pendahuluan latar belakang -...

34
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri atas beribu pulau, yang didiami oleh berbagai suku bangsa. Setiap suku bangsa mempunyai bahasa daerah dengan ciri khasnya masing-masing yang masih tetap digunakan sebagai alat komunikasi di antara penuturnya, baik di wilayah geografis bahasanya maupun di luar wilayahnya. Kebiasaan menggunakan bahasa daerah sendiri di luar wilayah bahasa itu menyebabkan terciptanya beberapa masyarakat yang dwibahasa (bilingual) bahkan dapat membentuk masyarakat yang multibahasa (multilingual). Menurut kamus linguistik (2011) bilingualisme adalah penggunaan dua bahasa atau lebih oleh suatu masyarakat. Istilah ini disebut juga dengan kedwibahasaan. Orang yang dapat menggunakan dua bahasa disebut dwibahasawan atau orang yang bilingual. Pada masyarakat dwibahasa ataupun multibahasa, terdapat pola kedwibahasaan yang mampu menunjukkan kedudukan dan fungsi bahasa yang terdapat di dalam bahasa masyarakat, yaitu terdiri dari B1 atau disebut sebagai bahasa ibu dan B2. Dengan adanya dwibahasa atau multibahasa tersebut maka akan menuntut masyarakat penutur bahasa untuk menentukan sikap bahasa karena adanya pilihan bahasa. Seperti diutarakan oleh Ditmar (1976:181) bahwa sikap ditandai oleh sejumlah ciri-ciri, antara lain meliputi pilihan bahasa dalam masyarakat multilingual, distribusi perbendaharaan bahasa, perbedaan dialek dan

Upload: doanthuan

Post on 08-Mar-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri atas beribu

pulau, yang didiami oleh berbagai suku bangsa. Setiap suku bangsa mempunyai

bahasa daerah dengan ciri khasnya masing-masing yang masih tetap digunakan

sebagai alat komunikasi di antara penuturnya, baik di wilayah geografis

bahasanya maupun di luar wilayahnya. Kebiasaan menggunakan bahasa daerah

sendiri di luar wilayah bahasa itu menyebabkan terciptanya beberapa masyarakat

yang dwibahasa (bilingual) bahkan dapat membentuk masyarakat yang

multibahasa (multilingual). Menurut kamus linguistik (2011) bilingualisme adalah

penggunaan dua bahasa atau lebih oleh suatu masyarakat. Istilah ini disebut juga

dengan kedwibahasaan. Orang yang dapat menggunakan dua bahasa disebut

dwibahasawan atau orang yang bilingual.

Pada masyarakat dwibahasa ataupun multibahasa, terdapat pola

kedwibahasaan yang mampu menunjukkan kedudukan dan fungsi bahasa yang

terdapat di dalam bahasa masyarakat, yaitu terdiri dari B1 atau disebut sebagai

bahasa ibu dan B2. Dengan adanya dwibahasa atau multibahasa tersebut maka

akan menuntut masyarakat penutur bahasa untuk menentukan sikap bahasa karena

adanya pilihan bahasa. Seperti diutarakan oleh Ditmar (1976:181) bahwa sikap

ditandai oleh sejumlah ciri-ciri, antara lain meliputi pilihan bahasa dalam

masyarakat multilingual, distribusi perbendaharaan bahasa, perbedaan dialek dan

2

problem yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antar individu. Misalnya,

ketika suatu bangsa yang memiliki cukup banyak bahasa daerah hendak

menentukan bahasa nasionalnya. Pemilihan satu bahasa di antara sekian banyak

bahasa yang dimiliki bangsa tersebut sudah barang tentu dirasakan pada sikap

positif masyarakat terhadap bahasa yang dipilihnya itu. Tanpa sikap yang

demikian hampir tidak mungkin suatu masyarakat rela menyampingkan bahasa

kelompok etniknya dan menyetujui dipilihnya bahasa lain sebagai bahasa

nasional. Hal ini mengingat bahwa sikap bahasa merupakan salah satu faktor yang

menentukan kelangsungan hidup suatu bahasa sebab begeser atau punahnya suatu

bahasa sangat ditentukan oleh keputusan berdasarkan sikap bahasa dari

masyarakat itu sendiri.

Sikap bahasa itu dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu sikap

terhadap bahasa dan sikap berbahasa. Sikap terhadap bahasa penekanannya tertuju

pada tanggung jawab dan penghargaannnya terhadap bahasa, sedangkan sikap

berbahasa ditekankan kesadaran diri dalam menggunakan bahasa secara tertib

(Pateda, 1987:30). Begitu juga halnya dengan Anderson (1974:47) yang membagi

sikap menjadi dua jenis, namun beliau mengelompokkannya menjadi sikap bahasa

dan sikap nonbahasa. Menurutnya, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau

kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai

objek bahasa, yang memberikan kecenderungan seseorang untuk bereaksi dengan

cara tertentu, dengan cara yang disenanginya. Adapun reaksi yang ditimbulkan

dapat berupa sikap positif dan sikap negatif. Sedangkan, sikap nonbahasa yang

beliau maksud adalah seperti sikap politik, sikap sosial dan sikap estetis.

3

Garvin dan Mathiot (dalam Fishman, 1968) menyebutkan bahwa sikap

bahasa itu setidaknya mengandung tiga ciri pokok, yaitu (1) kesetiaan bahasa, (2)

kebanggaan bahasa, dan (3) kesadaran norma bahasa. Ketiga ciri sikap bahasa

tersebut berkaitan dengan dasar pemilihan seseorang terhadap suatu bahasa di

antara sekian bahasa yang akan digunakan sebagai alat komunikasi, apakah

bersikap positif atau bersikap negatif (Suwito, 1985:90). Apabila ketiga ciri

bahasa ini dimiliki seseorang maka orang tersebut dikatakan memiliki sikap yang

positif terhadap bahasanya. Sebaliknya, jika seseorang atau sekelompok anggota

masyarakat tutur tidak ada lagi gairah atau dorongan untuk mempertahankan

kemandirian bahasanya, maka orang tersebut memiliki sikap negatif terhadap

bahasanya (Garvin dan Mathiot, 1968).

Sikap-sikap bahasa muncul sebagai bagian dari kajian sosiolinguistik

karena memandang masyarakat yang dikajinya sebagai masyarakat yang beragam,

setidak-tidaknya dalam hal penggunaan atau pilihan ragam bahasa mereka. Oleh

karena itu, peneliti sangat tertarik untuk meneliti mengenai sikap bahasa pada

masyarakat Batak Toba. Adapun daerah yang menjadi objek penelitian ini adalah

Kelurahan Hutabarangan yang merupakan salah satu dari empat kelurahan yang

ada di Kecamatan Sibolga Utara yang menjadi bagian dari Kota Sibolga.

Kota Sibolga merupakan salah satu wilayah pantai Barat Sumatera Utara

yang terletak di Teluk Tapian Nauli, ± 350 km Selatan Kota Medan. Secara

geografis wilayah Sibolga terletak antara 1º 42' - 1º 46' Lintang Utara dan 98º 44' -

98º 48' Bujur Timur. Sibolga sudah sejak lama merupakan pintu gerbang kegiatan

ekspor dan impor berbagai komoditas. Sejak dijadikan daerah otonom tahun 1956,

4

Kota Sibolga mengandalkan Pelabuhan Laut Sibolga dan potensi perairannya

sebagai sumber kehidupan penduduk sehingga banyak etnik yang berdatangan dan

tinggal di kota Sibolga. Etnik-etnik pendatang tersebut antara lain Mandailing,

Melayu, Nias, Jawa, Minang, Bugis, Aceh, dan suku-suku lain dari Indonesia

bagian timur. Selain itu, terdapat pula beberapa pendatang asing seperti etnis

Tionghoa, India, dan Arab yang semua etnik itu hidup berdampingan dengan etnik

asli Kota Sibolga, yakni etnik Batak Toba. Seiring waktu, hal ini lah yang

menjadikan Kota Sibolga dikenal dengan julukannya Negeri Berbilang Kaum

“Negeri Beragam Penduduk” yang artinya menggambarkan kondisi

masyarakatnya yang majemuk.

Dengan latar keanekaragaman etnik tersebut, sehingga memunculkan

masyarakat yang bilingual atau multilingual di Kota Sibolga, sehingga menuntut

masyarakat penutur bahasa Batak Toba yang tinggal di Kelurahan Hutabarangan,

Kecamatan Sibolga Utara, Kota sibolga untuk menentukan sikap bahasanya,

apakah cenderung positif atau negatif terhadap bahasa Batak Toba. Oleh karena

itu, kajian mengenai sikap bahasa ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam dari

sudut pandang sosiolinguistik.

1.2. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka

masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimanakah situasi kebahasaan di Kelurahan Hutabarangan,

Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara?

5

2. Bahasa apakah yang digunakan masyarakat Batak Toba pada masing-

masing ranah penggunaan bahasa di Kelurahan Hutabarangan,

Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga, Provinsi Sumatera Utara?

3. Bagaimanakah sikap bahasa masyarakat Batak Toba terhadap bahasa

Batak Toba di Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan Sibolga Utara,

Kota Sibolga, Provinsi Sumatera Utara, apakah cenderung positif atau

negatif?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan

dari penelitian ini adalah

1. Mendeskripsikan situasi kebahasaan masyarakat Batak Toba di

Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga

Provinsi Sumatera Utara.

2. Mengidentifikasi bahasa yang digunakan masyarakat Batak Toba pada

masing-masing ranah penggunaan bahasa di Kelurahan Hutabarangan,

Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara.

3. Mendeskripsikan kecenderungan sikap bahasa masyarakat Batak Toba

terhadap bahasa Batak Toba di Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan

Sibolga Utara, Kota Sibolga, Provinsi Sumatera Utara, yakni

cenderung positif atau negatif.

6

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis

maupun manfaat secara praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat untuk memberi informasi mengenai kelestarian bahasa Batak Toba

terhadap tekanan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang kuat diakibatkan

oleh tingginya mobilitas para penuturnya. Sementara itu, manfaat bagi dunia

akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi bidang

pengajaran bahasa sebagai bahan masukan dalam menentukan kebijakan

pengajaran bahasa daerah, terutama dalam tingkat pendidikan dasar. Secara

praktis, diharapkan hasil penelitian ini memberikan informasi yang sangat

bermanfaat bagi masyarakat Batak Toba yang tinggal di Kota Sibolga untuk

terciptanya kesadaran berbahasa Batak Toba yang positif, yakni setia, bangga, dan

menjaga norma bahasa Batak Toba agar bahasa daerah itu tetap dapat memenuhi

perannya sebagai penanda identitas etnis.

1.5. Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau ; pandangan ; pendapat sesudah

menyelidiki, mempelajari, dsb (KBBI, 2003:18). Pustaka adalah kitab ; buku ;

buku primbon (KBBI, 2003:912) maka peneliti dapat simpulkan bahwa tinjauan

pustaka adalah hasil meninjau pendapat ataupun pandangan yang telah dituliskan

dalam sebuah buku atau karya ilmiah lainnya.

Berdasarkan pengertian di atas, maka peneliti berusaha meninjau sejumlah

sumber yang relevan untuk dikaji dalam penelitian ini karena jenis penelitian yang

7

berkaitan dengan sikap bahasa pada dasarnya pernah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya. Hal ini sangat bermanfaat sebagai bahan perbandingan untuk

menentukan keaslian penelitian ini. Adapun penelitian yang pernah dilakukan

tersebut adalah sebagai berikut:

Kamsiah (2000) dalam penelitian yang dikembangkan dari penelitian

tesisnya meneliti tentang “Sikap, Penguasaan dan Penggunaan Bahasa Melayu di

Singapura”. Latar belakang penelitiannya adalah disebabkan situasi bahasa di

Singapura yang semakin kompleks akibat terdapatnya penggunaan empat bahasa

resmi, yaitu Mandarin, Melayu, Tamil, dan Inggris. Bahasa Inggris yang

digunakan sebagai bahasa asing untuk mengadakan hubungan sejak zaman

penjajahan, dua dekade terakhir muncul sebagai bahasa resmi terpenting dalam

segala segi kehidupan. Terkait dengan sikap responden terhadap bahasa Melayu

dan Inggris, diperoleh data yang menunjukkan bahwa responden bersikap lebih

positif terhadap bahasa Inggris daripada terhadap bahasa Melayu. Adapun alasan

yang diberikan responden adalah disebabkan oleh kepentingan bahasa itu dalam

komunikasi dalam bidang perdagangan, pendidikan, dan dalam mempelajari

teknologi dan sains.

Suhardi (1996) meneliti sikap berbahasa pada sekelompok sarjana dan

mahasiswa di Jakarta dalam disertasinya yang berjudul “Sikap Bahasa: Suatu

Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana dan Mahasiswa di Jakarta”.

Penelitian ini lebih bersifat kuantitatif. Menurutnya, sikap mereka terhadap bahasa

daerah, bahasa Indonesia dan bahasa asing itu berkaitan dengan fungsi bahasa

yang bersangkutan. Sikap positif mereka terhadap bahasa daerah didasarkan pada

8

fungsi integratif bahasa itu dikalangan penuturnya; sikap mereka positif terhadap

bahasa Indonesia mengingat fungsi integratif dan fungsi instrumentalnya

sekaligus kaitannya dengan kemungkinannya berintegrasi sosial yang lebih luas;

sedangkan sikap mereka positif terhadap bahasa asing, khususnya bahasa Inggris,

semata-mata karena fungsi instrumental bahasa yang bersangkutan.

Siregar, dkk. (1998) menyatakan bahwa pengkajian sikap bahasa telah

muncul sebagai bagian penting dari kajian sosiolinguistik. Hasil penelitiannya

mengenai Pemertahanan Bahasa dan Sikap Bahasa Kasus Masyarakat Bilingual

di Medan menunjukkan bahwa sikap bahasa masyarakat kotamadya Medan

menggambarkan hubungan efektif tertentu antara penutur bahasa dengan

bahasanya atau dengan bahasa lainnya dari kelompok etnik yang berbeda. Sikap

bahasa cenderung tidak diikuti dengan perilaku yang cenderung pemertahanan

bahasa. Sementara itu, dari segi sikap bahasa, penutur bahasa menunjukkan

dukungannya terhadap kelangsungan bahasa daerah sebagai pemarkah kelompok

etnik atau jati diri etnik seseorang. Namun, dari segi perilaku pemilihan bahasa,

penutur ini tidak menunjukkan aturannya di dalam menggunakan bahasa daerah

sebagai lambang kedaerahan.

Balai Bahasa Jawa Tengah juga pernah melakukan penelitian mengenai

Sikap Siswa SMP di eks-karesidenan Semarang terhadap bahasa Jawa. Penelitian

ini menggunakan pendekatan gabungan, yaitu sosiologi dan psikologi karena

berkaitan dengan nilai-nilai budaya dalam suatu masyarakat dan kondisi kognitif

individu. Data dalam penelitian ini berupa pernyataan responden tentang sikapnya

terhadap bahasa Jawa yang dikumpulkan dengan teknik angket dan wawancara.

9

Alat ukur yang digunakan untuk meneliti sikap bahasa ini adalah model skala

Likert dan model Trustone. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum

siswa memiliki sikap positif terhadap bahasa Jawa.

Kemudian terdapat penelitian tentang kesetiaan berbahasa yang dilakukan

oleh Deni Karsana mahasiswa S2 di Universitas Gadjah Mada (2009) dalam

tesisnya yang berjudul “Kesetiaan Berbahasa Etnik Sunda di Daerah Istimewa

Yogyakarta”. Penelitiannya difokuskan pada ranah usaha dan ranah pendidikan

karena menurut Karsana, alasan terbesar etnik sunda merantau ke Yogyakarta

adalah dikarenakan ingin membuka usaha dan ingin menempuh pendidikan.

Kemudian pada hasil akhir penelitiannya menunjukkan bahwa masih tingginya

kesetiaan berbahasa pada etnik Sunda dan masih adanya pemertahanan bahasa

Sunda. Namun, tingginya frekuensi pemakaian sebuah bahasa oleh seseorang atau

masyarakat belum menjamin bahwa seseorang atau masyarakat tersebut

mempunyai kesetiaan bahasa yang tinggi terhadap bahasa itu. Kesetiaan

berbahasa yang tinggi pada etnik Sunda di D.I. Yogyakarta memperlihatkan

adanya pemertahanan bahasa Sunda.

Penelitian selanjutnya berkaitan dengan fenomena diglosia dan sikap

kebahasaan yang dilakukan oleh Elisten Parulian Sigiro (2009) yang

memfokuskan pada penutur bahasa Simalungun yang tinggal di Kota

Pematangsiantar. Penelitian ini juga mengguanakan teori ranah penggunaan

bahasa dengan memfokuskan pada sembilan ranah, yakni ranah kekeluargaan,

pergaulan, pekerjaan, pemerintahan, adat, transaksi, terminal, keagamaan, dan

tetangga. Data dalam penelitian ini berupa pernyataan responden tentang situasi

10

diglosia dan sikap penutur bahasa Simalungun terhadap bahasanya yang

dikumpulkan dengan teknik angket. Alat ukur yang digunakan untuk meneliti

sikap bahasa ini adalah model skala Likert. Hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa kemampuan berbahasa Simalungun oleh para responden pada dasarnya

cukup tinggi. Namun, bila ditinjau berdasarkan pilihan bahasa terhadap bahasa

yang paling sering digunakan dalam keseharian dapat disimpulkan bahwa sikap

bahasa responden terhadap bahasa Simalungun cenderung negatif.

Kajian lain yang diambil manfaatnya dalam penelitian ini adalah kajian

Gal (1979) dan Fasold (1984). Dimana dua kajian ini dipilih karena mereka dalam

menganalisis datanya, memakai model konfigurasi dominasi (dominance

configuration). Konfigurasi ini digambarkan dalam bentuk tabel yang

mengandung komponen penutur, interlokutor, dan ranah, serta pilihan bahasa

yang dipakai, sesuai dengan data yang diperoleh dari kuisioner laporan-pribadi.

Data deskriptif yang menyangkut subjek-subjek dari berbagai usia itu ternyata

dapat menggambarkan hasil yang bersifat historis, yaitu perkembangan bahasa

yang dipilih oleh penutur generasi tua dan penutur generasi muda. Dengan cara itu

terlihat juga konfirugasi ranah-ranah mana yang menjadi wilayah pemertahanan

sesuatu bahasa-ibu yang dikaji.

Berdasarkan hasil tinjauan pustaka di atas, maka dapat dipahami jelas

bahwa sikap bahasa merupakan kajian yang diawali karena adanya kedwibahasaan

atau multibahasa di dalam suatu masyarakat, sehingga para peneliti sebelumnya

berusaha untuk melihat bagaimana sikap para penutur bahasa tersebut terhadap

bahasa-bahasa yang hidup di wilayah bahasanya, apakah sikap bahasanya

11

cenderung masih positif atau negatif. Begitu juga halnya yang akan peneliti

lakukan di dalam penelitian ini, berangkat dari latar belakang masyarakat Batak

Toba yang dwibahasa atau multibahasa, peneliti mencoba untuk mengkaji situasi

kebahasaan yang terjadi di Kelurahan Hutabarangan, Kelurahan hutabarangan,

Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga Provinsi

Sumatera Utara dengan mengamati sikap bahasanya: positif atau negatif.

1.6. Landasan Teori

Sehubungan dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka

penulis berusaha mengkaji penelitian ini dengan berlandaskan pandangan para

ahli yang ditinjau berdasarkan teori sosiolinguistik. Berikut adalah pandangan

para ahli yang penulis kutip yang dapat dijadikan pedoman untuk mendukung

penelitian ini.

1.6.1. Sosiolinguitik

Sesuai namanya sosiolinguistik, yang terdiri dari kata sosio dan linguistik

sehingga dapat kita gambarkan secara langsung bahwa bidang ini mengarah pada

hubungan bahasa dan masyarakat. Hubungan keduanya mengkaitkan dua bidang

yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan

struktur masyarakat oleh sosiologi (wardhaugh, 1984:4 ; holmes, 1993:1 ;

Hudson, 1996:2).

Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dapat dilihat atau

didekati sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan

dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat

12

manusia (Chaer, 2010:3). Seperti halnya Fishman (1972:1) menyatakan bahwa

sosiolinguistik menyoroti keseluruhan masalah yang berhubungan dengan

organisasi sosial perilaku bahasa, tidak hanya mencakup pemakaian bahasa,

perilaku terhadap bahasa saja, melainkan juga sikap-sikap bahasa, perilaku

terhadap bahasa dan pemakai bahasa.

Sikap-sikap bahasa muncul sebagai bagian dari sosiolinguistik karena

memandang masyarakat yang dikajinya sebagai masyarakat yang beragam,

setidak-tidaknya dalam hal penggunaan atau pilihan ragam bahasa mereka. Fasold

(1984) menyatakan bahwa sosiolinguistik itu hanya ada sebagai bidang kajian

karena ada pilihan-pilihan dalam penggunaan bahasa. Hal ini dibuktikan dengan

munculnya istilah bilingualisme atau multilingualisme sosietal yang menunjukkan

adanya kenyataan bahwa di dalam suatu masyarakat terdapat beberapa bahasa.

1.6.2. Sikap

Langkah awal yang perlu diketahui adalah mengenai teori sikap itu sendiri.

Sikap adalah perasaan seseorang tentang obyek, aktivitas, peristiwa, dan orang

lain. Sikap bersifat kompleks, karena pembentukannya melibatkan semua aspek

kepribadian, yaitu kognisi, afeksi, dan konasi. Seperti yang diutarakan oleh

Lambert dalam Baker (1992) yang mengutip pendapat Plato menetapkan bahwa

sikap terbagi atas tiga komponen, yaitu (1) komponen kognitif, (2) komponen

afektif, dan (3) komponen konatif. Komponen kognitif menyangkut pengetahuan

mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang

dipakai dalam proses berpikir. Komponen afektif menyangkut perasaan atau

13

emosi terhadap sesuatu. Biasanya menyangkut nilai rasa “baik atau tidak baik”,

“senang atau tidak senang” yang membawa seseorang untuk memiliki sikap

positif atau negatif terhadap sesuatu tersebut. Komponen konatif menyangkut

perilaku yang menunjukkan kecenderungan seseorang untuk berbuat atau bereaksi

dengan cara tertentu terhadap suatu keadaan. Dengan demikian sikap terhadap

sesuatu menunjukkan besarnya nilai keyakinan dan hasil evaluasi tentang objek

sikap, yang akhirnya melahirkan keputusan senang atau tidak senang, setuju atau

tidak setuju, menerima atau menolak terhadap keberadaan objek sikap (Allport

dalam Mar’at, 1984:13).

Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah berupa perasaan mendukung

(arah positif) atau tidak mendukung (arah negatif) (Berkowizd dalam Azwar,

1983:3). Selanjutnya azwar (2001) mengemukakan faktor yang menentukan

bentuk respon individu, yaitu suka atau tidak suka, mendukung atau tidak

mendukung terhadap stimulus yang diterima yaitu objek sikap tergantung pada

berbagai faktor, antara lain latar belakang pengetahuan dan motivasi.

Sikap juga merupakan suatu tingkat afek positif dan negatif yang

berhubungan dengan objek psikologik (Trustone dalam Mar’at, 1984:147). Sikap

dapat dikatakan suatu reaksi emosional terhadap suatu objek psikologis. Reaksi

yang timbul bisa bersifat positif atau negatif. Sikap juga dapat berupa suasana

batin seseorang. Seseorang yang menyetujui terhadap suatu objek akan

menunjukkan sikap mendukung atau sebaliknya.

Sikap memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu 1) arah sikap, merupakan afek yang

membekas dirasakan terhadap suatu objek, dapat bersifat negatif atau positif. ; 2)

14

derajat perasaan, merupakan derajat penilaian terhadap sesuatu objek tertentu

dengan istilah baik dan buruk dengan kontinum berkisar dari arah negatif sampai

positif (Newcomb et al, 1977:1981). Ciri-ciri sikap juga dikemukakan oleh

Gordon (1960:293) yaitu: 1) sebagai suatu kesiapan untuk merespon, 2) bersifat

individual, 3) membimbing perilaku, 4) bersifat bawaan dan merupakan hasil

belajar. Selanjutnya Rochman (1984:230) mengemukakan ciri sikap adalah suatu

kesiapan yang kompleks dari seorang individu untuk memperlakukan suatu objek.

Kesiapan itu mempunyai aspek kognisi, afeksi, dan kecendrungan bertindak yang

dapat disimpulkan dari prilaku individu itu sendiri. Kesiapan itu merupakan

penilaian positif atau negatif dengan intensitas yang berbeda-beda, berlaku untuk

kurun waktu tertentu dan dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan waktu.

Penilaian sebagai sikap kesiapan tersebut terarah kepada objek itu sendiri,

terhadap kelanjutan dari suatu penilaian yang menyangkut objek itu atau akibat

peristiwa yang menyangkut objek lain.

Berdasarkan beberapa teori sikap yang telah dipaparkan di atas, maka hal-

hal yang menjadi perhatian peneliti mengenai teori sikap itu sendiri adalah

a. Sikap adalah perasaan atau suasana batin seseorang yang berhubungan

dengan objek sikap. Objek sikap tersebut dapat berupa orang, benda,

peristiwa, atau perilaku tertentu.

b. Sikap menunjukkan arah penilaian individu terhadap objek sikap yg

merupakan reaksi sikap tersebut. Penilaian terhadap objek tersebut dapat

menunjukkan arah yang positif (mendukung) atau arah yang negatif (tidak

mendukung).

15

c. Sikap terdiri dari reaksi kognitif, afektif, dan konatif.

1.6.3. Sikap Bahasa (languages attitude)

Sikap bahasa (languages attitude) adalah peristiwa kejiwaan dan

merupakan bagian dari sikap (attitude) pada umumnya. Sikap bahasa merupakan

reaksi penilaian terhadap bahasa tertentu (Fishman, 1986). Menurut Kridalaksana

(2001:197) sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa

sendiri atau bahasa orang lain. Kedua pendapat tersebut menjelaskan bahwa sikap

bahasa merupakan reaksi seseorang (pemakai bahasa) terhadap bahasanya

maupun bahasa orang lain. Seperti dikatakan Richard, et al. dalam Longman

Dictionary of Applied Linguistics (1985:155) bahwa sikap bahasa adalah sikap

pemakai bahasa terhadap keanekaragaman bahasanya sendiri maupun bahasa

orang lain.

Sikap bahasa timbul bila seseorang itu sebagai masyarakat yang

dwibahasawan atau multibahasawan. Seperti pernyataan Ditmar (1976:181)

bahwa sikap bahasa ditandai oleh sejumlah ciri-ciri yang antara lain: pemilihan

bahasa dalam masyarakat multilingual, distribusi perbendaharaan bahasa,

perbedaan-perbedaan dialektikal dan problem-problem yang timbul sebagai akibat

adanya interaksi antara individu-individu. Misalnya, ketika suatu bangsa yang

memiliki cukup banyak bahasa daerah hendak menentukan bahasa nasionalnya.

Pemilihan satu bahasa diantara sekian banyak bahasa yang dimiliki bangsa

tersebut sudah barang tentu dirasakan pada sikap positif masyarakat terhadap

bahasa yang dipilihnya itu. Tanpa sikap yang demikian hampir tidak mungkin

16

suatu masyarakat rela menyampingkan bahasa kelompok etniknya dan menyetujui

dipilihnya bahasa lain sebagai bahasa nasional.

Sikap bahasa itu dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu sikap

terhadap bahasa dan sikap berbahasa. Sikap terhadap bahasa penekanannya tertuju

pada tanggung jawab dan penghargaannnya terhadap bahasa, sedangkan sikap

berbahasa ditekankan kesadaran diri dalam menggunakan bahasa secara tertib

(Pateda, 1987:30). Begitu juga halnya dengan Anderson (1974:47) yang membagi

sikap menjadi dua jenis, namun beliau mengelompokkannya menjadi sikap bahasa

dan sikap nonbahasa. Menurutnya, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau

kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai

objek bahasa, yang memberikan kecenderungan seseorang untuk bereaksi dengan

cara tertentu, dengan cara yang disenanginya. Adapun reaksi yang ditimbulkan

dapat berupa sikap positif dan sikap negatif. Sedangkan, sikap nonbahasa yang

beliau maksud adalah seperti sikap politik, sikap sosial dan sikap estetis.

Garvin dan Mathiot (dalam Fishman, 1968) menyebutkan bahwa sikap

bahasa itu setidaknya mengandung tiga ciri pokok, yaitu (1) kesetiaan bahasa, (2)

kebanggaan bahasa, dan (3) kesadaran norma bahasa. Ketiga ciri sikap bahasa

tersebut berkaitan dengan dasar pemilihan seseorang terhadap suatu bahasa

diantara sekian bahasa yang akan digunakan sebagai alat komunikasi, apakah

bersikap positif atau bersikap negatif (Suwito, 1987:90). Apabila ketiga ciri

bahasa ini dimiliki seseorang maka orang tersebut dikatakan memiliki sikap yang

positif terhadap bahasanya. Sebaliknya, jika seseorang atau sekelompok anggota

masyarakat tutur tidak ada lagi gairah atau dorongan untuk mempertahankan

17

kemandirian bahasanya, maka orang tersebut memiliki sikap negatif terhadap

bahasanya (Garvin dan Mathiot, 1968). Adapun ketiga ciri sikap bahasa tersebut

akan dipaparkan sebagai berikut :

1. Sikap Kesetiaan Bahasa (loyalty language)

Kesetiaan bahasa adalah keinginan masyarakat pendukung bahasa itu

untuk memelihara dan mempertahankan bahasa. Hal ini didukung oleh rumusan

Weinreich yang menunjukkan bahwa kesetiaan bahasa yang mengandung aspek

mental dan emosi sangat menentukan bentuk tingkah laku berbahasa. Kesetiaan

berbahasalah yang terutama mendorong usaha-usaha mempertahankan bahasa

(Weinreich, 1974:99) karena kesetiaan bahasa mempunyai akar emosional yang

kuat pada bahasa ibu (mother tongue) dan terinternalisasi sejak kecil. Selanjutnya

Weinreich (1979:99) juga menyatakan bahwa kesetiaan bahasa adalah keinginan

masyarakat pendukung bahasa itu untuk memelihara dan mempertahankan bahasa

itu. Bahkan kalau perlu, mencegahnya dari pengaruh bahasa lain, mencegah

adanya interferensi dari bahasa asing.

2. Sikap Kebanggaan Bahasa (language pride)

Weinreich (1970:99) menyatakan bahwa kebanggaan bahasa mendorong

seseorang atau masyarakat pendukung bahasa untuk menjadikan bahasanya

sebagai penanda jati diri identitas etniknya, dan sekaligus membedakannya dari

etnik lain.

Kebanggaan bahasa yang disebut juga linguistic pride (lihat Wijana, 2006)

mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai

lambang identitas dan kesatuan masyarakat.

18

Seseorang yang merasa bangga dengan bahasanya tidak akan mengalihkan

bahasanya kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Akan tetapi seseorang atau

masyarakat tutur yang merasa tidak berkewajiban atau merasa malu menunjukkan

identitasnya dengan bahasanya, dan cenderung mengalihkan kebanggaannya

kepada bahasa lain yang bukan miliknya, maka orang atau masyarakat tutur

seperti itu disebut memiliki sikap negatif terhadap bahasanya.

3. Sikap Kesadaran Norma Bahasa (awarness of the norm)

Kesadaran akan norma bahasa mendorong masyarakat pemakai bahasa

untuk memakai bahasanya secara baik, benar, dan santun sesuai dengan kaidah-

kaidah yang berlaku. Kesadaran berbahasa itu tercermin dalam tanggung jawab,

sikap, perasaan memiliki bahasa yang pada gilirannya menimbulkan kemauan

untuk membina dan mengembangkan bahasa. Weinreich (1970: 99) berpendapat

bahwa dorongan dari diri masyarakat pemakai bahasa itu untuk memakai

bahasanya secara baik, benar, santun, korek dengan kaidah-kaidah yang berlaku

merupakan sikap kesadaran akan norma. Sikap kesadaran demikian merupakan

faktor yang sangat menentukan perilaku tutur dalam ujud pemakaian bahasa

(language use).

Dengan demikian dari semua teori mengenai sikap bahasa itu dapat

disimpulkan bahwa sikap bahasa adalah sikap yang dimiliki oleh para pemakai

bahasa, baik yang dwibahasawan maupun yang multibahasawan terhadap suatu

bahasa. Reaksi yang ditimbulkannya dapat berupa perasaan bangga, mengejek,

menolak ataupun sekaligus menerima. Dengan kata lain sikap berbahasa itu

19

bersifat positif maupun negatif, serta memiliki ciri-ciri yaitu kebanggaan

berbahasa, kesetiaan berbahasa dan kesadaran berbahasa.

1.6.4. Bilingualisme

Menurut Mackey (dalam Fishman, 1968) kedwibahasaan merupakan

praktik pemakaian bahasa-bahasa secara bergantian oleh seorang penutur.

Pergantian pemakaian bahasa ini ditentukan oleh situasi dan kondisi yang

dihadapi oleh si dwibahasawan. Pandangan ini sejalan dengan pandangan

Weinreich (1953). Kemudian dilanjutkan oleh pendapat Macnamara (1967) yang

menyatakan bahwa kedwibahasaan itu mengacu kepada pemilikan kemampuan

atas sekurang-kurangnya B1 (bahasa ibu) dan B2, meskipun kemampuannya atas

B2 itu hanya sampai pada batas minimum. Rumusan ini sejalan dengan Haugen

(1961 dalam Chaer,2004 :86) yang merumuskan kedwibahasaan sebagai

‘mengenal bahasa’, yang artinya bahwa seorang dwibahasawan tidak perlu

menguasai B2 secara aktif-produktif, melainkan cukuplah kalau ia sudah mengerti

atau memahami secara reseptatif apa yang dituturkan orang lain. Seperti misalnya

kemampuan seseorang dalam B2 hanya sebatas mengerti atau memahami tutur B2

tetapi tidak mampu bertutur.

Sehubungan dengan tujuan mendeskripsikan situasi kebahasaan

masyarakat Batak Toba yang tinggal di daerah Kota Sibolga, khususnya kelurahan

Hutabarangan, merupakan masyarakat dwibahasa atau multibahasa, maka konsep

bilingual yang penulis acu adalah konsep Haugen, yang telah disebutkan di atas,

20

mengerti akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual. Seorang bilingual tidak

perlu secara aktif menggunakan dua bahasa itu, tetapi cukup memahaminya saja.

1.6.5. Kode

Berkaitan dengan masalah kedwibahasaan, gejala kontak bahasa pada

penutur masyarakat Batak Toba tak dapat dihindari. Dalam masyarakat dwibahasa

atau multibahasa terdapat lebih dari satu kode bahasa yang hidup dan digunakan

oleh masyarakat Batak Toba di dalam kehidupan sehari-harinya. Menurut

Poejosoedarmo (1978:30), kode ialah suatu sistem tutur yang penerapan unsur

bahasanya mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi

penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada. Jadi dalam kode itu

terdapat unsur-unsur bahasa seperti kalimat-kalimat, kata-kata, morfem dan

fonem. Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai

berkomunikasi anggota suatu masyarakat.

1.6.6. Alih Kode

Dalam situasi kdwibahasaan akan sering terdapat orang mengganti bahasa

atau ragam bahasanya, hal ini tergantung pada keadaan atau keperluan berbahasa

itu. Misal saja, ketika kita berbahasa A dengan si B datang si C yang tidak dapat

berbahasa A memasuki situasi berbahasa itu, maka kita beralih memakai bahasa D

yang dimengerti si C. Peristiwa ini lah yang disebut sebagai alih kode. Hymes

(1974:103) menyatakan bahwa alih kode dapat terjadi antarbahasa, ragam-ragam

bahasa, atau bahkan pada style yang terdapat pada satu bahasa. Konsep alih kode

21

ini mencakup juga peristiwa pada seorang penutur beralih dari satu ragam

fungsiolek (misal, ragam santai) ke ragam lain (misal, ragam formal), atau dari

satu dialek ke dialek lain (Nababan, 1993:31).

1.6.7. Campur kode

Suatu situasi berbahasa lain yang menggambarkan keadaan berbahasa

bilamana seseorang mencampurkan dua buah bahasa atau lebih atau dua buah

ragam (variasi) bahasa atau lebih dalam tindak berbahasa dengan jalan

memasukkan unsur-unsur bahasa atau ragam (variasi) lain.

Menurut Chaer dan Agustina (2004:114) menjelaskan bahwa campur kode

adalah pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam

suatu masyarakat tutur, dimana salah satu merupakan kode utama atau kode dasar

yang digunakan yang memiliki fungsi keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain

yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah serpihan-serpihan suatu bahsa

yang digunakan oleh seorang penutur. Serpihan ini dapat berupa kata, frasa, atau

unit bahasa yang lebih besar.

1.6.8. Ranah Penggunaan Bahasa

Salah satu cara untuk mengetahui bagaimana penggunaan bahasa di dalam

masyarakat bilingual adalah dengan menggunakan teori ranah. Fishman (1964 ;

1972) mengajukan konsep ranah untuk menjelaskan perilaku penggunaan bahasa

dalam masyarakat bilingual yang mantap. Beliau memerikan perilaku penggunaan

bahasa dalam masyarakat tersebut melalui penempatan ranah bahasa.

22

Istilah ranah dijelaskan sebagai susunan situasi atau cakrawala interaksi

yang pada umumnya didalamnya menggunakan satu bahasa. Ranah adalah

lingkungan yang memungkinkan terjadinya percakapan, yang merupakan

kombinasi antara partisipan, topik, dan tempat. Misalnya, sebuah ranah disebut

ranah keluarga kalau ada seorang penutur di rumah sedang berbincang dengan

anggota keluarganya tentang topik kehidupan sehari-hari. Dibandingkan dengan

situasi sosial, ranah adalah abstraksi dari persilangan antara status hubungan-

peran, lingkungan dan bahasan tertentu. Selanjutnya, Fishman (1968) juga

menyatakan bahwa ranah adalah konsepsi teoritis yang menandai satu interaksi

yang didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh tujuan dan

kewajiban yang sama, misalnya ranah keluarga, ketetanggaan, agama, pekerjaan,

adat, pemerintahan, pergaulan, ranah terminal, pendidikan, dan sebagainya.

Jumlah ranah dalam suatu masyarakat tidak dapat ditentukan secara pasti.

Menurut Schmidth-Rohr (1932) ranah terdiri dari ranah keluarga, tempat bermain,

sekolah, gereja, kerja, sastra, pers, militer, pengadilan, dan administrasi

pemerintahan. Parasher (1980) dalam penelitiannya memakai ranah keluarga,

kekariban, ketetanggaan, transaksi, pendidikan, pemerintah, dan kerja.

Dalam ranah (domain) kita juga harus memperhatikan peristiwa tutur,

berbagai situasi tutur dan tindak tutur. Di dalam peristiwa tutur dapat ditemukan

sejumlah komponen tutur. Menurut Hymes (1974) komponen itu terdiri dari 8

komponen (yang awalnya ada 16 komponen) yang dirumuskan dalam akronim

kata Inggris SPEAKING, yakni

23

Setting : waktu dan tempat peristiwa bahasa terjadi.

Participants : mencakup pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan.

Ends : mengacu pada maksud dan tujuan pertuturan.

Act Sequences : mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran.

Key : mengacu pada nada, cara dan semangat dimana suatu

pesan disampaikan.

Instrumentalisties : merujuk pada jalur bahasa yang digunakan, seperti

jalur lisan, tulis, telegraf atau telepon.

Norms : mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi.

Genre : berkaitan dengan jenis bentuk penyampaian, seperti

narasi, puisi, pepatah, doa, pengajaran dan sebagainya.

Berdasarkan pemaparan di atas maka pemilihan ranah dalam penelitian ini

mengacu kepada pendapat Fishman yang kemudian disesuaikan dengan situasi

kebahasaan yang ada di Kelurahan Hutabarangan, yakni dengan membatasi pada

tujuh ranah, antara lain : ranah kekeluargaan, ranah ketetanggan, ranah

pemerintah, ranah pendidikan, ranah adat, ranah agama, dan ranah usaha.

Kemudian pada penelitian ini hanya memperhatikan komponen waktu dan tempat

atau setting dan participants dalam setiap peristiwa tutur yang terjadi.

1.6.9. Pemertahanan Bahasa

Masalah pemertahanan bahasa adalah masalah khas dalam masyarakat

multilingual (Fasold, 1984 :213). Berpindah bahasa sebernarnya merupakan suatu

indikator kematian bahasa. Karena orang itu mulai meninggalkan bahasanya.

24

Proses itu sudah barang tentu tidak secara total dan secara drastis. Gejala yang

secara umum dijumpai adalah lapisan atau kelompok tua lebih bertahan pada

bahasanya, sedang kelompok muda lebih mudah terangsang untuk memakai

sesuatu yang baru, yang mencerminkan kedinamisan (Fasold, 1984:215).

Setiap dwibahasawan mempunyai resiko bahasa yang satu kadang-kadang

hilang. Bahasa dalam guyup eka bahasa sebenarnya pasti dapat dipertahankan

sepanjang keekabahasawan itu tetap jaya. Banyak juga guyup dwibahasa tetap

dwibahasa selama beberapa puluh atau ratus tahun, sehingga keberadaan

kedwibahasaan kemayarakatan tidak selalu berarti akan terjadi pergeseran

(Sumarsono, 2002:236).

Siregar (1987) mengajukan dua jenis pemertahanan bahasa yang mungkin

terjadi pada masyarakat bahasa, yaitu pemertahanan bahasa pasif dan

pemertahanan bahasa aktif. Pemertahanan bahasa yang pasif adalah ciri

masyarakat bahasa yang didalamnya terdapat nilai dan sikap yang bertumpang

tindih. Artinya, meskipun anggota masyarakat menganggap bahwa bahasa

daerahnya sebagai lambang jati diri etnik tetapi tidak sejalan dengan perilaku

bahasanya di dalam kegiatan berbahasa. Dengan kata lain, anggota masyarakat

tidak menggunakan bahasa daerahnya secara teratur sesuai dengan fungsinya

sebagai lambang kedaerahan. Sedangkan, pemertahanan bahasa aktif adalah

terdapat hubungan yang hampir satu lawan satu diantara bahasa dengan konteks

sosial. Ciri masyarakat bahasa yang didalamnya terdapat dua atau lebih nilai,

sikap dan perilaku bahasa yang tidak tumpang tindih (Siregar, 1998:14).

25

1.7. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan

suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (KBBI, 2002: 740). Adapun

yang menjadi bagian-bagian dari metode penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.7.1. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Batak Toba yang

berdomisili di wilayah Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan Sibolga Utara, Kota

Sibolga Provinsi Sumatera Utara. Yang dimaksud dengan masyarakat Batak Toba

adalah orang yang mengidentifikasikan diri sebagai orang Batak Toba dan

menggunakan marga sebagai penanda etnik.

Sampel penelitian ini ditetapkan berjumlah empat puluh responden dari

populasi dengan cara menstratifikasi populasi berdasarkan tingkat usia, yakni dua

puluh responden golongan tua dan dua puluh responden golongan muda, yang

masing-masing golongan terdiri atas sepuluh laki-laki dan sepuluh perempuan

dengan pemilahan usia sebagai berikut :

a) Mewakili Golongan Muda ; usia 17-30 tahun

b) Mewakili Golongan Tua ; usia 31-50 tahun

Pemilihan dan pemilahan sampel itu dilakukan atas dasar pertimbangan

kemudahan pemerolehan responden. Selain itu tingkat usia responden merupakan

faktor penting dalam melakukan interaksi sosial. Dalam masyarakat Batak Toba,

faktor usia berkaitan dengan kedudukan dan status seseorang atau kelompok

orang dalam struktur keluarga atau kelompok sosial. Dalam kegiatan agama

misalnya, rentang usia yang disebutkan di atas merupakan kelompok pemilahan

26

usia dalam kegiatan ibadah. Selain itu, rentang usia pada golongan muda dianggap

penulis masih usia produktif, yakni memiliki mobilitas sosial tinggi, baik masih

menempuh pendidikan maupun bekerja, sehingga lebih sering melakukan

interaksi di luar lingkungan tempat tinggal, yang kemudian dimungkinkan terjadi

fenomena kebahasaan mengenai pemilihan, penggunaan dan sikap bahasa.

Sejalan dengan itu, pemilihan responden juga dilakukan dengan

memperhatikan syarat-syarat penentuan responden. Adapun syarat-syarat

pemilihan responden yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan kriteria

sebagai berikut :

a) Masyarakat Batak Toba berusia 17 sampai dengan 50 tahun yang

sekarang tinggal di Kelurahan hutabarangan, Kelurahan Hutabarangan,

Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga.

b) Tidak pernah atau tidak lama meninggalkan daerah asal.

c) Setidak-tidaknya berpendidikan SD,

d) Dapat berbahasa Indonesia,

e) Sehat dan tidak mempunyai cacat wicara,

f) Bersedia menjadi responden,

g) Tidak mudah tersinggung, jujur, terbuka, sabar, dan ramah,

h) Teliti, cermat, dan mempunyai daya ingat yang baik, dan

i) Tidak mempunyai kecurigaan apapun terhadap penelitian yang

dilakukan.

27

1.7.2. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan,

yakni penulis langsung terjun ke daerah penelitian untuk mengumpulkan data.

Penelitian lapangan dapat juga dianggap sebagai pendekatan luas dalam penelitian

kualitatif atau sebagai metode untuk mengumpulkan data kualitatif (Moleong,

2006). Dengan metode itu penulis secara langsung memperhatikan, mendengar

dan mencatat data yang terdapat di lapangan. Selain itu penulis juga

mengumpulkan keterangan-keterangan lain yang tidak terdapat dalam daftar

tanyaan (kuesioner) yang melengkapai bahan-bahan yang diperlukan. Demikian

juga, hal-hal yang berkaitan dengan keadaan sosial dan lingkungan daerah

penelitian dapat diamati dengan lebih baik.

Teknik yang dipakai adalah teknik wawancara, pengamatan, dan kuesioner

yang disebarkan (Moleong, 2006: 174-232). Dengan teknik wawancara didapat

data mengenai situasi kebahasaan secara umum, pemakaian bahasa, sikap bahasa

dan kepedulian mereka terhadap bahasa-bahasa yang ada. Dengan teknik

pengamatan diperoleh data secara langsung tentang situasi penggunaan dan

pemilihan bahasa di dalam beberapa peristiwa komunikasi dan interaksi dalam

masayarakat Batak Toba yang ada di Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan

Sibolga Utara, Kota Sibolga, Provinsi Sumatera Utara. Kemudian dengan teknik

kuesioner yang disebarkan (Subroto, 2007:49), penulis dapat melengkapi data

yang sudah diperoleh melalui teknik wawancara dan pengamatan. Dengan teknik

kuesioner itu diperoleh data yang tidak dapat diperoleh secara langsung.

Misalnya, hal-hal yang bersifat psikologis ( tentang sikap) yang tidak

28

dimungkinkan dengan teknik wawancara. Dengan demikian, ketiga teknik

tersebut dimaksudkan untuk saling mengisi kekurangan masing-masing dan

memadukan seluruh data dalam satu kesatuan.

1.7.3. Metode dan Teknik Analisis Data

Pada tahap analisis data, data yang terkumpul melalui pengamatan,

wawancara, maupun kuesioner dianalisis untuk mendukung tujuan penelitian.

Data yang terkumpul itu merupakan satu kesatuan yang saling mendukung,

walaupun diperoleh dengan menggunakan cara yang berbeda-beda. Artinya, data

yang diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara dideskripsikan dengan

diikuti pertimbangan-pertimbangan lain yang didapatkan dari hasil kuisioner.

Dengan demikian, sehubungan dengan teknik penganalisisan data, maka metode

yang digunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif (Moleong, 1993: 15-21).

Metode kualitatif digunakan bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menguraikan

dan menjelaskan sifat (karakteristik) data yang sebenarnya yang mampu melihat

faktor-faktor yang melatarbelakangi sifat data yang diperoleh. Sementara itu,

metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis data yang bersifat kuantitas

yang didapat dari pengisian kuesioner. Baik pengamatan, wawancara, dan

kuisioner saling mengisi kekurangan masing-masing dan memadukan seluruh data

dalam satu kesatuan. Perbedaan antara data yang diperoleh dengan wawancara

dan pengamatan di satu pihak dan hasil dari kuisioner di lain pihak adalah data

yang dihasilkan dari kuisioner dianalisis dengan menggunakan pemersentasean

hasil pengumpulan jawaban yang diperoleh dari kuesioner itu.

29

Data yang diperoleh melalui pengamatan dan wawancara berupa hasil

tuturan-tuturan dianalisis secara kualitatif yang bersifat deskriptif. Data tersebut

terjaring melalui perekaman tuturan bahasa Batak Toba dari berbagai situasi,

kemudian rekaman didengarkan kembali, diputar berulang-ulang sampai

didapatkan hasil transkrip yang jelas. Kemudian setelah selesai

mentranskripsikan, tuturan-tuturan tersebut dipilah, diuraikan, dan dijelaskan

berdasarkan ranah penggunaan bahasanya.

Data yang diperoleh melalui kuesioner dianalisis secara kuantitatif. Di

dalam kuisioner penelitian ini terdapat tiga bagian yang dipisah agar memudahkan

penganalisisan dan mencapai tujuan penelitian. Seperti halnya model kuisioner

yang pernah dilakukan oleh Bahren (1998) yang memilah pertanyaan menjadi tiga

bagian. Bagian pertama berisi tentang latar belakang responden, bagian kedua

tentang kemampuan dan penggunaan bahasa responden, dan bagian ketiga

mengenai sikap bahasa responden.

Untuk pernyataan berkaitan latar belakang responden dipilah berdasarkan

usia kemudian hasil yang didapatkan dimasukkan berdasarkan golongan tua dan

golongan muda. Hasil ini dibuat dalam bentuk tabel yang sangat berguna untuk

analisis selanjutnya. Adapun daftarnya dilampirkan dalam daftar lampiran.

Untuk pertanyaan yang berkaitan dengan kemampuan dan penggunaan

bahasa responden digunakan rumus :

n1 + n2 + …. n20 x 100% N

30

Dalam hal ini, n1 sampai n20 adalah responden yang memberikan jawaban yang

diuraikan berdasarkan pemilihan bahasanya. Kemudian N adalah jumlah seluruh

responden per golongan. Hasil yang didapatkan akan memperlihatkan kemampuan

dan kecenderungan pemilihan atau penggunaan bahasa.

Untuk pertanyaan yang berkaitan dengan sikap bahasa responden

digunakan skala sikap untuk mengukur apakah responden sangat setuju atau tidak

setuju terhadap objek sikap. Salah satu skala yang lazim dipakai adalah Likert

Scale (Alwasilah, 2005 : 38). Skala Likert adalah alat ukur yang paling popular

digunakan untuk meneliti sikap bahasa hingga saat ini (Ferguson:1952,

Edward:1957 dalam Karsono, 1986:84). Model skala likert ini dikenal dengan

Method Of Summated Ratting yang dikembangkan pada tahun 1932. Untuk setiap

ciri karakteristik yang berkaitan dengan sikap bahasa dihitung berdasarkan

frekuensi, persentase, dan angka rata-rata nilai (mean). Angka nilai rata-rata

tersebut dihitung dengan menggunakan skala Likert atau teknik Likert, yaitu

dengan meminta responden menandai salah satu posisi pada skala penilaian

(rating scale), yakni 1-5 sesuai dengan pilihan bahasa dan kesetujuan atau

ketidaksetujuannya atas sebuah pertanyaan. Penskoran setiap jenis respon

terhadap setiap pernyataan akan mendapat bobot nilai sesuai dengan arah

pernyataannya. Sistem penskoran untuk pernyataan yang positif adalah nilai 5

untuk sangat setuju, 4 untuk setuju, 3 untuk kurang setuju, 2 untuk tidak setuju,

dan 1 untuk sangat tidak setuju. Sedangkan penskoran untuk pernyataan negatif

merupakan kebalikan dari penskoran pernyataan positif, yakni : nilai 1 untuk

sangat setuju, 2 untuk setuju, 3 untuk kurang setuju, 4 untuk tidak setuju, dan 5

31

untuk sangat tidak setuju. Sebagai contoh, dalam pernyataan positif kuisioner :

Bahasa Batak Toba diperlukan sebagai lambang atau identitas suku Batak Toba.

Sedangkan contoh pernyataan negatif dalam kuisioner : Bahasa Batak Toba tidak

memiliki tempat lagi di kehidupan modern sekarang.

Yang kemudian akan dilakukan pemersentasean terhadap jawaban-jawaban yang

dipilih, yaitu untuk pernyataan positif a) sangat setuju (SS) diberi nilai 5 ; b)

setuju (S) diberi nilai 4 ; c) kurang setuju (KS) diberi nilai 3 ; d) tidak setuju (TS)

diberi nilai 2 ; dan (e) sangat tidak setuju (STS) diberi nilai 1. Sedangkan untuk

pernyataan negatif a) sangat setuju (SS) diberi nilai 1 ; b) setuju (S) diberi nilai 2

; c) kurang setuju (KS) diberi nilai 3 ; d) tidak setuju (TS) diberi nilai 4 ; dan (e)

sangat tidak setuju (STS) diberi nilai 5.

Berdasarkan jawaban yang diberikan responden inilah nantinya akan diketahui

nilai rata-rata (mean) untuk setiap pertanyaan. Nilai rata-rata itu diperoleh dengan

menggunakan Rumus :

(n1 x 1) + (n2 x 2) + …. (n5 x 5)

n1 + n2 + ….n5

Dalam hal ini, n1 adalah jumlah responden yang memberikan nilai 1 untuk

karakteristik yang bersangkutan dan begitu seterusnya sampai n5. n5 adalah

jumlah responden yang memberikan nilai 5 untuk karakteristik yang

bersangkutan. Kemudian nilai rata-rata ini dikelompokkan ke dalam dua

kelompok, misalnya nilai 1,00 - 3,00 dianggap atau ditafsirkan tidak pernah dan

itu dikategorikan sikap negatif. Sementara itu, nilai 3,10 - 5,00 dianggap selalu

dan dikategorikan sebagai sikap positif.

32

Instrumen pengumpul data sikap bahasa dalam penelitian ini dibagi tiga indikator,

yaitu :

1) Kemampuan berbahasa Batak Toba, bahasa Indonesia, bahasa

Pesisir Sibolga.

2) Penggunaan bahasa oleh masyarakat Batak Toba pada ranah

penggunaan bahasa.

3) Sikap masyarakat Batak Toba terhadap bahasa Batak Toba.

Pernyataan ini disusun sebanyak 40 butir soal, yaitu terdiri dari 4 butir soal

untuk instrument 1, 18 butir soal untuk instrument 2, dan 18 butir soal untuk

instrument 3. Pada instrument 3 dibagi lagi menjadi : 13 butir pernyataan positif

dan 5 butir pernyataan negatif.

33

Tabel 1.1 INSTRUMEN

Indikator Sub Indikator Nomor Soal

Jumlah Soal

Penggunaan bahasa Bahasa ibu 1 1

Kemampuan berbahasa Bahasa Indonesia Bahasa Batak Toba Bahasa Pesisir Sibolga

2 3 4

3

Penggunaan bahasa Ranah rumah Ranah ketetanggaan Ranah pendidikan Ranah adat Ranah agama Ranah usaha Ranah pemerintah

5,6,7, 8,9, 10,11, 12,13, 14,15, 16,17,18, 19,20, 21,22

18

Sikap bahasa terhadap bahasa Batak Toba

Pernyataan Positif Kepercayaan diri Keakraban Kesetiaan Menjamin komunikasi berjalan baik Diperlukan sebagai lambang/identitas Kemajuan Berperan penting untuk kehidupan etnis Sangat berharga untuk dipelajari Suka menggunakan Suka mendengarkan

23 24 25 26 27 29 33 34 38 39

10

Pernyataan Negatif : Tidak diperlukan sebagai lambang/identitas Keterbelakangan Tidak dipakai dilingkungan Menghabiskan waktu Tidak memiliki tempat pada kehidupan modern Tidak perlu dipelajari anak-anak Rendah diri Sulit mempelajari

28 30 31 32 35 36 37 40

8

34

1.7.4. Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian data dilakukan dengan menggunakan dua metode, yakni

metode penyajian informal dan formal. Metode penyajian informal digunakan

pada pemaparan hasil analisis data berupa perumusan dengan kata-kata biasa,

sedangkan penyajian formal adalah digunakan pada pemaparan hasil analisis data

berupa perumusan dengan tanda dan lambang-lambang, seperti tabel, tanda

kurung, tanda bintang, tanda diagram, dan sebagainya (Sudaryanto,1993:145).