skripsi tinjauan yuridis terhadap turut serta...
TRANSCRIPT
-
i
SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TURUT SERTA DALAM
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
(Studi KasusPutusan No.146/PID/2017/PT.MKS)
OLEH
HARDIANTI
B111 14 375
DEPERTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
-
ABSTRAK
Hardianti (B11114375)Tinjauan Yuridis Terhadap Turut Serta Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No.146/PID/2017/PT.MKS), dibimbing oleh Andi Muhammad Sofyan dan Nur Azisa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk kualifikasi penyertaan dalam tindak pidana pembunuhan, menganalisis penerapan hukum pidana dan pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara terhadap turut serta dalam tindak pidana pembunuhan dalam Putusan Pengadilan Tinggi Makassar No.146/PID/2017/PT.MKS.
Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Metode yang digunkan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan dimana pengumpulan data melalui wawancara dan penelitian kepustakaan. Data yang diporoleh kemudian dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: 1.Pembunuhan dalam bentuk pokok diatur dalam Pasal 338 KUHP dan Penyertaan diatur dalam Pasal 55 KUHP,2) semua unsur tindak pidana turut serta dalam tindak pidana pembunuhan telah sesuai dengan unsur-unsur Pasal 338 jo Pasal 55 KUHP, adapun pertimbangan hakim mengenai lamanya hukuman dilihat dari peran masing-masing terdakwa, dimana Terdakwa 1 dihukum penjara 12 tahun dan Terdakwa II hukuman penjara 6 tahun sebagai orang yang turut serta (medepleger) serta Terdakwa III hukuman penjara 14 tahun sebagai orang yang melakukan (pleger).
-
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah Puji syukur kehadirat Allah AWT yang telah
melimpahkan begitu banyak rahmat dan karunia-Nya kepada penulis
sehingga penulis senantiasa diberikan kesehatan, kemudahan, dan
kesabaran,dan kekuatan dalamm menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Tinjauan Yuridis Terhadap Turut Serta Dalam Tindak Pidana
Pembunuhan(Studi Kasus Putusan No.146/PID/2017/PT.MKS)”.
Dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan
perhatian dari orang tua penulis yaitu ayah Nurdin dan mama H.Ramlah
yang senantiasa mencurahkan kasih sayang, mendoakan penulis agar
dapat menyelesaikan pendidikan dibangku kuliah dan menjadi manusia
yang bermanfaat kedepannya. Begitupun kepada saudara-saudara
penulis kakak Randy Nurdin yang selalu memberikan wejangan dan
dukungan, adik Bagas Kara dan Muh. Alpino yang membuat dunia penulis
lebih berwarna selama ini.
Skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik juga tidak terlepas dari
bimbingan, masukan, dan saran dari berbagai pihak. Maka melalui
kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada yang terhormat:
1. Rektor Universitas Hasanuddin Makassar, Ibu Prof Dwi AriesTina
Pulubuhu, MA
-
viii
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Ibu
Prof.Dr.Parida Pattitingi,S.H.,M.H. Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru.
S.H.,M.H. selaku Wakil Dekan I, Bapak Prof. Dr Syamsuddin
Muchtar.S.H.,M.H. selaku Wakil Dekan II, Bapak Prof.Dr. Hamzah
Halim,S.H.,M.H. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin.
3. Bapak Prof.Dr. Andi Muhammad Sofyan,S.H.,M.H. selaku
pembimbing I dan Ibu Dr. Nur Azisa,S.H.,M.H. yang telah
membimbing, meluangkan waktu dan pikiraan dalam
mengarahkan penulis menyelesaikan skripsi ini serta memberi
wejangan agar penulis menjadi manuasia yang lebih baik dari
sebelumnya..
4. Bapak Prof. Dr. M. Said Karim, S.H.,M.H.,M.Si, CLA, Bapak Dr.
Amir Ilyas,S.H.,M.H, Bapak Abd. Azis, S.H.,M.H. selaku penguji
yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan
skripsi ini.
5. Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan Staf Akademik Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin yang telah mendidik dan memberikan
bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin.
6. Ketua Pengadilan Tinggi Makassar beserta seluruh Staf
Pengadilan Tinggi Makassar yang telah memberikan bantuan
selama penelitian terkhusus Bapak Hakim Akhmad Shalihi,
-
ix
S.H.,M.H atas kesediaannya memberikan informasi yang
dibutuhkan penulis dalam penulisan skripsi ini.
7. Sahabat-sahabatku yang selama semester I sampai sekarang
menemani penulis dalam berbagai kisah suka dan duka Nirwana
Nur Rahmat, Nur Ariyas Tuti, Nurul Fitra Sappe, Ningsih, dan
Rafiatul Mahmudah dengan berakhirnya jenjang bangku
perkuliahan nanti penulis harap kita tidak melupakan satu sama
lain, janganlah kita seperti kacang yang lupa akan kulitnya, atau
seperti jeruk habis manis sepah dibuang tapi semoga hubungan
silaturahmi kita tetap berjalan seperti air zam-zam yang airnya
tidak pernah kering oleh dahaga manusia.
8. Teman-teman Klinik Hukum Kejaksan Ahmad Nugraha Abrar,
Wahyuni, Risnayanti,Nurhaeria, Nurul Afiah Idrus, Sakinah, Anita
Natsir, Hartina, Nurul Sappe, Nirwana Nur Rahmat, Nur Ariyas
Tuti, Rezky Amalia Suharto,dan Lisa Yusnita.
9. Teman-Teman UKM Goju FH-UH dan Para Sensei yang selalu
sedia melatih kami dan Teman-teman Kudeta
Anugrah,Jemmi, ,Lisa Rulyantini, Izah Khatab, ,Nurdaya, Frelly,
dan Windaryani kami dipertemukan di UKM Goju terimah kasih
atas kerjasama dan canda tawa selama ini.
10. Teman-teman Diplomasi 2014 Fakulatas Hukum Universitas
Hasanuddin dan Kabar Kabari (Depertemen Hukum Pidana),
Annisa Nurfadillah, Gina Yasid, Dian Qalbi, Ayu, Khuriah, dll.
-
x
11. Seseorang yang telah memberi motivasi kepada penulis saat
penulis jenuh disemester awal perkuliahan dan hendak akan
berhenti,tapi karena perkataanya telah menyadarkan penulis
untuk tetap semangat melanjutkan kuliah sampai sekarang ini.
12. Dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini,semoga Allah SWT membalas
kalian.
Tak ada gading yang tak retak begitupun dalam penulisan ini, oleh
karena itu penulis mengharap kritik dan saran yang membangun, akhir
kata semoga skripsi ini dapat digunakan dan dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya.
Makassar, Mei 2018
Hardianti
-
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI .............................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iii
ABSTRAK .................................................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................................................ v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................1 B. Rumusan Masalah ...........................................................................3 C. Tujuan Penelitian .............................................................................3 D. Manfaat Penelitian............................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana dan Pemidanaan .............6 1. Pengertian Hukum Pidana ...........................................................6 2. Pengertian Tindak Pidana ............................................................8 3. Unsur-Unsur Tindak Pidana ....................................................... 12
B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pembunuhan .................. 19 1. Pengertian Pembunuhan ........................................................... 19 2. Jenis Pembunuhan Menurut KUHP ........................................... 21 3. Unsur-unsur Tindak Pembunuhan Biasa ................................... 23
C. Tinjauan Umum Tentang Penyertaan (Deelneming) ...................... 27 1. Pengertian Penyertaan .............................................................. 27 2. Jenis Penyertaan Menurut KUHP .............................................. 29
D. Pemidanaandan Jenis-Jenis Pidana .............................................. 33 1. Pemidanaan ............................................................................... 33 2. Jenis- JenisPidana ..................................................................... 36
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian ............................................................................ 47 B. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 47 C. Teknik Pengumulan Data ............................................................... 48 D. Analisis Data .................................................................................. 49
-
xii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kualifikasi Perbuatan Penyertaan Dalam Tindak Pidana Pembunuhan .......................................................... 49
B. Penerapan Hukum dan Pertimbangan Hukum Hakim dalam
Menjatuhkan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyertaan dalam Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No. 146/PID/2017/PT.MKS). ................................................................. 64
1. Posisi Kasus .......................................................................... 66 2. Dakwaan ................................................................................ 67 3. Tuntutan Penuntut Umum ...................................................... 67 4. Fakta-Fakta Hukum ............................................................... 70 5. Pertimbangan Hukum Hakim ................................................. 71 6. Amar Putusan ........................................................................ 75 7. Analisis Penulis ....................................................................... 78
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. …….85 B. Saran ....................................................................................... …….86
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
khususnya dalam Pasal 1 Ayat (3). Hal ini berarti bahwa seluruh aspek
kehidupan di Negara ini diatur berdasarkan aturan hukum. Dalam
pelaksanaannya sebagai negara hukum harus memenuhi unsur antara
lain pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan, adanya
pengawasan dari badan-badan peradilan, dan jaminan terhadap hak asasi
manusia (HAM).
Berkaitan dengan unsur diatas, dengan adanya jaminan terhadap
hak asasi manusia (HAM), dapat diartikan bahwa didalam setiap konstitusi
selalu ditemukan adanya jaminan perlindungan terhadap HAM, salah
satunya adalah perlindungan terhadap nyawa warga negaranya
sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 A UUD 1945: “setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan kehidupannya”. Sejak
manusia itu dilahirkan hak tersebut sudah ada dan melekat dalam dirinya
dan berlaku seumur hidupnya. Hak tersebut tidak dapat diganggu gugat
karena hak tersebut dilindungi oleh Negara dan diberikan langsung oleh
Tuhan Yang Maha Esa.
-
2
Negara Indonesia menjamin perlindungan terhadap nyawa setiap
warganya dari yang ada dalam kandungan sampai yang telah meninggal.
Tujuannya adalah mencegah tindakan sewenang-wenang dalam suatu
perbuatan khususnya yang dilakukan dengan cara merampas nyawa
orang lain. Kejahatan yang ada di masyarakat terdiri atas berbagai bentuk
dan jenis, hal ini secara tegas diatur dalam Buku Kedua Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Salah satu bentuk kejahatan terhadap
nyawa adalah tindak pidana pembunuhan.
Membunuh jika dipandang dari sudut agama merupakan suatu
perbuatan yang terlarang, pembunuhan merupakan suatu perbuatan atau
tindakan yang tidak manusiawi dan tidak berperikemanusian. Bahkan
Allah SWT berfirman dalam Al- Quran `Surah Al- Isra’ Ayat 30 yang
artinya:
“dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu alasan yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya tetapi janganlah walinya melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan”
Apabila kita melihat ke dalam KUHP, segera dapat diketahui bahwa
pembentuk undang-undang telah bermaksud mengatur ketentuan-
ketentuan pidana tentang kejahatan-kejahatan yang ditujukan terhadap
nyawa orang itu dalam Buku II Bab –XIX KUHP yang terdiri dari tiga belas
pasal, yakni dari Pasal 338 sampai Pasal 350.
-
3
Suatu kejahatan terkadang tidak dilakukan oleh seorang saja tapi
juga bisa melibatkan beberapa orang untuk turut serta agar rencananya
berbuat jahat terwujud, baik orang itu berperan sebagai orang yang
melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doen pleger),
orang yang turut melakukan (medepleger), maupun orang yang
membantu melakukan (medeplichtige).
Salah satu pembunuhan yang pernah diproses di Pengadilan Tinggi
Negeri Makassar adalah kasus No.146/PID/2017PT.MKS dimana kasus
tersebut sebelumnya diputus di Pengadilan Negeri Sidrap dengan perkara
No.26/Pid.B/2017/PN.Sdr atas pembunuhan terhadap Andi Pangoriseng
yang dilakukan oleh ketiga terdakwa yaitu Bahar Nurdin, Juma bin Musa,
dan Anwar bin Nurdin sebagai turut serta melakukan pembunuhan.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik
untuk mengkaji lebih dalam tentang kualifikasi perbuatan penyertaan
dalam tindak pidana pembunuhan dalam pandangan hukum pidana dan
penerapan hukum pidana serta pertimbangan hukum hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut. Untuk itu penulis ingin
meneliti skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Turut Serta
Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan
No.146/PID/2017/PT.MKS).
-
4
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kualifikasi perbuatan penyertaan dalam tindak
pidana pembunuhan dalam pandangan hukum pidana?
2. Bagaimanakah penerapan hukum pidana dan pertimbangan
hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap kasus turut
serta dalam tindak pidana pembunuhan (Studi Kasus Putusan No.
146/PID/2017/PT. MKS)?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui kualifikasi perbuatan turut serta dalam tindak
pidana pembunuhan.
2. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana dan pertimbangan
hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap kasus tindak
pidana turut serta dalam pembunuhan (Studi Kasus Putusan No.
146/PID/2017/PT.MKS)
-
5
D. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Diharapkan dapat menambah masukan dalam menunjang
pengembangan ilmu khususnya bagi penulis dan mahasiswa
fakultas hukum pada umumnya.
2. Diharapkan menjadi bahan informasi dan referensi bagi semua
pihak, khusunya bagi pihak yang berkompoten dalam
mengembang tugas profesi hukum.
3. Diharapkan dapat memberikan masukan pada semua pihak dalam
rangka penanggulangan kejahatan pembunuhan.
-
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana dan Tindak Pidana.
1. Pengertiaan Hukum Pidana
Istilah hukum pidana bermakna jamak. Dalam arti obyektif, yang
sering juga disebut ius poenaele meliputi:1
1. Perintah dan larangan, yang atas pelanggarannya atau
pengabaiannya telah ditetapkan sanksi terlebih dahulu oleh
badan-badan negara yang berwenang, peraturan-peraturan
yang harus ditaati dan indahkan oleh setiap orang;
2. Ketentuan-ketentuan yang menetapkan dengan cara apa
atau alat apa dapat diadakan reaksi terhadap pelanggaran itu,
dengan kata lain hukum penentiair atau hukum sanksi
3. Kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup berlakunya
peratura-peraturan itu pada waktu dan wilayah negara
tertentu.
Di samping itu, hukum pidana dipakai juga dalam arti subyektif
yang lazim disebut ius puniendi, yaitu peraturan hukum yang
menetapkan tentang penyidikan, lanjutan, penuntutan, penjatuhan, dan
pelaksanaan pidana.
1 Hazewinkel-Suringa dalam Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta,
2010, hlm. 1.
-
7
Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata
“pidana” berarti hal yang “dipidanakan”, yaitu dari instansi yang
berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak
enak dirasakannya dan juga hal yang hal yang tidak sehari-hari
dilimpahkan. 2
Tentunya ada alasan untuk melimpahkan pidana ini, dan alasan
ini selayaknya ada hubungan dengan suatu keadaan, yang didalamnya
seorang oknum yang bersangkutan bertindak tidak baik. Maka unsur
“hukuman” sebagai suatu pembalasan tersirat dalam kata “pidana”.3
Uraian Simons tentang arti hukum pidana materieel dan hukum
pidana formieel:4
Hukum pidana materieel mengandung petunjuk-petunjuk dan uraian tentang strafbare feiten (delik; perbuatan pidana; tindak pidana), peraturan tentang syarat-syarat strafbaarheid (hal dapat dipidananya seseorang), penunjukan orang yang dapat dipidana dan ketentuan tentang pidananya; ia menetapkan siapa dan bagaimana orang itu dapat dipidana.
Hukum pidana formieel, mengatur tentang cara negara dengan perantara para pejabatnya menggunakan haknya untuk memidana, dan dengan demikian mengandung hukum acara pidana.
Menurut Soedarto5:
Hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.
2 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta,
2014, hlm. 1 3Ibid. 4 Zainal Abidin Farid, Op.cit., hlm.3. 5Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education, Yogyakarta, 2012, hlm. 2.
-
8
Selanjutnya Prof.Moelyatno, S.H mengatikan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan atuaran untuk:6
1) menentukan perbuatan-pebuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilakukan dan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar laranga tersebut.
2) menentukan kapan dan hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-laranagan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3) menentukan dengan cara bagaimana mengenai pidana itu dalam dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
2. Pengertian Tindak Pidana
Istilah “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit,
yang sebenarnya istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), yang sekarang berlaku di indonesia.
Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict.
Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenai hukuman pidana. dan, pelaku itu dapat dikatakan merupakan
“subjek” tindak pidana.7
Para pakar asing Hukum Pidana menggunakan istilah Tindak
Pidana atau Perbuatan Pidana atau Peristiwa Pidana, dengan istilah:8
1. Strafbaarfeit adalah peristiwa pidana
6Ibid. 7Ibid. 8 PAF Lamintang, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Jakarta,1997, hlm. 101.
-
9
2. Strafbare Handlung diterjemahkan dengan Perbuatan Pidana
3. Criminal Act diterjemahkan dengan istilah Perbuatan Kriminal
Jadi istilah Stafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau
perbuatan yang dapat dipidana. Sedangkan delik dalam bahasa asing
disebut delic yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenakan hukuman.9
Dilihat dari pengertian harfiahnya¸ Strafbaarfeit itu terdiri dari kata
feit yang dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan
atau engedeelte van werkelijheid, sedangkan strafbaar berarti dapat
dihukum hingga secara harfiah kata strafbaarfet dapat dihukum.10
Menurut Pompe:11
“Strafbaarfeit adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.”
Menurut Jonkers:12
“Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang diartikan sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum (wederrechtelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan. Keterhubungan dan dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. “
9 Amir Ilyas, Op.cit., hlm. 19. 10 PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1997,
hlm. 181. 11 Andi Sofyan, Nur Azisa, Buku Ajar Hukum Pidana, Pustaka Pena Press, Makassar, 2016,
hlm. 98 12 Amir Ilyas, Op.cit., hlm. 20
-
10
Keterhubungan dengan sifat wederrechtelijk sangatlah penting,
sebagaimana yang dicontohkan oleh Pompe, suatu pelanggaran norma
seperti yang telah dirumuskan dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, karena bersalah telah melakukan pembunuhan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.”
Untuk menjatuhkan suatu hukuman itu adalah tidak cukup apabila
disitu hanya terdapat suatu Strafbaarfeit melainkan harus juga ada
unsur strafbaar person atau seseorang yang dapat dihukum, dimana
orang tersebut dapat dihukum apabila strafbaarfeit yang telah ia
lakukan itu bersifat wederrechtelijk dan ia lakukan dengan sengaja
maupun tidak sengaja .
Hezewinkel Suringa mendefinisikan strafbaarfeit yaitu:13
“Sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya.”
Simons telah merumuskan yaitu:14
“Strafbaarfeit sebagai suatu tindakan melawan hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh sesorang yang dapat dipertanggungjawabkan, berhubungan denga kesalahan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.”
Menurut Van Hamel, menyatakan bahwa:
13 PAF Lamintang, Op.cit., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, hlm. 190. 14 PAF Lamintang, Op.cit., hlm. 185.
-
11
“Strafbaarfeit itu adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan”
Chairul Huda ternyata memiliki pandangan yang agak sedikit
berbeda dengan pandangan pakar-pakar pada umumnya. Jika pakar-
pakar pada umumnya telah memasukkan faktor-faktor kesalahan dan
pertanggungjawaban pidana sebagai bagian dari pengertian tindak
pidana, maka Chairul Huda tidak sependapat dengan itu.
Menurutnya kesalahan adalah faktor penentu
pertanggungjawaaban pidana, karena tidak sepatutnya menjadi definisi
tindak pidana. Artinya apakah yang melakukan tindak pidana tersebut
kemudian dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, sudah diluar
konteks pengertian tindak pidana.15
Lanjut Moeljatno mengartikan strafbaarfeit sebagai berikut:
“strafbaarfeit itu sebenarnya adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.”16
Moeljatno mengatakan, “apakah inkreto, yang melakukan perbuatan tadi sungguh-sungguh dijatuhi pidana atau tidak, itu sudah diluar perbuatan pidana.”
Kesalahan adalah faktor penentu pertanggungjawaban pidana
karena tidak sepatutnya bagian definisi tindak pidana. Artinya apakah
15 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 26 16 Amir Ilyas. Op.cit., hlm. 19
-
12
yang melakukan tindak pidana tersebut kemudian
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, sudah diluar konteks
pengertian tindak pidana.17
Tindak pidana juga diartikan sebagai suatu dasar dasar yang
pokok dalam menjatuhi pada orang yaang telah melakukan perbuatan
pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan
yang telah dilakukannya, tetapi sebelum itu mengenai dilarang dan
diancamnya suatu perbuatan yaitu perbuatan pidananya sendiri,
berdasarkan asas legalitas (principle of legality) asas yang menentukan
bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang daan diancam dengan pidana
jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan,
biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum Delictum
Nulla Poena Sine Previa Lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
peraturan lebih dahulu).18
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana
1. Aliran doktrin terkait unsur-unsur tindak pidana
Dalam hukum pidana dikenal dua pandangan tentang unsur
perbuatan pidana yaitu:19
a. Pandangan monistis
17Chairul Huda, Op.cit., hlm. 29. 18 Amir Ilyas, Op.cit., hlm. 27. 19 Amir Ilyas,Op.cit.,hlm. 38-41
-
13
Pandangan monistis adalah pandangan yang melihat syarat,
untuk adanya pidana harus mencakup dua hal yakni sifat dan
perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip prinsip
pemahaman, bahwa didalam pengertian perbuatan tindak
pidana susdah tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang
(criminal act) dan pertanggungjawaban pidana/kesalahan
(criminal responbility).
b. Pandangan Dualistis.
Pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana. Dalam tindak pidana hanya
dicakup criminal act, dan criminal responbility tidak menjadi
unsur pidana
Perbedaan mendasar antara aliran monistis dan dualistis, yaitu:
1. Aliran Monistis, unsur tindak pidana:
a. Ada perbuatan
b. Sifat melawan hokum
c. Tidak ada alasan pembenar
d. Mampu bertanggungjawab
e. Kesalan
f. Tidak ada alasan pemaaf
2. Aliran Dualistis, unsur-unsur tindak pidana:
a. Ada perbuatan
b. Sifat melawan hukum
-
14
c. Tidak ada alasan pembenar
Unsur-unsur pertanggungjawaban pidana:
a. Mampu bertanggunjawab
b. Kesalahan
c. Tidak ada alasan pemaaf
Diatas telah dibicarakan berbagai rumusan tindak pidana yang
disusun oleh para ahli hukum. Unsur-unsur yang ada dalam tindak
pidana adalah melihat bagaimana bunyi rumusaan yang dibuatnya.
Unsur-unsur tindak pidana dari beberapa ahli yaitu:
Menurut pengertian Rancangan KUHP Nasional adalah:20
1. Unsur Formal:
a. Perbuatan sesuatu
b. Perbuatan itu dilakukan atau tidak dilakukan
c. Perbuatan itu oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan
sebagai perbuatan terlarang.
d. Peraturan itu oleh peraturan perundang-undangan diancam
pidana.
2. Unsur-Unsur Materil:
Perbuatan itu harus bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu
harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan
yang patut dihukum.
20Andi Sofyan, Nur Asiza, Op.cit., hlm. 99-100
-
15
Menurut D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan Mr. E. PH. Sitorus
bahwa:21
“tidak dapat dijatuhkan pidana karena suatu perbuatan yang tidak termasuk dalam rumusan delik. Ini tidak berarti bahwa selalu dapat dijatuhkan pidana kalua perbuatan itu tercantum dalam rumusan delik. Untuk itu diperukan dua syarat: perbuatan itu bersifat melawan hukumdan dapat dicela.”
Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah:22
a. Perbuatan
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum)
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)
Perbuatan manusia boleh saja dilarang, oleh aturan hukum.
Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, tetapi tidak bisa
dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana
menggambarkan bahwa tidak mesti perbuaan itu dalam kenyataannya
benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan
pengerian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah
orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak
merupakan hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana.
Menurut R. Tresna bahwa tindak pidana terdiri dari unsur-unsur:23
a. “Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia)
21Ibid. 22 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002, hlm. 79. 23Ibid.,hlm. 80.
-
16
b. Yang bertentangan dengan peratuan perundang-undanagan
c. Diadakan tindakan penghukuman”
Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan penghukuman terdapat
pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu
selalu diikuti penghukuman. Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat
yang diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak
demikian dijatuhi pidana.
Menurut Jonkers, bahwa unsur-unsur tindak pidana dapat dapat
dirinci sebagai berikut:
a. Perbuatan (yang)
b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan)
c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat)
d. Di pertanggungjawabkan
Sementara E. Y Kanter dan S.R. Sianturi, menyebutkan bahwa
unsur-unsur tindak pidana meliputi:24
a. Subjek
b. Kesalahan
c. Bersifat melawan hukum (dan tindakan)
24 Erdianto Effend, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung,
2011, hlm. 99.
-
17
d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-
undang/ perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam
dengan pidana
e. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objek lainnya)
Dari segi teoritik tindakan pidana terdiri dari unsur obyektif dan
unsur obyektif. Unsur obyektif berkaitan dengan tindakan yang
bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh
hukum dilarang dengan ancaman hukuman yang dijadikan titik utama
dari pengertian obyektif disini adalah tindakan.
Sebaliknya unsur subyektif berkaitan dengan tindakan-tindakan
seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat
unsur ini mengakibatkan adanya pelaku baik seseorang maupun
beberapa orang.25
Menurut Satochid Kartanegara unsur delik terdiri dari atas unsur
objektif dan subjektif. Unsur yang objektif adalah unsur yang terdapat
diluar diri manusia, yaitu berupa:26
a. “suatu tindakan;
b. Suatu akibat, dan
c. Keadaan (omstandigheid)
25 Abdullah Marlang, Pengantar Hukum Indonesia, As Center, Makassar, 2009, hlm. 67. 26 Laden Marpuang, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, Sinar Gratifika, Jakarta, 2009,
hlm. 10
-
18
Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukum oleh
undang-undang. Unsur subyektif adalah unsur-unsur perbuatan yang
dapat berupa:
a. Kemampuan dapat dipertanggungjawabkan;
b. Kesalahan (schuld);
Yang dimaksud unsur subyektif itu adalah unsur-unsur yang
melekat pada diri sipelaku, dan termaksud kedalam yaitu segala yang
terkandung didalam hati, pikirannya, maksud , dan tujuannya.
Sementara unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu
adalah:
a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
b. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan seorang pegawai
negeri dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau
keadaan sebagai pengurus atau komisaris suatu perseroan
terbatas didalam kejahatan menurut Pasal 389 KUHP;
c. Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sabagai
penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
Dapat disimpulkan bahwa unsur objektif lebih mengarah pada
perbuatan (actus reus) tindak pidana (criminal act) dan unsur subyektif
lebih mengarah pembuat (mens rea) berkaitan pada
pertanggungjawaban pidana(criminal responbility).
-
19
B. Tinjauan Umum Tindak Pidana Pembunuhan
1. Pengertian Pembunuhan
Pembunuhan adalah berasal dari kata “bunuh” yang mendapatkan
awalan “pem” dan akhiran “an” yang menjadi “pembunuhan” dengan
suara sengau “m” berarti “mati”. Maka pembunuhan berarti perkara
atau perbuatan membunuh, kata bunuh berarti mematikan,
menghilangkan nyawa. Membunuh artinya membuat supaya mati,
pembunuhan artinya orang atau alat yang membunuh, perbuatan atau
hal membunuh.27
Perbuatan yang dikatakan pembunuhan adalah perbuatan oleh
siapa saja yang sengaja merampas nyawa orang lain. Pembunuhaan
(Belanda : doodsslag) itu diancam dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun (Pasal 338 KUHPidana). Jika pembunuhan itu telah
direncanakan terlebih dahulu, maka disebut pembunuhan berencana
(Belanda : oord), yang diancam dengan pidana penjara selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun atau seumur hidup atau pidana
mati.28
Pembunuhan secara yuridis diatur dalam Pasal 338 KUHPidana,
yang mengatakan bahwa : Barang siapa dengan sengaja
menghilangkan nyawa orang lain, karena bersalah telah melakukan
27 Soesilo R. Kriminologi, Politeia, Bogor, 2010, hlm. 108 28 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 129-130.
-
20
“pembunuuhan” dipidana dengan penjara selama-lamanya lima belas
tahun.
Tidak memberikan pertolongan, meskipun dengan maksud agar
orang lain meninggal dunia, belum dapat dikatakan sebagai
menghilangkan jiwa seseorang. Jadi harus ada suatu perbuatan
walaupun kecil, untuk dapat menghilangkan jiwa seseorang.29
Perbuatan itu dapat terdiri atas:
1. Menembak dengan senjata api
2. Memukul dengan besi
3. Menusuk atau menikam dengan senjata tajam
4. Mencekiki lehernya
5. Memberikan racun
6. Menenggelamkan, dll.
Perbuatan ini adalah sebab, dan akibatnya dengan dilakukan
perbuatan ini sudah harus dapat dibayangkan akibat yang timbul.
Dikatakan melakukan tindak pidana pembunuhan dengan
kesengajaan adalah apabila orang tersebut memang menghendaki
perbuatan tersebut, baik atas kelakuan maupun akibat keadaan yang
timbul karenanya. Namun juga mungkin tidak dikehendaki sama sekali
oleh pelakunya. Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh
29 H.A.K Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II). Alumni, Bandung, 1986, hlm. 89.
-
21
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku dewasa ini, telah
disebut “pembunuhan”.30
2. Jenis Pembunuhan Menurut KUHP
Dalam KUHPidana, tindak pidana yang berakibat hilangnya nyawa
orang lain adalah :
1) Pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHPidana)
2) Pembunuhan dengan pemberatan (Pasal 339 KUHPidana)
3) Pembunuha berencana (Pasal 340 KUHPidana)
4) Peembunuhan bayi oleh ibunya (Pasal 341 KUHPidana)
5) Pembunuhan bayi berencana (Pasal 342 KUHPidana)
6) Pembunuhan atas permintaan yang bersangkutan (Pasal 344
KUHPidana)
7) Membujuk/ membantu orang agar bunuh diri (Pasal 345
KUHPidana)
8) Pengguguran kandungan dengan izin ibunya (Pasal 346
KUHPidana)
9) Pengguguran kandungan tanpa izin ibunya (Pasal 347
KUHPidana)
10) Matinya kandungan dengan izin perempuan yang
mengandungnya (Pasal 384 KUHPidana)
11) Dokter/ bidan/ tukang obat yang membantu pengguguran/
matinya kandungan (Pasal 349 KUHPidana)
30 Lamintang, Op.cit., hlm. 10
-
22
12) Matinya seseorang karena kealpaan (Pasal 349 KUHPidana)
Dalam perbuatan menghilangkan nyawa terdapat tiga syarat yang
harus dipenuhi, yaitu:
1) Ada wujud perbuatan
2) Adanya kematian
3) Adanya hubungan sebab akibat perbuatan dan kematian.
Berdasarkan unsur tindak pidana pembunuhan dapat dibedakan
menjadi:
a) Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok diatur dalam Pasal
338 KUHP yang merumuskan bahwa:
“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
b) Pembunuhan yang disertai, diikuti, atau didahului dengan
tindak pidana lain. Delik ini diatur dalam Pasal 339 KUHP yang
merumuskan bahwa:
Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh suatu tindak pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya atau melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana bila tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diporolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
Pada pembunuhan pasal 339 KUHPidana merumuskan
bentuk khusus pembunuhan yang diperberat. Dalam
pembunuhan yang diperberat ini terdapat 2 (dua) macam tindak
-
23
pidana sekaligus, yaitu tindak pidana pembunuhan biasa dan
tindak pidana lain.
c) Pembunuhan berencana
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 340 KUHPidana yang
merumuskan sebagai berikut :
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
Ancaman pidana pada pembunuhan berencana ini lebih
berat dari pidana pembunuhan yang diatur dalam Pasal 338
KUHP dan 339 KUHP bahkan merupakan pembunuhan dengan
ancaman pidana paling berat, yaitu pidana mati, dimana sanksi
pidana mati ini tidak tertera pada kejahatan terhadap nyawa
lainnya, yang menjadi dasar beratnya hukuman ini adalah
karena adanya perencanaan terlebih dahulu. Selain diancam
dengan pidana mati, pelaku tindak pembunuhan berencana
juga dapat dipenjara seumur hidup atau selama waktu tertentu
paling lama dua puluh tahun.
3. Unsur- Unsur Tindak Pidana Pembunuhan Biasa
Pembunuhan biasa yang terdapat dalam Pasal 338 KUHPidana
yaitu :
-
24
“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama liam belas tahun.”
Dalam ketentuan Pasal 338 KUHPidana tersebut, maka unsur-
unsur dalam pembunuhan biasa adalah sebagai berikut:
a. Unsur subyektif : perbuatan dengan sengaja
b. Unsur obyektif : perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang
lain.
Dalam perbuatan menghilangkan nyawa orang lain terdapat tiga
syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Adanya wujud perbuatan
2. Adanya suatu kematian (orang lain)
3. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara
perbuatan dan akibat kematian (orang lain).
Adanya unsur subjektif sengaja dengan wujud perbuatan
menghilangkan nyawa terdapat syarat yang harus juga dibuktikan
adalah pelaksanaan perbuatan nyawa orang lain harus tidak lama sejak
timbulnya atau terbentuknya kehendak untuk membunuh dengan
pelaksanaannya, dimana dalam tenggang waktu yang cukup lama itu
petindak dapat memikirkan tentang berbagai hal, misalnya memikirkan
apakah kehenaknya itu akan diwujudkan dalam pelaksanaan ataukah
tidak, dengan cara apa kehendak itu akan diwujudkan. Maka
-
25
pembunuhan itu masuk kedalam pembunuhan berencana (Pasal 340
KUHPidana), dan bukan pembunuhan biasa.
Apabila kita melihat ke dalam rumusan ketentuan pidana menurut
Pasal 338 KUHPidana, segera dapat dilihat bahwa kata opzettejlijk atau
dengan sengaja itu terletak didepan unsur menghilangkan nyawa orang
lain, ini berati bahwa semua unsur yang terletak dibelakang kata
opzettelijkitu juga diliputi opzet. Artinya semua unsur tersebut oleh
penuntut umum harus didakwakan terhadap terdakwa dan dengan
sendirinya harus dibuktikan disedang pengadilan, bahwa opzet dari
terdakwa juga telah ditujukan pada unsur-unsur tersebut. Atau dengan
kata lain penuntut umum harus membuktika bahwa terdakwa:
1. Telah menghendaki (willenss) melakukan tindakan yang
bersangkutan dan telah mengetahui (wetens), bahwa tindakannya
itu bertujuan untuk menghilangkan nyawa orang lain.
2. Telah menghendaki bahwa yang akan dihilangkan itu adalah
nyawa, dan
3. Telah mengetahui bahwa yan akan dihilangkaan itu ialah nyawa
orang lain.
Unsur dengan sengaja (dolus/opzet) merupakan suatu yang
dikehendaki (willens) dan diketahui (wetens). Dalam doktrin,
berdasarkan tingkat kesengajaan terdiri dari tiga (3) bentuk, yakni ;
1) Kesengajaan sebagai maksud (opzet aalls oogmeerk)
-
26
2) Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zakerheidsbewustzjin)
3) Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij
mogelijkheidsbewutszjin atau dolus aventualis)
Berdasarkan pandangan bahwa unsur opzettelijk bila dicantumkan
dalam rumusan tindak pidana, maka pengertian opzettelijk itu harus
diartikan termasuk kedalam 3 (tga) bentuk kesengajaan. Pandangan ini
sesuai dengan praktik hukum yang dianut selama ini.
Adapun unsur menghilangkan jiwa orang lain yang dimaksud
adalah:
Hilangnya jiwa seseorang harus dikehendaki, harus menjadi
tujuan. Suatu perbuatan dilakukan dengan maksud atau tujuan atau
niat untuk menghilangkan jiwa seseorang. Timbulnya akibat dari
hilangnya jiwa seseorang tanpa dengan sengaja atau bukan menjadi
tujuan atau maksud, tidak dapat dinyatakan sebagai pembunuhan. Jadi
dengan sengaja berarti mempunyai maksud atau niat atau tujuan
menghilangkan jiwa seseorang.31
Perbuatan menghilangkan nyawa dirumuskan dalam bentuk aktif
dan abstrak. Bentuk aktif artinya mewujudkan perbuatan itu harus
dengan gerakan dari sebagaian anggota tubuh, tidak boleh diam atau
pasif. Disebut abstrak karena perbuatan ini tidak menunjukkan bentuk
konkrit perbuatan itu dapat beraneka macam wujudnya seperti
31H.A.K Moch Anwar, Op.cit., hlm. 89.
-
27
menembak, memukul, membacok, dan lain sebagainya yang tidak
terbatas banyaknya.
C. Tinajaun Umum Tentang Penyertaan (Deelneming)
1. Pengertian Penyertaan (Deelneming)
Secara umum penyertaan dapat diartikan sebagai suatu
perbuatan (tindak pidana) yang dilakukan lebih dari satu orang. Kata
penyertaan berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu
seseorang lain melakukan tindak pidana.
Menurut Satichid Kartanegara32 mengartikan :
“bahwa deelneming apabila dalam satu delik tersangkut beberapa orang atau lebih dari satu orang”
Menurut S.R Sianturi33, mengatakan :
“deelneming ialah ada dua orang atau lebih yang melakukan
suatu tindak pidana atau dengan lain perkataan ada dua orang
atau lebih mengambil bahagian untuk mewujudkan suatu tindak
pidana.”
Sedangkan menurut Mulyatno34, berpendapat bahwa :
“ada penyertaan apabila bukan satu orang saja yang tersangkut dalam terjadinya perbuatan pidana akan tetapi beberapa orang.
32 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2010, hlm. 105. 33 Amir Ilyas, Op.cit. hlm. 54. 34 Iibid. Hlm. 55.
-
28
Tersangkutnya dua orang atau lebih dalam suatu tindak pidana dapat terjadi dalam hal :
a. Beberapa orang bersama-sama melakukan suatu delik, atau
b. Mungkin hanya seorang saja yang berkehendak (berniat) dan
merencanakan delik tetapi delik tersebut tidak dilakukannya
tetapi ia mempergunakan orang lain mewujudkan delik
tersebut, atau
c. Mungkin seorang saja yang melakukan delik sedang orang lain
membantu orang itu dalam mewujudkan delik.
Dalam lapangan ilmu hukum pidana (doktrin), deelneming
menurut sifatnya terdiri atas:35
a. Deelneming yang berdiri sendiri
b. Deelneming yang tidak berdiri sendiri
Pembagian ini didasarkan pada sifat pertanggungjawaban antara
para peserta. Apabila deelneming yang berdiri sendiri,
pertanggungjawaban dari setiap peserta dihargai sendiri-sendiri.
Sedangkan bentuk deelneming yang tidak berdiri sendir atau biasa
disebut accessoire deelneming pertanggungjawaban dari para peserta
yang satu digantungkan kepada perbuatan peserta yang lain. Apabila
35 hlm.429.
-
29
oleh peserta yang lain dilakukan sesuatu perbuatan yang dapat
dihukum maka peserta yang satu juga dapat dihukum.36
2. Jenis-Jenis Penyertaan (Deelneming)
Dasar hukum penyertaan telah diatur dalam Pasal 55 dan Pasal
56 KUHPidana yang rumusannya sebagai berikut :
Pasal 55 :
Dipidana sebagai pelaku tindak pidana :
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang disengaja dianjurkan
sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 KUHPDipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan
2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Oleh kedua pasal ini diadakan lima golongan peserta tindak
pidana, yaitu :
a. Yang melakukan perbuatan (pleger, dader)
36 Nur Asizah dkk., Hukum Pidana Materiil dan Formil,(Usaid, The Asia Foundation, dan
Kemitraan Patnership), Jakarta,hlm: 429.
-
30
Menurut Badar Nawawi Arief37
“pleger adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik.”
Pelaku (pleger, dader), merupakan orang yang mewujudkan
suatu peristiwa pidana secara sempurna. Jadi sebagai pembuat
adalah orang yang melakukan peristiwa pidana seorang diri telah
berbuat mewujudkan semua unsur-unsur atau elemen dari tindak
pidana.
b. Yang menyuruh melakukan perbuatan (doenpleger, midelijke
dader)
Doenpleger adalah terwujudnya menyuruh melakukan apabila
seseorang mempunyai kehendak untuk melakukan suatu tindak
pidana tetapi seseorang yang mempunyai kehendak itu tidak mau
melakukan perbuatan sendiri, tetapi mempergunkan orang lain
yang disuruhnya untuk melakukan tindak pidana tersebut.
Menurut R. Soesilo:38
“Disini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri peristiwa tindak pidana, akan tetapi menyuruh orang lain, disuruh (pleger) itu harus hanya merupakan suatu alat (instrumen) saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya”
37Ibid. Hlm. 60. 38 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor, 1998, hlm. 73.
-
31
Perumusan Moeljatno menjelaskan pengertian doenplegen
sebagai berikut:39
Apabila seseoang mempunyai kehendak untuk melaksanakan
suatu perbuatan pidana, akan tetapi sesorang yang mempunyai
kehendak itu tidak mau melakukannya sendiri, tetapi
mempergunakan orang lain untuk disuruh melakukannya. Dan
sebagai syarat orang yang disuruh itu harus orang yang tidak
dapat dipidana.
c. Yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader)
Turut melakukan dalam arti kata yaitu bersama-sama
melakukan perbuatan yang memenuhi semua rumusan tindak
pidana yang bersangkutan.
Menurut Hazewinkel-Suringa40, mengemukakan bahwa:
“Dua syarat bagi adanya turut melakukan tindak pidana yaitu: kesatu, kerjasama yang disadari antara para turut pelaku, yang merupakan suatu kehendak bersama diantara meraka; kedua, mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu.”
d. Yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitloken, uitloker).
Menurut Barda Nawawi Arief41:
“Pembujukan ialah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang”
39Nur Asiza dkk.,Op.cit.,hlm.234. 40 Wirjono Projodikoro, Op.cit., hlm. 123. 41 Amir Ilyas, Op.cit., hlm. 85.
-
32
Membujuk diisyaratkan harus terdapat dua orang atau lebih ,
yaitu orang yang membujuk dan yang dibujuk. Perbedaannya
hanya ada pada orang yang dibujuk itu dapat dihukum sebagai
pelaku (pleger) sedangkan orang yang suruh itu tidak dapat
dihukum.
e. Yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige)
Dalam hal pembantuan diatur dalam tiga Pasal, ialah Pasal 56,
57, dan 60 KUHPidana. Pasal 56 merumuskan tentang unsur
obyektif dan subyektif pembantuan serta macamnya bentuk
pembantuan. Sedangkan Pasal 57 merumuskan tentang batas
luasnya pertanggungjawaban bagi pembantu, Pasal 60 mengenai
penegasan pertanggungjawaban pembantuan itu, hanyalah pada
pembantuan, dalam hal kejahatan, dan tidak dalam hal
pelanggaran.
D. Pemidanaan dan Jenis-Jenis Pidana
1. Pemidanaan.
a. Pengertian Pemidanaan.
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi
dan tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana”
-
33
pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan”
diartikan sebagai penghukuman.42
b. teori-teori tujuan pemidanaan
1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldingf theorien)
Aliran ini yang menganggap sebagai dasar hukum pidana
adalah alam pikir untuk pembalasan (vergelding atau vergeltung).
Teori ini dikenal pada akhir abad 18 yang mempunyai pengikut-
pengikut seperti Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, dan Leo
Polak.
Menurut Kant:43
Pembalasan atas perbuatan melawan hukum adalah suatu syarat mutlak menurut hukum dan keadilan, hukuman mati terhadap penjahat yang melakukan pembunuhan berencana mutlak dilakukan.
Menurut Stahl mengemukakan bahwa:44
Hukum adalah suatu atauran yang bersumber pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui pemerintahan Negara sebagai abdi atau wakil Tuhan di dunia ini., karena itu negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum dengan cara setiap pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan pidana terhadap pelanggarnya.
Lebih lanjut, Hegel berpendapat bahwa:45
42Ibid.hlm.95. 43Ibid. Hlm. 98. 44 Adamai Chazawi, Op.cit.,hlm.155. 45Ibid.,hlm.156.
-
34
Hukum atau keadilan merupakan suatu kenyataan (sebagai these). Jika seseorang melakukan kejahatan atau penyerangan terhadap keadilan, maka ia mengingkari adanya hukum (anti these), oleh karena itu jarus diikuti oleh suatu pidana berupa ketidakadilan bagi pelakunya(syinthese) atau mengembalikan suatu keadilan atau kembali tegaknya hukum (these)
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)
Teori ini memberikan dasar pikiran bahwa dasar hukum dari
pidana adalah terletak pada tujuan pidana itu sendiri. Oleh karena
pidana itu mempunyai tujuan-tujuan tertentu, maka disamping
tujuan lainnya terdapat pula tujuan pokok berupa
mempertahankan ketertiban masyarakat (de handhaing der
maatshappeelijkeorde).
Mengenai cara mencapai tujuan itu ada beberapa paham yang
merupkan aliran-aliran dari teori tujuan, yaitu:46
a. Prevensi khusus adalah bahwa pencegahan kejahatan
melalui pemidanaan dengan maksud mempengaruhi tingkah
laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi.
Pengaruhnya ada pada diri terpidana itu sendiri dengan
harapan agar si terpidana dapat berubah menjadi orang
yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat.
b. Prevensi umum bahwa pengaruh pidana adalah untuk
mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat untuk tidak
melakukan tindak pidana
46 Amir Ilyas, Op.cit.,hlm.99.
-
35
3. Teori Gabungan (verenigingstheorien)
Disampin teori absolut dan teori relatif tentang pemidanaan,
muncul teori ketiga yang disatu pihak mengakui adanya unsur
pembalasan dalam hukum pidana, akan tetapi dipihak lain juga
mengakui unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap
pidana. Teori ketiga ini muncul karena terdapat kelemahan dalam
teori absolut dan teori relatif, kelemahan dari kedua teori tersebut
adalah:47
Kelemahan teori absolut adalah :
a. Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada
pembunuhan tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi
pidana mati, melainkan harus dipertimbangkan berdasarkan
alat-alat bukti yang ada.
b. Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk
pembalasan, maka mengapa hanya negara saja yang
memberikan pidana
Kelemahan teori relatif adalah :
a. Dapat menimbulkan ketidakadilan pula. Misalnya untuk
mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka
mungkin pelaku kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang
47Ibid. hlm. 101
-
36
berat sekedar untuk menakut-nakuti saja, sehingga menjadi
tidak seimbang. Hal mana bertentangan dengan keadilan.
b. Kepuasan masyarakat diabaikan, misalnya jika tujuan itu
semata-mata untuk memperbaiki si penjahat, masyarakat
yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan
c. Sulit dilaksanakan dalam praktik. Bahwa tujuan mencegah
kejahatan dengan jalan menakut-nakuti dalam praktik sulit
dlaksanakan. Misalnya terhadap residivis.
2. Jenis- Jenis Pidana
Jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Jenis pidana ini
berlaku juga bagi delik yang tercantum diluar KUHP, kecuali ketentuan
undang-undang itu menyimpang (Pasal 103 KUHP). Jenis pidana
dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana
tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan, kecuali dalam
hal tertentu.
Pidana itu adalah sebagai berikut.
1. Pidana Pokok:
a) Pidana mati
b) Pidana penjara
c) Pidana kurungan
d) Pidana denda
-
37
e) Pidana tutupan (KUHP terjemahan BPHN, berdasarkan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946)
2. Pidana Tambahan:
a) Pencabutan hak-hak tertentu
b) Perampasan barang-barang tertentu
c) Pengumuman putusan hakim
Dalam ketentuan dalam Pasal 10 KUHP tersebut, jelaslah bahwa
stelsel pidana kita menurut KUHP dibedakan dalam pidana pokok dan
pidana tambahan. Disaamping itu urut-urutan dari pidana ini mulai dari
yang terberat ke yang lebih ringan. Pidana pokok jelas lebih berat dari
pidana tambahan. Pidana tambahan biasanya hanya ditambahkan
pada salah satu pidana pokok, jadi bersifat imperatif.
Selanjutnya untuk mengetahi lebih jelas mengenai jenis-jenis
pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, maka akan diuraikan
sebagai berikut :
1. Pidana Pokok
a. Pidana Mati
Jenis pidana ini merupakan pidana yang terberat, pidana
yang paling banyak mendapatkan sorotan dan perbedaan
pendapat. Adapun pengertian pidana mati yaitu hukuman atau
-
38
vonis yang dijatuhkan pengadilan sebagi bentuk hukuman terberat
yang dijatukan atas seseorang akibat perbuatan jahatanya.48
Sebagaimana yang ditentukan Pasal 11 KUHP yaitu:
“Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”
Apabila terpidana dijatuhi hukuma mati, maka eksekusi
putusan akan dilaksanakan setelah mendapatkan fia eksekusi dari
Presiden (Kepala Negara) berupa penolakan grasi walaupun
seandainya terpidana tidak mengajukan permohonan grasi.
Dengan demikian pidana mati harus dengan Keputusan Presiden
sekalipun terpidana menolak atau memohan pengampunan atau
grasi dari presiden. Pidana mati ditunda jika terpidana sakit jiwa
atau wanita yang sedang hamil dengan ketentuan dalam Undang-
Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang megatakan
pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan memperhatikan
kemanusian.49
b. Pidana Penjara
Menurut A. Hamzah menegaskan bahwa:50
48 A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan,
penyertaan, dan Gabungan Delik)dan Hukum Penitenssier, PT Raja Graffindo Persada, Jakarta,2006, hlm. 283.
49 Amir Ilyas, Oo.cit., hlm. 109-110 50 Andi Hamz0ah, 1993, Sistem Pidana dan Pemidaaan di Indonesia, Pradya Paramita,
Jakarta, 1993, hlm. 36.
-
39
“Pidana penjara merupakan bentuk pidana yang merupakan kehilangan kemerdekaan.” Pidana penjara atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan”.
Menurut A. Hamzah:51
Pidana penjara disebut pidana kehilangan kemerdekaan, bukan saja dalam sarti sempit bahwa ia tidak merdeka bepergian tetapi juga narapidana itu kehilangan hak-hak seperti : 1) Hak untuk memilih dan dipilih (lihat Undang-Undang Pemilu).
Dinegara liberal sekalipun demikian halnya. Alasannya ialah agar kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari unsur-unsur immoral dan perbuatan-perbuatan yang tidak jujur;
2) Hak untuk memangku jabatan publik. Alsannya ialah agar publik bebas dari perlakuan manusia yang tidak baik;
3) Hak untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan. Dalam hal ini telah di praktikkan pengendoran dalam batas-batas tertentu;
4) Hak untuk mendapatkan perizinan-perizinan tertentu, misalnya saja izin usaha, izin praktik (dokter, pengacara, notaris, dll);
5) Hak untuk megadakan asuransi hidup; 6) Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan. Pemenjaraan
merupakan salah satu alasan untuk meminta perceraian menurut hukum perdata;
7) Hak untuk kawin, meskipun ada kalanya seseorang kawin sementara menjalani pidana penjara, namun itu merupakan keadaan luar biasa dan hanya bersifat formalitas belaka, dan
8) Beberapa hak sipi lain.
c. Pidana Kurungan
Sifat pidana kurungan pada dasarnya sama dengan pidana
penjara, keduanya merupakan jenis pidana perampasan
kemerdekaan. Pidana kurungan membatasi kemerdekaan
bergerak dari seorang terpidana dengan mengurung orang
tersebut di dalam sebuah lembaga kemasyarakatan.
51Ibid, hlm. 38.
-
40
Menurut Pasal 18 KUHP, bahwa :
“Paling sedikit satu hari dan paling lama setahun, dan jika ada pemberatan karena gabungan atau pengulangan atau karena ketentuan Pasal dapat ditambaha menjadi satu tahun empat bulan. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih satu tahun empat bulan”.
Menurut Jonkers Perbedaan lain dengan pidana penjara,
ialah:52
1. Bahwa dalam hal pelaksanaan pidana, terpida kurungan
tidak dapat dipindahkan ke tempat lain di luar tempat dia
berdiam pada waktu eksekusi. Ketentuan ini dipandang lebih
ringan bagi orang Indonesia karena bagi mereka pindah
ketempat lain dipandang berat, jauh dari sanak saudara dan
handai taulan. (Pasal 21 KUHP)
2. Pekerjaan terpidana kurungan lebih ringan dari pekerjaan
yang diwajibkan kepada terpidana penjara. (Pasal 19 ayat
(2))
3. Orang yang dipidana kurungan boleh memperbaiki nasibnya
dengan biaya sendiri (Pasal 23 KUHP). Lembaga yang diatur
dalam Pasal ini terkenal dengan nama pistole. Istilah ini
berasal dari bahasa Perancis yang merupakan mata uang
Peracis dahulu.
d. Pidana Denda
52Ibid., hlm. 293.
-
41
Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua dari
pidana penjara. Mungkin setua dengan pidana mati dan
pengasingan. Pidana denda terdapat pada setiap masyarakat
primitif pula. Pidana denda dikenal pula pada zaman Majapahit.
Begitu pula pelbagi masyarakat primitif dan tradisional Indonesia.
Perbedaan denda dalam hukum pidana dan perdata:
a) Pidana denda mempunyai sifat perdata, mirip dengan
pembayaran yang diharuskan dalam perkara perdata terhadap
orang yang melakukan perbuatan yang merugikan oranag lain.
Perbedaannya adalah denda dalam perkara pidana dibayarkan
kepada negara atau masyarakat, sedangkan dalam perkara
perdata kepada orang pribadi atau badan hukum.
b) Denda dalam perkara pidana dapat diganti dengan pidana
kurungan jika tidak dibayar.
c) Denda tidaklah diperhitungkan oleh suatu perbuatan
sebagaimana dalam perkara perdata.
d) Pidana denda tetap dijatuhkan walaupun terpidana telah
membayar ganti kerugian perdata kepada korban.
2. Pidana Tambahan
Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat menambah
pidana pokok yang dijatuhkan, tidaklah dapat berdiri sendiri kecuali
dalam hal-hal tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu.
-
42
Pidana tambahan ini bersifat fakultif, artinya dapat dijatuhkan tetapi
tidak harus.
Menurut Hermin Hardiati bahwa ketentuan pidana tambahan ini
berbeda dengan ketentuan bagi penjatuhan pidana pokok, ketentuan
tersebut adalah:53
1. Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan disamping pidana
pokok. Artinya, pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan
sebagai pidana satu-satunya.
2. Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila di dalam
rumusan suatu perbuatan pidana dinyatakan dalam tegas
sebagai ancaman, berati bahwa pidaana tambahan tidak
diancamkan.
3. Pada setiap jenis perbuatan pidana, akan tetapi hanya
diancamkan kepada beberapa perbuatan pidana tertentu.
4. Walaupun diancam secara tegas di dalam perumusan suatu
perbuatan pidana tertentu, namun sifat pidana tambahan ini
hanya bersifat fakultatif. Artinya, diserahkan kepada hakim
untuk menjatuhkan atau tidak.
a. Pencabutan Hak-HakTertentu
Menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang
dapat dicabut oleh hakim dalam suatu putusan pengadilan adalah:
53 Amir Ilyas, Op.cit., hlm. 114-115.
-
43
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang
tertentu;
2. Hak untuk memasuki angkatan bersenjata;
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemiihan yang diadakan
berdasarkan aturan-aturan umum;
4. Hak menjadi penasehat atau pengurus atas penetapan
pengadilan , hak menjadi wali, wali pengawas,pengampu
atau pengampu pengawasan atas orang yang bukan anak
sendiri;
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan
perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6. Hak menjalankan mata pencarian tertentu;
Dalam hal dilakukannya pencabutan hak, Pasal 38 ayat (1)
KUHP mengatur bahwa hakim menentukan lamanya pencabutan
hak sebagai berikut:
1) Dalam hal pidana mati atau penjara seumur hidup, maka
lamanya pencabutan adalah seumur hidup.
2) Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana
kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan
paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
3) Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit
dua tahun dan paling banyak lima tahun.
-
44
Pencabutan hak itu mulai berlaku pada hari putusan hakim
dapat dijalankan. Dalam hal ini hakim tidak berwenang memecat
seorang pejabat dari jabatan jika dalam aturan-aturan khusus
ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.
b. Perampasan Barang-Barang Tertentu
Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan
jenis pidana harta kekayaan, seperti halnya denngan pidana
denda. Ketentuan mengenai perampasan barang-barang tertentu
terdapat dalam Pasal 39 KUHP yaitu:
1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diporoleh dari
kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan
kejahatan, dapat dirampas;
2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak
dilakukan dengan sengaja atau pelanggaran, dapat juga
dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang
telah ditentukan dalam undang-undang;
3) Perampasan dapat dilakukan terhadp orang yang bersalah
yang diserahkan kepada pemerintah , tetapi hanya atas
barang-barang yang telah disita.
Perampasan atas barang-barang yang tidak disita
sebelumnya diganti menjadi pidana kurungan apabila barabg-
barang itu tidak diserahkan atau harganya menurut taksiran dalam
-
45
putusan hakim tidak dibayar. Kurunganpengganti itu paling sedikit
satu hari dan paling lama enam bulan. Kurungan pengganti ini
juga dihapus jika barang-barang yang dirampas diserahkan.
c. Pengumuman Putusan Hakim
Pengumuman putusan hakim diatur dalam Pasal 43 KUHP
yang mengatur bahwa:
“apabila hakim memerintahkan agar putusan diumumkan berdasarkan kitab undng-undang ini atau aturan hukum lainnya, harus ditetapkan juga bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan pengumuman putusan hakim hanya dapat dijatuhkan dalamhal-hal yang ditentukan undang-undang.”
Pidana tambahan pengumuman putusan hakim ini
dimaksudkan terutama untuk pencegahan agar masyarakat
terhindar dari kelihaian busuk atau kesembronoan seorang
pelaku. Pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila
secara tegas ditentukan berlaku untuk pasal-pasal tindak pidana
tertentu.
-
46
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan berkaitan
atau relevan dengan permasalahan yang dibahas, guna mempermudah
pembahasan dan penyelesaian penulisan, maka penulis melakukan
penelitian yang berlokasi di Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan di
Makassar serta di tempat-tempat yang ada hubungannya dengan
permasalahan yang akan ditulis. Seperti Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, dan Perpustakaan Pusat Universitas
Hasanuudin.
B. Jenis dan Sumber Data
Dalam mengumpulkan data dan informsi yang diperlukan penulis
dalam penelitian ini , data yang diperoleh dapat digolongkan kedalam dua
jenis, yaitu :
a) Data Primer
Data primer, yaitu pengumpulan data melalui penelitian lapangan
(field resarch) terutama dengan menggunakan metode wawancara
yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Dalam hal ini
diwawancarai adalah pejabat dari instansi yang terkait, yakni
Hakim di Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat.
-
47
b) Data Sekunder
Data sekunder, yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui
penelitian kepustakaan (library research) terutama melalui
penelusuran buku-buku, laporan-laporan, penelitian dan naskah
ilmiah, lainnya serta informasi dari pejabat instansi yang
berwenang.
C. Teknik Pengumpulan Data
Sehubungan dengan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan
metode penelitian sebagai berikut :
a) Wawancara
Dilakukannya dengan menggunakan pengamatan secara langsung
di lapangan yang berhubungan dengan materi yang dibahas dan
mengadakan interview yang bersifat terbuka dengan pihak yang
terkait.
b) Studi dokumentasi
Dengan jalan mengumpulkan data, membaca, dan menelaah
beberapa literatur, buku, koran, serta peraturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti untuk
mendapatkan data sekunder.
-
48
D. Analisis Data
Data yang diporoleh dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis
secara kualitatif yaitu analisis yang menggambarkan keadaan-keadaan
yang nyata dari obyek yang akan dibahas dengan pendekatan yuridis
mendiskripsikan data yang diperoleh dalam bentuk wawancara
selanjutnya diberi penafsiran dan kesimpulan.
-
49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kualifikasi Bentuk Penyertaan Dalam Pembunuhan.
Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang
ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur dalam Buku II Bab XIX, yang
terdiri dari 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai Pasal 350. Adapun tindak
pidana pembunuhan biasa diatur dalam Pasal 338 yang rumusannya
sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selaama-lamanya lima belas tahun”
Jadi untuk memenuhi perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 338
KUHP maka harus memenuhi unsur-unsur pembunuhan dari pasal itu
sendiri yaitu unsur barangsiapa, menghilangkan jiwa seseorang, dan
dengan sengaja.
Namun dalam prakteknya pada peristiwa pembunuhan sering
melibatkan beberapa peserta diluar pelaku materilnya, namun mereka ini
tidak memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana pembunuhan sehingga
sulit untuk menjerat mereka misalnya saja orang yang menyuruh orang
lain untuk membunuh atau mereka yang mempermudah perbuatan
tersangka melakukan aksinya, oleh karena itu dalam Buku I Peraturan
Umum Bab V Pasal 55 dan 56 KHUP diatur Penyertaan dalam tindak
pidana sehingga dapat menjerat para peserta lainnya yang turut andil
-
50
dalam tindak pidana pembunuhan sesuai dengan kualifikasi peserta
meskipun sepenuhnya tidak memenuhi semua unsur-unsur yang
dimaksud dengan menjuntohkan Pasal 338 dengan Pasal 55 atau 56
KUHP.
Bentuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam Pasal 55
dan 56 KUHP. Pasal 55 mengenai golongan yang disebut mededader
(disebut para peserta, atau para pembuat), dan Pasal 56 mengenai
medeplichtige (pembuat pembantu). Adapun kualifikasi peyertaan dalam
tindak pidana pembunuhan akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Orang yang melakukan (pembuat pelaksana : Pleger)
Seorang pleger itu adalah orang yang karena perbuatannya yang
melahirkan tindak pidana itu , tanpa ada perbuatan pelaksana ini tindak
pidana itu tidak akan terwujud, maka dari sudut pandang ini seorang
pleger harus sama dengan syarat seorang dader. Perbuatan seorang
pleger juga harus memenuhi semua unsur tindak pidana dader.
Perbedaannya dengan dader adalah, bagi seorang pleger masih
diperlukan keterlibatan minimal seorang lainnya, baik secara psikis,
misalnya teribat dengan seorang pembuat penganjur; atau terlibat
secara fisik, misalnya dengan pembuat peserta atau pembuat
pembantu. Jadi seorang pleger diperlukan sumbangan dari peserta
lain dalam mewujudkan tindak pidana. Tetapi keterlibatan dalam hal
sumbangan peserta lain ini, perbuatannya haruslah sedemikian rupa
-
51
sehingga perbuatannya tidak semata-mata untuk menentukan untuk
terwujudnya tindak pidana yang dituju.54
Dalam tindak pidana pembunuhan yang merupakan tindak pidana
materiil yang dilihat adalah akibat dari perbuatannya menyebabkan
nyawa orang lain meninggal, maka seorang pleger adalah orang yang
secara sadar karena perbuatanya menyebabkan hilangnya nyawa
orang lain.
2. Mereka yang menyuruh melakukan (pembuat penyuruh:Doen
Pleger)
Dalam MvT WvS Belanda, yang menyatakan bahwa:
“yang menyuruh melakukan adalah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi secara tidak pribadi, melainkan dengan perantaraan orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajannya, kealpaan atau tanggung jawab karena kedaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada kekerasan.”
Dari keterangan MvT itu dapat ditarik unsur-unsur dari bentuk
pembuat penyuruh, yaitu:55
a. Melakukan tindak pidana melalui perantara orang lain sebagai
alat didalam tangannya.
b. Orang itu berbuat
54 Adami Chazawi,Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan, Raja
Grafindo Pustaka, Jakarta, 2002,hlm : 86-87
55Ibid.,hlm.88
-
52
1. Tanpa kesengajaan;
2. Tanpa kealpaan;
3. Tanpa tanggung jawab oleh sebab keadaan:
a) Yang tidak diketahuinya
b) Karena disesatkan
c) Karena tunduk pada kekeraasan.
Dari keterangan MvT tersebut dapatlah disimpulkan tentang
pembuat penyuruh, pastilah dia yang menguasai orang lain, sebab
orang lain itu sebagai alat, orang inilah yang sesungguhnya
mewujudkan tindak pidana. Sedangkan pembuat penyuruhnya tidak
melakukan sesuatu perbuatan aktif, perbuatan pelaku penyuruh tidak
melahirkan tindak pidana. Oleh karena orang lain itu sebagai alat, maka
orang yang disuruh melakukan itu disebut Manus Minestra. Sedangkan
pembuat penyuruhnya yang menguasai orang lain sebagai alat, maka
orang yang berkualitas demikian disebut dengan Manus Domina yang
dalam doktrin sering disebut dengan middelijke dader (pembuat tidak
langsung)
Menurut Molejatno, kemungkinan-kemungkinan tidak dapat
dipidananya orang yang disuruh, karena:56
a. Tidak mempunyai kesengajaan, keaalpaan, ataupun
kemampuan bertanggung jawab;
56Ibid.,hlm.96
-
53
b. Berdasarkan Pasal 44 KUHP, tidak sempurna akalnya;
c. Dalam keadaan daya paksa Pasal 48 KUHP;
d. Bedasarkan Pasal 51 ayat (2) KUHP, karena perintah jabatan;
e. Orang yang disuruh tidak mempunyai sifat/ kualitas yang
disyaratkan dalam delik, misalnya Pasal 413-437 KUHP.
Bagi Ultrecht berbeda cara dalam melihat sebab mengapa minus
minestra, yaitu:57
a. Pertama, minus minestra itu sebenarya tidak melakukan tindak
pidana, atau perbuatan yang diperbuatnya tidaklah dapat
dikualifikaskan sebagai tindak pidana.
b. Kedua, minus minestra dalam berbuat yang dalam
kenyataannya adalah tindak pidana,oleh beberapa sebab yang
menghapuskan kesalahan (schulduitsluitingsgronden) pada diri
pembuat materiilnya itu.
Diberikan contoh, A berniat membunuh B, tetapi karena tidak
berani melakukan sendiri, telah menyuruh C (seorang gila/cacat
mentalnya) untuk melemparkan granat tangan kepada B, bila C betul-
betul melemparkan granat itu, sehingga B mati maka C tidak dapat
dihukum karena tidak dapat dipertanggung jawabkan, sedangkan yang
dihukum sebagai pembunuh adalah A.58
57Ibid.,hlm.96 58 R.Soesilo.KUHP. 1995.Politea. Bogor.hlm. 73
-
54
3. Mereka yang Turut Serta Melakukan (Pembuat Peserta:
Medepleger)
Pada mulanya disebut dengan turut berbuat (meedoet) itu ialah
bahwa pada masing-masing peserta telah melakukan perbuatan yang
sama-sama memenuhi semua rumusan tindak pidana yang
bersangkutan. Ada dua pandangan dalam menentukan keturut sertaan,
yaitu:59
a. Pandangan sempit yang dianut oleh Van Hamel dan Trapman
yang berpendapat bahwa turut serta melakukan terjadi apabila
perbuatan masing-masing peserta memuat semua unsur tindak
pidana;
b. Pandangan luas tentang pembuat peserta, tidak mensyaratkan
pelaku peserta harus sama dengan perbuatan seorang
pembuat (dader), perbuatannya tidak perlu memenuhi semua
unsur indak pidana, sudah cukup memenuhi sebagaian saja
dari rumusan tindak pidana, asalkan kesengajaannya sama
dengan kesengajaan dari pembuat pelaku pelaksana.
Hoge Road dalam arrestnya ini telah meletakkan dua kriteria
tentang adanya dua bentuk pembuat peserta, yaitu:60
59 Adami Cahazawi, Op.cit., hlm. 99-100 60Ibid.,hlm.102.
-
55
a. Antara para peserta ada kerja sama yang diinsyafi, yaitu
kesengajaan yang ditujukan dalam kerja samanya untuk
mewujudkan delik , ialah berupa keinsyafan/kesadaran seorang
peserta terhadap peserta lainnya mengenai apa yang diperbuat
oleh masing-masing dalam rangka mewujudkan tindak pidana
yang dikehendaki. Kerja sama yang diinsyafi tidak perlu berupa
permufakatan yang rapi dan formal yang dibentuk dalam
pelaksanaan, tetapi sudahlah cukup dengan adanya pengertian
yang sedemikian rupa antara mereka dalam mewujudkan
perbuatan oleh yang satunya terhadap perbuatan yang lainnya,
ketika berlangsungnya pelaksanaan.
b. Pada peserta telah sama-sama melaksanakan tindak pidana
yang dimaksudkan, yakni syarat objektif yang ditentukan oleh
Hoge Road. Dari syarat ini terkandung makna bahwa wujud
perbuatan masing-masing antara pembuat peserta dengan
pembuat pelaksana tidaklah perlu sama, yang penting wujud
perbuatan pembuat peserta itu sedikit atau banyak terkait dan
mempunyai hubungan dengan perbuatan apa yang dilakukan
pembuat pelaksana dalam sama-sama mewujudkan tindak
pidana. Perbuatan pembuat peserta sedikit atau banyak ada
peranannya atau andilnya tahu sumbangan bagi terwujudnya
tindak pidanayang sama-sama dikehendaki.
-
56
Sebagaimana di atas telah diterangkan bahwa kesengajaan
pembuat peserta adalah sama dengan kesengajaan pembuat
pelaksana, sama-sama ditujukan pada semua unsur tindak pidana,
atau dengan kata lain sama-sama ditujukan pada penyelesaian tindak
pidana.
Seperti contoh pada kasus pembunuhan A dan B sama-sama
berkehendak untuk mebunuh C, dan tidaklah ada pembuat peserta
dalam hal apabila A berkehendak untuk membunuh C sedangkan B
berkehendak untuk menganiaya C. Untuk menentukan siapa diantara A
dan B mewujudkan perbuatan (Pleger), dapat diketahui setelah mereka
melaksanakan pembunuhan itu. Siapa diantara A dan B mewujudkan
perbuatan dimana perbuatan itu yang menyebabkan matinya C, atau
siapa yang perbuatannya yang terkuat menjadi penyebab kematian,
dialah sebagai pembuat pelaksana (Pleger).Misalnya A mengampak
kepala C dan pecah, sedang B memukul badan dengan pentungan,
maka dapat dipastikan pecahnya kepala itulah yang mengakibatkan
kematian, dan A adalah pelaku pelaksananya. Persoalannya
bagaimana jika mereka sama-sama mengampak kepala, maka pada
siapa yang mengampak pertamalah yang merupakan pembuat
pelaksana karena mengampak berikutnya oleh temannya adalah
-
57
berperan mempercepat kematian, dan bukan menentukan akibat
kematian.61
Perbedaan antara pembuat peserta dengan pembuat pelaksana
dari sudut objektif, secara tepat telah dilukiskan oleh Mahkamah Agung
dalam petimbangan putusannya tertanggal 26 Juli 1971 (No.15
K/Kr/1970), yang menyatakan bahwa “perbuatan terdakwa II yang
mengancam dengan pistol tidak memenuhi semua unsur di dalam
Pasal 339 KUHP, terdakwa I-lah memukul si korban. Karena itu
terdakwah yang tepat adalah “turut melakukan” tindak pidana
(medeplegen), sedangkan pembuat materiilnya ialah terdakwa I.62
4. Orang Yang Sengaja Menganjurkan (Penganjur: Uitlokker).
Tidak semua pembujukan untuk melakukan tindak pidana dikenai
hukuman, tetapi hanya pembujukan dengan cara-cara yang disebutkan
dalam Pasal 55 ayat (1) Nomor 2. Mula-mula hanya pemberian
kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, paksaan
ancaman, atau penipuan, cara-cara ini ditambah dengan memberikan
kesempatan, sarana atau keterangan.
Apabila rumusan Pasal 55 ayat (1) hendak dirinci, maka unsur-
unsurnya adalah:63
1. Unsur-unsur objektif
61Ibid.,hlm. 107-108. 62Ibid.,hlm. 108. 63Ibid.,hlm.102.
-
58
a. Unsur perbuatan, ialah menganjurkan orang lain melakuan
perbuatan;
b. Caranya, ialah:
1. Dengan memberikan sesuatu;
2. Menjanjikan sesuatu;
3. Dengan menyalahgunakan kekuasaan;
4. Menyalahgunakan martabat;
5. Dengan kekerasan;
6. Dengan ancaman;
7. Dengan penyesatan;
8. Dengan memberi kesempatan;
9. Dengan memberikan sarana;
10. Dengan memberikan keterangan.
2. Unsur subjektif, yakni dengan sengaja.
Dari rumusana tersebut di atas, dapat disimpulkan ada 5 syarat
dari seorang pembuat penganjur, ialah:
a. Pertama, tentang kesengajaan si pembuat penganjur yang
harus ditujukan pada 4 hal, yaitu:
1) Ditujukan pada digunakannya upaya-upaya penganjuran;
2) Ditujukan pada mewujudkan perbuatan mengan jurka
beserta akibatnya;
3) Ditujukan pada orang lain untuk melakukan perbuatan
(apa yang dianjurkan); dan
-
59
4) Ditujukan pada orang lain yang mampu bertanggung
jawab atau dapat dipidana.
b. Kedua, dalam melakukan perbuatan menganjurkan harus
menggunkan cara-cara menganjurkan sebagaimana yang
ditentukan Pasal 55 ayat (1) angka 2 tersebut.
c. Ketiga, terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan
(pembuat pelaksananya) telah melaksaanakan tindak pidana
sesuai denga apa yang dianjurkan adalah disebabkan
langsung oleh digunakannya upaya-upaya penganjuran oleh
si pembuat penganjur (adanya psychische causaliteit)
d. Keempat, orang yang dianjurkan (pembuat pelaksananya)
telah melakukan tindak pidana sesuai dengan yang
dianjurkan (boleh pelaksanaan itu selesai tindak pidana
sempurna dan boleh juga terjadi percobaannya).
e. Kelima, orang yang dianjurkan adalah adalah orang yang
memiliki kemampuan bertanggung jawab.
Menurut ayat 2 dari Pasal ini maka pertanggung-jawab pembujuk
dibatasi hanya sampai pada apa yang dibujukkan untuk dilakukan itu
serta akibatnya. Misalnya A membujuk B dengan memberikan uang
untuk menganiaya C. Andaikata B tidak menganiaya saja pada C akan
tetapi membunuhnya, maka A hanya dapat dipertanggungjawabkan
atas membujuk menganiaya saja, bukan membujuk membunuh tetapi B
sebagai orang yang dibujuk untuk menganiaya dipersalahkan karena
-
60
membunuh. Lain halnya jika B menganiayanya, tetapi penganiayaan ini
kelebihan, sehingga berakibat yang dianiaya itu mati (yang sebenarnya
tidak dimaksudkan oleh A, dan juga B), maka A mengakibatkan matinya
orang, oleh karena matinya orang itu merupakan akibat penganiayaan
tersebut.64
Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta 18 Februari 1936
menentukan, bahwa barang siapa yang mengadakan perjanjian dengan
orang lain lagi supaya melakukan pembunuhan dengan direncanakan
lebih dahulu itu, apabila pembunuhan itu jadi dilakukan, maka ia salah
dengan sengaja membujuk untukk melakukan pembunuhan dengan
direncanakan terlebih dahulu, supaya dapat dihukum karena
pembujukan tidak perlu, bahwa orang mendapati sendiri pembuat
materil.
Persamaan dan perbedaan antara bentuk pembuat penyuruh
dengan pembuat penganjur:65
a. Persamaan, ialah:
(1) Pada kedua bentuk, baik pembuat penyuruh maupun
pembuat penganjur tidak melakukan sendiri tindak pidana
melainkan menggunakan atau melalui orang lain
64 R.Soesilo.Op.cit.,hlm.74.
65 Adami Chazawi. Op.cit.,hlm.135.
-
61
(2) Kesengajaan mereka dalam melakukan penganjuran
maupun dalamm menyuruh melakukan masing-masing
ditujukan pada penyelesaian tindak pidana dengan
menggunakan orang lain.
b. Perbedaannya, ialah:
(1) Dalam hal melakukan penganjuran harus menggunakan
cara-cara yang telah ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2