i. bab i pendahuluan -...

16
1 I. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi, penggunaan action camera untuk pengumpulan data geospasial menjadi sesuatu yang penting dan menjadi populer. Berbagai jenis action camera seperti GoPro Hero 3, Xiaomi Yi, dan HD 4000 telah beredar dipasaran dengan harga yang terjangkau. Pada dasarnya action camera yang merupakan kamera digital dengan karakteristik ringan, berdimensi kecil, tahan air, dan field of view (FOV) yang lebar dikembangkan untuk kegiatan olahraga maupun fotografi dasar laut. Berdasarkan karakteristiknya, penggunaan action camera mulai meluas untuk kegiatan pengumpulan data menggunakan Unmanned Aerial Vehicle (UAV), mobile mapping system, maupun kegiatan fotogrametri lainnya (Teo, 2015). Gambar I.1 Action camera Xiaomi Yi (Xiao Yi, 2015). Secara umum, action camera memudahkan pengguna untuk melakukan pengambilan data geospasial. Data geospasial yang dimaksud dapat berupa data model tiga dimensi. Penggunaan action camera dalam pengambilan data ini memiliki kelebihan yaitu bersifat fleksibel dan membutuhkan biaya minimal (Cruz dkk, 2015). Penggunaan action camera dalam pengambilan data dapat dilakukan dengan metode fotogrametri jarak dekat. Metode ini memungkinkan pengguna untuk mengambil data dalam rentang jarak kurang dari 300 meter (Wolf dkk, 2014).

Upload: phungtram

Post on 04-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

I. BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan teknologi, penggunaan action camera untuk

pengumpulan data geospasial menjadi sesuatu yang penting dan menjadi populer.

Berbagai jenis action camera seperti GoPro Hero 3, Xiaomi Yi, dan HD 4000 telah

beredar dipasaran dengan harga yang terjangkau. Pada dasarnya action camera yang

merupakan kamera digital dengan karakteristik ringan, berdimensi kecil, tahan air, dan

field of view (FOV) yang lebar dikembangkan untuk kegiatan olahraga maupun

fotografi dasar laut. Berdasarkan karakteristiknya, penggunaan action camera mulai

meluas untuk kegiatan pengumpulan data menggunakan Unmanned Aerial Vehicle

(UAV), mobile mapping system, maupun kegiatan fotogrametri lainnya (Teo, 2015).

Gambar I.1 Action camera Xiaomi Yi (Xiao Yi, 2015).

Secara umum, action camera memudahkan pengguna untuk melakukan

pengambilan data geospasial. Data geospasial yang dimaksud dapat berupa data model

tiga dimensi. Penggunaan action camera dalam pengambilan data ini memiliki

kelebihan yaitu bersifat fleksibel dan membutuhkan biaya minimal (Cruz dkk, 2015).

Penggunaan action camera dalam pengambilan data dapat dilakukan dengan metode

fotogrametri jarak dekat. Metode ini memungkinkan pengguna untuk mengambil data

dalam rentang jarak kurang dari 300 meter (Wolf dkk, 2014).

2

Tiap-tiap action camera memiliki perbedaan dari segi spesifikasi seperti sensor

kamera dan fokus kamera. Lensa yang digunakan berbentuk wide lens sehingga tingkat

dstorsi yang dihasilkan jauh lebih besar (Balleti dkk, 2014). Hal tersebut

mengakibatkan hasil perekaman suatu objek berbeda signifikan dibandingkan dengan

bentuk aslinya. Untuk itu perlu dilakukan koreksi distorsi pada hasil perekaman objek.

Koreksi distorsi dibutuhkan agar didapatkan data foto yang akurat. Untuk

melakukan koreksi distorsi digunakan parameter-parameter geometrik lensa yang

dihasilkan dari proses kalibrasi kamera. Parameter ini digunakan untuk

menghilangkan distorsi dengan harapan hasil pemotretan atau foto akan mengalami

distorsi minimal.

Distorsi yang terjadi pada hasil pemotretan akan berpengaruh terhadap

ketelitian dari hasil pemodelan tiga dimensi. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi

ketelitian penggunaan action camera untuk pemodelan tiga dimensi dengan metode

fotogrametri jarak dekat.

I.2 Identifikasi Masalah

Action camera dengan lensa kamera wide angle akan memberikan hasil

pemotretan dengan tingkat distorsi yang tinggi. Distorsi tersebut merupakan faktor

yang mempengaruhi tingkat ketelitian dari model tiga dimensi. Dengan demikian perlu

dilakukan proses kalibrasi kamera untuk mendapatkan kondisi kamera yang ideal yaitu

memiliki distorsi minimal. Di sisi lain action camera memiliki kelebihan bersifat

fleksibel. Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah belum diketahuinya

tingkat ketelitian action camera untuk pemodelan tiga dimensi menggunakan metode

fotogrametri jarak dekat.

I.3 Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian yang muncul dari identifikasi masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Apakah kalibrasi kamera pada action camera dapat meningkatkan ketelitian

model tiga dimensi secara signifikan?

2. Sampai sejauh mana kemampuan penggunaan action camera untuk pemodelan

tiga dimensi dapat dilakukan?

3

3. Apakah hasil pemodelan tiga dimensi menggunakan action camera dapat

menggantikan hasil pemodelan menggunakan kamera DSLR?

I.4 Cakupan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data foto yang akan digunakan

sebagai bahan pembuatan model tiga dimensi. Pengambilan data dilakukan pada tahun

2016. Model tiga dimensi dihasilkan dari perekaman objek dilapangan. Objek

penenlitian adalah Candi Gebang.

Data utama penelitian adalah foto objek yang diperoleh dari ekstraksi video.

Data foto kemudian digunakan sebagai data pembuatan model tiga dimensi. Untuk

mendapatkan jawaban dari pertanyaan penelitian serta menghasilkan penelitian yang

fokus maka diperlukan batasan batasan dalam penelitian. Batasan-batasan pada

penelitian ini yaitu:

1. Objek penelitian adalah sisi selatan dan sisi timur Candi Gebang.

2. Pengambilan data menggunakan dua jenis kamera yaitu action camera

(Xiaomi Yi) dan kamera DSLR (Canon 600D). Data awal yang diperoleh

adalah data dalam format video.

3. Data koordinat target di lapangan diambil menggunakan total station

reflectorless untuk uji ketelitian kedua buah kamera dengan menggunakan

sistem koordinat UTM.

I.5 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan evaluasi ketelitian penggunaan

action camera untuk pemodelan tiga dimensi menggunakan metode fotogrametri jarak

dekat. Evaluasi dilakukan dengan melihat tingkat ketelitian model tiga dimensi yang

dihasilkan sebelum dan sesudah proses kalibrasi action camera dan dibandingkan

dengan model tiga dimensi dari kamera DSLR.

I.6 Manfaat Penelitian

Penggunaan action camera untuk pemodelan tiga dimensi diharapkan

memberikan sebuah terobosan baru di dunia fotogrametri jarak dekat. Hasil evaluasi

ini diharapkan menjadi pertimbangan bagi instansi-instansi terkait maupun individu

4

dalam melakukan pengambilan data dan informasi geospasial secara mudah,fleksibel,

dan efisien.

I.7 Tinjauan Pustaka

Penelitian ini dilakukan dengan melakukan pengambilan data fotogrametri

untuk pemodelan tiga dimensi menggunakan action camera. Metode yang diterapkan

dalam pengambilan data di lapangan adalah metode fotogrametri jarak dekat dengan

objek berupa bangunan. Ketelitian hasil pemodelan tersebut diharapkan meningkat

setelah dilakukan kalibrasi dan memiliki ketelitian yang tidak berbeda signifikan

dengan kamera DSLR. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya antara lain

mengevaluasi ketelitian action camera terhadap hasil survei terestris dan pengujian

terhadap berbagai macam proses kalibrasi kamera.

Balleti dkk (2014) melakukan penelitian terkait dengan berbagai macam proses

kalibrasi terhadap action camera menggunakan beberapa perangkat lunak untuk

keperluan fotogrametri. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa kalibrasi kamera

dapat mengurangi distorsi yang terjadi dan meningkatkan ketelitian hasil pemodelan.

Cruz dkk (2015) melakukan penelitian yang bertujuan mengembangkan sistem

fotogrametri untuk pemodelan tiga dimensi agar hasil pemodelan menggunakan action

camera (GoPro) memiliki ketelitian yang hampir setara dengan data model tiga

dimensi menggunakan survei terestris. Konsep utama yang digunakan adalah konsep

sterioskop dengan memanfaatkan dua eksposur yang simultan untuk memproses data

dari dua kamera yang menangkap gambar secara bersamaan.

Aristia (2014) melakukan penelitian tentang pembuatan model tiga dimensi

kawasan cagar budaya menggunakan teknik fotogrametri jarak dekat yaitu dari data

foto terestris dan foto udara kawasan Candi Sambisari. Hasil dari penelitian ini adalah

data foto terestris dan data foto udara dapat digunakan untuk pemodelan tiga dimensi

dan digabungkan menjadi satu model.

Janitra (2014) melakukan penelitian terkait dengan pembuatan model tiga

dimensi Candi Gebang menggunakan metode fotogrametri jarak dekat. Hasil dari

penelitian ini adalah akuisisi data tiga dimensi untuk objek berukuran kecil efektif

dilakukan dengan metode fotogrametri jarak dekat.

5

Teo (2015) melakukan penelitian yang bertujuan membandingkan gambar dan

video yang dihasilkan oleh beberapa action camera untuk pembentukan point cloud

tiga dimensi. Penelitian ini menggunakan beberapa algoritma seperti algoritma

structure from motion (SfM) dan semi-global matching (SGM).

Perbedaan penelitian yang penulis lakukan adalah dari segi objek, peralatan,

maupun perangkat lunak yang digunakan dalam pengolahan data. Penulis melakukan

penelitian terkait dengan tingkat ketelitian penggunaan action camera untuk

pemodelan tiga dimensi dengan metode fotogrametri jarak dekat. Ketelitan tersebut

dapat dievaluasi berdasarkan kenampaan objek di lapangan maupun berdasarlan

geometri objek dengan melakukan uji statistik.

I.8 Landasan Teori

I.8.1 Fotogrametri Jarak Dekat

Fotogrametri seperti didefinisikan oleh American Society of Photogrammetry

merupakan seni, ilmu, dan teknologi untuk memperoleh informasi yang handal

mengenai objek fisik dan lingkungan melalui proses perekaman, pengukuran, dan

intepretasi foto maupun pola yang terekam oleh pancaran energi elektromagnetik.

Istilah fotogrametri jarak dekat pada umumya digunakan untuk foto terestrial yang

mempunyai jarak objek sampai dengan 300 meter (Wolf dkk, 2014). Fotogrametri

jarak dekat dilakukan dengan pengukuran lapangan dalam waktu singkat tanpa ada

kontak langsung dengan objek. Metode ini lebih akurat, cepat, ekonomis dan handal

dibandingkan metode lain. (Yilmaz dkk, 2008). Foto terestris dibuat dengan kamera di

permukaan bumi yang pada umumnya diketahui posisi dan orientasiya. Foto terestris

dapat dilakukan terhadap objek yang bersifat tetap (statis) atau objek yang bergerak

(dinamis). Untuk memperoleh data foto terestris objek yang bersifat tetap maupun

bergerak dapat menggunakan data dalam format video.

6

I.8.1.1 Skenario perekaman objek. Proses perekaman objek dengan fotogrametri jarak

dekat, dalam hal ini fotogrametri terestris dilakukan dengan mempertimbangkan

skenario perekaman objek. Skenario yang dilakukan dalam pengambilan data

fotogrametri terestris adalah perekaman secara konvergen terhadap objek. Perekaman

ini dapat diterapkan dalam pengambilan data fotogrametri untuk pembuatan model tiga

dimensi. Beberapa skenario yang dapat diterapkan dalam perekaman objek

ditampilkan dalam gambar I.2.

Pemotretan di luar ruang

(Salah) (Benar)

Pemotretan di dalam ruang

(Salah) (Benar)

Objek terisolasi

(Salah) (Benar)

Gambar I.2 Skenario perekaman objek dengan foto terestris (Agisoft, 2014).

7

Skenario perekaman pertama dilakukan pada objek diluar ruang seperti

pemotretan gedung atau objek lainnya. Posisi kamera yang benar saat perekaman

adalah posisi planar. Posisi ini akan menghasilkan foto dengan kemiripan orientasi

antar foto. Skenario perekaman kedua dilakukan pada objek di dalam ruang. Posisi

kamera yang benar adalah posisi yang mampu mencakup keseluruhan ruang. Skenario

perekaman ketiga dilakukan pada objek terisolasi. Posisi kamera yang digunakan

dikenal dengan sebutan posisi konvergen. Posisi ini mampu menghasilkan konfigurasi

perbandingan base/height ratio yang baik (Maharani, 2015). Pada beberapa kasus,

penggunaan model stereo dari dua buah foto tidak dapat merekonstruksi objek yang

kompleks, sehingga dibutuhkan jumlah foto yang banyak untuk merekonstruksi

keseluruhan objek.

I.8.2 Kamera

Kamera yang digunakan dalam fotogrametri secara umum dibagi menjadi dua,

yaitu kamera metrik dan kamera non metrik. Kamera metrik merupakan kamera yang

memiliki ketelitian tinggi dan biasa digunakan untuk kebutuhan pemetaan dan

memiliki resolusi spasial yang baik. Sedangkan kamera non metrik adalah kamera

yang mengedepankan kualitas gambar yang dihasilkan. Kamera non metrik dapat

dikalibrasi untuk menghilangkan kesalahan sistematik dan mendapatkan hasil yang

baik berbagai terapan fotogrametri terrestrial (Wolf dkk, 2014).

Kamera non metrik yang banyak digunakan adalah jenis kamera non metrik

yang menggunakan sistem digital atau dikenal dengan sebutan kamera digital. Kamera

digital memiliki komponen utama yang terdiri atas lensa, sensor, dan media

penyimpanan. Kamera digital menggunakan sensor optik elektrik berupa Charge-

Couple Device (CCD) atau Complementary Metal Oxide Semiconductor (CMOS)

(Maharani, 2015). Kamera digital dengan sensor berupa CCD mampu menghasilkan

gambar dengan kualitas yang baik dibandingkan dengan sensor CMOS. Sensor CCD

seringkali digunakan dalam teknologi untuk menghasilkan gambar yang baik seperti

fotografi, perfilman, industri pengadaan citra, ilmu pengetahuan, dan kesehatan

(Litwiller, 2001).

Jenis kamera yang termasuk dalam kamera digital adalah kamera Digital Single

Lens Reflex (DSLR) dan action camera. Kamera DSLR atau kamera digital lensa

8

tunggal dengan refleks memiliki desain yang berbeda dari segi perjalanan cahaya

menuju lensa. Cahaya yang bergerak dari satu lensa dilewatkan menuju dua tempat,

yaitu bidang fokus dan viewfinder (layar yang menampilkan gambar). Kamera DSLR

memiliki lensa standar atau disebut sebagai lensa normal. Selain kamera DSLR,

terdapat kamera yang disebut sebagai action camera. Seiring perkembangan teknologi

kamera, action camera mulai digunakan dalam dunia fotogrametri. Menurut Teo

(2015), action camera adalah kamera yang memiliki karakteristik ringan, berdimensi

kecil, tahan air, dan field of view (FOV) yang lebar. Kamera ini pada awalnya

digunakan dalam kegiatan olahraga maupun fotografi dasar laut.

I.8.3 Geometri Kamera

Geometri proyeksi kamera memperlihatkan hubungan antara bidang gambar,

pusat kamera, dan panjang fokus kamera (Axis, 2010). Model geometri proyeksi

kamera digambarkan dengan panjang fokus kamera (f) yang merupakan jarak antara

pusat kamera (c) dengan bidang gambar (P). Geometri proyeksi kamera dapat dilihat

pada gambar I.3.

Gambar I.3 Geometri proyeksi kamera tiga dimensi (Axis, 2010 dan Maharani,

2015).

Foto yang bertampalan dibutuhkan dalam pembuatan model tiga dimensi,

sehingga foto-foto tersebut akan menghasilkan geometri kamera epipolar. Geometri

epipolar adalah suatu kondisi dimana dua sistem kamera terletak pada suatu garis yang

sama (Axis, 2010). Geometri epipolar dapat dilihat pada gambar I.4.

9

Gambar I.4 Geometri epipolar dua buah kamera (Wolf dkk, 2014).

Gambar I.4 mendefinisikan bahwa geometri epipolar foto ditentukan dari dua

posisi kamera yang memiliki korespondensi. Setiap bidang foto harus dapat

mendefinisikan garis epipolar yang menghubungkan kedua bidang foto. Garis epipolar

yang dibentuk dari dua bidang foto adalah garis pangkal L1L2.

I.8.4 Kalibrasi Kamera

Kalibrasi kamera dalam dunia fotogrametri digunakan untuk menentukan

parameter-parameter geometrik lensa yang digunakan untuk memberbaiki geometri

foto hasil pemotretan. Parameter geometrik lensa yang dimaksud adalah nilai

konstanta orientasi dalam atau disebut sebagai IOP (Interior Orientation Parameter).

Orientasi dalam melibatkan parameter kalibrasi kamera yang memiliki

informasi internal kamera. Orientasi dalam merupakan suatu proses yang memerlukan

proses kalibrasi kamera, karena dalam proses ini dilakukan proses koreksi terhadap

kesalahan akibat adanya distorsi lensa pada kamera dan kesalahan lainnya (Mathew,

2008). Proses kalibrasi kamera dapat menentukan besarnya penyimpangan akibat

distorsi pada foto (Wolf dkk, 2014). Penyimpangan tersebut menyebabkan lokasi suatu

titik pada foto akan berbeda dari kondisi sebenarnya di lapangan. Beberapa parameter

orientasi dalam yang digunakan dalam proses kalibrasi kamera adalah panjang fokus

lensa (f), parameter distorsi radial (K1,K2,K3), parameter distorsi tangensial (P1, dan

P2), parameter distorsi parsial (b1, dan b2), dan principle point (X0,Y0) (Fraser dan

Kenneth, 2000).

Garis epipolar

kanan

Bidang

Epipolar

Garis epipolar kiri

10

I.8.5 Distorsi Lensa

Penggunaan kamera untuk melakukan pengambilan data fotogrametri tidak

terlepas dari adanya distorsi lensa. Distorsi lensa terjadi jika cahaya berubah arah

setelah melalui lensa sehingga tidak sejajar dengan arah masuk cahaya. Distorsi lensa

dapat menyebabkan adanya kesalahan informasi yang diperoleh dari hasil pemotretan

seperti perbedaan dimensi suatu lokasi maupun geometri objek yang terbentuk.

Distorsi lensa mengakibatkan posisi gambar berubah dari posisi idealnya. Persamaan

matematis yang digunakan dalam model distorsi lensa terdiri atas dua komponen, yaitu

distorsi radial dan distorsi tangensial. Distorsi radial terjadi sepanjang garis radial dari

titik utama. Sedangkan distorsi tangensial terjadi akibat ketidaksempurnaan dalam

pembuatan dan penyelarasan sistem lensa (Wolf dkk, 2014). Distorsi radial dan

distorsi tangensial pada lensa ditunjukkan pada Gambar I.5.

(a) (b)

Gambar I.5 Distorsi radial (a) dan distorsi tangensial (b) (Wolf dkk, 2014).

Brown’s Camera Distortion Model merupakan model matematik yang

digunakan untuk menentukan parameter deformasi lensa yang muncul pada foto.

Model tersebut menggambarkan distorsi radial dan distorsi tangensial dari lensa.

Persamaan distorsi yang digunakan dijelaskan dalam persamaan I.1 dan I.2 (Agisoft,

2014).

𝑥𝐴 = 𝑥(1 + 𝐾1𝑟2 + 𝐾2𝑟4 + 𝐾3𝑟6 + 𝐾4𝑟8) + 𝑃2(𝑟2 + 2𝑥2) + 2𝑃1𝑥𝑦 ...... (I.1)

𝑦𝐴 = 𝑦(1 + 𝐾1𝑟2 + 𝐾2𝑟4 + 𝐾3𝑟6 + 𝐾4𝑟8) + 𝑃1(𝑟2 + 2𝑦2) + 2𝑃2𝑥𝑦 ...... (I.2)

Dalam hal ini,

𝑥𝐴 , 𝑦𝐴 : koordinat titik A pada foto

11

𝑥 , 𝑦 : koordinat foto relatif terhadap koordinat principle point

f : panjang fokus kamera

𝐾1,𝐾2, 𝐾3, 𝐾4 : koefisien distorsi radial lensa

𝑃1, 𝑃2 : koefisien distorsi tangensial lensa

r : jarak penyimpangan dari titik A ke principle point

I.8.6 Geometri Video

Video merupakan rangkaian dari banyak frame yang merekam setiap gerakan

pada objek. Pengumpulan data fotogrametri jarak dekat dengan perekaman video

memiliki banyak kelebihan antara lain mampu merekam objek secara kontinyu dan

efisien. Video merupakan rangkaian dari banyak frame gambar yang diputar dengan

cepat sehingga terlihat menjadi satu kesatuan. Pergerakan antar frame yang terjadi

sangat halus sehingga adanya jeda antar frame tidak dapat terlihat. Pergerakan video

menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada video yang dihasilkan dari proses

perekaman. Pergerakan yang umum terjadi pada kamera adalah pergeseran sepanjang

sumbu horizontal dan vertikal yang disebut sebagai track dan boom. Pergeseran yang

searah dengan sumbu optis kamera disebut dolly. Sedangkan perputaran pada bidang

vertikal disebut pan dan perputaran pada bidang horizontal disebut tilt. Pergerakan lain

yang terjadi adalah rotasi kamera yang dikenal dengan sebutan roll, dan pergerakan

ketika kamera mengalami perubahan panjang fokus disebut zoom (Wang, 2002).

Objek yang direkam dalam format video akan menghasilkan lebih banyak

frame. Frame yang dihasilkan dapat mencapai 25 frame per detik. Banyaknya frame

mampu mengurangi kemungkinan adanya data yang hilang. Prosentase pertampalan

yang digunakan pada blok udara sebesar 60 % untuk tampalan ke depan dan 20% untuk

tampalan ke samping dapat digunakan di blok terestrial (Matthews, 2008).

Sistem perekaman video pada kamera menggunakan sistem yang sama seperti

sistem perekaman dalam fotografi, yaitu dilakukan oleh sensor kamera CCD/CMOS.

Sensor melakukan proses penyiaman terhadap objek hingga membentuk frame video

dan hasilnya disimpan dalam CCD/CMOS.

Pembentukan gambar atau foto dari objek yang bergerak atau dari kamera yang

bergerak mempertimbangkan ukuran objek dan kecepatan dari kamera untuk

menghindari adanya motion blur. Adanya motion blur tidak dipengaruhi oleh jenis

12

CCD/CMOS yang ada pada kamera. Jika sebuah objek atau kamera bergerak

sepanjang jarak tertentu maka akan muncul nilai exposure dan menghasilkan motion

blur. Gambar atau foto yang dihasilkan dengan tingkat exposure kurang dari 10%

dianggap masih layak untuk digunakan (Anonim, 2014).

I.8.7 Persamaan Kolinearitas

Penyelesaian umum untuk setiap masalah dalam fotogrametri jarak dekat atau

fotogrametri terestris dapat diperoleh dengan menerapkan persamaan kolinearitas.

Persamaan kolinearitas yang digunakan dijelaskan pada persamaan I.3 dan I.4 (Wolf

dkk, 2014).

𝑥𝐴 = 𝑥0 − 𝑓 [𝑚11 (𝑋𝐴−𝑋𝐿) + 𝑚12 (𝑌𝐴−𝑌𝐿) + 𝑚13 (𝑍𝐴−𝑍𝐿)

𝑚31 (𝑋𝐴−𝑋𝐿) + 𝑚32 (𝑌𝐴−𝑌𝐿) + 𝑚33 (𝑍𝐴−𝑍𝐿)] ............................ (I.3)

𝑦𝐴 = 𝑦0 − 𝑓 [𝑚21 (𝑋𝐴−𝑋𝐿) + 𝑚22 (𝑌𝐴−𝑌𝐿) + 𝑚23 (𝑍𝐴−𝑍𝐿)

𝑚31 (𝑋𝐴−𝑋𝐿) + 𝑚32 (𝑌𝐴−𝑌𝐿) + 𝑚33 (𝑍𝐴−𝑍𝐿)] ............................ (I.4)

Dalam hal ini,

𝑥𝐴 , 𝑦𝐴 : koordinat titik A pada foto

𝑥0 , 𝑥0 : koordinat principle point

m11……..mnn : matrik rotasi

f : panjang fokus kamera

XL, YL, ZL : koordinat posisi kamera

XA, YA, ZA : koordinat titik A pada tanah

Persamaan kolinearitas terestris mengandung enam elemen orientasi luar

(EOP) yaitu omega, phi kappa, XL, YL, ZL. Persamaan ini dapat digunakan untuk

menentukan posisi dan orientasi dari foto dan untuk menentukan koordinat titik yang

tampak pada foto yang bertampalan. Geometri hubungan antara sistem koordinat foto

dengan sistem koordinat tanah ditampilkan dalam Gambar I.6.

13

Gambar I.6 Geometri hubungan S.K. Foto dengan S.K Tanah (Wolf dkk, 2014).

Berdasarkan Gambar I.6, 𝑥𝐴 , 𝑦𝐴 merupakan koordinat titik A pada foto, f

merupakan panjang fokus kamera, XL, YL, ZL adalah koordinat posisi kamera, dan XA,

YA, ZA koordinat titik A pada tanah. Parameter tersebut digunakan dalam persamaan

kolinearitas dimana kondisi kolinearitas menyatakan kondisi dimana suatu stasiun

pemotretan, sembarang titik objek, dan gambar yang dihasilkan berada dalam satu

garis lurus (Wolf dkk, 2014).

I.8.8 Pemodelan Tiga Dimensi

Menurut Remondino dkk (2006), pemodelan tiga dimensi dapat dilihat sebagai

proses lengkap yang dimulai dari akuisisi data dan diakhiri dengan model virtual tiga

dimensi yang ditampilkan dalam computer, sementara itu pemodelan tiga dimensi

dapat menjelaskan proses yang lebih lengkap dan umum untuk proses rekonstruksi

objek.

I.8.8.1 Pembuatan model tiga dimensi dengan perangkat lunak Agisoft PhotoScan.

Agisoft PhotoScan merupakan perangkat lunak yang digunakan dalam pembentukan

model tiga dimensi yang berkualitas dari beberapa buah foto secara otomatis. Foto

yang digunakan berasal dari berbagai posisi kamera, dengan ketentuan objek dapat

direkonstruksi apabila minimal terdapat dua buah foto yang saling bertampalan

(Agisoft, 2014).

Pembuatan model tiga dimensi dengan Agisoft PhotoScan melalui empat

tahapan utama. Tahap pertama yaitu tahapan image matching yang disebut sebagai

Bidang

foto

14

tahap alignment pada perangkat lunak ini. Tahap image matching merupakan tahapan

yang bertujuan untuk mencari objek yang sama pada setiap foto dan menemukan posisi

kamera untuk setiap foto serta untuk mendapatkan parameter kalibrasi lensa. Hasil dari

tahap ini adalah sparse point cloud dan konfigurasi posisi kamera. Hasil sparse point

cloud digunakan untuk mengestimasi bentuk model tiga dimensi. Tahap kedua adalah

pembentukan dense point cloud berupa titik-titik yang memiliki kerapatan diatas

sparse point cloud. Tahap ketiga adalah pembentukan mesh. Mesh dibentuk dari

penggabungan dari sparse point cloud atau dense point cloud menjadi jaring segitiga.

Tahap keempat adalah pembentukan tekstur dari objek yang dimodelkan. Tekstur

model diperoleh dari foto-foto yang digunakan dalam pemodelan. Foto –foto tersebut

ditampalkan pada objek berdasarkan algoritma yang digunakan dalam Agisoft

PhotoScan. Pada pilihan mapping modes yang digunakan untuk menentukan

bagaimana tekstur objek dikemas dalam atlas tekstur, beberapa algoritma yang

digunakan antara lain generic, adaptive orthophoto, orthophoto, spherical, dan single

photo.

I.8.9 Ground Sample Distance (GSD)

Menurut Harintaka (2012), Ground Sample Distance (GSD) adalah nilai

ukuran terkecil yang mampu terekam dalam satu piksel. Hitungan untuk memperoleh

nilai GSD dapat dilihat pada persamaan I.5 dan I.6.

𝐺𝑆𝐷 = 𝑆𝑃𝑆 𝑥 𝐷

𝑓 ........................................................................................ (I.5)

Keterangan:

SPS = sensor pixel size

D = jarak objek ke kamera

f = panjang fokus yang digunakan dalam pemotretan

Nilai SPS dari masing-masing kamera dapat dihitung secara manual dengan

menggunakan rumus I.12. Perhitungan nilai SPS dilakukan berdasarkan ukuran dari

sensor kamera (PCMOS) yang diperoleh dari spesifikasi kamera dan ukuran dimensi

foto.

𝑆𝑃𝑆 =𝑃𝐶𝑀𝑂𝑆

𝐾 .............................................................................................. (I.6)

Keterangan:

15

𝑃𝐶𝑀𝑂𝑆 : ukuran dimensi sensor kamera dalam mm

k : ukuran dimensi sensor kamera dalam piksel

I.8.10 Root Mean Square Error (RMSE)

Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) nomor 15 tahun 2014

mejelaskan secara rinci tentang perhitungan nilai RMSE (Root Mean Square Error).

RMSE merupakan pengujian ketelitian posisi yang mengacu pada perbedaan

komponen koordinat X,Y, dan Z antara titik uji pada gambar atau peta dengan lokasi

sesungguhnya dari titik uji pada permukaan tanah. RMSE dapat digunakan untuk

menggambarkan akurasi meliputi kesalahan random dan sistematik. Pengujian

ketelitian posisi juga dapat dilakukan pada model tiga dimensi. RMSE pada model tiga

dimensi mencakup nilai RMSE pada komponen koordinat horizontal (X,Y) dan

komponen koordinat vertikal (Z). Nilai RMSE dapat dihitung menggunakan

persamaan I.7 dan I.8.

RMSEℎ𝑜𝑟𝑖𝑧𝑜𝑛𝑡𝑎𝑙 = √∑(𝑋1−𝑋2)2+(𝑌1−𝑌2)2

𝑛 ....................................................... (I.7)

RMSE𝑣𝑒𝑟𝑡𝑖𝑘𝑎𝑙 = √∑(𝑍1−𝑍2)2

𝑛 ....................................................................... (I.8)

Dalam hal ini,

𝑋1 : nilai komponen koordinat X target di lapangan

𝑋2 : nilai komponen koordinat X target yang diuji

𝑌1 : nilai komponen koordinat Y target di lapangan

𝑌2 : nilai komponen koordinat Y target yang diuji

𝑍1 : nilai komponen koordinat Z target di lapangan

𝑍2 : nilai komponen koordinat Z target yang diuji

Ketelitian model tiga dimensi juga dapat diuji berdasarkan ukuran dimensi

objek. Dimensi yang dimaksud berupa panjangan dari dua buah titik. Nilai RMSE

untuk ukuran dimensi objek dapat dihitung menggunakan persamaan I.9.

RMSE𝑑𝑖𝑚𝑒𝑛𝑠𝑖 = √Σ(Δ𝑙)2

𝑛 ............................................................................. (I.9)

Dalam hal ini,

Δ𝑙 : Selisih ukuran dimensi objek di lapangan dan model

𝑛 : Jumlah ukuran yang digunakan

16

I.8.11 Uji Signifikansi Beda Dua Parameter

Tingkat signifikansi dari suatu ukuran dapat diketahui dengan melakukan uji

signifikansi terhadap objek penelitian. Dalam penelitian ini, uji signifikansi beda dua

parameter dilakukan untuk mengetahui signifikansi perbedaan koordinat dari dua buah

model. Uji ini dilakukan dengan membandingkan selisih nilai antara masing-masing

koordinat model dengan jumlah sampel kurang dari 30.

Hipotesis awal atau H0 yang digunakan diterima jika selisih antara koordinat

model sama dengan nol, artinya koordinat model pertama tidak berbeda secara

signifikan dengan koordinat model yang lain. Model matematis yang digunakan dalam

uji signifikansi dijelaskan pada persamaan I.10 dan I.11 (Widjajanti, 2010).

𝑡 =| 𝑋1−𝑋2 |

√𝜎𝑋12+ 𝜎𝑥2

2 ................................................................................. (I.10)

Dalam hal ini,

t : harga fungsi normal baku

𝑋1 : nilai koordinat target model 1

𝑋2 : nilai koordinat target model 2

𝜎𝑋1 : simpangan baku koordinat model 1

𝜎𝑋2 : simpangan baku koordinat model 2

Hipotesis nol (H0) diterima jika memenuhi persamaan I.11.

𝑡 < 𝑡𝛼

2,𝑛−1 ........................................................................................ (I.11)

I.9 Hipotesis

Berdasarkan penelitian Balleti dkk (2015), data yang dihasilkan oleh action

camera memiliki tingkat distorsi yang tinggi. Besar distorsi lensa dapat diminimalkan

dengan melakukan proses kalibrasi kamera. Menurut Wolf dkk (2014), kamera non

metrik dapat dikalibrasi untuk mendapatkan hasil yang baik untuk berbagai terapan

fotogrametri terrestrial. Dengan demikian proses kalibrasi kamera dapat meningkatkan

ketelitian penggunaan action camera untuk pemodelan tiga dimensi.