sindrom neuroleptik maligna

18
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Psikosis adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (sense of reality ). Kelainan seperti ini dapat diketahui berdasarkan gangguan-gangguan pada perasaan, pikiran, kemauan, motorik, dst. sedemikian berat sehingga perilaku penderita tidak sesuai lagi dengan kenyataan. Perilaku penderita psikosis tidak dapat dimengerti oleh orang normal, sehingga orang awam menyebut penderita sebagai orang gila. Efek samping obat anti-psikosis sangat penting kita ketahui, mengingat penggunaan oabat ini kemungkinan diberikan dalam jangka panjang. efek samping dapat berupa : sedasi dan Inhibisi Psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun), gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik :mulut kering, kesulitan miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intreokuler yang tinggi, gangguan irama jantung), gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson : tremor, bradikinesia, rigiditas), gangguan Endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia) metabolik (jaundice), hematologik (agranulositosis), biasanya pada pemakaian panjang, syndrome neuroleptik maligna. (13) Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat komplikasi serius dari 1

Upload: dewa-ayu-ratna-mahaprawitasari

Post on 26-Oct-2015

115 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sindrom Neuroleptik Maligna

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Psikosis adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (sense

of reality ). Kelainan seperti ini dapat diketahui berdasarkan gangguan-gangguan

pada perasaan, pikiran, kemauan, motorik, dst. sedemikian berat sehingga perilaku

penderita tidak sesuai lagi dengan kenyataan. Perilaku penderita psikosis tidak dapat

dimengerti oleh orang normal, sehingga orang awam menyebut penderita sebagai

orang gila. Efek samping obat anti-psikosis sangat penting kita ketahui, mengingat

penggunaan oabat ini kemungkinan diberikan dalam jangka panjang. efek samping

dapat berupa : sedasi dan Inhibisi Psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan

berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun), gangguan

otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik :mulut kering, kesulitan miksi

dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intreokuler yang tinggi,

gangguan irama jantung), gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom

parkinson : tremor, bradikinesia, rigiditas), gangguan Endokrin (amenorrhoe,

gynaecomastia) metabolik (jaundice), hematologik (agranulositosis), biasanya pada

pemakaian panjang, syndrome neuroleptik maligna.(13)

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat

komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM adalah

hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Morbiditas dan

mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal.

(1)

Frekuensi SNM secara internasional bersamaan dengan penggunaan

antipsikotik, khususnya neuroleptik. Di Cina didapatkan insidensi SNM mencapai

0,12 % pada pasien dengan terapi neuroleptik. Suatu penelitian retrospektif di India

menunjukkan insidensi 0,14%.1 Sedangkan di Amerika SNM dilaporkan terdapat pada

0,2% - 1,9% pasien.(2)

Meskipun neuroleptik (haloperidol, fluphenazin) lebih sering menyebabkan

SNM, semua obat anti psikotik, tipikal maupun atipikal dapat menyebabkan sindrom

1

Page 2: Sindrom Neuroleptik Maligna

ini. Obat-obatan tersebut adalah prochlorperazine (Compazine), promethazine

(Phenergan), clozapine (Clozaril), and risperidone (Risperdal). Selain itu obat-obat

non neuroleptik yang dapat memblok dopamin dapat menyebabkan SNM juga, obat-

obat tersebut adalah metoclopramide (Reglan), amoxapine (Ascendin), and lithium4.

Deteksi awal dan penegakan diagnosis yang cepat pada SNM penting karena

komplikasi dari keadaan ini adalah kematian.(5) Kematian yang disebabkan oleh SNM

mencapai 21%.(3)

1.2. TUJUAN

Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan

penulis khususnya mengenai Neuroleptik mulai dari definisi, epidemiologi, etiologi,

patofisiologi, diagnosis. Serta lebih khususnya mengenai ” Neuroleptic Maligna

Syndrome ”.

BAB II

2

Page 3: Sindrom Neuroleptik Maligna

PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat

komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM adalah

hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Morbiditas dan

mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal.(1)

DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders)

mendefiniskan sebagai gangguan rigiditas otot berat, peningkatan temperatur dan

gejala lainnya yang terkait (misalnya diaphoresis, disfagia, inkontinensia, perubahan

tingkat kesadaran dari konfusi sampai dengan koma, mutisme, tekanan darah

meningkat atau tidak stabil, peningkatan kreatin phosphokinase (CPK) yang berkaitan

dengan pengunaan pengobatan neuroleptik.(6)

Obat neuroleptik dan obat lainnya yang berpengaruh pada dopamin biasanya

dipakai untuk terapi kondisi psikiatri dan non psikiatri seperti skizoprenia, gangguan

afek mayor (gangguan depresi, bipolar), delirium, gangguan tingkah laku karena

dimensia, nausea, disfungsi usus dan penyakit parkinson. Sindroma ini

mengakibatkan disfungsi sistem syaraf otonom. Sistem syaraf otonom adalah sistem

syaraf yang bertanggung jawab untuk aktivitas tubuh yang tidak dikendalikan secara

sadar, seperti denyut jantung, tekanan darah, pencernaan, berkeringat, suhu tubuh dan

kesadaran juga terpengaruh.(7)

2.2. ETIOLOGI (1)

1. Semua kelas anti psikotik berhubungan dengan SNM termasuk neuroleptik

potensi rendah, neuroleptik potensi tinggi dan antipsikotik atipikal. SNM

sering pada pasien dengan pengobatan haloperidol dan chlorpromazine.

2. Penggunaan dosis tinggi antipsikotik (terutama neuroleptic potensi tinggi),

antipsikotik aksi cepat dengan dosis dinaikan dan penggunaan antipsikotik

injeksi long acting.

3

Page 4: Sindrom Neuroleptik Maligna

3. Faktor lain berhubungan dengan farmakoterapi. Penggunaan neuroleptik yang

tidak konsisten dan penggunaaan obat psikotropik lainnya, terutama lithium,

dan juga terapi kejang.

2.3. FAKTOR RESIKO (1)

Faktor resiko dari SNM antara lain :

1. Faktor lingkungan dan psikologi yang menjadi predisposisi terhadap SNM

adalah kondisi panas dan lembab, agitasi, dehidrasi, kelelahan dan malnutrisi.

2. Faktor genetik, terdapat laporan kasus yang mempublikasikan bahwa SNM

dapat terjadi pada kembar identik.

3. Pasien dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren.

Resiko rekurensi tersebut berhubungan dengan jarak waktu antara episode

SNM dan penggunaan antipsikotik. Apabila pasien diberikan anti psikotik

dalam 2 minggu episode SNM, 63 % akan rekurensi. Jika lebih dari 2 minggu,

persentasenya hanya 30%.

4. Sindrom otak organik, gangguan mental non skizoprenia, penggunaan lithium,

riwayat ECT (Elektro Convulsive Therapy), penggunaan neuroleptik tidak

teratur.

5. Penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis tinggi, dosis

neuroleptik di naikan dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi.

2.4. PATOFISIOLOGI

Sesuai dengan istilahnya, Sindrom Neuroleptik Maligna berkaitan dengan

pemberian pengobatan neuroleptik. Mekanisme pastinya belum diketahui, tetapi

terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa defisiensi dopamin atau blokade dopamin

yang menyebabkan SNM. Pengurangan aktivitas dopamin di area otak (hipothalamus,

sistem nigrostartial, traktus kortikolimbik) dapat menerangkan terjadinya gejala klinis

SNM.(3)

4

Page 5: Sindrom Neuroleptik Maligna

Pengurangan dopamin di hipothalamus dapat menyebabkan terjadinya

peningkatan pengaturan suhu sehingga terjadi demam dan juga dapat menyebabkan

ketidak stabilan saraf otonom. Di sistem nigrostratial dapat menyebabkan rigiditas, di

sistem traktus kortiko limbik dapat menyebabkan perubahan kesadaran. Perubahan

status mental disebabkan karena blokade reseptor dopamin di sistem nigrostartial dan

mesokortikal.(7)

2.5. GAMBARAN KLINIS

Sindrom Neuroleptik Maligna merupakan reaksi idiosinkrotik yang tidak

tergantung pada kadar awal obat dalam darah. Sindrom tersebut dapat terjadi pada

dosis tunggal neuroleptik (phenotiazine, thioxanthene, atau neuroleptikal atipikal),

biasanya berkembang dalam 4 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan

dengan neuroleptik. SNM sebagian besar berkembang dalam 24-72 jam setelah

pemberian obat neuroleptik atau perubahan dosis (biasanya karena peningkatan

dosis).(6) Sindroma neuroleptik maligna dapat menunjukkan gambaran klinis yang luas

dari ringan sampai dengan berat.(7)

Gejalanya yaitu:(1)

a) Gejala disregulasi otonom mencakup demam, diaphoresis, tachipnea, takikardi

dan tekanan darah meningkat atau labil.

b) Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur,

distonia dan diskinesia. Tremor dan aktivitas motorik berlebihan dapat

mencerminkan agitasi psikomotorik. Konfusi, koma, mutisme, inkotinensia

dan delirium mencerminkan terjadinya perubahan tingkat kesadaran.

2.6. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

5

Page 6: Sindrom Neuroleptik Maligna

Rigiditas dan hipertermi pada SNM disebabkan karena kerusakan otot dan

nekrosis. Kerusakan otot dan nekrosis ini dapat menyebabkan(3) :

1) Peningkatan kadar Creatin Kinase (CK) darah mencapai 2000 – 15.000 U/ L.

Peningkatan kadar CK ini tingkat sensitifitasnya tinggi untuk Sindrom

Neuroleptik Maligna.

2) Peningkatan Aminotransferase (aspartate aminotransferase [AST], alanine

aminotransferase [ALT]), and lactate dehydrogenase (LDH ).

3) Pemeriksaan laboratorium lain terdapat leukositosis (15. 000 – 30.000 x 103/

mm3), trombositosis dan dehidrasi. Protein serebrospinal dapat meningkat.

Konsentrasi serum besi dapat menurun.

2.7. DIAGNOSIS(7)

Konsensus untuk diagnosis sindrom neuroleptik maligna tidak ada. Salah satu

kriteria berasal dari DSM IV-TR. Kriteria tersebut mencakup hiperpireksia dan

rigiditas otot, dengan satu atau lebih tanda-tanda penting seperti ketidak stabilan

otonom, perubahan sensorik, peningkatan kadar CK dan myoglobinuria.

Berdasarkan gejala klinis tersebut, SNM seharusnya menjadi diagnosis

banding pada pasien demam dengan pengobatan neuroleptik. Sebelum diagnosis SNM

ditegakkan, semua kemungkinan penyebab kenaikan suhu harus disingkirkan, dan

demam harus disertai dengan gejala klinis lain seperti rigiditas otot, perubahan status

mental dan ketidakstabilan otonom.

Kriteria diagnosis menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders) :

Memenuhi kriteria A dua-duanya dan kriteria B minimal 2.

Kriteria A

1. Rigiditas otot

2. Demam

Kriteria B

6

Page 7: Sindrom Neuroleptik Maligna

1. Diaphoresis

2. Disfagia

3. Tremor

4. Inkontinensia

5. Perubahan kesadaran

6. Mutisme

7. Takikardi

8. Tekanan darah meningkat atau labil

9. Leukositosis

10. Hasil laboratorium menunjukkan cedera otot

Kriteria C

Tidak ada penyebab lain (Misal: encephalitis virus)

Kriteria D

Tidak ada gangguan mental

Diagnosis banding dari SNM sangat luas. Hal terpenting sumber infeksi dari

demam harus di singkirkan. Pungsi lumbal harus dipertimbangkan untuk

membedakan SNM dengan encephalitis virus atau encephalomyelitis post infeksi.10

SNM harus dibedakan dari sindrom yang disebabkan oleh pengobatan lain seperti

sindrom serotonin dan hipertermi maligna.

2.8. DIAGNOSIS BANDING(1)

1. Heat Stroke

7

Page 8: Sindrom Neuroleptik Maligna

Pada heat stroke kulit menjadi kering dan lembek akibat hipertermi dan

hipotensi.

2. Letal Kataton

Letal kataton terjadi pada orang skizoprenia atau episode manik. Neuroleptik

dapat memperbaiki atau memperburuk gejalanya. Membedakan SNM dan letal

kataton sulit, meskipun riwayat pasien menyatakan episode kataton pada saat pasien

tidak meminum neuroleptik. Letal kataton cenderung eksitasi dan agitasi pada

prodomal sedangkan SNM dimulai dengan rigiditas.

3. Sindrom Serotonin

Sindrom serotonin sangat mirip SNM. Untuk membedakannya dengan

menggali riwayat pengobatan dengan perhatian pada perubahan dosis dan tidak

adanya rigiditas berat.

2.9. PENATALAKSANAAN

1. Terapi Suportif(1)

Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti psikotik

dan terapi suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan mereda dalam 1-2 minggu.

Sindrom Neuroleptik Maligna yang dipercepat dengan depot injeksi anti psikotik long

action dapat bertahan selama sebulan.

Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan

memelihara fungsi organ yaitu:

1. Manajemen jalan nafas: intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri.

2. Manajemen sirkulasi: monitoring jantung, resulsitasi cairan, hemodinamik.

3. Untuk mengendalikan temperatur dapat dengan antipiretik.

8

Page 9: Sindrom Neuroleptik Maligna

4. Skrening infeksi dengan cara melakukan CT scan kepala, thorak, analisis

cairan serebrospinal, kultur urin dan darah.

2. Terapi Farmakologi(3)

Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti

bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati Sindrom

Neuroleptik Maligna berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Dantrolene dipakai

untuk mengurangi rigiditas otot, metabolisme dan peningkatan panas. Peneliti lain

melaporkan tidak ada manfaat dan setelah diamati ternyata meningkatkan komplikasi

dan pemanjangan gejala karena pemakaian obat-obat tersebut.

Terapi tunggal dengan benzodiazepin dilaporkan berhasil dalam beberapa

kasus. Penelitian Francis et all menyatakan benzodiazepin efektif dalam penanganan

Sindrom Neuroleptik Maligna dengan mengurangi durasi menjadi 2 – 3 hari.

2.10. KOMPLIKASI

Komplikasi dari Sindroma Neuroleptik Maligna banyak. Komplikasi yang

paling umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus menerus

dan akhirnya terjadi kerusakan otot. Komplikasi lainnya gagal ginjal, pneumonia

aspirasi, emboli pulmo, edema pulmo, sindrom distress respirasi, sepsis, diseminated

intravascular coagulation, seizure, infark miocardial.(9)

Menghindari antipsikotik dapat menyebabkan komplikasi karena psikotik

yang tidak terkontrol. Sebagian besar pasien dengan pengobatan anti psikotik karena

menderita gangguan psikiatri berat atau persiten, kemungkinan relaps tinggi jika anti

pskotik di hentikan.(1)

2.11. PROGNOSIS(1)

Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan nekrosis berat

otot yang menjadi rhabdomiolisis. Pasien dengan riwayat Sindrom Neuroleptik

9

Page 10: Sindrom Neuroleptik Maligna

Maligna dapat terjadi rekurensi. Resiko terjadi rekurensi berhubungan dengan jeda

waktu antara Sindrom Neuroleptik Maligna dan dimulainya kembali pengobatan

antipsikotik.

2.12. PENCEGAHAN(6)

Pencegahan merupakan bagian penting dalam menghindari terjadinya sindrom

ini. Dosis terendah neuroleptik dianjurkan, dengan memonitor onset efek samping

ekstra piramidal. Deteksi awal dan memberikan terapi untuk mengeliminasi efek

samping ekstra piramidal, terutama rigiditas otot dapat mencegah perkembangan lebih

lanjut Sindroma Neuroleptik Maligna dan komplikasinya.

10

Page 11: Sindrom Neuroleptik Maligna

BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat

komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Yang memiliki karekteristik

seperti hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Faktor

resiko dari SNM antara lain : faktor lingkungan dan psikologi, faktor genetic, pasien

dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren, sindrom otak

organik, gangguan mental non skizoprenia, penggunaan lithium, riwayat ECT,

penggunaan neuroleptik tidak teratur, penggunaan neuroleptik potensi tinggi,

neuroleptik dosis tinggi, dosis neuroleptik di naikan dengan cepat, penggunaan

neuroleptik injeksi. Gejalanya yaitu: Gejala disregulasi otonom mencakup demam,

diaphoresis, tachipnea, takikardi dan tekanan darah meningkat atau labil. Gejala

ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia dan

diskinesia. Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti

psikotik dan terapi suportif. Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis

dopamin seperti bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati

Sindrom Neuroleptik Maligna berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Komplikasi

yang paling umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus

menerus dan akhirnya terjadi kerusakan otot. Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian

besar pada pasien dengan nekrosis berat otot yang menjadi rhabdomiolisis.

11

Page 12: Sindrom Neuroleptik Maligna

DAFTAR PUSTAKA

1. Sholevar, DP., 2002, Neuroleptic Malignanat Syndrome,

http://www.emedicine.com (diakses pada 18.30, 17 September 2013)

2. Khaldarov, V, 2000, Benzodiazepines for Treatment of Neuroleptic Malignant

Syndrome, Hospital Physician. Page 51-55

3. Benzer, Theodore, 2005, Neuroleptic Malignanat Syndrome,

http://www.emedicine.com (diakses pada 19.00, 18 September 2013)

4. Hal, RCW., Chopman, M., 2006, Neuroleptic Malignant Syndrome in the

Elderly: Diagnostic Criteria, Incidence, Risk Factors, Pathophysiology, and

Treatment, Clinical geriatry Vol 14 No. 5, John Hopskins Medicine. Page 39-

45

5. Bottoni, T., 2002, Neuroleptic Malignant Syndrome: A Brief Review,

http:://www.turner-white.com (diakses pada 19.30, 18 September 2013)

6. Nicholson, D., Chiu., W., 2004, Neuroleptic malignant syndromem, Geriatrics

August 2004 Volume 59, Number 8. Page 38-40

7. Benzer, Theodore, 2005, Neuroleptic Malignanat Syndrome,

http://www.emedicine.com (diakses pada 20.30, 18 September 2013)

8. Bottoni, T., 2002, Neuroleptic Malignant Syndrome: A Brief Review,

http:://www.turner-white.com (diakses pada 16.00, 19 September 2013)

9. Hal, RCW., Chopman, M., 2006, Neuroleptic Malignant Syndrome in the

Elderly: Diagnostic Criteria, Incidence, Risk Factors, Pathophysiology, and

Treatment, Clinical geriatry Vol 14 No. 5, John Hopskins Medicine. Page 39-

45

10. Kaplan H, Sadock B. 2005. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of

Psychiatry. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins. Pp: 532-67.

11. Khaldarov, V, 2000, Benzodiazepines for Treatment of Neuroleptic Malignant

Syndrome, Hospital Physician. Page 51-55

12

Page 13: Sindrom Neuroleptik Maligna

12. Khan, N.A., 2011, Atypical neuroleptic malignant syndrome: reversible

encephalopathy. http://www.docstoc.com/docs/79675578/Programme-P2T-10.

(diakses pada 15.30, 19 September 2013)

13. Maramis, W.F. (2008), Ilmu Kedokteran Jiwa . Surabaya : Airlangga

University. Page 180

14. Maslim, R., 2001, Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik .

Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC. Pp:5-9

13