, tetapi pada kelompok 30 menit tidak ada responden

yang tertidur. Peneliti menggunakan musik klasik Mozart untuk anak

dengan judul Mozart Wombsong Musical Soup, dengan tempo yang

lambat. Hal ini sejalan bahwa musik klasik Mozart memberikan

ketenangan, memperbaiki persepsi spasial dan memungkinkan pasien

untuk berkomunikasi baik dengan hati maupun pikiran. Musik klasik

Mozart juga memiliki irama, melodi, dan frekuensi tinggi yang dapat

merangsang dan menguatkan wilayah kreatif dan motivasi di otak. Musik

klasik Mozart memiliki efek yang tidak dimiliki komposer lain. Musik

klasik Mozart memiliki kekuatan yang membebaskan, mengobati dan dan

menyembuhkan (Musbikin, 2009).

e. Perbedaan Pengaruh Durasi Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart

Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Anak Yang Mengalami

Hospitalisasi Saat Dilakukan Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital

Perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi musik klasik Mozart

terhadap tingkat kecemasan pada anak yang mengalami hospitalisasi dapat

dilihat dari penilaian melalui face anxiety scale for children yang diujikan

sebelum dan setelah pemberian terapi pada kedua kelompok. Data

dianalisa dengan menggunakan uji statistik Mann-Whitney dan Wilcoxon.

Dari uji statistik Mann-Whitney diperoleh nilai p value sebesar 0,025

dengan α=0,05; nilai p value<0,05 pada saat sesudah perlakuan, maka Ho

ditolak yang berarti terdapat perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi

musik klasik Mozart terhadap tingkat kecemasan pada anak yang

mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital pada

kelompok 30 menit dan 45 menit. Sedangkan hasil uji menggunakan uji

statistik Wilcoxon dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) didapatkan

nilai p value adalah 0,006 dengan demikian p value < α (0,006<0,05),

maka Ho ditolak dan Ha diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

terdapat pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat kecemasan

anak yang mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-

tanda vital di RSUD Banyumas pada kelompok 45 menit.

Penelitian Soeparmin, Suarjaya dan Tyas (2008) mengenai

pengaruh musik klasik terhadap kecemasan anak saat perawatan gigi

menunjukkan kecemasan anak berkurang pada perawatan gigi dengan

menggunakan fasilitas musik, dan penurunan kecemasan pada anak

perempuan lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Anak yang mengalami

penurunan kecemasan lebih banyak dibandingkan anak yang mengalami

peningkatan kecemasan saat perawatan gigi dengan menggunakan fasilitas

musik. Hal ini menunjukkan bahwa musik memilki efek menguntungkan

yang signifikan dalam menanggulangi dan menurunkan tingkat kecemasan

pasien anak selama perawatan gigi berlangsung.

Musik merupakan sebuah rangsangan pendengaran yang

terorganisir yang terdiri dari melodi, ritme dan harmoni. Melodi

mempengaruhi tubuh, ritme atau irama mempengaruhi jiwa, sedangkan

harmoni mempengaruhi roh. Banyak dari proses kehidupan kita yang

berakar dari irama, sebagai contoh, irama detak jantung, pernafasan,

sampai berbagai aktivitas otak. Musik dalam bidang kedokteran memiliki

hubungan sejarah yang erat dan panjang. Sejak zaman Yunani kuno musik

digunakan sebagai sarana untuk meringankan penyakit dan membantu

pasien dalam mengatasi emosi yang menyakitkan seperti kecemasan,

kesedihan, dan kemarahan. Ketika musik diaplikasikan sebagai salah satu

cara distraksi untuk mengurangi kecemasan, musik dapat memberikan

kenyamanan dan relaksasi yang merupakan salah satu cara menurunkan

`kecemasan psikologis dan prilaku individual yang menunggu perawatan

ataupun yang sedang dalam perawatan. Pada saat music diperdengarkan,

musik mampu merangsang pengeluaran gamma amino butric acid

(GABA), enkephalin, beta endorphin. Zat-zat tersebut dapat menimbulkan

efek analgesia sehingga dapat mengurangi tingkat kecemasan pasien

(Soeparmin, Suarjaya dan Tyas, 2008).

Musik sebagai gelombang suara dapat meningkatkan suatu respon

seperti peningkatan endorphin yang dapat mempengaruhi suasana hati dan

dapat menurunkan kecemasan pasien. Musik memiliki sifat yang universal

dan sangat mudah diterima oleh organ pendengaran dan tidak dibatasi pula

oleh fungsi intelektual. Musik klasik memiliki kejernihan keanggunan, dan

kebeningan, musik ini mampu memperbaiki konsentrasi, ingatan, dan

persepsi. Pada dasarnya semua jenis musik sebenarnya dapat digunakan

dalam usaha menurunkan kecemasan anak. Seringkali dianjurkan memilih

musik relaksasi dengan tempo sekitar 60 ketukan/menit, sehingga

didapatkan keadaan istirahat yang optimal. Musik klasik sering menjadi

acuan karena berirama tenang dan mengalun lembut. Pemilihan musik

klasik lebih didasarkan pada keyakinan banyak ahli bahwa irama dan

tempo kebanyakan musik klasik mengikuti kecepatan detak jantung

manusia yaitu sekitar 60 detak/menit. Terapi musik sangat efektif

digunakan untuk mengurangi kecemasan pada pasien yang akan menjalani

prosedur medik termasuk pasien anak(Soeparmin, Suarjaya dan Tyas,

2008).

C. Kelemahan Penelitian

Kelemahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Objek penelitian yang hanya dilakukan pada satu institusi rumah sakit saja.

Akan lebih baik bila penelitian serupa dilakukan di beberapa rumah sakit dan

di lingkungan yang lebih tepat dalam lingkup yang lebih besar serta dilakukan

dalam waktu yang lebih lama.

2. Adanya faktor confounding yang tidak dikendalikan pada penelitian ini yaitu:

jenis penyakit yang diderita oleh responden, dilakukan tindakan invasif saat

yang dilakukan bersamaan dengan terapi musik, pangaruh pengalaman

hospitalisasi sebelumnya, dan tidak ada pemisahan kategori kronik maupun

kategori akut pada responden.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dan pembahasan mengenai perbedaan pengaruh

durasi pemberian terapi musik klasik Mozart pada anak yang mengalami

hospitalisasi di RSUD Banyumas pada saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda

vital, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Karakteristik responden dalam penelitian pada kelompok 30 menit adalah

berusia 5 tahun, jenis kelamin perempuan dengan penyakit febris. Sedangkan

pada kelompok 45 menit berusia 10 tahun, perempuan dan dengan penyakit

febris.

2. Tingkat kecemasan anak sebelum terapi musik klasik Mozart pada kelompok

30 menit dan 45 menit menunjukkan tidak memiliki perbedaan.

3. Tingkat kecemasan anak sebelum dan sesudah terapi musik klasik Mozart

pada kelompok 30 menit tidak menunjukan perubahan.

4. Tingkat kecemasan anak sebelum dan sesudah terapi musik klasik Mozart

pada kelompok 45 menit menunjukan pengaruh terhadap tingkat kecemasan

anak yang mengalami hospitalisasi.

5. Tingkat kecemasan pada anak yang mengalami hospitalisasi di RSUD

Banyumas sesudah dilakukan terapi musik klasik Mozart antara kelompok 30

menit dan kelompok 45 menit menunjukan adanya perbedaan, dengan kata

lain antara kelompok 30 menit dan kelompok 45 menit memiliki tingkat

kecemasan yang berbeda sesudah diberikan terapi musik klasik Mozart.

6. Ada perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi musik klasik Mozart

terhadap tingkat kecemasan pada anak yang mengalami hospitalisasi saat

dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD Banyumas pada kelompok

45 menit.

B. Saran

Berdasarkan penelitian dan pembahasan mengenai perbedaan pengaruh durasi

pemberian terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat kecemasan pada anak

yang mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di

RSUD Banyumas, peneliti ingin menyampaikan saran sebagai berikut:

1. Bagi institusi Rumah Sakit

Bagi institusi Rumah Sakit diharapkan dapat mempertimbangkan

untuk diterapkannya sebagai asuhan keperawatan dengan pemberian terapi

musik klasik Mozart untuk menurunkan tingkat kecemasan pada pasien anak

selama hospitalisasi dan terapi yang diberikan selama minimal 45 menit.

2. Penelitian keperawatan

Bagi penelitian keperawatan diharapkan dapat dilakukan penelitian

lanjutan mengenai pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap perubahan

tanda-tanda vital pada pasien yang mengalami hospitalisasi dan tindakan

invasif, dengan pemberian terapi lebih dari sekali selama anak mengalami

hospitalisasi.

3. Bagi Masyarakat/orangtua

Bagi masyarakat khususnya orangtua dapat mempertimbangkan

memberikan terapi mendengarkan musik pada anak yang mengalami

kecemasan baik di rumah maupun di rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

Aidar, N. (2011). Hubungan peran keluarga dengan tingkat kecemasan anak usia

sekolah (6-12 tahun) yang mengalami hospitalisasi di ruang III Rumah

Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan. Skripsi, Universitas Sumatera Utara.

http://repository.usu.ac.id/handle /123456789/27095.

Amsila, N. (2011). Pengaruh musik klasik dan pop terhadap kemampuan

pemecahan masalah spasial ditinjau dari dimensi kepribadian ekstrovert

dan introver. Skripsi, Universitas Sumatera Utara.

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/26497.

Arslan, Sevban., Ozer, Nadiye., & Ozyurt, Funda. (2008). Effect of music on

preoperative anxiety in men undergoing urogenital surgery. Australian

Journal of Advanced Nursing, Volume 26, Number 2, 2008.

Campbell, D. (2001). Efek mozart, memanfaatkan kekuatan musik untuk

mempertajam pikiran, meningkatkan kreativitas, dan menyehatkan tubuh.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Chandler, J. (2008). Anxiety disorders in children and adolescents.

http://www.jameschandlermd.com/anxiety/anxiety_disorder.pdf.

Demsey, P. A., & Demsey, A. D. (2002). Riset keperawatan edisi 4. Jakarta:

EGC.

Djohan. (2009). Psikologi musik. Yogyakarta: Best Publisher.

Elfira, E. (2011). Pengaruh terapi bermain dengan tehnik bercerita terhadap

kecemasan akibat hospitalisasi pada anak pra sekolah di ruang perawatan

anak di RSUP H. Adam Malik Medan. Skripsi, Universitas Sumatera

Utara. http://repository.usu.ac.id/ handle/123456789/24484.

Farida, A. (2010). Efektifitas terapi musik terhadap penurunan nyeri post operasi

pada anak usia sekolah di RSUP Haji Adam Malik Medan. Skripsi,

Universitas Sumatera Utara.

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/20095.

Febriani, L. (2011). Efektifitas terapi musik klasik untuk mengurangi kecemasan

pada ibu bersalin seksio sesarea di RSUD DR. Pirngadi Medan. Skripsi,

Universitas Sumatera Utara.

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27165.

FKUI. (2007). Ilmu kesehatan anak 2. Editor: Hassan, Ruspeno. & Alatas,

Husein. Jakarta: FK UI.

Hawari, D. (2004). Manajemen stress, cemas dan depresi. Jakarta: FK UI.

Hidayat, A. A. (2005). Pengantar ilmu keperawatan anak 1. Jakarta: Salemba

Medika.

_____________. (2007). Metode penelitian keperawatan dan teknik analisis data.

Jakarta: Salemba Medika.

Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2007). Wong’s nursing care of infants and

children (8th ed.). St. Louis: Mosby Elsevier.

Indonesia Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa (Indonesia). (2008).

Kamus besar bahasa indonesia pusat bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Kamien, R. (2004). Music: an appreciation (4th ed). New York : McGraw-Hill.

Kanthil, R. (2013). Buku register ruang kanthil 2013. Banyumas: Ruang Kanthil

RSUD Banyumas.

Kaplan, H.I & Sadock, B. J. (2002). Sinopsis psikiatri jilid 2. Jakarta: Binarupa

Aksara.

Kementrian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak (KPP & PA).

(2012). Profil anak indonesia 2012. Jakarta: CV. Miftahur Rizky.

Lutfhi, A. (2007). Pengaruh terapi bermain terhadap kecemasan anak pre-sekolah

yang dirawat di instalasi rawat inap Rumah Sakit Sarila Husada Sragen.

Skripsi, Universitas Muhamadiyah Surakarta.

http://etd.eprints.ums.ac.id/16625/.

Maslihah, S. (2006). Perkembangan anak usia prasekolah. Materi disampaikan

pada pelatihan training for trainer (tft) tingkat nasional lembaga

pendidikan prasekolah raudhoh. Bandung: Bumi Kitri.

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/197007262003122-

SRI_MASLIHAH/MAKALAH_PELATIHAN.pdf

McMurtry, C.M., Noel, M., Chambers, C.T., McGrath, P.J. (2011). Children’s

fear during procedural pain: Preliminary investigation of the Children’s

Fear Scale. Health Psychology, Advanced Access Online.

Merritt, S. (2003). Simfoni otak. Bandung : Kaifa.

Monks, F. J., Knoers AMP., & Hadinoto, S. R. (2006). Psikologi perkembangan.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Musbikin, I. (2009). Kehebatan musik untuk mengasah kecerdasan anak.

Jogjakarta: Power Books (IHDINA).

Ngastiyah. (2005). Perawatan anak sakit edisi 2. Jakarta: EGC.

Nevid, J. S. (2005). Psikologi abnormal edisi kelima. Jakarta: Erlangga.

Notoatmodjo. (2003). Metodologi penelitian kesehatan edisi ke 2. Jakarta: Rineka

Cipta.

Nursalam.(2003). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu

keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

_________. (2005). Asuhan keperawatan bayi dan anak. Jakarta : Salemba

Medika.

Primadita, A. (2011). Efektifitas intervensi terapi musik klasik terhadap stress

dalam menyusun skripsi pada mahasiswa PSIK UNDIP Semarang. Skripsi,

Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id .

Potter & Perry. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan volume 1, Edisi 4.

Jakarta: EGC.

Prabowo, H. & Regina, H.S. (2007). Tritmen meta musik untuk menurunkan stres.

http://repository.gunadarma.ac.id.

Purba, M. & Pasaribu, B. M. (2006). Musik populer. Jakarta : Pendidikan Seni

Nusantara.

Rahayu, I. (2011). Pengaruh mendongeng terhadap penurunan tingkat kecemasan

akibat hospitalisasi pada anak usia (6-8 tahun) sekolah di ruang Aster

RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Skripsi, Universitas

jenderal Soedirman.

Rasmun, (2004). Stres, koping dan adaptasi. Jakarta : Sagung Seto.

Saryono. (2011). Metodologi penelitian keperawatan. Purwokerto: UPT.

Percetakan dan Penerbitan UNSOED.

Sari, F. S., & Sulisno, Madya. (2012). Hubungan kecemasan ibu dengan

kecemasan anak saat hospitalisasi anak. Journal Nursing Study. Volume 1,

Nomor 1, Tahun 2012. Hal 51-59.

Satiadarma, M.(2002). Terapi musik, Cetakan Pertama. Jakarta: Milenia Populer.

Satiadarma, M. P & Zahra. (2004), Cerdas dengan musik. Jakarta: Puspa Suara.

Schou, K. (2008). Music therapy for post operative cardiac patients, a randomized

controlled trial evaluating guided relaxation with music and music

listening on anxiety, pain, and mood. Dissertation Thesis. Department of

Communication: Aalborg University.

http://www.mt-phd.aau.dk/digitalAssets/6/6484_karin_schou_thesis.pdf.

Soeparmin,Soesilo., Suarjaya, I. Kt., & Tyas, M.P. (2008). Peranan musik dalam

mengurangi kecemasan anak selama perawatan gigi. Fakultas Kedokteran

Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar.

Spence, S.H., Rapee, R., McDonald, C., & Ingram, M. (2001). The structure of

anxiety symptoms among preschoolers. Behaviour research and therapy,

39, 1293 - 1316.

Spence, S. H., Barrett, P. M., Turner, C. M. (2003). Psychometric properties of

the spence children’s anxiety scale with young adolescents. Journal of

Anxiety Disorders, 17 (2003) 605–625.

Sulistiyani, E. (2009). Pengaruh pemberian kompres es batu terhadap penurunan

tingkat nyeri pada anak prasekolah yang dilakukan prosedur pemasangan

infus di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Thesis, Universitas

Indonesia. www.lontar.ui.ac.id .

Supartini, Y. (2004). Buku ajar konsep dasar keperawatan anak, Cetakan 1.

Jakarta: EGC.

Stuart, G.W & Sundeen, S.J. (1998). Keperawatan jiwa, Edisi 3. Jakarta: EGC.

Stuart, G. W. (2001). Buku saku keperawatan jiwa (edisi ketiga). Jakarta: EGC.

Stuart, G. W & Laraia, M. T. (2007). Principles and practice of psychiatric

nursing 8 th edition. Mosby: Elsevier Mosby.

Sugiyono. (2007). Metode penelitian kuantitatif kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Suhartini. (2008). Effectiveness of music therapy toward reducing patient’s

anxiety in intensive care unit. Media Ners, Volume 2, Nomor 1, Mei 2008,

hlm 1-44. http://ejournal.undip.ac.id.

Tomb, D. A. (2004). Buku saku psikiatri edisi keenam. Jakarta: EGC.

Videbeck, S. L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta : EGC.

Wedyana D, A. A, (2009). Hubungan pola asuh orang tua terhadap tingkat

kecemasan anak usia sekolah yang menjalani rawat inap di RSUD Prof.

Dr. Margono. Skripsi, Universitas Jenderal Soedirman.

Wong dan Whaley’s. (2007). Nursing care of infants and children, 8th edition. St

Louis: Mosby.

Wong, D. L., Eaton, M. H., Wilson, D., Winkelstein, M. L., Schwartz, P. (2009).

Buku ajar keperawatan pediatrik, Volume 2. Jakarta : EGC.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Permohonan menjadi responden

PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Kepada Yth.

Orang Tua Responden

Di Ruang Kanthil RSUD Banyumas

Dengan Hormat,

Saya yang bertanda tangan dibawah ini dengan:

Nama : Anjar Mahanani

NIM : GID008020

Alamat : Kp. Kalijurang RT 01 RW 03 no. 83 Kec. Purwasari, Kab. Karawang.

Jawa Barat. 41373

Adalah mahasiswa Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu

Kesehatan Universitas Jendral Soedirman Purwokerto Akan mengadakan

penelitian dengan judul “ Perbedaan Pengaruh Durasi Pemberian Terapi Musik

Klasik Mozart Terhadap Tingkat Kecemasan Anak Yang Mengalami Hospitalisasi

Saat Dilakukan Pemeriksaan Tanda-tanda Vital di RSUD Banyumas”.

Penelitian ini tidak akan menimbulkan akibat yang merugikan bagi

siapapun. Kerahasiaan seluruh informasi akan dijaga dan hanya digunakan untuk

kepentingan penelitian. Tidak ada paksaan dalam keikutsertaan anak menjadi

responden penelitian. Untuk itu saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk

menjadikan anaknya sebagai responden dalam penelitian ini, jika Bapak/Ibu

bersedia anaknya menjadi responden saya mohon Bapak/Ibu menandatangani

lembar persetujuan dan menjawab pernyataan-pernyataan pada lembar kuesioner

yang telah disediakan. Atas perhatian dan partisipasi Bapak/Ibu selaku orang tua

anak saya ucapkan terima kasih.

Peneliti

Anjar Mahanani

Lampiran 2. Persetujuan menjadi Responden

PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Setelah mendapat penjelasan dan saya memahami bahwa penelitian yang

berjudul “Perbedaan Pengaruh Durasi Pemberian Terapi Musik Klasik

Mozart Terhadap Tingkat Kecemasan Anak yang Mengalami Hospitalisasi

Saat Dilakukan Pemeriksaan Tanda-tanda Vital di RSUD Banyumas” ini

tidak merugikan saya dan anak saya serta telah dijelaskan secara jelas tentang tujuan

penelitian, cara pengisian kuesioner dan kerahasiaan data. Oleh karena itu, saya yang

bertanda tangan dibawah ini:

Nama Orang Tua :

Nama Anak :

Usia Anak :

Alamat :

Menyatakan bersedia turut berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian yang

akan dilakukan oleh Anjar Mahanani, Mahasiswa Jurusan Keperawatan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Demikian lembar persetujuan ini saya isi dengan sebenar-benarnya agar dapat

digunakan sebagaimana mestinya.

Purwokerto,........................................

Orang Tua Responden

(.....................................)

Lampiran 3. Data Demografi Responden

DATA DEMOGRAFI RESPONDEN

Perbedaan Pengaruh Durasi Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart

Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Anak yang Mengalami Hospitalisasi

Saat Dilakukan Pemeriksaan Tanda-tanda Vital di RSUD Banyumas

Data ini harap diisi sesuai dengan kondisi yang ada, peneliti akan menjaga

kerahasiaannya dan menggunakan data ini sesuai dengan tujuan penelitian.

Identitas Responden

1. Nama Orang Tua :

2. Nama Anak :

3. Usia Anak :

4. Jenis Kelamin Anak :

5. Hasil Pemeriksaan TTV :

Pre Test Post Test

Tekanan Darah

Suhu

Nadi

Pernapasan

Lampiran 4. McMurtry Anxiety Scale

PERLAKUAN 30 MENIT

NO KODE Jenis

kelamin usia diagnosa

TTV PRE TTV POST FACES

ANXIETY KET

SUHU NADI RR TD SUHU NADI RR TD PRE POST

1 A1 L 6 F 36 92 28 100/70 36,4 97 30 100/70 1 3 ↑

2 A2 L 8 F 37 115 24 90/60 36, 5 106 24 90/60 1 1 ↔

3 A3 L 5 SN 35,9 92 26 100/60 35,8 90 25 100/60 2 1 ↓

4 A4 P 5 thypoid 37,3 130 27 100/60 36, 9 90 24 90/60 2 2 ↔

5 A5 L 6 VSD 36 100 40 90/60 36,5 120 50 90/40 2 3 ↑

6 A6 P 10 SN 35, 6 90 36 100/70 35, 6 90 35 100/70 1 0 ↓

7 A7 L 6 Retensi

urine 36,2 110 28 100/70 35,9 110 28 100/60 1 1 ↔

8 A8 L 6 KD 36,9 105 26 100/70 36,8 108 26 100/60 1 0 ↓

9 A9 P 5 F 38,4 120 29 110/70 38,4 120 30 110/70 2 2 ↔

10 A10 L 5 KD 37,8 104 28 100/60 36, 6 110 27 90/60 1 1 ↔

11 A11 P 5 F 36 100 25 90/70 35, 6 100 27 90/60 2 1 ↓

12 A12 L 5 DSS 38 124 29 110/70 38,4 112 29 110/70 2 2 ↔

13 A13 P 6 F 37,3 100 27 100/70 36,3 100 26 100/60 1 1 ↔

14 A14 P 5 vomitus 37,3 100 26 100/60 37 100 27 100/60 1 1 ↔

15 A15 L 8 PJB 36,2 115 29 110/70 36,9 116 28 110/70 2 1 ↓

PERLAKUAN 45 MENIT

NO KODE Jenis

kelamin usia diagnosa

TTV PRE TTV POST FACES

KET

SUHU NADI RR TD SUHU NADI RR TD PRE POST

1 F1 P 10 HSP 36,4 80 27 100/70 36,3 96 28 110/90 1 0 ↓

2 F2 P 10 Gizi

buruk 36,8 84 22 100/60 36,7 96 24 110/60 2 0 ↓

3 F3 L 10 F, SE 36,1 88 24 100/70 36 87 22 100/70 1 1 ↔

4 F4 P 10 F 36,2 112 24 100/60 36 108 23 100/60 1 1 ↔

5 F5 P 6 F 35, 6 98 27 90/60 36 99 28 90/60 1 0 ↓

6 F6 L 7 F 37,1 110 26 100/60 36,8 110 27 100/60 1 1 ↔

7 F7 P 7 F, SE 36,9 100 27 110/70 37 100 27 100/70 3 0 ↓

8 F8 L 10 SN 36,3 110 27 100/60 36, 5 110 27 100/60 1 1 ↔

9 F9 L 6 GNA 36,4 115 28 110/70 36, 6 113 26 100/70 1 1 ↔

10 F10 L 9 GNA 36 104 26 100/70 36,8 100 27 100/70 1 1 ↔

11 F11 L 8 F 37,2 100 27 100/60 36,8 100 27 110/70 2 1 ↓

12 F12 P 5 KD 36 110 27 90/70 36, 5 106 28 90/60 2 0 ↓

13 F13 P 5 DF 36,3 100 26 90/60 36,3 100 26 90/60 2 1 ↓

14 F14 L 7 GNA 35,6 112 27 90/70 35,2 120 28 100/70 1 1 ↔

15 F15 L 7 F 37, 5 110 26 100/70 36, 5 110 26 90/70 2 1 ↓

Keterangan:

Skor 0 = tidak ada kecemasan sama sekali

Skor 1 = lebih sedikit kecemasan

Skor 2 = sedikit kecemasan

Skor 3 = mengalami kecemasan

Skor 4 = kecemasan ekstrim

↑ = Peningkatan tingkat kecemasan

↓ = Penurunan tingkat kecemasan

↔ = Tetap/tidak berubah

NPar Tests

Wilcoxon Signed Ranks Test

NPar Tests

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

5a 4.00 20.00

2b 4.00 8.00

8c

15

Negativ e Ranks

Positive Ranks

Ties

Total

Pos Perlakuan 30 Menit -

Pre Perlakuan 30 Menit

N Mean Rank Sum of Ranks

Pos Perlakuan 30 Menit < Pre Perlakuan 30 Menita.

Pos Perlakuan 30 Menit > Pre Perlakuan 30 Menitb.

Pos Perlakuan 30 Menit = Pre Perlakuan 30 Menitc.

Test Statisticsb

-1.134a

.257

Z

Asy mp. Sig. (2-tailed)

Pos

Perlakuan 30

Menit - Pre

Perlakuan 30

Menit

Based on positive ranks.a.

Wilcoxon Signed Ranks Testb.

Ranks

9a 5.00 45.00

0b .00 .00

6c

15

Negativ e Ranks

Positive Ranks

Ties

Total

Pos Perlakuan 45 Menit -

Pre Perlakuan 45 Menit

N Mean Rank Sum of Ranks

Pos Perlakuan 45 Menit < Pre Perlakuan 45 Menita.

Pos Perlakuan 45 Menit > Pre Perlakuan 45 Menitb.

Pos Perlakuan 45 Menit = Pre Perlakuan 45 Menitc.

NPar Tests

Mann-Whitney Test

Test Statisticsb

-2.724a

.006

Z

Asy mp. Sig. (2-tailed)

Pos

Perlakuan 45

Menit - Pre

Perlakuan 45

Menit

Based on positive ranks.a.

Wilcoxon Signed Ranks Testb.

Ranks

15 15.03 225.50

15 15.97 239.50

30

Kelompok

30 Menit

45 Menit

Total

Pre Perlakuan

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

105.500

225.500

-.328

.743

.775a

Mann-Whitney U

Wilcoxon W

Z

Asy mp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)]

Pre Perlakuan

Not corrected f or ties.a.

Grouping Variable: Kelompokb.

NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks

15 18.67 280.00

15 12.33 185.00

30

Kelompok

30 Menit

45 Menit

Total

Pos Perlakuan

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

65.000

185.000

-2.246

.025

.050a

Mann-Whitney U

Wilcoxon W

Z

Asy mp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)]

Pos

Perlakuan

Not corrected f or ties.a.

Grouping Variable: Kelompokb.

TTV PRE PERLAKUAN 30 MENIT

Frequencies

Frequency Table

Jenis kelamin

6 40.0 40.0 40.0

9 60.0 60.0 100.0

15 100.0 100.0

Laki-laki

Perempuan

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulat iv e

Percent

Usia

7 46.7 46.7 46.7

5 33.3 33.3 80.0

2 13.3 13.3 93.3

1 6.7 6.7 100.0

15 100.0 100.0

5

6

8

10

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

Suhu (oC)

1 6.7 6.7 6.7

1 6.7 6.7 13.3

3 20.0 20.0 33.3

2 13.3 13.3 46.7

1 6.7 6.7 53.3

1 6.7 6.7 60.0

3 20.0 20.0 80.0

1 6.7 6.7 86.7

1 6.7 6.7 93.3

1 6.7 6.7 100.0

15 100.0 100.0

35.6

35.9

36.0

36.2

36.9

37.0

37.3

37.8

38.0

38.4

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

Suhu

5 33.3 33.3 33.3

10 66.7 66.7 100.0

15 100.0 100.0

Normal

Tidak Normal

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulat iv e

Percent

Nadi (kali /menit)

1 6.7 6.7 6.7

2 13.3 13.3 20.0

4 26.7 26.7 46.7

1 6.7 6.7 53.3

1 6.7 6.7 60.0

1 6.7 6.7 66.7

2 13.3 13.3 80.0

1 6.7 6.7 86.7

1 6.7 6.7 93.3

1 6.7 6.7 100.0

15 100.0 100.0

90

92

100

104

105

110

115

120

124

130

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

Nadi

10 66.7 66.7 66.7

5 33.3 33.3 100.0

15 100.0 100.0

Normal

Tidak Normal

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulat iv e

Percent

RR (kali/menit)

1 6.7 6.7 6.7

1 6.7 6.7 13.3

3 20.0 20.0 33.3

2 13.3 13.3 46.7

3 20.0 20.0 66.7

3 20.0 20.0 86.7

1 6.7 6.7 93.3

1 6.7 6.7 100.0

15 100.0 100.0

24

25

26

27

28

29

36

40

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

RR

10 66.7 66.7 66.7

5 33.3 33.3 100.0

15 100.0 100.0

Normal

Tidak Normal

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulat iv e

Percent

Sistol

3 20.0 20.0 20.0

12 80.0 80.0 100.0

15 100.0 100.0

90

100

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

TTV POS PERLAKUAN 30 MENIT

Frequencies

Frequency Table

Diastol

6 40.0 40.0 40.0

9 60.0 60.0 100.0

15 100.0 100.0

60

70

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

Suhu (oC)

2 13.3 13.3 13.3

1 6.7 6.7 20.0

1 6.7 6.7 26.7

1 6.7 6.7 33.3

1 6.7 6.7 40.0

2 13.3 13.3 53.3

1 6.7 6.7 60.0

1 6.7 6.7 66.7

2 13.3 13.3 80.0

1 6.7 6.7 86.7

2 13.3 13.3 100.0

15 100.0 100.0

35.6

35.8

35.9

36.3

36.4

36.5

36.6

36.8

36.9

37.0

38.4

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

Suhu

7 46.7 46.7 46.7

8 53.3 53.3 100.0

15 100.0 100.0

Normal

Tidak Normal

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulat iv e

Percent

Nadi (kali /menit)

3 20.0 20.0 20.0

1 6.7 6.7 26.7

3 20.0 20.0 46.7

1 6.7 6.7 53.3

1 6.7 6.7 60.0

2 13.3 13.3 73.3

1 6.7 6.7 80.0

1 6.7 6.7 86.7

2 13.3 13.3 100.0

15 100.0 100.0

90

97

100

106

108

110

112

116

120

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

Nadi

11 73.3 73.3 73.3

4 26.7 26.7 100.0

15 100.0 100.0

Normal

Tidak Normal

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulat iv e

Percent

RR (kali/menit)

2 13.3 13.3 13.3

1 6.7 6.7 20.0

2 13.3 13.3 33.3

3 20.0 20.0 53.3

2 13.3 13.3 66.7

1 6.7 6.7 73.3

2 13.3 13.3 86.7

1 6.7 6.7 93.3

1 6.7 6.7 100.0

15 100.0 100.0

24

25

26

27

28

29

30

35

50

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

RR

10 66.7 66.7 66.7

5 33.3 33.3 100.0

15 100.0 100.0

Normal

Tidak Normal

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulat iv e

Percent

Sistol

5 33.3 33.3 33.3

10 66.7 66.7 100.0

15 100.0 100.0

90

100

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

Diastol

1 6.7 6.7 6.7

9 60.0 60.0 66.7

5 33.3 33.3 100.0

15 100.0 100.0

40

60

70

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

TTV PRE PERLAKUAN 45 MENIT

Frequencies

Frequency Table

Jenis kelamin

7 46.7 46.7 46.7

8 53.3 53.3 100.0

15 100.0 100.0

Laki-laki

Perempuan

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulat iv e

Percent

Usia

2 13.3 13.3 13.3

2 13.3 13.3 26.7

4 26.7 26.7 53.3

1 6.7 6.7 60.0

1 6.7 6.7 66.7

5 33.3 33.3 100.0

15 100.0 100.0

5

6

7

8

9

10

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

Suhu (oC)

2 13.3 13.3 13.3

2 13.3 13.3 26.7

1 6.7 6.7 33.3

1 6.7 6.7 40.0

2 13.3 13.3 53.3

2 13.3 13.3 66.7

1 6.7 6.7 73.3

1 6.7 6.7 80.0

1 6.7 6.7 86.7

1 6.7 6.7 93.3

1 6.7 6.7 100.0

15 100.0 100.0

35.6

36.0

36.1

36.2

36.3

36.4

36.8

36.9

37.1

37.2

37.5

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

Suhu

5 33.3 33.3 33.3

10 66.7 66.7 100.0

15 100.0 100.0

Normal

Tidak Normal

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulat iv e

Percent

Nadi (kali /menit)

1 6.7 6.7 6.7

1 6.7 6.7 13.3

1 6.7 6.7 20.0

1 6.7 6.7 26.7

3 20.0 20.0 46.7

1 6.7 6.7 53.3

4 26.7 26.7 80.0

2 13.3 13.3 93.3

1 6.7 6.7 100.0

15 100.0 100.0

80

84

88

98

100

104

110

112

115

Total

ValidFrequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

Nadi

12 80.0 80.0 80.0

3 20.0 20.0 100.0

15 100.0 100.0

Normal

Tidak Normal

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulat iv e

Percent

RR (kali/menit)

1 6.7 6.7 6.7

2 13.3 13.3 20.0

4 26.7 26.7 46.7

7 46.7 46.7 93.3

1 6.7 6.7 100.0

15 100.0 100.0

22

24

26

27

28

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

RR

15 100.0 100.0 100.0NormalValid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulat iv e

Percent

Sistol

4 26.7 26.7 26.7

9 60.0 60.0 86.7

2 13.3 13.3 100.0

15 100.0 100.0

90

100

110

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

TTV POS PERLAKUAN 45 MENIT

Frequencies

Frequency Table

Diastol

7 46.7 46.7 46.7

8 53.3 53.3 100.0

15 100.0 100.0

60

70

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

Suhu (oC)

1 6.7 6.7 6.7

3 20.0 20.0 26.7

2 13.3 13.3 40.0

3 20.0 20.0 60.0

1 6.7 6.7 66.7

1 6.7 6.7 73.3

3 20.0 20.0 93.3

1 6.7 6.7 100.0

15 100.0 100.0

35.2

36.0

36.3

36.5

36.6

36.7

36.8

37.0

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

Suhu

9 60.0 60.0 60.0

6 40.0 40.0 100.0

15 100.0 100.0

Normal

Tidak Normal

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulat iv e

Percent

Nadi (kali /menit)

1 6.7 6.7 6.7

2 13.3 13.3 20.0

1 6.7 6.7 26.7

4 26.7 26.7 53.3

1 6.7 6.7 60.0

1 6.7 6.7 66.7

3 20.0 20.0 86.7

1 6.7 6.7 93.3

1 6.7 6.7 100.0

15 100.0 100.0

87

96

99

100

106

108

110

113

120

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

Nadi

13 86.7 86.7 86.7

2 13.3 13.3 100.0

15 100.0 100.0

Normal

Tidak Normal

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulat iv e

Percent

RR (kali/menit)

1 6.7 6.7 6.7

1 6.7 6.7 13.3

1 6.7 6.7 20.0

3 20.0 20.0 40.0

5 33.3 33.3 73.3

4 26.7 26.7 100.0

15 100.0 100.0

22

23

24

26

27

28

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

RR

15 100.0 100.0 100.0NormalValid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulat iv e

Percent

Sistol

4 26.7 26.7 26.7

11 73.3 73.3 100.0

15 100.0 100.0

90

100

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent

Diastol

7 46.7 46.7 46.7

8 53.3 53.3 100.0

15 100.0 100.0

60

70

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ e

Percent