dr. sirojuddin - repository.uinjkt.ac.id
TRANSCRIPT
Dr. Sirojuddin Aly, MA.
REVIT ALISASI
IDEOLOGI NASIONAL DALAM
BERBANGSADANBERNEGARA
Pengantar
Dr. Hidayat Nur Wahid, MA
Wakil Ketua MPR RI (2014-2019)
Ketua MPR RI (2004-2009)
•........ ~
«Me>
Jakarta 2016
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Dr. Sirojuddin Aly, MA.
Revitalisasi Ideologi Nasional
Dalam Berbangsa dan Bemegara
xiv, 302 hlm.: 16 x 23 em
1SBN: 978-602-19291-5-5
Revitalisasi Ideologi N asional
Dalam Berbangsa dan Bernegara
Penulis: Dr. Sirojuddin Aly, MA.
Pengantar: Dr. Hidayat Nur Wahid, MA
Editor: Nawiruddin
Layout: Tim Mazhab Ciputat Jakarta
Diterbitkan oleh:
Mazhab Ciputat Jakarta
Dicetak oleh:
CV. Sejahtera Kita
11. HOS Cokroaminoto No. 102
Ciledug - Tangerang Telp. (021) 73452483
11
Kata Pengantar
Dr. Hidayat Nur Wahid, MAl
Tidak ada satu pun negara besar di dunia ini kecuali ia memiliki
perangkat rujukan ide, gagasan, landasan filosofis, dan dasar pemikiran
dalam merumuskan arah masa depannya. Itulah yang dikenal sebagai
ideologi, yang lantas dituangkan ke dalam sebuah visi dan misi serta
dijabarkan ke dalam pelbagai kebijakan yang bersifat strategis atau pun
operasional. Dalam konteks ke- Indonesiaan, melalui konsensus
founding father kita, Pancasila secara eksplisit telah ditetapkan sebagai
dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRl).
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyebutkan, "Kemudian dari pada itu untuk membentuk
suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. "
Penting dicatat, menengok ke belakang, perumusan Pancasila
sebagai dasar negara tidak lah stagnan dan jumud. Para founding father
kita terlibat adu gagasan, ide, dan argumentasi dalam perumusan
Pancasila. Hal tersebut lumrah saja. Pasalnya, pokok yang dirumuskan
adalah ideologi dasar ( Weltanschauung ) sebuah negara yang
mewadahi suku, agama, dan budaya yang sangat beragam. Mereka
berupaya mencari titik temu guna menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Bahkan, lima sila yang sekarang ini diterima
sebagai Pancasila di Indonesia temyata berbeda dengan Pancasila yang
dipidatokan Soekamo pada 1 Juni 1945. Pancasila yang dikenal rakyat
1.Waki Ketua MPR RI Periode 2014-2019, Ketua MPR RI Periode 2004-2009
III
Indonesia saat ini adalah Pancasila yang disepakati pada 18 Agustus
1945. Dinamika perja1anan Pancasila tersebut menandakan satu hal
penting dalam konteks ke kinian, yaitu Pancasila sejatinya harus
inklusif untuk terus didialogkan dan ditafsirkan secara bersama-sama,
kemudian disepakati secara bersama pula.
Maka, menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal seperti yang
dilakukan rezim Orde Baru bukanlah langkah yang benar. Alasannya;
Pertama, langkah tersebut melawan sejarah dan menyalahi pemikiran
yang dikembangkan para founding father kita yang secara terbuka
melakukan dialog dalam perumusan Pancasila meski kerap kali
diwamai silang pendapat dan ketegangan. Dalam kaitan ini, pada tahun
1952 ada sekelompok anak muda yang mendeklarasikan organisasi
yang disebutnya memiliki Azaz Tunggal Pancasila. Namun oleh Bung
Kamo deklarasi itu temyata dilarang. Kedua, asas tunggal
bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila itu sendiri yang
mengcdepankan konsep musyawarah, bukan pemaksaan kehendak.
Musyawarah mengharuskan adanya dialog terbuka tanpa ada tekanan
apapun. Selain itu, musyawarah merupakan mekanisme terbaik untuk
menggali ide dan gagasan berbagai elemen untuk menemukan titik
temu. Sebaliknya, pemaksaan kehendak secara sepihak hanya
menimbun api dalam sekam. Puncaknya, amarah rakyat Indonesia
membuncah saat krisis multi dimensional menghantam pada tahun
1998 yang lantas disusul tumbangnya rezim Orba.Tentu saja, tidak ada
yang salah dengan Pancasila. Yang keliru adalah cara rezim Orba
memperlakukan Pancasila atau lebih tepatnya memanfaatkan Pancasila
untuk memenuhi ambisi berkuasa.
Ketiga, asas tunggal mematikan kreatifitas dan inovasi berfikir
anak bangs a dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan yang
kian kompleks dan sangat dinamis, termasuk tantangan-tantangan
global yang inter dependent dan inter connected. Dewasa ini sebuah
negara tidak dapat memandang sebuah masalah dari local perspective,
tapi harus regional dan global perspective. Berfikir global saat ini
merupakan tuntutan zaman. Revo1usi tekno1ogi dan informatika
memaksa kita untuk semakin kreatif dan inovatif da1am berfikir dan
bertindak. Hampir dapat dikatakan saat ini antar negara menjadi
borderless. Nilai dan kultur yang hidup dan berkembang di belahan
bumi manapun dapat secara cepat menyebar dan mewabah ke belahan
bumi lain. Dalam kaitan ini Pancasila sebagai ideologi menghadapi
IV
tantangan yang tak mudah, terutarna ideologi-ideologi yang secara
mendasar bertolak belakang dengan Pancasila seperti komunisme,
liberalisme, sekularisme, ateisme dan lainnya. Pancasila semakin rentan
tergusur dan termarjinalkan.
Walhasil, indoktrinasi Pancasila di era Orde Baru melalui
konsep asas tunggal sangat berbahaya dan mengancam eksistensi
Pancasila itu sendiri. Hal itu lantaran Pancasila tak ubahnya 'kitab
suci' yang tak boleh disentuh. Akibatnya Pancasila menjadi sekadar
teks-teks mati tanpa ruh. Padahal sejatinya sebuah ideologi harus
menginspirasi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bemegara.
Pancasila sekadar obyek studi tanpa ada upaya untuk
mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kaitan
ini, Majelis Permusyawaratan Rakyat Repulik Indonesia (MPR Rl)
sejak satu dekade terakhir sampai saat ini secara konsisten melakukan
sosialisasi Pancasila sebagai dasar negara.
Diharapkan dengan sosialisasi tersebut masyarakat mampu
mengintemalisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari,
terutama di era keterbukaan global saat ini yang ditandai derasnya lalu-
lintas pelbagai ideologi yang berpotensi menggerus nilai-nilai luhur
Pancasila. Ateisme, hedonisme, anarkisme, individualisme,
premanisme, dan faham- faham lainnya yang tak sejalan dengan
Pancasila semakin mewarnai keseharian bangsa ini. Di sisi lain,
pengetahuan dan pemahaman generasi muda atas Pancasila semakin
meluntur. Bahkan saat ini tak jarang ditemukan generasi bangsa
melafalkan sila-sila Pancasila di luar kepala dengan susah payah dan
tergopoh-gopoh. Situasi ini tentu saja sangat mencemaskan. Untuk
mengatasi ini, MPR mengemas sosialisasi Pancasila dengan beragam
program seperti cerdas cermat, out bound, diskusi dan lainnya. MPR
juga menggagas agar pemerintah secara aktif ikut serta dalam
sosialisasi Pancasila. Namun dalam sosialisasi itu tidak menerapkan
sistem lama seperti BP7 ( Badan Pembinaan Pendidikan , dan
Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ) yang
doktrinatif. Terbukti cara dokrinatif sekadar menjadi alat pembenaran
segelintir orang untuk melanggengkan kekuasaan. Pancasila tidak boleh
lagi ditafsirkan secara eksklusif Saat Pancasila eksklusif dan
doktrinatif, maka Pancasila dikhawatirkan menjadi momok yang
menakutkan dari pada ideologi dasar sebuah negara. Parahnya lagi, atas
nama Pancasila, dikhawatirkan juga penguasa melakukan tindakan
v
refresif atas kelompok-kelompok yang memiliki itikad baik untuk
melakukan perbaikan. Sebagai antithesis tindakan refresif tersebut,
kelompok-kelompok radikal dan ekstrim tumbuh subur. Maka tak
mengherankan jika kemudian ada kelompok yang secara absolute
meno lak Pancasila. Padahal, Pancasila merupakan rangkuman nilai-
nilai luhur yang dimiliki bangsa Indonesia. Bahkan, sila-sila yang ada
dalam Pancasila merupakan rangkaian nilai-nilai luhur yang diakui
masyarakat dunia. Artinya, substansi yang dikandung Pancasila
merupakan nilai-nilai luhur universaL Dalam konteks inilah kemudian
kita sangat mafhum dan respek ketika tokoh-tokoh nasional Islam dulu
yang akhirnya secara lapang dada menerima Pancasila sebagai dasar
negara.
Akhirnya, saya menyambut baik sahabat saya saudara Dr.
Sirojuddin Aly, MA. yang telah memberikan kontribusi sangat positif
dan konstruktif dalam meneguhkan Pancasila sebagai ideologi dan
dasar NKRl. Buku yang ditulis sahabat saya ini berjudul 'Revitalisasi
Ideologi Nasional dalam Berbangsa dan Bernegara', yang berupaya
mengurai dan menjabarkan sila-sila Pancasila serta revitalisasinya
dalam konteks kekinian. Buku ini dinilai sebagai bagian dari upaya
mendialogkan kembali dan menafsirkan Pancasila secara terbuka, agar
Pancasila secara dinamis dapat terus berkembang dan menginspirasi
denyut kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila yang tak hanya tertulis
di buku-buku pelajaran, tapi juga dirasakan dalam perikehidupan
bangsa Indonesia.
Jakarta, 5 Januari 2015
Dr. Hidayat N ur Wahid, MA ( Wakil Ketua MPR Rl2014 - 2019)
VI
KATA PENGANTAR PENULIS
Berdasarkan dinamika kehidupan dari waktu ke waktu, rakyat
Indonesia harus mampu menciptakan pemerintahan yang baik dan
bersih ( good and clean governance), karena dengan pemerintahan
yang baik dan bersih, keadilan dengan sendirinya akan wujud,
kesejahteraan dan keamanan bagi seluruh rakyat sebagaimana
diamanatkan oleh Pembukaan dan Undang-undang Dasar 1945 akan
menjadi kenyataan. Tetapi itu baru sebatas teoritis, realitas di lapangan
berbicara lain karena berbagai persoalan dan setumpuk permaslahan
bisa saja menghambat upaya-upaya yang dilakukan jika terjadi salah
langkah dalam pengelolaan, Untuk menciptakan keadilan,
kesejahteraan dan keamanan temyata tidak mudah, tidak semudah
membalikan telapak tangan. Faktanya bertahun-tahun lamanya rakyat
banyak memimpikan hidup makmur, sejahtera, aman dan damai,
sampai saat ini impian tersebut belum juga menjadi kenyataan,
bagaikan panggang jauh dari api. Rakyat banyak masih harus bermimpi
lagi dan bermimpi, sampai saat ini pun belum ada tanda-tanda
kebangkitan kekuatan ekonomi nasional secara signifikan, baik dalam
sekala negara-negara Asean ataupun Intemasional, inflasi dan kenaikan
harga bahan-bahan pokok terus melambung tinggi dari waktu ke waktu.
Untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih tentu saja harus
didukung oleh struktur dan sumber daya manusia ( SDM ) yang
memiliki kapabelitas dan integritas tinggi, serta komitmen pada
prinsip-prinsip profesionalitas dalam bekerja, komitmen pada undang-
undang dan peraturan dan tidak mempermainkannya, komitmen pada
keujujuran atau amanah, saling mempercayai ( ada tras ) dan tidak
berperilaku pembohong, komitmen pada keterbukaan ( transparansi )
dan tidak ada yang ditutup-tutupi, Jika prinsip-prinsip ini dapat
direalisasikan dengan benar-benar dalam kehidupan berbangsa dan
bemegara, maka pada gilirannya cita-cita rakyat Indonesia untuk
meraih kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan hidup akan menjadi
kenyataan,
Sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi dari waktu ke
waktu, perpolitikan nasional pun turut mengalami dinamikanya,
kekuasaan negara dan ideologi Pancasila di era Reformasi tidak lagi
Yll
menjadi sesuatu yang menakutkan bagi organisasi masyarakat (ormas )
dan partai politik. Dinamika politik ini selain berdampak positif
terhadap kebebasan berekspresi sebagai salah satu prinsip negara yang
menganut sistem demokrasi, pada sisi lain menyebabkan rakyat
bersikap apatis terhadap ideologi nasionalnya. Berbeda dengan era
sebelumnya ( era Orde Baru ), di mana Pemerintah waktu itu secara
ketat mengontrol ormas dan orpol dengan menggunakan Undang-
undang No.8 tahun 1985 Pasal 2 tentang organisasi kemasyarakatan
yang harus menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam
berorganisasi. Proses hegemoni ideologi Pancasila di era Ordc Baru
temyata bukan saja ditempuh melalui pola-pola lcgalistik, tetapi juga
melalui penataran P-4 ( Pendidikan Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila ). Penataran P-4 merupakan program yang disponsori negara
untuk mendidik rakyat Indonesia bagaimana memahami ideologi
Pancasila berdasarkan interpretasi resmi oleh Negara, hal ini dalam
rangka menjamin keseragaman pemahaman. Pelaksanaan penataran P-4
temyata penuh dengan paksaan sehingga tidak efektif, maka hasilnya
pun tidak mencapai sasaran maksimal sekalipun didukung dengan dana
yang cukup besar. Persoalannya kenapa begitu? J awabannya karena
pola-pola penataran P-4 tidak berdasar pada kesadaran yang tumbuh
dari hati nurani yang murni dari setiap rakyat Indonesia, dan itu artinya
tidak demokratis. Kedepan pola-pola pendekatan yang tidak demokratis
tidak boleh terulang karena sia-sia, hanya membuang-buang waktu,
pemikiran, tenaga dan sejumlah dana besar.
Dalam situasi yang sarat dengan persaingan global antar
berbagai ideologi dunia; Sekularisme, Liberalisme, Kapitalisme dan
sebagainya, maka sebenamya Pancasila dalam statusnya sebagai
ideologi nasional yang telah diposisikan secara cerdas sebagai jalan
tengah dan sebagai dasar bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
adalah merupakan altematif yang memiliki prospek masa depan yang
menjanjikan bagi kehidupan berbangsa dan bemegara. Oleh karena itu
tinjauan ini harusnya menjadi pegangan bagi rakyat Indonesia untuk
tetap setia dengan ideologi nasionalnya, dan tidak menyikapinya
dengan sikap apatis. Tinjauan ini harus menjadi dasar pandangan yang
teguh, jika rakyat Indonesia masih tetap komitmen melihat Indonesia
bersatu sebagai sebuah negara NKRI.
Hal ini karena Pancasila mengandung kebenaran nilai-nilai
universal yang sesuai dengan keperibadian dan budaya rakyat
Vlll
Indonesia. Nilai-nilai universal tersebut kemudian menjadi prinsip bagi
negara Republik Indonesia. Nilai-nilai universal tersebut ialah; Ber-
Tuhan, artinya rakyat Indonesia harus ber- Tuhan, dalam arti percaya,
beriman kepada Tuhan, yaitu Zat Pencipta dan Penguasa alam semesta,
yaitu Allah Swt. yang harus disembah dalam berbagai bentuk aktivitas
ibadah. Perikemanusiaan, artinya adanya saling menghargai dan
menghormati, saling mempercayai antara sesama rakyat Indonesia
intinya bagaimana bisa memanusiakan manusia (ngewongke). Oleh
karenanya rakyat Indonesia harus berperilaku jujur dan amanah, tidak
saling mengkhiyanati, tidak saling membohongi, tidak saling ngakalin
antara sesama. Persatuan, artinya bersatu padu untuk mencapai satu
tujuan, dan tidak terpecah-pecah tetapi satu bangsa, yaitu bangsa
Indonesia. Keadilan, artinya rakyat Indonesia harus menegakkan
keadilan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam aspek sosial
politik, hukum, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Musyawarah,
artinya dalam mengambil keputusan yang menyangkut persoalan
orang banyak harus diselesaikan melalui proses musyawarah.
Kemudian terkait dengan sikap dan pandangan rakyat
Indonesia terhadap Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara,
sebenarnya terdapat perbedaan sikap dan pandangan, setidaknya ada
empat sikap yang berbeda, yaitu; 1. Sebagian rakyat Indonesia melihat
bahwa Pancasila adalah merupakan kumpulan prinsip-prinsip
kenegaraan yang tidak bertentangan dengan dasar -dasar agama
manapun, oleh karenanya mereka menerimanya sebagai ideologi dan
dasar dalam berbangsa dan bernegara. 2. Sebagian rakyat Indonesia
yang sudah komitmen bepegang teguh dengan ideologi lain selain
Pancasila, mereka menolak Pancasila secara ekstrim. 3. Sebagian
rakyat Indonesia melihat bahwa Pancasila itu merupakan seperangkat
nilai-nilai yang tersusun rapi hasil gagasan manusia Indonesia
(founding fathers) yang bersifat subjektif, maka nilai-nilai yang
terkandung di dalam Pancasila-pun bersifat subjektifatau relatif
Dalam arti nilai-nilai Pancasila mungkin benar dan mungkin juga
tidak, mungkin hari ini benar dan dalam beberapa dekade masa
mendatang mungkin juga tidak benar atau tidak relevan lagi, oleh
karenanya mereka tergolong orang-orang yang tidak jelas antara
menerima Pancasila sebagai dasar negara ataupun tidak. 4. Sebagian
rakyat Indonesia lagi dalam melihat Pancasila berikap acuh tak acuh,
bersikap masa bodoh.
IX
Terlepas dari perbedaan sikap dan pandangan terhadap
Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, yang jelas secara politis
bahwa Pancasila sudah menjadi kesepakatan bersama ( konsensus
nasional ) di antara para founding fathers menjadi ideologi dan dasar
dalam berbangsa dan bemegara.
Ciputat, 25 Maret 2015
Penulis,
Dr. Sirojuddin Aly, MA
x
DAFTAR ISI
Kata Pengantar DR. H. Hidayat Nur Wahid _iii
Kata Pengantar Penulis_vii
BABI PANCASILA PLATFORM BERBANGSA DAN BERNEGARA
1. Sekilas Kemunculan Gagasan Pancasila_l
2. Perbedaan Pemikiran Tentang Rancangan Dasar Negara_4
3. Brainstoming Tentang Rancangan Dasar Negara_8
4. Sumber Gagasan Dasar Negara Pancasila _23
5. Pancasila Dalam Rumusan Piagam Jakarta 31
6. Penerimaan Piagam Jakarta Oleh BPUPKI_37
7. Kearifan Keputusan Penerimaan Piagam Jakarta _41
8. Revisi Pancasila Dalam Piagam Jakarta _45
9. Latar Belakang Perubahan Pancasila _48
10. Pancasila Yang Diberlakukan _55
11. Pengertian Pancasila Sebagai Dasar Negara _59
12. Pancasila Filsafat Kenegaraan Republik Indonesia _62
13. Pancasila dan Permasalahan Bangsa _75
14. Fobia Pancasila Melemahkan Tingkat Nasionalisme Indonesia _80
15. Pancasila Ideologi Nasional di Era Globalisas _84
16. Pancasila Dari Waktu Ke Waktu 95
17. Kesimpulan _98
BABII AGAMA DAN NEGARA PRAKTEK KEHIDUPAN RAKYAT INDONESIA I. Eksistensi Agama Dalam Negara Pancasila _100
2. Perbedaan Dalam Memahami Arti Ke- Tuhanan 103
3. Komitmen Beragama Berdampak Terciptanya Stabilitas Politik
106
4. Kesalehan Perilaku Masyarakat Indonesia _108
5. Ideologi Pancasila dan Eksistensi Kehidupan Sosial Keagamaan
112
Xl
6. Kerukunan Umat Beragama Berdampak Posistif Terhadap
Stabilitas Politik 117
7. Kesimpulan _121
BAB III MEMBANGUN MANUSIA BERADAB DAN BERMARTABAT
1. Manusia dan Cita-cita Hidup _123
2. Bangsa Beradab dan Bermartabat_126
3. Keadilan dan Realitas Permasalahan 131
4. Keadilan Dan Komitmen Pada Tanggung Jawab _137
5. Kesimpulan_141
BABIV NASIONALISME DAN INTEGRASI NASIONAL
1. Nasionalisme Dalam Konteks Negara Republik Indonesia_143
2. Perjuangan Nasionalisme Indonesia Sepanjang Sejarah _146
3. Pengembangan Nasionalisme Indonesia_154
4. Nasionalisme Berbahaya _157
5. Integrasi Nasional dan Permasalahan _159
6. Terusiknya Integrasi Nasional di Akhir Era Orde Baru_163
7. Realisasi Persatuan dan Integrasi Nasional_166
8.Integrasi Nasional Melalui Kerukunan Antar Umat
Beragama_170
9. Langkah-langkah Strategis Membangun Kerukunan Umat
Beragama_178
10. Kesimpulan _184
BABV KONSOLIDASI PENGUATAN DEMOKRATISASI
1. Kerakyatan dan Demokrasi _186
2. Demokrasi dan Dinamika Sistem 191
3. Makna Demokrasi dan Penerapannya_197
4. Demokrasi dan Penyaluran Aspirasi Rakyat_200
5. Demokrasi dan Penyalahgunaan Praktek_209
6. Eksperimen Demokrasi Sebagai Sistem Politik Indonesia_228
7.Belajar Dari Kesalahan Masa Lalu Dalam Penerapan
Demokrasi 240
8. Kesimpulan _249
Xli
251
BABV}
KEADILAN SOSIAL ANTARA TEORI DAN REALITAS
1. Keadilan Sosial Dalam Tataran Teori 251
2. Keadilan Sosial Dalam Realitas Kehidupan _252
3.Keadilan Sosial Meredakan Ketegangan _254
4.. Keadilan So sial Dalam Hukum 256
4. Pemberlakuan Hukum Berdasarkan Kebaikan Bersama 257
5. Pemerataan Pendapatan Secara Adil Menciptakan Pertumbuhan
Ekonorni 260
7. Keadilan Sosial Menuntut Pcmerataan Kesejahteraan _266
8. Membangun Masyarakat Sejahtera_268
9. Ketimpangan Ekonomi Memperlambat Pembangunan_273
10. Keberhasilan Membangun Indonesia Ke Depan _277
11. Kesimpulan _279
DAFTAR PUS TAKA 280
INDEX 295
SEKILAS TEN TANG PENULIS 301
252
Xlll
BAB I PANCASILA PLATFORM
BERBANGSA DAN BERNEGARA
1. Sekilas Kemunculan Gagasan Pancasila
Kemunculan Pancasila sebagai filsafat negara Republik
Indonesia dilatar belakangi oleh fakta sejarah perjuangan dalam rangka
mewujudkan cita-cita kemerdekaan bagi seluruh rakyat dan tumpah
darah Indonesia. Langkah utama ke arah ini adalah pembentukan Badan
yang berwenang untuk menyelidiki hal-hal asas bagi konstruksi
bangunan Indonesia merdeka. Badan ini dalam bahasa Jepang disebut
Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai dan dalam bahasa Indonesia disebut
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia disingkat BPUPKI1.
1 Lihat Moh. Hatta, Pengertian Pancasila ; Pidato Peringatan Pancasila
Tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional, ( Jakarta: PT. Inti Idayu Press,
1978 ), h. 9.
253
Pembentukan Badan ini pada dasarnya sebagai realisasi janji
Kerajaan Jepang2. Yaitu janji mewujudkan hasrat untuk memerdekakan
Hindia Belanda ( Indonesia ) dikemudian hari3. Dalam melihat hasrat
Kerajaan Jepang, paling tidak ada dua alasan kenapa pemerintah Jepang
mengambil kebijakan ini, Pertama; Dalam rangka mempertahankan
pengaruh Jepang di depan penduduk dan rakyat negeri yang didudukinya
( Indonesia ). Dengan langkah mengeluarkan pernyataan janji
kemerdekaan untuk Indonesia ada harapan untuk mendapatkan simpati
dan dukungan dari rakyat Indonesia. Kedua; Pada waktu itu situasi
semakin memburuk yang dihadapi tentara Jepang di beberapa wilayah di
Asia yang didudukinya, terutama di Indonesia, karena akan berhadapan
dengan kekuatan tentara Sekutu yang jauh lebih besar. Dengan janji
tersebut Jepang yakin bahwa tentara Sekutu ketika hadir kembali ke
Indonesia akan disambut oleh rakyat Indonesia tidak sebagai pembela,
melainkan sebagai penyerang ke negara merdeka4.
Kemerdekaan yang akan diberikan Kerajaan Jepang kepada
rakyat Indonesia itu menurut rencananya akan dilakukan pada bulan
September 1945 5. Oleh karena itu kemudian pemerintah pendudukan
Jepang di Jawa dibawah pimpinan Leftenan Jendral Kumakici Harada
mengumumkan pembentukan BPUPKI pada 1 Maret 19456. Badan ini
didirikan bertujuan untuk menyelidiki hal-hal asas dan mendasar bagi
2 Kerajan Jepang dengan kekuatan tentaranya telah menguasai seluruh
wilayah Jajahan Hindia Belanda. Setelah peyerahan tanpa syarat yang dilakukan oleh
Leftenan Jendral H. Ter Poorten sebagai Panglima Angkatan Perang Sekutu di
Indonesia kepada tentara ekspedisi Jepang dibawah pimpinan Leftenan Jendral Hitoshi
Imamura pada 8 Maret 1942 . Lihat Marwati Djoened & Nugroho, Notosusanto,
Sejarah nasional Indonesia VI, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1992 ), h.5 dan janji Jepang
diumumkan pada 7, September, 1944. 3 Pada 9 September 1944 di dalam sidang istimewa ke 85 Teikoku Ginkai (
Parlemen Jepang ) di Tokyo, Pendana Menteri Jepang; Jendral Kuniaki Koiso
mengumumkan pendirian Pemerintah Kerajaan Jepang; bahwa daerah Hindia Timur (
Indonesia ) kelak dikemudian hari diperkenankan merdeka. Lihat, Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI. h. 66. 4 Lihat. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia VI. h.66. 5 Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang
Dasar 1945, ( Jakarta: Inti Idayu Press, 1984 ), h. 14. 6
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia VI. h. 67. Lihat juga, Lembaga Soekarno- Hatta, Sejarah Lahirna
Undang-Undang Dasar 1945. h. 22.
254
konstrusi bangunan Republik Indonesia7. Setelah pembentukan ini,
kemudian BPUPKI bersiap-siap melakukan kajian terhadap
masalah-masalah mendasar; rancangan Undang-undang Dasar Negara
dan sebagainya melalui tahapan-tahapan dalam siding-sidang
BPUPKI.
Pada pagi hari Senin 28 Mei 1945 telah terjadi peristiwa penting
dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia, yaitu dikibarkannya bendera
merah putih di sebelah bendera Jepang di depan gedung Cuo Sangi In
terletak di jalan Pejambon Jakarta. Pada sorenya para anggota BPUPKI
mengangkat sumpah sebagai pelantikan resmi oleh pemerintah tentara
pendudukan Jepang8. Semua anggota Badan ini dipilih dari para tokoh
masyarakat yang boleh dianggap mewakili semua golongan. Ketua dan
para anggota Badan ini meskipun dilantik oleh pemerintah Jepang,
namun mereka tetap bebas untuk menentukan arah tujuan dan cita-cita
masa depannya9, dan oleh karena itu mereka dapat membuat rancangan
undang-undang dasar berdasarkan pandangan mereka10
. Beberapa
wakil dari pemerintah Jepang di Indonesia memberikan sambutannya
pada acara pelantikan ini, antaranya; Jenderal Itagaki Seisiro, Jenderal
Gunseireikan Saiko dan ketua pemerintah tentara Jepang; Gunseikan11
.
Peristiwa pengkibaran bendera merah putih ini ternyata memicu lahirnya
semangat di hati rakyat Indonesia ( terutama para anggota BPUPKI )
dalam upaya mempercepat persiapan kemerdekaan.
Jumlah anggota Badan ini sebanyak enam puluh dua ( 62 ) orang,
termasuk empat ( 4 ) orang keturunan Arab, keturunan Belanda dan
7
Lihat, Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia, ( Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960 ), h. 121, Lihat juga, Lembaga
Soekarno-Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. h. 15. 8 Lihat Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia. h. 119 9 Pada tahap awal memang tidak ada pengaruh atau tekanan apa-apa dari
orang-prang Jepang, tetapi pada tingkat akhir justeru orang-orang Jepang telah
melalkukan tekanan dan bahkan melakukan intimidasi. Hal ini terbukti ketika orang
Jepang mempengaruhi PPKI ( Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) sehingga
terjadi perubahan terhadap hal-hal penting dan mendasar; Pancasila, Pendahuluan dan
Udang-Undang Dasar 1945. 10
Lihat, Solihin Salam, Haji Agus Salim Pahlawan Nasional ( Jakarta: Jaya
Murni, T. Th. ), h. 55. 11
Lihat, Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia. h.119.
255
keturunan Tionghoa12
. Selain enam puluh dua orang anggota BPUPKI
tersebut, juga terdapat tujuh ( 7 ) orang Jepang yang statusnya sebagai
pemerhati yang tidak memiliki hak suara13
. Badan Penyelidik ini
dipimpin oleh K.R.T. Rajiman Wediodiningrat dan wakilnya R. Panji
Soeroso dan dibantu oleh A. Gaffar Pringgodigdo yang bertugas sebagai
sekretaris14
. Seluruh anggota Badan Penyelidik ini bertempat tinggal di
Jawa dan Madura, meskipun berasal dari berbagai daerah kepulauan
Indonesia, tetapi tugasnya meliputi seluruh Indonesia15
.
K.R.T. Rajiman, sebelum Indonesia merdeka pernah memimpin
Putra ( Pusat Tenaga Rakyat ); sebuah organisasi pergerakan nasional
didirikan pada 1 Maret 1942. Organisasi ini berorientasi membangun
kesadaran rakyat untuk berbangsa dan bertanah air satu16
. Dalam
struktur kepemimpinan Badan Penyelidik ini Soekarno tidak ditunjuk
sebagai ketua atau sekretaris. Keadaan ini justru memberi peluang
kepada Soekarno untuk lebih berperan dalam melahirkan idea-idea dan
gagasannya tentang hal-hal asas dan mendasar bagi bangunan Indonesia
merdeka. Ternyata kemudian begitu besar sumbangan Soekarno dalam
hal ini.
2. Perbedaan Pemikiran Tentang Rancangan Dasar Negara
Jika dikaji lebih lanjut tentang pertumbuhan pemikiran dan
idea-idea yang berkembang sepanjang berlangsungnya persidangan
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (
BPUPKI ). Paling tidak ditemukan dua aliran pemikiran yang dominan
selama persidangan tersebut17
. Pertama; aliran pemikiran golongan
12
Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang
Dasar 1945. h. 25. 13
Lihat, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional indonesia VI, h. 67. 14
Lihat, Kohar Hari Sumarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila, (
Jakarta: Galia Indonesia, 1405 H. / 1984 M. ), h. 31 15
Lihat, Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia. h.121 16
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia VI. h. 18 -21 17
Lihat, Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan
Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler Tentang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 – 1959 ( Jakarta: CV Rajawali, 1981 ), h.9 –
10. Edisi bahasa Inggris “ The Jakarta Charte 1945 : The Stuggle for Islamic
256
Nasionalisme Sekular18
, dan orang-orang yang mengikuti garis
pemikiran ini menurut Endang Saefuddin Ansari, antaranya; Soekarno,
Muh. Yamin, Ki Hajar Dewantara, Moh. Hatta, Soesanto Tirtoprodjo,
Sartono, Samsi dan sebagainya. Mereka-mereka inilah sebagai
representasi garis pemikiran nasionalisme radikal, dan pada saat yang
sama terdapat garis pemikiran nasionalisme sederhana, antaranya K.R.T.
Rajiman Wediodiningrat dan lain-lainnya19
. Mereka-mereka inilah yang
memperjuangkan agar Indonesia merdeka nanti didasarkan pada
kebangsaan atau nasionalisme20
. Kedua; adalah aliran pemikiran
golongan nasionalisme Islam. Yaitu orang-orang nasionalis yang
komitmen dengan prinsip-prinsip ajaran agama ( agama Islam ) dalam
berbagai aspek kehidupan, baik dalam aspek politik, ekonomi, hukum,
pendidikan, kemasyarakatan, dan sebagainya, dan dibuktikan dengan
amalan yang kongrit, bukan saja dalam ucapan tetapi juga dibuktikan
dengan amalan dan tindakan yang nyata, oleh karena itu kehidupan
masyarakat dan negara tidak dapat dipisahkan dari kehidupan agama.
Dalam arti bahwa Islam tidak saja mengatur hubungan antara manusia
sebagai hamba dengan Tuhan ( Allah ) dalam berbagai bentuk ritual
ibadah ( hambum min Allah ), melainkan Islam juga mengatur hubung
kehidupan antara sesama umat manusia ( hablum minanannas )21
.
Orang-orang yang mewakili garis pemikiran golongan nasionalis Islam
kedua ini menurut Endang Saefuddin Ansari, antaranya; K. Bagoes
Constitution In Indonesia. Diterbitkan di Kuala Lumpur oleh Muslim Youth Movement
of Malaysia ( ABIM ) 1979 18
Sekular / Sekularisme adalah suatu faham atau doktrin yang nengajarkan
pemisahan agama dari urusan-urusan negara atau politik, bahwa urusan-urusan agama
tidak ada sangkut pautnya dengan urusan negara, karena agama menurut faham ini
adalah urusan-urusan individu atau pribadi, sementara negara adalah urusan publik.
Oleh karena itu sangat sulit untuk mempersatukan agama dengan negara. Implikasi dari
doktrin ini adalah bahwa aturan-aturan agama atau hukum-hukum yang ditetapkan
agama tidak bisa dilembagakan atau diformalkan dalam aturan negara. Liha. A. Zaki
Badawi, A Dictionary of The Social Sciences, ( Beirut: Librairie Du Liban, 1978 ),
h.370 –371 dan lihat juga, Jum`at al-Khuli, Al-Ittijahat al-Fikriyah al-Mu`asirah wa
Mauqif al-Islam Minha, ( Madinah al-Munawwarah: Islamic University of Medina,
1407 H. / 1986 M. ), h.91 19
Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang
Dasar 1945. h. 25. Lihat juga, Endang Saefuddin Ansari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945
dan Sejarah Konsensus Nasional. h.9 - 10 20
Endang Saefuddin Ansari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah
Konsensus Nasional. h. 3 21
Ibid. h. 9 -10
257
Hadikoesoemo, A.K. Muzakkir, K.H. Masjkoer, K.H. Mas Mansoer,
K.H. Wahid Hasjim, Kasman Singodimedjo, M. Natsir dan
sebagainya. Mereka-mereka inilah yang memperjuangkan agar negara
Indonesia merdeka nanti didasarkan pada asas Islam22
. Keinginan para
tokoh ini pada waktu itu secara de fakto dalam konteks ke-Indonesiaan
yang mayoritas rakyatnya muslim sebenarnya dalam batas-batas wajar
dan realistis, karena berdasarkan sejarah masa lalu pada abad-abad ke-13
dan sesudahnya di bumi Nusantara ini telah berdiri sederet pemerintahan
Islam dalam bentuk Kesultanan atau Kerajaan. Hal ini ditandai
dengan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai pada abad ke-13 dengan
raja pertamanya Sultan Malik al-Saleh ( w. 1297 M ), disusul dengan
berdirinya Kesultanan Aceh, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram,
Kesultanan Cirebon, Banten, Makasar, Ternate, Tidore, dan beberapa
Kesultanan di Kalimantan dan sebagainya, maka wajar jika para tokoh
Islam di era kemerdekaan Indonesia mengusulkan agar Islam menjadi
dasar negara Indonesia merdeka. Dalam konteks ini beberapa literatur
sejarah peradaban Islam Nusantara menyebutkan bahwa Islam masuk ke
Nusantara bukan saja berpengaruh dalam membentuk tatacara ritual
ibadah tertentu saja, tetapi juga Islam berpengaruh pada tatanan sosial
budaya, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya23
.
Kedua-dua aliran pemikiran di atas masing-masing memiliki
dasar pemikiran yang telah berakar dalam sejarah pergerakan nasional.
Hal ini disaksikan dengan berdirinya beberapa organisasi yang
berorientasi nasional pada satu sisi, dan sisi lain berdirinya
organisasi-organisasi yang berasaskan Islam. Sebagai justifikasi
terhadap realitas ini dapat ditunjukkan beberapa fakta sebagai berikut;
Pertama. Organisasi-organisasi Nasional Sekular; antaranya, Boedi
Oetomo ( Budi Utomo ) didirikan pada 20 Mei 1908, organisasi ini
dianggap sebagai organisasi pertama yang dibangun secara modern dan
merupakan organisasi terpenting dalam sejarah pergerakan nasional24
.
Dari Boedi Oetomo ini lahir beberapa organisasi pergerakan nasional
sekular yang lain, antaranya; Partai Nasional Indonesia ( PNI ) didirikan
pada 4 Juli 1927, Partai Indonesia ( Parindo ) didirikan pada bulan April
22
Ibid. h. 16 23
Lihat, Ahmad Fadloli et al, Sejarah Peradaban Islam ( Jakarta: Pustaka
Asatruss, 2004 ), h. 191 24
Lihat, A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia ( Jakarta:
Dian Rakyat, 1967 ), h. 1
258
1931, Pendidikan Nasional Indonesia ( PNI-baru ) didirikan pada bulan
Desember 1933, Partai Indonesia Raya ( Parindra ) didirikan pada 26
Desember 1935, Gerakan Rakyat Indonesia ( Gerindo ) didirikan pada
24 Mei 193725
. Organisasi-organisasi ini lahir sebagai reaksi terhadap
dampak negatif penjajahan asing, dan mempunyai cita-cita agar kelak
Indonesia merdeka didasarkan pada faham kebangsaan atau
nasionalisme.
Kedua; Organisasi-organisasi Nasionalis Islam, yaitu
organisasi-organisasi yang komitmen dengan ajaran-ajaran Islam secara
konsisten dan penuh kesadaran. Hal ini ditandai dengan berdirinya
Syarekat Islam ( SI ) pada 16 Oktober 1905 sebagai hasil pengembangan
dari Syarekat Dagang Islam ( SDI ). Dari organisasi ini kemudian
lahirnya organisasi-organisasi pergerakan nasional Islam lainnya26
.
Syarekat Islam sejak berdirinya diarahkan untuk menghimpun seluruh
rakyat Indonesia.27
Pada tahun 1923 Syarekat Islam berubah menjadi
Partai Syarikat Islam ( PSI ). Setelah itu berubah lagi menjadi Partai
Syarekat Islam Hindia Timur ( PSIHT ) pada tahun 1927, dan akhirnya
menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia ( PSII ) pada tahun 193028
.
Kedua-dua golongan yang mewakili dua aliran pemikiran yang berbeda
pada tahun 1920-an sering dikatakan sebagai dua kelompok yang saling
bertentangan. Meskipun demikian, hubungan keduanya dalam perspektif
sejarah cukup kuat. Jika terjadi polemik antara tokoh yang beraliran
Nasionalis Islam dan tokoh yang beraliran Nasionalis Sekular dalam
berbagai hal terkait masalah kenegaraan, menurut Ridwan Saidi, masih
dalam batas-batas wajar bila dikaitkan dengan upaya bangsa Indonesia
merumuskan landasan kehidupan bernegara29
. Dalam konteks ini,
Ridwan Saidi dalam bukunya; Islam dan Nasionalisme Indonesia,
telah membuktikan bahwa keberadaan Jong Islamieten Bond ( JIB )
yang didirikan pada 1 Januari 1925 sebagai organisasi Islam yang
25
Ibid. h. 55 – 62 dan 105 - 144 26
Lihat, Harun Nasution, The Islamic State in Indonesia: The rise of The
Ideology, The Movement for It`s creation and The Theory of The Masyumi ( MA
Thesis, I.I.S McGill University, Montreal Kanada, 1965 ), h. 117 27
Lihat, A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. h. 124 28
A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. h. 35 – 40. lihat
juga, Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsnsus
Nasional. h. 10 29
Lihat, Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia ( Yogyakarta:
Basis, 1995 ), h. 1
259
berorientasi nasional dan bagaimana JIB berperan aktif dalam
memperjuangkan cita-cita kemerdekaan30
. Beberapa fakta sebagaimana
disebutkan Ridwan Saidi, membuktikan bahwa, Pertama; Pada
tahun 1927 Pengurus besar JIB mendirikan National Indonesia
Padvinderij ( Kepanduan Nasional Indonesia ) . Fakta ini membuktikan
bahwa komitmen JIB pada cita-cita Nasionalisme Indonesia sangat kuat.
Kedua; Keterlibatan beberapa tokoh nasional JIB, antaranya Wilopo (
tokoh Partai Nasional Indonesia ) pada waktu mudanya pernah aktif
dalam Kepanduan Nasional Indonesia, Chalid Rasyidi yang dikenal
sebagai tokoh pejuang angkatan 1945 pernah memimpin JIB cabang
Betawi ( Jakarta ), bahkan Soekarno sendiri sangat populer di kalangan
JIB cabang Bandung, dan beberapa tokoh lain yang tidak dapat disebut
di sini. Fakta ini menunjukkan bahwa betapa dekatnya hubungan antara
pemuda-pemuda Islam dengan kalangan Nasionalis. Ketiga; Fakta lain
adalah keterlibatan JIB dalam proses penyusunan Panitia Kongres
Pemuda II pada bulan Agustus 1928. Panitia ini kemudian
menyelenggarakan Kongres Pemuda ke II di Jakarta yang melahirkan
Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 192831
. Dengan demikian,
dapat dibayangkan bahwa ketegangan-ketegangan yang akan terjadi
tidak dapat dihindari antara kedua belah pihak sepanjang persidangan
BPUPKI. Tetapi dengan rahmat Allah, akhirnya kedua-dua golongan
besar ini bersatu dalam satu kesepakatan perjanjian bersama atau
konsensus nasional tentang dasar Negara.
3. Brainstoming Tentang Rancangan Dasar Negara
Kajian tentang aspek apapun terkait dengan dasar negara
Indonesia harus bertitik tolak dari apa yang disampaikan oleh tiga
tokoh pemikir, yaitu; Muh. Yamin yang menyampaikan pemikirannya
pada 29 Mei 1945, Soepomo pada 31 Mei 1945 dan Soekarno yang
menympaikan pandangannya pada 1 Juni 1945. Tanpa memperhatikan
pandangan ketiga-tiga tokoh tersebut ( termasuk beberapa tokoh lain )
yang memberikan pandangannya tentang dasar negara, maka kajian
terkait dengan dasar negara ( Pancasila ) tidak akan sampai pada
30
Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia. h. 3 - 5 31
Sumpah Pemuda terdiri dari tiga sumpah setia sebagai komitmen
pemuda-pemuda Indonesia terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Tiga Sumpah
Pemuda tersebut sebagai berikut; Bertanah air satu, tanah air Indonesia. Berbangsa
satu, bangsa Indonesia. Berbahasa satu, bahasa Indonesia.
260
pemahaman yang konfrehensif. Setelah pelantikan selesai, Badan
Penyelidik ( BPUPKI ) kemudian terus melakukan persidangannya
meskipun dalam suasana peperangan di Asia semakin berkobar. Badan
Penyelidik, sebagaimana ditegaskan Muh. Yamin, telah menyelesaikan
dua kali persidangan, yaitu; Persidangan pertama dari 29 Mei sampai 1
Juni 1945, dan Persidangan kedua dari 10 sampai 17 Juli 194532
.
Persidangan pertama merupakan penyampaian
pandangan-pandangan umum terkait dasar negara dari beberapa tokoh
terkemuka, kemudian semua pandangan tersebut ditampung sebagai
bahan yang akan dibahas oleh Panitia Khusus ( Pansus ). Persidangan
kedua sebagai kelanjutan dari persidangan pertama, yaitu persidangan
yang memberikan fokus pembahasan secara menyeluruh dan mendalam
terkait bahan yang telah disampaikan pada persidangan pertama.
Pada persidangan pertama, para anggota Badan Penyelidik telah
mengadakan sidangnya untuk membahas masalah-masalah yang terkait
dengan persiapan kemerdekaan Indonesia. Masalah yang menjadi fokus
perhatian dalam persidangan kali ini ialah mengenai dasar negara.
Pembahasan mengenai dasar negara ini dimulai dari sebuah pernyataan
yang disampaikan oleh ketua Badan Penyelidik; K.R.T. Rajiman
Wediodiningrat kepada para anggota sidang tentang dasar negara33
.
Pernyataan Ketua sidang BPUPKI tersebut sebagai kelanjutan dari
pernyataan Gunseikan ( ketua pemerintah Sipil Jepang di Jawa ) pada
upacara pelantikan Badan Penyelidik 28 Mei 1945. Gunseikan, antara
lain menegaskan sebagai berikut;
Pembentukan Badan ini dimaksudkan untuk menyelenggarakan
pemeriksaan tentang hal-hal penting, rancagan-rancangan dan
penyelidikan yang berhubungan dengan usaha mendirikan
negara Indonesia merdeka yang baru . . Jika suatu bangsa hendak
meneguhkan dasar kemerdekaannya, maka ia harus mempunyai
keyakinan diri untuk sanggup membela negara sendiri dan juga
mempunyai kekuatan yang nyata sebagai bangsa . . . . . .
32
Lihat, Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undangan Dasar Republik
Indonesia ( Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960 ) h. 121. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah
Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 ( Jakarta: Siguntang, 1971 ), Jild 1, h.59 - 197 33
Lihat, A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila ( Jakarta:
CSIS – Centre For Strategic and International Studies -, 1985 ), hlm. 26. Lihat juga,
Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah
Proyeksi ( Jakarta: Bulan Bintang, 1970 ), h. 12
261
Berhubung dengan syarat-syarat untuk negara merdeka yang
baru, maka tuan-tuan sekalian memajukan diri dalam
penyelidikan dan pemeriksaan tentang soal-soal tadi dan
demikian juga tentang soal-soal agama34
.
Pernyataan Gunseikan ini mengindikasikan adanya keharusan
BPUPKI melakukan penyelidikan terhadap dasar-dasar yang akan
menjadi landasan negara Indonesia. Untuk memberikan tanggapan
terhadap pernyataan ketua sidang BPUPKI tentang dasar negara, Muh.
Yamin dalam karyanya; Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar
1945 menginformasikan bahwa sekurang-kuranya tiga orang anggota
Badan Persiapan yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan ketua
sidang ( K.R.T. Rajiman Wediodiningrat ) tersebut. Ketiga-tiga anggota
sidang itu ialah; Muh. Yamin, Soepomo dan Soekarno.
Berbeda dengan pendapat Muh. Yamin, Kohar Hari Soemarno
dan Lembaga Soekarno – Hatta menyatakan bahwa orang-orang yang
meyampaikan gagasannya melalui pidato pada sidang pertama
BPUPKI bukan tiga orang, melainkan empat orang., yaitu; Muh. Yamin
pada 29 Mei 1945, Moh. Hatta pada 30 Mei 1945, Soepomo pada 31
Mei 1945, dan Soekarno pada 1 Juni 1945.35
Kohar memberikan alasan
yang cukup kuat bahwa data ini diperoleh dari hasil wawancara dengan
Bung Hatta, Mr. Sunario, Subarjo, A.G. Pringgodigdo dan Pratignyo36
.
Hanya saja para peneliti umumnya tidak menyebut Moh. Hatta sebagai
salah seorang yang juga memberikan gagasannya melalui pidato terkait
dasar negara. Jika data yang diperoleh Kohar itu lebih kuat karena
bersumber dari hasil wawancara dengan para pelaku yang aktif dalam
sidang-sidang BPUPKI, maka dapat dipastikan bahwa Moh. Hatta
memang menyampaikan pidatonya pada sidang pertama BPUPKI, tetapi
kemungkinan besar Moh. Hatta tidak menyertakan teks pidatonya secara
tertulis. Hal ini sebagaimana dikatakan Kohar Hari Soemarno bahwa dia
tidak mendapatkan catatan apapun mengenai isi pidato Moh. Hatta.
Seandainya ada teks pidato Hatta tentu saja dapat diketahui pemikiran
Hatta tentang dasar negara dengan jelas37
. Demikian juga Lembaga
34
Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang
Dasar 1945. h. 22 - 23 35
Lihat, Kohar Hari Soemarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila (
Jakarta: Galia Indonesia, 1405 H. / 1984 M. ), hlm. 36. Lihat Juga, Lembaga Soekarno
– Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. h. 33 – 37 dan 94 36
Kohar Hari Soemarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila. h. 35 37
KoharHari Soemarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila. h. 36
262
Soekarno – Hatta memperoleh datanya secara langsung dari
orang-orang yang aktif menghadiri sidang-sidang BPUPKI, yaitu; Moh.
Hatta. Dalam konteks ini Lembaga Soekarno – Hatta menyampaikan
sebagai berikut;
naskah ini ( Sejarah Lahirnya Undang-undang Dasar 1945 dan
Pancasila ) ditulis sekitar tahun 1979 ketika Bung Hatta masih
hidup dan termasuk salah seorang yang berpidato pada sidang
Badan Penyelidik. Namun Bung Hatta sendiri tidak memiliki
teks pidatonya yang disampaikan pada sidang Badan Penyelidik.
Tapi beliau menyatakan bahwa ia berbicara tentang sistem
ekonomi sosialis atau sistem ekonomi yang berkeadilan sosial38
.
Berdasarkan data di atas, terbukti bahwa Moh. Hatta termasuk
yang menyampaikan pemikiranya pada sidang pertama BPUPKI 30
Mei 1945, tetapi dikarenakan Moh. Hatta tidak memiliki teks
pidatonya, dan di samping pidatonya berbicara tentang ekonomi,
sementara kondisi saat itu menuntut pembahasan tentang dasar negara,
maka wajar jika para peneliti pada umumnya tidak memasukkan Moh.
Hatta ke dalam tokoh-tokoh yang menyampaikan gagasannya tentang
dasar negara. Namun demikian, yang perlu diperhatikan dalam konteks
ini adalah bahwa tidak berarti yang berbicara pada sidang pertama
BPUPKI itu hanya tiga atau empat orang saja, melainkan lebih dari itu,
karena berdasarkan laporan Zimokyoku ( Panitia Persidangan dan Tata
Usaha ) BPUPKI yang dikutip Lembaga Soekarno – Hatta menyatakan
ada empat puluh enam orang yang berbicara39
selama empat hari
sepanjang proses perjalanan sidang pertama BPUPKI40
.
Untuk mengetahui isi pidato Muh. Yamin, Soepomo, dan
Soekarno, berikut ini disampaikan isi pidato ketiga tokoh nasional
tersebut berdasarkan sumber buku “ Naskah Persiapan Undang-Undang
Dasar 1945 “ yang ditulis Muh. Yamin, di samping sumber-sumber lain
yang dianggap penting. Kutipan-kutipan yang akan diambil dari para
penyampai gagasan hanya yang penting-pentingnya saja sesuai dengan
38
Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang
Dasar 1945. h. 33 39
Para pembicara di sini dimaksudkan adalah para anggota sidang BPUPKI
yang menyampaikan pandangannya selain dari Muh. Yamin, Moh. Hatta, Soepomo
dan Soekarno. 40
Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar
1945. h. 32 - 37
263
fokus pembahasan, yaitu; yang mengandungi pemikiran tentang
dasar-dasar negara.
Isi Pidato Muh. Yamin
Muh. Yamin adalah orang pertama yang menyampaikan
pandangannya tentang dasar negara, baik melalui lisan ataupun tulisan,
kemudian diakhiri ( menurut versi Nugroho Notosusanto ) dengan
melampirkan teks rancangan Undang-Undang Dasar bersama dengan
Pendahuluan . Di antara pandangan-pandangannya41
sebagai berikut;
Negara baru yang akan kita bentuk adalah suatu negara
kebangsaan Indonesia atau suatu nasional staat atau etat
nasional yang sewajar dengan peradaban kita dan menurut
susunan dunia sekeluarga di atas dasar kebangsaan dan
ke-Tuhanan . . . . . rakyat Indonesia mesti mendapat dasar negara
yang berasal daripada peradaban kebangsaan Indonesia. Orang
Timur pulang kepada kebudayaan Timur42
.
Selanjutnya Muh. Yamin menyatakan;
Dalam keadaan yang seperti itu, perjalanan pikiran untuk
kebaikan negara Indonesia yang kita selidiki itu dengan
sendirinya . . . . . ditujukan kepada peninjauan diri sendiri
sebagai bangsa yang beradab. Dengan penuh keyakinan, bahwa
negara itu berhubungan rapi ( rapat ) hidupnya dengan tanah air,
bangsa, kebudayaan dan kemakmuran Indonesia, seperti
setangkai bunga berhubung rapi dengan dahan dan daun, cabang
dan urat berasa-sama dengan alam dan bumi; seperti tulang,
darah dan daging dalam badan tubuh yang berjiwa dan bernyawa
sehat, maka kewajiban kita yang pertama kali ( ialah ) menyusuli
dasar hidup kita ke dalam pangkuan, haribaan kita sendiri43
.
Berdasarkan penjelasan Muh. Yamin tersebut dapat difahami
bahwa negara yang akan dibangun, menurut Yamin, adalah negara yang
berdasarkan kebangsaan ( nasional ). Yaitu suatu pembangunan bangsa
41
Dalam konteks ini, penulis tidak akan membicarakan persamaan atau
perbedaan yang tidak prinsip dari pidato Muh. Yamin, antara yang disampaikan
melalui lisan dengan naskah rancangan Undang-Undang Dasar yang disampaikannya
kepada BPUPKI secara tertulis. Untuk melihat perbedaan antara keduanya, penulis
persilahkan pembaca merujuk buku “ Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara “
karya Nugroho Notosusanto. h. 24 - 25 42
Lihat, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar1945. Jild.
1, h. 90 - 91 43
Ibid. h. 92
264
yang mengacu pada peradaban ( sivilazation ) yang lahir dari bumi
Indonesia sendiri. Ini jelas terlihat pada ucapan Muh. Yamin; orang
Timur pulang kepada kebudayaan timur. Yaitu sebuah bangsa yang
berusaha menciptakan kesadaran senasib dengan mendekatkan seluruh
rakyatnya ke suatu bentuk ideologi yang mencintai tanah air, sehingga
dapat dimungkinkan lahirnya integrasi seluruh rakyat dalam rangka
mencapai tujuan dan tanggung jawab bersama.
Pandangan Muh. Yamin orang Timur pulang kepada
kebudayaan timur. Secara sosiologis sebenarnya tidak ada peradaban
suatu bangsa di manapun berada yang tidak terpengaruh dengan
peradaban bangsa lain, apalagi pada kondisi saat ini di era kecanggihan
teknologi informasi ( Information Technology ) di mana dunia
digambarkan seperti sabuah perkampungan yang tidak berbatas
teritorial, apapun yang terjadi di benua Amerika di sana atau di belahan
dunia lain, dalam beberapa detik saja sudah bisa diakses di Indonesia,
maka suatu bangsa tidak bisa mencerminkan kemurnian peradabannya
sendiri. Pada saat Muh. Yamin menyampaikan pandangannya juga sama
saling mempengaruhi antar budaya sudah berjalan. Ini memberi
perngertian bahwa setidaknya terbentuknya sebuah peradaban adalah
hasil sintesis dengan peradaban bangsa lain. Masyarakat purba atau
orang-orang asli yang lahir dan hidup di tengah hutan belantara saja,
barangkali yang dapat dikatakan memiliki budaya atau peradaban
murni atau asli, tetapi masyarakat seperti ini belum bisa dikatakan
masyarakat yang berbudaya atau berperadaban. Yang jelas, pencapaian (
achievement ) bangsa Indonesia dalam peradabannya adalah hasil dari
adobsi atau sintesis dengan peradaban-peradaban bangsa lain, dan ini
tidak dapat terelakkan dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia yang
saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya.
Pemikiran Muh. Yamin yang menyentuh dasar negara terdapat di
akhir pidatonya, di mana Muh. Yamin melampirkan naskah rancangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang dirumuskannya
sendiri. Dalam hubungan ini Muh. Yamin menyampaikan pemkirannya
sebagai berikut:
Habislah pembicaraan tentang azas kemanusiaan, kebangsaan,
kesejahteraan dan dasar yang tiga, yang diberkati kerahmatan
Tuhan, yang semuanya akan menjadi tiang negara keselamatan
yang akan dibentuk. Dengan ini saya mempersembahkan kepada
265
sidang sebagai lampiran suatu rancangan sementara perumusan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia44
.
Dalam mukaddimah naskah rancangan Undang-Undang Dasar
yang disampaikan Muh. Yamin tersebut, terdapat dengan jelas rumusan
dasar negara yang lima, yaitu;
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan persatuan Indonesia
3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan
5. Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia
Berdasarkan pandangan Muh. Yamin tentang dasar negara
dapatlah difahami bahwa negara Indonesia yang akan dibangun harus
didasarkan pada lima asas sebagaimana disebutkan di atas45
. Menurut
Muh. Yamin kelima dasar tersebut dapat dijadikan tiang negara. Kelima
dasar tersebut, tegas Yamin, dapat membawa keselamatan bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Isi Pidato Soepomo
Soepomo dalam pidatonya seperti juga Muh. Yamin,
mengkonsentrasikan pandangannya pada dasar negara yang akan
menjadi landasan negara Indonesia merdeka. Dalam konteks ini,
Soepomo menyatakan demikian; Pertanyaan mengenai dasar negara
pada hakekatnya adalah pertanyaan tentang cita-cita negara. Negara
menurut dasar pengertian apa yang akan dianut oleh negara merdeka
nanti. Pandangan Soepomo selanjutnya terfokus pada teori integralistik,
di samping teori individualistik ( perseorangan ), dan teori sosialistik.46
Dalam hubungan ini Soepomo menyatakan sebagai berikut;
Maka teranglah Tuan-Tuan yang terhormat, bahwa jika kita
hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan
44
Lihat Mh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld. 1,
h. 106 45
Menurut Nugroho Notosusanto terdapat rumusan lain dari Muh. Yamin
tentang dasar negara, yaitu; 1. Peri-Kemanusiaan, 2. Peri–Kebangsaan, 3.
Peri-Kesejahteraa. 4. Peri–Kerakyatan, 5. Peri–Ketuhanan.. Lihat, Nugroho
Notosusanto, Naskah Proklamasi Yang Otentik Dan Rumusan Pancasila Yang Otentik
( Jakarta: t. tpt., 1976 ), h. 16 46
Lihat, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld.
1, h. 110 - 111
266
keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara
kita harus berdasarkan aliran pikiran ( staatside ) negara yang
integralistik; negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya,
yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan
apapun47
.
Dalam kutipan di atas, Soepomo menawarkan teori negara
integralistik. Teori ini rupanya menjadi tema penting yang mewarnai
keseluruhan pemikiran Soepomo. Menurutnya bahwa negara
integralistik ialah sebuah negara yang bersatu padu dengan seluruh
rakyatnya dan menempatkan dirinya pada posisi yang berada di atas
semua golongan. Oleh karenanya di negara integralistik tidak ada
keistimewaan bagi golongan besar ( mayoritas ) ataupun golongan kecil
( minoritas ), semuanya sama, maka anggapan bahwa golongan
mayoritas berkuasa atas golongan minoritas tidak sejalan dengan teori
ini. Lebih lanjut Soepomo menyatakan sebagai demikian;
Menurut aliran pemikiran tentang negara yang saya anggap
sesuai dengan semangat Indoneia asli, negara tidak
mempersatukan dirinya dengan golongan terbesar dalam
masyarakat, pun tidak mempersatukan dirinya dengan golongan
yang paling kuat, akan tetapi negara mengatasi segala golongan
dan segala seseorang ( individu ), negara mempersatukan diri
dengan segala lapisan rakyat seluruhnya48
.
Berdasarkan pandangan Soepomo di atas, dapat dimengerti
bahwa negara Indonesia yang akan dibangun agar berdiri di atas
semua golongan, tidak memberikan keistimewaan kepada golongan
manapun, baik atas dasar kekuatan keagamaan, keturunan ( etnic ),
ekonomi dan sebagainya. Oleh karena itu, Umat Islam secara
keseluruhannya yang merupakan mayoritas rakyat Indonesia
diperlakukan sama dengan umat-umat agama lain. Ini artinya bahwa asas
Islam dalam teori negara integralistik tidak dapat dijadikan dasar negara,
sekalipun mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. Demikian juga
dengan agama-agama lain yang pada umumnya dianut oleh minoritas
penduduk. Jadi, dengan demkian Indonesia yang akan dibangun dalam
konsepsi Soepomo tidak bisa didasarkan pada dasar agama, baik agama
47
Ibid. h. 113 48
Lihat, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld.
1, h. 114
267
yang dianut oleh mayoritas rakyat ataupun agama yang dianut oleh
minoritas. Dalam konteks ini Soepomo menegaskan sebagai berikut;
Akan tetapi tuan-tuan yang terhormat, akan mendirikan negara
Islam di Indonesia berarti tidak akan mendirikan negara
persatuan. Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti
mendirikan negara yang akan mempersatukan diri dengan
golongan terbesar, yaitu golongan Islam49
.
Pandangan ini jelas menyatakan bahwa Islam tidak bisa
dijadikan dasar negara, karena menurut Soepomo jika Indonesia
didasarkan pada asas Islam berarti negara hanya mempersatukan diri
dengan rakyat yang mayoritas dan berarti pula bahwa rakyat Indonesia
yang minoritas tidak mendapatkan tempat. Oleh karena itu, Soepomo
menawarkan bentuk negara nasional, negara bangsa, yaitu negara yang
menaungi semua aliran dan golongan. Hal ini sebagaimana ditegaskan
Soepomo sebagai berikut;
Oleh karena itu saya nenganjurkan dan saya mufakat dengan
pendirian yang hendak mendirikan negara nasional yang
bersatu, dalam arti totaliter seperti yang diuraikan tadi, yaitu
negara yang tidak mempersatukan diri dengan golongan yang
terbesar, akan tetapi yang akan mengatasi segala golongan
dan akan mengindahkan dan menghormati keistimewaan dari
segala golongan, baik golongan besar, maupun golongan yang
kecil50
.
Pernyataan Soepomo ini jelas menunjukkan bahwa negara
Indonesia yang akan dibangun adalah negara nasional yang menghargai
kehidupan plural, baik dari segi agama, etnic, budaya dan sebagainya.
Mayoritas atau minoritas tidak mejadi persoalan, semuanya akan
mendapatkan pelayanan dan perlindungan negara. Seluruh
pemikiran Soepomo terkait dengan dasar negara ternyata bermuara
pada teori integralistik, menurut Marsilan Simanjuntak, terpengaruh
ajaran Hegel ( 1770 – 1831 ), Baruch Spinoza ( 1632 – 1677 M. ) dan
Adam Muller, tidak tahan uji dengan teori kedaulatan rakyat, karena
gagasan negara integralistik lebih mengutamakan keseluruhan,
ketimbang teori individualistik, juga lebih mengutamakan persatuan
organik dalam negara ketimbang kepentingan individu dan golongan.
49
Ibidh. 117 50
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld. 1, h.
117
268
Gagasan negara integralistik menurut Marsilan lagi, bersemangat
antiliberalisme dan antiindividualisme. Pandangan yang hampir serupa
dikemukakan oleh Adnan Buyung Nasution yang mengkritik konsep
negara integralistik Soepomo51
. Walau bagaimanapun teori negara
integralistik adalah sebuah gagasan yang muncul ketika terjadi
pembahasan tentang dasar negara, terserah kepada rakyat Indonesia
untuk menerima atau menolaknya, tetapi realitasnya rakyat Indonesia
menerima teori kedaulatan rakyat sebagai salah satu prinsip demokrasi.
Hal ini dapat dimengerti bahwa rakyat Indonesia menolak gagasan
negara integralistik.
Selain berbicara tentang dasar negara, Soepomo juga berbicara
tentang hubungan agama dan negara. Di akhir pidatonya, Soepomo
berbicara tentang kedudukan agama dalam teori negara integralistik,
bahwa negara sekalipun menganut teori integralistik tidak anti agama,
hanya saja negara tidak ikut mencampuri urusan-urusan agama. Dalam
konteks ini Soepomo menegaskan demikian;
Dengan sendirinya dalam negara nasional yang bersatu itu,
urusan agama akan terpisah dari urusan negara dan dengan
sendirinya dalam negara nasional yang bersatu itu urusan agama
akan diserahkan kepada golongan-golongan agama yang
bersangkutan. Dan dengan sendirinya dalam negara sedemikian,
seseorang akan merdeka memeluk agama yang disukainya, baik
golongan agama yang terbesar, maupun golongan agama yang
terkecil, tentu akan merasa bersatu dengan negara52
.
Berdasarkan penjelasan Soepomo di atas, dapat difahami
bahwa negara yang berdasarkan teori integralistik, ialah negara nasional
sekular, yaitu negara yang memisahkan agama dari urusan-urusan
negara ( politik ), sekalipun negara tidak anti agama. Dalam konteks
ini, ada analisa yang cukup baik tentang gagasan negara integralistik
Soepomo disampaikan A.M.W. Pranarka bahwa Soepomo telah
membedakan antara negara Islam dengan negara yang berdasarkan
cita-cita luhur Islam. Yaitu negara yang berdasarkan cita-cita luhur Islam
( kebaikan-kebaikan yang bersumberkan ajaran Islam ) sekalipun secara
legal formal negara tidak berdasarkan asas Islam. Dalam pengertian
51
Lihat, Gatra ( Majalah berita mingguan ), 10 Juni 1995,l No. 30, tahun 1,
Jakarta, h. 28 52
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld. 1, h.
117
269
bahwa negara memberikan kebebasan kepada rakyatnya yang beragama
Islam untuk melaksanakan ajaran-ajaran agamanya, meskipun negara
tidak didasarkan pada asas Islam, demikian juga rakyat yang beragama
lain53
.
Berikut beberapa pokok pikiran Soepomo berkenaan dengan
rancangan dasar negara sebagai berikut; bahwa Indonesia harus
didasarkan pada budaya asli, jati diri, yaitu budaya Indonesia, negara
bersifat integralistik atau nasional totaliter, negara harus mengatasi
semua golongan, baik yang mayoritas atau yang minoritas, negara
tidak ikut campur dengan urusan-urusan agama. Selain itu ada beberapa
para penulis, antaranya Muh. Yamin, Nugroho Notosusanto, Kohar Hari
Soemarno mencatat pokok-pokok pemikiran Soepomo tentang dasar
negara sebagai berikut; 1. Persatuan, 2. Kekeluargaan, 3.
Keseimbangan lahir batin, 4. Musyawarah, 5. Keadilan rakyat54
.
Isi Pidato Soekarno
Tokoh ketiga yang menyampaikan pemikiranya tentang dasar
negara adalah Soekarno. Soekarno telah menyampaikan pandanganya
secara jelas dan menyentuh persoalan secara langsung dan mendasar,
meskipun secara keseluruhan inti dari pandangan Soekarno menurut
Nugroho Notosusanto dan lain-lainnya, dikatakannya hampir ada
kesamaan dengan yang disampaikan oleh kedua tokoh sebelumnya,
yaitu; Muh. Yamin dan Soepomo, lebih khusus lagi Muh. Yamin yang
hampir benar-benar sama. Namun demikian, Lembaga Soekarno–Hatta
tidak menyetujui pandangan Nugroho tersebut. Berikut ini disampaikan
petikan-petikan pandangan Soekarno terkait dengan rancangan dasar
negara.
Sebelum menyampaikan inti permasalahan yang sangat
fundamental berkenaan dengan pembentukan negara Indonesia,
Soekarno lebih dahulu memberikan ulasan atau komentar kepada para
tokoh sebelumnya yang telah menyampaikan pandangannya. Menurut
Soekarno, para pemidato terdahulu belum memenuhi permintaan ketua
53
Lihat, A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila ( Jakarta:
CSIS, 1985 ), h. 30 54
Lihat Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1,
h. 121. Lihat Juga, Nugroho Notosusanto, Naskah Proklamasi Yang Otentik dan
Rumusan Pancasila Yang Otentik ( Jakarta: T. pt., 1976 ), h. 17. Lihat juga, Kohar Hari
Soemarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila ( Jakarta: Galia Indonesia, 1405 H. /
1984 ), h. 39
270
sidang K.R.T. Rajiman tentang dasar negara Indonesia. Menurut
Soekarno lagi bahwa dirinyalah yang sudah mengerti tentang apa yang
diminta ketua sidang, yaitu soal dasar, philosofhische gronsdlag ( bahasa
Belanda ) weltanchouung ( bahasa Jerman ) yang akan menjadi landasan
negara Indonesia merdeka. Dalam hubungan ini Soekarno menyatakan ;
Maaf, beribu maaf, banyak anggota telah berpidato dan dalam
pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan
permintaan paduka tuan ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya
Indonesia merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh
paduka tuan ketua yang mulia ialah dalam bahasa Belanda “
philosofisch grondslag “ dari Indonesia merdeka. Philosofische
grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang
sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia
merdeka yang kekal dan abadi55
.
Secara rinci Soekarno menyebut satu persatu secara sistematik
terkait rangcangan dasar negara, yang pada intinya mengandung lima
prinsip. Berikut ini disampaikan pokok-pokok pemikiran Soekarno
tentang rancangan dasar negara tersebut. Soekarno menegaskan bahwa
dasar pertama yang baik bagi negara Indonesia, ialah dasar
kebangsaan. Kita mendirikan suatu negara kebangsaan Indonesia56
.
Soekarno selanjutnya menyampaikan dasar kedua, yaitu dasar
internasionalisme atau peri-kemanusiaan, sebagai berikut;
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia, tetapi kita
harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Inilah
filosofische prinsip ( bahasa Belanda ) yang nomer dua, yang
saya usulkan kepada tuan-tuan yang boleh saya namakan
internasionalisme57
.
Dasar ketiga ialah permusyawaratan / perwakilan. Berikut ini
Soekarno menegaskan sebagai berikut ;
Kemudian apakah dasar yang ketiga ?. Dasar itu ialah dasar
mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara
Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara
55
Lihat, Soekarno, Lahirnya Pancasila -Pidato pertama tentang Pancasila 1
Juni 1945- ( T.tp : Tpt, T. th. ) h. 5 56
Ibid. h. 15. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang
Dasar 1945, Jld. 1, h. 69 57
Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 21 – 22. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah
Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 73 - 74
271
untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita
mendirikan negara semua buat semua, satu buat semua, semua
buat satu. Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya
negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan 58
.
SelanjutnyaSoekarno menyampaikan dasar keempat, yaitu dasar
kesejahteraan rakyat. Sehubungan ini Soekarno menyatakan sebagai
berikut;
Prinsip nomer empat saya usulkan, saya di dalam tiga hari ini
belum mendapat prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip
tidak akan ada kemiskinan di dalam rakyat Indonesia . . . . . . .
.Maka oleh itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti,
mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima hal
sociale rechtvaardigheid ( bahasa Belanda ) ini, yaitu bukan saja
persamaan politik, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan
ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya
kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya59
.
Akhirnya Soekarno sampai ke prinsip yang kelima, yaitu prinsip
Ketuhanan. Sehubungan ini Soekarno menegaskan sebagi berikut ;
Saudara-saudara apakah prinsip ke lima ? saya telah
mengemukakan empat prinsip; Kebangsaan Indonesia,
Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan, Mufakat atau
Demokrasi, dan Kesejahteraan sosial. Prinsip Indonesia
merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Prinsip Ketuhanan, bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan,
tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan.
Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut
petunjuk Isa al-Masih. Yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk
Nabi Muhammad saw.. Orang Budha menjalankan ibadatnya
menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita
semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara
yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan
58
Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 22. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah
Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 74 59
Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 24 – 26. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah
Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 75 - 77
272
cara yang leluasa, . . . . . . . Dan hendaknya negara Indonesia
suatu negara yang Ber-Tuhan60
.
Demikianlah pada 1 Juni 1945 Soekarno telah menyampaikan
prinsip-prinsip tentang dasar negara. Dan jika disusun prinsip-prinsip
tersebut secara sistematik, maka menjadi sebagai berikut;
1. Kebangsaan Indonesia,
2. Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaan,
3. Mufakat, Perwakilan dan Permusyawaratan,
4. Kesejahteraan sosial, dan
5. Ketuhanan.
Kelima-lima prinsip ini, Soekarno memberinya nama
Pancasila, menurut pengakuannya nama tersebut diperoleh dari salah
seorang teman ahli bahasa. Dalam hubungan ini Soekarno menyatakan
sebagai berikut;
Saudara-saudara, dasar-dasar negara telah saya usulkan, lima
bilangannya. Inikah Panca Dharma ?. Bukan. . . Nama Panca
Dharma tidak tepat di sini. Dharma artinya kewajiban.
Sedangkan kita ( sedang ) membicarakan dasar . . . . Namanya
bukan Panca Dharma. Tetapi saya namakan ini dengan petunjuk
seorang teman kita ahli bahasa,61
namanya ialah Pancasila. Sila
artinya azas ( asas ) atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah
kita mendirikan negara Indonesia kekal dan abadi62
.
Untuk memperkuat gagasan tentang rancangn dasar negara yang
berjumlah lima prinsip itu, Soekarno kemudian membuat padanan (
perumpaan ) simbolik yang berjumlah lima pula. Dalam hubungan ini
Soekarno menjelaskan;
Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukum
Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai
pancaindera. Apalagi yang lima bilangannya ? Seorang yang
hadir ( dalam sidang BPUPKI waktu itu ) berkata, pandawa
lima. . . . Pandawapun lima orangnya. Sekarang banyaknya
60
Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 26 – 27. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah
Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 77 61
Terdapat sumber menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan seorang ahli
bahasa itu adalah Muh. Yamin. 62
Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 27 - 28
273
prinsip; Kebangsaan, Internasionalisme, Mufakat,
Kesejahteraan dan Ketuhanan, lima pula bilangannya63
.
Soekarno setelah menyampaikan rancangan dasar negara yang
berjumlah lima prinsip dan diperkuat dengan padanan lima simbol.
Soekarno selanjutnya menyampaikan teori perasan ( peres ). Hal ini
sebagaimana dikutip Endang Saefuddin Anshari.64
Teori perasan itu
demikian; Lima Sila itu diperas menjadi tiga sila, disebut Trisila, dan
Trisila ini kemudian diperas lagi menjadi satu sila, yaitu, Ekasila.
Jelasnya teori perasan itu sebagaimana disampaikan Soekarno65
,
sebagai berikut;
1. Sosio-Nasionalisme, meliputi;
Kebangsaan Indonesia,
Peri-Kemanusiaan,
2. Sosio-Demokrasi, meliputi;
Demokrasi,
Kesejahteraan sosial,
3. Ketuhanan.
Trisila atau tiga sila kemudian diperas lagi menjadi satu sila,
yaitu; Ekasila atau Gotong royong. Dalam hubungan ini Soekarno
menjelaskan sebagai berikut;
Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan tiga menjadi satu,
maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen ( asli ), yaitu
perkataan Gotong royong. Negara yang akan kita dirikan haruslan
negara gotong royong. Alangkah hebatnya negara gotong royong.66
Pada kesempatan yang sama setelah mengajukan lima prinsip, Soekarno
kemudian menawarkan kepada para anggota sidang bahwa
ketiga-tiga bentuk gagasan itu sebagai altenatif, yang mana satu yang
dikehendaki. Berikut ini Soekarno menyatakan sebagai berikut;
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi
terserah kepada tuan-tuan, mana tuan-tuan yang akan pilih,
Trisila, Ekasila ataukah Pancasila. Isinya telah saya katakan
63
Ibid. h. 28. Lihat juga, Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis
Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi ( Jakarta: Bulan Bintang, 1977 ), h. 12 - 13 64
Lihat E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah
Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekular Tentang Dasar
negara Republik Indonesia ( Jakarta: SV. Rajawali, 1981 ), h. 17 65
Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 28 66
Ibid. h. 29
274
kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang
saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk
Indonesia merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah
menggelora dengan prinsip-prinsip itu67
.
Demikianlah pidato Soekarno yang disampaikannya pada 1 Juni
1945 di depan sidang pertama BPUPKI. Satu persatu dari lima prinsip
rancangan dasar negara tersebut dijelaskannya secara sistematik, dan
Soekarno kemudian menawarkan agar lima prinsip itu diberi nama
Pancasila. Para anggota sidang kemudian menyambutnya dengan tepuk
tangan yang riuh rendah setelah pidato selesai. Realitas ini
mengindikasikan bahwa usulan Soekarno terkait dengan Pancasila
diterima68
.
Ketika hasil pidato Soekarno diterbitkan menjadi buku pada
pertama kalinya di tahun 1947. K.R.T. Rajiman Wedyodiningrat ( ketua
BPUPKI ) memberinya judul pada buku ini; Lahirnya Pancasila69
.
Ini berarti bahwa ketiga-tiga alternatif yang ditawarkan Soekarno;
Pancasila, Trisila dan Ekasila, hanya nama Pancasila yang diterima oleh
anggota sidang, sementara Trisila dan Ekasila tidak. Demikianlah
beberapa pokok pemikiran yang muncul dan berkembang pada sidang
pertama BPUPKI yang berlangsung dari tanggal 29 Mei–1 Juni 1945.
Pokok-pokok pemikiran tersebut selanjutnya menjadi agenda
pembahasan oleh Panitia Khusus ( Pansus ) yang beranggotakan
sembilan orang.
4. Sumber Gagasan Dasar Negara Pancasila
Jika diperhatikan lebih dalam dari mana inspirasi lima dasar atau
lima sila tersebut, baik yang disampaikan Moh. Yamin, Soepomo atau
Soekarno. Menurut E. Saefuddin Anshari yang jelas semua gagasan
yang muncul dan berkembang dari ketiga-tiga tokoh nasional tersebut
bukanlah gagasan baru. Karena gagasan lima dasar negara telah tertanam
67
Ibid. h. 29 - 30 68
Lihat Kirdi Dipoyudo, Pancasila, Arti dan Pelaksanaannya ( Jakarta:
Yayasan Proklamasi, CSIS, 1979 ), h. 20 69
Lihat Moh. Hatta, Pengertian Pancasila –Pidato Peringatan Lahirnya
Pancasila Tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional- ( Jakarta: PT. Inti
Idayu Press, 1978 ), h. 9. Lihat juga, Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis
Dasar Negara Dan Sebuah Proyeksi, h. 12
275
di jiwa Soekarno semenjak puluhan tahun ke belakang70
. Hal ini diakui
oleh Soekarno sendiri dalam pernyataanya sebagai berikut;
. . . . . saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini
untuk weltanchaung itu, untuk membentuk nasionalisme
Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam
peri-kemausiaan , untuk mufakat, untuk sociale
rechtvaardigheid, untuk Ketuhanan. Pancasila inilah yang
berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun71
.
Pada kesempatan yang sama Soekarno menegaskan; maka yang
selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam
beberapa hari di dalam sidang BPUPKI ini, akan tetapi sejak tahun 1918,
dua puluh lima tahun lebih ke belakang,72
Selain dari itu, jika
diperhatikan dari aspek kronologi waktu akan terungkap bahwa pada
bulan Juli 1933 ketika di dalam Konferensi Partai Indonesia ( Partindo )
di Mataram, Soekarno pernah menyatakan; Bagi kaum Marhaen73
, asas
itu ialah Kebangsaan atau Kemarhaenan ( Marhaenisme ). Di dalam
keputusan Konferensi tersebut, Soekarno menegaskan; bahwa
Marhaenisme itu ialah Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi.
Sosio-nasionalisme mengandung dua konsep dasar, iaitu;
Internasionalisme dan Nasionalisme, dan Sosio-demokrasi mengandung
dua konsep dasar juga, iaitu; Demokrasi dan keadilan sosial.74
Dengan
demikian, dasar pemikiran Soekarno tidak tiba-tiba wujud pada sidang
BPUPKI, tetapi sudah tertanam dalam jiwanya semenjak tahun 1918
lagi.
Demikian juga dengan Muh. Yamin ketika dipecat dari
keanggotaan Gerindo ( Gerakan Indonesia ) pada tahun 1939,
70
E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah
Konsensus Nasional Antara Nasionalisme Islam dan nasionalisme Sekular Tentang
Dasar negara Republik Indonesia 1945 – 1959, h. 19 71
Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 30 72
Ibid. h. 15 73
Marhaen ialah terminologi yang dimaksudkan suatu masyarakat yang
sebagian besar terdiri dari golongan bawah dengan sifat-sifat atau karakter orang
bawah, baik sebagai petani kecil, buruh kecil, pedagang kecil, pelajar kecil, pegawai
kecil dan sebagainya. Dalam bahasa Jawa disebut; Wong cilik. Soekarno juga menyebut
istilah Marhaen ketika menyampaikan pidatonya di depan sidang BPUPKI. Lihat
Soekarno, Indonesia Menggugat–pidato pembelaan Bung Karno di depan Hakim
Kolonial–( Jakarta: S.K. Seno, 1951 ), hlm. 130. Lihat juga, Soekarno, Lahirnya
Pancasila. h. 10 74
Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 28
276
kemudian Muh. Yamin bersama-sama dengan kawan-kawannya
mendirikan Partai Persatuan Indonesia ( Parpindo ) yang didasarkan
pada faham Sosial-nasionalisme dan Sosial-demokrasi75
. Jadi dasar
pemikiran Muh. Yamin pun tidak mendadak lahir pada saat sidang
BPUPKI, tetapi sudah berakar dalam jiwanya semenjak tahun 40-an ke
belakang.
Selain dari itu, jika diperhatikan penjelasan-penjelasan Soekarno
yang disampaikannya pada sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 di mana
Soekarno sendiri banyak terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran A.
Baars dan Sun Yatsen. Dalam hubungan ini Soekarno menjelaskan
sebagai berikut;
Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun duduk
dibangku sekolah HBS ( sekolah menengah ) di Surabaya, Saya
dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars yang
memberi pelajaran kepada saya, katanya; jangan berfahaman
kebangsaan, tetapi berfahamanlah rasa kemanusiaan sedunia . . .
. . . . itu terjadi pada tahun 1917. Tetapi pada tahun 1918
alhamdulillah, ada orang lain yang mengingatkan saya, yaitu
Sun Yatsen di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three
People`s Principle`s, saya mendapat pelajaran yang
membogkar kosmopolitanisme yang diajarkan oleh A. Baars itu.
Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan oleh
pengaruh The Three People`s Principles itu. Maka oleh
karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa ( China )
menganggap Sun Yatsen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa
Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan
hormat-sehormatnya merasa berterima kasih kepada Sun Yatsen
sampai masuk ke lubang kubur76
.
Ketika Soekarno berbicara mengenai prinsip kesejahteraan
sosial dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI, Soekarno
mengulangi lagi pengaruh San Min Chu I, antara lain Soekarno
menjelaskan sebagai berikut;
Saya di dalam tiga hari ini belum mendengar prinsip itu, yaitu
prinsip kesejahteraan; prinsip tidak akan ada kemiskinan di
dalam Indonesia merdeka. Saya katakan tadi; prinsip San Min
75
Pringgodigdo, A.K. Sejarah Pergerakan Rakkyat Indonesia ( Jakarta: Dian
Rakyat, 1967 ), h. 110 - 112 76
Soekarno, Lahirnya Pancasila, h, 21
277
Chu I, ialah Mintsu, Min Chuan, Min Seng; Nasionalism,
Democracy, socialism. Maka prinsip kita harus . . . . .
kesejahteraan sosial . . . . . sociale rechtvaardigheid . . . . .77
.
Pada tempat lain, ketika Soekarno membuat perbandingan
bagaimana Sun Yatsen menyediakan konsep untuk peletakan dasar
negara Tionghoa ( China ), Soekarno menyatakan sebagai berikut;
Di dalam tahun 1912 Sun Yatsen mendirikan negara Tionghoa
merdeka, tetapi weltanschaungnya telah ada sejak tahun 1885,
kalau saya tidak salah dipikirkan, dirancangkan di dalam buku
The Three People`s Principles, San Min Chu I; Mintsu, Min
Chuan, Min Seng; Nasionalisme, Demokrasi, Sosialisme, telah
digambarkan oleh Sun Yatsen weltanschaung itu, tetapi baru
dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas
weltanschaung San Min Chu I itu78
.
Kutipan di atas menunjukan bahwa pernyataan mengenai
rancangan dasar negara Indonesia, baik lima dasar Muh. Yamin, atau
lima sila Soekarno bukanlah sesuatu yang kebetulan secara tiba-tiba
muncul ketika sidang pertama BPUPKI. Tetapi telah ada semenjak
puluhan tahun ke belakang. Karena sebenarnya pernyataan-pernyataan
yang terungkap pada hari pertama sidang BPUPKI itu, terutama
mengenai pemikiran sosial-nasionalisme dan sosial demokrasi bersama
dengan pengertian-pengertiannya, yaitu; Internasionalisme,
Nasionalisme, Demokrasi dan Keadilan sosial pada hakekatnya sebagai
penjelmaan dari apa yang pernah terungkap sebelumnya. Kemudian,
selain dari itu apa yang disampaikan Soekarno di atas, dapat dimengerti
bahwa Soekarno banyak dipengaruhi oleh peikiran dari luar, terutama
yang datang dari Sun Yatsen dan A. Baars. Namun demikian, tidak
berarti bahwa keseluruhan konsepsi dasar Soekarno merupakan barang
import. Sebab jika diperhatikan pernyataan-pernyataan Soekarno
dalam pidatonya itu bukanlah penyalinan seratus persen dari idea luar.
Hal ini diakui sendiri oleh Soekarno bahwa; kalau kita mencari
demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan
yang memberi hidup, yakni politik ekonomi demokrasi yang mampu
mendatangkan kesejahteraan sosial. Rakyat Indonesia sudah lama bicara
tentang hal ini79
. Ini dikarenakan seluruh benua Barat, menurut
77
Ibid. h. 24 - 26 78
Ibid., h. 14 79
Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 21
278
Soekarno, terutama Eropa dan Amerika bukankah justeru mereka kaum
kapitalis yang merajalela, karena di negara-negara tersebut tidak ada
keadilan sosial, tidak ada demokrasi ekonomi, yang ada hanya politik
demokrasi80
. Pernyataan ini sebagai indikasi bahwa tidak semua yang
datang dari luar diterima begitu saja mentah-mentah, tetapi setidaknya
difilter, diproses atau diadobsi dengan pemikiran yang ada, sehingga
yang muncul kemudian adalah sesuatu yang sintesis yang sesuai dengan
kondisi masyarakat, rakyat dan bangsa Indonesia. Selain dari itu yang
berkenaan dengan konsep nasionalisme menurut Soekarno sudah
direalisasikan semenjak wujudnya kerajaan-kerajaan besar Indonesia di
masa lalu, yaitu; Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Dalam konteks ini
Soekarno menyatakan; Kita hanya mengalami dua kali negara nasional,
yaitu; ketika di zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit81
. Ini berarti
bahwa faham nasionalisme sudah direalisasikan dalam bentuk yang
nyata semenjak lahirnya pemerintahan-pemerintahan besar di masa lalu.
Hanya saja pada saat itu dasar negara masih belum terumuskan
dalam satu rumusan sistematik, maka pemikiran Sun Yatsen
sebagaimana tertulis di dalam karyanya; The Three People`s Principles
membantu Soekarno dalam merumuskan pemikiran itu secara sistematik
ke dalam pola kehidupan kenegaraan di Indonesia. Dari sini jelas dapat
ditegaskan bahwa konsepsi tentang rancangan dasar negara merupakan
sintesis dari pemikiran yang datang dari luar dan kemudian diolah
dengan pandangan hidup yang telah ada semenjak berabad-abad
lamanya. Realitas ini tepat seperti yang dinyatakan Muh. Yamin; Begitu
pulalah dengan ajaran Pancasila, suatu sinthese negara yang lahir dari
antithese.82
Hal ini serupa dengan yang ditegaskan Presiden Soeharto (
mantan Presiden RI ke-2 ); bahwa Pancasila sebenarnya tidak lahir
secara tiba-tiba pada tahun 1945, melainkan telah melalui proses
panjang, dimatangkan oleh sejarah perjuangan bangsa kita sendiri,
melihat pengalaman bangsa-bangsa lain, diilhami oleh idea-idea besar
80
Pernyataan Soekarno tersebut masih relevan untuk saat ini, hanya seberapa
besar pengaruh dari praktik kapitalisasme barangkali yang harus dipastikan. Dalam
realitas perpolitikan memang selalu didengungkan demokrasi, tetapi dalam hal
ekonomi, tidak ada demokrasi, dalam arti keadilan ekonomi tidak ada, yang ada adalah
kapitalisme liberal. 81
Soekarno, LahirnyaPancasila, h. 19 82
Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Repunlik Indonesia (
Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960 ), h.454
279
dunia, tetapi dengan tetap berakar pada kepribadian dan idea-idea bangsa
kita sendiri83
.
Aspek lain dari pembahasan ini yang perlu diperhatikan ialah
bahwa kalau konsepsi tentang rancangan dasar negara, terutama yang
digagas oleh Soekarno sepertinya banyak dipengaruhi oleh buku The
Three People`s Principles, maka konsep dasar Ketuhanan itu dari mana
sumber inspirasinya ?. Dalam hubungan ini E. Saefuddin Anshari
menegaskan bahwa Muh. Yamin dan Soekarno menemukan prinsip
Ketuhanan ini dari alam pikiran dan cita-cita yang diungkapkan oleh
para pemimpin Islam di dalam Badan Penyelidik ( BPUPKI ), yang pada
mulanya menolak dasar Kebangsaan dan mengajukan Islam sebagai
dasar negara84
. Sesuatu yang sudah menjadi realitas memang bahwa
pengertian Ketuhanan ini pada hakekatnya berlatar belakang Islam,
walaupun tidak selalu diterima oleh golongan bukan muslim. Ahmad
Syafii Maarif menganalisisnya dari aspek lain dan menyatakan bahwa
jika menurut jalan pikiran Soekarno, Pancasila merupakan refleksi dari
warisan sosiologis rakyat Indonesia yang kemudian Soekarno
merumuskannya dalam lima prinsip. Oleh karena itu, prinsip Ketuhanan
pada mulanya tidak ada hubung kait secara organik dengan mana-mana
agama85
. Dengan ungkapan lain; Tuhan dalam konsepsi Soekarno
bersipat sosiologis, sehingga konsep Ketuhanan bersipat relatif86
.
Namun demikian, setelah terjadi perdebatan sengit antara pihak
Nasionali Islam dan Nasionalis Sekular di dalam Badan Penyelidik (
BPUPKI ), sila Ketuhanan berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa
dan ditetapkan menjadi sila pertama.
Dalam konteks ini, Hazairin berpendapat serupa dengan di atas
dan menyatakan sebagai berikut;
Dari manakah sebutan Ketuhanan Yang Maha Esa itu ?, dari
pihak Nasranikah atau pihak Hindukah atau dari pihak Timur
83
Soeharto, Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila ( Jakarta:
Yayasan Proklamasi, CSIS, 1972 ), h. 10 84
E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsnsus
Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekular Tentang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 – 1959, hlm. 23 85
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang
Percaturan Dalam Konstituante ( Jakarta: LP3S, 1985 ), h. 144 86
Hal ini dapat dirujuk pada pandangan-pandangan Soekarno tentang konsep
Ketuhanan yang bersifat evolutif dalam buku yang berjudul “ Pamcasila Sebagai Dasar
Negara “, dalam sub topik “ Ketuhanan Yang Maha Esa “.
280
Asing, yang ikut bermusyawarah dalam Panitia yang bertugas
menyusun Undang-Undang Dasar 1945 itu, tidak mungkin.
Istilah Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya sanggup diciptakan
oleh otak kebijaksanaan dan iman orang Indonesia Islam, yakni
sebagai terjemahan pengertian yang terhimpun dalam “ Allahu
al-Wahid “ yang disalurkan dari Al-Qur`an, 2:163 dan dizikirkan
dalam do`a kanzu al-Arasy baris 1787
.
Dalam hubungan ini Departemen Agama ( kini Kementerian
Agama ) Republik Indonesia turut pula menyampaikan pandangannya
sebagai berikut;
. . . . . . ada hubungan antara prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa
dalam Pancasila dengan ajaran teologi Islam . . . . . . bahwa
prinsip pertama Pancasila yang merupakan prima - ausa atau
penyebab pertama itu adalah sejalan dengan beberapa ajaran
Tauhid Islam, yaitu Tauhid al-Sifat dan Tauhid al-Af`al . . . . . .
Ajaran ini juga diterima oleh agama-agama lain di Indonesia88
.
Pada saat dibentuknya Panitia Pancasila yang beranggotakan
lima orang; Moh. Hatta, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Sunario dan
A.G. Pringgodigdo yang dianggap dapat memberikan pengertian
Pancasila yang sesuai dengan alam pikiran dan semangat lahir batin para
penyusun Undang-Undang Dasar 1945, karena mereka orang-orang
yang aktif secara langsung dalam menyusun rancangan dasar negara (
Pancasila ) dan Undang-Undang Dasar 1945 di tahun 1945. Di dalam
salah satu sidangnya pernah terjadi diskusi mendalam terkait dengan
sumber pengambilan dasar Ketuhanan, Sunario salah seorang anggota
Panitia dan tokoh PNI ( Partai Nasional Indonesia ) menyatakan; Bung
Karno menegaskan bahwa beliau adalah salah seorang penggali
Pancasila, saya yakin benar. Moh. Hatta langsung menyambut;
mungkin saja, tetapi yang jelas Bung Karno banyak mendapat ilham,
ya . . . memang demikian halnya, misalnya saja asas Ketuhanan dari
pihak PSII ( Partai Syarikat Islam Indonesia ) yang menjadi dasar
perjuangan Partai itu89
. Maka atas fakta inilah barangkali tidak
87
Hazairin, Piagam Jakarta Demokrasi Pancasila ( Jakarta: Tintamas, 1970
), h. 58 88
Department of Religious Affairs of the Republic of Indonesia, The History
and the Role of the Department of Religious Affairs of the Republic of Indonesia (
Jakarta: Burean of Public Relation, Department of Religious Affairs, 1975 ), h. 11 89
Lihat, Moh. Hatta, Uraian Pancasila ( Jakarta: Mutiara, 1977 ), h. 76
281
berlebihan jika Ahmad Syafii Maarif berpendapat bahwa penafsiran
yang menyimpang atau bertentangan dengan kepercayaan dasar Islam,
berarti perkosaan terhadap fakta sejarah. Dalam arti bahwa prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa hanyalah cermin dari fenomena sosiologis
masyarakat Indonesia yang religius90
. Oleh karena itu tepatlah apa
yang ditegaskan T.M. Usman El-Muhammady bahwa Pancasila ialah
filsafat kehidupan orang-orang beragama, karena sila pertama dari
Pancasila adalah ajaran dan didikan agama91
. Pandangan T.M Usman
El-Muhammady benar sesuai dengan fakta, karena para perumus
Pancasila adalah orang-orang beragama.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapatlah ditegaskan bahwa
prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa bersumberkan idea-idea besar para
pemimpin yang berfahaman Nasionalis Islam. Oleh karena itu penulis
tidak sependapat dengan pandangan Hery J. Benda dan J.M. Van Der
Kroef yang melihat Pancasila bersifat kejawen yang dinamik, meskipun
dari segi kajian akademik bisa diterima92
. Karena sebutan kejawen
berunsurkan sukuisme ( etnicity ), selain identik dengan tingkat
keberagamaan yang bersifat abangan ( suatu terminologi yang berupaya
mengkategorisasi umat Islam; Islam santri dan Islam abangan ),
sementara Pancasila sudah diterima sebagai dasar negara oleh seluruh
rakyat dan bangsa Indonesia, maka Pancasila sebagai ideologi lintas
suku. Selanjutnya J.M. Van Der Kroef memberi analisa yang
mengambang, yaitu; bahwa ada tiga pemikiran yang membentuk alam
pemikiran di Indonesia, ketiga ideologi inilah yang menjadi acuan dasar
dalam perumusan Pancasila. Pertama; Ideologi tradional pra Islam
yang bercampur aduk dengan mitos sosial Hinduisme. Kedua; Islam,
baik yang beraliran kaum tua, yaitu golongan dari umat Islam yang
mengacu pada tradisi dan belum menerima modernisasi alam pemikiran,
ataupun aliran kaum muda, yaitu golongan umat Islam yang sudah
menerima modernisasi dalam perjuangan. Ketiga, Liberalisme yang
90
A. Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Studi Tentang
Percaturan Dalam Konstituante ( Jakarta: LP3S, 1985 ), h. 63 91
T.M. Usman El-Muhammady, Antropologi Religi dan Pancasila ( Jakarta:
Pustaka Agus Salim, 1969 ), h. 7 - 10 92
Hery J. Benda, Continuity and Chang In Southeast ( New Haven: Yale
University, 1972 ) – Southeast Asia Studies Monograph Series No. 18, h. 180. Lihat
juga, Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia ( Jakarta: Lembaga Studi
Informasi Pembangunan LSIP, 1995 ),h. 112
282
bercampur dengan ideologi Marxisme93
. Boleh jadi pandangan Van
Der Kroef sebatas berdasarkan klaim Soekarno ketika nenyatakan
bahwa dirinya salah seorang nasionalis yang tetap menganut Islam dan
tetap Marxis. Bagi Soekarno, Pancasila adalah sebagai manifestasi dari
kepribadian bangsa Indonesia, yaitu gotong royong94
.
Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa Pancasila adalah hasil
ramoan dari pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, kemudian
diproses atau diadon dengan pemikiran-pemikiran yang sudah ada
semenjak ratusan tahun ke belakang dan dasar Ketuhanan Yang Maha
Esa berasal dari para pemikir Nasionalis Islam. Soekarno, Muh.
Yamin, Soepomo, H. Agus Salim, A.Wahid Hasyim dan lain-lainnya
adalah orang-orang yang berjasa dalam merumuskan idea-idea itu
sehingga terbentuk menjadi satu rumusan yang dipergunakan sebagai
dasar dan ideologi negara Indonesia. Dalam istilah yang dikemukakan E.
Saefuddin Anshari; Pancasila Soekarno dan lima dasar Yamin adalah
sebagai pernyataan kembali empat segi marhaenisme Soekarno yang
dirumuskannya pada tahun 1933 ditambah dengan Ketuhanan yang
bersumber dari para pemikir Nasionalis Islam95
. Maka tidak ada alasan
bagi bangsa Indonesia untuk tidak menghargai dan mengenang jasa para
perumus Pancasila dan pendiri negara ( founding fathers ) Republik
Indonesia.
5. Pancasila Dalam Rumusan Piagam Jakarta
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa setelah persidangan
pertama Badan Penyelidik ( BPUPKI ) pada 1 Juni 1945 selesai dan
semua pemikiran tentang rancangan dasar negara telah diinpentarisir,
maka untuk pertama kalinya Pancasila sebagai rangcangan dasar negara
mendapatkan rumusannya yang lengkap dan sempurna pada 22 Juni
1945 dalam suatu dokumen yang ditanda tangani oleh sembilan
93
Lihat J.M. Van Der Kroef, Indonesia In Modern World ( Bandung: Masa
Baru Ltd., 1956 ) h. 199 94
Gotong royong atau kerja sama adalah tradisi budaya bangsa Indonesia
yang sesuai dengan ajaran Islam. Karena Islam mengajarkan tolong menolong antara
sesama umat dalam kebaikan. Akar budaya ini kemudian dimanifestasikan Soekarno
menjadi kerangka dasar bagi bangsa Indonesia untuk merealisasikan amanat
penderitaan rakyat. 95
E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah
Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekular Tentang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945, h. 20
283
anggota Panitia khusus96
. Sembilan orang anggota Panitia khusus
tersebut, ialah; Soekarno, Moh. Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno
Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H. Agus Salim, Ahmad Soebardjo,
A. Wahid Hasyim dan Muh. Yamin97
.
Sebelum melangkah lebih lanjut ke pembahsan yang sangat vital
dalam sejarah pembentukan negara Indonesia, ada baiknya dikemukakan
sedikit tentang deskripsi latar belakang pemikiran dan agama yang
dianut oleh masing-masing sembilan tokoh pemimpin bangsa tersebut,
sehingga dapat diketahui arah pemikiran mereka, sebagai berikut;
1. Soekarno: beragama Islam, seorang nasionalis, pendiri dan
ketua Partai Nasional Indonesia 1927, kemudian ketua Partai
Indonesia 1933.
2. Mohammad Hatta: Beragama Islam, taat perintah agama,
seorang nasionalis demokrat, pengurus Perhimpunan Indonesia
di Nederland 1923, dan kemudian pengurus Pendidikan Nasional
Indonesia 1933.
3. A.A. Maramis: Beragama Kristen, seorang nasionalis.
4. Abikoesno Tjokrosoejoso: beragama Islam, seorang nasionalis,
pengurus Partai Syarikat Islam Indonesia ( PSII ).
5. Abdulkahar Muzakir: beragama Islam, seorang nasionalis Islam,
anggota Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI ).
6. Agus Salim: beragama Islam, seorang nasionalis Islam, pengurus
Syarikat Dagang Islam ( SDI ), kemudian PSII.
7. Ahmad Subardjo: beragama Islam, seorang nasionalis, kemudian
menjadi anggota MASYUMI.
8. A. Wahid Hasyim: beragama Islam, seorang nasionalis Islam,
pengurus Nahdhatul Ulama ( NU ), dan anggota MASYUMI.
9. Muh. Yamin: beragama Islam, seorang nasionalis, anggota Partai
Indonesia ( Partindo ) 1933, anggota Partai Murba, kemudian
Front Pembela Pancasila98
.
96
Lihat Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Dasar Negara dan
Sebuah Proyeksi ( Jakarta: Bulan Bintang, 1970 ), h. 15 97
Lihat Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang dasar Republik
Indonesia ( Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960 ), h. 160. Lihat juga, Soepardo et al,
Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia - Sivics ( Jakarta:: Dinas Penerbitan Balai
Pustaka, 1962 ) h. 62 98
Lihat Noor Ms. Bakry, Pancasila Yudridis Kenegaraan ( Yogyakarta:
Liberty, 1985 ), h, 212
284
Panitia khusus ini telah mengadakan sidangnya yang dihadiri
juga oleh anggota-anggota Badan Penyelidik ( BPUPKI ) lain, sehingga
menjadi tiga puluh delapan ( 38 ) orang, mereka kebetulan sedang berada
di Jakarta pada 22 Juni 1945. Sidang ini dipimpin langsung oleh
Soekarno sendiri99
. Hal ini sebagaimana dilaporkan Soekarno pada
sidang lengkap ke dua Badan Penyelidik ( BPUPKI ) yang berjalan dari
10 – 17 Juli 1945; bahwa Panitia khusus ini pada tanggal 22 Juni 1945
telah mengadakan inisiatif mengadakan pertemuan dengan tiga puluh
delapan anggota Badan Penyelidik, di mana sebagian dari mereka
sedang menghadiri sidang Cuo Sangi In ( semacam sidang Parlemen ).
Oleh karena itu sidang ini seperti diutarakan Soekarno sebagai sidang
antara Panitia khusus dengan anggota-anggota Badan Penyelidik.
Sidang ini telah berhasil menghimpun semua usulan dari para anggota
Badan Penyelidik100
. Sembilan anggota Panitia khusus ini kemudian
mengadakan pertemuan untuk merumuskan rancangan dasar negara
berdasarkan pandangan-pandangan umum dari para anggota sidang.
Menurut Lembaga Soekarno–Hatta, rumusan Pancasila dari Soekarno
dijadikan bahan pembahasan101
. Hasil rumusan mereka kemudian
disetujui pada tanggal itu juga, yaitu 22 Juni 1945, dan kemudian
rancangan itu diberi nama Piagam Jakarta.
Salah satu tujuan dari pembentukan Panitia khusus adalah
untuk mencari modus operandi antara golongan Nasinalis Islam dan
golongan Nasionalis Sekular mengenai soal hubungan agama dan
negara. Persoalan ini rupa-rupanya sebagaimana dikemukakan Nugroho
sudah muncul selama persidangan pertama BPUPKI, dan bahkan
mungkin sudah terjadi sebelumnya. Walau bagaimanapun, Panitia
khusus ini telah berhasil mencapai modus dalam bentuk suatu rancangn
pembukaan hukum dasar yang kemudian disebut Piagam Jakarta.102
Dalam konteks ini Muh. Yamin menegaskan sebagai berikut;
Dalam bulan Juni 1945 itu juga, yaitu pada tanggal 22 juni
1945 dan hampir dua bulan sebelum hari Proklamasi, maka
99
Lihat Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Dasar negara dan
Sebuah Proyeksi, h. 15 100
Lihat Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 945, Jld. 1,
h. 148 101
Lihat Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang
Dasar 1945, h. 98 102
Lihat Nugroho Notosusanto, Pancasila Dasar Falsafah Negara ( Jakarta:
PT. Bina Aksara, 1983 ), h.22
285
untuk menetapkan dasar dan tujuan negara serta untuk
mempersatukan aliran politik dan agama, ajaran Pancasila itu
dirumuskan dalam Piagam Jakarta yang dipergunakan untuk
mempersatukan segala aliran dan ditanda tangani di gedung
Pegangsaan Timur 56, tempat Bung Karno waktu itu berdiam (
tinggal ) oleh sembilan orang pemimpin103
.
Panitia khusus inilah yang menghasilkan rumus yang
menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan negara Indonesia
merdeka. Rumusan hasil Panitia ini, Muh. Yamin memberinya nama
Jakarta Charter atau Piagam Jakarta104
. Kemudian jika diperhatikan
pernyataan Soekarno dalam laporannya yang disampaikan pada sidang
Badan Penyelidik 10 Juli 1945, Soekarno mengakui secara jujur bahwa
tugas Panitia Sembilan ( Panitia khusus ) ini sangat berat karena
terjadi perselisihan pandangan antara golongan Nasionalis Sekular dan
golongan Nasionalis Islam. Dalam hubungan ini Soekarno
menegaskankan demikian;
Allah Subhanahu wa Ta`ala memberkati kita, sebenarnya ada
kesukaran mula-mula, antara golongan yang dinamakan Islam
dan golongan yang dinamakan golongan Kebangsaan 105
.
Mula-mula ada kesukaran mencari kecocokan faham anatara
kedua golongan itu, terutama mengenai soal agama dan negara,
tetapi . . . . . . . . . . kita sekarang sudah ada persetujuan106
.
103
Lihat Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia ( Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960 ), h. 290 104
Lihat Notonagoro, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila ( T.tp. T.
pt., 1967 ) h. 14 105
Penggunaan istilah golongan Islam dan golongan Kebangsaan
sebagaimana disampaikan Soekarno pada dasarnya mengelirukan, karena realitasnya
tidak menepati sasaran pengertian, karena Soekarno, Moh. Hatta, Muh. Yamin dan
lain-lainnya yang disebut sebagai golongan Kebangsaan adalah orang-orang Islam (
Muslim ). Demikian juga tokoh-tokoh seperti Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, A.
Wahid Hasyim dan lain-lainnya yang dikatakan sebagai golonga Islam pada saat yang
sama adalah juga orang-orang nasionalis atau kebangsaan. Titik perbedaannya
terletak pada segi kefahaman mereka terhadap ke-Islaman. Oleh karena itu penggunaan
istilah yang tepat dalam konteks ini adalah golongan Nasionalis Islam dan golongan
Nasionalis Sekular. Hal ini sebagaimana diperkuat Marwati Djoened dan Nugroho
Notosusanto dalam karyanya; Sejarah Nasional Indonesia IV, dan E. Saefuddin
Anshari dalam karyanya; Piagam Jakarta 22 Juni 1945.. 106
Lihat Muh. Yamin, Naskah Persipan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1,
hlm. 145. Lihat juga, Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1956 ), h. 33
286
Berdasarkan penjelasan Soekarno di atas, dapat difahami
bahwa dalam pembahasan soal dasar negara sebagai klimaks dari
persoalan hubungan anatara agama dan negara, Panitia khusus ( Panitia
Sembilan ) pada tahap awal mengalami hambatan karena terjadi
perdebatan sengit akibat perbedaan pandangan antara para Nasionalis
Islam dan para Nasionalis Sekular, tetapi pada akhirnya mencapai
kesepakatan antara kedua golongan tersebut. Sebenarnya perdebatan
ini bukan saja terjadi di antara para anggota Panitia khusus, tetapi
terjadi juga perdebatan ketika diadakan sidang pleno dalam sesi
pandangan umum terhadap Piagam Jakarta. Perdebatan ini tentu saja
melibatkan semua anggota Badan Penyelidik ( BPUPKI ). Selanjutnya
Soekarno melaporkan hasil kerja Panitia Sebilan berupa rancangan
hukum dasar yang disebut Preambul, Mukaddimah atau
Pendahuluan. Dalam hubungan ini Soekarno menyatakan sebagai
berikut;
Panitia kecil ( Panitia Sembilan ) menyetujui rancangan
Preambul yang disusun oleh anggota-anggota yang terhormat;
Moh. Hatta, Muh. Yamin, Soebardjo, A.A. Maramis, Muzakir,
A. Wahid Hasyim, Soekarno, Abikoesno Tjokrosoejoso dan Haji
Agus Salim itu adanya. Marilah saya bacakan usul rancangan
Pembukaan itu kepada tuan-tuan107
.
Kemudian Soekarno membacakan Preambul atau Pembukaan
tersebut sebagai berikut;
PEMBUKAAN
( Preambul )
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sanpailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa
menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
107
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld 1, h.
154
287
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah kemerdekaan bangsa Indonesia itu dalam suatu
Hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada; Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, menurut dasar Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan /
perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia108
.
Preambul ini menjadi Mukaddimah atau Pendahuluan
rancangan Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian dikenal dengan
sebutan Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Hal ini sebagaimana
ditegaskan Muh. Yamin sebagai berikut;
Mukaddimah ini adalah suatu Jakarta Charter, yang meliputi
dasar-dasar negara Indonesia merdeka, berisi dasar-dasar
daripada aliran-aliran yang ada di Pulau Jawa, sehingga di dalam
Jakarta Charter ini, yang kini ditulis berupa Mukaddimah
Undang-Undang Dasar itu, ada disebutkan; bahwa negara
dibentuk atas kemauan bangsa kita sendiri dan untuk
kepentingan rakyat, yang menginginkan suatu declaration of
right, atau declaration of independence dan suatu constitution
republic109
.
108
Lihat Muh. Yamin, Pembahsan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia, h. 154 109
Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia,
h. 228
288
Preambul atau Piagam Jakarta ini ditanda tangani pada 22
Juni 1945 di gedung Pegangsaan Timur No. 56, tempat Bung Karno (
waktu itu ) tinggal oleh Panitia Sembilan.110
termasuk A.A. Maramis
yang beragama Kristen. Dan oleh karena Preambul ini ditanda tangani di
Jakarta, maka kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta atau
Jakarta Charter, suatu sebutan untuk pertama kalinya digunakan oleh
Muh. Yamin 111
, dan bahkan sampai saat ini di era Reformasi masih
tetap populer dengan sebutan Piagam Jakarta. Selain sebutan Piagam
Jakarta juga disebut Gentlement Agreement berdasarkan pernyataan
Muh. Yamin; Adapun yang kita persembahkan kepada rapat ini adalah
pula sebagai gentlement agreement, seperti gentlement agreement kota
Magelang yang dimaksud oleh tuan Dr. Soekiman112
.
Rumusan Pancasila yang pertama dan dalam bentuk yang
lengkap sebagaimana diungkapkan Prawoto, bahwa di dalam Piagam
Jakarta terdapat rumusan Pancasila yang pertama dan lengkap, yaitu
yang terdapat secara berturut-turut pada paragraf ke empat dari Piagam
ini113
, meskipun terdapat juga pada paragraf pertama, kedua, ketiga
tetapi tidak sistimatis114
. Pancasila yang terumuskan dalam Piagam
Jakarta ini berbunyi sebagai berikut;
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya,
1. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
2. Persatuan Indonesia,
3. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan,
4. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Demikianlah rumusan Pancasila di dalam Piagam Jakarta. Suatu
rumusan yang disusun berdasarkan hasil musyawarah Panitia Sembilan (
Panitia Khusus ); Suatu susunan yang konfrehensif dan sistematik.
110
Ibid. h. 290 111
E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah
Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekular Tentang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 – 1959, h. 32 112
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h.
228 113
Lihat Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar
Negara dan Sebuah Proyeksi, h. 15 - 16 114
Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesiaq,
h. 289
289
6. Penerimaan Piagam Jakarta Oleh BPUPKI
Setelah Soekarno selesai membacakan laporan hasil kerja Panitia
Sembilan, kemudian diadakan sesi pembahasan ( tinjauan ) umum
terhadap Preambul yang dalam bentuknya Piagam Jakarta pada sidang
BPUPKI kedua pada 11 Juli 1945, ternyata beberapa anggota sidang ada
yang merasa keberatan terhadap tujuh anak kalimat setelah kata
Ketuhanan yang berbunyi; dengan kewajiban menjalankan Syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Beberapa anggota yang merasa
keberatan itu antaranya; Latuharhary, Wongsonegoro dan Hoesein
Djajadiningrat. Mereka mengemukakan beberapa alasan, antaranya;
1. Tujuh anak kalimat itu akan menimbulkan kekacauan terhadap
adat istidat,
2. Akan menimbulkan fanatisme, karena ini merupakan pemaksaan
untuk menjalankan Syariat bagi orang-orang Islam saja115
.
H. Agus Salim, salah seorang nasionalis Islam, langsung
menyampaikan tanggapannya kepada Latuharhary; bahwa pertikaian
hukum agama dan adat bukan masalah baru, dan pada umumnya sudah
selesai. Selain itu orang-orang yang beragama lain selain Islam tidak
perlu khawatir, keamanan mereka tidak tergantung pada kekuasaan
negara, tetapi pada adatnya umat Islam yang 90% itu116
. Pada
kesempatan yang sama K.H. A. Wahid Hasyim, salah seorang nasionalis
Islam memberikan jawaban kepada Wongsonegoro dan Hoesein
Djajadiningrat sambil mengingatkan para anggota sidang tentang asas
permusyawaratan . . . . . bahwa paksaan-paksaan tidak terjadi. Bila ada
orang yang menganggap tujuh anak kalimat itu sebagai sesuatu yang
tajam ( yang rinci ), ada juga yang menganggap kurang tajam117
.
Dalam rangka mempertahankan Piagam Jakarta ( Preambul ),
Soekarno sebagai ketua Panitia Sembilan mengingatkan para anggota
sidang, bahwa Piagam Jakarta itu hasil jerih payah para tokoh golongan
Islam dan golongan Kebangsaan ( golongan Nasionalis Islam dan
golongan Nasionalis Sekular ), kalau kalimat ini ( tujuh anak kalimat )
115
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h.
259 116
Ibid. h. 259 117
Lihat Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,
Jld.1, h. 259
290
tidak dimasukkan, tentu saja tidak diterima oleh para tokoh Islam118
.
Pada saat yang sama Soekarno mengulangi pernyataannya dengan nada
keras; bahwa anak kalimat itu merupakan hasil kompromi antara
golongan Islam dan golongan Kebangsaan yang hanya didapat dengan
susah payah.119
Karena itu Piagam Jakarta harus diposisikan sebagai alat
pemersatu di antara berbagai aliran pemikiran yang ada pada saat itu.
Dalam konteks ini Soekarno menegaskan sebagai berikut;
Di dalam Preambul ( Piagam Jakarta ) itu ternyatalah, seperti
yang saya katakan tempo hari, segenap pokok-pokok pikiran
yang mengisi dada sebagian besar dari anggota-anggota
Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai, masuk di dalamnya Ketuhanan,
dan terutama sekali kewajiban umat Islam untuk menjalankan
Syariat Islam, masuk di dalamnya; kebulatan nasionalisme
Indonesia. Persatuan bangsa Indonesia masuk ke dalamnya;
kemanusiaan atau Indonesia merdeka di dalamnya susunan
peri-kemanusiaan dunia masuk di dalamnya; keadilan sosial,
sociale rechtvaardigheid masuk di dalamnya, maka oleh karena
itu Panitia Sembilan berkeyakinan, bahwa inilah Preambul (
Piagam Jakarta ) yang bisa menghubungkan, mempersatukan
segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritsu
Zyumbi Tyoosakai120
.
Berdasarkan penjelasan Soekarno di atas, dapat difahami bahwa
Preambul ( Piagam Jakarta ) yang telah disepakati bersama oleh para
anggota Panitia Sembilan adalah yang terbaik, karena dapat
mempersatukan berbagai aliran pemikiran yang berbeda. Realitasnya
pada tahap ini demikian, meskipun terjadi perdebatan-perdebatan yang
panas tetapi semuanya tetap berpijak pada prinsip persatuan.
Pada tahap ini Soekarno memperlihatkan sikap ketegasannya
dalam mempertahankan Piagam Jakarta. Sebagai ketua Panitia
Sembilan, Soekarno memperlihatkan keteguhan komitmennya terhadap
apa yang sudah menjadi kesepakatan bersama, maka tidak heran jika
Soekarno mempertahankan Piagam Jakarta dengan gigih. Sidang
BPUPKI 11 Juli 1945 berakhir dengan penyampaian kesimpulan
Soekarno dan oleh karena tidak ada yang menolak, maka pokok-pokok
pemikiran yang terkandung di dalam Preambul ( Piagam Jakarta )
118
Ibid. h. 254 119
Ibid., h. 259 120
Ibid. h. 154 - 155
291
dianggap sudah diterima121
. Dengan demikian, Preambul yang dalam
bentuknya Piagam Jakarta telah diterima secara sah dari sisi hukum
oleh Badan Penyelidik ( BPUPKI ), dan sebagaimana ditegaskan Muh.
Yamin; bahwa pada 11 Juli 1945 Panitia Perancang Undang-Undang
Dasar dengan bulat suara telah menyetujui isi Preambul ( Piagam Jakarta
), Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang juga dipimpin oleh
Bung Karno dengan anggota-anggotanya sejumlah sembilan belas
orang, semua persoalan Undang-Undang Dasar diserahkan kepada
mereka, termasuk soal Preambul122
.
Kemudian dalam rangka memperlancar penunyusunan rumusan
Undang-Undang Dasar123
, panitia perancang Undang-Undang Dasar
yang berjumlah sembilan belas orang itu diperkecil lagi menjadi tujuh
orang saja124
. Panitia Perancang Undang-Undang Dasar mulai bekerja
pada 12 Juli 1945125
. Pada 14 Juli 1945 dalam sidang Badan Penyelidik
( BPUPKI ), Soekarno sebagai ketua panitia perancang Undang-Undang
Dasar melaporkan kepada sidang mengenai tiga rancangan yang telah
dihasilkan, yaitu;
1. Pernyataan Indonesia merdeka,
2. Preambul yang dalam bentuknya Piagam Jakarta,
3. Undang-Undang Dasar itu sendirir yang terdiri dari 42 Pasal126
.
Setelah dilakukan pembahasan, terutama terhadap tujuh anak
kalimat; dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya setelah kata Ketuhanan yang terdapat pada Pasal
121
Lihat Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,
Jld. 1, h. 529 122
Ibid. h. 250 - 251 123
Dalam konteks ini, penulis tidak bermaksud membicarakan isi rancangan
Undang-Undang Dasar secara keseluruhan, karena pembicaraannya memerlukan
pembahasaanya tersendiri, tetapi sekedar untuk membuktikan bahwa penyusunan
rancangan Undang-Undang Dasar juga bersumber pasa Preambul yang dalam
bentuknya Piagam Jakarta. Terbukti bahwa di dalam rancangan Undang-Undang Dasar
disebutkan ; Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeliuknya. 124
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h.
260 125
Lihat B.J. Boland, The Struggle of Islam In Indonesia ( The Hague;
Martinus Nijhoff, 1971 ), h. 29 126
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h.
273 –276,. Lihat juga, E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945. . . . . . . h.
37
292
29 ayat 1 dari rancangan Undang-Undang Dasar, pada akhirnya sidang
lengkap Badan Penyelidik ( BPUPKI ) menerima rancangan
Undang-Undang Dasar yang disesuaikan dengan Piagam Jakarta pada 16
Juli 1945. Dalam konteks ini Soekarno sebagai ketua panitia perancang
Undang-Undang Dasar menyetakan sebagai berikut;
Saya minta dengan rasa menangis supaya sukalah
saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan
bangsa kita . . . . . . saya harap, Paduka tuan yang mulia suka
mengupayakan supaya sedapat mungkin dengan lekas mendapat
persetujuan yang sebulat-bulatnya dari segenap sidang untuk apa
yang saya usulkan tadi127
.
Ketika tidak ada lagi persoalan-persoalan yang muncul dalam
sidang, maka K.R.T. Rajiman sebagai ketua umum Badan Penyelidik
( BPUPKI ) menutup persidangan dengan ucapan yang terakhir; . . . . .
Jadi rancangan ini sudah diterima semuanya. Jadi, saya ulangi . . . . . .
Undang-Undang Dasar ini kita terima dengan sebulat-bulatnya.
Pernyataan terakhir tersebut diterima dengan suara bulat dan disambut
dengan tepuk tangan riuh128
. Hari terakhir, yaitu 17 Juli 1945 hanya
acara penutupan sidang Badan Penyelidik secara resmi129
.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas tentang Pancasila di
dalam Piagam Jakarta, maka dapat ditegaskan bahwa sidang BPUPKI
ke-2 ( dua ) yang berlangsung dari 10 – 16 Juli 1945 berakhir
dengan keputusan secara bulat menerima Preambul ( Piagam Jakarta )
dan kemudian diikuti dengan pengesahan rancangan Undang-Undang
Dasar menjadi Undang-Undang Dasar yang mengacu pada Piagam
Jakarta.
7. Kearifan Keputusan Penerimaan Piagam Jakarta
Keputusan menerima Piagam Jakarta adalah keputusan yang
sangat bijak dan arif, yang akan menjadi alat pemersatu, terutama di
anatara dua aliran pemikiran berlawanan yang dominan pada saat itu,
yaitu aliran pemikiran Nasionalis Sekular dan aliran pemikiran
Nasionalis Islam. Dalam hubungan ini Muh. Yamin menegaskan;
127
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h.
393 128
Ibid. h. 398 129
Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar
1945, h. 40
293
Piagam Jakarta itu dilihat sebagai modus operandi antara golongan Islam
dan Nasionalis130
. Para tokoh yang terpilih dalam Panitia Sembilan
sebagaimana ditegaskan E. Saefuddin Anshari, adalah para penanda
tangan Piagam yang sungguh-sungguh representatif, mencerminkan
alam dan aliran pemikiran yang hidup dalam masyarakat
Indonesia131
. Deliar Noer memperkuat pandangan Muh. Yamin dan E.
Saefuddin Anshari dengan pernyataannya; bahwa sembilan orang
pemimpin itu, masing-masing dianggap mewakili golongan
Kebangsan, Islam dan Kristen 132
.
Dengan disahkannya Preambul ( Piagam Jakarta ) oleh BPUPKI
berarti sebagai awal fondasi pembangunan Indonesia ke depan. Dalam
hal ini E. Saefuddin Anshari menegaskan; bahwa Piagam Jakarta adalah
hasil akhir dari perjuangan panjang untuk kemerdekaan dan dalam
waktu yang sama ia juga merupakan titik tolak ( starting poin )
pembangunan Indonesia pada masa akan datang133
. Pandangan ini
harus dimunculkan karena dengan ditanda tanganinya Piagam Jakarta
oleh sembilang Orang anggota Panitia khusus ( Pansus ) berarti babak
baru dimulainya pembangunan Indonesia dengan berdasar pada
persatuan dan kebersamaan. Persatuan merupakan prasyarat untuk
tercapainya pembangunan di semua sektor kehidupan. Atas dasar
inilah kiranya patut dihargai pandangan Muh. Yamin; bahwa untuk
menetapkan tujuan negara serta untuk mempersatukan aliran politik
dan agama, ajaran Pancasila dirumuskan dalam Piagam Jakarta yang
dipergunakan untuk mempersatukan semua aliran134
. Pernyataan Muh.
Yamin di atas, bisa difahami bahwa Piagam Jakarta sebagai manifestasi
dari perjanjian ( the treaty ) untuk persatuan di anatara semua aliran
pemikiran yang ada. Ini artinya bahwa Piagam Jakarta sebagai suatu
kompromi yang dipegang bersama oleh pihak Nasionalis Islam dan
pihak Nasionalis Sekular135
. Hal ini tepat dengan pandangan Anwar
130
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h.
153 131
E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 . . . . hlm. 47 132
Lihat Deliar Noer, Administrasi Islam Di Indonesia ( Jakarta: CV.
Rajawali, 1983 ), h. 47 133
E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 . . . . . h. 47 134
Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h.
290 135
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Udang Dasar 1945, Jld. 1, h.
279
294
Harjono; bahwa Piagam Jakarta dalam sejarah kita telah menduduki
posisi yang tinggi dari pada sekedar soal yuridis formal136
. Piagam
Jakarta sudah menyangkut sendi-sendi moralitas bangsa, maka Piagam
Jakarta yang mengandung rumusan Pancasila yang lengkap itu
sungguh sangat mendalam, berakar, mendarah daging dan bahkan
menjiwai, mewarnai setiap perjuangan, terutama perjuangan umat
muslim Indonesia. Oleh karena itu Piagam Jakarta yang mengandung
dasar-dasar Indonesia merdeka dan berisi dasar-dasar yang dapat
mempersatukan berbagai aliran yang berbeda, pastinya harus dijadikan
acuan dalam rangka merumuskan kebijakan-kebijakan publik di
kemudian hari. Hal ini sebagaimana dibuktikan oleh Soekarno ketika
menghadapi krisis politik tahun 1959, yaitu dengan mendeklarasikan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit Presiden mengandung pernyataan;
bahwa Piagam Jakarta sebagai yang menjiwai Undang-Undang Dasar
1945, dan sebagai rangkaian dengan konstitusi tersebut. Dalam
konteks ini Muh. Yamin menyatakan;
Pernah ajaran itu ( Pancasila ) dirumuskan dalam Piagam Jakarta
bertanggal 22 Juni 1945, yang seperti kata Dekrit Presiden /
Panglima Tertinggi tanggal 5 Juli 1959; yang menjiwai
Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu
rangkaian dengan konstitusi tersebut, atau menurut salinan dalam
bahasa Inggris; That we have the conviction that the Jakarta
Charter dated 22 Jun 1945 gave an inspiration to 1945
constitution an is linked in unity with that constitution137
.
Piagam Jakarta sebagaimana ditegaskan Pemerintah Republik
Indonesia pada tahun 1959 tersebut memberi arti bahwa kedudukannya
dipandang begitu asas, sehingga dikatakan sebagai yang menjiwai
Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu secara logika,
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi dasar negara Indonesia
adalah sebagai manifestasi dari Piagam Jakarta itu. Oleh karenanya
rumusan Undang-Undang Dasar 1945 dibuat tidak bertentangan dengan
Piagam Jakarta138
.
136
Anwar Harjono, Indonesia Kita, Pemikiran Berwawasan Iman – Islam (
Jakarta: Gema Insani, 1995 ), h. 144 - 145 137
Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. h.
289 138
Undang-Undang Dasar 1945 yang dimaksud di sini ialah Undang-Undang
Dasar 1945 dalam bentuknya yang asli sebelum dilakukan perubahan atau
amandemen, seperti yang terjadi pada sidang PPKI atau di era Reformasi.
295
Dari sisi lain, jika dilihat dari aspek nama, maka Piagam Jakarta
adalah sebuah nama dari naskah tertulis hasil kesepakatan bersama (
konsnsus ) antara para anggota Panitia Sembilan. Ini berarti bahwa
kesepakatan dan kebersamaan telah tercapai. Oleh karena itu, Soekiman;
salah seorang anggota Badan Penyelidik ( BPUPKI ) memberinya nama
Gentlemen`s Agreement, yang berarti suatu kesepakatan bersama
antara semua pihak berdasarkan saling hormat menghaormati, meskipun
sempat terjadi perbedaan pandangan dan pemikiran. Sehubungan ini
Soekarno menyatakan sebagai berikut;
Jadi, Panitia memegang teguh kompromi yang dinamakan
anggota yang terhormat; Muh. Yamin, The Jakarta Charter,
yang disertai perkataan ( pernyataan ) anggota yang terhormat;
Soekiman, Gentlemen`s Agreement, supaya ini dipegang teguh
antara pihak Islam dan pihak kebangsaan139
.
Dalam konteks ini selanjutnya penulis ingin menegaskan bahwa
setidaknya telah terjadi dua kali kejadian yang sangat penting terkait
dengan upaya strukturisasi ketata negaraan Republik Indonesia dalam
dekade 1945-1959, di mana Piagam Jakarta diposisikan sebagai alat (
instrumen ) pemersatu; Pertama. Terjadi persatuan di kalangan para
anggota Badan Penyelidik ( BPUPKI ), meskipun dalam hal ini diakui
Piagam Jakarta tidak bertahan lama karena terjadi perubahan mendasar
pada sidang PPKI 18 Agustus 1945. Kedua. Terjadi persatuan (
meskipun ini terjadi 14 tahun kemudian dari tahun 1945 ) di kalangan
Badan Konstituante ( Suatu Badan yang diberi mandat untuk
merumuskan kembali Undang-Undang Dasar ) setelah sebelumnya
terjadi perdebatan sengit di anatara aliran Nasionalis Sekular, Nasinalis
Islam dan aliran yang berfaham Komunisme tentang dasar negara.
Persidangan Badan Konstituante menemui jalan buntu, hal ini yang
memeaksa Presiden Soekarno kemudian mengambil langkah strategis
dalam rangka terciptanya kesatuan dan kestabilan politik, yaitu
keputusan kembali pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
disertai dengan memasukan Piagam Jakarta. Hal ini sebagaimana
termaktub di dalam Dekrit Presiden 1959 sebagai dokumen resmi
negara. Kebijakan ini ternyata menyadarkan semua pihak yang
berbeda pandangan untuk bersatu kembali dalam kesatuan Republik
Indonesia. Tetapi aneh sekali di era Reformasi, dan bahkan di era
139
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h.
279
296
Rezim Orde Baru, banyak orang alergi ketika mendengar Piagam
Jakarta. Piagam Jakarta sudah disalah artikan sebagai sesuatu yang
identik dengan implementasi Syariat Islam, padahal sebenarnya tidak
begitu. Sebagai bangsa yang beradab dan telah menerima Demokrasi
sebagai sistem pemerintahan sepatutnya kita ( terutama para elite politisi
muslim ) tidak bersikap pak turut ( ikut-ikutan ), kita harusnya bersikap
arif, objektif dan jujur, karena Piagan Jakarta pernah disahkan oleh
suatu Lembaga tertinggi; BPUPKI, pada saat menjelang Indonesia
merdeka.
Demikianlah kedudukan Piagam Jakarta sebagai sesuatu yang
dapat mempersatukan berbagai aliran yang berbeda. Oleh karena itu,
dalam dinamika perpolitikan nasional ketika dikemudian hari terjadi
penghapusan ( pencoretan ), terutama pada tujuh anak kalimat; dengan
kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan
imbasnya terjadi penghapusan pula pada beberapa kata dalam
Undang-Undang Dasar 1945, sebenarnya menjadi sumber ketidak
puasan, terutama bagi para tokoh Islam, baik sebagai anggota Badan
Penyelidik, atau yang berada di masyarakat. Tapi dengan semangat
persatuan, para tokoh Islam sangat toleran demi tercapainya Indonesia
merdeka dan dimulainya pembangunan, maka penghapusan beberpa
kata tersebut disikapi dengan sikap positif dan lapang dada.
8. Revisi Pancasila Dalam Piagam Jakarta
Pancasila yang terkandung di dalam Piagam Jakarta dan telah
diterima oleh Badan Penyelidik ( BPUPKI ) dalam sidangnya yang
kedua, rupanya belum tuntas, masih belum baku, sehingga terpaksa
harus dilakukan tinjauan ulang. Hasilnya terjadi perubahan yang
sangat mendasar terhadap sila pertama Pancasila. Ini terjadi
disebabkan oleh beberapa hal teknis yang dianggap oleh sebagian pihak
sebagai sesuatu yang mengganjal, dan ini nampak jelas bagaimana
ketika terjadi debat yang cukup panas pada sidang BPUPKI kedua.
Sesuatu yang dianggap mengganjal itu ialah adanya beberapa
kalimat, yang menurut sebagian anggota Badan Penyelidik, terlalu
memberi perhatian khusus kepada umat Islam, sehingga masyarakat
non muslim merasakan ada diskriminasi, meskipun hal ini sudah diberi
penjelasan secukupnya oleh para tokoh Nasionalis Islam, antaranya K.H.
Agus Salim, K.H. A. Wahid Hasyim dan lain-lainnya. Tetapi tetap saja
hal tersebut masih dianggap mengganjal.
297
Dalam konteks ini, persoalan sebenarnya terletak di tangan
Soekarno dan Moh. Hatta, karena keduanya sebagai tokoh yang
berpengaruh tentu saja dapat memainkan perananya untuk menentukan
arah mana yang akan dituju. Dalam arti bahwa jika Soekarno dan Moh.
Hatta memang setuju dengan Piagam Jakarta sebagaimana yang sudah
menjadi kesepakatan bersama, tentu tidak akan membuka ruang untuk
upaya penghapusan beberapa kalimat dalam Piagam Jakarta.
Kontroversi meruncing di sekitar Piagam Jakarta sejak semula memang
sudah dirasakan. Namun demikian, karena kebesaran pengorbanan dan
toleransi para tokoh Nasionalis Islam sangat tinggi, demi wujudnya
kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia seluruhnya, maka
permasalahan yang rumit itu akhirnya dapat diselesaikan bersama
dengan penuh kesadaran dan husnu zan ( prasangka baik ).
Pancasila yang disahkan penggunaannya semenjak Indonesia
merdeka hingga hari ini adalah rumusan Pancasila yang dihapuskan
tujuh anak kalimatnya pada sila pertama, yaitu; dengan kewajiban
menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan sebagai
penggantinya kalimat; Yang Maha Esa. Jadi sila pertama Pancasila
yang pada mulanya berbunyi; Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menjadi;
Ketuhanan Yang Maha Esa140
. Secara sistematik rumusan Pancasila
yang diberlakukan sampai sekarang, ialah;
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Inilah rumusan Pancasila yang diberlakukan sebagai dasar dan
filsafat negara Republik Indonesia hingga hari ini. Dalam konteks ini
Prawoto menyebut rumusan Pancasila tersebut sebagai rumus Pancasila
ke-2141
. Sehubungan dengan ini Nugroho Notosusanto menegaskan
140
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h.
400 - 410 141
Pembahasan tentang rumus-rumus Pancasila dari rumus 1 hingga rumus
IV dan bahkan rumus V, pembaca dapat merujuk karya Noor Ms. Bakry;
Pancasila Yuridis Kenegaraan, tahun terbit 1985, hlm. 40 – 41, dan rujuk pula karya
Prawoto Mangkusasmito yang berjudul; Pertumbuhan Historis Dasar Negara dan
Sebuah Proyeksi, h. 12
298
bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan itu ialah
konsep yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan . . . . yang kemudian
dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Konsep ini diterima dengan
suatu perubahan penting, yakni sila pertama dari dasar negara yang
tercamtum di dalam Pembukaan itu, yang pada awalnya berbunyi;
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bangi
pemeluk-pemeluknya, dirubah menjadi; Ketuhanan Yang Maha Esa 142
.
Dengan demikian, berdasarkan pembahasan-pembahasan di atas
tentang pertumbuhan dan perkembangan Pancasila, dapat ditegaskan
di sini bahwa proses perkembangan rumus Pancasila telah mengalami
beberapa tahap perkembangan. Setidaknya ada tiga tahap
perkembangan, sebagai berikut;
1. Tahap sebagai konsep, rancangan atau gagasan yang
disampaikan secara individu oleh ketiga tokoh nasional; Muh.
Yamin, Soepomo dan Soekarno.
2. Tahap rumusan yang lengkap sebagai hasil rumusan secara
kolektif, yaitu; rumusan Pancasila yang terkandung di dalam
Piagam Jakarta.
3. Tahap perubahan, yaitu tahap penghapusan tujuh anak kalimat
dari sila pertama Pancasila.
Suatu hal yang perlu mendapatkan perhatian di sini, ialah terkait
dengan penghapusan tujuh anak kalimat dari sila pertama Pancasila.
Terjadinya penghapusan itu nampaknya sebagai kelanjutan dari
sidang-sidang BPUPKI sebelumnya, rupanya yang dianggap prinsip
masih belum selesai, dan oleh sebagian kalangan dinilai bahwa
penghapusan itu sangat mengejutkan. Padahal rumus Pancasila yang
terkandung di dalam Piagam Jakarta itu telah menjadi alat pemersatu
atau perekat, makanya Piagam Jakarta disebut gentlement agreement.
Tetapi tiba-tiba saja tujuh anak kalimat itu dihapuskan,143
yang
menurut Prawoto sebagai essensi Piagam Jakarta144
. Piagam Jakarta
yang diperdapat dengan susah melalui memeras otak dan tenaga
142
Nugroho Notosusanto, Proses Pertumbuhan Pancasila Dasar Negar (
Jakarta: PN Balai Pustaka, 1981 ), h. 23 143
Penghapusan itu bukan saja terjadi pada tujuh anak kalimat dari sila
pertama Pancasila yang terkandung di dalam Piagam Jakarta, tetapi penghapusan itu
terjadi juga pada beberapa kalimat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 144
Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara
dan Sebuah Proyeksi, h. 18
299
berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa kita, kemudian
dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ) pada
18 Agustus 1945 dalam beberapa menit saja dapat dirubah. Pasti di balik
ini semua ada kekuatan yang mendorong terjadimya perubahan yang
sangat mengejutkan.
9. Latar Belakang Perubahan Pancasila Jika kita mau mereview ke belakang tentang alam pemikiran
yang dominan dalam sejarah pergerakan nasional sebelum
terbentuknya Badadan Penyelidik ( BPUPKI ), secara umum setidaknya
ada dua kekuatan pemikiran, sehingga hal ini berimplikasi pada
pembentukan corak cita-cita kemerdekaan Indonesia. Dua kekuatan itu,
Pertama; alam pemikiran yang direpresentasikan oleh para tokoh
Nasionalis Sekular dan, Kedua; alam pemikiran yang direpresentasikan
oleh para tokoh Nasionalis Islam. Kedua-dua corak pemikiran ini
berkembang pada saat bersamaan, dan keduanya terdapat titik temu
disamping ada perbedaan mendasar. Titik temu di antara keduanya
adalah karena keduanya sama-sama ingin merealisasikan cita-cita
kemerdekaan Indonesia dari belenggu penjajah asing ( terutama Belanda
waktu itu ). Perbedaannya terletak pada dasar ideologi masing-masing
yang tidak dapat dipertemukan, di mana aliran pemikiran Nasionalis
Sekular menginginkan Indonesia merdeka agar didasarkan pada asas
kebangsaan yang bebas dari ikatan agama manapun dalam berbangsa
dan bernegara145
, meskipun negara tetap mengakui eksistensi
agama-agama yang ada. Pada umumnya mereka-mereka itu lebih
pragmatis146
. Sementara aliran pemikiran para tokoh Nasionalis
Islam menghendaki supaya Indonesia merdeka diasaskan pada Islam,
mengingat jumlah penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam,
selain fenomena berdirinya beberapa Kesultanan Islam ( Kerajaan
bercorak budaya Islam ), seperti; Kesultanan Samudera Pasai (
145
Hal ini dapat pembaca merujuk pada buku; Pemikiran Soekarno Tentang
Islam dan Unsur-Unsur Pembaharuannya, tulisan Muhammad Ridwan Lubis. Dalam
karyanya ini, Ridwan Lubis ( 1992:131 ) menyatakan bahwa Soekarno banyak
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, antaranya, pemikiran
Mustafa Kemal Attaturk yang berhasil mengubah sistem pemerintahan yang
berdasarkan Khilafah ke bentuk Negara Republik Turkey Demokrasi Sekular. 146
Orang-orang pragmatis dalam berpolitik adalah mereka yang mudah
menyesuaikan diri dengan tuntutan situasi dan kondisi di mana program dan
aktivitasnya tidak terlalu terikat kaku pada suatu doktrin atau ideologi tertentu.
300
diperkirakan beridiri pada abad 13 M. ), Kesultanan Demak, Kerajaan
Mataram II, Kerajaan Makasar, Kerajaan Ternate, Tidore, dan
lain-lain yang kesemuanya itu sebagai bukti sejarah wujudnya
perpolitikan Islam di masa lalu, dan dengan sendirinya, menurut
mereka, Syariat Islam dapat diberlakukan kepada rakyat Indonesia yang
beragama Islam. Realitasnya keinginan ini baru berhasil sebatas dalam
rumusan Piagam Jakarta, tidak sampai ke tataran implementasi
praktis secara menyeluruh. Di dalam perkembangan ketata negaraan
Indonesia selanjutnya keinginan ini tidak kesampaian147
, karena
terjadi perubahan atau penghapusan terhadap beberapa kalimat di dalam
Piagam Jakarta.
Dalam konteks ini Moh. Hatta menegaskan; Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ) yang bersidang sesudah proklamasi
kemerdekaan148
, menjadikan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan (
Pendahuluan ) Undang-Undang Dasar 1945 dengan menghapus bagian
kalimat; dengan kewajiban menjalakan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya149
. Selanjutnya Moh. Hatta menyampaikan
alasannya, yaitu ada keberatan dari pihak non muslim ( pihak yang
tidak beragama Islam ). Menurut mereka; tidak tepat di dalam suatu
pernyataan pokok yang menyangkut ( mengatur ) seluruh bangsa
Indonesia ditempatkan suatu penempatan kalimat yang hanya mengenai
sebagian saja dari rakyat Indonesia sekalipun itu mayoritas. Hatta
selanjutnya menyatakan; Untuk memelihara persatuan dan kesatuan
seluruh wilayah Indonesia, dikeluarkanlah ( dihapus ) bagian kalimat;
dengan kewajiban menjalakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
dari Pembukaan Undang-Undang Dasar150
.
Terkait dengan kenapa penghapusan tujuh anak kalimat itu
terjadi. Hal ini sebagaimana dituturkan Moh. Hatta di dalam bukunya;
Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hatta
menceritakan peristiwa ancaman kepadanya yang terjadi pada sore hari
147
Di dalam sejarah perkembangan dasar negara Indonesia di kemudian hari,
yaitu di tahun 1959, Piagam Jakarta ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Dokumen
Historis yang menjiwai penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjadi bagian
dari Konstitusi tersebut. 148
Indonesia diproklamasikan pada jam 10 pagi tanggal 17 Agustus 1945 di
Jakarta oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. 149
Moh. Hatta. Uraian Pancasila ( Jakarta: Mutiara, 1977 ), h. 11 150
Ibid.
301
17 Agustus 1945, bahwa pada waktu itu Hatta kedatangan seorang
Opsir Kaigun ( Angkatan Laut Jepang ) yang mengaku sebagai utusan
Indonesia bagian Timur. Tamu itu datang membawa pesan penting yang
harus segera disampaikan kepada Hatta. Karena pesan tersebut
dikatakan sangat penting, Hatta pun bersedia menerima tamu tersebut.
Opsir Kaigun itu menyatakan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik
di wilayah Kaigun merasa keberatan terhadap kalimat dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar yang berbunyi; Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan Syarit Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Mereka
sebenarnya menyadari bahwa kalimat tersebut tidak mengikat mereka
dan hanya mengikat sebagian rakyat Indonesia yang beragama Islam,
namun begitu mereka memandangnya segabai sesuatu yang
diskriminatif terhadap mereka golongan minoritas. Hatta memberi
jawaban kepada Opsir tersebut,151
bahwa hal tersebut bukan
diskriminasi, sebab penetapan tujuh anak kalimat hanya menyangkut
rakyat yang beragama Islam saja. Selain dari itu ketika Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan, Mr. A.A. Maramis ( salah
seorang panitia sembilan yang beragama Kristen ) tidak merasa
keberatan dan pada tanggal 22 Juni 1945 beliau turut pula menanda
tanganinya. Opsir Jepang tersebut kemudian menyatakan; bahwa pada
waktu itu A.A. Maramis memang tidak merasa ada diskriminasi
dengan penetapan tujuh anak kalimat itu, tetapi kalau Pambukaan
Undang-Undang Dasar 1945 itu diteruskan juga apa adanya, golongan
Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik. Opsir Jepang
tersebut yang ( katanya ) sungguh-sungguh menyenagi Indonesia
merdeka, mengingatkan Hatta tentang semboyan yang selama itu
didengun-dengunkan; bersatu kita teguh, bercerai kita jatuh152
.
Ucapan Opsir Kaigun itu rupanya berpengaruh pada pendirian
Hatta. Kemudian menurut pengakuan Hatta; terbayang gambaran
bahwa perjuangannya yang lebih dari dua puluh lima tahun dengan
melalui penjara dan pembuangan untuk mencapai Indonesia merdeka
151
E. Saefuddin Anshari di dalam karyanya ( Piagam Jakarta 22 Juni 1945
dan Sejarah Konsensus Nasional . . . . h. 55 ), mencatat; bahwa nama Opsir Jepang
itu tidak diingat oleh Moh. Hatta. Kalau hal ini benar, adalah merupakan sesuatu yang
naïf, seharusnya tidak terjadi pada Hatta yang dikenal sebagai orang yang ketat
disiplin. Maka jika hal ini demikian, itu tentu saja memunculkan berbagai pertanyaan
dan spekulatif. 152
Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 ( Jakarta: Tintamas, 1969
), h. 57 - 59
302
bersatu dan tidak terpecah-pecah, apakah Indonesia yang baru dibentuk
akan pecah lagi dan mungkin dijajah kembali karena suatu hal yang
sebenarnya bisa diselesaikan. Jika Indonesia pecah, pasti daerah di luar
jawa dan Sumatera akan dikuasai lagi oleh Belanda dengan menjalankan
politik memecah belah dan menguasai153
.
Setelah terdiam beberapa menit, Moh. Hatta kemudian
menegaskan kepada Opsir Kaigun Jepang; besok hari dalam sidang
PPKI akan saya samapikan masalah yang sangat penting itu. Saya
minta kepada Opsir Jepang bersabar dan termasuk
pemimpin-pemimpin Kristen yang berhati panas agar mereka jangan
terpengaruh oleh propaganda Belanda. Mengingat betapa seriusnya
persoalan ini, keesokan harinya pada 18 Agustus 1945 sebelum sidang
PPKI dimulai, Bung Hatta mengundang empat tokoh Islam; Ki Bagus
Hadikusumo, K.H. A. Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo dan Teuku
Moh. Hasan ( dari Sumatera ), mengadakan dialog ( lobby )
membicarakan masalah itu, supaya tidak terjadi perpecahan sebagai
bangsa154
. Berlima dengan Bung Hatta, tokoh-tokoh Islam tersebut
mencapai kesepakatan untuk menghapus beberapa kalimat dalam
Piagam Jakarta, yaitu; dengan kewajiban menjalankan Sysriat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya dan menggantinya dengan; Ketuhanan Yang
Maha Esa. Setelah kesepakatan dicapai, Bung Hatta kemudian
menegaskan bahwa pemimpin-pemimpin tersebut benar-benar
mementingkan nasib dan persatuan.155
Oleh karena itu, tidak
berlebihan jika Alamsyah Ratu Perwiranegara ( Menteri Agama RI di
tahun 1980-an ) menegaskan bahwa tanpa bantuan dan pengorbanan
umat Islam, Pancasila tidak akan ada di Indonesia. Umat Islam telah
memberikan hadiah dan pengorbanan terbesar untuk kemerdekaan
Republik Indonesia dan hidupnya Pancasila.156
Hatta selanjutnya
menegaskan bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan
menghapus perkataan; dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya dan menggantinya dengan; Ketuhanan Yang
153
Kohar Hari Sumarno, Manusia Indonesia ManusiaPancasila ( Jakarta:
Galia Indonesia, 1405 H. / 1984 ), h. 60. Lihat juga E. Saefuddin Anshari, Piagam
Jakarta: 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsnsus Nasional Antara Nasionalis Islam dan
Nasionalis Sekular Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 – 1959, h. 55 154
Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, h. 58 - 59 155
Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, h. 59 156
Lihat Majalah Kiblat No. 23. tahun 1980, h. 8 - 9
303
Maha Esa157
. Perubahan yang disetujui oleh lima tokoh itu kemudian
disahkan oleh sidang lengkap PPKI.
Berdasarkan penjelasan Moh. Hatta di atas terkait dengan
latarbelakang penghapusan ( pencoretan ) bagian kalimat dari Piagam
Jakarta, dapat dimengerti bahwa yang terlibat secara langsung dalam
lobby itu lima orang tokoh. Tetapi menurut catatan Sajuti Melik ( salah
seorang anggota PPKI ) dan catatan Teuku Moh. Hasan ( juga anggota
PPKI ) sebagaimana dikutip Prawoto; bahwa yang melakukan lobby itu
tiga orang saja; Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Moh. Hasan dan Moh.
Hatta158
. Jadi, bukan lima orang, sebab K.H.A. Wahid Hasyim waktu
itu tidak ada karena beliau masih dalam perjalanan dari Jawa Timur ( ke
Jakarta ), sementara Kasman Singodimedjo sebagai anggota tambahan
yang baru mendapat undangan sidang pada pagi itu, tutur Prawoto,
beliau ( Kasman ) belum mengetahui sama sekali persoalannya. Jika
demikian kondisinya, berarti ada dua sumber yang berlainan. Pertama;
sumber dari Moh. Hatta, dan Kedua; dari Sajuti Melik dan Teuku Moh.
Hasan. Sumber yang mendekati kebenaran menurut penulis adalah
sumber pertama, karena penghapusan tujuh anak kalimat itu tidak dapat
dipertanggung jawabkan apabila hanya dibicarakan oleh dua orang
tokoh Islam ( Ki Bagus Hadikusumo dan Teuku Moh. Hasan ditambah
dengan Moh. Hatta ) tampa melibatkan tokoh-tokoh Islam yang lain.
Berdasarkan latarbelakang penghapusan tujuh anak kalimat di
atas, penulis ingin menyampaikan beberpa catatan terkait dengan Opsir
Kaigun Jepang yang datang kepada Moh. Hatta, Pertama: Orang yang
datang kepada Moh. Hatta pada sore hari 17 Agustus 1945 itu adalah
misteri, karena menurut catatan E. Saefuddin Anshari dalam bukunya;
Piagam Jakarta 22 Juni 1945, bahwa Moh. Hatta tidak ingat nama Opsir
Kaigun Jepang itu159
. Padahal Moh. Hatta sangat dikenal sebagi
seorang administrator yang ketat. Harusnya seperti yang sudah menjadi
kebiasaan, dicatat dalam buku catatan tamu, karena hal itu sangat
penting, apalagi menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua: Moh. Hatta tidak membicarakan lebih dulu tentang kedatangan
Opsir Kaigun Jepang itu, benarkah dia membawa missi dari
orang-orang Kristen ( dari Indonesia bagian Timur ) ?, bukannya terus
157
Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, h. 59 158
Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara
dan Sebuah Proyeksi, h. 33 - 35 159
E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 . . . . . h. 55
304
memprakarsai penghapusan ( pencoretan terhadap beberapa kalimat di
dalam Pembukaan dan Undang-Undang Dasar itu sendiri ). Ketiga:
Opsir Kaigun Jepang itu mengaku, bahwa dia menyenangi Indonesia
merdeka. Apakah ini bisa dipercaya ?. Keempat: Opsir Kaigun Jepang
yang datang kepada Moh. Hatta seolah-olah mewakili golongan umat
Kristen Protestan dan Katolik dari wilayah Indonesia bagian Timur.
Benarkah demikian ?. Padahal umum diketahui, bahwa orang-orang
Jepang umumnya beragama Budha, Shinto atau tidak beragama.
Sementara agama Kristen, baik Protestan atau Katolik adalah agama
tentara Sekutu ( Amerika dan Eropah ), yaitu orang-orang yang dianggap
musuh oleh bangsa Jepang waktu itu. Dapatkah dikatakan bahwa Opsir
Kaigun Jepang itu menjadi wakil orang-orang Kristen ? Secara logika
sangat sulit untuk menerima kenyataan ini.
Pertanyaan-pertanyaan menggelitik ini wajar diajukan
berdasarkan analisis terhadap fakta sejarah, secara akademik sah-sah
saja karena sebenarnya banyak terjadi ketidak jelasan di seputar
penghapusan tujuh anak kalimat dari Piagam Jakarta. Kehadiran Opsir
Kaigun Jepang sebagai tamu Moh. Hatta juga tidak jelas sehingga
muncul berbagai spekulasi. Oleh karena itu perubahan-perubahan yang
terjadi pada Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945, tidak heran
jika di kemudian hari menjadi kontroversi dan memunculkan berbagai
spekulasi, terutama di kalangan para tokoh Nasionalis Islam.
Sehubungan ini, Prawoto menegaskan; bahwa perubahan itu ternyata
menimbulkan benih pertentangan sikap dan pemikiran di kemudian hari.
Dengan tak tersengajakan menjadi suburlah fitnah yang sangat
merugikan bangsa dan negara160
. Selanjutnya Prawoto menyatakan;
tersiarnya teks Pembukaan dan Undang-Undang Dasar yang sudah
dirubah itu menggoncangkan kalbu para pemimpin Islam yang turut
merancang Undang-Undang Dasar dan juga mereka yang sudah
mendengar isi rancangan tersebut. Karena kedudukan mereka di
tengah-tengah masyarakat sangat vital, maka frustasi mereka itu
160
Pertentangan sikap dan pemikiran, tumbuhnya fitnah menfitnah, bahkan
frustasi dan kecewa sebagai akibat dari dihapusnya tujuh anak kalimat itu, segera reda
sedikit demi sedikit setelah Pemerintah Orde Baru berhasil meyakinkan umat Islam
Indonesia ( tentu saja dengan berbagai pendekatan dan strategi ), bahwa Pancasila
tidak bertentangan dengan agama, terutama agama Islam, bahkan agama menempati
posisi yang khusus di dalam Pancasila. Dari aspek lain, karena keberhasilan Rezim
Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal, sehingga
berdampak pada tidak adanya kemunculan ideologi-ideologi lain selain Pancasila.
305
merebak ke bawah dan ke samping. Mulailah terjadi krisis kepercayaan.
Namun demikan, Prawoto menyatakan; kegoncangan ini tidak dirasakan
oleh golongan di luar Islam, sehingga artinyapun tidak segera mereka
tangkap161
.
Hampir sama dengan sikap Prawoto di atas, E. Saefuddin
Anshari di dalam bukunya; Piagam Jakarta 22 Juni 1945 . . . . . .
menyatakan bahwa reaksi atas kejadian 18 Agustus 1945 itu ternyata
terbagi dua sikap, Pertama; mereka yang beranggapan seperti Prawoto
yang menyesalkan perubahan yang tiba-tiba itu. Kedua; mereka yang
beranggapan bahwa tidak ada hal yang tidak selaras dalam semua ini.
Selanjutnya E. Saefuddin Anshari yang mengutip pandangan Ahmad
Sanusi di dalam bukunya; Islam: Revolusi dan Masyarakat,
menyatakan bahwa Piagam Jakarta itu tidaklah dirubah atau
diombang-ambingkan oleh Badan Penyelidik atau Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia162
. Selaras dengan ini Moh. Hatta menulis;
Pada waktu itu kami dapat menyadari bahwa semangat Piagam Jakarta
tidak lenyap dengan menghapus perkataan; Ketuhanan dengan
kewajban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan
menggantinya dengan; Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya Moh.
Hatta menegaskan 163
bahwa dalam negara Indonesia yang berfaham
semboyan Bhinneka Tunggal Ika, maka tiap-tiap peraturan dalam
kerangka Syariat Islam yang hanya mengenai orang Islam dapat
diajukan sebagai rancangan undang-undang ke DPR ( Dewan
Perwakilan Rakyat ) dan jika diterima oleh DPR, maka akan mengikat
umat Islam Indonesia. Dengan cara ini, kata Hatta, bagi umat Islam
Indonesia ada satu sistem Syariat Islam yang diatur dalam
undang-undang berdasarkan al-Qur`an dan Hadis Nabi yang sesuai
dengan aspirasi umat Islam Indonesia164
.
Begitulah realitas yang terjadinya terkait dengan penghapusan
tujuh anak kalimat di dalam Piagam Jakarta. Walau bagaimanapun,
semua itu sudah berlalu dan menjadi catan sejarah, waktu tidak dapat
diputar kembali ke belakang. Bangsa Indonesia seluruhnya, terutama
161
Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara
dan Sebuah Proyeksi, h. 28 162
E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 . . . . . h. 28 dan 61 163
Penegasan Moh. Hatta ini sebagaimana dikutip E. Saefuddin Anshari di
dalam bukunya ; Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 62 164
Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, h. 28 - 60
306
umat Islam, tidak ada pilihan lain selain memahami ada hikmah di balik
apa yang terjadi, sehingga dengan begitu diharapkan lahir sikap positif.
Para tokoh Nasionalis Islam telah berjuang begitu hebatnya, tetapi takdir
Tuhan menentukan yang lain. Yang penting sekarang, ialah
bagaiamana rakyat Indonesia dapat merealisasikan apa yang telah
menjadi konsensus bersama para founding fathers negara Indonesia.
Mempermasalahkan hal-hal yang telah lalu tidak ada gunanya, selain
membazirkan waktu. Sehubungan ini, penulis setuju dengan
pandangan Taufik Abdullah bahwa Pancasila sebagai hasil rumusan
Panitia kecil ( panitia sembilan ) dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta
atau Jakarta Charter, di mana Pancasila terkandung di dalamnya,
maka Pancasila yang resmi diberlakukan hari ini adalah Pancasila yang
disahkan oleh PPKI dalam sidangnya 18 Agustus 1945 dengan
menghapus tujuh anak kalimat; dengan kewajiban menjalankan Syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya, jadinya; Ketuhanan Yang Masa Esa165
.
Perjuangan menegakkan Syariat Islam masih terbuka ( meskipun tidak
harus secara formalistik ) sebagaimana ditegaskan Moh. Hatta; bahwa
dalam negara Indonesia yang berpaham semboyan Bhinneka Tunggal
Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syariat Islam yang hanya
mengenai orang Islam dapat diajukan sebagai rancangan undang-undang
( RUU ) ke DPR, dan jika diterima, maka undang-undang tersebut akan
mengikat umat Islam Indonesia.
10. Pancasila Yang Diberlakukan
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ) yang
dibentuk pada 7 Agustus 1945166
telah mengadakan sidangnya pada 18
Agustus 1945 sehari setelah Indonesia diproklamasikan
kemerdekaannya. Sidang yang awalnya dijadwalkan pada jam 9.30,
tetapi kemudian molor hingga baru dapat diadakan pada jam 11.30167
.
Keterlambatan ini dikarenakan sedang berjalannya lobi atau
pembicaraan antara para tokoh nasional di seputar upaya penghapusan
165
Gatra, 10 Juni 1995, h. 28 166
Pada 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan dan pada saat yang sama
dibentuk PPKI oleh Pemerintah Jepang. Lihat Sartono Kartodirdjo, Sejarah Nasional
Indonesia I – VI ( Jakarta: Balai Pustaka, 1977 ), h. 22 167
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h.
400
307
tujuh anak kalimat dalam Piagam Jakarta sebagai jalan penyelesaian
dalam rangka mengatasi konflik yang terjadi168
.
Agenda sidang ialah untuk membicarakan perubahan-perubahan
penting pada Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945 dan
kemudian memilih Presiden dan wakil Presiden. Sidang dimpimpin
langsung oleh Soekarno dan Moh. Hatta. Soekarno dalam prolognya
pada sidang kali ini menekankan arti pentinya sejarah saat itu, dan
Soekarno mendesak agar Panitia Persiapan mempercepat sidang secepat
kilat, seraya mengingatkan kepada para anggota sidang supaya tidak
bertele-tele berbicara banyak tentang hal-hal detail, tetapi
memfokuskan perhatian sepenuhya pada garis-garis besarnya saja.
Agenda sidang pagi itu lebih terfokus pada beberapa perubahan penting
pada Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945169
. Setelah itu
Soekarno sebagai pimpinan sidang mempersilahkan Hatta untuk
menyampaikan poin-poin perubahan, maka atas permintaan pimpinan
sidang, Hatta berdiri ke depan untuk menyampaikan poin-poin
perubahan tersebut kepada para anggota sidang. Beberapa perubahan
penting yang disampaikan Hatta sebagaimana dijelaskan Muh. Yamin170
sebagai berikut;
1. Kata Mukaddimah di dalam Piagam Jakarta diganti dengan kata
Pembukaan.
2. Di dalam Piagam Jakarta, anak kalimat; Berdasarkan kepada
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, menjadi; berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa.
3. Perubahan yang terjadi pada Undang-Undang Dasar, iaitu pada
Pasal 6 , ayat 1, berbunyi; Presiden ialah orang Indonesia asli
dan beragama Islam, kalimat dan beragama Islam dihapus.
4. Konsekwensi dari perubahan yang terjadi pada Pembukaan
Undang-Undang Dasar, terjadi juga pada Undang-Undang Dasar
itu sendiri. Pasal 29, Ayat I, yang berbunyi; Negara
berdasarkan atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
168
Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara
dan Sebuah Proyeksi, h. 24 169
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld, 1, h.
400 170
Ibid. h. 400 - 401
308
Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dirubah menjadi;
Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa171
.
Berikut ini disampaikan teks Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 yang sudah dirubah.
Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa
menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Ketuhanan Yang
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia
dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
171
Perubahan-perubahan lain yang terjadi pada Undang-Undang Dasar, ialah
tentang istilah; Hukum dasar, diganti dengan; Undang-Undang Dasar, ; . . . . . dua
orang wakil Presiden, menjadi, Seorang wakil Presiden. Lihat Noor Ms. Bakry,
Pancasila Yuridis Kenegaraan, h. 30
309
permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Demikianlah perubahan-peubahan yang terjadi. Para pembicara
yang sebelum ini sangat keras, seperti Ki Bagus Hadikusumo, K.H. A.
Wahid Hasyim, tetapi pada sidang kali ini ( sidang PPKI ) mereka
sangat toleran menerima perubahan yang terjadi pada Pembukaan dan
Undang-Undang Dasar 1945. Mereka bersikap toleran demi memelihara
persatuan dan kesatuan Republik Indonesia. Pada jam 13,45 tanggal 18
Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia setelah tidak
ada lagi persoalan telah menerima teks Pembukaan dan Undang-Undang
Dasar 1945 yang telah dirubah, maka Pembukaan dan Undang-Undang
Dasar yang telah disahkan itu kemudian dikenal dengan Pembukaan dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Setelah membacakan perubahan-perubahan tersebut, Hatta
kemudian menyatakan keyakinannya; Inilah perubahan maha penting
yang dapat menyatukan seluruh bangsa. Soekarno setelah mengambil
alih pimpinan sidang, kemudian menyatakan bahwa; Undang-Undang
Dasar yang dibuat ini adalah Undang-Undang Dasar sementara,
Undang-Undang Dasar kilat, nanti kalau kita sudah bernegara di dalam
kondisi aman, kita akan mengumpulkan ( mengundang ) kembali Majlis
Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang
lebih lengkap dan sempurna172
.
Demikianlah perkembangan Pancasila semenjak masih berupa
gagasan dan rancangan sampai pada pengesahannya, yang pada tingkat
permulaan disahkan oleh BPUPKI, yaitu Pancasila yang dalam
keadaannya yang lengkap, dan tingkat kedua Pancasila disahkan oleh
PPKI pada 18 Agustus 1945, yaitu Pancasila yang sudah dirubah. Jadi,
tanggal 18 Agustus 1945 adalah hari pengesahan Pembukaan dan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar dan filsafat ( Ideologi )
Negara Indonesia.
11. Pengertian Pancasila Sebagai Dasar Negara
172
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld, 1, h.
402 – 410. Lihat juga Boland B.J. The Stuggle of Islam in Modern indonesia, h. 37
310
Pancasila sebagai konsep modern dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara173
, memiliki akar yang jauh ke belakang dalam sejarah
bangsa Indonesia. Pancasila merupakan konsep baru sebagai sistem
ideologi untuk men-design kehidupan dalam tatanan negara Indonesia
yang modern. Pancasila pada awalnya dipakai Soekarno dalam
pidatonya 1 Juni 1945 sebagai nama dari lima sila174
. Jika ditinjau dari
aspek proses pertumbuhannya akan ditemukan sekurang-kurangnya
tiga pengertian.
Pertama; Penggunaan Pancasila dalam realitas sejarah. Dalam
konteks ini dapat dijelaskan bahwa Pancasila bukanlah istilah baru bagi
rakyat Indonesia. Sejak Budhisme memasuki wilayah Nusantara (
Indonesia ) dari India dan Burma ( Miyanmar ) telah dikenal perkataan
Pancasila yang artinya lima prinsip moral ( five moral principles ) atau
lima aturan tingkah laku. Di dalam literatur Budhisme perkataan
Pancasila biasanya disingkat menjadi Pansil. Dalam ajaran Budha
menurut bahasa aslinya terdapat lima prinsip ( Code of morality ), yaitu;
1. Panatipata veramani sikkhapadan samadiyani, artinya; kami
berjanji untuk menghindari pembunuhan,
2. Adinnaandana veramani sikkhapadan samadiyani artinya; kami
berjanji untuk menghindari pencurian,
3. Kamesu micehara veramani sikkhapadan samadiyani, artinya;
kami menghindari untuk menghindari perzinaan,
4. Mussavada veramani sikkhapadan samadiyani, artinya; kami
berjanji untuk menghindari perbuatan dusta,
5. Sura meraya majja pamadatthana veramani sikkhapadan
samadiyani, artimya; kami berjanji untuk menghindari makanan
dan minuman yang memabukkan dan menjadikan ketagihan175
.
Dalam konteks ini Prawoto menegaskan; Inilah Pancasila asli
yang lahir di India sebagai ciptaan Gautama Budha; Raja Agoka yang
melihat Pancasila ini sebagai dasar moral ( code of morality ) bagi
rakyatnya. Oleh karenanya Pancasila ini diciptakan menjadi peraturan
tetap untuk mencapai tingkat kemajuan rohani rakyat Kemaharajaan
173
Lihat, Sayidiman Suryohadiprojo, Pancasila, Islam dan ABRI ( Jakarta:
PT. Penebar Swadaya, T. Tahun ), h. 15 174
Lihat, Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia, h. 437 175
Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara
dan Sebuah Proyeksi, hlm. 13 – 14, Lihat juga Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis
Kenegaraan, h. 9
311
Agoka176
. Perkembangan selanjutya, Pancasila memasuki khazanah
kesusastraan Jawa kuno pada zaman Kemaharajaan Majapahit pada
masa Pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Perdana Mentrinya;
Gajahmada di sekitar tahun 1364 M. Istilah Pancasila ditemukan dalam
buku keropak Negarakertagama yang berupa syair pujian yang ditulis
oleh seorang pujangga Istana bernama Empu Prapanca. Syair pujian
tersebut berbunyi; Yatnanggegwani Pancasyila
kertasangkarabhisekakrama, artinya; ( Raja ) menjalankan dengan
setia kelima pantangan atau larangan itu, begitu pula upacara-upacara
dan penobatan177
. Selain terdapat dalam buku Negarakertagama pada
zaman Majapahit, istilah Pancasila juga ditemukan dalam buku
Sutasoma karya Empu Tantular178
. Di dalam buku Sutasoma ini,
Pancasila disamping mempunyai arti batu sendi lima, juga mempunyai
arti pelaksanaan kesucian lima, yaitu;
1. Tidak boleh melakukan kekerasan,
2. Tidak boleh mencuri,
3. Tidak boleh berjiwa dengki,
4. Tidak boleh berbohong,
5. Tidak boleh mabuk minuman keras179
.
Demikian perkembangan istilah Pancasila yang berasal dari
bahasa Sansekerta, kemudian memasuki khazanah kesusastraan Jawa
kuno pada zaman Kerajaan Majapahit. Setelah runtuhnya
Pemerintahan Majapahit dan agama Islam telah tersebar luas ke seluruh
pelosok bumi Indonesia waktu itu, pengaruh ajaran Budhisme turut
pula ditela waktu180
. Pada perkembangan selanjutnya lahirlah dalam
masyarakat Jawa istilah yang dikenal Ma Lima; kepanjangan dari
lima larangan. Dalam bahasa Jawa disebut Mo Limo atau Lima M,
yaitu;
1. Mateni, artinya; membunuh,
176
Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara
dan Sebuah Proyeksi, h. 14 177
Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, hlm. 437. Lihat juga
Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h. 10 178
Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h.
437 179
Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, h. 110 180
Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara
dan Sebuah Proyeksi, hlm. 14, Lihat Juga Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis
Kenegaraan, h. 10
312
2. Maling, artinya; mencuri,
3. Madon, artinya; berzina,
4. Madat, artinya; menghisap candu,
5. Main, artinya; berjudi
Dalam konteks ini, Noor Ms. Bakry menyatakan bahwa lima
larangan moral ini yang disingkat M – Lima dalam masyarakat Jawa
dikenal dan juga masih menjadi pedoman moral, tetapi namanya sudah
bukan lagi Pancasila yang berasal dari faham Budha itu, tetapi M –
Lima181
.
Kedua; Pengertian Pancasila dari segi etimologi. Pancasila
yang pada awalnya berasal dari bahasa Sansekerta ( bahasa kasta
Brahmana ), menurut Muh. Yamin, adalah merupakan paduan dari dua
kata, yaitu; Panca dan Syila. Panca, artinya lima dan Syila ( dengan
huruf I pendek ), artinya batu sendi, alas atau dasar. Dengan demikian
Pancasila ( Pancasyila ) berdasarkan pengertian ini bermakna batu sendi
yang lima ( consisting of five rocks ). Sementara Syila ( dengan
huruf I panjang ), artinya peraturan tingkah laku yang penting, baik dan
senonoh.182
Dengan demikian, Pancasila ( Pancasyila ) menurut
pengertian ini bermakna lima peraturan perilaku yang penting. Jadi,
Pancasila dari segi etimologi ialah lima sendi, dasar atau lima peraturan
perilaku ( tingkah laku ) yang penting.
Ketiga; Pengertian Pancasila dari segi terminologi. Secara
terminologi atau berdasarkan istilah yang dipakai di Indonesia sejak
sidang pertama Badan Penyelidik pada 1 Juni 1945, istilah Pancasila
dipergunakan oleh Soekarno untuk nama lima dasar atau prinsip
Negara Indonesia merdeka yang diusulkannya. Pada sidang pertama
BPUPKI itu, Soekarno setelah menyampaikan usulan-usulannya
berupa lima prinsip untuk Negara Indonesia merdeka, Soekarno
kemudian menawarkan sebuah nama untuk lima prinsip itu. Hal ini
sebagaimana Soekarno nyatakan . . . . . namanya bukan Panca
Dharma, tetapi saya namakan dengan petunjuk seorang teman kita
ahli bahasa, namanya ialah Pancasila. Panca artinya lima, Sila
artinya dasar, dan di atas lima dasar itulah kita mendirikan Negara
Indonesia, kekal dan abadi183
.
181
Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, h. 11 182
Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h.
473 183
Ibid. h. 437
313
Berdasarkan pernyataan Soekarno di atas, dapat dimengerti
bahwa Pancasila digunakan Soekarno sebagai nama untuk lima prinsip
kenegaraan. Dan setelah kemerdekaan Indonesia, Pancasila yang
terkandung di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu telah
memperoleh pengesahannya yang terakhir dalam sidang PPKI pada 18
Agustus 1945. Jadi, semenjak itu istilah Pancasila secara resmi
telah dipakai oleh rakyat Indonesia, maka Pancasila mempunyai arti
lima dasar ( prinsip ). Dalah hubungan ini Prawoto menegaskan
bahwa Pancasila pada asalnya dipergunakan untuk tuntutan moral ( code
of morality ) sebagaimana berkembang di dalam ajaran Budhisme,
tetapi kemudian Soekarno mempergunakannya sebagai nama dari lima
dasar kenegaraan Indonesia184
. Dengan demikian, Pancasila
diposisikan sebagai dasar bagi Negara Republik Indonesia.
Demikianlah perkembangan pengertian Pancasila yang awalnya
berasal dari bahasa Sansekerta dalam paham atau ajaran Budhisme yang
mengandungi lima aturan perilaku ( code of morality ). Kemudian
Pancasila memasuki khazanah kesusteraan Jawa kuno yang diberi arti
lima larangan. Selanjutnya ajaran ini hilang dari permukaan seiringa
dengan perubahan zaman sebagai akibat logis dari perubahan rakyat
dalam beragama, yaitu penerimaan Islam sebagai agama rakyat, maka
kemudian muncul sebagai gantinya istilah M- lima. Terakhir istilah
Pancasila lahir kembali dengan kemasan baru dan pengertian yang baru
pula, maka Pancasila semenjak 1 Juni 1945 menjadi bahasa Indonesia
yang digunakan untuk nama dari dasar dan filsafat Negara Republik
Indonesia hingga hari ini.
12. Pancasila Filsafat Kenegaraan Republik Indonesia
Eksistensi suatu bangsa yang beradab di mana saja berada di
dunia ini tidak lepas dari cita-cita yang menjiwainya. Dari sinilah
lahirnya pandangan hidup dari bangsa tersebut, baik yang berkaitan
dengan kehidupan kemasyarakatan ataupun kenegaraan. Konsekuensi
dari pandangan hidup ini, semua aktivitas bangsa tersebut akan
dikerahkan untuk merealisasikan cita-cita dan pandangan hidupnya ke
dalam tindakan-tindakan yang kongret melalui berbagai pendekatan
dan strategi. Para pendiri ( founding fathers ) negara Republik
184
Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara
dan Sebuah Proyeksi, hlm. 13. Lihat juga Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis
Kenegaraan, h. 11
314
Indonesia telah meletakkan pandangan hidup sebagai landasan dalam
berbangsa dan bernegara. Pandangan hidup ini berisi konsep dasar
tentang kehidupan yang dicita-citakannya. Bagi bangsa Indonesia,
pandangan hidup itu adalah Pancasila yang lahir dari pemikiran yang
dalam, sebagai manifestasi dari cita-cita yang dirumuskannya dalam
bentuk filsafat kenegaraan. Filsafat kenegaraan Pancasila juga sebagai
refleksi kritis tentang cita-cita hidup bangsa Indonesia, maka Pancasila
sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa Indonesia. Dalam
konteks ini Soekarno ketika menyampaikan pidatonya mengenai dasar
negara pada sidang pertama BPUPKI memberikan pernyataan dasar
filsafat yang disebut Philosofische Grondslag ( bahasa Belanda ).
Kemudian Soekarno menegaskan; itulah foundamen, filsafat, pikiran
yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia
merdeka yang kekal dan abadi185
.
Apa yang dimaksud Soekarno ialah bahwa Indonesia merdeka
harus didasarkan pada Philosofische Grondslag, Weltanschauung (
bahasa Jerman ) atau Dasar Filsafat Hidup. Dasar Filsafat Hidup yang
dimaksud Soekarno ialah Pancasila. Oleh karena itu Pancasila
ditegaskan sebagai fondasi, dasar, filsafat atau pikiran yang
sedalam-dalamnya bagi Negara Indonesia. Sebagai argumen untuk
menjastifikasi bahwa Pancasila merupakan filsafat kenegaraan
Republik Indonesia, penulis sampaikan beberapa pandangan dari para
tokoh dan sarjana yang turut memberikan pengakuannya, anatara lain;
1. Muh. Yamin; Dalam konteks ini Muh. Yamin menegaskan;
Pancasila yang dalam konstitusi 1945 menjadi dasar negara
Republik Indonesia, sebenarnya hasil dari tinjauan dunia (
world view ) sebagai salah satu dari sisi pandangan hidup.186
Di
atas tinjauan dunia itu diletakkan susunan perumahan Republik
Indonesia . . . . . . itulah alasannya, maka ajaran Pancasila
dinamakan juga dasar filsafat kenegaraan Indonesia.187
Di
tempat lain Muh. Yamin menyatakan; Jika demikian,
185
Soekarno, Lahirna Pancasila -pidato pertama Soekarno tentang
Pancasila 1 Juni 1945- ( T. tmpt: T.pbt, T. th. ), h. 5 186
Tinjauan dunia dalam bahasa Jerman; Weltanschauung, dan tinjauan
hidup itu disebut; Lebensanchauung. Kedua-dua istilah ini banyak dipakai di Jerman
ketika aliran romantik berkembang untuk menyatakan suatu keseluruhan dalam hal
berpikir dan memikirkan dunia. 187
Miuh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia,
hlm. 445
315
benar-benar ajaran filsafat Pancasila bukanlah barang yang
bercerai berai seperti pasir di tepi pantai, melainkan ajaran
Pancasila itu benar-benar tersusun baik dalam satu perumahan
filsafat yang harmoni dan sesuai dengan syarat-syarat filsafat
yang sesungguhnya, yaitu; pertemuan tinjauan hidup
berdasarkan tradisi naluri Kitab suci, serta berdasarkan percikan
hikmah kebijaksanaan rakyat Indonesia188
.
2. Soeharto ( mantan Presiden RI di era Orde Baru ); Soeharto
dalam konteks ini ketika menyampaikan pidatonya dalam acara
memperigati Hari Lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1967
menyatakan; Dasar filsafat negara ini jelas diterima oleh seluruh
rakyat Indonesia, karena sebenarnya telah tertanam dalam kalbu
rakyat. Oleh karena itu ia juga merupakan filsafat negara yang
dapat dijadikan dasar untuk mempersatukan seluruh rakyat yang
plural189
.
3. Notonagoro ( salah seorang Profesor di Universitas Gajah Mada
dan Guru Besar Luar Biasa di Universitas Airlangga );
Notonagoro memberi judul; Pancasila Dasar Falsafah Negara,
pada buku yang merangkumi tiga uraian pokok-pokok persoalan
tentang Pancasila. Notonagoro menyatakan; Pancasila bukanlah
suatu konsepsi politik, akan tetapi buah hasil renungan jiwa
yang mendalam, buah hasil penyelidikan pemikiran yang
teratur dan saksama di atas dasar pengetahuan dan pengalaman
yang luas190
.
4. Darji Darmodiharjo; Di dalam bukunya yang berjudul;
Santiaji Pancasila, Darji Darmodiharjo menjelaskan; Secara
objektif ilmiah karena Pancasila adalah suatu paham filsafat, a
philosophical way of thinking atau a philosophical system
sehingga uraiannya pun harus logik dan dapat diterima oleh akal
sehat191
.
Berdasarkan beberapa pandangan di atas mengenai Pancasila
dalam bangnan negara Indonesia, dapat ditegaskan bahwa Pancasila
188
Ibid., h. 456 189
Soeharto Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila ( Jakarta:
Yayasan Proklamasi, 1972 ), h. 12 190
Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara ( Jakarta: PT. Bina
Aksara, 1983 ), h. 131 191
Darji Darmodiharjo et al, Santiaji Pancasila ( Surabaya; Usha Nasional,
1970 ), h. 13
316
adalah konsep dasar tentang filsafat kenegaraan Indonesia, karena
Pancasila mengandung beberapa prinsip asas yang dapat dikategorikan
sebagai filsafat kenegaraan, yaitu;
Pancasila hasil paduan tinjauan hidup berdasarkan tradisi naluri
Kitab suci ( al-Qur`an bagi umat Islam ), serta berdasarkan
percikan hikmah kebijaksanaan manusia Indonesia,
Pancasila hasil tinjauan dunia ( world view ) sebagai segi dari
pandangan hidup ( way of life ),
Pancasila hasil renungan jiwa yang dalam dan penyelidikan
yang sistematik dan saksama berdasarkan pengetahuan dan
pengalaman yang luas,
Pancasila sebagai kesatuan yang utuh,
Pancasila merumuskan realitas manusia Indonesia dalam realitas
kehidupan,
Pancasila mengandung nilai-nilai yang diyakini benar oleh
rakyat Indonesia sehingga dapat dijadikan dasar persatuan bagi
seluruh tumpah darah Indonesia yang berbeda-beda etnik,
agama, budaya, bahasa dan sebagainya.
Berikut ini penjelasan mengenai beberpa prinsip tersebut sebagai
berikut;
12.a. Pancasila hasil paduan tinjauan dari kitab suci dan hikmah
kebijaksanaan
Muh. Yamin dalam konteks ini mendasarkan pandangannya
pada teori yang disampaikan oleh salah seorang filosof Islam dan
ahli hukum dari Sevilla, Sepanyol; Ibnu Rusydi ( Averus ) yang
hidup di abad dua belas ( 1126 – 1198 M. ). Di dalam karyanya;
al-Fashl al-Maqal Fiy Ma Bayna al-Shariat wa al-Hikmat Min
al-ittishal, juga di dalam karyanya yang lain; Kashf al-Manahij,
Ibnu Rusydi menyampaikan ajaranya berupa nasehat, yaitu;
bahwa orang harus bisa membedakan antara kebenaran yang
berdasarkan firman ( firman Allah ) dan kebenaran yang
dihasilkan oleh hikmah kebijaksanaan otak manusia. Menurut
Muh. Yamin, Ibnu Rusydi berpendirian teguh menerima
kebenaran isi firman yang diturunkan kepada umat manusia,
demikian juga kebenaran yang dihasilkan oleh hikmah
kebijaksanaan manusia, kemudian Ibnu Rusydi berkeyakinan
bahwa kedua jenis kebenaran itu tidak dapat disamakan, sebab
317
kebenaran firman adalah mutlak, sementara kebenaran hikmah
kebijaksanaan manusia bersifat relatif dan subjektif192
. Oleh
karena itu Ibnu Rusydi menegaskan; Apabila Syariat yang
haqq ( benar ) menyeru kepada umat agar berpikir secara analisis
( bersifat hikmah kebijaksanaan ) sehingga sampai pada
kebenaran ( makrifat al-haqq ), kita dapat pastikan bahwa
pemikiran yang analisis dan berdasarkan burhan ( fakta ) itu
adalah tidak akan bertentangan dengan kebenaran ( haq firman ),
bahkan saling memperkuat193
. Atas dasar pandangan Ibnu
Rusydi ini, Muh. Yamin berkesimpulan bahwa Pancasila sebagai
kebenaran dihasilkan oleh hikmah kebijaksanaan manusia
Indonesia terhindar dari pertentangan dengan isi firman Allah
dalam Kitab Suci-nya194
. Oleh karena itu, Muh. Yamin
menegaskan bahwa dengan berdasarkan nasehat Ibnu Rusydi
yang paling berharga itu, maka antara ajaran Pancasila dengan
firman kitab Suci ( al-Qur`an bagi umat Islam ) tidak terjadi
pertentangan. Realitasnya memang demikian, karena sila-sila
Pancasila dirumuskan secara umum sehingga tidak terjadi
bertentangan dengan firma Allah ( al-Qur`an ), bahkan dengan
mana-mana kitab suci agama lain sekalipun195
. Di sinilah
sebenarnya kekuatan Pancasila sebagai dasar dan filsafat negara
Republik Indonesia, karena rumusan-rumusannya bersifat
umum sehingga agama-agama dan aliran pemikiran yang
beraneka ragam di Indonesia terakomodasi, oleh karenanya
eksistensi kehidupan keberagamaan, aliran pemikiran dan politik
yang berbeda-beda terakomodasi dalam Pancasila. Hanya
interpretasi-interpretasi terhadap sila-sila Pancasila yang
mungkin terjadi perbedaan. Dengan demikian, persoalannya
tergantung siapa yang memberikan interpretasi. Muh.Yamin
selanjutnya menegaskan . . . . dengan memperhatikan nasehat
192
Lihat Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia, h. 47 193
Lihat Ibnu Rusydi Abu al-Walid, Fashl al-Maqal Fiy Ma Bayna
al-Hikmah wa al-Shari`ah Min al-Ittishal ( Beirut: al-Muassisah al-`Arabiah, T.th. ), h.
13 -14 194
Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h.
47 195
Ibid. h. 448. Lihat juga Darji Darmodiharjo et al. Santiaji Pancasila. h.
49
318
Ibnu Rusydi, dapat kita membedakan Pancasila sebagai dasar
negara hasil penggalian hikmah manusia dari ajaran agama
apapun, maka Pancasila menemukan berbagai aliran politik dan
agama dalam kebersamaan berbangsa dan bernegara196
.
12.b. Pancasila hasil tinjauan dunia ( world view )
Tinjauan dunia ( world view ) menurut Muh. Yamin bukanlah
aliran agama, melainkan ilmu pengetahuan yang memberikan
ruang untuk melakukan tinjauan menyeluruh tentang asal usul
dan wujud dunia yang menentukan kedudukan kerohanian
manusia dalam dunia. Dengan sendirinya tinjauan dunia juga
meliputi tinjauan hidup sebagai salah satu aspek dari ilmu
pengetahuan yang sangat luas, termasuk pengertian tentang
dunia, kesusilaan hidup, sikap rohani manusia. Dalam
kaitannya dengan Pancasila sebagai tinjauan dunia ( world view )
Muh. Yamin menegaskan bahwa tinjauan Indonesia yang
melahirkan ajaran Pancasila sebagai pengolahan rohani dari
keseluruhan pemikiran, maka yang ditinjau ialah sikap rohani
manusia Indonesia, kemajuan masyarakat Indonesia sepanjang
waktu dan kemajuan sendi-sendi perumahan negara yang
menjamin kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah manusia
Indonesia197
.
12. c. Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh
Sila-sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan antara satu dari yang lainnya, yaitu; tiap-tiap
sila dari Pancasila berkaitan erat dengan sila-sila yang lain.
Dalam hubungan ini Notonagoro menyatakan sebagai berikut;
1. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan
Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebjaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan yang
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia,
196
Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h.
448 197
Ibid. h. 445 - 446
319
yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, dan yang berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan yang berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan adalah kerakyatan yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil
dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, dan yang berkeadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan
sosial yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan
Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan198
.
12. d. Pancasila hasil renungan jiwa yang dalam dan penyelidikan
yang sistematik
Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia
bukanlah idea tanpa proses pemikiran dan penyelidikan,
melainkan Pancasila itu hasil renungan yang mendalam dan
penyelidikan yang sistematik, dan bahkan melalui perdebatan
yang sengit beberapa kali dalam sidang dan kemudian pada
akhirnya Pancasila diterima oleh bangsa Indonesia. Soekarno
sebagai salah seorang pemikir dan penyelidik telah berhasil
menyampaikan dasar negara. Di dalam mempertahankan hasil
penyelidikannya, Soekarno dalam bukunya; Pancasila Sebagai
Dasar Negara, menegaskan argumentasinya sebagai berikut;
Penggalian saya itu sampai zaman sebelum ada agama
Islam, saya gali sampai zaman Hindu dan pra-Hindu.
Masyarakat Indonesia ini boleh saya gambarkan dengan
saf-safan ( tahap-tahapan ). Saf ini di atas saf itu, di atas
saf itu ada lagi saf, saya melihat macam-macam saf.
198
Notonagoro, Beberapa Hal Mengenai Filsafat Pancasila ( T.Tmpt: T. Pnt,
1967 ), h. 31 - 32
320
Saf pra-Hindu, yang pada waktu itu kita telah berbangsa,
berkultur dan bercita-cita. Setelah itu datang saf zaman
Hindu, yang di dalam bidang politik berupa negara
Taruma, negara Kalingga, negara Mataram, negara
Sriwijaya dan sebagainya. Datang saf lagi, kita mengenal
agama Islam, yang di dalam bidang politik berupa negara
Demak Bintoro, negara Pajang, negara Mataram ke-II,
dan seterusnya. Datang saf lagi, saf yang kita kontak
dengan Bangsa Eropah, yaitu saf imperialisme, yang di
dalam bidang politiknya zaman hancur leburnya negara
kita, hancur leburnya perekoomian kita199
.
Selanjutnya Soekarno menentukan sikapnya;
Dalam pada saya menggali-gali, menyelami saf-saf ini,
saban-saban saya bertemu dengan saf-saf, kali ini, ini
yang menonjol, lain kali itu yang menonjol. Lima hal
inilah; Ketuhanan, Kebangsaan, Perikemanusiaan,
Kedaulatan rakyat, Keadilan sosial, Soekarno kemudian
menyatakan dengan penuh yakin; Saya lantas berkata.
Kalau ini saya pakai sebagai dasar statis dan dinamik,
insya Allah seluruh rakyat Indonesia bisa bersatu padu200
.
12. e. Pancasila merumuskan realitas manusia dalam realitas
kehidupan
Negara sebagai sebuah institusi atau organisasi yang melibatkan
semua manusia, maka sifat dan keadaannya sangat ditentukan
oleh manusia-manusia bersangkutan selama masih dalam
kemampuan mengelolanya dan dalam kondisi yang bebas dari
berbagai tekanan. Apa yang akan terjadi pada negara sangat
bergantung sepenuhnya pada kemampuan dan kebebasan
manusia-manusianya. Mampu dalam arti memiliki kelebihan
atau kapabelitas untuk mengelola, dan ini menuntut adanya sikap
dinamis, innovatif dan pragmatis dalam berbagai aspek
sehingga sampai ke tahap pencapaian ( achievement ) maksimal,
199
Lihat Soekarno, Pancasila Sebagai Dasar Negara ( Jakarta: Yayasan
Prapanca, T. th. ), h. 41 - 42 200
Soekarno, Pancasila Sebagai Dasar Negara, h. 42
321
baik dalam kualitas pemikiran atau profesionalitas kerja. Bebas
dalam arti merdeka dari setiap belenggu dan tekanan, baik dari
pihak internal ataupu eksternal, sehingga tercipta suasana
nyaman yang dapat melahirkan berbagai kreativitas cerdas
yang dinamis. Kemampuan dan kebebasan merupakan dua faktor
penting dalam kerangka menciptakan langkah-langkah strategis
untuk mencapai keberhasilan dan memobilisasi semua aktivitas
dalam berbagai tataran real kehidupan. Oleh karena itu, sekali
lagi, sifat dan keadaan sebuah negara sangat ditentukan oleh
manusianya ( warganya ), sebab negara yang dinamis dapat
diartikan sebagai manifestasi dari berbagai aktivitas manusia
yang bernegara. Kelanjutan dari premis di atas, jika dituntut agar
sifat dan keadaan negara Indonesia sesuai dengan Pancasila,
berarti menuntut aktivitas dan perilaku manusia ( bangsa )
Indonesia untuk merealisasikan nilai-nilai dari ajaran Pancasila
ke dalam tataran praktis. Para pemikir dan pendiri ( founding
fathers ) negara Indonesia telah meletakan konsep dasar tentang
deskripsi manusia Indonesia di dalam kehidupan berdasarkan
realitas dan budaya yang dimilikinya. Untuk memperoleh
gambaran jelas tentang konsepsi manusia Indonesia menurut
para pendiri negara, diperlukan memperhatikan rumusan dasar
negara, yaitu Pancasila201
. Dari Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 dapat ditemukan penjelasan tentang kemerdekaan
Indonesia, kemerdekaan sebagai hak setiap bangsa, perjuangan
bangsa Indonesia, alasan dan tujuan kemerdekaan Indonesia,
pertahanan nasional, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban,
keamanan dan sebagainya. Secara ringkas dapat dikemukakan
deskripsi dan konsepsi manusia Indonesia sepanjang berkaitan
dengan aktivitas bernegara ialah para pendukung Pancasila, yang
ber-ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan, yang
berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial.
12. f. Pancasila mengandung nilai-nilai aktivitas kehidupan
Pancasila sebagai pandangan hidup ( way of life ) yang berakar
pada kepribadian bangsa Indonesia. Dalam pandangan hidup
201
Lihat Paulus Wahana, Filsafat Pancasila ( Yogyakarta: Kanisius, 1993 ),
h. 50
322
ini terkandung konsep dasar tentang kehidupan yang
dicita-citakannya. Dalam pandangan hidup ini juga terkandung
nilai-nilai tinggi bangsa Indonesia. Nilai yang dalam bahsa
Inggris value termasuk dalam pengertian filsafat. Menilai berarti
menimbang, yaitu; aktivitas manusia menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain, kemudian menentukan keputusan.
Keputusan nilai kemudian dapat mengatakan; berguna atau
tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau buruk, ada nilai
keagamaan atau tidak ada.202
Jadi, keputusan nilai secara
substansial harus berdasarkan pertimbangan pemikiran dan
perasaan yang dimiliki manusia. Ketika menyampaikan pidato
pada acara makan siang yang diadakan oleh Perdana Menteri
Macmahon di Parlemen House Camberra pada 7 Februari 1972,
Soeharto ( mantan Presiden Indonesia di era Orde Baru )
menyatakan;
Kepribadian inilah yang kami tetapkan menjadi
pandangan hidup kami, filsafat negara kami, merupakan
kesatuan yang bulat dari Ketuhanan Yang maha Esa,
Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kedaulatan rakyat,
Keadilan sosial. Di dalamnya mengandung
dorongan-dorongan ( motivasi-motivasi ) pada kami
untuk mengejar nilai-nilai yang kami anggap luhur. Di
dalamnya juga tersimpul kesadaran kami bahwa manusia
pada akhirnya bergantung pada
keseimbangan-keseimbangan nilai essensial tertentu203
.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila adalah nilai-nilai
yang tidak dapat dipisahkan dari nilai rohaniah dan kebendaan. Hal ini
sebagaimana ditegaskan Muh. Yamin; bahwa nilai-nilai yang
terkandung di dalam Pancasila adalah tergolong ke dalam nilai
kerohanian, tetapi nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai
kebendaan dan nilai vital ( sesuatu yang sangat penting dan berguna
bagi manusia ) secara seimbang, artinya Pancasila mengandung
nilai-nilai kerohanian ( spiritual atau al-ruhiy ), pada saat yang sama
juga mengandung nilai-nilai kebendaan ( material atau al-maddiy ), nilai
202
Lihat Darji Darmodiharjo et al, Santiaji Pancasila, h. 50 203
Soeharto, Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, h. 9 - 10
323
vital, nilai kebenaran, nilai estetika, nilai etika, moral dan nilai
keagamaan204
.
Berikut ini penjelasan tentang nilai-nilai yang terkandung di
dalam Pancasila sebagaimana di sampaikan Darji Darmodiharjo205
,
sebagai berikut;
1. Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung nilai-nilai
keagamaan, anatara lain;
a ). Keyakinan ( keimanan ) kepada Tuhan Yang Maha Esa
dengan sifat-sifa-Nya yang Maha sempurna ( sifat al-kamal )
yang hanya layak bagi Zat Tuhan saja, seperti Maha Kasih, Maha
kuasa, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui dan
lain-lain sifat yang suci ( al-munazzah ) dari segala sifat yang
kurang. b ). Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yakni
mejalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua
larangan-Nya. c ). Nilai-nilai seperti ini menjiwai ( mendasari
) sila kedua, ketiga, keempat dan kelima.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung nilai-nlai
kemanusiaan, antara lain;
a ). Pengakuan terhadap martabat manusia, artinya siapa saja;
kecil, muda, tua, laki-laki, perempuan, semuanya memiliki
martabat dan harga diri, oleh karenanya harus dihormati. b ).
Perlakuan adil terhadap sesama manusia, karena keadilan
menjamin wujudnya kehidupan yang aman, dan sekaligus
mengangkat martabat dan harga diri manusia. c ). Pengertian
manusia yang beradab adalah manusia yang memiliki daya
cipta ( idea, pemikiran ), rasa, kehendak dan keyakinan
sehingga menjadikan berbeda dari hewan yang tidak punya akal.
d ). Nilai-nilai sila kedua ini menjiwai ( mendasari ) sila ketiga,
sila keempat dan sila kelima.
3. Persatuan Indonesia, mengandung nilai-nilai persatuan
bangsa yang menduduki seluruh wilayah Indonesia
sebagaimana dikonsepsikan; NKRI, antara lain;
a ). Persatuan Indonesia adalah persatuan seluruh rakyat dan
warga negara yang menduduki wilayah teritorial Indonesia. b ).
204
Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia ( Jakarta:
Djambatan, 1954 ), h. 108, lihat juga Darji Darmodiharjo, et al, Santiaji Pancasila,
h. 52 - 53 205
Darji Darmodiharjo et al, Santiaji Pancasila, h. 53 - 56
324
Bangsa Indonesia terbentuk dari persatuan suku-suku (
etnik-etnik ) bangsa yang menduduki wilayah Indonesia. c ).
Pengakuan terhadap filsahat hidup; Bhinneka Tunggal Ika (
berbeda-beda tetapi satu jiwa ), baik dalam etnik, kebudayaan
atau keagamaan. Perbedaan-perbedaan ini tidak menjadi
penghalang untuk bersatu di bawah satu dasar negara, yaitu
Pancasila. d ). Nilai-nilai ketiga ini menjiwai ( mendasari ) sila
keempat dan sila kelima.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawarata / perwakilan, mengandung nilai-nlai
kerakyatan, antara lain; a). Kedaulatan negara adalah di
tangan rakyat. b). Pemimpin kerakyatan adalah hasil hikmah
kebijaksanaan yang didasarkan akal sehat. c ). Manusia
Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat yang
mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dan tanggung jawab
yang sama di depan hukum. d ). Musyawarah untuk mufakat
diperoleh dalam permusyawaratan wakil-wakil rakyat di
Parlemen. e ). Nilai-nilai sila keempat ini menjiwai ( mendasari
) sila kelima.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mengandung
nilai-nilai keadilan sosial, antara lain;
a ). Merealisasikan keadilan dalam kehidupan sosial atau
masyarakat harus meliputi seluruh rakyat Indonesia secara
merata. b). Keadilan harus diwujudkan terutama meliputi
aspek-aspek keberagmaan, pendidikan, politik, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan, keamanan nasional, dan
sebagainaya. c ). Cita-cita masyarakat adil dan makmur,
material dan spiritual harus segera diwujudkan secara merata
bagi seluruh rakyat Indonesia. d ). Keseimbangan atara hak dan
kewajiban, dan menghormati hak orang lain. e ). Komitmen
pada kemajuan dan pembangunan bangsa.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat dipahami
bahwa Pancasila adalah filsafat kehidupan rakyat Indonesia dalam
berbangsa dan bernegara, meskipun ada kalangan yang tidak setuju
dengan alasan bahwa Pancasila itu hanyalah sekumpulan
pernyataan-pernyataan yang baik tetapi tidak mencukupi untuk
dinyatakan sebagai kesatuan filsafat. Pandangan ini dibantah oleh Muh.
Yamin, bahwa Pancasila itu tersusun secara harmoni dalam suatu
325
sistem filsafat.206
Penulis juga melihat demikian; bahwa Pancasila
memang merupakan filsafat kenegaraan yang dijadikan dasar bagi
negara Republik Indonesia, karena Pancasila hasil dari hikmah (
wisdom ), kebijaksanaan, kearifan, dan ini sebagai ciri umum filasafat.
Bahkan K.H. Saefuddin Zuhri ( mantan Menteri Agama di era Orde
Lama ) menegaskan; Pancasila itu disebut sebagai filsafat nasional
modern207
. Dari sisi lain tinjauan Pancasila sebagai filsafat kenegaraan
secara metodologis akan mampu melahirkan pemikiran-pemikiran
kritis yang dapat membuka perspektif bangsa Indonesia berpandangan
rasional, luas dan terbuka. Dengan aktivitas-aktivitas filsafat, ideologi
Pancasila dapat terhindar dari pembekuan dan sikap otoriter atau
pemikiran irrasional. Jadi, sifat filsafati yang melekat pada Pancasila
menjadikannya ideologi yang dinamis dan fleksibel sesuai dengan
tuntutan hidup manusia Indonesia yang selalu berubah-ubah dari waktu
ke waktu. Namun demikian, hal ini tergantung pula pada kesediaan
manusia-manusia Indonesia untuk senantiasa tanggap dan cermat
terhadap berbagai situasi dan kondisi yang selalu berubah. Apakah
bangsa dan rakyat Indonesia senantiasa siap menghadapi
perubahan-perubahan dengan tetap berpijak pada ideologi Pancasila ?.
Jawabannya tentu saja; Pancasila harus menjadi world view dalam
menanggapi setiap perubahan yang terjadi pada bangsa ini, agar tidak
kehilang arah dan identidas kebangsaannya, dan tidak terombang
ambing oleh berbagai arus gelombang yang datang menerpa pada saat
apa saja dan kapan saja.
13. Pancasila dan Permasalahan Bangsa
Filsafat kenegaraan sebuah negara memiliki peranan yang sangat
vital dalam mengkonstruksi dasar aturan atau undang-undang dasar (
konstitusi ). Namun dasar aturan atau undang-undang dasar tersebut
secara politis harus sejalan dengan kebutuhan dan aspirasi rakyatnya
sesuai dengan tuntutan situasi yang selalu berubah dari waktu ke
waktu208
, karena filsafat kenegaraan tersebut bukan untuk kepentingan
206
Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h.
454 207
Saefuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik Indonesia ( Jakarta: PT. Gunung
Agung, 1981 ), h. 51 208
Faisal Baasir, Etika Politik Pandangan Seorang Politisi Muslim ( Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2003 ), h. 36
326
individu atau kelompok ( penguasa ). Jika yang didahulukan
kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, maka akan memunculkan
tirani kekuasaan. Di negara Indonesia yang menerapkan sistem
demokrasi tentu saja harus terhindar dari segala bentuk tirani dan
diktatorial kekuasaan. Dengan demikian, dasar aturan dan kebijakan
politik adalah untuk melindungi kepentingan semua warga dan rakyat,
tanpa ada diskriminasi, baik karena faktor agama, status sosial, etnik,
aliran dan sebagainya. Oleh karena itu, filsafat kenegaraan sebagai
world view yang menjadi landasan undang-undang dasar dan kebijakan
politik pemerintah harus bisa mengakomodasi semua kepentingan
masyarakat dan bangsanya.
Dengan demikian, Pancasila sebagai filsafat dan ideologi negara
harus sesuai dengan dinamika ruang dan waktu, agar dapat menjawab
kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Setumpuk permasalahan
bangsa yang dihadapi, antaranya; Pemahaman terhadap konsep Negara
Hukum berdasarkan Pancasila yang belum memberikan kesan positif
dalam realitas kehidupan sehari-hari, upaya demokratisasi dalam
politik, hukum dan ekonomi yang belum memberikan hasil yang
memuaskan, prinsip keterbukaan ( transparansi ) yang sampai saat ini
belum terbuka atau setidaknya tidak jelas, dan sebagainya. Secara
terperinci barangkali penulis dapat kemukakan setumpuk
permasalahan yang dihadapi bangsa dan rakyat Indonesia sebagai
berikut;
1. Permasalahan sosial, budaya dan lingkungan, seperti;
Korupsi yang sudah kronik dan membudaya di kalangan Pejabat
dan Pemerintah dari atas sampai bawah, meskipun sudah
ditangani KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ) tetapi hasilnya
belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Tindak kejahatan
korupsi sampai saat ini masih tetap terus berjalan, bahkan
menurut ketua KPK ( tahun 2013/2014 ); Abraham Samad bahwa
telah terjadi regenerasi para koruptor baru, Banjir
bandang yang terjadi akibat penumpukan sampah di mana-mana,
Kebakaran hutan akibat perilaku yang ceroboh dan tidak
bertanggung jawab, Kemacetan lalulintas akibat tidak adanya
sistem dan aturan ketat yang harus dipatuhi oleh pengendara,
baik motor atau mobil, Premanisme yang bermunculan di
mana-mana, Bencana alam akibat tangan-tangan manusia yang
tidak peduli dengan keselamatan lingkungan, Penyakit kaki babi
327
dan flu burung akibat tidak adanya sistem penanganan kesehatan
yang terpadu, Narkoba yang terus menjadi-jadi akibat
penanganan yang tidak memberikan jera, TKI yang selalu
bermasalah terutama terjadi di beberapa negara, seperti di
Malaysia, Arab Saudi dan sebagainya.
2. Permasalahan Ekonomi; seperti, Kemiskinan, Pengangguran,
Pemutusan hubungan kerja ( PHK ), Penyediaan listrik / energi,
Penyelundupan, Ketimpangan ekonomi, Infrastruktur yang
tidak yang tidak layak digunakan, Angkutan umum yang tidak
layak pakai terutama angkot-angkot, Pungutan liar, Industri
militer yang lemah, Daya saing yang lemah, dan sebagainya.
3. Permasalah hukum; seperti, Makelar kasus ( Mafia hukum ),
Mafia Peradilan, Para penegak hukum ( Kejaksaan, Kepolisian
dan KPK ) yang kurang kredibel, Illegal loging, Illegal fishing,
Birokrasi yang bertele-tele, Kepastian hukum yang tidak
menentu, Wilayah perbatasan yang sering terusik, seperti dengan
Malaysia, dan sebagainya.
4. Permasalahan Pendidikan; seperti, Kualitas pendidikan
rendah, Daya saing lulusan pendidikan dalam negeri lemah,
Universitas tidak berdaya saing di tataran level dunia, kos biaya
pendidikan tinggi, dan sebagainya.
Semua permasalahan yang muncul ke permukaan tersebut akan
berdampak pada lambatnya pertumbuhan ekonomi dan munculnya
berbagai permasalah baru. Hal ini berimplikasi pada masih jauhnya
cita-cita terciptanya kesejahteraan dengan berbagai pasilitas yang
memadai bagi rakyat dan bangsa Indonesia seluruhnya. Penyebab
utamanya ( baik disadari atau tidak ) adalah mentalitas bangsa yang
lemah, yaitu tidak adanya sikap amanah dan kejujuran pada diri
sendiri, pada masyarakat, pada bangsa, dan bahkan kepada Tuhan (
Allah ). Bisa dipastikan bagaimana mungkin dengan sesama
manusia saja tidak jujur atau amanah, apalagi dengan Tuhan ( Allah ),
Zat yang tidak bisa dilihat ( Maha Ghaib ).
Di awal era Orde baru, Pancasila seolah mendapatkan tempat
istimewa di mata masyarakat dan bangsa Indonesia. Di setiap sudut dan
penjuru negeri, Pancasila selalu menggema, di sekolah-sekolah, di pasar,
di rumah-rumah, di instansi-instansi Pemerintah atau swasta, setiap
rakyat Indonesia, tua, muda, kecil, semuanya harus berpahaman
Pancasilaisme. Pencitraan kondisi seperti ini diperluas ke setiap lapisan
328
masyarakat dari tingkat atas sampai tingkat Rt. dan Rw. Tetapi
kemudian tanpa disadari, Pemerintah Orde Baru terjebak ke dalam
kondisi diktatorial dan tirani. Hal ini memunculkan stigma bahwa
Pemerintah Orde Baru telah menempatkan Pancasila sebagai alat untuk
kepentingan politik, sebagai upaya melindungi sikap diktatorialnya,
termasuk mematikan lawan politiknya yang tidak sejalan dengan
kebijakannya209
, dengan tuduhan tidak Pancasilais, bahkan yang lebih
tragis tuduhan subversif; suatu tuduhan yang tidak mencerminkan
sikap demokratis sebenarnya, sehingga terciptra kondisi yang apatis di
kalangan masyarkat, Jadinya, daya kreativitas dan daya kritisnya
terhambat, akibatnya perasaan takut dan tidak percaya diri menyelimuti
lapisan masyarakat banyak, terutama masyarakat kalangan bawah.
Ini artinya bahwa rakyat dan bangsa Indonesia di era Orde Baru sangat
lambat dalam mengejar perkembangan dan kemajuan dalam berbagai
aspek kehidupan, seperti; pertumbuhan ekonomi yang merata, kualitas
pendidikan yang bisa dibanggakan, kemajuan teknologi dan
sebagainya, meskipun tidak dinafikan ada pencapaian signifikan di
beberapa bidang, seperti antaranya; ketahanan dan stabilita politik
nasional, keberhasilan dalam menekan tingkat laju pertumbuhan
penduduk melalui kebijakan sistem KB ( Keluarga Berencana ),
suwasembada pangan, dan lain-lain. Tetapi keberhasilan Pemerintah
Orde Baru dalam beberapa sektor pembangunan tersebut tidak dapat
membawa Indonesia ke tingkat pencapaian yang membanggakan, tetap
saja Indonesia tergolong negara yang lamban. Indonesia dalam
banyak hal telah banyak ketinggalan jika dibandingkan dengan
negara-negara tetangganya, seperti Singapura dan bahkan Malaysia,
yang sama-sama bangsa serumpun, yaitu bangsa Melayu, apalagi dengan
negara-negara lain di dunia Eropa, Amerika, Jepang dan sebagainya.
Pada saat yang bersamaan, justeru Pemerintah Orde Baru menunjukan
keadaan yang bersebrangan, karena menggunakan pendekatan;
Demokrasi Pancasila, yang berarti bahwa pelaksanaan Demokrasi
sebagai sistem perpolitikan nasional mengacu pada nilai-nilai yang
terkadung di dalam Pancasila. Memang dapat dimengerti bahwa dengan
menjadikan idea ini sebagai dasar dan langkah politik rezim Orde Baru,
bisa diambil kesimpulan bahwa Demokrasi Pancasila mewakili
209
Lihat Ricklefs, Sejarah Indonesia, h. 432, Lihat juga Bachtiar Effendi,
Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (
Jakarta: Paramadina, 1998 ), h. 47
329
pendekatan yang secara khusus sesuai dengan nilai-nilai budaya
bangsa Indonesia.
Dalam konteks kehidupan keagamaan di Indonesoa, Pancasila
pada dasarnya merupakan doktrin yang bertujuan untuk mengakomodasi
kehidupan umat beragama yang berbeda-beda. Doktrin ini tidak hanya
menawarkan agama sipil yang bersifat non sekular, tetapi juga tidak
bersifat sektarian sebagai alternatif dari terbentuknya negara Islam.210
Selama era Orde Baru, Pancasila diterima oleh umat Islam karena
kompromi politik antar berbagai pihak. Ironisnya, di bawah otoritas
kekuasaan Soeharto, baik disadari atau tidak, Pancasila ( Demokrasi
Pancasilanya ) telah dijadikan alat untuk menjastifikasi hegemoni
kekuasaannya. Idea yang berkembang dan dianggap bertentangan
dengan Pancasila atau sikap yang dianggap menyimpang dari
kehendak Pemerintah dengan cepat akan dituduh sebagai anti Pancasila (
tidak Pancasilais ).
Kemunculan Orde Baru, sebagai pengganti Orde Lama yang
menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin, dan oleh Pemerintah Orde
Baru Demokrasi Terpimpin dianggap bertentangan dengan Pancasila,
maka kemudian dimunculkan gagasan baru bernama “ Demokrasi
Pancasila “. Pada awalnya Umat Islam khususnya, sangat antusias dan
positif menyambut tampilnya Orde Baru dalam panggung perpolitikan
Nasional karena ketegasannya terhadap paham Komunis dan PKI. Sikap
tegas yang diperlihatkan Presiden Soeharto ini menjadikan rakyat
Indonesia yang tidak sepaham dengan ideologi Komunis, terutama Umat
Islam, sangat simpati karena memang sejak awal tidak sedikit dari Umat
Islam berpartisipasi bersama Tentara Nasinal Indonesia ( khususnya dari
kalangan Angkatan Darat ) dalam menumpas gerakan PKI yang
dianggap terlah menghianati negara. Tetapi sayang, sambutan positif ini
tidak berlangsung lama. Panggung perpolitikan nasional di masa Orde
Baru didominasi oleh semanagat sekularisasi yang berimplikasi pada
peminggiran Islam Politik ( marginalisasi Islam Politik ) dari arena
perpolitikan nasional, selain terjadinya monopoli tafsir dan makna
Pancasila oleh Pemerintah Orde Baru, yang kemudian digunakan
sebagai alat untuk menumpas aspirasi Islam politik.211
210
Frederik, dkk ( ed ), Pemahaman Sejarah Indonesia, h. 400 211
Band. Adian Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak
Konstitusional Umat Islam ( Jakarta: Gema Insani, 2009 ), h. 101
330
Demokrasi Pancasila faktanya hanya pembalut atau kemasan
yang membungkus luka atau borok yang kronik. Demokrasi yang
berdasarkan Pancasila sebenarnya tidak terrealisasi, yang
direalisasikan justeru yang kontra dengan Demokrasi itu sendiri. Hal
ini dapat dibuktikan dengan pemberlakukan sistem pemerintahan yang
otoriter oleh rezim Orde Baru, selain membudayanya masalah korupsi,
kolusi, nepotisme dan sebagainya. Oleh karena itu, ketika menjelang
lengsernya rezim Orde Baru tahun 1998 akibat munculnya gelombang
ketidak percayaan rakyat terhadap kredibelitas Pemerintah meledak
bagaikan lahar yang muntah dari perut gunung tidak dapat dibendung.
Hal ini sebagai akibat dari penggunaan Pancasila sebagai instrumen
untuk menjastifikasi dan melegalisasi kekuasaan Orde baru. Hal ini
terbukti ketika Pancasila sudah dianggap baku, tidak bisa
diinterpretasikan oleh siapapun, kecuali oleh Badan tertentu ( seperti
BP-7 ), maka Pancasila tidak dapat dikaji ulang, seolah-olah seperti
sesuatu yang sakral. Sebagai bentuk ideal, Pancasila harusnya terus
dikaji dan direlevansikan dengan semangat zamannya, sehingga
eksistensi Pancasila tetap diperlukan oleh anak bangsa pada setiap saat.
Sebagai sebuah ideologi dan filsafat negara, Pancasila harus menjadi
spirit dan orientasi bangsa,212
sehingga Pancasila dapat dijadikan
referensi dalam menetapkan langkah-langkah strategis dalam
membangun bangsa dan negara ke depan. Sebuah realitas yang tidak
dapat ditutup-tutupi, bahwa dikalangan siswa atau pelajar ada
kecendrungan bahwa di antara mereka banyak yang tidak memahami
apa itu Pancasila ?. Bahkan ada yang tidak tahu ururtan-urutan sila-sila
Pancasila. Realitas ini setidaknya dapat kita saksikan di tayangan TV
dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kesatuan
Bangsa dan Politik, Kementerian Dalam Negeri. Gejala ini memang
diakui oleh banyak kalangan terjadi setelah era Reformasi, setelah
jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Hal ini karena muatan pendidikan
berkaitan dengan Pancasila berkurang. Kondisi ini diperparah lagi oleh
makin diabaikannya pendidikan pembangunan karakter siswa di sekolah
dan bahkan di tingkat Universitas.
Dalam hiruk pikuk dan kompleksitas permasalahan kehidupan
dalam berbangsa dan bernegara, Pancasila sebagai filsafat dan dasar
negara kini di era Reformai disadari telah berada di ambang batas.
212
Lihat Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam (
Yogyakarta: Surya Raya, 2004 ), h. VII
331
Sejarah panjang tentang perdebatan seputar dasar negara dalam rangka
memperjuangkan untuk menggapai cita-cita bangsa Indonesia kini
sampai pada kenyataan bahwa Pancasila masih jauh dari harapan,
eksistensinya sempat dipertanyakan, dan barangkali digantikan dengan
ideologi lain jika para pemimpin bangsa ini tidak peduli lagi dengan
Pancasila.
14. Fobia Pancasila Melemahkan Tingkat Nasionalisme Indonesia Sebagai sebuah konsensus nasional, Pancasila merupakan
pandangan hidup ( way of life ) bangsa Indonesia yang terbuka dan
bersifat dinamis. Sifat keterbukaan Pancasila dapat dilihat pada muatan
Pancasila sebagai paduan nilai-nilai ke-Indonesiaan yang plural
dengan nilai-nilai yang bersifat universal213
. Universalitas Pancasila
dapat dilihat pada semangat sila-sila Pancasila yang tersusun dalam lima
prinsip, yaitu; semangat Ketuhanan Yang Maha Esa, semangat
kemanusiaan yang adil dan beradab, semangat persatuan Indonesia,
semangat kerakyatan yang dipimpin oleh hiknah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan /perwakilan, dan semangat keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia 214
.
Namun demikian nilai-nilai ideal Pancasila sebagaimana
dijelaskan di atas, telah tereduksi dan disalah gunakan oleh penguasa
Orde Baru, terbukti Pancasila telah dijadikan alat untuk menekan suara
kedaulatan rakyat dengan atas nama pembangunan nasional. Pemerintah
Orde Baru juga telah melakukan penyeragaman tafsir atas Pancasila
yang dibakukan dan dipelajari secara paksa melalui penataran P-4 dan
pendidikan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi215
. Anehnya pada
saat yang sama pemerintah Orde Baru telah melakukan
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila
itu sendiri; tindakan represif, korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyalah
gunaan wewenang di kalangan para pejabat pemerintahan sudah menjadi
fenomena umum. Implikasi dari semuanya ini adalah munculnya sikap
fobia ( antipati ) sebagian besar rakyat Indonesia atas Pancasila.
Implikasi ini dapat dirasakan sampai saat kini.
213
Lihat A.Ubaedillah dan Abd. Rozak ( peny. ), Demokrasi, Hak Asasi
Manusia dan Masyarakat Madani, h. 23 214
Ibid. h. 23 215
Ibid. h. 23
332
Era Reformasi jelas mewarisi dampak negatif itu, akibatnya
Pancasila terkesan tidak dipedulikan. Sepolah-olah Pancasila dinilai
gagal sebagai dasar dan ideologi negara untuk menjadikan bangsa ini
mencapai kemajuan dan kesejahteraan hidup sebagai layaknya manusia
beradab. Walaupun faktanya begitu, selagi bangsa ini masih tetap
memiliki komitmen tinggi terhadap Pancasila, maka Pancasila akan
tetap ditempatkan pada posisinya sebagai dasar dan filsafat negara
Indonesia. Sebagai sebuah karya luhur anak bangsa, Pancasila memang
harus tetap ditempatkan pada kedudukan terhormat dalam khazanah
kehidupan berbangsa dan bernegara. Posisinya sebagai dasar nilai
dan pedoman bersama ( common platform ) untuk mewujudkan tujuan
kesejahteraan bersama216
. Dalam konteks sebagai dasar berbangsa dan
bernegara, Pancasila tidak bisa digantikan oleh pandangan-pandangan
sektarian manapun, yang berpotensi mengancam keutuhan Indonesia
sebagai sebuah bangsa dan negara kesatuan.
Di tengah-tengah gerak reformasi dan demokratisasi yang kini
tengah berlangsung dalam berbagai aspek kehidupan, terkesan ada
semacam ketidak beranian di kalangan masyarakat umum untuk
mengemukakan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI,
Bhinneka Tunggal Ika, Wawasan kebangsaan, Stabilitas,
Pembangunan, Kemajemukan dan lain sebagainya217
. sepertinya tidak
confidence jika berbicara tentang dasar-dasar kehidupan berbangsa
tersebut. Ada semacam kekuatan kolektif dianggap tidak sejalan dengan
gerak reformasi dan demokratisasi, maka ada rasa takut dicap tidak
reformis.
Memang di era Reformasi terkesan ada semacam alergi jika
menyebut gagasan-gagasan tersebut di atas, karena semua itu pernah
diwujudkan ( created ) di era Orde Baru yang menerapkan sistem
pemerintahan otoriter. Seolah-olah jika menyebut kembali dasar-dasar
tersebut ( Pancasila, UUD-1945, dll. ) identik dengan orang Orde Baru218
Padahal sebagai bangsa yang beradab tidak seharusnya bersikap seperti
216
Ibid. h. 24 217
Lihat Zaenal A.Budiyono, Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY
Mengawal Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia ke Orbit Dunia ( Jakarta: DCSC
Publishing, 2008 ), h. 66 218
Pemerintah Orde Baru yang berlangsug selama kurang lebih 32 tahun
dianggap telah banyak menyalah gunakan wewenang, KKN dan sebagainya. Sehingga
memunculkan imej yang tidak menyenangkan, meskipun dalam beberapa aspek
dianggap berhasil.
333
itu. Justeru dasar-dasar tersebut secara objektif harus didukung,
bahkan terus dipelihara sampai kapanpun dalam rangka membangun
kembali Indonesia di masa depan yang lebih baik. Memang tidak dapat
dinafikan bahwa di era Orde Baru telah terjadi kesalahan-kesalahan
fatal, tetapi tidak secara otomatik kesalahan-kesalahan itu menyangkut
substansi materi dasar-dasar tersebut. Kesalahan-kesalahan tersebut
sebenarnya terjadi pada tataran praktis atau pendekatan sebagai akibat
dari kebijakan yang tidak mempertimbangkan sisi positif dan negatif,
atau kebijakan yang tidak didasarkan pada dasar pemikiran
komprehensif. Hal ini terbukti bahwa Pancasila didoktrinasikan
melalui penataran P-4 yang dilakukan secara paksa dan ancaman219
,
sehingga menjadi dogma yang harus diterima tanpa ada kritikan. Pada
tataran inilah letak kesalahan, bukan pada substansi materi. Pancasila
yang telah mendapatkan konsensus nasional untuk menjadi dasar negara
Republik Indonesia adalah tetap menjadi sesuatu yang vital dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, maka sikap fobia terhadap
Pancasila seharusnya tidak ada pada rakyat dan bangsa Indonesia.
Pancasila yang kurang mendapatkan perhatian serius di era
Reformasi, memang bukannya tanpa alasan, karena ternyata beberapa
kali pergantian kepemimpinan nasional sepanjang era reformasi tidak
pernah menempatkan Pancasila sebagai agenda prioritas. Para
pemimpin sibuk bertengkar di tengah kecamuk konflik dan upaya
mempertahankan kekuasaanya220
. Sementara Demokrasi yang baru
mekar karena mendapatkan momentumnya di era Reformasi dimaknai
secara sepihak. Padahal sejatinya Demokrasi merupakan cara atau pola
menuju pencapaian nasional interes. Demokrasi sepanjang era
Reformasi diakui oleh sebagian kalangan lebih sering menampakan sisi
kelamnya dengan berbagai benturan kepentingan jangka pendek di
219
Penulis mengalami sendiri ancaman ini, sewaktu belajar di Universitas
Islam Madinah Saudi Arabia sekitar tahun-tahun 1982 – 1988. Rezim Orde Baru
melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia di Jeddah ( waktu itu KBRI belum
pindah ke Riyadh ) memaksa Mahasiswa-Mahasiswa yang tergabung dalam organisasi
Persatuan Pelajar Indonesia ( PPI ) Saudi Arabia, harus mengikuti penataran P-4. Jika
tidak, maka urusan-urusan berkaitan pasport tidak akan dilayani, bahkan yang labih
parah lagi ada introgasi yang menyatakan; Apakah kamu orang Indonesia ? atau orang
Islam ? 220
Lihat Zaenal A. Budiyanto, Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY
Mengawal Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia ke Orbit Dunia, h. 67
334
kalangan elite politik221
. Jika memang demikian kondisinya, tidak
salah kalau ada kesimpulan bahwa Pancasila kurang mendapat perhatian
serius di era Reformasi.
Pada tahun 1955 hingga 1959 telah terjadi perdebatan sengit
dalam Badan Konstituante tentang ideologi dan bentuk negara yang
compatible dengan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia. Para
pemimpin Islam meyakini bahwa dasar Islam adalah sesuai untuk
menjadi kekuatan ideal pemersatu sebgai fondasi berbangsa dan
bernegara, karena memang diakui bahwa Islam sudah menjadi
pandangan hidup yang mewarnai kehidupat umat Islam Indonesia
semenjak beberapa abad yang lalu, dan hal ini dibuktikan dengan
berdirinya pemerintahan yang dalam bentuk Kesultanan tersebar di
berbagai wilayah. Sementara kaum Sosialis bersikeras ingin
menjadikan Marxisme – Leninisme sebagai model dasar kehidupan
berbangsa dan bernegara222
. Mereka menghendaki paham Komunis
sebagai dasar negara Indonesia. Tetapi pada akhirnya Pancasila
muncul kembali sebagai satu-satunya jalan tengah223
untuk mengatasi
kebuntuan perdebatan tentang dasar negara tersebut. Kemudian sekali
lagi Pancasila berhasil menjadi dasar dan ideologi negara. Di bawah
Pancasila, para pemeluk agama yang berbeda-beda dapat hidup
berdampingan dengan rukun dan harmonis.224
Suatu realitas yang tidak
dapat dinafikan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang plural,
walau bagaimanapun bangsa Indonesia harus terus berupaya untuk
melakukan upaya-upaya strategis dalam rangka memastikan agar
Pancasila tetap menjadi dasar atau fondasi yang dapat mengakomodasi
semua perbedaan-perbedaan yang ada.
15. Pancasila Ideologi Nasional di Era Globalisasi
Ideologi Nasional memiliki peran dan fungsi yang sangat vital
dan strategis dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.
221
Zaenal A. Budiyono, Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY
Mengawal Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia ke Orbit Dunia, h. 67 222
Pada waktu itu Uni Soviet ( sekarang Republik Rusia ) menjadi model
kesuksesan para penganut aliran Komunis. Bung Karno sendiri mengkagumi Uni
Soviet. 223
Lihat Zaenal A. Budiyono, Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY
Mengawal Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia ke Orbit Dunia, h. 66 224
Lihat Soetrisno Bachir, Membangun Kemandirian Bangsa ( Jakarta:
Belantika, 2005 ), h. 11 - 12
335
Diskursus ini sangat penting karena pada saat ini, terutama di era
Reformasi banyak kalangan tidak mau berbicara tentang hal-hal terkait
dengan Pancasila. Hal ini dapat dimengerti karena kesalahan-kesalahan
di masa lalu di era Orde Baru, baik disengaja ataupun tidak, para
penguasa kerap kali menjadikan Pancasila sebagai alat untuk
mempertahankan kepentingan kekuasaan sesaat, maka tidak heran jika
saat ini orang alergi atau meresa tidak confidence ( percaya diri ) jika
berbicara Pancasila. Pancasila sebagai Dasar Negara dianggap gagal
membangun bangsa di masa lalu.
Kondisi ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena akan
membahayakan keutuhanan integrasi Nasional. Oleh karenanya harus
ada upaya-upaya refreshing dalam rangka merevitalisasi makna dan
implementasi, serta memastikan pendekatan-pendekatan baru yang lebih
efektif bagi penguatan ideologi Pancasila, agar Pancasila sebagai
ideologi Nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tetap eksis
dan semakin kuat jika kita ingin melihat Indonesia ke depan tampil
sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) tetap wujud
selamanya di bumi persada Nusantara.
15.a. Fakta dan Pengembangan Ideologi Pancasila
Pancasila yang sudah menjadi konsensus Nasional sejak 18
Agustus 1945 mengandung nilai dan gagasan dasar, dan oleh
karenanya dinyatakan sebagai ideologi Nasional. Nilai dan gagasan
dasar tersebut pada hakikatnya telah terjabarkan dalam kehidupan
sehari-hari bangsa Indonesia sebagai sikap, perilaku dan kepribadian
yang sudah menjadi turun temurun dari generasi ke generasi. Pancasila
sebagai ideologi Nasional bersifat khas berlaku bagi bangsa Indonesia.
Oleh karena itu di era Globalisasi seperti saat ini, dengan munculnya
berbagai persaingan ideologi dunia yang memasuki Indonesia, seperti
Kapitalisme, Sosialisme dan sebagainya, agar Pancasila tetap eksis dan
tidak terjadi kebekuan dan kaku, maka perlu ada upaya-upaya terobosan
baru.
Sebuah ideologi yang baik dan dapat memelihara
kerelevansianya dari waktu ke waktu agar tetap sesuai dengan ruang dan
waktu yang selalu berubah dan tahan uji terhadap persaingan berbagai
ideologi dunia, serta dapat menyerap berbagai aspirasi masyarakatnya
yang selalu mengalami dinamisasi dari waktu ke waktu, maka ideologi
harus memiliki tiga dimensi dasar, yaitu;
336
1. Dimensi realitas;
Artinya bahwa nilai dasar yang terkandung di dalam ideologi
harus bersumber pada nilai-nilai yang nyata, yang hidup dalam
masyarakatnya, terutama ketika ideologi tersebut dirumuskan,
sehingga masyarakat sebagai pendukungnya betul-betul
merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai dasar itu telah
tertanam dan berakar dalam realitas kehidupan masyarakat.
2. Dimensi idealisme;
Artinya ideologi tersebut mengandung cita-cita yang ingin
dicapai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; politik,
ekonomi, pendidikan, hukum, kebudayaa dan sebagainya,
sehingga masyarakat yang bersangkutan tahu kearah ana mereka
membangun bangsa dan negaraya.
3. Dimensi fleksibilitas dan pengembagan;
Artinya bahwa ideologi tersebut membuka diri untuk menerima
perkembangan pemikiran baru dalam rangka memperkaya
khazanah dan wawasan tanpa mencabut nilai-nilai dasar yang
terkandung di dalamnya225
.
Ketiga-tiga dimensi dasar tersebut hanya bisa dimungkinkan
oleh sebuah ideologi yang terbuka atau ideologi yang demokratis.
Idelogi terbuka adalah ideologi yang dapat berinteraksi denga
perkembangan zaman dan adanya dinamika internal yang memberi
peluang ( kesempatan ) kepada penganutnya untuk mengembangkan
pemikiran yang relevan dan sesuai dengan perkembangan zaman,
sehingga ideologi tersebut tetap aktual.226
Karena secara filosofis
maupun konseptual ideologi memiliki peran dan fungsi yang strategis
dalam membangun kehidupan berbangsadan bernegara, karenanya harus
disadari bahwa tanpa idelogi yang kuat dan berakar pada nilai-nilai
budaya sendiri, suatu bangsa akan mengalami kesulitan ( hambatan )
dalam mencapai cita-citanya227
. Pentingnya ideologi bagi sebuah
negara dapat dilihat dari kehidupan politik praktis, di mana setiap Partai
Politik yang ada memiliki platform yang jelas. Platform inilah sebagai
225
Lihat, M. Syamsudin, Pendidikan Pancasila ( Menempatkan Pancasila
Dalam Konteks Ke-Islaman Dan Ke-Indonesiaan ) ( Yogyakarta: Total Media, 2009
), h. 126 226
Ibid. 227
Ibid. h. 98
337
refleksi dan implementasi dari sebuah ideologi228
. Dalam konteks ini,
Pancasila sebagai ideologi nasional dalam berbangsa dan bernegara
sudah memenuhi tiga dimensi dasar tersebut. Permasalahannya
adalah tergantung pada efektivitas pengembangan dan pendekatan yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang. Konsekuensi dari
penegasan ini adalah bahwa Pancasila harus menjadi ideologi terbuka,
dan ini sangat diperukan berdasarkan kebutuhan konseptual.
Keterbukaan ideologi artinya terbuka untuk terjadinya interaksi nilai
yang terkandung di dalamnya dengan nilai-nilai yang berkembang di
masyarakat lingkungan sekitar, terutama pada tataran nilai penjabaran
atau nilai instrumentalnya, dan bukan pada tataran nilai dasarnya.
15.b. Rehabilitasi dan rejuvenasi ideologi nasional di era global
Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara Indonesia, kini
telah berada pada ambang batas, di mana masyarakat sudah kurang
peduli ( careless ) terhadapnya, apakah sebagai dasar Negara,
filsafat Negara atau sebagai ideologi Negara. Sejarah panjang
perdebatan mengenainya229
, dan sejarah perjalanannya dari
momentum ke momentum ( dari kelahiran, mencari jati diri, perjuangan,
hingga mempertahankan ) dalam rangka mencapai cita-cita bangsa
Indonesia telah sampai pada suatu realitas bahwa Pancasila masih jauh
dari harapan. Tahun 1983 Pancasila ditetapkan oleh Mejelis
Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) melalui Tap MPR Nomor
II/MPR/1983 sebagai satu-satunya asas untuk semua organisasi sosial
dan politik230
. Kini sejak era Reformasi, Pancasila mulai dipertanyakan
kedudukannya dan mungkin bisa digantikan ( jika tidak segera
diantisipasi ) oleh segelintir kelompok atau golongan yang
menginginkan tegaknya sistem pemerintahan lain.
Jika melihat ke belakang ketika Soekarno mendekritkan kembali
Pancasila dan UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, dan Badan
Konstituante dibubarkan. Idea kembali kepada Pancasila sebagai dasar
negara ternyata dalam perkembangannya di kemudian hari terjadi
228
Ibid. h. 98 229
Terkait mengenai perdebatan dasar negara, bisa pembaca telusuri karya
Ahmad Syafii Maarif; Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan
Dalam Konstituante ( Jakarta:: LP3ES, 1996 ), Cet. Ke 3, hlm. 144 - 157 230
Ketetapan tersebut kemudian mengalami perubahan pada tahun 1998
berdasarkan rencana Tap MPR No . . . ./ MPR/ 1998 tentang pencabutan Tap MPR
No. II/MPR/1983
338
penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang. Hal ini ternyata erat
kaitannya dengan kekuasaan yang ada pada genggaman Soekarno.
Isu-isu politik yang muncul pasca Dekrit Presiden 1959 memaksa
Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan yang diarahkan untuk
mempertahankan kekuasaan politik. Tiga kekuatan politik besar ( PNI,
NU dan PKI ) yang ada pada waktu itu, menurut sebagian kalangan,
bisa saja merongrong kekuasaan Soekarno bila tidak ditangani dengan
hati-hati. Kebijakan Soekarno tertuang dalam gagasannya tentang
Nasakom ( Nasionalisme, Agama dan Komunisme ). Kemunculan
paham Nasakom ini dilatarbelakangi ajaran Soekarno bahwa;
Pancasila bukan merupakan sistem ideologi yang ketat dan monopolistis
seperti Komunisme . . . . . . . . . waktu Pancasila lahir dalam tahun 1945
Komunisme tidak hadir dalam masyarakat kita231
. Oleh karena itu
Soekarno membuat lagi ideologi lain selain Pancasila, yaitu Nasakom.
Jadi, kemunculan gagasan Nasakom hasil dari pemahaman Soekarno
tentang eksistensi Pancasila bahwa; Pancasila bukan sistem ideologi
yang ketat, maka Nasakom menurut Soekarno merupakan manifestasi
dari Pancasila. Tetapi sebenarnya gagasan Nasakom itu sebagai strategi
Soekarno untuk menguasai kekuatan-kekuatan politik agar selalu
berada pada genggamannya dengan tujuan memudahkan untuk
mempertahankan kekuasaan. Dengan kata lain gagasan ini tidak lebih
sebagai upaya untuk meredam gejolak politik pada waktu itu. Dengan
menampung ketiga kekuatan tersebut dalam satu payung, Soekarno
mencoba mengendalikan tiga unsur politik dominan. Namun, dengan
upaya besar ini implikasinya adalah munculnya semacam pengkhianatan
yang tidak terkendalikan oleh Soekarno sendiri terhadap Pancasila.
Meskipun dalam Pancasila sendiri unsur-unsur nasionalisme dan agamis
jelas terkandung di dalamnya, sementara paham Komunis pada
hakekatnya tidak ada. Tiga unsur kekuatan ini sebenarnya paradoks,
karena dari segi ajarannya Komunisme tidak mengakui adanya Tuhan (
tidak ber-Tuhan ) dan ini jelas bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang
Maha Esa. Tetapi dengan mengangkat idea Nasakom menjadi sebuah
ideologi, maka mau tidak mau telah terjadi penduaan ( paradoksial ), dan
ini tidak terelakan. Indonesia harus mengakui Pancasila di satu sisi, pada
sisi lain harus menjungjung Nasakom. Hal ini dapat dibuktikan dengan
pernyataan Soekarno sendiri yang berbunyi “……salah satu aspek dari
231
Bandingkan, Frederick dkk. ( ed. ), Pemahaman Sejarah Indonesia. hlm.
81
339
Pancasila alat pemersatu adalah Nasakom, barang siapa menolak
Nasakom, berarti menolak Pancasila.232
Ini sebagai bukti bahwa
Nasakom disetarakan dengan Pancasila. Di sinilah letak
penyelewengan terjadi.
Pada gilirannya, Nasakom dapat dipahami sebagai manifestasi
politik Soekarno dalam rangka memperkuat idea Demokrasi
Terpimpinnya. Sebuah strategi politik sekalipun harus mengorbankan
Pancasila demi tercapainya cita-cita, Soekarno berupaya mengangkat
citranya melalui slogan-slogan kemakmuran, kesejahteraan,
nasionalisme yang agamis. Tentu saja Soekarno tidak akan pernah
menyatakan bahwa ada manipulasi politik di balik persoalan tersebut.
Sementara realitas kondisi negara kebalikan dengan slogan-slogan
Soekarno tersebut yang pada waktu itu ia gembar-gemborkan seiring
dengan menurunnya kharisma dan kekuasaannya. Hal ini ditandai
dengan terjadinya krisis lokal berupa inflasi keuangan negara sebesar
600% yang memaksa era Soekarno berakhir. Peristiwa ini ditandai
dengan penyerahan Supersemar 11 Maret 1964 233
.
Lengsernya rezim Orde Baru pada tahun 1998 memunculkan
berbagai kritik, terutama dari kalangan intelektual, terkait dengan
kekeliruan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru, maupun Orde Lama
menyebabkan Pancasila menjadi ideologi eksklusif ( tertutup ).
Seharusnya Pancasila diposisikan sebagai ideologi inklusif ( terbuka ).
Hal ini sebagaimana terungkap dalam salah satu buku “ Pendidikan
Kewarganegaraan “ sebagai berikut;
Pengalaman sejarah politik bangsa Indonesia di masa lalu,
seperti pada waktu besarnya pengaruh Komunisme, Pancasila
pernah menjadi doktrin yang kaku. Demikian juga waktu peran
pemerintah Orde Baru sangat dominan menjadikan Pancasila
sebagai ideologi tertutup234
.
Dua kata kunci dari petikan di atas, yaitu; kaku dan tertutup.
Kaku dapat diartikan bahwa Pancasila dikondisikan menjadi ideologi
yang tidak fleksibel. Hal ini karena Pancasila pada waktu Orde Lama
dimanifestasikan ke dalam gagasan Nasakom, yang dalam
perkembangannya kemudian menjadi ideologi di samping Pancasila.
232
Frederick, dkk ( ed. ), Pemahaman Sejarah Indonesia, hlm. 400 233
Frederick, dkk ( ed. ), Pemahaman Sejarah Indonesia, hlm. 400 234
Lihat Supriatnoko, Pendidikan Kewarganegaraan ( Jakarta: Penaku,
2008 ), hlm. 27 - 28
340
Sementara, Tertutup, dapat diartikan bahwa Pancasila tidak dapat
ditafsirkan oleh siapa pun berdasarkan keperluan dan relevansi zaman
yang senantiasa menuntut perubahan dari waktu ke waktu, sehingga
Pancasila kemudian menjadi tertutup. Hal ini karena Pancasila
ditafsirkan oleh rezim Orde Baru dengan tafsiran yang sesuai dengan
kepentingan sesaat, maka kemudian Pancasila menjadi alat politik untuk
menjastifikasi tindakan-tindakan Pemerintah Orde Baru waktu itu.
Senada dengan pandangan dalam kutipan di atas, As`ad Said Ali
( Wakil Kepala BIN Th. 2001 – 2009 ) menyatakan di dalam karyanya “
Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa “, bahwa
kecendrungan untuk menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara
kembali muncul di era Orde Baru. Menurutnya, rezim Orde Baru telah
menjadikan dasar negara ( Pancasila ) sebagai ideologi tunggal. Hal ini
menurutnya lagi sama persis dengan cara Soekarno memahami Pancasila
sebagai kepribadian dan welstanchauung bangsa. Ini berarti sama
dengan menerima kebenaran Pancasila hampir tanpa pembuktian, maka
kemudian implikasinya Pancasila di era Orde Baru diposisikan sebagai
sebuah ideologi yang komprehensif, yaitu sebagai jiwa dan kepribadian,
sebagai pandangan hidup, sebagai tujuan, sebagai perjanjian luhur,
sebagai dasar negara, sebagai sumber dari segala sumber hukum, dan
seterusnya235
. Realitasnya upaya ini semua tidak dapat menciptakan
hasil yang baik bagi kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara yang
adil, makmur dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lengsernya rezim Orde Baru dan disusul dengan tampilnya era
Reformasi di pentas perpolitikan nasional dengan ditandai semaraknya
proses demokratisasi dalam berbagai bidang kehidupan, terbukanya
keran kebebasan ( liberalisasi ) dalam berbagai aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara. Hal ini tentu saja menjadikan sebagian pihak
merasa bangga dengan pencapaian Indonesia dalam pelaksanaan
demokrasinya236
. Tetapi sayang sekali ada hal terpenting dan sangat
mendasar terkait dengan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang
terabaikan dan terlupakan, yaitu; Pancasila. Dalam salah satu seminar
235
Lihat As`ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa (
Jakarta: LP3ES, 2009 ), hlm. 34 - 39 236
Prestasi ini, setidaknya diukur dengan keberhasilan Indonesia dalam
menyelenggarakan dua kali Pemilihan Umum di era Reformasi, yaitu; pada tahun
2004 dan tahun 2009, dianggap sebagai negara yang paling demokratis di dunia
setelah Amerika dan India.
341
yang diselenggarakan di Universitas Gajah Mada pada 1 Februari 2006,
bertajuk “ Kontekstualisasi dan Implementasi Pancasila Dalam Berbagai
Bidang Kehidupan Berbangsa dan Bernegara “ terungkap
kehkawatiran oleh salah seorang peserta seminar tentang masa depan
Pancasila. Ungkapan kekhawatiran tersebut sebagai berikut;
Jikalau kita mau jujur dewasa ini Pancasila hanya tinggal
rumusan verbal sila-sila Pancasila yang terdapat dalam
Pembukaan UUD 1945, Perguruan Tinggi pun tampaknya sudah
akan menghilangkan Pancasila dari kajian ilmiah. Kalangan elit
politik merasa tidak populer jikalau berbicara tentang Pancasila,
apalagi bersuara dan berminat untuk melaksanakannya. Jikalau
hal ini dibiarkan berlalu maka bukannya mustahil dalam waktu
singkat negara Indonesia yang diperjuangkan oleh para pendiri
bangsa dengan darah dan nyawanya akan hancur oleh anak-anak
bangsa sendiri yang berpola pikir terjajah oleh bangsa lain237
.
Gelombang demokratisasi melalui tuntutan reformasi yang
melanda negara-negara yang tidak demokratis berbarengan dengan
terjadinya krisis moneter tahun 1997, salah satunya adalah Indonesia,
ternyata menjadi ancaman terhadap eksistensi dasar negara; Pancasila238
.
Hal ini terjadi secara kebetulan di era global. Globalisasi menjadikan
sesuatu bukan hanya untuk wilayah atau bangsa tertentu, tetapi untuk
semuanya tanpa mengenal batas wilayah atau bangsa. Ini artinya
bahwa globalisasi merupakan kondisi yang menunjuk pada proses
kaitan yang erat semua aspek kehidupan. Gejala yang muncul dari
interaksi yang makin intensif dapat dilihat pada dunia perdagangan,
media, budaya, transportasi, teknologi informasi dan sebagainya239
.
Ancaman terhadap ideologi negara tersebut diperparah lagi
dengan arus kekuatan politik nasional yang tidak mempercayai
pemerintah Orde Baru, dampaknya kepercayaan terhadap Pancasila
sebagai dasar negara turut menurun di kalangan rakyat Indonesia pada
umumnya. Ini artinya Pancasila dihadapkan pada persoalan mendasar.
Suatu kondisi yang sangat memprihatinkan bagi rakyat dan bangsa
237
Lihat Abbas Hamami Mintaredja dkk. ( ed. ), Memaknai Kembali
Pancasila ( Yogyakarta: Badan Penerbit Filsafat UGM, 2007 ), hlm. 21 238
Lihat A. Ubaedillah dan Abd. Rozak ( peny. ), Demokrasi, Hak Asasi
Manusia dan Masyarakat Madani ( Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2008 ),
cet. III, hlm. 24 239
A. Ubaedillah dan Abd. Rozak ( peny. ), Demokrasi, Hak Asasi Manusia
dan Masyarakat Madani, hlm. 27
342
Indonesia seluruhnya. Paling tidak ada tiga persoalan mendasar bagi
eksistensi Pancasila sebagai dasar dan filsafat negara Indonesia. Tiga
persoalan mendasar tersebut itu, ialah;
1. Penyimpangan pemahaman Pancasila.
2. Penyalah gunaan status Pancasila.
3. Adanya kompetisi ideologi-ideologi dunia yang memasuki
Indonesia.
Gelombang demokratisasi yang melanda Indonesia bersamaan
dengan krisi moneter, ekonomi dan politik sejak 1997, menurut
Azyumardi Azra menjadikan Pancasila seolah-olah kehilangan
relevansinya240
. Kenapa Pancasila seolah-olah tidak relevan ?
menurut Azyumardi lagi 241
paling tidak ada tiga faktor yang
menjadikan Pancasila tidak relevan saat ini. Tiga faktor tersebut itu
ialah;
1. Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rezim Soeharto
yang menjadikan Pancasila untuk mempertahankan status quo
kekuasaannya.
2. Liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan yang
ditetapkan Presiden B.J. Habibie tentang Pancasila sebagai
satu-satunya asas.
3. Desentralisasi dan otonomisasi daerah.
Sebagaimana kita ketahui bahwa di era Orde Baru, rezim
Soeharto telah menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas ( asas
tunggal ) dalam berorganisasi, baik organisasi politik ( partai politik )
atau organisasi kemasyarakatan. Konsekuensi dari kebijakan ini
semua organisasi harus menetapkan Pancasila sebagai asasnya dalam
AD dan ART-nya. Jika tidak, maka organisasi tersebut diancam
dibubarkan. Oleh karena tujuan dari kebijakan menjadikan Pancasila
sebagai asas tunggal adalah untuk memudahkan kontrol terhadap
kekuatan-kekuatan sosial politik, baik pada tataran elite partai atau pada
tataran akar rumput, maka rezim Orde Baru juga mendominasi
pemaknaan ( pemahaman) Pancasila sesuai dengan kehendak dan
keinginan ( political will ) Pemerintah waktu itu. Selanjutnya
pemahaman Pancasila tersebut diindoktrinasikan secara paksa lewat
240
A. Ubaedillah dan Abd. Rozak ( peny. ), Demokrasi, Hak Asasi Manusia
dan Masyarakat Madani, hlm. 24 241
A. Ubaedillah dan Abd. Rozak ( Peny. ), Demokrasi, Hak Asasi Manusia
dan Masyarakat Madani, hlm. 25
343
Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ( P-4 ).
Tetapi pada akhirnya usaha meng-P-4-kan rakyat Indonesia mengalami
kegagalan, walaupun dibiayai dengan miliaran rupiah, karena
menggunakan pendekatan yang tidak tepat, yaitu pemaksaan, bukan
berdasarkan kesadaran.
Penghapusan kebijakan asas tunggal oleh Presiden B.J. Habibie,
pada satu sisi membuka peluang tampilnya ideologi-ideologi lain
selain Pancasila ( baik yang berdasarkan agama atau non agama ) di
pentas perpolitikan nasional, sementara pada sisi lain penghapusan
asas tunggal tersebut memunculkan dampak yang tidak baik, yaitu
terjadinya penurunan pemahaman dan komitmen rakyat Indonesia
pada Pancasila sebagai ideologi pemersatu dan dasar negara, akibatnya
Pancasila cenderung tidak lagi menjadi common platform dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kebijakan otonomi daerah tidak terlepas dari latarbelakang dan
tujuan atau visi, baik dari aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Dari aspek politik, otonomi daerah harus dipahami sebagai proses
untuk membuka ruang bagi tampilnya kepala pemerintahan daerah yang
dipilih secara demokratis, terciptanya pemerintahan responsif serta
terciptanya pengambilan keputusan berdasarkan pertanggung jawaban
publik. Dari aspek ekonomi, otonomi daerah setidaknya bisa menjamin
lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah dan
mendorong terciptanya peluang untuk pengembangan kebijakan
kedaerahan dalam rangka mengoptimalkan pendayagunaan potensi
ekonomi di daerahnya. Sementara dalam aspek sosial budaya, otonomi
daerah harus diarahkan pada terciptanya pengelolaan dan pemeliharaan
integrasi dan harmonisasi sosial, mengembangkan nilai, tradisi karya
seni, karya cipta, bahasa dan karya sastra lokal yang dipandang kondusif
dalam rangka merespon positif dinamika kehidupan di sekitarnya dan
kehidupan global242
.
Namun demikian, ada sebagian pihak yang menghawatirkan
kebijakan otonomi daerah, karena otonomi daerah menurutnya,
dimungkinkan akan menumbuhkan sentimen kedaerahan, dan ini
berdampak hilangnya loyalitas atau kesadaran untuk kebersamaan dan
kesetiaan dari daerah sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (
NKRI ). Walau bagaimanapun harus ada upaya antisipasi, jika tidak,
242
Lihat A. Ubaedillah dan Abd. Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia
dan Masyarakat Madani, hlm. 25
344
kemungkinan akan muncul sintimen lokal-nasionalisme yang hidup di
ruang Nasionalisme Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, Pancasila
sebagai dasar Negara akan makin kehilangan posisi sentralnya.243
Realitas di lapangan membuktikan kebalikannya, salah satu contoh
Aceh, justeru di era Reformasi Aceh kembali ke pangkuan NKRI, dan
di beberapa daerah yang pernah rawan konflik, seperti Poso dan
Ambon, kini sudah berada dalam kondisi kondusif. Tentu saja upaya
mengembalikan daerah-daerah yang rawan konflik tersebut tidak
begitu saja mudah seperti membalikan telapak tangan, tanpa melalui
proses, kebijakan dan setrategi yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Pusat, dan tanpa melibatkan semua pihak dan kekuatan. Tanpa
keterlibatan semua pihak, keamanan dan kesatuan tidak akan terwujud.
Mengingat betapa pentingnya Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara dijadikan untuk persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia yang plural, memang sangat mendesak untuk dilakukan
upaya-upaya revitalisasi Pancasila, baik terkait terhadap maknanya,
perannya dan posisinya. Kenapa demikian ? karena berdasarkan
keyakinan rakyat Indonesia bahwa Pancasila dapat dijadikan dasar
kehidupan bersama dalam berbangsa dan bernegara. Dalam konteks
ini, Azyumardi Azra menegaskan bahwa Pancasila telah terbukti
sebagai common platform ideologi negara bangsa Indonesia yang paling
feasible, dan sebab itu lebih veable bagi kehidupan bangsa hari ini dan
masa datang244
. Oleh karena itu, secara terperinci, Azyumardi Azra
menyatakan, sangat mendesak untuk dilakukan rehabilitasi dan
rejuvenasi Pancasila. Rejuvenasi Pancasila menurut Azyumardi Azra
dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila sebagai public discourse (
wacana Publik )245
. Dengan menjadikan Pancasila sebagai wacana
publik diharapkan akan muncul idea-idea brilian, baik dalam rangka
pengembangan atau penilaian kembali ( reassissment ) makna dan
pemahaman, sehingga Pancasila tetap relevan pada setiap saat dan
zaman, tetapi dengan catatan bahwa teks Pancasila yang tersusun
dalam lima sila tetap dipertahankan, tidak boleh ada amandemen atau
perubahan. Dengan merekonstruksi pemahaman Pancasila tersebut,
maka berarti telah menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka (
inclusive ), bukan ideologi tertutup ( exclusive ) yang berakibat
243
Ibid. 244
Ibid. h.25 245
Ibid. h.25
345
terjadinya peminggiran atau tereliminasi oleh persaingan
ideologi-ideologi dunia yang memasuki Indonesia sebagai dampak dari
era global.
Namun demikian, rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila,
sebagaimana dikemukakan Azyumardi Azra di atas memerlukan
keberania moral para pemimpin nasional. Empat pemimpin nasional
pasca Soeharto sejak dari Presiden B.J. Habibie, Presiden Abdurrahman
Wahid, Presiden Megawati, dan bahkan Presiden SBY, diakui oleh
banyak kalangan belum berhasil membawa Pancasila ke dalam wacana
dan kesadaran publik. Nampaknya seperti ada kesan traumatik untuk
membicarakan kembali Pancasila. Oleh karena itu, jika kita memang
peduli terhadap nasiolisme Indonesia dan integrasi nasional, maka sudah
saatnya sekarang para elite dan para pemimpin bangsa memberikan
perhatian khusus pada ideologi Pancasila sebagai ideologi pemersatu.
16. Pancasila Dari Waktu Ke Waktu
Sebagai sebuah ideologi Nasional, Pancasila tidak muncul dari
ruang kosong, tetapi sebagaimana ditegaskan A. Syafi`i Maarif 246
; ia
hadir dari realitas sejarah dan semangat zaman yang melingkupinya.
Realitas kesejarahan telah berproses dalam kurun waktu yang tidak
sebentar, ia mampu memunculkan ramuan ideologi baru di tengah
pertarungan ideologi saat itu; ideologi Kapitalis, dan Sosialis.
Kelahiran dan perkembangan Pancasila sejak dipersiapkan untuk
diusulkan sebagai dasar dan filsafat negara hingga saat disahkannya
pada tanggal 18 Agustus 1945 M. semuanya berlangsung dalam forum
politik, bukan dalam forum akademik ilmiah. Dalam forum politik
itulah, imbauan politik dikumandangkan untuk mencapai
kesepakatan-kesepakatan politik yang sangat fundamental bagi dasar
dan arah kehidupan kemerdekaan menuju masa depan yang
dicita-citakan bersama247
. Oleh karena itu, Pancasila yang telah
menempuh perjalanan panjang melebihi setengah abad dan telah
mengalami pasang surutnya perjalanan Republik Indonesia, bukan
merupakan dasar negara yang lahir tanpa mengalami berbagai
246
Ahmad Syafi`i Maarif dalam kata pengantar buku “ Menggali Muatan
Pancasila Dalam Perspektif Islam, oleh M. Abdul Karim. ( Yogyakarta: Surya Raya,
2004 ) h. VI. 247
Lihat. M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif
Islam, h. 3
346
perdebatan. Perdebatan yang terjadi justeru menjadikan Pancasila
menemukan kekuatannya tersendiri.
Dalam konteks kemunculan Pancasila, A.M.W. Pranarka248
telah mengidentifikasi pertumbuhan Pancasila sebagai ideologi
kebangsaan dimulai dengan cita-cita kebangsaan yang bermula dari
kebangkitan Nasional dalam Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober
1928. Namun posisi Pancasila sebagai ideologi kebangsaan itu
mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan mendapatkan
kekuatannya dalam Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959.
Dekrit Presiden menegaskan pemberlakuan kembali UUD 1945.
Demikian itu tidak berarti bahwa pemikiran tentang Pancasila serta
merta berhenti. Pengembangan pemikiran Pancasila dimungkinkan oleh
adanya anggapan bahwa Pancasila merupakan wadah yang dapat
mengakomodir berbagai aliran ideologi yang merasa terpanggil untuk
memberikan interpretasi tentang Pancasila. Hal ini sejalan dengan
pandangan Notonagoro, dan pada saat yang sama Notonagoro
menekankan bentuk kompromi Pancasila249
.
Dalam sepanjang sejarah keberadaannya sebagai dasar dan
filsafat negara Republik Indonesia, perkembangan Pancasila telah
mendapatkan stresingnya yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, baik
di era Orde Lama, Orde Baru, dan bahkan di era Reformasi.
1. Orde Lama mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara
diinstrumentalisasikan untuk mendukung kepentingan politik
sesaat, sebab pada era Orde Lama politik dijadikan panglima
yang berakhir dengan tragedi Nasional G 30 S/PKI.
2. Pada era Orde Baru ekonomi dijadikan ideologi pembangunan
dan Pancasila dijadikan kata sihir sebagai Asas Tunggal yang
secara manipulatif diritualisasikan untuk menjaga stabilitas
pengembangan Kolusi, Nepotisme dan Kronisme di bawah
kekuasaaan tunggal dengan mengatasnamakan diri sebagai
mandataris MPR.
3. Pada era Reformasi, setelah pembangunan menghadapi jalan
buntu sebagai akibat dari terjadinya krisis ekonomi dan politik,
maka dengan ambruknya seluruh bangunan ekonomi, turut
248
A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila ( Jakarta: CSIS,
1985 ), h. 313-318 249
Lihat, Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, ( Jakarta: PT. Bina
Aksara, 1984 ), h. 58
347
ambruk pula seluruh kehidupan politik. Hal ini ditandai dengan
munculnya berbagai permasalahan bangsa yang semrawut;
pertentangan, perpecahan dan permusuhan yang dipicu latar
belakang politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama, sehingga
kondisi kehidupan bangsa cenderung berkembang tanpa arah250
.
Pancasila sebagai dasar negara seakan tenggelam dalam lumpur
pertentangan berbagai kepentingan politik, ekonomi dan
sebagainya.
Memang sejak bergulirnya era Reformasi, Pancasila tidak lagi
tampil dalam berbagai wacana, baik dalam forum-forum diskusi
ilmiah, seminar, maupun dalam program-program Pemerintahan.
Kondisi seperti ini sebagai akibat dari dicabutnya Ketetapan MPR RI
No. II / MPR / 1978 tentang P-4 dalam Sidang Istimewa MPR Tahun
1998. Demikian pula Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional-pun
pada Pasal 37 ( 2 ) tidak menyebut pendidikan Pancasila. Ia hanya
menyebut Pendidikan Kewarganegaraan, Agama dan Bahasa. Hal ini
merupakan indikasi bahwa Pancasila dalam fungsinya sebagai dasar
negara telah dilupakan, sehingga secara gradual akan menghilangkan
komitmen kita ( bangsa ) untuk tetap mengaplikasikan nilai-nilai yang
terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945251
. Oleh karena kondisisi
Pancasila di era pasca Reformasi seperti itu, A. Syafi`i Maarif, dalam
kata pengantarnya pada buku “ Menggali Muatan Pancasila Dalam
Perspektif Islam “ menilai bahwa di era pasca Reformasi telah terjadi
rendahnya pemahaman masyarakat kita saat ini ( pasca era Reformasi )
terhadap Pancasila. Hal ini dapat dimengerti sebagai implikasi dari
perselingkuhan rezim Orde Baru dengan ideologi bangsa tersebut.
Pancasila di era Soeharto menjadi kuda troya politik demi kekuasaan.
Dalam kondisi seperti inilah pemahaman kembali terhadap Pancasila
menjadi sesuatu yang sangat urgen dan mendesak. Jika kondisi
pemahaman masyarakat dan anak bangsa ke depan masih terjebak pada
isu-isu politik, maka justeru akan mengantarkan negeri ini pada labirin
gelap tanpa ujung, yang hanya diiringi ketakutan-ketakutan tanpa
dasar.
Sebenarnya, mind setnya tidak selalu harus begitu. Karena
sampai kapanpun selagi Indonesia berdiri sebagai negara NKRI,
250
M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam. h.
2 -3 251
Ibid. h. 2
348
Pancasila akan tetap menjadi dasar negara, meskipun tidak selalu
didengung-dengungkan pada berbagai kesempatan seperti di era Orde
Baru. Hal terpenting dalam konteks ini adalah substansi dari nilai-nilai
Pancasila sebagai dasar, ideologi dan filsafat kenegaraan tetap
diaplikasikan pada tataran praktis, bukan sebatas dalam tataran teoritis
saja. Upaya pensemaian nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 kepada
setiap anak bangsa Indonesia menjadi keharusan. Malaysia, barangkali
salah satu negara yang juga memiliki dasar negara yang mereka sebut
Rukun Negara, terdiri dari lima Rukun, mereka tidak banyak
menyebut Rukun Negara mereka dalam berbagai kesempatan, tetapi
pembangunan Malaysia dalam berbagai aspek kehidupan terus berjalan.
17. Kesimpulan
`Berdasarkan pembahasan tentang latar belakang dan proses
pertumbuhan dan perkembangan pemikiran Pancasila hingga
pengesahannya oleh PPKI, maka berikut ini disampaikan beberapa
kesimpulan, antaranya sebagai berikut;
1. Rumusan Pancasila yang komprehensif, ialah rumusan Pancasila
yang terdapat pada Piagam Jakarta. Piagam Jakarta
sebagaiamana ditetapkan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959
sebagai dokumen historis yang menjiwai penyusunan UUD-1945
dan menjadi bagian dari Konstitussi tersebut.
2. Rumusan Pancasila yang diberlakukan sampai saat ini, ialah
rumusan Pancasila yang sudah diamandemen, yaitu Pancasila
yang disahkan oleh PPKI dan dipertegas lagi oleh Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.
3. Ideologi Pancasila di masa lalu kerap kali dijadikan alat (
dipolitisir, dimanipulasi ) oleh rezim penguasa demi
mempertahankan kepentingan dan dominasi politik sesaat,
sehingga ideologi Nasional terkesan kaku dan tertutup.
4. Sifat filsafat kenegaraan yang tersirat dalam Pancasila,
menjadikannya ideologi yang dinamis dan fleksibel untuk
membangun tatanan kehidupan bangsa Indonesia yang multi
etnik dan dapat mengakomodasi berbagai kepentingan politik
anak bangsa. Oleh karenanya, Pancasila harus diperkuat sebagai
dasar hidup dalam berbangsa dan bernegara.
349
5. Sebuah ideologi yang baik dan dapat mempertahankan
eksistensinya pada zaman dan masyarakat yang selalu berubah
dari waktu ke waktu, ideologi tersebut harus memiliki setidaknya
tiga dimensi dasar; Dimensi realitas, Dimensi idealisme, dan
Dimensi fleksibilitas.
6. Pada masa yang lalu pernah terjadi mutual misunderstanding
antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi
negara. Tetapi kesalah pahaman tersebut lebih banyak dilatar
belakangi oleh berbagai kepentingan politik dari pada
substansinya, atau lebih dikarenakan ketidak jelasan paradigma
dan cara pandang. Substansi keduanya jelas berbeda, Islam
adalah agama, sementara Pancasila adalah ideologi negara.
Tetapi esensi ajaran Islam dan ideologi Pancasila tidak
bertentangan.
7. Di era Reformasi telah terjadi rendahnya pemahaman
masyarakat terhadap Pancasila. Dalam kondisi seperti ini upaya
revitalisasi pemahaman Pancasila sebagai dasar negara menajadi
sangat urgen dan mendesak.
8. Sejak bergulirnya era Reformasi, Pancasila tidak lagi tampil
dalam berbagai wacana. Hal ini merupakan indikasi bahwa
Pancasila dalam fungsinya sebagai dasar Negara telah
terlupakan, sehingga hal ini secara gradual bisa mengurangi
komitmen bangsa Indonesia untuk tetap menggunakan nilai-nilai
yang bersumberkan Pancasila dan UUD 1945.
9. Pengembangan Pancasila sebagai ideologi Nasional harus
menjadi ideologi terbuka, agar dapat tetap relevan dengan zaman
dan masyarakat yang selalu berubah dari waktu ke waktu.
10. Dalam rangka efektivitas sosialisasi Pancasila sebagai ideologi
negara kepada seluruh rakyat Indonesia harus bijaksana. Oleh
karena itu pada sebagian masyarakat tidak harus menyebutkan
kata Pancasila, tetapi cukup nilai-nilai dari ajaran ( doctrine )
Pancasila itu sendiri, karena sebagian masyarakat masih ada
yang alergi ketika mendengar sebutan Pancasila.
BAB II AGAMA DAN NEGARA
PRAKTEK KEHIDUPAN RAKYAT INDONESIA
350
1. Eksistensi Agama Dalam Negara Pancasila
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi payung bagi kehidupan
keagamaan rakyat Indonesia. Dalam konteks ini, UUD 1945, BAB XI,
Pasal 29, Ayat ( 1 ) berbunyi; Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa, dan Ayat ( 2 ) berbunyi; Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan Pasal
29, Ayat ( 1 ) dan ( 2 ) ini sebagai dasar pijakan bagi negara dalam
membangun kehidupan umat beragama dan sekaligus merupakan
pengakuan negara terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian,
rakyat Indonesia dijamin untuk memeluk agama dan beribadah sesuai
dengan tuntutan ajaran agama yang diyakininya benar. Sebab
kebutuhan untuk beragama merupakan tuntutan terdalam dari diri
manusia, maka beragama merupakan hak asasi sejak manusia
mengenal Tuhannya. Oleh karena itu, siapa pun tidak ada hak untuk
melarang seseorang beragama.
Selanjutnya perlu diperhatikan apa yang disampaikan Moh.
Hatta terkait dengan implikasi pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa sebagai berikut;
a. Melahirkan keharmonian di dalam masyarakat dan lingkungan
jika dihayati dan dilakukan dengan memupuk persahabatan dan
persaudaaan di antara sesama masyarakat.
b. Mengharuskan manusia membela kebenaran dan menentang
segala tindakan dusta ( melanggar aturan ).
c. Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mangharuskan
manusia membela keadilan dan menentang segala bentuk
kezaliman.
d. Mengharuskan manusia berperilaku baik, dan dengan
sendirinya akan memperbaiki kesalahan.
e. Mengharuskan manusia berlaku jujur, dan dengan sendirinya
akan menghindari dari tindakan curang ( main curang ).
f. Mengharuskan manusia berlaku suci, dan dengan sendirinya
akan menentang segala kekotoran.
351
g. Mengharuskan manusia menikmati keindahan, dan dengan
sendirinya akan melenyapkan segala keburukan252
.
Dengan begitu, menurut Moh. Hatta; sila Ketuhanan Yang Maha
Esa menjadi dasar yang dapat mengarahkan cita-cita kenegaraan untuk
menyelenggarakan segala sesuatu yang baik bagi kehidupan rakyat dan
bangsa Indonesia253
, seperti yang digagas oleh Plato dan Aristoteles; en
dam onia atau the good life, orang Indonesia bilang; gemah ripah
loh jinawi254
, maka atas dasar pemikiran ini Moh. Hatta menegaskan;
politik negara mendapatkan dasar moral yang kuat. Oleh karena itu
dalam tataran praktis sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak sebatas
wujudnya hormat menghormati antara sesama pemeluk agama,
melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa harus dijadikan panduan yang
memberikan arah ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan
persaudaraan. Negara dengan demikian, menurut Moh. Hatta lagi
mendapatkan fondasinya yang kuat255
. Hal ini sesuai dengan
pandangan D. Chairat yang menyatakan bahwa negara kita mempunyai
dasar-dasar pertahanan yang kuat dengan komitmen dan berlandaskan
Ketuhanan256
. Tetapi itu semua bergantung pada political will elite
negara dan perilaku para politisinya. Jika tidak, semuanya hanya sebatas
gagasan-gagasan yang tidak bermakna.
D. Chairat selanjutnya menyatakan; mempercayai Tuhan; Tuhan
yang menjadikan langit da bumi, Tuhan yang menguasai alam semesta,
maka seluruh gerak negara tetap berlindung di bawah rahmat Tuhan257
.
Fakta menunjukan bahwa sejak perjuangan rakyat Indonesia 17 Agustus
1945 dalam menghadapi berbagai seragan dahsyat, selamanya kata D.
Chairat, kita minta perlindungan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
konteks ini D. Chairat menyatakan bahwa kita belum dapat melupakan
rangkaian sejarah pada hari Pahlawan 10 November 1945 di mana
tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Indonesia untuk
252
Lihat Moh. Hatta, Pengertian Pancasila ( Pidato Peringatan Lahirnya
Pancasila Tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional ) ( Jakarta: Inti Idayu
Press, 1978 ), h. 29 253
Moh. Hatta, Pengertian Pancasila, h, 28 254
Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik ( Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2008 ),
edisi revisi, h. 13 255
Moh. Hatta, Pengertian Pancasila, h. 28 256
Lihat. D. Chairat, Filsafat Pancasila ( Jakarta: wijaya, 1955 ), h. 8 257
Ibid.
352
menyerah. Di saat itulah perjuangan bangsa Indonesia dikomandokan
dengan kalimat “ Allahu Akbar “; Tuhan Maha Besar258
.
Berdasarkan kenyataan di atas dapat difahami bahwa betapa
tingginya hal yang menyangkut Ketuhanan sebagai landasan moral,
karena itu sila Ketuhanan Yang Maha Esa diletakan pada posisi pertama 259
dalam susunan Pancasila. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Muh. Yamin; Jika diartikan lebih tegas, maka ajaran Pancasila tentang
sila Ketuhanan adalah semata-mata urusan negara. Para founding fathers
negara Republik Indonesia sejak awal telah menyadari bahwa bangsa
Indonesia sejak dahulu adalah bangsa yang religius, pemeluk agama.
Sejarah membuktikan bahwa agama-agama yang masuk ke wilayah
Nusantara berproses dan penuh damai, sehingga antara
pemeluk-pemeluk agama yang berbeda dapat hidup harmonis dan penuh
toleransi260
. Oleh karenanya kehidupan keagamaan yang harmonis ini
harus dipelihara dari waktu ke waktu, meskipun sesekali terjadi
gesekan-gesekan atau benturan-benturan antara sesama pemeluk agama
yang berbeda. Hal ini bisa saja terjadi karena adanya
perbedaan-perbedaan ideologi, ritual ibadah, adat istiadat dan
sebagainya. Namun demikian, yang penting bagaimana mengatasi
persoalan-persoalan tersebut secara efektif sehingga tetap tercipta
kesatuan dan persatuan Indonesia.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Indonesia berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Indonesia tidak disebut negara
teokrasi261
. Hal ini seperti ditegaskan Soeharto ( Presiden RI ke 2 );
Negara kita bukanlah negara agama, bukan negara yang mendasarkan
pada agama tertentu262
. Karena sistem pemerintahannya didasarkan
258
Ibid. 259
Soekrno dan Muh. Yamin ketika menyampaikan gagasannya tentang dasar
negara pada sidang pertama BPUPKI, Kedua-dua tokoh ini tidak meletakan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa pada kedudukan yang pertama, tetapi hasil rumusan Panitia
Sembilan meletakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada urutan pertama sampai
tingkat pengesahan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945. 260
Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, h. 110 261
Teokrasi adalah sistem pemerintahan berdasarkan agama ( tertentu ) secara
mutlak, di mana para tokoh agamawan mengendalikan pemerintahan sekaligus.
Berdasarkan kajian sejarah, menurut A. Zaki Badawi sistem Pemerintahan Teokrasi
selalunya terjadi konflik karena perbedaan kecendrungan, baik dalam aspek filsafat,
demokrasi atau dalam kebijakan dan sebaganya. Lihat. A. Zaki Badawiy, A Dictionary
of The Social Sciences ( Beirut: Librairie Du Liban, 1978 ), h. 424 262
Lihat Soeharto, Pandangan Presiden soeharto Tentang Pancasila, h. 27
353
pada kedaulatan rakyat, yaitu; sistem pemerintahan berparlemen.
Seperti juga ditegaskan Muh. Yamin; Dalam konstitusi ditegaskan
bahwa kekuasaan bersumber dari rakyat263
. Meskipun Indonesia bukan
negara teokrasi, tetapi Indonesia tetap memberi jamina kebebasan
beragama dan beribadah kepada seluruh rakyat sesuai dengan agama
yang dianut. Hal ini sebagaimana ditandaskan di dalam Undang-Undang
Dasar 1945, Pasal 29, Ayat ( 2 ) berbunyi; Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaanya itu. Umat Islam, termasuk umat agama-agama lain,
dengan menjalankan ajaran-ajaran agamanya pada dasarnya telah
merealisasikan nilai-nilai Pancasila pada tataran praktis.
2. Perbedaan Dalam Memahami Arti Ke-Tuhanan Dalam konteks ini Muh. Yamin menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan Ketuhanan Yang Maha Esa ialah ber-Tuhan, yaitu;
Tuhan Yang Tunggal264
. Berdasarkan pernyataan ini dapat dimengerti
bahwa negara Indonesia didasarkan pada kepercayaan atau keimanan
kepada Tuhan Yang Esa; Tuhan Yang Maha Tunggal, yaitu Allah
Yang Ahad ( menurut faham Islam ). Oleh karena itu D. Chairat265
menegaskan; hanya negara Indonesia yang tegas-tegas menyebutkan di
dalam Undang-Undang Dasarnya bahwa negara di dasarkan kepada
Ketuhanan266
. Haji Agoes Salim, seperti juga Muh. Yamin adalah para
pelaku sejarah yang turut aktif membidani kemerdekaan Indonesia dan
turut pula memproses pembahasan Undang-Undang Dasar 1945,
sungguh mereka telah memahami bahwa yang dimaksud dengan
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tuhan ( Allah ) Yang Tunggal.
Dalam hubungan ini Agoes Salim menegaskan;
…… saya ingat betul bahwa di masa itu tidak ada di antara kita
seorang pun yang ragu-ragu, bahwa dengan dasar Ketuhanan
Yang Maha Esa itu kita maksudkan akidah, kepercayaan agama
dengan kekuatan keyakinan, bahwa kemerdekaan bangsa dan
263
Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, h. 110 264
Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, h. 110 265
Lihat, D. Chairat, Falsafah Pancasila, h. 8 266
D. Chairat barangkali tidak mengikuti perkembangan negara lain,
Malaysia antaranya yang berdasarkan lima rukun negara. Rukun pertama adalah
Ketuhanan.
354
tanah air suatu hak yang diperoleh dari rahmat Tuhan Yang
Maha Esa dengan ketentuan-Nya yang dilaksanakan-Nya pada
ketika masanya menurut kehendak-Nya ….. maka pastilah
bahwa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi pokok yang
terutama mengepalai ( menjadi permulaan ) Pancasila kita
sebagai pernyataan akidah267
.
Apa yang tersirat dalam pemikiran Haji Agoes Salim terkait
dengan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tuhan sebagaimana yang
difahami di dalam Akidah Tauhid, yaitu Allah Ta`ala. Sejalan dengan
pandangan ini Hazairin menegaskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa
adalah sebagai terjemahan dari pengertian “ Allahu Al-Wahidu al-Ahad “
yang disalurkan Al-Qur`an, 2:173 dan dizikirkan dalam do`a Kanzu
al-Arasy baris 17. Oleh itu, Hazairin dengan penuh yakin bahwa
Ketuhanan Yang Maha Esa bukan dari pihak Nasrani atau dari Hindu
atau pun dari pihak Timur Asing yang aktif mengikuti sidang-sidang
yang bertugas menyusun UUD 1945. Tetapi Ketuhanan Yang Maha Esa
hanya mampu dilahirkan oleh otak dan kebijakan orang Indonesia
Islam268
.
Lebih jauh Departemen Agama ( sekarang Kementrian Agama
RI ) menegaskan bahwa jelas ada hubungan antara sila Ketuhanan Yang
Maha Esa dalam Pancasila dengan ajaran Tauhid dalam teologi Islam,
dan jelaslah pula bahwa sila pertama Pancasila yang kedudukannya
sebagai prima causa atau sebab pertama itu sejalan dengan beberapa
ajaran tauhid Islam, yaitu; ajaran tentang Tauhid al-Sifat dan Tauhid
al-Af`al. Dalam pengertian bahwa Tuhan itu Esa dalam Zat-Nya,
Sifat-Nya dan Af`al-Nya269
. Dalam istilah lain yang selalu
dikemukakan Ibnu Taimiyah dalam berbagai karyanya ialah tauhid
Uluhiyah, tauhid Rububiyah dan tauhid al-Asma wa al-Sifat270
.
Pengertian Esa dalam konteks ini ialah tunggal, tidak ada duanya.
267
Lihat, Haji Agoes Salim, Ketuhanan Yang Maha Esa ( Jakarta: Bulan
Bintang, 1977 ), h. 13-14 268
Hazairin, Piagam Jakarta, Demokrasi Pancasila ( Jakarta: Tintamas, 1970
), h. 58 269
Lihat, Department of Religious Affairs of The Republic of Indonesia, The
History and The Role of The Department of Religious Affairs of The Republic of
Indonesia ( Jakarta: Burean of Public Relation, Department of Religious Affairs, 1975
), h. 11 270
Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu` Fatawa Ibnu Taimiyah ( Qahirah: Idarah
al-Masahah al-`Ashriyyah, 1404 H. ). Jld. 1, h. 22
355
Ke-Esaan Allah, artinya bahwa segala sesuatu yang dinisbatkan
kepada-Nya adalah tunggal.
Berdasarkan uraian di atas dapat difahami bahwa yang dimaksud
dengan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah Yang Maha Esa. Oleh
karena itu setiap warga Indonesia dan terutamanya umat Islam yang
menjadikan Pancasila sebagai dasar negara harus benar-benar ber-Tuhan
dengan dibuktikan ketaatan atas segala perintah-Nya, yang secara
otomatik akan diikuti dengan ketaatan kepada Rasul-Nya ( Nabi
Muhammad saw. ). Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan
dibuktikan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya disebut takwa.
Deskripsi tentang faham Ketuhanan di atas jelas itu berdasarkan
ajaran Islam. Tetapi, ini tidak berarti bahwa faham Ketuhanan dalam
Pancasila adalah satu-satunya faham yang identik dengan doktrin Islam
sebagaimana difahami dalam akidah tauhid. Faham Ketuhanan yang
dalam redaksinya dibuat secara umum diterima oleh umat-umat agama
lain selain umat Islam271
. Pemeluk agama-agama di Indonesia
sama-sama mempercayai Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi yang berbeda
adalah dari aspek pendekatan atau cara memahami Ketuhanan itu
sendiri, maka subtansi pengertian Ketuhanan akan difahami berbeda
sesuai dengan keyakinan dan doktrin masing-masing agama. Faham
Ketuhanan dalam Kristen faham Trinitas272
. Yaitu faham bahwa Tuhan
itu Esa tapi memiliki tiga oknum; Tuhan Bapak ( Father ), Tuhan Anak (
Lord ) dan Roh Kudus ( The Holy Spirit ). Ketiga-tiganya adalah satu273
.
Begitu juga faham Ketuhanan dalam Hinduisme – Budhisme yang
didasarkan pada paham Trimurti. Yaitu; faham yang mempercayai
Tuhan Esa tapi beroknum tiga ( seperti faham Ketuhanan dalam Kristen
271
Agama-agama di Indonesia dan diakui eksistensinya oleh negara
berdasarkan Surat Keputusan bersama Mendagri No. 477 / 740 SS4 / tanggal 18
November 1979, Surat Menteri Agama No. B-VI / 112 15 / 1978 tanggal 18 Oktober
1978 dan Surat Menteri Agama No. MA / 650 / 1979 tanggal 28 Desember 1979,
adalah Agama Islam, Kristen Katholik, Protestan, Hindu dan Budha. 272
Paham Ketuhanan Trinitas dalam Kristen terdapat banyak kesamaan
dengan paham Ketuhanan Trinitas dalam Hinduisme – Budhisme, termasuk
cerita-cerita tentang Jesus yang hampir sama dengan Krisna ( lahir 3000 th. SM. ) yang
dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Lihat, O. Hashem, Pembahasan Ilmiah
Tentang Ke-Esaan Tuhan, h. 17 dan 24 273
Ibid. h. 17
356
), yaitu; Brahma, Wisnu dan Syiwa274
. Dengan demikian, faham
Ketuhanan versi agama Kristen dan Hindu-Budha adalah suatu faham
yang meyakini bahwa Tuhan itu Esa, tetapi beroknum tiga. Di sinilah
titik perbedaan faham dengan Islam. Walaupun itu berbeda dalam
pendekatan atau cara dalam memahami tentang Ketuhanan, tetapi
toleran dalam kehidupan keberagaman. Di sinilah kunci keberhasilan
dalam membangun kehidupan umat beragama yang plural.
Berdasarkan analisis tentang faham Ketuhanan dari beberapa
agama di atas, dapat ditegaskan bahwa bangsa Indonesia dengan
berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa harus beragama, karena
bangsa yang be-Tuhan pada dasarnya adalah bangsa yang religius, maka
bangsa Indonesia yang beragama adalah bangsa yang taat agama.
Dalam arti bahwa bangsa Indonesia memiliki komitmen untuk
melaksanakan ajaran agama, baik perintahnya atau larangannya. Dengan
demikian, bangsa Indonesia disebut bangsa yang ber-Tuhan. Jika hal ini
telah terealisasi dalam tataran kehidupan praktis, berarti bangsa
Indonesia sudah merealisasikan nilai-nilai ajaran Pancasila itu sendiri.
Realitas bahwa bangsa Indonesia ber-Tuhan (dalam pengertian
beragama ), konsekuensinya bahwa negara tidak mengakui warga yang
tidak beragama. Oleh karena itu sebagian rakyat Indonesia yang
menganut ideologi Komunis dan merealisasikannya dalam tataran
kehidupan praktis, secara konstitusional telah melakukan tindakan
yang bertentangan, dan dengan sendirinya tereliminasi dari bumi
Indonesia karena pada dasarnya mereka tidak ber-Tuhan, Tuhan
menurut mereka telah lama mati dan agama dianggap candu bagi rakyat.
3. Komitmen Beragama Berdampak Terciptanya Stabilitas Politik Konsep ketakwaan dalam pembahasan ini sebagai konsekuensi
dari kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena sebenarnya
takwa itu sebagai perwujudan dari iman yang tertanam di dalam jiwa
setiap individu. Iman merupakan aktivitas hati dan pemikiran, bersifat
abstrak. Sementara takwa merupakan aktivitas anggota badan dapat
dilihat oleh mata, oleh karenanya bersifat zahiriyah ( lahir ). Takwa
dalam arti melaksanakan segala perintah Tuhan ( Allah ) dan
meninggalkan semua yang dilarang275
, maka takwa berhubung kait
274
Ibid. h. 17 275
Lihat Ibnu Kathir, Tafsir Al-Qur`an Al-`Azim ( T.Tmpt: T.Pnbt, 1993 /
1414 H. ), Juz 1, h. 42-43
357
dengan tindakan-tindakan lahiriah, sedangkan iman berhubung kait
dengan keyakinan di dalam hati. Oleh karena itu, takwa sebagi
manifestasi dari iman yang tertanam di dalam jiwa setiap individu.
Dengan demikian takwa dapat dilihat, dan apa yang terlihat
mengindikasikan apa yang ada di dalam jiwa. Atas dasar ini iman dan
takwa tidak dapat dipisahkan dalam realitas kehidupan umat beragama.
Kekuatan iman kepada Tuhan ( Allah ) Yang Maha Esa akan
melahirkan kekuatan internal yang dapat menghalang keinginan hawa
nafsu yang membawa kehancuran dan kebinasaan276
. Ini berarti
bahwa seseorang yang memiliki keimanan yang kuat akan muncul di
dalam dirinya proteksi interternal ( internal protection ), maka dari sini
akan muncul sikap ikhlas dan tanggung jawab yang sebenarnya,
sehingga dalam melaksanakan kerja di mana saja dan kapan saja akan
didasarkan pada kesedaran dan tanggung jawab. Jika hal di lakukan
secara kolektif, akan melahirkan kebersamaan. Kesatuan di kalangan
umat atau bangsa akan melahirkan kesamaan pandangan, kesepakatan
kata dan kebersamaan gerak. Oleh itu, keimanan dan ketakwaan dapat
dilihat pada perilaku positif pada seseorang yang bersangkutan. Dengan
berpegang teguh pada keimanan dan mengaplikasikan ketakwaan
sebenar-benarnya akan melahirkan sikap dan perilaku saleh pada diri
setiap individu dan masyarakat yang bersangkutan, maka akan lahir
hal-hal yang positif, antarany;
a. Setiap ucapan yang keluar dari mulut orang yang bersangkutan
tidak menyinggung perasaan orang lain, tidak menyakiti orang
lain, tidak gemar berbohong, pendek kata tidak meucapkan
ucapan-ucapan negatif.
b. Sikap dan perilakunya senantiasa memperlihatkan
kesederhanaan, bertimbang rasa, rela berkorban, mencerminkan
keteladanan dan tindakan-tindakan lain yang baik.
Ucapan dan perilaku positif sebagaimana dijelaskan di atas, pada
dasarnya berhubung kait dengan interaksi dalam pergaulan hidup yang
melahirkan karakter bangsa yang baik, mencerminkan seseorang yang
baik. Karakter yang baik ini hanya dimungkinkan lahir dari seseorang
yang berakhlak mulia, tanpa akhlak dan moral yang baik tidak mungkin
akan lahir ucapan dan perilaku yang baik. Oleh karenanya, agar
interaksi antara sesama masyarakat baik, maka interaksi tersebut harus
276
Muhammad Abdullah Darraz, al-Din Buhuts Mumahhidah Li Dirasat
Tarikh al-Adyan ( Beirut: Dar al-Kutub, 1970 ), h. 100
358
berlandaskan akhlah atau moral yang baik, sebagaimana diatur di dalam
ajaran agama, sebab pelaksanaan ajaran agama terkait dengan akhlak
yang mengatur bagaimana interaksi pergaulan hidup baik, bukan saja
bertujuan agar masyarakat menjadi baik secara individual, tetapi bahkan
berimplikasi pada kebaikan sosial yang berujung pada terciptanya
kondisi negara yang baik.
Berdasarkan penjelasan di atas terkait ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, dapat ditegaskan bahwa inti dari pengakuan kepada
Tuhan Yang Maha Esa adalah agar dapat mencerminkan sifat bangsa
Indonesia yang meyakini bahwa ada kehidupan lain di masa nanti
setelah kehidupan di dunia sekarang ini, yaitu kehidupan di akhirat.
Kehidupan di akhirat bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa
adalah lebih baik dari pada kehidupan di dunia sekarang ini.277
Hal
inilah sebenarnya yang menjadi motivasi untuk mengejar nilai-nilai
luhur dengan meningkatkan aktivitas-aktivitas yang baik berdasarkan
ajaran agama, maka seseorang yang bayak beramal saleh tidak saja akan
mendapatkan kebahagiaan di dunia, tetapi juga dia akan mendapat
kebahagiaan di akhirat nanti.
4. Kesalehan Perilaku Masyarakat Indonesia
Realisasi ketakwaan kepada Tuhan ( Allah ) Yang Maha Esa
dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat Indonesia secara umum
dapat diklasifikasikan dalam tiga bentuk; Pertama: Bentuk amalan yang
berhubungan antara manusia ( sebagai hamba ) dengan Tuhan ( Allah )
sebagai yang disembah. Kedua: Bentuk amalan atau perilaku yang
melibatkan interaksi antara sesama masyarakat. Ketiga: Bentuk amalan
atau perilaku yang berhubungan antara manusia dengan lingkungan atau
alam sekitar. Berikut ini penjelasan ketiga-tiga bentuk amalan tersebut;
4.1. Bentuk Amalan Yang Menghubungkan Manusia Dengan
Tuhan Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk ini adalah
setiap amalan yang dilakukan oleh manusia ditujukan sebagai
bukti penghambaan diri ( ibadah ) kepada Allah sebagai Zat yang
disembah ( Al-Ma`bud ). Manifestasi ketakwaan pada
komunitas-komunitas umat Islam di Indonesia yang paling utama
dalam konteks ini adalah Shalat lima waktu, Puasa, Ibadah Haji.
Shalat lima waktu dikerjakan secara berjemaah atau
277
Lihat Al-Qur`an: 17, 87
359
sendiri-sendiri. Pada masyarakat Islam yang komitmen kuat
terhadap ajaran agamanya, seperti di Aceh, Melayu ( Riau, Jambi
dan sekitarnya ), Minangkabau dan Jawa, Madura, Banjar dan
masyarakat Bugis, kegiatan shalat lima waktu dikerjakan secara
berjamaah, tetapi bagi penganut Islam yang pengaruh tradisinya
masih dominan, kecendrungan shalat berjamaah hanya sebatas
pada waktu tertentu saja, seperti waktu Maghrib, sementara
waktu-waktu lain shalat berjamaah dilakukan kadang-kadang.
Selain melakukan shalat fardhu ( lima waktu ) masyarakat Islam
juga melaksanakan shalat sunnah, menghadiri ceramah-ceramah
pengajian, baik yang diselenggarakan di Majlis Ta`lim, Masjid
atau di tempat-tempat yang ditentukan, mengaji Al-Qur`an dan
melaksankan zikir atau membaca bislimillah, al-hamdulillah ketika
memulai dan setelah selesai kerja dan mengucapkan salam ketika
berjumpa dengan sesama muslim. Kegiatan seperti ini
merupakan perwujudan umat bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Puasa, Zakat da Haji adalah wujud ketakwaan yang
penting278
, dan sebagai perwujudan amal saleh, karena
amalan-amalan ini tidak saja berimplikasi positif pada dirinya
sendiri secara individual ( terhindar dari tindakan-tindakan buruk
dan mungkar ), tetapi berimplikasi pada kesalehan hidup dalam
masyarakat, baik berkaitan dengan aspek pemerataan ekonomi (
Zakat, Haji ), atau aspek ketaatan dan kesadaran untuk berbuat baik
terhadap sesama umat manusia ( shalat dan Puasa ).
4.2. Manifestasi Amalan Antara Sesama Masyarakat
Manifestasi ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam
bentuk yang kedua ini, adalah wujudnya interaksi positif dalam
kehidupan keluarga, kekerabatan dan kehidupan sosial yang lebih
luas, seperti bantu membantu membuat rumah, tolong menolong
dalam kebaikan, mendidik anak, menghormati orang yang lebih
tua dan menyayangi orang yang lebih muda, bersilaturrahmi
kepada saudara dan kerabat dan sebaginya.279
Semua itu
278
Team Perangkum Badan Litbang Agama, Ketaqwaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa Dalam Berbagai Sistem Sosial Budaya Masyarakat Di Indonesia (
Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Proyek
Penelitian Keagamaan, 1989/1990 ), h. 13 279
Ibid. h. 14
360
merupakan manifestasi amal saleh yang diharapkan dapat tercipta
kesalehan kehidupan sosial dalam berbangsa dan bernegara.
4.3. Manifestasi Amal Saleh Antara Manusia Dengan
Lingkungan
Manifestasi ketakwaan kepada Tuhan ( Allah ) Yang Maha Esa
dalam bentuk ketiga ini adalah wujudnya interaksi antara
masyarakat dengan lingkungan, seperti kerjasama dalam menjaga
kebersihan, kerja bakti membuat sumur, bercocok tanam ( bertani
), kerjasama membangun Mesjid, Musholla, gotong royong
membuat rumah dan sebagainya.280
Ini merupakan fakta adanya
interaksi sosial yang tumbuh dan berkembang sebagai bukti amal
saleh yang ada pada masyarakat Indonesia dan menjadi ciri khas
sejak berabad-abad yang lalu berupa tolong menolong dalam
kebaikan bersama, sikap kebersamaan dan solidaritas ini
berimplikasi terciptanya kehidupan yang harmonis antara sesama
warga sekaligus dengan lingkngannya.
Namun demikian, ketakwaan yang ada pada masyarakat
bertingkat-tingkat. Tingkat ketakwaan yang tinggi ( kuat ) dan ada pula
tingkat ketakwaan yang rendah. Pada masyarakat yang kuat berpegang
pada ajaran agama dapat dipastikan tingkat ketakwaannya tinggi. Dalam
arti komitmen dan konsistensi beramal saleh lebih banyak dilakukan
sehingga menjadi adat kebiasaan dan budaya yang baik. Sebaliknya pada
masyarakat yang tingkat keberagamaanya lemah, maka dapat diprediksi
tingkat ketakwaannyapun lemah. Oleh karenanya dalam meningkatkan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, para agamawan seperti
Ustaz, Kiyai, Paderi dan sebagainya memiliki peran sangat penting
dalam hal ini. Para Ustaz dan Kiyai selain bertugas melayani umat
Islam dalam aktivitas keagamaan, juga bertindak sebagai konsultan
tentang berbagai persoalan hidup, baik yang bersangkutan dengan
hal-hal individu, keluarga, maupun yang berkaitan dengan
kemasyarakatan281
. Kiyai, seperti di Jawa Pantai Utara juga
menikahkan, membagikan harta warisan, memberi pengobatan,
memberi nama kepada anak yang baru lahir dan memimpin hampir
semua kegiatan peribadatan dan upacara adat. Dengan demikian, para
pemimpin agama dalam berbagai tingkatannya adalah paling efektif
dalam upaya meningkatkan aktivitas keagamaan, karena pemimpin
280
Ibid. h. 14 281
Ibid. h. 15
361
agama mempuyai kedudukan yang terhormat. Oleh karena itu, para
pemimpin agama sangat mudah menggerakkan masyarakat untuk
beramal atau beraktivitas.
Dalam konteks kajian Pancasila, pengertian ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana yang difahami tidak sebatas pada
pemeluk-pemeluk Islam yang sudah dapat melaksanakan perintah
agama dan meninggalkan hal-hal yang dilarang agama. Tetapi faham
ketakwaan ini meliputi ketakwaan seluruh agama-agama yang ada
dengan melaksanakan semua perintah dan meninggalkan larangan
agama masing-masing; agama Islam, Kristen Katholik, Protestan,
Hindu, Budha dan lain-lain dalam berbagai sistem sosial budaya
masyarakat di Indonesia berdasarkan pendekatan kebudayaan atau yang
lazim disebut pendekatan antropologis282
.
Apa yang menarik perhatian dalam konteks ini, ialah
penggunaan istilah ketakwaan untuk seluruh pemeluk-pemeluk agama;
pemeluk agama Islam, Kristen, Hindu, Budha dan termasuk agama
Lokal. Hal ini karena dari konsepsi dasar istilah ketakwaan berasal dari
khazanah perbendaharaan Islam, dan termasuk dalam ruang lingkup
akidah ( keyakinan ). Ketakwaan berasal dari kata dasar taqwa, yang
artinya melaksanakan perintah-perintah Allah ( perintah agama ) dan
meninggalkan tindakan-tindakan yang dilarang agama. Sementara
orang-orang yang taqwa, dalam bahasa Arab disebut Muttaqin adalah
predikat, sifat bagi orang-orang yang melaksanakan perintah-perintah
agama Islam dan meninggalkan tindakan-tindakan yang dilarang, dan
secara umum sifat-sifat orang Muttaqin sebagaimana disebutkan di
dalam Al-Qur`an, surah al-Baqarah, ayat 2 – 5, yaitu;
a. Yang beriman kepada yang ghaib, terutama Allah Yang Maha
Esa, Malaikat, Jin, Syaitan, Syurga, Neraka, siksa kubur dan
sebagainya.
b. Yang mendirikan Shalat, terutama shalat-shalat fardhu.
c. Yang menafkahkan ( mensedakahkan ) sebagian rizki ( harta ),
terutama yang wajib kepada orang-orang yang sudah ditentukan (
delapan asnaf ), antaranya orang-orang fakir miskin dan
sebagainya.
d. Yang beriman kepada Kitab Suci ( al-Qur`an ) yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw.
282
Ibid. h. 2
362
e. Yang beriman kepada Kitab-Kitab Suci yang diturunkan kepada
Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw. ( antaranya Kitab
Taurat, Injil dan sebagainya ), dan
f. Orang yang yakin adanya hari akhirat.
Dengan beberapa sifat tersebut, seorang muslim dengan
sendirinya menyandang predikat Muttaqin, yaitu orang yang bertakwa.
Jadi sebenarnya istilah taqwa itu hanya ada di dalam Islam dan
pengertiannya pun lebih khusus sebagaimana disebutkan di atas. Maka
penggunaan istilah takwa kepada pemeluk-pemeluk agama lain selain
pemeluk agama Islam tidak tepat. Tetapi mungkin atas dasar
pertimbangan agar tidak menyinggung perasaan pemeluk-pemeluk
agama lain atau karena tidak didapati istilah lain selain istilah takwa,
meskipun sebenarnya terdapat istilah lain yang lebih tepat
penggunaannya sebagai sinonim istilah takwa, yaitu pengabdian (
meskipun istilah pengabdian juga berasal dari kata Arab; `abdun yang
artinya hamba ), maka penggunaan istilah takwa kepada
pemeluk-pemeluk agama lain nampaknya tidak menjadi keberatan bagi
umat Islam.
5. Ideologi Pancasila dan Eksistensi Kehidupan Sosial Keagamaan
Pancasila sebagai ideologi, karena ideologi itu sendiri
merupakan rangkaian bangunan idea-idea yang tersusun rapih
berdasarkan hasil kajian dan dibuktikan dalam realitas kehidupan.
Dalam arti bahwa ideologi menyangkut keseluruhan prinsip atau norma
yang berlaku dalam masyarakat dan meliputi berbagai aspek; sosial
politik, ekonomi, budaya, pendidikan, hukum dan sebagainya, maka
ideologi sebagai acuan untuk menentukan perilaku kehidupan sosial,
ekonomi dan politik. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia adalah
demikian, maka dengan ini dapat dikatakan Ideologi Pancasila283
.
Pancasila hasil konsensus nasional untuk menjadi ideologi dan dasar
negara Republik Indonesia. Sementara agama ( agama dalam pengertian
agama samawi; agama yang bersumberkan wahyu Allah, tentu saja
dengan tidak menafikan keberadaan agama bumi yang bersumberkan
adat istiadat dan budaya ) berasal dari Tuhan ( Allah ) Yang Maha Esa
untuk menjadi pedoman hidup bagi umat manusia, termasuk manusia
yang hidup di negara Pancasila. Pancasila ( sebagai Ideologi dan Filsafat
283
Lihat, Soerjanto Poepowardojo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan
Sosio-Budaya ( Jakarta: PT. Gramedia, 1989 ), h. 17
363
Kenegaraan ) dan agama bisa selaras, jika keduanya tidak bertentangan
atau tidak dicari-cari pertentangannya, seperti ditegaskan Ibnu Rushd
dalam karyanya; Faslul Maqal Fiyma Bayna al-Hikmah wa al-Shariah
Minal Ittishal. Oleh karena itu, Singgih ( Mantan Jaksa Agung RI )
mengesahkan bahwa setiap individu warga Indonesia wajib berpedoman
Pancasila, tetapi dalam kehidupan keagamaan tentunya wajib
berpedoman Kitab Suci agama masing-masing284
.
Oleh karena itu Indonesia bukan negara sekuler. Di negara
sekuler agama terpisah dari urusan negara, negara dikondisikan tidak
ikut campur dalam urusan agama. Di Indonesia, negara mempunyai
peranan dalam pembangunan agama. Dengan demikian agama
mempunyai kedudukan tersendiri, tetapi tidak berarti bahwa Indonesia
negara teokrasi, karena Indonesia menganut sistem pemerintahan
demokrasi, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat dan
direpresentasikan melalui wakil-wakilnya di Parlemen ( DPR / MPR ).
Kehidupan sosial keagamaan di Indonesia sudah berkembang
sejak masuknya agama Hindu, Budha, kemudian diikuti agama Islam,
Kristen Katholik, Protestan. Kelima-lima agama tersebut berkembang
subur dan hidup berdampingan antara satu dengan yang lainnya dalam
kondisi rukun dan damai, kecuali jika ada pihak-pihak yang
mempolitisir agama untuk kepentingan sesaat, bisa terjadi konflik antara
sesama pemeluk agama yang berbeda, seperti yang pernah terjadi di
awal-awal era Reformasi di Poso, Sampit dan tempat-tempat lain.
Menurut Singgih di dalam makalahya “ Pembinaan Aliran-Aliran
Keagamaan Di Indonesia “ menegaskan bahwa kerukunan hidup antar
umat beragama di Indonesis dapat tercipta dengan baik, karena adanya
budaya toleransi dalam masyarakat, antaranya sifat gotong royong dan
mufakat yang kemudian dirumuskan dalam filsafat negara, yaitu
Pancasila pada sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa285
.
Kerukunan hidup antar umat beragama merupakan fenomena
yang berkelanjutan sejalan dengan pertumbuhan masyarakat itu
sendiri286
. Hidup rukun berarti adanya kondisi yang harmoni dan damai
284
Lihat Singgih, Pembinaan Aliran Keagamaan Di Indonesia ( Makalah
dipresentasikan pada 18 / 12 / 1996 dalam Seminar Internasional di Hotel Kota
Makasar, Sulawesi ) h. 7 285
Ibid. h. 4 286
Majlis Ulama Indonesia, Kerukunan Hidup antar Umat Beragama, ( Solo:
CV Ramadhani, 1987 ), h. 7
364
antara sesama anggota masyarakat yang berbeda etnik dan agama. Ini
artinya bahwa hidup rukun menghendaki adanya;
a. Saling hormat menghormati,
b. Menghargai sesama pemeluk agama yang berbeda,
c. Adanya saling pengertian antara sesama pemeluk agama yang
berbeda.
Dengan demikian, hidup rukun terkait dengan sikap dan perilaku
dari setiap individu pemeluk agama, dan ini tidak dapat terpisah dari
etika atau moral yang erat hubungannya dengan agama yang dianut,
karena agama membentuk sikap setiap penganutnya. Ini disebabkan
rakyat Indonesia adalah rakyat yang religius. Tidak dapat dinafikan
bahwa keberadaan agama-agama dalam kehidupan umat yang multi
etnik merupakan sesuatu yang sensitif.
Semua agama yang hidup dan berkembang di Indonesia secara
sosiologis mengajarkan ajaran-ajaran yang baik, membimbing umatnya
masing-masing agar berbudi luhur, berbakti ( beribadah kepada
Tuhannya ) berdasarkan pemahaman agama masing-masing, serta
mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa menyayangi sesama umat
manusia tanpa membedakan antara satu dari lainnya. Walaupun
demikian, kehidupan sosial keagamaan harus mendapatkan perhatian
dari waktu ke waktu, karena hubungan setiap individu pemeluk agama
dengan agama yang dipeluknya merupakan hubungan atas dasar
keyakinan dan emosional, lebih-lebih jika fenomena keagamaan
didasarkan pada fanatisme agama. Kondisi ini sangat sensitive bila
dihubungkan dengan persoalan interaksi antar umat beragama yang
berbeda, bisa dimungkinkan memunculkan konflik dan perpecahan
antara sesama pemeluk agama yang berbeda jika salah satu pihak dari
penganut agama lain menganggap pihak tertentu melakuklan
penghinaan atau pelecehan terhadap agama yang dipeluknya. Oleh
karena itu ajaran agama-agama, terutama agama Islam yang
dilaksanakan dengan benar ( dalam konteks negara Indonesia yang
berdasarkan Pancasila ) akan berperan sebagai daya perekat bagi bangsa
Indonesia yang plural, sama-sama membangun bangsa dan negara yang
lebih baik ke depan. Tetapi jika ajaran agama dilaksanakan tidak benar,
lebih-lebih jika didasarkan pada sikap saling mencurigai, akan
memunculkan gesekan-gesekan yang bisa mengancam keutuhan
bangsa287
.
287
Ibid. h. 5
365
Fenomena kehidupan sosial keagamaan masyarakat Indonesia,
baik dahulu ataupun sekarang akan menunjukkan adanya realitas
bahwa agama memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap
pembentukan karakter dan kehidupan umat manusia. Agama menjadi
motivasi atas lahirnya berbagai pergerakan menentang penjajah, tidak
sedikit tokoh-tokoh nasional seperti Dipenegoro, Imam Bonjol, Ki
Ageng Tirtayasa dan sebagainya, umur mereka dihabiskan demi
mempertahankan kedaulatan rakyat dan bangsa. Demikian juga dengan
berdirinya Organisasi-organisasi Islam, seperti Syarekat Islam ( SI ),
Syarekat Dagang Islam ( SDI ), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama ( NU
), Majlis Islam A`la Indonesia ( MIAI ), Majlis Syuro Muslimin
Indonesia ( Masyumi ), dan sebagainya. Para tokoh tersebut dan
organisasi-organisasi Islam ini memiliki pengaruh besar dalam peta
perpolitikan di Indonesia, semua aktifitasnya didorong oleh ajaran
agama, baik dalam rangka membebaskan diri dari keterpurukan,
kezaliman, eksploitasi, ketertindasan dan sebagainya.
Sepanjang kehidupan umat manusia, baik dahulu ataupun
sekarang, agama dipandang sebagai sesuatu yang sensitif. Hal ini
dikarenakan agama terkait dengan eksistensi manusia, bahkan agama
dipandang sebagai bagian terdalam dalam diri manusia. Oleh karenanya
di Indonesia agama merupakan bagian dari masalah-masalah SARA (
Suku, Agama dan Ras ) dan hubungan antar golongan288
. Dengan
demikian, masalah SARA merupakan masalah sensitif dan tidak bisa
dianggap ringan, maka umat beragama semuanya dituntut untuk mencari
solusi dalam setiap masalah yang muncul. Jika gagal menangani
masalah, tentu umat beragama akan dihadapkan pada ledakan-ledakan
sosial yang bisa mengganggu keharmonian kehidupan, dan bahkan akan
mengganggu kestabilan politik Nasional. Masalah ini bisa jadi
dieksploitasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk
kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok. Ledakan dan
goncangan yang diakibatkan masalah-masalah SARA seringkali terjadi
dalam situasi suhu politik memanas. Kondisi akan bertambah parah
jika gagal menangani masalah-masalah tersebut. Kondisi seperti ini
dapat dirasakan ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi sekitar tahun
1997–an dan berimplikasi terjadinya krisis kepimpinan, sosial dan
agama, mengakibatkan terjadinya demonstrasi besar-besaran di
288
Lihat Martin Sardy ( Pnyt. ), Agama Multi Dimensional ( Bandung:
Alumni, 1987 ), h. 23 - 24
366
mana-mana, tidak luput tejadinya konflik antar umat beragama di
beberapa tempat, seperti di Ambon Maluku, Lombok, Sampit di
Kalimantan dan sebagainya. Berdasarkan pandangan beberapa kalangan
bahwa masalah agama sebenarnya dieksploitasi untuk memperparah
keadaan oleh pihak-pihak yang merasa kecewa terhadap kebijakan
politik saat itu dengan motif-motif tertentu.
Beragama merupakan fitrah bagi setiap manusia hidup di atas
bumi ini, kecuali di beberapa belahan bumi yang memaksakan
penduduknya untuk tidak beragama atau melepaskan agama dari
kehidupan publik, maka menjadi keharusan untuk mewujudkan kondisi
yang rukun, tenteram dan damai, agar dapat membangun masa depannya
lebih baik, karena itu menjadi kewajiban bagi semua pihak, baik
pemerintah atau rakyat untuk mengumandangkan seruan-seruan hidup
rukun di kalangan umat beragama. Tanpa kerukunan hidup, stabilitas
politik akan terganggu, maka kerukunan hidup menjadi prasyarat bagi
keberhasilan pencapaian pembangunan, karena bagaimana mungkin
pembangnan dapat berjalan dengan efektif kalau negara selalu diganggu
oleh ledakan-ledakan konflik antar sesama umat beragama.
Berdasarkan paparan di atas, Pemerintah Indonesia sejak era
Orde Baru sebenarnya sudah melakukan berbagai langkah setrategis
dalam mewujudkan kondisi hidup rukun, harmoni dan tenteram.
Berbagai pendekatan dan upaya telah dilakukan; dialog, musyawarah,
seminar dan sebagainya289
. Hal ini harus dipastikan dari waktu ke
waktu agar efektifitas upaya-upaya tersebut benar-benar melahirkan
hasil maksimal. Dari sini muncul pemikiran tentang pembinaan
kerukunan hidup antar umat beragama, yaitu; upaya yang dilaksanakan
secara sadar, terencana, terarah, teratur dan bertanggung jawab untuk
meningkatkan kesatuan dan solidaritas antar umat beragama290
. Oleh
karena itu pembinanaan kerukunan hidup antar umat beragama harus
selalu dievaluasi dari waktu ke waktu.
Kerukunan secara umum dapat diartikan sebagai kondisi hidup
dan kehidupan yang damai, tertib, tentram, sejahtera, hormat
menghormati, harga menghargai, tenggang rasa, gotong royong sesuai
289
Martin Sardy ( penyt. ), Agama Multidimensional. h. 24 290
Lihat Majlis Ulama Indonesia, Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama. h. 7
367
dengan tuntutan ajaran agama dan kepribadian Pancasila291
. Hidup
beragama adalah pengamalan ajaran agama sebagai bukti ketaatan
kepada Allah ( Tuhan ) dalam kehidupan umat manusia yang
menjadikannya saleh dalam perilaku dan perangai. Oleh karena
itukesalehan manusia adalah sebagai implikasi dari pengamalan ajaran
agama baik sebagai unsur individu ataupun sebagai unsur sosial.
Pengamalan tersebut secara riil tercermin baik secara pribadi di dalam
golongan maupun antar golongan di tengah-tengah masyarakat292
.
Dengan demikian kerukunan hidup umat beragama dapat diartikan
sebagai kondisi hidup dan kehidupan yang harmonis.
Kerukunan hidup akan mudah diwujudkan apabila ada
persamaan dan kesamaan latar belakang sejarah, penderitaan, cita-cita
dan keserasian dalam banyak hal293
, maka agar kerukunan hidup umat
beragama dapat direalisasikan dengan baik dan efektif sesuai dengan
semangat kebersamaan, perlu diperhatikan beberapa langkah strategis
sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
6. Kerukunan Umat Beragama Berdampak Positif Terhadap
Stabilitas Politik
Terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama akan
berdampak positif pada penguatan kehidupan sosial politik. Oleh
karena itu, pembinaan kehidupan umat beragama harus berdasarkan
perencanaan dan langkah-langkah strstegis, agar pembinaan tersebut
mencapai sasaran yang dikehendaki. Dalam konteks negara Indonesia
yang berdasarkan Pancasila, pembinaan kehidupan umat beragama
diarahkan untuk mencapai sasaran tercapainya;
a. Kerukunan antara sesama pemeluk seagama,
b. Kerukunan antara pemeluk berlainan agama,
c. Kerukunan umat beragama dengan Pemerintah294
.
291
Departemen Agama RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat
Beragama Di Indonesia ( Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama
Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1997 ), h. 20 292
Ibid. 293
Ibid. 294
Lihat Singgih, Pembinaan Aliran Keagamaan di Indonesia. h. 7. Lihat
juga Departemen Agama, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat beragama Di
Indonesia ( Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan
Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1997 ), h. 10 dan 40
368
Berdasarkan fenomena yang ada pada masyarakat Indonesia
sesungguhnya telah tertanam nilai-nilai positif, seperti sikap hormat
menghormati dan saling bantu menbantu ntara sesama
pemeluk-pemeluk agama yang berbeda sehingga dapat dibina
kerukunan hidup yang baik dan maksimal. Faktanya Negara Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara
ideologis dan konstitusional telah berhasil mewujudkan persatuan dan
kesatuan bangsa, sebagaimana tercermin dalam slogan Bhinneka
Tunggal Ika, yang kemudian dikonsepsikan dalam paham NKRI,
walaupun sesekali terjadi gesekan antar umat beragma, tetapi secara
umum dapat dikatakan situasi relatif terkendali.
Pada saat Mukti Ali menjabat Menteri Agama, beliau telah
memprakarsai dialog antara umat beragama, melibatkan para tokoh umat
berbagai agama. Rencana tersebut mendapatkan respon positif dari
berbagai kalangan. Melalui dialog antar umat beragama menghasilkan
kesepakatan-kesepakatan yang disetujui, yaitu; kerukunan antara umat
beragama dapat dibina, kerjasama yang baik dapat diwujudkan melalui
sikap saling pengertian dan toleransi, kecurigaan sesama umat dapat
dihilangkan dan sebagainya295
.
Pada tahun 1960 –an peta pluralitas di Indonesia sangat kritis
akibat dari banyaknya pergolakan dan konflik296
. Pergolakan ini dapat
dirasakan ketika banyaknya terjadi aksi yang melemahkan rasa
persatuan, misalnya munculnya sikap saling menghina, penyebaran
slogan, mendatangi rumah-rumah orang yang sudah beragama Islam
untuk tujuan missionari, penyebaran fitnah, pengrusakan rumah ibadah
dan sebaginya. Melihat kondisi yang mengancam persatuan umat dan
kestbilan politik negara, Pemerintah waktu itu berinisiatif untuk
mengadakan pertemuan antara umat beragama. Hasil dari pertemuan itu
lahirnya langkah positif didirikannya Wadah Musyawarah Antara Umat
Beragama oleh H. Alamsyah Ratu Perwiranegara ( Menteri Agama )
pada 30 Juni 1980 di Jakarta. Tujuan pembentukan Wadah ini sebagai
tempat;
a. Mengkomunikasikan masalah-masalah agama,
b. Menciptakan komunikasi yang baik antara umat beragama
295
Lihat, Martin Sardy ( pnyt.), Agama Multidimensional. h. 46 -47 296
Ibid. h. 43
369
c. Melahirkan hubungan antara umat beragama dengan
Pemerintah, dan sebagainya297
.
Ketiga-tiga tujuan pembentukan wadah tersebut secara umum telah
terlaksana walaupun belum maksimal. Langkah selanjutnya dalam
rangka pembinaan kerukunan umat beragama, ialah sebagimana
ditegaskan Majlis Ulama Indonesia sebagai berikut;
a. Menanamkan arti pentingnya kehidupan bermasyarakat yang
mampu mendukung tercapainya kerukunan hidup antar umat
beragama,
b. Melahirkan lingkungan yang dapat mendorong sikap dan
perilaku yang mengarah pada tercapainya kerukunan hidup
umat beragama,
c. Menumbuh kembangkan sikap dan perilaku yang dapat
melahirkan kerukunan hidup beragma298
.
Langkah-lankah strategis sebagaimana dijelaskan di atas, sangat
penting dalam upaya menciptakan kerukunan hidup antar umat
beragama yang berbeda dan yang paling penting bukan sebatas retorika
dalam ucapan, tetapi lebih dari itu harus diikuti dengan
tindakan-tindakan riil. Selain langkah-langkah tersebut di atas,
barangkali ada baiknya diperhatikan nasehat-nasehat Soeharto ( Mantan
Presiden RI-2 ) yang secara objektif ilmiah masih relevan dengan
konteks kekinian, sebagai berikut299
;
a. Tidak menimbulkan kecurigaan dan kecemasan.
Dalam konteks ini Soeharto ketika memberikan sambutannya
pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. di Istana
Negara pada 8 Februari 1979, menyatakan; saya berharap
agar upaya mengembangkan dan meningkatkan kehidupan umat
beragama, masing-masing golongan agama dapat
mengendalikan diri dari tindakan-tindakan yang menimbulkan
kecurigaan dan kecemasan kepada yang lain. Tetapi sebaliknya
agar dapat menempatkan kepentingan golongan di bawah
kepentigan yang lebih besar demi kepentingan bangsa dan
negara, kepentingan rakyat, juga untuk kepentingan bangsa
seluruhnya.
297
Ibid. h. 39 298
Majlis Ulama Indonesia, Kerukunan Hidup antar Umat Beragama. h. 7 299
Lihat, Soeharto, Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila (
Jakarta: Yayasan Proklamasi, CSIS, 1976 ), h. 32-33
370
b. Menghindari perbuatan yang menyinggung perasaan Dalam konteks ini Soeharto menyatakan bahwa di dalam
mengembangkan agama, melaksanakan ibadah adalah untuk
berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa ( Allah ) dan untuk amal
perbuatan yang baik kepada sesama umat, bukan untuk
memperlihatkan kekuatan, bukan untuk memperlihatkan
kekayaan. Oleh itu, di dalam upaya mengembangkan agama
harus menghindari tindakan yang dapat menyinggung perasaan
orang yang kebetulan beragama lain, bukan karena tidak suka
kepada agama yang berkenaan, tetapi karena adanya perbedaan
yang mencolok dalam nilai-nilai sosial yang berlaku dalam
masyarakat tersebut.
c. Pengembangan agama tidak menggunakan cara-cara
paksaan Dalam konteks ini Soeharto ketika menyampaikan sambutannya
pada acara peringatan Nuzulul Qur`an tanggal 19 Desember
1967 di Jakarta, menegaskan bahwa; penyebaran dan
pengembangan agama tidak harus disertai dengan cara-cara
paksaan dalam bentuk apa pun, baik paksaan dengan intimidasi
fisik, paksaan karena mayoritas, paksaan dengan kekuatan
material, dan sebagainya. Dengan demikian, penyebaran dan
pengembangan agama tidak semata-mata untuk memperluas atau
menambah penganut agama, tetapi yang lebih penting adalah
untuk meningkatkan kualitas keyakinan pemeluk agama dan
membimbingnya dengan tepat agar setiap pemeluk agama
melaksanakan ajaran agama dengan tepat dan benar, beramal
dan bekerja demi kesejahteraan umat sesuai dengan perintah
agama, sehingga pola-pola penyebaran agama dan melaksanakan
ibadah agama tidak menyinggung perasaan pemeluk agama lain,
tidak mengganggu ketenteraman orang banyak dan tidak
melanggar hukum.
d. Tidak mempertajam perbedaan agama
Kehidupan beragama dalam masyarakat dan bangsa yang
berbeda eknik dan agama adalah masalah sensitif. Oleh karena
itu, ini harus menjadi perhatian bersama dan menyampaikan
peringatan jika terjadi goncangan akibat tindakan sebgian pihak
yang tidak bertanggung jawab, seperti menghina atau
371
menganggap kecil agama lain, mempertajam perbedaan agama
dan sebagainya.
Berdasarkan penjelasan di atas terkait langkah-langkah strategis
dalam rangka terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama, maka
dapat ditegaskan bahwa upaya dan langkah itu pada dasarnya untuk
terciptanya sebuah persatuan umat beragama, sehingga dengan
sendirinya tercipta kehidupan yang harmonis. Namun demikian,
kerukunan dan persatuan tidak akan wujud selama tidak ada saling
pengertian dan toleransi di antara sesama umat beragama. Oleh karena
itu, sikap saling pengertian dan toleransi harus diperkuat dikalangan
umat beragama yang berbeda.
Toleransi umat beragama dalam perngertian, bahwa toleransi
itu tidak berarti ajaran agama masig-masing menjadi campur aduk
seperti adonan tepung atau dalam pengertian lain sinkretis, toleransi
hidup antar umat beragama bukan suatu bentuk campur aduk, melainkan
wujudnya saling harga menghargai dan terciptanya kebebasan bagi
setiap warga untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinan
agamanya masing-masing. Sikap bermusuhan, sikap prasangka buruk
terhadap pemeluk agama lain harus dihindari. Bangsa Indonesia
sesungguhnya sudah tertanam tradisi yang baik tentang toleransi dan
kerukunan hidup. Tradisi inilah antara lain yang menguatkan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dan sebaliknya, dengan
Pancasila itu harus dikembangkan sikap toleransi. Terciptanya
kebersamaan dan kesatuan umat beragama menjadi pilar atau landasan
bagi terciptaya stabilitas politik nasional.
7. Kesimpulan
Dari pembahasan tentang sila pertama Pancasila, yaitu;
Ketuhanan Yang Maha Esa. Berikut ini disampaikan beberapa
kesimpulan, antaranya sebagai berikut;
1. Kepercayaan ( beriman ) kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah
sebagai wujud religiusitas bangsa Indonesia.
2. Tuhan Yang Maha Esa difahami oleh umat Islam adalah Allah
swt.
3. Ketakwaan kepada Tuhan ( Allah ) Yang Maha Esa sebagai
manifestasi dari iman yang tertanam di dalam jiwa setiap
individu bangsa Indonesia ( terutama yang beragama Islam ) dan
372
sebagai perwujudan dari kepribadian bangsa yang komitmen
pada ajaran agama.
4. Saling pengertian dan toleransi antara sesama umat beragama
sebagai implikasi dari ketakwaan adalah landasan penting untuk
terciptanya persatuan bangsa Indonesia.
5. Terciptanya kerukunan antar umat beragama adalah salah satu
faktor penting bagi terciptanya stabilitas politik nasional.
BAB III
MEMBANGUN MANUSIA
BERADAB DAN BERMARTABAT
373
1. Manusia Dan Cita-Cita Hidup
Pembahasan tentang hakikat manusia sudah banyak dibicarakan oleh
para Filosof, baik di Barat ataupun di Timur. Ibnu Khaldun ( 1332 – 1406
M. ) salah seorang filosof yang lahir di dunia Islam ( Timur ) di dalam
karyanya “ Mukaddimah “ menyampaikan pandangannya tentang
hakikat manusia, bahwa manusia adalah makhluk Allah yang berbeda
dari makhluk-makhluk lain dengan kesanggupannya berfikir, menjadi
sumber dari segala kesempurnaan dan puncak dari segala kemuliaan dan
ketinggian dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain 300 .
Kesanggupan manusia berfikir menjadikan manusia berbeda dari
makhluk-makhluk lain. Dengan akal dan pemikiran yang diwarnai iman
dan taqwa manusia bisa melampaui derajat Malaikat seperti para Nabi
dan Rasul Allah, tetapi juga manusia bisa derajatnya turun lebih rendah
dari haiwan jika manusia tidak menggunakan akal dan pemikirannya
sesuai dengan petunjuk wahyu Allah seperti Qarun ( hidup di zaman Nabi
Musa ) dll. Kesanggupan manusia berfikir, termasuk berfikir mendalam
merumuskan dasar negara Republik Indonesia ( Pancasila ).
Pemikiran tentang manusia dan kemanusiaan sebagaimana
dikonsepsikan di dalam ideologi negara; Pancasila adalah merupakan
realitas tinjauan hidup ( wold view ) sangatlah penting artinya,
karena keberhasilan implementasi ideologi Pancasila sebagai dasar
negara bergantung sepenuhnya kepada manusia-manusia Indonesia itu
sendiri301. Oleh karena itu, diskursus tentang kemanusiaan dalam
konteks ini lebih banyak akan difokuskan pada sikap dan karakteristik
serta keberadaan manusia Indonesia sebagai masyarakat yang
melibatkan diri dalam berbagai aktivitas kehidupan sosial politik,
ekonomi, pendidikan, keagamaan dan sebagainya. Pertama sekali yang
300
Lihat, Charles Issawi, Filsafat Islam Tentang Sejarah, terj. An Arab
Philosophy of History, Oleh A. Mukti Ali, ( Jakarta: Tintamas, 1976 ), h. 228 - 229 301
Lihat, Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia
(Jakarta: Djambatan, 1954 ), h. 110
374
perlu ditegaskan di sini adalah bahwa manusia Indonesia ( dan bahkan
manusia di mana pun berada di dunia ini ) adalah makhluk Allah302. Di
dalam al-Qur`an terdapat banyak ayat-ayat yang menunjukkan bahwa
manusia itu makhluk Allah303.
Pernyataan bahwa manusia makhluk Allah mengandung pengakuan
terhadap adanya Al-Khaliq ( Pencipta ) dan Al-Ma`bud (yang
disembah ). Pengakuan ini dalam tradisi kalangan umat Islam ialah iman
kepada-Nya. Iman atau beriman kepada Pencipta ini bukan hanya
sekedar diucapkan di dalam lisan, tetapi harus direalisasikan dalam
amalan real sesuai dengan tuntutan ajaran agama. Dengan demikian,
realisasi dalam bentuk pengamalan ini adalah tuntutan dari iman itu
sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moh. Hatta bahwa dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab itu sebagai pengrealisasian dengan
perbuatan secara nyata dalam praktek hidup dari dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa304.
Di dalam melaksanakan berbagai aktivitas hidup, manusia memerlukan
kondisi yang kondusif, antaranya kebebasan dan kemerdekaan, yang
dapat mendukung tercapainya tujuan. Dalam konteks ini Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan; bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, karena jika tidak ada
kemerdekaan bagaimana mungkin dapat melahirkan aktivitas-aktivitas
untuk tercapainya tujuan yang dicita-citakan, oleh karenanya
kemerdekaan di dalam UUD 1945 ditegaskan sebagai hak setiap
orang. Kemerdekaan dalam arti bebas dari setiap belenggu,
tekanan dan intimidasi oleh siapa pun dan dari mana pun. Bangsa yang
berada dalam kondisi tidak bebas, apalagi terjajah, tidak dapat
membangun masa depannya dengan baik. Oleh karena itu, Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya menegaskan; maka penjajahan
di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
302
Ibid. h. 111 303
Lihat, Al-Qur`an: 96, 1 - 2 304
Moh. Hatta, Pengertian Pancasila ( Pidato tentang lahirnya Pancasila 1
Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional ), ( Jakarta: PT. Inti Idayu Press, 1978 ), h.
30
375
perikemanusiaan dan perikeadilan. Kemerdekaan dan kebebasan
bangsa Indonesia seluruhnya di dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 menjadi landasan untuk membentuk pemerintahan yang
akan melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia,
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial305.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kemerdekaan ( kebebasan )
bukanlah tujuan akhir dari sebuah perjuangan, melainkan sarana atau
wasilah untuk terciptanya tujuan. Bangsa Indonesia sebelum merdeka
tidak dapat melahirkan beragai aktivitas sesuai dengan kehendaknya,
sehingga tidak dapat mewujudkan cita-citanya. Tetapi setelah mencapai
kemerdekaan dari penjajah, bangsa Indonesia baru dapat merealisasikan
cita-cita dan tujuan. Dengan tujuan ini, dapat dilahirkan berbagai
program dan upaya sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang
dimiliki berdasarkan acuan sendiri.306 Tujuan yang hendak digapai oleh
bangsa Indonesia semenjak memproklamirkan kemerdekaannya dari
penjajah ialah sebagaimana yang telah dirumuskan di dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu:
. . . . . melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
Tujuan hidup yang hendak diraih oleh bangsa Indonesia itu kemudian
akan memperoleh penguatannya jika manusia-manusianya kebetulan
beragama Islam ( Musilm ), maka tujuan hidupnya di samping
sebagimana yang telah termaktub di dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 itu sekaligus memperoleh ridho Allah aerta menjadi
305
Lihat, Teks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 306
Lihat, Paulus Wahana, Filsafat Pancasila ( Yogyakarta: Kanisius, 1993),
h. 51
376
manusia-manusia Muslim yang baik dan taat, yang membawa rahmat (
kedamaian dan kesejahteraan ) bagi segenap alam307.
Secara rinci, Nainggolan menyebut dua tujuan hidup; Pertama,
tujuan hidup Vertikal, dan Kedua, tujuan hidup Horizontal. Tujuan
hidup Vertikal ialah sasaran yang akan dicapai dalam hubungan antara
seorang Muslim dengan Tuhannya melalui berbagai bentuk amalan dan
ibadah yang dilakukan adalah untuk memperoleh keridhoan Allah.
Dalam artian, setiap perilaku seorang Muslim, baik dalam bentuk
ucapan atau perbuatan diridhoi Allah. Sementara tujuan hidup
Horizontal ialah sasaran yang akan dicapai dalam interaksi anatara
sesama Muslim, dan antara seorang Muslim dengan Non Muslim, antara
seorang Muslim dengan keluarganya, dan bahkan berinteraksi dengan
alam sekitar; flora, fauna, benda-benda alam dan makhluk-makhluk lain
adalah mewujudkan rahmat bagi segenap alam308.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa perilaku setiap
orang Muslim harus baik dalam ucapan dan perbuatan, dan bahkan
semua aktivitasnya mendatangkan rahmat, manfaat, faidah dan
keuntungan kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara,
agama, dan termasuk dapat memberikan kontribusinya untuk kemajuan
bangsa dan negara.
2. Bangsa Beradab dan Bermartabat
Kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana dikonsepsikan di
dalam sila ke dua dari Pancasila adalah sebagai prinsip yang ingin
memposisikan manusia ( bangsa ) Indonesia pada posisi yang tinggi
sesuai dengan darjatnya sebagai makhluk Tuhan ( Allah ), sehingga
menjadi bangsa yang bermartabat dan memiliki harga diri yang
dihormati bangsa lain. Manusia Indonesia sebagai manusia hidup dan
beraktivitas harus difahami dari beberapa aspek, antaranya;
307
Z. S. Nainggolan, Pandangan Cendikiawan Muslim Terhadap P-4
(Jakarta: Gema Isra Utama, 1990 ), h. 12 - 17 308
Ibid. h. 13
377
1. Aspek status. Artinya manusia Indonesia secara geopolitik harus dipersepsikan
secara integral. Dengan begitu dapat dihindari kekhawatiran
munculnya fragmentasi dan upaya-upaya sparatis, sehingga
keutuhan Indonesia sebagai sebuah negara dapat dipertahankan
dari waktu ke waktu.
2. Asper martabat.
Artinya manusia Indonesia harus diposisikan sebagai subjek yang
aktif, maka prinsip-prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan manusia
Indonesia harus dijungjung tinggi, sehingga menjadi
manusia-manusia yang terhormat dan dihargai, baik dalam
pergaulan di tingkat regional, nasional atau pergaulan dalam
sekala Internasional. Oleh karenanya prinsip-prinsip kemanusiaan
manusia Indonesia tidak dapat dikorbankan hanya untuk mencapai
tujuan yang tidak memberi manfaat banyak kepada manusia
Indonesia secara keseluruhan, dalam arti yang tidak memihak pada
kepentingan rakyat banyak.
3. Aspek kebersamaan dalam perbedaan.
Manusia Indonesia sebagimana bangsa-bangsa lain di dunia,
terutama di beberapa kawasan Asia Tenggara adalah
individu-individu yang terhimpun dari etnik, komunitas, bangsa
yang berbeda-beda tapi dalam satu kordinasi ke arah kesatuan
gerak dan langkah dalam membangun masa depannya yang lebih
baik, maka dalam konteks ini saling pengertian ( understanding )
antara sesama etnik, komunitas dan bangsa harus terus dibina dari
waktu ke waktu dalam rangka terciptanya solidaritas nasional
sepanjang tidak mengganggu prinsip-prinsip dasar keyakinan
masing-masing. Oleh karena itu sikap egoistik dan sikap tidak peduli
terhadap sesama etnik dan komunitas harus dihindari, karena sikap
egoistik cenderung memunculkan tindakan eksploitatif, maka
gagasan multi kulturalime dalam membangun Indonesia ke depan
yang pluralistik harus didukung.
4. Aspek dinamisasi.
378
Manusia Indonesia sebagaimana manusia-manusia lain di dunia
adalah manusia-manusia yang terus menerus berproses dari satu
tahap ke tahap berikutnya, maka manusia Indonesia-pun adalah
manusia-manusia yang memiliki inisiatif, innovatif dan berwawasan
ke depan sesuai dengan perjalanan hidup dari satu titik ke titik yang
lain309.
Jika aspek-aspek tersebut di atas difahami dan dihayati dengan baik,
maka kita harus bisa memposisikan manusia Indonesia sebagai manusia
yang memiliki harga diri dan martabat. Namun dari aspek lain bangsa
yang bermartabat dan memiliki harga diri di mata bangsa lain
berdasarkan ukuran dan fakta di era global seperti sekarang ini dapat
diwujudkan jika rakyat Indonesia sudah bisa menciptakan
kesejahteraan yang adil dan merata. Tetapi malangnya negara kita di
mata bangsa lain dalam beberapa dekade terakhir tidak memiliki
martabat dan harga diri. Sebagai bukti dari realitas ini ialah banyaknya
perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para Tenaga Kerja Indonesia (
TKI ) di beberapa negara di luar negeri, antaranya di Malaysia,
Singapore, Korea, Hongkong, Arab Saudi, Kuweit dan sebagainya 310.
Tidak sedikit dari para TKI yang dideportasi ke Tanah Air akibat
berbagai masalah, baik karena perilaku para majikan yang tidak
bermoral atau karena skill yang tidak dimiliki para TKI atau karena
komunikasi yang tidak nyambung. Tidak adanya martabat dan harga
diri bangsa kita di mata bangsa lain adalah sebagai akibat dari beberapa
faktor, antaranya sebagai berikut;
1. Penegakkan hukum ( supremasi hukum ) yang kontra produktif. Lebih parah lagi hukum terkesan dimanipulasi atau dipermainkan dengan kekuatan uang, maka dampaknya hukum sedikitpun tidak memberikan rasa jera kepada para pelaku kejahatan.
2. Korupsi yang semakin merajalela. Berbagai pendekatan dalam rangka pemberantasan korupsi telah dilakukan antaranya melalui
309
Band. Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan
Sosio-Budaya ( Jakarta: PT. Gramedia, 1989 ), h. 156 310
.Beberapa istilah yang bernada hinaan muncul, misalnya di Malaysia “
Indon “, di Arab Saudi “ Indonesia Bagor “ ( orang Indonesia sapi, tidak memiliki otak
atau mukh ).
379
KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ). Tetapi semua upaya sepertinya tidak membawa hasil menggembirakan. Korupsi tetap saja berjalan terus dari waktu ke waktu semakin menjadi-jadi, seolah-olah tidak ada henti-hentinya, bahkan menurut Abraham Samad Ketua KPK tahun 2011 - 2015 bahwa tindak kejahatan korupsi telah mengalami regenerasi. Oleh karenanya efektivitas pemberantasan korupsi harus dipertanyakan.
3. Kebijakan Pemerintah yang tidak tepat terkait dengan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ( TKI ) ke beberapa negara luar negeri, antaranya Malaysia, Hongkong, Arab Saudi, Kuweit dan beberapa negara lain. Pengiriman para TKI yang tidak melalui seleksi ketat, sehingga para TKI dikirim tidak memiliki skill dan standar profesional, karena pada umumnya mereka dari kalangan orang-orang yang tidak edukated ( tidak berpendidikan ) sehingga kemudian banyak menimbulkan masalah.
4. Masalah kesejahteraan sampai hari ini masih belum bisa direalisasikan secara merata, sepertinya kesejahteraan masih jauh ibarat panggang jauh dari api, rakyat pada tataran bawah masih harus bermimpi dan bermimpi. Hal ini menyebabkan prosentase angka kemiskinan masih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Akibat dari beberapa faktor tersebut menyebabkan bangsa
Indonesia tidak memiliki martabat dan harga diri di mata bangsa lain.
Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan mrtabat dan harga diri
bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia harus menyelesaikan
masalah-masalah di atas. Dalam pandangan yang berdasarkan ajaran
Islam, ada prinsip persamaan ( al-musawa, equality ). Islam
mengajarkan prinsip ini karena manusia seluruhnya dari aspek
kedudukannya sama sebagai makhluk Allah yang menjadi khalifah (
pengganti dan penerus ) di atas muka bumi ini untuk memelihara
keseimbangan hidup dan memakmurkan bumi dengan kebaikan, bukan
dengan kerusakan. Prinsip ini didasarkan pada ajaran bahwa manusia
seluruhnya di hadapan Allah tidak ada beda, meskipun dari aspek zahir
manusia terdapat perbedaan-perbedaan, seperti perbedaan dalam
kemampuan, keturunan, warna kulit, status sosial, prestasi, harta
kekayaan yang dimiliki, dan sebagainya. Tetapi perbedaan-perbedaan itu
tidak dijadikan ukuran untuk menentukan tinggi rendahnya darjat dan
380
martabat seseorang. Semua itu di sisi Allah tidak menjadikan manusia
berbeda dari manusia lain, karena perbedaan-perbedaan itu bersifat
insidental ( incidental ) atau kebetulan 311 . Ketakwaanlah yang
menjadikan manusia berbeda dari manusia yang lain, maka bagi Allah
manusia itu hanya beda dari segi takwanya. Orang yang paling
bertakwa adalah orang yang paling mulia di sisi Allah312. Dia-lah yang
memiliki darjat dan harga diri di sisi Allah.
Menurut Abdullati; Keistimewaan persamaan tersebut bukan suatu hak
konstitusional atau atas kesepakatan-kesepakatan bersama. Tetapi
persamaan ini sebagai bagian dari iman yang dihayati dengan serius oleh
umat Islam313. Menurutnya lagi, konsep persamaan dalam Islam sangat
mendasar. Hal ini didasarkan pada beberapa prinsip asas, antaranya;
1. Seluruh manusia adalah ciptan Allah. 2. Seluruh manusia terdiri dari komunitas, dan semuanya sama dalam
satu keturunan, yaitu dari Adam dan Hawa. 3. Allah sangat adil dan sangat sayang kepada seluruh makhluk-Nya 4. Seluruh manusia dilahirkan ke dunia dalam kondisi yang sama, tidak
membawa apa-apa, andaikan dia mati, dia tidak membawa apa-apa pun ke alam kubur selain amalan-amalannya, baik yang saleh atau yang buruk.
5. Allah memberi ganjaran kepada seseorang sesuai dengan amalannya.
6. Allah memberi anugerah yang tinggi kepada manusia dengan kehormatan dan kemuliaan.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditegaskan bahwa hanya dengan
ketakwaan kepada Allah sajalah satu-satunya dasar untuk menentukan
tinggi rendahnya darjat seseorang muslim di hadapan Allah. Apa yang
311
Lihat, Hammudah Abdulati, Islam Satu Kepastian, terj, Ta`rifun Bil Islam,
( Kuweit: International Islamic Federation of Student Organisation, 1986 ), h. 75 312
Dalam konteks ini al-Qur`an, 49:13 menegaskan yang artinya; Hai
manusia sesungguhnya kami menjadikan kamu dari lelaki dan perempuan, dan Kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan berkelompok-kelompok agar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah
orang yang paling bertakwa. 313
Hammudah Abdullati, Islam Satu Kepastian. h. 75
381
akan ditegaskan dalam konteks ini, ialah betapa mendasarnya konsep
persamaan di dalam ajaran Islam, oleh karenanya apabila konsep ini
dapat direalisasikan sepenuhnya dalam realitas kehidupan umat manusia
( manusia Indonesia ), maka tidak akan ada ruang munculnya ketidak
adilan ( kezaliman ) dan kekacauan, tidak akan ada perlakuan intimidasi
atau tekan menekan dari manusia kepada sesama manusia lain.
Konsep ini jika mewarnai kehidupan masyarakat akan lahir kondisi
kehidupan yang tentram, damai dan mulia, tidak akan ada sikap curiga
mencurigai, perlakuan eksploitasi terhadap orang lain, penipuan,
pendustaan, pencurian, perampokan, korupsi, kolusi, nepotisme dan
tindakan-tindakan lain yang merugikan masyarakat, bangsa dan negara.
Secara otomatik akan muncul di tengah masyarakat sikap-sikap positif
antaranya; kejujuran, amanah, saling mempercayai antara satu dengan
yang lainnya, maka dengan sendirinya semua rakyat akan menikmati
hasil pembangunan dalam keadaan damai, tentram, dan sejahtera lahir
batin. Dengan sikap-sikap positif ini akan tercapai tujuan yang ingin
digapai, yaitu wujudnya bangsa yang memiliki harga diri, bermartabat
dan beradab.
3. Keadilan Dan Realitas Permasalahan
Masalah yang paling memdasar dalam membangun kekuatan bangsa dan
negara adalah masalah keadilan 314 . Keadilan akan terus menjadi
agenda umat manusia sepanjang zaman di atas muka bumi ini. Karena
314
Di dalam Pancasila terdapat dua kata keadilan. Pertama; keadilan yang
terdapat pada sila kedua, yaitu; Kemanusiaan yang adil dan beradab. Kedua; terdapat
pada sila kelima, yaitu; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan yang
ada pada sila kedua terfokus pada sifat dan sikap yang adil dari manusia-manusia
Indonesia. Sementara keadilan yang ada pada sila kelima ialah terfokus pada
upaya-upaya realisasi keadilan dalam berbagai aspek kehidupan pada tataran praktis,
aspek penegakan hukum, ekonomi, pembagian pendapatan, pembagian ( distribusi )
kekuasaan dan sebagainya.
382
pentingnya masalah keadilan, sehingga Al-Qur`an menyebut kata adil (
keadilan ) berulang-ulang sebanyak dua puluh delapan kali315.
Adil atau keadilan secara umum dapat diartikan sebagai upaya
menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, atau upaya
untuk memastikan seseorang yang memiliki hak memperoleh haknya
tanpa ada halangan apa pun 316 . Dalam pengertian lain ialah;
memberikan hak kepada orang yang berhak. Selanjutnya jika kata adil
atau keadilan ini dikaitkan dengan rumusan sila kedua Pancasila, iaitu;
Kemanusiaan yang adil dan beradab, maka artinya ialah;
Manusia-manusia Indonesia yang memiliki sifat adil, iaitu; orang-orang
yang menghormati hak-hak orang lain dan tidak sewenang-wenang
menuruti kecendrungan dan keinginan sendiri atau golongannya dan
tidak pula berlebihan ketika memutuskan hukuman kepada orang yang
terkena hukum.
Agama-agama dulu menurut Musthafa al-Rafi`ie didasarkan pada
prinsip-prinsip keadilan. Tetapi sumber-sumber keadilannya berbeda
antara satu agama dengan agama lainnya sesuai dengan perbedaan
kondisi, pemikiran dan kecendrungan masing-masing bangsa dan
pemeluk agama-agama yang bersangkutan, misalnya sumber keadilan
bangsa Roma adalah undang-undang rakyat, bangsa Yunani keadilannya
bersumber pada undang-undang natural ( tabi`ie ), bangsa Inggris
sumber keadilannya hati Raja, sumber keadilan di dalam agama Islam
adalah pemikiran dan hikmaf pelaksanaan Syariat Islam (
perundang-ndangan ) yang diilhami oleh al-Qur`an dan Sunnah Nabi317.
Dalam realitas kehidupan yang sudah carut marut, kezaliman terjadi
berleluasa di mana-mana, keadilan sangat sulit diwujudkan, kecuali harus
melalui proses perjuangan serius yang melibatkan semua pihak,
terutama Pemerintah. Masyarakat dalam kondisi seperti ini pada
umumnya merasa takut untuk menyampaikan aspirasi kebenaran,
315
Lihat, Muhammad Aziz Nazamiy Salim, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam (
Iskandariyah: Muassisah Shabbab al-Jami`ah, 1996 ), h. 90 316
Lihat, Musthafa al-Rafi`ie, al-Islam Din al-Madaniyyah al-Qadimah (
Beirut: al-Shinkat al-Alawiyyah Li al-Kitab, 1990 ), h. 167 317
Ibid.
383
hanya sebilangan kecil orang-orang yang memiliki jiwa patriotik merasa
terpanggil untuk melakukan restorasi kondisi yang sudah rusak ke
keadaan yang normal. Dalam kondisi seperti ini keadilan akan
disuarakan, maka mau atau tidak, mereka akan berhadapan dengan
struktur kekuatan. Di sinilah akan terjadi pertarungan antara kebenaran
dan kebatilan, mana yang menang dan mana yang kalah, tergantung
pada dominasi kekuatan masing-masing, jika kebenaran itu yang
mendominasi, pasti akan meraih kemenangan. Tetapi jika sebaliknya,
maka kebatilan akan memperoleh kemenangan. Di sinilah dominasi
kekuatan menjadi penentu.
Berbicara soal keadilan, Ahmad Syafii Maarif menegaskan; Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang merdeka dan berdaulat sejak sekian lama
dan banyak kemajuan-kemajuan yang telah dicapai melalui
pembangunan demi pembangunan, sekalipun sasaran akhir berupa
wujudnya masyarakat adil dan makmur masih jauh dari jangkauan318.
Soeharto sendiri ( Presiden Indonesia ke II ) mengakui; bahwa
masyarakat adil dan makmur masih jauh dari kenyataan, meskipun
pembangunan Nasional yang sedang berlangsung sampai sekarang (
sekitar tahun 1980-an ) telah banyak menghasilkan buah yang nyata319.
Banyak kasus yang terjadi di era Orde Baru membuktikan adanya indikasi
bahwa keadilan dalam berbagai aspek kehidupan belum terealisasikan,
baik dalam ranah hukum, ekonomi dan termasuk bidang pendidikan.
Pada tahun 1980-an ada kecendrungan untuk mempersempit makna
keadilan hanya sebatas formal, yaitu; keadilan menurut hukum.
Kecendrungan ini menurut laporan Hak Asasi Manusia, semakin
diperkuat karena pola komunikasi tidak lagi terjadi timbal balik antara
318
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang
Percaturan Dalam Konstituante ( Jakarta: LP3S, 1985 ), h. 62. Lihat juga, A. Syafii
Maarif, Al-Qur`an Realitas dan Limbo Sejarah ( Bandung: Penerbit Pustaka, 1985 ), h. 319
Umar Hasyim, Negeri Allah, Adil Makmur Di Di Bawah ampunan Allah (
Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1981), h. 20 - 21
384
rakyat dengan Pemerintah, melainkan yang terjadi justeru satu arah320.
Lalu lintas satu arah ini lebih parah lagi karena terkesan sebagai
manifestasi dari kehendak struktur kekuasaan yang dominan, secara
sederhana, kita melihat pola komunikasi satu arah ini ternyata penuh
dengan paksaan. Menurut laporan Hak Asasi Manusia lagi saat itu,
melawan pola komunikasi yang demikian ini, berarti melawan rumusan
yang secara kelembagaan sudah disiapkan, dan ini berarti pula
melakukan perlawanan terhadap struktur kekuatan itu. Keadilan dalam
arti yang sebenarnya tidak mendapat tempat, karena semakin hari
rumusan keadilan semakin dipersempit sesuai dengan kehendak
undang-undang yang telah disiapkan 321 . Dengan demikian
undang-undang yang dibuat itu tidak lebih sekedar dijadikan alat atau
justifikasi untuk tujuan melindungi tindakan-tindakan struktur kekuatan
yang sedang berkuasa, bukannya undang-undang dan hukum digunakan
untuk menegakkan keadilan, melindungi orang-orang teraniaya dan
menghukum orang-orang yang bersalah di sisi undang-undang. Rakyat
Indonesia selalu menaruh harapan kepada siapa saja yang cerdas dan
akan memimpin Indonesia agar dapat melaksanakan keadilan yang
sebenar-benarnya sesuai dengan tuntutan fitrah dan tuntutan hak
asasi manusia.
Sudah menjadi fenomena di era Orde Baru, bahwa dominasi tafsiran
formal akan lebih dimengerti jika kita memperhatikan sejumlah
peraturan-peraturan Pemerintah waktu itu seperti; Penpres ( Petunjuk
Presiden ), Kepres ( Keputusan Presiden ), Inpres ( Instruksi Presiden ),
Permen ( Peraturan Menteri ), SK. Menteri, Perda, Instruksi Gubernur,
sampai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh tingkat Rt. dan Rw322.
Dominasi undang-undang atau peraturan dan tafsiran resmi seperti itu
adalah sebagai akibat dari penerapan kedaulatan hukum ( rule of low )
320
Lihat, T. Mulya Lubis, et al ( Pnyt ), Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia
Di Indonesia 1981 ( Jakarta: Djaya Pirusa, 1983 ), h. 45 321
Ibid. 322
Lihat, T. Mulya Lubis, et al ( Pnyt. ), Laporan Keadaan Hak Asasi
Manusia Indonesia. h. 46
385
yang dikondisikan untuk mendapatkan legitimasi yang dipaksakan atas
tindakan yang sedang dan akan diambil.
Peta perpolitikan Nasional era Orde Baru berdasarkan mobilisasi arus
atas ke bawah ( top down ) telah memunculkan Pemerintahan yang lepas
kendali dari kontrol rakyat, sehingga masalah sosial yang terjadi di
tengah masyarakat tidak dapat ditangani dengan baik. Pencurian,
perampokan, penodongan, perkelahian, pembunuhan, seolah-olah tidak
ada henti-hentinya dari waktu ke waktu, semua itu terjadi dengan
teranga-terangan. Perkelahian antar remaja, antar anak-anak sekolah
telah terjadi begitu marak. Pelacuran di rumah-rumah bordil dan di
warung remang-remang telah terjadi di mana-mana, baik yang legal ( di
sisi aturan Pemerintah ) ataupun yang illegal. Belum lagi penyalah
gunaan kekuasaan ( wewenang ) juga telah terjadi melalui berbagai
modus seperti korupsi, kolusi dan nepotisme ( KKN ) danitu terjadi
secara terangan-terangan, tanpa rahasia-rahasiaan323. Kondisi yang
carut-marut ini sebagai akibat dari adanya ketimpagan-ketimpangan
yang menyebabkan terjadinya rasa tidak puas terhadap pelaksanaan
hukum ( undang-undang ), yang sering kali dimanipulasi dan
dipermainkan. Keputusan hakim sering kali terjadi kontraprodutif, yang
benar bisa menjadi salah, dan yang salah bisa menjadi benar tergantung
pada kekuatan lobi-lobi, uang dan jasa-jasa lain. Siapa yang banyak
menyogok uang kepada para penegak hukum dan aparat terkait bisa
dipastikan dia akan menang, meskipun hakikatnya dia berada di pihak
yang salah. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyogok uang besar
bisa dipastikan dia akan kalah, meskipun hakikatnya dia berada di posisi
yang benar. Fenomena ini jelas bertentangan dengan Pancasila,
terutama sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena sikap adil
yang harusnya menjadi cermin para penegak hukum dan aparat terkait
tidak terealisasi dalam kehidupan nyata. Kelanjutan dari fenomena ini
memunculkan implikasi yang lebih parah, yaitu munculnya sindrom
ketidak percayaan rakyat kepada Pemerintah.
323
Ibid. h. 54
386
Keadilan merupakan salah satu nilai unversal adalah sesuatu yang asas
bagi bangsa yang berprikemanusiaan dan berperadaban, yaitu
manusia-manusia yang beradab, maka realisasi keadilan sebagai
manifestasi dari sikap manusia-manusia yang berprikemanusiaan
adalah dambaan semua manusia yang tidak dapat ditawar-tawar sampai
kapanpun. Pemerintah yang mengabaikan keadilan pasti akan
dihadapkan pada berbagai masalah yang berat-berat. Secara politis
dapat dikatakan bahwa pelaksanaan keadilan adalah untuk memastikan
agar setiap individu rakyat dapat dengan mudah menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya dalam kondisi yang aman, damai dan tenteram.
Dengan demikian, semua tugas dan tanggung jawab dapat direalisasikan
sepenuhnya dengan baik dalam situasi yang kondusif, maka dengan
memberi perhatian sepenuhnya pada pelaksanaan keadilan secara
merata, kesejahteraan untuk seluruh rakyat dapat diwujudkan dengan
mudah.
Tuntutan keadilan akan terus muncul pada setiap saat, kapan saja dan di
mana saja, terutama ketika situasi politik dalam keadaan carut marut (
tidak stabil ) sebagai akibat dari; 1). melemahnya peran para penegak
hukum, 2). Terjadinya kesenjangan yang sangat ketara antara yang
kaya dan yang miskin, 3). Peraturan dan kebijakan Pemerintah semakin
hari semakin keras, 4). Rasa takut selalu menghantui rakyat, 5).
Rakyat merasa dikontrol dalam berbagai aspek kehidupan, 6). Hukum
dan undang-undang hanya menjadi bahan mainan di antara para
penegak hukum, 7). Nepotisme terjadi di mana-mana secara leluasa
dalam sistem pemerintahan. Semuanya tu akan berdampak pada
munculnya berbagai masalah sosial ( social problems ), seperti pencurian,
perampokan, kemiskinan, pelacuran, pembunuhan, penipuan,
penggelapan uang, persekongkolan ( kolusi ) dalam berbagai tindak
kejahatan, korupsi dan sebagainya.
Pada akhirnya kondisi ini akan memunculkan semangat rakyat yang
memiliki kesadaran tinggi untuk mendobrak ketimpangan-ketmpangan
yang ada, meskipun harus berhadapan dengan resiko yang
mengancam diri mereka karena akan dianggap menentang struktur
kekuatan. Kebangkitan ini mengkristal didorong oleh rasa tanggung
387
jawab untuk menegakan keadilan, melakukan restorasi dan reformasi
untuk perbaikan hidup yang lebih baik bagi rakyat dan bangsa Indonesia.
Dalam kondisi seperti ini Pemerintah mau atau tidak, dihadapkan pada
dilema dan kekuatan rakyat. Bagi pemimpin yang berjiwa besar,
bijaksana, akan menghadapi situasi ini dengan penuh kesadaran akan
menyadari ketimpangan-ketimpangan ini, kemudian melakukan
perbaikan kemaali sesuai dengan tuntutan keadilan rakyat. Tetapi jika
pemimpinnya bersikap egois, otoriter atau tirani, semua tuntutan rakyat
itu akan dihadapi dengan kekuatan aparat militer. Peristiwa yang
menimpa bangsa Indonesia pada sekitar tahun 1998 yang berujung pada
terjadinya pelengseran Presiden Soeharto dari jabatannya karena
desakan dari berbagai elemen masyarakat adalah sebagai akibat dari
berbagai masalah yang terjadi pada bangsa ini dalam setiap lini
kehidupan. Berbagai permasalahan yang menimpa saat itu sebenarnya
bermuara pada tidak adanya keadilan dalam arti yang sebenarnya, baik
dalam aspek ekonomi, pendidikan, hukum dan sebaginya.
Di era Reformasi, Pemerintah nampak komitmen dalam pemberantasan
tindak kejahatan korupsi. Hal ini dibuktikan dengan upaya-upaya Komisi
Pemberantasan Korupsi ( KPK ) mengejar para Koruptor, meskipun KPK
harus berhadapan dengan tantangan-tantangan berat, yaitu
percobaan-percobaan kerdilisasi KPK oleh orang-orang yang tidak
suka dengannya melalui upaya mengkriminalkan beberapa
pimpinannya, seperti yang terjadi kepada Antasari Azhar, Bibit dan
Candra. Walaupun begitu Pemerintah tidak putus-asa, upaya
pemberantasan korupsi harus diteruskan sampai Negara ini
benar-benar bersih dari para Koruptor. Pemberantasan dimulai dari para
pejabat tinggi, para mantan pejabat ataupun sedang menjabat, baik di
Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan bahkan di Lembaga Penegakkan
hukum dan Kepolisian sendiri. Pengejaran terhadap para Koruptor
adalah merupakan upaya penegakan hukum untuk memastikan keadilan
itu ditegakan, karena para Koruptor adalah para penjahat berdasi dan
sebenarnya mereka adalah musuh negara dan musuh seluruh rakyat
Indonesia yang selalu berlindung di balik permainan hukum dan
undang-undang, oleh karenanya harus diadili karena memang merugikan
388
negara, menggerogoti asset Negara dan menyengsarakan masyarakat
banyak.
Berbagai tindak pidana di era Reformasi sebenarnysa merupakan
fenomena yang tidak ada habis-habisnya. B.J. Habibie ( Presiden RI ke III )
mengkritik Pemerintah era Reformasi, bahwa reformasi memang diakui
telah berhasil membuahkan demokratisasi, tetapi belum terkordinasi
secara baik. Dampaknya dalam praktik masih terjadi berbagai
penyimpangan 324 . Menurut Habibie lagi penyimpangan ini terjadi
selama sepuluh tahun era Reformasi, yaitu orientasi para elite politik
lebih mengutamakan kepentingan politik sesaat. Hal ini terjadi karena
kelembagaan politik belum melaksanakan fungsinya sebagaimana
mestinya, baik di tingkat Birokrasi, Partai Politik, maupun di tingkat
Lembaga Perwakilan Rakyat ( Parlemen ) 325 . Dengan demikian,
kepentingan dan keberpihakan kepada rakyat dan masyarakat banyak
belum sepenuhnya terakomodasi. Di sinilah letak permasalahan bahwa
keadilan belum terealisasikan secara merata dan pastinya belum
banyak dinikmati oleh masyarakat dan rakyat banyak.
4. Keadilan dan Komitmen Pada Tanggung Jawab
Sebagimana disebutkan di atas bahawa keadilan sebagai salah satu
nilai universal menjadi dambaan setiap manusia hidup, bukan saja
manusia Indonesia tetapi juga manusia sejagat326, karena itu keadilan
berimplikasi lahirnya ikatan dan penyatuan masyarakat dalam satu
kesatuan yang harmoni dan dinamis. Setiap individu dalam masyarakat
akan menunaikan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing sesuai
dengan kemampuan, keinginan dan latar belakang pendidikannya dalam
kondisi aman dan bebas dari setiap tekanan dan rasa takut. Hanya
324
Pidato Mantan Presiden RI ke III, B.J. Habibie, di depan anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD ) dalam rangka peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional
di Gedung DPD Jakarta pada tanggal 29 Mei 2008. 325
Ibid. 326
Band. M. Ruthnaswamy, The Making of The State ( London: T.Tpt, 1932 ),
h. 301 - 328
389
dalam kondisi aman dan kondusif pembangunan Indonesia dapat
dilaksanakan dengan baik.
Dengan demikian, keadilan harus ditegakan di tengah-tengah
masyarakat, dan ditegakan kepada siapa saja sepanjang sebagai
warga negara, siapa pun dia, terlepas dari posisi dan pangkat yang
disandangnya, terlepas dari asal usul keturunan siapa, warna kulit, orang
kecil, orang besar, orang bawah, orang kuat, orang lemah, lelaki,
perempuan, tua, muda dan sebagainya, sehingga keadilan mewarnai
segenap aspek kehidupan dan setiap individu rakyat, di dalam ucapan, di
dalam aktivitas harian, di dalam mengatur ( memanaj ) kehidupan orang
banyak, di dalam memberikan kesaksian kepada orang yang tertuduh
agar tidak memberikan saksi palsu atau mempermain-mainkan hukum,
di dalam menerapkan hukum dan undang-undang, di dalam pemerataan
ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Dalam konteks ini, Mustafa
al-Rafi`iy ( salah seorang penulis kontemporer tentang pemikiran Politik
Islam ) menegaskan bahwa; semua itu tidak mungkin bisa diwujudkan
dalam kehidupan nyata, melainkan jika setiap individu masyarakat
menyadari tanggung jawabnya masing-masing. Pihak pertama sekali
yang harus memiliki sikap adil ialah pemerintah, kemudian rakyat327.
Ini disebabkan di tangan pemerintah terletak kekuatan dan kekuasaan
yang bersifat memaksa. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang ada
padanya memungkinkan pemerintah mewujudkan keadilan di
tengah-tengah masyarakat dan rakyat sekalipun sedikit terkesan
otoriter, tetapi itu tidak mengapa, yang penting keadilan dapat
ditegkan.
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa keadilan sebagai sesuatu
yang asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dalam
rangka merealisasikan keadilan pada setiap individu dan masyarakat
harus ada langkah-langkah strategis. Langkah-langkah strategis tersebut
dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu;
327
Lihat, Mustafa al-Rafi`iy, Al-Islam Din al-Madaniyyah al-Qadimah (
Beirut: al-shinkat al-`Alawiyyah Li Al-Kitab, 1990 ), h. 170 - 171
390
4.1. Langkah-Langkah Umum
Langkah umum dimaksudkan adalah langhkah-langklah yang lebih
menekankan pada pembinaan interaksi secara eksternal antara sesama
masyarakat, antara rakyat dengan pemerintah. Dalam konteks ini
setidaknya ada tiga langkah, yaitu;
1. Merealisasikan persaudaraan, khususnya di antara sesama individu dalam masyarakat yang beragama Islam dan umumnya di antara sesama masyarakat yang berlainan agama, baik dalam tataran nasional atau dalam skala Internasional, sehingga sering terdengan pernyataan bahwa; bangsa Indonesia sebagai bagian dari seluruh umat manusia. Dengan demikian, akan muncul sikap saling mencintai antara sesama, selanjutnya akan berimplikasi lahirnya kondisi yang harmoni, kemesraan, kedamaian, saling mempercayai, saling pengertian, gotong royong, bantu membantu antara sesama. Kondisi seperti ini memungkinkan lahirnya sikap adil dengan mudah pada setiap individu dan masyarakat Indonesia.
2. Tidak mudah memberikan kesempatan terhadap munculnya berbagai aktivitas yang melemahkan persaudaraan. Dalam hal ini setidaknya ada enam sikap buruk yang harus dihindari, yaitu Pertama; sikap memandang rendah kepada orang lain. Karena jika sikap ini dibiarkan berkembang, dampaknya akan muncul kondisi tidak saling mempercayai antara sesama anggota masyarakat, saling mencurigai antara satu dengan yang lain, akibatnya muncul sikap saling membenci, maka implikasinya akan terjadi permusuhan antara sesama sendiri atau dengan orang lain. Kedua; menjauhi sikap membuka keburukan ( `aib ) orang lain. Ketiga; sikap suka berbangga dengan keturunan. Karena sikap-sikap seperti ini akan melahirkan sikap egoistik, takabbur, yaitu rasa besar diri. Sikap egoistik tidak mudah menghormati orang lain, tidak mudah menghormati hak-hak orang lain. Keempat; sikap suka menggunjing, yaitu sikap suka membicarakan ( ngulik ) keburukan orang lain. Kelima; sikap suka mengadu domba, dan Keenam; sikap suka berprasangka buruk ( su`u zan ) kepada orang lain. Akibat dari sikap-sikap buruk ini semua, orang akan selalu curiga dan selalu gelisah, tidak tenteram, dalam setiap pandangannya dia selalu bersifat subjektif, negative thinking, sikap objektif tidak dapat mewarnai pemikiran dan perasaannya. Oleh karena itu, harus ditanamkan sikap positive thinking, yaitu sikap dan pikiran positif
391
dalam diri sendiri, masyarakat dan bangsa agar tidak selalu berprasangka buruk kepada orang lain, kecuali kalau memang orang yang bersangkutan terbukti telah melakukan kejahatan. Dengan lahirnya sikap positif dalam diri individu, masyarakat, bangsa dan negara akan memudahkan lahirnya sikap yang adil pada setiap individu rakyat Indonesia.
3. Mengkodisikan situasi persatuan. Antaranya, Pertama; mendamaikan orang-orang yang sedang dilanda sengketa atau konflik. Kedua; membina kerukunan hidup sehingga tercipta hidup rukun. Ada pepatah kata yang berbunyi; jiran mufakat membawa berkat ( tetangga sepakat membawa berkah ). Realitasnya memang demikian, jika pola kejiranan ( sistem ketetanggaan ) dan masing-masing individu dalam masyarakat baik, maka akan lahir kondisi damai, tenteram dan familiar, secara otomatik persatuan dengan sendirinya akan lahir. Implikasinya akan lahir pula rasa saling bantu membantu, gotong royong dan rasa tanggung jawab antara sesama. Dengan membina sistem kejiranan ( kerukunan antara warga ) yang baik dalam berbagai tingkatannya, baik tingkat kampung, desa, daerah, wilayah, Nasional dan bahkan Internasional, maka akan mudah untuk merealisasikan sikap adil pada setiap individu masyarakat. Jika masyarakat berada dalam kondisi penuh konflik, maka tidak mudah untuk menamkan rasa keadilan kepada setiap individu masyarakat.
4.2. Langkah-Langkah Khusus
Langkah-langkah khusus dalam konteks ini dimaksudkan
langkah-langkah yang lebih memfokuskan pada pembinaan
individu-individu dengan hal-hal yang baik secara internal dalam
masyarakat. Langkah-langklah tersebut setidaknya ada lima tahapan
sebagaimana ditegaskan Muhammad Jalal dan Abdul Mukthi
Muhammad dan juga ditegaskan oleh Ibnu Abi Rabi`, yaitu;
1. Menanamkan sikap amanah dan jujur dalam setiap perilaku masyarakat.
2. Menanamkan sikap keperibadian yang berakhlak, menghormati orang lain dan bersih dari sikap negatif.
3. Menanamkan sikap menepati janji ( komitmen ). 4. Menanamkan sikap bertanggung jawab.
392
5. Menanamkan sikap tegas dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya secara proporsional328.
Berdasarkan langkah-langkah umum dan khusus sebagaimana dijelaskan
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa negara akan menjadi baik,
karena masyarakat dan rakyatnya baik. Jika semuanya baik ( meskipun ini
agak berlebihan dan utopis, tetapi harus disampaikan sebagai gagasan ),
maka keadilan dengan sendirinya akan mudah diwujudkan dalam tataran
praktis. Implikasi dari semua itu kesejahteraan dan kemakmuran yang
menjadi impian setiap warga dan masyarakat akan menjadi kenyataan (
tentu saja melalui seperangkat aturan yang diperlukan ). Dari sinilah
sesungguhnya dapat menjawab sebuah pertanyaan terkait keadilan yang
dalam praktenya sangat sulit direalisasikan, yaitu; kenapa keadilan susah
diwujudkan ? Jawabannya adalah karena tidak ada kebaikan dalam arti
yang sebenarnya. Kalaupun ada, tidak lebih sekedar kepura-puraan
dalam berbagai bentuknya; manipulasi dan eksploitasi dalam setiap
aspek kehidupan. Oleh karena itu, dalam rangka merealisasikan keadilan
yang merata dalam segenap aspek kehidupan, maka setiap individu
masyarakat dan rakyat Indonesia harus memiliki standar moral yang
tinggi; amanah, kejujuran, tidak berbohong atau tidak dusta dan
sebagainya.
Dengan demikian, tatanan politik yang adil memanifestasikan diri dalam
diri para pejabat publik yang jujur dan profesional dalam mengelola
kebijakan publik dengan cara yang adil329. Hal ini sesuai dengan yang
dikehendaki Pancasila, baik sila ke-II ataupun sila ke-V.
5. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas terkait dengan
pembahasan keadilan yang harus menjadi karakter bagi rakyak dan
328
Lihat, Muhammad Jalal Sharaf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasiy fiy al-Islam: Shakhshiyyat wa Madhahib ( T.tpt: Dar al-Makrifat
al-Jami`iyyah, 1996 ), h. 228 – 229. Lihat juga, Ibnu Abiy Rabi`, Suluk al-Malik fiy
Tadbir al-Mamalik ( Kairo: T. pbt., 1286 H. ), h. 112 - 116 329
Lihat, Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, terj. Political Science: An
Islamic Perspective ( Bandung: Pustaka, 2001 ), h. 107
393
bangsa Indonesia, kini disampaikan beberapa kesimpulan, antaraya
sebagai berikut;
1. Keadilan merupakan persoalan umat manusia sejagat, semenjak dulu sampai sekarang, dan bahkan sampai akhir zaman.
2. Dalam kondisi carut marut, di mana kezaliman terjadi secara leluasa pada setiap aspek kehidupan, keadilan sulit diwujudkan melainkan harus melalui perjuangan dan pengorbanan yang melibatkan semua pihak.
3. Keadilan merupakan tuntutan yang asasi bagi setiap manusia hidup di mana saja dan kapan saja.
4. Dalam rangka membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, keadilan merupakan prinsip yang mendasar bagi penguatan sistem demokrasi.
5. Negara akan menjadi baik, sekiranya masyarakat dan rakyatnya baik. Jika semuanya baik, maka keadilan dengan sendirinya akan mudah diwujudkan.
6. Tatanan politik yang adil termanifestasikan pada diri para pejabat publik yang amanah dan jujur.
7. Dalam rangka merealisasikan keadilan, setiap individu masyarakat agar memiliki standar moral ( akhlak ) yang tinggi, yaitu; komitmen pada kejujuran, amanah, tidak berbohong dan sebaginya.
8. Keadilan yang merata akan menciptakan kesejahteraan prima yang menjadi impian segenap lapisan masyarakat dan bangsa Indonesia..
394
BAB VI
KEADILAN SOSIAL
ANTARA TEORI DAN REALITAS
1. Keadilan Sosial Dalam Tataran Teori
Keadilan berasal dari bahasa Arab adil yang berawalan ke dan
akhiran an, kemudian menjadi hazanah bahasa Indonesia. Dalam kamus
bahasa Indonesia, kata adil diartikan; 1.Tidak berat sebelah / tidak memihak,
2. Berpihak pada kebenaran, dan 3. Sepatutnya / tidak sewenang-wenang.
Dalam buku berjudul “ Pedoman Pelaksanaan P-4 Bagi Umat Islam”
dijelaskan bahwa; Adil artinya sikap dan perilaku dalam keseimbangan, yaitu
keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan keserasian dengan semua
makhluk 330 . Dicontohkan bahwa; manusia mempunyai hak untuk
memanfaatkan alam ini, tetapi juga mempunyai kewajiban untuk
memelihara dan melestarikan kepentingan makhluk lainnya. Karena itu
manusia berhak memanfaatkan apa saja yang dimilikinya, tetapi juga harus
memperhatikan kepentingan-kepentingan orang lain. Senada dengan
pengertian di atas, D. Chairat menegaskan bahwa; Adil adalah sesuatu
yang diletakkan pada tempatnya 331 . Berdasarkan pengertian ini, jika
keadilan menjadi kata sifat dari masyarakat, sehingga dikatakan
masyarakat yang adil, maka di dalam masyarakat itu terdapat berbagai
bentuk keadilan, baik terkait dengan masalah politik, ekonomi, hukum,
pendidikan dan sebagainya. Searti dengan pengertian di atas, Notonagoro
330
Departemen Agama RI, Pedoman Pelaksanaan P-4 Bagi Umat Islam ( Jakarta: Proyek Bimbingan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Bagi Umat Beragama, 1985 – 1986 ), h. 43
331 D. Chairat, Falsafah Pancasila ( Jakarta: Wijaya, 1955 ), h. 21
395
menegaskan bahwa; hakekat pengertian adil berdasarkan pengertian ilmiah,
ialah terpenuhinya segala sesuatu yang telah menjadi hak di dalam
kehidupan masyarakat 332 . Oleh karena itu keadilan yang wujud di
masyarakat, bangsa dan negara dalam konteks ini disebut keadilan sosial
atau keadilan masyarakat, dan secara umum dapat dikatakan keadilan dalam
hidup masyarakat.
Pemahaman di atas tentang keadilan sosial senada dengan yang
ditegaskan Soekarno. Menurutnya; sosialisme Indonesia bukan sosialisme ala
Moskow ( Komunis ), bukan sosialisme ala Yugoslavia, bukan ala negara
apapun, bukan pula religius sosialis menurut ajaran satu agama tertentu,
tetapi sistem sosial kita ( Indonesia ) berdasarkan ajaran Pancasila, yaitu
sosialisme Indonesia yang membawa kepribadian sendiri, baik dalam
sosialisme politik, sosialisme ekonomi, sosialisme keagamaan, dan
sebagainya333. Oleh karena itu sosialisme Indonesia difokuskan bahasannya
pada keadilan sosial. Keadilan sosial sebagai cermin dari kondisi
masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, berbagi untuk semua orang, di
mana di dalam masyarakat tidak ada penghinaan atau pelecehan terhadap
sesama, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan, tidak ada eksploitasi
antara satu dengan yang lainnya. Lebih lanjut Soekarno menegaskan bahwa
sosialisme adalah kecukupan atau terpenuhinya berbagai macam kebutuhan
dengan pertolongan modernisme yang telah dikolektifikasikan. Oleh
karenanya sosialisme adalah kesenangan dan kenyamanan hidup yang
pantas atau wajar. Kecukupan berbagai kebutuhan itu hanyalah mungkin
dapat diwujudkan dengan dipergunakannya secara sosial alat-alat teknik334.
Dengan demikian, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
sebagaimana tertuang di dalam Pancasila adalah wujudnya kondisi adil yang
332
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer ( Jakarta: Bina Aksara, 1983 ), h. 162 dan 167
333 Soekarno dalam pidato peletakan batu pertama Universitas Khatolik
Senat Dharma di Yogyakarta tahun 1961 334
Soekarno, Sarinah, Panitia penerbit buku-buku karangan Presiden Soekarno, 1963, Cet. Ke-3, h. 261 - 262
396
dirasakan bersama oleh seluruh rakyat Indonesia secara merata dalam
berbagai aspek kehidupan, baik dalam aspek politik, ekonomi, hukum,
pendidikan, dan dalam lapangan pekerjaan dan sebagainya.
2. Keadilan Sosial Dalam Realitas Kehidupan
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa keadilan sosial meliputi
seluruh aspek kehidupan, maka hal ini merupakan tugas negara yang
memiliki otoritas untuk merealisasikan keadilan sosial dan mengontrolnya
dari hal-hal yang mengganggu terciptanya keadilan sosial itu sendiri,
sekalipun harus menggunakan tindakan-tidakan ketat berdasarkan
undang-undang. Notonagoro dalam konteks ini memberi ilustrasi bahwa
keadilan sosial meliputi pemeliharaan kepentingan umum, kepentingan para
warga negara secara khusus, dan kepentingan khusus dari warga negara
secara perorangan, keluarga, suku, bangsa dan setiap golongan warga
negara335.
Dengan demikian, keadilan sosial meliputi seluruh aspek kehidupan
dalam masyarakat dan negara. Oleh karena itu, adalah kesalahan fatal jika
keadilan dimaknai dalam batas-batas sempit formal, yaitu keadilan menurut
hokum saja, sebagaimana hal ini umum terjadi di era Orde Baru.
Kecendrungan ini menjadi kenyataan karena di era Orde Baru pola
komunikasi tidak terjadi interaktif antara Pemerintah dengan rakyat, dan
rakyat dengan Pemerintah, tetapi yang terjadi adalah satu arah ( one way ),
yaitu Pemerintah ke rakyat. Parahnya pula satu arah ini lebih merupakan
manifestasi dari kehendak struktur kekuatan formal ( Pemerintah waktu itu
) melalui alat-alat negara ( ABRI ) sebagai pelengkapnya336.
Menurut T. Mulya Lubis lagi; pola komunikasi satu arah ini pada
prakteknya penuh dengan paksaan, dan melawan komunikasi yang demikian
berarti menentang rumusan yang secara kelembagaan sudah disiapkan,
335
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, h. 160 - 161 336
Lihat, T. Mulya Lubis ( Pny. ), Laporan Keadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1981 ( Jakarta: Djaya Pirusa, 1983 ), h. 45
397
dan ini berarti pula melakukan perlawanan terhadap struktur yang ada,
sementara keadilan dalam arti yang sebenarnya tidak lagi mendapatkan
tempat yang layak, karena semakin hari rumusan keadilan semakin
dipersempit sesuai dengan kehendak si pembuat undang-undang337. Pola
komunikasi satu arah ini sebagaimana terjadi di era Orde Baru, harus
dipastikan tidak berulang di era Reformasi dan di era mendatang, maka yang
perlu dipastikan di era ini adalah pola komuikasi timbal balik antara
Pemerintah dengan rakyat, dan sebaliknya, yaitu rakyat dengan Pemerintah.
Karena pola komunikasi timbal balik antara kedua belah pihak ( Pemerintah
dan rakyat ) merupakan faktor yang mempermudah terealisasinya sistem
demokrasi. Dengan Pemerintah yang betul-betul demokratis diharapkan
keadilan dapat direalisasikan secara maksimal dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, sehingga kedamaian, kesejahteraan dan kejujuran dapat
dirasakan bersama.
Berdasarkan penjelasan di atas, sasaran keadilan sosial setidaknya
dapat dirumuskan sebagai berikut;
a. Keadilan sosial diwujudkan untuk terciptanya kesejahteraan umum dalam masyarakat,
b. Keadilan sosial menjadi satu segi dengan perikeadilan bersama-sama dengan perikemanusiaan,
c. Keadilan politik berhubungan dengan keadilan sosial memberi hak yang sama kepada setiap warga negara dalam hukum dan susunan masyarakat,
d. Keadilan ekonomi berhubungan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menghendaki persamaan kesejahteraan harta benda dengan menghilangkan perbedaan338. Oleh karena itu, menurut Yamin; keadilan sosial memberi
perimbangan kepada kedudukan seseorang dalam masyarakat dan negara339.
337
Ibid. 338
Lihat, Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, h. 470
339 Ibid. h. 471
398
Berikut ini dijelaskan secara rinci aspek-aspek terkait dengan keadilan
sebagai berikut;
3. Keadilan Sosial Meredakan Ketegangan
Keadilan dalam politik, artinya secara demokratis politik memberi
hak yang sama kepada warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam
struktur negara dan pemerintahan serta menduduki jabatan-jabatan tertentu
sebagai alat-alat negara340. Hal senada ditegaskan Muh. Yamin; demokrasi
politik berhubungan dengan keadilan sosial memberi hak yang sama kepada
seluruh warga dalam hukum dan susunan masyarakat negara341. Pernyataan
Muh. Yamin ini mengacu pada Pasal 27 Undang-undang Dasar 1945, yang
berbunyi; segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya. Memberi hak yang sama dalam arti bahwa
memberi hak kepada seluruh rakyat dan bangsa Indonesia tanpa berdasar
pertimbangan kedekatan keluarga, keturunan ( etnic ), daerah dan
sebagainya untuk terlibat secara langsung dalam proses menyusun dan
memenaj ( mengelola ) negara secara bersama-sama. Atas dasar ini, maka
akan terealisasi persamaan ( egaliter ), hak dan kewajiban dalam berbangsa
dan bernegara.
Dengan demikian, sepatutnya tidak ada lagi diskriminasi karena
perbedaan-perbedaan agama, etnik, budaya, daerah, dan sebagainya,
termasuk perbedaan-perbedaan aliran politik yang menjelma ke dalam
berbagai partai politik. Maka, bangsa Indonesia yang merdeka dan
demokratis harusnya tidak lagi terkotak-kotak karena perbedaan-perbedaan
yang bersifat primordial dan perbal dalam mewujudkan keadilan politik. Oleh
karenanya yang menjadi ukuran atau tolok ukur dalam rekrutmen warga
negara untuk menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan atau
340
D. Chairat, Falsafah Pancasila, h. 21 341
Muh. Yamin, Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, h. 471
399
partai-partai politik dan sebagainya adalah kelayakan dan kapabilitas di
samping tingkat pendidikan yang memadai. Jika dalam rekrutmen warga
negara untuk mendudukuki jabatan-jabatan tersebut masih berlaku atas
dasar pertimbangan daerah, etnik, aliran politik tertentu, keluarga, teman,
dan sebagainya, sementara kelayakan dan kapabilitas tidak ada, maka berarti
keadilan sosial dalam politik atau demokratisasi politik belum berjalan
sebagaimana yang diharapkan, dan ini berarti pula bahwa pelaksanaan sila
keadilan sosial sebagaimana termaktub di dalam Pancasila belum terealisasi
dalam kehidupan berbangsa dan Negara, karena memang dalam rekrutmen
tersebut belum dapat menempatkan seseorang pada tempatnya. Dalam
hal terjadi perubahan mendasar terkait dengan restrukturisasi sistem
pemerintahan daerah atau wilayah karena adanya kebijakan otonomi
daerah, rekrutmen warga negara berdasarkan kelayakan, kapabilitas, serta
tingkat pendidikan yang diperlukan tetap harus menjadi kriteria atau tolok
ukur, meskipun di sana tidak dapat dihindari adanya prioritas warga
setempat atau daerah dibanding warga dari luar daerah.
Walau bagaimana pun masalah-masalah perbedaan etnik, budaya,
aliran politik, agama, dan sebagainya sampai hari ini dalam sepanjang sejarah
pemerintahan Indonesia modern masih tetap terkendali342, meskipun tetap
saja terjadi pasang surut dari waktu ke waktu. Selain dari itu harus disadari
bahwa perbedaan-perbedaan tersebut tidak mungkin dapat dihilangkan
sampai kapanpun. Perbedaan-perbedaan itu akan tetap wujud sepanjang
umur dunia, karena perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya menyangkut
kepentingan-kepentingan khusus yang jika tidak diakomodir oleh
pemerintah, akan memunculkan masalah serius. Tetapi dengan
terealisasinya keadilan sosial dalam berbagai aspek kehidupan, setidaknya
342
Kecuali wilayah Timor Timur yang terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) pada bulan Agustus 1999 setelah dilakukan referendum dibawah pengawasan PBB, ternyata rakyat Timor Timur memilih merdeka. Sejak dari awal integrasi wilayah Timor Timur ke Indonesia pada tahun 1975 tidak diakui oleh PBB ( Perserikatan Bangsa-Bangsa ). Oleh karena itu wajar kalau Pemerintah Indonesia di era Presiden BJ. Habibie melepaskan wilayah Timor Timur ( kini menjadi Timor Leste ) atas persetujuan MPR. Hal ini dilakukan untuk mengurangi tekanan-tekanan Barat atas Indonesia, terutama karena masalah Hak Asasi Manusia ( HAM ).
400
dapat meminimalisir krisis dan meredakan ketegangan-ketegangan yang
terjadi di masyarakat, bangsa, dan negara.
4. Keadilan Sosial Dalam Hukum
Pada dasarnya keadilan terletak pada kemampuan seseorang untuk
bersikap menghormati dan mengakui serta memperlakukan orang lain
sebagai sesama manusia yang mempunyai hak dan tanggung jawab yang
sama di depan hukum. Dengan demikian, keadilan merupakan nilai etika
yang memberi makna pada kehidupan manusia dalam pergaulan dan
interaksi, tanpa keadilan kehidupan tidak bermakna.
Sistem hukum yang dipagari oleh ideologi Pancasila merupakan
bagian integral dari keseluruhan sistem kehidupan bernegara sebagai satu
kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, terkait dengan sistem lainnya secara
timbal balik melalui berbagai pengaruh dan interaksinya 343 . Dengan
demikian, sistem hukum negara Indonesia tidak tergantung secara
deterministic ( menentukan ) sebagaimana yang ditegaskan oleh faham
materialisme historis yang berdasarkan pada kekuatan produksi
semata-mata, juga tidak dengan sendirinya wujud melalui keberhasilan dan
kemajuan ekonomi. Oleh karenanya, pembentukan sistem hukum yang
dapat melahirkan keadilan harus dibuat secara objektif dan berdasarkan
pertimbangan - pertimbangan kebaikan bersama ( maslahat `ammah ),
maka pembuatan hukum tidak sepihak berdasarkan
kepentingan-kepentingan golongan, atau partai politik yang dominan. Jika
hal ini yang terjadi, maka hukum akan menjadi bahan mainan. Parahnya lagi
hukum dapat dibeli dengan uang, akibatnya orang yang beruang akan
menang meskipun sebenarnya dia kalah, dan orang yang tidak punya uang
akan kalah meskipun sebenarnya menang.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa rakyat Indonesia menganut
faham Ketuhanan dalam ber-Tuhan. Hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam
343
Lihat, Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya ( Jakarta: PT. Gramedia, 1989 ), h. 161
401
Pancasila, dan termaktub juga di dalam Undang-undang Dasar 1945. Oleh
karena itu, masalah-masalah hukum dalam rangka ketata-negaraan
Indonesia mengacu pada koridor Pancasila sebagai ideologi negara. Hal ini
sebagaimana disampaikan seorang pakar hukum; Hazairin yang dikutip
Anwar Harjono, menegaskan bahwa ada dua pandangan mengenai hukum
yang menjadi perdebatan klasik ketika orang merumuskan pendapat
mengenai apa itu hukum. Dua pandangan itu ialah, Pertama; Melihat
hukum sebagai masalah manusia antar manusia. Unsur-unsur lain seperti
hubungan dengan alam sekitar atau bahkan dengan Tuhan ( Allah ) yang
menciptakan manusia tidak menjadi perhatian. Secara sosiologis pandangan
seperti ini disebut pandangan berdasarkan faham kemasyarakatan. Kedua;
Melihat hukum tidak saja sebagai sestuatu yang berdiri sendiri, melainkan
ada kaitannya yang sangat erat dengan Tuhan. Bahkan Tuhan ( Allah ) dilihat
sebagai sumber hukum yang utama. Secara teologis pandangan kedua ini
berdasarkan faham ke-Tuhanan344.
Menelaah dua pendekatan terhadap sumber hukum yang berbeda
sebagaimana disebutkan di atas, maka pembinaan sistem hukum di
Indonesia adalah berdasarkan faham Ketuhanan. Yaitu; hukum tidak hanya
sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan ada kaitannya dengan
Tuhan ( Allah ). Setidaknya rumusan hukum yang dibuat dalam bingkai
Ketuhanan.
5. Pemberlakuan Hukum Berdasarkan Kebaikan Bersama
Upaya-upaya untuk merealisasikan keadilan sosial dalam hukum
harus menjadi dasar bagi tatanan kehidupan demi terciptanya ketenteraman
dan kedamaian hidup. Berikut ini disampaikan beberapa langkah, antaranya
sebagai berikut;
1. Hukum dikembangkan berdasarkan acuan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, tetapi tanpa mengabaikan kemasukan
344
Anwar Harjono, Indonesia Kita, Pemikiran Berwawasan Iman – Islam, ( Jakarta: Gema Insani, 1995 ), h. 126 - 127
402
nilai-nilai lain, baik dari agama ataupun budaya asalkan dapat memperkuat kedudukan hukum itu sendiri. Ini berarti bahwa yang akan dibina itu bersifat dinamik sesuai dengan keperluan pada setiap saat.
2. Hukum dapat melahirkan afektifitasnya, jika dapat mewujudkan keadilan yang sebenarnya. Ini berarati bahwa hukum bukanlah alat justifikasi untuk memperkokoh kekuasaan atau posisi semata, bukan pula sebagai alat legitimasi dalam melakukan eksploitasi yang justeru melahirkan keadaan tidak adil. Dengan demikian, hukum diwujudkan secara objektif untuk tujuan memelihara kepentingan rakyat banyak.
3. Hukum mempunyai fungsi untuk memelihara dinamika kehidupan bangsa. Dengan demikian, hukum berfungsi untuk memelihara ketertiban masyarakat, dan bukan untuk mempertahankan status quo, melainkan untuk membuka kemungkinan terjadinya kemajuan yang tercermin dalam proses perubahan. Sehingga hukum tidak dijadikan mainan oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan pribadi atau golongan dengan meminggirkan aspek keadilan dan kepentingan orang banyak.
4. Hukum ditegakkan untuk memelihara kehormatan dan kemuliaan masyarakat, bangsa dan negara, sehingga masyarakat memiliki harga diri, dan percaya diri.
5. Hukum ditegakkan untuk melindungi orang-orang yang tidak berdosa atau tidak bersalah, sehingga orang yang bersangkutan merasa terlindungi hak-hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat dan warga negara.
6. Hukum berfungsi untuk melindungi orang-orang kecil dan orang-orang teraniaya, sehingga meraka merasa aman dan damai dalam pergaulan hidup antar sesama warga, tidak merasa takut untuk menyuarakan kebenaran di depan publik. Selain dari itu, perlu diperhatikan bahwa dalam kehidupan di
masyarakat terdapat hubungan segi tiga keadilan. Hal ini sebagaimana
ditegaskan oleh Notonagoro, yaitu;
1. Keadilan membagi-bagikan segala sesuatu kepada sesama warga yang telah menjadi haknya.
2. Menerima dengan sepenuh hati atas segala keadilan. Ini disebabkan tanpa ada komitmen dengan keadilan, tidak ada rakyat, bangsa dan negara yang dapat hidup tenteram dan damai, maka komitmen
403
terhadap penghormatan keadilan adalah mutlak menjadi hak hidup rakyat, bangsa dan negara.
3. Keadilan secara timbal balik atau komunikatif di dalam hidup bersama, yaitu memberikan segala sesuatu yang telah menjadi hak masing-masing kepada sesama rakyat, bangsa dan negara atas dasar kesamaan nilai antara hal-hal yang wajib diberikan345. Apabila fenomena ini benar-benar terlaksana di dalam kehidupan
bermasyarakat, maka dapat diharapkan keadilan sosial dalam hukum akan
menjadi kenyataan. Hanya saja dalam upaya-upaya merealisasikan keadilan
sosial dalam hukum selain dari hal-hal positif sebagaimana disebutkan di atas
terdapat pula hal-hal negatif yang harus dihindari, yaitu;
1. Hukum agar tidak digunakan untuk mempertahankan status quo. Karena kalau hal ini terjadi, menurut Anwar Harjono, jelas yang diutamakan adalah kepastian dan keterlibatan ( pelaksanaan hukum ), dan bukan sesuatu pengembangan atau kemungkinan mengikuti perkembangan masyarakat.
2. Hukum agar tidak semata-mata hasil rekayasa kekuatan-kekuatan sosial politik, atau hukum dipakai untuk merekayasa masyarakat ( low as a tool of social engineering )346.
Hukum yang dibuat hasil rekayasa kekuatan-kekuatan sosial politik,
menurut Anwar Harjono pada umumnya terjadi dalam negara yang
mempraktekkan pola politik liberal, di mana kekuatan-kekuatan sosial politik
yang berkoalisi atau yang menang merekayasa hukum347. Dalam kondisi
seperti ini, kepentingan golonganlah yang lebih dominan dibandingkan
kepentingan publik. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa hukum
diberlakukan tanpa mempertimbangkan kepentingan-kepentingan golongan,
status sosial, asal usul, agama, suku bangsa dan sebagainya, dan jika ini yang
terjadi jelas tidak demokratis, justru kondisi ini mengarah pada keadaan
diktator, karena hukum atau undang-undang dibuat berdasarkan
kepentingan sepihak untuk tujuan-tujuan melindungi golongan (
kekuatan-kekuatan sosial politik ) dominan dalam percaturan politik.
345
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer ( Jakarta: Bina Aksara, 1983 ), h. 163
346 Lihat, Anwar Harjono, Indonesia Kita, Pemikiran Berwawasan Iman –
Islam, h. 131 347
Ibid.
404
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditegaskan bahwa keadilan
sosial yang mempertimbangkan hal-hal di atas adalah bukan saja karena
kesadaran terhadap hukum dari warga masyarakat, tetapi karena
pengaturan hukum yang diarahkan pada struktur masyarakat. Hal inilah yang
memberikan peluang kepada rakyat untuk mendapatkan keadilan yang
sebenarnya. Oleh karena itu, realisasi keadilan dengan sendirinya
mengharuskan terlaksananya hak dan kewajiban348 dalam masyarakat. Ini
sesuai dengan pandangan A. Gunawan Setiardja bahwa wujud atau tidaknya
kesejahteraan seluruh rakyat bergantung pada ditaati ( dipatuhi ) atau
tidaknya kewajiban oleh rakyat itu sendiri349. Oleh karena itu, jika rakyat
komitmen untuk mentaati ( loyal ) dan menghormati hak dan kewajiban
secara ikhlas dan jujur, maka kesejahteraan dengan sendirinya akan wujud.
Ini artinya ada keterkaitan antara keadilan sosial dalam hukum dengan hak
dan kewajiban serta kesejahteraan sosial, maka secara logika kesejahteraan
sosial tidak akan terealisasi jika tidak ada keadilan yang merata di dalam
masyarakat, bangsa dan negara.
6. Pemerataan Pendapatan Secara Adil Menciptakan Pertumbuhan
Ekonomi
Keadilan dalam ekonomi, dalam arti pemerataan ekonomi
menghendaki wujudnya kehidupan yang layak dan memadai bagi seluruh
rakyat tanpa membedakan perbedaan keturunan, aliran politik, daerah,
agama, dan sebagainya. Pemerataan ekonomi sebagai agenda manusia
dalam sepanjang hidupnya di muika bumi ini di mana saja berada, termasuk
di Indonesia. Adalah langkah bijak menerapkan konsep keadilan sosial pada
aktivitas perekonomian agar setiap individu rakyat mendapatkan
pelayanan yang sama. Pemerataan ekonomi tidak berarti menyamaratan
348
Hak adalah kuasa untuk melakukan sesuatu yang semestinya dilaksanakan. Kewajiban dapat diartikan sebagai suatu beban untuk dikerjakan yang sudah menjadi kemestian. Bedanya hak lahir dari dalam diri sendiri ( internal ), sementara kewajiban datang dari luar ( eksternal ).
349 Lihat, A. Gunawan Setiardja, Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan
Ideologi Pancasila ( Yogyakarta: Kanisius, 1983 ), h.48
405
pendapatan pada setiap rakyat (seperti di negara-negara yang menerapkan
ideologi Komunis). Pemerataan ekonomi bertujuan agar setiap rakyat dapat
menikmati kehidupan yang layak350.
Kehidupan yang layak ditandai dengan tersedianya berbagai fasilitas
yang cukup memadai, antaranya; rumah yang layak huni, tersedinya
obat-obatan untuk menjamin kesehatan, tersedianya makanan yang
mencukupi, jaringan jalan ( infra structure ) yang baik, pemilikan kendaraan
yang sesuai dengan kemampuan meskipun harus melalui kredit,
mendapatkan kesempatan pendidikan dan pengajaran. Kehidupan yang layak
ini tidak berarti harus glamour atau mau menciptakan mahligai dan istana
buat rakyat, tetapi kehidupan yang layak itu dimaksudkan untuk memberi
keseimbangan kepada rakyat sebagai manusia dengan kehidupannya351.
Kondisi seperti ini harus dimiliki oleh setiap rakyat, baik rakyat petani, buruh,
pedagang, professional, pegawai bawahan, baik yang di kampung ataupun di
kota. Dengan demikian, kemakmuran, dalam arti kehidupan sejahtera
menjadi bagian yang harus diraih oleh setiap rakyat Indonesia, dan hal ini
hanya dapat direalisasikan melalui demokratisasi ekonomi, maka
kemakmuran tidak hanya dinikmati oleh segelintir individu atau kalangan
tertentu saja sebagaimana terjadi dalam masyarakat yang kental dengan
budaya nepotisme dan kronisme.
Pemerataan ekonomi akan melahirkan kesejahteraan sosial, hal ini
sebagaimana dirumuskan di dalam Undang-undang Dasar 1945, yaitu dengan
tersedianya segala keperluan dan fasilitas hidup, baik yang primer, seperti
rumah tempat tinggal, makanan, pakaian dan sebagainya, atau keperluan
skunder, seperti; rumah bagus, kendaraan bagus, baju bagus, jalan raya
bagus, TV, dan sebagainya. Oleh karena itu semua aktivitas perekonomian
pada dasarnya bertujuan untuk memajukan kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia.
350
Lihat, D. Chairat, Falsafah Pancasila ( Jakarta: Wijaya, 1955 ), h. 22 351
Ibid.
406
Berbicara tentang keadilan sosial yang merata dalam berbagai aspek
kehidupan, termasuk di dalamnya tentang pemerataan ekonomi, maka
paling tidak ada beberapa langkah yang harus direalisasikan, yaitu;
1. Kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan Dalam hubungan ini, Pemerintah sebaiknya dapat menawarkan
pembiayaan pendidikan yang terjangkau oleh masyarakat, terutama
masyarakat yang berpendapatan rendah. Karena dengan biaya yang
tinggi menyebabkan masyarakat yang berpendapatan rendah tidak
mampu menyekolahkan anak-anak mereka, maka implikasinya
kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi mereka sangat sulit,
akibatnya pemerataan dalam bidang pendidikan tidak tidak
mencapai sasaran, dalam kata lain keadilan sosial dalam hal ini tidak
terealisasi. Demikian juga dengan pelayanan kesehatan, pembiayaan
kesehatan harus terjangkau dengan kemampuan masyarakat,
terutama masyarakat yang berpendapatan rendah, meskipun mutu
pelayanan kesehatan dari waktu ke waktu harus selalu ditingkatkan.
Memang diakui bahwa Pemerintah telah menyediakan Puskesmas (
Pusat Kesehatan Masyarakat ) sebagai alternatif tempat pengobatan
yang memberi pelayanan kepada masyarakat dengan harga murah,
tetapi itu untuk penyakit ringan. Sementara pada saat yang sama
dengan adanya Rumah Sakit yang memasang tarif mahal sehingga
masyarakat umum yang berpendapatkan rendah tidak mampu
berobat. Apalagi rumah sakit swasta yang tidak dapat dimasuki
kecuali oleh orang-orang berduit. Jika hal ini yang terjadi, maka
keadilan sosial dalam hal pemberian pelayanan kesehatan kepada
masyarakat belum terealisasi.
2. Pemerataan kesempatan kerja Dalam hal ini Pemerintah agar lebih komitmen mendukung
pemberdayaan ekonomi koperasi sampai ke tingkat desa dan
perkampungan, serta membuka perusahaan-perusahaan yang
dapat memberi peluang pekerjaan bagi menyerap tenaga kerja, baik
dalam jumlah besar ataupun kecil. Dengan demkian, diharapkan
akan membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi rakyat
407
Indonesia. Target dari semua ini adalah terciptanya pertumbuhan
ekonomi secara merata.
3. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam politik Kesempatan untuk berpartisipasi bagi rakyat dalam berpolitik
secara luas sudah dapat dirasakan, tetapi perlu upaya peningkatan
kesadaran berpolitik untuk kepentingan bangsa dan negara secara
keseluruhan ( maslahat umat ), bukan semata untuk kepentingan
pribadi atau golongan. Jika kepentingan bangsa dan negara yang
menjadi prioritas dalam berpolitik, maka akan tercipta kedamaian
dan stabilitas politik. Tetapi jika yang terjadi prioritas kepentingan
pribadi dan golongan, maka yang terjadi adalah banyaknya konflik
kepentingan sebagai akibat banyaknya persaingan antara partai
politik, dan hal ini berdampak pada kondisi perpolitikan yang tidak
kondusif, negara akan selalu gonjang ganjing, carut marut dan
sebagainya.
4. Pemerataan pembangunan di seluruh wilayah tanah air. Di era Reformasi sudah ada Kementerian Pembangunan Wilayah
Tertinggal, tetapi hasil kerjanya belum terlihat. Walau bagaimana
pun juga pembangunan harus dilaksanakan secara merata di seluruh
wilayah Indonesia, agar tidak terjadi kecemburuan sosial dari wilayah
tertinggal kepada daerah lain yang sudah dibangun.
5. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan. Saat ini meskipun sudah di era Reformasi, tetapi untuk mendapatkan
keadilan dalam berbagai aspek kehidupan masih diselimuti kabut
tebal, karena bangsa Indonesia masih kental dengan praktek
nepotisme dan korupsi, terutama dalam hal memperoleh keadilan
hukum tetap saja masih ada permainan-permainan.
Dalam rangka merealisasikan langkah-langkah pemerataan ekonomi,
maka berbagai program kongrit berdimensi sosial harus diwujudkan dan di
kelola secara professional, baik melanjutkan program terdahulu yang
terbengkelai ataupun merangka program baru. Di dalam merealisasikan itu
semua hal terpenting yang menjadi prioritas adalah membangun
408
usaha-usaha golongan ekonomi lemah melalui pembangunan koperasi352.
Oleh karena itu pemerataan ekonomi harus menjadi agenda penting dalam
membangun negara, karena hal ini sesungguhnya merupakan amanat
Undang-undang Dasar 1945. Jika amanat ini diimplementasikan secara
kongrit pada tataran praktis disertai dengan penuh kesedaran dan
pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara, maka tidak akan ada
lagi kemiskinan di Indonesia. Dalam rangka implementasi pemerataan
pembangunan ini, perlu diperhatikan beberapa hal penting sebagaimana
ditegaskan T. Mulya Lubis, maka setidaknya ada dua hal yang perlu
diperhatikan, yaitu;
1. Selalu diadakan reformasi dari waktu ke waktu ( up dating reformation ) terhadap pemerataan sumber-sumber pendapatan masyarakat, yaitu hak milik dan produksi. Demikian juga terhadap kebijakan pemberian fasilitas usaha dan alokasi dana modal kepada perusahaan-perusahaan. Hal ini penting agar dapat diketahui dari waktu ke waktu perkembangan sumber-sumber pendapatan masyarakat dan fasilitas-fasilitas yang dimiliki perusahaan-perusahaan berkenaan.
2. Kondisi pemerintahan disentralistik harus dipertahankan, karena hal ini berdapak positif terhadap wujudnya pertumbuhan ekonomi yang merata353. Perubahan sistem pemerintahan dari yang bersifat sentralistik di era
Orde
Lama dan Orde Baru ke sistem pemerintahan yang desentralistik di
era Reformasi merupakan langkah maju, dan ini akan berimplikasi pada
pertumbuhan ekonomi yang merata di kalangan rakyat. Namun itu semua
tidak serta merta terjadi pertumbuhan ekonomi merata secara otomatis,
tetapi semuanya bergantung pada sejauh mana integritas dan kapabilitas
para pemimpin bangsa dan para politisinya. Jika para pemimpin bangsa
dan para elite politisi, integritas dan kapabilitasnya dipertanyakan, maka
352
Lihat, T. Mulya Lubis ( Pnyt. ), Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, h. 27
353 Ibid, h. 28 -29
409
pertumbuhan ekonomi yang merata akan tetap jauh dari kenyataan, atau
setidaknya akan menjadi lamban.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa orientasi
pemenuhan hak-hak sasi manusia dalam ekonmi, terutama yang berkenaan
dengan pekerjaan dan penghidupan layak bagi rakyat harus menjadi prioritas
perhatian bersama dengan berpijak pada prinsip-prinsip persamaan,
keadilan, transparansi dan kejujuran, atau dengan lain kata ialah prinsip
keadilan sosial 354 . Maka berdasarkan pertimbangan ruang dan waktu
menurut Adi Sasono harus dikatakan bahwa keadilan sosial dalam ekonomi
hanya mungkin dapat diwujudkan jika penguasaan sumberdaya berada di
tangan rakyat banyak. Artinya jika penguasaan sumberdaya ekonomi di
bawah kekuasaan segelintir orang saja akan menyebabkan terjadinya
ketimpangan-ketimpangan sosial 355 , implikasinya keadilan sosial dalam
ekonomi tidak dapat direalisasikan.
Namun demikian, T.Mulya Lubis memperingatkan bahwa
keberhasilan bangsa Indonesia di dalam melakukan reformasi struktural ke
depan akan bergantung pada sejauh mana masyarakat mampu membangun
sikap dan budaya, serta semangat kemanusiaan yang dapat mengatasi arus
materialisme dan konsumerisme yang secara jelas semakin nampak dalam
pergaulan hidup, baik di era Reformasi ataupun di era sebelumnya356.
Materialistik dan konsumeris diakui sebagai gaya hidup terutama bagi
masyarakat yang sedang mengalami transformasi ke kondisi modern. Hal
ini banyak dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang – seperti
Indonesia-, maka gaya hidup materialistik dan konsumeris masih ketara
melekat pada sebagian masyarakat Indonesia. Memang tidak bisa dihindari
terjadinya pola dan gaya hidup, karena setiap hari masyarakat selalu disuguhi
berbagai iklan TV. yang mencerminkan gaya hidup mewah ( glamour ). Hal ini
354
Lihat, Adi Sasono, Keadilan Sosial Tema Abadi, dalam, Muntaha Azhari, Abdul Mun`im Saleh ( Pnyt. ), Islam Indonesia Masa Depan ( Jakarta: P3M-Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat-, 1989 ), h.109
355 Ibid. h. 110
356 T. Mulya Lubis ( Pnyt. ), Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Di
Indonesia, h. 30
410
sebenarnya tidak menjadi masalah, kalau tingkat ekonomi negara tinggi,
tingkat kesejahteraan masyarakat sudah merata dan tingkat daya beli
masyarakat juga tinggi. Tetapi jika kondisi ekonomi masih di bawah tingkat
rata-rata pendapatan negara berkembang 357 , maka implikasinya pada
kemapanan ekonomi antara pendapatan dan pengeluaran tidak seimbang,
di mana pengeluaran jauh lebih besar ketimbang pendapatan ( in come ), dan
ini berdampak pada terjadinya ketimpangan-ketimpangan pada ekonomi
masyarakat.
7. Keadilan Sosial Menuntut Pemerataan Kesejahteraan
Dalam membangun bangsa dan negara Republik Indonesia, keadilan
sosial tidak saja menjadi dasar negara, tetapi sekaligus menjadi tujuan. Hal
ini harus menjadi agenda utama pada setiap saat sampai kapanpun bagi
siapa saja yang memimpin bangsa ini, agar kemakmuran dan kesejahteraan
sebagaimana ditegaskan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
dapat direalisasikan serta dapat dinikmati bersama oleh seluruh rakyat
Indonesia. Oleh sebab itu, keadilan sosial menjadi target bagi bangsa dan
rakyat Indonesia untuk mencapai kemakmuran hidup dan stabilitas politik.
Langkah utama ke arah ini ialah melaksanakan ketentuan Undang-Undang
Dasar 1945, Pasal 27, Ayat 2, yang berbunyi; Tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Maka, atas
dasar ini keadilan sosial bertujuan hendak merealisasikan kesejahteraan
secara umum dalam masyarakat sebagai warga negara dan penduduk
357
Negara berkembang ( developing country ) adalah negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi relatif lamban sehingga dilakukan upaya-upaya melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Negara berkembang dapat diidentifikasi dengan cirri-cirinya sebagai berikut; 1. Pendapatan per kapita rendah, 2. Tingkat pendidikan penduduk rendah, 3. Tingginya angka pertumbuhan penduduk, 4. Banyaknya angka kematian bayi ( Infant Mortality Rate ), 5. Angka harapan untuk hidup rendah, 6. Banyak penduduk miskin, 7. Banyaknya pengangguran, 8. Tingkat ketergantungan tinggi, 9. Adanya ketergantungan pada sektor pertanian, 10. Sumber daya alam banyak yang belum dikelola karena kekuarangan tenaga ahli, 11. Banyak kekurangan modal sehingga mengandalkan pinjaman luar negeri, 12. Adanya ketergantungan pada impor barang-barang industri.
411
Indonesia358. Dalam konteks ini Moh. Hatta menegaskan bahwa dalam
rangka keadilan sosial terdapat tujuan untuk memeratakan pendapatan
rakyat, supaya dengan itu menjadi hilang perbedaan yang ketara antara
yang kaya dan yang miskin. Dengan demikian, inti dari keadilan sosial ialah
cita-cita kemanusiaan yang memenuhi hakikat yang adil, yaitu terpenuhinya
segala sesuatu yang telah menjadi hak di dalam hubungan hidup
kemanusiaan sebagai sesuatu yang wajib, apakah itu aspek politik, ekonomi,
hukum dan sebagainya 359
Keadilan dalam aspek ekonomi ialah memberi hak yang sama dalam
lapangan kehidupan kepada seluruh rakyat Indonesia. Dalam hubungan ini
Moh. Hatta menegaskan bahwa; pemimpin-pemimpin Indonesia yang
menyusun Undang-undang Dasar 1945 berkeyakinan bahwa cita-cita
keadilan sosial dalam ekonomi dapat mencapai kemakmuran yang merata360.
Tujuan ini, tegas Moh. Hatta telah ditanamkan di dalam Undang-undang
Dasar 1945 Pasal 33 yang berbunyi sebagai berikut;
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi dan tanah air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Menurut Moh. Hatta; Pasal 33 dari Undang-undang Dasar 1945 ini
adalah sendi utama bagi politik perekonomian dan politik sosial Republik
358
Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. H. 470
359 Moh. Hatta, Pengertian Pancasila ( pidato peringatan lahirnya Pancasila
di Gedung Kebangkitan Nasional ), h. 36 360
Moh. Hatta, Pengertian Pancasila ( pidato peringatan lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional, h. 36
412
Indonesia361 . Berdasarkan pernyataan Moh. Hatta ini dapat dijabarkan
bahwa untuk merealisasikan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia harus dilakukan penataan langkah-langkah kongrit dan strategis.
Hal ini dimaksudkan untuk membuka lapangan kehidupan dalam berbagai
sektor. Dalam konteks ini D. Chairat menegaskan bahwa; lapangan hidup ini
bermacam-macam dan mempunyai aspek yang banyak, antaranya; tani,
bisnis, industri kecil, industri besar, seluruhnya adalah termasuk segi
penghidupan warga negara Indonesia362, maka berdasarkan sila keadilan
sosial, kehidupan rakyat Indonesia tidak membeda-bedakan antara yang
satu dengan yang lainnya, antara besar dan kecil, antara industri besar dan
industri kecil, perusahaan dan pertanian, semuanya harus mendapatkan
keadilan dan pelayanan yang sama dari Pemerintah. Jika
perusahaan-perusahaan besar dibantu melalui pemberian modal, kenapa
tidak perusahan-perusahaan kecil tidak dibantu. Jika para pemilik PT
mendapatkan fasilitas untuk membesarkan perusahaannya, maka para
petani dan pedagang kecil pun sewajarnya mendapatkan pelayanan yang
sama, agar demokratisisi ekonomi dapat direalisasikan dengan baik. Dan jika
ini terlaksana, maka ekonomi kerakyatan363 sebagaimana diprogramkan di
era Reformasi dapat diwujudkan.
Demokrasi ekonomi, menurut Muh. Yamin berhubungan dengan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menghendaki pemerataan
kesejahteraan dengan meminimalisir perbedaan atau jurang pemisah antara
warga negara364. Ini artinya bahwa pertumbuhan ekonomi harus merata,
sehingga tidak ada jurang pemisah antara rakyat yang tinggal di kota denga
361
Ibid. 362
D. Chairat, Falsafah Pancasila ( Jakarta: Wijaya, 1955 ), h. 21 363
Ekonomi kerakyatan dapat diartikan sebagai kegiatan yang menggunakan sumber-sumber ekonomi berdasarkan kepada demokrasi ekonomi, keadilan berusaha yang diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Lihat, M. Azrul Tanjung, Koperasi UMKM dan Paragdima Baru Ekonomi Kerakyatan ( Jakarta: JKPB Press, 2010 ), h. 51
364 Muh. Yamin, Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia,
h.471
413
rakyat yang tinggail di kampung, antara petani dan pedagang, antara PNS
dan wiraswatawan, dan sebagainya. Untuk mewujudkan kondisi ini tentu
saja harus didukung dengan kebijakan-kebijakan strategis, efektif, dan
professional.
8. Membangun Masyarakat Sejahtera
Berbicara soal kesejahteraan. Kesejahteraan tidak mungkin wujud
menjadi kenyataan jika tidak tercipta sistem perpolitikan nasional yang stabil
atau mantap. Dalam konteks ini setidaknya ada tiga serangkai yang menjadi
sendi atau landasan bagi terciptanya negara kesejahteraan. Tiga serangkai itu
ialah;
1. Adanya sistem politik yang mantap. Hal ini sebagai landasan bagi lahirnya,
2. Kemajuan sosial-ekonomi berkelanjutan. Hal ini sebagai prasyarat untuk mendorong lahirnya,
3. Kesejahteraan sosial, martabat bangsa dan kecerdasan rakyat. Demikian ini sebagaimana ditegaskan Wakil Presiden RI; Prof. Dr.
Boediono pada acara kuliah umum yang diselenggarakan oleh Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Jakarta, sebagai berikut;
. . . . . Sistem politik yang mantap adalah landasan bagi kemajuan
sosio-ekonomi yang berkelanjutan. Pada gilirannya kemajuan
sosio-ekonomi berkelanjutan adalah prasyarat mutlak bagi
dimungkinkannya ( lahirnya ) kesejahteraan, martabat ( bangsa ) dan
kecerdasan rakyat yang terus meningkat, yang pada gilirannya akan
membuat sistem politik makin matang dan makin berakar365
Dengan demikian, maka kesejahteraan sosial merupakan inti dari
keadilan sosial. Bahkan berdasarkan kondisi yang dialami oleh rakyat
365
Dipetik dari Kuliah Umum yang disampaikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia; Prof. Dr. Boediono di Universitas Islan Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Kamis 23 Desember 2010 di Auditorium Harun Nasution, yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ( FISIP, UIN.
414
Indonesia, kesejahteraan merupakan sesuatu yang harus segera
direalisasikan. Oleh karenanya, negara harus segera memastikan
langkah-langkah kongrit, strategis, dan efektif untuk terciptanya
kesejahteraan, karena sebagian besar rakyat Indonesia sudah terlalu lama
dalam kondisi hidup penderitaan dan tidak menikmati hidup berkecukupan.
Kemunculan negara kesejahteraan berawal dari upaya negara untuk
mengelola sumber daya yang dimiliki dengan tujuan untuk menciptakan
kesejahteraan ( welfare ) rakyat, kemudian negara merealisasikannya
melalui kebijakan-kebijakan politik yang menghadirkan pelayanan sosial (
social services )366. Dengan demikian, negara kesejahteraan menghendaki
peran negara yang lebih dominan terhadap pengelolaan sektor publik,
kecuali dalam sektor-sektor ( perusahaan-perusahaan negara ) yang sudah
jenuh atau kurang produktif 367 . Realitas ini bagi rakyat Indonesia
sebenarnya sudah memiliki dasar yang kuat untuk merealisasikan cita-cita
ini, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33, ayat 2, yang berbunyi
bahwa; Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dan ayat 3, dari
Pasal 33, UUD-1945 lebih tegas menyatakan bahwa “ Bumi dan tanah air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
366
Sejarah kelahiran negara kesejahteraan ( menurut versi Barat ) ialah setelah negara-negara di Eropa dilanda krisis pasca perang Dunia I dan perang Dunia II. Munculnya negara kesejahteraan sebagai respon terhadap tantangan Kapitalisme dan kesulitan-kesulitan yang melanda karena depresi dan perang. Negara kesejahteraan di Eropa telah dimulai oleh Jerman pada masa Kanselir Otto Von Bismarck. Tujuan mendesak dari sistem negara kesejahteraan di Eropa adalah untuk meminimalisir akses Kapitalisme yang paling mencolok. Karena sistem Kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang tidak memihak kepada orang-orang lemah ( dhuafa ) atau miskin. Bahkan dalam sistem Kapitalisme, negara hanya memiliki peran yang terbatas dalam mengelola sektor publik, karena banyak persahaan-perusahaan milik negara diswastakan, artinya diserahkan kepada pihak swasta untuk dikelola. Selain dari itu, negara kesejahteraan adalah untuk mengurangi daya tarik sistem sosialis. Lihat, M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. “ Islam and The Ekonomic Challenge “ ( Jakarta: Gema Insani Press, 2000 ), h. 133
367 Terkait dengan sektor-sektor atau perusahaan-perusahaan negara yang
sudah jenuh atau kurang produktif, bisa saja negara melakukan kebijakan swastanisasi agar tidak membebani negara.
415
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara
kesejahteraan ( welfare state ) adalah negara yang mengupayakan
kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini setidaknya ada tiga langkah yang harus
dilaksanakan, yaitu;
1. Mengatasi dan mengantisipasi anarki produksi dan krisis ekonomi, 2. Meningkatkan jaminan hidup ( jaminan sosial ) warga, 3. Memberantas pengangguran368.
Dalam pengertian lain, dapat ditegaskan bahwa negara
kesejahteraan adalah negara yang merujuk pada sebuah model ideal
pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui
pemberian peran yang lebih dominan kepada negara untuk menciptakan
pelayanan sosial secara konfrehensif, maka fokus dari sistem negara
kesejahteraan adalah untuk menciptakan sebuah sistem perlindungan sosial
yang melembaga bagi setiap warga negara sebagai gambaran adanya hak
warga negara dan kewajibannya369. Oleh karena itu, negara kesejahteraan
sebenarnya tidak sebatas menciptakan pelayanan-pelayanan sosial untuk
orang-orang miskin saja, tetapi juga untuk semua penduduk atau warga
negara, baik orang tua atau anak-anak, pria atau wanita, kaya atau
miskin dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar pelayanan-pelayanan sosial
sebagai fasilitas yang diselenggarakan dapat dinikmati bersama oleh seluruh
warga negara secara merata.
Oleh karena itu, negara kesejahteraan merupakan bentuk negara
yang memposisikan dirinya sebagai lembaga yang mampu memenuhi
hak-hak sosial warganya. Kebijakan-kebijakan politik negara yang bertujuan
untuk menghadirkan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat merupakan
komitmen politik yang harus dilakukan dari waktu ke waktu sebagai
tanggung jawab negara kepada rakyatnya. Dalam konteks ini negara
diidentikkan sebagai lembaga yang mengeluarkan sejumlah kebijakan sosial
sebagai langkah kongrit untuk menjembatani hubungannya dengan
368
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan ( Jakarta: LPKN, 2000 ), h. 708
369 Edi Suharto, Negara Kesejahteraan dan Reniventing Depsos, artikel
diakses pada 6 September 2008 dari http / 209.85.175.104
416
warganya. Kemudian untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan
bagi rakyat secara umum dan merata ada beberapa langkah prioritas yang
harus dilakukan oleh negara, paling tidak untuk ukuran saat ini, yaitu;
1. Kebijakan terhadap peningkatan ketenagakerjaan. Kebijakan terhadap ketanagakerjaan ( employment policy )
merupakan kebijakan yang sangat penting di dalam negara
kesejahteraan. Negara semaksimal mungkin berupaya membangun
dan membuka seluas-lusanya lapangan kerja dalam berbagai sektor
kehidupan sebagai upaya memenuhi tanggung jawab negara kepada
rakyat, baik di sektor birokrasi, industri, perdagangan, pertanian, dan
di sector-sektor lapangan pekerjaan lainnya. Tujuan dari kebijakan ini
adalah untuk meminimalisir pengangguran dan mengurangi
ketergantungan rakyat pada tunjangan-tunjangan sosial yang
disedikan negara.
2. Layanan maksimal bagi kelanjutan pendidikan. Pendidikan merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan
manusia, di mana setiap warga negara berhak memperoleh
pendidikan. Oleh karenanya negara tidak bisa mengabaikan layanan
pendidikan, karena negara yang penduduknya memiliki tingkat
pendidikan yang rendah, negara akan berada pada klasifikasi negara
terbelakang, dan kondisi ini memunculkan dampak yang tidak
menguntungkan bagi negara, yaitu ketidak mampuan untuk
berdaya saing atau berkompetisi dengan negara-negara maju,
baik di tataran negara-negara regional ataupun dalam skala
Internasional. Hal ini disebabkan karena warga negaranya tidak
mampu mengakses informasi dan ilmu pengetahuan untuk
kepentingan perkembangan dan kemajuan negaranya dalam
berbagai aspek kehidupan, baik dalam politik, ekonomi, teknologi,
pertanian, dan sebagainya. Sedangkan negara-negara yang
penduduknya berpendidikan, maka negara akan berada pada tingkat
kesejahteraan yang memadai. Ini disebabkan warga negaranya
memiliki pendidikan yang cukup memadai, sehingga mereka mampu
417
mengakses informasi yang diperlukan untuk mencapai tingkat hidup
yang lebih baik dan sejahtera.
3. Layanan kesehatan secara prima Di negara-negara berkembang dan negara-negara yang memiliki
penduduk miskin yang relatif tinggi, layanan kesehatan gratis yang
disediakan negara merupakan sesuatu yang sangat sulit didapatkan.
Dalam negara kesejahteraan, layanan kesehatan merupakan salah
satu pilar penting yang harus disediakan oleh negara, tentu saja
dengan catatan bahwa layanan kesehatan yang disediakan
Pemerintah harus prima. Di beberapa negara berkembang dan maju,
termasuk Malaysia, memiliki skem layanan kesehatan yang cukup
baik, tertata rapi, dan tidak memberatkan rakyat.
4. Ketersediaan Jaminan social secara merata Jaminan sosial ( social scurity ) secara umum adalah sistem
penyimpanan dan pengelolaan dana segera yang dipakai untuk
mendanai berbagai layanan sosial publik secara merata. Dana
jaminan sosial merupakan dana yang dikumpulkan oleh negara
melalui beberapa sumber pendapatan, antaranya melalui
perpajakan ( terutama pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai,
dan pajak bisnis ), dan melalui pungutan non-pajak, seperti potongan
gaji untuk asuransi, dan sebagainya.
5. Perumahan Masyarakat miskin identik dengan tempat tinggal yang tidak layak
atau bahkan bisa jadi tempat tinggalnya di kolong–kolong jembatan,
atau di pinggir-pinggir tempat pembuangan sampah. Warga negara
yang memiliki pendapatan rendah akan semakin sulit untuk memiliki
tempat tinggal yang layak akibat rendahnya daya beli, ditambah
dengan harga barang pokok, serta harga barang-barang bangunan
melambung tinggi akibat inflasi yang tidak terbendung, dan mereka
akan semakin menjadi warga negara yang terpuruk. Fenomena ini
berdampak pada munculnya kawasan kumuh dengan fasilitas yang
amat rendah dan tanah-tanah sengketa yang tidak jelas. Jika
permasalahan perumahan ini tidak segera diatasi oleh negara, maka
418
akan menyebabkan naiknya angka kemiskinan, keterbelakangan
yang berpotensi tumbuhnya kriminalitas. Dalam negara
kesejahteraan, masalah layanan perumahan menjadi prioritas
perhatian. Ada beberapa alasan kenapa kebijakan mengenai layanan
perumahan menjadi tanggung jawab negara dalam model negara
kesejahteran. Pertama, Perumahan adalah bagian dari pasar asset
yang rentan terhadap spekulasi, karena sektor perumahan mampu
menimbulkan krisis ekonomi ( seperti yang pernah terjadi di Amerika
) apabila tidak dikelola dengan baik. Jadi, sektor perumahan harus
ditangani secara profesional dan serius oleh negara. Kedua,
Perumahan secara langsung melibatkan tata ruang dan wilayah. Tata
ruang dan tata wilayah merupakan pintu masuk kepentingan
ekonomi dan politik, sehingga memerlukan pengaturan yang
akuntabel. Ketiga, Berkembangnya kota-kota kecil menjadi
mega-cities. Apabila pengelolaan sektor perumahan gagal ditangani
secara profesional, masalah perumahan akan menjadi embrio
kriminal. Untuk mengatasi permasalahan di atas, negara harus
melakukan beberapa kebijakan, antaranya; a). Negara menyediakan
fasilitas tanah sekaligus bangunan untuk layanan perumahan bagi
warganya. Layanan perumahan ini bisa berupa penyediaan rumah
sederhana atau rumah susun. b). Negara menyediakan skem-skem
kredit rumah sesuai dengan jenis dan kelas perumahan, dengan
tujuan agar warga negara bisa memiliki kualitas hidup yang baik
dengan tempat tinggal yang layak dan dengan ansuran jangka
panjang ( pola kredit dengan skem subsidi ). Dalam hal ini negara
membeli perumahan melalui kerjasama dengan pengembang (
developer ), kemudian warga negara membelinya dengan harga yang
jauh lebih murah.
Dengan melakukan beberapa langkah di atas, diharapkan rakyat
dapat menikmati tingkat kemakmuran hidup dan kesejhteraan.
9. Ketimpangan Ekonomi Memperlambat Pembangunan
419
Sebuah fakta yang tidak dapat disembunyikan bahwa masyarakat
Indonesia dewasa ini, meskipun sudah berada di era Reformasi, masih tetap
memperlihatkan ketidak mampuan untuk melepaskan diri dari ciri-ciri
ekonomi tradisional, meskipun industrialisasi sudah berkembang dan para
miliyarder ( miliyoner/orang kaya baru –OKB- ) bermunculan, tetapi yang
menjadi fenomena di lapangan sebagian sebagian rakyat masih hidup
bergantung pada hasil pertanian, pendapatan perkapitanya masih rendah
dan pembagian pendapatan nasional masih belum merata. Berdasarkan
pengalaman-penglaman masa lalu menunjukkan bahwa rakyat Indonesia
masih belum dapat menerapkan teknologi tinggi untuk mengejar
ketinggalan. Rakyat Indonesia terpaksa masih harus menerapkan teknologi
sederhana untuk mencegah agar tidak sampai pembangunan yang tengah
berjalan terkendala. Hal ini tentu saja bisa berimplikasi pada terjadinya
pengangguran rakyat secara besar-besaran. Pengangguran akan berdampak
pada bertambahnya masalah-masalah sosial ( social problems ), antaranya
kemiskinan, kriminalitas, dan sebagainya. Dari aspek lain, dalam
masyarakat yang sedang berkembang, masalah-masalah sosial akan
bertambah terus dari waktu ke waktu karena meningkatnya pembangunan di
berbagai wilayah yang tidak diringi dengan pembukaan lapangan pekerjaan
baru secara merata. Pembangunan akan melahirkan perubahan-perubahan.
Perubahan-perubahan ini walaupun kelihatannya menyangkut aspek
material, tetapi akan berimplikasi pada perubahan-perubahan nilai hidup
manusia. Ini tidak berarti bahwa kita tidak menghendaki perubahan dari
masyarakat petani ke masyarakat industri sebagai ciri negara maju, tetapi
perubahan-perubahan itu bagaimana agar tidak memunculkan shock culture
atau mengakibatkan terpinggirnya nilai-nilai luhur, seperti sikap bersopan
santun, kepedulian kepada orang-orang fakir miskin, saling bantu
membantu, saling hormat menghormati antara sesama, komitmen pada adat
istiadat atau tradisi yang baik, dan sebagainya.
Jika memperhatikan beberapa tahun silam, yaitu pada sekitar
tahun-tahun 1989 ketika Indonesia dilanda krisis berbagai dimensi, Indonesia
420
menurut Adi Sasono370 tengah menghadapi dua tantangan besar, Pertama;
adanya kesenjangan melebar antara golongan kaya dan golongan miskin,
Kedua; kecendrungan meningkatnya ketergantungan kaum miskin kepada
para pemilik modal dan ketergantungan Indonesia kepada negara-negara
maju. Kedua-dua masalah tersebut, menurut Adi Sasono telah sampai ke
tingkat kritis, bahkan dikatakannya kedua-dua masalah tersebut sampai ke
tingkat mengancam persatuan dan kesatuan nasional 371 . Apa yang
diketengahkan Adi Sasono di atas, memberikan deskripsi bahwa masalah
yang terjadi di Indonesia waktu itu adalah terjadinya jurang pemisah ( gap )
lebar antara yang kaya dan yang miskin, dan kondisi ini berimplikasi
terjadinya ketergantungan orang miskin kepada orang kaya dan pada saat
yang sama terjadinya ketergantungan Indonesia kepada negara-negara maju
( terutama kepada Jepang, Eropa dan Amerika ). Fenomena ini sebagai akibat
dari salah urus terhadap aktifitas perekonomian yang didominasi oleh
segelintir orang-orang tertentu yang menguasai pasar, dan secara kebetulan
mendapatkan fasilitas-fasilitas dari Pemerintah yang berkuasa waktu itu.
Budaya monopoli ini sebenarnya terjadi sebagai akibat dari tidak adanya
keadilan sosial, terutama dalam hal pemberian modal kepada rakyat dalam
rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara merata. Namun
demikian, ini tidak berarti bahwa pada waktu itu tidak ada upaya-upaya
pemeretaan ekonomi, tetapi mungkin efektifitasnya yang masih pada tingkat
belum maksimal. Hal ini sebagaimana ditegaskan Adi Sasono bahwa;
memang telah dilakukan beberapa bentuk bantuan, mulai bantuan karikatif (
amal kebajikan ), pinjaman modal sampai pada bentuk bapak angkat, tetapi
upaya-upaya ini belum maksimal. Dalam arti lain, upaya-upaya ini belum
melahirkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, merata dan agresif372. Hal
ini memunculkan fenomena di mana orang-orang kaya bertambah kaya, dan
orang-orang miskin tetap miskin, atau bahkan semakin miskin.
370
Adi Sasono pernah menjabat Menteri Koperasi dalam Kabinet Reformasi di era BJ. Habibie.
371 Adi Sasono, Keadilan Sosial Tema Abadi, dalam, Muntaha Azhari, Abdul
Mun`im Saleh ( Pnyt. ), Islam Indonesia Menatap Masa Depan ( Jakarta: P3M, 1989 ), h. 108
372 Ibid. h. 109
421
Untuk penyelesaian masalah, pemberian modal secara merata
kepada seluruh rakyat yang memerlukan harus segera dilakukan untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi yang signifikan, tentu saja ini harus
melalui skema dan syarat yang tidak terlalu ketat, serta melalui bimbingan
dan penyuluhan yang memadai dan efektif agar sasaran yang diharapkan
dapat tercapai. Pemberian modal dalam jumlah besar kepada para
pengusaha besar ternyata tidak banyak memberikan efek meningkatnya
pertumbuhan ekonomi yang merata, dan justru malah menciptakan sistem
ekonomi kapitalis. Kesejahteraan yang menjadi impian rakyat banyak, tidak
kunjung datang. Rakyat banyak,( meskipun di era Reformasi ), masih tetap
dibuai dengan janji-janji perbaikan nasib di masa depan. Harga barang
kebutuhan pokok seperti; beras, sayur mayor, barang bangunan, gas, BBM,
transportasi, baik udara, darat ataupu angkutan laut dan sebagainya
semakin hari semakin meningkat, bahkan terkesan sekali naik tetap akan
naik terus, sepertinya sudah menjadi fenomena bahwa jika barang sudah
naik tidak mungkin akan turun kembali. Kenaikan harga barang yang tidak
terkontrol ini mengakibatkan terjadinya inflasi berkali-kali di luar
kewajaran. Sementara pendapatan rakyat banyak tidak memadai, akibatnya
surplus antara pendapatan dan pengeluaran tidak seimbang, justru
pengeluaran lebih tinggi ketimbang pendapatan ( income ), hal ini berakibat
sering terjadinya defisit ( deficit ). Kondisi ini menyebabkan rakyat terpaksa
mencari tambahan di luar jam kerja ( bagi para pegawai, baik negeri ataupun
swasta ) dengan menguras tenaga dan fikiran untuk menutupi kekurangan.
Jika kondisi ini berterusan dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun
ke tahun, maka perekonomian rakyat akan bermasalah. Memperbaiki dan
upaya pemulihan kondisi perekonomian yang parah tentu saja memerlukan
waktu yang tidak sebentar, karena menyangkut berbagai aspek yang harus
diperhatikan, antaranya; perilaku dan kebijakan para pembuat kebijakan (
decition makers ) serta implementasi dari kebijakan-kebijakan yang tepat dan
pasti. Apa yang terjadi sebagaimana digambarkan di atas adalah sebagai
akibat dari tidak adanya keadilan menyeluruh ( keadilan sosial ) pada
masyarakat dalam berbagai aspeknya.
Secara umum dapat ditegaskan bahwa berbagai persoalan itu terjadi
sebagai akibat dari;
422
1. Terjadinya pemusatan kekayaan dan pemilikan atas alat-alat produksi serta gaya hidup mewah pada sekelompok anggota masyarakat.
2. Kebijakan-kebijakan yang tidak tepat terhadap perekonomian nasional karena didasarkan kepada kepentingan kelompok tertentu, bukan atas dasar keberpihakan kepada rakyat, atau atas dasar pertimbangan kemaslahatan rakyat banyak.
3. Tidak adanya kontrol ( kawalan ) dari Pemerintah terhadap kenaikan harga barang, seolah-olah terkesan selama ini bahwa kenaikan harga barang diserahkan kepada para pemain pasar untuk menentukan naik –turunnya harga barang, ini sebenarnya sebagai akibat dari diberlakukannya pasar bebas ( free trade market ), maka tidak heran jika dalam setahun saja bisa terjadi kenaikan harga berkali-kali, akibatnya terjadi inflasi yang tidak bisa dibendung, akibat lanjutnya adalah daya beli masyarakat menurun.
4. Terjadinya PHK pada beberapa perusahan, baik besar atau kecil. Hal ini menyebabkan bertambahnya pengangguran.
5. Meluasnya kemiskinan, dan memburuknya kondisi ekonomi yang berimplikasi terjadinya ketimpangan-ketimpangan pendapatan. Fenomena ini menurut T. Mulya Lubis sering dilaporkan sebagai
masalah yang terjadi pada negara-negara berkembang yang melaksanakan
program pembangunan berorientasikan gross national product atau
penghasilan kasar negara373. Dalam hal ini termasuk Indonesia yang terus
menerus terjadi ketimpangan-ketimpangan ekonomi, sehingga hal ini
berimplikasi lambannya pembangunan Indonesia untuk mencapai negara
maju, baik dalam skala regional ataupun Internasinal.
10. Keberhasilan Membangun Indonesia Ke Depan
Namun demikian, secara umum dapat ditegaskan bahwa untuk
mencapai keberhasilan pembangunan ke depan terletak pada sejauh mana
rakyat Indonesia mampu merealisasikan beberapa faktor di bawah ini,
antaranya;
373
T. Mulya Lubis ( Pnyt. ), Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Di Indonesia ( Jakarta: Djaya Pirusa, 1989 ), h. 26-27
423
a. Adanya stabilitas politik dan ekonomi yang mantap, b. Terciptanya situasi yang bebas yang dapat menumbuhkan daya
kreatifitas masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, c. Adanya modal yang cukup memadai untuk mendanai
proyek-proyek pembanguan, d. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, e. Profesionalitas yang tinggi dalam bekerja berdasarkan kejujuran
dan tanggung jawab, f. Pemberantasan korupsi yang lebih efektif dan signifikan.
Kesemuanya itu terletak pada kemampuan dan upaya-upaya
pemerintah dan rakyat Indonesia dalam merealisasikan faktor-faktor
tersebut dan tentu saja harus selalu dilakukan evaluasi dari waktu ke waktu,
agar upaya-upaya tersebut membuahkan hasil yang lebih berarti bagi
pembangunan bangsa dan negara di masa depan. Terkait dengan korupsi.
Korupsi pada dasarnya mengakibatkan kerugian bagi negara dan rakyat
banyak, karena uang negara digerogoti dan digelapkan oleh para koruptor.
Jika korupsi tidak diberantas, maka negara dan bangsa Indonesia bisa
terperosok ke dalam jurang pailit atau bengkraf. Maraknya tindak kejahatan,
termasuk dalam hal ini tindakan korupsi, dalam batas-batas pandangan
agama ( agama Islam ) adalah karena faktor mentalitas bangsa Indonesia
yang rendah yang tidak memiliki sikap jujur ( amanah ) dan tanggung jawab,
karena korupsi terjadi bukan saja karena tidak adanya iman di dalam hati,
tetapi juga bisa terjadi karena adanya kesempatan atau peluang untuk
melakukannya, meskipun dari aspek lain dapat dikatakan bahwa korupsi
terjadi karena adanya salah satu dari tiga faktor, yaitu; Pertama, karena
kebutuhan, Kedua, karena serakah, dan Ketiga, karena sistem yang berlaku
menyebabkan orang mudah melakukan tindak korupsi. Tidak dapat
dipungkiri bahwa upaya-upaya pemberantasan korupsi menjadi agenda
utama Pemerintah di era Reformasi melalui badan yang diamanati untuk
menuntaskan masalah korupsi, yaitu; KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ).
Di era Reformasi banyak terjadi penangkapan terhadap orang-orang yang
diduga melakukan tindak korupsi, baik pejabat Eksekutif, Legislatif, dan
bahkan para pejabat Judikatif. Tetapi upaya-upaya pemberantasan korupsi
masih berkutat ( berjalan ) di tempatnya,.Pemberantasan korupsi dinilai
masih belum membuahkan hasil signifikan, faktanya bahwa hukuman yang
dikenakan kepada para terpidana korupsi tidak menimbulkan rasa jera,
424
implikasinya tindak korupsi berlanjut terus, bahkan menurut Abraham
Samad ( Ketua KPK tahun 2011 – 2015 ) bahwa tindak kejahatan korupsi
mengalami regenarasi, akibatnya tindak korupsi dilakukan oleh para
koruptor baru tanpa ada rasa takut atau malu. Dan ini artinya bahwa
upaya-upaya pemberantasan tindak kejahatan korupsi selama ini belum
efektif. Oleh karena itu jika pendekatan pemberantasan korupsi tidak
ditingkatkan efektifitasnya, misalnya dengan menerapkan hukuman yang
seberat-beratnya kepada para pelaku korupsi yang telah sampai pada
tingkat-tingkat tertentu, yaitu sampai tingkat merugikan negara dan
menyengsarakan rakyat banyak, maka pemberantasan korupsi tidak
banyak memberikan dampak positif terhadap kehidupan perpolitikan
nasional ataupun pada pertumbuhan perekonomian secara merata.
Barangkali rakyat dan bangsa Indonesia tidak perlu malu-malu untuk belajar
melakukan studi komparatif ke China dan Jepang yang telah berhasil
memberantas tindak korupsi melalui hukuman mati terhadap para pelaku
korupsi, ternyata hukuman mati ampuh ( effective ) menimbulkan rasa
jera, dapat dipastikan masyarakat merasa takut melakukan tindak korupsi
karena takut dihukum mati, tidak perlu banyak orang yang dihukum mati,
satu, dua, tiga orang koruptor saja yang dihukum mati akan berdampak
membuat jera bagi seluruh rakyat Indonesia untuk tidak melakukan tindak
kejahatan korupsi. Jika hal ini yang menjadi kebijakan Pemerintah, Indonesia
tidak perlu merasa riskan atau bersalah bila kemudian ada tuduhan sebagai
negara yang tidak menghormati HAM.
425
11. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan terkait dengan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia, kini dapat disampaikan beberapa poin kesimpulan,
antaranya;
1. Keadilan sosial meliputi seluruh aspek kehidupan; hukum, ekonomi, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, dan sebagainya.
2. Keadilan sosial diwujudkan untuk terciptanya kedamaian dan kesejahteraan hidup bagi seluruh rakyat.
3. Hukum dapat memperlihatkan efektifitasnya jika dapat mewujudkan keadilan yang sebenarnya, serta dapat menimbulkan efek jera.
4. Kemakmuran dan kesejahteraan hidup menjadi tujuan setiap rakyat, dan ini hanya dapat direalisasikan melalui demokratisasi ekonomi atau pemerataan ekonomi.
5. Sistem politik yang stable ( mantap ) akan menciptakan kemajuan sosial ekonomi berkelanjutan yang pada gilirannya akan melahirkan kesejahteraan sosial, martabat bangsa, dan kecerdasan rakyat.
6. Keberhasilan suatu bangsa tidak saja diukur dengan keberhasilan pembangunan yang bersifat materi, tetapi juga harus diukur dengan keberhasilan melahirkan sikap mental yang jujur, amanah dan bertanggung jawab.
426
DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Filsafat Pancasila, Jakarta: IND-HILL, 1991.
Asmara Hadi, Pancasila: Doktrin Revolusi Nasional Rakyat Indonesia, Jakarta:
Badan Penerbit Nasional, 1951.
A.Gunawan Setiardja, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi
Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Abubakar ( pnyt.), Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim dan Karangan
Tersiar, Jakarta: t.pt. 1975.
A.Wahid Hasyim, Mengapa Memilih NU ? Konsepsi Tentang Agama,
Pendidikan dan Politik, Butaran Sanusi Rony Kaloke dan Kasunandar (
pnyt.), Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1983.
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia,
1980.
--------, Politik Kebudayaan dan Manusia, Jakarta: LP3S, 1980.
Adi Sasono, Keadilan Sosial Tema Abadi, dalam, Muntaha Azhari, Abdul
Mun`im Saleh ( pnyt.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan,
Jakarta: P3M ( Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat ), 1989.
A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, Jakarta: CSIS (
Centre For Strategic and International Studies ), 1985.
A. Poedja, Rev. Fr. Pancasila Dalam Renunganku, T. tp. T. pt. 1969.
Azam, Abd. Al-Rahman, The Eternal Message of Muhammad, London:
Quarter, 1964.
427
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan
Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta: Darul Falah,
1999.
Abdul Qahhar Muzakkar, Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia: Koreksi
Pemikiran Politik Pemerintahan Soekarno, Jakarta: Madinah Press,
1999.
A.S.S. Tambunan, Dualisme Naskah UUD 1945, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1993.
A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: Dian
Rakyat, 1967.
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia:
Studi Legal Atas Konstitusi 1956 – 1959 ( terj. Sylviatiwan ), Jakarta:
Grafiti, 1995.
Adam Malik, Riwayat dan Perjuangan Sekitar Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945, Jakarta: Wijaya, 1970.
Ahmad Sukarja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945: Kajian
Perbandingan Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang
Majmuk, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1995.
Ahmad Sanusi, Islam, Revolusi dan Masyarakat, Bandung, Duta Rakyat, 1969.
Agoes Salim, Ketuhanan Yang Maha Esa, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, Kestabilan Peta Kekuatan Politik dan
Pembangunan, Bandung: Alumni, 1981.
-------, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1985.
Anwar Harjono, Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, Jakarta:
Gema Insani, 1995.
Abdul Munir Mulkan, Perubahan Politik dan Polarisasi Umat Islam 1965-1987
Dalam Perspektif Sosiologi, Jakarta: Rajawali, 1989.
428
Abdul Halim El-Muhammadi, Tinjauan Kepada Perundang-undangan Islam,
dalam, Abdul Munir Yacoob Sarina Othman ( pnyt.) Kuala Lumpur:
IKIM ( Institut Kefahaman Islam Malaysia ), 1996.
Amrullah Ahmad ( pnyt.), Prospek Hukum Islam Dalam Kerangka
Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, Jakarta: PP. IKAHA,
1994.
Al-Sharif, Ahmad Ibrahim, Makkah wa al-Madinah fiy al-Jahiliyyah wa `ahd
al-Rasul, T.tp. Dar al-Fikr al-`Arabiy, T. th.
Al-`Ayd, Ahmad, al-Mu`jam al-`Arabiy, T. tp.: al-Munazamat al-`Arabiyah Li
al-Tarbiyyah wa al-Ulum, T.th.
Ahmad Fadhali et al, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Asastruss,
2004.
A.Ubaedillah dan abd. Rozak ( pnyt.), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat Madani, ( edisi ke tiga ), Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2008.
Anas Urbaningrum, Islam, Demokrasi, Pemikiran Nurcholis Madjid, Jakarta:
Republika, 2004.
Artani Hasbi, Masyarakat dan Demokrasi, Analisis Konseptual Aplikatif
Dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001.
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, terj. Economic Doctrines of Islam,
Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1996.
Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam,
Yogyakarta: Surya Raya, 2004.
Adian Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat
Islam, Jakarta: Gema Insani, 2009.
429
As`ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Jakarta:
LP3S, 2009.
Abbas Hamami Mintaredja, dkk. ( ed.), Memaknai Kembali Pancasila,
Yogyakarta: Badan Penerbit Filsafat UGM, 2007.
Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme, Reposisi Wacana Universal Dalam
Konteks Nasional, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.
Al-Fara`, Abu Ya`la, al-Ahkam al-Sulthaniyah, Qahirah: Mathba`ah al-Babiy
al-Halabiy, 1938.
Abdul `Athi, Hammudah, Islam Satu Kepastian, terj, dari, Ta`rifun bi al-Islam,
Kuet: Internasional Islamic Federation of Student Organisation, 1986.
Al-Khuliy, Jum`ah, al-Ittijah al-Fikriyah al-Mu`ashirah wa Mauqif al-Islam
Minha, Universitas Islam Madinah, 1986.
Abdul Hamid, Muhsin, al-Mazhabiyah al-Islamiyah wa al-Taghayyur
al-Hadhariy, Beirut: Muassisah al-Risalah, 1985.
Abdullah Darraz, Muhammad, al-Din Buhuth Mumahhidah Li Dirasat Tarikh
al-Adyan, Beirut: Dar al-Kutub, 1970.
Abu Zahrah, Muhammad, al-Wahdah al-Islamiyah, dalam, Abdul Karim Biy
Azar al-Shayiaziy ( pnyt.), al-Taqrib bayna al-Mazhab al-Sab`ah,
Lubnan: Muassisah al-`Alamiy, 1975.
-------, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fiy al-Siyasah wa al-`Aqid wa Tarikh
al-Mazahib al-Fiqhiyyah, al-Qahirah: Dar al-Fikr al-`Arabiy, 1996.
Al-Sayyid al-Wakil, Muhammad, al-Madinah al-Munawwarah `Ashimah
al-Ula, Jeddah: Dar al-Mujtama`, 1406 H./1986 M.
Al-`Aeyd al-Khathrawiy, Muhammad, al-Madinah Fiy al-Jahiliyah, Damaskus:
Muassisah al-`Ulum al-Qur`an, T.th.
Aziz Nazamiy Salim, Muhammad, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, Iskandariyah:
Muassisah Shahab al-Jami`ah, 1996.
430
Al-Rafi`ie, Musthafa, al-Islam Din al-Madaniyah al-Qadimah, Beirut:
al-Shingkat al-`Alamiyah Li al-Kitab, 1990.
Abu al-Hasan, al-Mawardiy, al-Ahkan al-Sulthaniyah, Qahirah:Matba`ah
al-Babiyal-Halabiy, 1960.
------, al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayah al-Diniyah, Beirut: al-Maktabah
al-Islamiy, 1416 H./1996 M.
------, Adab al-Qadhi, Baghdad: Matba`ah al-Irshad, 1970.
Asad, Muhammad, The Principle of State Government In Islam, Gibraltar: Dar
al-Andalusi, 1961.
Al-Naysaburiy, Abiy al-Husain Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qushayriy, Sahih
Muslim, 2 Jld. Beirut: Muassisah Izzuddin, 1407 H./1987 M.
Al-Samira`ie, Nu`man Abul Razaq, Mabahith Fiy al-Thaqafah al-Islamiyah,
Riyadh: Maktabah al-Ma`arif, 1404 H./1984 M.
Abu Jayb, Sa`idiy, Dirasat Fiy Manhaj al-Islam al-Siyasiy, Beirut: Muassisah
al-Risalah, 1985.
BP-7, Bahan Penaran, Jakarta: BP-7 Pusat, 1991.
Bachtiar Djamily, Bung Karno: Ajarannya dan Pelaksanaannya, Jakarta: Biro
Ikhwan Surabaya, 1988.
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Jakarta: Paeamadina, 1998.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada,
2001.
Boland, B.J. The Straggle of Islam In Modern Indonesia, The Hagoe: Martinus
Nijhoff, 1971.
Badawiy, A. Zaki, A Dictionary of The Social Science, Beirut: Librairie Du Liban,
1987.
431
Borg, W.R. & Gall M.D. Education Research, London: Longmen, 1989.
C.S.T. Kamil, Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, Jkarta: Pradnya
Paramita,, 1974.
D. Chairat, Falsafah Pancasila, Jkarta: Wijaya, 1955.
Darji Darmodiharjo, et al, Santiaji Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1970.
Dawam Raharjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1998.
Department of Religious Affairs of The Republic of Indonesia, The History and
The Role of The Department of Religious Affairs of The Republic of
Indonesia, Jakarta: Burean of Public Relation, Department of
Religious Affairs, 1975.
--------,Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia,
Jakarta: Badan Penerbitan dan Pengembangan Agama, Proyek
Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1997.
-------, Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama, Jakarta: Proyek
Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, 1983/1984.
Djohan Effendi, Moeslim Abdurrahman & Soenarto Soedarto ( team
perangkum ), Agama Dalam Pembangunan Nasional: Himpunan
Sambutan Presiden Soeharto, Jakarta: Pustaka Biru, 1981.
Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta: C.V. Rajawali, 1983.
E. Saifuddin Anshari, The Jakarta charter 1945 The Struggle for an Islamic
Constitution in Indonesia ( edisi Bahasa Inggris ), Kuala Lumpur:
Muslim Youth Movement of Malaysia ( ABIM ), 1979.
-------, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara
Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 – 1959 ( edisi Bahasa Indonesia ), Jakarta:
C.V, Rajawali, 1983.
432
Esposito, John L. dan Jonh O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim,
Problem dan Prospek, terj. Islam and Democracy, Bandung: Mizan,
1991.
-------, Islam dan Politik, terj. Islam and Politic, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Fachry Aly, Islam, Pancasila dan Pergulatan Politik, Jakarta: Pustaka antara,
1984.
Faisal Baasir, Etika Politik: Pandangan Seorang Politisi Muslim, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2003.
Gay, L.R., Education Research Competencies for Analysis and Application,
Columbus: Merrill Publishing Company, 1987.
Geertz, Clifforrd, The Religion of Java, Illionis: The Pree Press of
Glencoe,1960.
Hazairin, Piagam Jakarta Demokrasi Pancasila, Jakarta: Tintamas, 1970.
Harun Nasution, The Islamic State in Indonesia: The Rise of The Ideology, The
Movement for It`s Creation and The Theory of The Masumi, ( MA
Thesis, I.I.S. Mc Gill University ), Montreal Kanada, 1965.
-------, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jil. 1, Jakarta: Universitas
Indonesia, 1985.
Hasbullah Bakry, Iman dan Kepercayaan Islam, Jakarta: CV. Granada, 1986.
Herbert Feith & Lance Castle ( pnyt.), Indonesian Political Thinking, Ithaca,
New York: Cornel University Press, 1970.
Hasbullah, Ali, Muhadharat Fiy Ilmi al-Tauhid, Mesir: Mathba`ah al-Ulum,
1952.
Imam Toto K. Rahardjo dan Herdianto, Demokrasi Politik dan Demokrasi
Ekonomi, dalam, Bung Karno dan Ekonomi Berdikari Kenangan 100
Tahun Bung Karno, Jakarta: Grasindo, 2001.
433
Issawi, C, Filsafat Islam Tentang Sejarah, terj. An Arab Philosophy of History,
Jkarta: Tintamas, 1976.
Idris Zakaria, Teori Politik al-Farabiy dan Masyarakat Melayu, Kuala Lumpur,
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991.
Inu Kencana Syafi`e, al-Qur`an dan Ilmu Politik, Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1996.
Ignas Keiden, Melacak Akar Konsep Demokrasi: Suatu Tinjauan Kritis, dalam,
Sari Islam dan Demokrasi, Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, oleh
Ahmad Suaidy ( ed.) Yogyakarta: LKIS, 2000.
Ibnu Rushd, Abu al-Walid, Fashl al-Maqal Fiy Ma Bayna al-Hikmah wa
al-Shari`ah Min al-Ittishal, Beirut: al-Muassissat al-`Arabiyah, T.th.
Ibnu Taimiyah, Mu`jam Fatawa, (37 Jld.), Qahirah: Idarah al-Masahah
al-`Ashkariyah, 1404 H.
Ibnu Hisham, al-Sirah al-Nabawiyah, ( 2 Jld. ), Beirut: Dar Ihya al-Turath
al-`Arabiy, 1981.
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Qahirah: al-Mathba`ah al-Khadiuwiyah, 1284 H.
Juwono Sudarsono, Peranan Ilmu Politik Dalam Memantapkan Persatuan
dan Kesatuan Bangsa Ditinjau Dari Ilmu Hukum Internasional, dalam,
Alfian dan Hidayat Mukmin ( pnyt.), Perkembangan Ilmu Politik di
Indonesia Serta Perannya Dalam Kemantapan Persatuan dan
Kesatuan Bangsa, Jakarta: CV. Rajawali, 1985.
J. Zarcher, Arnold ( ed.), Constitution and Constitutional Trends Since World
War II, New York: New York University Press, 1955.
J.H. Raper, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
J.M. Vander Kroef, Indonesian In Modern World, Bandung: Masa Baru Ltd,
1956.
434
John ( Yohanna ) Qumair, Usul al-Falsafah al-Arabiyah, Beirut: al-Mathba`ah
al-Katholiqiyah, T.th.
Kohar Hari Sumarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila ( cet. 1 ), Jakarta:
Galia Indonesia, 1405 H./ 1984.
Kirdi Dipoyudo, Pancasila: Arti dan Pelaksanaannya, Jakarta: Yayasan
proklamasi CSIS, 1979.
Kahin, G. Mct, Nationalism and Revolution In Indonesia, Ithaca: Cornell
University Press, 1952.
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundangan, Jld. I – II dan VIII,
Bandung: Masa Baru, 1958.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.
Khamaini Zada dan arief R. Arofah, Diskursus Politik Islam, Jakarta: Lembaga
Studi Islam Progresif ( LSIP ), 2004.
Lembaga Soekarno-Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-undang Dasar 1945,
Jakarta: Inti Idayu Press, 1984.
Lukman Harun, Muhammadiyah dan Asas Pancasila, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1986.
Lewis, Bernad, Bahasa Politik Islam, terj. The Political Language of Islam,
oleh Ihsan Ali Fauzi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia ( MPR RI ), Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Indonesia No. II/MPR/1983 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara, 1988.
--------, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia No.
II/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, 1988.
-------, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara, Surabaya: Bina Pustaka Tama, 1993.
435
Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta:
Jambatan, 1954.
--------, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jld. I, Jakarta:
Siguntang, 1971.
-------, Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Jakarta:
Yayasan Prapanca, 1960.
Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Tintamas,
1969.
--------, Uraian Pancasila, Jakarta: Mutiara, 1977.
--------, Pengertian Pancasila ( pidato peringatan lahiornya Pancasila 1 Juni
1977 di Gedung Kebangkitan Nasional ), Jakarta: PT. Inti Idayu Press,
1978.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik ( edisi revisi), Jakarta: PT.
Gramedia Utama, 2008.
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
Jakarta: UI-Press, 1993.
Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996.
Masykur Hakim dan Tanu Wijaya, Model Masyarakat Madani, Jakarta:
Intimedia, 2003.
M. Umer Chapra, Negara Kesejahteraan Islami dan Peranannya di Bidang
Ekonomi, dalam, Ainur Rafik ( ed.), Etika Ekonomi Politik:
Elemen-elemen Setrateg iPembangunan Masyarakat Islam,
Surabaya: Risalah Gusti, 1997.
--------, Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. Islam and The Economic
Chalenge, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
436
M. Syamsudin, Pendidikan Pancasila, Menempatkan Pancasila Dalam
Konteks Ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan, Yogyakarta: Total Media,
2009.
M. Azrul Tanjung, Koperasi UMKM dan Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan,
Jakarta: JKPB, 2010.
Muhammad Asad, The Principles of The State and Government in Islam,
Gibraltar: Dar Andalusia, 1980.
M. Abdul Karim dkk. Wacana Politik Islam Kontemporer, Yogyakarta: Suka
Press, 2009.
Muhammad Natsir, Islam Sebagai Ideologi, Jakarta: Pusaka Lida, 1951.
--------, Islam Sebagai Dasar Negara, Bandung: T.pt. 1957.
Moeslim Taher, Sistem Pemerintahan Pancasila, Jakarta: Penerbit Nusa
Bangsa, T.th.
Mohammad Roem, Lahirnya Pancasila 1945 Tiga Peristiwa Bersejarah,
Jakarta: Sinar Idayu, 1972.
Muhammad Ridwan Lubis, Pemikiran Soekarno Tentang Islam dan
Unsur-unsur Pembaharuannya, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1992.
Muntaha Azhari dan abdul mun`im Saleh ( pnyt.), Islam Indonesia Menatap
Masa Depan, Jakarta: CV. Guna Aksara, T.th.
M. Rusli Karim ( pnyt.), Muhammadiyah Dalam Kritikan dan Komentar,
Jakarta: CV. Rajawali, 1986.
--------, Nuansa Gerak Politik Era 1980-an di Indonesia, Yogyakarta: Media,
Widya Mandala, 1992.
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1992.
Martin Sardy ( pnyt.), Agama Multidimensional, Bandung: Alumni, 1983.
437
Majelis Ulama Indonesia ( MUI ), Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama,
Solo: CV. Ramadhani, 1987.
Machnum Husein ( pnyt.), Islam dan Pembaharuan, Encoklopedian
Masalah-masalah, terj. Islam in Transtition Muslem Perspectives,
Jakarta: CV. Rajawali, 1984.
Mintz, Jeannes, Mohamed, Max, Marhaen, The Roots of Indonesian
Socialism, New York: Frederik A-Proeger Publishers, 1965.
Muhammad Hamidullah, Majmu`ah al-Siyasiyyah Li al-`Ahd al-Nabawiy wa
al-Khalifah al-Rashidah, Beirut: Dar al-Irshad, 1969.
Muhammad Jamaluddin Surur, Qiyam al-Daulah al-`Arabiyah al-Islamiyah Fiy
Hayati Muhammad saw. Qahirah: Dar al-Fikr al-`Arabiy, 1977.
Muhammad Jalal Abu al-Futuh Sharaf dan Ali Abdul aql-Mukthi Muhammad,
al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, Shakhshiyyat wa al-Mazahib, T.tp.: Dar
al-Makrifah al-Jami`iyyah, 1996.
Majid Khadduri, War and Peace In The Law of Islam, Baltimore: The Johns
Hopkins Press, 1955.
M. Hadi Hussain and A.H. Kamali, The Nature of The Islamic State, Karachi:
National Book Foundation, 1977.
]Nugroho Notosusanto, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara, Jakarta:
PN. Balai Pustaka, 1983.
--------, Naskah Proklamasi Yang Otentik dan Rumusan Pancasila Yang
Otentik, Jakarta: T.pt., 1976.
Notonagoro, Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, Yogyakarta:
Universitas Gaja Mada, 1956.
--------, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, T.tp.: T.pt., 1967.
--------, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Jakarta: PT. Bina Akasra, 1981.
438
--------, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1983.
Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Yogyakarta: Liberty, 1985.
Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia,
1998.
Al-Nadawiy, Abu Hasan Aly al-Hasaniy, Kerugian Apa Yang Diderita Dunia
Akibat Kemerosotan Kaum Muslim, terj. Kuet: I.I.F.S.O., 1984.
Nieuwenhuijze, C.A.D. Van, Aspects of Islam in Post Colonial Indonesia, The
Hague and Bandung: W.Van Hoeve, 1958.
Nicholson, R.A. A Literary History of The Arabs, New York: Cambridge
University Press, 1969.
O. Hashem, Pembahasan Ilmiah Tentang Ke-Esaan Tuhan, Surabaya: Yapi,
1962.
Oetojo Oesman dan alfian ( pnyt.), Pancasila Sebagai Ideologi
DalamBerbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara,
Jakarta: BP-7 Pusat, 1990.
Prawoto Mangkusasmito, Rumus Pancasila dan Sejarah Pertumbuhannya,
Jakarta: Lembaga Riset dan Perpustakaan, T.th.
--------, Pertumbuhan Historis Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, Jakarta:
Bulan Bintang, 1970.
Pramudito Sumalyo, Ideologi Negara dan Tantangan Zaman, Jakarta: PT.
Golden Terayon Press, 1995.
Paulus Wahana, Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Pringgodigdo, A.K., Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: Dian
Rakyat, 1967.
P. Sharma dan St. H. Rivai Abidin, Sistem Demokrasi Yang Hakiki, Jakarta:
Tayasan Menara Ilmu, 2004.
439
Philip K. Hitti, Capital Citiers of Arab Islam, Minnesota: University of
Minnesota Press, 1973.
Qamaruddin Khan, al-Mawardi`s Theory of the State, Lahore: Bazm-I-Iqbal,
T.th.
Roeslan Abdulgani, Pengembangan Pancasila di Indonesia, Jakarta: Idayu
Press, 1976.
--------, Pancasila The Prime Mover of Indonesian Revolution, Jakarta:
Prapanca, T.th.
Rahmat Subagya, Pancasila Dasar Negara Indonesia, Yogyakarta: Basis, 1955.
Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia, Jakarta: Lembaga Studi
Informasi Pembangunan ( LSIP ), 1995.
Rashid Ridha, Muhammad, Tafsir al-Mannar, T.tp.: Dar al-Fikr, T.th.
Rawwas Qal`ah Jiy, Muhammad, Qiraah Siyasiyyah Li al-Sirah al-Nabawiyyah,
Beirut: Dar al-Nafais, 1416 H./1996.
Soekarno, Lahirnya Pancasila, ( pidato pertama tentang Pancsila 1 Juni 1945
), T.tp.: T.pt. T.th.
--------, Pancasila Sebagai Dasar Negara, Jakarta: Yayasan Prapanca, T.th.
--------, Indonesia Menggugat ( pidato pembelaan Bung Karno di depan
Hakim Kolonial ), Jakarta: S.K. Seno, 1951.
--------, Lahirnya Pancasila, dalam, Tujuh Bahan Indoktrinasi, Jakarta: Dewan
Pertimbangan Agung, 1961.
--------, Di Bawah Bendera Revolusi I – II, Jakarta: Panitia Di Bawah Bendera
Revolusi, 1963-1964.
Soeharto, Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, Jakarta: Yayasan
Proklamasi, CSIS, 1976.
440
Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila dan/dalam Undang-undang Dasar
1945, Bandung: Bina Cipta, T.th.
Sayidiman Suryohadiprojo, Pancasila, Islam dan ABRI, Jakarta: PT. Penebar
swadaya, 1992.
Sumitro, Budaya Politik Dalam Perkembangan Demokrasi Di Indonesia,
dalam, Demitologisasi Politik Indonesia Menguasai Elitisme Dalam
Orde Baru, oleh Syarofin Arba MF, Jakarta: Pustaka Gresinda, 1998.
Said Agil Husin al-Munawwar, Fiqih Hubungan Antar Agama, Jakarta: Ciputat
Press, 2003.
Soetrisno Bachir, Membangun Kemandirian Bangsa, Jakarta: Belantika, 2005.
Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan
Sosio-Budaya, Jakarta: PT. Gramedia, 1989.
Sartono Kartodidjo, Sejarah Nasional Indonesia I – VI, Jakarta: Balai Pustaka,
1977.
---------, ( ed.), Indonesian Historiography: A Search for The Identity of
National History, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Supriatnoko, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Penaku, 2008.
Soepardo et al, Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia ( Sivics ), , Jakarta:
Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 1962.
Solichin Salam, Haji Agoes Salim Pahlawan Nasional, Jakarta: Jayamurni, T.
th.
Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik Indonesia, Jakarta: PT. Gunung Agung,
1981.
Sekretaris Negara Republik Indonesia, Himpunan Risalah Sidang-sidang Dari
BPUPKI dan PPKI, T.tp.: T.pt., T.th.
441
Sulaiman Noordin, Islam, al-Qur`an dan Ideologi Masa Kini, T.tp.: Pusat
Pengajian Umum Universiti Kebangsaan Malaysia, 1990.
Soerono ( Jenderal ), Usaha Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat, dalam,
Majalah Mimbar Ulama, Jakarta: Terbitan Desember, 1978.
S. Ziyad Abbas ( pnyt.), Pilihan Hadis Politik, Ekonomi dan Sosial, Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1991.
Surtahman Kastim Hasan, Ekonomi Islam, Bangi: Universiti Kebangsaan
Malaysia, 1990.
Smith, Donald Eugene, Agama dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analisis,
terj. Religion and Political Development: an Analytic Study, oleh
Machnum Husein, Jakarta: CV. Rajawali, 1985.
Sabine, George H., Plato: The Republik, dalam, A History of Political Theory,
New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co, 1973.
Sukran Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah konseptual dan Historis, Jakarta:
Gaya Media, 2002.
Team Peneliti PSIK, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan
Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman, Jakarta: PSIK Universitas
Paramadina, 2008.
Team Perangkum Badan Litbang Agama, Ketakwaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa Dalam Berbagai Sistem Sosial budaya Masyarakat di
Indonesia, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kegamaan,
Departemen Agama RI, 1989/1990.
Team Penyusun Buku 70 Tahun K.H. Achmad Sjaichu, Kembali Ke
Pesantren, Kenagnan 70 Tahun K.H. Achmad Sjaichu, Jakarta:
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1991.
T.M. Usman El-Muhammady, Antropologi Religi dan Pancasila, Jakarta:
Pustaka Agus Salim,1969.
442
T. Mulya Lubis ( pnyt.), Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Indonesia 1981,
Jakarta: Djaya Pirusa, 1983.
Teuku Ramli Zakaria, Peranan Pendidikan Pancasila Dalam Membina Sikap
Moral Pelajar Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas di Daerah
Khusus Ibu Kota Jakarta ( Disertasi Ph.D. di Universiti Kebangsaan
Malaysia, 1997.
Umar Hasyim, Negeri Allah, Adil Makmur di Bawah Ampunan Allah,
Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1981.
Undang-undang Dasar 1945, P-4, GBHN, Tap-Tap MPR 1988.
Undang-undang Dasar 1945 dan Amandemennya, Kabinet Indonesia Bersatu
Periode 2004 – 2009.
Wolter Bonar Sidjabat, Religiouse and Tolerance and The Christian Faith,
Jakarta: Badan Penerbit Kristian, 1965.
W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statemen, New York:
Oxford University Press, 1964
--------, Muhammad at Medina, London: Oxford University Press, 1972.
Weisman, W. , Research Methods in Education, Boston: Allyn and Bacon,
1991.
Yayasan Pembela Tanah Air ( Yapeta ), Sejarah Lahirnya Pancasila, Jakarta:
Yapeta, 1995.
Yusuf Qardhawiy, Fiqh Daulah Dalam Perspektif al-Qur`an dan Sunnah,
terj., Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000.
Y. Mansur Marican, Perkauman, Perpaduan dan Persemufakatan, dalam,
Masalah Perkauman dan Perpaduan, Kuala Lumpur: Buku Kreatif
Sdn, Bhd., 1986.
Z.S. Nainggolan, Pandangan Cendikiawan Muslim Terhadap P-4, Jakarta:
PT. Gema Isra Utama, 1986.
443
Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad saw. Konstitusi Negara
Tertulis Yang Pertama di Dunia, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Ziauddin Sardar, Masa Hadapan Islam, Bentuk Idea Yang Akan Datang,
terj. Islamic Future, The Shape of Idea to Come, oleh Mohd. Sidin
Ahmad Ishak, Kuala Lumpur: DBP, 1985
Zaenal A. Budiyono, Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY Mengawal
Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia Ke Orbit Dunia, Jakarta:
DCSC Publishing, 2008.
Zafir al-Qasimiy, Nizam al-Hukmi Fiy al-Shari`ah wa al-Tarikh al-Islamiy,
Beirut: Dar al-Nafais, 1983.
Working Paper
Boediono ( Wakil Presiden RI ), Konsolidasi Demokrasi Kita, Kuliah Umum
disampaikan pada Auditorium Harun Nasution, Penyelenggara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN
Mattulada, Implementasi Agama dan Budaya Dalam Pembentukan
Sumberdaya Manusia, Makalah disampaikan pada Seminar
Internasional tentang Ilmu-ilmu Usuluddin dan Falsafah, Fakulti
Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia, 1996.
Faisal Haji Othman, Program Pelaksanaan Perpaduan Nasional Dari
Perspektif Islam, Kertas Kerja disampaikan pada Simposium
Perpaduan Negara 17 Januari 1988 di Universiti Kebangsaan
Malaysia ( UKM ).
Singgih, Pembinaan Aliran Kepercayaan di Indonesia, Kertas Kerja
dipresentasikan pada Seminar Internasional di Hotel Kota Makasar,
Sulawesi, 18 Desember 1996,
444
Ting Chiew Peh, Komunitas Bukan Melayu dan Perpaduan Nasional, Kertas
Kerja dipresentasikan pada Simposium Perpaduan Negara di Bilik
jumuah Universiti Kebangsaan Malaysia, 16 Januari 1998.
Majalah
Gatra ( Majalah Mingguan ), No. 30, tahun 1, Jakarta, 10 Juni 1995.
Panji Masyarakat, 1 Mei 1996.
Berita Harian
Republika ( Berita Harian Indonesia ), dalam, Jefferson Kameo, Pilar Negara
Demokrasi di Indonesia 1998.
-------, 2 Desember 1998,
-------, 18 Desember 1998.
-------, 6 Oktober 1999,
-------, 17 Agustus 1999.
445
INDEX
A
A.Gaffar Pringgodigdo 3, 8
Amerika 10, 22
A.Baars 21, 22
Ahmad Syafii Maarif 23, 25, 82, 83
Ahmad Soebardjo 24
A.G. Pringgodigdo 24
Adam Muler 14
Anti-individualisme 14
Adnan Buyung Nasution 14
A.M.W. Pranarka 14, 82
A.A. Maramis 24, 26, 29, 31, 43
Abdurrahman Wahid 81, 146
Azyumardi Azra 78, 79, 81
As`ad Said Ali 77
Abikoesno Tjokrosoejoso 27, 29
Abdul Kahar Muzakir 4, 27, 29
Anwar Harjono 36, 204, 234
Alamsyah Ratu Perwiranegara
44
Ahmad Sanusi 46, 116
Aristoteles 88, 172, 173
Abdullati 114
Abdul Mukthi Muhammad 124
Asia 128
Australia 128
Alfian 185, 202, 204, 208, 212, 220
A.Gunawan Setiardja 235
Adi Sasono 247
ABRI 146, 213, 216, 219, 220 223,
229
Abraham Lincoln 167
Arbi Sanit 168
Azhari 134
Adhyaksa Dault 137
177
B
B.J. Habibie 79, 81, 120, 147, 156,
196, 215
Boediono 216, 242
Boedi Oetomo 5, 131, 136, 149,
195
BPUPKI 1, 2, 3, 6, 7, 8, 9, 18, 19,
21, 23, 24,26, 27,28, 32, 33,
34, 35, 37,38, 39, 40, 50, 52,
54, 134, 149
Baruch Spinoza 14
Badan Konstituante 37
Bal Gandahar Tilak 133
Belanda 136
C
Cuo Sangi In 2
Chalid Rasyidi 6
D
Darji Darmodiharjo 55
Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai 33
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 36, 37
D. Chairat 88, 90, 168, 170, 227,
341
E
Endang Saefuddin Anshari 4, 18,
20, 23
Eka Sila 18, 19,
Eropa 22
Era Reformasi 37
Era Orde Baru 37
Ernest Renan 127
Endin A.J. Soefihara 184
G
Gunseikan 2, 7, 8
Gerakan Rakyat Indonesia (
Gerindo ) 5, 20
296
Gajahmada 50
Globalisasi 73, 78, 143, 199
G.30 S/PKI 83
Gotong Royong 18, 19
GAM ( Gerakan Aceh Merdeka )
145
H
Hitler 140
Hegel 14
Hindia Belanda 1
Hery J.Benda 25
Hinduisme 25
Hazairin 24
H. Agus Salim 26, 29, 32, 38, 90
Hoesein Djayadiningrat 32
Hayam Wuruk 50, 134
H. Alamsyah Ratu Perwiranegara
104, 160, 232
I
Integralistik 12, 13, 14,
Individualistik 12, 14
Internasionalisme 15, 16, 20
Ibnu Rusydi ( Averus ) 56, 57, 98
Ideologi 50, 68, 72, 73, 74, 77, 78, 79, 81,
82 127, 151, 153, 192, 199
Ibnu Abi Rabi` 124
Ibnu Khaldun 108
Imam Bonjol 100
India 128
J
Jenderal Itagaki Seisiro 2
Jenderal Gunseireikan Saiko 2
Jong Islamiten Bond ( JIB ) 6, 149
177
J.M.Van Der Kroef 25
Jepang 140
Jusuf Kalla ( JK ) 145
Juwono Sudarsono 146
Jong Java 149
K
K.R.T. Rajiman Wediodiningrat 3,
4, 7, 8, 15, 19
Kumakici Harada 2
Ki Hajar Dewantara 4
Ki Bagoes Hadikoesoemo 4, 43,
49, 149
Kohar Hari Soemarno 8, 15
K.H. Mas Mansoer 4
K.H.A. Wahid Hasyim 4, 26, 27, 29,
32, 38, 43, 44, 49, 159
Kasman Singodimedjo 4, 43, 44,
159
Kesejahteraan 16, 21
Konferensi Partai Indonesia (
Partindo ) 20
Kerajaan Sriwijaya 22, 23, 131,
134
Kementerian Agama 23
K.H. Saefuddin Zuhri 63
Kapitalisme 73
Kesultanan Demak 135
Kesultanan Cirebon 135
KWI ( Konferensi Wali Gereja
Indonesia ) 160
KKN ( Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme ) 118, 212, 215,
224
KPK ( Komisi Pemberantasan
Korupsi ) 133, 120, 198, 204,
218, 250
Ki Ageng Tirtayasa 100
Kemal Attaturk 132
L
Lembaga Soekarno-Hatta 9, 15, 28
LSM 200
Loekman Soetrisno 224
298
M
Muh. Yamin 4, 7, 8, 9, 10, 11, 12,
15, 20, 21, 22, 23, 26, 27,
28, 29, 31, 33, 35, 36, 37,
38, 49, 52, 54, 56, 57, 58,
61, 63, 90, 129, 130, 133,
134, 135, 168, 230, 241
Moh. Hatta 4, 8, 9, 24, 25, 26, 29,
38, 39, 42, 44, 45, 47, 48,
87, 88, 128, 129, 151, 180,
205, 240 241
M. Natsir 4
Mr. Sunario 8
Marsilan Simkanjuntak 14
Mufakat 16
Marhaen 20
Marxisme 26, 71
Megawati 81
Mukti Ali 100
Musthafa al-Rafi`ie 116, 121
Muhammad Jalal 124
MK ( Mahkamah Konstitusi ) 183,
184, 186, 218
Miriam Budiardjo 193, 194, 196,
215
M. Rusli Karim 194
MAII ( Majelis A`la Islam Indonesia
) 149, 160, 163
Masyumi 149, 162, 213, 223
Martin Sardy 157, 158, 162
MUI 164
Majapahit 22, 23, 131, 133, 134,
135, 148
Mohandas Karamchad Gandi 133
Muhammadiyah 136, 149, 162
195
N
Nasional Indonesia Padvinderij 6
Nasionalisme 20, 22, 29, 129, 130
137, 148
Noor Ms Bakry 52
299
Notonagoro 44, 58, 227, 228
NKRI 69, 72, 80, 100, 159, 173,
212
NU ( Nahdlatul Ulama ) 136, 149,
162, 164, 165, 195, 223
O
Opsir Kaigun Jepang 42, 43, +44,
45
Otto Bauer 127
P
PNI ( Partai Nasional Indonesia ) 5,
223
Parindo ( Partai Indonesia ) 5
PNI- baru ( Pendidikan Nasional
Indonesia ) 5
Parindra ( Partai Indonesia Raya )
5, 213
PSI ( Partai Syarekat Islam ) 6, 213
PSIHT ( Partai Syarekat Islam
Hindia Timur ) 6
PSII ( Partai Syarekat Islam
Indonesia ) 6, 25
Panitia Kongres Pemuda II 6
Pratignyo 8
Perwakilan 16
Philosofhische Gronslag 15, 16
Piagam Jakarta 28, 30, 31, 32, 33,
35, 36, 37, 38, 39, 42, 46,
Pancasila 17, 18, 19, 23, 25, 26,
28, 30, 31, 38, 39, 44, 50,
53, 54, 56, 57, 60, 63, 66,
68, 69, 72, 75
Panca dharma 17
Parpindo ( Partai Persatuan
Indonesia ) 20
Prawoto 31, 44, 45, 46, 50
PPKI 37, 42, 43, 44, 47, 49, 50,
53
Plato 88
Pramudito Sumalyo 140
Palestina 140
PGI ( Persatuan Gereja-geraja
Indonesia ) 160
PHDI ( Parisada Hindu Dharma
Indonesia ) 160
300
PKI ( Paratai Komunis Indonesia )
160
Pakistan 128
Proletariat 131
Portogis 136
R
R. Panji Soeroso 5
S
Soekarno 3, 4, 7, 8, 9, 15, 16, 17,
18, 19, 20, 21, 22, 23, 24,
26, 27, 28, 29, 30, 31, 32,
33, 34, 37, 38, 39, 48, 50,
52, 53, 54
Soeharto 23, 54, 61, 67, 79, 104,
116, 141, 142, 144, 146,
149, 151, 167, 192, 194,
196, 214, 215, 222, 224
SBY 145
Soesanto Tirtoprodjo 4
Sartono 4
Samsi 4
Soepomo 7, 8, 9, 13, 14, 15, 20,
26, 39
Soebardjo 8, 29
Sumpah Pemuda 6
SI ( Syarekat Islam ) 5, 149, 162,
195
SDI ( Syarekat Dagang Islam ) 5,
136, 149
Sosialistik 12
Simbolik 18
Sosial-nasiolisme 20
Sosial-demokrasi 20
Sun Yatsen 21, 22, 23, 133
Sosialisme 22
Sunario 24Soekiman 31, 37
Sayuti Melik 44
Singgih 98
Sayidiman Suryohadiprojo 142,
151, 182
Said Agil Husin Al-Munawwar 152,
163, 164
Saefuddin Zuhri 168
301
Sygman Rhee 133
Sartono Kartodirjo 137
T
Teuku Moh. Hasan 43, 44
T.M. Usman El-Muhammady 18,
25
Trisila 18, 19
Taufik Abdullah 47
Timor Leste ( Timor Timur ) 129,
145, 223
Taman Siswa 136
TNI ( Tentara Nasional Indonesia )
216, 219, 220, 222
T. Mulya Lubis 239, 249
TKI ( Tenaga Kerja Indonesia ) 112,
113
W
Wilopo 6
Weltanchoung 15, 20
Wongsonegoro 32
Woodrow Wilson 133
WALUBI ( Perwalian Umat Budha
Indonesia ) 160
Z
U
UNESCO 174
Y
Yusril Ehza Mahendra 224
303
Zimukyoku 9
304
SEKILAS TENTANG PENULIS
Sirojuddin Aly; tenaga akademik konsen pada kajian pemikiran
politik Islam adalah dosen tetap pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (
FISIP ), Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta,
dan sebelumnya dari tahun 2002 – 2009 dosen pada Fakultas Usuluddin
dan Filsafat, Program Studi Pemikiran Politik Islam di Universitas yang
sama. Penulis lulus Lc. ( S-1 ) dari Universitas Islam Madinah Saudi Arabia
tahun 1988, meraih Master of Islamic Studies ( S-2 ) dari Universiti
Kebangsaan Malaysia ( UKM ) tahun 1993, dan Ph.D ( S-3 ) diraih dari
Universitas yang sama, yaitu; Universiti Kebangsaan Malaysia pada akhir
tahun 2001. Mengenai pengalaman kerja sebagai berikut;
1. Tahun 1993 – 1997 dosen ( pensyarah ) pada Fakulti Pengajian Islam ( Faculty of Islamic Studies ), Universiti Kebangsaan Malaysia ( UKM ).
2. Tahun 1997 dosen part time pada Kolej Anjung Selatan di Sepang, Selangor, Malaysia.
3. Tahun 1998 – 2001 dosen ( pensyarah ) pada Institut Kemajuan Ikhtisas Pahang, Malaysia yang bekerjasama dengan Universiti Malaya ( UM ) dan Universitas Yarmouk di Jordan.
4. Tahun 2003 – 2006 mengajar di Institut PTIQ dan IIQ Jakarta. 5. Tahun 2002- 2006 mengajar pada Program Pascasarjana S-2
Program Studi Politik Islam, Isntitut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta (Kayumanis ).
6. Tahun 2006 – 2009 Direktur Pascasarjana, Program Studi Politik Islam, Institut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta ( Klender ).
7. Tahun 2010 – 2013 Pembantu Ketua I ( Puket -1 ) bidang Akademik pada Sekolah Tinggi Agama Islam Indonesia ( STAIINDO ) Jakarta.
8. Sejak tahun 2009 – sekarang; Anggota Dewan Penilai Ijazah Studi Islam Pendidikan Tinggi Luar Negeri, pada Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Islam, Kementerian Agama RI.
9. Sejak tahun 2013 – 2015 sebagai anggota Team Pembakuan Format Ijazah ( S-1, S-2 dan S-3 ) pada Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Islam, Kementerian Agama RI.
10. Sejak tahun 2010 – 2015, ketua Dewan Kehormatan Akademik Fakultas ( Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ), Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.
11. Sejak tahun 2015 – sekarang, ketua Center for Islamic Political Thought (CIPT) atau Pusat Kajian Pemikiran Politik Islam (Puskappolis), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.