fraktur

37
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 2 Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan umumnya di karenakan rudapaksa (Mansjoer, 2008). Dikehidupan sehari hari yang semakin padat dengan aktifitas masing- masing manusia dan untuk mengejar perkembangan zaman, manusia tidak akan lepas dari fungsi normal musculoskeletal terutama tulang yang menjadi alat gerak utama bagi manusia, tulang membentuk rangka penujang dan pelindung bagian tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh,. namun dari ulah manusia itu sendiri, fungsi tulang dapat terganggu karena mengalami fraktur. Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Mansjoer, 2008). Fraktur Cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibula yang biasanya terjadi pada bagian proksimal, diafisis, atau persendian pergelangan kaki. Pada beberapa rumah sakit kejadien fraktur cruris biasanya banyak terjadi oleh karena itu peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan trauma musculoskeletal pada fraktur cruris akan semakin besar sehingga di perlukan pengetahuan mengenai anatomi, fisiologi, dan patofisiologi 1

Upload: -nurmayuimdasimatupang-

Post on 11-Feb-2016

17 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

nfsjsjfa

TRANSCRIPT

Page 1: fraktur

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan

umumnya di karenakan rudapaksa (Mansjoer, 2008). Dikehidupan sehari hari yang

semakin padat dengan aktifitas masing- masing manusia dan untuk mengejar

perkembangan zaman, manusia tidak akan lepas dari fungsi normal musculoskeletal

terutama tulang yang menjadi alat gerak utama bagi manusia, tulang membentuk

rangka penujang dan pelindung bagian tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-otot

yang menggerakan kerangka tubuh,. namun dari ulah manusia itu sendiri, fungsi tulang

dapat terganggu karena mengalami fraktur. Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma

atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan

lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau

tidak lengkap (Mansjoer, 2008). Fraktur Cruris merupakan suatu istilah untuk patah

tulang tibia dan fibula yang biasanya terjadi pada bagian proksimal, diafisis, atau

persendian pergelangan kaki. Pada beberapa rumah sakit kejadien fraktur cruris

biasanya banyak terjadi oleh karena itu peran perawat dalam memberikan asuhan

keperawatan trauma musculoskeletal pada fraktur cruris akan semakin besar sehingga

di perlukan pengetahuan mengenai anatomi, fisiologi, dan patofisiologi tulang normal

dan kelainan yang terjadi pada pasien dengan fraktur cruris (Depkes RI, 2005).

Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat di tahun 2011 terdapat lebih dari 5,6 juta

orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1.3 juta orang mengalami

kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup tinggi yaitu

insiden fraktur ekstrimitas bawah sekitar 40% dari insiden kecelakaan yang terjadi.

Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi diintegritas pada tulang. Penyebab

terbanyaknya adalah insiden kecelakaan, tetapi factor lain seperti proses degeneratif dan

osteoporosis juga dapat berpengaruh terhadap terjadinya fraktur (Depkes RI, 2011).

Kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja merupakan suatu keadaan yang tidak di

inginkan yang terjadi pada semua usia dan secara mendadak. Angka kejadian kecelakaan

lalu lintas di kota Semarang sepanjang tahun 2011 mencapai 217 kasus, dengan korban

meninggal 28 orang, luka berat 40 orang, dan luka ringan sejumlah 480 orang ( Polda

Jateng, 2011). Berbagai penyebab fraktur diantaranya cidera atau benturan, faktor

1

Page 2: fraktur

patologik,dan yang lainnya karena faktor beban. Selain itu fraktur akan bertambah dengan

adanya komplikasi yang berlanjut diantaranya syok, sindrom emboli lemak, sindrom

kompartement, kerusakan arteri, infeksi, dan avaskuler nekrosis. Komplikasi lain dalam

waktu yang lama akan terjadi mal union, delayed union, non union atau bahkan

perdarahan. (Price, 2005) Berbagai tindakan bisa dilakukan di antaranya rekognisi, reduksi,

retensi, dan rehabilitasi. Meskipun demikian masalah pasien fraktur tidak bisa berhenti

sampai itu saja dan akan berlanjut sampai tindakan setelah atau post operasi.

2

Page 3: fraktur

1.2 Tujuan Pembahasan

Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang diharapkan berguna

bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Dimana tujuannya dibagi

menjadi dua macam yang pertama secara umum makalah ini bertujuan menambah

wawasan mahasiswa/I dalam menguraikan suatu persoalan secara holistik dan tepat, dan

melatih pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/I fakultas kedokteran, dimana pemikiran

ilmiah tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang dokter agar mampu menganalisis suatu

persoalan secara cepat dan tepat. Sedangkan secara khusus tujuan penyusunan makalah ini

ialah sebagai berikut :

a. Melengkapi tugas small group discussion skenario empat, modul sembilan

belas tentang fraktur, dislokasi dan spunal collum atau spinal cord

b. Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis.

c. Sebagai bahan referensi mahasiswa/I Fakultas Kedokteran UISU dalam

menghadapi ujian akhir modul.

Itulah merupakan tujuan dalam penyusunan makalah ini, dan juga sangat diharapkan

dapat berguna setiap orang yang membaca makalah ini. Semoga seluruh tujuan tersebut

dapat tercapai dengan baik

1.3 Metode dan Teknik

Dalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode yang sering

digunakan dalam pembahasan-pembahasan makalah sederhana, yaitu dengan

menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari sumber

data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis sehinggga diperoleh

informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu berbagai referensi yang

didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang akan

dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah ini.

Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam penyusunan makalah ini.

3

Page 4: fraktur

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Fraktur

2.1.1 Defenisi Fraktur

Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang, penyebab terbanyak

adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif juga dapat

berpengaruh terhadap kejadian fraktur. Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas

struktur tulang berupa retakan, pengisutan ataupun patahan yang lengkap dengan fragmen

tulang bergeser.

2.1.2 Klasifikasi Fraktur

Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar,

bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis.

A. Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar

Fraktur dapat dibagi menjadi :

1. Fraktur tertutup (closed),bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan

dunia luar.

2. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan

dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat

(menurut R. Gustillo), yaitu:

a. Derajat I :

Luka <1 cm

Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk

Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif ringan

Kontaminasi minimal

b. Derajat II :

Laserasi >1 cm

Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi

Fraktur kominutif sedang

Kontaminasi sedang

4

Page 5: fraktur

c. Derajat III :

Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan

neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur terbuka derajat III terbagi

atas:

Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat

laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat kominutif yang

disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.

Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau

kontaminasi masif.

Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat

kerusakan jaringan lunak.

B. Berdasarkan bentuk patahan tulang

1. Transversal

Adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang atau

bentuknya melintang dari tulang. Fraktur semacam ini biasanya mudah dikontrol dengan

pembidaian gips.

2. Spiral

Adalah fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul akibat torsi ekstremitas

atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan

lunak.

3. Oblik

Adalah fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana garis patahnya

membentuk sudut terhadap tulang.

4. Segmental

Adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen tulang yang retak dan ada

yang terlepas menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darah.

5. Kominuta

Adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau terputusnya keutuhan jaringan

dengan lebih dari dua fragmen tulang.

6. Greenstick

Adalah fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak lengkap dimana korteks tulang

sebagian masih utuh demikian juga periosterum. Fraktur jenis ini sering terjadi pada anak –

anak.

5

Page 6: fraktur

7. Fraktur Impaksi

Adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang berada

diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan dua vertebra lainnya.

8. Fraktur Fissura

Adalah fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang berarti, fragmen

biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan reduksi.

Gambar 1. Fraktur Berdasarkan Hubungan Tulang

Fraktur Terbuka FrakturTertutup

Gambar 2. Fraktur Berdasarkan Bentuk Patahan Tulang

Transversal Spiral Oblik

Segmental

6

Page 7: fraktur

Kominuta Greenstick Impaksi Fissura

2.1.3 Etiologi Fraktur

Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan terjadinya

fraktur diantaranya peristiwa trauma (kekerasan) dan peristiwa patologis.

A. Peristiwa Trauma (kekerasan)

1. Kekerasan langsung

Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik terjadinya kekerasan itu,

misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil, maka tulang akan patah tepat di tempat

terjadinya benturan. Patah tulang demikian sering bersifat terbuka, dengan garis patah

melintang atau miring.

2. Kekerasan tidak langsung

Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh dari tempat

terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam

hantaran vektor kekerasan. Contoh patah tulang karena kekerasan tidak langsung adalah

bila seorang jatuh dari ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu. Yang patah selain

tulang tumit, terjadi pula patah tulang pada tibia dan kemungkinan pula patah tulang paha

dan tulang belakang. Demikian pula bila jatuh dengan telapak tangan sebagai penyangga,

dapat menyebabkan patah pada pergelangan tangan dan tulang lengan bawah.

3. Kekerasan akibat tarikan otot

Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah tulang. Patah tulang akibat

tarikan otot biasanya jarang terjadi. Contohnya patah tulang akibat tarikan otot adalah

patah tulang patella dan olekranom, karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi.

7

Page 8: fraktur

B. Peristiwa Patologis

1. Kelelahan atau stres fraktur

Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan aktivitas berulang – ulang pada suatu

daerah tulang atau menambah tingkat aktivitas yang lebih berat dari biasanya. Tulang akan

mengalami perubahan struktural akibat pengulangan tekanan pada tempat yang sama, atau

peningkatan beban secara tiba – tiba pada suatu daerah tulang maka akan terjadi retak

tulang.

2. Kelemahan Tulang

Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya suatu tulang akibat

penyakit infeksi, penyakit metabolisme tulang misalnya osteoporosis, dan tumor pada

tulang. Sedikit saja tekanan pada daerah tulang yang rapuh maka akan terjadi fraktur.

2.1.4 Patofisiologi Fraktur

Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat

hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila

terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit

(Smelter dan Bare, 2002). Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar

tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya

mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel

darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat

tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut

callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk

membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang

berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke

ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol

pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan

berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot.

Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2002 ). Trauma

pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak seimbangan, fraktur terjadi

dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan

jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare,

2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi

antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang

8

Page 9: fraktur

perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan

berkurangnyan kemampuan prawatan diri (Carpenito, 2007). Reduksi terbuka dan fiksasi

interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku.

Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu

sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak

mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan

operasi (Price dan Wilson, 2006).

2.1.5 Manifestasi Klinis Fraktur

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan

ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.

1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi,

spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang di rancang

untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak

tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan deformitas,

ekstrimitas yang bias di ketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang

normal. Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot

bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.

3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot

yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.

4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan

krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainya.

5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat dari trauma

dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi setelah

beberapa jam atau hari setelah cedera (Smelzter dan Bare, 2002).

2.1.6 Pemeriksaan Fraktur

Menurut Doenges ( 2000) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien fraktur antara

lain:

1. Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur

2. Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI : memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi

kerusakan jaringan lunak

9

Page 10: fraktur

3. Pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun

(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).

Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.

4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.

5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse multiple,

atau cedera hati.

2.1.7 Penatalaksanaan Fraktur

Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan

pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. 1.

Rekognisi (Pengenalan )

Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa dan

tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan

bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.

2. Reduksi (manipulasi/ reposisi) Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi

fragmen fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya.

Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara

optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi

terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak

kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan

kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami

penyembuhan (Mansjoer, 2002). 3. Retensi (Immobilisasi) Upaya yang dilakukan untuk

menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur

direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran

yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna

atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin,

dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi

intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna

adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan

memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal

dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan

menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk

fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan

pelvis (Mansjoer, 2000).

10

Page 11: fraktur

Gambar 3 : Pemasangan OREF pada tibia dan fibula

Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang diletakkan pada bagian

proksimal dan distal terhadap daerah atau zona trauma, kemudian pin-pin tersebut

dihubungkan satu sama lain dengan rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang

berfungsi untuk menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary

treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive treatment berdasarkan

lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan lunak (Muttaqin, 2008). 4.

Rehabilitasi Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari

atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera dimulai melakukan

latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer,

2000).

2.1.8 Komplikasi Fraktur

Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) dan Price (2005) antara lain:

A. Komplikasi awal fraktur antara lain:

1. syok, sindrom emboli lemak, sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi,

avaskuler nekrosis.

a. Syok

Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah

eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan penurunan oksigenasi)

dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur

ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.

11

Page 12: fraktur

b. Sindrom emboli lemak

Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh darah

karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena

katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam

lemak dan memudahkan terjasinya globula lemak pada aliran darah.

c. Sindroma Kompartement

Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang

dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena penurunan

ukuran kompartement otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat,

penggunaan gibs atau balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi kompatement

otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah

(misalnya : iskemi,dan cidera remuk).

d. Kerusakan Arteri

Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada nadi, CRT

menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada

ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi

pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.

e. Infeksi

Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma

orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini

biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bias juga karena penggunaan

bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.

f. Avaskuler nekrosis

Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau

terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan adanya

Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001).

B. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union, delayed

union, dan non union.

a. Malunion

Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam

posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupaka penyembuhan tulang ditandai

dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).

Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

12

Page 13: fraktur

b. Delayed Union Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan

dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union

merupakankegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan

tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke

tulang.

c. Nonunion

Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi

sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion di tandai

dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi

palsu atau pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang

(Price dan Wilson, 2006).

2.2 Dislokasi

2.2.1 Defenisi Dislokasi

Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi

berhubungan secara anatomis (tulang lepas dari sendi ). Atau dislokasi adalah suatu

keadaan keluarnya ( bercerainya ) kepala sendi dari mangkuknya. Dislokasi merupakan

suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. Bila terjadi patah tulang didekat

sendi atau mengenai sendi disertai luksasi sendi yang disebut fraktus dislokasi. Dislokasi

ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh

komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi)

2.2.2 Klasifikasi Dislokasi

Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Dislokasi kongenital

Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan

2. Dislokasi patologik

Kibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi, misalnya tumor, infeksi, atau

osteoporosis tulang ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang.

3. Dislokasi traumati

Merupakan kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami

stres berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat edema (karena mengalami

pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari

13

Page 14: fraktur

jaringan sekelilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen saraf, dan

sistem vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.

Berdasarkan tipe kliniknya dibagi :

1. Dislokasi akut

Umumnya terjadi pada shoulde, elbow, dan hip. Desertai nyeri akut dan pembengkakan

disekitar sendi.

2. Dislokasi kronik

3. Dislokasi berulang

Jika suatu trau dislokasi pada sendi diiukti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut

dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi

padashoulder joint dan patello femoral joint.

2.2.3 Etiologi Dislokasi

Dislokasi disebabkan oleh :

1. Trauma : jika disertai fraktur, keadaan ini disebut fraktus dislokasi

a. Cedera olahraga

Olahraga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki, serta

olahraga yang beresiko jatuh misalnya ; terperosok akibat bermain ski, senam

volly. Pemain basket dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi

pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain

lain.

b. Trauma yang tidak berhubungan dengan olahraga

Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasnya menyebabkan dislokasi

c. Terjatuh

Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin, dll.

2. Kongenital

Sebagian anak dilahirkan dengan dislokasi, misalnya dislokasi pangkal paha, pada

keadaan ini anak dilahirkan dengan dislokasi sendi pangkal paha secara klinik tungkai

yang satu lebih pendek dibanding tungkai yang lainya dan pantat bagian kiri serta

kanan tida simetris. Dislokasi congenital ini dapat bilateral (dua sisi). Adanya

kecurigaan yang paling kecilpun terhadap kelainan kongenital ini mengeluarkan

pemeriksaan klinis yang cermat dan sianak diperiksa dengan sinar X, karena tindakan

dini memberikan hasil yang sangat baik. Tindakan dengan reposisi dan pemasangan

14

Page 15: fraktur

bidai selama beberapa bulan, jika kelainan ini tidak ditemukan secara dini, tindakan

akan jauh sulit dan diperlukan pembedahan.

3. Patologis

Akibat destruksi tulang, misalnya tuberkulosis tulang belakang. Dimana patologis

terjadi tear ligament dan kapsul artikular yang merupakan komponen vital penghubung

tulang.

2.2.4 Patofisiologi Dislokasi

Biasanya disebabkan karena faktor fisik yang memaksa sendi untuk bergerak lebih dari

jangkauan normalnya, yang menyebabkan kegagalan tekanan, baik pada komponen tulang

sendi, ligamen dan kapsul fibrous, atau pada tulang maupun jaringan lunak. Struktur-

struktur tersebut lebh mudah terkena bila yang mengontrol sendi tersebut kurang kuat.

2.2.5 Manifestasi Klinis Dislokasi

Nyeri terasa hebat .Pasien menyokong lengan itu dengan tangan sebelahnya dan segan

menerima pemeriksaan apa saja. Garis gambar lateral bahu dapat rata dan ,kalau pasien tak

terlalu berotot suatu tonjolan dapat diraba tepat di bawah klavikula.

Nyeri

perubahan kontur sendi

perubahan panjang ekstremitas

kehilangan mobilitas normal

perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi

deformitas

kekakuan

2.2.6 Diagnosis Dislokasi

1. Anamnesa : perlu ditanyakan tentang :

a. Rasa nyeri

b. Adanya riwayat trauma

c. Mekanisme trauma

d. Ada rasa sendi yang keluar

e. Bila trauma minimal dan kejadian yang berulang, hal ini dapat terjadi pada

dislokasi rekurrens

2. Pemeriksaan klinis

15

Page 16: fraktur

a. Deformitas

Hilangnya penonjolan tulang yang normal

Pemendekan

Kedudukan yang khas untuk dislokasi tertentu

b. Bengkak

c. Terbatasnya gerakan atau gerak yang abnormal

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan radiologis untuk memastikan arah dislokasi dan apakah disertai fratur.

Pemeriksaan diagnostik dengan cara pemeriksaan sinar-X (pemeriksaan X-ray)

2.2.7 Penatalaksanaan Dislokasi

Penatalaksaan dislokasi sebagai berikut

1. Lakukan reposisi segera

2. Dislokasi sendi kecil dapat direposisi ditempat kejadian tanpa anastesi, misalnya :

dislokasi siku, dislokasi bahu, dislokasi jari pada fase syok, sislokasi bahu, siku atau

jari dapat direposisi dengan anastesi lokal dan obat penenang misalnya valium.

3. Dislokasi sendi besar misalnya panggul memerlukan anastesi umum

4. Dislokasi reduksi

Dikembalikan ketempat semula dengan menggunakan anastesi jika dislokasi berat

5. Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi dan dikembalikan kerongga

sendi

6. Sendi kemudian dimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips, atau traksi dan dijaga agar

tetap dalam posisi stabil. Beberapa hari sampai minggu setelah eduksi dilakukan

mobilisasi halus 3-4 x sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran sendi.

7. Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa penyembuhan.

2.2.8 Komplikasi Dislokasi

Komplikasi Dini

a. Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat mengkerutkan otot deltoid

dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut

b. Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak

c. Fraktur disloksi

Komplikasi lanjut.

16

Page 17: fraktur

a. Kekakuan sendi bahu:Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi

bahu, terutama pada pasien yang berumur 40 tahun.Terjadinya kehilangan rotasi

lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi

b. Dislokasi yang berulang:terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari

bagian depan leher glenoid

c. Kelemahan otot

2.2 Spinal Cord

2.3.1 Defenisi Spinal Cord

Spinal cord injury dapat didefenisikan sebagai berikut :

Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis, lumbalis akibat

trauma, jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga (Arifin Cit

Sjamsuhidayat, 1997)

Spinal cord injury adalah cedera yang terjadi karena trauma spinal cord atau tekanan pada

spinal cord karena kecelakaan.

Spinal cord injury dapat didefenisikan sebagai kerusakan atau trauma sumsum tulang

belakang yang mengakibatkan berkurangnya mobilitas atau perasaan (sensasi)

Spinal cord injury terjadi ketika sumsum tulang belakang rusak, sehingga mengakibatkan

hilangnya beberapa sensasi da kontrol motorik.

Spinal cord injury adalah suatu tekanan terhadap sumsum tulang belakang yang

mengakibatkan perubahan, baik sementara ataupun permanen, dimotorik normal, indera

atau fungsi otonom.

Spinal cord injury terjadi ketika suatu (seperti tulang, disk, atau benda asing) masuk atau

mengenai spinal dan merusak spinal cord atau suplai darah

2.3.2 Klasifikasi Spinal Cord

Klasifikasi fraktur dapat mengambil berbagai bentuk tergantung dari besar kecilnya

kerusakan anatomis atau berdasarkan stabil atau tidak stabil. ’Major Fracture’ bila fraktur

mengenai pedikel, lamina atau korpus vertebra. ’Minor Fracture’ bila fraktur terjadi pada

prosesus transversus, prrosesus spinosus atau prosesus artikularis.

17

Page 18: fraktur

Gambar 1. Major Frcture Gambar 2. Minor Fracture

Suatu fraktur disebut ’stable’, bila kolumna vertebralis masih mampu menahan beban fisik

dan tidak tampak tanda – tanda pergeseran atau deformitas dari struktur vertebra dan

jaringan lunak. Suatu fraktur disebut ’unstable’, bila kolumna vertebralis tidak mampu

menahan beban normal, kebanyakan menunjukkan deformitas dan rasa nyeri serta adanya

ancaman untuk terjadi gangguan neurologik.

Metode Klasifikasi Dennis

Metode ini dipakai untuk menilai fraktur didaerah torakolumbal dan daerah cervical.

Gambar 3. Tampak lateral dari 2 buah korpus vertebra

Penilaian ini berdasarkan ’Teori 3 Kolom’ dari vertebra.

1. Bagian Anterior adalah ligamentum longitudinale anterior dan 2/3 bagian depan dari

korpus vertebra dan diskus.

2. Bagian Tengah (Middle) adalah 1/3 bagian posterior dari korpus vertebra dan diskus

serta ligamentum longitudinale posterior.

18

Page 19: fraktur

3. Bagian Posterior adalah pedikel, lamina, facets, dan ligamentum posterior. Kolom

Tengah (Middle Column) adalah “kunci” dari stabilitas.

Klasifikasi Magerl

Klasifikasi ini dipakai untuk menilai fraktur daerah torakolumbal.

Gambar 4. Klasifikasi Magerl pada fraktur torakolumbal

Terdapat 3 jenis fraktur berdasarkan mekanismenya (mechanism of failure):

1. Type A

Compressive loads

2. Type B

Distraction forces

3. Type C

Multidirectional forces and translation

2.3.3 Etiologi Spinal Cord

Cedera tulang belakang paling umum disebabkan oleh :

a. Kecelakaan saat berkendara.

b. Jatuh.

c. Tindak kekerasan.

19

Page 20: fraktur

d. Cedera saat olahraga.

e. Konsumsi alkohol.

f. Penyakit. Misalnya kanker, artritis, osteoporosis.

2.3.4 Patofisiologi Spinal Cord

Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus terbanyak cedera

spinal corg mengenai daerah servical dan lumbal. Cedera dapat terjadi akibat hiperfleksi,

hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada tulang belakang.

Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi,

kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera spinal cord dapat berupa

memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran

darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan memblok saraf parasimpatis untuk melepaskan

mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat

dan akut anastesi. Iskemia dan hipoksia syok spinal, gangguan fungsi rektum serta

kandung kemih. Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen dan potensial

komplikasi, hipotensi bradikardi dan gangguan eliminasi.

Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang terkena,

jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan mengalami tetraplegia dengan

kehilangan fungsi pernapasan atau sistem muskular total, jika cendrung mengenai saraf C-

4 dan C-5 akan terjadi tetraplegia dengan kerusakan, menurunnya kapasitas paru,

ketergantungan total terhadap aktivitas sehari-har, jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7

pasien akan mengalami tetraplegia dengan beberapa gerakan lengan atau tangan yang

memungkinkan untuk melakukan sebagian aktivitas sehari-hari. Jika terjadi kerusakan

pada spinal C-7 sampai T-1 seseorang akan mengalami tetraplegia dengan keterbatasan

menggunakan jari tangan, meningkat kemandiriannya. Pada T-2 sampai L-1 akan terjadi

paraplegia dengan fungsi tangan dan berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen

masih baik, jika terjadi cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka seseorang tersebut

akan kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.

2.3.5 Manifestasi Klinis Spinal Cord

Gejala-gejalanya adalah :

a. Tidak dapat bergerak.

20

Page 21: fraktur

b. Tidak dapat merasakan, misalnya sentuhan, panas atau dingin.

c. Tidak dapat mengontrol buang air kecil maupun besar.

d. Refleks berlebih atau kejang.

e. Perubahan fungsi seksual dan kesuburan.

f. Nyeri yang amat sangat pada leher, kepala dan punggung.

g. Kesulitan bernafas.

h. Lemah, bagian tubuh tidak dapat berkoordinasi.

i. Sulit berjalan dan hilang keseimbangan.

j. Posisi leher atau punggung, berubah.

2.3.6 Pemeriksaan Spinal Cord

Tes yang dapat dilakukan adalah :

a. x-rays

b. CT scan

c. MRI.

2.3.7 Penatalaksanaan Spinal Cord

Prinsip-prinsip utama penatalaksanaan trauma spinal :

4. Immobilisasi

5. Stabilisasi Medis

6. Mempertahankan posisi normal vertebra (”Spinal Alignment”)

7. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal

8. Rehabilitasi.

A. Immobilisasi

Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan sampai ke

unit gawat darurat.. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi

normal; dengan menggunakan ’cervical collar’. Cegah agar leher tidak terputar (rotation).

Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas yang keras. Pasien

diangkat/dibawa dengan cara “men lift” atau menggunakan ’Robinson’sorthopaedic

stretcher’.

B. Stabilisasi medis

Terutama sekali pada penderita tetraparesis/etraplegia.

1. Periksa vital signs

21

Page 22: fraktur

2. Pasang ’nasogastric tube’

3. Pasang kateter urin

4. Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi

jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor AGDA

(analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic shock. Pemberian megadose Methyl

Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat

memperbaiki konntusio medula spinalis.

C. Spinal alignment

Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau Gardner-Wells

tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi diberikan dengan beban

yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai terjadi reduksi.

D. Dekompresi dan stabilisasi spinal

Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’ dengan cara

tertutup ini gagal maka dilakukan ’open reduction’ dan stabilisasi dengan ’approach’

anterior atau posterior.

E. Rehabilitasi

Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini adalah

’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi –

fungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia.

2.3.8 Komplikasi Spinal Cord

Komplikasi yang mungkin ditimbulkan adalah :

a. Gangguan pada kandung kemih. Tidak dapat mengontrol kandung kemih dan

meningkatkan resiko infeksi.

b. Gangguan pada kerja usus. Sulit mengontrol buang air besar.

c. Gangguan pada indra peraba.

d. Gangguan pada peredaran darah.

e. Gangguan pernafasan.

f. Gangguan seksual.

g. Rentan terhadap penyakit lain. Keterbatasan gerak dapat membuat Anda terkena

obesitas dan diabetes.

h. Depresi.

22

Page 23: fraktur

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang, penyebab

terbanyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif juga dapat

berpengaruh terhadap kejadian fraktur. Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas

struktur tulang berupa retakan, pengisutan ataupun patahan yang lengkap dengan fragmen

tulang bergeser.

fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki dan perempuan dengan umur dibawah 45

tahun dan sering berhubungan dengan olah raga, pekerjaan atau kecelakaan. Sedangkan

pada usia lanjut prevalensi cendrung lebih banyak terjadi pada wanita berhubungan dengan

adanya osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon. Pada kondisi lebih lanjut,

penderita fraktur kemungkinan besar akan mengalami tindakan amputasi apabila kondisi

fraktur tidak tertolong. Penanganan segera pada pasien dicurigai terjadinya fraktur adalah

dengan mengimobilisasi sebagian fraktur, hal ini adalah salah satu metode mobilisasi

fraktur dengan mobilisasi fraktur dengan fiksasi interna melalui operasi orief. Penanganan

tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi.

Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi

berhubungan secara anatomis, diagnosa dislokasi ditegakkan melaului anamnesa,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Dalam menangani kasus dislokasi, kita

harus mengetahui macam dislokasi komplikasi dan penanganannya.

Spinal cord injury atau cedera tulang belakang. Adalah cedera pada bagian tulang

belakang atau pada saraf tulang belakang, umumnya menyebabkan gangguan permanen

pada fungsi tubuh. Untungnya, rehabilitasi dan perawatan dapat membantu memperbaiki

keadaan tersebut. Kemampuan seseorang menggerakan tungkai setelah mengalami cedera

pada tulang belakang, tergantung dari letak cedera dan seberapa parah cedera tersebut.

Cedera tulang belakang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu, yang hanya mempengaruhi

sebagian fungsi gerak dan yang mempengaruhi hampir seluruh fungsi gerak.

23

Page 24: fraktur

3.2 Saran

Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para pembaca dan

mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya :

a. Kombinasikan metode pembuatan makalah berikutnya.

b. Pembahsan yang lebih mendalam disertai data-data yang lebih akurat.

Beberapa poin diatas merupakan saran yang kami berikan apabila ada pihak-pihak

yang ingin melanjutkan penelitian terhadap makalah ini, dan demikian makalah ini disusun

serta besar harapan nantinya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususunya

mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara semester V/2014 dalam

penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan

24

Page 25: fraktur

DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, A. DKK. 2000.kapita slekta kedokteran jilid 2. Media aesculapius. Jakarta

Cole, Warren H And Zolinger Robert M. Textbook Of Surgery, Ninth Edition. New

York : Medith Corporation

Rasjad Chairuddin, 2007, pengatar ilmu bedah ortopedi edisi ketiga, jakarta : PT.Yarsif

Watampone

Appley A Graham & Salmon Louis, 1995. Orthopedi Dan Fraktur Sistem, Edisi Ke

Tujuh, Cetakan Pertama, Jakarta : Widya Medika

(online) tersedia :

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/135/jtptunimus-gdl-nurhidayah-6731-1-babi.pdf

(09 februari 2014)

(online) tersedia :

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/135/jtptunimus-gdl-nurhidayah-6731-2-babii.pdf

(09 februari 2014)

(online) tersedia :

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22361/4/Chapter%20II.pdf

(09 februari 2014)

25