pengaruh tindakan hipotermia ringan terhadap proses neuroinflamasi dan keluaran klinis...

132
i PENGARUH TINDAKAN HIPOTERMIA RINGAN TERHADAP PROSES NEUROINFLAMASI DAN KELUARAN KLINIS PADA PENDERITA CEDERA OTAK RISIKO TINGGI AKIBAT TRAUMA: KAJIAN EKSPRESI MRNA GEN MMP-9, KADAR PROTEIN MMP-9, GENOTIPE POLIMORFISME -1562 C/T, SKOR FOUR DAN MARSHALL CT EKO PRASETYO SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM S3 ILMU KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

Upload: others

Post on 13-Feb-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • i

    PENGARUH TINDAKAN HIPOTERMIA RINGAN TERHADAP PROSES NEUROINFLAMASI DAN KELUARAN KLINIS PADA PENDERITA

    CEDERA OTAK RISIKO TINGGI AKIBAT TRAUMA: KAJIAN EKSPRESI MRNA GEN MMP-9, KADAR PROTEIN MMP-9,

    GENOTIPE POLIMORFISME -1562 C/T, SKOR FOUR DAN MARSHALL CT

    EKO PRASETYO

    SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM S3 ILMU KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

    2017

  • ii

    PENGARUH TINDAKAN HIPOTERMIA RINGAN TERHADAP PROSES NEUROINFLAMASI DAN KELUARAN KLINIS PADA PENDERITA

    CEDERA OTAK RISIKO TINGGI AKIBAT TRAUMA: Kajian ekspresi mRNA gen MMP-9, kadar protein MMP-9,

    genotipe polimorfisme -1562 C/T, skor FOUR dan Marshall CT

    Disertasi

    Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Doktor

    Program Studi

    Ilmu Kedokteran

    Disusun dan diajukan oleh

    EKO PRASETYO

    ( NPM : P0200314041 ) Kepada

    SEKOLAH PASCASARJANA

    PROGRAM S3 ILMU KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

    MAKASSAR 2017

  • iii

  • iv

    TIM PENILAI UJIAN PRA PROMOSI Promotor : Prof.Dr.dr.Andi Asadul Islam,SpBS(K) Kopromotor : Prof.dr.Mochammad Hatta,PhD,SpMK(K) Dr.dr.Djoko Widodo,SpBS(K) Penilai : Prof.Dr.dr.Sri Maliawan,SpBS(K) Prof.dr.Rosdiana Natsir,PhD,SpBiok dr.Agussalim Bukhari,MSc,PhD,SpGK Dr.dr.Ilhamjaya Patellongi,Mkes dr.Upik Andariani Miskad,PhD,SpPA dr.Rahmawati Minhajat,PhD,SpPD

  • v

    PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI

    Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Eko Prasetyo Nomor Mahasiswa : P0200314041 Program Studi : Ilmu Kedokteran Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini

    benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri,bukan merupakan

    pegambilan tulisan atau pemikiran orang lain.Apabila di kemudian hari

    terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan disertasi ini

    hasil karya orang lain,saya bersedia menerima sangsi atas perbuatan

    tersebut.

    Makassar,17 Agustus 2017 Yang menyatakan, Eko Prasetyo

  • vi

    PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa

    bahwa hanya atas restu dan karuniaNya lah disertasi penelitian ini berhasil

    penulis selesaikan.

    Cedera otak berat akibat trauma merupakan penyakit yang memiliki

    morbiditas dan mortalitas yang tinggi serta memiliki dampak yang luas ditinjau

    dari segi psiko-sosial-ekonomi baik bagi penderita maupun

    keluarganya.Sehingga diperlukan pengobatan dan penanganan yang baik

    dalam menanggulangi cedera otak berat akibat trauma.Penelitian ini

    menjelasakan bahwa terapi hipotermi ringan telah menjadi salahsatu pilihan

    dalam pengobatan penderita cedera otak berat.Perbaikan keluaran telah

    ditunjukkan dengan perbaikan penanda biologis,radiologis maupun kilinis.

    Pertama,penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya dan

    penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof.Dr.dr. Andi Asadul Islam

    Sp.BS.(K)., sebagai promotor dan sekaligus,Dekan Fakultas Kedokteran

    Universitas Hasanuddin,yang dengan penuh perhatian dan kearifan

    senantiasa memotivasi,membuka wawasan,membimbing,mendorong dan

    meluangkan waktu di tengah kesibukan bagi penulis sejak awal penelitian ini

    hingga pada penulisan disertasi ini.

    Ucapan terima kasih sebesar-besarnya dengan tulus hati juga

    disampaikan kepada Prof.dr. Mochammad Hatta PhD.Sp.MK.(K)., sebagai

    ko-promotor sekaligus Ketua Program Studi S3 Ilmu Kedokteran Fakultas

    Kedokteran Universitas Hasanuddin yang telah dengan penuh perhatian

    sebagai seorangtua dengan penuh kesabaran memberi

  • vii

    semangat,motivasi,ide,merangkul dan membantu sejak awal penelitian

    hingga selesainya disertasi ini.

    Terimakasih sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Dr.dr.

    Djoko Widodo Sp.BS.(K)., sebagai ko-promotor dan sekaligus sahabat yang

    baik yang telah meluangkan waktu dalam membimbing,perhatian,masukkan

    yang tulus sehingga selesainya disertasi ini.

    Ucapan terimakasih sebesar-besarnya disampaikan juga kepada para

    penguji :Prof.Dr.dr. Sri Maliawan Sp.BS.(K).,Prof Dr.dr. Rosdiana Natsir

    PhD.,Sp.Biok.,dr. Agussalim Bukhari,Msc.,PhD.,Sp.GK.,Dr.dr. Ilhamjaya

    Patellongi MKes.,dr. Upik Andriani Miskad,PhD.,Sp.PA. dan

    dr.Rahmawati Minhajat PhD.,Sp.PD.

    Yang terpenting dari semua keberhasilan ini adalah karena dukungan

    dari istri tercinta,Deinne Ivon Turangan SE, dan anak-anakku,Diella Amanda

    Prasetyo dan Gennaro Jeremy Prasetyo yang telah memberikan

    pengorbanan waktu,pengertian dan senantiasa mendorong saya untuk tetap

    semangat dalam menyelesaikan penelitian ini.

    Pada kesempatan berbahagia ini,saya juga menyampaikan

    penghargaan dan terimakasih setinggi-tingginya kepada semua penderita

    yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini,termasuk keluarga dan kerabat

    penderita.Sehingga besar harapan saya,hasil penelitian ini kelak menjadi

    sumbangsih yang bermanfaat bagi kepentingan penderita.

    Saya juga menyampaikan banyak terimakasih kepada Pimpinan dan

    seluruh jajaran dari RSUP RD Kandou Manado dan RS Siloam Manado,yang

    telah menginjinkan saya untuk melakukan penelitian di tempat

    tersebut.Kepada Pimpinan dan jajaran dari Fakultas Kedokteran Universitas

  • viii

    Pelita Harapan (UPH) dan khususnya,mas Eka ( Prof.DR.dr. Eka Julianta

    Wahjoepramono Sp.BS.(K),SH. ) selaku Dekan FK UPH dan senior bagi

    saya yang selalu mendorong semangat untuk maju dan agar berprestasi baik

    di tingkat Nasional maupun Internasional.Terimakasih banyak kepada semua

    sahabat dan sejawat Team Bedah Siloam (TBS) atas dukungan dan

    kerjasamanya selama ini.

    Ucapan terimakasih dan penghargaan juga disampaikan kepada

    semua pihak yang tidak dapat saya sampaikan satu demi satu yang telah

    dengan tulus serta segenap hati membantu saya sejak awal hingga akhir dari

    proses pendidikan dan penelitian ini .

    Eko Prasetyo

  • ix

  • x

  • xi

    DAFTAR ISI hal HALAMAN SAMPUL i HALAMAN JUDUL ii LEMBAR PENGESAHAN iii TIM PENILAI UJIAN PRA PROMOSI iv PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI v PRAKATA vi ABSTRAK ix ABSTRACT x DAFTAR ISI xi DAFTAR TABEL xiv DAFTAR GRAFIK xv DAFTAR SKEMA xvi DAFTAR GAMBAR xvii BAB I PENDAHULUAN

    1.1.Latar Belakang Masalah 1 1.2.Rumusan Masalah 12 1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1.Tujuan umum 13 1.3.2.Tujuan khusus 13 1.4.Manfaat Penelitian 1.4.1.Aspek pengembangan ilmu 14 1.4.2.Aspek aplikasi klinis 15

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    2.1.Patomekanisme cedera otak akibat trauma 16 2.2.Proses neuroinflamasi pada cedera otak 26 2.3.Penanda biologis TNF- α 32 2.4.Penanda biologis IL-6 36 2.5.Penanda biologis Il-10 40

  • xii

    2.6.Penanda biologis MMP-9 44 2.6.1.Struktur matrix metalloproteinase 45 2.6.2.Matrix metalloproteinase-9 49 2.6.3.Matrix metalloproteinase-9 dan proses neuroinflamasi 50 2.6.4.Genotipe polimorfisme dan mRNA gen MMP-9 60 2.6.5.Metoda pemeriksaan polymerase dan mRNA gen MMP-9

    serta kadar protein serum MMP-9 2.6.5.1.Ekstraksi asam nukleat 65 2.6.5.2.Amplifikasi DNA dengan PCR 66 2.6.5.3.Analisa produk PCR dengan elektroforesis 67 2.6.5.4.Analisa RFLP-PCR 68 2.6.5.5.Metoda Direct Sequencing 68 2.6.5.6.Metoda Realtime-PCR mRNA gen MMP-9 69 2.6.5.7.Perhitungan kurva kalibrasi Ct (Cycle Threshold) 71 2.6.5.8.Analisa ELISA kadar protein MMP-9 serum 74 2.7.Penanda biologis Fibronectin 75 2.8.Anatomi dan fungsi sawar darah otak 82 2.9.Skor FOUR dan penilaiannya 89 2.10.CT scan kepala dan klasifikasinya (skor Marshall CT) 94 2.11.Tindakan hipotermia ringan (HPTr) 96 2.11.1.Definisi 97 2.11.2.Terminologi

    98 2.11.3.Klasifikasi 99 2.11.4.Efek samping

    100 2.11.5.Teknik Hipotermia 101

    BAB III KERANGKA TEORI 3.Kerangka teori 115 BAB IV KERANGKA KONSEP 4.1.Kerangka Konsep 116 4.2.Penjelasan kerangka konsep 117 4.3.Variabel 117 4.4.Hipotesis 118 4.5.Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif 4.5.1.Tindakan hipotermia ringan 119 4.5.2.Alat dan cara pengukuran suhu 120 4.5.3.Cedera otak resiko tinggi 120 4.5.4.Skor FOUR 121 4.5.5.Penilaian klasifikasi hasil CT scan (Skor Marshall CT) 122 4.5.6.Penanda biologis MMP-9 4.5.6.1.Kadar protein MMP-9 serum 123 4.5.6.2.Ekspresi mRNA gen MMP-9 123 4.5.6.3.Genotipe polimerase -1562 C/T gen MMP-9 123

  • xiii

    BAB V METODE PENELITIAN 5.1.Desain Penelitian 125 5.2.Populasi 5.2.1.Populasi target 125 5.2.2.Populasi terjangkau 126 5.3.Sampel penelitian 126 5.3.1.Kriteria sampel 5.3.1.1.Kriteria inklusi 126 5.3.1.2.Kriteria eksklusi 126 5.3.1.3.Kriteria drop out 127 5.3.2.Teknik sampling 127 5.3.3.Besar sampel 127 5.4.Tempat dan waktu 127 5.5.Instrumen pengumpul data 128 5.6.Perawatan penderita 129 5.7.Rencana pengolahan dan analisa data 129 5.8.Etika Penelitian 130 5.8.Alur Penelitian 131 BAB VI HASIL PENELITIAN 6.1.Karakteristik subyek penelitian 132 6.2.Pengaruh HPTr terhadap ekspresi mRNA MMP-9 dan kadar protein MMP-9 serum 133 6.3.Pengaruh HPTr terhadap skor FOUR 139 6.4.Pengaruh HPTr terhadap skor Marshall CT 141 6.5.Pengaruh HPTr terhadap genotipe polimorfisme -1562 C/T gen MMP-9 144 BAB VII PEMBAHASAN 7.1.Karakteristik subyek penelitian 145 7.2.Pengaruh HPTr terhadap ekspresi mRNA MMP-9 dan kadar protein MMP-9 serum 145 7.3.Pengaruh HPTr terhadap skor FOUR dan Marshall CT 150 7.4.Pengaruh HPTr terhadap genotipe polimorfisme -1562 C/T gen MMP-9 154 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN

  • xiv

    8.1.Kesimpulan 156 8.2.Saran 157 KEPUSTAKAAN 158 LAMPIRAN DAFTAR TABEL Hal

    1.Faktor intrakranial dan sistemik pada cedera otak sekunder 24 2.Mekanisme peran ganda pada neuroinflamasi 27 3.Sitokin sebagai mediator proses neuroinflamasi pada COT 32 4.Kadar maksimal sitokin dalam cairan otak dan serum 35 5.Area saklar sistein dan ikatan Zn pada MMP 47 6.Kadar MMP-9 dan c-Fn plasma 55 7.Identifikasi varian genotipe gen MMP-9 62 8.Nama dari fibronectin 77 9.Komposisi asam amino dariFn 78 10.Fungsi dari sawar darah otak 88 11.Youden Index 90 12.Nilai diagnosis GCS dan skor FOUR 90 13.Tabel penilaian skor FOUR 92 14.Klasifikasi hasil CT scan pada COT (skor Marshall CT) 96 15.Penyebab hipotermia 98 16.Klasifikasi derajat suhu pada tindakan hipotermia 99 17.Perubahan fisiologis dan efek samping pada tindakan Hipotermia 100 18.Mekanisme pelepasan panas tubuh 101

  • xv

    19.Perbandingan prosentase keluaran penderita hipotermia dan normotermia 103 20.Metoda pendinginan 106 21.Perawatan tambahan pada penderita hipotermia 107 22.Perbandingan hasil skala GOS pada penderita COT berat yang dilakukan tindakan hipotermia ringan 111 23.Mekanisme neuroprotektif pada tindakan hipotermia 112 24.Penilaian skor FOUR dan resiko kematian 122 25.Klasifikasi cedera otak berdasarkan hasil CT scan (skor Marshall CT)

    122 26.Perbandingan karakteristik kedua kelompok 132 27.Perbandingan perubahan ekspresi mRNA MMP-9 pada kedua kelompok

    penderita 133 28.Perbandingan perubahan kadar protein MMP-9 serum pada kedua

    kelompok penderita 136 29.Perbandingan perubahan skor FOUR pada kedua kelompok penderita 139 30.Perbandingan perubahan skor Marshall CT pada kedua kelompok

    penderita 142

    DAFTAR GRAFIK Hal

    1.Prosentase pengukuran Il-10 di atas nilai normal 42

    2.Peningkatan kadar Il-10 yang dihubungkan dengan derajat kerusakan SDO 43

    3.Kadar MMP-9 darah juguler pada COT berat 52

    4.Hubungan kadar pro MMP-9 dengan keluaran klinis 53

    5.Kurva linier regresi antara MMP-9 dan Il-6 56

  • xvi

    6.Titik-titik amplifikasi hTR dan GAPDH 73

    7.Hubungan kadar Fn dan MMP-9 79

    8.Kurva linier regresi dari suhu pada otak dan rektal 108

    9.Fase tindakan hipotermia sebagai neuroprotektif 113

    10. Perubahan ekspresi mRNA MMP-9 pada kedua kelompok berdasarkan

    waktu pengamatan 135

    11. Grafik garis perubahan kadar protein MMP-9 serum pada kedua kelompok

    berdasarkan waktu pengamatan 137

    12. Scatter hubungan perubahan kadar mRNA MMP-9 dengan perubahan

    kadar protein MMP-9 serum 138

    13.Perubahan skor FOUR pada kedua kelompok berdasarkan waktu

    pengamatan 141

    14.Perubahan skor Marshall CT pada kedua kelompok berdasarkan waktu

    pengamatan 143

    DAFTAR SKEMA Hal

    1.Pembagian cedera otak 17

    2.Pembagian COT berdasarkan mekanisme cedera dan beban gaya 18

    3.Diagram reaksi depolarisasi,pelepasan glutamate dan influks

    kalsium ke dalam sel 20

    4.Patomekanisme cedera otak primer dan sekunder 22

    5.Patomekanisme perubahan jaringan otak dan reaksi sistemik

    pada cedera otak 23

  • xvii

    6.Perubahan seluler dan molekuler pada cedera otak sekunder 24

    7.Mekanisme regulasi Il-10 melalui kaskad hilir dari TLR 43

    8.Aktivasi dan regulasi MMP

    48

    9.Kaskad protein kinase 57

    10.Kaskad ERK pada COT 58

    11.Kaskad MAPK kinase 59

    12.Proses aktivasi MMP-9 64

    13.Hubungan tindakan HPT,kadar Fn,MMP-9 dan kaskad cathepsin 80

    14.Model hubungan sinyalFn,integrin dan MAPK 82

    15.Mekanisme transportasi melalui SDO 86

    16.Fase tindakan hipotermia 104

    DAFTAR GAMBAR Hal

    1.Struktur dasar dari area MMP 45

    2.Struktur MMP berdasarkan substrat dan lokasi 46

    3.Struktur area dari MMP-9 50

    4.Hasil zymogram gelatin MMP-9 52

    5.Urutan varian gen MMP-9 61

    6.Analisa RLFP dan polimorfisme

    63

    7.Mesin thermal Cycler Applied Biosystem 2720 67

  • xviii

    8.Alat elektroforesis 67

    9.Alat squencer 69

    10.Alat Real Time PCR 71

    11.Mesin Elisa microplate reader 75

    12.Diagram dari fibronectin dalam sub unit

    78

    13.Sawar darah otak (sawar darah otak,pleksus khoroid dan arachnoid) 84 14.Struktur SDO dan sel sekitarnya 85 15.Struktur membran basalis,persimpangan ketat dan sabuk lekat 88 16.Tindakan hipotermia 105 17.Tindakan hipotermia ringan pada COT resiko tinggi di Rumah Sakit Siloam Manado 105 18.Mesin pendingin Blanketrol II 120 19.Hasil pemeriksaan RFLP-PCR 144

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1.Latar Belakang Masalah

    Cedera otak akibat trauma, yang selanjutnya disingkat COT

    menjadi masalah utama di bidang kesehatan di seluruh dunia, karena

    merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas, baik di negara maju

    maupun berkembang. COT menjadi masalah utama di bidang kesehatan dan

    memberi dampak luas bagi kehidupan sosioekonomi di seluruh dunia (Ghajar

    et.al., 2000; Cole, et al, 2004). COT adalah suatu kelainan fungsi otak akibat

    terjadinya perubahan patologis pada otak oleh karena gaya atau benturan

    dari luar (Potts et al., 2006; Jain, 2008; Kobeissy et al., 2008; Menon et al.,

    2010).

    Penyebab utama COT adalah kecelakaan lalu lintas, dan angka

    kejadiannya cenderung semakin meningkat (GBD 2013 Mortality and Causes

    of Death Collaborators, 2015). Oleh karena itu WHO tahun 2004 dalam ‗World

    Report on Road Traffic Injury Prevention‘ menyatakan bahwa pada tahun

    2020, cedera otak akan menjadi penyakit ketiga terbesar mengalahkan HIV

    dan tuberkulosis serta akan menjadi beban global (World Health

    Organization, 2004; Morganti-Kossmann et al., 2007; Rosenfeld et al., 2012).

    Di Indonesia, kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu prioritas

    penanggulangan penyakit tidak menular berdasarkan Keputusan Menteri

    Kesehatan nomor 116/Menkes/SK/VIII/2003. Sebagian besar korban

    kecelakaan lalu lintas di Indonesia adalah pengendara sepeda motor yang

  • 2

    berusia produktif (15-55 tahun) dengan cedera otak sebagai peringkat

    pertama urutan cedera yang dialami (Riyadina, et al., 2009).

    Korban meninggal karena kecelakaan lalu lintas di Indonesia

    pada tahun 2013 adalah sebesar 15,98% dengan pertambahan rata-rata

    10,08% (Dir Jend Hub Darat, 2014). Berdasarkan data Kepolisian Republik

    Indonesia di 3 (tiga) propinsi, kecelakaan yang berakibat fatal 61% dialami

    oleh pengendara sepeda motor (Soehodo, 2009) dan dari studi Conrad et al.,

    (1996) menyatakan bahwa di wilayah Yogyakarta sekitarnya terdapat 30%

    pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan lalulintas dan 26%

    harus dirawat di Rumah Sakit. Hasil survey Riskesdas (Riset Kesehatan

    Dasar) tahun 2013 menyatakan bahwa prevalensi cedera secara Nasional

    adalah 8,2% dengan rincian sebagai berikut: cedera pada kepala sebesar

    14,9% disertai gegar otak sebesar 0,4% dengan korban pengendara sepeda

    motor 40,6% pada kelompok umur terbanyak 15-24 tahun (11,7 %) serta

    prevalensi jenis kelamin laki-laki sebesar 10,1%.

    Hasil peneitian Limen dkk (2013), menemukan distribusi

    klasifikasi derajat cedera kepala berdasarkan GCS sebagai berikut: cedera

    otak ringan sebanyak 62,7%, sedang 27,3% dan berat 10%. Menurut

    Schmidt dkk (2004), meskipun kelompok COT berat atau resiko tinggi hanya

    sekitar 10-15 %, akan tetapi COT resiko tinggi mempunyai angka mortalitas

    sebesar 50-70%. Di Manado, hasil penelitian Pardamean dkk (2015),

    menunjukkan bahwa dari 972 penderita COT yang dirawat di RSUP

    R.D.Kandou Manado pada tahun 2014, terdapat 30,2% COT berat dan 21,4%

    tidak dilakukan tindakan bedah.

  • 3

    Penanganan penderita COT, khususnya cedera otak resiko tinggi

    yang memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi, pada prinsipnya

    mengutamakan upaya mencegah proses cedera otak sekunder yang terjadi

    setelah cedera otak primer. Cedera otak primer terjadi akibat gaya mekanik

    saat terjadinya trauma pada tulang kepala dan jaringan otak dan bersifat

    ireversibel sedangkan cedera otak sekunder, bersifat reversibel, yang terjadi

    menyusul cedera otak primer, akibat interaksi dinamis dari proses iskemia,

    inflamasi dan sitotoksik (Bullock, 1998; Smith, 2000). Perubahan biokimiawi,

    metabolisme seluler yang ditandai oleh alur biokimiawi yang bersifat

    kompleks menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial,

    kerusakan Sawar Darah Otak (SDO), neuroinflamasi, edema otak, hipoksia

    otak, iskemia dan neurodegenerasi (Baethmann et al., 1996; Baethmann et

    al., 2004; Zhao et al., 2008; Lotocki et al., 2009; Pun et al., 2009; Toklu et al.,

    2009; Loane and Faden A.I., 2010; Skopin et al., 2011).

    Otak ditinjau dari sudut pandang anatomi, organisasi seluler dan

    fungsi merupakan organ yang rumit dan kompleks serta heterogen sehingga

    manakala otak mengalami cedera akan memberikan respon yang kompleks

    dan beragam (Chodobski, 2011). Cedera otak primer adalah gaya mekanik

    yang terjadi pada saat terjadinya trauma pada tulang kepala dan jaringan otak

    yang bersifat ireversibel (Gaetz, 2004; Hilton, 2009; Kabadi, 2014) sedangkan

    cedera otak sekunder terjadi perubahan biokimiawi, metabolisme dan seluler

    ditandai oleh alur biokimiawi yang bersifat kompleks yang menyebabkan

    terjadinya peningkatan tekanan intra kranial, kerusakan sawar darah otak

    (SDO), neuroinflamasi, edema otak, hipoksia otak, iskemia dan

    neurodegenerasi (Baethmann et al., 1996; Baethmann et al., 2004; Zhao et

  • 4

    al., 2008; Lotocki et al., 2009; Pun et al., 2009; Toklu et al., 2009; Loane and

    Faden A.I., 2010; Skopin et al., 2011).

    Pada proses cedera otak sekunder selain bersifat reversibel, juga

    berlangsung relatif lambat, sehingga memberikan cukup kesempatan untuk

    melakukan terapi untuk mencegah atau menghambat prosesnya (Baethmann

    et al., 1996; Baethmann et al., 2004; Abdul-Muneer et al., 2013; Readnower

    et al., 2010; Zhang et al., 2012). Menurut Morganti-Kossman, M dkk (2001)

    proses imun-inflamasi di otak (neuroinflamasi) merupakan kunci utama pada

    cedera otak sekunder.

    Sebagaimana proses inflamasi lainnya, proses neuroinflamasi

    melibatkan mediator antara lain: sitokin, khemokin dan faktor pertumbuhan.

    Kelompok sitokin yang berasal dari protein endogen dan glikoprotein, yang

    berperan dalam proses neuroinflamasi adalah TNF-α, IL6, IL-1β, IL-10, TGF-

    β, IL-12, IL-18 dan IFN-γ. Sitokin TNF-α dan IL-6 merupakan sitokin pro-

    inflamasi yang utama, sedangkan sitokin IL-10 berperan sebagai sitokin anti-

    inflamasi (Ott et al., 1994; Morganti-Kossman.et al., 1997; Ghirnikar Ret al.,

    1998; Shohami et al., 1997; Shohami et al, 1999; Allan 2001; Rothwell 2003;

    Schmidt et al., 2004). Mediator inflamasi tersebut menjadi faktor utama

    terjadinya kerusakan (neurotoksik), maupun perbaikan jaringan otak

    (neuroprotektif) atau yang dikenal sebagai peran ganda (dual role) yang

    ekspresinya diatur melalui pengaturan yang berlangsung secara dinamika

    intraktif sesudah trauma (Asenso et al., 1999; Shohami et al., 1999; Scherbel

    et al., 1999; Merrill et al., 1996; Lenzlinger et al., 2001; Morganti-Kossmann et

    al., 2008). Peningkatan produksi sitokin tersebut, khususnya TNF-α dan IL-6

  • 5

    akan meningkatkan respon produk dan aktivitas Matrix Metalloproteinase-9

    (MMP-9) melalui kaskad Extracellular Regulated Kinase (ERK) pada kaskad

    sinyal transkripsi Mitogen Activated Protein Kinase (MAPK) astrosit, terutama

    mikroglia (Gottschall and Yu., 1995; Aibiki et al., 1999; Schumman et al.,

    1999; Harkness et al., 2000; Mori et al., 2002; Suehiro et al., 2004).

    MMP-9 atau matrixin atau gelatinase-B, pertamakali diketemukan

    oleh Sopata pada tahun 1972 dari polimorfonuklear lekosit manusia. MMP-9

    adalah enzim endopeptidase Zn dependen yang berfungsi untuk memelihara

    dan ‗remodeling‘ dari matriks ekstraseluler. MMP-9 diproduksi oleh mikroglia,

    neuron, oligodendrosit dan endotel vaskuler. Paling banyak diproduksi oleh

    mikroglia (Sopata and Dancewicz ,1972; Sopata and Wize ,1979;Gottschal et

    al.,1995; Rosenberg et al.,2001; Maskos and Bode.,2003; Mandal et al.,2003;

    Zhang, 2010). Mikroglia merupakan pertahanan pertama pada cedera otak,

    dan aktivitasnya adalah petanda utama proses neuroinflamasi (Davalos et

    al.,2005; Fernandez 2007; Loane and Byrnes,2010; Ramlackhansingh et

    al.,2011; Lok et al.,2014). Mikroglia berperan sebagai sensor dan efektor dari

    sistem imun otak dalam kondisi normal maupun dalam kondisi patologis

    (Kreutzberg ,1996; Hanisch and Kettenmannn, 2007).

    Salah satu penyebab utama kerusakan SDO adalah akibat

    mekanisme proteolisis yang berlebihan dari MMP-9 atau 92-kDa type IV

    kollagenase. Enzim ini menyebabkan degradasi basal lamina endotel yakni:

    laminin, fibronektin, kolagen, proteoglikan serta ‗tight junction‘ yakni

    degradasi ZO-1, occludin dan claudin yang merupakan dua struktur

    fungsional utama dari SDO yang menyebabkan kerusakan sitoskletal dan

  • 6

    mengganggu homeostasis sel, iskemia, reaksi inflamasi, jaringan nekrosis

    dan kematian sel atau apoptosis (Rosenberg ,et al., 1996; Gasche et al.,

    1999; Morita-Fujimura et al.,1999;Yong et al.,2001; Mori et al.,2002; Gu et

    al.,2002; Guo et al.,2011; Zheng et al.,2013). Stabilitas lingkungan mikro dari

    neuron mutlak diperlukan dalam memelihara fungsi normal otak, dan ini

    adalah peran penting dari SDO untuk menjaga homeostasis dan

    kelangsungan hidup otak atau mencegah kematian sel otak (Fishman,1975;

    Cserr and Bundgaard ,1986; Gasche et al.,1998; Ballabh et al.,2004;

    Chodobski et al.,2011). Keutuhan integritas dari SDO menjadi kunci utama

    dalam restorasi homeostasis otak akibat cedera (Abdul-Muneer et al.,2014;

    Alves, 2014).Hasil keluaran dari COT berat atau COT resiko tinggi ditentukan

    oleh proses cedera otak sekuder, karena COT resiko tinggi 70-90% disertai

    cedera otak sekunder (Schmidt et al.,2004) dan yang berperan dalam proses

    tersebut adalah integritas SDO yang dipengaruhi oleh MMP-9 yang menjadi

    efektor pada cedera otak sekunder (Gasche et al.,1998; Kolar et al.,2008).

    MMP-9 dapat menjadi penanda biologis bagi penentuan hasil keluaran pada

    COT resiko tinggi (Shibayama et al.,1997; Kolar et al.,2008; Copin et al.,2012;

    Zheng et al.,2013).

    Salah satu upaya dalam penanganan cedera otak sekunder adalah

    memberikan neuroprotektor yang bersifat medikal atau non-medikal. Seperti

    diketahui sulit menentukan pilihan neuroprotektor terbaik bagi penderita

    tersebut. Sebab patomekanisme COT resiko tinggi bersifat heterogen,

    kompleks dan memiliki kaskad biokimiawi sel dan molekuler yang luas

    sehingga tidaklah mungkin satu neuroprotektor dapat melakukan inhibisi ke

    semua kaskad tersebut. Untuk itulah dipilih neuroprotektor yang mampu

  • 7

    melakukan inhibisi pada banyak kaskad yaitu dengan memberi tindakan

    hipotermia ringan (34-36°C) pada penderita COT resiko tinggi (Dietrich et

    al.,1990; Jiang et al.,2000; Jiang et al.,1992; Dietrich et al.,1994; Clark et

    al.,1996; Shiozaki et al.,1998; Yamamoto et al.,1999; Yong et al.,2001;

    Shiozaki et al.,2001; Polderman et al.,2002; McIntyre ,2003; Suehiro et

    al.,2004; Truettner et al.,2005)

    Disamping itu, pilihan tindakan hipotermia ringan yang disingkat

    dan selanjutnya disebut sebagai HPTr, sebagai neuroprotektor karena sintesa

    dan aktivitas MMP-9 pada cedera otak sekunder bersifat peka suhu

    (Makowski et al.,1998; Fasciglione et al.,2000 ) dan mekanisme COT yang

    kompleks khususnya kaskad cedera otak sekunder juga tergolong peka suhu

    (Truettner, 2005). Pasca cedera otak primer yang berkaitan dengan

    mekanisme seluler dan molekuler juga bersifat sangat peka suhu, sehingga

    tindakan hipotermia menjadi pilihan terbaik (Dietrich,2000; Sahuquillo et

    al.,2007). Tindakan hipotermia akan menekan produksi MMP-9 melalui 3

    (tiga) mekanisme yaitu: pada fase transkripsi gen, aktivasi zymogen dan

    inhibisi spesifik (Rosenberg ,1995; Gottschall et al.,1995; Shapiro et al.,1995;

    van der Zee et al.,1996; Borkakoti,2000; Khasigov ,2001; Mori, 2002; Zhang

    et al.,2010).

    Terapi dingin sesungguhnya sudah dikenal sejak 3.500 SM seperti

    yang tertulis dalam naskah tentang ilmu kedokteran Mesir kuno, ‘The Ewdin

    Smith Papyrus‘ (Wang et al.,2006). Tindakan hipotermia secara moderen

    dilakukan pada penderita cedera otak, pertamakali diperkenalkan oleh

    Temple Fay, tahun 1943 (Fay, 1945; Cancio et al.,1994 ). Sejak tahun 1970 -

    1990-an, penelitian tentang tindakan hipotermia berkembang pesat meskipun

  • 8

    masih terjadi pro dan kontra. Kelemahan tindakan hipotermia terjadi akibat

    kesalahan dalam metodologi penelitiannya serta penentuan ―jendela‖ terapi

    yang meningkatkan resiko terjadinya infeksi (Davies ,2005). Setelah

    mengalami perubahan, maka sejak tahun 2000, tindakan hipotermia menjadi

    pilihan utama (‗first line‘) sebagai neuroprotektor yang aman dan handal

    bukan lagi menjadi terapi ‗optional‘ atau ‗last step‘ (Finfer and Cohen ,2001;

    Polderman et al.,2002; Polderman et al.,2009; Liao et al.,2009; Masaoka,

    2010).

    Mekanisme kerja awal pada tindakan hipotermia sebagai

    neuroprotektor ialah hipotermia bekerja pada proses metabolisme dan

    biokimiawi antara lain adalah mengurangi kebutuhan metabolisme sel otak

    sebesar 6-7% pada setiap penurunan suhu 1 derajat Celcius sehingga dapat

    mengurangi kebutuhan oksigen, menghemat senyawa fosfat dan energi serta

    mencegah pembentukan asam laktat yang mengakibatkan asidosis

    (Rosomoff and Holaday ,1954; Sedzimir, 1959; Strachan et al.,1989; Zeevalk

    and Nicklas, 1996; Erencinska et al.,2003; Alzaga et al.,2006; Polderman

    2009; Zhao et al.,2011; Karnatovskaia et al.,2013).

    Efek tindakan hipotermia pada tingkat seluler dilaporkan berfungsi

    sebagai pelindung sel neuron terhadap cedera, melindungi aktivitas sel glia,

    khususnya mikroglia, serta memperbaiki kerusakan endotel dan SDO. Sel

    mikroglia yang dikenal sebagai sel utama dalam mediasi inflamasi dan SDO,

    berfungsi sebagai pelindung utama dari integritas struktur neurovaskuler otak.

    Oleh karena itu, tindakan hipotermia ditujukan langsung untuk melindungi

    kerusakan neuron akibat cedera otak sekunder yang disebabkan oleh proses

    inflamasi dan kerusakan SDO. Pada tingkat molekuler, tindakan hipotermia

  • 9

    dapat memperbaiki kaskad sinyal seluler, sistem pengaturan gen dan struktur

    mikro dari sitoskletal sel (Marion et al.,1993; Dietrich and Bramlett, 2010; Han

    et al.,2012; Tomura et al.,2012).

    Manfaat tindakan hipotermia pada COT resiko tinggi adalah selain

    mengurangi laju metabolisme sel otak, juga menghambat mekanisme

    sitotoksis dan influks kalsium, mencegah produksi radikal bebas, memelihara

    sintesa protein, mengurangi ‗brain thermo pooling‘, mencegah iskemi dan

    edema otak, modulasi respon inflamasi, menghambat ekspresi awal gen dan

    stres respon, serta mencegah kerusakan SDO dan apoptosis (Busto et

    al.,1989; Jiang et al.,1992; Kader et al.,1994; Nemoto et al.,1996; Yamamoto

    et al., 1999; Fujisawa et al.,1999; Dietrich, 2000; Sahuquillo et al., 2004; Liu

    and Yenari, 2007; Dietrich and Bramlett, 2010; Truettner et al.,2011; Li and

    Wang, 2011). Tindakan HPTr tidak hanya untuk pencegahan kerusakan SDO

    tetapi juga menghambat sintesa MMP-9 dan aktifasi pro-MMP-9 yang

    melibatkan proses transkripsi transduksi sitokin di mikroglia (Kumar and

    Evans,1997; Wagner et al.,2003; Hamann et al., 2004; Suehiro et al.,2004;

    Lee et al.,2005; Truettner et al.,2005; Nagel et al., 2008). Tindakan HPTr

    terbukti sebagai neuroprotektor yang kuat dan dapat mencegah kerusakan

    cedera otak sekunder secara aman dan efektif pada penanganan COT resiko

    tinggi, dan akhirnya,dapat memperbaiki hasil keluaran, mengurangi resiko

    kematian dan membantu mencegah defisit neurologis (Drake ,1962; Clifton et

    al.,1993; Marion et al.,1993; Shiozaki et al.,1993; Dietrich, 2000; Inamasu and

    Ichikizaki, 2002; Zhi et al.,2003; McIntyre, 2003; Hayashi et al.,2005; Jiang,

    2006; Qiu et al.,2006; Bullock, 2007; Peterson et al.,2008; Jiang ,2009;

    Faridar et al.,2011; Gonzalez-Ibarra et al.,2011; Schiavi and Geocadin, 2013).

  • 10

    Studi dari Clifton dkk., (2002) dalam ‗National Acute Brain Injury Study:

    Hypothermia‘ yang bersifat random, prospektif, dan ‘multicenter‘ pada 392

    penderita membuktikan bahwa tindakan hipotermia dapat mengurangi angka

    kematian (hypothermi = 27,1% dan normothermi = 33,35 dengan p = 0,08 ).

    Pada studi lain menjelaskan bahwa terdapat perbedaan bermakna dari

    tindakan hipotermia pada COT berat untuk menghasilkan keluaran klinis baik

    berdasarkan GOS (Glasgow Outcome Score), (Jennett and Bond,1975;

    Marion et al.,1997; Jiang et al.,2000; Zhi et al.,2001 ).

    COT telah memberikan konsekuensi dalam hal sosio ekonomi

    sehingga penelitian tentang COT makin luas dengan tujuan untuk

    mengurangi beban yang ditimbulkannya. Bidang yang banyak menjadi bahan

    penelitian adalah menemukan alat atau cara handal dalam menentukan

    prognosis yang akan meningkatkan efisiensi desain uji klinik dan

    memperbaiki manajemen penderita COT (Menon and Zahed, 2009). Ada

    3(tiga) pendekatan untuk menilai prediksi hasil keluaran COT resiko tinggi.

    Pertama, berdasarkan karakteristik penderita saat datang antara lain adalah:

    umur, reaksi pupil, skor GCS (Glasgow Coma Scale), skor motor dari GCS,

    suhu badan, kadar gula darah dan luka di daerah lainnya (Hukkelhoven et

    al.,2005; Mushkudiani et al.,2008). Pendekatan kedua, berdasarkan temuan

    perubahan patologis yang terdeteksi awal pada CT (Computerized

    Tomography) scan dengan tolok ukur menggunakan klasifikasi hasil CT scan

    dari Marshall (Marshall et al.,1992) dan skor yang berkaitan prognosis dengan

    menggunakan skor Rotterdam (Maas et al.,2005). Ketiga, dengan

    menggunakan sediaan darah atau cairan otak dalam menentukan tingkatan

    penanda biologis pada COT (Svetlov et al.,2009; Kovesdi et al.,2010).

  • 11

    Dibanding dengan skor sebelumnya ialah GCS dan Glasgow

    Outcome Score(GOS) ( Teasdale and Jennet,1974;Jennett and Bond,1975 )

    maka skor FOUR ( Full Outline Of Responsiveness) memiliki kelebihan ialah:

    penilaian cepat,penilaian fungsi batang otak,respon mata dan motorik yang

    dapat dinilai tanpa memperhatikan bahasa,mudah dipelajari dan

    dilakukan,sikap tubuh memungkinkan penilaian respon pada penderita

    diintubasi,aphasia , aphonic,‘locked in syndrome‘ dan memiliki konsistensi

    serta realibilitas antar pemeriksa (Wijdick et al.,2005; Akapivat et al.,2011;

    Jusuf et al.,2012).

    Pada akhirnya disimpulkan bahwa pada tingkat

    molekuler,tindakan hipotermia dapat memperbaiki kaskad sinyal

    seluler,sistem pengaturan gen dan struktur mikro dari sel ( Marion et

    al.,1993;Dietrich and Bramlett ,2010;Han et al.,2012;Tomura et al,2012 ) dan

    regulasi aktivasi MMP-9 melalui 3 ( tiga ) mekanisme yaitu pada fase

    transkripsi gen,aktivasi zymogen dan inhibisi spesifik ( Rosenberg ,1995;

    Gottschall,et al.,1995; Shapiro et al.,1995; van der Zee et al.,1996;Borkakoti,

    2000;Khasigov ,2001;Mori, 2002;Zg et al.,2010 ).Ke dua mekanisme kerja

    tingkat molekuler dari tindakan hipotermia dan regulasi aktivasi MMP-9 akan

    menjadi pintu masuk dari penelitian ini.

    Penelitian ini akan membuktikan keberhasilan tindakan HPTr

    pada penderita COT resiko tinggi yang dilakukan evaluasi berdasarkan

    penilaian keluaran klinis yaitu skala skor FOUR dan anatomis dengan

    penilaian klasifikasi hasil CT scan (skor Marshall CT), disertai dengan

    penilaian perubahan MMP-9 yaitu genotipe polimorfisme -1562 C/T dan

    ekspresi mRNA gen MMP-9 serta kadar protein MMP-9 serum.

  • 12

    1.2.Rumusan masalah

    Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas,

    maka permasalahan penelitian dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai

    berikut :

    Apakah tindakan HPTr mempengaruhi pengendalian proses

    neuroinflamasi pada penderita COT resiko tinggi akibat trauma dan

    memperbaiki keluaran klinisnya? Kajian dilakukan pada perubahan kadar

    protein MMP-9 serum serta hubungannya dengan genotipe polimorfisme -

    1562 C/T dan ekspresi mRNA gen MMP-9 untuk menilai proses

    neuroinflamasi, dan perubahan skor FOUR dan klasifikasi hasil CT scan

    untuk menilai perbaikan keluaran klinis.

    Adapun uraian pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:

    1.2.1.Apakah ada perbedaan perubahan ekspresi mRNA MMP-9 serum

    antara kelompok yang diberikan tindakan HPTr dengan kelompok yang tidak

    diberikan tindakan HPTr?.

    1.2.2.Apakah ada perbedaan perubahan kadar protein MMP-9 serum antara

    kelompok yang diberikan tindakan HPTr dengan kelompok yang tidak

    diberikan tindakan HPTr?.

    1.2.3.Apakah perubahan ekspresi mRNA MMP-9 serum berhubungan dengan

    perubahan kadar protein MMP-9 serum?.

  • 13

    1.2.4.Apakah ada perbedaan perubahan skor FOUR antara kelompok yang

    diberikan tindakan HPTr dengan kelompok yang tidak diberikan tindakan

    HPTr?.

    1.2.5.Apakah ada perbedaan perubahan klasifikasi hasil CT scan(skor

    Marshall CT) antara kelompok yang diberikan tindakan HPTr dengan

    kelompok yang tidak diberikan tindakan HPTr?.

    1.2.6.Apakah diketemukan genotipe polimorfisme – 1562 C/T gen MMP-9

    baik pada kelompok yang diberikan HPTr maupun yang tidak diberikan

    HPTr?.

    1.3.Tujuan Penelitian

    1.3.1.Tujuan umum

    Diketahuinya pengaruh tindakan HPT ringan terhadap

    pengendalian proses neuroinflamasi dan perbaikan keluaran klinis pada

    penderita COT resiko tinggi akibat trauma, melalui kajian perubahan kadar

    MMP-9 serum, skor FOUR dan perubahan klasifikasi hasil CT scan serta

    hubungannya dengan genotipe polimorfisme -1562 C/T dan ekspresi mRNA

    gen MMP-9.

    1.3.2.Tujuan Khusus

  • 14

    1.3.2.1.Membuktikan bahwa ada perbedaan perubahan ekspresi mRNA

    MMP-9 serum antara kelompok yang diberikan tindakan HPTr dengan

    kelompok yang tidak diberikan tindakan HPTr.

    1.3.2.2.Membuktikan bahwa perubahan kadar protein MMP-9 serum

    kelompok yang diberikan tindakan HPTr lebih kecil daripada perubahan kadar

    MMP-9 serum kelompok yang tidak diberikan tindakan HPTr.

    1.3.2.3.Membuktikan bahwa perubahan ekspresi mRNA MMP-9 serum

    berhubungan dengan perubahan kadar protein MMP-9 serum.

    1.3.2.4.Membuktikan bahwa perubahan skor FOUR kelompok yang diberikan

    tindakan HPTr lebih besar daripada perubahan skor FOUR kelompok yang

    tidak diberikan tindakan HPT r.

    1.3.2.5.Membuktikan bahwa perubahan klasifikasi hasil CT scan (skor

    Marshall CT) kelompok yang diberikan tindakan HPTr lebih kecil daripada

    perubahan klasifikasi hasil CT scan (skor Marshall CT) kelompok yang tidak

    diberikan tindakan HPTr.

    1.3.2.6.Membuktikan bahwa diketemukan genotipe polimorfisme – 1562 C/T

    gen MMP-9 baik pada kelompok yang diberikan HPTr maupun yang tidak

    diberikan HPTr.

    1.4 Manfaat Penelitian

    1.4.1.Manfaat dari aspek pengembangan ilmu

  • 15

    Tindakan HPTr merupakan neuroprotektor kuat yang dinilai mampu

    melakukan inhibisi pada kaskad yang kompleks proses neuro inflamasi pada

    cedera otak sekuder pada COT resiko tinggi. Studi ini akan menilai hasil

    perbaikan klinis dari tindakan HPTr pada COT resiko tinggi yang dievaluasi

    berdasarkan skala skor FOUR dan klasifikasi hasil CT scan pada periode

    tertentu.

    Pada studi ini pula ,tindakan HPTr pada COT resiko tinggi akan

    memberi pemahaman tentang peran pentingnya integritas SDO pada hasil

    perbaikan klinis COT resiko tinggi dengan meneliti peran dan dinamika MMP-

    9 yaitu genotipe polimorfisme -1562 C/T dan ekspresi mRNA gen MMP-9

    serta kadar protein MMP-9 serum.

    1.4.2.Manfaat dari aspek aplikasi klinis

    Tindakan HPTr akan menjadi pilihan terapi pada COT resiko tinggi

    sebagai neuroprotektor yang berperan pada proses neuroinflamasi dan

    integritas SDO pada cedera otak sekunder yang dipengaruhi oleh dinamika

    MMP-9 .Evaluasi perbaikan klinis dapat digunakan alat ukur dengan skala

    skor FOUR dan klasifikasi hasil CT scan(skor Marshall CT).

  • 16

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1.Patomekanisme cedera otak akibat trauma

    Cedera otak karena trauma atau disingkat dengan COT adalah

    suatu kelainan fungsi otak atau terdapat perubahan patologis pada otak

    akibat gaya atau benturan dari luar ( Potts et al,.2006;Jain ,2008;Kobeissy et

    al.,2008;Menon et al., 2010 ).COT adalah penyebab utama morbiditas dan

    mortalitas baik di negara maju maupun berkembang. Meskipun kelompok

    COT berat atau resiko tinggi hanya 10-15 % ( Morisse et al.,2014 ) namun

    COT resiko tinggi mempunyai angka mortalitas sebesar 35-70% dan 2-5%

    dengan vegetativ yang menetap ( Cohadon et al.,1991;Schmidt et al.,2004;Da

    Rocha et al,.2005 ).COT menjadi masalah utama kesehatan di seluruh dunia

    karena korban COT tergolong usia muda yang produktif,angka kejadian yang

    tinggi serta kecacatan fungsi yang menetap serta masalah psiko-ekonomi-

    sosial ( Sosin et al.,1995;Ghajar ,2000;Dikmen et al.,2003;Wang et

    al.,:2004;Yi and Hazel 2006;Maas et al.,2008 ).COT adalah jenis penyakit

    yang bersifat heterogen ditinjau dari aspek penyebab,patologi,berat-ringan

    dan prognosis ( Adams ,1990;Adams, 1992;Graham et al.,2000;Clausen and

    Bullock ,2001;Maas ,2001;Faden, 2001;Roozenbeek et al.,2012 ).

    Pembagian COT secara garis besar berdasarkan struktur penting

    adalah COT terbuka atau tertutup pada tulang kepala( penunjang) dan otak

    serta manifestasi klinis berupa komplikasi intrakranial dan perlukaan pada

  • 17

    tulang serta jaringan lunak .Skema ini menjelaskan bahwa cedera otak

    terbuka maupun tertutup akan menyebabkan patah tulang wajah,patang

    tulang atap dan basis,perlukaan dan kontusio,perdarahan intrakranial,cedera

    ‗coup‘ atau ‗contre-coup‘,konkusi,edema serta ‗diffuse axonal injury‘

    (kerusakan difus jaringan otak ) (Schmitt et al.,2014)( Skema 1 ).

    Skema 1. Pembagian cedera otak ( Schmitt et al.,2014 ).

    Berdasarkan beban gaya maka COT dibagi menjadi 2 ( dua ) yaitu:

    statis dan dinamis.Gaya dinamis akan kontak langsung atau tidak langsung

    dengan kepala.Benturan yang langsung akan menyebabkan deformasi tulang

    kepala,baik direk mapun indirek yang menyebabkan patah tulang.Benturan

    yang tidak langsung menghasilkan gaya inersi dan akselerasi yang

  • 18

    menyebabkan gerakkan translasi dan rotasi yang menghasilkan cedera fokal

    atau difus (Schmitt et al.,2014)( Skema2 ).

    Skema 2. Pembagian COT berdasarkan mekanisme cedera dan beban gaya

    ( Schmitt et al.,2014 ).

    Patomekanisme COT ditinjau dari waktu kejadiannya,terdiri atas

    cedera otak primer dan sekunder ( Chesnut ,1995; Cormio et

    al.,1997;Graham et al.,2000;Jeremitsky et al.,2003;Unterberg et

    al.,2004;Werner and Engelhard, 2007;DeCuypere and Lima, 2012;Borgens

    and Liu-snyder,2012;Rosenfeld et al.,2012;Levine and Kumar,

    2013;Frattalone and ling, 2013).

    Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan

    atau benturan mekanik dari luar yang bersifat ireversibel.Kerusakan itu

    meliputi kerusakan jaringan lunak(kulit),tulang kepala,kerusakan pembuluh

    darah dan jaringan otak ( neuron ,akson dan glia )( Chesnut , 1995;Jeremitsky

    et al.,2003; Gaetz, 2004; Unterberg et al.,2004;Hilton ,2009;Kabadi and

  • 19

    Fades, 2014 ).Kerusakan jaringan otak dapat bersifat fokal karena terjadi

    kerusakan akibat benturan pada daerah kontak,meliputi : kontusio,laserasi

    dan perdarahan intrakranial.Sedangkan kerusakan difus dan edema terjadi

    karena gaya akselerasi dan deselerasi ( Adams et al.,1983;McIntosh et

    al.,1996; Baethmann et al.,1998;Marshall ,2000;Nortje and Menon,

    2004;Winter et al., 2005;Saatman et al.,2008 ).Kerusakan difus itu meliputi

    komponen seperti : sel neuron,prosesus neuron,mekanisme ‗transmitter‘,sel

    glia dan pembuluh darah (Reilly,2001;Werner and Engelhard,2007) dan

    kerusakan difus itu menjadi prediktor keluaran yang jelek ( Greve and

    Zink,2009;Clifton et al.,2011;Smith et al.,2013 ).Tahap awal sesudah cedera

    otak primer,akibat k jaringan otak maka terjadi gangguan aliran darah dan

    metabolisme otak.Keadaan perfusi yang berkurang ini dikenal sebagai pola

    seperti iskemia yang menyebabkan gangguan hantaran bahan penting yakni

    oksigen dan glukosa yang berakibat penumpukkan asam laktat akibat dari

    glikolisis anaerobik.Situasi itu menyebabkan peningkatan permiabilitas sel

    membran yang menyebabkan terjadinya edema sel.Metabolisme anaerob

    itulah yang menyebabkan sel tidak dapat mempertahankan persediaan

    enersi berupa Adenosine Triphosphate (ATP) dan menyebabkan kegagalan

    pompa ion membran.Tahap selanjutnya,kaskad pathomekanisme dari

    depolarisasi terminal membran yang mengakibatkan produksi berlebihan

    bahan eksitotoksik yaitu : glutamate dan aspartate serta aktivasi saluran N-

    Methyl-D-aspartic acid or N-Methyl-D-aspartate (NMDA) dan saluran

    tergantung voltase dari kalsium dan natrium.Influks kalsium dan natrium akan

    menyebabkan proses katabolisme dalam sel.Kalsium akan mengaktifkan

  • 20

    enzim lipid peroksidase,protease dan phospholipase yang mana akan

    meningkatkan radikal bebas dan asam lemak bebas dalam sel ( Skema 3 )

    Skema 3. Diagram reaksi depolarisasi,pelepasan glutamat d influks

    kalsium ke dalam sel ( Siesjö and Siesjö ,1996 )

    Proses eksitotoksis dan cedera oksidatif atau ‗stress oksidative‘

    yang menjadi bagian penting dari cedera otak sekunder itu terus berlanjut dan

    berkaitan dengan proses neuroinflamasi,pelepasan mediator pro dan anti

    inflamasi,pelepasan enzim endopetidase ,kerusakan SDO hingga terjadi

    apoptosis ( Siesjö and Siesjö ,1996;Marshall 2000;Werner and

    Engelhard,2007;Zhao et al.,2008;Skopin et al.,2011;Zhang et al.,2012;Abdul-

    Muneer et al.,2013;Levine and Kumar 2013.Prins et al.,2013 )

  • 21

    Cedera otak sekunder ,pertama kali dilaporkan pada tahun 1978

    oleh Miller et al. ( Miller and Sweet,1978;Miller and Becker ,1982). Cedera

    otak sekunder terjadi sesaat sesudah cedera otak primer terhitung mulai dari

    jam,hari hingga minggu ( Siesjö and Siesjö ,1996; Maas et al.,1997;Groom

    and Oakley ,1997;Csuka et al.,1999;Marshall,2000;Brodhun et

    al.,2001;Morganti-Kossmann et al.,2001;Morganti-Kossmann et

    al.,2002;Schmidt et al.,2004;Schmidt et al.,2005;Morganti-Kossmann et al.,

    2007;Beauchamp et al.,2008;Tang and Lobel ,2009;Veenith et

    al.,2009;Grossetete et al.,2009;Kumar and Loanne ,2012;Li et al.,2012;Finnie

    ,2013 ).Cedera otak sekunder terjadi perubahan biokimiawi,metabolisme dan

    seluler ditandai oleh kaskad biokimiawi yang bersifat kompleks yang

    menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial,kerusakan sawar

    darah otak,neuroinflamasi,edema otak,hipoksia otak,iskemia dan

    neurodegenerasi (Baethmann et al.,1996; Baethmann et al.,2004; Lotocki et

    al.,2009;Pun et al.,2009;Toklu et al.,2009;Loane and Faden ,2010 ).Cedera

    otak sekunder terjadi interaksi dinamis dari proses iskemia,inflamasi dan

    sitotoksik ( Bullock ,1998; Smith, 2000 ) yang dijabarkan menjadi 4

    mekanisme yaitu : iskemia,eksititoksisitas,kegagalan enersi,kaskad kematian

    neuron,edema sel otak dan inflamasi.Proses selanjutnya akan terjadi suatu

    rangkaian proses molekuler,neurokimia,seluler yang berkontribusi pada

    pathomekanisme cedera otak sekunder pada skema 4 ( Doppenberg and

    Bullock, 1997;Narayan et al.,2002;Schmidt et al.,2004;Wang et al.,2014 ).

  • 22

    Skema 4. Patomekanisme cedera otak primer dan sekunder pada COT

    resiko tinggi ( Schmidt et al.,2004 ).

    Fase awal ( ‗immediate‘ ) ( 0-3 jam ) pada cedera otak dimulai

    dari kerusakan jaringan otak dan pembuluh darah serta dilepaskan bahan-

    bahan vasoaktiv antara lain adalah : opiat endogen,

    katekolamin,serotonin,aspartat,asam amino eksitotoksik dan K+.Pada fase itu

    akan terjadi krisis ATP dan penyumbatan mikrosirkulasi.Perubahan itu secara

    cepat berkembang menjadi fase ke dua ( 3- 6 jam ) yang terjadi gangguan

    sirkulasi otak,hipoksia otak serta ‗brain thermo-pooling‘ ( peningkatan suhu

    pada jaringan otak ) dan akan terjadi proses terlepasnya katekolamin,

    iskemia otak yang disertai dengan kelumpuhan sinaptik dan gangguan

    kardiopulmoner.Terjadi respon gen C-fos,C-Jun dan Bcl-2 dan berakhir pada

    fase yang ketiga ( 6- 72 jam ) yang terjadi edema otak,peningkatan tekanan

    intrakranial dan apoptosis yang berkaitan dengan gen Bax dan Bcl seperti

  • 23

    yang dijelaskan pada skema 5 ( MacIntosh et al.,1987,1994;Baker et

    al.,1991;Boise et al.,1995; Krajewski et al.,1995;Oppennheim et

    al.,1995;Kossmann et al.,1996;Spuler et al.,1996;Hayashi, 2000 ).

    Skema 5.Patomekanisme perubahan jaringan otak dan reaksi sistemik

    pada cedera otak ( Hayashi ,2000 ) .

    Ada 2 ( dua ) faktor yang berpengaruh dalam kecepatan

    mekanisme seluler dan molekuler itu ialah : faktor intrakranial(contoh:

    peningkatan tekanan intrakranial,hipoperfusi otak,kejang dan angiospasme

    otak)dan faktor sistemik ( contoh : hipoksemia,hipotensi,hipertermia dan

    hiperglisemia )(Tabel 1)( Doberstein et al.,1993;Jones et al.,1994:Chesnut,

    1995;Cormio et al.,1997;Jeremitsky et al.,2003;Wang et al.,2014 ).

  • 24

    Tabel.1.Faktor intrakranial dan sistemik pada cedera otak sekunder

    (Wang et al 2014)

    Pada cedera otak sekunder sangat dipengaruhi oleh faktor sistemik

    dan lokal atau intrakranial.Kedua faktor itu akan menyebabkan kerusakan

    pada jaringan neuron dan sistem penyangganya serta seluler.Pada tingkat

    seluler yang berperan penting dalam mekanisme neuronflamasi adalah sel

    astrosit dan mikroglia dan akan berpengaruh pada hasil keluaran Skema 6

    (Werner and Engelhard ,2007).

    Skema 6. Perubahan seluler dan molekuler pada cedera otak sekunder

    ( Werner and Engelhard ,2007 ).

  • 25

    Angka kejadian COT resiko tinggi saat tiba di rumah sakit

    disertai faktor hipoksemia adalah 30-55 % (saturasi oksigen arteri

  • 26

    2.2.Proses neuroinflamasi pada cedera otak

    Mekanisme cedera otak sekunder meliputi berbagai proses

    kompleks seperti depolarisasi dan gangguan homeostasis ion ( Gentile

    andMcIntosh ,1993 ) pelepasan neurotransmiter (misalnya:glutamate ) (Faden

    et al., 1989), disfungsi mitokondria (Xiong et al., 1997 ), apoptosis neuronal

    (Yakovlev et al., 1997), degradasi lipid (Hall et al., 2004), dan inisiasi respon

    inflamasi dan kekebalan ( Morganti-Kossmann et al., 2007). Peristiwa

    neurokimia ini menghasilkan sejumlah molekul beracun dan pro-inflamasi

    seperti prostaglandin, metabolit oksidatif, khemokin dan sitokin pro-inflamasi,

    yang menyebabkan peroksidasi lipid, gangguan SDO dan perkembangan

    edema otak. Meskipun setiap mekanisme cedera otak sekunder sering

    dianggap sebagai peristiwa yang berbeda, banyak yang sangat interaktif dan

    dapat terjadi secara paralel. Penelitian yang ekstensiv telah menunjukkan

    bahwa inflamasi selular dan humoral setelah COT memainkan peran kunci

    dalam tingkat cedera otak dan proses perbaikan. Inisiasi, perkembangan dan

    akhir dari proses inflamasi pada COTdisebabkan karena infiltrasi leukosit,

    aktivasi kekebalan sel residen dan sekresi mediator inflamasi seperti sitokin

    pro dan anti inflamasi, khemokin, molekul adhesi, faktor komplemen, dan

    reaktif oksigen spesies. Penelitian mendukung bahwa proses neuroinflamasi

    memiliki peran ganda ( ‗dual role‘ ) atau pedang bermata dua ( ‗double edge

    sword‘) yakni fungsi yang merugikan ( neurotoksik ) atau menguntungkan

    (neuro protektif ) yang tergantung pada kinetik,regulasi dan ekspresi pada

    saat setelah cedera (Tabel 2)(Merrill and Benveniste, 1996; Asensio and

    Campbell, 1999; Scherbel et al.,1999; Shohamiet al.,1999;Lenzlinger et

    al.,2001; Morganti-Kossmann et al.,2002;Schmidt et al.,2005;Dardiotis et

  • 27

    al.,2013 ). Tabel 2.Mekanisme peran ganda pada neuroinflamasi ( Schmidt et

    al.,2005 ).

    Tabel 2.Mekanisme peran ganda pada neuroinflamasi ( Schmidt et al.,2005 ).

    Neuroinflammasi adalah mekanisme pertahanan tuan rumah

    kompleks yang mengisolasi jaringan otak yang rusak di daerah terluka,

    menghancurkan sel-sel yang terluka, dan perbaikan matriks ekstraselular

    (Minghetti et al.,2005 ).Neuroinflamasi merupakan mekanisme penting pada

    cedera otak sekunder yang berkontribusi berkelanjutan pada proses

    neurodegenarasi dan gangguan neurologis pada COT.Inflamasi pasca trauma

    ditandai dengan aktivasi sel glia,pengerahan lekosit dan peningkatan regulasi

    mediator inflamasi ( Morganti-Kossmann et al.,2007 ).

    Otak dikenal sebagai organ imunologis istimewa ( ‗immunologically

    privileged organ‘ ) karena tidak mempunyai sistem limfatik dan peran SDO

    memisahkan sirkulasi sistemik dengan jaringan otak.Upaya riset beberapa

    tahun terakhir ini,mengungkapkan bahwa sistem saraf pusat adalah sumber

  • 28

    melimpah dari mediator inflamasi.Sel residen dari otak,seperti neuron,astrosit

    dan mikroglia memiliki kemampuan melakukan sintesa semua mediator imun

    samahalnya yang terjadi pada sistem imun perifer,termasuk diantaranya

    adalah sitokin,khemokin,protein aktvator komplemen dan melakukan ekspresi

    dari mediator-mediator tersebut ( Hopkins and Rothwell ,1995;Morgan and

    Gasque, 1996; Asensio and Cambell ,1999;Barnum, 2002;Ransohoff ,2002;

    Ransohoffa, 2002).Saat ini telah dipahami bahwa dalam otak memiliki

    kemampuan kontrol kekebalan fisiologis dan respon induksi imun yang kuat

    pada otak yang mengalami cedera.

    Pada COT resiko tinggi akan terjadi proses neuroinflamasi yang

    dimulai dengan kerusakan SDO yang mengakibatkan penumpukan

    polymorphoneuclear leucocyte (PMN) makrofag dan limfosit yang berasal dari

    sirkulasi sistemik dan mengaktivasi sel residen otak,khususnya mikroglia

    untuk melepaskan sitokin pro inflamasi,protease sitotoksik, dan Reactive

    Oxygen Species (ROS) .Peran penumpukan PMN sangat penting dalam

    proses inflamasi dan cedera otak sekunder.PMN akan migrasi dari pembuluh

    darah menuju jaringan otak melalui ikatan selektin P dan E endotel dan

    Intercellular Adhesion Molecules (ICAM).Kerusakan jaringan pada masa akut

    pada neuroinflamasi makin meluas karena meningkatnya PMN yang

    menyebabkan pelepasan bahan-bahan toksin ke jaringan otak,diantaranya

    adalah ROS,Reactive Nitrogen Species (RNS),matrix metallo

    proteinase,prostanoid,leukotriene dan sitokin pro inflamasi.Sehingga terjadi

    komunikasi antar sel yang kompleks antara lekosit darah perifer dan sel

    residen otak.Akumulasi PMN pada jaringan otak yang rusak berlangsung

    pada 24 jam pertama yang diikuti dengan akumulasi makrofag pada 36-48

  • 29

    jam. PMN yang berperan nyata pada masa awal cedera kan menentukan

    keseimbangan proses kerusakan atau perbaikan lingkungan jaringan otak.Sel

    endotel,monosit dan astrosit juga penting sebagai sumber mediator.Interaksi

    antara sel inflamasi yakni PMN,makrofag,platelet dan sel endotel diatur oleh

    beberapa meditor ialah Intercellular Adhesion Molecule-1(ICAM-

    1),sitokin,mediator inflamasi lipid dan nitric oxide (NO) ( Guilian et

    al.,1989;Soares et al.,1995;Morganti-Kossmann et al.,2001;Morganti-

    Kossman et al.,2002;Block and Hong ,2005;Davalos et al.,2005;Blumbergs et

    al.,2008;Dardiotis et al.,2013 ).

    Pada saat terjadi cedera,sel endotel aktif dalam proses

    inflamasi,merangsang PMN dan platelet dan mengaktivasi kaskad

    koagulasi.PMN dan platelet secara sinergis.PMN akan memproduksi protease

    dan oksigen radikal bebas yang menjadi mediator neurotoksik dan

    bertanggung jawa pada mekanisme edema otak dan kerusakan

    SDO.Akumulasi dan aktivitas lekosit pada cedera otak dimediasi oleh faktor

    khemoatraktan yakni khemokin dan anafilaksis komplemen dan molelul

    adhesi ( Schoettle et al.,1990;Clark et al.,1996;1990;Carlos et

    al.,1997).Khemokin atau sitokin khemotaktik adalah protein kecil dengan

    ukuran 8-10 kDa yang mempunyai kemampuan induksi khemotaksis dan

    ekstravasasi jaringan dan modulasi berbagai fungsi lekosit.Sub famili

    khemokin dibedakan oleh posisi pertama dus sistein,baik yang dipisahkan

    oleh satu hingga asam amino (CXC dan CX3C) atau yang

    berdekatan,khemokin CC.Khemokin CXC bekerja primer pada netrofil dan CC

    bekerja pada monosit,limfosit,sel mast dan e osinofil.Sel-sel residen otak

    yakni neuron,astrosit dan mikroglia memiliki kemampuan untuk menghasilkan

  • 30

    khemokin sebagai respon terhadap rangsangan inflamasi.CXCL-1 sampai

    CXCL-8 merekrut PMN, terutama CXCL-8 (interleukin-8), sedangkan

    monocyte chemotactic protein (MCP) mempromosikan monosit transmigrasi.

    CXCL-12 adalah koordinator kuat migrasi stem / sel progenitor

    mempromosikan perkembangan jaringan saraf, dan meningkatkan

    tumbuhnya akson setelah cedera tulang belakang traumatik ( Hausmann et

    al.,1998;Asensio and Campbell ,1999; Glabinski and Ransohoff,

    1999;Ransohoff ,2002;Jaerve and Muller ,2012 ).

    Sel miikroglia adalah sel residen yang memiliki peran penting

    dalam respon cedera otak.Mikroglia adalah sel residen makrofag otak yang

    merupakan 10-12% dari jumlah total populasi sel glia,khususnya terdapat

    pada lapisan otak abu-abu pada daerah hipokampus,hypothalamus,basal

    ganglia dan substantia nigra ( Mittelbronn et al.,2001;Block et al.,2007 ).Bila

    mikroglia yang bertindak sebagai pertahanan awal pada cedera otak bekerja

    berlebihan akan memproduksi banyak bahan sitotoksik ,termasuk sitokin pro

    inflamasi yaitu Il-1β,Il-6,Il-12,Il-18,TNF-α dan dua modulator interferon ( IFN-

    γ) serta bahan metabolit oksidatif ( nitric oxide,reactive oxygen dan nitrogen

    species ).TNF-α dan Il-6 dikenal sebagai pro-inflamasi utama dan Il-10

    sebagai sitokin antiinflamasi (Ott et al.,1994;Morganti-Kossmann et

    al.,1997;Feuerstein et al.,1998;Ghirnikar et al.,1998;Shohami et

    al.,1999;Neugebauer et al.,2000;Allan and Rothwell 2001;Rothwell,

    2003;Block and Hong, 2005 ).

    Sitokin merupakan polipeptida berukuran kecil < 30 kD yang

    disintesa dan dilepaskan oleh beberapa sel,seperti monosit dan makrofag dan

  • 31

    mempunyai kemampuan mengatur beberapa fungsi sel.Sitokin mempunyai

    peran dalam berbagai patologis sistem saraf pusat (Benveniste 1995) .Sitokin

    secara cepat disekresikan pada siklus dan sitokin akan mengatur

    awalan,penyebaran dan pengakhiran respon inflamasi.Secara umum,sitokin

    dibagi menjadi mediator pro dan anti inflamasi berdasarkan kemampuan

    sitokin untuk mendorong dan menekan aktivasi imun.Senyawa-senyawa

    pengikat sitokin memiliki reseptor afinintas tinggi yang mengakibatkan

    transduksi sinyal aktivitas biologis berbeda dan berlawanan (Beutler and

    Cerami ,1987;Gauldie et al.,1987;Dinarello ,1988,1989;DeForge et

    al.,1990;Otero et al.,1994 ).Selama bertahun-tahun,dibuktikan bahwa fungsi

    sitokin yang merugikan terjadi pada neuroinflamasi yang dikaitkan dengan

    kematian sel saraf dan hasil keluaran jelek.Temuan baru menyatakan bahwa

    sitokin memiliki aksi ganda dalam patologis otak sehubungan dengan fungsi

    dasar sitokin dalam proses perbaikan jaringan,regenerasi dan pemulihan

    neurologis ( Morganti-Kossmann et al.,1997 ).

    Respon inflamasi yang luas akan terjadi segera sesudah COT

    resiko tinggi dan dilepaskan sitokin pro dan anti inflamasi ialah :Il-1,Il-6,Il-8,Il-

    10,TNF-α dan TGF-β yang dapat diketahui dari cairan otak dan serum

    (Morganti-Kossmann et al.,1997).Beberapa sitokin yang telah diteliti sebagai

    mediator imun dalam COT (Tabel 3 )(Morganti-Kossmann et al.,2001).

  • 32

    Tabel 3 .Sitokin sebagai mediator pada proses neuroinflamasi

    pada COT ( Morganti-Kossman et al.,2001 ).

    2.3.Penanda biologis TNF-α

    Tumor Necrosis Factor α (TNF-α) merupakan sitokin inflamasi

    yang bersifat ‗pleiotropic‘ ( memiliki beberapa fenotip ).Sitokin tersebut

    pertamakali diisolasi oleh Carswell et al.,( 1975 ) ketika mengidentifikasi

    faktor nekrosis tumor yang bertanggungjawab atas nekrosis pada sarkoma.

    TNF-α adalah mediator awal ( Arvin et al.,1996;Silverstein et

    al.,1997;Feuerstein et al.,1998;McKeating and Andrew ,1998;Ghirnikar et

    al.,1998;Whalen et al.,2000;Rothwell and Luheshi, 2000;Kushi et

    al.,2003;Holmin et al.,2004;Shiozaki et al.,2005;Lucas ,2006 ).Seperti halnya

  • 33

    Il-1,TNF-α berperan penting dalam komunikasi antar sel dan respon inflamasi

    pada cedera ( Screiber et al.,1986;Fong et al.,1990 ) dan disekresi dalam 2

    (dua ) bentuk yaitu α ( cachectin ) dan β ( limfotoksin ).Sitokin ini secara

    umum tebanyak disekresi oleh sel mikroglia ( Breder et al.,1993;Chung and

    Benveniste ,1990;Gahring et al.,1996 ).TNF-α di sekresi oleh makrofag, sel

    T,sel mast,mikroglia dan astrosit.TNF-β diproduksi terutama di sel T dan

    diketahui sebagai mediator utama dari syok endotoksik dan cedera jaringan

    (Beutler 1985 ).Ada 2 ( dua ) reseptor TNF,ialah : TNFR1 atau p55 dan

    TNFR2 atau p75.Dalam sistem saraf, reseptor ini terutama diekspresikan

    pada sel glial dan sel-sel saraf. Dan sinyal p55 menentukan ciri-ciri patologis

    TNF, sedangkan p75 memiliki peran yang lebih protektif. Ligasi p55

    mengaktifkan Fas Associated Death Domain(FADD) atau FADD like Il-1

    Converting Enzyme (FLICE) yang melibatkan aktivasi kaskad caspase yang

    akhirnya menyebabkan apoptosis, atau mungkin sebaliknya menyebabkan

    TNF Receptor Associated Death Domain (TRADD) untuk aktivasi faktor

    transkripsi NF-kB, yang dapat memicu mekanisme perbaikan pada COT.

    Aktivasi reseptor TNF p75 juga menyebabkan peningkatan NF-kB. Kedua

    reseptor itu juga disekresi dalam bentuk larut ( Kolesnick and Golde,

    1994;Sullivan et al., 1999 ).TNF sinyal melalui TNFR1 dan TNFR2 dapat

    menimbulkan berbagai respon seluler tergantung pada banyak faktor

    termasuk keadaan metabolisme sel dan protein adaptor dalam sel.

    Perbedaan ini kemudian mempengaruhi aktivasi dari sejumlah kaskad sinyal

    intraseluler termasuk Nuclear Factor kappa-B (NFκB ), p38, C-Jun N-terminal

    kinase(JNK) , dan kaskad sinyal ceramide atau Sphingomyelinase, sehingga

    menyebabkan suatu respon tertentu, termasuk peradangan, proliferasi,

  • 34

    migrasi sel, apoptosis, dan nekrosis ( Eissner et al.,2000;Harashima et

    al.,2001;Eissner et al.,2004;Ware ,2005 ).

    TNF-α dapat terdeteksi di cairan otak dan serum dan berkaitan

    dengan COT, peningkatan kadar TNF telah terdeteksi dalam cairan serebro

    spinal melebihi kadar serum (Goodman et al., 1990;. Ross et al., 1994;Csuka

    et al., 1999). Pada cedera otak uji coba , peningkatan regulasi otak TNF-

    αterjadi setelah cedera perkusi cairan, benturan korteks terkontrol, cedera

    kepala tertutup dan iskemia (Taupin et al., 1993;. Liu et al.,1994 ; Shohami et

    al., 1994;Fan et al., 1996 ). Peningkatan awal TNF-αlebih banyak disintesa

    oleh sel residen otak, bukan karena infiltrasi leukosit, dan dalam hal ini, TNF-

    α telah terdeteksi pada sel neuron korteks lesi dengan pemeriksaan

    imunohistokimia dan dikaitkan dengan defisit neurologis seperti yang

    ditunjukkan dengan penghambatan sintesa TNF-α ketika ditambahkan IL-10

    (Knoblach et al., 1998). Selain itu, penghambatan TNF-α akan lebih efektif

    dengan pemberian injeksi intraventrikular larutan reseptor fusi TNF-α atau

    protein yang mengikat TNF-α dibandingkan dengan pemberian intravena,

    menguatkan asumsi sintesisnya yang berlasung di otak dan cara kerja TNF di

    otak (Shohami et al., 1996;. Knoblach et al., 1999). Sitokin ini pada COT

    diketahui mempengaruhi integritas SDO, yang menyebabkan edema serebral

    dan infiltrasi leukosit darah serta kematian sel , dan telah terbukti dapat

    menginduksi reseptor yang ampuh mediator inflamasi sekunder anafilatoksin

    ( C5a ) pada neuron (Stahel et al.,2000 ). Selanjutnya, TNF-α dapat

    menginduksi apoptosis dan nekrosis baik melalui kaskad sinyal intraseluler (

    Reid et al.,1989 ). Oleh karena itu terbukti bahwa kedua penghambatan

    langsung dan tidak langsung dari aktivitas TNF-α bermanfaat dalam berbagai

  • 35

    studi tentang COT. Pada pemberian pentoxifylline imunosupresif serta TNF

    binding protein (TBP) , inhibitor fisiologis aktivitas TNF-α, telah terbukti secara

    signifikan mengurangi pembentukan edema dan meningkatkan fungsi motorik

    pemulihan setelah percobaan COT ( Shohami et al.,1996 ).Pada model

    penyakit dan cedera dari sistem saraf pusat, TNF telah terbukti memiliki

    aktivitas baik neurotoksik dan neuroprotektif. Hal ini tergantung pada

    beberapa faktor termasuk ekspresi sel spesifik,waktu ekspresi dan aktivasi

    reseptor, konsentrasi ligan dan kemampuan interaksi diantara kaskad sinyal

    yang berbeda ( Schmidt et al.,2005).

    Pada peneltian 36 penderita COT,didapatkan tingkatan kadar

    normal TNF-α serum pada 19 penderita sebesar 0 – 6,3 pg/ml sedang yang

    lain terjadi peningkatan dengan nilai maksimum sebesar 157,5pg/ml (Tabel

    4).

    Tabel 4.Kadar maksimal sitokin dalam cairan otak dan

    serum ( Morganti-Kossmann et al.,1997 ).

    Kadar maksimumTNF-α pada cairan otak dari 29 penderita sebesar 757

    pg/ml dan pada 29 penderita nilainya hampir 100 kali lebih besar dari

    serum ( Morganti-Kossmann et al.,1997 ). Menurut penelitian dari Stein et

    al.,(2012 ) mengungkapkan bahwa pada pada penderita COT berat kadar

  • 36

    TNF- α serum sebesar 0,2 -321 pg/ml.Kadar rata-rata harian TNF-α sebesar

    7,7 pg/ml menjadi tolok ukur hasil keluaran baik.

    2.4.Penanda biologis IL-6

    Interleukin-6 (IL-6) adalah protein imun dari famili

    hematopoetin,memiliki banyak nama sebelumnya, antara lain adalah

    Interferon-SS2 (IFN-SS2), protein 26-kD, B-cell stimulasi factor-2 (BSF-2) ,

    Hepatosit Stimulating Factor (HSF),Cytotoxic T-cell Differentiation Factor

    (CDF), Interleukin-HP1 (IL-HP1),Monocyte Granulocyte Inducer type 2 (MGI-

    2) dan Hybridoma/Plasmacytoma Growth Factor (HPGF/HGF), kemudian

    perbedaan ituberakhir setelah disepakati satu nama ialah IL-6 pada

    pertemuan ilmiah ‗New York Academy of Sciences‘,14 Desember 1988

    (Sehgal, et al, 1995) Sitokin itu adalah monomer dari 184 asam amino yang

    diproduksi oleh sel T,makrofag dan sel endotel yang memiliki gen tunggal

    pada lokasi 7p21 (Sehgal et al.,1986;Ray et al.,1989 ).

    IL-6 memiliki peran penting dalam mekanisme pertahanan juga

    dikenal sebagai faktor hepatosit-stimulating, interferon β2, protein dengan

    bobot 26 kD, faktor pertumbuhan hibridoma, dan faktor perangsang sel B dan

    memiliki beberapa fungsi biologis beragam ( Castell et al.,1988;Khisimoto

    ,1989;Hirano et al.,1990;Bauer and Herrman, 1991).IL-6 adalah sitokin

    pleiotropik yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel imun dan non imun ( Taga

    and Kishimoto ,1997). Sitokin ini adalah pengimbas yang ampuh dari

    diferensiasi sel-B, sintesa imunoglobulin, dan respon fase akut (Akira and

    Kishimoto,1992) ,serta diproduksi di dalam otak oleh sel glial dan juga oleh

    sel kultur saraf pada paparan terhadap rangsangan yang berbeda (Schobitz

  • 37

    et al., 1995 ; Marz et al., 1998 ).Peningkatan sintesa IL-6 telah dilaporkan

    pada berbagai gangguan otak seperti stroke, infeksi virus dan bakteri

    meningitis, tumor otak, kompleks demensia terkait AIDS, multiple sklerosis

    dan penyakit Alzheimer (Gruol et al., 1997; Morganti- Kossmann et al., 2000).

    Pada COT telah dilaporkan bahwa produksi Il-6 meningkat pada

    penderita serta pada hewan coba ( McClain et al., 1991;Woodroofe et al.,

    1991; Taupin et al., 1993;. Shoharni et al., 1994;. Kossmann et al., 1995;

    Hans et al.,1999 ).Penelitian sebelumnya telah melaporkan bahwa IL-6

    secara bermakna meningkat pada cairan serebrospinal dibandingkan dengan

    serum pada COT resiko tinggi.Konsentrasi maksimal IL-6 dalam serum

    berkorelasi dengan tingkat puncak protein fase akut ( protein C-reaktif ), α1-

    antitrypsin dan fibrinogen (Kossmann et al., 1995 ). Hasil penelitian itu

    membuktikan bahwa IL-6 diproduksi dalam jumlah besar di daerah intratekal,

    serta dapat menyeberang melewati SDO yang rusak, memasuki sirkulasi

    perifer dan menginduksi respon fase akut.Proses aktivasi imun otak akan

    memodulasi Il-6 dan aktivasi inilah yang akan merusak SDO dan juga akan

    mempengaruhi jaringan perifer ( De Simoni et al.,1993;Kossmann et

    al.,1995).

    Sejak sekian lama penentuan prognosis COT resiko tinggi

    ditentukan secara mendasar dari hasil pemeriksaan neurologi,khususnya

    dengan skor GCS awal.Pengembangan hasil gambaran patologis CT scan

    seperti :pendorongan garis tengah,penipisan sisterna basalis,efek masa dan

    edema hemisfer otak menjadi tambahan nilai yang akurat untuk melakukan

    prediksi hasi keluaran COT ( Jennett et al.,1976;Clifton et al.,1980;Young et

  • 38

    al.,1981) .Pada penderita kritis,tingkat mediator larut yang dalam sirkulasi

    seperti sitokin,hormon dan molekul adhesi dapat dinilai untuk menjadi tolok

    ukur prognosis serta dengan sistem skor yang lebih tepat.Pengukuran

    deskriptif terjadi peningkatan kadar plasma mediator imun ialah protein S-

    100,ICAM,selectin,Il-6 dan Il-8 pada penderita COT resiko tinggi (Jarek et

    al.,1993;Kossmann et al.,1995;Kossmann et al.,1997;McKeating et

    al.,1997;McKeating et al.,1998;Kuster et al.,1998;Pleines et

    al.,1998,McKeatingaet al.,1998 ).

    Young et al ( 1992 ) melaporkan bahwa penderita COT resiko

    tinggi memiliki peningkatan Il-1 dan Il-6 dalam ventrikel otak secara

    bermakna.Penelitian lain melaporkan bahwa Il-6 plasma terbukti lebih tinggi

    dari normal setelan mengalami cedera otak berat dan berhubungan dengan

    derajat keparahan penderita ( Clain et al.,1991 ).Sehubungan dengan peran

    ganda maka IL-6 samahalnya dengan sitokin lainnya,maka korelasi produksi

    IL-6 ditinjau denga hasil keluaran,maka hasilnya dinilai tidak konsisten Winter

    et al.,2004 ). Singhal et al., (2002) melaporkan bahwa peningkatan IL-6

    dikaitkan dengan hasil keluaran yang baik, sementara Kalabilikis et al. ,(1999)

    tidak menemukan korelasi antara meningkatnya kadar IL-6 dengan hasil

    keluaran. Sebaliknya, penelitian lain telah menunjukkan bahwa peningkatan

    kadar IL-6 dalam serum atau cairan otak dikaitkan dengan hasil yang buruk

    (Arand et al., 2001 ).

    Produksi Il-6 pada COT yang pada akhirnya mempengaruhi

    jaringan perifer dibuktikan dari derajat IL-6 cairan otak lebih tinggi dari Il-6

    serum,korelasi Il-6 cairan otak dan serum sangat erat jika terdapat kerusakan

  • 39

    SDO yang dievaluasi bersamaan dengan perbadingan albumin cairan otak

    dengan serum,protein IL-6 meningkat pada COT hewan coba karena

    percobaan benturan cair,luka bacok,cedera otak tertutup dan cedera

    aksonal,residen sel otak memproduksi Il-6 setelah menerima berbagai

    rangsangan,pada percobaan hewan tentang aktivasi imun pada fase akut

    menunjukkan adanya modulasi produksi IL-6 perifer,dan sitokin,termasuk Il-6

    memiliki pengaruh kuat pada fungsi SDO yang mana dapat meningkatkan

    permiabilitas SDO in vitro ( Woodroofe et al.,1991;Taupin et al.,1993;Shohami

    et al.,1994;Benveniste ,1995;Hans et al.,1999 ).

    Menurut Hergenroeder et al.,( 2010 ) Il-6 serum memiliki batas

    nilai determinan atau ‗cut-off‘ sebesar < 5 pg/ml yang diidentifikasi pada

    sukarelawan normal atau kontrol tetapi Minambres et al.,( 2003 ) kadar

    normal Il-6 darah juguler sebesar1,7 pg/ml ( dengan interval 0,9-4,9 pg/ml )

    dan pada cedera otak tertutup kadar Il-6 meningkat sebesar > 128 pg/ml

    sedangkan menurut Woiciechowsky et al.,( 2002 ) meningkat sebesar 100

    pg/ml.Kadar fisiologis normal IL-6 plasma sebesar 0-42 pg/ml sedang kadar

    IL-6 cairan otak tidak banyak diungkap pada beberapa penelitian sebellumnya

    ( Froon et al.,1996;Kossmann et al.,1996;Maier et al.,2005 ).Pada penelitian

    lain dengan sampel yang besar,mengungkapkan bahwa kadar IL-6 cairan

    otak pada 113 penderita sebesar 1-23 pg/ml ( Maier et al.,2005 ) dan pada

    saat mengalami cedera kadar IL-6 cairan otak meningkat hingga 35.500 pg/ml

    ( Kossmann et al.,1996;Hillman et al.,2007 ).Kadar Il-6 serum dilaporkan

    meningkat dengan kadar paling minimal pada COT yakni sebesar 93-269

    pg/ml ( Winter et al.,2004;Chiaretti et al.,2005 ) dan pada COT berat 24 jam

  • 40

    pertama kadar IL-6 plasma lebih besar dari 100 pg/ml ( Woiciechowsky et

    al.,2002 ).

    2.5.Penanda biologis Il-10

    Respon inflamasi pasca cedera otak sekunder pada ruang

    intrakranial akan menyebabkan kerusakan jaringan sedang di sisi lain secara

    simultan terjadi mekanisme perbaikan jaringan saraf ( Benveniste et

    al.,1995;Balasingam and Yong ,1996;Heesen et al.,1996;Kossman et

    al.,1996,1997 ).Sitokin anti inflamasi seperti : Il-10,Il-4,Il-13 dan TGF-β1

    berperan menghambat beberapa aspek proses neuroinflamasi dengan

    menghambat IFN-γ ,Il-1,Il-6,Il-8,TNF-α serta menekan regulasi dan ekspresi

    Major Histocompatibility Complex-class II (MHC-II),radikal bebas,T-cell,adhesi

    lekosit dan proliferasi astrosit ( de Waal Malefyt et al.,1991;Wahl 1994 ).Il-10

    menghambat adhesi lekosit ke endotel dan ekstravasasi lekosit melewati

    SDO serta menghambat produksi ROS dan RNS oleh makrofag ( Cunha et

    al.,1992;Krakauer ,1995;Knoblach and Faden, 1998;Morganti-Kossmann et

    al.,2001;Blumbergs et al.,2008 ).

    Interleukin-10(Il-10) yang juga dikenal sebagai Human Cytokine

    Synthesis Inhibitory Factor (CSIF) merupakan protein homodimer yang terdiri

    atas subunit 178 asam amino ( Zdanov et al.,1995;Eksdale et al.,1997). Peran

    menguntungkan dari sitokin anti-inflamasi telah dibuktikan pada kasus

    meningitis bakterial,diberikan Transforming growth factor β (TGF-β) dan IL-10

    maka akan terjadi penurunan tekanan intrakranial,edema dan penurunan

    jumlah lekosit di cairan otak ( Frei et al.,1993a;1993b ).Demikian juga

  • 41

    pemberian Il-10 disertai dengan ‗corticectomy‘ akan menurunkan reaksi

    hipertrofi dari astrosit dan mikroglia serta menghambat eksprresi TNF mRNA

    ( Balasingam et al.,1996 ).Pada COT resiko tinggi terjadi peningkatan kadar

    Il-10 cairan otak dalam 24 jam pertama,seiring dengan penurunan dari TNF-

    α.Pada COT,kadar Il-10 lebih tinggi di cairan otak daripada di serum

    sedangkan kadar TGF-β berbanding terbalik.Kondisi ini akan

    menggambarkan kadar TGF-α di cairan otak dan cairan otak/serum albumin

    quotient ( QA) representasi kerusakan SDO. Disisi lain,Il-10 akan

    mencegah adhesi dan ekstrasvasasi lekosit melalui SDO ( Knoblach and

    Faden ,1998;Csuka et al.,1999;Morganti-Kossmann et

    al.,1999,2001,Blumbergs et al.,2008 ).Studi dari Islam ( 2007 ) membuktikan

    bahwa Il-10 yang merupakan sitokin anti inflamasi,kadarnya dipengaruhi oleh

    TNF-α.Selama berlangsung reaksi inflamasi,sitokin anti inflamasi juga

    diproduksi untuk memodulasi proses inflamasi.Fungsi Il-10 diproduksi untuk

    menjaga keseimbangan agar kadar TNF-α tidak berlebihan.Sehingga pada

    aspek klinis,bila kadar IL-10 meningkat akan mempunyai keluaran yang

    ‗favourable‘ dan hal itu akan lebih jelas dilihat pada perbandingan TNF-α/Il-

    10.

    Pada COT resiko tinggi,kadar Il-10 pada plasma hanya meningkat

    1,5 kali sementara itu pada cairan otak kadarnya meningkat 10 kali lipat )

    Maier et al.,2005;Brambilla et al.,2006). Kadar Il-10 di serum antara 1,8 – 98.5

    pg/ml sedang kadar IL-10 di cairan otak adalah 0,5 – 440 pg/ml.Kadar Il-10 di

    cairan otak berhubungan dengan beratnya kerusakan SDO (Morganti-

    Kossmann et al.,1997,2001 ).Pada anak-anak dengan COT resiko tinggi

  • 42

    ,peningkatan kadar Il-10 berhubungan dengan resiko kematian,khususnya

    pada anak-anak usia kurang dari 4 (empat ) tahun (Levin et al.,1992;Bell et

    al.,1997;Neidhart et al.,1997;Martin et al.,1997 ).

    Pada penelitian Csuka et al.,( 1999 ) pada 28 penderita COT

    resiko tinggi diketemukan peningkatan kadar Il-10 baik di cairan otak maupun

    serum pada kadar maksimum dari 22 hari pasca cedera.Peningkatan kadar Il-

    10 cairan otak diketemukan pada 26 dari 28 subyek penelitian.Dijumpai 15

    subyek yang kadarnya di atas kadar kontrol ( nilai maksimal :1,8 - 440,3

    pg/ml,nilai rata-rata:1,3 – 41,7 pg/ml dengan nilai batas determinan : 1.06

    pg/ml ).Pada 17 subyek dijumpai peningkatan lebih dari 50 % kadar Il-10

    cairan otak.( Grafik 1 )

    Grafik 1 .Prosentase pengukuran Il-10 di atas nilai normal ( Csuka et al.,1999)

  • 43

    Pada penelitian tersebut juga dinilai tentang peran Il-10 dalam

    kerusakan SDO.Ada 10 subyek penelitian terjadi kerusakan berat SDO

    ditinjau dari sisi QA>0,002.Kerusakan SDO terjadi pada 24 jam pertama dan

    mengalami perbaikan pada hari ke 8 hingga 19 pasca cedera ( Grafik 2 ).

    Grafik 2.Peningkatan kadar Il-10 yang dihubungkan

    dengan derajat kerusakan SDO ( Csuka et al.,1999 ).

    Skema 7. Mekanisme regulasi Il-10 melalui beberapa kaskad

    hilir dari TLR( Howes et al.,2014 ).

  • 44

    Pengaturan regulasi dari Il-10 terjadi di makrofag dan sel dendrit

    dengan ketegantungan stimulasi dari Pattern Recognition Receptors (PRR)

    dan banyak keluarga dari PRR dan yang diteliti adalah Toll-Like Receptor

    (TLR) ( Akira and Takeda, 2004 ).Aktivasi sinyal melalui beberapa TLR akan

    menginduksi IL-10 ( Saraiva and O‘Garra ,2010 ).Pengikatan ligan dari TLR

    akan mengaktifkan kaskad MAPK yaitu ERK dan p38.Kaskad Akt dan NFkB

    juga melakukan modulasi produksi Il-10.ERK juga diaktivasi oleh Tumor

    Progression Locus-2 (TPL-2) dan beberapa studi membuktikan peran penting

    TPL-2 dalam regulasi Il-10 ( Skema 7 )( Yi et al.,2002;Dillon et

    al.,2004;Banerjee et al.,2006;Jarnicki et al.,2008;Kim et al.,2008;Kaiser et

    al.,2009;Howes et al.,2014 ).

    2.6.Penanda biologis MMP-9

    Matrix metalloproteinase (MMP) adalah enzim endo peptidase

    dalam sub-famili matrixin dari sub-famili zinc metalloprotease M10 sesuai

    data dasar MEROPS ( Nagase et al.,2006 ).MMP pertamakali diketemukan

    oleh Gross dan Lapiere ( 1962 ) dari kultur gel kolagen yang dilarutkan dari

    fragmen ekor kecebong.MMP terdiri atas 28 tipe yang dibagi dalam 4 ( empat)

    klas yaitu : kolagenase,gelatinase,stromelysin dan tipe membran dan

    merupakan famili enzim multigen dalam klas metalloproteinase dan famili

    istimewa metzincin dari endopeptidase Berdasarkan kelompok katalitik dibagi

    3 (tiga) yakni serin,sistein dan aspartik. ( Woessner, 1994;Rawling and Barrett

    ,1995;Murphy and Knauper ,1997 ).

  • 45

    2.6.1.Struktur matrix metalloproteinase

    Semua MMP memiliki daerah propeptida di terminal N yang

    terdiri atas 80 asam amino dan pada domain atau area katalitik yang terdiri

    atas 170 asam amino terikat sistein di daerah zinc yang mempertahanakan

    enzim dalam keadaan tidak aktif oleh peptida penghubung atau engsel( ‗hinge

    region‘) dan pengikatan area hemopexin pada terminal C yang terditi atas 200

    asam amino ( Yong ,1999;Rosenberg ,2002;Nagase et al.,2006 )(Gambar 1).

    Gambar 1.Struktur dasar dari area MMP (Rosenberg ,2002).

    Dasar struktur dari MMP terdiri atas 5 (lima) area ialah :

    a.Sinyal peptide yang memungkinkan MMP dapat melekat pada kaskad

    sekresi atau membran plasma.

    b.‘Prodomain‘ yang mempertahankan enzim tidak aktif pada lokasi Zn

    sehingga enzim katalitik tidak dapat mencapai substrat target

  • 46

    c.Area katalitik yang mengandung Zn.

    d.Area hemopexin yang membuat enzim dapat terikat dengan substrat yang

    spesifik

    e.‘Hinge region‘ atau area penghubung atau engsel yang berfungsi

    menghubungkan area hemopexin dan katalitik (Gambar 2)

    Gambar 2.Struktur MMP berdasarkan substrat dan lokasi ( Vargová et

    al.2012)

    Fungsi rangkaian propeptida ialah mempertahankan MMP dalam

    bentuk laten hingga menunggu adanya sinyal aktivasi.Sejumlah bukti

    menunjukkan bahwa aktivasi melibatkan saklar sistein.Mekanisme itu

  • 47

    melibatkan koordinasi Cys 70-80 pada urutan PRCGVPDV pada titik pusat

    aktif dari atom Zn.Residu sistein dapat dihambat oleh iodoacetamide

    sehingga dapat dipertahankan fase laten nya.Sedangkan area katalitik

    mengadung dua ion Zn dan setidaknya satu ion calcium yang terikat pada

    residu bermacam-macam asam amino.Motip yang disepakati dalam setiap

    area katalitik adalah HExGHxxGxxH yang mengandung 3 histidin dengan

    koordinat pada pusat Tabel 5.Area saklar sistein dan ikatan Zn pada MMP(

    Vargová et al.2012