fiqh
DESCRIPTION
ta'arudh al adillahTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kajian tentang pengetahuan agama Islam pada dasarnya membicarakan dua hal
pokok. Pertama, tentang apa yang harus diyakini umat Islam dalam kehidupannya.
Pengetahuan tentang hal ini kemudian berkembang menjadi ilmu aqidah. Kedua, tentang apa
yang harus diamalkan umat Islam dalam kehidupannya. Pengetahuan tentang hal ini
kemudian berkembang menjadi ilmu syariah.
Ilmu syariah itu, pada dasarnya mengandung dua hal pokok, pertama tentang materi
perangkat ketentuan yang harus dilakukan seorang muslim dalam usaha mencari kebahagiaan
di dunia dan di akhirat kelak. Perangkat materi tersebut, secara mudahnya, disebut fikih.
Kedua, tentang cara, usaha dan ketentuan dalam menghasilkan materi fikih tersebut. Hal yang
kedua ini disebut usul fikih. Dengan demikian, usul fikih merupakan bagian yang tak dapat
dipisahkan dari ilmu pengetahuan agama Islam
Salah satu pembahasan yang sangat penting dalam ilmu usul fikih adalah ta‘arudh al-
adillah. Pembahasan tentang ta‘arudh al-adillah ini begitu penting, karena termasuk salah
satu sistem dalam cara berpikir, untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau
mangamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang
ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berpikir secara dilalah.
B.Rumusan Masalah
1.Bagaimana pengertian ta’arudh al-adillah?
2.Bagaimana syarat-syarat ta’arudh al-adillah?
3.Bagaimana macam-macam ta’arudh al-adillah?
4.Bagaimana metode penyelesaian ta’arudh al-adillah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Definisi Ta’arudh Al-adillah
Ta’arrud al-adilah ditinjau dari aspek etimologi, ta’rud (تعارض ) berarti pertentangan dan adillah ( االدلة ) adalah jama’ dari dalil ( الدليل ) yang berarti alasan,argumen,dan dalil. Persoalan ta’rud al-adillah dibahas para ulama’ dalam ilmu ushul fiqh,ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama.
Secara terminologi, ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqih tentang ta’rud al-adillah adalah :
1.Imam Syaukani,mendefinisikannya dengan “suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan,sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.”
2.Kamal ibnu Humam (790-861 H/1387-1456 M) dan Al Taftahzani (w. 792 H),keduanya ahli fiqih Hanafi,mendefinisikannya dengan “Pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan pengompromian antara keduanya.”
3. Ali Hasaballah (ahli ushul fiqih kontemporer dari mesir) mendefinisikan dengan “Terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya,yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.
Oleh sebab itu, menurut Imam Al-Syatibi, pertentangan itu bersifat semu, biasa terjadi dalam dalil yang qoth’i (pasti benar) dan dalil yang dhanni (relative benar) selama kedua dalil itu satu derajat.Apabila pertentangan itu antara kualitas dalil yang berbeda,seperti pertentangan dalil yang qoth’i dengan dalil yang zhanni,maka yang diambil adalah dalil yang qath’I atau apabila yang bertentangan itu adalah ayat Al Qur’an dengan hadits Ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu,dua atau tiga orang atau lebih yang tidak sampai tingkat mutawatir) maka dalil yang diambil adalah Al qur’an karena dari segi periwayatannya ayat-ayat Al aqur’an bersifat Qath’I,sedangkan hadits Ahad bersifat zhanni.
B.Syarat-Syarat Ta’arudh Al-adillah
Yang dimaksud syarat di sini adalah sesutu yang menyebabkan terjadinya ta’arudh. Para ulama memberikan syarat-syarat ta’arudh apabila dalil yang kontradiksi memenuhi syarat:
1.Kedua dalil yang bertentangan berbeda dalam menentukan hukum. Seperti hukum yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah : 180 dengan QS. An-Nisa : 11, mengenai harta peninggalan orang yang meninggal dunia.
2.Kedua dalil yang mengalami pertentangan berada dalam satu hukum (satu masalah). Ketika ada dalil yang tampak bertentangan akan tetapi, kedua dalil tersebut berbeda dalam menunjukan hukum, maka tidak disebut ta’arudh (pertentangan),
3.Antara dalil yang mengalami pertentangan harus terjadi dalam satu masa dalam menentukan hukum. Apabila waktunya sudah berbeda dalam penunjukan hukum, maka dalil tersebut tidak dinamakan pertentangan. Ketika terjadi ta’arudh akan tetapi waktu penunjukan hukum ayat itu berbeda maka ayat tersebut bisa disatukan. Seperti arak pada masa awal Islam hukumnya boleh, tetapi ketika turun ayat yang menunjukan bahwa arak haram, secara otomatis kedua penunjukan hukum seperti ini tidak menunjukan adanya pertentangan,
4.Kedua dalil tersebut berada dalam derajat yang sama dalam penunjukan hukum. Tidak ada perentangan antara al-Quran dengan Hadits Ahad, karena al-Quran dalam penunjukan hukumnya adalah sebagai dalil qathi”, sedangkan Hadits Ahad termasuk dalam dalil zhanni. Apabila terjadi pertentangan antara dalil qathi’ dan zahnni, maka secara otomatis dalil qathi’ yang didahulukan.
Apabila dalil-dalil qathi’ maupun zahnni terjadi pertentangan serta memenuhi syaratnya, maka yang seperti inilah yang dinamakan ta’arudh. Dari semua syarat juga harus dipenuhi oleh dalil yang ta’arudh, ketika dalil tersebut hanya memenuhi beberapa syarat, dan masih ada syarat yang belum terpenuhi, tidak disebut ta’arudh.
C.Macam-Macam Ta’arudh Al-adillah
Ada empat macam Ta’arudh al-Adillah yaitu:
1.Ta’arudh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an Seperti firman Allah SWT yang terdapat pada QS.Al-Maidah :3 yaitu :
Artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, … (QS.Al-Maidah :3).
Ayat ini nampaknya ta’arudh (bertentangan) dengan firman Allah SWT dalam QS.Al-An’am :145) yaitu :
@è% Hw ß �É`r& �Îû !$tB zÓÇrré& ¥ �n<Î) $·B§ �ptèC 4 �n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜt � HwÎ) br& �cqä3t � ºptGø �tB ÷rr& $YBy � %·nqàÿó¡¨B
Artinya : “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir…” (QS.Al-An’am : 145).
Ta’arudh antara As-Sunnah dengan As-Sunnah
Dibawah ini adalah dua Hadits yang bertentangan yaitu
(Yang artinya) “Dari Siti ‘Aisyah dan Ummi Salamah RA bahwa Nabi masuk waktu subuh dalam keadaan junub karena melakukan jimak kemudian mandi dan menjalankan puasa”. (HR.Mutafaqun Alaih).
Hadits ini bertentangan dengan hadits berikut ini:
(Yang artinya) “Bila telah dipanggil untuk sembahyang subuh,sedang salah satu di antaramu dalam keadaan junub maka jangan puasa hari itu”. (HR.Imam Ahmad dan Ibnu Hibban).
Ta’arudh antara As-Sunnah dengan Al- Qiyas Ta’arudh kedua dalil ini bisa dikemukakan antara sunnah dengan qiyas dalam menetapkan hukum kebolehan bagaimana halnya bila seseorang mengadakan jual beli unta atau kambing yang diikat putik susunya agar kelihatan besar,sedang setelah dibeli dan diperah susunya terbukti adanya gharar.
Seperti sabda Nabi Muhammad SAW
(Yang artinya) : “Janganlah hendaknya anda mengikat susu unta ataupun kambing (agar kelihatan besar),barangsiapa membelinya sesudah terjadi demikian,maka boleh memilih di antara dua pandangan yang dianggap baik,bila menghendaki boleh melangsungkan jual beli itu atau mengembalikannya dengan membayar satu sha’ dari tamar. (HR.Mutafaqun ‘alaih dari Abi Hurairah).
Dalam Hadits ini disebutkan bahwa bila memilih pengembalian (untuk kambing) maka pembeli harus membayar satu sha’ dari tamar. Hal ini merupakan pendapat Jumhur Ulama’. Sedangkan Ulama’ Hadawiyah, berpendapat bahwa lebih sesuai dengan mengembalikan perahan susu itu bila masih dan bila telah habis dengan mengganti harga susu itu,hal ini diqiyaskan pada tanggungan bila menghabiskan atau merusak barang orang lain, maka pihak yang menggunakan barang orang lain tersebut harus mengganti sejumlah atau senilai dengan barang yang telah dipergunakan.
Ta’arudh antara Qiyas dengan Qiyas Ta’arudh ini bisa dicontohkan dari pengqiasan terhadap masalah perkawinan Nabi Muhammad SAW terhadap Siti ’Aisyah
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yaitu :
(Yang artinya) : ”Dari ‘Aisyah ,beliau berkata: Rasulullah mengawini saya ketika saya berumur enam tahun dan mengumpuliku ketika saya sebagai gadis yang telah berumur sembilan tahun”..(H.R.Muslim dari ‘Aisyah).
Atas dasar hadits, diambil hukum kebolehan (boleh) orang tua mengawinkan anaknya yang belum dewasa (masih di bawah umur) tanpa izin yang bersangkutan. Hal ini merupakan pendapat Ulama’ Hanafiyah, sedang Ulama’ Syafi’iyah menganggap karena kegadisannya. Dengan demikian kalau telah tsayyib sekalipun masih belum dewasa orang tua tak mempunyai hak ijbar (memaksa). [6]