tugas ushul fiqh dan qowaid fiqh

34
DAFTAR ISI Kata Pengantar................................ x Daftar Isi ................................... 1 A. Pendahuluan................................ 2 B. Pembahasan................................. 2 A. Kaidah Pertama........................... 4 B. Kaidah Kedua ........................... 6 C. Kaidah Ketiga............................ 12 D. Kaidah Keempat .......................... 15 C. Kesimpulan................................. 29 D. Daftar Rujukan............................. 30 1

Upload: moh-husen

Post on 16-Sep-2015

292 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

penerapan kaidah fiqh serta ushul fiqh

TRANSCRIPT

DAFTAR ISI

Kata PengantarxDaftar Isi 1A. Pendahuluan2B. Pembahasan2A. Kaidah Pertama 4B. Kaidah Kedua 6C. Kaidah Ketiga 12D. Kaidah Keempat 15C. Kesimpulan29D. Daftar Rujukan30

BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang

Al-Qur'an merupakan kalam Allah yang didalamnya terdapat sebuah hukum yang dibebankan oleh asy Syari' kepada manusia sebagai penerima taklif yang sehingga perlu sebuah displin ilmu untuk mengkaji lebih dalam terkait ruang lingkup taklif. Hukum-hukum yang terkandung didalam al-Qur'an ketika dilihat dari segi kejelasan lafadz secara dhahir dan secara makna, maka ada yang dapat dipahami secara lagsung tanpa membutuhkan dalil lain, adapula yang perlu dikaji lebih dalam dengan dalil lain baik dalil tersebut sesama ayat al-Qur'an ataupun Hadist Nabi. Istinbath hukum dengan jalan ilmu Ushul Fiqh merupakan usaha dalam pengaplikasianya untuk memperoleh sebuah makna hukum yang tersirat dalam al-Qur'an yang didukung dengan ilmu Qawaid Al fiqhiyyah. Ilmu ini inilah yang akan dikaji dalam makalah ini. Dalam ilmu kaidah fiqh terdapat banyak sekali kaidah yang membantu manusia dalam merumuskan hukum, akan tetapi dalam makalah ini yang akan dibahas adalah terfokus pada kajian empat kaidah, yang meliputi permasalahan halal dan haram, mafsadah, kemudahan dalam ibadah dan kepemimpinan. Alasan dasar makalah ini perlu untuk dikaji lebih dalam adalah pentingnya sebuah pemahaman dasar dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang Allah berikan kepada manusia, yang sehingga diharapkan didapatkan sebuah pemahaman dasar yang mendalam dan mengakar yang dapat dijadikan sebuah acuan untuk merumuskan sebuah masalah terutama hukum fikih dalam masa yang berbeda.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian dan dasar hukum kaidah tentang permasalahanhalal dan haram, mafsadah, kemudahan dalam ibadah serta aspek kepemimpinan?2. Bagaimanapenerapan kaidah tersebut dalam kajian kekinian?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian dan dasar hukum kaidah tentang permasalahanhalal dan haram, mafsadah, kemudahan dalam ibadah serta aspek kepemimpinan2. Untuk mengetahuipenerapan kaidah tersebut dalam kajian kekinian

D. Manfaat Kajian

1. Kaidah yang dikaji dapat dipahami dan diterapkan dalam permasalah fikih sesuai konteksnya2. Kaidah yang dikaji membantu proses berfikir serta disiplin ilmu dalam memahami serta penerapanya3. Memberikan Khazanah pemikiran yang vertikal bahwa al-Qur'an adalah ilmu pengetahuan yang bersifat mutlak

BAB IIPEMBAHASANA. Kaidah Pertama Apabila berkumpul antara yang halal dengan yang haram maka dimenangkan oleh yang haram. [footnoteRef:2] [2: Abdul Mujib. Kaidah-kaidah ilmu fiqh. h 31]

adalah segala sesuatu yang jelek, dan sebagian darinya menjelekkan kepada sebagian yang lainnya.[footnoteRef:3] adalah segala sesuatu yang baik, dansebagian darinya menjadikan baik pada sebagian yang lain dan menjernihkan pada sebagian yang lain.[footnoteRef:4] [3: Al-ghazali, Ihya' ulumuddin.Al-haramain. h 95] [4: Al-ghazali, Ihya' ulumuddin.Al-haramain. h 95]

Kaidah ini tidak sebatas ucapan tampa landing semata, namun kaidah ini berpijak pada sebauah hadits yang berbunyi:" "Yang artinya: Manakala berkumpul yang halal dan yang haram maka dimenangkan oleh yang haram. Walupun hadits ini sanadnya dhoif, akan tetapi mempunyai kaidah yang benar sesuai dengan perintah agama, yaitu untuk selalu memilih dalam segala apa yang kita lekukan sebagai bentuk usaha kita (preventif) sebelum terjadi kerusakan atau pelanggaran yang lebih besar.Pada kaidah ini, mungkin saja menjadi sebuah penghalang bagi kita, kaidah ini seakan-akan membatasi kita dalam memenuhi apa yang kita inginkan, disadari atau tidak sebagai manusia tentu selalu menginginkan hal-hal yang mudah-mudah apalagi masalah harta. Seandainya dalam kaidah ini kita bisa memilih, maka hal yang pasti kita akan lakukan adalah memilih yang halal, apalagi hanya berkumpulnya halal dengan haram, yang haram saat ini sudah bayak yang dilegalkan menjadi halal, mereka menghalalkan segala cara unutk meraih ambisi mereka. Berikut beberapa contoh yang dapat kami tulis:[footnoteRef:5] [5: Shahih Bukhori Muslim.chm]

1. Ketika Utsman bin Affan r.a ditanya tentang hukumnya mengumpulkan dua orang wanita bersaudara dalam suatu pernikahan, yang mana dari keduanya ada yang budak dan hamba sahaya. Maka beliau mengharamkan hal tersebut dengan berlandasan dua ayat alqur`an surat An-nisa` ayat 23: yang artinya: ``dan haram mengumpulkan (dalam perkawinan) dua orang wanita bersaudara dan ayat 24: yang artinya kecuali budak-budak yang kamu miliki maka dengan belandaskan dua ayat inilah Utsman bin affan mendahulukan ayat yang melarang adanya penyatuan dua saudara dalam penikahan.2. Contoh lain dapat kita lihat dalam dua hadits yang mana keduanya saling bertentangan. Hadits yang pertama berbunyi: yang artinya: bagimu (boleh berbuat sesuatu) terhadap istrimu yang sedang haid pada segala yang berada diatas kain pinggang (HR. Abu Daud) dan hadits yang kedua berbunyi: yang artinya: perbuatlah segala sesuatu (terhadap istri yang sedang haid) kecuali persetubuhan (HR. Muslim dari Anas). Hadits yang pertama menunjukkan keharaman bagi seorang suami dalam menggauli istrinya pada bagian-bagian tubuh antara pusar dan lutut ketika istri mereka dalam keadaan haid, sedangkan hadits yang kedua mengindikasikan diperbolehkannya menggauli sang istri pada saat lampu mirah menyala (haid), kecuali bersetubuh. Berlandaskan pada kaidah diatas maka hadits pertamalah yang lebih kuat untuk diaplikasikan dalam kehidupan berkluarga.Kenapa kaidah ini memenangkan haram ketika halal berada didalamnya (haram). Ada sebuah hadits yang mana hadits ini mungkin akan membuat kita lebih yakin akan kebenaran hukum yang terkandung dalam kaidah ini sehingga kita tidak ragu untuk mengaplikasikannya.Dari Abu 'Abdillah An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma berkata,"Aku mendengar Rasulullah bersabda: Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya. Ingatlah setiap raja memiliki larangan dan ingatlah bahwa larangan Alloh apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati. Bukhari Muslim.[footnoteRef:6] [6: Arbain An-nawawi.chm]

B. Kaidah Kedua Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madharatnya dengan memilih yang lebih ringan madharatnya.[footnoteRef:7] [7: Abdul Hamid Hakim, as-Sullam, juz II, (Jakarta: Maktabah as-Sadiyah Putra, 1956), h. 82]

Kaidah ini merupakan salah satu kaidah furu dari kaidah yaitu kaidah yang membahas tentang kemuaratan itu memang harus dihilangkan. Jadi konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dariidhrar(tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.[footnoteRef:8] [8: Nashr Farid Muhammad Washil, Qawaid Fiqhiyyah, h. 17.]

Kaidah ini didasari oleh banyak dalil, diantaranya :1. Dalil al QuranKisah Nabi Musa dengan Khidr. Allah berfirman : (71) (72) (73) (74) (75) (76) (77) (78) (79) (80) Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidhr) berkata: Bukankah aku telah berkata: Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku Musa berkata: Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar. Khidhr berkata: Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku? Musa berkata: Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan udzur padaku. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu. Khidhr berkata: Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).[footnoteRef:9] [9: (QS. Al Kahfi : 71-81)]

Sisi pengambilan dalil dari kisah ini, bahwa tatkala benturan antara dua mafsadah, yaitu merusak perahu dengan mafsadah akan dirampas oleh raja yang dholim, maka nab Khidhr memilih merusak, karena mafsadahnya lebih kecil. Begitu juga dengan perbuatan beliau membunuh anak kecil yang dengan wahyu dari Allah beliau mengetahui bahwa dia akan memaksa orang tuanya menjadi kafir, maka beliau membunuhnya karena pembunuhan anak kecil itu lebih kecil mafsadahnya dibandingkan kekufuran, karena orang tua mereka masih mungkin mendapatkan anak lainnya.Surat al Baqarah ayat 217[footnoteRef:10] [10: Dr. Shalih bin Ghanim al Sadlan, Al Qawaid al Fiqhiyyah al-Kubrah, (Riyad: Dar balanisyah), h. 528.]

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah[134]. dan berbuat fitnah[135] lebih besar (dosanya) daripada membunuh. mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.Dalam ayat tesebut dijelaskan "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar, dan (adalah berarti) menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah dan (menghalangi manusia dari) Masjidilharam. tetapi mengusir penduduknya dari Masjidilharam (Mekah) lebih besar lagi (dosanya) di sisi Allah"Pendapat ini dapat dijelaskan bahwa mengusir Nabi dan sahabat-sahabatnya dari Masjidilharam sama dengan menumpas agama Islam. Maka dosanya adalah lebih besar dari pada perkara sebelumnya, begitu pula fitnah di sini berarti penganiayaan dan segala perbuatan yang dimaksudkan untuk menindas Islam dan muslimin. Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: "Hai Musa, Sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu".Dalil al-Qur'an tersebut menjelaskan bahwa Nabi Musa diberi kabar oleh seorang laki-laki yang menceritakan bahwa Nabi Musa akan dibunuh. Ketika penjelesan ini kita pahami, maka hal tersebut adalah salah satu unsur Namimah (beradu) yang mana hukumnya adalah haram.Jika kita memakai kaidah ini, maka hukum Namimah yang sebelumnhya adalah haram berubah menjadi boleh, karena didalamnya terdapat unsur maslahah.[footnoteRef:11] [11: Shalih, Fiqhiyyah al-Kubrah, h. 530]

1. Dalil as Sunnah . . Dari Aisyah bahwasannya Rasulullah berkata kepadanya : Tidakkah engkau mengetahui bahwa kaummu (Quraisy) tatkala membangun kabah kurang dari pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrohim ? maka saya berkata : Ya Rasulullah, kenapa tidak engkau kembalikan kepada pondasinya Nabi Ibrahim? maka Rasulullah menjawab : Seandainya bukan karena kaummu masih baru keluar dari kekufuran niscaya akan aku lakukan. (HR. Bukhori Muslim)Sisi pengambilan dalil dari hadits ini sangat jelas, yaitu tatkala benturan antara salahnya bangunan kabah yang tidak sesuai dengan pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrohim dengan mafsadah fitnah yang akan muncul seandainya Rasulullah membongkar kabah padahal orang-orang Quraisy masih baru masuk islam, maka beliau memilih mafsadah membiarkan kabah apa adanya karena mafsadahnya lebih kecil.Dan masih banyak hadits-hadist yang menunjukkan atas hal ini.Contoh penerapan kaidah : Seandainya orang yang sholat seandainya dia berdiri akan terbuka aurotnya, sedangkan kalau sambil duduk tidak terbuka, maka dia sholat sambil duduk, karena mafsadah terbuka aurot lebih besar dibandingkan mafsadah sholat sambil duduk. Apabila seorang wanita meninggal dunia dalam keadaan di perutnya ada janin yang masih hidup dan kalau dikeluarkan dengan bedah akanbisa menyelamatkan jiwanya, maka boleh membedah perut mayit demi keselamatan bayinya.Contoh lain seperti wajibnya si kaya untuk menafkahkan sebagian hartanya kepada si fakir, sebab pada hakikatnya kemadlaratan yang dijumpai oleh si kaya dengan menafkahkan sebagian hartanya, lebih ringan dari pada si fakir yang tidak mempunyai sama sekali.

C. Kaidah Ketiga Yang mudah dilaksanakan tidak gugur/ditinggalkan karena adanya yang sukar dilaksanakanKaidah ini adalah furu' dari kaidah dengan pemahaman bahwa perintah syari'yah seluruhnya dihubungankan dengan kemampuan manusia, jika manusia sebagai taklif tidak mampu melaksanakan perintah yang wajib secara keseluruhan, maka gugurlah kewajiban tersebut.[footnoteRef:12] [12: Shalih, Fiqhiyyah al-Kubrah, h. 311.]

Pendapat lainmenjelaskan bahwa seorang mukallaf dalam melaksanakan perintah dan kemudian tidak mampu melaksanakanya secara sempurna, maka jangan tinggalkan seluruhnya, dan dianjurkan untuk melaksanakanya sesuai kemampuanya. hal ini seperti yang dijelaskan oleh al-Qur'an.[footnoteRef:13] [13: Abi Al Faid Muhammad Yasin bin Isa, Al Fawaid al Janiyyah, (Lebanon, Dar al -Basyair, 1996), cet. II, h. 346.]

Dasar aplikasi kaidah ini dijelaskan dalam al-Qur'an dan Hadist[footnoteRef:14], Allah berfirman dalam surat At Taghabun ayat 16 [14: Shalih, Fiqhiyyah al-Kubrah, h. 314]

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang beruntung.

Surat al Baqarah ayat 286

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."

Surat An-Nisa' ayat 28 Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.

Hadist Nabi Muhammad SAW:Pertama, ( ) (Apabila aku memerintahkan sesuatu, kerjakanlah menurut kemampuanmu). Kedua (Yang mudah dilaksanakan tidak gugur/ditinggalkan karena adanya yang sukar dilaksanakan). Ketiga (Sesuatu yang tidak bisa kamu kerjakan seluruhnya, jangan kau tinggalkan seluruhnnya).[footnoteRef:15] [15: Syaikh Nashir Makarim Al Syirazi, Al Qawaid Al Fiqhiyyah, Juz I (Iran: Saliman Nazdah), h. 480]

Dasar dali-dalil al-Qur'an dan Hadist tersbut menjelaskan serta menggambarkan bahwa posisi manusia hidup di dunia ini adalah diatur oleh Maha Agung dan pencipta alam semesta yakni Allah SWT yang mengatur seluruh elemen dari yang terkecil hingga terbesar, dari yang terlihat dan diketahui manusia secara akal hingga yang tidak diketahui dan tidak terlihat oleh manusia.Pentingnya kajian pemahaman tentang kaidah ini adalah bahwa dasar syariah sendiri menjelaskan kunci dari sifat Qudrah (mampu melaksanakan) dan 'Ajiz (lemah) dalam melaksanakan perintah Syari' adalah mengambil hukum yang tengah. Pemahaman ini menggambarkan bahwa seorang manusia mampu melaksanakan perintah Allah adalah atas dasar izin-Nya, baik dalam bekerja, mencari Ilmu serta kegiatan yang lain semuanya adalah atas izin darin-Nya. Maka, ketika seorang hamba tidak mampu melaksanakan perintah-Nya, hamba tersebut diberi sebuah nikmat keringanan (hukum tengah) untuk tetap melaksanakan perintahnya.[footnoteRef:16] [16: Shalih, Fiqhiyyah al-Kubrah, h. 312.]

Diantara contoh hukum yang ditetapkan oleh kaidah ini adalah sebagai berikut:1. Orang yang ujung jarinya terpotong wajib membasuh jari-jarinya yang masih ada2. orang yang tidak mampu mengangkat kedua tanganyawaktu shalat wajib menurut kemampuanya3. orang yang sedang berhadast dan terkena najis, kemudian air yang ada hanya untuk mensucikan salah satunya saja, maka air yang waib dipergunakan untuk membersihkan najis4. orang yang tidak bisa ruku' dan sujud, dan hanya bisa dilakukan dengan duduk, maka shalat boleh dilakukan dengan duduk 5. orang yang terkena luka dan dilarang terkena air wajib membasuh anggota badan yang sehat[footnoteRef:17] [17: Dr. Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa'id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), h. 182-183.]

D. Kaidah Keempat Tindakan Imam terhadap rakyat harus berdasarkan atas kemaslahatanSecara bahasa berarti Tindakan[footnoteRef:18], kebijakan[footnoteRef:19], atau kebijaksanaan[footnoteRef:20]. berarti berkaitan, dihubungkan[footnoteRef:21], bergantung[footnoteRef:22], atau berorientasi kepada[footnoteRef:23]. berarti kemaslahatan, kepentingan. Sama pengertiannya dengan yang berarti faedah atau kemanfaatan[footnoteRef:24]. [18: Adib Bisri, Munawwir AF., Kamus al-Bisri,(Surabaya; Pustaka Progressif, 1999), h. 407] [19: A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta, Kencana; 2006), cet-4, h. 147.] [20: Abdul Mudjib. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh. (Jakarta: Kalam Mulia, 1996), cet-II h. 61-62] [21: Abdul Mudjib. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh.h. 61-62] [22: A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta, Kencana; 2006), cet-4, h. 147.] [23: A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, cet-4, h. 148.] [24: Adib Bisri, Munawwir AF., Kamus al-Bisri,(Surabaya; Pustaka Progressif, 1999), h. 415]

Kata berasal dari dengan penambahan alif di awalnya yang secara arti kata berarti baik lawan kata dari buruk atau rusak. adalah mashdar dengan arti kata shalh yaitu manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan.[footnoteRef:25] [25: Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), CetI, Jilid II, h. 323]

Kata maslahah ini pun telah menjadi bahasa Indonesia yang berarti Sesuatu yang mendatangkan kebaikan.[footnoteRef:26]Adapun pengertian maslahah dalam bahasa Arab berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam arti yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau ketenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan. Jadi, setiap yang mengandung manfaat patut disebut maslahah[footnoteRef:27]. [26: W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: 1976), Huruf M, h. 635] [27: W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: 1976), Huruf M,h. 324]

Dengan demikian, arti secara bahasa dari kaidah di atas adalah Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan.Dan pengertian secara istilah dari kaidah tersebut adalah Tindakan dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemimpin atau penguasa harus sejalan dengan kepentingan umum bukan untuk golongan atau untuk diri sendiri.Penguasa adalah pengayom dan pengemban kesengsaraan rakyat.A. Djazuli menempatkan kaidah ini diurutan pertama sebagai kaidah fiqh siyasah. Menurutnya, fiqh siyasah adalah hukum Islam yang objek bahasannya tentang kekuasaan yang meliputi hukum tata negara, administrasi negara, hukum internasional dan hukum ekonomi.Fiqh siyasah pun berbicara tentang hubungan antara rakyat dan pemimpinnya sebagai penguasa yang konkret di dalam ruang lingkup satu negara atau antar negara atau dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun internasional.[footnoteRef:28] [28: A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta, Kencana; 2006), cet-4, h. 147]

1) Syarat, Rukun dan Dalil Kaidah Syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam kaidah ini adalah kemaslahatan yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan maqasid as-syari, pilihlah maslahah yang terbaik diantara maslahah yang mungkin tercapai, tutuplah dan hindari kemudaratan yang mungkin terjadi, mafsadat/mudarat yang lebih ringan lebih baik dari pada mafsadat yang berat. Kebijakan pemimpin dalam kaidah ini setidaknya bisa menimbulkan kepastian hukum bagi umatnya, sehingga perselisihan yang lebih besar dari perbedaan pendapat bisa dihindari.Rukun yang harus terpenuhi dalam kaidah ini adalaha. Adanya pemimpin yang berdaulat, diakui kepemimpinannya, memenuhi syarat-syarat sebagai pemimpin yang baik.b. Adanya rakyat atau umat yang dipimpin.c. Adanya kemaslahatan yang akan dicapai, atau menghindari kemafsadatan yang lebih besar.d. Adanya kebijakan yang berdasarkan ijtihad yang tidak bertentangan dengan maqasid as-syariKaidah ini berasal dari fatwa Imam Asy-Syafii: Kedudukan imam terhadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim.Menurut beliau, fatwa beliau adalah berasal dari fatwa Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Said bin Mansyur dari Abu Ahwash dari Abi Ishaq dari Barra bin Azib.Kaidah diatas merupakan kaidah yang ditegaskan oleh imam syafii. Imam syafii berasumsi bahwa kedudukan seorang pemimpin dalam sebuah kepemerintahan merupakan suatu kedudukan yang sama dengan kedudukan walinya anak yatim. Dari perkataan umar di atas dapat difahami bahwa seorang wali dari anak yatim memiliki hak penuh terhadap anak yatim tersebut. Apakah si wali tersebut akan mengambil hartanya lalu dimanfaatkan, jika memang butuh. Atau tidak mengambil apapun jika memang si wali tidak membutuhkannya.Begitu juga dengan Umar yang pada waktu itu menjabat sebagai pemimpin rakyat atau umat islam yang memiliki hak penuh terhadap rakyat yang dipimpinnya. Apakah ia akan membawa rakyatnya kepada ke damaian dan kesejahteraan ataukah dibawa kepada kehancuran. Oleh karena itu seorang pemimpin rakyat memiliki hak penuh terhadap rakyatnya, maka seorang pemimpin memiliki kewajiban membawa rakyatnya kepada kedamaian dan dalam memerintah harus menimbulkan kemaslahatan.Pemimpin merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah perkumpulan ataupun suatu badan. Karena tanpa seorang pemimpin maka suatu perkumpulan tidak akan berjalan dengan baik. Hal ini juga ditegaskan oleh nabi dalam salah satu haditsnya yang intinya bahwa tiap-tiap manusia itu memimpin dirinya sendiri dan dimintai pertanggung jawabannya. Begitu juga dengan seorang presiden ataupun khalifah menjadi pemimpin bagi rakyatnya dan akan dimintai pertanggung jawaban dari apa yang dipimpinnya.[footnoteRef:29] [29: Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, h. 144]

Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.Kaidah ini paling tidak bisa diartikan bahwa keputusan seorang pemimpin suatu pemerintahan haruslah selalu berorientasikan kepada kebaikan masyarakat.Karena seorang pemimpin merupakan orang yang memiliki kekuasaan terhadap yang dipimpinnya.Salah satu bentuk kekuasaan yang diperoleh oleh seorang penguasa adalah memutuskan suatu perkara atau menentukan sebuah kebijakan. Maka jika kita berpegang kepada kaidah diatas, apa yang akan diputuskan oleh seorang pemimpin atau kebijakan apa yang akan diambil haruslah memiliki orientasi yang baik, yan membawa kemashlahatan kepada yang dipimpinnya. Kalau presiden, keputusan presiden haruslah membawa kemaslahatan bagi rakyatnya.Imam SyafiI juga menganalogkan dengan konsep maslahah seperti yang telah dijelaskan oleh al-Qur'an surat al-an'am ayat 152 dan Surat al Baqarah ayat 220 Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya.dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu) dan penuhilah janji Allahyang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.

Tentang dunia dan akhirat.dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang Mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dari kedua ayat tersebut dapat diambil sebuah pemahaman bahwa harta yang ditinggalkan untuk anak yatim sangat penting untuk diketahui serta dijaga.membahas masalah harta maka tidak lepas dengan siapa yang memiliki harta tersebut. Jadi segala sesuatu yang berhubungan dengan anak yatim baik berupa harta, kehidupan, kenyamanan serta keadilanya harus tetap dijaga dengan cara yang maslahah. Dari pemahaman ini jika diqiyaskan dengan sebuah kepemimpinan, maka setiap pemimpin harus menjaga dan bersifat adil dengan konsep maslahah sesuai dengan konteks yang berlaku.Kaidah ini berhubungan dengan seorang Raja, Sultan, dan setiap yang dikatakan sebagai pemimpin sebuah wilayah yang memberlakukan hukum serta peraturan-peraturan yang yang berlaku kepada masyarakat atau wilayah tertentu.Masyarakat yang dimaksud adalah setiap manusia yang diatur dibawah hukum sebuah pemerintah.[footnoteRef:30] [30: Abi Al Faid Muhammad Yasin bin Isa, Al Fawaid al Janiyyah, (Lebanon, Dar al -Basyair, 1996), cet. II, h. 123.]

Kaidah ini berhubungan dengan kebijaksanaan penguasa/pemerintah terhadap rakyatnya.Di dalamnya terkandung penjelasan bahwa setiap kebijaksanaan dan peraturan yang ditetapkan penguasa/pemerintah harus didasarkan pada kemaslahatan dan kebaikan mereka. Dengan demikian, tindakan pemerintah yang didasarkan pada dororngan hawa nafsu, politik, kesenangan diri sendiri, serta tidak membawa kemaslahatan dan kebaikan bagi masyarakat adalah tidak dibenarkan.[footnoteRef:31] [31: Rohayana, Ilmu Qawa'id, h. 155]

2) Penerapan Kaidah Banyak contoh yang berhubungan dengan kaidah tersebut yaitu setiap kebijakan yang maslahat dan menfaat bagi rakyat maka itulah yang harus direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya kebijakan yang mendatangkan mafsadah dan memudaratkan rakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi [footnoteRef:32]. [32: A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta, Kencana; 2006), cet-4, hal. 148.]

Beberapa contoh mengenai kaidah ini adalah:1. pembagian zakat terhadap delapan asnaf harus dilaksanakan secara adil dan tepat.2. Seorang imam shalat yang fasiq dilarang menjadi imam shalat.3. Wanita yang sudah baligh ketika menikah harus mendapatkan izin walinya.4. Pembagian harta waris harus didasarkan unsur keadilan dengan pendekatan pemahaman bersama.Sedangkan diantara contoh-contoh tindakan seorang pemimpin yang memberikan kebaikan kepada rakyatnya adalah sebagai berikut:a) Dalam upaya-upaya pembangunan misalnya, membuat irigasi untuk petani, membuka lapangan pekerjaan, mengangkat pegawai-pegawai yang amanah dan profesional dan sebagainya[footnoteRef:33]. [33: A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta, Kencana; 2006), cet-4, h. 148.]

b) Sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Mawardi bahwa seseorang tidak diperkenankan mengangkat imam sholat dari orang fasik sekalipun sholat berjamaah kita bersamanya sah, karena hal tersebut bersifat makruh. Karena itu, seorang pemimpin harus menjaga kemashlahatan. Sedangkan membawa rakyat kepada hal-hal yang makruh itu tidak bersifat kemaslahatan.[footnoteRef:34] Padahal seorang pemimpin harus membawa atau memberikan kemashlahatan bagi rakyatnya. Maka secara tidak langsung seorang pemimpin harus memutuskan bahwa seorang imam shalat bukanlah orang yang fasik. [34: Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, h. 84]

BAB IIIPENUTUP

A. Kesimpulan

1. Hukum yang terkandung dalam kaidah yang dikaji dapat diaplikasikan kepada masyarakat secara luas dengan ketentuan dan batasan yang sudah ada2. Hukum yang terkandung dalam kaidah yang dikaji dapat diformualsikan sesuai konteks serta berubahnya waktu.

DAFTAR PUSTAKAAl-ghazali, Ihya' `ulumuddin.Al-haramain.Abdul Mujib, Kaidah-kaidah ilmu fiqh.Kalam mulya, Jakarta. 2001Abdul Hamid Hakim, as-Sullam, juz II, Maktabah as-Sadiyah Putra, Jakarta. 1956Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid II. Logos Wacana Ilmu, Jakarta. 1999Adib Bisri, Munawwir AF., Kamus al-Bisri,Surabaya; Pustaka Progressif, 1999A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Jakarta, Kencana; 2006Ghanim al Sadlan, Shalih bin, Al Qawaid al Fiqhiyyah al-Kubrah, Riyad: Dar balanisyahMakarim Al Syirazi, Syaikh Nashir, Al Qawaid Al Fiqhiyyah, Juz I Iran: Saliman NazdahMuchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan FiqhiyahNashr Farid Muhammad Washil, dkk. Qawaid Fiqhiyyah. Jakarta. 2009Rohayana, Ade Dedi, Ilmu Qawa'id Fiqhiyyah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008).Yasin bin Isa, Abi Al Faid Muhammad, Al Fawaid al Janiyyah, (Lebanon, Dar al -Basyair, 1996), cet. II.Rohayana, Ade Dedi ,Ilmu Qawa'id Fiqhiyyah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008Shalih bin Ghanim al Sadlan, Al Qawaid al Fiqhiyyah al-Kubrah, Riyad: Dar balanisyah Syaikh Nashir Makarim Al Syirazi, Al Qawaid Al Fiqhiyyah, Juz I Iran: Saliman NazdahW.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: 197624