penyelesaian sengketa harta bersama dalam...
TRANSCRIPT
PENYELESAIAN SENGKETA HARTA BERSAMA DALAM
PERCERAIAN
(Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Perkara No: 42/Pdt.G/2015/PTA.JK)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
IVAN
NIM 1110044100017
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
(AHWAL SYAKHSHIYYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
i
ii
ii
iii
iii
ABSTRAK
Ivan. NIM 1110044100017. ”Penyelesaian Sengketa Harta Bersama
Dalam Perceraian (Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta Perkara No: 42/Pdt.G/2015/PTA.JK)”. Program Studi Hukum
Keluarga (Ahwal Syakhsyiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/ 2017 M. ix + 82 halaman +
5 halaman lampiran.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui mengapa Hakim
menetapkan 1/3 bagian untuk suami dan 2/3 bagian untuk istri dari harta
bersama dalam putusan Nomor 42/Pdt.G/2015/PTA.Jk, tinjauan hukum
positif, dan tinjauan fikih terhadap putusan tersebut.
Skripsi menggunakan metode penelitian kualitatif, penelitian
kepustakaan, dan studi lapangan dan dengan pendekatan kualitatif. Sumber
data primer berupa wawancara Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dan
data sekunder dari berbagai literatur keilmuan. Dan tehnik penulisannya
berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini menyimpulkan bahwa pertama, pertimbangan hakim dalam
membagi harta bersama adalah berlandasan dari rasa keadilan. Kedua tidak
berbenturan dengan hukum positif di Indonesia, baik dengan KUHPer,
Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi hukum Islam, dan peraturan lainnya.
Ketiga telah sesuai dan tidak bertentangan dengan hukum islam atau fikih.
Kata Kunci : Harta Bersama, Banding, Pengadilan Tinggi Agama
Pembimbing : Dr. Moh. Ali Wafa, SH., S.Ag., M,Ag
Daftar Pustaka : Tahun 1974-2008
iv
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah Puji Syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah Swt.
yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat kepada semua hambanya.
Sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw.,
nabi akhir zaman dan pembawa rahmat bagi makhluk semesta alam.
Tidak ada kata yang pantas penulis ungkapkan kepada pihak-pihak yang telah
membantu proses pembuatan skripsi ini, tidak lain hanyalah ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Abdul Halim, MA. Dan Arip Purkon, MA., Ketua dan Sekretaris
Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah).
3. Dr. Moh Ali Wafa, SH., S.Ag., M.Ag., Dosen Penasehat Akademik dan
Pembimbing skripsi yang tak pernah lelah membimbing, mengarahkan,
dan mengkritik penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Seluruh Dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membimbing
dan mendidik kami selama kuliah di UIN SyarifHidayatullah Jakarta.
5. Segenap Karyawan Fakultas Syariah dan Hukum, pegawai perpustakaan
UIN Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan layanan
akademik kepda penulis.
6. Kedua orang tua saya, Mukhlis dan Maryani, S.Pd., kedua adik saya Gita
dan Bayu Oktara, saudara-saudara saya tercinta yang selalu menyemangati
saya, serta seluruh Keluarga Besar saya ucapkan terima kasih atas segal
ado‟a, dorongan, kasih sayangnya selama ini yang luar biasa selama saya
kuliah sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada seseorang yang selalu mendampingi saya selama ini, Nanda
Khairunnisa Jusuf, yang selalu memberikan semangat, dorongan dan
dukungan yang tidak pernah ada henti-hentinya.
8. Kepada sahabat dan semua teman-temanku mahasiswa /i Program Studi
Sarjana Hukum (S.H) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak bisa
saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas semua dukungan , bantuan,
dorongan semangat dan menjadi mitra diskusi selam penulis menjadi
mahasiswa sehingga penyelesaian skripsi ini. Semoga kitabisa menjadi
Sarjana Hukum (S.H) yang sukses, berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.
9. Kepada teman-teman band, Sadam, Bang Umam, bang Edi (SBH), R-B
(Azis Hari Purnomo), FOX, The Rest Area, Serta Sumatra Squad.
v
v
10. Teman seperjuangan dalam menulis skripsi, Adam Setiawan, Ubaidillah,
Ibrahim, Ania Fitriah, serta Saudara Muhsin Dumbela yang sangat
semangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Teman-teman dari
dalam dan luar kampus, Irfan Helmi, Bang Bocay, Bang Bedeng, Danil
Adepi, teman-teman Kosan Aliansi Radikal.
11. Kawan-kawan KKN Kharisma yang sampai saat ini masih sering
berkumpul untuk menjaga tali silaturahmi.
12. Semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung ikut membantu
proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah Swt. membalas semua amal
kebaikannya dengan balasan yang lebih dari apa yang telah diberikan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna, baik dari segi materi, metodologi, dan analisisnya. Karenanya,
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya hanya kepada Allah Swt. penulis berharap semoga apa yang tertulis
dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca
pada umumnya. Amin Y.R.A.
Jakarta, 20 April 2017.
Penulis
Ivan
NIM: 1110044100017
vi
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ......................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ ii
ABSTRAK ...................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................... 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................... 11
D. Metode Penelitian .............................................................. 13
E. Tinjauan Kajian Terdahulu ............................................... 15
F. Sistematika Penulisan ........................................................ 17
BAB II HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN ................ 18
A. Pengertian Harta Bersama ................................................. 18
B. Dasar Hukum Harta Bersama ............................................ 22
C. Ruang Lingkup Harta Bersama ......................................... 25
D. Macam-macam Harta Bersama ......................................... 30
E. Terbentuknya Harta Bersama ............................................ 33
F. Hak dan Tanggung Jawab Suami Istri Terhadap
Harta Bersama .................................................................. 33
G. Pembagian Harta Bersama Dalam Perceraian ................... 36
BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN TINGGI
AGAMA JAKARTA ............................................................. 42
A. Sejarah Pengadilan Tinggi Agama Jakarta ....................... 42
B. Tugas-tugas Pokok Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta ............................................................................... 45
vii
vii
C. Kewenangan Absolut Pengadilan Tinggi
Agama Jakarta ................................................................... 46
D. Prosedur Pengajuan Perkara di Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta ....................................................... 47
BAB IV PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM
PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN FIKIH ............... 52
A. Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan
Harta Bersama 1/3 Bagian Untuk Suami dan
2/3 Bagian Untuk Istri ....................................................... 52
B. Tinjauan Hukum Positif Terhadap Putusan
No 42/Pdt.G/2015/PTA.JK .............................................. 61
C. Tinjauan Fikih Terhadap Putusan No
42/Pdt.G/2015/PTA.JK ..................................................... 71
BAB V PENUTUP .............................................................................. 80
A. Kesimpulan ....................................................................... 80
B. Saran-saran ........................................................................ 81
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 82
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Membahas tentang perkawinan kuat hubungan dengan kehidupan kita
sebagai makhluk sosial, dimana dalam unsur terkecil suatu organisasi
masyarakat itu adalah sebuah keluarga. Keluarga yang lahir dari sebuah proses
perkawinan dan menjalani hidup berkeluarga yang menghendaki adanya
kehidupan lahir batin yang seimbang.1 Hukum perkawinan mengatur
hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita, mulai dari akad
pernikahan hingga pernikahan itu berakhir karena kematian atau perceraian.
Bangsa Indonesia yang berasaskan pancasila telah memiliki peraturan tentang
perkawinan nasional yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yang telah
dimuat dalam lembaran negara No. 1 Tahun 1974, yang sifatnya dikatakan
menampung sendi-sendi dan memberikan landasan hukum perkawinan yang
selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan masyarakat
yang berbeda.2
Banyak sekali definisi yang diungkapkan oleh para pakar. Namun dari
definisi-definisi tersebut jika ditarik kata-kata kuncinya akan mengerucut
kepada satu defini yang memberikan irisan sebagai definisi perkawinan. Dan
dihasilkanlah definisi perkawinan menurut undang-undang yakni perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3 Akan tetapi,
kenyataan yang terjadi di lapangan tidak selalu sesuai harapan. Banyak
pasangan suami istri yang akhirnya memilih meja hijau untuk mengakhiri
1 Surojo Wignodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung
Agung, 1982), h.149
2Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-
undangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), h.2
3Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1, Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. DEPAG RI, 2001.
2
2
“mitsaqan ghalizhan” yang telah mereka sepakati di depan penghulu ketika
bersumpah setia sehidup semati. Banyak hal yang menyebabkan suami istri
terganggu keharmonisan keluarga mereka yang akhirnya berbuntut perceraian,
baik karena meninggal dunia atau faktor lain seperti : faktor biologis,
psikologis, ekonomis serta perbedaan pandangan hidup dan sebagainya,
seringkali merupakan pemicu timbulnya konflik dalam perkawinan.
Jika konflik di atas dapat diselesaikan dengan baik, maka daftar perkara
permohonan atau gugatan perceraian di pengadilan tidak akan menumpuk.
Namun sebaliknya, jika konflik-konflik tersebut tidak dapat diselesaikan,
maka akan timbul perceraian sebagai jalan keluar terakhir yang akan
ditempuhnya. Perceraian menurut hukum Islam pada prinsipnya dilarang, hal
ini dapat dilihat pada isyarat sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa talak atau
perceraian adalah perbuatan halal namun dibenci oleh Allah.
Menelaah tersebut diatas, rasanya talak adalah suatu perbuatan yang
dibenci Allah namun halal untuk dilakukan jika berada dalam kondisi yang
sangat terdesak oleh suatu faktor,dan faktor-faktor tersebut tentunya bisa
menimbulkan dampak negatif bagi kedua belah pihak. Talak atau cerai
menjadi pilihan jika bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi
dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya, dengan pertimbangan jika
tetap dipertahankan akan menimbulkan mudharat yang lebih besar lagi.
Setelah terjadi perceraian bukan berarti persoalan-persoalan rumah tangga
langsung berakhir, justru dengan adanya perceraian banyak persoalan yang
harus diselesaikan oleh suami istri, salah satunya adalah mengenai persoalan
harta bersama dan pengaturannya.4 Salah satu isi Kompilasi Hukum Islam
khususnya dalam buku I tentang Perkawinan, membahas perihal harta
kekayaan dalam perkawinan. Permasalahan ini dianggap penting untuk
dicantumkan dalam KHI, mengingat dunia perkawinan selain berbicara
mengenai ketenangan hidup juga tidak terlepas dari segala kemungkinan yang
pahit dalam kehiupan yang rumah tangga. Perceraian, salah satu sengketa
4Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995), h.269
3
rumah tangga yang terburuk yang mungkin terjadi bagi siapa saja, perlu
mendapat antisipasi dan pembelajaran sebelumnya agar para pasangan suami-
istri merasa siap dalam menghadapi konflik-konflik yang mungkin terjadi
dikemudian hari, termasuk masalah pembagian harta bersama ketika terjadi
perceraian.
Manakala sebuah ijab kabul nikah telah dinyatakan di depan pejabat
berwenang, maka suami istri telah terikat dalam sebuah ikatan perjanjian,
perjanjian tentang hak dan kewajiban masing-masing. Selama terikat dalam
tali perkawinan, jika mereka sama-sama bekerja dan memiliki penghasilan
berupa harta, maka harta tersebut di dalam perundang-undangan kita diakui
sebagai harta bersama. Harta kekayaan dalam perkawinan bisa berupa harta
yang dihasilkan istri maupun yang dihasilkan suami pada saat perkawinan
juga berupa harta bawaan suami istri sebelum perkawinan.
Hukum positif Indonesia sangat mengakui adanya harta bawaan atau harta
masing-masing suami istri. Harta tersebut bisa diperoleh dari harta bawaan
sebelum menikah atau harta yang didapat melalui hibah dan hadiah. Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut
Undang-undang Perkawinan) Pasal 35 ayat (1) menyatakan: “Harta bersama
adalah harta yang diperoleh selama perkawinan”. Sedangkan pasal 35 ayat
(2) menyatakan: “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan,
adalah di bawah penguasaanmasing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.”5
Setelah “Lex Superior” menegaskan tentang harta bersama, di dalam
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 85
disebutkan, adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. Dalam pasal
86 KHI disebutkan, pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami
5Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 35,
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. DEPAG RI, 2001.
4
dan harta istri. Harta istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai sepenuhnya
oleh istri, begitu juga sebaliknya. Dalam pasal 88 disebutkan, jika terjadi
perselisihan tentang harta bersama antara suami istri, penyelesaiannya adalah
di pengadilan.6 Dari kenyataan tersebut di atas dapat\ disimpulkan bahwa,
yang termasuk harta kekayaan dalam perkawinan adalah:
1. Harta bersama suami istri.
2. Harta pribadi masing-masing suami istri.
Percampuran harta bersama yang ada di Indonesia ini hanyalah kebiasaan
turun-temurun yang telah lama dipraktekkan masyarakat Indonesia. Konsep
ini kemudian didukung oleh hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di
negara kita.7
Beberapa peraturan tentang harta bersama dapat kita jabarkan dengan
beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini:.
1. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 35 ayat (1),
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah “Harta
benda yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta kekayaan
yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta
bersama.
2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 119, disebutkan bahwa
“Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi
harta bersama antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan
ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama
itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah
dengan suatu persetujuan antara suami istri.”
3. Kompilasi Hukum Islam pasal 85, disebutkan bahwa “Adanya harta
bersama di dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya
harta milik masing-masing suami istri.”Di dalam pasal ini disebutkan
6Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, cet. ke-1 (Bandung: Pustaka Setia,
2000), h.146
7Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian,
(Jakarta: Visimedia, 2003), h.8
5
adanya harta bersama dalam perkawinan, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami-istri.
Fikih atau Hukum Islam mengakui adanya hak milik perorangan, baik
mengenai pengurusan dan pemanfaatannya maupun untuk melakukan
perbuatan-perbuatan hukum terhadapnya. Disamping diberikannya
kesempatan kepada suami istri untuk menentukan dalam perjanjian
perkawinan mereka apakah harta bawaan atau harta penghasilan tiap orang
dipisah atau digabungkan atau dikongsikan. Oleh karenanya apabila terjadi
perceraian antara suami istri, harta kekayaan tersebut dibagi menurut hukum
Islam dengan kaidah hukum “Tidak ada kemudharatan dan tidak boleh
memudharatkan”. Dari kaidah hukum ini jalan terbaik untuk menyelesaikan
harta bersama adalah dengan membagi harta tersebut secara adil yang
tentunya jika berada di negara hukum sepatutnya kita mengikuti aturan hukum
yang berlaku.8
Pendapat para Ulama yang masyhur dalam ilmu fikih, baik dari kalangan
Syafi‟iyyah maupun yang lain tidak ditemukan pembahasan harta bersama
atau harta gono gini, karena mereka tidak mengakui adanya harta bersama
kecuali hukum adat yang memang sudah mengakar di dalam masyarakat.
Dalam Al-Quran dan sunnah, harta bersama tidak diatur dan tidak ada
pembahasannya. Harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai
penuh olehnya demikian juga sebaliknya, harta suami tetap menjadi milik
suami dan dikuasai sepenuhnya.9 Di dalam kitab-kitab fikih Imam Madzhab
hanya ditemukan bahwa harta istri dan suami terpisah dan tidak ada
penggabungan harta bersama. Dasar hukumnya adalah Q.S. al-Nisa‟ (4): 32,
yaitu:
8Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiati, Hukum Perdata Islam,(Surabaya:
Mandar Maju, 1997),h.34
9Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-
Undangan Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung, Mandar Maju, 2007), h.127
6
Artinya:“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena)
bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan
bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui segala sesuatu.”
Tetapi kalau dilihat dari sisi teknisnya harta bersama suami istri itu bisa
digolongkan pada bentuk kerjasama, atau dalam istilah fikih muamalah dapat
dikategorikan sebagai syirkah, yaitu akad antara dua pihak yang saling
berserikat dalam hal modal dan keuntungan, dimana jika salah satu rugi maka
semua juga ikut rugi dan jika untung maka semua ikut untung.10
Atau bisa
juga disebut perkongsian antara suami istri dan telah banyak dibahas dalam
kitab-kitab fikih, tetapi tidak dalam bab nikah melainkan pada bab buyu’.
Syirkah digolongkan sebagai suatu usaha yang sah oleh para ahli hukum Islam
sepanjang tidak ada kecurangan atau ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak-
pihak tertentu.
Syirkah adalah kerjasama antara sua orang atau lebih yang bersedia
menanggung apapun resiko yang akan terjadi dan bersedia pula membagi
keuntungan jika ada di kemudian hari: Pada dasarnya syirkah terbagi menjadi
dua, yaitu syirkah amlak dan syirkah uqud.11
Fuqaha hanafiyyah membedakan
jenis syirkah menjadi tiga macam, yaitu syirkah al-amwal, a’mal dan wujuh,
dan masing-masing bisa bercorak muwafadhah dan inan. Sedangkan fuqaha
Hanabilah membedakan menjadi lima macam, yaitu syirkah inan,
muwafadhah, abdan, wujuh dan mudharabah. Adapun fuqaha Malikiyah dan
10Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid III, (Beirut: Dar al Fikr, 1983), h.294
11
Ghufron A. Mashadi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo), h.93
7
Syafi‟iyah membedakan menjadi empat jenis, yaitu inan, muwafadhah, abdan
dan wujuh.
Syirkah dibagi menjadi dua kategori: Pertama, syirkah al-amwal, al-a‟mal
atau al-abdan dan al-wujuh. Pembagian syirkah ini dalam kategori materi
syirkah, sedangkan syirkah inan, muwafadhah dan mudharabah dalam
pembagian dari segi posisi dan komposisi saham.12
Hukum Islam tidak mengenal harta bersama, Hukum Islam hanya
menjelaskan tentang perkongsian namun tetap juga mengakui harta masing-
masing pihak. Dimana di dalam sebuah keluarga suami berkewajiban
memberikan nafkah kepada istri. Berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S.
al-Nisa (4):34, wanita diwajibkan menjaga apa yang telah diberikan laki-laki
(suami) kepadanya dengan sebaik mungkin.
Akan tetapi karena menurut agama Islam dengan perkawinan menjadilah
sang istri syarikat al-rajuli fi al-hayati (kongsi sekutu seorang suami dalam
melayani bahtera hidup). Maka antara suami istri terjadilah syirkah al-
mufawwadlah atau perkongsian tak terbatas. Jika selama perkawinan
memperoleh harta, maka harta tersebut adalah harta syirkah yaitu harta
bersama yang menjadi milik bersama dari suami istri. Oleh karena masalah
pencarian bersama suami istri adalah termasuk perkongsian atau syirkah,
maka untuk mengetahui hukumnya perlu dibahas lebih dahulu tentang
macam-macam perkongsian sebagaimana telah dibicarakan oleh para ulama
dalam kitab fikih.13
Di dalam Undang-undang kekuasaan kehakiman, peradilan agama adalah
salah satu badan peradilan yang tugas dan kewenangan pokoknya yaitu,
memeriksa, memutuskan, menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang:
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, sedekah, dan ekonomi syariah.
Dengan demikian, kewenangan Peradilan Agama tersebut sekaligus dikaitkan
12Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh Ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Daar
al-Fikr, Juz III, (terjemahan), 1990 M/1410 H), h.79
13
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. ke-1
(Jakarta, PT Kencana Prenada Media Group, 2006), h.111
8
dengan asas personalitas keislaman, yaitu yang dapat ditundukkan ke dalam
kekuasaan lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang beragama
Islam.14
Pun juga sama dengan Pengadilan Tinggi Agama sebagai salah satu
pilar peradilan dilingkungan Mahkamah Agung, salah satu badan pelaksana
kekuasaan kehakiman harus mampu memberikan pelayanan hukum kepada
masyarakat pencari keadilan secara prima, yang sejalan dengan visi
Mahkamah Agung.15
Kewenangan absolut/absolute competentie adalah kekuasaan peradilan
yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat
pengadilan,dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan
atau tingkat pengadilan lainnya. Kekuasaan pengadilan di lingkungan
Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang
beragama Islam.16
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta sebagai pengadilan tingkat banding bagi
seluruh pengadilan agama tingkat pertama yang ada di Jakarta memiliki
kewenangan absolut yang telah ditetapkan oleh Undang-undang salah satunya
mengenai harta bersama. Kompetensi Peradilan Agama diatur dalam pasal 49
sampai dengan pasal 53 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Wewenang tersebut terdiri atas wewenang relatif dan wewenang absolut.
Wewenang relatif Peradilan Agama merujuk pasal 66 dan pasal 73 UU No.7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedang wewenang absolut berdasarkan
pasal 49 UU No. 7 tahun 1989. Perkara yang menjadi kewenangan absolut
Pengadilan Agama yakni : perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, shadaqoh, dan ekonomi syariah.
Didalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49,
14
Sulaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, cet.
ke-1,(Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 106 15
Dikutip dari www.pta-jakarta.go.id(Tanggal 05Februari 2017 Pukul 12.35 wib) 16
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h.56
9
dalam penjelasannya disebutkan bahwa, kewenangan Peradilan Agama
diperluas meliputi: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak,
sedekah, dan ekonomi syari‟ah.17
Peradilan Agama dalam hukum acara peradilan agama berwenang untuk
mengadili perkara keluarga dalam ruang lingkup keislaman baik orangnya
maupun sumber-sumber hukumnya, contohnya dalam bidang perkawinan dan
maslah harta baik waris, hibah , zakat, wakaf, harta bersama, dan ekonomi
syariah. Perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku hukum acara
perdata khusus dan selebihnya berlaku hukum acara perdata pada umumnya.
Hukum acara khusus ini meliputi kewenangan relatif Pengadilan Agama,
pemanggilan, pemeriksaan, pembuktian dan biaya perkara serta pelaksanaan
putusan.18
Meskipun dalam hukum Islam tidak mengatur masalah harta bersama,
bukan berarti Peradilan Agama tidak berwenang untuk menangani masalah
harta bersama. Karena dalam hukum positif telah mengatur tegas tugas dan
wewenang Peradilan Agama. Perselisihan masalah harta bersama dalam
perkawinan pernah diproses oleh Pengadilan Tinggi Agama Jakarta pada
tingkat banding. Pada tahun 2015 Pengadilan Tinggi Agama Jakarta telah
menangani perselisihan pembagian harta bersama yaitu dalam putusan Nomor
42/Pdt.G/2015/PTA.JK.
Perkara harta bersama yang telah ditangani di tingkat banding tentu harus
berpedoman kepada hukum acara, khusus di bidang peradilan agama maka
acuannya adalah UU Nomor 3 Tahun 2006 sebagai hasil amandemen dari UU
Nomor 7 Tahun 1989. Hakim sebagai wakil Tuhan harus menjunjung tinggi
nila-nilai keadilan, putusannya harus berpegang kepada minimal tiga tujuan
penting peradilan yakni keadilan, kepastian hukum dan kebermanfaatan. Dan
Hakim harus bisa menggali dan menemukan hukum jika dalam suatu kasus
dirasa belum ada pasal-pasal yang bisa dijadikan dasar hukum, sesuai amanat
17Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 49 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
18
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet. ke-2
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1998), h.9
10
Pasal 62 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
menyatakan: “Segala penetapan dan putusan pengadilan, selain harus
memuat alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal
tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum
tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”
Dalam syari‟at Islam seorang hakim dianjurkan untuk berlaku adil dalam
memutus suatu putusan. Segala keputusan yang diambil harus
dipertimbangkan dengan baik. Pertimbangan yang baik harus sesuai dengan
aturan-aturan yang ditetapkan oleh syara‟, dan diharapkan pertimbangan
hakim harus dihubungkan dengan kemaslahatan masyarakat. Hakim sebagai
penegak keadilan harus memutuskan suatu perkara sesuai yang ditetapkan
oleh syari‟at. Syari‟at mengajarkan dalam menyelesaikan perselisihan hakim
tidak mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.
Apabila hukum ditegakkan secara adil sesuai dengan ajaran syari'at, maka
akan tercipta perdamaian dalam masyarakat. Perselisihan harta bersama yang
ditangani oleh hakim juga harus diselesaikan secara adil tanpa memihak salah
satu pihak. Penentuan status dan kepemilikan harta bersama harus dilakukan
secara teliti dan adil sesuai yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan
tidak menyimpang dari ketentuan syara‟. Hal inilah yang membuat penulis
berkeinginan untuk mengkaji secara mendalam tentang putusan hakim
terhadap kasus sengketa harta bersama yang terjadi di lingkungan Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta pada tingkat banding. Berangkat dari latar belakang
masalah tersebut di atas, maka penulis mengadakan penelitian tentang
sengketa harta bersama dengan judul, “PENYELESAIAN SENGKETA
HARTA BERSAMA DALAM PERCERAIAN (Analisis Terhadap
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Perkara No.
42/Pdt.G/2015/PTA.JK).”
11
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah, maka penulis memberikan
batasan lingkup permasalahan pada pembagian harta bersama dalam pokok
bahasan analisis terhadap putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Perkara No: 42/Pdt.G/2015/PTA.JK.
2. Rumusan Masalah
Di dalam Kompilasi Hukum Islam atau Inpres Nomor 1 Tahun 1991
pasal 97: “Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.” Artinya ketika telah putus perkawinan, maka harta bersama
harus dibagi ½ untuk masing-masing suami dan istri. Akan tetapi, pada
tingkat banding di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, hakim dalam
putusannya nomor 42/Pdt.G/2015/PTA.JK menetapkan harta bersama, 1/3
bagian untuk suami dan 2/3 bagian untuk istri.
Penulis merinci rumusan masalah tersebut dalam beberapa
pertanyaan sebagai berikut:
a. Mengapa hakim menetapkan harta bersama 1/3 bagian untuk suami
dan 2/3 bagian untuk istri dalam putusan nomor
42/Pdt.G/2015/PTA.JK ?
b. Bagaimana tinjauan hukum positif terhadap putusan nomor
42/Pdt.G/2015/PTA.JK ?
c. Bagaimana tinjauan fikih terhadap putusan nomor
42/Pdt.G/2015/PTA.JK ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun hasil yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah
terjawabnya semua permasalahan yang dirumuskan, yaitu:
12
a. Untuk mengetahui mengapa hakim menetapkan harta bersama 1/3
bagian untuk suami dan 2/3 bagian untuk istri dalam putusan nomor
42/Pdt.G/2015/PTA.JK
b. Untuk mengetahui tinjauan hukum positif terhadap putusan nomor
42/Pdt.G/2015/PTA.JK
c. Untuk mengetahui tinjauan hukum fikih terhadap putusan nomor
42/Pdt.G/2015/PTA.JK
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas, hasil studi ini diharapkan
bermanfaat untuk penulis pada khususnya dan bagi masyarakat pada
umumnya, yaitu:
a. Secara Akademik
Menambah ilmu pengetahuan dibidang hukum perdata serta
mengembangkan ilmu dibidang syariah, khususnya dalam bidang
perkawinan mengenai pembagian harta bersama diakibatkan karena
perceraian.
b. Secara Lembaga Pustaka
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan ilmiah
dalam memperkaya studi analisis yurisprudensi.
c. Secara Pribadi
Untuk memperluas pengetahuan hukum bagi penulis, khususnya
mengenai Keperdataan Islam dibidang kewarisan serta meningkatkan
kualitas penulis dalam membuat karya tulis ilmiah serta untuk
memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar S1 dalam bidang
hukum Islam.
d. Secara Umum
Pengembangan wawasan hukum terhadap perkara-perkara yang ada
pada perkawinan yaitu perkara pembagian harta bersama diakibatkan
karena perceraian.
13
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang ditempuh oleh penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini adalah dengan menggunakan metode penulisan, sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
a. Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa ucapan, tulisan, atau perilaku yang dapat diamati
dari subjek itu sendiri (hakim yang menetapkan perkara yang penulis
teliti).
b. Penelitian Kepustakaan
Penulisan ini dilakukan dengan menggunakan pengkajian dari buku-
buku yang mengacu dan berhubungan dengan pembahasan skripsi ini
yang dianalisis data-datanya.
c. Studi Lapangan
Untuk memperoleh informasi yang akurat dan obyektif dari tempat
penelitian dengan cara observasi langsung.
2. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer yaitu melakukan wawancara dengan hakim yang
memutuskan perkara yang penulis teliti.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, internet dan
beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan perkara
pembagian atau penyelesaian harta bersama dalam perceraian yang
diselesaikan dengan pandangan hakim serta pandangan-pandangan
hukum positif dan hukum Islam terkait harta bersama.
Studi kepustakaan (library reseach), yaitu untuk memperoleh landasan
teoritis yang ada kaitannya dengan judul penulis yang dibahas, dimana
penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, makalah,
artikel maupun website.
14
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
a. Menganalisis putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor
42/Pdt.G/2015/PTA.JK dan studi dokumentasi dengan cara menelusuri
buku-buku serta literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang
dibahas.
b. Wawancara, yaitu dengan mengumpulkan data yang dilakukan penulis
dengan jalan mengadakan dialog langsung dengan responden yang
telah dipilih sebelumnya yaitu hakim Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta.
c. Studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan data dari berbagai literatur-
literatur ilmiah kemudian menganalisis dan menjadikan pendukung
penelitian.
4. Teknik Pengolahan Data
Dalam pengolahan data, dilakukan dengan cara mengedit data, lalu
data yang sudah diedit tadi dikelompokkan dan diberikan pengkodean dan
disusun berdasarkan kategorisasi serta diklasifikasikan berdasarkan
permasalahan yang dirumuskan secara deduktif. Dari data yang diperoleh
selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
5. Teknik Analisis Data
Bahan yang telah diperoleh, lalu diuraikan dan dihubungkan
dengan sedemikian rupa sehingga menjadi sistematis dalam menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Data-data tersebut lalu dianalisis,
sehingga membantu sebagai dasar acuan dan pertimbangan hukum yang
berguna.
6. Teknik Penulisan Skripsi
Teknik penulisan yang digunakan adalah deskriptif analisis, yaitu
dengan cara menggambarkan permasalahan yang didasari pada data-data
yang ada, lalu dianalisis lebih lanjut untuk kemudian diambil kesimpulan.
15
Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah tahun 2012 serta penulisan ayat al-
Qur‟an dan al-Hadits ditulis satu spasi, termasuk terjemahan al-Qur‟an dan
al-Hadits dalam penulisannya diketik satu spasi meskipun kurang dari
enam baris dan penulisan skripsi ini menggunakan ejaan yang
disempurnakan (EYD), kecuali nama pengarang dan daftar pustaka ditulis
diawal.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
1. Rhezza Pahlawi, Akhwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama
Tahun 2013, Penyelesaian Sengketa Harta Bersama melalui Pengadilan
Agama dan Pengadilan Negeri di Jakarta Selatan.
Mengetahui bagaimana hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan
Negeri memutus perkara harta bersama. Pada penelitian ini penulis
memilih objek penelitian berupa putusan Perkara Nomor:
2803/Pdt.G/2011/PA.JS di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan
Perkara Nomor: 402/Pdt.G/2000/PN.Jak.Sel di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan gabungan antara
penelitian hukum normatif dan penelitian yuridis empiris.Skripsi ini lebih
mengacu kepada praktik penyelesaian sengketa harta bersama di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri di Jakarta
Selatan.
2. Marlianita, Akhwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama Tahun
2014, Penyelesaian Gugatan Harta Bersama Pasca Perceraian di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Mengetahui bagaimana hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan
menyeselesaikan perkara sengketa harta bersama. Skripsi ini lebih
mengacu kepada praktik penyelesaian sengketa harta bersama di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
16
3. Miftah Ulhaq T,Akhwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama
Tahun 2009, Sita marital terhadap harta bersama yang berada dalam
hipotik bank: analisis putusan Pengadilan Agama Tanjungkarang nomor
225/Pdt.G/2006/PA.Tnk.
Menyajikan analisis putusan pengadilan agama Tanjungkarang
nomor 225/Pdt.G/2006/PA.Tnk tentang sita marital terhadap harta
bersama menurut hukum yang berlaku. Skripsi ini lebih mengacu kepada
praktik penyelesaian sengketa harta bersama di Pengadilan Agama
Tanjung Karang.
4. Siti Mushofah, Akhwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama
Tahun 2008, Proses Pembagian Harta Bersama Melalui Perdamaian Di
Depan Sidang: analisis Putusan No.1585/Pdt.G/2007/PA.JT.
Menyajikan analisis putusan No.1585/Pdt.G/2007/PA.JT tentang
Proses Pembagian Harta Bersama Melalui Perdamaian Di Depan Sidang.
Skripsi ini lebih mengacu kepada praktik penyelesaian sengketa harta
bersama di Pengadilan Agama Jakarta Timur.
Dari review yang saya lakukan, terlihat bahwa para peneliti memang
sudah banyak yang membahas mengenai masalah pembagian harta bersama
akibat putusnya perkawinan. Dari kasus peneliti diatas, maka penulis sangat
membedakan penelitian dalam masalah harta bersama ini yaitu berdasarkan
putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Tahun 2015. Ketidakserasian
dalam penerapan pembagian harta bersama di Pengadilan Agama, menarik
sekali bagi penulis untuk membahasnya, dikarenakan penelitian-penelitian
yang telah dilakukan sebelum pembahasan skripsi ini memberikan inspirasi
pada penulis untuk mengkaji lebih lanjut ditinjau dari segi mana dan apa yang
menjadi dasar seorang hakim dalam memutuskan pembagian harta bersama.
Penulis ingin lebih fokus dengan analisis terhadap Putusan Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta Perkara No: 42/Pdt.G/2015/PTA.JK tentang
penyelesaian harta bersama dalam perceraian agar pembahasan skripsi ini
tidak melebar. Dengan demikian penulis menggaris bawahi bahwasanya
bahasan ini tidak ada kesamaan isi dan pertimbangan hakim karena
17
berdasarkan data yang diperoleh di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini dibagi dalam lima bab, yaitu
sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, kajian tinjauan terdahulu, dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisikan tinjauan umum tentang harta bersama dalam
perkawinan yang meliputi pengertian harta bersama, dasar hukum harta
bersama, ruang lingkup harta bersama, macam-macam harta bersama,
terbentuknya harta bersama, hak dan tanggung jawab suami istri terhadap
harta bersama, dan pembagian harta bersama dalam perceraian.
Bab ketiga berisikan gambaran umum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
yang meliputi sejarah PTA Jakarta, tugas-tugas pokok PTA Jakarta,
kewenangan absolut PTA Jakarta, dan prosedur pengajuan perkara di PTA
Jakarta.
Bab keempat mengenai analisis penulis terhadap sengketa harta
bersama pada putusan nomor 42/Pdt.G/2015/PTA.JK yang meliputi gambaran
umum putusan nomor 42/Pdt.G/2015/PTA.JK, tinjauan hukum positif
terhadap putusan nomor 42/Pdt.G/2015/PTA.JK, dan tinjauan fikih terhadap
putusan nomor 42/Pdt.G/2015.PTA.JK.
Bab kelima merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan
saran-saran.
18
BAB II
HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN
A. Pengertian Harta Bersama
Sumber hukum Islam pertama yakni Al-Qur‟an tidak memberikan
batas-batas yang jelas tentang bagaimana harta bersama itu, bagaimana hak
istri, dan bagaimana hak suami, di dalamnya hanya menyebutkan peranan
penting suami dalam memberi nafkah kepada keluarga. Dalam waktu yang
sama Al-Qur‟an dan hadits juga tidak menegaskan bahwa harta benda yang
diperoleh suami dalam perkawinan, secara langsung istri juga ikut berhak
atasnya. Dalam menentukan apakah harta benda yang diperoleh selama
perkawinan berlangsung menjadi harta bersama atau tidak, termasuk masalah
ijtihadiyyah, masalah yang termasuk dalam daerah wewenang manusia untuk
menentukannya, bersumber kepada jiwa ajaran Islam.19
Hak bagi masing –masing suami dan istri, di dalam hukum Islam sangat
dijamin. Apa yang menjadi milik istri tetap menjadi miliknya sebaliknya juga
seperti itu bagi suami. Suami yang menerima pemberian, warisan, dan
sebagainya tanpa ikut sertanya istri berhak menguasai sepenuhnya harta yang
diterimanya itu. Demikian pula halnya istri yang menerima pemberian,
warisan, mahar dan sebagainya tanpa ikut sertanya suami berhak menguasai
sepenuhnya harta benda yang diterimanya itu.
Segala harta benda yang dibawa masing-masing pihak sebelum
pernikahan baik harta bergerak maupun tidak bergerak menjadi hak masing-
masing pihak selama tidak ada hal lain yang diperjanjikan di dalam perjanjian
19Ahmad Azhar Basyir, M.A, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press,
2000), h.66
19
pernikahan.20
Apabila kita memperhatikan ketentuan hukum Islam yang
menyangkut hak istri atas nafkah yang wajib dipenuhi suaminya, sebagaimana
ditentukan baik dalam Al-Qur‟an maupun dalam hadits, pada dasarnya hukum
Islam menentukan bahwa harta milik istri selama dalam perkawinan adalah
berupa harta yang berasal dari suami sebagai nafkah hidupnya. Kecuali itu
apabila suami memberikan sesuatu kepada istri berupa harta benda yang
menurut adat kebiasaan khusus menjadi milik istri, seperti mesin jahit, alat-
alat rias, dan sebagainya, harta benda itu menjadi milik istri. Adapun harta
benda yang menurut adat kebiasaan tidak khusus milik istri seperti perabot
rumah tangga, meja kursi , almari dan sebagainya, tetap menjadi milik suami.
Ketentuan ini berlaku apabila yang bekerja mencukupkan kebutuhan keluarga
hanya suami, istri tidak ikut sama sekali.
Di dalam kebanyakan literatur fikih yang bertanggung jawab secara
hukum untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, menyediakan peralatan
rumah tangga seperti tempat tidur, perabot dapur dan sebagainya adalah
suami. Istri dalam hal ini tidak mempunyai tanggung jawab, sekalipun mahar
yang diterimanya cukup besar, lebih besar daripada pembelian peralatan
rumah tangga tersebut. Hal ini karena mahar itu menjadi hak perempuan
sebagai imbalan dari penyerahan dirinya kepada suami. Jadi mahar adalah hak
mutlak bagi istri bukan bagi ayahnya atau suaminya, sehingga tidak ada
seorangpun yang lebih berhak selain dirinya. Islam mengajarkan agar dalam
pembelanjaan harta untuk kepentingan-kepentingan yang bukan rutin, selalu
dimusyawarahkan antara suami dan istri.
20Soermiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkwinan,
(Yogyakarta: Liberty, 1997), h.102
20
Sangat penting bagi suami istri untuk saling terbuka dalam
berumahtangga, terbuka dalam segala hal apalagi menyangkut harta. Karena di
kebanyakan permasalahan rumah tangga itu berawal dari ketidakterbukaan
pihak di dalamnya, maka lahirlah kecurigaan yang berujung pada
ketidakpercayaan. Apalagi bagi pasangan yang tidak mencantumkan
perjanjian harta bersama dan batas-batasnya ketika mereka menikah. Pada
dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena
perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh
olehnya. Harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebelum perkawinan adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian
kawin.21
Di dalam pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam disebutkan
bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang
diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan
perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.22
Dari pengertian harta bersama di atas, jelaslah bahwa harta bersama
adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar warisan atau
hadiah, maksudnya adalah harta yang diperoleh atas usaha mereka atau
sendiri-sendiri selama masa ikatan setelah terjadinya suatu perkawinan yang
21Slamet Abidin Aminuddin, Fikih Munakahat I, (Bandung: Pustaka Setia,
1999), h.182
22
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press,
2000), h.15
21
akan membawa konsekuensi terhadap kedudukan harta benda, baik harta tetap
maupun harta yang bergerak yang diperoleh sepanjang perkawinan adalah
menjadi hak bersama antara suami istri tanpa membedakan ataupun
mempermasalahkan siapa yang bekerja, siapa yang memperoleh uang yang
digunakan untuk membeli harta benda tersebut dan juga tanpa mempersoalkan
harta benda tersebut diatasnamakan suami maupun istri.23
Mengenai pengertian harta bersama disamping terdapat dalam
Kompilasi Hukum Islam, juga terdapat dalam pasal 35 Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, ayat (1) menyatakan: “Harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”, sedang ayat (2)
menyatakan:“Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di
bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain.”24
Dari ketentuan pasal 35 Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana
tersebut diatas, mengandung makna suatu perkawinan yang diselenggarakan
tanpa perjanjian kawin mengakibatkan timbulnya harta persatuan atau harta
bersama/harta gono-gini.
23Ahnad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995), h.200
24
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI tahun
2001
22
B. Dasar Hukum Harta Bersama
Pada dasarnya tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan
antara suami dan istri. Konsep harta bersama pada awalnya berasal dari adat-
istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian
didukung oleh hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di negara kita.25
Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui Undang- undang
dan peraturan berikut.
a. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 35 ayat (1),
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah “Harta
benda yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta kekayaan
yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta
bersama.
b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 119, disebutkan bahwa
“Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi
harta bersama antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan
ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama
itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah
dengan suatu persetujuan antara suami istri.”
c. Kompilasi Hukum Islam pasal 85, disebutkan bahwa “Adanya harta
bersama di dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya
25Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian,
(Jakarta: Visimedia, 2003), h.8
23
harta milik masing-masing suami istri.”Di dalam pasal ini disebutkan
adanya harta bersama dalam perkawinan, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami-istri.
Dalam Hukum Islam mengakui adanya harta yang merupakan hak milik
bagi setiap orang, baik mengenai pengurusan dan penggunaannya maupun
untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas harta tersebut. Disamping
itu juga diberi kemungkinan adanya suatu serikat kerja antara suami-istri
dalam mencari harta kekayaan. Oleh karenanya apabila terjadi perceraian
antara suami istri, harta kekayaan tersebut dibagi menurut hukum Islam
dengan kaidah hukum “Tidak ada kemudharatan dan tidak boleh
memudharatkan”. Dari kaidah hukum ini jalan terbaik untuk menyelesaikan
harta bersama adalah dengan membagi harta tersebut secara adil.26
Dalam Hukum Islam, baik kelompok Syafi‟iyah maupun para ulama yang
paling banyak diikuti oleh ulama lain, tidak ada satupun yang sudah
membahas masalah harta bersama dalam perkawinan. Dalam Al-Quran dan
sunnah, harta bersama tidak diatur dan tidak ada pembahasannya. Harta
kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai penuh olehnya demikian
juga sebaliknya.27
Dalam kitab-kitab fikih imam mahzab, hanya ditemui pembahasan bahwa
masing-masing harta suami istri terpisah tidak ada penggabungan harta setelah
pernikahan terjadi, suami hanya berkewajiban menafkahi istri. Dasar
hukumnya adalah Q.S. al-Nisa‟ (4): 32, yaitu:
26Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiati, Hukum Perdata Islam,(Surabaya:
Mandar Maju, 1997),h.34
27
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-
Undangan Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung, Mandar Maju, 2007), h.127
24
Artinya:“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena)
bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan
bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui segala sesuatu.”
Jika dilihat dari sisi teknisnya kepemilikan harta secara bersamaan antara
suami dan istri dalam kehidupan perkawinan dapat disamakan dengan bentuk
kerja sama, atau dalam istilah fikih muamalah dapat dikategorikan sebagai
syirkah, yaitu akad antara dua pihak yang saling berserikat dalam hal modal
dan keuntungan.28
Atau bisa juga disebut kerjasama antara suami istri dan
telah banyak dibahas dalam kitab-kitab fikih, tetapi tidak dalam bab nikah
melainkan pada bab buyu’. Para ahli hukum islam menggolongkan syirkah
sebagai suatu usaha yang sah oleh para ahli hukum Islam sepanjang tidak ada
kecurangan atau ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu.
Macam-macam syirkah: Pada dasarnya syirkah terbagi menjadi dua, yaitu
syirkah amlak dan syirkah uqud.29
Fuqaha hanafiyyah membedakan jenis
syirkah menjadi tiga macam, yaitu syirkah al-amwal, a’mal dan wujuh, dan
28Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid III, (Beirut: Dar al Fikr, 1983), h.294
29
Ghufron A. Mashadi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo), h.93
25
masing-masing bisa bercorak muwafadhah dan inan. Sedangkan fuqaha
Hanabilah membedakan menjadi lima macam, yaitu syirkah inan,
muwafadhah, abdan, wujuh dan mudharabah. Adapun fuqaha Malikiyah dan
Syafi‟iyah membedakan menjadi empat jenis, yaitu inan, muwafadhah, abdan
dan wujuh.
Dari macam-macam syirkah di atas, dibagi menjadi dua kategori: Pertama,
syirkah al-amwal, al-a‟mal atau al-abdan dan al-wujuh. Pembagian syirkah ini
dalam kategori materi syirkah, sedangkan syirkah inan, muwafadhah dan
mudharabah dalam pembagian dari segi posisi dan komposisi saham.30
C. Ruang Lingkup Harta Bersama
Hak kepemilikan harta suami atau istri tidaklah menjadi berkurang atau
hilang di dalam perkawinan. Setiap suamidan istri tetap mempunyai hak
penuh terhadap hartanya. Akan tetapi, sebaiknya suami istri mengadakan
perjanjian percampuran harta kekayaan yang diperoleh selama dalam
hubungan perkawinan atas usahasendiri-sendiri atau atas usaha bersama-
sama.31
Terjadinya percampuran harta dapat dilaksanakan dengan mengadakan
perjanjian secara tertulis atau diucapkan sebelum atau sesudah berlangsungnya
akad nikah dalam suatu perkawinan, baik untuk harta yang diperoleh selama
perkawinan ataupun bawaan masing-masing. Dapat pula ditetapkan dengan
peraturan perundangan, bahwa harta yang diperoleh atas usaha salah seorang
30Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh Ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Daar
al-Fikr, Juz III, (terjemahan), 1990 M/1410 H), h.79
31
Soemiyati, Hukum perkawinan, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-
Undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty, 1997), h.100
26
suami atau istri atau kedua-duanya dalam masa adanya hubungan perkawinan
adalah harta bersama.32
Percampuran harta kekayaan suami istri dapat pula terjadi dengan
kenyataan kehidupan suami istri itu. Dengan cara memang telah terjadi
percampuran harta kekayaan, apabila kenyataan suami istri itu bersatu dalam
mencari hidup dan membiayai hidup. Mencari hidup tidak hanya diartikan
mereka yang bergerak keluar rumah berusaha dengan nyata. Akan tetapi,
harus juga dilihat dari sudut pembagian kerja dalam keluarga.33
Di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 35 ayat (1), bahwa
harta bersama meliputi harta-harta yang diperoleh suami istri sepanjang
perkawinan saja. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan dan sesudah
perceraian menjadi harta pribadi masing-masing. Hadiah, hibah, wasiat dan
warisan menjadi harta pribadi kecuali para pihak berkehendak untuk
memasukkan ke dalam harta bersama. .34
Menurut Yahya Harahap, tentang ruang lingkup harta bersama yang
diperoleh selama perkawinan, dan untuk memperjelas status kepemilikan harta
dalam perkawinan, termasuk dalam harta bersama atau harta pribadi,dibagi
menjadi beberapa ruang lingkup, yaitu:35
32Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1998), h.84
33
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998) h.85
34
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI tahun
2001
35
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h.275-278
27
1. Harta Yang Dibeli Selama Perkawinan
Setiap barang yang dibeli selama perkawinan, harta tersebut menjadi
harta bersama suami istri tanpa mempersoalkan apakah suami atau istri
yang membeli, apakah harta tersebut terdaftar atas nama suami atau istri.
Apa saja yang dibeli selama perkawinan berlangsung otomatis menjadi
harta bersama. Tidak menjadi persoalan siapa di antara suami istri yang
membeli. Juga tidak menjadi persoalan atas nama suami atau istri harta
tersebut terdaftar. Juga tidak peduli apakah harta itu terletak dimanapun.
Yang penting, harta tersebut dibeli dalam masa perkawinan, dengan
sendirinya menurut hukum menjadi obyek harta bersama.
Akan tetapi, jika uang yang digunakan untuk membeli barang tersebut
berasal dari harta pribadi suami atau istri dan tidak ada perjanjian
perkawinan sebelumnya, dan uang pembelian barang tersebut secara murni
berasal dari harta pribadi, barang yang dibeli tidak termasuk obyek harta
bersama. Harta seperti itu menjadi milik pribadi suami atau istri.36
2. Harta Yang Dibeli Dan Dibangun Sesudah Perceraian Yang Dibiayai
Dari Harta Bersama
Dalam menentukan suatu barang termasuk obyek harta bersama,
ditentukan oleh asal-usul uang biaya pembelian atau pembangunan barang
yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau dibangun sesudah
terjadi perceraian. Misalnya suami istri selama perkawinan berlangsung
mempunyai harta dan tabungan, kemudian terjadi perceraian. Semua harta
36
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2003), h.275
28
dan tabungan dikuasai suami dan belum dilakukan pembagian. Dari
tabungan tersebut suami membeli atau membangun rumah. Dalam kasus
ini, rumah yang dibeli atau dibangun oleh suami sesudah terjadi
perceraian, namun jika uang pembelian atau biaya pembangunan berasal
dari harta bersama, maka barang hasil pembelian atau pembangunan yang
demikian tetap masuk kedalam obyek harta bersama.37
3. Harta Yang Dapat Dibuktikan Dan Diperoleh Selama Perkawinan
Semua harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya
menjadi harta bersama. Namun dalam sengketa perkara harta bersama,
tidak semulus dan sesederhana itu.
Biasanya pada setiap perkara harta bersama, pihak yang digugat selalu
mengajukan bantahan bahwa harta yang digugat bukan harta bersama,
tetapi harta pribadi. Hak pemilikan tergugat bisa dialihkannya berdasarkan
atas hak pembelian, warisan atau hibah. Apabila tergugat mengajukan
dalih yang seperti itu, maka untuk menentukan apakah suatu barang
termasuk harta bersama atau tidak ditentukan oleh kemampuan dan
keberhasilan penggugat membuktikan bahwa harta-harta yang digugat
benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung, dan uang
pembeliannya tidak berasal dari uang pribadi.38
4. Penghasilan Pribadi Suami Istri
37
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2003), h.276 38
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2003), h.277
29
Di dalam harta bersama, semua penghasilan suami atau istri, baik
yang diperoleh darikeuntungan melalui perdagangan masing-masing
ataupun hasil perolehanmasing-masing pribadi menjadi harta bersama.
Jadi sepanjang penghasilan pribadi suami atauistri tidak terjadi pemisahan,
maka dengan sendirinya terjadi penggabungan ke dalam harta bersama.
Penggabungan penghasilan pribadi suami atau istri ini terjadi demi hukum,
sepanjang suami atau istri tidak menentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.39
5. Penghasilan Harta Bersama Dan Harta Bawaan
Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama atau berasal dariharta
bersama akan menjadi harta bersama. Akan tetapi, bukan hanya yang
tumbuh dari harta bersama yang menjadi obyek harta bersama diantara
suami istri, namun juga termasuk penghasilan yang tumbuh dari harta
pribadi suami istri akan jatuh menjadi obyek harta bersama. Dengan
demikian, fungsi harta pribadi dalam perkawinan, ikut menopang dan
meningkatkan kesejahteraan keluarga. Sekalipun hak dan kepemilikan
harta pribadi mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya, namun harta
pribadi tidak terlepas dari fungsinya dan dari kepentingan keluarga.
Barang pokoknya memang tidak diganggu gugat, tapi hasil yang
tumbuh dari padanya jatuh menjadi obyek harta bersama. Ketentuan ini
berlaku sepanjang suami istri tidak menentukan lain dalam perjanjian
perkawinan. Jika dalam perjanjian perkawinan tidak diatur mengenai hasil
39
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2003), h.277
30
yang timbul dari harta pribadi seluruh hasil yang diperoleh dari harta
pribadi suami istri jatuh menjadi harta bersama. Misalnya rumah yang
dibeli dari harta pribadi, bukan jatuh menjadi harta pribadi, tetapi jatuh
menjadi harta bersama. Oleh karena itu, harus dibedakan harta yang dibeli
dari hasil penjualan harta pribadi dengan harta yeng diperoleh dari hasil
yang timbul dari harta pribadi. Dalam hal harta yang dibeli dari hasil
penjualan harta pribadi, tetapi secara mutlak menjadi harta pribadi.40
D. Macam-macam Harta Bersama
Harta bersama diperoleh dari berbagai sumber, yang secara garis besar
dapat dibagi dalam 3 bagian:41
1. Harta yang memang telah dimiliki oleh masing-masing pasangan suami
dan istri sebelum mereka menikah atau yang disebut dengan harta bawaan.
2. Harta yang diperoleh suami istri pada saat mereka menikah, tetapi harta
tersebut diperoleh mereka bukan secara bersama atau sendiri melainkan
harta tersebut diperoleh dari hibah atau hadiah dari orang lain.
3. Harta yang diperoleh suami istri setelah mereka menikah dan harta
tersebut diperoleh secara bersama-sama ataupun oleh salah satu pihak
yang disebut harta pencaharian.
40
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2003), h.278 41
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan,
(Yogyakarta: Liberty, 1997) h.99
31
Hukum positif di Indonesia mengatur harta bersama tersebut di dalam
Undang-Undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 35 dan 36 sebagai
berikut:42
Pasal 35:
1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda
bersama;
2) Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36:
1) Mengenai harta bersama suami istri dapat bertinak atas persetujuan kedua
belah pihak;
2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya;
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan
adanya harta milik masing-masing suami atau istri. Hal itu ditegaskan di
dalam pasal 85 Kompilasi Hukum Islan. Adapun jenis-jenis harta bersama di
dalam pasal 91 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan sebagai berikut:
1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa
benda berwujud atau tidak berwujud.
2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda
bergerak, dan surat-surat berharga.
3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
42
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI tahun
2001
32
4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu
pihak atas persetujuan pihak yang lainnya.43
Di dalam pasal 100 dan pasal 121 persatuan harta kekayaan meliputi:
“Harta kekayaan suami dan istri, baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, yang sekarang maupun yang kemudian, termasuk juga yang
diperoleh dengan cuma-cuma (warisan, hibah); segala beban suami dan
istri yang berupa hutang suami dan istri, baik sebelum maupun sepanjang
perkawinan”.44
Jika ditelaah lebih dalam, pasal 91 KHI memberikan
makna dalam bahwa harta bersama adalah berupa benda milik suami istri
yang mempunyai nilai ekonomi dan nilai hukum, yaitu mempunyai nilai
kegunaan dan ada aturan hukum yang mengatur. Harta bersama dapat
berupa benda berwujud yang meliputi benda bergerak dan tidak bergerak
serta harta bersama dapat berbentuk surat-surat berharga dan harta
bersama dapat berupa benda tidak berwujud berupa hak dan kewajiban.
E. Terbentuknya Harta Bersama
Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, yang ini
telah diamanatkan oleh pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 1974, ini mengartikan
syirkah atau harta bersama itu terbentuk sejak tanggal terjadinya perkawinan
sampai perkawinan itu putus. Ketentuan tentang satu barang atau benda masuk
kedalam harta persatuan atau tidak ditentukan oleh faktor selama perkawinan
43
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Surabaya: Mandar Maju,
1997) h.135 44
Ali Afandi, “Hukum Waris, Hukum Keluarga Dan Hukum Pembuktian”, (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 1997), h.167
33
antara suami dan istri berlangsung, barang menjadi harta bersama kecuali
harta yang diperoleh berupa warisan, wasiat dan hibah oleh satu pihak, harta
ini menjadi harta pribadi yang menerimanya.
Pasal 1 fjo pasal 85 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa harta
bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan, baik benda itu
terdaftar atas nama suami ataupun sebaliknya atas nama istri. Akan tetapi akan
menjadi barang pribadi apabila harta yang dipergunakan untuk membeli benda
tersebut mengunakan harta pribadi suami atau istri dengan kata lain harta yang
dibeli dengan harta yang berasal dari barang pribadi adalah milik pribadi. Bisa
juga terjadi suami istri memiliki harta bersama setelah terjadi perceraian,
dengan ketentuan bahwa uang yang dipergunakan untuk membeli benda itu
berasal dari atau harta bersama semasa perkawinan terdahulu, sehingga ini
juga akan tetap dibagi sama banyak.
F. Hak dan Tanggung Jawab Suami Istri Terhadap Harta Bersama
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974mengatur hak dan kewajiban
terhadap harta bersama pada pasal 36 ayat 1 mnjelaskan bahwa: “Mengenai
harta bersama, suami istri dapat bertindak atas prsetujuan kedua belah”.
Sedangkan pada ayat 2 disebutkan bahwa: “Mengenai harta bawaan masing-
masing, suami dan istri mempunyaihak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bendanya”.
Dalam KHI pasal 89 dan 90 dijelaskan bahwa suami berkewajiban
menjaga harta bersama, harta istri, maupun hartanya sendiri. Namun juga
memberi tanggung jawab kepada istri untuk turut menjaga harta bersama,
34
harta suami, dan hartanya sendiri. Jadi dalam pasal 89 dan 90 KHI ini
menjelaskan tentang pemeliharaan harta bersama.
Dilihat dari ketentuan perundangan-undangan di atas, maka yang menjadi
tujuan pemeliharaan harta bersama itu adalah semata-mata adalah untuk
menegakkan rumah tangga yang saling membantu satu pihak dengan pihak
lainnya agar terwujud keluarga harmonis.
Suami istri akan terkait dengan pihak ketiga dalam hal penggunaan harta
bersama jika dalam pernikahan mereka salah satu pihak mengingatkan diri
dengan pihak ketiga baik utang ataupun piutang, baik utang bersama maupun
utang pribadi. Problem yang muncul kemudian adalah tanggung jawab
terhadap utang tersebut. Untuk mempertegas pembahasan mengenai
utang dalam perkawinan, lebih dahulu perlu dipahami makna utang dalam
kapasitas pribadi masing-masing suami istri ataupun utang bersama selama
perkawinan.
Ada perbedaan antara utang bersama dan utang pribadi. Utang bersama
adalah utang yang dibuat oleh salah satu pihak baik suami atau istri yang
digunakan untuk keperluan rumah tangga. Utang pribadi merupakan utang
yang dibuat oleh suami atau istri yang digunakan untuk kepentingan pribadi
dan bukan untuk keperluan bersama atau keperluan sehari-hari untuk
keluarga.45
Berdasarkan hal tersebut, perihal tanggung jawab utang piutang masing-
masing suami istri dapat timbul antara lain bahwa utang-utang yang
45
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, cet. ke-3 (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1993),
h.74-75
35
membebani dari masing-masing sebelum perkawinan, utang-utang yang dibuat
oleh suami istri untuk keperluan pribadinya dan utang-utang sesudah adanya
perceraian. Utang pribadi suami istri tersebut dibayar dengan menggunakan
harta pribadi masing-masing. Hal ini dipertegas dengan ketentuan pasal 93
ayat (1) KHI, bahwa “Pertanggungjawaban terhadap utang suami atau istri
dibebankan pada hartanya masing-masing.”
Dalam harta bersama pastinya ada yang dinamakan dengan pengeluaran .
pengeluaran ini biasanya diperuntukkan untuk keperluan sehari-hari, baik
untuk kebutuhan primer, sekunder, ataupun tersier. Pengeluaran bersama
adalah pengeluaran yang diperlukan untuk menghidupi keluarga yang
bersangkutan, termasuk didalamnya pengeluaran kebutuhan sehari-hari,
pengeluaran untuk kesehatan dan pengobatan serta pendidikan anak-
anak. Dengan demikian, harta bersama menanggung utang bersama.
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa apabila harta bersama tidak
memadai untuk menutup tanggungan utang bersama maka dapat diambil dari
harta pribadi suami. Apabila harta pribadi suami tidak mencukupi, dibebankan
pada harta pribadi istri.
Kewajiban suami mempergunakan harta pribadinya untuk menutup utang
bersama sebelum mempergunakan harta pribadi istri dalam hal tidak
mencukupinya harta bersama, menurut penulis adalah terkait dengan
kedudukan suami sebagai kepala keluarga. Dengan kedudukan tersebut, suami
wajib melindungi istri dan memenuhi kebutuhan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya. Artinya suami dengan penghasilannya menanggung
36
nafkah, tempat kediaman bagi istri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan
biaya pengobatan bagi istri dan anak, dan biaya pendidikan bagi anak.
Maka dianggap wajar bila harta bersama untuk menutup utang bersama
tidak cukup maka untuk menutup utang yang masih tersisa tadi itu harus
ditutup dengan harta pribadi suami. Jadi pelunasan utang bersama tersebut
sebenarnya lebih dibebankan kepada harta pribadi suami.
Tetapi hukum tidak hanya membebankan pelunasan utang tersebut
kepada salah satu pihak saja, melainkan kepada kedua belah pihak, mengingat
jika utang tersebut dipakai untuk keperluan keluarga. Hal ini dimaksudkan
agar kehidupan rumah tangga dapat kokoh.
G. Pembagian Harta Bersama Dalam Perceraian
Harta bersama antara suami istri baru dapat dibagi apabila hubungan
perkawinan itu sudah terputus. Hubungan perkawinan itu dapat terputus
karena kematian, perceraian, dan juga putusan pengadilan.46
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 37 mengatakan “Bila
perkawinan putus kerena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing” yang dimaksud dengan hukum masing-masing ditegaskan
dalam penjelasan pasal 37 ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-
hukum lainnya.47
Dalam pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak
menegaskan berapa bagian masing-masing antar suami atau istri, baik cerai
mati maupun cerai hidup, tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 96 dan
46
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama Dan Zakat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,1998) h.35 47
UU No.1 Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam,
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI tahun 2001
37
97 mengatur tentang pembagian syirkah ini baik cerai hidup maupun cerai
mati, yaitu masing-masing mendapat separuh dari harta bersama sepanjang
tidak ditentukan dalam perjanjian kawin. Selengkapnya pasal 96 Kompilasi
Hukum Islam berbunyi: “Apabila terjadi cerai mati maka separoh harta
bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Pembagian harta
bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus
ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya
secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.”
Sedangkan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam menyatakan, “Janda atau
duda yang cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin”.48
Dari kedua pasal
di atas, dapat disimpulkan bahwa harta bersama atau syirkah akan dibagi sama
banyak atau seperdua bagian antara suami dan istri, hal ini dapat dilakukan
langsung atau dengan bantuan pengadilan.
Al-Qur'an maupun hadits tidak menjelaskan dengan tegas bahwa harta
yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik suami sepenuhnya, dan juga
tidak menjelaskan dengan tegas bahwa harta yang diperoleh selama masa
perkawinan itu menjadi harta gono gini. Sehingga masalah ini merupakan
masalah yang perlu ditentukan dengan cara ijtihad, yaitu dengan
menggunakan akal pikiran manusia dan dengan sendirinya pemikiran tersebut
harus sesuai dengan hukum Islam.
48
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Surabaya: Mandar Maju,
1997) h.145
38
Menurut hukum perkawinan Islam, istri mempunyai hak nafkah yang
wajib dipenuhi oleh suami. Maka pada dasarnya harta yang menjadi hak istri
selama dalam hubungan perkawinan adalah nafkah yang diperoleh dari
suaminya untuk hidupnya. Kecuali itu, mungkin juga ada pemberian-
pemberian tertentu dari suami, misalnya perhiasan, alat-alat rumah tangga,
pakaian yang biasanya langsung dipakai oleh istri.49
Di dalam hukum Islam tidak membahas secara rinci masalah harta gono gini
suami istri dalam perkawinan, melainkan hanya dalam garis besarnya saja.
Sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda. Para pakar hukum Islam di
Indonesia, ketika merumuskan pasal 85-97 KHI, setuju untuk mengambil
syirkah abdan sebagai landasan merumuskan kaidah-kaidah tentang harta gono
gini suami istri. Kebolehan dalam melakukan syirkah ini sesuai dengan firman
Allah SWT dalam Q.S. Shad (38) : 24, yaitu :
Artinya: “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat
itu sebahagian mereka berbuat lalim kepada sebahagian yang lain, kecuali
orang orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat
sedikitlah mereka ini.”
Para perumus KHI melakukan pendekatan dari jalur syirkahabdan dengan
hukum adat.50
Cara pendekatan ini tidak bertentangan dengan kebolehan
49
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1998), h.102 50
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya : Mandar Maju,
1997), h. 98
39
menjadikan ’urf sebagai sumber hukum dan sejiwa dengan kaidah al-adatu al-
muhakkamah. 45 Pendapat tersebut memang bisa dibenarkan bahwasanya
sebuah kebiasaan atau ’urf bisa dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum
Islam. Jadi hukum Islam tidak menjelaskan tentang adanya harta gono gini.
Namun dalam KHI yang merupakan acuan bagi hakim Pengadilan Agama
untuk memutuskan perkara bagi yang beragama Islam.
Gugatan harta bersama bisa diajukan bersamaan dengan permohonan atau
gugatan perceraian dan bisa juga setelah perceraian berkekuatan hukum tetap
(inkracht). Dalam sengketa harta bersama selama ini yang diajukan ke
Pengadilan Agama kebanyakan kumulatif (samenvoeging van vordering).51
Gugatan harta bersama diajukan bersamaan dengan permohonan/gugatan
perceraian. Hal ini dibolehkan sebgaimana yang disebutkan dalam pasal 86
ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 berikut : “ Gugatan soal
penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri
dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah
putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Maka dari itu, gugatan ditinjau dari segi kuantitas terbagi dua, yakni
gugatan konvensi dan gugatan kumulasi.
1. Gugatan konvensi adalah gugatan yang berisi satu tuntutan, satu
penggugat dan satu tergugat. misalnya perkara gugatan perceraian
antara suami dan istri (satu lawan satu), maka yang diminta kepada
hakim adalah menjatuhkan talak kepada keduanya.
51
Wawancara Penulis dengan Dr. H. A. Choiri, S.H., M.H, Hakim Tinggi Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta, pada hari kamis tanggal 6 April 2017, pukul 10.00 WIB.
40
2. Gugatan kumulasi (samenvoeging) adalah gugatan yang berisi
beberapa tuntutan atau beberapa penggugat atau beberapa tergugat.
Gugatan kumulasi (commulatie) dibagi dua, yakni kumulasi
subyektif (lebih dari satu penggugat atau tergugat) dan kumulasi
obyektif (lebih dari satu tuntutan). Contoh kumulasi subyektif
banyak terjadi dalam masalah kewarisan, beberapa penggugat
melawan satu tergugat atau sebaliknya. Contoh kumulasi obyektif
misalnya perkara perceraian, namun yang diminta di dalam
gugatannya disertakan dengan pembagian harta bersama.52
52
Dikutip dari laman www.lawiindonesia.wordpress.com (Tanggal 15 Februari 2017
Pukul 16.00)
41
BAB III
GAMBARAN UMUM PENGADILAN TINGGI AGAMA JAKARTA
A. Sejarah Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Pengadilan Tinggi Agama sebagai salah satu pilar peradilan dilingkungan
Mahkamah Agung, salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman harus
mampu memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat pencari keadilan secara
prima, yang sejalan dengan visi Mahkamah Agung.53
Namun sedikit orang yang
mengetahui sejarah berdiri lembaga peradilan tersebut. Penting untuk mengetahui
asal muasal lahirnya lembaga peradilan tersebut.
Sejarah terbentuknya PTA Jakarta tidak terlepas dari terbentuknya Peradilan
Agama itu sendiri. Secara yuridis formal, Peradilan Agama sebagai suatu Badan
Peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan lahir di Indonesia (Jawa dan
Madura) berdasarkan suatu Keputusan Raja Belanda (Konninklijk Besluit), yakni
Raja Willem II tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24 yang dimuat dalam Staatsblad
1882 Nomor 152, terdiri dari 7 pasal. Keputusan Raja Belanda itu baru dinyatakan
berlaku setelah ada desakan dari umat Islam pada tanggal 1 Agustus 1882.54
Kemudian pemerintah Belanda pada tahun 1937 mengeluarkan Staatsblad
1937 Nomor 610 tentang Pembentukan Mahkamah Islam Tinggi (Hof voor
Islamietische Zaken) untuk Jawa dan Madura, berkedudukan di Jakarta, mulai
berlaku 1 Januari 1938. Kantor tersebut resmi dibuka pada tanggal 7 Maret 1938
M. bertepatan tanggal 5 Muharam 1357 H., bertempat di Gedung CikiniNo. 8,
53
Dikutip dari www.pta-jakarta.go.id(Tanggal 02 Februari 2017 Pukul 12.35 wib) 54
Dikutip dari www.pta-jakarta.go.id(Tanggal 02 Februari 2017 Pukul 12.35 wib)
42
Jakarta, menjabat sebagai ketua adalah K.H.Moehammad Isa. Peresmian tersebut
dihadiri oleh Wakil Direktur Van justitie sebagai wakil pemerintah dan wakil
wakil dari lapisan masyarakat.55
Tahun 1941, K.H. Moehammad Isa meninggal dunia. Kemudian Gubernur
Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan surat keputusan Nomor 6 tanggal 11
Agustus 1941 yang berisi pengangkatan K.H.Moehammad Adnan, seorang
penghulu di Surakarta sebagai Ketua MIT di Jakarta.56
Kemudian, karena situasi Jakarta yang tidak kondusif, Menteri Kehakiman
melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor 2 tanggal 2 Januari 1946
yang berisi bahwa mulai 1 Januari 1946 memindahkan MIT di Jakarta ke
Surakarta untuk waktu yang tidak dapat ditentukan lamanya. Atas dasar surat
keputusan tersebut, K.H.Moehammad Adnan memindahkan MIT tersebut ke
Surakarta.57
Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada tanggal 27 Desember
1949, suasana negeri mulai kondusif. Pusat pemerintahan RI kembali berpusat di
Jakarta dan kantor serta lembaga negara kembali dipindahkan ke Jakarta. Tetapi
MIT tidak kembali dipindahkan ke Jakarta, ia tetap berada di Surakarta dan
menjadi terkenal dengan nama MIT Surakarta.58
55
Dikutip dari www.pta-jakarta.go.id(Tanggal 02 Februari 2017 Pukul 12.35 wib) 56
Dikutip dari www.pta-jakarta.go.id(Tanggal 02 Februari 2017 Pukul 12.35 wib) 57
Dikutip dari www.pta-jakarta.go.id(Tanggal 02 Februari 2017 Pukul 12.35 wib) 58
Dikutip dari www.pta-jakarta.go.id(Tanggal 02 Februari 2017 Pukul 12.35 wib)
43
Pada tahun 1976, Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan Menteri
Agama Nomor 71 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976 tentang Pembentukan
Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta di Bandung dan Surabaya.59
Kemudian tahun 1980, Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan
Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1980 tentang Penyeragaman Penyebutan, dimana
untuk tingkat banding menggunakan nomenklatur Pengadilan Tinggi Agama dan
untuk tingkat pertama menjadi Pengadilan Agama. Dalam hal ini MIT Surakarta
menjadi Pengadilan Tinggi Agama Surakarta.Tahun 1985, Menteri Agama
mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 61 Tahun 1985 tanggal 16
Juli 1985 tentang Pemindahan Mahkamah Islam Tinggi dari Surakarta ke Ibukota
Negara di Jakarta.60
Keputusan itu baru terlaksana dengan diresmikan Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta pada tanggal 30 Oktober 1987, dengan ketuanya Drs. H. M. Taufik. Maka
sejak tahun 1987, secara otomatis Pengadilan Agama yang sudah ada di DKI
Jakarta menjadi berada di bawah Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.Pada saat itu
PTA Jakarta menempati gedung milik Kementerian Agama RI, yang beralamat di
Jalan Cemara Nomor 42, Jakarta Pusat. Dan hingga sekarang telah menempati
gedung sendiri di Jalan Radin Inten II Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur.61
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta mencanangkan visi yaitu “Terwujudnya
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta yang Agung.” Sedangkan misi yang merupakan
sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan sesuai visi yang ditetapkan agar
tujuan organisasi dapat terlaksana dan terwujud dengan baik dari Pengadilan
59
Dikutip dari www.pta-jakarta.go.id(Tanggal 02 Februari 2017 Pukul 12.35 wib) 60
Dikutip dari www.pta-jakarta.go.id(Tanggal 02 Februari 2017 Pukul 12.35 wib) 61
Dikutip dari www.pta-jakarta.go.id(Tanggal 02 Februari 2017 Pukul 12.35 wib)
44
Tinggi Agama Jakarta adalah sebagaiberikut:
1. Mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, biaya ringan dan
transparansi.
2. Meningkatkan kuantitas dan kualitas Sumber Daya Aparatur Peradilan
dalamrangka peningkatan pelayanan pada masyarakat
3. Melaksanakan tertib administrasi dan manajemen peradilan yang efektif
danefisien.
4. Mengupayakan tersedianya sarana prasarana dan profesional.62
B. Tugas-tugas Pokok Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Tugas-tugas pokok Pengadilan Tinggi Agama Jakarta adalah sebagai berikut :
1. Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara
yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
Sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
jo. Undang-undang Nomor 3 tahun 2006, tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yakni
menyangkut perkara-perkara: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shadaqoh, dan ekonomi syariah.
2. Memberikan pelayanan yustisial bagi perkara banding.
3. Memberikan pelayanan di bidang administrasi perkara banding dan
administrasi peradilan lainnya.
62
Dikutip dari www.pta-jakarta.go.id(Tanggal 02 Februari 2017 Pukul 12.35 wib)
45
4. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum
Islam pada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta
sebagaimana diatur dalam pasal 52 Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
5. Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan perilaku hakim,
panitera, sekretaris dan jurusita di daerah hukumnya.
6. Mengadakan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat
Pengadilan Agama dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan
seksama dan sewajarnya.
7. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di
lingkungan Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama.
8. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti hisab rukyat dan
sebagainya.63
C. Kewenangan Absolut Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan peradilan
yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat
pengadilan,dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan
atau tingkat pengadilan lainnya. Kekuasaan pengadilan di lingkungan
Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
63
Dikutip dari www.pta-jakarta.go.id(Tanggal 02 Februari 2017 Pukul 12.35 wib)
46
perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang
beragama Islam.64
Berbicara tentang kewenangan absolut Pengadilan Tinggi Agama Jakarta,
tidak terlepas dengan kewenangan absolut Pengadilan Agama itu sendiri.
Hanya saja yang membedakannya adalah Pengadilan Tinggi Agama
menyelesaikan sengketa pada tahap banding.
Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 sampai
dengan pasal 53 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Wewenang
tersebut terdiri atas wewenang relatif dan wewenang absolut. Wewenang
relatif Peradilan Agama merujuk pada pasal 118 HIR atau pasal 142 RB.g. jo.
pasal 66 dan pasal 73 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedang
wewenang absolut berdasarkan pasal 49 UU No. 7 tahun 1989. Perkara yang
menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama yakni : perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh, dan ekonomi syariah.
D. Prosedur Pengajuan Perkara di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Prosedur atau alur pengajuan perkara di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
sebagai berikut :
1. Pihak berperkara datang ke Pengadilan Agama dengan membawa surat
gugatan atau permohonan
2. Pihak berperkara menghadap petugas Meja I dan menyerahkan surat
gugatan atau permohonan,minimal 5 (lima) rangkap.Untuk surat
64
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h.56
47
gugatan ditambah sejumlah Tergugat. Dokumen yang perlu diserahkan
kepada Meja I adalah :
a. Surat kuasa khusus (dalam hal Penggugat atau Pemohon
menguasakan kepada pihak lain).
b. Fotokopi kartu tanda advokat bagi yang menggunakan jasa
advokat.
c. Surat kuasa insidentil harus ada keterangan tentang hubungan
keluarga dari kepala desa/lurah dan/atau surat izin khusus dari
atasan bagi PNS/POLRI/TNI.
3. Petugas Meja I (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap perlu
berkenaan dengan perkara yang diajukan dan menaksir panjar biaya
perkara yang kemudian ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM).Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah
mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut, didasarkan pada
pasal 182ayat (1) HIR atau pasal 90 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan
atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
dan terahir Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
Catatan yang perlu diketahui oleh pihak berperkara :
a. Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara Prodeo
(cuma-cuma). Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan
melampirkan surat keterangan dari lurah atau kepala desa setempat
yang dilegalisasi oleh camat.
48
b. Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp.0,00
dan ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM),didasarkan pasal 237-245 HIR.
c. Dalam tingkat pertama,para pihak yang tidak mampu atau
berperkara secara prodeo ini ditulis dalam surat gugatan atau
permohonan bersama-sama (menjadi satu) dengan gugatan
perkara.Dalam posita surat gugatan atau permohon untuk
berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya.
4. Petugas Meja I menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan
kepada pihak berperkara disertai dengan Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM) dalam rangkap 3 (tiga).
5. Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (kasir) surat
gugatan atau permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM).
6. Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM) kepada pihak berperkara sebagai dasar penyetoran panjar
biaya perkara ke bank.
7. Pihak berperkara datang ke loket layanan bank dan mengisi slip
penyetoran panjar biaya perkara.Pengisian data dalam slip bank
tersebut sesuai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM),seperti
nomor urut,dan besarnya biaya penyetoran.Kemudian pihak berperkara
menyerahkan slip bank yang telah diisi dan menyetorkan uang sebesar
yang tertera dalam slip bank tersebut.
49
8. Setelah pihak berperkara menerima slip bank yang telah divalidasi dari
petugas layanan bank,pihak berperkara menunjukan slip bank tersebut
dan menyerahkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada
pemegang kas.
9. Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan
kembali kepada pihak berperkara.Pemegang kas kemudian memberi
tanda lunas dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan
menyerahkan kembali kepada pihak berperkara asli dan tindasan
pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) serta surat gugatan
atau permohonan yang bersangkutan.
10. Pihak berperkara menyerahkan kepada petugas Meja II surat gugatan
atau permohonan sebanyak jumlahtergugat ditambah 2(dua) rangkap
serta tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
11. Petugas Meja II mendaftar/mencatat surat gugatan atau permohonan
dalam register bersangkutan serta memberi nomor register pada surat
gugatan atau permohonan tersebut yang diambil dari nomor
pendaftaran yang diberikan oleh pemegang kas.
12. Petugas Meja II menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat gugatan
atau permohonan yang telah diberi nomor register kepada pihak
berperkara.65
Pihak/pihak-pihak berperkara akan dipanggil oleh jurusita/jurusita
pengganti untuk menghadap ke persidangan setelah ditetapkan Susunan
65
Dikutip dari www.pta-jakarta.go.id(Tanggal 02 Februari 2017 Pukul 12.35 wib)
50
Majelis Hakim (PMH) dan hari sidang pemeriksaan perkaranya (PHS).
Selanjutnya dalam proses persidangan hanya memutus perkara tersebut.66
66
Dikutip dari www.pta-jakarta.go.id(Tanggal 02 Februari 2017 Pukul 12.35 wib)
51
BAB IV
PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM PERSPEKTIF
HUKUM POSITIF DAN FIKIH
A. Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan Harta Bersama 1/3 Bagian
Untuk Suami dan 2/3 Bagian Untuk Istri
1. Kasus Posisi
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta pada tanggal 3 November 2014 telah
menerima permohonan banding atas putusan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan Nomor 1675/Pdt.G/2013/PA.JS dan mendapatkan nomor perkara
42/Pdt.G/2015/PTA.JK dari Pembanding yang identitasnya sebagai
berikut:
a. Pembanding, umur 47 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta,
bertempat tinggal di Jakarta Selatan. Dahulu sebagai Tergugat.
Penggugat Rekonvensi. Sekarang Pembanding.
Melawan Terbanding yang identitasnya sebagai berikut :
b. Terbanding, umur 50 tahun, agama Islam, pekerjaan pegawai negeri
sipil, bertempat tinggal di Padang. Dahulu sebagai Penggugat/Tergugat
Rekonvensi. Sekarang Terbanding.
Pembanding dan Terbanding sudah resmi bercerai berdasarkan akta
cerai yang dikeluarkan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tanggal 11
April 2013. Itu artinya bahwa gugatan harta bersama Nomor
1675/Pdt.G/2013/PA.JS bukan gugatan kumulasi.
52
Berdasarkan keterangan dari Hakim TInggi Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta, Dr. H. A. Choiri, S.H., M.H , nama-nama orang yang berperkara
sengaja dianonim (disamarkan) untuk menjaga nama baik dan juga hal-hal
lain nanti yang bisa merugikan kedua pihak di kemudian hari. Maka dari
itu juga penulis menganonim nama-nama Pembanding dan Terbanding.
Gugatan harta bersama pada putusan Nomor 1675/Pdt.G/2013/PA.JS
yang bertindak sebagai Penggugat adalah Terbanding yang tidak lain
adalah suami Pembanding. Di dalam putusan tersebut terbanding tidak
menerima putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang memutuskan
bagian untuknya 1/2 dari harta bersama karena menganggap putusan
tersebut tidak memenuhi unsur keadilan, dimana Pembanding lebih
mempunyai andil dalam mendapatkan harta bersama tersebut selama
perkawinan. Harta bersama yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Sebidang tanah seluas 216 M2
beserta bangunan seluas 300 M2 atas
nama Fauziah S. yang berlokasi di Jalan Peninggaran Timur III No.
23C Kelurahan Kebayoran Lama Utara, Kecamatan Kebayoran Lama,
Kota Jakarta Selatan, dengan batas-batas sebagai berikut :
a. Sebelah Utara : berbatasan dengan tanah milik bapak Sumarno;
b. Sebelah Timur : berbatasan dengan tanah milik bapak H. Sri
Widodo;
c. Sebelah Selatan : berbatasan dengan Jalan Peninggaran Timur III;
d. Sebelah Barat : berbatasan dengan tanah bapak Asniwar Said;
53
2. Sebidang tanah seluas 220 M2
beserta bangunan seluas 300 M2
atas
nama Fauziah S. di Jalan Peninggaran Timur III No. 23C Kelurahan
Kebayoran Lama Utara, Kecamatan Kebayoran Lama, Kota Jakarta
Selatan, dengan batas-batas sebagai berikut :
a. Sebelah Utara : berbatasan dengan tanah bapak H. Muhaimin;
b. Sebelah Selatan : berbatasan dengan Jalan Peninggaran Timur
III;
c. Sebelah Barat : brbatas dengan tanah milik bapak H. Somad;
d. Sebelah Timur : berbatasan dengan tanah bapak Muhammad
Nur;
3. 1 (satu) unit mobil/kendaraan roda 4, merk SUZUKI Mini Bus, tahun
1996, warna biru, Nomor Polisi B-2927 RR atas nama Syamsul Bahri;
4. 1 (satu) unit mobil/kendaraan roda 4, merk SUZUKI Futura, tahun
2007, warna merah metalik, No. Polisi B-1235 GB atas nama Fauziah
S;
5. 1 (satu) unit mobil/kendaraan roda 4, merk SUZUKI Carry, tahun
2003, warna biru, No. Polisi B-8238 EN atas nama Fauziah S;
6. Uang muka dan uang cicilan pembayaran 1 (satu) mobil merk
HONDA CRV 20 AT, tahun 2011, warna abu-abu metalik, Nomor
Polisi B-1321 SJE atas nama Fauziah S sejumlah Rp. 222.983.911,-
(dua ratus dua puluh dua juta sembilan ratus delapan puluh tiga ribu
sembilan ratus sebelas rupiah).
54
Sehingga ketika putusan telah dibacakan pada tanggal 28 Oktober 2014,
yang pada saat itu Pembanding hadir, Pembanding langsung mengajukan
permohonan banding pada tanggal 3 November 2013. Itu artinya
permohonan banding dari Pembanding dapat diterima karena masih dalam
tenggang waktu yakni 14 hari. Dan juga Pembanding memenuhi syarat
legal standing sebagai orang yang mempunyai hak berperkara dalam
putusan ini, berdasarkan pasal 61 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
Oleh karena itu permohonan banding dari Pembanding dapat diterima oleh
Pengadilan Tinggi Agama. Kemudian memori banding telah diberitahukan
kepada Terbanding pada tanggal 6 November 2014 dan Terbanding
mengajukan kontra memori bandingnya pada tanggal 18 November 2014.
Dan kontra memori bandingnya telah disampaikan kepada Pembanding
pada tanggal 21 November 2014.
2. Duduk Perkara
Tentang duduk perkaranya atau motif Pembanding mengajukan
gugatan ke Pengadilan Tinggi Agama Jakarta adalah sebagai berikut :
a. Pembanding tidak menerima putusan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan yang menetapkan sebidang tanah dan beberapa unit mobil
sebagai harta bersama dan menghukum Pembanding untuk
menyerahkan ½ dari harta bersama tersebut ke Pembanding.
b. Kemudian Pembanding mengajukan memori banding pada PTA
Jakarta dan mendapat nomor perkara 42/Pdt.G/2015/PTA.JK
55
3. Pertimbangan Hakim
Dalam memutuskan perkara ini, Majelis Hakim
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
a. Bahwa berdasarkan bukti-bukti yang telah disertakan di dalam
persidangan oleh Pembanding, terbukti Pembanding dengan menunjukkan
SHM atas nama Pembanding, telah membeli sebidang tanah di Kebayoran
Lama seluas 216 M2
dan bangunan permanen 300 M2. Kemudian tanah
seluas 220 M2
dan bangunan seluas 300 M2
juga atas nama Pembanding.
Kemudian sejumlah unit mobil yang surat-suratnya atas nama Pembanding.
Semuanya telah terbukti sah adalah milik Pembanding.
b. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta berpendapat
bahwa bedasarkan pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
jo. pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, harta bersama adalah harta
yang diperoleh masing-masing suami dan istri atau yang diperoleh bersama
suami dan istri. Oleh karena tanah, rumah, dan sejumlah unit mobil tersebut
dibeli oleh Pembanding pada saat terikat perkawinan dengan Terbanding,
maka harta tersebut termasuk harta bersama.
c. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta setelah melihat
bukti dan menimbang secara seksama, berkesimpulan bahwa tanah yang
disebutkan di atasdan bangunan permanen di atas tanah serta sejumlah unit
mobil tersebut yang terletak di Jakarta Selatan adalah harta bersama
Pembanding dan Terbanding.
56
d. Pihak Pembanding lah yang menjalankan usaha catering dengan
omset per bulan lebih dari Rp. 30.000.000.,-. Yang hasilnya digunakan
untuk menafkahi keluarga Pembanding dan Terbanding.
e. Majelis Hakim menimbang berdasarkan fakta-fakta tersebut akan
tidak adil jika dalam pembagian harta bersama tersebut menerapkan pasal
97 Kompilasi Hukum Islam yakni dibagi dengan bagian yang sama untuk
Pembanding dan Terbanding. Oleh karena itu pasal 97 Kompilasi Hukum
Islam tersebut harus dipahami bahwa harta bersama dibagi dua antara suami
dan istri jika kebutuhan rumah tangga semuanya ditanggung oleh karena
kewajibannya, sebagaimana diatur dalam pasal 34 Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 jo. pasal 80 ayat (2) Kompilasi Hukum
Islam, di samping itu sesuai dengan substansi Al-Qur‟an Surat An-Nisa ayat
32. Majelis Hakim menimbang berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal
229 wajib memahami nilai-nilai hukum yang hidup dan tumbuh di dalam
masyarakat. Memahami bahwa keadilan tidak mempunyai batas ruang dan
waktu. Sedangkan Undang-undang mempunyai batas (parsial) karena dibuat
oleh manusia, sehingga sangat mungkin suatu Undang-undang atau
peraturan tidak bisa digunakan pada suatu perkara yang kasuistis seperti ini.
f. Majelis Hakim menimbang, walaupun mengesampingkan pasal 97
Kompilasi Hukum Islam (asas legal formal), hakim sebagai pembuat hukum
(judge made law) harus lebih jeli lagi melihat dasar-dasar keadilan
berdasarkan nuraninya. Dimana dalam kasus ini hakim melihat pihak
57
Pembanding yang lebih banyak berkontribusi dalam mengumpulkan harta
bersama dan mempunyai itikad baik untuk menafkahi keluarga.
g. Terhadap pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta menetapkan pembagian harta
bersama masing-masing untuk Pembanding 2/3 bagian dan untuk
Terbanding 1/3 bagian.
4. Amar Putusan
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta mengadili
perkara Nomor 42/Pdt.G/2015/PTA.JK yang isinya sebagai berikut :
a. Menerima permohonan banding dari Pembanding. Pembanding
memenuhi syarat legal standing sebagai orang yang berhak berperkara
dalam perkara Nomor 42/Pdt.G/2015/PTA.JK. Tidak obscur liebel dan
sudah sesuai dengan kewenangan relatif Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.
b. Pengadilan Tinggi Agama Jakarta membatalkan dan melakukan
perbaikan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
1675/Pdt.G/2013/PA.JS.
c. Menetapkan bahwa:
1. Sebidang tanah seluas 216 M2
beserta bangunan seluas 300 M2 atas
nama Fauziah S. yang berlokasi di Jalan Peninggaran Timur III No. 23C
Kelurahan Kebayoran Lama Utara, Kecamatan Kebayoran Lama, Kota
Jakarta Selatan, dengan batas-batas sebagai berikut :
a. Sebelah Utara : berbatasan dengan tanah milik bapak Sumarno;
58
b. Sebelah Timur : berbatasan dengan tanah milik bapak H. Sri
Widodo;
c. Sebelah Selatan : berbatasan dengan Jalan Peninggaran Timur III;
d. Sebelah Barat : berbatasan dengan tanah bapak Asniwar Said;
2. Sebidang tanah seluas 220 M2
beserta bangunan seluas 300 M2
atas
nama Fauziah S. di Jalan Peninggaran Timur III No. 23C Kelurahan
Kebayoran Lama Utara, Kecamatan Kebayoran Lama, Kota Jakarta Selatan,
dengan batas-batas sebagai berikut :
a. Sebelah Utara : berbatasan dengan tanah bapak H. Muhaimin;
b. Sebelah Selatan : berbatasan dengan Jalan Peninggaran Timur III;
c. Sebelah Barat : brbatas dengan tanah milik bapak H. Somad;
d. Sebelah Timur : berbatasan dengan tanah bapak Muhammad Nur;
3. 1 (satu) unit mobil/kendaraan roda 4, merk SUZUKI Mini Bus,
tahun 1996, warna biru, Nomor Polisi B-2927 RR atas nama Syamsul Bahri;
a. 1 (satu) unit mobil/kendaraan roda 4, merk SUZUKI Futura, tahun
2007, warna merah metalik, No. Polisi B-1235 GB atas nama Fauziah S;
b. 1 (satu) unit mobil/kendaraan roda 4, merk SUZUKI Carry, tahun
2003, warna biru, No. Polisi B-8238 EN atas nama Fauziah S;
c. Uang muka dan uang cicilan pembayaran 1 (satu) mobil merk
HONDA CRV 20 AT, tahun 2011, warna abu-abu metalik, Nomor Polisi
B-1321 SJE atas nama Fauziah S sejumlah Rp. 222.983.911,- (dua ratus
dua puluh dua juta sembilan ratus delapan puluh tiga ribu sembilan ratus
sebelas rupiah).
59
Adalah harta bersama Pembanding dan Terbanding.
e. Menetapkan 2/3 bagian dari harta bersama untuk Pembanding dan
1/3 untuk Terbanding.
f. Menghukum Pembanding untuk membagi harta bersama tersebut
dan menyerahkan 1/3 bagian kepada Terbanding, jika tidak dapat dibagi
secara natura/riil harta bersama tesebut dijual secara lelang di depan
umum dan hasilnya 1/3 bagian diserahkan kepada Terbanding.
Menurut penulis, apa yang telah diputuskan oleh hakim telah benar
meskipun tidak sesuai dengan KHI karena tujuan dari hukum adalah
keadilan dan keadilan adalah segalanya. Pada pembahasan bab 2 di poin
Harta Yang Dibeli Selama Perkawinan, penulis menjelaskan tentang uang
yang digunakan untuk membeli barang tersebut berasal dari harta pribadi
suami atau istri, jika uang pembelian barang tersebut secara murni berasal
dari harta pribadi, maka barang yang dibeli tidak termasuk obyek harta
bersama.Dan pada pembahasan bab 2 tentang terbentuknya Harta Bersama
adalah bahwa akan menjadi barang pribadi apabila harta yang dipergunakan
untuk membeli benda tersebut menggunakan harta pribadi suami atau istri
dengan kata lain harta yang dibeli dengan harta yang berasal dari barang
pribadi adalah milik pribadi. Dan pada pertimbangan hakim dalam
memutuskan perkara tersebut dengan berdasarkan bukti-bukti di dalam
persidangan semuanya telah terbukti sah milik pembanding dengan barang
yang dibeli adalah milik pribadi.
60
Majelis hakim juga telah menimbang secara seksama tidak adil jika
menerapkan pasal 97 KHI karena kewajiban suami untuk menafkahi
keluarganya tidak dilakukan.
B. Tinjauan Hukum Positif Terhadap Putusan No 42/Pdt.G/2015/PTA/JK
Penegakkan hukum harus memperhatikan tiga hal, yaitu : kepastian hukum
(rechtsicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan
(gerechttigkeit). Demikian, jika hakim hendak memutuskan perkara, maka
pijakannya harus pada tiga unsur tersebut.67
Dalam perkara Nomor 42/Pdt.G/2015/PTA.JK yang akan penulis bahas ini
sesuai dengan kewenangan absolut yang tertuang di dalam pasal 49 ayat (1)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah
beberapa kali diamandemen. Hakim harus menggunakan tiga unsur di atas,
kepastian hukum (rechsicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan
keadilan (gerechttigkeit). Karena pada saat bercerai masing-masing pihak
suami istri akan meminta bagian masing-masing.
Dalam Bab VII pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal
119 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tentang harta benda dalam
perkawinan, diatur sebagai berikut :
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama” (Pasal 35 ayat (1))
67
Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1993), h.2
61
“Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi
harta bersama menyeluruh antara suami-istri, sejauh tentang hal itu tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”
Jelaslah bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung,
menjadi harta bersama. Pasal 35 ayat (1) UUP dan pasal 119 BW (Burgerlijk
Wetboek) menjadi landasan hukum yang dipakai oleh Majelis Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, yang dikuatkan lagi oleh Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi Jakarta untuk menetapkan dua bidang tanah 300 M2 dan
220 M2
yang terletak di Kebayoran Lama dan sejumlah unit mobil sebagai
harta bersama, karena dibeli pada saat Pembanding dan Terbanding telah
terikat perkawinan. Namun putusan belum inkracht, pihak Pembanding (yang
dulu sebagai tergugat) tidak puas dengan putusan Hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan yang tertuang dalam putusan Nomor 1675/Pdt.G/2013/PA.JS ,
lalu mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.
Pembanding mengklaim bahwa tanah tersebut dibeli dengan jerih payahnya
sesuai dengan SHM yang beratasnamakan Pembanding dan juga sejumlah
mobil yang surat-suratnya atas nama Pembanding, namun dikarenakan
dibelinya tanah dan mobil tersebut pada saat perkawinan, maka tanah tersebut
merupakan harta bersama.
Dalam perkawinan tidak ada percampuran harta kekayaan antara suami
dan istri. Kompilasi Hukum Islam pasal 86 ayat (1), menegaskan bahwa
“Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta istri dan suami karena
62
perkawinan”. Pada ayat (2) disebutkan bahwa “Pada dasarnya harta istri
tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta
suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya”. Jelas menurut
pasal diatas tidak ada percampuran harta kekayaan.Oleh karena itu, penting
adanya perjanjian perkawinan jika suatu hari terpaksa membagi harta bersama
karena perceraian.
Di Indonesia konsep harta bersama pada awalnya berasal dari adat istiadat
atau tradisi. Walaupun kata “gono-gini” berasal dari konsep adat jawa, namun
ternyata di daerah lain juga dikenal dengan konsep yang sama dengan istilah-
istilah yang berbeda, seperti “hareuta sirakeat” dari Aceh, “harta suarang”
dari bahasa Minangkabau, “guna kaya” dari bahasa Sunda, dan “duwe gabro”
dari Bali.68
Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991) pasal 85
disebutkan bahwa : “Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak
menutup kemungkinan ada harta masing-masing suami dan istri”.Pasal ini
telah menyebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan. Dengan kata
lain, Kompilasi Hukum Islam mendukung adanya harta bersama dalam
perkawinan, walaupun sudah menikah tetap tidak tertutup kemungkinan ada
harta masing-masing dari suami dan istri.69
68
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta :
Transmedia Pustaka, 2008), h.10 69
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta :
Transmedia Pustaka, 2008), h.13
63
Penulis tertarik membahas tentang dasar hukum adanya harta masing-
masing dalam harta bersama, yakni Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1
Tahun 1991) pasal 85 disebutkan bahwa : “Adanya harta bersama dalam
perkawinan itu tidak menutup kemungkinan ada harta masing-masing suami
dan istri”.Dalam perkara Nomor 42/Pdt.G/2015/PTA.JK, Pembanding dalam
hal ini adalah istri dari Terbanding yang sebelum melaksanakan pernikahan,
Pembanding mempunyai usaha catering yang sangat besar dan sangat maju,
bahkan menurut keterangan dari narasumber, Pembanding bisa mendapatkan
keuntungan dalam sebulan mencapai Rp. 30.000.000.00-. Pembanding yang
menafkahi keluarga bahkan untuk membiayai 3 anak mereka untuk sekolah.
Terbanding pun ikut diayomi oleh Pembanding dari hasil usahanya yang
Pembanding jalankan. Seharusnya jika mengacu pada peran dan tanggung
jawab suami-istri, apa yang dimiliki istri baik itu dari harta bawaan atau harta
bersama, tidak wajib untuk dipakai menghidupi keluarga. Hanya dalam hal ini,
Pembanding mempunyai itikad baik dalam menghidupi keluarga.
Tanggung jawab suami memberi nafkah tertuang dalam pasal 34 ayat (1)
UU Perkawinan. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa suami wajib
melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya. Hal serupa juga telah diatur di dalam
BW (KUHPer), yaitu pada pasal 107 ayat (2). Kemudian Kompilasi Hukum
Islam menguatkannya dalam pasal 80 ayat (2) jo. ayat (4), yaitu bahwa suami
wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
64
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan
penghasilannya, suami menanggung :
1. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri
dan anak
3. Biaya pendidikan bagi anak70
Sebagai seorang kepala rumah tangga suami harus transparansi pendapatan
kepada keluarganya. Agar kedepannya masing-masing pihak suami danistri
saling mengerti dengan adanya beban nafkah.
Ikatan perkawinan mengkondisikan adanya harta bersama suami dan istri,
sebagaimana tertuang dalam pasal 35 ayat (1), namun bukan berarti dalam
perkawinan hanya ada harta bersama atau gono-gini yang diakui, hal ini
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 85 KHI yang menyatakan tidak
menutup kemungkinan ada harta masing-masing suami dan istri dalam harta
bersama tersebut. Harta bersama dalam perkawinan ada tiga macam sebagai
berikut :
1. Harta gono-gini
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 91 ayat (1), harta gono-gini bisa
berupa benda berwujud dan tidak berwujud. Suami dan istri harus mengatur
dengan sebaik-baiknya tentang harta gono-gini, sebagaimana diatur dalam
70
Diakses dari hukumonline.com pada hari kamis 3 April 2017 pukul 01.11
65
KHI pasal 89, sebagai berikut : “Suami bertanggung jawab menjaga harta
bersama, harta istri, maupun hartanya sendiri”.
2. Harta bawaan
Undang-undang Perkawinan pasal 35 ayat (2) mengatur, “Harta bawaan
masing-masing suami dan istri serta harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-
masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. Berdasarkan
ketentuan ini, suami maupun istri berhak memiliki sepenuhnya harta
bawaannya masing-masing, asalkan tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan. Pernyataan yang sama juga diperkuat dalam KHI pasal 87 ayat
(1) Harta bawaan bukan termasuk dalam harta bersama. KHI pasal 87 ayat
(2) harta masing-masing pasangan tidak bisa diotak-atik oleh
pasangannyayang lain. Tetapi harta bawaan dapat menjadi harta bersama
asalkan ditentukan dalam perjanjian perkawinan.
3. Harta perolehan
Seperti halnya harta bawaan, harta perolehan juga menjadi milik pribadi
masing-masing pasangan. Harta ini diperoleh setelah terjadinya
perkawinan.Dasarnya Undang-undang Perkawinan pasal 35 ayat (2).
Contohnya hadiah, hibah dan warisan.71
Ada dua macam hak dalam harta bersama, yaitu hak milik dan hak guna,
artinya mereka berdua sama-sama berhak menggunakan harta bersama
71
Ismail Muhammad Syah, Pencarian Bersama Suami-istri; Adat Gono-gini dari
Sudut Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1965), h.16
66
tersebut dengan syarat harus mendapat persetujuan dari pasangannya.Jika
suami hendak menggunakan harta bersama, dia harus meminta persetujuan
istrinya. Demikian juga sebaliknya, jika istri hendak menggunakan harta
bersama, maka dia harus izin kepada suaminya.
Undang-undang Perkawinan pasal 36 ayat (1) menyebutkan bahwa :
“Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak”.
Jika penggunaan harta gono-gini tidak mendapat persetujuan dari salah
satu pihak keduanya, tindakan tersebut dianggap melanggar hukum karena
merupakan tindak pidana yang bisa saja dituntut secara hukum. Dasarnya
dalam KHI pasal 92 : “Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak
diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama”
Suami atau istri juga diperbolehkan menggunakan harta bersama sebagai
barang jaminan asalkan mendapat persetujuan dari salah satu pihak. Tentang
hal ini, KHI pasal 91 ayat (4) mengatur bahwa : “Harta bersama dapat
dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lain”
Dalam perkara Nomor 42/Pdt.G/2015/PTA.JK, Terbanding yang dalam
hal ini adalah suami dari Pembanding diketahui ternyata memiliki deposito
yang disembunyikan dari Pembanding. Jika deposito itu ada pada saat
perkawinan masih berlangsung, maka deposito tersebut juga seharusnya
menjadi harta bersama sesuai ketentuan KHI pasal 35. Namun rupanya
Terbanding hendak mengelabui Pembanding hingga saat perceraian
67
Pembanding tidak mengetahui pasti berapa penghasilan Terbanding per bulan,
rekening tabungan, dan rekening koran.
Harta bersama jika ingin disimpan di bank atau dipindahkan atau
digunakan untuk apa saja, seharusnya dengan persetujuan kedua belah pihak.
Demikian juga ketentuan hukum harta bersama yang terkait dengan utang,
KHI pasal 93 ayat (1) menyebutkan bahwa : “Pertanggungjawaban terhadap
utang suami atau istri dibebankan kepada hartanya masing-masing”.
Maksudnya utang yang secara khusus dimiliki oleh suami atau istri menjadi
tanggung jawab masing-masing. Misalnya, salah satu dari mereka mempunyai
utang sebelum mereka menikah, maka utang itu menjadi tanggung jawabnya
sendiri.
Dalam kasus di atas, Pembanding dan Terbanding memiliki hutang
bersama di bank BRI sejumlah Rp. 134.000.000,-, yang seharusnya hutang
tersbut dilunasi bersama, namun pada kenyataannya si Pembanding lah yang
melunasi sendiri hutang tersebut hingga lunas.
Sebenarnya walaupun hutang tersebut dipakai Terbanding untuk
menafkahi keluarga Pembanding dan Terbanding tetap saja hukum
menyerahkan beban pelunasannya kepada Terbanding yang dalam hal ini
sebagai suami Pembanding. Ketentuan tersebut telah diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam. Jika utang tersebut untuk kepentingan keluarga, dalam KHI
pasal 93 ayat (2), bahwa : “Pertanggungjawaban terhadap utang yang
dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta suami”.
68
Berdasarkan wawancara penulis dengan salah seorang hakim Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta,Dr. H. A. Choiri, S.H., M.H., mengatakan bahwa dalam
menyelesaikan kasus harta bersama ini Majelis Hakim merujuk kepada nash-
nash Al-Qur‟an, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan Kompilasi
Hukum Islam sebagai hukum terapan dan hukum positif di Pengadilan
Agama.72
Dalam putusan perkara Nomor 42/Pdt.G/2015/PTA.JK, Majelis
Hakim telah berusaha memberikan keadilan dalam hal pembagian harta
bersama. Dimana istri mendapatkan 2/3 harta bersama, sedangkan suami
hanya 1/3 harta bersama. meskipun suami tidak mempunyai andil terhadap
perolehan harta bersama tetapi masih mendapat bagian 1/3 dari harta bersama
dengan pertimbangan karena suami sebagai kepala rumah tangga telah
mengayomi keluarga antara lain memberikan izin istri untuk bekerja dan
suami telah mengurusi anak.73
Dari uraian diatas, penulis dalam hal ini sudah cukup memberikan
keadilan bagi Pembanding dan Terbanding dalam perkara tersebut. Harta
bersama dibagi ½ bagian untuk masing-masing pihak jika dalam kondisi
normal, yaitu suami memberi nafkah kepada keluarga, dan istrinya mengurus
rumah tangga. Namun dalam hal ini, perkara tersebut bisa disebut kasuistis.
Kita harus melihat sejauh mana peranan suami dan istri dalam mengumpulkan
harta bersama tersebut dan bagaimana mereka melaksanakan kewajiban-
72Wawancara Penulis dengan Dr. H. A. Choiri, S.H., M.H, Hakim Tinggi Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta, pada hari kamis tanggal 6 April 2017, pukul 10.00 WIB. 73Wawancara Penulis dengan Dr. H. A. Choiri, S.H., M.H, Hakim Tinggi Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta, pada hari kamis tanggal 6 April 2017, pukul 10.00 WIB.
69
kewajiban mereka sebagai suami-istri. Walaupun tidak sesuai dengan pasal 97
Kompilasi Hukum Islam, hakim lebih mengedepankan keadilan.
Tidak boleh dilupakan kewajiban hakim yang tercantum dalam pasal 28
Undang-undang RI No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman, yaitu
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Sebagai “wakil Tuhan”, hakim mempunyai
wewenang untuk membuat hukum, yang biasa disebut “Judge made Law”.
Maka dari itu, setiap putusan pasti diawali dengan kalimat “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.74
Memang keadilan merupakan tujuan pokok Peradilan Agama, yaitu
menyelenggarakan peradilan agama, menegakkan hukum dan keadilan.
Konsep di atas sesuai dengan hasil wawancara dengan Dr.H. A. Choiri, S.H.,
M.H.75
Sebagaimana diketahui tujuan hukum dalam kaidah-kaidah hukum,
yaitu:
1. Hukum melindungi kebebasan setiap warga negaranya
2. Setiap warga negara harus diperlakukan sama dihadapan hukum
3. Hukum harus menegakkan kebenaran dan rasa keadilan dalam
kehidupan masyarakat.76
Agar peraturan-peraturan hukum dapat berlangsung terus menerus dan
diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum
74
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty,
2006), h.21 75Wawancara Penulis dengan Dr. H. A. Choiri, S.H., M.H, Hakim Tinggi Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta, pada hari kamis tanggal 6 April 2017, pukul 10.00 WIB. 76
Ahmad Kamil, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta; Prenada Media,
2005), h.21
70
yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas
keadilan.77
Dengan demikian, hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian
hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada
keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.78
Oleh karena itu, penulis
dapat menarik kesimpulan bahwa putusan hakim dalam perkara No.
42/Pdt.G/2015/PTA.JK sudah benar dan telah memenuhi rasa keadilan,
meskipun tidak sesuai dengan yang diatur dalam KHI karena tujuan dari
hukum adalah keadilan dan keadilan adalah segala-galanya. Keberanian
tersebut telah dipraktekkan dengan memahami bahwa pasal 97 KHI yakni
janda atau duda cerai mendapat setengah adalah jika dalam ketentuan standar
normal, dalam arti suami yang mencukupi semua kebutuhan keluarga, baik
sandang, pangan, tempat tinggal dan kebutuhan lainnya sedangkan istri
sebagai ibu rumah tangga mengerjakan pekerjaan kerumah tanggaan, seperti
memasak, mengasuh anak, mengurus kebersihan rumah dan lain-lainnya.
C. Tinjauan Fikih Terhadap Putusan No 42/Pdt.G/2015/PTA.JK
Pada dasarnya menurut hukum Islam, harta suami istri terpisah. Masing-
masing memiliki hak untuk membelanjakan atau menggunakan hartanya
dengan sepenuhnya tanpa boleh diganggu oleh pihak lain, baik merupakan
harta bawaan masing-masing atau harta yang diperoleh salah seorang suami
istri atas usahanya sendiri-sendiri maupun harta yang diperoleh oleh salah
seorang mereka karena hadiah atau hibah atau warisan sesudah mereka
77
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), h.48 78
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006),
h.34
71
menikah. Al Qur‟an tidak mengatur lembaga harta bersama dalam
perkawinan. Dalam kitab fikih pun tidak menyebut tegas mengenai harta
bersama selama perkawinan yang disebut sebagai harta kekayaan perkawinan.
Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Nisa‟ (4) : 32,
yaitu :
Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan
Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.
(karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Menurut ayat tersebut jelaslah bagi laki-laki akan mendapat harta
merekasesuai dengan jerih payahnya dan begitu pula bagi perempuan akan
mendapatkanhaknya sesuai dengan jerih payahnya. Maka, ketika terjadi
perceraian masing-masing suami dan istri berhak mendapatkan apa yang
mereka telah usahakan.
Konsep harta bersama, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hanya
merupakan produk hukum adat, yang kemudian dikonsepkan di dalam hukum
positif Indonesia.
Di dalam hukum Islam atau fikih sendiri, membolehkan kebiasaan
masyarakat atau adat yang baik yang tidak bertentangan dengan syariat Islam
diadopsi menjadi hukum positif. Di dalam ushul fikih adat kebiasaan disebut
72
“‟Urf”. “‟Urf” ini bisa menjadi sandaran hukum sesuai dengan kaidah yang
menyatakan :
مة العادةمحك
Artinya : “Sebuah adat kebiasaan bisa dijadikan sandaran hukum”.
Namun adat kebiasaan ini tidak serta merta harus diadopsi menjadi hukum
positif. Adat tersebut harus memenuhi syarat-syarat, yaitu :
1. „Urf berlaku umum
2. Tidak bertentangan dengan nash syar‟i
3. „Urf tersebut sudah berlaku sejak lama, bukan kebiasaan yang baru
saja terjadi
4. Tidak bertentangan dengan tashrih.
Oleh karena itu, sah-sah saja jika dalam perkawinan suami-istri bersepakat
mengadakan persatuan harta.
Harta bersama di dalam fikih bisa disebut sebagai hasil syirkah. Ada dua
pendapat yang mengenai harta bersama (syirkah) dalam Islam. Ada pendapat
yang menyatakan harta bersama dapat terjadi dalam perkawinan Islam.
Dengan adanya pernikahan, terjadi perkongsian terbatas (syarikatur rajuli
filhayati), yaitu kongsi sekutu seorang suami dalam melayari bahtera hidup,
maka antara suami istri dapat terjadi syirkah Abdaan (perkongsian tidak
terbatas), syirkah di bidang pemberian jasa atau melakukan pekerjaan
(perkongsian tenaga). Kekayaan bersatu karena syirkah seakan-akan
merupakan harta kekayaan tambahan akibat usaha/ pekerjaan bersama. Ada
juga yang berpendapat bahwa Islam tidak mengenal harta bersama kecuali
73
dengan tegas dilakukannya syirkah, hal ini bersandar pada pendapat yang
mengatakan bahwa tidak ada harta bersama, harta yang menjadi hak istri tetap
menjadi milik istri dan tidak dapat diganggu gugat termasuk oleh suami,
begitu pula apa yang diusahakan oleh suami keseluruhannya tetap menjadi hak
milik suami kecuali bila ada syirkah, perjanjian bahwa harta suami-istri
tersebut bersatu. Dalam Al Qur‟an surat An Nisaa ayat 32 hanya menegaskan
bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama berlaku atau berusaha dan untuk
memperoleh rezeki dari usahanya. Tidak menyebutkan adanya harta bersama.
Ahli-ahli yang berpendapat bahwa tidak ada harta bersama dalam Islam di
antaranya adalah Satria Effendi dan Abdullah Siddik. Sedangkan ahli-ahli
yang menyatakan adanya harta bersama dalam Islam, salah seorang di
antaranya adalah Sayuti Thalib.79
Masalah syirkah atau harta bersama asal
mulanya dari hukum adat. Hal ini kemudian diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam, dalam Bab XIII.
Ketika terjadi sengketa harta bersama, hakim diharapkan bisa memberikan
keadilan bagi pihak-pihak yang bersengketa. Masalah ini sangatlah sensitif
karena berkaitan dengan kepemilikan harta benda. Hakim harus pandai
menggunakan pisau hukumnya jika tidak mau mencederai keadilan. Hal itu
diperintahkan Allah di dalam Q.S. al-Nahl (16) : 90, yaitu :
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan
79
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998), h. 54
74
keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran.”
Juga firman Allah dalam Q.S. al-Nisa‟ (4) : 58, yaitu :
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha mendengar lagi Maha melihat.”
Dalam setiap putusan pengadilan, pada bagian paling awal dari putusan
tersebut pasti diselipkan kalimat “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Yang berarti bahwa keadilan harus
ditegakkan sesuai dengan perintah Tuhan Yang Maha Esa, yakni Allah SWT.
Tuhan menginginkan keadilan ditegakkan dengan seadil-adilnya sesuai firman
di atas. Dan sesuai dengan kaidah amar dalam ushul fikih “al-ashlu fil amri lil
wujub”, pada dasarnya perintah menunjukkan adanya suatu kewajiban. Maka
oleh karena itu, wajib hukumnya bagi kita menegakkan keadilan.
Pada putusan Nomor 42/Pdt.G/2015/PTA.JK, hakim PTA Jakarta telah
berusaha memberikan keadilan bagi para pihak. Hal itu dilihat dari prosesnya
yang panjang, ketika Pembanding (yang dulunya Tergugat) tidak puas dengan
putusan hakim PA Jakarta Selatan Nomor 1675/Pdt.G/2015/PA.JS lalu
mengajukan banding ke PTA Jakarta. Dan menurut penulis, setelah menelaah
75
kasus ini, hal itu telah sesuai dengan asas-asas keadilan. Baik dilihat dari
hukum positif maupun hukum Islam/fikih.
Putusan hakim yang paling mencolok adalah ketika hakim memutuskan
pembagian harta bersama untuk istri atau Pembanding 2/3 dan untuk suami
(Terbanding) 1/3. Tentunya hakim mempunyai dasar-dasar yang kuat. Salah
satunya adalah di dalam mengumpulkan atau membeli tanah yang menjadi
harta bersama tersebut, lebih banyak andil dari Pembanding atau istri. Dan di
dalam kehidupan rumah tangga pun, istri lebih banyak menafkahi keluarga
daripada suami yang seharusnya mengambil tugas memberi nafkah.
Menurut penulis, pembagian harta bersama tersebut telah cukup adil mengingat
seharusnya suami lah yang menafkahi keluarga, namun pada kenyataannya
tidak demikian. Hal ini sesuai yang difirmankan Allah SWT dalam Q.S. al-
Tholaq (65) : 7, yaitu :
Artinya: hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan
beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata : “ Memberi nafkah kepada
keluarga merupakan perkara yang wajib atas suami. Syariat menyebutnya
sebagai sedekah, untuk menghindari anggapan bahwa para suami yang telah
menunaikan kewajiban mereka (memberi nafkah) tidak akan mendapat
balasan apa-apa. Mereka mengetahui balasan apa yang diberikan kepada
orang yang bersedekah. Oleh karena itu, nafkah kepada keluarga juga adalah
76
sedekah. Sehingga tidak boleh memberikan sedekah kepada orang lain,
sebelum mereka mencukupinafkah keluarga sendiri.”80
Dari dalil-dalil di atas jelaslah bahwa yang harus memberi nafkah kepada
keluarga adalah suami. Namun di dalam perkara istri yang lebih dominan
memberi nafkah bagi keluarga daripada suami seperti halnya putusan
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor 42/Pdt.G/2015/PTA.JK adalah hal
kasuistis, yang pembagian harta bersama juga tidak mungkin dibagi sama rata.
Istri atau dalam perkara tersebut disebut Pembanding, masih menafkahi
keluarga karena gerakan dari hati nuraninya. Tidak melihat atau menuntut
bahwa itu adalah tugas suami atau Terbanding. Ternyata kebaikan
Pembanding disia-siakan dan seolah-olah Pembanding hanya dimanfaatkan
sebagai “kuda tunggangan” untuk memperkaya diri sendiri, yang terbukti
ternyata Terbanding mempunyai deposito dan tabungan ratusan juta yang
tidak diketahui Pembanding.
Dalam keluarga sudah seharusnya saling bantu-membantu. Istri jika
diperlukan bisa membantu suami dalam mencari nafkah, sebaliknya suami jika
diperlukan bisa membantu istri dalam urusan rumah tangga.
Diketahui juga bahwa ternyata Terbanding mempunyai utang yang
dibawanya sebelum menikah dengan Pembanding. Dan utang tersebut dilunasi
dengan uang dari harta bersama Pembanding dan Terbanding selama dua
tahun menikah. Padahal dalam KHI pasal 93 ayat (2) jelas diterangkan bahwa
utang masing-masing harus ditanggung oleh masing-masing dan utang
keluarga dibebankan kepada harta suami. Namun pada kasus ini, Pembanding
80
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath Al-Bari Bisyarhi Shahih Al-Bukhari, Jilid IX, h. 498.
77
membantu melunasinya dengan harta bersama, yang dalam harta bersama
tersebut banyak dari hasil jerih payah Pembanding. Allah SWT tidak akan
menyia-nyiakan orang yang meringankan beban orang lain, terlebih lagi itu
adalah suami dari Pembanding sendiri. Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-
Baqarah (2) : 280, yaitu :
Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka
berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian
atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
Dari uraian di atas, jelas dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Nomor 42/Pdt.G/2015/PTA.JK, hakim telah menimbang dari sudut pandang
hukum positif dan hukum Islam atau fikih. Dalam hukum positif telah dikaji
dari berbagai Undang-undang dan peraturan lainnya, sedangkan dari hukum
Islam atau fikih telah dikaji dari dalil-dalil al-Qur‟an, hadits, maupun pendapat
Ulama.
Maka dari itu, penulis telah menemukan jawaban bahwa dilihat dari
hukum positif maupun fikih, putusan Nomor 42/Pdt.G/2015/PTA.JK telah
cukup memberikan keadilan bagi para pihak yang bersengketa.
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian diatas maka penulis dapat menarik kesimpulan
menjadi beberapa bagian, sebagai berikut:
Dasar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
dalam membagi harta bersama adalah dengan berlandasan dari rasa keadilan,
sehingga sikap hakim dalam memutuskan perkara tersebut lebih kepada
hukum yang timbul pada masyarakat (KHI pasal 229). Artinya hal tersebut
berdasarkan pada standar normal yakni suami yang seharusnya mencukupi
kebutuhan rumah tangga baik sandang, pangan, tempat tinggal maupun
kebutuhan rumah tangga lainnya dengan dibantu istri yang mengurusi rumah
tangga.
Putusan Nomor 42/Pdt.G/2015/PTA.JK telah sesuai dan tidak berbenturan
dengan hukum positif di Indonesia, baik dengan KUHPer, Undang-undang
Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan peraturan lainnya. Hakim membagi
harta bersama tersebut berdasarkan kewajiban nafkah, yang menyatakan
seharusnya suami yang memberi nafkah bagi keluarga.
Putusan Nomor 42/Pdt.G/2015/PTA.JK telah sesuai dan tidak
bertentangan dengan hukum Islam atau fikih. Dalam Q.S. al-Tholaq (65) : 7,
Allah mewajibkan nafkah oleh suami kepada anak dan istrinya. Begitu pula
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dan
pendapat dari Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Kitab Fathul Bari‟.
79
B. Saran-saran
1. Diharapkan Majelis Hakim Pengadilan Agama mempunyai keberanian
satulangkah lebih maju untuk tidak menjadi corong undang-undang atau
berani mengesampingkan undang-undang demi mengutamakan keadilan
dan harus mencermati lebih seksama dalam menilai dan menafsirkan
undang-undang yang akan dijadikan pijakan hukum dalam mengambil
keputusan dengan menyesuaikan perkara yang sedang ditangani.
2. Hakim dalam memberikan putusan, perlu memperhatikan dengan
sungguh-sungguh faktor yang harusnya diterapkan, yaitu keadilan,
kemashlahatan, kepastian hukumnya, dan manfaat yang tidak
bertentangan dengan hukum syara’.
3. Agar kepada masyarakat yang ingin melakukan perkawinan supaya
membuat perjanjian mengenai pembagian harta bersama, agar ketika
terjadi perceraian tidak terjadi perselisihan dalam pembagian harta
bersama serta pemerintah diharapkan dapat melakukan penyuluhan
kepada masyarakat tentang ketentuan pembagian harta bersama menurut
hukum positif dan hukum Islam.
80
DAFTAR PUSTAKA
Al- Qur‟an al-Karim.
A. Mashadi, Ghufron.Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 1998.
Abdurrahman.Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Surabaya: Mandar Maju,
1997.
Afandi,Ali. Hukum Waris, Hukum Keluarga Dan Hukum Pembuktian.
Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.
al-Jaziri,Abdurrahman.Kitab al-Fiqh Ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Daar
al-Fikr. Juz III.Terjemahan, 1990/1410.
Aminuddin, Slamet Abidin.Fikih Munakahat I. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Arto,Mukti.Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998.
Basyir, Ahmad Azhar.Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press, 2000.
Harahap, M.Yahya.Hukum Acara Perdata tentang Gugatan.Persidangan
PenyitaanPembuktian dan Putusan Pengadilan.Jakarta: Sinar Grafika,
2005.
Harahap,M. Yahya.Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama.
Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
J. Satrio. Hukum Harta Perkawinan. cet. ke-3 Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1993.
Kamil, Ahmad.Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi. Jakarta: Prenada Media,
2005.
Koesnoe, Moh.Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional. Varia Peradilan, 1995.
Kompilasi Hukum Islam. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam.
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI
tahun 2001.
81
Kusuma, Hilman Hadi.Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang
Undangan Hukum Adat dan Hukum Agama. Bandung. Mandar Maju,
1990.
Lubis,Sulaikin. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia.Jakarta:
Prenada Media Group, 2006.
Lumbuun, Gayus.Menerobos Goa Hantu Peradilan Indonesia. Jakarta: Business
Information Service, 2004.
Manan,Abdul.Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: PT
Kencana Prenada Media Group, 2006.
Mertokusumo, Sudikno.Bunga Rampai Ilmu Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1984.
Mertokusumo, Sudikno.Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum.Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti. 1993.
Mertokusumo, Sudikno.Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty,
2006.
Nasution, Bahder Johan dan Sri Warjiati.Hukum Perdata Islam. Surabaya:
Mandar Maju, 1997.
Ramulyo, Moh. Idris.Hukum Perkawinan Hukum Kewarisan. Hukum Acara
Peradilan Agama Dan Zakat. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998.
Rofiq, Ahmad.Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995.
Sabiq, Sayid.Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al Fikr, 1983.
Soermiyati,Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan.
Yogyakarta: Liberty, 1997.
Susanto, Happy. Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian. Jakarta :
Transmedia Pustaka, 2008.
Syah, Ismail Muhammad. Pencarian Bersama Suami-istri; Adat Gono-gini dari
Sudut Hukum Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1965
Sudarsono.Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991.
Susanto, Happy.Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian.
Jakarta: Visimedia, 2003.
82
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998.
Tutik, Titik Triwulan.Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 49 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
DEPAG RI tahun 2001.
Wignodipuro,Surojo.Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat.Jakarta: Gunung
Agung, 1982.
www.hukumonline.com
www.pta-jakarta.go.id
83
LAMPIRAN
84
85
HASIL WAWANCARA
PENGADILAN TINGGI AGAMA JAKARTA
Nama Responden : Dr. H. A. Choiri, S.H., M.H
Jabatan : Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Hari/Tanggal : Kamis/6 April 2017
Tempat : Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
1. Bagaimana proses penyelesaian perkara harta bersama selama ini yang anda
tangani sebagai seorang hakim ?
Jawab : Penyelesaian perkara harta bersama di Pengadilan Agama sesuai
dengan prosedur persidangan, gugatan diajukan ke pengadilan, lalu pihak-
pihak dipanggil sesuai hukum acara, dipanggil di hari sidang, di damaikan
ketua majelis, jika tidak berhasil diupayakan kembali dengan mediasi, lalu di
mulai persidangan, dibaca gugatannya, diberi kesempatan kepada tergugat
untuk menjawab, replik duplik, pembuktian oleh masing-masing pihak,
musyawarah majelis lalu dibaca keputusannya. Akan tetapi, berbeda dengan
pemeriksaan perkara di Pengadilan Tinggi Agama yang hanya memeriksa
perkara berdasarkan berkas perkara tanpa memanggil para pihak untuk dating
menghadiri persidangan
2. Dalam menyelesaikan perkara harta bersama ini, butuh waktu berapa lama?
Dan perlu berapa kali sidang?
Jawab : Jika ada hambatan maka proses persidangan akan lama,dapat puluhan
kali sidang, tetapi jika prosesnya lancer maka ada juga yang hanya beberapa
kali sidang.
3. Apakah dalam menyelesaikan perkara harta bersama banyak hambatan yang
menyebabkan terulurnya waktu dalam memutuskan perkara?
Jawab : hambatannya pada bantuan panggilan (juru panggil), seperti dalam
perkara ini yang tergugat tinggalnya di wilayah depok, walaupun PA Jaksel
dengan depok itu berbatasan tetapi juru panggil PA Jaksel tidak boleh
menurut hukum acara, maka harus meminta bantuan kepada PA Depok untuk
memanggil tergugat sehingga permohonan bantuan ini yang menjadikan
perkara itu menjadi lama.
4. Bagaimana perhitungan hakim dalam memutuskan perkara harta bersama
dalam perkara ini? Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan
pembagian harta bersama diberikan 1/3 kepada suami dan 2/3 kepada istri?
Jawab : dalam kasus ini, istrinya adalah seorang pengusaha catering,
suaminya PNS di padang, dan gaji suaminya hanya untuk si suami
tersebut,tidak pernah ada bagian yang diberikan kepada istrinya, ada 3 anak
dan yang menanggung semua keperluan anaknya dari sekolah sampai kuliah
adalah istrinya. Ada 2 rumah dan itu adalah hasil jerih payah istrinya.
Sehingga demikian yang dominan mencari nafkah di rumah tangga itu adalah
istrinya.
5. Apa yang menjadi pertimbangan majelis hakim, sehingga harta bersama
diberikan 1/3 kepada suami dan 2/3 kepada istri?
Jawab : karena ada alasan-alasan seharusnya nafkah di dalam rumah tangga
itu adalah menjadi kewajiban suami, karena suami tidak melaksanakan
kewajiban hukumnya itu menjadi alasan hakim untuk membagi harta bersama
menjadi 1/3 untuk suami dan 2/3 untuk istri.
6. Bagaimana tinjauan hukum positif dan hukum islam dalam memutuskan
permohonan gugatan pembagian harta bersama dalam putusan tersebut?
Jawab : dalam segi hukum positif tidak berbenturan dengan hukum positif di
Indonesia, baik dengan KUHPer, Undang-undang perkawinan, Kompilasi
Hukum Islam, dan hukum lainnya. Hal itu berdasarkan beberapa landasan
hukum yaitu tentang kewajiban suami dalam mencari nafkah untuk keluarga,
namun pada kenyataannya pada perkara tersebut istri banyak yang
menanggung beban untuk menafkahi keluarganya.
Dalam segi hukum islam juga telah sesuai dan tidak bertentangan dengan
hukum islam atau fikih. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Imam Muslim dan pendapat dari Al-hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani.
7. Bagaimana pengalaman anda selama menjadi hakim dalam memutuskan
perkara harta bersama?
Jawab : saya sedang menangani perkara, dan ini juga sama tentang pembagian
harta bersama, faktor pekerjaan, tetapi pembagiannya ¼ untuk suami dan ¾
untuk istri, karena selama persidangan suaminya tidak pernah hadir, artinya
putusan dijatuhkan dengan verstek,
Jakarta, 6 April 2017