penataan wilayah pada masa kerajaan sunda

12
Penataan Wilayah pada Masa Kerajaan Sunda Agus Aris Munandar Keywords: history, archaeology, Hindu-Buddhist, Kingdom of Sunda, West Java How to Cite: Munandar, A.A. Penataan Wilayah pada Masa Kerajaan Sunda. Berkala Arkeologi, 14(2), 95–105. https://doi.org/10.30883/jba.v14i2.706 Berkala Arkeologi https://berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id/ Volume 14 No. 2, 1994, 95-105 DOI: 10.30883/jba.v14i2.706 This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.

Upload: others

Post on 15-Nov-2021

45 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penataan WIlayah pada Masa Kerajaan Sunda

Penataan Wilayah pada Masa Kerajaan Sunda

Agus Aris Munandar

Keywords: history, archaeology, Hindu-Buddhist, Kingdom of Sunda, West Java

How to Cite:

Munandar, A.A. Penataan Wilayah pada Masa Kerajaan Sunda. Berkala Arkeologi, 14(2), 95–105. https://doi.org/10.30883/jba.v14i2.706

Berkala Arkeologi https://berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id/

Volume 14 No. 2, 1994, 95-105

DOI: 10.30883/jba.v14i2.706

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.

Page 2: Penataan WIlayah pada Masa Kerajaan Sunda

PENATAAN WILAYAH PADA MASA KERAJAAN SUNDA

Agus Aris Munandar (Jurusan Arkeolog, FSUI)

1 . KeraJaan Sunda adalah salah satu kera­

Jaan dalam masa Hindu-Buddha yang terletak di Jawa Barat. Tidak seperti sejarah kerajaan-kera­Jaan lamnya yang pernah tumbuh dan berkem­bang dt Pulau Jawa (Mataram, Kadiri, Singhasa­n, MaJapahit), seJarah Kerajaan Sunda masth be­lum banyak diungk.apkan oleh para ahl1. Hal ini disebabkan karena sumber sejarah yang berken­aan dengan perkembangan kerajaan tersebut sangat terbatas, peninggalan-peninggala��ya pun tidak terlalu banyak, kalaupun ada JeJak se1arah itu sudah sangat rusak. Walaupun dem1kian para ahli sejarah dan arkeologi tentu­nya masih berharap bahwa di kemudian hari akan ditemukan lag, sumber sejarah baru yang dapat membantu mengungkapkan seJarah Kera­jaan Sunda yang masih belum dapat terura, Jelas.

KeraJaan Sunda yang dimaksudkan dalam kaJ1an ini adalah kerajaan yang berkembang dalam abad 1 4- - 15 M, dan yang beribukotakan di Pakuan / Pak.wan Pajajaran (Sumadio 1 984: 368--83) Semula para ahli menyebut keraJaan ,tu dengan nama Kerajaan Pajajaran atau Pak.wan Pajajaran. Namun kemudian Ayatrohae­d1 berhas,1 mengungkapkan lewat berbaga, berita sejarah bahwa kerajaan yang dimaksud­kan ,tu seharusnya disebut dengan Kerajaan Sunda, bukan PaJajaran. Nama Pak.wan Pajaja­ran sebenarnya menunJuk pada ibu kota kera­Jaan ,tu tempat raJa bersemayam di kedatonnya (Ayatrohaedi 1 978: 47--52).

Menurut Robert von Heine Geldern keraiaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha d, Asta Tenggara mempunya, konsep kosmo-1091s bahwa pusat kekuatan magis . t�rletak di ,stana raja yang berkedudukan dt ,bu kota keraJaan (1 982: 6-8). Karena kerajaan-kerajaan tersebut merupakan gambaran kecil (m1krokos­mos) dari susunan jagat raya (makrokosmos) yang konsentris dan berpusatkan pada Gunung Meru Raja dianggap sebaga, penjelmaan dewa tertinggi (Siwa / Wisnu), dia bersemayam dt 1 stananya yang dtanggap lambang Gunung Meru. Begitupun wilayah kerajaan ditata sesuai dengan gambaran kosmomag,s yang d1kenal baik dalam agama Hindu ataupun Buddha. lbu kota adalah pusat kerajaan yang dikelilingi oleh w1layah-wilayah kerajaan lainnya (propinsi), daerah takl ukan, dan juga negara-negara mitra isahabat). Gambaran seperti itu mungkin dapat

Serl<ala Arl<eolog1 EDIS! KHUSUS - 1994

terlihat dalam periode Singhasan dan Ma1apah1t yang jelas disebutkan dalam prasast, dan k1tab Nagarakrtagama bahwa kedua keraJaan terse­but mempunyai berbagai negara daerah Namun bagaimana halnya dengan Kerajaan Sunda apakah juga memiliki negara-negara daerah masih belum diketahui secara past1. Hal lam yang patut diperhat,kan penataan wilayah yang pastinya telah dikenal dalam masa 1tu, penataan wilayah Kerajaan Sunda hingga saat ini masih belum juga diperhattkan oleh para ahli ; untuk ,tu kajian ini berusaha mengungkapkan penataan w1layah kerajaan tersebut se1auh data yang tersedia hingga kini

2. Berdasarkan berbaga1 sumber tertulis da­

pat diketahu1 bahwa KeraJaan Sunda mem­punyai beberapa daerah yang mengaku, raJa Sunda sebagai seorang yang dipertuan Sangat mungkin daerah tersebut mempunyai penguasa sendiri yang berhak menjalankan pemenntahan daerahnya, tetap, tetap mengakui raJa Sunda yang berkedudukan d1 ibu kota sebaga , penguasa tunggal seluruh wilayah keraJaan

Dalam bagian akh,r Carita Parahyangan yang menguraikan perihal Kerajaan Sunda ketika ibu kotanya telah berkedudukan d1 Pak.­wan Pajajaran, disebutkan beberapa wilayah kerajaan antara lain yaitu, Medang HuJung Cariang, Winduraja, Galuh, Gegeromas. Jam­pang, Tanjung, Sumedang, Tas1k, MaJaya Rajagaluh, dan Kalapa (CP·54--8) Sementara itu menurut laporan Tome Pires, seorang Portugis yang pernah berkunjung ke w,layah Kerajaan Sunda dalam awal abad ke- 1 6 menyebutkan adanya beberapa bandar penting kerajaan tersebut, ya ,tu: Banten, Pontang, Ctgede, Tangara, Kal�pa, dan C,manuk (Cortesao 1 944· 168--73) . -

Dalam prasasti Mula Malurung 1 255 M yang dtkekJar­kan akhir pemerintahan ra1a Wisnuwardctiana d1 Singhasan disebutkan beberapa negara daerah be­serta raja-rajanya yang merupakan bawahan SIngha­sari. yaitu Madhura. Lamajang, Daha. Glal1!}glang. Morono, Hring, dan Lwa (Boechari. 1 980:57) Se­mentara negara-negara "bawahan" MaiapahIt atau negara-negara yang mengakui wibawa Maiapahit disebutkan datam Nagarakrtagama pupuh XIII-XIV Bandar-bandar tersebut diuraikan oleh Tome Pires sebagai berikut, Banten merupakan kota dagang yang baik. ter1etak di tep, sungai dan dipimpin oleh seorang kapten ( sahbandar ? ) Pemiagaannya

Page 3: Penataan WIlayah pada Masa Kerajaan Sunda

Menurut J Hageman (1 867) keraJaan Sun­da mempunya, beberapa daerah bawahan seba­gaI benkut : CIrebon Larang, Cirebon Girang, Srndang Barang, Sukapura, Kidang Lamotan, Galuh, Astuna Larang, Tajek Nasing, Sumedang Larang, UJang Mubara, Ajong Kidul, Kamuning Gading, Pancakaki, Tanjung Singguru, Kalapa, Banten Girang, Pula Sari, dan U1ung Kulon (Sutaarga 1 965. 53) . Daerah-daerah tersebut merupakan negara bawahan, karena setiap daerah mempunyai rajanya sendiri; namun mereka semua tunduk pada raja Sunda.

H.ten Dam (1 957) menyatakan bahwa w1layah Kera1aan Sunda di pedalaman dihu­bungkan oleh 1armgan jalan yang dimulai dari ibu kota hingga daerah terluar kekuasaan Sunda yang masih mungkin dicapai Jalur jalan. Jalan yang menuJu ke timur menghubungkan ibu kota Pakwan Pa1a1aran dengan Karangsambung, daerah 1tu terletak di tepi sungai Cimanuk, batas kera1aan Sunda paling timur. Jalan yang menuiu ke timur melalu1 Cileungs1 dan Cibarusa, dari tempat ,tu membelok ke utara sampai di Kara­wang, d1 tepian Citarum (Desa Tan1ungpura). Dari Desa Tan1ungpura 1alan itu berlanjut melalu1 Clkao dan Pu rwakarta hingga berakhir di Ka­rangsambung . Kemungkman dari Karangsam­bung Jalan Itu masih berlanjut ke arah timur dan selatan Ke arah tImur sampai ke Cirebon, lalu berbelok ke selatan menuju Galuh atau Kawali dengan melewat, Kuningan. Jalan yang ke arah selatan mungkm melalu1 Sindangkasih dan Talaga dan akh1rnya menuJu Juga Kawali atau Galuh (Dam 1 957: 299; Sutaarga 1 965 52; Aya­trohaedi 1 980/ 1981 · 37)

mehputJ Sumatra dan kepulauan Maladewa. Banten merupakan bandar untuk beras. lada. dan bahan makanan laInnya Pontang merupakan kota besar juga. namun pelabuhannya tidak sepenting Banten. barang-barang yang diperdagangkan sama dengan Banten. Cigede adalah kota besar. pemiagaannya teriadi dengan Priaman, Andalas, Tulang-bawang. Sekam­pung dan lain-lain. Barang yang diperdagangkan sama dengan Banten dan Pontang. T angara adalah kota pelabuhan besar . barang yang diperdagangkan sama dengan pelabuhan terdahulu. Kalapa merupakan bandar yang sangat besar. meru­pakan pelabuhan Sunda yang terpenting, terbesar. dan terbaik Jalur niaganya lebih luas antara lain de­ngan Sumatra, Palembang, Lawe, Tanjungpura. Ma­kasar. Jawa. dan Madura. Terdapat sistem pemerin­tahan yang teratur. raja mengeluarkan peraturan ter­untuk setiap pelanggaran yang dilakukan penduduk. Cimanuk merupakan bandar Sunda paling Timur. JU­ga tanda batas kerajaan. Di Bandar itu sudah banyak berdiam orang-orang beragama Islam. walau sahban­dar beragama Sunda (Cortesao 1944 : 169-73: Aya­trohaedi 1980/81 : 35-6)

Berka/a Arkeologt EDIS/ KHUSUS - 1 994

Jalur jalan la,nnya adalah yang menghu­bungkan ibu kota Pakwan dengan daerah-dae­rah sebelah baratnya. Jalan itu bermula dan Pakwan meialui Jasrnga dan Rangkas Bitung menuju Serang, dan berakhir di Banten yang merupakan bandar Kerajaan Sunda yang paling barat. Jalan lainnya menghubungkan Pakwan dengan Ciampea dan Rumpm. Jalur itu terhentI di Rumpin, karena perJalanan selan1utnya dite­ruskan dengan perahu melalui Sunga, C,sadane (Dam 1 957: 297; Ayatrohaedi 1 980/81 : 37)

Jalur-Jalur Jalan tersebut sangat penting bagi perekonomian Sunda, tentunya has,I bum, Kerajaan Sunda dan keperluan penduduk didae­rah pedalaman diangkut lewat jalan-Jalan terse­but (Ayatrohaedi 1 980/81 : 37) . Data tentang Jalan tersebut mempunyai makna lain lagi , sepertI telah disebutkan bahwa jalan-jalan itu melewat, beberapa daerah tertentu, dan sepanjang Jalur ,tu tentunya melewat1 desa-desa pedalaman yang cukup banyak J umlahnya. Jadi dapat diketahui bahwa d1 sampIng kota-kota (yang d1 pedalaman ataupun bandar) yang mempunya, penguasa daerah sendin, terdapat juga desa­desa yang berada dalam wilayah adm1n istras1 suatu "negara daerah" tertentu

Bujangga Manik --seorang pendeta Hindu dari Sunda-- yang melakukan perjalanan kelll rng Pulau Jawa (awal abad 1 6 M), juga membeta­kan adanya banyak desa di wilayah Keraiaan Sunda. Desa-desa itu sering d1sebut dengan lurah (pada masa kemudian lurah berart1 kepala desa). Sepert1 mIsalnya ketika BuJangga Manik melakukan perjalanan ke tImur, ke batas akh1r wilayah Sunda; ia melewati beberapa daerah antara lain adalah, Citeureup, Tandangan, Cipunagara (Pamanukan) , Lurah Medang Kah1a­ngan, Pada Beunghar, Coman , Timbang, HuJung Barang, Kuningan, Darma, dan Luhur Agung Setelah ia menyeberangi sunga, C1pamal1 dekat Brebes, ia menyatakan bahwa daerah ,tu meru­pakan batas akh1r KeraJaan Sunda (tungtung Sunda) (Noorduyn 1 982:20-1 ) .

Berdasarkan data se1arah tersebut dapat diduga bahwa Kera1aan Sunda telah mempu nyaI penataan wilayah yang teratur. Bahwa d1 dalam kesatuan kerajaan tersebut terdapat wIlayah 1bu kota , kota-kota daerah, bandar, dan ba1k yang terletak di desa-desa d1 peda laman ataupun desa-desa panta1 . Keteraturan penataan w1layah KeraJaan Sunda masih mungkin untuk d i rekon­struksi; gambaran penataan w1layah tersebut sangat mungkrn adalah bahwa d1 pusat kera1aan terdapat ibu kota; dI Ibu kota terdapat keraton tempat bersemayamnya raja, para peJabat trngg 1 kerajaan, serta penduduk biasa. Dengan demikian terbentuklah suatu pemukIman yang cukup luas dengan Jumlah penduduk yang relat1f besar. Setelah wilayah 1bu kota terdapat kota-

Page 4: Penataan WIlayah pada Masa Kerajaan Sunda

Kota lain yang merupakan "ibu kota" bag, w1layah tertentu , di tempat tersebut terdapat seorang "raJa daerah" dengan sebutan berbeda­beda (Tohaan, Prabu, PanJi, Mas/ . Negara daerah tersebut terbagI lagi dalam desa-desa (lurah) yang merupakan kesatuan wilayah terkecil dalam kerajaan

Para peJabat yang dikenal dalam pemerin­tahan kerajaan Sunda ten tunya cukup banyak, namun menurut kitab Siksa Kanda Ng Karesian (1 440 S/1 5 1 8 M) terdapat deretan nama pejabat yang tersusun secara tata jenjang, dimulai dari peJabat yang rendah hingga raja. Kitab itu menyebutkan sebagai berikut: " . . . wang tani bakti di wado, wado bakti di mantri, mantn bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang . . . • (Siksa. I I : 1 7--9). (" . . petani berbakti (tunduk) kepada Wade, Wado berbakti kepada Mantri, Mantri berbakti kepada Nu Nangganan. Nu N angganan berbakti kepada Mangkubumi, Mangkubumi berbakti kepada Raja, Raja berbakti kepada Dewata, dewata berbakti kepada Hyang . . . 'J,

Sebenarnya tata jenjang tersebut disebut dengan Dasa-Prebakti, (sepuluh macam kebak­t1an). Tercakup ke dalamnya adalah anak harus tunduk kepada bapaknya, istri tunduk kepada suammya, hamba tunduk pada majikan, dan sIswa tunduk pada guru. Dalam deretan kebak­tIan tersebut terdapat nama-nama pejabat nega­ra hingga raja yang mungkin dapat dijadikan data untuk melengkapi kajian ini. Sementara hal baktinya raja kepada dewata dan dewata tunduk pada hyang lebih merupakan tunduk dalam konsep keagamaan

Dalam kitab yang sama d1uraikan tugas­tugas raJa dan beberapa pejabat tertentu saJa, misalnya Mangkubumi dan nakhoda/sahbandar Tugas-tugas raJa diuraikan dengan singkat saja dalam Siksa Kanda Ng Karesian, namun su­dah mencakup seluruh kewajiban yang harus d1laksanakan oleh seorang raja. "Maka nguni

Dalam berbagai sumber seJarah Kerajaan Sunda ter­dapat penyebutan yang berbeda-beda untuk menun­JUk seorang penguasa. Ada yang disebut dengan rakean, haji, ratu, ratu haji, tohaan, prebu, dan lain-lain. Namun istilah yang banyak dipakai da­lam naskah Sunda Kuna untuk menyebut seorang penguasa adalah tohaan yang artinya "yang diper­tuan" sebenamya hanya istilah lain saja dari raja. Misalnya Tohaan di Sunda ( Tarusbawa). Tohaan Sarendet. T ohaan Ratusanghyang. dan T ohaan di MaJaya.

Mengenai getar penguasa-penguasa daerah dari �era1aan Sunda lihat Amir Sutaarga, Prabu Siliwa­ngi. Bandung Duta Rakyat Halaman 53.

Berka/a Arkeologi EDIS/ KHUSUS - 1994

kasorgaan di sakala kaprabuan. kamulyaan kau tamaan, kapremanaan. kaw,sesaan, ratu tan ya" (Si ksa. XIX: 7--8) ("Demik1an pula tentang kesempurnaan d1 seluruh kerajaan, kemul iaan. keutamaan, kewaspadaan, dan keagungan, tanyalah raja") .

Jelaslah tugas bahwa raja harus mengu­sahakan kesempurnaan, dan kemuliaan bag1 ke­rajaannya. Sementara bag1 dirinya send1r1 Ia ha­rus dapat menjadi utama, harus waspada, dan harus dapat mempertahankan keagungannya

Tugas yang harus dilaksanakan oleh seorang mangkubumi adalah sebaga1 berikut' "Hayang nyaho dipatitis bum, ma ngamp,hkeun bumi, masinikeun na urang sa1agat, parin pasm,. ngadengdeng, maraspade, ngukur. nyaruaken nyipat, midana, lamun luhur dipidatar an col dipakpak: sing sawatek amp1h-amp1h ma mangkubumi tanya" (Siksa XIX. 1 0--2) . ("81la ingin tahu tentang cara-cara mengukur tanah. seperti: mengatur tempat, mem bagi -bagikan kepada seluruh rakyat, memberi tanda batas, meratakan, membersi hkan lahan, mengukur menyamakan, meluruskan, mengatur, b1la tingg1 didatarkan, bila rendah diratakan; segala macam pengaturan tempat, tanyalah mangkubumi')

Tugas-tugas mangkubumi itu secara nncI diuraikan dan semuanya berkenaan dengan ma­salah lahan, sebab tentunya seorang mangku­bumi harus mengertI perihal penggunaan lahan dalam kerajaan. Agaknya tokoh mangkubumi juga harus menghmdari penggunaan Jenis lahan yang menurut Siksa Kanda Ng Karesian disebut "tanah yang kotor" ''Yang disebut tanah-tanah yang kotor 1alah sodong, sarongge, cadas gantung. mungkal pategang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nunggang, catang nonggeng, garunggungan. garenggengan, lamah sahar, dangdang warian hunyur, lemah laki, pitunahan ce leng, kalomberan, jaryan, kuburan; golongan tanah terbuang" (Siksa. XXII: 1 4--8)

Tanah-tanah jenis itulah yang seharusnya dihindari untuk tidak d1pergunakan sebaga, la­han kegiatan manusia. ''Tanah yang kotor" ,tu tidak mungkin digarap untuk akt1v1tas pertanian , perumahan, bangunan sucI , atau Istana raia: se­bab bersifat panas dan akan membawa petaka bagi siapa yang menggunakannya.

Jabatan lain yang tugasnya diura1kan kare­na berkenaan dengan pengetahuan dalam akt1-vitas di laut adalah nakhoda/sahbandar Siksa Kanda Ng Karesian perlu mencantumkan hal Itu mengingat Kera1aan Sunda mempunyaI bebera­pa bandar pentmg yang melakukan perdagangan ekspor- impor Menurut kitab tersebut: "Lamun hayang nyaho dI sa kweh nmg labuhan ma. maka nguni. gosong, gorong, kabua, ryak mokproJ<.

97

Page 5: Penataan WIlayah pada Masa Kerajaan Sunda

ryak maling, alun agung, tanjung, hu1ung, nusa, pulo, karang nunggung, tunggara, barat daya, sing sawatek saba d1 laut ma, lalayaran, puhawang tan ya* (Siksa XIX: 1 3-6) ("Bila ingin tahu semua pelabuhan, demikian pula: gosong, gorong, kabua, riak moprok, riak maling, alun agung, taniung, huiung, nusa, pulau, karang nunqgunq, tenggara, barat daya; segala maeam tempat di laut, pelayaran, tanyalah nakhoda/sahbandar'').

Suatu daerah tersendiri yang juga dikenal dalam KeraJaan Sunda adalah pemukiman khu­sus kaum agamawan. Berdasarkan uraian pra­sast1 dan naskah-naskah keagamaan Sunda Ku­na dapat diketahui bahwa istilah dewa sasana mengaeu pada pengertian umum tentang suatu tempat suei di Kerajaan Sunda. Dewa Sasana mungkin dapat diartikan sebaga, "tern-pat persemayaman dewa" (Munandar 1 991 : 1 4).

Dewa Sasana terbagi dalam dua jenis, yaitu Kabuyutan dan Kawikuan. Kabuyutan adalah suatu tempat sue, yang dijaga dan diurus oleh beberapa orang pendeta saja, sedangkan Kawikuan merupakan tempat para wiku (berasal dan kata Bhiksu -> bhiku -> wiku = sebenarnya berarti kaum agamawan pria dari agama Buddha) Kawikuan sangat mungkin adalah permuk1man kaum agamawan , mereka tinggal bersama-sama di tempat sepi, di lereng­lereng gunung atau di tengah hutan, permu­kiman ,tu berbentuk suatu pedukuhan (Munandar 1 991 · 1 4--5) . Contohnya dalam prasasti Ke­bantenan yang dikeluarkan oleh Sri Baduga Ma­haraJa (abad 1 5 M) disebutkan tanah Dewa Sa­sana adalah desa/lurah Sunda Sembawa yang dilindungi oleh raJa, di tempat tentunya bermu­kIm banyak para wiku hingga terbentuklah suatu lurah: juga disebutkan bahwa di dalam ling­kungan pe mukiman itu terdapat suatu kabu­yutan (Boeehan, 1 985/86: 1 05--6; Munandar, 1992:280). Jadi dalam suatu lingkungan kawi­

kuan mungkin saJa terdapat kabuyutan, selain ,tu ada juga kabuyutan vang berdiri sendiri sebaga, tempat yang dikeramatkan, misalnya kabuyutan Galunggung yang disebutkan dalam naskah Amanat Galunggung (Danasasmita dkk. 1 987· 1 25) dan Kabuyutan Pakuan sepert, yang disebut dalam naskah Bujangga Manik (Noor­duyn 1 982: 41 9) Pada masa itu kabuyutan ten­tunya cukup banyak, tapt hanya disebutkan beberapa saJa dalam karya sastra Sunda Kuna. Bentuk kabuyutan sebagai suatu tempat suei untuk pemujaan dewa atau leluhur belum dapat diketahui seeara past1, hanya saja berdasarkan tinggalan arkeolog1s yang masih dapat diamati diduga dalam suatu kabuyutan terdapat suatu bangunan tertentu. Bangunan itu dapat berupa, ( 1) batur tungga l, dan (2) punden berundak, di

Berka/a Arkeo/og1 EDIS/ KHUSUS · 1994

kedua bangunan tersebut pada bag,an atasnya (teras teratas) terdapat obyek sakral yang menjadi sasaran pemujaan sepert, , l ingga-yon, , area-area, atau benda-benda lainnya (Munandar 1 992: 288).

Dalam sumber-sumber tertul1s Sunda Ku­na dikenal juga adanya Mandala sebagai tern­pat bermukim kaum agamawan". Misalnya dalam naskah Kawih Paningkes disebutkan: • .r, dtna bukit pa/asari mandala si pasekulan . . . " ("di atas bukit palasari (terdapatl mandala Pasekulan") Naskah Kawih Paningkes sendiri digubah dI atas bukit Gunung Cupu (salah satu bukit di Gunung Galunggung), pada suatu mandala yang disebut Pangarbuhan (Kaw1h.39 .a--39b). Se­mentara dalam naskah BuJangga Manik dise­butkan juga bahwa ia pernah mengunJungi man­dala Puntang yang terletak di daerah selatan Jawa Barat (Noorduyn 1 982: 437)

Mandala adalah suatu pedukuhan tempat bermukimnya kaum agamawan yang menarik diri dari dunia ramai, jadi keberadaannya dalam lingkungan alam sebenarnya Identik dengan kawikuan. Mungkin saja perbedaan nama ,tu berkenaan dengan latar belakang agama yang

J Ada kemungkinan wilayah pemuklman orang Baduy di Kabupaten Lebak dahulu merupakan tempat khu­sus bagi kaum agamawan yang keberadaannya te­lah ada sejak jaman Kerajaan Sunda. Sebab mereka sendiri menamakan daerah permukimannya 1ru de­ngan mandala. Menurut penelitian tertiadap mereka disimpulkan bahwa orang-orang Baduy sudah lama menempati wilayahnya itu. jauh sebelum Keruntuhan kerajaan Sunda dalam abad ke 15 M. Kehidupan warga Baduy yang masih mempertahankan banyak tabu, serta kehidupan kesehariannya yang disebut tapa di mandala temyata sesua, dengan ajaran Amanat Galunggung, naskah keagamaan yang berasal dari kabuyutan Ciburuy, Garut ( Danasas­mita & Anis Djatisunda 1986:4-6) JadI tak disangsi­kan lagi bahwa masyarakat Baduy sekarang adalah kelanjutan dari kaum agamawan yang bermUkim di suatu lingkungan mandala dalam masa Kerajaan Sunda dahulu. Di daerah tersebut terdapat pula kabuyutan yang sangat disucikan dinamakan Pada Ageung atau Sasaka Pusaka Buana

Sementara itu di wilayah Baduy iuga terdapat daerah larangan yang dinamakan Sasaka Domas. mereka percaya di tempat itu berkumpul para karu­hun (luluhur) yang dapat menjelma dalam bentul< Guriang dan Sanghyang. Bentuk emanas, itulah yang melindungi warga Baduy dan segala macam marabahaya ( Gama 1993: 140). Hal ini kembali me­ngingatkan pada kepercayaan dalam kitab-kitab Sunda Kuna bahwa di samping dewa-dewa dan pantheon Hind�Buddha. masyarakat waktU itu Juga menghormati arwah leluhur. Sekali lagi ter1ihat ada­nya kaitan religi Orang Baduy dengan kepercayaan masyarakat Sunda Kuna

98

Page 6: Penataan WIlayah pada Masa Kerajaan Sunda

dIanut oleh kaum agamawan yang menghu­ninya. Kawikuan dihuni oleh para pendeta Bud­dha, atau kaum agamawan yang cenderung mempelaJan agama Buddha, sedangkan man­dala dihuni oleh kaum agamawan Hindu. Tapi hal ini perlu penelitian lebih lanjut secara menda­lam, mengingat pada masa Sunda Kuna agama Hindu dan Buddha telah terpadu dengan kepercayaan pemuJaan pada Hyang, sebaga,­mana yang tersirat dalam naskah-naskah Sunda Kuna pernah diteliti para ahli hingga kini

Megenai siapa yang bermukim di wilayah khusus kaum agamawan itu prasasti Kebante­nan menyatakan di kawikuan yang tinggal ada­lah para wiku, sedangkan yang tinggal dan me­ngurus di kabuyutan dan mandala menurut Amanat Galunggung ialah para rama dan resi ( Danasasm,ta Dkk.1 987: 1 25). Sebagai pem,m­pin d1 lingkungan kawikuan, mandala dan kabu­yutan 1alah mahapandita sebaga1mana yang d isebutkan dalam naskah Siksa Kanda Ng Karesian (Siksa IV:4,8; XXVl:2).

Dalam w1layah Kerajaan Sunda, selam terdapat pembagian dan penataan wilayah se­cara pollt1s, terdapat Juga wilayah-wilayah ke­agamaan yang diaku1 oleh raJa. Penetapan suatu daerah menjad1 wilayah keagamaan di Sunda Kuna mungkin dapat disamakan dengan pene­tapan sima dalam kerajaan-kerajaan masa Jawa Kuna. Hanya saJa data prasasti dari masa Sunda Kuna sangat sedikit, kalau tidak dikatakan langka. Prasasti yang memerikan penetapan "daerah perdikan" bagi kaum keagamaan dari masa Sunda Kuna hanyalah prasasti Keban­tenan, sehingga sukar untuk mengadakan tm­Jauan lebih lanjut Namun hal yang penting adalah bahwa di antara sejumlah wilayah keaga­maan itu, terdapat satu kabuyutan yang diang­gap pentIng, sehingga harus dipertahankan oleh sIapapun yang memerintah, yaitu Kabuyutan Galunggung sebaga1mana yang disebutkan da­lam naskah Amanat Galunggung (Danasasmita dkk. 1 987· 1 25--6).

3. Adapun mengenaI lokasI ibu kota KeraJaan

Sunda yang disebut Dayo, menurut Tome Pires, terletak sekitar dua hari perjalanan dari bandar Kalapa ke arah pedalaman. Dayo merupakan kota besar, penduduknya sekitar 50.000 jiwa. Rumah-rumah penduduk sangat baik, terbuat dari kayu dengan atap terbuat dan dun jenis palma. Raja bersemayam di istana yang mem­punyai 330 t,ang kayu, masing-masing tiang sebesar peti anggur ukurannya; tingginya 5 fathom (1 fathom = 1 ,828 m). Bagian atas tiang

Berka/a Arkeolog, EDIS/ KHUSUS - 1994

diberi bentuk (uk,ran) yang indah·. (Cortesao 1 944: 1 68; Sumadio 1 984: 380--81 ) .

S1sa-sisa ibu kota Pakwan Pajajaran ter­sebut masih sempat disaksikan oleh orang­orang Belanda ketika mereka mengadakan per­jalanan ekspedisi dalam akhir abad 1 7 hingga awal abad 1 8. Orang-orang Belanda tersebut mengadakan perjalanan dari Batavia ke selatan. Di wilayah Bogar sekarang mereka menjumpa1 peninggalan kuna yang oleh penduduk setempat disebut sisa keraton Pakwan. Serita tentang adanya reruntuhan kraton Pakuan pertama kalI dilaporkan oleh Scipio, ,a dan rombongannya mengadakan eks-pedis1 ke pedalaman Jawa Barat pada tahun 1 687 Ekspedisi itu kemudian dilakukan lagi oleh Kapitan Adolf Winkler pada tahun 1 690, Winkler melakukan kunjungan ke daerah-daerah yang pernah dikunjungi oleh Sci­pio dahulu. Kemudian pada tahun 1 703, 1 704. dan 1 709, Abraham van R iebeeck melakukan Ju­ga perjalanan ke wilayah yang sama dan mela­porkan adanya s1sa-sisa keraton Pakuan d1 wI­layah Boger (Da nasasmIta 1 979 5--1 5 20--6)

Orang-orang Belanda Itu melaporkan hal yang sama dalam ekspedisi-ekspedisinya bah­wa di wilayah Begor sekarang, terdapat berbaga, bentuk peninggalan masa lalu yang merupakan sisa kota Pakwan. 01 tempat tersebut terdapat s,sa parit pertahanan yang dalam, bermacam pant-parit dan saluran , dinding benteng, Jalanan berbatu yang mendakI dan yang lurus, tanah lapang (alun-al un) , batu bertu lls, area-area, hu­tan tua dan lain-lain Daerah tempat d1temu­kannya berbaga1 pen,nggalan kota Pakwan ter­sebut diapit oleh sunga, yang mengalir seiaiar yaitu Sungai C1llwung dan C1sadane D1 tempat itulah dahulu terdapat kota dan istana raJa Pak­wan Pajajaran (Danasasmita 1 979, 1 983 1 --27)

Dalam Carita Parahyangan d1sebutkan bahwa keraton Pakwan PaJaJaran d 1namakan dengan pakwan sanghyang sri ratu dewata, artinya tempat bersemayamnya Sanghyang Sn Ratu Dewata yang disebut-sebut dalam prasast1 Batu Tulis Bogor dengan gelar Sn Baduga Maha­raja Ratu Haji di Pakwan PaJajaran Sn Sang Ratu Dewata Dalam kitab yang sama d1sebut­kan bahwa keraton Itu terdin atas 5 bangunan

5 Berita Ponugis tersebut didukung oleh uraIan Sang Hyang Siksa Kanda Ng Karesian bahwa kepan­daian ukir kayu sudah dikenal masyarakat Sunda � na. sehingga tiarig-tiang istana raja di Pakwan PaJa­Jaran sudah sepantasnya dilengkap, dengan htasan Dalam Siksa Kanda Ng Karesian dinyatakan "Segala macam ukiran adalah naga-nagaan baronq-barongan. ukiran (tumbuh-tumbuhan). uklran kera, ukiran singa, segala macam uloran tanyalah Maranggi (ahli ukirl" (Siksa. XVII · 1�5)

49

Page 7: Penataan WIlayah pada Masa Kerajaan Sunda

yang masmg-masmg bernama Bima, Punta, Narayana, Madura, Suradipati (CP. XVI: 9)

Ayatrohaedi (1 978) pernah menafsirkan bahwa nama Pakwan Pajajaran sebagai ibu kota Kera1aan Sunda, sangat mungkin didasarkan pa­da adanya 5 bangunan keraton yang didirikan sejajar. Menurut Ayatrohaedi: "Barangkali keraton induk terletak di tengah jajaran itu, walau pun memang terbuka kemungkinan bahwa bangunan induk itu terletak paling u1ung (depan atau pun belakang), jika kita mengingat bahwa namanya selalu disebutkan sebagai unsur terakhir dari kompleks bangunan keraton itu .. . " (1 978: 52).

Kemudian dipertanyakan juga arah hadap bangunan-bangunan keraton yang berjajar itu. Menurut Ayatrohaedi berdasarkan uraian cerita­cerita Pantun Sunda, besar kemungkinan jika jaJaran itu membuJur dari utara ke selatan, bukan melintang dari barat ke timur (1 978:52). Penaf­siran berdasarkan kisah-kisah pantun tersebut nampaknya didukung pula dengan peninggalan data arkeologi, interpretasi atas laporan perjala­nan orang-orang Belanda dan juga berdasarkan perbandingan struktur bag1an-bagian keraton dari masa perkembangan Islam d i Nusantara.

Penmggalan arkeologi yang sebagian ma­sih dapat ditemukan hingga kmi adalah bag1an­bag1an dinding benteng batu yang mengelilingi seluruh kom pleks keraton dahulu. Selain itu ba­g1an-bagian parit yang mengelilingi tembok kota Pakwan dahulu, sekarang juga masih dapat dite­lusuri walaupun sebagian besar telah hilang. Hal yang penting adalah prasasti Batu Tulis dan area Purwa Galih yang dahulu pernah disaksikan oleh Scipio, Winkler, dan Riebeeck sekarang mas1h ada. bahkan telah dibuatkan cungkup oleh penduduk setempat Sementara itu dalam laporan Riebeeck yang melakukan perjalanan dalam tahun 1 709, ,a menyebut adanya tanah lapang (alun-alun) . Oalam laporan perjalanan yang dilakukan pada tahun 1 704 secara tersa­mar sebenarnya Riebeeck pernah juga menye­but adanya tanah lapang bag1an bawah yang sa­ngat mungkin adalah alun-2lun seperti yang di­kunjungi tahun 1 709 (Danasasmita 1 979: 1 2--3)

Saleh Oanasasmita (1 979) berhasil mere­konstruksi "kota Pakwan" berdasarkan laporan perjalanan orang-orang Belanda dahulu yang dipadukan dengan tinggalan arkeologis yang masih ada sekarang. Dalam gambar rekon­struks1 tersebut terlihat bahwa alun-alun terletak di s1si paling utara dari kom pleks kraton Pakwan. Jika dibandingkan dengan keadaan keraton­keraton yang masih ada hingga sekarang baik di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta, letak alun­alun tersebut berada di sisi utara keraton; sebe­lah selatannya adalah kompleks keratonnya. Keraton-keraton di Cirebon, yaitu Kasepuhan,

Berka/a Arkaologi EDIS/ KHUSUS - 1994

Kanoman,dan Kac,rebonan menghadap ke alun­alun, berarti menghadap ke utara, maka ke­mungkinan besar kompleks keraton Pakwan pun menghadap ke utara, berart1 5 bangunan keraton tersebut semuanya menghadap ke utara

Tafsiran Ayatrohaedi berdasarkan centa pantun bahwa 5 bangunan keraton Pakwan Pajajaran tersebut berjaJar dan utara ke selatan ternyata sesuai dengan interpertasi dan analog1 dengan tinggalan arkeolog1 keraton-keraton Cirebon yang dahulu memang termasuk wilayah Kerajaan Sunda6 . Bangunan-bangunan keraton Pakwan sangat mungkin berderet sebagai beri­kut; bangunan paling utara adalah Bima, kemu­dian di belakangnya menyusul Punta, Narayana, Madura dan Suradipati merupakan bangunan keraton paling belakang (selatan) sebagai tern­pat persemayaman raja ; Jadi keraton 1nduknya (Suradipati) tidak terletak di tengah, sebaga1-mana yang diduga oleh Ayatrohaedi (1 978: 52).

Berdasarkan nama-nama bangunan kera­ton tersebut mungkin dapat d itelusun fungs1nya masing-mas1ng . Bima, merupakan bangunan keraton paling utara , sangat mungkin sebaga1 markas para pengawal istana Pakwan. Nama Sima mengacu pada nama tokoh ke-2 Pandawa Bh ima, seorang ksatrya berbadan tinggi besar, lugas, pembela kebenaran dan pengawal set1a saudara-saudara Pandawa lainnya. Letak bangu­nan itu paling utara, paling dekat dengan alun­alun dan memang sesuai dengan untuk menga­wal gerbang utama kompleks keraton Pakwan di sisi utara. Mungkin bangunan B ima dapat dibandingkan tungsinya dengan bangunan-ba­ngunan di sitinggil keraton Kasepuhan, Cirebon yang Juga dipergunakan sebagai tempat para pengawal/praJurit peniaga keraton. Juga berfung­si sebaga1 tempat penyambutan para tamu

Tidak terialu menyimpang klranya Jika men1n1au pembagian ruang dalam keraton Kasepuhan sebagai upaya untuk mengetahui fungs1 keraton Pakwan Pajajaran Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati: sebab menurut berbagai sumber tradisi bahwa para penguasa Cirebon sebenamya keturunan dari keluarga ra1a-ra1a Sunda, dengan ra1anya yang ten<enal Prabu Siliwangi , hal itu disebutkan dalam naskah Purwaka Caruban Nagari, Sabad Cirebon, dan Sejarah Cirebon. Pendiri Kesultanan Cirebon ya1tu Syarif Hidayattulah yang kelak lebih dikenal dengan seb� tan Sunan Gunung Jati. menurvt sumber tradis1 ada­lah cucu Prabu Siliwa ng1, 1a adalah putra dari Dewi Rara Santang yang kawin dengan Syarif Abdullah anak Raja dari Mesir (Abdurachman 1982: 37).

Oleh karena itu agaknya arsitel<tls keraton Pakwan tercermin dalam keratonkeraton Cirebon, bahkan dalam Purwaka Caruban Nagari keraton Pakwan tersebut dikenal dengan sebutan Sang Sima ( Sulendraningrat 1972: 10 ) .

J t.o

Page 8: Penataan WIlayah pada Masa Kerajaan Sunda

agung yang memang datang lewat jalan utama di utara keraton.

Punta, nama tersebut tidak sepenuhnya d1ambil dari nama wayang (Puntadewa= Yudh is­t1ra) Tetapi bentukan dari kata Jawa/Sunda kuna pun + kita ----> punta yang berarti hamba atau sahaya. Jadi fungsi bangunan keraton yang ber­nama Punta sangat mungkin diperuntukkan bagi tempat para abdi, hamba, atau rakyat biasa jika mereka berkunjung menghadap raja.Rakyat atau para pejabat lainnya yang mungkin datang dari daerah-daerah akan diterima di Pun-ta, mereka tentunya duduk bersila menunggu giliran meng­hadap raja. Punta mungkin dapat disamakan tungsinya dengan Jinem Pangrawit, yaitu se­rambi depan keraton Kasepuhan. Secara tra­d isional dapat diketahui bahwa tamu-tamu yang akan menghadap sultan diterima dulu oleh pihak kerabat keraton di ruangan Jinem Pang;.rawit, tamu lalu mengutarakan dulu maksud dan tuju­annya, sebelum menghadap Sultan Kasepuhan.

Narayana. adalah nama bagi bangunan keraton yang lainnya lag1. Narayana adalah na­ma Kresna ketika masih muda remaja. Menurut k1sah wayang Purwa. sesuai dengan jiwa muda­nya, Narayana suka pada kegiatan kesen ian, karena itu dapat diduga bahwa bangunan kraton yang bemama Narayana, sangat mungkin di­pergunakan untuk pertunjukan kesenian dan se­macamnya yang sangat mungkin berkaitan de­ngan ritus atau kesenian penghormatan bag i le-1 uhur Bagian keraton yang berfungsi seperti itu dapat dijumpai pula di keraton Kasepuhan, rua­ngan dalam keraton Kasepuhan yang dipergu­nakan bagi pagelaran kesenian dan juga d iper­gunakan untuk upacara pajang jimat d inama­kan dengan Blandongan Jinem. Jadi ruangan tersebut terkesan sudah agak sakral, karena me­mang letaknya lebih dalam, juga fungsinya untuk kegiatan kesenian yang berhubungan dengan rel ig1.

Madura, nama kraton tersebut mungkin berasal dari kata Sansekerta madhura; yang te­lah d iserap ke dalam ba'1asa Jawa Kuna, artinya adalah ''tutur kata yang lemah-lembut'' (Mardi­warsito 1 986: 331 ). Agaknya memang sengaja bangunan keraton yang paling dekat dengan tempat tinggal raJa (Suradipati} dinamakan de­mikian, karena sangat mungkin di ruangan kera­ton Madura Raja Sunda muncul di hadapan para pejabat kerajaan. la bertutur kata lemah lembut, tentu saJa para pejabat juga harus bertutur kata lemah lembut penuh tata krama dengan rajanya. Jadi Madura adalah keraton tempat penuh de­ngan peradatan dalam bertatap muka dengan raja, di tempat 1tu pula segala perbincangan tentang kerajaan te�ad i

Berka/a Arl<eologi EDIS/ KHUSUS - 1994

Tata cara dalam berkunjung ke keraton Pakwan itu dijelaskan dalam kitab Sang Hyang Siksa Kanda Ng Karesian sebagai berikut "Bila kita masuk ke keraton, maka ba1k-ba1klah melihat. jangan sampa i melanggar, mendorong, mengganggu atau memutus jajaran (orang-orang duduk). Bila kita duduk jangan salah mengha­dap baik-baiklah bersi la. Dan sekiranya kita diajak bicara oleh raja, pikirkanlah betul -betul bicara kita. Harus layak supaya menyenangkan raia . . . " (Siksa. X: 10-5). Dalam bagian lain kitab tersebut menyatakan: "J ika di antara kita (ada) yang d imarah i oleh raja, itu semua jangan ditiru perbuatannya, nanti kitapun mendapat marah pula. ln i perbandingannya; kalau orang pergi ke hutan menginjak duri, lalu kitapun menginjaknya, terasa sama sakitnya. Bila ada di antara kita yang terpuji : cekatan. terampil, penuh keutama­an, cermat, teliti, raji n, tekun, setia kepada tugas dari raia. Yang demikian itu perlu ditiru perbua­tan dan kemahirannya, pasti kita pun akan men­dapat pujian pula" (Siksa. X. 24--6; XI: 1 --5}

Sementara itu d i keraton Kasepuhan terda­pat juga ruangan keraton yang disebut Pring­gondani, di ruang 1tu Sultan bertemu dengan pa­ra pejabat atau tamu-tamu lainnya. Tentu saJa perbmcangan yang terJadi penuh dengan tata krama dan peradatan yang sangat takzim De­ngan demikian dugaan bahwa keraton Madura di Pakwan PajaJaran sebaga1 tempat raJa, para pejabat serta rakyat biasa sali ng berhadapan un­tuk bercakap-cakap tidaklah jauh menyim-pang. Karena keadaan seperti itu ditegaskan pula dalam kitab Siksa Kanda Ng Karesian.

Di keraton Kasepuhan pada s1s1 timur ruang Pringgondani terdapat bangunan tempat tinggal Sultan Kasepuhan yang dinamakan Dalem Arum. Antara ruang Pringgondan, dan Dalem Arum dihubungkan dengan pintu , Jad1 ruang-ruang itu sating berdekatan, hanya disekat dinding tembok. Kiranya hal seperti 1tu teqad1 juga di istana Pakwan, keraton Madura dan Suradipati sebagai tempat tinggal raja sangat mungkin satu bangunan induk besar, tap1 atapnya terpisah. Suradipati berasal dan kata kata sura + adipati (=tempat tinggal raJa) ; ha! ini dapat dibandingkan dengan nama keraton Kerajaan Sunda saat berpusat di daerah Kawa. Ii , keraton 1tu adalah Surawisesa8

. Nama

7 Bandingkan dengan Suralaya yang berarti tempat tinggal para dewa ( Mardiwarsito 1986' 549). tempat 1tu dikenal pula dengan sebutan kadewatan, atau swargaloka.

' Kutipan prasasti Kawali yang menyebut adanya kraton SUrawisesa adalah sebagi berikut·

!0 1

Page 9: Penataan WIlayah pada Masa Kerajaan Sunda

Surawisesa terd in dan 2 kata ya1tu sura + wise­sa, artinya tempat kekuasaan tertinggi (Mardi­wars1to 1986: 690) ; atau dengan perkataan lain sebagai tempat persemayaman raja, karena hanya raja yang mempunyai kekuasaan tertingg , dalam suatu kerajaan.

Demikianlah dapat diketahu i bahwa kera­ton Suradipati terletak paling belakang dari de­retan keraton d i Pakwan Pajajaran. Tempat pa­ling belakang berarti paling selatan, hal ini seja­lan dengan konsep keagamaan saat Itu (Hindu­Buddha) bahwa keraton utama sebagai tempat tinggal raja terletak paling dekat dengan rang­ka1an pegunungan d i selatan Pakwan , yaitu Gu­nung Salak, Pangrango , dan Gede (Ageung) . Se­bab dalam kepercayaan Hindu-Buddha gunung dianggap sebagai tempat persemayaman para dewa, dan juga di gunung-gunung itu berse­mayam le luhur {hyang) yang telah diperdewa, merekalah yang terus-menerus "menjaga" keutuhan kerajaan Sunda seperti yan� tersirat dari kitab-kitab keagamaan Sunda Kuna

Hal yang menarik adalah penataan rumah­rumah di perkampungan orang Baduy di Banten Selatan. Penataan rumah tersebut mungki n me­yiratkan suatu kesan dari masa lalu dalam perio­de Kerajaan Sunda. Seperti te lah dikemukakan oleh beberapa ahli bahwa orang Baduy sebenar­nya telah hidup mengasingkan diri sejak jaman perkem bangan Kerajaan Sunda, mungkin hal in I berka1tan dengan cara ke h idupan mereka yang menghendaki demik1an 10 Oleh karena itu keleta-

.. . . nihan tapa kawali nusiya mulia tapa bhaga parebu raja wastu mangadeg di kut.a kawali nu mahayu na kadatuan surawisesa .. . ··

{" ... Yang benapa di Kawali ini ialah yang mulia pertapa yang berbahagia Prabu Raja Wastu yang bertahta di kota Kawafi, yang memperindah keraton Surawiaesa .. . "l (Danasasmita 1983/84, Ill: 36).

1 Mengenai kepercayaan bahwa para leluhur (hyang) yang menjaga keutuhan kerajaan Sunda tinggal di puncak gunung misalnya disebuU<an dalam naskah Sewaka Oarma. " .. tiba ditempat yang terang benderang terlihat para Jeluhur

Gunung Kendan. Medang <fan Menir tempat tinggal para leluhur... ( Danasasmita Dkk. 1 987· 64 ).

Gunung Kendan. Medang. Menir. Galunggung, dan Ql.lU)9-Ql.l1Ul'l9 falnnya di Jawa Barat yang dianggap seoagai tempat persemayaman para hyang juga disebutkan beri<a�kali dalam Carita Parahyangan. lihat Atja ( 1968). Tjarita Parahyangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunde Abad ka-16 Maeehi. Bandung: Yayasan Kebudayaan Nusalarang.

10 Lihat catatan 4. JU9a tihat Saleh Danasasmta dan An1s Djatisunda ( 1 986), Kehidupan Masyarakat Kanekea. terutama halaman 2-7 Bandung: Bagian

Berl<aJa Arkeok>gi EDIS/ KHUSUS - 1994

kan rumah-rumah perkampungan Baduy (dalam) sangat m ungk in masih mengikuti aturan trad 1s1 yang turun tem urun. Kenyataan yang menank adalah bahwa rumah Puun sebagai kepala kampung yang d1tuakan karena pengetahuan rel igi dan tradisinya terletak paling selatan dan rumah-rumah perkampungan Baduy (dalam) 01 depan rumah Puun itu terentang tanah kosong, semacam halaman luas yang memisahkan deretan rumah-rumah di sisi barat dan ti murnya Di sisi utara tanah kosong tersebut terdapat bangunan bale, tempat dilalukannya pertemuan­pertemuan adat, untuk menerima tamu dari luar Baduy, dan sebaga1 tempat persiapan upacara yang berkaitan dengan kegiatan pertanian mereka. Di sisi utara kampung terdapat pu la lumbung padi {leuit) dan tempat menumbuk padi {saung lisung) yang di pergunakan secara bersama-sama oleh se luruh warga kampung (Gama 1 993: Gambar 6-2) .

4. Kaj 1an mi sengaja membicarakan penode akh1r perkembangan kerajaan Sunda, karena memang data yang tersedia h ingga kini hampir sebagIan besar berasal dari masa tersebut. Ber ita leb1h tua tentang Kerajaan Sunda kebanyakan berasal dari sumber seiarah abad 1 5 atau 1 6 M pu la dan itu pun bersifat terbatas sehingga tidak da­pat melakukan perbandingan IsI sumber benta untuk mencari kesimpu lan yang paling layak, atau mendekati kebenaran sejarah . Atas dasar pertimbangan itu maka pemb icaraan periha l penataan wilayah KeraJaan Sunda tidak meluas h ingga masa sebelum abad 1 5 M (misalnya saat ibu kota di Kawali) , sebab dikhawatirkan yang muncul hanya dugaan-dugaan semata.

Berdasarkan data yang terbatas akh1rnya dapat pula disimpulkan penataan wilayah Kera­Jaan Sunda dalam periode abad 1 5-6 M. Tentu saJa kesimpulan tersebut hanya bersifat semen­tara yang dapat d i perba1ki atau dilengkap1 da­lam penelltian-pene l itian lain d i masa menda­tang. Gambaran penataan wilayah tersebut dapat terl ihat dalam bagan beri kut.

Proyek Penelitlan dan PengkaI1an Kebudayaan Sunda l Sundanologt ), Depdikbud.

Page 10: Penataan WIlayah pada Masa Kerajaan Sunda

SUSUNAN PENATAAN WILAYAH KERAJAAN SUNDA (PRAHAJYAN SUNDA)

I DAYEUH ( IBU KOTA) I SRI SIMA PUNTA NARAYANA MADURA SURADIPATI

T empat Kedudukan Ra tu/Raja

l IDAERAHI

Pejar

t Ting�: Mang�

; Kerajaao

,----1"'----

DAERAH DAE RAH

.__D_ES_M_U_RA_H_.1 1 DESMURAH

Wado

Keterangan • termasuk ke dalam mandala adalah Juga kawikuan, dan karesian

Dalam berbaga1 sumber sejarah tidak ada yang menyebutkan secara nnc1 berapa jumlah "negara daerah" yang bernaung di bawah kekuasaan raJa Sunda. Juga tidak ada contoh yang menyebutkan suatu "negara daerah", m1-salnya X terdin dan desa-desa yang berada di bawah kekuasaan negara daerah X tersebut. Sedangkan mengenai wilayah keagamaan, pa­li ng tidak d1sebut-sebut Jenisnya dalam beberapa sumber sehingga memungkinkan untuk melaku­kan penafsiran

Hal yang masih belum Jelas ada para peJabat d1 hngkungan keraJa an Sunda. Naskah Siksa Kanda Ng Karesian memang menjelas­kan tata jenjang pengabdian, tapi hal itu bukan sepenuhnya urutan Jabatan dalam pemerintahan keraJaan melainkan terca_mpur dengan bakti dalam konsep keagamaan. Mungkin yang dapat d1Jad1kan data peJabat-pejabat keraJaan mulai dan wado terus ke atas hingga ratu (raJa) , sebaga, peJabat yang berhubungan langsung dengan b1 rokrasi kerajaan.

Wado sangat mungkin adalah kepala desa. sebab dinyatakan dalam Siksa Kanda Ng Karesian bahwa petani harus patuh pada wade. Jad, wado adalah Jabatan yang langsung berhubungan dengan rakyat KeraJaan Sunda yang hidup dari keg1atan agraris. Di atas wado adalah mantri , mungkin setingkat camat sekarang, d, kecamatan saat ini masih dikenal peJabat mantri polisi, sangat mungkin Jabatan 1tu memang te lah ada dalam masa Kerajaan Sunda dalam bentuk pengawas para kepala desa Kemudian di atas mantri adalah nu nang­ganan, pejabat ini belum diketahui secara pasti kedudukannya, namun pada bag,an lain Siksa Kanda Ng Karesian menyebutkan bahwa nu

Berka/a Arkeolog1 EDIS/ KHUSUS - 1994

MANDALA •

Mahap ndita

1 KABUYUTAN DESMURAH

Rama. Rs,

nangganan 1alah pem1mp1n bala tentara dan disebut juga dengan tanda (S1ksa. VI : 1 4--6) Jad, nu nangganan dapat d1tats1rkan sebaga1 Jaba­tan tertmgg1 militer yang bertanggung iawab atas keamanan dan keutuhan keraJaan Akhir­nya Jabatan tertinggi sebelum ra1a adalah mang­kubumi , jabatan in, d1kenal Juga dalam masa Majapahit di Jawa Timur. Berdasarkan berbaga1 sumber sejarah dapat diketa hu, bahwa (patih) mangkubumi adalah orang kedua setelah raia 1a bertindak sebagai wakil raia atau perdana mentri (koordinator para peJabat tinggi kerajaan)

Susunan peJabat seperti itulah yang agaK­nya dikenal ba1k di pusat (Keraiaan Sunda seca­ra umum) atau di tingkat keraiaan daerah Peia­bat- pejabat di daerah akan bertanggung Jawab pada raJa daerah (Tohaan), dan mas1ng-masing daerah mempunya1 seperangkat pejabat sepert, yang diuraikan dalam Siksa Kanda Ng Karesian

Mengenai perQant1an raja d1 KeraJaan Sunda, setelah raia yang memerintah sebel um­nya men,nggal atau mengundurkan di n, menurut sumber-sumber seJarah yang ada raJa penggan­tmya talah putra raja terdahulu; dalam hal j ika raJa terdahulu tidak mempunya1 anak lelak1 yang pantas dan layak menjad, raJa, maka ra1a yang baru d1tunJuk dar, salah seorang penguasa daerah . Mungkin penguasa-penguasa daerah berembuk untuk meng,si kekosongan tahta Sun­da, kemudian diputuskan bahwa salah seorang dan mereka dengan kriteria khusus layak untuk d1raJakan di Pakwan PaJaJaran (Sumad10 1 984 380) 1 1

11 Agar lebth Jelas mengena1 kntefia dan proses pemilihan ra1a baru pada masa Kera1aan Sunda. !that Sejarah Nasional Indonesia I I : Jaman Kuna.

[ Tohaan i

' ________ ] _1 ---

]

Page 11: Penataan WIlayah pada Masa Kerajaan Sunda

Penellt1an terhadap perkembangan Kera­Jaan Sunda tetap masih perlu di lakukan di masa mendatang, karena baru sedikit aspek saja yang telah menjadi perhatian dan dibicarakan oleh pa­ra ahli Kendala utama terhadap penelitian terse­but tentu saJa hal kelangkaan da ta. Namun hal itu tidak dapat dijadikan alasan sehingga sejarah KeraJaan Sunda menjadi terbaikan, karena sebe­narnya masih cukup banyak sumber tertulis berupa karya sastra yang belum dikaji, sehingga kesempatan untuk mengusut lebih lanjut perihal eksistensi Kerajaan Sunda masih terbuka lebar.

Tinggalan arkeologi yang berasal dari ke­raJaan tersebut juga sangat sedikit, jika diban­d1ngkan dengan aneka macam benda arkeologi yang berasal dari kerajaan-keraJaan kuna d1 Ja­wa Tengah dan Jawa Timur. Namun hal itu perlu menjadi renungan sebab siapa tahu tinggalan arl<eologis dari Kerajaan Sunda secara umum memang ber beda wujudnya dengan candi, area, rel ief, pemandian kuna dan lain-lain yang berasal dari Keraiaan Mataram, Kadiri, Singha­sari, dan Majapahit. Oleh karena itu para pemi­nat kebudayaan Sunda Kuna harus lebih Jeli 11ka mengamati berbaga1 situs di wilayah Jawa Barat. sangat mungkin apa yang semula dianggap sebagai situs dari masa prasejarah, khususnya tradisi megalitik, justru setelah dika11 secara mendalam sebenarnya berasal dan penode sejarah, masa perkembangan Kerajaan Sunda.

"Ucapan Ierima kas1h dituJukan kepada Prof. Dr. Ayatrohaedi (Mang AyaQ yang kerap melakukan diskus1 singkat dengan penulis. diskusi-disk.usi itu merupakan dorongan yang amat berharga sehingga tersusunlah mak.alah ini''

Depok. 13 Februan 1994.

KEPUSTAKAAN

Abdurachman, Param1ta R (Penyuntmg). 1 982. Cerbon. Jakarta· Sinar Harapan

AtJa. 1 968 Tjarita Parahijangan: Naskah Ti-tilar Karuhun Urang Sunda Abad ka- 16 Masehi. Bandung. JaJasan Kebudajaan Nusa Larang

Ayatrohaedi, 1 978 Pa1a1aran atau Sunda, dalam Majalah Arkeologi. Th. 1 , No.4 Maret'

Bambang Sumadio ( Penyun1ing). Bab VII "Kerajaan Sunda". halaman 37�83 Jakarta: Bala1 Pustaka Tahun 1984

Berl<ala ArkeologI EDIS/ KHUSUS - 1 994

46--54. Jakarta. Jurusan Arkeolog1 Fakultas Sastra U nivers1tas Indonesia

Islam, Majalah l lmu-ilmu Sastra. J1 1 ld IX, No.4: 33-42 Jakarta. Fakultas Sastra Un iversitas Indonesia

Ayatrohaedi , Tien Wart1n1 & Undang Ahmad Oar­sa, 1 987 Kawih Paningkes dan Jati­niskala: Alih Aksara dan Terjemahan. Bandung: ag1an Proyek Penelit1an dan

nologi), Depdikbud.

Boechari, 1980, The Inscription of Mula Malu­rung· A new evidence on the h1stonc1ty of Ken Angrok, Majalah Arkeolog1. Th. I l l . No. 1 -2, Sept. -Nov. h im 55-70

Boechan, 1 985/86, Prasasti Kolekst Museum Nasional Jilid I Jakarta:Proyek Pengem­bangan Museum Nasional.

Cortesao,Armando, 1 944 The Suma Oriental of Tome Pires London The Hakluyt Society

Dam,H Ten. , 1 957, Verkennmgen Rondom PadJa­

djaran, l ndonesie, XJ4 290-310.

Danasasm1ta, Saleh, 1 979,Lokasi "Gerbang Pa­kuan" dan Rekonstruksi Batas-batas Kota Pakuan berdasarkan Laporan Perjalanan Abraham van Riebeeck dan Ekspedisi voe lainnya ( 1 687-1 709). Bandung·Lembaga Kebudayaan Un1ver­s1tas PajaJaran

Kotamadya OT. II Bog or

Oanasasmrta, Saleh. Yoseph lskandar & Enocr Atmadibrata, 1 983/84 Rintisan Penelu­suran Masa Silam: Sejarah Jawa Ba­rat, Jilid 3. Bandung: Proyek Penerb1tan Buku SeJarah Jawa Barat. Pemda Ting­le.at I Jawa Barat

Danasasm1ta. Saleh & Anis Diat1sunda 1 986 Kehidupan Masyarakat Kanekes Bandung· Bag1an Proyek Penelit1an dan Pengkajian kebudayaan Sunda (Sunda­nologi}, Depdikbud

Oanasasmita, Saleh , Ayatrohaedi, Tien Wartm, & Undang A.Darsa, 1 987 Sewa ka Darma . Sanghyang Siksakanda Ng Karesian.

I IJ.J

Ayatrohaedi , 1 980/81 Masyarakat Sunda Sebelum

Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sunda­

Danasasmita , Saleh 1 983, Sejarah Bogor Bogor· Pemda

Page 12: Penataan WIlayah pada Masa Kerajaan Sunda

Amanat Galunggung. Bandung: Bag1an Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebu­dayaan Sunda (Sundanologi) Depdikbud.

Gama, Yudhistira, 1 993, Masyarakat Baduy di Banten Masyarakat Terasing di Indone­sia, Koentjaraningrat, V. Simorangkir (penyunting), h im. 1 20-52 Jakarta: Gra­media Pustaka Utama.

Mardiwarsito. L.. 1 986, Ka mus Jawa Kuna-Indo­nesia. Ende: Nusa lndah.

Munandar, Agus Aris, 1 991 Kegiatan Keaga­maan Dalam Masyarakat Kerajaan Sunda: Data Prasasti dan Karya Sastra. dalam Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuaan Pajajaran, dise­lenggarakan oleh Universitas Paku-an, Boger 1 1 --3 November 1991 .

Jaan Sunda: Data Arkeologi dan Sumber Tertulis , Pertemuan llmiah Arkeologi VI. Batu, Malang, Jawa Timur 26--30 Juli 1 992. Him 267-92.

Noorduyn, J. , 1 992,Bujangga Manik's Jorneys Thro-ugh Java:Topographical Data From An Old Sundanese Source, BKI. Deel 1 38,4e Aflerering s' -Gravenhage: Marti­nus Nijhoff

Sulendraningrat, P. S , 1 972 Purwaka Tjaruban Nagari. Jakarta. Bhratara.

Su mad 10, Barn bang (Penyunting), 1 984 Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka

Sutaarga,Amtr, 1 965, Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran ( 1474-1 51 7). Djakarta: Duta Rakjat

Von Heme Geldern, Robert, 1 982 Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Penterjemah Deliar Noer. Jakarta: Rajawali.

Berka/a Arl<eolog, EDIS/ KHUSUS - 1994 1 05

M u n a n d a r , A g u s A r i s 1 992 Bangunan Suci Pada Masa Kera­