bhn skripsi

Upload: idi-akhmed

Post on 19-Jul-2015

156 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

I.

PENDAHULUAN

http://dc444.4shared.com/doc/qZ7TGwpA/preview.html

A.Latar Belakang Tujuan hukum menurut Van Kan adalah untuk menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak diganggu.1 Manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, sehingga di dalam bermasyarakat manusia mengadakan hubungan satu sama lain, seperti mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu membantu untuk memperoleh keperluannya agar lekas tercapai.

Adanya interaksi yang terjadi antara manusia yang satu dengan yang lainnya tentu akan menimbulkan beberapa akibat diantara mereka antara lain adalah akibat hukum. Demi melindungi kepentinganya itu, maka perlu adanya suatu kesepakatan yang bertujuan untuk mengatur interaksi tersebut dengan segala akibat hukum yang akan ditimbulkan dalam suatu perjanjian.

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa itu timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.2 Dari perikatan yang terjadi itu, maka akan menimbulkan adanya suatu hak dan kewajiban yang mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang selanjutnya

dapat dilihat pada pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menentukan: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai iundang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Sebenarnya yang dimaksud oleh pasal tersebut ialah tiap-tiap perjanjian mengikat kedua pihak, dan dari ketentuan pasal tadi dapat ditarik kesimpulan bahwa orang bebas untuk tidak membuat atau membuat perjanjian di luar yang disebutkan dalam undang-undang, bebas untuk menentukan siapa pihaknya, isinya maupun bentuk perjanjian yang dibuatnya asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum serta tidak menyimpang dari syarat umum sahnya perjanjian . Karena orang leluasa membuat perjanjian, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan sebagaimana tertuang dalam Pasal 1337 KUH Perdata, maka banyak sekali perjanjian yang muncul dalam praktek sehari-hari, salah satunya ialah perjanjian kerjasama yang dilaksanakan antara PT. AJN Solusindo Jakarta dengan CV. Kiprah Telaga Sejati Banyumas.

Suatu perjanjian timbul karena kesepakatan, artinya perjanjian itu terjadi (ada) sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak. Kemudian perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik (ownership). Hal ini menunjukan bahwa dalam hukum perjanjian berlaku asas konsensualisme yang artinya suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya kesepakatan, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas 3.

Pada umumnya setiap orang dalam memenuhi kebutuhannya dapat melakukan kerjasama dengan orang lain, antara lain melakukan perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, hibah, penitipan barang, pinjam pakai dan perjanjian-perjanjian untuk melakukan pekerjaan yang kesemuanya diatur dalam Buku III KUH Perdata. Dalam Bahasa Belanda perjanjian kerja disebut dengan Arbeidsovereenkoms, yang dapat diartikan berbagai macam.

Apabila melihat Pasal 1313 KUH Perdata, berarti jelas bahwa kedudukan para pihak adalah sama. Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian terdapat dalam Buku III KUH Perdata, yang memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi mengatur saja. Sifat terbuka dari KUH Perdata ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengandung asas Kebebasan Berkontrak, maksudnya setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum, serta selalu memperhatikan syarat sahnya perjanjian. Sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatakan bahwa, syarat sahnya sebuah perjanjian adalah sebagai berikut :

1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian 2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal

Kesepakatan berarti adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang membuat perjanjian, sehingga dalam melakukan suatu perjanjian tidak boleh ada pakasaan, kekhilapan dan penipuan (dwang, dwaling, bedrog) Kecakapan hukum sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian maksudnya bahwa para pihak yang melakukan

perjanjian harus telah dewasa yaitu telah berusia 18 tahun atau telah menikah, sehat mentalnya serta diperkenankan oleh undang-undang. Apabila orang yang belum dewasa hendak melakukan sebuah perjanjian, maka dapat diwakili oleh orang tua atau walinya sedangkan orang yang cacat mental dapat diwakili oleh pengampu atau curatornya.

Suatu hal tertentu berhubungan dengan objek perjanjian, maksudnya bahwa objek perjanjian itu harus jelas, dapat ditentukan dan diperhitungkan jenis dan jumlahnya, diperkenankan oleh undang-undang serta mungkin untuk dilakukan para pihak.

Suatu sebab yang halal, berarti perjanjian termaksud harus dilakukan berdasarkan itikad baik. Berdasarkan Pasal 1335 KUH Perdata, suatu perjanjian tanpa sebab tidak mempunyai kekuatan. Sebab dalam hal ini adalah tujuan dibuatnya sebuah perjanjian. Kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak merupakan syarat sahnya perjanjian yang bersifat subjektif. Apabila tidak tepenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan artinya selama dan sepanjang para pihak tidak membatalkan perjanjian, maka perjanjian masih tetap berlaku.

PT. AJN Solusindo sebuah perusahaan berskala nasional yang bergerak dalam bidang penarikan pembayaran rekening listrik yang beralamat di Kebon Sirih Jakarta. Dalam menjalankan usahanya, untuk masing-masing daerah telah ditunjuk head regional untuk masing-masing daerah yang berwenang untuk bertindak dan mewakili kantor pusat. Untuk wilayah eks Karsidenan Banyumas telah melakukan kerja sama dengan CV Kiprah Telaga Sejati Banyumas dalam pembayaran rekening tagihan listrik yang tertuang dalam Surat Perjanjian Kerjasama Nomor 01693/MAS27/AJN002/2009. Salah satu isi perjanjian kerjasama ini menyebutkan (Point 3 Pendahuluan) : Collecting Agent (PIHAK KESATU) telah memberikan serangkaian informasi kepada Payment Point (PIHAK KEDUA) dalam rangka pelaksanaan payment point online bank rekening tagihan listrik PLN, dan oleh karenanya PARA PIHAK telah

dianggap mengetahui secara benar dan baik mengenai kerjasama dimaksud dalam Perjanjian ini.

Meskipun dalam perjanjian tersebut di atas telah disebutkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, namun dalam pelaksanaan perjanjian kadangkala mengalami gangguan dan atau hambatan, yang antara lain isi perjanjian tidak dapat dilaksanakan sebagaimana yang telah diperjanjikan. Keadaan dimana debitur tidak melaksanakan atau memenuhi kewajiban ada dua kemungkinan, yaitu 1. Wanprestasi , jika ada kesalahan debitur baik sengaja maupun kelalaian; 2. Dalam keadaan memaksa (overmacht, force majeure), jadi diluar kemampuan debitur, debitur tidak bersalah.

B.Perumusan Masalah 1. Bagaimana konstruksi hukum perjanjian antara PT AJN Solusindo dengan CV Kiprah Telaga Sejati? 2. Bagaimana akibat hukum apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian kerjasama PT AJN Solusindo dengan CV Kiprah Telaga Sejati?

C.Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui konstruksi hukum perjanjian antara PT AJN Solusindo dengan CV Kiprah Telaga Sejati

2. Untuk mengetahui akibat hukum apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian kerjasama PT AJN Solusindo dengan CV Kiprah Telaga Sejati

D.Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis, diharapkan dapat memberikan masukan terhadap berbagai kebijakan dalam penyusunan aturan tentang perjanjian PT. AJN Solusindo dengan CV. Kiprah Telaga Sejati. 2. Secara praktis, diharapkan dapat membantu pihak kreditur (PLN) dalam menyelesaikan persoalan sebagai akibat adanya wanprestasi debitur maupun overmacht.

II.

TELAAH PUSTAKA

1.

Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian

Para ahli hukum memberikan suatu pengertian perjanjian yang berbeda-beda. Perjanjian adalah: Suatu persetujuan yang diakui oleh hukum.4 Persetujuan ini merupakan arti yang pokok dalam dunia usaha dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang.

Perjanjian menurut Subekti adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.5 Dari peristiwa itulah, timbul hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya perjanjian ini berupa rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur sedangkan pihak yang berkewajiban untuk memenuhi dinamakan debitur atau si berhutang.

Pendapat lainnya mengenai pengertian perjanjian diungkapkan Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa:

Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut janji itu.6

Selanjutnya J. Satrio memberikan pengertian perjanjian sebagai berikut: Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap dikehandaki) oleh para pihak termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin dan lain-lain. Dalam arti sempit perjanjian di sini hanya ditujukan kepada hubunganhubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh Buku III B.W.7

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur8 :

1. Perbuatan, Penggunaan kata Perbuatan pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan; 2. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum. 3. Mengikatkan dirinya, Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia). Oleh karenanya, perjanjian itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Pengertian perjanjian menurut ketentuan pasal 1313 KUH Perdata adalah sebagai berikut : Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang lain atau lebih.

Mengenai batasan tersebut para sarjana hukum perdata umumnya berpendapat bahwa definisi atau batasan atau yang terdapat didalam ketentuan pasal 1313 KUH Perdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung kelemahan-kelemahan.

Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata sebagai berikut:9

1. Hanya menyangkut sepihak saja Hal tersebut dapat dilihat dalam perumusan satu orang atau lebih kata mengikatkan sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari dua pihak. Seharusnya dirumuskan saling mengikatkan diri jadi consensus antara pihak-pihak.

2. Kata perbuatan mencakup tanpa consensus. Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus seharusnya menggunakan kata persetujuan. 3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin juga diatur dalam lapangan hukum keluarga. 4. Tanpa menyebut tujuan Dalam Pasal 1313 KUH Perdata tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengaitkan diri itu tidak jelas untuk apa.

Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut di atas, maka kiranya perlu diadakan perbaikan-perbaikan mengenai perjanjian tersebut. Pengertian perjanjian akan lebih baik apabila sebagai satu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih10.

2.

Syarat Sahnya Perjanjian

Agar suatu perjanjian dapat mengikat secara sah kedua pihak, maka harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menentukan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Kata sepakat tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak

lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar sepakat berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.

Sepakat mengikatkan diri artinya pihak-pihak yang mengikatkan perjanjian ini mempunyai persesuaian kehendak tentang hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan. Kata sepakat ini lahir dari kehendak yang bebas dari kedua belah pihak, mereka menghendaki secara timbal balik. Dengan kata sepakat maka perjanjian tidak dapat ditarik secara sepihak saja namun atas kehendak kedua belah pihak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepakat yang dimaksud adalah perjanjian atau perikatan yang timbul atau lahir sejak tercapainya kesepakatan, sebagaimana diatur dalam pasal 1321 KUH Perdata yang memberikan pengertian bahwa perjanjian yang diadakan para pihak itu tidak akan terjadi bilamana ada kekhilafan, paksaan atau penipuan di dalam sepakat yang diadakan.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :

1. Orang-orang yang belum dewasa 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah

Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan artinya orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Menurut pasal 1329 KUH Perdata setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan cakap, sedangkan orang-orang yang tidak termasuk cakap hukum dalam membuat persetujuan diatur dalam pasal 1330 KUH Perdata.

3. Suatu hal tertentu.

Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barangbarang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.

4. Suatu sebab atau causa yang halal.

Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Kata causa berasal dari bahasa latin artinya sebab. Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan causa yang halal bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan

atau mendorong orang membuat perjanjian melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihakpihak yang melakukan perjanjian.

Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, namun yang diperhatikan atau yang diawasi oleh undangundang ialah isi perjanjian itu, yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak, apakah dilarang undang-undang atau tidak.

Dari uraian tentang syarat-syarat sahnya perjanjian di atas maka syarat tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif terdapat dalam dua syarat pertama karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian, apabila tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan oleh salah satu pihak, sedangkan syarat objektif terdapat dalam dua syarat yang terakhir, apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum11.

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau

karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.

Syarat syahnya perjanjian harus memenuhi asas-asas perjanjian itu sendiri yang meliputi :

1.

Asas Kepribadian

Asas kepribadian ini dapat kita lihat dalam pasal 1315 KUH Perdata yang berbunyi pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri. Maksud mengikatkan diri pada pasal 1315 KUH Perdata adalah diajukan pada memikul kewajiban-kewajiban atau menyanggupi melakukan sesuatu, sedangkan meminta ditetapkannya suatu janji ditujukan pada memperoleh hak-hak atas sesuatu atau mengenai sesuatu.

2.

Asas Konsensualitas

Arti asas konsensualitas pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul, karena itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak diperlukan suatu formalitas12

Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian itu cukup secara lisan saja, namun undang-undang menetapkan bahwasannya suatu perjanjian diharuskan diadakan secara tertulis tetapi yang demikian itu merupakan suatu pengecualian.

Pada umumnya perjanjian itu adalah sah dalam arti sudah mengikat. Apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai kesepakatan yang pokok dalam perjanjian.

Berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata atau suatu pengertian bahwa untuk membuat suatu perjanjian harus ada kesepakatan antara pihak-pihak yang membuat perjanjian. Berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata menentukan suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Para pihak yang membuat undang-undang itu telah mengikatkan dirinya untuk memenuhi perjanjian yang dibuat secara sah adalah berlaku sebagai undang-undang.13

3.

Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini berhubungan dengan isi perjanjian. Pada dasarnya setiap orang bebas untuk mengadakan dan menentukan isi perjanjian. Asas kebebasan berkontrak inilah yang memungkinkan lahirnya perjanjian-perjanjian baru yang tidak terdapat dalam KUH Perdata dan dapat masuk dan berkembang di Indonesia. Meskipun demikian tidak berarti bahwa terhadap perjanjian tersebut tidak dapat diberlakukan KUH Perdata.

Hukum perjanjian itu menganut sistem terbuka hal ini tercantum dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka membuatnya.

Subekti menjelaskan maksud dari Pasal 1320 KUHPerdata tersebut :

1.

2.

3.

4.

Ayat 1 yaitu tentang adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri adalah adanya kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah. Dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah terjadi karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog). Ayat 2 mengenai kecakapan, maksudnya adalah kedua belah pihak harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri. Sebagaimana telah diterangkan, beberapa golongan orang oleh undang-undang dinyatakan "tidak cakap" untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Mereka itu, seperti orang dibawah umur, orang dibawah pengawasan (curatele). Jika ayat 1 dan 2 tidak dipenuhi maka perjanjian ini cacat dan dapat dibatalkan. Ayat 3 mengenai hal tertentu maksudnya yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk dapat menetapkan kewajiban si berhutang jika terjadi perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Ayat 4 menurut Subekti, Undang-undang menghendaki untuk sahnya perjanjian harus ada oorzaak atau causa. Secara letterlijk, oorzaak atau causa berarti sebab, tetapi menurut riwayatnya yang dimaksudkan dengan kata itu adalah tujuan, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu. Jika ayat 3 dan 4 tidak dipenuhi maka perjanjian ini batal demi hukum.14

1.

Jenis-Jenis Perjanjian

1. Pada dasarnya berdasarkan ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata perjanjian dibagi dua kelompok, yaitu perjanjian bernama (kontrak nominaat) dan perjanjian tak bernama (kontrak inominaat).

Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu, yaitu suatu perjanjian dimana satu pihak menghendaki dari pihak lawannya dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai sesuatu tujuan untuk mana ia bersedia membayar upah, sedang apa yang

akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali terserah kepada pihak lawan. Biasanya pihak lawan ini adalah seorang ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan biasanya ia juga sudah memasang tarip untuk jasa tersebut. Upahnya biasanya dinamakan honorarium.15

Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:

1.

2.

3.

4.

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUHPerdata. Dalam perjanjian jual beli hak dan kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan hak menerima barangnya. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam hibah ini kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu memberikan barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan. Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah (schenking) dan pinjam pakai Pasal 1666 dan 1740 KUHPerdata. Perjanjian konsensuil, riil dan formil.

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan. Misalnya perjanjian penitipan barang pasal 1741 KUHPerdata dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754 KUHPerdata. Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau PPAT. Misalnya jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris. 5. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke

tiga Bab V sampai dengan bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang. Misalnya perjanjian leasing, perjanjian keagenan dan distributor, perjanjian kredit.16

Sedangkan menurut Achmad Busro, jenis perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, adapun perbedaannya adalah sebagai berikut:

1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak Perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yang dapat menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak yang melakukannya. Misalnya: kewajiban yang timbul dalam perjanjian jual beli, pihak penjual mempunyai kewajiban pokok menyerahkan barang yang dijualnya, dipihak lain pembeli mempunyai kewajiban untuk membayar harga yang telah disepakati. Perjanjian sepihak yaitu perjanjian dimana salah satu pihak saja yang dibebani suatu kewajiban. Misal: dalam perjanjian pemberian hibah, hanya satu pihak saja yang mempunyai kewajiban. 2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian dengan alas hak membebani Perjanjian cuma-cuma yaitu suatu perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak tanpa adanya imbalan dari pihak lain. Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang lain, antara prestasi dan kontra prestasi tersebut terdapat hubungan menurut hukum meskipun kedudukannya tidak harus sama. Misal: Disatu pihak berprestasi sepeda, di pihak lain berprestasi kuda. Jadi disini yang penting adanya prestasi dan kontra prestasi. 3. Perjanjian konsensuil, riil dan formil. Perjanjian konsensuil yaitu adanya suatu perjanjian cukup dengan adanya kata sepakat dari para pihak. Misalnya: Masing-masing pihak sepakat untuk mengadakan jual beli kambing. Perjanjian riil yaitu perjanjian disamping adanya kata sepakat masih diperlukan penyerahan bendanya. Misalnya: Dalam jual beli kambing tersebut harus ada penyerahan dan masih diperlukan adanya formalitas tertentu. Adapun untuk perjanjian formil dalam perjanjian jual beli kambing di atas dengan dibuatkan akta tertentu. 4. Perjanjian bernama, tidak bernama dan perjanjian campuran. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang telah ada namanya seperti dalam buku III KUHPerdata Bab V sampai dengan Bab XVIII. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak ada namanya. Ketentuannya diatur dalam buku III KUHPerdata Bab I sampai dengan Bab

IV yang merupakan ketentuan umum. Perjanjian campuran adalah perjanjian yang terdiri dari beberapa perjanjian bernama juga kemungkinan pula terdapat perjanjian tidak bernama. 5. Perjanjian kebendaan dan obligatoir. Perjanjian kebendaan yaitu perjanjian untuk menyerahkan hak kebendaan. Sedangkan perjanjian obligatoir yaitu perjanjian yang dapat menimbulkan kewajiban kepada pihak-pihak, misal: jual beli. 6. Perjanjian yang sifatnya istimewa 1. Perjanjian liberatoir yaitu perjanjian untuk membebaskan dari kewajiban. Misal dalam Pasal 1438 KUHPerdata mengenai pembebasan hutang dan pasal-pasal berikutnya (Pasal 1440 dan Pasal 1442 KUHPerdata). 2. Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian dimana para pihak sepakat menentukan pembuktian yang berlaku bagi para pihak. 3. Perjanjian untung-untungan, seperti yang ada dalam Pasal 1774 yaitu perjanjian yang pemenuhan prestasinya digantungkan pada kejadian yang belum tentu terjadi. 4. Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa. Contoh: Perjanjian yang dilakukan antara mahasiswa tugas belajar (ikatan dinas).17

Abdulkadir Muhammad juga mengelompokkan perjanjian menjadi beberapa jenis, yaitu:

1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak Perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, pemborongan bangunan, tukar menukar. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi obyek perikatan dan pihak yang lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu. Yang menjadi kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak, atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah. Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam praktek, terutama dalam soal pemutusan perjanjian menurut pasal 1266 KUHPerdata. Menurut pasal ini salah satu syarat ada pemutusan perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik.

2. Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani. Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasinya dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Misalnya A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerahlepaskan suatu barang tertentu kepada A. Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam soal warisan berdasarkan undang-undang dan mengenai perbuatan-perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan Pasal 1341 KUHPerdata). 3. Perjanjian bernama dan tidak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus karena jumlahnya terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pertanggungan. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas. 4. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst, delivery contract) adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga. Pembeli berkewajiban membayar harga, penjual berkewajiban menyerahkan barang. Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak. 5. Perjanjian konsensual dan perjanjian real. Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan pinjam pakai (Pasal 1694, 1740 dan 1754 KUHPerdata). Dalam hukum adat, perjanjian real justru yang lebih menonjol sesuai dengan sifat hukum adat bahwa setiap prbuatan hukum (perjanjian) yang obyeknya benda tertentu, seketika terjadi persetujuan kehendak

serentak keetika itu juga terjadi peralihan hak. Hal ini disebut "kontan dan tunai".18 Salim H.S. memaparkan jenis perjanjian dengan cara yang sedikit berbeda dibandingkan dengan para sarjana di atas. Salim H.S di dalam bukunya menyebutkan bahwa jenis kontrak atau perjanjian adalah:

1.

Kontrak Menurut Sumber Hukumnya

Kontrak berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan kontrak yang didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Perjanjian (kontrak) dibagi jenisnya menjadi lima macam, yaitu: Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan; 2. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik; 3. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban; 4. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan bewijsovereenkomst; 5. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan publieckrechtelijke overeenkomst; Kontrak Menurut Namanya 1.

2.

Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam Pasal 1319 KUHPerdata dan Artikel 1355 NBW. Di dalam Pasal. 1319 KUHPerdata dan Artikel 1355 NBW hanya disebutkan dua macam kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan kontrak innominaat (tidak bernama). Kontrak nominnat adalah kontrak yang dikenal dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian. Sedangkan kontrak innominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak innominat adalah leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan, production sharing, dan lain-lain. Namun, Vollmar mengemukakan kontrak jenis yang ketiga antara bernama dan tidak bernama, yaitu kontrak campuran. Kontrak campuran yaitu kontrak atau perjanjian yang tidak hanya diliputi oleh ajaran umum (tentang perjanjian) sebagaimana yang terdapat dalam title I, II, dan IV karena kekhilafan, title yang terakhir ini (title IV) tidak disebut oleh Pasal 1355 NBW, tetapi terdapat hal mana juga ada ketentuan-ketentuan khusus untuk sebagian menyimpang dari ketentuan umum. Contoh kontrak campuran, pengusaha sewa rumah penginapan (hotel) menyewakan kamarkamar (sewa menyewa), tetapi juga menyediakan makanan

(jual beli), dan menyediakan pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa). Kontrak campuran disebut juga dengan contractus sui generis, yaitu ketentuanketentuan yang mengenai perjanjian khusus paling banter dapat diterapkan secara analogi (Arrest HR 10 Desember 1936) atau orang menerapkan teori absorpsi (absorptietheorie), artinya diterapkanlah peraturan perundangundangan dari perjanjian, dalam peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa yang paling menonjol, sedangkan dalam tahun 1947 Hoge Raad menyatakan diri (HR, 21 Februari 1947) secara tegas sebagai penganut teori kombinasi. 3. Kontrak Menurut Bentuknya

Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak (Pasal 1320 KUHPerdata). Dengan adanya konsensus maka perjanjian ini telah terjadi. Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Pembedaan ini diilhami dari hukum Romawi. Dalam hukum Romawi, tidak hanya memerlukan adanya kata sepakat, tetapi perlu diucapkan kata-kata dengan yang suci dan juga harus didasarkan atas penyerahkan nyata dari suatu benda. Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata. Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUHPerdata). Kontrak ini dibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta autentik. Akta autentik terdiri dari akta pejabat dan akta para pihak. Akta yang dibuat oleh notaris itu merupakan akta pejabat. 4. Kontrak Timbal Balik

Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang dilakukan para pihak menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban pokok seperti pada jual beli dan sewamenyewa. Perjanjian timbal balik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu timbal balik tidak sempurna dan yang sepihak. 1. Kontak timbal balik tidak sempurna menimbulkan kewajiban pokok bagi satu pihak, sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Di sini tampak ada prestasi-prestasi seimbang satu sama lain. Misalnya, si penerima pesan senantiasa berkewajiban untuk melaksanakan pesan yang dikenakan atas pundaknya oleh orang pemberi pesan. Apabila si penerima pesan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut telah mengeluarkan biaya-biaya atau

2.

olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus menggantinya. 2. Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan kewajiban-kewajiban hanya bagi satu pihak. Tipe perjanjian ini adalah perjanjian pinjam mengganti. Pentingnya pembedaan di sini adalah dalam rangka pembubaran perjanjian. Perjanjian Cuma-Cuma atau dengan Alas Hak yang Membebani

Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari pihak lainnya. Perjanjian cuma-cuma merupakan perjanjian, yang menurut hukum hanyalah menimbulkan keuntungan bagi salah satu pihak. Contohnya, hadiah dan pinjam pakai. Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani merupakan perjanjian, disamping prestasi pihak yang satu senantiasa ada prestasi (kontra) dari pihak lain, yang menurut hukum saling berkaitan. Misalnya, A menjanjikan kepada B suatu jumlah tertentu, jika B menyerahkan sebuah benda tertentu pula kepada A. 6. Perjanjian Berdasarkan Sifatnya

Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut sifatnya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah suatu perjanjian, yang ditimbulkan hak kebendaan, diubah atau dilenyapkan, hal demikian untuk memenuhi perikatan. Contoh perjanjian ini adalah perjanjian pembebanan jaminan dan penyerahan hak milik. Sedangkan perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang menimbulkan kewajiban dari para pihak. Disamping itu, dikenal juga jenis perjanjian dari sifatnya, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan perjanjian yang utama, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang, baik kepada individu maupun pada lembaga perbankan. Sedangkan perjanjian accesoir merupakan perjanjian tambahan, seperti perjanjian pembebanan hak tanggungan atau fidusia. 7. Perjanjian dari Aspek Larangannya

Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya merupakan penggolongan perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak untuk membuat perjanjian yang bertentang dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Ini disebabkan perjanjian itu mengandung praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang dilarang dibagi menjadi tiga belas jenis, sebagaimana disajikan berikut ini. 1. Perjanjian oligopoli, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya untuk secara bersama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang

2.

3.

4.

5.

6.

7.

atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat. Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggaran pada pasar yang bersangkutan sama. Pengecualian dari ketentuan ini adalah 1. Suatu perjanjian yang dibuat usaha patungan, dan 2. Suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Perjanjian dengan harga berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku-pelaku usaha yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang berbeda. Perjanjian dengan harga di bawah harga pasar, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga yang berada di bawah harga pasar, perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya. Tindakan ini dilakukan dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat. Perjanjian pemboikotan, yaitu suatu perjanjian yang dilarang, yang dibuat pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk mengahalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usah yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masingmasing perseroan anggotanya. Perjanjian ini bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jas dalam pasar yang bersangkutan. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat Perjanjian integrasi vertikal, perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan / atau jasa tertentu. Setiap rangkaian produksi itu merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Perjanjian tertutup, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepad pihak dan atau pada tempat tertentu. Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pihak lainnya di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.

Dari berbagai perjanjian yang dipaparkan di atas, menurut Salim H.S, jenis atau pembagian yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu kontrak nominaat dan innominaat. Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah perjanjianperjanjian jenis lainnya, seperti segi bentuknya, sumbernya, maupun dari aspek hak dan kewajiban. Misalnya, perjanjian jual beli maka lahirlah perjanjian konsensual, obligator dan lain-lain.19

4.

Perjanjian Untuk Melakukan Pekerjaan

Pasal 1603e ayat 1 KUH Perdata dinyatakan bahwa: Hubungan kerja berakhir demi hukum jika habis waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian itu atau peraturanperaturan atau dalam perundang-undangan atau jika semuanya itu tidak menurut kebiasaan.20

Dengan demikian yang dinamakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu macamnya ada tiga, yaitu:

1. Perjanjian keja untuk waktu tertentu di mana waktu berlakunya ditentukan menurut perjanjian, misalnya dalam perjanjian kerja tertulis untuk 1 (satu) tahun sebagainya atau sampai proyek tersebut selesai. 2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu di mana waktu berlakunya menurut Undang-undang, misalnya jika majikan mempekerjakan tenaga asing dalam perjanjian kerja tertulis untuk sekian tahun dan sebagainya

menurut izin yang diberikan oleh Menaker atas dasar Undang-undang. 3. Perjanjian untuk waktu tertentu di mana waktu berlakunya ditentukan menurut kebiasaan, misalnya di perkebunan terdapat buruh pemetik kopi, jangka waktu perjanjian ditentukan oleh musim kopi. Perjanjian ini dimaksudkan perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan , perjanjian mana ditandai oleh ciriciri: adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas atau dienstverhouding yaitu suatu hubungan

berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh yang lain. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetbok van Koophandel) dalam Bab ke IV dari Buku II (Pasal 395 dan selanjutnya) memberikan suatu perantara tersendiri mengenai perjanjian kerja laut , yang disamping menyatakan berlakunya hampir semua ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian

perburuhan dari BW, memberikan banyak sekali ketentuan-ketentuan khusus untuk buruh yang bekerja di kapal.

Menurut Iman Soepomo dalam bukunya Hukum Perburuhan dalam bidang hubungan kerja, merumuskan bahwa:

Bagi penyelenggara perjanjian kerja seperti halnya dengan semua macam perjanjian ini dimintakan syarat-syarat tertentu mengenai orangorangnya, mengenai isinya dan kadang-kadang mengenai bentuknya yang tertentu. Sedang perjanjian kerja adalah dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan itu dengan membayar upah.21

1. Pengaturan Perjanjian Kerja Antar Waktu dalam KUH Perdata

Tentang kewajiban si majikan, dalam Pasal 1602 KUH Perdata dirumuskan bahwa, Si majikan diwajibkan membayar kepada si buruh upahnya pada waktu yang telah ditentukan dan upah ditetapkan menurut lamanya waktu, harus dibayar sejak saat si buruh mulai bekerja hingga saat berakhirnya hubungan kerja, tiada upah yang harus di bayar untuk waktu selama mana si buruh tidak melakukan pekerjaannya dijanjikan. Sedangkan kewajiban si buruh, dalam Pasal 1603 dirumuskan bahwa, Si buruh diwajibkan melakukan pekerjaan yang dijanjikan menurut kemampuannya yang sebaik-baiknya. Sekadar tentang sifat serta luasnya pekerjaan yang harus dilakukan tidak dijelaskan dalam perjanjian, maka hal itu ditentukan oleh kebiasaan. Si buruh diwajibkan sendiri melakukan pekerjaannya, tak bolehlah ia, selain dengan ijin si majikan dalam melakukan pekerjaannya itu digantikan oleh orang ketiga.

Dalam Pasal 1603.b. dirumuskan bahwa, Si buruh diwajibkan mentaati aturan-aturan tentang hal melakukan pekerjaan serta aturan-aturan yang ditujukan pada perbaikan tata tertib dalam perusahaan si majikan, yang diberikan kepadanya oleh atas nama si majikan didalam batas-batas aturan-aturan undang-undang atau perjanjian atau jika itu tidak ada, menurut kebiasaan.

Jika

suatu

perjanjian

mengandung

tanda-tanda

suatu

perjanjian

kerja/perburuhan beserta tanda-tanda suatu perjanjian dan jenis, maka berlakulah baik ketentuan-ketentuan perihal perjanjian lain, yang tanda-tandanya ikut terkandung didalamnya itu, jika ada pertentangan diantara ketentuan-ketentuan perihal perjanjian kerja/perburuhan.

2. Pengaturan Perjanjian Kerja Antar Waktu dalam Undang-undang Ketenagakerjaan

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu terkandung di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 56 ayat (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak diperbolehkan adanya masa percobaan yang termuat di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 58 ayat (1) : Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya tertentu dalam melaksanakan pekerjaan menurut jenis dan sifat serta selesai dalam waktu tertentu. Hal ini diperkuat di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 59 ayat (1) bahwa: Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

1. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

2. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; 3. Pekerjaan yang bersifat musiman, atau; 4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

3. Subyek dan Obyek dalam Perjanjian Kerja

Peranan dan kedudukan tenaga kerja dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Salah satunya adalah kebebasan berkontrak.

Tenaga kerja merupakan salah satu dari 4 faktor produksi yang penting di dalam menunjang pengembangan perindustrian, disamping faktor-faktor yang lain seperti modal, alam dan faktor kemampuan berusaha. Pengertian tenaga kerja adalah daya manusia untuk melakukan pekerjaan. Pengertian umum tersebut sesuai dengan pengertian tenaga kerja yang dimuat dalam Undang-Undang Pokok Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, yaitu: Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Dalam hubungan ini pembinaan

tenaga kerja merupakan peningkatan kemampuan efaktifitas tenaga kerja untuk melakukan pekerjaan.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka tenaga kerja tidak didasarkan pada umur atau usia melainkan berdasarkan kemampuan untuk melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa. Dengan demikian anak-anak atau orang yang sudah lanjut usia dapat disebut sebagai tenaga kerja asalkan mereka sudah mampu atau masih mampu melakukan pekerjaan untuk menghasilkan barang atau jasa.

Lain halnya dengan pengertian tenaga kerja yang dikemukakan oleh Irawan dan M. Suparmoko sebagai berikut:

Tenaga kerja adalah penduduk pada usia kerja yaitu antara 15 sampai 64 tahun. Penduduk dalam usia kerja ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu angkatan kerja (labour force) dan bukan angkatan kerja. Yang dimaksud angkatan kerja (labour force) adalah penduduk yang bekerja dan penduduk yang belum bekerja, namun siap untuk kerja atau sedang mencari kerja pada tingkat upah yang berlaku. Kemudian penduduk yang bekerja adalah mereka yang bekerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memperoleh penghasilan, baik beekrja penuh atau tidak bekerja penuh. Di negara-negara sedang berkembang batas umur angkatan kerja lebih rendah (di Indonesia 10 tahun ke atas) dari pada di negara-negara yang telah maju (15 tahun ke atas).22

Tenaga kerja adalah sejumlah penduduk dalam suatu negara yang berusia 14 tahun ke atas yang dapat memproduksi barang dan jasa. Menurut Sunarto, batasan mengenai tenaga kerja meliputi semua penduduk yang berusia di atas 14 tahun, kecuali:

1. Mereka yang berusia di atas 14 tahun tetapi masih sekolah untuk waktu penuh. 2. Mereka yang karena usia lanjut, cacat jasmani dan rokhani sehingga tidak mampu melakukan pekerjaan.

3. Mereka yang karena sesuatu hal tidak diperkenankan melakukan pekerjaan, seperti narapidana dan tahanan politik.

Pengertian lain dari tenaga kerja adalah penduduk yang berusia 15 tahun sampai dengan 64 tahun yaitu mereka yang diperkirakan masih memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan ekonomi. Di Indonesia penggolongan tenaga kerja dengan menggunakan ketentuan umur yaitu umur 10 tahun atau lebih. Penduduk disebut tenaga kerja apabila mereka dapat menghasilkan barang dan jasa, sedangkan yang tidak dapat digolongkan sebagai tenaga kerja karena fisiknya terlalu lemah atau muda dan sebagian terlalu tua. Jadi dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja adalah

mereka yang termasuk usia produktif. Pollard menggolongkan penduduk usia produktif adalah mereka yang berusia 15-59 tahun. Sedangkan umur 0-14 tahun atau lebih dari 60 tahun merupakan yang tidak produktif. Dalam menentukan usia tenaga kerja biasanya tidak terdapat perbedaan antara penduduk desa dengan penduduk kota. Batas umur yang termasuk angkatan kerja yaitu mereka yang berumur 15-64 tahun. Penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja dibedakan dalam dua hal, yaitu penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja dan penduduk bukan angkatan kerja. Penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja adalah mereka yang bekerja atau mencari pekerjaan sedangkan penduduk bukan angkatan kerja adalah mereka yang sekolah atau yang mengurus rumah tangga dan lainnya (seperti usia lanjut, cacat jasmani dan pensiunan).

Berdasarkan berbagai pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksudkan tenaga kerja (di Indonesia) penduduk pada usia 10-64 tahun. Jadi semua penduduk yang berusia 10-64 tahun dapat disebut sebagai tenaga kerja meskipun mereka tidak mampu bekerja atau tidak mampu menghasilkan barang atau jasa.

Mengenai pengertian upah merupakan imbalan kerja atau jasa yang telah dilakukan atau akan dilakukan kepada pengusaha menurut persetujuan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perupahan. Sistem Perupahan pada dasarnya ada 7 sistem dalam hubungan kerja yaitu:

1. Sistem upah jangka waktu, adalah suatu sistem pengupahan yang dibayarkan menurut jangka waktu yang telah diperjanjikan sebelumnya atas pekerjaan dengan majikan.

2. Sistem upah potongan, adalah sistem pembelian upah yang umumnya dilaksanakan melalui potongan yang dilakukan terhadap harga yang dihasilkan. 3. Sistem upah borongan, adalah sistem pemberian upah yang didasarkan atas perhitungan imbalan untuk suatu pekerjaan tertentu secara menyeluruh. 4. Sistem upah permufakatan, adalah sistem pemberian upah yang pembayarannya diberikan kepada sekelompok buruh atau pegawai yang selanjutnya akan diberikan diantara mereka sendiri. 5. Sistem upah bagi laba, adalah suatu sistem pemberian upah yang memberikan buruh atau pegawai bagian tertentu dan laba yang diperoleh majikan atau perusahaan disamping upah utama yang seharusnya diterima. 6. Sistem upah skala berubah, adalah suatu sistem pemberian upah yang didasarkan pada keadaan harga pasaran produk yang dihasilkan oleh usaha yang bersangkutan. 7. Sistem upah indeks, adalah suatu sistem pemberian upah yang besarnya didasarkan pada indeks biaya hidup rata-rata dari buruh atau pegawai yang bersangkutan, yang tentunya juga didasarkan pada biaya hidup masyarakat pada umumnya.23

Pengertian upah seperti tersebut dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah: Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau, peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan

keluarganya, atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Secara eksplisit dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tidak dinyatakan mengenai majikan. Namun secara implisit pengertian majikan terdapat

dalam Pasal 1 angka 5 yang menyatakan pengertian pengusaha yaitu:

1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; 2. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya. 3. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

2.

Perjanjian Kerjasama di Bidang Pengelolaan Pembayaran 1. Pengertian Perjanjian Kerjasama

Perjanjian (kontrak) kerjasama adalah suatu peristiwa dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, yang biasanya secara tertulis. Para pihak yang bersepakat untuk mentaati dan melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut perikatan (verbintenis). Maka, kontrak dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut, karena itu kontrak yang mereka buat adalah sumber hukum formal, asal kontrak tersebut adalah kontrak yang sah24.

Dengan demikian, perjanjian (kontrak) kerjasama merupakan dasar hukum para pihak dalam menjalankan kerja sama bisnisnya selain acuan Undang-undang. Menurut Satrio, unsur perjanjian ada 6, yaitu:

1. Ada pihak-pihak Para pihak bertindak sebagai subyek perjanjian tersebut. Subyek biasanya terdiri dari manusia atau badan hukum. 2. Ada persetujuan antara para pihak

Para pihak sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam membuat perjanjian harus diberikan kebebasan untuk menggadakan bargaining atau tawar-menawar diantara keduanya, hal ini biasa disebut dengan asas konsensualitas dalam suatu perjanjian. Konsensualitas tidak boleh disertai dengan paksaan, tipuan dan kehakiman. 3. Ada tujuan yang akan dicapai suatu perjanjian Suatu perjanjian harus mempunyai tujuan yang ingin dicapai dan dengan perjanjian tersebut ingin dicapai atau dengan sarana perjanjian tersebut suatu tujuan ingin dicapai25, baik yang dilakukan sendiri maupun pihak lain. Dalam mencapai suatu tujuan tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. 4. Ada prestasi yang dilaksanakan Para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi suatu prestasi, maka pihak lain adalah merupakan hak dan sebaliknya. 5. Ada bentuk tertentu Suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis, dalam hal suatu perjanjian dibuat secara tertulis dan dibuat dalam suatu akta26.

Menurut pasal 1320 KUHPerdata, kontrak adalah sah bila memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:

1. Syarat subyektif, meliputi: 1. Kecakapan untuk membuat kontrak (dewasa dan tidak sakit ingatan) 2. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Syarat obyektif, meliputi : 1. Suatu hal (obyek) tertentu 2. Sesuatu sebab yang halal (kuasa).

Kesepakatan adalah sepakat para pihak yang mengadakan perjanjian untuk setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjin tersebut. Sedangkan kecakapan untuk membuat kontrak adalah para pihak harus cakap menurut hukum yaitu dewasa dan tidak dibawah pengampuan27.

Menurut KUHPerdata seseorang dikatakan dewasa apabila sudah berumur 21 tahun bagi laki-laki dan 19 tahun bagi perempuan, sedangkan menurut undang undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan orang dikatakan sudah dewasa apabila sudah berumur 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Namun yang dipakai dalam hal perjanjian (kontrak) bisnis ini adalah kedewasaan menurut KUHPerdata. Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terperinci (jenis, jumlah, harga) atau keterangan terhadap obyek sudah cukup jelas, dapat diketahui hak dan kewajiban masing-masing pihak sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak. Suatu sebab yang halal, artinya bahwa isi dari perjanjian tersebut harus mempunyai tujuan yang diperbolehkan oleh undang-undang dan tidak melanggar kesusilaan, dan ketertiban umum. Apabila salah satu dari syaratsyarat subyektif tidak terpenuhi maka salah satu pihak dapaat meminta pembatalan perjanjian, dalam pasal 1454 KUHPerdata jangka waktu permintaan pembatalan perjanjian dibatasi hingga lima tahun. Apabila salah satu dari syarat-syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum, yang artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada (null and noid).

2.

Hak dan Kewajiban Para Pihak

Dalam surat perjanjian telah ditentukan hal-hal yang seharusnya dimuat dalam kontrak, tetapi dalam praktek hak-hak dan kewajiban para pihak masih belum seimbang, Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ketentuan-ketentuan bagi penyedia jasa. Dalam kontrak kewajiban-kewajiban penyedia jasa lebih diutamakan daripada hakhaknya. Sedangkan hak-hak pengguna jasa lebih diutamakan. Misalnya dari segi pembayaran.

Di dalam kontrak pada umumnya hanya memuat tata cara pembayaran yang harus dilakukan oleh pihak pengguna jasa. Namun jarang sekali yang memuat ketentuanketentuan bilamana pengguna jasa tidak dapat memenuhi kewajibannya, misalnya lalai dalam pembayaran. Bagaimana hak penyedia jasa dimana terdapat kesalahan dalam rencana gambar/spesifikasi sedangkan penyedia jasa dalam menjalankan pekerjaan dibatasi dengan waktu pengerjaan.

Bila penyedia jasa tidak dapat melaksanakan pekerjaan sesuai waktu atau tidak dapat melaksanakan pekerjaan sesuai dengan rencana gambar dan spesifikasi, penyedia jasa dikenakan sejumlah sanksi. Contoh lain adalah penyedia jasa berkewajiban dalam memberikan jaminan, terutama jaminan uang muka. Apabila jaminan uang muka tersebut tidak dapat diberikan oleh penyedia jasa, maka pengguna jasa tidak dapat melakukan pembayaran sedangkan waktu pelaksanaan pekerjaan terbatas.

3.

Wanprestasi dan Overmacht 1. Pengertian Wanprestasi

Dalam pelaksanaan perjanjian dapat terjadi hambatan-hambatan atau kemungkinan-kemungkinan suatu perjanjian yang sudah dibuat tidak dapat dilaksanakan. Tidak dilaksanakannya suatu perjanjian disebabkan oleh dua hal, yaitu wanprestasi dan overmacht. Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda wanprestatie artinya tidak memenuhi kewajiban, maksudnya bahwa seorang debitur tidak dapat memenuhi prestasi atau kewajibannya atau pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada

waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya.28 Keadaan wanprestasi itu tidak selalu bahwa seorang debitur tidak dapat memenuhi sama sekali seluruh prestasi, melainkan dapat juga dalam hal seorang debitur tidak tepat waktunya untuk memenuhi prestasi atau dalam memenuhi prestasi itu tidak dengan baik/tidak sesuai.29

Wanprestasi atau tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun kelalaian memiliki bentuk-bentuk sebagai berikut :

1. Debitur sama sekali tidak berprestasi 2. Debitur berprestasi tetapi tidak tepat waktu

3. Debitur berprestasi tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Untuk menyatakan debitur wanprestasi perlu dilakukan somasi (teguran) kepada debitur.

Somasi tidak diperlukan dalam hal :

1. Adanya fataal termijn (batas waktu) dalam perjanjian 2. Prestasi dalam perjanjian adalah tidak berbuat sesuatu 3. Debitur mengakui dirinya wanprestasi

Hal yang dapat dituntut oleh kreditur jika debitur wanprestasi :

1. Pemenuhan perjanjian 2. Pemenuhan perjanjian ditambah ganti rugi 3. Pemutusan perjanjian 4. Pemutusan perjanjian ditambah ganti rugi

5. Ganti rugi

Unsur-unsur ganti rugi :

1. Biaya-biaya (kosten) 2. Kerugian (schaden) 3. Bunga (interessen) Menurut J. Satrio, debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya (wanprestasi), bisa:

1. Debitur salah berprestasi, kalau debitur berprestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya 2. Debitur tidak berprestasi, wujudnya bisa : 1. terlambat berprestsi 2. definitif tidak berprestasi, bisa terjadi karena: 1. tidak mungkin/tidak patut lagi untuk berprestasi 2. prestasinya tidak berguna lagi bagi kreditur 3. memang tidak mau berprestasi30

Wanprestasi itu ada kalau seorang debitur tidak dapat membuktikan bahwa tidak dapatnya ia melakukan prestasi adalah diluar kesalahannya atau dengan kata lain tidak dapat membuktikan adanya overmacht, jadi dalam hal ini jelas debitur bersalah. Kesalahan terdapat dua pengertian yaitu dalam arti luas meliputi kesengajaan dan kelalaian, dalam arti sempit yang hanya mencakup kelalaian saja.31

Terhadap kelalaian atau kesalahan si berutang atau debitur sebagai pihak yang wajib melakukan sesuatu, diancam beberapa sanksi atau hukuman, yaitu hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai, yaitu :

1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi 2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian

3. Peralihan resiko 4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.

Menurut pasal 1365 KUH Perdata, wanprestasi adalah tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk, artinya debitur tidak memenuhi prestasinya sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa :

a. Sama sekali tidak memenuhi prestasi b. Tidak tunai memenuhi prestasinya c. Terlambat memenuhi prestasinya d. Keliru memenuhi prestasinya32

Dalam perjanjian sewa beli apabila pihak penyewa melakukan salah satu dari bentuk-bentuk wanprestasi, maka untuk pelaksanaan hukumnya Undang-undang menghendaki penyewa untuk memberikan pernyataan lalai kepada pihak yang menyewakan. Dengan demikian, wanprestasi yang dilakukan oleh pihak yang penyewa itu pokoknya harus secara formal dinyatakan telah lebih dahulu, yaitu dengan memperingatkan penyewa bahwa penyewa atau pihak menghendaki pembayaran seketika atau jangka waktu pendek yang telah ditentukan. Singkatnya, hutang itu harus ditagih dan yang lalai harus ditegur dengan peringatan atau sommatie.

Cara pemberian teguran terhadap debitur yang lalai tersebut telah diatur dalam dalam pasal 1238 KUH Perdata yang menentukan bahwa teguran itu harus

dengan surat perintah.atau dengan akta sejenis. Yang dimaksud dengan surat perintah dalam pasal tersebut adalah peringatan resmi dari juru sita pengadilan, sedangkan yang dimaksud dengan akta sejenis adalah suatu tulisan biasa (bukan resmi), surat maupun telegram yang tujuannya sama yakni untuk memberi peringatan peringatan kepada debitur untuk memenuhi prsetasi dalam waktu seketika atau dalam tempo tertentu, sedangkan menurut Ramelan Subekti akta sejenis lazim ditafsirkan sebagai suatu peringatan atauy teguran yang boleh dilakukan secara lisan, asal cukup tegas yang menyatakan desakan kreditur kepada debitur agar memenuhi prestasinya seketika atau dalam waktu tertentu.

Oleh para sarjana, kata "wanprestasi" ini diterjemahkan dalam uraian kata menurut pendapatnya masing-masing. Menurut Abdulkadir Muhamad, wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang 15 R. timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang.33

Sedangkan Subekti mengatakan bahwa wanprestasi artinya peristiwa dimana si berhutang tidak melakukan apa yang dijanjikannya. Pelanggaran janji tersebut dapat berbentuk:

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan 2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. 3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat. 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Wanprestasi dapat disebabkan karena dua hal, yaitu:

1. Kesengajaan, maksudnya adalah perbuatan yang menyebabkan terjadinya wanprestasi tersebut memang telah diketahui dan dikehendaki oleh debitur.

2. Kelalaian, yaitu debitur melakukan suatu kesalahan tetapi perbuatan itu tidak dimaksudkan untuk terjadinya wanprestasi.

Segala bentuk kelalaian atau wanprestasi yang dibuat oleh debitur, mengakibatkan debitur wajib:

1. Memberikan ganti rugi kepada kreditur, sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252 KUHPerdata. Mengenai ganti rugi ini Pasal 1243 KUHPerdata menyatakan: "Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya." Yang dimaksud biaya di sini adalah segala pengeluaran atau ongkos yang nyata-nyata telah dikeluarkan satu pihak. Kerugian yang dimaksud adalah kerugian terhadap biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda si berpiutang (schaden) dan kerugian yang berupa kehilangan keuntungan (interessen) yang akan didapat seandainya si berhutang tidak lalai (winstderving).34 Sedangkan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. 2. Pembatalan atau pemutusan perjanjian sehingga membawwa kedua belah pihak untuk kembali kepada keadaan sebelum perjanjian diadakan. 3. Peralihan risiko 4. Membayar biaya perkara, jika sampai diperkarakan di depan hakim.

Tuntutan dari seorang kreditur terhadap debitur yang lalai adalah:

1. Kreditur dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan ini sudah terlambat. 2. Meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya. 3. Menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian.

4. Dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik, kelalaian satu pihak memberikan hak kepada pihak yang lain untuk meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, disertai dengan permintaan penggantian kerugian.

Pada dasarnya, pertanggungjawaban perdata bertujuan untuk memperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita disamping untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Itulah sebabnya, baik wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum merupakan dasar untuk menuntut tanggung jawab dokter.

Pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas adalah mencakup pengertian: berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukum sendiri atau kesusilaan atau kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain. Ini berarti, kesalahan diartikan secara luas, yang meliputi: kesengajaan, kelalaian dan kurang berhati-hati. Kesalahan dokter dalam menjalankan profesinya atau kesalahan profesional, pada dasarnya berkaitan dengan kewajiban yang timbul karena profesinya.

Sedang pengertian wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian/kontrak. Wanprestasi dapat berarti: tidak memenuhi prestasi sama sekali, atau terlambat memenuhi prestasi, atau memenuhi prestasi secara tidak baik. Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan somasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur. Dalam restatement of the law of contacts (Amerika Serikat),

Wanprestasi atau breach of contracts dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

1. Total breachts Artinya pelaksanaan kontrak tidak mungkin dilaksanakan, sedangkan 2. Partial breachts Artinya pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan.

Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau Juru Sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau Juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak. Menurut pasal 1234 KUH Perdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu, sebaiknya dianggap wanprestasi bila seseorang :

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; 3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; atau 4. Melakuakan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukannya.

Akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan sanksi berupa ganti rugi, pembatalan kontrak, peralihan risiko, maupun membayar biaya perkara.sebagai contoh seorang debitur (si berutang) dituduh melakukan perbuatan melawan hukum, lalai atau secara sengaja tidak melaksanakan sesuai bunyi yang telah disepakati dalam kontrak, jika terbukti, maka debitor harus mengganti kerugian (termasuk ganti rugi + bunga + biaya perkaranya). Meskipun demikian, debitor bisa saja membela diri dengan alasan :

1. Keadaan memaksa (overmacht/force majure); 2. Kelalaian kreditor sendiri; 3. Kreditor telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.

Menurut kamus Hukum, Wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian. Dengan demikian, Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seorang debitur (berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian.

Wanprestasi (lalai/alpa) dapat timbul karena;

1. Kesengajaan atau kelalaian debitur itu sendiri. 2. Adanya keadaan memaksa (overmacht).

2.

Macam-macam Wanprestasi

Adapun seorang debitur yang dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi ada 4 macam, yaitu :

1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. 2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya. 3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya. 4. Debitur memenuhi prestasi, tetapi melakukan yang dilarang dalam perjanjian.

Pada umumnya, suatu wanprestasi baru terjadi jika debitur dinyatakan telah lalai untuk memenuhi prestasinya, atau dengan kata lain, wanprestasi ada kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu di luar

kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Apabila dalam pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan tenggang waktunya, maka seorang kreditur dipandang perlu untuk memperingatkan/menegur debitur agar ia memenuhi kewajibannya. Teguran ini disebut dengan sommatie (Somasi).

Kalau debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka dikatakan bahwa debitur wanprestasi.

1.

Bentuk wanprestasi:

1. Debitur sama sekali tidak berprestasi

Dalam hal ini debitur sama sekali tidak memberikan prestasi. Hal itu bisa disebabkan karena debitur memang tidak mau berprestasi atau bisa juga disebabkan karena memang debitur objektif tidak mungkin berprestasi lagi atau secara subjektif tidak ada gunanya lagi untuk berprestasi.

2. Debitur keliru berprestasi

Di sini debitur memang dalam fikirannya telah memberikan prestasinya, tetapi dalam kenyataannya, yang diterima kreditur lain daripada yang diperjanjikan.

3. Debitur terlambat berprestasi

Di sini debitur berprestasi, objek prestasinya betul, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.

4.

Wanprestasi dan Pernyataan Lalai

Kalau debitur menunutut debitur agar ia memenuhi kewajiban prestasinya, maka kreditur menuntut debitur berdasarkan perikatan yang ada antara mereka. Karena dasar tuntutannya adalah perikatan yang memang sudah ada antara mereka, maka untuk menuntut pemenuhan perikatan, kreditur tidak perlu untuk mendahuluinya dengan suatu somasi.

Dalam hal seorang debitur telah disomir dan dia telah melewatkan tenggang waktu yang diberikan kepadanya, tanpa memberikan prestasi yang menjadi kewajiban perikatannya, maka ia ada dalam keadaan lalai.

5.

Pengertian Overmacht dan ajaran-ajaran Overmacht

Antara Wanprestasi dengan Overmacht terdapat hubungan yang erat, karena Overmacht adalah salah satu alasan debitur untuk dibebaskan dari hukuman sebab tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk berprestasi.

Adanya overmacht menimbulkan risiko, yaitu kewajiban memikul kerugian yang disebabkan suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. Menurut Pasal 1237 KUH Perdata., bahwa "Dalam adanya perikatan untuk memberikan sesuatu

barang tertentu, maka barang itu semenjak perikatan terjadi adalah atas tanggung jawab si berhutang".

Berhubung hukum perjanjian bersifat terbuka, maka sebagai sikap berhatihati dalam membuat perjanjian, mengenai risiko ini sebaiknya dimasukkan dalam klausul perjanjian tentang siapa yang harus menanggung risiko jika terjadi keadaan memaksa (overmacht).

Jika debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya itu bukan karena wanprestasi, tetapi karena keadaan yang menghalang-halangi pemenuhan perjanjian itu, maka Pasal 1245 KUH Perdata menentukan: Tiadalah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila lantaran suatu kejadian tak sengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

Pasal 1245 KUH Perdata tersebut menunjukkan bahwa adanya overmacht atau keadaan kahar atau keadaan memaksa. Keadaan memaksa ialah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. Kesemuanya itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan memaksa.35 Menurut J. Satrio36 mengenai 0vermacht terdapat dua teori, yaitu:

1. Teori Objektif. Menurut teori ini debitur baru bisa mengemukakan adanya overmacht kalau setiap orang dalam kedudukan debitur tidak mungkin untuk

berprestasi (sebagaima mestinya). Di sini ketidak mungkinan berprestasi bersifat absolut, siapun tak bisa. Kalau setiap orang tak bisa, maka hal itu berarti ketidak mungkinan untuk memberikan prestasi di sini bersifat mutlak (permanen).

Berdasarkan Pasal 1244 KUH Perdata yang menentukan: Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan, musnah, tidak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya si berutang, dan sebelum ia lali menyerahkannya.

Dapat disimpulkan bahwa kalau ada keadaan yang absolut tidak memungkinkan orang untuk berprestasi, maka di sana ada keadaan yang dapat menjadi dasar untuk mengemukakan adanya keadaan yang memaksa/overmacht. Di sini ukurannya orang (pada umumnya) tidak bisa berprestasi, bukan debitur tidak bisa berprestasi.

2. Teori Subjektif. Dalam teori ini yang menjadi patokan ialah subjek debitur, bukan debitur pada umumnya tetapi debitur tertentu dalam perikatan yang bersangkutan. Overmacht ada, kalau debitur yang bersangkutan telah berusaha dengan baik, tetapi tetap tidak dapat memenuhi kewajibannya.

Pada kejadian overmacht umumnya dan lazimnya debitur bebas dari resiko membayar ganti kerugian, namun demikian dalam hal-hal tertentu terdapat beberapa perkecualian, yakni sekalipun terjadi overmacht, resiko overmacht menjadi beban yang harus dipikul oleh debitur, yaitu : karena ketentuan undang-undang (pasal 1613 KUH Perdata) atau atas kekuatan kelaziman jika menurut kebiasaan resiko dalam halhal perjanjian seperti itu selalu dibebankan kepada debitur sekalipun terjadi overmacht.

Berdasarkan adanya akte perjanjian, diharapkan isi perjanjian tersebut betulbetul dilaksanakan oleh para pihak, sehingga tujuan diadakannya perjanjian tersebut tercapai dan prestasi terpenuhi. Namun adakalanya suatu perjanjian terhambat pelaksanaannya. Hambatan tersebut dikenal dengan ada dua kemungkinan, yaitu: Ingkar Janji (wanprestasi) dan Keadaan Memaksa (Overmacht/Force Majeur).

Overmacht adalah suatu keadaan yang tidak dapat diduga sebelumnya, sehingga menghalangi debitur untuk melaksanakan prestasi sebelum ia lalai / alpa, dan keadaan tersebut tidak dapat disalahkan kepadanya. Unsur-unsur Overmacht antara lain:

1. Kejadian itu tidak dapat diduga sebelumnya; 2. Kejadian itu di luar kesalahan debitur; 3. Kejadian itu berakibat debitur tidak dapat berprestasi; 4. Debitur belum lalai / alpa.

Overmacht/Force Majeur/Keadaan Memaksa : Suatu keadaan tak terduga diluar kemampuan menusia yang menyebabkan debitur tidak dapat berprestasi, dan debitur tidak dapat dipersalahkan. Overmacht dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Overmacht absolut (objektif) : overmacht yang tidak dapat diatasi 2. Overmacht relatif (subjektif) : overmacht yang sesungguhnya dapat diatasi tetapi dengan pengorbanan yang besar

Teori tentang overmacht : Inspanningstheorie (Teori Upaya) dikemukakan oleh Houwing :

Kalau debitur telah berusaha sebaik mungkin sesuai dengan ukuran yang wajar dalam masyarakat, maka tidak dipenuhinya prestasi tidak dapat lagi dipersalahkan kepadanya.

Disini yang pokok adalah unsur ketidaksalahan, bukan ketidak mampuan. Overmacht berkaitan dengan masalah resiko :

Resiko : siapa yang menanggung kerugian. Asas umum tentang resiko :

1. Perjanjian sepihak : resiko ditanggung oleh kreditur 2. Perjanjian timbal balik : resiko ditanggung oleh kedua belah pihak

Keadaan memaksan (overmacht) adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. Kesemuanya itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut. Unsur-unsur yang terdapat dalam overmacht adalah :

1. tidak dipenuhi prestasi

karena suatu

peristiwa

yang membinasakan atau

memusnahkan benda yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat tetap. 2. tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara. 3. peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur, jadi bukan karena kesalahan pihakpihak khususnya debitur.

Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan berbagai akibat yaitu :

1. kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi. 2. debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi. 3. resiko tidak beralih kepada debitur. 4. kreditur tidak dapat menuntut pembatalan prsetujuan timbal balik.

Mengenai keadaan memaksa terdapat dua teori atau aliran atau ajaran yaitu :

1. Ajaran yang objektif atau absolut

Menurut ajaran keadan memaksa objektif, debitur berada dalam keadaan memaksa, apabila pemenuhan prestasi itu tidak mungkin (ada unsur

impossibilitas) dilaksanakan oleh siapapun juga atau oleh setiap orang. Misalnya : A harus menyerahkan kuda kepada B, kuda ditengah jalan disambar petir, hingga oleh siapapun juga penyerahan kuda itu tidak mungkin dilaksanakan.

Dalam ajaran ini pikiran para sarjana tertuju pada bencana alam atau kecelakaan yang hebat, sehingga dalam keadaan demikian siapapun tidak dapat memenuhi prestasinya. Juga jika barang musnah atau hilang di luar perdagangan dianggap sebagai keadaan yang memaksa. Hal ini dapat kita baca dalam Pasal 1444 KUHPerdata, di mana disebutkan jika barang tertentu yang menjadi bahan peretujuan musnah, tidak lagi dapat diperdagangkan atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar salahnya si berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

2. Ajaran yang subjektif atau relatif

Menurut ajaran keadaan memaksa subjektif (relatif) keadaan memaksa itu ada, apabila debitur masih mungkin melaksanakan prestesi, tetapi praktis dengan kesukaran atau pengorbanan yang besar (ada unsur diffikultas), sehingg dalam keadaan yang demikian itu kreditur tidak dapat menuntut pelaksanaan prestasi. Misalnya : seorang penyanyi yang berjanji mengadakan pertunjukan. Sebelum pertunjukan diadakan ia mendengar berita tentang kematian anaknya hingga sukar bagi debitur untuk melaksanakan perjanjian tersebut.

Keadaan memaksa dapat bersifat tetap dan sementara. Jika keadaan memaksa bersifat tetap maka berlakunya perikatan terhenti sama sekali. Misalnya barang yang akan diserahkan di luar kesalahan debitur terbakar musnah. Sedangkan dalam keadaan memaksa yang bersifat sementara berlakunya perikatan ditunda. Setelah keadaan memaksa tersebut hilang maka perikatan mulai bekerja kembali. Misalnya larangan untuk mengirimkan sesuatu barang dicabut atau barangnya yang hilang diketemukan kembali.

Persamaan wanprestasi dengan overmacht adalah keduanya sama-sama tidak memenuhi isi perjanjian sedangkan perbedaannya adalah pada wanprestasi ada unsur kesengajaan atau kelalaian dalam hal sebenarnya dimana pihak tersebut berkesempatan atau berpeluang memenuhi isi perjanjian. Pada overmatch, tidak ada unsur kesengajaan dan pihak tersebut mempunayi tekad kuat untuk memenuhi perjanjian tetapi tidak mempunyai peluang untuk memenuhinya.

1. Dasar Hukum dan Pengertian Keadaan Memaksa

Ketentuan tentang overmacht (keadaaan memaksa) dapat dilihat dan di baca dalam pasal 1244 KUH Perdata yang berbunyi: Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga, bila tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya. dan pasal 1245 KUH Perdata berbunyi: Tidak ada penggantian biaya,kerugian, dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan sesuatu perbuatan yang terhalang olehnya.

Ada tiga hal yang menyebabkan debitur tidak melakukan penggantian biaya, kerugian dan bunga, yaitu:

1. Adanya suatu hal yang tak terduga sebelumnya, atau 2. Terjadinya secara kebetulan, dan atau 3. Keadaan memaksa.

Yang diartikan dengan keadaan memaksa adalah suatu keadaan di mana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya. Misalnya karena adanya gempa bumi, banjir, lahar, dan lain-lain. Menurut Subekti, Keadaan memaksa adalah Suatu keadaan tidak dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti-rugi.

Menurut Abdulkadir Muhammad, Keadaan memaksa adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga ak