bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan
kegiatan ekonomi (Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2009 Tentang Pedoman
Pengelolaan Kawasan Perkotaan). Terdapat dua aspek utama pembentuk kota,
antara lain aspek non fisik dan aspek fisik. Aspek non fisik merupakan aspek
pembentuk kota yang dilihat secara sosial, diantaranya hubungan sosial atau
aktivitas ekonomi yang terjadi di dalam perkotaan. Aspek fisik kota merupakan
aspek pembentuk kota yang dilihat secara fisik, diantaranya fasilitas perkotaan
dan tata ruang perkotaan. Dimana kota secara fisik merupakan suatu daerah
dengan berbagai macam bangunan teknis yang berfungsi sebagai sarana dan
prasarana kehidupan masyarakat kota, seperti gedung, perumahan, jalur
transportasi dan komunikasi, industri dan tempat rekreasi (Suharyadi, 2009).
Seiring dengan meningkatnya pembangunan fisik kota yang meliputi kegiatan
perkotaan di sektor permukiman, transportasi, komersial, industri, pengelolaan
limbah padat, dan sektor penunjang lainnya, menjadikan kualitas udara perkotaan
menurun. Penurunan kualitas udara umumnya disebabkan oleh pencemaran udara,
yaitu masuknya zat pencemar (berbentuk gas-gas dan partikel kecil/aerosol) ke
dalam udara (Soedomo, 2001). Keadaan tersebut jika tidak segera ditangani dapat
membahayakan kesehatan manusia yang tinggal di lingkungan tersebut.
Sektor transportasi memegang peranan paling besar dalam menyumbang
polusi udara di perkotaan dibandingkan dengan sektor lainnya. Di kota-kota besar,
kontribusi gas buang kendaraan bermotor sebagai sumber polusi udara berperan
sangat dominan dibanding kontribusi gas buang dari cerobong asap industri yang
lebih kecil dan sumber pembakaran lain, misalnya dari rumah tangga, pembakaran
sampah, kebakaran hutan, dan lain-lain.
1
Ada berbagai faktor yang menyebabkan sektor transportasi menjadi yang
paling dominan dalam menyumbang pencemaran udara di perkotaan, antara lain
pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang sangat cepat dengan tidak
didukung pertambahan prasarana transportasi, seperti pertambahan panjang jalan.
Kegiatan perekonomian dan perkantoran yang berada di pusat kota menyebabkan
pola lalulintas perkotaan menjadi memusat, sehingga semua pergerakan akan
menuju ke satu titik. Kesamaan jam masuk dan pulang kerja (kesamaan waktu
aliran lalulintas) menyebabkan kemacetan di jalan-jalan tertentu. Tuntutan
pekerjaan yang memiliki mobilitas tinggi sebagai penduduk kota, menyebabkan
banyak yang beralih ke kendaraan pribadi yang lebih cepat dan efisien daripada
menggunakan kendaraan umum, menyebabkan pertambahan kendaraan bermotor
menjadi sangat cepat. Faktor lain yaitu tidak dapat dikontrolnya jenis, umur dan
karakteristik kendaraan bermotor yang boleh digunakan, perawatan kendaraan,
jenis bahan bakar, jenis permukaan jalan dan terakhir adalah pola mengemudi
seseorang yang berbeda-beda. Semua hal tersebut yang mendasarkan bahwa
sektor transportasi memegang peranan sangat penting dalam menyumbang
pencemaran udara di daerah perkotaan.
Kendaraan bermotor merupakan sumber pencemaran udara yaitu dengan
dihasilkan gas CO, NOX, hidrokarbon, SO2 dan tetraethyl lead yang merupakan
bahan logam timah yang ditambahkan ke dalam bensin berkualitas rendah untuk
meningkatkan nilai oktan guna mencegah terjadinya letupan pada mesin.
Parameter-parameter penting akibat aktivitas ini adalah CO, partikulat, NOX, HC,
Pb dan SOX (Soedomo, 2001). Udara yang tercemar dengan partikel dan gas
tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan terutama terjadi pada fungsi
organ tubuh seperti paru-paru dan pembuluh darah, atau menyebabkan iritasi pada
mata dan kulit (Soedomo, 2001).
Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Soedomo dihasilkan bahwa di 5
kota besar Indonesia, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang dan Medan,
dari sektor transportasi, komposisi pencemar udara yang menempati urutan
pertama adalah gas CO, urutan kedua hingga kelima bervariasi antara NOX, SOX,
hidrokarbon dan partikulat. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa gas CO
2
merupakan gas pencemar udara utama terutama di sektor transportasi. Dampak
yang paling terasa dengan konsentrasi CO tinggi di jalan raya dan sekitarnya
adalah pada pejalan kaki. Karena mereka berada ditempat yang paling dekat
dengan sumber gas pencemar, maka potensi terpapar langsung oleh asap
kendaraan bermotor yang ditiupkan oleh angin sangat besar. Keracunan gas CO
pada manusia akan menyebabkan peredaran oksigen ke seluruhtubuh terganggu,
berkurangnya persediaan oksigen ke seluruh tubuh ini akan membuat sesak napas
dan dapat menyebabkan kematian, apabila tidak segera mendapat udara segar
kembali (Soedomo, 2001).
Karbon monoksida atau CO adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan
tidak berasa. Sehingga diperlukan suatu pemodelan spasial untuk dapat
mengetahui pola persebaran gas CO. Bentuk pemodelan spasial yang akan
dilakukan adalah dalam bentuk peta. Peta adalah bentuk pemodelan spasial secara
dua dimensi yang menggambarkan suatu fenomena tertentu, sehingga
kenampakan-kenampakan yang disajikan di dalamnya dipilih dari permukaan
bumi. Peta dipandang mampu dalam menyajikan suatu fenomena di permukaan
bumi dengan baik untuk dianalisis secara keruangan, bila peta tersebut disajikan
sesuai dengan kaidah kartografis yanga ada. Dengan penyajian data dalam bentuk
peta, diharapkan pola persebaran gas CO dapat terlihat secara keruangan serta
dapat dianalisis dengan lebih mudah, sehingga tujuan pemetaan dapat tercapai.
Pemetaan ini menarik dilakukan karena saat ini masih sedikit penelitian yang
melakukan pemetakan konsentrasi gas CO. Terlebih lagi belum tersedianya peta
konsentrasi gas CO di daerah kajian yaitu di Kawasan Malioboro, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Daerah penelitian tidak mencakup seluruh Kawasan
Malioboro, hanya dikhususkan daerah yang berada di sepanjang Jl. Malioboro dan
Jl. A. Yani. Karena daerah kajian tidak terlalu luas, maka peta yang akan dibuat
direncanakan dengan skala besar yaitu skala 1:4.500.
Daerah penelitian dipilih di sebagian Kawasan Malioboro karena Malioboro
merupakan pusat perekonomian dan pusat tujuan wisata belanja terbesar di Kota
Yogyakarta, yang tentunya tidak akan pernah sepi dari pengunjung dan lalulintas
kendaraan bermotor, didukung dengan lebar jalan yang cukup sempit tentunya
3
akan berdampak pada kepadatan lalulintas yang tinggi dan penumpukan gas CO di
daerah tersebut. Serta karakteristik sebagian besar jalan di Kawasan Malioboro
merupakan jalan satu arah dan jarang sekali terdapat lampu merah yang akan
menghambat pergerakan kendaraan bermotor, sangat sesuai dengan kriteria dalam
penghitungan konsentrasi gas CO dengan metode yang akan digunakan, yaitu
metode AEOLIUS.
Keberadaan bangunan yang mengapit jalan-jalan di Kawasan Malioboro
harus sangat diperhitungkan karena dengan ketinggian bangunan yang sangat
bervariasi dan jarak bangunan terhadap jalan yang sempit, akan menyebabkan
banyak gas CO terjebak diantaranya dan sulit keluar. Permasalahan baru yang
timbul adalah persebaran bangunan dan ketinggian bangunan di kawasan tersebut
perlu diketahui karena sangat erat kaitannya dengan pola persebaran gas CO di
lapangan. Untuk itu perlu adanya pemetaan ketinggian bangunan di Kawasan
Malioboro dengan bantuan teknologi data penginderaan jauh, agar nantinya pola
persebaran gas CO dapat dianalisis secara keruangan dengan lebih baik. Data
penginderaan jauh, dalam hal ini pemanfaatan data LiDAR, akan sangat
membantu dalam pengumpulan data ketinggian bangunan yang sangat banyak
secara cepat dan akurat, serta dengan citra orthofoto yang memiliki resolusi sangat
tinggi dapat diketahui bentuk dan persebaran bangunan-bangunan di kawasan
penelitian dengan sangat akurat. Adanya data penginderaan jauh tersebut,
diharapkan mampu membangun model atau Peta Ketinggian Bangunan dengan
baik. Diharapkan nantinya terdapat gambaran yang jelas tentang kondisi jalan dan
bangunan di sekitarnya yang menyebabkan perbedaan konsentrasi gas CO.
1.2 Permasalahan
Karbon monoksida (CO) adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan
tidak berasa. Dimana di daerah perkotaan banyak bersumber dari asap kendaraan
bermotor yang berada di jalan raya. Masyarakat yang pertama kali dirugikan
adalah pejalan kaki dan orang-orang yang hidup dan bekerja di dekat jalan raya.
Setiap hari mereka akan terpapar oleh gas CO yang tidak bisa mereka hindari
karena ruang gerak mereka berada sangat dekat dengan sumber gas CO. Oleh
4
karena itu, perlu adanya informasi lokasi-lokasi yang memiliki potensi gas CO
besar, sehingga masyarakat dan pemerintah dapat mengambil langkah untuk
paling tidak mereduksi jumlah gas CO yang ada di sekitar mereka.
Bentuk informasi yang mampu menggambarkan pola penyebaran potensi gas
CO adalah berupa pemodelan spasial. Bentuk penyajian pemodelan spasial yang
dianggap sesuai adalah dengan menggunakan peta. Dipilih disajikan dalam bentuk
peta karena peta dipandang mampu menyajikan suatu fenomena di permukaan
bumi secara keruangan dengan baik dan pengguna akan lebih mudah
menginterpretasinya.Terlebih lagi di daerah penelitian belum terdapat peta yang
menyajikan potensi konsentrasi gas CO sebelumnya.
Penelitian ini menggunakan beberapa sumber data untuk penentuan potensi
konsentrasi gas CO di suatu titik. Misalnya untuk variabel jalan (panjang dan
lebar jalan) dan bangunan (tinggi dan bentuk alas bangunan/ footprint) dapat
diperoleh dari data penginderaan jauh, serta data meteolorologi (angin dan
konsentrasi CO lapangan) untuk menghitung gas CO diperoleh dari data lapangan.
Salah satu data penginderaan jauh yang akan digunakan untuk membantu
dalam menentukan ketinggian bangunan adalah menggunakan data LiDAR dan
orthofoto. LiDAR (Light Detection and Ranging) digunakan untuk
mengumpulkan nilai-nilai ketinggian yang sangat padat dan akurat (Schmid dkk,
2008). LiDAR menggunakan teknologi penginderaan jauh aktif mirip dengan
radar tetapi menggunakan pulsa cahaya dan bukan gelombang radio.
Pengumpulan data ketinggian dengan menggunakan LiDAR memiliki beberapa
keunggulan, antara lain resolusi yang tinggi dengan akurasi hingga sentimeter,
sehingga cocok untuk digunakan di daerah perkotaan. Data LiDAR mampu
menampilkan model elevasi digital resolusi tinggi hingga menampilkan
ketinggian-ketinggian bangunan secara akurat. Diharapkan pemanfaatan data
LiDAR dapat dilakukan secara optimal terutama untuk membangun model
ketinggian bangunan karena model tersebut akan menjadi dasar dalam analisis
selanjutnya. Pembangunan model ketinggian bangunan dapat dioptimalkan
dengan bantuan citra orthofoto yang memiliki resolusi tinggi, sehingga bentuk
alas (footprint) bangunan dapat diinterpretasi dengan sangat jelas.
5
Pemodelan dalam penelitian ini menggunakan metode AEOLIUS yang
diimplementasikan dari metode Operational Street Pollution Model (OSPM)
digunakan untuk memodelkan polusi udara pada tingkat jalan. Metode ini
menghitung konsentrasi gas buang menggunakan kombinasi antara kontribusi
langsung dan sirkulasi polutan itu sendiri. Asumsi yang digunakan dalam metode
tersebut adalah bahwa kepadatan lalulintas dan emisinya terdistribusi secara
merata ke seluruh jalan dan bangunan yang mengapitnya. Terkait dengan hal
tersebut maka diambil pertanyaan penilitian, sebagai berikut:
1. Bagaimana memperoleh data ketinggian bangunan dengan
memanfaatkan DEM data LiDAR di sebagian Kawasan Malioboro?
2. Bagaimana memetakan ketinggian bangunan di sebagian Kawasan
Malioboro?
3. Bagaimana memetakan konsentrasi gas CO di sebagian Kawasan
Malioboro?
1.3 Tujuan
1. Memperoleh data ketinggian bangunan dengan memanfaatkan DEM data
LiDAR di sebagian Kawasan Malioboro.
2. Memetakan ketinggian bangunan di sebagian Kawasan Malioboro.
3. Memetakan potensi konsentrasi gas CO di sebagian Kawasan Malioboro.
1.4 Sasaran Penelitian
1. Data ketinggian bangunan hasil pemanfaatan DEM data LiDAR di
sebagian Kawasan Malioboro.
2. Peta Klasifikasi Ketinggian Bangunan di Sebagian Kawasan Malioboro.
3. Peta Potensi Konsentrasi Gas CO di Sebagian Kawasan Malioboro.
1.5 Kegunaan Penelitian
1. Memberikan gambaran tentang pemetaan potesi konsentrasi gas CO di
perkotaan yang dihubungkan dengan bangunan sebagai penghalang
tersebarnya gas CO tersebut.
6
2. Dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam mengambil kebijakan
pengelolaan lingkungan terhadap polusi udara di daerah yang dikaji.
1.6 Telaah Pustaka
1.6.1 Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis adalah suatu sistem untuk pengelolaan,
penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis dan penayangan data, yang
mana data tersebut secara spasial (keruangan) terkait dengan muka bumi
(Aronoff, 1989). Secara garis besar, SIG dibagi menjadi empat subsistem yang
saling terkait, yaitu masukan (input) data, pengolahan atau manajemen data,
manipulasi dan analisis, serta keluaran (output) data.
a. Masukan (input) data
Masukan data dalam SIG biasanya berupa data grafis atau data spasial dan
data atribut atau tabular. Kumpulan dari data tersebut disebut basis data
(database). Masukan data harus diubah dulu ke dalam bentuk digital agar
dapat dianalisis menggunakan SIG. Proses pengubahan data ke dalam
bentuk digital ini dinamakan encoding. Proses encoding itu sendiri terdiri
dari dua macam yaitu secara manual menggunakan digitizer serta secara
otomatis dengan penyiaman (scanning).
b. Pengolahan atau manajemen data
Manajemen data meliputi semua operasi penyimpanan, pengaktifan,
pemanggilan kembali, dan pencetakan semua data yang diperoleh dari
masukan data. Struktur data spasial dalam SIG terdiri dari dua macam, yaitu
struktur data vektor, yang kenampakan keruangannya akan disajikan dalam
bentuk titik dan garis yang membentuk kenampakan tertentu, serta struktur
data raster, yang kenampakan keruangannya disajikan dalam bentuk
konfigurasi sel-sel yang membentuk gambar. (Aronoff 1989).
c. Manipulasi dan analisis data
Manipulasi dan analisis data merupakan salah satu kemampuan SIG untuk
menghasilkan informasi baru sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
d. Keluaran (output) data
7
Keluaran adalah seperangkat prosedur yang digunakan untuk menampilkan
informasi dari SIG dalam bentuk yang disesuaikan dengan pengguna.
Output data berupa data digital yang ditayangkan monitor maupun dalam
cetak kertas. Kedua output tersebut diperoleh dari konversi data analog
maupun hasil pemrosesan (seperti overlay, klasifikasi, maupun pemodelan).
1.6.2 Pemodelan Spasial Menggunakan SIG
Kemajuan pengembangan teknologi SIG (Sistem Informasi Geografis) saat
ini, pemanfaatan SIG sangat berkembang luas. SIG dibutuhkan oleh semua
cabang ilmu yang membutuhkan analisis geospasial untuk mendukung tugas
dan menyelesaikan permasalahannya (Kraak dan Ormeling, 2002). Termasuk
di dalamnya, pemanfaatan SIG digunakan dalam membangun suatu model
yang menggunakan data spasial.
Pengertian model itu sendiri adalah suatu bentuk idealisasi dan
penyederhanaan presentasi dari suatu realita. Pembuatan suatu model
memerlukan suatu proses yang dinamakan pemodelan. Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa, pemodelan spasial adalah suatu proses dalam
memanipulasi dan menganalisis data yang bersifat keruangan (data spasial)
untuk menghasilkan informasi yang bermanfaat untuk memecahkan masalah-
masalah yang kompleks (Herimurti, 2009).
Pemodelan spasial sangat membantu dalam menemukan hubungan antara
kenampakan-kenampakan geografis, sehingga dapat mengetahui dan
memahami berbagai macam masalah yang ada di dunia nyata. Ada beberapa
alasan mengapa pemodelan spasial perlu dilakukan, antara lain adalah untuk
menentukan suatu masalah secara lebih jelas dan logis, membentuk suatu
kerangka kerja untuk memahami proses-proses yang terjadi di dunia nyata, dan
simulasi untuk menghasilkan suatu data yang terlalu mahal atau sulit diperoleh
(Herimurti, 2009). Dalam pemodelan spasial, ada beberapa tahap yang harus
dikerjakan, antara lain:
a. Identifikasi masalah,
b. Penyederhanaan masalah,
8
c. Menentukan data yang diperlukan untuk memecahkan masalah,
d. Membangun suatu kerangka kerja yang jelas dan logis menggunakan teknik
atau metode yang mapan, dan
e. Menjalankan model tersebut serta memperbaikinya bila perlu.
1.6.3 Peta
Peta sangat berperan penting bagi pengguna untuk mendapatkan informasi
suatu daerah secara spasial sesuai dengan fenomena yang disajikan. Tanpa
peta, seseorang akan sulit untuk mendapatkan jawaban tentang fenomena-
fenomena geografis yang terjadi di suatu daerah dan sulit untuk menganalisa
hubungan secara geospasial suatu fenomena di suatu daerah. Definisi peta
menurut ICA (International Cartographic Assosiation) pada tahun 1973, peta
adalah suatu representasi/ gambaran unsur-unsur atau kenampakan-
kenampakan abstrak, yang dipilih dari permukaan bumi, atau yang ada
kaitannya dengan permukaan bumi atau benda-benda angkasa, dan umumnya
digambarkan pada suatu bidang datar dan diperkecil/ diskalakan (Sukwardjono
dan Sukoco, 1997). Peta harus dibuat dengan prinsip kartografi, yaitu seni,
ilmu pengetahuan dan teknologi tentang pembuatan peta-peta, sekaligus
mencakup studinya sebagai dokumen-dokumen ilmiah dan hasil karya seni
(ICA, 1973 dalam Sukwardjono dan Sukoco, 1997). Tujuan peta disajikan
secara kartografis adalah agar peta mudah dibaca, dianalisis dan mudah
diinterpretasi oleh pembaca peta.
Sukwardjono dan Sukoco (1997) menyebutkan bahwa berdasarkan isinya,
peta dibedakan menjadi 3 macam, antara lain peta topografi, chart dan peta
jalan, serta peta tematik. Peta topografi adalah peta yang memberikan
gambaran umum mengenai terain atau permukaan bumi. Chart dan peta jalan
disusun dengan tujuan sebagai alat bantu dalam navigasi darat, laut maupun
udara. Peta tematik adalah suatu peta yang menggambarkan informasi kualitatif
ataupun kuantitatif tentang kenampakan-kenampakan atau konsep yang
spesifik yang ada hubungannya dengan detail topografi tertentu (Bos, 1977
dalam Sukwardjono dan Sukoco, 1997).
9
Tahap permulaan dalam pembuatan peta, terutama untuk peta tematik
adalah pengumpulan data. Data yang dikumpulkan harus dapat dipercaya,
lengkap, akurat, memiliki lokasi dan distribusi geografis yang jelas, serta
sedapat mungkin merupakan data terbaru (Sukwardjono, 2009). Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan data yang disebutkan dalam
Sukwardjono (2009), antara lain sumber data, macam data, cara memperoleh
data, evaluasi dan analisis data. Sumber data dapat merupakan data sekunder
dari instansi resmi baik pemerintah atau swasta yang berwenang dalam
bidangnya. Macam data dikumpulkan berdasar tujuan pemetaannya dan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu data pokok dan data bantu. Data pokok yaitu data
yang menjadi tujuan utama pemetaannya, sedangkan data bantu adalah data
pendukung yang mungkin dapat digunakan dalam analisis pada peta
selanjutnya. Data dapat diperoleh dengan dua macam cara, antara lain langsung
pengukuran di lapangan baik dengan cara sampling atau sensus disebut dengan
data primer, serta pengumpulan data dari instansi terkait disebut data sekunder.
Tahap analisis data diakhir pengumpulan data perlu dilakukan untuk evaluasi
baik kelengkapan data, dapat dipercaya atau tidak dan ketelitian datanya.
Tiga tahapan dalam pembuatan desain peta, antara lain desain peta dasar,
desain isi peta dan desain layout peta (Sukwardjono, 2009). Desain peta dasar
merupakan kerangka untuk menempatkan unsur-unsur atau obyek yang
dipetakan. Unsur geografi dalam peta dasar antara lain grid dan gratikul, pola
aliran, relief, jalan, administrasi dan nama-nama geografi. Tidak semua unsur
tersebut ditampilkan di setiap peta dasar, hanya dipilih dan disesuaikan dengan
tema yang ditentukan, sehingga peta dasar benar-benar fungsional dan dapat
mendukung isi temanya. Desain unsur geografi yang ditampilkan pada peta
dasar juga harus diperhatikan, terutama tentang konsep dasar keruangnnya,
antara lain titik, garis dan area. Kenampakan titik yang hanya memiliki unsur
posisi, misalnya gedung sekolah, kota, kabupaten, dan sebagainya.
Kenampakan linier merupakan kenampakan satu dimensi yang memiliki unsur
panjang atau jarak, misalnya jalan, sungai, dan sebagainya. Kenampakan area
10
merupakan kenampakan dua dimensi yang memiliki unsur luasan (panjang dan
lebar), misalnya daerah administrasi, danau, dan sebagainya.
Desain isi peta dalam kaitannya tentang desain simbol peta tematik, harus
memperhatikan tiga hal, antara lain sifat dan ukuran data, bentuk, sifat dan cara
penggambaran simbol, serta variabel visual dan persepsi visual peta yang
diharapkan (Sukwardjono, 2009). Sifat data dibedakan menjadi data kualitatif
dan kuantitatif. Sedangkan ukuran data dibedakan menjadi data nominal,
ordinal, interval dan rasio. Ukuran data nominal biasanya memiliki sifat data
kualitatif yang hanya menyebutkan nama dan jenis datanya, sehingga data ini
tidak memiliki tingkatan atau dengan kata lain nilainya sama. Misalnya
terdapat beberapa macam data jenis tanah, antara lain grumusol, regosol,
mediterania, latosol, litosol, dan sebagainya. Data ordinal memiliki sifat
kualitatif dengan membedakan data atas dasar tingkatan tanpa menyebutkan
nilai kuantitatifnya. Misalnya data dikelompokkan atas dasar kualitasnya
menjadi tingkatan rendah, sedang dan tinggi. Data interval dan rasio
merupakan data yang tidak hanya memiliki sifat kualitatif, tetapi sudah dapat
menunjukkan nilai kuantitatifnya yang dapat dibagi menjadi kelas-kelas dan
rangking dengan mencantumkan angka kuantitatifnya. Misal data ketinggian
bangunan dibagi dalam tiga rangking dan kelas, antara lain I (≤ 5 meter), II (5
– 15 meter) dan III (≥ 15 meter). Untuk disajikan dalam peta, data tersebut
harus direpresentasikan dalam bentuk simbol.
Simbol dalam peta menurut bentuknya terdiri dari simbol titik, garis dan
area, sedangkan simbol peta menurut wujudnya berupa simbol abstrak, huruf,
pictorial (nyata) dan geometrik. Dalam mendesain suatu simbol harus
memperhatikan dua kepentingan, yaitu antara pembuat peta dan pengguna peta.
Simbol yang dibuat sebaiknya sederhana, mudah digambar dan cukup teliti
untuk mencerminkan data, sehingga pembuat peta tidak akan terlalu kesulitan
dalam mendesain simbol. Sedangkan dari sisi pengguna peta simbol harus
jelas, mudah dibaca dan menarik, sehingga pengguna peta tidak kesulitan
dalam menginterpretasikan arti dan nilai dari simbol tersebut.
11
Desain simbol dalam pemetaan, baik simbol titik, garis atau area harus
memperhatikan variabel visual dan persepsi visual peta yang diharapkan.
Terdapat tujuh variabel grafis yang secara visual dapat digunakan menjadi
dasar untuk menciptakan beberapa simbol titil, garis dan area, antara lain
posisi, bentuk, ukuran, orientasi, nilai, kepadatan (tekstur) dan warna
(Sukwardjono, 2009). Ketujuh variabel visual tersebut digunakan untuk
mencerminkan data dengan mempertimbangkan sifat dan ukuran data yang
akan dipetakan. Diharapkan dengan pemilihan variabel visual yang tepat, maka
kesan yang ditimbulkan pada simbol peta dapat sesuai dengan sifat dan ukuran
datanya. Dalam analisis data, diharapkan simbol yang ditampilkan dapat
ditangkap kesannya dengan cepat atau secara sekilas oleh pengguna. Perbedaan
kesan yang ditampilkan dalam peta dan secara sekilas dapat ditangkap oleh
pandangan pengguna disebut persepsi visual. Persepsi visual ini timbul dari
desain simbol dengan pemilihan variabel visual yang tepat. Ada empat
tingkatan persepsi visual, antara lain asosiatif, selektif, bertingkat (ordered)
dan kuantitatif. Asosiatif apabila persepsinya tidak ada kepentingan yang lebih
untuk masing-masing data (tidak ada yang ditonjolkan). Selektif apabila
terdapat kesan pengelompokan data. Bertingkat apabila terdapat suatu
tingkatan didalamnya. Kuantitatif biasanya menyajikan tentang sesuatu tentang
jumlah (memperlihatkan jumlah data). Hubungan antara ukuran data, persepsi
visual dan variabel visual dapat lebih jelas dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Hubungan Ukuran Data, Persepsi Visual dan Variabel Visual
Ukuran Data
Persepsi Visual
Variabel Visual Posisi Bentuk Arah Warna Tekstur Nilai Ukuran
Nominal Asosiatif + + + + - - - Selektif - - o ++ + + +
Ordinal Bertingkat - - - - o + + Interval
Kuantitatif - - - - - - ++ Rasio
Sumber: Sukwardjono, 2009
Keterangan: ++ : Sangat baik
+ : Baik
o : Sedang (lebih baik tidak digunakan)
- : Jelek
12
Desain layout peta pada umumnya menyangkut tentang komposisi peta
atau elemen-elemen yang ada dalam peta. Peta sendiri terdiri dari dua bagian
pokok, antara lain muka peta dan informasi tepi peta. Muka peta adalah
cakupan wilayah yang digambarkan di dalam peta tersebut, berisi tentang
simbol-simbol peta yang dibuat untuk menggambarkan unsur-unsur
kenampakan muka bumi. Informasi tepi peta adalah informasi pendukung
muka peta yang diletakkan di sekitar muka peta. Beberapa contoh informasi
tepi peta yang harus ada di dalam sebuah peta, antara lain judul peta, skala
peta, legenda, grid atau gratikul, inset peta, sumber data dan informasi lain
yang dianggap penting untuk ditampilkan. Pada peta tematik, tidak ada aturan
pasti dalam tata letak informasi tepi peta. Tapi dalam penempatannya harus
memperhitungkan asas keseimbangan dan estetika agar peta dapat jelas dan
menarik untuk dibaca.
Kelebihan penyajian data dalam bentuk peta dibandingkan dengan
penyajian data dalam bentuk lainnya, misal tabel atau deskripsi, yaitu data
yang disajikan dalam bentuk peta dapat dianalisis secara keruangan.
1.6.4 Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh dalam pengertian yang lebih luas adalah pengukuran
atau pemerolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena dengan
menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak terjadi kontak langsung atau
bersinggungan dengan obyek atau fenomena yang dikaji (Howard, 1996).
Beberapa komponen sistem penginderaan jauh, yaitu sumber tenaga, atmosfer,
sensor, interaksi antara tenaga dan obyek, perolehan data dan pengguna data.
Sumber tenaga dalam penginderaan jauh dapat berupa tenaga yang
mengenai obyek di permukaan bumi kemudian dipantulkan lagi ke sensor
ataupun berupa tenaga dari obyek yang dipancarkan ke sensor. Tenaga tersebut
sebelum ditangkap oleh sensor akan melalui atmosfer terlebih dahulu dimana
pengaruh atmosfer disini adalah menyeleksi tenaga yang dapat mencapai
permukaan bumi. Tiap obyek mempunyai karakteristik tertentu dalam
memantulkan atau memancarkan tenaga ke sensor. Jika pada suatu luasan
13
tertentu terdapat beberapa jenis benda, maka masing-masing benda akan
memberikan pantulan dan atau memancarkan gelombang elektromagnetik yang
dapat diterima oleh sensor sehingga keberadaan benda tersebut dapat dideteksi
berdasarkan pantulan atau pancaran gelombang elektromagnetik.
Hasil rekaman dari proses tersebut disebut sebagai data penginderaan jauh.
Data penginderaan jauh dapat berupa foto udara, citra satelit dan citra radar.
Untuk memperoleh informasi data tersebut dapat diolah baik secara manual
dengan interpretasi secara visual maupun secara digital dengan menggunakan
komputer dan software tertentu. Hasil interpretasi kemudian akan digunakan
oleh pengguna data untuk berbagai keperluan diantaranya untuk bidang
kehutanan, perkotaan, pertanian, kajian cuaca dan juga dibidang kesehatan.
1.6.5 LiDAR
LiDAR atau Light Detection and Ranging adalah suatu metode
pengumpulan nilai ketinggian yang padat dan akurat (Schmid dkk, 2008).
LiDAR termasuk dalam sistem penginderaan jauh aktif dengan mengirimkan
pulsa cahaya yang dihasilkan dari sensor ke obyek dan kembali ke sensor untuk
pengukuran dan perolehan data ketinggian. Media perekaman LiDAR ada
berbagai macam, dapat menggunakan pesawat atau mobil. Dalam Airborne
LiDAR media terbangnya menggunakan pesawat (Gambar 1.1). LiDAR dapat
mengumpulkan data titik ketinggian dengan sangat cepat (lebih dari 70.000
titik per detik) pada cakupan area yang luas (Schmid dkk, 2008).
Mengumpulkan data ketinggian menggunakan LiDAR memiliki beberapa
keunggulan, antara lain memiliki resolusi dan akurasi yang sangat tinggi.
Data ketinggian obyek yang diperoleh dari sistem LiDAR ini diukur dari
perbedaan waktu perjalanan sinar yang ditembakkan dari sensor ke obyek dan
kembali ke sensor lagi. Lokasi dan ketinggian dari permukaan pantulan
diperoleh dari (1) perbedaan waktu pulsa laser saat dipancarkan hingga
kembali, (2) sudut dari pulsa dipancarkan, dan (3) lokasi dan ketinggian
pesawat dalam hal ini lokasi sensornya (Schmid dkk, 2008). Perekaman data
menggunakan sistem LiDAR ini dapat dilakukan pada malam hari, ketika
14
udara lebih bersih dari polusi dari kendaraan bermotor yang tidak sebanyak di
siang hari. LiDAR tidak dapat merekam menembus awan, hujan atau kabut.
Gambar 1.1 Skematik Dasar Pengumpulan Data Lidar (Sumber: Jie Shan,
dalam Schmid dkk, 2008)
Instrumen LIDAR dapat mengukur permukaan bumi dengan cepat,
contohnya lebih dari 150 kilohertz yaitu 150.000 pulsa per detik (Schmid dkk,
2008). Hasil perekaman LiDAR berupa data titik ketinggian yang telah
tergeoreferensi dengan akurasi yang tinggi atau disebut dengan point cloud.
LiDAR mampu disimpan dalam berbagai format data elevasi digital. Memang
data asli LiDAR adalah berupa data titik (point clouds) yang dapat diproses
menjadi data elevasi digital. Umumnya data titik tersebut diubah menjadi DEM
atau TIN untuk mempermudah analisis atau digunakan membuat kontur.
1.6.5.1 Terminologi Dasar pada LIDAR
Secara lebih detail Schmid (2008) menyebutkan beberapa istilah dalam
terminology dasar LIDAR, antara lain:
a. RMSE (Root Mean Square Error)
Merupakan ukuran dari akurasi data yang mirip dengan ukuran standar
deviasi jika tidak ada data yang bias.
b. Akurasi, Fundamental Vertical Accuracy (FVA)
15
Level akurasi yang tinggi dari data pada area terbuka dengan akurasi
(95%), dihitung dari RMSE menggunakan rumus RMSE x 1,96 = FVA.
c. Klasifikasi
Data yang diproses untuk mendefinisikan atau mendapatkan tipe obyek
dengan pantulan pulsa yang berbeda-beda, untuk bangunan dan vegetasi
yang tinggi bisa tidak dilakukan klasifikasi.
d. Return Number (Pantulan balik pertama/ terakhir)
Beberapa sistem LiDAR mampu menangkap pantulan balik pertama,
kedua, ketiga dan yang paling utama pantulan balik terakhir dari pulsa
laser tunggal. Return number diperlukan untuk membantu menentukan
dari mana pantulan pulsa berasal (misal tanah dan pohon).
e. Jarak antar titik
Seberapa dekat jarak antar titik yang dihasilkan, dianalogikan sebagai
ukuran piksel pada foto udara, disebut juga dengan posting density.
f. Kecepatan pulsa
Salah satu ciri dari tembakan laser point per detik pada instrument LiDAR
adalah berbentuk seperti pohon cemara, yang berasal dari satu titik di
ujungnya dan menyebar ketika ditembakkan dan mendekati tanah. Sistem
yang biasa digunakan di tahun 2008 mampu hingga 100.000 hingga
150.000 pulsa per detik. Ada juga pengambilan data dikerjakan rata-rata
hanya 50.000 hingga 70.000 pulsa per detik.
g. Intensitas data
Ketika pantulan balik dari laser terekam, kekuatan pantulan balik tersebut
juga akan terekam. Nilai tersebut merepresentasikan seberapa baik obyek
dipantulkan oleh panjang gelombang dari cahaya yang digunakan oleh
sistem laser. Data yang dihasilkan menyerupai foto hitam putih tapi tidak
dapat diinterpretasi dengan cara yang sama.
h. RTK GPS (Real Time Kinematic GPS)
Satelit navigasi yang digunakan sebagai pengirim atau carries phase
(waveform) untuk mengirimkan sinyal GPS di dalam sinyal GPS itu
sendiri. Sinyal GPS aktual memiliki frekuensi 1 megahertz dan gelombang
16
pengirim (carries) memiliki frekuensi 1500 megahertz. Walaupun sulit
untuk digunakan dan mahal, tetapi ketika dapat diselesaikan menggunakan
frekuensi tinggi akan menghasilkan posisi yang lebih akurat hubungannya.
i. DEM (Digital Elevation Model)
Surface atau kenampakan permukaan bumi dihasilkan dari data titik
ketinggian yang digunakan untuk merepresentasikan topografi. DEM lebih
mudah digunakan dalam sistem informasi geografis (GIS) daripada data
mentah (raw data) yang hanya berupa titik ketinggian.
1.6.5.2 Akurasi
Alasan utama data LiDAR ini digunakan adalah karena akurasinya yang
sangat tinggi, dan metode yang sangat efektif dalam mengumpulkan data
ketinggian pada area yang luas. Ada beberapa akurasi dalam data LiDAR,
diantaranya akurasi vertikal, horisontal dan temporal.
a. Akurasi Vertikal
Akurasi vertikal sangat penting untuk perbaikan data. Setiap dataset dari
data LiDAR memiliki nilai RMSE kurang dari 20 cm. LiDAR mampu
mengukur ketinggian pada daerah yang belum dikenal atau daerah yang
sulit dijangkau, hal tersebut juga menjadi salah satu alasan bahwa akurasi
LiDAR sangat lebih baik daripada teknik pengumpulan data sebelumnya.
b. Resolusi Horisontal
Resolusi horisontal data LiDAR selalu diasosiasikan dengan resolusi
vertikalnya. Misalnya, variasi kenampakan obyek di permukaan bumi,
contohnya kemiringan lereng. Tingginya variasi kemiringan lereng pada
suatu daerah dapat mengurangi akurasi LiDAR, karena jarak antar titik
yang lebar. Data LiDAR biasanya memiliki jarak antar titik (resolusi
horisontal) antara 1 sampai 4 meter. Tingginya kepadatan titik pada
LiDAR per meter2, yang dapat memiliki lebih dari 8 titik per meternya.
Sehingga akan memiliki resolusi horisontal sebesar kurang dari 30 cm.
c. Resolusi Temporal
Data hasil pengukuran yang selalu diperbaharui, terutama di daerah-daerah
yang dinamika/ perubahannya besar (misal zona transisi pantai dan
17
kenampakan hasil antropologi) sangat penting untuk updating data.
Resolusi temporal penting untuk tide-controled pengumpulan data LiDAR.
Pengumpulan data LiDAR yang cepat menjadikan perencanaannya jauh
lebih mudah dilakukan daripada menggunakan sistem forogrametri.
1.6.6 Orthofoto
Orthofoto adalah citra fotografi yang dibangun dari foto udara vertikal atau
foto udara miring dengan menghilangkan efek perpindahan relief medan (relief
displacement) dan kemiringan pesawat (Falker dan Morgan, 2002). Orthofoto
dapat memiliki akurasi posisi yang konstan di seluruh permukaan foto bila
proses yang dilakukan benar, sehingga menghasilkan data yang benar.
Pembuatan orthofoto umumnya didesain dengan parameter yang terkait
dengan akurasi akhir yang diharapkan. Orthofoto dan ground control yang
sesuai merupakan data dasar yang sangat menentukan akurasi orthofoto
tersebut, yang meliputi akurasi jarak dan akurasi area. Kedua akurasi tersebut
didasarkan pada ukuran piksel dari DEM yang digunakan dalam proses
rektifikasi. Namun akurasi orthofoto yang dihasilkan tidak bisa lebih presisi
daripada DEM itu sendiri (Falker dan Morgan, 2002).
Ground control dalam pengkoreksian orthofoto digunakan untuk
menggeoreferensi orthofoto ke posisi geografis yang benar di permukaan bumi.
Proses georeferensi dalam orthofoto dikenal sebagai rektifikasi deferensial.
Rektifikasi deferensial adalah prosedur bertahap yang menggunakan beberapa
ground control point dengan nilai XYZ untuk georeferensi foto udara ke
permukaan bumi, sehingga menghasilkan orthofoto yang benar-benar
orthogonal yang dapat dilakukan pengukuran yang akurat di seluruh
permukaan orthofoto (Falker dan Morgan, 2002). Lokasi dan jumlah ground
control point didasarkan pada skala dan akurasi foto udara yang diinginkan.
Proses yang dilakukan untuk menghilangkan pengaruh perpindahan relief
medan dan kemiringan pesawat adalah diperbaiki dengan DEM yang sesuai
pada area yang sama. DEM yang cocok harus diperoleh untuk memberikan
datum vertikal yang sesuai untuk orthofotonya. Penghilangan pengaruh relief
18
medan dan kemiringan pesawat pada orthofoto adalah dengan
menggabungkannya dengan DEM dan meluruskan orthofoto secara orthogonal.
Karena orthofoto dan data LiDAR yang digunakan dalam penelitian ini
direkam secara bersamaan pada tahun 2012, dapat digunakan DEM hasil
pengolahan data LiDAR tersebut.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan orthofoto
yang sesuai, antara lain:
1. Skala orthofoto
2. Jenis citra/ orthofoto yang diperlukan (BW, RGB dan IR)
3. Kejelasan citra (tutupan awan atau tutupan vegetasi)
4. Waktu perekaman
5. Format data/ orthofoto yang digunakan
Data orthofoto yang digunakan dalam penelitian ini direkam bersamaan
dengan pengambilan data LiDAR. Foto udara yang digunakan untuk menyusun
orthofoto ini adalah foto udara medium format. Orthofoto yang dihasilkan
memiliki resolusi spasial sebesar 15 cm yang termasuk dalam resolusi spasial
yang besar.
1.6.7 Pencemaran Udara
Lingkungan udara yang bersih dapat mengalami perubahan yang
disebabkan oleh pencemaran udara, yaitu masuknya zat pencemar (berbentuk
gas-gas dan partikel kecil/aerosol) ke dalam udara (Soedomo, 2001).
Masuknya zat pencemar ke dalam udara dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu
secara alami dan oleh kegiatan manusia. Contoh masuknya zat pencemar ke
udara secara alami, antara lain asap kebakaran hutan, abu vulkanik gunung
berapi dan fenomena lainnya. Tapi pencemaran udara terbesar justru berasal
dari kegiatan manusia, misalnya dari transportasi, industri, sampah, serta hasil
kegiatan rumah tangga lainnya.
Seiring dengan meningkatnya pembangunan fisik kota yang meliputi
kegiatan perkotaan di sektor permukiman, komersial dan industri yang disertai
dengan melonjaknya produksi dan konsumsi kendaraan bermotor pada sektor
19
transportasi, menyebabkan peningkatan kepadatan lalulintas yang berakibat
kepada produksi gas buang yang juga meningkat. Gas buang dari kendaraan
bermotor inilah yang menjadi sumber utama pencemaran udara di perkotaan.
Kendaraan bermotor merupakan sumber pencemaran udara yaitu dengan
dihasilkan gas CO, NOX, hidrokarbon, SO2 dan tetraethyl lead yang
merupakan bahan logam timah yang ditambahkan ke dalam bensin berkualitas
rendah untuk meningkatkan nilai oktan guna mencegah terjadinya letupan pada
mesin, dan parameter-parameter penting akibat aktivitas ini adalah CO,
partikulat, NOX, HC, Pb dan SOX (Soedomo, 2001). Diantara semua gas
pencemar udara tersebut, gas CO merupakan gas yang paling banyak
dikeluarkan oleh kendaraan bermotor.
1.6.8 CO (Karbon Monoksida)
Gas CO (Karbon Monoksida) adalah gas yang tidak berwarna, tidak
berbau dan tidak berasa, dan bersumber utama dari pembakaran tidak
sempurna dari kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil, misal
solar, bensin, pertamax dan yang lainnya. Gas CO merupakan bahan pencemar
utama, karena mencapai hampir setengah dari seluruh bahan polutan udara
yang berasal dari transportasi, terutama dari kendaraan bermotor yang
menggunakan bahan bakar bensin (Ferdiaz, 1992 dalam Lamarolla, 2009).
Sifat-sifat fisik gas CO (Karbon Monoksida) dapat dilihat pada Tabel 1.2.
Secara sederhana, pembakaran karbon dalam minyak bakar terjadi melalui
beberapa tahap sebagai berikut (Ferdiaz, 1992 dalam Lamarolla 2009):
2C (g) + O2 (g) 2CO (g) ………………….. (1)
2CO (g) + O2 (g) 2CO (g) ………………….. (2)
Reaksi (1) berlangsung sepuluh kali lebih cepat dibanding reaksi (2). Karena
itu, CO merupakan intermediet pada pembakaran tersebut dan merupakan
produk akhir jika jumlah O2 tidak cukup untuk melangsungkan reaksi (2).
Beberapa proses terbentuknya gas CO hasil emisi kendaraan bermotor
yang ada di udara, antara lain (Wardhana, 2001):
20
a. Pembakaran tidak sempurna terhadap karbon atau komponen yang
mengandung karbon.
b. Reaksi antara CO2 dengan komponen yang mengandung karbon pada suhu
tinggi misalnya pada mesin yang terlalu panas.
Tabel 1.2 Sifat-sifat fisik gas CO (Karbon Monoksida)
1 Massa molekul aktif 28,1 2 Titik kritis -140,20C pada 34,5 atm 3 Titik cair -205,10C 4 Titik didih -191,50C 5
Kepadatan pada 00C, 1 atm Kepadatan pada 250C, 1 atm
1,250 g/L 1,145 g/L
6 Berat relatif terhadap udara 0,967 7 Kelarutan dalam air pada
00C, 1 atm 250C, 1 atm 370C, 1 atm
3,54 ml/100mL 2,14 ml/100mL 1,83 ml/100mL
8 Faktor konversi pada 00C, 1 atm
1 mg/m3 = 0,800 ppm 1 ppm = 1,250 mg/m3
250C, 1 atm 1 mg/m3 = 0,873 ppm 1 ppm = 1,145 mg/m3
Sumber: WHO, 1979 dalam Lamarolla, 2009
Gas CO bersumber utama dari emisi kendaraan bermotor, maka daerah
perkotaan yang berpenduduk padat dengan lalulintas yang tidak pernah sepi
menjadikan konsentrasi yang tinggi di daerah tersebut. Di jalan raya, padatnya
lalulintas hingga kemacetan oleh kendaraan bermotor menyebabkan
terakumulasinya gas CO di sepajang jalan. Gas CO yang dikeluarkan saat
kendaraan dalam keadaan diam dan berjalan ternyata memiliki konsentrasi
yang berbeda. Gas CO yang dikeluarkan kendaraan bermotor dalam kondisi
idle (diam) lebih besar 4-6% dibanding dengan kendaraan bermotor yang
berjalan normal sebesar 1-4% (Sidjabat dkk, 2000 dalam Widayani, 2004).
Selain dari faktor sumber pencemar, konsentrasi dan penyebaran gas CO
di udara tergantung pada lingkungannya, yaitu pengaruh arah dan kecepatan
21
angin, serta keadaan topografi daerah tersebut. Kecepatan angin berpengaruh
pada kecepatan dispersi gas CO di udara, sedangkan arah angin berpengaruh
pada kecenderungan arah dari penyebaran gas CO di udara. Keadaan topografi
daerah sekitar, misal gedung-gedung di daerah perkotaan menjadi suatu
penghalang gas CO tersebar bebas di udara.
1.6.9 Kendaraan Bermotor
Di daerah perkotaan, kendaraan bermotor adalah sumber polusi udara
utama. Berbagai jenis kendaraan bermotor secara bersamaan berada dalam
suatu ruas jalan, dengan tingkat emisi atau polutan yang dikeluarkan berbeda-
beda. Misalnya sepeda motor dengan mobil akan mengeluarkan emisi dalam
jumlah yeng berbeda. Selain itu, pada umumnya kendaraan bermotor yang
melaju di jalan raya adalah kendaraan bermotor lama yang akan mengeluarkan
emisi berbeda dan tentunya lebih banyak dari kendaraan bermotor baru. Untuk
menyetarakan besarnya emisi yang dikeluarkan kendaraan bermotor dari
berbagai jenis dan berbagai tahun digunakan faktor emisi kendaraan bermotor
di jalan. Faktor emisi kendaraan bermotor yang digunakan merupakan faktor
emisi kendaraan bermotor tahun 1996 dengan bahan bakar bensin. Faktor emisi
kendaraan bermotor yang digunakan bukan merupakan faktor emisi kendaraan
yang terbaru, karena dianggap kendaraan bermotor yang berada di jalan
merupakan kendaraan bermotor lama.
Tabel 1.3 Faktor Emisi Kendaraan Bermotor di Jalan (g.km-1 per unit
kendaraan) Tahun 1996
Kategori CO Sepeda motor 16,53 Kendaraan ringan 14,86 Kendaraan berat 18,73
Sumber: Buckland dan Middleton (1999)
Jika konsentrasi gas CO dihitung dengan menggunakan faktor emisi
kendaraan bermotor tahun 1996, berbeda halnya dengan menghitung kepadatan
lalulintas kendaraan bermotor. Kepadatan kendaraan bermotor dihitungan
dengan menggunakan Satuan Mobil Penumpang (SMP), yaitu satuan arus
22
lalulintas, dimana arus dari berbagai tipe kendaraan telah diubah menjadi
kendaraan ringan (termasuk mobil penumpang) dengan menggunakan emp
(Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997). Penggunaan satuan ini diperlukan
karena setiap jenis kendaraan memiliki besaran pengaruh yang berbeda
terhadap kepadatan lalulintas. Pengkoversian satuan mobil penumpang ini
menggunakan nilai ekivalensi mobil penumpang (emp), yaitu faktor konversi
berbagai jenis kendaraan dibandingkan dengan mobil penumpang atau
kendaraan ringan lainnya sehubungan dengan dampaknya pada perilaku
lalulintas, untuk mobil penumpang dan kendaraan ringan lainnya emp = 1,0
(Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997).
Tabel 1.4 Nilai emp setiap jenis kendaraan
Jenis kendaraan Emp Kendaraan ringan 1,0 Kendaraan berat 1,3 Sepeda motor 0,2
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)
Tipe kendaraan menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI)
Indonesia (1997) sesuai klasifikasi Bina Marga, disebutkan:
• Kendaraan ringan meliputi mobil penumpang, oplet, mikrobis, pick-up dan
truk kecil,
• Kendaraan berat meliputi bis, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi,
• Sepeda motor meliputi sepeda motor dan kendaraan roda 3.
1.6.10 Jalan Raya
Jalan raya digunakan sebagai jalur utama dimana polutan dari kendaraan
bermotor berasal. Faktor penting yang dilihat dari variabel jalan adalah
geometri jalannya. Geometri jalan di sini maksudnya adalah suatu bangun jalan
raya yang menggambarkan tentang bentuk/ ukurannya baik menyangkut
penampang melintang, memanjang ataupun aspek lain yang terkait dengan
bentuk fisik jalan (Suraji, 2008).
Penampang melintang jalan secara umum yang sesuai dengan karakteristik
jalan pada penelitian ini adalah jalan yang pada kedua sisinya diapit oleh
23
bangunan yang cukup rapat sehingga memungkinkan terjadinya pusaran angin
di antara bangunan-bangunan tersebut (Gambar 1.4). Besar pusaran angin ini
akan sangat ditentukan oleh tinggi bangunan dan lebar jalan. Besar pusaran
angin ini akan mempengaruhi penyebaran konsentrasi polutan yang
dikeluarkan oleh kendaraan bermotor dan tersebar di seluruh bagian jalan.
Gambar 1.2 Penampang melintang jalan dan pusaran angin yang terjadi di
dalamnya (Sumber: Berkowicz dkk, 1997)
1.6.11 Bangunan
Perkembangan kota yang semakin hari semakin padat, menyebabkan
pertumbuhan gedung sulit dikendalikan. Utamanya di dekat jalan raya,
pertumbuhan gedung terjadi sangat cepat. Pertumbuhan gedung di sekitar jalan
akan mempengaruhi geometri jalan, dimana pada akhirnya di daerah perkotaan,
jalan akan diapit oleh bangunan pada kedua sisinya. Dimana jalan yang berada
di antara bangunan tersebut tidak pernah sepi dari kendaraan bermotor yang
mengeluarkan polutan hasil pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna.
Bangunan pada penelitian ini berperan sebagai variasi topografi atau
ketinggian di daerah perkotaan yang pada umumnya memiliki kemiringan
lereng yang datar. Keberadaan bangunan di kiri kanan jalan akan membentuk
seolah seperti ngarai atau dinding yang membatasi jalan, yang akan menjebak
polutan dari kendaraan bermotor berada di dalamnya. Sehingga polutan sulit
keluar menembus dinding-dinding bangunan, pada akhirnya polutan akan
mencari jalan keluar hingga ke luar sampai atap bangunan dengan bantuan
angin. Istilah ngarai pada jalan ini menjadikan seolah-olah jalan dan bangunan
di antaranya seolah-olah sebagai mangkok besar yang berisi polutan, dimana
bila ada pergerakan angin, polutan di dalamnya juga akan ikut bergerak dan
akan terkonsentrasi pada satu sudut tertentu. Ketinggian bangunan yang
24
berbeda di kedua sisi jalan akan memberikan pengaruh yang berbeda pada pola
penyebaran polutan.
1.6.12 Angin
Angin adalah udara yang bergerak karena adanya perbedaan tekanan di
bumi (Habibie dkk, 2011). Angin selalu bergerak dari daerah yang bertekanan
udara tinggi ke daerah yang tekanannya rendah. Pergerakan angin inilah yang
menjadi faktor penting dalam menggerakkan polutan ke berbagai arah di
sepanjang jalan.
Variabel yang selalu berkaitan dengan angin adalah kecepatan angin dan
arah angin. Kecepatan angin berpengaruh pada seberapa cepat polutan bergerak
ke berbagai sudut di ruang antara bangunan kemudian dapat melompat ke atas
atap bangunan. Arah angin berpengaruh pada kecenderungan arah/ kemana
polutan akan tersebar di sepanjang jalan.
1.6.13 Operational Street Pollution Model (OSPM)
Operational Street Pollution Model (OSPM) adalah metode untuk
memodelkan polusi di ngarai jalan. Ngarai jalan adalah konfigurasi jalan
dimana di kedua sisinya terdapat bangunan yang rapat, sehingga bila dilihat
secara melintang akan terlihat seperti huruf U. Bangunan-bangunan yang
mengapit jalan itulah yang digunakan dasar pemodelan, bahwa polutan/ emisi
dari kendaraan bermotor akan terperangkap di dalam ngarai jalan.
Model dispersi yang didasarkan pada model OSPM hanya digunakan
untuk memprediksi konsentrasi tertinggi dengan mengabaikan kondisi
meteorologi aktual (Berkowicz dkk, 1997). Konsentrasi polutan dihitung
menggunakan kombinasi dua model, plume model untuk kontribusi langsung
dan box model untuk sirkulasi polutan di sepanjang jalan (Gambar 1.3).
Kontribusi langsung pada model OSPM dihitung dengan mengasumsikan
bahwa kepadatan lalulintas dan emisi terdistribusi secara merata ke seluruh
ngarai jalan. Bidang emisi dianggap sebagai sumber garis yang kecil dan
tegaklurus dengan arah angin di tingkat jalan dan dengan ketebalan tertentu.
25
Asumsi yang digunakan dalam model ini adalah arah angin ditingkat jalan
diasumsikan sebagai cermin yang memantulkan angin ditingkat atap.
Gambar 1.3 Ilustrasi skema prinsip dasar model dalam OSPM. Konsentrasi
dihitung sebagai jumlah aliran kontribusi langsung dan sirkulasi
polusi. (Sumber: National Environmental Research Institute,
Denmark 2007)
Angin ditingkat atap yang masuk ke dalam ngarai jalan akan meyebabkan
terjadi pusaran angin di dalam ngarai, atau dapat disebut sebagai resirkulasi
udara. Zona resirkulasi dihitung disepanjang arah angin, yaitu dua kali
ketinggian bangunan yang melawan arah angin. Dengan demikian, dapat
diketahui bahwa ketinggian bangunan sangat mempengaruhi lebar zona
resirkulasi di dalam ngarai jalan.
Reseptor pada leeward side atau pada sisi bangunan yang melawan arah
angin akan menerima kontribusi emisi kendaraan bermotor dari dalam zona
resirkulasi, dari sirkulasi polusi itu sendiri dan sebagian emisi dari luar daerah
pusaran.Sedangkan windward side hanya menerima dari sirkulasi polusi itu
sendiri dan emisi dari luar zona resirkulasi saja. Dengan semikian reseptor pada
leeward side akan menerima emisi/ polusi dari kendaraan bermotor lebih
banyak daripada windward side. Tetapi bila kecepatan angin pada tingkat jalan
mendekati nol atau sejajar dengan jalan, akan menjadikan konsentrasi polusi di
kedua sisi jalan menjadi sama.
26
Kontribusi resirkulasi dihitung dengan menggunakan asumsi bahwa zona
resirkulasi memiliki bentuk trapesium yang mengerucut ke arah windward side,
dengan panjang tepi atas trapesium maksimal adalah setengah dari panjang
pusaran. Konsentrasi di zona sirkulasi dihitung dengan asumsi bahwa tingkat
masuknya polutan ke dalam zona sirkulasi sama dengan tingkat keluarnya dan
bahwa polutan tersebar dengan baik di dalam zona tersebut (National
Environmental Research Institute, Denmark 2007).
Metode OSPM ini sangat fleksibel untuk digunakan dalam berbagai
macam geometri jalan. Penghitungan konsentrasi polusi pada jalan dengan
konfigurasi bangunan yang tidak teratur atau bahkan bangunan pada satu sisi
jalan saja dapat dilakukan dengan metode ini. Tapi metode ini memang paling
cocok digunakan pada jalan dengan konfigurasi bangunan yang rapat berada di
kedua sisinya. Model yang dikembangkan dengan metode OSPM tidak terlalu
cocok digunakan untuk persimpangan dan lokasi yang jauh dari jalur lalulintas.
Gambar 1.4 Struktur Model dalam OSPM (Sumber: National Environmental
Research Institute, Denmark 2007)
Model OSPM dikembangkan di kota-kota di Eropa dimana memiliki
bentuk, tinggi dan susunan bangunan yang hampir sama dengan jarak
bangunan yang sangat rapat, sehingga membentuk konfigurasi jalan yang
memang ideal untuk model ini. Keadaan kota di Eropa berbeda dengan
keadaan kota di Indonesia, dimana bentuk bangunan yang sangat berbeda-
27
beda, susunan bangunan yang tidak terlalu teratur, tinggi bangunan dan jarak
antar bangunan yang sangat bervariasi. Keadaan di Indonesia ini sama sekali
bukan keadaan ideal dalam model OSPM. Untuk itu agar dapat diaplikasikan
dalam model OSPM, keadaan tersebut dianggap sebagai keadaan ideal,
sehingga tinggi bangunan yang sangat bervariasi, susunan bangunan dan jarak
antar bangunan yang tidak sama akan diabaikan.
1.6.14 AEOLIUS
AEOLIUS adalah model dispersi atmosfer, yang digunakan untuk
memperhitungkan penyebaran polutan oleh angin yang bertiup di bagian atas
ngarai jalan (Harris, 2004). Model AEOLIUS ini didasarkan pada konsep yang
digunakan dalam model OSPM (Operational Street Pollution Model). Sama
dengan model OSPM, model AEOLIUS juga memodelkan polusi di ngarai
jalan, dengan konfigurasi jalan yang ideal adalah bila jalan di kedua sisinya
diapit oleh bangunan-bangunan yang tinggi dan rapat, sehingga banyak polusi
yang terperangkap di dalamnya.
Keadaan di lapangan dan keadaan ideal yang diharapkan oleh model dalam
hal bangunan yang membentuk konfigurasi jalan memang tidak selalu sama.
Keadaan bangunan-bangunan yang mengapit jalan di Indonesia sangat berbeda
dengan yang diharapkan oleh model, dimana banyak bangunan memiliki
ketinggi yang sangat bervariasi dan banyak diantaranya yang tidak terlalu
tinggi, misal hanya satu lantai saja. Jarak antar bangunan juga sangat
bervariasi, mulai dari sangat rapat hingga renggang, lebar jalan yang
memisahkan bangunan yang membentuk ngarai jalan juga bervariasi besarnya.
Keadaan tersebut akan menyebabkan banyak polusi yang dapat melompat
keluar dari jalan utama yang menjebaknya. Keadaan-keadaan di lapangan
tersebut diasumsikan sebagai keadaan ideal agar metode ini dapat dikerjakan.
AEOLIUS dan OSPM merupakan model yang menghitung konsentrasi
emisi dari kendaraan bermotor pada dua sisi ngarai jalan, yaitu leeward dan
windward side. Karena sisi leeward posisinya melawan arah angin dari tingkat
atap yang akan masuk kedalam ngarai jalan maka sisi leeward akan menerima
28
kontribusi polusi kendaraan bermotor lebih banyak daripada sisi windward
yang posisinya sejajar dengan arah angin.
Ada tiga prinsip kontribusi yang digunakan, yaitu kontribusi langsung,
kontribusi resirkulasi dan kontribusi urban background. Kontribusi langsung
adalah polutan yang dihasilkan langsung dari sumber/ kendaraan bermotor
yang secara langsung juga diterima oleh receptor. Kontribusi resirkulasi adalah
pengaruh angin ditingkat atap yang menghasilkan pusaran angin di dalam
ngarai jalan yang menyebabkan polutan mengalir ke bagian atas ngarai.
Pada prinsipnya, metode AEOLIUS adalah model dengan konsep yang
diimplementasikan dari metode OSPM. Perbedaannya yaitu, AEOLIUS
mencoba untuk membuat model yang user friendly sehingga lebih mudah
untuk diikuti, terutama dalam persamaan-persamaan yang ada di dalamnya
untuk menghitung konsentrasi polusi di ngarai jalan.
1.7 Penelitian Sebelumnya
Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Wang, Bosch dan Kuffer (2008)
dengan judul “Modelling Urban Traffic Air Pollution Dispersion” (Tabel 1.5 No.
1). Penelitian ini bertujuan untuk mendukung pengambilan keputusan terkait
dengan analisis dampak kualitas udara. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pemodelan spasial dispersi polusi udara akibat kepadatan lalulintas
di daerah perkotaan pada tingkat jalan. Penelitian ini menggunakan tiga sistem
sebagai dasar, yaitu basis data model perkotaan, model dispersi dengan database
spasial dan 3D GIS untuk visualisasi. Model dispersi yang digunakan adalah
menggunakan OSPM yang memang ditujukan untuk menentukan tingkat
pencemaran berdasarkan kepadatan lalulintas, meteorologi dan konfigurasi data.
Penelitian ini dilakukan di tempat-tempat yang representatif untuk konfigurasi
jalan di Den Haag, Belanda. Jenis polutan yang dipilih untuk dimodelkan adalah
NO2 dan PM10. Parameter yang dipertimbangkan adalah lebar dan panjang jalan,
ketinggian bangunan, kecepatan dan arah angin, suhu udara, background polusi,
volume lalulintas, jenis dan kecepatan kendaraan. Hasil ditampilkan dalam
tampilan planar dan non-planar dengan bangunan yang diwakili oleh volum kubik.
29
Visualisasi hasil juga memasukkan dimensi vertikal daerah yang terpengaruh
polusi tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Berkowicz (2000) yang berjudul “OSPM – A
Parameterised Street Pollution Model” bertujuan untuk menguji kinerja metode
OSPM dalam memprediksi dan memodelkan polusi akibat kendaraan bermotor di
jalan raya (Tabel 1.5 No. 2). OSPM adalah model parametris, dengan parameter
aliran dan kondisi dispersi pada ngarai jalan dapat ditentukan dari eksperimen dan
analisi data secara ekstensif, serta pengujian terhadap model. Penelitian ini
mengkaji gas NO2 sebagai salah satu polutan dari emisi kendaraan bermotor.
Lokasi penelitian dipilih pada dua jalan yang berbeda negara, yaitu Jalan
Albanigade di Odense, Denmark dan Schildhorstrasse di Berlin, Jerman. Hasil
dari penelitian ini adalah perbandingan konsentrasi NO2 di kedua daerah tersebut,
dengan tidak memvisualisasikan hasil ke dalam model spasial. Kesimpulan dari
penelitian ini menyebutkan bahwa perbandingan perhitungan dan pengukuran
konsentrasi polusi dengan menggunakan model parameter sederhana seperti
OSPM dengan baik dapat memprediksi polusi dari kepadatan lalulintas di jalan.
Penelitian serupa yang pernah dilakukan di Yogyakarta, tepatnya di Jalan
Malioboro adalah penelitian yang dilakukan oleh Lamarolla (2009) dengan judul
“Estimasi Konsentrasi Maksimum CO Menggunakan Model AEOLIUS Di
Sepanjang Jalan Malioboro” (Tabel 1.5 No. 3). Penelitian ini bertujuan untuk
mengestimasi konsentrasi maksimum gas karbon monoksida menggunakan model
AEOLIUS. Hasil dari penelitian ini adalah perbandingan konsentrasi CO hasil
pengukuran di lapangan dengan hasil model AEOLIUS.
Penelitian berjudul “Pemetaan Potensi Konsentrasi Gas CO Di Sebagian
Kawasan Malioboro Menggunakan Metode AEOLIUS” berbeda dengan ketiga
penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk
memetakan potensi konsentrasi gas CO di sebagian Kawasan Malioboro
menggunakan metode AEOLIUS untuk menghitung potensi konsentrasi gas CO
(Tabel 1.5 No. 4). Dibantu dengan menggunakan DEM data LiDAR untuk
membantu memodelkan ketinggian bangunan di kawasan tersebut yang akan
mempengaruhi pola persebaran gas CO.
30
Tabel 1.5 Perbandingan Penelitian
No Nama Judul Lokasi Tahun Tujuan Polutan Metode Hasil 1 G Wang,
FHM van den Bosch, M Kuffer
Modelling Urban Traffic Air Pollution Dispersion
Den Haag, Belanda
2008 Mendukung pengambilan keputusan terkait dengan analisis dampak kualitas udara dan penilaian terhadap kesehatan manusia melalui pemodelan spasial dispersi polusi udara akibat kepadatan lalulintas di daerah perkotaan pada tingkat jalan.
NO2 dan PM10
Model dispersi udara menggunakan metode OSPM (Operational Street Pollution Model) yang diaplikasikan dalam pemodelan spasial.
Model 3D konsentrasi polusi tingkat jalan pada tampilan planar dan non planar.
2 Ruwim Berkowicz
OSPM – A Parameterised Street Pollution Model
Jalan Albanigade di Odense, Denmark dan Schildhorstrasse di Berlin, Jerman
2000 Menguji kinerja OSPM sebagai model parametris dalam memprediksi polusi kendaraan bermotor di jalan raya.
NO2 OSPM (Operational Street Pollution Model)
Perbandingan konsentrasi NO2 di Albanigade, Odense dan Schildhorstrasse, Berlin.
3 Anugrah M. Lamarolla
Estimasi Konsentrasi Maksimum CO Menggunakan Model AEOLIUS Di Sepanjang Jalan Malioboro
Jalan Malioboro, Yogyakarta
2009 Estimasi konsentrasi maksimum CO menggunakan model AEOLIUS.
CO Purposive sampling dan menggunakan model AEOLIUS.
Perbandingan konsentrasi CO hasil pengukuran dengan CO model AEOLIUS.
31
4 Devita Remala Sari (Penelitian saat ini)
Pemetaan Potensi Konsentrasi Gas CO Di Kawasan Malioboro Menggunakan Metode AEOLIUS
Jalan Malioboro, Yogyakarta
2012 1. Mengetahui tingkat akurasi DEM data LiDAR dalam mengekstraksi data ketinggian bangunan.
2. Memetakan klasifikasi ketinggian bangunan di Kawasan Malioboro.
3. Memetakankan potensi konsentrasi gas CO di Kawasan Malioboro.
CO 1. Ekstraksi data LIDAR untuk ketinggian bangunan
2. Metode AEOLIUS diimplementasikan dari metode OSPM untuk menghitung konsentrasi gas CO
Peta Potensi Konsentrasi Gas CO Di Kawasan Malioboro dan Peta Klasifikasi Ketinggian Bangunan
32
1.8 Kerangka Pemikiran Penelitian
1.8.1 Kerangka Pemikiran
Daerah perkotaan sangat erat kaitannya dengan pembangunan fisik kota
yang sangat cepat, baik sarana maupun prasarana pendukung kegiatan
perkotaan. Di dalamnya termasuk sektor transportasi, di satu sisi memiliki
peran utama dalam mendukung mobilitas penduduk kota yang sangat dinamis.
Di sisi lain, sektor transportasi juga berperan besar dalam penurunan kualitas
udara di daerah perkotaan. Penurunan kualitas udara pada umumnya
disebabkan oleh pencemaran udara.
Sumber pencemaran udara dari sektor transportasi utamanya berasal dari
emisi atau gas buang kendaraan bermotor dengan bahan bakar minyak bumi,
yang menghasilkan gas CO, NOx, SO2, Pb dan beberapa gas buang lainnya.
Jenis emisi yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah gas CO (karbon
monoksida) karena komposisi emisi tertinggi yang dikeluarkan kendaraan
bermotor adalah gas CO.
Penelitian ini dilakukan di Kawasan Malioboro yang merupakan daerah
pusat perekonomian di Kota Yogyakarta, sehingga tidak dipungkiri bahwa
kepadatan lalulintas di Kawasan Malioboro selalu ramai terutama dihari libur.
Kepadatan lalulintas di Kawasan Malioboro akan berdampak pada
penumpukan gas CO. Terlebih lagi dengan keadaan topografi di sekitar jalan-
jalan yang terdapat di Kawasan Malioboro yang diapit oleh bangunan dikedua
sisinya, disebut sebagai street canyon atau ngarai jalan, menjadikan gas CO
yang dikeluarkan kendaraan bermotor di Kawasan Malioboro terjebak diantara
bangunan-bangunan tersebut. Keadaan tersebut akan menjadikan pola
persebaran CO yang berbeda dan dengan faktor meteorologi, seperti resirkulasi
angin di dalam ngarai jalan akan membuat konsentrasi CO yang berbeda-beda
di sepanjang jalan tersebut.
Pemodelan spasial yang akan dilakukan adalah pemodelan dengan
mengintegrasikan teknologi SIG (Sistem Informasi Geografis) dengan
teknologi penginderaan jauh. Data penginderaan jauh yang digunakan adalah
data LiDAR (Light Detection and Ranging), yang merupakan teknologi
33
penginderaan jauh yang menggunakan pulsa cahaya untuk mendapatkan
informasi ketinggian yang padat dan akurat. Data LiDAR mampu diolah
menghasilkan model elevasi digital dengan resolusi tinggi, sehingga dapat
menampilkan ketinggian-ketinggian bangunan secara akurat. Model elevasi
digital dari data LiDAR tersebut akan digunakan dalam membantu
pengklasifikasian topografi bangunan di Kawasan Malioboro agar lebih efisien.
Data penginderaan jauh yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah
citra orthofoto. Informasi yang disadap atau diinterpretasi dari orthofoto adalah
informasi yang berupa penggunaan lahan, berupa obyek bangunan, non
bangunan dan jalan. Pada obyek bangunan, akan sekaligus dapat melihat
footprint bangunannya. Pada obyek jalan, lebar dan panjang jalan juga dapat
ditentukan. Klasifikasi Peta Penggunaan Lahan yang hanya terdiri dari tiga
kelas ini didasarkan pada keperluan analisis penelitian yang tidak
membutuhkan klasifikasi yang terlalu kompleks.
Data yang diperoleh dari data penginderaan jauh dan data meteorologi
yang berupa angin dan kadar CO di lapangan nantinya akan digunakan untuk
masukan data dalam pemodelan konsentrasi gas CO yang dilakukan dengan
menggunakan metode AEOLIUS. Metode AEOLIUS ini diimplementasikan
dari metode OSPM (Operational Street Pollution Model), yaitu suatu metode
untuk memodelkan polusi udara pada street level, sehingga cocok digunakan
dalam penelitian berskala besar. Metode ini mengasumsikan bahwa kepadatan
lalulintas dan emisi yang dikeluarkannya terdistribusi secara merata di seluruh
ngarai jalan.
34
1.8.2 Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 1.5 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian
Per
tany
aan
Pen
elit
ian
Pem
odel
an d
an A
nalis
is
Analisis data LIDAR • Tinggi
bangunan
Analisis data kendaraan • Tipe
kendaraan •Kecepatan
kendaraan •Kepadatan
lalulintas
Analisis data Meteorologi •Kecepatan
angin
•Arah angin •Kadar CO di
Lapangan
Analisis data Orthofoto • Penggunaan
Lahan • Footprint
bangunan
• Lebar jalan • Panjang jalan
Lat
ar B
elak
ang
Gas CO menjadi menumpuk dan terjebak di ngarai jalan
Kepadatan lalulintas di Kawasan Malioboro
Keberadaan bangunan di kiri kanan jalan sebagai ngarai jalan
•Bagaimana cara memanfaatkan DEM data LiDAR sebagai sumber data
untuk memperoleh data ketinggian bangunan di Kawasan Malioboro?
•Bagaimana cara memetakan klasifikasi ketinggian bangunan di Kawasan
Malioboro?
•Bagaimana cara memetakan konsentrasi polusi gas CO di Kawasan
Malioboro?
Analisa Peta Potensi Konsentrasi Gas CO dengan Peta Klasifikasi Ketinggian Bangunan di Kawasan Malioboro
Peta klasifikasi ketinggian Bangunan di Kawasan Malioboro
Peta potensi konsentrasi gas CO di Kawasan Malioboro
Menghitung konsentrasi gas CO dengan menggunakan metode AEOLIUS/ OSPM
Mengklasifikasikan ketinggian bangunan
35
1.9 Batasan Penelitian
AEOLIUS adalah model dispersi atmosfer, yang digunakan untk
memperhitungkan penyebaran polutan oleh angin yang bertiup di atas bangunan/
ngarai jalan (Harris, 2004).
Angin adalah suatu gerakan massa udara yang bergerak di atas permukaan
bumi (Asdak, 1995).
Bangunan adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu
dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/ atau
air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kediatannya, baik untuk
hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial,
budaya, maupun kegiatan khusus (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung). Dalam penelitian ini bangunan diartikan
sebagai suatu variasi topografi atau ketinggian di daerah perkotaan yang
membentuk suatu dinding yang membatasi jalan, dan akan menjebak polutan dari
kendaraan bermotor yang melewati jalan.
Citra adalah gambaran rekaman suatu objek (biasanya berupa gambaran pada
foto) yang dibuahkan secara optik, elektro optik, optik mekanik, atau elektronik.
(Sutanto, 1999)
CO (Karbon Monoksida) adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan
tidak berasa, dan bersumber utama dari pembakaran tidak sempurna dari
kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil, misl solar, bensin,
pertamax dan yang lainnya (Ferdiaz, 1992 dalam Lamarolla, 2009).
DEM (Digital Elevation Model) adalah representasi ketinggian kartografis
digital dari medan pada spasi interval regular arah x dan y, menggunakan nilai z
direferensikan pada datum vertikal (Istarno, 2011 dalam Neritarani 2013).
DSM (Digital Surface Model) adalah representasi ketinggian kartografis
digital dari medan pada posisi arah x,y dengan nilai tinggi (z) merupakan nilai
tinggi dari permukaan puncak pentulan bangunan, pohon, dan fitur objek
ketinggian di atas permukaan bumi (Istarno, 2011 dalam Neritarani 2013).
DTM (Digital Terrain Model) adalah produk data digital yang
merepresentasikan ketinggian permukaan bumi (medan) dan dapat digabungkan
36
dengan informasi tambahan, misal breaklines, untuk dapat lebih mewakili
permukaan (Schmid dkk, 2008).
Ekivalensi Mobil Penumpang (emp) adalah faktor konversi berbagai jenis
kendaraan dibandingkan dengan mobil penumpang atau kendaraan ringan lainnya
sehubungan denngan dampaknya pada perilaku lalulintas, untuk mobil
penumpang dan kendaraan ringan lainnya, emp=1 (Manual Kapasitas Jalan
Indonesia/ MKJI, 1997).
Jalan adalah tempat untuk lalulintas orang, kendaraan dan sebagainya
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Jalan dalam penelitian ini diartikan
sebagai tempat untuk lalulintas kendaraan bermotor yang merupakan sumber
polusi udara.
Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya
(Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional). Kawasan dalam penelitian ini diartikan sebagai
suatu wilayah yang memiliki fungsi tertentu.
Kawasan Malioboro adalah kawasan perdagangan dengan deretan bangunan
bersejarah dan memiliki sentuhan cultural tertenu yang menghiasi kawasan
perdangangan tersebut (Risdanti, 2009 dalam Neritarani 2013).
Kendaraan berat adalah kendaraan bermotor dengan lebih dari 4 roda,
meliputi bis, truk 2 as, tru 3 as dan ruk kombinasi sesuai sistem klasifikasi Bina
Marga (Manual Kapasitas Jalan Indonesia/ MKJI, 1997).
Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan
teknik yang berada pada kendaraan itu (Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999
Tentang Pengendalian Pencemaran Udara). Dalam penelitian ini, kendaraan
bermotor diartikan sebagai sumber bergerak emisi yang turut menyumbang polusi
udara, utamanya emisi gas CO.
Kendaraan ringan adalah kendaraan bermotor ber as 2 dengan 4 roda dan
dengan jarak as 2 – 3 m, meliputi mobil penumpang, oplet, mikrobis, pick-up dan
truk kecil sesuai sisem klasifikasi Bina Marga (Manual Kapasitas Jalan Indonesia/
MKJI, 1997).
37
Leeward side adalah sisi bangunan pada ngarai jalan yang melawan arah
angin di atas bangunan (Berkowicz dkk, 1997).
LiDAR (Light Detection and Ranging) adalah suatu metode pengumpulan
nilai ketinggian yang padat dan akurat (Schmid dkk, 2008).
Model adalah suatu bentuk idealisasi dan penyederhanaan presentasi dari
realita (Herimurti, 2009).
Ngarai jalan adalah konfigurasi jalan dimana terdapat bangunan yang rapat
di kedua sisinya (Berkowicz dkk, 1997).
Orthofoto adalah citra fotografi yang dibangun dari foto udara vertikal atau
foto udara miring dengan menghilangkan efek perpindahan relief medan (relief
displacement) dan kemiringan pesawat (Falker dan Morgan, 2002).
OSPM (Operational Street Pollution Model) adalah metode untuk
memodelkan polusi udara di ngarai jalan, yang hanya digunakan untuk
memprediksi konsentrasi tertinggi dengan mengabaikan kondisi meteorologi
akual (Berkowicz dkk, 1997).
Pemetaan dalam penelitian ini adalah proses pembuatan peta dengan
mengikuti kaidah kartografis.
Pemodelan adalah proses yang diperlukan dalam pembuatan suatu model
(Herimurti, 2009).
Pemodelan Spasial adalah suatu proses dalam memanipulasi dan
menganalisis data yang bersifat keruangan (data spasial) untuk menghasilkan
informasi yang bermanfaat untuk memecahkan masalah-masalah yang kompleks
(Herimurti, 2009).
Peta adalah suatu representasi / gambaran unsur-unsur atau kenampakan-
kenampakan abstrak, yang dipilh dari permukaan bumi, atau yang ada kaitannya
dengan permukaan bumi atau benda-benda angkasa, dan umumnya digambarkan
pada suatu bidang datar dan diperkecil/ diskalakan (International Carographic
Assosiation/ ICA, 1973 dalam Sukwardjono dan Sukoco, 1997).
Potensi adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk
dikembangkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Dalam penelitian ini
potensi diartikan sebagai suatu keadaan yang mungkin ada di suatu tempat.
38
Satuan Mobil Penumpang (smp) adalah satuan arus lalulintas, dimana arus
dari berbagai tipe kendaraan telah diubah menjadi kendaraan ringan (termasuk
mobil penumpang) dengan menggunakan emp (Manual Kapasitas Jalan Indonesia/
MKJI, 1997).
Sepeda motor adalah kendaraan bermotor dengan 2 atau 3 roda, meliputi
sepeda motor dan kendaraan roda 3 sesuai sistem klasifikasi Bina Marga (Manual
Kapasitas Jalan Indonesia/ MKJI, 1997).
Windward side adalah adalah sisi bangunan pada ngarai jalan yang sejajar
arah angin di atas bangunan (Berkowicz dkk, 1997).
39