bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara naluriah, manusia menginginkan hidup mereka dapat tercukupi
dengan optimal. Salah satu tindakan pemenuhannya, menurut Simmel (2004),
adalah praktik pertukaran antar benda. Dalam proses transaksi ini, manusia
membutuhkan alat pertukaran agar kegiatan berjalan lancar. Instrumen-instrumen
tersebut sudah ada sejak zaman dahulu kala dan selalu mengalami perkembangan
seiring dengan revolusi kognisi manusia (Ardi, 2015).
Secara eksplanatif, Ritzer (1995) mengungkapkan rangkaian sejarah
transaksi beserta alatnya. Mulanya, terdapat barter benda-benda yang digunakan
sehari-hari dan barang komoditas sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat
zaman dahulu (setiap tempat yang dihuni masyarakat memiliki barang khas untuk
dipertukarkan sehingga tidak akan sama dengan daerah lain). Kemudian,
perangkat tadi berganti kepada pemakaian simbol-simbol berharga, seperti
perhiasan atau mutiara. Berikutnya, terjadi evolusi ke penggunaan uang koin yang
terbuat dari emas murni dan setengah murni, lalu mengalami peralihan formasi ke
uang kertas yang didukung dengan logam murni. Sampai pada akhirnya, tercipta
uang kertas dan koin yang diterbitkan, didukung, serta diakui secara simbolis oleh
negara dengan sejumlah nilai nominal tertentu. Seiring berjalannya waktu,
instrumen tunai tadi mengalami transformasi menuju non tunai, ditandai lahirnya
cek yang diterbitkan bank yang berfungsi sebagai substitusi uang tunai, dengan
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
cara menuliskan nama penerima dan sejumlah angka di cek, lalu dibawa ke bank
untuk dicairkan ke dalam bentuk tunai. Berangkat dari praktik tersebut, muncul
alat-alat senada yang mulai diproduksi – memiliki istilah CREDEBELS (CREdit
cards, DEBit cards, and ELectronic Funds TransferS/EFT) – dan diharapkan
menjadi pelengkap bahkan pengganti uang tunai dalam pembayaran kontemporer.
Adanya evolusi ini juga merupakan dampak dari modernisasi yang
melingkupi dunia. Modernisasi merupakan peralihan secara bertahap, sistemik,
serta progresif dari masyarakat tradisional menuju masyarakat industrial, bahkan
mengarah ke tingkat konsumsi tinggi. Dalam konteks ini, CREDEBELS
merupakan salah satu produk modernisasi yang perlahan mulai ‘menjajah’ dan
mengubah hidup masyarakat. Lebih lanjut, ia dianggap sebagai jendela
masyarakat dalam melihat dan mempergunakan segala hal yang penting dalam
realitas sosial (Huntington, 1971; Rostow, 1960; Ritzer, 1995).
Uang elektronik merupakan salah satu produk EFT yang sedang marak
digunakan oleh masyarakat dunia. Bank for International Settlements (BIS)
memaknai perangkat ini (dikutip oleh Hidayati et al, 2006: 4) sebagai produk
penyimpan nilai uang yang ada dalam media elektronik yang umumnya berbentuk
kartu. Transaksi berjalan secara offline di merchants yang telah bekerjasama
dengan berbagai bank tanpa harus terhubung secara online – meletakkan kartu di
Electronic Data Capture (EDC), yaitu alat penerima uang elektronik. Jumlah
saldo akan berkurang seiring dengan nominal transaksi yang telah dilakukan. Bila
saldo uang telah habis dan konsumen ingin memakai kembali, mereka perlu
mengisi ulang ke beberapa tempat, seperti membawa sejumlah uanag tunai ke
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
bank atau merchants yang bekerjasama dengan pihak-pihak bank atau
memprosesnya di Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yang memiliki EDC
(Firmansyah, 2016). Uang elektronik beserta saldo sepenuhnya merupakan hak
konsumen, tanpa ada campur tangan bank, seperti pengadaan buku tabungan,
bunga bank, dan Personal Identification Number (PIN).
Gambar 1.1 Alat Electronic Data Capture (EDC) di Jalan Tol Sumber: Kusuma, 2016.
Indonesia menjadi salah satu negara yang menerapkan sistem instrumen
non tunai tersebut. Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral mengatur keberadaan
uang elektronik yang diterbitkan oleh bank-bank dan lembaga-lembaga selain
bank, seperti operator telekomunikasi agar peredaran dan pelaksanaannya dapat
diawasi dan berjalan lancar. Kewenangan ini tertuang di Peraturan Bank Indonesia
No. 14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu dan Peraturan Bank Indonesia No. 11/12/PBI/2009 tentang
Uang Elektronik (Electronic Money). Strategi dengan mengeluarkan kebijakan-
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
kebijakan di atas tampaknya berhasil, terbukti dengan adanya peningkatan jumlah
peredaran uang elektronik dari tahun 2009 hingga Oktober 2016 yang
menandakan ada tren positif di masyarakat.
Tabel 1.1 Peredaran Uang Elektronik di Indonesia
dari Tahun 2009 – Oktober 2016
Sumber: Bank Indonesia, 2016.
Kenaikan jumlah uang elektronik sepertinya juga berkaitan dengan
peningkatan pemahaman informasi di kalangan masyarakat mengenai manfaat
pemakaian uang elektronik. Menurut Jati (2015: 106 dan 107), Bank Indonesia
telah mencanangkan program Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) kepada
masyarakat luas dengan mengajak kerjasama bank-bank dan lembaga-lembaga
selain bank. Mereka memberikan sosialisasi edukatif berupa cara pemakaian dan
beberapa keuntungan menggunakan uang elektronik, antara lain: segala transaksi
ekonomi menjadi lebih praktis dan efisien; menghemat anggaran negara karena
penurunan pencetakan uang tunai; adanya keterbukaan sehingga meminimalisasi
tindakan korupsi, pencucian uang, dan penyuapan agar memunculkan good
Tahun Jumlah
2009 3.016.272
2010 7.914.018
2011 14.299.726
2012 21.869.946
2013 36.225.373
2014 35.738.233
2015 34:314.795
Oktober 2016 46.587.285
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
governance; serta tercipta sistem pembayaran yang praktis dan aman di
masyarakat sehingga mampu berkontribusi membangun perekonomian nasional.
Bank Mandiri sebagai salah satu bank produsen uang elektronik,
mengeluarkan terobosan baru lewat penerbitan alat transaksi yang bisa dipesan
oleh komunitas tersebut. Siasat di atas belum ditemui di beberapa bank. Langkah
ini dilakukan karena bank peduli dengan komunitas yang melibatkan banyak
indivdu dan kegiatan sehingga kartu ini dirasa mampu memfasilitasi kemudahan
dalam transaksi dan melancarkan kegiatan mereka. Selain itu, bank ingin
meningkatkan transaksi non tunai dari kalangan masyarakat. Oleh karena itu, bank
menyasar komunitas menjadi salah satu ‘pasar’ yang dituju (Destrianita, 2017).
Salah satu komunitas yang memesan kartu uang elektronik khusus
komunitas adalah Mobilio Indonesia Community (MOBILITY),1 yakni wadah
bagi para pemilik mobil Honda Mobilio. Komunitas ini membeli kartu-kartu
elektronik dari bank tersebut sesuai pesanan berbagai Mobility regions melalui
mediator dari MOBILITY pusat di Jakarta, dengan tampilan sisi depan polos dan
sisi belakang berupa desain otomatis dari bank Mandiri. Sementara itu, Mobility
regions mengisi sisi depannya dengan rancangan berupa ikon/landmark khas
daerah tersebut serta mencantumkan identitas berupa nama anggota sesuai Kartu
Tanda Penduduk (KTP) dan plat mobil sesuai Surat Tanda Nomor Kendaraan
(STNK). Selanjutnya, mereka menyerahkannya ke MOBILITY pusat untuk
dilakukan penyusunan dan pencetakan kartu-kartu tersebut. Sembari itu, tim
1 Om Rizqi menganjurkan penulisan MOBILITY atau MOBILITY pusat merujuk kepada komunitas mobil yang berbasis di pusat. Sedangkan, Mobility region(s) menunjuk kepada komunitas mobil yang ada di (satu atau berbagai) wilayah, selain di pusat. Ini dilakukan agar tidak membingungkan para pembaca.
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
memasukkan pula nomor urut pendaftaran masuk anggota ke Mobility regions
untuk ditempel di sisi depan, bersanding dengan nama anggota tadi. Akhirnya,
ketika semua kartu telah jadi, MOBILITY akan mendistribusikan uang elektronik
yang telah selesai ke Mobility regions yang sebelumnya telah memesan.2 Salah
satu cabang MOBILITY yang akan peneliti bahas kali ini adalah Mobility region
Yogyakarta.
Kehadiran komunitas MOBILITY pusat sendiri didasarkan pada
antusiasme para pengguna Honda Mobilio di Indonesia untuk mendirikan ruang
silaturahmi, diskusi, dan memberikan berbagai manfaat positif lainnya bagi
anggota, keluarga, dan masyarakat umum yang diselenggarakan di waktu luang.
Mobility region Yogyakarta sendiri berdiri pada tanggal 17 Mei 2014 dan
merupakan daerah kedua yang dibentuk setelah Jakarta pada tanggal 1 April 2014.
Beberapa kegiatan rutinnya, antara lain Rebo Ngopi,3 Jambore Daerah, hingga
touring. Dalam beberapa kesempatan, mereka menggunakan uang elektronik tadi
dalam rangka pemenuhan kebutuhan atau kelancaran aktifitas, seperti membeli
makanan ringan dan minuman di minimarket pinggir jalan serta melewati Gardu
Tol Otomatis (GTO) dengan kartu tersebut tanpa mengeluarkan uang tunai.4
Dari kisah di atas, peneliti memandang bahwa Mobility region Yogyakarta
ini sedang menerapkan praktik kelas luang. Veblen (2007) mengamati bahwa
lahirnya golongan ini dilaterbelakangi adanya pemisahan antara mereka yang
ambil bagian dalam pekerjaan eksploitatif serta konsumtif dan mereka yang
2 Wawancara dengan om Rizqi pada tanggal 28 November 2016. 3 Perkumpulan setiap hari Rabu dari sore sampai petang di basecamp Omahqu Guest House atau di restoran/rumah makan yang telah disepakati sebelumnya dan kondisional untuk membahas suatu agenda atau perihal lainnya. 4 Wawancara dengan om Rizqi pada tanggal 28 November 2016.
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
bekerja di bidang produksi dan industri. Kelas luang ini memliki ‘lebih banyak’
dalam segi ekonomi dan waktu daripada orang lain yang tidak punya banyak porsi
atas dua elemen tersebut. Maka dari itu, mereka berusaha menggunakan
kelebihan-kelebihan tadi melalui pemakaian waktu senggangnya untuk hal-hal
non produktif serta menghabiskan barang-barang yang telah dibeli dan
dikumpulkan untuk ditampilkan kepada masyarakat lain sebagai simbol kekayaan
atas kepemilikan.
Sesuai pernyataan Veblen di atas, Mobility region Yogyakarta masuk ke
dalam golongan yang sedang memanifestasi praktik kelas luang ke wujud agenda-
agenda komunitas yang diselenggarakan, didominasi oleh berkumpul dan touring
yang mampu menjadi penegas tindakan khas mereka. Apalagi, kelas waktu luang
ini semakin didorong oleh uang elektronik yang bisa digunakan di EDC di
berbagai merchants sehingga jadi alat bantu mereka selama menjalankan
kegiatan-kegiatan konsumtif berbalut agenda komunitas tadi. Mereka dapat
memamerkan metode pembayaran non tunai ini di ruang publik, lalu konsumsi
dan akumulasi barang di waktu senggangnya. Komunitas ini semakin berjaya
manakala kebanyakan orang masih menggunakan uang tunai yang membuat
transaksi sedikit repot, ketimbang dengan transaksi non tunai yang dimiliki
Mobility region Yogyakarta. Aktifitas-aktifitas ini juga tak luput oleh motif
menunjukkan nilai unggulnya terhadap sesama di lingkungannya (Trigg, 2001).
Lama-kelamaan, mereka telah membangun dan mempromosikan pakem
gaya hidup modern komunitas lewat praktik-praktik konsumsi yang telah
dijalankan. Menurut Minor dan Mowen (2002) serta Solomon (1999), gaya hidup
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
adalah pola konsumsi yang menunjukkan bagaimana orang hidup, mengatur dan
menghabiskan waktu serta menggunakan uangnya. Chaney (2009) melihat
timbulnya gaya hidup ini merupakan ciri modernitas yang khas di masyarakat
modern. Ini menguatkan adanya perilaku ekspresif dan distingtif antara satu pihak
dengan pihak lain. Dalam hal ini, Mobility region Yogyakarta mengonstruksikan
pembeda nyata di antara golongan masyarakat lainnya, terutama terhadap kelas di
bawahnya yang tak memiliki waktu luang dan kepemilikan ekonomi yang cukup
Berangkat dari keterangan-keterangan di atas, peneliti tertarik membahas
kelas waktu luang dan gaya hidup yang disertai dengan pemakaian uang
elektronik di Mobility region Yogyakarta. Sebenarnya, orang-orang bisa saja
menggunakan mobil sesuai kebutuhan. Tetapi, ada beberapa orang yang memiliki
mobil dengan merek sama berinisiatif membentuk satu komunitas mobil. Wadah
interaksi ini juga ternyata memiliki uang elektronik yang bisa berperan sebagai
kartu pembayaran dan kartu keanggotaan sekaligus.
Untuk membahas fenomena ini, peneliti menggunakan beberapa teori
pengenalan dan teori utama. Teori pengenalan perlu disajikan agar para pembaca
memahami urutan sistematika penelitian yang peneliti paparkan. Teori pertama
mengenai uang dari Georg Simmel dan turunannya. Peneliti menghadirkan
bahasan berupa apa itu uang, bagaimana sejarah uang dari masa ke masa, dan
pentingnya masyarakat memiliki uang. Kedua, peneliti menggunakan sedikit
kerangka pemikiran mengenai komunitas sebagai bahan rujukan tambahan untuk
menerangkan bahwa lahirnya komunitas mobil memiliki faktor-faktor pendukung
dan tidak muncul begitu saja. Berikutnya, masuk ke teori inti, yakni kelas waktu
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
luang dan gaya hidup dari Thorstein Veblen dan para peneliti lain yang relevan.
Ini dilatarbelakangi oleh keinginan para pemilik Honda Mobilio untuk
membentuk suatu perkumpulan di kala waktu sehabis bekerja dan berekreasi,
media bertemu dan berbagi ilmu serta informasi dari para pemilik Honda Mobilio,
serta menggunakan uang elektronik di masa senggang yang mereka isi untuk
menjalankan laku gaya hidup konsumtif di luar kehidupan keseharian (kegiatan
produktif) dan menjadi bentuk pengumpulan prestise nantinya.
Peneliti menguraikan beberapa alasan memilih tema uang elektronik dan
Mobility region Yogyakarta sebagai sasaran penelitian. Pertama, tema penelitian
terkait uang elektronik belum terlalu banyak di Indonesia. Bahkan, aspek
sosiologis dari penggunaan uang elektronik masih sangat sedikit yang
membahasnya – didominasi oleh perspektif ekonomi dan hukum. Ditambah lagi,
uang elektronik saat ini merupakan satu produk yang sedang mengalami tren
positif di Indonesia sehingga penelitian ini diharapkan mampu memenuhi unsur
urgensitas, keterbaruan, dan keunikan serta menambah wawasan soal uang
elektronik. Kedua, peneliti menetapkan Mobility region Yogyakarta sebagai objek
penelitian karena ia merupakan salah satu komunitas mobil yang memiliki uang
elektronik yang berfungsi sebagai kartu pembayaran juga kartu keanggotaan –
masih banyak komunitas yang saat ini membuat kartu keanggotaan hanya sebatas
identitas diri saja. Apalagi, MOBILITY yang baru berdiri tiga tahun ini terhitung
cepat mengadopsi rekayasa tadi, lalu memakainya sebagai bagian dan tindakan
gaya hidupnya. Ketiga, komunitas mobil belum terlalu banyak diangkat ke ranah
akademis sehingga peneliti tertantang untuk meneliti objek ini.
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penggunaan uang elektronik oleh Mobility region Yogyakarta
dilihat dari perspektif kelas waktu luang?
2. Bagaimana kelas waktu luang Mobility region Yogyakarta dan keberadaan
uang elektronik mampu membentuk gaya hidup?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memaparkan penggunaan uang elektronik oleh
Mobility region Yogyakarta dilihat dari sudut pandang kelas waktu luang dan
nantinya mengarah ke gaya hidup sebagai cara komunitas ini menikmati dan
melakoni setiap kegiatannya.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi riset-riset dengan isu
uang elektronik, komunitas mobil, dan penggunaan uang elektronik oleh kelas
waktu luang yang nantinya dimanifestasikan dalam gaya hidup komunitas.
E. Kajian Pustaka
Wynne (1998) ingin mengetahui bagaimana kelas menengah baru
membentuk dan mempertahankan identitas sosialnya. Untuk itu, dia meneliti para
penduduk yang merupakan keluarga inti berusia muda dan paruh baya yang
tinggal di perumahan “The Heath” sebagai tempat mengisi waktu luang,
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
berekreasi, dan berolahraga. Dia melihat segala praktik konsumsi luang dan
distingsi di golongan ini. Terdapat tiga cara pengumpulan data: etnografi,
wawancara mendalam dan pembagian kuesioner. Dia menggunakan karya
Bourdieu dalam mengamati hierarkhi kelas dan mengaplikasikannya untuk
melihat berbagai praktik sosial, asal usul sosial, dan perpecahan kelas di dalam
satu golongan. Ternyata, meski para keluarga sama-sama berada di satu
permukiman, ada distingsi tingkat asal sosial dan tingkat pendidikan. Satu hal
yang disoroti adalah pemakaian fasilitas di waktu luang yang menurut Bourdieu
disebut ‘perjuangan mencapai legitimasi dalam praktik sosial’, buktinya adalah
kelas menengah baru ini menampilkan beberapa pilihan gaya hidup yang berasal
dari habitus dan modal. Spesifiknya, terdapat distingsi antara mereka yang sering
minum di bar (peminum) dengan mereka yang suka berolahraga. Sebagian besar
peminum memiliki tingkat pendidikan yang paling rendah, sementara mereka
yang masuk golongan penyuka olahraga ini memiliki modal pendidikan yang
sangat tinggi. Penataan rumah juga berbeda di antara dua kelompok tadi:
peminum umumnya menonjolkan kenyamanan dan keindahan, berbeda dengan
para pemakai fasilitas olahraga yang mengutamakan gaya rancangan dan penuh
dengan banyak perabotan rumah. Kemudian, para peminum cenderung suka
berlibur bersama keluarga dan makan di luar rumah. Sedangkan, orang yang
menggemari olahraga lebih senang menghadiri teater, ikut kelas kursus bahasa
asing, dan mendengarkan musik. Jadi, ada distingsi dalam praktik rekreasi dari
dalam satu kelas menengah baru.
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
Di luar itu, Purnama dan Ibnu (2012) meneliti tentang kartu e-toll yang
diterbitkan oleh Bank Mandiri dan bekerjasama dengan PT. Jasa Marga. Kartu ini
dipakai sebagai bentuk pembayaran dalam menggunakan fasilitas jalan tol.
Penelitian ini ditujukan untuk melihat minat membeli kartu e-toll di kota
Semarang dengan meneliti faktor-faktor: daya tarik promosi; persepsi kemudahan;
persepsi manfaat serta; harga. Penelitian ini menggunakan metode purposive
sampling dengan melibatkan 150 responden. Hasilnya, variabel persepsi
kemanfaatan mendominasi minat konsumen dalam menggunakan kartu e-toll
mengingat manfaat penggunaan kartu tersebut dapat meningkatkan transaksi dan
efektifitas di jalan tol. Lalu, persepsi kemudahan menjadi faktor signifikan
berikutnya yang berpengaruh pada minat konsumen menggunakan e-toll, di mana
semakin mudah untuk dipelajari, dioperasikan, dan digunakan sehingga
menghemat waktu, maka semakin meningkat minatnya. Variabel ketiga yang
signifikan adalah harga, maknanya adalah apabila harga yang ditunjukkan dengan
harga kartu e-toll sesuai dengan manfaat yang didapatkan dan pengorbanan yang
telah dikeluarkan, maka minat konsumen menggunakan produk ini meningkat.
Terakhir, variabel daya tarik promosi, di mana semakin meningkat promosinya
(melalui berbagai iklan) yang mudah dipahami, bahasanya menarik dan konsumen
lebih memperhatikan iklan tersebut, maka peminatnya akan meningkat.
Dari studi-studi di atas, peneliti tertarik menempatkan uang elektronik
sebagai isu utama lewat analisa pemakaiannya oleh komunitas Mobility region
Yogyakarta serta dikombinasikan dengan kemunculan kelas waktu luang dan gaya
hidup. Penelitian dengan objek ini masih jarang dilakukan. Kajian-kajian
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
terdahulu cenderung hanya menyinggung perihal faktor-faktor orang
menggunakan uang elektronik sebagai alat transaksinya dengan sudut pandang
ekonomi serta tak ada yang meneliti komunitas mobil dengan kepemilikan uang
elektronik untuk mengisi gaya hidup. Dengan demikian, peneliti kali ini meneliti
keberadaan instrumen uang elektronik di komunitas secara sosiologis, lewat
analisa waktu luang dan gaya hidup. Peneliti juga menggunakan metode kualitatif
dengan teknik wawancara mendalam terhadap komunitas, berbeda dengan
penelitian-penelitian lain yang mayoritas menggunakan kuantitatif yang
menggunakan responden mahasiswa atau masyarakat umum sehingga peneliti
meyakini riset ini bersifat khas.
F. Kerangka Teori
Segala objek yang ada di dunia memiliki nilai-nilai yang bukan berasal
dari alam semesta, melainkan hasil kreasi manusia. Manusia menghadirkan objek,
melepaskan keterikatan dirinya dengan objek, lalu mereka mencoba untuk
meraihnya kembali dengan cara mengatasi elemen-elemen seperti waktu, jarak,
kelangkaan, dan kendala mendapatkannya. Indikator-indikator ini yang
menentukan besar kecilnya suatu nilai secara subjektif (Simmel, 2004; Ritzer dan
Douglas, 2013: 189). Meski banyak elemen yang melingkupi objek, nilai yang ada
pada objek tersebut dapat memberi kenikmatan batin, di samping juga mampu
memenuhi kehidupan bagi manusia. Simmel (2004: 62) melihat bahwa manusia
akan memiliki pengalaman berbeda yang mungkin belum pernah dirasakan
sehingga mereka akan berusaha menggapainya.
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
Solusi mengatasi pertentangan antara objek dan manusia adalah
mengadakan pertukaran sesuai konsensus antar pihak yang bertransaksi sehingga
mereka dapat mengonsumsi nilai-nilai tersebut sesuai keinginan dan kebutuhan.
Dalam pertukaran ini, objek memunculkan nilai mereka secara resiprokal,
melepaskan ikatan subjektivitas dari objek dan menentukan diri mereka sendiri.
Nilai-nilai yang awalnya masih bersifat kualitatif dan variatif, akhirnya
memerlukan alat ukur penyeimbang agar mereka bisa mendapatkan objek yang
diinginkan tanpa menimbulkan konflik dan membuat bingung aktor-aktor lain
dalam menentukan nilainya. Dengan kata lain, terjadi ‘reduksi kualitas menuju
kuantitas’ dan nilai suatu objek menjadi terobjektifikasi pada proses transaksi
karena manusia berusaha menggunakan instrumen tukar yang mampu
mengkuantifikasi objek sehingga memunculkan nilai ‘nyata’ dan tukar saja, tidak
murni dilihat sebagai objek ‘berharga’. Simmel melihat hal ini menonjolkan
gagasan kesepadanan, yakni bagaimana instrumen tersebut mampu mencairkan
nilai-nilai objek dan kemudian menggabungkan kedua sistem nilai dari kedua
objek yang sama sekali berbeda tersebut. Jadi, nilai muncul tidak berdasarkan
pada permintaan si aktor, melainkan pada biaya pengorbanan untuk mencapainya
(Simmel, 2004; Auerbach, 2014; Lechte, 2001: 339).
Namun, untuk mencapai objektifikasi dan kesepadanan, itu membutuhkan
proses yang sangat panjang karena objek-objek ini sejatinya tak bisa terukur.
Maka dari itu, lahirlah salah satu penemuan revolusioner manusia, yakni konsep
uang, dengan cara menyamaratakan benda sebagai sebuah ukuran kesetaraan agar
mampu ditukar dengan objek lainnya dan sebagai bentuk ekspresi abstrak dari
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
nilai tersebut, bukan nilai dalam diri benda itu sendiri. Menurut Ardi (2015),
awalnya manusia mengenal bentuk pertukaran paling kuno, yaitu barter. Barter
terjadi selama periode berburu hingga masa bercocok tanam. Kegiatan ekonomi
ini dilaksanakan sebagai cara masyarakat memenuhi kebutuhan dan survivalitas.
Antar pihak membawa dan berusaha menukarkan barang yang dipunyai saat itu
untuk barang-barang yang mereka inginkan – meski beda fisik, kualitas dan
kuantitas antar objek. Contohnya, orang-orang menukarkan dua kayu dengan satu
ikan panjang. Namun, terdapat banyak kelemahan, terutama apabila kelompok
masyarakat semakin besar dan telah memiliki keahlian spesifik masing-masing
sehingga tidak semua orang memerlukan barang yang ditukar dari orang lain
tersebut. Apalagi, ketika pengetahuan dan selera masyarakat semakin meningkat,
maka mereka bisa membedakan kualitas barang yang ditukar tersebut dan mereka
tidak langsung mau begitu saja ikut terlibat dalam transaksi, bila barang yang
ditawarkan tidak sesuai atau tidak dalam keadaan baik.
Beranjak dari situ, masyarakat mulai memikirkan transaksi praktis dengan
menjadikan barang komoditas sebagai alat tukar. Tetapi, fisik uangnya berbeda-
beda sesuai dengan situasi dan geografis masyarakat dunia. Mereka menetapkan
satu komoditas di lingkungan sekitar yang dianggap memiliki nilai
kebermanfaatan tinggi dan bisa dipakai oleh semua orang di lingkungan tersebut
tanpa terkecuali. Objek tersebut direkayasa menjadi standar nilai tukar universal
dengan kesetaraan yang relatif stabil terhadap objek lainnya. Simmel melihat
kasus di pulau New Britain di mana penduduknya menggunakan kerang yang
dirangkai (bernama dewarra) untuk digunakan sebagai uang. Nantinya, ini akan
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
digunakan sebagai pembayaran berdasarkan panjangnya (seringnya adalah ikan,
yang biasanya dibayar dengan dewarra setara dengan panjang ikannya). Contoh
lainnya adalah garam di Bangsa Romawi dan suku Aztec dengan biji cokelat.
Tapi, penerapan komoditas ini tak luput dari celah negatif, seperti tidak tahan
lama karena ada pembusukan dan kerusakan pada benda. Apalagi, masyarakat
mulai memikirkan kemungkinan kegunaan lain dari uang untuk menimbun
kekayaan dan menabung agar bisa dipakai dalam keadaan darurat (Simmel, 2004).
Kemudian, makna uang semakin mengecil ke beberapa bentuk umum yang
sudah dikenal dunia, seperti emas, perak, dan uang kertas. Perjalanan ke proses ini
membutuhkan waktu lama karena harus mengandalkan kepercayaan masyarakat
terhadap bentuk uang yang tak memiliki nilai intrinsik tersebut, namun dapat
bertahan lama dan mudah disimpan. Uang pertama adalah shekel perak seberat
8,33 gram di masa Mesopotamia kuno sekitar 2500 tahun sebelum Masehi.
Sedangkan, koin pertama digunakan oleh peradaban Lydia (Turki) oleh Raja
Alyttes pada tahun 640 Sebelum Masehi. Koin-koin ini tersebar ke seluruh dunia
berkat kepercayaan sangat besar dari masyarakat meski memiliki perbedaan
karakteristik, geografis, dan latar belakang budaya. Dari koin, uang semakin
canggih ke bentuk kertas seiring terciptanya mesin cetak. Akhirnya, uang-uang
saat inilah (koin dan kertas) yang dikenal dan diakui oleh berbagai pemerintahan
dan masyarakat dunia sebagai alat yang sah. Lalu, penggunaan uang mencapai
tahap mutakhir ke dalam formasi non tunai sehingga tak perlu menghadirkan
bentuk fisik, melainkan melalui pertukaran informasi digital – menyerahkan
sejumlah uang tunai ke bank atau merchants dan akan dikonversi ke dalam saldo.
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
Semua transaksi dari satu akun ke akun lain hanya dilakukan dengan cara
memindahkan data elektronik. Bentuk konkritnya adalah CREDEBELS yang
terdiri dari kartu kredit, kartu debit dan uang elektronik (Ardi, 2015 dan Ritzer,
1995).
Segala proses transformasi yang pernah terjadi merupakan serangkaian
perbaikan dari instrumen-instrumen terdahulu yang mengalami kekurangan
hingga sampai memunculkan bentuk kontemporer yang ideal dalam wujud uang.
Simmel (2004) menegaskan ketika barter telah berganti menjadi ekonomi uang,
faktor ketiga hadir di antara dua pihak tadi, yaitu masyarakat secara keseluruhan
yang memberikan nilai yang nyata sesuai dengan uang yang dicetak. Uang pun
telah berada pada fungsi krusialnya sebagai alat tukar dan mengukur. Ia adalah
bentuk ekspresi dari hubungan timbal balik para aktor yang berbasis pada nilai
ekonomi objek-objek. Jika tidak ada pertukaran, uang tak memiliki nilai yang
akan ditunjukkan, begitu pula sebaliknya. Di samping itu, uang menjadi simbol
utama adanya rasionalisasi hubungan dan kehidupan sosial karena menyangkut
pertimbangan tindakan untung dan rugi dalam setiap interaksi. Akibatnya,
tindakan sosial yang tadinya hanya bermakna kualitatif menjadi bentuk kuantitatif
(Zelizer, 1989: 342 dan Nugroho, 2001: 24).
Kelahiran instrumen non tunai ini adalah efek dari modernisasi sehingga
memunculkan strategi dan persaingan antar bank (serta institusi non bank) dalam
memikat masyarakat untuk mau menggunakan produk-produk keuangan ini
(Pramono et al, 2006: 1). Ritzer (1995) mengamati bahwa produk non tunai ini
berawal dari kartu kredit yang muncul di masyarakat Amerika setelah Perang
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
Dunia ke 2. Kartu ini mampu menjadikan masyarakat Amerika saat itu menjadi
modern karena proses rasionalisasi yang mendominasi dan kemudahan yang
didapatkan dalam memperoleh barang dan jasa yang diinginkan. Dari situ, turunan
kartu kredit pun bermunculan, salah satunya adalah uang elektronik. Teknologi
yang diusungnya benar-benar mengandalkan efisiensi, prediktabilitas,
kalkulabilitas, dan mampu menggantikan manusia sehingga mencapai tahap
rasionalitas tertinggi dalam peradaban manusia. Akhirnya, nilai-nilai ini menjadi
penting untuk diterapkan, lalu menyebar dari negara maju ke negara berkembang.
Lalu, terjadi proses penyeragaman transaksi ekonomi dengan menggunakan
instrumen non tunai, dengan bukti bahwa semua negara telah (mulai mengadopsi
beberapa aspek dari uang digital (kredit, mobile payment, EFT) (MacCannell,
1994 dan Thomas, Antoine, dan David, 2014.)
Selain uang, manusia juga membutuhkan interaksi dan komunikasi antar
manusia lainnya demi lancarnya aktifitas-aktifitas sosial di kehidupannya karena
tanpa saling berhubungan, tidak akan ada kehidupan bersama (Soekanto, 2012:
54-55). Dari proses tersebut, terbentuk masyarakat yang merupakan kumpulan
manusia yang hidup bersama serta menghasilkan kebudayaan dan produk-produk
sebagai penanda khusus dan dapat dinikmati oleh mereka. Tetapi, ada suatu
momen di mana terdapat keinginan antar manusia dalam satu lingkungan tadi
yang memiliki kesamaan kepentingan, kebutuhan, tujuan, hingga objek tertentu
untuk dibuatkan wadah komunikasi. Selain itu, keinginan manusia untuk berjuang
demi pemenuhan eksistensi dan rekognisi di masyarakat menjadi hal penting pula
sehingga mereka membuat konsensus dengan wujud komunitas sebagai
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
manifestasinya, di mana mereka berkumpul dan berkomunikasi secara intens,
saling berbagi, hingga membentuk identitas di kalangan lingkungan sekitarnya
(Nasrullah, 2012; Veblen, 2007). Tambahan lagi, Simmel menyebut manusia
sebagai ‘makhluk perbedaan’ karena tak mau dan tak bisa disamakan seutuhnya
dengan yang lain. Dia selalu ingin berbeda dengan yang lain, tetapi juga tidak
ingin diisolasi dari masyarakat, artinya tak ingin dibedakan sama sekali dari yang
lain. Begitu juga dengan komunitas yang berisi kumpulan manusia menginginkan
distingsi dari orang-orang lain atas kekhasannya, namun sekaligus juga tidak ingin
dikucilkan oleh pihak-pihak luar hanya karena mereka berbeda – butuh rekognisi
(Hardiman, 2010: 5).
Dari sudut pandang lain, keberadaan komunitas ini bisa dilihat dalam
konteks waktu luang dan konsumsi mencolok, yang nantinya membentuk kelas
luang dan gaya hidup. Sejarah kelas luang sendiri sebenarnya bermula dari zaman
primitif dengan kelompok kecil yang menyukai ketenangan, mengutamakan
kepemilikan bersama, serta tak ada strata kelas ekonomi. Seiring berjalannya
waktu, masyarakat mengalami transisi dari sifat primitif ke barbarisme yang
senang berperang dan berburu. Ini dilatarbelakangi oleh adanya pemenuhan
kebutuhan hidup yang semakin terdesak sehingga kebiasaan predator ini perlu
dilestarikan (Veblen, 2007).
Lebih lanjut, ada dua kejadian yang menandakan berdirinya kelas waktu
luang dalam tahap barbar awal ini. Pertama, terdapat diferensiasi antara pekerjaan
laki-laki dan perempuan. Para laki-laki umumnya melakukan kegiatan eksploitatif
dan konsumtif, seperti berburu, olahraga, dan berkuda. Sedangkan, kaum
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
perempuan yang menjadi budak cenderung untuk melakukan kegiatan produktif.
Bahkan, saat beranjak ke tahap barbar yang lebih maju, kelas ini semakin
langgeng dalam menunjukkan dominasinya di masyarakat. Ada hierarkhi kelas
(berwujud semu), di mana orang-orang yang menempati posisi atas benar-benar
tidak terlibat pada pekerjaan industri serta dibebaskan dari ketentuan hukum yang
berlaku dan mendapatkan peringkat kehormatan tinggi. Mereka adalah bangswan,
pendeta, ksatria, pegawai pemerintah, dan atlet. Sedangkan, mereka yang ada di
kedudukan rendah didominasi perempuan dan budak di mana mereka selalu
melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan industri dan pekerjaan sehari-hari
demi upah untuk memenuhi hidup layak. Mereka selalu bekerja menghasilkan
barang-barang hingga menyita waktu panjang dan hampir tidak memiliki waktu
luang. Dari situ, muncul kelas luang sebagai bentuk pembedaan antara pekerjaan
eksploitatif (mulia) dan tidak produktif (tercela). Kejadian kedua yang mencirikan
berdirinya kelas luang – dan paling utama – adalah mengenai sejarah para laki-
laki menyandera perempuan dari kubu musuh dan menjadikannya ‘piala’, lalu
diajak ke jenjang pernikahan sampai menciptakan rumah tangga. Mereka
menjadikan perempuan sebagai tanda kesuksesan atas hasil ‘berburu’ dan
‘rampasan’ tadi. Kemudian, mereka dijadikan ‘barang konsumsi’ dan melayani
kaum laki-laki. Kegiatan ini pun sukses dan berlanjut kepada meluasnya
perbudakan perempuan berikut pernikahannya. Rutinitas ini dapat dilihat dari dua
sudut pandang: menikah atas dasar paksaan serta kebiasaan kepemilikan. Inilah
sejatinya basis kelas luang, yakni gagasan kepemilikan (Veblen, 2007: 20-22).
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
Berangkat dari fakta tersebut, Veblen (2007: 22) melihat lama-kelamaan,
masyarakat berubah haluan dari kepemilikan perempuan kepada hasil produksi
industri sebagai objek yang dapat diraih dan direbut sebagai simbol keberhasilan
melalui akumulasi sebanyak-banyaknya sehingga menjadi orang kaya dan
mengonsumsi barang-barang yang telah terkumpul. Aktifitas industrialisasi ini
nyatanya memang mengakibatkan adanya pemisahan dalam kehidupan sehari-hari
sehingga terjadi distingsi hubungan antara waktu kerja dan bukan kerja. Semakin
ke sini, kegiatan tadi mengalami pergeseran ke pasca industrial dan lahirlah
konsep luang yang menggantikan kerja. Marx pun sudah meramalkan bahwa
fetisisme komoditas akan menjadi ‘tren’ bagi masyarakat mendatang, di mana
relasi masyarakat modern bukan lagi menyangkut manusia dengan manusia, tetapi
manusia dan hasil produksinya (Wynne, 1998; MacCannell, 1994).
Teori ini tentu lebih memusatkan konsumsi daripada produksi –
mengamati orang-orang yang ada di kelas luang tidak melakukan kegiatan
produksinya, sibuk menikmati hidup di waktu luang, dan menghabiskan uang
secara berlebihan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Veblen (2007) melihat
orang-orang modern ini memikirkan status dan reputasi diri lewat penghabisan
akumulasi benda-benda secara mencolok. Alasannya adalah semua objek tadi
dapat terlihat secara kasat mata oleh orang lain – baik kualitas dan kuantitas –
serta karena mereka lebih mudah dikumpulkan dan dimiliki oleh manusia
sehingga bisa terlihat apa yang sedang dikonsumsi oleh kelas luang ini. Nantinya,
hasil perolehan ini menjadi ‘senjata’ untuk membangun kepercayaan, diakui oleh
orang lain sebagai golongan yang mewah dan membedakan dari kelas bawah, dan
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
ingin membuktikan diri mereka unggul di masyarakat atas tindakannya. Jadi,
mereka mengonsumsi tidak lagi mengutamakan kebutuhan, tetapi sudah mulai
memikirkan dampak setelah mereka memakai objek tersebut, seperti prestise.
Langkah ini disebut Veblen sebagai ‘perbandingan yang menyakitkan hati’.
Kemudian, kelas luang ini bisa mengarah kepada praktik gaya hidup di
hadapan masyarakat luas. Gaya hidup sendiri merupakan gabungan istilah dari
‘kerja’ dan ‘luang’ yang menggantikan pekerjaan-pekerjaan sebagai dasar
pembentukan hubungan sosial, status sosial, dan tindakan sosial (MacCannell,
1994: 5-6) Ini juga timbul akibat konsumsi tidak lagi berdasarkan pada nilai
manfaat, tetapi sudah konsumsi tanda dan itu dilakukan secara pamer di ruang
publik tanpa perlu memikirkan atau menanyakan perasaan dan respon orang lain
atas tingkah laku mereka. Gaya hidup ini bisa terus langgeng dalam koridor
pemikiran seseorang atau kelompok yang sehari-hari melakukannya sehingga tak
perlu ada perintah dari aktor tertentu untuk melakukannya dengan terpaksa,
melainkan telah berada di bawah alam sadar pikiran (Suminar, 2013: 202).
Gaya hidup modern kelas menengah biasanya identik dengan belanja dan
wisata yang dilakukan di waktu luang. Laku ini dapat terlihat secara kasat mata
oleh orang lain dan bagi mereka yang menjalankannya, langkah tersebut mampu
membuat diferensiasi bagi pihak di bawahnya karena mereka bertindak konsumtif
– satu hal yang tak bisa dijangkau oleh kelas bawah. Harapannya, kelas ini
mampu menunjukkan status sosial, memperoleh kehormatan, dan prestise dari
orang lain sehingga melahirkan stratifikasi sosial dan kecemburuan dari orang lain
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
karena mereka terdorong untuk memamerkan segalanya dan cemburu dengan
orang lain, dibandingkan hanya sekedar konsumsi secara rasional (Veblen, 2007).
Gaya hidup ini tak sekedar menjadi penanda identitas kelas menengah,
namun juga membangun identitas kolektif dari para anggota suatu komunitas.
Komunitas berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai terhadap masing-
masing anggota untuk mau melakoni gaya hidup komunitas agar kompak dan satu
arah sesuai apa yang diinginkan komunitas. Tak heran, keterikatan antar satu
anggota dan yang lain pun timbul dan gaya hidup sudah tidak lagi mewakili satu
atau beberapa pengurus dan anggota, tetapi sudah satu kelompok. Hasil ini bisa
terjadi berkat internalisasi nilai perasaan kepemilikan (sense of belonging) dan
penanaman pengetahuan serta contoh praktik secara kolektif kepada para anggota.
Maka dari itu, ada homogenisasi tindakan dan representasi yang dihasilkan oleh
para anggota di komunitas tersebut (Gerke, 2000).
G. Metode Penelitian
Peneliti memakai kualitatif deskriptif dengan alasan cara ini mampu
memberikan gambaran secara mendalam tentang individu atau kelompok yang
hendak diteliti terhadap suatu permasalahan tertentu (dalam konteks ini, yakni
komunitas) serta mampu menganalisis data-data lengkap secara komprehensif
yang telah didapat dengan mengutamakan kedalaman berbagai informasi dan
literatur sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan Prosesnya berawal dari:
memunculkan pertanyaan-pertanyaan masalah, mencari dan mengumpulkan data-
data, menganalisis data, serta menginterpretasikan data (Creswell, 2009).
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
1. Jenis Penelitian
Secara operasional, peneliti menerapkan studi kasus instrumental tunggal
(single instrumental case study) karena fokus pada sebuah kasus sebagai sarana
untuk menjelaskan suatu isu secara rinci dan dalam rangka memberikan
pemahaman mendalam dengan cara menelaah informasi secara detail dan luas,
kemudian menganalisis data-data yang telah diperoleh. Jenis-jenis data sendiri
terdiri dari data primer (in-depth interview) serta data sekunder (buku, jurnal,
artikel berita online, dan website yang membahas tentang uang elektronik serta
MOBILITY dan Mobility region Yogyakarta).
Kasus ini patut diteliti karena memiliki ciri unik, yakni komunitas mobil
ini baru berdiri selama 3 tahun dan telah bekerjasama dengan Bank Mandiri
untuk mengadakan kartu-kartu uang elektronik khusus komunitas sebagai kartu
pembayaran dan keanggotaan, lalu disebarkan ke Mobility regions sesuai
pesanan jumlah pendaftarannya. Keberadaan kartu dua fungsi ini menjadikan
mereka bertransaksi dengan non tunai di merchants. Melalui fenomena ini,
peneliti ingin melihat praktik penggunaan uang elektronik oleh kelas waktu
luang dan jembatan untuk pamer gaya hidup komunitas.
2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Peneliti memilih lokasi penelitian di “Omahqu Guest House”, Jalan
Bausasran No. 34, Purwokinanti, Pakualaman, Kota Yogyakarta, Daerah
Istimewa Yogyakarta yang merupakan basecamp dan sekretariat Mobility
region Yogyakarta. Di tempat tersebut, peneliti bertemu dengan om Rizqi dua
kali: Senin, 28 November 2016 dan Senin, 8 Mei 2017. Selain itu, peneliti juga
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
pernah datang ke acara Rebo Ngopi di Rumah Makan “Roti Pisang Bakar” di
Jalan Timoho, pada hari Rabu, tanggal 30 November 2016. Kegiatan ini
menjadi waktu yang tepat untuk menggali data karena beberapa anggota datang
untuk meluangkan waktunya hadir di situ. Peneliti juga bisa mengamati apa
saja yang mereka lakukan dan sempat pula mendengarkan diskusi serta
obrolannya.
Untuk waktu riset, peneliti telah menghabiskan waktu kurang lebih 1
tahun: mulai dari pembuatan proposal, pengumpulan berbagai data, analisis
data, penyusunan laporan, melakukan revisi laporan, hingga presentasi. Peneliti
menganggap hal ini wajar, mengingat beberapa alasan: kesibukan peneliti yang
memiliki beberapa acara; kesibukan dosen pembimbing dalam mengajar
maupun meneliti; banyak revisi laporan; hingga beberapa informan yang juga
sempat mengalami musibah.
3. Unit Analisa dan Informan Penelitian
Unit analisa adalah komunitas, yang terdiri dari para anggota komunitas
Mobility region Yogyakarta. Peneliti mengambil informan berjumlah empat
orang pengurus komunitas karena mereka dianggap relevan dan dapat
merepresentasikan komunitas mobil serta agar datanya tidak jenuh. Mereka
ditanyai seputar seluk beluk komunitas ini dan kegiatannya di waktu senggang,
beserta kepemilikan dan penggunaan kartu uang elektronik sebagai sarana
pamer gaya hidup.
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
Tabel 1.2 Daftar Identitas Para Informan Penelitian
No. Nama Jabatan
1. Rizqi Setyawan Kepala Divisi Humas
2. Robertus Eka Suprianta Ketua Umum
3. Apit Nur Kumoro Kepala Divisi Kegiatan
4. Harry Prabowo Kepala Divisi Radio Komunikasi
Sumber: Data Primer, 2016.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti mampu mengumpulkan banyak sumber data
agar nantinya mampu diulas secara holistik dan tersaji dengan baik. Dari
sumber data primer, peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam
terhadap para informan dan terus mengulik informasi sampai hasrat peneliti
terpuaskan agar bisa mendapatkan keragaman serta ketercukupan informasi.
Peneliti telah menyiapkan sejumlah pertanyaan yang telah tersusun, namun
tidak sedikit pula pertanyaan yang peneliti lontarkan saat itu juga tanpa
perencanaan karena berkaitan dengan pendalaman suatu informasi, atau
penasaran dengan pernyataan informan sebelumnya sehingga memancing
peneliti untuk bertanya hal lain yang masih berkaitan dengan jawaban tadi.
Sedangkan, untuk pengumpulan data sekunder, baik berupa buku, jurnal,
artikel berita online, dan website, peneliti fokus mencari seputar sejarah uang,
uang elektronik, serta MOBILITY dan Mobility region Yogyakarta. Data-data
yang diperoleh sangat banyak sehingga peneliti memilih mana saja yang
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
penting dan cukup relevan, lalu mencari poin-poin penting sebagai referensi di
dalam penelitian ini.
5. Teknik Analisa Data
Teknik ini dilakukan di tengah dan setelah penelitian. Pertama, peneliti
menyortir data-data, baik hasil wawancara maupun hasil penelusuran berbagai
literatur ke folder-folder berbeda di laptop. Selanjutnya, peneliti mereduksi
data yang tidak penting dan sebaliknya, menulis transkrip dan memberi
highlight pada poin-poin penting dari hasil wawancara para informan dan data-
data dari studi kepustakaan sesuai fokus penelitian. Langkah ini juga
mempermudah peneliti bila suatu saat membutuhkan data ini lagi.
Berikutnya, peneliti menampilkan data-data yang telah terkumpul ke
dalam bentuk narasi sebagai bukti kemampuan peneliti dalam mengolah data-
data penting. Setelah itu, peneliti mencari dan mempelajari makna-makna dari
data-data tadi berdasarkan subjektivitas agar memunculkan pola dan hubungan.
Lalu, peneliti menganalisisnya sesuai teori-teori yang relevan agar fenomena
ini dapat dijelaskan secara komprehensif dan terungkap secara sosiologis.
Akhirnya, peneliti mengambil kesimpulan.
Uang Elektronik sebagai Penanda Distingsi Kelas Waktu Luang: Studi Kasus Komunitas"MobilioIndonesia Community (Mobility) Region YogyakartaREYHAN AZNARUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/