bab i - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64284/potongan/s2-2013... ·...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Petahana dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah
Studi ini bermaksud untuk mengungkap kekalahan yang dialami oleh
petahana (incumbent) dalam pemilihan umum kepala daerah yang ia ikuti pada
periode berikutnya. Tujuannya untuk melacak lebih jauh penyebab-penyebab
yang menjadikan petahana tidak mampu mempertahankan kekuasaannya, dengan
membaca potensi peluang yang dimiliki oleh sang petahana sebagai pedoman
menemukan jawabannya atas kekalahan tersebut.
Sejak pemilihan umum kepala daerah secara langsung untuk pertama
kalinya pada tahun 2005 sampai sekarang ini yang merupakan hasil dari Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, memunculkan suatu
fenomena yaitu kepala daerah yang tengah memerintah (petahana) bersaing
kembali untuk mempertahankan kekuasaannya.1 Fenomena tersebut juga
menyentuh pemilihan umum kepala daerah yang diselenggarakan di Kabupaten
Solok pada tahun 2010 yang diikuti oleh tiga pasang calon Bupati dan Wakil
Bupati. Para kontestan yang berebut kedaulatan rakyat untuk mendapatkan
kekuasaan, salah satu diantaranya yaitu Bupati Kabupaten Solok yang masih
dalam masa jabatan.2
1 Tercatat hanya 230 atau sekitar 78.77% petahana yang kembali muncul pada pemilihan kepala
daerah terhitung Juni 2005 sampai Desember 2006 dari 32 wilayah yang menyelenggarakan
pemilihan umum kepala daerah. Lingkaran Survei Indonesia. 2007.“Incumbent dan PILKADA”.
Kajian bulanan Juni 2007 edisi 2. hal 2 2 Gusmal SE MM sebagai petahana yang menjabat sebagai Bupati Kabupaten Solok dan Drs.
Edierizon adalah pasangannya; Drs. Syamsu Rahim dan Drs. Desra Ediwan AT MM; Drs. Beny
Faizal Chan MM dan Drs. Nazar Bakri.
2
Berbicara mengenai petahana yang kembali bertarung dalam pemilihan
umum, maka yang akan terlintas dalam benak banyak orang yaitu kemenangan
berada dalam tangan sang petahana.3 Hal ini disebabkan karena posisi sang
patahana yang menghasilkan banyak peluang, kesempatan serta keuntungan
seperti mainstream kajian tentang petahana yang ada. Petahana Bupati Kabupaten
Solok misalnya, petahana tersebut memiliki jaringan relasi yang luas menjadi
suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, mulai dari birokrasi yang dipimpinnya,
tokoh-tokoh masyarakat, dan pemuka adat, serta pemuka agama. Jaringan tersebut
dapat dimanfaatkan oleh petahana sebagai mesin penjaring dan mobilisasi yang
akan membantunya mempertahankan kekuasaan yang telah ia miliki.
Petahana ini juga memiliki kesempatan lebih awal dan paling banyak
karena selama menjabat ia bisa melakukan soft campaign dengan
mengatasnamakan pemerintah dengan mendatangi nagari-nagari,4 bahkan
memanfaatkan anggaran daerah dan program yang digulirkan pada masa
jabatannya untuk menarik simpati masyarakat di grassroot dengan tujuan
mengkapitalisasi popularitasnya. Dengan kata lain, petahana memiliki fasilitas
gratis yang dapat dimanfaatkan ketika ia memutuskan untuk bertarung lagi dalam
pemilihan umum kepala daerah. Keistimewaan yang dimiliki oleh petahana ini
tidak dimiliki oleh para penantangnya.
3 Disebabkan keterbatasan data yang penulis miliki, data yang diketahui hanya Berdasarkan
database Pilkada Juni 2005 sampai Desember 2006 lingkaran survey Indonesia bahwa terdapat
62.17% mampu mempertahankan kekuasaannya dari total keseluruhan petahana yang maju
kembali pada pemilihan umum. 4 Nagari merupakan pembagian wilayah administratif sesudah kecamatan di Provinsi Sumatera
Barat, istilah nagari menggantikan istilah desa yang sebelumnya digunakan diseluruh provinsi-
provinsi lain di Indonesia pada masa Orde Baru.
3
Namun belakangan ini terdapat semacam trend yang sedang berkembang
pada ajang pemilihan umum kepala daerah bahwa petahana tidak dengan mudah
dapat memenangkan pertarungan demi mempertahankan kekuasaannya, singkat
kata petahana dikalahkan oleh pesaingnya.5 Trend tersebut juga diikuti dan
dialami oleh kontestan yang diusung dan didukung oleh PAN, PPP, GERINDRA,
dan HANURA yaitu petahana Bupati Kabupaten Solok yang dikalahkan oleh
pesaingnya yang merauk suara sebanyak 77.359 atau 50.43% suara, sementara itu
petahana harus puas memperoleh suara sebanyak 64.801atau 42.24% saja, padahal
petahana ini sudah diprediksikan menang oleh Lumbung Survey Independen
Sentral Strategis (LSISS) karena memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi
dibanding kontestan lainnya.6 Selain itu, petahana ini disebut-sebut sebagai
kontestan terkuat karena kiprahnya selama empat tahun menjabat sebagai Bupati
Kabupaten Solok yang ditunjukan melalui pencapaian program pembangunan
yang ditawarkan, serta 17 penghargaan yang dihadiahkan oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah.
Berangkat dari keadaan tersebut menjadi menarik, ketika sang petahana
yang memiliki “semuanya” serta didukung dengan asumsi-asumsi akademis yang
sejauh ini memungkinkan kemenangan bagi petahana tersebut, namun tanpa
diduga sang petahana mengalami kekalahan. Kondisi yang demikian
5 Pilkada Juni 2005-Desember 2006 sebanyak 87 orang (37.83%) kalah dari lawan lain. Lembaga
Survei Indonesia, op. cit., hal 2. 6 LSISS melakukan survai di 14 Kecamatan, 45 Nagari, 155 Jorong di Kabupaten Solok, dengan
responden berasal dari kalangan opinion leader diantaranya dosen/guru, pakar hukum, pimpinan
ormas/LSM, wali nagari/jorong, ormas pemuda nagari dan kader posyandu, bundo kanduang,
pengurus mesjid dan musalla dan lebih dari 9000 responden di jaringan media telepon seluler. Dari
jumlah responden tersebut, petahana unggul dari kontestan lain dengan memperoleh suara
sebanyak 41. 20 %.
4
menimbulkan tanda tanya sehingga menjadi daya pikat tersendiri bagi penulis
untuk melakukan studi mengenai kekalahan petahana ini. Mengingat selama ini
studi yang berkaitan dengan petahana cenderung mengkaji peluang, kesempatan
dan keuntungan sebagai faktor penentu kemenangan petahana, maka penulis
menggunakan peluang yang melekat pada petahana untuk membaca kekalahan
yang dialami oleh petahana dan sebagai pintu masuk untuk studi ini, penulis akan
menelisik kekalahan yang dialami oleh petahana Bupati Kabupaten Solok pada
pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Solok periode 2010-2015.
B. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang, maka studi ini ditujukan untuk
menjawab pertanyaan : mengapa petahana Bupati Kabupaten Solok mengalami
kekalahan pada saat pemilihan umum kepala daerah periode 2010-2015?
Studi ini mengemban dua misi, pertama yaitu untuk mengungkap
penyebab kekalahan yang dialami oleh petahana. Disamping memenuhi misi
tersebut, sebagai misi kedua yaitu studi ini diharapkan dapat digunakan untuk
melengkapi studi-studi mengenai petahana yang selama ini berfokus mengenai
kemenangan yang dihasilkan oleh peluang, kesempatan dan keuntungan sebagai
faktor penentu kemenangan tersebut dan selama ini studi mengenai petahana
didominasi oleh peneliti asing dengan pemilihan umum yang diselenggarakan di
Negara mereka sebagai lokus penelitiannya. Disamping itu, studi ini diharapkan
dapat memberikan cara pandang lain untuk melihat dan mengkaji pemilihan
umum termasuk pemilihan umum kepala daerah.
5
C. Literature Review : Petahana dan Keuntungan yang Mengikutinya
Namun Tidak Selalu Beruntung
Pemilihan umum apapun skala dan jenisnya baik pemilu kepala daerah,
legislatif dan pemilihan presiden menjadi suatu ajang bagi aktor-aktor pencari
kekuasaan yang legitimate, termasuk petahana yang hendak mengamankan
jabatannya dari ancaman serangan lawan. Petahana menjadi lawan yang sulit
untuk ditumbangkan oleh pesaingnya. Hal tersebut dikarenakan petahana diikuti
oleh berbagai keuntungan yang memberikan dirinya peluang untuk
memenangkan pertarungan, keadaan tersebut membuat sang petahana terlalu
percaya diri akan terpilih kembali.
Kecenderungan studi-studi akademis selama ini memang menunjukan
bahwa petahana memiliki resiko kekalahan yang kecil, dikarenakan si petahana
memanfaatkan pengaruh media dan dukungan kondisi ekonomi seperti yang
disampaikan Boyne, et. al.7 Sementara itu Carmichael,
8 dan Ragsdale,
9
mengungkapkan bahwa petahana memiliki popularitas yang tidak diragukan lagi
yang akan membuat penantang kerepotan.
Bukan hanya itu, Gordon dan Landa yang menjelaskan model peluang
petahana yang tercipta pada saat petahana menjalan kekuasaannya dan dapat
dimanfaatkan pada pemilihan umum dalam studinya melihat terdapatnya melihat
sumber-sumber peluang yang dimiliki oleh petahana dengan mengklasifikasikan
ke dalam tiga model. Pertama, terdapatnya jalinan hubungan yang baik dengan
7 George A Boyne,dkk. 2009. “Democracy and Government Performance:Holding Incumbent
Accountable In English Local Government”, The Journal of Politics, Volume 71, hal 1273-1284 8 Calum M Carmichael. 1990. “Economic Conditions and the Popularity of the Incumbent Party in
Canada”. Canadian Journal of Political Science, Volume 23, hal 713-726 9 Lyn Ragsdale. 1981. “Incumbent Popularity, Challenger Invisibility, and Congressional Voters”.
Legislative Studies Quarterly, Volume 6, hal 201-218
6
kelompok kepentingan dan elit di daerah, kemudian dikenal dengan model direct
officeholder. Kedua, model ini dinamai oleh Gordon dan Landa sebagai model
campaign discount. Pada model ini, petahana tidak perlu mengeluarkan uang
banyak untuk membuat ia terpilih lagi dalam pemilihan dan model ini
menunjukan nama besar yang dimiliki petahana. Sedangkan model yang ketiga
adalah district partisan bias.10
Sejalan dengan Gordon dan Landa, King dalam studi “Incumbent
Popularity and Vote Choice in Gubernatorial Elections”,11
melihat sisi lain dari
peluang yang dimiliki oleh petahana yaitu dengan kondisi ekonomi dan
kedekatannya dengan presiden. Pertama, kondisi ekonomi, incumbent memegang
tanggung jawab atas kondisi ekonomi, dan hal tersebut memberikan peluang
untuk terpilih kembali jika mampu meningkatkan serta menyehatkan kondisi
ekonomi. Peluang kedua adalah kedekatan yang dimiliki si petahana dengan
presiden. Peluang yang kedua ini didukung oleh banyak sarjana yang mengatakan
bahwa "the fortunes of gubernatorial candidates are tied to the public standing of
the president." Secara sederhana, King dalam tulisannya mengatakan bahwa
kondisi ekonomi, secara signifikan mempengaruhi pilihan pemilih atau dekat
hubungannya antara kondisi ekonomi dan hasil pemilihan, serta popularitas yang
dimiliki petahana dipengaruhi oleh hubungan baik dengan presiden.
Berkaitan dengan prospek Stone dan koleganya dalam studinya yang
mempertanyakan apa yang membuat tingginya tingkat keterpilihan kembali
10
Sanford C Gordon dan Dimitri Landa. 2009. “Do The Advanteges Of Incumbency, Advantage
Incumbent?”. The Journal of Politics, Vol. 71, No. 4. pp. 1481–1498 11
James D. King. 2001. “Incumbent Popularity and Vote Choice in Gubernatorial Elections”. The
Journal of Politics, Vol. 63, No. 2. pp. 585-597
7
petahana. Mereka melihat karakteristik petahana yang terkait dengan kualitas
kepemimpinan seperti karakter pribadi dan kinerja serta keterampilan. Mengukur
kualitas pribadi, keterampilan, dan kinerja petahana. Stone bersama koleganya
melakukan evaluasi mengenai petahana pada sebagian warga untuk menilai
menilai kinerja dan kualitas pribadi sang petahana seperti integritas pribadi,
kemampuan untuk bekerja dengan para pemimpin lain, pemahaman masalah,
kemampuan untuk memecahkan masalah. Dari apa yang mereka analisis, dan
menghasilkan temuan bahwa konsekuensi pemilihan mengikuti sebagai
konsekuensi dari kualitas petahana. Tingginya tingkat keterpilihan kembali para
petahana dalam studi Stone bersama koleganya ini disebabkan karena pemilih
puas dengan perwakilan mereka. Pengaruh kualitas bekerja secara tidak langsung
dengan mempengaruhi prospek pemilihan kembali petahana ini dan akan langsung
dengan sendirinya mengubah perolehan suara terhadap petahana tersebut.12
Sungguhpun petahana memiliki peluang yang berimpah, tetapi ternyata
petahana tidak selalu beruntung. Argumen tersebut diperkuat oleh studi yang
dilakukan oleh Lestari yang mempertanyakan kekalahan petahana yang didukung
oleh partai pemenang pemilihan legislatif. Ia menemukan bahwa split ticket voting
yang disulut oleh lemahnya identifikasi kepartaian dan figur yang bertanding
serta isu yang diangkat tidak dapat menarik pemilih sehingga kekalahanlah yang
dialami si petahana.13
12
Wlater J Stone,dkk. 2010. “Incumbency Reconsidered: Prospects, Strategic Retirement, and
Incumbent Quality in U.S. House Elections”. The Journal of Politics, Vol. 72, No. 1, pp. 178-
190 13
Linayati lestari. 2011. Kekalahan Lalu Serinata-Husni Djibril Pada Pilkada Nusa Tenggara
Barat Tahun 2008. Program Studi Politik Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas
Gadjah Mada. Tesis yang tidak dipublikasi
8
Dari studi-studi tentang petahana yang selama ini ada dan mainstream
yang berkembang, cenderung melihat dan menitikberatkan pada atribut-atribut
sebagai faktor kemenangan si petahana. Walaupun terdapat studi mengenai
kekalahan yang dialami oleh petahana, namun melihat dari sudut pelembagaan
partai. Berbeda dengan yang lainnya, studi petahana ini mencoba mengelaborasi
atribut-atribut yang menjadi keuntungan si petahana dan dibaca sebagai peluang
yang tidak taken for granted, peluang tersebut tidak serta merta terjadi begitu saja
tetapi adanya proses penciptaan yang kompleks sehingga peluang dapat menjadi
peluang yang nyata. Singkat kata, dalam studi ini peluang diberlakukan sebagai
acuan untuk membaca kekalahan yang dialami oleh sang petahana.
Selain itu, studi ini mencoba keluar dari kecenderungan studi pemilihan
umum, termasuk pemilihan umum kepala daerah yang menggunakan logika
society based yang melihat perilaku memilih, tetapi dalam studi petahana ini,
memandang pemilihan umum terutama pemilihan umum kepala daerah dengan
menggunakan logika actor based. Di satu sisi, menggunakan logika actor based
untuk mendapatkan kebaruan, dan di sisi lain merupakan limitasi penulis agar
studi ini tetap fokus.
9
D. Kerangka Teori
Dalam upaya mengungkap kekalahan yang dialami oleh petahana pada
saat berusaha menyelamatkan dan mempertahankan kedudukannya dalam ajang
pemilihan umum kepala daerah, maka studi ini menggunakan peluang yang akan
memberikan kemenangan bagi petahana dan melekat pada petahana sebagai jalan
menuju jawaban atas kekalahan tersebut. Keadaan yang demikian disebabkan oleh
petahana yang notabene sebagai kepala daerah yang tengah menjabat memiliki
peluang besar untuk terpilih kembali dibandingkan dengan kontestan lainnya, dan
didukung oleh banyak studi akademis mengenai petahana yang menekankan
bahwa petahana memiliki persentase yang tinggi untuk terpilih kembali menjadi
pemegang kekuasaan untuk yang kedua kalinya, namun ketika peluang yang
terbuka lebar tersebut tidak dimanfaatkan maka kedudukan yang sedang ditempati
menjadi taruhannya.
1. Faktor Diskon Kampanye dan Pendorong Sebagai Peluang
Politik Sang Petahana
Sebelum masuk pada potensi peluang yang dimiliki oleh petahana sebagai
suatu faktor penentu, maka perlu diketahui siapa itu petahana. Secara umum
petahana merupakan istilah yang digunakan dalam pemilihan umum yang
ditujukan kepada seseorang yang memegang jabatan publik yang bertarung lagi
dalam pemilihan umum dengan tujuan mempertahankan jabatannya. Dalam
perkembangan studi tentang petahana, ternyata terdapat pertentangan antar
ilmuan mengenai keikutsertaan kembali petahana untuk bertarung dalam
pemilihan umum. Sebagian berpendapat bahwa petahana diperbolehkan ikut
kembali, sedangkan yang lain mengatakan tidak diperkenankan dengan alasan
10
petahana merupakan kandidiat yang buruk karena menggunakan dan
memanfaatkan jabatannya, sehingga akan menimbulkan kontestasi yang lemah
pada saat pemilihan umum dilangsungkan.
Sedikit telah disinggung tadi bahwa petahana memiliki tingkat
kepercayaan diri yang tinggi serta sangat santai dalam memutuskan untuk maju
lagi dalam pemilihan umum yang kedua kalinya. Keadaan yang demikian
dikarenakan tidak sedikitnya peluang yang dimiliki oleh sang petahana sebagai
pemegang kekuasaan pada masa pemerintahannya, yang nantinya akan
mempengaruhi nasibnya dalam pemilihan umum yang selama ini cenderung
ramah terhadap petahana. Maka dari itu, adanya kebutuhan untuk melihat dan
mengetahui potensi peluang yang nantinya dikonversikan menjadi aktual peluang
yang dimiliki oleh petahana. Pertama yaitu apa yang disebut oleh Gordon dan
Landa dalam “Do the advantages of incumbency, advantage incumbent” sebagai
Campaign discount dan pro incumbent endorser bias. Masing masing dapat
dibaca sebagai diskon dan mesin mobilisasi.
Terkait dengan potensi peluang pertama yang dimiliki oleh petahana yaitu
campaign discount atau diskon kampanye dapat dibaca sebagai “diskon”. Gordon
dan Landa mengatakan bahwa diskon kampanyelah yang membuat tidak
mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh petahana untuk berkampanye di
pemilihan umum, dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh
penantangnya. Implikasi dari diskon kampanye ini adalah pemerataan kemampuan
yang beragam dari setiap petahana. Situasi diskon kampanye tersebut akan
memberikan manfaat yang besar bagi petahana yang berkualitas rendah, dan
11
tentunya akan membahayakan bagi penantang yang berkualitas tinggi. Diskon
kampanye merupakan refleksi dari pengakuan nama besar dan hak istimewa yang
dimiliki oleh petahana, pemberitaan media, serta kemampuan merebut hati
masyarakat.14
Merujuk pada apa yang telah disampaikan dalam sub bab sebelumnya,
bahwa diskon kampanye bukanlah taken for granted, maka framing dapat
digunakan untuk melihat tranformasi diskon kampanye menjadi diskon kampanye
yang sesungguhnya. Gamson mengatakan bahwa perlunya seorang elit
membingkai peristiwa sedemikian rupa sehingga khalayak mempunyai perasaan
yang sama, dengan mengkomunikasikannya dengan menggunaan simbol, nilai
dan retorika tertentu dalam memobilisasi khalayak. Dengan tujuan untuk
memenangkan simpati dari khalayak dengan menggunakan simbol, jargon dan
label yang berkembang di tengah khalayak. Jika diturunkan dalam pemilihan
umum maka setidaknya petahana membutuhkan apa yang disebut oleh Gamson
sebagai aggregate frame, yang merupakan proses pendefinisian isu sebagai
masalah sosial, dan nantinya akan mempengaruhi individu (pemilih) ketika
mendengar frame atas peristiwa tersebut menjadi masalah bersama.15
Semua
faktor tersebut akan membuat petahana lebih mudah dalam menyusun kampanye
yang serius dari pada penantangnya.
Peluang selanjutnya yang dimiliki oleh petahana yaitu mesin mobilisasi.
Bahasa lain disampaikan Gordon dan Landa yaitu pro incumbent endorser bias
atau dalam studi ini dikenal sebagai pendorong. Peluang ini dimiliki oleh
14
Lebih lanjut lihat Gordon dan Landa, op. cit., hal 1482-1483 15
William A. Gamson. 1992. Talking Politics. Dalam Eriyanto. 2002. Analisis Framing.
Yogyakarta : LKiS.Hal 218-221
12
petahana karena posisinya sebagai pemegang jabatan politik. Tentunya memiliki
hubungan yang erat dengan kelompok kepentingan yang berpengaruh, dan
birokrat, serta elit-elit yang dihormati di daerah Kabupaten Solok. Hal tersebut
akan secara langsung mempengaruhi perilaku petahana.
Pendorong ini menjadi relevan karena ketidakcukupan informasi yang
dimiliki oleh pemilih, sehingga pemilih mungkin hanya mengandalkan para
pendorong yang berasal kelompok elit yang dihormati dan kelompok kepentingan
serta birokrasi. Kondisi ini akan menentukan bagaimana pemilih memberikan
suara mereka. Disebabkan karena petahana pemegang pemerintahan dan memiliki
kesempatan untuk menjalin hubungan atau menawarkan janji kepada elit dan ini
barang kali merupakan beberapa bentuk dari bias terhadap petahana. Dengan
demikian, kedua potensi peluang itu tersedia untuk petahana disebabkan oleh
akses mereka pada kekuatan dan kekuasaan.
2. Mobilisasi Sumber Daya Kekuasaan untuk Aktualisasi
Potensi Peluang Politik
Pada bagian sebelumnya, telah disampaikan bahwa petahana memiliki
potensi peluang berupa campaign discount atau diskon kampanye dan pro
incumbent endorser bias atau pendorong. Namun tidak serta merta potensi
tersebut menjadi peluang yang aktual dalam satu situasi, bahkan ini bisa menjadi
penghalang bagi petahana untuk mempertahankan jabatannya. Oleh sebab itu,
dibutuhkan kapasitas personal untuk bisa mentransformasikan potensi peluang
tadi menjadi peluang yang aktual dengan cara melakukan mobilisasi sumber daya
yang dimiliki oleh petahana, dalam hal ini petahana Kabupaten Solok.
13
Stone mengatakan bahwa prospek tingginya tingkat keterpilihan petahana
dan besarnya perolehan suara merupakan hasil dari kapasitas dan kualitas sang
petahana yang bersangkutan. Di tengah persaingan politik yang semakin ketat
maka dari itu, dibutuhkan kapasitas yang dimiliki oleh petahana untuk melakukan
mobilisasi terhadap sumber daya yang dimiliki agar menjadi senjata dan kekuatan
bagi si petahana. Sehingga menjadi kebutuhan bagi seorang petahana untuk
memiliki dan mengakumulasikan sumber daya yang bisa dikatakan sebagai alat
pendukung untuk memenangkan pertarungan dalam pemilihan umum kepala
daerah.
Adapun sumber daya yang perlu dimiliki menurut Andrain yaitu16
:
pertama, sumber daya ekonomi. Tidak dipungkiri bahwa besarnya jumlah uang
yang akan digunakan untuk membiayai belanja kampanye karena meningkatnya
intensitas persaingan. Sumber daya ekonomi, baik kekayaan dan pendapatan yang
besar sangat diperlukan oleh petahana dalam mempertahankan kekuasaannya
melalui pemilihan umum. Selain itu Andrain mengatakan bahwa kontrol atas
barang dan jasa dapat digunakan untuk memperoleh kepatuhan, yang dalam
konteks ini pemberian suara kepada petahana. Kontribusi dari sumber daya ini
sangat besar, mengingat hampir setiap ruang gerak politik membutuhkan
pembiayaan. Maka dari itu, tidak mengherankan jika petahana berusaha
memperbesar sumber daya ekonominya dengan berbagai cara.
Sumber daya kedua yaitu sumber daya normatif. Dapat dari kualitas
kebijakan relijius, kebenaran moral, wewenang yang sah. Sumber daya ini
16
Charles F. Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. terjemahan Luqman
Hakim. Yogyakarta : Tirta Wacana. Hal 132-134
14
memberikan petahana hak moral untuk menjalankan kekuasaannya. Ketiga
sumber daya personal. Andrain menjelaskan bahwa pengidentifikasian dengan
tokoh yang secara personal menarik akan menimbulkan kepatuhan. Disini
pemegang kekuasaan dalam hal ini petahana memiliki kualitas-kualitas personal
seperti berkarisma, menarik, popular, bersahabat dan penuh kasih sayang, akan
menyebabkan orang lain yaitu pemilih merasa tertarik kepada petahana tersebut.
Selanjutnya, sumber daya keempat yang hendaknya dimiliki oleh petahana adalah
sumber daya keahlian. Menurut Andrain modal yang harus dimiliki oleh seorang
pelaku politik yaitu informasi, pengetahuan, intelejensi dan keahlian teknis.
E. Definisi Konseptual
Pada bagian ini, penulis akan mempertegas kembali landasan konseptual
yang menjadi acuan dasar dalam studi ini, dengan kembali mendefinikan konsep
dasar dan kata kunci yang membentuk alur argumen, demi mempermudah
pembaca mendapatkan kesamaan penafsiran.
1. Petahana merupakan istilah dalam pemilihan umum yang ditujukan
kepada kontestan yang tengah memegang jabatan politik dan
mencalonkan diri kembali dalam pemilihan umum berikutnya, untuk
mempertahankan jabatan yang telah didudukinya maupun meraih
jabatan politik yang lebih tinggi.
2. Diskon kampanye merupakan keuntungan yang dimiliki oleh petahana
karena jabatan politik yang ditempati, sehingga tidak perlu
mengeluarkan biaya yang tinggi, ketika berupaya mempertahankan
jabatan tersebut pada pemilihan umum berikutnya.
15
3. Pendorong merupakan istilah yang disematkan kepada pendukung
petahana yang bertugas untuk memenangkan petahana dalam
pemilihan umum, melalui penjaringan massa yang lebih luas dan
memobilisasi para pengikut dari masing-masing pendukung.
Pendorong ini tercipta dari hasil jalinan hubungan baik dan jalinan
kepentingan antara petahana dengan para pendorong ketika petahana
tengah menjalankan kekuasaan.
4. Framing merupakan upaya yang dilakukan petahana untuk membentuk
satu persepsi, opini, citra positif dan perasaan yang sama antara
dirinya dan masyarakat di grasroot, dengan tujuan mendapatkan
simpati dari masyarakat tersebut.
5. Sumber daya kekuasaan adalah kemampuan yang dimiliki oleh
seseorang untuk dapat mempengaruhi orang lain dan menciptakan
kepatuhan dari orang lain tersebut.
6. Kekalahan merupakan suatu keadaan yang dialami seorang kontestan
dalam pemilihan umum karena tidak mampu meraih mayoritas suara
pada saat pemungutan suara.
16
F. Definisi Operasional
Dalam definisi operasional ini penulis mencoba menurunkan konsep yang
digunakan menjadi indikator yang kongkrit.
1. Diskon kampanye dapat dilihat melalui status yang disandang, kinerja
serta prestasi yang di peroleh selama menjalankan kekuasaan.
2. Pendorong dilihat melalui siapa dan jumlah pendorong serta
kemampuan pendorong untuk menjaring dan memobilisasi pengikut.
3. Framing, dilihat melalui media yang digunakan dan cara menggunkan
serta pengaruh media tersebut.
4. Sumberdaya kekuasaan dilihat melalui penguasaan kekayaan, jabatan
yang ditempati, kepribadian, dan intilegensi, pengetahuan, keahlian.
G. Metode Penelitian
Studi ini mengunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus,
dengan tujuan dapat menggali secara mendalam mengenai kekalahan petahana
pada pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Solok periode 2010-2015.
Pengunaan metode studi kasus ini disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama,
dilihat dari dimensi kekhasan, studi ini mengambil jalan yang berbeda dari arus
utama kajian tentang petahana yang cenderung mengkaji kemenangan petahana
dan segala keuntungan yang dimiliki petahana dengan memilih jalan untuk
mengkaji kekalahan yang dialami oleh petahana. Kedua, mengingat studi ini
mengkaji kekalahan yang dialami oleh petahana, maka jika disorot dari dimensi
wilayah dan periode waktu, pada tahun 2010 Provinsi Sumatera Barat
menyelenggarakan 14 pemilihan kepala daerah baik provinsi, kota dan kabupaten.
17
Salah satu yang menyelenggarakan pesta demokrasi tersebut yaitu Kabupaten
Solok yang diikuti oleh petahana, dan petahana tersebut mengalami kekalahan.
1. Lokasi Penelitian
Lokus dari studi ini yaitu Kabupaten Solok yang merupakan salah
satu dari 19 Kota/Kabupaten di Provinsi Sumatera Barat, dipilih
berdasarkan dua alasan pertama yaitu Kabupaten Solok ini
menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah untuk periode 2010-
2015 yang mana salah satu kontestannya adalah petahana. Alasan kedua
yaitu, petahana tersebut awalnya diunggulkan oleh banyak kalangan
karena melihat rekam jejak petahana yang baik selama menjalankan
kekuasaan, keadaan tersebut juga didukung oleh hasil survey yang
mengisyaratkan kemenangan bagi sang petahana tersebut karena memiliki
tingkat elektabilitas yang tinggi dibandingkan kontestan lainnya, namun
berdasarkan hasil akhir penghitungan suara yang dilakukan KPUD
Kabupaten Solok, diputuskan bahwa penantang dari sang petahanalah
yang menang dalam pemilihan umum kepala daerah 2010 yang lalu.
Singkat kata petahana tersebut mengalami kekalahan pada pemilihan
umum kepala daerah yang diselenggarakan di Kabupaten Solok.
2. Fokus dan Limitasi Penelitian
Selama ini studi-studi akademis tentang petahana memberikan
penekanan yang berlebihan terhadap kemenangan petahana yang
dihasilkan oleh jabatan yang ditempati, keadaan tersebut menimbulkan
kekosongan kajian tentang kekalahan petahana karena dalam prakteknya
18
tidak semua petahana yang kembali berkontestasi dapat mempertahankan
jabatannya. Sehingga dalam studi ini, kekalahan petahanalah yang menjadi
fokus kajian.
Disatu sisi, studi ini mengajak keluar dari kecenderungan studi
pemilihan umum, termasuk pemilihan umum kepala daerah yang
menggunakan logika society based yang melihat perilaku memilih, tetapi
dalam studi petahana ini, memandang pemilihan umum terutama
pemilihan umum kepala daerah dengan menggunakan logika actor based.
Di satu sisi, menggunakan logika actor based untuk mendapatkan
kebaruan, dan di sisi lain merupakan limitasi penulis agar studi ini tetap
fokus.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam rangka mengumpulkan data mengenai kekalahan yang
dialami oleh petahana pada pemilihan umum kepala daerah Kabupaten
Solok 2010-2015 ini, maka langkah-langkah yang dilakukan yaitu:
1. Desk Study
Desk Study ini dipilih sebagai langkah awal untuk menemukan
seperti apa peluang yang dimiliki oleh petahana baik kinerja selama
menjabat ataupun prestasi yang diraih selama menduduki jabatan
sebagai Bupati Kabupaten Solok berdasarkan data-data pendukung
yang ada. Data-data tersebut seperti: Data statistik mengenai
pertumbuhan perekonomian, kesehatan, pendidikan, jenis pekerjaaan,
tingkat pengangguran dan kemiskinan pada masa jabatan sang
19
petahana yang nantinya akan memberikan gambaran terhadap
kinerjanya selama memerintah.
Selanjutnya yaitu data yang berasal dari Setda mengenai
kebijakan-kebijakan yang ada selama petahana menjabat. data dari
KPUD mengenai daerah-daerah mana saja petahana mendapatkan
perolehan suara yang rendah. Seiring dengan data sebelumnya,
dokumentasi-dokumentasi yang dilakukan media massa mengenai
proses pemilihan umum terutama yang berkaitan langsung dengan
petahana yang nantinya akan mendeskripsikan kondisi dan keadaan
pada saat penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah Kabupaten
Solok periode 2010-2015. Data sekunder ini dapat berupa buku, media
massa baik cetak maupun online dan sebagainya.
2. Field study
Langkah selanjutnya yaitu field study dengan cara mendapatkan
data melalui wawancara mendalam (indepth interview) terhadap
informan kunci. Adapun informan dari studi ini meliputi:
a. Tim sukses petahana pada pemilihan kepala daerah Kabupaten
Solok periode 2010-2015. Dengan tujuan diketahuinya perilaku tim
sukses dalam “memasarkan” petahana, strategi dan isu apa yang
diangkat demi memenangkan sang petahana tersebut.
b. Para pengurus partai-partai pendukung petahana tersebut, terutama
PAN, PPP, HANURA dan GERINDRA, serta partai pendukung
penantang. Dengan tujuan dapat mengetahui alasan atau
20
pertimbangan apa yang membuat partai-partai tersebut mengusung
petanaha tersebut untuk kembali ikut dalam pemilihan.
c. Aparat birokrasi termasuk kepala SKPD yang pernah dipimpin
oleh petahana. dengan maksud untuk mendapatkan jawaban
bagaimana kepemimpinan petahana tersebut selama menjabat,
kebijakan-kebijakan apa yang dikeluarkan petahana tersebut yang
berkaitan dengan aparat birokrasi, serta mengetahui bagaimana
sikap petahana tersebut dalam berelasi dengan bawahannya.
Inovasi serta prestasi yang diraih oleh petahan pada masa
jabatannya
d. Organisasi massa, dengan tujuan dapat diketahuinya hubungan
antara petahana dengan organisasi massa tersebut.
e. Media massa. Substansi yang ingin dicapai yaitu diketahuinya
intensitas kerjasama yang dilakukan antara petahana dengan media
massa demi publikasi petahana dalam rangka menciptakan potensi
untuk memenangkan pemilihan umum kepala daerah pada tahun
2010 tersebut.
4. Metode Analisa Data
Dikarenakan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif,
maka metode yang digunakan adalah analisa kualitatif yang diperoleh dari
desk study dan wawancara mendalam mengenai petahana tersebut. Setelah
itu melakukan reduksi data dengan menelaah dengan cara menseleksi,
pemfokusan dan penyederhanakan serta mengabstraksikan data kasar yang
21
telah dimiliki. Selanjutnya data yang telah direduksi, dianalisis dengan
berpedoman pada alur teoritik, kemudian diklasifikasikan atau
dikategorikan menurut urutan pembahasan dan disesuaikan dengan tujuan
penelitian. Tahap terakhir yaitu penarikan kesimpulan. Dari data yang
telah dianalisis maka selanjutnya peneliti akan menarik kesimpulan-
kesimpulan yang terkait dengan temuan hasil penelitian yang telah
dilakukan.
H. Sistematika Penulisan
Studi ini berupaya menjawab pertanyaan yang telah diaplikasikan ke
dalam bentuk rumusan masalah, dengan mendeteksi lebih detail peluang yang
dimiliki oleh si petahana, termasuk didalamnya mengekspos proses penciptaan
peluang tersebut. Pendektesian tersebut diharapkan dapat menangkap penyebab
kekalahan si petahana diajang lima tahunan tersebut.
Studi ini diawali dengan Bab I sebagai pendahuluan. Berisikan latar
belakang, dan rumusan masalah yang menjadi kegelisahan yang harus diredam.
Terdapat juga kerangka teoritik sebagai peredam kegelisahan tersebut dikarenakan
karangka teorilah menjadi landasan berpikir dalam seluruh bangunan argumen
studi ini yang nanti memberikan jawaban dari masalah yang dihadapi. Serta
metode penelitian dan sistematika penulisan dicantumkan pada bab pertama ini.
Sedangkan di Bab II, akan dijelasan secara deskriptif apa saja peluang
yang dimiliki oleh petahana dilihat dari diskon kampanye dan para pendorongnya
sebagai setting permasalahan. Hal tersebut penting dijelaskan dan dikemukakan
untuk menuntun kepada jawaban dari kegelisahan yang dikemukakan pada bab I.
22
Alur kajian dalam Bab II akan dimulai dengan potensi diskon kampanye dan
dikuti oleh paparan mengenai potensi para pendorong yang dimiliki oleh
petahana.
Pada Bab III, kajian ini akan membahas lebih dalam mengenai bagaimana
si petahana mengkonstruksi agar teraktualisasi diskon kampanye yang tadinya
hanya sebuah potensi menjadi diskon kampanye yang nyata dengan kemampuan
memframing dan sumber daya yang dimiliki oleh petahana. Serta gejolak yang
terjadi dalam upaya menghasilkan diskon kampanye yang sebenarnya oleh
petahana. Bab ini diharapkan dapat memberikan penjelasan awal mengapa si
petahana mengalami kekalahan di pertarungan memperebutkan kedaulatan rakyat,
dengan melihat apakah si petahana berhasil mengaktulisasikan diskon kampanye
atau tidak pernah menjadi diskon kampanye. Singkat kata, bab II ditujukan untuk
melihat strategi mengaktualisasikan diskon kampanye dan “peristiwa-peristiwa”
didalamnya.
Melalui Bab IV, penulis akan menggali lebih dalam praktek yang
dilakukan oleh petahana pada proses pengaktualisasikan potensi pendorong yang
berpihak kepada si petahana menjadi pendorong yang benar-benar “setia” kepada
dirinya, serta dinamika dalam proses menjadikan pendorong yang dimiliki
menjadi pendorong yang sesungguhnya dan loyal kepada petahana tersebut.
Harapannya, penyebab kekalahan petahana menjadi semakin jelas terpaparkan
dalam bab ini. Kemudian, Bab V menjadi peredam dari kegelisahan dengan
menyampaikan refleksi terhadap apa yang terjadi pada petahana yang mengalami
kekalahan dan sekaligus sebagai refleksi teoritik.