tugas rhinitis alergi

36
BAB 1 PENDAHULUAN Rhinitis adalah peradangan lapisan mukosa hidung. Gejala rinitis alergi berupa bersin (5-10 kali berturut-turut), rasa gatal (pada mata, telinga, hidung, tenggorok, dan palatum), hidung berair, mata berair, hidung tersumbat, post nasal drip, tekanan pada sinus, dan rasa lelah. Rinitis alergi menjadi masalah kesehatan global yang menyerang 5-50% penduduk. Anak dan dewasa muda dengan rinitis alergi mengalami gangguan aktifitas fisik, maupun sosial dan terjadi perasaan mental tidak sehat. Rinitis alergi musiman adalah rinitis yang dipicu oleh allergen serbuk sari, spora lumut selama musim semi, musim panas, maupun musim gugur. Rinitis alergi perenial menunjukkan gejala hayfever sepanjang tahun yang dipicu oleh alergen dalam rumah, seperti: debu rumah tangga, kecoa, spora lumut, bulu binatang, dan sebagainya. ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) membuat klasifikasi rinitis alergi berdasarkan lama dan seringnya timbul gejala, dan berdasarkan gejala yang dialami pasien, bukan berdasarkan penyebab. Klasifikasi baru membagi rinitis alergi menjadi 2 kategori, yaitu intermiten dan persisten. Kategori intermiten adalah apabila gejala timbul kurang dari 4 hari per minggu atau kurang dari 4 minggu, sedangkan kategori persisten adalah apabila gejala timbul lebih dari 4 hari dalam seminggu dan berlangsung lebih dari 4 minggu. Penderita rinitis alergi mempunyai resiko berlanjut menjadi asma (3). Rinitis alergi dan asma merupakan penyakit inflamasi yang sering timbul bersamaan. Dokter perlu mengevaluasi adanya riwayat asma pada pasien dengan rinitis alergi yang menetap. Evaluasi dapat dilakukan melalui pemeriksaan sinar X, pemeriksaan adanya sumbatan saluran nafas sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator. Bukti epidemiologis adanya hubungan antara rinitis dan asma adalah 1) prevalensi asma meningkat pada rinitis alergi dan non alergi; 2) rinitis hampir selalu dijumpai pada asma; 3) 1

Upload: farizky-baskoro

Post on 04-Jan-2016

255 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

THT

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Rhinitis Alergi

BAB 1

PENDAHULUAN

Rhinitis adalah peradangan lapisan mukosa hidung. Gejala rinitis alergi berupa bersin

(5-10 kali berturut-turut), rasa gatal (pada mata, telinga, hidung, tenggorok, dan palatum),

hidung berair, mata berair, hidung tersumbat, post nasal drip, tekanan pada sinus, dan rasa

lelah. Rinitis alergi menjadi masalah kesehatan global yang menyerang 5-50% penduduk.

Anak dan dewasa muda dengan rinitis alergi mengalami gangguan aktifitas fisik, maupun

sosial dan terjadi perasaan mental tidak sehat.

Rinitis alergi musiman adalah rinitis yang dipicu oleh allergen serbuk sari, spora

lumut selama musim semi, musim panas, maupun musim gugur. Rinitis alergi perenial

menunjukkan gejala hayfever sepanjang tahun yang dipicu oleh alergen dalam rumah, seperti:

debu rumah tangga, kecoa, spora lumut, bulu binatang, dan sebagainya. ARIA (Allergic

Rhinitis and its Impact on Asthma) membuat klasifikasi rinitis alergi berdasarkan lama dan

seringnya timbul gejala, dan berdasarkan gejala yang dialami pasien, bukan berdasarkan

penyebab. Klasifikasi baru membagi rinitis alergi menjadi 2 kategori, yaitu intermiten dan

persisten. Kategori intermiten adalah apabila gejala timbul kurang dari 4 hari per minggu atau

kurang dari 4 minggu, sedangkan kategori persisten adalah apabila gejala timbul lebih dari 4

hari dalam seminggu dan berlangsung lebih dari 4 minggu.

Penderita rinitis alergi mempunyai resiko berlanjut menjadi asma (3). Rinitis alergi

dan asma merupakan penyakit inflamasi yang sering timbul bersamaan. Dokter perlu

mengevaluasi adanya riwayat asma pada pasien dengan rinitis alergi yang menetap. Evaluasi

dapat dilakukan melalui pemeriksaan sinar X, pemeriksaan adanya sumbatan saluran nafas

sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator. Bukti epidemiologis adanya hubungan antara

rinitis dan asma adalah 1) prevalensi asma meningkat pada rinitis alergi dan non alergi; 2)

rinitis hampir selalu dijumpai pada asma; 3) rinitis merupakan faktor resiko terjadinya asma;

dan, 4) pada persisten rinitis terjadi peningkatan hipereaktivitas bronkus non spesifik.

Penelitian epidemiologi menunjukkan prevalensi rinitis alergi dan asma meningkat di seluruh

dunia termasuk di AS (4). Sekitar 56 juta orang atau 20% penduduk AS menderita rinitis

alergi dan 5% menderita asma (5). Berbagai penelitian menunjukkan 78- 94% penderita asma

pada remaja dan dewasa juga menderita rinitis alergi, dan 38% penderita rinitis alergi juga

menderita asma.

Adanya potensi keterkaitan antara rinitis alergi dan asma menunjukkan pentingnya

pengendalian rinitis alergi. Disamping itu rinitis alergi yang tidak dikendalikan dengan baik

akan mengganggu aktifitas sehari-hari. Strategi pengendalian rinitis harus diawali dengan

mengenali berbagai faktor yang menjadi resiko atau pencetus terjadinya rinitis alergi.

1

Page 2: Tugas Rhinitis Alergi

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji faktor-faktor yang diduga menjadi resiko terjadinya

rinitis alergi pada pasien anak .

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Nasal

Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan

pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar berbentuk piramid

dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:

a. Pangkal hidung (bridge)

b. Batang hidung (dorsum nasi)

c. Puncak hidung (hip)

d. Ala nasi

e. Kolumela

f. Lubang hidung ( nares anterior )

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang

dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Lubang

masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior, tepat dibelakang disebut dengan

vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar subasea dan

rambut panjang yang disebut vibrise. Sedangkan nares posterior (koana) yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Tiap kavum nasi mempunyai empat buah

dinding, yaitu dinding lateral, medial, inferior, dan superior.

Gambar 1. Anatomi Hidung

2

Page 3: Tugas Rhinitis Alergi

Gambar 2. Batas lateral kavum nasi (lubang hidung)

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang

rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis

os maksila dan 4) krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum

(lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela.

Gambar 3. Kartilago septum nasi sisi lateral

Dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu yang terbesar bagian bawah konka inferior

kemudian lebih kecil adalah konka media dan lebih kecil lagi konka superior dan yang

terkecil disebut konka suprema yang biasanya rudimenter. Diantara konka dan dinding lateral

hidung terdapat meatus nasi yang jumlahnya tiga buah, yaitu meatus inferior, meatus media,

dan meatus superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung

dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus

nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga

hidung yang bermuara pada sinus frontalis, sinus etmoid anterior dan sinus maksilaris. Pada

meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat

muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.

3

Page 4: Tugas Rhinitis Alergi

Gambar 4. Konka nasi

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os

palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina

kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis

merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang

(kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior,

atap rongga hidung dibentuk oleh os sphenoid.

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa secara histologi dan fungsional dibagi atas mukosa

pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktori). Mukosa

pernafasan dilapisi oleh epitel pseudokolumnar berlapis yang mempunyai silia dan terdapat

sel-sel goblet. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah merah muda dan selalu basah

karena diliputi oleh palut lendir. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak

sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat

disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental, dan obat-obatan.

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga bagian

atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel pseudostratified columnar tidak bersilia. Daerah

mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.

Rongga hidung bagian bawah mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris

interna, diantaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a. splenopalatina yang keluar dari

foramen splenopalatina bersama n. splenopalatina. Hidung bagian depan mendapat

perdarahan dari a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis cabang a.

splenopalatina, a. etmoidalis anterior, a. palatina mayor, dan a. labialis superior yang

membentuk Pleksus Kiesselbach yang mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi

sumber epistaksis anterior. Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan

4

Page 5: Tugas Rhinitis Alergi

sensoris dari n. etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang berasal

dari n. ophtalmicus. Rongga hidung lainnya sebagian lainnya mendapat persarafan sensoris

dari n. maksilaris melalui ganglion spenopalatina. Ganglion spenopalatina selain memberikan

persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa

hidung. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n. maksilaris (N V2), serabut

parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut simpatis dari n. petrosus

profunda.

Ganglion spenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka

media. N. olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius

dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di sepertiga

atas hidung.

2.2. Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional. Fungsi hidung dan

sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),

penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme

imunologik lokal, 2) fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir

udara untuk menampung stimulus penghidu, 3) fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara,

membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang, 4)

fungsi statis dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma, dan

pelindung panas, 5) refleks nasal.

2.3 Rhinitis Alergi

2.3.1. Definisi

Pengertian rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi

pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik

tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on

Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,

rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai

oleh IgE.

Pengertian rhinitis alergi adalah inflamasi pada membran mukosa hidung yang

disebabkan oleh adanya alergen yang terhirup yang  dapat memicu respon hipersensitivitas.

5

Page 6: Tugas Rhinitis Alergi

Rhinitis adalah istilah untuk peradangan mukosa.Menurut sifatnya dapat dibedakan

menjadi dua yaitu Rhinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran

mukosa hidung dan sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus dan

bakteri.Penyakit ini dapat mengenai hampir setiap orang pada suatu waktu dan sering kali

terjadi pada musim dingin dengan insidensi tertinggi pada awal musim hujan dan musim

semi. 

2.3.2 Etiologi

Rhinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik

dalam berkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada

ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah

alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anakanak. Pada anak-anak sering disertai

gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rhinitis alergi dapat

berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen.

Alergen yang menyebabkan rhinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur.

Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama

tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur,

binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya

debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor

kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya

jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor

nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan

perubahan cuaca (Becker, 1994).

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

• Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,

tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.

• Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur,

coklat, ikan dan udang.

• Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau

sengatan lebah.

• Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,

misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

Alergen makanan yang paling sering dijumpai pada penelitian ini adalah udang (40%)

dan selanjutnya berturut-turut coklat (32%), kuning telur (24%), kacang-kacangan (20%),

6

Page 7: Tugas Rhinitis Alergi

susu sapi (16%), kedelai (16%), ikan (16%), putih telur (12%) dan kepiting (8%). Alergen

hirup paling banyak dijumpai adalah tungau debu rumah (36%) dan serpihan kulit anjing

(36%), selanjutnya berturut-turut serpihan kulit kucing (32%), debu rumah (24%), katun

(24%), kecoa

(20%), kapuk (20%), bulu (campuran) (16%), aspergilus fumigatus (12%), alternaria (8%),

bulu kelinci (4%), bulu burung (4%), dan Candida albicans (4%).

Faktor risiko terjadinya rinitis alergi meliputi:

(1) Riwayat atopi keluarga;

(2) IgE serum lebih tinggi daripada 100 IU/mL pada anak di bawah usia 6 tahun;

(3) Keluarga dengan sosial ekonomi yang tinggi;

(4) Paparan terhadap alergen rumah tangga seperti hewan dan tungau debu rumah tangga;

(5) Uji kulit tusuk positif.

Faktor predisposisi terjadinya alergi adalah faktor genetik dan faktor lain misalnya

pemaparan dengan virus-virus tertentu. Pemaparan alergen virus jangka lama dapat

menyebabkan eksem, dermatitis atopi, hay fever dan asma. Hal ini dapat muncul bersamaan

atau salah satu muncul lebih dulu.

2.3.4 Klasifikasi

Klasilikasi rhinitis alergi sebelumnya dibagi berdasarkan waktu pajanan menjadi

rhinitis musiman (seasonal), sepanjang tahun (perennial) dan akibat kerja. Pembagian ini

ternyata tidak memuaskan. Maka disusunlah klasifikasi baru rhinitis alergi menurut WHO-

ARIA (2001):

1. Menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup

2. Berdasarkan atas lamanya, dan dibagi dalam penyakit "intermiten" atau "persisten”

3. Berdasarkan derajat berat penyakit, dan dibagi dalam "ringan' atau "sedang-berat'

tergantung

dari gejala dan kualitas hidup. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan

aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

Rhinitis alergi musiman adalah rinitis yang dipicu oleh allergen serbuk sari, spora

lumut selama musim semi,musim panas, maupun musim gugur. Rinitis alergi perenial

menunjukkan gejala hayfever sepanjang tahun yang dipicu oleh alergen dalam rumah, seperti:

7

Page 8: Tugas Rhinitis Alergi

debu rumah tangga, kecoa, spora lumut, bulu binatang, dan sebagainya. ARIA (Allergic

Rhinitis and its Impact on Asthma) membuat klasifikasi rinitis alergi berdasarkan lama dan

seringnya timbul gejala, dan berdasarkan gejala yang dialami pasien, bukan berdasarkan

penyebab.

Klasifikasi baru membagi rinitis alergi menjadi 2 kategori, yaitu intermiten dan

persisten. Kategori intermiten adalah apabila gejala timbul kurang dari 4 hari per minggu atau

kurang dari 4 minggu, sedangkan kategori persisten adalah apabila gejala timbul lebih dari 4

hari dalam seminggu dan berlangsung lebih dari 4 minggu.

Penderita rinitis alergi mempunyai resiko berlanjut menjadi asma. Rinitis alergi dan

asma merupakan penyakit inflamasi yang sering timbul bersamaan. Dokter perlu

mengevaluasi adanya riwayat asma pada pasien dengan rinitis alergi yang menetap. Evaluasi

dapat dilakukan melalui pemeriksaan sinar X, pemeriksaan adanya sumbatan saluran nafas

sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator.

2.3.4. Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate

phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak

dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi

fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas)

setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

8

Page 9: Tugas Rhinitis Alergi

Gambar 2.1 Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama dan selanjutnya (Benjamini, Coico, Sunshine, 2000).

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit

yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen

yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk

fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek

peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan

pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-

1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan

menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat

diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan

akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan

diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua

sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang

tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua

rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)

mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk

(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed

Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT

C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6,

GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang

disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

9

Page 10: Tugas Rhinitis Alergi

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga

menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan

kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat

sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.

Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada

mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak

berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah

pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi

seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan

sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-

CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung

adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti

Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic

Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik

(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau

yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan,

Rusmono, 2008).

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan

pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang

interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada

jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat

serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat

terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan

yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga

tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi

reaksi yang secara garis besar terdiri dari:

1. Respon primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan

dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut

menjadi respon sekunder.

10

Page 11: Tugas Rhinitis Alergi

2. Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem

imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada

tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem

imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon tersier

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat

sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. Gell dan Coombs

mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate

hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4

atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang

banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan,

Rusmono, 2008).

2.3.5. Manifestasi klinis

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya

bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak

dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses

membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya

lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai

bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer

dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan

banyak air mata keluar (lakrimasi).

Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda

hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung

hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic

salute), pucat dan edema Universitas Sumatera Utara mukosa hidung yang dapat muncul

kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata

termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic

shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa

sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler

akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan

11

Page 12: Tugas Rhinitis Alergi

edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001).

Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi,

penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami

lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur

2.3.6 Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan

pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi

yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore)

yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang

disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat

merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati,

Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta

onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter

sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan

dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau

lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus

encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan

positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).

2. Pemeriksaan Fisik

Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu

bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung

(Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang

pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering

digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi

ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret

yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang

dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis

bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati,

2002).

12

Page 13: Tugas Rhinitis Alergi

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Sitologi Hidung

Apabila pada pemeriksaan sitologi sekret hidung didapatkan lebih dari 10% eosinofil

maka dapat diindikasikan rhinitis alergi. Namun kadangkala adanya eosinofil dalam sekret

hidung dapat dijumpai pada non-rhinitis alergi. Eosinofil tidak dapat ditemukan pada

penderita yang mengalami perbaikan, infeksi, dan mendapat terapi kortikosteroid fokal atau

sistemik.

b. IgE Total

IgE total dianggap meningkat bila lebih dari 100-159 kU/I, ini dapat terjadi pada

penderita alergi atau pada penderita dengan infestasi parasit dan 50% penderita rhinitis alergi

musiman (RAS) kadar IgEnya normal, jadi pemeriksaan igE total terbatas manfaatnya.

c. Tes Kulit

Tes kulit terhadap suatu alergen diindikasikan untuk memberikan bukti adanya dasar

alergi pada gejala penderita, untuk mengkonfirmasi penyebab keluhan yang dicurigai  atau

untuk melihat derajat sensitifitas untuk alergi terrtentu. Tes kulit ini lebih disukai karena

sederhana, cepat, mudah, relatif murah, dan sensitifitas tinggi. Pada saat pemeriksaan kulit,

harus dikerjakan dengan teknik yang benar untuk mendapatkan hasil yang akurat. Intepretasi

hasil tes kulit yang tepat perlu pengetahuan, aeroallergen apa yang penting secara lokal dan

klinis penting memungkinkan adanya reaksi silang.

Tes kulit melibatkan perkenalan yang dikendalikan alergen dan zat kontrol ke dalam

kulit. Test Percutaneous adalah jenis yang paling umum yang di uji pada kulit dan lebih

disukai dalam primer care karena  nyaman, aman, dan luas, dapat diterima. Kadang-kadang

test intradermal digunakan (kebanyakan oleh peneliti dan subspesialis alergi), adalah lebih

sensitif tetapi kurang spesifik daripada tes percutaneous. Tidak jelas metode mana lebih

unggul, namun terdapat peningkatan  kekhawatiran keamanan menggunakan tes kulit

intradermal.

Rhinitis alergi memiliki respon immediate atau respon delayed. Tes kulit (Skin test)

dapat ditimbulkan dari kedua respon tersebut. Namun tujuan utama skin test adalah untuk

mendeteksi langsung respon alergi yang ditimbulkan oleh pelepasan sel mast atau basofil

mediator spesifik Ig E. yang mana menyebabkan reaksi setelah 15 menit. Pada respon 

13

Page 14: Tugas Rhinitis Alergi

delayed terjadi empat sampai delapan jam setelah terpapar alergen tersensitiasasi dan kurang

berguna dalam diagnos klinis.

Tes kulit (skin-test) alergi  dilakukan dengan  uji tusukan yaitu dengan menempatkan

setetes larutan uji pada kulit dan menusuk melalui drop dengan alat yang tajam, atau melalui

uji intracutaneous (intradermal) dimana sejumlah kecil larutan uji disuntikkan ke dalam kulit.

Menurut literature uji tusukan lebih disukai untuk pengujian awal, karena lebih murah, lebih

cepat,  kurang nyaman, dan kepekaan klinisnya lebih baik daripada uji intrakutaneus.

d. Tes Provokasi

Tes provokasi hidung dengan alergen sangat bermanfaat pada penelitian, namun

potensi terjadinya serangan alergi, sehingga tidak dilakukan untuk pemeriksaan rutin. Dalam

tes provokasi hidung  mukosa hidung dipaparkan dengan alergen atau bahan iritan dan

kemudian reaksi dipantau. Provokasi adalah alat yang berguna dalam pekerjaan penelitian

dan dalam kasus untuk verifikasi diagnosis alergi dibutuhkan. Dalam pekerjaan klinis,

mayoritas pengujian provokasi dilakukan dengan alergen. Selain itu digunakan untuk menilai

reaktivitas non-spesifik pada hidung dan reaksi yang telah diinduksi dengan beberapa zat

kimia dan juga dengan rangsangan fisik.

Ada beberapa teknik provokasi hidung yaitu dengan agen larut yang ditetes kedalam

hidung, dengan disemprot atau dinebul ke dalam hidung (diuapkan) atau rongga hidung

dicuci dengan larutan uji untuk aplikasi topikal dapat dilakukan dengan kertas disk.

Hasil dari provokasi dapat dinilai dengan pengamatan berupa bersin, discharge

hidung dan pembengkakkan mukosa dengan rhinoscopy. Sensasi sekresi hidung subjek,

gatal-gatal dan kongesti pada semiquantitative skor atau skala  analog visual. Menghitung

bersin merupakan cara yang sederhana untuk menilai respon iritasi.

Metode lain yang sederhana adalah dengan mengukur volume sekresi yang timbul,

dikumpulkan  dengan membiarkan menetes ke dalam saluran dengan mengisap. Ditimbang 

disaputangan, sekresi ke disk kertas preweighed dan reweighed. Perbedaan bobot

mencerminkan jumlah sekresi dikumpulkan dalam jangka waktu yang tetap. Rinomanometri

diterima secara luas  sebagai metode objektif yang akurat  sebagai respon dalam mengukur

perubahan dalam saluran napas hidung  resistensi (NAR).

e. Immunoassay

14

Page 15: Tugas Rhinitis Alergi

Pemeriksaan rasioallergo test (RAST) dan enzyme link immune sorbent test (ELISA),

untuk memeriksa pelepasan mediator selama reaksi alergi dengan mengukur mediator/enzim

yang dilepaskan dalam darah.

Test alergen antibody spesifik IgE radioallergosorbent testing (RAST]) adalah

bermanfaat pada primary care, jika tes perkutaneus tidak praktis misalnya, masalah dengan

penyimpanan reagen, keahlian, frekuensi penggunaan, staf pelatihan) atau jika pasien

menjalani pengobatan yang terganggu dengan adanya test pada kulit (skin test) misalnya,

antidepresan trisiklik, antihistamin. RAST sangat spesifik namun umumnya tidak sensitif

seperti skin test.

RAST berguna untuk mengidentifikasi alergen umum (misalnya, bulu hewan

peliharaan, tungau debu, serbuk sari), tetapi kurang berguna dalam mengidentifikasi

makanan, racun, atau alergi obat. Tes alergi pada anak-anak memiliki tantangan tersendiri.

Banyak literatur memberikan rekomendasi berdasarkan bukti untuk test  alergi pada anak

dengan berbagai penyakit alergi (misalnya, rhinitis, asma, alergi makanan).  Tes perkutaneus 

sesuai untuk anak-anak tiga tahun dan lebih tua dan RAST biasanya tepat pada usia berapa

pun. Beberapa literatur merekomendasikan bahwa dasar keputusan melakukan test oleh sang

dokter adalah berdasarkan riwayat klinis, rekomendasi usia dewasa; melakukan tes hanya bila

diperlukan untuk mengubah terapi atau untuk memperjelas diagnosis.

Atau pemeriksaan penunjang lainnya adalah:

a. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula

pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai

normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain

rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan

RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay

Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap

berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak

menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi

makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati,

2002).

b. In vivo

15

Page 16: Tugas Rhinitis Alergi

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji

intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET

dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi

yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi

serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi

makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya

ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara

tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan

yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati

reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan

sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati,

2002).

2.3.7 Diagnosis Banding

Diagnosa banding dari rhinitis alergi adalah sebagai berikut:

1. Rhinitis Non-alergik

Rhinitis non-alergik adalah suatu keadaan inflamasi hidung

yang disebabkan oleh selain alergi. Keadaan ini tidak dapat

diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai

(anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE spesifik serum).

Kelainan ini dapat bermacam-macam bergantung dari

penyebabnya, antara lain:

Rhinitis vasomotor

Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa

adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan,

hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker,

aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan).

Biasanya penderita rhinitis vasomotor tidak mempunyai riwayat alergi pada

keluarganya. Mereka menjelaskan fenomena iritatifnya dimulai di usia

dewasa. Jarang terjadi bersin dan rasa gatal.

Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien.

Terdapat rinorea yang mukus atau serosa, kadang agak banyak. Jarang

16

Page 17: Tugas Rhinitis Alergi

disertai bersin dan tidak disertai gatal di mata. Gejala memburuk pada pagi

hari waktu bangun tidur karena perubahan suhu yang ekstrim, udara

lembab, juga karena asap rokok dan sebagainya.

Rhinitis medikamentosa

Rhinitis medikamentosa adalah kelainan hidung berupa gangguan respon

normal vasomotor sebagai akibat pemakaian vasokontriktor topikal dalam

waktu lama dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang

menetap.

Obat vasokonstriktor topikal dari golongan simpatomimetik akan

menyebabkan siklus nasal terganggu dan dakan berfungsi kembali bila

pemakaian dihentikan. Pemakaian vasokontriktor topikal yang berulang dan

waktu lama akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi ulang (rebound

dilatation) setelah vasokontriksi, sehingga timbul obstruksi. Bila pemakaian

obat diteruskan maka akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan,

perttambahan mukosa jaringan dan rangsangan sel-sel mukoid sehingga

sumbatan akan menetap dan produksi sekret berlebihan.

Selain vasokontriktor topikal, obat-obatan yang dapat menyebabkan edema

mukosa diantaranya adalah asam salisilat, kontrasepsi oral, hydantoin,

estrogen, fenotiazin, dan guanetidin. Sedangkan obat-obatan yang

menyebabkan kekeringan pada mukosa hidung adalah atropin, beladona,

kortikosteroid dan derivat katekolamin.

Pada rhinitis medikamentosa terdapat gejala hidung tersumbat terus menerus, berair. Pada pemeriksaan edema/hipertrofi konka dengan secret hidung berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang.

Rhinitis hormonal

Gastro-oesophageal reflux

2. Immotile cilia syndrome (ciliary dyskinesis)

Diskinesia Silia Primer (PCD, juga disebut sindrom immotile-

silia) ditandai oleh penurunan nilai bawaan dari clearance

mukosiliar (PKS). Manifestasi klinis termasuk batuk kronis, rinitis

kronis, dan sinusitis kronis. Otitis dan otosalpingitis yang umum di

17

Page 18: Tugas Rhinitis Alergi

masa kanak-kanak, seperti juga poliposis hidung dan agenesis

sinus frontalis.

3. Polyposis

4. Cerebrospinal rhinorrhea

5. Tumor benigna/maligna

6. Deviasi septum

7. Foreign bodies

8. Blocked nostril (choanal atresia)

9. Penyakit granulomatous

2.3.8 Tatalaksana

1. Non  Farmakoterapi

Menghindari faktor alergen merupakan terapi yang pertama kali perlu dilakukan.

Menghindari alergen kausal merupakan dasar pendekatan untuk mencegah munculnya gejala

alergi.

2. Farmakoterapi

Saat memilih terapi yang cocok bagi rhinitis alergi, beberapa hal yang menjadi

pertimbangan adalah keadaan penyakit penderita saat itu, gejala yang paling dominan, umur,

gejala saluran pernafasan lain yang ada di penderita serta riwayat, riwayat pengobatan yang

sebelumnya.

a. Antihistamin

Antihistamin banyak dipilih sebagai terapi lini pertama dan banyak dari tipe

antihistamin bisa dibeli tanpa resep dokter. Obat ini memblokir reseptor H1 menghalangi

terjadinya reaksi histamin seperti mencegah peningkatan permeabilitas vaskuler,

mencegah kontraksi otot polos, meningkatkan produksi mukus dan mencegah pruritus.

Oleh karena obat ini menghilangkan gejala reaksi histamin di kulit, penderita tidak

dianjurkan untuk mengkonsumsinya beberapa hari sebelum dilakukan tes cukit kulit

karena hasilnya dapat menjadi negatif. Pada tes in vitro, mengkonsumsi antihistamin

tidak akan berpengaruh pada hasil tes. Antihistamin sangat efektif pada reaksi alergi fase

18

Page 19: Tugas Rhinitis Alergi

cepat (RAFC) sehingga dapat mencegah gejala bersin, rinore, dan pruritus namun kurang

berpengaruh pada reaksi alergi fase lambat (RAFL) contohnya sumbatan hidung (nasal

congestion/blockers). Antihistamin generasi pertama yang banyak bisa dibeli tanpa resep

mempunyai efek sedasi sehingga berpengaruh terhadap penurunan prestasi dan tumpuan

penderita Efek samping yang lain adalah efek antikolinergik yang dapat mengakibatkan

mulut kering contohnnya difenhidramin, hidroksizin, klorfeniramin dan bromfeniramin.

Generasi kedua sangat kecil sekali kemungkinan mengikat reseptor H1 sentral,

sehingga mengurangi efek sedasi serta tidak berefek antikolinergik. Golongan ini

diabsorpsi secara baik, kerja cepat dan menghilangkan gejala dalam waktu sejam.

Pemakaiannya cukup sekali sehari dan tidak menimbulkan efek penggunaan jangka

panjang contohnya loratadin dan levosetirisin.

b. Kortikosteroid intranasal

Kortikosteroid intranasal mungkin adalah terapi yang paling efektif bagi tiap tingkat

gejala rhinitis alergi. Keberhasilan maksimal timbul pada minggu pertama sampai kedua dari

hari pertama penggunaan. Efektifitasnya tergantung pemakaian yang sering dan keadaan

hidung yang adekuat untuk inhalasi obat. Obat ini turut bekerja pada RAFL sehingga

mencegah terjadinya peningkatan sel inflamasi yang mendadak. Formulasi mutakhir seperti

triamsinolon, budesonid dan flutikason mempunyai ciri absorpsi sistemik yang minimal

dengan hampir tiada efek samping sistemik sehingga aman pada tiap golongan umur

termasuk anak-anak. Efek samping lokal seperti hidung kering dan epistaksis dapat diregulasi

dengan instruksi pemakaian yang benar.

c. Kortikosteroid sistemik

Preparat ini sesuai bagi gejala sangat berat yang menetap. Pemberiannya adalah

melalui intramuskular atau per oral. Jika lewat oral, penurunan dosis secara tapering off

diberikan dalam tiga sampai tujuh hari. Obat ini bertindak terhadap inflamasi justru

menurunkan gejala rhinitis alergi secara signifikan. Namun pada penggunaan jangka panjang

dapat timbul efek samping yang serius seperti penekaan aksis HPA dan efek samping

kortikosteroid sistemik lain yang lazim ditemukan.

d. Dekongestan

19

Page 20: Tugas Rhinitis Alergi

Dekongestan bekerja pada reseptor α-adrenergik di hidung, menimbulkan efek

vasokonstriksi sehingga kongesti nasal dikurangi. Kongesti rongga hidung berkurang namun

obat ini tidak mengatasi gejala lainnya seperti rinore, bersin, dan pruritus. Obat ini banyak

ditemukan dalam preparat flu yang bisa dibeli tanpa resep namun pemakaian pada penderita

dengan kelainan jantung dan hipertensi harus dengan berhati-hati. Dekongestan intranasal

seperti oksimetazolin dapat menimbulkan kekambuhan kongesti nasal serta menimbulkan

ketergantungan pada pemakaian lebih dari tiga hari (rhinitis medikamentosa).

e. Antikolinergik intranasal

Obat ini berpengaruh dalam mengurangi gejala rinore namun tidak gejala lainnya.

Contohnya adalah ipatrium bromida dan obat ini dapat digunakan dengan obat alergi lainnya

terutama bagi penderita dengan rhinitis alergi tipe sepanjang tahun (perennial).

f. Kromolin intranasal

Preparat ini harus digunakan sebelum munculnya gejala untuk menjadi efektif.

Penggunaannya harus sepanjang paparan terhadap alergen dengan dosis sehingga empat kali

sehari dan cukup aman bagi penderita.

g. Inhibitor leukotrien

Obat ini mengatasi kelebihan plasebo dalam menangani rhinitis alergi namun masih

jauh ketinggalan efeknya berbanding antihistamin dan kortikosteroid intranasal.

3. Imunoterapi

Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan ambang batas (threshold) sebelum

munculnya gejala pada penderita yang terpapar pada alergen. Mekanisme kerja terapi imun

ini masih belum jelas dimengerti. Indikasi imunoterapi adalah penggunaan farmakoterapi

jangka panjang, terapi farmakologi yang tidak adekuat dan tidak dapat ditoleransi oleh

penderita serta sensitifitas signifikan terhadap alergen. Sebelum memulai imunoterapi, harus

ditentukan alergen yang tepat pada penderita. Di Amerika Serikat yang biasa dilakukan

adalah penyuntikan alergen secara subkutan yang gradual sehingga timbul reaksi sistemik

yang ringan atau reaksi lokal yang berat. Teknik lain adalah pemberian secara sublingual

yang terutama dianuti di Eropa. Teknik ini lebih aman dan mudah dilakukan sendiri oleh

penderita di rumah.

20

Page 21: Tugas Rhinitis Alergi

4 . Operatif

Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior

hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25%

atau triklor asetat.

2.3.9 Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah: a. Polip hidung yang memiliki tanda

patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa

banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan

metaplasia skuamosa. b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. c.

Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi

akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan

ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut

akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan

rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa

yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham,

2006).

2.3.10 Prognosis

Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan

pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergiterhadap serbuk sari,

maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman.Prognosis sulit diprediksi pada

anak-anak dengan penyakit sinusitis dan telinga yangberulang. Prognosis yang terjadi dapat

dipengaruhi banyak faktor termasuk statuskekebalan tubuh maupun anomali anatomi.

Perjalanan penyakit rinitis alergi dapatbertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap

bertahan hingga dekade lima danenam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang

ditemukan karena menurunnyasistem kekebalan tubuh.

21

Page 22: Tugas Rhinitis Alergi

BAB 3

KESIMPULAN

 

1. Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala bersin-bersin,

rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yangdiperantarai

oleh IgE.

2. Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yangsecara

genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan

3.Peran lingkungan pada kejadian rhinitis alergi adalah sangat penting, ditinjau darifaktor

alergen yang mensensitisasi terjadinya penyakit ini.

4. Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan faktor penyebabyang

dicurigai (avoidance), dimana apabila tidak dapat disingkirkan dapat dibantudengan terapi

medika mentosa hingga pembedahan.

22

Page 23: Tugas Rhinitis Alergi

5. Pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan

memiliki prognosis baik

DAFTAR PUSTAKA

Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Bailey BJ et al. Head and neck Surgery-Otolaryngology: Third Edition. 2001. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.

Ghanie A. 2007. Penatalaksanaan Rhinitis Alergi Terkini. Palembang: Universitas Sriwijaya

Harsono G, Munasir Z, et al. 2007. FAKTOR YANG DIDUGA MENJADI RESIKO PADA ANAK DENGAN RINITIS ALERGI DI RSU DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA. Bagian Anak, RSUD Dr.Moewardi Surakarta: Jurnal Kedokteran Brawijaya vol. XXIII no. 3

Jan L., Jean B, et al. 2010. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) guidelines. American Academy of Allergy, Asthma & Immunology: J Allergy Clin Immunol2010;126:466-76.

23

Page 24: Tugas Rhinitis Alergi

Nadraja I. 2011. PREVALENSI GEJALA RINITIS ALERGI DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN 2007-2009. Medan: FK USU Medan

Pengertian rinitis alergi dikutp dari http://www.e-jurnal.com/2013/09/pengertian-rinitis-alergi.html pada tanggal 19 Oktober 2015

Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam. 2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

24