referat ektima2

19
EKTIMA DAN PENANGANANNYA I. PENDAHULUAN Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus, atau kedua-keduanya. Penyebabnya yang utama ialah Staphylococcus aureus dan Streptococcus A beta hemolyticus. (1) Bakteri ini menyebabkan klinis infeksi yang luas dari pioderma superfisial hingga infeksi jaringan lunak yang invasif, tergantung dari organisme, lokasi infeksi, dan faktor host. Pioderma merupakan infeksi pada epidermis, tepat dibawah stratum korneum atau pada folikel rambut. Jika tidak diobati, pioderma bisa menginfeksi dermis dan mengakibatkan formasi furunkel dan ektima. (2) Ektima merupakan ulkus superfisial dengan krusta diatasnya yang disebabkan karena infeksi oleh Streptococcus. Ektima tampak sebagai krusta tebal berwarna kuning dan biasanya berlokasi di tungkai bawah, yaitu tempat yang relatif banyak mendapat trauma. (1) Krusta yang diangkat lekat dan tampak ulkus yang dangkal. Lesi ektima dapat berkembang dari pioderma primer, penyakit kulit, atau trauma yang sudah ada sebelumnya Sedangkan ektima gangrenosum merupakan luka kutaneus yang disebabkan Pseudomonas 1

Upload: marco-angelo

Post on 01-Jan-2016

75 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

EKTIMA DAN PENANGANANNYA

I. PENDAHULUAN

Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus,

Streptococcus, atau kedua-keduanya. Penyebabnya yang utama ialah

Staphylococcus aureus dan Streptococcus A beta hemolyticus.(1) Bakteri ini

menyebabkan klinis infeksi yang luas dari pioderma superfisial hingga infeksi

jaringan lunak yang invasif, tergantung dari organisme, lokasi infeksi, dan faktor

host. Pioderma merupakan infeksi pada epidermis, tepat dibawah stratum

korneum atau pada folikel rambut. Jika tidak diobati, pioderma bisa menginfeksi

dermis dan mengakibatkan formasi furunkel dan ektima.(2)

Ektima merupakan ulkus superfisial dengan krusta diatasnya yang

disebabkan karena infeksi oleh Streptococcus. Ektima tampak sebagai krusta tebal

berwarna kuning dan biasanya berlokasi di tungkai bawah, yaitu tempat yang

relatif banyak mendapat trauma.(1) Krusta yang diangkat lekat dan tampak ulkus

yang dangkal. Lesi ektima dapat berkembang dari pioderma primer, penyakit

kulit, atau trauma yang sudah ada sebelumnya Sedangkan ektima gangrenosum

merupakan luka kutaneus yang disebabkan Pseudomonas aeruginosa dan mirip

dengan ektima Staphylococcus atau Streptococcus.(2)

Di Eropa, kebanyakan kasus ektima terjadi pada anak-anak. Akan tetapi,

di daerah tropis, ektima lebih umum terjadi pada semua usia. Ektima biasa terjadi

karena impetigo yang tidak diobati akibat tertutupi alas kaki atau pakaian, yang

biasa terjadi pada tunawisma atau pada tentara yang ditugaskan di daerah iklim

lembab dan panas. Higienitas yang buruk dan kurangnya gizi juga merupakan

faktor predisposisi dari ektima. (2, 3)

Peningkatan kesehatan dan gizi merupakan hal penting dalam

penyembuhan ektima. Penyembuhan terjadi setelah beberapa minggu

1

mengkonsumsi antibiotik untuk mengatasi bakteri Streptococcus dan

Staphylococcus.(2, 3)

II. EPIDEMIOLOGI

Kasus ektima terjadi diseluruh dunia, terutama di daerah tropis dan

subtropis. Ektima dapat diamati di segala usia atau jenis kelamin dan biasa

didapatkan pada orang-orang dengan malnutrisi. Lesi ektima juga sering terlihat

pada ektrimitas bawah anak-anak, lansia yang terabaikan, atau orang dengan

penyakit diabetes. Higienitas yang buruk dan terabaikan merupakan kunci dari

patogenesis ektima. Lesi ektima yang banyak pada pergelangan dan punggung

kaki adalah pioderma yang paling sering terjadi saat waktu perang di daerah iklim

tropis.(2, 4)

III. ETIOLOGI

Ektima disebabkan oleh Streptococcus group A beta

haemoliticus,staphylococcus atau kedua-duanya.(1, 3) Sekitar 60 persen orang sehat

memiliki kolonisasi Staphylococcus aureus dibeberapa bagian tubuh seperti

aksila, perineum, faring, dan tangan. Faktor predisposisi dari kolonisasi

Staphylococcus aureus meliputi dermatitis atopik, diabetes melitus (dependen-

insulin), dialisis, penggunaan obat intravena, disfungsi liver, dan infeksi HIV.

Staphylococcus aureus adalah kuman patogen agresif merupakan penyebab

tersering pioderma. Staphylococcus aureus pada pioderma dapat menginvasi

aliran darah, replikasi bakteri, dan menyebabkan penyebaran infeksi seperti

osteomyelitis, dan endokarditis akut.(2) Ektima gangnerosum adalah infeksi kulit

yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa yang bermanifestasi sebagai plak

nekrotik dan biasanya terjadi pada pasien imunosupresi. Ektima gangrenosum

klasik disebabkan Pseudomonas aeruginosa, tetapi mungkin disebabkan oleh

beberapa gram negatif lainnya seperti Eschericia coli, Klebsiella pneumonia.

2

Morganella morganii, Citrobacter freundii, dan Xanthomonas maltophilia. Lesi

ektima gangrenosum ini mirip dengan lesi kulit jamur oportunistik.(5)

IV. PATOGENESIS

Ektima merupakan bentuk lebih dalam dari impetigo dimana ulserasi telah

membentuk krusta. Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes adalah

penyebabnya.(6)

Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes ini menghasilkan

beberapa toksin yang dapat menyebabkan kerusakan lokal atau gejala sistemik.

Gejala sistemik ini dimediasi oleh superantigen (SA). Antigen konvensional

terlihat pada permukaan sel dari antigen-presenting cell dalam hubungannya

dengan Mayor Histocompability Complex II (MHC II). Interaksi dengan reseptor

sel T terjadi sangat spesifik. Superantigen menghindari proses ini dan berinteraksi

secara langsung dengan sebagian dari kompleks MHC II dan hanya dengan

bagian V-beta dari reseptor sel T, tanpa antigen. Aktivasi skala besar sel T

menyebabkan pelepasan masif Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), Interleukin-1

(IL-1), dan Interleukin-6 (IL-6). Sitokin inilah yang menyebabkan gejala klinis

berupa demam, ruam erythematous, hipotensi, dan cedera jaringan.(6)  

V. DIAGNOSIS

Untuk menegakkan diagnosis dari ektima dapat dilakukan dengan

melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dimana dari anamnesis dapat

didapatkan riwayat lesi yang nyeri dan disertai kelemahan.(2) Lesi awalnya biasa

berupa bercak vesikel atau bercak vesikelpustul yang nantinya berkembang dalam

beberapa hari menjadi gambaran ulkus dan krusta tebal dengan diameter 0,5-2 cm

dengan batas tegas dimana lesinya lembut yang berkembang dari tepi lesinya.

Nanti setelah dilakukan pengangkatan akan nampak ulkus berbentuk piringan

3

dangkal dapat juga sampai bagian dermis dengan dasar yang rapuh dan tepi yang

meninggi.(3, 4, 7, 8)

Gambar 1 : Staphylococcus aureus, Ektima. Luka dengan krusta tebal yang banyak pada kaki pasien

dengan diabetes dan gagal ginjal. Lesi ektima juga muncul pada kaki yang lain, lengan, dan tangan.(2)

Gambar 2 : Ektima(8)

Lesi biasanya berjumlah beberapa lesi namun untuk lesi baru biasanya

berkembang secara autoinokulasi dalam jangka panjang.(9) Biasanya pasien

4

merupakan pasien yang tidak merawat kebersihan dirinya dan pada orang-orang yang

mengalami malnutrisi. Pada orang-orang yang pernah menggunakan tattoo maupun

obat-obatan terlarang juga dilaporkan memiliki resiko tinggi mengalami ektima.(10, 11)

Predileksi terjadinya pada bokong, paha dan kaki, namun paling sering pada bagian

region tungkai bawah.(3, 4) Tempat luka dapat pada daerah trauma sebelumnya, luka

operasi atau penyakit dermatosis lainnya seperti posriasis ataupun dermatitis. Pasien

biasa juga disertai dengan keluhan nyeri berat adenopati regional, demam sekitar 38

derajat atau lebih serta malaise.(4)

Dalam menegakkan diagnosis ektima, selain melihat gambaran klinis, dapat

dilakukan beberapa pemeriksaan tambahan seperti :

1. Biopsi kulit

Peradangan dalam yang diinfeksi kokus, dengan infiltrasi PMN dan

pembentukan abses mulai dari folikel polisebasea. Pada dermis, ujung pembuluh

darah melebar dan terdapat serbukan sel PMN.(12)

2. Pewarnaan Gram

Pada pemeriksaan ini didapatkan gambaran bakteri kokus gram positif dengan

bentuk rantai atau anggur dengan terdapat neutrofil.(8) Bahan untuk pemeriksaan

bakteri sebaiknya diambil dengan mengerok tepi lesi yang aktif. Pemeriksaan

dengan Gram merupakan prosedur yang paling bermanfaat dalam mikrobiologi

diagnostik ketika dicurigai adanya infeksi bakteri. Sebagian besar bahan yang

diambil harus diapuskan pada gelas objek dan dengan teknik pewarnaan gram

diperiksa secara mikroskopik.(12)

3. Kultur

Didapatkan umumnya Staphylococcus aureus. Meskipun pemeriksaaan ini

kurang efektif namun dapat dilakukan dengan cara menyemprotkan air ke tepi lesi

yang aktif, lalu dilakukan aspirasi. Biasanya menghasilkan kadar yang positif

sekitar 5-10 persen.(4)

5

VI. DIAGNOSIS BANDING

1. Folikulitis(13)

Folikulitis adalah peradangan bagian distal folikel rambut yang biasanya

hanya mengenai ostium, tapi dapat meluas sedikit kebawahnya yang

disebabkan oleh Staphylococcus koagulase positif. Dapat juga terjadi sebagai

akibat kontak dengan zat-zat kimia tertentu. Pada folikulitis terlihat pustul

folikuler kecil dan berbentuk kubah, sering ditembus oleh rambut halus.

Krusta tipis tipis dapat menutupi muara folikel yang menyembul.(13)

2. Ektima gangrenosum(8)

Penyakit kulit yang disebabkan oleh Pseudomonas biasa terjadi pada

pasien dengan immunocompromised, Ektima gangrenosum dapat pula terjadi

karena bakteri ataupun jamur. Lesi pada ektima ini berupa papulovesikel

berukuran kecil yang berkembang progresif menjadi jaringan ulkus nekrotik

dengan eritem disekitarnya dan skar hitam pada bagian tengahnya. (9)

Merupakan penyakit yang perjalanannya cepat, idiopatik, kronik dan

merupakan penyakit yang sangat melemahkan kulit. Penyakit ini ditandai

dengan infiltrasi neutrofil dan kerusakan pada jaringan yang biasanya terjadi

berhubungan dengan penyakit sistemik seperti misalanya colitis ulcerative

chronic. Biasanya ditandai dengan bentuk yang iregular, ulkus dengan warna

biru merah yang biasanya menimbulkan jaringan nekrotik disekitarnya.(8)

Gambar 3 : Ektima gangrenosum(3)

6

3. Impetigo krustosa(1)

Impetigo ialah infeksi piogenik superfisial dan mudah menular yang

terdapat dipermukaan kulit. Dapat disebabkan Staphylococcus aureus atau

Streptococcus atau oleh keduanya.(13) Persamaan impetigo dengan ektima

sama-sama berkrusta warna kuning. Perbedaannya impetigo krustosa terdapat

pada anak, berlokasi di muka dan dasarnya ialah erosi. Sebaliknya ektima

terdapat baik pada anak maupun dewasa, tempat predileksinya di tungkai

bawah, dan dasarnya ialah ulkus.(1)

Gambar 4 : Impetigo krustosa (7)

VII. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pada ektima sama dengan penatalaksanaan pada

impetigo.(14) Pada kasus ektima, yang lebih utama dari pemberian obat adalah

dengan membersihkan perlukaan dengan air dan sabun, menjaga higienitas dan

nutrisi dari tiap individu serta menghindari faktor predisposisi kemudian

dilanjutkan dengan terapi pilihan baik topikal maupun sistemik. Pilihan

7

pemberian antibiotik yang aktif menghambat pertumbuhan dan melawan

Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus.(15)

1. Terapi Topikal

Terapi topikal yang dapat diberikan berupa desinfektan topikal atau

ointment asam fusidat, pada beberapa kasus berat dapat diberikan mupirocin

ointment dua kali sehari.(16) Mipirocin (bactroban centany) merupakan terapi yang

efektif dan aman untuk mengatasi ektima dan impetigo atau yang disebabkan oleh

bakteri Streptococcus dan Staphylococcus aureus. Tidak seperti antibiotik topikal

lainnya, mupirocin sangat jarang menyebabkan sensitisasi pada kulit. Mupirocin

dapat diberikan empat kali sehari selama tujuh hari sampai sepuluh hari, efeknya

lebih baik dalam eradikasi Staphylococcus aureus jika dikombinasikan dengan

eritromisin.(16)

2. Terapi Sistemik

Berdasarkan data dan temuan klinis, infeksi kutaneus yang disebabkan oleh

Streptococcus pyogenes dapat menyebabkan glumerulonefritis oleh karena itu

semua kasus ektima, erisipelas, dan selulitis sebaiknya dapat terdiagnosis dan

diterapi secara dini. Saat ini pengobatan yang masih menjadi pilihan utama adalah

penicillin. Dapat digunakan dengan dosis 250 mg per oral empat kali sehari

dalam sepuluh hari atau procaine penicillin G,800.000 U dua kali sehari dalam

sepuluh hari.(4)

Penicillin G dan asam stabil penicillin V merupakan penicillin alami yang

masih aktif dalam eradikasi Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus Aureus.

Semisistetik aminopenicillin ( ampicillin, amoxicillin, dan bacampicillin)

memiliki efek yang sama seperti penicillin. Amoixicillin masih menjadi pilihan

terbaik untuk mengatasi infeksi Streptococcus pyogenes karena dapat terabsorbsi

dengan baik pada pemberian secara oral. Ampicillin jarang digunakan karena

absorpsinya rendah pada traktus gastrointestinal.(17)

8

Isoxazolyl penicillin (cloxacillin, dicloxacillin, nafcillin, dan oxacillin)

aktif untuk mengatasi infeksi kulit yang disebabkan, baik Staphylococcus

maupun Streptococcus pyogenes tetapi tidak aktif untuk mengatasi kasus

MRSA (methicillin-resistant Staphylococcus aureus).(17)

Penambahan beta-lactamase inhibitor pada golongan penicillin

menambah spektrum dari aktifitas penicillin. Agen yang paling berguna pada

golongan penicillin ini yang tersedia dan dapat diberikan secara oral adalah

amoxicillin/clavulanate. Golongan ini merupakan bagian dari penicillin yang

paling efektif dan berguna untuk mengatasi infeksi kulit yang disebabkan oleh

Streptococcus pyogenes, Staphyloccus aureus, dan infeksi dari bakteri gram

negatif. (17)

Gambar 5: Obat Antimikroba untuk Infeksi Bakteri(8)

9

Pada beberapa kasus berat, dapat diberikan clindamysin 300 mg per

oral dua kali sehari. Pemberian erythromycin menjadi alternatif yang baik

untuk kasus alergi pada penicillin.(4)

Gambar 6: Antibiotik untuk ektima(8)

VIII. KOMPLIKASI

Ektima biasanya ditandai ulkus dan krusta yang disertai jaringan parut pada

luka yang sembuh.(10) Berdasarkan fakta infeksi kulit Streptococcus pyogenes

dapar menyebabkan glomerulonefritis, jadi semua kasus ektima, eriseplas, dan

selulitis harus didiagnosis dan diobati segera.(4)

IX. PROGNOSIS

10

Bahkan tanpa pengobatan, perjalanan penyakit ektima membaik dalam waktu

15-20 hari.(4)

DAFTAR PUSTAKA

11

1. Juanda A. Pioderma. In: Juanda A, Hamzah M, Aisah S, Kosasih A, Wiryadi

BE, Natahusada EC, et al., editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta:

Badan Penerbit FKUI; 2007. p. 57-60.

2. Craft N, Lee PK, Zipoli MT, Weinberg AN, Swartz MN, Johnson RA.

Superficial and Cutaneous Infections and Pyodermas. In: Wolff K, Goldsmith LA,

Katz SI, Gilchrest BA, Paller A, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology in

General Medicine. 7th ed. USA: McGraw-Hill; 2008. p. 1694-9.

3. Hay RJ, Adriaans BM. Bacterial Infection. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,

Griffiths C, editors. Rook's Textbook of Dermatology 8th ed. UK: Blackwell

Publishing; 2010. p. 30.17.

4. Cortes-Franco R. Erythema/Erysipelas. In: Arenas R, Estrada R, editors.

Tropical Dermatology. USA: Landes Bioscience; 2001. p. 148-51.

5. Morgan MB, Smoller BR, Somach SC. Ecthyma Gangrenosum. Deadly

Dermatologic Disease. USA: Springer; 2007. p. 121-2.

6. Chiller K, Selkin BA, Murakawa GJ. Skin Microflora and Bacterial Infections

of The Skin. Journal of Investigative Dermatology Symposium Proceedings.

2001:170-4.

7. James WD, Berger TG, Elston DM. Bacterial Infection. Andrew's Disease of

The Skin : Clinical Dermatology 10th Edition. 10th ed. USA: Saunders Elsevier;

2006. p. 255-6

9.

8. Wolfff K, Johnson R. In: Wolfff K, Johnson R, editors. Fitzpatrick's Color

Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology 6th ed. New York: McGraw-Hill; 2009. p.

598-604.

9. Weiel JJ, Zhang CZ, Smith JA, Wang W, DuPont J, Lian F. Cinicopathologic

Aspects of Ecthyma Gangrenosum in Pediatric Patients : Case Series and Review of

The Literature. Journal of Clinical and Anatomic Pathology. 2013. Epub August 22,

2013.

12

10. Grawkodger D. Dermatology An Illustrated Colour Text. China: Elsevier;

2003.

11. Laumann A. Body Art. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,

Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed.

US: McGraw-Hill; 2008. p. 886-8.

12. Siregar RS. Ektima. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC;

2002. p. 61-2.

13. Sjahrial d. Infeksi Bakteri Stafilokok dan Streptokok. In: Harahap M, editor.

Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates; 2000. p. 47-51.

14. Craft N, Lee PK, Zipoli MT, Weinberg AN, Swartz MN, Johnson RA.

Pyodermas. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Lefell DJ,

editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 2. USA: McGraw-Hill. p.

1694-8.

15. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Ecthyma. Rook’s Textbook of

Dermatology. 1: Wiley-Blackwell; 2010. p. 1361.

16. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Thieme Clinical Companions Dermatology.

Stuttgart, New York: Thieme; 2006.

17. Craft JC, Parish LC. Systemic Antimicrobial Therapy. In: Craft JC, Parish

LC, editors. Drug Therapy in Dermatology. Pennsylvania: Craft and Parish. p. 57-77.

13