sgb referat diani.doc

27
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindroma Guillain-Barre (SGB) adalah suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit sistemis. Penyakit ini merupakan suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, maupun susunan saraf pusat. Sindroma Guillain-Barre (SGB) ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 1

Upload: alham-wahyudin

Post on 18-Feb-2015

49 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: SGB referat diani.doc

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindroma Guillain-Barre (SGB) adalah suatu sindroma klinis dari kelemahan

akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh

penyakit sistemis. Penyakit ini merupakan suatu kelainan sistem kekebalan tubuh

manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan

karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya

progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom,

maupun susunan saraf pusat.

Sindroma Guillain-Barre (SGB) ini seringkali mencemaskan penderita dan

keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan

dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa

yang baik.

Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua

umur. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan

penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak

insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia

dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling

tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras

didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic,

1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia

mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra

menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III

(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir

sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-

laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun.1

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti

penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Guillain-Barre syndrome

1

Page 2: SGB referat diani.doc

diduga disebabkan oleh infeksi virus, tetapi akhir-akhir ini terungkap bahwa virus

bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang adalah suatu kelainan

imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated

process. Pada umumnya sindrom ini didahului oleh penyakit influenza atau

infeksi saluran pernafasan atas atau saluran pencernaaan. Penyebab infeksi pada

umumnya adalah kelompok virus dari kelompok herpes. Sindrom ini dapat

didahului pula oleh vaksinasi,gangguan endokrin, anastesi, tindakan operasi, dan

sebagainya (Harsono, 1996). Guillain-Barre Syndrome berhubungan dengan

respon system imun terhadap benda asing (seperti agen infeksius atau vaksin)

tetapi targetnya yaitu pada jaringan syaraf inang. Target yang diserang system

imun menjadi gangliosida, yaitu komplek glikosfingolipid yang ada dalam jumlah

yang banyak pada jaringan saraf manusia, terutama nodus ranvier. Pada banyak

kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan, kadang-kadang kecuali saraf perifer

dan serabut spinal ventral dan dorsal, terdapat juga gangguan medula spinalis dan

medula oblongata.Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB. 2

Salah satu terapi yang sering digunakan pada SGB adalah plasmaferesis.

Plasmaferesis ini dapat digunakan baik untuk SGB maupun miastenia gravis

untuk menyingkirkan antibodi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien

dipisahkan secara selektif dari darah lengkap, dan bahan-bahan abnormal

dibersihkan atau plasma diganti dengan yang normal atau dengan pengganti

koloidal. Banyak pusat pelayanan kesehatan mulai melakukan penggantian plasma

ini jika didapati keadaan pasien memburuk dan akan kemungkinan tidak akan

dapat pulang kerumah dalam 2 minggu.1 

Meskipun penyebabnya belum diktahui, namun diagnosanya dapat

ditegakkan sedini mungkin. Setidaknya hal ini dapat mencegah akibat yang sangat

fatal. Dalam referat ini penulis tertarik untuk membahas mengenai plasmaferesis.

Sehingga kelak ketika menjadi dokter dapat melakukan penegakan diagnosis

sedini mungkin serta terapi yang tepat pada pasien SGB. Karena penegakan

diagnosis sedini mungkin dapat memberikan prognosis yang lebih baik.

2

Page 3: SGB referat diani.doc

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindroma Gullian Barre

Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan

tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri

dengan karakterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang

sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,

otonom, maupun susunan saraf pusat. 7)

2.1.1. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, insiden terjadinya GBS berkisar antara 0,4-2,0

per 100.000 penduduk. GBS merupakan a non sesasonal disesae dimana resiko

terjadinya adalah sama di seluruh dunia pada pada semua iklim. Perkecualiannya

adalah di Cina, dimana predileksi GBS berhubungan dengan Campylobacter

jejuni, cenderung terjadi pada musim panas.

GBS dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras.

Insiden kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6-1,9 per 100.000 penduduk.

Insiden ini meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. GBS merupakan

penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat. Angka kematian berkisar

antara 5 – 10 %. Penyebab kematian tersering adalah gagal jantung dan gagal

napas. GBS. Antara 5 – 10 % sembuh dengan cacat yang permanen.

Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak.

Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah

dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan

wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa

perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun.

3

Page 4: SGB referat diani.doc

2.1.2. Patofisiologi

Guillain-Barre syndrome berhubungan dengan respon system imun

terhadap benda asing (seperti agen infeksius atau vaksin) tetapi targetnya yaitu

pada jaringan syaraf inang. Target yang diserang system imun menjadi

gangliosida, yaitu komplek glikosfingolipid yang ada dalam jumlah yang banyak

pada jaringan saraf manusia, terutama nodus ranvier. Misalnya, gangliosida

GM1, yang mempengaruhi sebanyak 20 – 50% kasus, khususnya pada orang

yang didahului infeksi Campylobacter jejuni. Contoh yang lain adalah

gangliosida GQ1b, yang merupakan target varian sindrom miller fisher

(Goldman, 2007)

Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, Fase progresif dimulai dari onset

penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai

maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang

melebihi 8 minggu. Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana

kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama

2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu. Fase

rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang

berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalanan penyakit SGB ini

berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.

Gb. 3. Perjalanan alamiah SGB skala waktu dan beratnya kelumpuhan

bervariasi antara berbagai penderita SGB.

4

Page 5: SGB referat diani.doc

GBS paling banyak terjadi pada pasien yang sebelumnya mengalami infeksi

(pernafasan atau gastrointestinal) 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi serangan

penurunan neurologic. Pada beberapa dapat terjadi setelah vaksinasi atau

pembedahan. Juga dapat pula disebabkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun,

dan beberapa proses lain, atau sebuah kombinasi proses. Salah satu hipotesis

mengatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autimun yang menyerang

myelin syaraf perifer. Bagian proksimal syaraf cenderung paling sering terserang

dan akar dalam ruang subarachnoid biasanya terpengaruh. Autopsy yang didapat

memperlihatkan beberapa infiltrasi limfositik yang secara khusus menetap di

dalam akar saraf spinal.

Infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain

memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen

tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses

pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa

teori mengenai pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan

bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh

mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi

tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri

berkurang.

Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin. Bahkan

kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.

Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin

disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan

myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di

invasi oleh antigen tersebut. Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel

saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan

kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih

sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh.

5

Page 6: SGB referat diani.doc

6

Page 7: SGB referat diani.doc

2.1.3. Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of

Neurological and Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS)

Diagnosa Guillain-Barre syndrome terutama ditegakkan secara klinis.

Guillain-Barre syndrome ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang

disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga

minggu setelah mengalami demam dan gangguan sensorik dan motorik perifer.

Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute

of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:

1.Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis (Gejala utama):

a. Terjadinya kelemahan yang progresif pada satu atau lebih

ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataxia

b. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general

2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:

a. Ciri-ciri klinis:

1. Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,

maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2

minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.

2. Relatif simetris.

3. Gejala gangguan sensibilitas ringan.

4. Gejala saraf kranial ±50% terjadi parese N VII dan sering

bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang

mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5%

kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak

lain.

5. Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,

dapat memanjang sampai beberapa bulan..

6. Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,

hipertensi dan gejala vasomotor.

7. Tidak ada demam saat onset gejala neurologist.

7

Page 8: SGB referat diani.doc

b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong

diagnosa:

1. Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi

peningkatan pada LP serial.

2. Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3.

3. Varian:

Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala

Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3

c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:

1. Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.

2. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal

d. Gejala yang menyingkirkan diagnosis

1. Kelemahan yang sifatnya asimetri

2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten

3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul

4. Gejala sensoris yang nyata

2.1.4. Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan

atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,

trombosis vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan

kontraktur pada sendi.

95% pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75% diantaranya

sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural

tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien. Kelainan ini juga dapat

menyebabkan kematian. Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang

20% penderita meninggal oleh karena kegagalan pernafasan. Sekarang ini

kematian berkisar antara 2-10 %, dengan penyebab kematian oleh karena

8

Page 9: SGB referat diani.doc

kegagalan pernafasan, gangguan fungsi otonom, infeksi paru dan emboli paru.

Sebagian besar penderita (60-80 %) sembuh secara sempurna dalam waktu enam

bulan. Sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12 bulan dengan kelainan

motorik ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki.

Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali

timbul. 3 % pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih ringan

beberapa tahun setelah onset pertama. PE dapat mengurangi kemungkinan

terjadinya relapsing inflammatory polyneuropathy.

2.2. Plasmaferesis

Plasmaferesis berasal dari kata plasma dan aphairesis, yang berarti

memisahkan plasma. Beberapa penulis membedakan antara plasmaferesis dan

plasma exchange. Plasma exchange dipakai untuk tindakan yang lebih ekstensif

dengan jumlah yang besar. Plasmaferesis adalah istilah umum dan dapat dipakai

untuk pemisahan plasma dalam jumlah kecil maupun besar3. Plasmaferesis mula-

mula diperkenalkan pada awal abad ini oleh Fleig dan Abel dkk. Pada saat itu

hanya sedikit yang menaruh minat untuk pemakaian klinis, sebab pemisahan

plasma secara manual adalah tidak praktis dan membuang waktu. Pada tahun

1960 Schwab dan Fahey melaporkan bahwa plasmaferesis berguna bagi penderita

makroglobulinemia Waldenstrom dan penderita hiperviskositas.

Sejak saat itu, plasmaferesis manual merupakan bagian dari pengobatan

standard untuk kelainan tersebut4. Namun demikian, hanya sedikit sekali

penelitian tentang terapi plasmaferesis yang disertai dengan kelompok kelola. Hal

ini disebabkan karena : a.insidens penyakit yang mungkin dapat diobati dengan

plasmaferesis umumnya tidak tinggi. b.kesulitan untuk melaksanakan

plasmaferesis palsu pada kelompok kelolao). Kern ungkinan

mekanismekerjaplasmaferesis adalah menghilangkan autoantibodi, alloantibodi,

komplcks imun, protein monoklonal, toksin atau menambah faktor yang spesifik

dalam plasma4,5. Jadi plasmaferesis hanya boleh dilakukan bila terdapat bukti

bahwa penyakit tersebut adalah akibat faktor yang abnormal dalam plasma atau

akibat kurangnya faktor yang normal terdapat dalam plasma4.

9

Page 10: SGB referat diani.doc

2.2.1. Teknik Pelaksanaan Plasmaferesis

Plasmaferesis dapat dilakukan dengan beberapa cara :

1. Secara manual Plasmaferesis dalam jumlah yang sedikit (misalnya sampai

kira-kira 500 ml) dapat dilakukan secara manual. Darah vena dikeluarkan

ke dalam kantung yang berisi antikoagulan. Setelah kantung penuh atau

sudah tercapai jumlah yang diinginkan, aliran darah diputuskan dan

penderita diberi larutan NaCl 0,9% agar aliran pada vena tetap terbuka.

Darah dalam kantung diputar dalam centrifuge, plasmanya dibuang dan

komponen lain dikembalikan ke penderita4,6.

2. Dengan menggunakan cell separator. Prinsip kerja cell separator dapat

berupa continuous flow centrifugation (CFC) atau intermittent flow

centrifugation (IFC). Pada CFC proses pengambilan darah, pemisahan

komponen dan pengembalian komponen berjalan secara kontinyu, sedang-

kan pada IFC proses tersebut berjalan secara bergantian. Saat ini sedang

dikembangkan cell separator yang menggunakan teknik membrane

filtration. Dengan cara ini, plasma mengalir melalui membran yang akan

menyaring komponen spesifik yang ada di dalam plasma6. 

2.2.2 Cairan Pengganti

Federal and American Association of Blood Bank memberi pedoman

bahwa plasmaferesis sejumlah 1000 ml/minggu dapat dilakukan tanpa cairan

pengganti yang mengandung protein pada donor dengan ukuran badan rata-rata,

tetapi dengan tetap memantau kadar protein serum donor tersebut. Terapi plasma-

feresis tentu berbeda dengan plasmaferesis pada donor, tetapi setidak-tidaknya

pedoman ini dapat dipakai sebagai pegangan Cermin Dunia Kedokteran No. 76,

1992 34 pada penderita dengan keadaan gizi yang baik. Biasanya juga dianjurkan

diit tinggi protein bila bukan merupakan kontra-indikasi3. Fresh frozen plasma,

albumin atau derivat plasma lain dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan koloid

sebagai pengganti plasma penderita. Pemakaian plasma sebagai cairan pengganti,

penting pada penyakit-penyakit akibat kekurangan suatu faktor dalam plasma

misalnya thrombotic thrombocytopenic purpura4. Pada penyakit-penyakit dengan

10

Page 11: SGB referat diani.doc

komponen plasma yang patogen, penentuan jenis cairan pengganti juga penting;

misal-nya clearance kompleks imun dapat ditingkatkan dengan memberikan

cairan pengganti yang mengandung komplemen, meskipun ada penulis lain yang

menganjurkan pemberian cairan yang tidak mengandung komplemen4. Pada

umumnya tidak diperlukan elektrolit pengganti baik pada plasmaferesis dengan

jumlah kecil maupun dengan jumlah besar3. Jadi dapat disimpulkan bahwa sampai

saat ini belum ditemukan cairan pengganti yang optimal dan mungkin tidak akan

pernah ditemukan karena hal ini sangat individual3. 

2.2.3. Efek Samping Plasmaferesis

Setiap plasmaferesis menimbulkan kerusakan vena yang dapat bersifat

ringan maupun berat3. Setiap penderita dapat mengalami serangan vasovagal yang

disebabkan oleh hipovo-lemia dan diperberat oleh stres psikis3,4. Keseimbangan

cairan harus diperhatikan untuk menghindari hipo atau hipervolemia3. Penderita-

penderita yang memiliki gangguan fungsi hepar cenderung untuk mengalami

keracunan sitrat3,4.Hal ini ter-utama terjadi bila menggunakan cairan pengganti

yang mengandung sitrat misalnya plasma3. Telah dilaporkan juga penurunan

jumlah trombosit dan faktor-faktor pembekuan5,7,8. Penurunan jumlah trombosit

se-lain akibat plasmaferesis,juga diakibatkan oleh pemakaian obat-obat sitostatika

yang diberikan bersamaan dengan plasmaferesis untuk mencegah rebound

phenomena7. Penderita yang memiliki kelainan kadar elektrolit mem-punyai risiko

untuk mengalami aritmia jantung3,4. Beberapa penulis melaporkan tidak ada

perubahan kadar elektrolit akibat plasmaferesis7, tetapi penulis lain menyatakan

bahwa terjadi ketidak seimbangan elektrolit8.

Reaksi urtikaria atau kadang-kadang anafilaksis dapat timbul pada

penderita yang memakai plasma sebagai cairan pengganti4,10. Risiko timbulnya

hepatitis juga meningkat bila dipakai plasma4,5,10.Suatu kendala lain yang

membatasi penggunaan plasma-feresis adalah tingginya biaya9. 

11

Page 12: SGB referat diani.doc

2.2.4. Komplikasi terapi plasmapheresis

Meskipun plasmapheresis sangat membantu dalam kondisi medis tertentu,

seperti terapi lainnya, ada risiko potensial dan komplikasi. Penyisipan kateter

intravena agak besar dapat menyebabkan perdarahan, paru tusukan (tergantung

pada lokasi penyisipan kateter), dan, jika kateter dibiarkan terlalu lama, maka bisa

terinfeksi.

Selain menempatkan kateter, prosedur itu sendiri memiliki komplikasi.

Ketika darah pasien berada di luar tubuh melewati mesin plasmapheresis, darah

memiliki kecenderungan untuk membeku. Untuk mengurangi kecenderungan,

dalam satu protokol yang umum, sitrat diinfuskan sementara darah berjalan

melalui sirkuit. Sitrat mengikat kalsium dalam darah, kalsium yang penting bagi

darah untuk membeku. Sitrat sangat efektif dalam mencegah darah dari

pembekuan, namun penggunaannya dapat mengakibatkan mengancam jiwa

tingkat kalsium yang rendah. Hal ini dapat dideteksi dengan menggunakan tanda

Chvostek atau tanda trousseau's. Untuk mencegah komplikasi ini, kalsium

diinfuskan intravena saat pasien mengalami plasmapheresis tersebut; di samping

itu, kalsium suplementasi melalui mulut juga dapat diberikan.

Komplikasi lainnya termasuk:6

Potensi paparan produk darah, dengan risiko reaksi transfusi atau transfusi

penyakit menular

Penekanan sistem kekebalan tubuh pasien

Perdarahan atau hematoma dari penempatan jarum

2.2.5. Terapi Plasmaferesis pada Sindroma Gullien Barre

Penatalaksanaan pasien SGB seringkali sangat rumit dan pengobatan

medis dan perawatan yang baik sangat mempengaruhi keluaran (outcome). 

Dalam  fase dini yang masih progresif, harus dilakukan observasi yang seksama

dan perawatan di rumah sakit adalah wajib, juga pada kasus-kasus yang enteng. 11,12

Karena terjadi perbaikan spontan pada kebanyakan kasus, maka

penatalaksanaan terutama ditujukan pada perawatan yang baik dan menghindari

12

Page 13: SGB referat diani.doc

komplikasi infeksi sekunder, namun penatalaksanaan tetap rumit dan

melelahkan.11,13

Walaupun dalam kepustakaan disebutkan, bahwa hanya 2 jenis terapi

(plasmaferesis dan Imunoglobulin) yang secara spesifik dapat mempengaruhi

jalannya penyakit, namun terdapat tindakan2 lain yang membantu untuk

mencegah terjadinya komplikasi yang sering menyertai penyakit ini.Pengobatan

medikamentosa pada saat ini terutama ditujukan pada imunomodulasi.  Menurut

petunjuk guideline dari American Academy of Neurology (AAN), maka

pengobatan SGB yang dimulai secara dini dalam waktu 2 – 4 minggu setelah

gejala pertama timbul, dapat mempercepat waktu penyembuhan. 11 Hanya

plasmaferesis (plasma exchange therapy) dan imunoglobulin intravena (IVIg 7s)

yang terbukti efektif.  Kedua modalitas pengobatan ini telah terbukti dapat

memperpendek waktu penyembuhan sampai 50 % , namun harganya mahal dan

ada kesukaran dalam cara memberi dan efektivitas ke 2 regimen pengobatan itu

hampir sama dan komparabel.12

Walaupun terbukti menurunkan beratnya penyakit dan memperpendek

waktu adanya gejala, namun outcome jangka panjang belum jelas dipengaruhi

oleh obat-obatan ini. Plasmaferesis (PE) secara historis dan case control studies

terbukti menurunkan beratnya  penyakit dan gejala-gejalanya dan memperpendek

durasi SGB, namun efeknya biasanya tidak segera dan tidak dramatis.    PE

seringkali digunakan pada anak2 dan pada sindroma Miller Fisher; suatu varian

SGB, namun belum ada bukti definitif mengenai efektivitas PE pada ke 2

penyakit ini, namun telah dipakai secara luas. PE sebaiknya diberikan secepat

mungkin pada penderita SGB yang tidak dapat berjalan tanpa bantuan (unable to

walk unassisted). Plasmaferesis adalah suatu metode untuk memisahkan

komponen darah dengan menggunakan mesin sehingga plasma dipisahkan dari sel

darah merahnya, lalu plasma dibuang dan sel darah merahnya dicampurkan

dengan larutan koloid pengganti yaitu albumin 4 % dalam larutan salin, lalu

dimasukkan kembali kedalam tubuh. 13,14

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor

autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan

13

Page 14: SGB referat diani.doc

hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu

nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan

dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.

Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu

pertama).11

Plasma yang akan diganti dalam 4-5x PE yang dilakukan dalam jangka

waktu 7 – 10 hari seluruhnya adalah kira-kira 250 cc/kgbb. Harus dipakai suatu

alat dengan pengaliran yang terus-menerus (continuous flow machine), dan cairan

pengganti plasma yang dipakai  adalah albumin 5%. Pelaksanaan  PE yang lebih

intensif, misalnya setiap hari tidak dianjurkan, PE biasanya aman dan ditoleransi

dengan baik. Untuk melakukan PE dipilih vena perifer yang baik dan bisa juga

dilakukan  didaerah subklavia.11,14

Komplikasi yang bisa timbul adalah  instabilitas otonom, hiperkalsemia

dan perdarahan karena faktor pembekuan ikut  dihilangkan dan infeksi.14     

Sebuah garis pedoman baru dari American Academy of Neurology

merekomendasikan menggunakan kurs tukar plasma untuk mengobati orang

dengan relaps parah di multiple sclerosis (MS) dan penyakit terkait, serta mereka

dengan beberapa jenis gangguan saraf yang dikenal sebagai neuropati. pedoman

ini diterbitkan dalam, 2011, cetak edisi 18 Januari Neurology ®, jurnal medis dari

American Academy of Neurology. Pertukaran plasma, secara resmi dikenal

sebagai plasmapheresis, adalah proses mengambil darah keluar dari tubuh,

menghapus konstituen dalam plasma darah itu dianggap berbahaya, dan kemudian

transfusi sisa darah (sel darah terutama merah) dicampur dengan plasma

penggantian kembali ke tubuh. Pedoman ini merekomendasikan dokter

mempertimbangkan untuk menggunakan penggantian plasma sebagai pengobatan

sekunder untuk flare parah dalam kekambuhan bentuk MS dan penyakit terkait.

Perlakuan tidak ditemukan efektif untuk bentuk sekunder progresif progresif dan

kronis MS. Menurut pedoman, dokter harus menawarkan pertukaran plasma untuk

pengobatan bentuk parah sindrom Guillain-Barre dan untuk pengobatan sementara

polineuropati demielinasi peradangan kronis. Plasma tukar juga dapat

dipertimbangkan untuk pengobatan beberapa jenis lain neuropati inflamasi.

14

Page 15: SGB referat diani.doc

Menurut pedoman pemimpin penulis Irene Cortese, MD, ahli saraf dengan

National Institute of Health di Bethesda, Md, dan anggota American Academy of

Neurology jenis gangguan neurologis yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh

salah menyebabkan kerusakan sistem saraf. Pertukaran plasma membantu karena

menghilangkan faktor dalam plasma diduga berperan dalam gangguan ini. Para

penulis pedoman juga melihat penggunaan pertukaran plasma untuk gangguan

neurologis lainnya, termasuk myasthenia gravis dan pediatrik gangguan

neuropsikiatri autoimun (panda), tapi tidak ada cukup bukti untuk menentukan

apakah itu adalah pengobatan yang efektif.15

BAB 3

KESIMPULAN

Plasmaferesis telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya paralisa dan

mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling efektif untuk melakukan

15

Page 16: SGB referat diani.doc

PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Sebanyak 95 % pasien

dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya sembuh total.

Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural tremor masih

mungkin terjadi pada sebagian pasien. Plasmaferesis dapat mengurangi

kemungkinan terjadinya relapsing inflammatory polyneuropathy.

Selain itu, pasien dengan SGB atau miastenia gravis yang menerima

plasmaferesi, berisiko terhadap potensial komplikasi karena prosedur tersebut.

Infeksi mungkin terjadi pada tempat akses vaskuler. Hipovolemia dapat

mengakibatkan hipotensi. Takikardia, pening, dan diaphoresis. Hipokalemia dan

hipokalsemia dapat mengarah pada disritmia jantung. Pasien dapat mengalami

sirkumolar temporer dan paresis ekstremitas distal, kedutan otot dan mual serta

muntah yang berhubungan dengan pemberian plasma sitrat. Pengamatan dengan

cermat pengkajian penting untuk mencegah masalah-masalah ini.

Oleh itu, sebagai dokter kita harus mempertimbangan indikasi dan

kontraindikasi penatalaksanaan plasmaferesis pada penderita SGB. Menurut

American Academy of Neurologi plasmaferesis belum juga terbukti pengobatan

paling efektif pada SGB.

Daftar Pustaka

1. Japardi, Iskandar. Sindrom Guillain Barre. http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf . FK USU.

16

Page 17: SGB referat diani.doc

2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.Sindrom Guillain Barre. In: Harsono, editor. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2008; p.307-8.

3. Huestis DW, Thomas SF. Presently available plasmapheresis technics. In: Berkman EM, Umlas J. Therapeutic Hemapheresis.

4. .A technical workshop. Washington DC: American Association of Blood Banks. 1980; pp 1-12. 2.Shumak KH, Rock GA. Therapeutic plasma exchange. N Eng J Med 1984; 310: 76271.

5. Moschella SL. Topic of Current Interest in Dermatology. In: Moschella SL, Hurley HJ. Dermatology. 2nd ed, Philadelphia: WB Saunders Co. 1985. pp 21078:

6. McCullough J, Chopek M. Therapeutic plasma exchange. Lab Med 1981; 12: 63442.

7. Auerbach R, Bystryn JC. Plasmapheresis and immunosuppressive therapy. Effect on levels of intercellular antibodies in pemphigus vulgaris. Arch Dermatol 1979; 115: 728-30.

8. Bysuyn JC. Plasmapheresis therapy of pemphigus. Arch Dermatol 1988; 124: 1702-4.

9. King MEE, Breslow JL, Lees RS. Plasma-exchange therapy of homo- zygous familial hyperchelesterolemia. N Engl J Med 1980; 302: 1457-9

10. Roujeau JC et al. Plasma exchange in pemphigus. Arch Dermatol 1983; 119: 215-21.

11. Parry GJ. Diagnosis of-Guillain-Barre Syndrome. In. Parry GJ. Guillain-Barr Syndrome. Thieme Medical Publishers Inc, New York. 1993 : 113-129.

17

Page 18: SGB referat diani.doc

12. Adams RD. Victor MR. Guillain Barre Syndrome. Diseases of the PeripheryNerves. In Principles of Neurology. Chapter 46. Mcgraw-Hill. New York. 1991 Page 1312-1318.

13. Johnson Richard T. Viral Infctions Of the Nervous Sistem. Raven Pres, Nev York. 1984: 174

14. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Sindroma Guillain-Barre : Neurologi Klinis Dasar, Cetakan ke 8. Dian Rakyat, Jakarta, 2000 :42, 87,176,421.

15. American Academy of Neurology. P edoman B aru M erekomendasikan

P enggunaan P lasmapheresis untuk M engobati O rang dengan R elaps di

MS, neuropati

18