bab i pendahuluan -...

27
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara naluriah, manusia menginginkan hidup mereka dapat tercukupi dengan optimal. Salah satu tindakan pemenuhannya, menurut Simmel (2004), adalah praktik pertukaran antar benda. Dalam proses transaksi ini, manusia membutuhkan alat pertukaran agar kegiatan berjalan lancar. Instrumen-instrumen tersebut sudah ada sejak zaman dahulu kala dan selalu mengalami perkembangan seiring dengan revolusi kognisi manusia (Ardi, 2015). Secara eksplanatif, Ritzer (1995) mengungkapkan rangkaian sejarah transaksi beserta alatnya. Mulanya, terdapat barter benda-benda yang digunakan sehari-hari dan barang komoditas sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat zaman dahulu (setiap tempat yang dihuni masyarakat memiliki barang khas untuk dipertukarkan sehingga tidak akan sama dengan daerah lain). Kemudian, perangkat tadi berganti kepada pemakaian simbol-simbol berharga, seperti perhiasan atau mutiara. Berikutnya, terjadi evolusi ke penggunaan uang koin yang terbuat dari emas murni dan setengah murni, lalu mengalami peralihan formasi ke uang kertas yang didukung dengan logam murni. Sampai pada akhirnya, tercipta uang kertas dan koin yang diterbitkan, didukung, serta diakui secara simbolis oleh negara dengan sejumlah nilai nominal tertentu. Seiring berjalannya waktu, instrumen tunai tadi mengalami transformasi menuju non tunai, ditandai lahirnya cek yang diterbitkan bank yang berfungsi sebagai substitusi uang tunai, dengan Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas "Mobilio Indonesia Community (Mobility) Region Yogyakarta REYHAN AZNAR Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Upload: doancong

Post on 05-Jul-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara naluriah, manusia menginginkan hidup mereka dapat tercukupi

dengan optimal. Salah satu tindakan pemenuhannya, menurut Simmel (2004),

adalah praktik pertukaran antar benda. Dalam proses transaksi ini, manusia

membutuhkan alat pertukaran agar kegiatan berjalan lancar. Instrumen-instrumen

tersebut sudah ada sejak zaman dahulu kala dan selalu mengalami perkembangan

seiring dengan revolusi kognisi manusia (Ardi, 2015).

Secara eksplanatif, Ritzer (1995) mengungkapkan rangkaian sejarah

transaksi beserta alatnya. Mulanya, terdapat barter benda-benda yang digunakan

sehari-hari dan barang komoditas sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat

zaman dahulu (setiap tempat yang dihuni masyarakat memiliki barang khas untuk

dipertukarkan sehingga tidak akan sama dengan daerah lain). Kemudian,

perangkat tadi berganti kepada pemakaian simbol-simbol berharga, seperti

perhiasan atau mutiara. Berikutnya, terjadi evolusi ke penggunaan uang koin yang

terbuat dari emas murni dan setengah murni, lalu mengalami peralihan formasi ke

uang kertas yang didukung dengan logam murni. Sampai pada akhirnya, tercipta

uang kertas dan koin yang diterbitkan, didukung, serta diakui secara simbolis oleh

negara dengan sejumlah nilai nominal tertentu. Seiring berjalannya waktu,

instrumen tunai tadi mengalami transformasi menuju non tunai, ditandai lahirnya

cek yang diterbitkan bank yang berfungsi sebagai substitusi uang tunai, dengan

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2

cara menuliskan nama penerima dan sejumlah angka di cek, lalu dibawa ke bank

untuk dicairkan ke dalam bentuk tunai. Berangkat dari praktik tersebut, muncul

alat-alat senada yang mulai diproduksi – memiliki istilah CREDEBELS (CREdit

cards, DEBit cards, and ELectronic Funds TransferS/EFT) – dan diharapkan

menjadi pelengkap bahkan pengganti uang tunai dalam pembayaran kontemporer.

Adanya evolusi ini juga merupakan dampak dari modernisasi yang

melingkupi dunia. Modernisasi merupakan peralihan secara bertahap, sistemik,

serta progresif dari masyarakat tradisional menuju masyarakat industrial, bahkan

mengarah ke tingkat konsumsi tinggi. Dalam konteks ini, CREDEBELS

merupakan salah satu produk modernisasi yang perlahan mulai ‘menjajah’ dan

mengubah hidup masyarakat. Lebih lanjut, ia dianggap sebagai jendela

masyarakat dalam melihat dan mempergunakan segala hal yang penting dalam

realitas sosial (Huntington, 1971; Rostow, 1960; Ritzer, 1995).

Uang elektronik merupakan salah satu produk EFT yang sedang marak

digunakan oleh masyarakat dunia. Bank for International Settlements (BIS)

memaknai perangkat ini (dikutip oleh Hidayati et al, 2006: 4) sebagai produk

penyimpan nilai uang yang ada dalam media elektronik yang umumnya berbentuk

kartu. Transaksi berjalan secara offline di merchants yang telah bekerjasama

dengan berbagai bank tanpa harus terhubung secara online – meletakkan kartu di

Electronic Data Capture (EDC), yaitu alat penerima uang elektronik. Jumlah

saldo akan berkurang seiring dengan nominal transaksi yang telah dilakukan. Bila

saldo uang telah habis dan konsumen ingin memakai kembali, mereka perlu

mengisi ulang ke beberapa tempat, seperti membawa sejumlah uanag tunai ke

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3

bank atau merchants yang bekerjasama dengan pihak-pihak bank atau

memprosesnya di Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yang memiliki EDC

(Firmansyah, 2016). Uang elektronik beserta saldo sepenuhnya merupakan hak

konsumen, tanpa ada campur tangan bank, seperti pengadaan buku tabungan,

bunga bank, dan Personal Identification Number (PIN).

Gambar 1.1 Alat Electronic Data Capture (EDC) di Jalan Tol Sumber: Kusuma, 2016.

Indonesia menjadi salah satu negara yang menerapkan sistem instrumen

non tunai tersebut. Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral mengatur keberadaan

uang elektronik yang diterbitkan oleh bank-bank dan lembaga-lembaga selain

bank, seperti operator telekomunikasi agar peredaran dan pelaksanaannya dapat

diawasi dan berjalan lancar. Kewenangan ini tertuang di Peraturan Bank Indonesia

No. 14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan

Menggunakan Kartu dan Peraturan Bank Indonesia No. 11/12/PBI/2009 tentang

Uang Elektronik (Electronic Money). Strategi dengan mengeluarkan kebijakan-

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4

kebijakan di atas tampaknya berhasil, terbukti dengan adanya peningkatan jumlah

peredaran uang elektronik dari tahun 2009 hingga Oktober 2016 yang

menandakan ada tren positif di masyarakat.

Tabel 1.1 Peredaran Uang Elektronik di Indonesia

dari Tahun 2009 – Oktober 2016

Sumber: Bank Indonesia, 2016.

Kenaikan jumlah uang elektronik sepertinya juga berkaitan dengan

peningkatan pemahaman informasi di kalangan masyarakat mengenai manfaat

pemakaian uang elektronik. Menurut Jati (2015: 106 dan 107), Bank Indonesia

telah mencanangkan program Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) kepada

masyarakat luas dengan mengajak kerjasama bank-bank dan lembaga-lembaga

selain bank. Mereka memberikan sosialisasi edukatif berupa cara pemakaian dan

beberapa keuntungan menggunakan uang elektronik, antara lain: segala transaksi

ekonomi menjadi lebih praktis dan efisien; menghemat anggaran negara karena

penurunan pencetakan uang tunai; adanya keterbukaan sehingga meminimalisasi

tindakan korupsi, pencucian uang, dan penyuapan agar memunculkan good

Tahun Jumlah

2009 3.016.272

2010 7.914.018

2011 14.299.726

2012 21.869.946

2013 36.225.373

2014 35.738.233

2015 34:314.795

Oktober 2016 46.587.285

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

5

governance; serta tercipta sistem pembayaran yang praktis dan aman di

masyarakat sehingga mampu berkontribusi membangun perekonomian nasional.

Bank Mandiri sebagai salah satu bank produsen uang elektronik,

mengeluarkan terobosan baru lewat penerbitan alat transaksi yang bisa dipesan

oleh komunitas tersebut. Siasat di atas belum ditemui di beberapa bank. Langkah

ini dilakukan karena bank peduli dengan komunitas yang melibatkan banyak

indivdu dan kegiatan sehingga kartu ini dirasa mampu memfasilitasi kemudahan

dalam transaksi dan melancarkan kegiatan mereka. Selain itu, bank ingin

meningkatkan transaksi non tunai dari kalangan masyarakat. Oleh karena itu, bank

menyasar komunitas menjadi salah satu ‘pasar’ yang dituju (Destrianita, 2017).

Salah satu komunitas yang memesan kartu uang elektronik khusus

komunitas adalah Mobilio Indonesia Community (MOBILITY),1 yakni wadah

bagi para pemilik mobil Honda Mobilio. Komunitas ini membeli kartu-kartu

elektronik dari bank tersebut sesuai pesanan berbagai Mobility regions melalui

mediator dari MOBILITY pusat di Jakarta, dengan tampilan sisi depan polos dan

sisi belakang berupa desain otomatis dari bank Mandiri. Sementara itu, Mobility

regions mengisi sisi depannya dengan rancangan berupa ikon/landmark khas

daerah tersebut serta mencantumkan identitas berupa nama anggota sesuai Kartu

Tanda Penduduk (KTP) dan plat mobil sesuai Surat Tanda Nomor Kendaraan

(STNK). Selanjutnya, mereka menyerahkannya ke MOBILITY pusat untuk

dilakukan penyusunan dan pencetakan kartu-kartu tersebut. Sembari itu, tim

1 Om Rizqi menganjurkan penulisan MOBILITY atau MOBILITY pusat merujuk kepada komunitas mobil yang berbasis di pusat. Sedangkan, Mobility region(s) menunjuk kepada komunitas mobil yang ada di (satu atau berbagai) wilayah, selain di pusat. Ini dilakukan agar tidak membingungkan para pembaca.

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

6

memasukkan pula nomor urut pendaftaran masuk anggota ke Mobility regions

untuk ditempel di sisi depan, bersanding dengan nama anggota tadi. Akhirnya,

ketika semua kartu telah jadi, MOBILITY akan mendistribusikan uang elektronik

yang telah selesai ke Mobility regions yang sebelumnya telah memesan.2 Salah

satu cabang MOBILITY yang akan peneliti bahas kali ini adalah Mobility region

Yogyakarta.

Kehadiran komunitas MOBILITY pusat sendiri didasarkan pada

antusiasme para pengguna Honda Mobilio di Indonesia untuk mendirikan ruang

silaturahmi, diskusi, dan memberikan berbagai manfaat positif lainnya bagi

anggota, keluarga, dan masyarakat umum yang diselenggarakan di waktu luang.

Mobility region Yogyakarta sendiri berdiri pada tanggal 17 Mei 2014 dan

merupakan daerah kedua yang dibentuk setelah Jakarta pada tanggal 1 April 2014.

Beberapa kegiatan rutinnya, antara lain Rebo Ngopi,3 Jambore Daerah, hingga

touring. Dalam beberapa kesempatan, mereka menggunakan uang elektronik tadi

dalam rangka pemenuhan kebutuhan atau kelancaran aktifitas, seperti membeli

makanan ringan dan minuman di minimarket pinggir jalan serta melewati Gardu

Tol Otomatis (GTO) dengan kartu tersebut tanpa mengeluarkan uang tunai.4

Dari kisah di atas, peneliti memandang bahwa Mobility region Yogyakarta

ini sedang menerapkan praktik kelas luang. Veblen (2007) mengamati bahwa

lahirnya golongan ini dilaterbelakangi adanya pemisahan antara mereka yang

ambil bagian dalam pekerjaan eksploitatif serta konsumtif dan mereka yang

2 Wawancara dengan om Rizqi pada tanggal 28 November 2016. 3 Perkumpulan setiap hari Rabu dari sore sampai petang di basecamp Omahqu Guest House atau di restoran/rumah makan yang telah disepakati sebelumnya dan kondisional untuk membahas suatu agenda atau perihal lainnya. 4 Wawancara dengan om Rizqi pada tanggal 28 November 2016.

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

7

bekerja di bidang produksi dan industri. Kelas luang ini memliki ‘lebih banyak’

dalam segi ekonomi dan waktu daripada orang lain yang tidak punya banyak porsi

atas dua elemen tersebut. Maka dari itu, mereka berusaha menggunakan

kelebihan-kelebihan tadi melalui pemakaian waktu senggangnya untuk hal-hal

non produktif serta menghabiskan barang-barang yang telah dibeli dan

dikumpulkan untuk ditampilkan kepada masyarakat lain sebagai simbol kekayaan

atas kepemilikan.

Sesuai pernyataan Veblen di atas, Mobility region Yogyakarta masuk ke

dalam golongan yang sedang memanifestasi praktik kelas luang ke wujud agenda-

agenda komunitas yang diselenggarakan, didominasi oleh berkumpul dan touring

yang mampu menjadi penegas tindakan khas mereka. Apalagi, kelas waktu luang

ini semakin didorong oleh uang elektronik yang bisa digunakan di EDC di

berbagai merchants sehingga jadi alat bantu mereka selama menjalankan

kegiatan-kegiatan konsumtif berbalut agenda komunitas tadi. Mereka dapat

memamerkan metode pembayaran non tunai ini di ruang publik, lalu konsumsi

dan akumulasi barang di waktu senggangnya. Komunitas ini semakin berjaya

manakala kebanyakan orang masih menggunakan uang tunai yang membuat

transaksi sedikit repot, ketimbang dengan transaksi non tunai yang dimiliki

Mobility region Yogyakarta. Aktifitas-aktifitas ini juga tak luput oleh motif

menunjukkan nilai unggulnya terhadap sesama di lingkungannya (Trigg, 2001).

Lama-kelamaan, mereka telah membangun dan mempromosikan pakem

gaya hidup modern komunitas lewat praktik-praktik konsumsi yang telah

dijalankan. Menurut Minor dan Mowen (2002) serta Solomon (1999), gaya hidup

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

8

adalah pola konsumsi yang menunjukkan bagaimana orang hidup, mengatur dan

menghabiskan waktu serta menggunakan uangnya. Chaney (2009) melihat

timbulnya gaya hidup ini merupakan ciri modernitas yang khas di masyarakat

modern. Ini menguatkan adanya perilaku ekspresif dan distingtif antara satu pihak

dengan pihak lain. Dalam hal ini, Mobility region Yogyakarta mengonstruksikan

pembeda nyata di antara golongan masyarakat lainnya, terutama terhadap kelas di

bawahnya yang tak memiliki waktu luang dan kepemilikan ekonomi yang cukup

Berangkat dari keterangan-keterangan di atas, peneliti tertarik membahas

kelas waktu luang dan gaya hidup yang disertai dengan pemakaian uang

elektronik di Mobility region Yogyakarta. Sebenarnya, orang-orang bisa saja

menggunakan mobil sesuai kebutuhan. Tetapi, ada beberapa orang yang memiliki

mobil dengan merek sama berinisiatif membentuk satu komunitas mobil. Wadah

interaksi ini juga ternyata memiliki uang elektronik yang bisa berperan sebagai

kartu pembayaran dan kartu keanggotaan sekaligus.

Untuk membahas fenomena ini, peneliti menggunakan beberapa teori

pengenalan dan teori utama. Teori pengenalan perlu disajikan agar para pembaca

memahami urutan sistematika penelitian yang peneliti paparkan. Teori pertama

mengenai uang dari Georg Simmel dan turunannya. Peneliti menghadirkan

bahasan berupa apa itu uang, bagaimana sejarah uang dari masa ke masa, dan

pentingnya masyarakat memiliki uang. Kedua, peneliti menggunakan sedikit

kerangka pemikiran mengenai komunitas sebagai bahan rujukan tambahan untuk

menerangkan bahwa lahirnya komunitas mobil memiliki faktor-faktor pendukung

dan tidak muncul begitu saja. Berikutnya, masuk ke teori inti, yakni kelas waktu

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

9

luang dan gaya hidup dari Thorstein Veblen dan para peneliti lain yang relevan.

Ini dilatarbelakangi oleh keinginan para pemilik Honda Mobilio untuk

membentuk suatu perkumpulan di kala waktu sehabis bekerja dan berekreasi,

media bertemu dan berbagi ilmu serta informasi dari para pemilik Honda Mobilio,

serta menggunakan uang elektronik di masa senggang yang mereka isi untuk

menjalankan laku gaya hidup konsumtif di luar kehidupan keseharian (kegiatan

produktif) dan menjadi bentuk pengumpulan prestise nantinya.

Peneliti menguraikan beberapa alasan memilih tema uang elektronik dan

Mobility region Yogyakarta sebagai sasaran penelitian. Pertama, tema penelitian

terkait uang elektronik belum terlalu banyak di Indonesia. Bahkan, aspek

sosiologis dari penggunaan uang elektronik masih sangat sedikit yang

membahasnya – didominasi oleh perspektif ekonomi dan hukum. Ditambah lagi,

uang elektronik saat ini merupakan satu produk yang sedang mengalami tren

positif di Indonesia sehingga penelitian ini diharapkan mampu memenuhi unsur

urgensitas, keterbaruan, dan keunikan serta menambah wawasan soal uang

elektronik. Kedua, peneliti menetapkan Mobility region Yogyakarta sebagai objek

penelitian karena ia merupakan salah satu komunitas mobil yang memiliki uang

elektronik yang berfungsi sebagai kartu pembayaran juga kartu keanggotaan –

masih banyak komunitas yang saat ini membuat kartu keanggotaan hanya sebatas

identitas diri saja. Apalagi, MOBILITY yang baru berdiri tiga tahun ini terhitung

cepat mengadopsi rekayasa tadi, lalu memakainya sebagai bagian dan tindakan

gaya hidupnya. Ketiga, komunitas mobil belum terlalu banyak diangkat ke ranah

akademis sehingga peneliti tertantang untuk meneliti objek ini.

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

10

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penggunaan uang elektronik oleh Mobility region Yogyakarta

dilihat dari perspektif kelas waktu luang?

2. Bagaimana kelas waktu luang Mobility region Yogyakarta dan keberadaan

uang elektronik mampu membentuk gaya hidup?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan memaparkan penggunaan uang elektronik oleh

Mobility region Yogyakarta dilihat dari sudut pandang kelas waktu luang dan

nantinya mengarah ke gaya hidup sebagai cara komunitas ini menikmati dan

melakoni setiap kegiatannya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi riset-riset dengan isu

uang elektronik, komunitas mobil, dan penggunaan uang elektronik oleh kelas

waktu luang yang nantinya dimanifestasikan dalam gaya hidup komunitas.

E. Kajian Pustaka

Wynne (1998) ingin mengetahui bagaimana kelas menengah baru

membentuk dan mempertahankan identitas sosialnya. Untuk itu, dia meneliti para

penduduk yang merupakan keluarga inti berusia muda dan paruh baya yang

tinggal di perumahan “The Heath” sebagai tempat mengisi waktu luang,

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

11

berekreasi, dan berolahraga. Dia melihat segala praktik konsumsi luang dan

distingsi di golongan ini. Terdapat tiga cara pengumpulan data: etnografi,

wawancara mendalam dan pembagian kuesioner. Dia menggunakan karya

Bourdieu dalam mengamati hierarkhi kelas dan mengaplikasikannya untuk

melihat berbagai praktik sosial, asal usul sosial, dan perpecahan kelas di dalam

satu golongan. Ternyata, meski para keluarga sama-sama berada di satu

permukiman, ada distingsi tingkat asal sosial dan tingkat pendidikan. Satu hal

yang disoroti adalah pemakaian fasilitas di waktu luang yang menurut Bourdieu

disebut ‘perjuangan mencapai legitimasi dalam praktik sosial’, buktinya adalah

kelas menengah baru ini menampilkan beberapa pilihan gaya hidup yang berasal

dari habitus dan modal. Spesifiknya, terdapat distingsi antara mereka yang sering

minum di bar (peminum) dengan mereka yang suka berolahraga. Sebagian besar

peminum memiliki tingkat pendidikan yang paling rendah, sementara mereka

yang masuk golongan penyuka olahraga ini memiliki modal pendidikan yang

sangat tinggi. Penataan rumah juga berbeda di antara dua kelompok tadi:

peminum umumnya menonjolkan kenyamanan dan keindahan, berbeda dengan

para pemakai fasilitas olahraga yang mengutamakan gaya rancangan dan penuh

dengan banyak perabotan rumah. Kemudian, para peminum cenderung suka

berlibur bersama keluarga dan makan di luar rumah. Sedangkan, orang yang

menggemari olahraga lebih senang menghadiri teater, ikut kelas kursus bahasa

asing, dan mendengarkan musik. Jadi, ada distingsi dalam praktik rekreasi dari

dalam satu kelas menengah baru.

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

12

Di luar itu, Purnama dan Ibnu (2012) meneliti tentang kartu e-toll yang

diterbitkan oleh Bank Mandiri dan bekerjasama dengan PT. Jasa Marga. Kartu ini

dipakai sebagai bentuk pembayaran dalam menggunakan fasilitas jalan tol.

Penelitian ini ditujukan untuk melihat minat membeli kartu e-toll di kota

Semarang dengan meneliti faktor-faktor: daya tarik promosi; persepsi kemudahan;

persepsi manfaat serta; harga. Penelitian ini menggunakan metode purposive

sampling dengan melibatkan 150 responden. Hasilnya, variabel persepsi

kemanfaatan mendominasi minat konsumen dalam menggunakan kartu e-toll

mengingat manfaat penggunaan kartu tersebut dapat meningkatkan transaksi dan

efektifitas di jalan tol. Lalu, persepsi kemudahan menjadi faktor signifikan

berikutnya yang berpengaruh pada minat konsumen menggunakan e-toll, di mana

semakin mudah untuk dipelajari, dioperasikan, dan digunakan sehingga

menghemat waktu, maka semakin meningkat minatnya. Variabel ketiga yang

signifikan adalah harga, maknanya adalah apabila harga yang ditunjukkan dengan

harga kartu e-toll sesuai dengan manfaat yang didapatkan dan pengorbanan yang

telah dikeluarkan, maka minat konsumen menggunakan produk ini meningkat.

Terakhir, variabel daya tarik promosi, di mana semakin meningkat promosinya

(melalui berbagai iklan) yang mudah dipahami, bahasanya menarik dan konsumen

lebih memperhatikan iklan tersebut, maka peminatnya akan meningkat.

Dari studi-studi di atas, peneliti tertarik menempatkan uang elektronik

sebagai isu utama lewat analisa pemakaiannya oleh komunitas Mobility region

Yogyakarta serta dikombinasikan dengan kemunculan kelas waktu luang dan gaya

hidup. Penelitian dengan objek ini masih jarang dilakukan. Kajian-kajian

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

13

terdahulu cenderung hanya menyinggung perihal faktor-faktor orang

menggunakan uang elektronik sebagai alat transaksinya dengan sudut pandang

ekonomi serta tak ada yang meneliti komunitas mobil dengan kepemilikan uang

elektronik untuk mengisi gaya hidup. Dengan demikian, peneliti kali ini meneliti

keberadaan instrumen uang elektronik di komunitas secara sosiologis, lewat

analisa waktu luang dan gaya hidup. Peneliti juga menggunakan metode kualitatif

dengan teknik wawancara mendalam terhadap komunitas, berbeda dengan

penelitian-penelitian lain yang mayoritas menggunakan kuantitatif yang

menggunakan responden mahasiswa atau masyarakat umum sehingga peneliti

meyakini riset ini bersifat khas.

F. Kerangka Teori

Segala objek yang ada di dunia memiliki nilai-nilai yang bukan berasal

dari alam semesta, melainkan hasil kreasi manusia. Manusia menghadirkan objek,

melepaskan keterikatan dirinya dengan objek, lalu mereka mencoba untuk

meraihnya kembali dengan cara mengatasi elemen-elemen seperti waktu, jarak,

kelangkaan, dan kendala mendapatkannya. Indikator-indikator ini yang

menentukan besar kecilnya suatu nilai secara subjektif (Simmel, 2004; Ritzer dan

Douglas, 2013: 189). Meski banyak elemen yang melingkupi objek, nilai yang ada

pada objek tersebut dapat memberi kenikmatan batin, di samping juga mampu

memenuhi kehidupan bagi manusia. Simmel (2004: 62) melihat bahwa manusia

akan memiliki pengalaman berbeda yang mungkin belum pernah dirasakan

sehingga mereka akan berusaha menggapainya.

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

14

Solusi mengatasi pertentangan antara objek dan manusia adalah

mengadakan pertukaran sesuai konsensus antar pihak yang bertransaksi sehingga

mereka dapat mengonsumsi nilai-nilai tersebut sesuai keinginan dan kebutuhan.

Dalam pertukaran ini, objek memunculkan nilai mereka secara resiprokal,

melepaskan ikatan subjektivitas dari objek dan menentukan diri mereka sendiri.

Nilai-nilai yang awalnya masih bersifat kualitatif dan variatif, akhirnya

memerlukan alat ukur penyeimbang agar mereka bisa mendapatkan objek yang

diinginkan tanpa menimbulkan konflik dan membuat bingung aktor-aktor lain

dalam menentukan nilainya. Dengan kata lain, terjadi ‘reduksi kualitas menuju

kuantitas’ dan nilai suatu objek menjadi terobjektifikasi pada proses transaksi

karena manusia berusaha menggunakan instrumen tukar yang mampu

mengkuantifikasi objek sehingga memunculkan nilai ‘nyata’ dan tukar saja, tidak

murni dilihat sebagai objek ‘berharga’. Simmel melihat hal ini menonjolkan

gagasan kesepadanan, yakni bagaimana instrumen tersebut mampu mencairkan

nilai-nilai objek dan kemudian menggabungkan kedua sistem nilai dari kedua

objek yang sama sekali berbeda tersebut. Jadi, nilai muncul tidak berdasarkan

pada permintaan si aktor, melainkan pada biaya pengorbanan untuk mencapainya

(Simmel, 2004; Auerbach, 2014; Lechte, 2001: 339).

Namun, untuk mencapai objektifikasi dan kesepadanan, itu membutuhkan

proses yang sangat panjang karena objek-objek ini sejatinya tak bisa terukur.

Maka dari itu, lahirlah salah satu penemuan revolusioner manusia, yakni konsep

uang, dengan cara menyamaratakan benda sebagai sebuah ukuran kesetaraan agar

mampu ditukar dengan objek lainnya dan sebagai bentuk ekspresi abstrak dari

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

15

nilai tersebut, bukan nilai dalam diri benda itu sendiri. Menurut Ardi (2015),

awalnya manusia mengenal bentuk pertukaran paling kuno, yaitu barter. Barter

terjadi selama periode berburu hingga masa bercocok tanam. Kegiatan ekonomi

ini dilaksanakan sebagai cara masyarakat memenuhi kebutuhan dan survivalitas.

Antar pihak membawa dan berusaha menukarkan barang yang dipunyai saat itu

untuk barang-barang yang mereka inginkan – meski beda fisik, kualitas dan

kuantitas antar objek. Contohnya, orang-orang menukarkan dua kayu dengan satu

ikan panjang. Namun, terdapat banyak kelemahan, terutama apabila kelompok

masyarakat semakin besar dan telah memiliki keahlian spesifik masing-masing

sehingga tidak semua orang memerlukan barang yang ditukar dari orang lain

tersebut. Apalagi, ketika pengetahuan dan selera masyarakat semakin meningkat,

maka mereka bisa membedakan kualitas barang yang ditukar tersebut dan mereka

tidak langsung mau begitu saja ikut terlibat dalam transaksi, bila barang yang

ditawarkan tidak sesuai atau tidak dalam keadaan baik.

Beranjak dari situ, masyarakat mulai memikirkan transaksi praktis dengan

menjadikan barang komoditas sebagai alat tukar. Tetapi, fisik uangnya berbeda-

beda sesuai dengan situasi dan geografis masyarakat dunia. Mereka menetapkan

satu komoditas di lingkungan sekitar yang dianggap memiliki nilai

kebermanfaatan tinggi dan bisa dipakai oleh semua orang di lingkungan tersebut

tanpa terkecuali. Objek tersebut direkayasa menjadi standar nilai tukar universal

dengan kesetaraan yang relatif stabil terhadap objek lainnya. Simmel melihat

kasus di pulau New Britain di mana penduduknya menggunakan kerang yang

dirangkai (bernama dewarra) untuk digunakan sebagai uang. Nantinya, ini akan

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

16

digunakan sebagai pembayaran berdasarkan panjangnya (seringnya adalah ikan,

yang biasanya dibayar dengan dewarra setara dengan panjang ikannya). Contoh

lainnya adalah garam di Bangsa Romawi dan suku Aztec dengan biji cokelat.

Tapi, penerapan komoditas ini tak luput dari celah negatif, seperti tidak tahan

lama karena ada pembusukan dan kerusakan pada benda. Apalagi, masyarakat

mulai memikirkan kemungkinan kegunaan lain dari uang untuk menimbun

kekayaan dan menabung agar bisa dipakai dalam keadaan darurat (Simmel, 2004).

Kemudian, makna uang semakin mengecil ke beberapa bentuk umum yang

sudah dikenal dunia, seperti emas, perak, dan uang kertas. Perjalanan ke proses ini

membutuhkan waktu lama karena harus mengandalkan kepercayaan masyarakat

terhadap bentuk uang yang tak memiliki nilai intrinsik tersebut, namun dapat

bertahan lama dan mudah disimpan. Uang pertama adalah shekel perak seberat

8,33 gram di masa Mesopotamia kuno sekitar 2500 tahun sebelum Masehi.

Sedangkan, koin pertama digunakan oleh peradaban Lydia (Turki) oleh Raja

Alyttes pada tahun 640 Sebelum Masehi. Koin-koin ini tersebar ke seluruh dunia

berkat kepercayaan sangat besar dari masyarakat meski memiliki perbedaan

karakteristik, geografis, dan latar belakang budaya. Dari koin, uang semakin

canggih ke bentuk kertas seiring terciptanya mesin cetak. Akhirnya, uang-uang

saat inilah (koin dan kertas) yang dikenal dan diakui oleh berbagai pemerintahan

dan masyarakat dunia sebagai alat yang sah. Lalu, penggunaan uang mencapai

tahap mutakhir ke dalam formasi non tunai sehingga tak perlu menghadirkan

bentuk fisik, melainkan melalui pertukaran informasi digital – menyerahkan

sejumlah uang tunai ke bank atau merchants dan akan dikonversi ke dalam saldo.

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

17

Semua transaksi dari satu akun ke akun lain hanya dilakukan dengan cara

memindahkan data elektronik. Bentuk konkritnya adalah CREDEBELS yang

terdiri dari kartu kredit, kartu debit dan uang elektronik (Ardi, 2015 dan Ritzer,

1995).

Segala proses transformasi yang pernah terjadi merupakan serangkaian

perbaikan dari instrumen-instrumen terdahulu yang mengalami kekurangan

hingga sampai memunculkan bentuk kontemporer yang ideal dalam wujud uang.

Simmel (2004) menegaskan ketika barter telah berganti menjadi ekonomi uang,

faktor ketiga hadir di antara dua pihak tadi, yaitu masyarakat secara keseluruhan

yang memberikan nilai yang nyata sesuai dengan uang yang dicetak. Uang pun

telah berada pada fungsi krusialnya sebagai alat tukar dan mengukur. Ia adalah

bentuk ekspresi dari hubungan timbal balik para aktor yang berbasis pada nilai

ekonomi objek-objek. Jika tidak ada pertukaran, uang tak memiliki nilai yang

akan ditunjukkan, begitu pula sebaliknya. Di samping itu, uang menjadi simbol

utama adanya rasionalisasi hubungan dan kehidupan sosial karena menyangkut

pertimbangan tindakan untung dan rugi dalam setiap interaksi. Akibatnya,

tindakan sosial yang tadinya hanya bermakna kualitatif menjadi bentuk kuantitatif

(Zelizer, 1989: 342 dan Nugroho, 2001: 24).

Kelahiran instrumen non tunai ini adalah efek dari modernisasi sehingga

memunculkan strategi dan persaingan antar bank (serta institusi non bank) dalam

memikat masyarakat untuk mau menggunakan produk-produk keuangan ini

(Pramono et al, 2006: 1). Ritzer (1995) mengamati bahwa produk non tunai ini

berawal dari kartu kredit yang muncul di masyarakat Amerika setelah Perang

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

18

Dunia ke 2. Kartu ini mampu menjadikan masyarakat Amerika saat itu menjadi

modern karena proses rasionalisasi yang mendominasi dan kemudahan yang

didapatkan dalam memperoleh barang dan jasa yang diinginkan. Dari situ, turunan

kartu kredit pun bermunculan, salah satunya adalah uang elektronik. Teknologi

yang diusungnya benar-benar mengandalkan efisiensi, prediktabilitas,

kalkulabilitas, dan mampu menggantikan manusia sehingga mencapai tahap

rasionalitas tertinggi dalam peradaban manusia. Akhirnya, nilai-nilai ini menjadi

penting untuk diterapkan, lalu menyebar dari negara maju ke negara berkembang.

Lalu, terjadi proses penyeragaman transaksi ekonomi dengan menggunakan

instrumen non tunai, dengan bukti bahwa semua negara telah (mulai mengadopsi

beberapa aspek dari uang digital (kredit, mobile payment, EFT) (MacCannell,

1994 dan Thomas, Antoine, dan David, 2014.)

Selain uang, manusia juga membutuhkan interaksi dan komunikasi antar

manusia lainnya demi lancarnya aktifitas-aktifitas sosial di kehidupannya karena

tanpa saling berhubungan, tidak akan ada kehidupan bersama (Soekanto, 2012:

54-55). Dari proses tersebut, terbentuk masyarakat yang merupakan kumpulan

manusia yang hidup bersama serta menghasilkan kebudayaan dan produk-produk

sebagai penanda khusus dan dapat dinikmati oleh mereka. Tetapi, ada suatu

momen di mana terdapat keinginan antar manusia dalam satu lingkungan tadi

yang memiliki kesamaan kepentingan, kebutuhan, tujuan, hingga objek tertentu

untuk dibuatkan wadah komunikasi. Selain itu, keinginan manusia untuk berjuang

demi pemenuhan eksistensi dan rekognisi di masyarakat menjadi hal penting pula

sehingga mereka membuat konsensus dengan wujud komunitas sebagai

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

19

manifestasinya, di mana mereka berkumpul dan berkomunikasi secara intens,

saling berbagi, hingga membentuk identitas di kalangan lingkungan sekitarnya

(Nasrullah, 2012; Veblen, 2007). Tambahan lagi, Simmel menyebut manusia

sebagai ‘makhluk perbedaan’ karena tak mau dan tak bisa disamakan seutuhnya

dengan yang lain. Dia selalu ingin berbeda dengan yang lain, tetapi juga tidak

ingin diisolasi dari masyarakat, artinya tak ingin dibedakan sama sekali dari yang

lain. Begitu juga dengan komunitas yang berisi kumpulan manusia menginginkan

distingsi dari orang-orang lain atas kekhasannya, namun sekaligus juga tidak ingin

dikucilkan oleh pihak-pihak luar hanya karena mereka berbeda – butuh rekognisi

(Hardiman, 2010: 5).

Dari sudut pandang lain, keberadaan komunitas ini bisa dilihat dalam

konteks waktu luang dan konsumsi mencolok, yang nantinya membentuk kelas

luang dan gaya hidup. Sejarah kelas luang sendiri sebenarnya bermula dari zaman

primitif dengan kelompok kecil yang menyukai ketenangan, mengutamakan

kepemilikan bersama, serta tak ada strata kelas ekonomi. Seiring berjalannya

waktu, masyarakat mengalami transisi dari sifat primitif ke barbarisme yang

senang berperang dan berburu. Ini dilatarbelakangi oleh adanya pemenuhan

kebutuhan hidup yang semakin terdesak sehingga kebiasaan predator ini perlu

dilestarikan (Veblen, 2007).

Lebih lanjut, ada dua kejadian yang menandakan berdirinya kelas waktu

luang dalam tahap barbar awal ini. Pertama, terdapat diferensiasi antara pekerjaan

laki-laki dan perempuan. Para laki-laki umumnya melakukan kegiatan eksploitatif

dan konsumtif, seperti berburu, olahraga, dan berkuda. Sedangkan, kaum

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

20

perempuan yang menjadi budak cenderung untuk melakukan kegiatan produktif.

Bahkan, saat beranjak ke tahap barbar yang lebih maju, kelas ini semakin

langgeng dalam menunjukkan dominasinya di masyarakat. Ada hierarkhi kelas

(berwujud semu), di mana orang-orang yang menempati posisi atas benar-benar

tidak terlibat pada pekerjaan industri serta dibebaskan dari ketentuan hukum yang

berlaku dan mendapatkan peringkat kehormatan tinggi. Mereka adalah bangswan,

pendeta, ksatria, pegawai pemerintah, dan atlet. Sedangkan, mereka yang ada di

kedudukan rendah didominasi perempuan dan budak di mana mereka selalu

melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan industri dan pekerjaan sehari-hari

demi upah untuk memenuhi hidup layak. Mereka selalu bekerja menghasilkan

barang-barang hingga menyita waktu panjang dan hampir tidak memiliki waktu

luang. Dari situ, muncul kelas luang sebagai bentuk pembedaan antara pekerjaan

eksploitatif (mulia) dan tidak produktif (tercela). Kejadian kedua yang mencirikan

berdirinya kelas luang – dan paling utama – adalah mengenai sejarah para laki-

laki menyandera perempuan dari kubu musuh dan menjadikannya ‘piala’, lalu

diajak ke jenjang pernikahan sampai menciptakan rumah tangga. Mereka

menjadikan perempuan sebagai tanda kesuksesan atas hasil ‘berburu’ dan

‘rampasan’ tadi. Kemudian, mereka dijadikan ‘barang konsumsi’ dan melayani

kaum laki-laki. Kegiatan ini pun sukses dan berlanjut kepada meluasnya

perbudakan perempuan berikut pernikahannya. Rutinitas ini dapat dilihat dari dua

sudut pandang: menikah atas dasar paksaan serta kebiasaan kepemilikan. Inilah

sejatinya basis kelas luang, yakni gagasan kepemilikan (Veblen, 2007: 20-22).

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

21

Berangkat dari fakta tersebut, Veblen (2007: 22) melihat lama-kelamaan,

masyarakat berubah haluan dari kepemilikan perempuan kepada hasil produksi

industri sebagai objek yang dapat diraih dan direbut sebagai simbol keberhasilan

melalui akumulasi sebanyak-banyaknya sehingga menjadi orang kaya dan

mengonsumsi barang-barang yang telah terkumpul. Aktifitas industrialisasi ini

nyatanya memang mengakibatkan adanya pemisahan dalam kehidupan sehari-hari

sehingga terjadi distingsi hubungan antara waktu kerja dan bukan kerja. Semakin

ke sini, kegiatan tadi mengalami pergeseran ke pasca industrial dan lahirlah

konsep luang yang menggantikan kerja. Marx pun sudah meramalkan bahwa

fetisisme komoditas akan menjadi ‘tren’ bagi masyarakat mendatang, di mana

relasi masyarakat modern bukan lagi menyangkut manusia dengan manusia, tetapi

manusia dan hasil produksinya (Wynne, 1998; MacCannell, 1994).

Teori ini tentu lebih memusatkan konsumsi daripada produksi –

mengamati orang-orang yang ada di kelas luang tidak melakukan kegiatan

produksinya, sibuk menikmati hidup di waktu luang, dan menghabiskan uang

secara berlebihan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Veblen (2007) melihat

orang-orang modern ini memikirkan status dan reputasi diri lewat penghabisan

akumulasi benda-benda secara mencolok. Alasannya adalah semua objek tadi

dapat terlihat secara kasat mata oleh orang lain – baik kualitas dan kuantitas –

serta karena mereka lebih mudah dikumpulkan dan dimiliki oleh manusia

sehingga bisa terlihat apa yang sedang dikonsumsi oleh kelas luang ini. Nantinya,

hasil perolehan ini menjadi ‘senjata’ untuk membangun kepercayaan, diakui oleh

orang lain sebagai golongan yang mewah dan membedakan dari kelas bawah, dan

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

22

ingin membuktikan diri mereka unggul di masyarakat atas tindakannya. Jadi,

mereka mengonsumsi tidak lagi mengutamakan kebutuhan, tetapi sudah mulai

memikirkan dampak setelah mereka memakai objek tersebut, seperti prestise.

Langkah ini disebut Veblen sebagai ‘perbandingan yang menyakitkan hati’.

Kemudian, kelas luang ini bisa mengarah kepada praktik gaya hidup di

hadapan masyarakat luas. Gaya hidup sendiri merupakan gabungan istilah dari

‘kerja’ dan ‘luang’ yang menggantikan pekerjaan-pekerjaan sebagai dasar

pembentukan hubungan sosial, status sosial, dan tindakan sosial (MacCannell,

1994: 5-6) Ini juga timbul akibat konsumsi tidak lagi berdasarkan pada nilai

manfaat, tetapi sudah konsumsi tanda dan itu dilakukan secara pamer di ruang

publik tanpa perlu memikirkan atau menanyakan perasaan dan respon orang lain

atas tingkah laku mereka. Gaya hidup ini bisa terus langgeng dalam koridor

pemikiran seseorang atau kelompok yang sehari-hari melakukannya sehingga tak

perlu ada perintah dari aktor tertentu untuk melakukannya dengan terpaksa,

melainkan telah berada di bawah alam sadar pikiran (Suminar, 2013: 202).

Gaya hidup modern kelas menengah biasanya identik dengan belanja dan

wisata yang dilakukan di waktu luang. Laku ini dapat terlihat secara kasat mata

oleh orang lain dan bagi mereka yang menjalankannya, langkah tersebut mampu

membuat diferensiasi bagi pihak di bawahnya karena mereka bertindak konsumtif

– satu hal yang tak bisa dijangkau oleh kelas bawah. Harapannya, kelas ini

mampu menunjukkan status sosial, memperoleh kehormatan, dan prestise dari

orang lain sehingga melahirkan stratifikasi sosial dan kecemburuan dari orang lain

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

23

karena mereka terdorong untuk memamerkan segalanya dan cemburu dengan

orang lain, dibandingkan hanya sekedar konsumsi secara rasional (Veblen, 2007).

Gaya hidup ini tak sekedar menjadi penanda identitas kelas menengah,

namun juga membangun identitas kolektif dari para anggota suatu komunitas.

Komunitas berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai terhadap masing-

masing anggota untuk mau melakoni gaya hidup komunitas agar kompak dan satu

arah sesuai apa yang diinginkan komunitas. Tak heran, keterikatan antar satu

anggota dan yang lain pun timbul dan gaya hidup sudah tidak lagi mewakili satu

atau beberapa pengurus dan anggota, tetapi sudah satu kelompok. Hasil ini bisa

terjadi berkat internalisasi nilai perasaan kepemilikan (sense of belonging) dan

penanaman pengetahuan serta contoh praktik secara kolektif kepada para anggota.

Maka dari itu, ada homogenisasi tindakan dan representasi yang dihasilkan oleh

para anggota di komunitas tersebut (Gerke, 2000).

G. Metode Penelitian

Peneliti memakai kualitatif deskriptif dengan alasan cara ini mampu

memberikan gambaran secara mendalam tentang individu atau kelompok yang

hendak diteliti terhadap suatu permasalahan tertentu (dalam konteks ini, yakni

komunitas) serta mampu menganalisis data-data lengkap secara komprehensif

yang telah didapat dengan mengutamakan kedalaman berbagai informasi dan

literatur sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan Prosesnya berawal dari:

memunculkan pertanyaan-pertanyaan masalah, mencari dan mengumpulkan data-

data, menganalisis data, serta menginterpretasikan data (Creswell, 2009).

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

24

1. Jenis Penelitian

Secara operasional, peneliti menerapkan studi kasus instrumental tunggal

(single instrumental case study) karena fokus pada sebuah kasus sebagai sarana

untuk menjelaskan suatu isu secara rinci dan dalam rangka memberikan

pemahaman mendalam dengan cara menelaah informasi secara detail dan luas,

kemudian menganalisis data-data yang telah diperoleh. Jenis-jenis data sendiri

terdiri dari data primer (in-depth interview) serta data sekunder (buku, jurnal,

artikel berita online, dan website yang membahas tentang uang elektronik serta

MOBILITY dan Mobility region Yogyakarta).

Kasus ini patut diteliti karena memiliki ciri unik, yakni komunitas mobil

ini baru berdiri selama 3 tahun dan telah bekerjasama dengan Bank Mandiri

untuk mengadakan kartu-kartu uang elektronik khusus komunitas sebagai kartu

pembayaran dan keanggotaan, lalu disebarkan ke Mobility regions sesuai

pesanan jumlah pendaftarannya. Keberadaan kartu dua fungsi ini menjadikan

mereka bertransaksi dengan non tunai di merchants. Melalui fenomena ini,

peneliti ingin melihat praktik penggunaan uang elektronik oleh kelas waktu

luang dan jembatan untuk pamer gaya hidup komunitas.

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Peneliti memilih lokasi penelitian di “Omahqu Guest House”, Jalan

Bausasran No. 34, Purwokinanti, Pakualaman, Kota Yogyakarta, Daerah

Istimewa Yogyakarta yang merupakan basecamp dan sekretariat Mobility

region Yogyakarta. Di tempat tersebut, peneliti bertemu dengan om Rizqi dua

kali: Senin, 28 November 2016 dan Senin, 8 Mei 2017. Selain itu, peneliti juga

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

25

pernah datang ke acara Rebo Ngopi di Rumah Makan “Roti Pisang Bakar” di

Jalan Timoho, pada hari Rabu, tanggal 30 November 2016. Kegiatan ini

menjadi waktu yang tepat untuk menggali data karena beberapa anggota datang

untuk meluangkan waktunya hadir di situ. Peneliti juga bisa mengamati apa

saja yang mereka lakukan dan sempat pula mendengarkan diskusi serta

obrolannya.

Untuk waktu riset, peneliti telah menghabiskan waktu kurang lebih 1

tahun: mulai dari pembuatan proposal, pengumpulan berbagai data, analisis

data, penyusunan laporan, melakukan revisi laporan, hingga presentasi. Peneliti

menganggap hal ini wajar, mengingat beberapa alasan: kesibukan peneliti yang

memiliki beberapa acara; kesibukan dosen pembimbing dalam mengajar

maupun meneliti; banyak revisi laporan; hingga beberapa informan yang juga

sempat mengalami musibah.

3. Unit Analisa dan Informan Penelitian

Unit analisa adalah komunitas, yang terdiri dari para anggota komunitas

Mobility region Yogyakarta. Peneliti mengambil informan berjumlah empat

orang pengurus komunitas karena mereka dianggap relevan dan dapat

merepresentasikan komunitas mobil serta agar datanya tidak jenuh. Mereka

ditanyai seputar seluk beluk komunitas ini dan kegiatannya di waktu senggang,

beserta kepemilikan dan penggunaan kartu uang elektronik sebagai sarana

pamer gaya hidup.

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

26

Tabel 1.2 Daftar Identitas Para Informan Penelitian

No. Nama Jabatan

1. Rizqi Setyawan Kepala Divisi Humas

2. Robertus Eka Suprianta Ketua Umum

3. Apit Nur Kumoro Kepala Divisi Kegiatan

4. Harry Prabowo Kepala Divisi Radio Komunikasi

Sumber: Data Primer, 2016.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti mampu mengumpulkan banyak sumber data

agar nantinya mampu diulas secara holistik dan tersaji dengan baik. Dari

sumber data primer, peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam

terhadap para informan dan terus mengulik informasi sampai hasrat peneliti

terpuaskan agar bisa mendapatkan keragaman serta ketercukupan informasi.

Peneliti telah menyiapkan sejumlah pertanyaan yang telah tersusun, namun

tidak sedikit pula pertanyaan yang peneliti lontarkan saat itu juga tanpa

perencanaan karena berkaitan dengan pendalaman suatu informasi, atau

penasaran dengan pernyataan informan sebelumnya sehingga memancing

peneliti untuk bertanya hal lain yang masih berkaitan dengan jawaban tadi.

Sedangkan, untuk pengumpulan data sekunder, baik berupa buku, jurnal,

artikel berita online, dan website, peneliti fokus mencari seputar sejarah uang,

uang elektronik, serta MOBILITY dan Mobility region Yogyakarta. Data-data

yang diperoleh sangat banyak sehingga peneliti memilih mana saja yang

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

27

penting dan cukup relevan, lalu mencari poin-poin penting sebagai referensi di

dalam penelitian ini.

5. Teknik Analisa Data

Teknik ini dilakukan di tengah dan setelah penelitian. Pertama, peneliti

menyortir data-data, baik hasil wawancara maupun hasil penelusuran berbagai

literatur ke folder-folder berbeda di laptop. Selanjutnya, peneliti mereduksi

data yang tidak penting dan sebaliknya, menulis transkrip dan memberi

highlight pada poin-poin penting dari hasil wawancara para informan dan data-

data dari studi kepustakaan sesuai fokus penelitian. Langkah ini juga

mempermudah peneliti bila suatu saat membutuhkan data ini lagi.

Berikutnya, peneliti menampilkan data-data yang telah terkumpul ke

dalam bentuk narasi sebagai bukti kemampuan peneliti dalam mengolah data-

data penting. Setelah itu, peneliti mencari dan mempelajari makna-makna dari

data-data tadi berdasarkan subjektivitas agar memunculkan pola dan hubungan.

Lalu, peneliti menganalisisnya sesuai teori-teori yang relevan agar fenomena

ini dapat dijelaskan secara komprehensif dan terungkap secara sosiologis.

Akhirnya, peneliti mengambil kesimpulan.

Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/