pengantar -...

32
2 PENGANTAR Masa kanak-kanak awal (early childhood) merupakan periode perkembangan yang terjadi mulai akhir masa bayi hingga sekitar usia 5 tahun atau 6 tahun, kadang periode ini disebut usia prasekolah. Selama waktu tersebut, anak kecil belajar menjadi mandiri dan merawat diri sendiri, mereka mengembangkan ketrampilan kesiapan sekolah (mengikuti perintah, mengenali huruf) dan mereka menghabiskan berjam-jam untuk bermain dengan teman sebaya (Santrock, 2007). Pada usia 3 tahun, anak-anak lebih suka menghabiskan waktu dengan teman bermain yang berjenis kelamin sama dibandingkan teman berjenis kelamin berbeda, dan preferensi ini meningkat pada awal masa kanak-kanak. Selama tahun ini, frekuensi interaksi sebaya, baik yang positif maupun negatif meningkat cukup tajam (Hartup & Rubin, 1986). Banyak anak-anak prasekolah menghabiskan waktu yang cukup lama dalam interaksi sebaya hanya dengan mengobrol dengan teman, bermain tentang “menegosiasikan peran dan aturan dalam permainan, berdebat, dan membangun persetujuan (Rubin, Bukowski & Parker, 2006). Santrock (2007) mengatakan bahwa teman sebaya adalah orang dengan umur dan tingkat kedewasaan yang sama. Sebaya memegang peranan yang unik dalam perkembangan anak. Salah satu fungsi terpenting sebaya adalah memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak menerima umpan balik tentang kemampuan mereka dari grup sebaya, dan hubungan sebaya yang baik diperlukan untuk perkembangan sosioemosional yang normal, tentu saja hubungan sebaya bisa negatif maupun positif (Bukowski

Upload: truongcong

Post on 17-May-2018

230 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

2

PENGANTAR

Masa kanak-kanak awal (early childhood) merupakan periode

perkembangan yang terjadi mulai akhir masa bayi hingga sekitar usia 5 tahun atau

6 tahun, kadang periode ini disebut usia prasekolah. Selama waktu tersebut, anak

kecil belajar menjadi mandiri dan merawat diri sendiri, mereka mengembangkan

ketrampilan kesiapan sekolah (mengikuti perintah, mengenali huruf) dan mereka

menghabiskan berjam-jam untuk bermain dengan teman sebaya (Santrock, 2007).

Pada usia 3 tahun, anak-anak lebih suka menghabiskan waktu dengan teman

bermain yang berjenis kelamin sama dibandingkan teman berjenis kelamin

berbeda, dan preferensi ini meningkat pada awal masa kanak-kanak. Selama tahun

ini, frekuensi interaksi sebaya, baik yang positif maupun negatif meningkat cukup

tajam (Hartup & Rubin, 1986). Banyak anak-anak prasekolah menghabiskan

waktu yang cukup lama dalam interaksi sebaya hanya dengan mengobrol dengan

teman, bermain tentang “menegosiasikan peran dan aturan dalam permainan,

berdebat, dan membangun persetujuan (Rubin, Bukowski & Parker, 2006).

Santrock (2007) mengatakan bahwa teman sebaya adalah orang dengan

umur dan tingkat kedewasaan yang sama. Sebaya memegang peranan yang unik

dalam perkembangan anak. Salah satu fungsi terpenting sebaya adalah

memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga.

Anak-anak menerima umpan balik tentang kemampuan mereka dari grup sebaya,

dan hubungan sebaya yang baik diperlukan untuk perkembangan sosioemosional

yang normal, tentu saja hubungan sebaya bisa negatif maupun positif (Bukowski

3

& Adams, 2005 ; Kupersmidth & DeRosier, 2004 dalam Santrock, 2007).

Penolakan dan pengabaian oleh sebaya membuat beberapa anak merasa kesepian

dan dimusuhi. Lebih jauh lagi, penolakan dan pengabaian oleh sebaya berdampak

pada kesehatan mental indidu dan masalah kriminal (Bukowski&Adams, 2005;

Dogde, Coie, & Lynam, 2006; Masten, 2005 dalam Santrock, 2007).

Selman (dalam Shaffer, 2009) mengatakan bahwa interaksi sosial terutama

kontak dengan orangtua, saudara kandung, guru dan teman sebaya menjadi

kontributor yang penting pada perkembangan sosial-kognitif. Hal ini dikarenakan,

untuk mengetahui orang lain, seseorang harus mampu untuk menerima perspektif

mereka dan mengerti pikiran, perasaan motif dan intensi mereka. Interaksi secara

sosial akan meningkatkan perkembangan kemampuan pengambilan peran dan

secara langsung menjadi jalan dengan menyediakan pengalaman bagi anak untuk

belajar apa yang disukai oleh orang lain.

Namun pada kenyataannya beberapa anak mengalami kesulitan untuk

menjalin interaksi sosial dengan lingkungan di luar keluarga. Mereka terdiam

membisu dan tidak mampu berkata-kata dengan teman sebaya atau guru mereka di

sekolah, namun mereka mampu berkata-kata di rumah. Kebisuan mereka biasanya

terjadi tidak hanya di lingkungan sekolah namun juga di lingkungan sosial

lainnya. Anak dengan karakteristik seperti ini disebut juga dengan Selective

Mutism yang selanjutnya disingkat dengan SM (Ponzurick, 2012).

Selective Mutism (SM) atau bisu selektif adalah istilah untuk seorang anak

yang terus-menerus gagal berbicara di situasi sosial spesifik ketika ia diharapkan

untuk berbicara (misalnya di dalam kelas), tetapi konsisten berbicara di situasi

4

sosial lain (misalnya di rumah dengan ibunya) (APA, 2005). Ruang kelas

seringkali menjadi tempat anak kehilangan bicaranya, dan hal tersebut menjadi

sangat perlu diperhatikan dan menjadi hal yang paling bermasalah pada akademik

dan ekspetasi sosial di sekolah (Shriver, Segool, dan Gortmaker, 2011).

Terdapat beberapa kriteria SM dalam APA (2005), yaitu :

1. Kegagalan berbicara pada situasi sosial yang spesifik (misalnya, sekolah

dengan teman bermain) diharapkan berbicara, walaupun ia dapat berbicara

pada situasi lain.

2. Gangguan ini mempengaruhi pendidikan, prestasi pekerjaan dan komunikasi

sosial.

3. Gangguan ini paling tidak muncul sekurang-kurangnya 1 bulan dan tidak

terbatas pada sebulan pertama masuk sekolah.

4. Kegagalan untuk berbicara bukan karena kurangnya pengalaman atau kurang

nyaman dengan bahasa yang digunakan dalam situasi sosial tersebut.

5. Gangguan ini bukan disebabkan Communication Disorder (Stuttering), dan

tidak muncul besama dengan Pervasive Developmental Disorder,

Developmental Disorder, Schizophrenia or Psychoutic Disorder lainnya.

Prevalensi SM di dunia dalam setting kesehatan mental dilaporkan rendah,

dengan prevalensi kurang dari 1% (American Psychiatric Association, 2005),

namun prevalensi dalam setting sekolah terlihat lebih tinggi, karena ruang kelas

adalah tempat dimana gangguan kecemasan ini paling mudah diamati (Shriver,

Segool, dan Gortmaker, 2011). Sementara itu, Cunningham, McHolm, dan Boyle

(2006) melaporkan dalam penelitiannya bahwa SM terjadi pada 0,7-2% pada

siswa taman kanak-kanak dengan laporan angka kejadiannya lebih banyak pada

5

siswa perempuan daripada laki-laki. Scwartz dan Shipon-Blum (2005)

mengatakan bahwa SM terjadi pada 0,3 sampai 0,7 pada setiap 1000 anak yang

bersekolah. Permasalahannya adalah para pakar kesehatan anak seringkali

membuat kesalahan dengan mengatakan SM sebagai sebuah rasa malu atau

keterlambatan perkembangan. Pendekatan perkembangan terlambat yang salah

ini, yaitu “lihat dan dengar” menyebabkan kerusakan yang mendalam pada anak

SM. Perbandingan kasus SM antara anak perempuan dengan laki-laki yaitu 3:1,

dimana onset terjadi pada usia 4-6 tahun. Ketika anak memasuki sekolah,

biasanya diantara usia 6 dan 8, guru mengidentifikasi sebagai anak yang pendiam

dan tidak curiga terhadap kebisuan anak (Sharkey & McNicholas, 2008). Rasio

perbandigan kasus SM antara laki-laki dengan perempuan berbeda-beda pada

beberapa penelitian, Kumpulainen (dalam Vechhio, 2008) menemukan bahwa

perbandingan perempuan dan laki-laki adalah 1,5 : 1. Hayden dan Wlkins

(dalamVechio, 2008) menemukan bahwa perbandingan rasio perempuan dan laki-

laki 2:1. Sebagai tambahan, Anderson dan Thomsen (1998) menganalisa 37 kasus

SM, 20 diantaranya adalah laki-laki. Vechio (2008) mengatakan perbandingan

rasio ini menunjukkan bahwa anak laki-laki juga mempunyai resiko yang tinggi

mengalami SM, hal ini dikarenakan bahwa kondisi mental antara anak laki-laki

dan perempuan tidak bisa diprediksi dan sama-sama mempunyai kemungkinan

mengalami kecemasan.

Utnick (2008) mengelompokkan SM menjadi empat kategori, yaitu (a) mild:

anak dapat berkomunikasi dengan keluarga dan kelompok teman tertentu, anak

menggunakan bahasa yang tidak lancar dan lebih nyaman menggunakan gesture

6

atau bahasa tubuh; (b) moderate: anak berkomunikasi dengan suara bukan dengan

kata-kata; (c) moderate severe: anak menggunakan komunikasi non verbal

(seperti bahasa tubuh dan isyarat); serta (d) severe: anak dapat melakukan non

verbal namun ia tidak menggunakannya sebagai komunikasi. Beberapa penelitian

menemukan bahwa kasus SM yang paling sering ditemui adalah anak-anak dalam

kategori moderate severe (Vechio, 2008).

Hasil praktikum Wijayanti (2012) menemukan anak yang mengalami SM

yang berada dalam kategori moderate severe di sebuah Taman Kanak-Kanak

belum mendapatkan penanganan selama 1 tahun 2 bulan bersekolah di T K

tersebut. Pihak sekolah maupun guru belum mengetahui mengenai permasalahan

yang menyebabkan anak diam di sekolah, hal ini membuat guru dan kepala

sekolah bingung cara mengatasinya. Akibat dari perilaku diamnya, subjek

menjadi sering diejek dan dicemooh oleh teman-teman sekelasnya. Belum

terdapatnya penanganan dari pihak sekolah mengenai kasus SM juga ditemukan

oleh mahasiswa Magister Psikologi Profesi yang sedang melakukan Praktek Kerja

Profesi (Syahputri, 2013; Dalimunthe, 2013 & Priambada, 2013). Dari 8 kasus

kasus Anak Usia Dini yang ditangani oleh Mahasiswa Magister Profesi

Pendidikan angkatan 8, terdapat 3 kasus SM berada dalam kategori moderate

severe dan dari 3 kasus tersebut belum ada penanganan apapun dari pihak

sekolah.

Kasus indikasi SM juga dijumpai di beberapa TK dan PAUD di Kabupaten

Klaten. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus IGTK (Ikatan Guru

Taman Kanak-kanak) Kabupaten Klaten, kasus-kasus Anak Usia Dini semakin

7

bertambah, salah satunya adalah kebisuan di sekolah namun ketika di rumah anak

mampu untuk berbicara. Dalam 2 tahun terakhir, kasus indikasi SM meningkat

dari 25 siswa menjadi 43 siswa, namun sekolah belum melakukan penanganan

apapun untuk membuat anak mampu berbicara di sekolah. Hal ini dikarenakan

keterbatasan pengetahuan akan model intervensi yang sesuai bagi anak yang

terindikasi SM (IGTK, 2013).

Selective Mutism biasanya terjadi sebelum usia 5 tahun, namun sering belum

dapat dideteksi sampai anak memasuki sekolah. Hal tersebut terjadi karena

sebagian besar anak SM berbicara dengan orangtua di rumah tanpa ada masalah,

namun ketika berada dalam situasi yang asing atau bertemu dengan orang yang

tidak familiar, masalah ini akan muncul. Kondisi demikianlah yang membuat

penanganan anak SM sering terlambat sehingga masalah akan menjadi lebih besar

(Vecchio & Kearney, 2005). Keterlambatan penanganan mungkin terjadi sampai 4

tahun setelah diagnosis ditetapkan dan para ahli kesehatan anak tidak familiar

dengan kelalain ini serta cara penanganannya (Schwartz, Freedy, & Sheridan,

2006). Jika tidak segera ditangani, perilaku diam dan tidak mau berbicara yang

ditunjukkan anak SM dapat berdampak pada perkembangan kognitif dan

kemampuan sosialnya (Bergman, Piancentini, & McCracken, 2002; Nowakowski,

2009 ; Cunningham, McHolm, Boyle, & Patel, 2004).

Manassis (2007) melaporkan penelitiannya terhadap 44 anak Taman

Kanak-kanak yang terdiagnosa SM, menemukan bahwa 44 anak yang mengalami

SM mencetak skor yang lebih rendah pada pengukuran nonverbal kognitif. Hal ini

dikarenakan kurangnya interaksi dengan teman maupun guru membuat

8

perkembangan kognitifnya tidak maksimal. Ballenger dalam Santrock (2007)

mengatakan bahwa pendidikan taman kanak-kanak meliputi pendidikan anak

secara menyeluruh, dengan penekanan pada variasi individual, proses belajar dan

pentingnya permainan dalam perkembangan. Bermain sangat penting dalam

perkembangan kognitif anak. Mencoba, menjelajahi, menemukan, menguji-coba,

mensturkturisasi, berbicara dan mendengar akan membantu perkembangan

kognitifnya (Ballenger dalam Santrock, 2007). Namun, dengan perilaku diam dan

tidak mau berinteraksi, bermain anak SM denga teman di sekolah akan

mengurangi kesempatanya untuk mengembangkan kemampuan kognitif

(Manassis, 2007).

Permasalahan yang dialami pada anak SM ini tidak hanya dalam

perkembangan kognitif, namun juga kemampuan sosial, seperti yang dilaporkan

Cunningham et all (2004) bahwa anak-anak dengan SM, mempunyai kekurangan

dalam hal kemampuan sosial yang cukup signifikan. Orangtua dan guru

melaporkan bahwa anak-anak ini kurang asertif, kurang terlibat dalam

persahabatan dan mengalami kejahatan yang lebih banyak dari teman sebayanya.

Sebuah studi follow up dari 33 orang dewasa yang mengalami SM semasa

kecil, Steinhausen et al (dalam Cunningham, McHolm dan Boyle, 2006) membagi

subjek dalam 2 kelompok bagian, yaitu mutism yang terbatas pada sekolah dan

orang asing, dan satunya adalah mutism yang gagal berbicara pada setting yang

lebih luas yaitu sekolah, orang asing dan teman sebaya. Hasil menunjukkan

bahwa kelompok yang mengalami mutism pada area yang lebih luas yaitu sekolah,

orang asing dan teman sebaya menunjukkan simptom-simptom fobia sosial yang

9

lebih besar daripada kelompok dengan mutism pada setting sekolah dan orang

asing.

Beberapa penelitian mengungkapkan penyebab dari anak yang mengalami

SM. Omdal dan Gallowwa (2007) mengatakan bahwa tekanan untuk berbicara

menyebabkan kecemasan pada anak-anak SM. Faktor pemicu SM adalah tuntutan

untuk berbicara di situasi-situasi sosial yang tidak familiar sehingga menimbulkan

kecemasan. Faktor psikologisnya adalah kecemasan. Mereka terlalu cemas untuk

berbicara di setting-setting tertentu. Yeganeh et all (2003) melaporkan bahwa

anak-anak SM mengalami kecemasan secara sosial.

Beberapa penelitian membuktikkan bahwa SM merupakan suatu bentuk

kecemasan. Cunningham, McHolm, Boyle dan Patel (2004) melaporkan bahwa

orangtua dan guru sama-sama setuju bahwa anak SM lebih cemas daripada

kelompok kontrol. Sebuah review literature (diantara 1980 dan 1996) yang

berfokus pada intervensi SM, dari semua penelitan kecuali dua penelitian

melaporkan SM merupakan suatu bentuk kecemasan (Cleave, 2009).

Teori perilaku memandang bahwa SM sebagai penguatan negatif dari

pembelajaran perilaku yang diperkuat secara negatif. Anak menolak untuk

berbicara bukan untuk menarik perhatian guru namun sebagai bentuk kenyamanan

mereka akan harapan perilaku kelas (Krysanski, 2003). Pendekatan perilaku

dalam memandang SM tidak terlepas dari sosok B.F. Skinner yang

mengemukakan tentang prinsip operant conditiong. Schunk (2012) mengatakan

bahwa teori belajar operant conditioning yang diformulasikan oleh B.F. Skinner

didasarkan pada asumsi bahwa lingkungan (stimulus, situasi, dan kejadian)

10

memberikan petunjuk-petunjuk untuk direspon. Adanya reinforcement akan

memperkuat respon dan meningkatkan kemungkinan respon tersebut muncul lagi

ketika stimulus dihadirkan di lain waktu. Proses dasar dalam konsep operant

conditioning ini dapat digambarkan dalam skema berikut ini :

Sebuah situmulus yang diskrimatif (A discriminative stimulus atau SD)

membuat sebuah respon muncul (R), yang diikuti dengan sitmulus yang dikuatkan

(reinforcing simulus atau reinforcement (SR)). Stimulus yang dikuatkan adalah

stimulus apapun (peristiwa, konsekuensi) sehingga meningkatkan kemungkinan

respon tersebut akan muncul lagi pada masa yang akan datang ketika

discriminative stimulus hadir. Dalam istilah yang familiar, kita bisa

menamakannya dengan model (Schunk, 2012) :

A (antecendet) B (behaviour) C (consequence)

Konsep behavioral mengenai SM juga diutarakan oleh Bergman (2013)

yang mengatakan bahwa SM merupakan pola pembiasaan dari kecemasan yang

terpelihara. Respon dari meningkatnya kecemasan adalah menghindari berbicara

sehingga dapat menurunkan kecemasan. Penghindaran secara negatif dikuatkan

seiring berjalannya waktu ketika hal tersebut sukses menurunkan kecemasan yang

dipicu oleh harapan untuk berbicara. Penguatan yang diterima oleh anak membuat

anak SM berpikir bahwa perilaku diam mereka sukses menurunkan tekanan dan

kecemasannya. Pola pembiasaan ini berlangsung terus-menerus sehingga anak

SD R S

R

11

tetap diam membisu dan tidak mau berkomunikasi pada beberapa situasi yang

diharapkan untuk berbicara. Kegagalannya untuk berbicara merupakan suatu

bentuk manifestasi dari kecemasan yang terpelihara.

Lebih lanjut lagi, Bergman (2013) memberi contoh, misalnya seorang

anak dengan SM mungkin menjadi cemas ketika guru mereka menanyakan

pertanyaan. Kecemasan anak meningkat ketika guru dan teman-teman menunggu

jawaban darinya. Kecemasan ini akan menyebabkan anak SM menghindari

pertanyaan, dengan diam membisu dan penghindaran mereka secara sukses

menurunkan kecemasan. Pengurangan kecemasan ini dikuatkan dengan

penghindaran, yang kemudian menguatkan pola simptom yang ada. Bergman

(2013) menggambarkan pola pembiasaan yang terjadi pada anak SM, yaitu

sebagai berikut :

Gb 1. Pola pembiasaan yang terjadi pada anak Selective Mutism (Bergman, 2013)

Bergman (2013) mengungkapkan bahwa SM merupakan pola pembiasaan

perilaku yang terpelihara, maka dari itu model intervensi berfokus pada harapan

Anxiety

Avoidance Relief

Reinforcement

Expectation of

Speech

12

untuk berbicara pada situasi-situasi tertentu dimana merupakan tantangan untuk

meningkatnya kecemasan. Lebih lanjut lagi, Bergman menjelaskan proses terapi

SM dengan behavioral exposure therapy, dimana secara gradual memberi

kesempatan anak SM pada situasi yang diharapkan untuk berbicara. Kemudian,

kapasitas anak untuk berbicara difasilitasi ketika pola respon penghindaran yang

selama ini mereka lakukan tidak didukung. Kesuksesan program berdasarkan

prinsip permulaan dengan sebuah tugas yang mudah dan tidak mengancam yang

dapat ditoleransi anak. Ketika anak secara sukses melengkapi pembukaan awal

yang mudah ini dengan berbicara, ia mampu untuk memecahkan lingkaran dari

negative reinforcement, dan perilaku yang diharapkan (berbicara) dapat dikuatkan

secara positif. Hal ini dapat diproses secara gradual dengan meningkatkan

kesulitan untuk berbicara pada situasi dimana anak diharapkan untuk berbicara.

Shipon-Blum (2003) juga mengatakan bahwa penanganan anak SM

hendaknya bertujuan untuk mengurangi kecemasan serta meningkatkan

kepercayaan diri untuk berada di situasi sosial. Memaksa anak untuk berbicara

tidak akan efektif karena kemampuan untuk berbicara akan muncul seiring dengan

rendahnya tingkat kecemasan dan tingginya rasa percaya diri. Gallagher et al.

(2006) menyatakan 4 bahwa tujuan dari penanganan anak SM yaitu untuk: (a)

mengurangi kecemasan sosial; (b) meningkatkan jumlah orang, jumlah seting, dan

jumlah situasi dimana anak mampu berbicara dengan responsif dan spontan; (c)

mengembangkan kemampuan anak untuk mengatur kecemasan berbicara sehingga

anak mampu mengatasi dampaknya; (d) memfungsikan kemampuan berbicara

secara penuh. Menurut Shipon-Blum (2003), penanganan anak SM hendaknya

13

bertujuan untuk mengurangi kecemasan, meningkatkan harga diri serta

meningkatkan kepercayaan diri saat berada di situasi sosial.

Moldan (2005) membuktikkan efektivitas pendekatan perilaku dengan

menggunakan teknik contigency management dan stimulus fading untuk

menangani anak SM berusia 6 tahun dengan jenis kelamin perempuan. Hasilnya

pada sesi pertemuan keempat, anak tersebut mampu menyuarakan kata pada

orang-orang baru di kantor ibunya. Sundel & Sundel (2005) mengatakan bahwa

teknik stimulus fading merupakan sebuah prosedur untuk mentrasfer stimulus

kontrol dari sebuah perilaku dari sebuah penyamaran stimulus ke antecedent

berikutnya. Individu dilanjutkan dengan diberikan penguatan ketika merespon

kehadiran dari penyamaran stimulus tersebut yang secara gradual disamarkan atau

diubah. Melalui teknik stimulus fading ini, situasi-situasi anak mau berbicara

diperluas secara bertahap, termasuk di dalamnya menambah jumlah orang yang

ada dalam situasi tersebut. Seiring dengan pengubahan stimulus, individidu

tersebut berlanjut unuk menunjukkan respon yang sesuai. Teknik contigency

management melibatkan penerimaan reinforcement positif bagi klien untuk

verbalisasi dan peniadaan penerimaan reinforcement positif untuk bahasa

nonverbal, misalnya menunjuk. Hasilnya adalah anak jadi berkomunikasi secara

verbal dengan lebih banyak orang dan lebih banyak situasi. Intervensi ini diawali

di situasi-situasi dimana anak dapat berkomunikasi verbal dengan baik.

Efektivitas terapi perilaku dengan menggunakan contigency management juga

dibuktikkan oleh Vecchio (2008) yang berhasil meningkatkan respon komunikasi

pada anak 5 anak SM usia 4-9 tahun.

14

Efektifitas pendekatan stimulus fading dan contigency management dalam

menangani anak SM ini dikemukakan oleh Martin dan Pear (2003) yang

mengatakan bahwa sebuah cara terbaik untuk menghubungkan antara anteseden –

respon – konsekuensi adalah contigency of reinforcement atau disebut juga

contingency management. Skiner (dalam Martin&Pear, 2003) mengatakan bahwa

sebuah formulasi interaksi antara individu dan lingkungannya harus selalu terdiri

dari 3 hal, yaitu (1) kejadian dimana respon terjadi, (2) respon itu sendiri, (3)

konsekuensi atau penguatannya, dan hubungan ketiganya adalah contingency of

reinforcement. Schunk (2012) mengatakan bahwa jadwal pemberian

reinforcement sendiri terdapat dua macam yaitu (1) an intermittent schedule, yaitu

melibatkan penguatan beberapa namun tidak pada semua respon. An intermittent

schedule sendiri terdapat dua macam yaitu (a): an interval schedule, yang

memberikan hadiah pada respon yang diinginkan pertama terjadi setelah beberapa

periode waktu; dan (b): a variabel-interval schedule, dimana waktu bervariasi dari

satu kejadian ke kejadian yang lain di sekitar rata-rata. Teknik pemberian

reinforcement yang kedua ialah a ratio schedule, yang bergantung pada jumlah

dari respon yang diinginkan atau rate of responding. A Ratio schedule terdiri dri 2

jadwal, yaitu (a) a fixed-ratio (FR) schedule, dimana setiap sejumlah n-respon

yang diinginkan muncul, maka akan diberi hadiah, dimana n adalah konstan; (b) A

Variable ratio (VR) schedule, dimana sejumlah n-respon yang diinginkan muncul

maka akan diberi hadiah, namun harga bervariasi dalam jumlah n. Schunk (2012)

mengatakan bahwa secara umum, ratio schedule menghasilkan respon yang lebih

15

tinggi daripada interval schedule, selain itu waktu perlakuan yang dibutuhkan

juga lebih sedikit pada ratio schedule dibandingkan dengan interval schedule.

Efektifitas metode behavioral juga dilakukan oleh Beare (2008) untuk

meningkatan perilaku verbal siswa SM, dan hasil menunjukkan bahwa stimulus

fading dan positive reinforcement dapat meningkatkan perilaku verbal siswa.

Lebih lanjut lagi Beare mengatakan bahwa stimulus fading merupakan treatment

perilaku yang utama bagi anak-anak SM. Stimulus yang meminta anak untuk

berbicara anak disamarkan, dan ketika anak mulai berbicara, ia akan mendapatkan

reward atau reinforcement. Lipton dalam Barnet, Bell dan Carey (2002)

membuktikkan efektivitas intervensi terapi perilaku untuk anak SM. Intervensi

dilakukan dengan mengkombinasikan teknik stimulus fading dan positive

reinforcement pada siswa SM di Taman Kanak-Kanak. Intervensi dilakukan

dalam 10 sesi dengan durasi 1-2 jam yang ditujukan untuk menghadirkan bicara

pada anak, yaitu melalui permainan terstruktur yang melibatkan interaksi verbal,

mengerjakan buku latihan menggunakan instruksi verbal dan melengkapi gambar

secara verbal. 10 sesi dilakukan selama 4 minggu dengan selang waktu tiap sesi

adalah 2-4 hari, dan ketika klien dapat mengatakan secara verbal, maka ia

mendapatkan hadiah. Hasil dari follow-up 6 bulan kemudian adalah anak tersebut

mampu berkomunikasi secara verbal dengan teman-temannya baik di sekolah dan

di rumah. Intervensi serupa juga dilakukan oleh Conrad, Delk dan Williams dalam

Hadley (1994) yang melakukan terapi perilaku pada anak SM usia 6 tahun.

Conrad et all dalam Hadley (1994) melakukan 10 sesi terapi dengan teknik

stimulus fading dan positive reinforcement dengan selang waktu tiap sesinya

16

adalah 3-4 hari. Tahapan dalam intervensi tersebut ditingkatkan secara bertahap

mulai dari rumah subjek, rumah teman subjek, tempat-tempat umum dan sekolah.

Teman dan guru juga ditambahkan secara gradual ketika tahap sebelumnya subjek

mampu berkomunikasi secara verbal, dan ia akan mendapatkan hadiah untuk

komunikasi verbal yang dilakukannya. Satu tahun follow-up setelah intervensi

tersebut dilakukan, subjek tetap merespon secara verbal kepada guru ketika

berbicara secara langsung. Efektivitas penelitian terapi perilaku juga sudah

dibuktikan di Indonesia. Hartono (2010) menggunakan 10 sesi terapi dengan

metode bermain bagi anak SM yang dikemas dalam pelatihan „Sahabat Anak‟.

Setiap sesi dilakukan dengan selang 3-5 hari, dan hasilnya mampu meningkatkan

komunikasi verbal di sekolah sebesar 24,53%.

Penelitian mengenai anak SM pun berkembang mengenai respon

komunikasi yang dilakukannya, apakah respon yang diberikan sebatas pada

menjawab pertanyaan (komunikasi prompting) atau secara inisiatif melakukan

komunikasi (inisiasi). Shriver, Segool dan Gorthmaker (2011) menemukan

terdapat peningkatan komunikasi verbal prompting yang signifikan setelah

dilakukan intervensi menggunakan teknik stimulus fading dan contigency

management. Peningkatan juga terjadi pada komunikasi verbal inisiasi, namun

tidak sebesar komunikasi verbal prompting, hal ini dikarenakan memulai

pembicaraan adalah sesuatu hal yang sulit bagi anak SM, dan hal tersebut

memerlukan proses yang panjang (Shriver, Segool dan Gorthmaker, 2011).

Teori yang diacu dalam penelitian ini menilai bahwa perilaku diam anak

SM merupakan bentuk dari pola pembiasaan kecemasan yang terpelihara

17

(Bergman, 2013). Kecemasan yang dimiliki oleh anak SM akan berkurang dengan

menghadirkan kondisi yang membuatnya cemas ke dalam kondisi yang lebih

menyenangkan yaitu bermain, sesuai dengan karakter anak usia dini yang

menyukai kegiatan bermain (Santrock, 2007). Kondisi yang membuat cemas

dihadirkan secara perlahan-lahan ke dalam kondisi bermain tersebut, tujuannya

untuk mengurangi kecemasan subjek. Seiring dengan menurunnya tingkat

kecemasan yang dimilikinya, ia akan mulai berpartisipasi dan berkomunikasi, dan

saat itulah ia akan mendapatkan hadiah. Pola pembiasaan ini akan berlangsung

secara terus menerus untuk mengurangi kecemasannya, menambah kepercayaan

dirinya dan meningkatkan komunikasi (Bergman, 2013; Shipon-Blum, 2003; dan

Gallagher et al, 2006).

Gb. 2 : Proses pembiasaan komunikasi pada anak SM

Pendekatan yang digunakan dalam pelatihan ini adalah teori belajar

operant conditioning, yang didasarkan pada asumsi lingkungan (stimulus, situasi

dan kejadian) yang menjadi petunjuk dari respon atau perilaku. Hadiah diberikan

Tidak cemas, merasa nyaman

Mau berpartisipasi dan

bermain bersama

Mau berkomunikasi

Reinforcement

Berada pada situasi yang

menyenangkan

18

untuk memperkuat respon dan meningkatkan perilaku yang diharapkan ketika

stimulus tersebut hadir. Model dasar dari operant conditioning ini terdiri dari 3

hal yaitu stimulus yang membedakan (antecedent), respon (behavior) dan

stimulus penguat (konsekuensi) (Schunk, 2012).

Penelitian ini menggunakan pendekatan operant conditioning yaitu

kombinasi stimulus fading dan contingency management yang telah terbukti

efektif meningkatkan komunikasi pada anak SM (Moldan, 2005; Beare 2008;

Vecchio, 2008; Lipton dalam Barnet, Bell & Karen, 2002 ; Conrad et all dalam

Hardley, 1994; Hartono, 2010; dan Shriver, Segool dan Gorthmaker, 2011).

Kedua teknik ini disusun dalam suatu pelatihan yang dalam penelitian ini berjudul

“Kita Semua Sahabat”. Modul dari pelatihan “Kita Semua Sahabat” merupakan

modifikasi dari penelitian Lipton dalam Barnett, Bell & Karen (2002) ; Conrad et

all dalam Hadley (1994) dan Hartono (2010). Pelatihan ini terdiri dari 10 sesi,

dengan setiap sesi berselang 3-4 hari dan melibatkan 7 orang teman kelas subjek

serta guru kelas subjek. Intervensi dilakukan secara bertahap dengan dimulai pada

lingkungan yang paling membuat anak nyaman, yaitu lingkungan rumah. Situasi

dan orang diperluas dan diperbanyak seiring dengan meningkatkan kenyamanan

yang dimiliki oleh subjek. Penguat positif juga diberikan ketika muncul

verbalisasi yang dilakukan oleh subjek. Hal yang diobservasi dibagi menjadi dua

kondisi stimulus, yaitu stimulus dengan kesempatan (prompting) dan stimulus

tanpa kesempatan (inisiasi). Melalui penyamaran stimulus yang dihadirkan secara

bertahap seiring dengan rasa nyaman yang dimiliki subjek, ia dapat berpartisipasi

dan berkomunikasi dalam permainan. Hadiah pun akan diberikan sebagai penguat

19

ketika subjek berkomunikasi secara verbal. Hal ini dilakukan untuk menambah

kepercayaan diri subjek. Pola ini akan berlangsung secara terus-menerus sehingga

membentuk kebiasaan subjek untuk berkomunikasi dengan teman-teman dan guru

(Vechio, 2008).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah Pelatihan Kita

Semua Sahabat dapat meningkatkan komunikasi verbal pada anak SM. Hipotesis

dari penelitian ini adalah (1) terdapat peningkatan komunikasi verbal pada anak

SM setelah mendapatkan pelatihan, (2) peningkatan komunikasi verbal prompt

lebih banyak dibandingkan peningkatan komunikasi inisiasi setelah mendapatkan

pelatihan.

Gb 3 : Alur berpikir dalam penelitian

METODE

Penelitian ini merupakan jenis penelitian singel case experimental design

dengan rancangan A-B-A. Single case experiment design dibutuhkan untuk

mengidentifikasi intervensi yang efektif untuk SM, hal ini dikarenakan melibatkan

Komunikasi yang

kurang pada anak SM

(1)Meningkatnya komunikasi

verbal. (2) Peningkatan Komunikasi

verbal prompting lebih banyak

dibandingkan komunikasi verbal

inisasi.

Memunculkan respon komunikasi

(Pelatihan Kita Semua Sahabat)

20

multiple baseline atau pengukuran yang berkali-kali (Vechhio, 2008). Fase A

merupakan fase baseline yang berisi sejumlah seri observasi dari perilaku yang

menjadi target dalam situasi alami (sebelum mendapat intervensi) (Barlow &

Hersen, 1984). Tujuan utama dari pengukuran baseline adalah untuk mendapatkan

standar sehingga efek peningkatan yang terjadi sebagai akibat dari intervensi (fase

B) yang dilakukan dalam eksperimen dapat dievaluasi. Fase B adalah fase dimana

intervensi atau perlakuan diberikan, dengan memperhatikan perubahan variabel

tergantung (Barlow&Hersen, 1984). Pengukuran dilanjutkan kembali setelah

treatment (Fase A). Alasan penggunaan desain tunggal ini adalah cukup mudah

dilakukan, fleksibel dan dapat fokus dalam membantu satu (sedikit) partisipan.

Yin (1994) menyebutkan bahwa salah satu alasan rasional untuk menggunakan

desain subjek tunggal adalah jika kasus yang diteliti merupakan kasus yang

ekstrim atau unik. Situasi ini biasanya terjadi pada kasus-kasus psikologi yang

sangat jarang ditemui sehingga desain subjek tunggal dapat membantu dalam

mendokumentasikan dan menganalisis kasus tersebut.

VARIABEL PENELITIAN

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pelatihan “Kita Semua

Sahabat”. Modul pelatihan ini memodifikasi dari penelitian-penelitian SM

sebelumnya, yaitu Lipton (dalam Barnett dkk, 2002) yang berhasil meningkatkan

verbalisasi pada anak SM dengan 10 sesi terapi selama 1 bulan, Conrad (dalam

Hardley, 1994) selama 1 bulan dengan 10 sesi terapi dan di Indonesia sendiri

efektifitas terapi perilaku juga dibuktikkan oleh Hartono (2010) melalui 10 sesi

21

terapi selama 1 bulan. Pelatihan “Kita Semua Sahabat” berisi 10 sesi selama 1

bulan yang disusun dengan pendekatan terapi perilaku, yaitu stimulus fading dan

contigengency management.

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah komunikasi verbal dan

komunikasi non verbal yang diobservasi dalam dua kondisi stimulus, yaitu

komunikasi yang dilakukan ketika terdapat prompts, dan komunikasi yang

dilakukan ketika tidak terdapat prompts (komunikasi inisiasi).

SUBJEK

Subjek dalam penelitian ini berjumlah 1 (satu) yang mempunyai karakteristik

sebagai berikut:

a. Anak yang berusia 5 tahun, duduk di Taman Kanak-kanak

b. Berjenis kelamin laki-laki

c. Memenuhi diagnostik selective mutism seperti yang disebutkan dalam

DSM IV-TR (American Psychiatric Association, 2005).

d. Berada dalam kategori SM Moderate Severe, yaitu anak SM yang

menggunakan komunikasi non verbal di situasi lingkungan tertentu

(seperti bahasa tubuh dan isyarat), namun menggunakan bahasa verbal

yang lancar di lingkungan rumah (Utnick, 2008).

ASESMEN

Asesmen meliputi evaluasi komprehensif untuk mengesampingkan penjelasan

lain mengenai gangguan penggunaan bahasa dan untuk mengakses gangguan-

22

gangguan lain yang menyertai (Krysanski, 2003). Lebih lanjut lagi, Krysanski

(2003) mengatakan bahwa asesmen utama pada anak yang mengalami SM ini

adalah menggunakan metode observasi dan wawancara yang disusun dengan

panduan berdasarkan DSM IV-TR. Keterpenuhan diagnosa SM merupakan hasil

observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti. Observasi dilakukan oleh 2

orang (interater observer) untuk mengetahui reliabilitas data (observer

reliability), sedangkan wawancara dilakukan oleh 1 orang (Kazdin, 1982).

Penegakan diagnosis dilakukan oleh Psikolog Anak. Adapun asesmen yang

dilakukan yaitu:

1. Wawancara.

a. Orangtua

Wawancara pada orangtua sangat diperlukan untuk asesmen pada anak

SM. Wawancara ini bertujuan untuk memperoleh penjelasan dari orangtua

mengenai sejarah gejala yang dialami anak (Krysanski, 2003). Roberts

(2003) mengatakan wawancara dengan orangtua dalam rangka asesmen

SM hendaknya meliputi tujuh aspek :

i. Gejala, untuk mengidentifikasi tipe serangan (tersembunyi atau

mendadak), penanganan sebelumnya dan efektivitasnya, dan dimana

atau dengan siapa anak mau berbicara.

ii. Sosial, untuk melihat kemampuan memulai dan menjaga pertemanan,

tingkat dan bentuk partisipasi dalam aktivitas sosial, seberapa rasa

malu/hambatan dalam seting familiar dan asing, individu yang diajak

23

bicara anak, dan kemampuan anak untuk mengkomunikasikan

kebutuhannya.

iii. Psikiatrik, untuk memperoleh asesmen detail mengenai gejala

psikiatrik, sejarah keluarga mengenai masalah psikiatrik dan sifat

pemalu yang mendalam, dan temperamen selama periode

perkembangan.

iv. Medis, untuk memperoleh sejarah medis, termasuk penyakit dan

opname, sejarah prenatal dan perinatal, dan sejarah medis keluarga.

v. Audiologi, untuk menentukan frekuensi media otitis dan macam

gangguan pendengaran.

vi. Akademik dan kognitif, untuk mengetahui prestasi akademik anak,

termasuk peringkat kelas dan laporan guru.

vii. Bicara dan bahasa, untuk menentukan kompleksitas pembicaraan anak

di rumah; komunikasi nonverbal; sejarah keterlambatan berbicara dan

berbahasa; deskripsi dari produksi pembicaraan anak, penggunaan

bahasa, dan komprehensi; dan pengaruh lingkungan dalam

pembelajaran bahasa, seperti bilingual.

b. Guru

Wawancara dengan guru dilakukan berdasarkan kriteria diagnotik SM

berdasarkan DSM IV-TR. Selain itu, wawancara kepada guru juga

dilakukan untuk melihat kemampuan akademik anak, termasuk peringkat

kelas, laporan guru, dan tes kognisi yang terstandarisasi seperti CPM

untuk mengetahui kemampuan kognitif anak.

24

2. Observasi.

Selain wawancara, juga dilakukan observasi untuk mengetahui gejala-gejala

yang dialami anak. Target observasi adalah kemampuan interaksi sosial anak,

seperti syarat verbal dan nonverbal. Hal-hal yang perlu diobservasi adalah,

apakah anak tersebut mampu untuk mengkomunikasikan kebutuhannya,

apakah ia mempunyai teman, apakah ia mampu untuk berpartisipasi dalam

aktivitas sosial, dan seberapa besar rasa malu yang ditunjukkan anak dalam

situasi familiar dibandingkan dengan seting tidak familiar. Anak juga perlu

dites dengan menggunakan audiotape untuk melihat kefasihan, pola, ritme,

nada, dan kompleksitas bahasa (Krysanski, 2003).

Subjek Fa, merupakan seorang siswa kelas TK B,usia 5 tahun. Subjek

dapat dikatakan sepenuhnya membisu di lingkungan sekolah, namun dapat

berbicara dengan sangat lancar di rumah (lamp A.3, hal 2, baris ke 5 & 8). Ia

tidak mau bicara di lingkungan sekolah, tempat-tempat ramai dan baru seperti

toko baju, rumah teman ayah atau ibunya serta ketika berada di rumah

saudara yang belum terlalu dikenalnya (lamp. A.3, hal 2, baris ke 21) dan

lebih banyak menggunakan bahasa non verbal keika berada di tempat-tempat

tersebut (lamp. A.3, hal, 2, baris ke 30).

Guru melaporkan bahwa memang tidak mau berbicara dengan teman kelas

atau guru di sekolah. Sejak pertama kali masuk sekolah, yaitu di TK Kelas A

subjek tidak mau berbicara (Lamp. A.1, hal 1, bariske 12; lamp A.2, hal 1,

baris ke 11). Sampai sekarang ia berada di kelas B, subjek hanya senyum-

senyum saja ketika melihat ada sesuatu yang lucu atau menggunakan bahasa

25

tubuh, seperti menggelengkan kepala atau menggangguk-angguk untuk

menjawab pertanyaan dari ibu guru atau temannya (lam A1.1, hal 1, baris ke

8). Lama subjek tidak mau berbicara di lingkungan sekolahnya adalah 1 tahun

1 bulan. Jika membutuhkan sesuatu, subjek juga tidak mau

mengkomunikasikan dengan ibu gurunya ia hanya diam saja menunggu

sampai ibu guru keliling mengecek satu per satu apakah semua siswa sudah

bisa mengerjakan tugasnya (lamp. A.1, hal 2, baris ke 10).

Subjek jarang terlihat bermain bersama teman-teman di lingkungan

sekolahnya, ia hanya melihat teman-temannya bermain sambil berdiri di

pojok dekat pintu ruang kelas (lamp. A.1, hal 1, baris ke 3). Subjek juga

kadang menjadi bahan ejekan teman, disorakin oleh teman-temannya karena

malu dan tidak mau maju ke depan (lamp. A.1, hal 3, baris ke 1). Namun

subjek mempunyai kemampuan akademis lebih baik dibanding rata-rata

teman sekelasnya (lamp. A.1, hal 3, baris ke 16). Daya tangkap yang dimiliki

subjek juga cukup bagus, ia cepat paham jika diterangin oleh ibu guru (lamp.

A.2, hal 3, baris ke 24).

Ibu subjek berasal dari Bogor, sedangkan ayahnya dari Klaten. Subjek

lahir dan besar di Klaten, oleh karena itu dalam kesehariannya ia

menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa (lamp.

A.3, hal 4, baris ke 30). Subjek dapat memahami kedua bahasa tersebut

dengan baik, ia menyampaikan pikiran, pendapat dan keinginannya kepada

keluarga dan tetangga yang sudah dikenalnya dengan Bahasa Jawa dan

26

berkomunikasi dengan ibunya menggunakan Bahasa Indonesia (lamp A.3,

hal 5, baris ke 2, 6, 11, 15).

Riwayat perkembangan subjek cukup baik mulai dari lahir sampai saat ini,

ia belum pernah menderita suatu penyakit serius (lamp A.3, hal ke 4, baris ke

13). Subjek dapat berjalan pada usia 1 tahun dan mulai berbicara pada usia

1,5 tahun (lamp A.3, hal 4, baris ke 15).

ALAT/ MATERI

Alat yang digunakan dalam proses penelitian adalah:

1. Lembar observasi

Lembar observasi ini digunakan sebagai alat ukur yang berisi target

perilaku yang akan diamati oleh observer selama pengambilan data

berlangsung. Penyusunan lembar observasi perilaku mengacu pada lembar

observasi Shriver, Segool dan Gortmaker (2011). Target perilaku yaitu

kemampuan komunikasi verbal dan nonverbal yang dinyatakan dalam skor

frekuensi (Shriver, Segool dan Gorthmaker, 2011). Skor frekuensi artinya

rerata jumlah komunikasi verbal dan nonverbal yang diamati oleh dua

orang pengamat dan yang muncul tiap observasi yang berdurasi 60 menit.

2. Modul Pelatihan

Modul pelatihan sebagai panduan bagi pelatih untuk melaksanakan

intervensi. Penyusunan modul ini memodifikasi dari Hartono (2010) yang

digunakan untuk anak perempuan usia 5 tahun, dimana beberapa hal yang

dimodifikasi adalah jenis permainan yang berbeda, jumlah teman yang

27

ditambah, lokasi tempat pelatihan yang berbeda dan pelibatan setting

sekolah saat Kegiatan Belajar Mengajar.

3. Buku “Aku Berhasil”

Buku ini digunakan untuk menempelkan stiker setiap kali subjek

mendapatkan sticker, yaitu ketika ia menunjukkan komunikasi verbal saat

fase intervensi. Ketika subjek berhasil mengumpulkan 15 sticker, maka ia

akan mendapatkan hadiah mobil-mobilan atau motor-motoran

kesayangannya.

4. Alat Tulis.

Alat tulis digunakan untuk mencatat keseluruhan kegiatan yang dilakukan

selama pengambilan data, yaitu buku, bolpoin, dan pensil.

PENGUKURAN

Alat ukur dalam penelitian ini adalah observasi yang terangkum dalam

lembar observasi perilaku. Alat ukur ini digunakan untuk mengukur perubahan

variabel tergantung, yaitu komunikasi verbal dan nonverbal yang dibagi menjadi

dua kondisi stimulus, yaitu komunikasi ketika terdapat prompts, dan komunikasi

ketika tidak ada prompts.

Komunikasi verbal dan non verbal dinyatakan dalam skor frekuensi. Skor

frekuensi artinya rerata jumlah komunikasi verbal dan non verbal yang diamati

oleh dua pengamat dan yang muncul dalam tiap observasi. Para pengamat

memberikan tanda garis miring (l) pada lembar observasi perilaku bila perilaku

yang dimaksud muncul. Selain itu, para pengamat menuliskan perilaku subjek

28

secara anecdotal record untuk mendapatkan gambaran lebih jelas perilaku subjek

selama masa observasi. Penyusunan lembar observasi perilaku mengacu pada

lembar observasi Shriver, Segool dan Gortmaker (2011) yang selanjutnya

dikonsultasikan kepada dosen pembimbing.

Variabel Indikator Contoh Perilaku

Perilaku Komunikasi

Non verbal

(NV)

Cara komunikasi yang menggunakan

bahasa tubuh untuk menyampaikan

pendapat, perasaan dan keinginannya

tanpa mengeluarkan suara.

Menunjuk dengan jari,

mengangkat bahu,

menarik baju untuk

memanggil seseorang,

menggelengkan kepala,

megganggukan kepala

Verbal (V) Cara komunikasi yang dilakukan

dengan menggunakan suara (volume

berapapun) untuk menyampaikan

pendapat, perasaan dan keinginannya.

Memanggil nama

seseorang dengan

bersuara, menjawab

pertanyaan dengan

mengeluarkan suara dan

mengajukan pertanyaan

dengan mengeluarkan

suara.

Kondisi Stimulus

Kesempatan

(Terdapat

prompt)

Komunikasi yang dilakukan oleh

guru atau teman sebaya dengan target

siswa (atau kelompok dimana siswa

termasuk salah satu tagetnya), dengan

mendorong siswa yang menjadi target

untuk melakukan komunikasi baik

komunikasi secara verbal maupun

secara non verbal.

- Permintaan guru agar

sekelompok anak

menyanyi bersama di

depan.

- Memberikan

pertanyaan kepada

siswa yang menjadi

target

Inisiasi

(tidak ada

prompts)

Siswa yang menjadi target melakukan

komunikasi, baik secara verbal

maupun verbal dengan guru atau

teman sebaya tanpa adanya dorongan

dari guru atau teman sebaya

- Bertanya tanpa disuruh

- Memanggil teman

secara spontan

Tabel 1: Definisi Operasional Kode Observasi (Shriver, Segool dan Gortmaker, 2011).

29

Pengamatan dilakukan selama 22 kali, yaitu fase baseline sebanyak 6x, fase

intervensi sebanyak 10x dan fase followup sebanyak 6x. Kazdin (1982)

mengatakan bahwa pada single case experimental design, jumlah baseline

berkontribusi terhadap kekuatan dari hasil eksperimen, dimana jumlah minimum

dari baseline adalah 2. Baseline yang banyak (misalnya 5 kali pengukuran

baseline) dan jika salah satu dari kelima pengukuran tersebut tidak berbeda, maka

pengaruh intervensi akan sangat jelas (Kazdin, 1982). Lebih lanjut lagi, Kazdin

(1982) juga mengatakan bahwa pengaruh dari pelatihan yang diberikan juga

diukur menggunakan multiple baseline design secara acak selama pelatihan

diberikan. Shriver, Segool dan Gortmaker (2011) mengatakan bahwa durasi

observasi secara khusus tergantung pada aktivitas target (misal 20 sampai 60

menit) dan multiple baseline sangat penting untuk kasus SM, maka dari itu

observasi dilakukan minimum 2 kali.

Validitas alat ukur penelitian dan modul penelitian ini diperoleh melalui

uji validitas isi (content validity) yaitu validitas yang diestimasi lewat pengujian

terhadap isi tes dengan analisis rasional atau dengan professional judgement

(Azwar, 2007). Pengertian validitas isi tidak saja menunjukkan bahwa tes tersebut

harus komprehensif isinya, akan tetapi harus pula memuat hanya isi yang relevan

dan tidak keluar dari batasan tujuan ukur. Validitas isi tidak melibatkan

perhitungan statistik apapun, melainkan hanya analisis rasional. Uji reliabilitas

pengukuran pada penelitian ini menggunakan perhitungan SPSS for Windows.

30

PELATIH (PELAKSANA INTERVENSI)

Pelaksana intervensi dalam penelitian ini adalah seorang psikolog tumbuh

kembang anak dengan pengalaman menangani permasalahan anak. Guru, orang

tua dan teman sebaya dapat dilibatkan dalam menangani anak dengan gangguan

kecemasan, (Masia-Warner, C. Klein, R.G., Dent, H.C., Fisher, P.H., Alvir, J.,

Alabano, A.M., & Guardino, M., 2005). Dalam penelitian ini, pertama-tama yang

dilibatkan adalah orang tua atau saudara kandung, setelah klien mulai merasa

nyaman maka akan ditambah teman sekelas klien, kemudian dihadirkan guru

kelas agar klien mulai terbiasa untuk berinteraksi dan berbicara dengan guru

kelas. Setelah klien mulai nyaman, proses terapi dilanjutkan ke kelas besar agar

klien terbiasa untuk berinteraksi dan berbicara di kelas. Sebelum proses observasi

dilakukan, peneliti memberikan penjelasan dan metode alat ukur yang digunakan.

Adapun kriteria seorang pelatih adalah :

1. Memahami perkembangan anak

2. Terampil dalam membina hubungan yang baik dengan anak

3. Mampu berbicara dan mengerti bahasa anak

4. Mempunyai sifat sabar dan tidak mudah putus asa

5. Diutamakan telah mengenal baik subjek dan begitu juga sebaliknya,

bahkan lebih baik kalau disukai subjek

Adapun tugas seorang pelatih adalah:

1. Memandu seluruh proses pelatihan

2. Memperhatikan perilaku subjek selama proses pelatihan dan memberikan

tanggapan yang sesuai terhadap reaksi yang muncul

31

3. Mencatat kejadian-kejadian penting yang muncul selama proses pelatihan

dan mencatat hasil pelatihan sesuai dengan panduan yang diberikan.

PESERTA PELATIHAN

Subjek penelitian adalah seorang anak yang didiagnosa menderita SM

berdasarkan hasil asesmen yang telah dilakukan. Selama proses pelatihan, subjek

didampingi guru atau beberapa teman sebaya atau teman sekelas. Tugas teman

sebaya adalah mendampingi subjek selama proses pelatihan dan mendorong

subjek untuk memunculkan perilaku yang diharapkan, yaitu komunikasi verbal.

Moldan (2005) mengatakan kehadiran teman sebaya secara gradual sangat penting

dalam intervensi anak SM, hal ini dikarenakan dapat meningkatkan keperayaan

diri yang dimiliki oleh anak SM. Kriteria teman sebaya yaitu:

1. Tidak menderita SM atau tidak termasuk anak pemalu

2. Supel, aktif dan mempunyai ketrampilan sosial yang baik

3. Mengenai baik subjek, begitu juga sebaliknya. Bahkan lebih baik kalau

disukai subjek

4. Bersedia terlibat penuh selama pelatihan berlangsung.

INTERVENSI

Pelatihan “Kita Semua Sahabat” merupakan pelatihan yang menggunakan

teknik behavioral berupa stimulus fading dan contigency management. Efektivitas

teknik stimulus fading dan contigency management ini telah dibuktikan dalam

beberapa penelitian dan hasilnya mampu meningkatkan verbalisasi pada anak SM

32

(Moldan, 2005; Beare 2008; Vecchio, 2008; Conrad dkk dalam Hardley, 1994

Lipton dalam Barnett dkk, 2002 dan Hartono, 2010).

Teknik stimulus fading pada intervensi ini diawali di situasi-situasi dimana

anak dapat berkomunikasi verbal dengan baik, misalnya jika anak merasa nyaman

di dalam rumah, namun belum pernah berbicara di sekolah, sebuah rencana

mungkin melibatkan teman sekelas untuk datang ke rumah untuk bermain dengan

anak. Sekali anak tersebut dapat berbicara nyaman dengan teman sekelasnya,

mereka dapat pergi ke taman atau situasi bermain lain yang memungkinkan untuk

bermain bersama, atau dapat juga di halaman sekolah ketika siswa lain atau guru

tidak berada dalam area. Kehadiran teman sebaya secara gradual sangat peting

bagi anak SM untuk membantu meningkatkan kepercayaan dirinya. Secara

berangsur-angsur, sesi ini dapat dilakukan ketika akan mulai sekolah atau ketika

jam sekolah sudah pulang. Jika anak sudah nyaman untuk berbicara dengan teman

specialnya, teman lain dapat ditambahkan dalam kelompok ini. Guru dan personel

sekolah lainnya juga ditambahkan secara berangsur-angsur dalam kelompok ini.

Proses ini secara berangsur-angsur disamarkan dengan penambahan jumlah orang

setelah anak mulai nyaman berbicara dengan anak-anak dalam kelompok tersebut.

Orangtua juga dapat dilibatkan untuk membangun kepercayaan anak, namun

dapat dihilangkan secara perlahan ketika anak sudah merasa nyaman dengan

kelompoknya (Moldan, 2005).

Teknik contingency management pada penelitian ini terlihat dari

pemberian hadiah berupa coklat koin atau snack pada setiap verbalisasi yang

dilakukan klien selama pelatihan. Peneliti menggunakan rate of responding a

33

fixed-ratio, dimana subjek akan mendapatkan hadiah setiap ia mau berkomunikasi

secara verbal sebanyak 15 kali selama masa intervensi. Teknik ini dipilih, karena

model ini dianggap paling banyak menghasilkan respon yang diinginkan dan

membutuhkan waktu yang sedikit (Schunk, 2012). Subjek juga akan diberikan

penjelasan mengenai pola pemberian hadiah, bahwa ia akan mendapatkan hadiah

jika ia mau berkomunikasi secara verbal di sekolah sebanyak 15 kali.

Modul pelatihan dalam penelitian ini memodifikasi dari penelitian-

penelitian SM sebelumnya, yaitu Lipton (dalam Barnett dkk, 2002), Conrad

(dalam Hardley, 1994) dan Hartono (2010) yang berhasil meningkatkan

verbalisasi anak SM melalui 10 sesi terapi selama 4 minggu. Dari penelitian

Hartono (2010), peneliti mengadakan modifikasi/ perubahan dalam beberapa hal,

yaitu subjek penelitian adalah anak usia dini berumur 5 tahun dengan jenis

kelamin laki-laki dan berada dalam kategori SM moderate severe, lokasi

penelitian yang lebih bervariasi dengan melibatkan setting kelas alami, teman

sekolah yang dilibatkan lebih banyak, jenis permainan yang berbeda, melibatkan

KBM alami pada 2 sesi akhir dan pengukuran yang berbeda. Peneliti kemudian

memberi nama Pelatihan ini dengan judul “Kita Semua Sahabat”.

Pelatihan “Kita Semua Sahabat” terbagi dalam 3 fase: baseline pertama/

awal dilakukan selama 6 kali pengamatan, pelatihan diadakan selama 10 kali

pertemuan, dan dilanjutkan dengan baseline kedua/ akhir selama 6 kali

pengamatan. Pelatihan dilaksanakan di rumah subjek, rumah teman, tempat wisata

dan sekolah subjek. Waktu pelatihan diasakan pada sore hari setelah jam sekolah

berakhir.