pengaruh tindakan hipotermia ringan terhadap proses neuroinflamasi dan keluaran klinis...
TRANSCRIPT
-
i
PENGARUH TINDAKAN HIPOTERMIA RINGAN TERHADAP PROSES NEUROINFLAMASI DAN KELUARAN KLINIS PADA PENDERITA
CEDERA OTAK RISIKO TINGGI AKIBAT TRAUMA: KAJIAN EKSPRESI MRNA GEN MMP-9, KADAR PROTEIN MMP-9,
GENOTIPE POLIMORFISME -1562 C/T, SKOR FOUR DAN MARSHALL CT
EKO PRASETYO
SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM S3 ILMU KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2017
-
ii
PENGARUH TINDAKAN HIPOTERMIA RINGAN TERHADAP PROSES NEUROINFLAMASI DAN KELUARAN KLINIS PADA PENDERITA
CEDERA OTAK RISIKO TINGGI AKIBAT TRAUMA: Kajian ekspresi mRNA gen MMP-9, kadar protein MMP-9,
genotipe polimorfisme -1562 C/T, skor FOUR dan Marshall CT
Disertasi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Doktor
Program Studi
Ilmu Kedokteran
Disusun dan diajukan oleh
EKO PRASETYO
( NPM : P0200314041 ) Kepada
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM S3 ILMU KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
-
iii
-
iv
TIM PENILAI UJIAN PRA PROMOSI Promotor : Prof.Dr.dr.Andi Asadul Islam,SpBS(K) Kopromotor : Prof.dr.Mochammad Hatta,PhD,SpMK(K) Dr.dr.Djoko Widodo,SpBS(K) Penilai : Prof.Dr.dr.Sri Maliawan,SpBS(K) Prof.dr.Rosdiana Natsir,PhD,SpBiok dr.Agussalim Bukhari,MSc,PhD,SpGK Dr.dr.Ilhamjaya Patellongi,Mkes dr.Upik Andariani Miskad,PhD,SpPA dr.Rahmawati Minhajat,PhD,SpPD
-
v
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Eko Prasetyo Nomor Mahasiswa : P0200314041 Program Studi : Ilmu Kedokteran Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri,bukan merupakan
pegambilan tulisan atau pemikiran orang lain.Apabila di kemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan disertasi ini
hasil karya orang lain,saya bersedia menerima sangsi atas perbuatan
tersebut.
Makassar,17 Agustus 2017 Yang menyatakan, Eko Prasetyo
-
vi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
bahwa hanya atas restu dan karuniaNya lah disertasi penelitian ini berhasil
penulis selesaikan.
Cedera otak berat akibat trauma merupakan penyakit yang memiliki
morbiditas dan mortalitas yang tinggi serta memiliki dampak yang luas ditinjau
dari segi psiko-sosial-ekonomi baik bagi penderita maupun
keluarganya.Sehingga diperlukan pengobatan dan penanganan yang baik
dalam menanggulangi cedera otak berat akibat trauma.Penelitian ini
menjelasakan bahwa terapi hipotermi ringan telah menjadi salahsatu pilihan
dalam pengobatan penderita cedera otak berat.Perbaikan keluaran telah
ditunjukkan dengan perbaikan penanda biologis,radiologis maupun kilinis.
Pertama,penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof.Dr.dr. Andi Asadul Islam
Sp.BS.(K)., sebagai promotor dan sekaligus,Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin,yang dengan penuh perhatian dan kearifan
senantiasa memotivasi,membuka wawasan,membimbing,mendorong dan
meluangkan waktu di tengah kesibukan bagi penulis sejak awal penelitian ini
hingga pada penulisan disertasi ini.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya dengan tulus hati juga
disampaikan kepada Prof.dr. Mochammad Hatta PhD.Sp.MK.(K)., sebagai
ko-promotor sekaligus Ketua Program Studi S3 Ilmu Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin yang telah dengan penuh perhatian
sebagai seorangtua dengan penuh kesabaran memberi
-
vii
semangat,motivasi,ide,merangkul dan membantu sejak awal penelitian
hingga selesainya disertasi ini.
Terimakasih sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Dr.dr.
Djoko Widodo Sp.BS.(K)., sebagai ko-promotor dan sekaligus sahabat yang
baik yang telah meluangkan waktu dalam membimbing,perhatian,masukkan
yang tulus sehingga selesainya disertasi ini.
Ucapan terimakasih sebesar-besarnya disampaikan juga kepada para
penguji :Prof.Dr.dr. Sri Maliawan Sp.BS.(K).,Prof Dr.dr. Rosdiana Natsir
PhD.,Sp.Biok.,dr. Agussalim Bukhari,Msc.,PhD.,Sp.GK.,Dr.dr. Ilhamjaya
Patellongi MKes.,dr. Upik Andriani Miskad,PhD.,Sp.PA. dan
dr.Rahmawati Minhajat PhD.,Sp.PD.
Yang terpenting dari semua keberhasilan ini adalah karena dukungan
dari istri tercinta,Deinne Ivon Turangan SE, dan anak-anakku,Diella Amanda
Prasetyo dan Gennaro Jeremy Prasetyo yang telah memberikan
pengorbanan waktu,pengertian dan senantiasa mendorong saya untuk tetap
semangat dalam menyelesaikan penelitian ini.
Pada kesempatan berbahagia ini,saya juga menyampaikan
penghargaan dan terimakasih setinggi-tingginya kepada semua penderita
yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini,termasuk keluarga dan kerabat
penderita.Sehingga besar harapan saya,hasil penelitian ini kelak menjadi
sumbangsih yang bermanfaat bagi kepentingan penderita.
Saya juga menyampaikan banyak terimakasih kepada Pimpinan dan
seluruh jajaran dari RSUP RD Kandou Manado dan RS Siloam Manado,yang
telah menginjinkan saya untuk melakukan penelitian di tempat
tersebut.Kepada Pimpinan dan jajaran dari Fakultas Kedokteran Universitas
-
viii
Pelita Harapan (UPH) dan khususnya,mas Eka ( Prof.DR.dr. Eka Julianta
Wahjoepramono Sp.BS.(K),SH. ) selaku Dekan FK UPH dan senior bagi
saya yang selalu mendorong semangat untuk maju dan agar berprestasi baik
di tingkat Nasional maupun Internasional.Terimakasih banyak kepada semua
sahabat dan sejawat Team Bedah Siloam (TBS) atas dukungan dan
kerjasamanya selama ini.
Ucapan terimakasih dan penghargaan juga disampaikan kepada
semua pihak yang tidak dapat saya sampaikan satu demi satu yang telah
dengan tulus serta segenap hati membantu saya sejak awal hingga akhir dari
proses pendidikan dan penelitian ini .
Eko Prasetyo
-
ix
-
x
-
xi
DAFTAR ISI hal HALAMAN SAMPUL i HALAMAN JUDUL ii LEMBAR PENGESAHAN iii TIM PENILAI UJIAN PRA PROMOSI iv PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI v PRAKATA vi ABSTRAK ix ABSTRACT x DAFTAR ISI xi DAFTAR TABEL xiv DAFTAR GRAFIK xv DAFTAR SKEMA xvi DAFTAR GAMBAR xvii BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah 1 1.2.Rumusan Masalah 12 1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1.Tujuan umum 13 1.3.2.Tujuan khusus 13 1.4.Manfaat Penelitian 1.4.1.Aspek pengembangan ilmu 14 1.4.2.Aspek aplikasi klinis 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Patomekanisme cedera otak akibat trauma 16 2.2.Proses neuroinflamasi pada cedera otak 26 2.3.Penanda biologis TNF- α 32 2.4.Penanda biologis IL-6 36 2.5.Penanda biologis Il-10 40
-
xii
2.6.Penanda biologis MMP-9 44 2.6.1.Struktur matrix metalloproteinase 45 2.6.2.Matrix metalloproteinase-9 49 2.6.3.Matrix metalloproteinase-9 dan proses neuroinflamasi 50 2.6.4.Genotipe polimorfisme dan mRNA gen MMP-9 60 2.6.5.Metoda pemeriksaan polymerase dan mRNA gen MMP-9
serta kadar protein serum MMP-9 2.6.5.1.Ekstraksi asam nukleat 65 2.6.5.2.Amplifikasi DNA dengan PCR 66 2.6.5.3.Analisa produk PCR dengan elektroforesis 67 2.6.5.4.Analisa RFLP-PCR 68 2.6.5.5.Metoda Direct Sequencing 68 2.6.5.6.Metoda Realtime-PCR mRNA gen MMP-9 69 2.6.5.7.Perhitungan kurva kalibrasi Ct (Cycle Threshold) 71 2.6.5.8.Analisa ELISA kadar protein MMP-9 serum 74 2.7.Penanda biologis Fibronectin 75 2.8.Anatomi dan fungsi sawar darah otak 82 2.9.Skor FOUR dan penilaiannya 89 2.10.CT scan kepala dan klasifikasinya (skor Marshall CT) 94 2.11.Tindakan hipotermia ringan (HPTr) 96 2.11.1.Definisi 97 2.11.2.Terminologi
98 2.11.3.Klasifikasi 99 2.11.4.Efek samping
100 2.11.5.Teknik Hipotermia 101
BAB III KERANGKA TEORI 3.Kerangka teori 115 BAB IV KERANGKA KONSEP 4.1.Kerangka Konsep 116 4.2.Penjelasan kerangka konsep 117 4.3.Variabel 117 4.4.Hipotesis 118 4.5.Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif 4.5.1.Tindakan hipotermia ringan 119 4.5.2.Alat dan cara pengukuran suhu 120 4.5.3.Cedera otak resiko tinggi 120 4.5.4.Skor FOUR 121 4.5.5.Penilaian klasifikasi hasil CT scan (Skor Marshall CT) 122 4.5.6.Penanda biologis MMP-9 4.5.6.1.Kadar protein MMP-9 serum 123 4.5.6.2.Ekspresi mRNA gen MMP-9 123 4.5.6.3.Genotipe polimerase -1562 C/T gen MMP-9 123
-
xiii
BAB V METODE PENELITIAN 5.1.Desain Penelitian 125 5.2.Populasi 5.2.1.Populasi target 125 5.2.2.Populasi terjangkau 126 5.3.Sampel penelitian 126 5.3.1.Kriteria sampel 5.3.1.1.Kriteria inklusi 126 5.3.1.2.Kriteria eksklusi 126 5.3.1.3.Kriteria drop out 127 5.3.2.Teknik sampling 127 5.3.3.Besar sampel 127 5.4.Tempat dan waktu 127 5.5.Instrumen pengumpul data 128 5.6.Perawatan penderita 129 5.7.Rencana pengolahan dan analisa data 129 5.8.Etika Penelitian 130 5.8.Alur Penelitian 131 BAB VI HASIL PENELITIAN 6.1.Karakteristik subyek penelitian 132 6.2.Pengaruh HPTr terhadap ekspresi mRNA MMP-9 dan kadar protein MMP-9 serum 133 6.3.Pengaruh HPTr terhadap skor FOUR 139 6.4.Pengaruh HPTr terhadap skor Marshall CT 141 6.5.Pengaruh HPTr terhadap genotipe polimorfisme -1562 C/T gen MMP-9 144 BAB VII PEMBAHASAN 7.1.Karakteristik subyek penelitian 145 7.2.Pengaruh HPTr terhadap ekspresi mRNA MMP-9 dan kadar protein MMP-9 serum 145 7.3.Pengaruh HPTr terhadap skor FOUR dan Marshall CT 150 7.4.Pengaruh HPTr terhadap genotipe polimorfisme -1562 C/T gen MMP-9 154 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
-
xiv
8.1.Kesimpulan 156 8.2.Saran 157 KEPUSTAKAAN 158 LAMPIRAN DAFTAR TABEL Hal
1.Faktor intrakranial dan sistemik pada cedera otak sekunder 24 2.Mekanisme peran ganda pada neuroinflamasi 27 3.Sitokin sebagai mediator proses neuroinflamasi pada COT 32 4.Kadar maksimal sitokin dalam cairan otak dan serum 35 5.Area saklar sistein dan ikatan Zn pada MMP 47 6.Kadar MMP-9 dan c-Fn plasma 55 7.Identifikasi varian genotipe gen MMP-9 62 8.Nama dari fibronectin 77 9.Komposisi asam amino dariFn 78 10.Fungsi dari sawar darah otak 88 11.Youden Index 90 12.Nilai diagnosis GCS dan skor FOUR 90 13.Tabel penilaian skor FOUR 92 14.Klasifikasi hasil CT scan pada COT (skor Marshall CT) 96 15.Penyebab hipotermia 98 16.Klasifikasi derajat suhu pada tindakan hipotermia 99 17.Perubahan fisiologis dan efek samping pada tindakan Hipotermia 100 18.Mekanisme pelepasan panas tubuh 101
-
xv
19.Perbandingan prosentase keluaran penderita hipotermia dan normotermia 103 20.Metoda pendinginan 106 21.Perawatan tambahan pada penderita hipotermia 107 22.Perbandingan hasil skala GOS pada penderita COT berat yang dilakukan tindakan hipotermia ringan 111 23.Mekanisme neuroprotektif pada tindakan hipotermia 112 24.Penilaian skor FOUR dan resiko kematian 122 25.Klasifikasi cedera otak berdasarkan hasil CT scan (skor Marshall CT)
122 26.Perbandingan karakteristik kedua kelompok 132 27.Perbandingan perubahan ekspresi mRNA MMP-9 pada kedua kelompok
penderita 133 28.Perbandingan perubahan kadar protein MMP-9 serum pada kedua
kelompok penderita 136 29.Perbandingan perubahan skor FOUR pada kedua kelompok penderita 139 30.Perbandingan perubahan skor Marshall CT pada kedua kelompok
penderita 142
DAFTAR GRAFIK Hal
1.Prosentase pengukuran Il-10 di atas nilai normal 42
2.Peningkatan kadar Il-10 yang dihubungkan dengan derajat kerusakan SDO 43
3.Kadar MMP-9 darah juguler pada COT berat 52
4.Hubungan kadar pro MMP-9 dengan keluaran klinis 53
5.Kurva linier regresi antara MMP-9 dan Il-6 56
-
xvi
6.Titik-titik amplifikasi hTR dan GAPDH 73
7.Hubungan kadar Fn dan MMP-9 79
8.Kurva linier regresi dari suhu pada otak dan rektal 108
9.Fase tindakan hipotermia sebagai neuroprotektif 113
10. Perubahan ekspresi mRNA MMP-9 pada kedua kelompok berdasarkan
waktu pengamatan 135
11. Grafik garis perubahan kadar protein MMP-9 serum pada kedua kelompok
berdasarkan waktu pengamatan 137
12. Scatter hubungan perubahan kadar mRNA MMP-9 dengan perubahan
kadar protein MMP-9 serum 138
13.Perubahan skor FOUR pada kedua kelompok berdasarkan waktu
pengamatan 141
14.Perubahan skor Marshall CT pada kedua kelompok berdasarkan waktu
pengamatan 143
DAFTAR SKEMA Hal
1.Pembagian cedera otak 17
2.Pembagian COT berdasarkan mekanisme cedera dan beban gaya 18
3.Diagram reaksi depolarisasi,pelepasan glutamate dan influks
kalsium ke dalam sel 20
4.Patomekanisme cedera otak primer dan sekunder 22
5.Patomekanisme perubahan jaringan otak dan reaksi sistemik
pada cedera otak 23
-
xvii
6.Perubahan seluler dan molekuler pada cedera otak sekunder 24
7.Mekanisme regulasi Il-10 melalui kaskad hilir dari TLR 43
8.Aktivasi dan regulasi MMP
48
9.Kaskad protein kinase 57
10.Kaskad ERK pada COT 58
11.Kaskad MAPK kinase 59
12.Proses aktivasi MMP-9 64
13.Hubungan tindakan HPT,kadar Fn,MMP-9 dan kaskad cathepsin 80
14.Model hubungan sinyalFn,integrin dan MAPK 82
15.Mekanisme transportasi melalui SDO 86
16.Fase tindakan hipotermia 104
DAFTAR GAMBAR Hal
1.Struktur dasar dari area MMP 45
2.Struktur MMP berdasarkan substrat dan lokasi 46
3.Struktur area dari MMP-9 50
4.Hasil zymogram gelatin MMP-9 52
5.Urutan varian gen MMP-9 61
6.Analisa RLFP dan polimorfisme
63
7.Mesin thermal Cycler Applied Biosystem 2720 67
-
xviii
8.Alat elektroforesis 67
9.Alat squencer 69
10.Alat Real Time PCR 71
11.Mesin Elisa microplate reader 75
12.Diagram dari fibronectin dalam sub unit
78
13.Sawar darah otak (sawar darah otak,pleksus khoroid dan arachnoid) 84 14.Struktur SDO dan sel sekitarnya 85 15.Struktur membran basalis,persimpangan ketat dan sabuk lekat 88 16.Tindakan hipotermia 105 17.Tindakan hipotermia ringan pada COT resiko tinggi di Rumah Sakit Siloam Manado 105 18.Mesin pendingin Blanketrol II 120 19.Hasil pemeriksaan RFLP-PCR 144
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Cedera otak akibat trauma, yang selanjutnya disingkat COT
menjadi masalah utama di bidang kesehatan di seluruh dunia, karena
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas, baik di negara maju
maupun berkembang. COT menjadi masalah utama di bidang kesehatan dan
memberi dampak luas bagi kehidupan sosioekonomi di seluruh dunia (Ghajar
et.al., 2000; Cole, et al, 2004). COT adalah suatu kelainan fungsi otak akibat
terjadinya perubahan patologis pada otak oleh karena gaya atau benturan
dari luar (Potts et al., 2006; Jain, 2008; Kobeissy et al., 2008; Menon et al.,
2010).
Penyebab utama COT adalah kecelakaan lalu lintas, dan angka
kejadiannya cenderung semakin meningkat (GBD 2013 Mortality and Causes
of Death Collaborators, 2015). Oleh karena itu WHO tahun 2004 dalam ‗World
Report on Road Traffic Injury Prevention‘ menyatakan bahwa pada tahun
2020, cedera otak akan menjadi penyakit ketiga terbesar mengalahkan HIV
dan tuberkulosis serta akan menjadi beban global (World Health
Organization, 2004; Morganti-Kossmann et al., 2007; Rosenfeld et al., 2012).
Di Indonesia, kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu prioritas
penanggulangan penyakit tidak menular berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan nomor 116/Menkes/SK/VIII/2003. Sebagian besar korban
kecelakaan lalu lintas di Indonesia adalah pengendara sepeda motor yang
-
2
berusia produktif (15-55 tahun) dengan cedera otak sebagai peringkat
pertama urutan cedera yang dialami (Riyadina, et al., 2009).
Korban meninggal karena kecelakaan lalu lintas di Indonesia
pada tahun 2013 adalah sebesar 15,98% dengan pertambahan rata-rata
10,08% (Dir Jend Hub Darat, 2014). Berdasarkan data Kepolisian Republik
Indonesia di 3 (tiga) propinsi, kecelakaan yang berakibat fatal 61% dialami
oleh pengendara sepeda motor (Soehodo, 2009) dan dari studi Conrad et al.,
(1996) menyatakan bahwa di wilayah Yogyakarta sekitarnya terdapat 30%
pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan lalulintas dan 26%
harus dirawat di Rumah Sakit. Hasil survey Riskesdas (Riset Kesehatan
Dasar) tahun 2013 menyatakan bahwa prevalensi cedera secara Nasional
adalah 8,2% dengan rincian sebagai berikut: cedera pada kepala sebesar
14,9% disertai gegar otak sebesar 0,4% dengan korban pengendara sepeda
motor 40,6% pada kelompok umur terbanyak 15-24 tahun (11,7 %) serta
prevalensi jenis kelamin laki-laki sebesar 10,1%.
Hasil peneitian Limen dkk (2013), menemukan distribusi
klasifikasi derajat cedera kepala berdasarkan GCS sebagai berikut: cedera
otak ringan sebanyak 62,7%, sedang 27,3% dan berat 10%. Menurut
Schmidt dkk (2004), meskipun kelompok COT berat atau resiko tinggi hanya
sekitar 10-15 %, akan tetapi COT resiko tinggi mempunyai angka mortalitas
sebesar 50-70%. Di Manado, hasil penelitian Pardamean dkk (2015),
menunjukkan bahwa dari 972 penderita COT yang dirawat di RSUP
R.D.Kandou Manado pada tahun 2014, terdapat 30,2% COT berat dan 21,4%
tidak dilakukan tindakan bedah.
-
3
Penanganan penderita COT, khususnya cedera otak resiko tinggi
yang memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi, pada prinsipnya
mengutamakan upaya mencegah proses cedera otak sekunder yang terjadi
setelah cedera otak primer. Cedera otak primer terjadi akibat gaya mekanik
saat terjadinya trauma pada tulang kepala dan jaringan otak dan bersifat
ireversibel sedangkan cedera otak sekunder, bersifat reversibel, yang terjadi
menyusul cedera otak primer, akibat interaksi dinamis dari proses iskemia,
inflamasi dan sitotoksik (Bullock, 1998; Smith, 2000). Perubahan biokimiawi,
metabolisme seluler yang ditandai oleh alur biokimiawi yang bersifat
kompleks menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial,
kerusakan Sawar Darah Otak (SDO), neuroinflamasi, edema otak, hipoksia
otak, iskemia dan neurodegenerasi (Baethmann et al., 1996; Baethmann et
al., 2004; Zhao et al., 2008; Lotocki et al., 2009; Pun et al., 2009; Toklu et al.,
2009; Loane and Faden A.I., 2010; Skopin et al., 2011).
Otak ditinjau dari sudut pandang anatomi, organisasi seluler dan
fungsi merupakan organ yang rumit dan kompleks serta heterogen sehingga
manakala otak mengalami cedera akan memberikan respon yang kompleks
dan beragam (Chodobski, 2011). Cedera otak primer adalah gaya mekanik
yang terjadi pada saat terjadinya trauma pada tulang kepala dan jaringan otak
yang bersifat ireversibel (Gaetz, 2004; Hilton, 2009; Kabadi, 2014) sedangkan
cedera otak sekunder terjadi perubahan biokimiawi, metabolisme dan seluler
ditandai oleh alur biokimiawi yang bersifat kompleks yang menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan intra kranial, kerusakan sawar darah otak
(SDO), neuroinflamasi, edema otak, hipoksia otak, iskemia dan
neurodegenerasi (Baethmann et al., 1996; Baethmann et al., 2004; Zhao et
-
4
al., 2008; Lotocki et al., 2009; Pun et al., 2009; Toklu et al., 2009; Loane and
Faden A.I., 2010; Skopin et al., 2011).
Pada proses cedera otak sekunder selain bersifat reversibel, juga
berlangsung relatif lambat, sehingga memberikan cukup kesempatan untuk
melakukan terapi untuk mencegah atau menghambat prosesnya (Baethmann
et al., 1996; Baethmann et al., 2004; Abdul-Muneer et al., 2013; Readnower
et al., 2010; Zhang et al., 2012). Menurut Morganti-Kossman, M dkk (2001)
proses imun-inflamasi di otak (neuroinflamasi) merupakan kunci utama pada
cedera otak sekunder.
Sebagaimana proses inflamasi lainnya, proses neuroinflamasi
melibatkan mediator antara lain: sitokin, khemokin dan faktor pertumbuhan.
Kelompok sitokin yang berasal dari protein endogen dan glikoprotein, yang
berperan dalam proses neuroinflamasi adalah TNF-α, IL6, IL-1β, IL-10, TGF-
β, IL-12, IL-18 dan IFN-γ. Sitokin TNF-α dan IL-6 merupakan sitokin pro-
inflamasi yang utama, sedangkan sitokin IL-10 berperan sebagai sitokin anti-
inflamasi (Ott et al., 1994; Morganti-Kossman.et al., 1997; Ghirnikar Ret al.,
1998; Shohami et al., 1997; Shohami et al, 1999; Allan 2001; Rothwell 2003;
Schmidt et al., 2004). Mediator inflamasi tersebut menjadi faktor utama
terjadinya kerusakan (neurotoksik), maupun perbaikan jaringan otak
(neuroprotektif) atau yang dikenal sebagai peran ganda (dual role) yang
ekspresinya diatur melalui pengaturan yang berlangsung secara dinamika
intraktif sesudah trauma (Asenso et al., 1999; Shohami et al., 1999; Scherbel
et al., 1999; Merrill et al., 1996; Lenzlinger et al., 2001; Morganti-Kossmann et
al., 2008). Peningkatan produksi sitokin tersebut, khususnya TNF-α dan IL-6
-
5
akan meningkatkan respon produk dan aktivitas Matrix Metalloproteinase-9
(MMP-9) melalui kaskad Extracellular Regulated Kinase (ERK) pada kaskad
sinyal transkripsi Mitogen Activated Protein Kinase (MAPK) astrosit, terutama
mikroglia (Gottschall and Yu., 1995; Aibiki et al., 1999; Schumman et al.,
1999; Harkness et al., 2000; Mori et al., 2002; Suehiro et al., 2004).
MMP-9 atau matrixin atau gelatinase-B, pertamakali diketemukan
oleh Sopata pada tahun 1972 dari polimorfonuklear lekosit manusia. MMP-9
adalah enzim endopeptidase Zn dependen yang berfungsi untuk memelihara
dan ‗remodeling‘ dari matriks ekstraseluler. MMP-9 diproduksi oleh mikroglia,
neuron, oligodendrosit dan endotel vaskuler. Paling banyak diproduksi oleh
mikroglia (Sopata and Dancewicz ,1972; Sopata and Wize ,1979;Gottschal et
al.,1995; Rosenberg et al.,2001; Maskos and Bode.,2003; Mandal et al.,2003;
Zhang, 2010). Mikroglia merupakan pertahanan pertama pada cedera otak,
dan aktivitasnya adalah petanda utama proses neuroinflamasi (Davalos et
al.,2005; Fernandez 2007; Loane and Byrnes,2010; Ramlackhansingh et
al.,2011; Lok et al.,2014). Mikroglia berperan sebagai sensor dan efektor dari
sistem imun otak dalam kondisi normal maupun dalam kondisi patologis
(Kreutzberg ,1996; Hanisch and Kettenmannn, 2007).
Salah satu penyebab utama kerusakan SDO adalah akibat
mekanisme proteolisis yang berlebihan dari MMP-9 atau 92-kDa type IV
kollagenase. Enzim ini menyebabkan degradasi basal lamina endotel yakni:
laminin, fibronektin, kolagen, proteoglikan serta ‗tight junction‘ yakni
degradasi ZO-1, occludin dan claudin yang merupakan dua struktur
fungsional utama dari SDO yang menyebabkan kerusakan sitoskletal dan
-
6
mengganggu homeostasis sel, iskemia, reaksi inflamasi, jaringan nekrosis
dan kematian sel atau apoptosis (Rosenberg ,et al., 1996; Gasche et al.,
1999; Morita-Fujimura et al.,1999;Yong et al.,2001; Mori et al.,2002; Gu et
al.,2002; Guo et al.,2011; Zheng et al.,2013). Stabilitas lingkungan mikro dari
neuron mutlak diperlukan dalam memelihara fungsi normal otak, dan ini
adalah peran penting dari SDO untuk menjaga homeostasis dan
kelangsungan hidup otak atau mencegah kematian sel otak (Fishman,1975;
Cserr and Bundgaard ,1986; Gasche et al.,1998; Ballabh et al.,2004;
Chodobski et al.,2011). Keutuhan integritas dari SDO menjadi kunci utama
dalam restorasi homeostasis otak akibat cedera (Abdul-Muneer et al.,2014;
Alves, 2014).Hasil keluaran dari COT berat atau COT resiko tinggi ditentukan
oleh proses cedera otak sekuder, karena COT resiko tinggi 70-90% disertai
cedera otak sekunder (Schmidt et al.,2004) dan yang berperan dalam proses
tersebut adalah integritas SDO yang dipengaruhi oleh MMP-9 yang menjadi
efektor pada cedera otak sekunder (Gasche et al.,1998; Kolar et al.,2008).
MMP-9 dapat menjadi penanda biologis bagi penentuan hasil keluaran pada
COT resiko tinggi (Shibayama et al.,1997; Kolar et al.,2008; Copin et al.,2012;
Zheng et al.,2013).
Salah satu upaya dalam penanganan cedera otak sekunder adalah
memberikan neuroprotektor yang bersifat medikal atau non-medikal. Seperti
diketahui sulit menentukan pilihan neuroprotektor terbaik bagi penderita
tersebut. Sebab patomekanisme COT resiko tinggi bersifat heterogen,
kompleks dan memiliki kaskad biokimiawi sel dan molekuler yang luas
sehingga tidaklah mungkin satu neuroprotektor dapat melakukan inhibisi ke
semua kaskad tersebut. Untuk itulah dipilih neuroprotektor yang mampu
-
7
melakukan inhibisi pada banyak kaskad yaitu dengan memberi tindakan
hipotermia ringan (34-36°C) pada penderita COT resiko tinggi (Dietrich et
al.,1990; Jiang et al.,2000; Jiang et al.,1992; Dietrich et al.,1994; Clark et
al.,1996; Shiozaki et al.,1998; Yamamoto et al.,1999; Yong et al.,2001;
Shiozaki et al.,2001; Polderman et al.,2002; McIntyre ,2003; Suehiro et
al.,2004; Truettner et al.,2005)
Disamping itu, pilihan tindakan hipotermia ringan yang disingkat
dan selanjutnya disebut sebagai HPTr, sebagai neuroprotektor karena sintesa
dan aktivitas MMP-9 pada cedera otak sekunder bersifat peka suhu
(Makowski et al.,1998; Fasciglione et al.,2000 ) dan mekanisme COT yang
kompleks khususnya kaskad cedera otak sekunder juga tergolong peka suhu
(Truettner, 2005). Pasca cedera otak primer yang berkaitan dengan
mekanisme seluler dan molekuler juga bersifat sangat peka suhu, sehingga
tindakan hipotermia menjadi pilihan terbaik (Dietrich,2000; Sahuquillo et
al.,2007). Tindakan hipotermia akan menekan produksi MMP-9 melalui 3
(tiga) mekanisme yaitu: pada fase transkripsi gen, aktivasi zymogen dan
inhibisi spesifik (Rosenberg ,1995; Gottschall et al.,1995; Shapiro et al.,1995;
van der Zee et al.,1996; Borkakoti,2000; Khasigov ,2001; Mori, 2002; Zhang
et al.,2010).
Terapi dingin sesungguhnya sudah dikenal sejak 3.500 SM seperti
yang tertulis dalam naskah tentang ilmu kedokteran Mesir kuno, ‘The Ewdin
Smith Papyrus‘ (Wang et al.,2006). Tindakan hipotermia secara moderen
dilakukan pada penderita cedera otak, pertamakali diperkenalkan oleh
Temple Fay, tahun 1943 (Fay, 1945; Cancio et al.,1994 ). Sejak tahun 1970 -
1990-an, penelitian tentang tindakan hipotermia berkembang pesat meskipun
-
8
masih terjadi pro dan kontra. Kelemahan tindakan hipotermia terjadi akibat
kesalahan dalam metodologi penelitiannya serta penentuan ―jendela‖ terapi
yang meningkatkan resiko terjadinya infeksi (Davies ,2005). Setelah
mengalami perubahan, maka sejak tahun 2000, tindakan hipotermia menjadi
pilihan utama (‗first line‘) sebagai neuroprotektor yang aman dan handal
bukan lagi menjadi terapi ‗optional‘ atau ‗last step‘ (Finfer and Cohen ,2001;
Polderman et al.,2002; Polderman et al.,2009; Liao et al.,2009; Masaoka,
2010).
Mekanisme kerja awal pada tindakan hipotermia sebagai
neuroprotektor ialah hipotermia bekerja pada proses metabolisme dan
biokimiawi antara lain adalah mengurangi kebutuhan metabolisme sel otak
sebesar 6-7% pada setiap penurunan suhu 1 derajat Celcius sehingga dapat
mengurangi kebutuhan oksigen, menghemat senyawa fosfat dan energi serta
mencegah pembentukan asam laktat yang mengakibatkan asidosis
(Rosomoff and Holaday ,1954; Sedzimir, 1959; Strachan et al.,1989; Zeevalk
and Nicklas, 1996; Erencinska et al.,2003; Alzaga et al.,2006; Polderman
2009; Zhao et al.,2011; Karnatovskaia et al.,2013).
Efek tindakan hipotermia pada tingkat seluler dilaporkan berfungsi
sebagai pelindung sel neuron terhadap cedera, melindungi aktivitas sel glia,
khususnya mikroglia, serta memperbaiki kerusakan endotel dan SDO. Sel
mikroglia yang dikenal sebagai sel utama dalam mediasi inflamasi dan SDO,
berfungsi sebagai pelindung utama dari integritas struktur neurovaskuler otak.
Oleh karena itu, tindakan hipotermia ditujukan langsung untuk melindungi
kerusakan neuron akibat cedera otak sekunder yang disebabkan oleh proses
inflamasi dan kerusakan SDO. Pada tingkat molekuler, tindakan hipotermia
-
9
dapat memperbaiki kaskad sinyal seluler, sistem pengaturan gen dan struktur
mikro dari sitoskletal sel (Marion et al.,1993; Dietrich and Bramlett, 2010; Han
et al.,2012; Tomura et al.,2012).
Manfaat tindakan hipotermia pada COT resiko tinggi adalah selain
mengurangi laju metabolisme sel otak, juga menghambat mekanisme
sitotoksis dan influks kalsium, mencegah produksi radikal bebas, memelihara
sintesa protein, mengurangi ‗brain thermo pooling‘, mencegah iskemi dan
edema otak, modulasi respon inflamasi, menghambat ekspresi awal gen dan
stres respon, serta mencegah kerusakan SDO dan apoptosis (Busto et
al.,1989; Jiang et al.,1992; Kader et al.,1994; Nemoto et al.,1996; Yamamoto
et al., 1999; Fujisawa et al.,1999; Dietrich, 2000; Sahuquillo et al., 2004; Liu
and Yenari, 2007; Dietrich and Bramlett, 2010; Truettner et al.,2011; Li and
Wang, 2011). Tindakan HPTr tidak hanya untuk pencegahan kerusakan SDO
tetapi juga menghambat sintesa MMP-9 dan aktifasi pro-MMP-9 yang
melibatkan proses transkripsi transduksi sitokin di mikroglia (Kumar and
Evans,1997; Wagner et al.,2003; Hamann et al., 2004; Suehiro et al.,2004;
Lee et al.,2005; Truettner et al.,2005; Nagel et al., 2008). Tindakan HPTr
terbukti sebagai neuroprotektor yang kuat dan dapat mencegah kerusakan
cedera otak sekunder secara aman dan efektif pada penanganan COT resiko
tinggi, dan akhirnya,dapat memperbaiki hasil keluaran, mengurangi resiko
kematian dan membantu mencegah defisit neurologis (Drake ,1962; Clifton et
al.,1993; Marion et al.,1993; Shiozaki et al.,1993; Dietrich, 2000; Inamasu and
Ichikizaki, 2002; Zhi et al.,2003; McIntyre, 2003; Hayashi et al.,2005; Jiang,
2006; Qiu et al.,2006; Bullock, 2007; Peterson et al.,2008; Jiang ,2009;
Faridar et al.,2011; Gonzalez-Ibarra et al.,2011; Schiavi and Geocadin, 2013).
-
10
Studi dari Clifton dkk., (2002) dalam ‗National Acute Brain Injury Study:
Hypothermia‘ yang bersifat random, prospektif, dan ‘multicenter‘ pada 392
penderita membuktikan bahwa tindakan hipotermia dapat mengurangi angka
kematian (hypothermi = 27,1% dan normothermi = 33,35 dengan p = 0,08 ).
Pada studi lain menjelaskan bahwa terdapat perbedaan bermakna dari
tindakan hipotermia pada COT berat untuk menghasilkan keluaran klinis baik
berdasarkan GOS (Glasgow Outcome Score), (Jennett and Bond,1975;
Marion et al.,1997; Jiang et al.,2000; Zhi et al.,2001 ).
COT telah memberikan konsekuensi dalam hal sosio ekonomi
sehingga penelitian tentang COT makin luas dengan tujuan untuk
mengurangi beban yang ditimbulkannya. Bidang yang banyak menjadi bahan
penelitian adalah menemukan alat atau cara handal dalam menentukan
prognosis yang akan meningkatkan efisiensi desain uji klinik dan
memperbaiki manajemen penderita COT (Menon and Zahed, 2009). Ada
3(tiga) pendekatan untuk menilai prediksi hasil keluaran COT resiko tinggi.
Pertama, berdasarkan karakteristik penderita saat datang antara lain adalah:
umur, reaksi pupil, skor GCS (Glasgow Coma Scale), skor motor dari GCS,
suhu badan, kadar gula darah dan luka di daerah lainnya (Hukkelhoven et
al.,2005; Mushkudiani et al.,2008). Pendekatan kedua, berdasarkan temuan
perubahan patologis yang terdeteksi awal pada CT (Computerized
Tomography) scan dengan tolok ukur menggunakan klasifikasi hasil CT scan
dari Marshall (Marshall et al.,1992) dan skor yang berkaitan prognosis dengan
menggunakan skor Rotterdam (Maas et al.,2005). Ketiga, dengan
menggunakan sediaan darah atau cairan otak dalam menentukan tingkatan
penanda biologis pada COT (Svetlov et al.,2009; Kovesdi et al.,2010).
-
11
Dibanding dengan skor sebelumnya ialah GCS dan Glasgow
Outcome Score(GOS) ( Teasdale and Jennet,1974;Jennett and Bond,1975 )
maka skor FOUR ( Full Outline Of Responsiveness) memiliki kelebihan ialah:
penilaian cepat,penilaian fungsi batang otak,respon mata dan motorik yang
dapat dinilai tanpa memperhatikan bahasa,mudah dipelajari dan
dilakukan,sikap tubuh memungkinkan penilaian respon pada penderita
diintubasi,aphasia , aphonic,‘locked in syndrome‘ dan memiliki konsistensi
serta realibilitas antar pemeriksa (Wijdick et al.,2005; Akapivat et al.,2011;
Jusuf et al.,2012).
Pada akhirnya disimpulkan bahwa pada tingkat
molekuler,tindakan hipotermia dapat memperbaiki kaskad sinyal
seluler,sistem pengaturan gen dan struktur mikro dari sel ( Marion et
al.,1993;Dietrich and Bramlett ,2010;Han et al.,2012;Tomura et al,2012 ) dan
regulasi aktivasi MMP-9 melalui 3 ( tiga ) mekanisme yaitu pada fase
transkripsi gen,aktivasi zymogen dan inhibisi spesifik ( Rosenberg ,1995;
Gottschall,et al.,1995; Shapiro et al.,1995; van der Zee et al.,1996;Borkakoti,
2000;Khasigov ,2001;Mori, 2002;Zg et al.,2010 ).Ke dua mekanisme kerja
tingkat molekuler dari tindakan hipotermia dan regulasi aktivasi MMP-9 akan
menjadi pintu masuk dari penelitian ini.
Penelitian ini akan membuktikan keberhasilan tindakan HPTr
pada penderita COT resiko tinggi yang dilakukan evaluasi berdasarkan
penilaian keluaran klinis yaitu skala skor FOUR dan anatomis dengan
penilaian klasifikasi hasil CT scan (skor Marshall CT), disertai dengan
penilaian perubahan MMP-9 yaitu genotipe polimorfisme -1562 C/T dan
ekspresi mRNA gen MMP-9 serta kadar protein MMP-9 serum.
-
12
1.2.Rumusan masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas,
maka permasalahan penelitian dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai
berikut :
Apakah tindakan HPTr mempengaruhi pengendalian proses
neuroinflamasi pada penderita COT resiko tinggi akibat trauma dan
memperbaiki keluaran klinisnya? Kajian dilakukan pada perubahan kadar
protein MMP-9 serum serta hubungannya dengan genotipe polimorfisme -
1562 C/T dan ekspresi mRNA gen MMP-9 untuk menilai proses
neuroinflamasi, dan perubahan skor FOUR dan klasifikasi hasil CT scan
untuk menilai perbaikan keluaran klinis.
Adapun uraian pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:
1.2.1.Apakah ada perbedaan perubahan ekspresi mRNA MMP-9 serum
antara kelompok yang diberikan tindakan HPTr dengan kelompok yang tidak
diberikan tindakan HPTr?.
1.2.2.Apakah ada perbedaan perubahan kadar protein MMP-9 serum antara
kelompok yang diberikan tindakan HPTr dengan kelompok yang tidak
diberikan tindakan HPTr?.
1.2.3.Apakah perubahan ekspresi mRNA MMP-9 serum berhubungan dengan
perubahan kadar protein MMP-9 serum?.
-
13
1.2.4.Apakah ada perbedaan perubahan skor FOUR antara kelompok yang
diberikan tindakan HPTr dengan kelompok yang tidak diberikan tindakan
HPTr?.
1.2.5.Apakah ada perbedaan perubahan klasifikasi hasil CT scan(skor
Marshall CT) antara kelompok yang diberikan tindakan HPTr dengan
kelompok yang tidak diberikan tindakan HPTr?.
1.2.6.Apakah diketemukan genotipe polimorfisme – 1562 C/T gen MMP-9
baik pada kelompok yang diberikan HPTr maupun yang tidak diberikan
HPTr?.
1.3.Tujuan Penelitian
1.3.1.Tujuan umum
Diketahuinya pengaruh tindakan HPT ringan terhadap
pengendalian proses neuroinflamasi dan perbaikan keluaran klinis pada
penderita COT resiko tinggi akibat trauma, melalui kajian perubahan kadar
MMP-9 serum, skor FOUR dan perubahan klasifikasi hasil CT scan serta
hubungannya dengan genotipe polimorfisme -1562 C/T dan ekspresi mRNA
gen MMP-9.
1.3.2.Tujuan Khusus
-
14
1.3.2.1.Membuktikan bahwa ada perbedaan perubahan ekspresi mRNA
MMP-9 serum antara kelompok yang diberikan tindakan HPTr dengan
kelompok yang tidak diberikan tindakan HPTr.
1.3.2.2.Membuktikan bahwa perubahan kadar protein MMP-9 serum
kelompok yang diberikan tindakan HPTr lebih kecil daripada perubahan kadar
MMP-9 serum kelompok yang tidak diberikan tindakan HPTr.
1.3.2.3.Membuktikan bahwa perubahan ekspresi mRNA MMP-9 serum
berhubungan dengan perubahan kadar protein MMP-9 serum.
1.3.2.4.Membuktikan bahwa perubahan skor FOUR kelompok yang diberikan
tindakan HPTr lebih besar daripada perubahan skor FOUR kelompok yang
tidak diberikan tindakan HPT r.
1.3.2.5.Membuktikan bahwa perubahan klasifikasi hasil CT scan (skor
Marshall CT) kelompok yang diberikan tindakan HPTr lebih kecil daripada
perubahan klasifikasi hasil CT scan (skor Marshall CT) kelompok yang tidak
diberikan tindakan HPTr.
1.3.2.6.Membuktikan bahwa diketemukan genotipe polimorfisme – 1562 C/T
gen MMP-9 baik pada kelompok yang diberikan HPTr maupun yang tidak
diberikan HPTr.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1.Manfaat dari aspek pengembangan ilmu
-
15
Tindakan HPTr merupakan neuroprotektor kuat yang dinilai mampu
melakukan inhibisi pada kaskad yang kompleks proses neuro inflamasi pada
cedera otak sekuder pada COT resiko tinggi. Studi ini akan menilai hasil
perbaikan klinis dari tindakan HPTr pada COT resiko tinggi yang dievaluasi
berdasarkan skala skor FOUR dan klasifikasi hasil CT scan pada periode
tertentu.
Pada studi ini pula ,tindakan HPTr pada COT resiko tinggi akan
memberi pemahaman tentang peran pentingnya integritas SDO pada hasil
perbaikan klinis COT resiko tinggi dengan meneliti peran dan dinamika MMP-
9 yaitu genotipe polimorfisme -1562 C/T dan ekspresi mRNA gen MMP-9
serta kadar protein MMP-9 serum.
1.4.2.Manfaat dari aspek aplikasi klinis
Tindakan HPTr akan menjadi pilihan terapi pada COT resiko tinggi
sebagai neuroprotektor yang berperan pada proses neuroinflamasi dan
integritas SDO pada cedera otak sekunder yang dipengaruhi oleh dinamika
MMP-9 .Evaluasi perbaikan klinis dapat digunakan alat ukur dengan skala
skor FOUR dan klasifikasi hasil CT scan(skor Marshall CT).
-
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Patomekanisme cedera otak akibat trauma
Cedera otak karena trauma atau disingkat dengan COT adalah
suatu kelainan fungsi otak atau terdapat perubahan patologis pada otak
akibat gaya atau benturan dari luar ( Potts et al,.2006;Jain ,2008;Kobeissy et
al.,2008;Menon et al., 2010 ).COT adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas baik di negara maju maupun berkembang. Meskipun kelompok
COT berat atau resiko tinggi hanya 10-15 % ( Morisse et al.,2014 ) namun
COT resiko tinggi mempunyai angka mortalitas sebesar 35-70% dan 2-5%
dengan vegetativ yang menetap ( Cohadon et al.,1991;Schmidt et al.,2004;Da
Rocha et al,.2005 ).COT menjadi masalah utama kesehatan di seluruh dunia
karena korban COT tergolong usia muda yang produktif,angka kejadian yang
tinggi serta kecacatan fungsi yang menetap serta masalah psiko-ekonomi-
sosial ( Sosin et al.,1995;Ghajar ,2000;Dikmen et al.,2003;Wang et
al.,:2004;Yi and Hazel 2006;Maas et al.,2008 ).COT adalah jenis penyakit
yang bersifat heterogen ditinjau dari aspek penyebab,patologi,berat-ringan
dan prognosis ( Adams ,1990;Adams, 1992;Graham et al.,2000;Clausen and
Bullock ,2001;Maas ,2001;Faden, 2001;Roozenbeek et al.,2012 ).
Pembagian COT secara garis besar berdasarkan struktur penting
adalah COT terbuka atau tertutup pada tulang kepala( penunjang) dan otak
serta manifestasi klinis berupa komplikasi intrakranial dan perlukaan pada
-
17
tulang serta jaringan lunak .Skema ini menjelaskan bahwa cedera otak
terbuka maupun tertutup akan menyebabkan patah tulang wajah,patang
tulang atap dan basis,perlukaan dan kontusio,perdarahan intrakranial,cedera
‗coup‘ atau ‗contre-coup‘,konkusi,edema serta ‗diffuse axonal injury‘
(kerusakan difus jaringan otak ) (Schmitt et al.,2014)( Skema 1 ).
Skema 1. Pembagian cedera otak ( Schmitt et al.,2014 ).
Berdasarkan beban gaya maka COT dibagi menjadi 2 ( dua ) yaitu:
statis dan dinamis.Gaya dinamis akan kontak langsung atau tidak langsung
dengan kepala.Benturan yang langsung akan menyebabkan deformasi tulang
kepala,baik direk mapun indirek yang menyebabkan patah tulang.Benturan
yang tidak langsung menghasilkan gaya inersi dan akselerasi yang
-
18
menyebabkan gerakkan translasi dan rotasi yang menghasilkan cedera fokal
atau difus (Schmitt et al.,2014)( Skema2 ).
Skema 2. Pembagian COT berdasarkan mekanisme cedera dan beban gaya
( Schmitt et al.,2014 ).
Patomekanisme COT ditinjau dari waktu kejadiannya,terdiri atas
cedera otak primer dan sekunder ( Chesnut ,1995; Cormio et
al.,1997;Graham et al.,2000;Jeremitsky et al.,2003;Unterberg et
al.,2004;Werner and Engelhard, 2007;DeCuypere and Lima, 2012;Borgens
and Liu-snyder,2012;Rosenfeld et al.,2012;Levine and Kumar,
2013;Frattalone and ling, 2013).
Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan
atau benturan mekanik dari luar yang bersifat ireversibel.Kerusakan itu
meliputi kerusakan jaringan lunak(kulit),tulang kepala,kerusakan pembuluh
darah dan jaringan otak ( neuron ,akson dan glia )( Chesnut , 1995;Jeremitsky
et al.,2003; Gaetz, 2004; Unterberg et al.,2004;Hilton ,2009;Kabadi and
-
19
Fades, 2014 ).Kerusakan jaringan otak dapat bersifat fokal karena terjadi
kerusakan akibat benturan pada daerah kontak,meliputi : kontusio,laserasi
dan perdarahan intrakranial.Sedangkan kerusakan difus dan edema terjadi
karena gaya akselerasi dan deselerasi ( Adams et al.,1983;McIntosh et
al.,1996; Baethmann et al.,1998;Marshall ,2000;Nortje and Menon,
2004;Winter et al., 2005;Saatman et al.,2008 ).Kerusakan difus itu meliputi
komponen seperti : sel neuron,prosesus neuron,mekanisme ‗transmitter‘,sel
glia dan pembuluh darah (Reilly,2001;Werner and Engelhard,2007) dan
kerusakan difus itu menjadi prediktor keluaran yang jelek ( Greve and
Zink,2009;Clifton et al.,2011;Smith et al.,2013 ).Tahap awal sesudah cedera
otak primer,akibat k jaringan otak maka terjadi gangguan aliran darah dan
metabolisme otak.Keadaan perfusi yang berkurang ini dikenal sebagai pola
seperti iskemia yang menyebabkan gangguan hantaran bahan penting yakni
oksigen dan glukosa yang berakibat penumpukkan asam laktat akibat dari
glikolisis anaerobik.Situasi itu menyebabkan peningkatan permiabilitas sel
membran yang menyebabkan terjadinya edema sel.Metabolisme anaerob
itulah yang menyebabkan sel tidak dapat mempertahankan persediaan
enersi berupa Adenosine Triphosphate (ATP) dan menyebabkan kegagalan
pompa ion membran.Tahap selanjutnya,kaskad pathomekanisme dari
depolarisasi terminal membran yang mengakibatkan produksi berlebihan
bahan eksitotoksik yaitu : glutamate dan aspartate serta aktivasi saluran N-
Methyl-D-aspartic acid or N-Methyl-D-aspartate (NMDA) dan saluran
tergantung voltase dari kalsium dan natrium.Influks kalsium dan natrium akan
menyebabkan proses katabolisme dalam sel.Kalsium akan mengaktifkan
-
20
enzim lipid peroksidase,protease dan phospholipase yang mana akan
meningkatkan radikal bebas dan asam lemak bebas dalam sel ( Skema 3 )
Skema 3. Diagram reaksi depolarisasi,pelepasan glutamat d influks
kalsium ke dalam sel ( Siesjö and Siesjö ,1996 )
Proses eksitotoksis dan cedera oksidatif atau ‗stress oksidative‘
yang menjadi bagian penting dari cedera otak sekunder itu terus berlanjut dan
berkaitan dengan proses neuroinflamasi,pelepasan mediator pro dan anti
inflamasi,pelepasan enzim endopetidase ,kerusakan SDO hingga terjadi
apoptosis ( Siesjö and Siesjö ,1996;Marshall 2000;Werner and
Engelhard,2007;Zhao et al.,2008;Skopin et al.,2011;Zhang et al.,2012;Abdul-
Muneer et al.,2013;Levine and Kumar 2013.Prins et al.,2013 )
-
21
Cedera otak sekunder ,pertama kali dilaporkan pada tahun 1978
oleh Miller et al. ( Miller and Sweet,1978;Miller and Becker ,1982). Cedera
otak sekunder terjadi sesaat sesudah cedera otak primer terhitung mulai dari
jam,hari hingga minggu ( Siesjö and Siesjö ,1996; Maas et al.,1997;Groom
and Oakley ,1997;Csuka et al.,1999;Marshall,2000;Brodhun et
al.,2001;Morganti-Kossmann et al.,2001;Morganti-Kossmann et
al.,2002;Schmidt et al.,2004;Schmidt et al.,2005;Morganti-Kossmann et al.,
2007;Beauchamp et al.,2008;Tang and Lobel ,2009;Veenith et
al.,2009;Grossetete et al.,2009;Kumar and Loanne ,2012;Li et al.,2012;Finnie
,2013 ).Cedera otak sekunder terjadi perubahan biokimiawi,metabolisme dan
seluler ditandai oleh kaskad biokimiawi yang bersifat kompleks yang
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial,kerusakan sawar
darah otak,neuroinflamasi,edema otak,hipoksia otak,iskemia dan
neurodegenerasi (Baethmann et al.,1996; Baethmann et al.,2004; Lotocki et
al.,2009;Pun et al.,2009;Toklu et al.,2009;Loane and Faden ,2010 ).Cedera
otak sekunder terjadi interaksi dinamis dari proses iskemia,inflamasi dan
sitotoksik ( Bullock ,1998; Smith, 2000 ) yang dijabarkan menjadi 4
mekanisme yaitu : iskemia,eksititoksisitas,kegagalan enersi,kaskad kematian
neuron,edema sel otak dan inflamasi.Proses selanjutnya akan terjadi suatu
rangkaian proses molekuler,neurokimia,seluler yang berkontribusi pada
pathomekanisme cedera otak sekunder pada skema 4 ( Doppenberg and
Bullock, 1997;Narayan et al.,2002;Schmidt et al.,2004;Wang et al.,2014 ).
-
22
Skema 4. Patomekanisme cedera otak primer dan sekunder pada COT
resiko tinggi ( Schmidt et al.,2004 ).
Fase awal ( ‗immediate‘ ) ( 0-3 jam ) pada cedera otak dimulai
dari kerusakan jaringan otak dan pembuluh darah serta dilepaskan bahan-
bahan vasoaktiv antara lain adalah : opiat endogen,
katekolamin,serotonin,aspartat,asam amino eksitotoksik dan K+.Pada fase itu
akan terjadi krisis ATP dan penyumbatan mikrosirkulasi.Perubahan itu secara
cepat berkembang menjadi fase ke dua ( 3- 6 jam ) yang terjadi gangguan
sirkulasi otak,hipoksia otak serta ‗brain thermo-pooling‘ ( peningkatan suhu
pada jaringan otak ) dan akan terjadi proses terlepasnya katekolamin,
iskemia otak yang disertai dengan kelumpuhan sinaptik dan gangguan
kardiopulmoner.Terjadi respon gen C-fos,C-Jun dan Bcl-2 dan berakhir pada
fase yang ketiga ( 6- 72 jam ) yang terjadi edema otak,peningkatan tekanan
intrakranial dan apoptosis yang berkaitan dengan gen Bax dan Bcl seperti
-
23
yang dijelaskan pada skema 5 ( MacIntosh et al.,1987,1994;Baker et
al.,1991;Boise et al.,1995; Krajewski et al.,1995;Oppennheim et
al.,1995;Kossmann et al.,1996;Spuler et al.,1996;Hayashi, 2000 ).
Skema 5.Patomekanisme perubahan jaringan otak dan reaksi sistemik
pada cedera otak ( Hayashi ,2000 ) .
Ada 2 ( dua ) faktor yang berpengaruh dalam kecepatan
mekanisme seluler dan molekuler itu ialah : faktor intrakranial(contoh:
peningkatan tekanan intrakranial,hipoperfusi otak,kejang dan angiospasme
otak)dan faktor sistemik ( contoh : hipoksemia,hipotensi,hipertermia dan
hiperglisemia )(Tabel 1)( Doberstein et al.,1993;Jones et al.,1994:Chesnut,
1995;Cormio et al.,1997;Jeremitsky et al.,2003;Wang et al.,2014 ).
-
24
Tabel.1.Faktor intrakranial dan sistemik pada cedera otak sekunder
(Wang et al 2014)
Pada cedera otak sekunder sangat dipengaruhi oleh faktor sistemik
dan lokal atau intrakranial.Kedua faktor itu akan menyebabkan kerusakan
pada jaringan neuron dan sistem penyangganya serta seluler.Pada tingkat
seluler yang berperan penting dalam mekanisme neuronflamasi adalah sel
astrosit dan mikroglia dan akan berpengaruh pada hasil keluaran Skema 6
(Werner and Engelhard ,2007).
Skema 6. Perubahan seluler dan molekuler pada cedera otak sekunder
( Werner and Engelhard ,2007 ).
-
25
Angka kejadian COT resiko tinggi saat tiba di rumah sakit
disertai faktor hipoksemia adalah 30-55 % (saturasi oksigen arteri
-
26
2.2.Proses neuroinflamasi pada cedera otak
Mekanisme cedera otak sekunder meliputi berbagai proses
kompleks seperti depolarisasi dan gangguan homeostasis ion ( Gentile
andMcIntosh ,1993 ) pelepasan neurotransmiter (misalnya:glutamate ) (Faden
et al., 1989), disfungsi mitokondria (Xiong et al., 1997 ), apoptosis neuronal
(Yakovlev et al., 1997), degradasi lipid (Hall et al., 2004), dan inisiasi respon
inflamasi dan kekebalan ( Morganti-Kossmann et al., 2007). Peristiwa
neurokimia ini menghasilkan sejumlah molekul beracun dan pro-inflamasi
seperti prostaglandin, metabolit oksidatif, khemokin dan sitokin pro-inflamasi,
yang menyebabkan peroksidasi lipid, gangguan SDO dan perkembangan
edema otak. Meskipun setiap mekanisme cedera otak sekunder sering
dianggap sebagai peristiwa yang berbeda, banyak yang sangat interaktif dan
dapat terjadi secara paralel. Penelitian yang ekstensiv telah menunjukkan
bahwa inflamasi selular dan humoral setelah COT memainkan peran kunci
dalam tingkat cedera otak dan proses perbaikan. Inisiasi, perkembangan dan
akhir dari proses inflamasi pada COTdisebabkan karena infiltrasi leukosit,
aktivasi kekebalan sel residen dan sekresi mediator inflamasi seperti sitokin
pro dan anti inflamasi, khemokin, molekul adhesi, faktor komplemen, dan
reaktif oksigen spesies. Penelitian mendukung bahwa proses neuroinflamasi
memiliki peran ganda ( ‗dual role‘ ) atau pedang bermata dua ( ‗double edge
sword‘) yakni fungsi yang merugikan ( neurotoksik ) atau menguntungkan
(neuro protektif ) yang tergantung pada kinetik,regulasi dan ekspresi pada
saat setelah cedera (Tabel 2)(Merrill and Benveniste, 1996; Asensio and
Campbell, 1999; Scherbel et al.,1999; Shohamiet al.,1999;Lenzlinger et
al.,2001; Morganti-Kossmann et al.,2002;Schmidt et al.,2005;Dardiotis et
-
27
al.,2013 ). Tabel 2.Mekanisme peran ganda pada neuroinflamasi ( Schmidt et
al.,2005 ).
Tabel 2.Mekanisme peran ganda pada neuroinflamasi ( Schmidt et al.,2005 ).
Neuroinflammasi adalah mekanisme pertahanan tuan rumah
kompleks yang mengisolasi jaringan otak yang rusak di daerah terluka,
menghancurkan sel-sel yang terluka, dan perbaikan matriks ekstraselular
(Minghetti et al.,2005 ).Neuroinflamasi merupakan mekanisme penting pada
cedera otak sekunder yang berkontribusi berkelanjutan pada proses
neurodegenarasi dan gangguan neurologis pada COT.Inflamasi pasca trauma
ditandai dengan aktivasi sel glia,pengerahan lekosit dan peningkatan regulasi
mediator inflamasi ( Morganti-Kossmann et al.,2007 ).
Otak dikenal sebagai organ imunologis istimewa ( ‗immunologically
privileged organ‘ ) karena tidak mempunyai sistem limfatik dan peran SDO
memisahkan sirkulasi sistemik dengan jaringan otak.Upaya riset beberapa
tahun terakhir ini,mengungkapkan bahwa sistem saraf pusat adalah sumber
-
28
melimpah dari mediator inflamasi.Sel residen dari otak,seperti neuron,astrosit
dan mikroglia memiliki kemampuan melakukan sintesa semua mediator imun
samahalnya yang terjadi pada sistem imun perifer,termasuk diantaranya
adalah sitokin,khemokin,protein aktvator komplemen dan melakukan ekspresi
dari mediator-mediator tersebut ( Hopkins and Rothwell ,1995;Morgan and
Gasque, 1996; Asensio and Cambell ,1999;Barnum, 2002;Ransohoff ,2002;
Ransohoffa, 2002).Saat ini telah dipahami bahwa dalam otak memiliki
kemampuan kontrol kekebalan fisiologis dan respon induksi imun yang kuat
pada otak yang mengalami cedera.
Pada COT resiko tinggi akan terjadi proses neuroinflamasi yang
dimulai dengan kerusakan SDO yang mengakibatkan penumpukan
polymorphoneuclear leucocyte (PMN) makrofag dan limfosit yang berasal dari
sirkulasi sistemik dan mengaktivasi sel residen otak,khususnya mikroglia
untuk melepaskan sitokin pro inflamasi,protease sitotoksik, dan Reactive
Oxygen Species (ROS) .Peran penumpukan PMN sangat penting dalam
proses inflamasi dan cedera otak sekunder.PMN akan migrasi dari pembuluh
darah menuju jaringan otak melalui ikatan selektin P dan E endotel dan
Intercellular Adhesion Molecules (ICAM).Kerusakan jaringan pada masa akut
pada neuroinflamasi makin meluas karena meningkatnya PMN yang
menyebabkan pelepasan bahan-bahan toksin ke jaringan otak,diantaranya
adalah ROS,Reactive Nitrogen Species (RNS),matrix metallo
proteinase,prostanoid,leukotriene dan sitokin pro inflamasi.Sehingga terjadi
komunikasi antar sel yang kompleks antara lekosit darah perifer dan sel
residen otak.Akumulasi PMN pada jaringan otak yang rusak berlangsung
pada 24 jam pertama yang diikuti dengan akumulasi makrofag pada 36-48
-
29
jam. PMN yang berperan nyata pada masa awal cedera kan menentukan
keseimbangan proses kerusakan atau perbaikan lingkungan jaringan otak.Sel
endotel,monosit dan astrosit juga penting sebagai sumber mediator.Interaksi
antara sel inflamasi yakni PMN,makrofag,platelet dan sel endotel diatur oleh
beberapa meditor ialah Intercellular Adhesion Molecule-1(ICAM-
1),sitokin,mediator inflamasi lipid dan nitric oxide (NO) ( Guilian et
al.,1989;Soares et al.,1995;Morganti-Kossmann et al.,2001;Morganti-
Kossman et al.,2002;Block and Hong ,2005;Davalos et al.,2005;Blumbergs et
al.,2008;Dardiotis et al.,2013 ).
Pada saat terjadi cedera,sel endotel aktif dalam proses
inflamasi,merangsang PMN dan platelet dan mengaktivasi kaskad
koagulasi.PMN dan platelet secara sinergis.PMN akan memproduksi protease
dan oksigen radikal bebas yang menjadi mediator neurotoksik dan
bertanggung jawa pada mekanisme edema otak dan kerusakan
SDO.Akumulasi dan aktivitas lekosit pada cedera otak dimediasi oleh faktor
khemoatraktan yakni khemokin dan anafilaksis komplemen dan molelul
adhesi ( Schoettle et al.,1990;Clark et al.,1996;1990;Carlos et
al.,1997).Khemokin atau sitokin khemotaktik adalah protein kecil dengan
ukuran 8-10 kDa yang mempunyai kemampuan induksi khemotaksis dan
ekstravasasi jaringan dan modulasi berbagai fungsi lekosit.Sub famili
khemokin dibedakan oleh posisi pertama dus sistein,baik yang dipisahkan
oleh satu hingga asam amino (CXC dan CX3C) atau yang
berdekatan,khemokin CC.Khemokin CXC bekerja primer pada netrofil dan CC
bekerja pada monosit,limfosit,sel mast dan e osinofil.Sel-sel residen otak
yakni neuron,astrosit dan mikroglia memiliki kemampuan untuk menghasilkan
-
30
khemokin sebagai respon terhadap rangsangan inflamasi.CXCL-1 sampai
CXCL-8 merekrut PMN, terutama CXCL-8 (interleukin-8), sedangkan
monocyte chemotactic protein (MCP) mempromosikan monosit transmigrasi.
CXCL-12 adalah koordinator kuat migrasi stem / sel progenitor
mempromosikan perkembangan jaringan saraf, dan meningkatkan
tumbuhnya akson setelah cedera tulang belakang traumatik ( Hausmann et
al.,1998;Asensio and Campbell ,1999; Glabinski and Ransohoff,
1999;Ransohoff ,2002;Jaerve and Muller ,2012 ).
Sel miikroglia adalah sel residen yang memiliki peran penting
dalam respon cedera otak.Mikroglia adalah sel residen makrofag otak yang
merupakan 10-12% dari jumlah total populasi sel glia,khususnya terdapat
pada lapisan otak abu-abu pada daerah hipokampus,hypothalamus,basal
ganglia dan substantia nigra ( Mittelbronn et al.,2001;Block et al.,2007 ).Bila
mikroglia yang bertindak sebagai pertahanan awal pada cedera otak bekerja
berlebihan akan memproduksi banyak bahan sitotoksik ,termasuk sitokin pro
inflamasi yaitu Il-1β,Il-6,Il-12,Il-18,TNF-α dan dua modulator interferon ( IFN-
γ) serta bahan metabolit oksidatif ( nitric oxide,reactive oxygen dan nitrogen
species ).TNF-α dan Il-6 dikenal sebagai pro-inflamasi utama dan Il-10
sebagai sitokin antiinflamasi (Ott et al.,1994;Morganti-Kossmann et
al.,1997;Feuerstein et al.,1998;Ghirnikar et al.,1998;Shohami et
al.,1999;Neugebauer et al.,2000;Allan and Rothwell 2001;Rothwell,
2003;Block and Hong, 2005 ).
Sitokin merupakan polipeptida berukuran kecil < 30 kD yang
disintesa dan dilepaskan oleh beberapa sel,seperti monosit dan makrofag dan
-
31
mempunyai kemampuan mengatur beberapa fungsi sel.Sitokin mempunyai
peran dalam berbagai patologis sistem saraf pusat (Benveniste 1995) .Sitokin
secara cepat disekresikan pada siklus dan sitokin akan mengatur
awalan,penyebaran dan pengakhiran respon inflamasi.Secara umum,sitokin
dibagi menjadi mediator pro dan anti inflamasi berdasarkan kemampuan
sitokin untuk mendorong dan menekan aktivasi imun.Senyawa-senyawa
pengikat sitokin memiliki reseptor afinintas tinggi yang mengakibatkan
transduksi sinyal aktivitas biologis berbeda dan berlawanan (Beutler and
Cerami ,1987;Gauldie et al.,1987;Dinarello ,1988,1989;DeForge et
al.,1990;Otero et al.,1994 ).Selama bertahun-tahun,dibuktikan bahwa fungsi
sitokin yang merugikan terjadi pada neuroinflamasi yang dikaitkan dengan
kematian sel saraf dan hasil keluaran jelek.Temuan baru menyatakan bahwa
sitokin memiliki aksi ganda dalam patologis otak sehubungan dengan fungsi
dasar sitokin dalam proses perbaikan jaringan,regenerasi dan pemulihan
neurologis ( Morganti-Kossmann et al.,1997 ).
Respon inflamasi yang luas akan terjadi segera sesudah COT
resiko tinggi dan dilepaskan sitokin pro dan anti inflamasi ialah :Il-1,Il-6,Il-8,Il-
10,TNF-α dan TGF-β yang dapat diketahui dari cairan otak dan serum
(Morganti-Kossmann et al.,1997).Beberapa sitokin yang telah diteliti sebagai
mediator imun dalam COT (Tabel 3 )(Morganti-Kossmann et al.,2001).
-
32
Tabel 3 .Sitokin sebagai mediator pada proses neuroinflamasi
pada COT ( Morganti-Kossman et al.,2001 ).
2.3.Penanda biologis TNF-α
Tumor Necrosis Factor α (TNF-α) merupakan sitokin inflamasi
yang bersifat ‗pleiotropic‘ ( memiliki beberapa fenotip ).Sitokin tersebut
pertamakali diisolasi oleh Carswell et al.,( 1975 ) ketika mengidentifikasi
faktor nekrosis tumor yang bertanggungjawab atas nekrosis pada sarkoma.
TNF-α adalah mediator awal ( Arvin et al.,1996;Silverstein et
al.,1997;Feuerstein et al.,1998;McKeating and Andrew ,1998;Ghirnikar et
al.,1998;Whalen et al.,2000;Rothwell and Luheshi, 2000;Kushi et
al.,2003;Holmin et al.,2004;Shiozaki et al.,2005;Lucas ,2006 ).Seperti halnya
-
33
Il-1,TNF-α berperan penting dalam komunikasi antar sel dan respon inflamasi
pada cedera ( Screiber et al.,1986;Fong et al.,1990 ) dan disekresi dalam 2
(dua ) bentuk yaitu α ( cachectin ) dan β ( limfotoksin ).Sitokin ini secara
umum tebanyak disekresi oleh sel mikroglia ( Breder et al.,1993;Chung and
Benveniste ,1990;Gahring et al.,1996 ).TNF-α di sekresi oleh makrofag, sel
T,sel mast,mikroglia dan astrosit.TNF-β diproduksi terutama di sel T dan
diketahui sebagai mediator utama dari syok endotoksik dan cedera jaringan
(Beutler 1985 ).Ada 2 ( dua ) reseptor TNF,ialah : TNFR1 atau p55 dan
TNFR2 atau p75.Dalam sistem saraf, reseptor ini terutama diekspresikan
pada sel glial dan sel-sel saraf. Dan sinyal p55 menentukan ciri-ciri patologis
TNF, sedangkan p75 memiliki peran yang lebih protektif. Ligasi p55
mengaktifkan Fas Associated Death Domain(FADD) atau FADD like Il-1
Converting Enzyme (FLICE) yang melibatkan aktivasi kaskad caspase yang
akhirnya menyebabkan apoptosis, atau mungkin sebaliknya menyebabkan
TNF Receptor Associated Death Domain (TRADD) untuk aktivasi faktor
transkripsi NF-kB, yang dapat memicu mekanisme perbaikan pada COT.
Aktivasi reseptor TNF p75 juga menyebabkan peningkatan NF-kB. Kedua
reseptor itu juga disekresi dalam bentuk larut ( Kolesnick and Golde,
1994;Sullivan et al., 1999 ).TNF sinyal melalui TNFR1 dan TNFR2 dapat
menimbulkan berbagai respon seluler tergantung pada banyak faktor
termasuk keadaan metabolisme sel dan protein adaptor dalam sel.
Perbedaan ini kemudian mempengaruhi aktivasi dari sejumlah kaskad sinyal
intraseluler termasuk Nuclear Factor kappa-B (NFκB ), p38, C-Jun N-terminal
kinase(JNK) , dan kaskad sinyal ceramide atau Sphingomyelinase, sehingga
menyebabkan suatu respon tertentu, termasuk peradangan, proliferasi,
-
34
migrasi sel, apoptosis, dan nekrosis ( Eissner et al.,2000;Harashima et
al.,2001;Eissner et al.,2004;Ware ,2005 ).
TNF-α dapat terdeteksi di cairan otak dan serum dan berkaitan
dengan COT, peningkatan kadar TNF telah terdeteksi dalam cairan serebro
spinal melebihi kadar serum (Goodman et al., 1990;. Ross et al., 1994;Csuka
et al., 1999). Pada cedera otak uji coba , peningkatan regulasi otak TNF-
αterjadi setelah cedera perkusi cairan, benturan korteks terkontrol, cedera
kepala tertutup dan iskemia (Taupin et al., 1993;. Liu et al.,1994 ; Shohami et
al., 1994;Fan et al., 1996 ). Peningkatan awal TNF-αlebih banyak disintesa
oleh sel residen otak, bukan karena infiltrasi leukosit, dan dalam hal ini, TNF-
α telah terdeteksi pada sel neuron korteks lesi dengan pemeriksaan
imunohistokimia dan dikaitkan dengan defisit neurologis seperti yang
ditunjukkan dengan penghambatan sintesa TNF-α ketika ditambahkan IL-10
(Knoblach et al., 1998). Selain itu, penghambatan TNF-α akan lebih efektif
dengan pemberian injeksi intraventrikular larutan reseptor fusi TNF-α atau
protein yang mengikat TNF-α dibandingkan dengan pemberian intravena,
menguatkan asumsi sintesisnya yang berlasung di otak dan cara kerja TNF di
otak (Shohami et al., 1996;. Knoblach et al., 1999). Sitokin ini pada COT
diketahui mempengaruhi integritas SDO, yang menyebabkan edema serebral
dan infiltrasi leukosit darah serta kematian sel , dan telah terbukti dapat
menginduksi reseptor yang ampuh mediator inflamasi sekunder anafilatoksin
( C5a ) pada neuron (Stahel et al.,2000 ). Selanjutnya, TNF-α dapat
menginduksi apoptosis dan nekrosis baik melalui kaskad sinyal intraseluler (
Reid et al.,1989 ). Oleh karena itu terbukti bahwa kedua penghambatan
langsung dan tidak langsung dari aktivitas TNF-α bermanfaat dalam berbagai
-
35
studi tentang COT. Pada pemberian pentoxifylline imunosupresif serta TNF
binding protein (TBP) , inhibitor fisiologis aktivitas TNF-α, telah terbukti secara
signifikan mengurangi pembentukan edema dan meningkatkan fungsi motorik
pemulihan setelah percobaan COT ( Shohami et al.,1996 ).Pada model
penyakit dan cedera dari sistem saraf pusat, TNF telah terbukti memiliki
aktivitas baik neurotoksik dan neuroprotektif. Hal ini tergantung pada
beberapa faktor termasuk ekspresi sel spesifik,waktu ekspresi dan aktivasi
reseptor, konsentrasi ligan dan kemampuan interaksi diantara kaskad sinyal
yang berbeda ( Schmidt et al.,2005).
Pada peneltian 36 penderita COT,didapatkan tingkatan kadar
normal TNF-α serum pada 19 penderita sebesar 0 – 6,3 pg/ml sedang yang
lain terjadi peningkatan dengan nilai maksimum sebesar 157,5pg/ml (Tabel
4).
Tabel 4.Kadar maksimal sitokin dalam cairan otak dan
serum ( Morganti-Kossmann et al.,1997 ).
Kadar maksimumTNF-α pada cairan otak dari 29 penderita sebesar 757
pg/ml dan pada 29 penderita nilainya hampir 100 kali lebih besar dari
serum ( Morganti-Kossmann et al.,1997 ). Menurut penelitian dari Stein et
al.,(2012 ) mengungkapkan bahwa pada pada penderita COT berat kadar
-
36
TNF- α serum sebesar 0,2 -321 pg/ml.Kadar rata-rata harian TNF-α sebesar
7,7 pg/ml menjadi tolok ukur hasil keluaran baik.
2.4.Penanda biologis IL-6
Interleukin-6 (IL-6) adalah protein imun dari famili
hematopoetin,memiliki banyak nama sebelumnya, antara lain adalah
Interferon-SS2 (IFN-SS2), protein 26-kD, B-cell stimulasi factor-2 (BSF-2) ,
Hepatosit Stimulating Factor (HSF),Cytotoxic T-cell Differentiation Factor
(CDF), Interleukin-HP1 (IL-HP1),Monocyte Granulocyte Inducer type 2 (MGI-
2) dan Hybridoma/Plasmacytoma Growth Factor (HPGF/HGF), kemudian
perbedaan ituberakhir setelah disepakati satu nama ialah IL-6 pada
pertemuan ilmiah ‗New York Academy of Sciences‘,14 Desember 1988
(Sehgal, et al, 1995) Sitokin itu adalah monomer dari 184 asam amino yang
diproduksi oleh sel T,makrofag dan sel endotel yang memiliki gen tunggal
pada lokasi 7p21 (Sehgal et al.,1986;Ray et al.,1989 ).
IL-6 memiliki peran penting dalam mekanisme pertahanan juga
dikenal sebagai faktor hepatosit-stimulating, interferon β2, protein dengan
bobot 26 kD, faktor pertumbuhan hibridoma, dan faktor perangsang sel B dan
memiliki beberapa fungsi biologis beragam ( Castell et al.,1988;Khisimoto
,1989;Hirano et al.,1990;Bauer and Herrman, 1991).IL-6 adalah sitokin
pleiotropik yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel imun dan non imun ( Taga
and Kishimoto ,1997). Sitokin ini adalah pengimbas yang ampuh dari
diferensiasi sel-B, sintesa imunoglobulin, dan respon fase akut (Akira and
Kishimoto,1992) ,serta diproduksi di dalam otak oleh sel glial dan juga oleh
sel kultur saraf pada paparan terhadap rangsangan yang berbeda (Schobitz
-
37
et al., 1995 ; Marz et al., 1998 ).Peningkatan sintesa IL-6 telah dilaporkan
pada berbagai gangguan otak seperti stroke, infeksi virus dan bakteri
meningitis, tumor otak, kompleks demensia terkait AIDS, multiple sklerosis
dan penyakit Alzheimer (Gruol et al., 1997; Morganti- Kossmann et al., 2000).
Pada COT telah dilaporkan bahwa produksi Il-6 meningkat pada
penderita serta pada hewan coba ( McClain et al., 1991;Woodroofe et al.,
1991; Taupin et al., 1993;. Shoharni et al., 1994;. Kossmann et al., 1995;
Hans et al.,1999 ).Penelitian sebelumnya telah melaporkan bahwa IL-6
secara bermakna meningkat pada cairan serebrospinal dibandingkan dengan
serum pada COT resiko tinggi.Konsentrasi maksimal IL-6 dalam serum
berkorelasi dengan tingkat puncak protein fase akut ( protein C-reaktif ), α1-
antitrypsin dan fibrinogen (Kossmann et al., 1995 ). Hasil penelitian itu
membuktikan bahwa IL-6 diproduksi dalam jumlah besar di daerah intratekal,
serta dapat menyeberang melewati SDO yang rusak, memasuki sirkulasi
perifer dan menginduksi respon fase akut.Proses aktivasi imun otak akan
memodulasi Il-6 dan aktivasi inilah yang akan merusak SDO dan juga akan
mempengaruhi jaringan perifer ( De Simoni et al.,1993;Kossmann et
al.,1995).
Sejak sekian lama penentuan prognosis COT resiko tinggi
ditentukan secara mendasar dari hasil pemeriksaan neurologi,khususnya
dengan skor GCS awal.Pengembangan hasil gambaran patologis CT scan
seperti :pendorongan garis tengah,penipisan sisterna basalis,efek masa dan
edema hemisfer otak menjadi tambahan nilai yang akurat untuk melakukan
prediksi hasi keluaran COT ( Jennett et al.,1976;Clifton et al.,1980;Young et
-
38
al.,1981) .Pada penderita kritis,tingkat mediator larut yang dalam sirkulasi
seperti sitokin,hormon dan molekul adhesi dapat dinilai untuk menjadi tolok
ukur prognosis serta dengan sistem skor yang lebih tepat.Pengukuran
deskriptif terjadi peningkatan kadar plasma mediator imun ialah protein S-
100,ICAM,selectin,Il-6 dan Il-8 pada penderita COT resiko tinggi (Jarek et
al.,1993;Kossmann et al.,1995;Kossmann et al.,1997;McKeating et
al.,1997;McKeating et al.,1998;Kuster et al.,1998;Pleines et
al.,1998,McKeatingaet al.,1998 ).
Young et al ( 1992 ) melaporkan bahwa penderita COT resiko
tinggi memiliki peningkatan Il-1 dan Il-6 dalam ventrikel otak secara
bermakna.Penelitian lain melaporkan bahwa Il-6 plasma terbukti lebih tinggi
dari normal setelan mengalami cedera otak berat dan berhubungan dengan
derajat keparahan penderita ( Clain et al.,1991 ).Sehubungan dengan peran
ganda maka IL-6 samahalnya dengan sitokin lainnya,maka korelasi produksi
IL-6 ditinjau denga hasil keluaran,maka hasilnya dinilai tidak konsisten Winter
et al.,2004 ). Singhal et al., (2002) melaporkan bahwa peningkatan IL-6
dikaitkan dengan hasil keluaran yang baik, sementara Kalabilikis et al. ,(1999)
tidak menemukan korelasi antara meningkatnya kadar IL-6 dengan hasil
keluaran. Sebaliknya, penelitian lain telah menunjukkan bahwa peningkatan
kadar IL-6 dalam serum atau cairan otak dikaitkan dengan hasil yang buruk
(Arand et al., 2001 ).
Produksi Il-6 pada COT yang pada akhirnya mempengaruhi
jaringan perifer dibuktikan dari derajat IL-6 cairan otak lebih tinggi dari Il-6
serum,korelasi Il-6 cairan otak dan serum sangat erat jika terdapat kerusakan
-
39
SDO yang dievaluasi bersamaan dengan perbadingan albumin cairan otak
dengan serum,protein IL-6 meningkat pada COT hewan coba karena
percobaan benturan cair,luka bacok,cedera otak tertutup dan cedera
aksonal,residen sel otak memproduksi Il-6 setelah menerima berbagai
rangsangan,pada percobaan hewan tentang aktivasi imun pada fase akut
menunjukkan adanya modulasi produksi IL-6 perifer,dan sitokin,termasuk Il-6
memiliki pengaruh kuat pada fungsi SDO yang mana dapat meningkatkan
permiabilitas SDO in vitro ( Woodroofe et al.,1991;Taupin et al.,1993;Shohami
et al.,1994;Benveniste ,1995;Hans et al.,1999 ).
Menurut Hergenroeder et al.,( 2010 ) Il-6 serum memiliki batas
nilai determinan atau ‗cut-off‘ sebesar < 5 pg/ml yang diidentifikasi pada
sukarelawan normal atau kontrol tetapi Minambres et al.,( 2003 ) kadar
normal Il-6 darah juguler sebesar1,7 pg/ml ( dengan interval 0,9-4,9 pg/ml )
dan pada cedera otak tertutup kadar Il-6 meningkat sebesar > 128 pg/ml
sedangkan menurut Woiciechowsky et al.,( 2002 ) meningkat sebesar 100
pg/ml.Kadar fisiologis normal IL-6 plasma sebesar 0-42 pg/ml sedang kadar
IL-6 cairan otak tidak banyak diungkap pada beberapa penelitian sebellumnya
( Froon et al.,1996;Kossmann et al.,1996;Maier et al.,2005 ).Pada penelitian
lain dengan sampel yang besar,mengungkapkan bahwa kadar IL-6 cairan
otak pada 113 penderita sebesar 1-23 pg/ml ( Maier et al.,2005 ) dan pada
saat mengalami cedera kadar IL-6 cairan otak meningkat hingga 35.500 pg/ml
( Kossmann et al.,1996;Hillman et al.,2007 ).Kadar Il-6 serum dilaporkan
meningkat dengan kadar paling minimal pada COT yakni sebesar 93-269
pg/ml ( Winter et al.,2004;Chiaretti et al.,2005 ) dan pada COT berat 24 jam
-
40
pertama kadar IL-6 plasma lebih besar dari 100 pg/ml ( Woiciechowsky et
al.,2002 ).
2.5.Penanda biologis Il-10
Respon inflamasi pasca cedera otak sekunder pada ruang
intrakranial akan menyebabkan kerusakan jaringan sedang di sisi lain secara
simultan terjadi mekanisme perbaikan jaringan saraf ( Benveniste et
al.,1995;Balasingam and Yong ,1996;Heesen et al.,1996;Kossman et
al.,1996,1997 ).Sitokin anti inflamasi seperti : Il-10,Il-4,Il-13 dan TGF-β1
berperan menghambat beberapa aspek proses neuroinflamasi dengan
menghambat IFN-γ ,Il-1,Il-6,Il-8,TNF-α serta menekan regulasi dan ekspresi
Major Histocompatibility Complex-class II (MHC-II),radikal bebas,T-cell,adhesi
lekosit dan proliferasi astrosit ( de Waal Malefyt et al.,1991;Wahl 1994 ).Il-10
menghambat adhesi lekosit ke endotel dan ekstravasasi lekosit melewati
SDO serta menghambat produksi ROS dan RNS oleh makrofag ( Cunha et
al.,1992;Krakauer ,1995;Knoblach and Faden, 1998;Morganti-Kossmann et
al.,2001;Blumbergs et al.,2008 ).
Interleukin-10(Il-10) yang juga dikenal sebagai Human Cytokine
Synthesis Inhibitory Factor (CSIF) merupakan protein homodimer yang terdiri
atas subunit 178 asam amino ( Zdanov et al.,1995;Eksdale et al.,1997). Peran
menguntungkan dari sitokin anti-inflamasi telah dibuktikan pada kasus
meningitis bakterial,diberikan Transforming growth factor β (TGF-β) dan IL-10
maka akan terjadi penurunan tekanan intrakranial,edema dan penurunan
jumlah lekosit di cairan otak ( Frei et al.,1993a;1993b ).Demikian juga
-
41
pemberian Il-10 disertai dengan ‗corticectomy‘ akan menurunkan reaksi
hipertrofi dari astrosit dan mikroglia serta menghambat eksprresi TNF mRNA
( Balasingam et al.,1996 ).Pada COT resiko tinggi terjadi peningkatan kadar
Il-10 cairan otak dalam 24 jam pertama,seiring dengan penurunan dari TNF-
α.Pada COT,kadar Il-10 lebih tinggi di cairan otak daripada di serum
sedangkan kadar TGF-β berbanding terbalik.Kondisi ini akan
menggambarkan kadar TGF-α di cairan otak dan cairan otak/serum albumin
quotient ( QA) representasi kerusakan SDO. Disisi lain,Il-10 akan
mencegah adhesi dan ekstrasvasasi lekosit melalui SDO ( Knoblach and
Faden ,1998;Csuka et al.,1999;Morganti-Kossmann et
al.,1999,2001,Blumbergs et al.,2008 ).Studi dari Islam ( 2007 ) membuktikan
bahwa Il-10 yang merupakan sitokin anti inflamasi,kadarnya dipengaruhi oleh
TNF-α.Selama berlangsung reaksi inflamasi,sitokin anti inflamasi juga
diproduksi untuk memodulasi proses inflamasi.Fungsi Il-10 diproduksi untuk
menjaga keseimbangan agar kadar TNF-α tidak berlebihan.Sehingga pada
aspek klinis,bila kadar IL-10 meningkat akan mempunyai keluaran yang
‗favourable‘ dan hal itu akan lebih jelas dilihat pada perbandingan TNF-α/Il-
10.
Pada COT resiko tinggi,kadar Il-10 pada plasma hanya meningkat
1,5 kali sementara itu pada cairan otak kadarnya meningkat 10 kali lipat )
Maier et al.,2005;Brambilla et al.,2006). Kadar Il-10 di serum antara 1,8 – 98.5
pg/ml sedang kadar IL-10 di cairan otak adalah 0,5 – 440 pg/ml.Kadar Il-10 di
cairan otak berhubungan dengan beratnya kerusakan SDO (Morganti-
Kossmann et al.,1997,2001 ).Pada anak-anak dengan COT resiko tinggi
-
42
,peningkatan kadar Il-10 berhubungan dengan resiko kematian,khususnya
pada anak-anak usia kurang dari 4 (empat ) tahun (Levin et al.,1992;Bell et
al.,1997;Neidhart et al.,1997;Martin et al.,1997 ).
Pada penelitian Csuka et al.,( 1999 ) pada 28 penderita COT
resiko tinggi diketemukan peningkatan kadar Il-10 baik di cairan otak maupun
serum pada kadar maksimum dari 22 hari pasca cedera.Peningkatan kadar Il-
10 cairan otak diketemukan pada 26 dari 28 subyek penelitian.Dijumpai 15
subyek yang kadarnya di atas kadar kontrol ( nilai maksimal :1,8 - 440,3
pg/ml,nilai rata-rata:1,3 – 41,7 pg/ml dengan nilai batas determinan : 1.06
pg/ml ).Pada 17 subyek dijumpai peningkatan lebih dari 50 % kadar Il-10
cairan otak.( Grafik 1 )
Grafik 1 .Prosentase pengukuran Il-10 di atas nilai normal ( Csuka et al.,1999)
-
43
Pada penelitian tersebut juga dinilai tentang peran Il-10 dalam
kerusakan SDO.Ada 10 subyek penelitian terjadi kerusakan berat SDO
ditinjau dari sisi QA>0,002.Kerusakan SDO terjadi pada 24 jam pertama dan
mengalami perbaikan pada hari ke 8 hingga 19 pasca cedera ( Grafik 2 ).
Grafik 2.Peningkatan kadar Il-10 yang dihubungkan
dengan derajat kerusakan SDO ( Csuka et al.,1999 ).
Skema 7. Mekanisme regulasi Il-10 melalui beberapa kaskad
hilir dari TLR( Howes et al.,2014 ).
-
44
Pengaturan regulasi dari Il-10 terjadi di makrofag dan sel dendrit
dengan ketegantungan stimulasi dari Pattern Recognition Receptors (PRR)
dan banyak keluarga dari PRR dan yang diteliti adalah Toll-Like Receptor
(TLR) ( Akira and Takeda, 2004 ).Aktivasi sinyal melalui beberapa TLR akan
menginduksi IL-10 ( Saraiva and O‘Garra ,2010 ).Pengikatan ligan dari TLR
akan mengaktifkan kaskad MAPK yaitu ERK dan p38.Kaskad Akt dan NFkB
juga melakukan modulasi produksi Il-10.ERK juga diaktivasi oleh Tumor
Progression Locus-2 (TPL-2) dan beberapa studi membuktikan peran penting
TPL-2 dalam regulasi Il-10 ( Skema 7 )( Yi et al.,2002;Dillon et
al.,2004;Banerjee et al.,2006;Jarnicki et al.,2008;Kim et al.,2008;Kaiser et
al.,2009;Howes et al.,2014 ).
2.6.Penanda biologis MMP-9
Matrix metalloproteinase (MMP) adalah enzim endo peptidase
dalam sub-famili matrixin dari sub-famili zinc metalloprotease M10 sesuai
data dasar MEROPS ( Nagase et al.,2006 ).MMP pertamakali diketemukan
oleh Gross dan Lapiere ( 1962 ) dari kultur gel kolagen yang dilarutkan dari
fragmen ekor kecebong.MMP terdiri atas 28 tipe yang dibagi dalam 4 ( empat)
klas yaitu : kolagenase,gelatinase,stromelysin dan tipe membran dan
merupakan famili enzim multigen dalam klas metalloproteinase dan famili
istimewa metzincin dari endopeptidase Berdasarkan kelompok katalitik dibagi
3 (tiga) yakni serin,sistein dan aspartik. ( Woessner, 1994;Rawling and Barrett
,1995;Murphy and Knauper ,1997 ).
-
45
2.6.1.Struktur matrix metalloproteinase
Semua MMP memiliki daerah propeptida di terminal N yang
terdiri atas 80 asam amino dan pada domain atau area katalitik yang terdiri
atas 170 asam amino terikat sistein di daerah zinc yang mempertahanakan
enzim dalam keadaan tidak aktif oleh peptida penghubung atau engsel( ‗hinge
region‘) dan pengikatan area hemopexin pada terminal C yang terditi atas 200
asam amino ( Yong ,1999;Rosenberg ,2002;Nagase et al.,2006 )(Gambar 1).
Gambar 1.Struktur dasar dari area MMP (Rosenberg ,2002).
Dasar struktur dari MMP terdiri atas 5 (lima) area ialah :
a.Sinyal peptide yang memungkinkan MMP dapat melekat pada kaskad
sekresi atau membran plasma.
b.‘Prodomain‘ yang mempertahankan enzim tidak aktif pada lokasi Zn
sehingga enzim katalitik tidak dapat mencapai substrat target
-
46
c.Area katalitik yang mengandung Zn.
d.Area hemopexin yang membuat enzim dapat terikat dengan substrat yang
spesifik
e.‘Hinge region‘ atau area penghubung atau engsel yang berfungsi
menghubungkan area hemopexin dan katalitik (Gambar 2)
Gambar 2.Struktur MMP berdasarkan substrat dan lokasi ( Vargová et
al.2012)
Fungsi rangkaian propeptida ialah mempertahankan MMP dalam
bentuk laten hingga menunggu adanya sinyal aktivasi.Sejumlah bukti
menunjukkan bahwa aktivasi melibatkan saklar sistein.Mekanisme itu
-
47
melibatkan koordinasi Cys 70-80 pada urutan PRCGVPDV pada titik pusat
aktif dari atom Zn.Residu sistein dapat dihambat oleh iodoacetamide
sehingga dapat dipertahankan fase laten nya.Sedangkan area katalitik
mengadung dua ion Zn dan setidaknya satu ion calcium yang terikat pada
residu bermacam-macam asam amino.Motip yang disepakati dalam setiap
area katalitik adalah HExGHxxGxxH yang mengandung 3 histidin dengan
koordinat pada pusat Tabel 5.Area saklar sistein dan ikatan Zn pada MMP(
Vargová et al.2012