referat pterygium

27
PTERIGIUM I. DEFENISI Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata yang patogenesisnya masih belum jelas. 1 Pterigium (L. Pterygion = sayap) adalah suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan fibrovaskular berbentuk segitiga (sayap) yang muncul pada konjungtiva, tumbuh terarah dan menginfiltrasi permukaan kornea antara lain lapisan stroma dan membrana Bowman. 2-4 Pterigium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah mata pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi. 4 Pterigium dapat bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai lesi fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat merusak topografi kornea, dan yang selanjutnya, mengaburkan bagian tengah optik kornea. 5 Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu kondisi degeneratif, pterigium juga menampilkan ciri-ciri seperti tumor, seperti kecenderungan untuk menginvasi jaringan normal dan tingkat rekurensi yang tinggi setelah reseksi, dan dapat hidup berdampingan dengan lesi premalignan sekunder. 6 Banyak literatur melaporkan faktor-faktor etiologi berikut yang mungkin menjadi 1

Upload: try-enos-oktafian

Post on 12-Aug-2015

528 views

Category:

Documents


111 download

DESCRIPTION

pterigium merupakan suatu kelainan pada mata yang ditandai dengan adanya selaput berbentuk segitiga yg merupakan suatu patologis dari konjungtiva. penyebabnya saat ini dikarenakan adanya mutasi gen p53 yang dicurigai diakibatkan oleh seringnya terpapar sinar matahari, debu maupun angin pada saat berkendara.penanganan kelainan ini sangat bergantung pada umur penderita. gold standar terapi pterigium adalah operasi,

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Pterygium

PTERIGIUM

I. DEFENISI

Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata yang

patogenesisnya masih belum jelas.1 Pterigium (L. Pterygion = sayap) adalah suatu

proses degeneratif dan hiperplastik dengan fibrovaskular berbentuk segitiga (sayap)

yang muncul pada konjungtiva, tumbuh terarah dan menginfiltrasi permukaan kornea

antara lain lapisan stroma dan membrana Bowman.2-4 Pterigium pertama kali

ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah mata pertama di dunia 1000 tahun

sebelum masehi.4 Pterigium dapat bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi

sampai lesi fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat merusak

topografi kornea, dan yang selanjutnya, mengaburkan bagian tengah optik kornea.5

Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu kondisi degeneratif, pterigium juga

menampilkan ciri-ciri seperti tumor, seperti kecenderungan untuk menginvasi

jaringan normal dan tingkat rekurensi yang tinggi setelah reseksi, dan dapat hidup

berdampingan dengan lesi premalignan sekunder.6 Banyak literatur melaporkan

faktor-faktor etiologi berikut yang mungkin menjadi penyebab terjadinya pterigium:

radiasi ultraviolet (UV), radang mata kronis, efek toksik zat kimia. Baru-baru ini,

beberapa virus juga memiliki kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi.1-3,7

II. EPIDEMIOLOGI DAN INSIDENS

Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian

dunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Studi

epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari yang

kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis dalam peri-khatulistiwa garis

lintang 370 utara dan selatan khatulistiwa 'sabuk pterigium'.8

Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit hitam

(usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13 ° utara khatulistiwa,

1

Page 2: Referat Pterygium

memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan tingkat prevalensi

orang kulit putih di perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne, Australia kurang dari

(1,2%). Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40 tahun di pedesaan

Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang lebih dari 40 memiliki

tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan orang Indonesia lebih dari

40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%) yakni lebih tinggi daripada

semua ras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya, kecuali dengan penduduk kulit

hitam dari Barbados. 9

Secara umum studi lain pterigium, prevalensi pterigium di Sumatera meningkat

seiring bertambahnya usia.9 Hal yang jarang terjadi untuk seseorang menderita

pterigium sebelum usia 20 tahun. Pasien lebih dari dari 40 tahun memiliki prevalensi

tertinggi untuk terjadinya pterigium, sementara pasien berusia 20-40 tahun dilaporkan

memiliki insiden tertinggi terjadinya pterigium.10 Hal yang berbeda dengan beberapa

studi dimana pterigium ditemukan lebih banyak pada laki-laki.9

Tingkat rekurensi pada pasca ekstirpasi di Indonesia berkisar 35 % - 52 %.

Data di RSCM angka rekurensi pterigium mencapai 65,1 % pada penderita dibawah

usia 40 tahun dan sebesar 12,5 % diatas 40 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian

terdahulu yang menyebutkan bahwa kekambuhan pasca transplantasi limbal sel

sebesar 14 % dan kekambuhan pasca bare sclera sebesar 40-75 % serta conjungtival

graft sebesar 3-5%.3

III. ANATOMI KONJUNGTIVA

Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi permukaan

aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata. Nama konjungtiva

(conjoin: bergabung) diberikan kepada membran mukosa ini karena fakta bahwa ia

menhubungkan bola mata dengan kelopak mata. Membentang dari pinggir kelopak

mata ke limbus, dan membungkus ruang kompleks yang disebut sakus konjungtiva

yang terbuka di depan fisura palpebral.2

Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian (Gam. 1): Konjungtiva

palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata dan melekat kuat

2

Page 3: Referat Pterygium

pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni konjungtiva marginal, tarsal,

orbital.2,11 Konjungtiva marginal membentang dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm

pada bagian belakang kelopak sampai ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis.

Bagian ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan konjungtiva lebuih tepatnya.

Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak mengandung vaskular. Bagian ini

melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah, hanya

melekat pada setengah bagian tarsal. Konjungtiva orbital terletak longgar antara tarsal

dan forniks.2

Konjungtiva bulbaris. melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat

pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel kornea.2,11

bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral dan kapsul Tenon.

Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm dari konjungtiva bulbaris sekitar kornea disebut

konjungtiva limbal.2

Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan

konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada

struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secaralonggar dengan struktur

dibawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus.

Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix dapat bergerak bebas

bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.11

Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel, lapisan

adenoid, dan lapisan fibrosa.2

1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-masing daerah

dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva marginal memiliki 5

lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal memiliki 2 lapis epitel:

lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam terdiri dari sel-

sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis epitel: lapisan

superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan tengah terdiri dari sel polyhedral dan

lapisan dalam terdiri dari sel kubus. Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan

yang banyak (5 sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng.

3

Page 4: Referat Pterygium

2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari

retikulum jaringan ikat halus dengan jerat dimana terdapat limfosit. Lapisan ini

paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak ditemukan ketika

bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal ini

menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan

reaksi folikuler.

3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis. Lapisan

ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva tarsal, di mana

lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh dan saraf dari

konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul Tenon di daerah

konjungtiva bulbar.

Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan kelenjar

lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar uniseluler yang

terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva tarsal) dan kelenjar

Manz (ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mucus

yang penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris

terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan ikat subconjunctival forniks,

sekitar 42 buah di atas forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring

(terdapat di sepanjang batas atas tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus

inferior). 2,12

4

Page 5: Referat Pterygium

Gambar 1. Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris, konjungtiva forniks,

konjungtiva palpebralis.dikutip dari kepustakaan 11

Gambar 2. Vaskularisasi Konjungtiva dikutip dari kepustakaan 2

5

Page 6: Referat Pterygium

Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna merah muda

dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas lateralnya berbentuk

cekung. Korunkula adalah massa kecil, oval, merah muda, terletak di canthus bagian

dalam. Pada kenyataannya, massa ini merupakan potongan modifikasi kulit dan

ditutupi dengan epitel gepeng bertingkat dan berisi kelenjar keringat, kelenjar sebasea

dan folikel rambut.2

Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber yakni arkade

arteri perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak mata, dan arteri ciliaris anterior

(Gam. 2). Konjungtiva palpebralis dan forniks diperdarahi oleh cabang-cabang dari

arkade arteri perifer dan marginal palpebra. Konjungtiva bulbar diperdarahi oleh dua

set pembuluh darah yaitu: arteri konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari

arteri kelopak mata, dan arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari

arteri ciliaris anterior. Cabang terminal arteri konjungtiva posterior membentuk

anastomosis dengan arteri konjungtiva anterior dan membentuk arkade pericorneal.

Vena konjungtiva bermuara ke dalam vena pleksus kelopak mata dan beberapa

mengelilingi kornea dan bermuara ke vena ciliaris anterior. Sistem limfatik

konjungtiva tersusun dalam dua lapisan, yakni superficial dan profunda. Sistem ini

dari sisi lateral bermuara ke limfonodus preaurikuler dan sisi medial bermuara ke

limfonodus submandibular.2,12 Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan

nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang

relatif sedikit.12

IV. ETIOLOGI

Etiologi pterigium sepenuhnya diketahui. Tetapi penyakit ini lebih sering pada

orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan yang paling mungkin adalah

pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan seperti terpapar sinar matahari

(sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan debu. Baru-baru ini, beberapa virus juga

memiliki disebut-sebut sebagai faktor etiologi mungkin.1-3,7

6

Page 7: Referat Pterygium

Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal pada

kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini mengaktifkan

faktor pertumbuhan jaringan yangmenginduksi angiogenesis dan proliferasi sel.1

Radiasi cahaya UV tipeB menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam

patogenesis pterigium. Penelitian terbaru telah melaporkan bahwa gen p53 dan

human papillomavirus dapat juga terlibat dalam patogenesis pterigium.8

V. KLASIFIKASI

Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,

progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu: 13

1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3:

Tipe I: Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau

menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea.

Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan

kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami

inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami

keluhan lebih cepat.

Tipe II: disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigium

rekuren tanpa keterlibatan zona optic. Pada tubuh pterigium sering

nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4

mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear

film dan menimbulkan astigmat.

Tipe III: pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona optic.

Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optic

membedakan tipe ini dengan tipe yang lain. Lesi mengenai kornea >4mm

dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus

rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas

ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata

serta kebutaan.

7

Page 8: Referat Pterygium

2. Berdasarkan stadium pterigium dibagai ke dalam 4 stadium yaitu:7,13

Stadium 1 : invasi minimum, pertumbuhan lapisan yang transparan dan

tipis, pertumbuhan pembuluh darah yang tipis hanya terbatas pada limbus

kornea.

Stadium 2: lapisan tebal, pembuluh darah profunda tidak kelihatan dan

menginvasi kornea tapi belum mencapai pupil.

Stadium 3:lapisan tebal seperti daging yang menutupi pupil, vaskularisasi

yang jelas

Stadium 4: pertumbuhan telah melewati pupil.

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:2,13

Pterigium progresif: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrate di

kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)

Pterigium regresif:tipis,atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk

membrane, tetapi tidak pernah hilang.

4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus

diperiksa dengan slitlamppterigium dibagi 3 yaitu:13

T1(atrofi):pembuluh darah episkleral jelas terlihat.

T2(intermediet):pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.

T3(fleshy,opaque):pembuluh darah tidak jelas.

VI. PATOFISIOLOGI

Meskipun paparan sinar ultraviolet kronis memainkan peran utama,

patogenesis pterigium belum sepenuhnya dipahami. Infeksi virus, mekanisme

imunologi, remodeling matriks ekstraseluler, faktor pertumbuhan, sitokin,

antiapoptotic mekanisme, dan faktor angiogenik berbagai semuanya telah terlibat

dalam pathogenesis.8,14 Patogenesis pterigium ditandai dengan degenerasi kolagen

dan elastotic proliferasi fibrovaskular yang menutupi epitel.4, 5 Radiasi sinar UV dapat

menyebabkan mutasi pada gen seperti gen supresor tumor p53, sehingga berakibat

8

Page 9: Referat Pterygium

pada terekspresinya gen ini secara abnormal pada epitel pterigium. Temuan ini

menunjukkan bahwa pterigium bukan hanya lesi degeneratif, tetapi bisa menjadi

manifestasi dari proliferasi sel yang tak terkendali. Matriks metalloproteinase (MMP)

dan jaringan inhibitor MMPs (TIMPs) pada pinggir pterigium mungkin bertanggung

jawab untuk proses inflamasi, tissue remodeling, dan angiogenesis yang menjadi ciri

pterigium, serta perusakan lapisan Bowman dan invasi pterigium ke dalam kornea.1,6,8

Sinar UV menyebabkan mutasi pada gene suppressor tumor TP53 di sel basal limbal

dan fibroblast elastic gene di epitel limbal (gambar 3). Karen kerusakan pada program

apoptosis p53 oleh sinar UV, mutasi juga terjadi pada gen lainnya. Hal ini

menyebabkan multistep perkembangan pterigium dan tumor sel limbal oleh ekspresi

p53 pada sel epitel limbal.12,15

Mutasi pada gen TP53 atau family TP53 pada sel basal limbal juga

menyebabkan terjadinya produksi berlebih dari TGF-β melalui jalur p53-Rb-TGF-β.

Oleh karena itu, pterigium merupakan tumor secreting TGF-β. Banyaknya sekresi

TGF-β oleh sel pterigium dapat menjelaskan macam-macam perubahan jaringan dan

ekspresi MMP yang terjadi pada pterigium. Pertama, sel pterigium (sel epitel basal

limbal) menghasilkan peningkatan MMP-2, MMP-9, MTI-MMP, dan MT2-MMP,

yang menyebabkan terputusnya perlekatan hemidesmosom. Awalnya, sel pterigium

akan bermigrasi secara sentrifugal ke segala arah menuju ke adjacent dan limbal

corneal, limbus, dan membrane konjungtiva. Karena produksi TGF-β oleh sel ini,

terjadi penipisan jumlah lapisan pada daerah di atas, dan tidak ada massa tumor

yang nampak tapi sebagai tumor yang tidak kelihatan. Selanjutnya, setelah perubahan

pada seluruh sel basal limbus berkembang dan semua hemidesmosom lepas dari sel-

sel ini, terjadi migrasi sel ke kornea diikuti oleh epitel konjungtiva, yang

mengekspresikan 6 jenis MMP dan berkontribusi terhadap penghancuran lapisan

bowman pada kornea. Sebagai tambahan, TGF-β yang diproduksi oleh sel pterigium

menyebabkan peningkatan monosit dan pembuluh darah kapiler dalam lapisan epitel

dan stroma. Kemudian, sekelompok fibroblast normal berkumpul dibawah invasive

epitel limbus di depan tepi yang rusak dari lapisan Bowman dan diaktivasi oleh jalur

TGF-β-bFGF untuk memproduksi MMP-1 dan MMP-3 yang juga membantu dalam

9

Page 10: Referat Pterygium

penghancuran lapisan bowman. Beberapa sitokin-sitokin ini mengaktivasi fibroblast

untuk bermigrasi untuk membentuk pulau kecil fibroblast yang memproduksi MMP 1

dan juga berperan dalam penghancuran membran bowman.15 Semua proses di atas

dapat dilihat pada gambar. 4. 15

Gambar 3. Kemungkinan jalur yang berperan dalam proses munculnya pterigium

dikutip dari kepustakaan 15.

10

Page 11: Referat Pterygium

Gambar 4. Patogenesis invasif pterigium dikutip dari kepustakaan 15

Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi pada

daerah yang kekurangan limbal stem cell. 1,6,8 Limbal stem cell adalah sumber

regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi

conjungtivalization pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah

pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan

membrane mbuhan jaringan fibrotic. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan

karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi

11

Page 12: Referat Pterygium

dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan

akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.6,12

Gambar 5. A. Patogenesis pterigium: kerusakan limbal fokal oleh karena sinar UV

memicu migrasi mutasi limbal stem cell ke central kornea. B. defisiensi limbal stem

cell menyebabkan conjungtivalization kornea dari segala arah dikutip dari

kepustakaan 6

Patogenesis pterigium bisa bisa melibatkan respon inflamasi, seperti sejumlah

besar limfosit infiltrasi sebagian besar sel-T (CD3 +), ditemukan di substantia propria

spesimen pterigium. Hasil ini menunjukkan bahwa mekanisme imunologi, mungkin

dari tipe hipersensitivitas 1, 3 dan 4 dapat berkontribusi pada patogenesis

pterigium.6,16

VII. GAMBARAN KLINIS

Pterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan di luar

rumah. Ptrygium mungkin terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini muncul

sebagai lipatan segitiga konjungtiva yang mencapai kornea, biasanya di sisi nasal.

12

Page 13: Referat Pterygium

tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada

epitel kornea anterior disebut garis Stocker. Pterigium terdiri dari tiga bagian

Apeks (bagian apikal pada kornea),

Collum (bagian limbal), dan

Corpus (bagian scleral) membentang antara limbus dan yang canthus2

Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian

tengah kornea. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan

astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan

konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien

kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia.2,11

Gambar 6. Pterigium

VIII. DIAGNOSIS

Anamnesis

Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal,

mata sering berair, gangguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya

riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah

dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwyat trauma

sebelumnya.12

Pemeriksaan fisik

13

Page 14: Referat Pterygium

Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler pada

permukaan kojungtiva. Pterigium dapat memberikan gambaran vaskular dan tebal

tetapi ada juga pterigium yangb avaskuler dan flat. Pterigium paling sering ditemukan

pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan

pterigium pada daerah temporal. 2,12

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi

kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang di

sebabkan oleh pterigium. 12

IX. PENATALAKSANAAN

Karena kejadian pterigium berkaitan dengan aktivitas lingkungan, penanganan

pterigium asimptomatik atau dengan iritasi ringan dapat diobati dengan kacamata

sinar UV-blockking dan salep mata. Anjurkan pasien untuk menghindari daerah

berasap atau berdebu sebisa mungkin. Pengobatan pterigium yang meradang atau

iritasi dengan topikal dekongestan atau kombinasi antihistamin dan atau

kortikosteroid topikal ringan empat kali sehari.5

Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang dapat

diindikasikan untuk: (1) alasan kosmetik, (2) perkembangan lanjutan yang

mengancam daerah pupil (sekali pterigium telah mencapai daerah pupil, tunggu

sampai melintasi di sisi lain), (3) diplopia karena gangguan di gerakan okular.2

Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan pterigium

dan untuk mencegah terjadinya rekurensi.8 Berbagai teknik bedah yang digunakan

saat ini untuk pengelolaan pterigium.4,12

1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan

permukaan sclera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi

pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%. 4,8,12

2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana

teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relative kecil.2,12

14

Page 15: Referat Pterygium

3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk

memungkinkan dilakukannya penempatan flap.

4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi

untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan

pada bekas eksisi.12

5. Conjungtival graft: menggunakan free graft yang biasanya diambil dari

konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka

kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat

jaringan.2,4,8,12

Rekurensi menjadi masalah setelah dilakukan bedah eksisi yakni sekitar 30-

50%. Tapi hal ini dapat di minimalisir dengan cara berikut:2,8

1. Penggunaan mitomicin C intra dan post operasi

2. Post poerasi beta iradiasi

3. Conjungtival autograft

4. Limbal and limbal–conjunctival transplantation

5. Amniotic membrane transplantation

6. Cultivated conjunctival transplantation

7. Lamellar keratoplasty

8. Fibrin glue

X. DIAGNOSIS BANDING

Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium

adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk karena

adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marjinal. Hal ini biasanya terjadi

pada luka bakar akibat zat kimia pada mata.2

Selain itu pterigium juga didiagnosis banding dengan pingekulum yang

merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbar di daerah nasal atau

temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karenairitasi maupun

15

Page 16: Referat Pterygium

karena air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetpi pada

kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.12

XI. KOMPLIKASI

Komplikasi pterigium meliputi iritasi, kemerahan, diplopia, distorsi

penurunan visus dan skar pada konjungtiva , kornea dan otot rektus medial.

Komplikasi pasca operasi termasuk infeksi, diplopia dan terbentuknya jaringan parut.

Retina detachment, perdarahan vitreous dan perforasi bola mata meskipun jarang

terjadi. 4,10

Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi: Scleral

dan / atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa tahun atau bahkan

puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk ditangani.10

Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi. Bedah eksisi

sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat rekurensi telah

berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts konjungtiva / limbal

atau transplantasi membran amnion pada saat eksisi. 2,10 Pada kesempatan langka,

degenerasi ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat

terjadi.10

XII. PROGNOSIS

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakn

pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium

rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto graft atau

transpalantasi membrane amnion.10

16

Page 17: Referat Pterygium

DAFTAR PUSTAKA

1. Dzunic B, Jovanovic P, et al. Analysis of pathohistological characteristics of pterigium . BOSNIAN JOURNAL OF BASIC MEDICAL SCIENCE. 2010;10(4):308-13.

2. Khurana KA. Diseases of the Conjunctiva. In:, Khurana KA, editors. Comprehensive Ophthalmology 4th ed. New Delhi: New Age International. 2007. p. 51 - 82.

3. Swastika AM, Inakawati S. Perbedaan Kekambuhan Paska Ekstirpasi Pterigium Metode Bare Sclera Dengan Transpalantasi Limbal Stem Sel. Medical Faculty of Diponegoro University. 2008; 1-18.

4. Raju KV, Chandra A, Doctor R. Management of Pterigium- A Brief Review. Kerala Journal of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.

5. Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal Of The Bombay Ophthamologists’ Association. 2008;11(4):129-30.

6. Chui J, Coroneo TM, et al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder with Premalignant Features. The American Journal of Pathology. 2011;178(2):817-27.

7. Sharma KA, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting in Pterigium Surgery. Postgraduate Department of Opthalmology, Govt. Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.

8. Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD. Current concepts and techniques in pterigium treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006; 18: 308–313.

9. Gazzard G, Saw MS, et al. Pterigium in Indonesia: prevalence, severity, and risk factors. Br J Ophthalmol .2002;86:1341–46.

10. Fisher PJ. Pterigium. Updated : 2012. Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview. Accessed July 7,2012.

17

Page 18: Referat Pterygium

11. Lang KG, Lang EG. Conjunctiva. In:, Lang KG, Gareis O, Lang EG, Recker D, Wagner P, editors. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas 2nd ed. New York: Thieme Stuttgart. 2006. p. 67 - 72.

12. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Updated : 2009. Available from: URL: repository.usu.ac.id. Accessed July 7 ,2012.

13. Witcher PJ, Eva RP. Conjunctiva. In: Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology 17th ed. New York: Mc Graw Hill Company. 2007. p. 67 - 72.

14. Garg P. Pathogenesis of Pterigium: role of Eph receptors and ligans ephrins. Can J Ophthamol. 2009;44(2):138-40.

15. Dushku N, John KM, Schultz SG, Reid WT. Pterygia Pathogenesis: Corneal Invasion by Matrix Metalloproteinase Expressing Altered Limbal Ephitelial Basal Cells. Arch Ophthamol. 2001;119:695-706.

16. Redy VS, Mitra SK, Kumar V. Ophthocare in Pterigium and Dacryocytis. The Antiseptic. 1998;95(11):1-4.

18