laporan praktikum ilmu teknologi daging

Upload: aininindya

Post on 09-Oct-2015

285 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

metode pemotongan ternak

TRANSCRIPT

ACARA IPemotongan Ternak

TINJAUAN PUSTAKAPemotongan ternak dilakukan di suatu tempat khusus untuk pemotongan ternak yang telah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu di Rumah Potong Hewan. Persyaratan atau peraturan mengenai pemotongan hewan dimaksudkan untuk melindungi hewan dari kekejaman yang tidak semestinya, tetangga-tetangga dari gangguan dan konsumen dari daging yang berasal dari hewan yang dipotong dan ditangani secara tidak sehat atau dijual tanpa pemeriksaan (Williamson dan Payne, 1993).Pada dasarnya ada dua cara atau teknik pemotongan ternak, yaitu (1) teknik pemotongan secara langsung, (2) teknik pemotongan secara tidak langsung. Pemotongan secara langsung ternak dinyatakan sehat dan dapat disembelih pada bagian leher dengan memotong arteri karotis dan vena jugularis serta oesophagus (Soeparno, 2009).Syarat penyembelihan ternak adalah ternak harus sehat. Ternak tidak dalam keadaan lelah, ternak tidak produktif lagi atau tidak dipergunakan sebagai bibit dan ternak yang dipotong dalam keadaan darurat. Ternak harus diistirahatkan 12 sampai 24 jam sebelum dilakukan pemotongan agar pada saat disembelih darah dapat keluar sebanyak mungkin dan cukup tersedia energi sehingga proses kekakuan otot (rigormortis) berlangsung secara sempurna (Soeparno, 2009).Secara umum, mekanisme urutan pemotongan ternak besar di Indonesia dibagi menjadi dua bagian yaitu proses penyembelihan dan proses penyiapan karkas, ternak yang sudah dinyatakan sehat oleh dokter hewan atau petugas yang berwenang dan cap S (slaughter = potong) serta sudah diistirahatkan dibawa keruang pemotongan dan disiram dengan air dingin. Maksud penyiraman dengan air dingin adalah : (1) agar ternak menjadi bersih dan (2) agar terjadi kontraksi perifer (faso kontraksi), sehingga darah dibagian tepi tubuh menuju kebagian dalam tubuh dan pada waktu disembelih, darah dapat keluar sebanyak mungkin serta mempermudah pengulitan (Soeparno, 2009).

MATERI DAN METODEMATERI Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah lembar kerja dan alat tulis untuk mencatat hasil dari praktikum.METODEFasilitas dan persyaratan teknis bangunan dan peralatan pada rumah potong hewan diamati. Proses pemotongan yang terdiri dari tempat peristirahatan ternak, pemeriksaan antomertem dan postmortem, proses penyembelihan, proses pengulitan, penanganan karkas, dan limbah produksi.

HASIL DAN PEMBAHASANBerdasarkan pengamatan pemotongan hewan ternak yang telah dilakukan terhadap RPH Giwangan diperoleh hasil bahwa proses pemotongan yang dilakukan di RPH Giwangan telah menggunakan metode halal dan sarana dan prasarana yang terdapat di RPH Giwangan telah memenuhi persyaratan yang ada. Sejarah berdirinya RPH Giwangan dimulai pada tahun 2006 ketika terjadi gempa bumi di wilayah Yogyakarta. RPH Kota Yogyakarta yang awalnya berada di daerah Ngampilan pada tahun 2006 rusak akibat terjadinya gempa bumi. Adanya peristiwa tersebut membuat RPH Kota Yogyakarta dipindahkan ke wilayah Giwangan dan pembangunannya selesai dilaksanakan pada tahun 2007. Pemindahan ini dilakukan sebab Giwangan merupakan daerah yang berada di wilayah pinggiran sehingga letaknya agak jauh dari pemukiman padat dan letak RPH Giwangan dekat dengan wilayah Pasar Giwangan oleh karena itu akan memudahkan pendistribusian hasil pemotongan. Beberapa kompleks ruang yang berada di RPH Giwangan antara lain RPH kambing dan domba, RPH sapi, RPH babi, laboratorium, ruang penjaga, ruang dokter hewan, ruang pengistirahatan ternak, gardu air, parkiran, toilet, dan tempat pembuangan limbah.Rumah Potong Hewan (RPH) berdasarkan persyaratan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia nomor 13 tahun 2010 BAB II bagian kesatu tentang persyaratan teknis RPH pasal 4 menyatakan bahwa RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal, serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan pemotongan hewan secara benar, (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama),pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection) dan pemeriksaan karkas, dan jeroan (post-mortem inspektion) untuk mencegah penularan penyakit zoonotik ke manusia, pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan. Pasal 5 menyatakan bahwa Pasal 5 untuk mendirikan rumah potong wajib memenuhi persyaratan administrative dan persyaratan teknis, persyaratan administrative disesuaikan dengan peraturan perundanga, persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat meliputi lokasi, sarana pendukung, konstruksi dasar dan disain bangunan, peralatan.Bagian Kedua menyatakan persyaratan lokasi yang diatur dalam Pasal 6 menyatakan bahwa lokasi RPH harus sesuai dengan dengan Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) dan Rencana Detil Tata Ruang Daerah (RDTRD) atau daerah yang diperuntukkan sebagai area agribisnis, lokasi RPH harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut: tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu dan kontaminan lainnya, tidak menimbulkan gangguan dan pencemaran lingkungan, letaknya lebih rendah dari pemukiman, mempunyai akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan pemotongan hewan dan kegiatan pembersihan serta desinfeksi, tidak berada dekat industri logam dan kimia, mempunyai lahan yang cukup untuk pengembangan RPH, terpisah secara fisik dari lokasi kompleks RPH Babi atau dibatasi dengan pagar tembok dengan tinggi minimal 3 (tiga) meter untuk mencegah lalu lintas orang, alat dan produk antar rumah potong. Bagian Ketiga mengatur tentang persyaratan sarana pendukung dalam Pasal 7 RPH harus dilengkapi dengan sarana/prasarana pendukung paling kurang meliputi: akses jalan yang baik menuju RPH yang dapat dilalui kendaraan pengangkut hewan potong dan kendaraan daging, sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah cukup, paling kurang 1.000 liter/ekor/hari, sumber tenaga listrik yang cukup dan tersedia terus menerus, fasilitas penanganan limbah padat dan cair. Bagian Keempat tentang persyaratan tata letak, desain, dan konstruksi dalam Pasal 8 menyatakan bahwaKompleks RPH harus dipagar, dan harus memiliki pintu yang terpisah untuk masuknya hewan potong dengan keluarnya karkas, dan daging, bangunan dan tata letak dalam kompleks RPH paling kurang meliputi: bangunan utama, area penurunan hewan (unloading sapi) dan kandang penampungan/kandang istirahat hewan, kandang penampungan khusus ternak ruminansia betina produktif, kandang isolasi, ruang pelayuan berpendingin (chilling room), area pemuatan (loading) karkas/daging, kantor administrasi dan kantor Dokter Hewan, kantin dan mushola, ruang istirahat karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi (locker)/ruang ganti pakaian, kamar mandi dan WC, fasilitas pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat dimanfaatkan atau incinerator, sarana penanganan limbah dan rumah jaga, dalam kompleks RPH yang menghasilkan produk akhir daging segar dingin (chilled) atau beku (frozen) harus dilengkapi dengan:a. ruang pelepasan daging (deboning room) dan pemotongan daging(cutting room);b. ruang pengemasan daging (wrapping and packing);e. fasilitas chiller;f. fasilitas freezer dan blast freezer;g. gudang dingin (cold storage).RPH berorientasi ekspor dilengkapi dengan laboratorium sederhana.Sesuai aturan yang telah ditetapkan oleh Kementan tersebut dapat disimpulkan bahwa RPH Giwangan telah memenuhi persyaratan RPH. Praktikum pemotongan hewan dilakukan pada sapi PO usia 1 tahun dengan berat hidup 176,8 kg. Lama pemotongan yang dilakukan dengan menggunakan halal method adalah selama 184 detik, lama pengulitan adalah 625 detik, lama pengeluaran jeroan sekitar 679 detik dan lama pembelahan karkas adalah sekitar 674 detik. Berat karkas yang dihasilkan adalah 88,4 kg. Bagian ternak yang dilakukan pemisahan setelah dilakukan pengulitan dan pembersihan jerohan antara lain dibagi menjadi paha depan, kepala, dada dan paha belakang serta dibagi menjadi beberapa bagian untuk siap dipasarkan. Pemeriksaan antemortem yang dilakukan sebelum penyembelihan menunjukkan bahwa ternak berada dalam keadaan sehat sedangkan pemeriksaan postmortem menunjukkan bahwa terdapat cacing Fasciola hepatica dalam hati ternak, hal ini dapat disimpulkan bahwa ternak menderita cacingan.Pemilihan ternak yang akan disembelih harus memperhatikan beberapa aspek antara lain ternak harus berada dalam keadaan sehat, ternak harus diistirahatkan terlebih dahulu, ternak betina tidak dalam keadaan bunting, ternak menderita penyakit yang menderita penyakit yang menyebabkan kematian pada ternak namun tidak membahayakan pada manusia seperti kembung. (Kartasudjana, 2001). Sebelum dipotong harus dilakukan pemeriksaan antemortem dan postmortem pada ternak untuk menentukan kesehatan tertnak sehingga layak untuk dikonsumsi. Pemeriksaan antemortem dilakukan sebelum ternak disembelih, pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan bahwa ternak sehat dan penyembelihan tidak menimbulkan kontaminasi bagi daging ternak lain. Pemeriksaan postmortem dilakukan dengan pemeriksaan pada organ-organ ternak untuk menentukan kondisi kesehatannya sehingga ternak layak untuk dikonsumsi dan tidak membahayakan manusia (Soeparno, 2005). Penyakit yang umumnya diderita pada ternak sapi adalah cacingan yang terdapat di hati. Teknik pemotongan ternak ada 2 macam, yaitu western method dan halal method. Pada proses pemotongan yang dilakukan di RPH Giwangan dilakukan dengan metode halal. Proses pemotongan metode halal dilakukan dengan memasukkan ternak ke ruang pemotongan kemudian ternak disiram dengan air dingin agar bersih dan terjadi kontraksi perifer sehingga darah dari perifer menuju jantung seingga dapat keluar secara maksimal ketika dilakukan penyembelihan dan memudahkan pengulitan, ternak disembelih oleh modin dan menghadap ke kiblat, penyembelihan dilakukan dengan membaca basmallah, penyembelihan dimulai dari arteri karotis, vena jugularis, oeshopagus dan tenggorokan, proses pemotongan harus dilakukan secara cepat agar ternak tidak tersiksa selama proses penyembelihan, setelah ternak benar-benar mati dilakukan pemisahan antara bagian badan dan kepala dan dilakukan pengikatan dengan tali di bagian oesopagus agar karkas tidak tercemar (Soeparno, 2005). Daging yang biasanya dijual harus dilakukan pembagian menjadi beberapa bagian, diantaranya brisket, chuck, rib, loin, rump, shank, plate, flank dan round (Ismail, 1997).Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan terhadap RPH Giwangan dapat disimpulkan bahwa RPH Giwangan telah memiliki persyaratan bangunan, lokasi dan prasarana tambahan yang lengkap namun kebersihan proses pemotongan kurang diperhatikan. Proses renovasi bangunan menyebabkan kebersihan pemotongan menjadi kurang diperhatikan. Pemilihan hewan yang dipotong juga belum diperhatikan sehingga banyak kasus hewan betina yang dipotong. Pemeriksaan antemortem dan postmortem juga belum dilakukan dengan baik oleh dokter sehingga perlu diperhatikan untuk mengkasilkan daging yang baik untuk dikonsumsi masyarakat.

KESIMPULANBerdaasarkan pengamatan yang telah dilakukan di RPH Giwangan disimpulkan bahwa lokasi, persyaratan bangunan, sarana dan prasarana tambahan yang ada di RPH Giwangan telah sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia nomor 13 tahun 2010. Namun untuk persyaratan sumber daya manusia masih kurang yaitu perlu adanya dokter sehingga pemeriksaan antemortem dan postmortem dapat dilakukan dengan baik. Pemotongan ternak yang dilakukan di RPH Giwangan dengan menggunakan halal method berdasarkan syariat Islam sehingga daging hasil penyembelihan dapat dipastikan dalam kondisi halal.

DAFTAR PUSTAKAIsmail. 1997. Teknologi dan Pemanfaatan Daging. Media Pertanian DKI. Jakarta.Kartasudjana. 2001. Proses Pemotongan Hewan Ternak di RPH. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.Soeparno, R. A.. 2005. Ilmu daging Edisi ke-3. UI Press. Jakarta.Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. YogyakartaPermentan. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 13/ Permentan/ OT. 140/ 1/ 2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging. Kementrian Pertanian. Jakarta.Williamson, G dan W, J, A, Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Penerjemah : S. G. N. Djiwa Darmadja. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

ACARA IIPengenalan Macam Daging

TINJAUAN PUSTAKARusa dan kambing adalah spesies yang mempunyai sifat yang alami. Sudah jelas bahwa rasa dan keempukan daging kambing lebih disukai daripada daging sapi, domba, dan babi, dalam kondisi umur dan perlemakkan yang serupa, tetapi akseptibilitas daging dari spesies manapun sering ditentukan oleh kebiasaan tempat (Lawrie, 1995).Karkas ayam adalah bagian tubuh ayam tanpa bulu, kepala, darah, leher, cakar, dan jaringan. Umumnya rata-rata ayam kampung di daerah tropis kira-kira berbobot 0,9 sampai 1,8 kg dan mempunyai perbandingan yang baik, mempunyai bulu halus (Lawrie, 1995).Bangsa babi yang termasuk tinggi standarnya adalah Berkshire, babi ini mempunyai produksi yang bentuk dan ukuran urat daging longisimus dorsi lebih disukai daripada bangsa babi lainnya. Di Hongaria ada babi tipe daging (Manyalitse) yang disebut-sebut amat berguna untuk membuat salami (sosis Italia yang digarami dan diberi flavor bawang putih) karena (antara lain) mempunyai daging berpigmen relatif banyak (Lawrie, 1995).Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging adalah salah satu hasil ternak yang memiliki kandungan gizi yang lengkap, dengan mengkonsumsi daging atau produk-produk olahan daging, keseimbangan gizi untuk hidup dapat terpenuhi (Acros, 1999).Daging juga merupakan salah satu sumber protein hewani yang sangat bermanfaat. Sejalan dengan perkembangankesadaran masyarakat mengenai gizi dan kesehatan, permintaan daging di Indonesia mengalami peningkatan. Daging yang biasa dikonsumsi masyarakat adalah daging sapi, daging ayam dan daging kambing, yang masing-masing dipercaya bisa digunakan sebagai sumber gizi dan mengobati bebeapa penyakit (Acros, 1999).Daging yang dapat dikonsumsi dibedakan menjadi daging ternak besar (sapi), daging ternak kecil (babi, kambing), danging unggas, daging ikan serta daging aneka ternak (kelinci) (Soeparno, 2009)Praktikum ini akan dilakukan kegiatan mengenai uji kualitas daging yang meliputi uji warna, uji nilai pH, uji susut masak, uji daya ikat air,dan uji keempukan, serta pengolahan daging, yakni pembuatan bakso dan sosis. Dengan kegiatan praktikum ilmu dan teknologi daging ini praktikan diharapkan mampu menguasai ilmu-ilmu tentang daging seperti karakteristik dari daging, faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas daging, cara pengolahan daging dan dapat membandingkan antara teori yang didapatkan di kuliah dengan praktek (Acros, 1999).

MATERI DAN METODEMATERIMateri yang digunakan pada acara pengenalan daging adalah daging sapi, kambing, domba, kerbau, kuda, dan babi.METODEKarakteristik daging yang meliputi warna daging, tekstur serat, bau dan aroma, warna, dan jumlah lemak marbling diamati.

HASIL DAN PEMBAHASANHasil dari pengamatan dalam praktikum yang telah diamati adalah sebagai berikut :Tabel 1. Data karakteristik daging hasil praktikumNo Macam DagingWarnaTeksturKonsentrasiJumlah MarblingWarna Lemak

1SapiMerah cerahSerabut halusElasticSedikitPutih kuning

2KambingMerahHalusKenyalSedangPutih kuning

3DombaMerah mudaHalusKenyalBanyakKuning

4KerbauMerah tuaKasarKerasSedikitKuning

5KudaMerahHalusKenyalSedikitKuning

6BabiMerah tuaHaluskenyalSedikitPutih

Berdasarkan praktikum yang telah dillakukan, dapat diketahui bahwa daging sapi memiliki warna merah cerah dengan tekstur serabut halus, konsentrasi daging elastic dan jumlah marblingnya sedikit yang memiliki warna putih kekuningan. Daging sapi sebenarnya memiliki marbling yang sedikit dan warna lemak marblingnya putih, konsentrasi myoglobin yang besar apabila dibandingkan dengan daging ternak yang lain, memiliki bau yang khas yaitu bau amis. Struktur serat daging sapi terlihat jelas dan besar dengan lemak marbling yang berserat tidak merata (Sugiyono, 1996)Daging kambing sesuai dengan pengamatan memiliki warna merah dengan struktur halus dan konsentrasi kenyal, jumlah marbling sedang dan warna lemak putih kuning. Menurut Lawrie (1995) daging kambing memiliki kandungan lemak lebih rendah daripada daging sapi yaitu sekitar 50-65%, bila dibandingkan dengan daging domba, kadar lemaknya lebih rendah sekitar 42-59%. Daging kambing mengandung asam lauric, myristic dan palmitic yang merupakan asam lemak tidak jenuh yang tergolong dalam kelompok nonhypercholesterolemic masing-masing sebanyak 2%, 2,6%, 27,6%. Daging kambing mengandunng asam lemak tidak jenuh oleic sebanyak 30,1 37%, linoleic 13,4% dan linolenic sebanyak 0,4%. Kandungan kolesterolnya hamper sama dengan daging sapi, domba, babi dan ayam yaitu sekitar 76mg% daging kambing, 70 mg% daging sapi, ikan dan domba dan 60 mg% daging babi dan ayam. Struktur daging kambing halus dan memiliki keempukan yang lebih bila dibandingkan dengan daging babi.Ciri daging kambing yang mudah untuk dikenali yaitu warna daging lebih pucat dibandingkan dengan daging sapi. Daging kambing memiliki bau yang sangat khas dan berbeda dengan daging lain. Ketika dilakukan pemisahan daging dan kulit terdapat rambut yang berada di bagian bawah lapisan subcutan (Tim Penulis, 2013).Domba dan kambing merupakan hewan ternak yang memiliki ukuran tubuh hampir sama. Kesamaan ini tidak menunjukkan bahwa domba dan kambing memiliki karakteristik daging yang sama pula. Hal ini dibuktikan dengan hasil pengamatan dalam praktikum menunjukkan bahwa daging domba memiliki warna merah muda dengan tekstur halus dan kenyal, jumlah marbling banyak dan warna lemak kuning.Sesuai dengan teori, daging domba memiliki warna daging yang sedikit lebih tua dibandingkan dengan daging kambing, memiliki kekenyalan yang tinggi dan daging terdiri dari serabut halus (Tim penulis, 2013). Hal ini berbeda dengan hasil yang diperoleh dalam praktikum yang menunjukkan bahwa warna daging kambing lebih gelap dari daging domba. Perbedaan ini dapat disebabkan karena usia masing-masing ternak, jenis pakan yang dikonsumsi maupun lama penyimpanan daging sehingga telah terjadi oksidasi yang menyebabkan warna berubah.Daging kuda sesui dengan hasil praktikum yang telah dilakukan memiliki karakteristik warna merah, tekstur halus dan konsentrasi kenyal dengan marbling sedikit dan warna lemak kuning. Daging kuda sesuuai dengan teori memiliki warna cokelat merah hingga hitam kemerahan, serabut ototnya halus dan panjang, lemak berwarna kuning emas dan tidak ditemukan adanya lemak (Tim penulis, 2013). Peengamatan yang dilakukan telah sesuai dengan teori yang ada. Daging kuda hamper tidak memiliki lemak sebab kuda merupakan hewan yang aktif bergerak sehingga glikogen tidak diubah menjadi bentuk lemak namun diubah menjadi energy.Daging kerbau umumnya liat (alot), sebab kebanyakan disembelih ketika usianya sudah yua, serabut otonya kasar, lemak berwarna putih dan memiliki rasa yang hampir sama dengan daging sapi (Tim penulis, 2013). Hal ini berbeda dengan pengamatan yang dilakukan sebab pengamatan menunjukkan bahwa lemak daging kerbau berwarna kuning. Kerbau merupakan hewan pekerja yang biasanya disembelih ketika sudah tua sehingga struktur dagingnya telah liat.Daging babi mempunyai warna pucat hingga merah muda, daging punggung yang memiliki lemak kelihatan berwarna kelabu putih, serabut dagingnya halus dengan konsistensi padat, berbau khas dan bila dimasak akan berwarna kelabu putih (Tim penulis, 2013). Menurut Sugiyono (1996) daging babi mempunyai warna lemak marbling yang banyak serta serat dagingnya halus. Berdasarkan pengamatan yang diperoleh dari praktikum yang dilakukan diperoleh daging babi berwarna merah tua dengan tekstur daging halus, kenyal dengan jumlah marbling sedikit dan warna lemak putih. Pengamatan berbeda dengan teori yang menyatakan jumlah marbling daging babi banyak. Hal ini dapat disebabkan karena pengamatan yang kurang telliti sebab daging babi mempunyai tekstur yang empuk dan hal itu disebabkan karena banyaknya marbling daging babi. Lemak daging babi justru akan mencair pada suhu ruang, berbeda dengan daging kambing yang lemaknya membeku dalam suhu ruang.Kualitas daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik pada waktu hewan masih hidup maupun ketika hewan telah dipotong. Faktor penentu kualitas daging pada saat hewan masih hidup adalah cara pemeliharaan yang meliputi pemberian pakan, tata laksana pemeliharaan dan perawatan kesehatan. Kualitas daging juga dipengaruhi oleh pengeluaran darah pada saat hewan dipotong dan kontaminasi setelah dipotong (Tim penulis, 2013).Kriteria daging layak konsumsi adalah : keempukan daging yang ditentukan oleh kandungan jaringan ikat, kandungan lemak (marbling) diantara serabut otot yang berpengaruh terhadap cita rasa, warna yang dipengaruhi oleh jenis hewan dan usia serta kelembaban. Secara normal daging mempunyai permukaan yang relative kering sehingga dapat menahan pertumbuhan organism dari luar yang mempengaruhi daya simpan (Anonim, 2010).kriteria daging yang kurang layak konsumsi adalah daging sudah berwarna pucat atau kebiruan yang diindikasikan telah membusuk, serabutnya membengkak yang diindikasikan daging diglonggong dan bila ditekan tidak kenyal yang berarti telah busuk (Tim website, 2009).

KESIMPULANBerdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada praktikum pengenalan macam daging dapat ditarik kesimpulan bahwa daging kambing merupakan daging yang memilliki aroma paling khas dibandingkan dengan daging lain, daging domba memiliki marbling yang terkumpul sehingga terlihat mempunyai banyak lemak, daging babi adalah daging yang paling kenyal , struktur daging sapi dan daging kerbau mirip, serta daging kuda mempunyai marbling yang sangat sedikit sebab kuda memiliki aktivitas yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKAAcros, G.G. 1999. Physicochemical, Microbial and Sensory Properties of Horse Meat Mexico.Anonim. 2010. Tips Mengenali Daging Sehat. http://distanikhut.palembang.go.id diakses pada 19 Oktober 2013.Lawrie, R.A.. 1995. Ilmu Daging Edisi ke-5. Universitas Indonesia. Jakarta.Sagiyono. 1996. Ilmu dan Pangan Jurusan Pendidikan Ketatabogaan Kewenangan FPTK IKIP. Yogyakarta.Tim Penulis. 2013. Mengenal cirri-ciri Daging dari Berbagai Hewan. http://www.fartys.com diakses pada 20 Oktober 2013.Tim Website. 2009. Pemilihan Daging Layak Konsumsi. http://ditjennak.deptan.go.id diakses pada 18 Oktober 2013

ACARA IIIUji Kualitas Daging

TINJAUAN PUSTAKAWarna daging dapat diukur dengan notasi atau dimensi warna tristimulus. Warna daging sapi yang baru biasanya berwarna ungu gelap. Warna tersebut berubah menjadi terang (merah ceri) jika daging dibiarkan terkena oksigen. Perubahan warna ungu menjadi terang tersebut bersifat reversibel (dapat balik). Namun bila daging tersebut terlalu lama terkena oksigen, warna merah terang akan berubah menjadi coklat. Faktor-faktor yang menjadi penentu utama warna daging adalah konsentrasi pigmen daging mioglobin yang dipengaruhi oleh pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres, pH dan oksigen (Soeparno, 2009). Perbedaan warna permukaan daging, disebabkan oleh status kimia molekul mioglobin. Bentuk kimia warna daging segar yang diinginkan oleh konsumen adalah merah terang oksimioglobin. Bentuk daging sapi yang baik adalah berwarna merah terang, mengkilap tidak pucat dan tidak kotor. Mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang menentukan daging segar. Mioglobin dapat mengalami perubahan bentuk akibat berbagai reaksi kimia. Bila terkena udara, pigmen mioglobin akan teroksidasi menjadi oksimioglobin yang mengeluarkan warna merah terang. Oksidasi lebih lanjut dari oksimioglobin akan menghasilkan pigmen metmioglobin yang berwarna coklat (Soeparno, 2009). Daya ikat air adalah kemampuan daging untuk megikat air atau air yang ditambahkan selama pengaruk kekuatan dari luar seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan, atau pengepresan (Soeparno, 2009). Komposisi kimia daging terdiri dari kadar air, protein dan kadar karbohidrat serta mineral yang ditentukan untuk nutrisi dan umur ternak saat ternak masih hidup. Kualitas daging dipengaruhi oleh kandungan air dalam daging. Air merupakan medium biologis termasuk sebagai medium untuk mentransformasikan substrat otot. Daya ikat air dipengaruhi oleh kadar protein daging dan karkas (Soeparno, 2009).Perbedaan daya ikat air diantara otot dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain spesies, umur dan fungsi otot (Soeparno, 2009). Kandungan air pada tubuh hewan dipengaruhi oleh variasi umur dan pakan (Tillman et al., 1991). Kandungan Kolagen yang tinggi menyebabkan miofilamen relatif memberi ruang untuk molekul air sehingga kadar air akan menurun. Lemak daging berhubungan dengan kandungan airnya. Semakin besar kandungan lemak yang diperoleh oleh hewan dewasa, ternyata kandungan airnya semakin menurun (Judge et al., 1990).Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh terhadap mutu daging. Daging yang derajat keasamanya 5,1 sampai 6,1 berwarna merah cerah, cita rasa baik, tidak mudah rusak, dan punya struktur yang terbuka, sedangkan daging yang mempunyai pH 6,2 sampai 7,2 berwarna merah tua, rasanya kurang enak, lebih mudah busuk, dan strukturnya padat (Soeparno, 2009). pH ultimat normal daging postmortem adalah sekitar 5,4 sampai 5,8 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril. Stres sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat-obatan (kimiawi) tertentu, spesies, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis adalah faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi pH daging. (Soeparno, 2009).Perlakuan pemasakan terhadap daging akan mengakibatkan kenaikan pH daging karena penambahan akan mengurangi gugus asidik sehingga titik isoelektrik daging akan berubah dan berada pada pH yang lebih tinggi (Soeparno, 2009).Pemasakan dapat menurunkan atau meningkatkan keempukan daging yang tergantung dari lama dan temperatur pemasakan yang digunakan. Lama pemasakan mempengaruhi perlunakan kolagen. Temperatur pemasakan mempengaruhi pada kealotan miofibril daging (Judge et al., 1990).Susut masak menunjukkan perbedaan nyata. Selama pemasakan daging akan membuat jaringan ikat kolagen mengalami perubahan menjadi gelatin (Gaman and Sherrington, 1994). Sebelum menjadi gelatin serabut kolagen jaringan ikat menglami pengkerutan dan menekan keluar cairan yang terkandung dalam protein miofibril. Kolagen lebih sukar larut pada ternak dewasa karena ikatan silang yang semakin meningkat atau kuat dengan meningkatnya umur ternak dan ikatan-ikatannya dikonversikan menjadi ikatan yang stabil (Judge et al., 1990).Keempukan daging adalah kualitas daging setelah dimasak. Berdasarkan kemudahan untuk dikunyah tanpa kehilangan sifat dan jaringan yang layak. Penilaian keempukan daging dapat dilakukan secara obyektif dan subyektif. Penilaian secara obyektif meliputi metode pengujian secara fisik dan kimia, sedangkan secara subyektif menggunakan metode panel test (Soeparno, 2009).Tiga faktor yang mempengaruhi proses keempukan daging ketika daging dimasak yaitu mencairnya lemak, berubahnya kolagen menjadi gelatin dan putusnya serabut otot sehingga menjadi lebih empuk. Kecenderungan pada daging yang memberi lebih banyak lemak intramuskular akan memberi lebih banyak ruang pada protein-protein daging untuk mengikat molekul-molekul air sehingga akan lebih empuk (Soeparno, 2009).

MATERI DAN METODE

MATERIUji nilai pH. Bahan yang digunakan dalam praktikum uji kualitas daging adalah daging sapi, larutan buffer pH 7,0. Peralatan yang digunakan adalah pH meter merk Hanna, beaker glass 50 ml dan pengaduk kaca.Uji susut masak. Bahan yang digunakan adalah daging sapi, plastic polietilen. Peralatan yang digunakan adalah timbangan triple beam, water bath.Uji daya ikat air. Bahan yang digunakan adalah daging sapi. Peralatan yang digunakan adalah timbangan analitik, kertas saring, plastic mika dan kertas millimeter blok, spidol permanen, barbell 35 kg, stop watch dan plat kaca.Uji keempukan. Bahan yang digunakan adalah daging sapi masak hasil uji susut masak. Peralatan yang digunakan adalah pisau, jangka sorong, alat uji keempukan warner blatzer.

METODEUji warna. Metode yang digunakan adalah sampel daging segar, kemudian warna dari sampel daging tersebut dicocokkan dengan meat colour fan.Uji nilai pH. Metode yang digunakan adalah sampel daging segar. Metodenya yaitu dengan menimbang masing-masing sampel seberat 10 gram, kemudian digiling dan ditambahkan 10 ml aquades, lalu diaduk sampai homogen. Kemudian diukur dengan pH meter dan masing-masing dilakukan tiga kali, kemudian hasilnya dirata-rata.Uji susut masak. Metode yang digunakan adalah sampel daging segar. Metodenya yaitu dengan memotong daging searah serat sebanyak 20 gram. Kemudian masak menggunakan penangas air salama 30 menit pada suhu 80oC, lalu didinginkan dengan air mengalir, dan berat akhir ditimbang. Susut masak dapat diperoleh dengan menghitung berat awal dikurangi berat akhir, dan dibagi berat awal.

Susut masak=Uji daya ikat air. Metode yang digunakan adalah sampel daging segar. Metodenya yaitu dengan menimbang masing-masing sampel seberat 0,3 gram kemudian diletakkan diantara plat kaca, dialasi kertas saring, dan diberi beban 35 kg selama 5 menit. Kemudian area yang basah, yang terletak di kertas saring dihitung dengan menggunkan milimeter blok sebagai luas area.

Mg H2O =

KAB =

KAT =Dimana: x= berat sampel + kertas saring sebelum dioven y= berat sampel + kertas saring setelah dioven KAT= kadar air total (sampel dioven selama 105o (8 sampai 24 jam) dan ditimbang berat akhir)% DIA= kadar air total kadar air bebasUji keempukan. Sampel daging dari uji susut masak dipotong searah serat, dengan ukuran setebal 0,67 cm dan lebar 1,5 cm. Kemudian sampel diletakkan di alat penguji keempukan daging. Pengujian dilakukan di satu kali, kemudian hasilnya dibandingkan dengan kelompok lain.

HASIL DAN PEMBAHASANUji warna daging. Pengujian warna daging dilakukan dengan menggunakan alat yang dinamakan meat colour standard, dimana setiap warna yang terdapat dalam skala mempunyai fungsi masing-masing. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan dalam praktikum diperoleh hasil pengamatan warna daging mempunyai skala 1, hal ini menunjukkan bahwa warna daging masih cukup segar. Menurut Soeparno (2005) warna daging dapat diukur dengan dimensi warna terstimulus, yaitu daging yang awalnya berwarna ungu gelap akan berubah menjadi warna merah terang ketika diberi oksigen dalam waktu tertentu dan akan berubah menjadi warna cokelat ketika terus menerus diberikan oksigen. Ismail (1997) menyatakan bahwa warna daging sapi adalah ungu gelap namun ketika daging tidak lama bereaksi dengan oksigen warnanya akan berubah menjadi warna cokelat.Uji pH. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh pH sampel pertama sebesar 6, 2 dan sampel kedua adalah 6,2. Menurut Soeparno (2005) pH normal daging berada pada kisaran 5,4 sampai 5,8 dalam keadaan postmortem yang sesuai denggan titik isoelektrik, sebagian besar protein daging termasuk protein myofibril. Faktor yang mempengaruhi perbedaan pH daging antara lain stress sebelum pemotongan, obat-obatan, individu, spesies dan aktivitas enzim. Hal tersebut mennunjukkan daging yang diujji memiliki kualitas baik sebab daging segar memiliki suasana agak asam. Penurunan pH yang berlebihan akan mengakibatkan protein daging terdenaturasi sehingga kualitas daging akan menurun, kemampuan daging dalam mengikat air berkurang sebab fungsi protein adalah mengikat air.Uji susut masak. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil susut masak sampel pertama mencapai 45% dan sampel kedua mencapai 41,2%. Semakin rendah nilai susut masak maka menunjukkan bahwa daging memiliki kualitas yang semakin baik sebab tidak banyak kehilangan masa daging ketika dimasak. Menurut Goman (1994) selama pemasakan daging, proses perubahan air akan ditekan keluar karena jaringan menyusut. Kolagen lebih sukar larut pada ternak dewasa karena ikatan akan semakin kuat sehingga semakin tua ternak akan semakin berkurang susut masaknya.Uji daya ikat air. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh kadar air bebas sekitar 13,18 %. Menurut Swatland (2000), kualitas daging dipengaruhi oleh otot, pakan dan perlakuan sebelum pemotongan. Soetarno (2000) menambahkan bahwa daya ikat air dipengaruhi oleh kadar protein daging dan karkas. Uji keempukan. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, setelah dilakukan uji keempukan daging menggunakan warner blatzer diperoleh data keempukan pada sampel pertama adalah 5,05 dan sampel kedua adalah 6,2. Hal ini menunjukkan bahwa sampel pertama lebih empuk dibandingkan dengan sampel kedua. Soeparno (2005) menyatakan bahwa keempukan daging dipengaruhi oleh pemasakan karena mencairkan lemak dan putusnya serabut otot daging yang menyebabkan daging menjadi lebih empuk.

KESIMPULANBerdasarkan praktikum uji kualitas daging dapat disimpulkan bahwa uji warna daging menunjukkan bahwa nilai warna menunjuk skala 1, hasil susut masak sampel pertama mencapai 45% dan sampel kedua mencapai 41,2%, kadar air bebas sekitar 13,18 %, pH sampel pertama sebesar 6, 2 dan sampel kedua adalah 6,2, keempukan daging menggunakan warner blatzer diperoleh data keempukan pada sampel pertama adalah 5,05 dan sampel kedua adalah 6,2.

DAFTAR PUSTAKAGoman, D. M., dan Shemingion, K. B.. 1994. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. UGM Press. Yogyakarta.Ismail, N.M.. 1997. Teknologi dan Pemanfaatan Daging. Media Pertanian DKI. Jakarta.Judge, M. D. , E. D. Aberle, J.C. Forrest, H.B. Hendrick , dan R. A. Merkil 1999 . Principles of Meat Science 2nd Ed . Kendall/Aunt Publishing Company. Dubuque, Iowa.Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. UGM Press. YogyakartaSwatland, H. J.. 2012. Developing New Technology for Marketing Comelid Meat Quality. University of Guelard. Canada

ACARA IVPembuatan Sosis

MATERI DAN METODEMATERIBahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sosis adalah daging sapi, susu skim bubuk, bawang putih, merica, lada, ketumbar, garam, air es, gula, tepung tapioca dan chasing plastic. Peralatan yang disunakan dalam pembuatan sosis antara lain pisau, telenan, timbangan elektrik, meat grinder, stuffer, kompor, panic dan nampan.METODEDaging sapi dibersihkan dari jaringan ikat dan jaringan lemak, kemudian ditimbang sebanyak 250 gram. Daging lalu dipotong kubus dengan ukuran 2x2x2 cm. daging tersebut digiling dengan menggunakan meat grinder. Bahan-bahan penunjang dan bumbu-bumbu yang terdiri dari garam 2,2%, bawang putih 0,6%, merica/lada 0,4%, ketumbar 0,6%, gula 2%, air es 10%, susu skim 3,3% dan tepung tapioca 16% disiapkan lalu ditimbang. Campuran daging dan bahan bahan penunjang serta bumbu-bumbu dicampurkan dicampu menggunakan blander selama 10 menit. Adonan dimasukkan kedalam selongsong sosis menggunakan stuffer. Sosis dikukus dengan air mendidih selama 30 menit. Sosis siap disajikan dan dimasak lebih lanjur. Pengujian yang dilakukan untuk prosuk sosis ada dua yaitu uji sensoris dan uji keempukan produk.Uji sensoris. Produk sosis diuji sensoris sesuai dengan kritria yang ada dan dibandingkan dengan produk control yang berasal dari pabrik.Uji keempukan. Pengukuran keempukan dilakukan dengan menggunakan alat penetrometer merek K.I.C. dengan berat beban 10 gram. Sampel diletakkan dibawah jarum penetrator dimana jarum penunjuk disiapkan pada angka 0. Besarnya angka keempukan dapat diketahui dengan membaca angka pada alat dilkallikan dengan 1/10mm.

HASIL DAN PEMBAHASANSosis merupakan makanan komersial yang berada di pasaran dengan bahan utama daging. Sosis merupakan salah satu bahan yang berasal dari daging dengan kemasan yang praktis. Sosis dianggap sebagai salah satu cara praktis untuk mengonsumsi daging. Selain praktis sosis juga memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh daging segar, yaitu tahan lama. Sosis merupakan olahan dari daging sehingga untuk mengawetkan diperlukan bahan-bahan pengawet. Bahan yang digunakan sebagai pengawet akan menentukan kualitas sosis, sehingga perlu diketahui bahan dan prosedur yang baik dalam pembuatan sosis.Sosis merupakan produk emulsi yang membutuhkan pH tinggi (diatas pH isoelektrik). Nilai pH sosis ditentukan oleh pH daging yang dipakai dalam pembuatan sosis dan kondisi daging yang pre-rigor (Suparno, 1998). Praktikum pembuatan sosis, bahan-bahan yang digunakan yaitu daging 250 gram, garam 5,5 gram, merica 1 gram, ketumbar 1,5 gram, bawang putih 1,5 gram, gula 5 gram, susu skim 8,25 gram, tepung tapioca 40 gram, air es 37,5 gram. Hasil yang diperoleh adalah produk sosis yang berwarna cokelat pucat dengan rasa asin, tekstur yang padat namun ada beberapa ruang kosong, empuk dan diterima oleh praktikan. Bumbu-bumbu yang digunakan dalam praktikum sosis berfungsi sebagai bahan pengawet dan penambah cita rasa sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk (Schmidt, 1998). Bumbu juga mempunyai pengaruh pengawetan terhadap produk daging olahan karena pada umumnya bumbu mengandung zat yang bersifat bakteristatik dan antioksidan (Soeparno, 1998).Bumbu yang digunakan dalam pembuatan sosis antara lain garam, bawang putih, gula, susu skim, merica, ketumbar sedangkan tepung tapioca berfungsi sebagai filler dan bahan pengikat. Sosis dibuat dengan cara mencampurkan daging yang telah digiling halus dan bumbu-bumbu yang telah dihaluskan kemudian dimasukkan kedalam selongsong dan dikukus ataupun direbus hingga adonan padat. Selongsong dibagi menjadi dua yaitu selongsong alami yang biasanya terbuat dari usus hewan dan selongsong buatan yang dibedakan menjadi empat macam berdasarkan bahan yang dipakai, yaitu selulosa, kolagen yang edible, kolagen non edible dari kulit hewan dan tabung plastic dari PVCl, polietilen, dan polivinildene. Polietilen merupakan plastic selongsong yang digunakan untuk membungkus sosis dalam praktikum ini. Garam dalam sosis berfungsi untuk meningkatkan rasa dan memperpanjang masa simpan sosis. Sunarlim (1992) menyatakan bahwa hasil olahan daging biasanya mengandung 2-3% garam. Aberle et al. (2000) menambahkan bahwa garam yang ditambahkan pada daging yang digiling akan meningkatkan protein myofibril yang terekstraksi. Protein ini memiliki perasaan penting sebagai pengemulsi. Merica dan ketumbar merupakan bahan penambah aroma bagi sosis. Merica memiliki rasa pedas yang dihasilkan oleh zat piperin dan aromanya dihasilkan oleh terpen. Merica mengandung minyak esensial 1%-2,7% yang berarti berfungsi juga sebagai zat antioksidan. Bawang putih memiliki rasa pedas dan mengandung sekitar 0,1%-0,25% zat volatile, yaitu alil sulfide yang terbentuk secara enzzimatik ketika butiran umbi dihancurkan atau dipecah (Reinnencius, 1994). Enzim tersebut berperan dalam memberikan aroma, bawang putih memiliki zat aktif anti bakteri. Bawang putih juga mengandung yodium yang tinggi dan sulfur.Daging merupakan sumber protein yang bertindak sebagai pengemulsi sosis. Protein utama yang berperan sebagai pengemulsi adalah myosin yang larut dalam larutan garam ( Brandly, 1996). Daging yang digunakan untuk pembuatan sosis umumnya adalah daging yang kurang bernilai seperti daging leher, daging rusuk dan daging-daging sisa tertentu (Soeparno, 1994).Kekenyalan dari sosis dipengaruhi oleh kadar air sosis, bahan pengikat sosis yaitu susu skim bubuk dan bahan pembentuk yaitu susu skim bubuk dan tepung tapioca. Kadar air sosis menurut SNI-01-3020-1995 adalah maksimal 67,0 % bobot basah. Bahan pengisi dan bahan pengikat sangat diperlukan dalam pembuatan sosis. Perbedaan bahan pengisi dan bahan pengikat adalah kemampuannya dalam mengemulsi lemak. Bahan pengisi mempunyai kandungan karbohidrat tinggi, sedangkan bahan pengikat mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi. Bahan pengisi yang digunakan adalah tepung tapioca dalam acara pembuatan sosis. Menurut Forrest et al. (1975), penambahan bahan pengisi dimaksudkan untuk mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki stabilitas emulsi, meningkatkan cita rasa, memperbaiki sifat irisan dan mengurangi biaya produksi. SNI 01-3818-1995 menetapkan penggunaan bahan pengisi dalam pembuatan sosis maksimum 50% dari berat daging yang digunakan. Penambahan air es dalam praktikum ini berfungsi untuk menjaga kelembaban produk akhir agar tidak kering, meningkatkan sari minyak (juiceness) dan keempukan daging (Forrest et al. 1995). Jumlah air es yang ditambahkan akan mempengaruhi kadar air, daya ikat air, kekenyalan dan kekompakan sosis (Indarmono, 1987). Penambahan air es juga akan mengurangi panas produk ketika dilakukan penggilingan, melarutkan dan mendistribusikan garam ke seluruh bagian massa daging secara merata (Aberle et al. 2001).Proses pewarnaan sosis pada skala industry menggunakan senyawa nitrit. Nitrit berfungsi sebagai pemecah warna merah dan pengawet. Namun penggunaan terlalu sering akan bersifat karsinogenik. Proses reaksi pewarnaan sosis adalah sebagai berikut : Nitrit dengan bantuan mikrobia akan diubah menjadi Nitrit, Nitrit tanpa adanya O2 akan tereduksi menjadi NO dan H2O, NO dan mioglobin dalam keadaan menguntungkan akan diubah menjadi NOMMb berwarna cokelat, NOMMb dalam keadaan menguntungkan akan diubah menjadi NO mioglobin, NO mioglobin yang dipanaskan akan berubah menjadi NO hemokromopob (merah jambu stabil).Berdasarkan uji sensoris yang dilakukan, hasil praktikum memiliki warna yang lebih pucat daripada control karena tidak diberikan pewarna dan memiliki rasa yang lebih asin. Hasil praktikum menghasilkan sosis yang kurang padat dan banyak cairan minyak akibat pencairan lemak dalam daging. Kurang padatnya sosis hasil praktikum dikarenakan kurangnya filler yang ditambahkan. Uji pH menunjukkan bahwa pH sosis adalah 6,5 sedangkan keempukan 16,07. pH sosis ditentukan oleh keadaan daging yang digunakan dan kondisi sebelum disembelih.

KESIMPULANBerdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa dalam pembuatan sosis dibutuhkan bahan pengawet yang dapat berupa gula, garam, ketumbar, merica, bawang putih. Bahan pemadat atau pengisi seperti tepung tapioca dan susu skim sebagai pengenyal juga dibutuhkan untuk memberikan bentuk yang baik ketika dilakukan pembungkusan. Pembungkus sosis dibagi menjadi dua yaitu alami dan buatan.

DAFTAR PUSTAKAAberle, H.B., Forrest, J.C., E.D. Hendrick, M. D. Judge dan R. A. Merkel. 2001. Principle of Meat Science. 4th Edit. Kendal/Hunt Publishing Iowa.Brandly, P. J., Migaki G., Taylor K. E.. 1996. Meat Hygine. 3rd Edit. Lea and Febiger Philadelphia.Dewan Standarisasi Nasional. 1995. SNI 01-3818. Bakso Daging. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta.Forrest, J. G., E. D. Alberle., H. B. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W. H. Freeman, San Fansisco.Indarmono, T. P. 1987. Pengaruh lama pelayuan dan jenis daging karkas serta jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan fisikokimia bakso sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.Schmidt, G. R. 1988. Processing. Dalam: Cross, H. R. and A. J. Oberby. (Eds). Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publishers, New York.Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. UGM Press, Yogyakarta.Sulzbacher WL. 1973. Meat emulsions. J. Sci. Food Agr. 24(5): 589-595.Sunarlim, R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapi dan pengaruh penambahan natrium klorida dan natrium tripolifosfat terhadap perbaikan mutu. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

ACARA VPembuatan Bakso

TINJAUAN PUSTAKA

Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang banyak dikonsumsi dan sangat popular dikalangan masyarakat. Pengolahan daging menjadi bakso bertujuan untuk memperpanjang daya simpan, meningkatkan estetika, dan meningkatkan nilai ekonomis. Bakso biasanya terbuat dari daging sapid an sebagai bahan pengikat biasanya menggunakan tepung tapioca atau tepung terigu. Bahan tambahan dan bumbu bakso digiling terlebih dahulu dan kemudian dicampur dengan tepung dan bumbu-bumbu terlebih dahulu yang telah dihaluskan secara merata. Adonan tersebut dicetak dan direbus pada air mendidih hingga mengapung (Wibowo, 1997).Menurut Wibowo (1997) menyatakan bahwa kualitas bakso ditentukan oleh banyak sedikitnya campuran tepung tapioca yang ditambahkan, semakin banyak tepung tapioca yang digunakan akan membuat kualitas bakso semakin rendah. Produk lain selain daging dibutuhkan juga tepung tapioca. Tepung tapioca merupakan karbohidrat granuler yang berwarna putih, hasil sintesa tanaman dari berbagai gugus gluksoa yang berfungsi sebagai bahan makanan cadangan.Pemakaian tepung dalam pembuatan bakso berfungsi sebagai bahan pengental dan pengikat adonan, sehingga akan berbentuk tekstur bakso yang baik, untuk membuat bakso yang baik dan untuk membuat adonan yang baik pula, sehingga akan terbentuk tekstur bakso yang lezat dan bermutu tinggi. Jumlah tepung yang dicampurkan tidak lebih dari 15% berat dagingnya (Hidayat, 2007).Pembuatan bakso daging sapi diawali dengan memisahkan daging dengan lemak. Daging yang telah dipisah dari lemaknya lalu diberihkan, ditiriskan, dan ditimbang. Irisan daging dicampur dengan bumbu-bumbu. Campuran bumbu berguna untuk menambah aorma, cita rasa, dan untuk memperpanjang daya awet bakso. Menurut Soeparno (2009) penambahan garam berfungsi sebagai pengawet karena dalam jumlah yagn cukup, garam berfungsi sebagai pengawet yang dapat menyebabkan autolysis dan pembusukan serta plasmolisis pada mikrobia. Garam meresap ke dalam jaringan daging sampai tercapai keseimbangan tekanan osmosis antara bagian dalam dan luar daging.

MATERI DAN METODEMATERIBahan yang digunakan adalah daging sapi, es batu, tepung bakso (misonyal), bawang merah goreng, tepung tapioka, merica, garam, dan bawang putih. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah pisau, grinder, blender, timbangan, panci dan kompor. METODELangkah pertama yang dilakukan dalam praktikum pembuatan bakso adalah membersihkan dari jaringan ikat dan lemak. Daging kemudian ditimbang sebanyak 250 gram dan dipotong kecil-kecil dan digiling menggunakan meat grinder. Bahan-bahan penunjang yang terdiri dari garam 2%, merica 0,6%, bawang putih 0,6%, bawang merah goreng 2%, penyedap 0,2%, misonyal 0,3%, tepung tapioka 25% dipersiapkan dan ditimbang. Daging dan bahan penunjang serta bumbu-bumbu dicampurkan dengan menggunakan blender selama 10 menit. Adonan dibentuk bulat dan direbus pada air panas suhu mendekati mendidih sampai bakso mengapung ke permukaan. Bakso diangkat untuk dikonsumsi atau dimasak lebih lanjut dan dilakukan uji selanjutnya. Pengujian yang dilakukan untuk produk bakso ada 2, yaitu uji sensoris dan uji kemampuan produk. Uji sensoris. Produk bakso diuji organdeptik sesuai dengan kriteria yang ada dan dibandingkan dengan kontrol yang berasal dari pabrik. Uji keempukan. Pengukuran keempukan dilakukan menggunakan alat Penetrometer merk K.I.C dengan beban seberat 10 g. Sampel diletakkan di bawah jarum penetrator dimana jarum penunjuk disiapkan pada angka 0. Besarnya angka keempukan dapat diketahui dengan membaca angka pada alat dikalikan 1/10 mm.

HASIL DAN PEMBAHASANPraktikum pembuatan bakso membutuhkan bahan-bahan sebagai berikut : (1) daging sapi 250 gram, (2) merica 3 gram, (3) garam 10 gram, (4) bawang putih 3 gram (5) bawang merah goreng 10 gram, (6) misonyal 0,75 gram, (7) tepung tapioka 62,5 gram, (8) air es 37,5 gram. Uji sensoris menghasilkan bakso hasil berwarna coklat pucat dan kontrol abu-abu, memiliki rasa yang kurang untuk bakso hasil praktikum dibandingkan dengan kontrol, tekstur hasil praktikum lebih lembek dan sangat empuk namun diterima oleh konsumen. Uji pH menghasilkan pH rata-rata 6,67 dan uji keempukan menghasilkan 18,07.Bakso merupakan salah satu produksi olahan hasil ternak yang bernilai gizi tinggi dan banyak digemari oleh masyarakat. Produk olahan bakso pada umumnya menggunakan bahan baku daging sapi dan tepung. Kualitas bakso ditentukan oleh daya iakt air (DIA), kekenyalan dan kandungan nutrisinya. Bakso dengan kualitas baik mempunyai daya ikat air yang baik pula, yaitu air yang benar-benar diikat oleh protein daging dan air bebas yang tertangkap di dalam sel-sel daging. Tingkat kekenyalan bakso yang berkualitas yaitu bakso memiliki kemampuan pecah karena adanmya tekanan dan kandungan nutrisi yang terdapat pada bakso berkualitas baik yaitu memiliki kandungan nutrisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi dalam tubuh (Kusnadi,2012).Pada umumnya pengolahan produk-produk pangan hasil peternakan seperti daging memiliki tujuan utama untuk menambah masa simpan produk. Oleh karena itu bahan-bahan yang digunakan dalam setiap penggunaan produk daging hampir sama. Daging yang digunakan dalam pembuatan bakso telah bebas dari lemak dan jaringan ikat. Hal ini dimaksudkan agar tidak merusak bentuk bakso dan agar tiller dapat menyatu dengan daging.Buckle at al (1997) menyatakan bahwa daging merupakan bahan pangan yang mudah rusak oleh mikroorganisme karena ketersediaan gizi di dalamnya yang sangat mendukung untuk pertumbuhan mikroorganisme, terutama mikrobia perusak. Menurut Elvera (1998), danging sapi yang biasa digunakan untuk membuat bakso adalah daging penutup (top side), gandik (silver side) dan lemusir (cube roll). Penggunaan daging gandik menyebabkan bakso memiliki kadar protein, daya iris (sher WB), kecerahan dan kemerahan tertinggi, serta kadar lemak terendah (Lindarmono, 1997).Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan bakso mempunyai fungsi masing-masing. Garam memiliki fungsi menambah masa simpan produk. Garam yang ditambahkan pada daging yang digiling akan meningkatkan protein myotibil yang terekstraksi (Aberle et. Al, 2000). Merica dan bawang putih yang ditambahkan pada bakso memiliki fungsi aromatik dan penambah cita rasa karena memiliki rasa pedas. Bawang putih juga terdapatS-(2 propenil)- L-astein sulfoksida yang merupakan prekusor utama dalam pembentukan alil thiosulfat (allian) (Reinnencius,1994). Bawang merah goreng juga bersifat sebagai penambah cita rasa. Selain itu juga memiliki sifat anti bakteri sehingga menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Misonyal dalam praktikum ini berfungsi untuk mengenyalkan bakso. Tepung tapioka dalam pembuatan bakso digunakan sebagai pengisi agar menekan biaya produksi dan menghaluskan tekstur bakso. Tepung dari pati dapat meningkatkan daya mengikat air karena memiliki kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan (Tarwotjo et al 1991).SNI 01-3818-1995 menetapkan penggunaan bahan pengisi dalam pembuatan olahan daging maksimum 50% dari berat daging yang digunakan. Tujuan penambahan air es pada produk olahan daging adalah menurunkan panas produk yang dihasilkan selama penggilingan, melarutkan dan mendistribusikan garam ke seluruh masa daging secara merata, mempermudah ekstraksi protein otot, membantu proses pembentukan emulsi dan mempertahankan suhu adonan agar tetap rendah. Jika panas berlebih maka emulsi akan pecah dan jika panas terlalu tinggi akan terjadi dematurasi protein, akibatnya produk tidak akan bersatu selama pemasakan (Aberle et al, 2001).Bakso yang dihasilkan dalam praktikum memiliki struktur yang lembek dan pecah. Hal ini dikarenakan kurangnya filler yang ditambahkan, daging yang digunakan masih banyak mengandung lemak ataupun terlalu banyak penambahan air. Berdasarkan uji pH yang dilakukan, diperoleh hasil pH 6,67. pH ditentukan oleh nilai pH daging yang dipakai dan kondisi daging pre-sigor (Suparno, 1998). Uji keempukan diperoleh hasil rata-rata 18,07 yang menunjukkan bahwa bakso hasil olahan memiliki struktur yang cukup empuk.

KESIMPULANBerdasarkan praktikum pembuatan bakso yang telah dilakukan,dapat disimpulkan bahwa bahan-bahan yang diperlukan untuk pembuatan bakso antara lain garam, merica, bawang putih, bawang merah goreng, misonyal, tepung tapioka, air es, dan daging. Bahan-bahan tersebut ditambahkan agar didapatkan adonan yang tepat untuk bakso. Bumbu-bumbu yang ditambahkan memiliki fungsi untuk menambahkan rasa, pengawet alami dan membantu proses pembuatan bakso dengan struktur yang baik.

DAFTAR PUSTAKAAber Ke, H.B. Forrest, J. C. E. 2001. Principle of Meat Science. 4thEdit. Kendal/ Hunt Publishing, lowa.Dewan Standarisasi Nasional. 1995. SNI 01-3818, Bakso Daging. Dewan Standarisasi Nasional, JakartaIndarmono, T. R. 1997. Pengaruh lama pelayan dan jenis daging karkas serta jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan fisikokimia bakso sapi.Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. BogorSuparno, 1998. Ilmu dan Teknologi daging. UGM Press. Yogyakarta.Tarwarjo, I, S.,dkk. 1991. Komposisi Tiga Jenis Bakso di Jakarta. Akademi Gizi Indonesia

ACARA VIPEMBUATAN DENDENGTINJAUAN PUSTAKA

Dendeng adalah salah satu hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Selain punya keragaman sumber pangan, daging dapat menimbulkan kepuasan atau kenikmatan bagi yang memakannya karena kandungan gizinya lengkap, sehingga keseimbangan gizi untuk hidup terpenuhi. Daging dapat diolah dengan cara dimasak, digoreng, dipanggang, disate, diasap, atau diolah menjadi produk lain, antara lain korned, sosis, dendeng, dan abon (Soeparno, 2009).Dendeng merupakan salah satu bentuk hasil olahan pengawetan daging secara tradisional dan telah banyak dilakukan oleh masyarakat indonesia sejak dulu. Dendeng memiliki cita rasa yang khas, yaitu manis agak asam dan warna yang gelap akibat kadar gulanya yang cukup tinggi. Kombinasi gula, garam, dan bumbu bumbu menimbulkan bau khas pada produk akhir. Ditinjau dari cara pembuatannya, dendeng dikelompokkan menjadi dendeng iris dan dandeng giling (Purnomo, 1996).Percampuran antara daging dan bumbu dinamakan proses kyuring. Menurut Makfoeld et al., (2006) bahwa kyuring atau cured mats merupakan daging yang pada umumnya diolah dengan penggaraman. Organisme pembusuk tidak akan mampu tumbuh karena aktifitas air yang rendah. Garam nitrit yang ditambahkan untuk memberikan daya tarik warna merah pada daging karena penambahan nitrosomioglobin. Proses kyuring terjadi karena reaksi biologis yang mereduksi nitrat menjadi nitrit dan No yang mampu mereduksi feri menjadi fero, selanjutnya terjadi denaturasi globin oleh panas.

MATERI DAN METODEMATERIPraktikum pembuatan dendeng menggunakan bahan daging sapi segar, gula, asam jawa, bawang merah, lada, bubuk, ketumbar, jahe/lengkuas, garam, dan bawang putih. Alat-alat yang digunakan antara lain pisau,grinder, pengering/oven, keranjang peniris, penggiling bumbu, timbangan, panci, dan kompor. METODEPraktikum pembuatan dendeng dilakukan dengan membersihkan daging dari jaringan ikat dan lemak. Daging selanjutnya ditimbang seberat 125 gram dan kemudian digiling. Bumbu-bumbu yang terdiri dari 2% garam seberat 2,5 gram, gula merah 25% seberat 31,25 gram, bawang putih 1% seberat 1,25 gram, asam jawa 1% seberat 1,25 gram, ketumbar 5% seberat 6,25 gram, lengkuas 1% seberat 1,25 gram ditimbang masing-masing, dihaluskan, dan dicampurkan ke dalam daging giling. Adonan diaduk selama 10 menit hingga rata, kemudian ditatakan pada loyang dengan ketebalan kira-kira 3mm. Adonan dikeringkan di bawah sinar matahari selama 7 jam per hari selama 3 hari, selanjutnya dendeng dapat disimpan dan digunakan untuk praktikum uji sensoris dan uji keempukan. Uji sensoris dilakukan dengan menggoreng dendeng hasil praktikum dan dendeng pabrik kemudian membandingkannya. Uji keempukan dilakukan dengan metode warner blazter pada dendeng hasil praktikum dan dendeng pabrik kemudian dibandingkan hasilnya.

HASIL DAN PEMBAHASANDendeng merupakan salah satu bentuk produk olahan daging agar awet dan tahan lama. Pengolahan dendeng menggunakan proses curing dan pengeringan. Daging yang biasanya digunakan untuk membuat ddendeng adalah daging sapi (Indrastuti, 2012).Praktikum pembuatan dendeng dilakukan dengan menyampurkan beberapa bahan dan daging sapi yang telah digiling halus dengan perbandingan tertentu. Perbandingannya adalah daging 100%, garam 2%, gula merah 25%, bawang putih dan asam jawa serta lengkuas sebanyak 1% dan ketumbar 5%. Penambahan gula pada dendeng bertujuan untuk mengawetkan dendeng dan sebagai penambah citarasa pada dendeng (Evanuarini, 2003). Menurut Soeparno (1992), penambahan gula pada dendeng berfungsi mengurangi kadar air yang sangat diperlukan mikrobia untuk tmbuh dan berkembang. Konsentrasi gula pada saat curing berfungsi sebagai bahan pengawet yang alami.Menurut Evanuarini (2003), pengawet yang sering digunakan pada dendeng adalah garam dan gula. Menurut Marfin (2001), konsentrasi garam sebanyak 2% dapat menghambat sejumlah bakteri. Persentase larutan garam dalam curing dpat dipengaruhi beberapa faktor antara lain konsentrasi garam di dalam larutan dan lamanya waktu dengan daging, struktur mikroskopis otot dan suhu. Kandungan metral pada garam seperti tembaga, besi dan krom akan mempercepat oksidasi lemak dan dapat menimbulkan bau tengik pada daging curing.Bumbu-bumbu yang digunakan dalam pembuatan dendeng ini adalah garam, gula merah, bawang putih, asam jawa, ketumbar dan lengkuas. Menurut Suherman et al. (2002) lengkuas mengandung minyak atsiri dan fraksi etanol yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur. Menurut Darmaji et al (1994) dalam bawang putih memiliki senyawa lain yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Senyawa lain yang terkandung adalah eugenol dan timol karvakrol yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri juga.

KESIMPULANBerdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa proses pembuatan dendeng dengan menggunakan bahan utama daging memerlukan bumbu gula dan garam untuk mengawetkan dan lengkuas yang mengandung minyak atsiri untuk membunuh mikrobia.

DAFTAR PUSTAKAAber Ke, H.B. Forrest, J. C. E. 2001. Principle of Meat Science. 4thEdit. Kendal/ Hunt Publishing, lowa.Dewan Standarisasi Nasional. 1995. SNI 01-3818, Bakso Daging. Dewan Standarisasi Nasional, JakartaIndarmono, T. R. 1997. Pengaruh lama pelayan dan jenis daging karkas serta jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan fisikokimia bakso sapi.Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. BogorSuparno, 1998. Ilmu dan Teknologi daging. UGM Press. Yogyakarta.Tarwarjo, I, S.,dkk. 1991. Komposisi Tiga Jenis Bakso di Jakarta. Akademi Gizi Indonesia

ACARA VIIPengemasan

MATERI DAN METODEMateriAlat. Alat yang digunakan dalam praktikum pengemasan adalah mesin pengemas vacum, plastik polyethilen.Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum pengemasan adalah produk daging sosis, dendeng atau bakso.MetodeVacum pack diseting sesuai kebutuhan. produk dendeng, sosis dan bakso dimasukkan dalam polyethilen, ditata sedemikian rupa dan dimasukkan dalam vacum pack.

HASIL DAN PEMBAHASANBerdasarkan pengamatan yang dilakukan dalam praktikum, pengemasan sosis dan bakso menggunakan pengepakan vakum. Pengemasan, pengepakan atau pembungkusan merupakan suatu proses yang dilakukan untuk membantu mencegah dan mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada di dalamnya, melindungi adanya bahaya pencemaran dan gangguan fisik (gesekan, benturan dan getaran). Disamping itu pengemasan juga berfungsi untuk menempatkan suatu hasil pengolahan atau produk industry agar mempunyai bentuk yang memudahkan penyimpanan dan distribusi. Segi promosi, pengepakan atau wadah merupakan perangsang daya tarik konsumen sehingga bentuk, warna dan dekorasi harus diperhatikan (Ali, 2008).Menurut Winarno dan Betty (1983), kerusakan bahan pangan dapat disebabkan oleh dua hal yaitu kerusakan oleh sifat alamiah dari produk yang berlangsung secara spontan yang kedua adalah kerusakan karena pengaruh lingkungan. Oleh karena itu diperlukan pengemas untuk membatasi bahan pangan dengan lingkungan untuk mencegah atau menunda proses kerusakan sehingga produk olahan daging mempunyai daya tahan lebih lama untuk dikonsumsi. Sifat terpenting dari pengemas meliputi permeabilitas gas dan uap air serta luas permukaan kemasan. Kemasan dengan daya hambat gas yang baik dan luas permukaan yang lebih kecil menyebabkan masa simpan produk lebih lama (Bukle et al., 1997).Penggunaan bahan pengemas harus sesuai dengan sifat bahan yang dikemas. Polietilen (PE) dan Polipropilen (PP) merupakan kemasan plastic yang fleksibel yang umum digunakan untuk mengemas produk daging dan ikan. Sifat-sifat polietilen antara lain : (1) mudah dibentuk dan lemas, (2) tahan terhadap basa, asam, alcohol, diterjen, dan bahan kimia lainnya, (3) kedap air dan uap, (4) daya rentang tinggi tanpa sobek, dan (5) mudah dikelim panas (Syarief et al., 1999). Polipropilen mempunyai sifat-sifatkimia antara lain : (1) sukar ditembus oleh uap air, (2) tahan terhadap minyak dan lemak, (3) permeabilitas terhadap uap air rendah, (4) stabil pada suhu tinggi, dan mempunyai permukaan yang mengkilat. Polipropilen banyak digunakan sebagai pembungkus daging dengan proses pengemasan vacuum dan gas (Ramsbottom, 1971 dalam Suparna 1994). Berdasarkan sifat-sifat tersebut maka digunakan polietilen dan polipropilen untuk mengemas sosis dan bakso. Daging segar dikemas dalam pengemas vakum yangMenurut Syarief dan Hlid (1993), Menurut Syarief dan Halid (1993), pengemasan vacuum pada prinsipnya adalah pengeluaran gas dan uap air dari produk yang dikemas, sedangkan pengemasan non vakum dilakukan tanpa mengeluarkan gas dan uap air yang terdapat dalam produk. Oleh karena itu pengemasan vacuum cenderung menekan jumlah bakteri, perubahan bau, rasa, serta penampakan selama penyimpanan, karena pada kondisi vakum, bakteri aerob yang tumbuh jumlahnya relative lebih kecil dibandingkan dalam kondisi tidak vakum.KESIMPULANBerdasarkan praktikum pengemasan yang telah dilakukan, pengemasan pada produk hasil olahan daging sosis dan bakso menggunakan metode vakum. Metode vakum dilakukan dengan mengeluarkan gas dan uap air darii produk yang dikemas. Hal ini akan menekasn sejumlah bakteri, perubahan bau, rasa dan penampakan selama penyimpanan sebab bakteri anaerob yang tumbuh jumlahnya menjadi lebih kecil.

DAFTAR PUSTAKAAli, Hikmah M.. 2008. Modul Pembelajaran Berbasis SCL Kuliah Pengepakan dan Labeling Produk Hasil Ternak. Universitas Hasanudin. Makasar.Buckle et al.. 1997. Meat Hygine. Lea and Febiger. Philadelphia.Nur, Muhammad. 2009. Pengaruh Cara Pengemasa, Jenis Bahan Pengemas dan Lama Penyimpanan Terhadap Sifat Kimia, Mikrobiologi dan Organoleptik Sate Bandeng. Universitas Lampung. Bandar Lampung.Syarief, R. dan Halid, H.. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. IPB. Bogor.Syarif, R., Sassya, S. dan Isnaya. 1999. Teknologi Pengemasan Pangan Laboratorium Rekayasa Proses Pangan DAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor