bab ii tinjauan pustaka 2.1 sejarah geografi paparan sundarepository.ub.ac.id/363/3/bab.ii.pdf ·...

12
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Geografi Paparan Sunda Paparan Sunda merupakan hotspot keanekaragaman hayati di Asia Tenggara (Meyers dkk., 2000). Hal ini dikarenakan Paparan Sunda memiliki sejarah iklim dan geologi yang kompleks (Sodhi dkk., 2004). Menurut Esselstyn dkk., (2010) bahwa Paparan Sunda terdiri dari pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaya, beberapa pulau-pulau kecil, serta Palawan yang merupakan bagian dari Filipina juga termasuk kedalam Paparan Sunda (Gambar 1). Paparan Sunda memisah, bergabung terjadi beberapa kali dikarenakan naik turunnya permukaan air laut yang membuat antar daratan menjadi terpisah (Lohman dkk., 2011). Daratan paparan sunda memiliki luas dua kali dari luas daratan sekarang pada zaman pleistosen, ketika permukaan air menurun yang menyebabkan terjadinya penyebaran populasi antar pulau. Fluktuasi permukaan air laut dipengaruhi oleh perubahan volume es di kutub. (Lohman dkk., 2011) Gambar 1. Peta Paparan Sunda saat ini Paparan Sunda merupakan benua yang terdapat di ujung selatan Eurasia pada permulaan era Kenozoikum, diperkirakan sekitar 65 Mya. Proses perubahan Paparan

Upload: others

Post on 27-Jan-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Sejarah Geografi Paparan Sunda

    Paparan Sunda merupakan hotspot keanekaragaman hayati di Asia Tenggara (Meyers

    dkk., 2000). Hal ini dikarenakan Paparan Sunda memiliki sejarah iklim dan geologi yang

    kompleks (Sodhi dkk., 2004). Menurut Esselstyn dkk., (2010) bahwa Paparan Sunda terdiri

    dari pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaya, beberapa pulau-pulau kecil,

    serta Palawan yang merupakan bagian dari Filipina juga termasuk kedalam Paparan Sunda

    (Gambar 1). Paparan Sunda memisah, bergabung terjadi beberapa kali dikarenakan naik

    turunnya permukaan air laut yang membuat antar daratan menjadi terpisah (Lohman dkk.,

    2011). Daratan paparan sunda memiliki luas dua kali dari luas daratan sekarang pada

    zaman pleistosen, ketika permukaan air menurun yang menyebabkan terjadinya

    penyebaran populasi antar pulau. Fluktuasi permukaan air laut dipengaruhi oleh perubahan

    volume es di kutub.

    (Lohman dkk., 2011)

    Gambar 1. Peta Paparan Sunda saat ini

    Paparan Sunda merupakan benua yang terdapat di ujung selatan Eurasia pada

    permulaan era Kenozoikum, diperkirakan sekitar 65 Mya. Proses perubahan Paparan

  • 6

    Sunda diperkirakan terjadi sekitar 60 Mya pada masa Paleosen hingga masa awal Pliosen

    sekitar 5 Mya (Gower dkk., 2012). Sedangkan menurut Hall (1996), proses perubahan

    Paparan Sunda diperkirakan telah terjadi pada masa Paleosen sekitar 60 Mya, masa akhir

    Eosen (~40 Mya), masa pertengahan Oligosen (~30 Mya), masa awal Miosen (~20 Mya),

    masa akhir Miosen (~10 Mya), dan masa awal Pliosen (~5 Mya) (Gambar 2.2).

    Berdasarkan sejarah perubahan permukaan air laut, terjadi penurunan permukaan air

    laut yang besar pada zaman Pleistosen atau glasial maksimum (~250.000 ya). Akibatnya

    adalah penggabungan kembali Semenanjung Malaysia, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa

    menjadi satu kontinen dataran Sunda yang luas. Dataran rendah luas dengan relief

    topografi besar dan juga sungai besar serta panjang yang mengalir ke arah Laut Cina

    Selatan dan Laut Jawa terdapat pada zaman tersebut. Pemisahan Semenanjung Malaysia,

    Kalimantan, Sumatera, dan Jawa kembali terjadi dengan berakhirnya zaman glasial

    maksimum, ~10.000–17.000 ya (Molengraaf, 1916; Tjong dkk., 2010).

    Gambar 2. Pemisahan Paparan Sunda (Lohman dkk., 2011)

  • 7

    2.2 Morfometri Ular secara Umum

    Morfometri merupakan suatu metode yang digunakan untuk menganalisis variasi

    antar individu atau populasi. Morfometri adalah suatu cara untuk mengetahui

    keanekaragaman suatu spesies dengan melakukan pengujian suatu karakter morfologi

    secara umum. Sisik pada ular terbentuk karena adanya modifikasi yang terjadi pada lapisan

    epidermis. Pada setiap individu ular yang baru menetas dari telurnya, memiliki jumlah

    sisik yang tetap hingga individu tersebut dewasa. Perubahan yang terjadi pada sisik ular

    yaitu pertambahan ukuran sisik. Setiap karakter sisik yang diamati merupakan bentuk

    interaksi gen-gen yang terekspresi dan dipengaruhi oleh lingkungan (Munshi & Dutta,

    1996).

    Secara umum sisik ular dibagi menjadi sisik kepala, sisik punggung atau dorsal, dan

    sisik badan (ventral dan caudal). Karakter morfometri ular yang diukur yaitu dari ujung

    mulut hingga kloaka (SVL), panjang ekor, panjang total tubuh, panjang kepala, lebar

    kepala, jarak antar mata. Karakter meristik meliputi jumlah sisik misalnya pengukuran

    jumlah sisik ventral, jumlah sisik pada ekor, dan sisik pada kepala. Untuk lebih jelasnya

    dapat melihat gambar dibawah ini.

    Gambar 3. Bagian-bagian sisik pada ular, a) Sisik kepala bagian dorsal dan

    ventral, b) Perhitungan sisik dorsal, c) Perhitungan sisik kepala

    bagian dorsal lateral, c) Perhitungan sisik bagian ekor (Malkmus

    dkk., 2002).

  • 8

    2.3 Klasifikasi Ular Python (Linneaus, 1758)

    Ular Python ada yang tergolong berekor pendek (short tail) dan berekor panjang

    (long tail). Malayopython reticulatus dan Python bivittatus merupakan kelompok ular yang

    memiliki ukuran tubuh yang besar dan panjang. Panjang tubuh bervariasi hingga mencapat

    8-9 meter (Auliya dkk., 2002). Sedangkan panjang tubuh ular python yang tergolong short

    tail yaitu dapat mencapai dua meter. Saat ini terdapat 44 spesies Python yang diakui dan

    beberapa spesies telah mengalami perubahan nama seiring dengan hasil penelitian yang

    terus berkembang. Klasifikasi ular Python adalah sebagai berikut:

    Kingdom : Animalia

    Filum : Chordata

    Kelas : Reptilia

    Ordo : Squamata

    Famili : Pythonidae

    2.3.1 Malayopython reticulatus SCHNEIDER, 1801

    Malayopython reticulatus merupakan salah satu jenis python yang telah berganti

    nama dari nama awalnya Python reticulatus. Rawling dkk., (2008) mendapatkan hasil yang

    parafiletik dan mengusulkan nama Broghammerus reticulatus sebagai pengganti nama dari

    Python reticulatus. Hasil penelitian tersebut didukung oleh Pyron dkk., (2013) bahwa

    reticulatus dan timoriensis merupakan satu clade dari jenis Python lainnya. Selanjutnya

    Reynold dkk., (2014) menempatkan clade reticulatus dan timoriensis pada genus baru

    yaitu Malayopython (Gambar 2.7).

    Panen skala besar terjadi sepanjang tahun, dengan perkiraan 340.000 individu

    tertangkap dari alam liar setiap tahun (Kasterine dkk., 2012). Studi terdahulu tentang

    keberlanjutan pemanenan reticulated python termasuk review oleh Natusch dkk., (2016),

    dilakukan dalam rentang sepuluh tahun setelah studi pertama oleh Shine dkk. (1999).

    (a) (b) Gambar 2.4 Malayopython reticulatus (a) bagian dorsal, (b) bagian ventral.

    (NK Research collection).

  • 9

    Identifikasi Malayopython reticulatus (Python reticulatus) yaitu tubuh yang relatif

    memanjang dan ramping, exceptin individu besar; kepala berbeda dari leher; rostral;

    supralabial 12-14; supralabial I-IV dengan lubang-lubang; suprabial VII atau VIII

    memasuki orbit; infralabial 23; 2-3 anterior dan 5-6 infralabial posterior; mata kecil; pupil

    vertikal; sisik midbody 69-79; ventral 297-330; subcaudal 78-102, anal; kloaka hadir di

    kedua jenis kelamin (lebih berbeda pada laki-laki). Untuk warna punggung kuning atau

    coklat dengan tanda gelap; median line hitam berjalan dari moncong ke tengkuk; warna

    kuning dengan bintik-bintik cokelat kecil. Habits dan perilaku, mendiami hutan dan

    biasanya ditemukan di tepi aliran air, di mana ia menyergap mangsa. Juga umum

    ditemukan di kota-kota, di mana ia mendiami selokan. Nokturnal dan terestrial, dengan

    beberapa aktivitas arboreal dan air. Terdiri 14-124 telur, berukuran 90-93 x 58-62mm.

    Persebaran M. reticulatus reticulatus mulai dari India hingga di seluruh Asia Tenggara.

    Terdapat tiga subspesies yang diakui yaitu M. reticulatus reticulatus, M. reticulatus

    jampeanus dan M. reticulatus saputrai (Auliya dkk., 2002).

    2.3.2 Python bivittatus KUHL, 1820

    Python bivittatus awalnya dikelompokkan pada subspesies P. molurus bivittatus.

    Pada tahun 2009, P. bivittatus menjadi spesies tersendiri. Spesies ini masuk dalam kategori

    rentan (Vulnerable). Spesies ini berasal dari India dan tersebar ke Kamboja, Cina,

    Hongkong, Indonesia (Jawa, Bali, dan Sulawesi), Myanmar, Laos, Nepal, Thailand dan

    Vietnam (Stuart dkk., 2012).

    Gambar 5. Persebaran Python bivittatus

  • 10

    Populasi Python bivittatus mengalami penurunan akibat tingginya pemanenan

    dialam untuk perdagangan kulit, obat tradisional, dan hewan peliharaan, serta degradasi

    habitat (Zug, dkk., 2011). Di Vietnam spesies ini mengalami penurunan populasi sebesar

    80% (Daeng dkk., 2007). Kemudian mengalami penurunan populasi di Cina sebesar 90%

    akibat tingginya perdagangan kulit dan konsumsi untuk jenis ular ini. Sedangkan untuk

    Indonesia, masih belum memiliki data populasi, namun para pedagang ular mengatakan

    sudah kesulitan untuk mendapatkan spesies ini (Stuart, dkk., 2012). Berbanding terbalik

    dengan persebaran aslinya, ular ini di introduksi ke Florida, dan ular ini tumbuh dan

    bereproduksi dengan cepat dan menjadi spesies invasive di Florida yang mengancam pada

    spesies endemik dan kesehatan ekosistem (Dorcas dkk., 2012).

    Python bivittatus memiliki panjang tubuh hingga 7,6 m. Identifikasi untuk tubuh

    tebal, silinder; kepala berbentuk tombak, berbeda dari leher; supralabial 11-13; supralabials

    dipisahkan dari orbit oleh deretan sisik subocular; infralabial 20; sensorik di rostral dan 2

    lubang supralabial sebagai sensor, sisik midbody 60-75; ventrals 245-270; subcaudal 58-

    73;. Warna tubuh, punggung coklat gelap atau kekuningan abu-abu dengan serangkaian

    30-40 patch coklat-abu-abu gelap yang besar, tidak teratur dan persegi yang bermata

    dengan warna hitam pada permukaan dorsal dan panggul; punggung dan bintik-bintik

    lateral yang gelap dan abu-abu gelap subocular stripe ini; venter abu-abu dengan bintik-

    bintik gelap pada scalerows luar. Salah satu subspesies adalah Python molurus bivittatus

    berdistribusi di Jawa. Habitat dan perilaku yaitu mendiami hutan dan kadang-kadang kota

    dan desa. Aktif di siang hari dan malam hari. Menunggu untuk menyergap mangsa

    berdarah panas. Telur terdiri 30-58 buah, ukuran 120x60 mm (Das, 2010).

    (a) (b)

    Gambar 6. Python molurus bivittatus (a) bagian dorsal, (b) bagian ventral.

    (NK Research collection).

  • 11

    2.3.3 Python breitensteini STEINDACHNER, 1880

    Python breitensteini merupakan jenis python berekor pendek (short tail). Ular ini

    awalnya di kelompokkan sebagai subspesies dari Python curtus. Namun dengan adanya

    penelitian terkait morfologi dan analisis DNA serta geografinya, maka menjadi suatu

    spesies tersendiri yaitu P. breitensteini (Keogh dkk., 2001; Rawlings dkk; 2008). P.

    breitensteini memiliki persebaran di Indonesia (Kalimantan), Malaysia (Sabah dan

    Sarawak), serta Brunei Darussalam. Hal ini menunjukkan bahwa persebaran P.

    breitensteini hanya terdapat di Pulau Borneo (Tabel 7) (Inger dkk., 2012).

    Gambar 7. Persebaran Python breitensteini

    Python breiteinsteini dapat dijumpai pada ketinggian kurang dari 1000 mdpl. Ular

    ini memiliki status Least Concern karena terdistribusi luas di Borneo. Selain itu, ular ini

    dianggap mempu beradaptasi dengan habitat buatan manusia. Python breiteinsteini banyak

    diambil dari alam untuk dimanfaatkan kulit dan dagingnya serta dijadikan hewan

    peliharaan. Kuota ekspor yang diperbolehkan untuk di Kalimantan pada tahun 2011 yaitu

    sebesar 10.800 kulit dan 1.620 individu diekspor dalam keadaan hidup untuk dijadikan

    hewan peliharaan. Selain itu Python breiteinsteini juga dijadikan makanan di pasar lokal

    Sarawak. Python breiteinsteini ini dikhawatirkan terjadi perdagangan lintas batas antara

    Malaysia dan Indonesia karena kedua negara ini saling bersebelahan (Inger dkk., 2012).

    Tingginya tingkat perdagangan Python breiteinsteini membawanya pada status Appendix

    II menurut CITES.

    Python breiteinsteini memiliki ukuran tubuh dapat mencapai 2 m. Tubuh yang

    pendek, kepala memanjang; loreal besar; postocular 1-4; supralabial 9-11; infralabials 14-

  • 12

    19; ekor pendek; sisik midbody 50-57; ventral 154-165; subcaudal 27-33 (Keogh, 2001).

    Warna tubuh bagian punggung kuning pucat atau cokelat dengan bercak gelap, gelap

    bagian posterior, atau dorsum; pucat stripe postocular ke sudut rahang. Habitat dan

    perilaku yaitu mendiami hutan hujan dataran rendah dan midhills di ketinggian 0-1000 m.

    Terdapat di tepi sungai dan rawa-rawa. Python breiteinsteini termasuk hewan nokturnal

    dan terrestrial. Dapat menghasilkan telur hingga 12 telur dan ular ini merupakan endemik

    Kalimantan (Das, 2010).

    2.3.4 Python brongersmai STULL, 1938

    Python brongersmai memiliki sejarah yang tidak jauh berbeda dengan P.

    breitensteini karena dulunya dikelompokkan kedalam subspesies P. curtus. Penelitian

    Keogh dkk., (2001) dan Rawlings dkk., (2008) menguatkan bahwa P. brongersmai

    menjadi spesies tersendiri berdasarkan hasil yang berbeda untuk karakter morfologi,

    analisis DNA dan persebaran (geografi). Penelitian Keogh dkk., (2001) tentang sistematik

    dan biogeografi kelompok Python curtus menunjukkan bahwa P. brongersmai dan P.

    curtus memiliki divergensi yang hampir sama terhadap P. reticulatus menggunakan gen

    Cyt b yaitu sebesar 8, 9% dan 10, 3%. Sedangkan P. breitensteini dari Kalimantan dengan

    P. curtus dari Sumatera Barat dan Selatan memiliki hubungan yang erat (divergensi 3%).

    Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan spesies atau populasi menghasilkan perbedaan nilai

    similaritas dan variabilitas diantara ketiga pulau. P. brongersmai memiliki persebaran dari

    Thailand, Semenanjung Malaysia, dan Sumatera (Gerismer & Chan, 2012).

    Gambar 8. Python breitensteini bagian dorsal

    (NK Research collection).

  • 13

    Gambar 9. Persebaran Python brongersmai.

    Python brongersmai memiliki habitat rawa di dataran rendah. Di Sumatera Utara,

    spesies ini mengalami peningkatan jumlah pada daerah perkebunan kelapa sawit (Keogh

    dkk., 2001). Spesies ini dipanen untuk diperdagangkan kulitnya pada tingkat internasional.

    Pada tahun 2011, Indonesia melakukan ekspor kulit sebanyak 36.936 kulit secara legal dan

    perdagangan dengan tujuan hewan peliharaan sebanyak 2.250 ekor (Grismer & Chan.,

    2012).

    Python brongersmai memiliki panjang > 2m. Memiliki postoculars 1-3; supralabial

    9-13; 1-2 supralabial kontak orbit; infralabials 17-22; ekor pendek; anterior dorsal scale

    45-53, midbody scale 53-61, posterior dorsal scale 32-38, ventrals 167-178; subcaudal 24-

    36; kloaka hadir pada kedua jenis kelamin (Keogh, 2001). Warna tubuh yaitu punggung

    kecoklatan. Habitat dan perilaku yaitu mendiami hutan dataran rendah sampai dengan

    submontain. Nokturnal dan terestrial, terkait dengan sungai dan dasar hutan. Menghasilkan

    10-12 telur. Distribusi endemik Sumatera Barat dan Selatan (Das, 2010).

    2.4 Keragaman Genetik

    Keragaman genetik diperlukan untuk suatu populasi beradaptasi terhadap perubahan

    lingkungan. Hal ini dapat diukur menggunakan pendekatan molekuler. Populasi yang

    perkembangbiakan alaminya besar, biasanya memiliki keragaman genetik yang luas.

    Hilangnya keragaman genetik sering dikaitkan dengan berkurangnya kemampuan

    reproduksi. Saat ini, mengetahui keragaman genetik menjadi fokus utama dalam bidang

    konservasi (Frankham dkk., 2002).

    Gen adalah urutan nukleotida pada segmen tertentu. Keanekaragaman genetik

    mewakili urutan nukleotida. Variasi dalam urutan nukleotida dapat menyebabkan

  • 14

    perbedaan urutan asam amino didalam protein. Variasi protein dapat menyebabkan

    ketidaksamaan biokimia atau morfologi yang menyebabkan perbedaan tingkat reproduksi,

    perilaku, dan kelangsungan hidup. Adanya variasi karakter kuantitatif yang terlihat pada

    manusia dapat terlihat seperti perbedaan tinggi badan, berat, dan bentuk tubuh. Variasi ini

    dapat disebabkan oleh genetik dan lingkungan.

    Tingkat keragaman genetik terbesar di dalam DNA biasanya dapat ditemukan pada

    basis yang memiliki sedikit fungsional, yang tidak mengkode, dimana substitusi tidak

    mengubah fungsi molekul. Keragaman genetik terendah dapat ditemukan pada daerah

    pengkode (Frankham dkk., 2002). Salah satu marker yang sering digunakan adalah

    mikrosatelit. Dengan melakukan studi keragaman genetik harapannya dapat melakukan

    rekomendasi terhadap manajemen konservasi dimulai dari tingkat genetik karena

    konservasi genetik bertujuan untuk meminimalkan resiko kepunahan dari faktor genetik

    (Frankham dkk., 2002).

    2.5 Mikrosatelite

    Mikrosatelit adalah sekuens berulang yang terdiri dari 1-6 basa nukleotida.

    Mikrosatelit dikenal juga sebagai short tandem repeat (STR), simple sequence repeats

    (SSR), dan variable number tandem repeats (VNTR). Sebuah lokus mikrosatelit memiliki

    panjang variasi pengulangan (repeat) antara 5-40 (Selkoe & Toonen, 2006). Pengulangan

    yang banyak digunakan untuk studi genetika molekuler adalah dengan pola dinukleotida,

    trinukleotida, dan tetranukleotida (Selkoe & Toonen, 2006). Sekuens mikrosatelit dapat

    ditemukan pada wilayah coding dan non-coding (Moniruzzaman dkk., 2015). Namun,

    sebagian besar sekuens mikrosatelit ditemukan pada daerah non-coding karena memiliki

    tingkat substitusi nukleotida yang lebih tinggi dibandingkan di daerah coding

    (Moniruzzaman dkk., 2015). Tingkat keragaman yang tinggi menyebabkan sulitnya

    mendapatkan primer yang universal pada mikrosatelit, berbeda dari DNA mitokondria

    yang telah memiliki primer yang universal. Mikrosatelit memiliki wilayah yang mengapit.

    Wilayah yang mengapit ini umumnya dilestarikan (conserv) pada spesies yang sama dan

    pada beberapa spesies yang berbeda. Hal inilah yang memungkinkan terjadinya cross

    amplification pada spesies yang berbeda (Moniruzzaman dkk., 2015).

    Mikrosatelit merupakan penanda untuk genetika populasi, hubungan evolusi,

    estimasi keragaman genetik, sidik jari, dan pemetaan. Mikrosatelit banyak digunakan

    dalam genetika populasi. Genetika populasi merupakan studi tentang frekuensi dan

    interaksi alel dan gen dalam populasi. Hal ini karena adanya kelimpahan alel per lokus dan

  • 15

    kemampuan untuk membedakan heterozigositas meningkatkan konten informasi mereka

    lebih banyak jenis penanda.

    Penggunaan mikrosatellite telah banyak dikembangkan untuk mendeteksi illegal

    trade pada spesies lain seperti broad headed snakes (Hoplocephalus bungaroides)

    (Frankham dkk., 2015), Cape parrot (Poicephalus robustus) (Pillay dkk., 2010) dan

    identifikasi asal-usul spesies dari gading yang diperdagangkan di pasar gelap Afrika

    (Wasser dkk, 2004). Sedangkan penggunaan primer mikrosatelit pada Python telah

    dilakukan di negara lain seperti Australian and New Guinean pythons (Jordan dkk., 2002),

    invasive Burmes Python (Python molurus bivittatus) (Hunter & Hart, 2013) dan keragaman

    genetik Python bivittatus in Cina (Duan dkk., 2016). Banyak penelitian yang menerapkan

    mikrosatellite pada cross spesies yang menunjukkan lokus yang polimorfik, baik pada

    tingkat spesies (Yoshikawa dkk., 2011) maupun pada tingkat genera (Lau dkk., 2016). Hal

    ini menarik untuk diketahui apabila diterapkan pada spesies python yang ada di Sundaland.

    2.6 Kerangka Konsep Penelitian

    Indonesia merupakan Negara yang termasuk kedalam mega biodiversitas. Sundaland

    merupakan salah satu hotspot keanekaragaman hewan. Sundaland terbagi menjadi 4 pulau

    besar yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Peninsular Malaysia. Namun pada penelitian

    ini difokuskan pada ketiga pulau besar di Indonesia. Salah satu hewan yang penyebarannya

    luas di Indonesia adalah ular Python. Penelitian mengenai Python masih sedikit dilakukan

    di Indonesia. Python ini ada yang wild type (tipe liar) dan Python yang ada di penangkaran.

    Python dipenangkaran dibudidayakan untuk dimanfaatkan kulit dan dagingnya. Tingginya

    permintaan pasar membuat penangkaran kesulitan untuk memenuhi permintaan pasar

    untuk mengekspor kulit ular Python. Sehingga, diperlukan tambahan jumlah Python yang

    diambil dari alam (wild type). Jika pemanenan terus dilakukan maka dikhawatirkan akan

    terjadi kepunahan, terlebih lagi bahwa saat ini status Python yaitu Appendix II. Untuk itu

    diperlukan upaya pre-konservasi dengan menentukan keragaman genetik Python yang

    terdapat di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Salah satu marka genetik yang dapat

    digunakan adalah mikrosatelit. Selain molekuler, ada juga cara lain yaitu melalui

    pengamatan morfologi. Secara molekuler tersebut dilakukan dengan mengisolasi DNA dan

    amplifikasi serta dilakukan sequencing. Selanjutnya akan diketahui keragaman genetik ular

    Python di masing-masing pulau dan hasil ini dapat digunakan untuk strategi konservasi

    dimasa mendatang.

  • 16

    Kerangka Konsep Penelitian

    Gambar 10. Kerangka Konsep Penelitian

    Keterangan:

    : Berhubungan

    Jawa

    Masih Sedikit

    Penelitian

    Sistematik Genus Python

    Molekular Morfologi & Morfometri

    SVL,

    Ventral Scale,

    Anterior Dorsal

    Scale,

    Mid Dorsal Scale,

    Posterior Dorsal

    Scale, Prefrontal,

    Preocular,

    postocular,

    Supralabial,

    Infralabial,

    Subcaudal scale

    17 Primer Mikrosatelit

    Keragaman

    Genetik

    Sundaland

    Genus Python

    Indonesia Mega

    Biodiversity Country

    Sumatera Kalimantan Peninsular Malaysia

    Wild Type Python Penangkaran

    Python

    Perdagangan

    Python

    Permintaan

    Pasar Meningkat

    Pemanenan Wild

    Type Python di alam

    Penurunana

    Populasi Python

    di Alam

    Appendix II

    Konservasi Python

    Jumlah alel,

    Frekuensi alel, Heterozigositas,

    genetic different, Pola

    pengulangan dan Jumlah

    Illegal

    Trade