skripsi tinjauan yuridis terhadap turut serta...

101
i SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi KasusPutusan No.146/PID/2017/PT.MKS) OLEH HARDIANTI B111 14 375 DEPERTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN 2018

Upload: others

Post on 08-Feb-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • i

    SKRIPSI

    TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TURUT SERTA DALAM

    TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

    (Studi KasusPutusan No.146/PID/2017/PT.MKS)

    OLEH

    HARDIANTI

    B111 14 375

    DEPERTEMEN HUKUM PIDANA

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS HASANUDDIN

    2018

  • ABSTRAK

    Hardianti (B11114375)Tinjauan Yuridis Terhadap Turut Serta Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No.146/PID/2017/PT.MKS), dibimbing oleh Andi Muhammad Sofyan dan Nur Azisa.

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk kualifikasi penyertaan dalam tindak pidana pembunuhan, menganalisis penerapan hukum pidana dan pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara terhadap turut serta dalam tindak pidana pembunuhan dalam Putusan Pengadilan Tinggi Makassar No.146/PID/2017/PT.MKS.

    Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Metode yang digunkan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan dimana pengumpulan data melalui wawancara dan penelitian kepustakaan. Data yang diporoleh kemudian dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif.

    Hasil penelitian ini menunjukkan: 1.Pembunuhan dalam bentuk pokok diatur dalam Pasal 338 KUHP dan Penyertaan diatur dalam Pasal 55 KUHP,2) semua unsur tindak pidana turut serta dalam tindak pidana pembunuhan telah sesuai dengan unsur-unsur Pasal 338 jo Pasal 55 KUHP, adapun pertimbangan hakim mengenai lamanya hukuman dilihat dari peran masing-masing terdakwa, dimana Terdakwa 1 dihukum penjara 12 tahun dan Terdakwa II hukuman penjara 6 tahun sebagai orang yang turut serta (medepleger) serta Terdakwa III hukuman penjara 14 tahun sebagai orang yang melakukan (pleger).

  • vii

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Alhamdulillah Puji syukur kehadirat Allah AWT yang telah

    melimpahkan begitu banyak rahmat dan karunia-Nya kepada penulis

    sehingga penulis senantiasa diberikan kesehatan, kemudahan, dan

    kesabaran,dan kekuatan dalamm menyelesaikan skripsi yang berjudul

    “Tinjauan Yuridis Terhadap Turut Serta Dalam Tindak Pidana

    Pembunuhan(Studi Kasus Putusan No.146/PID/2017/PT.MKS)”.

    Dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan

    perhatian dari orang tua penulis yaitu ayah Nurdin dan mama H.Ramlah

    yang senantiasa mencurahkan kasih sayang, mendoakan penulis agar

    dapat menyelesaikan pendidikan dibangku kuliah dan menjadi manusia

    yang bermanfaat kedepannya. Begitupun kepada saudara-saudara

    penulis kakak Randy Nurdin yang selalu memberikan wejangan dan

    dukungan, adik Bagas Kara dan Muh. Alpino yang membuat dunia penulis

    lebih berwarna selama ini.

    Skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik juga tidak terlepas dari

    bimbingan, masukan, dan saran dari berbagai pihak. Maka melalui

    kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

    besarnya kepada yang terhormat:

    1. Rektor Universitas Hasanuddin Makassar, Ibu Prof Dwi AriesTina

    Pulubuhu, MA

  • viii

    2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Ibu

    Prof.Dr.Parida Pattitingi,S.H.,M.H. Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru.

    S.H.,M.H. selaku Wakil Dekan I, Bapak Prof. Dr Syamsuddin

    Muchtar.S.H.,M.H. selaku Wakil Dekan II, Bapak Prof.Dr. Hamzah

    Halim,S.H.,M.H. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

    Universitas Hasanuddin.

    3. Bapak Prof.Dr. Andi Muhammad Sofyan,S.H.,M.H. selaku

    pembimbing I dan Ibu Dr. Nur Azisa,S.H.,M.H. yang telah

    membimbing, meluangkan waktu dan pikiraan dalam

    mengarahkan penulis menyelesaikan skripsi ini serta memberi

    wejangan agar penulis menjadi manuasia yang lebih baik dari

    sebelumnya..

    4. Bapak Prof. Dr. M. Said Karim, S.H.,M.H.,M.Si, CLA, Bapak Dr.

    Amir Ilyas,S.H.,M.H, Bapak Abd. Azis, S.H.,M.H. selaku penguji

    yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan

    skripsi ini.

    5. Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan Staf Akademik Fakultas Hukum

    Universitas Hasanuddin yang telah mendidik dan memberikan

    bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas

    Hukum Universitas Hasanuddin.

    6. Ketua Pengadilan Tinggi Makassar beserta seluruh Staf

    Pengadilan Tinggi Makassar yang telah memberikan bantuan

    selama penelitian terkhusus Bapak Hakim Akhmad Shalihi,

  • ix

    S.H.,M.H atas kesediaannya memberikan informasi yang

    dibutuhkan penulis dalam penulisan skripsi ini.

    7. Sahabat-sahabatku yang selama semester I sampai sekarang

    menemani penulis dalam berbagai kisah suka dan duka Nirwana

    Nur Rahmat, Nur Ariyas Tuti, Nurul Fitra Sappe, Ningsih, dan

    Rafiatul Mahmudah dengan berakhirnya jenjang bangku

    perkuliahan nanti penulis harap kita tidak melupakan satu sama

    lain, janganlah kita seperti kacang yang lupa akan kulitnya, atau

    seperti jeruk habis manis sepah dibuang tapi semoga hubungan

    silaturahmi kita tetap berjalan seperti air zam-zam yang airnya

    tidak pernah kering oleh dahaga manusia.

    8. Teman-teman Klinik Hukum Kejaksan Ahmad Nugraha Abrar,

    Wahyuni, Risnayanti,Nurhaeria, Nurul Afiah Idrus, Sakinah, Anita

    Natsir, Hartina, Nurul Sappe, Nirwana Nur Rahmat, Nur Ariyas

    Tuti, Rezky Amalia Suharto,dan Lisa Yusnita.

    9. Teman-Teman UKM Goju FH-UH dan Para Sensei yang selalu

    sedia melatih kami dan Teman-teman Kudeta

    Anugrah,Jemmi, ,Lisa Rulyantini, Izah Khatab, ,Nurdaya, Frelly,

    dan Windaryani kami dipertemukan di UKM Goju terimah kasih

    atas kerjasama dan canda tawa selama ini.

    10. Teman-teman Diplomasi 2014 Fakulatas Hukum Universitas

    Hasanuddin dan Kabar Kabari (Depertemen Hukum Pidana),

    Annisa Nurfadillah, Gina Yasid, Dian Qalbi, Ayu, Khuriah, dll.

  • x

    11. Seseorang yang telah memberi motivasi kepada penulis saat

    penulis jenuh disemester awal perkuliahan dan hendak akan

    berhenti,tapi karena perkataanya telah menyadarkan penulis

    untuk tetap semangat melanjutkan kuliah sampai sekarang ini.

    12. Dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam

    menyelesaikan penulisan skripsi ini,semoga Allah SWT membalas

    kalian.

    Tak ada gading yang tak retak begitupun dalam penulisan ini, oleh

    karena itu penulis mengharap kritik dan saran yang membangun, akhir

    kata semoga skripsi ini dapat digunakan dan dimanfaatkan dengan

    sebaik-baiknya.

    Makassar, Mei 2018

    Hardianti

  • xi

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i

    LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI .............................................................. ii

    HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iii

    ABSTRAK .................................................................................................... iv

    PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................................................ v

    UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ vi

    DAFTAR ISI ................................................................................................. xi

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ...................................................................1 B. Rumusan Masalah ...........................................................................3 C. Tujuan Penelitian .............................................................................3 D. Manfaat Penelitian............................................................................5

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana dan Pemidanaan .............6 1. Pengertian Hukum Pidana ...........................................................6 2. Pengertian Tindak Pidana ............................................................8 3. Unsur-Unsur Tindak Pidana ....................................................... 12

    B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pembunuhan .................. 19 1. Pengertian Pembunuhan ........................................................... 19 2. Jenis Pembunuhan Menurut KUHP ........................................... 21 3. Unsur-unsur Tindak Pembunuhan Biasa ................................... 23

    C. Tinjauan Umum Tentang Penyertaan (Deelneming) ...................... 27 1. Pengertian Penyertaan .............................................................. 27 2. Jenis Penyertaan Menurut KUHP .............................................. 29

    D. Pemidanaandan Jenis-Jenis Pidana .............................................. 33 1. Pemidanaan ............................................................................... 33 2. Jenis- JenisPidana ..................................................................... 36

    BAB III METODE PENELITIAN

    A. Lokasi Penelitian ............................................................................ 47 B. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 47 C. Teknik Pengumulan Data ............................................................... 48 D. Analisis Data .................................................................................. 49

  • xii

    BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    A. Kualifikasi Perbuatan Penyertaan Dalam Tindak Pidana Pembunuhan .......................................................... 49

    B. Penerapan Hukum dan Pertimbangan Hukum Hakim dalam

    Menjatuhkan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyertaan dalam Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No. 146/PID/2017/PT.MKS). ................................................................. 64

    1. Posisi Kasus .......................................................................... 66 2. Dakwaan ................................................................................ 67 3. Tuntutan Penuntut Umum ...................................................... 67 4. Fakta-Fakta Hukum ............................................................... 70 5. Pertimbangan Hukum Hakim ................................................. 71 6. Amar Putusan ........................................................................ 75 7. Analisis Penulis ....................................................................... 78

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ............................................................................. …….85 B. Saran ....................................................................................... …….86

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam

    Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

    khususnya dalam Pasal 1 Ayat (3). Hal ini berarti bahwa seluruh aspek

    kehidupan di Negara ini diatur berdasarkan aturan hukum. Dalam

    pelaksanaannya sebagai negara hukum harus memenuhi unsur antara

    lain pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus

    berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan, adanya

    pengawasan dari badan-badan peradilan, dan jaminan terhadap hak asasi

    manusia (HAM).

    Berkaitan dengan unsur diatas, dengan adanya jaminan terhadap

    hak asasi manusia (HAM), dapat diartikan bahwa didalam setiap konstitusi

    selalu ditemukan adanya jaminan perlindungan terhadap HAM, salah

    satunya adalah perlindungan terhadap nyawa warga negaranya

    sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 A UUD 1945: “setiap orang

    berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan kehidupannya”. Sejak

    manusia itu dilahirkan hak tersebut sudah ada dan melekat dalam dirinya

    dan berlaku seumur hidupnya. Hak tersebut tidak dapat diganggu gugat

    karena hak tersebut dilindungi oleh Negara dan diberikan langsung oleh

    Tuhan Yang Maha Esa.

  • 2

    Negara Indonesia menjamin perlindungan terhadap nyawa setiap

    warganya dari yang ada dalam kandungan sampai yang telah meninggal.

    Tujuannya adalah mencegah tindakan sewenang-wenang dalam suatu

    perbuatan khususnya yang dilakukan dengan cara merampas nyawa

    orang lain. Kejahatan yang ada di masyarakat terdiri atas berbagai bentuk

    dan jenis, hal ini secara tegas diatur dalam Buku Kedua Kitab Undang-

    Undang Hukum Pidana (KUHP). Salah satu bentuk kejahatan terhadap

    nyawa adalah tindak pidana pembunuhan.

    Membunuh jika dipandang dari sudut agama merupakan suatu

    perbuatan yang terlarang, pembunuhan merupakan suatu perbuatan atau

    tindakan yang tidak manusiawi dan tidak berperikemanusian. Bahkan

    Allah SWT berfirman dalam Al- Quran `Surah Al- Isra’ Ayat 30 yang

    artinya:

    “dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu alasan yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya tetapi janganlah walinya melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan”

    Apabila kita melihat ke dalam KUHP, segera dapat diketahui bahwa

    pembentuk undang-undang telah bermaksud mengatur ketentuan-

    ketentuan pidana tentang kejahatan-kejahatan yang ditujukan terhadap

    nyawa orang itu dalam Buku II Bab –XIX KUHP yang terdiri dari tiga belas

    pasal, yakni dari Pasal 338 sampai Pasal 350.

  • 3

    Suatu kejahatan terkadang tidak dilakukan oleh seorang saja tapi

    juga bisa melibatkan beberapa orang untuk turut serta agar rencananya

    berbuat jahat terwujud, baik orang itu berperan sebagai orang yang

    melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doen pleger),

    orang yang turut melakukan (medepleger), maupun orang yang

    membantu melakukan (medeplichtige).

    Salah satu pembunuhan yang pernah diproses di Pengadilan Tinggi

    Negeri Makassar adalah kasus No.146/PID/2017PT.MKS dimana kasus

    tersebut sebelumnya diputus di Pengadilan Negeri Sidrap dengan perkara

    No.26/Pid.B/2017/PN.Sdr atas pembunuhan terhadap Andi Pangoriseng

    yang dilakukan oleh ketiga terdakwa yaitu Bahar Nurdin, Juma bin Musa,

    dan Anwar bin Nurdin sebagai turut serta melakukan pembunuhan.

    Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik

    untuk mengkaji lebih dalam tentang kualifikasi perbuatan penyertaan

    dalam tindak pidana pembunuhan dalam pandangan hukum pidana dan

    penerapan hukum pidana serta pertimbangan hukum hakim dalam

    menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut. Untuk itu penulis ingin

    meneliti skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Turut Serta

    Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan

    No.146/PID/2017/PT.MKS).

  • 4

    B. Rumusan Masalah

    Dari latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalahnya

    adalah sebagai berikut:

    1. Bagaimanakah kualifikasi perbuatan penyertaan dalam tindak

    pidana pembunuhan dalam pandangan hukum pidana?

    2. Bagaimanakah penerapan hukum pidana dan pertimbangan

    hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap kasus turut

    serta dalam tindak pidana pembunuhan (Studi Kasus Putusan No.

    146/PID/2017/PT. MKS)?

    C. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai

    dalam penelitian adalah :

    1. Untuk mengetahui kualifikasi perbuatan turut serta dalam tindak

    pidana pembunuhan.

    2. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana dan pertimbangan

    hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap kasus tindak

    pidana turut serta dalam pembunuhan (Studi Kasus Putusan No.

    146/PID/2017/PT.MKS)

  • 5

    D. Manfaat Penelitian

    Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai

    berikut:

    1. Diharapkan dapat menambah masukan dalam menunjang

    pengembangan ilmu khususnya bagi penulis dan mahasiswa

    fakultas hukum pada umumnya.

    2. Diharapkan menjadi bahan informasi dan referensi bagi semua

    pihak, khusunya bagi pihak yang berkompoten dalam

    mengembang tugas profesi hukum.

    3. Diharapkan dapat memberikan masukan pada semua pihak dalam

    rangka penanggulangan kejahatan pembunuhan.

  • 6

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana dan Tindak Pidana.

    1. Pengertiaan Hukum Pidana

    Istilah hukum pidana bermakna jamak. Dalam arti obyektif, yang

    sering juga disebut ius poenaele meliputi:1

    1. Perintah dan larangan, yang atas pelanggarannya atau

    pengabaiannya telah ditetapkan sanksi terlebih dahulu oleh

    badan-badan negara yang berwenang, peraturan-peraturan

    yang harus ditaati dan indahkan oleh setiap orang;

    2. Ketentuan-ketentuan yang menetapkan dengan cara apa

    atau alat apa dapat diadakan reaksi terhadap pelanggaran itu,

    dengan kata lain hukum penentiair atau hukum sanksi

    3. Kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup berlakunya

    peratura-peraturan itu pada waktu dan wilayah negara

    tertentu.

    Di samping itu, hukum pidana dipakai juga dalam arti subyektif

    yang lazim disebut ius puniendi, yaitu peraturan hukum yang

    menetapkan tentang penyidikan, lanjutan, penuntutan, penjatuhan, dan

    pelaksanaan pidana.

    1 Hazewinkel-Suringa dalam Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta,

    2010, hlm. 1.

  • 7

    Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata

    “pidana” berarti hal yang “dipidanakan”, yaitu dari instansi yang

    berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak

    enak dirasakannya dan juga hal yang hal yang tidak sehari-hari

    dilimpahkan. 2

    Tentunya ada alasan untuk melimpahkan pidana ini, dan alasan

    ini selayaknya ada hubungan dengan suatu keadaan, yang didalamnya

    seorang oknum yang bersangkutan bertindak tidak baik. Maka unsur

    “hukuman” sebagai suatu pembalasan tersirat dalam kata “pidana”.3

    Uraian Simons tentang arti hukum pidana materieel dan hukum

    pidana formieel:4

    Hukum pidana materieel mengandung petunjuk-petunjuk dan uraian tentang strafbare feiten (delik; perbuatan pidana; tindak pidana), peraturan tentang syarat-syarat strafbaarheid (hal dapat dipidananya seseorang), penunjukan orang yang dapat dipidana dan ketentuan tentang pidananya; ia menetapkan siapa dan bagaimana orang itu dapat dipidana.

    Hukum pidana formieel, mengatur tentang cara negara dengan perantara para pejabatnya menggunakan haknya untuk memidana, dan dengan demikian mengandung hukum acara pidana.

    Menurut Soedarto5:

    Hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.

    2 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta,

    2014, hlm. 1 3Ibid. 4 Zainal Abidin Farid, Op.cit., hlm.3. 5Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education, Yogyakarta, 2012, hlm. 2.

  • 8

    Selanjutnya Prof.Moelyatno, S.H mengatikan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan atuaran untuk:6

    1) menentukan perbuatan-pebuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilakukan dan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar laranga tersebut.

    2) menentukan kapan dan hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-laranagan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

    3) menentukan dengan cara bagaimana mengenai pidana itu dalam dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

    2. Pengertian Tindak Pidana

    Istilah “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit,

    yang sebenarnya istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-

    Undang Hukum Pidana (KUHP), yang sekarang berlaku di indonesia.

    Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict.

    Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat

    dikenai hukuman pidana. dan, pelaku itu dapat dikatakan merupakan

    “subjek” tindak pidana.7

    Para pakar asing Hukum Pidana menggunakan istilah Tindak

    Pidana atau Perbuatan Pidana atau Peristiwa Pidana, dengan istilah:8

    1. Strafbaarfeit adalah peristiwa pidana

    6Ibid. 7Ibid. 8 PAF Lamintang, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Jakarta,1997, hlm. 101.

  • 9

    2. Strafbare Handlung diterjemahkan dengan Perbuatan Pidana

    3. Criminal Act diterjemahkan dengan istilah Perbuatan Kriminal

    Jadi istilah Stafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau

    perbuatan yang dapat dipidana. Sedangkan delik dalam bahasa asing

    disebut delic yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat

    dikenakan hukuman.9

    Dilihat dari pengertian harfiahnya¸ Strafbaarfeit itu terdiri dari kata

    feit yang dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan

    atau engedeelte van werkelijheid, sedangkan strafbaar berarti dapat

    dihukum hingga secara harfiah kata strafbaarfet dapat dihukum.10

    Menurut Pompe:11

    “Strafbaarfeit adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.”

    Menurut Jonkers:12

    “Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang diartikan sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum (wederrechtelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan. Keterhubungan dan dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. “

    9 Amir Ilyas, Op.cit., hlm. 19. 10 PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1997,

    hlm. 181. 11 Andi Sofyan, Nur Azisa, Buku Ajar Hukum Pidana, Pustaka Pena Press, Makassar, 2016,

    hlm. 98 12 Amir Ilyas, Op.cit., hlm. 20

  • 10

    Keterhubungan dengan sifat wederrechtelijk sangatlah penting,

    sebagaimana yang dicontohkan oleh Pompe, suatu pelanggaran norma

    seperti yang telah dirumuskan dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi:

    “Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, karena bersalah telah melakukan pembunuhan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.”

    Untuk menjatuhkan suatu hukuman itu adalah tidak cukup apabila

    disitu hanya terdapat suatu Strafbaarfeit melainkan harus juga ada

    unsur strafbaar person atau seseorang yang dapat dihukum, dimana

    orang tersebut dapat dihukum apabila strafbaarfeit yang telah ia

    lakukan itu bersifat wederrechtelijk dan ia lakukan dengan sengaja

    maupun tidak sengaja .

    Hezewinkel Suringa mendefinisikan strafbaarfeit yaitu:13

    “Sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya.”

    Simons telah merumuskan yaitu:14

    “Strafbaarfeit sebagai suatu tindakan melawan hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh sesorang yang dapat dipertanggungjawabkan, berhubungan denga kesalahan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.”

    Menurut Van Hamel, menyatakan bahwa:

    13 PAF Lamintang, Op.cit., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, hlm. 190. 14 PAF Lamintang, Op.cit., hlm. 185.

  • 11

    “Strafbaarfeit itu adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan”

    Chairul Huda ternyata memiliki pandangan yang agak sedikit

    berbeda dengan pandangan pakar-pakar pada umumnya. Jika pakar-

    pakar pada umumnya telah memasukkan faktor-faktor kesalahan dan

    pertanggungjawaban pidana sebagai bagian dari pengertian tindak

    pidana, maka Chairul Huda tidak sependapat dengan itu.

    Menurutnya kesalahan adalah faktor penentu

    pertanggungjawaaban pidana, karena tidak sepatutnya menjadi definisi

    tindak pidana. Artinya apakah yang melakukan tindak pidana tersebut

    kemudian dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, sudah diluar

    konteks pengertian tindak pidana.15

    Lanjut Moeljatno mengartikan strafbaarfeit sebagai berikut:

    “strafbaarfeit itu sebenarnya adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.”16

    Moeljatno mengatakan, “apakah inkreto, yang melakukan perbuatan tadi sungguh-sungguh dijatuhi pidana atau tidak, itu sudah diluar perbuatan pidana.”

    Kesalahan adalah faktor penentu pertanggungjawaban pidana

    karena tidak sepatutnya bagian definisi tindak pidana. Artinya apakah

    15 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

    Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 26 16 Amir Ilyas. Op.cit., hlm. 19

  • 12

    yang melakukan tindak pidana tersebut kemudian

    dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, sudah diluar konteks

    pengertian tindak pidana.17

    Tindak pidana juga diartikan sebagai suatu dasar dasar yang

    pokok dalam menjatuhi pada orang yaang telah melakukan perbuatan

    pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan

    yang telah dilakukannya, tetapi sebelum itu mengenai dilarang dan

    diancamnya suatu perbuatan yaitu perbuatan pidananya sendiri,

    berdasarkan asas legalitas (principle of legality) asas yang menentukan

    bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang daan diancam dengan pidana

    jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan,

    biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum Delictum

    Nulla Poena Sine Previa Lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa

    peraturan lebih dahulu).18

    3. Unsur-Unsur Tindak Pidana

    1. Aliran doktrin terkait unsur-unsur tindak pidana

    Dalam hukum pidana dikenal dua pandangan tentang unsur

    perbuatan pidana yaitu:19

    a. Pandangan monistis

    17Chairul Huda, Op.cit., hlm. 29. 18 Amir Ilyas, Op.cit., hlm. 27. 19 Amir Ilyas,Op.cit.,hlm. 38-41

  • 13

    Pandangan monistis adalah pandangan yang melihat syarat,

    untuk adanya pidana harus mencakup dua hal yakni sifat dan

    perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip prinsip

    pemahaman, bahwa didalam pengertian perbuatan tindak

    pidana susdah tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang

    (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana/kesalahan

    (criminal responbility).

    b. Pandangan Dualistis.

    Pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan

    pertanggungjawaban pidana. Dalam tindak pidana hanya

    dicakup criminal act, dan criminal responbility tidak menjadi

    unsur pidana

    Perbedaan mendasar antara aliran monistis dan dualistis, yaitu:

    1. Aliran Monistis, unsur tindak pidana:

    a. Ada perbuatan

    b. Sifat melawan hokum

    c. Tidak ada alasan pembenar

    d. Mampu bertanggungjawab

    e. Kesalan

    f. Tidak ada alasan pemaaf

    2. Aliran Dualistis, unsur-unsur tindak pidana:

    a. Ada perbuatan

    b. Sifat melawan hukum

  • 14

    c. Tidak ada alasan pembenar

    Unsur-unsur pertanggungjawaban pidana:

    a. Mampu bertanggunjawab

    b. Kesalahan

    c. Tidak ada alasan pemaaf

    Diatas telah dibicarakan berbagai rumusan tindak pidana yang

    disusun oleh para ahli hukum. Unsur-unsur yang ada dalam tindak

    pidana adalah melihat bagaimana bunyi rumusaan yang dibuatnya.

    Unsur-unsur tindak pidana dari beberapa ahli yaitu:

    Menurut pengertian Rancangan KUHP Nasional adalah:20

    1. Unsur Formal:

    a. Perbuatan sesuatu

    b. Perbuatan itu dilakukan atau tidak dilakukan

    c. Perbuatan itu oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan

    sebagai perbuatan terlarang.

    d. Peraturan itu oleh peraturan perundang-undangan diancam

    pidana.

    2. Unsur-Unsur Materil:

    Perbuatan itu harus bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu

    harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan

    yang patut dihukum.

    20Andi Sofyan, Nur Asiza, Op.cit., hlm. 99-100

  • 15

    Menurut D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan Mr. E. PH. Sitorus

    bahwa:21

    “tidak dapat dijatuhkan pidana karena suatu perbuatan yang tidak termasuk dalam rumusan delik. Ini tidak berarti bahwa selalu dapat dijatuhkan pidana kalua perbuatan itu tercantum dalam rumusan delik. Untuk itu diperukan dua syarat: perbuatan itu bersifat melawan hukumdan dapat dicela.”

    Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah:22

    a. Perbuatan

    b. Yang dilarang (oleh aturan hukum)

    c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)

    Perbuatan manusia boleh saja dilarang, oleh aturan hukum.

    Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, tetapi tidak bisa

    dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana

    menggambarkan bahwa tidak mesti perbuaan itu dalam kenyataannya

    benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan

    pengerian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah

    orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak

    merupakan hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana.

    Menurut R. Tresna bahwa tindak pidana terdiri dari unsur-unsur:23

    a. “Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia)

    21Ibid. 22 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

    2002, hlm. 79. 23Ibid.,hlm. 80.

  • 16

    b. Yang bertentangan dengan peratuan perundang-undanagan

    c. Diadakan tindakan penghukuman”

    Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan penghukuman terdapat

    pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu

    selalu diikuti penghukuman. Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat

    yang diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak

    demikian dijatuhi pidana.

    Menurut Jonkers, bahwa unsur-unsur tindak pidana dapat dapat

    dirinci sebagai berikut:

    a. Perbuatan (yang)

    b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan)

    c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat)

    d. Di pertanggungjawabkan

    Sementara E. Y Kanter dan S.R. Sianturi, menyebutkan bahwa

    unsur-unsur tindak pidana meliputi:24

    a. Subjek

    b. Kesalahan

    c. Bersifat melawan hukum (dan tindakan)

    24 Erdianto Effend, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung,

    2011, hlm. 99.

  • 17

    d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-

    undang/ perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam

    dengan pidana

    e. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objek lainnya)

    Dari segi teoritik tindakan pidana terdiri dari unsur obyektif dan

    unsur obyektif. Unsur obyektif berkaitan dengan tindakan yang

    bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh

    hukum dilarang dengan ancaman hukuman yang dijadikan titik utama

    dari pengertian obyektif disini adalah tindakan.

    Sebaliknya unsur subyektif berkaitan dengan tindakan-tindakan

    seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat

    unsur ini mengakibatkan adanya pelaku baik seseorang maupun

    beberapa orang.25

    Menurut Satochid Kartanegara unsur delik terdiri dari atas unsur

    objektif dan subjektif. Unsur yang objektif adalah unsur yang terdapat

    diluar diri manusia, yaitu berupa:26

    a. “suatu tindakan;

    b. Suatu akibat, dan

    c. Keadaan (omstandigheid)

    25 Abdullah Marlang, Pengantar Hukum Indonesia, As Center, Makassar, 2009, hlm. 67. 26 Laden Marpuang, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, Sinar Gratifika, Jakarta, 2009,

    hlm. 10

  • 18

    Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukum oleh

    undang-undang. Unsur subyektif adalah unsur-unsur perbuatan yang

    dapat berupa:

    a. Kemampuan dapat dipertanggungjawabkan;

    b. Kesalahan (schuld);

    Yang dimaksud unsur subyektif itu adalah unsur-unsur yang

    melekat pada diri sipelaku, dan termaksud kedalam yaitu segala yang

    terkandung didalam hati, pikirannya, maksud , dan tujuannya.

    Sementara unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu

    adalah:

    a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

    b. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan seorang pegawai

    negeri dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau

    keadaan sebagai pengurus atau komisaris suatu perseroan

    terbatas didalam kejahatan menurut Pasal 389 KUHP;

    c. Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sabagai

    penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

    Dapat disimpulkan bahwa unsur objektif lebih mengarah pada

    perbuatan (actus reus) tindak pidana (criminal act) dan unsur subyektif

    lebih mengarah pembuat (mens rea) berkaitan pada

    pertanggungjawaban pidana(criminal responbility).

  • 19

    B. Tinjauan Umum Tindak Pidana Pembunuhan

    1. Pengertian Pembunuhan

    Pembunuhan adalah berasal dari kata “bunuh” yang mendapatkan

    awalan “pem” dan akhiran “an” yang menjadi “pembunuhan” dengan

    suara sengau “m” berarti “mati”. Maka pembunuhan berarti perkara

    atau perbuatan membunuh, kata bunuh berarti mematikan,

    menghilangkan nyawa. Membunuh artinya membuat supaya mati,

    pembunuhan artinya orang atau alat yang membunuh, perbuatan atau

    hal membunuh.27

    Perbuatan yang dikatakan pembunuhan adalah perbuatan oleh

    siapa saja yang sengaja merampas nyawa orang lain. Pembunuhaan

    (Belanda : doodsslag) itu diancam dengan pidana penjara paling lama

    lima belas tahun (Pasal 338 KUHPidana). Jika pembunuhan itu telah

    direncanakan terlebih dahulu, maka disebut pembunuhan berencana

    (Belanda : oord), yang diancam dengan pidana penjara selama waktu

    tertentu paling lama dua puluh tahun atau seumur hidup atau pidana

    mati.28

    Pembunuhan secara yuridis diatur dalam Pasal 338 KUHPidana,

    yang mengatakan bahwa : Barang siapa dengan sengaja

    menghilangkan nyawa orang lain, karena bersalah telah melakukan

    27 Soesilo R. Kriminologi, Politeia, Bogor, 2010, hlm. 108 28 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 129-130.

  • 20

    “pembunuuhan” dipidana dengan penjara selama-lamanya lima belas

    tahun.

    Tidak memberikan pertolongan, meskipun dengan maksud agar

    orang lain meninggal dunia, belum dapat dikatakan sebagai

    menghilangkan jiwa seseorang. Jadi harus ada suatu perbuatan

    walaupun kecil, untuk dapat menghilangkan jiwa seseorang.29

    Perbuatan itu dapat terdiri atas:

    1. Menembak dengan senjata api

    2. Memukul dengan besi

    3. Menusuk atau menikam dengan senjata tajam

    4. Mencekiki lehernya

    5. Memberikan racun

    6. Menenggelamkan, dll.

    Perbuatan ini adalah sebab, dan akibatnya dengan dilakukan

    perbuatan ini sudah harus dapat dibayangkan akibat yang timbul.

    Dikatakan melakukan tindak pidana pembunuhan dengan

    kesengajaan adalah apabila orang tersebut memang menghendaki

    perbuatan tersebut, baik atas kelakuan maupun akibat keadaan yang

    timbul karenanya. Namun juga mungkin tidak dikehendaki sama sekali

    oleh pelakunya. Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh

    29 H.A.K Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II). Alumni, Bandung, 1986, hlm. 89.

  • 21

    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku dewasa ini, telah

    disebut “pembunuhan”.30

    2. Jenis Pembunuhan Menurut KUHP

    Dalam KUHPidana, tindak pidana yang berakibat hilangnya nyawa

    orang lain adalah :

    1) Pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHPidana)

    2) Pembunuhan dengan pemberatan (Pasal 339 KUHPidana)

    3) Pembunuha berencana (Pasal 340 KUHPidana)

    4) Peembunuhan bayi oleh ibunya (Pasal 341 KUHPidana)

    5) Pembunuhan bayi berencana (Pasal 342 KUHPidana)

    6) Pembunuhan atas permintaan yang bersangkutan (Pasal 344

    KUHPidana)

    7) Membujuk/ membantu orang agar bunuh diri (Pasal 345

    KUHPidana)

    8) Pengguguran kandungan dengan izin ibunya (Pasal 346

    KUHPidana)

    9) Pengguguran kandungan tanpa izin ibunya (Pasal 347

    KUHPidana)

    10) Matinya kandungan dengan izin perempuan yang

    mengandungnya (Pasal 384 KUHPidana)

    11) Dokter/ bidan/ tukang obat yang membantu pengguguran/

    matinya kandungan (Pasal 349 KUHPidana)

    30 Lamintang, Op.cit., hlm. 10

  • 22

    12) Matinya seseorang karena kealpaan (Pasal 349 KUHPidana)

    Dalam perbuatan menghilangkan nyawa terdapat tiga syarat yang

    harus dipenuhi, yaitu:

    1) Ada wujud perbuatan

    2) Adanya kematian

    3) Adanya hubungan sebab akibat perbuatan dan kematian.

    Berdasarkan unsur tindak pidana pembunuhan dapat dibedakan

    menjadi:

    a) Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok diatur dalam Pasal

    338 KUHP yang merumuskan bahwa:

    “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”

    b) Pembunuhan yang disertai, diikuti, atau didahului dengan

    tindak pidana lain. Delik ini diatur dalam Pasal 339 KUHP yang

    merumuskan bahwa:

    Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh suatu tindak pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya atau melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana bila tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diporolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

    Pada pembunuhan pasal 339 KUHPidana merumuskan

    bentuk khusus pembunuhan yang diperberat. Dalam

    pembunuhan yang diperberat ini terdapat 2 (dua) macam tindak

  • 23

    pidana sekaligus, yaitu tindak pidana pembunuhan biasa dan

    tindak pidana lain.

    c) Pembunuhan berencana

    Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 340 KUHPidana yang

    merumuskan sebagai berikut :

    Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

    Ancaman pidana pada pembunuhan berencana ini lebih

    berat dari pidana pembunuhan yang diatur dalam Pasal 338

    KUHP dan 339 KUHP bahkan merupakan pembunuhan dengan

    ancaman pidana paling berat, yaitu pidana mati, dimana sanksi

    pidana mati ini tidak tertera pada kejahatan terhadap nyawa

    lainnya, yang menjadi dasar beratnya hukuman ini adalah

    karena adanya perencanaan terlebih dahulu. Selain diancam

    dengan pidana mati, pelaku tindak pembunuhan berencana

    juga dapat dipenjara seumur hidup atau selama waktu tertentu

    paling lama dua puluh tahun.

    3. Unsur- Unsur Tindak Pidana Pembunuhan Biasa

    Pembunuhan biasa yang terdapat dalam Pasal 338 KUHPidana

    yaitu :

  • 24

    “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama liam belas tahun.”

    Dalam ketentuan Pasal 338 KUHPidana tersebut, maka unsur-

    unsur dalam pembunuhan biasa adalah sebagai berikut:

    a. Unsur subyektif : perbuatan dengan sengaja

    b. Unsur obyektif : perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang

    lain.

    Dalam perbuatan menghilangkan nyawa orang lain terdapat tiga

    syarat yang harus dipenuhi, yaitu :

    1. Adanya wujud perbuatan

    2. Adanya suatu kematian (orang lain)

    3. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara

    perbuatan dan akibat kematian (orang lain).

    Adanya unsur subjektif sengaja dengan wujud perbuatan

    menghilangkan nyawa terdapat syarat yang harus juga dibuktikan

    adalah pelaksanaan perbuatan nyawa orang lain harus tidak lama sejak

    timbulnya atau terbentuknya kehendak untuk membunuh dengan

    pelaksanaannya, dimana dalam tenggang waktu yang cukup lama itu

    petindak dapat memikirkan tentang berbagai hal, misalnya memikirkan

    apakah kehenaknya itu akan diwujudkan dalam pelaksanaan ataukah

    tidak, dengan cara apa kehendak itu akan diwujudkan. Maka

  • 25

    pembunuhan itu masuk kedalam pembunuhan berencana (Pasal 340

    KUHPidana), dan bukan pembunuhan biasa.

    Apabila kita melihat ke dalam rumusan ketentuan pidana menurut

    Pasal 338 KUHPidana, segera dapat dilihat bahwa kata opzettejlijk atau

    dengan sengaja itu terletak didepan unsur menghilangkan nyawa orang

    lain, ini berati bahwa semua unsur yang terletak dibelakang kata

    opzettelijkitu juga diliputi opzet. Artinya semua unsur tersebut oleh

    penuntut umum harus didakwakan terhadap terdakwa dan dengan

    sendirinya harus dibuktikan disedang pengadilan, bahwa opzet dari

    terdakwa juga telah ditujukan pada unsur-unsur tersebut. Atau dengan

    kata lain penuntut umum harus membuktika bahwa terdakwa:

    1. Telah menghendaki (willenss) melakukan tindakan yang

    bersangkutan dan telah mengetahui (wetens), bahwa tindakannya

    itu bertujuan untuk menghilangkan nyawa orang lain.

    2. Telah menghendaki bahwa yang akan dihilangkan itu adalah

    nyawa, dan

    3. Telah mengetahui bahwa yan akan dihilangkaan itu ialah nyawa

    orang lain.

    Unsur dengan sengaja (dolus/opzet) merupakan suatu yang

    dikehendaki (willens) dan diketahui (wetens). Dalam doktrin,

    berdasarkan tingkat kesengajaan terdiri dari tiga (3) bentuk, yakni ;

    1) Kesengajaan sebagai maksud (opzet aalls oogmeerk)

  • 26

    2) Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zakerheidsbewustzjin)

    3) Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij

    mogelijkheidsbewutszjin atau dolus aventualis)

    Berdasarkan pandangan bahwa unsur opzettelijk bila dicantumkan

    dalam rumusan tindak pidana, maka pengertian opzettelijk itu harus

    diartikan termasuk kedalam 3 (tga) bentuk kesengajaan. Pandangan ini

    sesuai dengan praktik hukum yang dianut selama ini.

    Adapun unsur menghilangkan jiwa orang lain yang dimaksud

    adalah:

    Hilangnya jiwa seseorang harus dikehendaki, harus menjadi

    tujuan. Suatu perbuatan dilakukan dengan maksud atau tujuan atau

    niat untuk menghilangkan jiwa seseorang. Timbulnya akibat dari

    hilangnya jiwa seseorang tanpa dengan sengaja atau bukan menjadi

    tujuan atau maksud, tidak dapat dinyatakan sebagai pembunuhan. Jadi

    dengan sengaja berarti mempunyai maksud atau niat atau tujuan

    menghilangkan jiwa seseorang.31

    Perbuatan menghilangkan nyawa dirumuskan dalam bentuk aktif

    dan abstrak. Bentuk aktif artinya mewujudkan perbuatan itu harus

    dengan gerakan dari sebagaian anggota tubuh, tidak boleh diam atau

    pasif. Disebut abstrak karena perbuatan ini tidak menunjukkan bentuk

    konkrit perbuatan itu dapat beraneka macam wujudnya seperti

    31H.A.K Moch Anwar, Op.cit., hlm. 89.

  • 27

    menembak, memukul, membacok, dan lain sebagainya yang tidak

    terbatas banyaknya.

    C. Tinajaun Umum Tentang Penyertaan (Deelneming)

    1. Pengertian Penyertaan (Deelneming)

    Secara umum penyertaan dapat diartikan sebagai suatu

    perbuatan (tindak pidana) yang dilakukan lebih dari satu orang. Kata

    penyertaan berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu

    seseorang lain melakukan tindak pidana.

    Menurut Satichid Kartanegara32 mengartikan :

    “bahwa deelneming apabila dalam satu delik tersangkut beberapa orang atau lebih dari satu orang”

    Menurut S.R Sianturi33, mengatakan :

    “deelneming ialah ada dua orang atau lebih yang melakukan

    suatu tindak pidana atau dengan lain perkataan ada dua orang

    atau lebih mengambil bahagian untuk mewujudkan suatu tindak

    pidana.”

    Sedangkan menurut Mulyatno34, berpendapat bahwa :

    “ada penyertaan apabila bukan satu orang saja yang tersangkut dalam terjadinya perbuatan pidana akan tetapi beberapa orang.

    32 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2010, hlm. 105. 33 Amir Ilyas, Op.cit. hlm. 54. 34 Iibid. Hlm. 55.

  • 28

    Tersangkutnya dua orang atau lebih dalam suatu tindak pidana dapat terjadi dalam hal :

    a. Beberapa orang bersama-sama melakukan suatu delik, atau

    b. Mungkin hanya seorang saja yang berkehendak (berniat) dan

    merencanakan delik tetapi delik tersebut tidak dilakukannya

    tetapi ia mempergunakan orang lain mewujudkan delik

    tersebut, atau

    c. Mungkin seorang saja yang melakukan delik sedang orang lain

    membantu orang itu dalam mewujudkan delik.

    Dalam lapangan ilmu hukum pidana (doktrin), deelneming

    menurut sifatnya terdiri atas:35

    a. Deelneming yang berdiri sendiri

    b. Deelneming yang tidak berdiri sendiri

    Pembagian ini didasarkan pada sifat pertanggungjawaban antara

    para peserta. Apabila deelneming yang berdiri sendiri,

    pertanggungjawaban dari setiap peserta dihargai sendiri-sendiri.

    Sedangkan bentuk deelneming yang tidak berdiri sendir atau biasa

    disebut accessoire deelneming pertanggungjawaban dari para peserta

    yang satu digantungkan kepada perbuatan peserta yang lain. Apabila

    35 hlm.429.

  • 29

    oleh peserta yang lain dilakukan sesuatu perbuatan yang dapat

    dihukum maka peserta yang satu juga dapat dihukum.36

    2. Jenis-Jenis Penyertaan (Deelneming)

    Dasar hukum penyertaan telah diatur dalam Pasal 55 dan Pasal

    56 KUHPidana yang rumusannya sebagai berikut :

    Pasal 55 :

    Dipidana sebagai pelaku tindak pidana :

    1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;

    2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

    Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang disengaja dianjurkan

    sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

    Pasal 56 KUHPDipidana sebagai pembantu kejahatan:

    1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan

    2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

    Oleh kedua pasal ini diadakan lima golongan peserta tindak

    pidana, yaitu :

    a. Yang melakukan perbuatan (pleger, dader)

    36 Nur Asizah dkk., Hukum Pidana Materiil dan Formil,(Usaid, The Asia Foundation, dan

    Kemitraan Patnership), Jakarta,hlm: 429.

  • 30

    Menurut Badar Nawawi Arief37

    “pleger adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik.”

    Pelaku (pleger, dader), merupakan orang yang mewujudkan

    suatu peristiwa pidana secara sempurna. Jadi sebagai pembuat

    adalah orang yang melakukan peristiwa pidana seorang diri telah

    berbuat mewujudkan semua unsur-unsur atau elemen dari tindak

    pidana.

    b. Yang menyuruh melakukan perbuatan (doenpleger, midelijke

    dader)

    Doenpleger adalah terwujudnya menyuruh melakukan apabila

    seseorang mempunyai kehendak untuk melakukan suatu tindak

    pidana tetapi seseorang yang mempunyai kehendak itu tidak mau

    melakukan perbuatan sendiri, tetapi mempergunkan orang lain

    yang disuruhnya untuk melakukan tindak pidana tersebut.

    Menurut R. Soesilo:38

    “Disini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri peristiwa tindak pidana, akan tetapi menyuruh orang lain, disuruh (pleger) itu harus hanya merupakan suatu alat (instrumen) saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya”

    37Ibid. Hlm. 60. 38 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor, 1998, hlm. 73.

  • 31

    Perumusan Moeljatno menjelaskan pengertian doenplegen

    sebagai berikut:39

    Apabila seseoang mempunyai kehendak untuk melaksanakan

    suatu perbuatan pidana, akan tetapi sesorang yang mempunyai

    kehendak itu tidak mau melakukannya sendiri, tetapi

    mempergunakan orang lain untuk disuruh melakukannya. Dan

    sebagai syarat orang yang disuruh itu harus orang yang tidak

    dapat dipidana.

    c. Yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader)

    Turut melakukan dalam arti kata yaitu bersama-sama

    melakukan perbuatan yang memenuhi semua rumusan tindak

    pidana yang bersangkutan.

    Menurut Hazewinkel-Suringa40, mengemukakan bahwa:

    “Dua syarat bagi adanya turut melakukan tindak pidana yaitu: kesatu, kerjasama yang disadari antara para turut pelaku, yang merupakan suatu kehendak bersama diantara meraka; kedua, mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu.”

    d. Yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitloken, uitloker).

    Menurut Barda Nawawi Arief41:

    “Pembujukan ialah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang”

    39Nur Asiza dkk.,Op.cit.,hlm.234. 40 Wirjono Projodikoro, Op.cit., hlm. 123. 41 Amir Ilyas, Op.cit., hlm. 85.

  • 32

    Membujuk diisyaratkan harus terdapat dua orang atau lebih ,

    yaitu orang yang membujuk dan yang dibujuk. Perbedaannya

    hanya ada pada orang yang dibujuk itu dapat dihukum sebagai

    pelaku (pleger) sedangkan orang yang suruh itu tidak dapat

    dihukum.

    e. Yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige)

    Dalam hal pembantuan diatur dalam tiga Pasal, ialah Pasal 56,

    57, dan 60 KUHPidana. Pasal 56 merumuskan tentang unsur

    obyektif dan subyektif pembantuan serta macamnya bentuk

    pembantuan. Sedangkan Pasal 57 merumuskan tentang batas

    luasnya pertanggungjawaban bagi pembantu, Pasal 60 mengenai

    penegasan pertanggungjawaban pembantuan itu, hanyalah pada

    pembantuan, dalam hal kejahatan, dan tidak dalam hal

    pelanggaran.

    D. Pemidanaan dan Jenis-Jenis Pidana

    1. Pemidanaan.

    a. Pengertian Pemidanaan.

    Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi

    dan tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana”

  • 33

    pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan”

    diartikan sebagai penghukuman.42

    b. teori-teori tujuan pemidanaan

    1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldingf theorien)

    Aliran ini yang menganggap sebagai dasar hukum pidana

    adalah alam pikir untuk pembalasan (vergelding atau vergeltung).

    Teori ini dikenal pada akhir abad 18 yang mempunyai pengikut-

    pengikut seperti Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, dan Leo

    Polak.

    Menurut Kant:43

    Pembalasan atas perbuatan melawan hukum adalah suatu syarat mutlak menurut hukum dan keadilan, hukuman mati terhadap penjahat yang melakukan pembunuhan berencana mutlak dilakukan.

    Menurut Stahl mengemukakan bahwa:44

    Hukum adalah suatu atauran yang bersumber pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui pemerintahan Negara sebagai abdi atau wakil Tuhan di dunia ini., karena itu negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum dengan cara setiap pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan pidana terhadap pelanggarnya.

    Lebih lanjut, Hegel berpendapat bahwa:45

    42Ibid.hlm.95. 43Ibid. Hlm. 98. 44 Adamai Chazawi, Op.cit.,hlm.155. 45Ibid.,hlm.156.

  • 34

    Hukum atau keadilan merupakan suatu kenyataan (sebagai these). Jika seseorang melakukan kejahatan atau penyerangan terhadap keadilan, maka ia mengingkari adanya hukum (anti these), oleh karena itu jarus diikuti oleh suatu pidana berupa ketidakadilan bagi pelakunya(syinthese) atau mengembalikan suatu keadilan atau kembali tegaknya hukum (these)

    2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)

    Teori ini memberikan dasar pikiran bahwa dasar hukum dari

    pidana adalah terletak pada tujuan pidana itu sendiri. Oleh karena

    pidana itu mempunyai tujuan-tujuan tertentu, maka disamping

    tujuan lainnya terdapat pula tujuan pokok berupa

    mempertahankan ketertiban masyarakat (de handhaing der

    maatshappeelijkeorde).

    Mengenai cara mencapai tujuan itu ada beberapa paham yang

    merupkan aliran-aliran dari teori tujuan, yaitu:46

    a. Prevensi khusus adalah bahwa pencegahan kejahatan

    melalui pemidanaan dengan maksud mempengaruhi tingkah

    laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi.

    Pengaruhnya ada pada diri terpidana itu sendiri dengan

    harapan agar si terpidana dapat berubah menjadi orang

    yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat.

    b. Prevensi umum bahwa pengaruh pidana adalah untuk

    mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat untuk tidak

    melakukan tindak pidana

    46 Amir Ilyas, Op.cit.,hlm.99.

  • 35

    3. Teori Gabungan (verenigingstheorien)

    Disampin teori absolut dan teori relatif tentang pemidanaan,

    muncul teori ketiga yang disatu pihak mengakui adanya unsur

    pembalasan dalam hukum pidana, akan tetapi dipihak lain juga

    mengakui unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap

    pidana. Teori ketiga ini muncul karena terdapat kelemahan dalam

    teori absolut dan teori relatif, kelemahan dari kedua teori tersebut

    adalah:47

    Kelemahan teori absolut adalah :

    a. Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada

    pembunuhan tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi

    pidana mati, melainkan harus dipertimbangkan berdasarkan

    alat-alat bukti yang ada.

    b. Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk

    pembalasan, maka mengapa hanya negara saja yang

    memberikan pidana

    Kelemahan teori relatif adalah :

    a. Dapat menimbulkan ketidakadilan pula. Misalnya untuk

    mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka

    mungkin pelaku kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang

    47Ibid. hlm. 101

  • 36

    berat sekedar untuk menakut-nakuti saja, sehingga menjadi

    tidak seimbang. Hal mana bertentangan dengan keadilan.

    b. Kepuasan masyarakat diabaikan, misalnya jika tujuan itu

    semata-mata untuk memperbaiki si penjahat, masyarakat

    yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan

    c. Sulit dilaksanakan dalam praktik. Bahwa tujuan mencegah

    kejahatan dengan jalan menakut-nakuti dalam praktik sulit

    dlaksanakan. Misalnya terhadap residivis.

    2. Jenis- Jenis Pidana

    Jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Jenis pidana ini

    berlaku juga bagi delik yang tercantum diluar KUHP, kecuali ketentuan

    undang-undang itu menyimpang (Pasal 103 KUHP). Jenis pidana

    dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana

    tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan, kecuali dalam

    hal tertentu.

    Pidana itu adalah sebagai berikut.

    1. Pidana Pokok:

    a) Pidana mati

    b) Pidana penjara

    c) Pidana kurungan

    d) Pidana denda

  • 37

    e) Pidana tutupan (KUHP terjemahan BPHN, berdasarkan

    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946)

    2. Pidana Tambahan:

    a) Pencabutan hak-hak tertentu

    b) Perampasan barang-barang tertentu

    c) Pengumuman putusan hakim

    Dalam ketentuan dalam Pasal 10 KUHP tersebut, jelaslah bahwa

    stelsel pidana kita menurut KUHP dibedakan dalam pidana pokok dan

    pidana tambahan. Disaamping itu urut-urutan dari pidana ini mulai dari

    yang terberat ke yang lebih ringan. Pidana pokok jelas lebih berat dari

    pidana tambahan. Pidana tambahan biasanya hanya ditambahkan

    pada salah satu pidana pokok, jadi bersifat imperatif.

    Selanjutnya untuk mengetahi lebih jelas mengenai jenis-jenis

    pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, maka akan diuraikan

    sebagai berikut :

    1. Pidana Pokok

    a. Pidana Mati

    Jenis pidana ini merupakan pidana yang terberat, pidana

    yang paling banyak mendapatkan sorotan dan perbedaan

    pendapat. Adapun pengertian pidana mati yaitu hukuman atau

  • 38

    vonis yang dijatuhkan pengadilan sebagi bentuk hukuman terberat

    yang dijatukan atas seseorang akibat perbuatan jahatanya.48

    Sebagaimana yang ditentukan Pasal 11 KUHP yaitu:

    “Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”

    Apabila terpidana dijatuhi hukuma mati, maka eksekusi

    putusan akan dilaksanakan setelah mendapatkan fia eksekusi dari

    Presiden (Kepala Negara) berupa penolakan grasi walaupun

    seandainya terpidana tidak mengajukan permohonan grasi.

    Dengan demikian pidana mati harus dengan Keputusan Presiden

    sekalipun terpidana menolak atau memohan pengampunan atau

    grasi dari presiden. Pidana mati ditunda jika terpidana sakit jiwa

    atau wanita yang sedang hamil dengan ketentuan dalam Undang-

    Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang megatakan

    pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan memperhatikan

    kemanusian.49

    b. Pidana Penjara

    Menurut A. Hamzah menegaskan bahwa:50

    48 A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan,

    penyertaan, dan Gabungan Delik)dan Hukum Penitenssier, PT Raja Graffindo Persada, Jakarta,2006, hlm. 283.

    49 Amir Ilyas, Oo.cit., hlm. 109-110 50 Andi Hamz0ah, 1993, Sistem Pidana dan Pemidaaan di Indonesia, Pradya Paramita,

    Jakarta, 1993, hlm. 36.

  • 39

    “Pidana penjara merupakan bentuk pidana yang merupakan kehilangan kemerdekaan.” Pidana penjara atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan”.

    Menurut A. Hamzah:51

    Pidana penjara disebut pidana kehilangan kemerdekaan, bukan saja dalam sarti sempit bahwa ia tidak merdeka bepergian tetapi juga narapidana itu kehilangan hak-hak seperti : 1) Hak untuk memilih dan dipilih (lihat Undang-Undang Pemilu).

    Dinegara liberal sekalipun demikian halnya. Alasannya ialah agar kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari unsur-unsur immoral dan perbuatan-perbuatan yang tidak jujur;

    2) Hak untuk memangku jabatan publik. Alsannya ialah agar publik bebas dari perlakuan manusia yang tidak baik;

    3) Hak untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan. Dalam hal ini telah di praktikkan pengendoran dalam batas-batas tertentu;

    4) Hak untuk mendapatkan perizinan-perizinan tertentu, misalnya saja izin usaha, izin praktik (dokter, pengacara, notaris, dll);

    5) Hak untuk megadakan asuransi hidup; 6) Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan. Pemenjaraan

    merupakan salah satu alasan untuk meminta perceraian menurut hukum perdata;

    7) Hak untuk kawin, meskipun ada kalanya seseorang kawin sementara menjalani pidana penjara, namun itu merupakan keadaan luar biasa dan hanya bersifat formalitas belaka, dan

    8) Beberapa hak sipi lain.

    c. Pidana Kurungan

    Sifat pidana kurungan pada dasarnya sama dengan pidana

    penjara, keduanya merupakan jenis pidana perampasan

    kemerdekaan. Pidana kurungan membatasi kemerdekaan

    bergerak dari seorang terpidana dengan mengurung orang

    tersebut di dalam sebuah lembaga kemasyarakatan.

    51Ibid, hlm. 38.

  • 40

    Menurut Pasal 18 KUHP, bahwa :

    “Paling sedikit satu hari dan paling lama setahun, dan jika ada pemberatan karena gabungan atau pengulangan atau karena ketentuan Pasal dapat ditambaha menjadi satu tahun empat bulan. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih satu tahun empat bulan”.

    Menurut Jonkers Perbedaan lain dengan pidana penjara,

    ialah:52

    1. Bahwa dalam hal pelaksanaan pidana, terpida kurungan

    tidak dapat dipindahkan ke tempat lain di luar tempat dia

    berdiam pada waktu eksekusi. Ketentuan ini dipandang lebih

    ringan bagi orang Indonesia karena bagi mereka pindah

    ketempat lain dipandang berat, jauh dari sanak saudara dan

    handai taulan. (Pasal 21 KUHP)

    2. Pekerjaan terpidana kurungan lebih ringan dari pekerjaan

    yang diwajibkan kepada terpidana penjara. (Pasal 19 ayat

    (2))

    3. Orang yang dipidana kurungan boleh memperbaiki nasibnya

    dengan biaya sendiri (Pasal 23 KUHP). Lembaga yang diatur

    dalam Pasal ini terkenal dengan nama pistole. Istilah ini

    berasal dari bahasa Perancis yang merupakan mata uang

    Peracis dahulu.

    d. Pidana Denda

    52Ibid., hlm. 293.

  • 41

    Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua dari

    pidana penjara. Mungkin setua dengan pidana mati dan

    pengasingan. Pidana denda terdapat pada setiap masyarakat

    primitif pula. Pidana denda dikenal pula pada zaman Majapahit.

    Begitu pula pelbagi masyarakat primitif dan tradisional Indonesia.

    Perbedaan denda dalam hukum pidana dan perdata:

    a) Pidana denda mempunyai sifat perdata, mirip dengan

    pembayaran yang diharuskan dalam perkara perdata terhadap

    orang yang melakukan perbuatan yang merugikan oranag lain.

    Perbedaannya adalah denda dalam perkara pidana dibayarkan

    kepada negara atau masyarakat, sedangkan dalam perkara

    perdata kepada orang pribadi atau badan hukum.

    b) Denda dalam perkara pidana dapat diganti dengan pidana

    kurungan jika tidak dibayar.

    c) Denda tidaklah diperhitungkan oleh suatu perbuatan

    sebagaimana dalam perkara perdata.

    d) Pidana denda tetap dijatuhkan walaupun terpidana telah

    membayar ganti kerugian perdata kepada korban.

    2. Pidana Tambahan

    Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat menambah

    pidana pokok yang dijatuhkan, tidaklah dapat berdiri sendiri kecuali

    dalam hal-hal tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu.

  • 42

    Pidana tambahan ini bersifat fakultif, artinya dapat dijatuhkan tetapi

    tidak harus.

    Menurut Hermin Hardiati bahwa ketentuan pidana tambahan ini

    berbeda dengan ketentuan bagi penjatuhan pidana pokok, ketentuan

    tersebut adalah:53

    1. Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan disamping pidana

    pokok. Artinya, pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan

    sebagai pidana satu-satunya.

    2. Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila di dalam

    rumusan suatu perbuatan pidana dinyatakan dalam tegas

    sebagai ancaman, berati bahwa pidaana tambahan tidak

    diancamkan.

    3. Pada setiap jenis perbuatan pidana, akan tetapi hanya

    diancamkan kepada beberapa perbuatan pidana tertentu.

    4. Walaupun diancam secara tegas di dalam perumusan suatu

    perbuatan pidana tertentu, namun sifat pidana tambahan ini

    hanya bersifat fakultatif. Artinya, diserahkan kepada hakim

    untuk menjatuhkan atau tidak.

    a. Pencabutan Hak-HakTertentu

    Menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang

    dapat dicabut oleh hakim dalam suatu putusan pengadilan adalah:

    53 Amir Ilyas, Op.cit., hlm. 114-115.

  • 43

    1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang

    tertentu;

    2. Hak untuk memasuki angkatan bersenjata;

    3. Hak memilih dan dipilih dalam pemiihan yang diadakan

    berdasarkan aturan-aturan umum;

    4. Hak menjadi penasehat atau pengurus atas penetapan

    pengadilan , hak menjadi wali, wali pengawas,pengampu

    atau pengampu pengawasan atas orang yang bukan anak

    sendiri;

    5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan

    perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;

    6. Hak menjalankan mata pencarian tertentu;

    Dalam hal dilakukannya pencabutan hak, Pasal 38 ayat (1)

    KUHP mengatur bahwa hakim menentukan lamanya pencabutan

    hak sebagai berikut:

    1) Dalam hal pidana mati atau penjara seumur hidup, maka

    lamanya pencabutan adalah seumur hidup.

    2) Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana

    kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan

    paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya.

    3) Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit

    dua tahun dan paling banyak lima tahun.

  • 44

    Pencabutan hak itu mulai berlaku pada hari putusan hakim

    dapat dijalankan. Dalam hal ini hakim tidak berwenang memecat

    seorang pejabat dari jabatan jika dalam aturan-aturan khusus

    ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.

    b. Perampasan Barang-Barang Tertentu

    Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan

    jenis pidana harta kekayaan, seperti halnya denngan pidana

    denda. Ketentuan mengenai perampasan barang-barang tertentu

    terdapat dalam Pasal 39 KUHP yaitu:

    1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diporoleh dari

    kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan

    kejahatan, dapat dirampas;

    2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak

    dilakukan dengan sengaja atau pelanggaran, dapat juga

    dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang

    telah ditentukan dalam undang-undang;

    3) Perampasan dapat dilakukan terhadp orang yang bersalah

    yang diserahkan kepada pemerintah , tetapi hanya atas

    barang-barang yang telah disita.

    Perampasan atas barang-barang yang tidak disita

    sebelumnya diganti menjadi pidana kurungan apabila barabg-

    barang itu tidak diserahkan atau harganya menurut taksiran dalam

  • 45

    putusan hakim tidak dibayar. Kurunganpengganti itu paling sedikit

    satu hari dan paling lama enam bulan. Kurungan pengganti ini

    juga dihapus jika barang-barang yang dirampas diserahkan.

    c. Pengumuman Putusan Hakim

    Pengumuman putusan hakim diatur dalam Pasal 43 KUHP

    yang mengatur bahwa:

    “apabila hakim memerintahkan agar putusan diumumkan berdasarkan kitab undng-undang ini atau aturan hukum lainnya, harus ditetapkan juga bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan pengumuman putusan hakim hanya dapat dijatuhkan dalamhal-hal yang ditentukan undang-undang.”

    Pidana tambahan pengumuman putusan hakim ini

    dimaksudkan terutama untuk pencegahan agar masyarakat

    terhindar dari kelihaian busuk atau kesembronoan seorang

    pelaku. Pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila

    secara tegas ditentukan berlaku untuk pasal-pasal tindak pidana

    tertentu.

  • 46

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    A. Lokasi Penelitian

    Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan berkaitan

    atau relevan dengan permasalahan yang dibahas, guna mempermudah

    pembahasan dan penyelesaian penulisan, maka penulis melakukan

    penelitian yang berlokasi di Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan di

    Makassar serta di tempat-tempat yang ada hubungannya dengan

    permasalahan yang akan ditulis. Seperti Perpustakaan Fakultas Hukum

    Universitas Hasanuddin, dan Perpustakaan Pusat Universitas

    Hasanuudin.

    B. Jenis dan Sumber Data

    Dalam mengumpulkan data dan informsi yang diperlukan penulis

    dalam penelitian ini , data yang diperoleh dapat digolongkan kedalam dua

    jenis, yaitu :

    a) Data Primer

    Data primer, yaitu pengumpulan data melalui penelitian lapangan

    (field resarch) terutama dengan menggunakan metode wawancara

    yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Dalam hal ini

    diwawancarai adalah pejabat dari instansi yang terkait, yakni

    Hakim di Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat.

  • 47

    b) Data Sekunder

    Data sekunder, yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui

    penelitian kepustakaan (library research) terutama melalui

    penelusuran buku-buku, laporan-laporan, penelitian dan naskah

    ilmiah, lainnya serta informasi dari pejabat instansi yang

    berwenang.

    C. Teknik Pengumpulan Data

    Sehubungan dengan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan

    metode penelitian sebagai berikut :

    a) Wawancara

    Dilakukannya dengan menggunakan pengamatan secara langsung

    di lapangan yang berhubungan dengan materi yang dibahas dan

    mengadakan interview yang bersifat terbuka dengan pihak yang

    terkait.

    b) Studi dokumentasi

    Dengan jalan mengumpulkan data, membaca, dan menelaah

    beberapa literatur, buku, koran, serta peraturan perundang-

    undangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti untuk

    mendapatkan data sekunder.

  • 48

    D. Analisis Data

    Data yang diporoleh dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis

    secara kualitatif yaitu analisis yang menggambarkan keadaan-keadaan

    yang nyata dari obyek yang akan dibahas dengan pendekatan yuridis

    mendiskripsikan data yang diperoleh dalam bentuk wawancara

    selanjutnya diberi penafsiran dan kesimpulan.

  • 49

    BAB IV

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    A. Kualifikasi Bentuk Penyertaan Dalam Pembunuhan.

    Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang

    ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur dalam Buku II Bab XIX, yang

    terdiri dari 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai Pasal 350. Adapun tindak

    pidana pembunuhan biasa diatur dalam Pasal 338 yang rumusannya

    sebagai berikut:

    “Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selaama-lamanya lima belas tahun”

    Jadi untuk memenuhi perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 338

    KUHP maka harus memenuhi unsur-unsur pembunuhan dari pasal itu

    sendiri yaitu unsur barangsiapa, menghilangkan jiwa seseorang, dan

    dengan sengaja.

    Namun dalam prakteknya pada peristiwa pembunuhan sering

    melibatkan beberapa peserta diluar pelaku materilnya, namun mereka ini

    tidak memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana pembunuhan sehingga

    sulit untuk menjerat mereka misalnya saja orang yang menyuruh orang

    lain untuk membunuh atau mereka yang mempermudah perbuatan

    tersangka melakukan aksinya, oleh karena itu dalam Buku I Peraturan

    Umum Bab V Pasal 55 dan 56 KHUP diatur Penyertaan dalam tindak

    pidana sehingga dapat menjerat para peserta lainnya yang turut andil

  • 50

    dalam tindak pidana pembunuhan sesuai dengan kualifikasi peserta

    meskipun sepenuhnya tidak memenuhi semua unsur-unsur yang

    dimaksud dengan menjuntohkan Pasal 338 dengan Pasal 55 atau 56

    KUHP.

    Bentuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam Pasal 55

    dan 56 KUHP. Pasal 55 mengenai golongan yang disebut mededader

    (disebut para peserta, atau para pembuat), dan Pasal 56 mengenai

    medeplichtige (pembuat pembantu). Adapun kualifikasi peyertaan dalam

    tindak pidana pembunuhan akan dijelaskan sebagai berikut.

    1. Orang yang melakukan (pembuat pelaksana : Pleger)

    Seorang pleger itu adalah orang yang karena perbuatannya yang

    melahirkan tindak pidana itu , tanpa ada perbuatan pelaksana ini tindak

    pidana itu tidak akan terwujud, maka dari sudut pandang ini seorang

    pleger harus sama dengan syarat seorang dader. Perbuatan seorang

    pleger juga harus memenuhi semua unsur tindak pidana dader.

    Perbedaannya dengan dader adalah, bagi seorang pleger masih

    diperlukan keterlibatan minimal seorang lainnya, baik secara psikis,

    misalnya teribat dengan seorang pembuat penganjur; atau terlibat

    secara fisik, misalnya dengan pembuat peserta atau pembuat

    pembantu. Jadi seorang pleger diperlukan sumbangan dari peserta

    lain dalam mewujudkan tindak pidana. Tetapi keterlibatan dalam hal

    sumbangan peserta lain ini, perbuatannya haruslah sedemikian rupa

  • 51

    sehingga perbuatannya tidak semata-mata untuk menentukan untuk

    terwujudnya tindak pidana yang dituju.54

    Dalam tindak pidana pembunuhan yang merupakan tindak pidana

    materiil yang dilihat adalah akibat dari perbuatannya menyebabkan

    nyawa orang lain meninggal, maka seorang pleger adalah orang yang

    secara sadar karena perbuatanya menyebabkan hilangnya nyawa

    orang lain.

    2. Mereka yang menyuruh melakukan (pembuat penyuruh:Doen

    Pleger)

    Dalam MvT WvS Belanda, yang menyatakan bahwa:

    “yang menyuruh melakukan adalah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi secara tidak pribadi, melainkan dengan perantaraan orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajannya, kealpaan atau tanggung jawab karena kedaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada kekerasan.”

    Dari keterangan MvT itu dapat ditarik unsur-unsur dari bentuk

    pembuat penyuruh, yaitu:55

    a. Melakukan tindak pidana melalui perantara orang lain sebagai

    alat didalam tangannya.

    b. Orang itu berbuat

    54 Adami Chazawi,Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan, Raja

    Grafindo Pustaka, Jakarta, 2002,hlm : 86-87

    55Ibid.,hlm.88

  • 52

    1. Tanpa kesengajaan;

    2. Tanpa kealpaan;

    3. Tanpa tanggung jawab oleh sebab keadaan:

    a) Yang tidak diketahuinya

    b) Karena disesatkan

    c) Karena tunduk pada kekeraasan.

    Dari keterangan MvT tersebut dapatlah disimpulkan tentang

    pembuat penyuruh, pastilah dia yang menguasai orang lain, sebab

    orang lain itu sebagai alat, orang inilah yang sesungguhnya

    mewujudkan tindak pidana. Sedangkan pembuat penyuruhnya tidak

    melakukan sesuatu perbuatan aktif, perbuatan pelaku penyuruh tidak

    melahirkan tindak pidana. Oleh karena orang lain itu sebagai alat, maka

    orang yang disuruh melakukan itu disebut Manus Minestra. Sedangkan

    pembuat penyuruhnya yang menguasai orang lain sebagai alat, maka

    orang yang berkualitas demikian disebut dengan Manus Domina yang

    dalam doktrin sering disebut dengan middelijke dader (pembuat tidak

    langsung)

    Menurut Molejatno, kemungkinan-kemungkinan tidak dapat

    dipidananya orang yang disuruh, karena:56

    a. Tidak mempunyai kesengajaan, keaalpaan, ataupun

    kemampuan bertanggung jawab;

    56Ibid.,hlm.96

  • 53

    b. Berdasarkan Pasal 44 KUHP, tidak sempurna akalnya;

    c. Dalam keadaan daya paksa Pasal 48 KUHP;

    d. Bedasarkan Pasal 51 ayat (2) KUHP, karena perintah jabatan;

    e. Orang yang disuruh tidak mempunyai sifat/ kualitas yang

    disyaratkan dalam delik, misalnya Pasal 413-437 KUHP.

    Bagi Ultrecht berbeda cara dalam melihat sebab mengapa minus

    minestra, yaitu:57

    a. Pertama, minus minestra itu sebenarya tidak melakukan tindak

    pidana, atau perbuatan yang diperbuatnya tidaklah dapat

    dikualifikaskan sebagai tindak pidana.

    b. Kedua, minus minestra dalam berbuat yang dalam

    kenyataannya adalah tindak pidana,oleh beberapa sebab yang

    menghapuskan kesalahan (schulduitsluitingsgronden) pada diri

    pembuat materiilnya itu.

    Diberikan contoh, A berniat membunuh B, tetapi karena tidak

    berani melakukan sendiri, telah menyuruh C (seorang gila/cacat

    mentalnya) untuk melemparkan granat tangan kepada B, bila C betul-

    betul melemparkan granat itu, sehingga B mati maka C tidak dapat

    dihukum karena tidak dapat dipertanggung jawabkan, sedangkan yang

    dihukum sebagai pembunuh adalah A.58

    57Ibid.,hlm.96 58 R.Soesilo.KUHP. 1995.Politea. Bogor.hlm. 73

  • 54

    3. Mereka yang Turut Serta Melakukan (Pembuat Peserta:

    Medepleger)

    Pada mulanya disebut dengan turut berbuat (meedoet) itu ialah

    bahwa pada masing-masing peserta telah melakukan perbuatan yang

    sama-sama memenuhi semua rumusan tindak pidana yang

    bersangkutan. Ada dua pandangan dalam menentukan keturut sertaan,

    yaitu:59

    a. Pandangan sempit yang dianut oleh Van Hamel dan Trapman

    yang berpendapat bahwa turut serta melakukan terjadi apabila

    perbuatan masing-masing peserta memuat semua unsur tindak

    pidana;

    b. Pandangan luas tentang pembuat peserta, tidak mensyaratkan

    pelaku peserta harus sama dengan perbuatan seorang

    pembuat (dader), perbuatannya tidak perlu memenuhi semua

    unsur indak pidana, sudah cukup memenuhi sebagaian saja

    dari rumusan tindak pidana, asalkan kesengajaannya sama

    dengan kesengajaan dari pembuat pelaku pelaksana.

    Hoge Road dalam arrestnya ini telah meletakkan dua kriteria

    tentang adanya dua bentuk pembuat peserta, yaitu:60

    59 Adami Cahazawi, Op.cit., hlm. 99-100 60Ibid.,hlm.102.

  • 55

    a. Antara para peserta ada kerja sama yang diinsyafi, yaitu

    kesengajaan yang ditujukan dalam kerja samanya untuk

    mewujudkan delik , ialah berupa keinsyafan/kesadaran seorang

    peserta terhadap peserta lainnya mengenai apa yang diperbuat

    oleh masing-masing dalam rangka mewujudkan tindak pidana

    yang dikehendaki. Kerja sama yang diinsyafi tidak perlu berupa

    permufakatan yang rapi dan formal yang dibentuk dalam

    pelaksanaan, tetapi sudahlah cukup dengan adanya pengertian

    yang sedemikian rupa antara mereka dalam mewujudkan

    perbuatan oleh yang satunya terhadap perbuatan yang lainnya,

    ketika berlangsungnya pelaksanaan.

    b. Pada peserta telah sama-sama melaksanakan tindak pidana

    yang dimaksudkan, yakni syarat objektif yang ditentukan oleh

    Hoge Road. Dari syarat ini terkandung makna bahwa wujud

    perbuatan masing-masing antara pembuat peserta dengan

    pembuat pelaksana tidaklah perlu sama, yang penting wujud

    perbuatan pembuat peserta itu sedikit atau banyak terkait dan

    mempunyai hubungan dengan perbuatan apa yang dilakukan

    pembuat pelaksana dalam sama-sama mewujudkan tindak

    pidana. Perbuatan pembuat peserta sedikit atau banyak ada

    peranannya atau andilnya tahu sumbangan bagi terwujudnya

    tindak pidanayang sama-sama dikehendaki.

  • 56

    Sebagaimana di atas telah diterangkan bahwa kesengajaan

    pembuat peserta adalah sama dengan kesengajaan pembuat

    pelaksana, sama-sama ditujukan pada semua unsur tindak pidana,

    atau dengan kata lain sama-sama ditujukan pada penyelesaian tindak

    pidana.

    Seperti contoh pada kasus pembunuhan A dan B sama-sama

    berkehendak untuk mebunuh C, dan tidaklah ada pembuat peserta

    dalam hal apabila A berkehendak untuk membunuh C sedangkan B

    berkehendak untuk menganiaya C. Untuk menentukan siapa diantara A

    dan B mewujudkan perbuatan (Pleger), dapat diketahui setelah mereka

    melaksanakan pembunuhan itu. Siapa diantara A dan B mewujudkan

    perbuatan dimana perbuatan itu yang menyebabkan matinya C, atau

    siapa yang perbuatannya yang terkuat menjadi penyebab kematian,

    dialah sebagai pembuat pelaksana (Pleger).Misalnya A mengampak

    kepala C dan pecah, sedang B memukul badan dengan pentungan,

    maka dapat dipastikan pecahnya kepala itulah yang mengakibatkan

    kematian, dan A adalah pelaku pelaksananya. Persoalannya

    bagaimana jika mereka sama-sama mengampak kepala, maka pada

    siapa yang mengampak pertamalah yang merupakan pembuat

    pelaksana karena mengampak berikutnya oleh temannya adalah

  • 57

    berperan mempercepat kematian, dan bukan menentukan akibat

    kematian.61

    Perbedaan antara pembuat peserta dengan pembuat pelaksana

    dari sudut objektif, secara tepat telah dilukiskan oleh Mahkamah Agung

    dalam petimbangan putusannya tertanggal 26 Juli 1971 (No.15

    K/Kr/1970), yang menyatakan bahwa “perbuatan terdakwa II yang

    mengancam dengan pistol tidak memenuhi semua unsur di dalam

    Pasal 339 KUHP, terdakwa I-lah memukul si korban. Karena itu

    terdakwah yang tepat adalah “turut melakukan” tindak pidana

    (medeplegen), sedangkan pembuat materiilnya ialah terdakwa I.62

    4. Orang Yang Sengaja Menganjurkan (Penganjur: Uitlokker).

    Tidak semua pembujukan untuk melakukan tindak pidana dikenai

    hukuman, tetapi hanya pembujukan dengan cara-cara yang disebutkan

    dalam Pasal 55 ayat (1) Nomor 2. Mula-mula hanya pemberian

    kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, paksaan

    ancaman, atau penipuan, cara-cara ini ditambah dengan memberikan

    kesempatan, sarana atau keterangan.

    Apabila rumusan Pasal 55 ayat (1) hendak dirinci, maka unsur-

    unsurnya adalah:63

    1. Unsur-unsur objektif

    61Ibid.,hlm. 107-108. 62Ibid.,hlm. 108. 63Ibid.,hlm.102.

  • 58

    a. Unsur perbuatan, ialah menganjurkan orang lain melakuan

    perbuatan;

    b. Caranya, ialah:

    1. Dengan memberikan sesuatu;

    2. Menjanjikan sesuatu;

    3. Dengan menyalahgunakan kekuasaan;

    4. Menyalahgunakan martabat;

    5. Dengan kekerasan;

    6. Dengan ancaman;

    7. Dengan penyesatan;

    8. Dengan memberi kesempatan;

    9. Dengan memberikan sarana;

    10. Dengan memberikan keterangan.

    2. Unsur subjektif, yakni dengan sengaja.

    Dari rumusana tersebut di atas, dapat disimpulkan ada 5 syarat

    dari seorang pembuat penganjur, ialah:

    a. Pertama, tentang kesengajaan si pembuat penganjur yang

    harus ditujukan pada 4 hal, yaitu:

    1) Ditujukan pada digunakannya upaya-upaya penganjuran;

    2) Ditujukan pada mewujudkan perbuatan mengan jurka

    beserta akibatnya;

    3) Ditujukan pada orang lain untuk melakukan perbuatan

    (apa yang dianjurkan); dan

  • 59

    4) Ditujukan pada orang lain yang mampu bertanggung

    jawab atau dapat dipidana.

    b. Kedua, dalam melakukan perbuatan menganjurkan harus

    menggunkan cara-cara menganjurkan sebagaimana yang

    ditentukan Pasal 55 ayat (1) angka 2 tersebut.

    c. Ketiga, terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan

    (pembuat pelaksananya) telah melaksaanakan tindak pidana

    sesuai denga apa yang dianjurkan adalah disebabkan

    langsung oleh digunakannya upaya-upaya penganjuran oleh

    si pembuat penganjur (adanya psychische causaliteit)

    d. Keempat, orang yang dianjurkan (pembuat pelaksananya)

    telah melakukan tindak pidana sesuai dengan yang

    dianjurkan (boleh pelaksanaan itu selesai tindak pidana

    sempurna dan boleh juga terjadi percobaannya).

    e. Kelima, orang yang dianjurkan adalah adalah orang yang

    memiliki kemampuan bertanggung jawab.

    Menurut ayat 2 dari Pasal ini maka pertanggung-jawab pembujuk

    dibatasi hanya sampai pada apa yang dibujukkan untuk dilakukan itu

    serta akibatnya. Misalnya A membujuk B dengan memberikan uang

    untuk menganiaya C. Andaikata B tidak menganiaya saja pada C akan

    tetapi membunuhnya, maka A hanya dapat dipertanggungjawabkan

    atas membujuk menganiaya saja, bukan membujuk membunuh tetapi B

    sebagai orang yang dibujuk untuk menganiaya dipersalahkan karena

  • 60

    membunuh. Lain halnya jika B menganiayanya, tetapi penganiayaan ini

    kelebihan, sehingga berakibat yang dianiaya itu mati (yang sebenarnya

    tidak dimaksudkan oleh A, dan juga B), maka A mengakibatkan matinya

    orang, oleh karena matinya orang itu merupakan akibat penganiayaan

    tersebut.64

    Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta 18 Februari 1936

    menentukan, bahwa barang siapa yang mengadakan perjanjian dengan

    orang lain lagi supaya melakukan pembunuhan dengan direncanakan

    lebih dahulu itu, apabila pembunuhan itu jadi dilakukan, maka ia salah

    dengan sengaja membujuk untukk melakukan pembunuhan dengan

    direncanakan terlebih dahulu, supaya dapat dihukum karena

    pembujukan tidak perlu, bahwa orang mendapati sendiri pembuat

    materil.

    Persamaan dan perbedaan antara bentuk pembuat penyuruh

    dengan pembuat penganjur:65

    a. Persamaan, ialah:

    (1) Pada kedua bentuk, baik pembuat penyuruh maupun

    pembuat penganjur tidak melakukan sendiri tindak pidana

    melainkan menggunakan atau melalui orang lain

    64 R.Soesilo.Op.cit.,hlm.74.

    65 Adami Chazawi. Op.cit.,hlm.135.

  • 61

    (2) Kesengajaan mereka dalam melakukan penganjuran

    maupun dalamm menyuruh melakukan masing-masing

    ditujukan pada penyelesaian tindak pidana dengan

    menggunakan orang lain.

    b. Perbedaannya, ialah:

    (1) Dalam hal melakukan penganjuran harus menggunakan

    cara-cara yang telah ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2