pembentukan perundang undangan

27
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kekuasaan negara pada tingkat perdaban dunia yang di sebut modern telah merumuskan pemisahan ke tiga fungsi besar menampilkan kekuasaan membentuk undang – undang (Legislation), pemerintah (executive), dan peradilan (yudiciary). Khusus pada kekuasaan pembentukan undang – undang mempunyai asas akan mengatur seluruh aspek kehidupan bernegara dalam melaksanakan seluruh aktifitasnya. Oleh karena itu tugas berat sang legislator yang akan menjabarkan setiap kebutuhan masyarakat kedalam rumusan undang – undang dan selalu mengalami perubahan setiap saat. Jeremy Bentham, menyatakan bahwa pembuatan undang – undang adalah suatu seni yaitu seni menemukan cara – cara mewujudkan “ The True Good of The Comunity”. Kajian Bentham mengenai pembuatan undang – undang harus keluar dari analisis teknis legislasi kepada pembahasannya di dalam kerangka yang lebih besar. Ukuran – ukuran serta format yang di gunakan juga bukan lagi rasional, logika, prosedural, melainkan entri – entri sosiologis berupa : 1. Asal – usul undang – undang, 2. Mengungkap motif di belakang pembuatan undang – undang,

Upload: jemmy-dua-belas

Post on 17-Jul-2016

75 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pembentukan perundang undangan

TRANSCRIPT

Page 1: Pembentukan perundang undangan

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kekuasaan negara pada tingkat perdaban dunia yang di sebut modern telah

merumuskan pemisahan ke tiga fungsi besar menampilkan kekuasaan membentuk

undang – undang (Legislation), pemerintah (executive), dan peradilan (yudiciary).

Khusus pada kekuasaan pembentukan undang – undang mempunyai asas akan

mengatur seluruh aspek kehidupan bernegara dalam melaksanakan seluruh

aktifitasnya. Oleh karena itu tugas berat sang legislator yang akan menjabarkan

setiap kebutuhan masyarakat kedalam rumusan undang – undang dan selalu

mengalami perubahan setiap saat.

 Jeremy Bentham, menyatakan bahwa pembuatan undang – undang adalah

suatu seni yaitu seni menemukan cara – cara mewujudkan “ The True Good of

The Comunity”. Kajian Bentham mengenai pembuatan undang – undang harus

keluar dari analisis teknis legislasi kepada pembahasannya di dalam kerangka

yang lebih besar. Ukuran – ukuran serta format yang di gunakan juga bukan lagi

rasional, logika, prosedural, melainkan entri – entri sosiologis berupa :

1. Asal – usul undang – undang,

2. Mengungkap motif di belakang pembuatan undang – undang,

3. Pembuatan undang – undang sebagai endapan konflik kekuatan dan

kepentingan dalam masyarakatnya,

4. Susunan badan pembuatan undang – undang dan implikasi sosiologis,

5. Membahas hubungan kualitas dan jumlah undang – undang yang di

buat dengan lingkungan sosialnya dalam suatu periode tertentu,

6. Sasaran prilaku yang ingin di atur atau di rubah,

7. Akibat – akibat baik yang di kehendaki maupun tidak.

Pada bagian lain Roscoe menyarankan untuk memperhatikan efektivitas

undang – undang dari pada membicarakan legalitas dan struktur logisnya semata.

Pembicaraan mengenai efektivitas undang – undang akan terkait hukum sebagai

instrument kebijaksanaan dari suatu badan atau satuan politik tertentu.

Page 2: Pembentukan perundang undangan

Menurutnya medan pembuatan undang – undang akan menjadi pembenturan

kepentingan.

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana asas dan teori dalam pembentukan perundang-undangan ?

2. Bagaimana proses pembentukan perundang-undangan ?

3. Bagaimana hubungan antara susunan pembentukan undang – undang

dengan undang – undang yang dihasilkan ?

3. Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui asas dan teori dalam pembentukan perundang-

undangan

2. Untuk mengetahui proses pembentukan perundang-undangan

3. Untuk mengetahui hubungan antara susunan pembentukan undang –

undang dengan undang – undang yang dihasilkan

Page 3: Pembentukan perundang undangan

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Teori Dan Asas-Asas Pembentukan Perundang-Undangan

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan perlu berpedoman

pada asas-asas pembentukan peraturan yang baik dan ideal. Hal ini dimaksudkan

untuk menghindari kesalahan dan kecacatan dalam pembentukan norma.

Asas-asas pembentukan peraturan perundang - undangan yang baik

menurut I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul Handboek

Wetgeving dibagi dalam dua kelompok yaitu:

a. Asas-asas formil:

1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling), yakni setiap

pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan

manfaat yang jelas untuk apa dibuat;

2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan), yakni

setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga atau

organ pembentuk peraturan perundagundagan yang berwenang; peraturan

perundangundangan tersebut dapat dibatalkan (vernietegbaar)atau batal

demi hukum (vanrechtswege nieteg), bila dibuat oleh lembaga atau organ

yang tidak berwenang;

3. Asas kedesakan pembuatan pengaturan (het noodzakelijkheidsbeginsel);

4. Asas kedapatlaksanaan (dapat dilaksanakan) (het beginsel van

uitvoerbaarheid), yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan

harus didasarkan pada perhitungan bahwa peraturan perundang-undangan

yang dibentuk nantinya dapat berlaku secara efektif di masyarakat karena

telah mendapat dukungan baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis

sejak tahap penyusunannya;

5. Asas konsensus (het beginsel van de consensus).

b. Asas-asas materiil:

Page 4: Pembentukan perundang undangan

1. Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke

terminologie en duidelijke systematiek);

2. asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);

3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel);

4. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);

5. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel

van de individuele rechtsbedeling).

Selain itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mengingatkan kepada

pembentuk undang-undang agar selalu memperhatikan asas pembentukan

peraturan perundang - undangan yang baik dan asas materi muatan.  Dalam

membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan

pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

1. “asas kejelasan tujuan” , bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;

2. “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” , bahwa setiap

jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara

atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang,

Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi

hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak

berwenang;

3. “asas kesesuaian antara jenis,hierarki, dan materi muatan” , bahwa dalam

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benarbenar

memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki

Peraturan Perundang-undangan;

4. “asas dapat dilaksanakan”, bahwa setiap Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan

Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,

sosiologis, maupun yuridis;

5. “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”, bahwa setiap Peraturan

perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan

Page 5: Pembentukan perundang undangan

bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara;

6. “asas kejelasan rumusan”, bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan

harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-

undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang

jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam

interpretasi dalam pelaksanaannya;

7. “asas keterbukaan”,  bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan

atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.

Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan

yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

2.1.1 Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan Harus Mencerminkan

Asas:

1. “asas pengayoman”,  bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundangundangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk

menciptakan ketentraman masyarakat;

2. “asas kemanusiaan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundangundangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan

hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan

penduduk Indonesia secara proporsional;

3. “asas kebangsaan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-

undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang

majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia;

4. “asas kekeluargaan”,  bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai

mufakat dalam setiap pengambilan keputusan;

5. “asas kenusantaraan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh

wilayah Indonesia dan Materi muatan Peraturan Perundang-undangan

Page 6: Pembentukan perundang undangan

yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

6. “asas bhinneka tunggal ika”,  bahwa Materi Muatan Peraturan

Perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama,

suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

7. “asas keadilan” ,  bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-

undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap

warga negara;

8. “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” , bahwa

setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat

hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain,

agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial;

9. “asas ketertiban dan kepastian hukum”, bahwa setiap Materi Muatan

Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam

masyarakat melalui jaminan kepastian;

10.  “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”, bahwa setiap Materi

Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan

keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu,

masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara;

11.  “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan

yang bersangkutan”, antara lain:

a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman

tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak

bersalah;

b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain,

asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

Asas-asas tersebut merupakan dasar berpijak bagi pembentuk peraturan

perundang-undangan dan penentu kebijakan dalam membentuk peraturan

perundang-undangan. Semua asas di atas, harus terpateri dalam diri penentu

kebijakan yang akan membentuk peraturan perundang-undangan yang biasanya

Page 7: Pembentukan perundang undangan

diwujudkan dalam bentuk-bentuk pertanyaan dalam setiap langkah yang

ditempuh.

Dalam membentuk peraturan perundang-undangan, ada beberapa teori

yang perlu dipahami oleh perancang yakni teori jenjang norma. Hans Nawiasky,

salah satu murid Hans Kelsen, mengembangkan teori gurunya tentang teori

jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky dalam

bukunya “Allgemeine Rechtslehre” mengemukakan bahwa sesuai dengan

teori Hans Kelsen, suatu norma hukum negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang

yakni norma yang di bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang

lebih tinggi dan begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi yang

disebut norma dasar. Dari teori tersebut, Hans Nawiasky menambahkan bahwa

selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum juga berkelompok-

kelompok. Nawiasky mengelompokkan menjadi 4 kelompok besar yakni :

1. Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara);

2. Staatsgrundgezets (aturan dasar negara);

3. Formell Gezetz (undang-undang formal);

4. Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).

Kelompok norma di atas hampir selalu ada dalam tata susunan norma

hukum di setiap negara, walaupun istilahnya dan jumlah norma yang berbeda

dalam setiap kelompoknya.

Di Indonesia, norma fundamental negara adalah Pancasila dan norma ini

harus dijadikan bintang pemandu bagi perancang dalam membentuk peraturan

perundang-undangan. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber

hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,

Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang

dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai

dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap

Page 8: Pembentukan perundang undangan

materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan

nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

2.2 Proses Pembentukan Perundang-Undangan

Pada dasarnya proses pembuatan UU setelah berlakunya UU PPP terbagi

menjadi beberapa tahapan, yaitu :

1. Perencanaan ,

2. Persiapan ,

3. Teknik penyusunan,

4. Perumusan dan pembahasan,

5. Pengesahan ,

6. Pengundangan dan

7. Penyebarluasan

Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 proses pembentukan Undang-

Undang dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:

a. Persiapan Pembentukan Undang-Undang

Dalam pembentukan UU, Rancangan Undang-Undang (RUU)

dapatberasal dariPresiden, DPR, maupun DPD (Dewan Perwakilan Daerah),

namun untuk RUU yangdiajukan oleh DPD hanya diperkenankan RUUberkaitan

dengan:

1. Otonomi Daerah;

2. Hubunganpusat dengan daerah;

3. Pembentukandan pemekaran serta penggabungan daerah;

4. Pengelolaansumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;

5. Perimbangankeuangan pusat dan daerah.

1. Persiapan Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Pemerintah.

Page 9: Pembentukan perundang undangan

a. Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh presidendisiapkan oleh

menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen, sesuai dengan

lingkup tugasnya masing-masing.

b. Konsepsi RUU tersebut dikoordinasikan oleh menteri yang tugasdan

tanggung jawabnya di bidang peraturan perundangundangan.

c. RUU yang sudah disiapkan oleh Presiden diajukan dengan suratPresiden

kepada Pimpinan DPR.

d. Dalam surat Presiden tersebut disebutkan menteri yang akanditugasi

mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUUdi DPR.

e. DPR mulai membahas RUU tersebut dalam jangka waktu palinglambat 60

hari sejak surat Presiden diterima.

f. Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa.

2. Persiapan Rancangan Undang-Undang yang diajukan olehDPR (hak

inisiatif) dan DPD

a. Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR diusulkanoleh DPR

(RUU tersebut dapat juga dari DPD yang diajukankepada DPR).

b. RUU yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan suratpimpinan

DPR kepada Presiden

c. Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahasRUU bersama

DPR dalam jangka waktu 60 hari sejak suratpimpinan DPR diterima.

d. Menteri yang ditugasi oleh Presiden dalam pembahasan di

DPRmengkoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yangtugas

dan tanggung jawabnya di bidang peraturanperundangundangan.

e. Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh Sekretariat JenderalDPR.

b. Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-Undang

1. Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presidenatau

menteri yang ditugasi, dan atau dengan DPD apabila RUU yangdibahas

mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,pembentukan

pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaansumber daya alam dan

Page 10: Pembentukan perundang undangan

sumber daya ekonomilainnya, dan perimbangankeuangan pusat dan

daerah.

2. Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sampai padatahap

rapat komisi/panitiaalat kelengkapan DPR yang khususmenangani bidang

legislasi.

3. Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU diwakili oleh komisiyang

membidangi materi muatan RUU yang dibahas.

4. Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan,

yaitu:

a. Pembicaraan Tingkat I dilakukan dalam rapat paripurna.

Padatingkatpertama ini apabila RUU diajukan oleh Presiden.

Makayang memberi penjelasan adalah Pemerintah (Presiden)

ataumenteri yang ditugasi. Tetapi apabila RUU datang dari

DPRpenjelasan dilakukan oleh pimpinan komisi atau rapat

gabungankomisi atau rapat panitia khusus.

b. Pembicaraan Tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna.

Padapembicaraan tingkat II, apabila RUU dari pemerintah,

makadilakukan pemandangan umum dari anggota DPR yangmembawa

suara fraksinya masing-masing terhadap RUU.Pemerintah kemudian

menyampaikan tanggapan terhadappemandangan umum tersebut.

Apabila RUU dari DPR, makadiadakan tanggapan pemerintah

terhadap RUU tersebut. Setelahitu DPR memberikan tanggapan dan

penjelasan yang disampaikanoleh pimpinan komisi, gabungan komisi,

atau panitia khusus atasnama DPR.

c. Pembicaraan Tingkat III dilakukan dalam rapat komisi/rapatgabungan

komisi/rapat panitia khusus.Dalam pembicaraan tingkat ini dilakukan

rapat komisi/rapatgabungan komisi/rapat panitia khusus bersama

pemerintahmembahas RUU tersebut secara keseluruhan mulai

daripembukaan, pasal-pasal, sampai bagian akhir

rancanganundangundang tersebut.

d. Pembicaraan Tingkat IV dilakukan dalam rapat paripurna. Padatingkat

yang terakhir ini dilakukan laporan hasil pembicaraan ditingkat

Page 11: Pembentukan perundang undangan

komisi/gabungan komisi/rapat panitia khusus.Penyampaian pendapat

terakhir dari fraksi-fraksi yang disampaikan oleh anggota-angotanya

dan dilakukan pengambilan keputusan.Pada tingkat ini pemerintah

juga diberi kesempatan untuk memberikan sambutan terhadap

pengambilan keputusan tersebut.

e. RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presidendisampaikan

oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkanmenjadi UU.

f. Penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka waktu

palinglambat 7 hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

g. RUU tersebut disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan

tandatangan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak RUU

tersebutdisetujui bersama oleh DPR dan Presiden.

h. Dalam hal RUU tidak dapat ditanda tangani oleh Presiden dalamwaktu

paling lambat 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama,maka

RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

c. Pengundangan dan Penyebarluasan UU

1. Setelah RUU disahkan oleh Presiden menjadi UU maka UU tersebutharus

diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

2. Pengundangan dalam Lembaran Negara RI dilaksanakan olehmenteri yang

tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturanperundang-undangan.

3. Undang-Undang tersebut mulai berlaku dan mempunyai kekuatanmengikat

pada tanggal diundangkan.

4. Pemerintah wajib menyebarluaskan Undang-Undang tersebut

dalamLembaran Negara Republik Indonesia.

Sedangkan proses pembentukan Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-

Undang (Perpu) adalah sebagai berikut.

a. Persiapan Pembentukan Perpu

1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang di

keluarkanPresiden harus diajukan ke DPR dalam persidangan

berikutnya.

Page 12: Pembentukan perundang undangan

2. Pengajuan Perpu dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU

tentangpenetapan Perpu menjadi Undang-Undang.

3. Dalam hal Perpu ditolak DPR, maka Perpu tersebut harus dicabut.

4. Dalam hal Perpu ditolak oleh DPR, maka Presiden mengajukan

RUUtentang pencabutan Perpu tersebut.

b. Pembahasan dan Pengesahan Perpu

Sesuai dengan Pasal 36 ayat 1 UU No. 10 Tahun 2004 dinyatakanbahwa

pembahasan RUU tentang penetapan Perpu menjadi Undang-Undang

dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasanRUU. Dengan

demikian prosedur pembahasan Perpu di DPR sama denganpembahasan RUU di

DPR, sehingga paparan pembahasan RUL: di atassudah memberikan gambaran

yang jelas bagi pembahasan dan pengesahanPerpu menjadi UU.

c. Pengundangan dan Penyebarluasan Perpu

Pada tahap ini juga mempunyai prosedur yang sama seperti

padapengundangan dan penyebarluasan UU.

Proses Pembentukan Peraturan Daerah

a. Persiapan Pembentukan Peraturan Daerah (Perda)

1. Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD atau gubernur, atau bupati/

walikota.

2. Rancangan Perda dapat disampaikan oleh anggota, komisi,

gabungankomisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani

legislasi.

3. Rancangan Perda yang sudah dipersiapkan oleh gubernur, bupatilwalikota

disampaikan dengan surat pengantar gubernur, bupati/walikota kepada

DPRD oleh gubernur, bupati/walikota.

4. Rancangan Perda yang telah disiapkan oleh DPRD disampaikan oleh

pimpinan DPRD kepada gubernur, bupati/walikota.

Page 13: Pembentukan perundang undangan

5. Penyebarluasan Rancangan Perda yang berasal dari DPRDdilaksanakan

oleh seketariat DPRD, sedangkan yang berasal darigubernur,

bupati/walikota dilaksanakan oleh sekretaris daerah.

b. Pembahasan dan Pengesahan Perda

1. Pembahasan rancangan Perda di DPRD dilakukan oleh DPRDbersama

gubernur, bupati/walikota.

2. Pembahasan bersama tersebut dilakukan dengan melalui

tingkattingkatpembicaraan seperti pada pembahasan RUU.

3. Rancangan Perpu dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersamaDPRD

dan gubernur, bupati/walikota.

4. Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dangubernur,

bupati/walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepadagubernur atau

bupati/walikota untuk ditetapkan menjadi Perda.

5. Penyampaian rancangan Perda dilakukan dalam jangka waktu

palinglambat 7 hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

6. Rancangan Perda ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikotadengan

membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu 30 hari sejakrancangan

Perda tersebut disetujui bersama oleh DPRD dan gubernuratau

bupati/walikota.

7. Dalam hal rancangan Perda tidak dapat ditandatangani oleh gubernuratau

bupati/walikota dalam waktu paling lama 30 hari sejak rancanganPerda

tersebut disetujui bersama, maka rancangan tersebut sah menjadiPeraturan

Daerah dan wajib diundangkan.Pembahasan RUU tentang

penetapanPerpu menjadi Undang-Undang dilaksanakan

melaluimekanisme yang sama denganpembahasan RUU.

c. Pengundangan dan Penyebarluasan

1. Peraturan Daerah yang telah dinyatakan sah hams diundangkan

dalamLembaran Daerah.

2. Pemerintah daerah wajib menyebarluaskan Perda yang telahdiundangkan

dalam Lembaran Daerah tersebut.

3. Pengundangan Perda dalam Lembaran Daerah dilakukan olehsekretaris

daerah.

Page 14: Pembentukan perundang undangan

2.3 Hubungan Antara Pembentuk Undang – Undang Dan Produk Undang –

Undang

Pembentukan undang-undang di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini

dilakukan oleh bicameral parlement yaitu DPR-RI dan DPD-RI bersama-sama

dengan presiden. Dengan demikian pembentukan undang-undang tersebut

terdapat keunikan karena legislative dan eksekutif secara bersama-sama

menyusun pembentukan undang-undang.

Menurut Satjipto Rahardjo legislator seperti diuraikan tersebut diatas

dianggap sebagai lembaga masyarakat atau lembaga sosial, karena terdapat

hubungan timbal balik antara DPR-RI, DPD-RI, dan Presiden dan masyarakat

yang menjadi lingkungannya. Hubungan erat tersebut akan membentuk “Begitu

masyarakat begitu pula lembaganya” masyarakat merupakan sumber daya bagi

lembaga sosial pembentuk undang-undang, tanpa dukungan sumber daya

masyarakat maka lembaga sosial pembentuk undang-undang akan ambruk.

Sinyalemen dari Satjipto Rahardjo bahwa komposisi keanggotaan legislator

sangat mempengaruhi produk hukum yang dihasilkan. Sebagai contoh di negara

bagian Amerika Serikat terdiri dari lawyer, insourance, business executive,

education, labour union, agriculture homemaker/student etc. Sedangkan, di

Indonesia para politisi dalam legislator tidak bisa dianggap mewakili komponen

tersebut diatas karena merupakan wakil partai politik maupun independen dan

birokrat. Oleh sebab itu, di Indonesia ada kecenderungan lebih mengutamakan

partisan politik disatu pihak dan berfikir berdasarkan konfigurasi kepentingan

nyata dipihak lain. Optik sosiologis melihat adanya kecenderungan keanggotaan

parlemen diisi oleh golongan menengah keatas-menyebabkan produk hukum berat

sebelah. Akibatnya obyektifitas dari semboyan bahwa suatu undang-undang itu

berdiri diatas semua golongan hanya merupakan suatu cita-cita yang tidak akan

datang dengan sendirinya, tetapi harus terus diperjuangkan.

Undang-undang No. 14 tahun 1992 yang di kenal sebagai “ Undang-Undang

Lalu Lintas ” telah memasukan beberapa azas yaitu :

1.    Manfaat,

2.    Usaha bersama kekeluargaan,

Page 15: Pembentukan perundang undangan

3.    Adil dan merata,

4.    Keseimbangan,

5.    Kepentingan umum,

6.    Keterpaduan,

7.    Hukum,

8.    Percaya pada diri sendiri.

Menurut Satjipto Rahardjo azas-azas tersebut untuk kehidupan mayarakat

yang baik, tetapi bukan khusus untuk berprilaku yang benar dalam berlalu lintas.

Dalam berlalu lintas terdapat komunitas pejalan kaki, sepeda, motor, mobil, truk,

bus yang membutuhkan pegangan nilai yang mampu menyelaraskan pertemuan

antara kekuatan-kekuatan tersebut, sehingga tercapai perilaku berlalu lintas yang

berkualitas. Satjipto Rahardjo menyarankan beberapa azas dalam mengatur lalu

lintas yaitu “azas memperhatikan orang lain”, “azas memperhatikan orang lain”

atau “azas tidak merugikan oran lain”. Azas tersebut akan memberi nutrisi

berprilaku dalam berlalu lintas.

Page 16: Pembentukan perundang undangan

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari penjelasan diatas penulis menarik kesimpulan bahwa Dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan perlu berpedoman pada asas-asas

pembentukan peraturan yang baik dan ideal. Hal ini dimaksudkan untuk

menghindari kesalahan dan kecacatan dalam pembentukan norma.

Suatu undang-undang harus dibangun berdasarkan azas-azas sebagaimana

yang termuat dalam undang-undang dasar adanya azas kekeluargaan. Azas

tersebut menjadi landasan orientasi dalam pembentukan undang-undang yang

merupakan suatu nutrisi atau vitamin, sehingga bagunan undang-undang

merupakan bangunan yang erat dengan nilai dan filosofi. Azas-azas itu harus bisa

operasional menggerakan aktivitas undang-undang dalam pelaksanaan gerak di

masyarakat.

Hubungan antara pembentuk perundang-undangan dan produk perundang-

undangan juga harus di kaitkan dalam pembentukkan perundang-undangan,

karena terdapat hubungan timbal balik antara DPR-RI, DPD-RI, dan Presiden dan

masyarakat yang menjadi lingkungannya. Hubungan erat tersebut akan

membentuk “Begitu masyarakat begitu pula lembaganya” masyarakat merupakan

sumber daya bagi lembaga sosial pembentuk undang-undang, tanpa dukungan

sumber daya masyarakat maka lembaga sosial pembentuk undang-undang akan

ambruk, sehingga undang-undang yang dihasilkan pun tidak akan sempurna.

3.2 Saran

Dari pembahasan di atas dapat disarankan bahwa dalam suatu

pembentukan perundang-undangan harus diimbangi dengan hubungan yang baik

antara DPR-RI, DPD-RI, dan Presiden dan masyarakat yang menjadi

lingkungannya agar undang-undang yang dihasilkan dapat digunakan sebaik-

baiknya.

Page 18: Pembentukan perundang undangan

PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN

Disusun Oleh:

KELOMPOK 6 :JEMMY PRAYOGO

YESI WIGIARTI

WAHYU DWINUARI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU

PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2014/2015