fraktur
DESCRIPTION
nfsjsjfaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan
umumnya di karenakan rudapaksa (Mansjoer, 2008). Dikehidupan sehari hari yang
semakin padat dengan aktifitas masing- masing manusia dan untuk mengejar
perkembangan zaman, manusia tidak akan lepas dari fungsi normal musculoskeletal
terutama tulang yang menjadi alat gerak utama bagi manusia, tulang membentuk
rangka penujang dan pelindung bagian tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-otot
yang menggerakan kerangka tubuh,. namun dari ulah manusia itu sendiri, fungsi tulang
dapat terganggu karena mengalami fraktur. Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan
lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau
tidak lengkap (Mansjoer, 2008). Fraktur Cruris merupakan suatu istilah untuk patah
tulang tibia dan fibula yang biasanya terjadi pada bagian proksimal, diafisis, atau
persendian pergelangan kaki. Pada beberapa rumah sakit kejadien fraktur cruris
biasanya banyak terjadi oleh karena itu peran perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan trauma musculoskeletal pada fraktur cruris akan semakin besar sehingga
di perlukan pengetahuan mengenai anatomi, fisiologi, dan patofisiologi tulang normal
dan kelainan yang terjadi pada pasien dengan fraktur cruris (Depkes RI, 2005).
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat di tahun 2011 terdapat lebih dari 5,6 juta
orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1.3 juta orang mengalami
kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup tinggi yaitu
insiden fraktur ekstrimitas bawah sekitar 40% dari insiden kecelakaan yang terjadi.
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi diintegritas pada tulang. Penyebab
terbanyaknya adalah insiden kecelakaan, tetapi factor lain seperti proses degeneratif dan
osteoporosis juga dapat berpengaruh terhadap terjadinya fraktur (Depkes RI, 2011).
Kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja merupakan suatu keadaan yang tidak di
inginkan yang terjadi pada semua usia dan secara mendadak. Angka kejadian kecelakaan
lalu lintas di kota Semarang sepanjang tahun 2011 mencapai 217 kasus, dengan korban
meninggal 28 orang, luka berat 40 orang, dan luka ringan sejumlah 480 orang ( Polda
Jateng, 2011). Berbagai penyebab fraktur diantaranya cidera atau benturan, faktor
1
patologik,dan yang lainnya karena faktor beban. Selain itu fraktur akan bertambah dengan
adanya komplikasi yang berlanjut diantaranya syok, sindrom emboli lemak, sindrom
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, dan avaskuler nekrosis. Komplikasi lain dalam
waktu yang lama akan terjadi mal union, delayed union, non union atau bahkan
perdarahan. (Price, 2005) Berbagai tindakan bisa dilakukan di antaranya rekognisi, reduksi,
retensi, dan rehabilitasi. Meskipun demikian masalah pasien fraktur tidak bisa berhenti
sampai itu saja dan akan berlanjut sampai tindakan setelah atau post operasi.
2
1.2 Tujuan Pembahasan
Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang diharapkan berguna
bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Dimana tujuannya dibagi
menjadi dua macam yang pertama secara umum makalah ini bertujuan menambah
wawasan mahasiswa/I dalam menguraikan suatu persoalan secara holistik dan tepat, dan
melatih pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/I fakultas kedokteran, dimana pemikiran
ilmiah tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang dokter agar mampu menganalisis suatu
persoalan secara cepat dan tepat. Sedangkan secara khusus tujuan penyusunan makalah ini
ialah sebagai berikut :
a. Melengkapi tugas small group discussion skenario empat, modul sembilan
belas tentang fraktur, dislokasi dan spunal collum atau spinal cord
b. Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis.
c. Sebagai bahan referensi mahasiswa/I Fakultas Kedokteran UISU dalam
menghadapi ujian akhir modul.
Itulah merupakan tujuan dalam penyusunan makalah ini, dan juga sangat diharapkan
dapat berguna setiap orang yang membaca makalah ini. Semoga seluruh tujuan tersebut
dapat tercapai dengan baik
1.3 Metode dan Teknik
Dalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode yang sering
digunakan dalam pembahasan-pembahasan makalah sederhana, yaitu dengan
menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari sumber
data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis sehinggga diperoleh
informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu berbagai referensi yang
didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang akan
dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah ini.
Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam penyusunan makalah ini.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Fraktur
2.1.1 Defenisi Fraktur
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang, penyebab terbanyak
adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif juga dapat
berpengaruh terhadap kejadian fraktur. Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas
struktur tulang berupa retakan, pengisutan ataupun patahan yang lengkap dengan fragmen
tulang bergeser.
2.1.2 Klasifikasi Fraktur
Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar,
bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis.
A. Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar
Fraktur dapat dibagi menjadi :
1. Fraktur tertutup (closed),bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar.
2. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat
(menurut R. Gustillo), yaitu:
a. Derajat I :
Luka <1 cm
Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif ringan
Kontaminasi minimal
b. Derajat II :
Laserasi >1 cm
Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi
Fraktur kominutif sedang
Kontaminasi sedang
4
c. Derajat III :
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan
neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur terbuka derajat III terbagi
atas:
Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat
laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat kominutif yang
disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau
kontaminasi masif.
Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat
kerusakan jaringan lunak.
B. Berdasarkan bentuk patahan tulang
1. Transversal
Adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang atau
bentuknya melintang dari tulang. Fraktur semacam ini biasanya mudah dikontrol dengan
pembidaian gips.
2. Spiral
Adalah fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul akibat torsi ekstremitas
atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan
lunak.
3. Oblik
Adalah fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana garis patahnya
membentuk sudut terhadap tulang.
4. Segmental
Adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen tulang yang retak dan ada
yang terlepas menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darah.
5. Kominuta
Adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau terputusnya keutuhan jaringan
dengan lebih dari dua fragmen tulang.
6. Greenstick
Adalah fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak lengkap dimana korteks tulang
sebagian masih utuh demikian juga periosterum. Fraktur jenis ini sering terjadi pada anak –
anak.
5
7. Fraktur Impaksi
Adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang berada
diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan dua vertebra lainnya.
8. Fraktur Fissura
Adalah fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang berarti, fragmen
biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan reduksi.
Gambar 1. Fraktur Berdasarkan Hubungan Tulang
Fraktur Terbuka FrakturTertutup
Gambar 2. Fraktur Berdasarkan Bentuk Patahan Tulang
Transversal Spiral Oblik
Segmental
6
Kominuta Greenstick Impaksi Fissura
2.1.3 Etiologi Fraktur
Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan terjadinya
fraktur diantaranya peristiwa trauma (kekerasan) dan peristiwa patologis.
A. Peristiwa Trauma (kekerasan)
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik terjadinya kekerasan itu,
misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil, maka tulang akan patah tepat di tempat
terjadinya benturan. Patah tulang demikian sering bersifat terbuka, dengan garis patah
melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam
hantaran vektor kekerasan. Contoh patah tulang karena kekerasan tidak langsung adalah
bila seorang jatuh dari ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu. Yang patah selain
tulang tumit, terjadi pula patah tulang pada tibia dan kemungkinan pula patah tulang paha
dan tulang belakang. Demikian pula bila jatuh dengan telapak tangan sebagai penyangga,
dapat menyebabkan patah pada pergelangan tangan dan tulang lengan bawah.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah tulang. Patah tulang akibat
tarikan otot biasanya jarang terjadi. Contohnya patah tulang akibat tarikan otot adalah
patah tulang patella dan olekranom, karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi.
7
B. Peristiwa Patologis
1. Kelelahan atau stres fraktur
Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan aktivitas berulang – ulang pada suatu
daerah tulang atau menambah tingkat aktivitas yang lebih berat dari biasanya. Tulang akan
mengalami perubahan struktural akibat pengulangan tekanan pada tempat yang sama, atau
peningkatan beban secara tiba – tiba pada suatu daerah tulang maka akan terjadi retak
tulang.
2. Kelemahan Tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya suatu tulang akibat
penyakit infeksi, penyakit metabolisme tulang misalnya osteoporosis, dan tumor pada
tulang. Sedikit saja tekanan pada daerah tulang yang rapuh maka akan terjadi fraktur.
2.1.4 Patofisiologi Fraktur
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit
(Smelter dan Bare, 2002). Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar
tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel
darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat
tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut
callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan
berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot.
Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2002 ). Trauma
pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak seimbangan, fraktur terjadi
dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan
jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare,
2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi
antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang
8
perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan
berkurangnyan kemampuan prawatan diri (Carpenito, 2007). Reduksi terbuka dan fiksasi
interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku.
Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu
sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak
mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan
operasi (Price dan Wilson, 2006).
2.1.5 Manifestasi Klinis Fraktur
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi,
spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang di rancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan deformitas,
ekstrimitas yang bias di ketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang
normal. Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat dari trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cedera (Smelzter dan Bare, 2002).
2.1.6 Pemeriksaan Fraktur
Menurut Doenges ( 2000) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien fraktur antara
lain:
1. Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2. Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI : memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak
9
3. Pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).
Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse multiple,
atau cedera hati.
2.1.7 Penatalaksanaan Fraktur
Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan
pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. 1.
Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan
bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (manipulasi/ reposisi) Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi
fragmen fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya.
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi
terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak
kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan
kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan (Mansjoer, 2002). 3. Retensi (Immobilisasi) Upaya yang dilakukan untuk
menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur
direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran
yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna
atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin,
dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi
intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna
adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan
memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal
dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk
fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan
pelvis (Mansjoer, 2000).
10
Gambar 3 : Pemasangan OREF pada tibia dan fibula
Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang diletakkan pada bagian
proksimal dan distal terhadap daerah atau zona trauma, kemudian pin-pin tersebut
dihubungkan satu sama lain dengan rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang
berfungsi untuk menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary
treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive treatment berdasarkan
lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan lunak (Muttaqin, 2008). 4.
Rehabilitasi Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari
atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera dimulai melakukan
latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer,
2000).
2.1.8 Komplikasi Fraktur
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) dan Price (2005) antara lain:
A. Komplikasi awal fraktur antara lain:
1. syok, sindrom emboli lemak, sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi,
avaskuler nekrosis.
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah
eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan penurunan oksigenasi)
dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur
ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
11
b. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh darah
karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena
katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam
lemak dan memudahkan terjasinya globula lemak pada aliran darah.
c. Sindroma Kompartement
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang
dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena penurunan
ukuran kompartement otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat,
penggunaan gibs atau balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi kompatement
otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah
(misalnya : iskemi,dan cidera remuk).
d. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada nadi, CRT
menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi
pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
e. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bias juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
f. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan adanya
Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001).
B. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union, delayed
union, dan non union.
a. Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam
posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupaka penyembuhan tulang ditandai
dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
12
b. Delayed Union Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union
merupakankegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan
tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke
tulang.
c. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion di tandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi
palsu atau pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang
(Price dan Wilson, 2006).
2.2 Dislokasi
2.2.1 Defenisi Dislokasi
Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi
berhubungan secara anatomis (tulang lepas dari sendi ). Atau dislokasi adalah suatu
keadaan keluarnya ( bercerainya ) kepala sendi dari mangkuknya. Dislokasi merupakan
suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. Bila terjadi patah tulang didekat
sendi atau mengenai sendi disertai luksasi sendi yang disebut fraktus dislokasi. Dislokasi
ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh
komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi)
2.2.2 Klasifikasi Dislokasi
Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Dislokasi kongenital
Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan
2. Dislokasi patologik
Kibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi, misalnya tumor, infeksi, atau
osteoporosis tulang ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang.
3. Dislokasi traumati
Merupakan kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami
stres berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat edema (karena mengalami
pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari
13
jaringan sekelilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen saraf, dan
sistem vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.
Berdasarkan tipe kliniknya dibagi :
1. Dislokasi akut
Umumnya terjadi pada shoulde, elbow, dan hip. Desertai nyeri akut dan pembengkakan
disekitar sendi.
2. Dislokasi kronik
3. Dislokasi berulang
Jika suatu trau dislokasi pada sendi diiukti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut
dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi
padashoulder joint dan patello femoral joint.
2.2.3 Etiologi Dislokasi
Dislokasi disebabkan oleh :
1. Trauma : jika disertai fraktur, keadaan ini disebut fraktus dislokasi
a. Cedera olahraga
Olahraga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki, serta
olahraga yang beresiko jatuh misalnya ; terperosok akibat bermain ski, senam
volly. Pemain basket dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi
pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain
lain.
b. Trauma yang tidak berhubungan dengan olahraga
Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasnya menyebabkan dislokasi
c. Terjatuh
Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin, dll.
2. Kongenital
Sebagian anak dilahirkan dengan dislokasi, misalnya dislokasi pangkal paha, pada
keadaan ini anak dilahirkan dengan dislokasi sendi pangkal paha secara klinik tungkai
yang satu lebih pendek dibanding tungkai yang lainya dan pantat bagian kiri serta
kanan tida simetris. Dislokasi congenital ini dapat bilateral (dua sisi). Adanya
kecurigaan yang paling kecilpun terhadap kelainan kongenital ini mengeluarkan
pemeriksaan klinis yang cermat dan sianak diperiksa dengan sinar X, karena tindakan
dini memberikan hasil yang sangat baik. Tindakan dengan reposisi dan pemasangan
14
bidai selama beberapa bulan, jika kelainan ini tidak ditemukan secara dini, tindakan
akan jauh sulit dan diperlukan pembedahan.
3. Patologis
Akibat destruksi tulang, misalnya tuberkulosis tulang belakang. Dimana patologis
terjadi tear ligament dan kapsul artikular yang merupakan komponen vital penghubung
tulang.
2.2.4 Patofisiologi Dislokasi
Biasanya disebabkan karena faktor fisik yang memaksa sendi untuk bergerak lebih dari
jangkauan normalnya, yang menyebabkan kegagalan tekanan, baik pada komponen tulang
sendi, ligamen dan kapsul fibrous, atau pada tulang maupun jaringan lunak. Struktur-
struktur tersebut lebh mudah terkena bila yang mengontrol sendi tersebut kurang kuat.
2.2.5 Manifestasi Klinis Dislokasi
Nyeri terasa hebat .Pasien menyokong lengan itu dengan tangan sebelahnya dan segan
menerima pemeriksaan apa saja. Garis gambar lateral bahu dapat rata dan ,kalau pasien tak
terlalu berotot suatu tonjolan dapat diraba tepat di bawah klavikula.
Nyeri
perubahan kontur sendi
perubahan panjang ekstremitas
kehilangan mobilitas normal
perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi
deformitas
kekakuan
2.2.6 Diagnosis Dislokasi
1. Anamnesa : perlu ditanyakan tentang :
a. Rasa nyeri
b. Adanya riwayat trauma
c. Mekanisme trauma
d. Ada rasa sendi yang keluar
e. Bila trauma minimal dan kejadian yang berulang, hal ini dapat terjadi pada
dislokasi rekurrens
2. Pemeriksaan klinis
15
a. Deformitas
Hilangnya penonjolan tulang yang normal
Pemendekan
Kedudukan yang khas untuk dislokasi tertentu
b. Bengkak
c. Terbatasnya gerakan atau gerak yang abnormal
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologis untuk memastikan arah dislokasi dan apakah disertai fratur.
Pemeriksaan diagnostik dengan cara pemeriksaan sinar-X (pemeriksaan X-ray)
2.2.7 Penatalaksanaan Dislokasi
Penatalaksaan dislokasi sebagai berikut
1. Lakukan reposisi segera
2. Dislokasi sendi kecil dapat direposisi ditempat kejadian tanpa anastesi, misalnya :
dislokasi siku, dislokasi bahu, dislokasi jari pada fase syok, sislokasi bahu, siku atau
jari dapat direposisi dengan anastesi lokal dan obat penenang misalnya valium.
3. Dislokasi sendi besar misalnya panggul memerlukan anastesi umum
4. Dislokasi reduksi
Dikembalikan ketempat semula dengan menggunakan anastesi jika dislokasi berat
5. Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi dan dikembalikan kerongga
sendi
6. Sendi kemudian dimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips, atau traksi dan dijaga agar
tetap dalam posisi stabil. Beberapa hari sampai minggu setelah eduksi dilakukan
mobilisasi halus 3-4 x sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran sendi.
7. Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa penyembuhan.
2.2.8 Komplikasi Dislokasi
Komplikasi Dini
a. Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat mengkerutkan otot deltoid
dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut
b. Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak
c. Fraktur disloksi
Komplikasi lanjut.
16
a. Kekakuan sendi bahu:Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi
bahu, terutama pada pasien yang berumur 40 tahun.Terjadinya kehilangan rotasi
lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi
b. Dislokasi yang berulang:terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari
bagian depan leher glenoid
c. Kelemahan otot
2.2 Spinal Cord
2.3.1 Defenisi Spinal Cord
Spinal cord injury dapat didefenisikan sebagai berikut :
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis, lumbalis akibat
trauma, jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga (Arifin Cit
Sjamsuhidayat, 1997)
Spinal cord injury adalah cedera yang terjadi karena trauma spinal cord atau tekanan pada
spinal cord karena kecelakaan.
Spinal cord injury dapat didefenisikan sebagai kerusakan atau trauma sumsum tulang
belakang yang mengakibatkan berkurangnya mobilitas atau perasaan (sensasi)
Spinal cord injury terjadi ketika sumsum tulang belakang rusak, sehingga mengakibatkan
hilangnya beberapa sensasi da kontrol motorik.
Spinal cord injury adalah suatu tekanan terhadap sumsum tulang belakang yang
mengakibatkan perubahan, baik sementara ataupun permanen, dimotorik normal, indera
atau fungsi otonom.
Spinal cord injury terjadi ketika suatu (seperti tulang, disk, atau benda asing) masuk atau
mengenai spinal dan merusak spinal cord atau suplai darah
2.3.2 Klasifikasi Spinal Cord
Klasifikasi fraktur dapat mengambil berbagai bentuk tergantung dari besar kecilnya
kerusakan anatomis atau berdasarkan stabil atau tidak stabil. ’Major Fracture’ bila fraktur
mengenai pedikel, lamina atau korpus vertebra. ’Minor Fracture’ bila fraktur terjadi pada
prosesus transversus, prrosesus spinosus atau prosesus artikularis.
17
Gambar 1. Major Frcture Gambar 2. Minor Fracture
Suatu fraktur disebut ’stable’, bila kolumna vertebralis masih mampu menahan beban fisik
dan tidak tampak tanda – tanda pergeseran atau deformitas dari struktur vertebra dan
jaringan lunak. Suatu fraktur disebut ’unstable’, bila kolumna vertebralis tidak mampu
menahan beban normal, kebanyakan menunjukkan deformitas dan rasa nyeri serta adanya
ancaman untuk terjadi gangguan neurologik.
Metode Klasifikasi Dennis
Metode ini dipakai untuk menilai fraktur didaerah torakolumbal dan daerah cervical.
Gambar 3. Tampak lateral dari 2 buah korpus vertebra
Penilaian ini berdasarkan ’Teori 3 Kolom’ dari vertebra.
1. Bagian Anterior adalah ligamentum longitudinale anterior dan 2/3 bagian depan dari
korpus vertebra dan diskus.
2. Bagian Tengah (Middle) adalah 1/3 bagian posterior dari korpus vertebra dan diskus
serta ligamentum longitudinale posterior.
18
3. Bagian Posterior adalah pedikel, lamina, facets, dan ligamentum posterior. Kolom
Tengah (Middle Column) adalah “kunci” dari stabilitas.
Klasifikasi Magerl
Klasifikasi ini dipakai untuk menilai fraktur daerah torakolumbal.
Gambar 4. Klasifikasi Magerl pada fraktur torakolumbal
Terdapat 3 jenis fraktur berdasarkan mekanismenya (mechanism of failure):
1. Type A
Compressive loads
2. Type B
Distraction forces
3. Type C
Multidirectional forces and translation
2.3.3 Etiologi Spinal Cord
Cedera tulang belakang paling umum disebabkan oleh :
a. Kecelakaan saat berkendara.
b. Jatuh.
c. Tindak kekerasan.
19
d. Cedera saat olahraga.
e. Konsumsi alkohol.
f. Penyakit. Misalnya kanker, artritis, osteoporosis.
2.3.4 Patofisiologi Spinal Cord
Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus terbanyak cedera
spinal corg mengenai daerah servical dan lumbal. Cedera dapat terjadi akibat hiperfleksi,
hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada tulang belakang.
Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi,
kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera spinal cord dapat berupa
memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran
darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan memblok saraf parasimpatis untuk melepaskan
mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat
dan akut anastesi. Iskemia dan hipoksia syok spinal, gangguan fungsi rektum serta
kandung kemih. Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen dan potensial
komplikasi, hipotensi bradikardi dan gangguan eliminasi.
Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang terkena,
jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan mengalami tetraplegia dengan
kehilangan fungsi pernapasan atau sistem muskular total, jika cendrung mengenai saraf C-
4 dan C-5 akan terjadi tetraplegia dengan kerusakan, menurunnya kapasitas paru,
ketergantungan total terhadap aktivitas sehari-har, jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7
pasien akan mengalami tetraplegia dengan beberapa gerakan lengan atau tangan yang
memungkinkan untuk melakukan sebagian aktivitas sehari-hari. Jika terjadi kerusakan
pada spinal C-7 sampai T-1 seseorang akan mengalami tetraplegia dengan keterbatasan
menggunakan jari tangan, meningkat kemandiriannya. Pada T-2 sampai L-1 akan terjadi
paraplegia dengan fungsi tangan dan berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen
masih baik, jika terjadi cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka seseorang tersebut
akan kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.
2.3.5 Manifestasi Klinis Spinal Cord
Gejala-gejalanya adalah :
a. Tidak dapat bergerak.
20
b. Tidak dapat merasakan, misalnya sentuhan, panas atau dingin.
c. Tidak dapat mengontrol buang air kecil maupun besar.
d. Refleks berlebih atau kejang.
e. Perubahan fungsi seksual dan kesuburan.
f. Nyeri yang amat sangat pada leher, kepala dan punggung.
g. Kesulitan bernafas.
h. Lemah, bagian tubuh tidak dapat berkoordinasi.
i. Sulit berjalan dan hilang keseimbangan.
j. Posisi leher atau punggung, berubah.
2.3.6 Pemeriksaan Spinal Cord
Tes yang dapat dilakukan adalah :
a. x-rays
b. CT scan
c. MRI.
2.3.7 Penatalaksanaan Spinal Cord
Prinsip-prinsip utama penatalaksanaan trauma spinal :
4. Immobilisasi
5. Stabilisasi Medis
6. Mempertahankan posisi normal vertebra (”Spinal Alignment”)
7. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal
8. Rehabilitasi.
A. Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan sampai ke
unit gawat darurat.. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi
normal; dengan menggunakan ’cervical collar’. Cegah agar leher tidak terputar (rotation).
Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas yang keras. Pasien
diangkat/dibawa dengan cara “men lift” atau menggunakan ’Robinson’sorthopaedic
stretcher’.
B. Stabilisasi medis
Terutama sekali pada penderita tetraparesis/etraplegia.
1. Periksa vital signs
21
2. Pasang ’nasogastric tube’
3. Pasang kateter urin
4. Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi
jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor AGDA
(analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic shock. Pemberian megadose Methyl
Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat
memperbaiki konntusio medula spinalis.
C. Spinal alignment
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau Gardner-Wells
tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi diberikan dengan beban
yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai terjadi reduksi.
D. Dekompresi dan stabilisasi spinal
Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’ dengan cara
tertutup ini gagal maka dilakukan ’open reduction’ dan stabilisasi dengan ’approach’
anterior atau posterior.
E. Rehabilitasi
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini adalah
’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi –
fungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia.
2.3.8 Komplikasi Spinal Cord
Komplikasi yang mungkin ditimbulkan adalah :
a. Gangguan pada kandung kemih. Tidak dapat mengontrol kandung kemih dan
meningkatkan resiko infeksi.
b. Gangguan pada kerja usus. Sulit mengontrol buang air besar.
c. Gangguan pada indra peraba.
d. Gangguan pada peredaran darah.
e. Gangguan pernafasan.
f. Gangguan seksual.
g. Rentan terhadap penyakit lain. Keterbatasan gerak dapat membuat Anda terkena
obesitas dan diabetes.
h. Depresi.
22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang, penyebab
terbanyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif juga dapat
berpengaruh terhadap kejadian fraktur. Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas
struktur tulang berupa retakan, pengisutan ataupun patahan yang lengkap dengan fragmen
tulang bergeser.
fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki dan perempuan dengan umur dibawah 45
tahun dan sering berhubungan dengan olah raga, pekerjaan atau kecelakaan. Sedangkan
pada usia lanjut prevalensi cendrung lebih banyak terjadi pada wanita berhubungan dengan
adanya osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon. Pada kondisi lebih lanjut,
penderita fraktur kemungkinan besar akan mengalami tindakan amputasi apabila kondisi
fraktur tidak tertolong. Penanganan segera pada pasien dicurigai terjadinya fraktur adalah
dengan mengimobilisasi sebagian fraktur, hal ini adalah salah satu metode mobilisasi
fraktur dengan mobilisasi fraktur dengan fiksasi interna melalui operasi orief. Penanganan
tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi
berhubungan secara anatomis, diagnosa dislokasi ditegakkan melaului anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Dalam menangani kasus dislokasi, kita
harus mengetahui macam dislokasi komplikasi dan penanganannya.
Spinal cord injury atau cedera tulang belakang. Adalah cedera pada bagian tulang
belakang atau pada saraf tulang belakang, umumnya menyebabkan gangguan permanen
pada fungsi tubuh. Untungnya, rehabilitasi dan perawatan dapat membantu memperbaiki
keadaan tersebut. Kemampuan seseorang menggerakan tungkai setelah mengalami cedera
pada tulang belakang, tergantung dari letak cedera dan seberapa parah cedera tersebut.
Cedera tulang belakang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu, yang hanya mempengaruhi
sebagian fungsi gerak dan yang mempengaruhi hampir seluruh fungsi gerak.
23
3.2 Saran
Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para pembaca dan
mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya :
a. Kombinasikan metode pembuatan makalah berikutnya.
b. Pembahsan yang lebih mendalam disertai data-data yang lebih akurat.
Beberapa poin diatas merupakan saran yang kami berikan apabila ada pihak-pihak
yang ingin melanjutkan penelitian terhadap makalah ini, dan demikian makalah ini disusun
serta besar harapan nantinya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususunya
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara semester V/2014 dalam
penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan
24
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, A. DKK. 2000.kapita slekta kedokteran jilid 2. Media aesculapius. Jakarta
Cole, Warren H And Zolinger Robert M. Textbook Of Surgery, Ninth Edition. New
York : Medith Corporation
Rasjad Chairuddin, 2007, pengatar ilmu bedah ortopedi edisi ketiga, jakarta : PT.Yarsif
Watampone
Appley A Graham & Salmon Louis, 1995. Orthopedi Dan Fraktur Sistem, Edisi Ke
Tujuh, Cetakan Pertama, Jakarta : Widya Medika
(online) tersedia :
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/135/jtptunimus-gdl-nurhidayah-6731-1-babi.pdf
(09 februari 2014)
(online) tersedia :
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/135/jtptunimus-gdl-nurhidayah-6731-2-babii.pdf
(09 februari 2014)
(online) tersedia :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22361/4/Chapter%20II.pdf
(09 februari 2014)
25