serum malondialdehyde level of patients with diabetes mellitus was

105
KADAR PASIEN DENGAN DARIPAD PADA K PR U TESIS MALONDIALDEHYDE SERUM N DIABETES MELITUS LEBIH DA TANPA DIABETES MELITUS KATARAK SENILIS IMATUR NI MADE LIENDERI WATI ROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 TINGGI S

Upload: dinhquynh

Post on 09-Dec-2016

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TESIS

KADAR MALONDIALDEHYDE SERUMPASIEN DENGAN DIABETES MELITUS LEBIH TINGGI

DARIPADA TANPA DIABETES MELITUSPADA KATARAK SENILIS IMATUR

NI MADE LIENDERI WATI

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR2013

TESIS

KADAR MALONDIALDEHYDE SERUMPASIEN DENGAN DIABETES MELITUS LEBIH TINGGI

DARIPADA TANPA DIABETES MELITUSPADA KATARAK SENILIS IMATUR

NI MADE LIENDERI WATI

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR2013

TESIS

KADAR MALONDIALDEHYDE SERUMPASIEN DENGAN DIABETES MELITUS LEBIH TINGGI

DARIPADA TANPA DIABETES MELITUSPADA KATARAK SENILIS IMATUR

NI MADE LIENDERI WATI

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR2013

i

TESIS

KADAR MALONDIALDEHYDE SERUMPASIEN DENGAN DIABETES MELITUS LEBIH TINGGI

DARIPADA TANPA DIABETES MELITUSPADA KATARAK SENILIS IMATUR

NI MADE LIENDERI WATINIM 0914128102

PROGRAM PASCASARJANAPROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

UNIVERSITAS UDAYANADENPASAR

2013

i

TESIS

KADAR MALONDIALDEHYDE SERUMPASIEN DENGAN DIABETES MELITUS LEBIH TINGGI

DARIPADA TANPA DIABETES MELITUSPADA KATARAK SENILIS IMATUR

NI MADE LIENDERI WATINIM 0914128102

PROGRAM PASCASARJANAPROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

UNIVERSITAS UDAYANADENPASAR

2013

i

TESIS

KADAR MALONDIALDEHYDE SERUMPASIEN DENGAN DIABETES MELITUS LEBIH TINGGI

DARIPADA TANPA DIABETES MELITUSPADA KATARAK SENILIS IMATUR

NI MADE LIENDERI WATINIM 0914128102

PROGRAM PASCASARJANAPROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

UNIVERSITAS UDAYANADENPASAR

2013

ii

KADAR MALONDIALDEHYDE SERUMPASIEN DENGAN DIABETES MELITUS LEBIH TINGGI

DARIPADA TANPA DIABETES MELITUSPADA KATARAK SENILIS IMATUR

Tesis untuk Memperoleh Gelar MagisterPada Program Pendidikan Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI MADE LIENDERI WATINIM 0914128102

PROGRAM PASCASARJANAPROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

UNIVERSITAS UDAYANADENPASAR

2013

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUITANGGAL 11 JULI 2013

Pembimbing I, Pembimbing II,

dr. W. G. Jayanegara, SpM(K) Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.KesNIP. 19640229 1991031002 NIP. 19610505 1990022001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur,Program Pascasarjana Program PascasarjanaUniversitas Udayana Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAAC Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS(K)NIP. 19461213 1971071001 NIP. 19590215 1985102001

iv

Tesis Ini Telah Diuji padaTanggal 10 Juli 2013

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program PascasarjanaUniversitas Udayana, No : 1189/UN14.4/HK/2013, Tanggal 9 Juli 2013

Ketua: dr. W. G. Jayanegara, SpM(K)Sekretaris: Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes1. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp. And.2. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M. OH3. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D

v

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada

Ida Sang Hyang Widhi Wasa – Tuhan Yang Maha Esa, atas asung wara nugraha-

Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari

sepenuhnya tesis ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan dari berbagai

pihak. Pada kesempatan ini, izinkan penulis dengan setulus hati menghaturkan

rasa terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD (KHOM) dan

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut

Suastika, SpPD (KEMD) yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas

untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister Pascasarjana dan

Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas Udayana.

2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka

Sudewi, SpS(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk menjadi

mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana.

3. Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS selaku Ketua Program

Studi Ilmu Biomedik (Combined Degree) Program Pascasarjana Universitas

Udayana yang telah memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan

Combined Degree.

4. Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. I Wayan Sutarga, MPHM atas

kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di

vii

Bagian Ilmu Kesehatan Mata dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah

Denpasar.

5. dr. AAA Sukartini Djelantik, SpM (K) sebagai Ketua Program Studi Ilmu

Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana sekaligus selaku

pembimbing akademik, yang telah memberikan kesempatan mengikuti

program pendidikan spesialisasi, memberi petunjuk, memberikan nasihat

serta bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi.

6. dr. Putu Budhiastra, SpM (K) sebagai Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan

kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi dan memberikan

bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi.

7. dr. W. G. Jayanegara, SpM(K) (K) sebagai pembimbing yang telah

meluangkan waktu, memberikan petunjuk dan pengarahan dengan sabar,

sejak awal penulisan sampai dapat menyelesaikan tesis ini.

8. Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes sebagai pembimbing yang telah

meluangkan waktu, memberikan petunjuk dan pengarahan dengan sabar,

sejak awal penulisan sampai dapat menyelesaikan tesis ini.

9. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp. And, Prof. Dr. dr. N. Adiputra,

M. OH, dan Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D selaku penguji, atas

semua saran, masukan dan koreksi dalam penyusunan tesis ini.

10. Direktur RS Indera Denpasar atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

untuk melaksanakan penelitian di RS Indera Denpasar.

viii

11. dr. IGN Md. Sugiana, SpM, sebagai Kepala SMF Mata Rumah Sakit Indera

Denpasar yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian

di Rumah Sakit Indera Denpasar .

12. Prof. Dr. Ir. IB Putra Manuaba, M.Phil atas bantuan dan kerja samanya dalam

pemeriksaan sampel penelitian, serta memberikan masukan mengenai statistik

penelitian.

13. Semua dosen Pascasarjana Program Magister Ilmu Biomedik Combined

Degree dan Ilmu Kesehatan Mata atas ilmu yang telah dibagikan kepada

peneliti sehingga membantu penyelesaian tesis ini.

14. Seluruh teman sejawat residen di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.

15. Seluruh paramedik di Poliklinik Mata RSUP Sanglah / Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana dan paramedik serta petugas laboratorium RS Indera

Denpasar atas bantuan dan kerjasamanya.

16. Seluruh karyawan/karyawati di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana dan Rumah Sakit Indera Denpasar atas

bantuan dan kerjasamanya selama ini.

Rasa syukur dan sujud kepada Ayahanda dan Ibunda kami I Ketut Djaja

dan Ni Ketut Swastini, yang telah memberikan bekal pendidikan yang cukup,

perhatian dan semangat kepada penulis. Ayahanda dan Ibunda Mertua I Putu Nik

Wijaya dan Ni Ketut Suryasih, terimakasih atas dorongannya selama ini. Kakak :

Putu Mendriati, ST serta adik-adik tercinta I Nyoman Purnama Jaya, ST dan Ni

Ketut Chandrawati Dewi, SE, terimakasih atas semangat dan dukungan moril

ix

serta materiil kepada penulis. Akhirnya kepada suami tercinta Wawan Gunawan,

ST terimakasih atas dorongan semangat dan pengertian selama penulis

menyelesaikan pendidikan dan penelitian ini, serta selalu menghibur ketika

penulis menghadapi kesulitan selama penulisan tesis ini.

Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi

perkembangan pelayanan kesehatan mata serta bagi pendidikan IImu Kesehatan

Mata. Terakhir, semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa – Tuhan Yang Maha Esa,

selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Denpasar, Juni 2013

Penulis

x

KADAR MALONDIALDEHYDE SERUMPASIEN DENGAN DIABETES MELITUS LEBIH

TINGGI DARIPADA TANPA DIABETES MELITUSPADA KATARAK SENILIS IMATUR

ABSTRAK

Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di dunia termasukIndonesia. Etiopatogenesis katarak masih belum pasti. Pertambahan umur dandiabetes melitus (DM) dianggap sebagai faktor risiko utama terjadinya katarakyang dikaitkan dengan terjadinya stres oksidatif melalui mekanisme lipidperoksidasi. Pasien katarak senilis dengan DM terpapar oleh tingkat stres oksidatifyang lebih tinggi dibandingkan katarak senilis tanpa DM, sehingga pasien kataraksenilis dengan DM memiliki kadar MDA serum yang lebih tinggi daripada tanpaDM. Peranan stres oksidatif sebagai dasar terjadinya katarak senilis dengan dantanpa DM masih menjadi perdebatan. Tujuan penelitian ini adalah untukmengetahui kadar MDA serum pasien dengan DM lebih tinggi daripada tanpa DMpada katarak senilis imatur (KSI). Penelitian ini merupakan penelitian crosssectional yang dilaksanakan di poliklinik mata RSUP Sanglah dan RS InderaDenpasar, mulai bulan Oktober 2012 sampai bulan Maret 2013. Pada setiapsampel dilakukan pemeriksaan kadar MDA serum. Perbedaan kadar MDA serumantara kelompok KSI dengan dan tanpa DM dianalisis dengan uji t tidakberpasangan. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria eligibilitas 82 individu.Hasil rerata kadar MDA serum pada kelompok KSI tanpa DM sebesar 4,71±0,54µmol/L, dan KSI dengan DM sebesar 6,55±0,67 µmol/L. Terdapat perbedaanbermakna kadar MDA serum kedua kelompok (p<0,001, beda rerata = 1,84µmol/L, CI 95% = 1,57 sampai 2,11). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkanbahwa kadar malondyaldehyde (MDA) serum pasien dengan diabetes melituslebih tinggi daripada tanpa diabetes melitus pada katarak senilis imatur.

Kata kunci : katarak senilis imatur dengan dan tanpa DM, stres oksidatif,lipid peroksidasi, malondyaldehyde

xi

SERUM MALONDIALDEHYDE LEVEL OFPATIENTS WITH DIABETES MELLITUS WAS

HIGHER THAN WITHOUT DIABETES MELLITUS INIMMATURE SENILE CATARACT

ABSTRACT

Cataract is the leading causes of blindness in the world, includingIndonesia. Aetiopathogenesis of cataracts is still uncertain. Increased age anddiabetes mellitus (DM) are considered as the main risk factors of cataracts whichassociated with oxidative stress by lipid peroxidation mechanism. Senile cataractpatients with DM are exposed to oxidative stress levels higher than senile cataractwithout diabetes, so senile cataract patients with DM have higher levels of serumMDA than without DM. The role of oxidative stress as a basis for the occurrenceof senile cataract with and without DM is still being debated. The purpose of thisstudy was to determine the serum MDA levels of patients with diabetes washigher than without diabetes in immature senile cataract (ISC). This study was across-sectional study conducted at the eye clinic Sanglah Hospital and DenpasarIndera Hospital, from October 2012 until March 2013. Each sample underwentserum levels examination of MDA. Differences in serum MDA levels betweengroups of ISC with and without DM were analyzed by unpaired t test. The numberof samples that meet the eligibility criteria was 82 individuals. The mean serumMDA levels in ISC group without DM was 4.71±0.54 μmol / L, and a group ofISC with DM was 6.55±0.67 μmol/ L. There were significant differences in serumMDA levels of the two groups (p <0.001, mean difference = 1.84 μmol/ L, CI95%= 1.57 to 2.11). From these results it can be concluded that the levels of serummalondyaldehyde (MDA) of patients with diabetes mellitus is higher than withoutdiabetes mellitus in immature senile cataract.

Keywords: senile cataract with and without diabetes, oxidative stress, lipidperoxidation, malondyaldehyde.

xii

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM...................................................................................

PRASYARAT GELAR.............................................................................

LEMBAR PERSETUJUAN......................................................................

PENETAPAN PANITIA PENGUJI..........................................................

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT...........................................

UCAPAN TERIMA KASIH.....................................................................

ABSTRAK ...............................................................................................

ABSTRACT ...............................................................................................

DAFTAR ISI ............................................................................................

DAFTAR TABEL ....................................................................................

DAFTAR GAMBAR................................................................................

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG.............................................

DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................

i

ii

iii

iv

v

vi

x

xi

xii

xv

xvi

xvii

xviii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .............................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................ 7

1.3 Tujuan Penelitian........................................................... 7

1.4 Manfaat Penelitian......................................................... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Lensa ......................................... 9

2.2 Kerusakan Oksidatif dan Mekanisme Pertahanan di

Lensa............................................................................. 12

2.3 Katarak Senilis .............................................................. 14

2.4 Katarak pada Penderita Diabetes Melitus ....................... 17

2.5 Mekanisme Stress Oksidatif Pada Penderita DM ........... 19

2.6 Stres Oksidatif ............................................................... 24

2.6.1 Definisi .............................................................. 24

xiii

2.6.2 Radikal bebas, senyawa oksigen reaktif dan

antioksidan......................................................... 24

2.6.3 MDA sebagai biomarker stres oksidatif .............. 26

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir ........................................................ 30

3.2 Konsep Penelitian.......................................................... 32

3.3 Hipotesis Penelitian ....................................................... 32

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian .................................................... 33

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................... 33

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ..................................... 34

4.3.1 Populasi penelitian ............................................. 34

4.3.2 Sampel penelitian............................................... 34

4.3.3 Kriteria inklusi dan eksklusi penelitian ............. 34

4.3.4 Besar sampel ...................................................... 35

4.4 Variabel Penelitian ........................................................ 36

4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel.................... 36

4.4.2 Definisi operasional variabel .............................. 37

4.5 Bahan Penelitian............................................................ 39

4.6 Instrumen Penelitian ...................................................... 40

4.7 Prosedur Penelitian........................................................ 40

4.7.1 Tahap persiapan ................................................. 40

4.7.2 Pelaksanaan penelitian ....................................... 40

4.8 Alur Penelitian .............................................................. 43

4.9 Analisis Data ................................................................ 44

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1 Profil Penelitian dan Karakteristik Sampel..................... 45

5.2 Perbandingan Kadar MDA Serum Kelompok Katarak

xiv

Senilis Imatur Dengan dan Tanpa DM ........................... 46

BAB VI PEMBAHASAN....................................................................

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

48

7.1 Simpulan ....................................................................... 60

7.2 Saran ............................................................................. 60

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................

LAMPIRAN ............................................................................................

61

66

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ....................................................... 46

5.2 Perbandingan Kadar MDA Serum Kelompok Katarak Senilis

Imatur Dengan dan Tanpa DM ........................................................ 47

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Anatomi Lensa................................................................................ 10

2.2 Kriteria Diagnosis DM .................................................................... 19

2.3 Patogenesis Stres Oksidatif Pada Diabetes Melitus.......................... 22

2.4 Struktur Kimia Radikal Bebas ......................................................... 25

3.1 Bagan Konsep Penelitian................................................................. 32

4.1 Skema Rancangan Penelitian........................................................... 33

4.2 Skema hubungan antar variabel ....................................................... 36

4.3 Skema Alur Penelitian..................................................................... 43

xvii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

ATP = Adenosine Triphosphate

AINS = Anti inflamasi non steroid

DM = Diabetes Melitus

DNA = Deoxyribosa Nucleic Acid

G6P = Glukosa-6-Phosphat

GSH = Glutathione

GSSG = Glutathione Disulfide

HCL = Hidrogen chlorida

HMP = Hexose Monophosphate

H2O2 = Hidrogen Peroksida

H2SO4 = Hidrogen Sulfat

K+ = Kalium (potasium)

LOOH = Lipid Peroxide

MDA = Malondialdehyde

NaCl = Natrium Chloride

NADPH = Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate

Na+ = Natrium (sodium)

O2- = Superoksida

OH- = Hidroksil

PUFA = Poliunsaturated Fatty Acid

RNA = Ribonucleic Acid

ROS = Reactive Oxygen Species

TBA = Tiobarbituric Acid

TEP = Tetraetoksipropane

WHO = World Health Organization

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Penjelasan Penelitian......................................................... 66

Lampiran 2 Informed Consent............................................................... 68

Lampiran 3 Kuesioner Penelitian .......................................................... 69

Lampiran 4 Hasil Pemeriksaan MDA Serum… ..................................... 71

Lampiran 5 Hasil Output SPSS ............................................................. 73

Lampiran 6 Tabel Induk KSI dengan DM ............................................. 82

Lampiran 7 Tabel Induk KSI tanpa DM ............................................... 83

Lampiran 8 Surat Keterangan Kelaikan Etik………………………….. . 84

Lampiran 9 Surat Ijin Penelitian di RSUP Sanglah…………………… . 85

Lampiran 10 Surat Ijin Penelitian di RS Indera Denpasar……………..... 86

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Katarak adalah kekeruhan lensa yang mengarah pada penurunan tajam

penglihatan penderita. Katarak merupakan penyebab kebutaan utama di dunia

termasuk di Indonesia. Katarak dapat disebabkan oleh proses kongenital, proses

metabolisme, trauma dan karena proses penuaan. Katarak karena proses penuaan

atau biasa disebut katarak senilis merupakan katarak dengan jumlah penderita

terbanyak, umumnya terjadi pada usia di atas 50 tahun.

Prevalensi katarak meningkat seiring bertambahnya umur. Goyal dkk.

(2010) dalam penelitiannya di India mendapatkan prevalensi katarak pada

kelompok usia di atas 50 tahun sebesar 75,3%, dan merupakan angka tertinggi di

dunia. Studi potong lintang di Amerika melaporkan bahwa 10% warganya

menderita katarak dengan prevalensi yang meningkat hingga 50% pada usia 65-74

tahun, serta 70% pada penduduk berusia di atas 75 tahun (Soehardjo, 2004).

Penduduk di negara berkembang seperti Indonesia, India dan Kenya mempunyai

kecenderungan 15 tahun lebih cepat menderita katarak dibanding daerah subtropis

(Khalilullah, 2010). Survey kesehatan indera penglihatan di Indonesia tahun

1993-1996 menunjukkan angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,47% atau ±3,5

juta orang, dan katarak menjadi penyebab kebutaan terbanyak yaitu mencapai

0,76% (Soehardjo, 2004).

2

Angka harapan hidup yang semakin meningkat menyebabkan jumlah

penduduk usia lanjut juga semakin besar. Jumlah populasi yang berumur lebih

dari 60 tahun akan meningkat dua kali lipat dari 400 juta di tahun 2000 menjadi

800 juta di tahun 2020 (Foster, 2000). Hal ini menyebabkan katarak senilis

menjadi masalah di bidang kesehatan yang perlu mendapat perhatian serius

(Beebe dkk., 2010; Chang dkk., 2008).

Etiopatogenesis katarak sampai saat ini masih belum pasti dan diduga

bersifat multifaktorial. Pertambahan umur dan diabetes adalah dua hal yang

dianggap sebagai faktor risiko utama terjadinya katarak. Kedua hal tersebut

dikaitkan dengan terjadinya ketidakseimbangan antara antioksidan dan radikal

bebas dalam tubuh (Deepa dkk., 2011).

Pembentukan radikal bebas akan semakin meningkat seiring dengan

bertambahnya umur (Winarsi, 2007; Chandrasena dkk., 2008). Jumlah radikal

bebas yang meningkat tidak diimbangi dengan jumlah antioksidan yang justru

mengalami degenerasi (Chandrasena dkk., 2008). Apabila terjadi

ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan mekanisme pertahanan dari

antioksidan, maka akan terjadi kondisi yang disebut stres oksidatif (Chandrasena

dkk., 2008; Chakraborty dkk., 2007).

Target utama dari radikal bebas yang mengandung oksigen adalah asam

lemak tak jenuh ganda (poliunsaturated fatty acid / PUFA) yang dapat ditemukan

dalam sel sebagai gliserilester dalam fosfolipid atau trigliserida (Widowati dkk.,

2004; American Academy of Ophthalmology Staff, 2009-2010a). Asam lemak tak

jenuh ganda yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap sangat rentan

3

terhadap oksidasi oleh radikal bebas atau molekul-molekul reaktif lainnya.

Molekul reaktif seperti radikal hidroksil menarik atom hidrogen dari ikatan

rangkap asam lemak tak jenuh dan membentuk radikal peroksil lipid. Radikal ini

kemudian bereaksi dengan asam lemak tak jenuh lainnya membentuk

hidroperoksida lipid dan radikal peroksil lipid yang baru, yang kemudian

meneruskan reaksi oksidasi terhadap lipid lainnya, demikian seterusnya terbentuk

reaksi berantai yang dikenal dengan peroksidasi lipid (Widowati dkk., 2004 ;

Winarsi, 2007).

Membran sel lensa mengandung fosfolipid terutama berupa

dihydrosphingomyelin dan kolesterol dalam konsentrasi tinggi (Borchman dkk.,

2005; Cekic dkk., 2010). Radikal bebas dalam jumlah yang berlebih akan

mengoksidasi dan menyerang komponen lipid membran sel lensa sehingga terjadi

peroksidasi lipid (Saygili dkk., 2010). Peroksidasi lipid dapat menyebabkan

kerusakan membran sel lensa secara langsung dengan mengakibatkan

meningkatnya permeabilitas membran atau menghambat pompa ion membran.

Secara tidak langsung atau secara sekunder, lipid peroksidasi menyebabkan

kerusakan membran sel lensa melalui dekomposisi aldehid (Widowati dkk.,

2004).

Hidroperoksida lipid merupakan radikal asam lemak yang bersifat tidak

stabil dan dapat didekomposisi menjadi berbagai aldehid seperti malondialdehyde

(MDA) (Chakraborty dkk., 2007). Malondialdehyde merupakan bentuk stabil dari

produk akhir peroksidasi lipid dan merupakan metabolit yang dihasilkan oleh

radikal bebas. Malondialdehyde bersifat sangat reaktif dan bereaksi dengan cepat

4

dengan protein. Lensa mata mengandung protein yang bersifat water-soluble

sebanyak 80% yang menjaga supaya lensa tetap jernih. Reaksi MDA dengan

protein lensa menyebabkan agregasi protein sehingga protein lensa yang semula

bersifat water-soluble menjadi water-insoluble. Berat molekul protein bertambah

dan mengakibatkan menurunnya kejernihan lensa crystalline (Widowati dkk.,

2004; Ates dkk., 2004).

Lensa mata normal dilengkapi dengan sistem perlindungan antioksidan

untuk melawan stres oksidatif (American Academy of Ophthalmology Staff, 2009-

2010a). Seiring bertambahnya umur, akan terjadi gangguan mekanisme proteksi

antioksidan lensa mata sehingga rentan terjadi stres oksidatif (Winarsi, 2007).

Lensa mata sangat sensitif terhadap kondisi stres oksidatif. Hasil akumulasi stres

oksidatif menyebabkan gangguan fungsi metabolisme lensa dan gangguan

transparansi lensa sehingga terbentuk katarak (American Academy of

Ophthalmology Staff, 2009-2010a).

Teori tentang etiopatogenesis katarak senilis yang banyak berkembang

belakangan ini adalah mekanisme stres oksidatif. Terjadinya stres oksidatif pada

pasien katarak senilis salah satunya ditandai dengan meningkatnya produk akhir

dari lipid peroksidasi yaitu MDA. Konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan

adanya peningkatan stres oksidatif, sehingga MDA dapat digunakan sebagai

biomarker adanya stres oksidatif pada pasien katarak senilis (Cekic dkk., 2010).

Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko utama

terjadinya katarak, di samping pertambahan usia. Diabetes melitus juga

merupakan penyakit dengan komponen stres oksidatif (Kim, 2006). Keadaan

5

hiperglikemi pada penderita diabetes melitus menyebabkan terbentuknya radikal

bebas. Hiperglikemi menyebabkan terbentuknya radikal bebas melalui beberapa

cara yaitu melalui mekanisme autooksidasi glukosa, glikasi nonenzimatik protein

dan aktivitas jalur metabolisme poliol yang selanjutnya mempercepat

pembentukan senyawa oksigen reaktif yaitu radikal bebas yang mengandung

oksigen (Setiawan dan Suhartono, 2005; Hsu dkk., 2006). Pembentukan senyawa

oksigen reaktif yang berlebih mengakibatkan ketidakseimbangan antara

antioksidan protektif dan jumlah radikal bebas pada penderita DM sehingga

terjadi kerusakan oksidatif yang dikenal dengan stres oksidatif (Setiawan dan

Suhartono, 2005). Terjadinya kerusakan oksidatif pada pasien DM ditandai

dengan peningkatan kadar MDA serum pada pasien DM dibandingkan kontrol

(Marjani, 2010).

Senyawa oksigen reaktif atau radikal bebas yang mengandung oksigen

pada pasien DM akan menginduksi terjadinya lipid peroksidasi sehingga terjadi

modifikasi makromolekul seluler seperti lipid, DNA dan protein pada berbagai

jaringan termasuk di lensa mata. Modifikasi makromolekul seluler pada berbagai

jaringan ini menyebabkan terjadi sindrom kompleks pada penderita DM termasuk

terjadinya katarak (Setiawan dan Suhartono, 2005; Likidlilid dkk., 2010). Studi

epidemiologi menunjukkan katarak merupakan penyebab utama terjadinya

gangguan penglihatan pada penderita DM onset dewasa (Tsai dkk., 2007).

Berbagai studi klinis menunjukkan penderita DM onset dewasa memiliki

prevalensi lebih tinggi menderita katarak senilis dengan onset yang sedikit lebih

awal dibandingkan dengan individu normal. Kim (2006) dalam penelitiannya

6

menemukan risiko penderita DM onset dewasa untuk menderita katarak sebesar 4

hingga 5 kali lebih besar dibandingkan populasi tanpa DM. Penelitian Budiono

(2006) tentang prevalensi katarak pada penderita DM di poliklinik mata RSU Dr.

Sutomo Surabaya didapatkan angka prevalensi katarak pada penderita DM

sebesar 54,34%. Penderita DM memiliki risiko lebih tinggi menderita katarak

karena dikaitkan dengan mengalami tingkat stres oksidatif lebih tinggi

dibandingkan individu tanpa DM (Kim, 2006).

Penelitian yang dilakukan di beberapa desa Bali ditemukan angka

prevalensi DM sebesar 5,9% (Suastika dkk., 2011), dan merupakan suatu angka

yang cukup tinggi dibandingkan dengan prevalensi DM di Indonesia sebesar 4%

(Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011). Di sisi lain, jumlah penduduk usia

lanjut di Bali cukup tinggi yaitu 10,28% dari populasi, cukup tinggi jika

dibandingkan dengan propinsi lain di Indonesia seperti di Nusa Tenggara Barat

sebesar 6,69%, Nusa Tenggara Timur sebesar 7,29%, dan Jawa Barat sebesar

7,67% (Depkes RI, 2009). Jumlah penderita katarak di Bali bila diproyeksikan

dari angka kebutaan katarak Indonesia diperkirakan menjadi sebesar 27.492

orang. Dengan meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan cukup tingginya

angka kejadian DM di Bali, maka diasumsikan bahwa pasien katarak senilis

dengan DM dan tanpa DM juga akan semakin meningkat jumlahnya di kemudian

hari.

Berbagai penelitian mendapatkan bahwa kadar MDA pada pasien katarak

senilis dengan DM lebih tinggi daripada katarak senilis tanpa DM. Penelitian

Deepa dkk. (2011) di India menemukan terjadinya peningkatan kadar MDA

7

dalam serum pasien katarak senilis dengan DM (6,652±0,587 µmol/L)

dibandingkan dengan pasien katarak senilis tanpa DM (5,586±1,117 µmol/L) dan

bermakna secara statistik (p<0,001). Penelitian Artunay dkk. (2009) di Turki

menemukan kadar MDA serum pasien katarak senilis dengan DM rata-rata

4,83±0,60 µmol/L, lebih tinggi dibandingkan kadar MDA serum pada pasien

katarak senilis tanpa DM rata-rata sebesar 3,50±0,54 µmol/L dan kelompok

kontrol sebesar 2,52±1,69 µmol/L (p<0,001). Hasil penelitian tersebut

menunjukkan stres oksidatif mungkin berperan dalam terjadinya katarak senilis

dengan dan tanpa DM. Pasien katarak senilis dengan DM terpapar oleh tingkat

stres oksidatif yang lebih tinggi dibandingkan katarak senilis tanpa DM, sehingga

pasien katarak senilis dengan DM memiliki kadar MDA serum yang lebih tinggi

daripada tanpa DM.

Peranan stres oksidatif sebagai dasar terjadinya katarak senilis dengan dan

tanpa DM masih menjadi perdebatan. Teori etiopatogenesis katarak senilis

berkaitan dengan mekanisme stres oksidatif tidak terbukti pada penelitian yang

dilakukan oleh Setiadi dkk. (1996). Setiadi dkk. (1996) dalam penelitiannya di

Jakarta menemukan tidak ada perbedaan bermakna antara kadar MDA serum pada

kelompok kontrol (6,19 µmol/L), kelompok pasien katarak senilis tanpa DM

(7,23±2,31 µmol/L) dan katarak dengan DM (7,24±1,61 µmol/L). Penelitian ini

disimpulkan bahwa peranan lipid peroksidasi dan stres oksidatif dalam timbulnya

katarak senilis dengan dan tanpa DM masih belum pasti.

Penelitian yang dilakukan pada tempat dan populasi yang berbeda belum

tentu memberikan hasil yang sama pada kadar MDA serum pasien katarak senilis

8

dengan DM maupun tanpa DM. Penelitian yang mengukur kadar MDA sebagai

biomarker terjadinya stres oksidatif pada pasien katarak senilis dengan dan tanpa

DM masih terbilang baru dan belum pernah dilakukan di Bali. Berdasarkan hal-

hal tersebut di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan kadar

MDA serum pada pasien katarak senilis imatur dengan dan tanpa DM.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan suatu masalah

penelitian sebagai berikut :

Apakah kadar MDA serum pasien dengan DM lebih tinggi daripada

tanpa DM pada katarak senilis imatur?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui kadar MDA serum pasien dengan DM lebih tinggi

daripada tanpa DM pada katarak senilis imatur.

1.4 Manfaat Penelitian :

1. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai peranan stres

oksidatif dalam etiopatogenesis katarak senilis pada DM.

2. Dapat dijadikan sebagai bagian dari suatu rangkaian penelitian

mengenai peranan stres oksidatif terhadap kejadian katarak senilis

dengan dan tanpa DM, sehingga pada akhirnya dapat ditemukan suatu

cara untuk memperlambat terbentuknya katarak senilis.

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Lensa

Lensa merupakan struktur yang transparan, bikonveks, yang mempunyai fungsi

antara lain mempertahankan kejernihannya sendiri, membiaskan cahaya, dan

mengadakan akomodasi. Lensa tidak mempunyai suplai darah atau inervasi

setelah perkembangan janin, dan bergantung sepenuhnya pada humor akuos

dalam memenuhi keperluan metaboliknya dan membuang hasil metabolismenya.

Lensa terletak di posterior iris dan anterior badan vitreus. Lensa tergantung pada

posisinya oleh zonula Zinn, yang terdiri dari serat yang kuat, yang menyokong

dan melekatkan lensa ke badan siliar (American-Academy of Ophthalmology Staff,

2009-2010a; Khalillulah, 2010).

Lensa terdiri atas tiga bagian yaitu kapsul lensa, korteks dan nukleus

(Gambar 2.1). Lensa adalah struktur yang rata dan homogen. Kapsul anterior

merupakan lamina basal dari epitel lensa yang terletak di anterior sedangkan

kapsul posterior merupakan lamina basalis dari sel lensa yang memiliki inti yang

terletak di nuclear bow. Epitel lensa terdiri atas satu lapisan sel kubus, sedangkan

massa lensa terdiri atas sel lensa yang memanjang. Pada sel lensa yang telah tua

inti sel akan menghilang dan sel akan terdorong ke tengah dan menjadi nukleus.

Nukleus pada orang dewasa terdiri atas nukleus embrionik, fetal dan sisa sel yang

telah menua(American-Academy of Ophthalmology Staff, 2009-2010a).

10

Gambar 2.1 Anatomi lensa (American-Academy of Ophthalmology Staff, 2009-2010b)

Lensa mengandung 66% air dan 33% protein. Lensa mungkin merupakan

jaringan yang paling banyak mengandung protein dibandingkan dengan jaringan

lain dalam tubuh. Protein lensa terdiri dari protein crystallin, cytoskeleton dan

aquaporin O (major intrinsic protein). Protein crystallin terdiri dari alpha dan beta

gamma crystallin, dimana crystallin ini merupakan protein yang larut dalam air

dan berfungsi menjaga tranparansi lensa. Protein cytoskeleton berfungsi dalam

pembentukan struktur sel serat lensa. Sedangkan aquaporin O berfungsi untuk

mengatur keseimbangan air dan elektrolit di dalam lensa. Semua protein ini

berperan sangat penting dalam menjaga tranparansi lensa (American-Academy of

Ophthalmology Staff, 2009-2010a; Borchman dan Yappert, 2011).

Lensa mengandung lipid sekitar 1% dari total masa lensa. Walaupun lipid

pada lensa hanya 1% dari total massa lensa, namun merupakan 55% dari berat

kering membran sel lensa (American-Academy of Ophthalmology Staff, 2009-

2010a). Lipid yang terkandung di lensa antara lain kolesterol dan fosfolipid,

dimana fosfolipid yang terdapat pada membran plasma serat lensa terutama

11

berupa dihydrosphingomyelin dalam jumlah yang banyak (American-Academy of

Ophthalmology Staff, 2009-2010a; Beebe dkk., 2010).

Metabolisme di lensa bertujuan untuk mempertahankan transparansi lensa.

Di dalam lensa, produksi energi sebagian besar tergantung dari metabolisme

glukosa. Glukosa dalam humor akuos memasuki lensa melalui dua jalur yaitu

difusi sederhana dan melalui proses transfer termediasi yang disebut difusi

terfasilitasi. Sebagian besar glukosa yang ditransport ke dalam lensa difosforilasi

menjadi glukosa-6-fosfat (G6P) oleh enzim heksokinase. Reaksi ini 70-1000 kali

lebih lambat dibanding dengan enzim lain yang dilibatkan dalam glikolisis lensa.

Sekali terbentuk, G6P memasuki salah satu dari dua jalur metabolik yaitu

glikolisis anaerob atau shunt heksosa monofosfat (HMP shunt) (American-

Academy of Ophthalmology Staff, 2009-2010a).

Selain glikolisis anaerob dan HMP shunt, lensa memiliki jalur

metabolisme glukosa alternatif yaitu jalur sorbitol. Jalur sorbitol dan HMP shunt

ini akan teraktivasi pada kondisi stres okdidatif yang akan timbul pada keadaan

glukosa yang berlebihan. Hal penting yang perlu diingat adalah bahwa jalur HMP

shunt yang teraktivasi akan menghasilkan nicotinamide-adenine dinucleotide

phosphate (NADPH) tereduksi. Senyawa ini diperlukan untuk menghasilkan

glutation reduktase, suatu enzim yang berperan pada sistem reduksi-oksidasi di

lensa. Enzim ini mempunyai fungsi menetralisir radikal bebas yang terbentuk

pada kondisi stres oksidatif dengan cara mengkatalisasi reaksi antara radikal bebas

dan glutation. Proses ini terutama berlangsung di sel epitel lensa dan sel serat

lensa superfisial. Metabolisme aerob ini akan menghasilkan radikal bebas

12

endogen yang dapat mengganggu fungsi fisiologi lensa (Setiawan dan Suhartono,

2005; American-Academy of Ophthalmology Staff, 2009-2010a).

2.2 Kerusakan Oksidatif dan Mekanisme Pertahanan di Lensa

Radikal bebas bisa terbentuk pada aktivitas metabolisme sel yang normal

dan bisa juga dipicu oleh agen luar seperti energi radiasi (American-Academy of

Ophthalmology Staff, 2009-2010b). Radikal bebas dalam jumlah berlebih akan

menyebabkan kerusakan serat lensa. Peroksidasi dari lipid membran sel

diperkirakan sebagai faktor yang berperan dalam terjadinya kekeruhan lensa. Pada

proses peroksidasi lipid, molekul reaktif seperti radikal hidroksil menarik atom

hidrogen dari ikatan rangkap asam lemak tak jenuh ganda dan membentuk radikal

peroksil lipid. Radikal ini kemudian bereaksi dengan asam lemak tak jenuh ganda

lainnya membentuk lipid peroksida (LOOH), dan bereaksi lebih lanjut

membentuk malondialdehyde (MDA) yang merupakan potent cross-linking agent.

Reaksi MDA dengan lipid membran sel dan protein menyebabkan sel tidak

mampu menjalankan fungsi normalnya (American-Academy of Ophthalmology

Staff, 2009-2010a).

Lipid peroksida terbentuk ketika radikal bebas atau molekul singlet

oksigen bereaksi asam lemak tak jenuh ganda yang terdapat di sel lensa dalam

bentuk gliserilester dalam fosfolipid atau trigliserida. Oksidasi dari membran

fosfolipid meningkatkan permeabilitas membran sel lensa dan atau menghambat

pompa ion membran. Hilangnya fungsi barier menyebabkan terjadi edema,

gangguan keseimbangan elektrolit sehingga terjadi gangguan fungsi sel

(American-Academy of Ophthalmology Staff, 2009-2010a).

13

Kerusakan yang terjadi di lensa ada yang bersifat reparable tapi ada pula

yang bersifat permanen. Mekanisme regenerasi atau repair berlangsung aktif di

epitel lensa dan korteks permukaan, tetapi tidak ada mekanisme serupa di korteks

yang lebih dalam dan di nukleus, sehingga kerusakan protein dan lipid membran

di sini bersifat irreversible. Kerusakan akibat radikal bebas merangsang

terjadinya polimerasi dan cross-linking dari lipid dan protein, sehingga jumlah

water insoluble protein meningkat dan lensa akan kehilangan transparansinya

(American-Academy of Ophthalmology Staff, 2009-2010b).

Mekanisme pertahanan lensa terhadap stres oksidatif terdiri dari sistem

antioksidan enzim yaitu glutathione peroxidase, catalase dan superokside

dismutase (SOD). Dengan pertolongan siklus reduksi oksidasi glutathione,

gluthatione disulfide (GSSG) dikonversi menjadi glutathione (GSH) oleh enzim

glutathione reductase melalui pyridine nucleotide NADPH yang disediakan oleh

HMP shunt sebagai reducing pathway. GSH bertindak sebagai mayor scavenger

dari senyawa oksigen reaktif di lensa (American-Academy of Ophthalmology

Staff, 2009-2010a).

Lensa mata manusia yang masih muda terdiri dari GSH dalam konsentrasi

tinggi, disintesis di epitel dan kemudian bermigrasi ke dalam korteks dan nukleus.

Dengan bertambahnya umur, kadar GSH menurun secara signifikan terutama di

nukleus. Beberapa studi mengindikasikan bahwa terdapat barier kortikal-nuklear

pada lensa mata manusia dewasa, yang menghambat aliran GSH ke nukleus.

Hasilnya, dengan bertambahnya umur, lensa lebih mudah mengalami kerusakan

oksidatif dan katarak. Vitamin E dan vitamin C juga terdapat di lensa. Vitamin ini

14

bekerja bersama-sama dengan GSH dan siklus redoks glutathione untuk

melindungi lensa dari kerusakan oksidatif (American-Academy of Ophthalmology

Staff, 2009-2010a; American-Academy of Ophthalmology Staff, 2009-2010b).

Tanpa disadari, dalam tubuh kita terbentuk radikal bebas secara terus

menerus baik melalui proses metabolisme sel normal maupun karena proses

peradangan dan polusi lingkungan. Dari pernyataan ini diyakini bahwa dengan

bertambahnya usia seseorang, pembentukan radikal bebas juga semakin

meningkat sehingga rentan terjadi kondisi stres oksidatif. Lensa mata sangat

sensitif terhadap kondisi stres oksidatif. Secara endogenous hal ini berkaitan

dengan laju metabolisme seiring bertambahnya usia. Dengan bertambahnya usia,

sel-sel tubuh mengalami degenerasi sehingga proses metabolisme terganggu.

Secara eksogenous, kemungkinan tubuh terpapar dengan polutan juga semakin

meningkat. Kedua faktor tersebut secara sinergis meningkatkan jumlah radikal

bebas dalam tubuh (Winarsi, 2007).

2.3 Katarak Senilis

Katarak merupakan kekeruhan lensa mata yang mengakibatkan penurunan

tajam penglihatan dan dapat berdampak terhadap penurunan kualitas hidup

seseorang. World Health Organization (WHO) memperkirakan prevalensi

kebutaan sebesar 0,57% dari seluruh jumlah penduduk dunia dan 47,8% dari

kebutaan itu disebabkan oleh katarak. Survei kebutaan di Nigeria mendapatkan

katarak sebagai penyebab tertinggi kebutaan di sana yaitu sebesar 50%. Lebih

dari 82% kebutaan oleh karena katarak terjadi pada individu di atas 50 tahun

15

(Olawaye dkk., 2011). Jadoon dkk. (2007) dalam penelitiannya menemukan

katarak sebagai penyebab utama kebutaan di Pakistan yaitu sebesar 66%.

Katarak dapat disebabkan oleh proses kongenital, metabolisme, traumatik

maupun proses penuaan. Katarak yang terjadi karena proses penuaan atau sering

disebut katarak senilis mempunyai jumlah penderita paling banyak. Penderita

katarak senilis diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus katarak (American-

Academy of Ophthalmology Staff, 2009-2010a). Jumlah penderita katarak senilis

di Nigeria diperkirakan bertambah 1-2 juta per tahun, dengan penderita terbanyak

berada di kelompok umur 60-69 tahun (Olawaye dkk., 2011). Di Amerika

dilaporkan bahwa 10% warganya menderita katarak dengan prevalensi yang

meningkat hingga 50% pada usia 65-74 tahun, serta 70% pada penduduk berusia

di atas 75 tahun (Soehardjo, 2004). Di negara berkembang seperti Indonesia, India

dan Kenya kasus katarak lebih sering dijumpai dan onsetnya lebih cepat.

Prevalensi katarak pada penduduk usia di atas 65 tahun 5 kali lebih banyak

dijumpai di negara berkembang dibandingkan di Amerika (Khalilullah, 2010).

Secara klinis katarak senilis dapat dibagi menjadi empat stadium yaitu

stadium insipien, imatur, matur, dan hipermatur. Pada katarak senilis stadium

insipien terdapat kekeruhan minimal dan hanya tampak bila pupil dilebarkan.

Kekeruhan tidak teratur seperti bercak-bercak yang membentuk gerigi dengan

dasar di perifer dan daerah jernih diantaranya. Penderita katarak senilis stadium

insipien biasanya tanpa keluhan dan sering ditemukan pada pemeriksaan rutin

mata. Visus dengan koreksi masih bisa mencapai 6/6. Katarak senilis stadium

imatur terjadi kekeruhan yang lebih tebal tetapi belum mengenai seluruh bagian

16

lensa sehingga masih terdapat bagian-bagian yang jernih pada lensa. Pada stadium

ini terjadi hidrasi korteks karena meningkatnya tekanan osmotik bahan lensa yang

degeneratif, mengakibatkan lensa menjadi bertambah cembung. Tes bayangan iris

serta reflek fundus pada keadaan ini positif. Katarak senilis stadium matur

kekeruhan telah mengenai seluruh masa lensa karena proses degenerasi berjalan

terus sehingga terjadi pengeluaran air bersama hasil disintegritas melalui kapsul

lensa. Dalam stadium ini, lensa akan berukuran normal kembali. Bila dilakukan

tes bayangan iris dan reflek fundus akan terlihat hasil negatif. Stadium terakhir

adalah stadium hipermatur, korteks lensa mencair dan dapat keluar melalui kapsul

lensa. Lensa mengeriput dan berwarna kuning dan sering disebut sebagai katarak

morgagnian. Tes bayangan iris memberikan gambaran pseudopositif (Sihota dan

Tandan, 2007).

Tingkat kekeruhan lensa pada katarak senilis dapat dibagi menjadi lima

gradasi berdasarkan klasifikasi Buratto. Gradasi 1 ditandai dengan visus yang

masih lebih baik dari 6/12, lensa tampak sedikit keruh dengan warna agak

keputihan, dan refleks fundus masih dengan mudah dapat dilihat. Gradasi 2

ditandai dengan nukleus yang mulai sedikit berwarna kekuningan, visus antara

6/12 sampai 6/30, dan refleks fundus juga masih mudah diperoleh. Katarak

Gradasi 3 ditandai dengan nukleus berwarna kuning dan korteks yang berwarna

keabu-abuan, visus antara 3/60 sampai 6/30. Gradasi 4 ditandai dengan nukleus

yang sudah berwarna kuning kecoklatan, dengan usia penderita biasanya sudah

lebih dari 65 tahun, dan visus biasanya antara 3/60 sampai 1/60. Gradasi 5

17

ditandai dengan nukleus berwarna coklat hingga kehitaman, visus biasanya 1/60

atau lebih jelek (Sihota dan Tandan, 2007).

Kataraktogenesis dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko seperti umur dan

diabetes melitus (DM), dan stres oksidatif diperkirakan memegang peranan

penting pada mekanisme molekular terbentuknya katarak (Pala dan Gurkan, 2008;

Saygili dkk., 2010). Penelitian epidemiologi dan penelitian dengan model hewan

mendapatkan bahwa stres oksidatif memegang peranan penting dalam

terbentuknya katarak dan berperan dalam perkembangan maturitas katarak (Beebe

dkk., 2010; Priyanti, 2013). Produksi radikal bebas yang mengandung oksigen

atau senyawa oksigen reaktif dan berkurangnya jumlah antioksidan endogen

berkontribusi dalam terbentuknya katarak. Pada proses kataraktogenesis, protein

lensa kehilangan grup sulfidril dan terjadi cross-linking dengan ikatan disulfida.

Protein menjadi insoluble dan mempengaruhi transparansi lensa (Beebe dkk.,

2010).

2.4 Katarak pada Penderita Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit dengan komponen stres

oksidatif (Marjani, 2010; Setiawan dan Suhartono, 2005). Jumlah penderita DM

semakin hari semakin bertambah dan menjadi masalah kesehatan utama

khususnya di negara berkembang. Tahun 2030 diperkirakan insiden DM di dunia

akan mencapai 366 juta jiwa dan 75% terdapat di negara berkembang. Penderita

DM yang berusia lebih dari 50 tahun mempunyai prevalensi yang tinggi

kehilangan penglihatan oleh karena katarak (Kador, 2010).

18

Terdapat 2 tipe utama diabetes melitus yaitu DM tipe 1 atau disebut juga

diabetes tergantung insulin dan DM tipe 2 atau disebut tidak tergantung insulin.

Diabetes melitus tipe 1 biasanya terjadi pada anak-anak dan dewasa muda.

Penyebab hiperglikemia yang utama pada DM tipe 1 adalah kerusakan sel beta

pankreas akibat autoimun, yang mengakibatkan ketergantungan mutlak pada

pengobatan dengan insulin dan komplikasi biasanya terjadi pada usia yang relatif

muda (Doshi dan Harvey, 2008). Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan

resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif. Faktor risikio terjadinya DM tipe 2

seperti obesitas, usia tua, kurang aktivitas fisik serta diit tinggi lemak padat energi.

Diabetes melitus tipe 2 merupakan tipe yang paling sering terjadi, sekitar 85%

kasus pada populasi Kaukasian dan lebih dari 95% pada negara berkembang

(Budiono, 2006; Doshi dan Harvey, 2008).

Gejala khas DM yaitu : poliuri, polidipsi dan polifagi serta turunnya berat

badan tanpa sebab. Kondisi hiperglikemia pada penderita DM menyebabkan

berbagai komplikasi jangka panjang pada tubuh. Komplikasi yang sering terjadi

pada mata adalah retinopati diabetika, katarak, presbiopia yang lebih cepat,

penurunan kemampuan akomodasi serta perubahan refraksi sebagai akibat dari

peningkatan kadar glukosa dalam humor akuos yang memasuki lensa melalui

difusi (Doshi dan Harvey, 2008; Pollreisz dan Schmidt-Erfurth, 2010).

Kriteria diagnosis DM adalah sebagai berikut: 1. Gejala klasik DM +

glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL. Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil

pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir,

atau 2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa

19

diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam (Gambar 2.2)

(Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011).

Gambar 2.2 Kriteria Diagnosis DM (Perkeni, 2011)

Katarak pada kelompok diabetes terjadi pada usia lebih awal dibandingkan

dengan kelompok non diabetes (Pollreisz dan Schmidt-Erfurth, 2010). Penderita

diabetes dengan onset umur dewasa memiliki prevalensi yang tinggi menderita

katarak senilis dengan onset yang sedikit lebih awal dibandingkan dengan

populasi normal (American-Academy of Ophthalmology Staff, 2009-2010a).

2.5. Mekanisme Stres Oksidatif pada Penderita DM

Stres oksidatif pada penderita DM terjadi karena kondisi hiperglikemia.

Kondisi hiperglikemia terlibat dalam pembentukan radikal bebas khususnya

senyawa oksigen reaktif (Moussa, 2008). Pembentukan senyawa oksigen reaktif

20

dapat meningkatkan modifikasi lipid, DNA dan protein di berbagai jaringan

termasuk di lensa. Modifikasi molekular pada berbagai jaringan tersebut

mengakibatkan ketidakseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas sehingga

terjadi kondisi stres oksidatif (Setiawan dan Suhartono, 2005).

Hiperglikemia menyebabkan terjadinya stres oksidatif melalui 3

mekanisme yaitu glikasi non-enzimatik pada protein, jalur poliol sorbitol (aldose

reduktase) dan autooksidasi glukosa (Gambar 2.3). Pada keadaan hiperglikemia,

produksi berbagai gula pereduksi akan meningkat melalui proses glikolisis dan

jalur poliol. Glukosa sebagai gula pereduksi dapat menjadi agen yang bersifat

toksik karena kemampuan kimiawi gugus karbonil aldehid yang dimilikinya.

Aldehid merupakan senyawa yang mampu berikatan secara kovalen sehingga

terjadi modifikasi protein (Soesilowati, 2003; Setiawan dan Suhartono, 2005).

Reaksi pengikatan aldehid pada protein dikenal sebagai reaksi glikasi.

Reaksi ini memiliki kemaknaan patologis yang besar. Berbagai contoh reaksi

glikasi protein antara lain hemoglobin glikosilat, albumin dan terjadinya

kristalisasi protein lensa mata sehingga timbul katarak (Setiawan dan Suhartono,

2005; Hsu dkk., 2006).

Pada keadaan normoglikemia, sebagian besar glukosa seluler mengalami

fosforilasi menjadi glukosa-6-fosfat oleh enzim heksokinase. Bagian kecil dari

glukosa yang tidak mengalami fosforilasi memasuki jalur poliol, yakni jalur

alternatif metabolisme glukosa. Melalui jalur ini, glukosa dalam sel dapat diubah

menjadi sorbitol dengan bantuan enzim aldose reduktase (AR). Enzim aldose

21

reduktase dapat ditemukan pada sejumlah jaringan termasuk lensa mata dan retina

(Soesilowati, 2003; Setiawan dan Suhartono, 2005).

Dalam kondisi normal, konsentrasi sorbitol di dalam sel rendah. Akan

tetapi, apabila terjadi keadaan hiperglikemia, konsentrasi sorbitol meningkat.

Sorbitol dengan bantuan enzim sorbitol dehidrogenase (SDH), akan diubah

menjadi fruktosa. Degradasi sorbitol ini berjalan lambat sehingga sorbitol

menumpuk dalam sel, sehingga dapat menyebabkan peningkatan tekanan osmotik

dan selanjutnya dapat merusak sel. Masuknya substrat melalui jalur poliol, selain

dapat meningkatkan kadar sorbitol dan fruktosa intraseluler, juga menurunkan

rasio NADPH terhadap NADP+. Berkurangnya NADPH di dalam sel akibat

meningkatnya AR dapat menghambat aktivitas enzim lain yang membutuhkan

NADPH (Setiawan dan Suhartono, 2005).

Proses autooksidasi glukosa dikatalisis oleh senyawa logam dalam jumlah

kecil seperti besi dan seng. Hasil katalisis tersebut adalah senyawa oksigen reaktif

yaitu radikal bebas yang mengandung oksigen (Soesilowati, 2003). Autooksidasi

glukosa terjadi pada fase 1 proses glikasi non-enzimatik pada protein yang secara

alamiah masih bersifat reversibel. Fase ini merupakan sumber radikal hidrogen

peroksida yang mampu menghambat Cu/ZnSOD. Selain radikal hidrogen

peroksida, radikal superoksida juga dihasilkan oleh proses autooksidasi glukosa

tersebut serta terkait dengan pembentukan protein glikasi dalam plasma penderita

diabetes. Akibat yang ditimbulkan berupa peningkatan aktivitas radikal

superioksida serta kerusakan enzim superoksida dismutase (Widijanti dan

Ratulangi, 2003).

22

Gambar 2.3 Patogenesis Stres Oksidatif Pada Diabetes Melitus (Ahmed, 2005)

Berbagai komplikasi dapat timbul akibat kondisi stres oksidatif pada

penderita DM. Komplikasi DM pada mata yang sering terjadi adalah retinopati

diabetik dan katarak. Katarak pada penderita DM dibagi menjadi katarak

komplikata yang terjadi akibat adanya penyakit diabetes, sering disebut katarak

diabetika atau sugar cataract. Yang kedua adalah katarak senilis yang prosesnya

dipercepat oleh diabetes melitus, bukan murni katarak diabetika (Doshi dan

Harvey, 2008).

Katarak diabetika biasanya terjadi pada penderita DM usia muda dengan

DM tidak terkontrol, bersifat bilateral dan terjadi penurunan tajam penglihatan

secara progresif. Perubahan kekeruhan pada lensa subkapsular yang mendadak,

berwarna putih keabuan yang multipel, dengan bentuk yang khusus seperti tebaran

kapas atau salju dalam lensa (snow flake cataract). Sedangkan katarak senilis

dengan DM biasanya terjadi pada orang tua dengan riwayat DM tipe 2. Proses

karatak senilisnya dipercepat oleh kondisi DM. Gambaran kekeruhan lensa pada

23

katarak senilis dengan DM serupa dengan kekeruhan lensa pada katarak senilis

tanpa DM (Pollreisz dan Schmidt-Erfurth, 2010).

Pada pasien DM, peningkatan produksi radikal bebas mengakibatkan

penurunan konsentrasi antioksidan berat molekul rendah di jaringan, dan

gangguan pertahanan antioksidan enzimatik. Penurunan berbagai antioksidan

enzimatik tersebut terkait dengan pembentukan senyawa penanda adanya stres

oksidatif seperti peningkatan lipid hidroperoksida (Setiawan dan Suhartono,

2005).

Malondialdehyde sebagai biomarker stres oksidatif ditemukan meningkat

kadarnya pada pasien katarak senilis dengan DM dibandingkan dengan pasien

katarak senilis tanpa DM. Hal ini menunjukkan bahwa pasien katarak senilis

dengan DM terpapar oleh tingkat stres oksidatif yang lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien katarak senilis tanpa DM, dan stres oksidatif tersebut terjadi

melalui mekanisme lipid peroksidasi (Marjani, 2010). Penelitian Nurul (2000)

mendapatkan rerata kadar MDA pada lensa penderita katarak dengan DM lebih

tinggi dibandingkan dengan lensa katarak non DM, secara statistik bermakna

(p=0,01).

Berbagai studi klinis menunjukkan bahwa katarak pada kelompok

diabetes terjadi pada usia lebih awal dibandingkan dengan kelompok non diabetes

(Pollreisz dan Schmidt-Erfurth, 2010). Penderita diabetes dengan onset umur

dewasa memiliki prevalensi yang tinggi menderita katarak senilis dengan onset

yang sedikit lebih awal dibandingkan dengan populasi normal (American-

Academy of Ophthalmology Staff, 2009-2010a). Data dari Framingham serta data

24

dari beberapa penelitian yang lain menunjukkan terjadi peningkatan 3-4 kali

prevalensi katarak pada pasien DM yang berumur < 65 tahun, dan meningkat

sampai dua kali lipat pada usia di atas 65 tahun (Pollreisz dan Schmidt-Erfurth,

2010). Tipe katarak pada pasien diabetes yang lebih sering adalah katarak senilis

yang cenderung terjadi lebih awal dan lebih progresif dibandingkan dengan

individu tanpa DM (Pollreisz dan Schmidt-Erfurth, 2010; American Academy of

Ophthalmology Staff, 2009-2010b).

2.6 Stres Oksidatif

2.6.1. Definisi

Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara prooksidan dengan

antioksidan. Hal ini disebabkan oleh pembentukan ROS (reactive oxygen species)

yang melebihi kemampuan sistem pertahanan antioksidan, atau menurun atau

menetapnya kemampuan antioksidan. Pada kondisi fisiologis, antioksidan sebagai

sistem pertahanan dalam tubuh dapat melindungi sel dan jaringan melawan ROS

ini. Pada keadaan stres oksidatif terjadi kerusakan oksidatif terhadap penyusun sel

seperti DNA, protein, lemak, dan gula (Winarsi, 2007).

2.6.2. Radikal bebas, senyawa oksigen reaktif dan antioksidan

Radikal bebas adalah senyawa yang memiliki elektron tidak berpasangan pada

orbit luarnya (Gambar 2.4). Keadaan ini menyebabkan senyawa tersebut sangat

reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul

yang berada disekitarnya sehingga mengakibatkan kaskade rantai reaksi dan

memicu kerusakan sel dan penyakit (Winarsi, 2007; Marjani, 2010).

25

Gambar 2.4. Struktur Kimia Radikal Bebas (Anonim, 2010)

Bila elektron yang terikat oleh senyawa radikal bebas yang bersifat ionik

maka tidak berbahaya, tetapi bila terikat dengan senyawa yang berikatan kovalen

maka sangat berbahaya karena digunakan secara bersama-sama pada orbit

luarnya. Senyawa yang memiliki ikatan kovalen adalah molekul besar seperti

lipid, protein dan DNA. Molekul yang paling rentan sebagai target utama radikal

bebas adalah lipid terutama asam lemak tak jenuh (Winarsi, 2007; Marjani, 2010).

Senyawa oksigen reaktif adalah radikal bebas yang mengandung oksigen.

Mitokondria dan enzym sitokrom merupakan sumber utama senyawa oksigen

reaktif akibat injuri bahan toksik. Senyawa oksigen reaktif juga berasal dari sel

Kupffer dan sel peradangan terutama neutrophil. Oksigen mengandung radikal

bebas seperti radikal hydroxyl, radikal superoxide anion, radikal hydrogen

peroxide, oxygen tunggal, radikal nitric oxide dan peroxynitrite merupakan

spesies reaktif tinggi pada nukleus dan membran sel merusak secara biologi

seperti DNA, protein, karbohidrat dan lemak (Winarsi, 2007).

Antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donor). Secara

biologis, antioksidan adalah senyawa yang mampu meredam dampak negatif

oksidan dalam tubuh. Keseimbangan antara oksidan dan antioksidan sangat

penting dalam menjaga integritas dan berfungsinya membran lipid, protein sel dan

26

asam nukleat serta mengontol transduksi signal dan ekspresi gen dalam sel imun.

Pada kondisi normal, molekul scavanger atau antioksidan berperan mengkonversi

senyawa oksigen reaktif menjadi H2O untuk mencegah produksi senyawa oksigen

reaktif yang berlebihan. Antioksidan mentransformasikan radikal bebas menjadi

spesies yang kurang reaktif sehingga dapat membatasi efek toksiknya (Setiawan

dan Suhartono, 2005; Winarsi, 2007).

Sistem antioksidan dibagi menjadi kelompok enzimatis dan non enzimatis.

Antioksidan enzimatis sering disebut sebagai antioksidan primer, terdiri dari

enzim glutathione peroxidase, catalase dan superokside dismutase (SOD).

Antioksidan enzimatis bekerja dengan cara mencegah pembentukan senyawa

radikal bebas baru dan memutus reaksi radikal berantai. Antioksidan non

enzimatis atau sering disebut antioksidan sekunder terdiri dari vitamin C, A, E, β

karoten, tokoferol dan flavonoid berfungsi menangkap senyawa oksidan dan

mencegah terbentuknya reaksi radikal berantai (Winarsi, 2007).

2.6.3 MDA sebagai biomarker stres oksidatif

Biomarker adalah suatu karakteristik yang secara obyektif dapat diukur dan

dievaluasi sebagai indikator normal terhadap proses biologi, patologi dan respon

farmakologi terhadap intervensi terapiutik (Dalle-Donne dkk., 2006). Reaksi

oksidasi sering menyebabkan kerusakan oksidatif dan selanjutnya menyebabkan

kerusakan atau kematian sel. Hal ini terjadi karena senyawa radikal bebas

mengoksidasi dan menyerang komponen lipid membran sel. Senyawa radikal

bebas juga menyerang komponen penyusun sel lainnya seperti protein, lipoprotein

dan DNA (Borchman dan Yappert, 2011).

27

Kerusakan oksidatif pada senyawa lipid terjadi bila senyawa radikal bebas

bereaksi dengan senyawa asam lemak tak jenuh ganda. Jadi target utama dari

senyawa oksigen reaktif adalah asam lemak tak jenuh ganda. Asam lemak tak

jenuh ganda yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap sangat rentan

terhadap oksidasi oleh radikal bebas atau molekul-molekul reaktif lainnya.

Molekul reaktif seperti radikal hidroksil menarik atom hidrogen dari ikatan

rangkap asam lemak tak jenuh dan membentuk radikal peroksil lipid. Radikal ini

kemudian bereaksi dengan asam lemak tak jenuh lainnya membentuk

hidroperoksida lipid dan radikal peroksil lipid yang baru, yang kemudian

meneruskan reaksi oksidasi terhadap lipid lainnya sehingga terjadi suatu reaksi

berantai, yang dikenal dengan peroksidasi lipid (Winarsi, 2007; Borchman dan

Yappert, 2011).

Terdapatnya logam transisi seperti Fe akan memulai pembentukan radikal

lebih lanjut. Salah satu akibat penting peroksidasi lipid adalah pembentukan

senyawa-senyawa aldehida, termasuk senyawa karbonil reaktif terutama MDA.

Oksidasi lipid merupakan hasil kerja radikal bebas yang diketahui paling awal dan

paling mudah pengukurannya (William, 2006; Winarsi, 2007).

Radikal bebas bersifat sangat reaktif dan tidak stabil, sehingga sangat sulit

mengukurnya secara langsung. Tetapi terbentuknya peroksida lipid dapat

digunakan mendeterminasi secara tidak langsung adanya radikal bebas tersebut.

Marker atau produk peroksida lipid seperti Malondialdehyde (MDA) dapat diukur

untuk menentukan adanya radikal bebas. MDA adalah produk dekomposisi dari

PUFA peroksidasi. Analisis MDA merupakan analisis radikal bebas secara tidak

28

langsung dan merupakan analisis yang cukup mudah untuk menentukan jumlah

radikal bebas yang terbentuk (Winarsi, 2007).

Pengukuran kadar MDA dilakukan dengan dasar reaksi MDA dengan

tiobarbituric acid (TBA) atau asam tiobarbiturat yang membentuk senyawa

berwarna MDA-TBA2 dan mengabsorbsi sinar dengan panjang gelombang 532-

534 nm. Senyawa berwarna tersebut dapat diukur konsentrasinya berdasarkan

absorbansi warna yang terbentuk, dengan membandingkannya pada absorbansi

warna larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya menggunakan

spektrofotometer (NWLSSTM Malondialdehyde Assay) (Yagi, 1982). Keunggulan

pengukuran MDA dibandingkan dengan produk peroksidasi lipid yang lain adalah

metode yang lebih murah dengan bahan yang lebih mudah didapat (Winarsi,

2007).

Malondialdehyde ditemukan hampir di seluruh cairan biologis termasuk di

serum, urin, cairan sendi, cairan empedu, cairan getah bening, cairan amnion,

humor akuos, cairan perikardial, dan cairan seminal. Namun serum dan urin

merupakan sampel yang paling mudah didapat dan paling tidak invasif (Janero,

2001).

Malondialdehyde sangat cocok sebagai biomarker stres oksidatif karena

beberapa alasan yaitu: pembentukan MDA meningkat sesuai dengan stres

oksidatif, kadarnya dapat diukur secara akurat dengan berbagai metode yang telah

tersedia, bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi, pengukurannya

tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi oleh kandungan

29

lemak dalam diet, merupakan produk spesifik dari peroksidasi lemak (Dalle-

Donne dkk., 2006).

Kadar MDA serum pada populasi normal pernah diteliti oleh beberapa

peneliti di berbagai tempat dengan hasil yang berbeda-beda. Ates dkk (2004) di

Turki melakukan penelitian terhadap kadar MDA populasi normal yang rata-

rata berumur 57,4±1,0 tahun dan mendapatkan hasil rata-rata kadar MDA

serum sebesar 2,94±0,26µmol/L. Penelitian Cekic dkk. (2010) di Serbia

menemukan kadar MDA serum pada populasi normal yang rata-rata berumur

65 tahun sebesar 8,73±2,53 µmol/L. Sedangkan Setiadi dkk. (1996) dalam

penelitiannya di Jakarta menemukan kadar MDA serum pada populasi normal

yang rata-rata berumur 58 tahun sebesar 6,19±1,91µmol/L. Di Bali sendiri

belum pernah dilakukan penelitian tentang kadar MDA pada populasi normal

maupun pada pasien katarak senilis.

30

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Katarak senilis merupakan penyakit multifaktorial yang

etiopatogenesisnya belum diketahui secara pasti. Salah satu teori tentang

etiopatogenesis katarak senilis yang banyak berkembang belakangan ini adalah

mekanisme stres oksidatif.

Bertambahnya umur menyebabkan keseimbangan antara antioksidan dan

radikal bebas terganggu sehingga timbul kondisi yang disebut stres oksidatif.

Reaksi radikal bebas dengan asam lemak tak jenuh ganda yang terdapat pada

dinding sel akan menyebabkan kerusakan sel dan menghasilkan malondialdehyde

(MDA) melalui proses peroksidasi lipid. MDA merupakan salah satu produk akhir

proses lipid peroksidasi dan berfungsi sebagai biomarker terjadinya stres

oksidatif. Meningkatnya kadar MDA menyebabkan agregasi protein inter dan

intraseluler. Berat molekul protein akan meningkat dan kejernihan lensa crystallin

akan berkurang sehingga terbentuk katarak.

Penyakit diabetes melitus diperkirakan sebagai salah satu faktor risiko

utama terjadinya katarak senilis. Keadaan hiperglikemia pada pasien diabetes

melitus (DM) menyebabkan terjadinya autooksidasi glukosa, glikasi protein dan

aktivasi jalur metabolisme poliol yang selanjutnya mempercepat terbentuknya

senyawa oksigen reaktif. Terbentuknya senyawa oksigen reaktif yang tidak

diimbangi dengan jumlah antioksidan pada pasien DM menyebabkan terjadi stres

31

oksidatif sehingga terjadi kerusakan makromolekular seluler, mengakibatkan

modifikasi protein serta terjadi lipid peroksidasi.

Umur yang bertambah disertai dengan penyakit DM menyebabkan tingkat

stres oksidatif bertambah besar. MDA sebagai biomarker stres oksidatif

ditemukan meningkat kadarnya pada pasien katarak senilis dengan DM

dibandingkan dengan pasien katarak senilis tanpa DM

Kadar MDA dipengaruhi oleh faktor internal seperti umur, genetik, dan

faktor eksternal seperti merokok, paparan sinar UV, aktivitas fisik, stres

psikologis, penyakit sistemik yang kronis, penggunaan obat anti inflamasi non

steroid (AINS), obat kortikosteroid atau obat imunosupresan, vitamin antioksidan,

peradangan intraokular.

32

3.2 Konsep

Gambar 3.1 Bagan Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian

Kadar MDA serum pasien dengan DM lebih tinggi daripada tanpa DM pada

katarak senilis imatur.

Kadar MDA SerumKatarak Senilis Imatur

Dengan DM dan Tanpa DM

FAKTOR INTERNAL

1. Umur

2. Genetik

FAKTOR EKSTERNAL

1. Penggunaan obat antiinflamasi non steroid(AINS)

2. Obat kortikosteroid//imunosupresan

3. Vitamin antioksidan A& E

4. Merokok5. Peradangan

intraokular6. Penyakit sistemik

kronis7. Aktivitas fisik8. Stres psikologis9. Paparan sinar UV

33

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan studi

potong lintang (cross-sectional) (Fleiss, 1981). Penelitian ini dilaksanakan untuk

mengetahui perbedaan kadar malondialdehyde (MDA) serum pada pasien katarak

senilis imatur dengan DM dan tanpa DM.

Rancangan penelitian ini dapat digambarkan dengan skema sebagai

berikut :

Gambar 4.1. Skema Rancangan Penelitian

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Poliklinik Mata RSUP Sanglah Denpasar dan

Poliklinik Mata RS Indera Denpasar. Pemeriksaan kadar MDA dilakukan di

Laboratorium terpusat yang sudah terakreditasi yaitu Laboratorium Analitik

Universitas Udayana di Bukit Jimbaran. Penelitian memerlukan waktu selama

enam bulan dimulai pada bulan Oktober 2012 – Maret 2013 atau sampai jumlah

sampel terpenuhi.

Katarak Senilis Imatur

Dengan DM Tanpa DM

MDAa

MDA

34

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi

1. Populasi target pada penelitian ini adalah pasien katarak senilis imatur.

2. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien katarak senilis

imatur yang datang ke Poliklinik Mata RSUP Sanglah Denpasar dan RS

Indera Denpasar periode bulan Oktober 2012- Maret 2013.

4.3.2 Sampel

Sampel penelitian adalah semua pasien katarak senilis imatur yang

datang ke Poliklinik Mata RSUP Sanglah Denpasar dan RS Indera Denpasar yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel dipilih dengan teknik consecutive

sampling dari populasi terjangkaunya sampai memenuhi jumlah sampel yang

diperlukan.

4.3.3 Kriteria inklusi dan eksklusi penelitian

4.3.3.1 Kriteria inklusi

a. Pasien katarak senilis imatur dengan DM dan pasien katarak senilis

imatur tanpa DM yang berumur lebih dari 50 tahun.

b. Tekanan intraokular (TIO) < 21 mmHg.

4.3.3.2 Kriteria eksklusi

a. Subjek dengan peradangan intraokular.

b. Subjek sedang menderita penyakit sistemik yang kronis.

c. Subjek sedang mendapat pengobatan kortikosteroid, antiinflamasi

non steroid atau obat imunosupresan.

d. Subjek sedang mengkonsumsi suplemen antioksidan

35

e. Subjek perokok.

f. Subjek dengan riwayat operasi katarak dan/ atau operasi intraokular

lainnya pada satu mata.

g. Subjek dengan katarak senilis stadium matur atau hipermatur pada

satu mata.

4.3.4 Besar sampel

Besar atau jumlah sampel minimal ditentukan berdasarkan asumsi :

1. Tingkat kesalahan tipe I (α ) dipergunakan 0,05 Zα = 1,960

2. Power penelitian yang direncanakan sebesar 80%, dengan tingkat

kesalahan tipe II (β) adalah 20% Zβ = 0,842

n1= n2 = 2 SD (Zα + Zβ)2 = 40,652 ~ 41 subyek

x1 - x2

(Lemeshow dkk.,1990)

n1=n2 = besar sampel pada masing-masing kelompok

x1 – x2 = perbedaan/ selisih kadar MDA antara kedua kelompok

yang dianggap bermakna = 0,555

SD = standar deviasi gabungan (Deepa dkk., 2011) = 0,893

Zα = 1,96 untuk α = 0,05

Zβ = 0,842 untuk power 80%

Jadi jumlah sampel penelitian sebesar 82 sampel (individu), terdiri dari 41

sampel pada kelompok katarak senilis imatur tanpa DM dan 41 sampel pada

kelompok katarak senilis imatur dengan DM.

36

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1. Klasifikasi dan identifikasi variabel

Variabel penelitian adalah karakteristik atau ciri sampel penelitian yang

diukur, secara numerik maupun katagorikal. Semua variabel tersebut ditentukan

dan disusun sesuai dengan rancangan penelitian yang direncanakan.

1. Variabel bebas yaitu katarak senilis dengan DM dan tanpa DM.

2. Variabel tergantung adalah kadar malondialdehyde (MDA) dalam serum.

3. Variabel kendali adalah merokok, penyakit sistemik yang kronis, penggunaan

obat anti inflamasi non steroid (AINS), obat kortikosteroid atau obat

imunosupresan, suplemen antioksidan, peradangan intraokular, umur, stadium

katarak.

4. Variabel rambang adalah paparan sinar UV, aktivitas fisik, stres psikologis.

Gambar 4.2 Skema Hubungan Antar Variabel

Variabel bebas

Katarak senilis imatur dengan

DM dan tanpa DM

Variabel tergantung

Kadar MDA serum

Variabel kendaliMerokok, penyakit sistemik yang kronis,penggunaan obat anti inflamasi non steroid(AINS), obat kortikosteroid atau obatimunosupresan, suplemen antioksidan,peradangan intraokular, umur, stadium katarak

Variabel rambangPaparan sinar UV,

aktivitas fisik, strespsikologis

37

4.4.2 Definisi operasional variabel

Untuk menghindari adanya kesalahan dalam pengumpulan data, berdasarkan

identifikasi dan klasifikasi variabel, maka operasional variabel tersebut

didefinisikan sebagai berikut;

1. Katarak senilis adalah kekeruhan pada lensa yang terjadi pada usia di atas

50 tahun (Olawaye dkk., 2011).

2. Katarak senilis imatur adalah katarak senilis dengan gradasi 2-4

berdasarkan klasifikasi Burrato dan pada pemeriksaan tes bayangan iris

dan refleks fundus hasil positif (Sihota dan Tandan 2007).

3. Pasien katarak senilis imatur dengan DM adalah pasien dengan kekeruhan

pada lensa berumur di atas 50 tahun, saat ini baru pertama kali diperiksa

kadar gula darahnya dan diperoleh hasil gula darah sewaktu (GDS) ≥ 200

mg/dL disertai adanya keluhan klasik DM (poliuri, polidipsi, polifagi)

(Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011), atau pasien sedang

mengkonsumsi obat-obatan antidiabetika, atau dari catatan medis pasien

terdiagnosis dengan DM tipe 2. Gula darah sewaktu diperiksa dengan

menggunakan alat Gluco-DR.

4. Pasien katarak senilis imatur tanpa DM adalah pasien dengan kekeruhan

pada lensa berumur di atas 50 tahun, menyangkal adanya DM, tidak

sedang mengkonsumsi obat-obatan antidiabetik, saat dilakukan

pemeriksaan gula darah sewaktu diperoleh hasil GDS < 140 mg/dL serta

tanpa adanya keluhan klasik DM (poliuri, polidipsi, polifagi)

38

(Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011). Gula darah sewaktu

diperiksa dengan menggunakan alat Gluco-DR.

5. Kadar malondialdehyde (MDA) merupakan kadar MDA yang diperiksa

dengan metode spektrofotometrik dari bahan sampel darah serum, yang

diukur menggunakan metode Yagi (1982), dengan menggunakan alat

spektrofotometer (NWLSSTM Malondialdehyde assay) dengan satuan

µmol/L. Pemeriksaan kadar MDA dilakukan di Laboratorium Analitik

Universitas Udayana di Bukit Jimbaran.

6. Subjek dengan penyakit sistemik kronis adalah subjek yang sedang

menderita penyakit kardiovaskular, penyakit kanker/keganasan, yang

diperoleh melalui teknik wawancara.

7. Subjek dengan peradangan intraokular adalah subjek yang sedang

menderita peradangan pada segmen anterior dan atau segmen posterior

bola mata seperti uveitis anterior, uveitis posterior, ulkus kornea, keratitis,

konjungtivitis, yang ditentukan dengan pemeriksaan slit lamp.

8. Pengguna kortikosteroid, anti inflamasi nonsteroid, atau imunosupresan

adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi obat

kortikosteroid, anti inflamasi nonsteroid, atau imunosupresan dalam kurun

waktu enam minggu terakhir ((Li dkk., 2009), yang diperoleh melalui

teknik wawancara.

9. Pengguna supelemen antioksidan adalah subjek dengan riwayat sedang

atau pernah mengkonsumsi suplemen yang mengandung antioksidan

39

dalam kurun waktu enam minggu terakhir ((Li dkk., 2009), yang

diperoleh melalui teknik wawancara.

10. Perokok adalah subjek dengan riwayat merokok yang diperoleh melalui

teknik wawancara.

11. Umur adalah umur ditentukan dari tanggal kelahiran sampai datang ke

rumah sakit berdasarkan kartu tanda penduduk atau kartu keluarga.

12. Subjek dengan riwayat operasi katarak dan/ atau operasi intraokular

lainnya pada satu mata adalah subjek yang sudah menjalani operasi

katarak dan/ atau operasi intraokular lainnya pada satu mata, sedangkan

mata yang lain saat ini dengan katarak senilis stadium imatur.

13. Subjek dengan katarak senilis stadium matur atau hipermatur pada satu

mata adalah pasien dengan katarak senilis stadium matur atau hipermatur

pada satu mata, dan mata yang lain saat ini dengan katarak senilis stadium

imatur.

14. Pekerjaan adalah pekerjaan utama yang ditekuni oleh subjek penelitian

pada sebagian besar periode kehidupannya.

15. Tingkat pendidikan adalah pendidikan terakhir yang pernah ditempuh

oleh subjek penelitian.

4.5 Bahan Penelitian

1. Bahan sampel

Bahan sampel adalah sampel darah yang diambil dari darah vena cubiti

subjek penelitian untuk pemeriksaan kadar MDA.

2. Bahan kimia

40

Bahan kimia yang digunakan untuk analisis MDA adalah asam sulfat, asam

fosfotungstat 10%, akuabides, reagen TBA (campuran 2-asam tiobarbiturat

dengan asam asetat), dan n-butilalkohol.

4.6. Instrumen Penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan fisik

oftalmologis, dan pengambilan sampel darah. Untuk menegakkan diagnosis

katarak senilis, digunakan lembaran pemeriksaan status oftalmologis dan

lembaran kuesioner, E chart atau Snellen chart, tonometer Schiotz, anestesi

topikal (pantocain 0,5%), sikloplegik (midriatyl 0,5%), funduskopi dan slit lamp.

Untuk pengambilan sampel darah vena diperlukan sarung tangan, torniquet, spuite

3 cc dan tabung berisi reagen EDTA.

4.7 Prosedur Penelitian

4.7.1 Tahap persiapan

Sampel penelitian diseleksi di poliklinik mata RSUP Sanglah dan RS Indera

Denpasar. Wawancara dan pemeriksaan mata dilakukan oleh peneliti. Setelah

diperoleh sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian, terlebih

dahulu diberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian, dan kemudian

menandatangani informed consent. Pada sampel dilakukan identifikasi tentang

karateristik sampel penelitian. Seluruh data penelitian tiap sampel dicatat dalam

formulir penelitian.

4.7.2 Pelaksanaan penelitian

Adapun urutan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

41

1. Anamnesis meliputi nama, umur, jenis kelamin, riwayat penyakit

sebelumnya, berdasarkan lembar kuisioner penelitian. Data dicatat dalam

bentuk tabel induk.

2. Diagnosis katarak senilis

Diagnosis katarak senilis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan

dengan menggunakan slit lamp. Pertama dilakukan pemeriksaan visus dengan

menggunakan E chart atau Snellen chart, kemudian dilakukan pemeriksaan

tekanan intraokular dan bila hasilnya kurang dari 21 mmHg, pupil pasien

dilebarkan dengan sikloplegik (midriatyl 0,5%). Setelah pupil lebar,

dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan slit lamp untuk mengevaluasi

adanya kelainan di segmen anterior, dilanjutkan dengan pemeriksaan

menggunakan lensa 78 dan funduskopi untuk mengevaluasi adanya kelainan

pada segmen posterior sekaligus menentukan diagnosis dan stadium katarak

senilis. Stadium katarak senilis ditentukan berdasarkan kriteria Burrato.

3. Diagnosis diabetes melitus (DM)

Setiap subjek penelitian diperiksa kadar gula darah sewaktu (GDS). Apabila

dari anamnesis subjek menyangkal adanya DM, tidak sedang mengkonsumsi

obat-obatan antidiabetik, saat ini baru pertama kali diperiksa kadar gula

darahnya dan diperoleh hasil GDS ≥ 200 mg/dL, maka subjek dimasukkan ke

dalam kelompok katarak senilis imatur dengan DM. Apabila pasien sedang

mengkonsumsi obat-obatan anti diabetik, atau dari catatan medis pasien

sudah terdiagnosis sebagai DM tipe 2 oleh dokter spesialis penyakit dalam,

maka subjek dimasukkan ke dalam kelompok katarak senilis imatur dengan

42

DM. Apabila dari anamnesis subjek menyangkal adanya DM, tidak sedang

mengkonsumsi obat-obatan antidiabetik, saat ini baru pertama kali diperiksa

kadar gula darahnya dan diperoleh hasil GDS < 140 mg/dL, maka subjek

dimasukkan ke dalam kelompok katarak senilis imatur tanpa DM.

4. Pengambilan sampel darah

Pengambilan sampel darah dilakukan melalui vena cubiti sebanyak 3 cc

dengan menggunakan spuite 3 cc. Pengambilan sampel darah dilakukan oleh

petugas laboratorium. Masing-masing sampel darah vena tersebut ditampung

dalam tabung yang berisi reagen EDTA (ethylene diamine tetra acetic acid).

Tabung sampel darah kemudian diberikan label sesuai dengan nomor urut

masing-masing kelompok yaitu kelompok katarak senilis tanpa DM dan

kelompok katarak senilis dengan DM. Selanjutnya sampel darah dikirim ke

Laboratorium Analitik Universitas Udayana di Bukit Jimbaran untuk

dilakukan pemeriksaan kadar MDA.

5. Pemeriksaan MDA

Pemeriksaan MDA serum dikerjakan dengan metode spektrofotometrik.

Prinsip kerjanya adalah dengan menggunakan reaksi asam tiobarbiturat

dengan MDA, yang dibaca dengan panjang gelombang 532-534 nm. Alat

yang digunakan adalah spektrofotometer (NWLSSTM Malondialdehyde assay).

Hasil pemeriksaan yang didapat kemudian dikumpulkan oleh peneliti dan

selanjutnya dianalisis untuk mengetahui perbedaan rerata kadar MDA serum

pada pasien katarak senilis imatur dengan DM dan tanpa DM.

43

4.8 Alur Penelitian

Untuk lebih mempermudah dalam pelaksanaan penelitian maka dibuat alur

penelitian seperti pada gambar sebagai berikut:

Gambar 4.3 Skema Alur penelitian

Sampel

Analisis statistik

Pasien katarak senilis imatur

Pasien katarak senilis imatur yang datang kePoliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS InderaDenpasar periode bulan Oktober 2012 – Maret

2013

Kataraktanpa DM

Katarakdengan DM

Informed consent

Eligible sample

MDA serum MDA serum

Kriteria Eksklusi:1. Peradangan

intraokular2. Penyakit sistemik

kronis3. Sedang dalam terapi

NSAID, steroid,imunosupresan 6 mggterakhir

4. Konsumsi suplemenantioksidan 6 mggterakhir

5. Subjek merokok6. Subjek dengan riwayat

operasi katarak dan/atau operasiintraokular lainnyapada satu mata

7. Subjek dengan kataraksenilis stadium matur/hipermatur pada satumata

Kriteria Inklusi:1. Pasien katarak

senilis imaturdengan DM dantanpa DM berumur> 50 th

2. TIO<21 mmHg

44

4.9 Analisis Data

1. Seleksi data yaitu editing, coding dan tabulasi dimasukkan pada file navigator

program Statistical Package for The Social Sciences (SPSS).

2. Analisis statistik deskriptif

Untuk menggambarkan karakteristik umum dan distribusi frekuensi berbagai

variabel. Data berskala kategorik dideskripsikan dalam bentuk frekuensi dan

prosentase, sedangkan data berskala numerik dalam bentuk rerata dan standar

deviasi.

3. Uji normalitas Kolmogorov - Smirnov

Mengingat jumlah sampel lebih dari 30 maka digunakan uji ini untuk

pengujian data berdistribusi normal.

4. Uji homogenitas varians antar kelompok dengan uji-Levene

Digunakan untuk menganalisis homogenitas varians variabel antar kelompok.

5. Analisis perbedaan

Menguji perbedaan kadar MDA serum antara kelompok katarak senilis imatur

tanpa DM dan katarak senilis imatur dengan DM, dianalisis dengan uji t tidak

berpasangan karena data berdistribusi normal.

45

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1. Profil dan Karakteristik Subjek Penelitian

Subjek penelitian dipilih secara konsekutif dari pasien katarak senilis imatur

dengan dan tanpa DM yang datang ke poliklinik mata Rumah Sakit Indera dan

poliklinik mata FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar selama periode bulan

Oktober 2012 sampai Maret 2013. Delapan puluh dua orang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi, terdiri dari 41 orang dari kelompok katarak senilis imatur

dengan DM dan 41 orang dari kelompok katarak senilis imatur tanpa DM.

Seluruh subjek penelitian telah menandatangani informed consent. Sebanyak 3 cc

darah diambil dari vena cubiti masing-masing subjek, dan dilakukan pemeriksaan

kadar MDA serum.

Tabel 5.1 memperlihatkan karakteristik subjek penelitian. Rerata umur pada

kelompok katarak senilis imatur tanpa DM adalah 65,44±9,58 tahun, sedangkan

rerata umur pada kelompok katarak senilis imatur dengan DM adalah 63,41±7,57

tahun. Prosentase jenis kelamin laki-laki didapatkan lebih banyak dibandingkan

perempuan pada kedua kelompok, yaitu sebesar 58,5 % pada kelompok katarak

senilis imatur tanpa DM dan 78,0 % pada kelompok katarak senilis imatur dengan

DM. Sebagian besar pasien katarak senilis imatur dengan dan tanpa DM

berpendidikan setingkat SD yaitu berturut-turut 48,8% dan 43,9%. Berdasarkan

variabel pekerjaan, pada kedua kelompok didapatkan sebagian besar sampel

bekerja sebagai petani. Pada kelompok katarak senilis imatur tanpa DM

46

didapatkan sebanyak 46,3% bekerja sebagai petani, sedangkan pada kelompok

katarak senilis imatur dengan DM sebesar 36,6%.

Tabel 5.1Karakteristik subjek penelitian ( n = 82 orang )

KarakteristikKelompok

Nilai pKSI dengan DM

n = 41KSI tanpa DM

n = 41Umur, tahun

(rerata±SD)63,41±7,57 65,44±9,58 0,29*

Jenis kelamin {n (%)}Laki-lakiPerempuan

Pendidikan {n (%)}Tidak sekolahSDSMPSMUS1

Pekerjaan {n (%)}TaniSwastaIRTPNS/Pensiunan

32 (78,0)9 (22,0)

4 (9,8)20 (48,8)1 (2,4)

12 (29,3)4 (9,8)

15 (36,6)12 (29,3)5 (12,2)9 (22,0)

24 (58,5)17 (41,5)

5 (12,2)18 (43,9)4 (9,8)

13 (31,7)1 (2,4)

19 (46,3)9 (22,0)5 (12,2)8 (19,5)

0,06**

1,00***

0,81**

* Uji t tidak berpasangan**Uji Chi-square

*** Uji Kolmogorov-Smirnov

5.2 Perbandingan Kadar MDA Serum Kelompok Katarak Senilis

Imatur Dengan dan Tanpa DM

Tabel 5.2 memperlihatkan perbandingan kadar MDA serum kelompok

katarak senilis imatur dengan DM dan kelompok katarak senilis imatur tanpa DM.

47

Uji t tidak berpasangan digunakan dalam menganalisis perbedaan kadar MDA

kedua kelompok karena pada uji normalitas dan homogenitas didapatkan data

berdistribusi normal (p>0,05). Rerata kadar MDA serum kelompok katarak

senilis imatur tanpa DM sebesar 4,71 ± 0,54 µmol/L, dan rerata kadar MDA

serum kelompok katarak senilis imatur dengan DM sebesar 6,55 ± 0,67 µmol/L.

Terdapat perbedaan bermakna kadar MDA serum kedua kelompok (p<0,001,

beda rerata = 1,84 µmol/L , CI 95% = 1,57 sampai 2,11).

Tabel 5.2 Perbandingan Kadar MDA Serum Kelompok Katarak SenilisImatur Dengan dan Tanpa DM ( n = 82)

Parameter

KelompokBedarerata

(µmol/L)

Nilai pCI (95%)KSI dengan

DMn = 41

KSI tanpaDM

n = 41Kadar MDAserumRerata±SD

6,55 ± 0,67 4,71 ± 0,54 1,84 <0,001* 1,57-2,11

* Uji t tidak berpasangan

48

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1. Subjek Penelitian

Penelitian ini melibatkan 82 subjek penelitian, terdiri dari 41 orang dari

kelompok katarak senilis imatur dengan DM dan 41 orang dari kelompok

katarak senilis imatur tanpa DM yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Subjek penelitian ini dilakukan pengambilan sampel darah vena untuk

pengukuran kadar MDA serum.

Tabel 5.1 tentang karakteristik subjek penelitian, menunjukkan bahwa

rerata umur subjek katarak senilis imatur dengan DM pada penelitian ini yaitu

63,41 ± 7,57 tahun, cenderung lebih muda dibandingkan dengan kelompok

katarak senilis tanpa DM yaitu 65,44 ± 9,58 tahun. Hasil penelitian ini sesuai

dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Deepa dkk. (2011) di India.

Penelitian Deepa dkk. (2011) didapatkan rata-rata umur pasien katarak diabetik

yaitu 60,36 ± 7,46 tahun, cenderung lebih muda dan berbeda signifikan

dibandingkan kelompok katarak senilis yaitu 66,72 ± 7,329 tahun. Saygili dkk.

(2010) dalam penelitiannya didapatkan rata-rata umur pasien katarak senilis

adalah 66 ±8,3 tahun, lebih tua dan berbeda signifikan dibandingkan kelompok

katarak diabetik yaitu 62±9,9 tahun. Penelitian ini ditemukan hasil yang sama

dengan penelitian yang dilakukan oleh Deepa dkk. dan studi oleh Saygili dkk.

Hal ini diperkuat oleh teori bahwa katarak terjadi pada usia yang cenderung

lebih muda pada individu yang menderita DM. Penderita DM onset dewasa

memiliki prevalensi lebih tinggi menderita katarak senilis dengan onset yang

49

sedikit lebih awal dibandingkan dengan individu tanpa DM (Javadi &

Ghanavati, 2008). Frekuensi terjadinya katarak pada pasien DM dua hingga

lima kali lebih sering dibandingkan individu normal (Klein dkk., 1995).

Penderita DM mengalami tingkat stres oksidatif yang tinggi dan menderita

katarak pada usia yang lebih muda dibandingkan individu tanpa DM (Deepa

dkk., 2011).

Berdasarkan kategori umur, penelitian ini didapatkan prosentase jenis

kelamin laki-laki cenderung lebih tinggi dibandingkan perempuan pada kedua

kelompok. Kelompok katarak senilis dengan DM diperoleh prosentase subjek

berjenis kelamin laki-laki sebesar 78,0 % dan sisanya perempuan sebesar 22,0

%. Kelompok katarak senilis tanpa DM ditemukan prosentase subjek berjenis

kelamin laki-laki sebesar 58,5 %. Studi oleh Obiudu dkk. (2009) didapatkan

prosentase subjek katarak senilis lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki

(58,3%) dibandingkan perempuan (41,7%). Penelitian Olawaye dkk. (2011) di

Nigeria didapatkan prosentase subjek katarak senilis lebih tinggi pada laki-laki

(54,3%) dibandingkan perempuan (45,7%). Studi yang dilakukan oleh Saygili

dkk. (2010) didapatkan hasil berbeda, penderita katarak senilis perempuan

memiliki prosentase lebih tinggi dibandingkan laki-laki, baik pada kelompok

katarak senilis dengan DM maupun katarak senilis tanpa DM.

Berbagai penelitian tentang distribusi katarak senilis berdasarkan jenis

kelamin diperoleh hasil yang berbeda-beda. Sebagian besar penelitian tersebut

didapatkan kelompok jenis kelamin laki-laki mempunyai prosentase lebih

tinggi menderita katarak senilis dibandingkan perempuan. Kebiasaan laki-laki

50

beraktivitas di luar ruangan menyebabkan kemungkinan terpapar sinar

matahari atau polusi semakin besar. Sinar matahari dan polusi udara disebut

sebagai faktor risiko terjadinya katarak (Oduntan dan Mashige, 2011). Paparan

sinar ultraviolet merupakan radikal bebas yang bersifat reaktif dan

menyebabkan kerusakan serat lensa. Reaksi antara radikal bebas dan membran

lipid serat lensa menimbulkan peroksidasi lipid dan memicu kekeruhan lensa

(American Academy of Ophthalmology Staff, 2009-2010a). Penelitian Saygili

dkk. didapatkan hasil yang berbeda dimana jumlah subjek berjenis kelamin

perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hal ini dikaitkan dengan

menurunnya kadar estrogen pada wanita berusia lebih dari 50 tahun yang sudah

menopouse. Hormon estrogen disebutkan mampu memperlambat timbulnya

katarak pada wanita menopouse yang mendapat terapi hormon estrogen, tetapi

mekanisme kerja hormon estrogen dalam memperlambat terjadinya kekeruhan

lensa masih melum jelas (Soehardjo, 2004).

Berdasarkan tabel 5.1, sebagian besar subjek katarak senilis imatur

tanpa DM pada penelitian ini bekerja sebagai petani (46,3%) dan di sektor

swasta (29,3%), dan pada kelompok subjek katarak senilis imatur dengan DM

sebagian besar juga bekerja sebagai petani yaitu sebesar 36,6%. Penelitian

yang dilakukan di University College Hospital Nigeria terhadap 184 pasien

katarak senilis mendapatkan sebagian besar dari mereka bekerja sebagai

pedagang (45,1%) dan petani 15,8% (Olawaye dkk., 2011). Penelitian yang

dilakukan di Singapura mendapatkan sebagian besar pasien katarak senilis

bekerja sebagai buruh bangunan (Foster dkk., 2003).

51

Katarak senilis sering dihubungkan dengan pekerjaan yang berisiko

terkena paparan sinar ultraviolet dalam waktu lama. Penelitian potong lintang

pada para nelayan di Hongkong menunjukkan bahwa nelayan yang bekerja

dengan paparan matahari yang lama cenderung menderita katarak

dibandingkan dengan kelompok kontrol (Wong dkk., 1993). Hasil penelitian di

Barbados Eye Studies Group, penduduk yang bekerja di luar rumah

mempunyai risiko 1,47 kali lebih besar terkena katarak dibanding kelompok

kontrol (Leske dkk., 2002).

Berdasarkan kategori pendidikan, sebagian besar subjek katarak senilis

imatur dengan dan tanpa DM pada penelitian ini memiliki pendidikan setingkat

SD yaitu berturut-turut sebesar 48,8% dan 43,9%. Olawaye dkk. (2011) dalam

penelitiannya terhadap pasien katarak senilis mendapatkan sebagian besar

sampel penelitiannya berpendidikan nonformal sebanyak 47,8% dan sekolah

dasar sebesar 22,8%. Penelitian Foster dkk. (2003) didapatkan sebagian besar

subjek katarak senilis berpendidikan rendah yaitu sebanyak 40,7% tidak pernah

sekolah dan 32,8% berpendidikan setingkat sekolah dasar.

Status pendidikan disebutkan sebagai salah satu faktor risiko terjadinya

katarak, dikaitkan dengan masyarakat berpendidikan rendah cenderung berasal

dari kelompok sosial ekonomi kurang mampu. Nutrisi makanan yang kurang

mencukupi pada kelompok penduduk ini dapat mempengaruhi terjadinya

katarak, terutama asupan bahan makanan yang mengandung vitamin C, E, A,

riboflavin dan β-karoten yang berperan sebagai antioksidan non-enzimatik.

52

Senyawa-senyawa ini berfungsi untuk menangkap senyawa oksidan atau

radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai (Winarsi, 2007).

6.2. Kadar MDA Serum Pasien Katarak Senilis Imatur Tanpa DM

Stres oksidatif diperkirakan berperan penting dalam proses

kataraktogenesis (Deepa dkk., 2011). Stres oksidatif meningkat seiring

bertambahnya usia. Dengan meningkatnya usia seseorang, pembentukan

radikal bebas juga semakin tinggi berkaitan dengan menurunnya laju

metabolisme dan antioksidan yang mengalami degenerasi. Secara eksogenus,

kemungkinan tubuh terpapar oleh polutan juga semakin meningkat dengan

bertambahnya usia. Kondisi stres oksidatif dalam tubuh akan meningkatkan

risiko terjadinya penyakit degeneratif termasuk katarak senilis. Terjadinya stres

oksidatif dalam tubuh dibuktikan dengan meningkatnya kadar MDA serum

(Winarsi, 2007).

Penelitian yang mengukur kadar MDA serum katarak senilis pernah

dilakukan di beberapa tempat dengan hasil yang berbeda-beda. Penelitian

Artunay dkk. (2009) di Turki ditemukan kadar MDA serum pasien katarak

senilis tanpa DM rata-rata sebesar 3,50±0,54 µmol/L (p<0,001) serta kadar

MDA serum pada kelompok kontrol yang tidak menderita katarak sebesar

2,52±1,69 µmol/L. Deepa dkk. (2011) dalam penelitiannya di India

mendapatkan kadar MDA serum pasien katarak senilis tanpa DM rata-rata

sebesar 5,586±1,117 µmol/L. Studi oleh Cekic dkk. (2010) di Serbia ditemukan

kadar MDA serum pasien katarak senilis tanpa DM dengan rerata sebesar

20,24±8,12 µmol/L. Sedangkan Li dkk. (2009) dalam penelitiannya di Tufts

53

University Health Science, Boston, ditemukan kadar MDA serum pasien

katarak senilis tanpa DM rata-rata sebesar 3,84±1,37 µmol/L. Setiadi dkk.

(1996) dalam penelitiannya di Jakarta didapatkan hasil kadar MDA serum

pasien katarak senilis tanpa DM rata-rata sebesar 7,23±2,3 µmol/L. Penelitian

ini didapatkan kadar MDA serum pasien katarak senilis tanpa DM dengan

rerata sebesar 4,71±0,54 µmol/L.

Berbagai penelitian yang dilakukan di beberapa tempat didapatkan hasil

kadar MDA serum pasien katarak senilis tanpa DM dengan variasi atau rentang

nilai yang berbeda-beda. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor

seperti misalnya kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan oleh masing-

masing peneliti berbeda-beda, yang bisa mempengaruhi kadar MDA serum

pasien katarak senilis tanpa DM. Paparan stres oksidatif akibat terekspos oleh

sinar ultraviolet, polusi udara, tingkat stres psikis maupun fisik yang dialami

oleh subjek di berbagai tempat atau negara juga berbeda, yang akan

mempengaruhi kadar MDA serum.

Perbedaan kadar MDA serum katarak senilis tanpa DM yang diperoleh

pada beberapa penelitian di berbagai negara didapatkan hasil berbeda-beda

mungkin pula disebabkan oleh adanya perbedaan ras dan etnik dari masing-

masing negara tersebut, meskipun penelitian tentang hubungan antara ras dan

etnik dengan kadar MDA serum pasien katarak senilis imatur belum pernah

dilaporkan.

54

6.3. Kadar MDA Serum Pasien Katarak Senilis Imatur Dengan DM

Penderita diabetes melitus mengalami kondisi stres oksidatif akibat

hiperglikemi. Hiperglikemi menyebabkan kondisi stres oksidatif melalui 3

mekanisme yaitu glikasi non-enzimatik pada protein, jalur poliol sorbitol

(aldose reduktase) dan autooksidasi glukosa. Pada DM terjadi penurunan

berbagai antioksidan enzimatik dan peningkatan hidroperoksida lipid (Setiawan

dan Suhartono, 2005). Terjadinya kerusakan oksidatif pada pasien DM ditandai

dengan peningkatan kadar MDA serum pada pasien DM dibandingkan kontrol

(Marjani, 2010).

Penelitian yang mengukur kadar MDA serum pasien katarak senilis

imatur dengan DM pernah dilakukan di sejumlah tempat dengan hasil yang

berbeda-beda. Setiadi dkk. (1996) dalam penelitiannya di Jakarta ditemukan

kadar MDA serum pasien katarak diabetik rata-rata 7,24±1,61 µmol/L.

Penelitian Deepa dkk. (2011) di India ditemukan rerata kadar MDA serum

pasien katarak senilis imatur dengan DM sebesar 6,652±0,587 µmol/L. Studi

yang dilakukan oleh Artunay dkk. (2009) di Turki ditemukan kadar MDA

serum pasien katarak senilis imatur dengan DM rata-rata 4,83±0,60 µmol/L.

Penelitian ini didapatkan hasil rerata kadar MDA serum pasien katarak senilis

imatur dengan DM sebesar 6,55±0,67 µmol/L.

Berbagai penelitian yang dilakukan di beberapa tempat didapatkan hasil

kadar MDA serum pasien katarak senilis dengan DM dengan variasi nilai yang

berbeda-beda. Selain dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kriteria inklusi

dan eksklusi yang ditetapkan oleh masing-masing peneliti, paparan stres

55

oksidatif akibat faktor eksogen, perbedaan kadar MDA serum pada kelompok

katarak senilis imatur dengan DM juga bisa dipengaruhi oleh durasi DM dan

kontrol gula darah pada masing-masing subjek katarak senilis dengan DM di

berbagai tempat atau negara tersebut. Beberapa penelitian ditemukan bahwa

durasi dan kontrol gula darah mempengaruhi tingkat stres oksidatif pada pasien

katarak senilis imatur dengan DM sehingga mempengaruhi kadar MDA

serumnya. Semakin lama menderita DM, maka semakin tinggi tingkat stres

oksidatif yang terjadi. Demikian pula dengan kontrol gula darah. Kontrol gula

darah yang buruk akan meningkatkan stres oksidatif dan menyebabkan kadar

MDA serum meningkat (Hsu dkk., 2006).

6.4. Perbandingan Kadar MDA Serum Pasien Katarak Senilis Imatur

Dengan dan Tanpa DM

Pasien katarak senilis dengan DM terpapar oleh tingkat stres oksidatif

yang lebih tinggi dibandingkan katarak senilis tanpa DM, sehingga pasien

katarak senilis imatur dengan DM memiliki kadar MDA serum yang lebih

tinggi daripada tanpa DM (Winarsi, 2007, Deepa dkk., 2011). Hal ini

dibuktikan dengan hasil penelitian di berbagai tempat sebagai berikut. Deepa

dkk. (2011) di India dalam penelitiannya ditemukan kadar MDA serum pasien

katarak senilis imatur dengan DM rata-rata 1,066 µmol/L lebih tinggi

dibandingkan pasien katarak senilis imatur tanpa DM.

Studi yang dilakukan oleh Artunay dkk. (2009) di Turki ditemukan

kadar MDA serum pasien katarak senilis imatur dengan DM rata-rata 1,33

µmol/L lebih tinggi daripada tanpa DM. Setiadi dkk. (1996) dalam

56

penelitiannya di Jakarta ditemukan kadar MDA serum pasien katarak senilis

imatur dengan DM rata-rata 0,01 µmol/L lebih tinggi dibandingkan tanpa DM.

Penelitian ini ditemukan kadar MDA serum pasien katarak senilis imatur

dengan DM rata-rata 1,84 µmol/L lebih tinggi daripada katarak senilis imatur

tanpa DM, dan bermakna secara statistik.

Beda rerata kadar MDA serum antara kelompok katarak senilis imatur

dengan dan tanpa DM pada penelitian di berbagai tempat atau negara diperoleh

rentang nilai yang berbeda-beda. Seperti dijelaskan sebelumnya, hal ini

mungkin berkaitan dengan berbagai faktor seperti kriteria inklusi dan eksklusi

yang ditetapkan oleh masing-masing peneliti, paparan stres oksidatif akibat

faktor eksogen, durasi DM dan kontrol gula darah pada subjek katarak senilis

dengan DM yang berbeda-beda di berbagai tempat atau negara. Selain itu,

perbedaan tersebut mungkin pula disebabkan oleh adanya faktor lain seperti

perbedaan ras dan etnik dari masing-masing negara tersebut, meskipun

penelitian tentang hubungan antara ras dan etnik dengan kadar MDA serum

pasien katarak senilis imatur dengan dan tanpa DM belum pernah dilaporkan.

Stres oksidatif diperkirakan mempunyai peranan dalam terjadinya

katarak senilis dengan dan tanpa DM. Terjadinya stres oksidatif pada pasien

katarak senilis ditandai dengan meningkatnya kadar MDA serum.

Malondialdehyde (MDA) bersifat sangat reaktif dan bereaksi dengan cepat

dengan protein lensa. Reaksi MDA dengan protein lensa menyebabkan

agregasi protein sehingga berat molekul protein bertambah dan mengakibatkan

menurunnya kejernihan lensa crystalline dan terbentuk katarak (American

57

Academy of Ophthalmology Staff, 2009-2010a). Semakin tinggi tingkat stres

oksidatif dalam tubuh, semakin tinggi kadar MDA serum. Pasien katarak

senilis dengan DM terpapar oleh tingkat stres oksidatif yang lebih tinggi

dibandingkan katarak senilis tanpa DM, sehingga pasien katarak senilis imatur

dengan DM memiliki kadar MDA serum yang lebih tinggi daripada tanpa DM

(Winarsi, 2007, Deepa dkk., 2011).

Nilai aplikatif yang bisa diambil dari penelitian ini adalah kadar MDA

serum dapat digunakan sebagai indikator untuk menilai tingginya tingkat stres

oksidatif yang dialami oleh individu dengan katarak senilis yang memiliki

faktor risiko lebih tinggi untuk mengalami progresivitas katarak lebih cepat.

Pemeriksaan kadar MDA juga perlu dipertimbangkan biaya, karena

pemeriksaan ini mahal dan kit MDA mempunyai masa kadaluarsa.

Pemeriksaan kadar MDA serum tidak perlu dilakukan secara rutin pada pasien

katarak senilis, tetapi dipertimbangkan apabila pasien katarak senilis terjadi di

usia lebih awal dan mempunyai faktor risiko tinggi untuk terjadi progresivitas,

seperti misalnya pada pasien DM, pasien dengan penyakit sistemik kronis,

keganasan, perokok, dan pasien dengan pekerjaan yang terpapar oleh sinar

matahari dalam waktu lama. Selanjutnya dapat dipertimbangkan penggunaan

antioksidan sebagai salah satu upaya untuk memperlambat progresivitas

katarak terutama pada individu dengan faktor risiko tinggi.

Varma dkk. (2005) meneliti tentang efektivitas pyruvat, suatu

antioksidan, untuk menghambat progresivitas katarak diabetik, dengan

menggunakan model hewan. Disimpulkan bahwa terapi antioksidan dengan

58

pyruvat efektif untuk memperlambat progresivitas kekeruhan lensa pada

diabetes, terutama apabila kekeruhan lensa terdeteksi pada stadium awal saat

tegak diagnosis DM. Penelitian Olmedilla dkk. (2003) tentang efek jangka

panjang terapi suplemen antioksidan terhadap pasien katarak, didapatkan

suplemen lutein dapat menghambat progresivitas katarak senilis dan

memperbaiki fungsi penglihatan. Antioksidan bisa dipertimbangkan sebagai

salah satu alternatif terapi untuk menunda timbulnya katarak senilis serta

memperlambat progresivitas katarak senilis pada pasien dengan DM dan tanpa

DM. Antioksidan tidak harus berupa obat-obatan, tapi bisa juga berasal dari

nutrisi atau bahan makanan yang mengandung antioksidan seperti misalnya

sayuran hijau, tomat, anggur dan lainnya (Williams, 2006). Penting untuk

memberikan edukasi kepada pasien mengenai pola makan dan gaya hidup

untuk meningkatkan asupan nutrisi yang mengandung antioksidan, sehingga

dapat memberikan proteksi terhadap stres oksidatif.

Penelitian ini digunakan analisis MDA untuk mengukur tingkat stres

oksidatif akibat proses lipid peroksidasi, dengan pertimbangan analisis MDA

merupakan analisis yang cukup mudah untuk menentukan adanya stres oksidatif

dibandingkan analisis yang lain (Winarsi, 2007). Malondialdehyde ditemukan

hampir di seluruh cairan biologis dalam tubuh, namun serum dan urin merupakan

sampel yang paling mudah didapat dan paling tidak invasif (Janero, 2001).

Peningkatan kadar MDA serum menunjukkan telah terjadi stres oksidatif secara

sistemik dalam tubuh, termasuk di tingkat lensa. Deepa dkk. (2011) dalam

penelitiannya mendapatkan kadar MDA serum dan kadar MDA di lensa

59

mempunyai nilai tidak berbeda, sehingga kadar MDA serum dikatakan cukup

menggambarkan kadar MDA di lensa.

Kadar MDA dalam serum dipengaruhi oleh berbagai kondisi seperti

penyakit keganasan dan kardiovaskuler, peradangan intraokuler, merokok, pasien

sedang dalam terapi kortikosteroid, imunosupresan, atau sedang mengkonsumsi

antioksidan. Kelemahan penelitian ini adalah adanya kemungkinan penyakit dan

kondisi lain yang dapat mempengaruhi kadar MDA serum disingkirkan melalui

anamnesis berdasarkan kuisioner, sehingga masih mungkin timbul bias. Paparan

sinar ultraviolet terhadap sampel pada penelitian ini tidak diperhitungkan karena

memang sulit dilakukan, sehingga mungkin juga menjadi sumber bias. Penelitian

ini tidak dilakukan penilaian terhadap kadar MDA serum pada populasi normal.

Nilai normal (cut of point) dari kadar MDA dalam serum pada populasi normal di

Bali belum ada karena belum pernah diteliti, sehingga belum diketahui berapa

sebenarnya nilai MDA serum pada populasi normal di Bali.

60

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh simpulan kadar

malondyaldehyde (MDA) serum pasien dengan diabetes melitus lebih tinggi

daripada tanpa diabetes melitus pada katarak senilis imatur.

7.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih

banyak dan melibatkan multisenter, sehingga diperoleh data yang lebih baik dan

nantinya dapat diketahui pengaruh ras dan etnik terhadap kadar MDA serum

pasien katarak senilis.

61

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, R.G. 2005. The Physiological and Biochemical Effects of Diabetes onThe Balance Between Oxidative Stress and Antioxidant Defense System.Medical Journal of Islamic World Academy of Sciences, 15(1): 31-42.

American Academy of Ophthalmology Staff. 2009-2010a. Lens and Cataract.United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 5-17 .

American Academy of Ophthalmology Staff. 2009-2010b. Fundamental andPrinciples of Ophthalmology. United State of America: American Academyof Ophthalmology. p. 273-318.

Anonim. 2010. Pengaruh Radikal Bebas Terhadap Mata Ditinjau DariBiomolekuler. Available at: http://www.scribd.com/doc/94801859/Pengaruh-Radikal-Bebas-Terhadap-Mata-Ditinjau-Dari-Biomolekuler. Lastupdate: Januari 2010.

Artunay, O., Uslu, E., Unal, M., Aydin, S., Devranoglu, K., dan Bahcecioglu, H.2009. Role of Anti-oxidant System and Lipid Peroxidation in theDevelopment of Age-Related and Diabetic Cataract. Glo-Kat, 4: 221-5.

Ates, N.A., Yildirim, O., Tamer, L., Unlu, A., Ercan, B., Muslu, N., Kanik, A.,Hatungil, R. dan Atik, U. 2004. Plasma Catalase Activity andMalondialdehyde Level in Patients with Cataract. Eye, 18: 785-8.

Beebe, D.C., Shui, Y.B. dan Holekamp, N.M. 2010. Biochemical Mechanism ofAge-Related Cataract. In: Levin L.A., Albert D.M., editors. Ocular DiseaseMechanisms and Management. 1st Ed. Philadelphia: Saunders. p. 231-7.

Borchman, D. dan Yappert, M.C. 2011. Lipid and the Ocular Lens. Journal ofLipid Research, 20: 1-55.

Borchman, D., Yappert, M.C., Huang, L., Grami, V., Tang, D., Rasi, V. danMarrero, Y. 2005. Substantial Changes in the Phospholipid Content ofHuman Lenses With Age and Cataract. Invest Ophthalmol Vis Sci, 46: 4639-43.

Budiono, S. 2006. Prevalensi Katarak Pada Penderita Diabetes Mellitus diPoliklinik Mata RSU Dr. Soetomo, Surabaya. Jurnal Oftalmologi Indonesia,4(2): 112-9.

Cekic, S., Zlatanovic, G., Cvetkovic, T. dan Petrovic, B. 2010. Oxidative Stress inCataractogenesis. Bosnian Journal of Basic Medical Sciences, 3: 265-9.

Chakraborty, I., Kunti, S., Bandyopadhyay, M. dan Dasgupta, A. 2007.Evaluation of Serum Zinc Level and Plasma SOD Activity in Senile

62

Cataract Patients Under Oxidative Stress. Indian Journal of ClinicalBiochemistry, 22(2): 109-13.

Chandrasena, L.G., De Silva, L.D.R., De Silva, K.I., Dissanayaka, P. dan Peiris,H. 2008. Changes in Erythroyite Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase(G6PD) and Reduced Glutathione (GSH) Activities in the Development ofSenile and Diabetic CataractsAntioxidant Enzyme in Patient with Cataract.Southeast Asian J Trop Med Public Health, 39 (4): 731-6.

Chang, M.A., Congdon, N.G., Baker, S.K., Bloem, M.W., Savage, H. danSommer A. 2008. The Surgical management of Cataract: Barriers, BestPractices and Outcomes. Int Ophthalmol, 28: 247-60.

Dalle-Donne, I., Rossi, R., Colombo, R., Giustarini, D. dan Milzani, A. 2006.Biomarker of Oxidative Damage in Human Disease. Clinical Chemistry,52(4): 601-23.

Deepa, K., Manjunatha-Goud, B.K., Nandini, M., Kamath, A., Sudhir danBhavna, N. 2011. Oxidative Stress and Calcium Levels in Senile and Type 2Diabetic Cataract Patients. International Journal of Pharma and BioSciences, 2(1): 109-16.

Departemen Kesehatan RI. 2009. Data Penduduk Sasaran Program Kesehatantahun 2007-2011. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI,Jakarta.

Doshi, S. dan Harvey, B. 2008. Eye Essential: Diabetes and the Eye. 2nd Ed.Philadelphia: Buttenworth Heinemann Elsevier. p.170-1.

Fleiss, J.L. 1981. Statistical Methods for Rates and Proportions. 2nd Ed. NewYork: John Wiley. p.101-8

Foster, A. 2000. Vision 2020: The Cataract Challenge. Community Eye Health,13(34): 17-9.

Foster, P.J., Wong, T.Y., Machin, D., Johnson, G.J., dan Seah, S.K.L. 2003. RiskFactors for Nuclear, Cortical, and Posterior Subcapsular Cataracts in theChinese Population of Singapore: the Tanjong Pagar Survey. Br JOphthalmol, 87: 1112-20.

Goyal, M.M., Vishwajeet, P., Mitta, R. dan Sune, P. 2010. A Potential CorrelationBetween Systemic Oxidative Stress and Intracellular Ambiance of the LensEpithelia in Patients With Cataract. Indian J Ophthalmol, 4(1): 2061-7.

Hsu, W.T., Tsai, L.Y., Lin, S.K., Hsiao, J.K. dan Chen, B.H. 2006. Effects ofDiabetes Duration and Glicemic Control on Free Radicals in Children withType 1 Diabetes Mellitus. Annals of Clinical and Laboratory Science,36(2): 174-7.

63

Jadoon, Z., Shah, S.P., Bourne, R., Dineen, B., Khan, M.A., Gilbert, C.E., Foster,A., dan Khan, M.D. 2007. Cataract Prevalence, Cataract Surgical Coverageand Barriers to uptake of Cataract Surgical Services in Pakistan: thePakistan National Blindness and Visual Impairment Survey. Br JOphthalmol, 91(10): 1269-73.

Janero, D.R. 2001. Malondialdehyde and Thiobarbituric Acid Activity asDiagnosis Indices of Lipid Peroxidation and Peroxidative Tissue Injury.Free Radical Biology and Medicine, 9: 515-40.

Javadi, M.A. dan Ghanavati, S.Z. 2008. Cataract in Diabetes Patients: A ReviewArticle. J Ophthalmic Vis Res, 3(1) : 52-65.

Kador, P.F. 2010. Diabetes-associated Cataracts. In: Levin L.A., Albert D.M.,editors. Ocular Disease Mechanisms and Management. 1st Ed. Philadelphia:Saunders. p. 279-6.

Khalilullah, S.A. 2010. Patologi dan Penatalaksaan Pada Katarak Senilis.Available from : http://www.oxfordbiomed.com. Last update: 1 Desember,2010.

Kim, S.I. 2006. Prevalence and Risk Factors for Cataracts in Persons with Type 2Diabetes Mellitus. Korean J Ophthalmol, 20(4): 201-4.

Klein, B.E., Klein, R., Wang, Q. dan Moss, S.E. 1995. Older Onset Diabetes andLens Opacities, The Beaver Dam Eye Study. Ophthalm Epid, 2: 49-55.

Lemeshow, S., Hosmer Jr. D.W., Klar, J. dan Lwanga, S.K. 1990. Adequacy ofSample Size in Health Studies. Chicester : John Willey and Sons. p. 171-3.

Leske, M.C., Wu, S.Y., Nemesure, B., dan Hennis, A. 2002. Risk Factors forIncidence Nuclear Opacities. Ophthalmology, 109(7): 1303-8

Li, L., Duker, J.S., Yoshida, Y., Niki, E., Rasmussen, H., Russel, R.M., danYeum, K.J. 2009. Oxidative Stresss and Antioxidant Status in Older AdultsWith Early Cataract. Eye, 23: 1464-8.

Likidlilid, A., Patchanans, N., Peerapatdit, T. dan Sriratanasathavorn, C. 2010.Lipid Peroxidation and Antioxidant Enzyme Activities in Erytrocytes ofType 2 Diabetic Patients. J Med Assoc Thai, 93(6): 682-93.

Marjani, A. 2010. Lipid Peroxidation Alterations in Type 2 Diabetic Patients.Pakistan Journal of Biological Sciences, 13(15): 723-30.

Moussa, S.A. 2008. Oxidative Stress in Diabetes Mellitus. Romanian J. Biophys,18(3): 225-36.

64

Nurul, D. 2000. “Kadar Malondialdehid Pada Lensa Katarak Senilis PenderitaDiabetes Mellitus dan Non Diabetes Mellitus di RSUP Dr. SardjitoYogyakarta”(thesis). Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.

Obiudu, H.C., Obi, B.I., dan Anyalebechi, O.C. 2009. Monitoring CataractSurgical Outcome in a Public Hospital in Orlu, South East Nigeria. NigerMed J, 50(4): 77-9.

Oduntan, O.A., dan Mashige, K.P. 2011. A Review of the Role of OxidativeStress in the Pathogenesisi of Eye Diseases. S Afr Optom, 70(4): 191-9.

Olawoye, O.O., Ashaye, A.O., Bekibele, C.O. dan Ajayi, B.G.K. 2011. VisualOutcome After Cataract Surgery at the University College Hospital, Ibadan.Ann Ibn. Pg. Med, 9(1): 8-13.

Olmedilla, B., Granado, F., Blanco, I., dan Vaquero, M. 2003. Lutein, But NotAlpha-tocopherol, Supplementation Improves Visual Function in PatientsWith Age-related Cataracts: a 2-y Double-blind, Placebo-controlled PilotStudy. Nutrition, 19(1): 21-4.

Pala, S.B. dan Gurkan, H. 2008. The Role of Free Radicals in Ethiopathogenesisof diseases. Advances in Molecular Biology, 1: 1-9.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan DiabetesMelitus di Indonesia, PB. PERKENI. Jakarta.

Pollreisz, A. dan Schmidt-Erfurth, U. 2010. Diabetic Cataract-Pathogenesis,Epidemiology and Treatment. Journal of Ophthalmology, 201: 8-16.

Priyanti, D.R.N.P. 2013. “Kadar Malondialdehyde Serum Pasien Katarak SenilisMatur Lebih Tinggi Daripada Katarak Senilis Imatur” (thesis). Denpasar :Universitas Udayana.

Saygili, E.I., Aksoy, S.N., Gurler, B., Aksoy, A., Erel, O. dan Ozaslan, M. 2010.Oxidant/Antioxidant Status of Patient with Diabetic and Senile Cataract.Biotechnol & Biotechnol Eq, 24 (1): 1648-52.

Setiadi, E., Gondowiardjo, T.D., dan Soegianto, R.S. 1996. Kadar Peroksida Lipiddalam Darah dan Aqueous Humor Pasien Katarak Senilis dan Katarak PadaDiabetes Melitus. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Setiawan, B. dan Suhartono, E. 2005. Stres Oksidatif dan Peran Antioksidan padaDiabetes Melitus. Majalah Kedokteran Indonesia, 55(2): 86-90.

Sihota, R. dan Tandan, R. 2007. Parson’s Diseases of The Eye. 20th Ed. Indian:Elsevier. p. 247-69.

65

Soehardjo. 2004. “Kebutaan Katarak: Faktor-faktor Risiko, Penanganan Klinis,dan Pengendalian” (disertasi). Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.

Soesilowati, S. 2003. Diabetic Retinopathy: Pathogenesis and Treatment. ActaMedica Indonesiana, 35(1): 27-34.

Suastika, K., Dwipayana, P., Saraswati, M.R., Gotera, W., Budhiarta, A.A.G.,Sutanegara, N.D., Gunadi, I G.N., Nadha, K.B., Wita, W., Rina, K.,Santoso, A., Matsumoto, K., Kajiwara, N., dan Taniguchi, H. 2011.Prevalence of Obesity, Metabolic Syndrome, Impaired Fasting Glycemiaand Diabetes in Selected Villages of Bali, Indonesia. Journal of the ASEANfederation of Endocrine Societies, 26(2): 159-62.

Tsai, C.Y., Tung, T.H., Woung, L.C., Liu, J.H., Lee, F.L., Shih, H.C., dan Chen,S.J. 2007. Population-based Study of Cataract Surgery Among PatientsWith Type 2 Diabetes in Kinmen, Taiwan. Can J Ophthalmol, 42: 262-7.

Varma, S.D., Hedge, K.R., dan Kovtun, S. 2005. Attenuation and Delay ofDiabetic Cataracts by Antioxidant: Effectiveness of Pyruvate After Onset ofCataract. Ophthalmologica, 219(5): 309-15.

Widijanti,A. dan Ratulangi, B.T. 2003. Pemeriksaan Laboratorium PenderitaDiabetes Melitus. Medika, 3(1): 166-9.

Widowati, W., Suhardjo, Gunawan, W. dan Ekantini, R. 2004. MalondialdehydeLevel in The Lens of Complicated Cataract patients with The Instillation ofDiclofenac Sodium 0,1% Eye Drop Preoperatively. Berkala IlmuKedokteran, 36: 97-102.

William, D.L. 2006. Oxidation, Antioxidants and Cataract Formation: ALiterature Review. Veterinary Ophthalmology, 9 (5): 292-8.

Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Cetakan ke 2 , KanisnusYogyakarta. p. 50-5.

Wong, L., Ho, S.C., Cruddas, A.M., Hwang, C.H., Ho, C.P., Robertshaw, A.M.,dan MacDonald, D.M. 1993. Sunlight Exposure, Antioxidant Status andCataract in Hongkong Fishermen. J Epidemiol Community Health, 47: 46-9.

Yagi, K. 1982. Assay for Serum Lipid Peroxide Level and its ClinicalSignificance. In: Yagi, K. ed. Lipid peroxide in biology and medicine. NewYork: Academic Press: p. 223-42.

66

Lampiran 1. Penjelasan Penelitian

INFORMASI YANG DIBERIKAN KEPADA SUBYEK PENELITIAN

Kadar MDA Serum Pasien Dengan DM Lebih Tinggi Daripada Tanpa DM

Pada Katarak Senilis Imatur

Bapak dan ibu Yth,

Katarak merupakan kekeruhan pada lensa mata yang mengenai satu atau

kedua mata. Sampai saat ini katarak masih menjadi penyebab kebutaan yang

paling utama di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Katarak senilis merupakan

jenis katarak yang terjadi karena proses degenerasi (penuaan) dan biasanya mulai

timbul pada usia diatas 50 tahun.

Pertambahan umur dan diabetes melitus adalah dua hal yang dianggap

sebagai faktor risiko utama terjadinya katarak senilis. Kedua hal tersebut

dikaitkan dengan terjadinya ketidakseimbangan antara antioksidan dan radikal

bebas dalam tubuh. Lensa mata normal dilengkapi perlindungan dan sistem

antioksidan untuk melawan stres oksidatif. Seiring bertambahnya usia dan adanya

paparan yang terus-menerus oleh bahan aktif, akan menyebabkan gangguan

mekanisme proteksi antioksidan lensa mata. Hasil akumulasi dari stres oksidatif

ini menyebabkan gangguan transparansi lensa sehingga terjadi katarak.

Keadaan hiperglikemi pada penderita diabetes melitus menyebabkan

terbentuknya radikal bebas. Pembentukan radikal bebas yang mengandung

oksigen atau dikenal dengan senyawa oksigen reaktif yang berlebih pada pasien

DM mengakibatkan ketidakseimbangan antara antioksidan protektif dan jumlah

67

radikal bebas sehingga terjadi kerusakan oksidatif yang dikenal dengan stres

oksidatif.

Malondialdehyde (MDA) merupakan biomarker stres oksidatif, dimana

konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya peningkatan stres oksidatif.

Kami akan melakukan penelitian apakah kadar MDA pada penderita katarak

senilis imatur dengan diabetes melitus (DM) lebih tinggi dibandingkan tanpa DM.

Bila bapak dan ibu bersedia menjadi sampel penelitian, kami akan mengambil

darah bapak/ibu untuk diperiksa kadar MDA-nya di Laboratorium Analitik

Universitas Udayana di Bukit Jimbaran. Biaya yang diperlukan untuk

pemeriksaan akan ditanggung oleh peneliti. Jika hasil pemeriksaan (kadar MDA)

telah diketahui, maka hasil pemeriksaan tersebut akan kami sampaikan kepada

bapak/ibu. Hasil pemeriksaan akan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian

seperti yang dimaksud diatas. Dengan ikut serta dalam penelitian ini, berarti

bapak/ibu ikut berperan serta dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya

mengenai peranan stres oksidatif dalam etiopatogenesis katarak senilis imatur

dengan DM dan tanpa DM. Data mengenai bapak/ibu akan kami rahasiakan.

Demikian penjelasan ini kami sampaikan, dan atas kesediaan bapak/ibu

ikut serta menjadi sampel atau koresponden dalam penelitian ini, kami sampaikan

banyak terima kasih. Bila ada hal-hal yang belum jelas, bapak/ibu dapat

menghubungi saya, Ni Made Lienderi Wati di nomor HP 08123845352.

Peneliti

dr. Ni Made Lienderi Wati

68

Lampiran 2. Informed consent

PERNYATAAN PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN

(INFORMED CONSENT)

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama :

Umur :

Alamat :

Telepon :

Setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap mengenai maksud, tujuan dan

manfaat penelitian ini, maka kami setuju dan bersedia ikut serta dalam penelitian

Kadar MDA Serum Pasien Dengan DM Lebih Tinggi Daripada Tanpa DM

Pada Katarak Senilis Imatur ini. Saya bersedia mentaati semua peraturan yang

diberikan. Saya mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian ini bila

saya menginginkan dan tidak akan merusak hubungan dokter-pasien dengan saya.

Denpasar,________________

Peneliti Pasien

(dr. Ni Made Lienderi Wati) ( )

69

Lampiran 3. Kuesioner Penelitian

KUESIONER PENELITIAN

1. No Sampel :

2. No CM :

3. Tgl pemeriksaan :

4. Nama :

5. Umur :

6. Jenis Kelamin :

7. Pendidikan :

8. Pekerjaan :

9. Alamat :

Tlp :

10. Riwayat penyakit lain :

a. DM : -ada/ tidak…..

Bila ada, berapa lama….

Kadar GDS :…., Gejala klasik DM :….

b. Hipertensi : Ada / tidak

c. Jantung : Ada / tidak

d. Keganasan (kanker) : Ada / tidak

11. Riwayat terapi :

a. Antioksidan (vitamin A & E) : Ada / tidak; lama ......

b. AINS (anti inflamasi non steroid) : Ada / tidak; lama ......

c. Kortikosteroid : Ada / tidak; lama ......

d. Imunosupresan: Ada / tidak; lama ......

12. Riwayat merokok : ada / tidak

13. Status oftalmologi

70

OD OS

VA

PH

Palpebra

Konjungtiva

Kornea

AC

Iris/Pupil

Lensa

Vitreus

Fundus

14. Diagnosis :

15. Kadar MDA :

71

Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan MDA Serum

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS UDAYANAUPT. LAB. ANALITIK

Kampus Bukit Jimbaran, Telp. 0361701954, HP.082341777050

NomorHal

: 169/UN14.24/UPTLA/2013: Hasil Laboratorium

No. PasienMDA (M/L)

KSI DM1 4.55 7.982 4.30 7.033 4.16 6.394 4.23 5.725 5.00 7.806 4.26 7.217 4.75 6.028 5.10 5.579 4.39 6.07

10 5.17 5.9211 4.95 5.6912 4.82 7.4013 4.19 7.3314 3.59 6.8315 4.38 6.8616 4.01 7.2117 4.92 7.5818 5.37 5.7419 4.93 7.3620 5.07 6.2721 3.19 6.1622 5.30 7.9823 5.12 6.0924 5.25 5.8825 4.65 5.8326 4.14 6.0927 4.75 6.1128 4.95 6.64

KEPADA YTH:dr. Lienderiwatidi tempat

72

29 5.22 6.4330 5.37 6.3231 5.50 5.6732 5.20 6.7633 5.67 5.9934 4.84 5.9435 4.80 6.6136 4.40 6.7337 4.68 6.8838 4.95 6.5239 4.35 6.4440 4.85 7.2341 3.76 6.32

Mean (SD) 4,71(0,54) 6,55(0,67)

Bukit Jimbaran, 2 Mei 2013Kepala UPT Laboratorium Kimia Analitik Unud

(Prof.Dr. Ir. Ida Bagus Putra Manuaba, MPhil)

73

Lampiran 5. Hasil Output SPSS

CrosstabsJenis Kelamin

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

jenis_kelamin * diagnosis 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%

jenis_kelamin * diagnosis Crosstabulation

diagnosis

TotalKSI DM KSI non DM

jenis_kelamin L Count 32 24 56

% within diagnosis 78.0% 58.5% 68.3%

P Count 9 17 26

% within diagnosis 22.0% 41.5% 31.7%

Total Count 41 41 82

% within diagnosis 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig.

(2-sided)

Exact Sig.

(1-sided)

Pearson Chi-Square 3.604a 1 .058

Continuity Correctionb 2.760 1 .097

Likelihood Ratio 3.649 1 .056

Fisher's Exact Test .096 .048

N of Valid Casesb 82

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.00.

b. Computed only for a 2x2 table

74

CrosstabsPekerjaan

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

pekerjaan * diagnosis 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%

pekerjaan * diagnosis Crosstabulation

diagnosis

TotalKSI DM KSI non DM

pekerjaan Tani Count 15 19 34

% within diagnosis 36.6% 46.3% 41.5%

Swasta Count 12 9 21

% within diagnosis 29.3% 22.0% 25.6%

IRT Count 5 5 10

% within diagnosis 12.2% 12.2% 12.2%

PNS/pensiunan PNS Count 9 8 17

% within diagnosis 22.0% 19.5% 20.7%

Total Count 41 41 82

% within diagnosis 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Pearson Chi-Square .958a 3 .811

Likelihood Ratio .961 3 .811

N of Valid Cases 82

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum

expected count is 5.00.

75

CrosstabsPendidikan

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

pendidikan * diagnosis 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%

pendidikan * diagnosis Crosstabulation

diagnosis

TotalkatarakDM katarak nonDM

pendidikan tdk ada Count 4 5 9

% within diagnosis 9.8% 12.2% 11.0%

SD Count 20 18 38

% within diagnosis 48.8% 43.9% 46.3%

SMP Count 1 4 5

% within diagnosis 2.4% 9.8% 6.1%

SMU Count 12 13 25

% within diagnosis 29.3% 31.7% 30.5%

S1 Count 4 1 5

% within diagnosis 9.8% 2.4% 6.1%

Total Count 41 41 82

% within diagnosis 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Pearson Chi-Square 3.856a 4 .426

Likelihood Ratio 4.112 4 .391

Linear-by-Linear Association .217 1 .641

N of Valid Cases 82

76

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Pearson Chi-Square 3.856a 4 .426

Likelihood Ratio 4.112 4 .391

Linear-by-Linear Association .217 1 .641

N of Valid Cases 82

a. 6 cells (60,0%) have expected count less than 5. The minimum

expected count is 2,50.

NPar Tests

Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Frequencies

diagnosis N

pendidikan katarakDM 41

katarak nonDM 41

Total 82

Test Statisticsa

pendidikan

Most Extreme Differences Absolute .073

Positive .024

Negative -.073

Kolmogorov-Smirnov Z .331

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000

a. Grouping Variable: diagnosis

77

Umur

Case Processing Summary

diagnosis

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Umur KSI DM 41 100.0% 0 .0% 41 100.0%

KSI non DM 41 100.0% 0 .0% 41 100.0%

Descriptives

Diagnosis Statistic Std. Error

Umur KSI DM Mean 63.41 1.182

95% Confidence Interval for

Mean

Lower Bound 61.03

Upper Bound 65.80

5% Trimmed Mean 63.22

Median 64.00

Variance 57.299

Std. Deviation 7.570

Minimum 51

Maximum 82

Range 31

Interquartile Range 10

Skewness .214 .369

Kurtosis -.213 .724

KSI non DM Mean 65.44 1.496

95% Confidence Interval for

Mean

Lower Bound 62.42

Upper Bound 68.46

5% Trimmed Mean 65.24

Median 65.00

Variance 91.752

Std. Deviation 9.579

Minimum 51

Maximum 85

78

Range 34

Interquartile Range 15

Skewness .107 .369

Kurtosis -.888 .724

Tests of Normality

diagnosis

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

umur KSI DM .074 41 .200* .976 41 .531

KSI non DM .079 41 .200* .963 41 .198

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

UmurT-Test

Group Statistics

diagnosis N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

umur katarakDM 41 63.41 7.570 1.182

katarak nonDM 41 65.44 9.579 1.496

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig.

(2-tailed)

Mean

Difference

Std. Error

Difference

95% Confidence Interval

of the Difference

Lower Upper

umur Equal variances

assumed3.055 .084 -1.062 80 .292 -2.024 1.907 -5.819 1.770

Equal variances

not assumed-1.062 75.942 .292 -2.024 1.907 -5.822 1.773

79

Kadar MDA

Case Processing Summary

diagnosis

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

kadar_MDA katarakDM 41 100.0% 0 .0% 41 100.0%

katarak nonDM 41 100.0% 0 .0% 41 100.0%

Descriptives

Diagnosis Statistic

kadar_MDA katarakDM Mean 6.551

95% Confidence Interval for

Mean

Lower Bound 6.339

Upper Bound 6.763

5% Trimmed Mean 6.524

Median 6.430

Variance .451

Std. Deviation .6712

Minimum 5.6

Maximum 8.0

Range 2.4

Interquartile Range 1.1

Skewness .540

Kurtosis -.659

katarak nonDM Mean 4.709

95% Confidence Interval for

Mean

Lower Bound 4.540

Upper Bound 4.879

5% Trimmed Mean 4.734

Median 4.820

Variance .289

Std. Deviation .5374

Minimum 3.2

80

Maximum 5.7

Range 2.5

Interquartile Range .8

Skewness -.690

Kurtosis .412

Descriptives

Diagnosis Std. Error

kadar_MDA katarakDM Mean .1048

Skewness .369

Kurtosis .724

katarak nonDM Mean .0839

Skewness .369

Kurtosis .724

Tests of Normality

diagnosis

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

kadar_MDA katarakDM .110 41 .200* .945 41 .047

katarak nonDM .116 41 .187 .965 41 .227

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

81

Kadar_MDA T-Test

Group Statistics

diagnosis N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

kadar_MDA katarakDM 41 6.551 .6712 .1048

katarak nonDM 41 4.709 .5374 .0839

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig.

(2-tailed)

Mean

Difference

Std. Error

Difference

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

kadar_MDA Equal

variances

assumed

3.068 .084 13.717 80 .000 1.8420 .1343 1.5747 2.1092

Equal

variances not

assumed

13.717 76.344 .000 1.8420 .1343 1.5745 2.1094

Lampiran 6 82

No Nama CM Jenis kel Umr (th) pekerjaan pddkn GDS MDA Dx1 NNB 068013 P 70 tani SD 209 7.98 KSI+ DM2 IWK 068052 L 64 tani SD 175 7.03 KSI+ DM3 IKL 065379 L 65 tani tdk ada 375 6.39 KSI+ DM4 IPW 068333 L 76 PNS/pensiunan PNS SMU 186 5.72 KSI+ DM5 JHM 065487 L 58 swasta SD 269 7.8 KSI+ DM6 MSB 065138 L 58 PNS/pensiunan PNS S1 172 7.21 KSI+ DM7 DBP 059360 L 51 swasta SD 325 6.02 KSI+ DM8 NKD 069217 P 64 swasta SMP 160 5.57 KSI+ DM9 NW 01625074 P 60 IRT SD 162 6.07 KSI+ DM

10 AAM 066573 L 67 PNS/pensiunan PNS S1 133 5.92 KSI+ DM11 IKJ 069346 L 56 PNS/pensiunan PNS S1 259 5.69 KSI+ DM12 IWA 069572 L 67 swasta SD 216 7.4 KSI+ DM13 IWG 069625 L 60 tani SD 154 7.33 KSI+ DM14 GPA 063288 L 67 tani SD 126 6.83 KSI+ DM15 JMW 026487 L 71 tani SD 138 6.86 KSI+ DM16 LRA 066163 P 65 IRT SD 284 7.21 KSI+ DM17 IWM 069665 L 68 PNS/pensiunan PNS SMU 338 7.58 KSI+ DM18 IWB 069675 L 53 swasta SMP 367 5.74 KSI+ DM19 GSW 069703 L 63 swasta S1 142 7.36 KSI+ DM20 AHM 069587 L 57 swasta SMU 167 6.27 KSI+ DM21 INK 068927 L 55 swasta SMU 179 6.16 KSI+ DM22 NKD 069217 P 64 IRT SD 160 7.98 KSI+ DM23 IWB 069773 L 65 tani SD 167 6.09 KSI+ DM24 TH 058922 L 61 swasta SMU 263 5.88 KSI+ DM25 IWD 035538 L 64 tani SD 187 5.83 KSI+ DM26 IWS 669076 L 82 tani tdk ada 152 6.09 KSI+ DM27 IKS 069878 L 77 tani tdk ada 119 6.11 KSI+ DM28 IMP 070095 L 62 tani SD 439 6.64 KSI+ DM29 IAA 072079 P 75 PNS/pensiunan PNS SMU 270 6.43 KSI+ DM30 NKS 062849 P 51 IRT SMU 367 6.32 KSI+ DM31 SMI 068561 L 59 swasta SMU 391 5.67 KSI+ DM32 IWK 069194 L 54 tani SD 154 6.76 KSI+ DM33 KSD 069354 L 67 tani SD 176 5.99 KSI+ DM34 NWB 069585 P 66 IRT SD 161 5.94 KSI+ DM35 INS 070196 L 70 tani SD 208 6.61 KSI+ DM36 INN 070263 L 60 PNS SMU 281 6.73 KSI+ DM37 IPS 070311 L 51 swasta SMU 460 6.88 KSI+ DM38 NSD 070313 L 51 swasta SD 159 6.52 KSI+ DM39 AGD 00265168 L 70 PNS/pensiunan PNS SMU 240 6.44 KSI+ DM40 NMR 070536 P 73 tani tdk ada 140 7.23 KSI+ DM41 IBJ 070629 L 63 PNS/pensiunan PNS SMU 165 6.32 KSI+ DM

DAFTAR PASIEN KSI dengan DM

Lampiran 7 83

No Nama CM Jenis kel Umur (th) pekerjaan pndidikn MDA GDS Dx

1 MH 068010 P 52 swasta SMU 4.55 109 KSI2 NMG 068021 P 78 tani tdk ada 4.3 130 KSI3 SDJ 068044 P 65 PNS/pensiunan PNS SMU 4.16 105 KSI4 NWS 066612 P 75 IRT SD 4.23 134 KSI5 GNP 068112 L 62 tani SD 5 107 KSI6 IKJ 068113 L 65 tani SD 4.26 132 KSI7 IWP 024005 L 66 swasta SMP 4.75 135 KSI8 NNR 068132 P 64 IRT SD 5.1 102 KSI9 NWK 067147 P 73 IRT SD 4.39 107 KSI

10 IKB 0380806 L 71 PNS/pensiunan PNS SMU 5.17 96 KSI11 IPS 068343 L 51 PNS/pensiunan PNS S1 4.95 132 KSI12 NKJ 068380 P 74 tani tdk ada 4.82 115 KSI13 NWN 068494 P 79 tani tdk ada 4.19 119 KSI14 JP 068507 P 63 tani SD 3.59 136 KSI15 NWK 067549 P 53 swasta SMU 4.38 110 KSI16 NWS 064241 P 68 swasta SMP 4.01 64 KSI17 INS 015249 L 57 PNS/pensiunan PNS SMU 4.92 127 KSI18 NSA 068774 L 51 swasta SMU 5.37 107 KSI19 NNS 068808 P 67 PNS/pensiunan PNS SMU 4.93 102 KSI20 NWM 068806 P 52 IRT SMU 5.07 110 KSI21 IKM 068829 L 81 tani tdk ada 3.19 64 KSI22 NKM 067292 P 72 tani SD 5.3 102 KSI23 NM 068973 L 58 tani SD 5.12 130 KSI24 IWG 066619 L 77 tani SMP 5.25 131 KSI25 IWD 036339 L 58 swasta SD 4.65 124 KSI26 ITN 069043 P 52 IRT SMU 4.14 96 KSI27 INW 069076 L 76 PNS/pensiunan PNS SMU 4.75 100 KSI28 QR 01683173 L 68 swasta SMU 4.95 97 KSI29 IWM 069130 L 60 tani SD 5.22 110 KSI30 GKS 068871 L 56 tani SD 5.37 136 KSI31 INL 067353 L 82 tani tdk ada 5.5 115 KSI32 INS 069125 L 51 tani SD 5.2 134 KSI33 IMW 069196 L 54 tani SD 5.67 134 KSI34 DTB 01625959 L 85 PNS/pensiunan PNS SMU 4.84 130 KSI35 LS 067153 P 70 swasta SD 4.8 100 KSI36 KMD 067142 L 72 tani SD 4.4 111 KSI37 NWS 069220 P 62 swasta SD 4.68 133 KSI38 IMG 069375 L 69 tani SMP 4.95 119 KSI39 IKS 069354 L 67 PNS/pensiunan PNS SMU 4.35 108 KSI40 WSC 068310 L 64 tani SD 4.85 130 KSI41 INR 069698 L 63 tani SD 3.76 84 KSI

DAFTAR PASIEN KSI tanpa DM

84

Lampiran 8 Surat Keterangan Kelaikan Etik

85

Lampiran 9 Surat Ijin Penelitian di RSUP Sanglah

86

Lampiran 10 Surat Ijin Penelitian di RS Indera Denpasar