dr. sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

217

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id
Page 2: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

Dr. Sirojuddin Aly, MA.

REVIT ALISASI

IDEOLOGI NASIONAL DALAM

BERBANGSADANBERNEGARA

Pengantar

Dr. Hidayat Nur Wahid, MA

Wakil Ketua MPR RI (2014-2019)

Ketua MPR RI (2004-2009)

•........ ~

«Me>

Jakarta 2016

Page 3: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Dr. Sirojuddin Aly, MA.

Revitalisasi Ideologi Nasional

Dalam Berbangsa dan Bemegara

xiv, 302 hlm.: 16 x 23 em

1SBN: 978-602-19291-5-5

Revitalisasi Ideologi N asional

Dalam Berbangsa dan Bernegara

Penulis: Dr. Sirojuddin Aly, MA.

Pengantar: Dr. Hidayat Nur Wahid, MA

Editor: Nawiruddin

Layout: Tim Mazhab Ciputat Jakarta

Diterbitkan oleh:

Mazhab Ciputat Jakarta

Dicetak oleh:

CV. Sejahtera Kita

11. HOS Cokroaminoto No. 102

Ciledug - Tangerang Telp. (021) 73452483

11

Page 4: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

Kata Pengantar

Dr. Hidayat Nur Wahid, MAl

Tidak ada satu pun negara besar di dunia ini kecuali ia memiliki

perangkat rujukan ide, gagasan, landasan filosofis, dan dasar pemikiran

dalam merumuskan arah masa depannya. Itulah yang dikenal sebagai

ideologi, yang lantas dituangkan ke dalam sebuah visi dan misi serta

dijabarkan ke dalam pelbagai kebijakan yang bersifat strategis atau pun

operasional. Dalam konteks ke- Indonesiaan, melalui konsensus

founding father kita, Pancasila secara eksplisit telah ditetapkan sebagai

dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRl).

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 menyebutkan, "Kemudian dari pada itu untuk membentuk

suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan

kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara

Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik

Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,

Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan

mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. "

Penting dicatat, menengok ke belakang, perumusan Pancasila

sebagai dasar negara tidak lah stagnan dan jumud. Para founding father

kita terlibat adu gagasan, ide, dan argumentasi dalam perumusan

Pancasila. Hal tersebut lumrah saja. Pasalnya, pokok yang dirumuskan

adalah ideologi dasar ( Weltanschauung ) sebuah negara yang

mewadahi suku, agama, dan budaya yang sangat beragam. Mereka

berupaya mencari titik temu guna menjaga keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Bahkan, lima sila yang sekarang ini diterima

sebagai Pancasila di Indonesia temyata berbeda dengan Pancasila yang

dipidatokan Soekamo pada 1 Juni 1945. Pancasila yang dikenal rakyat

1.Waki Ketua MPR RI Periode 2014-2019, Ketua MPR RI Periode 2004-2009

III

Page 5: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

Indonesia saat ini adalah Pancasila yang disepakati pada 18 Agustus

1945. Dinamika perja1anan Pancasila tersebut menandakan satu hal

penting dalam konteks ke kinian, yaitu Pancasila sejatinya harus

inklusif untuk terus didialogkan dan ditafsirkan secara bersama-sama,

kemudian disepakati secara bersama pula.

Maka, menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal seperti yang

dilakukan rezim Orde Baru bukanlah langkah yang benar. Alasannya;

Pertama, langkah tersebut melawan sejarah dan menyalahi pemikiran

yang dikembangkan para founding father kita yang secara terbuka

melakukan dialog dalam perumusan Pancasila meski kerap kali

diwamai silang pendapat dan ketegangan. Dalam kaitan ini, pada tahun

1952 ada sekelompok anak muda yang mendeklarasikan organisasi

yang disebutnya memiliki Azaz Tunggal Pancasila. Namun oleh Bung

Kamo deklarasi itu temyata dilarang. Kedua, asas tunggal

bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila itu sendiri yang

mengcdepankan konsep musyawarah, bukan pemaksaan kehendak.

Musyawarah mengharuskan adanya dialog terbuka tanpa ada tekanan

apapun. Selain itu, musyawarah merupakan mekanisme terbaik untuk

menggali ide dan gagasan berbagai elemen untuk menemukan titik

temu. Sebaliknya, pemaksaan kehendak secara sepihak hanya

menimbun api dalam sekam. Puncaknya, amarah rakyat Indonesia

membuncah saat krisis multi dimensional menghantam pada tahun

1998 yang lantas disusul tumbangnya rezim Orba.Tentu saja, tidak ada

yang salah dengan Pancasila. Yang keliru adalah cara rezim Orba

memperlakukan Pancasila atau lebih tepatnya memanfaatkan Pancasila

untuk memenuhi ambisi berkuasa.

Ketiga, asas tunggal mematikan kreatifitas dan inovasi berfikir

anak bangs a dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan yang

kian kompleks dan sangat dinamis, termasuk tantangan-tantangan

global yang inter dependent dan inter connected. Dewasa ini sebuah

negara tidak dapat memandang sebuah masalah dari local perspective,

tapi harus regional dan global perspective. Berfikir global saat ini

merupakan tuntutan zaman. Revo1usi tekno1ogi dan informatika

memaksa kita untuk semakin kreatif dan inovatif da1am berfikir dan

bertindak. Hampir dapat dikatakan saat ini antar negara menjadi

borderless. Nilai dan kultur yang hidup dan berkembang di belahan

bumi manapun dapat secara cepat menyebar dan mewabah ke belahan

bumi lain. Dalam kaitan ini Pancasila sebagai ideologi menghadapi

IV

Page 6: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

tantangan yang tak mudah, terutarna ideologi-ideologi yang secara

mendasar bertolak belakang dengan Pancasila seperti komunisme,

liberalisme, sekularisme, ateisme dan lainnya. Pancasila semakin rentan

tergusur dan termarjinalkan.

Walhasil, indoktrinasi Pancasila di era Orde Baru melalui

konsep asas tunggal sangat berbahaya dan mengancam eksistensi

Pancasila itu sendiri. Hal itu lantaran Pancasila tak ubahnya 'kitab

suci' yang tak boleh disentuh. Akibatnya Pancasila menjadi sekadar

teks-teks mati tanpa ruh. Padahal sejatinya sebuah ideologi harus

menginspirasi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bemegara.

Pancasila sekadar obyek studi tanpa ada upaya untuk

mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kaitan

ini, Majelis Permusyawaratan Rakyat Repulik Indonesia (MPR Rl)

sejak satu dekade terakhir sampai saat ini secara konsisten melakukan

sosialisasi Pancasila sebagai dasar negara.

Diharapkan dengan sosialisasi tersebut masyarakat mampu

mengintemalisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari,

terutama di era keterbukaan global saat ini yang ditandai derasnya lalu-

lintas pelbagai ideologi yang berpotensi menggerus nilai-nilai luhur

Pancasila. Ateisme, hedonisme, anarkisme, individualisme,

premanisme, dan faham- faham lainnya yang tak sejalan dengan

Pancasila semakin mewarnai keseharian bangsa ini. Di sisi lain,

pengetahuan dan pemahaman generasi muda atas Pancasila semakin

meluntur. Bahkan saat ini tak jarang ditemukan generasi bangsa

melafalkan sila-sila Pancasila di luar kepala dengan susah payah dan

tergopoh-gopoh. Situasi ini tentu saja sangat mencemaskan. Untuk

mengatasi ini, MPR mengemas sosialisasi Pancasila dengan beragam

program seperti cerdas cermat, out bound, diskusi dan lainnya. MPR

juga menggagas agar pemerintah secara aktif ikut serta dalam

sosialisasi Pancasila. Namun dalam sosialisasi itu tidak menerapkan

sistem lama seperti BP7 ( Badan Pembinaan Pendidikan , dan

Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ) yang

doktrinatif. Terbukti cara dokrinatif sekadar menjadi alat pembenaran

segelintir orang untuk melanggengkan kekuasaan. Pancasila tidak boleh

lagi ditafsirkan secara eksklusif Saat Pancasila eksklusif dan

doktrinatif, maka Pancasila dikhawatirkan menjadi momok yang

menakutkan dari pada ideologi dasar sebuah negara. Parahnya lagi, atas

nama Pancasila, dikhawatirkan juga penguasa melakukan tindakan

v

Page 7: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

refresif atas kelompok-kelompok yang memiliki itikad baik untuk

melakukan perbaikan. Sebagai antithesis tindakan refresif tersebut,

kelompok-kelompok radikal dan ekstrim tumbuh subur. Maka tak

mengherankan jika kemudian ada kelompok yang secara absolute

meno lak Pancasila. Padahal, Pancasila merupakan rangkuman nilai-

nilai luhur yang dimiliki bangsa Indonesia. Bahkan, sila-sila yang ada

dalam Pancasila merupakan rangkaian nilai-nilai luhur yang diakui

masyarakat dunia. Artinya, substansi yang dikandung Pancasila

merupakan nilai-nilai luhur universaL Dalam konteks inilah kemudian

kita sangat mafhum dan respek ketika tokoh-tokoh nasional Islam dulu

yang akhirnya secara lapang dada menerima Pancasila sebagai dasar

negara.

Akhirnya, saya menyambut baik sahabat saya saudara Dr.

Sirojuddin Aly, MA. yang telah memberikan kontribusi sangat positif

dan konstruktif dalam meneguhkan Pancasila sebagai ideologi dan

dasar NKRl. Buku yang ditulis sahabat saya ini berjudul 'Revitalisasi

Ideologi Nasional dalam Berbangsa dan Bernegara', yang berupaya

mengurai dan menjabarkan sila-sila Pancasila serta revitalisasinya

dalam konteks kekinian. Buku ini dinilai sebagai bagian dari upaya

mendialogkan kembali dan menafsirkan Pancasila secara terbuka, agar

Pancasila secara dinamis dapat terus berkembang dan menginspirasi

denyut kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila yang tak hanya tertulis

di buku-buku pelajaran, tapi juga dirasakan dalam perikehidupan

bangsa Indonesia.

Jakarta, 5 Januari 2015

Dr. Hidayat N ur Wahid, MA ( Wakil Ketua MPR Rl2014 - 2019)

VI

Page 8: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

KATA PENGANTAR PENULIS

Berdasarkan dinamika kehidupan dari waktu ke waktu, rakyat

Indonesia harus mampu menciptakan pemerintahan yang baik dan

bersih ( good and clean governance), karena dengan pemerintahan

yang baik dan bersih, keadilan dengan sendirinya akan wujud,

kesejahteraan dan keamanan bagi seluruh rakyat sebagaimana

diamanatkan oleh Pembukaan dan Undang-undang Dasar 1945 akan

menjadi kenyataan. Tetapi itu baru sebatas teoritis, realitas di lapangan

berbicara lain karena berbagai persoalan dan setumpuk permaslahan

bisa saja menghambat upaya-upaya yang dilakukan jika terjadi salah

langkah dalam pengelolaan, Untuk menciptakan keadilan,

kesejahteraan dan keamanan temyata tidak mudah, tidak semudah

membalikan telapak tangan. Faktanya bertahun-tahun lamanya rakyat

banyak memimpikan hidup makmur, sejahtera, aman dan damai,

sampai saat ini impian tersebut belum juga menjadi kenyataan,

bagaikan panggang jauh dari api. Rakyat banyak masih harus bermimpi

lagi dan bermimpi, sampai saat ini pun belum ada tanda-tanda

kebangkitan kekuatan ekonomi nasional secara signifikan, baik dalam

sekala negara-negara Asean ataupun Intemasional, inflasi dan kenaikan

harga bahan-bahan pokok terus melambung tinggi dari waktu ke waktu.

Untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih tentu saja harus

didukung oleh struktur dan sumber daya manusia ( SDM ) yang

memiliki kapabelitas dan integritas tinggi, serta komitmen pada

prinsip-prinsip profesionalitas dalam bekerja, komitmen pada undang-

undang dan peraturan dan tidak mempermainkannya, komitmen pada

keujujuran atau amanah, saling mempercayai ( ada tras ) dan tidak

berperilaku pembohong, komitmen pada keterbukaan ( transparansi )

dan tidak ada yang ditutup-tutupi, Jika prinsip-prinsip ini dapat

direalisasikan dengan benar-benar dalam kehidupan berbangsa dan

bemegara, maka pada gilirannya cita-cita rakyat Indonesia untuk

meraih kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan hidup akan menjadi

kenyataan,

Sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi dari waktu ke

waktu, perpolitikan nasional pun turut mengalami dinamikanya,

kekuasaan negara dan ideologi Pancasila di era Reformasi tidak lagi

Yll

Page 9: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

menjadi sesuatu yang menakutkan bagi organisasi masyarakat (ormas )

dan partai politik. Dinamika politik ini selain berdampak positif

terhadap kebebasan berekspresi sebagai salah satu prinsip negara yang

menganut sistem demokrasi, pada sisi lain menyebabkan rakyat

bersikap apatis terhadap ideologi nasionalnya. Berbeda dengan era

sebelumnya ( era Orde Baru ), di mana Pemerintah waktu itu secara

ketat mengontrol ormas dan orpol dengan menggunakan Undang-

undang No.8 tahun 1985 Pasal 2 tentang organisasi kemasyarakatan

yang harus menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam

berorganisasi. Proses hegemoni ideologi Pancasila di era Ordc Baru

temyata bukan saja ditempuh melalui pola-pola lcgalistik, tetapi juga

melalui penataran P-4 ( Pendidikan Penghayatan dan Pengamalan

Pancasila ). Penataran P-4 merupakan program yang disponsori negara

untuk mendidik rakyat Indonesia bagaimana memahami ideologi

Pancasila berdasarkan interpretasi resmi oleh Negara, hal ini dalam

rangka menjamin keseragaman pemahaman. Pelaksanaan penataran P-4

temyata penuh dengan paksaan sehingga tidak efektif, maka hasilnya

pun tidak mencapai sasaran maksimal sekalipun didukung dengan dana

yang cukup besar. Persoalannya kenapa begitu? J awabannya karena

pola-pola penataran P-4 tidak berdasar pada kesadaran yang tumbuh

dari hati nurani yang murni dari setiap rakyat Indonesia, dan itu artinya

tidak demokratis. Kedepan pola-pola pendekatan yang tidak demokratis

tidak boleh terulang karena sia-sia, hanya membuang-buang waktu,

pemikiran, tenaga dan sejumlah dana besar.

Dalam situasi yang sarat dengan persaingan global antar

berbagai ideologi dunia; Sekularisme, Liberalisme, Kapitalisme dan

sebagainya, maka sebenamya Pancasila dalam statusnya sebagai

ideologi nasional yang telah diposisikan secara cerdas sebagai jalan

tengah dan sebagai dasar bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia

adalah merupakan altematif yang memiliki prospek masa depan yang

menjanjikan bagi kehidupan berbangsa dan bemegara. Oleh karena itu

tinjauan ini harusnya menjadi pegangan bagi rakyat Indonesia untuk

tetap setia dengan ideologi nasionalnya, dan tidak menyikapinya

dengan sikap apatis. Tinjauan ini harus menjadi dasar pandangan yang

teguh, jika rakyat Indonesia masih tetap komitmen melihat Indonesia

bersatu sebagai sebuah negara NKRI.

Hal ini karena Pancasila mengandung kebenaran nilai-nilai

universal yang sesuai dengan keperibadian dan budaya rakyat

Vlll

Page 10: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

Indonesia. Nilai-nilai universal tersebut kemudian menjadi prinsip bagi

negara Republik Indonesia. Nilai-nilai universal tersebut ialah; Ber-

Tuhan, artinya rakyat Indonesia harus ber- Tuhan, dalam arti percaya,

beriman kepada Tuhan, yaitu Zat Pencipta dan Penguasa alam semesta,

yaitu Allah Swt. yang harus disembah dalam berbagai bentuk aktivitas

ibadah. Perikemanusiaan, artinya adanya saling menghargai dan

menghormati, saling mempercayai antara sesama rakyat Indonesia

intinya bagaimana bisa memanusiakan manusia (ngewongke). Oleh

karenanya rakyat Indonesia harus berperilaku jujur dan amanah, tidak

saling mengkhiyanati, tidak saling membohongi, tidak saling ngakalin

antara sesama. Persatuan, artinya bersatu padu untuk mencapai satu

tujuan, dan tidak terpecah-pecah tetapi satu bangsa, yaitu bangsa

Indonesia. Keadilan, artinya rakyat Indonesia harus menegakkan

keadilan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam aspek sosial

politik, hukum, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Musyawarah,

artinya dalam mengambil keputusan yang menyangkut persoalan

orang banyak harus diselesaikan melalui proses musyawarah.

Kemudian terkait dengan sikap dan pandangan rakyat

Indonesia terhadap Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara,

sebenarnya terdapat perbedaan sikap dan pandangan, setidaknya ada

empat sikap yang berbeda, yaitu; 1. Sebagian rakyat Indonesia melihat

bahwa Pancasila adalah merupakan kumpulan prinsip-prinsip

kenegaraan yang tidak bertentangan dengan dasar -dasar agama

manapun, oleh karenanya mereka menerimanya sebagai ideologi dan

dasar dalam berbangsa dan bernegara. 2. Sebagian rakyat Indonesia

yang sudah komitmen bepegang teguh dengan ideologi lain selain

Pancasila, mereka menolak Pancasila secara ekstrim. 3. Sebagian

rakyat Indonesia melihat bahwa Pancasila itu merupakan seperangkat

nilai-nilai yang tersusun rapi hasil gagasan manusia Indonesia

(founding fathers) yang bersifat subjektif, maka nilai-nilai yang

terkandung di dalam Pancasila-pun bersifat subjektifatau relatif

Dalam arti nilai-nilai Pancasila mungkin benar dan mungkin juga

tidak, mungkin hari ini benar dan dalam beberapa dekade masa

mendatang mungkin juga tidak benar atau tidak relevan lagi, oleh

karenanya mereka tergolong orang-orang yang tidak jelas antara

menerima Pancasila sebagai dasar negara ataupun tidak. 4. Sebagian

rakyat Indonesia lagi dalam melihat Pancasila berikap acuh tak acuh,

bersikap masa bodoh.

IX

Page 11: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

Terlepas dari perbedaan sikap dan pandangan terhadap

Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, yang jelas secara politis

bahwa Pancasila sudah menjadi kesepakatan bersama ( konsensus

nasional ) di antara para founding fathers menjadi ideologi dan dasar

dalam berbangsa dan bemegara.

Ciputat, 25 Maret 2015

Penulis,

Dr. Sirojuddin Aly, MA

x

Page 12: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

DAFTAR ISI

Kata Pengantar DR. H. Hidayat Nur Wahid _iii

Kata Pengantar Penulis_vii

BABI PANCASILA PLATFORM BERBANGSA DAN BERNEGARA

1. Sekilas Kemunculan Gagasan Pancasila_l

2. Perbedaan Pemikiran Tentang Rancangan Dasar Negara_4

3. Brainstoming Tentang Rancangan Dasar Negara_8

4. Sumber Gagasan Dasar Negara Pancasila _23

5. Pancasila Dalam Rumusan Piagam Jakarta 31

6. Penerimaan Piagam Jakarta Oleh BPUPKI_37

7. Kearifan Keputusan Penerimaan Piagam Jakarta _41

8. Revisi Pancasila Dalam Piagam Jakarta _45

9. Latar Belakang Perubahan Pancasila _48

10. Pancasila Yang Diberlakukan _55

11. Pengertian Pancasila Sebagai Dasar Negara _59

12. Pancasila Filsafat Kenegaraan Republik Indonesia _62

13. Pancasila dan Permasalahan Bangsa _75

14. Fobia Pancasila Melemahkan Tingkat Nasionalisme Indonesia _80

15. Pancasila Ideologi Nasional di Era Globalisas _84

16. Pancasila Dari Waktu Ke Waktu 95

17. Kesimpulan _98

BABII AGAMA DAN NEGARA PRAKTEK KEHIDUPAN RAKYAT INDONESIA I. Eksistensi Agama Dalam Negara Pancasila _100

2. Perbedaan Dalam Memahami Arti Ke- Tuhanan 103

3. Komitmen Beragama Berdampak Terciptanya Stabilitas Politik

106

4. Kesalehan Perilaku Masyarakat Indonesia _108

5. Ideologi Pancasila dan Eksistensi Kehidupan Sosial Keagamaan

112

Xl

Page 13: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

6. Kerukunan Umat Beragama Berdampak Posistif Terhadap

Stabilitas Politik 117

7. Kesimpulan _121

BAB III MEMBANGUN MANUSIA BERADAB DAN BERMARTABAT

1. Manusia dan Cita-cita Hidup _123

2. Bangsa Beradab dan Bermartabat_126

3. Keadilan dan Realitas Permasalahan 131

4. Keadilan Dan Komitmen Pada Tanggung Jawab _137

5. Kesimpulan_141

BABIV NASIONALISME DAN INTEGRASI NASIONAL

1. Nasionalisme Dalam Konteks Negara Republik Indonesia_143

2. Perjuangan Nasionalisme Indonesia Sepanjang Sejarah _146

3. Pengembangan Nasionalisme Indonesia_154

4. Nasionalisme Berbahaya _157

5. Integrasi Nasional dan Permasalahan _159

6. Terusiknya Integrasi Nasional di Akhir Era Orde Baru_163

7. Realisasi Persatuan dan Integrasi Nasional_166

8.Integrasi Nasional Melalui Kerukunan Antar Umat

Beragama_170

9. Langkah-langkah Strategis Membangun Kerukunan Umat

Beragama_178

10. Kesimpulan _184

BABV KONSOLIDASI PENGUATAN DEMOKRATISASI

1. Kerakyatan dan Demokrasi _186

2. Demokrasi dan Dinamika Sistem 191

3. Makna Demokrasi dan Penerapannya_197

4. Demokrasi dan Penyaluran Aspirasi Rakyat_200

5. Demokrasi dan Penyalahgunaan Praktek_209

6. Eksperimen Demokrasi Sebagai Sistem Politik Indonesia_228

7.Belajar Dari Kesalahan Masa Lalu Dalam Penerapan

Demokrasi 240

8. Kesimpulan _249

Xli

Page 14: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

251

BABV}

KEADILAN SOSIAL ANTARA TEORI DAN REALITAS

1. Keadilan Sosial Dalam Tataran Teori 251

2. Keadilan Sosial Dalam Realitas Kehidupan _252

3.Keadilan Sosial Meredakan Ketegangan _254

4.. Keadilan So sial Dalam Hukum 256

4. Pemberlakuan Hukum Berdasarkan Kebaikan Bersama 257

5. Pemerataan Pendapatan Secara Adil Menciptakan Pertumbuhan

Ekonorni 260

7. Keadilan Sosial Menuntut Pcmerataan Kesejahteraan _266

8. Membangun Masyarakat Sejahtera_268

9. Ketimpangan Ekonomi Memperlambat Pembangunan_273

10. Keberhasilan Membangun Indonesia Ke Depan _277

11. Kesimpulan _279

DAFTAR PUS TAKA 280

INDEX 295

SEKILAS TEN TANG PENULIS 301

Page 15: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

252

Xlll

BAB I PANCASILA PLATFORM

BERBANGSA DAN BERNEGARA

1. Sekilas Kemunculan Gagasan Pancasila

Kemunculan Pancasila sebagai filsafat negara Republik

Indonesia dilatar belakangi oleh fakta sejarah perjuangan dalam rangka

mewujudkan cita-cita kemerdekaan bagi seluruh rakyat dan tumpah

darah Indonesia. Langkah utama ke arah ini adalah pembentukan Badan

yang berwenang untuk menyelidiki hal-hal asas bagi konstruksi

bangunan Indonesia merdeka. Badan ini dalam bahasa Jepang disebut

Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai dan dalam bahasa Indonesia disebut

Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia disingkat BPUPKI1.

1 Lihat Moh. Hatta, Pengertian Pancasila ; Pidato Peringatan Pancasila

Tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional, ( Jakarta: PT. Inti Idayu Press,

1978 ), h. 9.

Page 16: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

253

Pembentukan Badan ini pada dasarnya sebagai realisasi janji

Kerajaan Jepang2. Yaitu janji mewujudkan hasrat untuk memerdekakan

Hindia Belanda ( Indonesia ) dikemudian hari3. Dalam melihat hasrat

Kerajaan Jepang, paling tidak ada dua alasan kenapa pemerintah Jepang

mengambil kebijakan ini, Pertama; Dalam rangka mempertahankan

pengaruh Jepang di depan penduduk dan rakyat negeri yang didudukinya

( Indonesia ). Dengan langkah mengeluarkan pernyataan janji

kemerdekaan untuk Indonesia ada harapan untuk mendapatkan simpati

dan dukungan dari rakyat Indonesia. Kedua; Pada waktu itu situasi

semakin memburuk yang dihadapi tentara Jepang di beberapa wilayah di

Asia yang didudukinya, terutama di Indonesia, karena akan berhadapan

dengan kekuatan tentara Sekutu yang jauh lebih besar. Dengan janji

tersebut Jepang yakin bahwa tentara Sekutu ketika hadir kembali ke

Indonesia akan disambut oleh rakyat Indonesia tidak sebagai pembela,

melainkan sebagai penyerang ke negara merdeka4.

Kemerdekaan yang akan diberikan Kerajaan Jepang kepada

rakyat Indonesia itu menurut rencananya akan dilakukan pada bulan

September 1945 5. Oleh karena itu kemudian pemerintah pendudukan

Jepang di Jawa dibawah pimpinan Leftenan Jendral Kumakici Harada

mengumumkan pembentukan BPUPKI pada 1 Maret 19456. Badan ini

didirikan bertujuan untuk menyelidiki hal-hal asas dan mendasar bagi

2 Kerajan Jepang dengan kekuatan tentaranya telah menguasai seluruh

wilayah Jajahan Hindia Belanda. Setelah peyerahan tanpa syarat yang dilakukan oleh

Leftenan Jendral H. Ter Poorten sebagai Panglima Angkatan Perang Sekutu di

Indonesia kepada tentara ekspedisi Jepang dibawah pimpinan Leftenan Jendral Hitoshi

Imamura pada 8 Maret 1942 . Lihat Marwati Djoened & Nugroho, Notosusanto,

Sejarah nasional Indonesia VI, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1992 ), h.5 dan janji Jepang

diumumkan pada 7, September, 1944. 3 Pada 9 September 1944 di dalam sidang istimewa ke 85 Teikoku Ginkai (

Parlemen Jepang ) di Tokyo, Pendana Menteri Jepang; Jendral Kuniaki Koiso

mengumumkan pendirian Pemerintah Kerajaan Jepang; bahwa daerah Hindia Timur (

Indonesia ) kelak dikemudian hari diperkenankan merdeka. Lihat, Marwati Djoened

Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI. h. 66. 4 Lihat. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah

Nasional Indonesia VI. h.66. 5 Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang

Dasar 1945, ( Jakarta: Inti Idayu Press, 1984 ), h. 14. 6

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah

Nasional Indonesia VI. h. 67. Lihat juga, Lembaga Soekarno- Hatta, Sejarah Lahirna

Undang-Undang Dasar 1945. h. 22.

Page 17: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

254

konstrusi bangunan Republik Indonesia7. Setelah pembentukan ini,

kemudian BPUPKI bersiap-siap melakukan kajian terhadap

masalah-masalah mendasar; rancangan Undang-undang Dasar Negara

dan sebagainya melalui tahapan-tahapan dalam siding-sidang

BPUPKI.

Pada pagi hari Senin 28 Mei 1945 telah terjadi peristiwa penting

dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia, yaitu dikibarkannya bendera

merah putih di sebelah bendera Jepang di depan gedung Cuo Sangi In

terletak di jalan Pejambon Jakarta. Pada sorenya para anggota BPUPKI

mengangkat sumpah sebagai pelantikan resmi oleh pemerintah tentara

pendudukan Jepang8. Semua anggota Badan ini dipilih dari para tokoh

masyarakat yang boleh dianggap mewakili semua golongan. Ketua dan

para anggota Badan ini meskipun dilantik oleh pemerintah Jepang,

namun mereka tetap bebas untuk menentukan arah tujuan dan cita-cita

masa depannya9, dan oleh karena itu mereka dapat membuat rancangan

undang-undang dasar berdasarkan pandangan mereka10

. Beberapa

wakil dari pemerintah Jepang di Indonesia memberikan sambutannya

pada acara pelantikan ini, antaranya; Jenderal Itagaki Seisiro, Jenderal

Gunseireikan Saiko dan ketua pemerintah tentara Jepang; Gunseikan11

.

Peristiwa pengkibaran bendera merah putih ini ternyata memicu lahirnya

semangat di hati rakyat Indonesia ( terutama para anggota BPUPKI )

dalam upaya mempercepat persiapan kemerdekaan.

Jumlah anggota Badan ini sebanyak enam puluh dua ( 62 ) orang,

termasuk empat ( 4 ) orang keturunan Arab, keturunan Belanda dan

7

Lihat, Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia, ( Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960 ), h. 121, Lihat juga, Lembaga

Soekarno-Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. h. 15. 8 Lihat Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia. h. 119 9 Pada tahap awal memang tidak ada pengaruh atau tekanan apa-apa dari

orang-prang Jepang, tetapi pada tingkat akhir justeru orang-orang Jepang telah

melalkukan tekanan dan bahkan melakukan intimidasi. Hal ini terbukti ketika orang

Jepang mempengaruhi PPKI ( Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) sehingga

terjadi perubahan terhadap hal-hal penting dan mendasar; Pancasila, Pendahuluan dan

Udang-Undang Dasar 1945. 10

Lihat, Solihin Salam, Haji Agus Salim Pahlawan Nasional ( Jakarta: Jaya

Murni, T. Th. ), h. 55. 11

Lihat, Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia. h.119.

Page 18: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

255

keturunan Tionghoa12

. Selain enam puluh dua orang anggota BPUPKI

tersebut, juga terdapat tujuh ( 7 ) orang Jepang yang statusnya sebagai

pemerhati yang tidak memiliki hak suara13

. Badan Penyelidik ini

dipimpin oleh K.R.T. Rajiman Wediodiningrat dan wakilnya R. Panji

Soeroso dan dibantu oleh A. Gaffar Pringgodigdo yang bertugas sebagai

sekretaris14

. Seluruh anggota Badan Penyelidik ini bertempat tinggal di

Jawa dan Madura, meskipun berasal dari berbagai daerah kepulauan

Indonesia, tetapi tugasnya meliputi seluruh Indonesia15

.

K.R.T. Rajiman, sebelum Indonesia merdeka pernah memimpin

Putra ( Pusat Tenaga Rakyat ); sebuah organisasi pergerakan nasional

didirikan pada 1 Maret 1942. Organisasi ini berorientasi membangun

kesadaran rakyat untuk berbangsa dan bertanah air satu16

. Dalam

struktur kepemimpinan Badan Penyelidik ini Soekarno tidak ditunjuk

sebagai ketua atau sekretaris. Keadaan ini justru memberi peluang

kepada Soekarno untuk lebih berperan dalam melahirkan idea-idea dan

gagasannya tentang hal-hal asas dan mendasar bagi bangunan Indonesia

merdeka. Ternyata kemudian begitu besar sumbangan Soekarno dalam

hal ini.

2. Perbedaan Pemikiran Tentang Rancangan Dasar Negara

Jika dikaji lebih lanjut tentang pertumbuhan pemikiran dan

idea-idea yang berkembang sepanjang berlangsungnya persidangan

Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (

BPUPKI ). Paling tidak ditemukan dua aliran pemikiran yang dominan

selama persidangan tersebut17

. Pertama; aliran pemikiran golongan

12

Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang

Dasar 1945. h. 25. 13

Lihat, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah

Nasional indonesia VI, h. 67. 14

Lihat, Kohar Hari Sumarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila, (

Jakarta: Galia Indonesia, 1405 H. / 1984 M. ), h. 31 15

Lihat, Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia. h.121 16

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah

Nasional Indonesia VI. h. 18 -21 17

Lihat, Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan

Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler Tentang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945 – 1959 ( Jakarta: CV Rajawali, 1981 ), h.9 –

10. Edisi bahasa Inggris “ The Jakarta Charte 1945 : The Stuggle for Islamic

Page 19: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

256

Nasionalisme Sekular18

, dan orang-orang yang mengikuti garis

pemikiran ini menurut Endang Saefuddin Ansari, antaranya; Soekarno,

Muh. Yamin, Ki Hajar Dewantara, Moh. Hatta, Soesanto Tirtoprodjo,

Sartono, Samsi dan sebagainya. Mereka-mereka inilah sebagai

representasi garis pemikiran nasionalisme radikal, dan pada saat yang

sama terdapat garis pemikiran nasionalisme sederhana, antaranya K.R.T.

Rajiman Wediodiningrat dan lain-lainnya19

. Mereka-mereka inilah yang

memperjuangkan agar Indonesia merdeka nanti didasarkan pada

kebangsaan atau nasionalisme20

. Kedua; adalah aliran pemikiran

golongan nasionalisme Islam. Yaitu orang-orang nasionalis yang

komitmen dengan prinsip-prinsip ajaran agama ( agama Islam ) dalam

berbagai aspek kehidupan, baik dalam aspek politik, ekonomi, hukum,

pendidikan, kemasyarakatan, dan sebagainya, dan dibuktikan dengan

amalan yang kongrit, bukan saja dalam ucapan tetapi juga dibuktikan

dengan amalan dan tindakan yang nyata, oleh karena itu kehidupan

masyarakat dan negara tidak dapat dipisahkan dari kehidupan agama.

Dalam arti bahwa Islam tidak saja mengatur hubungan antara manusia

sebagai hamba dengan Tuhan ( Allah ) dalam berbagai bentuk ritual

ibadah ( hambum min Allah ), melainkan Islam juga mengatur hubung

kehidupan antara sesama umat manusia ( hablum minanannas )21

.

Orang-orang yang mewakili garis pemikiran golongan nasionalis Islam

kedua ini menurut Endang Saefuddin Ansari, antaranya; K. Bagoes

Constitution In Indonesia. Diterbitkan di Kuala Lumpur oleh Muslim Youth Movement

of Malaysia ( ABIM ) 1979 18

Sekular / Sekularisme adalah suatu faham atau doktrin yang nengajarkan

pemisahan agama dari urusan-urusan negara atau politik, bahwa urusan-urusan agama

tidak ada sangkut pautnya dengan urusan negara, karena agama menurut faham ini

adalah urusan-urusan individu atau pribadi, sementara negara adalah urusan publik.

Oleh karena itu sangat sulit untuk mempersatukan agama dengan negara. Implikasi dari

doktrin ini adalah bahwa aturan-aturan agama atau hukum-hukum yang ditetapkan

agama tidak bisa dilembagakan atau diformalkan dalam aturan negara. Liha. A. Zaki

Badawi, A Dictionary of The Social Sciences, ( Beirut: Librairie Du Liban, 1978 ),

h.370 –371 dan lihat juga, Jum`at al-Khuli, Al-Ittijahat al-Fikriyah al-Mu`asirah wa

Mauqif al-Islam Minha, ( Madinah al-Munawwarah: Islamic University of Medina,

1407 H. / 1986 M. ), h.91 19

Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang

Dasar 1945. h. 25. Lihat juga, Endang Saefuddin Ansari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945

dan Sejarah Konsensus Nasional. h.9 - 10 20

Endang Saefuddin Ansari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah

Konsensus Nasional. h. 3 21

Ibid. h. 9 -10

Page 20: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

257

Hadikoesoemo, A.K. Muzakkir, K.H. Masjkoer, K.H. Mas Mansoer,

K.H. Wahid Hasjim, Kasman Singodimedjo, M. Natsir dan

sebagainya. Mereka-mereka inilah yang memperjuangkan agar negara

Indonesia merdeka nanti didasarkan pada asas Islam22

. Keinginan para

tokoh ini pada waktu itu secara de fakto dalam konteks ke-Indonesiaan

yang mayoritas rakyatnya muslim sebenarnya dalam batas-batas wajar

dan realistis, karena berdasarkan sejarah masa lalu pada abad-abad ke-13

dan sesudahnya di bumi Nusantara ini telah berdiri sederet pemerintahan

Islam dalam bentuk Kesultanan atau Kerajaan. Hal ini ditandai

dengan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai pada abad ke-13 dengan

raja pertamanya Sultan Malik al-Saleh ( w. 1297 M ), disusul dengan

berdirinya Kesultanan Aceh, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram,

Kesultanan Cirebon, Banten, Makasar, Ternate, Tidore, dan beberapa

Kesultanan di Kalimantan dan sebagainya, maka wajar jika para tokoh

Islam di era kemerdekaan Indonesia mengusulkan agar Islam menjadi

dasar negara Indonesia merdeka. Dalam konteks ini beberapa literatur

sejarah peradaban Islam Nusantara menyebutkan bahwa Islam masuk ke

Nusantara bukan saja berpengaruh dalam membentuk tatacara ritual

ibadah tertentu saja, tetapi juga Islam berpengaruh pada tatanan sosial

budaya, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya23

.

Kedua-dua aliran pemikiran di atas masing-masing memiliki

dasar pemikiran yang telah berakar dalam sejarah pergerakan nasional.

Hal ini disaksikan dengan berdirinya beberapa organisasi yang

berorientasi nasional pada satu sisi, dan sisi lain berdirinya

organisasi-organisasi yang berasaskan Islam. Sebagai justifikasi

terhadap realitas ini dapat ditunjukkan beberapa fakta sebagai berikut;

Pertama. Organisasi-organisasi Nasional Sekular; antaranya, Boedi

Oetomo ( Budi Utomo ) didirikan pada 20 Mei 1908, organisasi ini

dianggap sebagai organisasi pertama yang dibangun secara modern dan

merupakan organisasi terpenting dalam sejarah pergerakan nasional24

.

Dari Boedi Oetomo ini lahir beberapa organisasi pergerakan nasional

sekular yang lain, antaranya; Partai Nasional Indonesia ( PNI ) didirikan

pada 4 Juli 1927, Partai Indonesia ( Parindo ) didirikan pada bulan April

22

Ibid. h. 16 23

Lihat, Ahmad Fadloli et al, Sejarah Peradaban Islam ( Jakarta: Pustaka

Asatruss, 2004 ), h. 191 24

Lihat, A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia ( Jakarta:

Dian Rakyat, 1967 ), h. 1

Page 21: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

258

1931, Pendidikan Nasional Indonesia ( PNI-baru ) didirikan pada bulan

Desember 1933, Partai Indonesia Raya ( Parindra ) didirikan pada 26

Desember 1935, Gerakan Rakyat Indonesia ( Gerindo ) didirikan pada

24 Mei 193725

. Organisasi-organisasi ini lahir sebagai reaksi terhadap

dampak negatif penjajahan asing, dan mempunyai cita-cita agar kelak

Indonesia merdeka didasarkan pada faham kebangsaan atau

nasionalisme.

Kedua; Organisasi-organisasi Nasionalis Islam, yaitu

organisasi-organisasi yang komitmen dengan ajaran-ajaran Islam secara

konsisten dan penuh kesadaran. Hal ini ditandai dengan berdirinya

Syarekat Islam ( SI ) pada 16 Oktober 1905 sebagai hasil pengembangan

dari Syarekat Dagang Islam ( SDI ). Dari organisasi ini kemudian

lahirnya organisasi-organisasi pergerakan nasional Islam lainnya26

.

Syarekat Islam sejak berdirinya diarahkan untuk menghimpun seluruh

rakyat Indonesia.27

Pada tahun 1923 Syarekat Islam berubah menjadi

Partai Syarikat Islam ( PSI ). Setelah itu berubah lagi menjadi Partai

Syarekat Islam Hindia Timur ( PSIHT ) pada tahun 1927, dan akhirnya

menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia ( PSII ) pada tahun 193028

.

Kedua-dua golongan yang mewakili dua aliran pemikiran yang berbeda

pada tahun 1920-an sering dikatakan sebagai dua kelompok yang saling

bertentangan. Meskipun demikian, hubungan keduanya dalam perspektif

sejarah cukup kuat. Jika terjadi polemik antara tokoh yang beraliran

Nasionalis Islam dan tokoh yang beraliran Nasionalis Sekular dalam

berbagai hal terkait masalah kenegaraan, menurut Ridwan Saidi, masih

dalam batas-batas wajar bila dikaitkan dengan upaya bangsa Indonesia

merumuskan landasan kehidupan bernegara29

. Dalam konteks ini,

Ridwan Saidi dalam bukunya; Islam dan Nasionalisme Indonesia,

telah membuktikan bahwa keberadaan Jong Islamieten Bond ( JIB )

yang didirikan pada 1 Januari 1925 sebagai organisasi Islam yang

25

Ibid. h. 55 – 62 dan 105 - 144 26

Lihat, Harun Nasution, The Islamic State in Indonesia: The rise of The

Ideology, The Movement for It`s creation and The Theory of The Masyumi ( MA

Thesis, I.I.S McGill University, Montreal Kanada, 1965 ), h. 117 27

Lihat, A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. h. 124 28

A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. h. 35 – 40. lihat

juga, Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsnsus

Nasional. h. 10 29

Lihat, Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia ( Yogyakarta:

Basis, 1995 ), h. 1

Page 22: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

259

berorientasi nasional dan bagaimana JIB berperan aktif dalam

memperjuangkan cita-cita kemerdekaan30

. Beberapa fakta sebagaimana

disebutkan Ridwan Saidi, membuktikan bahwa, Pertama; Pada

tahun 1927 Pengurus besar JIB mendirikan National Indonesia

Padvinderij ( Kepanduan Nasional Indonesia ) . Fakta ini membuktikan

bahwa komitmen JIB pada cita-cita Nasionalisme Indonesia sangat kuat.

Kedua; Keterlibatan beberapa tokoh nasional JIB, antaranya Wilopo (

tokoh Partai Nasional Indonesia ) pada waktu mudanya pernah aktif

dalam Kepanduan Nasional Indonesia, Chalid Rasyidi yang dikenal

sebagai tokoh pejuang angkatan 1945 pernah memimpin JIB cabang

Betawi ( Jakarta ), bahkan Soekarno sendiri sangat populer di kalangan

JIB cabang Bandung, dan beberapa tokoh lain yang tidak dapat disebut

di sini. Fakta ini menunjukkan bahwa betapa dekatnya hubungan antara

pemuda-pemuda Islam dengan kalangan Nasionalis. Ketiga; Fakta lain

adalah keterlibatan JIB dalam proses penyusunan Panitia Kongres

Pemuda II pada bulan Agustus 1928. Panitia ini kemudian

menyelenggarakan Kongres Pemuda ke II di Jakarta yang melahirkan

Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 192831

. Dengan demikian,

dapat dibayangkan bahwa ketegangan-ketegangan yang akan terjadi

tidak dapat dihindari antara kedua belah pihak sepanjang persidangan

BPUPKI. Tetapi dengan rahmat Allah, akhirnya kedua-dua golongan

besar ini bersatu dalam satu kesepakatan perjanjian bersama atau

konsensus nasional tentang dasar Negara.

3. Brainstoming Tentang Rancangan Dasar Negara

Kajian tentang aspek apapun terkait dengan dasar negara

Indonesia harus bertitik tolak dari apa yang disampaikan oleh tiga

tokoh pemikir, yaitu; Muh. Yamin yang menyampaikan pemikirannya

pada 29 Mei 1945, Soepomo pada 31 Mei 1945 dan Soekarno yang

menympaikan pandangannya pada 1 Juni 1945. Tanpa memperhatikan

pandangan ketiga-tiga tokoh tersebut ( termasuk beberapa tokoh lain )

yang memberikan pandangannya tentang dasar negara, maka kajian

terkait dengan dasar negara ( Pancasila ) tidak akan sampai pada

30

Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia. h. 3 - 5 31

Sumpah Pemuda terdiri dari tiga sumpah setia sebagai komitmen

pemuda-pemuda Indonesia terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Tiga Sumpah

Pemuda tersebut sebagai berikut; Bertanah air satu, tanah air Indonesia. Berbangsa

satu, bangsa Indonesia. Berbahasa satu, bahasa Indonesia.

Page 23: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

260

pemahaman yang konfrehensif. Setelah pelantikan selesai, Badan

Penyelidik ( BPUPKI ) kemudian terus melakukan persidangannya

meskipun dalam suasana peperangan di Asia semakin berkobar. Badan

Penyelidik, sebagaimana ditegaskan Muh. Yamin, telah menyelesaikan

dua kali persidangan, yaitu; Persidangan pertama dari 29 Mei sampai 1

Juni 1945, dan Persidangan kedua dari 10 sampai 17 Juli 194532

.

Persidangan pertama merupakan penyampaian

pandangan-pandangan umum terkait dasar negara dari beberapa tokoh

terkemuka, kemudian semua pandangan tersebut ditampung sebagai

bahan yang akan dibahas oleh Panitia Khusus ( Pansus ). Persidangan

kedua sebagai kelanjutan dari persidangan pertama, yaitu persidangan

yang memberikan fokus pembahasan secara menyeluruh dan mendalam

terkait bahan yang telah disampaikan pada persidangan pertama.

Pada persidangan pertama, para anggota Badan Penyelidik telah

mengadakan sidangnya untuk membahas masalah-masalah yang terkait

dengan persiapan kemerdekaan Indonesia. Masalah yang menjadi fokus

perhatian dalam persidangan kali ini ialah mengenai dasar negara.

Pembahasan mengenai dasar negara ini dimulai dari sebuah pernyataan

yang disampaikan oleh ketua Badan Penyelidik; K.R.T. Rajiman

Wediodiningrat kepada para anggota sidang tentang dasar negara33

.

Pernyataan Ketua sidang BPUPKI tersebut sebagai kelanjutan dari

pernyataan Gunseikan ( ketua pemerintah Sipil Jepang di Jawa ) pada

upacara pelantikan Badan Penyelidik 28 Mei 1945. Gunseikan, antara

lain menegaskan sebagai berikut;

Pembentukan Badan ini dimaksudkan untuk menyelenggarakan

pemeriksaan tentang hal-hal penting, rancagan-rancangan dan

penyelidikan yang berhubungan dengan usaha mendirikan

negara Indonesia merdeka yang baru . . Jika suatu bangsa hendak

meneguhkan dasar kemerdekaannya, maka ia harus mempunyai

keyakinan diri untuk sanggup membela negara sendiri dan juga

mempunyai kekuatan yang nyata sebagai bangsa . . . . . .

32

Lihat, Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undangan Dasar Republik

Indonesia ( Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960 ) h. 121. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah

Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 ( Jakarta: Siguntang, 1971 ), Jild 1, h.59 - 197 33

Lihat, A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila ( Jakarta:

CSIS – Centre For Strategic and International Studies -, 1985 ), hlm. 26. Lihat juga,

Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah

Proyeksi ( Jakarta: Bulan Bintang, 1970 ), h. 12

Page 24: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

261

Berhubung dengan syarat-syarat untuk negara merdeka yang

baru, maka tuan-tuan sekalian memajukan diri dalam

penyelidikan dan pemeriksaan tentang soal-soal tadi dan

demikian juga tentang soal-soal agama34

.

Pernyataan Gunseikan ini mengindikasikan adanya keharusan

BPUPKI melakukan penyelidikan terhadap dasar-dasar yang akan

menjadi landasan negara Indonesia. Untuk memberikan tanggapan

terhadap pernyataan ketua sidang BPUPKI tentang dasar negara, Muh.

Yamin dalam karyanya; Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar

1945 menginformasikan bahwa sekurang-kuranya tiga orang anggota

Badan Persiapan yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan ketua

sidang ( K.R.T. Rajiman Wediodiningrat ) tersebut. Ketiga-tiga anggota

sidang itu ialah; Muh. Yamin, Soepomo dan Soekarno.

Berbeda dengan pendapat Muh. Yamin, Kohar Hari Soemarno

dan Lembaga Soekarno – Hatta menyatakan bahwa orang-orang yang

meyampaikan gagasannya melalui pidato pada sidang pertama

BPUPKI bukan tiga orang, melainkan empat orang., yaitu; Muh. Yamin

pada 29 Mei 1945, Moh. Hatta pada 30 Mei 1945, Soepomo pada 31

Mei 1945, dan Soekarno pada 1 Juni 1945.35

Kohar memberikan alasan

yang cukup kuat bahwa data ini diperoleh dari hasil wawancara dengan

Bung Hatta, Mr. Sunario, Subarjo, A.G. Pringgodigdo dan Pratignyo36

.

Hanya saja para peneliti umumnya tidak menyebut Moh. Hatta sebagai

salah seorang yang juga memberikan gagasannya melalui pidato terkait

dasar negara. Jika data yang diperoleh Kohar itu lebih kuat karena

bersumber dari hasil wawancara dengan para pelaku yang aktif dalam

sidang-sidang BPUPKI, maka dapat dipastikan bahwa Moh. Hatta

memang menyampaikan pidatonya pada sidang pertama BPUPKI, tetapi

kemungkinan besar Moh. Hatta tidak menyertakan teks pidatonya secara

tertulis. Hal ini sebagaimana dikatakan Kohar Hari Soemarno bahwa dia

tidak mendapatkan catatan apapun mengenai isi pidato Moh. Hatta.

Seandainya ada teks pidato Hatta tentu saja dapat diketahui pemikiran

Hatta tentang dasar negara dengan jelas37

. Demikian juga Lembaga

34

Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang

Dasar 1945. h. 22 - 23 35

Lihat, Kohar Hari Soemarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila (

Jakarta: Galia Indonesia, 1405 H. / 1984 M. ), hlm. 36. Lihat Juga, Lembaga Soekarno

– Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. h. 33 – 37 dan 94 36

Kohar Hari Soemarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila. h. 35 37

KoharHari Soemarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila. h. 36

Page 25: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

262

Soekarno – Hatta memperoleh datanya secara langsung dari

orang-orang yang aktif menghadiri sidang-sidang BPUPKI, yaitu; Moh.

Hatta. Dalam konteks ini Lembaga Soekarno – Hatta menyampaikan

sebagai berikut;

naskah ini ( Sejarah Lahirnya Undang-undang Dasar 1945 dan

Pancasila ) ditulis sekitar tahun 1979 ketika Bung Hatta masih

hidup dan termasuk salah seorang yang berpidato pada sidang

Badan Penyelidik. Namun Bung Hatta sendiri tidak memiliki

teks pidatonya yang disampaikan pada sidang Badan Penyelidik.

Tapi beliau menyatakan bahwa ia berbicara tentang sistem

ekonomi sosialis atau sistem ekonomi yang berkeadilan sosial38

.

Berdasarkan data di atas, terbukti bahwa Moh. Hatta termasuk

yang menyampaikan pemikiranya pada sidang pertama BPUPKI 30

Mei 1945, tetapi dikarenakan Moh. Hatta tidak memiliki teks

pidatonya, dan di samping pidatonya berbicara tentang ekonomi,

sementara kondisi saat itu menuntut pembahasan tentang dasar negara,

maka wajar jika para peneliti pada umumnya tidak memasukkan Moh.

Hatta ke dalam tokoh-tokoh yang menyampaikan gagasannya tentang

dasar negara. Namun demikian, yang perlu diperhatikan dalam konteks

ini adalah bahwa tidak berarti yang berbicara pada sidang pertama

BPUPKI itu hanya tiga atau empat orang saja, melainkan lebih dari itu,

karena berdasarkan laporan Zimokyoku ( Panitia Persidangan dan Tata

Usaha ) BPUPKI yang dikutip Lembaga Soekarno – Hatta menyatakan

ada empat puluh enam orang yang berbicara39

selama empat hari

sepanjang proses perjalanan sidang pertama BPUPKI40

.

Untuk mengetahui isi pidato Muh. Yamin, Soepomo, dan

Soekarno, berikut ini disampaikan isi pidato ketiga tokoh nasional

tersebut berdasarkan sumber buku “ Naskah Persiapan Undang-Undang

Dasar 1945 “ yang ditulis Muh. Yamin, di samping sumber-sumber lain

yang dianggap penting. Kutipan-kutipan yang akan diambil dari para

penyampai gagasan hanya yang penting-pentingnya saja sesuai dengan

38

Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang

Dasar 1945. h. 33 39

Para pembicara di sini dimaksudkan adalah para anggota sidang BPUPKI

yang menyampaikan pandangannya selain dari Muh. Yamin, Moh. Hatta, Soepomo

dan Soekarno. 40

Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar

1945. h. 32 - 37

Page 26: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

263

fokus pembahasan, yaitu; yang mengandungi pemikiran tentang

dasar-dasar negara.

Isi Pidato Muh. Yamin

Muh. Yamin adalah orang pertama yang menyampaikan

pandangannya tentang dasar negara, baik melalui lisan ataupun tulisan,

kemudian diakhiri ( menurut versi Nugroho Notosusanto ) dengan

melampirkan teks rancangan Undang-Undang Dasar bersama dengan

Pendahuluan . Di antara pandangan-pandangannya41

sebagai berikut;

Negara baru yang akan kita bentuk adalah suatu negara

kebangsaan Indonesia atau suatu nasional staat atau etat

nasional yang sewajar dengan peradaban kita dan menurut

susunan dunia sekeluarga di atas dasar kebangsaan dan

ke-Tuhanan . . . . . rakyat Indonesia mesti mendapat dasar negara

yang berasal daripada peradaban kebangsaan Indonesia. Orang

Timur pulang kepada kebudayaan Timur42

.

Selanjutnya Muh. Yamin menyatakan;

Dalam keadaan yang seperti itu, perjalanan pikiran untuk

kebaikan negara Indonesia yang kita selidiki itu dengan

sendirinya . . . . . ditujukan kepada peninjauan diri sendiri

sebagai bangsa yang beradab. Dengan penuh keyakinan, bahwa

negara itu berhubungan rapi ( rapat ) hidupnya dengan tanah air,

bangsa, kebudayaan dan kemakmuran Indonesia, seperti

setangkai bunga berhubung rapi dengan dahan dan daun, cabang

dan urat berasa-sama dengan alam dan bumi; seperti tulang,

darah dan daging dalam badan tubuh yang berjiwa dan bernyawa

sehat, maka kewajiban kita yang pertama kali ( ialah ) menyusuli

dasar hidup kita ke dalam pangkuan, haribaan kita sendiri43

.

Berdasarkan penjelasan Muh. Yamin tersebut dapat difahami

bahwa negara yang akan dibangun, menurut Yamin, adalah negara yang

berdasarkan kebangsaan ( nasional ). Yaitu suatu pembangunan bangsa

41

Dalam konteks ini, penulis tidak akan membicarakan persamaan atau

perbedaan yang tidak prinsip dari pidato Muh. Yamin, antara yang disampaikan

melalui lisan dengan naskah rancangan Undang-Undang Dasar yang disampaikannya

kepada BPUPKI secara tertulis. Untuk melihat perbedaan antara keduanya, penulis

persilahkan pembaca merujuk buku “ Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara “

karya Nugroho Notosusanto. h. 24 - 25 42

Lihat, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar1945. Jild.

1, h. 90 - 91 43

Ibid. h. 92

Page 27: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

264

yang mengacu pada peradaban ( sivilazation ) yang lahir dari bumi

Indonesia sendiri. Ini jelas terlihat pada ucapan Muh. Yamin; orang

Timur pulang kepada kebudayaan timur. Yaitu sebuah bangsa yang

berusaha menciptakan kesadaran senasib dengan mendekatkan seluruh

rakyatnya ke suatu bentuk ideologi yang mencintai tanah air, sehingga

dapat dimungkinkan lahirnya integrasi seluruh rakyat dalam rangka

mencapai tujuan dan tanggung jawab bersama.

Pandangan Muh. Yamin orang Timur pulang kepada

kebudayaan timur. Secara sosiologis sebenarnya tidak ada peradaban

suatu bangsa di manapun berada yang tidak terpengaruh dengan

peradaban bangsa lain, apalagi pada kondisi saat ini di era kecanggihan

teknologi informasi ( Information Technology ) di mana dunia

digambarkan seperti sabuah perkampungan yang tidak berbatas

teritorial, apapun yang terjadi di benua Amerika di sana atau di belahan

dunia lain, dalam beberapa detik saja sudah bisa diakses di Indonesia,

maka suatu bangsa tidak bisa mencerminkan kemurnian peradabannya

sendiri. Pada saat Muh. Yamin menyampaikan pandangannya juga sama

saling mempengaruhi antar budaya sudah berjalan. Ini memberi

perngertian bahwa setidaknya terbentuknya sebuah peradaban adalah

hasil sintesis dengan peradaban bangsa lain. Masyarakat purba atau

orang-orang asli yang lahir dan hidup di tengah hutan belantara saja,

barangkali yang dapat dikatakan memiliki budaya atau peradaban

murni atau asli, tetapi masyarakat seperti ini belum bisa dikatakan

masyarakat yang berbudaya atau berperadaban. Yang jelas, pencapaian (

achievement ) bangsa Indonesia dalam peradabannya adalah hasil dari

adobsi atau sintesis dengan peradaban-peradaban bangsa lain, dan ini

tidak dapat terelakkan dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia yang

saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya.

Pemikiran Muh. Yamin yang menyentuh dasar negara terdapat di

akhir pidatonya, di mana Muh. Yamin melampirkan naskah rancangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang dirumuskannya

sendiri. Dalam hubungan ini Muh. Yamin menyampaikan pemkirannya

sebagai berikut:

Habislah pembicaraan tentang azas kemanusiaan, kebangsaan,

kesejahteraan dan dasar yang tiga, yang diberkati kerahmatan

Tuhan, yang semuanya akan menjadi tiang negara keselamatan

yang akan dibentuk. Dengan ini saya mempersembahkan kepada

Page 28: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

265

sidang sebagai lampiran suatu rancangan sementara perumusan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia44

.

Dalam mukaddimah naskah rancangan Undang-Undang Dasar

yang disampaikan Muh. Yamin tersebut, terdapat dengan jelas rumusan

dasar negara yang lima, yaitu;

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kebangsaan persatuan Indonesia

3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam

permusyawaratan / perwakilan

5. Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia

Berdasarkan pandangan Muh. Yamin tentang dasar negara

dapatlah difahami bahwa negara Indonesia yang akan dibangun harus

didasarkan pada lima asas sebagaimana disebutkan di atas45

. Menurut

Muh. Yamin kelima dasar tersebut dapat dijadikan tiang negara. Kelima

dasar tersebut, tegas Yamin, dapat membawa keselamatan bagi seluruh

rakyat Indonesia.

Isi Pidato Soepomo

Soepomo dalam pidatonya seperti juga Muh. Yamin,

mengkonsentrasikan pandangannya pada dasar negara yang akan

menjadi landasan negara Indonesia merdeka. Dalam konteks ini,

Soepomo menyatakan demikian; Pertanyaan mengenai dasar negara

pada hakekatnya adalah pertanyaan tentang cita-cita negara. Negara

menurut dasar pengertian apa yang akan dianut oleh negara merdeka

nanti. Pandangan Soepomo selanjutnya terfokus pada teori integralistik,

di samping teori individualistik ( perseorangan ), dan teori sosialistik.46

Dalam hubungan ini Soepomo menyatakan sebagai berikut;

Maka teranglah Tuan-Tuan yang terhormat, bahwa jika kita

hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan

44

Lihat Mh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld. 1,

h. 106 45

Menurut Nugroho Notosusanto terdapat rumusan lain dari Muh. Yamin

tentang dasar negara, yaitu; 1. Peri-Kemanusiaan, 2. Peri–Kebangsaan, 3.

Peri-Kesejahteraa. 4. Peri–Kerakyatan, 5. Peri–Ketuhanan.. Lihat, Nugroho

Notosusanto, Naskah Proklamasi Yang Otentik Dan Rumusan Pancasila Yang Otentik

( Jakarta: t. tpt., 1976 ), h. 16 46

Lihat, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld.

1, h. 110 - 111

Page 29: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

266

keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara

kita harus berdasarkan aliran pikiran ( staatside ) negara yang

integralistik; negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya,

yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan

apapun47

.

Dalam kutipan di atas, Soepomo menawarkan teori negara

integralistik. Teori ini rupanya menjadi tema penting yang mewarnai

keseluruhan pemikiran Soepomo. Menurutnya bahwa negara

integralistik ialah sebuah negara yang bersatu padu dengan seluruh

rakyatnya dan menempatkan dirinya pada posisi yang berada di atas

semua golongan. Oleh karenanya di negara integralistik tidak ada

keistimewaan bagi golongan besar ( mayoritas ) ataupun golongan kecil

( minoritas ), semuanya sama, maka anggapan bahwa golongan

mayoritas berkuasa atas golongan minoritas tidak sejalan dengan teori

ini. Lebih lanjut Soepomo menyatakan sebagai demikian;

Menurut aliran pemikiran tentang negara yang saya anggap

sesuai dengan semangat Indoneia asli, negara tidak

mempersatukan dirinya dengan golongan terbesar dalam

masyarakat, pun tidak mempersatukan dirinya dengan golongan

yang paling kuat, akan tetapi negara mengatasi segala golongan

dan segala seseorang ( individu ), negara mempersatukan diri

dengan segala lapisan rakyat seluruhnya48

.

Berdasarkan pandangan Soepomo di atas, dapat dimengerti

bahwa negara Indonesia yang akan dibangun agar berdiri di atas

semua golongan, tidak memberikan keistimewaan kepada golongan

manapun, baik atas dasar kekuatan keagamaan, keturunan ( etnic ),

ekonomi dan sebagainya. Oleh karena itu, Umat Islam secara

keseluruhannya yang merupakan mayoritas rakyat Indonesia

diperlakukan sama dengan umat-umat agama lain. Ini artinya bahwa asas

Islam dalam teori negara integralistik tidak dapat dijadikan dasar negara,

sekalipun mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. Demikian juga

dengan agama-agama lain yang pada umumnya dianut oleh minoritas

penduduk. Jadi, dengan demkian Indonesia yang akan dibangun dalam

konsepsi Soepomo tidak bisa didasarkan pada dasar agama, baik agama

47

Ibid. h. 113 48

Lihat, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld.

1, h. 114

Page 30: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

267

yang dianut oleh mayoritas rakyat ataupun agama yang dianut oleh

minoritas. Dalam konteks ini Soepomo menegaskan sebagai berikut;

Akan tetapi tuan-tuan yang terhormat, akan mendirikan negara

Islam di Indonesia berarti tidak akan mendirikan negara

persatuan. Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti

mendirikan negara yang akan mempersatukan diri dengan

golongan terbesar, yaitu golongan Islam49

.

Pandangan ini jelas menyatakan bahwa Islam tidak bisa

dijadikan dasar negara, karena menurut Soepomo jika Indonesia

didasarkan pada asas Islam berarti negara hanya mempersatukan diri

dengan rakyat yang mayoritas dan berarti pula bahwa rakyat Indonesia

yang minoritas tidak mendapatkan tempat. Oleh karena itu, Soepomo

menawarkan bentuk negara nasional, negara bangsa, yaitu negara yang

menaungi semua aliran dan golongan. Hal ini sebagaimana ditegaskan

Soepomo sebagai berikut;

Oleh karena itu saya nenganjurkan dan saya mufakat dengan

pendirian yang hendak mendirikan negara nasional yang

bersatu, dalam arti totaliter seperti yang diuraikan tadi, yaitu

negara yang tidak mempersatukan diri dengan golongan yang

terbesar, akan tetapi yang akan mengatasi segala golongan

dan akan mengindahkan dan menghormati keistimewaan dari

segala golongan, baik golongan besar, maupun golongan yang

kecil50

.

Pernyataan Soepomo ini jelas menunjukkan bahwa negara

Indonesia yang akan dibangun adalah negara nasional yang menghargai

kehidupan plural, baik dari segi agama, etnic, budaya dan sebagainya.

Mayoritas atau minoritas tidak mejadi persoalan, semuanya akan

mendapatkan pelayanan dan perlindungan negara. Seluruh

pemikiran Soepomo terkait dengan dasar negara ternyata bermuara

pada teori integralistik, menurut Marsilan Simanjuntak, terpengaruh

ajaran Hegel ( 1770 – 1831 ), Baruch Spinoza ( 1632 – 1677 M. ) dan

Adam Muller, tidak tahan uji dengan teori kedaulatan rakyat, karena

gagasan negara integralistik lebih mengutamakan keseluruhan,

ketimbang teori individualistik, juga lebih mengutamakan persatuan

organik dalam negara ketimbang kepentingan individu dan golongan.

49

Ibidh. 117 50

Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld. 1, h.

117

Page 31: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

268

Gagasan negara integralistik menurut Marsilan lagi, bersemangat

antiliberalisme dan antiindividualisme. Pandangan yang hampir serupa

dikemukakan oleh Adnan Buyung Nasution yang mengkritik konsep

negara integralistik Soepomo51

. Walau bagaimanapun teori negara

integralistik adalah sebuah gagasan yang muncul ketika terjadi

pembahasan tentang dasar negara, terserah kepada rakyat Indonesia

untuk menerima atau menolaknya, tetapi realitasnya rakyat Indonesia

menerima teori kedaulatan rakyat sebagai salah satu prinsip demokrasi.

Hal ini dapat dimengerti bahwa rakyat Indonesia menolak gagasan

negara integralistik.

Selain berbicara tentang dasar negara, Soepomo juga berbicara

tentang hubungan agama dan negara. Di akhir pidatonya, Soepomo

berbicara tentang kedudukan agama dalam teori negara integralistik,

bahwa negara sekalipun menganut teori integralistik tidak anti agama,

hanya saja negara tidak ikut mencampuri urusan-urusan agama. Dalam

konteks ini Soepomo menegaskan demikian;

Dengan sendirinya dalam negara nasional yang bersatu itu,

urusan agama akan terpisah dari urusan negara dan dengan

sendirinya dalam negara nasional yang bersatu itu urusan agama

akan diserahkan kepada golongan-golongan agama yang

bersangkutan. Dan dengan sendirinya dalam negara sedemikian,

seseorang akan merdeka memeluk agama yang disukainya, baik

golongan agama yang terbesar, maupun golongan agama yang

terkecil, tentu akan merasa bersatu dengan negara52

.

Berdasarkan penjelasan Soepomo di atas, dapat difahami

bahwa negara yang berdasarkan teori integralistik, ialah negara nasional

sekular, yaitu negara yang memisahkan agama dari urusan-urusan

negara ( politik ), sekalipun negara tidak anti agama. Dalam konteks

ini, ada analisa yang cukup baik tentang gagasan negara integralistik

Soepomo disampaikan A.M.W. Pranarka bahwa Soepomo telah

membedakan antara negara Islam dengan negara yang berdasarkan

cita-cita luhur Islam. Yaitu negara yang berdasarkan cita-cita luhur Islam

( kebaikan-kebaikan yang bersumberkan ajaran Islam ) sekalipun secara

legal formal negara tidak berdasarkan asas Islam. Dalam pengertian

51

Lihat, Gatra ( Majalah berita mingguan ), 10 Juni 1995,l No. 30, tahun 1,

Jakarta, h. 28 52

Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld. 1, h.

117

Page 32: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

269

bahwa negara memberikan kebebasan kepada rakyatnya yang beragama

Islam untuk melaksanakan ajaran-ajaran agamanya, meskipun negara

tidak didasarkan pada asas Islam, demikian juga rakyat yang beragama

lain53

.

Berikut beberapa pokok pikiran Soepomo berkenaan dengan

rancangan dasar negara sebagai berikut; bahwa Indonesia harus

didasarkan pada budaya asli, jati diri, yaitu budaya Indonesia, negara

bersifat integralistik atau nasional totaliter, negara harus mengatasi

semua golongan, baik yang mayoritas atau yang minoritas, negara

tidak ikut campur dengan urusan-urusan agama. Selain itu ada beberapa

para penulis, antaranya Muh. Yamin, Nugroho Notosusanto, Kohar Hari

Soemarno mencatat pokok-pokok pemikiran Soepomo tentang dasar

negara sebagai berikut; 1. Persatuan, 2. Kekeluargaan, 3.

Keseimbangan lahir batin, 4. Musyawarah, 5. Keadilan rakyat54

.

Isi Pidato Soekarno

Tokoh ketiga yang menyampaikan pemikiranya tentang dasar

negara adalah Soekarno. Soekarno telah menyampaikan pandanganya

secara jelas dan menyentuh persoalan secara langsung dan mendasar,

meskipun secara keseluruhan inti dari pandangan Soekarno menurut

Nugroho Notosusanto dan lain-lainnya, dikatakannya hampir ada

kesamaan dengan yang disampaikan oleh kedua tokoh sebelumnya,

yaitu; Muh. Yamin dan Soepomo, lebih khusus lagi Muh. Yamin yang

hampir benar-benar sama. Namun demikian, Lembaga Soekarno–Hatta

tidak menyetujui pandangan Nugroho tersebut. Berikut ini disampaikan

petikan-petikan pandangan Soekarno terkait dengan rancangan dasar

negara.

Sebelum menyampaikan inti permasalahan yang sangat

fundamental berkenaan dengan pembentukan negara Indonesia,

Soekarno lebih dahulu memberikan ulasan atau komentar kepada para

tokoh sebelumnya yang telah menyampaikan pandangannya. Menurut

Soekarno, para pemidato terdahulu belum memenuhi permintaan ketua

53

Lihat, A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila ( Jakarta:

CSIS, 1985 ), h. 30 54

Lihat Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1,

h. 121. Lihat Juga, Nugroho Notosusanto, Naskah Proklamasi Yang Otentik dan

Rumusan Pancasila Yang Otentik ( Jakarta: T. pt., 1976 ), h. 17. Lihat juga, Kohar Hari

Soemarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila ( Jakarta: Galia Indonesia, 1405 H. /

1984 ), h. 39

Page 33: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

270

sidang K.R.T. Rajiman tentang dasar negara Indonesia. Menurut

Soekarno lagi bahwa dirinyalah yang sudah mengerti tentang apa yang

diminta ketua sidang, yaitu soal dasar, philosofhische gronsdlag ( bahasa

Belanda ) weltanchouung ( bahasa Jerman ) yang akan menjadi landasan

negara Indonesia merdeka. Dalam hubungan ini Soekarno menyatakan ;

Maaf, beribu maaf, banyak anggota telah berpidato dan dalam

pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan

permintaan paduka tuan ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya

Indonesia merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh

paduka tuan ketua yang mulia ialah dalam bahasa Belanda “

philosofisch grondslag “ dari Indonesia merdeka. Philosofische

grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang

sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia

merdeka yang kekal dan abadi55

.

Secara rinci Soekarno menyebut satu persatu secara sistematik

terkait rangcangan dasar negara, yang pada intinya mengandung lima

prinsip. Berikut ini disampaikan pokok-pokok pemikiran Soekarno

tentang rancangan dasar negara tersebut. Soekarno menegaskan bahwa

dasar pertama yang baik bagi negara Indonesia, ialah dasar

kebangsaan. Kita mendirikan suatu negara kebangsaan Indonesia56

.

Soekarno selanjutnya menyampaikan dasar kedua, yaitu dasar

internasionalisme atau peri-kemanusiaan, sebagai berikut;

Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia, tetapi kita

harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Inilah

filosofische prinsip ( bahasa Belanda ) yang nomer dua, yang

saya usulkan kepada tuan-tuan yang boleh saya namakan

internasionalisme57

.

Dasar ketiga ialah permusyawaratan / perwakilan. Berikut ini

Soekarno menegaskan sebagai berikut ;

Kemudian apakah dasar yang ketiga ?. Dasar itu ialah dasar

mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara

Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara

55

Lihat, Soekarno, Lahirnya Pancasila -Pidato pertama tentang Pancasila 1

Juni 1945- ( T.tp : Tpt, T. th. ) h. 5 56

Ibid. h. 15. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang

Dasar 1945, Jld. 1, h. 69 57

Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 21 – 22. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah

Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 73 - 74

Page 34: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

271

untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita

mendirikan negara semua buat semua, satu buat semua, semua

buat satu. Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya

negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan 58

.

SelanjutnyaSoekarno menyampaikan dasar keempat, yaitu dasar

kesejahteraan rakyat. Sehubungan ini Soekarno menyatakan sebagai

berikut;

Prinsip nomer empat saya usulkan, saya di dalam tiga hari ini

belum mendapat prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip

tidak akan ada kemiskinan di dalam rakyat Indonesia . . . . . . .

.Maka oleh itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti,

mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima hal

sociale rechtvaardigheid ( bahasa Belanda ) ini, yaitu bukan saja

persamaan politik, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan

ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya

kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya59

.

Akhirnya Soekarno sampai ke prinsip yang kelima, yaitu prinsip

Ketuhanan. Sehubungan ini Soekarno menegaskan sebagi berikut ;

Saudara-saudara apakah prinsip ke lima ? saya telah

mengemukakan empat prinsip; Kebangsaan Indonesia,

Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan, Mufakat atau

Demokrasi, dan Kesejahteraan sosial. Prinsip Indonesia

merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Prinsip Ketuhanan, bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan,

tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan.

Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut

petunjuk Isa al-Masih. Yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk

Nabi Muhammad saw.. Orang Budha menjalankan ibadatnya

menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita

semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara

yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan

58

Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 22. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah

Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 74 59

Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 24 – 26. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah

Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 75 - 77

Page 35: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

272

cara yang leluasa, . . . . . . . Dan hendaknya negara Indonesia

suatu negara yang Ber-Tuhan60

.

Demikianlah pada 1 Juni 1945 Soekarno telah menyampaikan

prinsip-prinsip tentang dasar negara. Dan jika disusun prinsip-prinsip

tersebut secara sistematik, maka menjadi sebagai berikut;

1. Kebangsaan Indonesia,

2. Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaan,

3. Mufakat, Perwakilan dan Permusyawaratan,

4. Kesejahteraan sosial, dan

5. Ketuhanan.

Kelima-lima prinsip ini, Soekarno memberinya nama

Pancasila, menurut pengakuannya nama tersebut diperoleh dari salah

seorang teman ahli bahasa. Dalam hubungan ini Soekarno menyatakan

sebagai berikut;

Saudara-saudara, dasar-dasar negara telah saya usulkan, lima

bilangannya. Inikah Panca Dharma ?. Bukan. . . Nama Panca

Dharma tidak tepat di sini. Dharma artinya kewajiban.

Sedangkan kita ( sedang ) membicarakan dasar . . . . Namanya

bukan Panca Dharma. Tetapi saya namakan ini dengan petunjuk

seorang teman kita ahli bahasa,61

namanya ialah Pancasila. Sila

artinya azas ( asas ) atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah

kita mendirikan negara Indonesia kekal dan abadi62

.

Untuk memperkuat gagasan tentang rancangn dasar negara yang

berjumlah lima prinsip itu, Soekarno kemudian membuat padanan (

perumpaan ) simbolik yang berjumlah lima pula. Dalam hubungan ini

Soekarno menjelaskan;

Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukum

Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai

pancaindera. Apalagi yang lima bilangannya ? Seorang yang

hadir ( dalam sidang BPUPKI waktu itu ) berkata, pandawa

lima. . . . Pandawapun lima orangnya. Sekarang banyaknya

60

Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 26 – 27. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah

Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 77 61

Terdapat sumber menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan seorang ahli

bahasa itu adalah Muh. Yamin. 62

Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 27 - 28

Page 36: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

273

prinsip; Kebangsaan, Internasionalisme, Mufakat,

Kesejahteraan dan Ketuhanan, lima pula bilangannya63

.

Soekarno setelah menyampaikan rancangan dasar negara yang

berjumlah lima prinsip dan diperkuat dengan padanan lima simbol.

Soekarno selanjutnya menyampaikan teori perasan ( peres ). Hal ini

sebagaimana dikutip Endang Saefuddin Anshari.64

Teori perasan itu

demikian; Lima Sila itu diperas menjadi tiga sila, disebut Trisila, dan

Trisila ini kemudian diperas lagi menjadi satu sila, yaitu, Ekasila.

Jelasnya teori perasan itu sebagaimana disampaikan Soekarno65

,

sebagai berikut;

1. Sosio-Nasionalisme, meliputi;

Kebangsaan Indonesia,

Peri-Kemanusiaan,

2. Sosio-Demokrasi, meliputi;

Demokrasi,

Kesejahteraan sosial,

3. Ketuhanan.

Trisila atau tiga sila kemudian diperas lagi menjadi satu sila,

yaitu; Ekasila atau Gotong royong. Dalam hubungan ini Soekarno

menjelaskan sebagai berikut;

Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan tiga menjadi satu,

maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen ( asli ), yaitu

perkataan Gotong royong. Negara yang akan kita dirikan haruslan

negara gotong royong. Alangkah hebatnya negara gotong royong.66

Pada kesempatan yang sama setelah mengajukan lima prinsip, Soekarno

kemudian menawarkan kepada para anggota sidang bahwa

ketiga-tiga bentuk gagasan itu sebagai altenatif, yang mana satu yang

dikehendaki. Berikut ini Soekarno menyatakan sebagai berikut;

Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi

terserah kepada tuan-tuan, mana tuan-tuan yang akan pilih,

Trisila, Ekasila ataukah Pancasila. Isinya telah saya katakan

63

Ibid. h. 28. Lihat juga, Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis

Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi ( Jakarta: Bulan Bintang, 1977 ), h. 12 - 13 64

Lihat E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah

Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekular Tentang Dasar

negara Republik Indonesia ( Jakarta: SV. Rajawali, 1981 ), h. 17 65

Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 28 66

Ibid. h. 29

Page 37: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

274

kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang

saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk

Indonesia merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah

menggelora dengan prinsip-prinsip itu67

.

Demikianlah pidato Soekarno yang disampaikannya pada 1 Juni

1945 di depan sidang pertama BPUPKI. Satu persatu dari lima prinsip

rancangan dasar negara tersebut dijelaskannya secara sistematik, dan

Soekarno kemudian menawarkan agar lima prinsip itu diberi nama

Pancasila. Para anggota sidang kemudian menyambutnya dengan tepuk

tangan yang riuh rendah setelah pidato selesai. Realitas ini

mengindikasikan bahwa usulan Soekarno terkait dengan Pancasila

diterima68

.

Ketika hasil pidato Soekarno diterbitkan menjadi buku pada

pertama kalinya di tahun 1947. K.R.T. Rajiman Wedyodiningrat ( ketua

BPUPKI ) memberinya judul pada buku ini; Lahirnya Pancasila69

.

Ini berarti bahwa ketiga-tiga alternatif yang ditawarkan Soekarno;

Pancasila, Trisila dan Ekasila, hanya nama Pancasila yang diterima oleh

anggota sidang, sementara Trisila dan Ekasila tidak. Demikianlah

beberapa pokok pemikiran yang muncul dan berkembang pada sidang

pertama BPUPKI yang berlangsung dari tanggal 29 Mei–1 Juni 1945.

Pokok-pokok pemikiran tersebut selanjutnya menjadi agenda

pembahasan oleh Panitia Khusus ( Pansus ) yang beranggotakan

sembilan orang.

4. Sumber Gagasan Dasar Negara Pancasila

Jika diperhatikan lebih dalam dari mana inspirasi lima dasar atau

lima sila tersebut, baik yang disampaikan Moh. Yamin, Soepomo atau

Soekarno. Menurut E. Saefuddin Anshari yang jelas semua gagasan

yang muncul dan berkembang dari ketiga-tiga tokoh nasional tersebut

bukanlah gagasan baru. Karena gagasan lima dasar negara telah tertanam

67

Ibid. h. 29 - 30 68

Lihat Kirdi Dipoyudo, Pancasila, Arti dan Pelaksanaannya ( Jakarta:

Yayasan Proklamasi, CSIS, 1979 ), h. 20 69

Lihat Moh. Hatta, Pengertian Pancasila –Pidato Peringatan Lahirnya

Pancasila Tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional- ( Jakarta: PT. Inti

Idayu Press, 1978 ), h. 9. Lihat juga, Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis

Dasar Negara Dan Sebuah Proyeksi, h. 12

Page 38: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

275

di jiwa Soekarno semenjak puluhan tahun ke belakang70

. Hal ini diakui

oleh Soekarno sendiri dalam pernyataanya sebagai berikut;

. . . . . saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini

untuk weltanchaung itu, untuk membentuk nasionalisme

Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam

peri-kemausiaan , untuk mufakat, untuk sociale

rechtvaardigheid, untuk Ketuhanan. Pancasila inilah yang

berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun71

.

Pada kesempatan yang sama Soekarno menegaskan; maka yang

selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam

beberapa hari di dalam sidang BPUPKI ini, akan tetapi sejak tahun 1918,

dua puluh lima tahun lebih ke belakang,72

Selain dari itu, jika

diperhatikan dari aspek kronologi waktu akan terungkap bahwa pada

bulan Juli 1933 ketika di dalam Konferensi Partai Indonesia ( Partindo )

di Mataram, Soekarno pernah menyatakan; Bagi kaum Marhaen73

, asas

itu ialah Kebangsaan atau Kemarhaenan ( Marhaenisme ). Di dalam

keputusan Konferensi tersebut, Soekarno menegaskan; bahwa

Marhaenisme itu ialah Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi.

Sosio-nasionalisme mengandung dua konsep dasar, iaitu;

Internasionalisme dan Nasionalisme, dan Sosio-demokrasi mengandung

dua konsep dasar juga, iaitu; Demokrasi dan keadilan sosial.74

Dengan

demikian, dasar pemikiran Soekarno tidak tiba-tiba wujud pada sidang

BPUPKI, tetapi sudah tertanam dalam jiwanya semenjak tahun 1918

lagi.

Demikian juga dengan Muh. Yamin ketika dipecat dari

keanggotaan Gerindo ( Gerakan Indonesia ) pada tahun 1939,

70

E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah

Konsensus Nasional Antara Nasionalisme Islam dan nasionalisme Sekular Tentang

Dasar negara Republik Indonesia 1945 – 1959, h. 19 71

Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 30 72

Ibid. h. 15 73

Marhaen ialah terminologi yang dimaksudkan suatu masyarakat yang

sebagian besar terdiri dari golongan bawah dengan sifat-sifat atau karakter orang

bawah, baik sebagai petani kecil, buruh kecil, pedagang kecil, pelajar kecil, pegawai

kecil dan sebagainya. Dalam bahasa Jawa disebut; Wong cilik. Soekarno juga menyebut

istilah Marhaen ketika menyampaikan pidatonya di depan sidang BPUPKI. Lihat

Soekarno, Indonesia Menggugat–pidato pembelaan Bung Karno di depan Hakim

Kolonial–( Jakarta: S.K. Seno, 1951 ), hlm. 130. Lihat juga, Soekarno, Lahirnya

Pancasila. h. 10 74

Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 28

Page 39: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

276

kemudian Muh. Yamin bersama-sama dengan kawan-kawannya

mendirikan Partai Persatuan Indonesia ( Parpindo ) yang didasarkan

pada faham Sosial-nasionalisme dan Sosial-demokrasi75

. Jadi dasar

pemikiran Muh. Yamin pun tidak mendadak lahir pada saat sidang

BPUPKI, tetapi sudah berakar dalam jiwanya semenjak tahun 40-an ke

belakang.

Selain dari itu, jika diperhatikan penjelasan-penjelasan Soekarno

yang disampaikannya pada sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 di mana

Soekarno sendiri banyak terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran A.

Baars dan Sun Yatsen. Dalam hubungan ini Soekarno menjelaskan

sebagai berikut;

Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun duduk

dibangku sekolah HBS ( sekolah menengah ) di Surabaya, Saya

dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars yang

memberi pelajaran kepada saya, katanya; jangan berfahaman

kebangsaan, tetapi berfahamanlah rasa kemanusiaan sedunia . . .

. . . . itu terjadi pada tahun 1917. Tetapi pada tahun 1918

alhamdulillah, ada orang lain yang mengingatkan saya, yaitu

Sun Yatsen di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three

People`s Principle`s, saya mendapat pelajaran yang

membogkar kosmopolitanisme yang diajarkan oleh A. Baars itu.

Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan oleh

pengaruh The Three People`s Principles itu. Maka oleh

karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa ( China )

menganggap Sun Yatsen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa

Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan

hormat-sehormatnya merasa berterima kasih kepada Sun Yatsen

sampai masuk ke lubang kubur76

.

Ketika Soekarno berbicara mengenai prinsip kesejahteraan

sosial dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI, Soekarno

mengulangi lagi pengaruh San Min Chu I, antara lain Soekarno

menjelaskan sebagai berikut;

Saya di dalam tiga hari ini belum mendengar prinsip itu, yaitu

prinsip kesejahteraan; prinsip tidak akan ada kemiskinan di

dalam Indonesia merdeka. Saya katakan tadi; prinsip San Min

75

Pringgodigdo, A.K. Sejarah Pergerakan Rakkyat Indonesia ( Jakarta: Dian

Rakyat, 1967 ), h. 110 - 112 76

Soekarno, Lahirnya Pancasila, h, 21

Page 40: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

277

Chu I, ialah Mintsu, Min Chuan, Min Seng; Nasionalism,

Democracy, socialism. Maka prinsip kita harus . . . . .

kesejahteraan sosial . . . . . sociale rechtvaardigheid . . . . .77

.

Pada tempat lain, ketika Soekarno membuat perbandingan

bagaimana Sun Yatsen menyediakan konsep untuk peletakan dasar

negara Tionghoa ( China ), Soekarno menyatakan sebagai berikut;

Di dalam tahun 1912 Sun Yatsen mendirikan negara Tionghoa

merdeka, tetapi weltanschaungnya telah ada sejak tahun 1885,

kalau saya tidak salah dipikirkan, dirancangkan di dalam buku

The Three People`s Principles, San Min Chu I; Mintsu, Min

Chuan, Min Seng; Nasionalisme, Demokrasi, Sosialisme, telah

digambarkan oleh Sun Yatsen weltanschaung itu, tetapi baru

dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas

weltanschaung San Min Chu I itu78

.

Kutipan di atas menunjukan bahwa pernyataan mengenai

rancangan dasar negara Indonesia, baik lima dasar Muh. Yamin, atau

lima sila Soekarno bukanlah sesuatu yang kebetulan secara tiba-tiba

muncul ketika sidang pertama BPUPKI. Tetapi telah ada semenjak

puluhan tahun ke belakang. Karena sebenarnya pernyataan-pernyataan

yang terungkap pada hari pertama sidang BPUPKI itu, terutama

mengenai pemikiran sosial-nasionalisme dan sosial demokrasi bersama

dengan pengertian-pengertiannya, yaitu; Internasionalisme,

Nasionalisme, Demokrasi dan Keadilan sosial pada hakekatnya sebagai

penjelmaan dari apa yang pernah terungkap sebelumnya. Kemudian,

selain dari itu apa yang disampaikan Soekarno di atas, dapat dimengerti

bahwa Soekarno banyak dipengaruhi oleh peikiran dari luar, terutama

yang datang dari Sun Yatsen dan A. Baars. Namun demikian, tidak

berarti bahwa keseluruhan konsepsi dasar Soekarno merupakan barang

import. Sebab jika diperhatikan pernyataan-pernyataan Soekarno

dalam pidatonya itu bukanlah penyalinan seratus persen dari idea luar.

Hal ini diakui sendiri oleh Soekarno bahwa; kalau kita mencari

demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan

yang memberi hidup, yakni politik ekonomi demokrasi yang mampu

mendatangkan kesejahteraan sosial. Rakyat Indonesia sudah lama bicara

tentang hal ini79

. Ini dikarenakan seluruh benua Barat, menurut

77

Ibid. h. 24 - 26 78

Ibid., h. 14 79

Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 21

Page 41: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

278

Soekarno, terutama Eropa dan Amerika bukankah justeru mereka kaum

kapitalis yang merajalela, karena di negara-negara tersebut tidak ada

keadilan sosial, tidak ada demokrasi ekonomi, yang ada hanya politik

demokrasi80

. Pernyataan ini sebagai indikasi bahwa tidak semua yang

datang dari luar diterima begitu saja mentah-mentah, tetapi setidaknya

difilter, diproses atau diadobsi dengan pemikiran yang ada, sehingga

yang muncul kemudian adalah sesuatu yang sintesis yang sesuai dengan

kondisi masyarakat, rakyat dan bangsa Indonesia. Selain dari itu yang

berkenaan dengan konsep nasionalisme menurut Soekarno sudah

direalisasikan semenjak wujudnya kerajaan-kerajaan besar Indonesia di

masa lalu, yaitu; Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Dalam konteks ini

Soekarno menyatakan; Kita hanya mengalami dua kali negara nasional,

yaitu; ketika di zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit81

. Ini berarti

bahwa faham nasionalisme sudah direalisasikan dalam bentuk yang

nyata semenjak lahirnya pemerintahan-pemerintahan besar di masa lalu.

Hanya saja pada saat itu dasar negara masih belum terumuskan

dalam satu rumusan sistematik, maka pemikiran Sun Yatsen

sebagaimana tertulis di dalam karyanya; The Three People`s Principles

membantu Soekarno dalam merumuskan pemikiran itu secara sistematik

ke dalam pola kehidupan kenegaraan di Indonesia. Dari sini jelas dapat

ditegaskan bahwa konsepsi tentang rancangan dasar negara merupakan

sintesis dari pemikiran yang datang dari luar dan kemudian diolah

dengan pandangan hidup yang telah ada semenjak berabad-abad

lamanya. Realitas ini tepat seperti yang dinyatakan Muh. Yamin; Begitu

pulalah dengan ajaran Pancasila, suatu sinthese negara yang lahir dari

antithese.82

Hal ini serupa dengan yang ditegaskan Presiden Soeharto (

mantan Presiden RI ke-2 ); bahwa Pancasila sebenarnya tidak lahir

secara tiba-tiba pada tahun 1945, melainkan telah melalui proses

panjang, dimatangkan oleh sejarah perjuangan bangsa kita sendiri,

melihat pengalaman bangsa-bangsa lain, diilhami oleh idea-idea besar

80

Pernyataan Soekarno tersebut masih relevan untuk saat ini, hanya seberapa

besar pengaruh dari praktik kapitalisasme barangkali yang harus dipastikan. Dalam

realitas perpolitikan memang selalu didengungkan demokrasi, tetapi dalam hal

ekonomi, tidak ada demokrasi, dalam arti keadilan ekonomi tidak ada, yang ada adalah

kapitalisme liberal. 81

Soekarno, LahirnyaPancasila, h. 19 82

Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Repunlik Indonesia (

Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960 ), h.454

Page 42: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

279

dunia, tetapi dengan tetap berakar pada kepribadian dan idea-idea bangsa

kita sendiri83

.

Aspek lain dari pembahasan ini yang perlu diperhatikan ialah

bahwa kalau konsepsi tentang rancangan dasar negara, terutama yang

digagas oleh Soekarno sepertinya banyak dipengaruhi oleh buku The

Three People`s Principles, maka konsep dasar Ketuhanan itu dari mana

sumber inspirasinya ?. Dalam hubungan ini E. Saefuddin Anshari

menegaskan bahwa Muh. Yamin dan Soekarno menemukan prinsip

Ketuhanan ini dari alam pikiran dan cita-cita yang diungkapkan oleh

para pemimpin Islam di dalam Badan Penyelidik ( BPUPKI ), yang pada

mulanya menolak dasar Kebangsaan dan mengajukan Islam sebagai

dasar negara84

. Sesuatu yang sudah menjadi realitas memang bahwa

pengertian Ketuhanan ini pada hakekatnya berlatar belakang Islam,

walaupun tidak selalu diterima oleh golongan bukan muslim. Ahmad

Syafii Maarif menganalisisnya dari aspek lain dan menyatakan bahwa

jika menurut jalan pikiran Soekarno, Pancasila merupakan refleksi dari

warisan sosiologis rakyat Indonesia yang kemudian Soekarno

merumuskannya dalam lima prinsip. Oleh karena itu, prinsip Ketuhanan

pada mulanya tidak ada hubung kait secara organik dengan mana-mana

agama85

. Dengan ungkapan lain; Tuhan dalam konsepsi Soekarno

bersipat sosiologis, sehingga konsep Ketuhanan bersipat relatif86

.

Namun demikian, setelah terjadi perdebatan sengit antara pihak

Nasionali Islam dan Nasionalis Sekular di dalam Badan Penyelidik (

BPUPKI ), sila Ketuhanan berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa

dan ditetapkan menjadi sila pertama.

Dalam konteks ini, Hazairin berpendapat serupa dengan di atas

dan menyatakan sebagai berikut;

Dari manakah sebutan Ketuhanan Yang Maha Esa itu ?, dari

pihak Nasranikah atau pihak Hindukah atau dari pihak Timur

83

Soeharto, Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila ( Jakarta:

Yayasan Proklamasi, CSIS, 1972 ), h. 10 84

E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsnsus

Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekular Tentang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945 – 1959, hlm. 23 85

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang

Percaturan Dalam Konstituante ( Jakarta: LP3S, 1985 ), h. 144 86

Hal ini dapat dirujuk pada pandangan-pandangan Soekarno tentang konsep

Ketuhanan yang bersifat evolutif dalam buku yang berjudul “ Pamcasila Sebagai Dasar

Negara “, dalam sub topik “ Ketuhanan Yang Maha Esa “.

Page 43: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

280

Asing, yang ikut bermusyawarah dalam Panitia yang bertugas

menyusun Undang-Undang Dasar 1945 itu, tidak mungkin.

Istilah Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya sanggup diciptakan

oleh otak kebijaksanaan dan iman orang Indonesia Islam, yakni

sebagai terjemahan pengertian yang terhimpun dalam “ Allahu

al-Wahid “ yang disalurkan dari Al-Qur`an, 2:163 dan dizikirkan

dalam do`a kanzu al-Arasy baris 1787

.

Dalam hubungan ini Departemen Agama ( kini Kementerian

Agama ) Republik Indonesia turut pula menyampaikan pandangannya

sebagai berikut;

. . . . . . ada hubungan antara prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa

dalam Pancasila dengan ajaran teologi Islam . . . . . . bahwa

prinsip pertama Pancasila yang merupakan prima - ausa atau

penyebab pertama itu adalah sejalan dengan beberapa ajaran

Tauhid Islam, yaitu Tauhid al-Sifat dan Tauhid al-Af`al . . . . . .

Ajaran ini juga diterima oleh agama-agama lain di Indonesia88

.

Pada saat dibentuknya Panitia Pancasila yang beranggotakan

lima orang; Moh. Hatta, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Sunario dan

A.G. Pringgodigdo yang dianggap dapat memberikan pengertian

Pancasila yang sesuai dengan alam pikiran dan semangat lahir batin para

penyusun Undang-Undang Dasar 1945, karena mereka orang-orang

yang aktif secara langsung dalam menyusun rancangan dasar negara (

Pancasila ) dan Undang-Undang Dasar 1945 di tahun 1945. Di dalam

salah satu sidangnya pernah terjadi diskusi mendalam terkait dengan

sumber pengambilan dasar Ketuhanan, Sunario salah seorang anggota

Panitia dan tokoh PNI ( Partai Nasional Indonesia ) menyatakan; Bung

Karno menegaskan bahwa beliau adalah salah seorang penggali

Pancasila, saya yakin benar. Moh. Hatta langsung menyambut;

mungkin saja, tetapi yang jelas Bung Karno banyak mendapat ilham,

ya . . . memang demikian halnya, misalnya saja asas Ketuhanan dari

pihak PSII ( Partai Syarikat Islam Indonesia ) yang menjadi dasar

perjuangan Partai itu89

. Maka atas fakta inilah barangkali tidak

87

Hazairin, Piagam Jakarta Demokrasi Pancasila ( Jakarta: Tintamas, 1970

), h. 58 88

Department of Religious Affairs of the Republic of Indonesia, The History

and the Role of the Department of Religious Affairs of the Republic of Indonesia (

Jakarta: Burean of Public Relation, Department of Religious Affairs, 1975 ), h. 11 89

Lihat, Moh. Hatta, Uraian Pancasila ( Jakarta: Mutiara, 1977 ), h. 76

Page 44: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

281

berlebihan jika Ahmad Syafii Maarif berpendapat bahwa penafsiran

yang menyimpang atau bertentangan dengan kepercayaan dasar Islam,

berarti perkosaan terhadap fakta sejarah. Dalam arti bahwa prinsip

Ketuhanan Yang Maha Esa hanyalah cermin dari fenomena sosiologis

masyarakat Indonesia yang religius90

. Oleh karena itu tepatlah apa

yang ditegaskan T.M. Usman El-Muhammady bahwa Pancasila ialah

filsafat kehidupan orang-orang beragama, karena sila pertama dari

Pancasila adalah ajaran dan didikan agama91

. Pandangan T.M Usman

El-Muhammady benar sesuai dengan fakta, karena para perumus

Pancasila adalah orang-orang beragama.

Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapatlah ditegaskan bahwa

prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa bersumberkan idea-idea besar para

pemimpin yang berfahaman Nasionalis Islam. Oleh karena itu penulis

tidak sependapat dengan pandangan Hery J. Benda dan J.M. Van Der

Kroef yang melihat Pancasila bersifat kejawen yang dinamik, meskipun

dari segi kajian akademik bisa diterima92

. Karena sebutan kejawen

berunsurkan sukuisme ( etnicity ), selain identik dengan tingkat

keberagamaan yang bersifat abangan ( suatu terminologi yang berupaya

mengkategorisasi umat Islam; Islam santri dan Islam abangan ),

sementara Pancasila sudah diterima sebagai dasar negara oleh seluruh

rakyat dan bangsa Indonesia, maka Pancasila sebagai ideologi lintas

suku. Selanjutnya J.M. Van Der Kroef memberi analisa yang

mengambang, yaitu; bahwa ada tiga pemikiran yang membentuk alam

pemikiran di Indonesia, ketiga ideologi inilah yang menjadi acuan dasar

dalam perumusan Pancasila. Pertama; Ideologi tradional pra Islam

yang bercampur aduk dengan mitos sosial Hinduisme. Kedua; Islam,

baik yang beraliran kaum tua, yaitu golongan dari umat Islam yang

mengacu pada tradisi dan belum menerima modernisasi alam pemikiran,

ataupun aliran kaum muda, yaitu golongan umat Islam yang sudah

menerima modernisasi dalam perjuangan. Ketiga, Liberalisme yang

90

A. Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Studi Tentang

Percaturan Dalam Konstituante ( Jakarta: LP3S, 1985 ), h. 63 91

T.M. Usman El-Muhammady, Antropologi Religi dan Pancasila ( Jakarta:

Pustaka Agus Salim, 1969 ), h. 7 - 10 92

Hery J. Benda, Continuity and Chang In Southeast ( New Haven: Yale

University, 1972 ) – Southeast Asia Studies Monograph Series No. 18, h. 180. Lihat

juga, Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia ( Jakarta: Lembaga Studi

Informasi Pembangunan LSIP, 1995 ),h. 112

Page 45: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

282

bercampur dengan ideologi Marxisme93

. Boleh jadi pandangan Van

Der Kroef sebatas berdasarkan klaim Soekarno ketika nenyatakan

bahwa dirinya salah seorang nasionalis yang tetap menganut Islam dan

tetap Marxis. Bagi Soekarno, Pancasila adalah sebagai manifestasi dari

kepribadian bangsa Indonesia, yaitu gotong royong94

.

Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa Pancasila adalah hasil

ramoan dari pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, kemudian

diproses atau diadon dengan pemikiran-pemikiran yang sudah ada

semenjak ratusan tahun ke belakang dan dasar Ketuhanan Yang Maha

Esa berasal dari para pemikir Nasionalis Islam. Soekarno, Muh.

Yamin, Soepomo, H. Agus Salim, A.Wahid Hasyim dan lain-lainnya

adalah orang-orang yang berjasa dalam merumuskan idea-idea itu

sehingga terbentuk menjadi satu rumusan yang dipergunakan sebagai

dasar dan ideologi negara Indonesia. Dalam istilah yang dikemukakan E.

Saefuddin Anshari; Pancasila Soekarno dan lima dasar Yamin adalah

sebagai pernyataan kembali empat segi marhaenisme Soekarno yang

dirumuskannya pada tahun 1933 ditambah dengan Ketuhanan yang

bersumber dari para pemikir Nasionalis Islam95

. Maka tidak ada alasan

bagi bangsa Indonesia untuk tidak menghargai dan mengenang jasa para

perumus Pancasila dan pendiri negara ( founding fathers ) Republik

Indonesia.

5. Pancasila Dalam Rumusan Piagam Jakarta

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa setelah persidangan

pertama Badan Penyelidik ( BPUPKI ) pada 1 Juni 1945 selesai dan

semua pemikiran tentang rancangan dasar negara telah diinpentarisir,

maka untuk pertama kalinya Pancasila sebagai rangcangan dasar negara

mendapatkan rumusannya yang lengkap dan sempurna pada 22 Juni

1945 dalam suatu dokumen yang ditanda tangani oleh sembilan

93

Lihat J.M. Van Der Kroef, Indonesia In Modern World ( Bandung: Masa

Baru Ltd., 1956 ) h. 199 94

Gotong royong atau kerja sama adalah tradisi budaya bangsa Indonesia

yang sesuai dengan ajaran Islam. Karena Islam mengajarkan tolong menolong antara

sesama umat dalam kebaikan. Akar budaya ini kemudian dimanifestasikan Soekarno

menjadi kerangka dasar bagi bangsa Indonesia untuk merealisasikan amanat

penderitaan rakyat. 95

E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah

Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekular Tentang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945, h. 20

Page 46: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

283

anggota Panitia khusus96

. Sembilan orang anggota Panitia khusus

tersebut, ialah; Soekarno, Moh. Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno

Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H. Agus Salim, Ahmad Soebardjo,

A. Wahid Hasyim dan Muh. Yamin97

.

Sebelum melangkah lebih lanjut ke pembahsan yang sangat vital

dalam sejarah pembentukan negara Indonesia, ada baiknya dikemukakan

sedikit tentang deskripsi latar belakang pemikiran dan agama yang

dianut oleh masing-masing sembilan tokoh pemimpin bangsa tersebut,

sehingga dapat diketahui arah pemikiran mereka, sebagai berikut;

1. Soekarno: beragama Islam, seorang nasionalis, pendiri dan

ketua Partai Nasional Indonesia 1927, kemudian ketua Partai

Indonesia 1933.

2. Mohammad Hatta: Beragama Islam, taat perintah agama,

seorang nasionalis demokrat, pengurus Perhimpunan Indonesia

di Nederland 1923, dan kemudian pengurus Pendidikan Nasional

Indonesia 1933.

3. A.A. Maramis: Beragama Kristen, seorang nasionalis.

4. Abikoesno Tjokrosoejoso: beragama Islam, seorang nasionalis,

pengurus Partai Syarikat Islam Indonesia ( PSII ).

5. Abdulkahar Muzakir: beragama Islam, seorang nasionalis Islam,

anggota Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI ).

6. Agus Salim: beragama Islam, seorang nasionalis Islam, pengurus

Syarikat Dagang Islam ( SDI ), kemudian PSII.

7. Ahmad Subardjo: beragama Islam, seorang nasionalis, kemudian

menjadi anggota MASYUMI.

8. A. Wahid Hasyim: beragama Islam, seorang nasionalis Islam,

pengurus Nahdhatul Ulama ( NU ), dan anggota MASYUMI.

9. Muh. Yamin: beragama Islam, seorang nasionalis, anggota Partai

Indonesia ( Partindo ) 1933, anggota Partai Murba, kemudian

Front Pembela Pancasila98

.

96

Lihat Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Dasar Negara dan

Sebuah Proyeksi ( Jakarta: Bulan Bintang, 1970 ), h. 15 97

Lihat Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang dasar Republik

Indonesia ( Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960 ), h. 160. Lihat juga, Soepardo et al,

Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia - Sivics ( Jakarta:: Dinas Penerbitan Balai

Pustaka, 1962 ) h. 62 98

Lihat Noor Ms. Bakry, Pancasila Yudridis Kenegaraan ( Yogyakarta:

Liberty, 1985 ), h, 212

Page 47: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

284

Panitia khusus ini telah mengadakan sidangnya yang dihadiri

juga oleh anggota-anggota Badan Penyelidik ( BPUPKI ) lain, sehingga

menjadi tiga puluh delapan ( 38 ) orang, mereka kebetulan sedang berada

di Jakarta pada 22 Juni 1945. Sidang ini dipimpin langsung oleh

Soekarno sendiri99

. Hal ini sebagaimana dilaporkan Soekarno pada

sidang lengkap ke dua Badan Penyelidik ( BPUPKI ) yang berjalan dari

10 – 17 Juli 1945; bahwa Panitia khusus ini pada tanggal 22 Juni 1945

telah mengadakan inisiatif mengadakan pertemuan dengan tiga puluh

delapan anggota Badan Penyelidik, di mana sebagian dari mereka

sedang menghadiri sidang Cuo Sangi In ( semacam sidang Parlemen ).

Oleh karena itu sidang ini seperti diutarakan Soekarno sebagai sidang

antara Panitia khusus dengan anggota-anggota Badan Penyelidik.

Sidang ini telah berhasil menghimpun semua usulan dari para anggota

Badan Penyelidik100

. Sembilan anggota Panitia khusus ini kemudian

mengadakan pertemuan untuk merumuskan rancangan dasar negara

berdasarkan pandangan-pandangan umum dari para anggota sidang.

Menurut Lembaga Soekarno–Hatta, rumusan Pancasila dari Soekarno

dijadikan bahan pembahasan101

. Hasil rumusan mereka kemudian

disetujui pada tanggal itu juga, yaitu 22 Juni 1945, dan kemudian

rancangan itu diberi nama Piagam Jakarta.

Salah satu tujuan dari pembentukan Panitia khusus adalah

untuk mencari modus operandi antara golongan Nasinalis Islam dan

golongan Nasionalis Sekular mengenai soal hubungan agama dan

negara. Persoalan ini rupa-rupanya sebagaimana dikemukakan Nugroho

sudah muncul selama persidangan pertama BPUPKI, dan bahkan

mungkin sudah terjadi sebelumnya. Walau bagaimanapun, Panitia

khusus ini telah berhasil mencapai modus dalam bentuk suatu rancangn

pembukaan hukum dasar yang kemudian disebut Piagam Jakarta.102

Dalam konteks ini Muh. Yamin menegaskan sebagai berikut;

Dalam bulan Juni 1945 itu juga, yaitu pada tanggal 22 juni

1945 dan hampir dua bulan sebelum hari Proklamasi, maka

99

Lihat Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Dasar negara dan

Sebuah Proyeksi, h. 15 100

Lihat Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 945, Jld. 1,

h. 148 101

Lihat Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang

Dasar 1945, h. 98 102

Lihat Nugroho Notosusanto, Pancasila Dasar Falsafah Negara ( Jakarta:

PT. Bina Aksara, 1983 ), h.22

Page 48: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

285

untuk menetapkan dasar dan tujuan negara serta untuk

mempersatukan aliran politik dan agama, ajaran Pancasila itu

dirumuskan dalam Piagam Jakarta yang dipergunakan untuk

mempersatukan segala aliran dan ditanda tangani di gedung

Pegangsaan Timur 56, tempat Bung Karno waktu itu berdiam (

tinggal ) oleh sembilan orang pemimpin103

.

Panitia khusus inilah yang menghasilkan rumus yang

menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan negara Indonesia

merdeka. Rumusan hasil Panitia ini, Muh. Yamin memberinya nama

Jakarta Charter atau Piagam Jakarta104

. Kemudian jika diperhatikan

pernyataan Soekarno dalam laporannya yang disampaikan pada sidang

Badan Penyelidik 10 Juli 1945, Soekarno mengakui secara jujur bahwa

tugas Panitia Sembilan ( Panitia khusus ) ini sangat berat karena

terjadi perselisihan pandangan antara golongan Nasionalis Sekular dan

golongan Nasionalis Islam. Dalam hubungan ini Soekarno

menegaskankan demikian;

Allah Subhanahu wa Ta`ala memberkati kita, sebenarnya ada

kesukaran mula-mula, antara golongan yang dinamakan Islam

dan golongan yang dinamakan golongan Kebangsaan 105

.

Mula-mula ada kesukaran mencari kecocokan faham anatara

kedua golongan itu, terutama mengenai soal agama dan negara,

tetapi . . . . . . . . . . kita sekarang sudah ada persetujuan106

.

103

Lihat Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia ( Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960 ), h. 290 104

Lihat Notonagoro, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila ( T.tp. T.

pt., 1967 ) h. 14 105

Penggunaan istilah golongan Islam dan golongan Kebangsaan

sebagaimana disampaikan Soekarno pada dasarnya mengelirukan, karena realitasnya

tidak menepati sasaran pengertian, karena Soekarno, Moh. Hatta, Muh. Yamin dan

lain-lainnya yang disebut sebagai golongan Kebangsaan adalah orang-orang Islam (

Muslim ). Demikian juga tokoh-tokoh seperti Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, A.

Wahid Hasyim dan lain-lainnya yang dikatakan sebagai golonga Islam pada saat yang

sama adalah juga orang-orang nasionalis atau kebangsaan. Titik perbedaannya

terletak pada segi kefahaman mereka terhadap ke-Islaman. Oleh karena itu penggunaan

istilah yang tepat dalam konteks ini adalah golongan Nasionalis Islam dan golongan

Nasionalis Sekular. Hal ini sebagaimana diperkuat Marwati Djoened dan Nugroho

Notosusanto dalam karyanya; Sejarah Nasional Indonesia IV, dan E. Saefuddin

Anshari dalam karyanya; Piagam Jakarta 22 Juni 1945.. 106

Lihat Muh. Yamin, Naskah Persipan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1,

hlm. 145. Lihat juga, Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (

Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1956 ), h. 33

Page 49: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

286

Berdasarkan penjelasan Soekarno di atas, dapat difahami

bahwa dalam pembahasan soal dasar negara sebagai klimaks dari

persoalan hubungan anatara agama dan negara, Panitia khusus ( Panitia

Sembilan ) pada tahap awal mengalami hambatan karena terjadi

perdebatan sengit akibat perbedaan pandangan antara para Nasionalis

Islam dan para Nasionalis Sekular, tetapi pada akhirnya mencapai

kesepakatan antara kedua golongan tersebut. Sebenarnya perdebatan

ini bukan saja terjadi di antara para anggota Panitia khusus, tetapi

terjadi juga perdebatan ketika diadakan sidang pleno dalam sesi

pandangan umum terhadap Piagam Jakarta. Perdebatan ini tentu saja

melibatkan semua anggota Badan Penyelidik ( BPUPKI ). Selanjutnya

Soekarno melaporkan hasil kerja Panitia Sebilan berupa rancangan

hukum dasar yang disebut Preambul, Mukaddimah atau

Pendahuluan. Dalam hubungan ini Soekarno menyatakan sebagai

berikut;

Panitia kecil ( Panitia Sembilan ) menyetujui rancangan

Preambul yang disusun oleh anggota-anggota yang terhormat;

Moh. Hatta, Muh. Yamin, Soebardjo, A.A. Maramis, Muzakir,

A. Wahid Hasyim, Soekarno, Abikoesno Tjokrosoejoso dan Haji

Agus Salim itu adanya. Marilah saya bacakan usul rancangan

Pembukaan itu kepada tuan-tuan107

.

Kemudian Soekarno membacakan Preambul atau Pembukaan

tersebut sebagai berikut;

PEMBUKAAN

( Preambul )

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala

bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus

dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan

perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah

sanpailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa

menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara

Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

107

Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld 1, h.

154

Page 50: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

287

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan

didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan

kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini

menyatakan kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu

Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,

maka disusunlah kemerdekaan bangsa Indonesia itu dalam suatu

Hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu

susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan

rakyat dengan berdasarkan kepada; Ketuhanan dengan

kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi

pemeluk-pemeluknya, menurut dasar Kemanusiaan yang adil

dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang

dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan /

perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial

bagi seluruh rakyat Indonesia108

.

Preambul ini menjadi Mukaddimah atau Pendahuluan

rancangan Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian dikenal dengan

sebutan Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Hal ini sebagaimana

ditegaskan Muh. Yamin sebagai berikut;

Mukaddimah ini adalah suatu Jakarta Charter, yang meliputi

dasar-dasar negara Indonesia merdeka, berisi dasar-dasar

daripada aliran-aliran yang ada di Pulau Jawa, sehingga di dalam

Jakarta Charter ini, yang kini ditulis berupa Mukaddimah

Undang-Undang Dasar itu, ada disebutkan; bahwa negara

dibentuk atas kemauan bangsa kita sendiri dan untuk

kepentingan rakyat, yang menginginkan suatu declaration of

right, atau declaration of independence dan suatu constitution

republic109

.

108

Lihat Muh. Yamin, Pembahsan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia, h. 154 109

Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia,

h. 228

Page 51: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

288

Preambul atau Piagam Jakarta ini ditanda tangani pada 22

Juni 1945 di gedung Pegangsaan Timur No. 56, tempat Bung Karno (

waktu itu ) tinggal oleh Panitia Sembilan.110

termasuk A.A. Maramis

yang beragama Kristen. Dan oleh karena Preambul ini ditanda tangani di

Jakarta, maka kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta atau

Jakarta Charter, suatu sebutan untuk pertama kalinya digunakan oleh

Muh. Yamin 111

, dan bahkan sampai saat ini di era Reformasi masih

tetap populer dengan sebutan Piagam Jakarta. Selain sebutan Piagam

Jakarta juga disebut Gentlement Agreement berdasarkan pernyataan

Muh. Yamin; Adapun yang kita persembahkan kepada rapat ini adalah

pula sebagai gentlement agreement, seperti gentlement agreement kota

Magelang yang dimaksud oleh tuan Dr. Soekiman112

.

Rumusan Pancasila yang pertama dan dalam bentuk yang

lengkap sebagaimana diungkapkan Prawoto, bahwa di dalam Piagam

Jakarta terdapat rumusan Pancasila yang pertama dan lengkap, yaitu

yang terdapat secara berturut-turut pada paragraf ke empat dari Piagam

ini113

, meskipun terdapat juga pada paragraf pertama, kedua, ketiga

tetapi tidak sistimatis114

. Pancasila yang terumuskan dalam Piagam

Jakarta ini berbunyi sebagai berikut;

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi

pemeluk-pemeluknya,

1. Kemanusiaan yang adil dan beradab,

2. Persatuan Indonesia,

3. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam

permusyawaratan / perwakilan,

4. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Demikianlah rumusan Pancasila di dalam Piagam Jakarta. Suatu

rumusan yang disusun berdasarkan hasil musyawarah Panitia Sembilan (

Panitia Khusus ); Suatu susunan yang konfrehensif dan sistematik.

110

Ibid. h. 290 111

E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah

Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekular Tentang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945 – 1959, h. 32 112

Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h.

228 113

Lihat Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar

Negara dan Sebuah Proyeksi, h. 15 - 16 114

Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesiaq,

h. 289

Page 52: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

289

6. Penerimaan Piagam Jakarta Oleh BPUPKI

Setelah Soekarno selesai membacakan laporan hasil kerja Panitia

Sembilan, kemudian diadakan sesi pembahasan ( tinjauan ) umum

terhadap Preambul yang dalam bentuknya Piagam Jakarta pada sidang

BPUPKI kedua pada 11 Juli 1945, ternyata beberapa anggota sidang ada

yang merasa keberatan terhadap tujuh anak kalimat setelah kata

Ketuhanan yang berbunyi; dengan kewajiban menjalankan Syariat

Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Beberapa anggota yang merasa

keberatan itu antaranya; Latuharhary, Wongsonegoro dan Hoesein

Djajadiningrat. Mereka mengemukakan beberapa alasan, antaranya;

1. Tujuh anak kalimat itu akan menimbulkan kekacauan terhadap

adat istidat,

2. Akan menimbulkan fanatisme, karena ini merupakan pemaksaan

untuk menjalankan Syariat bagi orang-orang Islam saja115

.

H. Agus Salim, salah seorang nasionalis Islam, langsung

menyampaikan tanggapannya kepada Latuharhary; bahwa pertikaian

hukum agama dan adat bukan masalah baru, dan pada umumnya sudah

selesai. Selain itu orang-orang yang beragama lain selain Islam tidak

perlu khawatir, keamanan mereka tidak tergantung pada kekuasaan

negara, tetapi pada adatnya umat Islam yang 90% itu116

. Pada

kesempatan yang sama K.H. A. Wahid Hasyim, salah seorang nasionalis

Islam memberikan jawaban kepada Wongsonegoro dan Hoesein

Djajadiningrat sambil mengingatkan para anggota sidang tentang asas

permusyawaratan . . . . . bahwa paksaan-paksaan tidak terjadi. Bila ada

orang yang menganggap tujuh anak kalimat itu sebagai sesuatu yang

tajam ( yang rinci ), ada juga yang menganggap kurang tajam117

.

Dalam rangka mempertahankan Piagam Jakarta ( Preambul ),

Soekarno sebagai ketua Panitia Sembilan mengingatkan para anggota

sidang, bahwa Piagam Jakarta itu hasil jerih payah para tokoh golongan

Islam dan golongan Kebangsaan ( golongan Nasionalis Islam dan

golongan Nasionalis Sekular ), kalau kalimat ini ( tujuh anak kalimat )

115

Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h.

259 116

Ibid. h. 259 117

Lihat Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,

Jld.1, h. 259

Page 53: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

290

tidak dimasukkan, tentu saja tidak diterima oleh para tokoh Islam118

.

Pada saat yang sama Soekarno mengulangi pernyataannya dengan nada

keras; bahwa anak kalimat itu merupakan hasil kompromi antara

golongan Islam dan golongan Kebangsaan yang hanya didapat dengan

susah payah.119

Karena itu Piagam Jakarta harus diposisikan sebagai alat

pemersatu di antara berbagai aliran pemikiran yang ada pada saat itu.

Dalam konteks ini Soekarno menegaskan sebagai berikut;

Di dalam Preambul ( Piagam Jakarta ) itu ternyatalah, seperti

yang saya katakan tempo hari, segenap pokok-pokok pikiran

yang mengisi dada sebagian besar dari anggota-anggota

Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai, masuk di dalamnya Ketuhanan,

dan terutama sekali kewajiban umat Islam untuk menjalankan

Syariat Islam, masuk di dalamnya; kebulatan nasionalisme

Indonesia. Persatuan bangsa Indonesia masuk ke dalamnya;

kemanusiaan atau Indonesia merdeka di dalamnya susunan

peri-kemanusiaan dunia masuk di dalamnya; keadilan sosial,

sociale rechtvaardigheid masuk di dalamnya, maka oleh karena

itu Panitia Sembilan berkeyakinan, bahwa inilah Preambul (

Piagam Jakarta ) yang bisa menghubungkan, mempersatukan

segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritsu

Zyumbi Tyoosakai120

.

Berdasarkan penjelasan Soekarno di atas, dapat difahami bahwa

Preambul ( Piagam Jakarta ) yang telah disepakati bersama oleh para

anggota Panitia Sembilan adalah yang terbaik, karena dapat

mempersatukan berbagai aliran pemikiran yang berbeda. Realitasnya

pada tahap ini demikian, meskipun terjadi perdebatan-perdebatan yang

panas tetapi semuanya tetap berpijak pada prinsip persatuan.

Pada tahap ini Soekarno memperlihatkan sikap ketegasannya

dalam mempertahankan Piagam Jakarta. Sebagai ketua Panitia

Sembilan, Soekarno memperlihatkan keteguhan komitmennya terhadap

apa yang sudah menjadi kesepakatan bersama, maka tidak heran jika

Soekarno mempertahankan Piagam Jakarta dengan gigih. Sidang

BPUPKI 11 Juli 1945 berakhir dengan penyampaian kesimpulan

Soekarno dan oleh karena tidak ada yang menolak, maka pokok-pokok

pemikiran yang terkandung di dalam Preambul ( Piagam Jakarta )

118

Ibid. h. 254 119

Ibid., h. 259 120

Ibid. h. 154 - 155

Page 54: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

291

dianggap sudah diterima121

. Dengan demikian, Preambul yang dalam

bentuknya Piagam Jakarta telah diterima secara sah dari sisi hukum

oleh Badan Penyelidik ( BPUPKI ), dan sebagaimana ditegaskan Muh.

Yamin; bahwa pada 11 Juli 1945 Panitia Perancang Undang-Undang

Dasar dengan bulat suara telah menyetujui isi Preambul ( Piagam Jakarta

), Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang juga dipimpin oleh

Bung Karno dengan anggota-anggotanya sejumlah sembilan belas

orang, semua persoalan Undang-Undang Dasar diserahkan kepada

mereka, termasuk soal Preambul122

.

Kemudian dalam rangka memperlancar penunyusunan rumusan

Undang-Undang Dasar123

, panitia perancang Undang-Undang Dasar

yang berjumlah sembilan belas orang itu diperkecil lagi menjadi tujuh

orang saja124

. Panitia Perancang Undang-Undang Dasar mulai bekerja

pada 12 Juli 1945125

. Pada 14 Juli 1945 dalam sidang Badan Penyelidik

( BPUPKI ), Soekarno sebagai ketua panitia perancang Undang-Undang

Dasar melaporkan kepada sidang mengenai tiga rancangan yang telah

dihasilkan, yaitu;

1. Pernyataan Indonesia merdeka,

2. Preambul yang dalam bentuknya Piagam Jakarta,

3. Undang-Undang Dasar itu sendirir yang terdiri dari 42 Pasal126

.

Setelah dilakukan pembahasan, terutama terhadap tujuh anak

kalimat; dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi

pemeluk-pemeluknya setelah kata Ketuhanan yang terdapat pada Pasal

121

Lihat Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,

Jld. 1, h. 529 122

Ibid. h. 250 - 251 123

Dalam konteks ini, penulis tidak bermaksud membicarakan isi rancangan

Undang-Undang Dasar secara keseluruhan, karena pembicaraannya memerlukan

pembahasaanya tersendiri, tetapi sekedar untuk membuktikan bahwa penyusunan

rancangan Undang-Undang Dasar juga bersumber pasa Preambul yang dalam

bentuknya Piagam Jakarta. Terbukti bahwa di dalam rancangan Undang-Undang Dasar

disebutkan ; Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi

pemeluk-pemeliuknya. 124

Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h.

260 125

Lihat B.J. Boland, The Struggle of Islam In Indonesia ( The Hague;

Martinus Nijhoff, 1971 ), h. 29 126

Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h.

273 –276,. Lihat juga, E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945. . . . . . . h.

37

Page 55: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

292

29 ayat 1 dari rancangan Undang-Undang Dasar, pada akhirnya sidang

lengkap Badan Penyelidik ( BPUPKI ) menerima rancangan

Undang-Undang Dasar yang disesuaikan dengan Piagam Jakarta pada 16

Juli 1945. Dalam konteks ini Soekarno sebagai ketua panitia perancang

Undang-Undang Dasar menyetakan sebagai berikut;

Saya minta dengan rasa menangis supaya sukalah

saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan

bangsa kita . . . . . . saya harap, Paduka tuan yang mulia suka

mengupayakan supaya sedapat mungkin dengan lekas mendapat

persetujuan yang sebulat-bulatnya dari segenap sidang untuk apa

yang saya usulkan tadi127

.

Ketika tidak ada lagi persoalan-persoalan yang muncul dalam

sidang, maka K.R.T. Rajiman sebagai ketua umum Badan Penyelidik

( BPUPKI ) menutup persidangan dengan ucapan yang terakhir; . . . . .

Jadi rancangan ini sudah diterima semuanya. Jadi, saya ulangi . . . . . .

Undang-Undang Dasar ini kita terima dengan sebulat-bulatnya.

Pernyataan terakhir tersebut diterima dengan suara bulat dan disambut

dengan tepuk tangan riuh128

. Hari terakhir, yaitu 17 Juli 1945 hanya

acara penutupan sidang Badan Penyelidik secara resmi129

.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas tentang Pancasila di

dalam Piagam Jakarta, maka dapat ditegaskan bahwa sidang BPUPKI

ke-2 ( dua ) yang berlangsung dari 10 – 16 Juli 1945 berakhir

dengan keputusan secara bulat menerima Preambul ( Piagam Jakarta )

dan kemudian diikuti dengan pengesahan rancangan Undang-Undang

Dasar menjadi Undang-Undang Dasar yang mengacu pada Piagam

Jakarta.

7. Kearifan Keputusan Penerimaan Piagam Jakarta

Keputusan menerima Piagam Jakarta adalah keputusan yang

sangat bijak dan arif, yang akan menjadi alat pemersatu, terutama di

anatara dua aliran pemikiran berlawanan yang dominan pada saat itu,

yaitu aliran pemikiran Nasionalis Sekular dan aliran pemikiran

Nasionalis Islam. Dalam hubungan ini Muh. Yamin menegaskan;

127

Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h.

393 128

Ibid. h. 398 129

Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar

1945, h. 40

Page 56: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

293

Piagam Jakarta itu dilihat sebagai modus operandi antara golongan Islam

dan Nasionalis130

. Para tokoh yang terpilih dalam Panitia Sembilan

sebagaimana ditegaskan E. Saefuddin Anshari, adalah para penanda

tangan Piagam yang sungguh-sungguh representatif, mencerminkan

alam dan aliran pemikiran yang hidup dalam masyarakat

Indonesia131

. Deliar Noer memperkuat pandangan Muh. Yamin dan E.

Saefuddin Anshari dengan pernyataannya; bahwa sembilan orang

pemimpin itu, masing-masing dianggap mewakili golongan

Kebangsan, Islam dan Kristen 132

.

Dengan disahkannya Preambul ( Piagam Jakarta ) oleh BPUPKI

berarti sebagai awal fondasi pembangunan Indonesia ke depan. Dalam

hal ini E. Saefuddin Anshari menegaskan; bahwa Piagam Jakarta adalah

hasil akhir dari perjuangan panjang untuk kemerdekaan dan dalam

waktu yang sama ia juga merupakan titik tolak ( starting poin )

pembangunan Indonesia pada masa akan datang133

. Pandangan ini

harus dimunculkan karena dengan ditanda tanganinya Piagam Jakarta

oleh sembilang Orang anggota Panitia khusus ( Pansus ) berarti babak

baru dimulainya pembangunan Indonesia dengan berdasar pada

persatuan dan kebersamaan. Persatuan merupakan prasyarat untuk

tercapainya pembangunan di semua sektor kehidupan. Atas dasar

inilah kiranya patut dihargai pandangan Muh. Yamin; bahwa untuk

menetapkan tujuan negara serta untuk mempersatukan aliran politik

dan agama, ajaran Pancasila dirumuskan dalam Piagam Jakarta yang

dipergunakan untuk mempersatukan semua aliran134

. Pernyataan Muh.

Yamin di atas, bisa difahami bahwa Piagam Jakarta sebagai manifestasi

dari perjanjian ( the treaty ) untuk persatuan di anatara semua aliran

pemikiran yang ada. Ini artinya bahwa Piagam Jakarta sebagai suatu

kompromi yang dipegang bersama oleh pihak Nasionalis Islam dan

pihak Nasionalis Sekular135

. Hal ini tepat dengan pandangan Anwar

130

Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h.

153 131

E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 . . . . hlm. 47 132

Lihat Deliar Noer, Administrasi Islam Di Indonesia ( Jakarta: CV.

Rajawali, 1983 ), h. 47 133

E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 . . . . . h. 47 134

Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h.

290 135

Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Udang Dasar 1945, Jld. 1, h.

279

Page 57: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

294

Harjono; bahwa Piagam Jakarta dalam sejarah kita telah menduduki

posisi yang tinggi dari pada sekedar soal yuridis formal136

. Piagam

Jakarta sudah menyangkut sendi-sendi moralitas bangsa, maka Piagam

Jakarta yang mengandung rumusan Pancasila yang lengkap itu

sungguh sangat mendalam, berakar, mendarah daging dan bahkan

menjiwai, mewarnai setiap perjuangan, terutama perjuangan umat

muslim Indonesia. Oleh karena itu Piagam Jakarta yang mengandung

dasar-dasar Indonesia merdeka dan berisi dasar-dasar yang dapat

mempersatukan berbagai aliran yang berbeda, pastinya harus dijadikan

acuan dalam rangka merumuskan kebijakan-kebijakan publik di

kemudian hari. Hal ini sebagaimana dibuktikan oleh Soekarno ketika

menghadapi krisis politik tahun 1959, yaitu dengan mendeklarasikan

Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit Presiden mengandung pernyataan;

bahwa Piagam Jakarta sebagai yang menjiwai Undang-Undang Dasar

1945, dan sebagai rangkaian dengan konstitusi tersebut. Dalam

konteks ini Muh. Yamin menyatakan;

Pernah ajaran itu ( Pancasila ) dirumuskan dalam Piagam Jakarta

bertanggal 22 Juni 1945, yang seperti kata Dekrit Presiden /

Panglima Tertinggi tanggal 5 Juli 1959; yang menjiwai

Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu

rangkaian dengan konstitusi tersebut, atau menurut salinan dalam

bahasa Inggris; That we have the conviction that the Jakarta

Charter dated 22 Jun 1945 gave an inspiration to 1945

constitution an is linked in unity with that constitution137

.

Piagam Jakarta sebagaimana ditegaskan Pemerintah Republik

Indonesia pada tahun 1959 tersebut memberi arti bahwa kedudukannya

dipandang begitu asas, sehingga dikatakan sebagai yang menjiwai

Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu secara logika,

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi dasar negara Indonesia

adalah sebagai manifestasi dari Piagam Jakarta itu. Oleh karenanya

rumusan Undang-Undang Dasar 1945 dibuat tidak bertentangan dengan

Piagam Jakarta138

.

136

Anwar Harjono, Indonesia Kita, Pemikiran Berwawasan Iman – Islam (

Jakarta: Gema Insani, 1995 ), h. 144 - 145 137

Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. h.

289 138

Undang-Undang Dasar 1945 yang dimaksud di sini ialah Undang-Undang

Dasar 1945 dalam bentuknya yang asli sebelum dilakukan perubahan atau

amandemen, seperti yang terjadi pada sidang PPKI atau di era Reformasi.

Page 58: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

295

Dari sisi lain, jika dilihat dari aspek nama, maka Piagam Jakarta

adalah sebuah nama dari naskah tertulis hasil kesepakatan bersama (

konsnsus ) antara para anggota Panitia Sembilan. Ini berarti bahwa

kesepakatan dan kebersamaan telah tercapai. Oleh karena itu, Soekiman;

salah seorang anggota Badan Penyelidik ( BPUPKI ) memberinya nama

Gentlemen`s Agreement, yang berarti suatu kesepakatan bersama

antara semua pihak berdasarkan saling hormat menghaormati, meskipun

sempat terjadi perbedaan pandangan dan pemikiran. Sehubungan ini

Soekarno menyatakan sebagai berikut;

Jadi, Panitia memegang teguh kompromi yang dinamakan

anggota yang terhormat; Muh. Yamin, The Jakarta Charter,

yang disertai perkataan ( pernyataan ) anggota yang terhormat;

Soekiman, Gentlemen`s Agreement, supaya ini dipegang teguh

antara pihak Islam dan pihak kebangsaan139

.

Dalam konteks ini selanjutnya penulis ingin menegaskan bahwa

setidaknya telah terjadi dua kali kejadian yang sangat penting terkait

dengan upaya strukturisasi ketata negaraan Republik Indonesia dalam

dekade 1945-1959, di mana Piagam Jakarta diposisikan sebagai alat (

instrumen ) pemersatu; Pertama. Terjadi persatuan di kalangan para

anggota Badan Penyelidik ( BPUPKI ), meskipun dalam hal ini diakui

Piagam Jakarta tidak bertahan lama karena terjadi perubahan mendasar

pada sidang PPKI 18 Agustus 1945. Kedua. Terjadi persatuan (

meskipun ini terjadi 14 tahun kemudian dari tahun 1945 ) di kalangan

Badan Konstituante ( Suatu Badan yang diberi mandat untuk

merumuskan kembali Undang-Undang Dasar ) setelah sebelumnya

terjadi perdebatan sengit di anatara aliran Nasionalis Sekular, Nasinalis

Islam dan aliran yang berfaham Komunisme tentang dasar negara.

Persidangan Badan Konstituante menemui jalan buntu, hal ini yang

memeaksa Presiden Soekarno kemudian mengambil langkah strategis

dalam rangka terciptanya kesatuan dan kestabilan politik, yaitu

keputusan kembali pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

disertai dengan memasukan Piagam Jakarta. Hal ini sebagaimana

termaktub di dalam Dekrit Presiden 1959 sebagai dokumen resmi

negara. Kebijakan ini ternyata menyadarkan semua pihak yang

berbeda pandangan untuk bersatu kembali dalam kesatuan Republik

Indonesia. Tetapi aneh sekali di era Reformasi, dan bahkan di era

139

Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h.

279

Page 59: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

296

Rezim Orde Baru, banyak orang alergi ketika mendengar Piagam

Jakarta. Piagam Jakarta sudah disalah artikan sebagai sesuatu yang

identik dengan implementasi Syariat Islam, padahal sebenarnya tidak

begitu. Sebagai bangsa yang beradab dan telah menerima Demokrasi

sebagai sistem pemerintahan sepatutnya kita ( terutama para elite politisi

muslim ) tidak bersikap pak turut ( ikut-ikutan ), kita harusnya bersikap

arif, objektif dan jujur, karena Piagan Jakarta pernah disahkan oleh

suatu Lembaga tertinggi; BPUPKI, pada saat menjelang Indonesia

merdeka.

Demikianlah kedudukan Piagam Jakarta sebagai sesuatu yang

dapat mempersatukan berbagai aliran yang berbeda. Oleh karena itu,

dalam dinamika perpolitikan nasional ketika dikemudian hari terjadi

penghapusan ( pencoretan ), terutama pada tujuh anak kalimat; dengan

kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan

imbasnya terjadi penghapusan pula pada beberapa kata dalam

Undang-Undang Dasar 1945, sebenarnya menjadi sumber ketidak

puasan, terutama bagi para tokoh Islam, baik sebagai anggota Badan

Penyelidik, atau yang berada di masyarakat. Tapi dengan semangat

persatuan, para tokoh Islam sangat toleran demi tercapainya Indonesia

merdeka dan dimulainya pembangunan, maka penghapusan beberpa

kata tersebut disikapi dengan sikap positif dan lapang dada.

8. Revisi Pancasila Dalam Piagam Jakarta

Pancasila yang terkandung di dalam Piagam Jakarta dan telah

diterima oleh Badan Penyelidik ( BPUPKI ) dalam sidangnya yang

kedua, rupanya belum tuntas, masih belum baku, sehingga terpaksa

harus dilakukan tinjauan ulang. Hasilnya terjadi perubahan yang

sangat mendasar terhadap sila pertama Pancasila. Ini terjadi

disebabkan oleh beberapa hal teknis yang dianggap oleh sebagian pihak

sebagai sesuatu yang mengganjal, dan ini nampak jelas bagaimana

ketika terjadi debat yang cukup panas pada sidang BPUPKI kedua.

Sesuatu yang dianggap mengganjal itu ialah adanya beberapa

kalimat, yang menurut sebagian anggota Badan Penyelidik, terlalu

memberi perhatian khusus kepada umat Islam, sehingga masyarakat

non muslim merasakan ada diskriminasi, meskipun hal ini sudah diberi

penjelasan secukupnya oleh para tokoh Nasionalis Islam, antaranya K.H.

Agus Salim, K.H. A. Wahid Hasyim dan lain-lainnya. Tetapi tetap saja

hal tersebut masih dianggap mengganjal.

Page 60: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

297

Dalam konteks ini, persoalan sebenarnya terletak di tangan

Soekarno dan Moh. Hatta, karena keduanya sebagai tokoh yang

berpengaruh tentu saja dapat memainkan perananya untuk menentukan

arah mana yang akan dituju. Dalam arti bahwa jika Soekarno dan Moh.

Hatta memang setuju dengan Piagam Jakarta sebagaimana yang sudah

menjadi kesepakatan bersama, tentu tidak akan membuka ruang untuk

upaya penghapusan beberapa kalimat dalam Piagam Jakarta.

Kontroversi meruncing di sekitar Piagam Jakarta sejak semula memang

sudah dirasakan. Namun demikian, karena kebesaran pengorbanan dan

toleransi para tokoh Nasionalis Islam sangat tinggi, demi wujudnya

kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia seluruhnya, maka

permasalahan yang rumit itu akhirnya dapat diselesaikan bersama

dengan penuh kesadaran dan husnu zan ( prasangka baik ).

Pancasila yang disahkan penggunaannya semenjak Indonesia

merdeka hingga hari ini adalah rumusan Pancasila yang dihapuskan

tujuh anak kalimatnya pada sila pertama, yaitu; dengan kewajiban

menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan sebagai

penggantinya kalimat; Yang Maha Esa. Jadi sila pertama Pancasila

yang pada mulanya berbunyi; Ketuhanan dengan kewajiban

menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menjadi;

Ketuhanan Yang Maha Esa140

. Secara sistematik rumusan Pancasila

yang diberlakukan sampai sekarang, ialah;

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam

permusyawaratan / perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Inilah rumusan Pancasila yang diberlakukan sebagai dasar dan

filsafat negara Republik Indonesia hingga hari ini. Dalam konteks ini

Prawoto menyebut rumusan Pancasila tersebut sebagai rumus Pancasila

ke-2141

. Sehubungan dengan ini Nugroho Notosusanto menegaskan

140

Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h.

400 - 410 141

Pembahasan tentang rumus-rumus Pancasila dari rumus 1 hingga rumus

IV dan bahkan rumus V, pembaca dapat merujuk karya Noor Ms. Bakry;

Pancasila Yuridis Kenegaraan, tahun terbit 1985, hlm. 40 – 41, dan rujuk pula karya

Prawoto Mangkusasmito yang berjudul; Pertumbuhan Historis Dasar Negara dan

Sebuah Proyeksi, h. 12

Page 61: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

298

bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan itu ialah

konsep yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan . . . . yang kemudian

dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Konsep ini diterima dengan

suatu perubahan penting, yakni sila pertama dari dasar negara yang

tercamtum di dalam Pembukaan itu, yang pada awalnya berbunyi;

Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bangi

pemeluk-pemeluknya, dirubah menjadi; Ketuhanan Yang Maha Esa 142

.

Dengan demikian, berdasarkan pembahasan-pembahasan di atas

tentang pertumbuhan dan perkembangan Pancasila, dapat ditegaskan

di sini bahwa proses perkembangan rumus Pancasila telah mengalami

beberapa tahap perkembangan. Setidaknya ada tiga tahap

perkembangan, sebagai berikut;

1. Tahap sebagai konsep, rancangan atau gagasan yang

disampaikan secara individu oleh ketiga tokoh nasional; Muh.

Yamin, Soepomo dan Soekarno.

2. Tahap rumusan yang lengkap sebagai hasil rumusan secara

kolektif, yaitu; rumusan Pancasila yang terkandung di dalam

Piagam Jakarta.

3. Tahap perubahan, yaitu tahap penghapusan tujuh anak kalimat

dari sila pertama Pancasila.

Suatu hal yang perlu mendapatkan perhatian di sini, ialah terkait

dengan penghapusan tujuh anak kalimat dari sila pertama Pancasila.

Terjadinya penghapusan itu nampaknya sebagai kelanjutan dari

sidang-sidang BPUPKI sebelumnya, rupanya yang dianggap prinsip

masih belum selesai, dan oleh sebagian kalangan dinilai bahwa

penghapusan itu sangat mengejutkan. Padahal rumus Pancasila yang

terkandung di dalam Piagam Jakarta itu telah menjadi alat pemersatu

atau perekat, makanya Piagam Jakarta disebut gentlement agreement.

Tetapi tiba-tiba saja tujuh anak kalimat itu dihapuskan,143

yang

menurut Prawoto sebagai essensi Piagam Jakarta144

. Piagam Jakarta

yang diperdapat dengan susah melalui memeras otak dan tenaga

142

Nugroho Notosusanto, Proses Pertumbuhan Pancasila Dasar Negar (

Jakarta: PN Balai Pustaka, 1981 ), h. 23 143

Penghapusan itu bukan saja terjadi pada tujuh anak kalimat dari sila

pertama Pancasila yang terkandung di dalam Piagam Jakarta, tetapi penghapusan itu

terjadi juga pada beberapa kalimat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 144

Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara

dan Sebuah Proyeksi, h. 18

Page 62: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

299

berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa kita, kemudian

dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ) pada

18 Agustus 1945 dalam beberapa menit saja dapat dirubah. Pasti di balik

ini semua ada kekuatan yang mendorong terjadimya perubahan yang

sangat mengejutkan.

9. Latar Belakang Perubahan Pancasila Jika kita mau mereview ke belakang tentang alam pemikiran

yang dominan dalam sejarah pergerakan nasional sebelum

terbentuknya Badadan Penyelidik ( BPUPKI ), secara umum setidaknya

ada dua kekuatan pemikiran, sehingga hal ini berimplikasi pada

pembentukan corak cita-cita kemerdekaan Indonesia. Dua kekuatan itu,

Pertama; alam pemikiran yang direpresentasikan oleh para tokoh

Nasionalis Sekular dan, Kedua; alam pemikiran yang direpresentasikan

oleh para tokoh Nasionalis Islam. Kedua-dua corak pemikiran ini

berkembang pada saat bersamaan, dan keduanya terdapat titik temu

disamping ada perbedaan mendasar. Titik temu di antara keduanya

adalah karena keduanya sama-sama ingin merealisasikan cita-cita

kemerdekaan Indonesia dari belenggu penjajah asing ( terutama Belanda

waktu itu ). Perbedaannya terletak pada dasar ideologi masing-masing

yang tidak dapat dipertemukan, di mana aliran pemikiran Nasionalis

Sekular menginginkan Indonesia merdeka agar didasarkan pada asas

kebangsaan yang bebas dari ikatan agama manapun dalam berbangsa

dan bernegara145

, meskipun negara tetap mengakui eksistensi

agama-agama yang ada. Pada umumnya mereka-mereka itu lebih

pragmatis146

. Sementara aliran pemikiran para tokoh Nasionalis

Islam menghendaki supaya Indonesia merdeka diasaskan pada Islam,

mengingat jumlah penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam,

selain fenomena berdirinya beberapa Kesultanan Islam ( Kerajaan

bercorak budaya Islam ), seperti; Kesultanan Samudera Pasai (

145

Hal ini dapat pembaca merujuk pada buku; Pemikiran Soekarno Tentang

Islam dan Unsur-Unsur Pembaharuannya, tulisan Muhammad Ridwan Lubis. Dalam

karyanya ini, Ridwan Lubis ( 1992:131 ) menyatakan bahwa Soekarno banyak

dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, antaranya, pemikiran

Mustafa Kemal Attaturk yang berhasil mengubah sistem pemerintahan yang

berdasarkan Khilafah ke bentuk Negara Republik Turkey Demokrasi Sekular. 146

Orang-orang pragmatis dalam berpolitik adalah mereka yang mudah

menyesuaikan diri dengan tuntutan situasi dan kondisi di mana program dan

aktivitasnya tidak terlalu terikat kaku pada suatu doktrin atau ideologi tertentu.

Page 63: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

300

diperkirakan beridiri pada abad 13 M. ), Kesultanan Demak, Kerajaan

Mataram II, Kerajaan Makasar, Kerajaan Ternate, Tidore, dan

lain-lain yang kesemuanya itu sebagai bukti sejarah wujudnya

perpolitikan Islam di masa lalu, dan dengan sendirinya, menurut

mereka, Syariat Islam dapat diberlakukan kepada rakyat Indonesia yang

beragama Islam. Realitasnya keinginan ini baru berhasil sebatas dalam

rumusan Piagam Jakarta, tidak sampai ke tataran implementasi

praktis secara menyeluruh. Di dalam perkembangan ketata negaraan

Indonesia selanjutnya keinginan ini tidak kesampaian147

, karena

terjadi perubahan atau penghapusan terhadap beberapa kalimat di dalam

Piagam Jakarta.

Dalam konteks ini Moh. Hatta menegaskan; Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ) yang bersidang sesudah proklamasi

kemerdekaan148

, menjadikan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan (

Pendahuluan ) Undang-Undang Dasar 1945 dengan menghapus bagian

kalimat; dengan kewajiban menjalakan Syariat Islam bagi

pemeluk-pemeluknya149

. Selanjutnya Moh. Hatta menyampaikan

alasannya, yaitu ada keberatan dari pihak non muslim ( pihak yang

tidak beragama Islam ). Menurut mereka; tidak tepat di dalam suatu

pernyataan pokok yang menyangkut ( mengatur ) seluruh bangsa

Indonesia ditempatkan suatu penempatan kalimat yang hanya mengenai

sebagian saja dari rakyat Indonesia sekalipun itu mayoritas. Hatta

selanjutnya menyatakan; Untuk memelihara persatuan dan kesatuan

seluruh wilayah Indonesia, dikeluarkanlah ( dihapus ) bagian kalimat;

dengan kewajiban menjalakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya

dari Pembukaan Undang-Undang Dasar150

.

Terkait dengan kenapa penghapusan tujuh anak kalimat itu

terjadi. Hal ini sebagaimana dituturkan Moh. Hatta di dalam bukunya;

Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hatta

menceritakan peristiwa ancaman kepadanya yang terjadi pada sore hari

147

Di dalam sejarah perkembangan dasar negara Indonesia di kemudian hari,

yaitu di tahun 1959, Piagam Jakarta ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Dokumen

Historis yang menjiwai penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjadi bagian

dari Konstitusi tersebut. 148

Indonesia diproklamasikan pada jam 10 pagi tanggal 17 Agustus 1945 di

Jakarta oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. 149

Moh. Hatta. Uraian Pancasila ( Jakarta: Mutiara, 1977 ), h. 11 150

Ibid.

Page 64: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

301

17 Agustus 1945, bahwa pada waktu itu Hatta kedatangan seorang

Opsir Kaigun ( Angkatan Laut Jepang ) yang mengaku sebagai utusan

Indonesia bagian Timur. Tamu itu datang membawa pesan penting yang

harus segera disampaikan kepada Hatta. Karena pesan tersebut

dikatakan sangat penting, Hatta pun bersedia menerima tamu tersebut.

Opsir Kaigun itu menyatakan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik

di wilayah Kaigun merasa keberatan terhadap kalimat dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar yang berbunyi; Ketuhanan dengan kewajiban

menjalankan Syarit Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Mereka

sebenarnya menyadari bahwa kalimat tersebut tidak mengikat mereka

dan hanya mengikat sebagian rakyat Indonesia yang beragama Islam,

namun begitu mereka memandangnya segabai sesuatu yang

diskriminatif terhadap mereka golongan minoritas. Hatta memberi

jawaban kepada Opsir tersebut,151

bahwa hal tersebut bukan

diskriminasi, sebab penetapan tujuh anak kalimat hanya menyangkut

rakyat yang beragama Islam saja. Selain dari itu ketika Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan, Mr. A.A. Maramis ( salah

seorang panitia sembilan yang beragama Kristen ) tidak merasa

keberatan dan pada tanggal 22 Juni 1945 beliau turut pula menanda

tanganinya. Opsir Jepang tersebut kemudian menyatakan; bahwa pada

waktu itu A.A. Maramis memang tidak merasa ada diskriminasi

dengan penetapan tujuh anak kalimat itu, tetapi kalau Pambukaan

Undang-Undang Dasar 1945 itu diteruskan juga apa adanya, golongan

Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik. Opsir Jepang

tersebut yang ( katanya ) sungguh-sungguh menyenagi Indonesia

merdeka, mengingatkan Hatta tentang semboyan yang selama itu

didengun-dengunkan; bersatu kita teguh, bercerai kita jatuh152

.

Ucapan Opsir Kaigun itu rupanya berpengaruh pada pendirian

Hatta. Kemudian menurut pengakuan Hatta; terbayang gambaran

bahwa perjuangannya yang lebih dari dua puluh lima tahun dengan

melalui penjara dan pembuangan untuk mencapai Indonesia merdeka

151

E. Saefuddin Anshari di dalam karyanya ( Piagam Jakarta 22 Juni 1945

dan Sejarah Konsensus Nasional . . . . h. 55 ), mencatat; bahwa nama Opsir Jepang

itu tidak diingat oleh Moh. Hatta. Kalau hal ini benar, adalah merupakan sesuatu yang

naïf, seharusnya tidak terjadi pada Hatta yang dikenal sebagai orang yang ketat

disiplin. Maka jika hal ini demikian, itu tentu saja memunculkan berbagai pertanyaan

dan spekulatif. 152

Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 ( Jakarta: Tintamas, 1969

), h. 57 - 59

Page 65: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

302

bersatu dan tidak terpecah-pecah, apakah Indonesia yang baru dibentuk

akan pecah lagi dan mungkin dijajah kembali karena suatu hal yang

sebenarnya bisa diselesaikan. Jika Indonesia pecah, pasti daerah di luar

jawa dan Sumatera akan dikuasai lagi oleh Belanda dengan menjalankan

politik memecah belah dan menguasai153

.

Setelah terdiam beberapa menit, Moh. Hatta kemudian

menegaskan kepada Opsir Kaigun Jepang; besok hari dalam sidang

PPKI akan saya samapikan masalah yang sangat penting itu. Saya

minta kepada Opsir Jepang bersabar dan termasuk

pemimpin-pemimpin Kristen yang berhati panas agar mereka jangan

terpengaruh oleh propaganda Belanda. Mengingat betapa seriusnya

persoalan ini, keesokan harinya pada 18 Agustus 1945 sebelum sidang

PPKI dimulai, Bung Hatta mengundang empat tokoh Islam; Ki Bagus

Hadikusumo, K.H. A. Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo dan Teuku

Moh. Hasan ( dari Sumatera ), mengadakan dialog ( lobby )

membicarakan masalah itu, supaya tidak terjadi perpecahan sebagai

bangsa154

. Berlima dengan Bung Hatta, tokoh-tokoh Islam tersebut

mencapai kesepakatan untuk menghapus beberapa kalimat dalam

Piagam Jakarta, yaitu; dengan kewajiban menjalankan Sysriat Islam

bagi pemeluk-pemeluknya dan menggantinya dengan; Ketuhanan Yang

Maha Esa. Setelah kesepakatan dicapai, Bung Hatta kemudian

menegaskan bahwa pemimpin-pemimpin tersebut benar-benar

mementingkan nasib dan persatuan.155

Oleh karena itu, tidak

berlebihan jika Alamsyah Ratu Perwiranegara ( Menteri Agama RI di

tahun 1980-an ) menegaskan bahwa tanpa bantuan dan pengorbanan

umat Islam, Pancasila tidak akan ada di Indonesia. Umat Islam telah

memberikan hadiah dan pengorbanan terbesar untuk kemerdekaan

Republik Indonesia dan hidupnya Pancasila.156

Hatta selanjutnya

menegaskan bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan

menghapus perkataan; dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam

bagi pemeluk-pemeluknya dan menggantinya dengan; Ketuhanan Yang

153

Kohar Hari Sumarno, Manusia Indonesia ManusiaPancasila ( Jakarta:

Galia Indonesia, 1405 H. / 1984 ), h. 60. Lihat juga E. Saefuddin Anshari, Piagam

Jakarta: 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsnsus Nasional Antara Nasionalis Islam dan

Nasionalis Sekular Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 – 1959, h. 55 154

Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, h. 58 - 59 155

Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, h. 59 156

Lihat Majalah Kiblat No. 23. tahun 1980, h. 8 - 9

Page 66: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

303

Maha Esa157

. Perubahan yang disetujui oleh lima tokoh itu kemudian

disahkan oleh sidang lengkap PPKI.

Berdasarkan penjelasan Moh. Hatta di atas terkait dengan

latarbelakang penghapusan ( pencoretan ) bagian kalimat dari Piagam

Jakarta, dapat dimengerti bahwa yang terlibat secara langsung dalam

lobby itu lima orang tokoh. Tetapi menurut catatan Sajuti Melik ( salah

seorang anggota PPKI ) dan catatan Teuku Moh. Hasan ( juga anggota

PPKI ) sebagaimana dikutip Prawoto; bahwa yang melakukan lobby itu

tiga orang saja; Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Moh. Hasan dan Moh.

Hatta158

. Jadi, bukan lima orang, sebab K.H.A. Wahid Hasyim waktu

itu tidak ada karena beliau masih dalam perjalanan dari Jawa Timur ( ke

Jakarta ), sementara Kasman Singodimedjo sebagai anggota tambahan

yang baru mendapat undangan sidang pada pagi itu, tutur Prawoto,

beliau ( Kasman ) belum mengetahui sama sekali persoalannya. Jika

demikian kondisinya, berarti ada dua sumber yang berlainan. Pertama;

sumber dari Moh. Hatta, dan Kedua; dari Sajuti Melik dan Teuku Moh.

Hasan. Sumber yang mendekati kebenaran menurut penulis adalah

sumber pertama, karena penghapusan tujuh anak kalimat itu tidak dapat

dipertanggung jawabkan apabila hanya dibicarakan oleh dua orang

tokoh Islam ( Ki Bagus Hadikusumo dan Teuku Moh. Hasan ditambah

dengan Moh. Hatta ) tampa melibatkan tokoh-tokoh Islam yang lain.

Berdasarkan latarbelakang penghapusan tujuh anak kalimat di

atas, penulis ingin menyampaikan beberpa catatan terkait dengan Opsir

Kaigun Jepang yang datang kepada Moh. Hatta, Pertama: Orang yang

datang kepada Moh. Hatta pada sore hari 17 Agustus 1945 itu adalah

misteri, karena menurut catatan E. Saefuddin Anshari dalam bukunya;

Piagam Jakarta 22 Juni 1945, bahwa Moh. Hatta tidak ingat nama Opsir

Kaigun Jepang itu159

. Padahal Moh. Hatta sangat dikenal sebagi

seorang administrator yang ketat. Harusnya seperti yang sudah menjadi

kebiasaan, dicatat dalam buku catatan tamu, karena hal itu sangat

penting, apalagi menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kedua: Moh. Hatta tidak membicarakan lebih dulu tentang kedatangan

Opsir Kaigun Jepang itu, benarkah dia membawa missi dari

orang-orang Kristen ( dari Indonesia bagian Timur ) ?, bukannya terus

157

Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, h. 59 158

Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara

dan Sebuah Proyeksi, h. 33 - 35 159

E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 . . . . . h. 55

Page 67: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

304

memprakarsai penghapusan ( pencoretan terhadap beberapa kalimat di

dalam Pembukaan dan Undang-Undang Dasar itu sendiri ). Ketiga:

Opsir Kaigun Jepang itu mengaku, bahwa dia menyenangi Indonesia

merdeka. Apakah ini bisa dipercaya ?. Keempat: Opsir Kaigun Jepang

yang datang kepada Moh. Hatta seolah-olah mewakili golongan umat

Kristen Protestan dan Katolik dari wilayah Indonesia bagian Timur.

Benarkah demikian ?. Padahal umum diketahui, bahwa orang-orang

Jepang umumnya beragama Budha, Shinto atau tidak beragama.

Sementara agama Kristen, baik Protestan atau Katolik adalah agama

tentara Sekutu ( Amerika dan Eropah ), yaitu orang-orang yang dianggap

musuh oleh bangsa Jepang waktu itu. Dapatkah dikatakan bahwa Opsir

Kaigun Jepang itu menjadi wakil orang-orang Kristen ? Secara logika

sangat sulit untuk menerima kenyataan ini.

Pertanyaan-pertanyaan menggelitik ini wajar diajukan

berdasarkan analisis terhadap fakta sejarah, secara akademik sah-sah

saja karena sebenarnya banyak terjadi ketidak jelasan di seputar

penghapusan tujuh anak kalimat dari Piagam Jakarta. Kehadiran Opsir

Kaigun Jepang sebagai tamu Moh. Hatta juga tidak jelas sehingga

muncul berbagai spekulasi. Oleh karena itu perubahan-perubahan yang

terjadi pada Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945, tidak heran

jika di kemudian hari menjadi kontroversi dan memunculkan berbagai

spekulasi, terutama di kalangan para tokoh Nasionalis Islam.

Sehubungan ini, Prawoto menegaskan; bahwa perubahan itu ternyata

menimbulkan benih pertentangan sikap dan pemikiran di kemudian hari.

Dengan tak tersengajakan menjadi suburlah fitnah yang sangat

merugikan bangsa dan negara160

. Selanjutnya Prawoto menyatakan;

tersiarnya teks Pembukaan dan Undang-Undang Dasar yang sudah

dirubah itu menggoncangkan kalbu para pemimpin Islam yang turut

merancang Undang-Undang Dasar dan juga mereka yang sudah

mendengar isi rancangan tersebut. Karena kedudukan mereka di

tengah-tengah masyarakat sangat vital, maka frustasi mereka itu

160

Pertentangan sikap dan pemikiran, tumbuhnya fitnah menfitnah, bahkan

frustasi dan kecewa sebagai akibat dari dihapusnya tujuh anak kalimat itu, segera reda

sedikit demi sedikit setelah Pemerintah Orde Baru berhasil meyakinkan umat Islam

Indonesia ( tentu saja dengan berbagai pendekatan dan strategi ), bahwa Pancasila

tidak bertentangan dengan agama, terutama agama Islam, bahkan agama menempati

posisi yang khusus di dalam Pancasila. Dari aspek lain, karena keberhasilan Rezim

Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal, sehingga

berdampak pada tidak adanya kemunculan ideologi-ideologi lain selain Pancasila.

Page 68: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

305

merebak ke bawah dan ke samping. Mulailah terjadi krisis kepercayaan.

Namun demikan, Prawoto menyatakan; kegoncangan ini tidak dirasakan

oleh golongan di luar Islam, sehingga artinyapun tidak segera mereka

tangkap161

.

Hampir sama dengan sikap Prawoto di atas, E. Saefuddin

Anshari di dalam bukunya; Piagam Jakarta 22 Juni 1945 . . . . . .

menyatakan bahwa reaksi atas kejadian 18 Agustus 1945 itu ternyata

terbagi dua sikap, Pertama; mereka yang beranggapan seperti Prawoto

yang menyesalkan perubahan yang tiba-tiba itu. Kedua; mereka yang

beranggapan bahwa tidak ada hal yang tidak selaras dalam semua ini.

Selanjutnya E. Saefuddin Anshari yang mengutip pandangan Ahmad

Sanusi di dalam bukunya; Islam: Revolusi dan Masyarakat,

menyatakan bahwa Piagam Jakarta itu tidaklah dirubah atau

diombang-ambingkan oleh Badan Penyelidik atau Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia162

. Selaras dengan ini Moh. Hatta menulis;

Pada waktu itu kami dapat menyadari bahwa semangat Piagam Jakarta

tidak lenyap dengan menghapus perkataan; Ketuhanan dengan

kewajban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan

menggantinya dengan; Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya Moh.

Hatta menegaskan 163

bahwa dalam negara Indonesia yang berfaham

semboyan Bhinneka Tunggal Ika, maka tiap-tiap peraturan dalam

kerangka Syariat Islam yang hanya mengenai orang Islam dapat

diajukan sebagai rancangan undang-undang ke DPR ( Dewan

Perwakilan Rakyat ) dan jika diterima oleh DPR, maka akan mengikat

umat Islam Indonesia. Dengan cara ini, kata Hatta, bagi umat Islam

Indonesia ada satu sistem Syariat Islam yang diatur dalam

undang-undang berdasarkan al-Qur`an dan Hadis Nabi yang sesuai

dengan aspirasi umat Islam Indonesia164

.

Begitulah realitas yang terjadinya terkait dengan penghapusan

tujuh anak kalimat di dalam Piagam Jakarta. Walau bagaimanapun,

semua itu sudah berlalu dan menjadi catan sejarah, waktu tidak dapat

diputar kembali ke belakang. Bangsa Indonesia seluruhnya, terutama

161

Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara

dan Sebuah Proyeksi, h. 28 162

E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 . . . . . h. 28 dan 61 163

Penegasan Moh. Hatta ini sebagaimana dikutip E. Saefuddin Anshari di

dalam bukunya ; Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 62 164

Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, h. 28 - 60

Page 69: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

306

umat Islam, tidak ada pilihan lain selain memahami ada hikmah di balik

apa yang terjadi, sehingga dengan begitu diharapkan lahir sikap positif.

Para tokoh Nasionalis Islam telah berjuang begitu hebatnya, tetapi takdir

Tuhan menentukan yang lain. Yang penting sekarang, ialah

bagaiamana rakyat Indonesia dapat merealisasikan apa yang telah

menjadi konsensus bersama para founding fathers negara Indonesia.

Mempermasalahkan hal-hal yang telah lalu tidak ada gunanya, selain

membazirkan waktu. Sehubungan ini, penulis setuju dengan

pandangan Taufik Abdullah bahwa Pancasila sebagai hasil rumusan

Panitia kecil ( panitia sembilan ) dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta

atau Jakarta Charter, di mana Pancasila terkandung di dalamnya,

maka Pancasila yang resmi diberlakukan hari ini adalah Pancasila yang

disahkan oleh PPKI dalam sidangnya 18 Agustus 1945 dengan

menghapus tujuh anak kalimat; dengan kewajiban menjalankan Syariat

Islam bagi pemeluk-pemeluknya, jadinya; Ketuhanan Yang Masa Esa165

.

Perjuangan menegakkan Syariat Islam masih terbuka ( meskipun tidak

harus secara formalistik ) sebagaimana ditegaskan Moh. Hatta; bahwa

dalam negara Indonesia yang berpaham semboyan Bhinneka Tunggal

Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syariat Islam yang hanya

mengenai orang Islam dapat diajukan sebagai rancangan undang-undang

( RUU ) ke DPR, dan jika diterima, maka undang-undang tersebut akan

mengikat umat Islam Indonesia.

10. Pancasila Yang Diberlakukan

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ) yang

dibentuk pada 7 Agustus 1945166

telah mengadakan sidangnya pada 18

Agustus 1945 sehari setelah Indonesia diproklamasikan

kemerdekaannya. Sidang yang awalnya dijadwalkan pada jam 9.30,

tetapi kemudian molor hingga baru dapat diadakan pada jam 11.30167

.

Keterlambatan ini dikarenakan sedang berjalannya lobi atau

pembicaraan antara para tokoh nasional di seputar upaya penghapusan

165

Gatra, 10 Juni 1995, h. 28 166

Pada 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan dan pada saat yang sama

dibentuk PPKI oleh Pemerintah Jepang. Lihat Sartono Kartodirdjo, Sejarah Nasional

Indonesia I – VI ( Jakarta: Balai Pustaka, 1977 ), h. 22 167

Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h.

400

Page 70: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

307

tujuh anak kalimat dalam Piagam Jakarta sebagai jalan penyelesaian

dalam rangka mengatasi konflik yang terjadi168

.

Agenda sidang ialah untuk membicarakan perubahan-perubahan

penting pada Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945 dan

kemudian memilih Presiden dan wakil Presiden. Sidang dimpimpin

langsung oleh Soekarno dan Moh. Hatta. Soekarno dalam prolognya

pada sidang kali ini menekankan arti pentinya sejarah saat itu, dan

Soekarno mendesak agar Panitia Persiapan mempercepat sidang secepat

kilat, seraya mengingatkan kepada para anggota sidang supaya tidak

bertele-tele berbicara banyak tentang hal-hal detail, tetapi

memfokuskan perhatian sepenuhya pada garis-garis besarnya saja.

Agenda sidang pagi itu lebih terfokus pada beberapa perubahan penting

pada Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945169

. Setelah itu

Soekarno sebagai pimpinan sidang mempersilahkan Hatta untuk

menyampaikan poin-poin perubahan, maka atas permintaan pimpinan

sidang, Hatta berdiri ke depan untuk menyampaikan poin-poin

perubahan tersebut kepada para anggota sidang. Beberapa perubahan

penting yang disampaikan Hatta sebagaimana dijelaskan Muh. Yamin170

sebagai berikut;

1. Kata Mukaddimah di dalam Piagam Jakarta diganti dengan kata

Pembukaan.

2. Di dalam Piagam Jakarta, anak kalimat; Berdasarkan kepada

Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi

pemeluk-pemeluknya, menjadi; berdasar atas Ketuhanan Yang

Maha Esa.

3. Perubahan yang terjadi pada Undang-Undang Dasar, iaitu pada

Pasal 6 , ayat 1, berbunyi; Presiden ialah orang Indonesia asli

dan beragama Islam, kalimat dan beragama Islam dihapus.

4. Konsekwensi dari perubahan yang terjadi pada Pembukaan

Undang-Undang Dasar, terjadi juga pada Undang-Undang Dasar

itu sendiri. Pasal 29, Ayat I, yang berbunyi; Negara

berdasarkan atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan

168

Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara

dan Sebuah Proyeksi, h. 24 169

Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld, 1, h.

400 170

Ibid. h. 400 - 401

Page 71: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

308

Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dirubah menjadi;

Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa171

.

Berikut ini disampaikan teks Pembukaan Undang-Undang Dasar

1945 yang sudah dirubah.

Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala

bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus

dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan

perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah

sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa

menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang

kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu,

berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan

didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan

kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan

dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu

Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan

untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,

maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam

suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk

dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang

berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Ketuhanan Yang

Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia

dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam

171

Perubahan-perubahan lain yang terjadi pada Undang-Undang Dasar, ialah

tentang istilah; Hukum dasar, diganti dengan; Undang-Undang Dasar, ; . . . . . dua

orang wakil Presiden, menjadi, Seorang wakil Presiden. Lihat Noor Ms. Bakry,

Pancasila Yuridis Kenegaraan, h. 30

Page 72: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

309

permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Demikianlah perubahan-peubahan yang terjadi. Para pembicara

yang sebelum ini sangat keras, seperti Ki Bagus Hadikusumo, K.H. A.

Wahid Hasyim, tetapi pada sidang kali ini ( sidang PPKI ) mereka

sangat toleran menerima perubahan yang terjadi pada Pembukaan dan

Undang-Undang Dasar 1945. Mereka bersikap toleran demi memelihara

persatuan dan kesatuan Republik Indonesia. Pada jam 13,45 tanggal 18

Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia setelah tidak

ada lagi persoalan telah menerima teks Pembukaan dan Undang-Undang

Dasar 1945 yang telah dirubah, maka Pembukaan dan Undang-Undang

Dasar yang telah disahkan itu kemudian dikenal dengan Pembukaan dan

Undang-Undang Dasar 1945.

Setelah membacakan perubahan-perubahan tersebut, Hatta

kemudian menyatakan keyakinannya; Inilah perubahan maha penting

yang dapat menyatukan seluruh bangsa. Soekarno setelah mengambil

alih pimpinan sidang, kemudian menyatakan bahwa; Undang-Undang

Dasar yang dibuat ini adalah Undang-Undang Dasar sementara,

Undang-Undang Dasar kilat, nanti kalau kita sudah bernegara di dalam

kondisi aman, kita akan mengumpulkan ( mengundang ) kembali Majlis

Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang

lebih lengkap dan sempurna172

.

Demikianlah perkembangan Pancasila semenjak masih berupa

gagasan dan rancangan sampai pada pengesahannya, yang pada tingkat

permulaan disahkan oleh BPUPKI, yaitu Pancasila yang dalam

keadaannya yang lengkap, dan tingkat kedua Pancasila disahkan oleh

PPKI pada 18 Agustus 1945, yaitu Pancasila yang sudah dirubah. Jadi,

tanggal 18 Agustus 1945 adalah hari pengesahan Pembukaan dan

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar dan filsafat ( Ideologi )

Negara Indonesia.

11. Pengertian Pancasila Sebagai Dasar Negara

172

Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld, 1, h.

402 – 410. Lihat juga Boland B.J. The Stuggle of Islam in Modern indonesia, h. 37

Page 73: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

310

Pancasila sebagai konsep modern dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara173

, memiliki akar yang jauh ke belakang dalam sejarah

bangsa Indonesia. Pancasila merupakan konsep baru sebagai sistem

ideologi untuk men-design kehidupan dalam tatanan negara Indonesia

yang modern. Pancasila pada awalnya dipakai Soekarno dalam

pidatonya 1 Juni 1945 sebagai nama dari lima sila174

. Jika ditinjau dari

aspek proses pertumbuhannya akan ditemukan sekurang-kurangnya

tiga pengertian.

Pertama; Penggunaan Pancasila dalam realitas sejarah. Dalam

konteks ini dapat dijelaskan bahwa Pancasila bukanlah istilah baru bagi

rakyat Indonesia. Sejak Budhisme memasuki wilayah Nusantara (

Indonesia ) dari India dan Burma ( Miyanmar ) telah dikenal perkataan

Pancasila yang artinya lima prinsip moral ( five moral principles ) atau

lima aturan tingkah laku. Di dalam literatur Budhisme perkataan

Pancasila biasanya disingkat menjadi Pansil. Dalam ajaran Budha

menurut bahasa aslinya terdapat lima prinsip ( Code of morality ), yaitu;

1. Panatipata veramani sikkhapadan samadiyani, artinya; kami

berjanji untuk menghindari pembunuhan,

2. Adinnaandana veramani sikkhapadan samadiyani artinya; kami

berjanji untuk menghindari pencurian,

3. Kamesu micehara veramani sikkhapadan samadiyani, artinya;

kami menghindari untuk menghindari perzinaan,

4. Mussavada veramani sikkhapadan samadiyani, artinya; kami

berjanji untuk menghindari perbuatan dusta,

5. Sura meraya majja pamadatthana veramani sikkhapadan

samadiyani, artimya; kami berjanji untuk menghindari makanan

dan minuman yang memabukkan dan menjadikan ketagihan175

.

Dalam konteks ini Prawoto menegaskan; Inilah Pancasila asli

yang lahir di India sebagai ciptaan Gautama Budha; Raja Agoka yang

melihat Pancasila ini sebagai dasar moral ( code of morality ) bagi

rakyatnya. Oleh karenanya Pancasila ini diciptakan menjadi peraturan

tetap untuk mencapai tingkat kemajuan rohani rakyat Kemaharajaan

173

Lihat, Sayidiman Suryohadiprojo, Pancasila, Islam dan ABRI ( Jakarta:

PT. Penebar Swadaya, T. Tahun ), h. 15 174

Lihat, Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia, h. 437 175

Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara

dan Sebuah Proyeksi, hlm. 13 – 14, Lihat juga Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis

Kenegaraan, h. 9

Page 74: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

311

Agoka176

. Perkembangan selanjutya, Pancasila memasuki khazanah

kesusastraan Jawa kuno pada zaman Kemaharajaan Majapahit pada

masa Pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Perdana Mentrinya;

Gajahmada di sekitar tahun 1364 M. Istilah Pancasila ditemukan dalam

buku keropak Negarakertagama yang berupa syair pujian yang ditulis

oleh seorang pujangga Istana bernama Empu Prapanca. Syair pujian

tersebut berbunyi; Yatnanggegwani Pancasyila

kertasangkarabhisekakrama, artinya; ( Raja ) menjalankan dengan

setia kelima pantangan atau larangan itu, begitu pula upacara-upacara

dan penobatan177

. Selain terdapat dalam buku Negarakertagama pada

zaman Majapahit, istilah Pancasila juga ditemukan dalam buku

Sutasoma karya Empu Tantular178

. Di dalam buku Sutasoma ini,

Pancasila disamping mempunyai arti batu sendi lima, juga mempunyai

arti pelaksanaan kesucian lima, yaitu;

1. Tidak boleh melakukan kekerasan,

2. Tidak boleh mencuri,

3. Tidak boleh berjiwa dengki,

4. Tidak boleh berbohong,

5. Tidak boleh mabuk minuman keras179

.

Demikian perkembangan istilah Pancasila yang berasal dari

bahasa Sansekerta, kemudian memasuki khazanah kesusastraan Jawa

kuno pada zaman Kerajaan Majapahit. Setelah runtuhnya

Pemerintahan Majapahit dan agama Islam telah tersebar luas ke seluruh

pelosok bumi Indonesia waktu itu, pengaruh ajaran Budhisme turut

pula ditela waktu180

. Pada perkembangan selanjutnya lahirlah dalam

masyarakat Jawa istilah yang dikenal Ma Lima; kepanjangan dari

lima larangan. Dalam bahasa Jawa disebut Mo Limo atau Lima M,

yaitu;

1. Mateni, artinya; membunuh,

176

Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara

dan Sebuah Proyeksi, h. 14 177

Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, hlm. 437. Lihat juga

Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h. 10 178

Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h.

437 179

Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, h. 110 180

Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara

dan Sebuah Proyeksi, hlm. 14, Lihat Juga Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis

Kenegaraan, h. 10

Page 75: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

312

2. Maling, artinya; mencuri,

3. Madon, artinya; berzina,

4. Madat, artinya; menghisap candu,

5. Main, artinya; berjudi

Dalam konteks ini, Noor Ms. Bakry menyatakan bahwa lima

larangan moral ini yang disingkat M – Lima dalam masyarakat Jawa

dikenal dan juga masih menjadi pedoman moral, tetapi namanya sudah

bukan lagi Pancasila yang berasal dari faham Budha itu, tetapi M –

Lima181

.

Kedua; Pengertian Pancasila dari segi etimologi. Pancasila

yang pada awalnya berasal dari bahasa Sansekerta ( bahasa kasta

Brahmana ), menurut Muh. Yamin, adalah merupakan paduan dari dua

kata, yaitu; Panca dan Syila. Panca, artinya lima dan Syila ( dengan

huruf I pendek ), artinya batu sendi, alas atau dasar. Dengan demikian

Pancasila ( Pancasyila ) berdasarkan pengertian ini bermakna batu sendi

yang lima ( consisting of five rocks ). Sementara Syila ( dengan

huruf I panjang ), artinya peraturan tingkah laku yang penting, baik dan

senonoh.182

Dengan demikian, Pancasila ( Pancasyila ) menurut

pengertian ini bermakna lima peraturan perilaku yang penting. Jadi,

Pancasila dari segi etimologi ialah lima sendi, dasar atau lima peraturan

perilaku ( tingkah laku ) yang penting.

Ketiga; Pengertian Pancasila dari segi terminologi. Secara

terminologi atau berdasarkan istilah yang dipakai di Indonesia sejak

sidang pertama Badan Penyelidik pada 1 Juni 1945, istilah Pancasila

dipergunakan oleh Soekarno untuk nama lima dasar atau prinsip

Negara Indonesia merdeka yang diusulkannya. Pada sidang pertama

BPUPKI itu, Soekarno setelah menyampaikan usulan-usulannya

berupa lima prinsip untuk Negara Indonesia merdeka, Soekarno

kemudian menawarkan sebuah nama untuk lima prinsip itu. Hal ini

sebagaimana Soekarno nyatakan . . . . . namanya bukan Panca

Dharma, tetapi saya namakan dengan petunjuk seorang teman kita

ahli bahasa, namanya ialah Pancasila. Panca artinya lima, Sila

artinya dasar, dan di atas lima dasar itulah kita mendirikan Negara

Indonesia, kekal dan abadi183

.

181

Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, h. 11 182

Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h.

473 183

Ibid. h. 437

Page 76: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

313

Berdasarkan pernyataan Soekarno di atas, dapat dimengerti

bahwa Pancasila digunakan Soekarno sebagai nama untuk lima prinsip

kenegaraan. Dan setelah kemerdekaan Indonesia, Pancasila yang

terkandung di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu telah

memperoleh pengesahannya yang terakhir dalam sidang PPKI pada 18

Agustus 1945. Jadi, semenjak itu istilah Pancasila secara resmi

telah dipakai oleh rakyat Indonesia, maka Pancasila mempunyai arti

lima dasar ( prinsip ). Dalah hubungan ini Prawoto menegaskan

bahwa Pancasila pada asalnya dipergunakan untuk tuntutan moral ( code

of morality ) sebagaimana berkembang di dalam ajaran Budhisme,

tetapi kemudian Soekarno mempergunakannya sebagai nama dari lima

dasar kenegaraan Indonesia184

. Dengan demikian, Pancasila

diposisikan sebagai dasar bagi Negara Republik Indonesia.

Demikianlah perkembangan pengertian Pancasila yang awalnya

berasal dari bahasa Sansekerta dalam paham atau ajaran Budhisme yang

mengandungi lima aturan perilaku ( code of morality ). Kemudian

Pancasila memasuki khazanah kesusteraan Jawa kuno yang diberi arti

lima larangan. Selanjutnya ajaran ini hilang dari permukaan seiringa

dengan perubahan zaman sebagai akibat logis dari perubahan rakyat

dalam beragama, yaitu penerimaan Islam sebagai agama rakyat, maka

kemudian muncul sebagai gantinya istilah M- lima. Terakhir istilah

Pancasila lahir kembali dengan kemasan baru dan pengertian yang baru

pula, maka Pancasila semenjak 1 Juni 1945 menjadi bahasa Indonesia

yang digunakan untuk nama dari dasar dan filsafat Negara Republik

Indonesia hingga hari ini.

12. Pancasila Filsafat Kenegaraan Republik Indonesia

Eksistensi suatu bangsa yang beradab di mana saja berada di

dunia ini tidak lepas dari cita-cita yang menjiwainya. Dari sinilah

lahirnya pandangan hidup dari bangsa tersebut, baik yang berkaitan

dengan kehidupan kemasyarakatan ataupun kenegaraan. Konsekuensi

dari pandangan hidup ini, semua aktivitas bangsa tersebut akan

dikerahkan untuk merealisasikan cita-cita dan pandangan hidupnya ke

dalam tindakan-tindakan yang kongret melalui berbagai pendekatan

dan strategi. Para pendiri ( founding fathers ) negara Republik

184

Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara

dan Sebuah Proyeksi, hlm. 13. Lihat juga Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis

Kenegaraan, h. 11

Page 77: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

314

Indonesia telah meletakkan pandangan hidup sebagai landasan dalam

berbangsa dan bernegara. Pandangan hidup ini berisi konsep dasar

tentang kehidupan yang dicita-citakannya. Bagi bangsa Indonesia,

pandangan hidup itu adalah Pancasila yang lahir dari pemikiran yang

dalam, sebagai manifestasi dari cita-cita yang dirumuskannya dalam

bentuk filsafat kenegaraan. Filsafat kenegaraan Pancasila juga sebagai

refleksi kritis tentang cita-cita hidup bangsa Indonesia, maka Pancasila

sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa Indonesia. Dalam

konteks ini Soekarno ketika menyampaikan pidatonya mengenai dasar

negara pada sidang pertama BPUPKI memberikan pernyataan dasar

filsafat yang disebut Philosofische Grondslag ( bahasa Belanda ).

Kemudian Soekarno menegaskan; itulah foundamen, filsafat, pikiran

yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia

merdeka yang kekal dan abadi185

.

Apa yang dimaksud Soekarno ialah bahwa Indonesia merdeka

harus didasarkan pada Philosofische Grondslag, Weltanschauung (

bahasa Jerman ) atau Dasar Filsafat Hidup. Dasar Filsafat Hidup yang

dimaksud Soekarno ialah Pancasila. Oleh karena itu Pancasila

ditegaskan sebagai fondasi, dasar, filsafat atau pikiran yang

sedalam-dalamnya bagi Negara Indonesia. Sebagai argumen untuk

menjastifikasi bahwa Pancasila merupakan filsafat kenegaraan

Republik Indonesia, penulis sampaikan beberapa pandangan dari para

tokoh dan sarjana yang turut memberikan pengakuannya, anatara lain;

1. Muh. Yamin; Dalam konteks ini Muh. Yamin menegaskan;

Pancasila yang dalam konstitusi 1945 menjadi dasar negara

Republik Indonesia, sebenarnya hasil dari tinjauan dunia (

world view ) sebagai salah satu dari sisi pandangan hidup.186

Di

atas tinjauan dunia itu diletakkan susunan perumahan Republik

Indonesia . . . . . . itulah alasannya, maka ajaran Pancasila

dinamakan juga dasar filsafat kenegaraan Indonesia.187

Di

tempat lain Muh. Yamin menyatakan; Jika demikian,

185

Soekarno, Lahirna Pancasila -pidato pertama Soekarno tentang

Pancasila 1 Juni 1945- ( T. tmpt: T.pbt, T. th. ), h. 5 186

Tinjauan dunia dalam bahasa Jerman; Weltanschauung, dan tinjauan

hidup itu disebut; Lebensanchauung. Kedua-dua istilah ini banyak dipakai di Jerman

ketika aliran romantik berkembang untuk menyatakan suatu keseluruhan dalam hal

berpikir dan memikirkan dunia. 187

Miuh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia,

hlm. 445

Page 78: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

315

benar-benar ajaran filsafat Pancasila bukanlah barang yang

bercerai berai seperti pasir di tepi pantai, melainkan ajaran

Pancasila itu benar-benar tersusun baik dalam satu perumahan

filsafat yang harmoni dan sesuai dengan syarat-syarat filsafat

yang sesungguhnya, yaitu; pertemuan tinjauan hidup

berdasarkan tradisi naluri Kitab suci, serta berdasarkan percikan

hikmah kebijaksanaan rakyat Indonesia188

.

2. Soeharto ( mantan Presiden RI di era Orde Baru ); Soeharto

dalam konteks ini ketika menyampaikan pidatonya dalam acara

memperigati Hari Lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1967

menyatakan; Dasar filsafat negara ini jelas diterima oleh seluruh

rakyat Indonesia, karena sebenarnya telah tertanam dalam kalbu

rakyat. Oleh karena itu ia juga merupakan filsafat negara yang

dapat dijadikan dasar untuk mempersatukan seluruh rakyat yang

plural189

.

3. Notonagoro ( salah seorang Profesor di Universitas Gajah Mada

dan Guru Besar Luar Biasa di Universitas Airlangga );

Notonagoro memberi judul; Pancasila Dasar Falsafah Negara,

pada buku yang merangkumi tiga uraian pokok-pokok persoalan

tentang Pancasila. Notonagoro menyatakan; Pancasila bukanlah

suatu konsepsi politik, akan tetapi buah hasil renungan jiwa

yang mendalam, buah hasil penyelidikan pemikiran yang

teratur dan saksama di atas dasar pengetahuan dan pengalaman

yang luas190

.

4. Darji Darmodiharjo; Di dalam bukunya yang berjudul;

Santiaji Pancasila, Darji Darmodiharjo menjelaskan; Secara

objektif ilmiah karena Pancasila adalah suatu paham filsafat, a

philosophical way of thinking atau a philosophical system

sehingga uraiannya pun harus logik dan dapat diterima oleh akal

sehat191

.

Berdasarkan beberapa pandangan di atas mengenai Pancasila

dalam bangnan negara Indonesia, dapat ditegaskan bahwa Pancasila

188

Ibid., h. 456 189

Soeharto Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila ( Jakarta:

Yayasan Proklamasi, 1972 ), h. 12 190

Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara ( Jakarta: PT. Bina

Aksara, 1983 ), h. 131 191

Darji Darmodiharjo et al, Santiaji Pancasila ( Surabaya; Usha Nasional,

1970 ), h. 13

Page 79: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

316

adalah konsep dasar tentang filsafat kenegaraan Indonesia, karena

Pancasila mengandung beberapa prinsip asas yang dapat dikategorikan

sebagai filsafat kenegaraan, yaitu;

Pancasila hasil paduan tinjauan hidup berdasarkan tradisi naluri

Kitab suci ( al-Qur`an bagi umat Islam ), serta berdasarkan

percikan hikmah kebijaksanaan manusia Indonesia,

Pancasila hasil tinjauan dunia ( world view ) sebagai segi dari

pandangan hidup ( way of life ),

Pancasila hasil renungan jiwa yang dalam dan penyelidikan

yang sistematik dan saksama berdasarkan pengetahuan dan

pengalaman yang luas,

Pancasila sebagai kesatuan yang utuh,

Pancasila merumuskan realitas manusia Indonesia dalam realitas

kehidupan,

Pancasila mengandung nilai-nilai yang diyakini benar oleh

rakyat Indonesia sehingga dapat dijadikan dasar persatuan bagi

seluruh tumpah darah Indonesia yang berbeda-beda etnik,

agama, budaya, bahasa dan sebagainya.

Berikut ini penjelasan mengenai beberpa prinsip tersebut sebagai

berikut;

12.a. Pancasila hasil paduan tinjauan dari kitab suci dan hikmah

kebijaksanaan

Muh. Yamin dalam konteks ini mendasarkan pandangannya

pada teori yang disampaikan oleh salah seorang filosof Islam dan

ahli hukum dari Sevilla, Sepanyol; Ibnu Rusydi ( Averus ) yang

hidup di abad dua belas ( 1126 – 1198 M. ). Di dalam karyanya;

al-Fashl al-Maqal Fiy Ma Bayna al-Shariat wa al-Hikmat Min

al-ittishal, juga di dalam karyanya yang lain; Kashf al-Manahij,

Ibnu Rusydi menyampaikan ajaranya berupa nasehat, yaitu;

bahwa orang harus bisa membedakan antara kebenaran yang

berdasarkan firman ( firman Allah ) dan kebenaran yang

dihasilkan oleh hikmah kebijaksanaan otak manusia. Menurut

Muh. Yamin, Ibnu Rusydi berpendirian teguh menerima

kebenaran isi firman yang diturunkan kepada umat manusia,

demikian juga kebenaran yang dihasilkan oleh hikmah

kebijaksanaan manusia, kemudian Ibnu Rusydi berkeyakinan

bahwa kedua jenis kebenaran itu tidak dapat disamakan, sebab

Page 80: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

317

kebenaran firman adalah mutlak, sementara kebenaran hikmah

kebijaksanaan manusia bersifat relatif dan subjektif192

. Oleh

karena itu Ibnu Rusydi menegaskan; Apabila Syariat yang

haqq ( benar ) menyeru kepada umat agar berpikir secara analisis

( bersifat hikmah kebijaksanaan ) sehingga sampai pada

kebenaran ( makrifat al-haqq ), kita dapat pastikan bahwa

pemikiran yang analisis dan berdasarkan burhan ( fakta ) itu

adalah tidak akan bertentangan dengan kebenaran ( haq firman ),

bahkan saling memperkuat193

. Atas dasar pandangan Ibnu

Rusydi ini, Muh. Yamin berkesimpulan bahwa Pancasila sebagai

kebenaran dihasilkan oleh hikmah kebijaksanaan manusia

Indonesia terhindar dari pertentangan dengan isi firman Allah

dalam Kitab Suci-nya194

. Oleh karena itu, Muh. Yamin

menegaskan bahwa dengan berdasarkan nasehat Ibnu Rusydi

yang paling berharga itu, maka antara ajaran Pancasila dengan

firman kitab Suci ( al-Qur`an bagi umat Islam ) tidak terjadi

pertentangan. Realitasnya memang demikian, karena sila-sila

Pancasila dirumuskan secara umum sehingga tidak terjadi

bertentangan dengan firma Allah ( al-Qur`an ), bahkan dengan

mana-mana kitab suci agama lain sekalipun195

. Di sinilah

sebenarnya kekuatan Pancasila sebagai dasar dan filsafat negara

Republik Indonesia, karena rumusan-rumusannya bersifat

umum sehingga agama-agama dan aliran pemikiran yang

beraneka ragam di Indonesia terakomodasi, oleh karenanya

eksistensi kehidupan keberagamaan, aliran pemikiran dan politik

yang berbeda-beda terakomodasi dalam Pancasila. Hanya

interpretasi-interpretasi terhadap sila-sila Pancasila yang

mungkin terjadi perbedaan. Dengan demikian, persoalannya

tergantung siapa yang memberikan interpretasi. Muh.Yamin

selanjutnya menegaskan . . . . dengan memperhatikan nasehat

192

Lihat Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia, h. 47 193

Lihat Ibnu Rusydi Abu al-Walid, Fashl al-Maqal Fiy Ma Bayna

al-Hikmah wa al-Shari`ah Min al-Ittishal ( Beirut: al-Muassisah al-`Arabiah, T.th. ), h.

13 -14 194

Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h.

47 195

Ibid. h. 448. Lihat juga Darji Darmodiharjo et al. Santiaji Pancasila. h.

49

Page 81: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

318

Ibnu Rusydi, dapat kita membedakan Pancasila sebagai dasar

negara hasil penggalian hikmah manusia dari ajaran agama

apapun, maka Pancasila menemukan berbagai aliran politik dan

agama dalam kebersamaan berbangsa dan bernegara196

.

12.b. Pancasila hasil tinjauan dunia ( world view )

Tinjauan dunia ( world view ) menurut Muh. Yamin bukanlah

aliran agama, melainkan ilmu pengetahuan yang memberikan

ruang untuk melakukan tinjauan menyeluruh tentang asal usul

dan wujud dunia yang menentukan kedudukan kerohanian

manusia dalam dunia. Dengan sendirinya tinjauan dunia juga

meliputi tinjauan hidup sebagai salah satu aspek dari ilmu

pengetahuan yang sangat luas, termasuk pengertian tentang

dunia, kesusilaan hidup, sikap rohani manusia. Dalam

kaitannya dengan Pancasila sebagai tinjauan dunia ( world view )

Muh. Yamin menegaskan bahwa tinjauan Indonesia yang

melahirkan ajaran Pancasila sebagai pengolahan rohani dari

keseluruhan pemikiran, maka yang ditinjau ialah sikap rohani

manusia Indonesia, kemajuan masyarakat Indonesia sepanjang

waktu dan kemajuan sendi-sendi perumahan negara yang

menjamin kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah manusia

Indonesia197

.

12. c. Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh

Sila-sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

dipisah-pisahkan antara satu dari yang lainnya, yaitu; tiap-tiap

sila dari Pancasila berkaitan erat dengan sila-sila yang lain.

Dalam hubungan ini Notonagoro menyatakan sebagai berikut;

1. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang

berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan

Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah

kebjaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan yang

berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang

ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia,

196

Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h.

448 197

Ibid. h. 445 - 446

Page 82: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

319

yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan

dalam permusyawaratan/perwakilan, dan yang berkeadilan sosial

bagi seluruh rakyat Indonesia.

3. Persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan Yang

Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang

berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan, dan yang berkeadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan adalah kerakyatan yang

ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil

dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, dan yang berkeadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan

sosial yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang

berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan

Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan198

.

12. d. Pancasila hasil renungan jiwa yang dalam dan penyelidikan

yang sistematik

Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia

bukanlah idea tanpa proses pemikiran dan penyelidikan,

melainkan Pancasila itu hasil renungan yang mendalam dan

penyelidikan yang sistematik, dan bahkan melalui perdebatan

yang sengit beberapa kali dalam sidang dan kemudian pada

akhirnya Pancasila diterima oleh bangsa Indonesia. Soekarno

sebagai salah seorang pemikir dan penyelidik telah berhasil

menyampaikan dasar negara. Di dalam mempertahankan hasil

penyelidikannya, Soekarno dalam bukunya; Pancasila Sebagai

Dasar Negara, menegaskan argumentasinya sebagai berikut;

Penggalian saya itu sampai zaman sebelum ada agama

Islam, saya gali sampai zaman Hindu dan pra-Hindu.

Masyarakat Indonesia ini boleh saya gambarkan dengan

saf-safan ( tahap-tahapan ). Saf ini di atas saf itu, di atas

saf itu ada lagi saf, saya melihat macam-macam saf.

198

Notonagoro, Beberapa Hal Mengenai Filsafat Pancasila ( T.Tmpt: T. Pnt,

1967 ), h. 31 - 32

Page 83: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

320

Saf pra-Hindu, yang pada waktu itu kita telah berbangsa,

berkultur dan bercita-cita. Setelah itu datang saf zaman

Hindu, yang di dalam bidang politik berupa negara

Taruma, negara Kalingga, negara Mataram, negara

Sriwijaya dan sebagainya. Datang saf lagi, kita mengenal

agama Islam, yang di dalam bidang politik berupa negara

Demak Bintoro, negara Pajang, negara Mataram ke-II,

dan seterusnya. Datang saf lagi, saf yang kita kontak

dengan Bangsa Eropah, yaitu saf imperialisme, yang di

dalam bidang politiknya zaman hancur leburnya negara

kita, hancur leburnya perekoomian kita199

.

Selanjutnya Soekarno menentukan sikapnya;

Dalam pada saya menggali-gali, menyelami saf-saf ini,

saban-saban saya bertemu dengan saf-saf, kali ini, ini

yang menonjol, lain kali itu yang menonjol. Lima hal

inilah; Ketuhanan, Kebangsaan, Perikemanusiaan,

Kedaulatan rakyat, Keadilan sosial, Soekarno kemudian

menyatakan dengan penuh yakin; Saya lantas berkata.

Kalau ini saya pakai sebagai dasar statis dan dinamik,

insya Allah seluruh rakyat Indonesia bisa bersatu padu200

.

12. e. Pancasila merumuskan realitas manusia dalam realitas

kehidupan

Negara sebagai sebuah institusi atau organisasi yang melibatkan

semua manusia, maka sifat dan keadaannya sangat ditentukan

oleh manusia-manusia bersangkutan selama masih dalam

kemampuan mengelolanya dan dalam kondisi yang bebas dari

berbagai tekanan. Apa yang akan terjadi pada negara sangat

bergantung sepenuhnya pada kemampuan dan kebebasan

manusia-manusianya. Mampu dalam arti memiliki kelebihan

atau kapabelitas untuk mengelola, dan ini menuntut adanya sikap

dinamis, innovatif dan pragmatis dalam berbagai aspek

sehingga sampai ke tahap pencapaian ( achievement ) maksimal,

199

Lihat Soekarno, Pancasila Sebagai Dasar Negara ( Jakarta: Yayasan

Prapanca, T. th. ), h. 41 - 42 200

Soekarno, Pancasila Sebagai Dasar Negara, h. 42

Page 84: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

321

baik dalam kualitas pemikiran atau profesionalitas kerja. Bebas

dalam arti merdeka dari setiap belenggu dan tekanan, baik dari

pihak internal ataupu eksternal, sehingga tercipta suasana

nyaman yang dapat melahirkan berbagai kreativitas cerdas

yang dinamis. Kemampuan dan kebebasan merupakan dua faktor

penting dalam kerangka menciptakan langkah-langkah strategis

untuk mencapai keberhasilan dan memobilisasi semua aktivitas

dalam berbagai tataran real kehidupan. Oleh karena itu, sekali

lagi, sifat dan keadaan sebuah negara sangat ditentukan oleh

manusianya ( warganya ), sebab negara yang dinamis dapat

diartikan sebagai manifestasi dari berbagai aktivitas manusia

yang bernegara. Kelanjutan dari premis di atas, jika dituntut agar

sifat dan keadaan negara Indonesia sesuai dengan Pancasila,

berarti menuntut aktivitas dan perilaku manusia ( bangsa )

Indonesia untuk merealisasikan nilai-nilai dari ajaran Pancasila

ke dalam tataran praktis. Para pemikir dan pendiri ( founding

fathers ) negara Indonesia telah meletakan konsep dasar tentang

deskripsi manusia Indonesia di dalam kehidupan berdasarkan

realitas dan budaya yang dimilikinya. Untuk memperoleh

gambaran jelas tentang konsepsi manusia Indonesia menurut

para pendiri negara, diperlukan memperhatikan rumusan dasar

negara, yaitu Pancasila201

. Dari Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945 dapat ditemukan penjelasan tentang kemerdekaan

Indonesia, kemerdekaan sebagai hak setiap bangsa, perjuangan

bangsa Indonesia, alasan dan tujuan kemerdekaan Indonesia,

pertahanan nasional, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban,

keamanan dan sebagainya. Secara ringkas dapat dikemukakan

deskripsi dan konsepsi manusia Indonesia sepanjang berkaitan

dengan aktivitas bernegara ialah para pendukung Pancasila, yang

ber-ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan, yang

berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial.

12. f. Pancasila mengandung nilai-nilai aktivitas kehidupan

Pancasila sebagai pandangan hidup ( way of life ) yang berakar

pada kepribadian bangsa Indonesia. Dalam pandangan hidup

201

Lihat Paulus Wahana, Filsafat Pancasila ( Yogyakarta: Kanisius, 1993 ),

h. 50

Page 85: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

322

ini terkandung konsep dasar tentang kehidupan yang

dicita-citakannya. Dalam pandangan hidup ini juga terkandung

nilai-nilai tinggi bangsa Indonesia. Nilai yang dalam bahsa

Inggris value termasuk dalam pengertian filsafat. Menilai berarti

menimbang, yaitu; aktivitas manusia menghubungkan sesuatu

dengan sesuatu yang lain, kemudian menentukan keputusan.

Keputusan nilai kemudian dapat mengatakan; berguna atau

tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau buruk, ada nilai

keagamaan atau tidak ada.202

Jadi, keputusan nilai secara

substansial harus berdasarkan pertimbangan pemikiran dan

perasaan yang dimiliki manusia. Ketika menyampaikan pidato

pada acara makan siang yang diadakan oleh Perdana Menteri

Macmahon di Parlemen House Camberra pada 7 Februari 1972,

Soeharto ( mantan Presiden Indonesia di era Orde Baru )

menyatakan;

Kepribadian inilah yang kami tetapkan menjadi

pandangan hidup kami, filsafat negara kami, merupakan

kesatuan yang bulat dari Ketuhanan Yang maha Esa,

Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kedaulatan rakyat,

Keadilan sosial. Di dalamnya mengandung

dorongan-dorongan ( motivasi-motivasi ) pada kami

untuk mengejar nilai-nilai yang kami anggap luhur. Di

dalamnya juga tersimpul kesadaran kami bahwa manusia

pada akhirnya bergantung pada

keseimbangan-keseimbangan nilai essensial tertentu203

.

Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila adalah nilai-nilai

yang tidak dapat dipisahkan dari nilai rohaniah dan kebendaan. Hal ini

sebagaimana ditegaskan Muh. Yamin; bahwa nilai-nilai yang

terkandung di dalam Pancasila adalah tergolong ke dalam nilai

kerohanian, tetapi nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai

kebendaan dan nilai vital ( sesuatu yang sangat penting dan berguna

bagi manusia ) secara seimbang, artinya Pancasila mengandung

nilai-nilai kerohanian ( spiritual atau al-ruhiy ), pada saat yang sama

juga mengandung nilai-nilai kebendaan ( material atau al-maddiy ), nilai

202

Lihat Darji Darmodiharjo et al, Santiaji Pancasila, h. 50 203

Soeharto, Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, h. 9 - 10

Page 86: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

323

vital, nilai kebenaran, nilai estetika, nilai etika, moral dan nilai

keagamaan204

.

Berikut ini penjelasan tentang nilai-nilai yang terkandung di

dalam Pancasila sebagaimana di sampaikan Darji Darmodiharjo205

,

sebagai berikut;

1. Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung nilai-nilai

keagamaan, anatara lain;

a ). Keyakinan ( keimanan ) kepada Tuhan Yang Maha Esa

dengan sifat-sifa-Nya yang Maha sempurna ( sifat al-kamal )

yang hanya layak bagi Zat Tuhan saja, seperti Maha Kasih, Maha

kuasa, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui dan

lain-lain sifat yang suci ( al-munazzah ) dari segala sifat yang

kurang. b ). Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yakni

mejalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua

larangan-Nya. c ). Nilai-nilai seperti ini menjiwai ( mendasari

) sila kedua, ketiga, keempat dan kelima.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung nilai-nlai

kemanusiaan, antara lain;

a ). Pengakuan terhadap martabat manusia, artinya siapa saja;

kecil, muda, tua, laki-laki, perempuan, semuanya memiliki

martabat dan harga diri, oleh karenanya harus dihormati. b ).

Perlakuan adil terhadap sesama manusia, karena keadilan

menjamin wujudnya kehidupan yang aman, dan sekaligus

mengangkat martabat dan harga diri manusia. c ). Pengertian

manusia yang beradab adalah manusia yang memiliki daya

cipta ( idea, pemikiran ), rasa, kehendak dan keyakinan

sehingga menjadikan berbeda dari hewan yang tidak punya akal.

d ). Nilai-nilai sila kedua ini menjiwai ( mendasari ) sila ketiga,

sila keempat dan sila kelima.

3. Persatuan Indonesia, mengandung nilai-nilai persatuan

bangsa yang menduduki seluruh wilayah Indonesia

sebagaimana dikonsepsikan; NKRI, antara lain;

a ). Persatuan Indonesia adalah persatuan seluruh rakyat dan

warga negara yang menduduki wilayah teritorial Indonesia. b ).

204

Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia ( Jakarta:

Djambatan, 1954 ), h. 108, lihat juga Darji Darmodiharjo, et al, Santiaji Pancasila,

h. 52 - 53 205

Darji Darmodiharjo et al, Santiaji Pancasila, h. 53 - 56

Page 87: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

324

Bangsa Indonesia terbentuk dari persatuan suku-suku (

etnik-etnik ) bangsa yang menduduki wilayah Indonesia. c ).

Pengakuan terhadap filsahat hidup; Bhinneka Tunggal Ika (

berbeda-beda tetapi satu jiwa ), baik dalam etnik, kebudayaan

atau keagamaan. Perbedaan-perbedaan ini tidak menjadi

penghalang untuk bersatu di bawah satu dasar negara, yaitu

Pancasila. d ). Nilai-nilai ketiga ini menjiwai ( mendasari ) sila

keempat dan sila kelima.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan

dalam permusyawarata / perwakilan, mengandung nilai-nlai

kerakyatan, antara lain; a). Kedaulatan negara adalah di

tangan rakyat. b). Pemimpin kerakyatan adalah hasil hikmah

kebijaksanaan yang didasarkan akal sehat. c ). Manusia

Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat yang

mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dan tanggung jawab

yang sama di depan hukum. d ). Musyawarah untuk mufakat

diperoleh dalam permusyawaratan wakil-wakil rakyat di

Parlemen. e ). Nilai-nilai sila keempat ini menjiwai ( mendasari

) sila kelima.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mengandung

nilai-nilai keadilan sosial, antara lain;

a ). Merealisasikan keadilan dalam kehidupan sosial atau

masyarakat harus meliputi seluruh rakyat Indonesia secara

merata. b). Keadilan harus diwujudkan terutama meliputi

aspek-aspek keberagmaan, pendidikan, politik, ekonomi,

sosial, budaya, pertahanan, keamanan nasional, dan

sebagainaya. c ). Cita-cita masyarakat adil dan makmur,

material dan spiritual harus segera diwujudkan secara merata

bagi seluruh rakyat Indonesia. d ). Keseimbangan atara hak dan

kewajiban, dan menghormati hak orang lain. e ). Komitmen

pada kemajuan dan pembangunan bangsa.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat dipahami

bahwa Pancasila adalah filsafat kehidupan rakyat Indonesia dalam

berbangsa dan bernegara, meskipun ada kalangan yang tidak setuju

dengan alasan bahwa Pancasila itu hanyalah sekumpulan

pernyataan-pernyataan yang baik tetapi tidak mencukupi untuk

dinyatakan sebagai kesatuan filsafat. Pandangan ini dibantah oleh Muh.

Yamin, bahwa Pancasila itu tersusun secara harmoni dalam suatu

Page 88: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

325

sistem filsafat.206

Penulis juga melihat demikian; bahwa Pancasila

memang merupakan filsafat kenegaraan yang dijadikan dasar bagi

negara Republik Indonesia, karena Pancasila hasil dari hikmah (

wisdom ), kebijaksanaan, kearifan, dan ini sebagai ciri umum filasafat.

Bahkan K.H. Saefuddin Zuhri ( mantan Menteri Agama di era Orde

Lama ) menegaskan; Pancasila itu disebut sebagai filsafat nasional

modern207

. Dari sisi lain tinjauan Pancasila sebagai filsafat kenegaraan

secara metodologis akan mampu melahirkan pemikiran-pemikiran

kritis yang dapat membuka perspektif bangsa Indonesia berpandangan

rasional, luas dan terbuka. Dengan aktivitas-aktivitas filsafat, ideologi

Pancasila dapat terhindar dari pembekuan dan sikap otoriter atau

pemikiran irrasional. Jadi, sifat filsafati yang melekat pada Pancasila

menjadikannya ideologi yang dinamis dan fleksibel sesuai dengan

tuntutan hidup manusia Indonesia yang selalu berubah-ubah dari waktu

ke waktu. Namun demikian, hal ini tergantung pula pada kesediaan

manusia-manusia Indonesia untuk senantiasa tanggap dan cermat

terhadap berbagai situasi dan kondisi yang selalu berubah. Apakah

bangsa dan rakyat Indonesia senantiasa siap menghadapi

perubahan-perubahan dengan tetap berpijak pada ideologi Pancasila ?.

Jawabannya tentu saja; Pancasila harus menjadi world view dalam

menanggapi setiap perubahan yang terjadi pada bangsa ini, agar tidak

kehilang arah dan identidas kebangsaannya, dan tidak terombang

ambing oleh berbagai arus gelombang yang datang menerpa pada saat

apa saja dan kapan saja.

13. Pancasila dan Permasalahan Bangsa

Filsafat kenegaraan sebuah negara memiliki peranan yang sangat

vital dalam mengkonstruksi dasar aturan atau undang-undang dasar (

konstitusi ). Namun dasar aturan atau undang-undang dasar tersebut

secara politis harus sejalan dengan kebutuhan dan aspirasi rakyatnya

sesuai dengan tuntutan situasi yang selalu berubah dari waktu ke

waktu208

, karena filsafat kenegaraan tersebut bukan untuk kepentingan

206

Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h.

454 207

Saefuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik Indonesia ( Jakarta: PT. Gunung

Agung, 1981 ), h. 51 208

Faisal Baasir, Etika Politik Pandangan Seorang Politisi Muslim ( Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 2003 ), h. 36

Page 89: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

326

individu atau kelompok ( penguasa ). Jika yang didahulukan

kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, maka akan memunculkan

tirani kekuasaan. Di negara Indonesia yang menerapkan sistem

demokrasi tentu saja harus terhindar dari segala bentuk tirani dan

diktatorial kekuasaan. Dengan demikian, dasar aturan dan kebijakan

politik adalah untuk melindungi kepentingan semua warga dan rakyat,

tanpa ada diskriminasi, baik karena faktor agama, status sosial, etnik,

aliran dan sebagainya. Oleh karena itu, filsafat kenegaraan sebagai

world view yang menjadi landasan undang-undang dasar dan kebijakan

politik pemerintah harus bisa mengakomodasi semua kepentingan

masyarakat dan bangsanya.

Dengan demikian, Pancasila sebagai filsafat dan ideologi negara

harus sesuai dengan dinamika ruang dan waktu, agar dapat menjawab

kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Setumpuk permasalahan

bangsa yang dihadapi, antaranya; Pemahaman terhadap konsep Negara

Hukum berdasarkan Pancasila yang belum memberikan kesan positif

dalam realitas kehidupan sehari-hari, upaya demokratisasi dalam

politik, hukum dan ekonomi yang belum memberikan hasil yang

memuaskan, prinsip keterbukaan ( transparansi ) yang sampai saat ini

belum terbuka atau setidaknya tidak jelas, dan sebagainya. Secara

terperinci barangkali penulis dapat kemukakan setumpuk

permasalahan yang dihadapi bangsa dan rakyat Indonesia sebagai

berikut;

1. Permasalahan sosial, budaya dan lingkungan, seperti;

Korupsi yang sudah kronik dan membudaya di kalangan Pejabat

dan Pemerintah dari atas sampai bawah, meskipun sudah

ditangani KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ) tetapi hasilnya

belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Tindak kejahatan

korupsi sampai saat ini masih tetap terus berjalan, bahkan

menurut ketua KPK ( tahun 2013/2014 ); Abraham Samad bahwa

telah terjadi regenerasi para koruptor baru, Banjir

bandang yang terjadi akibat penumpukan sampah di mana-mana,

Kebakaran hutan akibat perilaku yang ceroboh dan tidak

bertanggung jawab, Kemacetan lalulintas akibat tidak adanya

sistem dan aturan ketat yang harus dipatuhi oleh pengendara,

baik motor atau mobil, Premanisme yang bermunculan di

mana-mana, Bencana alam akibat tangan-tangan manusia yang

tidak peduli dengan keselamatan lingkungan, Penyakit kaki babi

Page 90: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

327

dan flu burung akibat tidak adanya sistem penanganan kesehatan

yang terpadu, Narkoba yang terus menjadi-jadi akibat

penanganan yang tidak memberikan jera, TKI yang selalu

bermasalah terutama terjadi di beberapa negara, seperti di

Malaysia, Arab Saudi dan sebagainya.

2. Permasalahan Ekonomi; seperti, Kemiskinan, Pengangguran,

Pemutusan hubungan kerja ( PHK ), Penyediaan listrik / energi,

Penyelundupan, Ketimpangan ekonomi, Infrastruktur yang

tidak yang tidak layak digunakan, Angkutan umum yang tidak

layak pakai terutama angkot-angkot, Pungutan liar, Industri

militer yang lemah, Daya saing yang lemah, dan sebagainya.

3. Permasalah hukum; seperti, Makelar kasus ( Mafia hukum ),

Mafia Peradilan, Para penegak hukum ( Kejaksaan, Kepolisian

dan KPK ) yang kurang kredibel, Illegal loging, Illegal fishing,

Birokrasi yang bertele-tele, Kepastian hukum yang tidak

menentu, Wilayah perbatasan yang sering terusik, seperti dengan

Malaysia, dan sebagainya.

4. Permasalahan Pendidikan; seperti, Kualitas pendidikan

rendah, Daya saing lulusan pendidikan dalam negeri lemah,

Universitas tidak berdaya saing di tataran level dunia, kos biaya

pendidikan tinggi, dan sebagainya.

Semua permasalahan yang muncul ke permukaan tersebut akan

berdampak pada lambatnya pertumbuhan ekonomi dan munculnya

berbagai permasalah baru. Hal ini berimplikasi pada masih jauhnya

cita-cita terciptanya kesejahteraan dengan berbagai pasilitas yang

memadai bagi rakyat dan bangsa Indonesia seluruhnya. Penyebab

utamanya ( baik disadari atau tidak ) adalah mentalitas bangsa yang

lemah, yaitu tidak adanya sikap amanah dan kejujuran pada diri

sendiri, pada masyarakat, pada bangsa, dan bahkan kepada Tuhan (

Allah ). Bisa dipastikan bagaimana mungkin dengan sesama

manusia saja tidak jujur atau amanah, apalagi dengan Tuhan ( Allah ),

Zat yang tidak bisa dilihat ( Maha Ghaib ).

Di awal era Orde baru, Pancasila seolah mendapatkan tempat

istimewa di mata masyarakat dan bangsa Indonesia. Di setiap sudut dan

penjuru negeri, Pancasila selalu menggema, di sekolah-sekolah, di pasar,

di rumah-rumah, di instansi-instansi Pemerintah atau swasta, setiap

rakyat Indonesia, tua, muda, kecil, semuanya harus berpahaman

Pancasilaisme. Pencitraan kondisi seperti ini diperluas ke setiap lapisan

Page 91: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

328

masyarakat dari tingkat atas sampai tingkat Rt. dan Rw. Tetapi

kemudian tanpa disadari, Pemerintah Orde Baru terjebak ke dalam

kondisi diktatorial dan tirani. Hal ini memunculkan stigma bahwa

Pemerintah Orde Baru telah menempatkan Pancasila sebagai alat untuk

kepentingan politik, sebagai upaya melindungi sikap diktatorialnya,

termasuk mematikan lawan politiknya yang tidak sejalan dengan

kebijakannya209

, dengan tuduhan tidak Pancasilais, bahkan yang lebih

tragis tuduhan subversif; suatu tuduhan yang tidak mencerminkan

sikap demokratis sebenarnya, sehingga terciptra kondisi yang apatis di

kalangan masyarkat, Jadinya, daya kreativitas dan daya kritisnya

terhambat, akibatnya perasaan takut dan tidak percaya diri menyelimuti

lapisan masyarakat banyak, terutama masyarakat kalangan bawah.

Ini artinya bahwa rakyat dan bangsa Indonesia di era Orde Baru sangat

lambat dalam mengejar perkembangan dan kemajuan dalam berbagai

aspek kehidupan, seperti; pertumbuhan ekonomi yang merata, kualitas

pendidikan yang bisa dibanggakan, kemajuan teknologi dan

sebagainya, meskipun tidak dinafikan ada pencapaian signifikan di

beberapa bidang, seperti antaranya; ketahanan dan stabilita politik

nasional, keberhasilan dalam menekan tingkat laju pertumbuhan

penduduk melalui kebijakan sistem KB ( Keluarga Berencana ),

suwasembada pangan, dan lain-lain. Tetapi keberhasilan Pemerintah

Orde Baru dalam beberapa sektor pembangunan tersebut tidak dapat

membawa Indonesia ke tingkat pencapaian yang membanggakan, tetap

saja Indonesia tergolong negara yang lamban. Indonesia dalam

banyak hal telah banyak ketinggalan jika dibandingkan dengan

negara-negara tetangganya, seperti Singapura dan bahkan Malaysia,

yang sama-sama bangsa serumpun, yaitu bangsa Melayu, apalagi dengan

negara-negara lain di dunia Eropa, Amerika, Jepang dan sebagainya.

Pada saat yang bersamaan, justeru Pemerintah Orde Baru menunjukan

keadaan yang bersebrangan, karena menggunakan pendekatan;

Demokrasi Pancasila, yang berarti bahwa pelaksanaan Demokrasi

sebagai sistem perpolitikan nasional mengacu pada nilai-nilai yang

terkadung di dalam Pancasila. Memang dapat dimengerti bahwa dengan

menjadikan idea ini sebagai dasar dan langkah politik rezim Orde Baru,

bisa diambil kesimpulan bahwa Demokrasi Pancasila mewakili

209

Lihat Ricklefs, Sejarah Indonesia, h. 432, Lihat juga Bachtiar Effendi,

Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (

Jakarta: Paramadina, 1998 ), h. 47

Page 92: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

329

pendekatan yang secara khusus sesuai dengan nilai-nilai budaya

bangsa Indonesia.

Dalam konteks kehidupan keagamaan di Indonesoa, Pancasila

pada dasarnya merupakan doktrin yang bertujuan untuk mengakomodasi

kehidupan umat beragama yang berbeda-beda. Doktrin ini tidak hanya

menawarkan agama sipil yang bersifat non sekular, tetapi juga tidak

bersifat sektarian sebagai alternatif dari terbentuknya negara Islam.210

Selama era Orde Baru, Pancasila diterima oleh umat Islam karena

kompromi politik antar berbagai pihak. Ironisnya, di bawah otoritas

kekuasaan Soeharto, baik disadari atau tidak, Pancasila ( Demokrasi

Pancasilanya ) telah dijadikan alat untuk menjastifikasi hegemoni

kekuasaannya. Idea yang berkembang dan dianggap bertentangan

dengan Pancasila atau sikap yang dianggap menyimpang dari

kehendak Pemerintah dengan cepat akan dituduh sebagai anti Pancasila (

tidak Pancasilais ).

Kemunculan Orde Baru, sebagai pengganti Orde Lama yang

menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin, dan oleh Pemerintah Orde

Baru Demokrasi Terpimpin dianggap bertentangan dengan Pancasila,

maka kemudian dimunculkan gagasan baru bernama “ Demokrasi

Pancasila “. Pada awalnya Umat Islam khususnya, sangat antusias dan

positif menyambut tampilnya Orde Baru dalam panggung perpolitikan

Nasional karena ketegasannya terhadap paham Komunis dan PKI. Sikap

tegas yang diperlihatkan Presiden Soeharto ini menjadikan rakyat

Indonesia yang tidak sepaham dengan ideologi Komunis, terutama Umat

Islam, sangat simpati karena memang sejak awal tidak sedikit dari Umat

Islam berpartisipasi bersama Tentara Nasinal Indonesia ( khususnya dari

kalangan Angkatan Darat ) dalam menumpas gerakan PKI yang

dianggap terlah menghianati negara. Tetapi sayang, sambutan positif ini

tidak berlangsung lama. Panggung perpolitikan nasional di masa Orde

Baru didominasi oleh semanagat sekularisasi yang berimplikasi pada

peminggiran Islam Politik ( marginalisasi Islam Politik ) dari arena

perpolitikan nasional, selain terjadinya monopoli tafsir dan makna

Pancasila oleh Pemerintah Orde Baru, yang kemudian digunakan

sebagai alat untuk menumpas aspirasi Islam politik.211

210

Frederik, dkk ( ed ), Pemahaman Sejarah Indonesia, h. 400 211

Band. Adian Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak

Konstitusional Umat Islam ( Jakarta: Gema Insani, 2009 ), h. 101

Page 93: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

330

Demokrasi Pancasila faktanya hanya pembalut atau kemasan

yang membungkus luka atau borok yang kronik. Demokrasi yang

berdasarkan Pancasila sebenarnya tidak terrealisasi, yang

direalisasikan justeru yang kontra dengan Demokrasi itu sendiri. Hal

ini dapat dibuktikan dengan pemberlakukan sistem pemerintahan yang

otoriter oleh rezim Orde Baru, selain membudayanya masalah korupsi,

kolusi, nepotisme dan sebagainya. Oleh karena itu, ketika menjelang

lengsernya rezim Orde Baru tahun 1998 akibat munculnya gelombang

ketidak percayaan rakyat terhadap kredibelitas Pemerintah meledak

bagaikan lahar yang muntah dari perut gunung tidak dapat dibendung.

Hal ini sebagai akibat dari penggunaan Pancasila sebagai instrumen

untuk menjastifikasi dan melegalisasi kekuasaan Orde baru. Hal ini

terbukti ketika Pancasila sudah dianggap baku, tidak bisa

diinterpretasikan oleh siapapun, kecuali oleh Badan tertentu ( seperti

BP-7 ), maka Pancasila tidak dapat dikaji ulang, seolah-olah seperti

sesuatu yang sakral. Sebagai bentuk ideal, Pancasila harusnya terus

dikaji dan direlevansikan dengan semangat zamannya, sehingga

eksistensi Pancasila tetap diperlukan oleh anak bangsa pada setiap saat.

Sebagai sebuah ideologi dan filsafat negara, Pancasila harus menjadi

spirit dan orientasi bangsa,212

sehingga Pancasila dapat dijadikan

referensi dalam menetapkan langkah-langkah strategis dalam

membangun bangsa dan negara ke depan. Sebuah realitas yang tidak

dapat ditutup-tutupi, bahwa dikalangan siswa atau pelajar ada

kecendrungan bahwa di antara mereka banyak yang tidak memahami

apa itu Pancasila ?. Bahkan ada yang tidak tahu ururtan-urutan sila-sila

Pancasila. Realitas ini setidaknya dapat kita saksikan di tayangan TV

dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kesatuan

Bangsa dan Politik, Kementerian Dalam Negeri. Gejala ini memang

diakui oleh banyak kalangan terjadi setelah era Reformasi, setelah

jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Hal ini karena muatan pendidikan

berkaitan dengan Pancasila berkurang. Kondisi ini diperparah lagi oleh

makin diabaikannya pendidikan pembangunan karakter siswa di sekolah

dan bahkan di tingkat Universitas.

Dalam hiruk pikuk dan kompleksitas permasalahan kehidupan

dalam berbangsa dan bernegara, Pancasila sebagai filsafat dan dasar

negara kini di era Reformai disadari telah berada di ambang batas.

212

Lihat Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam (

Yogyakarta: Surya Raya, 2004 ), h. VII

Page 94: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

331

Sejarah panjang tentang perdebatan seputar dasar negara dalam rangka

memperjuangkan untuk menggapai cita-cita bangsa Indonesia kini

sampai pada kenyataan bahwa Pancasila masih jauh dari harapan,

eksistensinya sempat dipertanyakan, dan barangkali digantikan dengan

ideologi lain jika para pemimpin bangsa ini tidak peduli lagi dengan

Pancasila.

14. Fobia Pancasila Melemahkan Tingkat Nasionalisme Indonesia Sebagai sebuah konsensus nasional, Pancasila merupakan

pandangan hidup ( way of life ) bangsa Indonesia yang terbuka dan

bersifat dinamis. Sifat keterbukaan Pancasila dapat dilihat pada muatan

Pancasila sebagai paduan nilai-nilai ke-Indonesiaan yang plural

dengan nilai-nilai yang bersifat universal213

. Universalitas Pancasila

dapat dilihat pada semangat sila-sila Pancasila yang tersusun dalam lima

prinsip, yaitu; semangat Ketuhanan Yang Maha Esa, semangat

kemanusiaan yang adil dan beradab, semangat persatuan Indonesia,

semangat kerakyatan yang dipimpin oleh hiknah kebijaksanaan dalam

permusyawaratan /perwakilan, dan semangat keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia 214

.

Namun demikian nilai-nilai ideal Pancasila sebagaimana

dijelaskan di atas, telah tereduksi dan disalah gunakan oleh penguasa

Orde Baru, terbukti Pancasila telah dijadikan alat untuk menekan suara

kedaulatan rakyat dengan atas nama pembangunan nasional. Pemerintah

Orde Baru juga telah melakukan penyeragaman tafsir atas Pancasila

yang dibakukan dan dipelajari secara paksa melalui penataran P-4 dan

pendidikan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi215

. Anehnya pada

saat yang sama pemerintah Orde Baru telah melakukan

tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila

itu sendiri; tindakan represif, korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyalah

gunaan wewenang di kalangan para pejabat pemerintahan sudah menjadi

fenomena umum. Implikasi dari semuanya ini adalah munculnya sikap

fobia ( antipati ) sebagian besar rakyat Indonesia atas Pancasila.

Implikasi ini dapat dirasakan sampai saat kini.

213

Lihat A.Ubaedillah dan Abd. Rozak ( peny. ), Demokrasi, Hak Asasi

Manusia dan Masyarakat Madani, h. 23 214

Ibid. h. 23 215

Ibid. h. 23

Page 95: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

332

Era Reformasi jelas mewarisi dampak negatif itu, akibatnya

Pancasila terkesan tidak dipedulikan. Sepolah-olah Pancasila dinilai

gagal sebagai dasar dan ideologi negara untuk menjadikan bangsa ini

mencapai kemajuan dan kesejahteraan hidup sebagai layaknya manusia

beradab. Walaupun faktanya begitu, selagi bangsa ini masih tetap

memiliki komitmen tinggi terhadap Pancasila, maka Pancasila akan

tetap ditempatkan pada posisinya sebagai dasar dan filsafat negara

Indonesia. Sebagai sebuah karya luhur anak bangsa, Pancasila memang

harus tetap ditempatkan pada kedudukan terhormat dalam khazanah

kehidupan berbangsa dan bernegara. Posisinya sebagai dasar nilai

dan pedoman bersama ( common platform ) untuk mewujudkan tujuan

kesejahteraan bersama216

. Dalam konteks sebagai dasar berbangsa dan

bernegara, Pancasila tidak bisa digantikan oleh pandangan-pandangan

sektarian manapun, yang berpotensi mengancam keutuhan Indonesia

sebagai sebuah bangsa dan negara kesatuan.

Di tengah-tengah gerak reformasi dan demokratisasi yang kini

tengah berlangsung dalam berbagai aspek kehidupan, terkesan ada

semacam ketidak beranian di kalangan masyarakat umum untuk

mengemukakan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI,

Bhinneka Tunggal Ika, Wawasan kebangsaan, Stabilitas,

Pembangunan, Kemajemukan dan lain sebagainya217

. sepertinya tidak

confidence jika berbicara tentang dasar-dasar kehidupan berbangsa

tersebut. Ada semacam kekuatan kolektif dianggap tidak sejalan dengan

gerak reformasi dan demokratisasi, maka ada rasa takut dicap tidak

reformis.

Memang di era Reformasi terkesan ada semacam alergi jika

menyebut gagasan-gagasan tersebut di atas, karena semua itu pernah

diwujudkan ( created ) di era Orde Baru yang menerapkan sistem

pemerintahan otoriter. Seolah-olah jika menyebut kembali dasar-dasar

tersebut ( Pancasila, UUD-1945, dll. ) identik dengan orang Orde Baru218

Padahal sebagai bangsa yang beradab tidak seharusnya bersikap seperti

216

Ibid. h. 24 217

Lihat Zaenal A.Budiyono, Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY

Mengawal Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia ke Orbit Dunia ( Jakarta: DCSC

Publishing, 2008 ), h. 66 218

Pemerintah Orde Baru yang berlangsug selama kurang lebih 32 tahun

dianggap telah banyak menyalah gunakan wewenang, KKN dan sebagainya. Sehingga

memunculkan imej yang tidak menyenangkan, meskipun dalam beberapa aspek

dianggap berhasil.

Page 96: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

333

itu. Justeru dasar-dasar tersebut secara objektif harus didukung,

bahkan terus dipelihara sampai kapanpun dalam rangka membangun

kembali Indonesia di masa depan yang lebih baik. Memang tidak dapat

dinafikan bahwa di era Orde Baru telah terjadi kesalahan-kesalahan

fatal, tetapi tidak secara otomatik kesalahan-kesalahan itu menyangkut

substansi materi dasar-dasar tersebut. Kesalahan-kesalahan tersebut

sebenarnya terjadi pada tataran praktis atau pendekatan sebagai akibat

dari kebijakan yang tidak mempertimbangkan sisi positif dan negatif,

atau kebijakan yang tidak didasarkan pada dasar pemikiran

komprehensif. Hal ini terbukti bahwa Pancasila didoktrinasikan

melalui penataran P-4 yang dilakukan secara paksa dan ancaman219

,

sehingga menjadi dogma yang harus diterima tanpa ada kritikan. Pada

tataran inilah letak kesalahan, bukan pada substansi materi. Pancasila

yang telah mendapatkan konsensus nasional untuk menjadi dasar negara

Republik Indonesia adalah tetap menjadi sesuatu yang vital dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara, maka sikap fobia terhadap

Pancasila seharusnya tidak ada pada rakyat dan bangsa Indonesia.

Pancasila yang kurang mendapatkan perhatian serius di era

Reformasi, memang bukannya tanpa alasan, karena ternyata beberapa

kali pergantian kepemimpinan nasional sepanjang era reformasi tidak

pernah menempatkan Pancasila sebagai agenda prioritas. Para

pemimpin sibuk bertengkar di tengah kecamuk konflik dan upaya

mempertahankan kekuasaanya220

. Sementara Demokrasi yang baru

mekar karena mendapatkan momentumnya di era Reformasi dimaknai

secara sepihak. Padahal sejatinya Demokrasi merupakan cara atau pola

menuju pencapaian nasional interes. Demokrasi sepanjang era

Reformasi diakui oleh sebagian kalangan lebih sering menampakan sisi

kelamnya dengan berbagai benturan kepentingan jangka pendek di

219

Penulis mengalami sendiri ancaman ini, sewaktu belajar di Universitas

Islam Madinah Saudi Arabia sekitar tahun-tahun 1982 – 1988. Rezim Orde Baru

melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia di Jeddah ( waktu itu KBRI belum

pindah ke Riyadh ) memaksa Mahasiswa-Mahasiswa yang tergabung dalam organisasi

Persatuan Pelajar Indonesia ( PPI ) Saudi Arabia, harus mengikuti penataran P-4. Jika

tidak, maka urusan-urusan berkaitan pasport tidak akan dilayani, bahkan yang labih

parah lagi ada introgasi yang menyatakan; Apakah kamu orang Indonesia ? atau orang

Islam ? 220

Lihat Zaenal A. Budiyanto, Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY

Mengawal Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia ke Orbit Dunia, h. 67

Page 97: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

334

kalangan elite politik221

. Jika memang demikian kondisinya, tidak

salah kalau ada kesimpulan bahwa Pancasila kurang mendapat perhatian

serius di era Reformasi.

Pada tahun 1955 hingga 1959 telah terjadi perdebatan sengit

dalam Badan Konstituante tentang ideologi dan bentuk negara yang

compatible dengan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia. Para

pemimpin Islam meyakini bahwa dasar Islam adalah sesuai untuk

menjadi kekuatan ideal pemersatu sebgai fondasi berbangsa dan

bernegara, karena memang diakui bahwa Islam sudah menjadi

pandangan hidup yang mewarnai kehidupat umat Islam Indonesia

semenjak beberapa abad yang lalu, dan hal ini dibuktikan dengan

berdirinya pemerintahan yang dalam bentuk Kesultanan tersebar di

berbagai wilayah. Sementara kaum Sosialis bersikeras ingin

menjadikan Marxisme – Leninisme sebagai model dasar kehidupan

berbangsa dan bernegara222

. Mereka menghendaki paham Komunis

sebagai dasar negara Indonesia. Tetapi pada akhirnya Pancasila

muncul kembali sebagai satu-satunya jalan tengah223

untuk mengatasi

kebuntuan perdebatan tentang dasar negara tersebut. Kemudian sekali

lagi Pancasila berhasil menjadi dasar dan ideologi negara. Di bawah

Pancasila, para pemeluk agama yang berbeda-beda dapat hidup

berdampingan dengan rukun dan harmonis.224

Suatu realitas yang tidak

dapat dinafikan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang plural,

walau bagaimanapun bangsa Indonesia harus terus berupaya untuk

melakukan upaya-upaya strategis dalam rangka memastikan agar

Pancasila tetap menjadi dasar atau fondasi yang dapat mengakomodasi

semua perbedaan-perbedaan yang ada.

15. Pancasila Ideologi Nasional di Era Globalisasi

Ideologi Nasional memiliki peran dan fungsi yang sangat vital

dan strategis dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.

221

Zaenal A. Budiyono, Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY

Mengawal Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia ke Orbit Dunia, h. 67 222

Pada waktu itu Uni Soviet ( sekarang Republik Rusia ) menjadi model

kesuksesan para penganut aliran Komunis. Bung Karno sendiri mengkagumi Uni

Soviet. 223

Lihat Zaenal A. Budiyono, Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY

Mengawal Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia ke Orbit Dunia, h. 66 224

Lihat Soetrisno Bachir, Membangun Kemandirian Bangsa ( Jakarta:

Belantika, 2005 ), h. 11 - 12

Page 98: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

335

Diskursus ini sangat penting karena pada saat ini, terutama di era

Reformasi banyak kalangan tidak mau berbicara tentang hal-hal terkait

dengan Pancasila. Hal ini dapat dimengerti karena kesalahan-kesalahan

di masa lalu di era Orde Baru, baik disengaja ataupun tidak, para

penguasa kerap kali menjadikan Pancasila sebagai alat untuk

mempertahankan kepentingan kekuasaan sesaat, maka tidak heran jika

saat ini orang alergi atau meresa tidak confidence ( percaya diri ) jika

berbicara Pancasila. Pancasila sebagai Dasar Negara dianggap gagal

membangun bangsa di masa lalu.

Kondisi ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena akan

membahayakan keutuhanan integrasi Nasional. Oleh karenanya harus

ada upaya-upaya refreshing dalam rangka merevitalisasi makna dan

implementasi, serta memastikan pendekatan-pendekatan baru yang lebih

efektif bagi penguatan ideologi Pancasila, agar Pancasila sebagai

ideologi Nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tetap eksis

dan semakin kuat jika kita ingin melihat Indonesia ke depan tampil

sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) tetap wujud

selamanya di bumi persada Nusantara.

15.a. Fakta dan Pengembangan Ideologi Pancasila

Pancasila yang sudah menjadi konsensus Nasional sejak 18

Agustus 1945 mengandung nilai dan gagasan dasar, dan oleh

karenanya dinyatakan sebagai ideologi Nasional. Nilai dan gagasan

dasar tersebut pada hakikatnya telah terjabarkan dalam kehidupan

sehari-hari bangsa Indonesia sebagai sikap, perilaku dan kepribadian

yang sudah menjadi turun temurun dari generasi ke generasi. Pancasila

sebagai ideologi Nasional bersifat khas berlaku bagi bangsa Indonesia.

Oleh karena itu di era Globalisasi seperti saat ini, dengan munculnya

berbagai persaingan ideologi dunia yang memasuki Indonesia, seperti

Kapitalisme, Sosialisme dan sebagainya, agar Pancasila tetap eksis dan

tidak terjadi kebekuan dan kaku, maka perlu ada upaya-upaya terobosan

baru.

Sebuah ideologi yang baik dan dapat memelihara

kerelevansianya dari waktu ke waktu agar tetap sesuai dengan ruang dan

waktu yang selalu berubah dan tahan uji terhadap persaingan berbagai

ideologi dunia, serta dapat menyerap berbagai aspirasi masyarakatnya

yang selalu mengalami dinamisasi dari waktu ke waktu, maka ideologi

harus memiliki tiga dimensi dasar, yaitu;

Page 99: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

336

1. Dimensi realitas;

Artinya bahwa nilai dasar yang terkandung di dalam ideologi

harus bersumber pada nilai-nilai yang nyata, yang hidup dalam

masyarakatnya, terutama ketika ideologi tersebut dirumuskan,

sehingga masyarakat sebagai pendukungnya betul-betul

merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai dasar itu telah

tertanam dan berakar dalam realitas kehidupan masyarakat.

2. Dimensi idealisme;

Artinya ideologi tersebut mengandung cita-cita yang ingin

dicapai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; politik,

ekonomi, pendidikan, hukum, kebudayaa dan sebagainya,

sehingga masyarakat yang bersangkutan tahu kearah ana mereka

membangun bangsa dan negaraya.

3. Dimensi fleksibilitas dan pengembagan;

Artinya bahwa ideologi tersebut membuka diri untuk menerima

perkembangan pemikiran baru dalam rangka memperkaya

khazanah dan wawasan tanpa mencabut nilai-nilai dasar yang

terkandung di dalamnya225

.

Ketiga-tiga dimensi dasar tersebut hanya bisa dimungkinkan

oleh sebuah ideologi yang terbuka atau ideologi yang demokratis.

Idelogi terbuka adalah ideologi yang dapat berinteraksi denga

perkembangan zaman dan adanya dinamika internal yang memberi

peluang ( kesempatan ) kepada penganutnya untuk mengembangkan

pemikiran yang relevan dan sesuai dengan perkembangan zaman,

sehingga ideologi tersebut tetap aktual.226

Karena secara filosofis

maupun konseptual ideologi memiliki peran dan fungsi yang strategis

dalam membangun kehidupan berbangsadan bernegara, karenanya harus

disadari bahwa tanpa idelogi yang kuat dan berakar pada nilai-nilai

budaya sendiri, suatu bangsa akan mengalami kesulitan ( hambatan )

dalam mencapai cita-citanya227

. Pentingnya ideologi bagi sebuah

negara dapat dilihat dari kehidupan politik praktis, di mana setiap Partai

Politik yang ada memiliki platform yang jelas. Platform inilah sebagai

225

Lihat, M. Syamsudin, Pendidikan Pancasila ( Menempatkan Pancasila

Dalam Konteks Ke-Islaman Dan Ke-Indonesiaan ) ( Yogyakarta: Total Media, 2009

), h. 126 226

Ibid. 227

Ibid. h. 98

Page 100: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

337

refleksi dan implementasi dari sebuah ideologi228

. Dalam konteks ini,

Pancasila sebagai ideologi nasional dalam berbangsa dan bernegara

sudah memenuhi tiga dimensi dasar tersebut. Permasalahannya

adalah tergantung pada efektivitas pengembangan dan pendekatan yang

dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang. Konsekuensi dari

penegasan ini adalah bahwa Pancasila harus menjadi ideologi terbuka,

dan ini sangat diperukan berdasarkan kebutuhan konseptual.

Keterbukaan ideologi artinya terbuka untuk terjadinya interaksi nilai

yang terkandung di dalamnya dengan nilai-nilai yang berkembang di

masyarakat lingkungan sekitar, terutama pada tataran nilai penjabaran

atau nilai instrumentalnya, dan bukan pada tataran nilai dasarnya.

15.b. Rehabilitasi dan rejuvenasi ideologi nasional di era global

Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara Indonesia, kini

telah berada pada ambang batas, di mana masyarakat sudah kurang

peduli ( careless ) terhadapnya, apakah sebagai dasar Negara,

filsafat Negara atau sebagai ideologi Negara. Sejarah panjang

perdebatan mengenainya229

, dan sejarah perjalanannya dari

momentum ke momentum ( dari kelahiran, mencari jati diri, perjuangan,

hingga mempertahankan ) dalam rangka mencapai cita-cita bangsa

Indonesia telah sampai pada suatu realitas bahwa Pancasila masih jauh

dari harapan. Tahun 1983 Pancasila ditetapkan oleh Mejelis

Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) melalui Tap MPR Nomor

II/MPR/1983 sebagai satu-satunya asas untuk semua organisasi sosial

dan politik230

. Kini sejak era Reformasi, Pancasila mulai dipertanyakan

kedudukannya dan mungkin bisa digantikan ( jika tidak segera

diantisipasi ) oleh segelintir kelompok atau golongan yang

menginginkan tegaknya sistem pemerintahan lain.

Jika melihat ke belakang ketika Soekarno mendekritkan kembali

Pancasila dan UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, dan Badan

Konstituante dibubarkan. Idea kembali kepada Pancasila sebagai dasar

negara ternyata dalam perkembangannya di kemudian hari terjadi

228

Ibid. h. 98 229

Terkait mengenai perdebatan dasar negara, bisa pembaca telusuri karya

Ahmad Syafii Maarif; Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan

Dalam Konstituante ( Jakarta:: LP3ES, 1996 ), Cet. Ke 3, hlm. 144 - 157 230

Ketetapan tersebut kemudian mengalami perubahan pada tahun 1998

berdasarkan rencana Tap MPR No . . . ./ MPR/ 1998 tentang pencabutan Tap MPR

No. II/MPR/1983

Page 101: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

338

penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang. Hal ini ternyata erat

kaitannya dengan kekuasaan yang ada pada genggaman Soekarno.

Isu-isu politik yang muncul pasca Dekrit Presiden 1959 memaksa

Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan yang diarahkan untuk

mempertahankan kekuasaan politik. Tiga kekuatan politik besar ( PNI,

NU dan PKI ) yang ada pada waktu itu, menurut sebagian kalangan,

bisa saja merongrong kekuasaan Soekarno bila tidak ditangani dengan

hati-hati. Kebijakan Soekarno tertuang dalam gagasannya tentang

Nasakom ( Nasionalisme, Agama dan Komunisme ). Kemunculan

paham Nasakom ini dilatarbelakangi ajaran Soekarno bahwa;

Pancasila bukan merupakan sistem ideologi yang ketat dan monopolistis

seperti Komunisme . . . . . . . . . waktu Pancasila lahir dalam tahun 1945

Komunisme tidak hadir dalam masyarakat kita231

. Oleh karena itu

Soekarno membuat lagi ideologi lain selain Pancasila, yaitu Nasakom.

Jadi, kemunculan gagasan Nasakom hasil dari pemahaman Soekarno

tentang eksistensi Pancasila bahwa; Pancasila bukan sistem ideologi

yang ketat, maka Nasakom menurut Soekarno merupakan manifestasi

dari Pancasila. Tetapi sebenarnya gagasan Nasakom itu sebagai strategi

Soekarno untuk menguasai kekuatan-kekuatan politik agar selalu

berada pada genggamannya dengan tujuan memudahkan untuk

mempertahankan kekuasaan. Dengan kata lain gagasan ini tidak lebih

sebagai upaya untuk meredam gejolak politik pada waktu itu. Dengan

menampung ketiga kekuatan tersebut dalam satu payung, Soekarno

mencoba mengendalikan tiga unsur politik dominan. Namun, dengan

upaya besar ini implikasinya adalah munculnya semacam pengkhianatan

yang tidak terkendalikan oleh Soekarno sendiri terhadap Pancasila.

Meskipun dalam Pancasila sendiri unsur-unsur nasionalisme dan agamis

jelas terkandung di dalamnya, sementara paham Komunis pada

hakekatnya tidak ada. Tiga unsur kekuatan ini sebenarnya paradoks,

karena dari segi ajarannya Komunisme tidak mengakui adanya Tuhan (

tidak ber-Tuhan ) dan ini jelas bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang

Maha Esa. Tetapi dengan mengangkat idea Nasakom menjadi sebuah

ideologi, maka mau tidak mau telah terjadi penduaan ( paradoksial ), dan

ini tidak terelakan. Indonesia harus mengakui Pancasila di satu sisi, pada

sisi lain harus menjungjung Nasakom. Hal ini dapat dibuktikan dengan

pernyataan Soekarno sendiri yang berbunyi “……salah satu aspek dari

231

Bandingkan, Frederick dkk. ( ed. ), Pemahaman Sejarah Indonesia. hlm.

81

Page 102: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

339

Pancasila alat pemersatu adalah Nasakom, barang siapa menolak

Nasakom, berarti menolak Pancasila.232

Ini sebagai bukti bahwa

Nasakom disetarakan dengan Pancasila. Di sinilah letak

penyelewengan terjadi.

Pada gilirannya, Nasakom dapat dipahami sebagai manifestasi

politik Soekarno dalam rangka memperkuat idea Demokrasi

Terpimpinnya. Sebuah strategi politik sekalipun harus mengorbankan

Pancasila demi tercapainya cita-cita, Soekarno berupaya mengangkat

citranya melalui slogan-slogan kemakmuran, kesejahteraan,

nasionalisme yang agamis. Tentu saja Soekarno tidak akan pernah

menyatakan bahwa ada manipulasi politik di balik persoalan tersebut.

Sementara realitas kondisi negara kebalikan dengan slogan-slogan

Soekarno tersebut yang pada waktu itu ia gembar-gemborkan seiring

dengan menurunnya kharisma dan kekuasaannya. Hal ini ditandai

dengan terjadinya krisis lokal berupa inflasi keuangan negara sebesar

600% yang memaksa era Soekarno berakhir. Peristiwa ini ditandai

dengan penyerahan Supersemar 11 Maret 1964 233

.

Lengsernya rezim Orde Baru pada tahun 1998 memunculkan

berbagai kritik, terutama dari kalangan intelektual, terkait dengan

kekeliruan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru, maupun Orde Lama

menyebabkan Pancasila menjadi ideologi eksklusif ( tertutup ).

Seharusnya Pancasila diposisikan sebagai ideologi inklusif ( terbuka ).

Hal ini sebagaimana terungkap dalam salah satu buku “ Pendidikan

Kewarganegaraan “ sebagai berikut;

Pengalaman sejarah politik bangsa Indonesia di masa lalu,

seperti pada waktu besarnya pengaruh Komunisme, Pancasila

pernah menjadi doktrin yang kaku. Demikian juga waktu peran

pemerintah Orde Baru sangat dominan menjadikan Pancasila

sebagai ideologi tertutup234

.

Dua kata kunci dari petikan di atas, yaitu; kaku dan tertutup.

Kaku dapat diartikan bahwa Pancasila dikondisikan menjadi ideologi

yang tidak fleksibel. Hal ini karena Pancasila pada waktu Orde Lama

dimanifestasikan ke dalam gagasan Nasakom, yang dalam

perkembangannya kemudian menjadi ideologi di samping Pancasila.

232

Frederick, dkk ( ed. ), Pemahaman Sejarah Indonesia, hlm. 400 233

Frederick, dkk ( ed. ), Pemahaman Sejarah Indonesia, hlm. 400 234

Lihat Supriatnoko, Pendidikan Kewarganegaraan ( Jakarta: Penaku,

2008 ), hlm. 27 - 28

Page 103: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

340

Sementara, Tertutup, dapat diartikan bahwa Pancasila tidak dapat

ditafsirkan oleh siapa pun berdasarkan keperluan dan relevansi zaman

yang senantiasa menuntut perubahan dari waktu ke waktu, sehingga

Pancasila kemudian menjadi tertutup. Hal ini karena Pancasila

ditafsirkan oleh rezim Orde Baru dengan tafsiran yang sesuai dengan

kepentingan sesaat, maka kemudian Pancasila menjadi alat politik untuk

menjastifikasi tindakan-tindakan Pemerintah Orde Baru waktu itu.

Senada dengan pandangan dalam kutipan di atas, As`ad Said Ali

( Wakil Kepala BIN Th. 2001 – 2009 ) menyatakan di dalam karyanya “

Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa “, bahwa

kecendrungan untuk menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara

kembali muncul di era Orde Baru. Menurutnya, rezim Orde Baru telah

menjadikan dasar negara ( Pancasila ) sebagai ideologi tunggal. Hal ini

menurutnya lagi sama persis dengan cara Soekarno memahami Pancasila

sebagai kepribadian dan welstanchauung bangsa. Ini berarti sama

dengan menerima kebenaran Pancasila hampir tanpa pembuktian, maka

kemudian implikasinya Pancasila di era Orde Baru diposisikan sebagai

sebuah ideologi yang komprehensif, yaitu sebagai jiwa dan kepribadian,

sebagai pandangan hidup, sebagai tujuan, sebagai perjanjian luhur,

sebagai dasar negara, sebagai sumber dari segala sumber hukum, dan

seterusnya235

. Realitasnya upaya ini semua tidak dapat menciptakan

hasil yang baik bagi kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara yang

adil, makmur dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lengsernya rezim Orde Baru dan disusul dengan tampilnya era

Reformasi di pentas perpolitikan nasional dengan ditandai semaraknya

proses demokratisasi dalam berbagai bidang kehidupan, terbukanya

keran kebebasan ( liberalisasi ) dalam berbagai aspek kehidupan

berbangsa dan bernegara. Hal ini tentu saja menjadikan sebagian pihak

merasa bangga dengan pencapaian Indonesia dalam pelaksanaan

demokrasinya236

. Tetapi sayang sekali ada hal terpenting dan sangat

mendasar terkait dengan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang

terabaikan dan terlupakan, yaitu; Pancasila. Dalam salah satu seminar

235

Lihat As`ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa (

Jakarta: LP3ES, 2009 ), hlm. 34 - 39 236

Prestasi ini, setidaknya diukur dengan keberhasilan Indonesia dalam

menyelenggarakan dua kali Pemilihan Umum di era Reformasi, yaitu; pada tahun

2004 dan tahun 2009, dianggap sebagai negara yang paling demokratis di dunia

setelah Amerika dan India.

Page 104: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

341

yang diselenggarakan di Universitas Gajah Mada pada 1 Februari 2006,

bertajuk “ Kontekstualisasi dan Implementasi Pancasila Dalam Berbagai

Bidang Kehidupan Berbangsa dan Bernegara “ terungkap

kehkawatiran oleh salah seorang peserta seminar tentang masa depan

Pancasila. Ungkapan kekhawatiran tersebut sebagai berikut;

Jikalau kita mau jujur dewasa ini Pancasila hanya tinggal

rumusan verbal sila-sila Pancasila yang terdapat dalam

Pembukaan UUD 1945, Perguruan Tinggi pun tampaknya sudah

akan menghilangkan Pancasila dari kajian ilmiah. Kalangan elit

politik merasa tidak populer jikalau berbicara tentang Pancasila,

apalagi bersuara dan berminat untuk melaksanakannya. Jikalau

hal ini dibiarkan berlalu maka bukannya mustahil dalam waktu

singkat negara Indonesia yang diperjuangkan oleh para pendiri

bangsa dengan darah dan nyawanya akan hancur oleh anak-anak

bangsa sendiri yang berpola pikir terjajah oleh bangsa lain237

.

Gelombang demokratisasi melalui tuntutan reformasi yang

melanda negara-negara yang tidak demokratis berbarengan dengan

terjadinya krisis moneter tahun 1997, salah satunya adalah Indonesia,

ternyata menjadi ancaman terhadap eksistensi dasar negara; Pancasila238

.

Hal ini terjadi secara kebetulan di era global. Globalisasi menjadikan

sesuatu bukan hanya untuk wilayah atau bangsa tertentu, tetapi untuk

semuanya tanpa mengenal batas wilayah atau bangsa. Ini artinya

bahwa globalisasi merupakan kondisi yang menunjuk pada proses

kaitan yang erat semua aspek kehidupan. Gejala yang muncul dari

interaksi yang makin intensif dapat dilihat pada dunia perdagangan,

media, budaya, transportasi, teknologi informasi dan sebagainya239

.

Ancaman terhadap ideologi negara tersebut diperparah lagi

dengan arus kekuatan politik nasional yang tidak mempercayai

pemerintah Orde Baru, dampaknya kepercayaan terhadap Pancasila

sebagai dasar negara turut menurun di kalangan rakyat Indonesia pada

umumnya. Ini artinya Pancasila dihadapkan pada persoalan mendasar.

Suatu kondisi yang sangat memprihatinkan bagi rakyat dan bangsa

237

Lihat Abbas Hamami Mintaredja dkk. ( ed. ), Memaknai Kembali

Pancasila ( Yogyakarta: Badan Penerbit Filsafat UGM, 2007 ), hlm. 21 238

Lihat A. Ubaedillah dan Abd. Rozak ( peny. ), Demokrasi, Hak Asasi

Manusia dan Masyarakat Madani ( Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2008 ),

cet. III, hlm. 24 239

A. Ubaedillah dan Abd. Rozak ( peny. ), Demokrasi, Hak Asasi Manusia

dan Masyarakat Madani, hlm. 27

Page 105: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

342

Indonesia seluruhnya. Paling tidak ada tiga persoalan mendasar bagi

eksistensi Pancasila sebagai dasar dan filsafat negara Indonesia. Tiga

persoalan mendasar tersebut itu, ialah;

1. Penyimpangan pemahaman Pancasila.

2. Penyalah gunaan status Pancasila.

3. Adanya kompetisi ideologi-ideologi dunia yang memasuki

Indonesia.

Gelombang demokratisasi yang melanda Indonesia bersamaan

dengan krisi moneter, ekonomi dan politik sejak 1997, menurut

Azyumardi Azra menjadikan Pancasila seolah-olah kehilangan

relevansinya240

. Kenapa Pancasila seolah-olah tidak relevan ?

menurut Azyumardi lagi 241

paling tidak ada tiga faktor yang

menjadikan Pancasila tidak relevan saat ini. Tiga faktor tersebut itu

ialah;

1. Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rezim Soeharto

yang menjadikan Pancasila untuk mempertahankan status quo

kekuasaannya.

2. Liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan yang

ditetapkan Presiden B.J. Habibie tentang Pancasila sebagai

satu-satunya asas.

3. Desentralisasi dan otonomisasi daerah.

Sebagaimana kita ketahui bahwa di era Orde Baru, rezim

Soeharto telah menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas ( asas

tunggal ) dalam berorganisasi, baik organisasi politik ( partai politik )

atau organisasi kemasyarakatan. Konsekuensi dari kebijakan ini

semua organisasi harus menetapkan Pancasila sebagai asasnya dalam

AD dan ART-nya. Jika tidak, maka organisasi tersebut diancam

dibubarkan. Oleh karena tujuan dari kebijakan menjadikan Pancasila

sebagai asas tunggal adalah untuk memudahkan kontrol terhadap

kekuatan-kekuatan sosial politik, baik pada tataran elite partai atau pada

tataran akar rumput, maka rezim Orde Baru juga mendominasi

pemaknaan ( pemahaman) Pancasila sesuai dengan kehendak dan

keinginan ( political will ) Pemerintah waktu itu. Selanjutnya

pemahaman Pancasila tersebut diindoktrinasikan secara paksa lewat

240

A. Ubaedillah dan Abd. Rozak ( peny. ), Demokrasi, Hak Asasi Manusia

dan Masyarakat Madani, hlm. 24 241

A. Ubaedillah dan Abd. Rozak ( Peny. ), Demokrasi, Hak Asasi Manusia

dan Masyarakat Madani, hlm. 25

Page 106: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

343

Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ( P-4 ).

Tetapi pada akhirnya usaha meng-P-4-kan rakyat Indonesia mengalami

kegagalan, walaupun dibiayai dengan miliaran rupiah, karena

menggunakan pendekatan yang tidak tepat, yaitu pemaksaan, bukan

berdasarkan kesadaran.

Penghapusan kebijakan asas tunggal oleh Presiden B.J. Habibie,

pada satu sisi membuka peluang tampilnya ideologi-ideologi lain

selain Pancasila ( baik yang berdasarkan agama atau non agama ) di

pentas perpolitikan nasional, sementara pada sisi lain penghapusan

asas tunggal tersebut memunculkan dampak yang tidak baik, yaitu

terjadinya penurunan pemahaman dan komitmen rakyat Indonesia

pada Pancasila sebagai ideologi pemersatu dan dasar negara, akibatnya

Pancasila cenderung tidak lagi menjadi common platform dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kebijakan otonomi daerah tidak terlepas dari latarbelakang dan

tujuan atau visi, baik dari aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Dari aspek politik, otonomi daerah harus dipahami sebagai proses

untuk membuka ruang bagi tampilnya kepala pemerintahan daerah yang

dipilih secara demokratis, terciptanya pemerintahan responsif serta

terciptanya pengambilan keputusan berdasarkan pertanggung jawaban

publik. Dari aspek ekonomi, otonomi daerah setidaknya bisa menjamin

lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah dan

mendorong terciptanya peluang untuk pengembangan kebijakan

kedaerahan dalam rangka mengoptimalkan pendayagunaan potensi

ekonomi di daerahnya. Sementara dalam aspek sosial budaya, otonomi

daerah harus diarahkan pada terciptanya pengelolaan dan pemeliharaan

integrasi dan harmonisasi sosial, mengembangkan nilai, tradisi karya

seni, karya cipta, bahasa dan karya sastra lokal yang dipandang kondusif

dalam rangka merespon positif dinamika kehidupan di sekitarnya dan

kehidupan global242

.

Namun demikian, ada sebagian pihak yang menghawatirkan

kebijakan otonomi daerah, karena otonomi daerah menurutnya,

dimungkinkan akan menumbuhkan sentimen kedaerahan, dan ini

berdampak hilangnya loyalitas atau kesadaran untuk kebersamaan dan

kesetiaan dari daerah sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (

NKRI ). Walau bagaimanapun harus ada upaya antisipasi, jika tidak,

242

Lihat A. Ubaedillah dan Abd. Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia

dan Masyarakat Madani, hlm. 25

Page 107: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

344

kemungkinan akan muncul sintimen lokal-nasionalisme yang hidup di

ruang Nasionalisme Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, Pancasila

sebagai dasar Negara akan makin kehilangan posisi sentralnya.243

Realitas di lapangan membuktikan kebalikannya, salah satu contoh

Aceh, justeru di era Reformasi Aceh kembali ke pangkuan NKRI, dan

di beberapa daerah yang pernah rawan konflik, seperti Poso dan

Ambon, kini sudah berada dalam kondisi kondusif. Tentu saja upaya

mengembalikan daerah-daerah yang rawan konflik tersebut tidak

begitu saja mudah seperti membalikan telapak tangan, tanpa melalui

proses, kebijakan dan setrategi yang dilaksanakan oleh Pemerintah

Pusat, dan tanpa melibatkan semua pihak dan kekuatan. Tanpa

keterlibatan semua pihak, keamanan dan kesatuan tidak akan terwujud.

Mengingat betapa pentingnya Pancasila sebagai dasar dan

ideologi negara dijadikan untuk persatuan dan kesatuan bangsa

Indonesia yang plural, memang sangat mendesak untuk dilakukan

upaya-upaya revitalisasi Pancasila, baik terkait terhadap maknanya,

perannya dan posisinya. Kenapa demikian ? karena berdasarkan

keyakinan rakyat Indonesia bahwa Pancasila dapat dijadikan dasar

kehidupan bersama dalam berbangsa dan bernegara. Dalam konteks

ini, Azyumardi Azra menegaskan bahwa Pancasila telah terbukti

sebagai common platform ideologi negara bangsa Indonesia yang paling

feasible, dan sebab itu lebih veable bagi kehidupan bangsa hari ini dan

masa datang244

. Oleh karena itu, secara terperinci, Azyumardi Azra

menyatakan, sangat mendesak untuk dilakukan rehabilitasi dan

rejuvenasi Pancasila. Rejuvenasi Pancasila menurut Azyumardi Azra

dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila sebagai public discourse (

wacana Publik )245

. Dengan menjadikan Pancasila sebagai wacana

publik diharapkan akan muncul idea-idea brilian, baik dalam rangka

pengembangan atau penilaian kembali ( reassissment ) makna dan

pemahaman, sehingga Pancasila tetap relevan pada setiap saat dan

zaman, tetapi dengan catatan bahwa teks Pancasila yang tersusun

dalam lima sila tetap dipertahankan, tidak boleh ada amandemen atau

perubahan. Dengan merekonstruksi pemahaman Pancasila tersebut,

maka berarti telah menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka (

inclusive ), bukan ideologi tertutup ( exclusive ) yang berakibat

243

Ibid. 244

Ibid. h.25 245

Ibid. h.25

Page 108: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

345

terjadinya peminggiran atau tereliminasi oleh persaingan

ideologi-ideologi dunia yang memasuki Indonesia sebagai dampak dari

era global.

Namun demikian, rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila,

sebagaimana dikemukakan Azyumardi Azra di atas memerlukan

keberania moral para pemimpin nasional. Empat pemimpin nasional

pasca Soeharto sejak dari Presiden B.J. Habibie, Presiden Abdurrahman

Wahid, Presiden Megawati, dan bahkan Presiden SBY, diakui oleh

banyak kalangan belum berhasil membawa Pancasila ke dalam wacana

dan kesadaran publik. Nampaknya seperti ada kesan traumatik untuk

membicarakan kembali Pancasila. Oleh karena itu, jika kita memang

peduli terhadap nasiolisme Indonesia dan integrasi nasional, maka sudah

saatnya sekarang para elite dan para pemimpin bangsa memberikan

perhatian khusus pada ideologi Pancasila sebagai ideologi pemersatu.

16. Pancasila Dari Waktu Ke Waktu

Sebagai sebuah ideologi Nasional, Pancasila tidak muncul dari

ruang kosong, tetapi sebagaimana ditegaskan A. Syafi`i Maarif 246

; ia

hadir dari realitas sejarah dan semangat zaman yang melingkupinya.

Realitas kesejarahan telah berproses dalam kurun waktu yang tidak

sebentar, ia mampu memunculkan ramuan ideologi baru di tengah

pertarungan ideologi saat itu; ideologi Kapitalis, dan Sosialis.

Kelahiran dan perkembangan Pancasila sejak dipersiapkan untuk

diusulkan sebagai dasar dan filsafat negara hingga saat disahkannya

pada tanggal 18 Agustus 1945 M. semuanya berlangsung dalam forum

politik, bukan dalam forum akademik ilmiah. Dalam forum politik

itulah, imbauan politik dikumandangkan untuk mencapai

kesepakatan-kesepakatan politik yang sangat fundamental bagi dasar

dan arah kehidupan kemerdekaan menuju masa depan yang

dicita-citakan bersama247

. Oleh karena itu, Pancasila yang telah

menempuh perjalanan panjang melebihi setengah abad dan telah

mengalami pasang surutnya perjalanan Republik Indonesia, bukan

merupakan dasar negara yang lahir tanpa mengalami berbagai

246

Ahmad Syafi`i Maarif dalam kata pengantar buku “ Menggali Muatan

Pancasila Dalam Perspektif Islam, oleh M. Abdul Karim. ( Yogyakarta: Surya Raya,

2004 ) h. VI. 247

Lihat. M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif

Islam, h. 3

Page 109: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

346

perdebatan. Perdebatan yang terjadi justeru menjadikan Pancasila

menemukan kekuatannya tersendiri.

Dalam konteks kemunculan Pancasila, A.M.W. Pranarka248

telah mengidentifikasi pertumbuhan Pancasila sebagai ideologi

kebangsaan dimulai dengan cita-cita kebangsaan yang bermula dari

kebangkitan Nasional dalam Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober

1928. Namun posisi Pancasila sebagai ideologi kebangsaan itu

mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan mendapatkan

kekuatannya dalam Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959.

Dekrit Presiden menegaskan pemberlakuan kembali UUD 1945.

Demikian itu tidak berarti bahwa pemikiran tentang Pancasila serta

merta berhenti. Pengembangan pemikiran Pancasila dimungkinkan oleh

adanya anggapan bahwa Pancasila merupakan wadah yang dapat

mengakomodir berbagai aliran ideologi yang merasa terpanggil untuk

memberikan interpretasi tentang Pancasila. Hal ini sejalan dengan

pandangan Notonagoro, dan pada saat yang sama Notonagoro

menekankan bentuk kompromi Pancasila249

.

Dalam sepanjang sejarah keberadaannya sebagai dasar dan

filsafat negara Republik Indonesia, perkembangan Pancasila telah

mendapatkan stresingnya yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, baik

di era Orde Lama, Orde Baru, dan bahkan di era Reformasi.

1. Orde Lama mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara

diinstrumentalisasikan untuk mendukung kepentingan politik

sesaat, sebab pada era Orde Lama politik dijadikan panglima

yang berakhir dengan tragedi Nasional G 30 S/PKI.

2. Pada era Orde Baru ekonomi dijadikan ideologi pembangunan

dan Pancasila dijadikan kata sihir sebagai Asas Tunggal yang

secara manipulatif diritualisasikan untuk menjaga stabilitas

pengembangan Kolusi, Nepotisme dan Kronisme di bawah

kekuasaaan tunggal dengan mengatasnamakan diri sebagai

mandataris MPR.

3. Pada era Reformasi, setelah pembangunan menghadapi jalan

buntu sebagai akibat dari terjadinya krisis ekonomi dan politik,

maka dengan ambruknya seluruh bangunan ekonomi, turut

248

A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila ( Jakarta: CSIS,

1985 ), h. 313-318 249

Lihat, Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, ( Jakarta: PT. Bina

Aksara, 1984 ), h. 58

Page 110: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

347

ambruk pula seluruh kehidupan politik. Hal ini ditandai dengan

munculnya berbagai permasalahan bangsa yang semrawut;

pertentangan, perpecahan dan permusuhan yang dipicu latar

belakang politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama, sehingga

kondisi kehidupan bangsa cenderung berkembang tanpa arah250

.

Pancasila sebagai dasar negara seakan tenggelam dalam lumpur

pertentangan berbagai kepentingan politik, ekonomi dan

sebagainya.

Memang sejak bergulirnya era Reformasi, Pancasila tidak lagi

tampil dalam berbagai wacana, baik dalam forum-forum diskusi

ilmiah, seminar, maupun dalam program-program Pemerintahan.

Kondisi seperti ini sebagai akibat dari dicabutnya Ketetapan MPR RI

No. II / MPR / 1978 tentang P-4 dalam Sidang Istimewa MPR Tahun

1998. Demikian pula Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional-pun

pada Pasal 37 ( 2 ) tidak menyebut pendidikan Pancasila. Ia hanya

menyebut Pendidikan Kewarganegaraan, Agama dan Bahasa. Hal ini

merupakan indikasi bahwa Pancasila dalam fungsinya sebagai dasar

negara telah dilupakan, sehingga secara gradual akan menghilangkan

komitmen kita ( bangsa ) untuk tetap mengaplikasikan nilai-nilai yang

terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945251

. Oleh karena kondisisi

Pancasila di era pasca Reformasi seperti itu, A. Syafi`i Maarif, dalam

kata pengantarnya pada buku “ Menggali Muatan Pancasila Dalam

Perspektif Islam “ menilai bahwa di era pasca Reformasi telah terjadi

rendahnya pemahaman masyarakat kita saat ini ( pasca era Reformasi )

terhadap Pancasila. Hal ini dapat dimengerti sebagai implikasi dari

perselingkuhan rezim Orde Baru dengan ideologi bangsa tersebut.

Pancasila di era Soeharto menjadi kuda troya politik demi kekuasaan.

Dalam kondisi seperti inilah pemahaman kembali terhadap Pancasila

menjadi sesuatu yang sangat urgen dan mendesak. Jika kondisi

pemahaman masyarakat dan anak bangsa ke depan masih terjebak pada

isu-isu politik, maka justeru akan mengantarkan negeri ini pada labirin

gelap tanpa ujung, yang hanya diiringi ketakutan-ketakutan tanpa

dasar.

Sebenarnya, mind setnya tidak selalu harus begitu. Karena

sampai kapanpun selagi Indonesia berdiri sebagai negara NKRI,

250

M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam. h.

2 -3 251

Ibid. h. 2

Page 111: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

348

Pancasila akan tetap menjadi dasar negara, meskipun tidak selalu

didengung-dengungkan pada berbagai kesempatan seperti di era Orde

Baru. Hal terpenting dalam konteks ini adalah substansi dari nilai-nilai

Pancasila sebagai dasar, ideologi dan filsafat kenegaraan tetap

diaplikasikan pada tataran praktis, bukan sebatas dalam tataran teoritis

saja. Upaya pensemaian nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 kepada

setiap anak bangsa Indonesia menjadi keharusan. Malaysia, barangkali

salah satu negara yang juga memiliki dasar negara yang mereka sebut

Rukun Negara, terdiri dari lima Rukun, mereka tidak banyak

menyebut Rukun Negara mereka dalam berbagai kesempatan, tetapi

pembangunan Malaysia dalam berbagai aspek kehidupan terus berjalan.

17. Kesimpulan

`Berdasarkan pembahasan tentang latar belakang dan proses

pertumbuhan dan perkembangan pemikiran Pancasila hingga

pengesahannya oleh PPKI, maka berikut ini disampaikan beberapa

kesimpulan, antaranya sebagai berikut;

1. Rumusan Pancasila yang komprehensif, ialah rumusan Pancasila

yang terdapat pada Piagam Jakarta. Piagam Jakarta

sebagaiamana ditetapkan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959

sebagai dokumen historis yang menjiwai penyusunan UUD-1945

dan menjadi bagian dari Konstitussi tersebut.

2. Rumusan Pancasila yang diberlakukan sampai saat ini, ialah

rumusan Pancasila yang sudah diamandemen, yaitu Pancasila

yang disahkan oleh PPKI dan dipertegas lagi oleh Dekrit

Presiden 5 Juli 1959.

3. Ideologi Pancasila di masa lalu kerap kali dijadikan alat (

dipolitisir, dimanipulasi ) oleh rezim penguasa demi

mempertahankan kepentingan dan dominasi politik sesaat,

sehingga ideologi Nasional terkesan kaku dan tertutup.

4. Sifat filsafat kenegaraan yang tersirat dalam Pancasila,

menjadikannya ideologi yang dinamis dan fleksibel untuk

membangun tatanan kehidupan bangsa Indonesia yang multi

etnik dan dapat mengakomodasi berbagai kepentingan politik

anak bangsa. Oleh karenanya, Pancasila harus diperkuat sebagai

dasar hidup dalam berbangsa dan bernegara.

Page 112: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

349

5. Sebuah ideologi yang baik dan dapat mempertahankan

eksistensinya pada zaman dan masyarakat yang selalu berubah

dari waktu ke waktu, ideologi tersebut harus memiliki setidaknya

tiga dimensi dasar; Dimensi realitas, Dimensi idealisme, dan

Dimensi fleksibilitas.

6. Pada masa yang lalu pernah terjadi mutual misunderstanding

antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi

negara. Tetapi kesalah pahaman tersebut lebih banyak dilatar

belakangi oleh berbagai kepentingan politik dari pada

substansinya, atau lebih dikarenakan ketidak jelasan paradigma

dan cara pandang. Substansi keduanya jelas berbeda, Islam

adalah agama, sementara Pancasila adalah ideologi negara.

Tetapi esensi ajaran Islam dan ideologi Pancasila tidak

bertentangan.

7. Di era Reformasi telah terjadi rendahnya pemahaman

masyarakat terhadap Pancasila. Dalam kondisi seperti ini upaya

revitalisasi pemahaman Pancasila sebagai dasar negara menajadi

sangat urgen dan mendesak.

8. Sejak bergulirnya era Reformasi, Pancasila tidak lagi tampil

dalam berbagai wacana. Hal ini merupakan indikasi bahwa

Pancasila dalam fungsinya sebagai dasar Negara telah

terlupakan, sehingga hal ini secara gradual bisa mengurangi

komitmen bangsa Indonesia untuk tetap menggunakan nilai-nilai

yang bersumberkan Pancasila dan UUD 1945.

9. Pengembangan Pancasila sebagai ideologi Nasional harus

menjadi ideologi terbuka, agar dapat tetap relevan dengan zaman

dan masyarakat yang selalu berubah dari waktu ke waktu.

10. Dalam rangka efektivitas sosialisasi Pancasila sebagai ideologi

negara kepada seluruh rakyat Indonesia harus bijaksana. Oleh

karena itu pada sebagian masyarakat tidak harus menyebutkan

kata Pancasila, tetapi cukup nilai-nilai dari ajaran ( doctrine )

Pancasila itu sendiri, karena sebagian masyarakat masih ada

yang alergi ketika mendengar sebutan Pancasila.

BAB II AGAMA DAN NEGARA

PRAKTEK KEHIDUPAN RAKYAT INDONESIA

Page 113: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

350

1. Eksistensi Agama Dalam Negara Pancasila

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi payung bagi kehidupan

keagamaan rakyat Indonesia. Dalam konteks ini, UUD 1945, BAB XI,

Pasal 29, Ayat ( 1 ) berbunyi; Negara berdasar atas Ketuhanan Yang

Maha Esa, dan Ayat ( 2 ) berbunyi; Negara menjamin kemerdekaan

tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan Pasal

29, Ayat ( 1 ) dan ( 2 ) ini sebagai dasar pijakan bagi negara dalam

membangun kehidupan umat beragama dan sekaligus merupakan

pengakuan negara terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian,

rakyat Indonesia dijamin untuk memeluk agama dan beribadah sesuai

dengan tuntutan ajaran agama yang diyakininya benar. Sebab

kebutuhan untuk beragama merupakan tuntutan terdalam dari diri

manusia, maka beragama merupakan hak asasi sejak manusia

mengenal Tuhannya. Oleh karena itu, siapa pun tidak ada hak untuk

melarang seseorang beragama.

Selanjutnya perlu diperhatikan apa yang disampaikan Moh.

Hatta terkait dengan implikasi pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha

Esa sebagai berikut;

a. Melahirkan keharmonian di dalam masyarakat dan lingkungan

jika dihayati dan dilakukan dengan memupuk persahabatan dan

persaudaaan di antara sesama masyarakat.

b. Mengharuskan manusia membela kebenaran dan menentang

segala tindakan dusta ( melanggar aturan ).

c. Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mangharuskan

manusia membela keadilan dan menentang segala bentuk

kezaliman.

d. Mengharuskan manusia berperilaku baik, dan dengan

sendirinya akan memperbaiki kesalahan.

e. Mengharuskan manusia berlaku jujur, dan dengan sendirinya

akan menghindari dari tindakan curang ( main curang ).

f. Mengharuskan manusia berlaku suci, dan dengan sendirinya

akan menentang segala kekotoran.

Page 114: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

351

g. Mengharuskan manusia menikmati keindahan, dan dengan

sendirinya akan melenyapkan segala keburukan252

.

Dengan begitu, menurut Moh. Hatta; sila Ketuhanan Yang Maha

Esa menjadi dasar yang dapat mengarahkan cita-cita kenegaraan untuk

menyelenggarakan segala sesuatu yang baik bagi kehidupan rakyat dan

bangsa Indonesia253

, seperti yang digagas oleh Plato dan Aristoteles; en

dam onia atau the good life, orang Indonesia bilang; gemah ripah

loh jinawi254

, maka atas dasar pemikiran ini Moh. Hatta menegaskan;

politik negara mendapatkan dasar moral yang kuat. Oleh karena itu

dalam tataran praktis sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak sebatas

wujudnya hormat menghormati antara sesama pemeluk agama,

melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa harus dijadikan panduan yang

memberikan arah ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan

persaudaraan. Negara dengan demikian, menurut Moh. Hatta lagi

mendapatkan fondasinya yang kuat255

. Hal ini sesuai dengan

pandangan D. Chairat yang menyatakan bahwa negara kita mempunyai

dasar-dasar pertahanan yang kuat dengan komitmen dan berlandaskan

Ketuhanan256

. Tetapi itu semua bergantung pada political will elite

negara dan perilaku para politisinya. Jika tidak, semuanya hanya sebatas

gagasan-gagasan yang tidak bermakna.

D. Chairat selanjutnya menyatakan; mempercayai Tuhan; Tuhan

yang menjadikan langit da bumi, Tuhan yang menguasai alam semesta,

maka seluruh gerak negara tetap berlindung di bawah rahmat Tuhan257

.

Fakta menunjukan bahwa sejak perjuangan rakyat Indonesia 17 Agustus

1945 dalam menghadapi berbagai seragan dahsyat, selamanya kata D.

Chairat, kita minta perlindungan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam

konteks ini D. Chairat menyatakan bahwa kita belum dapat melupakan

rangkaian sejarah pada hari Pahlawan 10 November 1945 di mana

tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Indonesia untuk

252

Lihat Moh. Hatta, Pengertian Pancasila ( Pidato Peringatan Lahirnya

Pancasila Tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional ) ( Jakarta: Inti Idayu

Press, 1978 ), h. 29 253

Moh. Hatta, Pengertian Pancasila, h, 28 254

Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik ( Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2008 ),

edisi revisi, h. 13 255

Moh. Hatta, Pengertian Pancasila, h. 28 256

Lihat. D. Chairat, Filsafat Pancasila ( Jakarta: wijaya, 1955 ), h. 8 257

Ibid.

Page 115: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

352

menyerah. Di saat itulah perjuangan bangsa Indonesia dikomandokan

dengan kalimat “ Allahu Akbar “; Tuhan Maha Besar258

.

Berdasarkan kenyataan di atas dapat difahami bahwa betapa

tingginya hal yang menyangkut Ketuhanan sebagai landasan moral,

karena itu sila Ketuhanan Yang Maha Esa diletakan pada posisi pertama 259

dalam susunan Pancasila. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Muh. Yamin; Jika diartikan lebih tegas, maka ajaran Pancasila tentang

sila Ketuhanan adalah semata-mata urusan negara. Para founding fathers

negara Republik Indonesia sejak awal telah menyadari bahwa bangsa

Indonesia sejak dahulu adalah bangsa yang religius, pemeluk agama.

Sejarah membuktikan bahwa agama-agama yang masuk ke wilayah

Nusantara berproses dan penuh damai, sehingga antara

pemeluk-pemeluk agama yang berbeda dapat hidup harmonis dan penuh

toleransi260

. Oleh karenanya kehidupan keagamaan yang harmonis ini

harus dipelihara dari waktu ke waktu, meskipun sesekali terjadi

gesekan-gesekan atau benturan-benturan antara sesama pemeluk agama

yang berbeda. Hal ini bisa saja terjadi karena adanya

perbedaan-perbedaan ideologi, ritual ibadah, adat istiadat dan

sebagainya. Namun demikian, yang penting bagaimana mengatasi

persoalan-persoalan tersebut secara efektif sehingga tetap tercipta

kesatuan dan persatuan Indonesia.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Indonesia berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Indonesia tidak disebut negara

teokrasi261

. Hal ini seperti ditegaskan Soeharto ( Presiden RI ke 2 );

Negara kita bukanlah negara agama, bukan negara yang mendasarkan

pada agama tertentu262

. Karena sistem pemerintahannya didasarkan

258

Ibid. 259

Soekrno dan Muh. Yamin ketika menyampaikan gagasannya tentang dasar

negara pada sidang pertama BPUPKI, Kedua-dua tokoh ini tidak meletakan sila

Ketuhanan Yang Maha Esa pada kedudukan yang pertama, tetapi hasil rumusan Panitia

Sembilan meletakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada urutan pertama sampai

tingkat pengesahan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945. 260

Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, h. 110 261

Teokrasi adalah sistem pemerintahan berdasarkan agama ( tertentu ) secara

mutlak, di mana para tokoh agamawan mengendalikan pemerintahan sekaligus.

Berdasarkan kajian sejarah, menurut A. Zaki Badawi sistem Pemerintahan Teokrasi

selalunya terjadi konflik karena perbedaan kecendrungan, baik dalam aspek filsafat,

demokrasi atau dalam kebijakan dan sebaganya. Lihat. A. Zaki Badawiy, A Dictionary

of The Social Sciences ( Beirut: Librairie Du Liban, 1978 ), h. 424 262

Lihat Soeharto, Pandangan Presiden soeharto Tentang Pancasila, h. 27

Page 116: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

353

pada kedaulatan rakyat, yaitu; sistem pemerintahan berparlemen.

Seperti juga ditegaskan Muh. Yamin; Dalam konstitusi ditegaskan

bahwa kekuasaan bersumber dari rakyat263

. Meskipun Indonesia bukan

negara teokrasi, tetapi Indonesia tetap memberi jamina kebebasan

beragama dan beribadah kepada seluruh rakyat sesuai dengan agama

yang dianut. Hal ini sebagaimana ditandaskan di dalam Undang-Undang

Dasar 1945, Pasal 29, Ayat ( 2 ) berbunyi; Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaanya itu. Umat Islam, termasuk umat agama-agama lain,

dengan menjalankan ajaran-ajaran agamanya pada dasarnya telah

merealisasikan nilai-nilai Pancasila pada tataran praktis.

2. Perbedaan Dalam Memahami Arti Ke-Tuhanan Dalam konteks ini Muh. Yamin menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan Ketuhanan Yang Maha Esa ialah ber-Tuhan, yaitu;

Tuhan Yang Tunggal264

. Berdasarkan pernyataan ini dapat dimengerti

bahwa negara Indonesia didasarkan pada kepercayaan atau keimanan

kepada Tuhan Yang Esa; Tuhan Yang Maha Tunggal, yaitu Allah

Yang Ahad ( menurut faham Islam ). Oleh karena itu D. Chairat265

menegaskan; hanya negara Indonesia yang tegas-tegas menyebutkan di

dalam Undang-Undang Dasarnya bahwa negara di dasarkan kepada

Ketuhanan266

. Haji Agoes Salim, seperti juga Muh. Yamin adalah para

pelaku sejarah yang turut aktif membidani kemerdekaan Indonesia dan

turut pula memproses pembahasan Undang-Undang Dasar 1945,

sungguh mereka telah memahami bahwa yang dimaksud dengan

Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tuhan ( Allah ) Yang Tunggal.

Dalam hubungan ini Agoes Salim menegaskan;

…… saya ingat betul bahwa di masa itu tidak ada di antara kita

seorang pun yang ragu-ragu, bahwa dengan dasar Ketuhanan

Yang Maha Esa itu kita maksudkan akidah, kepercayaan agama

dengan kekuatan keyakinan, bahwa kemerdekaan bangsa dan

263

Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, h. 110 264

Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, h. 110 265

Lihat, D. Chairat, Falsafah Pancasila, h. 8 266

D. Chairat barangkali tidak mengikuti perkembangan negara lain,

Malaysia antaranya yang berdasarkan lima rukun negara. Rukun pertama adalah

Ketuhanan.

Page 117: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

354

tanah air suatu hak yang diperoleh dari rahmat Tuhan Yang

Maha Esa dengan ketentuan-Nya yang dilaksanakan-Nya pada

ketika masanya menurut kehendak-Nya ….. maka pastilah

bahwa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi pokok yang

terutama mengepalai ( menjadi permulaan ) Pancasila kita

sebagai pernyataan akidah267

.

Apa yang tersirat dalam pemikiran Haji Agoes Salim terkait

dengan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tuhan sebagaimana yang

difahami di dalam Akidah Tauhid, yaitu Allah Ta`ala. Sejalan dengan

pandangan ini Hazairin menegaskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa

adalah sebagai terjemahan dari pengertian “ Allahu Al-Wahidu al-Ahad “

yang disalurkan Al-Qur`an, 2:173 dan dizikirkan dalam do`a Kanzu

al-Arasy baris 17. Oleh itu, Hazairin dengan penuh yakin bahwa

Ketuhanan Yang Maha Esa bukan dari pihak Nasrani atau dari Hindu

atau pun dari pihak Timur Asing yang aktif mengikuti sidang-sidang

yang bertugas menyusun UUD 1945. Tetapi Ketuhanan Yang Maha Esa

hanya mampu dilahirkan oleh otak dan kebijakan orang Indonesia

Islam268

.

Lebih jauh Departemen Agama ( sekarang Kementrian Agama

RI ) menegaskan bahwa jelas ada hubungan antara sila Ketuhanan Yang

Maha Esa dalam Pancasila dengan ajaran Tauhid dalam teologi Islam,

dan jelaslah pula bahwa sila pertama Pancasila yang kedudukannya

sebagai prima causa atau sebab pertama itu sejalan dengan beberapa

ajaran tauhid Islam, yaitu; ajaran tentang Tauhid al-Sifat dan Tauhid

al-Af`al. Dalam pengertian bahwa Tuhan itu Esa dalam Zat-Nya,

Sifat-Nya dan Af`al-Nya269

. Dalam istilah lain yang selalu

dikemukakan Ibnu Taimiyah dalam berbagai karyanya ialah tauhid

Uluhiyah, tauhid Rububiyah dan tauhid al-Asma wa al-Sifat270

.

Pengertian Esa dalam konteks ini ialah tunggal, tidak ada duanya.

267

Lihat, Haji Agoes Salim, Ketuhanan Yang Maha Esa ( Jakarta: Bulan

Bintang, 1977 ), h. 13-14 268

Hazairin, Piagam Jakarta, Demokrasi Pancasila ( Jakarta: Tintamas, 1970

), h. 58 269

Lihat, Department of Religious Affairs of The Republic of Indonesia, The

History and The Role of The Department of Religious Affairs of The Republic of

Indonesia ( Jakarta: Burean of Public Relation, Department of Religious Affairs, 1975

), h. 11 270

Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu` Fatawa Ibnu Taimiyah ( Qahirah: Idarah

al-Masahah al-`Ashriyyah, 1404 H. ). Jld. 1, h. 22

Page 118: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

355

Ke-Esaan Allah, artinya bahwa segala sesuatu yang dinisbatkan

kepada-Nya adalah tunggal.

Berdasarkan uraian di atas dapat difahami bahwa yang dimaksud

dengan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah Yang Maha Esa. Oleh

karena itu setiap warga Indonesia dan terutamanya umat Islam yang

menjadikan Pancasila sebagai dasar negara harus benar-benar ber-Tuhan

dengan dibuktikan ketaatan atas segala perintah-Nya, yang secara

otomatik akan diikuti dengan ketaatan kepada Rasul-Nya ( Nabi

Muhammad saw. ). Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan

dibuktikan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi

larangan-Nya disebut takwa.

Deskripsi tentang faham Ketuhanan di atas jelas itu berdasarkan

ajaran Islam. Tetapi, ini tidak berarti bahwa faham Ketuhanan dalam

Pancasila adalah satu-satunya faham yang identik dengan doktrin Islam

sebagaimana difahami dalam akidah tauhid. Faham Ketuhanan yang

dalam redaksinya dibuat secara umum diterima oleh umat-umat agama

lain selain umat Islam271

. Pemeluk agama-agama di Indonesia

sama-sama mempercayai Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi yang berbeda

adalah dari aspek pendekatan atau cara memahami Ketuhanan itu

sendiri, maka subtansi pengertian Ketuhanan akan difahami berbeda

sesuai dengan keyakinan dan doktrin masing-masing agama. Faham

Ketuhanan dalam Kristen faham Trinitas272

. Yaitu faham bahwa Tuhan

itu Esa tapi memiliki tiga oknum; Tuhan Bapak ( Father ), Tuhan Anak (

Lord ) dan Roh Kudus ( The Holy Spirit ). Ketiga-tiganya adalah satu273

.

Begitu juga faham Ketuhanan dalam Hinduisme – Budhisme yang

didasarkan pada paham Trimurti. Yaitu; faham yang mempercayai

Tuhan Esa tapi beroknum tiga ( seperti faham Ketuhanan dalam Kristen

271

Agama-agama di Indonesia dan diakui eksistensinya oleh negara

berdasarkan Surat Keputusan bersama Mendagri No. 477 / 740 SS4 / tanggal 18

November 1979, Surat Menteri Agama No. B-VI / 112 15 / 1978 tanggal 18 Oktober

1978 dan Surat Menteri Agama No. MA / 650 / 1979 tanggal 28 Desember 1979,

adalah Agama Islam, Kristen Katholik, Protestan, Hindu dan Budha. 272

Paham Ketuhanan Trinitas dalam Kristen terdapat banyak kesamaan

dengan paham Ketuhanan Trinitas dalam Hinduisme – Budhisme, termasuk

cerita-cerita tentang Jesus yang hampir sama dengan Krisna ( lahir 3000 th. SM. ) yang

dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Lihat, O. Hashem, Pembahasan Ilmiah

Tentang Ke-Esaan Tuhan, h. 17 dan 24 273

Ibid. h. 17

Page 119: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

356

), yaitu; Brahma, Wisnu dan Syiwa274

. Dengan demikian, faham

Ketuhanan versi agama Kristen dan Hindu-Budha adalah suatu faham

yang meyakini bahwa Tuhan itu Esa, tetapi beroknum tiga. Di sinilah

titik perbedaan faham dengan Islam. Walaupun itu berbeda dalam

pendekatan atau cara dalam memahami tentang Ketuhanan, tetapi

toleran dalam kehidupan keberagaman. Di sinilah kunci keberhasilan

dalam membangun kehidupan umat beragama yang plural.

Berdasarkan analisis tentang faham Ketuhanan dari beberapa

agama di atas, dapat ditegaskan bahwa bangsa Indonesia dengan

berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa harus beragama, karena

bangsa yang be-Tuhan pada dasarnya adalah bangsa yang religius, maka

bangsa Indonesia yang beragama adalah bangsa yang taat agama.

Dalam arti bahwa bangsa Indonesia memiliki komitmen untuk

melaksanakan ajaran agama, baik perintahnya atau larangannya. Dengan

demikian, bangsa Indonesia disebut bangsa yang ber-Tuhan. Jika hal ini

telah terealisasi dalam tataran kehidupan praktis, berarti bangsa

Indonesia sudah merealisasikan nilai-nilai ajaran Pancasila itu sendiri.

Realitas bahwa bangsa Indonesia ber-Tuhan (dalam pengertian

beragama ), konsekuensinya bahwa negara tidak mengakui warga yang

tidak beragama. Oleh karena itu sebagian rakyat Indonesia yang

menganut ideologi Komunis dan merealisasikannya dalam tataran

kehidupan praktis, secara konstitusional telah melakukan tindakan

yang bertentangan, dan dengan sendirinya tereliminasi dari bumi

Indonesia karena pada dasarnya mereka tidak ber-Tuhan, Tuhan

menurut mereka telah lama mati dan agama dianggap candu bagi rakyat.

3. Komitmen Beragama Berdampak Terciptanya Stabilitas Politik Konsep ketakwaan dalam pembahasan ini sebagai konsekuensi

dari kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena sebenarnya

takwa itu sebagai perwujudan dari iman yang tertanam di dalam jiwa

setiap individu. Iman merupakan aktivitas hati dan pemikiran, bersifat

abstrak. Sementara takwa merupakan aktivitas anggota badan dapat

dilihat oleh mata, oleh karenanya bersifat zahiriyah ( lahir ). Takwa

dalam arti melaksanakan segala perintah Tuhan ( Allah ) dan

meninggalkan semua yang dilarang275

, maka takwa berhubung kait

274

Ibid. h. 17 275

Lihat Ibnu Kathir, Tafsir Al-Qur`an Al-`Azim ( T.Tmpt: T.Pnbt, 1993 /

1414 H. ), Juz 1, h. 42-43

Page 120: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

357

dengan tindakan-tindakan lahiriah, sedangkan iman berhubung kait

dengan keyakinan di dalam hati. Oleh karena itu, takwa sebagi

manifestasi dari iman yang tertanam di dalam jiwa setiap individu.

Dengan demikian takwa dapat dilihat, dan apa yang terlihat

mengindikasikan apa yang ada di dalam jiwa. Atas dasar ini iman dan

takwa tidak dapat dipisahkan dalam realitas kehidupan umat beragama.

Kekuatan iman kepada Tuhan ( Allah ) Yang Maha Esa akan

melahirkan kekuatan internal yang dapat menghalang keinginan hawa

nafsu yang membawa kehancuran dan kebinasaan276

. Ini berarti

bahwa seseorang yang memiliki keimanan yang kuat akan muncul di

dalam dirinya proteksi interternal ( internal protection ), maka dari sini

akan muncul sikap ikhlas dan tanggung jawab yang sebenarnya,

sehingga dalam melaksanakan kerja di mana saja dan kapan saja akan

didasarkan pada kesedaran dan tanggung jawab. Jika hal di lakukan

secara kolektif, akan melahirkan kebersamaan. Kesatuan di kalangan

umat atau bangsa akan melahirkan kesamaan pandangan, kesepakatan

kata dan kebersamaan gerak. Oleh itu, keimanan dan ketakwaan dapat

dilihat pada perilaku positif pada seseorang yang bersangkutan. Dengan

berpegang teguh pada keimanan dan mengaplikasikan ketakwaan

sebenar-benarnya akan melahirkan sikap dan perilaku saleh pada diri

setiap individu dan masyarakat yang bersangkutan, maka akan lahir

hal-hal yang positif, antarany;

a. Setiap ucapan yang keluar dari mulut orang yang bersangkutan

tidak menyinggung perasaan orang lain, tidak menyakiti orang

lain, tidak gemar berbohong, pendek kata tidak meucapkan

ucapan-ucapan negatif.

b. Sikap dan perilakunya senantiasa memperlihatkan

kesederhanaan, bertimbang rasa, rela berkorban, mencerminkan

keteladanan dan tindakan-tindakan lain yang baik.

Ucapan dan perilaku positif sebagaimana dijelaskan di atas, pada

dasarnya berhubung kait dengan interaksi dalam pergaulan hidup yang

melahirkan karakter bangsa yang baik, mencerminkan seseorang yang

baik. Karakter yang baik ini hanya dimungkinkan lahir dari seseorang

yang berakhlak mulia, tanpa akhlak dan moral yang baik tidak mungkin

akan lahir ucapan dan perilaku yang baik. Oleh karenanya, agar

interaksi antara sesama masyarakat baik, maka interaksi tersebut harus

276

Muhammad Abdullah Darraz, al-Din Buhuts Mumahhidah Li Dirasat

Tarikh al-Adyan ( Beirut: Dar al-Kutub, 1970 ), h. 100

Page 121: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

358

berlandaskan akhlah atau moral yang baik, sebagaimana diatur di dalam

ajaran agama, sebab pelaksanaan ajaran agama terkait dengan akhlak

yang mengatur bagaimana interaksi pergaulan hidup baik, bukan saja

bertujuan agar masyarakat menjadi baik secara individual, tetapi bahkan

berimplikasi pada kebaikan sosial yang berujung pada terciptanya

kondisi negara yang baik.

Berdasarkan penjelasan di atas terkait ketakwaan kepada Tuhan

Yang Maha Esa, dapat ditegaskan bahwa inti dari pengakuan kepada

Tuhan Yang Maha Esa adalah agar dapat mencerminkan sifat bangsa

Indonesia yang meyakini bahwa ada kehidupan lain di masa nanti

setelah kehidupan di dunia sekarang ini, yaitu kehidupan di akhirat.

Kehidupan di akhirat bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa

adalah lebih baik dari pada kehidupan di dunia sekarang ini.277

Hal

inilah sebenarnya yang menjadi motivasi untuk mengejar nilai-nilai

luhur dengan meningkatkan aktivitas-aktivitas yang baik berdasarkan

ajaran agama, maka seseorang yang bayak beramal saleh tidak saja akan

mendapatkan kebahagiaan di dunia, tetapi juga dia akan mendapat

kebahagiaan di akhirat nanti.

4. Kesalehan Perilaku Masyarakat Indonesia

Realisasi ketakwaan kepada Tuhan ( Allah ) Yang Maha Esa

dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat Indonesia secara umum

dapat diklasifikasikan dalam tiga bentuk; Pertama: Bentuk amalan yang

berhubungan antara manusia ( sebagai hamba ) dengan Tuhan ( Allah )

sebagai yang disembah. Kedua: Bentuk amalan atau perilaku yang

melibatkan interaksi antara sesama masyarakat. Ketiga: Bentuk amalan

atau perilaku yang berhubungan antara manusia dengan lingkungan atau

alam sekitar. Berikut ini penjelasan ketiga-tiga bentuk amalan tersebut;

4.1. Bentuk Amalan Yang Menghubungkan Manusia Dengan

Tuhan Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk ini adalah

setiap amalan yang dilakukan oleh manusia ditujukan sebagai

bukti penghambaan diri ( ibadah ) kepada Allah sebagai Zat yang

disembah ( Al-Ma`bud ). Manifestasi ketakwaan pada

komunitas-komunitas umat Islam di Indonesia yang paling utama

dalam konteks ini adalah Shalat lima waktu, Puasa, Ibadah Haji.

Shalat lima waktu dikerjakan secara berjemaah atau

277

Lihat Al-Qur`an: 17, 87

Page 122: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

359

sendiri-sendiri. Pada masyarakat Islam yang komitmen kuat

terhadap ajaran agamanya, seperti di Aceh, Melayu ( Riau, Jambi

dan sekitarnya ), Minangkabau dan Jawa, Madura, Banjar dan

masyarakat Bugis, kegiatan shalat lima waktu dikerjakan secara

berjamaah, tetapi bagi penganut Islam yang pengaruh tradisinya

masih dominan, kecendrungan shalat berjamaah hanya sebatas

pada waktu tertentu saja, seperti waktu Maghrib, sementara

waktu-waktu lain shalat berjamaah dilakukan kadang-kadang.

Selain melakukan shalat fardhu ( lima waktu ) masyarakat Islam

juga melaksanakan shalat sunnah, menghadiri ceramah-ceramah

pengajian, baik yang diselenggarakan di Majlis Ta`lim, Masjid

atau di tempat-tempat yang ditentukan, mengaji Al-Qur`an dan

melaksankan zikir atau membaca bislimillah, al-hamdulillah ketika

memulai dan setelah selesai kerja dan mengucapkan salam ketika

berjumpa dengan sesama muslim. Kegiatan seperti ini

merupakan perwujudan umat bertakwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa. Puasa, Zakat da Haji adalah wujud ketakwaan yang

penting278

, dan sebagai perwujudan amal saleh, karena

amalan-amalan ini tidak saja berimplikasi positif pada dirinya

sendiri secara individual ( terhindar dari tindakan-tindakan buruk

dan mungkar ), tetapi berimplikasi pada kesalehan hidup dalam

masyarakat, baik berkaitan dengan aspek pemerataan ekonomi (

Zakat, Haji ), atau aspek ketaatan dan kesadaran untuk berbuat baik

terhadap sesama umat manusia ( shalat dan Puasa ).

4.2. Manifestasi Amalan Antara Sesama Masyarakat

Manifestasi ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam

bentuk yang kedua ini, adalah wujudnya interaksi positif dalam

kehidupan keluarga, kekerabatan dan kehidupan sosial yang lebih

luas, seperti bantu membantu membuat rumah, tolong menolong

dalam kebaikan, mendidik anak, menghormati orang yang lebih

tua dan menyayangi orang yang lebih muda, bersilaturrahmi

kepada saudara dan kerabat dan sebaginya.279

Semua itu

278

Team Perangkum Badan Litbang Agama, Ketaqwaan Terhadap Tuhan

Yang Maha Esa Dalam Berbagai Sistem Sosial Budaya Masyarakat Di Indonesia (

Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Proyek

Penelitian Keagamaan, 1989/1990 ), h. 13 279

Ibid. h. 14

Page 123: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

360

merupakan manifestasi amal saleh yang diharapkan dapat tercipta

kesalehan kehidupan sosial dalam berbangsa dan bernegara.

4.3. Manifestasi Amal Saleh Antara Manusia Dengan

Lingkungan

Manifestasi ketakwaan kepada Tuhan ( Allah ) Yang Maha Esa

dalam bentuk ketiga ini adalah wujudnya interaksi antara

masyarakat dengan lingkungan, seperti kerjasama dalam menjaga

kebersihan, kerja bakti membuat sumur, bercocok tanam ( bertani

), kerjasama membangun Mesjid, Musholla, gotong royong

membuat rumah dan sebagainya.280

Ini merupakan fakta adanya

interaksi sosial yang tumbuh dan berkembang sebagai bukti amal

saleh yang ada pada masyarakat Indonesia dan menjadi ciri khas

sejak berabad-abad yang lalu berupa tolong menolong dalam

kebaikan bersama, sikap kebersamaan dan solidaritas ini

berimplikasi terciptanya kehidupan yang harmonis antara sesama

warga sekaligus dengan lingkngannya.

Namun demikian, ketakwaan yang ada pada masyarakat

bertingkat-tingkat. Tingkat ketakwaan yang tinggi ( kuat ) dan ada pula

tingkat ketakwaan yang rendah. Pada masyarakat yang kuat berpegang

pada ajaran agama dapat dipastikan tingkat ketakwaannya tinggi. Dalam

arti komitmen dan konsistensi beramal saleh lebih banyak dilakukan

sehingga menjadi adat kebiasaan dan budaya yang baik. Sebaliknya pada

masyarakat yang tingkat keberagamaanya lemah, maka dapat diprediksi

tingkat ketakwaannyapun lemah. Oleh karenanya dalam meningkatkan

ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, para agamawan seperti

Ustaz, Kiyai, Paderi dan sebagainya memiliki peran sangat penting

dalam hal ini. Para Ustaz dan Kiyai selain bertugas melayani umat

Islam dalam aktivitas keagamaan, juga bertindak sebagai konsultan

tentang berbagai persoalan hidup, baik yang bersangkutan dengan

hal-hal individu, keluarga, maupun yang berkaitan dengan

kemasyarakatan281

. Kiyai, seperti di Jawa Pantai Utara juga

menikahkan, membagikan harta warisan, memberi pengobatan,

memberi nama kepada anak yang baru lahir dan memimpin hampir

semua kegiatan peribadatan dan upacara adat. Dengan demikian, para

pemimpin agama dalam berbagai tingkatannya adalah paling efektif

dalam upaya meningkatkan aktivitas keagamaan, karena pemimpin

280

Ibid. h. 14 281

Ibid. h. 15

Page 124: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

361

agama mempuyai kedudukan yang terhormat. Oleh karena itu, para

pemimpin agama sangat mudah menggerakkan masyarakat untuk

beramal atau beraktivitas.

Dalam konteks kajian Pancasila, pengertian ketakwaan kepada

Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana yang difahami tidak sebatas pada

pemeluk-pemeluk Islam yang sudah dapat melaksanakan perintah

agama dan meninggalkan hal-hal yang dilarang agama. Tetapi faham

ketakwaan ini meliputi ketakwaan seluruh agama-agama yang ada

dengan melaksanakan semua perintah dan meninggalkan larangan

agama masing-masing; agama Islam, Kristen Katholik, Protestan,

Hindu, Budha dan lain-lain dalam berbagai sistem sosial budaya

masyarakat di Indonesia berdasarkan pendekatan kebudayaan atau yang

lazim disebut pendekatan antropologis282

.

Apa yang menarik perhatian dalam konteks ini, ialah

penggunaan istilah ketakwaan untuk seluruh pemeluk-pemeluk agama;

pemeluk agama Islam, Kristen, Hindu, Budha dan termasuk agama

Lokal. Hal ini karena dari konsepsi dasar istilah ketakwaan berasal dari

khazanah perbendaharaan Islam, dan termasuk dalam ruang lingkup

akidah ( keyakinan ). Ketakwaan berasal dari kata dasar taqwa, yang

artinya melaksanakan perintah-perintah Allah ( perintah agama ) dan

meninggalkan tindakan-tindakan yang dilarang agama. Sementara

orang-orang yang taqwa, dalam bahasa Arab disebut Muttaqin adalah

predikat, sifat bagi orang-orang yang melaksanakan perintah-perintah

agama Islam dan meninggalkan tindakan-tindakan yang dilarang, dan

secara umum sifat-sifat orang Muttaqin sebagaimana disebutkan di

dalam Al-Qur`an, surah al-Baqarah, ayat 2 – 5, yaitu;

a. Yang beriman kepada yang ghaib, terutama Allah Yang Maha

Esa, Malaikat, Jin, Syaitan, Syurga, Neraka, siksa kubur dan

sebagainya.

b. Yang mendirikan Shalat, terutama shalat-shalat fardhu.

c. Yang menafkahkan ( mensedakahkan ) sebagian rizki ( harta ),

terutama yang wajib kepada orang-orang yang sudah ditentukan (

delapan asnaf ), antaranya orang-orang fakir miskin dan

sebagainya.

d. Yang beriman kepada Kitab Suci ( al-Qur`an ) yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad saw.

282

Ibid. h. 2

Page 125: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

362

e. Yang beriman kepada Kitab-Kitab Suci yang diturunkan kepada

Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw. ( antaranya Kitab

Taurat, Injil dan sebagainya ), dan

f. Orang yang yakin adanya hari akhirat.

Dengan beberapa sifat tersebut, seorang muslim dengan

sendirinya menyandang predikat Muttaqin, yaitu orang yang bertakwa.

Jadi sebenarnya istilah taqwa itu hanya ada di dalam Islam dan

pengertiannya pun lebih khusus sebagaimana disebutkan di atas. Maka

penggunaan istilah takwa kepada pemeluk-pemeluk agama lain selain

pemeluk agama Islam tidak tepat. Tetapi mungkin atas dasar

pertimbangan agar tidak menyinggung perasaan pemeluk-pemeluk

agama lain atau karena tidak didapati istilah lain selain istilah takwa,

meskipun sebenarnya terdapat istilah lain yang lebih tepat

penggunaannya sebagai sinonim istilah takwa, yaitu pengabdian (

meskipun istilah pengabdian juga berasal dari kata Arab; `abdun yang

artinya hamba ), maka penggunaan istilah takwa kepada

pemeluk-pemeluk agama lain nampaknya tidak menjadi keberatan bagi

umat Islam.

5. Ideologi Pancasila dan Eksistensi Kehidupan Sosial Keagamaan

Pancasila sebagai ideologi, karena ideologi itu sendiri

merupakan rangkaian bangunan idea-idea yang tersusun rapih

berdasarkan hasil kajian dan dibuktikan dalam realitas kehidupan.

Dalam arti bahwa ideologi menyangkut keseluruhan prinsip atau norma

yang berlaku dalam masyarakat dan meliputi berbagai aspek; sosial

politik, ekonomi, budaya, pendidikan, hukum dan sebagainya, maka

ideologi sebagai acuan untuk menentukan perilaku kehidupan sosial,

ekonomi dan politik. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia adalah

demikian, maka dengan ini dapat dikatakan Ideologi Pancasila283

.

Pancasila hasil konsensus nasional untuk menjadi ideologi dan dasar

negara Republik Indonesia. Sementara agama ( agama dalam pengertian

agama samawi; agama yang bersumberkan wahyu Allah, tentu saja

dengan tidak menafikan keberadaan agama bumi yang bersumberkan

adat istiadat dan budaya ) berasal dari Tuhan ( Allah ) Yang Maha Esa

untuk menjadi pedoman hidup bagi umat manusia, termasuk manusia

yang hidup di negara Pancasila. Pancasila ( sebagai Ideologi dan Filsafat

283

Lihat, Soerjanto Poepowardojo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan

Sosio-Budaya ( Jakarta: PT. Gramedia, 1989 ), h. 17

Page 126: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

363

Kenegaraan ) dan agama bisa selaras, jika keduanya tidak bertentangan

atau tidak dicari-cari pertentangannya, seperti ditegaskan Ibnu Rushd

dalam karyanya; Faslul Maqal Fiyma Bayna al-Hikmah wa al-Shariah

Minal Ittishal. Oleh karena itu, Singgih ( Mantan Jaksa Agung RI )

mengesahkan bahwa setiap individu warga Indonesia wajib berpedoman

Pancasila, tetapi dalam kehidupan keagamaan tentunya wajib

berpedoman Kitab Suci agama masing-masing284

.

Oleh karena itu Indonesia bukan negara sekuler. Di negara

sekuler agama terpisah dari urusan negara, negara dikondisikan tidak

ikut campur dalam urusan agama. Di Indonesia, negara mempunyai

peranan dalam pembangunan agama. Dengan demikian agama

mempunyai kedudukan tersendiri, tetapi tidak berarti bahwa Indonesia

negara teokrasi, karena Indonesia menganut sistem pemerintahan

demokrasi, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat dan

direpresentasikan melalui wakil-wakilnya di Parlemen ( DPR / MPR ).

Kehidupan sosial keagamaan di Indonesia sudah berkembang

sejak masuknya agama Hindu, Budha, kemudian diikuti agama Islam,

Kristen Katholik, Protestan. Kelima-lima agama tersebut berkembang

subur dan hidup berdampingan antara satu dengan yang lainnya dalam

kondisi rukun dan damai, kecuali jika ada pihak-pihak yang

mempolitisir agama untuk kepentingan sesaat, bisa terjadi konflik antara

sesama pemeluk agama yang berbeda, seperti yang pernah terjadi di

awal-awal era Reformasi di Poso, Sampit dan tempat-tempat lain.

Menurut Singgih di dalam makalahya “ Pembinaan Aliran-Aliran

Keagamaan Di Indonesia “ menegaskan bahwa kerukunan hidup antar

umat beragama di Indonesis dapat tercipta dengan baik, karena adanya

budaya toleransi dalam masyarakat, antaranya sifat gotong royong dan

mufakat yang kemudian dirumuskan dalam filsafat negara, yaitu

Pancasila pada sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa285

.

Kerukunan hidup antar umat beragama merupakan fenomena

yang berkelanjutan sejalan dengan pertumbuhan masyarakat itu

sendiri286

. Hidup rukun berarti adanya kondisi yang harmoni dan damai

284

Lihat Singgih, Pembinaan Aliran Keagamaan Di Indonesia ( Makalah

dipresentasikan pada 18 / 12 / 1996 dalam Seminar Internasional di Hotel Kota

Makasar, Sulawesi ) h. 7 285

Ibid. h. 4 286

Majlis Ulama Indonesia, Kerukunan Hidup antar Umat Beragama, ( Solo:

CV Ramadhani, 1987 ), h. 7

Page 127: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

364

antara sesama anggota masyarakat yang berbeda etnik dan agama. Ini

artinya bahwa hidup rukun menghendaki adanya;

a. Saling hormat menghormati,

b. Menghargai sesama pemeluk agama yang berbeda,

c. Adanya saling pengertian antara sesama pemeluk agama yang

berbeda.

Dengan demikian, hidup rukun terkait dengan sikap dan perilaku

dari setiap individu pemeluk agama, dan ini tidak dapat terpisah dari

etika atau moral yang erat hubungannya dengan agama yang dianut,

karena agama membentuk sikap setiap penganutnya. Ini disebabkan

rakyat Indonesia adalah rakyat yang religius. Tidak dapat dinafikan

bahwa keberadaan agama-agama dalam kehidupan umat yang multi

etnik merupakan sesuatu yang sensitif.

Semua agama yang hidup dan berkembang di Indonesia secara

sosiologis mengajarkan ajaran-ajaran yang baik, membimbing umatnya

masing-masing agar berbudi luhur, berbakti ( beribadah kepada

Tuhannya ) berdasarkan pemahaman agama masing-masing, serta

mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa menyayangi sesama umat

manusia tanpa membedakan antara satu dari lainnya. Walaupun

demikian, kehidupan sosial keagamaan harus mendapatkan perhatian

dari waktu ke waktu, karena hubungan setiap individu pemeluk agama

dengan agama yang dipeluknya merupakan hubungan atas dasar

keyakinan dan emosional, lebih-lebih jika fenomena keagamaan

didasarkan pada fanatisme agama. Kondisi ini sangat sensitive bila

dihubungkan dengan persoalan interaksi antar umat beragama yang

berbeda, bisa dimungkinkan memunculkan konflik dan perpecahan

antara sesama pemeluk agama yang berbeda jika salah satu pihak dari

penganut agama lain menganggap pihak tertentu melakuklan

penghinaan atau pelecehan terhadap agama yang dipeluknya. Oleh

karena itu ajaran agama-agama, terutama agama Islam yang

dilaksanakan dengan benar ( dalam konteks negara Indonesia yang

berdasarkan Pancasila ) akan berperan sebagai daya perekat bagi bangsa

Indonesia yang plural, sama-sama membangun bangsa dan negara yang

lebih baik ke depan. Tetapi jika ajaran agama dilaksanakan tidak benar,

lebih-lebih jika didasarkan pada sikap saling mencurigai, akan

memunculkan gesekan-gesekan yang bisa mengancam keutuhan

bangsa287

.

287

Ibid. h. 5

Page 128: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

365

Fenomena kehidupan sosial keagamaan masyarakat Indonesia,

baik dahulu ataupun sekarang akan menunjukkan adanya realitas

bahwa agama memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap

pembentukan karakter dan kehidupan umat manusia. Agama menjadi

motivasi atas lahirnya berbagai pergerakan menentang penjajah, tidak

sedikit tokoh-tokoh nasional seperti Dipenegoro, Imam Bonjol, Ki

Ageng Tirtayasa dan sebagainya, umur mereka dihabiskan demi

mempertahankan kedaulatan rakyat dan bangsa. Demikian juga dengan

berdirinya Organisasi-organisasi Islam, seperti Syarekat Islam ( SI ),

Syarekat Dagang Islam ( SDI ), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama ( NU

), Majlis Islam A`la Indonesia ( MIAI ), Majlis Syuro Muslimin

Indonesia ( Masyumi ), dan sebagainya. Para tokoh tersebut dan

organisasi-organisasi Islam ini memiliki pengaruh besar dalam peta

perpolitikan di Indonesia, semua aktifitasnya didorong oleh ajaran

agama, baik dalam rangka membebaskan diri dari keterpurukan,

kezaliman, eksploitasi, ketertindasan dan sebagainya.

Sepanjang kehidupan umat manusia, baik dahulu ataupun

sekarang, agama dipandang sebagai sesuatu yang sensitif. Hal ini

dikarenakan agama terkait dengan eksistensi manusia, bahkan agama

dipandang sebagai bagian terdalam dalam diri manusia. Oleh karenanya

di Indonesia agama merupakan bagian dari masalah-masalah SARA (

Suku, Agama dan Ras ) dan hubungan antar golongan288

. Dengan

demikian, masalah SARA merupakan masalah sensitif dan tidak bisa

dianggap ringan, maka umat beragama semuanya dituntut untuk mencari

solusi dalam setiap masalah yang muncul. Jika gagal menangani

masalah, tentu umat beragama akan dihadapkan pada ledakan-ledakan

sosial yang bisa mengganggu keharmonian kehidupan, dan bahkan akan

mengganggu kestabilan politik Nasional. Masalah ini bisa jadi

dieksploitasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk

kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok. Ledakan dan

goncangan yang diakibatkan masalah-masalah SARA seringkali terjadi

dalam situasi suhu politik memanas. Kondisi akan bertambah parah

jika gagal menangani masalah-masalah tersebut. Kondisi seperti ini

dapat dirasakan ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi sekitar tahun

1997–an dan berimplikasi terjadinya krisis kepimpinan, sosial dan

agama, mengakibatkan terjadinya demonstrasi besar-besaran di

288

Lihat Martin Sardy ( Pnyt. ), Agama Multi Dimensional ( Bandung:

Alumni, 1987 ), h. 23 - 24

Page 129: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

366

mana-mana, tidak luput tejadinya konflik antar umat beragama di

beberapa tempat, seperti di Ambon Maluku, Lombok, Sampit di

Kalimantan dan sebagainya. Berdasarkan pandangan beberapa kalangan

bahwa masalah agama sebenarnya dieksploitasi untuk memperparah

keadaan oleh pihak-pihak yang merasa kecewa terhadap kebijakan

politik saat itu dengan motif-motif tertentu.

Beragama merupakan fitrah bagi setiap manusia hidup di atas

bumi ini, kecuali di beberapa belahan bumi yang memaksakan

penduduknya untuk tidak beragama atau melepaskan agama dari

kehidupan publik, maka menjadi keharusan untuk mewujudkan kondisi

yang rukun, tenteram dan damai, agar dapat membangun masa depannya

lebih baik, karena itu menjadi kewajiban bagi semua pihak, baik

pemerintah atau rakyat untuk mengumandangkan seruan-seruan hidup

rukun di kalangan umat beragama. Tanpa kerukunan hidup, stabilitas

politik akan terganggu, maka kerukunan hidup menjadi prasyarat bagi

keberhasilan pencapaian pembangunan, karena bagaimana mungkin

pembangnan dapat berjalan dengan efektif kalau negara selalu diganggu

oleh ledakan-ledakan konflik antar sesama umat beragama.

Berdasarkan paparan di atas, Pemerintah Indonesia sejak era

Orde Baru sebenarnya sudah melakukan berbagai langkah setrategis

dalam mewujudkan kondisi hidup rukun, harmoni dan tenteram.

Berbagai pendekatan dan upaya telah dilakukan; dialog, musyawarah,

seminar dan sebagainya289

. Hal ini harus dipastikan dari waktu ke

waktu agar efektifitas upaya-upaya tersebut benar-benar melahirkan

hasil maksimal. Dari sini muncul pemikiran tentang pembinaan

kerukunan hidup antar umat beragama, yaitu; upaya yang dilaksanakan

secara sadar, terencana, terarah, teratur dan bertanggung jawab untuk

meningkatkan kesatuan dan solidaritas antar umat beragama290

. Oleh

karena itu pembinanaan kerukunan hidup antar umat beragama harus

selalu dievaluasi dari waktu ke waktu.

Kerukunan secara umum dapat diartikan sebagai kondisi hidup

dan kehidupan yang damai, tertib, tentram, sejahtera, hormat

menghormati, harga menghargai, tenggang rasa, gotong royong sesuai

289

Martin Sardy ( penyt. ), Agama Multidimensional. h. 24 290

Lihat Majlis Ulama Indonesia, Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama. h. 7

Page 130: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

367

dengan tuntutan ajaran agama dan kepribadian Pancasila291

. Hidup

beragama adalah pengamalan ajaran agama sebagai bukti ketaatan

kepada Allah ( Tuhan ) dalam kehidupan umat manusia yang

menjadikannya saleh dalam perilaku dan perangai. Oleh karena

itukesalehan manusia adalah sebagai implikasi dari pengamalan ajaran

agama baik sebagai unsur individu ataupun sebagai unsur sosial.

Pengamalan tersebut secara riil tercermin baik secara pribadi di dalam

golongan maupun antar golongan di tengah-tengah masyarakat292

.

Dengan demikian kerukunan hidup umat beragama dapat diartikan

sebagai kondisi hidup dan kehidupan yang harmonis.

Kerukunan hidup akan mudah diwujudkan apabila ada

persamaan dan kesamaan latar belakang sejarah, penderitaan, cita-cita

dan keserasian dalam banyak hal293

, maka agar kerukunan hidup umat

beragama dapat direalisasikan dengan baik dan efektif sesuai dengan

semangat kebersamaan, perlu diperhatikan beberapa langkah strategis

sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

6. Kerukunan Umat Beragama Berdampak Positif Terhadap

Stabilitas Politik

Terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama akan

berdampak positif pada penguatan kehidupan sosial politik. Oleh

karena itu, pembinaan kehidupan umat beragama harus berdasarkan

perencanaan dan langkah-langkah strstegis, agar pembinaan tersebut

mencapai sasaran yang dikehendaki. Dalam konteks negara Indonesia

yang berdasarkan Pancasila, pembinaan kehidupan umat beragama

diarahkan untuk mencapai sasaran tercapainya;

a. Kerukunan antara sesama pemeluk seagama,

b. Kerukunan antara pemeluk berlainan agama,

c. Kerukunan umat beragama dengan Pemerintah294

.

291

Departemen Agama RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat

Beragama Di Indonesia ( Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama

Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1997 ), h. 20 292

Ibid. 293

Ibid. 294

Lihat Singgih, Pembinaan Aliran Keagamaan di Indonesia. h. 7. Lihat

juga Departemen Agama, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat beragama Di

Indonesia ( Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan

Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1997 ), h. 10 dan 40

Page 131: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

368

Berdasarkan fenomena yang ada pada masyarakat Indonesia

sesungguhnya telah tertanam nilai-nilai positif, seperti sikap hormat

menghormati dan saling bantu menbantu ntara sesama

pemeluk-pemeluk agama yang berbeda sehingga dapat dibina

kerukunan hidup yang baik dan maksimal. Faktanya Negara Indonesia

yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara

ideologis dan konstitusional telah berhasil mewujudkan persatuan dan

kesatuan bangsa, sebagaimana tercermin dalam slogan Bhinneka

Tunggal Ika, yang kemudian dikonsepsikan dalam paham NKRI,

walaupun sesekali terjadi gesekan antar umat beragma, tetapi secara

umum dapat dikatakan situasi relatif terkendali.

Pada saat Mukti Ali menjabat Menteri Agama, beliau telah

memprakarsai dialog antara umat beragama, melibatkan para tokoh umat

berbagai agama. Rencana tersebut mendapatkan respon positif dari

berbagai kalangan. Melalui dialog antar umat beragama menghasilkan

kesepakatan-kesepakatan yang disetujui, yaitu; kerukunan antara umat

beragama dapat dibina, kerjasama yang baik dapat diwujudkan melalui

sikap saling pengertian dan toleransi, kecurigaan sesama umat dapat

dihilangkan dan sebagainya295

.

Pada tahun 1960 –an peta pluralitas di Indonesia sangat kritis

akibat dari banyaknya pergolakan dan konflik296

. Pergolakan ini dapat

dirasakan ketika banyaknya terjadi aksi yang melemahkan rasa

persatuan, misalnya munculnya sikap saling menghina, penyebaran

slogan, mendatangi rumah-rumah orang yang sudah beragama Islam

untuk tujuan missionari, penyebaran fitnah, pengrusakan rumah ibadah

dan sebaginya. Melihat kondisi yang mengancam persatuan umat dan

kestbilan politik negara, Pemerintah waktu itu berinisiatif untuk

mengadakan pertemuan antara umat beragama. Hasil dari pertemuan itu

lahirnya langkah positif didirikannya Wadah Musyawarah Antara Umat

Beragama oleh H. Alamsyah Ratu Perwiranegara ( Menteri Agama )

pada 30 Juni 1980 di Jakarta. Tujuan pembentukan Wadah ini sebagai

tempat;

a. Mengkomunikasikan masalah-masalah agama,

b. Menciptakan komunikasi yang baik antara umat beragama

295

Lihat, Martin Sardy ( pnyt.), Agama Multidimensional. h. 46 -47 296

Ibid. h. 43

Page 132: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

369

c. Melahirkan hubungan antara umat beragama dengan

Pemerintah, dan sebagainya297

.

Ketiga-tiga tujuan pembentukan wadah tersebut secara umum telah

terlaksana walaupun belum maksimal. Langkah selanjutnya dalam

rangka pembinaan kerukunan umat beragama, ialah sebagimana

ditegaskan Majlis Ulama Indonesia sebagai berikut;

a. Menanamkan arti pentingnya kehidupan bermasyarakat yang

mampu mendukung tercapainya kerukunan hidup antar umat

beragama,

b. Melahirkan lingkungan yang dapat mendorong sikap dan

perilaku yang mengarah pada tercapainya kerukunan hidup

umat beragama,

c. Menumbuh kembangkan sikap dan perilaku yang dapat

melahirkan kerukunan hidup beragma298

.

Langkah-lankah strategis sebagaimana dijelaskan di atas, sangat

penting dalam upaya menciptakan kerukunan hidup antar umat

beragama yang berbeda dan yang paling penting bukan sebatas retorika

dalam ucapan, tetapi lebih dari itu harus diikuti dengan

tindakan-tindakan riil. Selain langkah-langkah tersebut di atas,

barangkali ada baiknya diperhatikan nasehat-nasehat Soeharto ( Mantan

Presiden RI-2 ) yang secara objektif ilmiah masih relevan dengan

konteks kekinian, sebagai berikut299

;

a. Tidak menimbulkan kecurigaan dan kecemasan.

Dalam konteks ini Soeharto ketika memberikan sambutannya

pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. di Istana

Negara pada 8 Februari 1979, menyatakan; saya berharap

agar upaya mengembangkan dan meningkatkan kehidupan umat

beragama, masing-masing golongan agama dapat

mengendalikan diri dari tindakan-tindakan yang menimbulkan

kecurigaan dan kecemasan kepada yang lain. Tetapi sebaliknya

agar dapat menempatkan kepentingan golongan di bawah

kepentigan yang lebih besar demi kepentingan bangsa dan

negara, kepentingan rakyat, juga untuk kepentingan bangsa

seluruhnya.

297

Ibid. h. 39 298

Majlis Ulama Indonesia, Kerukunan Hidup antar Umat Beragama. h. 7 299

Lihat, Soeharto, Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila (

Jakarta: Yayasan Proklamasi, CSIS, 1976 ), h. 32-33

Page 133: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

370

b. Menghindari perbuatan yang menyinggung perasaan Dalam konteks ini Soeharto menyatakan bahwa di dalam

mengembangkan agama, melaksanakan ibadah adalah untuk

berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa ( Allah ) dan untuk amal

perbuatan yang baik kepada sesama umat, bukan untuk

memperlihatkan kekuatan, bukan untuk memperlihatkan

kekayaan. Oleh itu, di dalam upaya mengembangkan agama

harus menghindari tindakan yang dapat menyinggung perasaan

orang yang kebetulan beragama lain, bukan karena tidak suka

kepada agama yang berkenaan, tetapi karena adanya perbedaan

yang mencolok dalam nilai-nilai sosial yang berlaku dalam

masyarakat tersebut.

c. Pengembangan agama tidak menggunakan cara-cara

paksaan Dalam konteks ini Soeharto ketika menyampaikan sambutannya

pada acara peringatan Nuzulul Qur`an tanggal 19 Desember

1967 di Jakarta, menegaskan bahwa; penyebaran dan

pengembangan agama tidak harus disertai dengan cara-cara

paksaan dalam bentuk apa pun, baik paksaan dengan intimidasi

fisik, paksaan karena mayoritas, paksaan dengan kekuatan

material, dan sebagainya. Dengan demikian, penyebaran dan

pengembangan agama tidak semata-mata untuk memperluas atau

menambah penganut agama, tetapi yang lebih penting adalah

untuk meningkatkan kualitas keyakinan pemeluk agama dan

membimbingnya dengan tepat agar setiap pemeluk agama

melaksanakan ajaran agama dengan tepat dan benar, beramal

dan bekerja demi kesejahteraan umat sesuai dengan perintah

agama, sehingga pola-pola penyebaran agama dan melaksanakan

ibadah agama tidak menyinggung perasaan pemeluk agama lain,

tidak mengganggu ketenteraman orang banyak dan tidak

melanggar hukum.

d. Tidak mempertajam perbedaan agama

Kehidupan beragama dalam masyarakat dan bangsa yang

berbeda eknik dan agama adalah masalah sensitif. Oleh karena

itu, ini harus menjadi perhatian bersama dan menyampaikan

peringatan jika terjadi goncangan akibat tindakan sebgian pihak

yang tidak bertanggung jawab, seperti menghina atau

Page 134: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

371

menganggap kecil agama lain, mempertajam perbedaan agama

dan sebagainya.

Berdasarkan penjelasan di atas terkait langkah-langkah strategis

dalam rangka terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama, maka

dapat ditegaskan bahwa upaya dan langkah itu pada dasarnya untuk

terciptanya sebuah persatuan umat beragama, sehingga dengan

sendirinya tercipta kehidupan yang harmonis. Namun demikian,

kerukunan dan persatuan tidak akan wujud selama tidak ada saling

pengertian dan toleransi di antara sesama umat beragama. Oleh karena

itu, sikap saling pengertian dan toleransi harus diperkuat dikalangan

umat beragama yang berbeda.

Toleransi umat beragama dalam perngertian, bahwa toleransi

itu tidak berarti ajaran agama masig-masing menjadi campur aduk

seperti adonan tepung atau dalam pengertian lain sinkretis, toleransi

hidup antar umat beragama bukan suatu bentuk campur aduk, melainkan

wujudnya saling harga menghargai dan terciptanya kebebasan bagi

setiap warga untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinan

agamanya masing-masing. Sikap bermusuhan, sikap prasangka buruk

terhadap pemeluk agama lain harus dihindari. Bangsa Indonesia

sesungguhnya sudah tertanam tradisi yang baik tentang toleransi dan

kerukunan hidup. Tradisi inilah antara lain yang menguatkan sila

Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dan sebaliknya, dengan

Pancasila itu harus dikembangkan sikap toleransi. Terciptanya

kebersamaan dan kesatuan umat beragama menjadi pilar atau landasan

bagi terciptaya stabilitas politik nasional.

7. Kesimpulan

Dari pembahasan tentang sila pertama Pancasila, yaitu;

Ketuhanan Yang Maha Esa. Berikut ini disampaikan beberapa

kesimpulan, antaranya sebagai berikut;

1. Kepercayaan ( beriman ) kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah

sebagai wujud religiusitas bangsa Indonesia.

2. Tuhan Yang Maha Esa difahami oleh umat Islam adalah Allah

swt.

3. Ketakwaan kepada Tuhan ( Allah ) Yang Maha Esa sebagai

manifestasi dari iman yang tertanam di dalam jiwa setiap

individu bangsa Indonesia ( terutama yang beragama Islam ) dan

Page 135: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

372

sebagai perwujudan dari kepribadian bangsa yang komitmen

pada ajaran agama.

4. Saling pengertian dan toleransi antara sesama umat beragama

sebagai implikasi dari ketakwaan adalah landasan penting untuk

terciptanya persatuan bangsa Indonesia.

5. Terciptanya kerukunan antar umat beragama adalah salah satu

faktor penting bagi terciptanya stabilitas politik nasional.

BAB III

MEMBANGUN MANUSIA

BERADAB DAN BERMARTABAT

Page 136: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

373

1. Manusia Dan Cita-Cita Hidup

Pembahasan tentang hakikat manusia sudah banyak dibicarakan oleh

para Filosof, baik di Barat ataupun di Timur. Ibnu Khaldun ( 1332 – 1406

M. ) salah seorang filosof yang lahir di dunia Islam ( Timur ) di dalam

karyanya “ Mukaddimah “ menyampaikan pandangannya tentang

hakikat manusia, bahwa manusia adalah makhluk Allah yang berbeda

dari makhluk-makhluk lain dengan kesanggupannya berfikir, menjadi

sumber dari segala kesempurnaan dan puncak dari segala kemuliaan dan

ketinggian dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain 300 .

Kesanggupan manusia berfikir menjadikan manusia berbeda dari

makhluk-makhluk lain. Dengan akal dan pemikiran yang diwarnai iman

dan taqwa manusia bisa melampaui derajat Malaikat seperti para Nabi

dan Rasul Allah, tetapi juga manusia bisa derajatnya turun lebih rendah

dari haiwan jika manusia tidak menggunakan akal dan pemikirannya

sesuai dengan petunjuk wahyu Allah seperti Qarun ( hidup di zaman Nabi

Musa ) dll. Kesanggupan manusia berfikir, termasuk berfikir mendalam

merumuskan dasar negara Republik Indonesia ( Pancasila ).

Pemikiran tentang manusia dan kemanusiaan sebagaimana

dikonsepsikan di dalam ideologi negara; Pancasila adalah merupakan

realitas tinjauan hidup ( wold view ) sangatlah penting artinya,

karena keberhasilan implementasi ideologi Pancasila sebagai dasar

negara bergantung sepenuhnya kepada manusia-manusia Indonesia itu

sendiri301. Oleh karena itu, diskursus tentang kemanusiaan dalam

konteks ini lebih banyak akan difokuskan pada sikap dan karakteristik

serta keberadaan manusia Indonesia sebagai masyarakat yang

melibatkan diri dalam berbagai aktivitas kehidupan sosial politik,

ekonomi, pendidikan, keagamaan dan sebagainya. Pertama sekali yang

300

Lihat, Charles Issawi, Filsafat Islam Tentang Sejarah, terj. An Arab

Philosophy of History, Oleh A. Mukti Ali, ( Jakarta: Tintamas, 1976 ), h. 228 - 229 301

Lihat, Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia

(Jakarta: Djambatan, 1954 ), h. 110

Page 137: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

374

perlu ditegaskan di sini adalah bahwa manusia Indonesia ( dan bahkan

manusia di mana pun berada di dunia ini ) adalah makhluk Allah302. Di

dalam al-Qur`an terdapat banyak ayat-ayat yang menunjukkan bahwa

manusia itu makhluk Allah303.

Pernyataan bahwa manusia makhluk Allah mengandung pengakuan

terhadap adanya Al-Khaliq ( Pencipta ) dan Al-Ma`bud (yang

disembah ). Pengakuan ini dalam tradisi kalangan umat Islam ialah iman

kepada-Nya. Iman atau beriman kepada Pencipta ini bukan hanya

sekedar diucapkan di dalam lisan, tetapi harus direalisasikan dalam

amalan real sesuai dengan tuntutan ajaran agama. Dengan demikian,

realisasi dalam bentuk pengamalan ini adalah tuntutan dari iman itu

sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moh. Hatta bahwa dasar

kemanusiaan yang adil dan beradab itu sebagai pengrealisasian dengan

perbuatan secara nyata dalam praktek hidup dari dasar Ketuhanan Yang

Maha Esa304.

Di dalam melaksanakan berbagai aktivitas hidup, manusia memerlukan

kondisi yang kondusif, antaranya kebebasan dan kemerdekaan, yang

dapat mendukung tercapainya tujuan. Dalam konteks ini Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan; bahwa sesungguhnya

kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, karena jika tidak ada

kemerdekaan bagaimana mungkin dapat melahirkan aktivitas-aktivitas

untuk tercapainya tujuan yang dicita-citakan, oleh karenanya

kemerdekaan di dalam UUD 1945 ditegaskan sebagai hak setiap

orang. Kemerdekaan dalam arti bebas dari setiap belenggu,

tekanan dan intimidasi oleh siapa pun dan dari mana pun. Bangsa yang

berada dalam kondisi tidak bebas, apalagi terjajah, tidak dapat

membangun masa depannya dengan baik. Oleh karena itu, Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya menegaskan; maka penjajahan

di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan

302

Ibid. h. 111 303

Lihat, Al-Qur`an: 96, 1 - 2 304

Moh. Hatta, Pengertian Pancasila ( Pidato tentang lahirnya Pancasila 1

Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional ), ( Jakarta: PT. Inti Idayu Press, 1978 ), h.

30

Page 138: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

375

perikemanusiaan dan perikeadilan. Kemerdekaan dan kebebasan

bangsa Indonesia seluruhnya di dalam Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945 menjadi landasan untuk membentuk pemerintahan yang

akan melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia,

dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial305.

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kemerdekaan ( kebebasan )

bukanlah tujuan akhir dari sebuah perjuangan, melainkan sarana atau

wasilah untuk terciptanya tujuan. Bangsa Indonesia sebelum merdeka

tidak dapat melahirkan beragai aktivitas sesuai dengan kehendaknya,

sehingga tidak dapat mewujudkan cita-citanya. Tetapi setelah mencapai

kemerdekaan dari penjajah, bangsa Indonesia baru dapat merealisasikan

cita-cita dan tujuan. Dengan tujuan ini, dapat dilahirkan berbagai

program dan upaya sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang

dimiliki berdasarkan acuan sendiri.306 Tujuan yang hendak digapai oleh

bangsa Indonesia semenjak memproklamirkan kemerdekaannya dari

penjajah ialah sebagaimana yang telah dirumuskan di dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945, yaitu:

. . . . . melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi

dan keadilan sosial.

Tujuan hidup yang hendak diraih oleh bangsa Indonesia itu kemudian

akan memperoleh penguatannya jika manusia-manusianya kebetulan

beragama Islam ( Musilm ), maka tujuan hidupnya di samping

sebagimana yang telah termaktub di dalam Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945 itu sekaligus memperoleh ridho Allah aerta menjadi

305

Lihat, Teks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 306

Lihat, Paulus Wahana, Filsafat Pancasila ( Yogyakarta: Kanisius, 1993),

h. 51

Page 139: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

376

manusia-manusia Muslim yang baik dan taat, yang membawa rahmat (

kedamaian dan kesejahteraan ) bagi segenap alam307.

Secara rinci, Nainggolan menyebut dua tujuan hidup; Pertama,

tujuan hidup Vertikal, dan Kedua, tujuan hidup Horizontal. Tujuan

hidup Vertikal ialah sasaran yang akan dicapai dalam hubungan antara

seorang Muslim dengan Tuhannya melalui berbagai bentuk amalan dan

ibadah yang dilakukan adalah untuk memperoleh keridhoan Allah.

Dalam artian, setiap perilaku seorang Muslim, baik dalam bentuk

ucapan atau perbuatan diridhoi Allah. Sementara tujuan hidup

Horizontal ialah sasaran yang akan dicapai dalam interaksi anatara

sesama Muslim, dan antara seorang Muslim dengan Non Muslim, antara

seorang Muslim dengan keluarganya, dan bahkan berinteraksi dengan

alam sekitar; flora, fauna, benda-benda alam dan makhluk-makhluk lain

adalah mewujudkan rahmat bagi segenap alam308.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa perilaku setiap

orang Muslim harus baik dalam ucapan dan perbuatan, dan bahkan

semua aktivitasnya mendatangkan rahmat, manfaat, faidah dan

keuntungan kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara,

agama, dan termasuk dapat memberikan kontribusinya untuk kemajuan

bangsa dan negara.

2. Bangsa Beradab dan Bermartabat

Kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana dikonsepsikan di

dalam sila ke dua dari Pancasila adalah sebagai prinsip yang ingin

memposisikan manusia ( bangsa ) Indonesia pada posisi yang tinggi

sesuai dengan darjatnya sebagai makhluk Tuhan ( Allah ), sehingga

menjadi bangsa yang bermartabat dan memiliki harga diri yang

dihormati bangsa lain. Manusia Indonesia sebagai manusia hidup dan

beraktivitas harus difahami dari beberapa aspek, antaranya;

307

Z. S. Nainggolan, Pandangan Cendikiawan Muslim Terhadap P-4

(Jakarta: Gema Isra Utama, 1990 ), h. 12 - 17 308

Ibid. h. 13

Page 140: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

377

1. Aspek status. Artinya manusia Indonesia secara geopolitik harus dipersepsikan

secara integral. Dengan begitu dapat dihindari kekhawatiran

munculnya fragmentasi dan upaya-upaya sparatis, sehingga

keutuhan Indonesia sebagai sebuah negara dapat dipertahankan

dari waktu ke waktu.

2. Asper martabat.

Artinya manusia Indonesia harus diposisikan sebagai subjek yang

aktif, maka prinsip-prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan manusia

Indonesia harus dijungjung tinggi, sehingga menjadi

manusia-manusia yang terhormat dan dihargai, baik dalam

pergaulan di tingkat regional, nasional atau pergaulan dalam

sekala Internasional. Oleh karenanya prinsip-prinsip kemanusiaan

manusia Indonesia tidak dapat dikorbankan hanya untuk mencapai

tujuan yang tidak memberi manfaat banyak kepada manusia

Indonesia secara keseluruhan, dalam arti yang tidak memihak pada

kepentingan rakyat banyak.

3. Aspek kebersamaan dalam perbedaan.

Manusia Indonesia sebagimana bangsa-bangsa lain di dunia,

terutama di beberapa kawasan Asia Tenggara adalah

individu-individu yang terhimpun dari etnik, komunitas, bangsa

yang berbeda-beda tapi dalam satu kordinasi ke arah kesatuan

gerak dan langkah dalam membangun masa depannya yang lebih

baik, maka dalam konteks ini saling pengertian ( understanding )

antara sesama etnik, komunitas dan bangsa harus terus dibina dari

waktu ke waktu dalam rangka terciptanya solidaritas nasional

sepanjang tidak mengganggu prinsip-prinsip dasar keyakinan

masing-masing. Oleh karena itu sikap egoistik dan sikap tidak peduli

terhadap sesama etnik dan komunitas harus dihindari, karena sikap

egoistik cenderung memunculkan tindakan eksploitatif, maka

gagasan multi kulturalime dalam membangun Indonesia ke depan

yang pluralistik harus didukung.

4. Aspek dinamisasi.

Page 141: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

378

Manusia Indonesia sebagaimana manusia-manusia lain di dunia

adalah manusia-manusia yang terus menerus berproses dari satu

tahap ke tahap berikutnya, maka manusia Indonesia-pun adalah

manusia-manusia yang memiliki inisiatif, innovatif dan berwawasan

ke depan sesuai dengan perjalanan hidup dari satu titik ke titik yang

lain309.

Jika aspek-aspek tersebut di atas difahami dan dihayati dengan baik,

maka kita harus bisa memposisikan manusia Indonesia sebagai manusia

yang memiliki harga diri dan martabat. Namun dari aspek lain bangsa

yang bermartabat dan memiliki harga diri di mata bangsa lain

berdasarkan ukuran dan fakta di era global seperti sekarang ini dapat

diwujudkan jika rakyat Indonesia sudah bisa menciptakan

kesejahteraan yang adil dan merata. Tetapi malangnya negara kita di

mata bangsa lain dalam beberapa dekade terakhir tidak memiliki

martabat dan harga diri. Sebagai bukti dari realitas ini ialah banyaknya

perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para Tenaga Kerja Indonesia (

TKI ) di beberapa negara di luar negeri, antaranya di Malaysia,

Singapore, Korea, Hongkong, Arab Saudi, Kuweit dan sebagainya 310.

Tidak sedikit dari para TKI yang dideportasi ke Tanah Air akibat

berbagai masalah, baik karena perilaku para majikan yang tidak

bermoral atau karena skill yang tidak dimiliki para TKI atau karena

komunikasi yang tidak nyambung. Tidak adanya martabat dan harga

diri bangsa kita di mata bangsa lain adalah sebagai akibat dari beberapa

faktor, antaranya sebagai berikut;

1. Penegakkan hukum ( supremasi hukum ) yang kontra produktif. Lebih parah lagi hukum terkesan dimanipulasi atau dipermainkan dengan kekuatan uang, maka dampaknya hukum sedikitpun tidak memberikan rasa jera kepada para pelaku kejahatan.

2. Korupsi yang semakin merajalela. Berbagai pendekatan dalam rangka pemberantasan korupsi telah dilakukan antaranya melalui

309

Band. Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan

Sosio-Budaya ( Jakarta: PT. Gramedia, 1989 ), h. 156 310

.Beberapa istilah yang bernada hinaan muncul, misalnya di Malaysia “

Indon “, di Arab Saudi “ Indonesia Bagor “ ( orang Indonesia sapi, tidak memiliki otak

atau mukh ).

Page 142: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

379

KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ). Tetapi semua upaya sepertinya tidak membawa hasil menggembirakan. Korupsi tetap saja berjalan terus dari waktu ke waktu semakin menjadi-jadi, seolah-olah tidak ada henti-hentinya, bahkan menurut Abraham Samad Ketua KPK tahun 2011 - 2015 bahwa tindak kejahatan korupsi telah mengalami regenerasi. Oleh karenanya efektivitas pemberantasan korupsi harus dipertanyakan.

3. Kebijakan Pemerintah yang tidak tepat terkait dengan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ( TKI ) ke beberapa negara luar negeri, antaranya Malaysia, Hongkong, Arab Saudi, Kuweit dan beberapa negara lain. Pengiriman para TKI yang tidak melalui seleksi ketat, sehingga para TKI dikirim tidak memiliki skill dan standar profesional, karena pada umumnya mereka dari kalangan orang-orang yang tidak edukated ( tidak berpendidikan ) sehingga kemudian banyak menimbulkan masalah.

4. Masalah kesejahteraan sampai hari ini masih belum bisa direalisasikan secara merata, sepertinya kesejahteraan masih jauh ibarat panggang jauh dari api, rakyat pada tataran bawah masih harus bermimpi dan bermimpi. Hal ini menyebabkan prosentase angka kemiskinan masih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Akibat dari beberapa faktor tersebut menyebabkan bangsa

Indonesia tidak memiliki martabat dan harga diri di mata bangsa lain.

Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan mrtabat dan harga diri

bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia harus menyelesaikan

masalah-masalah di atas. Dalam pandangan yang berdasarkan ajaran

Islam, ada prinsip persamaan ( al-musawa, equality ). Islam

mengajarkan prinsip ini karena manusia seluruhnya dari aspek

kedudukannya sama sebagai makhluk Allah yang menjadi khalifah (

pengganti dan penerus ) di atas muka bumi ini untuk memelihara

keseimbangan hidup dan memakmurkan bumi dengan kebaikan, bukan

dengan kerusakan. Prinsip ini didasarkan pada ajaran bahwa manusia

seluruhnya di hadapan Allah tidak ada beda, meskipun dari aspek zahir

manusia terdapat perbedaan-perbedaan, seperti perbedaan dalam

kemampuan, keturunan, warna kulit, status sosial, prestasi, harta

kekayaan yang dimiliki, dan sebagainya. Tetapi perbedaan-perbedaan itu

tidak dijadikan ukuran untuk menentukan tinggi rendahnya darjat dan

Page 143: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

380

martabat seseorang. Semua itu di sisi Allah tidak menjadikan manusia

berbeda dari manusia lain, karena perbedaan-perbedaan itu bersifat

insidental ( incidental ) atau kebetulan 311 . Ketakwaanlah yang

menjadikan manusia berbeda dari manusia yang lain, maka bagi Allah

manusia itu hanya beda dari segi takwanya. Orang yang paling

bertakwa adalah orang yang paling mulia di sisi Allah312. Dia-lah yang

memiliki darjat dan harga diri di sisi Allah.

Menurut Abdullati; Keistimewaan persamaan tersebut bukan suatu hak

konstitusional atau atas kesepakatan-kesepakatan bersama. Tetapi

persamaan ini sebagai bagian dari iman yang dihayati dengan serius oleh

umat Islam313. Menurutnya lagi, konsep persamaan dalam Islam sangat

mendasar. Hal ini didasarkan pada beberapa prinsip asas, antaranya;

1. Seluruh manusia adalah ciptan Allah. 2. Seluruh manusia terdiri dari komunitas, dan semuanya sama dalam

satu keturunan, yaitu dari Adam dan Hawa. 3. Allah sangat adil dan sangat sayang kepada seluruh makhluk-Nya 4. Seluruh manusia dilahirkan ke dunia dalam kondisi yang sama, tidak

membawa apa-apa, andaikan dia mati, dia tidak membawa apa-apa pun ke alam kubur selain amalan-amalannya, baik yang saleh atau yang buruk.

5. Allah memberi ganjaran kepada seseorang sesuai dengan amalannya.

6. Allah memberi anugerah yang tinggi kepada manusia dengan kehormatan dan kemuliaan.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditegaskan bahwa hanya dengan

ketakwaan kepada Allah sajalah satu-satunya dasar untuk menentukan

tinggi rendahnya darjat seseorang muslim di hadapan Allah. Apa yang

311

Lihat, Hammudah Abdulati, Islam Satu Kepastian, terj, Ta`rifun Bil Islam,

( Kuweit: International Islamic Federation of Student Organisation, 1986 ), h. 75 312

Dalam konteks ini al-Qur`an, 49:13 menegaskan yang artinya; Hai

manusia sesungguhnya kami menjadikan kamu dari lelaki dan perempuan, dan Kami

jadikan kamu berbangsa-bangsa dan berkelompok-kelompok agar kamu saling

mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah

orang yang paling bertakwa. 313

Hammudah Abdullati, Islam Satu Kepastian. h. 75

Page 144: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

381

akan ditegaskan dalam konteks ini, ialah betapa mendasarnya konsep

persamaan di dalam ajaran Islam, oleh karenanya apabila konsep ini

dapat direalisasikan sepenuhnya dalam realitas kehidupan umat manusia

( manusia Indonesia ), maka tidak akan ada ruang munculnya ketidak

adilan ( kezaliman ) dan kekacauan, tidak akan ada perlakuan intimidasi

atau tekan menekan dari manusia kepada sesama manusia lain.

Konsep ini jika mewarnai kehidupan masyarakat akan lahir kondisi

kehidupan yang tentram, damai dan mulia, tidak akan ada sikap curiga

mencurigai, perlakuan eksploitasi terhadap orang lain, penipuan,

pendustaan, pencurian, perampokan, korupsi, kolusi, nepotisme dan

tindakan-tindakan lain yang merugikan masyarakat, bangsa dan negara.

Secara otomatik akan muncul di tengah masyarakat sikap-sikap positif

antaranya; kejujuran, amanah, saling mempercayai antara satu dengan

yang lainnya, maka dengan sendirinya semua rakyat akan menikmati

hasil pembangunan dalam keadaan damai, tentram, dan sejahtera lahir

batin. Dengan sikap-sikap positif ini akan tercapai tujuan yang ingin

digapai, yaitu wujudnya bangsa yang memiliki harga diri, bermartabat

dan beradab.

3. Keadilan Dan Realitas Permasalahan

Masalah yang paling memdasar dalam membangun kekuatan bangsa dan

negara adalah masalah keadilan 314 . Keadilan akan terus menjadi

agenda umat manusia sepanjang zaman di atas muka bumi ini. Karena

314

Di dalam Pancasila terdapat dua kata keadilan. Pertama; keadilan yang

terdapat pada sila kedua, yaitu; Kemanusiaan yang adil dan beradab. Kedua; terdapat

pada sila kelima, yaitu; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan yang

ada pada sila kedua terfokus pada sifat dan sikap yang adil dari manusia-manusia

Indonesia. Sementara keadilan yang ada pada sila kelima ialah terfokus pada

upaya-upaya realisasi keadilan dalam berbagai aspek kehidupan pada tataran praktis,

aspek penegakan hukum, ekonomi, pembagian pendapatan, pembagian ( distribusi )

kekuasaan dan sebagainya.

Page 145: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

382

pentingnya masalah keadilan, sehingga Al-Qur`an menyebut kata adil (

keadilan ) berulang-ulang sebanyak dua puluh delapan kali315.

Adil atau keadilan secara umum dapat diartikan sebagai upaya

menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, atau upaya

untuk memastikan seseorang yang memiliki hak memperoleh haknya

tanpa ada halangan apa pun 316 . Dalam pengertian lain ialah;

memberikan hak kepada orang yang berhak. Selanjutnya jika kata adil

atau keadilan ini dikaitkan dengan rumusan sila kedua Pancasila, iaitu;

Kemanusiaan yang adil dan beradab, maka artinya ialah;

Manusia-manusia Indonesia yang memiliki sifat adil, iaitu; orang-orang

yang menghormati hak-hak orang lain dan tidak sewenang-wenang

menuruti kecendrungan dan keinginan sendiri atau golongannya dan

tidak pula berlebihan ketika memutuskan hukuman kepada orang yang

terkena hukum.

Agama-agama dulu menurut Musthafa al-Rafi`ie didasarkan pada

prinsip-prinsip keadilan. Tetapi sumber-sumber keadilannya berbeda

antara satu agama dengan agama lainnya sesuai dengan perbedaan

kondisi, pemikiran dan kecendrungan masing-masing bangsa dan

pemeluk agama-agama yang bersangkutan, misalnya sumber keadilan

bangsa Roma adalah undang-undang rakyat, bangsa Yunani keadilannya

bersumber pada undang-undang natural ( tabi`ie ), bangsa Inggris

sumber keadilannya hati Raja, sumber keadilan di dalam agama Islam

adalah pemikiran dan hikmaf pelaksanaan Syariat Islam (

perundang-ndangan ) yang diilhami oleh al-Qur`an dan Sunnah Nabi317.

Dalam realitas kehidupan yang sudah carut marut, kezaliman terjadi

berleluasa di mana-mana, keadilan sangat sulit diwujudkan, kecuali harus

melalui proses perjuangan serius yang melibatkan semua pihak,

terutama Pemerintah. Masyarakat dalam kondisi seperti ini pada

umumnya merasa takut untuk menyampaikan aspirasi kebenaran,

315

Lihat, Muhammad Aziz Nazamiy Salim, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam (

Iskandariyah: Muassisah Shabbab al-Jami`ah, 1996 ), h. 90 316

Lihat, Musthafa al-Rafi`ie, al-Islam Din al-Madaniyyah al-Qadimah (

Beirut: al-Shinkat al-Alawiyyah Li al-Kitab, 1990 ), h. 167 317

Ibid.

Page 146: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

383

hanya sebilangan kecil orang-orang yang memiliki jiwa patriotik merasa

terpanggil untuk melakukan restorasi kondisi yang sudah rusak ke

keadaan yang normal. Dalam kondisi seperti ini keadilan akan

disuarakan, maka mau atau tidak, mereka akan berhadapan dengan

struktur kekuatan. Di sinilah akan terjadi pertarungan antara kebenaran

dan kebatilan, mana yang menang dan mana yang kalah, tergantung

pada dominasi kekuatan masing-masing, jika kebenaran itu yang

mendominasi, pasti akan meraih kemenangan. Tetapi jika sebaliknya,

maka kebatilan akan memperoleh kemenangan. Di sinilah dominasi

kekuatan menjadi penentu.

Berbicara soal keadilan, Ahmad Syafii Maarif menegaskan; Bangsa

Indonesia adalah bangsa yang merdeka dan berdaulat sejak sekian lama

dan banyak kemajuan-kemajuan yang telah dicapai melalui

pembangunan demi pembangunan, sekalipun sasaran akhir berupa

wujudnya masyarakat adil dan makmur masih jauh dari jangkauan318.

Soeharto sendiri ( Presiden Indonesia ke II ) mengakui; bahwa

masyarakat adil dan makmur masih jauh dari kenyataan, meskipun

pembangunan Nasional yang sedang berlangsung sampai sekarang (

sekitar tahun 1980-an ) telah banyak menghasilkan buah yang nyata319.

Banyak kasus yang terjadi di era Orde Baru membuktikan adanya indikasi

bahwa keadilan dalam berbagai aspek kehidupan belum terealisasikan,

baik dalam ranah hukum, ekonomi dan termasuk bidang pendidikan.

Pada tahun 1980-an ada kecendrungan untuk mempersempit makna

keadilan hanya sebatas formal, yaitu; keadilan menurut hukum.

Kecendrungan ini menurut laporan Hak Asasi Manusia, semakin

diperkuat karena pola komunikasi tidak lagi terjadi timbal balik antara

318

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang

Percaturan Dalam Konstituante ( Jakarta: LP3S, 1985 ), h. 62. Lihat juga, A. Syafii

Maarif, Al-Qur`an Realitas dan Limbo Sejarah ( Bandung: Penerbit Pustaka, 1985 ), h. 319

Umar Hasyim, Negeri Allah, Adil Makmur Di Di Bawah ampunan Allah (

Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1981), h. 20 - 21

Page 147: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

384

rakyat dengan Pemerintah, melainkan yang terjadi justeru satu arah320.

Lalu lintas satu arah ini lebih parah lagi karena terkesan sebagai

manifestasi dari kehendak struktur kekuasaan yang dominan, secara

sederhana, kita melihat pola komunikasi satu arah ini ternyata penuh

dengan paksaan. Menurut laporan Hak Asasi Manusia lagi saat itu,

melawan pola komunikasi yang demikian ini, berarti melawan rumusan

yang secara kelembagaan sudah disiapkan, dan ini berarti pula

melakukan perlawanan terhadap struktur kekuatan itu. Keadilan dalam

arti yang sebenarnya tidak mendapat tempat, karena semakin hari

rumusan keadilan semakin dipersempit sesuai dengan kehendak

undang-undang yang telah disiapkan 321 . Dengan demikian

undang-undang yang dibuat itu tidak lebih sekedar dijadikan alat atau

justifikasi untuk tujuan melindungi tindakan-tindakan struktur kekuatan

yang sedang berkuasa, bukannya undang-undang dan hukum digunakan

untuk menegakkan keadilan, melindungi orang-orang teraniaya dan

menghukum orang-orang yang bersalah di sisi undang-undang. Rakyat

Indonesia selalu menaruh harapan kepada siapa saja yang cerdas dan

akan memimpin Indonesia agar dapat melaksanakan keadilan yang

sebenar-benarnya sesuai dengan tuntutan fitrah dan tuntutan hak

asasi manusia.

Sudah menjadi fenomena di era Orde Baru, bahwa dominasi tafsiran

formal akan lebih dimengerti jika kita memperhatikan sejumlah

peraturan-peraturan Pemerintah waktu itu seperti; Penpres ( Petunjuk

Presiden ), Kepres ( Keputusan Presiden ), Inpres ( Instruksi Presiden ),

Permen ( Peraturan Menteri ), SK. Menteri, Perda, Instruksi Gubernur,

sampai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh tingkat Rt. dan Rw322.

Dominasi undang-undang atau peraturan dan tafsiran resmi seperti itu

adalah sebagai akibat dari penerapan kedaulatan hukum ( rule of low )

320

Lihat, T. Mulya Lubis, et al ( Pnyt ), Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia

Di Indonesia 1981 ( Jakarta: Djaya Pirusa, 1983 ), h. 45 321

Ibid. 322

Lihat, T. Mulya Lubis, et al ( Pnyt. ), Laporan Keadaan Hak Asasi

Manusia Indonesia. h. 46

Page 148: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

385

yang dikondisikan untuk mendapatkan legitimasi yang dipaksakan atas

tindakan yang sedang dan akan diambil.

Peta perpolitikan Nasional era Orde Baru berdasarkan mobilisasi arus

atas ke bawah ( top down ) telah memunculkan Pemerintahan yang lepas

kendali dari kontrol rakyat, sehingga masalah sosial yang terjadi di

tengah masyarakat tidak dapat ditangani dengan baik. Pencurian,

perampokan, penodongan, perkelahian, pembunuhan, seolah-olah tidak

ada henti-hentinya dari waktu ke waktu, semua itu terjadi dengan

teranga-terangan. Perkelahian antar remaja, antar anak-anak sekolah

telah terjadi begitu marak. Pelacuran di rumah-rumah bordil dan di

warung remang-remang telah terjadi di mana-mana, baik yang legal ( di

sisi aturan Pemerintah ) ataupun yang illegal. Belum lagi penyalah

gunaan kekuasaan ( wewenang ) juga telah terjadi melalui berbagai

modus seperti korupsi, kolusi dan nepotisme ( KKN ) danitu terjadi

secara terangan-terangan, tanpa rahasia-rahasiaan323. Kondisi yang

carut-marut ini sebagai akibat dari adanya ketimpagan-ketimpangan

yang menyebabkan terjadinya rasa tidak puas terhadap pelaksanaan

hukum ( undang-undang ), yang sering kali dimanipulasi dan

dipermainkan. Keputusan hakim sering kali terjadi kontraprodutif, yang

benar bisa menjadi salah, dan yang salah bisa menjadi benar tergantung

pada kekuatan lobi-lobi, uang dan jasa-jasa lain. Siapa yang banyak

menyogok uang kepada para penegak hukum dan aparat terkait bisa

dipastikan dia akan menang, meskipun hakikatnya dia berada di pihak

yang salah. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyogok uang besar

bisa dipastikan dia akan kalah, meskipun hakikatnya dia berada di posisi

yang benar. Fenomena ini jelas bertentangan dengan Pancasila,

terutama sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena sikap adil

yang harusnya menjadi cermin para penegak hukum dan aparat terkait

tidak terealisasi dalam kehidupan nyata. Kelanjutan dari fenomena ini

memunculkan implikasi yang lebih parah, yaitu munculnya sindrom

ketidak percayaan rakyat kepada Pemerintah.

323

Ibid. h. 54

Page 149: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

386

Keadilan merupakan salah satu nilai unversal adalah sesuatu yang asas

bagi bangsa yang berprikemanusiaan dan berperadaban, yaitu

manusia-manusia yang beradab, maka realisasi keadilan sebagai

manifestasi dari sikap manusia-manusia yang berprikemanusiaan

adalah dambaan semua manusia yang tidak dapat ditawar-tawar sampai

kapanpun. Pemerintah yang mengabaikan keadilan pasti akan

dihadapkan pada berbagai masalah yang berat-berat. Secara politis

dapat dikatakan bahwa pelaksanaan keadilan adalah untuk memastikan

agar setiap individu rakyat dapat dengan mudah menjalankan tugas dan

tanggung jawabnya dalam kondisi yang aman, damai dan tenteram.

Dengan demikian, semua tugas dan tanggung jawab dapat direalisasikan

sepenuhnya dengan baik dalam situasi yang kondusif, maka dengan

memberi perhatian sepenuhnya pada pelaksanaan keadilan secara

merata, kesejahteraan untuk seluruh rakyat dapat diwujudkan dengan

mudah.

Tuntutan keadilan akan terus muncul pada setiap saat, kapan saja dan di

mana saja, terutama ketika situasi politik dalam keadaan carut marut (

tidak stabil ) sebagai akibat dari; 1). melemahnya peran para penegak

hukum, 2). Terjadinya kesenjangan yang sangat ketara antara yang

kaya dan yang miskin, 3). Peraturan dan kebijakan Pemerintah semakin

hari semakin keras, 4). Rasa takut selalu menghantui rakyat, 5).

Rakyat merasa dikontrol dalam berbagai aspek kehidupan, 6). Hukum

dan undang-undang hanya menjadi bahan mainan di antara para

penegak hukum, 7). Nepotisme terjadi di mana-mana secara leluasa

dalam sistem pemerintahan. Semuanya tu akan berdampak pada

munculnya berbagai masalah sosial ( social problems ), seperti pencurian,

perampokan, kemiskinan, pelacuran, pembunuhan, penipuan,

penggelapan uang, persekongkolan ( kolusi ) dalam berbagai tindak

kejahatan, korupsi dan sebagainya.

Pada akhirnya kondisi ini akan memunculkan semangat rakyat yang

memiliki kesadaran tinggi untuk mendobrak ketimpangan-ketmpangan

yang ada, meskipun harus berhadapan dengan resiko yang

mengancam diri mereka karena akan dianggap menentang struktur

kekuatan. Kebangkitan ini mengkristal didorong oleh rasa tanggung

Page 150: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

387

jawab untuk menegakan keadilan, melakukan restorasi dan reformasi

untuk perbaikan hidup yang lebih baik bagi rakyat dan bangsa Indonesia.

Dalam kondisi seperti ini Pemerintah mau atau tidak, dihadapkan pada

dilema dan kekuatan rakyat. Bagi pemimpin yang berjiwa besar,

bijaksana, akan menghadapi situasi ini dengan penuh kesadaran akan

menyadari ketimpangan-ketimpangan ini, kemudian melakukan

perbaikan kemaali sesuai dengan tuntutan keadilan rakyat. Tetapi jika

pemimpinnya bersikap egois, otoriter atau tirani, semua tuntutan rakyat

itu akan dihadapi dengan kekuatan aparat militer. Peristiwa yang

menimpa bangsa Indonesia pada sekitar tahun 1998 yang berujung pada

terjadinya pelengseran Presiden Soeharto dari jabatannya karena

desakan dari berbagai elemen masyarakat adalah sebagai akibat dari

berbagai masalah yang terjadi pada bangsa ini dalam setiap lini

kehidupan. Berbagai permasalahan yang menimpa saat itu sebenarnya

bermuara pada tidak adanya keadilan dalam arti yang sebenarnya, baik

dalam aspek ekonomi, pendidikan, hukum dan sebaginya.

Di era Reformasi, Pemerintah nampak komitmen dalam pemberantasan

tindak kejahatan korupsi. Hal ini dibuktikan dengan upaya-upaya Komisi

Pemberantasan Korupsi ( KPK ) mengejar para Koruptor, meskipun KPK

harus berhadapan dengan tantangan-tantangan berat, yaitu

percobaan-percobaan kerdilisasi KPK oleh orang-orang yang tidak

suka dengannya melalui upaya mengkriminalkan beberapa

pimpinannya, seperti yang terjadi kepada Antasari Azhar, Bibit dan

Candra. Walaupun begitu Pemerintah tidak putus-asa, upaya

pemberantasan korupsi harus diteruskan sampai Negara ini

benar-benar bersih dari para Koruptor. Pemberantasan dimulai dari para

pejabat tinggi, para mantan pejabat ataupun sedang menjabat, baik di

Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan bahkan di Lembaga Penegakkan

hukum dan Kepolisian sendiri. Pengejaran terhadap para Koruptor

adalah merupakan upaya penegakan hukum untuk memastikan keadilan

itu ditegakan, karena para Koruptor adalah para penjahat berdasi dan

sebenarnya mereka adalah musuh negara dan musuh seluruh rakyat

Indonesia yang selalu berlindung di balik permainan hukum dan

undang-undang, oleh karenanya harus diadili karena memang merugikan

Page 151: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

388

negara, menggerogoti asset Negara dan menyengsarakan masyarakat

banyak.

Berbagai tindak pidana di era Reformasi sebenarnysa merupakan

fenomena yang tidak ada habis-habisnya. B.J. Habibie ( Presiden RI ke III )

mengkritik Pemerintah era Reformasi, bahwa reformasi memang diakui

telah berhasil membuahkan demokratisasi, tetapi belum terkordinasi

secara baik. Dampaknya dalam praktik masih terjadi berbagai

penyimpangan 324 . Menurut Habibie lagi penyimpangan ini terjadi

selama sepuluh tahun era Reformasi, yaitu orientasi para elite politik

lebih mengutamakan kepentingan politik sesaat. Hal ini terjadi karena

kelembagaan politik belum melaksanakan fungsinya sebagaimana

mestinya, baik di tingkat Birokrasi, Partai Politik, maupun di tingkat

Lembaga Perwakilan Rakyat ( Parlemen ) 325 . Dengan demikian,

kepentingan dan keberpihakan kepada rakyat dan masyarakat banyak

belum sepenuhnya terakomodasi. Di sinilah letak permasalahan bahwa

keadilan belum terealisasikan secara merata dan pastinya belum

banyak dinikmati oleh masyarakat dan rakyat banyak.

4. Keadilan dan Komitmen Pada Tanggung Jawab

Sebagimana disebutkan di atas bahawa keadilan sebagai salah satu

nilai universal menjadi dambaan setiap manusia hidup, bukan saja

manusia Indonesia tetapi juga manusia sejagat326, karena itu keadilan

berimplikasi lahirnya ikatan dan penyatuan masyarakat dalam satu

kesatuan yang harmoni dan dinamis. Setiap individu dalam masyarakat

akan menunaikan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing sesuai

dengan kemampuan, keinginan dan latar belakang pendidikannya dalam

kondisi aman dan bebas dari setiap tekanan dan rasa takut. Hanya

324

Pidato Mantan Presiden RI ke III, B.J. Habibie, di depan anggota Dewan

Perwakilan Daerah (DPD ) dalam rangka peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional

di Gedung DPD Jakarta pada tanggal 29 Mei 2008. 325

Ibid. 326

Band. M. Ruthnaswamy, The Making of The State ( London: T.Tpt, 1932 ),

h. 301 - 328

Page 152: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

389

dalam kondisi aman dan kondusif pembangunan Indonesia dapat

dilaksanakan dengan baik.

Dengan demikian, keadilan harus ditegakan di tengah-tengah

masyarakat, dan ditegakan kepada siapa saja sepanjang sebagai

warga negara, siapa pun dia, terlepas dari posisi dan pangkat yang

disandangnya, terlepas dari asal usul keturunan siapa, warna kulit, orang

kecil, orang besar, orang bawah, orang kuat, orang lemah, lelaki,

perempuan, tua, muda dan sebagainya, sehingga keadilan mewarnai

segenap aspek kehidupan dan setiap individu rakyat, di dalam ucapan, di

dalam aktivitas harian, di dalam mengatur ( memanaj ) kehidupan orang

banyak, di dalam memberikan kesaksian kepada orang yang tertuduh

agar tidak memberikan saksi palsu atau mempermain-mainkan hukum,

di dalam menerapkan hukum dan undang-undang, di dalam pemerataan

ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Dalam konteks ini, Mustafa

al-Rafi`iy ( salah seorang penulis kontemporer tentang pemikiran Politik

Islam ) menegaskan bahwa; semua itu tidak mungkin bisa diwujudkan

dalam kehidupan nyata, melainkan jika setiap individu masyarakat

menyadari tanggung jawabnya masing-masing. Pihak pertama sekali

yang harus memiliki sikap adil ialah pemerintah, kemudian rakyat327.

Ini disebabkan di tangan pemerintah terletak kekuatan dan kekuasaan

yang bersifat memaksa. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang ada

padanya memungkinkan pemerintah mewujudkan keadilan di

tengah-tengah masyarakat dan rakyat sekalipun sedikit terkesan

otoriter, tetapi itu tidak mengapa, yang penting keadilan dapat

ditegkan.

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa keadilan sebagai sesuatu

yang asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dalam

rangka merealisasikan keadilan pada setiap individu dan masyarakat

harus ada langkah-langkah strategis. Langkah-langkah strategis tersebut

dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu;

327

Lihat, Mustafa al-Rafi`iy, Al-Islam Din al-Madaniyyah al-Qadimah (

Beirut: al-shinkat al-`Alawiyyah Li Al-Kitab, 1990 ), h. 170 - 171

Page 153: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

390

4.1. Langkah-Langkah Umum

Langkah umum dimaksudkan adalah langhkah-langklah yang lebih

menekankan pada pembinaan interaksi secara eksternal antara sesama

masyarakat, antara rakyat dengan pemerintah. Dalam konteks ini

setidaknya ada tiga langkah, yaitu;

1. Merealisasikan persaudaraan, khususnya di antara sesama individu dalam masyarakat yang beragama Islam dan umumnya di antara sesama masyarakat yang berlainan agama, baik dalam tataran nasional atau dalam skala Internasional, sehingga sering terdengan pernyataan bahwa; bangsa Indonesia sebagai bagian dari seluruh umat manusia. Dengan demikian, akan muncul sikap saling mencintai antara sesama, selanjutnya akan berimplikasi lahirnya kondisi yang harmoni, kemesraan, kedamaian, saling mempercayai, saling pengertian, gotong royong, bantu membantu antara sesama. Kondisi seperti ini memungkinkan lahirnya sikap adil dengan mudah pada setiap individu dan masyarakat Indonesia.

2. Tidak mudah memberikan kesempatan terhadap munculnya berbagai aktivitas yang melemahkan persaudaraan. Dalam hal ini setidaknya ada enam sikap buruk yang harus dihindari, yaitu Pertama; sikap memandang rendah kepada orang lain. Karena jika sikap ini dibiarkan berkembang, dampaknya akan muncul kondisi tidak saling mempercayai antara sesama anggota masyarakat, saling mencurigai antara satu dengan yang lain, akibatnya muncul sikap saling membenci, maka implikasinya akan terjadi permusuhan antara sesama sendiri atau dengan orang lain. Kedua; menjauhi sikap membuka keburukan ( `aib ) orang lain. Ketiga; sikap suka berbangga dengan keturunan. Karena sikap-sikap seperti ini akan melahirkan sikap egoistik, takabbur, yaitu rasa besar diri. Sikap egoistik tidak mudah menghormati orang lain, tidak mudah menghormati hak-hak orang lain. Keempat; sikap suka menggunjing, yaitu sikap suka membicarakan ( ngulik ) keburukan orang lain. Kelima; sikap suka mengadu domba, dan Keenam; sikap suka berprasangka buruk ( su`u zan ) kepada orang lain. Akibat dari sikap-sikap buruk ini semua, orang akan selalu curiga dan selalu gelisah, tidak tenteram, dalam setiap pandangannya dia selalu bersifat subjektif, negative thinking, sikap objektif tidak dapat mewarnai pemikiran dan perasaannya. Oleh karena itu, harus ditanamkan sikap positive thinking, yaitu sikap dan pikiran positif

Page 154: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

391

dalam diri sendiri, masyarakat dan bangsa agar tidak selalu berprasangka buruk kepada orang lain, kecuali kalau memang orang yang bersangkutan terbukti telah melakukan kejahatan. Dengan lahirnya sikap positif dalam diri individu, masyarakat, bangsa dan negara akan memudahkan lahirnya sikap yang adil pada setiap individu rakyat Indonesia.

3. Mengkodisikan situasi persatuan. Antaranya, Pertama; mendamaikan orang-orang yang sedang dilanda sengketa atau konflik. Kedua; membina kerukunan hidup sehingga tercipta hidup rukun. Ada pepatah kata yang berbunyi; jiran mufakat membawa berkat ( tetangga sepakat membawa berkah ). Realitasnya memang demikian, jika pola kejiranan ( sistem ketetanggaan ) dan masing-masing individu dalam masyarakat baik, maka akan lahir kondisi damai, tenteram dan familiar, secara otomatik persatuan dengan sendirinya akan lahir. Implikasinya akan lahir pula rasa saling bantu membantu, gotong royong dan rasa tanggung jawab antara sesama. Dengan membina sistem kejiranan ( kerukunan antara warga ) yang baik dalam berbagai tingkatannya, baik tingkat kampung, desa, daerah, wilayah, Nasional dan bahkan Internasional, maka akan mudah untuk merealisasikan sikap adil pada setiap individu masyarakat. Jika masyarakat berada dalam kondisi penuh konflik, maka tidak mudah untuk menamkan rasa keadilan kepada setiap individu masyarakat.

4.2. Langkah-Langkah Khusus

Langkah-langkah khusus dalam konteks ini dimaksudkan

langkah-langkah yang lebih memfokuskan pada pembinaan

individu-individu dengan hal-hal yang baik secara internal dalam

masyarakat. Langkah-langklah tersebut setidaknya ada lima tahapan

sebagaimana ditegaskan Muhammad Jalal dan Abdul Mukthi

Muhammad dan juga ditegaskan oleh Ibnu Abi Rabi`, yaitu;

1. Menanamkan sikap amanah dan jujur dalam setiap perilaku masyarakat.

2. Menanamkan sikap keperibadian yang berakhlak, menghormati orang lain dan bersih dari sikap negatif.

3. Menanamkan sikap menepati janji ( komitmen ). 4. Menanamkan sikap bertanggung jawab.

Page 155: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

392

5. Menanamkan sikap tegas dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya secara proporsional328.

Berdasarkan langkah-langkah umum dan khusus sebagaimana dijelaskan

di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa negara akan menjadi baik,

karena masyarakat dan rakyatnya baik. Jika semuanya baik ( meskipun ini

agak berlebihan dan utopis, tetapi harus disampaikan sebagai gagasan ),

maka keadilan dengan sendirinya akan mudah diwujudkan dalam tataran

praktis. Implikasi dari semua itu kesejahteraan dan kemakmuran yang

menjadi impian setiap warga dan masyarakat akan menjadi kenyataan (

tentu saja melalui seperangkat aturan yang diperlukan ). Dari sinilah

sesungguhnya dapat menjawab sebuah pertanyaan terkait keadilan yang

dalam praktenya sangat sulit direalisasikan, yaitu; kenapa keadilan susah

diwujudkan ? Jawabannya adalah karena tidak ada kebaikan dalam arti

yang sebenarnya. Kalaupun ada, tidak lebih sekedar kepura-puraan

dalam berbagai bentuknya; manipulasi dan eksploitasi dalam setiap

aspek kehidupan. Oleh karena itu, dalam rangka merealisasikan keadilan

yang merata dalam segenap aspek kehidupan, maka setiap individu

masyarakat dan rakyat Indonesia harus memiliki standar moral yang

tinggi; amanah, kejujuran, tidak berbohong atau tidak dusta dan

sebagainya.

Dengan demikian, tatanan politik yang adil memanifestasikan diri dalam

diri para pejabat publik yang jujur dan profesional dalam mengelola

kebijakan publik dengan cara yang adil329. Hal ini sesuai dengan yang

dikehendaki Pancasila, baik sila ke-II ataupun sila ke-V.

5. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas terkait dengan

pembahasan keadilan yang harus menjadi karakter bagi rakyak dan

328

Lihat, Muhammad Jalal Sharaf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr

al-Siyasiy fiy al-Islam: Shakhshiyyat wa Madhahib ( T.tpt: Dar al-Makrifat

al-Jami`iyyah, 1996 ), h. 228 – 229. Lihat juga, Ibnu Abiy Rabi`, Suluk al-Malik fiy

Tadbir al-Mamalik ( Kairo: T. pbt., 1286 H. ), h. 112 - 116 329

Lihat, Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, terj. Political Science: An

Islamic Perspective ( Bandung: Pustaka, 2001 ), h. 107

Page 156: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

393

bangsa Indonesia, kini disampaikan beberapa kesimpulan, antaraya

sebagai berikut;

1. Keadilan merupakan persoalan umat manusia sejagat, semenjak dulu sampai sekarang, dan bahkan sampai akhir zaman.

2. Dalam kondisi carut marut, di mana kezaliman terjadi secara leluasa pada setiap aspek kehidupan, keadilan sulit diwujudkan melainkan harus melalui perjuangan dan pengorbanan yang melibatkan semua pihak.

3. Keadilan merupakan tuntutan yang asasi bagi setiap manusia hidup di mana saja dan kapan saja.

4. Dalam rangka membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, keadilan merupakan prinsip yang mendasar bagi penguatan sistem demokrasi.

5. Negara akan menjadi baik, sekiranya masyarakat dan rakyatnya baik. Jika semuanya baik, maka keadilan dengan sendirinya akan mudah diwujudkan.

6. Tatanan politik yang adil termanifestasikan pada diri para pejabat publik yang amanah dan jujur.

7. Dalam rangka merealisasikan keadilan, setiap individu masyarakat agar memiliki standar moral ( akhlak ) yang tinggi, yaitu; komitmen pada kejujuran, amanah, tidak berbohong dan sebaginya.

8. Keadilan yang merata akan menciptakan kesejahteraan prima yang menjadi impian segenap lapisan masyarakat dan bangsa Indonesia..

Page 157: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

394

BAB VI

KEADILAN SOSIAL

ANTARA TEORI DAN REALITAS

1. Keadilan Sosial Dalam Tataran Teori

Keadilan berasal dari bahasa Arab adil yang berawalan ke dan

akhiran an, kemudian menjadi hazanah bahasa Indonesia. Dalam kamus

bahasa Indonesia, kata adil diartikan; 1.Tidak berat sebelah / tidak memihak,

2. Berpihak pada kebenaran, dan 3. Sepatutnya / tidak sewenang-wenang.

Dalam buku berjudul “ Pedoman Pelaksanaan P-4 Bagi Umat Islam”

dijelaskan bahwa; Adil artinya sikap dan perilaku dalam keseimbangan, yaitu

keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan keserasian dengan semua

makhluk 330 . Dicontohkan bahwa; manusia mempunyai hak untuk

memanfaatkan alam ini, tetapi juga mempunyai kewajiban untuk

memelihara dan melestarikan kepentingan makhluk lainnya. Karena itu

manusia berhak memanfaatkan apa saja yang dimilikinya, tetapi juga harus

memperhatikan kepentingan-kepentingan orang lain. Senada dengan

pengertian di atas, D. Chairat menegaskan bahwa; Adil adalah sesuatu

yang diletakkan pada tempatnya 331 . Berdasarkan pengertian ini, jika

keadilan menjadi kata sifat dari masyarakat, sehingga dikatakan

masyarakat yang adil, maka di dalam masyarakat itu terdapat berbagai

bentuk keadilan, baik terkait dengan masalah politik, ekonomi, hukum,

pendidikan dan sebagainya. Searti dengan pengertian di atas, Notonagoro

330

Departemen Agama RI, Pedoman Pelaksanaan P-4 Bagi Umat Islam ( Jakarta: Proyek Bimbingan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Bagi Umat Beragama, 1985 – 1986 ), h. 43

331 D. Chairat, Falsafah Pancasila ( Jakarta: Wijaya, 1955 ), h. 21

Page 158: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

395

menegaskan bahwa; hakekat pengertian adil berdasarkan pengertian ilmiah,

ialah terpenuhinya segala sesuatu yang telah menjadi hak di dalam

kehidupan masyarakat 332 . Oleh karena itu keadilan yang wujud di

masyarakat, bangsa dan negara dalam konteks ini disebut keadilan sosial

atau keadilan masyarakat, dan secara umum dapat dikatakan keadilan dalam

hidup masyarakat.

Pemahaman di atas tentang keadilan sosial senada dengan yang

ditegaskan Soekarno. Menurutnya; sosialisme Indonesia bukan sosialisme ala

Moskow ( Komunis ), bukan sosialisme ala Yugoslavia, bukan ala negara

apapun, bukan pula religius sosialis menurut ajaran satu agama tertentu,

tetapi sistem sosial kita ( Indonesia ) berdasarkan ajaran Pancasila, yaitu

sosialisme Indonesia yang membawa kepribadian sendiri, baik dalam

sosialisme politik, sosialisme ekonomi, sosialisme keagamaan, dan

sebagainya333. Oleh karena itu sosialisme Indonesia difokuskan bahasannya

pada keadilan sosial. Keadilan sosial sebagai cermin dari kondisi

masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, berbagi untuk semua orang, di

mana di dalam masyarakat tidak ada penghinaan atau pelecehan terhadap

sesama, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan, tidak ada eksploitasi

antara satu dengan yang lainnya. Lebih lanjut Soekarno menegaskan bahwa

sosialisme adalah kecukupan atau terpenuhinya berbagai macam kebutuhan

dengan pertolongan modernisme yang telah dikolektifikasikan. Oleh

karenanya sosialisme adalah kesenangan dan kenyamanan hidup yang

pantas atau wajar. Kecukupan berbagai kebutuhan itu hanyalah mungkin

dapat diwujudkan dengan dipergunakannya secara sosial alat-alat teknik334.

Dengan demikian, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

sebagaimana tertuang di dalam Pancasila adalah wujudnya kondisi adil yang

332

Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer ( Jakarta: Bina Aksara, 1983 ), h. 162 dan 167

333 Soekarno dalam pidato peletakan batu pertama Universitas Khatolik

Senat Dharma di Yogyakarta tahun 1961 334

Soekarno, Sarinah, Panitia penerbit buku-buku karangan Presiden Soekarno, 1963, Cet. Ke-3, h. 261 - 262

Page 159: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

396

dirasakan bersama oleh seluruh rakyat Indonesia secara merata dalam

berbagai aspek kehidupan, baik dalam aspek politik, ekonomi, hukum,

pendidikan, dan dalam lapangan pekerjaan dan sebagainya.

2. Keadilan Sosial Dalam Realitas Kehidupan

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa keadilan sosial meliputi

seluruh aspek kehidupan, maka hal ini merupakan tugas negara yang

memiliki otoritas untuk merealisasikan keadilan sosial dan mengontrolnya

dari hal-hal yang mengganggu terciptanya keadilan sosial itu sendiri,

sekalipun harus menggunakan tindakan-tidakan ketat berdasarkan

undang-undang. Notonagoro dalam konteks ini memberi ilustrasi bahwa

keadilan sosial meliputi pemeliharaan kepentingan umum, kepentingan para

warga negara secara khusus, dan kepentingan khusus dari warga negara

secara perorangan, keluarga, suku, bangsa dan setiap golongan warga

negara335.

Dengan demikian, keadilan sosial meliputi seluruh aspek kehidupan

dalam masyarakat dan negara. Oleh karena itu, adalah kesalahan fatal jika

keadilan dimaknai dalam batas-batas sempit formal, yaitu keadilan menurut

hokum saja, sebagaimana hal ini umum terjadi di era Orde Baru.

Kecendrungan ini menjadi kenyataan karena di era Orde Baru pola

komunikasi tidak terjadi interaktif antara Pemerintah dengan rakyat, dan

rakyat dengan Pemerintah, tetapi yang terjadi adalah satu arah ( one way ),

yaitu Pemerintah ke rakyat. Parahnya pula satu arah ini lebih merupakan

manifestasi dari kehendak struktur kekuatan formal ( Pemerintah waktu itu

) melalui alat-alat negara ( ABRI ) sebagai pelengkapnya336.

Menurut T. Mulya Lubis lagi; pola komunikasi satu arah ini pada

prakteknya penuh dengan paksaan, dan melawan komunikasi yang demikian

berarti menentang rumusan yang secara kelembagaan sudah disiapkan,

335

Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, h. 160 - 161 336

Lihat, T. Mulya Lubis ( Pny. ), Laporan Keadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1981 ( Jakarta: Djaya Pirusa, 1983 ), h. 45

Page 160: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

397

dan ini berarti pula melakukan perlawanan terhadap struktur yang ada,

sementara keadilan dalam arti yang sebenarnya tidak lagi mendapatkan

tempat yang layak, karena semakin hari rumusan keadilan semakin

dipersempit sesuai dengan kehendak si pembuat undang-undang337. Pola

komunikasi satu arah ini sebagaimana terjadi di era Orde Baru, harus

dipastikan tidak berulang di era Reformasi dan di era mendatang, maka yang

perlu dipastikan di era ini adalah pola komuikasi timbal balik antara

Pemerintah dengan rakyat, dan sebaliknya, yaitu rakyat dengan Pemerintah.

Karena pola komunikasi timbal balik antara kedua belah pihak ( Pemerintah

dan rakyat ) merupakan faktor yang mempermudah terealisasinya sistem

demokrasi. Dengan Pemerintah yang betul-betul demokratis diharapkan

keadilan dapat direalisasikan secara maksimal dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara, sehingga kedamaian, kesejahteraan dan kejujuran dapat

dirasakan bersama.

Berdasarkan penjelasan di atas, sasaran keadilan sosial setidaknya

dapat dirumuskan sebagai berikut;

a. Keadilan sosial diwujudkan untuk terciptanya kesejahteraan umum dalam masyarakat,

b. Keadilan sosial menjadi satu segi dengan perikeadilan bersama-sama dengan perikemanusiaan,

c. Keadilan politik berhubungan dengan keadilan sosial memberi hak yang sama kepada setiap warga negara dalam hukum dan susunan masyarakat,

d. Keadilan ekonomi berhubungan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menghendaki persamaan kesejahteraan harta benda dengan menghilangkan perbedaan338. Oleh karena itu, menurut Yamin; keadilan sosial memberi

perimbangan kepada kedudukan seseorang dalam masyarakat dan negara339.

337

Ibid. 338

Lihat, Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, h. 470

339 Ibid. h. 471

Page 161: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

398

Berikut ini dijelaskan secara rinci aspek-aspek terkait dengan keadilan

sebagai berikut;

3. Keadilan Sosial Meredakan Ketegangan

Keadilan dalam politik, artinya secara demokratis politik memberi

hak yang sama kepada warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam

struktur negara dan pemerintahan serta menduduki jabatan-jabatan tertentu

sebagai alat-alat negara340. Hal senada ditegaskan Muh. Yamin; demokrasi

politik berhubungan dengan keadilan sosial memberi hak yang sama kepada

seluruh warga dalam hukum dan susunan masyarakat negara341. Pernyataan

Muh. Yamin ini mengacu pada Pasal 27 Undang-undang Dasar 1945, yang

berbunyi; segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum

dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada kecualinya. Memberi hak yang sama dalam arti bahwa

memberi hak kepada seluruh rakyat dan bangsa Indonesia tanpa berdasar

pertimbangan kedekatan keluarga, keturunan ( etnic ), daerah dan

sebagainya untuk terlibat secara langsung dalam proses menyusun dan

memenaj ( mengelola ) negara secara bersama-sama. Atas dasar ini, maka

akan terealisasi persamaan ( egaliter ), hak dan kewajiban dalam berbangsa

dan bernegara.

Dengan demikian, sepatutnya tidak ada lagi diskriminasi karena

perbedaan-perbedaan agama, etnik, budaya, daerah, dan sebagainya,

termasuk perbedaan-perbedaan aliran politik yang menjelma ke dalam

berbagai partai politik. Maka, bangsa Indonesia yang merdeka dan

demokratis harusnya tidak lagi terkotak-kotak karena perbedaan-perbedaan

yang bersifat primordial dan perbal dalam mewujudkan keadilan politik. Oleh

karenanya yang menjadi ukuran atau tolok ukur dalam rekrutmen warga

negara untuk menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan atau

340

D. Chairat, Falsafah Pancasila, h. 21 341

Muh. Yamin, Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, h. 471

Page 162: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

399

partai-partai politik dan sebagainya adalah kelayakan dan kapabilitas di

samping tingkat pendidikan yang memadai. Jika dalam rekrutmen warga

negara untuk mendudukuki jabatan-jabatan tersebut masih berlaku atas

dasar pertimbangan daerah, etnik, aliran politik tertentu, keluarga, teman,

dan sebagainya, sementara kelayakan dan kapabilitas tidak ada, maka berarti

keadilan sosial dalam politik atau demokratisasi politik belum berjalan

sebagaimana yang diharapkan, dan ini berarti pula bahwa pelaksanaan sila

keadilan sosial sebagaimana termaktub di dalam Pancasila belum terealisasi

dalam kehidupan berbangsa dan Negara, karena memang dalam rekrutmen

tersebut belum dapat menempatkan seseorang pada tempatnya. Dalam

hal terjadi perubahan mendasar terkait dengan restrukturisasi sistem

pemerintahan daerah atau wilayah karena adanya kebijakan otonomi

daerah, rekrutmen warga negara berdasarkan kelayakan, kapabilitas, serta

tingkat pendidikan yang diperlukan tetap harus menjadi kriteria atau tolok

ukur, meskipun di sana tidak dapat dihindari adanya prioritas warga

setempat atau daerah dibanding warga dari luar daerah.

Walau bagaimana pun masalah-masalah perbedaan etnik, budaya,

aliran politik, agama, dan sebagainya sampai hari ini dalam sepanjang sejarah

pemerintahan Indonesia modern masih tetap terkendali342, meskipun tetap

saja terjadi pasang surut dari waktu ke waktu. Selain dari itu harus disadari

bahwa perbedaan-perbedaan tersebut tidak mungkin dapat dihilangkan

sampai kapanpun. Perbedaan-perbedaan itu akan tetap wujud sepanjang

umur dunia, karena perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya menyangkut

kepentingan-kepentingan khusus yang jika tidak diakomodir oleh

pemerintah, akan memunculkan masalah serius. Tetapi dengan

terealisasinya keadilan sosial dalam berbagai aspek kehidupan, setidaknya

342

Kecuali wilayah Timor Timur yang terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) pada bulan Agustus 1999 setelah dilakukan referendum dibawah pengawasan PBB, ternyata rakyat Timor Timur memilih merdeka. Sejak dari awal integrasi wilayah Timor Timur ke Indonesia pada tahun 1975 tidak diakui oleh PBB ( Perserikatan Bangsa-Bangsa ). Oleh karena itu wajar kalau Pemerintah Indonesia di era Presiden BJ. Habibie melepaskan wilayah Timor Timur ( kini menjadi Timor Leste ) atas persetujuan MPR. Hal ini dilakukan untuk mengurangi tekanan-tekanan Barat atas Indonesia, terutama karena masalah Hak Asasi Manusia ( HAM ).

Page 163: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

400

dapat meminimalisir krisis dan meredakan ketegangan-ketegangan yang

terjadi di masyarakat, bangsa, dan negara.

4. Keadilan Sosial Dalam Hukum

Pada dasarnya keadilan terletak pada kemampuan seseorang untuk

bersikap menghormati dan mengakui serta memperlakukan orang lain

sebagai sesama manusia yang mempunyai hak dan tanggung jawab yang

sama di depan hukum. Dengan demikian, keadilan merupakan nilai etika

yang memberi makna pada kehidupan manusia dalam pergaulan dan

interaksi, tanpa keadilan kehidupan tidak bermakna.

Sistem hukum yang dipagari oleh ideologi Pancasila merupakan

bagian integral dari keseluruhan sistem kehidupan bernegara sebagai satu

kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, terkait dengan sistem lainnya secara

timbal balik melalui berbagai pengaruh dan interaksinya 343 . Dengan

demikian, sistem hukum negara Indonesia tidak tergantung secara

deterministic ( menentukan ) sebagaimana yang ditegaskan oleh faham

materialisme historis yang berdasarkan pada kekuatan produksi

semata-mata, juga tidak dengan sendirinya wujud melalui keberhasilan dan

kemajuan ekonomi. Oleh karenanya, pembentukan sistem hukum yang

dapat melahirkan keadilan harus dibuat secara objektif dan berdasarkan

pertimbangan - pertimbangan kebaikan bersama ( maslahat `ammah ),

maka pembuatan hukum tidak sepihak berdasarkan

kepentingan-kepentingan golongan, atau partai politik yang dominan. Jika

hal ini yang terjadi, maka hukum akan menjadi bahan mainan. Parahnya lagi

hukum dapat dibeli dengan uang, akibatnya orang yang beruang akan

menang meskipun sebenarnya dia kalah, dan orang yang tidak punya uang

akan kalah meskipun sebenarnya menang.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa rakyat Indonesia menganut

faham Ketuhanan dalam ber-Tuhan. Hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam

343

Lihat, Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya ( Jakarta: PT. Gramedia, 1989 ), h. 161

Page 164: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

401

Pancasila, dan termaktub juga di dalam Undang-undang Dasar 1945. Oleh

karena itu, masalah-masalah hukum dalam rangka ketata-negaraan

Indonesia mengacu pada koridor Pancasila sebagai ideologi negara. Hal ini

sebagaimana disampaikan seorang pakar hukum; Hazairin yang dikutip

Anwar Harjono, menegaskan bahwa ada dua pandangan mengenai hukum

yang menjadi perdebatan klasik ketika orang merumuskan pendapat

mengenai apa itu hukum. Dua pandangan itu ialah, Pertama; Melihat

hukum sebagai masalah manusia antar manusia. Unsur-unsur lain seperti

hubungan dengan alam sekitar atau bahkan dengan Tuhan ( Allah ) yang

menciptakan manusia tidak menjadi perhatian. Secara sosiologis pandangan

seperti ini disebut pandangan berdasarkan faham kemasyarakatan. Kedua;

Melihat hukum tidak saja sebagai sestuatu yang berdiri sendiri, melainkan

ada kaitannya yang sangat erat dengan Tuhan. Bahkan Tuhan ( Allah ) dilihat

sebagai sumber hukum yang utama. Secara teologis pandangan kedua ini

berdasarkan faham ke-Tuhanan344.

Menelaah dua pendekatan terhadap sumber hukum yang berbeda

sebagaimana disebutkan di atas, maka pembinaan sistem hukum di

Indonesia adalah berdasarkan faham Ketuhanan. Yaitu; hukum tidak hanya

sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan ada kaitannya dengan

Tuhan ( Allah ). Setidaknya rumusan hukum yang dibuat dalam bingkai

Ketuhanan.

5. Pemberlakuan Hukum Berdasarkan Kebaikan Bersama

Upaya-upaya untuk merealisasikan keadilan sosial dalam hukum

harus menjadi dasar bagi tatanan kehidupan demi terciptanya ketenteraman

dan kedamaian hidup. Berikut ini disampaikan beberapa langkah, antaranya

sebagai berikut;

1. Hukum dikembangkan berdasarkan acuan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, tetapi tanpa mengabaikan kemasukan

344

Anwar Harjono, Indonesia Kita, Pemikiran Berwawasan Iman – Islam, ( Jakarta: Gema Insani, 1995 ), h. 126 - 127

Page 165: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

402

nilai-nilai lain, baik dari agama ataupun budaya asalkan dapat memperkuat kedudukan hukum itu sendiri. Ini berarti bahwa yang akan dibina itu bersifat dinamik sesuai dengan keperluan pada setiap saat.

2. Hukum dapat melahirkan afektifitasnya, jika dapat mewujudkan keadilan yang sebenarnya. Ini berarati bahwa hukum bukanlah alat justifikasi untuk memperkokoh kekuasaan atau posisi semata, bukan pula sebagai alat legitimasi dalam melakukan eksploitasi yang justeru melahirkan keadaan tidak adil. Dengan demikian, hukum diwujudkan secara objektif untuk tujuan memelihara kepentingan rakyat banyak.

3. Hukum mempunyai fungsi untuk memelihara dinamika kehidupan bangsa. Dengan demikian, hukum berfungsi untuk memelihara ketertiban masyarakat, dan bukan untuk mempertahankan status quo, melainkan untuk membuka kemungkinan terjadinya kemajuan yang tercermin dalam proses perubahan. Sehingga hukum tidak dijadikan mainan oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan pribadi atau golongan dengan meminggirkan aspek keadilan dan kepentingan orang banyak.

4. Hukum ditegakkan untuk memelihara kehormatan dan kemuliaan masyarakat, bangsa dan negara, sehingga masyarakat memiliki harga diri, dan percaya diri.

5. Hukum ditegakkan untuk melindungi orang-orang yang tidak berdosa atau tidak bersalah, sehingga orang yang bersangkutan merasa terlindungi hak-hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat dan warga negara.

6. Hukum berfungsi untuk melindungi orang-orang kecil dan orang-orang teraniaya, sehingga meraka merasa aman dan damai dalam pergaulan hidup antar sesama warga, tidak merasa takut untuk menyuarakan kebenaran di depan publik. Selain dari itu, perlu diperhatikan bahwa dalam kehidupan di

masyarakat terdapat hubungan segi tiga keadilan. Hal ini sebagaimana

ditegaskan oleh Notonagoro, yaitu;

1. Keadilan membagi-bagikan segala sesuatu kepada sesama warga yang telah menjadi haknya.

2. Menerima dengan sepenuh hati atas segala keadilan. Ini disebabkan tanpa ada komitmen dengan keadilan, tidak ada rakyat, bangsa dan negara yang dapat hidup tenteram dan damai, maka komitmen

Page 166: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

403

terhadap penghormatan keadilan adalah mutlak menjadi hak hidup rakyat, bangsa dan negara.

3. Keadilan secara timbal balik atau komunikatif di dalam hidup bersama, yaitu memberikan segala sesuatu yang telah menjadi hak masing-masing kepada sesama rakyat, bangsa dan negara atas dasar kesamaan nilai antara hal-hal yang wajib diberikan345. Apabila fenomena ini benar-benar terlaksana di dalam kehidupan

bermasyarakat, maka dapat diharapkan keadilan sosial dalam hukum akan

menjadi kenyataan. Hanya saja dalam upaya-upaya merealisasikan keadilan

sosial dalam hukum selain dari hal-hal positif sebagaimana disebutkan di atas

terdapat pula hal-hal negatif yang harus dihindari, yaitu;

1. Hukum agar tidak digunakan untuk mempertahankan status quo. Karena kalau hal ini terjadi, menurut Anwar Harjono, jelas yang diutamakan adalah kepastian dan keterlibatan ( pelaksanaan hukum ), dan bukan sesuatu pengembangan atau kemungkinan mengikuti perkembangan masyarakat.

2. Hukum agar tidak semata-mata hasil rekayasa kekuatan-kekuatan sosial politik, atau hukum dipakai untuk merekayasa masyarakat ( low as a tool of social engineering )346.

Hukum yang dibuat hasil rekayasa kekuatan-kekuatan sosial politik,

menurut Anwar Harjono pada umumnya terjadi dalam negara yang

mempraktekkan pola politik liberal, di mana kekuatan-kekuatan sosial politik

yang berkoalisi atau yang menang merekayasa hukum347. Dalam kondisi

seperti ini, kepentingan golonganlah yang lebih dominan dibandingkan

kepentingan publik. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa hukum

diberlakukan tanpa mempertimbangkan kepentingan-kepentingan golongan,

status sosial, asal usul, agama, suku bangsa dan sebagainya, dan jika ini yang

terjadi jelas tidak demokratis, justru kondisi ini mengarah pada keadaan

diktator, karena hukum atau undang-undang dibuat berdasarkan

kepentingan sepihak untuk tujuan-tujuan melindungi golongan (

kekuatan-kekuatan sosial politik ) dominan dalam percaturan politik.

345

Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer ( Jakarta: Bina Aksara, 1983 ), h. 163

346 Lihat, Anwar Harjono, Indonesia Kita, Pemikiran Berwawasan Iman –

Islam, h. 131 347

Ibid.

Page 167: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

404

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditegaskan bahwa keadilan

sosial yang mempertimbangkan hal-hal di atas adalah bukan saja karena

kesadaran terhadap hukum dari warga masyarakat, tetapi karena

pengaturan hukum yang diarahkan pada struktur masyarakat. Hal inilah yang

memberikan peluang kepada rakyat untuk mendapatkan keadilan yang

sebenarnya. Oleh karena itu, realisasi keadilan dengan sendirinya

mengharuskan terlaksananya hak dan kewajiban348 dalam masyarakat. Ini

sesuai dengan pandangan A. Gunawan Setiardja bahwa wujud atau tidaknya

kesejahteraan seluruh rakyat bergantung pada ditaati ( dipatuhi ) atau

tidaknya kewajiban oleh rakyat itu sendiri349. Oleh karena itu, jika rakyat

komitmen untuk mentaati ( loyal ) dan menghormati hak dan kewajiban

secara ikhlas dan jujur, maka kesejahteraan dengan sendirinya akan wujud.

Ini artinya ada keterkaitan antara keadilan sosial dalam hukum dengan hak

dan kewajiban serta kesejahteraan sosial, maka secara logika kesejahteraan

sosial tidak akan terealisasi jika tidak ada keadilan yang merata di dalam

masyarakat, bangsa dan negara.

6. Pemerataan Pendapatan Secara Adil Menciptakan Pertumbuhan

Ekonomi

Keadilan dalam ekonomi, dalam arti pemerataan ekonomi

menghendaki wujudnya kehidupan yang layak dan memadai bagi seluruh

rakyat tanpa membedakan perbedaan keturunan, aliran politik, daerah,

agama, dan sebagainya. Pemerataan ekonomi sebagai agenda manusia

dalam sepanjang hidupnya di muika bumi ini di mana saja berada, termasuk

di Indonesia. Adalah langkah bijak menerapkan konsep keadilan sosial pada

aktivitas perekonomian agar setiap individu rakyat mendapatkan

pelayanan yang sama. Pemerataan ekonomi tidak berarti menyamaratan

348

Hak adalah kuasa untuk melakukan sesuatu yang semestinya dilaksanakan. Kewajiban dapat diartikan sebagai suatu beban untuk dikerjakan yang sudah menjadi kemestian. Bedanya hak lahir dari dalam diri sendiri ( internal ), sementara kewajiban datang dari luar ( eksternal ).

349 Lihat, A. Gunawan Setiardja, Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan

Ideologi Pancasila ( Yogyakarta: Kanisius, 1983 ), h.48

Page 168: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

405

pendapatan pada setiap rakyat (seperti di negara-negara yang menerapkan

ideologi Komunis). Pemerataan ekonomi bertujuan agar setiap rakyat dapat

menikmati kehidupan yang layak350.

Kehidupan yang layak ditandai dengan tersedianya berbagai fasilitas

yang cukup memadai, antaranya; rumah yang layak huni, tersedinya

obat-obatan untuk menjamin kesehatan, tersedianya makanan yang

mencukupi, jaringan jalan ( infra structure ) yang baik, pemilikan kendaraan

yang sesuai dengan kemampuan meskipun harus melalui kredit,

mendapatkan kesempatan pendidikan dan pengajaran. Kehidupan yang layak

ini tidak berarti harus glamour atau mau menciptakan mahligai dan istana

buat rakyat, tetapi kehidupan yang layak itu dimaksudkan untuk memberi

keseimbangan kepada rakyat sebagai manusia dengan kehidupannya351.

Kondisi seperti ini harus dimiliki oleh setiap rakyat, baik rakyat petani, buruh,

pedagang, professional, pegawai bawahan, baik yang di kampung ataupun di

kota. Dengan demikian, kemakmuran, dalam arti kehidupan sejahtera

menjadi bagian yang harus diraih oleh setiap rakyat Indonesia, dan hal ini

hanya dapat direalisasikan melalui demokratisasi ekonomi, maka

kemakmuran tidak hanya dinikmati oleh segelintir individu atau kalangan

tertentu saja sebagaimana terjadi dalam masyarakat yang kental dengan

budaya nepotisme dan kronisme.

Pemerataan ekonomi akan melahirkan kesejahteraan sosial, hal ini

sebagaimana dirumuskan di dalam Undang-undang Dasar 1945, yaitu dengan

tersedianya segala keperluan dan fasilitas hidup, baik yang primer, seperti

rumah tempat tinggal, makanan, pakaian dan sebagainya, atau keperluan

skunder, seperti; rumah bagus, kendaraan bagus, baju bagus, jalan raya

bagus, TV, dan sebagainya. Oleh karena itu semua aktivitas perekonomian

pada dasarnya bertujuan untuk memajukan kesejahteraan seluruh rakyat

Indonesia.

350

Lihat, D. Chairat, Falsafah Pancasila ( Jakarta: Wijaya, 1955 ), h. 22 351

Ibid.

Page 169: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

406

Berbicara tentang keadilan sosial yang merata dalam berbagai aspek

kehidupan, termasuk di dalamnya tentang pemerataan ekonomi, maka

paling tidak ada beberapa langkah yang harus direalisasikan, yaitu;

1. Kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan Dalam hubungan ini, Pemerintah sebaiknya dapat menawarkan

pembiayaan pendidikan yang terjangkau oleh masyarakat, terutama

masyarakat yang berpendapatan rendah. Karena dengan biaya yang

tinggi menyebabkan masyarakat yang berpendapatan rendah tidak

mampu menyekolahkan anak-anak mereka, maka implikasinya

kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi mereka sangat sulit,

akibatnya pemerataan dalam bidang pendidikan tidak tidak

mencapai sasaran, dalam kata lain keadilan sosial dalam hal ini tidak

terealisasi. Demikian juga dengan pelayanan kesehatan, pembiayaan

kesehatan harus terjangkau dengan kemampuan masyarakat,

terutama masyarakat yang berpendapatan rendah, meskipun mutu

pelayanan kesehatan dari waktu ke waktu harus selalu ditingkatkan.

Memang diakui bahwa Pemerintah telah menyediakan Puskesmas (

Pusat Kesehatan Masyarakat ) sebagai alternatif tempat pengobatan

yang memberi pelayanan kepada masyarakat dengan harga murah,

tetapi itu untuk penyakit ringan. Sementara pada saat yang sama

dengan adanya Rumah Sakit yang memasang tarif mahal sehingga

masyarakat umum yang berpendapatkan rendah tidak mampu

berobat. Apalagi rumah sakit swasta yang tidak dapat dimasuki

kecuali oleh orang-orang berduit. Jika hal ini yang terjadi, maka

keadilan sosial dalam hal pemberian pelayanan kesehatan kepada

masyarakat belum terealisasi.

2. Pemerataan kesempatan kerja Dalam hal ini Pemerintah agar lebih komitmen mendukung

pemberdayaan ekonomi koperasi sampai ke tingkat desa dan

perkampungan, serta membuka perusahaan-perusahaan yang

dapat memberi peluang pekerjaan bagi menyerap tenaga kerja, baik

dalam jumlah besar ataupun kecil. Dengan demkian, diharapkan

akan membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi rakyat

Page 170: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

407

Indonesia. Target dari semua ini adalah terciptanya pertumbuhan

ekonomi secara merata.

3. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam politik Kesempatan untuk berpartisipasi bagi rakyat dalam berpolitik

secara luas sudah dapat dirasakan, tetapi perlu upaya peningkatan

kesadaran berpolitik untuk kepentingan bangsa dan negara secara

keseluruhan ( maslahat umat ), bukan semata untuk kepentingan

pribadi atau golongan. Jika kepentingan bangsa dan negara yang

menjadi prioritas dalam berpolitik, maka akan tercipta kedamaian

dan stabilitas politik. Tetapi jika yang terjadi prioritas kepentingan

pribadi dan golongan, maka yang terjadi adalah banyaknya konflik

kepentingan sebagai akibat banyaknya persaingan antara partai

politik, dan hal ini berdampak pada kondisi perpolitikan yang tidak

kondusif, negara akan selalu gonjang ganjing, carut marut dan

sebagainya.

4. Pemerataan pembangunan di seluruh wilayah tanah air. Di era Reformasi sudah ada Kementerian Pembangunan Wilayah

Tertinggal, tetapi hasil kerjanya belum terlihat. Walau bagaimana

pun juga pembangunan harus dilaksanakan secara merata di seluruh

wilayah Indonesia, agar tidak terjadi kecemburuan sosial dari wilayah

tertinggal kepada daerah lain yang sudah dibangun.

5. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan. Saat ini meskipun sudah di era Reformasi, tetapi untuk mendapatkan

keadilan dalam berbagai aspek kehidupan masih diselimuti kabut

tebal, karena bangsa Indonesia masih kental dengan praktek

nepotisme dan korupsi, terutama dalam hal memperoleh keadilan

hukum tetap saja masih ada permainan-permainan.

Dalam rangka merealisasikan langkah-langkah pemerataan ekonomi,

maka berbagai program kongrit berdimensi sosial harus diwujudkan dan di

kelola secara professional, baik melanjutkan program terdahulu yang

terbengkelai ataupun merangka program baru. Di dalam merealisasikan itu

semua hal terpenting yang menjadi prioritas adalah membangun

Page 171: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

408

usaha-usaha golongan ekonomi lemah melalui pembangunan koperasi352.

Oleh karena itu pemerataan ekonomi harus menjadi agenda penting dalam

membangun negara, karena hal ini sesungguhnya merupakan amanat

Undang-undang Dasar 1945. Jika amanat ini diimplementasikan secara

kongrit pada tataran praktis disertai dengan penuh kesedaran dan

pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara, maka tidak akan ada

lagi kemiskinan di Indonesia. Dalam rangka implementasi pemerataan

pembangunan ini, perlu diperhatikan beberapa hal penting sebagaimana

ditegaskan T. Mulya Lubis, maka setidaknya ada dua hal yang perlu

diperhatikan, yaitu;

1. Selalu diadakan reformasi dari waktu ke waktu ( up dating reformation ) terhadap pemerataan sumber-sumber pendapatan masyarakat, yaitu hak milik dan produksi. Demikian juga terhadap kebijakan pemberian fasilitas usaha dan alokasi dana modal kepada perusahaan-perusahaan. Hal ini penting agar dapat diketahui dari waktu ke waktu perkembangan sumber-sumber pendapatan masyarakat dan fasilitas-fasilitas yang dimiliki perusahaan-perusahaan berkenaan.

2. Kondisi pemerintahan disentralistik harus dipertahankan, karena hal ini berdapak positif terhadap wujudnya pertumbuhan ekonomi yang merata353. Perubahan sistem pemerintahan dari yang bersifat sentralistik di era

Orde

Lama dan Orde Baru ke sistem pemerintahan yang desentralistik di

era Reformasi merupakan langkah maju, dan ini akan berimplikasi pada

pertumbuhan ekonomi yang merata di kalangan rakyat. Namun itu semua

tidak serta merta terjadi pertumbuhan ekonomi merata secara otomatis,

tetapi semuanya bergantung pada sejauh mana integritas dan kapabilitas

para pemimpin bangsa dan para politisinya. Jika para pemimpin bangsa

dan para elite politisi, integritas dan kapabilitasnya dipertanyakan, maka

352

Lihat, T. Mulya Lubis ( Pnyt. ), Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, h. 27

353 Ibid, h. 28 -29

Page 172: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

409

pertumbuhan ekonomi yang merata akan tetap jauh dari kenyataan, atau

setidaknya akan menjadi lamban.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa orientasi

pemenuhan hak-hak sasi manusia dalam ekonmi, terutama yang berkenaan

dengan pekerjaan dan penghidupan layak bagi rakyat harus menjadi prioritas

perhatian bersama dengan berpijak pada prinsip-prinsip persamaan,

keadilan, transparansi dan kejujuran, atau dengan lain kata ialah prinsip

keadilan sosial 354 . Maka berdasarkan pertimbangan ruang dan waktu

menurut Adi Sasono harus dikatakan bahwa keadilan sosial dalam ekonomi

hanya mungkin dapat diwujudkan jika penguasaan sumberdaya berada di

tangan rakyat banyak. Artinya jika penguasaan sumberdaya ekonomi di

bawah kekuasaan segelintir orang saja akan menyebabkan terjadinya

ketimpangan-ketimpangan sosial 355 , implikasinya keadilan sosial dalam

ekonomi tidak dapat direalisasikan.

Namun demikian, T.Mulya Lubis memperingatkan bahwa

keberhasilan bangsa Indonesia di dalam melakukan reformasi struktural ke

depan akan bergantung pada sejauh mana masyarakat mampu membangun

sikap dan budaya, serta semangat kemanusiaan yang dapat mengatasi arus

materialisme dan konsumerisme yang secara jelas semakin nampak dalam

pergaulan hidup, baik di era Reformasi ataupun di era sebelumnya356.

Materialistik dan konsumeris diakui sebagai gaya hidup terutama bagi

masyarakat yang sedang mengalami transformasi ke kondisi modern. Hal

ini banyak dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang – seperti

Indonesia-, maka gaya hidup materialistik dan konsumeris masih ketara

melekat pada sebagian masyarakat Indonesia. Memang tidak bisa dihindari

terjadinya pola dan gaya hidup, karena setiap hari masyarakat selalu disuguhi

berbagai iklan TV. yang mencerminkan gaya hidup mewah ( glamour ). Hal ini

354

Lihat, Adi Sasono, Keadilan Sosial Tema Abadi, dalam, Muntaha Azhari, Abdul Mun`im Saleh ( Pnyt. ), Islam Indonesia Masa Depan ( Jakarta: P3M-Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat-, 1989 ), h.109

355 Ibid. h. 110

356 T. Mulya Lubis ( Pnyt. ), Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Di

Indonesia, h. 30

Page 173: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

410

sebenarnya tidak menjadi masalah, kalau tingkat ekonomi negara tinggi,

tingkat kesejahteraan masyarakat sudah merata dan tingkat daya beli

masyarakat juga tinggi. Tetapi jika kondisi ekonomi masih di bawah tingkat

rata-rata pendapatan negara berkembang 357 , maka implikasinya pada

kemapanan ekonomi antara pendapatan dan pengeluaran tidak seimbang,

di mana pengeluaran jauh lebih besar ketimbang pendapatan ( in come ), dan

ini berdampak pada terjadinya ketimpangan-ketimpangan pada ekonomi

masyarakat.

7. Keadilan Sosial Menuntut Pemerataan Kesejahteraan

Dalam membangun bangsa dan negara Republik Indonesia, keadilan

sosial tidak saja menjadi dasar negara, tetapi sekaligus menjadi tujuan. Hal

ini harus menjadi agenda utama pada setiap saat sampai kapanpun bagi

siapa saja yang memimpin bangsa ini, agar kemakmuran dan kesejahteraan

sebagaimana ditegaskan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

dapat direalisasikan serta dapat dinikmati bersama oleh seluruh rakyat

Indonesia. Oleh sebab itu, keadilan sosial menjadi target bagi bangsa dan

rakyat Indonesia untuk mencapai kemakmuran hidup dan stabilitas politik.

Langkah utama ke arah ini ialah melaksanakan ketentuan Undang-Undang

Dasar 1945, Pasal 27, Ayat 2, yang berbunyi; Tiap-tiap warga negara berhak

atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Maka, atas

dasar ini keadilan sosial bertujuan hendak merealisasikan kesejahteraan

secara umum dalam masyarakat sebagai warga negara dan penduduk

357

Negara berkembang ( developing country ) adalah negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi relatif lamban sehingga dilakukan upaya-upaya melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Negara berkembang dapat diidentifikasi dengan cirri-cirinya sebagai berikut; 1. Pendapatan per kapita rendah, 2. Tingkat pendidikan penduduk rendah, 3. Tingginya angka pertumbuhan penduduk, 4. Banyaknya angka kematian bayi ( Infant Mortality Rate ), 5. Angka harapan untuk hidup rendah, 6. Banyak penduduk miskin, 7. Banyaknya pengangguran, 8. Tingkat ketergantungan tinggi, 9. Adanya ketergantungan pada sektor pertanian, 10. Sumber daya alam banyak yang belum dikelola karena kekuarangan tenaga ahli, 11. Banyak kekurangan modal sehingga mengandalkan pinjaman luar negeri, 12. Adanya ketergantungan pada impor barang-barang industri.

Page 174: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

411

Indonesia358. Dalam konteks ini Moh. Hatta menegaskan bahwa dalam

rangka keadilan sosial terdapat tujuan untuk memeratakan pendapatan

rakyat, supaya dengan itu menjadi hilang perbedaan yang ketara antara

yang kaya dan yang miskin. Dengan demikian, inti dari keadilan sosial ialah

cita-cita kemanusiaan yang memenuhi hakikat yang adil, yaitu terpenuhinya

segala sesuatu yang telah menjadi hak di dalam hubungan hidup

kemanusiaan sebagai sesuatu yang wajib, apakah itu aspek politik, ekonomi,

hukum dan sebagainya 359

Keadilan dalam aspek ekonomi ialah memberi hak yang sama dalam

lapangan kehidupan kepada seluruh rakyat Indonesia. Dalam hubungan ini

Moh. Hatta menegaskan bahwa; pemimpin-pemimpin Indonesia yang

menyusun Undang-undang Dasar 1945 berkeyakinan bahwa cita-cita

keadilan sosial dalam ekonomi dapat mencapai kemakmuran yang merata360.

Tujuan ini, tegas Moh. Hatta telah ditanamkan di dalam Undang-undang

Dasar 1945 Pasal 33 yang berbunyi sebagai berikut;

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan.

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

3. Bumi dan tanah air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Menurut Moh. Hatta; Pasal 33 dari Undang-undang Dasar 1945 ini

adalah sendi utama bagi politik perekonomian dan politik sosial Republik

358

Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. H. 470

359 Moh. Hatta, Pengertian Pancasila ( pidato peringatan lahirnya Pancasila

di Gedung Kebangkitan Nasional ), h. 36 360

Moh. Hatta, Pengertian Pancasila ( pidato peringatan lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional, h. 36

Page 175: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

412

Indonesia361 . Berdasarkan pernyataan Moh. Hatta ini dapat dijabarkan

bahwa untuk merealisasikan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia harus dilakukan penataan langkah-langkah kongrit dan strategis.

Hal ini dimaksudkan untuk membuka lapangan kehidupan dalam berbagai

sektor. Dalam konteks ini D. Chairat menegaskan bahwa; lapangan hidup ini

bermacam-macam dan mempunyai aspek yang banyak, antaranya; tani,

bisnis, industri kecil, industri besar, seluruhnya adalah termasuk segi

penghidupan warga negara Indonesia362, maka berdasarkan sila keadilan

sosial, kehidupan rakyat Indonesia tidak membeda-bedakan antara yang

satu dengan yang lainnya, antara besar dan kecil, antara industri besar dan

industri kecil, perusahaan dan pertanian, semuanya harus mendapatkan

keadilan dan pelayanan yang sama dari Pemerintah. Jika

perusahaan-perusahaan besar dibantu melalui pemberian modal, kenapa

tidak perusahan-perusahaan kecil tidak dibantu. Jika para pemilik PT

mendapatkan fasilitas untuk membesarkan perusahaannya, maka para

petani dan pedagang kecil pun sewajarnya mendapatkan pelayanan yang

sama, agar demokratisisi ekonomi dapat direalisasikan dengan baik. Dan jika

ini terlaksana, maka ekonomi kerakyatan363 sebagaimana diprogramkan di

era Reformasi dapat diwujudkan.

Demokrasi ekonomi, menurut Muh. Yamin berhubungan dengan

keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menghendaki pemerataan

kesejahteraan dengan meminimalisir perbedaan atau jurang pemisah antara

warga negara364. Ini artinya bahwa pertumbuhan ekonomi harus merata,

sehingga tidak ada jurang pemisah antara rakyat yang tinggal di kota denga

361

Ibid. 362

D. Chairat, Falsafah Pancasila ( Jakarta: Wijaya, 1955 ), h. 21 363

Ekonomi kerakyatan dapat diartikan sebagai kegiatan yang menggunakan sumber-sumber ekonomi berdasarkan kepada demokrasi ekonomi, keadilan berusaha yang diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Lihat, M. Azrul Tanjung, Koperasi UMKM dan Paragdima Baru Ekonomi Kerakyatan ( Jakarta: JKPB Press, 2010 ), h. 51

364 Muh. Yamin, Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia,

h.471

Page 176: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

413

rakyat yang tinggail di kampung, antara petani dan pedagang, antara PNS

dan wiraswatawan, dan sebagainya. Untuk mewujudkan kondisi ini tentu

saja harus didukung dengan kebijakan-kebijakan strategis, efektif, dan

professional.

8. Membangun Masyarakat Sejahtera

Berbicara soal kesejahteraan. Kesejahteraan tidak mungkin wujud

menjadi kenyataan jika tidak tercipta sistem perpolitikan nasional yang stabil

atau mantap. Dalam konteks ini setidaknya ada tiga serangkai yang menjadi

sendi atau landasan bagi terciptanya negara kesejahteraan. Tiga serangkai itu

ialah;

1. Adanya sistem politik yang mantap. Hal ini sebagai landasan bagi lahirnya,

2. Kemajuan sosial-ekonomi berkelanjutan. Hal ini sebagai prasyarat untuk mendorong lahirnya,

3. Kesejahteraan sosial, martabat bangsa dan kecerdasan rakyat. Demikian ini sebagaimana ditegaskan Wakil Presiden RI; Prof. Dr.

Boediono pada acara kuliah umum yang diselenggarakan oleh Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Jakarta, sebagai berikut;

. . . . . Sistem politik yang mantap adalah landasan bagi kemajuan

sosio-ekonomi yang berkelanjutan. Pada gilirannya kemajuan

sosio-ekonomi berkelanjutan adalah prasyarat mutlak bagi

dimungkinkannya ( lahirnya ) kesejahteraan, martabat ( bangsa ) dan

kecerdasan rakyat yang terus meningkat, yang pada gilirannya akan

membuat sistem politik makin matang dan makin berakar365

Dengan demikian, maka kesejahteraan sosial merupakan inti dari

keadilan sosial. Bahkan berdasarkan kondisi yang dialami oleh rakyat

365

Dipetik dari Kuliah Umum yang disampaikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia; Prof. Dr. Boediono di Universitas Islan Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Kamis 23 Desember 2010 di Auditorium Harun Nasution, yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ( FISIP, UIN.

Page 177: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

414

Indonesia, kesejahteraan merupakan sesuatu yang harus segera

direalisasikan. Oleh karenanya, negara harus segera memastikan

langkah-langkah kongrit, strategis, dan efektif untuk terciptanya

kesejahteraan, karena sebagian besar rakyat Indonesia sudah terlalu lama

dalam kondisi hidup penderitaan dan tidak menikmati hidup berkecukupan.

Kemunculan negara kesejahteraan berawal dari upaya negara untuk

mengelola sumber daya yang dimiliki dengan tujuan untuk menciptakan

kesejahteraan ( welfare ) rakyat, kemudian negara merealisasikannya

melalui kebijakan-kebijakan politik yang menghadirkan pelayanan sosial (

social services )366. Dengan demikian, negara kesejahteraan menghendaki

peran negara yang lebih dominan terhadap pengelolaan sektor publik,

kecuali dalam sektor-sektor ( perusahaan-perusahaan negara ) yang sudah

jenuh atau kurang produktif 367 . Realitas ini bagi rakyat Indonesia

sebenarnya sudah memiliki dasar yang kuat untuk merealisasikan cita-cita

ini, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33, ayat 2, yang berbunyi

bahwa; Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dan ayat 3, dari

Pasal 33, UUD-1945 lebih tegas menyatakan bahwa “ Bumi dan tanah air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

366

Sejarah kelahiran negara kesejahteraan ( menurut versi Barat ) ialah setelah negara-negara di Eropa dilanda krisis pasca perang Dunia I dan perang Dunia II. Munculnya negara kesejahteraan sebagai respon terhadap tantangan Kapitalisme dan kesulitan-kesulitan yang melanda karena depresi dan perang. Negara kesejahteraan di Eropa telah dimulai oleh Jerman pada masa Kanselir Otto Von Bismarck. Tujuan mendesak dari sistem negara kesejahteraan di Eropa adalah untuk meminimalisir akses Kapitalisme yang paling mencolok. Karena sistem Kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang tidak memihak kepada orang-orang lemah ( dhuafa ) atau miskin. Bahkan dalam sistem Kapitalisme, negara hanya memiliki peran yang terbatas dalam mengelola sektor publik, karena banyak persahaan-perusahaan milik negara diswastakan, artinya diserahkan kepada pihak swasta untuk dikelola. Selain dari itu, negara kesejahteraan adalah untuk mengurangi daya tarik sistem sosialis. Lihat, M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. “ Islam and The Ekonomic Challenge “ ( Jakarta: Gema Insani Press, 2000 ), h. 133

367 Terkait dengan sektor-sektor atau perusahaan-perusahaan negara yang

sudah jenuh atau kurang produktif, bisa saja negara melakukan kebijakan swastanisasi agar tidak membebani negara.

Page 178: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

415

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara

kesejahteraan ( welfare state ) adalah negara yang mengupayakan

kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini setidaknya ada tiga langkah yang harus

dilaksanakan, yaitu;

1. Mengatasi dan mengantisipasi anarki produksi dan krisis ekonomi, 2. Meningkatkan jaminan hidup ( jaminan sosial ) warga, 3. Memberantas pengangguran368.

Dalam pengertian lain, dapat ditegaskan bahwa negara

kesejahteraan adalah negara yang merujuk pada sebuah model ideal

pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui

pemberian peran yang lebih dominan kepada negara untuk menciptakan

pelayanan sosial secara konfrehensif, maka fokus dari sistem negara

kesejahteraan adalah untuk menciptakan sebuah sistem perlindungan sosial

yang melembaga bagi setiap warga negara sebagai gambaran adanya hak

warga negara dan kewajibannya369. Oleh karena itu, negara kesejahteraan

sebenarnya tidak sebatas menciptakan pelayanan-pelayanan sosial untuk

orang-orang miskin saja, tetapi juga untuk semua penduduk atau warga

negara, baik orang tua atau anak-anak, pria atau wanita, kaya atau

miskin dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar pelayanan-pelayanan sosial

sebagai fasilitas yang diselenggarakan dapat dinikmati bersama oleh seluruh

warga negara secara merata.

Oleh karena itu, negara kesejahteraan merupakan bentuk negara

yang memposisikan dirinya sebagai lembaga yang mampu memenuhi

hak-hak sosial warganya. Kebijakan-kebijakan politik negara yang bertujuan

untuk menghadirkan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat merupakan

komitmen politik yang harus dilakukan dari waktu ke waktu sebagai

tanggung jawab negara kepada rakyatnya. Dalam konteks ini negara

diidentikkan sebagai lembaga yang mengeluarkan sejumlah kebijakan sosial

sebagai langkah kongrit untuk menjembatani hubungannya dengan

368

Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan ( Jakarta: LPKN, 2000 ), h. 708

369 Edi Suharto, Negara Kesejahteraan dan Reniventing Depsos, artikel

diakses pada 6 September 2008 dari http / 209.85.175.104

Page 179: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

416

warganya. Kemudian untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan

bagi rakyat secara umum dan merata ada beberapa langkah prioritas yang

harus dilakukan oleh negara, paling tidak untuk ukuran saat ini, yaitu;

1. Kebijakan terhadap peningkatan ketenagakerjaan. Kebijakan terhadap ketanagakerjaan ( employment policy )

merupakan kebijakan yang sangat penting di dalam negara

kesejahteraan. Negara semaksimal mungkin berupaya membangun

dan membuka seluas-lusanya lapangan kerja dalam berbagai sektor

kehidupan sebagai upaya memenuhi tanggung jawab negara kepada

rakyat, baik di sektor birokrasi, industri, perdagangan, pertanian, dan

di sector-sektor lapangan pekerjaan lainnya. Tujuan dari kebijakan ini

adalah untuk meminimalisir pengangguran dan mengurangi

ketergantungan rakyat pada tunjangan-tunjangan sosial yang

disedikan negara.

2. Layanan maksimal bagi kelanjutan pendidikan. Pendidikan merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan

manusia, di mana setiap warga negara berhak memperoleh

pendidikan. Oleh karenanya negara tidak bisa mengabaikan layanan

pendidikan, karena negara yang penduduknya memiliki tingkat

pendidikan yang rendah, negara akan berada pada klasifikasi negara

terbelakang, dan kondisi ini memunculkan dampak yang tidak

menguntungkan bagi negara, yaitu ketidak mampuan untuk

berdaya saing atau berkompetisi dengan negara-negara maju,

baik di tataran negara-negara regional ataupun dalam skala

Internasional. Hal ini disebabkan karena warga negaranya tidak

mampu mengakses informasi dan ilmu pengetahuan untuk

kepentingan perkembangan dan kemajuan negaranya dalam

berbagai aspek kehidupan, baik dalam politik, ekonomi, teknologi,

pertanian, dan sebagainya. Sedangkan negara-negara yang

penduduknya berpendidikan, maka negara akan berada pada tingkat

kesejahteraan yang memadai. Ini disebabkan warga negaranya

memiliki pendidikan yang cukup memadai, sehingga mereka mampu

Page 180: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

417

mengakses informasi yang diperlukan untuk mencapai tingkat hidup

yang lebih baik dan sejahtera.

3. Layanan kesehatan secara prima Di negara-negara berkembang dan negara-negara yang memiliki

penduduk miskin yang relatif tinggi, layanan kesehatan gratis yang

disediakan negara merupakan sesuatu yang sangat sulit didapatkan.

Dalam negara kesejahteraan, layanan kesehatan merupakan salah

satu pilar penting yang harus disediakan oleh negara, tentu saja

dengan catatan bahwa layanan kesehatan yang disediakan

Pemerintah harus prima. Di beberapa negara berkembang dan maju,

termasuk Malaysia, memiliki skem layanan kesehatan yang cukup

baik, tertata rapi, dan tidak memberatkan rakyat.

4. Ketersediaan Jaminan social secara merata Jaminan sosial ( social scurity ) secara umum adalah sistem

penyimpanan dan pengelolaan dana segera yang dipakai untuk

mendanai berbagai layanan sosial publik secara merata. Dana

jaminan sosial merupakan dana yang dikumpulkan oleh negara

melalui beberapa sumber pendapatan, antaranya melalui

perpajakan ( terutama pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai,

dan pajak bisnis ), dan melalui pungutan non-pajak, seperti potongan

gaji untuk asuransi, dan sebagainya.

5. Perumahan Masyarakat miskin identik dengan tempat tinggal yang tidak layak

atau bahkan bisa jadi tempat tinggalnya di kolong–kolong jembatan,

atau di pinggir-pinggir tempat pembuangan sampah. Warga negara

yang memiliki pendapatan rendah akan semakin sulit untuk memiliki

tempat tinggal yang layak akibat rendahnya daya beli, ditambah

dengan harga barang pokok, serta harga barang-barang bangunan

melambung tinggi akibat inflasi yang tidak terbendung, dan mereka

akan semakin menjadi warga negara yang terpuruk. Fenomena ini

berdampak pada munculnya kawasan kumuh dengan fasilitas yang

amat rendah dan tanah-tanah sengketa yang tidak jelas. Jika

permasalahan perumahan ini tidak segera diatasi oleh negara, maka

Page 181: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

418

akan menyebabkan naiknya angka kemiskinan, keterbelakangan

yang berpotensi tumbuhnya kriminalitas. Dalam negara

kesejahteraan, masalah layanan perumahan menjadi prioritas

perhatian. Ada beberapa alasan kenapa kebijakan mengenai layanan

perumahan menjadi tanggung jawab negara dalam model negara

kesejahteran. Pertama, Perumahan adalah bagian dari pasar asset

yang rentan terhadap spekulasi, karena sektor perumahan mampu

menimbulkan krisis ekonomi ( seperti yang pernah terjadi di Amerika

) apabila tidak dikelola dengan baik. Jadi, sektor perumahan harus

ditangani secara profesional dan serius oleh negara. Kedua,

Perumahan secara langsung melibatkan tata ruang dan wilayah. Tata

ruang dan tata wilayah merupakan pintu masuk kepentingan

ekonomi dan politik, sehingga memerlukan pengaturan yang

akuntabel. Ketiga, Berkembangnya kota-kota kecil menjadi

mega-cities. Apabila pengelolaan sektor perumahan gagal ditangani

secara profesional, masalah perumahan akan menjadi embrio

kriminal. Untuk mengatasi permasalahan di atas, negara harus

melakukan beberapa kebijakan, antaranya; a). Negara menyediakan

fasilitas tanah sekaligus bangunan untuk layanan perumahan bagi

warganya. Layanan perumahan ini bisa berupa penyediaan rumah

sederhana atau rumah susun. b). Negara menyediakan skem-skem

kredit rumah sesuai dengan jenis dan kelas perumahan, dengan

tujuan agar warga negara bisa memiliki kualitas hidup yang baik

dengan tempat tinggal yang layak dan dengan ansuran jangka

panjang ( pola kredit dengan skem subsidi ). Dalam hal ini negara

membeli perumahan melalui kerjasama dengan pengembang (

developer ), kemudian warga negara membelinya dengan harga yang

jauh lebih murah.

Dengan melakukan beberapa langkah di atas, diharapkan rakyat

dapat menikmati tingkat kemakmuran hidup dan kesejhteraan.

9. Ketimpangan Ekonomi Memperlambat Pembangunan

Page 182: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

419

Sebuah fakta yang tidak dapat disembunyikan bahwa masyarakat

Indonesia dewasa ini, meskipun sudah berada di era Reformasi, masih tetap

memperlihatkan ketidak mampuan untuk melepaskan diri dari ciri-ciri

ekonomi tradisional, meskipun industrialisasi sudah berkembang dan para

miliyarder ( miliyoner/orang kaya baru –OKB- ) bermunculan, tetapi yang

menjadi fenomena di lapangan sebagian sebagian rakyat masih hidup

bergantung pada hasil pertanian, pendapatan perkapitanya masih rendah

dan pembagian pendapatan nasional masih belum merata. Berdasarkan

pengalaman-penglaman masa lalu menunjukkan bahwa rakyat Indonesia

masih belum dapat menerapkan teknologi tinggi untuk mengejar

ketinggalan. Rakyat Indonesia terpaksa masih harus menerapkan teknologi

sederhana untuk mencegah agar tidak sampai pembangunan yang tengah

berjalan terkendala. Hal ini tentu saja bisa berimplikasi pada terjadinya

pengangguran rakyat secara besar-besaran. Pengangguran akan berdampak

pada bertambahnya masalah-masalah sosial ( social problems ), antaranya

kemiskinan, kriminalitas, dan sebagainya. Dari aspek lain, dalam

masyarakat yang sedang berkembang, masalah-masalah sosial akan

bertambah terus dari waktu ke waktu karena meningkatnya pembangunan di

berbagai wilayah yang tidak diringi dengan pembukaan lapangan pekerjaan

baru secara merata. Pembangunan akan melahirkan perubahan-perubahan.

Perubahan-perubahan ini walaupun kelihatannya menyangkut aspek

material, tetapi akan berimplikasi pada perubahan-perubahan nilai hidup

manusia. Ini tidak berarti bahwa kita tidak menghendaki perubahan dari

masyarakat petani ke masyarakat industri sebagai ciri negara maju, tetapi

perubahan-perubahan itu bagaimana agar tidak memunculkan shock culture

atau mengakibatkan terpinggirnya nilai-nilai luhur, seperti sikap bersopan

santun, kepedulian kepada orang-orang fakir miskin, saling bantu

membantu, saling hormat menghormati antara sesama, komitmen pada adat

istiadat atau tradisi yang baik, dan sebagainya.

Jika memperhatikan beberapa tahun silam, yaitu pada sekitar

tahun-tahun 1989 ketika Indonesia dilanda krisis berbagai dimensi, Indonesia

Page 183: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

420

menurut Adi Sasono370 tengah menghadapi dua tantangan besar, Pertama;

adanya kesenjangan melebar antara golongan kaya dan golongan miskin,

Kedua; kecendrungan meningkatnya ketergantungan kaum miskin kepada

para pemilik modal dan ketergantungan Indonesia kepada negara-negara

maju. Kedua-dua masalah tersebut, menurut Adi Sasono telah sampai ke

tingkat kritis, bahkan dikatakannya kedua-dua masalah tersebut sampai ke

tingkat mengancam persatuan dan kesatuan nasional 371 . Apa yang

diketengahkan Adi Sasono di atas, memberikan deskripsi bahwa masalah

yang terjadi di Indonesia waktu itu adalah terjadinya jurang pemisah ( gap )

lebar antara yang kaya dan yang miskin, dan kondisi ini berimplikasi

terjadinya ketergantungan orang miskin kepada orang kaya dan pada saat

yang sama terjadinya ketergantungan Indonesia kepada negara-negara maju

( terutama kepada Jepang, Eropa dan Amerika ). Fenomena ini sebagai akibat

dari salah urus terhadap aktifitas perekonomian yang didominasi oleh

segelintir orang-orang tertentu yang menguasai pasar, dan secara kebetulan

mendapatkan fasilitas-fasilitas dari Pemerintah yang berkuasa waktu itu.

Budaya monopoli ini sebenarnya terjadi sebagai akibat dari tidak adanya

keadilan sosial, terutama dalam hal pemberian modal kepada rakyat dalam

rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara merata. Namun

demikian, ini tidak berarti bahwa pada waktu itu tidak ada upaya-upaya

pemeretaan ekonomi, tetapi mungkin efektifitasnya yang masih pada tingkat

belum maksimal. Hal ini sebagaimana ditegaskan Adi Sasono bahwa;

memang telah dilakukan beberapa bentuk bantuan, mulai bantuan karikatif (

amal kebajikan ), pinjaman modal sampai pada bentuk bapak angkat, tetapi

upaya-upaya ini belum maksimal. Dalam arti lain, upaya-upaya ini belum

melahirkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, merata dan agresif372. Hal

ini memunculkan fenomena di mana orang-orang kaya bertambah kaya, dan

orang-orang miskin tetap miskin, atau bahkan semakin miskin.

370

Adi Sasono pernah menjabat Menteri Koperasi dalam Kabinet Reformasi di era BJ. Habibie.

371 Adi Sasono, Keadilan Sosial Tema Abadi, dalam, Muntaha Azhari, Abdul

Mun`im Saleh ( Pnyt. ), Islam Indonesia Menatap Masa Depan ( Jakarta: P3M, 1989 ), h. 108

372 Ibid. h. 109

Page 184: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

421

Untuk penyelesaian masalah, pemberian modal secara merata

kepada seluruh rakyat yang memerlukan harus segera dilakukan untuk

mempercepat pertumbuhan ekonomi yang signifikan, tentu saja ini harus

melalui skema dan syarat yang tidak terlalu ketat, serta melalui bimbingan

dan penyuluhan yang memadai dan efektif agar sasaran yang diharapkan

dapat tercapai. Pemberian modal dalam jumlah besar kepada para

pengusaha besar ternyata tidak banyak memberikan efek meningkatnya

pertumbuhan ekonomi yang merata, dan justru malah menciptakan sistem

ekonomi kapitalis. Kesejahteraan yang menjadi impian rakyat banyak, tidak

kunjung datang. Rakyat banyak,( meskipun di era Reformasi ), masih tetap

dibuai dengan janji-janji perbaikan nasib di masa depan. Harga barang

kebutuhan pokok seperti; beras, sayur mayor, barang bangunan, gas, BBM,

transportasi, baik udara, darat ataupu angkutan laut dan sebagainya

semakin hari semakin meningkat, bahkan terkesan sekali naik tetap akan

naik terus, sepertinya sudah menjadi fenomena bahwa jika barang sudah

naik tidak mungkin akan turun kembali. Kenaikan harga barang yang tidak

terkontrol ini mengakibatkan terjadinya inflasi berkali-kali di luar

kewajaran. Sementara pendapatan rakyat banyak tidak memadai, akibatnya

surplus antara pendapatan dan pengeluaran tidak seimbang, justru

pengeluaran lebih tinggi ketimbang pendapatan ( income ), hal ini berakibat

sering terjadinya defisit ( deficit ). Kondisi ini menyebabkan rakyat terpaksa

mencari tambahan di luar jam kerja ( bagi para pegawai, baik negeri ataupun

swasta ) dengan menguras tenaga dan fikiran untuk menutupi kekurangan.

Jika kondisi ini berterusan dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun

ke tahun, maka perekonomian rakyat akan bermasalah. Memperbaiki dan

upaya pemulihan kondisi perekonomian yang parah tentu saja memerlukan

waktu yang tidak sebentar, karena menyangkut berbagai aspek yang harus

diperhatikan, antaranya; perilaku dan kebijakan para pembuat kebijakan (

decition makers ) serta implementasi dari kebijakan-kebijakan yang tepat dan

pasti. Apa yang terjadi sebagaimana digambarkan di atas adalah sebagai

akibat dari tidak adanya keadilan menyeluruh ( keadilan sosial ) pada

masyarakat dalam berbagai aspeknya.

Secara umum dapat ditegaskan bahwa berbagai persoalan itu terjadi

sebagai akibat dari;

Page 185: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

422

1. Terjadinya pemusatan kekayaan dan pemilikan atas alat-alat produksi serta gaya hidup mewah pada sekelompok anggota masyarakat.

2. Kebijakan-kebijakan yang tidak tepat terhadap perekonomian nasional karena didasarkan kepada kepentingan kelompok tertentu, bukan atas dasar keberpihakan kepada rakyat, atau atas dasar pertimbangan kemaslahatan rakyat banyak.

3. Tidak adanya kontrol ( kawalan ) dari Pemerintah terhadap kenaikan harga barang, seolah-olah terkesan selama ini bahwa kenaikan harga barang diserahkan kepada para pemain pasar untuk menentukan naik –turunnya harga barang, ini sebenarnya sebagai akibat dari diberlakukannya pasar bebas ( free trade market ), maka tidak heran jika dalam setahun saja bisa terjadi kenaikan harga berkali-kali, akibatnya terjadi inflasi yang tidak bisa dibendung, akibat lanjutnya adalah daya beli masyarakat menurun.

4. Terjadinya PHK pada beberapa perusahan, baik besar atau kecil. Hal ini menyebabkan bertambahnya pengangguran.

5. Meluasnya kemiskinan, dan memburuknya kondisi ekonomi yang berimplikasi terjadinya ketimpangan-ketimpangan pendapatan. Fenomena ini menurut T. Mulya Lubis sering dilaporkan sebagai

masalah yang terjadi pada negara-negara berkembang yang melaksanakan

program pembangunan berorientasikan gross national product atau

penghasilan kasar negara373. Dalam hal ini termasuk Indonesia yang terus

menerus terjadi ketimpangan-ketimpangan ekonomi, sehingga hal ini

berimplikasi lambannya pembangunan Indonesia untuk mencapai negara

maju, baik dalam skala regional ataupun Internasinal.

10. Keberhasilan Membangun Indonesia Ke Depan

Namun demikian, secara umum dapat ditegaskan bahwa untuk

mencapai keberhasilan pembangunan ke depan terletak pada sejauh mana

rakyat Indonesia mampu merealisasikan beberapa faktor di bawah ini,

antaranya;

373

T. Mulya Lubis ( Pnyt. ), Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Di Indonesia ( Jakarta: Djaya Pirusa, 1989 ), h. 26-27

Page 186: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

423

a. Adanya stabilitas politik dan ekonomi yang mantap, b. Terciptanya situasi yang bebas yang dapat menumbuhkan daya

kreatifitas masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, c. Adanya modal yang cukup memadai untuk mendanai

proyek-proyek pembanguan, d. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, e. Profesionalitas yang tinggi dalam bekerja berdasarkan kejujuran

dan tanggung jawab, f. Pemberantasan korupsi yang lebih efektif dan signifikan.

Kesemuanya itu terletak pada kemampuan dan upaya-upaya

pemerintah dan rakyat Indonesia dalam merealisasikan faktor-faktor

tersebut dan tentu saja harus selalu dilakukan evaluasi dari waktu ke waktu,

agar upaya-upaya tersebut membuahkan hasil yang lebih berarti bagi

pembangunan bangsa dan negara di masa depan. Terkait dengan korupsi.

Korupsi pada dasarnya mengakibatkan kerugian bagi negara dan rakyat

banyak, karena uang negara digerogoti dan digelapkan oleh para koruptor.

Jika korupsi tidak diberantas, maka negara dan bangsa Indonesia bisa

terperosok ke dalam jurang pailit atau bengkraf. Maraknya tindak kejahatan,

termasuk dalam hal ini tindakan korupsi, dalam batas-batas pandangan

agama ( agama Islam ) adalah karena faktor mentalitas bangsa Indonesia

yang rendah yang tidak memiliki sikap jujur ( amanah ) dan tanggung jawab,

karena korupsi terjadi bukan saja karena tidak adanya iman di dalam hati,

tetapi juga bisa terjadi karena adanya kesempatan atau peluang untuk

melakukannya, meskipun dari aspek lain dapat dikatakan bahwa korupsi

terjadi karena adanya salah satu dari tiga faktor, yaitu; Pertama, karena

kebutuhan, Kedua, karena serakah, dan Ketiga, karena sistem yang berlaku

menyebabkan orang mudah melakukan tindak korupsi. Tidak dapat

dipungkiri bahwa upaya-upaya pemberantasan korupsi menjadi agenda

utama Pemerintah di era Reformasi melalui badan yang diamanati untuk

menuntaskan masalah korupsi, yaitu; KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ).

Di era Reformasi banyak terjadi penangkapan terhadap orang-orang yang

diduga melakukan tindak korupsi, baik pejabat Eksekutif, Legislatif, dan

bahkan para pejabat Judikatif. Tetapi upaya-upaya pemberantasan korupsi

masih berkutat ( berjalan ) di tempatnya,.Pemberantasan korupsi dinilai

masih belum membuahkan hasil signifikan, faktanya bahwa hukuman yang

dikenakan kepada para terpidana korupsi tidak menimbulkan rasa jera,

Page 187: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

424

implikasinya tindak korupsi berlanjut terus, bahkan menurut Abraham

Samad ( Ketua KPK tahun 2011 – 2015 ) bahwa tindak kejahatan korupsi

mengalami regenarasi, akibatnya tindak korupsi dilakukan oleh para

koruptor baru tanpa ada rasa takut atau malu. Dan ini artinya bahwa

upaya-upaya pemberantasan tindak kejahatan korupsi selama ini belum

efektif. Oleh karena itu jika pendekatan pemberantasan korupsi tidak

ditingkatkan efektifitasnya, misalnya dengan menerapkan hukuman yang

seberat-beratnya kepada para pelaku korupsi yang telah sampai pada

tingkat-tingkat tertentu, yaitu sampai tingkat merugikan negara dan

menyengsarakan rakyat banyak, maka pemberantasan korupsi tidak

banyak memberikan dampak positif terhadap kehidupan perpolitikan

nasional ataupun pada pertumbuhan perekonomian secara merata.

Barangkali rakyat dan bangsa Indonesia tidak perlu malu-malu untuk belajar

melakukan studi komparatif ke China dan Jepang yang telah berhasil

memberantas tindak korupsi melalui hukuman mati terhadap para pelaku

korupsi, ternyata hukuman mati ampuh ( effective ) menimbulkan rasa

jera, dapat dipastikan masyarakat merasa takut melakukan tindak korupsi

karena takut dihukum mati, tidak perlu banyak orang yang dihukum mati,

satu, dua, tiga orang koruptor saja yang dihukum mati akan berdampak

membuat jera bagi seluruh rakyat Indonesia untuk tidak melakukan tindak

kejahatan korupsi. Jika hal ini yang menjadi kebijakan Pemerintah, Indonesia

tidak perlu merasa riskan atau bersalah bila kemudian ada tuduhan sebagai

negara yang tidak menghormati HAM.

Page 188: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

425

11. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan terkait dengan keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia, kini dapat disampaikan beberapa poin kesimpulan,

antaranya;

1. Keadilan sosial meliputi seluruh aspek kehidupan; hukum, ekonomi, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, dan sebagainya.

2. Keadilan sosial diwujudkan untuk terciptanya kedamaian dan kesejahteraan hidup bagi seluruh rakyat.

3. Hukum dapat memperlihatkan efektifitasnya jika dapat mewujudkan keadilan yang sebenarnya, serta dapat menimbulkan efek jera.

4. Kemakmuran dan kesejahteraan hidup menjadi tujuan setiap rakyat, dan ini hanya dapat direalisasikan melalui demokratisasi ekonomi atau pemerataan ekonomi.

5. Sistem politik yang stable ( mantap ) akan menciptakan kemajuan sosial ekonomi berkelanjutan yang pada gilirannya akan melahirkan kesejahteraan sosial, martabat bangsa, dan kecerdasan rakyat.

6. Keberhasilan suatu bangsa tidak saja diukur dengan keberhasilan pembangunan yang bersifat materi, tetapi juga harus diukur dengan keberhasilan melahirkan sikap mental yang jujur, amanah dan bertanggung jawab.

Page 189: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

426

DAFTAR PUSTAKA

Azhari, Filsafat Pancasila, Jakarta: IND-HILL, 1991.

Asmara Hadi, Pancasila: Doktrin Revolusi Nasional Rakyat Indonesia, Jakarta:

Badan Penerbit Nasional, 1951.

A.Gunawan Setiardja, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi

Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1983.

Abubakar ( pnyt.), Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim dan Karangan

Tersiar, Jakarta: t.pt. 1975.

A.Wahid Hasyim, Mengapa Memilih NU ? Konsepsi Tentang Agama,

Pendidikan dan Politik, Butaran Sanusi Rony Kaloke dan Kasunandar (

pnyt.), Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1983.

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia,

1980.

--------, Politik Kebudayaan dan Manusia, Jakarta: LP3S, 1980.

Adi Sasono, Keadilan Sosial Tema Abadi, dalam, Muntaha Azhari, Abdul

Mun`im Saleh ( pnyt.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan,

Jakarta: P3M ( Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan

Masyarakat ), 1989.

A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, Jakarta: CSIS (

Centre For Strategic and International Studies ), 1985.

A. Poedja, Rev. Fr. Pancasila Dalam Renunganku, T. tp. T. pt. 1969.

Azam, Abd. Al-Rahman, The Eternal Message of Muhammad, London:

Quarter, 1964.

Page 190: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

427

Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan

Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta: Darul Falah,

1999.

Abdul Qahhar Muzakkar, Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia: Koreksi

Pemikiran Politik Pemerintahan Soekarno, Jakarta: Madinah Press,

1999.

A.S.S. Tambunan, Dualisme Naskah UUD 1945, Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1993.

A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: Dian

Rakyat, 1967.

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia:

Studi Legal Atas Konstitusi 1956 – 1959 ( terj. Sylviatiwan ), Jakarta:

Grafiti, 1995.

Adam Malik, Riwayat dan Perjuangan Sekitar Proklamasi Kemerdekaan

Indonesia 17 Agustus 1945, Jakarta: Wijaya, 1970.

Ahmad Sukarja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945: Kajian

Perbandingan Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang

Majmuk, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1995.

Ahmad Sanusi, Islam, Revolusi dan Masyarakat, Bandung, Duta Rakyat, 1969.

Agoes Salim, Ketuhanan Yang Maha Esa, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, Kestabilan Peta Kekuatan Politik dan

Pembangunan, Bandung: Alumni, 1981.

-------, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1985.

Anwar Harjono, Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, Jakarta:

Gema Insani, 1995.

Abdul Munir Mulkan, Perubahan Politik dan Polarisasi Umat Islam 1965-1987

Dalam Perspektif Sosiologi, Jakarta: Rajawali, 1989.

Page 191: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

428

Abdul Halim El-Muhammadi, Tinjauan Kepada Perundang-undangan Islam,

dalam, Abdul Munir Yacoob Sarina Othman ( pnyt.) Kuala Lumpur:

IKIM ( Institut Kefahaman Islam Malaysia ), 1996.

Amrullah Ahmad ( pnyt.), Prospek Hukum Islam Dalam Kerangka

Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, Jakarta: PP. IKAHA,

1994.

Al-Sharif, Ahmad Ibrahim, Makkah wa al-Madinah fiy al-Jahiliyyah wa `ahd

al-Rasul, T.tp. Dar al-Fikr al-`Arabiy, T. th.

Al-`Ayd, Ahmad, al-Mu`jam al-`Arabiy, T. tp.: al-Munazamat al-`Arabiyah Li

al-Tarbiyyah wa al-Ulum, T.th.

Ahmad Fadhali et al, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Asastruss,

2004.

A.Ubaedillah dan abd. Rozak ( pnyt.), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan

Masyarakat Madani, ( edisi ke tiga ), Jakarta: ICCE UIN Syarif

Hidayatullah, 2008.

Anas Urbaningrum, Islam, Demokrasi, Pemikiran Nurcholis Madjid, Jakarta:

Republika, 2004.

Artani Hasbi, Masyarakat dan Demokrasi, Analisis Konseptual Aplikatif

Dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Gaya Media

Pratama, 2001.

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, terj. Economic Doctrines of Islam,

Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1996.

Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam,

Yogyakarta: Surya Raya, 2004.

Adian Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat

Islam, Jakarta: Gema Insani, 2009.

Page 192: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

429

As`ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Jakarta:

LP3S, 2009.

Abbas Hamami Mintaredja, dkk. ( ed.), Memaknai Kembali Pancasila,

Yogyakarta: Badan Penerbit Filsafat UGM, 2007.

Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme, Reposisi Wacana Universal Dalam

Konteks Nasional, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.

Al-Fara`, Abu Ya`la, al-Ahkam al-Sulthaniyah, Qahirah: Mathba`ah al-Babiy

al-Halabiy, 1938.

Abdul `Athi, Hammudah, Islam Satu Kepastian, terj, dari, Ta`rifun bi al-Islam,

Kuet: Internasional Islamic Federation of Student Organisation, 1986.

Al-Khuliy, Jum`ah, al-Ittijah al-Fikriyah al-Mu`ashirah wa Mauqif al-Islam

Minha, Universitas Islam Madinah, 1986.

Abdul Hamid, Muhsin, al-Mazhabiyah al-Islamiyah wa al-Taghayyur

al-Hadhariy, Beirut: Muassisah al-Risalah, 1985.

Abdullah Darraz, Muhammad, al-Din Buhuth Mumahhidah Li Dirasat Tarikh

al-Adyan, Beirut: Dar al-Kutub, 1970.

Abu Zahrah, Muhammad, al-Wahdah al-Islamiyah, dalam, Abdul Karim Biy

Azar al-Shayiaziy ( pnyt.), al-Taqrib bayna al-Mazhab al-Sab`ah,

Lubnan: Muassisah al-`Alamiy, 1975.

-------, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fiy al-Siyasah wa al-`Aqid wa Tarikh

al-Mazahib al-Fiqhiyyah, al-Qahirah: Dar al-Fikr al-`Arabiy, 1996.

Al-Sayyid al-Wakil, Muhammad, al-Madinah al-Munawwarah `Ashimah

al-Ula, Jeddah: Dar al-Mujtama`, 1406 H./1986 M.

Al-`Aeyd al-Khathrawiy, Muhammad, al-Madinah Fiy al-Jahiliyah, Damaskus:

Muassisah al-`Ulum al-Qur`an, T.th.

Aziz Nazamiy Salim, Muhammad, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, Iskandariyah:

Muassisah Shahab al-Jami`ah, 1996.

Page 193: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

430

Al-Rafi`ie, Musthafa, al-Islam Din al-Madaniyah al-Qadimah, Beirut:

al-Shingkat al-`Alamiyah Li al-Kitab, 1990.

Abu al-Hasan, al-Mawardiy, al-Ahkan al-Sulthaniyah, Qahirah:Matba`ah

al-Babiyal-Halabiy, 1960.

------, al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayah al-Diniyah, Beirut: al-Maktabah

al-Islamiy, 1416 H./1996 M.

------, Adab al-Qadhi, Baghdad: Matba`ah al-Irshad, 1970.

Asad, Muhammad, The Principle of State Government In Islam, Gibraltar: Dar

al-Andalusi, 1961.

Al-Naysaburiy, Abiy al-Husain Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qushayriy, Sahih

Muslim, 2 Jld. Beirut: Muassisah Izzuddin, 1407 H./1987 M.

Al-Samira`ie, Nu`man Abul Razaq, Mabahith Fiy al-Thaqafah al-Islamiyah,

Riyadh: Maktabah al-Ma`arif, 1404 H./1984 M.

Abu Jayb, Sa`idiy, Dirasat Fiy Manhaj al-Islam al-Siyasiy, Beirut: Muassisah

al-Risalah, 1985.

BP-7, Bahan Penaran, Jakarta: BP-7 Pusat, 1991.

Bachtiar Djamily, Bung Karno: Ajarannya dan Pelaksanaannya, Jakarta: Biro

Ikhwan Surabaya, 1988.

Bahtiar Effendi, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik

Islam di Indonesia, Jakarta: Paeamadina, 1998.

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada,

2001.

Boland, B.J. The Straggle of Islam In Modern Indonesia, The Hagoe: Martinus

Nijhoff, 1971.

Badawiy, A. Zaki, A Dictionary of The Social Science, Beirut: Librairie Du Liban,

1987.

Page 194: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

431

Borg, W.R. & Gall M.D. Education Research, London: Longmen, 1989.

C.S.T. Kamil, Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, Jkarta: Pradnya

Paramita,, 1974.

D. Chairat, Falsafah Pancasila, Jkarta: Wijaya, 1955.

Darji Darmodiharjo, et al, Santiaji Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1970.

Dawam Raharjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

1998.

Department of Religious Affairs of The Republic of Indonesia, The History and

The Role of The Department of Religious Affairs of The Republic of

Indonesia, Jakarta: Burean of Public Relation, Department of

Religious Affairs, 1975.

--------,Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia,

Jakarta: Badan Penerbitan dan Pengembangan Agama, Proyek

Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1997.

-------, Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama, Jakarta: Proyek

Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, 1983/1984.

Djohan Effendi, Moeslim Abdurrahman & Soenarto Soedarto ( team

perangkum ), Agama Dalam Pembangunan Nasional: Himpunan

Sambutan Presiden Soeharto, Jakarta: Pustaka Biru, 1981.

Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta: C.V. Rajawali, 1983.

E. Saifuddin Anshari, The Jakarta charter 1945 The Struggle for an Islamic

Constitution in Indonesia ( edisi Bahasa Inggris ), Kuala Lumpur:

Muslim Youth Movement of Malaysia ( ABIM ), 1979.

-------, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara

Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945 – 1959 ( edisi Bahasa Indonesia ), Jakarta:

C.V, Rajawali, 1983.

Page 195: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

432

Esposito, John L. dan Jonh O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim,

Problem dan Prospek, terj. Islam and Democracy, Bandung: Mizan,

1991.

-------, Islam dan Politik, terj. Islam and Politic, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

Fachry Aly, Islam, Pancasila dan Pergulatan Politik, Jakarta: Pustaka antara,

1984.

Faisal Baasir, Etika Politik: Pandangan Seorang Politisi Muslim, Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 2003.

Gay, L.R., Education Research Competencies for Analysis and Application,

Columbus: Merrill Publishing Company, 1987.

Geertz, Clifforrd, The Religion of Java, Illionis: The Pree Press of

Glencoe,1960.

Hazairin, Piagam Jakarta Demokrasi Pancasila, Jakarta: Tintamas, 1970.

Harun Nasution, The Islamic State in Indonesia: The Rise of The Ideology, The

Movement for It`s Creation and The Theory of The Masumi, ( MA

Thesis, I.I.S. Mc Gill University ), Montreal Kanada, 1965.

-------, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jil. 1, Jakarta: Universitas

Indonesia, 1985.

Hasbullah Bakry, Iman dan Kepercayaan Islam, Jakarta: CV. Granada, 1986.

Herbert Feith & Lance Castle ( pnyt.), Indonesian Political Thinking, Ithaca,

New York: Cornel University Press, 1970.

Hasbullah, Ali, Muhadharat Fiy Ilmi al-Tauhid, Mesir: Mathba`ah al-Ulum,

1952.

Imam Toto K. Rahardjo dan Herdianto, Demokrasi Politik dan Demokrasi

Ekonomi, dalam, Bung Karno dan Ekonomi Berdikari Kenangan 100

Tahun Bung Karno, Jakarta: Grasindo, 2001.

Page 196: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

433

Issawi, C, Filsafat Islam Tentang Sejarah, terj. An Arab Philosophy of History,

Jkarta: Tintamas, 1976.

Idris Zakaria, Teori Politik al-Farabiy dan Masyarakat Melayu, Kuala Lumpur,

Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991.

Inu Kencana Syafi`e, al-Qur`an dan Ilmu Politik, Jakarta: PT. Rineka Cipta,

1996.

Ignas Keiden, Melacak Akar Konsep Demokrasi: Suatu Tinjauan Kritis, dalam,

Sari Islam dan Demokrasi, Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, oleh

Ahmad Suaidy ( ed.) Yogyakarta: LKIS, 2000.

Ibnu Rushd, Abu al-Walid, Fashl al-Maqal Fiy Ma Bayna al-Hikmah wa

al-Shari`ah Min al-Ittishal, Beirut: al-Muassissat al-`Arabiyah, T.th.

Ibnu Taimiyah, Mu`jam Fatawa, (37 Jld.), Qahirah: Idarah al-Masahah

al-`Ashkariyah, 1404 H.

Ibnu Hisham, al-Sirah al-Nabawiyah, ( 2 Jld. ), Beirut: Dar Ihya al-Turath

al-`Arabiy, 1981.

Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Qahirah: al-Mathba`ah al-Khadiuwiyah, 1284 H.

Juwono Sudarsono, Peranan Ilmu Politik Dalam Memantapkan Persatuan

dan Kesatuan Bangsa Ditinjau Dari Ilmu Hukum Internasional, dalam,

Alfian dan Hidayat Mukmin ( pnyt.), Perkembangan Ilmu Politik di

Indonesia Serta Perannya Dalam Kemantapan Persatuan dan

Kesatuan Bangsa, Jakarta: CV. Rajawali, 1985.

J. Zarcher, Arnold ( ed.), Constitution and Constitutional Trends Since World

War II, New York: New York University Press, 1955.

J.H. Raper, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

J.M. Vander Kroef, Indonesian In Modern World, Bandung: Masa Baru Ltd,

1956.

Page 197: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

434

John ( Yohanna ) Qumair, Usul al-Falsafah al-Arabiyah, Beirut: al-Mathba`ah

al-Katholiqiyah, T.th.

Kohar Hari Sumarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila ( cet. 1 ), Jakarta:

Galia Indonesia, 1405 H./ 1984.

Kirdi Dipoyudo, Pancasila: Arti dan Pelaksanaannya, Jakarta: Yayasan

proklamasi CSIS, 1979.

Kahin, G. Mct, Nationalism and Revolution In Indonesia, Ithaca: Cornell

University Press, 1952.

Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundangan, Jld. I – II dan VIII,

Bandung: Masa Baru, 1958.

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.

Khamaini Zada dan arief R. Arofah, Diskursus Politik Islam, Jakarta: Lembaga

Studi Islam Progresif ( LSIP ), 2004.

Lembaga Soekarno-Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-undang Dasar 1945,

Jakarta: Inti Idayu Press, 1984.

Lukman Harun, Muhammadiyah dan Asas Pancasila, Jakarta: Pustaka

Panjimas, 1986.

Lewis, Bernad, Bahasa Politik Islam, terj. The Political Language of Islam,

oleh Ihsan Ali Fauzi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia ( MPR RI ), Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Indonesia No. II/MPR/1983 tentang

Garis-garis Besar Haluan Negara, 1988.

--------, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia No.

II/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, 1988.

-------, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia tentang

Garis-garis Besar Haluan Negara, Surabaya: Bina Pustaka Tama, 1993.

Page 198: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

435

Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta:

Jambatan, 1954.

--------, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jld. I, Jakarta:

Siguntang, 1971.

-------, Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Jakarta:

Yayasan Prapanca, 1960.

Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Tintamas,

1969.

--------, Uraian Pancasila, Jakarta: Mutiara, 1977.

--------, Pengertian Pancasila ( pidato peringatan lahiornya Pancasila 1 Juni

1977 di Gedung Kebangkitan Nasional ), Jakarta: PT. Inti Idayu Press,

1978.

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik ( edisi revisi), Jakarta: PT.

Gramedia Utama, 2008.

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,

Jakarta: UI-Press, 1993.

Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996.

Masykur Hakim dan Tanu Wijaya, Model Masyarakat Madani, Jakarta:

Intimedia, 2003.

M. Umer Chapra, Negara Kesejahteraan Islami dan Peranannya di Bidang

Ekonomi, dalam, Ainur Rafik ( ed.), Etika Ekonomi Politik:

Elemen-elemen Setrateg iPembangunan Masyarakat Islam,

Surabaya: Risalah Gusti, 1997.

--------, Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. Islam and The Economic

Chalenge, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

Page 199: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

436

M. Syamsudin, Pendidikan Pancasila, Menempatkan Pancasila Dalam

Konteks Ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan, Yogyakarta: Total Media,

2009.

M. Azrul Tanjung, Koperasi UMKM dan Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan,

Jakarta: JKPB, 2010.

Muhammad Asad, The Principles of The State and Government in Islam,

Gibraltar: Dar Andalusia, 1980.

M. Abdul Karim dkk. Wacana Politik Islam Kontemporer, Yogyakarta: Suka

Press, 2009.

Muhammad Natsir, Islam Sebagai Ideologi, Jakarta: Pusaka Lida, 1951.

--------, Islam Sebagai Dasar Negara, Bandung: T.pt. 1957.

Moeslim Taher, Sistem Pemerintahan Pancasila, Jakarta: Penerbit Nusa

Bangsa, T.th.

Mohammad Roem, Lahirnya Pancasila 1945 Tiga Peristiwa Bersejarah,

Jakarta: Sinar Idayu, 1972.

Muhammad Ridwan Lubis, Pemikiran Soekarno Tentang Islam dan

Unsur-unsur Pembaharuannya, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1992.

Muntaha Azhari dan abdul mun`im Saleh ( pnyt.), Islam Indonesia Menatap

Masa Depan, Jakarta: CV. Guna Aksara, T.th.

M. Rusli Karim ( pnyt.), Muhammadiyah Dalam Kritikan dan Komentar,

Jakarta: CV. Rajawali, 1986.

--------, Nuansa Gerak Politik Era 1980-an di Indonesia, Yogyakarta: Media,

Widya Mandala, 1992.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah

Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1992.

Martin Sardy ( pnyt.), Agama Multidimensional, Bandung: Alumni, 1983.

Page 200: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

437

Majelis Ulama Indonesia ( MUI ), Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama,

Solo: CV. Ramadhani, 1987.

Machnum Husein ( pnyt.), Islam dan Pembaharuan, Encoklopedian

Masalah-masalah, terj. Islam in Transtition Muslem Perspectives,

Jakarta: CV. Rajawali, 1984.

Mintz, Jeannes, Mohamed, Max, Marhaen, The Roots of Indonesian

Socialism, New York: Frederik A-Proeger Publishers, 1965.

Muhammad Hamidullah, Majmu`ah al-Siyasiyyah Li al-`Ahd al-Nabawiy wa

al-Khalifah al-Rashidah, Beirut: Dar al-Irshad, 1969.

Muhammad Jamaluddin Surur, Qiyam al-Daulah al-`Arabiyah al-Islamiyah Fiy

Hayati Muhammad saw. Qahirah: Dar al-Fikr al-`Arabiy, 1977.

Muhammad Jalal Abu al-Futuh Sharaf dan Ali Abdul aql-Mukthi Muhammad,

al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, Shakhshiyyat wa al-Mazahib, T.tp.: Dar

al-Makrifah al-Jami`iyyah, 1996.

Majid Khadduri, War and Peace In The Law of Islam, Baltimore: The Johns

Hopkins Press, 1955.

M. Hadi Hussain and A.H. Kamali, The Nature of The Islamic State, Karachi:

National Book Foundation, 1977.

]Nugroho Notosusanto, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara, Jakarta:

PN. Balai Pustaka, 1983.

--------, Naskah Proklamasi Yang Otentik dan Rumusan Pancasila Yang

Otentik, Jakarta: T.pt., 1976.

Notonagoro, Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, Yogyakarta:

Universitas Gaja Mada, 1956.

--------, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, T.tp.: T.pt., 1967.

--------, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Jakarta: PT. Bina Akasra, 1981.

Page 201: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

438

--------, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1983.

Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Yogyakarta: Liberty, 1985.

Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia,

1998.

Al-Nadawiy, Abu Hasan Aly al-Hasaniy, Kerugian Apa Yang Diderita Dunia

Akibat Kemerosotan Kaum Muslim, terj. Kuet: I.I.F.S.O., 1984.

Nieuwenhuijze, C.A.D. Van, Aspects of Islam in Post Colonial Indonesia, The

Hague and Bandung: W.Van Hoeve, 1958.

Nicholson, R.A. A Literary History of The Arabs, New York: Cambridge

University Press, 1969.

O. Hashem, Pembahasan Ilmiah Tentang Ke-Esaan Tuhan, Surabaya: Yapi,

1962.

Oetojo Oesman dan alfian ( pnyt.), Pancasila Sebagai Ideologi

DalamBerbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara,

Jakarta: BP-7 Pusat, 1990.

Prawoto Mangkusasmito, Rumus Pancasila dan Sejarah Pertumbuhannya,

Jakarta: Lembaga Riset dan Perpustakaan, T.th.

--------, Pertumbuhan Historis Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, Jakarta:

Bulan Bintang, 1970.

Pramudito Sumalyo, Ideologi Negara dan Tantangan Zaman, Jakarta: PT.

Golden Terayon Press, 1995.

Paulus Wahana, Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Pringgodigdo, A.K., Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: Dian

Rakyat, 1967.

P. Sharma dan St. H. Rivai Abidin, Sistem Demokrasi Yang Hakiki, Jakarta:

Tayasan Menara Ilmu, 2004.

Page 202: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

439

Philip K. Hitti, Capital Citiers of Arab Islam, Minnesota: University of

Minnesota Press, 1973.

Qamaruddin Khan, al-Mawardi`s Theory of the State, Lahore: Bazm-I-Iqbal,

T.th.

Roeslan Abdulgani, Pengembangan Pancasila di Indonesia, Jakarta: Idayu

Press, 1976.

--------, Pancasila The Prime Mover of Indonesian Revolution, Jakarta:

Prapanca, T.th.

Rahmat Subagya, Pancasila Dasar Negara Indonesia, Yogyakarta: Basis, 1955.

Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia, Jakarta: Lembaga Studi

Informasi Pembangunan ( LSIP ), 1995.

Rashid Ridha, Muhammad, Tafsir al-Mannar, T.tp.: Dar al-Fikr, T.th.

Rawwas Qal`ah Jiy, Muhammad, Qiraah Siyasiyyah Li al-Sirah al-Nabawiyyah,

Beirut: Dar al-Nafais, 1416 H./1996.

Soekarno, Lahirnya Pancasila, ( pidato pertama tentang Pancsila 1 Juni 1945

), T.tp.: T.pt. T.th.

--------, Pancasila Sebagai Dasar Negara, Jakarta: Yayasan Prapanca, T.th.

--------, Indonesia Menggugat ( pidato pembelaan Bung Karno di depan

Hakim Kolonial ), Jakarta: S.K. Seno, 1951.

--------, Lahirnya Pancasila, dalam, Tujuh Bahan Indoktrinasi, Jakarta: Dewan

Pertimbangan Agung, 1961.

--------, Di Bawah Bendera Revolusi I – II, Jakarta: Panitia Di Bawah Bendera

Revolusi, 1963-1964.

Soeharto, Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, Jakarta: Yayasan

Proklamasi, CSIS, 1976.

Page 203: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

440

Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila dan/dalam Undang-undang Dasar

1945, Bandung: Bina Cipta, T.th.

Sayidiman Suryohadiprojo, Pancasila, Islam dan ABRI, Jakarta: PT. Penebar

swadaya, 1992.

Sumitro, Budaya Politik Dalam Perkembangan Demokrasi Di Indonesia,

dalam, Demitologisasi Politik Indonesia Menguasai Elitisme Dalam

Orde Baru, oleh Syarofin Arba MF, Jakarta: Pustaka Gresinda, 1998.

Said Agil Husin al-Munawwar, Fiqih Hubungan Antar Agama, Jakarta: Ciputat

Press, 2003.

Soetrisno Bachir, Membangun Kemandirian Bangsa, Jakarta: Belantika, 2005.

Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan

Sosio-Budaya, Jakarta: PT. Gramedia, 1989.

Sartono Kartodidjo, Sejarah Nasional Indonesia I – VI, Jakarta: Balai Pustaka,

1977.

---------, ( ed.), Indonesian Historiography: A Search for The Identity of

National History, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Supriatnoko, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Penaku, 2008.

Soepardo et al, Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia ( Sivics ), , Jakarta:

Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 1962.

Solichin Salam, Haji Agoes Salim Pahlawan Nasional, Jakarta: Jayamurni, T.

th.

Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik Indonesia, Jakarta: PT. Gunung Agung,

1981.

Sekretaris Negara Republik Indonesia, Himpunan Risalah Sidang-sidang Dari

BPUPKI dan PPKI, T.tp.: T.pt., T.th.

Page 204: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

441

Sulaiman Noordin, Islam, al-Qur`an dan Ideologi Masa Kini, T.tp.: Pusat

Pengajian Umum Universiti Kebangsaan Malaysia, 1990.

Soerono ( Jenderal ), Usaha Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat, dalam,

Majalah Mimbar Ulama, Jakarta: Terbitan Desember, 1978.

S. Ziyad Abbas ( pnyt.), Pilihan Hadis Politik, Ekonomi dan Sosial, Jakarta:

Pustaka Panjimas, 1991.

Surtahman Kastim Hasan, Ekonomi Islam, Bangi: Universiti Kebangsaan

Malaysia, 1990.

Smith, Donald Eugene, Agama dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analisis,

terj. Religion and Political Development: an Analytic Study, oleh

Machnum Husein, Jakarta: CV. Rajawali, 1985.

Sabine, George H., Plato: The Republik, dalam, A History of Political Theory,

New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co, 1973.

Sukran Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah konseptual dan Historis, Jakarta:

Gaya Media, 2002.

Team Peneliti PSIK, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan

Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman, Jakarta: PSIK Universitas

Paramadina, 2008.

Team Perangkum Badan Litbang Agama, Ketakwaan Terhadap Tuhan Yang

Maha Esa Dalam Berbagai Sistem Sosial budaya Masyarakat di

Indonesia, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kegamaan,

Departemen Agama RI, 1989/1990.

Team Penyusun Buku 70 Tahun K.H. Achmad Sjaichu, Kembali Ke

Pesantren, Kenagnan 70 Tahun K.H. Achmad Sjaichu, Jakarta:

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1991.

T.M. Usman El-Muhammady, Antropologi Religi dan Pancasila, Jakarta:

Pustaka Agus Salim,1969.

Page 205: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

442

T. Mulya Lubis ( pnyt.), Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Indonesia 1981,

Jakarta: Djaya Pirusa, 1983.

Teuku Ramli Zakaria, Peranan Pendidikan Pancasila Dalam Membina Sikap

Moral Pelajar Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas di Daerah

Khusus Ibu Kota Jakarta ( Disertasi Ph.D. di Universiti Kebangsaan

Malaysia, 1997.

Umar Hasyim, Negeri Allah, Adil Makmur di Bawah Ampunan Allah,

Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1981.

Undang-undang Dasar 1945, P-4, GBHN, Tap-Tap MPR 1988.

Undang-undang Dasar 1945 dan Amandemennya, Kabinet Indonesia Bersatu

Periode 2004 – 2009.

Wolter Bonar Sidjabat, Religiouse and Tolerance and The Christian Faith,

Jakarta: Badan Penerbit Kristian, 1965.

W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statemen, New York:

Oxford University Press, 1964

--------, Muhammad at Medina, London: Oxford University Press, 1972.

Weisman, W. , Research Methods in Education, Boston: Allyn and Bacon,

1991.

Yayasan Pembela Tanah Air ( Yapeta ), Sejarah Lahirnya Pancasila, Jakarta:

Yapeta, 1995.

Yusuf Qardhawiy, Fiqh Daulah Dalam Perspektif al-Qur`an dan Sunnah,

terj., Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000.

Y. Mansur Marican, Perkauman, Perpaduan dan Persemufakatan, dalam,

Masalah Perkauman dan Perpaduan, Kuala Lumpur: Buku Kreatif

Sdn, Bhd., 1986.

Z.S. Nainggolan, Pandangan Cendikiawan Muslim Terhadap P-4, Jakarta:

PT. Gema Isra Utama, 1986.

Page 206: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

443

Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad saw. Konstitusi Negara

Tertulis Yang Pertama di Dunia, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Ziauddin Sardar, Masa Hadapan Islam, Bentuk Idea Yang Akan Datang,

terj. Islamic Future, The Shape of Idea to Come, oleh Mohd. Sidin

Ahmad Ishak, Kuala Lumpur: DBP, 1985

Zaenal A. Budiyono, Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY Mengawal

Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia Ke Orbit Dunia, Jakarta:

DCSC Publishing, 2008.

Zafir al-Qasimiy, Nizam al-Hukmi Fiy al-Shari`ah wa al-Tarikh al-Islamiy,

Beirut: Dar al-Nafais, 1983.

Working Paper

Boediono ( Wakil Presiden RI ), Konsolidasi Demokrasi Kita, Kuliah Umum

disampaikan pada Auditorium Harun Nasution, Penyelenggara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN

Mattulada, Implementasi Agama dan Budaya Dalam Pembentukan

Sumberdaya Manusia, Makalah disampaikan pada Seminar

Internasional tentang Ilmu-ilmu Usuluddin dan Falsafah, Fakulti

Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia, 1996.

Faisal Haji Othman, Program Pelaksanaan Perpaduan Nasional Dari

Perspektif Islam, Kertas Kerja disampaikan pada Simposium

Perpaduan Negara 17 Januari 1988 di Universiti Kebangsaan

Malaysia ( UKM ).

Singgih, Pembinaan Aliran Kepercayaan di Indonesia, Kertas Kerja

dipresentasikan pada Seminar Internasional di Hotel Kota Makasar,

Sulawesi, 18 Desember 1996,

Page 207: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

444

Ting Chiew Peh, Komunitas Bukan Melayu dan Perpaduan Nasional, Kertas

Kerja dipresentasikan pada Simposium Perpaduan Negara di Bilik

jumuah Universiti Kebangsaan Malaysia, 16 Januari 1998.

Majalah

Gatra ( Majalah Mingguan ), No. 30, tahun 1, Jakarta, 10 Juni 1995.

Panji Masyarakat, 1 Mei 1996.

Berita Harian

Republika ( Berita Harian Indonesia ), dalam, Jefferson Kameo, Pilar Negara

Demokrasi di Indonesia 1998.

-------, 2 Desember 1998,

-------, 18 Desember 1998.

-------, 6 Oktober 1999,

-------, 17 Agustus 1999.

Page 208: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

445

INDEX

A

A.Gaffar Pringgodigdo 3, 8

Amerika 10, 22

A.Baars 21, 22

Ahmad Syafii Maarif 23, 25, 82, 83

Ahmad Soebardjo 24

A.G. Pringgodigdo 24

Adam Muler 14

Anti-individualisme 14

Adnan Buyung Nasution 14

A.M.W. Pranarka 14, 82

A.A. Maramis 24, 26, 29, 31, 43

Abdurrahman Wahid 81, 146

Azyumardi Azra 78, 79, 81

As`ad Said Ali 77

Abikoesno Tjokrosoejoso 27, 29

Abdul Kahar Muzakir 4, 27, 29

Anwar Harjono 36, 204, 234

Alamsyah Ratu Perwiranegara

44

Ahmad Sanusi 46, 116

Aristoteles 88, 172, 173

Abdullati 114

Abdul Mukthi Muhammad 124

Asia 128

Australia 128

Alfian 185, 202, 204, 208, 212, 220

A.Gunawan Setiardja 235

Adi Sasono 247

ABRI 146, 213, 216, 219, 220 223,

229

Abraham Lincoln 167

Arbi Sanit 168

Azhari 134

Adhyaksa Dault 137

Page 209: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

177

B

B.J. Habibie 79, 81, 120, 147, 156,

196, 215

Boediono 216, 242

Boedi Oetomo 5, 131, 136, 149,

195

BPUPKI 1, 2, 3, 6, 7, 8, 9, 18, 19,

21, 23, 24,26, 27,28, 32, 33,

34, 35, 37,38, 39, 40, 50, 52,

54, 134, 149

Baruch Spinoza 14

Badan Konstituante 37

Bal Gandahar Tilak 133

Belanda 136

C

Cuo Sangi In 2

Chalid Rasyidi 6

D

Darji Darmodiharjo 55

Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai 33

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 36, 37

D. Chairat 88, 90, 168, 170, 227,

341

E

Endang Saefuddin Anshari 4, 18,

20, 23

Eka Sila 18, 19,

Eropa 22

Era Reformasi 37

Era Orde Baru 37

Ernest Renan 127

Endin A.J. Soefihara 184

G

Gunseikan 2, 7, 8

Gerakan Rakyat Indonesia (

Gerindo ) 5, 20

Page 210: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

296

Gajahmada 50

Globalisasi 73, 78, 143, 199

G.30 S/PKI 83

Gotong Royong 18, 19

GAM ( Gerakan Aceh Merdeka )

145

H

Hitler 140

Hegel 14

Hindia Belanda 1

Hery J.Benda 25

Hinduisme 25

Hazairin 24

H. Agus Salim 26, 29, 32, 38, 90

Hoesein Djayadiningrat 32

Hayam Wuruk 50, 134

H. Alamsyah Ratu Perwiranegara

104, 160, 232

I

Integralistik 12, 13, 14,

Individualistik 12, 14

Internasionalisme 15, 16, 20

Ibnu Rusydi ( Averus ) 56, 57, 98

Ideologi 50, 68, 72, 73, 74, 77, 78, 79, 81,

82 127, 151, 153, 192, 199

Ibnu Abi Rabi` 124

Ibnu Khaldun 108

Imam Bonjol 100

India 128

J

Jenderal Itagaki Seisiro 2

Jenderal Gunseireikan Saiko 2

Jong Islamiten Bond ( JIB ) 6, 149

Page 211: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

177

J.M.Van Der Kroef 25

Jepang 140

Jusuf Kalla ( JK ) 145

Juwono Sudarsono 146

Jong Java 149

K

K.R.T. Rajiman Wediodiningrat 3,

4, 7, 8, 15, 19

Kumakici Harada 2

Ki Hajar Dewantara 4

Ki Bagoes Hadikoesoemo 4, 43,

49, 149

Kohar Hari Soemarno 8, 15

K.H. Mas Mansoer 4

K.H.A. Wahid Hasyim 4, 26, 27, 29,

32, 38, 43, 44, 49, 159

Kasman Singodimedjo 4, 43, 44,

159

Kesejahteraan 16, 21

Konferensi Partai Indonesia (

Partindo ) 20

Kerajaan Sriwijaya 22, 23, 131,

134

Kementerian Agama 23

K.H. Saefuddin Zuhri 63

Kapitalisme 73

Kesultanan Demak 135

Kesultanan Cirebon 135

KWI ( Konferensi Wali Gereja

Indonesia ) 160

KKN ( Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme ) 118, 212, 215,

224

KPK ( Komisi Pemberantasan

Korupsi ) 133, 120, 198, 204,

218, 250

Ki Ageng Tirtayasa 100

Kemal Attaturk 132

L

Lembaga Soekarno-Hatta 9, 15, 28

LSM 200

Loekman Soetrisno 224

Page 212: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

298

M

Muh. Yamin 4, 7, 8, 9, 10, 11, 12,

15, 20, 21, 22, 23, 26, 27,

28, 29, 31, 33, 35, 36, 37,

38, 49, 52, 54, 56, 57, 58,

61, 63, 90, 129, 130, 133,

134, 135, 168, 230, 241

Moh. Hatta 4, 8, 9, 24, 25, 26, 29,

38, 39, 42, 44, 45, 47, 48,

87, 88, 128, 129, 151, 180,

205, 240 241

M. Natsir 4

Mr. Sunario 8

Marsilan Simkanjuntak 14

Mufakat 16

Marhaen 20

Marxisme 26, 71

Megawati 81

Mukti Ali 100

Musthafa al-Rafi`ie 116, 121

Muhammad Jalal 124

MK ( Mahkamah Konstitusi ) 183,

184, 186, 218

Miriam Budiardjo 193, 194, 196,

215

M. Rusli Karim 194

MAII ( Majelis A`la Islam Indonesia

) 149, 160, 163

Masyumi 149, 162, 213, 223

Martin Sardy 157, 158, 162

MUI 164

Majapahit 22, 23, 131, 133, 134,

135, 148

Mohandas Karamchad Gandi 133

Muhammadiyah 136, 149, 162

195

N

Nasional Indonesia Padvinderij 6

Nasionalisme 20, 22, 29, 129, 130

137, 148

Noor Ms Bakry 52

Page 213: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

299

Notonagoro 44, 58, 227, 228

NKRI 69, 72, 80, 100, 159, 173,

212

NU ( Nahdlatul Ulama ) 136, 149,

162, 164, 165, 195, 223

O

Opsir Kaigun Jepang 42, 43, +44,

45

Otto Bauer 127

P

PNI ( Partai Nasional Indonesia ) 5,

223

Parindo ( Partai Indonesia ) 5

PNI- baru ( Pendidikan Nasional

Indonesia ) 5

Parindra ( Partai Indonesia Raya )

5, 213

PSI ( Partai Syarekat Islam ) 6, 213

PSIHT ( Partai Syarekat Islam

Hindia Timur ) 6

PSII ( Partai Syarekat Islam

Indonesia ) 6, 25

Panitia Kongres Pemuda II 6

Pratignyo 8

Perwakilan 16

Philosofhische Gronslag 15, 16

Piagam Jakarta 28, 30, 31, 32, 33,

35, 36, 37, 38, 39, 42, 46,

Pancasila 17, 18, 19, 23, 25, 26,

28, 30, 31, 38, 39, 44, 50,

53, 54, 56, 57, 60, 63, 66,

68, 69, 72, 75

Panca dharma 17

Parpindo ( Partai Persatuan

Indonesia ) 20

Prawoto 31, 44, 45, 46, 50

PPKI 37, 42, 43, 44, 47, 49, 50,

53

Plato 88

Pramudito Sumalyo 140

Palestina 140

PGI ( Persatuan Gereja-geraja

Indonesia ) 160

PHDI ( Parisada Hindu Dharma

Indonesia ) 160

Page 214: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

300

PKI ( Paratai Komunis Indonesia )

160

Pakistan 128

Proletariat 131

Portogis 136

R

R. Panji Soeroso 5

S

Soekarno 3, 4, 7, 8, 9, 15, 16, 17,

18, 19, 20, 21, 22, 23, 24,

26, 27, 28, 29, 30, 31, 32,

33, 34, 37, 38, 39, 48, 50,

52, 53, 54

Soeharto 23, 54, 61, 67, 79, 104,

116, 141, 142, 144, 146,

149, 151, 167, 192, 194,

196, 214, 215, 222, 224

SBY 145

Soesanto Tirtoprodjo 4

Sartono 4

Samsi 4

Soepomo 7, 8, 9, 13, 14, 15, 20,

26, 39

Soebardjo 8, 29

Sumpah Pemuda 6

SI ( Syarekat Islam ) 5, 149, 162,

195

SDI ( Syarekat Dagang Islam ) 5,

136, 149

Sosialistik 12

Simbolik 18

Sosial-nasiolisme 20

Sosial-demokrasi 20

Sun Yatsen 21, 22, 23, 133

Sosialisme 22

Sunario 24Soekiman 31, 37

Sayuti Melik 44

Singgih 98

Sayidiman Suryohadiprojo 142,

151, 182

Said Agil Husin Al-Munawwar 152,

163, 164

Saefuddin Zuhri 168

Page 215: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

301

Sygman Rhee 133

Sartono Kartodirjo 137

T

Teuku Moh. Hasan 43, 44

T.M. Usman El-Muhammady 18,

25

Trisila 18, 19

Taufik Abdullah 47

Timor Leste ( Timor Timur ) 129,

145, 223

Taman Siswa 136

TNI ( Tentara Nasional Indonesia )

216, 219, 220, 222

T. Mulya Lubis 239, 249

TKI ( Tenaga Kerja Indonesia ) 112,

113

W

Wilopo 6

Weltanchoung 15, 20

Wongsonegoro 32

Woodrow Wilson 133

WALUBI ( Perwalian Umat Budha

Indonesia ) 160

Z

U

UNESCO 174

Y

Yusril Ehza Mahendra 224

Page 216: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

303

Zimukyoku 9

Page 217: Dr. Sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id

304

SEKILAS TENTANG PENULIS

Sirojuddin Aly; tenaga akademik konsen pada kajian pemikiran

politik Islam adalah dosen tetap pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (

FISIP ), Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta,

dan sebelumnya dari tahun 2002 – 2009 dosen pada Fakultas Usuluddin

dan Filsafat, Program Studi Pemikiran Politik Islam di Universitas yang

sama. Penulis lulus Lc. ( S-1 ) dari Universitas Islam Madinah Saudi Arabia

tahun 1988, meraih Master of Islamic Studies ( S-2 ) dari Universiti

Kebangsaan Malaysia ( UKM ) tahun 1993, dan Ph.D ( S-3 ) diraih dari

Universitas yang sama, yaitu; Universiti Kebangsaan Malaysia pada akhir

tahun 2001. Mengenai pengalaman kerja sebagai berikut;

1. Tahun 1993 – 1997 dosen ( pensyarah ) pada Fakulti Pengajian Islam ( Faculty of Islamic Studies ), Universiti Kebangsaan Malaysia ( UKM ).

2. Tahun 1997 dosen part time pada Kolej Anjung Selatan di Sepang, Selangor, Malaysia.

3. Tahun 1998 – 2001 dosen ( pensyarah ) pada Institut Kemajuan Ikhtisas Pahang, Malaysia yang bekerjasama dengan Universiti Malaya ( UM ) dan Universitas Yarmouk di Jordan.

4. Tahun 2003 – 2006 mengajar di Institut PTIQ dan IIQ Jakarta. 5. Tahun 2002- 2006 mengajar pada Program Pascasarjana S-2

Program Studi Politik Islam, Isntitut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta (Kayumanis ).

6. Tahun 2006 – 2009 Direktur Pascasarjana, Program Studi Politik Islam, Institut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta ( Klender ).

7. Tahun 2010 – 2013 Pembantu Ketua I ( Puket -1 ) bidang Akademik pada Sekolah Tinggi Agama Islam Indonesia ( STAIINDO ) Jakarta.

8. Sejak tahun 2009 – sekarang; Anggota Dewan Penilai Ijazah Studi Islam Pendidikan Tinggi Luar Negeri, pada Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi Islam, Kementerian Agama RI.

9. Sejak tahun 2013 – 2015 sebagai anggota Team Pembakuan Format Ijazah ( S-1, S-2 dan S-3 ) pada Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Islam, Kementerian Agama RI.

10. Sejak tahun 2010 – 2015, ketua Dewan Kehormatan Akademik Fakultas ( Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ), Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.

11. Sejak tahun 2015 – sekarang, ketua Center for Islamic Political Thought (CIPT) atau Pusat Kajian Pemikiran Politik Islam (Puskappolis), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.