himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

734
HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PERKAWINAN Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia

Upload: dinhdat

Post on 12-Jan-2017

361 views

Category:

Documents


35 download

TRANSCRIPT

Page 1: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

HIMPUNAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG

PERKAWINAN

Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam

Kementerian Agama Republik Indonesia

Page 2: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

i

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT

atas Inayah-Nya buku himpunan Peraturan Perundang-

Undangan tentang Perkawinan ini dapat disusun dan

digandakan. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada

junjungan kita Nabi Muhamad SAW, keluarganya dan

sahabatnya.

Buku himpunan Peraturan Perundang-Undangan

tentang Perkawinan edisi II ini merupakan penyempurnaan dari

buku himpunan Peraturan Perundang­ Undangan tentang

Perkawinan edisi I yang dicetak pada tahun 2009.

Penyempurnaan dimaksud adalah dengan menghilangkan

beberapa peraturan yang sudah tidak relevan lagi dan

ditambah dengan beberapa peraturan yang terbaru.

Dengan diterbitkannya buku himpunan peraturan

Perundang- Undangan edisi II, diharapkan dapat melengkapi,

menyempurnakan dan mengkompilasi berbagai buku peraturan

tentang perkawinan, baik sebagai landasan hukum, pedoman,

pembinaan dan penyuluhan maupun sebagai bahan referensi

dan kajian.

Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang

Perkawinan ini disusun secara sistematis berdasarkan

Page 3: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

ii

perngelompokan peraturan menurut bidang masalah. Dengan

pengelempokan ini diharapkan dapat digunakan secara lebih

praktis dan lebih mudah, baik bagi aparat Pemerintah terkait,

khususnya Pegawai Pencatat Nikah/Penghulu, yang dalam

melaksanakan tugas kesehariannya dituntut untuk

meningkatkan pelayanan secara cepat dan tepat, maupun bagi

masyarakat yang menggunakannya sebagai referensi,

informasi dan kajian.

Harapan kami semoga buku ini bermanfaat untuk

peningkatan pelayanan dan kesadaran hukum masyarakat.

Kepada semua pihak yang turut membantu tersusunnya

buku ini, kami mengucapkan terima kasih.

Page 4: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

iii

Sambutan

Direktur Jenderal

Bimbingan Masyarakat Islam

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Segala puji bagi Allah SWT berkat rahmat dan inayah-Nya,

buku Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan ini

dapat digandakan dan diterbitkan. Kami menyambut gembira dan

memberikan perhargaan yang tinggi atas inisiatif Direktorat Urusan

Agama Islam dan Pembinaan Syariah yang telah menerbitkan Buku

Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan.

Pelayanan perkawinan merupakan salah satu bentuk

pelayanan publik yang dalam pelaksanaanya harus mengikuti

ketentuan dan aturan yang telah ditetapkan. Himpunan Peraturan

Perundang-Undangan merupakan kumpulan berbagai peraturan

yang terdiri dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Instruksi

Presiden, Peraturan /Keputusan Bersama Menteri, Peraturan

/Keputusan Menteri, dan lain sebagainya yang mengatur tentang

perkawinan.

Buku ini diharapkan menjadi pedoman bagi para penghulu,

PPN, dan Kepala KUA dalam melaksanakan tugas sehari-hari, serta

sebagai bahan referensi atau rujukan bagi mereka yang sedang

melakukan kajian atau penelitian tentang perkawinan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah bekerja secara maksimal demi terwujudnya buku ini, semoga

Page 5: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

iv

Allah SWT senantiasa meridhai amal baik kita dan semoga buku ini

bermanfaat. Amin.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jakarta , Agustus 2015

Page 6: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

v

DAFTAR ISI HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

TENTANG PERKAWINAN

Kata Pengantar i

Sambutan iii

KELOMPOK UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Nomor 22 Tahun1946 tentang

Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk……………………..… 1

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang

Penetapan Berlakunya UU-RI Nomor 22 Tahun 1946...... 12

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan…………………………………………………… 21

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama……………..……………………………… 53

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama………………… 116

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang

Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 23 Tahun

2006 tentang Administrasi Kependudukan……………….. 136

KELOMPOK PERATURAN PEMERINTAH

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan…………………………………………………… 158

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang

lzin Perkawinan dan Perceraian

Page 7: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

vi

bagi Pegawai Negeri Sipil……………..……………………. 187

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah

Nomor 10 Tahun 1983……………………………………… 205

Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Jenis Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak……. 218

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

19 Tahun 2015 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada

Kementerian Agama…………………………………………

221

KELOMPOK INSTRUKSI PRESIDEN

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991………………….. 234

Kompilasi Hukum Islam…………………………………….. 236

KELOMPOK KEPUTUSAN / PERATURAN MENTERI BERSAMA

Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Luar

Negeri Nomor 589 Tahun 1999 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara

Indonesia di Luar Negeri……………………………….…… 310

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Kepala BKN

Nomor 20 Tahun 2005 dan Nomor 14A Tahun 2005

tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional

Penghulu dan Angka Kreditnya………………………........ 314

KELOMPOK KEPUTUSAN MENTERI

Keputusan menteri dalam negeri Nomor : 221a tahun

1975 Tentang Pencatatan perkawinan dan perceraian

pada kantor catatan sipil sehubungan dengan

Page 8: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

vii

berlakunya undang-undang perkawinan

serta peraturan pelaksananya………………………………

369

Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991

tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Rl

Nomor 1 Tahun 1991……………………………………….. 373

Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1994 tentang

Pendaftaran Surat Bukti Perkawinan Warga Negara

Indonesia yang dilangsungkan di Luar Negeri…………… 377

Keputusan Menteri Agama Nomor 411 Tahun 2000

tentang Penetapan Jumlah Uang Iwadh dalam Rangka

Sighat Taklik bagi Umat Islam……………………………… 381

Keputusan Menteri Agama Nomor 463 Tahun 2000

tentang Pendelegasian Wewenang Pengangkatan

Pegawai Pencatat Nikah di Luar Negeri…………………..

385

Keputusan Menteri Agama Nomor 517 Tahun 2001

tentang Penataan Organisasi

Kantor Urusan Agama Kecamatan…………………………

389

Keputusan Menteri Agama Nomor Dj.II / 1209 Tahun

2013 Tentang SOP Pada KUA Kecamatan………………. 395

Keputusan Menteri Agama Nomor 75 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Agama

Nomor 99 Tahun 2013 Tentang Penetapan Blangko

Daftar Pemeriksaan Nikah, Akta Nikah, Buku Nikah,

Duplikat Buku Nikah, Buku Pencatatan Rujuk, Dan

Kutipan Buku Pencatatan Rujuk……………………………

418

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor 63 Tahun 2003 Tentang

Page 9: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

viii

Pedoman Umum Layanan Publik………………………….. 441

KELOMPOK PERATURAN MENTERI

Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007

tentang Pencatatan Nikah………………………………….. 457

Peraturan Menteri Agama Nomor 46 Tahun 2014

Tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak

Atas Biaya Nikah Atau Rujuk di Luar Kantor Urusan

Agama Kecamatan………………………………………….. 475

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor Per / 62 / M.Pan / 6 / 2005 tentang

Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya……. 494

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152 / Pmk.02 /

2014 Tentang Petunjuk Penyusunan Rencana

Penerimaan Negara Bukan Pajak

Kementerian Negara / Lembaga....................................... 517

KELOMPOK INSTRUKSI BERSAMA DIREKTUR JENDERAL

Instruksi Bersama Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji

Departemen Agama dan Dirjen Pemberantasan Penyakit

Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman

Departemen Kesehatan Nomor 02 Tahun 1989

dan 162-1 / PD.03.04.EL tentang Imunisasi Tetanus

Toxoid Calon Pengantin……………………………….........

530

Page 10: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

ix

KELOMPOK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL

Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor

18 Tahun 1993 tentang

Pengangkatan Wakil PPN, PPN dan Kepala PPN……….

533

Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat

Islam Nomor DJ.II / 542 Tahun 2013 Tentang

Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah………….. 538

Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor: DJ.II / 748 Tahun

2014 Tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Penerimaan

Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah Atau Rujuk di

Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan………………...... 567

Keputusan Dirjen Nomor 436 / 2015 Tentang Perubahan

Atas Keputusan Dirjen Nomor 748 Tahun 2014…………. 594

Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor

Per-17 / PB / 2013 Tentang Ketentuan Lebih Lanjut

Tata Cara Pembayaran Penerimaan Negara

Bukan Pajak Atas Beban Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara………………………………………… 599

KELOMPOK INSTRUKSI DIREKTUR JENDERAL

Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor Dj.II.l / 1 Tahun 2015

Tentang Pengangkatan Pembantu Pegawai Pencatat

Nikah (P3N)…………………………………………………...

623

Page 11: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

x

KELOMPOK KEPUTUSAN / PERATURAN MENTERI AGAMA

Keputusan Menteri Agama Nomor 444 Tahun 2002

Tentang Perubahan Lampiran Model A2 PMA Nomor 45

Tahun 1975 yang telah diubah dengan KMA……….......... 625

KELOMPOK KEPUTUSAN / PERATURAN BERSAMA DIREKTUR

JENDERAL

Keputusan Bersama Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji

dan Dirjen Protokol dan Konsuler Nomor 280/07 Tahun

1999 dan D/447 Tahun 1999 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Perkawinan WNI di Luar Negeri

- BAB I Pendahuluan

- BAB II Ketentuan Pokok

- BAB III Pejabat Pelaksana

- BAB IV Tata Cara Perkawinan

- BAB V Tata Cara Perceraian

- BAB VI Tata Cara Rujuk

- BAB VII Penutup…………………………………………

630

Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor D|.II / 1142 Tahun

2013 Tentang Petunjuk Teknis Pengisian Dan Penulisan

Blangko Nikah……………………………………………….. 669

KELOMPOK SURAT EDARAN

Surat Edaran No. DII/ED/Pw.00/03/84

Tentang Petunjuk Pelaksanaan Upacara Akad Nikah

dan Khutbah Nikah…………………………………………... 683

Surat Edaran Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor:

Page 12: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

xi

D / ED / HK.00 / 04 / 1990 Tentang Pencatatan Talak

dan Cerai berkenan dengan berlakunya

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989………………………..

696

Surat Departemen Luar Negeri Nomor :

660 / 90 / 43 Tentang Perwakilan Republik Cina

Taiwan di Indonesia........................................................... 698

Surat Nomor : D/PW.01/3188/1994 Perihal Pendaftaran

Surat Bukti Perkawinan WNI yang

dilangsungkan di Luar Negeri……………………………….

699

Surat Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor :

Dj.II.2 / I / PW.00 / 408 / 2008 tentang

Penetapan Angka Kredit (PAK)…………………………….. 701

Surat Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor :

Dj.II.2 / I / PW.01 / 098 / 2009 tentang

Surat Keterangan Untuk Nikah……………………………... 702

Surat Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor :

Dj.II.2 / I / HM.01 / 942 / 2009 tentang

Asas Pencatatan Perkawinan………………………………. 703

Surat Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor :

Dj.II.2/I/PW.01/1087/2009 tentang

Persyaratan Legalisasi………………………………………. 704

Surat Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor :

Dj.II / HK.00 / 074 / 2008 tentang

Instruksi Menteri Agama…………………………………….. 705

Surat Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor :

DII / 2 / HK.03.4 / 2860 / 1989 tentang

PPN yang berwenang mencatat Itsbat Nika………………. 706

Page 13: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

xii

Surat Edaran Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor:

DII / C / HM.00 / 5666 / 1994 Perihal

Peningkatkan Pelayanan……………………………………. 707

Surat Edaran Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor:

DII / 2 / PW.01 / 6672 / 1994 Perihal

Keterangan Untuk Nikah……………………………………. 709

Surat Edaran Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor:

D / Z / 01 / 706 / 1995 Perihal

Rekomendasi Nikah………………………………………….

712

Dt.II.1 / 1 / Hm.01 / 2075 / 2015 Tentang

Penetapan Angka Kredit (PAK)…………………………….. 716

Nomor – Nomor Telepon Penting Dilingkungan

Kementrian Agama……………...……………………………….... 719

Page 14: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

1

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1946

TENTANG

PENCATATAN NIKAH, NIKAH, TALAK DAN RUJUK

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : 1. bahwa peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk seperti yang diatur di dalam Huwelijksordonnantie S.1929 No. 348 jo. S. 1931 No. 467. Vorstenlandsche Huwelijkorddonnantie S. 1933 No. 98 dan Huwelijksordonnantie Buitengewesten S. 1932 No. 482 tidak sesuai lagi dengan keadaan masa sekarang, sehingga perlu diadakan peraturan baru yang sempurna dan memenuhi syarat keadilan sosial;

2. bahwa pembuatan peraturan baru yang dimaksudkan di atas tidak mungkin dilaksanakan di dalam waktu yang singkat;

3. bahwa sambil menunggu peraturan baru itu perlu segera diadakan peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk untuk memenuhi keperluan yang sangat mendesak;

Mengingat : ayat (1) pasal 5, ayat (1) pasal 20, dan pasal IV dari Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar, dan Maklumat Wakil Presiden Republik Indonesia tertanggal 16 Oktober 1945 No. X;

Page 15: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

2

Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat :

Memutuskan :

I. Mencabut: 1. Huwelijksordonnantie S. 1929 No. 348 jo. S 1931 No. 467.

2. Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie S. 1933 No. 98;

II. Menetapkan : Peraturan sebagai berikut :

UNDANG-UNDANG TENTANG PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK

Pasal 1

(1) Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah.

(2) Yang berhak melakukan pengawasan atas nikah dan menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya.

(3) Bila pegawai itu tidak ada atau berhalangan, maka pekerjaan itu dilakukan oleh orang yang ditunjuk sebagai wakilnya oleh kepala Jawatan Agama Daerah.

(4) Seorang yang nikah, menjatuhkan talak atau merujuk, diwajibkan membayar biaya pencatatan yang banyaknya ditetapkan oleh Menteri Agama.

Dari mereka yang dapat menunjukkan surat keterangan tidak mampu dari kepala desanya (kelurahannya) tidak dipungut biaya.

Surat keterangan ini diberikan dengan percuma.

Page 16: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

3

Biaya pencatatan nikah, talak dan rujuk dimasukkan di dalam Kas Negeri menurut aturan yang ditetapkan oleh Menteri Agama.

(5) Tempat kedudukan dan wilayah (ressort) pegawai pencacat nikah ditetapkan oleh kepala Jawatan Agama Daerah.

(6) Pengangkatan dan pemberhentian pegawai pencatat nikah diumumkan oleh kepala Jawatan Agama Daerah dengan cara yang sebaik-baiknya.

Pasal 2

(1) Pegawai pencatat nikah dan orang yang tersebut pada ayat (3) pasal 1 membuat catatan tentang segala nikah yang dilakukan di bawah pengawasannya dan tentang talak dan rujuk yang diberitahukan kepadanya; catatan yang dimaksudkan pada pasal 1 dimasukkan di dalam buku pendaftaran masing-masing yang sengaja diadakan untuk hal itu, dan contohnya masing-masing ditetapkan oleh Menteri Agama.

(2) Dengan tidak mengurangi peraturan pada ayat (4) pasal 45 peraturan meteri 1921 (zegelverordening 1921), maka mereka itu wajib memberikan petikan dari pada buku-pendaftaran yang tersebut di atas ini kepada yang berkepentingan dengan percuma tentang nikah yang dilakukan di bawah pengawasannya atau talak dan rujuk yang dibukukannya dan mencatat jumlah uang yang dibayar kepadanya pada surat petikan itu.

(3) Orang yang diwajibkan memegang buku pendaftaran yang tersebut pada ayat (1) pasal ini serta membuat petikan dari buku-pendaftaran yang dimaksudkan pada ayat (2) di atas ini, maka dalam hal melakukan pekerjaan itu dipandang sebagai pegawai umum (openbaar ambtenaar).

Pasal 3

(1) Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau

Page 17: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

4

wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp 50,- (Lima puluh rupiah).

(2) Barang siapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada ayat (2) pasal 1 dengan tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100,-(seratus rupiah).

(3) Jika seorang laki-laki yang menjatuhkan talak atau merujuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal 1, tidak memberitahukan hal itu di dalam seminggu kepada pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, maka ia dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp 50,- (Lima puluh rupiah).

(4) Orang yang tersebut pada ayat (2) pasal 1 karena menjalankan pengawasan dalam hal nikah, ataupun karena menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk menerima biaya pencatatan nikah, talak dan rujuk lebih dari pada yang ditetapkan oleh Menteri Agama menurut ayat (4) pasal 1 atau tidak memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku-pendaftaran masing-masing sebagai yang dimaksud pada ayat (1) pasal 2, atau tidak memberikan petikan dari pada buku- pendaftaran tersebut di atas tentang nikah yang dilakukan di bawah pengawasannya atau talak dan rujuk yang dibukukannya, sebagai yang dimaksud pada ayat (2) pasal 2, maka dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak- banyaknya Rp 100,- (seratus rupiah).

(5) Jika terjadi salah satu hal yang tersebut pada ayat pertama, kedua dan ketiga dan ternyata karena keputusan hakim, bahwa ada orang kawin tidak dengan mencukupi syarat pengawasan atau ada talak atau rujuk tidak diberitahukan kepada yang berwajib, maka biskal anpir hakim kepolisian yang bersangkutan mengirim salinan keputusannya kepada pegawai pencatat nikah yang bersangkutan dan pegawai itu memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku- pendaftaran masing-masing dengan menyebut surat keputusan hakim yang menyatakan hal itu.

Page 18: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

5

Pasal 4

Hal-hal yang boleh dihukum pada pasal 3 dipandang sebagai pelanggaran.

Pasal 5

Peraturan-peraturan yang perlu untuk menjalankan Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Agama.

Pasal 6

(1) Undang-undang ini disebut "Undang-undang Pencatatan nikah, talak dan rujuk" dan berlaku untuk Jawa dan Madura pada hari yang ditetapkan oleh Menteri Agama.

(2) Berlakunya Undang-undang ini di daerah luar Jawa dan Madura ditetapkan dengan Undang- undang lain.

Pasal 7

Dengan berlakunya Undang-undang ini untuk Jawa dan Madura Huwelijksordonnatie S. 1929 No. 348 jo. S 1931 No. 467 dan Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie S. 1933 No. 98 menjadi batal.

Ditetapkan di Linggarjati

Pada Tanggal 21 Nopember 1946. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEKARNO

MENTERI AGAMA FATOERACHMAN

Diumumkan

Pada Tanggal 26 Nopember 1946.

SEKRETARIS NEGARA A.G. PRINGGODIGDO

Page 19: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

6

MEMORI PENJELASAN

MENGENAI

USUL UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

TANGGAL 21 NOPEMBER 1946 No. 22 TAHUN 1946 TENTANG PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK

DISELURUH DAERAH LUAR JAWA DAN MADURA

Undang-undang tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 tahun 1946 Republik Indonesia dulu memang dimaksudkan untuk dilakukan buat seluruh Indonesia, tetapi berhubung keadaan belum mengijinkannya, maka berlakunya Undang-undang tersebut diluar Jawa dan Madura akan ditentukan oleh Undang-undang lain (pasal 6 ayat 2 Undang-undang tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 tahun 1946 Republik Indonesia).

Kini Negara Kesatuan telah berbentuk dan keadaan sudah mengijinkan untuk melaksanakan berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 1946 tersebut diluar Jawa dan Madura.

Sebagai diketahui di daerah-daerah luar Jawa dan Madura, kecuali di Sumatera yang telah ditetapkan berlakunya Undang- undang No. 22 tahun 1946 tersebut oleh Pemerintah Darurat Republik Indonesia dengan keputusannya tanggal 14 Juni 1949 No. 1/pdri/ka, masih berlaku "Huwelijksodonnantie Buitengewesten" (Staatsblad 1932 No. 482) yang mempunyai sifat-sifat yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini sebagai diterangkan dalam penjelasan Umum dari Undang-undang No. 22 tahun 1946 tersebut diatas.

Didaerah-daerah Swapraja diluar Jawa dan Madura, yang tidak sedikit jumlahnya "Huwelijksordonnantie Buitengewesten" pada umumnya tidak berlaku, sehingga cara pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di daerah Swapraja tersebut beraneka warna adanya menurut peraturan-peraturan yang berlaku untuk tiap-tiap Swapraja masing-masing.

Didaerah-daerah yang dulu masuk Negara Bagian sebagai Negara Sumatera Timur, Pasundan, Negara Jawa Timur dan sebagainya, berhubung dengan pergantian-pergantian

Page 20: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

7

Pemerintah mungkin masih ada daerah-daerah yang masih menjalankan peraturan- peraturan tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang lain dari pada Undang-undang No, 22 tahun 1946 tersebut diatas.

Untuk menghilangkan keragu-raguan ini, maka dinyatakan bahwa Undang-undang No. 22 tahun 1946 berlaku untuk seluruh Indonesia, untuk tempat-tempat yang menjalankan Undang-undang tersebut ditetapkan menjalankan Undang-undang itu mulai tanggal 1 April 1951. Begitu itu agar supaya dapat diatur peralihan, hingga tidak terjadi stagnatie, vacuum, atau kekacauan.

Dengan dicabutnya semua peraturan tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk dan digantikannya dengan Undang-undang No. 22 tahun 1946, maka akan ada peraturan tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang satu, yang berlaku untuk seluruh Indonesia.

Perlu kiranya diketahui, bahwa Undang-undang ini hanya mengenai pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk dan tidak mengurangai usaha-usaha yang tengah dikerjakan oleh Panitya Penyelidik Hukum Perkawinan Talak dan Rujuk yang dipimpin oleh Saudara Mr. Teuke Mohd. Hasan, didalam mempersiapkan Undang-undang baru sesuai dengan keinginan-keinginan yang diajukan didalam Parlemen a.l. Saudara yang terhormat Nyonya Mudigdio.

PENJELASAN UMUM

Peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk seperti termuat dalam Huwelijksordonnantie S. 1929 No.348 jo. S. 1931 No. 467, Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie S. 1933 No. 98 dan Huwelijksordonnantie Buitengewesten S. 1932 No. 482 tidak sesuai lagi dengan keadaan masa sekarang, sehingga perlu diadakan peraturan baru yang selaras dengan Negara yang modern.

Untuk melaksanakan peraturan itu dibutuhkan penyelidikan yang teliti dan saksama, sehingga sudah barang tentu tidak akan tercapai di dalam waktu yang singkat. Akan tetapi untuk

Page 21: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

8

mencukupi kebutuhan pada masa ini berhubung dengan keadaan yang sangat mendesak perlu peraturan-peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk tersebut di atas, dicabut serta diganti oleh peraturan yang baru yang dapat memenuhi sementara keperluan-keperluan pada masa ini.

Peraturan-peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk tersebut di atas kesemuanya bersifat propinsialistis yang tidak sesuai dengan keadaan sekarang. Negara Indonesia ialah Negara kesatuan, dan sudah sepantasnya bahwa peraturan-peraturannya bersifat kesatuan pula. Dari itu Huwelijksordonnantie S. 1929 No. 348 jo. S. 1931 No. 467, Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie S. 1933 No. 98 dan Huwelijksordonnantie Buitengewesten S. 1932 No. 482 patut dicabut. Selain dari pada itu peraturan di dalam Huwelijksordonnantie-Huwelijksordonnantie itu memberi kesempatan untuk mengadakan tarip ongkos pencatatan nikah, talak dan rujuk yang berbeda-beda, sehingga tiap- tiap kabupaten mempunyai peraturan sendiri-sendiri. Hal sedemikian itu tentu perlu dirobah serta diganti dengan peraturan yang satu, untuk seluruh Indonesia. Dimana berhubung dengan keadaan belum memungkinkan, disitu peraturan yang baru ini tentu belum dapat dijalankan, akan tetapi pada azaznya, peraturan ini diuntukkan untuk seluruh Indonesia serta harus segera dijalankan, dimana keadaan telah mengizinkan.

Selanjutnya peraturan-peraturan yang dicabut itu, tidak menjamin penghasilannya para pegawai pencatat nikah, hanya digantungkan pada banyak sedikitnya ongkos yang didapatnya dari mereka yang menikah, menalak dan merujuk. Dengan jalan demikian maka pegawai pencatat nikah menjalankan kewajibannya dengan tidak semestinya, hanya semata-mata ditujukan untuk memperbesar penghasilannya, kurang memperhatikan hukum-hukum Islam yang sebenarnya. Perbuatan sedemikian itu, merupakan suatu koruptie serta merendahkan derajat pegawai nikah, tidak saja dapat celaan dari pihak perkumpulan-perkumpulan Wanita Indonesia, akan tetapi juga dari pihak pergerakan Islam yang mengetahui betul-betul syarat-syaratnya talak dan sebagainya, tidak setuju dengan cara

Page 22: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

9

menjamin penghidupan pegawai nikah sedemikian itu. Pun para pegawai nikah sendiri merasa keberatan dengan adanya peraturan sedemikian itu. Selain dari pada penghasilannya tidak tentu, juga aturan pembagian on kos nikah, talak dan rujuk kurang adil, ya'ni pegawai yang berpangkat tinggi dalam golongan pegawai nikah mendapat banyak, kadang-kadang sampai lebih dari Rp 1.000,- (Bandung, Sukabumi d.l.l.) akan tetapi yang berpangkat rendah sangat kurangnya, antara Rp 3,50 – Rp 10,-.

Selain dari pada itu ongkos nikah (pekah) oleh beberapa golongan ummat Islam dipandangnya sebagai "haram", sehingga tidak tenteramlah mereka itu mendapat penghasilan tersebut. Koruptie serta keberatan-keberatan lainnya hanya dapat dilenyapkan, jika pimpinan yang bersangkut-paut dengan perkawinan, talak dan rujuk diserahkan pada satu instansi, serta para pegawai pencatat nikah diberi gaji yang tetap, sesuai dengan kedudukan mereka dalam masyarakat.

"Undang-undang Pencatatan nikah, talak dan rujuk (Undang-undang No. 22 tahun 1946) dimaksudkan untuk dijalankan di seluruh Indonesia; akan tetapi sebelum keadaan mengidzinkannya serta undang- undang baru itu belum mulai berlaku, aturan yang lama masih dianggap sah. Waktu berlakunya "Undang-undang Pencatatan nikah, talak dan rujuk" untuk tanah Jawa dan Madura ditetapkan oleh Menteri Agama, sedang di daerah-daerah di luar tanah Jawa dan Madura akan ditentukan oleh Undang-undang lain.

Penjelasan pasal-pasal

Pasal 1

Maksud pasal ini ialah supaya nikah, talak dan rujuk menurut agama Islam dicatat agar mendapat kepastian hukum.

Dalam Negara yang teratur segala hal-hal yang bersangkut-paut dengan penduduk harus dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan, kematian dan sebagainya. Lagi pula perkawinan bergandengan rapat dengan waris-malwaris, sehingga

Page 23: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

10

perkawinan perlu dicatat menjaga jangan sampai ada kekacauan.

Menurut hukum agama Islam nikah itu ialah perjanjian antara bakal suami atau wakilnya dan wali perempuan atau wakilnya. Biasanya wali memberi kuasa kepada pegawai pencatat nikah untuk menjadi wakilnya; tetapi ia boleh pula diwakili orang lain dari pada pegawai yang ditunjuk oleh Menteri Agama, atau ia sendiri dapat melakukan akan nikah itu.

Pada umumnya jarang sekali Wali melakukan akad nikah sebab sedikit sekali yang mempunyai kepandaian yang dibutuhkannya untuk melakukan akad nikah itu.

Ancaman dengan denda sebagai tersebut pada ayat (1) dan (3) pasal 3 Undang-undang ini bermaksud supaya aturan administrasi ini diperhatikan : akibatnya sekali-kali bukan, bahwa nikah, talak atau rujuk itu menjadi batal karena pelanggaran itu.

Yang dimaksud dengan mengawasi ialah kecuali hadlir pada ketika perjanjian nikah itu diperbuat, pun pula memeriksa, ketika kedua belah pihak (wali dan bakal suami) menghadap pada pegawai pencatat nikah ada tidaknya rintangan untuk nikah dan apakah syarat-syarat yang ditentukan oleh Hukum Agama Islam tidak dilanggar. Selanjutnya perobahan yang penting dalam pasal ini ialah bahwa kekuasaan untuk menunjuk pegawai pencatat nikah, menetapkan besarnya biaya pencatat nikah, talak dan rujuk, menetapkan tempat kedudukan dan wilayah pegawai pencatat nikah, jatuh masing-masing dari tangan Bupati/Raad Kabupaten ke tangan Menteri Agama, atau pegawai yang ditunjuk olehnya atau pada kepala Jawatan Agama Daerah, sedang biaya nikah talak dan rujuk tidak dibagai-bagai lagi antara pegawai-pegawai pencatat nikah akan tetapi masuk ke Kas Negeri dan pegawai pencatat nikah diangkat sebagai pegawai Negeri.

Yang dimaksud dengan Jawatan Agama Daerah ialah Jawatan Agama Keresidenan atau Jawatan Agama di Kota Jakarta Raya.

Page 24: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

11

Surat keterangan tidak mampu harus diberikannya dengan percuma, menjaga supaya orang yang tidak mampu jangan diperberat.

Pasal 2

Sudah terang, dan tidak ada perubahan, kecuali contoh-contoh buku pendaftaran, surat nikah, talak dan rujuk dan sebagainya ditetapkan tidak lagi oleh Bupati, akan tetapi oleh Menteri Agama, agar supaya mendapat kesatuan.

Pasal 3

Maksud pasal 3 ini sama dengan pasal 3 dari Huwelijksordonnantie S. 1929 No. 348 hanya saja pelanggaran terhadap aturan pemberitahuan tentang talak yang dijatuhkan dan rujuk yang dilakukan dinaikkan dari Rp 5,- menjadi Rp 50,- agar supaya hakim dapat memberi denda setimpal dengan kesalahannya. Oleh karena sering terjadi orang isteri yang telah dirujuk kembali, akan tetapi oleh karena tidak diberi tahu oleh pegawai pencatat nikah, sebab pegawai pencatat nikah tidak diberitahukannya oleh suami yang merujuk, menjadi tidak mengetahui hal perujukan akan kawin lagi dengan orang lain, kemudian datang suaminya yang lama, sehingga perkawinan tidak dapat dilangsungkan; atau telah kawin dengan orang lain kemudian datang suami yang lama, sehingga perkawinan yang baru itu dibubarkan. Lebih menyedihkan lagi jika perkawinan yang baru sudah begitu rukun sehingga telah mempunyai anak.

Lain-lain pasal sudah terang dan tidak perlu dijelaskan lagi.

MENTERI AGAMA

H. FATOERACHMAN

Page 25: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

12

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1954

TENTANG

PENETAPAN BERLAKUNYA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA TANGGAL 21 NOPEMBER

1946 NO. 22 TAHUN 1946 TENTANG PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK DI SELURUH DAERAH

LUAR JAWA DAN MADURA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : 1. Bahwa kini di Indonesia berlaku beberapa macam peraturan tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk bagi Umat Islam antara lain-lain:

a. Undang-undang Republik Indonesia tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 tahun 1946 dan

b. Huwelijksordonnantie Buitengewesten Staatsblad 1932 No. 482;

c. Peraturan-peraturan tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk yang berlaku di daerah-daerah Swapraja;

d. Peraturan-peraturan lain yang berlaku didaerah diluar Jawa dan Madura;

2. Bahwa Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1946, yang dalam penjelasannya, diperuntukkan buat seluruh Indonesia;

Page 26: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

13

3. Bahwa berhubung dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu adanya satu macam Undang-undang tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk;

Mengingat : Pasal 89 dan pasal 117 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

MEMUTUSKAN:

Dengan mencabut Huwelijksordonnantie Buitengesten Staatsblad 1932 No. 482 dan semua Peraturan-peraturan (juga dari Pemerintah Swapraja) tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk untuk Umat Islam yang berlainan dan yang bertentangan dengan Undang - undang tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 tahun 1946 Republik Indonesia.

Menetapkan : UNDANG – UNDANG TENTANG PENETAPAN BERLAKUNYA UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA TANGGAL 21 NOPEMBER 1946 No. 22 TAHUN 1946 TENTANG PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK DISELURUH DAERAH LUAR JAWA DAN MADURA SEBAGAI BERIKUT :

Pasal 1

Undang-undang Republik Indonesia tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk berlaku untuk seluruh daerah luar Jawa dan Madura.

Pasal 1A

Perkataan biskal-gripir hakim kepolisian yang tersebut dalam pasal 3 ayat 5 Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1946 diubah menjadi Panitera Pengadilan Negara.

Page 27: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

14

Pasal 2

Peraturan-peraturan yang perlu untuk melaksanakan apa yang tersebut dalam pasal 1 Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Agama.

Pasal 3

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta Pada Tanggal 26 Oktober 1954

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SOEKARNO

Diundangkan Pada Tanggal 2 Nopember 1954.

MENTERI KEHAKIMAN

ttd.

DJODY GONDOKUSUMO

MENTERI AGAMA

ttd.

K.H. MASJKUR

Page 28: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

15

MEMORI PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1954 TENTANG

PENETAPAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

TANGGAL 21 NOPEMBER 1946

Undang-undang tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 tahun 1946 Republik Indonesia dulu memang dimaksudkan untuk dilakukan buat seluruh Indonesia, tetapi berhubung keadaan belum mengijinkannya, maka berlakunya Undang-undang tersebut diluar Jawa dan Madura akan ditentukan oleh Undang-undang lain (pasal 6 ayat 2 Undang-undang tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 tahun 1946 Republik Indonesia).

Kini Negara Kesatuan telah terbentuk dan keadaan sudah mengijinkan untuk melaksanakan berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 1946 tersebut diluar Jawa dan Madura.

Sebagai diketahui di daerah-daerah luar Jawa dan Madura, kecuali di Sumatera yang telah ditetapkan berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 1946 tersebut oleh Pemerintah Darurat Republik Indonesia dengan surat keputusannya tanggal 14 Juni 1949 No. I/pdri/ka, masih berlaku "Huwelijksordinnantie Buitengewesten" (Staatsblad 1932 No. 482) yang mempunyai sifat-sifat yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini sebagai diterangkan dalam penjelasan Umum dari Undang-undang No. 22 tahun 1946 tersebut diatas.

Di daerah-daerah Swapraja di luar Jawa dan Madura, yang tidak sedikit jumlahnya Huwelijksornonnantie Buitengewesten pada umumnya tidak berlaku, hingga cara pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di daerah Swapraja tersebut beraneka-warna adanya menurut peraturan-peraturan yang berlaku untuk tiap-tiap Swapraja masing- masing.

Di daerah-daerah yang dulu masuk Negara Bagian sebagai Negara Sumatera Timur, Pasundan, Negara Jawa Timur dan sebagainya, berhubung dengan pergantian-pergantian

Page 29: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

16

Pemerintah mungkin masih ada daerah-daerah yang masih menjalankan peraturan-peraturan tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang lain daripada Undang-undang No. 22 tahun 1946 tersebut di atas.

Untuk menghilangkan keragu-raguan ini, maka dinyatakan bahwa Undang-undang No. 22 tahun 1946 berlaku untuk seluruh Indonesia, untuk tempat-tempat yang belum dijalankan Undang-undang tersebut, ditetapkan menjalankan Undang-undang itu mulai tanggal 1 April 1951. Begitu itu agar supaya dapat diatur peralihan, hingga tidak terjadi stagnatie, vacuum, atau kekacauan.

Dengan dicabutnya semua peraturan tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk dan digantikannya dengan Undang-undang No. 22 tahun 1946, maka akan ada peraturan tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang satu, yang berlaku untuk seluruh Indonesia.

Perlu kiranya diketahui, bahwa Undang-undang ini hanya mengenai pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk dan tidak mengurangi usaha-usaha yang tengah dikerjakan oleh Panitya Penyelidik Hukum Perkawinan Talak dan Rujuk yang dipimpin oleh Saudara Mr. Teuku Mohd. Hasan, di dalam mempersiapkan Undang-undang baru sesuai dengan keinginan-keinginan yang diajukan di dalam Parlemen antara lain saudara yang terhormat Nyonya Mudigdio.

PENJELASAN UMUM

Peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk seperti termuat dalam Huwelijksordonnantie S. 1929 No. 348 jo. S. 1931 No. 467 Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie Buitengewesten S. 1932 No. 482 tidak sesuai lagi dengan keadaan pada masa sekarang, sehingga perlu diadakan peraturan baru yang selaras dengan Negara yang modern.

Untuk melaksanakan peraturan ini dibutuhkan penyelidikan yang teliti dan seksama, sehingga sudah barang tentu tidak akan tercapai di dalam waktu yang singkat.

Page 30: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

17

Akan tetapi untuk mencukupi kebutuhan pada masa ini berhubungan dengan keadaan yang sangat perlu peraturan-peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk tersebut di atas, dicabut serta diganti oleh peraturan yang baru yang dapat memenuhi sementara keperluan-keperluan pada masa ini.

Peraturan-peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk tersebut di atas kesemuanya bersifat propinsialitas yang tidak sesuai dengan keadaan sekarang. Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, dan sudah sepantasnya peraturan-peraturan bersifat kesatuan pula. Dari itu Huwelijksordonnantie S. 1929 No 348 jo. S. 1931 Nr 467, Vorstenlsndsche Huwelijksordonnantie S. 1933 No 98 dan Huwelijksordonnsntie Buitengewesten S. 1932 No 482 patut dicabut. Selain dari pada itu peraturan didalam Huwelijksordonnantie-huwelijksordonnantie itu memberi kesempatan untuk mengadakan tarip ongkos pecatatan nikah. talak dan rujuk yang berbeda-beda, sehingga tiap-tiap kabupaten mempunyai peraturan sendiri-sendiri. Hal sedemikian itu tentu dirubah serta diganti dengan peraturan yang satu, untuk seluruh Indonesia. Dimana berhubung dengan keadaan belum memungkinkan, disitu peraturan yang baru ini tentu belum dapat dijalankan, akan tetapi pada azasnya, peraturan ini diuntukkan untuk seluruh Indonesia serta harus segera dijalankan, dimana keadaan telah mengizinkan.

Selanjutnya peraturan-peraturan yang dicabut itu, tidak menjamin penghasilannya para pegawai pencatat nikah, hanya digantungkan pada banyak sedikitnya ongkos yang didapatnya dari mereka yang menikah, menalak dan merujuk. Dengan jalan demikian maka pegawai pencatatan nikah menjalankan kewajibannya dengan tidak semestinya hanya semata-mata ditujukan untuk memperbesar penghasilannya, kurang memperhatikan hukum-hukum Islam yang sebenarnya. Perbuatan sedemikian itu, yang merupakan suatu korupsi serta merendahkan derajat pegawai nikah, tidak saja dapat celaan dari pihak perkumpulan-perkumpulan Wanita-Indonesia, akan tetapi juga dari pihak pergerakkan Islam yang mengetahui betul-betul syarat-syaratnya talak dan sebagainya tidak setuju dengan cara menjamin penghidupan pegawai nikah sedemikian. Pun para

Page 31: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

18

pegawai nikah sendiri merasa keberatan dengan adanya peraturan sedemikian itu. Selain daripada penghasilannya tiada tentu juga aturan pembagian ongkos nikah, talak rujuk kurang adil, yakni pegawai yang berpangkat tinggi dalam golongan pegawai nikah mendapat banyak kadang-kadang sampai lebih dari Rp. 100,- (Bandung, Sukabumi dan lain-lain) akan tetapi yang berpangkat rendah sangat kurangnya, antara Rp. 3,50 - Rp. 10,-

Selain dari pada itu ongkos nikah (ipekah) oleh beberapa golongan ummat Islam dipandangnya sebagai "haram", sehingga tidak tenteramlah mereka itu mendapat penghasilan tersebut. Korupsi serta keberatan-keberatan lainnya hanya dapat dilenyapkan, jika pimpinan yang bersangkut-paut dengan perkawinan, talak dan rujuk diserahkan pada satu instantie, serta para pegawai pencatat nikah diberi gaji yang tetap sesuai dengan kedudukan mereka dalam masyarakat. "Undang-undang Pencatatan nikah, talak dan rujuk" (Undang-undang No 22 tahun 1946) dimaksudkan untuk dijalankan diseluruh Indonesia; akan tetapi sebelum keadaan mengijinkannya serta Undang-undang baru itu belum mulai berlaku, aturan yang lama masih dianggap sah. Waktu berlakunya "Undang-undang Pencatatan nikah, talak dan rujuk untuk tanah Jawa dan Madura. akan ditentukan oleh Undang-undang lain.

Penjelasan pasal-pasal

Pasal 1

Maksud pasal ini ialah supaya nikah, talak dan rujuk menurut agama Islam supaya dicatat agar mendapat kepastian hukum.

Dalam Negara yang teratur segala hal-hal yang bersangkut-paut dengan penduduk harus dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan, kematian dan sebagainya. Lagi pula perkawinan bergandengan rapat dengan waris-mal-waris sehingga perkawinan perlu dicatat menjaga jangan sampai ada kekacauan.

Menurut hukum agama Islam nikah itu ialah perjanjian antara bakal suami atau wakilnya dan wali perempuan atau

Page 32: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

19

wakilnya. Biasanya wali memberi kuasa kepada pegawai pencatat nikah untuk menjadi wakilnya; tetapi ia boleh pula diwakili orang lain daripada pegawai yang ditunjuk oleh Menteri Agama, atau ia sendiri dapat melakukan akad nikah itu. Pada umumnya jarang sekali Wali melakukan akad nikah, sebab sedikit sekali yang mempunyai kepandaian yang dibutuhkannya untuk melakukan akad nikah itu.

Ancaman dengan denda sebagai tersebut pada ayat 1 dan 3 pasal 3 Undang-undang ini bermaksud supaya aturan administrasi ini diperhatikan; akibatnya sekali-kali bukan, bahwa nikah, talak dan rujuk itu menjadi batal karena pelanggaran itu.

Yang dimaksud dengan mengawasi ialah kecuali hadir pada ketika perjanjian nikah itu diperbuat, pun pula memeriksa, ketika kedua belah (wali dan bakal suami) menghadap pada pegawai pencatat nikah ada tidaknya rintangan untuk nikah dan apakah syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum agama Islam tidak dilanggar. Selanjutnya perubahan yang penting-penting dalam pasal ini ialah bahwa kekuasaan untuk menunjuk pegawai pencatat nikah, menetapkan tempat kedudukan dan wilayah pegawai pencatat nikah, jatuh masing-masing dari tangan Bupati/Raad Kabupaten ketangan Menteri Agama, atau pegawai yang ditunjuk olehnya atau pada Kepala Jawatan Agama Daerah, sedang biaya nikah, talak dan rujuk tidak dibagi-bagi lagi antara pegawai-pegawai pencatat nikah, akan tetapi masuk ke Kas Negera dan Pegawai pencatat nikah diangkat sebagai pegawai Negeri.

Yang dimaksud dengan Jawatan Agama Daerah ialah Jawatan Agama Karesidenan atau Jawatan Agama di Kota Jakarta Raya dan Surakarta.

Surat keterangan tidak mampu harus diberikannya dengan percuma, menjaga supaya orang yang tidak mampu jangan diperberat.

Page 33: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

20

Pasal 2

Sudah terang, dan tidak ada perubahan, kecuali contoh-contoh buku pendaftaran, surat nikah, talak dan rujuk dan sebagainya ditetapkan tidak lagi oleh Bupati, akan tetapi oleh Menteri Agama, agar supaya mendapat kesatuan.

Pasal 3

Maksud pasal 3 ini sama dengan pasal dari Huwelijksordonnantie S. 1929 No. 348 hanya saja pelanggaran terhadap aturan pemberitahuan tentang talak yang dijatuhkan dan rujuk yang dilakukan dinaikkan dari Rp. 5,- menjadi Rp. 50,- agar supaya hakim dapat memberi denda setimpal dengan kesalahannya. Oleh hakim dapat memberi denda setimpal dengan kesalahannya. Oleh karena sering terjadi orang isteri yang telah dirujuk kembali, akan tetapi oleh karena tidak diberitahukannya oleh pegawai pencatat nikah, sebab pegawai pencatat nikah, tidak diberitahukannya oleh suami yang merujuk, menjadi tidak mengetahui hal perujukan akan kawin lagi dengan orang lain kemudian datang suaminya yang lama, sehingga perkawinan tidak dapat dilangsungkan; atau telah kawin dengan orang lain kemudian datang suami yang lama, sehingga perkawinan yang baru itu dibubarkan. Lebih menyedihkan lagi jika perkawinan yang baru sudah begitu rukun sehingga telah mempunyai anak.

Lain-lain pasal sudah terang dan tidak perlu dijelaskan lagi.

TERMASUK LEMBARAN NEGARA NOMOR 98 TAHUN 1954.

Diketahui:

MENTERI KEHAKIMAN

Ttd.

DJODY GONDOKUSUMO

Page 34: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

21

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974

TENTANG

PERKAWINAN

DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1) dan pasal 29 Undang-undang Dasar 1945.

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN

Page 35: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

22

BAB I

DASAR PERKAWINAN

Pasal 1

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal 2

(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 Mahkamah Konstitusi RI hari Kamis, 18 Juni 2015 menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya )

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3

(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.

(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4

(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila : a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai

isteri;

Page 36: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

23

b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin

keperluan-keperluan hidup isteri- isteri dan anak-anak mereka.

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kaber dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6

(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

Page 37: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

24

(4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.

(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7

(1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.

(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.

(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang : a. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah

atau ke atas;

Page 38: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

25

b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;

d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;

e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Pasal 9

Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 10

Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum, masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 11

(1) Bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Pasal 12

Tata cara perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

Page 39: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

26

BAB III PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal 13

Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 14

(1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.

(2) Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lain, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 15

Barang siapa yang karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 16

(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.

Pasal 17

(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan

Page 40: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

27

dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.

(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.

Pasal 18

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.

Pasal 19

Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

Pasal 20

Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Pasal 21

(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.

(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan yang oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakkan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.

(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan

Page 41: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

28

berkedudukan untuk memberikan putusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakkan tersebut di atas.

(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakkan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.

(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan pada pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahukan tentang maksud mereka.

BAB IV BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 22

Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 23

Yang dapat mengajukan Pembatalan perkawinan yaitu : a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari

suami atau isteri. b. Suami atau isteri. c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum

diputuskan. d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-

undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Pasal 24

Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Page 42: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

29

Pasal 25

Permihonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.

Pasal 26

(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.

(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasrkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka setelah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Pasal 27

(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.

(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu telah menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 28

(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.

Page 43: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

30

(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap : a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; b. suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik,

kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.

c. Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak - hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

BAB V PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 29

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertilis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.

(2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

(3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(4) Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI

Pasal 30

Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.

Page 44: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

31

Pasal 31

(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(2) Masing - masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

(3) Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Pasal 32

(1) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1)

pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama.

Pasal 33

Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34

(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-

masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

BAB VII HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

Pasal 35

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Page 45: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

32

Pasal 36

(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing- masing.

BAB VIII PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA

Pasal 38

Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian, b. Perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan.

Pasal 39

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.

(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut.

Pasal 40

(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. (2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal

ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Page 46: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

33

Pasal 41

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a. Baik ibuatau bapak tetap berkewajiban memelihara dan

mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

BAB IX KEDUDUKAN ANAK

Pasal 42

Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Pasal 43

(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya – Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-IX Tahun 2011)

(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Page 47: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

34

Pasal 44

(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.

(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

BAB X HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

Pasal 45

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka sebaik-baiknya

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 46

(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.

(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bnila mereka itu memerlukan bantuannya.

Pasal 47

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

Page 48: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

35

Pasal 48

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49

(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. Ia berkelakuan buruk sekali.

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.

BAB XI PERWAKILAN

Pasal 50

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.

(2) Perwakilan itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

Pasal 51

(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.

Page 49: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

36

(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujurdan berkelakuan baik.

(3) Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik- baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan itu.

(4) Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.

(5) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

Pasal 52

Terhadap wali berlaku juga pasal 48 Undang-undang ini.

Pasal 53

(1) Wali dapat di cabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini.

(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimna dimaksud pada ayat (1) pasal ini oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

Pasal 54

Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga tersebut dengan keputisan Pengadilan, yang bersangkutan dapat di wajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

Page 50: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

37

BAB XII KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Bagian Pertama

Pembuktian Asal-usul Anak

Pasal 55

(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.

(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.

(3) atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Bagian Kedua Perkawinan di Luar Indonesia

Pasal 56

(1) Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini.

(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatat perkawinan tempat tinggal mereka.

Page 51: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

38

Bagian Ketiga Perkawinan Campuran

Pasal 57

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 58

Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang- undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.

Pasal 59

(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata.

(2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang- undang perkawinan ini.

Pasal 60

(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi.

(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.

(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang

Page 52: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

39

berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.

(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3).

(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.

Pasal 61

(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.

(2) Barang siapa yang melangsungkan perkawinan campuran tampa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1(satu) bulan.

(3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetaui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.

Pasal 62

Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.

Bagian Keempat Pengadilan

Pasal 63

(1) Yang dimaksudkan dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah:

Page 53: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

40

a. Pengadilan agama mereka yang beragama Islam. b. Pengadilan Umum bagi yang lainnya.

(2) Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.

BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang tejadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.

Pasal 65

(1) dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan- ketentuan berikut :

a. Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;

b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;

c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.

(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang- undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.

Page 54: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

41

BAB XIV KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan- ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 67

(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaanya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebuh lanjut oleh Peraturan Pemerintah.

Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundang Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta,

pada tanggal 2 Januari 1974 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO JENDERAL TNI.

Diundangkan di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1974 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA R.I

SUDHARMONO, SH.

MAYOR JENDERAL TNI. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TAHUN 1974 NOMOR 128

Page 55: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

42

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974

TENTANG PERKAWINAN

PENJELASAN UMUM:

1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.

2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara dan berbagai daerah seperti berikut :

a. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum Agama yang telah diresipiir dalam Hukum Adat;

b. bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat;

c. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74);

d. bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;

e. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka;

f. bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

3. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini disatu pihak

Page 56: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

43

harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sedangkan di lain fihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.

4. Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- undang ini adalah sebagai berikut:

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan material.

b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.

c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.

Page 57: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

44

d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lobih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.

e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.

f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumahtangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.

5. Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada.

Page 58: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

45

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila

yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, Pemeliharaan dan Pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

Pasal 2

Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan diluar hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukurn masing-masing agamanya dan kepereayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang- undang ini.

Pasal 3 1. Undang-undang ini menganut asas monogami.

2. Pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut dalam Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari salon suami mengizinkan adanya poligami.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5 Cukup jelas.

Page 59: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

46

Pasal 6 1. Oleh karena perkawinan mernpunyai rnaksud agar suami

dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan Perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang ini.

2. Cukup jelas.

3. Cukup jelas.

4. Cukup jelas.

5. Cukup jelas.

6. Cukup jelas.

Pasal 7 1. Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu

ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.

2. Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud pada ayat (1) seperti diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S. 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku.

3. Cukup jelas.

Pasal 8 Cukup jelas.

Pasal 9 Cukup jelas.

Page 60: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

47

Pasal 10 Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

Pasal 11 Cukup jelas.

Pasal 12

Ketentuan Pasal 12 ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14 Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16 Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18 Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20 Cukup jelas.

Page 61: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

48

Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22

Pengertian "dapat" pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24 Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26 Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28 Cukup jelas.

Pasal 29

Yang dimaksud dengan "perjanjian" dalam pasal ini tidak termasuk taklik-talak.

Pasal 30 Cukup jelas.

Pasal 31 Cukup jelas.

Pasal 32 Cukup jelas.

Pasal 33 Cukup jelas.

Pasal 34 Cukup jelas.

Page 62: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

49

Pasal 35

Apabila perkawinan Putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut Hukumnya masing-masing.

Pasal 36 Cukup jelas.

Pasal 37

Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing; ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.

Pasal 38 Cukup jelas.

Pasal 39

1. Cukup jelas.

2. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang libel berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak inelakukan kekeiaman atau penganiayaan berat yang mernbahayakan terhadap pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.

Page 63: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

50

3. Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41 Cukup jelas.

Pasal 42 Cukup jelas.

Pasal 43 Cukup jelas.

Pasal 44

Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah.

Pasal 45 Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47 Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49 Yang dimaksud dengan "kekuasaan" dalam pasal ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali-nikah.

Pasal 50 Cukup jelas.

Pasal 51 Cukup jelas.

Pasal 52 Cukup jelas.

Page 64: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

51

Pasal 53 Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55 Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57 Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59 Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61 Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63 Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65 Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67 Cukup jelas.

Page 65: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

52

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3019

Disalin kembali sesuai Dari salinan

Ka. Sub. Bag. Tikron DEPAG

tt.

M.S. SJAHRIAN NIP. 270374

Page 66: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

53

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989

TENTANG

PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib;

b. bahwa untuk mewujudkan tata kehidupan tersebut dan menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum diperlukan upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat;

c. bahwa salah satu upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum tersebut adalah melalui Peradilan Agama sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;

d. bahwa pengaturan tentang susunan, kekuasaan, dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang

Page 67: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

54

selama ini masih beraneka karena didasarkan pada :

1. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dihubungkan dengan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610);

2. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar'iyah di Luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99).

perlu segera diakhiri demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama dalam kerangka sistem dan tata hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

e. bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut, dan untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dipandang perlu menetapkan undang-undang yang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951);

Page 68: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

55

3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316).

Dengan Persetujuan:

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN AGAMA

BAB I KETENTUAN UMUM

Bagian Pertama

Pengertian

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.

2. Pengadilan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di lingkungan Peradilan Agama.

3. Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Agama dan Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama.

4. Pegawai Pencatat Nikah adalah Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama.

5. Juru Sita dan atau Juru Sita Pengganti adalah Juru Sita dan atau Juru Sita Pengganti pada Pengadilan Agama.

Page 69: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

56

Bagian Kedua Kedudukan

Pasal 2

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini.

Pasal 3

(1) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh :

a. Pengadilan Agama; b. Pengadilan Tinggi Agama.

(2) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.

Bagian Ketiga Tempat Kedudukan

Pasal 4

(1) Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibukota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.

(2) Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota propinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Propinsi.

Bagian Keempat Pembinaan

Pasal 5

(1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.

(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan dilakukan oleh Menteri Agama.

Page 70: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

57

(3) Pembinaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

BAB II SUSUNAN PENGADILAN

Bagian Pertama

Umum

Pasal 6

Pengadilan terdiri dari : (1) Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat

Pertama; (2) Pengadilan Tinggi Agama, yang merupakan Pengadilan

Tingkat Banding.

Pasal 7

Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden.

Pasal 8

Pengadilan Tinggi Agama dibentuk dengan Undang-undang.

Pasal 9

(1) Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita.

(2) Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.

Pasal 10

(1) Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua.

(2) Pimpinan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua.

(3) Hakim Anggota Pengadilan Tinggi Agama adalah Hakim Tinggi.

Page 71: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

58

Bagian Kedua Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, dan Juru Sita

Paragraf 1

Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim

Pasal 11

(1) Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.

(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian serta pelaksanaan tugas Hakim ditetapkan dalam Undang-undang ini.

Pasal 12

(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri dilakukan oleh Menteri Agama.

(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Pasal 13

(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Agama, seorang calon harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945; e. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai

Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi G.30.S/PKI", atau organisasi terlarang yang lain;

f. pegawai negeri; g. sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai

hukum Islam;

Page 72: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

59

h. berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;

i. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela. (2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua dan Wakil Ketua

Pengadilan Agama diperlukan pengalaman sekurang - kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim Pengadilan Agama.

Pasal 14

(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, dan i;

b. berumur serendah-rendahnya 40 (empat puluh) tahun; c. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun

sebagai Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Agama atau 15 (lima belas) tahun sebagai Hakim Pengadilan Agama.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama diperlukan pengalaman sekurang- kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Agama atau sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi Agama yang pernah menjabat Ketua Pengadilan Agama.

(3) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama diperlukan pengalaman sekurang- kurangnya 8 (delapan) tahun sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Agama atau, sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi Agama yang pernah menjabat Ketua Pengadilan Agama.

Pasal 15

(1) Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala Negara atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

Page 73: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

60

(2) Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 16

(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim wajib mengucapkan sumpah menurut agama Islam yang berbunyi sebagai berikut :

"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga".

"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian".

"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala Undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".

"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik- baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua, Wakil Ketua, Hakim Pengadilan yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".

(2) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Agama.

(3) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama serta Ketua Pengadilan Agama diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama.

(4) Ketua Pengadilan Tinggi Agama diambil sumpahnya oleh Ketua Mahkamah Agung.

Page 74: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

61

Pasal 17

(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Hakim tidak boleh merangkap menjadi : a. pelaksana putusan Pengadilan; b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan

suatu perkara yang diperiksa olehnya; c. pengusaha.

(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum. (3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain

jabatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18

(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :

a. permintaan sendiri; b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus; c. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi Ketua, Wakil

Ketua, dan Hakim Pengadilan Agama, dan 63 (enam puluh tiga) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama;

d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya. (2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim yang meninggal dunia

dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara.

Pasal 19

(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :

a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;

b. melakukan perbuatan tercela; c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam

menjalankan tugas pekerjaannya; d. melanggar sumpah jabatan; e. melanggar larangan sebagaimana yang dimaksud

dalam Pasal 17.

Page 75: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

62

(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b sampai dengan e dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.

(3) Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung bersama-sama dengan Menteri Agama.

Pasal 20

Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri.

Pasal 21

(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

(2) Terhadap pengusulan pemberhentian sementara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), berlaku juga ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).

Pasal 22

(1) Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya.

(2) Apabila seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan, maka ia dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.

Page 76: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

63

Pasal 23

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian sementara serta hak-hak pejabat yang dikenakan pemberhentian, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 24

(1) Kedudukan protokol Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.

(2) Tunjangan dan ketentuan-ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 25

Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama, kecuali dalam hal: a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau b. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang

diancam dengan pidana mati, atau c. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap

keamanan negara.

Paragraf 2

Panitera

Pasal 26

(1) Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Kepaniteraan yang dipimpin oleh seorang Panitera.

(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Agama dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, beberapa orang Panitera Pengganti, dan beberapa orang Juru Sita.

(3) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Tinggi Agama dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, dan beberapa orang Panitera Pengganti.

Page 77: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

64

Pasal 27

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; e. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari'ah atau

sarjana muda hukum yang menguasai hukum Islam; f. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun

sebagai Wakil Panitera atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Agama, atau menjabat Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Agama.

Pasal 28

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27

huruf a, b, c, dan d; b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang

menguasai hukum Islam; c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun

sebagai Wakil Panitera atau 8 (delapan) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Tinggi Agama, atau 4 (empat) tahun sebagai Panitera Pengadilan Agama.

Pasal 29

Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27

huruf a, b, c, d, dan e; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun

sebagai Panitera Muda atau 6 (enam) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Agama.

Page 78: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

65

Pasal 30

Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Agama, seorang calon harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut : a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27

huruf a, b, c, dan d; b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang

menguasai hukum Islam; c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun

sebagai Panitera Muda atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama, atau 4 (empat) tahun sebagai Wakil Panitera Pengadilan Agama, atau menjabat Panitera Pengadilan Agama.

Pasal 31

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27

huruf a, b, c, d, dan e; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai

Panitera Pengganti Pengadilan Agama.

Pasal 32

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi Agama, seorang calon harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut : a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27

huruf a, b, c, d, dan e; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai

Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama, atau 4 (empat) tahun sebagai Panitera Muda atau 8 (delapan) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Agama, atau menjabat Wakil Panitera Pengadilan Agama.

Page 79: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

66

Pasal 33

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Agama, seorang calon harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut : a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27

huruf a, b, c, d, dan e;

b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai pegawai negeri pada Pengadilan Agama.

Pasal 34

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, d, dan e;

b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Agama atau 10 (sepuluh) tahun sebagai pegawai negeri pada Pengadilan Tinggi Agama.

Pasal 35

(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Panitera tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai Panitera.

(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.

(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Panitera selain jabatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 36

Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri Agama.

Page 80: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

67

Pasal 37

Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti diambil sumpahnya menurut agama Islam oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan. Bunyi sumpah adalah sebagai berikut:

"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga".

"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali- kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian".

"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".

"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".

Page 81: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

68

Paragraf 3 Juru Sita

Pasal 38

Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Juru Sita dan Juru Sita Pengganti.

Pasal 39

(1) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945; e. berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat

atas; f. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun

sebagai Juru Sita Pengganti.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita Pengganti, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat

(1) huruf a, b, c, d, dan e; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun

sebagai pegawai negeri pada Pengadilan Agama.

Pasal 40

(1) Juru Sita diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama atas usul Ketua Pengadilan Agama.

(2) Juru Sita Pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan Agama.

Pasal 41

Sebelum memangku jabatannya, Juru Sita dan Juru Sita Pengganti diambil sumpahnya menurut agama Islam oleh Ketua Pengadilan Agama.

Page 82: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

69

Bunyi sumpah adalah sebagai berikut:

"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga".

"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali- kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian".

"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".

"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Juru Sita, Juru Sita Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".

Pasal 42

(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Juru Sita tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia sendiri berkepentingan.

(2) Juru Sita tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum. (3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Juru Sita selain

jabatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

Page 83: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

70

Bagian Ketiga Sekretaris

Pasal 43

Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Sekretariat yang dipimpin oleh seorang Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.

Pasal 44

Panitera Pengadilan merangkap Sekretaris Pengadilan.

Pasal 45

Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Agama, seorang calon harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut :

a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; e. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari'ah, atau

sarjana muda hukum yang menguasai hukum Islam atau sarjana muda administrasi;

f. berpengalaman di bidang administrasi peradilan.

Pasal 46

Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tinggi Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 huruf a, b, c, d, dan f;

b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam.

Pasal 47

Wakil Sekretaris Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.

Page 84: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

71

Pasal 48

Sebelum memangku jabatannya Wakil Sekretaris diambil sumpahnya menurut agama Islam oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan. Bunyi sumpah adalah sebagai berikut :

"Demi Allah, saya bersumpah :

bahwa saya, untuk diangkat menjadi Wakil Sekretaris, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah;

bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;

bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan martabat Wakil Sekretaris serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;

bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan;

bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara".

BAB III KEKUASAAN PENGADILAN

Pasal 49

(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :

a. perkawinan;

b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;

c. wakaf dan shadaqah.

Page 85: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

72

(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.

(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Pasal 50

Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Pasal 51

(1) Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.

(2) Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar-Pengadilan Agama di daerah hukumnya.

Pasal 52

(1) Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta.

(2) Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang.

Page 86: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

73

Pasal 53

(1) Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita di daerah hukumnya.

(2) Selain tugas sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Tinggi Agama di daerah hukumnya melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Agama dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.

(3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Ketua Pengadilan dapat memberikan petunjuk, teguran, dan peringatan, yang dipandang perlu.

(4) Pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) ayat (2), dan ayat (3), tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

BAB IV HUKUM ACARA

Bagian Pertama

Umum

Pasal 54

Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.

Pasal 55

Tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimulai sesudah diajukannya suatu permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil menurut ketentuan yang berlaku.

Page 87: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

74

Pasal 56

(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya.

(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai.

Pasal 57

(1) Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

(2) Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

(3) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pasal 58

(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

(2) Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pasal 59

(1) Sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup.

Page 88: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

75

(2) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau putusannya batal menurut hukum.

(3) Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.

Pasal 60

Penetapan dan putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Pasal 61

Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh pihak yang berperkara, kecuali apabila undang-undang menentukan lain.

Pasal 62

(1) Segala penetapan dan putusan Pengadilan, selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

(2) Tiap penetapan dan putusan Pengadilan ditandatangani oleh Ketua dan Hakim-hakim yang memutus serta Panitera yang ikut bersidang pada waktu penetapan dan putusan itu diucapkan.

(3) Berita Acara tentang pemeriksaan ditandatangani oleh Ketua dan Panitera yang bersidang.

Pasal 63

Atas penetapan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara.

Pasal 64

Penetapan dan putusan Pengadilan yang dimintakan banding atau kasasi, pelaksanaannya ditunda demi hukum, kecuali

Page 89: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

76

apabila dalam amarnya menyatakan penetapan atau putusan tersebut dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding, atau kasasi.

Bagian Kedua

Pemeriksaan Sengketa Perkawinan

Paragaraf 1

Umum

Pasal 65

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Paragraf 2

Cerai Talak

Pasal 66

(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.

(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.

(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.

(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka

Page 90: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

77

dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.

Pasal 67

Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 di atas memuat :

a. nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami, dan termohon, yaitu istri;

b. alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.

Pasal 68

(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.

(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 69

Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini berlaku ketentuan-ketentuan Pasal 79, Pasal 80 ayat (2), Pasal 82, dan Pasal 83.

Pasal 70

(1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka Pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.

(2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri dapat mengajukan banding.

(3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.

Page 91: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

78

(4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya.

(5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya.

(6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.

Pasal 71

(1) Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar talak.

(2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi.

Pasal 72

Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 71 berlaku ketentuan-ketentuan dalam Pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 85.

Paragraf 3 Cerai Gugat

Pasal 73

(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan

Page 92: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

79

sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.

(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.

(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

Pasal 74

Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 75

Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter.

Pasal 76

(1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.

(2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.

Page 93: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

80

Pasal 77

Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.

Pasal 78

Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, Pengadilan dapat :

a. menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami; b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin

pemeliharaan dan pendidikan anak; c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin

terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Pasal 79

Gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan.

Pasal 80

(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di Kepaniteraan.

(2) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 81

(1) Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Page 94: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

81

Pasal 82

(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan kedua pihak.

(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.

(3) Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi.

(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Pasal 83

Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai.

Pasal 84

(1) Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.

(2) Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermeterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat Nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan.

Page 95: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

82

(3) Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.

(4) Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.

Pasal 85

Kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 84, menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya.

Pasal 86

(1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu.

Paragraf 4 Cerai Dengan Alasan Zina

Pasal 87

(1) Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya

Page 96: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

83

peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat, maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.

(2) Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama.

Pasal 88

(1) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan cara lain.

(2) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh istri maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku.

Bagian Ketiga Biaya Perkara

Pasal 89

(1) Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon.

(2) Biaya perkara penetapan atau putusan Pengadilan yang bukan merupakan penetapan atau putusan akhir akan diperhitungkan dalam penetapan atau putusan akhir.

Pasal 90

(1) Biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89, meliputi :

a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan untuk perkara itu;

b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara itu;

c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan oleh Pengadilan dalam perkara itu;

Page 97: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

84

d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah Pengadilan yang berkenaan dengan perkara itu.

(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Menteri Agama dengan persetujuan Mahkamah Agung.

Pasal 91

(1) Jumlah biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90 harus dimuat dalam amar penetapan atau putusan Pengadilan.

(2) Jumlah biaya yang dibebankan oleh Pengadilan kepada salah satu pihak berperkara untuk dibayarkan kepada pihak lawannya dalam perkara itu, harus dicantumkan juga dalam amar penetapan atau putusan Pengadilan.

BAB V KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Pasal 92

Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para Hakim.

Pasal 93

Ketua Pengadilan membagikan semua berkas perkara dan atau surat-surat lain yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke Pengadilan kepada Majelis Hakim untuk diselesaikan.

Pasal 94

Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diadili berdasarkan nomor urut, tetapi apabila terdapat perkara tertentu yang karena menyangkut kepentingan umum harus segera diadili, maka perkara itu didahulukan.

Page 98: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

85

Pasal 95

Ketua Pengadilan wajib mengawasi kesempurnaan pelaksanaan penetapan atau putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 96

Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.

Pasal 97

Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti bertugas membantu Hakim dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang Pengadilan.

Pasal 98

Panitera bertugas melaksanakan penetapan atau putusan Pengadilan.

Pasal 99

(1) Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di Kepaniteraan.

(2) Dalam daftar perkara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tiap perkara diberi nomor urut dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya.

Pasal 100

Panitera membuat salinan atau turunan penetapan atau putusan Pengadilan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 101

(1) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, penetapan atau putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan pihak ketiga, surat-surat

Page 99: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

86

berharga, barang bukti, dan surat-surat lain yang disimpan di Kepaniteraan.

(2) Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara tidak boleh dibawa keluar dari ruangan Kepaniteraan, kecuali atas izin Ketua Pengadilan berdasarkan ketentuan undang-undang.

(3) Tata cara pengeluaran surat asli, salinan atau turunan penetapan atau putusan, risalah, berita acara, akta, dan surat-surat lain diatur oleh Mahkamah Agung.

Pasal 102

Tugas dan tanggung jawab serta tata kerja Kepaniteraan Pengadilan diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.

Pasal 103

(1) Juru Sita bertugas : a. melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh

Ketua Sidang; b. menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-

teguran, dan pemberitahuan penetapan atau putusan Pengadilan menurut cara-cara berdasarkan ketentuan undang-undang,

c. melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan; d. membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya

diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. (1) Juru Sita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum

Pengadilan yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Juru Sita diatur oleh Mahkamah Agung.

Pasal 105

(1) Sekretaris Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum Pengadilan.

(2) Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja Sekretariat diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama.

Page 100: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

87

BAB VI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 106

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini : 1. semua Badan Peradilan Agama yang telah ada dinyatakan

sebagai Badan Peradilan Agama menurut Undang-undang ini;

2. semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai Peradilan Agama dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasarkan Undang-undang ini belum dikeluarkan, sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.

BAB VII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 107

(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka: a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan

Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan Nomor 610);

b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan Nomor 639);

c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99), dan

d. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019), dinyatakan tidak berlaku.

Page 101: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

88

(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 236 a Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB), Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44, mengenai permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama.

Pasal 108

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan Di Jakarta, Pada Tanggal 29 Desember 1989

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO

Diundangkan Di Jakarta,

Pada Tanggal 29 Desember 1989 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1989 NOMOR 49

Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT KABINET R.I Kepala Biro Hukum Dan Perundang-undangan

Bambang Kesowo, SH, LLM

Page 102: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

89

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

I. UMUM

1. Dalam Negara Hukum Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum dalam sistem dan penyelenggaraan hukum merupakan hal pokok yang sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana perikehidupan yang aman, tenteram, dan, tertib seperti yang diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara. Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal-hal tersebut dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegakkan hukum dan keadilan dengan baik. Salah satu lembaga untuk menegakkan hukum dalam mencapai keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum adalah badan-badan peradilan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang masing-masing mempunyai lingkup kewenangan mengadili perkara atau sengketa di bidang tertentu dan salah satunya adalah Badan Peradilan Agama.

a. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum Badan Peradilan Agama sebelum Undang-undang ini adalah:

b. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad 1882 Nomor 152 dan Staatsblad 1937 Nomor 116 dan Nomor 610);

c. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad 1937 Nomor 638 dan Nomor 639);

d. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah

Page 103: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

90

di luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99).

Keragaman dasar hukum Peradilan Agama tersebut mengakibatkan beragamnya pula susunan, kekuasaan, dan hukum acara Peradilan Agama.

Dalam rangka penerapan Wawasan Nusantara di bidang hukum yang merupakan pengejawantahan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka keragaman tersebut perlu segera diakhiri demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama dalam kerangka sistem dan tata hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 diperlukan adanya perombakan yang bersifat mendasar terhadap segala peraturan perundang-undangan yang mengatur Badan Peradilan Agama tersebut di atas dan menyesuaikannya dengan Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang merupakan induk dan kerangka umum serta merupakan asas dan pedoman bagi semua lingkungan peradilan.

Dengan demikian, Undang-undang yang mengatur Susunan, Kekuasaan, dan Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama ini merupakan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dan asas yang tercantum dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951).

2. Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan Agama, dalam Undang-undang ini dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang berpuncak pada Mahkamah Agung, sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditentukan oleh Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.

Page 104: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

91

Dalam Undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, kedudukan para Hakim, dan segi-segi administrasi lain pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.

Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah berdasarkan hukum Islam.

Bidang perkawinan yang dimaksud disini adalah hal-hal yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).

Bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut, bilamana pewarisan tersebut dilakukan berdasarkan hukum Islam.

Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan.

Dalam rangka mewujudkan keseragaman kekuasaan Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama di seluruh wilayah Nusantara, maka oleh Undang-undang ini kewenangan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura serta sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur mengenai perkara kewarisan yang dicabut pada tahun 1937, dikembalikan dan disamakan dengan kewenangan Pengadilan Agama di daerah-daerah yang lain.

Pengadilan Tinggi Agama merupakan pengadilan tingkat banding terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama dan merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa mengadili antar-Pengadilan Agama di daerah hukumnya.

Page 105: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

92

3. Mengingat luasnya lingkup tugas dan beratnya beban yang harus dilaksanakan oleh Pengadilan, maka perlu adanya perhatian yang besar terhadap tata cara dan pengelolaan administrasi Pengadilan. Hal ini sangat penting, karena bukan saja menyangkut aspek ketertiban dalam menyelenggarakan administrasi, baik di bidang perkara maupun kepegawaian, gaji, kepangkatan, peralatan kantor, dan lain-lain, tetapi juga akan mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan Peradilan itu sendiri. Oleh karena itu, penyelenggaraan administrasi Peradilan dalam Undang- undang ini dibedakan menurut jenisnya dan dipisahkan penanganannya, walaupun dalam rangka koordinasi pertanggungjawaban tetap dibebankan kepada seorang pejabat, yaitu Panitera yang merangkap sebagai Sekretaris.

Selaku Panitera, ia menangani administrasi perkara dan hal-hal administrasi lain yang bersifat teknis peradilan (yustisial). Dalam pelaksanaan tugas ini Panitera dibantu oleh seorang Wakil Panitera dan beberapa orang Panitera Muda.

Selaku Sekretaris, ia menangani administrasi umum seperti administrasi kepegawaian dan sebagainya. Dalam pelaksanaan tugasnya ia dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.

Dengan demikian, staf Kepaniteraan dapat memusatkan perhatian terhadap tugas dan fungsinya membantu Hakim dalam bidang peradilan, sedangkan tugas administrasi yang lain dapat dilaksanakan oleh staf Sekretariat.

4. Hakim adalah unsur yang sangat penting dalam penyelenggaraan peradilan. Oleh karena itu, maka syarat-syarat pengangkatan dan pemberhentian serta tata cara pengangkatan dan pemberhentiannya diatur dalam Undang-undang ini.

Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

Agar Pengadilan sebagai penyelenggara Kekuasaan Kehakiman bebas dalam memberikan keputusan, perlu

Page 106: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

93

adanya jaminan bahwa, baik Pengadilan maupun Hakim dalam melaksanakan tugas terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh yang lain.

Agar tugas penegakan hukum dan keadilan itu dapat dilaksanakan oleh Pengadilan, maka dalam Undang-undang ini dicantumkan persyaratan yang senantiasa harus dipenuhi oleh seorang Hakim, seperti bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.

Untuk memperoleh hal tersebut di atas maka dalam setiap pengangkatan, pemberhentian, mutasi, kenaikan pangkat, tindakan atau hukuman administrasi terhadap Hakim Pengadilan Agama perlu adanya kerjasama, konsultasi, dan koordinasi antara Mahkamah Agung dan Departemen Agama.

Agar para pejabat peradilan tidak mudah dipengaruhi baik moril maupun materiil, maka perlu adanya pengaturan tersendiri mengenai tunjangan dan ketentuan lain bagi para pejabat peradilan, khususnya para Hakim; demikian pula mengenai kepangkatan dan gajinya.

Untuk lebih mengukuhkan kehormatan dan kewibawaan Hakim serta Pengadilan, maka perlu juga dijaga mutu (keahlian) para Hakim dengan diadakannya syarat-syarat tertentu untuk menjadi Hakim yang diatur dalam Undang-undang ini.

Selain itu, diadakan juga larangan-larangan bagi para Hakim untuk merangkap jabatan penasihat hukum, pelaksana putusan pengadilan, wali, pengampu, dan setiap jabatan yang bersangkutan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diadili olehnya.

Namun, belum cukup hanya dengan memerinci larangan-larangan seperti tersebut di atas. Agar Peradilan dapat berjalan dengan efektif, maka Pengadilan Tinggi Agama diberi tugas pengawasan terhadap Pengadilan Agama di dalam daerah hukumnya. Hal ini akan meningkatkan koordinasi antar-Pengadilan Agama dalam daerah hukum

Page 107: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

94

suatu Pengadilan Tinggi Agama, yang pasti akan bermanfaat dalam kesatuan putusan yang dijatuhkan, karena Pengadilan Tinggi Agama dalam melakukan pengawasan tersebut dapat memberikan teguran, peringatan, dan petunjuk. Kecuali itu, perbuatan dan kegiatan Hakim secara langsung dapat diawasi sehingga jalannya peradilan yang sederhana, cepat, dan dengan biaya ringan akan terjamin.

Petunjuk-petunjuk yang menimbulkan sangkaan keras, bahwa Hakim melakukan perbuatan tercela, melakukan kejahatan dan kelalaian yang terus menerus dalam menjalankan tugas pekerjaannya, dapat mengakibatkan bahwa ia diberhentikan tidak dengan hormat oleh Presiden selaku Kepala Negara setelah diberi kesempatan membela diri.

Hal itu dicantumkan dengan tegas dalam Undang-undang ini, mengingat luhur dan mulianya tugas Hakim, sedangkan dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri, baginya tetap berlaku ancaman- ancaman terhadap perbuatan tercela sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 50).

5. Undang-undang ini selain mengatur susunan dan kekuasaan juga mengatur Hukum Acara Peradilan Agama.

Bagaimanapun sempurnanya lembaga peradilan itu dengan penataan susunan organisasinya dan penegasan kekuasaannya, namun apabila alat untuk dapat menegakkan dan mempertahankan kekuasaannya itu belum jelas, maka lembaga peradilan tersebut tidak akan dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik. Oleh karena itu maka pengaturan Hukum Acara Peradilan Agama itu sangat penting dan karenanya pula maka sekaligus diatur dalam Undang-undang ini.

Hukum Acara Peradilan Agama selama ini masih terdapat dalam berbagai peraturan dan surat edaran, baik dalam

Page 108: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

95

Staatsblad, Peraturan Pemerintah, Surat Edaran Mahkamah Agung dan Departemen Agama maupun dalam Undang-undang Perkawinan dan segala peraturan pelaksanaannya.

Prinsip-prinsip pokok peradilan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, antara lain ketentuan bahwa sidang pengadilan harus terbuka untuk umum, setiap keputusan dimulai dengan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan dan ketentuan-ketentuan yang lain, dalam Undang-undang ini lebih ditegaskan dan dicantumkan kembali.

Karena Peradilan Agama merupakan peradilan khusus dengan kewenangan mengadili perkara- perkara tertentu dan untuk golongan rakyat tertentu sebagaimana yang ditegaskan dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu mengenai perkara perdata tertentu antara orang-orang yang beragama Islam, maka hukum acara perdata pada Peradilan Umum oleh Undang-undang ini dinyatakan berlaku pada Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama, kecuali mengenai hal-hal yang secara khusus diatur oleh Undang-undang ini.

6. Peradilan Agama adalah salah satu dari empat lingkungan peradilan negara yang dijamin kemerdekaannya dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Peradilan Agama yang kewenangannya mengadili perkara-perkara tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu, yaitu mereka yang beragama Islam, sejajar dengan peradilan yang lain. Oleh karena itu, hal-hal yang dapat mengurangi kedudukan Peradilan Agama oleh Undang-undang ini dihapus, seperti pengukuhan keputusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri. Sebaliknya untuk memantapkan kemandirian Peradilan Agama oleh Undang-undang ini diadakan Juru Sita, sehingga Pengadilan Agama dapat melaksanakan keputusannya

Page 109: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

96

sendiri, dan tugas-tugas kepaniteraan dan kesekretariatan tidak terganggu oleh tugas-tugas kejurusitaan.

7. Di samping itu perkara-perkara di bidang perkawinan merupakan sengketa keluarga yang memerlukan penanganan secara khusus sesuai dengan amanat Undang-undang Perkawinan. Oleh karena itu, maka dalam Undang-undang ini diatur secara khusus hal-hal yang berkenaan dengan sengketa perkawinan tersebut dan sekaligus untuk meningkatkan pengaturan hukum acara sengketa perkawinan yang sampai saat diundangkannya Undang-undang ini masih diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Undang-undang Perkawinan bertujuan antara lain melindungi kaum wanita pada umumnya dan pihak istri pada khususnya, namun dalam hal gugatan perceraian yang diajukan oleh istri, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan bahwa gugatan harus diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat sesuai dengan prinsip hukum acara perdata umum.

Untuk melindungi pihak istri, maka gugatan perceraian dalam Undang-undang ini diadakan perubahan, tidak diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat tetapi ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.

I. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Page 110: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

97

Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)

Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama

ada di kotamadya atau di ibu kota kabupaten, yang

daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau

kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya

pengecualian.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Usul pembentukan Pengadilan Agama diajukan oleh

Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua

Mahkamah Agung

Pasal 8

Cukup jelas

Page 111: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

98

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 11

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 12

Ayat (1)

Hakim adalah pegawai negeri sehingga baginya berlaku

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-

pokok Kepegawaian. Oleh karena itu, Menteri Agama

wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap

Hakim dalam rangka mencapai daya guna dan hasil guna

sebagaimana lazimnya bagi pegawai negeri.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 13

Ayat (1)

Cukup jelas

Page 112: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

99

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Page 113: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

100

Pasal 18

Ayat (1) Pemberhentian dengan hormat Hakim atas permintaan sendiri, mencakup pengertian pengunduran diri dengan alasan Hakim yang bersangkutan tidak berhasil menegakkan hukum dalam lingkungan rumah tangganya sendiri. Pada hakikatnya situasi, kondisi, suasana, dan keteraturan hidup di rumah tangga setiap Hakim Pengadilan merupakan salah satu faktor yang penting peranannya dalam usaha membantu meningkatkan citra dan wibawa seorang Hakim itu sendiri. Yang dimaksud dengan "sakit jasmani atau rohani terus menerus" ialah yang menyebabkan sipenderita ternyata tidak mampu lagi melakukan tugas kewajibannya dengan baik. Yang dimaksud "tidak cakap" ialah misalnya yang bersangkutan banyak melakukan kesalahan besar dalam menjalankan tugasnya.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 19

Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dipidana" ialah dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" ialah apabila Hakim yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar Pengadilan merendahkan martabat Hakim. Yang dimaksud dengan "tugas pekerjaan" ialah semua tugas yang dibebankan kepada yang bersangkutan.

Ayat (2) Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan, yang bersangkutan tidak diberi kesempatan untuk membela diri, kecuali apabila pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya itu kurang dari 3 (tiga) bulan.

Page 114: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

101

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 20

Seorang Hakim tidak boleh diberhentikan dari kedudukannya sebagai pegawai negeri sebelum diberhentikan dari jabatannya sebagai Hakim. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian, Hakim bukan jabatan dalam eksekutif. Oleh sebab itu, pemberhentiannya harus tidak sama dengan pegawai negeri yang lain.

Pasal 21

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 22

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam perkara

pidana adalah Pengadilan Negeri dan/atau Pengadilan

Militer.

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Pangkat dan gaji Hakim diatur tersendiri berdasarkan

peraturan yang berlaku.

Page 115: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

102

Yang dimaksud dengan ketentuan lain adalah hal-hal

yang antara lain menyangkut kesejahteraan seperti

rumah dinas, dan kendaraan dinas.

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 27

Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam huruf d pasal ini, yaitu setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, harus diartikan mencakup juga syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf e Undang-undang ini. Yang dimaksud dengan "sarjana muda syari'ah atau sarjana muda, hukum" termasuk mereka yang telah mencapai tingkat pendidikan hukum sederajat dengan sarjana muda syari'ah atau sarjana muda hukum, dan dianggap cakap untuk jabatan itu. Masa pengalaman disesuaikan dengan eselon, pangkat, dan syarat-syarat lain yang berkaitan. Alih jabatan dari Pengadilan Tinggi Agama ke Pengadilan Agama atau sebaliknya dimungkinkan dalam eselon yang sama.

Pasal 28

Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.

Page 116: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

103

Pasal 29

Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.

Pasal 30

Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.

Pasal 31

Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.

Pasal 32

Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.

Pasal 33

Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan Penjelasan Pasal 27 alinea. pertama.

Pasal 34

Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.

Pasal 35

Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) berlaku juga bagi Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.

Pasal 36

Pengangkatan atau pemberhentian Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti dapat juga dilakukan berdasarkan usul Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

Pasal 37

Cukup jelas

Pasal 38

Cukup jelas

Page 117: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

104

Pasal 39

Ayat (1)

Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam huruf d ayat ini, yaitu setia kepada Pancasila dan Undang- undang Dasar 1945, harus diartikan mencakup juga syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf e Undang-undang ini.

Ayat (2) Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan penjelasan ayat (1).

Pasal 40

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1),

(2), dan (3) berlaku juga bagi Juru Sita Pengganti.

Pasal 43

Cukup jelas

Pasal 44

Cukup jelas

Pasal 45

Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam huruf d Pasal

ini, yaitu setia kepada Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945, harus diartikan mencakup juga syarat

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)

huruf e Undang-undang ini.

Page 118: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

105

Pasal 46

Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf

d sama dengan Penjelasan Pasal 45.

Pasal 47

Pengangkatan atau pemberhentian Wakil Sekretaris

Pengadilan dapat juga dilakukan berdasarkan usul Ketua

Pengadilan.

Pasal 48

Cukup jelas

Pasal 49

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain adalah: 1. izin beristri lebih dari seorang 2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang

belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;

3. dispensasi kawin; 4. pencegahan perkawinan; 5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat

Nikah; 6. pembatalan perkawinan; 7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri; 8. perceraian karena talak; 9. gugatan perceraian; 10. penyelesaian harta bersama; 11. mengenai penguasaan anak-anak;

Page 119: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

106

12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;

13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri.

14. putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak; 15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16. pencabutan kekuasaan wali; 17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan

dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut; 18. menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang

belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;

19. pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;

20. penetapan asal usul seorang anak; 21. putusan tentang hal penolakan pemberian

keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; 22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi

sebelum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 50

Penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa dimaksud tidak berarti menghentikan proses peradilan di Pengadilan Agama atas objek yang tidak menjadi sengketa itu.

Pasal 51

Ayat (1)

Page 120: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

107

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 52

Ayat (1) Pemberian keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam dikecualikan dalam hal-hal yang berhubungan dengan perkara yang sedang atau akan diperiksa di Pengadilan.

Ayat (2) Yang dimaksud "oleh Undang-undang" adalah ditetapkan atau diatur dalam undang-undang tersendiri, sedangkan yang dimaksud "berdasarkan undang-undang" adalah ditetapkan atau diatur dalam Peraturan Pemerintah berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 53

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "seksama dan sewajarnya" ialah antara lain bahwa penyelenggaraan peradilan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu yang dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 54

Cukup jelas

Pasal 55

Cukup jelas

Page 121: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

108

Pasal 56

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 57

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan penetapan dan putusan dalam ayat ini adalah penetapan dan putusan Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama, dan Mahkamah Agung.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 58

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 59

Ayat (1)

Alasan penting yang dijadikan dasar oleh Hakim untuk memerintahkan pemeriksaan sidang tertutup harus dicatat dalam Berita Acara Sidang.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 60

Page 122: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

109

Yang dimaksud dengan penetapan adalah keputusan Pengadilan atas perkara permohonan, sedangkan putusan adalah keputusan Pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa.

Pasal 61

Cukup jelas

Pasal 62

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 63

Cukup jelas

Pasal 64

Cukup jelas

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Page 123: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

110

Pasal 67

Cukup jelas

Pasal 68

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 69

Cukup jelas

Pasal 70

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 71

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 72

Cukup jelas

Page 124: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

111

Pasal 73

Ayat (1) Berbeda dari ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2), maka untuk melindungi pihak istri gugatan perceraian diajukan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 74

Cukup jelas

Pasal 75

Cukup jelas

Pasal 76

Ayat (1) Syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami dan istri.

Ayat (2) Hakam ialah orang yang ditetapkan Pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga istri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq.

Pasal 77

Cukup jelas

Pasal 78

Cukup jelas

Pasal 79

Cukup jelas

Pasal 80

Ayat (1)

Page 125: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

112

Cukup jelas Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 81

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 82

Ayat (1) Selama perkara belum diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan pada semua tingkat peradilan.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 83

Cukup jelas

Pasal 84

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 85

Atas kelalaiannya itu, Panitera atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Page 126: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

113

Pasal 86

Ayat (1) Hal tersebut adalah demi tercapainya prinsip bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 87

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 88

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 89

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 90

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 91

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 91

Page 127: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

114

Cukup jelas

Pasal 92

Cukup jelas

Pasal 93

Cukup jelas

Pasal 94

Yang berwenang menentukan bahwa suatu perkara menyangkut kepentingan umum adalah Ketua Pengadilan.

Pasal 95

Cukup jelas

Pasal 96

Cukup jelas

Pasal 97

Berdasarkan catatan Panitera, disusun berita acara persidangan.

Pasal 98

Cukup jelas

Pasal 99

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 100

Cukup jelas

Pasal 101

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Page 128: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

115

dimaksud dengan "dibawa keluar" meliputi segala bentuk dan cara apa pun juga yang memindahkan isi daftar catatan, risalah, agar tidak jatuh ketangan pihak yang tidak berhak.

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 102

Cukup jelas

Pasal 103

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 104

Cukup jelas

Pasal 105

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 106

Cukup jelas

Pasal 107

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 108

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 3316

Page 129: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

116

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989

TENTANG PERADILAN AGAMA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan;

b. bahwa Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;

c. bahwa Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan

Page 130: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

117

menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Mengingat: 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359);

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400);

4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4338).

Dengan Persetujuan Bersama: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Page 131: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

118

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

Pasal 1

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) diubah sebagai berikut : 1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 2

Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

2. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan pasal baru yakni Pasal 3A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3A

Di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan Undang-Undang.”

3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4

(1) Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota.

(2) Pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.”

Page 132: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

119

4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 5

(1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

5. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 11

(1) Hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman.

(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, serta pelaksanaan tugas hakim ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

6. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 12

(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung.

(2) Pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

7. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13

(1) Untuk dapat diangkat sebagai calon hakim pengadilan agama, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia;

Page 133: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

120

b. beragama Islam; c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; e. sarjana syariah dan/atau sarjana hukum yang

menguasai hukum Islam; f. sehat jasmani dan rohani; g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak

tercela; dan h. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai

Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi hakim harus pegawai negeri yang berasal dari calon hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun.

(3) Untuk dapat diangkat menjadi ketua atau wakil ketua pengadilan agama harus berpengalaman paling singkat 10 (sepuluh) tahun sebagai hakim pengadilan agama.

8. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14

(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim pengadilan tinggi agama, seorang hakim harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, dan huruf h;

b. berumur paling rendah 40 (empat puluh) tahun; c. pengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai

ketua, wakil ketua, pengadilan agama, atau 15 (lima belas) tahun sebagai hakim pengadilan agama; dan

Page 134: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

121

d. lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua pengadilan tinggi agama harus berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi agama atau 3 (tiga) tahun bagi hakim pengadilan tinggi agama yang pernah menjabat ketua pengadilan agama.

(3) Untuk dapat diangkat menjadi wakil ketua pengadilan tinggi agama harus berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi agama atau 2 (dua) tahun bagi hakim pengadilan tinggi agama yang pernah menjabat ketua pengadilan agama.”

9. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15

(1) Hakim pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

(2) Ketua dan wakil ketua pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.

10. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16

(1) Sebelum memangku jabatannya, ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan wajib mengucapkan sumpah menurut agama Islam.

(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut "Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa".

Page 135: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

122

(3) Wakil ketua dan hakim pengadilan agama mengucapkan sumpah di hadapan ketua pengadilan agama.

(4) Wakil ketua dan hakim pengadilan tinggi agama serta ketua pengadilan agama mengucapkan sumpah di hadapan ketua pengadilan tinggi agama.

(5) Ketua pengadilan tinggi agama mengucapkan sumpah di hadapan Ketua Mahkamah Agung.

11. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17

(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, hakim tidak boleh merangkap menjadi: a. pelaksana putusan pengadilan; b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan

dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya; atau

c. pengusaha. (2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi advokat. (3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh hakim selain

jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

12. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 18

(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena : a. permintaan sendiri; b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus; c. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi

ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan agama, dan 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan tinggi agama; atau

d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.

Page 136: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

123

(2) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden.”

13. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19

(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan: a. dipidana karena bersalah melakukan tindak

pidana kejahatan; b. melakukan perbuatan tercela; c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam

menjalankan tugas pekerjaannya; d. melanggar sumpah jabatan; atau e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud

dalam. (2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat

dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.

(3) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim, serta tata cara pembelaan diri diatur lebih lanjut oleh Ketua Mahkamah Agung.

14. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20

Seorang hakim yang diberhentikan dari jabatannya dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri.

15. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Page 137: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

124

Pasal 21

(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.

(2) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).

(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 6 (enam) bulan.

16. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25

Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan dapat ditangkap atau ditahan atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung, kecuali dalam hal: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan

yang diancam dengan pidana mati; atau c. disangka telah melakukan kejahatan terhadap

keamanan negara. 17. Ketentuan Pasal 2, 7 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 27

Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945; e. berijazah serendah-rendahnya sarjana syari'ah atau

sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;

Page 138: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

125

f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan agama, atau menjabat wakil panitera pengadilan tinggi agama; dan

g. sehat jasmani dan rohani. 18. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 28

Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan tinggi agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a,

huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf g; b. berijazah serendah-rendahnya sarjana syari'ah atau

sarjana hukum yang menguasai hukum Islam; c. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai

wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai panitera pengadilan agama.

19. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29

Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf

a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g; dan b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai

panitera muda atau 4 (empat) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan agama.

20. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Page 139: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

126

Pasal 30

Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan tinggi agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf

a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf g; b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang

menguasai hukum Islam; dan c. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai

panitera muda pengadilan tinggi agama, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera pengadilan agama, atau menjabat sebagai panitera pengadilan agama.

21. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31

Untuk dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf

a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g; dan b. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai

panitera pengganti pengadilan agama. 22. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 32

Untuk dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan tinggi agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf

a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g; dan b. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai

panitera pengganti pengadilan tinggi agama, 3 (tiga) tahun sebagai panitera muda, 5 (lima) tahun sebagai

Page 140: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

127

panitera pengganti pengadilan agama, atau menjabat sebagai wakil panitera pengadilan agama.

23. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33

Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengganti pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. syarat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 27

huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g; dan

b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun. Sebagai pegawai negeri pada pengadilan agama.

24. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34

Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengganti pengadilan tinggi agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. syarat sebagaimana dimaksud Pasal 27 huruf a, huruf

b, huruf c, huruf e, dan huruf g; dan b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai

panitera pengganti pengadilan agama atau 8 (delapan) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan tinggi agama.

25. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35

(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, panitera tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai Panitera.

(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi advokat.

Page 141: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

128

(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh panitera selain jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.

26. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36

Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Mahkamah Agung.

27. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 37

(1) Sebelum memangku jabatannya, panitera, wakil panitera, panitera. muda, dan panitera pengganti mengucapkan sumpah menurut agama Islam dihadapan ketua pengadilan yang bersangkutan.

(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut : "Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga." "Saya bersumpah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian. "Saya bersumpah bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala undang-undang serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia".

Page 142: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

129

"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak . membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang panitera, wakil panitera, panitera muda, panitera pengganti, yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”."

28. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39

(1) Untuk dapat diangkat menjadi jurusita, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945; e. berijazah paling rendah Sekolah Menengah Umum

atau yang sederajat; f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai

jurusita pengganti; dan g. sehat jasmani dan rohani.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi jurusita pengganti, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. syarat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)

huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g, dan;

b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan agama.”

29. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Page 143: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

130

Pasal 40

(1) Jurusita pengadilan agama diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan yang bersangkutan.

(2) Jurusita pengganti diangkat dan diberhentikan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan.

30. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41

(1) Sebelum memangku jabatannya, jurusita. atau jurusita pengganti wajib mengucapkan sumpah menurut agama Islam di hadapan ketua pengadilan yang bersangkutan.

(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut : "Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga". "Saya bersumpah, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian". "Saya bersumpah bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan segala undang-undang serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia". "Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi

Page 144: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

131

seorang juru sita atau juru sita pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".”

31. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42

(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, jurusita tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia sendiri berkepentingan.

(2) Jurusita tidak boleh merangkap advokat. (3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh jurusita selain

jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.

32. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44

Panitera pengadilan tidak merangkap sekretaris pengadilan. 33. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 45

Untuk dapat diangkat menjadi sekretaris, wakil sekretaris pengadilan agama, dan pengadilan tinggi agama seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945; e. berijazah paling rendah sarjana syari'ah atau sarjana

hukum yang menguasai hukum Islam; f. berpengalaman di bidang administrasi peradilan; dan g. sehat jasmani dan rohani.

34. Ketentuan Pasal 46 dihapus.

Page 145: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

132

35. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47

Sekretaris dan wakil sekretaris pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.

36. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48

(1) Sebelum memangku jabatannya, sekretaris, dan wakil sekretaris mengucapkan sumpah menurut agama Islam di hadapan ketua pengadilan yang bersangkutan.

(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut: "Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk diangkat menjadi sekretaris/wakil sekretaris akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara, dan pemerintah. "Saya bersumpah bahwa saya, akan menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab". "Saya bersumpah bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah, martabat sekretaris/wakil sekretaris serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan". "Saya bersumpah bahwa saya, akan memegang rahasia . sesuatu yang menurut sifatnya atau perintah harus saya rahasiakan". "Saya bersumpah bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara".”

Page 146: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

133

37. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 49

Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a. perkawinan; b. warta; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.

38. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50

(1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

(2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

39. Di antara Pasal 52 dan Pasal 53 disisipkan satu pasal baru yakni Pasal 52A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 52A

Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah.

Page 147: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

134

40. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 90

(1) Biaya perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, meliputi: a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang

diperlukan untuk perkara tersebut; b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan

biaya pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara tersebut;

c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan tindakan- tindakan lain yang diperlukan pengadilan dalam perkara tersebut; dan

d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut.

(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Mahkamah Agung. 41. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 105

(1) Sekretaris pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum pengadilan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja sekretariat diatur oleh Mahkamah Agung.

42. Di antara Pasal 106 dan BAB VII disisipkan satu pasal baru yakni Pasal 106A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 106A

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku peraturan perundang-undangan pelaksana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.

Page 148: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

135

Pasal II

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan Di Jakarta, Pada Tanggal 20 Maret 2006

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 20 Maret 2006 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006

NOMOR 22

Page 149: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

136

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2013

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI

KEPENDUDUKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa dalam rangka mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara nasional, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk dan/atau Warga Negara Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. bahwa dalam rangka peningkatan pelayanan Administrasi Kependudukan sejalan dengan tuntutan pelayanan Administrasi Kependudukan yang profesional, memenuhi standar teknologi informasi, dinamis, tertib, dan tidak diskriminatif dalam pencapaian standar pelayanan minimal menuju pelayanan prima yang menyeluruh untuk mengatasi

Page 150: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

137

permasalahan kependudukan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674);

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG - UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG - UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674) diubah sebagai berikut:

Page 151: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

138

1. Ketentuan angka 14, angka 20, dan angka 24 Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan

penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain.

2. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia.

3. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia.

4. Orang Asing adalah orang bukan Warga Negara Indonesia.

5. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dalam negeri.

6. Penyelenggara adalah Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang dalam urusan Administrasi Kependudukan.

7. Instansi Pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan Administrasi Kependudukan.

8. Dokumen Kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

9. Data Kependudukan adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang terstruktur sebagai hasil dari kegiatan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

Page 152: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

139

10. Pendaftaran Penduduk adalah pencatatan biodata Penduduk, pencatatan atas pelaporan Peristiwa Kependudukan dan pendataan Penduduk rentan Administrasi Kependudukan serta penerbitan Dokumen Kependudukan berupa kartu identitas atau surat keterangan kependudukan.

11. Peristiwa Kependudukan adalah kejadian yang dialami Penduduk yang harus dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan/atau surat keterangan kependudukan lainnya meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap.

12. Nomor Induk Kependudukan, selanjutnya disingkat NIK, adalah nomor identitas Penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia.

13. Kartu Keluarga, selanjutnya disingkat KK, adalah kartu identitas keluarga yang memuat data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga.

14. Kartu Tanda Penduduk Elektronik, selanjutnya disingkat KTP-el, adalah Kartu Tanda Penduduk yang dilengkapi cip yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana.

15. Pencatatan Sipil adalah pencatatan Peristiwa Penting yang dialami oleh seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana.

16. Pejabat Pencatatan Sipil adalah pejabat yang melakukan pencatatan Peristiwa Penting yang dialami seseorang pada Instansi Pelaksana yang pengangkatannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

17. Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.

Page 153: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

140

18. Izin Tinggal Terbatas adalah izin tinggal yang diberikan kepada Orang Asing untuk tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu yang terbatas sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

19. Izin Tinggal Tetap adalah izin tinggal yang diberikan kepada Orang Asing untuk tinggal menetap di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

20. Petugas Registrasi adalah pegawai yang diberi tugas dan tanggung jawab memberikan pelayanan pelaporan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting serta pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan di desa/kelurahan atau nama lainnya.

21. Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, selanjutnya disingkat SIAK, adalah sistem informasi yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan di tingkat Penyelenggara dan Instansi Pelaksana sebagai satu kesatuan.

22. Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.

23. Kantor Urusan Agama Kecamatan, selanjutnya disingkat KUAKec, adalah satuan kerja yang melaksanakan pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk pada tingkat kecamatan bagi Penduduk yang beragama Islam.

24. Unit Pelaksana Teknis Instansi Pelaksana, selanjutnya disebut UPT Instansi Pelaksana, adalah satuan kerja di tingkat kecamatan yang bertanggung jawab kepada Instansi Pelaksana.

2. Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5

Pemerintah melalui Menteri berwenang menyelenggarakan Administrasi Kependudukan secara nasional, meliputi:

Page 154: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

141

a. koordinasi antarinstansi dan antardaerah; b. penetapan sistem, pedoman, dan standar; c. fasilitasi dan sosialisasi; d. pembinaan, pembimbingan, supervisi, pemantaua,

evaluasi dan konsultasi. e. pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan

berskala nasional; f. menyediakan blangko KTP-el bagi kabupaten/kota; g. menyediakan blangko dokumen kependudukan selain

blangko KTP-el melalui Instansi Pelaksana; dan h. pengawasan.

3. Ketentuan huruf d Pasal 6 diubah, sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

Pemerintah provinsi berkewajiban dan bertanggung jawab menyelenggarakan urusan Administrasi Kependudukan, yang dilakukan oleh gubernur dengan kewenangan meliputi: a. koordinasi penyelenggaraan Administrasi

Kependudukan; b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi

pelaksanaan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil;

c. pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;

d. penyajian Data Kependudukan berskala provinsi berasal dari Data Kependudukan yang telah dikonsolidasikan dan dibersihkan oleh Kementerian yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dalam negeri; dan

e. koordinasi pengawasan atas penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.

4. Ketentuan ayat (1) huruf g Pasal 7 diubah, sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:

Page 155: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

142

Pasal 7

(1) Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban dan bertanggung jawab menyelenggarakan urusan Administrasi Kependudukan, yang dilakukan oleh bupati/walikota dengan kewenangan meliputi:

a. koordinasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;

b. pembentukan Instansi Pelaksana yang tugas dan fungsinya di bidang Administrasi Kependudukan;

c. pengaturan teknis penyelenggaraan Administrasi Kependudukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;

d. pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;

e. pelaksanaan kegiatan pelayanan masyarakat di bidang Administrasi Kependudukan;

f. penugasan kepada desa untuk menyelenggarakan sebagian urusan Administrasi Kependudukan berdasarkan asas tugas pembantuan;

g. penyajian Data Kependudukan berskala kabupaten/kota berasal dari Data Kependudukan yang telah dikonsolidasikan dan dibersihkan oleh Kementerian yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dalam negeri; dan

h. koordinasi pengawasan atas penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

5. Ketentuan ayat (1) huruf c dan ayat (5) Pasal 8 diubah, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8

(1) Instansi Pelaksana melaksanakan urusan Administrasi Kependudukan dengan kewajiban yang meliputi:

Page 156: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

143

a. mendaftar Peristiwa Kependudukan dan mencatat Peristiwa Penting;

b. memberikan pelayanan yang sama dan profesional kepada setiap Penduduk atas pelaporan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting;

c. mencetak, menerbitkan, dan mendistribusikan Dokumen Kependudukan;

d. mendokumentasikan hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil;

e. menjamin kerahasiaan dan keamanan data atas Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting; dan

f. melakukan verifikasi dan validasi data dan informasi yang disampaikan oleh Penduduk dalam pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk bagi Penduduk yang beragama Islam pada tingkat kecamatan dilakukan oleh pegawai pencatat pada KUAKec.

(3) Pelayanan Pencatatan Sipil pada tingkat kecamatan dilakukan oleh UPT Instansi Pelaksana dengan kewenangan menerbitkan Akta Pencatatan Sipil.

(4) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk persyaratan dan tata cara Pencatatan Peristiwa Penting bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai UPT Instansi Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan prioritas pembentukannya diatur dengan Peraturan Menteri.

6. Ketentuan ayat (2) Pasal 12 diubah, sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut :

Page 157: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

144

Pasal 12

(1) Petugas Registrasi membantu kepala desa atau lurah dan Instansi Pelaksana dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

(2) Petugas Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh bupati/walikota diutamakan dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pengangkatan dan pemberhentian serta tugas pokok Petugas Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

7. Ketentuan ayat (1) Pasal 27 diubah, sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27

(1) Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran.

(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran.

8. Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 32 diubah dan ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32

(1) Pelaporan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) yang melampaui batas waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal kelahiran, pencatatan dan penerbitan Akta Kelahiran dilaksanakan setelah mendapatkan keputusan Kepala Instansi Pelaksana setempat.

(2) Dihapus. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata

cara pencatatan kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.

Page 158: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

145

9. Ketentuan ayat (1) Pasal 44 diubah, sehingga Pasal 44 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44

(1) Setiap kematian wajib dilaporkan oleh ketua rukun tetangga atau nama lainnya di domisili Penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal kematian.

(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kematian dan menerbitkan Kutipan Akta Kematian.

(3) Pencatatan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan keterangan kematian dari pihak yang berwenang.

(4) Dalam hal terjadi ketidakjelasan keberadaan seseorang karena hilang atau mati tetapi tidak ditemukan jenazahnya, pencatatan oleh Pejabat Pencatatan Sipil baru dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.

(5) Dalam hal terjadi kematian seseorang yang tidak jelas identitasnya, Instansi Pelaksana melakukan pencatatan kematian berdasarkan keterangan dari kepolisian.

10. Ketentuan ayat (2) Pasal 49 diubah, sehingga Pasal 49 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 49

(1) Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat pengakuan anak oleh ayah dan disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan.

(2) Pengakuan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum negara.

Page 159: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

146

(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register akta pengakuan anak dan menerbitkan kutipan akta pengakuan anak.

11. Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 50 diubah dan penjelasan ayat (1) Pasal 50 diubah, sehingga Pasal 50 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50

(1) Setiap pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan.

(2) Pengesahan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama dan hukum negara.

(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register akta pengesahan anak dan menerbitkan kutipan akta pengesahan anak.

12. Ketentuan ayat (2) Pasal 58 ditambahkan 4 (empat) huruf, yakni huruf bb, huruf cc, huruf dd, dan huruf ee, serta ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4), sehingga Pasal 58 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 58

(1) Data Kependudukan terdiri atas data perseorangan dan/atau data agregat Penduduk.

(2) Data perseorangan meliputi: a. nomor KK; b. NIK; c. nama lengkap; d. jenis kelamin; e. tempat lahir; f. tanggal/bulan/tahun lahir; g. golongan darah;

Page 160: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

147

h. agama/kepercayaan; i. status perkawinan; j. status hubungan dalam keluarga; k. cacat fisik dan/atau mental; l. pendidikan terakhir; m. jenis pekerjaan; n. NIK ibu kandung; o. nama ibu kandung; p. NIK ayah; q. nama ayah; r. alamat sebelumnya; s. alamat sekarang; t. kepemilikan akta kelahiran/surat kenal lahir; u. nomor akta kelahiran / nomor surat kenal

lahir; v. kepemilikan akta perkawinan/buku nikah; w. nomor akta perkawinan/buku nikah; x. tanggal perkawinan; y. kepemilikan akta perceraian; z. nomor akta perceraian/surat cerai;

aa. tanggal perceraian; bb. sidik jari; cc. iris mata; dd. tanda tangan; dan ee. elemen data lainnya yang merupakan aib

seseorang. (3) Data agregat meliputi himpunan data perseorangan

yang berupa data kuantitatif dan data kualitatif. (4) Data Kependudukan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang digunakan untuk semua keperluan adalah Data Kependudukan dari Kementerian yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dalam negeri, antara lain untuk pemanfaatan: a. pelayanan publik; b. perencanaan pembangunan; c. alokasi anggaran; d. pembangunan demokrasi; dan

Page 161: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

148

e. penegakan hukum dan pencegahan kriminal. 13. Ketentuan ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)

Pasal 63 diubah dan ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 63 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 63

(1) Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP-el.

(2) Dihapus. (3) KTP-el sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku

secara nasional. (4) Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

wajib melaporkan perpanjangan masa berlaku atau mengganti KTP-el kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal masa berlaku Izin Tinggal Tetap berakhir.

(5) Penduduk yang telah memiliki KTP-el wajib membawanya pada saat bepergian.

(6) Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya memiliki 1 (satu) KTP-el.

14. Ketentuan Pasal 64 diubah, sehingga Pasal 64 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 64

(1) KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el.

(2) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi nomor identitas tunggal untuk semua urusan pelayanan publik.

Page 162: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

149

(3) Pemerintah menyelenggarakan semua pelayanan publik dengan berdasarkan NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Untuk menyelenggarakan semua pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah melakukan integrasi nomor identitas yang telah ada dan digunakan untuk pelayanan publik paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini disahkan.

(5) Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

(6) Dalam KTP-el sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersimpan cip yang memuat rekaman elektronik data perseorangan.

(7) KTP-el untuk: a. Warga Negara Indonesia masa berlakunya

seumur hidup; dan b. Orang Asing masa berlakunya disesuaikan

dengan masa berlaku Izin Tinggal Tetap. (8) Dalam hal terjadi perubahan elemen data, rusak, atau

hilang, Penduduk pemilik KTP-el wajib melaporkan kepada Instansi Pelaksana untuk dilakukan perubahan atau penggantian.

(9) Dalam hal KTP-el rusak atau hilang, Penduduk pemilik KTP-el wajib melapor kepada Instansi Pelaksana melalui camat atau lurah/kepala desa paling lambat 14 (empat belas) hari dan melengkapi surat pernyataan penyebab terjadinya rusak atau hilang.

(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perubahan elemen data penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.

15. Ketentuan ayat (1) Pasal 68 ditambahkan 1 (satu) huruf, yakni huruf f, sehingga Pasal 68 berbunyi sebagai berikut:

Page 163: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

150

Pasal 68

(1) Kutipan Akta Pencatatan Sipil terdiri atas kutipan akta: a. kelahiran; b. kematian; c. perkawinan; d. perceraian; e. pengakuan anak; dan f. pengesahan anak.

(2) Kutipan Akta Pencatatan Sipil memuat: a. jenis Peristiwa Penting; b. NIK dan status kewarganegaraan; c. nama orang yang mengalami Peristiwa

Penting; d. tempat dan tanggal peristiwa; e. tempat dan tanggal dikeluarkannya akta; f. nama dan tanda tangan Pejabat yang

berwenang; dan g. pernyataan kesesuaian kutipan tersebut dengan

data yang terdapat dalam Register Akta Pencatatan Sipil.

16. Ketentuan Pasal 76 diubah, sehingga Pasal 76 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 76

Ketentuan mengenai penerbitan Dokumen Kependudukan bagi petugas khusus yang melakukan tugas keamanan negara diatur dalam Peraturan Menteri.

17. Ketentuan Pasal 77 diubah, sehingga Pasal 77 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 77

Setiap orang dilarang memerintahkan dan/atau memfasilitasi dan/atau melakukan manipulasi Data Kependudukan dan/atau elemen data Penduduk.

Page 164: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

151

18. Ketentuan Pasal 79 diubah, sehingga Pasal 79 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 79

(1) Data Perseorangan dan dokumen kependudukan wajib disimpan dan dilindungi kerahasiaannya oleh Negara.

(2) Menteri sebagai penanggung jawab memberikan hak akses Data Kependudukan kepada petugas provinsi dan petugas Instansi Pelaksana serta pengguna.

(3) Petugas dan pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang menyebarluaskan Data Kependudukan yang tidak sesuai dengan kewenangannya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, ruang lingkup, dan tata cara mengenai pemberian hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

19. Di antara Pasal 79 dan Pasal 80 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 79A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 79A

Pengurusan dan penerbitan Dokumen Kependudukan tidak dipungut biaya.

20. Di antara BAB VIII dan BAB IX disisipkan 1 (satu) BAB, yakni BAB VIIIA sehingga berbunyi sebagai berikut :

BAB VIIIA

PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PEJABAT STRUKTURAL

Pasal 83A

(1) Pejabat struktural pada unit kerja yang menangani Administrasi Kependudukan di provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atas usulan gubernur.

(2) Pejabat struktural pada unit kerja yang menangani Administrasi Kependudukan di kabupaten/kota diangkat

Page 165: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

152

dan diberhentikan oleh Menteri atas usulan bupati/walikota melalui gubernur.

(3) Penilaian kinerja pejabat struktural sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara periodik oleh Menteri.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan prosedur pengangkatan dan pemberhentian pejabat struktural sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), serta penilaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

21. Ketentuan Pasal 84 diubah, sehingga Pasal 84 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 84

(1) Data Pribadi Penduduk yang harus dilindungi memuat: a. Keterangan tentang cacat fisik dan/atau mental; b. sidik jari; c. iris mata; d. tanda tangan; dan e. elemen data lainnya yang merupakan aib

seseorang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai elemen data lainnya

yang merupakan aib seseorang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dalam Peraturan Pemerintah.

22. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 86 diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a), sehingga Pasal 86 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 86

(1) Menteri sebagai penanggung jawab memberikan hak akses Data Pribadi kepada petugas provinsi dan petugas Instansi Pelaksana.

(2) (1a) Petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menyebarluaskan Data Pribadi yang tidak sesuai dengan kewenangannya.

Page 166: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

153

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, ruang lingkup, dan tata cara mengenai pemberian hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

23. Ketentuan Pasal 87 dihapus.

Pasal 87

Dihapus. 24. Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) BAB, yakni

BAB IXA sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB IXA PENDANAAN

Pasal 87A

Pendanaan penyelenggaraan program dan kegiatan Administrasi Kependudukan yang meliputi kegiatan fisik dan non fisik, baik di provinsi maupun kabupaten/kota dianggarkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.

Pasal 87B

Penyediaan pendanaan penyelenggaraan program dan kegiatan Administrasi Kependudukan dianggarkan mulai anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan tahun anggaran 2014.

25. Ketentuan Pasal 94 diubah, sehinggaPasal 94 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 94

Setiap orang yang memerintahkan dan/atau memfasilitasi dan/atau melakukan manipulasi Data Kependudukan dan/atau elemen data Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

Page 167: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

154

26. Di antara Pasal 95 dan Pasal 96 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 95A dan Pasal 95B yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 95A

Setiap orang yang tanpa hak menyebarluaskan Data Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3) dan Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1a) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

Pasal 95B

Setiap pejabat dan petugas pada desa/kelurahan, kecamatan, UPT Instansi Pelaksana dan Instansi Pelaksana yang memerintahkan dan/atau memfasilitasi dan/atau melakukan pungutan biaya kepada Penduduk dalam pengurusan dan penerbitan Dokumen Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79A dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

27. Ketentuan Pasal 96 diubah, sehingga Pasal 96 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 96

Setiap orang atau badan hukum yang tanpa hak mencetak, menerbitkan, dan/atau mendistribusikan blangko Dokumen Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f dan huruf g dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

28. Di antara Pasal 96 dan Pasal 97 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 96A yang berbunyi sebagai berikut:

Page 168: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

155

Pasal 96A

Setiap orang atau badan hukum yang tanpa hak mencetak, menerbitkan, dan/atau mendistribusikan Dokumen Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

29. Ketentuan Pasal 101 diubah, sehingga Pasal 101 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 101

Pada saat Undang-Undang ini berlaku: a. Pemerintah wajib memberikan NIK kepada setiap

Penduduk. b. semua instansi pengguna wajib menjadikan NIK sebagai

dasar penerbitan dokumen paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak instansi pengguna mengakses data kependudukan dari Menteri.

c. KTP-el yang sudah diterbitkan sebelum Undang- Undang ini ditetapkan berlaku seumur hidup.

d. keterangan mengenai alamat, nama, dan nomor induk pegawai pejabat dan penandatanganan oleh pejabat pada KTP-el sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dihapus setelah database kependudukan nasional terwujud.

30. Ketentuan Pasal 102 diubah, sehingga Pasal 102 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 102

Pada saat Undang-Undang ini berlaku: a. semua singkatan “KTP” sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan harus dimaknai “KTP-el”;

b. semua kalimat “wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya peristiwa” sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Page 169: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

156

Kependudukan harus dimaknai ”wajib dilaporkan oleh Penduduk di Instansi Pelaksana tempat Penduduk berdomisili”; dan

c. semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Administrasi Kependudukan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini.

31. Ketentuan Pasal 103 diubah, sehingga Pasal 103 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 103

(1)Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

(2)Semua peraturan pelaksanaan dari Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan harus disesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal II

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 24 Desember 2013

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Page 170: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

157

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 24 Desember 2013

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013

NOMOR 232

Page 171: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

158

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 9 TAHUN 1975

TENTANG

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

TENTANG PERKAWINAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk kelancaran pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019), dipandang perlu untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).

Page 172: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

159

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : a. Undang-undang adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan ; b. Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi mereka

yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya ;

c. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum;

d. Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian.

BAB II PENCATATAN PERKAWINAN

Pasal 2

(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

Page 173: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

160

(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 3

(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.

(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

Pasal 4

Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya.

Pasal 5

Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/ kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu.

Pasal 6

(1) Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.

(2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) Pegawai Pencatat meneliti pula : a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon

mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat

Page 174: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

161

kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;

b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai;

c. Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat(2),(3),(4) dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;

d. Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunya isteri;

e. Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;

f. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;

g. Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;

h. Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.

Pasal 7

(1) Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.

(2) Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud Undang-undang dan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya.

Page 175: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

162

Pasal 8

Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.

Pasal 9

Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat :

a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami mereka terdahulu ;

b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.

BAB III TATACARA PERKAWINAN

Pasal 10

(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.

(2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Page 176: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

163

Pasal 11

(1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.

(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.

(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.

BAB IV AKTA PERKAWINAN

Pasal 12

Akta perkawinan memuat : a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan,

pekerjaan dan tempat kediaman suami-isteri; Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu ;

b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka;

c. Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan.(5) Undang-undang;

d. Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;

e. Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang;

f. Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang;

g. Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB bagi anggota Angkatan Bersenjata;

h. Perjanjian perkawinan apabila ada;

Page 177: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

164

i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam ;

j. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.

Pasal 13

(1) Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada.

(2) Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.

BAB V TATACARA PERCERARIAN

Pasal 14

Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Pasal 15

Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud dalam Pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.

Pasal 16

Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud

Page 178: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

165

dalam Pasal 14 apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Pasal 17

Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.

Pasal 18

Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.

Pasal 19

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok,

pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Page 179: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

166

Pasal 20

(1) Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.

(2) Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.

(3) Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal 21

(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf b, diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.

(2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.

(3) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.

Pasal 22

(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f, diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat.

(2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu.

Page 180: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

167

Pasal 23

Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami-isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 24

(1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.

(2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat : a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh

suami b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin

pemeliharaan dan pendidikan anak ; c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin

terpeliharanya barang- barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.

Pasal 25

Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu.

Pasal 26

(1) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau

Page 181: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

168

kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.

(2) Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita; bagi Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama.

(3) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu.

(4) Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka.

(5) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan.

Pasal 27

(1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat, kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan.

(2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.

(3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.

(4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.

Page 182: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

169

Pasal 28

Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal 29

(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan perceraian.

(2) Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.

(3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan.

Pasal 30

Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.

Pasal 31

(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak.

(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Pasal 32

Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.

Page 183: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

170

Pasal 33

Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 34

Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 35

(1) Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1) yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/yang telah dikukuhkan, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat ditempat perceraian itu terjadi, dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.

(2) Apabila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan daerah hukum Pegawai Pencatat dimana perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan dimaksud ayat (1) yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan tanpa bermeterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat tersebut dicatat pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan, dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta.

(3) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya.

Page 184: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

171

Pasal 36

(1) Panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah perceraian diputuskan menyampaikan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap itu kepada Pengadilan Negeri untuk dikukuhkan.

(2) Pengukuhan dimaksud ayat (1) dilakukan dengan membubuhkan kata-kata "dikukuhkan" dan ditandatangani oleh hakim Pengadilan Negeri dan dibubuhi cap dinas pada putusan tersebut.

(3) Panitera Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah diterima putusan dari Pengadilan Agama, menyampaikan kembali putusan itu kepada Pengadilan Agama.

BAB VI PEMBATALAN PERKAWINAN

Pasal 37

Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan.

Pasal 38

(1) Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri.

(2) Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian.

(3) Hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan Pengadilan, dilakukan sesuai dengan tatacara tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah ini.

Page 185: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

172

BAB VII WAKTU TUNGGU

Pasal 39

(1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut : a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu

tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu

tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang- kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari ;

c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.

(3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

BAB VIII BERISTERI LEBIH DARI SEORANG

Pasal 40

Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.

Pasal 41

Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :

Page 186: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

173

a. ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah :

- bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

- bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

- bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan. b. ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik

persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.

c. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan :

I. surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau

II. surat keterangan pajak penghasilan; atau III. surat keterangan lain yang dapat diterima oleh

Pengadilan; d. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan

berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Pasal 42

(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.

(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran- lampirannya.

Pasal 43

Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan

Page 187: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

174

memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.

Pasal 44

Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.

BAB IX KETENTUAN PIDANA

Pasal 45

(1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka :

a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah);

b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi- tingginya Rp. 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah).

(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) diatas merupakan pelanggaran.

BAB X PENUTUP

Pasal 46

Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, maka ketentuan-ketentuan lainnya yang berhubungan dengan pengaturan tentang perkawinan dan

Page 188: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

175

perceraian khusus bagi anggota Angkatan Bersenjata diatur lebih lanjut oleh Menteri HANKAM/PANGAB.

Pasal 47

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 48

Petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang masih dianggap perlu untuk kelancaran pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, baik bersama-sama maupun dalam bidangnya masing-masing.

Pasal 49

(1) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975;

(2) Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, merupakan pelaksanaan secara efektif dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 April 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 April 1975 MENTERI / SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO,SH.

Page 189: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

176

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975

TENTANG

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

TENTANG PERKAWINAN

UMUM

Untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaan, antara lain yang menyangkut masalah pencatatan perkawinan, tatacara pelaksanaan perkawinan, tatacara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan, pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang dan sebagainya.

Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tentang masalah-masalah tersebut, yang diharapkan akan dapat memperlancar dan mengamankan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah ini maka telah pastilah saat mulainya pelaksanaan secara efektif dari Undang-undang Nomor 1 tersebut, ialah pada tanggal 1 Oktober 1975.

Karena untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini diperlukan langkah-langkah persiapan dan serangkaian petunjuk petunjuk pelaksanaan dari berbagai Departemen / Instansi yang bersangkutan, khususnya dari Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan Departemen Dalam Negeri, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan lancar, maka perlu ditetapkan jangka waktu enam bulan sejak

Page 190: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

177

diundangkannya Peraturan Pemerintah ini untuk mengadakan langkah-langkah persiapan tersebut.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

(1) dan (2) Dengan adanya ketentuan tersebut dalam pasal ini maka pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, dan Kantor Catatan Sipil atau instansi/ pejabat yang membantunya.

(3) Dengan demikian maka hal-hal yang berhubungan dengan tatacara pencatatan perkawinan pada dasarnya dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut dari Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini, sedangkan ketentuan-ketentuan khusus yang menyangkut tatacara pencatatan perkawinan yang diatur dalam berbagai peraturan, merupakan pelengkap bagi Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 3

(1) Cukup jelas. (2) Cukup jelas. (3) Apabila terdapat alasan yang sangat penting untuk segera

melangsungkan perkawinan meskipun belum lampau 10 (sepuluh) hari, misalnya karena salah seorang dari calon mempelai akan segera pergi ke luar negeri untuk melaksanakan tugas negara, maka yang demikian itu dimungkinkan dengan mengajukan permohonan dispensasi.

Pasal 4

Pada prinsipnya kehendak untuk melangsungkan perkawinan harus dilakukan secara lisan oleh salah satu atau kedua calon mempelai, atau oleh orang tuanya atau

Page 191: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

178

wakilnya. Tetapi apabila karena sesuatu alasan yang sah pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan secara lisan itu tidak mungkin dilakukan, maka pemberitahuan dapat dilakukan secara tertulis. Selain itu maka yang dapat mewakili calon mempelai untuk memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinan adalah wali atau orang lain yang ditunjuk berdasarkan kuasa khusus.

Pasal 5

Bagi mereka yang memiliki nama kecil dan nama keluarga, maka dalam pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, dicantumkan baik nama kecil maupun nama keluarga. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki nama keluarga, maka cukup mencantumkan nama kecilnya saja ataupun namanya saja.

Tidak adanya nama kecil atau nama keluarga sekali-kali tidak dapat dijadikan alasan untuk penolakan berlangsungnya perkawinan.

Hal-hal yang harus dimuat dalam pemberitahuan tersebut merupakan ketentuan minimal, sehingga masih dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain, misalnya mengenai wali nikah, bagi mereka yang beragama Islam.

Pasal 6

(1) Cukup jelas. (2) Huruf f :

Surat kematian diberikan oleh Lurah/Kepala Desa yang meliputi wilayah tempat kediaman suatu atau isteri terdahulu. Apabila Lurah/Kepala Desa tidak dapat memberikan keterangan dimaksud berhubung tidak adanya laporan mengenai kematian itu, maka dapat diberikan keterangan lain yang sah, atau keterangan yang diberikan dibawah sumpah oleh yang bersangkutan dihadapan Pegawai Pencatat.

Pasal 7

(1) Cukup jelas.

Page 192: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

179

(2) Yang dimaksud dengan "diberitahukan kepada mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya", adalah bahwa pemberitahuan mengenai adanya halangan perkawinan itu harus ditujukan dan disampaikan kepada salah satu daripada mereka itu yang datang memberitahukan kehendak untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 8

Maksud pengumuman tersebut adalah untuk memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan bagi dilangsungkannya suatu perkawinan apabila yang demikian itu diketahuinya bertentangan dengan hukum agamanya dan kepercayaannya itu yang bersangkutan atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 9

Pengumuman dilakukan :

- di kantor pencatatan perkawinan yang daerah hukumnya meliputi wilayah tempat perkawinan dilangsungkan, dan

- di kantor/kantor-kantor pencatatan perkawinan tempat kediaman masing- masing calon mempelai.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Hal-hal yang harus dimuat dalam Akta Perkawinan yang ditentukan di dalarn pasal ini merupakan ketentuan minimal sehingga masih dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain, misalnya mengenai nomor akta; tanggal, bulan, tahun pendaftaran; jam, tanggal, bulan dan tahun pernikahan dilakukan; nama dan jabatan dari Pegawai Pencatat; tanda tangan para mempelai Pegawai Pencatat, para saksi, dan

Page 193: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

180

bagi yang beragama Islam wali nikah atau yang mewakilinya; bentuk dari mas kawin atau izin Balai Harta Peninggalan bagi mereka yang memerlukannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Huruf f:

Persetujuan yang dimaksud disini dinyatakan secara tertulis atas dasar sukarela, bebas dari tekanan, ancaman atau paksaan.

Huruf g:

Menteri HANKAM/PANGAB mengatur lebih lanjut mengenai Pejabat yang ditunjuknya yang berhak memberikan izin bagi anggota Angkatan Bersenjata.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Pasal ini berikut Pasal-pasal 15, 16, 17, dan 18 mengatur tentang cerai talak.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Sidang Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan berpendapat adanya alasan- alasan untuk perceraian dan setelah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu dalam sidang tersebut.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas.

Page 194: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

181

Pasal 20

(1) Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam.

(2) Cukup jelas. (3) Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

(1) Cukup jelas. (2) Sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu

hendaknya dipertimbangkan oleh hakim apakah benar-benar berpengaruh dan prinsipiil bagi keutuhan kehidupan suami-isteri.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 24

(1) Izin Pengadilan untuk memperkenankan suami-isteri tidak berdiam bersama dalam satu rumah hanya diberikan berdasarkan pertimbangan demi kebaikan suami-isteri itu beserta anak-anaknya.

(2) Bahwa proses perceraian yang sedang terjadi antara suami-isteri tidak dapat dijadikan alasan bagi suami untuk melalaikan tugasnya memberikan nafkah kepada isterinya. Demikian pula tugas kewajiban suami-isteri itu terhadap anak-anaknya. Harus dijaga jangan sampai harta kekayaan baik yang dimiliki bersama-sama oleh suami-isteri, maupun harta kekayaan isteri atau suami menjadi terlantar atau tidak terurus dengan baik, sebab yang demikian itu bukan saja menimbulkan

Page 195: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

182

kerugian kepada suami-isteri itu melainkan mungkin juga mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

(1) Cukup jelas. (2) Cukup jelas. (3) Cukup jelas. (4) Meskipun tergugat atau kuasanya tidak hadir, tetapi

yang demikian itu tidak dengan sendirinya merupakan alasan bagi dikabulkannya gugatan perceraian apabila gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan atau alasan-alasan sebagaimana dimaksud Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

(1) Penetapan waktu yang singkat untuk mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian adalah sebagai usaha mempercepat proses penyelesaian perkara perceraian. Karena makin cepat perkara itu dapat diselesaikan oleh Pengadilan makin baik, bukan saja bagi kedua suami- isteri itu melainkan bagi keluarga, dan apabila mereka mempunyai anak terutama bagi anak-anaknya.

(2) Hendaknya jangka waktu antara penyampaian panggilan dan sidang diatur agar baik pihak-pihak maupun saksi-saksi mempunyai waktu yang cukup untuk mengadakan persiapan guna menghadapi sidang tersebut. Terutama kepada tergugat harus diberi waktu yang cukup untuk memungkinkannya mempelajari secara baik isi gugatan.

Page 196: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

183

(3) Cukup jelas.

Pasal 30

Dalam menghadapi perkara perceraian, pihak yang berperkara, yaitu suami dan isteri, dapat menghadiri sendiri sidang atau didampingi kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan membawa surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan lainnya yang diperlukan.

Pasal 31

(1) Cukup jelas. (2) Usaha untuk mendamaikan suami-isteri yang sedang

dalam pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak terbatas pada sidang pertama sebagaimana lazimnya dalam perkara perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang perkara itu belum diputus oleh hakim. Dalam mendamaikan kedua belah pihak Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Apabila pengadilan telah berusaha untuk mencapai perdamaian, akan tetapi tidak berhasil, maka gugatan perceraian diperiksa dalam sidang tertutup. Pemeriksaan dalam sidang tertutup ini berlaku juga bagi pemeriksaan saksi-saksi. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian, hakim mengabulkan kehendak suami atau isteri untuk melakukan perceraian.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Page 197: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

184

Pasal 36

(1) Pengukuhan oleh Pengadilan Negeri terhadap suatu putusan Pengadilan Agama hanya dilakukan apabila putusan itu telah mempunyai kekuatan hakim yang tetap. Dengan perkataan lain, maka terhadap suatu putusan Pengadilan Agama yang dimintakan banding atau kasasi, masih belum dilakukan pengukuhan. Pengukuhan tersebut bersifat administratip; Pengadilan Negeri tidak melakukan pemeriksaan ulang terhadap putusan Pengadilan Agama dimaksud.

(2) Cukup jelas. (3) Cukup jelas.

Pasal 37

Mengingat, bahwa pembatalan suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik terhadap suami isteri maupun terhadap keluarganya, maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain di luar Pengadilan.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

(1) Cukup jelas. (2) Bagi wanita yang kawin kemudian bercerai, sedangkan

antara wanita itu dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka bagi wanita tersebut tidak ada waktu tunggu; ia dapat melangsungkan perkawinan setiap saat setelah perceraian itu.

(3) Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Huruf c sub iii : Apabila tidak mungkin diperoleh surat keterangan sebagaimana dimaksud pada sub i atau ii,

Page 198: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

185

maka dapat diusahakan suatu surat keterangan lain yakni sepanjang Pengadilan dapat menerimanya.

Pasal 42

Cukup jelas

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Dalam pasal ini diatur tentang sanksi hukuman denda bagi pihak mempelai yang melanggar ketentuan Pasal 3, 10 ayat (3) dan 40 dan sanksi hukuman kurungan atau denda bagi pejabat pencatat perkawinan yang melanggar ketentuan Pasal 6, 7, 8, 9,10 ayat (1), 11, 13, dan 44. Pejabat Yang melanggar ketentuan tersebut dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan yang telah ada, apabila telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Selain hal yang tersebut diatas maka dalam hal suatu ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini telah diatur didalam peraturan perundangan tentang perkawinan yang ada maka diperlakukan Peraturan Pemerintah ini yakni apabila :

a. peraturan perundangan yang telah ada memuat pengaturan yang sama dengan Peraturan Pemerintah;

b. peraturan perundangan yang telah ada belum lengkap pengaturannya;

Page 199: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

186

c. peraturan perundangan yang telah ada bertentangan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Page 200: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

187

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983

TENTANG

IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 telah diatur ketentuan tentang perkawinan yang berlaku bagi segenap warga negara dan penduduk Indonesia;

b. bahwa Pegawai Negeri Sipil wajib memberikan contoh yang baik kepada bawahannya dan menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat, termasuk dalam menyelenggarakan kehidupan berkeluarga;

c. bahwa dalam rangka usaha meningkatkan disiplin Pegawai Negeri Sipil dalam melakukan perkawinan dan perceraian, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah mengenai izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

Page 201: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

188

2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2906);

3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019);

4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041);

5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1975 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3058);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1976 tentang Keanggotaan Pegawai Negeri Sipil Dalam Partai Politik dan Golongan Karya;

9. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3176);

Page 202: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

189

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL.

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan a. Pegawai Negeri Sipil adalah:

1. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974;

2. Yang dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil yaitu (a) Pegawai Bulanan di samping pensiun; (b) Pegawai Bank milik Negara; (c) Pegawai Badan Usaha milik Negara; (d) Pegawai Bank milik Daerah; (e) Pegawai Badan Usaha milik Daerah; (f) Kepala Desa, Perangkat Desa, dan petugas yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di Desa; b. Pejabat adalah :

1. Menteri; 2. Jaksa Agung; 3. Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen; 4. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi

Negara 5. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I; 6. Pimpinan Bank milik Negara; 7. Pimpinan Badan Usaha milik Negara; 8. Pimpinan Bank milik Daerah; 9. Pimpinan Badan Usaha milik Daerah;

Pasal 2

(1) Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan pertama, wajib memberitahukannya secara tertulis kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan itu dilangsungkan.

Page 203: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

190

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi Pegawai Negeri Sipil yang telah menjadi duda/janda yang melangsungkan perkawinan lagi.

Pasal 3

(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

(2) Permintaan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.

(3) Dalam surat permintaan izin perceraian harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin perceraian itu.

Pasal 4

(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.

(3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

(4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diajukan secara tertulis.

(5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat.

Pasal 5

(1) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 diajukan kepada Pejabat melalui surat tertulis.

(2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian atau untuk beristeri lebih dari seorang, maupun untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu

Page 204: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

191

selambat- lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud.

Pasal 6

(1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk melakukan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.

(2) Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri/suami dari Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin itu atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.

(3) Sebelum mengambil keputusan, Pejabat berusaha lebih dahulu merukunkan kembali suami isteri yang bersangkutan dengan cara memanggil mereka secara langsung untuk diberi nasehat.

Pasal 7

(1) Izin untuk bercerai dapat diberikan oleh Pejabat apabila didasarkan pada alasan-alasan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

(2) Izin untuk bercerai karena alasan isteri mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, tidak diberikan oleh Pejabat.

(3) Izin untuk bercerai tidak diberikan oleh Pejabat apabila a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang

dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan; b. tidak ada alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1), c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku; dan/atau

Page 205: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

192

d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat.

Pasal 8

(1) Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya.

(2) Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya, dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya.

(3) Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas isterinya ialah setengah dari gajinya.

(4) Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak berlaku, apabila isteri meminta cerai karena dimadu.

(6) Apabila bekas isteri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi, maka haknya atas bagian gaji dari bekas suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia kawin lagi.

Pasal 9

(1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib memperhatikan dengan seksama alasan alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.

(2) Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.

Page 206: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

193

(3) Sebelum mengambil keputusan, Pejabat memanggil Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasehat.

Pasal 10

(1) Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini.

(2) Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai

isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak

dapat disembuhkan; atau c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

(3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah a. ada persetujuan tertulis dari isteri; b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan

mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan

c. ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

(4) Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila : a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang

dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan; b. tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);

c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Page 207: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

194

d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau

e. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.

Pasal 11

(1) Izin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua/ketiga/ keempat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila : a. ada persetujuan tertulis dari isteri bakal suami; b. bakal suami mempunyai penghasilan yang cukup untuk

membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan

c. ada jaminan tertulis dari bakal suami bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

(2) Izin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua/ketiga/ keempat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), tidak diberikan oleh Pejabat apabila : a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang

dianut oleh Pegawai Negeri Sipil wanita yang bersangkutan atau bakal suaminya;

b. tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);

c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan/atau

d. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.

Pasal 12

Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian atau akan beristeri lebih dari seorang yang berkedudukan sebagai : (1) Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Menteri,

Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur Bank Indonesia, Kepala

Page 208: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

195

Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, wajib meminta izin lebih dahulu dari Presiden.

(2) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II termasuk Walikota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Walikota Administratif, wajib meminta izin lebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri.

(3) Pimpinan Bank milik Negara kecuali Gubernur Bank Indonesia dan pimpinan Badan Usaha milik Negara, wajib meminta izin lebih dahulu dari Menteri yang secara teknis membawahi Bank milik Negara atau Badan Usaha milik Negara yang bersangkutan.

(4) Pimpinan Bank milik Daerah dan pimpinan Badan Usaha milik Daerah, wajib meminta izin lebih dahulu dari Kepala Daerah yang bersangkutan.

Pasal 13

Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, untuk beristeri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), atau untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin tersebut.

Pasal 14

Pejabat dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada Pejabat lain dalam lingkungannya, serendah-rendahnya Pejabat eselon IV atau yang dipersamakan dengan itu, untuk memberikan atau menolak pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, sepanjang mengenai permintaan izin yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil golongan II ke bawah atau yang dipersamakan dengan itu.

Page 209: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

196

Pasal 15

(1) Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan wanita atau pria sebagai suami isteri tanpa ikatan perkawinan yang sah.

(2) Setiap atasan wajib menegur apabila ia mengetahui ada Pegawai Negeri Sipil bawahan dalam lingkungannya yang melakukan hidup bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 16

Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 17

Pegawai Negeri Sipil yang melakukan hidup bersama dengan wanita atau pria sebagai suami isteri, dan setelah ditegur atasannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 masih terus melakukannya, dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 18

Ketentuan Peraturan Pemerintah ini tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050), dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Page 210: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

197

Pasal 19

Setiap Pejabat atau Pejabat lain yang ditunjuk olehnya membuat dan memelihara catatan perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya masing-masing.

Pasal 20

(1) Pejabat atau Pejabat lain yang ditunjuk olehnya menyampaikan salinan sah surat pemberitahuan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tembusan surat pemberian izin atau penolakan pemberiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, kepada : a. Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara,

sepanjang menyangkut Pegawai Negeri Sipil dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka I dan angka 2 huruf (a);

b. Pimpinan masing-masing Bank milik Negara, Badan Usaha milik Negara, Bank milik Daerah, dan Badan Usaha milik Daerah, sepanjang menyangkut Pegawai Negeri Sipil dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 huruf (b), (c), (d), dan (e);

c. Bupati Kepala Daerah Tingkat II, sepanjang menyangkut Pegawai Negeri Sipil dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 huruf (f).

(2) Berdasarkan salinan dan tembusan surat-surat dimaksud dalam ayat (1) Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara, Pimpinan masing-masing Bank milik Negara, Badan Usaha milik Negara, Bank milik Daerah, Badan Usaha milik Daerah, serta Bupati Kepala Daerah Tingkat II, membuat dan memelihara :

a. catatan perkawinan dan perceraian; b. kartu isteri/suami.

Pasal 21

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Page 211: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

198

Pasal 22

Ketentuan-ketentuan teknis pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara.

Pasal 23

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 April 1983

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO

Page 212: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

199

PENJELASAN ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983

TENTANG

IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

UMUM

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menurut azas monogami, yaitu seorang pria hanya mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya mempunyai seorang suami. Namun demikian hanya apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan, seorang pria dimungkinkan beristeri lebih dari seorang apabila ajaran agama yang dianutnya mengizinkan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku serta dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka perceraian sejauh mungkin

dihindarkan dan hanya dapat dilakukan dalam hal-hal yang sangat terpaksa. Perceraian hanya dapat dilakukan apabila ada alasan-alasan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan.

Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri.

Pegawai Negeri Sipil adalah unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat yang harus menjadi teladan yang

Page 213: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

200

baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk dapat melaksanakan kewajiban yang demikian itu, maka kehidupan Pegawai Negeri Sipil harus ditunjang oleh kehidupan berkeluarga yang serasi, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu oleh masalah-masalah dalam keluarganya.

Sehubungan dengan contoh dan keteladanan yang harus diberikan oleh Pegawai Negeri Sipil kepada bawahan dan masyarakat, maka kepada Pegawai Negeri Sipil dibebankan ketentuan disiplin yang tinggi. Untuk melakukan perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Pejabat yang bersangkutan. Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang dan Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari seorang yang bukan Pegawai Negeri Sipil diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu dari Pejabat. Demikian juga Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Pejabat. Sedangkan Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.

Ketentuan berupa keharusan memperoleh izin terlebih dahulu dari Pejabat bagi perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil tersebut tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi lembaga perkawinan dan perceraian itu sendiri.

Keharusan adanya izin terlebih dahulu tersebut mengingat yang bersangkutan mempunyai kedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Dalam Peraturan Pemerintah ini pengertian Pegawai Negeri Sipil meliputi selain Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian termasuk juga Pegawai Bulanan di samping pensiun, Pegawai Bank milik Negara, Pegawai Badan Usaha milik Negara, Pegawai Bank milik Daerah, Pegawai Badan Usaha milik Daerah, dan Kepala Desa, Perangkat Desa,

Page 214: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

201

serta petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Desa.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin untuk

melakukan perceraian atau untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, wajib memberikan pertimbangan secara tertulis kepada Pejabat.

Pertimbangan itu harus memuat hal-hal yang dapat digunakan oleh Pejabat dalam mengambil keputusan, apakah permintaan izin itu mempunyai dasar yang kuat atau tidak. Sebagai bahan dalam membuat pertimbangan, atasan yang bersangkutan dapat meminta keterangan dari suami/isteri yang bersangkutan atau dari pihak lain yang dipandangnya dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.

Pasal 6

Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)

Page 215: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

202

Cukup jelas. Ayat (3) Pada dasarnya, dalam rangka usaha merukunkan kembali

isteri yang bersangkutan, Pejabat harus memanggil mereka secara langsung dan memberikan nesehat secara pribadi. Tetapi apabila tempat kedudukan Pejabat dan tempat suami/isteri yang bersangkutan berjauhan, maka Pejabat dapat memerintahkan Pejabat lain dalam lingkungannya untuk berusaha merukunkan kembali suami/isteri tersebut.

Pasal 7.

Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditetapkan bahwa salah satu alasan dapat terjadinya perceraian ialah salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri. Namun demikian, seorang Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian karena alasan isteri tertimpa musibah tersebut tidaklah memberikan keteladanan yang baik, meskipun ketentuan peraturan perundang-undangan memungkinkannya. Oleh karena itu izin untuk bercerai dengan alasan tersebut tidak diberikan. Alasan tersebut hanyalah dapat merupakan salah satu syarat alternatif yang harus disertai syarat-syarat kumulatif lainnya bagi Pegawai Negeri Sipil untuk minta izin beristeri lebih dari seorang. (Lihat Pasal 10 ayat (2)

Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Page 216: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

203

Pasal 10

Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) huruf a Yang dimaksud dengan tidak dapat menjalankan kewajiban

sebagai isteri, adalah apabila isteri yang bersangkutan menderita penyakit jasmaniah atau rohaniah sedemikian rupa, sehingga ia tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai isteri baik secara biologis maupun lainnya yang menurut keterangan dokter sukar disembuhkan lagi.

huruf b Yang dimaksud dengan cacad badan atau penyakit yang

tidak dapat disembuhkan, adalah apabila isteri yang bersangkutan menderita penyakit badan yang menyeluruh yang menurut keterangan dokter sukar disembuhkan.

huruf c Yang dimaksud dengan tidak dapat melahirkan keturunan,

adalah apabila isteri yang bersangkutan menurut keterangan dokter tidak mungkin melahirkan keturunan atau sesudah pernikahan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun tidak menghasilkan keturunan.

Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Page 217: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

204

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR : 3250

Page 218: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

205

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1990

TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAHAN

NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka beristri lebih dari seorang dan perceraian sejauh mungkin harus dihindarkan;

b. bahwa Pegawai Negeri Sipil adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk menyelenggarakan kehidupan berkeluarga;

c. untuk dapat melaksanakan kewajiban yang demikian itu, maka kehidupan Pegawai Negeri Sipil harus ditunjang oleh kehidupan yang serasi, sejahtera, dan bahagia, sehingga setiap Pegawai

Page 219: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

206

Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu oleh masalah-masalah dalam keluarga;

d. bahwa dalam rangka usaha untuk lebih meningkatkan dan menegakkan disiplin Pegawai Negeri Sipil serta memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan dipandang perlu mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019);

3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1975 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3058);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3176);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3250);

Page 220: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

207

M E M U T U S K A N :

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Pasal 1

Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yaitu :

Mengubah ketentuan Pasal 3 sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 3

(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat;

(2) Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai penggugat atau bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud alam ayat (1) harus mengajukan permintaan secara tertulis;

(3) Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan, harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya.”

Mengubah ketentuan Pasal 4 sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 4

(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.

Page 221: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

208

(3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.

(4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang.”

Mengubah ketentuan ayat (2) Pasal 5 sehingga berbunyi sebagai berikut : “(2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari

Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian dan atau untuk beristri lebih dari seorang wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambatlambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud”.

Mengubah ketentuan Pasal 8 sebagai berikut : a. Diantara ayat (3) dan ayat (4) lama disisipkan satu

ayat yang dijadikan ayat (4) baru, yang berbunyi sebagai berikut : “(4) Pembagian gaji kepada bekas istri tidak

diberikan apabila alasan perceraian disebabkan karena istri berzinah, dan atau melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap suami, dan atau istri menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau istri telah meninggalkan suami selama dua tahun berturut-turut tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.”

b. Ketentuan ayat (4) lama selanjutnya dijadikan ketentuan ayat (5) baru.

c. Mengubah ketentuan ayat (5) lama dan selanjutnya dijadikan ayat (6) baru sehingga berbunyi sebagai berikut: “(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak berlaku, apabila istri minta cerai karena dimadu, dan atau suami berzinah, dan atau suami melakukan

Page 222: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

209

kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap istri, dan atau suami menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau suami telah meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa izin istri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.”

d. Ketentuan ayat (6) lama selanjutnya dijadikan ketentuan ayat (7) baru.

Mengubah ketentuan ayat (1) Pasal 9 sehingga berbunyi sebagai berikut : “(1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristri

lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib memperhatikan denagan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam urat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.”

Ketentuan Pasal 11 dihapuskan seluruhnya.

Ketentuan Pasal 12 lama dijadikan ketentuan Pasal 11 baru, dengan mengubah ketentuan ayat (3) sehingga berbunyi sebagai berikut.”: “(3) Pimpinan Bank Milik Negara dan pimpinan Badan

Usaha Milik Negara, wajib meminta izin lebih dahulu dari Presiden.”

Mengubah ketentuan Pasal 13 lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 12 baru,sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 12 Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan untuk beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia menerima permintaan izin tersebut.”

Page 223: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

210

Ketentuan Pasal 14 lama selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 13 baru.

Mengubah ketentuan Pasal 15 lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 14 baru, sehingga berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 14

“Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan wanita yang bukanisterinya atau dengan pria yang bukan suaminya sebagai suami tanpa ikatan perkawinan yang sah.“

Mengubah ketentuan Pasal 16 Lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 15 baru, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 15 (1) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih

kewajiban/ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14, tidak melaporkan perceraiannya dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian, dan tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat dalam jangka waktu selambatlambatnya satu tahun erhitung sejak perkawinan tersebut dilangsungkan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil;

(2) Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2), dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil;

(3) Atasan yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat 2,dan Pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 12, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun l980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil”

Page 224: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

211

Mengubah ketentuan Pasal 17 lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 16 baru, sehingga berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 16 Pegawai Negeri Sipil yang menolak melaksanakan ketentuan pembagian gaji sesuai dengan ketentuan Pasal 8, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil “

Sesudah Pasal 16 baru ditambah satu ketentuan baru, yang dijadikan Pasal 17 baru yang berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 17

(1) Tata cara penjatuhan hukuman disiplin berdasarkan ketentuan Pasal 15 dan atau Pasal 16 Peraturan Pemerintah ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil;

(2) Hukuman disiplin berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil terhadap pelanggaran Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah ini, berlaku bagi mereka yang dipersamakan sebagai Pegawai Negeri Sipil menurut ketentuan pasal 1 huruf a angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983.”

Pasal 2

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Page 225: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

212

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 September 1990

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

S O E H A R T O

Diundang di Jakarta pada tanggal 6 September 1990 MENTERI/SEKETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

M O E R D I O N O

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1990 NOMOR 61

Page 226: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

213

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 45 TAHUN 1990

TENTANG PERUBAHAN ATAS

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG

IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

UMUM

Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara, abdi negara. dan abdi masyarakat diharapkan dapat menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pegawai Negeri Sipil harus menaati kewajiban tertentu dalam hal hendak melangsungkan perkawinan, beristri lebih dari satu, dan atau bermaksud melakukan perceraian.

Sebagai unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya diharapkan tidak terganggu oleh urusan kehidupan rumah tangga/keluarganya.

Dalam pelaksanaannya, beberapa ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tidak jelas. Pegawai Negeri Sipil tertentu yang seharusnya terkena ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dapat menghindar, baik secara sengaja maupun tidak, terhadap ketentuan tersebut.

Disamping itu ada kalanya pula Pejabat tidak dapat mengambil tindakan yang tegas karena ketidakjelasan rumusan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 itu sendiri, sehingga dapat memberi peluang untuk melakukan penafsiran

Page 227: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

214

sendiri-sendiri. Oleh karena itu dipandang perlu melakukan penyempurnaan dengan menambah dan atau mengubah beberapa ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tersebut.

Beberapa perubahan yang dimaksud adalah mengenai kejelasan tentang keharusan mengajukan permintaan izin dalam hal akan ada perceraian, larangan bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, pembagian gaji sebagai akibat terjadinya perceraian yang diharapkan dapat lebih menjamin keadilan bagi kedua belah pihak.

Perubahan lainnya yang bersifat mendasar dan lebih memberi kejelasan terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 ialah mengenai pengertian hidup bersama yang tidak diatur sebelumnya. Dalam Peraturan Pemerintah ini disamping diberikan batasan yang lebih jelas, juga ditegaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil dilarang melakukan hidup bersama. Pegawai Negeri Sipil yang melakukan hidup bersama dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980.

Mengingat faktor penyebab pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 berbeda-beda maka sanksi terhadap pelanggaran yang semula berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil, dalam Peraturan Pemerintah ini diubah menjadi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, hal mana dimaksudkan untuk lebih memberikan rasa keadilan.

Mereka yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil, apabila melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah ini, dikenakan pula hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Page 228: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

215

PASAL DEMI PASAL

Pasal 3

Ayat (1) Ketentuan ini berlaku bagi setiap Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian, yaitu bagi Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan gugatan perceraian (penggugat) wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat, sedangkan bagi Pegawai Negeri sipil yang menerima gugatan perceraian (tergugat) wajib memperoleh surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat sebelum melakukan perceraian.

Ayat (2) Permintaan izin perceraian diajukan oleh penggugat kepada Pejabat secara tertulis melalui saluran hierarki sedangkan tergugat wajib memberitahukan adanya gugatan perceraian dari suami/istri secara tertulis melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya enam hari kerja setelah menerima gugatan perceraian.

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa selama berkedudukan sebagai istri kedua/ketiga/keempat dilarang menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Page 229: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

216

Setiap atasan yang menerima permintaan izin untuk melakukan perceraian atau untuk beritri lebih dari seorang wajib memberikan perimbangan secara tertulis kepada Pejabat. Pertimbangan itu harus memuat hal-hal yang dapat digunakan oleh Pejabat dalam mengambil keputusan, apakah permintaan izin itu mempunyai dasar yang kuat atau tidak. Sebagai bahan dalam membuat pertimbangan, atasan yang bersangkutan dapat meminta keterangan dari suami/istri yang bersangkutan atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan yang meyakinkan.

Pasal 8

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 11

Ayat (1)

Page 230: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

217

Cukup jelas Ayat (2)

Cukup jelas Ayat (3)

Cukup jelas Ayat (4)

Cukup jelas Ayat (12)

Cukup jelas

Pasal 14

Yang dimaksud dengan hidup bersama adalah melakukan hubungan sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah yang seolah-olah merupakan suatu rumah tangga.

Pasal 15

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (16) Cukup jelas

Pasal 17

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 2

Cukup Jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3424

Page 231: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

218

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997

TENTANG JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA

BUKAN PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan mengenai penetapan jenis dan penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak ke Kas Negara.

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang

Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3687).

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK.

Page 232: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

219

Pasal 1

Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan, yang jenisnya sebagaimana dimaksud dalam lampiran I dan II Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 2

Seluruh jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam lampiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib disetor langsung ke Kas Negara.

Pasal 3

Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 2, tata cara penggunaan jenis penerimaan dari kegiatan pendidikan dan pelayanan kesehatan diatur oleh Menteri Keuangan.

Pasal 4

Pengelolaan penerimaan dalam rangka kegiatan reboisasi, dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat ini.

Pasal 5

Tatacara pengelolaan jenis-jenis penerimaan dari kegiatan tertentu lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.

Pasal 6

Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dilakukan oleh Departemen dan Lembaga Non Departemen yang belum tercakup dalam lampiran Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 akan diusulkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari lampiran Peraturan Pemerintah ini dan pencantumannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.

Page 233: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

220

Pasal 7

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur oleh Menteri Keuangan.

Pasal 8

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan Di Jakarta, Pada Tanggal 7 Juli 1997 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO

Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 7 Juli 1997

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

MOERDIONO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997

NOMOR 57

Page 234: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

221

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH

NOMOR 19 TAHUN 2015

TENTANG

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN

AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk melakukan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama, perlu mengatur kembali jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20

Page 235: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

222

Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3694) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 85,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3760).

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN AGAMA.

Pasal 1

(1) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama meliputi kegiatan yang berasal dari: a. Perguruan Tinggi Agama Negeri; dan

Page 236: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

223

b. Kantor Urusan Agama Kecamatan. (2) Jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 2

(1) Terhadap jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Perguruan Tinggi Agama Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a untuk mahasiswa Diploma dan Sarjana mulai Tahun Angkatan 2013 berlaku Uang Kuliah Tunggal dengan memperhatikan Biaya Kuliah Tunggal dan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Agama Negeri.

(2) Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Peraturan Menteri Agama mengenai penetapan Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal.

Pasal 3

(1) Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Perguruan Tinggi Agama Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dikelompokkan dalam:

a. kategori untuk jenis Seleksi Ujian Masuk, Sumbangan Pembinaan Pendidikan, Praktikum Diploma dan Sarjana, Biaya Pendidikan lainnya; dan

b. kelas untuk jenis Jasa penggunaan guest house yang terkait dengan layanan pendidikan untuk mahasiswa dan dosen.

(2) Ketentuan mengenai kriteria dan pengelompokan kategori/kelas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Agama.

Pasal 4

(1) Terhadap Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Perguruan Tinggi Agama Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a untuk mahasiswa Diploma dan Sarjana sebelum Tahun

Page 237: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

224

Angkatan 2013 berupa sumbangan pembinaan pendidikan dan praktikum sebagaimana tercantum dalam lampiran dapat dikenakan tarif: a. Rp0,00 (Nol Rupiah) untuk mahasiswa yang tidak

mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana; dan

b. Paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mahasiswa yang berprestasi.

(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengenaan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Agama setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan.

Pasal 5

(1) Setiap warga Negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama Kecamatan atau di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b tidak dikenakan biaya pencatatan nikah atau rujuk.

(2) Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebagai penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini.

(3) Terhadap warga Negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah).

(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara untuk dapat dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah) kepada warga Negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Agama setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

Page 238: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

225

Pasal 6

Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara.

Pasal 7

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4455), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5545), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 8

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 April 2015

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 April 2015

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015

NOMOR 78

Page 239: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

226

PENJELASAN ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2015

TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN

PAJAK YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN AGAMA

I. UMUM

Untuk mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak guna menunjang pembangunan nasional, Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Kementerian Agama sebagai salah satu sumber penerimaan negara, perlu dikelola dan dimanfaatkan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

Kementerian Agama telah memiliki jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama, namun guna melakukan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Kementerian Agama, perlu mengatur kembali jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama dengan Peraturan Pemerintah ini.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 Cukup jelas.

Pasal 2 Cukup jelas.

Pasal 3

Page 240: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

227

Cukup jelas. Pasal 4

Cukup jelas. Pasal 5

Cukup jelas. Pasal 6

Cukup jelas. Pasal 7

Cukup jelas. Pasal 8

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5689

Page 241: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

228

LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN AGAMA

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA

BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN AGAMA

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF

I. PERGURUAN TINGGI AGAMA NEGERI

A. Seleksi Ujian Masuk

1. Diploma dan Sarjana untuk Jalur Mandiri

a. Kategori I per calon mahasiswa Rp 250.000,00

b. Kategori II per calon mahasiswa Rp 150.000,00

c. Kategori III per calon mahasiswa Rp 100.000,00

d. Kategori IV per calon mahasiswa Rp 50.000,00

2. Magister

a. Kategori I per calon mahasiswa Rp 500.000,00

b. Kategori II per calon mahasiswa Rp 375.000,00

c. Kategori III per calon mahasiswa Rp 250.000,00

d. Kategori IV per calon mahasiswa Rp 125.000,00

3. Doktor

a. Kategori I per calon mahasiswa Rp 1.000.000,00

b. Kategori II per calon mahasiswa Rp 750.000,00

c. Kategori III per calon mahasiswa Rp 500.000,00

d. Kategori IV per calon mahasiswa Rp 250.000,00

B. Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP)

1. Diploma dan Sarjana sebelum Tahun Angkatan 2013

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF

a. Kategori I per mahasiswa per

semester Rp 1.200.000,00

b. Kategori II per mahasiswa per

semester Rp 900.000,00

Page 242: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

229

c. Kategori III per mahasiswa per

semester Rp 600.000,00

d. Kategori IV per mahasiswa per

semester Rp 400.000,00

2. Pasca Sarjana

a. Kategori I per mahasiswa per

semester Rp 5.000.000,00

b. Kategori II per mahasiswa per

semester Rp 3.750.000,00

c. Kategori III per mahasiswa per

semester Rp 2.500.000,00

d. Kategori IV per mahasiswa per

semester Rp 1.250.000,00

3. Doktor

a. Kategori I per mahasiswa per

semester Rp 8.000.000,00

b. Kategori II per mahasiswa per

semester Rp 6.000.000,00

c. Kategori III per mahasiswa per

semester Rp 4.000.000,00

d. Kategori IV per mahasiswa per

semester Rp 2.000.000,00

C. Praktikum Diploma dan Sarjana sebelum Tahun Angkatan 2013

a. Kategori I per mahasiswa per

semester Rp 2.500.000,00

b. Kategori II per mahasiswa per

semester Rp 1.875.000,00

c. Kategori III per mahasiswa per

semester Rp 1.250.000,00

d. Kategori IV per mahasiswa per

semester Rp 625.000,00

D. Biaya Pendidikan lainnya

1. Matrikulasi Magister, Doktor

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF

a. Kategori I per mahasiswa per

semester Rp 1.750.000,00

b. Kategori II per mahasiswa per

semester Rp 1.300.000,00

Page 243: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

230

c. Kategori III per mahasiswa per

semester Rp 875.000,00

d. Kategori IV per mahasiswa per

semester Rp 300.000,00

2. Ma’had

a. Kategori I per mahasiswa per

semester Rp 750.000,00

b. Kategori II per mahasiswa per

semester Rp 625.000,00

c. Kategori III per mahasiswa per

semester Rp 500.000,00

d. Kategori IV per mahasiswa per

semester Rp 375.000,00

3. Keanggotaan Perpustakaan

a. Kategori I per orang Rp 200.000,00

b. Kategori II per orang Rp 150.000,00

c. Kategori III per orang Rp 100.000,00

d. Kategori IV per orang Rp 50.000,00

4. Daftar Ulang Perpanjangan Studi

a. Sarjana sebelum Tahun Angkatan 2013

1) Kategori I per mahasiswa per

semester Rp 500.000,00

2) Kategori II per mahasiswa per

semester Rp 400.000,00

3) Kategori III per mahasiswa per

semester Rp 300.000,00

4) Kategori IV per mahasiswa per

semester Rp 200.000,00

b. Magister

1) Kategori I per mahasiswa per

semester Rp 1.250.000,00

2) Kategori II per mahasiswa per

semester Rp 950.000,00

3) Kategori III per mahasiswa per

semester Rp 625.000,00

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF

4) Kategori IV per mahasiswa per

semester Rp 300.000,00

c. Doktor

Page 244: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

231

1) Kategori I per mahasiswa per

semester Rp 3.000.000,00

2) Kategori II per mahasiswa per

semester Rp 2.500.000,00

3) Kategori III per mahasiswa per

semester Rp 2.000.000,00

4) Kategori IV per mahasiswa per

semester Rp 1.500.000,00

5. Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) Diploma dan Sarjana sebelum Tahun Angkatan 2013

a. Kategori I per mahasiswa Rp 750.000,00

b. Kategori II per mahasiswa Rp 562.000,00

c. Kategori III per mahasiswa Rp 375.000,00

d. Kategori IV per mahasiswa Rp 200.000,00

6. Kuliah Kerja Nyata (KKN)/Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM) Diploma dan Sarjana sebelum Tahun Angkatan 2013

a. Kategori I per mahasiswa Rp 800.000,00

b. Kategori II per mahasiswa Rp 700.000,00

c. Kategori III per mahasiswa Rp 500.000,00

d. Kategori IV per mahasiswa Rp 450.000,00

7. Ujian Akhir

a. Skripsi dan Sarjana sebelum Tahun Angkatan 2013

1) Kategori I per mahasiswa Rp 1.000.000,00

2) Kategori II per mahasiswa Rp 750.000,00

3) Kategori III per mahasiswa Rp 500.000,00

4) Kategori IV per mahasiswa Rp 250.000,00

b. Tesis Magister

1) Kategori I per mahasiswa Rp 3.800.000,00

2) Kategori II per mahasiswa Rp 2.850.000,00

3) Kategori III per mahasiswa Rp 1.900.000,00

4) Kategori IV per mahasiswa Rp 1.000.000,00

c. Desertasi Doktor Terbuka dan Tertutup

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF

1) Kategori I per mahasiswa Rp 16.000.000,00

2) Kategori II per mahasiswa Rp 12.000.000,00

3) Kategori III per mahasiswa Rp 8.000.000,00

4) Kategori IV per mahasiswa Rp 5.000.000,00

Page 245: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

232

8. Wisuda

a. Diploma dan Sarjana sebelum Tahun Angkatan 2013

1) Kategori I per mahasiswa Rp 600.000,00

2) Kategori II per mahasiswa Rp 500.000,00

3) Kategori III per mahasiswa Rp 400.000,00

4) Kategori IV per mahasiswa Rp 300.000,00

b. Magister

1) Kategori I per mahasiswa Rp 1.000.000,00

2) Kategori II per mahasiswa Rp 750.000,00

3) Kategori III per mahasiswa Rp 500.000,00

4) Kategori IV per mahasiswa Rp 300.000,00

c. Doktor

1) Kategori I per mahasiswa Rp 1.000.000,00

2) Kategori II per mahasiswa Rp 900.000,00

3) Kategori III per mahasiswa Rp 800.000,00

4) Kategori IV per mahasiswa Rp 700.000,00

9. Layanan Bahasa Asing

a. Kategori I per mahasiswa per

kegiatan Rp 400.000,00

b. Kategori II per mahasiswa per

kegiatan Rp 300.000,00

c. Kategori III per mahasiswa per

kegiatan Rp 200.000,00

d. Kategori IV per mahasiswa per

kegiatan Rp 100.000,00

10. Layanan Kesehatan Mahasiswa

a. Kategori I per mahasiswa Rp 200.000,00

b. Kategori II per mahasiswa Rp 150.000,00

c. Kategori III per mahasiswa Rp 100.000,00

d. Kategori IV per mahasiswa Rp 50.000,00

11. Pembinaan dan Pengembangan Mahasiswa Magister

a. Kategori I per mahasiswa per

angkatan Rp 2.000.000,00

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF

b. Kategori II per mahasiswa per

angkatan Rp 1.500.000,00

c. Kategori III per mahasiswa per

angkatan Rp 1.000.000,00

Page 246: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

233

d. Kategori IV per mahasiswa per

angkatan Rp 500.000,00

E. Jasa penggunaan guest house (sesuai tugas dan fungsi)

a. Kelas I per hari per orang Rp 250.000,00

b. Kelas II per hari per orang Rp 150.000,00

c. Kelas III per hari per orang Rp 750.000,00

d. Kelas IV per hari per orang Rp 50.000,00

II. KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN per peristiwa nikah

atau rujuk Rp 600.000,00

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JOKO WIDODO

Page 247: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

234

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 1991

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa Alim Ulama Indonesia dalam lokakarya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 Pebruari 1998 telah menerima baik tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan;

b. bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut;

c. bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a perlu disebarluaskan.

Mengingat : Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.

MENGINSTRUKSIKAN Kepada : Menteri Agama

Untuk

PERTAMA :

Menyebarkan luaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri

dari:

Page 248: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

235

a. Buku I tentang Hukum Perkasinan

b. Buku II tentang Hukum Kewarisan

c. Buku III tentang Hukum Perwakafan

Sebagai telah diterima dalam Loka Karya di Jakarta

pada tanggal 2 sampai dengan 5 Pebruari 1988, untuk

digunakan oleh instansi Pemerintah dan oleh

masyarakat yang memerlukannya.

KEDUA :

Melaksanakan Instruksi ini dengan sebaik-baiknya dengan

penuh tanggungjawab.

Dikeluarkan di Jakarta Pada tanggal 10 Juni 1991 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI

Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan

BAMBANG KESOWO, SH, LL M.

Page 249: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

236

KOMPILASI HUKUM ISLAM BUKU I

HUKUM PERKAWINAN

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Yang dimaksud dengan :

a. Peminangan ialah kegiatan kegiatan upaya ke arah

terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria

dengan seorang wanita,

b. Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri

Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak

dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah;

c. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali

dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau

wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi;

d. Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada

calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau

jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam;

e. Taklik-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon

mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam

Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada

suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang

akan datang;

f. Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah

harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama

suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung

selanjutnya sisebut harta bersama, tanpa mempersoalkan

terdaftar atas nama siapapun;

g. Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan

mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa

atau mampu berdiri sendiri;

Page 250: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

237

h. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada

seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum

sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang

tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih

hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum;

i. Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan

isteri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan

atas persetujuan suaminya;

j. Mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang

dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.

BAB II DASAR-DASAR PERKAWINAN

Pasal 2

Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu

akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah.

Pasal 3

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Pasal 4

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 5

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam

setiap perkawinan harus dicatat.

(2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan

oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur

dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-

undang No. 32 Tahun 1954.

Page 251: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

238

Pasal 6

(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap

perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah

pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai

Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.

Pasal 7

(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah

yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta

Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan

Agama.

(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama

terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian

perceraian;

b. Hilangnya Akta Nikah;

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu

syarat perkawinan;

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya

Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak

mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-

Undang No.1 Thaun 1974;

(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah

suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak

yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Pasal 8

Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan

dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik

yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau

putusan taklik talak.

Page 252: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

239

Pasal 9

(1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan

karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya

kepada Pengadilan Agama.

(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dalam ayat (1) tidak

dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke

Pengadilan Agama.

Pasal 10

Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku

Pendaftaran Rujuk yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat

Nikah.

BAB III PEMINANGAN

Pasal 11

Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang

berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula

dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.

Pasal 12

(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang

masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa

iddahya.

(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa

iddah raj’iah, haram dan dilarang untuk dipinang.

(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang

dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum

putus atau belaum ada penolakan dan pihak wanita.

(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan

tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-

diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan

meninggalkan wanita yang dipinang.

Page 253: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

240

Pasal 13

(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak

bebas memutuskan hubungan peminangan.

(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan

dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agar

dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan

dan saling menghargai.

BAB IV RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN

Bagian Kesatu Rukun

Pasal 14

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :

a. Calon Suami;

b. Calon Isteri;

c. Wali nikah;

d. Dua orang saksi dan;

e. Ijab dan Kabul.

Bagian Kedua Calon Mempelai

Pasal 15

(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,

perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang

telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7

Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami

sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri

sekurang- kurangnya berumur 16 tahun

(2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun

harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam

pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.

Pasal 16

(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.

Page 254: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

241

(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa

pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau

isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak

ada penolakan yang tegas.

Pasal 17

(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat

Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon

mempelai di hadapan dua saksi nikah.

(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang

calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat

dilangsungkan.

(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna

rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau

isyarat yang dapat dimengerti.

Pasal 18

Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan

pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana

diatur dalam bab VI.

Bagian Ketiga Wali Nikah

Pasal 19

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus

dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk

menikahkannya

Pasal 20

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki

yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan

baligh.

(2) Wali nikah terdiri dari :

a. Wali nasab;

b. Wali hakim.

Page 255: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

242

Pasal 21

(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan

kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok

yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan

calon mempelai wanita.

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus

keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah

dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki

kandung atau saudara laki-laki seayah,

dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-

laki kandung ayah, saudara seayah dan

keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek,

saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-

laki mereka.

(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa

orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang

paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat

kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan

aka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat

kandung dari kerabat yang seayah.

(4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya

sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama

dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak

menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua

dan memenuhi syarat-syarat wali.

Pasal 22

Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak

memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali

nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur,

Page 256: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

243

maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain

menurut derajat berikutnya.

Pasal 23

(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila

wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya

atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal

atau enggan.

(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru

dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan

pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Bagian Keempat

Saksi Nikah

Pasal 24

(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan

akad nikah.

(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi

Pasal 25

Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah

seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu

ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.

Pasal 26

Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad

nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan

ditempat akad nikah dilangsungkan.

Bagian Kelima Akad Nikah

Pasal 27

Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas

beruntun dan tidak berselang waktu.

Page 257: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

244

Pasal 28

Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah

yang bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain.

Pasal 29

(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria

secara pribadi.

(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan

kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria

memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa

penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk

mempelai pria.

(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon

mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh

dilangsungkan.

BAB V

MAHAR

Pasal 30

Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon

mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati

oleh kedua belah pihak.

Pasal 31

Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan

kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Pasal 32

Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan

sejak itu menjadi hak pribadinya.

Pasal 33

(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.

(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan

mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau

Page 258: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

245

sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya

menjadi hutang calon mempelai pria.

Pasal 34

(1) Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun

dalam perkawinan.

(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu

akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan.

Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang,

tidak mengurangi sahnya perkawinan.

Pasal 35

(1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib

membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam

akad nikah.

(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi

besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib

membayar mahar mitsil.

Pasal 36

Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat

diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya

atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang

yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.

Pasal 37

Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar

yang ditetapkan, penyelasaian diajukan ke Pengadilan Agama.

Pasal 38

(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau

kurang, tetapi calon mempelai tetap bersedia menerimanya

tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas.

(2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena

cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang

Page 259: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

246

tidak cacat. Selama Penggantinya belum diserahkan,

mahar dianggap masih belum dibayar.

BAB VI LARANGAN KAWIN

Pasal 39

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria

dengan seorang wanita disebabkan :

(1) Karena pertalian nasab :

a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang

menurunkannya atau keturunannya;

b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;

c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya

(2) Karena pertalian kerabat semenda :

a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau

bekas isterinya;

b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang

menurunkannya;

c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas

isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan

dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;

d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.

(3) Karena pertalian sesusuan :

a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut

garis lurus ke atas;

b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya

menurut garis lurus ke bawah;

c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan

kemenakan sesusuan ke bawah;

d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi

sesusuan ke atas;

e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan

keturunannya.

Page 260: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

247

Pasal 40

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria

denagn seorang wanita karena keadaan tertentu:

a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu

perkawinan dengan pria lain;

b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah

dengan pria lain;

c. seorang wanita yang tidak beragama islam.

Pasal 41

(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang

wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau

sesusuan dengan isterinya;

a. saudara kandung, seayah atau seibu atau

keturunannya;

b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.

(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun

isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa

iddah.

Pasal 42

Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan

seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4

(empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali

perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah

seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang

yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.

Pasal 43

(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :

a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak

tiga kali;

b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.

(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau

bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian

Page 261: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

248

perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis

masa iddahnya.

Pasal 44

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan

dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

BAB VII PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 45

Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian

perkawinan dalam bentuk :

1. Taklik talak dan

2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum

Islam.

Pasal 46

(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum

Islam.

(2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-

betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh.

Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus

mengajukan persoalannya ke pengadilan Agama.

(3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib

diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik

talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

Pasal 47

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua

calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang

disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan

harta dalam perkawinan.

(2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi

percampuran harta pribadi dan pemisahan harta

Page 262: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

249

pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak

bertentangan dengan Islam.

(3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh

juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-

masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi

dan harta bersama atau harta syarikat.

Pasal 48

(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah

harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut

tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk

memenuhi kebutuhan rumah tangga.

(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi

ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi

pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan

kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah

tangga.

Pasal 49

(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua

harta, baik yang dibawa masing- masing ke dalam

perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama

perkawinan.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1)

dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi

yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan,

sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang

diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.

Pasal 50

(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada

para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai

tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai

Pencatat Nikah

(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas

persetujuan bersama suami isteri dan wajib

Page 263: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

250

mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah

tempat perkawinan dilangsungkan

(3) Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat

kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan

baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan

suami isteri dalam suatu surat kabar setempat.

(4) Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak

dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan

dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak

ketiga.

(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak

boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat

sebelumnya dengan pihak ketiga.

Pasal 51

Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberihak kepada

isteri untuk memeinta pembatalan nikah atau mengajukannya.

Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

Pasal 52

Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua,

ketiga dan keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat

kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri

yang akan dinikahinya itu.

BAB VIII

KAWIN HAMIL

Pasal 53

(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan

dengan pria yang menghamilinya.

(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat

(1) dapat dialngsungkan tanpa menunggu lebih dahulu

kelahiran anaknya.

Page 264: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

251

(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita

hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak

yang dikandung lahir.

Pasal 54

(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak

boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh

bertindak sebagai wali nikah.

(2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali

nikahnya masih berada dalam ihram perkawinannya tidak

sah.

BAB IX BERISTERI LEBIH SATU ORANG

Pasal 55

(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas

hanya sampai empat isteri.

(2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus

mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak

mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.

Pasal 56

(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus

mendapat izin dari Pengadilan Agama.

(2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1)

dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur

dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.

(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau

keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak

mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang

suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :

Page 265: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

252

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;

b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak

dapat disembuhkan;

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58

(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2)

maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama, harus

pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu:

a. adanya pesetujuan isteri;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin

keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri

atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau

denganlisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis,

persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri

pada sidang Pengadilan Agama.

(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak

diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-

isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak

dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak

ada kabar dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-

kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu

mendapat penilaian Hakim.

Pasal 59

Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan

permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang

berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55

ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tenyang

pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang

bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap

penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau

kasasi.

Page 266: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

253

BAB X PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal 60

(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari

suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan

Peraturan Perundang-undangan.

(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami

atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan

tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan

perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan

Perundang-undangan.

Pasal 61

Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah

perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama

atau ikhtilaafu al dien.

Pasal 62

(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga

dalam garis keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah,

saudar, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon

mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan

(2) Ayah kandung yang tidak penah melaksankan fungsinya

sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya unuk

mencegah perkawinan yang akna dilakukan oleh wali nikah

yang lain.

Pasal 63

Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri

yang masih terikat dalam perkawinan dalam perkawinan

dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan

melangsungkan perkawinan.

Page 267: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

254

Pasal 64

Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan

berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat

perkawinan tidak terpenuhi.

Pasal 65

(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan

Agama dalam daerah Hukum di mana perkawinan akan

dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada

Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai

permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat

(1) oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Pasal 66

Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan

belum dicabut.

Pasal 67

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik

kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan Agama

oleh yang mencegah atau dengan putusan Pengadilan Agama.

Pasal 68

Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan

atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui

adanya pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8,

pasal 9, pasal 10 atau pasal 12 Undang-undang No.1 Tahun

1974 meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Pasal 69

(1) Apabila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap

perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-

undang No.1 Tahun 1974 maka ia akan menolak

melangsungkan perkawinan.

(2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak

yang ingin melangsungkan perkawinan oleh Pegawai

Page 268: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

255

Pencatat Nikah akan diberikan suatu keterangan tertulis

dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan

penolakannya.

(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berjak mengajukan

permohonan kepada Pengadilan Agama dalam wilayah

mana Pegawai Pencatat Nikah yang mengadakan

penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan,

dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut

diatas.

(4) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan

acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apabila

akan menguatkan penolakan tersebut ataukah

memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan.

(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan

yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para

pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan

tentang maksud mereka.

BAB XI

BATALNYA PERKAWINAN Perkawinan batal apabila :

Pasal 70

Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak

melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang

isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah

talak raj`i;

a. seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili`annya;

b. seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi

tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut

pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi

ba`da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa

iddahnya;

c. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai

hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat

Page 269: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

256

tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8

Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu :

1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus

kebawah atau keatas.

2. berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang

yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara

orang tua dan antara seorang dengan saudara

neneknya.

3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu

dan ibu atau ayah tiri.

4. berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak

sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.

d. isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau

kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya.

Pasal 71

Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan

Agama;

b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui

masih menjadi isteri pria lain yang mafqud.

c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari

suami lain;

d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan

sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang-

undang No.1. tahun 1974;

e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan

oleh wali yang tidak berhak;

f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Pasal 72

(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan

dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan

pembatalan perkawinan apabila pada waktu

Page 270: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

257

berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah

sangka mengenai diri suami atau isteri

(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka

itu menyadari keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam)

bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri,

dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan

permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 73

Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan

adalah :

a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke

bawah dari suami atau isteri;

b. Suami atau isteri;

c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan

perkawinan menurut Undang-undang.

d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya

cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum

Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana

tersebut dalam pasal 67.

Pasal 74

(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan

kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal

suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan.

(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan

pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap

dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Pasal 75

Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut

terhadap :

a. perkawinan yang batal karena salah satu suami atau

isteri murtad;

b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

Page 271: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

258

c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak

dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan pembatalan

perkawinan kekutan hukum yang tetap.

Pasal 76

Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan

hukum antara anak dengan orang tuanya.

BAB XII

HAK DAN KEWJIBAN SUAMI ISTERI Bagian Kesatu Umum

Pasal 77

(1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk

menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah

dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan

masyarakat

(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat

menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang

satu kepada yang lain;

(3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan

memelihara anak-anak mereka, baik mengenai

pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan

pendidikan agamanya;

(4) suami isteri wajib memelihara kehormatannya;

(5) jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-

masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan

Agama

Pasal 78

(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

(2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan

oleh suami isteri bersama.

Page 272: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

259

Bagian Kedua Kedudukan Suami Isteri

Pasal 79

(1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

(2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan

pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(3) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan

hukum.

Bagian Ketiga Kewajiban Suami

Pasal 80

(1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah

tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah

tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri

bersama.

(2) Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala

sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan

kemampuannya

(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada

isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan

yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan

bangsa.

(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :

a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;

b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya

pengobatan bagi isteri dan anak;

c. biaya pendididkan bagi anak.

(5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada

ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada

tamkin sempurna dari isterinya.

(6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban

terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf

a dan b.

Page 273: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

260

(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur

apabila isteri nusyuz.

Bagian Keempat Tempat Kediaman

Pasal 81

(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan

anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.

(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk

isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah

talak atau iddah wafat.

(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan

anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka

merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga

berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan,

sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah

tangga.

(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan

kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan

lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat

perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang

lainnya.

Bagian Kelima Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dari Seorang

Pasal 82

(1) Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang

berkewajiban memberikan tempat tiggal dan biaya hidup

kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut

besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-

masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.

(2) Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat

menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.

Page 274: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

261

Bagian Keenam Kewajiban Isteri

Pasal 83

(1) Kewajibn utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan

batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum

islam.

(2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah

tangga sehari-hari dengan sebaik- baiknya.

Pasal 84

(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau

melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana

dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan

yang sah

(2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap

isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak

berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.

(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku

kembali sesudah isteri nusyuz

(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri

harus didasarkan atas bukti yang sah.

BAB XIII

HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

Pasal 85

Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup

kemungkinan adanya harta milik masing- masing suami atau

isteri.

Pasal 86

(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami

dan harta isteri karena perkawinan.

(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh

olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak

suami dan dikuasi penuh olehnya.

Page 275: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

262

Pasal 87

(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta

yang diperoleh masing-masing sebagai hasiah atau

warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing,

sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam

perjanjian perkawinan.

(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk

melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing

berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.

Pasal 88

Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang

harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan

kepada Pengadilan Agama.

Pasal 89

Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri

maupun harta sendiri.

Pasal 90

Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun

harta suami yang ada padanya.

Pasal 91

(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di

atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.

(2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak

bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.

(3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak

maupun kewajiban.

(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan

oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Pasal 92

Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak

diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.

Page 276: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

263

Pasal 93

1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri

dibebankan pada hartanya masing-masing.

2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk

kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.

3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada

harta suami.

4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan

kepada harta isteri

Pasal 94

1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang

mempunyai isteri lebih dari seorang,masing- masing

terpisah dan berdiri sendiri.

2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami

yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana

tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad

perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.

Pasal 95

1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf

c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136

untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa

adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu

melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan

harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.

2. Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta

bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan

Agama.

Pasal 96

1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama

menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama,.

2. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri

yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan

Page 277: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

264

sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya

secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

Pasal 97

Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua

dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam

perjanjian perkawinan.

BAB XIV

PEMELIHARAAN ANAK

Pasal 98

(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa

adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat

fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan

perkawinan.

(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala

perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat

terdekat yang mampu menunaikan kewajiban trsebut

apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

Pasal 99

Anak yang sah adalah : a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang

sah;

b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan

dilahirkan oleh isteri tersebut.

Pasal 100

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Pasal 101

Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang

isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan

pengingkarannya dengan li`an.

Page 278: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

265

Pasal 102

(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir

dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan

Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya

atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah

suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan

berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan

perkaranya kepada Pengadilan Agama.

(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu

tersebut tidak dapat diterima

Pasal 103

(1) Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan

akta kelahiran atau alat bukti lainnya.

(2) Bila akta kelahiram alat buktilainnya tersebut dalam ayat

(1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat

mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak

setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan

bukti bukti yang sah.

(3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat

(2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam

daerah hukum Pengadilan Agama trwebut mengeluarkan

akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Pasal 104

(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggung jawabkan

kepada ayahnya. Apabila ayahya stelah meninggal dunia,

maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang

berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau

walinya.

(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan

dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun

dengan persetujuan ayah dan ibunya.

Page 279: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

266

Pasal 105

Dalam hal terjadinya perceraian : a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum

berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan

kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya

sebagai pemegang hak pemeliharaanya;

c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Pasal 106

(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan

harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah

pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau

menggadaikannya kecuali karena keperluan yang

mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu

menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat

dihindarkan lagi.

(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang

ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban

tersebut pada ayat (1).

BAB XV

PERWALIAN

Pasal 107

(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai

umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan

perkawinan.

(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta

kekayaanya.

(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan

tugas perwaliannya, maka pengadilan Agama dapat

menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai

wali atas permohonan kerabat tersebut.

Page 280: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

267

(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut

atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil,

jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.

Pasal 108

Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan

hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak

atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.

Pasal 109

Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang

atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain

atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk,

penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalah

gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan

orang yang berada di bawah perwaliannya.

Pasal 110

(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang

berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan

berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan

dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang

berada di bawah perwaliannya.

(2) Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan

harta orang yang berada dibawah perwaliannya, kecuali

bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang

berada di bawah perwaliannya yang tidak dapat

dihindarkan.

(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada

di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang

timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.

(4) Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam

pasal 51 ayat (4) Undang-undang No.1 tahun 1974,

pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus

Page 281: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

268

dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun

satu kali.

Pasal 111

(1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang

berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan

telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah.

(2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama

berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang

yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang

diserahkan kepadanya.

Pasal 112

Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah

perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya

menurut kepatutan atau bil ma`ruf kalau wali fakir.

BAB XVI PUTUSNYA PERKAWINAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 113

Perkawinan dapat putus karena :

a. Kematian,

b. Perceraian, dan

c. atas putusan Pengadilan.

Pasal 114

Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian

dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan

perceraian.

Page 282: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

269

Pasal 115

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan

Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak

berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Pasal 116

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,

pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar

disembuhkan;

b. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua)

tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan

yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima)

tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan

berlangsung;

d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan

berat yang membahayakan pihak lain;

e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit

dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya

sebagai suami atau isteri;

f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi

perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan

akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

g. Suami melanggar taklik talak;

h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan

terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Pasal 117

Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama

yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan

cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.

Page 283: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

270

Pasal 118

Talak Raj`i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami

berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah.

Pasal 119

(1) Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk

tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya

meskipun dalam iddah.

(2) Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1)

adalah :

a. talak yang terjadi qabla al dukhul;

b. talak dengan tebusan atahu khuluk;

c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

Pasal 120

Talak Ba`in Kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga

kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat

dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan

setelah bekas isteri, menikah degan orang lain dan kemudian

terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.

Pasal 121

Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang

dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri

dalam waktu suci tersebut.

Pasal 122

Talak bid`i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang

dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri

dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci

tersebut.

Pasal 123

Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu

dinyatakan di depan sidang pengadilan.

Page 284: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

271

Li`an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri

untuk selama-lamnya.

Pasal 126

Li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan

atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir

dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau

pengingkaran tersebut.

Pasal 127

Tata cara li`an diatur sebagai berikut :

a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina

dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah

kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila

tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”

b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut

dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan

atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah

kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya

:tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”;

c. tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan

satu kesatuan yang tak terpisahkan;

d. apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara

huruf b, maka dianggap tidak terjadi li`an.

Pasal 128

Li`an hanya sah apabila dilakukann di hadapan sidang

Pengadilan Agama.

Bagian Kedua

Tata Cara Perceraian

Pasal 129

Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya

mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada

Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri

Page 285: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

272

disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang

untuk keperluan itu.

Pasal 130

Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak

permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat

diminta upaya hukum banding dan kasasi

Pasal 131

1. Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari

permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu

selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon

dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala

sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan

talak.

2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati

kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk

menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin

lagi hidup rukun dalam rumah tangga, pengadilan Agama

menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk

mengikrarkan talak.

3. Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap

suami mengikrarkan talaknya disepan sidang Pengadilan

Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.

4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6

(enam) bulah terhitung sejak putusan Pengadilan Agama

tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum

yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur

dan ikatan perkawinan yang tetap utuh.

5. Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama

membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap

empat yang merupakan bukti perceraian baik bekas suami

dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan

kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat

tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan

Page 286: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

273

ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri dan

helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama

Pasal 132

1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada

Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi

tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan

tempat kediaman bersama tanpa izin suami.

2. Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri,

Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan

tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik

Indonesia setempat.

Pasal 133

1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal

116 huruf b, dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun

terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan

meninggalkan rumah.

2. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau

menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah

kediaman besama.

Pasal 134

Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116

huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi

Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan

pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta

orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut.

Pasal 135

Gugatan perceraraian karena alsan suami mendapat hukuman

penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai

dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan

putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup

menyapaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan

perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan

itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Page 287: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

274

Pasal 136

(1) Selama berlangsungya gugatan perceraian atas

permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan

pertimbangan bahaya yang mingkin ditimbulkan,

Penghadilan Agama dapat mengizinkan suami isteri

tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.

(2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas

permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama

dapat :

a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh

suami;

b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin

terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak

bersama suami isteri atau barang-barang yang

menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi

hak isteri

Pasal 137

Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal

sebelum adanya putusan pengadilan Agama mengenai

gugatan perceraian itu.

Pasal 138

(1) Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat

tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan

dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan

pengumuman di Pengadilan Agama dan

mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar

atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan

Agama.

(2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar

atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2

(dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara

pengumuman pertama dan kedua

Page 288: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

275

(3) Tenggang waktu antara penggilan terakhir sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dengan persidangan ditetapkan

sejurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.

(4) Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir,

gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila

gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.

Pasal 140

Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 132 ayat (2), panggilan disampaikan

melalui perwakilan Republik Indonesia setempat

Pasal 141

(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah

diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian

(2) Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu

diperhatian tenyang waktu pemanggilan dan diterimanya

panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau

kuasa meeka.

(3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut

dalam pasal 116 huruf b, sidang pemeriksaan gugatan

perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan

terhitung sejak dimasukkanya gugatan perceraian pada

Kepaniteraan Pengadilan Agama.

Pasal 142

1. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami

isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.

2. Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk

kepentingan pemeriksaan Hakim dapat memerintahkan

yang bersangkutan untuk hadir sendiri.

Pasal 143

1. Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha

mendamaikan kedua belah pihak.

Page 289: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

276

2. Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan

dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Pasal 144

Apabila terjadi pedamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan

perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang

ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat

pada waktu dicapainya perdamaian.

Pasal 145

Apabila tidak dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan

perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 146

(1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam

sidang terbuka.

(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya

terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang

telah mempuntai kekuatan hukum yang tetap

Pasal 147

(1) Setelah perkara perceraian itu diputuskan, maka panitera

Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat putusan

tersebut kepada suami isteri atau kuasanya dengan

menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang

bersangkutan.

(2) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan

satu helai salinan putusan Pengadilan Agama yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai

kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat

tinggal isteri untuk diadakan pencatatan.

(3) Panitera Pengadilan Agama mengirimkan surat Keterangan

kepada masing-masing suami isteri atau kuasanya bahwa

putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum

yang tetap dan merupakan bukti perceraian bagi suami dan

bekas istri.

Page 290: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

277

(4) Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang

yang tesedia pada Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan

bahwa mereka telah bercerai.

(5) Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian,

tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta

tanda tangan panitera.

(6) Apabila Pegawai Pencatat Nikah dengan Pegawai Pencatat

Nikah tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu

helai salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana

dimaksud dalam ayat(2) dikirimkan pula kepada Pegawai

Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat perkawinan

dilangsungka dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di

luar Negeri Salinan itu disampaikan kepada Pegawai

Pencatat Nikah Jakarta.

(7) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat

(1) menjadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan,

apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi

bekas suami atau isteri atau keduanya.

Pasal 148

(1) Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian

dengan jalan khuluk, menyanpaikan permohonannya

kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat

tinggalnya disertai alasan atau lasan-alasannya.

(2) Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan

memanggil isteri dan suaminya untuk didengar

keterangannya masing-masing.

(3) Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama

memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan

memberikan nasehat-nasehatnya.

(4) Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl

atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan

penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan

talaknya didepan sidang Pengadilan Agama. Terhadap

Page 291: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

278

penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan

kasasi.

(5) Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang

diatur dalam pasal 131 ayat (5)

(6) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya

tebusanatau iwadl Pengadilan Agama memeriksa dan

memutuskan sebagai perkara biasa.

BAB XVII

AKIBAT PURUSNYA PERKAWINAN Bagian Kesatu Akibat Talak

Pasal 149

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami

wajib:

a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya,

baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut

qobla al dukhul;

b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri

selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak

ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;

c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan

separoh apabila qobla al dukhul;

d. memeberikan biaya hadhahan untuk anak-anaknya yang

belum mencapai umur 21 tahun

Pasal 150

Bekas suami berhak melakukan ruju` kepada bekas istrinya

yang masih dalam iddah.

Pasal 151

Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak

menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.

Page 292: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

279

Pasal 152

Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas

suaminya kecuali ia nusyuz.

Bagian Kedua Waktu Tunggu

Pasal 153

(1) Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku

waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan

perkawinannya putus bukan karena kematian suami.

(2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai

berikut :

a. Apabila perkawinan putus karena kematian,

walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan

130 (seratus tiga puluh) hari:

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu

tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali

suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan

puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90

(sembilan puluh) hari;

c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang

janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu

ditetapkan sampai melahirkan;

d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang

janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu

ditetapkan sampai melahirkan.

(3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan

karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan

bekas suaminya qobla al dukhul.

(4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang

waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan

Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap,

Page 293: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

280

sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian,

tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

(5) Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada

waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka

iddahnya tiga kali waktu haid.

(6) Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui,

maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam

waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya

menjadi tiga kali waktu suci.

Pasal 154

Apabila isteri bertalak raj`i kemudian dalam waktu iddah

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5)

dan ayat (6)pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka

iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung

saat matinya bekas suaminya.

Pasal 155

Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena

khuluk, fasakh dan li`an berlaku iddah talak.

Bagian Ketiga

Akibat Perceraian

Pasal 156

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan

hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal

dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;

2. ayah;

3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;

4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping

dari ayah.

Page 294: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

281

b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk

mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;

c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat

menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun

biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas

permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan

Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat

lain yang mempunyai hak hadhanah pula;

d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung

jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya

sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri

(21 tahun)

e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan

nafkah anak, Pengadilan Agama membverikan putusannya

berdasarkan huruf (a),(b), dan (d);

f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan

ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan

dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Pasal 157

Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana

tersebut dalam pasal 96, 97

Bagian Keempat

Mut`ah

Pasal 158

Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat :

a. belum ditetapkan mahar bagi isteri ba`da al dukhul;

b. perceraian itu atas kehendak suami.

Pasal 159

Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat

tersebut pada pasal 158

Page 295: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

282

Pasal 160

Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan

kemampuan suami.

Bagian Kelima Akibat Khuluk

Pasal 161

Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan

tak dapat dirujuk

Bagian Keenam Akibat Li an

Pasal 162

Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk

selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada

ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi

nafkah.

BAB XVIII RUJUK

Bagian Kesatu Umum

Pasal 163

(1) Seorang suami dapat merujuk isterinya yang dalam masa

iddah.

(2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :

a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak

yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan

qobla al dukhul;

b. putusnya perkawinan berdasarkan putusan

pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain

zina dan khuluk.

Page 296: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

283

Pasal 164

Seorang wanita dalam iddah talak raj`i berhak mengajukan

keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan

Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi

Pasal 165

Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat

dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.

Pasal 166

Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku

Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak

sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan

duplikatbya kepada instansi yang mengeluarkannya semula.

Bagian Kedua

Tata Cara Rujuk

Pasal 167

(1) Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-

sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu

Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal

suami isteri dengan membawa penetapan tentang

terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan

(2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan

Pegawaii Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai

Pencatat Nikah.

(3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat

Nikah memeriksa dan meyelidiki apakah suami yang akan

merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut

hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan

masih dalam iddah talak raj`i, apakah perempuan yang

akan dirujuk itu adalah isterinya.

Page 297: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

284

(4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-

masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi

menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.

(5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah

atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati

suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka

yang berhubungan dengan rujuk.

Pasal 168

(1) Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai

Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan

ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan

beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai

Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat

keterengan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku

Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.

(2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu

Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15

(lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.

(3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka

Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan

dari daftar lembar kedua, dengan berita acara tentang

sebab-sebab hilangnya.

Pasal 169

(1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan

tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada

Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang

bersangkutan, dan kepada suami dan isteri masing-masing

diberikan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh

yang ditetapkan oleh Menteri Agama.

(2) Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan

Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke Pengadilan

Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk

mengurus dan mengambil Kutipan akta Nikah masing-

Page 298: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

285

masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh

Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia ppada

Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan

benar telah rujuk.

(3) Catatan yang dimaksud ayat (dua) berisi tempat terjadinya

rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan

Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera.

BAB XIX MASA BERKABUNG

Pasal 170

(1) Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib

melaksanakan masa berkabung selama masa iddah

sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga

timbulnya fitnah.

(2) Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa

berkabung menurut kepatutan.

BUKU II

HUKUM KEWARISAN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 171

Yang dimaksud dengan:

a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang

pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)

pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli

waris dan berapa bagiannya masing-masing.

b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau

yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan

Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan

harta peninggalan.

Page 299: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

286

c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia

mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan

dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang

karena hukum untuk menjadi ahli waris.

d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh

pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya

maupun hak-haknya.

e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari

harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris

selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan

jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk

kerabat.

f. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris

kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah

pewaris meninggal dunia.

g. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan

tanpa imbalan dari seseorang kepada aorang lain yang

masih hidup untuk dimiliki.

h. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk

hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya

beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada

orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.

i. Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan.

BAB II

AHLI WARIS

Pasal 172

Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari

Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian,

sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum

dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.

Page 300: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

287

Pasal 173

Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan

hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,

dihukum karena:

a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh

atau menganiaya berat para pewaris;

b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan

pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu

kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun

penjara atau hukuman yang lebih berat.

Pasal 174

(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah:

- golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki,

saudara laki-laki, paman dan kakek.

- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak

perempuan, saudara perempuan dari nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau

janda.

(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat

warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Pasal 175

(1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:

a. mengurus dan menyelesaikan sampai

pemakaman jenazah selesai;

b. menyelesaikan baik hutang-hutang berupa

pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban

pewaris maupun penagih piutang;

c. menyelesaikan wasiat pewaris;

d. membagi harta warisan di antara wahli waris yang

berhak.

Page 301: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

288

(2) Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau

kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai

harta peninggalannya.

BAB III

BESARNYA BAHAGIAN

Pasal 176

Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh

bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama

mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anask perempuan

bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-

laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.

Pasal 177

Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak

meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam

bagian.1

Pasal 178

(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua

saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang

saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.

(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil

oleh janda atau duda bila bersama- sama dengan ayah.

Pasal 179

Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak

meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak,

maka duda mendapat seperempat bagaian.

Pasal 180

1 Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 2 Tahun 1994, maksud pasal tersebut ialah : ayah mendapat sepertiga bagfian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian

Page 302: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

289

Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak

meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka

janda mendapat seperdelapan bagian.

Pasal 181

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah,

maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-

masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua

orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat

sepertiga bagian.

Pasal 182

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah,

sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau

seayah, maka ua mendapat separoh bagian. Bila saudara

perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara

perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka

mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.

Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan

saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara

laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.

Pasal 183

Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam

pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari

bagiannya.

Pasal 184

Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu

melaksanakan hak dan kewajibannyua, maka baginya diangkat

wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga.

Page 303: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

290

Pasal 185

(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris

maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya,

kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.

(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian

ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Pasal 186

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari

pihak ibunya.

Pasal 187

(1) bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan,

maka oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli

waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana

pembagian harta warisan dengan tugas:

a. mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik

berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang

kemudian disahkan oleh para ahli waris yang

bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang;

b. menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan

pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1) sub a, b, dan

c.

(2) Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan

harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang

berhak.

Pasal 188

Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan

dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain

untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara

ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang

bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan

Agama untuk dilakukan pembagian warisan.

Page 304: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

291

Pasal 189

(1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang

luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan

kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk

kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.

(2) Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak

dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang

bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan

tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris

yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris

yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Pasal 190

Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-

masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari

rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan

bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya.

Pasal 191

Bila pewaris tidak meninggalkanahli waris sama sekali atau ahli

warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut

atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya

kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan

kesejahteraan umum.

BAB IV

AUL DAN RAD

Pasal 192

Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli

warisnya Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang

lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut

dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah

itu harta warisnya dibagi secara aul menutu angka pembilang.

Page 305: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

292

Pasal 193

Apabila dalam pembarian harta warisan di antara para ahli

waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih

kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris

asabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan

secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing- masing ahli waris

sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka.

BAB V

WASIAT

Pasal 194

(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21

tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat

mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain

atau lembaga.

(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari

pewasiat.

(3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud

dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan

sesudah pewasiat meninggal dunia.

Pasal 195

(1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi,

atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan

Notaris.

(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya

sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli

waris menyetujui.

(3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua

ahli waris.

(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini

dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau

tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris.

Page 306: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

293

Pasal 196

Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus

disebutkan dengan tegas dan jelas siapa- siapa atau lembaga

apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang

diwasiatkan.

Pasal 197

(1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat

berdasarkan putusan Hakim yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap dihukum karena:

a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba

membunuh atau menganiaya berat kepada pewasiat;

b. dipersalahkan secara memfitrnah telah mengajukan

pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan sesuatu

kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara

atau hukuman yang lebih berat;

c. dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman

mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut

atau merubah wasiat untuk kepentingan calon

penerima wasiat;

b. dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau

memalsukan surat wasiat dan pewasiat.

(2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk

menerima wasiat itu:

a. tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai

meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat;

b. mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak

untuk menerimanya;

c. mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah

menyatakan menerima atau menolak sampai ia

meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.

(3) Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.

Page 307: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

294

Pasal 198

Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun

pemanfaatan suatu benda haris diberikan jangka waktu

tertentu.

Pasal 199

(1) Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon

penerima wasiat belum menyatakan persetujuan atau

sesudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik

kembali.

(2) Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan

disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan

disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte

Notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.

(3) Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat

dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua

orang saksi atau berdasarkan akte Notaris.

(4) Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka hanya

dapat dicabut berdasartkan akte Notaris.

Pasal 200

Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena

suatu sebab yang sah mengalami penyusutan atau kerusakan

yang terjadi sebelum pewasiat meninggal dunia, maka

penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa.

Pasal 201

Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan

ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya

dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya.

Pasal 202

Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan

sedangkan harta wasiat tidak mencukupi, maka ahli waris dapat

menentukan kegiatan mana yang didahulukan pelaksanaannya.

Page 308: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

295

Pasal 203

(1) Apabila surat wasiat dalam keadaan tertup, maka

penyimpanannya di tempat Notaris yang membuatnya atau

di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada

hubungannya.

(2) Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan Pasal

199 maka surat wasiat yang telah dicabut itu diserahkan

kembali kepada pewasiat.

Pasal 204

(1) Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang

tertutup dan disimpan pada Notaris, dibuka olehnya di

hadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan

dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat itu.

(2) Jikas surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada

Notaris maka penyimpan harus menyerahkan kepada

Notaris setempat atau Kantor Urusan Agama setempat dan

selanjutnya Notaris atau Kantor Urusan Agama tersebut

membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal

ini.

(3) Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui

maka oleh Notaris atau Kantor Urusan Agama diserahkan

kepada penerima wasiat guna penyelesaian selanjutnya.

Pasal 205

Dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka yang

termasuk dalam golongan tentara dan berada dalam daerah

pertewmpuran atau yang berda di suatu tempat yang ada

dalam kepungan musuh, dibolehkan membuat surat wasiat di

hadapan seorang komandan atasannya dengan dihadiri oleh

dua orang saksi.

Pasal 206

Mereka yang berada dalam perjalanan melalui laut dibolehkan

membuat surat wasiat di hadapan nakhoda atau mualim kapal,

dan jika pejabat tersebut tidak ada, maka dibuat di hadapan

Page 309: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

296

seorang yang menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang

saksi.

Pasal 207

Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan

pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang

memberi tuntutran kerohanian sewaktu ia mewnderita sakit

sehingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan

jelas untuk membalas jasa.

Pasal 208

Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akte

tersebut.

Pasal 209

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal

176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan

terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat

diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta

wasiat anak angkatnya.

(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi

wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan

orang tua angkatnya.

BAB VI

HIBAH

Pasal 210

(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun

berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan

sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain

atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.

(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari

penghibah.

Page 310: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

297

Pasal 211

Hibah dan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan

sebagai warisan.

Pasal 212

Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua

kepada anaknya.

Pasal 213

Hibah yang diberikan pada swaat pemberi hibah dalam

keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus

mendapat persetujuan dari ahli warisnya.

Pasal 214

Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat

membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan

Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak

bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini.

Page 311: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

298

BUKU III

HUKUM PERWAKAFAN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 215

Yang dimaksud dengan:

(1) Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok

orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari

benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-

lamanya guna kepentingan ibadat atau kerpeluan umum

lainnya sesuai dengan ajaran Islam.

(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan

hukum yang mewakfkan benda miliknya.

(3) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk

mewakafkan benda miliknya.

(4) Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak

atau tidak bergerak uang memiliki daya tahan yang tidak

hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.

(5) Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang

diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.

(6) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya

disingkat PPAIW adalah petuga spemerintah yang

diangkat berdasarkan peraturan peraturan yang berlaku,

berkwajiban menerima ikrar dan wakif dan

menyerahkannya kepada Nadzir serta melakukan

pengawasan untuk kelestarian perwakafan.

(7) Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat

(6), diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.

Page 312: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

299

BAB II

FUNGSI, UNSUR-UNSUR DAN SYARAT-SYARAT WAKAF

Bagian Kesatu

Fungsi Wakaf

Pasal 216

Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf

sesuai dengan tujuan wakaf.

Bagian Kedua

Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf

Pasal 217

(1) Badan-badan Hukum Indonesia dan orang atau orang-

orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang

oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan

hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda

miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak

untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah

menurut hukum.

(3) Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215

ayat (4) harus merupakan benda milik yang bebas dari

segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.

Pasal 218

(1) Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya

secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat

Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 215 ayat (6), yang kemudian menuangkannya dalam

bentuk ikrar Wakaf, dengan didaksikan oleh sekurang-

kurangnya 2 orang saksi.

Page 313: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

300

(2) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dan ketentuan

dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah

terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.

Pasal 219

(1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4)

terdiri dari perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia;

b. beragama Islam;

b. sudah dewasa;

c. sehat jasmani dan rohani;

d. tidak berada di bawah pengampuan;

e. bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda

yang diwakafkannya.

(2) Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus

memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. badan hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia;

b. mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tinggal

benda yang diwakafkannya.

(3) Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada

Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah

mendengar saran dari Camat Majelis Ulama Kecamatan

untuk mendapatkan pengesahan.

(4) Nadzir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan

sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama

Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang

saksi dengan isi sumpah sebagai berikut:

”Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat

menjadi Nadzir langsung atau tidak langsung dengan nama

atau dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan

ataupun memberikan sesuatu kepada siapapun juga”

”Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak

melakukan sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan

Page 314: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

301

menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga

suatu janji atau pemberian”.

”Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan

menjunjung tinggi tugas dan tanggung jawab yang

dibebankan kepada saya selaku Nadzir dalam pengurusan

harta wakaf sesuai dengan maksud dan tujuannya”.

(5) Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit

perwakafan, seperti dimaksud Pasal 215 ayat (5) sekurang-

kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10

orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama

Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan

Camat setempat.

Bagian Ketiga

Kewajiban dan Hak-hak Nadzir

Pasal 220

(1) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung

jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, dan

pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan menurut

ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.

(2) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas

semua hal yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) kepada Kepala Kantor Urusan

Agama Kecamatan setempat dengan tembusan kepada

Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.

(3) Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat

(2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan Menteri Agama.

Pasal 221

(1) Nadzir diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama

Kecamatan karena:

a. meninggal dunia;

b. atas permohonan sendiri;

c. tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai

Nadzir;

Page 315: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

302

d. melakukan suatu kejahatan sehingga dipidana.

(2) Bilama terdapat lowongan jabatan Nadzir karena salah satu

alasan sebagaimana tersebut dalam ayat (1), maka

penggantinya diangkat oleh Kepala Kantor Urutan Agama

Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan

Camat setempat.

(3) Seorang Nadzir yang telah berhenti, sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) sub a, tidak dengan sendirinya

digantikan oleh salah seorang ahli warisnya.

Pasal 222

Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang

jenis dan jumlahnya ditentukan berdasarkan kelayakan atas

saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama

Kecamatan setempat.

BAB III

TATA CARA PERWAKAFAN DAN PENDAFTARAN BENDA WAKAF

Bagian Kesatu

Tata Cara Perwakafan

Pasal 223

(1) Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar

wakaf di hadapan Pejabat Pembuaty Akta Ikrar Wakaf untuk

melaksanakan ikrar wakaf.

(2) Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.

(3) Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar

Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh

sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

(4) Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak

yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada

Pejabat yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat

sebagai berikut:

Page 316: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

303

a. tanda bukti pemilikan harta benda;

b. jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak

bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari

Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat

yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak

dimaksud;

c. surat atau dokumen tertulis yang merupakan

kelengkapan dari benda tidak bergerak yang

bersangkutan.

Bagian Kedua Pendaftaran Benda Wakaf

Pasal 224 Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan dalam Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala

Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang

bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada

Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang

bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestarian.

BAB IV

PERUBAHAN, PENYELESAIAN DAN PENGAWASAN BENDA WAKAF

Bagian Kesatu Perubahan Benda Wakaf

Pasal 225

(1) Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan

tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari

pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.

(2) Penyimpangan dari ketentuantersebut dalam ayat (1)

hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah

terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala

Kantur Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari

Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan

alasan:

Page 317: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

304

a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti

diikrarkan oleh wakif;

b. karena kepentingan umum.

Bagian Kedua

Penyelesaian Perselisihan Benda Wakaf Pasal 226

Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut

persoalan benda wakaf dan Nadzir diajukan kepada Pengadilan

Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang- undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga Pengawasan

Pasal 227

Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab

Nadzir dilakukan secara bersama- sama oleh Kepala Kantor

Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan

Pengadilan agama yang mewilayahinya.

BAB V

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 228

Perwakafan benda, demikian pula pengurusannya yang terjadi

sebelum dikeluarkannya ketentuan ini, harus dilaporkan dan

didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan

setempat untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan ini.

Ketentuan Penutup

Pasal 229 Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan

kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh

nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga

putusannya sesuai dengan rasa keadilan.

Page 318: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

305

PENJELASAN ATAS

BUKU KOMPILASI HUKUM ISLAM

UMUM

1. Bagi bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan

Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, adalah mutlak

adanya suatu hukum nasional yang menjamin

kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan poerwujudan

kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia.

2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman, jo Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung, Peradilan Agama mempunyai

kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan

lainnya sebagai peradilan negara.

3. Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan

Peradilan Agama adalah Hukum Islam yang pada garis

besarnya meliputi bidang-bidang hukum Perkawinan,

hukum Kewarisan dan hukum Perwakafan.

4. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal

18 Pebruari 1958 Nomor B/I/735 hukum Materiil yang

dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut di

atas adalah bersumber pada 13 kitab yang kesemuanya

madzhab Syafi’i.

5. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28

Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik maka

kebutuhan hukum masyarakat semakin berkembang

sehingga kitab-kitab tersebut dirasakan perlu pula untuk

diperluas baik dengan menambahkan kitab-kitab dari

madzhab yang lain, memperluas penafsiran terhadap

Page 319: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

306

ketentuan di dalamnya membandingkannya dengan

Yurisprudensi Peradilan Agama, fatwa para ulama maupun

perbandingan di negara-negara lain.

6. Hukum Materiil tersebut perlu dihimpun dan diletakkan

dalam suatu dokumen Yustisia atau buku Kompilasi

Hukum Islam sehingga dapat dijadikan pedoman bagi

Hakim di lingkungan Badan Peradilan Agama sebagai

hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara

yang diajukan kepadanya.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 s/d 6

Cukup jelas

Pasal 7

Pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang

Peradilan agama.

Pasal 8 s/d 18

Cukup jelas

Pasal 19

Yang dapat menjadi wali terdiri dari wali nasab dan wali

hakim, wali anak angkat dilakukan oleh ayah kandung.

Pasal 20 s/d 71

Cukup jelas

Pasal 72

Yang dimaksud dengan penipuan ialah bila suami mengaku

jejaka pada waktu nikah kemudian ternyata diketahui sudah

beristeri sehingga terjadi poligami tanpa izin Pengadilan.

Demikian pula penipuan terhadap identitas diri.

Page 320: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

307

Pasal 73 s/d 86

Cukup jelas

Pasal 87

Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya

Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 88 s/d 93

Cukup jelas

Pasal 94

Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya

Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 95 s/d 97

Cukup jelas

Pasal 98

Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya

Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 99 s/d 102

Cukup jelas

Pasal 103

Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya

Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 104 s/d 106

Cukup jelas

Pasal 107

Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya

Undang-undang Peradilan Agama.

Page 321: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

308

Pasal 108 s/d 118

Cukup jelas

Pasal 119

Setiap talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan agama

adalah talak ba’in sughraa.

Pasal 120 s/d 128

Cukup jelas

Pasal 129

Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya

Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 130

Cukup jelas

Pasal 131

Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya

Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 132

Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya

Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 133 s/d 147

Cukup jelas

Pasal 148

Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya

Undang-undang Peradilan Agama.

Page 322: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

309

Pasal 149 s/d 185

Yang dimaksud dengan anak yang lahir di luar perkawinan

adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah

atau akibat hubungan yang tidak sah.

Pasal 187 s/d 228

Cukup jelas

Pasal 229

Ketentuan dalam pasal ini berlaku untuk Buku I, Buku II dan

Buku III

Page 323: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

310

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA RI DAN MENTERI LUAR NEGERI RI

NOMOR : 589 TAHUN 1999 NOMOR : 182/OT/X/99/01 TAHUN 1999

TENTANG

PETUNJUK PELAKSANAAN PERKAWINAN WARGA NEGARA INDONESIA DI LUAR NEGERI

MENTERI AGAMA RI DAN MENTERI LUAR NEGERI RI

Menimbang : a. Bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 56 ayat (1) mengatur tentang perkawinan yang dilaksanakan di luar negeri, dan perkawinan tersebut perlu mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum.

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas perlu ditetapkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Luar Negeri tentang Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negeri Indonesia di Luar Negeri

Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk;

2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Luar Jawa dan Madura;

3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

5. Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1974 tentang Organisasi Departemen;

Page 324: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

311

6. Keputusan Presiden RI Nomor 61 Tahun 1998 tentang Kedudukan Tugas Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen sebagaimana telah diubah dan disempurnakan dengan Keputusan Presiden RI No.192 Tahun 1998;

7. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah;

8. Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agam yang telah diubah dan disempurnakan terakhir dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 75 Tahun 1984.

Menetapkan: KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA RI DAN MENTERI LUAR NEGERI TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERKAWINAN WARGA NEGARA INDONESIA DI LUAR NEGERI.

Pasal 1

Bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam melaksanakan perkawinan di Luar Negeri sebagaimana dimaksud pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 2

Tempat Pencatatan Perkawinan Luar Negeri adalah di KBRI atau Perwakilan Indonesia di Luar Negeri.

Pasal 3

i. Apabila terjadi perkawinan di atas Kapal Laut maka pencatatannya di daerah di mana kapal tersebut berlabuh.

ii. Dalam hal ini di wilayah itu tidak ada Perwakilan Indonesia maka dicatat pada Perwakilan Indonesia yang mewilayahi daerah tersebut.

Page 325: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

312

Pasal 4

Pegawai Pencatat Nikah yang dimaksud Pasal 1 di atas adalah Pegawai Negeri yang diangkat dan ditunjuk khusus untuk itu.

Pasal 4

Bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam melaksanakan perkawinan di Luar Negeri sebagaimana dimaksud pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 5

Dalam hal pengangkatan Pegawai Pencatat Nikah dengan syarat sebagai berikut:

1) Menguasai hukum menakahat dan peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan serta administrasi NTCR.

2) Diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama berdasarkan usul Menteri Luar Negeri.

Pasal 6

Bahwa untuk melaksanakan pencatatan dan pengawasan Nikah dan Rujuk, Pegawai Pencatat Nikah berpedoman kepada Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri (terlampir).

Pasal 7

Dalam hal wilayah dan batas-batas kekuasaan PPN untuk Pencatat perkawinan akan ditentukan kemudian.

Pasal 8

Hal-hal teknis pelaksanaan peraturan ini lebih lanjut akan diatur kemudian oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji.

Page 326: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

313

Pasal 9

Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 13 Oktober 1999 Ttd. Ttd. Menteri Agama RI Menteri Luar Negeri RI H.A Malik Fadjar Ali Alatas, SH

Page 327: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

314

PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA

DAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA

NOMOR : 20 TAHUN 2005 NOMOR : 14A TAHUN 2005

TENTANG

PETUNJUK PELAKSANAAN JABATAN FUNGSIONAL PENGHULU DAN ANGKA KREDITNYA

MENTERI AGAMA DAN

KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA,

Menimbang : a. bahwa dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/ M.PAN/6/2005 telah ditetapkan Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya;

b. bahwa untuk tertib administrasi dalam pelaksanaannya, dipandang perlu menetapkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian Negara tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (Lembaran Negara Tahun 1946 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 694);

2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun

Page 328: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

315

1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di daerah luar Jawa dan Madura;

3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019);

4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/ Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri (Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2797);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3098) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2003 (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 17);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3149);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil

Page 329: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

316

(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3547);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 194, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4015) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2003 (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4332);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 98Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 195, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4016);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 196, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4017) sebagaimanatelah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4193);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara 4263);

14. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil;

15. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2005;

16. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi,

Page 330: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

317

dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;

17. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya;

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JABATAN FUNGSIONAL PENGHULU DAN ANGKA KREDITNYA.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Bersama ini yang dimaksud dengan : 1. Penghulu, adalah Pegawai Negeri Sipil sebagai Pegawai

Pencatat Nikah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/ rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.

2. Angka kredit, adalah nilai dari tiap butir kegiatan dan/atau akumulasi nilai butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh Penghulu dan digunakan sebagai salah satu syarat untuk pengangkatan dan kenaikan jabatan/ pangkat.

3. Bukti fisik, adalah dokumen yang membuktikan atas kebenaran pelaksanaan suatu kegiatan.

4. Tim Penilai Jabatan Fungsional Penghulu, adalah tim penilai yang dibentuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang yang bertugas untuk menilai prestasi kerja Penghulu.

Page 331: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

318

5. Instansi Pembina jabatan fungsional Penghulu, adalah Departemen Agama.

6. Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat, adalah Menteri Agama.

7. Pejabat yang berwenang mengangkat, membebaskan sementara, dan memberhentikan dalam dan dari jabatan Penghulu, adalah Menteri Agama atau pejabat lain yang ditunjuk sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.

8. Pemberhentian, adalah pemberhentian dari jabatan Penghulu bukan pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil.

BAB II

USUL DAN PENETAPAN ANGKA KREDIT

Pasal 2

(1) Usul penetapan angka kredit Penghulu disampaikan setelah menurut perhitungan sementara Penghulu yang bersangkutan, jumlah angka kredit yang disyaratkan untuk kenaikan jabatan/ pangkat setingkat lebih tinggi telah dapat dipenuhi dan dibuat menurut contoh formulir sebagaimana tersebut pada Lampiran I A, I B, dan I C.

(2) Setiap usul penetapan angka kredit Penghulu wajib dilampiri : a. Surat Pernyataan melakukan kegiatan pelayanan dan

konsultasi nikah/ rujuk dan bukti fisiknya, serta dibuat menurut contoh formulir sebagaimana tersebut pada Lampiran II;

b. Surat Pernyataan melakukan kegiatan pengembangan kepenghuluan dan bukti fisiknya, serta dibuat menurut contoh formulir sebagaimana tersebut pada Lampiran III;

c. Surat Pernyataan melakukan kegiatan pengembangan profesi dan bukti fisiknya, serta dibuat menurut contoh formulir sebagaimana tersebut pada Lampiran IV;

Page 332: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

319

d. Surat pernyataan melakukan kegiatan penunjang pelaksanaan tugas Penghulu dan bukti fisiknya, serta dibuat menurut contoh formulir sebagaimana tersebut pada Lampiran V;

e. Surat pernyataan menjalani kegiatan pendidikan dan pelatihan (Diklat) dan bukti fisiknya, serta dibuat menurut contoh formulir sebagaimana tersebut pada Lampiran VI;

f. Foto copy atau salinan yang disahkan oleh pejabat berwenang mengesahkan bukti-bukti mengenai Ijazah/ Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan dan/ atau keterangan/ penghargaan yang pernah diterima.

(3) Penilaian dan penetapan angka kredit untuk kenaikan pangkat, dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum periode kenaikan pangkat sebagai berikut : a. Untuk kenaikan pangkat periode April, angka kredit

ditetapkan paling lambat pada bulan Januari tahun yang bersangkutan;

b. Untuk kenaikan pangkat periode Oktober, angka kredit ditetapkan paling lambat pada bulan Juli tahun yang bersangkutan.

Pasal 3

(1) Setiap usul penetapan angka kredit bagi Penghulu harus dinilai secara seksama oleh Tim Penilai dengan berpedoman pada Lampiran I Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/ 6/2005.

(2) Hasil penilaian Tim Penilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana tersebut pada Lampiran VII, dengan ketentuan : a. Asli Penetapan Angka Kredit (PAK) disampaikan

kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN). b. Tembusan PAK disampaikan kepada :

(1) Penghulu yang bersangkutan;

Page 333: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

320

(2) Pimpinan Unit Kerja Penghulu yang bersangkutan; (3) Sekretaris Tim Penilai yang bersangkutan; (4) Pejabat yang berwenang menetapkan angka

kredit; (5) Kepala Biro/ Kepala Sub Bagian Kepegawaian

Instansi yang bersangkutan. (3) Apabila pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit

berhalangan sehingga tidak dapat menetapkan angka kredit sampai batas waktu yang telah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (3), maka pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit tersebut dapat mendelegasikan kepada pejabat lain satu tingkat lebih rendah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005.

(4) Dalam rangka pengendalian dan tertib administrasi penetapan angka kredit, maka spesimen tanda tangan pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit dan pejabat yang menerima delegasi wewenang untuk menetapkan angka kredit sebagaimana dimaksud ayat (3) disampaikan kepada Kepala BKN/ Kepala Kantor regional BKN yang bersangkutan.

(5) Apabila terdapat pergantian pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit, maka spesimen tanda tangan pejabat yang menggantikan disampaikan kepada Kepala BKN/ Kepala Kantor regional BKN yang bersangkutan.

BAB III

TIM PENILAI

Pasal 4

(1) Syarat pengangkatan untuk menjadi anggota Tim Penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005, yaitu : a. Paling kurang menduduki jabatan dan/atau pangkat

setingkat dengan Penghulu yang dinilai;

Page 334: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

321

b. Mempunyai kompetensi untuk menilai prestasi kerja Penghulu; dan

c. Dapat aktif melakukan penilaian. (2) Masa jabatan Tim Penilai sebagaimana dimaksud ayat (1)

adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk masa jabatan berikutnya.

(3) Anggota Tim Penilai yang telah menjabat dalam 2 (dua) kali masa jabatan secara berturut-turut sebagaimana dimaksud ayat (2), dapat diangkat kembali setelah melampaui tenggang waktu 1 (satu) masa jabatan.

(4) Dalam hal komposisi jumlah anggota Tim Penilai sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak dapat dipenuhi, maka Anggota Tim Penilai dapat diangkat dari pejabat lain yang mempunyai kompetensi dalam penilaian prestasi kerja Penghulu.

Pasal 5

(1) Tugas pokok Tim Penilai Direktorat Jenderal adalah : a. Membantu Direktur Jenderal yang membidangi

bimbingan masyarakat Islam dan penyelenggaraan haji Departemen Agama dalam menetapkan angka kredit Penghulu Madya;

b. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Direktur Jenderal yang membidangi bimbingan masyarakat Islam dan penyelenggaraan haji Departemen Agama, yang berhubungan dengan penetapan angka kredit sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

(2) Tugas pokok Tim Penilai Provinsi adalah : a. Membantu Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama

Provinsi dalam menetapkan angka kredit Penghulu Pertama dan Penghulu Muda yang berada pada Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi di lingkungan masing-masing;

b. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi,

Page 335: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

322

yang berhubungan dengan penetapan angka kredit sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

(3) Tugas pokok Tim Penilai Kabupaten/ Kota adalah : a. Membantu Kepala Kantor Departemen Agama

Kebupaten/ Kota dalam menetapkan angka kredit Penghulu Pertama dan Penghulu Muda yang berada pada Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kota di lingkungan masing-masing;

b. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kota, yang berhubungan dengan penetapan angka kredit sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

(4) Dalam hal terdapat anggota Tim Penilai yang pensiun atau berhalangan paling kurang 6 (enam) bulan, maka Ketua Tim Penilai mengusulkan penggantian anggota Tim Penilai secara definitif sesuai masa kerja yang tersisa kepada pejabat yang berwenang menetapkan Tim Penilai.

(5) Dalam hal terdapat anggota Tim Penilai yang turut dinilai, Ketua Tim Penilai dapat mengangkat anggota Tim Penilai Pengganti.

(6) Tata kerja dan tata cara Tim Penilai dalam melakukan tugas ditetapkan oleh Menteri Agama selaku Pimpinan Instansi Pembina Jabatan Penghulu.

Pasal 6

(1) Untuk membantu Tim Penilai dalam melaksanakan tugasnya, dibentuk Sekretariat Tim Penilai yang dipimpin oleh seorang Sekretaris yang secara fungsional dijabat oleh pejabat di bidang kepegawaian.

(2) Sekretariat Tim Penilai dibentuk dan ditetapkan dengan keputusan pejabat yang berwenang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 ayat (4) Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/ 6/2005.

Page 336: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

323

Pasal 7

(1) Pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit dapat membentuk Tim Penilai Teknis yang anggotanya terdiri dari para ahli, baik yang berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil atau bukan Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai kemampuan teknis yang diperlukan.

(2) Tugas pokok Tim Penilai Teknis adalah memberikan saran dan pendapat kepada Ketua Tim Penilai dalam hal memberikan penilaian atas kegiatan yang bersifat khusus atau kegiatan yang memerlukan keahlian tertentu.

(3) Tim Penilai Teknis menerima tugas dari dan bertanggung jawab kepada Ketua Tim Penilai.

BAB IV

KENAIKAN JABATAN DAN PANGKAT

Pasal 8

(1) Penetapan angka kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), digunakan sebagai dasar untuk mempertimbangkan kenaikan jabatan dan kenaikan pangkat Penghulu sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Kenaikan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dipertimbangkan apabila : a. Paling kurang telah 1 (satu) tahun dalam jabatan

terakhir; b. Memenuhi angka kredit yang ditentukan untuk

kenaikan jabatan setingkat lebih tinggi; dan c. Setiap unsur penilaian prestasi kerja atau

pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP-3) paling kurang bernilai baik dalam 1 (satu) tahun terakhir.

(3) Kenaikan pangkat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dipertimbangkan apabila : a. Paling kurang telah 2 (dua) tahun dalam pangkat

terakhir;

Page 337: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

324

b. Memenuhi angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi; dan

c. Setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP-3) paling kurang bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir.

(4) Kenaikan pangkat bagi Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan Penghulu Madya pangkat Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b menjadi Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c, ditetapkan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan teknis Kepala BKN.

(5) Kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan Penghulu Pertama, pangkat Penata Muda, golongan ruang III/a untuk menjadi Penata Muda Tingkat I, golongan ruang III/b sampai dengan untuk menjadi Penghulu Madya, pangkat Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b ditetapkan dengan Keputusan Menteri Agama setelah mendapat persetujuan teknis Kepala BKN.

Pasal 9

(1) Penghulu yang memiliki angka kredit melebihi angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan jabatan/ pangkat setingkat lebih tinggi, kelebihan angka kredit tersebut dapat diperhitungkan untuk kenaikan jabatan/ pangkat berikutnya.

(2) Apabila kelebihan jumlah angka kredit sebagaimana dimaksud ayat (1) memenuhi jumlah angka kredit untuk kenaikan jabatan dua tingkat atau lebih dari jabatan terakhir yang diduduki, maka Penghulu yang bersangkutan dapat diangkat dalam jenjang jabatan sesuai dengan jumlah angka kredit yang dimiliki, dengan ketentuan :

a. Paling kurang telah 1 (satu) tahun dalam jabatan; b. Setiap unsur penilaian dalam Daftar Penilaian

Pelaksanaan Pekerjaan (DP-3) Paling kurang bernilai baik dalam 1 (satu) tahun terakhir.

(3) Penghulu yang naik jabatan sebagaimana dimaksud ayat (2), setiap kali kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi disyaratkan mengumpulkan 20% (dua puluh persen) dari

Page 338: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

325

jumlah angka kredit untuk kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi tersebut, yang berasal dari unsur utama.

BAB V

PENGANGKATAN, PEMBEBASAN SEMENTARA, DAN PEMBERHENTIAN DALAM DAN DARI JABATAN

Pasal 10

Pengangkatan, pembebasan sementara, dan pemberhentian dalam dan dari jabatan Penghulu ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Pengangkatan pertama kali dan pengangkatan kembali

dalam jabatan Penghulu ditetapkan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana tersebut pada Lampiran VIII;

2. Pembebasan sementara dari jabatan Penghulu ditetapkan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana tersebut pada Lampiran IX;

3. Pemberhentian dari jabatan Penghulu ditetapkan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana tersebut pada Lampiran X.

Pasal 11

(1) Untuk menjamin tingkat kinerja Penghulu dalam pencapaian angka kredit sebagai salah satu persyaratan kenaikan jabatan/ pangkat, maka pengangkatan Penghulu harus memperhatikan keseimbangan antara beban kerja organisasi dengan jumlah Penghulu sesuai jenjang jabatannya.

(2) Di samping harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengangkatan Penghulu harus didasarkan pada formasi jabatan yang telah ditetapkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Page 339: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

326

berdasarkan usulan Menteri Agama setelah mendapat pertimbangan Kepala BKN.

Pasal 12

(1) Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dalam jabatan Penghulu tidak dapat menduduki jabatan rangkap, baik dengan jabatan fungsional lain maupun dengan jabatan struktural.

(2) Penghulu dapat diberi tugas tambahan sebagai Kepala KUA.

Pasal 13

(1) Penghulu Pertama, pangkat Penata Muda, golongan ruang III/a sampai dengan Penghulu Madya, pangkat Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b, dibebaskan sementara dari jabatannya apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diangkat dalam pangkat terakhir tidak dapat mengumpulkan angka kredit minimal yang ditentukan untuk kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi.

(2) Penghulu Madya, pangkat Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c dibebaskan sementara dari jabatannya apabila setiap tahun sejak diangkat dalam jabatan/pangkatnya tidak dapat mengumpulkan angka kredit sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) dari kegiatan kepenghuluan dan atau pengembangan profesi.

(3) Pembebasan sementara bagi Penghulu sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2), didahului dengan peringatan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sebelum batas waktu pembebasan sementara diberlakukan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana tersebut pada Lampiran XI.

(4) Pada masa pembebasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) yang bersangkutan tetap melaksanakan tugas-tugas Penghulu dengan memperoleh angka kredit, tanpa memperoleh tunjangan jabatan.

Page 340: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

327

(5) Di samping pembebasan sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) Penghulu juga dibebaskan sementara dari jabatannya apabila:

a. Dijatuhi hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil berupa hukuman disiplin tingkat sedang atau tingkat berat berupa penurunan pangkat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980; atau

b. Diberhentikan sementara sebagai Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966; atau

c. Ditugaskan secara penuh di luar jabatan Penghulu; atau d. Cuti diluar tanggungan negara, kecuali untuk persalinan

keempat dan seterusnya; atau e. Menjalani tugas belajar lebih dari 6 (enam) bulan.

(6) Penghulu yang dibebaskan sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) huruf a selama menjalani hukuman disiplin tetap dapat melaksanakan tugas pokoknya tetapi kegiatan tersebut tidak dapat ditetapkan angka kreditnya.

(7) Penghulu yang dibebaskan sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) huruf e, selama pembebasan sementara dapat dipertimbangkan kenaikan pangkat secara pilihan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku, apabila :

a. Paling kurang telah 4 (empat) tahun dalam pangkat terakhir; dan

b. Setiap unsur penilaian prestasi kerja atau pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP-3) sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir.

(8) Penghulu yang dibebaskan sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) huruf a, b, c, d, dan huruf e selama pembebasan sementara tidak memperoleh tunjangan jabatan.

Page 341: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

328

Pasal 14

Penghulu diberhentikan dari jabatannya apabila : 1. Dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat dan telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali jenis hukuman disiplin tingkat berat berupa penurunan pangkat; atau

2. Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak dibebaskan sementara dari jabatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), tidak dapat mengumpulkan angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan jabatan/ pangkat setingkat lebih tinggi; atau

3. Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak dibebaskan sementara dari jabatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) tidak dapat mengumpulkan angka kredit yang ditentukan.

BAB VI

PENGANGKATAN KEMBALI DALAM JABATAN

Pasal 15

1. Penghulu yang dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat berupa penurunan pangkat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 dapat diangkat kembali dalam jabatan Penghulu, apabila masa berlakunya hukuman disiplin tersebut telah berakhir.

2. Penghulu yang dibebaskan sementara karena diberhentikan sementara berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1966, dapat diangkat kembali dalam jabatan Penghulu, apabila berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan tidak bersalah atau dijatuhi hukuman percobaan.

3. Penghulu yang ditugaskan di luar jabatan Penghulu dapat diangkat kembali dalam jabatan Penghulu, apabila telah selesai melaksanakan tugas di luar jabatan Penghulu.

4. Penghulu yang dibebaskan sementara karena cuti di luar tanggungan negara dan telah diangkat kembali pada

Page 342: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

329

Instansi semula, dapat diangkat kembali dalam jabatan Penghulu.

5. Penghulu yang telah selesai menjalani tugas belajar lebih dari 6 (enam) bulan, diangkat kembali dalam jabatan Penghulu.

Pasal 16

Pegawai Negeri Sipil yang diangkat kembali dalam jabatan Penghulu sebagaimana tersebut dalam Pasal 15, jabatannya ditetapkan berdasarkan angka kredit terakhir yang dimiliki dan dari prestasi di bidang kepenghuluan yang diperoleh selama tidak menduduki jabatan fungsional Penghulu.

BAB VII

PERPINDAHAN JABATAN

Pasal 17

(1) Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dari jabatan lain ke dalam jabatan Penghulu atau perpindahan antar jabatan dapat dipertimbangkan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, 23, dan atau Pasal 24 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005.

b. Memiliki pengalaman di bidang kepenghuluan paling kurang 2 (dua) tahun;

c. Usia paling tinggi 5 (lima) tahun sebelum mencapai batas usia pensiun dari jabatan terakhir yang didudukinya; dan

d. Setiap unsur penilaian prestasi kerja (DP-3) paling kurang bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir.

(2) Pangkat yang ditetapkan bagi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sama dengan pangkat yang dimilikinya, sedangkan jenjang jabatan Penghulu ditetapkan sesuai angka kredit diperoleh berdasarkan jenjang pendidikan formal yang ditamatkan dan angka kredit lain yang diperoleh setelah melalui

Page 343: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

330

penilaian dan penetapan angka kredit dari pejabat yang berwenang yang berasal dari unsur utama lainnya.

BAB VIII

PENYESUAIAN/ INPASSING DALAM JABATAN DAN ANGKA KREDIT

Pasal 18

(1) Pegawai Negeri Sipil yang pada saat ditetapkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005 telah dan masih melakukan tugas kepenghuluan berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang dapat diangkat ke dalam Jabatan Penghulu melalui penyesuaian dengan ketentuan harus memenuhi syarat : a. Paling rendah berijazah Strata 1 (S.1)/ Diploma IV; b. Paling rendah menduduki pangkat Penata Muda,

golongan ruang III/a; dan c. Setiap unsur penilaian prestasi kerja atau pelaksanaan

pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP-3) paling kurang bernilai baik dalam 1 (satu) tahun terakhir.

(2) Jenjang jabatan dan jumlah angka kredit penyesuaian/ inpassing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada pendidikan, pangkat, dan masa kerja dalam pangkat terakhir sebagaimana tersebut dalam Lampiran II Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005.

(3) Masa kerja dalam pangkat terakhir untuk penyesuaian/ inpassing sebagaimana dimaksud Lampiran II Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005 dihitung dalam pembulatan ke bawah, yaitu :

a. Kurang dari 1 (satu) tahun, dihitung kurang 1 (satu) tahun;

b. 1 (satu) tahun sampai dengan kurang dari 2 (dua) tahun, dihitung 1 (satu) tahun;

Page 344: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

331

c. 2 (dua) tahun sampai dengan kurang dari 3 (tiga) tahun, dihitung 2 (dua) tahun;

d. 3 (tiga) tahun sampai dengan kurang dari 4 (empat) tahun, dihitung 3 (tiga) tahun; dan

e. 4 (empat) tahun atau lebih, dihitung 4 (empat) tahun.

(4) Penyesuaian/ inpassing dalam jabatan dan angka kredit Penghulu, ditetapkan oleh pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Penghulu dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana tersebut dalam Lampiran XII.

(5) Penyesuaian/ inpassing dalam jabatan dan angka kredit Penghulu sebagaimana dimaksud ayat(1) dilakukan setelah memperhitungkan formasi Penghulu.

Pasal 19

(1) Penyesuaian/ inpassing dalam jabatan dan angka kredit Penghulu, ditetapkan terhitung mulai tanggal ditetapkannya Peraturan Bersama ini dan harus selesai ditetapkan paling lambat 30 September 2006.

(2) Pegawai Negeri Sipil yang dalam masa penyesuaian/ inpassing telah dapat dipertimbangkan kenaikan pangkatnya, maka sebelum disesuaikan dalam jabatan dan angka kredit terlebih dahulu dipertimbangkan kenaikan pangkatnya agar dalam penyesuaian/ inpassing jabatan dan angka kredit telah digunakan pangkat yang terakhir.

(3) Terhitung mulai periode kenaikan pangkat 1 Oktober 2006, kenaikan pangkat Penghulu sudah ditetapkan dengan angka kredit disamping memenuhi syarat lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IX

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 20

Pegawai Negeri Sipil yang pada saat penyesuaian/ inpassing telah memiliki pangkat tertinggi berdasarkan pendidikan terakhir

Page 345: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

332

yang dimiliki atau jabatan terakhir yang diduduki serta telah memiliki masa kerja 4 (empat) tahun dalam pangkat terakhir, kenaikan pangkatnya setingkat lebih tinggi dapat dipertimbangkan mulai periode kenaikan pangkat berikutnya berdasarkan angka kredit yang ditetapkan dalam surat keputusan inpassing dan telah memenuhi persyaratan lainnya.

Pasal 21

Penghulu yang sedang dibebaskan sementara karena : a. Dijatuhi hukuman disiplin tingkat sedang atau berat berupa

penurunan pangkat; atau b. Diberhentikan sementara sebagai PNS; atau c. Ditugaskan secara penuh di luar jabatan Penghulu; atau d. Menjalani cuti di luar tanggungan negara; atau e. Menjalani tugas belajar lebih dari 6 (enam) bulan;

apabila mencapai batas usia pensiun Pegawai Negeri Sipil, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan mendapat hak-hak kepegawaian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 22

(1) Untuk menjamin adanya persamaan persepsi, pola pikir dan tindakan dalam melaksanakan pembinaan Penghulu, Departemen Agama selaku Instansi Pembina Jabatan Penghulu melaksanakan sosialisasi dan fasilitasi kepada pejabat yang berkepentingan dan Penghulu.

(2) Untuk meningkatkan kemampuan Penghulu secara profesional sesuai kompetensi jabatan, Departemen Agama selaku Instansi Pembina, antara lain melakukan: a. Penyusunan kurikulum pendidikan dan pelatihan

fungsional/ teknis fungsional bagi Penghulu; b. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan fungsional

/ teknis bagi Penghulu; c. Penetapan standar kompetensi Penghulu; d. Penyusunan pedoman formasi jabatan Penghulu; e. Pengembangan sistem informasi jabatan Penghulu; f. Fasilitasi pelaksanaan jabatan;

Page 346: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

333

g. Fasilitasi pembentukan organisasi profesi; h. Fasilitasi penyusunan dan penetapan etika profesi

Penghulu; dan i. Melakukan monitoring dan evaluasi jabatan Penghulu.

BAB X

PENUTUP

Pasal 23

Pelaksanaan teknis yang belum diatur dalam Peraturan Bersama ini akan diatur kemudian oleh Menteri Agama dan Kepala BKN baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

Pasal 23

Untuk mempermudah pelaksanaan Peraturan Bersama ini, maka dilampirkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya sebagaimana tersebut pada Lampiran XIII.

Pasal 24

Peraturan Bersama ini disampaikan kepada instansi yang berkepentingan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Pasal 25

Peraturan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 14 September 2005

MENTERI AGAMA RI

MUHAMMAD M. BASYUNI KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA

PRAPTO HADI

Page 347: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

334

Page 348: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

335

Page 349: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

336

Page 350: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

337

Page 351: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

338

Page 352: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

339

Page 353: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

340

Page 354: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

341

Page 355: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

342

Page 356: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

343

Page 357: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

344

Page 358: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

345

Page 359: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

346

Page 360: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

347

Page 361: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

348

Page 362: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

349

Page 363: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

350

Page 364: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

351

Page 365: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

352

Page 366: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

353

Page 367: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

354

Page 368: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

355

Page 369: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

356

Page 370: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

357

Page 371: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

358

Page 372: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

359

Page 373: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

360

Page 374: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

361

Page 375: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

362

Page 376: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

363

Page 377: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

364

Page 378: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

365

Page 379: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

366

Page 380: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

367

Page 381: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

368

Page 382: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

369

DEPARTEMEN DALAM NEGERI

REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 221A TAHUN 1975

TENTANG PENCATATAN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PADA KANTOR CATATAN SIPIL SEHUBUNGAN

DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG PERKAWINAN SERTA PERATURAN

PELAKSANANYA

MENTERI DALAM NEGERI

Menimbang: a. bahwa sebelum dikeluarkannya Undang-undang tentang Catatan Sipil yang bersifat Nasional maka ketentuan-ketentuan pelaksanaan tentang perkawinan dan perceraian yang dijalankan oleh Kantor Catatan Sipil perlu disesuaikan dengan Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan harus diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1975;

b. bahwa memperhatikan surat Menteri Kehakiman tanggal 29 September 1975 No. JHC 1/2/22 dan surat Sekretaris

Page 383: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

370

Kabinet kepada Menteri Dalam Negeri tanggal 30 September 1975 No. B. 1954/setkab/Anl/9/1975 maka dipandang perlu mengeluarkan petunjuk-petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 sebagai pedoman bagi pejabat pelaksana Kantor Catatan Sipil di daerah-daerah.

Mengingat : 1. Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembar Negara Tahun 1974 No.1, Tambahan Lembaran Negara No.3019);

2. Undang-undang No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan (Lembar Negara Tahun 1975 No.2, Tambahan Lembaran Negara No.3050);

Menetapkan : PELAKSANAAN PENCATATAN PER-KAWINAN DAN PERCERAIAN PADA KANTOR CATATAN SIPIL SEHUBUNGAN DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DENGAN PERATURAN PELAKSANAANNYA.

Pertama : a. Sebelum dikeluarkan Undang-undang tentang Catatan Sipil yang bersifat Nasional, maka pencatatan perkawinan dan perceraian dilakukan di kantor Catatan Sipil menurut ketentuan Undang-undang No.1 Tahun 1975 bagi mereka yang Pencatatan Perkawinannya dilakukan berdasarkan: 1. Ordonansi Catatan Sipil untuk

golongan Eropa (Stbl. 1849-25).

Page 384: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

371

2. Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan Cina, (Stbl. 1917-130 yo 119-81).

3. Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan Kristen Indonesia (Stbl. 1933-279 yo 1936-607).

4. Ordonansi Catatan Sipil untuk Perkawinan Campuran (Stbl. 1904-279).

5. Mereka yang tidak tunduk kepada ordonansi tersebut angka 1 sampai dengan 4 dan mereka yang tidak tunduk pada Undang-undang No.22 Tahun 1964 yo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

b. Didalam melaksanakan ordonansi-ordonansi tersebut di atas hendaklah memperhatikan ketentuan pada Pasal 47 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975.

Kedua : Dalam menyelenggarakan pencatatan perkawinan dan perceraian dimaksud pada diktum Pertama, kantor Catatan Sipil harus memperhatikan dan mempergunakan formulir serta petunjuk sebagaimana terlampir dalam keputusan ini: 1. Pedoman No. 1 tentang pelaksanaan BAB

II, BAB III dan BAB IV Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975.

2. Pedoman No. 2 tentang gugatan Perceraian yang diatur dalam Pasal 20 dan seterusnya BAB V Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975.

3. Formulir model 1 sampai dengan model 8.

Page 385: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

372

4. Formulir model A dan B tentang izin perkawinan.

Ketiga : Segala sesuatu yang menyangkut pencatatan perkawinan dan perceraian diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri, dan dalam hal-hal yang dipandang perlu akan mengadakan konsultasi dengan Menteri Kehakiman.

Keempat : Keputusan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 Oktober 1975 MENTERI DALAM NEGERI Ttd. AMIR MACHMUD

Tembusan : Yth. 1. Menteri Kehakiman; 2. Menteri Agama; 3. Menteri Sekretaris Negara

Page 386: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

373

KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK

INDONESIA NOMOR : 154 TAHUN 1991

TENTANG

PELAKSANAAN INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 1991 TANGGAL 10 JUNI 1991

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 memerintahkan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya.

b. bahwa penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam tersebut perlu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab.

c. bahwa oleh karena itu perlu dikeluarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor I Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.

Mengingat : 1. Pasal 4 (1) dan Pasal 17 Undang-undang Dasar 1945.

Page 387: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

374

2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Organisasi Departemen.

3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen dengan segala perubahannya terakhir Nomor 4 Tahun 1990.

4. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja disempurnakan terakhir dengan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1984.

MEMUTUSKAN

Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA TENTANG PELAKSANAAN INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1991 TANGGAL 10 JUNI 1991.

Pertama: Seluruh instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sebagaimana dimaksud dalam diktum Pertama Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor I Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.

Kedua : Seluruh lingkungan Instansi tersebut dalam diktum pertama, dalam menyelesaikan

Page 388: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

375

masalah-masalah di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundang-undangan lainnya.

Ketiga : Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia ini dalam bidang tugasnya masing- masing.

Keempat : Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan.

Ditetapkan di:

Jakarta Pada Tanggal : 22 Ji 1991

MENTERI AGAMA R.I.

ttd

H. MUNAWIR SJADZALI Keputusan ini disampaikan Kepada Yth. : 1. MENKO KESRA 2. Para Menteri Kabinet Pembangunan V Bidang Kesra 3. Menteri Kehakiman 4. Sekretaris Negara 5. Sekretaris Kabinet Pembangunan V 6. Badan Pengawas Keuangan (BAPEKA) di Jakarta

Page 389: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

376

7. Sekjen/Irjen/Para Dirjen/Kadaplitbang Agama/Staf Ahli Menteri Agama.

8. Para Kepala Biro/Direktur/Inspektur/Kepala Puslitbang Agama. Kepala Pusdiklat Pegawai di lingkungan Departemen Agama.

9. Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi/Setingkat di seluruh Indonesia.

10. Kepala Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama di seluruh Indonesia.

Page 390: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

377

PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 1 TAHUN 1994

TENTANG PENDAFTARAN SURAT BUKTI PERKAWINAN

WARGA NEGARA INDONESIA YANG DILANGSUNGKAN DI LUAR NEGERI MENTERI

AGAMA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan pendaftaran surat bukti perkawinan warga negara Indonesia yang dilangsungkan di luar negeri sebagaimana diatur dalam pasal 56 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perlu ditetapkan pelaksanaan pendaftaran surat bukti tersebut.

Mengingat : 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, Talak dan Rujuk diseluruh luar Jawa dan Madura;

2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, Talak dan Rujuk diseluruh luar Jawa dan Madura;

Page 391: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

378

3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan;

5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok- pokok Organisasi departemen;

6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen dengan segala perubahannya terakhir dengan Nomor 83 Tahun 1993,

7. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah;

8. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama dengan segala perubahannya terakhir dengan Nomor 75 Tahun 1984.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENDAFTARAN SURAT BUKTI PERKAWINAN WARGA NEGARA INDONESIA YANG DILANGSUNGKAN DI LUAR NEGERI.

Page 392: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

379

Pasal 1

Bagi Warga Negara Indonesia beragama Islam yang telah melakukan perkawinan di luar negeri sebagaimana dimaksud pasal 56 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, paling lambat satu tahun setelah suami istri itu kembali di Wilayah Indonesia, surat bukti perkawinannya harus didaftarkan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan yang mewilayahi tempat tinggal mereka.

Pasal 2

Syarat Pendaftaran Surat Bukti Perkawinan sebagaimana dimaksud pasal 1 harus dilengkapi: 1. Surat Keterangan dari Kepala Desa/lurah yang

mewilayahi tempat tinggal mereka; 2. Fotocopy pasport dengan memperlihatkan aslinya; 3. Fotocopy dari bukti perkawinan; 4. Fotocopy sertificate Nikah dari KBRI atau fotocopy Akte

Nikah dari KBRI atau surat keterangan dari KBRI setempat.

Pasal 3

(1) Pegawai Pencatat Nikah (PPN) pada Kantor Urusan Agama Kecamatan yang mewilayahi tempat tinggal suami istri tersebut melakukan pemeriksaan seperlunya menurut formulir Daftar Pemeriksaan Nikah (model NL), sebagaimana contoh terlampir;

(2) Apabila PPN ragu tentang keabsahan Perkawinan yang bersangkutan menurut Agama Islam, maka yang bersangkutan dapat dinikahkan kembali menurut hukum Islam.

Pasal 4

Dalam hal yang bersangkutan terlambat mendaftarkan perkawinan di Kantor Urusan Agama Kecamatan dapat mendaftarkan surat bukti perkawinannya setelah lebih dulu

Page 393: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

380

membuat pernyataan tertulis bermeterai Rp. 1.000,00,- tentang sebab-sebab keterlambatannya.

Pasal 5

Pendaftaran surat bukti perkawinan sebagaimana dimaksud pasal 1 pada Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak dipungut biaya.

Pasal 6

Hal-hal tehnis pelaksanaan Peraturan ini lebih lanjut akan diatur kemudian oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji.

Pasal 7

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 2 April 1994

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

DR. H. TARMIZI TAHER

Page 394: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

381

KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 411 TAHUN 2000

TENTANG

PENETAPAN JUMLAH UANG IWADH DALAM RANGKAIAN SIGHAT TAKLIK TALAK

BAGI UMAT ISLAM

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa nilai nominal jumlah Uang Iwadh dalam rangkaian taklik talak sebagaimana tercantum dalam Lampiran Model A-2. Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1975, yang telah diubah dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 1984 dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan;

b. bahwa untuk meningkatkan kualitas ibadah sosial bagi umat islam terutama yang memperoleh bantuan dari Uang Iwadh, maka ketentuan jumlah Uang Iwadh sebagaimana dimaksud butir pada butir a. Diatas perlu disesuaiakan

c. bahwa untuk memenuhi butir b, diatas dipandang perlu menetapkan kembali Jumlah Uang Iwadh.

Page 395: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

382

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 Jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954;

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

4. Keputusan Presiden RI Nopmor 136 Tahun 1999, tentang Kedudukan, tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan tata Kerja Departemen Yang telah diubah dan disempurnakan dengan Keputusan Presiden RI Nomor 147 Tahun 1999;

5. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1990, tentang Kewjiban Pegawai Pencatat Nikah.

6. Keputusan Menteri Agama Nomor 18 tahun 1975, tentang usunan Organisasi danTata Kerja Departemen dengan segala perubahannya terakhir dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 75 Tahun 1984;

Memperhatikan : Hasil keputusan pertemuan Kepala Bidang Urusan Agama Islam/Ketua Badan Kesejahteran Masjid (BKM) seluruh Indonesia di Batam, pada tanggal 3 s. d 5 Juli 2000

MEMUTUSKAN;

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENETAPAN

Page 396: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

383

JUMLAH UANG IWADH DALAM RANGKAIAN SIGHAT TAKLIK TALAK BAGI UMAT ISLAM

Pertama : Menetapkan jumlah Uang Iwadh dalam rangka talik talak, sebesar Rp 10.000,- (Sepuluh Ribu Rupiah).

Kedua : Dengan berlakunya Keputusan ini ketentuan jumlah Uang Iwadh sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri agam Nomor 4 Tahun 1975 yang telah diubah dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 1984 dinyatakan tidak berlaku.

Ketiga : Ketentuan lain sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 1984 tetap berlaku sebagaimana mestinya

Keempat : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan : di Jakarta Pada tanggal : 4 Oktober 2000

MENTERI AGAMA RI.

MUHAMMAD TOLCHAH HASAN

TEMBUSAN : 1. Menteri Keuangan; 2. Sekretariat Negara; 3. Badan Pemeriksa Keuangan; 4. Sekretariat Jenderal DPR RI; 5. Sekjen / Irjen / Para Dirjen / Kabalitbang Agama

Departemen Agama;

Page 397: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

384

6. Ketua Pengadilan Tinggai Agama dan Pengadilan Agama seluruh Indonesia;

7. Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Seluruh Indonesia;

8. Kepala Kandepag Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia; 9. Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen Agama.

Page 398: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

385

KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 463 TAHUN 2000 TENTANG

PENDELEGASIAN WEWENANG PENGANGKATAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH

DI LUAR NEGERI

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 56 ayat (1) yang mengatur perkawinan di luar negeri, perlu aturan pelaksanaannya agar perkawinan tersebut mendapat perlindungan dan kepastian hukum;

b. bahwa sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Agama RI Nomor 589 Tahun 1999 dan Nomor 182/OT/X/99/01 Tahun 1999, pengangkatan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di luar negeri oleh Menteri Agama berdasarkan usul Menteri Luar Negeri;

c. bahwa dalam rangka efektif, efisiensi, mendekatkan fungsi pelayanan pencatatan nikah di luar negeri serta untuk mempermudah dan mempercepat

Page 399: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

386

proses pelaksanaan maupun pengawasan nikah yang dilaksanakan di luar negeri, dipandang perlu pendelegasian wewenang;

d. bahwa untuk memenuhi maksud huruf a, b dan c di atas, perlu diadakan pendelegasian wewenang pengangkatan Pegawai Pencatat Nikah di luar negeri.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk;

2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di luar Jawa dan Madura;

3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

5. Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 1983 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil;

6. Keputusan Presiden RI Nomor 136 Tahun 1999 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen yang telah diubah dan disempurnakan dengan Keputusan Presiden RI Nomor 147 Tahun 1999;

7. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah;

Page 400: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

387

8. Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, dengan keputusan segala perubahannya, terakhir dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 75 Tahun 1984;

9. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Luar Negeri Nomor 589 dan Nomor 182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENDELEGASIAN WEWENANG PENGANGKATAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH DI LUAR NEGERI

Pertama : Mendelegasikan wewenang kepada Kepala-Kepala Perwakilan RI di Luar Negeri untuk mengangkat dan memberhentikan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) pada Perwakilan RI di wilayahnya.

Kedua : Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagaimana disebut pada diktum pertama adalah pejabat yang membidangi masalah kekonsuleran pada Perwakilan RI di Luar Negeri dan bertindak sebagai Penghulu.

Ketiga : Apabila pejabat tersebut pada diktum pertama beragama selain agama Islam, maka Kepala Perwakilan RI mengangkat pejabat lain yang beragama Islam sebagai Pegawai Pencatat Nikah (PPN).

Page 401: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

388

Keempat : Apabila Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang ditunjuk tidak menguasai hukum munakahat dan/atau karena luasnya wilayah, Kepala Perwakilan RI dapat mengangkat Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang bertindak sebagai Penghulu.

Kelima : Penandatangan dokumen Akte Nikah dan Kutipan Akte Nikah oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN).

Keenam : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan akan ditinjau kembali apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam penetapan ini.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 28 November 2000

MENTERI AGAMA R.I

Ttd

MUHAMMAD THOLCHAH HASAN

Page 402: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

389

KEPUTUSAN MENTERI AGAMA

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 517 TAHUN 2001

TENTANG

PENATAAN ORGANISASI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan kepada masyarakat di bidang perkawlnan dan pengembangan keluarga sakinah dipandang perlu melaksanakan penataan organlsasi Kantor Urusan Agama Kecamatan;

Menglngat : 1. Peraturan Pemerintah Nomer 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negerl Sipil Dalam Jabatan Struktural;

2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organlsasi dan Tata Kerja Departemen;

3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2001 tentang Unit Organlsasi dan Tugas Eselon I Departemen;

Page 403: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

390

4. Keputusan Menteri Agama Nomor 45 Tahun 1981 tentang Organlsasl dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi, Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya dan Balai Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Teknis Keagamaan Departemen Agama;

5. Keputusan Menteri Agama Nomor 337 Tahun 2000 tentang Penghapusan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi, Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, Pengadilan Agama, Kantor Urusan Agama, Madrasah Tsanawiyah Negeri dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri di lingkungan Provinsi Timor Timur;

6. Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama;

7. Keputusan Menteri Agama Nomor 111 Tahun 2001 tentang Perubahan Nomenklatur 1 (satu) Kantor Urusan Agama Kecamatan dan Pembentukan 111 (seratus sebelas) Kantor Urusan Agama Kecamatan;

Memperhatikan: Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Surat Nomor 295/M. PANT/11/2001 tanggal 9 Nopember 2001;

Page 404: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

391

MEMUTUSKAN

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI AGAMA TENTANG PENATAAN ORGANISASI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN

BAB I

KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI

Pasal 1

(1) Kantor Urusan Agama Kecamatan berkedudukan di wilayah kecamatan dan bertanggungjawab kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota yang dikoordinasi oleh Kepala Seksi Urusan Agama Islam/ Bimas Islam/ Bimas dan Kelembagaan Agama Islam;

(2) Kantor Urusan Agama Kecamatan dipimpin oleh seorang Kepala.

Pasal 2

Kantor Urusan Agama Kecamatan mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kota di bidang Urusan Agama Islam dalam wilayah kecamatan.

Pasal 3

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kantor Urusan Agama Kecamatan menyelenggarakan fungsi :

a. menyelenggarakan statistik dan dokumentasi; b. menyelenggarakan Surat menyurat, pengurusan Surat,

kearsipan, pengetikan dan rumah tangga Kantor Urusan Agama Kecamatan;

c. melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan

Page 405: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

392

oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 4

Kantor Urusan Agama Kecamatan terdiri dari :

a. Kepala; b. Pelaksana, sesuai dengan kebutuhan rasional dengan

tugas: penyelenggaraan statistik, dokumentasi, Surat menyurat, pengurusan Surat, kearsipan, pengetikan dan rumah tangga Kantor Urusan Agama Kecamatan; bimbingan dan pelayanan nikah dan rujuk; pengurusan dan pembinaan kemasjidan, zakat, wakaf, ibadah sosial dan baitul mast; pengembangan keluarga sakinah dan kependudukan, sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bimbingan. Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 5

(1) Pembentukan Kantor Urusan Agama di suatu kecamatan ditetapkan oleh Menteri Agama setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggungjawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.

(2) Pembentukan Kantor Urusan Agama Kecamatan dilakukan menurut keperluan dengan memperhatikan jumlah pemeluk agama Islam yang harus dilayani;

(3) Apabila dipandang perlu dalam rangka pelaksanaan tugas, Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi/setingkat dapat menetapkan bahwa tugas suatu Kantor Urusan Agama meliputi 2 (dua) Kecamatan atau lebih.

Pasal 6

Sejak berlakunya Keputusan ini Kantor Urusan Agama Kecamatan di lingkungan Departemen Agama adalah

Page 406: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

393

sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Keputusan ini.

BAB ll T A T A k E R J A

Pasal 7

Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi baik di lingkungan Kantor Urusan Agama dengan instansi vertikal Departemen Agama lainnya maupun antara unsur Departemen di Kecamatan dengan unsur Pemerintah Daerah.

Pasal 8

Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan bertanggung jawab memimpin bawahannya masing-masing, serta memberikan pedoman, bimbingan dan petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahannya.

Pasal 9

Sebagai bawahan, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan wajib mengetahui dan mematuhi atasannya dan melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada atasan

Pasal 10

Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan menyampaikan laporan kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota yang membawahinya untuk selanjutnya disusun dan diolah sebagai laporan berkala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.

Pasal 11

Dalam menyampaikan laporan, tembusan laporan disampaikan kepada satuan organisasi lain yang berkaitan.

Page 407: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

394

Pasal 12

Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Kantor Urusan Agama memberikan bimbingan terhadap bawahannya, melalui rapat berkala.

Pasal 13

Apabila Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berhalangan, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan dapat menunjuk pejabat pimpinan sementara untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang diberikan.

BAB III

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 14

Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Kantor Urusan Agama Kecamatan di Indonesia berjumlah 3.862 buah berubah Eselonisasinya dari V/a menjadi IV/b.

Pasal 15

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 30 November 2001

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

t.t.d

PROF. DR. H. SAID AGIL HUSIN AL MUNAWAR, MA

Page 408: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

395

KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR DJ.II/1209 TAHUN 2013

TENTANG

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PADA KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan perlu menyusun standar operasional prosedur di lingkungan Kantor Urusan Agama Kecamatan;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri Agama tentang Standar Operasional Prosedur Pencatatan Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 1946, Tambahan

Page 409: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

396

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6941;

2. Undang-Undang Nomor 32 Ta.bun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura);

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019;

4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 30501);

6. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;

7. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I

Page 410: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

397

Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa Kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;

8. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 592);

9. Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Keria Instansi Vertikal Kementerian Agama Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 851);

10. Peraturan Menteri Pendayagunaan Apartur Negara Nomor 35 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Standar Operational Prosedur Admnistrasi Pemerintahan;

11. Keputusan Menteri Agama Nomor 168 Tahun 2010 tentang Pedoman penyusunan Stander Operasional Prosedur di lingkungan Kementerian Agama;

12. Keputusan Menteri Agama Nomor 84 Tahun 2013 tentang Pemberian Kuasa Kepada Pimpinan Satuan Kerja Untuk Atas Nama Menteri Agama Menetapkan Standar Operasional Prosedur di Lingkungan Kementerian Agama.

Page 411: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

398

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PADA KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN.

KESATU : Menetapkan Keputusan Standar Operasional Prosedur Pencatatan Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini.

KEDUA : Standar Operasional Prosedur Pencatatan Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan yang belum ditetapkan dalam Peraturan ini akan ditetapkan kemudian oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi setelah di konsultasikan dengan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

KETIGA : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapakan di Jakarta pada tanggal, 20 Desember 2013

a.n. MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA DIREKTUR JENDERAL

Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA

Page 412: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

399

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita haturkan ke hadirat Allah SWT,

atas limpahan rahmat dan petunjuk-Nya, dapat disusun

Standar Operasional Prosedur (SOP) Pencatatan Nikah

Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan. Penyusunan Sop

ini dilandasi suatu pemikiran bahwa tantangan yang

dihadapi Kementerian Agama dalam mengimplementasikan

reformasi birokrasi masih cukup berat.

Oleh Karena itu, untuk percepatan pelaksanaan

reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Agama telah

dikeluarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomer 168

Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Standar

Operasional Prosedur di lingkungan Kementerian Agama.

Dalam keputusan tersebut telah telah diputuskan bahwa

setiap satuan organisasi kerja di lingkungan Kementerian

Agama, baik kantor pusat maupun instansi vertikal maupun

UPT harus menyusun SOP.

Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan sebagai

ujung tombak Kementerian Agama salah satu tugasnya

adalah melayani permohonan pencatatan nikah, sehingga

perlu dibuat Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait

dengan pelayanan tersebut. SOP yang telah disusun ini

Page 413: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

400

tentunya akan dijadikan sebuah pedoman atau acuan kerja

bagi petugas Kantor Urusan Agama Kecamatan, sehingga

pelaksanaan tugas KUA dalam melayani masyarakat dapat

berjalan dengan efektif dan efesien sesuai dengan standar

yang telah ditetapkan serta dapat dipertanggungjawabkan

sehingga akan meminimalisir terjadinya kesalahan dalam

pelaksanaannya tugasnya dan masyarakat mampu

mengetahui alur dalam proses pencatatan nikah secara baik

dan benar.

Kami berharap semoga SOP ini bermanfaat terutama

dalam upaya menciptakan percepatan reformasi birokrasi

dalam pelayanan dan mewujudkan akuntabilitas kinerja di

lingkungan Kantor Urusan Agama Kecamatan bahkan

Kementerian Agama pada umumnya.

Ditetapakan di Jakarta

pada tanggal, 20 Desember 201

a.n. MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

DIREKTUR JENDERAL

Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA

Page 414: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

401

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR

(SOP)

PENCATATAN NIKAH

KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN

KEMENTERIAN AGAMA

KABUPATEN/KOTA

TAHUN 2013

Page 415: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

402

LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI AGAMA

REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2013

TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PENCATATAN

NIKAH PADA KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk mendorong penyelenggaraan pemerintah yang lebih efektif, efisien dan akuntabel, Pemerintah telah mencanangkan penerapan prinsip-prinsip penyelenggaraan tata kelola kepemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean goverment) melalui penerapan

reformasi birokrasi, yang secara umum ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Secara operasional wujud peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat adalah berupa perbaikan dan penyempurnaan proses penyelenggaraan administrasi pemerintahan sehingga lebih mencerminkan birokrasi yang mampu menjalankan fungsi pelayanan umum yang berkualitas, memuaskan, transparan, dan dapat dipertanggung-jawabkan.

Sebagai upaya untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas tersebut, diperlukan ketersediaan standar operasional prosedur (SOP) sebagai pedoman/petunjuk bagi para aparatur dalam melaksanakan tugas pelayanan dan bagi masyarakat pengguna layanan untuk mengetahui/memahami akan suatu prosedur pelayanan yang dilakukan oleh aparatur. Dengan demikian dapat

Page 416: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

403

dihindarkan tumpang tindih tanggung jawab dan kesalahan prosedur dalam melaksanakan tugas.

Oleh karena itu untuk menjamin adanya kesamaan pengertian dan keseragaman dalam pelayanan di bidang pencatatan nikah, Kementerian Agama memandang perlu menyusun standar operasional prosedur (SOP) pencatatan nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan sebagai acuan kerja.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai Unit Pelaksana Teknis Kementerian Agama merupakan instansi yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat. Untuk itu perlu adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) pencatatan nikah/rujuk pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan. Penerbitan SOP tersebut dimaksudkan untuk menstandarkan prosedur-prosedur penting dalam menyelenggarakan pelayanan.

2. Tujuan

a. Penggunaan Standar Operasional Prosedur bertujuan untuk mendorong setiap aparatur negara di Kantor Urusan Agama Kecamatan melaksanakan tugas dan fungsi sesuai dengan SOP pelayanan kepada masyarakat dalam pencatatan pernikahan;

b. Standar Operasional Prosedur yang disusun ini diharapkan:

1) Memberikan kepastian dan keseragaman dalam proses pelaksanaan Lukas.

2) Menunjang kelancaran dalam proses pelak-sanaan tugas dan kemudahan pengendalian.

3) Mempertegas tanggung jawab dalam pelak-sanaan tugas bagi

Page 417: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

404

4) Meningkatkan daya guna dan hasil guna secara berkelanjutan dalam melaksanakan tugas umum pemerintahan.

5) Memberikan informasi mengenai pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh aparatur pemerintah secara proporsional.

6) Memberikan kejelasan dan transparansi kepada masyarakat sebagai penerima layanan mengenai hak dan kewajibannya.

C. Ruang Lingkup

Standar Operasional Prosedur ini digunakan dalam pencatatan nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan.

D. Manfaat

Manfaat Standar Operasional Prosedur pencatatan nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan meliputi :

1. Standardisasi Cara yang harus dilakukan dalam menyelesaikan pekerjaan, mengurangi kesalahan atau kelalaian oleh pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan.

2. Menjamin proses yang telah ditetapkan dan dijadwalkan dapat berlangsung sebagaimana mestinya.

3. Menjamin tersedianya data untuk penyempurnaan proses.

4. Meningkatkan akuntabilitas dengan melaporkan dan mendokumentasikan hasil dalam pelaksanaan tugas.

5. Memberikan Cara konkrit untuk perbaikan kinerja.

6. Menghindari terjadinya variasi proses pelaksanaan

Page 418: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

405

kegiatan dan tumpang tindih.

7. Membantu pegawai menjadi lebih mandiri,

8. Membantu mengidentifikasi apabila terjadi kesalahan prosedural.

9. Memudahkan penelusuran terjadinya penyimpangan dan memudahkan langkah perbaikan.

10.Meningkatkan efisiensi den efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan dan organisasi secara keseluruhan.

E. Sistematika

Sistematika penulisan buku Standar Operasonal Prosedur (SOP) pencatatan nikah ini terdiri dari empat Bab. Pada Bab I Pendahuluan berisi tentang latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup, manfaat dan sistematika penulisan. Pada bab ini membahas tentang latar belakang mengapa buku SOP ini ditulis, maksud dan tujuan yang hendak dicapai, manfaat yang akan diperoleh, ruang lingkup permasalahan apa yang dikemukakan dalam buku ini serta sistematika penulisan.

Sementara itu, pada Bab II berisi tentang penjelasan dan prinsip pelaksanaan SOP yang meliputi isi form SOP dan prinsip pelaksanaan SOP. Pada bab ini dibahas tentang isi form SOP yang memuat informasi dan istilah-istilah tentang SOP dan beberapa prinsip dasar yang harus dipenuhi dalam penyusunan SOP.

Selanjutnya, pada Bab III berisi SOP pencatatan nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kementerian Agama Kabupaten/Kota. Bab ini akan membahas tentang uraian Standar Operasioanal Prosedur yang ada pada KUA Kecamatan yang ada, yaitu:

1. SOP Pelayanan pendaftaran nikah;

Page 419: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

406

2. SOP Pengisian pengumuman kehendak nikah; 3. SOP Penulisan draf aKta nikah; 4. SOP Penulisan draf buku nikah; 5. SOP Pelayanan akad nikah; 6. SOP Pengaduan masyarakat terhadap layanan

pernikahan; 7. Bagan tata Cara pelayanan pernikahan.

Dan terakhir, pada Bab IV yaitu, Penutup yang berisi Kata akhir.

BAB II

PENJELASAN FORM DAN PRINSIP PELAKSANAAN SOP

A. Isi Form SOP

Dokumen SOP merupakan dokumen yang berisi prosedur-prosedur yang distandarkan, yang secara keseluruhan prosedur-prosedur tersebut membentuk satu kesatuan proses. Adapun informasi yang dimuat dalam dokumen SOP antara lain sebagai berikut:

1. Nama SOP : nama prosedur yang di-SOP-Kan; 2. Satuan kerja/unit kerja: Kementerian Agama

Kabupaten/Kota; 3. Nomor SOP : nomor prosedur yang di-SOP-Kan; 4. Tanggal pembuatan: tanggal pertama Kali SOP

dibuat; 5. Tanggal revisi : tanggal SOP prosedur direvisi; 6. Tanggal efektif : tanggal mulai diberlakukan; 7. Disahkan oleh : Menteri Agama Republik Indonesia; 8. Dasar hukum : peraturan perundang-undangan

yang mendasari prosedur; 9. Keterkaitan: memberikan penjelasan mengenai

keterkaitan prosedur yang distandardisasikan dengan prosedur lain yang distandardisasikan.

Page 420: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

407

10. Peringatan : memberikan penjelasan mengenai kemungkinan-kemungkinan yang terjadi ketika prosedur dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Peringatan memberikan indikasi berbagai permasalahan yang mungkin muncul dan berada di luar Kendali pelaksana ketika prosedur dilaksanakan, serta berbagai dampak lain yang ditimbulkan. Dalam hal ini dijelaskan pula bagaimana Cara mengatasinya.

11. Kualifikasi pelaksana: memberikan penjelasan mengenai kualifikasi pegawai yang dibutuhkan dalam melaksanakan perannya pada prosedur yang distandarkan.

12. Peralatan dan perlengkapan : memberikan penjelasan mengenai daftar peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan.

13. Pencatatan : memuat berbagai hal yang perlu didata dan dicatat oleh setiap pegawai yang berperan dalam pelaksanaan prosedur yang telah distandardisasikan. Dalam kaitan ini, perlu dibuat formulir-formulir tertentu yang akan diisi oleh setiap pegawai yang terlibat dalam proses pencatatan nikah. Setiap pegawai yang ikut berperan dalam proses, diwajibkan untuk mencatat dan mendata apa yang sudah dilakukannya, dan memberikan pengesahan bahwa langkah yang ditanganinya dapat dilanjutkan pada langkah selanjutnya. Pendataan dan pencatatan akan menjadi dokumen yang memberikan informasi penting mengenai “apakah prosedur telah dijalankan dengan benar".

14.Uraian SOP: menjelaskan langkah-langkah kegiatan secara terinci dan sistematis dari prosedur yang distandardisasikan. Agar SOP ini terkait dengan kinerja, maka setiap aktivitas hendaknya mengidentifikasikan mutu baku tertentu, seperti: waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan

Page 421: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

408

persyaratan/kelengkapan yang diperlukan (standar input) dan outputnya. Mutu baku ini akan menjadi alat kendali mutu sehingga produk akhirnya (end product) dari sebuah proses benar-benar memenuhi kualitas yang diharapkan, sebagaimana ditetapkan dalam standar pelayanan.

BAB III

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PENCATATAN NIKAH

PADA KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN

1. SOP PELAYANAN PENDAFTARAN NIKAH 2. SOP PENGISIAN PENGUMUMAN KEHENDAK NIKAH 3. SOP PENULISAN DRAF AKTA NIKAH 4. SOP PENULISAN DRAFT BUKU NIKAH 5. SOP PELAYANAN AKAD NIKAH 6. SOP PENGADUAN MASYARAKAT TERHADAP

LAYANAN PERNIKAHAN 7. BAGAN TATA CARA PELAYANAN PERNIKAHAN

B. Prinsip Pelaksanaan SOP

Pelaksanaan SOP barns memenuhi prinsip sebagai berikut:

1. Konsisten

SOP harus dilaksanakan secara konsisten dari waktu ke waktu, oleh siapa pun dan dalam kondisi apa pun oleh seluruh pegawai pada Kantor Urusan Agama Kecamatan,

2. Komitmen

SOP dilaksanakan dengan penuh langgung jawab.

3. Perbaikan berkelanjutan

Pelaksanaan SOP harus terbuka terhadap segala

Page 422: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

409

penyempurnaan untuk memperoleh prosedur yang benar-benar efisien dan efektif.

4. Mengikat

SOP harus mengikat pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan prosedur standar yang telah ditetapkan.

5. Seluruh unsur memiliki peran penting

Seluruh pegawai berperan dalam setiap prosedur yang distandardisasikan. Jika ada pegawai yang tidak melaksanakan perannya dengan baik, maka akan mengganggu keseluruhan proses, yang akhirnya juga berdampak pada proses penyelenggaraan pelayanan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan.

6. Didokumentasikan dengan baik

Seluruh prosedur yang telah distandardisasikan harus didokumentasikan dengan baik, sehingga dapat selalu dijadikan referensi.

BAB IV

PENUTUP Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP)

pencatatan nikah pada Kantor Urusan Asama (KUA) Kecamatan merupakan bagian kecil dari aspek penyelenggaraan administrasi pada KUA Kecamatan, SOP ini sebagai pedoman tentang langkah-langkah/proses pekerjaan yang harus dilakukan dalam kaitan pencatatan nikah memiliki peran penting dalam menciptakan kepastian layanan yang efektif, efisien, dan konsisten dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Mengingat pentingnya SOP pencatatan nikah ini dalam rangka menghindari kemungkinan terjadi penyimpangan dalam prosedur dan tumpang tindih aktivitas pelayanan yang satu dengan yang lain. Oleh Karena itu, SOP ini

Page 423: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

410

menjadi instrumen yang penting untuk mendorong setiap pegawai dalam melaksanakan pekerjaan dengan efisien, memudahkan mereka dalam memantau hasil pekerjaan, serta bekerja akan semakin terarah. Semoga bermanfaat, Amiiin.

Ditetapakan di Jakarta

pada tanggal

a.n MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

DIREKTUR JENDERAL

BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM

Ttd.

Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA

Page 424: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

411

Page 425: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

412

Page 426: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

413

Page 427: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

414

Page 428: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

415

Page 429: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

416

Page 430: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

417

Page 431: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

418

KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 75 TAHUN 2014

TENTANG

PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI AGAMA

NOMOR 99 TAHUN 2013 TENTANG PENETAPAN

BLANGKO DAFTAR PEMERIKSAAN NIKAH, AKTA NIKAH,

BUKU NIKAH, DUPLIKAT BUKU NIKAH, BUKU

PENCATATAN RUJUK, DAN KUTIPAN BUKU

PENCATATAN RUJUK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk memberikan kepastian hukum

dalam Pencatatan Nikah, perlu menetapkan

Keputusan Mentcri Asama tentang Perubahan

Alas Keputusan Mcntcri Asama Nomor 99 Tahun

2013 tentang Pcnetapan Blangko Daftar

Pemeriksaaan Nikah, Akta Nikah, Buku Nikah,

Dllplikat Buku Nikah, Buku Pcncatatan Rujuk,

dan Kutipan Buku Pencatatan Rujuk;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946

tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1946 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 694);

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang

Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik

Indonesia tanggal 21 November 1946 Nomor 22

Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan

Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura);

Page 432: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

419

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3019);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3050);

5. Peraturan Prcsiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang

Pembentukan dan Organisasi Kementerian

Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah

terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 13

Tahun 2014 tentang Perubahan Kelima Atas

Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang

Pembentukan dan Organisasi Kementerian

Negara;

6. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang

Kedudukan, Tugas, dun Fungsi Kementerian

Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan

Fungsi Eselon I Kementerian Negara

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir

dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2014

tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan

Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang

Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian

Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan

Fungsi Eselon I Kementerian Negara;

7. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010

tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian

Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun

Page 433: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

420

2010 Nomor 592) sebagaimana telah diubah

terakhir dengan Peraturan Menteri Agama Nomor

80 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas

Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010

tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian

Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun

2013 Nomor 1202);

8. Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2012

tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal

Kementerian Agama Berita Negara Republik

Indonesia Tahun 2012 Nomor 851);

9. Keputusan Bersama Menteri Agama dengan

Menteri Luar Negeri Nomor 589 Tahun 1999 dan

Nomor 182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara

Indonesia di Luar Negeri;

10. Keputusan Menteri Agama Nomor 517 Tahun

2001 tentang Penataan Orgsnisasi Kantor Urusan

Agama Kecamatan;

11. Keputusan Menteri Agama Nomor 99 Tahun 2013

tentang Penetapan Blangko Daftar Pemeriksaan

Nikah, Akta Nikah, Buku Nikah, Duplikat Buku

Nikah, Buku Pencatatan Rujuk, dan Kutipan Buku

Pencatatan Rujuk;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI AGAMA TENTANG PERUBAHAN ATAS

KEPUTUSAN MENTERI AGAMA NOMOR 99 TAHUN 2013

TENTANG PENETAPAN BLANGKO DAFTAR PEMERIKSAAN

NIKAH, AKTA NIKAH, BUKU NIKAH, DUPLIKAT BUKU NIKAH,

Page 434: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

421

BUKU PENCATATAN RUJUK, DAN KUTIPAN BUKU

PENCATATAN RUJUK.

Pasal 1

Mengubah Lampiran I, II, III, IV, dan Lampiran V Keputusan

Menteri Asama Nomor 99 Tahun 2013 tentang Penetapan

Blangko Daftar Pemeriksaan Nikah, Akta NiKah, Buku Nikah,

Duplikat Buku Nikah, Buku Pencatatan Rujuk, dam Kutipan

Bukti Pencatatan Rujuk sehingga seluruhnya berbunyi

sebagaimana tercantum dalam Lampiran-Lampiran yang

merupakan bagian tidak terpisahkan dari keputusan ini.

Pasal II

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 2 Mei 2014

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,

SURYADHARMA ALI

Page 435: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

422

Page 436: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

423

Page 437: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

424

Page 438: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

425

Page 439: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

426

Page 440: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

427

Page 441: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

428

Page 442: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

429

Page 443: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

430

Page 444: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

431

Page 445: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

432

Page 446: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

433

Page 447: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

434

Page 448: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

435

Page 449: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

436

Page 450: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

437

Page 451: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

438

Page 452: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

439

Page 453: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

440

Page 454: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

441

KEPUTUSAN

MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

NOMOR : 63/KEP/M.PAN/7/2003

TENTANG

PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN

PELAYANAN PUBLIK

MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA,

Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik oleh aparatur negara perlu disusun suatu pedoman;

b. bahwa pedoman penyelenggaraan pelayanan publik yang telah diatur dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Apartur Negara Nomor 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum, perlu disesuaikan dengan perkembangan yang ada, sehingga perlu disempurnakan;

c. bahwa untuk maksud tersebut sebagaimana pada butir a dan b, dipandang perlu mengatur kembali dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik;

Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembar Negara Republik

Page 455: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

442

Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, TLN Nomor 3821);

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, TLN Nomor 3839);

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom;

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22/M Tahun 2000;

5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;

6. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada Masyarakat;

7. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 95/KEP/M.PAN/11/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK.

PERTAMA : Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini merupakan acuan bagi Instansi Pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik.

Page 456: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

443

KEDUA : Dengan berlakunya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum, dinyatakan tidak berlaku.

KETIGA : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 10 Juli 2003 Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Feisal Tamin

Page 457: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

444

LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA Nomor : 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tanggal : 10 Juli 2003

PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK

I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Ketetapan MPR-RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), mengamanatkan agar aparatur negara mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional, produktif, transparan dan bebas dari KKN.

Perwujudan nyata dari sikap aparatur negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan yang diamanatkan oleh Tap MPR tersebut antara lain tercermin dari penyelenggaraan pelayanan publik. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan kinerja aparatur dalam penyelenggaraan pelayanan publik terus dilakukan.

Dalam menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan dan peluang, aparatur negara hendaknya memberikan pelayanan dengan berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan penerima pelayanan, sehingga dapat meningkatkan daya saing dalam pemberian pelayanan barang dan jasa.

Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, diharapkan memberikan dampak nyata yang luas terhadap peningkatan pelayanan terhadap masyarakat. Perlimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat ke Daerah memungkinkan terjadinya penyelenggaraan pelayanan dengan jalur birokrasi yang

Page 458: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

445

lebih ringkas dan membukan peluang bagi Pemerintah Daerah memungkinkan terjadinya dan membuka peluang bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan inovasi dalam pemberian dan peningkatkan kualitas pelayanan.

Kemajuan teknologi informasi juga merupakan solusi dalam memenuhi aspek transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat. Keterpaduan sistem penyelenggaraan pemerintah melalui jaringan informasi on-line, pelayanan, sehingga memungkinkan tersedianya data dan informasi pada Instansi Pemerintah yang dapat dianalisis dan dimanfaatkan secara cepat, akurat dan aman.

Oleh karena itu untuk mempercepat upaya pencapaian sasaran terhadap peningkatkan kinerja aparatur negara dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR RI dimaksud, maka perlu disusun landasan yang bersifat umum dalam suatu bentuk pedoman bagi Instansi Pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud pedoman umum ini adalah sebagai acuan bagi seluruh penyelenggara pelayanan publik dalam pengaturan dan pelaksanaan kegiatan pelayanan publik sesuai dengan kewenangannya.

2. Tujuan pedoman umum ini adalah untuk mendorong terwujudnya penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam arti memenuhi harapan dan kebutuhan baik bagi pemberi maupun penerima pelayanan.

C. Pengertian Umum

1. Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Penyelenggaraan Pelayanan Publik adalah Instansi Pemerintah.

Page 459: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

446

3. Instansi Pemerintah adalah sebutan kolektif meliputi satuan kerja/satuan organisasi Kementerian, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, dan Instansi Pemerintah lainnya, baik Pusat maupun Daerah termasuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.

4. Unit penyelenggara pelayanan publik adalah unit kerja pada Instansi Pemerintah yang secara langsung memberikan pelayanan kepada penerima pelayanan publik.

5. pemberi pelayanan publik adalah pejabat/pegawai instansi pemerintah yang melaksankan tugas dan fungsi pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

6. Penerima pelayanan publik adalah orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum yang menerima pelayanan dari instansi pemerintah.

7. Biaya pelayanan publik adalah segala biaya (dengan nama atau sebutan apapun) sebagai imbal jasa atas pemberian pelayanan publik yang besaran dan tata cara pembayaran ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai ketentuan perundang-undangan.

8. Indeks Kepuasan Masyarakat adalah tingkat kepuasan masyarakat dalam memperoleh pelayanan yang diperoleh dari penyelenggara atau pemberi pelayanan sesuai harapan dan kebutuhan masyarakat.

II. Hakekat Pelayanan Publik

Hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur negara sebagai abdi masyarakat.

III. Asas Pelayanan Publik

A. Transparansi

Page 460: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

447

Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

B. Akuntabilitas

Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

C. Kondisional

Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.

D. Partisipatif

Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

E. Kesamaan Hak

Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.

F. Keseimbangan Hak dan Kewajiban

Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.

IV. Kelompok Pelayanan Publik

A. Kelompok Pelayanan Administratif yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Pernikahan, Akte Kelahiran, Akte Kematian, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat Kepemilikan/Penguasaan Tanah dan sebagainya.

Page 461: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

448

B. Kelompok Pelayanan Barang yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan sebagainya.

C. Kelompok Pelayanan Jasa yaitu pelayanan yang menghasilkan bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos dan sebagainya.

V. Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Penyelenggaraan pelayanan publik perlu memperhatikan dan menerapkan prinsip, standar, pola penyelenggaraan biaya, pelayanan bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil dan balita, pelayanan khusus, biro jasa pelayanan, tingkat kepuasan masyarakat, pengawasan penyelenggaraan, penyelesaian pengaduan dan sengket, serta evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayana publik.

A. Prinsip Pelayanan Publik

1. Kesederhanaan

Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan.

2. Kejelasan

a. Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik

b. Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik;

c. Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.

3. Kepastian Waktu

Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

4. Akurasi

Page 462: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

449

Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah.

5. Keamanan

Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum.

6. Tanggung jawab

Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.

7. Kelengkapan sarana dan prasarana

Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika).

8. Kemudahan Akses

Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.

9. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan

Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.

10. Kenyamanan

Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungna yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain.

8. Kemudahan Akses

Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan

Page 463: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

450

dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.

B. Standar Pelayanan Publik

Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan.

Standar pelayanan, sekurang-kurangnya meliput:

1. Prosedur pelayanan

Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan.

2. Waktu Penyelesaian

Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan.

3. Biaya pelayanan

Biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan.

4. Produk pelayanan

Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

5. Sarana dan prasarana

Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggara pelayanan publik.

6. Kompetensi petugas pemberi pelayanan

Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan prilaku yang dibutuhkan.

Page 464: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

451

C. Pola Penyelenggaraan Pelayanan Publik

1. Fungsional

Pola pelayanan publik diberikan oleh penyelenggara pelayanan, sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya.

2. Terpusat

Pola pelayanan publik diberikan secara tunggal oleh penyelenggara pelayanan berdasarkan pelimpahan wewenang dari penyelenggara pelayanan terkait lainnya yang bersangkutan.

3. Terpadu

a. Terpadu Satu Atap

Pola pelayanan terpadu satu atap diselenggarakan dalam satu tempat yang meliputi berbagai jenis atas pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui beberapa pintu. Terhadap jenis pelayanan yang sudah dekat dengan masyarakat tidak perlu disatuatapkan.

b. Terpadu Satu Pintu

Pola pelayanan terpadu satu pintu diselenggarakan pada satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu.

4. Gugus Tugas

Petugas pelayanan publik secara perorangan atau dalam bentuk gugus tugas ditempatkan pada instansi pemberi pelayanan dan lokasi pemberian pelayanan tertentu.

Selain pola pelayanan sebagaimana tersebut, instansi yang melakuan pelayanan public dapat mengembangkan pola penyelenggarakan pelayanannya sendiri dalam rangka upaya menemukan dan menciptakan inovasi peningkatan pelayanan public. Pengembangan pola penyelenggaraan pelayanan publik dimaksud mengikuti prinsip-prinsip sebagaimana ditetapkan dalam pedoman ini.

Page 465: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

452

D. Biaya Pelayanan Publik

Penetapan besaran biaya pelayanan publik perlu memperlihatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Tingkat kemampuan dan daya beli masyarakat; 2. Nilai/harga yang berlaku atas barang atau jasa; 3. Rincian biaya harus jelas untuk jeis pelayanan publik

yang memerlukan tindakan seperti penelitian, pemeriksaan dan pengukuran dan pengujian;

4. Ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan memperhatikan prosedur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

E. Pelayanan Bagi Penyandang Cacat, Lanjut Usia, Wanita Hamil dan Balita

Penyelenggara pelayanan wajib mengupayakan tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan serta memberikan akses khusus berupa kemudahan pelayanan bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil dan balita.

F. Pelayanan Khusus

Pelayanan jenis pelayanan publik tertentu seperti pelayanan transportasi, kesehatan, dimungkinkan untuk memberikan penyelenggaraan pelayanan khusus, dengan ketentuan seimbang dengann biaya yang dikeluarkan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, seperti perawatan VIP di rumah sakit, dan gerbong eksekutif pada kereta api.

G. Biro Jasa Pelayanan

Pengurusan pelayanan publik pada dasarnya dilakukan sendiri oleh masyarakat. Namun dengan pertimbangan tertentu dan sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik tertentu dimungkinkan adanya biro jasa untuk membantu penyelenggaraan pelayanan publik. Status biro jasa tersebut harus jelas, memiliki ijin usaha dari instansi yang berwenang dan dalam

Page 466: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

453

menyelenggarakan kegiatan pelayanannya harus berkoordinasi dengan penyelenggara pelayanan yang bersangkutan, terutama dalam hal yang menyangkut persyaratan, tarif jasa dan waktu pelayanan, sepanjang tidak menganggu fungsi penyelenggaraan pelayanan publik. Sebagai contoh, biro jasa perjalanan angkutan udara, laut, dan darat.

H. Tingkat Kepuasan Masyarakat

Ukuran keberhasilan penyelenggaraan pelayanan ditentukan oleh tingkat kepuasan penerima pelayanan. Kepuasan penerima pelayanan dicapai apabila penerima pelayanan memperoleh pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkan dan diharapkan. oleh karena itu setiap penyelenggara pelayanan secara berkala melakukan survei indeks kepuasan masyarakat.

I. Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik, dilakukan melalui:

1. Pengawasan melekat yaitu pengawasan yang dilakukan oleh atasan Iangsung, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Pengawasan fungsional yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional sesuai dangan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Pengawasan masyarakat yaitu pengawasan yang diiakukan oleh masyarakat, berupa Iaporan atau pengaduan masyarakat tentang penyimpangan dan kelemahan dalam panyelenggaraan pelayanan publik.

J. Penyelesaian Pengaduan dan Sengketa 1. Pengaduan

Setiap pimpinan unit penyelenggara pelayanan publik wajib menyelesaikan setiap laporan atau pengaduan masyarakat mengenai ketidakpuasan dalam pemberian pelayanan sesuai kewenangannya. Untuk menampung

Page 467: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

454

pengaduan masyarakat tersebut, unit pelayanan menyediakan loket/kotak pengaduan, Dalam menyelesaikan pengaduan masyarakat, pimpinan unit penyelenggara pelayanan publik perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Prioritas penyelesaian pengaduan; b. Penentuan pejabat yang menyelesaikan pengaduan; c. Prosedur penyelesaian pengaduan; d. Rekomendasi penyelesaian pengaduan; e. Pemantauan dan evaluasi penyelesaian pengaduan; f. Pejaporan proses dan hasil penyelesaian pengaduan

kepada pimpinan; g. Penyampaian hasil penyelesaian pengaduan kepada

yang mengadukan; h. Dokumentasi penyelesaian pengaduan.

2. Sengketa Dalam hal pengaduan tidak dapat diselesaikan oleh unit

penyelenggara pelayanan publik yang bersangkutan dan terjadi sengketa, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui jalur hukum.

K. Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Pimpinan penyelenggaraan pelayanan publik wajib secara berkala mengadakan evaluasi terhadap kinerja penyelenggaraan pelayanan di lingkungan instansinya masing-masing. Kegiatan evaluasi ini dilakukan secara berkelanjutan dan hasilnya secara berkala dilaporkan kepada pimpinan tertinggi penyelenggara pelayanan publik. Penyelenggara pelayanan publik yang kinerjanya dinilai baik perlu diberikan penghargaan untuk memberikan motivasi agar lebih meningkatkan pelayanan. Sedangkan penyelenggara pelayanan publik yang kinerjanya dinilai belum sesuai dengan yang diharapkan Oleh masyarakat, perlu terus melakukan upaya peningkatan. Dalam melakukan evaluasi kinerja-

Page 468: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

455

pelayanan publik harus menggunakan indikator yang jelas dan terukur sesuai ketentuan yang berlaku.

VI. Penyusunan Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik digunakan sebagai landasan penyusunan standar pelayanan oleh masing-masing pimpinan unit penyalenggara pelayanan.

A. Petunjuk palaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik sekurang-kurangnya memuat:

1. Landasan Hukum Pelayanan Publik Peraturan parundang-undangan yang menjadi dasar penyelenggaraan pelayanan.

2. Maksud dan Tujuan Pelayanan Publik Hal-hal yang akan dicapai dari penyelenggaraan pelayanan.

3. Sistem dan Prosedur Pelayanan Publik Sistem dan prosedur pelayanan publik sekurang-kurangnya memuat: a. Tata Cara pengajuan permohonan pelayanan; b. Tata Cara penanganan pelayanan; c. Tata Cara penyampaian hasil pelayanan; dan d. Tata Cara penyampaian pengaduan pelayanan.

4. Persyaratan Pelayanan Publik Persyaratan teknis dan administratif harus dipenuhi oleh masyarakat penerima pelayanan.

5. Biaya Pelayanan Publik Besaran biaya dan rincian biaya pelayanan publik

6. Waktu Penyelesaian Jangka waktu penyelesaian pelayanan publik.

7. Hak dan Kewajiban Hak dan kewajiban pihak pemberi dan penerima pelayanan publik.

8. Pejabat Penerima Pengaduan Pelayanan Publik

Page 469: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

456

Penunjukan pejabat yang menangani pengaduan pelayanan publik.

B. Pimpinan lnstansi Pemerintah pusat dan daerah menetapkan petunjuk pelaksanaan penyeleng-garaan pelayanan publik, sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewemangannya masing-masing.

VII. Lain-Lain

A. Dalam menyusun petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan pelayalan publik, penyelenggara pelayanan publik dapat berkonsultasi dengan Kememterian Pendayagunaan Aparatur Negara.

B. Masukan, saram dan penyempurnaan terhadap pedoman umum penyalanggaraan pelayanan publik, disampaikan kepada Sekretaris Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Jakarta, 10 Juli 2003 Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara ttd. Feisal Tamin

Page 470: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

457

PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2007

TENTANG PENCATATAN NIKAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : bahwa untuk memenuhi tuntutan perkembangan tata pemerintahan dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, dipandang perlu meninjau kembali Keputusan Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004 tentang Pencatatan Nikah;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk;

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk di seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 694);

3. Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019);

4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Page 471: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

458

Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611);

5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3250);

7. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2002 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nangroe aceh Darussalam;

8. Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 2002 tentang Kedudukan, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Departeman Agama;

9. Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;

10. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Keenam Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit

Page 472: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

459

Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia;

11. Keputusan Bersama Menteri Agama dengan Menteri Luar Negeri Nomor 589 Tahun 1999 dan Nomor 182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri;

12. Keputusan Menteri Agama Nomor 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan;

13. Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 480 Tahun 2003;

14. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI AGAMA TENTANG PENCATATAN NIKAH

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Kantor Urusan Agama Kecamatan yang selanjutnya

disebut KUA adalah instansi Departemen Agama yang bertugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama kabupaten/kota di bidang urusan agama Islam dalam wilayah kecamatan.

Page 473: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

460

2. Kepala Seksi adalah kepala seksi yang ruang lingkup tugasnya meliputi tugas kepenghuluan pada Kantor Departemen Agama kabupaten/kota.

3. Penghulu adalah pejabat fungsional Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.

4. Pembantu Pegawai Pencatat Nikah adalah anggota masyarakat tertentu yang diangkat oleh Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota untuk membantu tugas-tugas PPN di desa tertentu.

5. Pengadilan adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.

6. Akta nikah adalah akta autentik tentang pencatatan peristiwa perkawinan.

7. Buku nikah adalah kutipan akta nikah. 8. Buku pendaftaran Cerai Talak adalah buku yang digunakan

untuk mencatat pendaftaran putusan cerai talak. 9. Buku pendaftaran Cerai Gugat adalah buku yang

digunakan untuk mencatat pendaftaran putusan cerai gugat.

10. Akta rujuk adalah akta autentik tentang pencatatan peristiwa rujuk.

11. Kutipan Buku Pencatatan Rujuk adalah kutipan akta rujuk.

BAB II PEGAWAI PENCATAT NIKAH

Pasal 2

1. Pegawai Pencatat Nikah yang selanjutnya disebut PPN adalah pejabat yang melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan.

2. PPN dijabat oleh Kepala KUA. 3. Kepala KUA sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

menandatangani akta nikah, akta rujuk, buku nikah (kutipan akta nikah) dan/atau kutipan akta rujuk.

Page 474: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

461

Pasal 3

1. PPN sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya dapat diwakili oleh Penghulu atau Pembantu PPN.

2. Pembantu PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengangkatan, pemberhentian, dan penetapan wilayah tugasnya dilakukan dengan surat keputusan Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota atas usul Kepala KUA dengan mempertimbangkan rekomendasi Kepala Seksi yang membidangi urusan agama Islam.

3. Pengangkatan, pemberhentian, dan penetapan wilayah tugas Pembantu PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada kepala desa/lurah di wilayah kerjanya.

Pasal 4

Pelaksanaan tugas Penghulu dan Pembantu PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dilaksanakan atas mandat yang diberikan oleh PPN.

BAB III

PEMBERITAHUAN KEHENDAK NIKAH

Pasal 5

1. Pemberitahuan kehendak menikah disampaikan kepada PPN, di wilayah kecamatan tempat tinggal calon isteri.

2. Pemberitahuan kehendak nikah dilakukan secara tertulis dengan mengisi Formulir Pemberitahuan dan dilengkapi persyaratan sebagai berikut: a. Surat keterangan untuk nikah dari kepala desa/lurah

atau nama lainnya; b. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir, atau surat

keterangan asal usul calon mempelai dari kepala desa/lurah atau nama lainnya;

c. Persetujuan kedua calon mempelai; d. Surat keterangan tentang orang tua (ibu dan ayah) dari

kepala desa/pejabat setingkat;

Page 475: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

462

e. Izin tertulis orang tua atau wali bagi calon mempelai belum mencapai usia 21 tahun;

f. Izin dari pengadilan, dalam hal kedua orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud huruf e di atas tidak ada;

g. Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon isteri yang belum mencapai umur 16 tahun;

h. Surat izin dari atasannya/kesatuannya jika calon mempelai anggota TNI/POLRI;

i. Putusan pengadilan berupa izin bagi suami yang hendak beristeri lebih dari seorang;

j. kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai bagi mereka yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

k. Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/isteri dibuat oleh kepala desa/lurah atau pejabat setingkat bagi janda/duda;

l. Izin untuk menikah dari kedutaan/kantor perwakilan negara bagi warga negara asing.

3. Dalam hal kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf j rusak, tidak terbaca atau hilang, maka harus diganti dengan duplikat yang dikeluarkan oleh Kepala KUA yang bersangkutan.

4. Dalam hal izin kawin sebagaimana dimaksud pda ayat(1) huruf berbahasa asing, harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penterjemah Resmi.

BAB IV

PERSETUJUAN DAN DISPENSASI USIA NIKAH

Pasal 6

Pernikahan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

Page 476: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

463

Pasal 7 Apabila seseorang calon mempelai belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)tahun, harus mendapat izin tertulis kedua orang tua.

Pasal 8

Apabila seorang calon suami belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan seorang calon isteri belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, harus mendapat dispensasi dari pengadilan.

BAB V

PEMERIKSAAN NIKAH

Pasal 9

1. Pemeriksaan nikah dilakukan oleh PPN atau petugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) terhadap calon suami, calon isteri, dan wali nikah mengenai ada atau tidak adanya halangan untuk menikah menurut hukum Islam dan kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).

2. Hasil pemeriksaan nikah ditulis dalam Berita Acara Pemeriksaan Nikah, ditandatangani oleh PPN atau petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon isteri, calon suami dan wali nikah.oleh Pembantu PPN

3. Apabila calon suami, calon isteri, dan/atau wali nikah tidak dapat membaca/menulis maka penandatanganan dapat diganti dengan cap jempol tangan kiri.

4. Pemeriksaan nikah yang dilakukan oleh Pembantu PPN, dibuat 2 (dua) rangkap, helai pertama beserta surat-surat yang diperlukan disampaikan kepada KUA dan helai kedua disimpan oleh petugas pemeriksa yang bersangkutan.

Pasal 10

1. Apabila calon suami, calon isteri dan wali nikah bertempat tinggal di luar wilayah kecamatan tempat pernikahan dilangsungkan, pemeriksaan dapat dilakukan oleh PPN di wilayah yang bersangkutan bertempat tinggal.

Page 477: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

464

2. PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah melakukan pemeriksaan terhadap calon suami, dan atau calon isteri serta wali nikah, wajib mengirimkan hasil pemeriksaan kepada PPN wilayah tempat pelaksanaan pernikahan.

Pasal 11

Apabila dari hasil pemeriksaan nikah ternyata terdapat kekurangan persyaratan/ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), maka PPN harus memberitahukan kepada calon suami dan wali nikah atau wakilnya.

BAB VI

PENOLAKAN KEHENDAK NIKAH

Pasal 12

1. Dalam hal hasil pemeriksaan membuktikan bahwa syarat-syarat perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) tidak terpenuhi atau terdapat halangan untuk menikah, maka kehendak perkawinannya ditolak dan tidak dapat dilaksanakan.

2. PPN memberitahukan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada calon suami dan wali nikah disertai alasan-alasan penolakannya.

3. Calon suami atau wali nikah dapat mengajukan keberatan atas penolakan sebagaimana dimaksud ayat (1) kepada pengadilan setempat. Apabila pengadilan memutuskan atau menetapkan bahwa pernikahan dapat dilaksanakan, maka PPN diharuskan mengizinkan pernikahan tersebut dilaksanakan.

BAB VII

PENGUMUMAN KEHENDAK NIKAH

Pasal 13

1. Apabila persyaratan pernikahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) telah dipenuhi, PPN mengumumkan kehendak nikah.

Page 478: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

465

2. Pengumuman adanya kehendak nikah dilakukan pada tempat tertentu di KUA kecamatan atau di tempat lainnya yang mudah diketahui oleh umum di desa tempat tinggal masing-masing calon mempelai.

3. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan selama 10 (sepuluh) hari.

BAB VIII

PENCEGAHAN PERNIKAHAN

Pasal 14

1. Pencegahan pernikahan dapat dilakukan oleh pihak keluarga atau wali atau pengampu atau kuasa dari salah seorang calon mempelai atau orang lain yang memiliki kepentingan, apabila terdapat alasan yang menghalangi dilakukannya pernikahan.

2. Pencegahan pernikahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diajukan ke pengadilan atau kepada PPN di wilayah hukum tempat pernikahan akan dilaksanakan dan kepada masing- masing calon mempelai.

Pasal 15

PPN dilarang membantu melaksanakan dan mencatat peristiwa nikah apabila :

1. Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) tidak terpenuhi;

2. Mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan/ persyaratan pernikahan.

BAB IX

AKAD NIKAH

Pasal 16

1. Akad nikah tidak dilaksanakan sebelum masa pengumuman sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 berakhir.

Page 479: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

466

2. Pengecualian terhadap jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan karena adanya suatu alasan yang penting, dengan rekomendasi dari camat di wilayah yang bersangkutan.

Pasal 17

1. Akad nikah dilaksanakan dihadapan PPN atau Penghulu dan Pembantu PPN dari wilayah tempat tinggal calon isteri.

2. Apabila akad nikah akan dilaksanakan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka calon isteri atau walinya harus memberitahukan kepada PPN wilayah tempat tinggal calon isteri untuk mendapatkan surat rekomendasi nikah.

Pasal 18

1. Akad nikah dilakukan oleh wali nasab. 2. Syarat wali nasab adalah:

a. Laki-laki; b. Beragama Islam; c. Baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun; d. Berakal; e. Merdeka; dan f. Dapat berlaku adil.

3. Untuk melaksanakan pernikahan wali nasab dapat mewakilkan kepada PPN, Penghulu,Pembantu PPN atau orang lain yang memenuhi syarat.

4. Kepala KUA kecamatan ditunjuk menjadi wali hakim, apabila calon isteri tidak mempunyai wali nasab, wali nasabnya tidak memenuhi syarat,berhalangan atau adhal.

5. Adhalnya wali sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan keputusan pengadilan.

Pasal 19

1. Akad nikah harus dihadiri sekurang-kurangnya dua orang saksi.

2. Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat: a. Laki-laki;

Page 480: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

467

b. Beragama Islam; c. Baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun; d. Berakal; e. Merdeka; dan f. Dapat berlaku adil.

3. PPN, Penghulu, dan/atau Pembantu PPN dapat diterima sebagai saksi.

Pasal 20

1. Akad nikah harus dihadiri oleh calon suami. 2. Dalam hal calon suami tidak dapat hadir pada sat akad

nikah, dapat diwakilkan kepada orang lain. 3. Persyaratan wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

adalah : a. Memenuhi syarat sebagaimana berikut:

1. Laki-laki; 2. Beragama Islam; 3. Baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun; 4. Berakal; 5. Merdeka; dan 6. Dapat berlaku adil.

b. Surat kuasa yang disahkan oleh PPN atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia apabila calon suami berada di luar negeri.

Pasal 21

1. Akad nikah dilaksanakan di KUA 2. Atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan

PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA.

Pasal 22

1. Calon suami dan calon isteri dapat mengadakan perjanjian perkawinan.

2. Materi perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam dan/atau peraturan perundang-undangan.

3. Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis diatas kertas bermeterai cukup, ditandatangani oleh kedua

Page 481: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

468

belah pihak, disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi dan disahkan oleh PPN.

4. Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat 3 (tiga) rangkap: a. Dua rangkap untuk suami dan isteri; dan b. Satu rangkap disimpan di KUA.

Pasal 23

1. Suami dapat menyatakan sigat taklik. 2. Sigat taklik dianggap sah apabila ditandatangani suami. 3. Sigat taklik ditetapkan oleh Menteri Agama. 4. Sigat taklik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) tidak dapat dicabut kembali.

Pasal 24

1. Dalam hal suami mewakilkan qabulnya kepada orang lain, pembacaan dan penandatanganan taklik talak oleh suami, dilakukan pada waktu lain di hadapan PPN, Penghulu atau Pembantu PPN tempat akad nikah dilaksanakan.

2. Dalam hal suami menolak untuk membacakan dan menadatangani sigat taklik, isteri dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan agar dilakukan sigat taklik.

Pasal 25

Perjanjian perkawinan dan/atau sigat taklik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 dalam daftar pemeriksaan nikah.

BAB X

PENCATATAN NIKAH

Pasal 26

1. PPN mencatat peristiwa nikah dalam akta nikah. 2. Akta nikah ditandatangani oleh suami, isteri, wali nikah,

saksi-saksi dan PPN. 3. Akta nikah dibuat rangkap 2 (dua), masing-masing

disimpan di KUA setempat dan Pengadilan.

Page 482: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

469

4. Setiap peristiwa pernikahan dilaporkan ke kantor administrasi kependudukan di wilayah tempat pelaksanaan akad nikah.

Pasal 27

1. Buku nikah adalah sah apabila ditandatangani oleh PPN. 2. Buku nikah diberikan kepada suami dan isteri segera

setelah proses akad nikah selesai dilaksanakan.

BAB XI

PENCATATAN NIKAH WARGANEGARA INDONESIA DI LUAR NEGERI

Pasal 28

Pencatatan Nikah bagi warganegara Indonesia yang ada di luar negeri dilakukan sebagaimana diatur dalam Keputusan Bersama Menteri Agama Republik Indonesia dan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia nomor 589 Tahun 1999 dan Nomor 182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri.

BAB XII

PENCATATAN RUJUK

Pasal 29

1. Suami dan isteri yang akan melaksanakan rujuk, memberitahukan kepada PPN secara tertulis dengan dilengkapi akta cerai/talak.

2. PPN atau petugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) memeriksa, meneliti dan menilai syarat-syarat rujuk.

3. Suami mengucapkan ikrar rujuk di hadapan PPN atau Penghulu atau Pembantu PPN.

4. PPN mencatat peristiwa rujuk dalam akta rujuk yang ditandatangani oleh suami, isteri, saksi-saksi, dan PPN.

Page 483: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

470

Pasal 30

1. Kutipan buku pencatatan rujuk adalah sah apabila ditandatangani oleh Kepala KUA sebagai PPN.

2. Kutipan buku catatan rujuk segera diberikan kepada suami dan isteri setelah akta rujuk disahkan.

3. KUA menyampaikan pemberitahuan rujuk kepada pengadilan untuk pengambilan buku nikah.

BAB XIII

PENDAFTARAN CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT

Pasal 31

1. Berdasarkan salinan penetapan pengadilan, PPN yang mewilayahi tempat tinggal isteri berkewajiban mendaftar/mencatat setiap peristiwa perceraian dalam buku pendaftaran cerai talak atau buku pendaftaran cerai gugat dan pada Akta Nikah yang bersangkutan.

2. Daftar atau catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tempat dan tanggal kejadian perceraian serta tanggal dan nomor penetapan/putusan pengadilan.

3. Masing-masing daftar/catatan peristiwa cerai talak dan/atau cerai gugat sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diketahui/ditandatangani oleh Kepala KUA sebagai PPN.

BAB XIV

SARANA

Pasal 32

1. Blangko Pemeriksaan Nikah, Akta Nikah, Buku Nikah, Akta Rujuk, Kutipan Akta Rujuk ditetapkan dengan Keputusan Menteri Agama.

2. Blangko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh Departemen Agama dalam hal ini Direktorat yang membidangi urusan agama Islam.

3. Formulir-formulir yang digunakan dalam pendafataran dan pemeriksaan dalam proses pendaftaran nikah, cerai, talak dan rujuk selain yang dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

Page 484: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

471

dengan Keputusan Direktur Jenderal yang membidangi urusan agama Islam.

4. Formulir-formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diadakan oleh kantor wilayah Departemen Agama provinsi.

BAB XV

TATA CARA PENULISAN

Pasal 33

1. Pengisian blangko-blangko yang digunakan dalam pendaftaran, pemeriksaan dan pendaftaran peristiwa nikah, cerai/talak dan rujuk ditulis dengan huruf balok dan menggunakan tinta hitam.

2. Penulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menggunakan mesin ketik atau komputer.

Pasal 34

1. Perbaikan penulisan dilakukan dengan mencoret kata yang salah dengan tidak menghilangkan tulisan salah tersebut, kemudian menulis kembali perbaikannnya dengan dibubuhi paraf oleh PPN, dan diberi stempel KUA.

2. Perubahan yang menyangkut biodata suami, isteri ataupun wali harus berdasarkan kepada putusan Pengadilan pada wilayah yang bersangkutan.

BAB XVI

PENERBITAN DUPLIKAT

Pasal 35

Penerbitan duplikat buku nikah, duplikat kutipan putusan cerai dan duplikat kutipan akta rujuk yang hilang atau rusak, dilakukan oleh PPN berdasarkan surat keterangan kehilangan atau kerusakan dari kepolisian setempat.

Page 485: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

472

BAB XVII

PENCATATAN PERUBAHAN STATUS

Pasal 36

1. PPN membuat catatan perubahan status pada buku pendaftaran talak atau cerai apabila orang tersebut menikah lagi.

2. Catatan perubahan status sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: tempat tinggal dan nomor buku nikah serta ditandatangani dan dibubuhi tanggal oleh Kepala KUA.

3. Apabila perceraiannya di daftar di tempat lain, PPN yang melaksanakan pernikahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberitahukan pernikahan tersebut kepada PPN tempat pendaftaran perceraian.

Pasal 37

1. Dalam hal suami beristeri lebih dari seorang, PPN membuat catatan dalam akta nikah terdahulu bahwa suami telah menikah lagi.

2. Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: tempat, tanggal dan nomor buku nikah serta dibubuhi tanggal dan ditandatangani oleh Kepala KUA.

3. Apabila pernikahan ditempat yang berbeda, PPN yang melakukan pencatatan nikah wajib memberitahukan peristiwa nikah tersebut kepada PPN tempat terjadinya pernikahan terdahulu.

BAB XVIII

PENGAMANAN DOKUMEN

Pasal 38

1. Kepala KUA melakukan penyimpanan dokumen pencatatan nikah, talak, cerai dan/atau rujuk.

2. Penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di kantor KUA dengan dengan mempertimbangkan aspek keamanan.

Page 486: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

473

3. Jika terjadi kerusakan atau kehilangan yang disebabkan oleh hal-hal di luar kemampuan manusia seperti kebakaran, banjir, dan huru-hara, maka Kepala KUA melaporkan kejadian tersebut kepada Kepala Departemen Agama kabupaten/kota dan kepolisian, yang dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh kepala KUA, Kepala Kantor Departemen Agama dan kepolisian setempat.

BAB XIX

PENGAWASAN

Pasal 39

1. Kepala KUA kecamatan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Penghulu dan Pembantu PPN.

2. Kepala KUA wajib melaporkan hasil pencatatan nikah, talak/rujuk secara periodik kepada Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota.

3. Dalam hal-hal tertentu Kepala Seksi dapat melakukan pemeriksaan langsung ke KUA.

4. Hasil pemeriksaan dibuat dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan yang ditandatangani oleh Kepala Seksi dan Kepala KUA yang bersangkutan.

5. Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaporkan kepada Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota dan seterusnya kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama provinsi.

BAB XX

SANKSI

Pasal 40

1. PPN dan Penghulu yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan ini dikenakan sanksi administratif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Page 487: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

474

2. Pembantu PPN yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan ini dapat dikenakan sanksi pemberhentian.

BAB XXI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 41

Dengan berlakunya Peraturan ini ketentuan mengenai persyaratan, pengawasan dan pencatatan nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004 dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 42

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Pasal 43

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 25 Juni 2007

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

MUHAMMAD M. BASYUNI

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 Juni 2007

MENTERI HUKUM DAN HAM REPUBLIK INDONESIA

ANDI MATTALATTA

Page 488: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

475

PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2O14

TENTANG PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

ATAS BIAYA NIKAH ATAU RUJUK DI LUAR KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Peraturan Menteri Agama Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah dan Rujuk di luar Kantor Urusan Agama - Kecamatan tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama;

b. bahwa pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Biaya Nikah atau Rujuk dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan Penenmaan Negara Bukan Pajak dan kaidah pengelolaan keuangan Negara;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Agama tentang

Page 489: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

476

Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah atau Rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);

2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan l3encana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3694);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersumber dari Kegiatanentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 136, Tambatian Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3371);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Taliun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama (Lemibaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4455) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 20.14 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku

Page 490: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

477

pada Departemen Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Norrior 139, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 5545);

6. Perturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5423);

7. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan. Peraturan. Presiden Nomor 53 . Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

8. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2014 tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Keme'nterian Negara;

9. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Keduqukan, Tugas, clan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organissi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kemnterian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2014 tentg Perubahan Kelima Atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dari Fungsi Kementerian Negara. serta Susunan Organisasi, Tug ; dan Fungsi Eselon I Kementerian Ngara;

Page 491: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

478

10. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 338/ KMK.06/2001 tentang Izin Penggunaan Sebagian Dru:ia Peneruaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Pelayanan Jasa Nikah dan Pelayanan Jasa Peradilan Agama pada Departemen Agama;

11. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tenang Pencatatan Nikah;

12. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 592) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 21 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Agama NOmor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1114);

13. Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kementeriail Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 851);

14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/ PMK.02/ 2013 tentang Tatacara Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerima;

15. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/ PMK.05/ 2013 tentang Kedudukan dan Tanggung Jawab Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola Angaran Pendapatan dan Belanja Negara;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI AGAMA TENTANG PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK ATAS BIAYA NIKAH ATAU RUJUK DI LUAR KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN.

Page 492: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

479

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Agama ini yang dimaksud dengan: 1. Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Biaya Nikah atau

Rujuk yang selanjutnya disebut PNBP Biaya NR adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang berasal dari Kantor Urusan Agama Kecamatan dengan satuan peristiwa biaya nikah atau rujuk.

2. Calon Pengantin yang selanjutnya disebut Catin adalah pria dan wanita yang telah memenuhi persyaratan administrasi pernikahan atau rujuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. penghulu adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung Jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh Menteri Agama untuk melaksanakan kegiatan kepenghuluan.

4. Daftar Isian Pelaksana Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang digunakan sebagai acuan Pengguna Anggaran (PA) dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

5. Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang Pendapatan Negara Bukan Pajak dal rangka pelaksanaan APBN pada satuan kerja Direktorat Jenderal Bimbing Masyarakat Islam pada Kementerian Agama.

6. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang meperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab PA pada Kementerian Agama.

7. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/ KPA untuk mengambil keputusan dan/ atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.

Page 493: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

480

8. Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewengan oleh PA/ KPA untuk pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.

9. Petugas Penerima Setoran yang selanjutnya disingkat PPS adalah pegawai yang diangkat oleh Kepala Kantor. Kementerian Agama Kabupaten/Kota untuk menerima, menyetorkan, dan membukukan bukti setor biaya nikah atau rujuk pada Kantor Urusan) Agama Kecamatan yang tidak terdapat layanan bank.

10. Bank Persepsi yang selanjutnya disebut Bank adalah Bank; yang telah melaksanakan kerjasama dengan Menteri Agama.

11. Slip setoran adalah bukti setor yang digunakan oleh wajib bayar untuk menyetor penerimaan biaya nikah atau rujuk ke rekening bendahara penerimaan.

12. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang selanjutnya disebut Kepala KUA Kecamatan adalah pejabat yang diangkat oleh Menteri Agama.

13. Kantor Urusan Agama Kecamatan yang selanjutnya disingkat KUA Kecamatan adalah unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal bimbingan Masyarakat Islam di wilayah kecamatan.

14. Diretur Jenderal adalah Direkur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

Pasal 2

Penglolaan PNBP Biaya NR, meliputi: a. struktur pengelola; b. mekasnisme pengelolaan PNBP Biaya NR; c. tipologi KUA Kecamatan; d. perangkat pencairan; e. pelaporan; f. syarat dan tata cara dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah);

dan g. supervisi.

Page 494: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

481

BAB II

STRUKTUR PENGELOLA

Pasal 3

(1) Struktur pengelolaan NBP Biaya NR terdiri dari: a. Tingkat Pusat; dan b. Tingkat Daerah.

(2) Struktur pengelolaan PNB Biaya NR Tingkat Pusat sebagai mana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari: a. penanggungjawab; b. ketua; c. sekretaris; d. koordinator bidang penerimaan PNBP Biaya NR; e. koordinator bidang penggunaan PNBP Biaya NR; f. pelaksana bidang penerimaan; dan g. pelaksana bidang penggunaan.

(3) Struktur Pengelola PNBP Biaya NR Tingkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf b terdiri dari: a. pengelola pada Kantor Wilayah Kementerian Agama

Provinsi; b. pengelola pada Kantor Kementerian Agama

Kabupaten / Kota; dan b. pengelola pada Kantor Urusan Agama Kecamatan.

(4) pengelola pada tingkat Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a terdiri dari 1 (satu) orang penanggungjawab dan 1 (satu) orang pelaksana administrasi.

(5) Pengelola pada Kantor Kementrian Agama Kabupaten/ Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri dari 1 (satu) orang perianggungjawab dan 1 (satu) orang pelaksana administrasi.

(6) Pengelola pada Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilaksanakan oleh 1 (satu) orang pelaksana.

Page 495: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

482

Pasal 4

(1) Penanggungjawab sebagaimana dimaksud datam Pasal 3 ayat (2) huruf a dijabat oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

(2) Ketua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dijabat oleh Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah.

(3) Sekretaris sebagaimna dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c dijabat oleh salah satu Kepala Sub Direktorat pada Direktorat Urusan Agama Islam dari Pembinaan Syariah.

(4) Koordinator bidang penerimaan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d dijabat oleh Kepala Bagian Keuangan pada Sekretariat Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

(5) Koordinator bidang penggunaan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud dalatn Pasal 3 ayat (2) huruf e dijabat oleh Kepala Bagian Perencanaan pada Sekretariat Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

(6) Pelaksana sebanyak 2 (dua) orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf f dan huruf g berasal dari pegawai pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

Pasal 5

(1) Pengelola PNBP Biay NR tingkat pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam atas nama Menteri Agama.

(2) Pengelola PNBP Biaya NR pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi.

(3) Pengelola NBP Biaya NR pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten/ Kota dan KUA Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dari huruf c ditetapkan oleh Kepala Kantor Kementerian Agania Kabupaten/ Kota.

Page 496: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

483

Pasal 6

Penanggungjawab dan pelaksana administrasi Pengelola PNBP Biaya NR Tingkat Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi sebagaimana dimaksd dalam Pasal 3 ayat (4) terdiri dari: a. Kepala Bidang yang membidang Urusan Agama Islam dan

Pembinaan Syariah pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi sebagai penanggung jawab

b. Pelaksana pada Bidang yang membidangi Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi.

Pasal 7

Penangggungjawab dan pelaksana adininistrasi Pengelola PNBP Biaya NR pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten/ Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) terdiri dari: a. Kepala Seksi yang membidangi Urusan Agama Islam pada

Kantor Kementerian Agama Khµpaten/ Kota sebagai penanggungjawab.

b. Pelaksana pada seksi yang membidangi Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten/ Kota.

Pasal 8

Pengelola PNBP pada Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) dilaksanakan oleh pelaksana pada KUA Kecamatan.

BAB III

MEKANISME PENGELOLAAN PNBP BIAYA NR

Bagian Kesatu

Penyetoran, Penerimaan, dan Pencairan

Pasal 9

(1) Catin wajib menyetorkan biaya nikah atau rujuk ke rekening Bendahara. Penerimaan pada Bank penerima setoran sebesar Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah).

Page 497: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

484

(2) Apabila kondisi geografis, jarak tempuh, atau tidak terdapat layanan Bank pada wilayah kecamatan setempat, Catin menyetorkan biaya nikah atau rujuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui PPS pada KUA Kecamatan.

(3) PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyetorkan biaya nikah atau rujuk yang diterimanya ke rekening Bendahara Penerimaan paling lambat 5 (lima) hari kerja.

(4) Dalam hal penyetoran sebagaimana. dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dilakukan, maka penyetorannya dilakukan. setelah mendapat izin dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan setelah.

(5) Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar negeri, biaya nikah atau rujuk disetor ke rekening Bendahara Penerimaan.

Pasal 10

(1) Bank penerima setoran sebagaimana dimaks.ud dalam Pasal 9 ayat (1) wajib menerbitkan bukti setor berupa slip setoran atas setoran biaya nikah atau rujuk yang diterima dari Catin.

(2) Slip setoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. identitas bank; b. tanggal penyetoran; c. nomor rekening yang dituju; d. jumlah uang e. nama penyetor; f. nama Catin pria dan wanita; g. alamat Catin; . h. nama/ kode KUA Kecamatan; i. nama/ kode kabupaten/ kota j. nama/ kode provinsi; k. pengesahan petugas Bank; dan l. tanda tangan penyetor.

(3) Slip setoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat rangkap 3(tiga) yang diperuntukkan:

Page 498: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

485

a. lembar pertama untuk Bank; b. lembar kedua untuk Catin; dan c. lembar ketiga untuk KUA Kecamatan.

Pasal 11

(1) PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) wajib mengeluarkan bukti setor berupa kuitansi atas setoran biaya nikah atau rujuk yang diterima dari Catin.

(2) Bukti setor biaya nikah atau rujuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala KUA Kecamatan sebagai kelengkapan administrasi nikah atau rujuk.

(3) Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar negeri, bukti setor biaya nikah atau rujuk disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang berada di Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

Pasal 12

(1) Bendahara Penerimann wajib menyetorkan PNBP biaya NR ke rekening Kas Negara dengan menggunakan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) setiap hari kerja.

(2) Bendahara Penerimaan wajib membukukan semua transaksi penerimaan dan penyetoran/ pelimpahan atas penerimaan ke kas negara dalam Buku Kas Umum (BKU) dan buku pembantu lainnya.

(3) Bukti setoran SSBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada petugas Sistem Akuntarisi Keuangan (SAK) untuk dilakukan input data.

Pasal 13

(1) PPS wajib membukukan realisasi peneriman PNBP Biaya NR dan melaporkan kepada Kepala KUA Kecamatan.

(2) Pembkuan PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diperiksa oleh Kepala KUA Kecamatan sesuai denan ketentuan.

Page 499: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

486

(3) Kepala KUA Kecarnatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan laporan realisasi penerimaan PNBP Biaya NR kepada Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota paling lambat tanggal 5 setiap bulan.

(4) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disajikan dalam bentuk Rekapitulasi Penerimaan Setoran Biaya Nikah atau Rujuk.

Pasal 14

(1) Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/ Kota wajib. menyampaikan laporan realisasi penerimaan PNBP Biaya NR kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agam Provinsi paling lambat tanggal 10 setiap bulan.

(2) Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi wajib menyampaikan laporan realisasi penerimaan PNBP Biaya NR kepada Direktur Jenderal melalui Direktur Urusan Agama Islam dan Pebinaan Syariah paling lambat tanggal 15 setiap bulan.

(3) Direktur Jenderal wajib menyampaikan laporan realisasi penerimaan PNBP Biaya NR kepada Menteri Agama melalui Sekretarls Jenderal Kementerian Agama paling Iambat tanggal 20 setiap bulan.

(4) Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimakud pada ayat (1) ayat (2) 1 dan ayat (3) terdapat hari libur maka laporan dispaikan pada hari kerja berikutnya.

Pasal 15

Proses pencairan PNBP Biaya NR dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua

Penyusun Target Penerimaan dan Penggunaan PNBP Biaya NR

Page 500: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

487

Pasal 16

(1) Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota wajib merumuskan target penerimaan dan penggunaan PNBP Biaya NR dituangkan dalam bentuk proposal.

(2) Target penerimaan dan penggunaan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi.

(3) Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi wajib melakukan telaah terhadap proposal target penerimaan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum diusulkan kepada Direktur Jenderal.

(4) Direktur Jenderal mengalokasikan anggaran penggunaan PNBP Biaya NR ke dalam RKA-KL DIPA Direktur Jenderal Kementerian Agama Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan pelaksanaan program Bimbingan Masyarakat Islam dalam proposal target penerimaan dan penggungan PNBP NR sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) Direktur Jenderal menyampaikan usul RKA-KL/DIP kepada Menteri Agama melalui Sekretaris Jenderal Kementerian Agama untuk mendapat persetujuan Pagu Anggaran.

Bagian Ketiga

Penggunaan

Pasal 16

(1) PNBP biaya NR digunakan untuk penyelenggaraan program dan kegiatan Bimbingan Masyarakat Islam dalam rangka pelayanan nikah atau rujuk.

(2) Penggunaan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembiayaan: a. transport layanan bimbingan pelaksanaan nikah atau

rujuk di Iuar kantor; b. honorarium layanan bimbingan pelakaanaan nikah

atau rujuk di luar kantor;

Page 501: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

488

c. pengelola PNBP Biaya NR d. kursus pra nikah; e. supervisi administrasi nikah atau rujuk; dan f. biaya lainnya untuk peningkatan kualitas pelayanan

nikah dan rujuk. (3) Penggunaan PNBP Biaya NR sebagaimana dimakaud

pada ayat (2) dengan ketentuan: a. transport dan honoraarium bimbingan pelaksanaan

nikah atau rujuk di luar kantor diberikan sesuai dengan Tipologi KUA Kecamatan;

b. pegelola PNBP Biaya NR diberikan biaya pengelolaan setiap bulan; dan

c. kursus pra nikah, supervise administrasi nikah atau rujuk serta kegiatan lainnya diberikan biaya setiap kegiatan.

BAB IV

TIPOLOGI KUA KECAMATAN

Pasal 18

Tipologi KUA Kecamatan ditentukan menurut jumlah peristiwa nikah atau rujuk per bulan, dan kondisi geografis keberadaan KUA Kecamatan.

Pasal 19

Tipologi KUA Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, meliputi:

a. Tipologi A, yaitu jumlah nikah atau rujuk di atas 100 peristiwa per bulan;

b. Tipologi B, yaitu jumlah nikah atau rujuk antara 50 sampai dengan 100 peristiwa per bulan;

c. Tipologi C, yaitu jumlah nikah atau rujuk di bawah 50 peristiwa perbulan;

d. Tipologi D1, yaitu KUA Kecamatan yang secara geografis berada di daerah terluar, terdalam, dan di daerah perbatasan daratan; dan

Page 502: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

489

e. Tipologi D2, yaitu KUA Kecamatan yang secara geografis berada di daerah terluar, terdalam, dan daerah perbatasan kepulauan.

BAB V

PERANGKAT PENCAIRAN

Pasal 20

(1) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam terdiri dari: a. KPA; b. PPK; c. PPSPM; dan d. Bendahara pengeluaran.

(2) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dijabat oleh Direktur Jenderal.

(3) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dijabat oleh Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan syariah.

(4) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dijabat oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam;

(5) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dijabat oleh Bendara Pengeluaran Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

Pasal 21

(1) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi, terdiri dari: a. KPA; b. PPK; c. PPSPM; dan d. Bendahara pengeluaran.

(2) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dijabat oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi.

Page 503: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

490

(3) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dijabat oleh Kepala Bidang yang membidangi Urusan Agama Islam.

(4) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dijabat oleh Kepala Bagian Tata Usaha;

(5) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dijabat oleh Bendahara Pengeluaran Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi.

Pasal 22

(1) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota, terdiri dari:

a. KPA;

b. PPK;

c. PPSPM; dan

d. Bendahara pengeluaran.

(2) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dijabat oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Provinsi Kabupaten/Kota.

(3) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dijabat oleh Kepala Seksi yang membidangi Urusan Agama Islam.

(4) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dijabat oleh Kepala Sub Bagian Tata Usaha;

(5) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dijabat oleh Bendahara Pengeluaran Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.

Page 504: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

491

BAB VI PELAPORAN

Pasal 23

(1) Kepala KUA Kecematah wajib menyampaikan laporan penggunaan PNBP Biaya NR kepada Kepala Kantor Kementarian Agama Kabupaten/Kota setiap bulan.

(2) Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota wajib menyampaikan laporan realisasi penggunaan PNBP Biaya NR kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi setiap bulan.

(3) Kepala Kantor Kementerian Agama Provinsi wajib menyampaikan laporan realisasi penggunaan PNBP Biaya NR kepada Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syarah setiap bulan.

(4) Direktur Jenderal wajib menyampaikan laporan realisasi penggunaan PNBP Biaya NR kepada Kepala Menteri Agama melalui Sekretaris Jenderal Kementerian Agama setiap triwulan.

(5) Format dan isi Laporan sebagaimana dimaksud ayat 1 menyampaikan laporan realisasi penggunaan PNBP Biaya NR kepada Kepala Menteri Agama melalui Sekretaris Jenderal Kementerian Agama setiap triwulan.

(6) Format dan isi Laporan sebagaimana dimaksud (1), ayat (2) dan ayat (4) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

BAB VII

SYARAT DAN TATA CARA DIKENAKAN TARIF

RP 0,00 (NOL RUPIAH)

Pasal 24

(1) Catin yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana dapat dikenakan biaya nikah atau rujuk tarif Rp0,00 (nol rupiah).

(2) Kriteria tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada Surat Keterangan Tidak Mampu

Page 505: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

492

(SKTM) dari lurah/kepala desa yang diketahui oleh camat.

(3) Bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bencana alam yang menyebabkan Catin tidak dapat melaksanakan pernikahan secara wajar.

(4) Catin korban bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh surat keterangan dari lurah/kepala desa.

Pasal 25

(1) Surat keterangan dalam Pasal 24 ayat (2) dan ayat (4) disampaikan kepada kepala KUA Kecamatan sebagai syarat untuk dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah).

(2) Kepala KUA Kecamatan wajib melakukan dokumentasi dan pelaporan data Catin yang dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah).

BAB VIII

SUPERVISI

Pasal 26

(1) Kepala Seksi yang membidangi Urusan Agama Islam/Bimbingan Masyarakat Islam pada Kementerian Agama Kabupaten/Kota melakukan supervisi administrasi nikah dan rujuk pelaksanaan PNBP Biaya NR di KUA Kecamatan.

(2) Supervisi administrasi nikah dan rujuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setiap triwulan.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 27

Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengelolaan PNBP Biaya NR ditetapkan oleh Direktorat Jenderal.

Page 506: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

493

Pasal 28

Pada saat Peraturan Menteri Agama ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Agama Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah dan Rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 29

Peraturan Menteri Agama ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2014

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

LUKMAN HAKIM SAIFUDDIN

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 1767

Page 507: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

494

MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA NOMOR: PER/62 /M.PAN/6/2005 TENTANG

JABATAN FUNGSIONAL PENGHULU DAN ANGKA KREDITNYA

MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengembangan karier dan peningkatan kualitas profeslonalisme Pegawai Negeri Sipil yang menjalankan tugas di bidang kepenghuluan, dipandang perlu menetapkan jabatan fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya;

b. bahwa penetapan jabatan fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya sebagaimana dimaksud di atas, ditetapkan dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (Lembaran Negara Tahun 1946 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 694);

2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di daerah luar Jawa dan Madura;

3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019);

4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Peraturan Pokok-pokok

Page 508: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

495

Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890);

5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3400);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Gaji Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3098) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2003 (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 17);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3547);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 194, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4015) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2003 (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4332);

Page 509: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

496

10. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 196, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4017) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4193);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4019);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lermbaran Negara Tahun 2003 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4263);

13. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil;

14. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara;

Memperhatikan:1. Usuh Menteri Agama dengan Surat Nomor MA/317/2004 tanggal 31 Desember 2004;

2. Pertimbangan Wakil Kepala Badan Kepegawaian Negara dengan Surat Nomor WK.26- 30/V.47-6/93 tanggal 27 April 2005.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA TENTANG JABATAN FUNGSIONAL PENGHULU DAN ANGKA KREDITNYA

Page 510: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

497

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Penghulu, adalah Pegawai Negeri Sipil sebagai Pegawai

Pencatat Nikah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan;

2. Kegiatan kepenghuluan, adalah kegiatan pelayanan dan konsultasi nikah/rujuk serta pengembangan kepenghuluan;

3. Pelayanan dan Konsultasi nikah/rujuk, adalah kegiatan atau upaya yang dilakukan oleh Penghulu meliputi perencanaan kegiatan kepenghuluan, pengawasan pencatatan nikah/rujuk, pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk, penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk, pemantauan pelanggaran ketentuan nikah/rujuk, pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan muamalah, pembinaan keluarga sakinah, serta pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan;

4. Pengembangan Kepenghuluan, adalah kegiatan atau upaya yang dilakukan Penghulu meliputi pengkajian masalah hukum munakahat (bahsul masail munakahat dan ahwal as-syaksiyah), pengembangan metode penasihatan, konseling dan pelaksanaan nikah/rujuk, pengembangan perangkat dan standar pelayanan nikah/rujuk, penyusunan kompilasi fatwa hukum munakahat, serta koordinasi kegiatan lintas sektoral di bidang nikah dan rujuk;

5. Tim Penilai Jabatan Fungsional Penghulu, adalah tim penilai yang dibentuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang yang bertugas untuk menilai prestasi kerja Penghulu;

Page 511: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

498

6. Angka kredit, adalah nilai dari butir kegiatan dan atau akumulasi nilai butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh Penghulu dan digunakan sebagai salah satu syarat untuk pengangkatan dan kenaikan jabatan/pangkat.

B A B II

RUMPUN JABATAN, KEDUDUKAN, DAN INSTANSI PEMBINA

Pasal 2

Penghulu adalah jabatan fungsional termasuk dalam Rumpun Keagamaan.

Pasal 3

(1) Penghulu berkedudukan sebagai pelaksana teknis dalam melakukan kegiatan kepenghuluan pada Departemen Agama;

(2) Penghulu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan jabatan karier.

Pasal 4

Tugas pokok Penghulu, adalah melakukan perencanaan kegiatan kepenghuluan/pengawasan pencatatan nikah/rujuk, pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk, penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk, pemantauan pelanggaran ketentuan nikah/rujuk, pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan muamalah, pembinaan keluarga sakinah, serta pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan dan pengembangan kepenghuluan.

Pasal 5

Instansi Pembina Jabatan Penghulu adalah Departemen Agama.

Page 512: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

499

BAB III

UNSUR DAN SUB UNSUR KEGIATAN

Pasal 6

Unsur dan sub unsur kegiatan Penghulu yang dinilai angka kreditnya terdiri dari: 1. Pendidikan, meliputi:

a. Pendidikan sekolah dan memperoleh ijazah/gelar; b. Pendidikan dan pelatihan (diklat) fungsional

kepenghuluan dan memperoleh Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan (STTPP);

c. Pendidikan dan pelatihan Prajabatan dan memperoleh sertifikat.

2. Pelayanan dan konsultasi nikah/rujuk, meliputi: a. Perencanaan kegiatan kepenghuluan; b. Pengawasan pencatatan nikah/rujuk; c. Pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk; d. Penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk; e. Pemantauan pelanggaran ketentuan nikah/rujuk; f. Pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan

muamalah; g. Pembinaan keluarga sakinah; h. Pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan.

3. Pengembangan kepenghuluan, meliputi: a. Pengkajian masalah hukum munakahat (bahsul

masail munakahat dan ahwal as syakhsiyah); b. Pengembangan metode penasihatan, konseling dan

pelaksanaan nikah/rujuk; c. Pengembangan perangkat dan standar pelayanan

nikah/rujuk; d. Penyusunan kompilasi fatwa hukum munakahat; e. Koordinasi kegiatan lintas sektoral di bidang

kepenghuluan. 4. Pengembangan profesi, meliputi:

a. Penyusunan karya tulis/karya ilmiah di bidang kepenghuluan dan hukum Islam;

Page 513: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

500

b. Penerjemahan/penyaduran buku dan karya ilmiah di bidang kepenyhuluan dan hukum Islam;

c. Penyusunan pedoman/petunjuk teknis kepenghuluan dan hukum Islam;

d. Pelayanan konsultasi kepenghuluan dan hukum Islam.

5. Penunjang tugas Penghulu, meliputi: a. Pembelajaran dan atau pelatihan di bidang

kepenghuluan dan hukum Islam; b. Keikutsertaan dalam seminar, lokakarya atau

konferensi; c. Keanggotaan dalam organisasi profesi Penghulu; d. Keanggotaan dalam tim penilai jabatan fungsional

Penghulu; e. Keikutsertaan dalam kegiatan pengabdian

masyarakat; f. Keanggotaan dalam delegasi misi keagamaan; g. Perolehan penghargaan/tanda jasa; h. Perolehan gelar kesarjanaan lainnya.

BAB IV

JENJANG JABATAN DAN PANGKAT

Pasal 7

(1) Jenjang jabatan Penghulu dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi adalah:

a. Penghulu Pertama; b. Penghulu Muda; c. Penghulu Madya.

(2) Jenjang pangkat Penghulu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sesuai dengan jenjang jabatan, adalah: a. Penghulu Pertama:

1. Penata Muda, golongan ruang Ill/a; 2. Penata Muda tingkat I, golongan ruang Ill/b.

b. Penghulu Muda: 1. Penata, golongan ruang III/c; 2. Penata tingkat I, golongan ruang Ill/d.

c. Penghulu Madya:

Page 514: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

501

1. Pembina, golongan ruang IV/a; 2. Pembina tingkat I, golongan ruang IV/b; 3. Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c.

(3) Jenjang pangkat untuk masing-masing jabatan Penghulu sebagaimana di maksud ayat (2) adalah jenjang pangkat dan jabatan berdasarkan jumlah angka kredit yang dimiliki untuk masing-masing jenjang jabatan;

(4) Penetapan jenjang jabatan Penghulu untuk pengangkatan dalam jabatan Penghulu ditetapkan sesuai dengan jumlah angka kredit yang dimiliki sehingga dimungkinkan pangkat dan jabatan tidak sesuai dengan pangkat dan jabatan sebagaimana dimaksud ayat (2).

BAB V

RINCIAN KEGIATAN DAN UNSUR YANG DINILAI

Pasal 8

(1) Rincian kegiatan Penghulu sesuai dengan jenjang jabatan, sebagai berikut: a. Penghulu Pertama, yaitu:

1. Menyusun rencana kerja tahunan kepenghuluan; 2. Menyusun rencana kerja operasional kegiatan

kepenghuluan; 3. Melakukan pendaftaran dan meneliti kelengkapan

administrasi pendaftaran kehendak nikah/rujuk; 4. Mengolah dan memverifikasi data calon pengantin; 5. Menyiapkan bukti pendaftaran nikah/rujuk; 6. Membuat materi pengumuman peristiwa nikah/rujuk

dan mempublikasikan melalui media; 7. Mengolah dan menganalisis tanggapan masyarakat

terhadap pengumuman peristiwa nikah/rujuk; 8. Memimpin pelaksanaan akad nikah/rujuk melalui

proses menguji kebenaran syarat dan rukun nikah/rujuk dan menetapkan legalitas akad nikah/rujuk;

9. Menerima dan melaksanakan taukil wali nikah/tauliyah wali hakim;

10. Memberikan khutbah/nasihatf doa nikah/rujuk;

Page 515: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

502

11. Memandu pembacaan sighat taklik talak; 12. Mengumpulkan data kasus pernikahan; 13. Memberikan penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk; 14. Mengidentifikasi kondisi keluarga pra sakinah; 15. Mengidentifikasi kondisi keluarga sakinah I; 16. Membentuk kader pembina keluarga sakinah; 17. Melatih kader pembina keluarga sakinah; 18. Melakukan konseling kepada kelompok keluarga

sakinah; 19. Memantau dan mengevaluasi kegiatan

kepenghuluan; 20. Melakukan koordinasi kegiatan lintas sektoral di

bidang kepenghuluan. b. Penghulu Muda, yaitu:

1. Menyusun rencana kerja tahunan kepenghuluan; 2. Menyusun rencana kerja operasional kegiatan

kepenghuluan; 3. Meneliti kebenaran data calon pengantin, wali nikah

dan saksi di Balai Nikah; 4. Meneliti kebenaran data calon pengantin, wali nikah

dan saksi di luar Balai Nikah; 5. Meneliti kebenaran data pasangan rujuk dan saksi; 6. Melakukan penetapan dan atau penolakan

kehendak nikah/rujuk dan menyampaikannya; 7. Menganalisis pengantin; kebutuhan

konseling/penasihatan calon. 8. Menyusun materi dan disain pelaksanaan

konseling/penasihatan calon pengantin; 9. Mengarahkan/memberikan materi

konseling/penasihatan calon pengantin; 10. Mengevaluasi rangkaian kegiatan konseling/

penasihatan calon pengantin; 11. Memimpin pelaksanaan akad nikah/rujuk melalui

proses menguji kebenaran syarat dan rukun nikah/rujuk dan menetapkan legalitas akad nikah/rujuk;

12. Menerima dan melaksanakan taukil wali nikah/ tauliyah wali hakim;

Page 516: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

503

13. Memberikan khutbah/nasihat/doa nikah/rujuk; 14. Memandu pembacaan sighat taklik talak; 15. Mengidentifikasi, memverifikasi, dan memberikan

solusi terhadap pelanggaran ketentuan nikah/rujuk;

16. Menyusun monografi kasus; 17. Menyusun jadwal penasihatan dan konsultasi

nikah/rujuk; 18. Memberikan penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk; 19. Mengidentifikasi permasalahan hukum munakahat; 20. Menyusun materi bimbingan muamalah; 21. Membentuk kader pembimbing muamalah; 22. Mengidentifikasi kondisi keluarga sakinah II; 23. Mengidentifikasi kondisi keluarga sakinah III; 24. Menyusun materi pembinaan keluarga sakinah; 25. Membentuk kader pembina keluarga sakinah; 26. Melatih kader pembina keluarga sakinah; 27. Melakukan konseling kepada kelompok keluarga

sakinah; 28. Memantau dan mengevaluasi kegiatan

kepenghuluan; 29. Menyusun materi bahsul masail munakahat dan

ahwal as syakhsiyah; 30. Melakukan uji coba hasil pengembangan metode

penasihatan, konseling dan pelaksanaan nikah/rujuk;

31. Melakukan uji coba hasil pengembangan perangkat dan standar pelayanan nikah/rujuk;

32. Melakukan koordinasi kegiatan lintas sektoral di bidang kepenghuluan.

c. Penghulu Madya, yaitu: 1. Menyusun rencana kerja tahunan kepenghuluan; 2. Menyusun rencana kerja operasional kegiatan

kepenghuluan; 3. Memimpin pelaksanaan akad nikah/rujuk melalui

proses menguji kebenaran syarat dan rukun nikah/rujuk menetapkan legalitas akad nikah/rujuk;

Page 517: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

504

4. Menerima dan melaksanakan taukil wali nikah/tauliyah wali hakim;

5. Memberikan khutbah/nasihat/doa nikah/rujuk; 6. Memandu pembacaan sighat taklik talak; 7. Menganalisis kasus dan problematika rumah tangga; 8. Menyusun materi dan metode penasihatan dan

konsultasi; 9. Memberikan penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk; 10. Mengidentifikasi pelanggaran peraturan

perundangan nikah/rujuk; 11. Melakukan verifikasi pelanggaran ketentuan

nikah/rujuk; 12. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan

nikah/rujuk; 13. Mengamankan dokumen nikah/rujuk; 14. Melakukan telaahan dan pemecahan masalah

pelanggaran ketentuan nikah/rujuk; 15. Melaporkan pelanggaran kepada pihak yang

berwenang; 16. Menganalisis dan menetapkan fatwa hukum; 17. Melatih kader pembimbing muamalah; 18. Mengidentifikasi kondisi keluarga sakinah III plus; 19. Menganalisis bahan/data pembinaan keluarga

sakinah; 20. Membentuk kader pembina keluarga sakinah; 21. Melatih kader pembina keluarga sakinah; 22. Melakukan konseling kepada kelompok keluarga

sakinah; 23. Memantau dan mengevaluasi kegiatan

kepenghuluan; 24. Melaksanakan bahsul masail dan ahwal as

syakhsiyah; 25. Mengembangkan metode penasihatan, konseling

dan pelaksanaan nikah / rujuk; 26. Merekomendasi hasil pengembangan metode

penasihatan, konseling pelaksanaan nikah / rujuk; 27. Mengembangkan perangkat dan standar pelayanan

nikah / rujuk;

Page 518: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

505

28. Merekomendasi hasil pengembangan perangkat dan standar pelayanan nikah/rujuk;

29. Mengembangkan sistim pelayanan nikah/rujuk; 30. Mengembangkan instrumen pelayanan nikah/rujuk; 31. Menyusun kompilasi fatwa hukum munakahat; 32. Melakukan koordinasi kegiatan lintas sektoral di

bidang kepenghuluan. (2) Penghulu sebagaimana dimaksud ayat (1) yang

melaksanakan kegiatan pengembangan profesi dan penunjang tugas Penghulu diberikan nilai angka kredit sebagaimana tercantum dalam lampiran I.

Pasal 9

Apabila pada suatu unit kerja tidak terdapat jenjang jabatan Penghulu yang sesuai dengan jenjang jabatannya untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 8-ayat (1), Penghulu yang satu tingkat di atas atau satu tingkat di bawah jenjang jabatan dapat melakukan tugas tersebut berdasarkan penugasan tertulis dari pimpinan unit kerja yang bersangkutan.

Pasal 10

Penilaian angka kredit Penghulu yang melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 9, ditetapkan sebagai berikut:

1. Penghulu yang melaksanakan tugas di atas jenjang jabatannya, angka kredit yang diperoleh ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari angka kredit setiap butir kegiatan sebagaimana tercantum dalam lampiran I.

2. Penghulu yang melaksanakan tugas di bawah jenjang jabatannya, angka kredit yang diperoleh ditetapkan sama dengan angka kredit dari setiap butir kegiatan sebagaimana tercantum dalam lampiran I.

Pasal 11

(1) Unsur kegiatan yang dinilai dalam pemberian angka kredit terdiri dari:

Page 519: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

506

a. Unsur utama; dan b. Unsur penunjang.

(2) Unsur utama terdiri dari: a. Pendidikan; b. Pelayanan dan konsultasi nikah/rujuk; c. Pengembangan kepenghuluan; dan d. Pengembangan profesi Penghulu.

(3) Unsur penunjang, adalah kegiatan yang mendukung pelaksanaan tugas Penghulu sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 angka 5.

(4) R incian kegiatan Penghulu dan angka kredit dari masing-masing unsur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) adalah sebagaimana tersebut dalam lampiran I.

Pasal 12

(1) Jumlah angka kredit kumulatif minimal yang harus dipenuhi oleh setiap Pegawai Negeri Sipil untuk dapat diangkat dalam jabatan dan kenaikan jabatan/pangkat Penghulu adalah sebagaimana tersebut dalam lampiran III, dengan ketentuan: a. Paling kurang 80% (delapan puluh persen) angka

kredit berasal dari unsur utama; b. Paling banyak 20% (dua puluh persen) angka kredit

berasal dari unsur penunjang. (2) Penghulu Madya yang akan naik pangkat menjadi

Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b, dan menjadi Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c, dari angka kredit kumulatif yang disyaratkan paling kurang 12 (dua belas) harus berasal dari kegiatan unsur pengembangan profesi.

(3) Penghulu yang memiliki angka kredit melebihi angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan jabatan/pangkat setingkat lebih tinggi, kelebihan angka kredit tersebut dapat diperhitungkan untuk kenaikan jabatan/pangkat berikutnya.

(4) Penghulu yang memperoleh angka kredit untuk kenaikan jabatan/pangkat pada tahun pertama dalam masa jabatan/pangkat yang didudukinya, pada tahun berikutnya diwajibkan mengumpulkan angka kredit paling kurang 20%

Page 520: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

507

(dua puluh persen) dari jumlah angka kredit yang dipersyaratkan untuk kenaikan jabatan/pangkat setingkat lebih tinggi yang berasal dari kegiatan tugas pokok.

(5) Apabila kelebihan jumlah angka kredit sebagaimana dimaksud ayat (3) memenuhi jumlah angka kredit untuk kenaikan jabatan dua tingkat atau lebih dari jabatan terakhir yang diduduki, maka Penghulu yang bersangkutan dapat diangkat dalam jenjang jabatan sesuai dengan jumlah angka kredit yang dimiliki, dengan ketentuan: a. Paling kurang telah 1 (satu) tahun dalam jabatan; b. Setiap unsur penilaian dalam DP-3 paling kurang

bernilai baik dalam 1 (satu) tahun terakhir. (6) Penghulu yang naik jabatan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (5), setiap kali kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi disyaratkan mengumpulkan 20% (dua puluh persen) dari jumlah angka kredit untuk kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi tersebut, yang berasal dari kegiatan tugas pokok.

(7) Penghulu Madya, pangkat Pembina Utama Muda, golongan ruann IV/c, setiap tahun sejak menduduki jabatan/pangkatnya diwajibkan mengumpulkan angka kredit paling kurang 20 (dua puluh) angka kredit dari kegiatan tugas pokok.

Pasal 13

(1) Penghulu yang secara bersama-sama membuat karya tulis/karya ilmiah di bidang urusan agama Islam, pembagian angka kreditnya ditetapkan sebagai berikut:

a. 60% (enam puluh persen) bagi penulis utama; dan b. 40% (empat puluh persen) bagi semua penulis

pembantu, (2) Jumlah penulis pembantu sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) huruf b, paling banyak 3 (tiga) orang.

Page 521: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

508

BAB VI

PENILAIAN DAN PENETAPAN ANGKA KREDIT

Pasal 14

(1) Untuk kelancaran penilaian dan penetapan angka kredit, Penghulu wajib mencatat atau menginventarisir seluruh kegiatan yang dilakukan.

(2) Apabila hasil catatan atau inventarisir seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud ayat (1) dipandang sudah dapat memenuhi angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan jabatan/pangkat, secara hirarkhi Penghulu dapat mengajukan usul penilaian dan penetapan angka kredit.

(3) Penilaian dan penetapan angka kredit Penghulu dilakukan paling kurang 2 (dua) kali dalam satu tahun, yaitu setiap 3 (tiga) bulan sebelum periode kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil,

Pasal 15

(1) Pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit, adalah: a. Direktur Jenderal yang membidangi bimbingan

masyarakat Islam dan penyelenggaraan haji Departemen Agama, bagi Penghulu Madya.

b. Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi, bagi Penghulu Muda yang berada pada Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi di lingkungan masing- masing.

c. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, bagi Penghulu Pertama dan Penghulu Muda yang berada pada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota di lingkungan masing-masing.

(2) Dalam menjalankan tugas, pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibantu oleh; a. Tim Penilai Angka Kredit Jabatan Fungsional

Penghulu Direktorat Jenderal yang membidangi bimbingan masyarakat Islam dan penyelenggaraan haji bagi Direktur Jenderal yang membidangi

Page 522: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

509

bimbingan masyarakat Islam dan penyelenggaraan haji Departemen Agama, yang selanjutnya disebut Tim Penilai Direktorat Jenderal.

b. Tim Penilai Angka Kredit Jabatan Fungsional Penghulu Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi bagi Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi, yang selanjutnya disebut Tim Penilaf Provinsi.

c. Tim Penilai Angka Kredit Jabatan Fungsional Penghulu Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota bagi Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, yang selanjutnya disebut Tim Penilai Kabupaten/Kota.

Pasal 16

(1) Anggota Tim Penilai Jabatan Penghulu, adalah Penghulu dengan susunan sebagai berikut :

a. Seorang Ketua merangkap anggota; b. Seorang Wakil Ketua merangkap anggota; c. Seorang Sekretaris merangkap anggota; d. Paling kurang 4 (empat) orang anggota.

(2) Syarat untuk menjadi anggota Tim Penilai Penghulu, adalah a. Jabatan/pangkat paling rendah sama dengan

jabatan/pangkat Penghulu yang dinilai; b. Memiliki keahlian dan kemampuan untuk menilai

prestasi kerja Penghulu; dan c. Dapat aktif melakukan penilaian.

(3) Apabila jumlah anggota Tim Penilai sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak dapat dipenuhi dan Penghulu, maka anggota Tim Penilai dapat diangkat dari Pegawai Negeri Sipll lain yang memiliki kompetensi untuk menilai prestasi kerja Penghulu.

(4) Pembentukan dan susunan keanggotaan Tim Penilai Direktorat Jenderal, Tim Penilai Provinsi, dan Tim Penilai Kabupaten/Kota ditetapkan oleh:

a. Menteri Agama bagi Tim Penilai Direktorat Jenderal; b. Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi

bagi Tim Penilai Provinsi masing-masing;

Page 523: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

510

c. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk Tim Penilai Kabupaten/Kota masing-masing.

(5) Masa jabatan tim penilai Jabatan Fungsional Penghulu adalah 3 (tiga) tahun.

Pasal 17

(1) Pegawai Negeri Sipil yang telah menjadi anggota tim penilai dalam 2 (dua) masa jabatan berturut-turut, dapat diangkat kembali setelah melampaui tenggang waktu 1 (satu) masa jabatan.

(2) Apabila terdapat anggota tim penilai yang ikut dinilai, ketua tim penilai dapat mengangkat anggota tim penilai pengganti.

Pasal 18

Tata kerja dan tata cara penilaian tim penilai Penghulu ditetapkan oleh Menteri Agarna selaku Pimpinan Instansl Pembina Jabatan Fungsional Penghulu.

Pasal 19

Usul penetapan angka kredit diajukan oleh: a. Direktur Urusan Agama Islam kepada Direktur Jenderal

yang membidangi bimbingan masyarakat Islam dan penyelenggaraan haji Departemen Agama untuk angka kredit Penghulu Madya di lingkungan Departemen Agama;

b. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi kepada Direktur Jenderal yang membidangi bimbingan masyarakat Islam dan penyelenggaraan haji Departemen Agama untuk angka kredit Penghulu Madya di lingkungan masing-masing;

c. Kepala Bidang Urusan Agama Islam kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi untuk angka kredit Penghulu Muda di lingkungan Kantor Wilayah Departemen Agama masing-masing;

d. Kepala Seksi yang membidangi kepenghuluan kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk

Page 524: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

511

angka kredit Penghulu Pertama dan Penghulu Muda di lingkungan masing-masing.

Pasal 20

(1) Angka kredit yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, digunakan untuk pertimbangan kenaikan jabatan/pangkat Penghulu sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku;

(2) Terhadap keputusan pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit, tidak dapat diajukan keberatan oleh Penghulu yang bersangkutan.

BAB VII

PENGANGKATAN DALAM JABATAN PENGHULU

Pasal 21

Pejabat yang berwenang mengangkat Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan Penghulu, adalah Menteri Agama atau pejabat lain yang ditunjuk sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 22

(1) Persyaratan untuk dapat diangkat pertama kali dalam jabatan Penghulu, adalah: a. Berijazah paling rendah Sarjana (Sl)/Diploma IV

sesuai dengan kualifikasi yang ditentukan; b. Paling rendah menduduki pangkat Penata Muda,

golongan ruang Ill/a; c. Lulus pendidikan dan pelatihan fungsional di bidang

kepenghuluan; dan d. Setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan (DP-3)

paling kurang bernilai baik dalam 1 (satu) tahun terakhir.

(2) Pengangkatan dalam jabatan Penghulu sebagaimana dimaksud ayat (1), adalah pengangkatan yang dilakukan melalui proses pengangkatan CPNS untuk mengisi lowongan formasi jabatan Penghulu.

Page 525: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

512

(3) Penentuan jenjang jabatan Penghulu sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan berdasarkan penetapan angka kredit oleh pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (1);

(4) Kualifikasi pendidikan dan pendidikan dan pelatihan fungsional untuk jabatan Penghulu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan c ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agama selaku Pimpinan Instansi Pembina Jabatan Penghulu.

Pasal 23

Di samping persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 22, pengangkatan dalam jabatan Penghulu, harus : a. Sesuai dengan formasi jabatan Penghulu yang telah

ditetapkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara berdasarkan usulan Menteri Agama selaku Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat, setelah mendapat pertimbangan Kepala BKN;

b. Memenuhi jumlah angka kredit minimal yang ditetapkan untuk jenjang jabatan/pangkatnya.

Pasal 24

(1) Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dari jabatan lain ke dalam jabatan Penghulu dapat dipertimbangkan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 22 dan Pasal 23; b. Memiliki pengalaman di bidang kepenghuluan paling

kurang 2 (dua)tahun; dan c. Usia paling tinggi 5 (lims) tahun sebelum mencapai

usia pensiun berdasarkan batas usia pensiun Pegawai Negeri Sipil.

(2) Pangkat yang ditetapkan bagi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah sama dengan pangkat yang dimiliki dan jenjang jabatan Penghulu ditetapkan sesuai dengan jumlah angka kredit yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit yang diperoleh dari pendidikan,

Page 526: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

513

pelayanan dan konsultasi nikah/rujuk, pengembangan kepenghuluan, pengembangan profesi, dan tugas penunjang Penghulu.

BAB VIII

PEMBEBASAN SEMENTARA, PENGANGKATAN KEMBALI DAN PEMBERHENTIAN DARIJABATAN

Pasal 25

(1) Penghulu Pertama, pangkat Penata Muda, golongan ruang Ill/a, sampai dengan Penghulu Madya, pangkat Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b, dibebaskan sementara dari jabatannya apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diangkat dalam pangkat terakhir tidak dapat mengumpulkan angka kredit untuk kenaikan pangkat/jabatan setingkat lebih tinggi;

(2) Penghulu Madya, pangkat Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c, dibebaskan sementara dari jabatannya apabila setiap tahun sejak diangkat dalam pangkatnya tidak dapat mengumpulkan paling kurang 20 (dua puluh) angka kredit dari kegiatan tugas pokok;

(3) Di samping pembebasan sementara sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2), Penghulu juga dibebaskan sementara dari jabatannya apabila :

a. Dijatuhi hukuman disiplin tingkat sedang atau tingkat berat berupa penurunan pangkat; atau

b. Diberhentikan sementara sebagai Pegawai Negeri Sipil; atau

c. Ditugaskan secara penuh di luar jabatan fungsional Penghulu; atau

d. Menjalani cuti di luar tanggungan negara; atau e. Menjalani tugas belajar lebih dari 6 (enam) bulan.

Pasal 26

(1) Penghulu yang telah selesai menjalani pembebasan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat

Page 527: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

514

(3) huruf a, d, dan huruf e dapat diangkat kembali dalam jabatan fungsional Penghulu.

(2) Penghulu yang dibebaskan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) huruf b, dapat diangkat kembali dalam jabatan fungsional Penghulu apabila berdasarkan hasil pemeriksaan pihak yang berwajib, Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dinyatakan tidak bersalah.

(3) Penghulu yang dibebaskan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) huruf c, dapat diangkat kembali dalam jabatan fungsional Penghulu apabila berusia paling tinggi 2 (dua) tahun sebelum mencapai usia pensiun Pegawai Negeri Sipil

(4) Pengangkatan kembali dalam jabatan fungsional Penghulu sebagaimana dimaksud ayat (1), (2) dan ayat (3) dapat menggunakan angka kredit terakhir yang dimilikinya dan dari prestasi di bidang kepenghuluan yang diperoleh selama tidak menduduki Jabatan Fungsional Penghulu.

Pasal 27

Penghulu diberhentikan dari jabatannya apabila: a. Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak dibebaskan

sementara dari jabatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) tidak dapat mengumpulkan angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan pangkat/jabatan setingkat lebih tinggi;

b. Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak dibebaskan sementara dari jabatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), tidak dapat mengumpulkan angka kredit yang ditentukan; atau

c. Dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, kecuali hukuman disiplin penurunan pangkat.

Pasal 28

Pembebasan sementara, pengangkatan kembali, dan pemberhentian dari Jabatan Penghulu sebagaimana dimaksud

Page 528: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

515

Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 ditetapkan oleh Menteri Agama selaku pejabat pembina kepegawaian atau pejabat lain yang ditunjuk olehnya.

BAB IX

PENYESUAIAN/INPASSING DALAM JABATAN DAN ANGKA KREDIT

Pasal 29

(1) Pegawai Negeri Sipil yang pada saat ditetapkan Peraturan ini telah dan masih melaksanakan tugas di bidang kepenghuluan berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/42/M.PAN/4/2004 tentang Jabatan Fungsional Penghulu, dapat disesuaikan/diinpassing dalam jabatan Penghulu dengan ketentuan: a. Berijazah serendah-rendahnya S1 atau yang

setingkat; b. Pangkat serendah-rendahnya Penata Muda,

golongan ruang Ill/a; dan c. Setiap unsur penilaian prestasi kerja atau

pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 1 (satu) tahun terakhir.

(2) Angka kredit kumulatif untuk penyesuaian/inpassing dalam jabatan Penghulu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah sebagaimana tersebut dalam lampiran II;

(3) Angka kredit kumulatif sebagaimana tersebut dalam lampiran II, hanya berlaku sekali selama masa penyesuaian/inpassing;

(4) Untuk menjamin perolehan angka kredit bagi Pegawai Negeri Sipil yang disesuaikan/diinpassing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka dalam melaksanakan penyesuaian/inpassing perlu memper-timbangkan formasi jabatan.

Page 529: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

516

BAB X

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 30

Untuk kepentingan dinas dan atau dalam rangka menambah pengetahuan, pengalaman, dan pengembangan karier, Penghulu dapat dipindahkan ke jabatan struktural atau jabatan fungsional lain sepanjang memenuhi persyaratan jabatan yang ditentukan.

BAB XI

PENUTUP

Pasal 31

Apabila ada perubahan mendasar dalam pelaksanaan tugas pokok Penghulu sehingga ketentuan dalam Peraturan ini tidak sesuai lagi, maka Peraturan ini dapat ditinjau kembali.

Pasal 32

Dengan berlakunya Peraturan ini, maka Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : KEP/42/M.PAN/4/2004 tentang Jabatan Fungsional Penghulu dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 33

Petunjuk pelaksanaan Peraturan ini diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian Negara.

Pasal 34

Peraturan inl mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 3 Juni 2005

MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

TAUFIQ EFFENDI

Page 530: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

517

SALINAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 152/PMK.02/2014

TENTANG

PETUNJUK PENYUSUNAN RENCANA PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan akuntabilitas, transparansi dan tata kelola Pemerintahan yang baik dalam perencanaan Penerimaan Negara Bukan Pajak, perlu menyusun rencana penerimaan negara bukan pajak Kementerian Negara/Lembaga sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Petunjuk Penyusunan Rencana Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian Negara/Lembaga;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan

Page 531: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

518

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tatacara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3871);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tatacara Penyampaian Rencana dan Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4353);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 152, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 5178).

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PETUNJUK PENYUSUNAN RENCANA PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang

selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan

Page 532: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

519

tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

2. Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang selanjutnya disingkat PNBP, adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.

3. Rencana PNBP adalah hasil penghitungan/penetapan target dan pagu penggunaan PNBP yang diperkirakan dalam satu tahun anggaran.

4. Target PNBP adalah perkiraan PNBP yang akan diterima dalam satu tahun anggaran.

5. Pagu Penggunaan PNBP adalah perkiraan PNBP yang akan digunakan dalam satu tahun anggaran.

6. Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian, adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

7. Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.

8. Bagian Anggaran adalah kelompok anggaran menurut nomenklatur Kementerian/Lembaga dan menurut fungsi Bendahara Umum Negara.

9. Pagu Indikatif adalah ancar-ancar pagu anggaran yang diberikan kepada Kementerian/Lembaga sebagai pedoman dalam penyusunan Rencana Kerja Kementerian/Lembaga.

10. Pagu Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Pagu Anggaran, adalah batas tertinggi anggaran yang dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga dalam rangka penyusunan Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga.

11.Optimalisasi rencana PNBP adalah perubahan target dan pagu penggunaan PNBP berdasarkan hasil pembahasan Rancangan APBN antara Pemerintah dan DPR.

12. Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Alokasi Anggaran K/L, adalah batas tertinggi anggaran pengeluaran yang dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga berdasarkan hasil pembahasan

Page 533: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

520

Rancangan APBN yang dituangkan dalam berita acara hasil kesepakatan Pembahasan Rancangan APBN antara Pemerintah dan DPR

13. Tahun Anggaran adalah periode dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.

14. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 15. Pejabat Kementerian/Lembaga adalah Sekretaris Jenderal

atau Sekretaris Utama atau pemegang jabatan setingkat pada Kementerian/Lembaga yang bertanggung jawab atas penyusunan target dan pagu penggunaan PNBP.

16. Satuan Kerja adalah bagian dari suatu unit organisasi pada Instansi Pemerintah yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program.

17. Aplikasi Target Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang selanjutnya disingkat Aplikasi TPNBP, adalah aplikasi yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Anggaran, yang digunakan untuk penyusunan rencana PNBP.

18. Sistem Informasi Penerimaan Negara Bukan Pajak Online, yang selanjutnya disingkat SIMPONI, adalah sistem informasi yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Anggaran, yang meliputi Sistem Perencanaan PNBP, Sistem Billing, dan Sistem Pelaporan PNBP.

19. Aplikasi Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara, yang selanjutnya disingkat Aplikasi SPAN, adalah sistem terintegrasi seluruh proses yang terkait dengan pengelolaan APBN yang meliputi modul penganggaran, modul komitmen, modul pembayaran, modul penerimaan, modul kas, dan modul akuntansi dan pelaporan.

BAB II

PROSES PENYUSUNAN RENCANA PNBP

Pasal 2

(1) Dalam rangka penyusunan rencana PNBP dalam Rancangan APBN, Pejabat Kementerian/Lembaga wajib menyampaikan rencana PNBP atas Bagian Anggaran dari Kementerian/ Lembaga yang menjadi tugas dan

Page 534: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

521

kewenangannya kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dengan mengikuti siklus APBN.

(2) Selain menyampaikan rencana PNBP atas Bagian Anggaran Kementerian Keuangan, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan wajib menyampaikan rencana PNBP Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran.

(3) Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam bentuk target PNBP.

(4) Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Kementerian/Lembaga yang telah memperoleh persetujuan penggunaan dana PNBP disusun dalam bentuk target dan pagu penggunaan PNBP.

Pasal 3

(1) Target PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) disusun secara realistis dan optimal berdasarkan: a. jenis PNBP dan tarif atas jenis PNBP; b. akun pendapatan sesuai Bagan Akun Standar; dan c. perkiraan jumlah/volume yang menjadi dasar

perhitungan PNBP dari masing-masing jenis PNBP. (2) Pagu penggunaan PNBP sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (4) disusun dengan mengacu pada persetujuan penggunaan dana PNBP.

Pasal 4

Rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 disusun untuk setiap Bagian Anggaran dalam bentuk: a. rencana PNBP tingkat Satuan Kerja; b. rencana PNBP tingkat Unit Eselon I; dan c. rencana PNBP tingkat Kementerian/Lembaga atau Bagian

Anggaran.

Page 535: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

522

BAB III RENCANA PNBP DALAM RANGKA PENYUSUNAN

PAGU INDIKATIF

Pasal 5

(1) Rencana PNBP dalam rangka penyusunan Pagu Indikatif disusun dengan berpedoman pada rencana PNBP tahun anggaran berjalan, realisasi PNBP tahun anggaran sebelumnya, dan kebijakan Pemerintah.

(2) Kementerian/Lembaga wajib menyampaikan rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran.

(3) Batas akhir penerimaan rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah minggu ketiga bulan Januari.

(4) Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dengan surat pengantar yang ditandatangani oleh Pejabat Kementerian/Lembaga dalam bentuk proposal yang paling sedikit berisi:

a. pokok-pokok kebijakan PNBP; b. realisasi PNBP dua tahun anggaran terakhir; c. perkiraan realisasi PNBP tahun anggaran berjalan;

d. target PNBP untuk tahun anggaran yang direncanakan dan tiga tahun anggaran berikutnya;

e. justifikasi atas peningkatan atau penurunan target PNBP tahun anggaran yang direncanakan terhadap target PNBP tahun anggaran berjalan;

f. Arsip Data Komputer (ADK) rencana PNBP Kementerian/Lembaga menggunakan Aplikasi TPNBP yang menjadi satu bagian dengan SIMPONI;

g. realisasi penggunaan dana PNBP dua tahun anggaran terakhir untuk Kementerian/Lembaga yang telah memiliki persetujuan penggunaan sebagian dana PNBP dan/atau untuk satker Badan Layanan Umum;

h. perkiraan realisasi penggunaan dana PNBP tahun anggaran berjalan untuk Kementerian/Lembaga yang telah memiliki persetujuan penggunaan sebagian dana

Page 536: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

523

PNBP dan/atau untuk satker Badan Layanan Umum; dan

i. pagu penggunaan PNBP untuk tahun anggaran yang direncanakan dan tiga tahun anggaran berikutnya untuk Kementerian/Lembaga yang telah memiliki persetujuan penggunaan sebagian dana PNBP dan/atau untuk satker Badan Layanan Umum.

Pasal 6

(1) Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran melakukan verifikasi atas rencana PNBP dan validasi ADK rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5

(2) Dalam hal hasil verifikasi dan validasi ADK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dapat melakukan penyesuaian atas rencana PNBP Kementerian/Lembaga.

(3) Dalam melakukan penyesuaian atas rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dapat melakukan koordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait.

(4) Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran mengunggah ADK rencana PNBP Kementerian/Lembaga dalam rangka penyusunan Pagu Indikatif ke dalam Aplikasi SPAN.

Pasal 7

Dalam hal Kementerian/Lembaga tidak menyampaikan rencana PNBP dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dapat melakukan perhitungan rencana PNBP Kementerian/Lembaga.

Pasal 8

Rencana PNBP Kementerian/Lembaga dalam rangka penyusunan Pagu Indikatif ditetapkan oleh Menteri c.q. Direktur

Page 537: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

524

Jenderal Anggaran paling lambat pada minggu pertama bulan Februari.

BAB IV RENCANA PNBP DALAM RANGKA PENYUSUNAN

PAGU ANGGARAN

Pasal 9

(1) Rencana PNBP dalam rangka penyusunan Pagu Anggaran disusun dengan berpedoman pada rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan perubahan kebijakan Pemerintah.

(2) Dalam hal perubahan kebijakan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebabkan perubahan rencana PNBP, Kementerian/Lembaga menyampaikan rencana PNBP kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran.

(3) Batas akhir penerimaan rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah minggu kedua bulan Mei.

(4) Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dengan disertai penjelasan atas perubahan kebijakan Pemerintah yang menyebabkan rencana PNBP.

Pasal 10

(1) Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran melakukan verifikasi atas rencana PNBP dan validasi ADK rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

(2) Dalam hal hasil verifikasi dan validasi ADK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dapat melakukan penyesuaian atas rencana PNBP Kementerian/Lembaga.

(3) Dalam melakukan penyesuaian atas rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kementerian

Page 538: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

525

Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dapat melakukan koordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait.

(4) Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran mengunggah ADK rencana PNBP Kementerian/Lembaga ke dalam Aplikasi SPAN.

Pasal 11

Dalam hal Kementerian/Lembaga tidak menyampaikan rencana PNBP dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dapat melakukan perhitungan rencana PNBP Kementerian/ Lembaga.

Pasal 12

Rencana PNBP Kementerian/Lembaga dalam rangka penyusunan Pagu Anggaran ditetapkan oleh Menteri c.q. Direktur Jenderal Anggaran paling lambat pada minggu keempat bulan Mei.

Pasal 13

Rencana PNBP Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 digunakan sebagai bahan dalam penyusunan Rancangan APBN.

BAB V

RENCANA PNBP DALAM RANGKA PENYUSUNAN ALOKASI ANGGARAN

Pasal 14

(1) Rencana PNBP dalam rangka penyusunan Alokasi Anggaran disusun dengan berpedoman pada hasil pembahasan Rancangan APBN antara Pemerintah dengan DPR RI.

(2) Dalam hal hasil pembahasan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menghasilkan optimalisasi rencana PNBP, Kementerian/Lembaga wajib melakukan penyesuaian rencana PNBP.

Page 539: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

526

(3) Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan optimalisasi rencana PNBP secara tertulis beserta ADK rencana PNBP kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran paling lambat satu minggu setelah kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR RI.

(4) Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran melakukan validasi atas ADK rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran mengunggah ADK rencana PNBP Kementerian/Lembaga ke dalam Aplikasi SPAN.

Pasal 15

Rencana PNBP dalam rangka penyusunan Alokasi Anggaran ditetapkan oleh Menteri c.q. Direktur Jenderal Anggaran paling lambat minggu pertama bulan November.

BAB VI

RENCANA PNBP DALAM RANGKA PENYUSUNAN RANCANGAN PERUBAHAN APBN

Pasal 16

(1) Rencana PNBP dalam rangka penyusunan Rancangan Perubahan APBN disusun dengan berpedoman pada perubahan asumsi dasar ekonomi makro dan/atau perubahan kebijakan Pemerintah.

(2) Dalam hal perubahan asumsi dasar ekonomi makro dan/atau perubahan kebijakan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebabkan perubahan rencana PNBP dalam APBN, Kementerian/Lembaga menyampaikan perubahan rencana PNBP kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran.

(3) Perubahan rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dengan surat pengantar yang ditandatangani oleh Pejabat Kementerian/Lembaga dalam bentuk proposal yang paling sedikit berisi: a. realisasi PNBP tahun anggaran berjalan;

Page 540: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

527

b. perubahan target PNBP tahun anggaran berjalan; c. justifikasi atas perubahan target PNBP tahun anggaran

berjalan; d. ADK rencana PNBP Kementerian/Lembaga

menggunakan Aplikasi TPNBP yang menjadi satu bagian dengan SIMPONI.

e. realisasi penggunaan dana PNBP tahun anggaran berjalan untuk Kementerian/Lembaga yang telah memiliki persetujuan penggunaan sebagian dana PNBP dan/atau untuk satker Badan Layanan Umum; dan

f. perubahan pagu penggunaan PNBP tahun anggaran berjalan untuk Kementerian/Lembaga yang telah memiliki persetujuan penggunaan sebagian dana PNBP dan/atau untuk satker Badan Layanan Umum.

Pasal 17

(1) Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran melakukan proses verifikasi atas perubahan rencana PNBP dan validasi ADK perubahan rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.

(2) Dalam hal hasil verifikasi dan validasi ADK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dapat melakukan penyesuaian atas perubahan rencana PNBP Kementerian/Lembaga.

(3) Dalam melakukan penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dapat melakukan koordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait.

(4) Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran mengunggah ADK perubahan rencana PNBP Kementerian/Lembaga ke dalam Aplikasi SPAN.

Pasal 18

Dalam hal Kementerian/Lembaga tidak menyampaikan perubahan rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (1), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal

Page 541: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

528

Anggaran dapat melakukan perhitungan perubahan rencana PNBP Kementerian/Lembaga berdasarkan capaian PNBP.

Pasal 19

Rencana PNBP dalam rangka penyusunan Rancangan Perubahan APBN ditetapkan oleh Menteri c.q. Direktur Jenderal Anggaran.

BAB VII

REVISI ANGGARAN YANG BERSUMBER DARI DANA PNBP PADA TAHUN ANGGARAN BERJALAN

Pasal 20

Perubahan anggaran belanja yang bersumber dari dana PNBP dilaksanakan sesuai Peraturan Menteri mengenai tata cara revisi anggaran.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 21

Dalam hal Aplikasi SPAN belum dapat diterapkan, proses unggah data rencana PNBP Kementerian/Lembaga dilakukan dengan Aplikasi TPNBP yang menjadi satu bagian dengan SIMPONI.

Pasal 22

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 Juli 2014 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd.

Page 542: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

529

MUHAMAD CHATIB BASRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 24 Juli 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 1053

Page 543: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

530

INSTRUKSI BERSAMA DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM

DAN URUSAN HAJI DEPARTEMEN AGAMA DAN

DIREKTUR JENDERAL PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN

PEMUKIMAN DEPARTEMEN KESEHATAN Nomor : 02 Tahun 1989

162-I/PD.03.04.EL

TENTANG

IMUNISASI TETANUS TOXOID CALON PENGANTIN

DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM DAN URUSAN HAJI

DAN DIREKTUR JENDERAL PEMBERANTASAN PENYAKIT

MENULAR DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN PEMUKIMAN

Menimbang : bahwa sebagai tindak lanjut Keputusan Bersama Direktorat Jederal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Departemen Agama dan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan tentang Pelaksanaan Bimbingan Terpadu Program PPM & PLP Melalui Jalur Kegiatan Agama Islam, perlu dikeluarkan Instruksi bersama tentang Imunisasi Tetanus Toxoid Calon Pengantin.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Kesehatan;

2. Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan;

Page 544: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

531

3. Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Organisasi Departemen;

4. Keputusan Presiden RI Nomor 15 Tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen yang telah diubah dan disempurnakan terakhir dengan Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen;

5. Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 1975 tentang SUsunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama yang telah diubah dan disempurnakan terakhir dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 75 Tahun 1984;

6. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Kesehatan Nomor 294 Tahun 1986 dan Nomor 788/MENKES/SKB/XI/1986 tentang Bimbingan Terpadu Program Kesehatan melalui jalur Agama;

7. Keputusan Bersama Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Departemen Agama dan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departeman Kesehatan Nomor: 94 Tahun 1987 6.567.I/PD.03.04.IF;

Tentang : Pelaksanaan Bimbingan Terpadu Program PPM & PLP melalui Jalur Kegiatan Agama Islam

Memperhatikan:1. Hasil Evaluasi Program Imunisasi Tetanus Toxoid Calon Pengantin di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan pada Tahun 1987.

2. Hasil Pelaksanaan Studi kasus Imunisasi Tetanus Toxoid Calon Pengantin di Jawa Tengah tanggal 15 -19 Nopember 1988 6.567.I/PD.03.04.IF

MENGINSTRUKSIKAN

Kepada : Semua Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama dan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan di Seluruh Indonesia.

Page 545: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

532

UNTUK : 1. Memerintahkan kepada seluruh jajaran di bawahnya melaksanakan bimbingan dan pelayanan Imunisasi TT Calon Pengantin sesuai dengan pedoman pelaksanaan terlampir.

2. Memantau pelaksanaan bimbingan dan pelayanan Imunisasi TT Calon Pengantin di daerah masing-masing.

3. Melaporkan secara berkala hasil pelaksanaan instruksi Haji dan Dirjen PPM & PLP sesuai tugas masing-masing Instruksi Bersama ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan untuk dilaksanakan sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab.

DITETAPKAN DI : JAKARTA PADA TANGGAL: 6 MARET 1989

DIREKTUR JENDERAL DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM PEMBERANTASAN PENYAKIT DAN URUSAN HAJI MENULAR DAN PENYEHATAN DEPARTEMEN AGAMA LINGKUNGAN PEMUKIMAN DEPARTEMEN KESEHATAN

Ttd ttd

ANDY LOLO TONANG, SH Dr. G. HARTONO NIP. 150014384 NIP. 14002375 TEMBUSAN DISAMPAIKAN KEPADA YTH: 1. Menteri Agama (sebagai laporan) 2. Menteri Kesehatan (sebagai laporan) 3. Para Pejabat Eselon I Departemen Agama; 4. Para Pejabat Eselon I Departemen Kesehatan; 5. Para Gubernur Kepala Daerah Tk. I; 6. Biro Hukum dan Humas Departemen Agama; 7. Biro Hukum dan Humas Departemen Kesehatan; 8. Para Pejabata Eselon II;

Page 546: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

533

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM DAN URUSAN HAJI

HONOR 18 TAHUN 1993

TENTANG

PENGANGKATAN WAKIL PEGAWAI PENCATAT NIKAH, PEGAWAI PENCATAT NIKAH DAN KEPALA

PEGAWAI PENCATAT NIKAH

DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM DAN URUSAN HAJI,

Menimbang : a. bahwa untuk menyesuaikan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan tentang susunan organisasi dan tata kerja Departemen Agama serta pelaksanaan pencatat nikah, talak, cerai dan rujuk (NTCR), dipandang perlu meninjau kembali Instruksi Kepala Jawatan Urusan Agama Nomor 5 Tahun 1961 tentang Penyelenggaraan Testing, Jabatan Naib dan Penghulu Muda;

b. bahwa untuk memenuhi maksud sebagaimana tersebut pada huruf a diatas, perlu menetapkan persyaratan pengangkatan Wakil Pegawai Pencatat Nikah, Pegawai Pencatat Nikah dan Kepala Pegawai Pencatat Nikah serta tats cara penyelenggaraan tes bagi calon Wakil Pegawai Pencatat Nikah.

Mengingat : 1. Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 1946, tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk;

2. Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 1954, tentang Penetapan berlakunya Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura;

3. Undang-undang RI Nomor 1Tahun1974, tentang Perkawinan;

Page 547: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

534

4. Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama;

5. Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975, tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Perkawinan;

6. Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Organisasi Departemen;

7. Keputusan Presiden RI Nomor 15 Tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen, dengan segala perubahannya terakhir Nomor 35 Tahun 1992;

8. Peraturan Menteri Agama RI Nomor 1 Tahun 1976 tentang Penunjukan Pegawai untuk Mengangkat dan Memberhentikan Pegawai Pencatat Nikah sorta Menetapkan Wilayahnya;

9. Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 1989, tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah;

10. Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 1990, tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah;

11. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 18 Tahun 1975, tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, dengan segala perubahannya terakhir Nomor 75 Tahun 1984.

MEMUTUSKAN

Dengan mencabut Instruksi Kepala Jawatan Urusan Agama Nomor 5 Tahun 1961 tentang Penyelenggaraan testing Jabatan Naib dan Penghulu Muda.

Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM DAN URUSAN HAJI TENTANG PENGANGKATAN WAKIL PEGAWAI PENCATAT NIKAH, PEGAWAI PENCATAT NIKAH DAN KEPALA PEGAWAI PENCATAT NIKAH.

Page 548: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

535

Pasal 1

Untuk diangkat menjadi Wakil Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan, yang selanjutnya disingkat Wakil PPN sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) Peraturan MenteriAgama RI Nomor 2 Tahun 1990 diperlukan persyaratan sebagai berikut : a. Menguasai hukum munakahat, peraturan perundang-

undangan tentang pencatatan nikah, talak, cerai dan rujuk sorta administrasi keuangan nikah dan rujuk;

b. Diutamakan berpendidikan sarjana syari'ahnya sederajat dengan sarjana syari'ah;

c. Bagi yang sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil berpangkat serendah-rendahnya Penata Muda (Illa);

d. Lulus tes yang diadakan khusus untuk menduduki Jabatan tersebut.

Pasal 2

Untuk diangkat menjadi Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan, selanjutnya disingkat PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 tahun 1990 diperlukan persyaratan sebagai berikut : a. Berpengalaman menjadi Wakil PPN sekurang-sekurangnya

tiga tahun; b. Menguasai hukum munakahat, peraturan perundang-

undangan tentang pencatatan nikah, talak carai dan rujuk serta administrasi keuangan nikah dan rujuk;

c. Diutamakan berpendidikan sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang ilmu syari'ahnya sederajat dengan sarjana syari'ah;

d. Berpangkat serendah-rendahnya Penata Muda Tingkat I (III/b).

Pasal 4

Pengangkatan Wakil PPN, PPN dan Kepala PPN sebagaimana dimaksud Pasal 1, 2 dan 3 dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi atas usul Kepala Kantor Departemen AgamaKabupaten/ Kotamadya setelah mendapat pertimbangan tertulis dari Kepala Bidang Urusan Agama Islam/Bidang Bimas Islam/Bidang Bimas dan Binbaga Islam.

Page 549: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

536

Pasal 5

(1) Tes bagi calon wakil PPN sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf d diselenggarakan untuk mengisi jabatan yang lowong atau sebagai persiapan untuk mengisi jabatan yang akan lowong.

(2) Tes dilakukan secara tertulis, lisan dan praktek. (3) Bahan tes tertulis disiapkan oleh Direktorat Urusan Agama

Islam, terdiri dari : a. Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945; b. Garis-garis Besar Haluan Negara; c. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946, tentang

Pencatat Nikah. Talak dan Rujuk jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954;

d. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan dan Peraturan-peraturan pelaksanaannya;

e. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama;

f. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tentang Kompilasi Hukum Islam;

g. Manajemen Perkantoran dan Kepemimpinan; h. Kitab Fiqhus Sunnah atau yang sederajat terutama bab

munakahat dan ibadah Canters lain shalat, zakat, wakaf dan haji);

i. administrasi pencatatan nikah, talak, cerai dan rujuk. (4) Yang dimaksud dengan praktek pada ayat (1) termasuk

pemeriksaan calon mempelai dan pengisian formulir nikah, talak, cerai danrujuk, melaksanakan khutbah nikah, ijab Kabul, do'a serta membaca dan membahas kitab yang memuat sumber hukum munakahat.

(5) Tes dilaksanakan oleh panitia yang ditetapkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya dengan Kepala Seksi Urusan Agama Islam/Seksi Bimas Islam sebagai Ketua dan Kepala Sub Seksi Kepenghuluan sebagai sekretaris.

(6) Tes diawasi dan diperiksa oleh Bidang Urusan Agama Islam/Bimas Islam/Binbaga Islam Berta dimonitor oleh Direktorat UrusanAgama Islam.

(7) Peserta yang lulus tes akan mengikuti pendidikan yang diselenggarakan khusus untuk itu.

Page 550: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

537

Pasal 6

Hal-hal yang memertukan pengaturan lebih tanjut akan diatur oleh Direktur Urusan Agama Islam.

Ditetapkan : JAKARTA

Pada tanggat : 18 Pebruari 1993

DIREKTUR JENDERAL

BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM DAN URUSAN HAJI

t.t.d

Drs. H. AMIDHAN

NIP. 150016353

TEMBUSAN :

1. Bapak Mentori Agama; 2. Sdr. Inspektur Jenderat DepartemenAgama; 3. Sdr. Sekretaris dan para Direktur di Lingkungan Ditjen Bimas

Islam dan Urusan Hajj; 4. Sdr. Kepata Biro Hukum dan Humas Departemen Agama; 5. Sdr. Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi

Up. Kepala Bidang Urusan Agama Islam/Bimas Islam seluruh Indonesia;

6. Sdr. Kepala Bagian Penyusunan Program dan Peraturan Perundang-undangan Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji.

Page 551: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

538

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM

NOMOR: DJ.II/542 TAHUN 2013

TENTANG

PEDOMAN PENYELENGGARAAN KURSUS PRA NIKAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM,

Menimbang : 1. bahwa dalam rangka mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah perlu dilakukan kursus pra nikah bagi remaja usia nikah;

2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2019);

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor

Page 552: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

539

12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3050);

5. Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;

6. Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kemnterian Negara ;

7. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KURSUS PRA NIKAH

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:

(1) kursus Pra Nikah adalah pemberian bekal pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan penumbuhan kesadaran kepada remaja usia nikah tentang kehidupan rumah tangga dan keluarga.

(2) Remaja usia nikah adalah laki-laki muslim berumur sekurang-kurangnya 19 tahun dan perempuan muslimah 16 tahun.

(3) Keluarga sakinah adalah keluarga yang didasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat spiritual dan material secara serasi dan seimbang, diliputi suasana kasih

Page 553: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

540

sayang antara internal keluarga dan lingkungannya, mampu memahami, mengamalkan dan memperdalam nilai-nilai keimanan, ketakwaan dan akhlaqul karimah.

(4) Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan yang selanjutnya disebut BP4 adalah organisasi profesional yang bersifat sosial keagamaan sebagai mitra kerja Kementerian Agama dalam mewujudkan keluarga sakinah mawaddah warahmah.

(5) Lembaga penyelenggara kursus pra nikah adalah organisasi keagamaan Islam yang telah memiliki akreditasi dari Kementerian Agama.

(6) Sertifikat adalah bukti otentik keikutsertaan/kelulusan dalam mengikuti Kursus pra nikah.

(7) Akreditasi adalah pengakuan terhadap badan atau lembaga yang menyelenggarakan kursus pra nikah setelah dinilai memenuhi kriteria/persyaratan yang ditetapkan oleh Kementerian Agama.

BAB II MAKSUD DAN TUJUAN

Pasal 2

Peraturan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang kehidupan rumah tangga/keluarga dalam mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah warahmah serta mengurangi angka perselisihan, perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga.

BAB III PENYELENGGARA KURSUS

Bagian Kesatu

Penyelenggara

Pasal 3

(1) Penyelenggara Kursus pra nikah adalah BP4 dan organisasi keagamaan Islam yang telah memiliki Akreditasi dari Kementerian Agama;

Page 554: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

541

(2) Kementerian Agama dapat menyelenggarakan kursus pra nikah yang pelaksanaannya bekerja sama dengan Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) atau organisasi keagamaan Islam lainnya.

(3) Dalam pelaksanaannya BP4 dan organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus pra nikah dapat bekerja sama dengan instansi atau kementerian lain atau lembaga lainnya.

(4) Akreditasi yang diberikan kepada BP4 dan organisasi keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 2 tahun dan selanjutnya dapat diperpanjang dengan permohonan baru.

Bagian Kedua Sarana

Pasal 4

Kementerian Agama menyediakan sarana pembelajaran dalam bentuk silabus dan modul;

Bagian Ketiga Pembiayaan

Pasal 5

Pembiayaan penyelenggaraan Kursus Pranikah dapat bersumber dari APBN dan APBD;

Bagian Keempat Sertifikasi

Pasal 6

1. Remaja usia nikah yang telah mengikuti Kursus Pra Nikah diberikan sertifikat sebagai tanda bukti kelulusan;

2. Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh BP4 atau organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus;

3. Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi syarat kelengkapan pencatatan perkawinan;

Page 555: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

542

BAB IV PESERTA KURSUS

Pasal 7

Peserta kursus pra nikah adalah remaja usia nikah dan calon pengantin yang akan melangsungkan perkawinan.

BAB V MATERI DAN NARASUMBER

Pasal 8

(1) Materi Kursus Pra Nikah dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: a. Kelompok dasar b. Kelompok Inti c. Kelompok Penunjang

(2) Kursus pra nikah dilakukan dengan metode ceramah, diskusi, tanya jawab dan penugasan yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan.

(3) Narasumber terdiri dari konsultan perkawinan dan keluarga, tokoh agama, dan tokoh masyarakat yang memiliki kompetensi sesuai dengan keahlian yang dimaksud pada ayat (1).

(4) Materi Kursus Pra Nikah diberikan sekurang- kurangnya 16 jam pelajaran.

BAB VI PENUTUP

Pasal 9

(1) Hal-hal teknis yang belum diatur dalam peratuan ini, akan diatur dalam Lampiran Peraturan ini;

(2) Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Page 556: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

543

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN

MASYARAKAT ISLAM KEMENTERIAN AGAMA NOMOR DJ.II/542 TAHUN 2013

TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KURSUS PRA NIKAH

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Data statistik perkawinan di Indonesia per tahun rata-rata mencapai 2 (dua) juta pasang. Suatu angka yang sangat fantastis dan sangat berpengaruh terhadap kemungkinan adanya perubahan-perubahan sosial masyarakat. Baik buruknya kualitas sebuah keluarga turut menentukan baik buruknya sebuah masyarakat. Jika karakter yang dihasilkan sebuah keluarga itu baik, akan berpengaruh baik kepada lingkungan sekitarnya, tetapi sebaliknya jika karakter yang dihasilkan tersebut jelek, maka akan berpengaruh kuat kepada lingkungannya dan juga terhadap lingkungan yang lebih besar bahkan tidak mustahil akan mewarnai karakter sebuah bangsa.

Suatu masyarakat besar tentu tersusun dari masyarakat-masyarakat kecil yang disebut keluarga. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, memiliki peran penting dalam mewujudkan harmonisasi dalam keluarga. Sebuah keluarga dapat disebut harmonis apabila memiliki indikasi menguatnya hubungan komunikasi yang baik antara sesama anggota keluarga dan terpenuhinya standar kebutuhan material dan spiritual serta teraplikasinya nilai-nilai moral dan agama dalam keluarga. Inilah keluarga yang kita kenal dengan sebutan keluarga sakinah.

Kualitas sebuah perkawinan sangat ditentukan oleh kesiapan dan kematangan kedua calon pasangan nikah dalam menyongsong kehidupan berumah tangga. Perkawinan sebagai peristiwa sakral dalam perjalanan hidup dua individu. Banyak

Page 557: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

544

sekali harapan untuk kelanggengan suatu pernikahan namun di tengah perjalanan kandas yang berujung dengan perceraian karena kurangnya kesiapan kedua belah pihak suami-isteri dalam mengarungi rumah tangga. Agar harapan membentuk keluarga bahagia dapat terwujud, maka diperlukan pengenalan terlebih dahulu tentang kehidupan baru yang akan dialaminya nanti. Sepasang calon suami isteri diberi informasi singkat tentang kemungkinan yang akan terjadi dalam rumahtangga, sehingga pada saatnya nanti dapat mengantisipasi dengan baik paling tidak berusaha wanti-wanti jauh-jauh hari agar masalah yang timbul kemudian dapat diminimalisir dengan baik, untuk itu bagi remaja usia nikah atau catin sangat perlu mengikuti pembekalan singkat (short course) dalam bentuk kursus pra nikah dan parenting yang merupakan salah satu upaya penting dan strategis.

Kursus pra nikah menjadi sangat penting dan vital sebagai bekal bagi kedua calon pasangan untuk memahami secara subtansial tentang seluk beluk kehidupan keluarga dan rumah tangga.

Di indonesia angka perceraian rata-rata secara nasional mencapai +200 ribu pasang per tahun atau sekitar 10 persen dari peristiwa pernikahan yang terjadi setiap tahun. Oleh sebab Kursus Pra Nikah bagi remaja usia nikah dan calon pengantin merupakan salah satu solusi dan kebutuhan bagi masyarakat untuk mengatasi atau pun mengurangi terjadinya krisis perkawinan yang berakhir pada perceraian.

Kursus Pra Nikah merupakan proses pendidikan yang memiliki cakupan sangat luas dan memiliki makna yang sangat strategis dalam rangka pembangunan masyarakat dan bangsa Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Untuk itulah akhir-akhir ini marak tumbuh badan/lembaga dari Ormas Islam dan LSM yang menyelenggarakan kursus pra nikah, tentunya hal ini sangat menggembirakan karena badan/lembaga/ organisasi penyelenggara tersebut ikut membantu pemerintah dalam menyiapkan pasangan keluarga

Page 558: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

545

dan sekaligus ikut menghantarkan pasangan keluarga tersebut kepada kehidupan keluarga yang diidamkan yaitu keluarga sakinah mawaddah warahmah.

Sebagai dasar penyelenggaraan kursus pra nikah maka diterbitkan Peraturan Dirjen Masyarakat Islam tentang Kursus Pra Nikah ini. Dalam rangka tertib administrasi dan implementasinya, bagi lembaga/badan/organisasi keagamaan Islam yang akan menjadi penyelenggara kursus pranikah harus sudah mendapatkan akreditasi dari Kementerian Agama. dan untuk penjelasan lebih lanjut mengenai penyelenggaran kursus pra nikah dijabarkan melalui pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah ini.

Penyelenggaraan Kursus pra nikah sebagaimana diatur dalam pedoman ini berbeda dengan kursus calon pengantin yang telah dilaksanakan pada waktu yang lalu, kursus calon pengantin biasanya dilakukan oleh KUA/BP4 kecamatan pada waktu tertentu yaitu memanfaatkan 10 hari setelah mendaftar di KUA kecamatan sedangkan Kursus pra nikah lingkup dan waktunya lebih luas dengan memberi peluang kepada seluruh remaja atau pemuda usia nikah untuk melakukan kursus tanpa dibatasi oleh waktu 10 hari setelah pendaftaran di KUA kecamatan sehingga para peserta kursus mempunyai kesempatan yang luas untuk dapat mengikuti kursus pra nikah kapan pun mereka bisa melakukan sampai saatnya mendaftar di KUA kecamatan.

B. Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2019);

2. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahterah ;

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ( Lembaran Negara Republik

Page 559: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

546

Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);

4. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419);

5. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional;

6. Keputusan Presiden RI Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak;

7. Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2008 tentang Perubahan keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;

8. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2006 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;

9. Keputusan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1999 tentang Gerakan Keluarga Sakinah;

10. Keputusan Menteri Agama Nomor 480 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota;

11. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama;

12. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 400/54/III/Bangda perihal Pelaksanaan Pembinaan Gerakan Keluarga Sakinah.

Page 560: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

547

C. Tujuan

Tujuan Umum : Mewujudkan Keluarga yang sakinah, mawaddah,

warrahmah melalui pemberian bekal pengetahuan, peningkatan pemahaman dan ketrampilan tentang kehidupan rumah tangga dan keluarga.

Tujuan khusus :

1. Untuk menyamakan persepsi badan/lembaga penyelenggara tentang substansi dan mekanisme penyelenggaraan kursus pra nikah bagi remaja usia nikah dan calon pengantin;

2. Terwujudnya pedoman penyelenggaran kursus pra nikah bagi remaja usia nikah dan calon pengantin;

D. Pengertian Umum

1. Kursus Pra Nikah adalah pemberian bekal pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan penumbuhan kesadaran kepada remaja usia nikah dan calon pengantin tentang kehidupan rumah tangga dan keluarga

2. Keluarga Sakinah adalah Keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan material secara layak dan seimbang, diliputi suasana kasih sayang antara anggota keluarga dan lingkungannya dengan selaras, serasi serta mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam nilai-nilai keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia dalam kehidupan bermasayarakat

3. Akreditasi Kursus Pra Nikah adalah pengakuan dari Kementerian Agama C.q Direktorat Jenderal Bimbingan masyarakat Islam terhadap badan/lembaga penyelenggara kursus pra nikah melalui upaya penilaian, visitasi dan pengawasan sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang penyelenggaraan kursus pra nikah yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

Page 561: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

548

4. Pedoman penyelenggaraan Kursus Pra nikah adalah Pedoman tentang mekanisme pelayanan penyelenggaraan kursus pra nikah, terkait dengan standarnisasi materi, narasumber, badan/lembaga penyelenggara, sarana dan pembiayaan, sertifikasi dan kurikulum / silabus yang telah ditetapkan.

BAB II

PEDOMAN PENYELENGGARAAN KURSUS PRA NIKAH

Pedoman penyelenggaraan kursus pra nikah dimaksudkan sebagai pedoman untuk para pejabat teknis di lingkungan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam c.q Direktorat Urusan Agama Islam di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota dan KUA Kecamatan serta badan/lembaga yang menyelenggarakan kegiatan Kursus Pra nikah.

Kursus dimaksudkan adalah sebagai pembekalan singkat (shot cource) yang diberikan kepada remaja usia nikah atau calon pengantin dengan waktu tertentu yaitu selama 24 jam pelajaran (JPL) selama 3 (tiga) hari atau dibuat beberapa kali pertemuan dengan JPL yang sama. Waktunya pelaksanaan dapat disesuaikan dengan kesempatan yang dimiliki oleh peserta.

Pelaksanaan Kursus Pra Nikah di beberapa negara ASEAN seperti Malaysia dan Singapura dilaksanakan oleh badan atau lembaga masyarakat dengan dukungan regulasi dari pemerintah. Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS) merupakan contoh negara yang menyelenggarakan kursus pra nikah selama satu sampai tiga bulan dengan 8 kali pertemuan, sedangkan Jabatan Kemajuan Agama Islam Malaysia (JAKIM) melaksanakan kursus pra nikah selama 3 bulan dengan 8 sampai 10 kali pertemuan. Adapun Waktu pelaksanaannya disesuaikan dengan waktu libur yang dimiliki oleh peserta kursus yang umumnya pegawai atau buruh.

Penyelenggaraan Kursus pra nikah sebagaimana diatur dalam pedoman ini berbeda dengan kursus calon pengantin yang telah dilaksanakan pada waktu yang lalu, kursus calon

Page 562: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

549

pengantin biasanya dilakukan oleh KUA/BP4 kecamatan pada waktu tertentu yaitu memanfaatkan 10 hari setelah mendaftar di KUA kecamatan sedangkan Kursus pra nikah lingkup dan waktunya lebih luas dengan memberi peluang kepada seluruh remaja atau pemuda usia nikah untuk melakukan kursus tanpa dibatasi oleh waktu 10 hari setelah pendaftaran di KUA kecamatan sehingga para peserta kursus mempunyai kesempatan yang luas untuk dapat mengikuti kursus pra nikah kapan pun mereka bisa melakukan sampai saatnya mendaftar di KUA kecamatan.

BAB III

PENYELENGGARA KURSUS PRA NIKAH

Sesuai ketentuan pasal 3 ayat (1) Peraturan Dirjen Masyarakat Islam Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah: bahwa penyelenggara kursus pra nikah adalah Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) atau lembaga/organisasi keagamaan Islam lainnya sebagai penyelenggara kursus pra nikah yang telah mendapat Akreditasi dari Kementerian Agama.

Dengan ketentuan ini maka penyelenggaraan kursus pra nikah dapat dilaksanakan oleh badan/lembaga di luar instansi pemerintah dalam hal ini KUA kecamatan, tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh badan/lembaga/organisasi keagamaan Islam yang telah memenuhi ketentuan yang di tetapkan oleh Pemerintah. Pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Agama berfungsi sebagai regulator, pembina, dan pengawas. Berbeda pelaksanaannya dengan kursus calon pengantin yang dilakukan pada waktu yang lalu dilaksanakan langsung oleh KUA/BP4 kecamatan. Penyelenggaraan kursus pra nikah sebagaimana diatur dalam pedoman ini memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam pembinaan dan pembangunan keluarga serta mengurangi angka perceraian dan kekerasan dalam keluarga. Kementerian Agama sebagai regulator dan pengawas bertanggung jawab untuk memberikan bimbingan pembinaan

Page 563: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

550

kepada badan/lembaga/organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah agar pembekalan dapat terarah, tepat sasaran dan berhasil sesuai dengan yang diharapkan, selain itu pembinaan dan pembangunan keluarga tidak lagi tertumpuk pada tanggungjawab pemerintah secara sepihak tapi menjadi tanggungjawab bersama masyarakat untuk bahu-membahu meningkatkan kualitas keluarga dalam upaya menurunkan angka perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini marak di masyarakat.

Dalam upaya meningkatkan peran serta masyarakat, BP4 dapat berfungsi sebagai penyelenggara sebagaimana halnya badan/lembaga swasta lainnya karena BP4 sesuai keputusan Munas Ke XIV tahun 1999 menjadi organisasi yang mandiri, profesional dan mitra kerja Kementerian Agama, sehingga BP4 sama kedudukan dan fungsinya seperti organisasi lainnya, BP4 tidak lagi menjadi lembaga semi resmi pemerintah yang berbasis pada dua kaki yaitu pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu badan/lembaga penyelenggara kursus termasuk BP4 harus mendapatkan akreditasi dari Kementerian Agama.

BAB IV

AKREDITASI BAGI PENYELENGGARA KURSUS PRANIKAH

a. Akreditasi 1. Pengertian Akreditasi

Akreditasi Kursus Pra Nikah adalah pengakuan dari Kementerian Agama C.q Direktorat Jenderal Bimbingan masyarakat Islam terhadap organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah kursus pra nikah melalui upaya penilaian, visitasi dan pengawasan sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang penyelenggaraan kursus pra nikah yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

2. Wewenang Akreditasi

Page 564: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

551

a) Akreditasi di tingkat pusat merupakan kewenangan Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Cq. Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah;

b) Akreditasi di tingkat Provinsi merupakan kewenangan Kanwil Kementerian Agama Provinsi Cq. Bidang Urusan Agama Islam;

c) Akreditasi di tingkat Kabupaten/Kota merupakan kewenangan Kantor kementerian Agama Kabupaten/Kota Cq. Kasi Urusan Agama Islam dengan melibatkan kantor Urusan Agama Kecamatan.

3. Tujuan Akreditasi

Akreditasi bagi penyelenggara kursus pranikah bertujuan untuk :

a. Menentukan tingkat kelayakan suatu organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah dalam menyelenggarakan kursus pranikah;

b. Memperoleh gambaran tentang kinerja organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah;

c. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan kursus pranikah yang dilaksanakan oleh badan/lembaga/ organisasi keagamaan Islam.

4. Fungsi Akreditasi penyelenggara kursus pranikah Fungsi akreditasi penyelenggara kursus pranikah adalah untuk: a) Pengetahuan; yakni untuk mengetahui bagaimana

kelayakan & kinerja badan/lembaga/organisasi penyelenggara kursus dilihat dari berbagai unsur yang terkait, mengacu kepada baku kualitas yang dikembangkan berdasarkan indikator- indikator program kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah kursus pranikah;

b) Akuntabilitas; yakni agar organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah dapat mempertanggungjawabkan apakah layanan yang

Page 565: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

552

diberikan memenuhi harapan atau keinginan masyarakat;

c) Kepentingan pengembangan; yakni agar organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah dapat melakukan peningkatan kualitas atau pengembangan berdasarkan masukan dari hasil akreditasi.

5. Karakteristik Sistem Akreditasi bagi Penyelenggara Kursus Pranikah Sistem akreditasi Penyelenggara kursus pranikah memiliki karakteristik : a) Keseimbangan focus antara kelayakan dan kinerja

badan/lembaga/organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah;

b) Keseimbangan antara penilaian internal dan eksternal;

c) Keseimbangan antara penetapan formal penyelenggaraan kursus pranikah dan umpan balik perbaikan.

6. Komponen Penilaian Akreditasi Komponen penilaian Akreditasi penyelenggara kursus pranikah mencakup enam komponen yaitu: a) kurikulum dan proses belajar mengajar; b) administrasi dan manajemen; c) organisasi dan kelembagaan; d) sarana prasarana; e) ketenagaan; f) pembiayaan; g) peserta didik; Masing-masing komponen dijabarkan ke dalam beberapa aspek yang dituangkan dalam beberapa indikator Instrumen Visitasi.

7. Prosedur Akreditasi Penyelenggara Kursus Pranikah Akreditasi bagi penyelenggara kursus pranikah akan dilaksanakan dengan melalui prosedur/langkah-langkah sebagai berikut :

Page 566: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

553

a) organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah mengajukan permohonan akreditasi kepada Kementerian Agama RI;

b) visitasi oleh asesor; c) penetapan hasil akreditasi; d) penerbitan sertifikat dan laporan akreditasi.

8. Persyaratan Akreditasi Bagi Penyelenggara Kursus Pranikah Penyelenggara kursus pranikah dapat mengajukan permohonan akreditasi dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut; a) memiliki surat keputusan/surat izin kelembagaan; b) memiliki tenaga pengajar/tutor yang memiliki

kompetensi akademis maupun teknis yang dibuktikan dengan ijazah;

c) memiliki kurikulum/silabi serta bahan ajar kursus pranikah sesuai standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Kementerian Agama);

d) memiliki sarana dan prasarana yang memadai ( ruang kantor/ruang belajar/ruang kursus, media/alat bantu pembelajaran, komputer/mesin tik, daftar registrasi peserta kursus pranikah, papan plank lembaga dan pengumuman, buku pengelolaan keuangan, jadwal penyelenggaraan kursus pranikah, file kepegawaian/tenaga pengajar;

e) profil badan/lembaga.

9. Hasil Akreditasi Hasil akreditasi berupa sertifikat akreditasi penyelenggara kursus pranikah.

10. Mekanisme Penetapan Akreditasi Laporan tim visitasi (asesor) yang memuat hasil visitasi, catatan verifikasi, dan rumusan saran bersama dengan hasil evaluasi diri akan diolah oleh pelaksana akreditasi untuk menetapkan nilai akhir badan/lembaga/organisasi keagamaan Islam sesuai dengan kondisi nyata. Nilai akhir akreditasi juga dilengkapi dengan penjelasan tentang

Page 567: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

554

kekuatan dan kelemahan masing-masing komponen dan aspek akreditasi, termasuk saran-saran tindak lanjut bagi organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah dalam rangka peningkatan kelayakan dan kinerja organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah di masa mendatang.

11. Masa Berlaku Akreditasi Masa berlaku akreditasi selama 2 tahun. Permohonan pengajuan akreditasi ulang dapat dilakukan 6 bulan sebelum masa berlaku habis. Akreditasi ulang untuk perbaikan diajukan sekurang-kurangnya 2 tahun sejak ditetapkan.

12. Mekanisme Pengawasan Akreditasi Pemerintah berkewajiban melakukan pengawasan secara periodik terhadap jalannya kegiatan kursus pranikah yang diselenggarakan oleh organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah. Apabila dalam perjalanan 2 tahun didapati penyimpangan dari peraturan yang berlaku, pemerintah berhak memberikan sanksi berupa peringatan/teguran terhadap penyelenggara kursus pranikah.

13. Kewenganan Pengawasan a) Pengawasan di tingkat pusat dilakukan oleh Ditjen

Bimbingan masyarakat Islam Cq. Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah

b) Pengawasan di tingkat Provinsi dilakukan oleh Kanwil Kementerian Agama Provinsi Cq. Bidang Urusan Agama Islam

c) Pengawasan ditingkat Kabupaten/kota dilakukan oleh Kantor Kementrian Agama Kabupaten/Kota Cq. Kasi Urusan Agama Islam dengan melibatkan Kantor Urusan Agama Kecamatan.

b. Visitasi Visitasi merupakan rangkaian pelaksanaan akreditasi yang melekat dengan fungsi akreditasi dan penyelenggara kursus

Page 568: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

555

pranikah sebagai bahan/materi kelengkapan dan ketepatan data dan informasi yang diperlukan dalam pelaksanaan akreditasi. Visitasi dilaksanakan oleh Tim. Visitasi dilaksanakan jika suatu badan/lembaga/organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah telah mengajukan permohonan akreditasi dengan dilengkapi persyaratannya. Visitasi dilaksanakan segera (maksimal 1 bulan) setelah badan/ lembaga mengajukan permohonan akreditasi.

1. Pengertian Visitasi Visitasi adalah kunjungan tim (asesor) ke badan/ lembaga/organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah dalam rangka pengamatan lapangan, wawancara, verifikasi data pendukung, serta pendalaman hal-hal khusus yang berkaitan dengan komponen dan aspek akreditasi.

2. Tujuan Visitasi a. Tujuan visitasi adalah sebagai berikut: b. meningkatkan keabsahan dan kesesuaian data/

informasi; c. memperoleh data/informasi yang akurat dan valid untuk

menetapkan peringkat akreditasi; d. memperoleh informasi tambahan (pengamatan,

wawancara, dan pencermatan data pendukung); e. mendukung pengambilan keputusan yang tepat dan

tidak merugikan pihak manapun, dengan berpegang pada prinsip-prinsip: obyektif, efektif, efisien, dan mandiri.

3. Pelaksana Visitasi

Pelaksana Visitasi adalah asesor yang memiliki persyaratan dan kewenangan, sebagai berikut: a) Pegawai/Pejabat dilingkungan Kementerian Agama

dalam hal ini unit yang terkait secara berjenjang yang memiliki kompetensi, integritas diri dan komitmen untuk melaksanakan tugasnya;

b) memahami dan menguasai konsep/prinsip akreditasi termasuk mekanisme visitasi;

Page 569: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

556

c) bertanggung-jawab untuk melaksanakan tugasnya sesuai prosedur dan norma;

d) bertanggung-jawab terhadap kerahasiaan hasil visitasi, dan melaporkannya secara obyektif ke pimpinan;

e) memiliki wewenang untuk menggali data/-informasi dari berbagai sumber organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah;

f) diangkat sesuai surat tugas.

4. Tata Cara Visitasi a) Persiapan

Untuk pelaksanaan visitasi, pelaksana akreditasi sebagaimana tersebut diatas menunjuk dan mengirimkan asesor. Asesor diangkat berdasarkan keputusan pimpinan tertinggi pada tingkatan pelaksana akreditasi untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan mekanisme, prosedur, norma, dan waktu pelaksanaan yang telah ditetapkan;

b) Verifikasi data dan informasi Asesor datang ke sekolah menemui pimpinan badan/ lembaga/organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah menyampaikan tujuan dari visitasi, melakukan klarifikasi, verifikasi dan validasi atau cek-ulang terhadap data dan informasi kuantitatif maupun kualitatif. Kegiatan klarifikasi, verifikasi dan validasi dilakukan dengan cara membandingkan data dan informasi tersebut dengan kondisi nyata organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah melalui pengamatan lapangan, observasi lokasi, wawancara.

c) Klarifikasi Temuan Tim asesor melakukan pertemuan dengan pengurus badan/lembaga/organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah untuk mengklarifikasi berbagai temuan penting atau ketidak sesuaian yang sangat signifikan antara fakta lapangan dengan data/informasi yang terjaring dalam instrument visitasi.

Page 570: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

557

d) Penyusunan dan Penyerahan Laporan Asesor menyusun perangkat laporan, baik individual maupun tim yang terdiri dari: 1. tabel pengolahan data; 2. instrumen visitasi, 3. rekomendasi atas temuan, 4. berita acara visitasi untuk selanjutnya diserahkan

kepada Kementerian Agama.

5. Larangan Bagi Penyelenggara Kursus Pranikah Larangan bagi penyelenggara kursus pranikah yang akan divisitasi adalah sebagai berikut: a) penyelenggara kursus pranikah dilarang keras

melakukan kegiatan yang menghambat visitasi. b) penyelenggara kursus pranikah dilarang keras

memanipulasi data dan memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan kondisi nyata.

c) penyelenggara kursus pranikah dilarang keras memberikan apapun kepada asesor yang akan mengurangi objektifitas hasil visitasi

6. Pembiayaan Visitasi a) Pembiayaan visitasi bersumber dari Dipa Ditjen Bimas

Islam; b) Besarnya biaya visitasi ditentukan berdasarkan Surat

Keputusan pimpinan pelaksana akreditasi; c) Komponen pembiayaan antara lain; honor, transportasi

dan akomodasi yang memadai dan layak bagi tim asesor;

d) Badan atau lembaga penyelenggara yang divisitasi tidak dikenakan biaya.

7. Instrumen Visitasi Instrumen visitasi adalah beberapa form isian yang harus diisi oleh lembaga/badan/organisasi keagamaan Islam yang akan diakreditasi. Formulir isian tersebut terdiri dari; form pernyataan, form identitas, dan questioner, sebagaimana terlampir.

Page 571: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

558

BAB V

PENYELENGGARAAN KURSUS PRA NIKAH

I. Sarana Pembelajaran

Sarana penyelenggara kursus pra nikah meliputi sarana belajar mengajar: silabus, modul, dan bahan ajar lainnya yang dibutuhkan untuk pembelajaran. Silabus dan modul disiapkan oleh kementerian agama untuk dijadikan acuan oleh penyelenggara kursus pra nikah.

II. Materi dan Metode Pembelajaran

Materi kursus pra nikah terdiri dari kelompok dasar, kelompok inti dan kelompok penunjang. Materi ini dapat diberikan dengan metode ceramah, diskusi, tanya jawab, study kasus (simulasi) dan penugasan yang pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan.

III. Narasumber/pengajar

a. konsultan keluarga, b. tokoh agama, c. psikolog, dan d. profesional dibidangnya.

IV. Pembiayaan

Pembiayaan kursus pra nikah sesuai ketentuan pasal 5 dapat bersumber dari dana APBN, dan APBD. Dana pemerintah berupa APBN atau APBD bisa diberikan kepada penyelenggara dalam bentuk bantuan, bantuan kepada badan/lembaga penyelenggara dapat dibenarkan sepanjang untuk peningkatan kesejahteraan dan pembinaan umat sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, pemerintah dapat membantu badan/lembaga swasta dari dana APBN/APBD.

V. Sertifikasi

Sertifikat adalah pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh lembaga yang berkompeten yang telah diakreditasi oleh

Page 572: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

559

Kementerian Agama bahwa yang bersangkutan telah mengikuti kegiatan kursus pra nikah.

Sertifikat disiapkan oleh organisasi lembaga, atau badan yang penyelenggarakan kursus pra nikah (pasal 6 ayat 1, 2, dan 3) Sertifikat tersebut diberikan kepada peserta kursus sebagai tanda kelulusan atau sebagai bukti yang bersangkutan telah mengikuti kursus pra nikah.

Calon pengantin yang telah mengikuti kursus pra nikah diberikan sertifikat sebagai tanda bukti kelulusan. Sertifikat tersebut akan menjadi syarat kelengkapan pencatatan perkawinan yaitu pada saat mendaftar di KUA Kecamatan, sekalipun dokumen sertifikat ini sifatnya tidak wajib tetapi sangat dianjurkan memilikinya, karena dengan memiliki sertifikat berarti pasangan pengantin sudah mempunyai bekal pengetahuan tentang kerumahtanggaaan dan berupaya mempersiapkan diri secara matang untuk mengarungi kehidupan baru rumah tangga yaitu dengan membekali dirinya pengetahuan dan pemahaman tentang seluk beluk kerumahtanggaan, sehingga apapun goncangan yang mereka hadapi nantinya akan diantisipasi secara baik karena sudah dibekali rambu-rambunya.

Sertifikat dimaksud dikeluarkan oleh penyelenggara setelah peserta kursus dinyatakan lulus secara meyakinkan mengikuti kursus. Sertifikat yang dimaksud merupakan syarat pelengkap pencatatan perkawinan pada saat pendaftaran nikah di KUA Kecamatan. Bentuk sertifikat (model, warna, dan ukuran) diserahkan kepada Badan/Lembaga penyelenggara dengan berkewajiban mencantumkan nomor akreditasi badan/ kelembagaan yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama.

Ditetapkan di Jakarta,

pada tanggal, 05 Juni 2013 Direktur Jenderal,

Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA

Page 573: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

560

Rujukan:

1. PMA No. 11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah

2. UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara

Bukan Pajak

3. PMA No. 3 Tahun 1999 tentang Pembinaan GKS

4. Surat edaran Mendagri No. 400/564/III/Bangda Tahun

1999 tentang Pelaksanaan Pembinaan GKS

5. Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No.

D/71/1999 tentang Juklak pembinaan gerakan keluarga

sakinah

6. Peraturan Dirjen tentang Kursus Pra Nikah

7. Tata Cara Perkawinan

8. Tata Cara Perceraian

9. Tata Cara Rujuk

Page 574: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

561

Page 575: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

562

Page 576: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

563

Page 577: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

564

Page 578: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

565

Page 579: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

566

Page 580: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

567

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL

BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM

NOMOR DJ.II / 748 TAHUN 2014

TENTANG

PETUNJUK TEKNIS PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK ATAS BIAYA NIKAH ATAU

RUJUK DI LUAR

KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN

DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka menindaklanjuti Peraturan Menteri Agama Nomor 46 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah atau Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan, perlu menerbitkan Petunjuk Teknis Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah atau Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana Dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyaral{at Islam tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah atau Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan;

Mengingat: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama;

2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 338/ KMK.06/2001 tentang Izin Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersumber dari pelayanan Jasa Nikah atau Rujuk

Page 581: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

568

dan Pelayanan Jasa Peradilan Agama pada Departemen Agama;

3. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah;

4. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 80 Tahun 2013;

5. Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kementerian Agama;

6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/PMK.02/ 2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerima;

8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.05/ 2013 tentang Kedudukan dan Tanggung Jawab Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara;

9. Peraturan Menteri Agama Nomor 46 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah atau Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK ATAS BIAYA NIKAH ATAU RUJUK DI LUAR KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN.

KESATU : Menetapkan Petunjuk Teknis Pengelolaan

Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah atau Rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan

Page 582: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

569

sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini.

KEDUA : Petunjuk Teknis sebagaimana dimaksud dalam diktum KESATU merupakan pedoman bagi pegawai pada Kementerian Agama dalam melaksanakan pengelolaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk.

KETIGA : Pada saat Keputusan ini mulai berlaku, Peraturan

Diiektur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II / 449 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah atau Rujuk dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

KEEMPAT : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan

Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 4 November 2014 DIREKTUR JENDERAL,

Prof. DR. H. Machasin, MA

Page 583: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

570

LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN

MASYARAKAT ISLAM NOMOR DJ.II/ 748 TAHUN 2014 TENTANG

PETUNJuK TEKNIS PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK ATAS BIAYA NIKAH ATAU

RUJUK DILUAR KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Bahwa untuk mewujudkan tata kelola PNBP atas Biaya NR

yang baik dibutuhkan berbagai regulasi yang dapat dijadikan

pedoman dalam pelaksanaannya.

Seiring dengan hal tersebut dan dalam rangka menindak lanjuti

Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun

2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak

(PNBP) yang berlaku pada Departemen Agama dan Peraturan

Menteri Agama Nomor 46 Tahun 2014 tentang Pengelolaan

Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah atau Rajuk

di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan, perlu menerbitkan

Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam

tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan .Penerimaan Negara

Bukan Pajak Atas Biaya Nikah atau Rujuk di Luar Kantor

Urusan Agama Kecamatan.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Maksud diterbitkannya Petunjuk Teknis ini adalah

sebagai pedoman bagi para pegawai Kementerian

Agama dalam menyelenggarakan pengelolaan PNBP

atas Biaya Nikah atau Rujuk.

2. Tujuan

Tujuan diterbitkannya petunjuk teknis ini untuk;

Page 584: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

571

a. mewujudkan tata kelola PNBP atas Biaya NR di

lingkungan Kementerian Agama sesuai dengan

ketentuan yang berlaku;

b. Optimalisasi penggunaan PNBP atas Biaya Nikah

atau Rujuk.

C. Ruang Lingkup

Petunjuk Teknis Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan

Pajak Biaya Nikah atau Rujuk di luar Kantor Urusan Agama

Kecamatan meliputi:

1. Tugas Pengelola PNBP Biaya Nikah atau Rujuk Pusat

dan Daerah;

2. Mekanisme Penerimaan, pencairan, clan Penggunaan;

3. Tipologi Kantor Urusan Agama Kecamatan; clan

4. Pelaporan dan Pertanggungjawaban.

BAB II TUGAS PENGELOLA PNBP BIAYA NIKAH ATAU RUJUK

PUSAT DAN DAERAH

A. Tugas dan Tanggung Jawab Pengelola Pada tingkat

Pusat yaitu

1. Penanggung Jawab

Penanggung jawab dijabat oleh Direktur Jenderal

Bimbingan Masyarakat Islam dengan rincian tugas

sebagai berikut:

a. menelaah, mereviu, dan menetapkan RKA-KL pa9.a

dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis

lainnya pada Program Direktorat Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam;

b. menetapkan rencana target penerimaan dan

penggunaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk dan

menyampaikannya kepada Sekretaris Jenderal untuk

diteruskan kepada Direktorat Jenderal

Perbendaharaan Negara;

Page 585: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

572

c. mengangkat Bendahara Penerimaan dan Bendahara

Pengeluaran;

d. membuat nota kesepahaman dengan pihak bank

persepsi;

e. mengangkat perangkat pengelola PNBP Biaya Nikah

atau Rujuk tingkat Pusat

f. melakukan penatausahaan pengelolaan PNBP Biaya

Nikah atau Rujuk;

g. melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam

perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan PNBP

Biaya Nikah atau Rujuk; dan

h. melaporan realisasi penerimaan dan penggunaan

PNBP Biaya Nikah atau Rujuk kepada Menteri

Agama.

2. Ketua

Ketua dijabat oleh Direktur Urusan Agama Islam dan

Pembinaan Syariah dengan rincian dan tugas sebagai

berikut:

a. menyusun rencana target penerimaan dan

penggunaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk ke

dalam RAPBN;

b. melakukan sosialisasi dan pemantauan

pelaksanaan pengelolaan PNBP Biaya Nikah atau

Rujuk;

c. melakukan koordinasi dan sinkronisasi secara

rutin dan berkelanjutan dengan Ditjen Anggaran

dan Ditjen Perbendaharaan Negara Kementerian

Keuangan terkait penerimaan, pencairan dan

pengesahan penggunaan PNBP Biaya Nikah atau

Rujuk;

d. melakukan inventarisasi atas penerimaan PNBP

Biaya Nikah atau Rujuk;

e. menghitung PNBP Biaya Nikah atau Rujuk yang

ditangguhkan;

Page 586: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

573

f. menyusun laporan realisasi penerimaan dan

penggunaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk;

g. mengusulkan pengesahan PNBP Biaya Nikah

atau Rujuk ke Direktorat Jenderal

Perbendaharaan Kementerian Keuangan untuk

memperoleh pengesahan pendapatan yang

dijadikan dasar pencairan pada tingkat Satker

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam,

Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi, dan

Kantor Kementerian Agama Kabupaten/ Kota

dengan KPPN setempat;

h. menandatangani surat perintah pemindahbukuan

penerimaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk yang

ada di rekening bendahara penerimaan pada bank

persepsi yang ditunjuk;

i. membuat laporan pertanggung jawaban

penerimaan dan penggunaan PNBP Biaya Nikah

atau Rujuk kepada Direktur Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam;

3. Sekretaris

Sekretaris dijabat oleh Kepala Sub Direktorat pada

Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan

Syari'ah dengan rincian tugas sebagai berikut:

a. memfasilitasi rapat-rapat pembahasan terkait

kebijakan dan teknis pengelolaan PNBP biaya Nikah

atau Rujuk;

b. melakukan inventarisasi kendala dan memfasilitasi

penyelesaian masalah terkait pengelolaan PNBP

Biaya Nikah atau Rujuk;

c. melakukan koordinasi dengan instansi, lembaga dan

pihak lain dalam rangka kelancaran pelaksanaan

program dan kegiatan Bimbingan Masyarakat Islam

serta pengelolaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk;

Page 587: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

574

d. menyiapkan draf Perjanjian Kerja Sama (PKS)

dengan bank persepsi

e. menyiapkan draf laporan pertanggung jawaban

penerimaan dan penggunaan PNBP Biaya Nikah

atau Rujuk kepada Direktur JenderalB imbingan

Masyarakat Islam.

4. Koordinator Bidang Penerimaan

Koordinator bidang penerimaan dijabat oleh Kepala

Bagian Keuangan pada Sekretariat Direktorat

Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, dengan rincian

tugas sebagai berikut:

a. Melakukan rekapitulasi penerimaan PNBP Biaya

Nikah atau Rujuk dalam rekening koran dan

mencocokkannya dengan data manual hasil

laporan data penerimaan yang disampaikan oleh

Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi dan

menyampaikannya kepada Direktur Jenderal

Bimbingan Masyarakat Islam;

b. mengkoordinasikan pelaksanaan penyetoran

pemindahbukuan PNBP Biaya Nikah atau

Rujuk dari rekening bendahara penerimaan ke

rekening Kas Negara sesuai ketentuan

Peraturan Perundang ­ undangan;

c. melakukan penyiapan bahan dan materi

koordinasi dengan Kementerian Keuangan cq.

Direktorat Jenderru Anggaran, Direktorat Jenderal

Perbendaharaan Negara, dan KPPN mengenai

pengesahan pendapatan PNBP Biaya Nikah atau

Rujuk, pencairan dan penggunannya;

d. menyiapkan dan menyampaikan laporan data

penerimaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk setiap

bulan kepada Direktur Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam.

5. Koordinator Bidang Penggunaan

Page 588: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

575

Koordinator bidang Penggunaan dijabat oleh Kepala

Bagian Perencanaan pada sekretariat Direktorat

Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dengan rincian

tugas sebagai berikut:

a. menyusun rencana pelaksanaan kegiatan dan

rencana penggunaan dana PNBP Biaya Nikah atau

Rujuk berdasarkan usulan dari Kantor Wilayah

Kementerian Agama Provinsi;

b. melakukan telaahan atas usulan kegiatan

penggunaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk yang

diusulkan oleh Satker;

c. melakukan rekapitulasi laporan penggunaan PNBP

Biaya Nikah atau Rujuk yang disampaikan oleh

Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi;

d. melaporkan realisasi penggunaan PNBP Biaya

Nikah atau Rujuk kepada Dirktur Jenderal

Bimbingan Masyarakat Islam;

e. menyiapkan usulan target penerimaan clan

penggunaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk.

6. Pelaksana Bidang Penerimaan

Pelaksana bidang penerimaan dijabat oleh pelaksana

pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam

dengan rincian tugas sebagai berikut:

a. membantu pelaksanaan tugas-tugas koordinator

bidang penerimaan;

b. menghimpun data laporan realisasi PNBP Biaya

Nikah atau Rujuk dari masing-masing satker;

c. menghimpun data rekening koran yang

diterbitkan Bank Persepsi penerima setoran

PNBP Biaya Nikah atau Rujuk;

d. melakukan rekonsiliasi ke KPPN atas penerimaan

PNBP Biaya Nikah atau Rujuk.

7. Pelaksana Bidang Penggunaan

Page 589: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

576

Pelaksana Bidang Penggunaan dijabat oleh pelaksana

pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam

dengan rincian tugas sebagai berikut:

a. membantu pelaksanaan tugas-tugas koordinator

bidang penggunaan;

b. menghimpun data usulan rencana target dan pagu

PNBP Biaya Nikah atau Rujuk dari masing-masing

satker;

c. menghimpun data usulan kegiatan penggunaan

dana PNBP Nikah atau Rujuk dari masing-masing

Satker;

d. menyiapkan bahan usulan target dan pagu PNBP

Biaya Nikah atau Rujuk yang akan disampaikan ke

Sekretariat Jenderal.

B. Tugas dan Tanggung Jawab Pengelola pada Tingkat

Kantor Wilayah Kementerian Agrama Provinsi meliputi:

1. Penanggung Jawab

Penanggung jawab dijabat oleh Kepala Bidang yang

membidangi Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari'ah

dengan rincian tugas sebagai berikut:

a. mengkoordinasikan pelaksanaan pengelolaan PNBP

Nikah atau Rujuk pada Satker di lingkungan Kantor

Wilayah Kementerian Agama Provinsi;

b. menyampaikan usulan perencanaan target penerimaan

dan penggunaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk ke

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam;

c. melaporkan realisasi penerimaan dan penggunaan

PNBP Biaya Nikah atau Rujuk setiap bulan kepada

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

2. Pelaksana

Pelaksana dijabat oleh pelaksana pada Seksi yang

membidangi Urusan Agama Islam dan Pembinan Syari'ah

dengan rincian tugas sebagai berikut:

Page 590: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

577

a. Membantu pelaksanaan tugas–tugas penanggung

jawab;

b. melakukan rekapitulasi realisasi penerimaan PNBP

Biaya Nikah atau Rujuk dari masing-masing Satker;

c. melakukan rekapitulasi usulan target penerimaan dan

penggunaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk dari masing-

masing Satker.

C. Tugas dan Tanggung Jawab Pengelola pada Kantor

Kementerian Agama Kabupaten/Kota meliputi:

1. Penanggung Jawab

Penanggung Jawab dijabat oleh Kepala Seksi yang

membidangi Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah

dengan rincian tugas sebagai berikut.

a. Menyusun rencana target dan pagu penerimaan PNBP

Biaya Nikah atau Rujuk pada tingkat Kantor Kementerian

Agama Kabupaten/ Kota;

b. menyampaikan usulan rencana target dan pagu PNBP

Nikah atau Rujuk kepada Kantor Wilayah Kementerian

Agama Provinsi;

c. menyampaikan laporan rekapitulasi realisasi penerimaan

PNBP Nikah atau Rujuk dari masing-masing KUA

Kecamatan ke Kepala Kantor Wilayah Kementerian

Agama Provinsi dengan tembusan kepada Direktur

Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam;

d. melaporkan realisasi peneriman dan penggunaan PNBP

Biaya Nikah atau Rujuk kepada Direktur Jenderal

Bimbingan Masyarakat Islam melalui Kantor Wilayah

Kementerian Agama Provinsi;

e. melakukan pengajuan pencairan dana PNBP Biaya

Nikah atau Rujuk sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.

2. Pelaksana

Page 591: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

578

Pelaksana dijabat oleh pelaksana pada Seksi yang

membidangi Urusan Agama Islam dan Pembinaan

Syari'ah dengan rincian tugas sebagai berikut:

a. Membantu pelaksanaan tugas - tugas penanggung

jawab;

b. melakukan rekapitulasi realisasi penerimaan PNBP

Biaya Nikah atau Rujuk dari masing-masing Kantor

Urusan Agama Kecamatan sebagaimana form

terlampir;

c. membuat rekapitulasi pelaksana/ petugas layanan

bimbingan pelaksanaan nikah rujuk di luar kantor

dari masing-masing KUA sebagaimana form

terlampir;

d. menyiapkan usulan pencairan dana PNBP Biaya

Nikah atau Rujuk sesuai dengan alokasi pagu

anggaran yang tersedia pada masing­ masing KUA

Kecamatan.

D. Tugas Pelaksana Pengelola pada KUA Kecamatan

memiliki rincian tugas sebagai berikut:

1. melakukan pembukuan dan penatausahaan atas

penerimaan setoran PNBP Biaya Nikah atau Rujuk;

2. melaporkan realisasi penerimaan bukti setoran Biaya

Nikah atau Rujµksetiap bulan kepada Kepala Kantor

Kementerian Agama Kabµpaten/ Kota; .

3. melaporkan 'data peristiwa Nikah atau Rujukyang

meliputi data nikah di kantor, luar kantor, data nikah

yang dikenakan tarif nol rupiah, data penerimaan PNBP,

dan penghulu yang bertugas sebagaimana form

terlampir

4. menyiapkan bahan usulan kegiatan KUA untuk

disampaikan kepada Kepala Kantor Kementerian

Agama. Kabupaten/ Kota.

Page 592: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

579

E. Petugas Penerima Setoran pada KUA yang tidak

terdapat layanan bank persepsi memiliki rincian tugas

sebagai berikut:

1. memberikan kuitansi tanda terima biaya Nikah atau

Rujuk sebesar Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah)

yang diterima dari Catin sebagaimana form terlampir;

2. menyetorkan Biaya Nikah atau Rujuk yang diterima dari

Catin ke reken.ing bendahara penerimaan paling lambat

5 hari setelah penerimaan;

3. membukukan dan menatausahakan penerimaan setoran

Biaya Nikah atau Rujuk di luar kantor;

4. melaporkan realisasi penerimaan setoran PNBP Nikah

atau Rujuk kepada Kepala Kantor Kementerian Agama

Kabupaten/Kota setiap bulan.

BAB Ill MEKANISME PENERIMAAN, PENCAIRAN, DAN PENGGUNAAN

A. Penerimaan

1. Catin membayar biaya Nikah atau •Rujuk kepada bank

persepsi, dengan ketentuan:

a. Nikah di KUA pada hari dan jam kerja dikenakan

tarif Rp0,00 (nol rupiah).

b. Nikah di Luar KUA dikenakan tarif Rp600.000,00

(enam ratus ribu rupiah).

c. Nikah di KUA pada hari libur dan luar jam kerja

dikenakan tarif nikah luar KUA yaitu Rp600.000,00

(enam ratus ribu rupiah).

d. Catin yang tidak mampu secara ekonomi atau

warga yang terkena bencana dikenakan tarif Rp0,00

(nol rupiah) dengan persyaratan melampirkan Surat

Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari Lurah atau

Kepala Desa setempat yang diketahui oleh Camat.

Page 593: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

580

e. Pengenaan tarif Rp0,00- (nol. rupiah) bagi

warga tidak mampu dan warga terkena

bencana tidak berlaku bagi pernikahan massal

yang dikoordinir oleh pihak sponsor atau

penyandang dana.

f. Pencatatan nikah yang dilakukan berdasarkan

Keputusan Pengadilan Agama melalui itsbat nikah

dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah).

2. Daftar pelaksanaan penerimaan PNBP biaya Nikah atau

Rujuk, Bendahara Penerimaan di Direktorat Jenderal

Bimbingan Masyarakat Islam membuka rekening

penerimaan PNBP biaya, Nikah atau Rujuk pada bank

persepsi yang telah melakukan kerjasama dengan

Kementerian Agama.

3. penyetoran melalui PPS:

a. Khusus bagi KUA Kecamatan yang tidak terdapat

layanan bank persepsi maka Catin dapat membayar

biaya Nikah atau Rujuk melalui Petugas Penerima

setoran (PPS) yang ada di KUA Kecamatan.

b. PPS pada KUA Kecamatan wajib menyetorkan

PNBP Nikah atau Rujuk yang diterima dari Catin ke

rekening Bendahara Penerimaan paling lambat 5

(lima) hari kerja dari tanggal penerimaan. Jika

terjadi hambatan dengan alasan kondisi geografis

dan keadaan tertentu yang tidak memungkinkan

dilakukan penyetoran dalam waktu 5 (lima) hari

kerja, maka Kepala Kantor Kementerian Agama

mengajukan peohonan izin melakukan setoran

tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat

Jenderal Perbendaharaan melalui Kepala Kantor

Wilayah Kementerian Agama Provinsi.

4. Prosedur pengelola setoran dalam hal terjadi:

a. kesalahan pada pengisian slip setoran terkait

penulisan nama Catin, tempat pelaksanaan nikah,

Jumlah yang disetorkan, maka kepala KUA wajib

Page 594: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

581

membuat surat keterangan dan dilampirkan dalam

laporan rekapitulasi realisasi penerimaan. PNBP

biaya Nikah atau Rujuk;

b. catin terlanjur setor ke rekening bendahara

penerimaan tetapi batal nikah maka Catin dapat

mengajukan pengembalian dana yang sudah

disetorkan kepada bendahara penerimaan PNBP

Nikah atau Rujuk dengan mengisi form

sebagaimana terlampir dengan menyertakan bukti

setoran asli yang telah dilegalisir Kepala KUA

tempat pernikahan akan dilangsungkan dan surat

bukti pendaftar pernikahan di KUA yang

bersangkutan;

c. penyetoran terlanjur dengan menggunakan ATM,

maka kepala KUA wajib membuat surat keterangan

sebagaimana form terlampir dan dilampirkan dalam

laporan rekapitulasi penerimaan PNBP biaya Nikah

atau Rujuk yang dikirimkan kepada Kepala Kantor

Kementerian Agama Kbupaten/ Kota.

B. Pencairan

1. Pencairan PNBP biaya Nikah atau Rujuk mengikuti

mekanisme pencairan sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.

2. Pencairan dan penggunaan dana PNBP Nikah atau

Rujuk yang diperuntukkan transpor dan jasa profesi

penghulu/ petugas yang melakukan layanan bimbingan

pelaksanaan akad nikah atau rujuk di luar Kantor

Urusan Agama Kecamatan dapat dilakukan secara

Langsung (LS) kerekening penerima.

3. Pencairan sebagaimana dimaksud pada poin 2 di atas

wajib melampirkan data pendukung sebagai berikut:

a. surat tugas meksanakan bimbingan akad nikah di

luar kantor yang ditandatangani oleh Kepala KUA;

Page 595: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

582

b. rekapitulasi peristiwa layanan bimbingan

pelaksanaan akad nikah di luar Kantor Urusan

Agrun Kecamatan yang ditandatangani oleh Kepala

Kantor Kementerian Agama Kabupaten/ Kota;

c. daftar penghulu/ petugas yang melaksanakan

layanan bimbingan pelaksanaan akad nikah di luar

Kantor Urusan Agama Kecamatan yang

ditandatangani oleh Kepala Kantor Kementerian

Agama Kabupaten/ Kota;

d. foto copy rekening bank atas nama penghulu/

petugas yang sudah divalidasi oleh bank yang

bersangkutan.

4. Pencairan .Dana PNBP biaya Nikah atau Rujuk

dilakukan secara rutin setiap bulan setelah pagu definitif

DIPA PNBP biaya Nikah atau Rujuk disahkan.

5. Pencairan sebagaimana dimaksud pada poin 4 di atas

adalah dalam rangka mendukung kelancaran tugas-

tugas layanan bimbingan akad nikah di luar Kantor

Urusan Agama Kecamatan dan untuk menghindari

penerimaan gratifikasi penghulu/ petugas yang

menghadiri kegiatan layanan dimaksud.

C. Penggunaan

Biaya Nikah atau Rujuk yang disetorkan ke Kas

Negara dapat digunakan kembali maksimum sebesar 80% X

Rp 600.000,00 = Rp 480.000,00. Penggunaan kembali PNBP

Biaya Nikah atau Rujuk tersebut ditetapkan oleh Direktur

Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dengan

mempertimbangkan target penerimaan masing-masing Satker,

program dan kegiatan Bimbingan Masyarakat Islam.

1. Transpor penghulu/petugas yang melakukan Layanan

Bimbingan Pelaksanaan Nikah atau Rujuk di Luar Kantor

a. Transpor penghulu/ petugas yang melaksanakan

layanan dan bimbingan akad nikah di uar Kantor

Urusan Agama Kecamatan diberikan per peristiwa

Page 596: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

583

dengan mengacu kepada ketentuan Standar Biaya

Masukan.

b. Transpor penghulu/ petugas yang melaksanakan

beberapa layanan clan bimbingan akad nikah di satu

waktu dan tempat yang sama diberikan 1(satu) kali

transpor perjalanan.

c. Transpor untuk perjalanan layanan dan bimbingan

akad nikah pada KUA terdalam, terluar, dan daerah

perbatasan di daratan dihitung berdasarkan

pengeluaran riil yang dapat dibuktikan dengan bukti

pengeluaran berupa tiket perjalanan atau kwitansi

transportasi maksimum Rp750.000,00 (tujuh ratus

lima puluh ribu rupiah).

d. Transpor untuk perjalanan layanan dan bimbingan

akad nikah pada KUA terdalam, terluar, dan daerah

perbatasan di kepulauan dihitung berdasarkan

pengeluaran riil yang dapat dibuktikan dengan bukti

pengeluaran berupa tiket perjalanan atau kwitansi

transportasi maksimum Rp 1.000.000,00 (satu juta

rupiah).

2. Honorarium Layanan Bimbingan Pelaksanaan Nikah atau

Rujuk di Luar Kantor

Honorium diberikan per peristiwa nikah di luar kantor

dengan mengacu pada Standar Biaya Masukan Lainnya

sesuai tipologi KUA:

a. Tipologi A, jasa profesi yang diberikan sebesar Rp

125,000,00 (seratus dua puluh lima ribu rupiah).

b. Tipologi B, jasa profesi yang diberikan sebesar Rp

150,000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah).

c. Tipologi C, jasa profesi yang diberikan sebesar Rp

175,000,00 (seratus tujuh pulu lima ribu rupiah).

d. Tipologi Dl, jasa profesi yang diberikan sebesar Rp

400,000,00 (empat ratus ribu rupiah).

e. Tipologi D2, jasa profesi yang diberikan sebesar Rp

400,000,00 (empat ratus ribu rupiah).

Page 597: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

584

3. Pengelola PNBP Biaya Nikah atau Rujuk

Pengella PNBP Biaya diberikan honorarlum setiap bulan

yang besarannya diberikan sesuai dengan Standar Biaya

Masukan (SBM).

4. Kursus pra nikah

Kursus pra nikah dapat dibiayai dengan ketentuan:

a. Satuan kegiatan yang diuslkan dalam RKAKL

mempertimbangkan estimasi penerimaan PNBP

Nikah atau Rujuk.

b. Pembiayaan kursus pra nikah dihitung per peristiwa

nikah sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).

c. Dana kegiatan kursus pra nikah digunakan untuk:

pemberian honor dan transpor narsumber, pembelian

konsumsi, dan kelengkapan kursus pra nikah.

d. Penyelenggaran kursus pra nikah dapat dilaksanakan

oleh lembaga penyelenggara yang telah memperoleh

akreditasi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat

Islam, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama

Provinsi atau Kepala Kantor Kementerian Agama

Kabupaten/ Kota.

5. Supervisi Administasi Nikah atau Rujuk

Supervisi pelaksanaan kegiatan Nikah Rujuk merupakan

kegiatan Pengendalian Internal yang dilakukan Unit

Pembina Teknis Urusan Agama Islam di tingkat

Kabupaten/ Kota. Petugas supervisi bertugas:

a. Melakukan monitoring, pemantauan, dan

pemeriksaan hasil pelaksanaan kegiatan administrasi

Nikah atau Rujuk setiap 3 bulan;

b. Materi supervisi meliputi; pemeriksaan administrasi

pencatatan pada lembar pemeriksaan nikah (model

NB), register nikah (model N), stok formulir Nikah.

atau Rujuk, bukti penyerahan buku nikah kepada

pengantin, dan pembukuan realisasi penerimaan dan

penggunaan PNBP Nikah atau Rujuk.

Page 598: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

585

c. Petugas supervisi dianggarkan transpor dan uang

saku sesuai dengan ketentuan.

BAB IV TIPOLOGI KUA KECAMATAN

A. Tipologi KUA Kecamatan masing-masing wilayah

ditetapkan oleh Kepala

Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi dengan

ketentuan:

1. Tipologi A adruah KUA yang jumlah peristiwa

nikahnya di atas 100 peristiwa dihitung rata-rata

perbulan;

2. Tipologi B adalah KUA yang jumlah peristiwa nikahnya

antara 50 s.d. 100 peristiwa rata-rata per bulan

3. Tipologi C adalah KUA yang peristiwa nikahnya di

bawah 50 peristiwa rata-rata per bulan;

4. Tipologi D adalah KUA yang secara geografis berada

pada daerah terdalam, terluar, dan daerah perbatasan

di daratan;

5. Tipologi D2 adalah KUA yang secara geografis

berada pada daerah terdalam, terluar, dan daerah

perbatasan di kepulauan.

B. Perubahan tipologi KUA Kecamatan dapat terjadi

disebabkan penurunan Jumlah peristiwa nikah atau adanya

KUA Kecamatan baru hasil pemekaran wilayah yang telah

ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri.

Apabila terjadi perubahan jumlah peristiwa Nikah atau Rujuk

yang menyebabkan perubahan tipologi KUA Kecamatan,

maka Kepala Kantor Kementeri Agama Kabupaten/Kota

wajib memperitahukan secara tertulis kepada Direktur

Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam melalui Direktur

Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah dengan

tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian

Page 599: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

586

Agama Provinsi. Perubahan tipologi KUA Kecamatan

ditetapkan pada awal tahun.

C. Kepala KUA Kecamatan mendistribusikan pelaksanaan

tugas akad nikah dengan menerapkan asas keadilan,

kompetensi, dan proporsional.

BAB V PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN

Pejabat Pembuat Komitmen harus menyampaiari laporan pelaksanaan program, kegiatan dan anggru;an secara tertulis sebagai berikut:

1. Laporan Bulanan

Pejabat Pembuat Komitmen pada Satker tingkat daerah

secara berjenjang harus menyampaikan laporan realisasi

penerimaan PNBP biaya Nikah atau Rujuk dengan form

sebagaimana terlampir.

2. Laporan Triwulan

Pejabat Pembuat Komitmen pada Satker tingkat daerah

secara berjenjang wajib menyampaikan laporan triwulan

yang memuat capean program, kegiatan dan anggaran

selama satu triwulan.

3. Laporan Tahunan .

Pejabat Pembuat Komitmen pada Satker tingkat daerah

secara berjenjang menyampaikan laporan pertanggung

jawaban atas pelaksanaan anggaran.

4. Laporan sebagaimana dimaksud point 1, 2, dan 3

disampaikan kepada Direktur Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam melalui Direktur Urusan Agama °Islam

dan Pembinaan Syariah;

5. Laporan Pelaksanaan Kegiatan tahunan memuat antara

lain:

a. latar belakang pelaksanaan kegiatan;

b. tujuan/ sasaran pelaksanaan kegiatan;

c. target dan Realisasi penerimaan PNBP;

Page 600: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

587

d. rencana dan pelaksanaan program;

e. realisasi Penggunaan PNBP Nikah atau Rujuk;

f. permasalahan dan hambatan;

g. solusi yang dilakukan;

h. rencana usulan target penerimaan dan penggunaan

tahun berikutnya;

i. penutup.

BAB VI PENUTUP

Petunjuk Teknis ini dibuat sebagai pedoman dalam pengelolaan PNBP Biaya nikah atau rujuk.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 4 November 2014

DIREKTUR JENDERAL,

Ttd.

Prof. Dr. H. Machasin, MA

Page 601: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

588

Page 602: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

589

Page 603: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

590

Page 604: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

591

Page 605: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

592

Page 606: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

593

Page 607: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

594

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM

NOMOR DJ.II/ 436 TAHUN 2015

TENTANG

PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM

NOMOR DJ.H/748 TAHUN 2014

TENTANG

PETUNJUK TEKNIS PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK ATAS BIAYA NIKAH ATAU

RUJUK DI LUAR KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN

DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyempurnakan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/748 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah Atau Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan, perlu melakukan perubahan;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana bahwa dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tentang Perubahan Atas Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/748 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan

Page 608: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

595

Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah atau Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan;

Menimbang : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama;

2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 338/KMK.06/2001 tentang Izin Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersumber dari pelayanan Jasa Nikah atau Rujuk dan Pelayanan Jasa Peradilan Agama pada Departemen Agama;

3. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah;

4. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama sebagaimana telah diubah tiga Kali terakhir dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 21 Tahun 2014;

5. Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kementerian Agama;

6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/PMK.02/ 2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerima;

8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/ PMK.05/2013 tentang Kedudukan dan Tanggung Jawab Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

9. Peraturan Menteri Agama Nomor 46 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan

Page 609: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

596

Pajak Atas Biaya Nikah atau Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan;

10. Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/748 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah atau Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM NOMOR DJ.II/748 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK ATAS BIAYA NIKAH ATAU RUJUK DI LUAR KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN.

KESATU : Mengubah beberapa ketentuan dalam lampiran Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/748 Tahun 2014 pada BAB III sebagai berikut:

- ketentuan huruf B; angka 2, angka 3 huruf c dan huruf d, dan angka 5 sehingga berbunyi sebagai berikut;

B. Pencairan

2. Pencairan dan penggunaan dana PNBP

Nikah atau Rujuk yang diperuntukkan

transpor dan jasa profesi penghulu/kepala

KUA/petugas yang melakukan layanan

bimbingan pelaksanakan akad nikah atau

rujuk di luar Kantor Urusan Agama

Kecamatan dilakukan secara langsung ke

rekening penerima melalui mekanisme LS.

Dalam hal belum keluarnya Surat Edaran

(SE) Direktur Jenderal Perbendaharaan

Page 610: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

597

tentang Maksimum Pencairan PNBP, maka

untuk memenuhi kebutuhan transpor

layanan nikah di luar kantor dapat

menggunakan mekanisme UP dan TUP.

3. Pencairan sebagaimana dimaksud pada

poin 2 di atas wajib melampirkan data

pendukung sebagai berikut:

c. daftar penghulu/kepala KUA/petugas yang

melaksanakan layanan bimbingan

pelaksanaan akad nikah di luar Kantor

Urusan Agama Kecamatan yang

ditandatangani oleh Kepala Kantor

Kementerian Agama Kabupaten/Rota;

d. foto copy rekening bank atas nama

penghulu/kepala KUA/petugas yang

melaksanakan layanan nikah di luar

Kantor Urusan Agama Kecamatan yang

sudah divalidasi oleh bank yang

bersangkutan.

5. Pencairan sebagaimana dimaksud pada poin

4 di atas adalah dalam rangka mendukung

kelancaran tugas-tugas layanan bimbingan

akad nikah di luar Kantor Urusan Agama

Kecamatan dan untuk menghindari

penerimaan gratifikasi penghulu/kepala

KUA/ petugas yang menghadiri kegiatan

layanan dimaksud.

- ketentuan huruf C; angka 1 dan angka 1 huruf

a dan huruf b sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Page 611: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

598

C. Penggunaan

1. Transpor penghulu/Kepala KUA/petugas yang melakukan Layanan Bimbingan Pelaksanaan Nikah atau Rujuk di Luar Kantor

a. Transpor penghulu/ kepala KUA/petugas

yang melaksanakan layanan dan

bimbingan akad nikah di luar Kantor

Urusan Agama Kecamatan diberikan per

peristiwa dengan mengacu kepada

ketentuan Standar Biaya Masukan.

b. Transpor penghulu/kepala KUA/petugas

yang melaksanakan beberapa layanan

dan bimbingan akad nikah di satu waktu

dan tempat yang sama diberikan 1 (satu)

Kali transpor perjalanan.

KEDUA : Ketentuan lain dalam Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/748 Tahun 2014 dinyatakan tetap berlaku.

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Juli 2015

DIREKTUR JENDERAL,

Ttd.

Prof. Dr. H. Machasin, MA

Page 612: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

599

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN

NOMOR PER-17/PB/2013

TENTANG

KETENTUAN LEBIH LANJUT TATA CARA PEMBAYARAN

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK ATAS BEBAN

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN,

Menimbang : bahwa untuk mengatur lebih lanjut ketentuan teknis

mengenai pembayaran tagihan negara yang

bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak

serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 66, Pasal

67, Pasal 68, dan Pasal 79 Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata

Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, perlu

menetapkan Peraturan Direktur Jenderal

Perbendaharaan tentang Tata Cara Pembayaran

Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Beban

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997

Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak

(Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3687);

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan

Page 613: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

600

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4286);

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4355);

14. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang

Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab

Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4400);

5. Peraturan Pemerintah Horner 73 tahun 1999

tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan

Negara Bukan Pajak Yang Bersumber Dari

Kegiatan Tertentu (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1999 Nomor 136, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3871;

6. Akuntansi Pemerintahan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 213,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5165);

7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/

PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran

Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara;

Page 614: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

601

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL

PERBENDAHARAAN TENTANG KETENTUAN

LEBIH LANJUT TATA CARA PEMBAYARAN

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK ATAS

BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA

NEGARA.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:

1. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA

adalah Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang digunakan sebagai

acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan

pemerintahan sebagai pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara.

2. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP

adalah seluruh penerinlaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal

dari penerimaan perpajakan;

3. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah

pejabat yang memperoleh kuasa dari Pengguna Anggaran untuk

melaksanakan sebagian Kewenangan dan tanggung jawab

penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang

bersangkutan.

4. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya

disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal

Perbendaharaan yang memperoleh Kuasa dari Bendahara Umum

Negara (BUN) untuk melaksanakan sebagian fungsi Kuasa BUN.

5. Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi

lini Kementerian Negara/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah

Daerah yang melaksanakan Kegiatan Kementerian

Page 615: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

602

Negara/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab

penggunaan anggaran.

6. Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat UP adalah uang muka

kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara

Pengeluaran untuk membiayai Kegiatan operasional sehari-hari

Satker atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan

tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme

pembayaran langsung.

7. Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat TUP

adalah uang muka yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran

untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam 1 (Satu) bulan

melebihi pagu UP yang) yang telah ditetapkan.

BAB II

MEKANISME PENGGUNAAN DANA

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Pasal 2

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:

(1) Semua PNBP yang menjadi hak negara dalam tahun anggaran

yang bersangkutan harus disetor langsung secepatnya ke Kas

Negara.

(2) Satker pengguna PNBP dapat menggunakan sebagian dana

PNBP untuk membiayai belanja negara setelah memperoleh ijin

penggunaan dana PNBP dari Menteri Keuangan.

(3) Belanja negara oleh Satker pengguna PNBP dalam Satu tahun

anggaran hanya dapat dibiayai dari PNBP tahun anggaran yang

bersangkutan.

(4) Satker pengguna PNBP di bidang pendidikan dapat

menggunakan PNBP melampaui Satu tahun anggaran sesuai

dengan Satu tahun masa pendidikan.

Page 616: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

603

(5) Satker pengguna PNBP menggunakan sebagian dana PNBP

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan jenis PNBP

dan Pagu PNBP dalam DIPA yang ditetapkan oleh Menteri

Keuangan.

(6) Pagu PNBP dalam DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (5)

merupakan batas tertinggi yang dapat digunakan.

Pasal 3

(1) Besarnya dana PNBP untuk membiayai belanja negara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan

berdasarkan Maksimum Pencairan (MP) dana pada Satker

pengguna PNBP.

(2) Maksimum Pencairan (MP) dana pada Satker pengguna PNBP

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperoleh dari formula

sebagai berikut:

MP = (PPP x JS) – JPS

MP : Maksimum Pencairan

PPP : Proporsi Pagu Pengeluaran terhadap pendapatan

sesuai dengan yang ditetapkan oleh Menteri

Keuangan

JS : Jumlah Setoran

JPS : Jumlah Pencairan dana Sebelumnya sampai dengan

SPM terakhir yang diterbitkan

(3) Besaran Proporsi Pagu Pengeluaran (PPP) untuk masing-

masing Satker pengguna PNBP diatur berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Keuangan.

(4) Maksimum Pencairan (MP) dana pada masing-masing Satker

pengguna PNBP dapat ditetapkan:

a. secara terpusat, berdasarkan jumlah setoran PNBP yang

disetorkan ke Kas Negara;

b. untuk masing-masing Satker pengguna PNBP berdasarkan

jumlah PNBP pada masing-masing Satker pengguna PNBP;

Page 617: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

604

Pasal 4

(1) Maksimum Pencairan (MP) untuk Satker pengguna PNBP

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a,

ditetapkan dengan Surat Edaran/Peraturan Direktur Jenderal

Perbendaharaan berdasarkan perhitungan Daftar Perhitungan

Jumlah Maksimum Pencairan (MP).

(2) Penetapan Maksimum Pencairan (MP) sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) berdasarkan hasil rekonsiliasi jumlah setoran/Surat

Setoran Bukan Pajak (SSBP) antara kantor pusat Satker

pengguna PNBP dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

(3) Pencairan dana PNBP oleh Satker pengguna PNBP

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan

Surat Edaran/Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan tanpa

melampirkan SSBP.

Pasal 5

(1) Penetapan Maksimum Pencairan (MP) untuk Satker pengguna

PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b

dilakukan berdasarkan SSBP yang telah dikonfirmasi dengan

KPPN.

(2) Pelaksanaan Konfirmasi SSBP sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) mengikuti ketentuan mengenai pelaksanaan konfirmasi

Surat setoran penerimaan negara.

(3) Pencairan dana PNBP oleh Satker pengguna PNBP

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan

Daftar Perhitungan Jumlah Maksimum Pencairan (MP).

Pasal 6

(1) Sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun anggaran

sebelumnya dari Satker pengguna PNBP, dapat dipergunakan

untuk membiayai kegiatan kegiatan tahun anggaran berjalan

setelah DIPA disahkan dan berlaku efektif.

Page 618: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

605

(2) Sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) berasal dari PNBP Batu tahun anggaran

sebelumnya.

(3) Sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun anggaran

sebelumnya dari Satker pengguna PNBP meliputi:

a. jumlah setoran yang melampaui target penerimaan PNBP

Satker pengguna PNBP berkenaan sesuai dengan Proporsi

Pagu Pengeluaran (PPP) terhadap pendapatan yang

ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan/atau

b. Sisa pagu DIPA yang dapat dicairkan yang dibiayai dari dana

PNBP;

(4) Penggunaan sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun

anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat, dilakukan dalam hal Satker pengguna PNBP:

a. memerlukan pembiayaan atas kegiatan yang harus segera

dilaksanakan, namun belum memperoleh Maksimum

Pencairan (MP); atau

b. sudah diperoleh Maksimum Pencairan (MP) namun belum

mencukupi untuk melaksanakan kegiatan yang harus segera

dilaksanakan.

(5) Penggunaan sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun

anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

disertai dengan Surat pernyataan dari KPA bahwa sisa

Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun anggaran

sebelumnya akan diperhitungkan dengan PNBP tahun anggaran

berjalan dan disampaikan kepada:

a. Direktur Jenderal Perbendaharaan, untuk Maksimum

Pencairan (MP) yang ditetapkan secara terpusat;

b. Kepala KPPN, untuk Maksimum Pencairan (MP) yang

ditetapkan pada masing-masing Satker pengguna PNBP.

(6) Penggunaan sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun

anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

Page 619: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

606

sudah diperhitungkan seluruhnya dengan PNBP tahun anggaran

berjalan.

(7) PNBP tahun anggaran berjalan dapat digunakan dalam hal

penggunaan sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun

anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

sudah diperhitungkan seluruhnya dengan PNBP tahun anggaran

berjalan.

(8) Dalam hal atas penggunaan sisa Maksimum Pencairan (MP)

dana PNBP tahun anggaran sebelumnya belum diperhitungkan

seluruhnya sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Satker

pengguna PNBP akan menggunakan PNBP tahun anggaran

berjalan untuk membiayai kegiatan yang segera dilaksanakan,

harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Direktur

Jenderal Perbendaharaan.

(9) Dalam hal Satker pengguna PNBP sudah memperoleh

Maksimum Pencairan (MP) namun belum mencukupi untuk

melaksanakan kegiatan yang harus segera dilaksanakan

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, dana PNBP yang

dapat dipergunakan maksimal sebesar sisa Maksimum

Pencairan (MP) dana PNBP tahun anggaran sebelumnya.

Pasal 7

Daftar Perhitungan Jumlah Maksimum Pencairan (MP) sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 dibuat sesuai format

sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian

tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 8

(1) Satker pengguna PNBP dapat diberikan UP sebesar 20% (dua

puluh person) dari realisasi PNBP yang dapat digunakan sesuai

pagu PNBP dalam DIPA maksimum sebesar Rp 500.000.000,-

(lima ratus juta rupiah).

Page 620: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

607

(2) Realisasi PNBP yang dapat digunakan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), merupakan PNBP yang telah disetor ke Kas

Negara.

(3) Pemberian UP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk di

dalam penggunaan sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP

tahun anggaran sebelumnya.

(4) Penggantian UP atas pemberian UP sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan apabila UP telah dipergunakan paling

sedikit 50% (lirna puluh persen).

(5) Mekanisme pembayaran dengan UP sebagaimana dimaksud

pada ayat (4) mengacu pada mekanisme dalam Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara

Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 9

(1) Satker pengguna PNBP dapat diberikan UP sebesar maksimal

1/12 (Batu per dua bolas) dari pagu dana PNBP pada DIPA,

maksimal sebesar Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah),

dengan ketentuan:

a. belum memperoleh Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP;

b. telah memperoleh Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP

namun belum mencapai 1/12 (satu perduabelas) dari pagu

dana PNBP pada DIPA, atau

c. Satker pengguna PNBP yang ditetapkan penggunaannya

secara terpusat, belum memperoleh pagu pencairan sesuai

Surat Edaran/Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.

(2) Penggantian UP atas pemberian UP sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan setelah Satker pengguna PNBP

memperoleh Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP paling

sedikit sebesar UP yang diberikan.

(3) Penyesuaian besaran UP dapat dilakukan sampai dengan

sebesar realisasi PNBP yang telah disetor ke Kas Negara,

Page 621: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

608

dengan ketentuan penyesuaian besaran UP tidak melampaui

20% (dua puluh person) dari pagu DIPA maksimum sebesar Rp

500.00.000,- (lima ratus juta rupiah).

(4) KPA Satker pengguna PNBP dapat mengajukan permohonan

persetujuan penyesuaian besaran UP sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) kepada Kepala KPPN dengan disertai bukti setor

PNBP yang telah dikonfirrmasi oleh KPPN atau Pagu Pencairan

sesuai Surat Edaran/Peraturan Direktur Jenderal

Perbendaharaan untuk Satker pengguna PNBP yang// ditetapkan

penggunaannya secara terpusat.

Pasal 10

(1) Dalam hal UP tidak mencukupi dapat mengajukan TUP sebesar

kebutuhan riil 1 (satu) bulan dengan memperhatikan batas

Maksimum Pencairan (MP).

(2) Pembayaran UP/TUP untuk Satker pengguna PNBP dilakukan

terpisah dari UP/TUP yang berasal dari Rupiah Murni.

BAB III

PENGGUNAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK BAGI

SATUAN KERJA PENGGUNA PENERIMAAN NEGARA BUKAN

PAJAK BIDANG PENDIDIKAN

Pasal 11

(1) PNBP yang berasal dari pendapatan uang pendidikan tahun

anggaran sebelumnya dapat digunakan oleh Satker pengguna

PNBP Bidang Pendidikan untuk membiayai kegiatan pendidikan

tahun anggaran berjalan.

(2) KPA Satker pengguna PNBP Bidang Pendidikan menyampaikan

permintaan penggunaan PNBP yang berasal dari pendapatan

uang pendidikan tahun anggaran sebelumnya sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), kepada:

Page 622: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

609

a. Direktur Jenderal Perbendaharaan, untuk Maksimum

Pencairan (MP) yang ditetapkan secara terpusat;

b. Kepala KPPN, untuk Maksimum Pencairan (MP) yang

ditetapkan pada masing-masing Satker pengguna PNBP.

(3) Permintaan penggunaan PNBP yang berasal dari pendapatan

uang pendidikan tahun anggaran sebelumnya sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) disertai dengan Surat pernyataan dari

KPA Satker pengguna PNBP Bidang Pendidikan bahwa

sebagian/ seluruh PNBP yang berasal dari pendapatan uang

Pendidikan tahun anggaran sebelumnya merupakan Pendapatan

uang pendidikan untuk membiayai kegiatan di tahun anggaran

berjalan.

(4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dibuat

sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang

merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur

Jenderal ini.

(5) Penggunaan PNBP yang berasal `dari pendapatan uang

pendidikan tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) tidak diperhitungkan dengan PNBP yang berasal

dari pendapatan uang pendidikan tahun anggaran berjalan.

(6) Satker pengguna PNBP Bidang Pendidikan dapat menggunakan

sisa Maksimum Pencairan (MP) tahun anggaran sebelumnya

untuk membiayai kegiatan yang harus segera dilaksanakan

setelah mendapat Persetujuan dari Direktur Jenderal

Perbendaharaan.

(7) Penggunaan sisa MaKsimum Pencairan (MP) tahun anggaran

sebelumnya mengiKuti Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6.

Page 623: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

610

BAB IV

PENGGUNAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK BAGI

SATUAN KERJA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

INDONESIA SELAKU SATUAN KERJA PENGGUNA

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Pasal 12

Tata Cara pembayaran pada Satker Kepolisian Negara Republik

Indonesia (Polri) sebagai Satker pengguna PNBP, diatur ketentuan

sebagai berikut:

a. untuk Satker Polri di kewilayahan/daerah dan SatKer di Mabes

Polri, pencairan dana PNBP dilakukan sebesar 1/12 (Batu per

dua belas) setiap bulan dari pagu DIPA PNBP;

b. khusus untuk Satker Korlantas Polri, pencairan dana PNBP

dilakukan sesuai kebutuhan dengan memperhatikan batas

Maksimum Pencairan (MP).

Pasal 13

(1) Dalam rangka pencairan dana PNBP untuk Satker Polri di

kewilayahan/daerah dan Satker di Mabes Polri sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, Kepala Pusat Keuangan Polri

mengajukan Surat permohonan persetujuan pencairan dana

kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.

(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilampiri dengan Surat pernyataan bahwa realisasi belanja 1/12

(Batu per dua bolas) setiap bulan dari pagu DIPA PNBP untuk

Satker Polri di kewìlayahan/daerah dan Satker di Mabes Polri

akan dapat ditutupi dengan realisasi PNBP yang dibuat sesuai

format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang

merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur

Jenderal ini.

(3) Atas dasar Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), Direktur Jenderal Perbendaharaan menerbitkan persetujuan

Page 624: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

611

pencairan dana untuk Satker Polri di kewilayahan/daerah dan

Satker di Mabes Polri.

Pasal 14

(1) Perhitungan Maksimum Pencairan (MP) dalam rangka pencairan

dana PNBP untuk Satker Korlantas Polri sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 12 huruf b, dengan menggunakan formula sebagai

berikut:

MP = (PPP x JS) - JPS - setiap bulan I/12 (satu per dua

bolas) dari alokasi pagu DIPA PNBP Satker Polri di

kewilayahan/daerah dan Satker di Mabes Polri,

Keenan Pagu PNBP Satker Korlantas Polri.

MP : Maksimum Pencairan

PPP : Proporsi Pagu Pengeluaran terhadap pendapatan

JS : Jumlah Setoran

JPS : Jumlah Pencairan dana Sebelumnya sampai dengan

SPM terakhir yang diterbitkan

(2) Pencairan dana PNBP untuk Satker Korlantas pada Mabes Polri

ke KPPN dilakukan dengan melampirkan:

a. Berita Acara Rekonsiliasi penerimaan PNBP dan realisasi

belanja antara Polri dengan Direktorat Jenderal

Perbendaharaan;

b. Daftar Perhitungan Maksimum Pencairan (MP) yang dibuat

sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV

yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan

Direktur Jenderal ini.

BAB V

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 15

Tata Cara penerbitan dan pengujian SPP dan SPM-

UP/TUP/PTUP/GUP/GUP Nihil/LS yang dananya bersumber dari

Page 625: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

612

PNBP mengacu pada mekanisme dalam Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran

Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara.

Pasal 16

Ketentuan yang tidak diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal

Perbendaharaan ini tetap mengacu pada ketentuan yang diatur dalam

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata

Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 17

Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan ini mulai berlaku pada

tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 6 Mei 2013

DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN

AGUS SUPRIJANTO

Page 626: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

613

Page 627: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

614

Page 628: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

615

Page 629: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

616

Page 630: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

617

Page 631: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

618

Page 632: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

619

Page 633: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

620

Page 634: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

621

Page 635: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

622

Page 636: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

623

INSTRUKSI DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN

MASYARAKAT ISLAM

NOMOR DJ.II/I TAHUN 2015

TENTANG

PENGANGKATAN PEMBANTU PEGAWAI PENCATAT

NIKAH (P3N)

Dalam rangka mengoptimalkan layanan nikah atau rujuk pada Kantor

Urusan Agama Kecamatan yang berada pada daerah pedalaman dan

atau wilayah pegunungan, daerah terluar/perbatasan negara dan atau

kepulauan serta adanya keterbatasan Pegawai Pencatat Nikah,

dengan ini menginstruksikan:

Kepada : Seluruh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama

se Indonesia.

Untuk :

PERTAMA : Pengangkatan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah

agar dilakukan secara selektif dengan mengacu

kepada Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Agama

Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah;

KEDUA : Rekomendasi pcngangkatan Pembantu Pegawai

Pencatat Nikah dari Kepala Seksi yang membidangi

Urusan Agama Islam harus memperhatikan;

1. Kantor Urusan Agama Kecamatan tersebut

masuk dalam tipologi D1 (daerah di pedalaman

dan atau wilayah pegunungan) dan D2 (daerah

Page 637: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

624

terluar/perbatasan negara, dan atau kepulauan)

yang ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah

Kementerian Agama Provinsi dan tidak dapat

dijangkau oleh Pegawai Pencatat Nikah Karena

terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM)

dibanding dengan luas wilayah;

2. Pembantu Pegawai Pencatat Nikah berdomisili di

desa dimaksud;

3. Kemampuan dan Kompetensi calon Pembantu

Pegawai Pencatat Nikah di bidang hukum dan

administrasi pernikahan,

KETIGA : Memantau clan melaporkan pelaksanaan Instruksi

Pengangkatan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah

kepada Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat

Islam.

KEEMPAT : Melaksanakan Instruksi ini dcngan penuh tanggung

jawab.

Dengan dikeluarkannya Instruksi ini, Instruksi Direktur

Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor

Dj.II/113 Tahun 2009 tentang Penggunaan Dana

PNBP Nikah Rujuk dari Penataan Pembantu Pegawai

Pencatat Nikah (P3N) dinyatakan tidak berlaku.

Dikeluarkan di Jakarta

Pada tanggal 26 Januari 2015

Direktur Jenderal,

Prof. Dr. H. Machasin, MA

NIP. 195610131981031003

Tembusan :

1. Menteri Agama RI;

2. Sekretaris Jenderal KEmenterrian Agama;

3. Inspektur Jenderal Kementerian Agama.

Page 638: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

625

[

KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR: 444 TAHUN 2002

TENTANG

PERUBAHAN LAMPIRAN MODEL A2 PERATURAN

MENTERI AGAMA NOMOR 45 TAHUN 1975 YANG TELAH

DIUBAH DENGAN KEPUTUSAN MENTERI AGAMA

NOMOR 8 TAHUN 1984

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa ketentuan penyerahan uang iwadh dalam

rangkaian sighat taklik talak bagi umat Islam

sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Model

A2 yahg telah diubah dengan Keputusan Menteri

Agama Nomor 8 Tahun 1984 perlu disesuaikan

dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 1

Tahun 2001;

b. bahwa agar penggunaan uang iwadh bagi

kegiatan ibadah sosial dapat lebih berdaya guns,

make ketentuan penyerahan uang iwadh

sebagaimana dimaksud pads butir a di atas perlu

ditinjau kembali;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

dimaksuid pada butir a danb di atas, dipandang

perlu menetapkan Keputusan Menteri Agama

Page 639: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

626

tentang Perubahan Lampiran Model A2 Peraturan

Menteri agama Nomor 45 tahun 1975 yang telah

diubah dengan Keputusan Menteri Agama Nomor

8 Tahun 1984.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang

PencatatanNikah, Talak dan Rujuk;

2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang

Penetapan Berlakunya Undang-undang Nomor

32 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak

dan Rujuk di seluruh Daerah Luar Jawa dan

Madura;

3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan;

5. Keputusan Presiden RI Nomor 102 Tahun 2001

tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,

Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata

Kerja Departemen sebagaimana telah diubah

dengan Keputusan Presiden RI Nomor 45 Taliun

2002;

6. Keputusan Presiden RI Nomor 109 Tahun 2001

tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I

Departemen sebagaimana telah diubah dengan

Keputusan Presiden RI Nomor Nomor 47 Tahun

2002;

7. Keputusan Presiden RI Nomor 49 Tahun 2002

tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan

Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal

Departemen Agama;

Page 640: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

627

8. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990

tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah;

9. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1995

tentang Kutipan Akta Nikah;

10. Keputusan Menteri Agama Nomor 411 Tahun

2000 tentang Penetapan Jumlah Uang Iwadh

dalam Rangkaian Sighat Taklik Talak Bagi Umat

Islam;

11. Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001

tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,

Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata

Kerja Departemen Agama;

12. Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun

2002 tentang Organisasi dan Tats Kerja Kantor

Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor

Departemen Agama Kabupaten/Kota.

Memperhatikan: Hasil keputusan pertemuan Kepala Bidang

Urusan Agama Islam seluruh Indonesia di Jakarta

pada Orientasi Petugas Ibadah Sosial tanggal 29

Juli sampai dengan 2 Agustus 2002.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI AGAMA TENTANG

PERUBAHAN LAMPIRAN MODELA 2 PERATURAN

MENTERI AGAMA NOMOR 45 TAHUN 1975 YANG

TELAH DIUBAH DENGAN KEPUTUSAN MENTERI

AGAMA NOMOR 8 TAHUN 1984

Page 641: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

628

Pasal 1

Mengubah ketentuan Sighat Ta'lik sebagaimana tercantum dalam

Lampiran Model A2 Peraturan Mentori Agama Nomor 45 Tahun 1975

yang telah diubah dengan Keputusan Menteri Agama Horner 8 Tahun

1984, sehingga berbunyi:

" .......... dan kemudian monyerahkannya kepada Direktorat Jenderal

Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Cq. Direktorat

Urusan Agama Islam untuk keperluan ibadah sosial.

Pasal 2

(1) Dengan berlakunya keputusan ini, ketentuan penyerahan uang

iwadh sebagaimana tercantum dalam Keputusan Meateri Agama

Horner 8 Tahun 1984, yang semula kepada Badan Kesejahteraan

Masjid (BKM) dinyatakan tidak berlaku lagi dan beralih kepada

Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyeleng-garaan Haji.

(2) Ketentuan lain sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Model A2

Peraturan Menteri Agama Nomor 45 Tahun 1975 tetap berlaku

sebagaimana mestinya.

(3) Teknis pelaksanaan keputusan ini selanjutnya diatur oleh Dirjen

Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Cq. Direktur Urusan

Agama Islam dan Direktur Peradilan Agama.

(4) Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 6 Nopember 2002

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

PROF. DR. H. SAID AGIL HUSIN AL MUNAWAR,MA

Page 642: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

629

Tembusan:

1. Ketua Baden Pemeriksa Keuangan;

2. Menteri Keuangan RI;

3. Menteri Sekertaris Negera;

4. Sekertaris Jenderal DPR RI;

5. Sekjen, Para Dirjen, Irjen, Kabadlitbang Agama dan Diktat

Keagamaen sorta Staf AhIi menter di Iingkungen Dep. Agema;

6. Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama seluruh

Indonesia;

7. Kepala Biro Hukum dan Humas Depertemen Agama;

8. Kepala Kantor Departemen Agama Kebupaten/Kota seluruh

Indonoesia

Page 643: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

630

DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM DAN URUSAN HAJI

DAN DIREKTUR JENDERAL PROTOKOL DAN KONSULER

NOMOR : 280/07 TAHUN 1099 NOMOR : D/447 TAHUN 1000

TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERKAWINAN WARGA

NEGARA INDONESIA DI LUAR NEGERI

DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM DAN URUSAN HAJI DAN DIREKTUR JENDERAL PROTOKOL

DAN KONSULER

Menimbang : bahwa dalam rangka Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Luar Negeri Nomor 182/OT/X/1/01 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di Luar Negerri, perlu diatur lebih lanjut hal-hal yang lebih teknis petunjuk pelaksanaannya dengan menetapkan Keputusan Bersama Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan urusan Haji dan Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri.

Mengingat : 1. Undang-undang Horner 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk,

1. Undang-undang, Horner 32 Tahun 1954 tentang Penetapan berlakunya Undang.. undang Horner 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk di Luar Jawa dan Madura.

2. Undang-undangHorner 1Tahun1974 tentang Perkawinan.

Page 644: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

631

3. Peraturan Pemerintah Horner 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

4. Keputusan Presiden RI Horner 1 36 Tahun 1999 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata kerja Departemen.

5. Keputusan Menteri Agama Horner 18 Tahun 1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama yang telah diubah dan disempurnakan terakhir dengan Keputusan Menteri Agama Horner 75 Tahun 1984.

6. Peraturan Menteri Agama Horner 2 Tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatatan Nikah.

7. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Luar Negeri Horner 589 Tahun 1999 dan Nomor 182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri.

MEMUTUSKAN: Pertama : Menetapkan Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan

Warga Negara lndonesia di Luar Negeri sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini.

Kedua : Petunjuk Pelaksanaan ini merupakan pedoman bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam yang akan melaksanakan perkawinan di luar wilayah negara Republik Indonesia

Ketiga : Hal-hal yang belum diatur dalam Keputusan Bersama ini akan diatur lebih lanjut dalam ketentuan tersendiri.

Keempat : Keputusan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Page 645: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

632

Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 30 Desember 1999 Direktur Jenderal Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Protokol dan Konsuler dan Urusan Haji

Menteri Agama RI Menteri Luar Negeri RI Drs. H. Mubarok Rachnjat Ranuwidjaja

Page 646: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

633

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 56 ayat (1) tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara tempat perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan undang-undang.

Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, unit bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Prinsip pokok yang terkandung dalam pasal 56 tersebut cukup jelas, yaitu suatu perkawinan warga negara Indonesia yang dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara tempat perkawinan, itu dilangsungkan baru dianggap sah apabila pelaksanaan perkawinan dimaksud tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam, perkawinan harus memenuhi ketentuan hukum syarat, artinya selain memenuhi persyaratan undang-undang, juga harus memenuhi persyaratan ketentuan agama Islam.

Dalam hal ini, status Perwakilan RI sebagai wilayah ekstrateritorial RI di suatu negara mengandung pengertian bahwa Hukum RI, termasuk undang-undang perkawinan, secara sah berlaku. Dengan demikian, warga negara RI yang beragama Islam tinggal di luar negeri, dapat melakukan perkawinan sesuai dengan undang-undang tersebut di Perwakilan RI, yang urusan administrasinya diselesaikan oleh Bidang Konsuler.

Page 647: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

634

Pemerintah Indonesia dalam hal ini Perwakilan RI di luar negeri diharuskan mengadakan pengawasan, pendaftaran dan pencatatan terhadap perkawinan warga negara Indonesia menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketentuan agama Islam bagi yang beragama Islam. Untuk itu disusunlah petunjuk pelaksanaan perkawinan Indonesia di luar negeri.

B. DASAR HUKUM

1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk;

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

4. Peraturan Pemerintah Nomor g Tahun 1975 tentang Petaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

5. Peraturan Pemerintah Nomor lOTahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil;

6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen;

7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan Organisasi, dan Tatakerja Departemen sebagaimana telah diubah dan disempurnakan terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 192 Tahun 1998;

8. Peraturan Menteri. Agama Nomor 2 Tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah;

9. Keputusan Menteri Agama Nomor 40 Tahun 1991 tentang Biaya Nikah dan Rujuk bagi Umat Islam;

10.Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor 16 Tahun 1992 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Biaya Nikah dan Rujuk Bagi Umat Islam.

Page 648: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

635

C. TUJUAN

1. Tersedianya pedoman kerja bagi petugas/pejabat pelaksana pencatatan nikah di luar negeri;

2. Tersedianya informasi bagi warga negara RI di luar negeri yang beragama Islam yang akan melangsungkan akad nikah;

3. Terlaksananya administrasi pencatatan nikah di luar negeri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup petunjuk pelaksanaan ini meliputi pelaksanaan dan pencatatan nikah bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam di luar negeri.

E. PENGERTIAN

Dalam petunjuk pelaksanaan ini yang dimaksud dengan: 1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang

pria dengan seorang wanna sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Perkawinan di luar negeri adalah perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing yang kedua-duanya beragama Islam.

3. Mengawasi adalah: a. Memeriksa dan meneliti calon swami, calon istri,

dan wall nikah tentang halangan perkawinan dan syarat-syarat yang hams dipenuhi, balk menurut ketentuan hukum syara' (hukum munakahat) atau peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Meneliti Surat-Surat yang harus dipenuhi oleh masing-masing yang bersangkutan;

c. Menghadiri dan menyaksikan upacara akad nikah. 4. Pencatatan adalah pengisian formulir Akta Nikah atau

Buku Pendaftaran Talak, atau Buku Pendaftaran Cerai

Page 649: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

636

atau Buku Pendaftaran Rujuk serta penandatanganannya oleh yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku.

5. Perceraian adalah putusnya perkawinan Karena talak oleh suami atau Karena putusan hakim atas dasar gugatan istri: a. Talak adalah putusnya perkawinan Karena ikrar

suami di depan sidang pengadilan atas permohonan suami;

b. Cerai adalah putusnya perkawinan oleh hakim atas dasar gugatan istri.

6. Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi mereka yang beragama selain Islam.

7. Pendaftaran adalah pendaftaran bukti perkawinan (nikah, talak, cerai dan rujuk).

8. Penghulu adalah pegawai atau petugas yang ditunjuk oleh perwakilan RI di luar negeri untuk melaksanakan tugas menghadiri, mengawasi dan mencatat pelaksanaan nikah dan rujuk bagi umat Islam di wilayahnya.

F. PETUNJUK PENGGUNAAN

Dalam juklak ini ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Hal mengawasi nikah dan penerima pemberitahuan

rujuk; 2. Hal pencatatan nikah, talak, cerai dan rujuk.

BAB II

KETENTUAN POKOK

A. UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

Beberapa ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah:

1. Pasal 2 ayat (1):

Page 650: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

637

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Pasal 2 ayat (2): Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undanganan yang berlaku.

3. Pasal 20: Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan

melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 out (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

4. Pasal 39 ayat (1): Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang

pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

5. Pasal 56 ayat (1): Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara

dua Orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini.

6. Pasal 56 ayat (2): Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di

Wilayah Indonesia, Surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

B. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 9 TAHUN 1975

Beberapa ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:

1. Pasal 2 ayat (1):

Pencatatan perkawinan dart mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai

Page 651: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

638

Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

2. Pasal 10 ayat (2):

Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.

3. Pasal 10 ayat (3):

Dengan mengindahkan tata Cara perkawinan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, perkawinan dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

C. UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1946

Beberapa ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Nikah,Talak dan Rujuk adalah:

1. Pasal 1 ayat (1):

Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya, disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah.

2. Pasal 1 ayat (2):

Yang berhak melakukan pengawasan atas nikah dan iv nerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk hanya pegawai viii diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk.

D. UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1954

Undang-undang Nomor 32Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-undang Republik Indonesia tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura memutuskan bahwa dengan mencabut Huwelijksordonnantie Buitengwestan Staatsblad 1932 No. 482 dan semua Peraturan-peraturan (juga dari Pemerintah Swapraja) tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk untuk umat

Page 652: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

639

Islam yang berlainan dan bertentangan dengan Undang-undang Republik Indonesia tanggal I Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946, maka ditetapkan sebagai berikut:

Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22Tahun 1946

tentang Pencatatan Nikah,Talak dan Rujuk untuk Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.

(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.

(4) Dalam Pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Jakarta Pusat.

(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harts bersama isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan coral talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.

Pasal 67 Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 66 di atas memuat: (a) Nama, umur dan tempat kediaman pemohon, yaitu

suami dan termohon, yaitu istri. (b) Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.

Pasal 68 (1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majlis

Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau Surat permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.

(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.

Page 653: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

640

Pasal 69 Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini berlaku ketentuan

ketentuan pasal 79, pasal 80 ayat (2) dan pasal 83.

Pasal 70 (1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah

pihal tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka Pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.

(2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri dapat mengajukan banding.

(3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.

(4) Dalam sidang Itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusul dalam suatu Akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, yang dihadiri oleh istri atau kuasanya.

(5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya.

(6) Jika suami dalam tenggang waktu dalam 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut, maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagiberdasarkan alasan yang sama.

Pasal 71 (1) Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam

sidang ikrar talak (2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan

bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakanbanding atau kasasi.

Page 654: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

641

Pasal 72 Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal (710 berlaku ketentuan-ketentuan dalam pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) sorta pasal 85.

Paragraf 3: Cerai Gugat

Pasal 73 (1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya

kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.

(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

Pasal 74 Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah

satu mendapat pidana penjara,maka untuk memperolehputusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 75 Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa

gugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat kdapat menjalankan kewajiban sebagaisuami, makaHakim Int memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter.

Pasal 76 (1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan

syiqaq maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga tua orang-orang yang dekat dengan suami istri.

Page 655: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

642

(2) Pengadilan selain mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim.

Pasal 77 Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas

permohonan penggugat atau tertgugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.

Pasal 78 Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas

permohonan penggugat, Pengadilan dapat:

a. Menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami;

b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;

c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Pasal 79 Gugatan perceraian gugur apabila swami atau istri

meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan.

Pasal 80 (I) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis

Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau Surat gugatan percerain didaftarkan di Kepaniteraan.

(2) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 81 (1) Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian

diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. (2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala

Page 656: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

643

akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 82 (1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian,

Hakim berusaha mendamaikan kedua pihak. (2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus

datang secara pribadi, kacuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pridadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.

(3) Apadila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada sidang perdamaian tersedut harus menghadap secara pribadi.

(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Pasal 83 Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan

gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai.

Pasal 84 (1) Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan yang

ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekutan hukum tetap, tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.

(2) Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan sebagaima yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermaterai dikirim pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh

Page 657: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

644

Pegawai Pencatat Nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan.

(3) Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula kepada Pegawai pencatat Nikah tempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.

(4) Panitera berkewajiban memberikan Aka Cerai sebagai suatu bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.

Pasal 85

Kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 84, menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk, apabila yamg demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya.

Pasal 86 (1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah

istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekutan hukum tetap.

(2) Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu. Paragraf 4: Cerai Dengan Alasan Zina

Pasal 87 (1) Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas

alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu tiada pembuktian sama

Page 658: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

645

sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh balk dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat, maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau pengugat untuk bersumpah.

(2) Pihak termohon atau tergugat diberi kekuasaan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan Cara yang sama.

Pasal 88 (1) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam

pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan cara lisan.

(2) (Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 87 twat (1) dilakukan oleh istri, maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku.

E. PEDOMAN DAN PETUNJUK KONSULER RI

Pedoman dan petunjuk konsuler RI antara lain menyebutkan bahwa:

a. Apabila terjadi perkawinan di atas kapal taut, maka pencatatannya di perwakilan RI daerah tempat kapal tersebut berlabuh.

b. Dalam hat diwilayah itu tidak ada perwakilan RI make dicatat di daerah akreditasi terdekat dart perwakilan RI.

Beberapa ketentuan yang terdapat dalam Petunjuk Konsuler RI BAB VIII B adalah:

1. Perkawinan diatur oleh masing-masing negara menurut undangundang dan peraturan setempat. Perkawinan yang dilaksanakan oleh warga negara RI di luar negeri menurut undang-undang/ peraturan negara tersebut dianggap sah oleh Pemerintah Indonesia. Buat katagori pejabat tertentu Canterslain buat anggotaABRI/ dan pejabat-pejabat diplomatik/konsuler Departemen Luar Negeri) masih diperlukan persetujuan dart Jakarta untuk menikah dengan Wanda/pria bangsa acing

Page 659: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

646

2. Angka 7 berbunyi: Perkawinan yangdilaksanakan diluar negeri oleh warganegaraRI yang menganut agama Islam, yang upacaranya tidak memenuhi hukum Islam walaupun sah menurut undangundang datum sah menurut syara'.

F. KEPALA PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA

Kepala Perwakilan RI adalah pejabat yang diangkat dan merupakan wakil pribadi Presiden RI disuatu negara akreditasi. Dengan demikian wewenang Presiden Rl yang dari sudut hukuni Islam adalah Ulilamri, dapat didelegasikan kepada Perwakilan (Duta Besar, Konsul Jenderal, Kuasa Usaha Tetap, Konsul), sehingga Kepala Perwakilan RI mempunyai wewenang untuk menikahkan warga negara Indonesia Dalam hat Kepala Perwakilan sendiri tidak dapat melaksanakannya secara langsung, dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada seseorang yang memenuhi syarat dart sudut agama Islam. Walaupun dalam pendapat dan petunjuk konsuler dinyatakan bahwa Departemen Agama sebagai pemegang kuasa Presiden untuk menikahkan dan selanjutnya dalam hal atau situasi tertentu dapat memberikan kuasa tersebut bila diminta, maka wewenang menikahkan tersebut telah dilimpahkan secara inklusif tanpa harus dimohon kepada Kepala Perwakilan Rl.

BAB III

PEJABAT PELAKSANA

Pejabat pelaksana ialah pejabat atau mereka yang secara langsung atau tidak langsung berperan dalam proses pelaksanaan dan rujuk serta bertanggung jawab dalam tugas masing-masing.

Ada dua macam pejabat pelaksana, yaitu pejabat pelaksana rig dan pejabat pelaksana tidak langsung.

A. PELAKSANA LANGSUNG

Page 660: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

647

Pejabat pelaksana langsung ialah mereka yang ikut sorta secara langsung dalam pelaksanaan nikah dan rujuk. Mereka terdiri penghulu den pegawai pencatat.

1. Penghulu a. Syarat penghulu:

1) Beragama Islam; 2) Berumur sekurang-kurangnya 25 tahun, atau sudah

pemah kawin; 3) Menguasai hukum munakahat (hukum perkawinan

Islam); 4) Mengerti peraturan perundang-undangan tentang

perkawinan; 5) Tidak buta huruf.

b. Penunjukan, pemberhentian, serta penetapan kedudukan dan wilayah. 1) Penunjukan dan pemberhentian penghulu serta

penetapan kedudukan dan wilayah penghulu dilakukan oleh Kepala Perwakilan RI setempat atas persetujuan atau kuasa Menteri Agama.

2) Jabatan penghulu dapat dirangkap dengan jabaari lain pada Perwakilan RI selama pejabat tersebut memenuhi syarat sebagai penghulu.

b. Tugas dan tanggung jawab mengumumkan kehendak nikah. 1) Penghulu melaksanakan pengawasan nikah dan

menerima pemberitahuan rujuk 2) Penghulu bertanggung jawab atas keabsahan

nikahh dan rujuk menurut syariat Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pegawai Pencatat a. Pegawai Pencatat adalah pejabat yang membidangi

mesalah kekonsuleran Perwakiian RI di luar negeri. b. Pengangkatan Pegawai Pencatat adalah menurut

ketentuan yang berlaku di Perwakilan RI setempat. c. Tugas dan tanggung jawab Pegawai Pencatat.

1) Mencatat nikah dan rujuk yang dilakukan di bawah pengawasan penghulu atau tidak di bawah pengawasan penghulu tetapi telah ada isbar Pengadilan Agama.

2) Mencatat talak berdasar Surat Keterangan Tentang

Page 661: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

648

Terjadinya Talak (SKT3) dari Pengadilan 3) Mencatat cerai setelah menerima putusan cerai

yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dari Pengadilan Agama.

4) Memberikan Kutipan Akta Nikah, Kutipan Buku Pendaftaran Talak, Kutipan Buku Pendaftaran Cerai dan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk kepada rnasing-masing yang bersangkutan.1

5) Bertanggung jawab atas kepastian/kebenaran pencatatan NTCR tersebut.2

1 Tugas Pengadilan Agama dalam parkara perkawinan dan perceraian antara lain memerlksa dan menyelesaikan:

1. Izin beristri iebih dari seorang; 2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum

berusia (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaaan pendapat;

3. Dispensesi kawin; 4. Pencegahan perkawinan; 5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah; 6. Pembatalan kelalaian atas kewajiban suami istri; 7. Perceraian karena talak; 8. Gugatan perceraian; 9. Penyelesaian harta bersama; 10. Penguasaan anak-anak;

11. 2 Memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak;

12. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;

13. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak; 14. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16. Pencabutan kekuasaan wali; 17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadiian dalam

hal kekuasaan seorang wali dicabut; 18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum

cukup umur 18 tahun (delapan bolas) tahun yang ditinggal kedua orang tuannya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuannya;

Page 662: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

649

B. PEJABAT PELAKSANA TIDAK LANGSUNG

Pejabat pelaksana tidak langsung ialah mereka yang secara tidak langsung berperan dalam pelaksanaan nikah dan rujuk.

Mereka terdiri dari pamong desa, camat, dan pejabat yang berwenang.

1. Pamong Desa

a. Tugas pamong desa adalah memberikan Surat keterangan: a) Surat keterangan asal usul; b) Surat keterangan mengenai orang tua; c) Surat keterangan untuk kawin; d) Surat keterangan kematian suami/istri; e) Surat keterangan tidak mampu; f) Surat keterangan untuk talak/cerai/rujuk;

b. Pamong desa bertanggung jawab atas kebenaran

19. Pembebanan kewajlban ganti kerugian terhadap wali yang

telah menyebabkan kerugian alas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;

20. Penetapan asal usul seorang anak; 21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk

melakukan perkawinan campuran; 22. Pengesahan isbath nikah dalam rangka:

a. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang No. 1/1974;

b. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;

c. Hilangnya Akta Perkawinan; d. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu

syarat perkawinan; e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak

mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1/1974.

23. Adhalnya wali Pengadilan Agama bedanggung jawab alas kebenaran penetapan dan keadaan keputusannya.

Page 663: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

650

keterangan yang dibuatnya, terutama tentang status perawan, jejaka, janda, duda, kematian, umur, dan hubungan keluarga yang sangat diperlukan dalam mendukung kebenaran dan keabsahan pelaksanaan nikah, talak, cerai, dan rujuk.

2. Camat

a. Tugas camat dalam hal ini adalah memberikan dispensas bagi pemikahan yang akan dilangsungkan kurang dari 1 hari kerja sejak pengumuman.

b. Bertanggung jawab atas kebenaran dispensasi yang diberikan.

3. Pejabat yang berwenang

a. Komandan yang ditunjuk untuk memberi izin kawin, talak, dan cerai bagi anggota ABRI.

b. Pejabat yang ditunjuk untuk memberi izin kawin atau cerai bagi pejabat diplomatik/konsuler tertentu yang akan kawin dengan bangsa lain.

c. Pejabat yang ditunjuk untuk memberi izin kawin atau cerai bagi pegawai negeri sipil.

BAB IV

TATA CARA PERKAWINAN

A. PERSYARATAN Seorang yang akan melaksanakan perkawinan atau nikah

harus memberitahukan kehendak nikah tersebut secara lisan atau tertulis kepada Pegawai Pencatat atau kepada Penghulu. Pemberitahuan tersebut dilakukan oleh calon mempelai, orang tua, wakilnya dengan membawa Surat-Surat yang diperlukan, yaitu:

1. Surat persetujuan kedua calon mempelai. 2. Copy akta kelahiran atau Surat kenal lahir calon

Page 664: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

651

mempelai. 3. Surat keterangan mengenai orang tua dari Pamong Desa. 4. Surat keterangan untuk kawin dari Pamong Desa. 5. Surat izin kawin (bagi calon mempelai anggota ABRI atau

pejabat tertentu yang kepadanya ditentukan agar minta izin lebih dahulu dan pejabat yang berweneng memberikan izin).

6. Surat kutipan buku pendaftaran talak/cerai (jika calon mempelai seorang janda/duda).

7. Surat keterangan kematian suami istri yang dibuat oleh pejabat yang berwenang yang mewilayahi tempat tinggal atau tempat kematian suami/istri (jika calon mempelai seorang janda/duda karena kematian suami/istri).

8. Surat izin dan dispensasi (bagi calon mempelai yang belum mencapai umur menurut ketentuan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 6 ayat (2) sampai dengan (6) dan pasal 7ayat (2)).

9. Surat dispensai dari Perwakilan RI (bagi perkawinan yang akan dilangsungkan kurang dan 10 hari kerja sejak pengumuman).

10. Surat izin poligami dari Pengadilan Agama di Indonesia (bagi calon suami yang hendak heristri lebih dan seorang).

11. Surat keterangan tidak mampu dari Pamong Desa (bagi yang tidak mampu).

B. PROSEDUR

Setelah seorang melakukan kehendak nikah maka pejabat yang berwenang harus melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Pemeriksaaan Nikah Pemeriksaan dilakukan terhadap calon suami, calon istri

dan wali nikah secara bersama-sama, tetapi tidak ada halanganya jika pemeriksaan itu dilakukan sendiri-sendiri. Bahkan dalam keadaan yang meragukan perlu dilakukan pemeriksaan sendiri-sendiri. Pemeriksaan dianggap selesai apabila ketiga pihak selesai diperiksa secara benar.

Apabila pemeriksaan calon suami istri dan wali nikah terpaksa dilakukan pada hari yang berlainan, maka kecuali pemeriksaan pada hari pertama, di bawah kolom tanda tengan

Page 665: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

652

yang diperiksa ditulis tanggal hari pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut:

a. Pemeriksaan ditulis dalam daftar pemeriksaan (model NB) rangkap dua.

b. Masing-masing calon suami, calon istri dan wali nikah membubuhkan tanda tangan pada kolom yang telah disediakan. Pengisian dalam daftar pemeriksaan nikah dilakukan oleh Pegawai Pencatat.

c. Hasil pengisian Daftar Pemeriksaan Nikah dibaca, jika perlu diterjemahkan dalam Bahasa yang dimengerti oleh calon mempelai.

d. Kedua lembar model NB di atas ditandatangani oleh yang diperiksa dan yang memeriksa.

e. Hasil pemeriksaan tersebut dimasukkan dalam buku khusus yang diberi kolom-kolom seperti berikut:

No. Urut

Tanggal Nama Calon

Hart/Tgl. Ketentuan

Akad Nikah

Nomor Ketentuan

Akad Nikah

Keterangan

Suami Isteri

1 2 3 4 5 6 7

f. Pada ujung model NB sebelah kiri atas diberi nomor

yang sama dengan nomor buku khusus, dan nomor

kode urutan yang bersangkutan.

g. Surat-Surat yang diperlukan dikumpulkan menjadi satu

dengan model NB dan disimpan dalam sebuah map

bersama-sama dalam buku khusus.

Page 666: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

653

2. Pengumuman Kehendak Nikah

Kehendak nikah diumumkan oleh Penghulu atas pemberitahuan yang diterimanya setelah segala persyaratan/ ketentuan dipenuhi, dengan menempelkan Surat pengumuman (model NC). Pengumuman dipasang di:

a. Kantor Perwakilan Republik Indonesia yang mewilayahi tempat akan dilangsungkan pemikahan.

b. Kantor Perwakilan Republik Indonesia yang mewilayahi tempat tinggal masing-masing calon mempelai. Penghulu boleh meluluskan untuk dilangsungkan akad nikah sesudah lampau sepuluh hari kerja sejak pengumuman, kecuali aturan dalam pasal 3 (3) PP Nomor 9 Tahun 1975. Dalam waktu sepuluh hari itu calon suami istri seyogyanya mendapat nasihat perkawinan dari orang-orang yang mampu memberi nasihat atau organisasi yang khusus untuk itu.

3. Penolakan Kehendak Nikah Apabila dalam pemeriksaan nikah temyata tidak memenuhi

persyaratan balk menurut hukum syara' (hukum munakah) maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka penghulu harus menolak pelaksanaan pemikahan dengan cara memberikan Surat penolakan kepada yang bersangkutan serta alasan-alasan penolakannya menurut contoh model P3. Satelah menerima penolakan, yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan terhadap penolakan itu kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

Pengadilan Agama memeriksa perkara penolakan dengan Cara singkat (sumir) dan memberikan ketetapan yang menguatkan penolakan atau memerintahkan agar pemikahan dilangsungkan. Apabila Pengadilan Agama dalam ketetapannya memerintahkan agar pernikahan dilangsungkan, maka penghulu harus melangsungkan pernikahan dimaksud.

4. Pencegahan Pernikahan Pemikahan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak

memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pemikahan Pihak-pihak yang dapat mengajukan pencegahan pemikahan adalah:

Page 667: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

654

a. Para keluarga dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah.

b. Saudara dari salah seorang calon mempelai. c. Wali nikah. d. Wali. e. Pengampu (kuratele) dari salah seorang calon

mempelai. f. Pihak-pihak yang berkepentingan.

Pencegahan pemikahan diajukan ke Pengadilan Agama di

Indonesia dalam hal ini Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Mereka yang melakukan pencegahan perkawinan harus memberitahukan kepada penghulu yang bersangkutan untuk disampaikan kepada masing-masing calon mempelai. Setelah mengetahui adanya usaha pencegahan perkawinan, penghulu tidak boleh melangsungkan pemikahan sampai ditarik kembali oleh yang mencegah.

5. Akad Nikah a. Akad nikah dilangsungkan di bawah pengawasan/di

hadapan penghulu. b. Tata cara dan upacara akad nikah dilaksanakan sesuai

dengan juklak yang tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D.II/2/Ed/Pw.002/03/ 89 tanggal 6 Maret 1989.

c. Setelah akad nikah dilangsungkan, maka nikah itu dicatat dalam halaman 4 Daftar Pemeriksaan Nikah (model NB). Kemudian dibaca dihadapan suami, istri, wali nikah dan saksi-saksi, selanjutnya ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan (rangkap dua).

6. Pencatatan Nikah Pencatatan nikah hanya dapat dilakukan apabila sah

menurut hukum agama Islam (syara') dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dibuktikan dengan:

a. Pengawasan penghulu, atau b. Isbat Pengadilan Agama.

Jika pencatatan nikah dilakukan oleh Pegawai. Pencatat pada Perwakilan RI, maka:

a. Pegawai Pencatat mencatat nikah dalam akta nikah (model NB) rangkap dua.

b. Akta Nikah dibaca bila perlu diterjemahkan ke dalam

Page 668: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

655

bahasa yang dimengerti oleh mereka di hadapan yang berkepentingan dan saksi-saksi, kemudian ditandatangani oleh suami istri, wali nikah, saksi-saksi dan Pegawai Pencatat.

c. Pegawai Pencatat membuat Kutip an Akta Nikah rangkap dua dengan kode dan nomor yang sama.

d. Kutipan. Akta Nikah diberikan kepada suami dan kepada istri.

e. Nomor di tengah pada Daftar Pemeriksaan Nikah diberi nomor yang sama dengan nomor Akta Nikah.

f. Pegawai Pencatat berkewajiban menglrim lembar kedua Akta Nikah yang telah diselesaikan kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

g. Jika mempelai seorang Janda/duda karena talak atau cerai: 1) Kalau talaklcerainya dicatat di tempat itu juga, maka

pada ruang "Catatan lain-lain" Buku Pendaftaran Talak/Cerai yang bersangkutan segera ditulis sebagai berikut: "Suami/istri telah menikah di ............................................ dengan seorang laki-laki/ pada perempuan nama ........................................ pada tanggal Kutipan Akta Nikah ................................. Nomor ............................. Tanda Tangan Pegawai Pencatat .......................................................... Tanggal …….....

2) Jika talak/cerainya dicatat di tempat lain, maka segera diberitahukan kepada kantor yang mencatat talak/cerai dengan menggunakan model NC rangkap dua, lamber kedua dikirim langsung kepada kantor yang bersangkutan. Kantor yang menerima Surat pemberitahuan model NC segera membuat catatan pada ruang "catatan lain-lain" dalam Buku Pendaftaran Talak yang bersangkutan, dan segera mengirim kembali model NC lembar kedua kepada pegawai pencatat di luar negeri. Selanjutnya NC lembar kedua tersebut dikumpulkan bersama daftar pemeriksaan nikah di atas kutipan Buku Pendaftaran Talak/Cerai yang bersangkutan. Jika pencatatan nikah dilakukan oleh catatan sipil

Page 669: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

656

negara setempat karena negara tersebut mewajibkan demikian, maka: a. Pemikahan dilangsungkan di bawah

pengawasan penghulu kemudian dicatatkan ke kantor catatan sipil negara setempat;

b. Tata cara pencatatan di kantor catatan sipil negara setempat sesuai dengan ketentuan peraturan yangberlaku di negara setempat;

c. Perwakilan RI melakukan konsultasi dengan instansi yang berwenang di negara setempat;

d. Bukti perkawinan dart kantor catatan sipil negara setempat didaftarkan kembali dalam buku pendaftaran di Perwakilan RI.

e. Setelah kembali ke Indonesia, dalam waktu paling lambat 1 tahun bukti perkawinan tersebut harus dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan tempat tinggal mereka di Indonesia.

f. Petugas Pencatat Nikah diwajibkan mengirimkan copy dokumen nikah dari yang bersangkutan ke KUA Kecamatan tempat tinggal mempelai perempuan di Indonesia.

7. Pembatalan Pemikahan Pernikahan dapat dibatalkan apabila setelah berlangsung

pernikahan diketahui adanya larangan menurut hukum syara' (hukum munakahat) ataupun peraturan perundang-undangan tentang perkawinan. Pembatalan pemikahan dilakukan oleh Pengadilan Agama Indonesia dalam daerah hukum tempat tinggal anal kedua suami istri atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan pernikahan sesuai Undang-undangNomor 1 Tahun 1974 pasal 23, yaitu:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.

b. Suami atau istri. c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan

belum diputuskan. d. Pejabat yang ditunjuk berdasarkan Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 pasal 16 ayat 2.

Page 670: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

657

Tata Cara mengajukan permohonan pembatalan pemikahan sesuai dengan Cara pengajuan gugatan perceraian.

8. Gugatan Pencabutan Terhadap penolakan kehendak pemikahan, pencegahan

pernikahan, dan pembatalan pernikahan dapat dilakukan gugatan pencabutan. Gugatan pencabutan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Prosedur pencegahan perkawinan, penolakan kehendak nikah, dan pembatalan pernikahan dapat dilihat pada skema berikut:

C. FORMULIR PENCATATAN

1. Formulir pencatatan yang diperlukan dalam pelaksanan pencatatan perkawinan di luar negeri dapat dibagi menjadi:

a. Formulir pokok, yaitu formulir yang secara langsung menjadi tanggung jawab dan diisi oleh Pegawai Pencatat Nikah/ Penghulu.

Formulir tersebut terdiri dari : - Model NB : Daftar Pemeriksaan Nikah - Model N : Akta Nikah

Page 671: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

658

- Model NA : Kutipan Akta Nikah - Model NC : Pengumuman Kehendak Nikah

b. Formulir pelengkap yaitu formulir yang disiapkan sebelum pelaksanaan pemikahan. Sebagian besar formulir tersebut pengisiannya dilakukan oleh Kepala Desa. Bentuk formulir tersebut diatur dalam pasal-pasal Peraturan Menteri Agama No. 311975, yang terdiri dart : - Model Nl : Surat keterangan untuk kawin - Model N6 : Surat Keterangan kematian suami/istri - Model N2 : Surat keterangan asal usul - Model N4 : Surat keterangan tentang orang tua - Model N7 : Surat pemberitahuan kehendak

melangsungkan pemikahan - Model N8 : Surat pemberitahuan kekurangan

persyaratan pemikahan - Model N9 : Surat penolakan melangsungkan

pemikahan.

c. Formulir mutasi :

- Model NC : yaitu formulir untuk memberitahukan adanya perubahan status seseorang kepada Pegawai Pencatat Nikah/ Pengadilan Agama yang sebelumnya telah mencatat talak/ cerainya.

- Model NE : yaitu formulir untuk pemberitahuan poligami kepada Pegawai Pencatat Nikah yang telah mencatat perkawinan sebelumnya.

2. Pengaturannya :

a. Formulir Pokok :

Formulir model NB - dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku

stock. - dijilid dalam satu bundel untuk setiap tahun beserta

Surat-Surat yang berhubungan dengan pemikahan untuk mempermudah penyimpanan dan pengontrolannya.

- penyimpanannya diurutkan sesuai dengan nomor urut Aka Nikah.

- merupakan informasi pertama dan cumber utama dalam soal pemikahan, Karena itu tidak botch ada Surat-Surat

Page 672: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

659

yang tercecer Formulir model N merupakan akta dan dijilid dalam buku @ 50 lembar.

- dberi catatan pada sampulnya, ditandatangani lembar pertama dan terakhir serta diparaf lembar-lembar lainnya oleh Pegawai Pencatat.

- dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku stock

- tersimpan secara tertib dan aman di kantor dan tidak boleh di bawa ke luar kantor.

- dibuat rangkap dua, lembar (buku) pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, lembar (buku) kedua dikirim ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat bila satu buku telah penuh/habis dipergunakan.

Formulir Model NA - dicatat penerimaan dan penggunaannya dalambuku

stock. - dipergunakan secara berurutan sesuai dengan nomornya

untuk mempermudah pengontrolan. - ditulis dengan huruf balok yang rapat dan jelas dengan

menggunakan tinta hitam. - dibuat rangkap dua, untuk masing-masing suami dan

istri. - diserahkan kepada masing-masing suami istri dengan

ekspedisi khusus dengan tanda tangan penerimaan.

Catatan : Ketiga macam formulir (model NB, N dan NA) tidak dibenarkan adanya coretan, hapusan dan sejenisnya. Bila terjadi kesalahan, maka pembetulan dilakukan dengan mencoret kata yang salah, namun yang dicoret harus masih tetap masih dibaca lalu dibubuhi paraf Pegawai Pencatat. Bila terjadi kesalahan yang mengakibatkan formulir tidak dipergunakan lagi, perlu dibuat berita acara.

b. Formulir Pelengkap : - dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku

stock. - diawasi penggunaannya untuk tidak dipergunakan oleh

mereka yang tidak beragama Islam.

Page 673: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

660

c. Formulir Mutasi : - dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku

stock. - segera dilaksanakan pengirimannya bila terjadi

perubahan status.**) - merupakan salah satu sarana pengawasan dalam

ketertiban pencatatan NTCR. **) Perubahan status adalah perubahan dari status Nikah (N) menjadi NIA ('r) atau dari

N menjadi Cerai (C) atau dari T menjadi Rujuk (R) atau dari r sum C menjadi N lagi.

BAB V

TATA CARA PERCERAIAN

A. PERSYARATAN

Persyaratan perceraian/talak adalah: 1. Terdapat salah satu alasan dari alasan-alasan sebagai

berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi

pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat-akibat yang tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus berselisih dan bertengkar dan tidak ada harapan akan hidup rukun

Page 674: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

661

lagi dalam rumah tangga. 2. Dilaksanakan di depan sidang pengadilan.

Perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 39 ayat (1)).

B. PROSEDUR

Prosedur pengajuan dan proses penyelesaian perceraian bagi warga negara Indonesia yang bekerja dan/atau tinggal di luar negeri baik perceraian atas kehendak suami (talak) atau atas gugatan (cerai), dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundan-undangan yang berlaku.

1. Penggugat di dalam negeri dan tergugat di luar negeri a. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan

Agama yang mewilayahi tempat kediaman penggugat. Ketua pengadilan menyampaikan panggilan yang disertai permohonan tersebut kepada tergugat melalui Departemen Luar Negeri untuk diteruskan ke Perwakilan RI setempat. Selanjutnya petugas Perwakilan RI yang ditunjuk melaporkan kepada pengadilan yang bersangkutan;

b. Sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung dan dimasukkannya gugatan perceraian pada kepaniteraan Pengadilan Agama;

c. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian suami istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya;

d. Penunjukan kuasa oleh tergugat yang berada di luar negeri dilakukan dengan Surat kuasa baik kepada perseoran an atau lembaga bantuan hukum;

e. Surat kuasa notarial dari luar negeri yang ditulis dalam asing hanya dapat diterima apabila Surat kuasa itu dilampiri dengan terjemahannya dalam bahasa Indonsia yang dilegalisasi oleh petugas Perwakilan RI yang dituniuk melakukan tugas itu dalam wilayah Surat kuasa itu dibuat;

f. Setiap kali diadakan sidang, penggugat dan tergugat atau kuasa masing-masing akan dipanggil untuk

Page 675: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

662

menghadiri sidang. g. Jika tergugat mendapatkan suatu kesulitan untuk data

memenuhi panggilan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman penggugat, maka pemeriksaan perkara dapat dilakukan oleh Perwakilan RI di luar negeri, berdasarkan Surat dart Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan pemeriksaan dapat dilakukan berdasarkan daftar questioner yang dikirimkan oleh Pengadilan Agama tersebut.

2. Penggugat di luar negeri dantergugat di dalam negeri: a. Gugatan perceraian diajukan oleh penggugat atau

kuasanya kepada Perwakilan RI untuk diteruskan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediamantergugat;

b. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami-istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya;

c. Penunjukan kuasa oleh penggugat yang berada di luar negeri dapat dilakukan dengan Surat kuasa balk kepada perseorangan atau lembaga bantuan hukum;

d. Surat kuasa notarial dart luar negeri yang ditulis dalam bahasa asing hanya dapat diterima apabila Surat kuasa itu dilampiri dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang dilegalisasi oleh petugas Perwakilan RI yang ditunjuk melakukan tugas itu dalam wilayah Surat kuasa itu dibuat;

e. Jika penggugat mendapatkan suatu kesulitan untuk datang memenuhi panggilan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman tergugat, maka pemeriksaan perkara dapat dilakukan oleh Perwakilan RI di luar negeri, berdasarkan Surat dart Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan pemeriksaan dapat dilakukan berdasarkan daftar questioner yang dikirimkan oleh Pengadilan Agama tersebut.

3. Penggugat dan tergugat berada di luar negeri yang perkawinannya dilakukan di Indonesia: a. Perceraian dilakukan di Pengadilan Agama yang

daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat;

b. Penggugat dan tergugat atau pemohon dan termohon

Page 676: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

663

masing-masing dapat menghadap langsung untuk menghadiri sidang Pengadilan Agama atau kuasanya;

c. Penunjukan kuasa dilakukan dengan Surat kuasa baik kepada perseorangan atau lembaga bantuan hukum.

d. Jika penggugat dan tergugat berada di luar negeri mendapatkan suatu kesulitan untuk menyelesaikan perkara di Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman tergugat, maka pemeriksaan perkara dapat dilakukan (di Perwakilan RI di luar negeri, berdasarkan Surat perminan dari Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan pemerikan dapat dilakukan berdasarkan daftar questioner ‘yr-Ig dikirimkan oleh Pengadilan Agama tersebut.

4. Proses Perceraian: a. Pengadilan Agama yang menerima permohonan

gugatan perceraian melaksanakan sebagaimana tercantum dalam BAB X Peraturan Menteri Agama No 3 Tahun 1975 dengan ketentuan bahwa yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat Nikah dalam pasal 28 ayat 6) dan pasal 31 ayat (3) adalah Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat terjadinya talak atau cerai.

b. Suami istri dengan membawa Surat Keterangan Tentang Terjadinya Talak (SKT3) atau putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan datang ke Pegawai Pencatat Nikah (P1J) yang mewilayahi tempat terjadinya talak atau cerai.

BAB VI

TATA CARA RUJUK

A. PERSYARATAN DAN PROSEDUR 1. Pria yang akan merujuk harus datang bersama wanita yang

akan dirujuk ke penghulu yang mewilayahi tempat tinggalnya engan membawa:

Page 677: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

664

a. Surat keterangan untuk merujuk dari Parnong Desa (model Tra).

b. Kutipan Buku Pendaftaran Talak (model 82) 2. Harus dilakukan pemeriksaan rujuk, yaitu:

a. Apakah swami yang akan merujuk memenuhi syarat rujuk.

b. Apakah rujuk yang dilakukan masih dalam iddah talak raj 'i.

c. Apakah Wanda yang akan dirujuk bekas istri pria yang akan merujuk.

d. Apakah ada persetujuan dari wanita yang akan dirujuk. 3. Mengucapkan ikrar rujuk.

Setelah pemeriksaan dan temyata tidak ada halangan dan nip nenuhi syarat, pria yang merujuk mengikrarkanrujuk di IaLapan wanita yang dirujuk, saksi-saksi dan penghulu yang

B. PENCATATAN

Pencatatan rujuk diatur sebagai berikut:

1. Penghulu mencatat rujuk dalam Buku Pendaftaran Rujuk kemudian membacanya, jika perlu diterjemahkan dalam bahasa yang dimengerti oleh yang bersangkutan di hadapan yang merujuk dan yang dirujuk sorta saksi-saksi, dan selanjutnya ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

2. Dibuat kutipan Buku Pendafataran Rujuk rangkap dua dengan nomor dan kode yang lama.

3. Kutipan diberikan kepada swami dan kepada istri. 4. Penghulu membuat Surat keterangan tentang terjadinya

rujuk, dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama yang mengeluarkan Surat keterangan tentang terjadinya talak/cerai yang bersangkutan.

5. Suami istri dengan membawa kutipan Buku Pendaftaran Rujuk (model RA) datang ke Pengadilan Agama tempat terjadinya talak untuk mendapatkan kembali Kutipan Akta Nikah masing-masing.

6. Pengadilan Agama memberikan Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan dengan menyimpan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk, setelah terlebih dahulu memberikan catatan pada ruang yang tersedia pada Kutipan Akta Nikah

Page 678: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

665

tersebut. 7. Kalau talak yang dicatat itu juga, maka pada ruang "catatan

lain-lain" Buku Pendaftaran Talak ditulis sebagai berikut:

"Telah dirujuk di ............................... pada tanggal ........................... Kutipan Buku PendaRaran Rujuk No. ................................... Tahun ...................................

Tanda tangan Pegawai Pencatat

..................................................

tanggal

..................................................

8. Kalau talaknya dicatat di tempat lain, segera diberitahukan rujuk ini kepada kantor yang bersangkutan dengan menggunakan model Rc rangkap dua, keduanya dikirimkan ke kantor yang bersangkutan.

9. Penghulu yang menerima model Rc mencatatnya pada Buku Pendaftaran Talak dan mengirimkan kembali lembar kedua model Rc ke Pengadilan Agama.

10. Setelah lembar kedua model Rc diterima kembali oleh Pengadilan Agama lalu dikumpulkan dengan kutipan Buku Pendaftaran Talak yang bersangkutan.

11. Model Tra dan lain-lain Surat yang diperlukan serta model Rc lembar kedua yang telah diterima kembali dikumpulkan menjadi satu dengan kutipan Buku PendaftaranTalak. Model Rc diletakkan di atas kutipan Buku Pendaftaran Talak, sedangkan model Tra diletakkan paling atas diberi nomor yang lama dengan nomor pendaftarannya.

12. Surat-surat di atas disimpan dengan baik dan dipelihara sesuai dengan nomor urut Buku Pendaftaran Rujuk.

13. Kalau Surat-Surat pemberitahuan tentang rujuk tersebut telah "Surat keterangan tentang Rujuk tahun ......................... Nomor sampai dengan nomor.............

Jika Pegawai Pencatat yang diberi wewenang mencatatnya maka :

Page 679: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

666

1. Penghulu mencatat rujuk itu dalam model Dilembaran rangkap dua, kemudian membacanya, jika perlu diterjemahkan dalam bahasa yang dimengerti oleh dan di hadapan yang merujuk dan yang dirujuk serta saksi-saksi.

2. Kedua lembar itu ditandatangani oleh yang bersangkutan, maksisaksi dan Penghulu yang mengawasinya.

3. Surat-Surat yang diperlukan sebagaimana tersebut dikumpulkan menjadi satu dengan model "DI lembaran" disimpan dalam sebuah map bersama-sama dengan buku di atas.

4. Selambat-lambatnya 15 hari sejak rujuk diikrarkan mocH."131 yang dilampiri Surat-Surat yang diperlukan" dan bianya disampaikan kepada Pegawai Pencatat.

5. Pegawai Pencatat yang menerima model D1 lembar dari Penghulu memeriksa dengan teliti, dan mencatat rujuk te:Hebt dalam Buku Pendaftaran Rujuk.

6. Pihak suami dan dan istri dibuatkan kutipan Buku Pencatatan Rujuk dengan nomor dan kode yang sama, untuk disampaikan kepadanya.

C. FORMULIR PENCATATAN 1. Formulir pencatatan yang diperlukan dalam pelaksanaan

pencatatan rujuk di luar negeri dibagi 3 macam: a. Formulir pokok, yaitu formulir yang secara menjadi

tanggung jawab dan diisi oleh Pegawai Pe calm Nikah/Penghulu, yaitu: - model D1 : Buku Pendaftaran Rujuk - model D2 : Kutipan Buku Pendaftaran/rujuk

b. Formulir pelengkap, yeitu formulir model Tra yang merupakan kelengkapan dari pelaksanaan rujuk, disipktm sebelum pelaksanaan rujuk.

c. Formulir mutasi, yaitu formulir model Rc yang dipergunakan untuk memberitahukan perubahan seseorang kepada Pegawai Pencatat yang sebenarnya telah mencatat talaknya.

Pengaturannya:

a. Formulir model R: - berbentuk buku dan dijilid berisi 25 lamber. - diberi catatan pada sampulnya, ditandatangani

Page 680: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

667

lembai pertama dan terakhir Berta digarap lembar-lembal lainnya oleh Pegawai Pencatat.

- dicatat penerimaan dan penggunaannya deismbait stock disimpan secara tertib dan aman di kantor dan tidak boleh dibawa ke luar kantor.

b. Formulir model RA: - dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam

buku stock - dipergunakan secara berurutan sesuai dengan

seri nomomya untuk mempermudah pengontrolan, ditulis dengan huruf balok yang bagus dan jelas menggunakan tinta hitam.

- dibuat rangkap dua untuk masing-masing suami istri.

- diserahkan kepada masing-masing swami istri dengan mempergunakan ekspedisi khusus dengan tanda tangan penerimaan.

Catatan: Formulir (model R dan RA) tidak dibenarkan adanya kesalahan seperti coretan, hapusan dan sejenisnya. Bila terjadi kesalahan, maka pembetulan dilakukan dengan mencoret kata yang salah namun yang dicoret harus masih dapat dibaca, kemudian dibubuhi tandatangan Pegawai Pencatat Nikah. Bila terjadi kesalahan yang menyebabkan formulir tidak dipergunakan lagi, perlu dibuat Berita Acara.

BAB VII

PENUTUP

Segala sesuatu yang belum diatur dalam petunjuk pelaksanaan ini akan diatur kemudian. Diharapkan petunjuk pelaksanaan ini dapat dijadikan pedoman bagi pejabat/petugas di bidang perkawinan khususnya para penghulu pada Perwakilan RI di luar negeri.

Page 681: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

668

Semoga Allah SWT selalu memberikan taufik dan hidayahNya sehingga setiap perkawinan bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam di luar negeri dapat dilaksanakan sesuai dengan undang-undang Perkawinan sorta tidak bertentangan dengan syara' agama Islam.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal :____________

Direktur Jenderal Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Protokol dan Konsuler Dan Urusan Haji MUBAROK RAHMAT RANU WIDJAJA

Page 682: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

669

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM

NOMOR DJ.II/1142 TAHUN 2013

TENTANG

PETUNJUK TEKNIS PENGISIAN DAN PENULISAN BLANGKO NIKAH

DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan Kantor Urusan Agama (KUA) kepada masyarakat di bidang nikah rujuk dan tertib administrasi pengisian dan penulisan blangko nikah oleh pegawai pencatat nikah (penghulu), dipandang perlu menetapkan petunjuk teknis pengisian dan penulisan blangko nikah;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tentang Petunjuk Teknis Pengisian dan Penulisan Blangko Nikah.

Mengingat : 1. Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan

Nikah, Talak dan Rujuk (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1946 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 694);

2. Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019);

3. Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

Page 683: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

670

4. Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

5. Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Agama;

6. Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara Berta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;

7. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah;

8. Peraturan Menteri Agama Nomor 117 Tahun 2007 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Masyarakat di Lingkungan Departemen Agama;

9. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama;

10. Peraturan Menteri Agama Nomor 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan;

11. Keputusan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kementerian Agama;

12. Keputusan Menteri Agama Nomor 99 Tahun 2013 tentang Penetapan Blangko Daftar Pemeriksaan Nikah, Akta Nikah, Buku Nikah, Duplikat Buku Nikah, Buku Pencatatan Rujuk, dan Kutipan Buku Pencatatan Rujuk.

Page 684: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

671

Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGISIAN DAN PENULISAN BLANGKO NIKAH

KESATU : Menetapkan Petunjuk Teknis Pengisian dan Penulisan Blangko Nikah sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini.

KEDUA : Petunjuk Teknis sebagaimana dimaksud dalam diktum KESATU merupakan panduan bagi pegawai pencatat nikah (penghulu) dalam melaksanakan pengisian dan penulisan blangko nikah di Kantor Urusan Agama (KUA).

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Nopember 2013 DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM,

Prof. Dr. H. Abdul Jamil, MA NIP. 19704141982031003

Page 685: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

672

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM NOMOR DJ.II/ 1142 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGISIAN DAN PENULISAN BLANGKO NIKAH

BAB I PENDAHULUAN

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 menyatakan: 1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya itu. 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Disini jelas bahwa titik berat sahnya suatu perkawinan adalah pada sahnya perkawinan itu menurut ketentuan hukum Agama. Disamping itu ketentuan administrasi mengharusan perkawinan yang sah dicatat. Setiap Warga Negara Indonesia yang beragama Islam

pernikahannya dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah, pejabat tersebut berkewajiban mengawasi dan menyaksikan serta melakukan perncatatan. Pencatatan ini sangat penting untuk mendapatkan kepastian hukum bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan ketentuan pasal 32 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang pencatatan nikah, telah ditetapkan Keputusan Menteri Agama Nomor 99 Tahun 2013 tentang Penetapan blangko daftar pemeriksaan nikah, akta nikah, buku nikah dan duplikat buku nikah.

Dalam suatu pencatatan, sekecil apapun kesalahan hendaknya dapat dihindari, khususnya akta nikah dan kutipan akta nikah. Apabila terjadi kesalahan dalam pencatatan akta, akan menimbulkan dampak antara lain otentitas data dipertanyaan sehingga kebenaran data diragukan. Untuk menjaga hal-hal tersebut diatas, maka disusunlah tata cara pengisian blangko ini, untuk dapat dipedomani khususnya oleh para pelaksana administrasi, penghulu, dan pejabat terkait.

Page 686: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

673

Perlu kutipan beberapa pasal dari Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah antara lain:

Penjelasan PMA 11 Tahun 2007 a. Pasal 33 (2) Pengisian blangko-blangko yang digunakan dalam

pendaftaran pemeriksaan dan pencatatan peristiwa nikah, cerai/talak dan rujuk ditulis dengan huruf balok, dan menggunakan tinta hitam;

(3) Penulisan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menggunakan mesin ketik atau computer.

b. Pasal 34 (1) Perbaikan penulisan dilakukan dengan mencoret kata yang

salah dengan tidak menghilangkan tulisan salah tersebut, kemudian menulis kembali perbaikannya dengan dibubuhi paraf oleh PPN dan diberi stempel KUA;

(2) Perubahan yang menyangkut biodata suami, istri ataupun wali harus berdasarkan kepada Keputusan Pengadilan pada wilayah yang bersangkutan.

Dari Pasal ini diharapkan agar penulisan baru dilakukan setelah diteliti dengan cermat, sehingga terhindar dari kesalahan. Apabila ada kesalahan jangan sekali-kali kesalahan itu ditutup dengan tipp ex misalnya, tetapi harus dicoret dua garis pada bagian yang salah dan bagian yang salah itu harus tetap dapat dibaca, lalu ditulis pembetulannya pada bagian kertas yang masih tersedia, kemudian Penghulu memberrian paraf pada tiap bagian yang dibetulkan tersebut.

BAB II

TATA CARA PENGISIAN FORMULIR 1. Daftar Pemeriksanaan Nikah (Model NB) a. Di bawah tulisan daftar pemeriksaan nikah ada nomor

yang harus diisi yaitu nomor dari daftar pemeriksaan nikah. Penulisan nomor tersebut ditulis secara urut, yaitu nomor urut pemeriksaan dalam tahun yang bersangkutan, kode desa/kelurahan tempat tinggal calon mempelai wanita/tempat dilangsungkan akad nikah, bulan dilaksanakan pemeriksaan, dan tahun

Page 687: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

674

pemeriksaan. Contoh Nomor : 417/1/ 2013 Penjelasan : 417 adalah nomor urut pemeriksaan tahun itu; 1 adalah kode desa/kelurahan; 2013 adalah tahun pemeriksaan ; ditulis lengkap dan tidak disingkat.

b. Hari, tanggal, bulan dan tahun pemeriksaan serta kecamatan dan Kabupaten/Kota, penulisannya adalah dengan menggunakan huruf, contoh hari senin tanggal lima belas bulan januari tahun dua ribu tiga belas bertempat di KUA Kecamatan ................ Kabupaten/Kota …………................ Provinsi ...........................

c. Kolom hari, tanggal, dan waktu pelaksanaan akad nikah, penulisannya dengan menggunakan angka seperti petunjuk pada huruf a. Sedangkan tempat dengan menggunakan huruf.

Contoh : Selasa 1 Agustus 2013 M 09.00 Jalan Melati Putih nomor 2 G Kelurahan Kemanggisan

Jakarta Barat d. Kolom CALON SUAMI

1) Butir 1 Nama ditulis lengkap tidak disingkat, sesuai dengan surat-sSurat keterangan dari kepala

desa/lurah dan dicocokkan dengan akta kelahiran atau KTP. Ditulis mulai pada awal titik dan sesudah huruf terakhir nama, dibuat garis lurus sampai akhir titik.

Contoh : Muhammad alias Mamad ……………….

Bagi yang ada perubahan nama, harus dilengkapi dengan nama aslinya.

Contoh : Ahmad Khair alias Wijanarko …………….

Poin 2, 3, 4, 6 dan 8 (tempat dan tanggal lahir, NIK, kewarganegaraan, agama, pekerjaan dan alamat tempat tinggal) diisi sesuai dengan keterangan dari

kepala desa/lurah.

2) Butir 5 (agama) diisi sesuai dengan keterangan dari Kepala Desa/Kelurahan dan atau Surat

Page 688: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

675

keterangan/pernyataan dari lembaga pemerintah atau keagamaan;

3) Butir 7 (pendidikan terakhir) diisi sesuai dengan

keterangan yang bersangkutan.

4) Butir 9 (orang tua/ayah kandung) Nama ditulis lengkap tidak disingkat, sesuai dengan Surat-Surat keterangan dari kepala desa/lurah dan dicocokkan dengan KTP. Ditulis mulai pada awal titik dan

sesudah huruf terakhir nama, dibuat garis lurus sampai akhir titik.

Contoh : Mamad alias Mahmud………………….

H uruf a, b, c, d, e, f, dan g (tempat dan tanggal lahir, NIK, kewarganegaraan, agama, pekerjaan dan alamat tempat tinggal) diisi sesuai dengan

keterangan dari kepala desa/lurah.

5) Butir 10 (orang tua/ibu kandung) Nama ditulis lengkap tidak disingkat, sesuai dengan Surat-Surat keterangan dari kepala desa/lurah dan dicocokkan dengan KTP. Ditulis mulai pada awal titiK dan

sesudah huruf terakhir nama, dibuat garis lurus sampai akhir titik.

Contoh : Solehah ……………………………………

Huruf a, b, c, d, e, f, dan g (tempat dan tanggal lahir, NIK, Kewarganegaraan, agama, pekerjaan dan alamat tempat tinggal) diisi sesuai dengan

keterangan dari kepala desa/lurah.

6) Butir 11 (status perkawinan) apabila keterangan dari kepala desa/lurah status yang bersangkutan perjaka maka dilampirkan Surat pernyataan bermaterai 6000, selanjutnya kolom duda dan

kolom beristri di garis silang.

Jika berstatus duda, maka dituliskan nama, tempat tinggal bekas istri dan bukti perceraian berdasarkan Surat putusan Pengadilan Agama/Surat Kematian, nomor dan tanggal untuk bekas istri ke I, II, dan III.

Page 689: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

676

Jika duda lebih dari tiga Kali maka bekas istri ke IV dan seterusnya ditulis dalam lembar terpisah.

7) Butir 12 (jika beristri) maKa dituliskan nama istri,

Nomor Akta nikah, dan tanggal akta nikah baik untuk istri I, II, dan III, serta menuliskan Surat izin Pengadilan Agama Kabupaten/Kota, nomor dan tanggal. Untuk istri ke III dan IV ditulis pada lembar

terpisah. Jika memiliki istri yang keempat maka datanya ditulis dalam lembar terpisah.

8) Butir 13, diisi dengan melingkari poin I, II, III, dan IV sesuai dengan jumlah istri.

9) Butir 14, hubungan nasab, radla'ah atau mushaharah (semenda) antara calon istri dengan :

> Dia sendiri ditulis ADA / TIDAK

> bekas istri I, II, III ditulis ADA / TIDAK dan ISTRI

seterusnya lembar sendiri ditulis ADA / TIDAK

> istri/istri-istri ke I, II, III, ditulis ADA / TIDAK dan istri Ke IV pada lembar tersendiri ditulis ADA / TIDAK.

10) Butir 15, persetujuan istri/istri-istri dicoret salah satu ada atau tidak ada dengan satu garis dan dibuat

tanggal persetujuan atau tidak.

11) Butir 16 jiKa calon suami anggota TNI atau Kepolisian diisi selengkapnya berdasarkan Surat izin pejabat yang berwenang dan jiKa bukan anggota TNI atau kepolisian kolom ditutup dengan

garis silang.

12) Butir 17, Jika yang bersangkutan WNA (calon suami WNA) diisi selengkapnya nama kedutaan yang memberi izin, nomor dan tanggal Surat dan jika bukan perkawinan campuran maka Kolom ini

ditutup dengan garis silang.

13) Butir 18, jika calon suami belum mencapai umur 19 tahun diisi selengkapnya berdasarkan izin Pengadilan Agama Kabupaten/Kota, nomor dan

Page 690: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

677

tanggal Surat izin. Apabila umurnya sudah lebih dari 19 tahun maka kolom ini ditutup dengan garis

silang.

14) Butir 19, jika calon suami belum mencapai umur 21 tahun. Apabila izin diberikan oleh orang tua, kolom a diisi nama orang tua kolom b, digaris memanjang, kolom c diisi tanggal Surat. Apabila izin diberikan

oleh selain orang tua, kolom a diisi nama atau Pengadilan Agama yang memberi izin, kolom b hubungan keluarga, dan kolom c, diisi nomor dan atau tanggal Surat. Apabila sudah mencapai umur

21 tahun, kolom ini ditutup dengan garis silang. e. Kolom CALON ISTRI

Cara pengisian kolom calon istri sama dengan Cara pengisian kolom calon suami yaitu berdasarkan Surat

keterangan dari kepala desa/lurah yang dicocokkan dengan akta kelahiran atau KTP. Dìtulis mulai pada awal titik dan sesudah huruf terakhir nama, dibuat garis lurus sampai akhir titik, seperti :

1) Butir 1, nama, contoh-contoh Ratu Siti Maimunah …………………………………….. Maisarah

alias Elisa -

2) Butir 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 tempat tinggal dan tanggal lahir, Nomor Induk Kependudukan, Kewarganegaraan, agama, pekerjaan, pendidikan terakhir dan alamat tempat tinggal, cukup jelas.

3) Butir 9 (orang tua/ayah kandung) Marna ditulis lengkap tidak disingkat, sesuai dengan Surat-Surat keterangan dari kepala desa/lurah dan dicocokkan dengan KTP. Ditulis mulai pada awal titik dan sesudah huruf terakhir

nama, dibuat garis lurus sampai akhir titik. Contoh : Mamad alias Mahmud …………………………………

Page 691: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

678

Huruf a, b, c, d, e, f, dan g (nama, tempat dan tanggal lahir, NIK, kewarganegaraan, agama, pekerjaan dan alamat tempat tinggal) diisi sesuai dengan keterangan dari kepala desa/lurah.

4) Butir 10 (orang tua/ibu kandung) Marna ditulis lengkap tidak disingkat, sesuai dengan Surat-Surat keterangan dari kepala desa/lurah dan dicocokkan dengan KTP.

Ditulis mulai pada awal titik dan sesudah huruf terakhir nama, dibuat garis lurus sampai akhir titik. Contoh : Solehah …………………………………….

Huruf a, b, c, d, e, f, dan g (nama, tempat dan tanggal lahir, NIK, kewarganegaraan, agama, pekerjaan dan alamat tempat tinggal) diisi sesuai dengan keterangan dari kepala desa/lurah.

5) Butir 11, status sebelum nikah, jika perawan maka semua kolom janda digaris silang. Jika janda, angka 1), 2) dan 3) huruf a) dan b) (nama bekas suami, tempat tinggal beKas suami dan Surat bukti perceraian dari Pengadilan Agama atau Surat Kematian dari kelurahan) diisi sesuai dengan wawancara dan Surat keterangan kepala desa/lurah lengkap berdasarkan akte cerai atau Surat kematian.

6) Butir 12, nama calon suami, cukup jelas. 7) Butir 13, hubungan nasab, cukup jelas. 8) Butir 14, Calon istri anggota TNI/Polri, cuKup jelas. 9) Butir 15, yang bersangkutan WNA, cukup jelas. 10) Butir 16, belum mencapai umur 16 tahun, cukup jelas. 11) Butir 17, belum mencapai umur 21 tahun, cukup jelas.

f. Kolom WALI NIKAH

1) Butir 1 , status wall, diisi nasab atau hakim. 2) Butir 2, hubungan wali/nasab, diisi contoh : ayah atau

kakek 3) Jika walinya bukan ayah, apa sebabnya. Contoh :

Kakek sebab ayah telah meninggal dunia.

Page 692: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

679

4) Jika wali hakim, apa sebabnya. Contoh : hakim sebab beda agama.

5) Butir 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9, bagi wali nasab diisi lengkap. 6) Bagi wali haKim butir 3 ditulis lengKap tidak disingkat

dan sesudah huruf terakhir nama, dibuat garis lurus sampai akhir titik. Sedangkan butir 4 sampai dengan 9 tidak perlu diisi.

g. Kolom WAKIL WALI NIKAH

Kolom ini dibuat garis silang apabila wali nikahnya nasab atau hakim, jika wali nikah berwakil maka butir 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 (nama, tempat dan tanggal lahir, NIK, kerwarganegaraan, agama, pekerjaan, alamat tinggal, tanggal surat kuasa, dan Pejabat KUA yang mengesahkan) diisi berdasarkan data surat taukil atau KTP yang bersangkutan.

h. Kolom MASKAWIN

1) Jenis maskawin berupa apa dan berapa ditulis jelas dan lengkap dengan jumlahnya. Contoh: Kalung emas sepuluh gram dan seperangkat perlengkapan shalat.

2) Tunai atau dihutang, cukup jelas. i. Kolom PERJANJIAN PERKAWINAN Jika ada ditulis ada, dan foto kopinya dilampirkan

selengkapnya dan jika tidak ada perjanjian, ditulis tidak ada.

j. Kolom PPN/Penghulu/Pembantu Penghulu yang

memeriksa, cukup jelas; k. Kolom Tanda tangan Sebelum basil pemeriksaan ditandatangani masing-masing

yang bersangkutan, terlebih dahulu PPN/Penghulu/Pembantu. Penghulu yang memeriksa membaca sekali lagi di depan para pihak apakah pengisian Daftar Pemeriksaan Nikah sudah tidak ada kekurangan. Untuk penandatangan pemeriksaan penghulu adalah pada

Page 693: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

680

kolom PPN. l. Kolom Catatan Digunakan untuk mencatat perubahan status berdasarkan

putusan/ penetapan Pengadilan Agama dan catatan yang dianggap perlu.

2. Akta NiKah (Model N) a. Pada dasarnya pengisian akta nikah, model N.

merupakan pemindahan dari daftar pemeriksaan nikah, Model NB. oleh Karena itu pengisiannya sebagaimana penjelasan pada pengisian formulir daftar pemeriksaan nikah.

b. Nomor Akta Nikah adalah : nomor urut dalam tahun. Nomor urut dalam bulan, bulan pencatatan (dengan angka Romawi) dan tahun pencatatan. Contoh Nomor : 417/17/VIII/ 2013.

Penjelasan : 417 adalah nomor urut pada tahun itu, 15 adalah nomor urut pada bulan itu, VIII adalah bulan Agustus, bulan pencatatan, 2013 adalah tabun pencatatan, ditulis lengkap.

c. Pada halaman 2, penulisan tanggal dan tahun masehi diikuti dengan penulisan tanggal dan tahun hijriyah.

d. Pengisian kolom suami dan kolom istri sama dengan pengisian kolom calon suami dan kolom calon istri pada daftar pemeriksaan nikah (model NB).

e. Pada kolom status perkawinan diisi nama istri terdahulu ditulis nama lengkap dan tempat tinggal serta diisi nomor putusan Pengadilan Agama.

f. Pada data suami nomor 18 dan istri nomor 16, jika belum mencapai umur 19 tahun bagi suami dan kurang 16 tahun bagi istri, izin Pengadilan Negeri yang dimaksud adalah izin Pengadilan Agama Kabupaten/Kota yang bersangkutan (kolom agar diisi dengan Pengadilan Agama).

g. Kolom wali nikah pengisiannya sama dengan daftar pemeriKsaan nikah (model NB).

h. Kolom mas kawin diisi jenis dan jumlahnya, kolom diisi dengan tunai atau hutang.

i. Kolom perjanjian perkawinan bila ada diisi lengkap sesuai fakta Surat perjanjian, jika tidak ada digaris

Page 694: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

681

silang. j. Kolom taklik talak diisi ya atau tidak dimulai pada awal

titik dan sesudah huruf terakhir, digaris lurus sampai akhir titik.

k. Kolom wakil suami diisi lengkap sesuai dengan Surat kuasa, jika suami tidak berwakil, maka kolom wakil suami digaris silang.

l. Kolom saKsi-saksi diisi sesuai dengan Kartu Identitas Penduduk yang bersangkutan.

m. Kolom yang menghadiri akad nikah ditulis nama PPN/Penghulu/P3N yang menghadiri akad nikah dan menyebutkan jabatan PPN/Penghulu/P3N.

n. Kolom tempat akad nikah ditulis lengkap. o. Kolom pencatatan nikah berdasarkan putusan

pengadilan ditulis nama Pengadilan Agama yang mengeluarkan, nomor, serta tanggal Keputusan.

p. Kolom tanda tangan, ditandatangani oleh masing-masing pihak, untuk kolom PPN ditandatangani oleh PPN/Penghulu/P3N yang menghadiri aKad nikah.

q. Setiap AKta NiKah ditandatangani oleh PPN/Kepala KUA di bawah Kolom tanda tangan PPN/Penghulu/P3N.

r. Sebelum dilangsungkan akad nikah, aKta niKah sudah ditulis dan setelah akad nikah masing-masing pihak menandatangani akta tersebut.

s. Jika wali nikah bertaukil bil kitabah maka ditulis pada kolom catatan paling bawah adalah "Wali bertaukil bil kitabah" .

3. Buku Nikah (Model NA)

a. Buku nikah adalah kutipan dari akta nikah, sehingga pengisiannya berdasarkan data dari aKta niKah (model N).

b. Buku nikah yang barn menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

c. Kolom Kecamatan diisi nama kecamatan tempat akad nikah, District diisi Kawasan tempat aKad niKah di luar negeri.

d. Kolom Kabupaten/ Rota, Regency/Municipality diisi nama kabupaten kota yang mewilayahi

Page 695: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

682

kecamatan/kawasan tempat akad nikah dilangsungkan di Indonesia atau di luar negeri.

e. Kolom Provinsi, Province diisi nama provinsi tempat akad nikah dilangsungkan di Indonesia atau di luar negeri.

f. Kolom Perwakilan RI//ndonesian Embassy|consulate general diisi negara tempat akad nikah dilangsungkan di luar negeri. Bila akad nikah dilangsungkan di Indonesia kolom perwakilan RI tidaK diisi.

g. Kolom Foto suami ditempel sebelah Kanan dan foto istri ditempel sebelah Kiri dengan ukuran masing-masing 2 x 3, selanjutnya distempel.

h. Kolom Pasphoto suami/Husband Photograph dan pasphoto istri/Wife Photograph ditempel photo suami dan istri berwarna, dengan latar (back ground) warna biru, distempel dinas KUA atau Perwakilan RI.

i. Kolom Nomor/ Number yaitu nomor akta nikah, Contoh 215/09/HI/2005.

j. Kolom Hari/Day, Tanggal, bulan, tahun/Date,Month,Year masehi dan Bertepatan/Coincides with hijriah diisi data

dilangsungkan akad nikah. Contoh : Selasa

1 Agustus 2013 M 23 Ramadhan l434 H

k. Kolom Narna/Full name, Bin/ Son of, Tempat dan

tanggal lahir/Place and of birth, kewarganegaraan/ Nationality, Agama/Religion, Pekerjaan/ Occupation, Alamat/Address diisi data suami dan data istri Berta data wali persis sama dengan data yang dicatat pada Model N.

l. Kolom Nomor/Number yaitu nomor akta nikah istri dikosongkan saja.

m. Kolom Mas kawin berupa/With the dowry diisi jenis mas kawin dan jumlah yang jelas.

Page 696: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

683

n. Di kolom kutipan akta nikah ditulis nama kota kabupaten/kotamadya/Kota tempat perwakilan RI di Luar Negeri, tanggal, bulan dan tahun penerbitan kutipan, selanjutnya nama terang dan NIP Kepala

KUA/PPN yang menandatanganinya. Contoh :

Malang 1 Agustus 2013

Pegawai Pencatat Nikah Officer of Marriage Registration

(Tanda tangan)

(Stempel)

Drs. H. MADARI

NIP. 197211151998031002

o. Kolom sighat taklik diisi nama suami, apabila Suami mengucapkan/ membaca/menyetujui sekaligus ditandatangani.

p. Buku Nikah harus ditulis bagus dan rapi ditulis dengan tinta hitam huruf balok menggunakan tuns tangan atau dicetak dengan komputer.

q. Lembar Catatan Status Perkawinan diisi dengan catatan putusan pengadilan atau legalisasi pejabat Kementerian Agama pusat.

r. Buku Nikah dibuat rangkap 2 (dua) dengan warna yang berbeda, yang berwama hijau tua untuk istri dan yang berwarna coklat muda untuk suami.

4. Duplikat Kutipan Akta Mikah (Model DM)

a. Pada dasarnya pengisian duplikat kutipan akta nikah (model DN) sama dengan penulisan buku nikah (Model NA), oleh karena itu pengisiannya sebagai penjelasan pada pengisian buku nikah (Model NA);

b. Nomor Duplikat Kutipan Akta Nikah adalah nomor yang tertera pada akta nikah yang menjelaskan :

Page 697: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

684

nomor urut dalam tahun. Nomor urut dalam bulan, bulan pencatatan (dengan angka Romawi) dan tahun pencatatan. Contoh Nomor : 115/07/VIII/ 2013

c. Penjelasan : 115 adalah nomor urut pada tahun itu, 07 adalah nomor urut pada bulan itu, VIII adalah bulan Agustus, bulan pencatatan, 2013 adalah tahun pencatatan, ditulis lengkap. Di kaki kutipan ditulis nama kota kabupaten / kotamadya / Kota Kantor Perwakilan RI di Luar Negeri, tanggal, bulan dan tahun penerbitan duplikat kutipan akta nikah, selanjutnya nama terang dan NIP Kepala KUA/PPN yang menandatanganinya.

Contoh :

Pontianak 1 Agustus 2013 Pegawai Pencatat Nikah

Officer of Marriage Registration

(Tanda tangan)

(Stempel)

Drs. H. ABDUL RASYID

NIP. 197211151998031002

d. Kolom sighah taklik diisi, apabila Suami mengucapkan/membaca/menyetujui.

e. Duplikat Kutipan Akta Nikah harus ditulis bagus dan rapi, ditulis dengan tinta hitam huruf balok. Dapat menggunakan tulis tangan atau menggunakan komputer.

f. Lembar Catatan Status Perkawinan diisi dengan catatan putusan pengadilan atau legalisasi pejabat Kementerian Agama pusat.

g. Duplikat Kutipan Akta Nikah terdapat rangkap 2

Page 698: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

685

(dua) dengan warna berbeda yakni warna hijau tua untuk istri dan coklat muda untuk suami, duplikat ini dikeluarkan berdasarkan permintaan yang berkepentingan.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 19 Nopember 2013

DIREKTORAT JENDERAL

BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM,

Prof. Dr. Abdul Jamil, MA

NIP. 195704141982031003

Page 699: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

686

Page 700: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

687

Page 701: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

688

Page 702: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

689

Page 703: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

690

Page 704: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

691

Page 705: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

692

Page 706: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

693

Page 707: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

694

Page 708: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

695

Page 709: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

696

Page 710: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

697

Page 711: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

698

Page 712: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

699

Page 713: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

700

Page 714: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

701

Page 715: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

702

Page 716: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

703

Page 717: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

704

Page 718: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

705

Page 719: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

706

Page 720: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

707

Page 721: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

708

Page 722: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

709

Page 723: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

710

Page 724: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

711

Page 725: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

712

Page 726: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

713

Page 727: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

714

Page 728: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

715

Page 729: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

716

Jakarta, Juli 2015

Nomor : Dt. II.I/1/HM.01/2075/2015

Lampiran :

Hal : Penetapan Angka Kredit (PAK)

Kepada Yth.

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama

Provinsi se Indonesia

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005

tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka

Kreditnya dan Peraturan Bersama Menteri Agama dan

Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 20 Tahun

2005 dan Nomor 14A Tahun 2005 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka

Kreditnya, kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Mengoptimalkan tugas dan fungsi tim penilai pada

masing-masing jenjang di wilayah Saudara dalam

melakukan pemantauan dan pembinaan kepada

penghulu terkait proses penetapan angka kredit

sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan yang

berlaku.

Page 730: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

717

2. Bagi wilayah yang tidak terdapat Tim Penilai, agar

segera membentuk Tim Penilai Angka Kredit

Penghulu sesuai dengan kewenangan pada masing-

masing jenjang.

3. Tugas Pokok Tim Penilai dalam Penetapan Angka

Kredit Penghulu adalah sebagai berikut:

a. Penghulu Pertama yaitu: Golongan III/a s.d III/c

menjadi tugas pokok Tim Penilai pada Kantor

Kementerian Agama Kabupaten/Kota

b. Penghulu Muda yaitu: Golongan III/c s.d IV/a

menjadi tugas pokok Tim Penilai pada Kantor

Kementerian Agama Provinsi.

c. Penghulu Madya yaitu: Golongan IV/a s.d IV/c

menjadi tugas pokok Tim Penilai pada Direktorat

Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam

Kementerian Agama.

4. Agar Saudara memerintahkan para penghulu yang

sudah memenuhi syarat kenaikan pangkat untuk

segera mengajukan kenaikan pangkat.

5. Dalam rangka pengendalian dan tertib administrasi,

agar Saudara melakukan inventarisasi data penghulu

yang mengajukan usul penetapan angka

kredit/sudah ditetapkan angka kredit sebagaimana

form terlampir dan menyampaikannya kepada Dirjen

Page 731: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

718

Bimbingan Masyarakat Islam paling lambat tanggal

10 September 2015 melalui email

[email protected] atau fax ke nomor

021 3920245.

Demikian, atas perhatian Saudara kami

ucapkan terima kasih.

Wassalam,

An. Direktur Jenderal

Direktur Urusan Agama

Islam dan Pembinaan

Syari’ah

ttd

Dr. H. Muchtar Ali, M.Hum

NIP. 195704081986031002

Tembusan:

Yth. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam

Page 732: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

719

NOMOR – NOMOR TELEPON PENTING

DILINGKUNGAN KEMENTRIAN AGAMA

KANTOR PUSAT KEMENTRIAN AGAMA :

1. Protokol Telp. (021) 3811779 Pes.207

2. Dokterumum Klinik Telp. (021) 3811779 Pes.304

3. Receptionis Telp. (021) 3811779 Pes.356

4. Unit Dharma Wanita Telp. (021) 3811779 Pes.336

5. Satpam ( Jl. Pejambon ) Telp. (021) 3811779 Pes.214

6. Operation Room Telp. (021) 3811779 Pes.382

7. Lapangan Tenis Telp. (021) 3811779 Pes.306

8. Kopda Telp. (021) 3811779 Pes.335

9. Ruangan Komandan Satpam Telp. (021) 3811779 Pes.364

10. Ruangan Sidang Dharma Wanita Telp. (021) 3811779 Pes.379

11. Ruangan Sidang Setjen Telp. (021) 3811779 Pes.385

12. Gedung Sasana Amal Bhakti Lt.1 Telp. (021) 3811779 Pes.303

13. Gedung Sasana Amal Bhakti Lt.2 Telp. (021) 3811779 Pes.307

14. Bank Bni 1946 Telp. (021) 3811779 Pes.272

15. Bank Mandiri Telp. (021) 3811779 Pes.560

16. Bank Syariah Mandiri Telp. (021) 3811779 Pes.570

DILUAR KANTOR PUSAT KEMENTRIAN AGAMA :

1. Kampus Diklat Peg. Kemenag (Ciputat) Telp. (021) 7401939

2. Wisma Ypi (Bogor) Telp. (0251) 240683-240686

3. Wisma Tugu (Puncak Bogor) Telp. (0251) 254776

4. Asrama Haji Banda Aceh Telp. (0651) 22412

Fax. (0651) 227157

5. Asrama Haji Polonia Medan Telp. (061) 8471686

Fax. (061) 8468005

6. Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Telp. (021) 8197479

Fax. (021) 856402

7. Asrama Haji Bekasi Telp. (021) 88960948-88960946

8. Asrama Haji Sukolilo Surabaya Telp. (031) 8283860

Fax. (031) 8263860

9. Asrama Haji Ujung Pandang Makasar Telp. (0411) 873812

Fax. (0411) 206075

10. Asrama Haji Balikpapan Telp. (0541) 36144

Fax. (0541) 206075

11. Asrama Haji Donuhudan Surabaya Telp. (0271) 782244

Fax. (0271) 782243

12. Asrama Haji Batam Telp. (0761) 26053

Page 733: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

720

13. Asrama Haji Banjarmasin Telp. (0511) 705150

Fax. (0511) 56633

14. Terminal Haji 1-A Telp. (021) 5505436

15. Posko Haji Telp. (021) 5505477

16. Posko Terpadu Telp. (021) 5505294

17. Wisma Haji Indonesia Jeddah Telp. (001 9662) 6836263 – 6825633

18. Daker Mekkah Wisma Haji Telp. (001 9662) 5565127 – 5570266

(001 9662) 5588024

(001 9662) 5588074 (Siskohat)

Fax. (001 9662) 5565994

19. Daker Madinah Wisma Haji Telp. (001 9664) 8346700 – 8346702

(001 9664) 8346694 (Sentral)

(001 9664) 8380136 (Siskohat)

(001 9664) 834668 (Med. Cent)

NOMOR TELEPON PENTING LAINNYA :

MITRA KEMENTRIAN AGAMA

1. Posko Garuda Telp. (021) 8095678 - 8093156

(021) 8092772 – 8090217

Fax. (021) 8090748

2. Posko Saudi Air Line Telp. (021) 8356201 – 8353930

(021) 5507917 – 5507921

Fax. (021) 8317380 – 8356223

3. Airport Soekarno Hatta Telp. (021) 8093156 – 5501221

(021) 5507950 – 5505179

(021) 5505307 – 9 (Informasi)

ORGANISASI LEMBAGA KEAGAMAAN

1. MUI Jl. Taman Wijaya Kusumah (M. Istiqlal), Jakarta Pusat Telp. 3455471 – 3455472

2. PGI Jl. Salemba Raya No.10, Jakarta Pusat Telp. 3150451

3. KWI Jl. Cut Mutia 102, Jakarta Pusat Telp. 31925757

4. PHDI Jl. Angrek Neli Murni Blok A No.3, Jakarta Pusat Telp. 5330414 – 5485181

5. WALUBI Jl. Abdul Muis No.26, Jakarta Pusat Telp. 3518801

Fax. 3518803

6. MATAKIN Komp Royal Sunter Blok F.23, Jakarta Utara Telp. 6509941 - 6503684

Fax. 65302778

Page 734: himpunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan

721

CATATAN

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________