print rhinitis finis arif zn
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Definisi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
reaksi alergi dengan dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik pada pasien atopik yang sudah tersensitisasi
dengan alergen yang sama sebelumnya. Dengan kata lain alergi adalah suatu
reaksi hipersensitifitas. Untuk menimbulkan reaksi alergi harus dipenuhi 2 faktor,
yaitu adanya sensitifitas terhadap suatu alergen (atopi), yang biasanya bersifat
herediter dan adanya kontak ulang dengan alergen tersebut (1).
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE.
1.2. Epidemiologi
Rinitis Alergi terjadi pada setiap orang dari semua ras. Namun prevalensi
terjadinya pada tiap populasi berbeda-beda, tergantung dari perbedaan secara
genetik, faktor geografi, atau perbedaan lingkungan. Pada anak-anak, rinitis alergi
lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan, sedangkan pada
dewasa prevalensinya sama untuk kedua janis kelamin (2).
1
Onset umur dari rinitis alergi berkisar 8-11 tahun, tetapi dapat juga terjadi
pada semua orang dari tiap umur. Pada 80% kasus, rinitis alergi terjadi pada umur
20 tahun. Prevalensi dari rinitis alergi, 40% terjadi pada anak-anak yang
selanjutnya tersebut berkurang dengan bertambahnya umur. Pada populasi usia
lanjut, rinitis alergi lebih jarang terjadi (2).
1.3. Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi Penyebab terjadinya rinitis alergi adalah
adanya alergen yang merangsang reaksi hipersensitifitas tubuh. Penyebab rinitis
alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak.
Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan
pencernaan. Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas (1,3):
1. Alergen inhalan, yang masuknya bersama dengan udara pernapasan,
misalnya debu rumah, tungau, bulu binatang dan jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, telur ,coklat, ikan dan udang.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik dan perhiasan.
Berdasarkan sifat terjadinya Rinitis alergi dibagi menjadi dua macam yaitu
(1,2,3):
2
1. Rinitis alergi musiman : timbul secara periodik, jenis rinitis ini tidak
dikenal di Indonesia, hanya terjadi di negara-negara yang mempunyai 4
musim.
2. Rinitis Alergi Sepanjang tahun (perennial) Gejala penyakit ini timbul
secara intermitten, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang
tahun.
1.4. Patogenesis
Pada kontak pertama dengan alergen, tubuh akan membentuk IgE spesifik.
IgE ini akan menempel pada permukaan mastosit dan basofil yang mengandung
granul. Sel-sel ini disebut sebagai sel mediator. Proses ini disebut dengan proses
sensitisasi dan akan ditemukan pada sel yang tersensitisasi (1)
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen, maka
dalam beberapa menit akan timbul rasa gatal yang diikuti dengan bersin sebagai
reflek induksi pada reseptor iritan dihidung. Setelah 10 menit terjadi rinore akibat
aktifitas kelenjar berupa peningkatan permeabilitas vaskuler dan kelenjar oleh
stimulasi reflek saraf kolinergik. Setelah 25-30 menit pasien akan mengeluh
hidung tersumbat akibat terjadinya vasodilatasi dan pengumpulan darah,
peningkatan permeabilitas vaskuler serta pengaktifan sel molekul adhesi. Fase ini
disebut dengan fase inflamasi cepat. (1)
Respon ini tidak berhenti, tetapi akan terus berlanjut sampai 2-4 jam
setelah pemaparan dan maksimal 6-8 jam, serta akan menurun secara berahap.
Gejala yang menoniol adalah hidung tersumbat, sedangkan rinore dan bersin
jarang timbul. Fase ini disebut fase lambat (1).
3
Timbulnya gejala hipereaktif dan hiperesponsif dari hidung adalah akibat
peranan eosinofil dan mediator inflamasi dan granulnya. Pada rinitis alergi zat
mediator yang berperan utama ialah histamin, yang mempunyai efek dilatasi pada
pembuluh darah kecil, meningkatkan permeibilitas kapiler, sehingga cairan keluar
pembuluh darah. Efek histamin pada saraf sensoris adalah meningkatkan sekresi
kelenjar dan bersin (1).
Gambar 1. Patogenesis rhinitis alergika
1.5. Manifestasi Klinis
Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin secara
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala normal, terutama pada pagi hari
atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupahan
mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process).
Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan.
4
Gejala lain adalah keluarnya ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Pada rinitis alergi tidak ada demam (1).
Pada anak-anak gejala hidung tersumbat merupakan gejala utama atau
satu-satunya gejala yag diutarakan oleh pasien. Gejala spesifik lainnya pada anak-
anak ialah terdapatnya bayangan gelap pada daerah bawah mata yang terjadi
karena stasis vena sekunder, akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut dengan
allergic shiner. Selain itu sering juga dilihat anak menggosok-gosok hidung,
karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut dengan allergic salute
(1,3).
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah
penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa
orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan
sulit tidur (3).
1.6. Diagnosis
1. Anamnesa
Anamnesa sangat penting, karena seringkali tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis saja
(1).
Pada saat melakukan anamnesa, hal-hal yang semestinya ditanyakan
seperti; gejala dan kronisitas, faktor pemicu timbulnya rinitis, respon terhadap
pengobatan, penyakit penyerta, riwayat keluarga, lingkungan dan pekerjaan
(2).
5
2. Pemeriksaan Fisik
Gambaran secara umum dari wajah yaitu allergic shiners, yang merupakan
lingkaran hitam dibawah mata dikarenakan vasodilatasi dan kongesti hidung.
Mukosa hidung terlihat bengkak, pucat, abu kebiru-biruan yang menunjukkan
tipe rinitis alergi. Beberapa pasien dapat juga terlihat mukosanya merah, hal
ini terlihat pada tipe rinitis medikamentosa, infeksi atau rinitis vasomotor (2).
Mukus yang tipis dan berair menunjukkan rinitis alergika, namun mukus
yang tebal dan purulun menunjukkan sinusitis. Periksa apakah ada deviasi
septum yang biasanya terjadi pada rinitis kronik, penyakit granulomatosa,
ketergantungan kokain, atau karena pembedahan (2).
Pada pemeriksaan leher apakah ada limfadenofati atau penyakit tiroid.
Pada pemeriksaan paru apakad ada asma, sedang pada pemeriksaan kulit
untuk mengetahui apakah ada dermatitis atopik (2).
3. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai banyak sekret yang encer (1).
Ditemukanya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan
alergi inhalan, basofil (cukup 5 sel/lap) mungkin alergi makanan, sedangkan
sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (1).
Alergen penyebab dapat juga dicari secara in-vitro dengan uji kulit. Ada
beberapa cara, yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri.
Dengan pemeriksaan uji alergen yang lengkap selain dapat menemukan
6
alergen penyebab, juga dapat diketahui besarnya konsentrasi alergen yang
dapat menetralkan reaksi alergen tersebut (1,2).
Pada pemerikasaan laboratorium (invitro), pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai
pemeriksaan penyaring atau pelengkap terhadap pemeriksaan-pemeriksaan
lain (1).
1.7. Diagnosa Banding
Rinitis non alergik eosinofilik terjadi kebanyakan pada orang dewasa.
Gejalanya bertahan lama; membran mukosa yang pucat, dan mungkin disertai
polip hidung atau penyakit sinus. Eosinofil ditemukan pada pulasan hidung, tetapi
kadar IgE serum normal dan uji kulit biasanya negatif (3).
Rinitis vasomotor diduga terjadi akibat dari ketidakseimbangan sistem
pengendalian saraf otonom terhadap vaskularisasi mukosa dan kelenjar mukosa,
gejalanya memberi kesan rinitis alergika namun penyebab alerginya tidak
diketahui. Penyumbatan hidung adalah gejala yang paling menonjol, dengan rasa
gatal, bersin, dan rinore yang minimal. Penyumbatan diperberat oleh lingkungan,
seperti: suhu atau kelembaban dan oleh paparan terhadap iritan seperti asap
tembakau. Penderita tidak mempunyai eosinofil pada sekret hidungnya (3).
Kemungkinan lain yang perlu dipertimbangkan selain dari rinitis alergika,
seperti rinitis medikamentosa, hal ini berhubungan dengan riwayat penggunaan
dekongestan topikal, obat antihipertensi atau pada ketergantungan kokain. Rinitis
hormonal berhubungan dengan kehamilan, keadaan hipotiroid dan penggunaan
7
kontrasepsi oral, sedangkan rinitis anatomik berhubungan dengan adanya deviasi
septum, atresia koanal, hipertrofi adenoid, benda asing atau tumor hidung (2).
1.8. Komplikasi.
Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah (1,2):
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu penyebab terbentuknya polip hidung.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal
Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari
rinitis alergi, tetapi karena adnya sumbatan hidung, sehingga menghambat
drainase.
1.9. Pengobatan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
alergen penyebab (avoidence) dan eliminasi
2. Simptomatis
a. Medikamentosa
Antihistamin adalah antagomis histamin H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
8
pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi maupun
tanpa kombinasi dengan dekongestan oral (1).
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non sedatif). Antihistamin generasi
1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak
(mempunyai efek pada SSP) dan plasenta. Yang termasuk kelompok
ini antara lain adalah difenihidramin, klorfeniramin, prometasin,
siproheptadin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik sehingga sulit
menembus sawar darah otak. Bersifat selektif dengan mengikat
reseptor H-1 perifer dan tidak memepunyai efek antikolinergik dan
efek pada SSP minimal (non sedatif). Antihistamin diabsorbsi secara
oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada
respon fase cepat seperti rinore, bersin, gatal tetapi tidak efektif untuk
mangatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat (1).
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
sebagai dekongestan oral hidung dengan atau tanpa kombnasi dengan
antihistamin oral ataupun topikal. Namun pemakain secara topikal
hanya boleh beberapa hari saja untuk menghidari terjadinya rinitis
medikamentosa (1,3)
9
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan
hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diobati dengan obat
lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason,
budenosid, fluinisolid, flutikason, mometason furoat. Kortikosteroid
topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa
hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik pada eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini
menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan
alergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat.) (1).
10
Preparat kolinergik topikal adalah ipatropium bromida, bermanfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik
pada permukaan sel efektor (1)
b. Operatif
Pada konka hipertrofi inferior yang sudah berat, kauterisasi dengan
AgNO3 atau trikloroasetat tidak menolong. Maka dalam hal tindakan
konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan (1)
3. Imunoterapi
Desensitisasi dan Hiposensitisasi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama, serta dengan pengobatan cara lain
tidak memberikan hasil yang memuaskan (1,3).
Netralisasi
Cara netralisasi dilakukan untuk alergi makanan. Pada netralisasi tubuh
tidak membentuk “blocking antibody” seperti desensitisasi (1).
11
BAB II
SIMULASI KASUS
2.1 Kasus
Nn. Irna, 22 tahun, pekerjaan tenaga administrasi honorer di Rektorat Unlam,
alamat Jalan Sultan Adam No.12 Banjarmasin, datang ke klinik jam 08:00 pagi
dengan keluhan pilek. Sejak setengah bulan yang lalu, penderita mengeluh sering
bersin dan hidung meler terutama bila pagi atau bila hujan. Mata dan hidung
terasa gatal, dan keluar ingus yang berwarna bening. Bersin dan hidung meler
sering kadang hilang sendiri bila sudah siang hari, kadang perlu diberi obat, yang
sering dipakai pasien adalah Intunal® . Tetapi walau sudah minum obat, besoknya
gejalanya muncul lagi. Tidak ada demam dan batuk jarang, kadang ada-kadang
tidak. Ibunya menderita asma, sedangkan ayahnya menderita kencing manis, dan
seorang perokok berat.
Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital : ( TD = 110/60 mmHg; N = 90 x/I; RR = 24 x/I; T = 37˚C )
Mata : dalam batas normal
Hidung : edem mukosa dan concha nasalis hidung, ada sekret encer bening
Tenggorokan : tidak ada hiperemi
Thorax, abdomen, ekstrimitas : tidak ada kelainan
Diagnosis : Rhinitis Alergika
12
2.2 Tujuan dan Alasan Pengobatan
Tujuan pengobatan kasus ini adalah untuk mengurangi atau
menghilangkan keluhan bersin-bersin, gatal pada hidung dan mata, keluar cairan
encer yang berwarna kuning dari hidungnya, dan hidung buntu. Jadi pengobatan
untuk kasus ini bersifat simptomatik.
2.3 Daftar Kelompok Obat Beserta Jenisnya yang Berkhasiat
N0. Kelompok Obat Nama Obat1 Antihistamin H-1 1. Loratadin
2. Feksofenadin3. Cetirizine4. Azelastine5. Desloratadine
2 Dekongestan 1. Pseudoefedrin2. Efedrin 3. Fenilpropanolamin
2.4 Perbandingan Kelompok Obat Menurut Khasiat, Keamanan (Efek Samping) dan Kecocokannya (Kontraindikasi)
A. Antihistamin
Jenis Obat Khasiat Efek samping KontraindikasiLoratadin Dapat digunakan untuk
mengatasi gejala pada rhinitis alergi, konjungtivitis alergi, urtikaria kronis, dan hay fever.
Lesu, nyeri kepala, yang jarang terjadi yaitu sedasi dan mulut kering
Hipersensitifitas, penderita yang sedang mendapat terapi ketokonazol/ eritromisin/ procarbazin/ simetidin, alkoholik, bayi prematur, bayi baru lahir, asma akut, hamil dan menyusui.
Feksofenadin Dapat mengatasi gejala alergi seperti pada urtikaria, rinitis alergi.
Sakit kepala, susah tidur, mual, muntah, mulut kering.
Glaukoma dan pasien dengan retensi urin. Hipersensitif.
13
Kombinasi dengan pseudoefedrin dikontraindikasikan pada pasien dengan hipertensi grade III atau penyakit arteri koroner.
Cetirizine Mengatasi gejala – gejala rhinitis alergika dan urtikaria idiopatik
Somnolen, lesu, pusing, mulut kering, faringitis
Hipersensitif terhadap obat yang mengandung hidroksin
Azelastine Mengatasi gejala – gejala rhinitis alergika dan rhinitis vasomotor
Rasa tidak nyaman, sakit kepala, somnolen, hidung rasa terbakar, faringitis, mulut kering, epistaksis, mual, pusing, lesu
Hipersensitif terhadap azelastine hidroklorida
Desloratadine Mengatasi gejala-gejala rhinitis alergika kronik, konjungtivitis alergika, urtikaria, post nasal drip
Nyeri otot, lesu, mual, mulut kering, nyeri menelan, sesak nafas, gatal- gatal dan kemerahan pada kulit
Pasien dengan penyakit ginjal, hamil dan menyusui
B. Dekongestan
Nama Obat Khasiat Efek samping KontraindikasiPseudoefedrin Sebagai dekongestan
hidung, dan bronkodilatasi lemah
Efek samping terhadap jantung dan SSP lebih ringan
Anemia berat, hipertensi berat, hipertensi postural, trauma kepala, perdarahan serebri dan penyakit jantung koroner.
Fenilpropanolamin Sebagai dekongestan mukosa hidung pada
Meningkatkan tekanan darah,
Hipertensi, hipertrofi prostat
14
rhinitis alergika kronik, commond cold, hay fever
stroke hemoragik, efeknya terhadap SSP lebih ringan daripada efedrin, stimulasi jantung
dan penggunaan bersama inhibitor MAO.
Efedrin Bronkodilator pada pasien asma, hipotensi akibat anastesi spinal / epdural, narkolepsi, nikturnal enuresis
- Kardiovaskular (takikardi, kardiak aritmia, angina pektoris, hipertensi)
- Dermatologi (Kulit kemerahan, berkeringat, akne vulgaris)
- Gastrointestinal (mual, penurunan nafsu makan)
- Genitourinaria (peningkatan volume urine output)
- Sistem saraf (Insomnia, halusinasi, euforia)
- Respiratori (dispneu, edem pulmo)
- Sakit kepala, tremor, hiperglikemia
Pasien glaukoma sudut tertutup, stenosis hipertropik subaortik, terapi MAO, anastesi umum dengan halogen hidrokarbon, kehamilan
15
2.5 Pilihan Obat dan Alternatif Obat yang Digunakan
A. Antihistamin
Urutan Obat pilihan Obat alternatifNama obat Loratadine FeksofenadinBSO (generik, paten) Generik : -
Paten : Loraphrm®
BSO : Tablet 10 mg
Generik : -Paten : Telfast BSO :Tablet salut selaput 30 mg
BSO yang diberikan dan alasannya
Tablet karena cocok untuk dewasa, tidak ada keluhan sukar menelan
Tablet karena cocok untuk dewasa, tidak ada keluhan sukar menelan
Dosis referensi 5-10 mg sebanyak /hari 120 mg/hari Dosis kasus tersebut dan alasannya
5 mg/x, untuk tercapai dosis terapi (sesuai dosis referensi)
120 mg, agar tercapai dosis terapi (sesuai dosis referensi)
Frekuensi pemberian dan alasannya
1 kali/hari, berdasarkan waktu paruh. (24 jam)
2 kali/ hari, berdasarkan waktu paruh. (14 jam)
Cara pemberian dan alsannya
Oral, karena tidak ada keluhan sukar menelan
Oral, karena tidak ada keluhan sukar menelan
Saat pemberian dan alasannya
Sesudah makan, absorbsi tidak dihambat makanan.
Sebelum makan. Karena adanya absorbsi dihambat oleh makanan
Lama pemberian 3-5 hari karena berupa obat simptomatik dan apabila perlu
3-5 hari karena berupa obat simptomatik dan apabila perlu
B. Dekongestan
Urutan Obat pilihan Obat alternatifNama obat Pseudoefedrin FenilpropanolaminBSO (generik, paten)
Generik : - Paten : DisurdinBSO : Sirup 15 mg/5 ml, tetes 7,5 mg/0,8 ml, tablet 30 mg
Generik : -Paten : -BSO :-(dalam bentuk kombinasi dengan obat lain)
BSO yang diberikan dan alasannya
Tablet karena cocok untuk dewasa, tidak ada keluhan sukar menelan
Tablet karena cocok untuk dewasa, tidak ada keluhan sukar menelan
Dosis referensi 3-4 kali 60 mg perhari 3-4 kali 25-50 mg perhariDosis kasus tersebut dan
3 kali 60 mg, sesuai dengan dosis referensi
3 kali 25 mg, sesuai dengan dosis referensi
16
alasannyaFrekuensi pemberian dan alasannya
3 kali/hari, sesuai dengan waktu paruh obat
3 kali/hari, sesuai dengan waktu paruh obat
Cara pemberian dan alsannya
Oral, karena tidak ada keluhan sukar menelan
Oral, karena tidak ada keluhan sukar menelan
Saat pemberian dan alasannya
Tidak ada aturan khusus Tidak ada aturan khusus
Lama pemberian 3-5 hari karena berupa obat simptomatik dan apabila perlu
3-5 hari karena berupa obat simptomatik dan apabila perlu
Farmakokinetik, Farmakodinamik, dan Interaksi Obat
1. Loratadin
Farmakokinetik
Kadar serum tertinggi loratadin yaitu 1-2 jam setelah dosis oral dan
mengalami metabolisme di hati dan distribusi yang cepat ke jaringan. Didalam
plasma diikat secara kuat oleh protein plasma dan mula kerjanya sekitar 1-2 jam
dan bertahan 24 jam, sedangkan plasma-t-½-nya sekitar 12 jam . Sekitar 60% dari
loratadin diekskresi melalui feses dan 40% melalui urin (4,5,6).
Farmakodinamik
Loratadin secara selektif menghambat reseptor histamin tipe H1 pada
perifer. Obat ini sangat sulit melewati sistem barier otak sehingga pada dosis
terapi, efek sedasi dan tanda-tanda depresi sistem saraf pusat tidak terlihat (2,5).
Interaksi obat
Interaksi loratadin dengan teofilin dapat menurunkan klierens dari teofilin.
Apabila digunakan bersama-sama obat yang mendepresi SSP, maka dapat
meningkatkan toksisitas dari obat-obat yang mendepresi SSP (2).
17
2. Feksofenadin
Farmakokinetik
Feksofenadin mempunyai waktu paruh 12-14 jam, sehingga pemberian
dilakukan dalam 2 kali sehari. Absorbsi fenoksifenedin menurun dengan adanya
makanan, sehingga harus diberikan sebelum makan. Absorbsi juga akan menurun
apabila diberikan bersama-sama dengan antasid. Feksofenadin tidak mempunyai
metabolit aktif, hanya 4 % yang dimetabolisme hati. Sekitar 80% dieliminasi
melalui tinja dan 12% dieliminasi melalui ginjal. Pemberian feksofenadin aman
untuk pasien dengan gangguan faal hati. Untuk pasien dengan gagal ginjal berat
maka pemberian feksofenadin harus dikurangi dosisnya hingga 50%.
Feksofenadin jangan diberikan pada pasien dengan konsumsi garam yang tinggi
atau setelah mengkonsumsi jus buah-buahan seperti, jus anggur, jus jeruk dan jus
apel, karena dapat menurunkan bioavaibilitas hingga 30-75 % tergantung
kuantitas dari garam dan jus buah-buahan (6).
Farmakodinamik
Feksofenadin merupakan golongan antagonis histamin 1 (AH-1) generasi
ke 2. Golongan ini mempunyai efek sedasi yang minimal dan signifikan, karena
tidak dapat menembus sawar darah otak dan tidak mempengaruhi sistem saraf
pusat (SSP). Merupakan kompetitor reseptor histamin di saluran pencernaan,
pembuluh darah, saluran pernapasan serta menurunkan reaksi hipersensitifitas.
Pemberian diberikan sebanyak 4 kali dan 2 kali. Kombinasi bersama dengan
pseudoefedrin menghasilkan efek yang memuaskan untuk mengurangi gejala
rhinitis alergika (7)
18
Interaksi Obat
Kadar dalam darah akan meningkat jika digunakan bersama dengan eritromisin
dan ketokonazol. Jika digunakan bersama digitalis dapat meningkatkan aktivitas
pacemaker. Pemberian bersama dengan pseudoefedrin akan meningkatkan
tekanan darah (7).
3. Ceterizine
Farmakokinetik: Dalam studi pemberian 10 mg tablet , sekali sehari selama 10
hari, tingkat serum rata-rata puncak 311 ng / mL. Puncak level darah untuk 0,3
ug/ml dicapai antara 30- 60 menit setelah pemberian Cetirizine 10 mg. Waktu
paruh plasma kira-kira 11 jam. Absorpsi sangat konsisten pada semua subjek.
Efek metabolik cetirizine yang tersisa dalam sistem untuk maksimal 21 jam
sebelum dibuang, eliminasi rata -hidup adalah 8 jam. Sekitar 70% dari obat
tersebut diekskresi atau dikeluarkan melalui buang air kecil, yang setengah
diamati sebagai senyawa cetirizine tidak berubah. Lain 10% diekskresikan.
Pengeluaran melalui ginjal 30 ml/menit dan waktu paruh ekskresi kira-kira 9 jam.
Cetirizine terikat kuat pada protein plasma.(8)
Farmakodinamik :
Cetirizine adalah antihistamin dengan efek sedative yang rendah pada dosis aktif
farmakologi dan mempunyai sifat tambahan sebagai anti alergi. Merupakan
antagonis selektif reseptor H1, efeknya terhadap reseptor lain dapat diabaikan
sehingga cetirizine hampir bebas dari efek anti kolinergik dan anti serotonin.
Cetirizine menghambat pelepasan histamin pada fase awal dari reaksi alergi,
19
mengurangi migrasi dari sel inflamasi dan melepaskan mediator yang
berhubungan dengan “late allergic response”.
Interaksi obat :
Tidak ditemukan interaksi obat yang berarti secara klinik dengan teofilin (pada
dosis rendah), azitromisin, pseudoefedrin, ketokonazol atau eritromisin. Ada
sedikit penurunan pada bersihan cetirizine jika diberikan bersama dengan teofilin
dosis 400 mg. Dosis teofilin yang lebih besar mungkin akan menimbulkan efek
yang lebih besar pula.(8)
Astemizol
INDIKASI
■ Pengurangan simtomatik gejala-gejala alergi (rinitis, urtikaria) yang disebabkan
olch pclcpasan histamin
■ Bcrsifat kurang scdatif dibanding antihistamin lainnya.
KERJA OBAT
■ Menghambai efek histamin bcrikui ini:
* Vasodilatasi
* Peningkatan sektesi Gl
* Peningkatan frekuensi jantung
* Hipotensi.
20
Efek Terapeulik: ■ Hilangnya gejala-gejala yang bcrhubungan dcngan kelcbihan
histamin yang biasanya jadi pada kondisi alergi. Tidak menghambat pelepasan
histamin,
FARMAKOKINETIK
Absorpsi: Diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral.
Distribusi: Distribusinya tidak dikctahui.
Metabolisme dan Ekskresi: Dimetabolisme secara luas oleh hati sebagian
dikonversi menjadi desmctilastemizol, yang juga memiliki aktivitas
antihistaminika.
Waktu Paruh: 100 jam astemizol; 12 hari desmetilastemizol.
Norastemizole
Mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan astemizole, dan menurut
McCullogh dkk norastemizole menghambat reseptor H1 13 sampai 16 kali lebih kuat. (12)
Pada percobaan dengan binatang, konstriksi bronkus akibat histamin juga
dihambat 20 sampai 40 kali lebih kuat dibanding astemizole. (15) Mulai kerja
norastemizole lebih cepat dibanding astemizole. Norastemizole tidak mengalami
metabolisme, diekskresi dalam urin dalam bentuk tidak berubah, waktu paruh plasma
sekitar satu minggu, jadi setengah dari pada waktu paruh astemizole. Dalam percobaan
pada tikus, obat ini tidak menaikkan berat badan. Terhadap jantung, pengaruhnya relatif
lebih aman meskipun dalam kombinasi dengan obat lainnya, tidak meningkatkan interval
QT setelah pemberian per os dengan dosis tunggal 100 mg. (15) Obat ini belum dipasarkan
di Indonesia.(8)
21
Dekongestan1. Pseudoefedrin
Farmakokinetik
Pseudoefedrin yang dalam bentuk hidroklorida sangat cepat diabsorbsi
dengan konsentrasi plasma maksimumnya 498 ng/ml dan tidak diikat oleh protein
plasma. Plasma t-1/2-nya sekitar 4-6 jam. Eliminasi pseudoefedrin terutama
melalui renal sekitar 55%-75%. Eliminasi dari obat ini tergantung dari pH urin.
Pada pH 5, waktu paruhnya sekitar 4 jam sedangkan pada pH 8 waktu paruhnya
menjadi 8 jam (5).
Farmakodinamik
Kerja dari obat ini yaitu dengan menstimulasi terjadinya vasokonstriksi
melalui aktivasi reseptor α-adrenergik pada mukosa respirasi. Pseudoefedrin dapat
merelaksasi bronkus namun tidak seefektif seperti epinefrin atau efedrin,
sehingga tidak digunakan untuk mengobati asma (2). Efek yang merugikan dari
pseudoefedrin sama seperti efedrin atau dekongestan yang lain namun terhadap
stimulasi sistem saraf pusat dan peningkatan tekanan darah, efeknya lebih rendah
(5).
Interaksi Obat
Penggunaan pseudoefedrin bersama-sama obat penghambat MAO dapat
mengakibatkan krisis hipertensi. Dan apabila digunakan bersama dengan salah
22
satu obat yaitu epinefrin, isoproterenol, antagonis metildopa, reserpin atau
guanetedin dapat mengakibatkan aritmia (2).
2. Fenilpropanolamin
Farmakokinetik
Onset kerja dari fenilpropanolamin dicapai dalam waktu 15-30 menit,
sedangkan kadar plasma maksimal dicapai dalam waktu 1-2 jam. Durasi dari kerja
obat ini berkisar 3 jam dengan plasma t-1/2-nya sekitar 3-4 jam. 80%-90%
diekskresi melalui urin (8).
Farmakodinamik
Fenilpropanolamin bekerja pada reseptor α, β1, β2. Efek perifer melalui
kerja langsung dan melalui penglepasan norepinefrin endogen. Pada mukosa
hidung bekerja pada reseptor α yang akan menghasilkan efek dekongestan. Kerja
tidak langsungnya mendasari timbulnya takifilaksis terhadap efek perifernya
(8,9).
Efek kardiovaskular yaitu menstimulasi jantung yang meningkatkan
kekuatan konstriksi jantung dan curah jantung. Terhadap sistem saraf pusat obat
ini kurang menimbulkan perangsangan bila dibandingkan efedrin (9).
Pada kasus ini sebagai resep utama diberikan obat Rhinos SR yang berisi
Loratadine 5 mg dan Pseudoefedrin HCl 60 mg immediate release dan
Pseudoefedrin HCl 60 mg sustaine release. Sedangkan untuk resep alternatif
diberikan Telfast Plus yang berisi feksofenadin HCl 60 mg dan Pseudoefedrin
HCl 120 mg. Hal ini disebabkan tidak tersedianya bentuk pseudoefedrin dalam
sediaan tunggal.
23
Resep yang Benar dan Rasional untuk Kasus Tersebut
Resep Alternatif
24
Dr. M.arif zainuddin NoorSIP No. 011/SPD/2/12/2011
Praktek Umum
Alamat Praktek Alamat RumahJl. A. Yani Km 3,5 Jl. A. Yani Km 2RS. Geriya Permata
Banjarmasin, 20 Mei 2013
R / Clarinase tab No. III S p.r.n 1.d.d. tab.I (bersin dan hidung sesak)
Pro : Nn. Irna Umur : 22 tahun Alamat : Jl. Sultan Adam No. 12 Banjarmasin
Dr.M.arif Zainuddin NoorSIP No. 011/SPD/2/12/2011
Praktek Umum
Alamat Praktek Alamat RumahJl. A. Yani Km 3,5 Jl. A. Yani Km 2 RS.Geriya Permata
Banjarmasin, 20 Mei 2013
R/ Telfast Plus tab No. III
S p.r.n. 1.d.d.tab I (bersin dan hidung sesak)
Pro : Nn. Irna Umur : 22 tahun Alamat : Jl. Sultan Adam No. 12 Banjarmasin
Pengendalian Obat
Kasus yang disajikan adalah kasus dengan diagnosis rinitis alergika, Pada
umumnya jenis rinitis alergika yang terjadi di indonesia adalah rinitis tahunan
(perennial). Prinsip terapi rinitis alergika ada tiga tingkatan yaitu:
1. Menghindari pencetus :
25
- Alergen
- Iritan (asap rokok, polusi udara, bau-bauan yang merangsang, asap)
- Infeksi saluran nafas
- Faktor fisik (“exercise”, udara dingin)
- Perubahan cuaca
- Emosi (stres)
- Bahan-bahan di lingkungan kerja
2. Terapi medikamentosa (antihistamin dan dekongestan)
3. Immunoterapi
Terapi farmakologi dilakukan apabila modifikasi lingkungan
dengan berusaha menjauhkan allergen gagal untuk mengontrol gejala dari
rinitis alergi. Terapi lini pertama yang dilakukan adalah dengan
mengguakan antihistamin dan dekongestan. Pilihan antihistamin pada
kasus ini adalah antihistamin H1 non sedatif yaitu loratadin atau
feksofenadin. Namun untuk pengobatan utama diberikan loratadin karena
efek sampingnya yang lebih ringan, pasien cukup sekali sehari
menkonsumsi obat, hal ini dikarenakan durasi kerjanya yang panjang yaitu
sekitar 24 jam. Feksofenadin merupakan metabolit aktif turunan dari
terfenadin, dengan waktu paruh berkisar antara 12-14 jam. Di Indonesia
preparat ini tergolong langka dan sangat jarang digunakan, harganya
tergolong cukup mahal. Pemakaian feksofenadin di Amerika baru saja
digunakan karena terfenadin dengan mudah dihambat oleh beragam
penghambat enzim makrosomal hati, bahkan termasuk jus anggur dan
26
terjadi konsentrasi tinggi dapat menyebabkan aritmia yang mematikan.
Oleh karena itu, pemakaian terfenadin mulai berkurang bahkan sudah
ditinggalkan di pasaran. Berdasarkan ISO 2004, di Indonesia sediaan
terfenadin masih begitu banyak dibandingkan dengan sediaan
feksofenadin. Hal ini memang tidak lepas dari segi ekonomis, terfenadin
jauh lebih murah dibandingkan dengan feksofenadin. Apabila masih
tersedia terfenadine harus dikontraindikasikan pada pasien yang
menggunakan ketokonazol, itrakonazol atau makrolid seperti eritromisin,
dan pada pasien dengan penyakit hati. Hal ini karena pada penggunaan
terfenadin yang dikombinasi dengan obat-obat tersebut dapat
meningkatkan toksisitas jantung secara bermakna. Mekanisme toksisitas
tersebut dengan melibatkan penyekat kanal kalium pada jantung yang
bertanggung jawab pada repolarisasi dari potensial aksi. Hasilnya adalah
perpanjangan potensial aksi, dan perpanjangan yang berlebihan dapat
menyebabkan aritmia. Berikut ini kan disajikan tabel perbandingan
pemilihan antihistamin I (AH-I) generasi II (6):
Perbandingan Antihistamin Non Sedatif
Feksofenadin Loratadin Cetrizine Azelestine Desloratadine
Bentuk metabolit aktif
- + - + +
Efek Sedasi - - + + -Potensial efek
etanol saat mengemudi
- - + + -
Pengaruh makanan
- - -
27
terhadap absorbsiInteraksi OAT + - - - -
Peningkatan QT seiring dgn
Peningkatan dosis
- - - - -
Potensi mengurangi
hidung tersumbat
- - - + +
Umur pemakaian pada anak-anak
>6 >2 >2 >5 >12
Sedangkan pilihan untuk dekongestan yaitu pseudoefedrin atau
fenilpropanolamin, dan yang menjadi pilihan utamanya yaitu pseudoefedrin.
Sediaan pseudoefedrin lebih popular penggunaanya sebagai dekongestan
dibandingkan dengan fenilpropanolamin. Hal ini dikarenakan pseudoefedrin
onset kerjanya lebih cepat dengan waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan
dengan fenilpropanolamin dan efek sampingnya terhadap stimulasi sususnan saraf
pusat serta peningkatan tekanan darah lebih rendah.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Kasekeyan, E dan Nikmah R. 2001. Alergi Hidung dalam Soepardi, EA (ed). 2001. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok dan Kepala Leher edisi 5. FK UI. Jakarta; 101-06.
2. Sheikh, J. Rhinitis, Allergic. eMedicine.Com 2005; (online). (http://www.emedicine.com/med/topic.104.htm, diakses 20 Mei 2013)
3. Behrman, Kliegman, dan Arvin. Rhinitis Alergika dalam Nelson Ilmu Kesehatan Anak edisi 15 vol. 1. EGC. Jakarta; 773-75.
4. Theodurus. 1999. Histamin dan Antagonis Histamin. Majalah Kedokteran Sriwijaya; 3: 64-72.
5. Anonimous. 1993. Drug Evaluation. American Medical Assosiation. Chicago; 1779-89.
6. Tjay, T.H. dan Kirana Raharja. 2002. Antihistamin dalam Obat-obat penting; Khasiat, Penggunaan dan Efek sampingnya. Gramedia. Jakarta:764-79.
7. Sjamsudin, U dan HR Dewoto. 1999. Autokoid dan Antagonis dalam: Ganiswarna (ed). Farmakologi dan Terapi edisi 4. 1999. FK UI: Jakarta; 248-56.
8. Gunawijaya Fajar Arifin. Manfaat penggunaan antihistamin generasi ketiga. Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
29