lp fraktur multiple
DESCRIPTION
Fraktur MultipleTRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR
DISUSUN OLEH:
PROGRAM PROFESI NERS
UNIVERSITAS SAHID
SURAKARTA
FRAKTUR
A. PENGERTIAN
Menurut Suddarth (2002:2353) Fraktur adalah diskontiunitas jaringan tulang yang
banyak disebabkan karena kekerasan yang mendadak atau tidak atau kecelakaan.
Menurut Santoso Herman (2000:144) Fraktur adalah terputusnya hubungan normal
suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Carpenito 2000:43)
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu lagi
menahan tekanan yang diberikan kepadanya. (Doenges, 2000:625)
Fraktur Multiple adalah trauma tulang pada lebih dari dua fraktur yang disebabkan oleh
rudapaksa, misal: kecelakaan, benturan hebat yang ditandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas dan lain-lain.
Fraktur ada beberapa jenis :
1. Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami
pergeseran (bergeser pada posisi normal)
2. Fraktur tidak komplit : patah hanya terjadi pada sebagian garis tengah tulang
3. Fraktur tetutup (frakur simple) : tidak terjadi robekan kulit
4. Fraktur terbuka(fraktur komplikatal kompleks) : merupakan fraktur dengan luka
pada kulit atau membrana mukosa sampai kepatahan tulang. Fraktur terbuka
digradasi menjadi :
- Grade I : dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya
- Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif
- Grade III : Yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan
lunak ekstensif, merupakan yang paling berat.
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Sjamsuhidajat, 2004).
Pada operasi ini dilakukan incisi untuk pemasangan internal fiksasi yang dapat berupa
intra medullary nail sehingga akan terjadi kerusakan pada kulit, jaringan lunak dan
luka pada otot yang menyebabkan terjadinya oedema, nyeri, keterbatasan lingkup
gerak sendi serta gangguan fungsional pada tungkai bawah.
Pada kasus ini, hal pertama yang dapat dilakukan adalah dengan incisi. Dengan incisi
maka akan terjadi kerusakan pada jaringan lunak dan saraf sensoris. Apabila pembuluh
darah terpotong dan rusak maka cairan dalam sel akan menuju jaringan dan
menyebabkan oedema. Oedema ini akan menekan saraf sensoris sehingga akan
menimbulkan nyeri pada sekitar luka incisi. Bila terasa nyeri biasanya pasien
cenderung untuk malas bergerak. Hal ini akan menimbulkan perlengketan jaringan otot
sehingga terjadi fibrotik dan menyebabkan penurunan lingkup gerak sendi (LGS) yang
dekat dengan perpatahan dan penurunan nilai kekuatan otot.
Waktu penyembuhan pada fraktur sangat bervariasi antara individu satu dengan
individu lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain :
usia pasien, jenis fraktur, banyaknya displacement, lokasi fraktur, pasokan darah pada
fraktur dan kondisi medis yang menyertai (Garrison, 1996). Dan yang paling penting
adalah stabilitas fragmen pada tulang yang mengalami perpatahan. Apabila stabilitas
antar fragmen baik maka penyembuhan akan sesuai dengan target waktu yang
dibutuhkan atau diperlukan.
Secara fisiologis, tulang mempunyai kemampuan untuk menyambung kembali setelah
terjadi perpatahan pada tulang. Pada fraktur, proses penyambungan tulang dibagi
dalam 5 tahap yaitu :
1. Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur
(Apley, 1995). Hal ini mengakibatkan gangguan suplay darah pada tulang yang
berdekatan dengan fraktur dan mematikannya (Maurice King, 2001).
2. Proliferasi
Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di
bawah periosteum dan di dalam saluran medulla yang tertembus. Hematoma yang
membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke
dalam daerah itu (Apley, 1995).
3. Pembentukan callus
Selama beberapa minggu berikutnya, periosteum dan endosteum menghasilkan
callus yang penuh dengan sel kumparan yang aktif. Dengan pergerakan yang lembut
dapat merangsang pembentukan callus pada fraktur tersebut (Maurice King, 2001).
4. Konsolidasi
Selama stadium ini tulang mengalami penyembuhan terus-menerus. Fragmen yang
patah tetap dipertahankan oleh callus sedangkan tulang mati pada ujung dari
masing-masing fragmen dihilangkan secara perlahan dan ujungnya mendapat lebih
banyak callus yang akhirnya menjadi tulang padat (Maurice King, 2001). Ini adalah
proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat
untuk membawa beban yang normal (Apley, 1995).
5. Remodeling
Tulang yang baru terbentuk, dibentuk kembali sehingga mirip dengan struktur
normal (Appley, 1995). Semakin sering pasien menggunakan anggota geraknya,
semakin kuat tulang baru tersebut (Maurice King, 2001).
B. JENIS FRAKTUR
Fraktur ada beberapa jenis :
1. Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami
pergeseran.
2. Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang
3. Fraktur tertutup : fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit
4. Fraktur terbuka : fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke
patahan tulang.
5. Greenstick : fraktur dimana salah satu sisi tulang patah,sedang sisi lainnya
membengkak.
6. Transversal : fraktur sepanjang garis tengah tulang
7. Kominutif : fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa frakmen
8. Depresi : fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam
9. Kompresi : Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang
belakang)
10. Patologik : fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen atau tendo pada
daerah perlekatannnya.
Klasifikasi Fraktur
1. Fraktur berdasarkan derajat atau luas garis fraktur terbagi menjadi :
a. Fraktur complete, dimana tulang patah terbagi menjadi dua bagian (fragmen) atau
lebih,
b. Fraktur incomplete (parsial). Fraktur parsial terbagi lagi menjadi :
1) Fissure / Crack / Hairline, tulang terputus seluruhnya tetapi masih di tempat,
biasa terjadi di tulang pipih.
2) Greenstick Fracture, biasa terjadi pada anak-anak dan pada os. radius, ulna,
clavikula dan costae.
3) Buckle Fracture, fraktur dimana korteksnya melipat ke dalam.
2. Berdasarkan garis patah atau konfigurasi tulang:
a. Transversal, garis patah tulang melintang sumbu tulang (80-1000 dari sumbu
tulang)
b. Oblik, garis patah tulang melintang sumbu tulang (<800 atau >1000 dari sumbu
tulang)
c. Longitudinal, garis patah mengikuti sumbu tulang
d. Spiral, garis patah tulang berada di dua bidang atau lebih
e. Comminuted, terdapat dua atau lebih garis fraktur.
3. Berdasarkan hubungan antar fragman fraktur :
a. Undisplace, fragment tulang fraktur masih terdapat pada tempat anatomisnya
b. Displace, fragmen tulang fraktur tidak pada tempat anatomisnya, terbagi atas :
1) Shifted Sideways, menggeser ke samping tapi dekat
2) Angulated, membentuk sudut tertentu
3) Rotated, memutar
4) Distracted, saling menjauh karena ada interposisi
5) Overriding, garis fraktur tumpang tindih
6) Impacted, satu fragmen masuk ke fragmen yang lain.
4. Secara umum berdasarkan ada tidaknya hubungan antara tulang yang fraktur dengan
dunia luar, fraktur juga dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Fraktur tertutup, apabila kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh
b. Fraktur terbuka, apabila kulit diatasnya tertembus dan terdapat luka yang
menghubungkan tulang yang fraktur dengan dunia luar yang memungkinkan
kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang sehingga cenderung
untuk mengalami kontaminasi dan infeksi. fraktur terbuka dibagi menjadi tiga
derajat, yaitu :
1) Derajat I
a) luka kurang dari 1 cm
b) kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
c) fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
d) Kontaminasi ringan.
2) Derajat II
a) Laserasi lebih dari 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
c) Fraktur komuniti sedang.
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
C. ETIOLOGI
Trauma
Gerakan pintir mendadak
Kontraksi otot ekstem
Keadaan patologis : osteoporosis, neoplasma
D. PATOFISIOLOGI
Ketika tulang patah, sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah dan ke dalam jaringan lunak di sekitar tulang tersebut. jaringan lunak biasanya
mengalami kerusakan akibat cedera. Reaksi inflamasi yang intens terjadi setelah patah
tulang. Sel darah putih dan sel mast terakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan
aliran darah ke area tersebut. fagositosis dan pembersihan sel dan jaringan mati
dimulai. Bekuan fibrin (hematoma fraktur) terbentuk di tempat patah dan berfungsi
sebagai jala untuk melekatnya sel-sel baru. Aktivitas osteoblas akan segera terstimulasi
dan terbentuk tulang baru imatur, disebut kalus. Bekuan fibrin segera direabsorpsi dan
sel tulang baru secara perlahan mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Tulang sejati menggantikan kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi.
Penyembuhan memerlukan waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan (fraktur
pada anak sembuh lebih cepat). Penyembuhan dapat terganggu atau terhambat apabila
hematoma fraktur atau kalus rusak sebelum tulang sejati terbentuk, atau apabila sel
tulang baru rusak selama kalsifikasi dan pengerasan.
Etiologi
Trauma (langsung atau tidak langsung), patologi
Fraktur (terbuka atau tertutup)
Perubahan fragmen tulang kerusakan pada jaringan dan pembuluh darah
Perdarahan lokal
Hematoma pada daerah fraktur
Aliran darah ke daerah distal berkurang atau terhambat
(warna jaringan pucat, nadi lemas, cianosis, kesemutan)
Kerusakan neuromuskuler
Gangguan fungsi organ distal
Gangguan mobilitas fisik
Fraktur terbuka ujung tulang menembus otot dan kulit
Luka
Kuman mudah masuk Gangguan integritas kulit
Resiko tinggi infeksi
Kehilangan integritas tulang
Ketidakstabilan posisi fraktur, apabila organ fraktur digerakkan
Fragmen tulang yang patah menusuk organ sekitar
Sindroma kompartemen keterbatasan aktifitas
Defisit perawatan diri
Gangguan rasa nyaman nyeri
Pathways
E. MANIFESTASI KLINIS
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi,
hematoma, dan edema
Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat
diatas dan dibawah tempat fraktur
Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya
Pemeriksaan jumlah darah lengkap
Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
Kreatinin : trauma otot meningkatkanbeban kreatinin untuk klirens ginjal
G. PENATALAKSANAAN
Reduksi fraktur terbuka atau tertutup : tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang
yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula.
Imobilisasi fraktur
Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna
Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan
Pemberian analgetik untuk mengerangi nyeri
Status neurovaskuler (misal: peredarandarah, nyeri, perabaan gerakan) dipantau
Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalakan atrofi disuse
dan meningkatkan peredara darahPenatalaksanaan Fraktur
Prinsip penanganan fraktur meliputi rekognisi, traksi, reduksi imobilisasi dan
pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
1. Rekognasi
Pergerakan relatif sesudah cidera dapat mengganggu suplai neurovascular
ekstremitas yang terlibat. Karena itu begitu diketahui kemungkinan fraktur tulang
panjang, maka ekstremitas yang cedera harus dipasang bidai untuk melindunginya
dari kerusakan yang lebih parah.
Kerusakan jaringan lunak yang nyata dapat juga dipakai sebagai petunjuk
kemungkinan adanya fraktur, dan dibutuhkan pemasangan bidai segera dan
pemeriksaan lebih lanjut. Hal ini khususnya harus dilakukan pada cidera tulang
belakang bagian servikal, di mana contusio dan laserasio pada wajah dan kulit
kepala menunjukkan perlunya evaluasi radiografik, yang dapat memperlihatkan
fraktur tulang belakang bagian servikal dan / atau dislokasi, serta kemungkinan
diperlukannya pembedahan untuk menstabilkannya. (Smeltzer C dan B. G Bare,
2001)
2. Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk
meluruskan bentuk tulang. Ada 2 macam yaitu:
a. Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menempelkan
plester langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membantu
menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera, dan biasanya digunakan
untuk jangka pendek (48-72 jam).
b. Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera pada sendi
panjang untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan pins / kawat ke
dalam tulang.
3. Reduksi
Dalam penatalaksanaan fraktur dengan reduksi dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Reduksi Tertutup / ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragment tulang pada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi, dapat dilakukan
untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur,
namun prinsip yang mendasarinya tetap sama.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus disiapkan untuk menjalani
prosedur dan harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika
diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anesthesia.Ekstremitas
yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut. Reduksi tertutup pada banyak kasus, reduksi tertutup
dilakukan dengan mengembalikan fragment tulang ke posisinya (ujung-ujungnya
saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
b. Reduksi Terbuka / OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
Pada Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau yang biasa
dikenal dengan OREF, biasanya dilakukan pada fraktur yang terjadi pada tulang
panjang dan fraktur fragmented. Eksternal dengan fiksasi, pin dimasukkan
melalui kulit ke dalam tulang dan dihubungkan dengan fiksasi yang ada dibagian
luar. Indikasi yang biasa dilakukan penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi
adalah fraktur terbuka pada tulang kering yang memerlukan perawatan untuk
dressings. Tetapi dapat juga dilakukan pada fraktur tertutup radius ulna.
Eksternal fiksasi yang paling sering berhasil adalah pada tulang dangkal tulang
misalnya tibial batang.
4. Imobilisasi Fraktur
Setelah fraktur di reduksi, fragment tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan
dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksternal meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna.
Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai
interna untuk mengimobilisasi fraktur.
H. KOMPLIKASI
malunion : tulang patah telahsembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan kecepatan
yang lebih lambat dari keadaan normal.
Non union : tulang yang tidak menyambung kembali
I. PENGKAJIAN PRIMER
1. Airways
- Sumbatan atau penumpukan secret
- Wheezing atau krekles
2. Breathing
A. Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat
B. RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal
C. Ronchi, krekles
D. Ekspansi dada tidak penuh
E. Penggunaan otot bantu nafas
3. Circulation
- Nadi lemah, tidak teratur
- Takikardi
- TD meningkat / menurun
- Edema
- Gelisah
- Akral dingin
- Kulit pucat, sianosis
- Output urine menurun
J. PENGKAJIAN SEKUNDER.
Pengkajian sekunder dilakukan dengan menggunakan metode SAMPLE, yaitu:
S : Sign and Symptom.
Tanda gejala terjadinya penyakit.
A : Allergies
Riwayat alergi yang diderita klien atau keluarga klien. Baik alergi obat-
obatan ataupun kebutuhan akan makan / minum.
M : Medications
Pengobatan yang diberikan pada klien sebaiknya yang sesuai dengan
keadaan klien dan tidak menimbulka reaksi alergi. Pemberian obat
dilakukan sesuai dengan riwayat pengobatan klien.
P : Previous medical / surgical history.
Riwayat pembedahan atau masuk rumah sakit sebelumnya.
L : Last meal (Time)
Waktu klien terakhir makan atau minum.
E : Events / Environment
Lingkungan yang berhubungan dengan penyakit atau yang mempengaruhi.
K. DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL
1. Nyeri berhubungan dengan fraktur tulang, spasme otot, edema, kerusakan jaringan
lunak
2. Kerusakan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan imobilisasi, penurunan
sirkulasi, fraktur terbuka
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidaknyamanan, imobilisasi
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, kerusakan kulit, trauma jaringan
L. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan fraktur tulang, spasme otot, edema, kerusakan jaringan
lunak
Tujuan : nyeri berkurang
Kriteria hasil : klien mengatakan nyeri berkurang
Intervensi :
a) Kaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri
Rasional : Untuk menentukan tindakan keperawatan yang tepat
b) Imobilisasi bagian yang sakit
Rasional : Untuk mempertahankan posisi fungsional tulang
c) Tingikan dan dukung ekstremitas yang terkena
Rasional : Untuk memperlancar arus balik vena
d) Dorong menggunakan teknik manajemen relaksasi
Rasional : Agar klien rileks
e) Berikan obat analgetik sesuai indikasi
Rasional : Untuk mengurangi nyeri
2. Kerusakan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan imobilisasi, penurunan
sirkulasi, fraktur terbuka
Tujuan : tidak terjadi kerusakan integritas kulit
Kriteria : klien memperlihatkan integritas kulit tetap baik
Intervensi :
a) Kaji kulit untuk luka terbuka terhadap benda asing, kemerahan, perdarahan,
perubahan warna
Rasional : Memberikan informasi mengenai keadaan kulit klien saat ini
b) Massage kulit, pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan
Rasional : Menurunkan tekanan pada area yang peka dan berisiko rusak
c) Ubah posisi dengan sering
Rasional : Untuk mencegah terjadinya dekubitus
d) Bersihkan kulit dengan air hangat / nacl
Rasional : Mengurangi kontaminasi dengan agen luar
e) Lakukan perawatan luka secara steril
Rasional : Untuk mengurangi resiko gangguan integritas kulit
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidaknyamanan,
imobilisasi
Tujuan : mobilitas fisik tidak terganggu
Kriteria : meningkatkan / mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi
yang mungkin
Intervensi :
a) Kaji derajat imobilisasi yang dihasilkan oleh cidera
Rasional : Untuk menentukan tindakan keperawatan yang tepat
b) Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik
Rasional : Melatih kekuatan otot klien
c) Bantu dalam rentang gerak pasif / aktif yang sesuai
Rasional : Melatih rentang gerak aktif / pasif klie secara bertahap
d) Ubah posisi secara periodik
Rasional : Untuk mencegah terjadinya dekubitus
e) Kolaborasi dengan ahli terapis / okupasi dan atau rehabilitasi medik
Rasional : Melatih rentang gerak aktif / pasif klien secara bertahap
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, kerusakan kulit, trauma jaringan
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria : mencapai penyembuhan luka sesuai waktu
Intervensi :
a) Inspeksi kulit adanya iritasi atau robekan kontinuitas
Rasional : Untuk mengkaji adanya iritasi atau robekan kontinuitas
b) Kaji kulit yang terbuka terhadap peningkatan nyeri, rasa terbakar, edema,
eritema dan drainase / bau tak sedap
Rasional : Untuk mengetahui ada / tidaknya tanda-tanda infeksi
c) Berikan perawatan kulit dengan steril dan antiseptik
Rasional : Untuk mengurangi resiko infeksi
d) Tutup dan ganti balutan dengan prinsip steril setiap hari
Rasional : Untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi
e) Berikan obat antibiotic sesuai indikasi
Rasional : Untuk mencegah terjadinya infeksi
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta
Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta
Barbara C. Long, 1996, Perawatan Medikal Bedah, volume 2, cetakan I EGC, Bandung.
Barbara Engram, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
Budi Anna Keliat, SKp, MSC., 1994, Proses Keperawatan, EGC, Jakarta.
Chairuddin Rasjad, Ph.D. Prof November, Pengantar Ilmu Bedah Ortophedi, cetakan III
penerbit : Lamumpatue, Makassar.