prinsip penatalaksanaan fraktur

Upload: agathariyadi

Post on 10-Oct-2015

198 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

orthopedi, fraktur

TRANSCRIPT

Prinsip Penatalaksanaan Fraktur

Penanganan AwalSebelum dilakukan terapi definitif terhadap fraktur, perlu diperhatikan pertolongan pertama (prinsip ATLS), kemudian selanjutnya menilai adanya kemungkinan terjadinya komplikasi atau cedera lain yang terkait, dan kemudian resusitasi.Pertolongan PertamaJika terdapat dokter di tempat kejadian, dokter tersebut dapat memastikan airway bebas, mengawasi adanya perdarahan eksternal, menutup luka dengan balut, mengimobilisasi tungkai yang fraktur, dan memastikan pasien nyaman saat menunggu kedatangan ambulans.Jika perlu memindahkan pasien dengan fraktur tulang panjang, biasanya rasa nyeri berkurang jika pada tungkai diberikan traksi. Jika diduga ada fraktur colum spinalis, perlu adanya perlakuan khusus dalam transportasi, mewaspadai cedera pada spinal cord atau kauda equina yang dapat terjadi atau diperparah. Hal yang terpenting adalah hindari fleksi pada spine, karena fleksi dapat menyebabkan dapat menyebabkan atau meningkatkan vertebral displacement, yang membahayakan spinal cord. Pada tipe fraktur tertentu, ekstensi juga dapat membahayakan cord. Pasien harus dipindahkan ke permukaan yang rata, dengan menghindari fleksi maupun ekstensi. Jika terdapat cervical collar, perlu digunakan untuk melindungi leher sebelum memindahkan pasien, menghindari fleksi maupun ekstensi.Imobilisasi sementara tulang panjang pada ekstremitas bawah dapat dilakukan dengan mengikat kedua tungkai. Tungkai yang sehat dapat menjadi splint sementara. Pada ekstremitas atas, dapat dilakukan support dengan membebat lengan ke dada, dengan menambahkan penggunaan sling.Turniket diperlukan untuk mengontrol perdarahan yang hebat. Perdarahan biasa lainnya dapat dikontrol dengan bebat kuat pada sebuah alas. Jika terdapat perdarahan dengan pulsasi yang persisten, walaupun telah dilakukan bebat, maka sebaiknya pasien berbaring, kemudian dipasang turniket. Sebelumnya, dilakukan tekanan kuat pada pada arteri. Jika dipasang turniket, pasien sebaiknya mengetahui waktu pemasangan turniket tersebut. Jika perlu, disertakan catatan beserta pasien untuk memastikan turniket tidak terpasang terlalu lama.Jika diberikan morfin atau obat-obatan serupa pada tempat kejadian, perlu diberikan catatan bersamaan dengan pasien ke rumah sakit.Pemeriksaan FisikPemeriksaan menyeluruh perlu dilakukan sebelum pemeriksaan cedera skeletal. Pemeriksaan ekstremitas dapat menemukan:1. Apakah terdapat luka yang berhubungan dengan fraktur2. Apakah terdapat bukti cedera vaskuler3. Apakah terdapat bukti cedera saraf4. Apakah terdapat bukti cedera visceralResusitasiBanyak pasien dengan multiple fraktur, atau fraktur dengan cedera visceral, datang ke RS dengan kondisi syok. Sebelum dilakukan terapi definitif, perlu dilakukan resusitasi dan mengatasi cedera yang bersifat life-threatening. Akibat kehilangan darah dalam jumlah besar, dapat terjadi syok hemoragik. Penanganan yang segera diperlukan adalah penambahan segera volume sirkulasi darah, dengan transfusi, atau plasma ekspander, atua pengganti darah lainnya.

Penanganan Fraktur TertutupTiga prinsip dasar penanganan fraktur yang ada adalah reduksi, imobilisasi dan preservasi fungsi.ReduksiReduksi dilakukan apabila diperlukan. Pada banyak fraktur, tidak diperlukan reduksi, karena tidak ada displacement atau displacement tidak berpengaruh pada hasil akhir (gambar 3.1). Perlu pengalaman untuk menentukan apakah pada suatu kasus diperlukan reduksi atau tidak. Jika diperkirakan fungsi yang sempurna dapat kembali tepat waktu, maa tidak perlu dilakukan reduksi anatomis yang sempurna walaupun terdapat beberapa displacement dari fragmen yang belum diperbaiki.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa imerfect apposition dari fragmen dapat diterima, daripada imperfect alignment (gambar 3.1). Contohnya, pada batang femur dengan hilangnya kontak lebih dari setengah diameter mungkin masih dapat diterima, sedangkan deformitas angular 20 biasanya membutuhkan perbaikan. Ketika permukaan sendi terlibat dalam fraktur, fragmen artikuler harus selalu dikembalikan fungsinya senormal mungkin, untuk menurunkan risiko osteoarthritis.Metode reduksi:1. Reduksi dengan manipulasi tertutupMerupakan metode awal reduksi yang dilakukan pada kebanyakan fraktur. Biasanya dilakukan dengan anestesi umum, namun terkadang cukup dengan anestesi lokal atau regional. Teknik yang dilakukan dengan menggenggam fragmen melalui jaringan lunak, mendorong bila perlu, dan mengatur posisi fragmen sedemikian rupa menyerupai posisi yang seanatomis mungkin.2. Reduksi dengan traksi mekanik dengan atau tanpa manipulasiApabila otot yaang terlibat besar membutuhkan tenaga yang kuat, dibutuhkan suatu sistem bantuan mekanis untuk membantu fragmen kembali ke posisi semula. Hal ini khususnya diterapkan pada fraktur batang femur, dan beberapa tipe fraktur atau displacement pada vertebra cervical.Traksi dapat dilakukan dengan pemberat atau dengan alat screw, kemudian tujuannya untuk mencapai reduksi penuh dengan cepat dengan anestesia, atau menunggu reduksi bertahap dengan prolonged traction tanpa anestesia.3. Operative reductionApabila reduksi yang tertutup tidak dapat dilakukan, dengan metode konservatif, maka fragmen direduksi melalui pengawasan langsung dalam operasi terbuka. Open reduction dapat dibutuhkan pada beberapa fraktur yang melibatkan permukaan artikuler, atau jika fraktur menyebabkan kerusakan pada nervus atau arteri. ImobilisasiIndikasi ImobilisasiAda tiga alasan untuk melakukan imobilisasi pada fraktur:1. Untuk mencegah displacement/angulasi fragmenJika dimungkinkan kembali pada posisi yang semula, biasanya tidak diperlukan imobilisasi untuk mencegah displacement lebih jauh. Akan tetapi, pada fraktur batang tulang panjang, biasanya diperlukan imobilisasi untuk menjaga posisi fragmen tetap dalam posisi yang benar.2. Untuk mencegah pergerakan yang dapat mengganggu proses unionImobilisasi terutama diperlukan apabila pergerakan dapat merobek kapiler disekitar fraktur. Ada tiga fraktur yang memerlukan imobilisasi untuk memantapkan union, yaitu tulang scaphoid, batang ulna, dan collum femoris. Contoh fraktur yang dapat sembuh tanpa imobilisasi adalah costae, clavicula, scapula, dan fraktur pelvis yang stabil. Imobilisasi juga tidak diperlukan pada beberapa fraktur humerus dan femur, dan berbagai fraktur metacarpal, metatarsal, dan phalanx.3. Untuk mengurangi nyeriSekitar setengah kasus fraktur, dilakukan imobilisasi untuk meringankan nyeri.

Jika tidak terdapat indikasi diatas, maka tidak perlu untuk dilakukan imobilisasi. Jika diperlukan reduksi, maka diperlukan juga imobilisasi untuk mencegah redisplacement.Metode Imobilisasi1. Plaster Paris cast atau splint eksternal lainPada hampir seluruh fraktur, metode standar imobilisasi adalah dengan plaster of Paris cast. Untuk beberapa jenis fraktur, splint yang dibuat dari logam, kayu atau plastik lebih baik contohnya, Thomas splint untuk fraktur pada batang femur, atau plastik collar untuk cedera vertebra cervical.

Selain plaster of Paris, splint yang digunakan biasanya digunakan untuk tungkai atas dan tungkai bawah (gambar 3.10 dan 3.11), dan untuk jari. Splint individual dapat juga dibuat dari aluminium, kawat, atau plastik (seperti pada gambar 3.12).

Jika plaster dilakukan pada fraktur yang masih baru, atau setelah operasi pada ekstremitas, perlu dilakukan pengawasan terhadap kemungkinan gangguan sirkulasi. Timbulnya pembengkakan pada plaster atau splint yang ketat dapat mengganggu sirkulasi arteri menuju bagian distal ekstremitas. Periode yang perlu diwaspadai adalah diantara 12 hingga 36 jam setelah cedera atau operasi. Cast bracing (functional bracing) adalah teknik dimana tulang panjang yang mengalami fraktur disokong secara eksternal oleh plaster of Paris atau dengan material plastik sedemikian rupa sehingga gerakan sendi masih bisa dilakukan dan ekstremitas masih dapat digunakan secara normal. Functional bracing terutama digunakan untuk fraktur batang femur atau tibia.

2. Traksi kontinuPada beberapa fraktur, khususnya fraktur batang femur dan bebrapa fraktur batang tibia, atau pada distal batang humerus kemungkinan sulit untuk menjaga fragmen pada posisi yang baik hanya dengan plaster atau splint eksternal. Khusus untuk hal ini, apabila fraktur bentuk spiral atau oblique, karena tarikan elastis otot, akan membuat fragmen distal tertarik ke proksimal sehingga overlap dengan fragmen proksimalnya. Pada kasus seperti ini, tarikan otot perlu diseimbangkan dengan traksi kontinu pada fragmen distal, dengan beban atau dengan alat mekanis lainnya (gambar 3.14).

3. Eksternal fiksasiEksternal fiksasi dilakukan dengan menempelkan setiap fragmen dengan pin Steinmann dan menggabungkan ujung pin yang menonjol keluar dengan plaster of Paris spllint. Pin dimasukkan dari salah satu sisi tulang. Dua atau tiga pin dimasukkan kedalam setiap fragmen, dan ujung yang menonjol keluar dijepit pada fiksator, yang terletak pada permukaan kulit, paralel dengan tulang yang fraktur. Eksternal fiksasi dilakukan pada managemen fraktur terbuka atau terinfeksi, dimana penggunaan internal fiksasi seperti plate atau nail tidak dapat digunakan karena risiko memicu atau memperparah infeksi.Ilizarov frame, menggunakan kawat yang lebih tipis daripada pin, untuk memfiksasi bagian proksimal dan distal fragmen ke dalam lingkaran. Lingkaran fiksator dihubungkan dengan batang longitudinal yang kaku, yang dapat diatur panjang dan angulasinya. Ilizarov digunakan untuk koreksi deformitas secara gradual, dan juga gapat digunakan untuk mengisi defek tulang dan mengembalikan ukuran panjang tulang yang memendek.

4. Internal fiksasiInternal fiksasi dilakukan pada keadaan berikut: Untuk melakukan kontrol fraktur ekstremitas apabila metode konservatif dapat mengganggu manajemen cedera berat lainnya, misalnya pada kepala, thorax, atau abdomen. Sebagai metode pilihan pada beberapa fraktur tertentu, untuk menetapkan imobilisasi pada fraktur dan memungkinkan mobilitas segera, misalnya pada pasien usia lanjut dengan fraktur trochanter. Apabila perlu untuk operasi fraktur untuk memastikan reduksi yang adekuat. Pada close fracture, apabila tidak mungkin memposisikan fragmen hanya dengan splinting.Metode internal fiksasi: Plat logam dengan screws dan plateMetode ini digunakan pada tulang panjang. Biasanya cukup dengan plate dengan 6 lubang, tetapi untuk tulang yang lebih besar dibutuhkan plat dengan 8 lubang. Fiksasi dengan plate biasa mempunyai kerugian yaitu fragmen tulang tidak dapat ditekan dalam kontak yang dekat.Locking plate, menggunakan screw dengan kepala, yang berulir dan ketika dikencangkan terfiksasi pada ulir yang ada pada plat. Prosedur ini menjadikan fiksasi yang lebih rigid, baik pada panjang dan sudutnya. Intramedullary nail, dengan atau tanpa fiksasi cross-screwTeknik ini baik untuk berbagai faktur pada tulang panjang, terutama ketika fraktur terletak di tengah batang tulang panjang. Teknik ini biasa digunakan pada fraktur femur dan tibia. Dynamic compression screw-plateMerupakan metode standar untuk fiksasi pada fraktur collum femoris dan fraktur trochanter (gambar 15.3). komponen screw, yang menyatukan femoral head, memungkinkan fragmen tulang terkompresi bersama sepanjang fraktur. Efek kompresi muncul dengan mengencangkan screw pada dasar barrel. Condylar screw-plate Tension band wiringTeknik fiksasi biasa digunakan pada patella dan olecranon, tetapi dapat juga digunakan paada fragmen kecil metafiseal lain seperti maleolus medialis.

Penggunaan transfixion screw sangat luas dalam fiksasi fragmen kecil misalnya capitulum humerus, processus olecranon pada ulna atau maleolus medialis pada tibia. Kirschner wire fixation merupakan suatu wire fleksibel dengan ujung yang tajam, terdapat dalam beberapa ukuran, dan dapat menjadi elternatif dari transfixion screw untuk fiksasi fragmen tulang yang kecil atau untuk fraktur pada tulang kecil pada tangan dan kaki.RehabilitasiRehabilitasi sebaiknya dimulai sesegera mungkin setelah penatalaksanaan definitif terhadap fraktur dilakukan. Rehabilitasi bertujuan 1) menjaga fungsi sebaik mungkin sementara fraktur menyatu, dan 2) mengembalika fungsi ke normal ketika fraktur telah menyatu. Dua metode esensial dalam rehabilitasi adalah penggunaan aktif dari bagian yang cedera, dan latihan aktif dari sendi dan otot, dengan kontraksi statik otot.(Hamblen et al., 2007).

Pengananan fraktur terbukaPrinsip penangananTujuan penanganan awal adalah membersihkan luka, dan jika perlu, membuang semua jaringan yang nekrotik dan material asing, dan menyisakan jaringan yang vaskularisasinya baik yang dapat melawan infeksi dari organisme yang masih mungkin tersisa setelah dilakukan proses pembersihan luka. Luka sebaiknya tidak diperiksa berulang kali, tetap ditutup oleh balut steril hingga siap dibuka dalam kondisi optimum di ruang operasi (Hamblen et al., 2007).Penanganan di IGDSetelah trauma survvey dan resusitasi terhadap cedera atau kondisi lain yang bersifat life-threatening teratasi, prinsip penanganan open fracture:1. Melakukan pemeriksaan fisik dan radiologi secara seksama.2. Bila terjadi perdarahan dapat dilakukan tekan langsung, lebih efektif daripada dengan turniket ekstremitas atau blind clamping. 3. Memulai pemberian antibiotik parenteral4. Memeriksa kerusakan jaringan lunak; meletakkan kassa yang dibasahi NaCl pada luka.5. Melakukan reduksi sementara, memasang splint.6. Melakukan intervensi operatif: fraktur terbuka memerlukan penanganan emergensi ortopedik, karena tersbukti bahwa intevensi yang dilakukan kurang dari 8 jam dapat menurunkan insidensi infeksi luka dan osteomyelitis.Penggunaan antibitoik untuk fraktur terbuka.1. Pada fraktur terbuka grade I dan II, diberikan antibiotik cefalosporin generasi pertama, misalnya cefazolin, dengan dosis 1 gram per 8 jam.2. Pada fraktur terbuka grade III, diberikan antibiotik cefalosporin generasi pertama, misalnya cefazolin, dengan dosis 1 gram per 8 jam, dan ditambah dengan pemberian aminoglikosida 3-5 mg/kgBB/hari, tergantung dari fungsi renal.3. Pada cedera di lahan pertanian, luka yang sangat kotor, diberikan antibiotik cefalosporin generasi pertama, misalnya cefazolin, dengan dosis 1 gram per 8 jam, dan ditambah dengan pemberian aminoglikosida 3-5 mg/kgBB/hari, ditambah dengan pennicillin sebanyak 2 juta unit setiap 4 jam (atau metronidazole 500mg setiap 6 jam).Pencegahan TetanusProfilaksis tetanus sebaiknya diberikan di IGD. Dosis toxoid 0,5 ml untk semua usia. Untuk imunoglobulin, dosis yang diberikan adalah 75 U untuk pasien 10 tahun. Baik toksoid maupun imunoglobulin diberikan secara intramuskuler.1. Jika riwayat imunisasi tidak lengkap, tidak diketahui diberikan toksoid dan imunoglobulin.2. Jika imunisasi lengkap, telah berlangsung >10 tahun sejak booster terakhir, diberikan toksoid.3. Jika imunisasi lengkap, < 10 tahun sejak booster terakhir, tidak diberikan toksoid maupun imunoglobulin.Terapi OperatifIrigasi dan debridementIrigasi dan debridement yang adekuat adalah hal yang paling penting dilakukan pada penanganan fraktur terbuka: Luka harus diperluas secara proksimal dan distal dari daerah cedera Dilakukan debridement, dimulai dari kulit dan jaringan lemak subkutan. Tendon harus dipertahankan kecuali rusak berat atau terkontaminasi, Permukaan fraktur harus terekspos, dengan reka mekanisme cedera. Irigasi lavage, dengan atau tanpa antibiotik. Mempertahankan kondisi hemostasis, karena perdarahan dapat berpengaruh, dan pembentukan clot dapat menambah keparahan dead space dan jaringan yang rusak. Fasciotomi, khususnya pada lengan depan atau tungkai. Penutupan luka dilakukan setelah debridement, dengan diawasi tanda dan gejala sepsis. Luka, jika dibiarkan terbuka, dibalut dengan kassa basah NaCl, atau vacuum assisted sponge, atau kassa antibiotik. Dilakukan serial debridement setiap 24-48 jika perlu hinga tidak ada bukti jaringan nekrotik lagi.Stabilisasi frakturPada fraktur terbuka dengan kerusakan luas jaringanl lunak, stabilisasi fraktur dapat melindungi adanuya cedera jaringan lunak tambahan, dan akses maksimum untuk perawatan luka dan mobilisasi.(Koval dan Zuckerman, 2006).

Daftar PustakaHamblen D.L. Hamish A. Simpsin W. Adams J.C. 2007. Adams Outline of Fractures Including Joint Injuries Twelfth Edition. Philadelphia: Churchill Livingstone. Pp: 29-51.Koval K.J and Zuckerman J.D. 2006. Handbook of Fractures Third Edition. Lippincott Williams & Wilkins. (ebook)