bab i - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64284/potongan/s2-2013... ·...

22
1 BAB I PENDAHULUAN A. Petahana dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Studi ini bermaksud untuk mengungkap kekalahan yang dialami oleh petahana (incumbent) dalam pemilihan umum kepala daerah yang ia ikuti pada periode berikutnya. Tujuannya untuk melacak lebih jauh penyebab-penyebab yang menjadikan petahana tidak mampu mempertahankan kekuasaannya, dengan membaca potensi peluang yang dimiliki oleh sang petahana sebagai pedoman menemukan jawabannya atas kekalahan tersebut. Sejak pemilihan umum kepala daerah secara langsung untuk pertama kalinya pada tahun 2005 sampai sekarang ini yang merupakan hasil dari Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, memunculkan suatu fenomena yaitu kepala daerah yang tengah memerintah (petahana) bersaing kembali untuk mempertahankan kekuasaannya. 1 Fenomena tersebut juga menyentuh pemilihan umum kepala daerah yang diselenggarakan di Kabupaten Solok pada tahun 2010 yang diikuti oleh tiga pasang calon Bupati dan Wakil Bupati. Para kontestan yang berebut kedaulatan rakyat untuk mendapatkan kekuasaan, salah satu diantaranya yaitu Bupati Kabupaten Solok yang masih dalam masa jabatan. 2 1 Tercatat hanya 230 atau sekitar 78.77% petahana yang kembali muncul pada pemilihan kepala daerah terhitung Juni 2005 sampai Desember 2006 dari 32 wilayah yang menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah. Lingkaran Survei Indonesia. 2007.“Incumbent dan PILKADA”. Kajian bulanan Juni 2007 edisi 2. hal 2 2 Gusmal SE MM sebagai petahana yang menjabat sebagai Bupati Kabupaten Solok dan Drs. Edierizon adalah pasangannya; Drs. Syamsu Rahim dan Drs. Desra Ediwan AT MM; Drs. Beny Faizal Chan MM dan Drs. Nazar Bakri.

Upload: tranthuan

Post on 08-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Petahana dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah

Studi ini bermaksud untuk mengungkap kekalahan yang dialami oleh

petahana (incumbent) dalam pemilihan umum kepala daerah yang ia ikuti pada

periode berikutnya. Tujuannya untuk melacak lebih jauh penyebab-penyebab

yang menjadikan petahana tidak mampu mempertahankan kekuasaannya, dengan

membaca potensi peluang yang dimiliki oleh sang petahana sebagai pedoman

menemukan jawabannya atas kekalahan tersebut.

Sejak pemilihan umum kepala daerah secara langsung untuk pertama

kalinya pada tahun 2005 sampai sekarang ini yang merupakan hasil dari Undang-

undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, memunculkan suatu

fenomena yaitu kepala daerah yang tengah memerintah (petahana) bersaing

kembali untuk mempertahankan kekuasaannya.1 Fenomena tersebut juga

menyentuh pemilihan umum kepala daerah yang diselenggarakan di Kabupaten

Solok pada tahun 2010 yang diikuti oleh tiga pasang calon Bupati dan Wakil

Bupati. Para kontestan yang berebut kedaulatan rakyat untuk mendapatkan

kekuasaan, salah satu diantaranya yaitu Bupati Kabupaten Solok yang masih

dalam masa jabatan.2

1 Tercatat hanya 230 atau sekitar 78.77% petahana yang kembali muncul pada pemilihan kepala

daerah terhitung Juni 2005 sampai Desember 2006 dari 32 wilayah yang menyelenggarakan

pemilihan umum kepala daerah. Lingkaran Survei Indonesia. 2007.“Incumbent dan PILKADA”.

Kajian bulanan Juni 2007 edisi 2. hal 2 2 Gusmal SE MM sebagai petahana yang menjabat sebagai Bupati Kabupaten Solok dan Drs.

Edierizon adalah pasangannya; Drs. Syamsu Rahim dan Drs. Desra Ediwan AT MM; Drs. Beny

Faizal Chan MM dan Drs. Nazar Bakri.

2

Berbicara mengenai petahana yang kembali bertarung dalam pemilihan

umum, maka yang akan terlintas dalam benak banyak orang yaitu kemenangan

berada dalam tangan sang petahana.3 Hal ini disebabkan karena posisi sang

patahana yang menghasilkan banyak peluang, kesempatan serta keuntungan

seperti mainstream kajian tentang petahana yang ada. Petahana Bupati Kabupaten

Solok misalnya, petahana tersebut memiliki jaringan relasi yang luas menjadi

suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, mulai dari birokrasi yang dipimpinnya,

tokoh-tokoh masyarakat, dan pemuka adat, serta pemuka agama. Jaringan tersebut

dapat dimanfaatkan oleh petahana sebagai mesin penjaring dan mobilisasi yang

akan membantunya mempertahankan kekuasaan yang telah ia miliki.

Petahana ini juga memiliki kesempatan lebih awal dan paling banyak

karena selama menjabat ia bisa melakukan soft campaign dengan

mengatasnamakan pemerintah dengan mendatangi nagari-nagari,4 bahkan

memanfaatkan anggaran daerah dan program yang digulirkan pada masa

jabatannya untuk menarik simpati masyarakat di grassroot dengan tujuan

mengkapitalisasi popularitasnya. Dengan kata lain, petahana memiliki fasilitas

gratis yang dapat dimanfaatkan ketika ia memutuskan untuk bertarung lagi dalam

pemilihan umum kepala daerah. Keistimewaan yang dimiliki oleh petahana ini

tidak dimiliki oleh para penantangnya.

3 Disebabkan keterbatasan data yang penulis miliki, data yang diketahui hanya Berdasarkan

database Pilkada Juni 2005 sampai Desember 2006 lingkaran survey Indonesia bahwa terdapat

62.17% mampu mempertahankan kekuasaannya dari total keseluruhan petahana yang maju

kembali pada pemilihan umum. 4 Nagari merupakan pembagian wilayah administratif sesudah kecamatan di Provinsi Sumatera

Barat, istilah nagari menggantikan istilah desa yang sebelumnya digunakan diseluruh provinsi-

provinsi lain di Indonesia pada masa Orde Baru.

3

Namun belakangan ini terdapat semacam trend yang sedang berkembang

pada ajang pemilihan umum kepala daerah bahwa petahana tidak dengan mudah

dapat memenangkan pertarungan demi mempertahankan kekuasaannya, singkat

kata petahana dikalahkan oleh pesaingnya.5 Trend tersebut juga diikuti dan

dialami oleh kontestan yang diusung dan didukung oleh PAN, PPP, GERINDRA,

dan HANURA yaitu petahana Bupati Kabupaten Solok yang dikalahkan oleh

pesaingnya yang merauk suara sebanyak 77.359 atau 50.43% suara, sementara itu

petahana harus puas memperoleh suara sebanyak 64.801atau 42.24% saja, padahal

petahana ini sudah diprediksikan menang oleh Lumbung Survey Independen

Sentral Strategis (LSISS) karena memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi

dibanding kontestan lainnya.6 Selain itu, petahana ini disebut-sebut sebagai

kontestan terkuat karena kiprahnya selama empat tahun menjabat sebagai Bupati

Kabupaten Solok yang ditunjukan melalui pencapaian program pembangunan

yang ditawarkan, serta 17 penghargaan yang dihadiahkan oleh pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah.

Berangkat dari keadaan tersebut menjadi menarik, ketika sang petahana

yang memiliki “semuanya” serta didukung dengan asumsi-asumsi akademis yang

sejauh ini memungkinkan kemenangan bagi petahana tersebut, namun tanpa

diduga sang petahana mengalami kekalahan. Kondisi yang demikian

5 Pilkada Juni 2005-Desember 2006 sebanyak 87 orang (37.83%) kalah dari lawan lain. Lembaga

Survei Indonesia, op. cit., hal 2. 6 LSISS melakukan survai di 14 Kecamatan, 45 Nagari, 155 Jorong di Kabupaten Solok, dengan

responden berasal dari kalangan opinion leader diantaranya dosen/guru, pakar hukum, pimpinan

ormas/LSM, wali nagari/jorong, ormas pemuda nagari dan kader posyandu, bundo kanduang,

pengurus mesjid dan musalla dan lebih dari 9000 responden di jaringan media telepon seluler. Dari

jumlah responden tersebut, petahana unggul dari kontestan lain dengan memperoleh suara

sebanyak 41. 20 %.

4

menimbulkan tanda tanya sehingga menjadi daya pikat tersendiri bagi penulis

untuk melakukan studi mengenai kekalahan petahana ini. Mengingat selama ini

studi yang berkaitan dengan petahana cenderung mengkaji peluang, kesempatan

dan keuntungan sebagai faktor penentu kemenangan petahana, maka penulis

menggunakan peluang yang melekat pada petahana untuk membaca kekalahan

yang dialami oleh petahana dan sebagai pintu masuk untuk studi ini, penulis akan

menelisik kekalahan yang dialami oleh petahana Bupati Kabupaten Solok pada

pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Solok periode 2010-2015.

B. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang, maka studi ini ditujukan untuk

menjawab pertanyaan : mengapa petahana Bupati Kabupaten Solok mengalami

kekalahan pada saat pemilihan umum kepala daerah periode 2010-2015?

Studi ini mengemban dua misi, pertama yaitu untuk mengungkap

penyebab kekalahan yang dialami oleh petahana. Disamping memenuhi misi

tersebut, sebagai misi kedua yaitu studi ini diharapkan dapat digunakan untuk

melengkapi studi-studi mengenai petahana yang selama ini berfokus mengenai

kemenangan yang dihasilkan oleh peluang, kesempatan dan keuntungan sebagai

faktor penentu kemenangan tersebut dan selama ini studi mengenai petahana

didominasi oleh peneliti asing dengan pemilihan umum yang diselenggarakan di

Negara mereka sebagai lokus penelitiannya. Disamping itu, studi ini diharapkan

dapat memberikan cara pandang lain untuk melihat dan mengkaji pemilihan

umum termasuk pemilihan umum kepala daerah.

5

C. Literature Review : Petahana dan Keuntungan yang Mengikutinya

Namun Tidak Selalu Beruntung

Pemilihan umum apapun skala dan jenisnya baik pemilu kepala daerah,

legislatif dan pemilihan presiden menjadi suatu ajang bagi aktor-aktor pencari

kekuasaan yang legitimate, termasuk petahana yang hendak mengamankan

jabatannya dari ancaman serangan lawan. Petahana menjadi lawan yang sulit

untuk ditumbangkan oleh pesaingnya. Hal tersebut dikarenakan petahana diikuti

oleh berbagai keuntungan yang memberikan dirinya peluang untuk

memenangkan pertarungan, keadaan tersebut membuat sang petahana terlalu

percaya diri akan terpilih kembali.

Kecenderungan studi-studi akademis selama ini memang menunjukan

bahwa petahana memiliki resiko kekalahan yang kecil, dikarenakan si petahana

memanfaatkan pengaruh media dan dukungan kondisi ekonomi seperti yang

disampaikan Boyne, et. al.7 Sementara itu Carmichael,

8 dan Ragsdale,

9

mengungkapkan bahwa petahana memiliki popularitas yang tidak diragukan lagi

yang akan membuat penantang kerepotan.

Bukan hanya itu, Gordon dan Landa yang menjelaskan model peluang

petahana yang tercipta pada saat petahana menjalan kekuasaannya dan dapat

dimanfaatkan pada pemilihan umum dalam studinya melihat terdapatnya melihat

sumber-sumber peluang yang dimiliki oleh petahana dengan mengklasifikasikan

ke dalam tiga model. Pertama, terdapatnya jalinan hubungan yang baik dengan

7 George A Boyne,dkk. 2009. “Democracy and Government Performance:Holding Incumbent

Accountable In English Local Government”, The Journal of Politics, Volume 71, hal 1273-1284 8 Calum M Carmichael. 1990. “Economic Conditions and the Popularity of the Incumbent Party in

Canada”. Canadian Journal of Political Science, Volume 23, hal 713-726 9 Lyn Ragsdale. 1981. “Incumbent Popularity, Challenger Invisibility, and Congressional Voters”.

Legislative Studies Quarterly, Volume 6, hal 201-218

6

kelompok kepentingan dan elit di daerah, kemudian dikenal dengan model direct

officeholder. Kedua, model ini dinamai oleh Gordon dan Landa sebagai model

campaign discount. Pada model ini, petahana tidak perlu mengeluarkan uang

banyak untuk membuat ia terpilih lagi dalam pemilihan dan model ini

menunjukan nama besar yang dimiliki petahana. Sedangkan model yang ketiga

adalah district partisan bias.10

Sejalan dengan Gordon dan Landa, King dalam studi “Incumbent

Popularity and Vote Choice in Gubernatorial Elections”,11

melihat sisi lain dari

peluang yang dimiliki oleh petahana yaitu dengan kondisi ekonomi dan

kedekatannya dengan presiden. Pertama, kondisi ekonomi, incumbent memegang

tanggung jawab atas kondisi ekonomi, dan hal tersebut memberikan peluang

untuk terpilih kembali jika mampu meningkatkan serta menyehatkan kondisi

ekonomi. Peluang kedua adalah kedekatan yang dimiliki si petahana dengan

presiden. Peluang yang kedua ini didukung oleh banyak sarjana yang mengatakan

bahwa "the fortunes of gubernatorial candidates are tied to the public standing of

the president." Secara sederhana, King dalam tulisannya mengatakan bahwa

kondisi ekonomi, secara signifikan mempengaruhi pilihan pemilih atau dekat

hubungannya antara kondisi ekonomi dan hasil pemilihan, serta popularitas yang

dimiliki petahana dipengaruhi oleh hubungan baik dengan presiden.

Berkaitan dengan prospek Stone dan koleganya dalam studinya yang

mempertanyakan apa yang membuat tingginya tingkat keterpilihan kembali

10

Sanford C Gordon dan Dimitri Landa. 2009. “Do The Advanteges Of Incumbency, Advantage

Incumbent?”. The Journal of Politics, Vol. 71, No. 4. pp. 1481–1498 11

James D. King. 2001. “Incumbent Popularity and Vote Choice in Gubernatorial Elections”. The

Journal of Politics, Vol. 63, No. 2. pp. 585-597

7

petahana. Mereka melihat karakteristik petahana yang terkait dengan kualitas

kepemimpinan seperti karakter pribadi dan kinerja serta keterampilan. Mengukur

kualitas pribadi, keterampilan, dan kinerja petahana. Stone bersama koleganya

melakukan evaluasi mengenai petahana pada sebagian warga untuk menilai

menilai kinerja dan kualitas pribadi sang petahana seperti integritas pribadi,

kemampuan untuk bekerja dengan para pemimpin lain, pemahaman masalah,

kemampuan untuk memecahkan masalah. Dari apa yang mereka analisis, dan

menghasilkan temuan bahwa konsekuensi pemilihan mengikuti sebagai

konsekuensi dari kualitas petahana. Tingginya tingkat keterpilihan kembali para

petahana dalam studi Stone bersama koleganya ini disebabkan karena pemilih

puas dengan perwakilan mereka. Pengaruh kualitas bekerja secara tidak langsung

dengan mempengaruhi prospek pemilihan kembali petahana ini dan akan langsung

dengan sendirinya mengubah perolehan suara terhadap petahana tersebut.12

Sungguhpun petahana memiliki peluang yang berimpah, tetapi ternyata

petahana tidak selalu beruntung. Argumen tersebut diperkuat oleh studi yang

dilakukan oleh Lestari yang mempertanyakan kekalahan petahana yang didukung

oleh partai pemenang pemilihan legislatif. Ia menemukan bahwa split ticket voting

yang disulut oleh lemahnya identifikasi kepartaian dan figur yang bertanding

serta isu yang diangkat tidak dapat menarik pemilih sehingga kekalahanlah yang

dialami si petahana.13

12

Wlater J Stone,dkk. 2010. “Incumbency Reconsidered: Prospects, Strategic Retirement, and

Incumbent Quality in U.S. House Elections”. The Journal of Politics, Vol. 72, No. 1, pp. 178-

190 13

Linayati lestari. 2011. Kekalahan Lalu Serinata-Husni Djibril Pada Pilkada Nusa Tenggara

Barat Tahun 2008. Program Studi Politik Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas

Gadjah Mada. Tesis yang tidak dipublikasi

8

Dari studi-studi tentang petahana yang selama ini ada dan mainstream

yang berkembang, cenderung melihat dan menitikberatkan pada atribut-atribut

sebagai faktor kemenangan si petahana. Walaupun terdapat studi mengenai

kekalahan yang dialami oleh petahana, namun melihat dari sudut pelembagaan

partai. Berbeda dengan yang lainnya, studi petahana ini mencoba mengelaborasi

atribut-atribut yang menjadi keuntungan si petahana dan dibaca sebagai peluang

yang tidak taken for granted, peluang tersebut tidak serta merta terjadi begitu saja

tetapi adanya proses penciptaan yang kompleks sehingga peluang dapat menjadi

peluang yang nyata. Singkat kata, dalam studi ini peluang diberlakukan sebagai

acuan untuk membaca kekalahan yang dialami oleh sang petahana.

Selain itu, studi ini mencoba keluar dari kecenderungan studi pemilihan

umum, termasuk pemilihan umum kepala daerah yang menggunakan logika

society based yang melihat perilaku memilih, tetapi dalam studi petahana ini,

memandang pemilihan umum terutama pemilihan umum kepala daerah dengan

menggunakan logika actor based. Di satu sisi, menggunakan logika actor based

untuk mendapatkan kebaruan, dan di sisi lain merupakan limitasi penulis agar

studi ini tetap fokus.

9

D. Kerangka Teori

Dalam upaya mengungkap kekalahan yang dialami oleh petahana pada

saat berusaha menyelamatkan dan mempertahankan kedudukannya dalam ajang

pemilihan umum kepala daerah, maka studi ini menggunakan peluang yang akan

memberikan kemenangan bagi petahana dan melekat pada petahana sebagai jalan

menuju jawaban atas kekalahan tersebut. Keadaan yang demikian disebabkan oleh

petahana yang notabene sebagai kepala daerah yang tengah menjabat memiliki

peluang besar untuk terpilih kembali dibandingkan dengan kontestan lainnya, dan

didukung oleh banyak studi akademis mengenai petahana yang menekankan

bahwa petahana memiliki persentase yang tinggi untuk terpilih kembali menjadi

pemegang kekuasaan untuk yang kedua kalinya, namun ketika peluang yang

terbuka lebar tersebut tidak dimanfaatkan maka kedudukan yang sedang ditempati

menjadi taruhannya.

1. Faktor Diskon Kampanye dan Pendorong Sebagai Peluang

Politik Sang Petahana

Sebelum masuk pada potensi peluang yang dimiliki oleh petahana sebagai

suatu faktor penentu, maka perlu diketahui siapa itu petahana. Secara umum

petahana merupakan istilah yang digunakan dalam pemilihan umum yang

ditujukan kepada seseorang yang memegang jabatan publik yang bertarung lagi

dalam pemilihan umum dengan tujuan mempertahankan jabatannya. Dalam

perkembangan studi tentang petahana, ternyata terdapat pertentangan antar

ilmuan mengenai keikutsertaan kembali petahana untuk bertarung dalam

pemilihan umum. Sebagian berpendapat bahwa petahana diperbolehkan ikut

kembali, sedangkan yang lain mengatakan tidak diperkenankan dengan alasan

10

petahana merupakan kandidiat yang buruk karena menggunakan dan

memanfaatkan jabatannya, sehingga akan menimbulkan kontestasi yang lemah

pada saat pemilihan umum dilangsungkan.

Sedikit telah disinggung tadi bahwa petahana memiliki tingkat

kepercayaan diri yang tinggi serta sangat santai dalam memutuskan untuk maju

lagi dalam pemilihan umum yang kedua kalinya. Keadaan yang demikian

dikarenakan tidak sedikitnya peluang yang dimiliki oleh sang petahana sebagai

pemegang kekuasaan pada masa pemerintahannya, yang nantinya akan

mempengaruhi nasibnya dalam pemilihan umum yang selama ini cenderung

ramah terhadap petahana. Maka dari itu, adanya kebutuhan untuk melihat dan

mengetahui potensi peluang yang nantinya dikonversikan menjadi aktual peluang

yang dimiliki oleh petahana. Pertama yaitu apa yang disebut oleh Gordon dan

Landa dalam “Do the advantages of incumbency, advantage incumbent” sebagai

Campaign discount dan pro incumbent endorser bias. Masing masing dapat

dibaca sebagai diskon dan mesin mobilisasi.

Terkait dengan potensi peluang pertama yang dimiliki oleh petahana yaitu

campaign discount atau diskon kampanye dapat dibaca sebagai “diskon”. Gordon

dan Landa mengatakan bahwa diskon kampanyelah yang membuat tidak

mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh petahana untuk berkampanye di

pemilihan umum, dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh

penantangnya. Implikasi dari diskon kampanye ini adalah pemerataan kemampuan

yang beragam dari setiap petahana. Situasi diskon kampanye tersebut akan

memberikan manfaat yang besar bagi petahana yang berkualitas rendah, dan

11

tentunya akan membahayakan bagi penantang yang berkualitas tinggi. Diskon

kampanye merupakan refleksi dari pengakuan nama besar dan hak istimewa yang

dimiliki oleh petahana, pemberitaan media, serta kemampuan merebut hati

masyarakat.14

Merujuk pada apa yang telah disampaikan dalam sub bab sebelumnya,

bahwa diskon kampanye bukanlah taken for granted, maka framing dapat

digunakan untuk melihat tranformasi diskon kampanye menjadi diskon kampanye

yang sesungguhnya. Gamson mengatakan bahwa perlunya seorang elit

membingkai peristiwa sedemikian rupa sehingga khalayak mempunyai perasaan

yang sama, dengan mengkomunikasikannya dengan menggunaan simbol, nilai

dan retorika tertentu dalam memobilisasi khalayak. Dengan tujuan untuk

memenangkan simpati dari khalayak dengan menggunakan simbol, jargon dan

label yang berkembang di tengah khalayak. Jika diturunkan dalam pemilihan

umum maka setidaknya petahana membutuhkan apa yang disebut oleh Gamson

sebagai aggregate frame, yang merupakan proses pendefinisian isu sebagai

masalah sosial, dan nantinya akan mempengaruhi individu (pemilih) ketika

mendengar frame atas peristiwa tersebut menjadi masalah bersama.15

Semua

faktor tersebut akan membuat petahana lebih mudah dalam menyusun kampanye

yang serius dari pada penantangnya.

Peluang selanjutnya yang dimiliki oleh petahana yaitu mesin mobilisasi.

Bahasa lain disampaikan Gordon dan Landa yaitu pro incumbent endorser bias

atau dalam studi ini dikenal sebagai pendorong. Peluang ini dimiliki oleh

14

Lebih lanjut lihat Gordon dan Landa, op. cit., hal 1482-1483 15

William A. Gamson. 1992. Talking Politics. Dalam Eriyanto. 2002. Analisis Framing.

Yogyakarta : LKiS.Hal 218-221

12

petahana karena posisinya sebagai pemegang jabatan politik. Tentunya memiliki

hubungan yang erat dengan kelompok kepentingan yang berpengaruh, dan

birokrat, serta elit-elit yang dihormati di daerah Kabupaten Solok. Hal tersebut

akan secara langsung mempengaruhi perilaku petahana.

Pendorong ini menjadi relevan karena ketidakcukupan informasi yang

dimiliki oleh pemilih, sehingga pemilih mungkin hanya mengandalkan para

pendorong yang berasal kelompok elit yang dihormati dan kelompok kepentingan

serta birokrasi. Kondisi ini akan menentukan bagaimana pemilih memberikan

suara mereka. Disebabkan karena petahana pemegang pemerintahan dan memiliki

kesempatan untuk menjalin hubungan atau menawarkan janji kepada elit dan ini

barang kali merupakan beberapa bentuk dari bias terhadap petahana. Dengan

demikian, kedua potensi peluang itu tersedia untuk petahana disebabkan oleh

akses mereka pada kekuatan dan kekuasaan.

2. Mobilisasi Sumber Daya Kekuasaan untuk Aktualisasi

Potensi Peluang Politik

Pada bagian sebelumnya, telah disampaikan bahwa petahana memiliki

potensi peluang berupa campaign discount atau diskon kampanye dan pro

incumbent endorser bias atau pendorong. Namun tidak serta merta potensi

tersebut menjadi peluang yang aktual dalam satu situasi, bahkan ini bisa menjadi

penghalang bagi petahana untuk mempertahankan jabatannya. Oleh sebab itu,

dibutuhkan kapasitas personal untuk bisa mentransformasikan potensi peluang

tadi menjadi peluang yang aktual dengan cara melakukan mobilisasi sumber daya

yang dimiliki oleh petahana, dalam hal ini petahana Kabupaten Solok.

13

Stone mengatakan bahwa prospek tingginya tingkat keterpilihan petahana

dan besarnya perolehan suara merupakan hasil dari kapasitas dan kualitas sang

petahana yang bersangkutan. Di tengah persaingan politik yang semakin ketat

maka dari itu, dibutuhkan kapasitas yang dimiliki oleh petahana untuk melakukan

mobilisasi terhadap sumber daya yang dimiliki agar menjadi senjata dan kekuatan

bagi si petahana. Sehingga menjadi kebutuhan bagi seorang petahana untuk

memiliki dan mengakumulasikan sumber daya yang bisa dikatakan sebagai alat

pendukung untuk memenangkan pertarungan dalam pemilihan umum kepala

daerah.

Adapun sumber daya yang perlu dimiliki menurut Andrain yaitu16

:

pertama, sumber daya ekonomi. Tidak dipungkiri bahwa besarnya jumlah uang

yang akan digunakan untuk membiayai belanja kampanye karena meningkatnya

intensitas persaingan. Sumber daya ekonomi, baik kekayaan dan pendapatan yang

besar sangat diperlukan oleh petahana dalam mempertahankan kekuasaannya

melalui pemilihan umum. Selain itu Andrain mengatakan bahwa kontrol atas

barang dan jasa dapat digunakan untuk memperoleh kepatuhan, yang dalam

konteks ini pemberian suara kepada petahana. Kontribusi dari sumber daya ini

sangat besar, mengingat hampir setiap ruang gerak politik membutuhkan

pembiayaan. Maka dari itu, tidak mengherankan jika petahana berusaha

memperbesar sumber daya ekonominya dengan berbagai cara.

Sumber daya kedua yaitu sumber daya normatif. Dapat dari kualitas

kebijakan relijius, kebenaran moral, wewenang yang sah. Sumber daya ini

16

Charles F. Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. terjemahan Luqman

Hakim. Yogyakarta : Tirta Wacana. Hal 132-134

14

memberikan petahana hak moral untuk menjalankan kekuasaannya. Ketiga

sumber daya personal. Andrain menjelaskan bahwa pengidentifikasian dengan

tokoh yang secara personal menarik akan menimbulkan kepatuhan. Disini

pemegang kekuasaan dalam hal ini petahana memiliki kualitas-kualitas personal

seperti berkarisma, menarik, popular, bersahabat dan penuh kasih sayang, akan

menyebabkan orang lain yaitu pemilih merasa tertarik kepada petahana tersebut.

Selanjutnya, sumber daya keempat yang hendaknya dimiliki oleh petahana adalah

sumber daya keahlian. Menurut Andrain modal yang harus dimiliki oleh seorang

pelaku politik yaitu informasi, pengetahuan, intelejensi dan keahlian teknis.

E. Definisi Konseptual

Pada bagian ini, penulis akan mempertegas kembali landasan konseptual

yang menjadi acuan dasar dalam studi ini, dengan kembali mendefinikan konsep

dasar dan kata kunci yang membentuk alur argumen, demi mempermudah

pembaca mendapatkan kesamaan penafsiran.

1. Petahana merupakan istilah dalam pemilihan umum yang ditujukan

kepada kontestan yang tengah memegang jabatan politik dan

mencalonkan diri kembali dalam pemilihan umum berikutnya, untuk

mempertahankan jabatan yang telah didudukinya maupun meraih

jabatan politik yang lebih tinggi.

2. Diskon kampanye merupakan keuntungan yang dimiliki oleh petahana

karena jabatan politik yang ditempati, sehingga tidak perlu

mengeluarkan biaya yang tinggi, ketika berupaya mempertahankan

jabatan tersebut pada pemilihan umum berikutnya.

15

3. Pendorong merupakan istilah yang disematkan kepada pendukung

petahana yang bertugas untuk memenangkan petahana dalam

pemilihan umum, melalui penjaringan massa yang lebih luas dan

memobilisasi para pengikut dari masing-masing pendukung.

Pendorong ini tercipta dari hasil jalinan hubungan baik dan jalinan

kepentingan antara petahana dengan para pendorong ketika petahana

tengah menjalankan kekuasaan.

4. Framing merupakan upaya yang dilakukan petahana untuk membentuk

satu persepsi, opini, citra positif dan perasaan yang sama antara

dirinya dan masyarakat di grasroot, dengan tujuan mendapatkan

simpati dari masyarakat tersebut.

5. Sumber daya kekuasaan adalah kemampuan yang dimiliki oleh

seseorang untuk dapat mempengaruhi orang lain dan menciptakan

kepatuhan dari orang lain tersebut.

6. Kekalahan merupakan suatu keadaan yang dialami seorang kontestan

dalam pemilihan umum karena tidak mampu meraih mayoritas suara

pada saat pemungutan suara.

16

F. Definisi Operasional

Dalam definisi operasional ini penulis mencoba menurunkan konsep yang

digunakan menjadi indikator yang kongkrit.

1. Diskon kampanye dapat dilihat melalui status yang disandang, kinerja

serta prestasi yang di peroleh selama menjalankan kekuasaan.

2. Pendorong dilihat melalui siapa dan jumlah pendorong serta

kemampuan pendorong untuk menjaring dan memobilisasi pengikut.

3. Framing, dilihat melalui media yang digunakan dan cara menggunkan

serta pengaruh media tersebut.

4. Sumberdaya kekuasaan dilihat melalui penguasaan kekayaan, jabatan

yang ditempati, kepribadian, dan intilegensi, pengetahuan, keahlian.

G. Metode Penelitian

Studi ini mengunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus,

dengan tujuan dapat menggali secara mendalam mengenai kekalahan petahana

pada pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Solok periode 2010-2015.

Pengunaan metode studi kasus ini disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama,

dilihat dari dimensi kekhasan, studi ini mengambil jalan yang berbeda dari arus

utama kajian tentang petahana yang cenderung mengkaji kemenangan petahana

dan segala keuntungan yang dimiliki petahana dengan memilih jalan untuk

mengkaji kekalahan yang dialami oleh petahana. Kedua, mengingat studi ini

mengkaji kekalahan yang dialami oleh petahana, maka jika disorot dari dimensi

wilayah dan periode waktu, pada tahun 2010 Provinsi Sumatera Barat

menyelenggarakan 14 pemilihan kepala daerah baik provinsi, kota dan kabupaten.

17

Salah satu yang menyelenggarakan pesta demokrasi tersebut yaitu Kabupaten

Solok yang diikuti oleh petahana, dan petahana tersebut mengalami kekalahan.

1. Lokasi Penelitian

Lokus dari studi ini yaitu Kabupaten Solok yang merupakan salah

satu dari 19 Kota/Kabupaten di Provinsi Sumatera Barat, dipilih

berdasarkan dua alasan pertama yaitu Kabupaten Solok ini

menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah untuk periode 2010-

2015 yang mana salah satu kontestannya adalah petahana. Alasan kedua

yaitu, petahana tersebut awalnya diunggulkan oleh banyak kalangan

karena melihat rekam jejak petahana yang baik selama menjalankan

kekuasaan, keadaan tersebut juga didukung oleh hasil survey yang

mengisyaratkan kemenangan bagi sang petahana tersebut karena memiliki

tingkat elektabilitas yang tinggi dibandingkan kontestan lainnya, namun

berdasarkan hasil akhir penghitungan suara yang dilakukan KPUD

Kabupaten Solok, diputuskan bahwa penantang dari sang petahanalah

yang menang dalam pemilihan umum kepala daerah 2010 yang lalu.

Singkat kata petahana tersebut mengalami kekalahan pada pemilihan

umum kepala daerah yang diselenggarakan di Kabupaten Solok.

2. Fokus dan Limitasi Penelitian

Selama ini studi-studi akademis tentang petahana memberikan

penekanan yang berlebihan terhadap kemenangan petahana yang

dihasilkan oleh jabatan yang ditempati, keadaan tersebut menimbulkan

kekosongan kajian tentang kekalahan petahana karena dalam prakteknya

18

tidak semua petahana yang kembali berkontestasi dapat mempertahankan

jabatannya. Sehingga dalam studi ini, kekalahan petahanalah yang menjadi

fokus kajian.

Disatu sisi, studi ini mengajak keluar dari kecenderungan studi

pemilihan umum, termasuk pemilihan umum kepala daerah yang

menggunakan logika society based yang melihat perilaku memilih, tetapi

dalam studi petahana ini, memandang pemilihan umum terutama

pemilihan umum kepala daerah dengan menggunakan logika actor based.

Di satu sisi, menggunakan logika actor based untuk mendapatkan

kebaruan, dan di sisi lain merupakan limitasi penulis agar studi ini tetap

fokus.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam rangka mengumpulkan data mengenai kekalahan yang

dialami oleh petahana pada pemilihan umum kepala daerah Kabupaten

Solok 2010-2015 ini, maka langkah-langkah yang dilakukan yaitu:

1. Desk Study

Desk Study ini dipilih sebagai langkah awal untuk menemukan

seperti apa peluang yang dimiliki oleh petahana baik kinerja selama

menjabat ataupun prestasi yang diraih selama menduduki jabatan

sebagai Bupati Kabupaten Solok berdasarkan data-data pendukung

yang ada. Data-data tersebut seperti: Data statistik mengenai

pertumbuhan perekonomian, kesehatan, pendidikan, jenis pekerjaaan,

tingkat pengangguran dan kemiskinan pada masa jabatan sang

19

petahana yang nantinya akan memberikan gambaran terhadap

kinerjanya selama memerintah.

Selanjutnya yaitu data yang berasal dari Setda mengenai

kebijakan-kebijakan yang ada selama petahana menjabat. data dari

KPUD mengenai daerah-daerah mana saja petahana mendapatkan

perolehan suara yang rendah. Seiring dengan data sebelumnya,

dokumentasi-dokumentasi yang dilakukan media massa mengenai

proses pemilihan umum terutama yang berkaitan langsung dengan

petahana yang nantinya akan mendeskripsikan kondisi dan keadaan

pada saat penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah Kabupaten

Solok periode 2010-2015. Data sekunder ini dapat berupa buku, media

massa baik cetak maupun online dan sebagainya.

2. Field study

Langkah selanjutnya yaitu field study dengan cara mendapatkan

data melalui wawancara mendalam (indepth interview) terhadap

informan kunci. Adapun informan dari studi ini meliputi:

a. Tim sukses petahana pada pemilihan kepala daerah Kabupaten

Solok periode 2010-2015. Dengan tujuan diketahuinya perilaku tim

sukses dalam “memasarkan” petahana, strategi dan isu apa yang

diangkat demi memenangkan sang petahana tersebut.

b. Para pengurus partai-partai pendukung petahana tersebut, terutama

PAN, PPP, HANURA dan GERINDRA, serta partai pendukung

penantang. Dengan tujuan dapat mengetahui alasan atau

20

pertimbangan apa yang membuat partai-partai tersebut mengusung

petanaha tersebut untuk kembali ikut dalam pemilihan.

c. Aparat birokrasi termasuk kepala SKPD yang pernah dipimpin

oleh petahana. dengan maksud untuk mendapatkan jawaban

bagaimana kepemimpinan petahana tersebut selama menjabat,

kebijakan-kebijakan apa yang dikeluarkan petahana tersebut yang

berkaitan dengan aparat birokrasi, serta mengetahui bagaimana

sikap petahana tersebut dalam berelasi dengan bawahannya.

Inovasi serta prestasi yang diraih oleh petahan pada masa

jabatannya

d. Organisasi massa, dengan tujuan dapat diketahuinya hubungan

antara petahana dengan organisasi massa tersebut.

e. Media massa. Substansi yang ingin dicapai yaitu diketahuinya

intensitas kerjasama yang dilakukan antara petahana dengan media

massa demi publikasi petahana dalam rangka menciptakan potensi

untuk memenangkan pemilihan umum kepala daerah pada tahun

2010 tersebut.

4. Metode Analisa Data

Dikarenakan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif,

maka metode yang digunakan adalah analisa kualitatif yang diperoleh dari

desk study dan wawancara mendalam mengenai petahana tersebut. Setelah

itu melakukan reduksi data dengan menelaah dengan cara menseleksi,

pemfokusan dan penyederhanakan serta mengabstraksikan data kasar yang

21

telah dimiliki. Selanjutnya data yang telah direduksi, dianalisis dengan

berpedoman pada alur teoritik, kemudian diklasifikasikan atau

dikategorikan menurut urutan pembahasan dan disesuaikan dengan tujuan

penelitian. Tahap terakhir yaitu penarikan kesimpulan. Dari data yang

telah dianalisis maka selanjutnya peneliti akan menarik kesimpulan-

kesimpulan yang terkait dengan temuan hasil penelitian yang telah

dilakukan.

H. Sistematika Penulisan

Studi ini berupaya menjawab pertanyaan yang telah diaplikasikan ke

dalam bentuk rumusan masalah, dengan mendeteksi lebih detail peluang yang

dimiliki oleh si petahana, termasuk didalamnya mengekspos proses penciptaan

peluang tersebut. Pendektesian tersebut diharapkan dapat menangkap penyebab

kekalahan si petahana diajang lima tahunan tersebut.

Studi ini diawali dengan Bab I sebagai pendahuluan. Berisikan latar

belakang, dan rumusan masalah yang menjadi kegelisahan yang harus diredam.

Terdapat juga kerangka teoritik sebagai peredam kegelisahan tersebut dikarenakan

karangka teorilah menjadi landasan berpikir dalam seluruh bangunan argumen

studi ini yang nanti memberikan jawaban dari masalah yang dihadapi. Serta

metode penelitian dan sistematika penulisan dicantumkan pada bab pertama ini.

Sedangkan di Bab II, akan dijelasan secara deskriptif apa saja peluang

yang dimiliki oleh petahana dilihat dari diskon kampanye dan para pendorongnya

sebagai setting permasalahan. Hal tersebut penting dijelaskan dan dikemukakan

untuk menuntun kepada jawaban dari kegelisahan yang dikemukakan pada bab I.

22

Alur kajian dalam Bab II akan dimulai dengan potensi diskon kampanye dan

dikuti oleh paparan mengenai potensi para pendorong yang dimiliki oleh

petahana.

Pada Bab III, kajian ini akan membahas lebih dalam mengenai bagaimana

si petahana mengkonstruksi agar teraktualisasi diskon kampanye yang tadinya

hanya sebuah potensi menjadi diskon kampanye yang nyata dengan kemampuan

memframing dan sumber daya yang dimiliki oleh petahana. Serta gejolak yang

terjadi dalam upaya menghasilkan diskon kampanye yang sebenarnya oleh

petahana. Bab ini diharapkan dapat memberikan penjelasan awal mengapa si

petahana mengalami kekalahan di pertarungan memperebutkan kedaulatan rakyat,

dengan melihat apakah si petahana berhasil mengaktulisasikan diskon kampanye

atau tidak pernah menjadi diskon kampanye. Singkat kata, bab II ditujukan untuk

melihat strategi mengaktualisasikan diskon kampanye dan “peristiwa-peristiwa”

didalamnya.

Melalui Bab IV, penulis akan menggali lebih dalam praktek yang

dilakukan oleh petahana pada proses pengaktualisasikan potensi pendorong yang

berpihak kepada si petahana menjadi pendorong yang benar-benar “setia” kepada

dirinya, serta dinamika dalam proses menjadikan pendorong yang dimiliki

menjadi pendorong yang sesungguhnya dan loyal kepada petahana tersebut.

Harapannya, penyebab kekalahan petahana menjadi semakin jelas terpaparkan

dalam bab ini. Kemudian, Bab V menjadi peredam dari kegelisahan dengan

menyampaikan refleksi terhadap apa yang terjadi pada petahana yang mengalami

kekalahan dan sekaligus sebagai refleksi teoritik.