identitas dan kebanggaan - repository.uinjkt.ac.id

80
Dr. M. Amin Nurdin, MA Dr. Ahmad Rido, DESA Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin (HIPIUS) 2020 IDENTITAS DAN KEBANGGAAN Menjadi Orang Minangkabau: Pengalaman Perantau Minang asal Nagari Sulit Air

Upload: others

Post on 16-Nov-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

Dr. M. Amin Nurdin, MA

Dr. Ahmad Rido, DESA

Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin

(HIPIUS)

2020

IDENTITAS

DAN KEBANGGAAN Menjadi Orang Minangkabau: Pengalaman

Perantau Minang asal Nagari Sulit Air

Page 2: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id
Page 3: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

IDENTITAS DAN KEBANGGAAN

Menjadi Orang Minangkabau: Pengalaman

Perantau Minang Asal Nagari Sulit Air

Dr. M. Amin Nurdin, MA

Dr. Ahmad Rido, DESA

Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin

(HIPIUS)

2020

Page 4: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

ii

IDENTITAS DAN KEBANGGAAN

Menjadi Orang Minangkabau: Pengalaman Perantau Minang Asal Nagari

Sulit Air

Edisi Pertama, Cetakan ke-1

ISBN: 978-623-93985-1-4

Penulis: Dr. M. Amin Nurdin, MA dan Dr. Ahmad Rido, DESA

Penerbit: Hipius (Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin)

Cetakan I, September 2020

Redaksi:

Gedung Fakultas Ushuluddin Lt. 2, UIN Jakarta

Jl. Ir. H. Juanda No. 95

Ciputat, Tangerang Selatan

Tlp (021) 7493677, Fax (021) 7493579

Email: [email protected]

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip dan menyalin sebagian atau seluruh isi buku ini dalam

bentuk apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin

tertulis dari Penerbit.

Page 5: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

iii

Kata Pengantar

Laporan hasil penelitian tentang persoalan identitas dan kebanggaan

masyarakat Minangkabau ini dengan mengambil organisasi Sulit Air Sepakat (SAS)

sebagai studi kasus. Persoalan kebangkitan etnis setelah era Reformasi menarik untuk

dikaji, khususnya pada masyarakat Minangkabau.

Penelitian ini dilaksanakan oleh unit Puslitpen dibawah Lembaga Penelitian

dan Pengabdian untuk Masyarakat (LP2M) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta dengan mata anggaran tahun 2020.

Untuk itu, kami mengucapkan terimakasih kepada Lembaga Penelitian dan

Pengabdian untuk Masyarakat (LP2M) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah membantu terwujudnya penelitian ini. Begitu pula

kami mengucapkan terimakasih kepada unit Puslitpen UIN Jakarta yang telah

memberikan arah dan pedoman penelitian. Tak lupa pula kami capkan terimakasih

kepada Dr. Addiarrahman yang telah memberi bantuan bahan-bahan referensi tentang

Minangkabau sehingga memudahkan kami dalam proses penulisan penelitian.

Terakhir, kami juga sampaikan terimakasih kepada pihak organisasi Sulit Air

Sepakat (SAS) dan Ikatan Pemuda Sulit Air (IPSA) yang telah sudi untuk dilakukan

sebagai sumber pertama hasil penelitian ini. Dan juga terimakasih kepada Dekan

Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta Dr. Yusuf Rahman yang telah ikut mendukung

penelitian sebagai bentuk kegiatan intelektual dan kepada Penerbit Hipius yang telah

menerbitkan buku ini.

Jakarta, 20 Agustus 2020

Dr. M. Amin Nurdin, MA.

Dr. Ahmad Ridho, DESA

Page 6: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

iv

Daftar Isi

Kata Pengantar…………………………………………………………………….iii

BAB I: Pendahuluan ............................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... 4

D. Studi Terdahulu ............................................................................................ 4

E. Landasan Teori ............................................................................................. 5

F. Metode Penelitian ........................................................................................ 7

G. Sistematika Pembahasan .............................................................................. 7

BAB II: Pasang Surut Identitas dan Kebanggaan Kaum Perantau

Minangkabau……………………………………………………………..9

A. Sejarah Sosial Masyarakat Minangkabau ..................................................... 9

1. Periode Pra Islam ..................................................................................12

2. Periode Pra Kolonial .............................................................................13

3. Periode Kolonial ...................................................................................15

4. Periode Paska Kolonial .........................................................................17

B. Pergumulan Islam dan Adat di Minangkabau ..............................................19

C. Orientasi Nilai Budaya Minangkabau ..........................................................23

D. Merantau sebagai Bagian dari Proses Pembentukan Identitas Kul-

tural………………………………………………………………………...25

BAB III: Sejarah Perkumpulan SAS ...................................................................31

A. Sejarah Sosial Masyarakat Minangkabau………………………………….31

B. Sejarah Nagari Sulit Air (Suliek Aie) dan Setting Sosial Budaya dan Ekonomi

Masyarakat Sulit Air ...................................................................................33

Page 7: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

v

C. Sejarah Perkumpulan Sulit Air Sepakat .......................................................38

D. Ikatan Pemuda Pelajar Sulit Air ..................................................................40

E. Peran Kaum Perantau……………………………………………….. …….42

BAB IV: Orang Minang Sulit Air: Pembentukan Jati Diri dan Kebanggaan

Bernagari………………………………………………………………...48

A. Identitas dan Kebanggaan Etnis dalam Pentas Politik……………………..48

B. Proses Pembentukan Identitas dan Kebanggaan Perantau Sulit…………...50

1. Pengenalan Budaya Minangkabau……………………………………....50

2. Tingkat Kecintaan dan Kebanggaan Menjadi Orang Minangkabau……53

3. Penggunaan Bahasa Minangkabau ........................................................54

C. SAS dan Jejaring Sosial Perantau Sulit Air Lainnya ...................................55

D. Filantropi SAS dan Kebanggaan Menjadi Orang Sulit Air……………….. 62

E. Dewan Dakwah Risalah ...............................................................................65

BAB V Penutup .....................................................................................................69

A. Kesimpulan .................................................................................................69

B. Saran ...........................................................................................................70

Daftar Pustaka ........................................................................................................71

Page 8: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Masyarakat Minangkabau merupakan salah satu etnis di Indonesia yang

banyak dikaji peneliti dalam dan luar negeri. Ragam kehidupan etnisnya diteliti mulai

dari tradisi matrineal, adat istiadat, merantau, kontroversi budaya, dan Islam dalam

perkembangan di masa dahulu dan sekarang.1 Terbentuknya Negara Kesatuan

Republik Indonesia, belakangan memberikan pergeseran dalam tubuh masyarakat

Minangkabau itu sendiri yang sebelumnya berhadap-hadapan dengan kolonialisme.

Sakali aie gadang, sakali tapian barubah; (sekali air bah, sekali tepain berubah)

adalah ekspresi keterbukaan dan kedinamisan masyarakat Minangkabau terhadap

perubahan yang terjadi. Tidak hanya itu, konflik dimaknai sebagai dinamika sosial

yang positif, karena basilang kayu ditungku, sinan api mangko ka hiduik (bersilang

kayu ditungku, di situ api akan hidup). Meskipun demikian, konflik tidak boleh

memecah keutuhan karena biduak lalu kiambang batawik.

Salah satu kajian sosiologis yang menarik adalah pencarian identitas. Di

antara kegelisahan masyarakat Minangkabau saat ini adalah kehilangan identitas/jati

diri. Sebelumnya mereka bangga dengan etnisnya yang dikenal sebagai orang cerdas,

gesit, tangkas, dan pandai memanfaatkan peluang. Banyak tokoh terkenal dijadikan

contoh seperti Bung Hatta, Natsir, Hamka, dll., menjadi kebanggaan Orang Minang.

Hampir 60% tokoh-tokoh masa pra-Kemerdekaan dan paska-Kemerdekaan berasal

dari etnis Minang.

Namun trauma kekalahan PRRI di tahun 1950an sangat membekas dalam hati

mereka, sehingga banyak yang merantau dan menyembunyikan identitas

keminangannya.2 Mereka seolah malu dengan identitasnya; orang tuapun memberi

nama asing, seperti “Kardinal”, “Edward” dll. Di era Orde Baru, trauma krisis ini

mulai mereda sejak pemberian penghargaan Prasamnya Purnakarya Nugraha oleh

Presiden Soeharto kepada Provinsi Sumatera Barat (1984). Identitas dan kebanggaan

etnis Minang bangkit kembali. Ini seakan menjadi pemicu kebangkitan identitas dan

kebanggaan melalui konsolidasi baik secara organisatoris maupun individu.

1 Azyumardi Azra, "Kata Pengantar", dalam Safroedin Bahar dan Zulfan Tadjoedin,

Masih Ada Harapan: Posisi Sebuah Etnik Minoritas dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara

(Jakarta: Yayasan Sepuluh Agustus), 2004, h. vii.

2 Mochtar Naim, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabu (Jakarta: Sinar

Harapan), 2001, h. 263-264; Lihat juga dialog Taufik Abdullah dalam Gusnawirta Taib dan

Abrar Yusra (ed.), Tantangan Sumatera Barat (Jakarta: Citra Pendidikan), 2001, h. 83.

Page 9: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

2

Identitas Minangkabau terbentuk dari pergumulan antara adat dan Islam, yang

belakang dipengaruhi oleh sistem negara-bangsa dalam proses yang panjang.3

Institusi merantau yang lahir dari nilai-nilai adat, ikut menentukan dalam proses

pembentukan identitas; seseorang dianggap belum ‘berguna’ jika belum merantau.

Akan tetapi, mobilisasi dan interaksi dengan etnik lain, mempengaruhi perubahan

identitas Minangkabau.4 Nicola Maher menegaskan bahwa identitas perantau

Minangkabau, sebagaimana yang dia teliti di Sydney, sangat ditentukan oleh relasi

mereka dengan kampung halaman, keterlibatan dalam komunitas, dan lingkungan

keluarga.5

Penelitian ini coba memeriksa kembali faktor-faktor pembentuk identitas

perantau Minangkabau, khususnya yang berasal dari Nagari Sulit Air, Kabupaten

Solok, Sumatera Barat. Kebanggaan sebagai orang Sulit Air, tetap melekat meskipun

di antara perantau tersebut, lahir dan tumbuh besar di daerah yang multikultural,

plural, hedonis dan individualis atau juah dari kampung halamannya, Sulit Air.

Perubahan identitas merupakan suatu keniscayaan, namun bagaimana kebanggaan

menjadi orang Sulit Air terus terbawa, bahkan ikut membentuk proses identifikasi

budaya, menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji. Lebih dari itu, keberadaan dan

dinamika dalam Perkumpulan SAS sebagai organisasi perantau Sulit Air, ikut

membentuk identitas dan kebanggaan tersebut.

Tahun 1912 disepakati sebagai tahun berdirinya SAS di kota Padang oleh

segenap perantau Sulit Air dan diresmikan pada tanggal 3 Juli 1970. Konfrensi

pembentukan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) SAS pertama 3-5 Juli 1970 di Villa Aida

Ciloto, Puncak Jawa Barat. Pada 8 Maret 2007 barulah organisasi SAS ditetapkan

sebagai organisasi berbadan hukum berbentuk perkumpulan. Secara tertulis, Surat

Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. C-19.HT.01.03.TH.2007 menjadikan

organisasi ini sebagai bukti berbadan hukum. Adapun AD/ART SAS disahkan

berdasarkan akta notaris No. 27 tanggal 28 Februari 2006 dan akta No. 7 tanggal 11

Oktober 2006 yang dibuat dihadapan notaris Drs. Zarkasi Nurdin, SH.6

Sulit Air dengan luas wilayah 80 km2 dan topografi wilayahnya itu, diakui

sebagai karunia dan rahmat Allah. Bagi masyarakatnya, Sulit Air diibaratkan seperti

sebuah pohon beringin: akarnya seluk-berseluk, pucuknya hempas menghempas,

seikat bak sirih, serumpun bak serai, sehina semalu. Meskipun banyak warganya pergi

merantau, namun tetap mencintai masyarakat dan tanah pusakanya Sulit Air; wujud

manifestasi kecintaan terhadap bangsa dan tanah air, Indonesia. Berkumpul dalam

satu ikatan organisasi adalah cara merapatkan barisan, memperkuat tenaga untuk

3 Franz dan Keebet von Benda-Beckmann, “Ambivalent identities: Decentralization

and Minangkabau political communities,” 1 Januari 2007, 417–42,

https://doi.org/10.1163/22134379-90002980. 4 Syafwan Rozi, “Konstruksi Identitas Agama dan Budaya Etnis Minangkabau di

Daerah Perbatasan: Perubahan Identitas dalam Interaksi Antaretnis di Rao Kabupaten

Pasaman Sumatera Barat,” Masyarakat Indonesia 39, no. 1 (30 Juni 2013): 215–45,

https://doi.org/10.14203/jmi.v39i1.317. 5 Nicola Maher, “Minangkabau Migration: Developing an Ethnic Identity in a

Multicultural Society,” Australian Geographical Studies 32, no. 1 (1994): 58–68,

https://doi.org/10.1111/j.1467-8470.1994.tb00660.x. 6 Suara SAS, No. 03 April 2007 s/d Oktober 2007, h. 5

Page 10: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

3

membangun masyarakat dan nagari Sulit Air. Begitulah mukaddimah yang tertuang

dalam AD/ART SAS.

Awal tahun 1912 itu, SAS masih berbentuk hanya sebatas untuk

memperingati kematian, ungkap alm. Jamluddin Tambam semasa hidupnya. Pada

masa itu, yaitu di tahun 1910-1920-an masyarakat Sulit Air masih memberikan

penghormatan kepada orang yang telah meninggal dunia. Kenduri dan selametan

dilakukan sebagai wujud penghormatan. Dengan masuknya Muhammadiyah di tahun

1930-an dan berdirinya Sumatera Thawalib yang dirintis oleh ayah Buya Hamka,

Syekh Abdul Karim Amrullah sejak tahun 1925, barulah kebiasaan itu mulai

memudar dalam kehidupan masyarakat. Sebagai seorang yang begitu keras

mengusung pembaharuan, upaya yang dilakukan oleh Syekh Abdul Karim Amrullah,

seorang propagandis Muhammadiyah yang paling berhasil dalam pembaharuan

pemikiran Islam sehingga organisasi ini cepat menyebar di seluruh wilayah

Minangkabau.7 Sejak itu, kegiatan SAS diarahkan untuk pemberdayaan masyarakat

Sulit Air, baik di rantau maupun di kampung halaman.

Tahun 1912 merupakan era yang menurut sebagian besar sejarawan adalah

masa kebangkitan nasional. Pada dekade itu, Boedi Utomo lahir pada 20 Mei 1908.

Serikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1911. Muhammadiyah dicetus pula pada 18

November 1912 oleh Ki Ahmad Dahlan. Pada masa-masa itu pula, berdiri organisasi

persukuan seperti Minangkabau Saiyo di Bandung dan Medan. Begitu pula Atjeh

Sepakat. Ini membuktikan bahwa semangat kebangkitan nasional juga mendorong

masyarakat Indonesia berkumpul, menyatukan kekuatan dan kemampuan yang ada.

Adalah wajar bila organisai perantau Sulit Air ini diberi nama “Sulit Air Sepakat”,

karena semangat mendirikan perkumpulan rantau-rantau sepakat, sedang

menggelora di waktu itu.

Perkumpulan Sulit Air Sepakat (SAS) saat ini telah memiliki 97 cabang

tersebar di setiap provinsi dan kota-kota besar di luar negeri. Perkumpulan SAS

memiliki kebanggaan identitas dan tradisi filantropi yang berkontribusi besar pada

pembangunan nagarinya.8 SAS menjadi contoh organisasi perantau Minangkabau

dengan semangat filantropi tersebut.9 Keberhasilan membangun masyarakat dan

nagari adalah wujud kebanggaan sebagai orang Sulit Air (identity).

Banyak manfaat keberadaan SAS bagi perantau dan masyarakat Sulit Air.

Tidak hanya bisa menyambung silaturahim, keberadaannya memberikan manfaat bagi

peningkatan kualitas ekonomi, infrastruktur, pendidikan, seni, dan budaya Sulit Air.

Lebih dari itu, dalam panggung politik keberadaan SAS di beberapa cabang daerah

sangat diperhitungkan karena jumlah warganya yang sangat banyak dan jaringan

perdagangan yang cukup luas. Meskipun secara tegas organisasi SAS bukanlah

7 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor

Sejarah (Jakarta: Gramedia), 2002.

8 I. Huri, Filantropi kaum perantau: studi kasus kedermawanan sosial organisasi

perantau Sulit Air Sepakat (SAS), Kabupaten Solok, Sumatera Barat (Padang: Piramedia),

2006

9 Addiarrahman, A., “Kearifan Lokal dan Aktifitas Filantropi Perantau Sulit Air

Sepakat (SAS)”, dalam. INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 2019, 013(1), h.

177–200.

Page 11: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

4

organisasi politik dan tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis. Adapun

secara individu, menjadi hak dan kewajiban warga Sulit Air sebagai bagian warga

Indonesia.

Penelitian ini mengamati kembali faktor-faktor pembentuk identitas perantau

Minangkabau, khususnya yang berasal dari Nagari Sulit Air, Kabupaten Solok,

Sumatera Barat.

II. Rumusan Masalah

Penelitian ini berupaya menjawab pertanyaan penelitian (research question),

yaitu bagaimana peran perkumpulan SAS dalam melestarikan identitas dan

kebanggaan pada keminangannya?

III. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana peran

perkumpulan SAS dalam melestarikan identitas dan kebanggaan pada

keminangannya.

IV. Kajian Terdahulu

Dalam menghadapi perubahan sosial atau krisis yang terjadi di tengah

masyarakat, perantau Minangkabau, cenderung menggunakan norma budaya; baik

yang berasal dari kampung halaman maupun yang ada di tempat mereka merantau,

secara bergantian. Hal ini dimaksudkan agar mereka mendapatkan hak-hak tertentu

yang telah disediakan oleh dua budaya tersebut. Dengan demikian, perantau

Minangkabau dapat mempertahankan identitas lama dan asli, di samping juga mampu

bertahan dengan identitas baru dari budaya yang berbeda. Di samping itu, interaksi

dalam dua dualisme budaya tersebut, membuat perantau Minangkabau cenderung

memodifikasi adat Minangkabu10

Maher menegaskan bahwa identitas perantau Minangkabau di Sydney sangat

unik dan bersifat individual. Ia ditentukan oleh bagaimana seorang perantau

berinteraksi dengan negeri asal, membaur di komunitas lokal, dan kondisi lingkungan

keluarga. Pengalaman mengenai pembentukan dan perubahan identitas bersifat

individual, sehingga pendekatan yang digunakan untuk memahaminya harus

fleksibel11. Identitas budaya perantau Minangkabau juga diekspresikan dalam

aktivitas ekonomi, seperti simbol-simbol rumah gadang pada rumah makan padang.

Hal ini dilakukan sebagai strategi adaptif di perantauan.12

10 Wibawarta, B. Elfira, M, & Christomy, T., Minangkabau perantau and the

negotiation of identity: “moved in and out’’ of the position of an outsider and insider.”

Dipresentasikan pada Scholar Summit, 2017. Diambil dari

https://scholar.ui.ac.id/en/publications/minangkabau-perantau-and-the-negotiation-of-

identity-moved-in.

11 N. Maher, “Minangkabau Migration: Developing an Ethnic Identity in a

Multicultural Society” dalam Australian Geographical Studies, 32 (1), 58–68.

https://doi.org/10.1111/j.1467-8470.1994.tb00660.x

12Andoni, H., & Ekomadyo, A., Interpretasi Identitas Budaya Diaspora Masyarakat

Minangkabau: Sebuah Kajian Semiotika pada Rumah Makan Padang di Bandung, 2016.

Page 12: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

5

Perkembangan sosial media, ikut mempengaruhi identitas budaya perantau

Minangkabau. Penggunaan gambar, peribahasa, dan topik-topik adat dan budaya pada

forum diskusi virtual, seperti grup facebook Palanta Urang Awak Minangkabau,

cukup menarik perhatian publik dan membentuk identitas budaya perantau

Minangkabau.13 Perkumpulan SAS juga memanfaatkan sosial media, seperti

WhatsApp dan Facebook sebagai media informasi dalam banyak kasus untuk

menghimpun potensi filantropi kaum perantau.

Penelitian ini mengadopsi model Nicola Maher dalam memahami

pembentukan dan perubahan identitas perantau Minangkabau. Akan tetapi, tidak

hanya terfokus pada interaksi dengan kampung halaman, keaktifan dalam organisasi

SAS, dan kondisi lingkungan keluarga, penelitin ini secara lebih dalam berupaya

memahami bagaimana interaksi dan ekspresi identitas dan kebanggaan perantau Sulit

Air di perantauan. Pada kasus tertentu, juga berupaya memahami institusi perkawinan,

ekonomi, dan politik, ikut mempengaruhi identitas dan kebanggaan sebagai orang

Sulit Air.

V. Landasan Teori

Identitas Minangkabau selalu dalam keadaan ambivalensi14. Ia akan terus

berkelindan antara adat, Islam, dan negara15. Aktifitas merantau bagi masyarakat

Minangkabau, bukan hanya perpindahan atau mobilitas sosial untuk meningkatkan

taraf pendidikan, ekonomi, dan atau status sosial. Lebih dari itu, ia merupakan proses

pembentukan identitas16. Oleh sebab itu, adopsi dan adaptasi selalu bersifat dinamis

dalam proses tersebut. Dengan kata lain, identitas Minangkabau meskipun bukanlah

sesuatu yang primordialisme, karakter primordialis tersebut tetap melekat melalui

proses negosiasi.

Institusi merantau, dengan demikian, meneguhkan adanya keterkaitan antara

ruang dan identitas suatu kelompok (space and group identity)17. Kebanggaan (pride)

terhadap suatu kelompok, menurut persepktif rasionalis, ditentukan oleh keuntungan-

keuntungan material yang disediakan oleh suatu kelompok. Di sisi lain, keberadaan

13 Franzia, E., Piliang, Y. A., & Saidi, A. I, “Manifestation of Minangkabau Cultural

Identity through Public Engagement in Virtual Community”, dalam Procedia-Social and

Behavioral Sciences, 2015, 184, 56–62. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.05.053

14 Franz, & Benda-Beckmann, K. von, Ambivalent identities: Decentralization and

Minangkabau political communities, 2007, 417–442. https://doi.org/10.1163/22134379-

90002980

15 Franz, & Benda-Beckmann, K. von, Ambivalent identities: Decentralization and

Minangkabau political communities, 2017, 417–442. https://doi.org/10.1163/22134379-

90002980

16 A. Murad, Merantau: aspects of outmigration of the Minangkabau people, 1978.

Diambil dari https://openresearch-repository.anu.edu.au/handle/1885/117421

17 Gleason, M., (2013). Space, pride, and identity. Dalam C. Venet & B. Baranes

(Ed.), European Identity through Space: Space Activities and Programmes as a Tool to

Reinvigorate the European Identity, 2013, h. 33–43. https://doi.org/10.1007/978-3-7091-

0976-2_4

Page 13: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

6

kelompok lain, juga ikut mempengaruhi kebanggaan individu terhadap

kelompoknya18.

Keterkaitan merantau dengan pembentukan identitas, berkaitan erat dengan

ruang (daerah) di mana seseorang merantau. Membawa identitas budaya asal,

tentunya memerlukan kemampuan beradaptasi. Akan tetapi, bagaimana identitas asal

tetap melekat dan membentuk kebanggaan, hal ini belum terjelaskan melalui teori di

atas. Di sisi lain, dalam konteks penelitian ini, kebanggaan sebagai orang Suliek Aie

(Sulit Air), tidaklah ditentukan oleh seberapa besar keuntungan material diperoleh

oleh seseorang dari organisasinya. Sebaliknya, seberapa besar seseorang mampu

berbuat, berkontribusi, dan memberikan manfaat untuk organisasinya “perkumpulan

SAS” dan untuk masyarakat Sulit Air, baik di rantau maupun di kampung halaman.

Namun, menjadikan organisasi lain (perantau lain) ikut membentuk kebanggaan

menjadi orang Sulit Air juga menjadi tesis dalam penelitian ini.

Oleh sebab itu, penelitian ini meminjam perspektif analisis Maher tentang

proses pembentukan identitas perantau Minangkabau. Identitas dan kebanggaan

perantau Sulit Air adalah himpunan dinamis antara hubungan dengan ranah,

keterlibatan dengan perkumpulan SAS, lingkungan keluarga, dan memaknai menjadi

orang berguna. Dalam banyak kasus, keberhasilan perantau Sulit Air di bidang yang

ia geluti, tidak menjadi suatu kebanggaan manakala dia belum mampu berbuat untuk

urang kampuang; baik di rantau maupun di kampung halaman.

18 Gleason, M., “Space, pride, and identity” dalam C. Venet & B. Baranes (Ed.),

European Identity through Space: Space Activities and Programmes as a Tool to Reinvigorate

the European Identity, 2013, h. 33–43. https://doi.org/10.1007/978-3-7091-0976-2_4

Page 14: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

7

VI. Metode Penelitian

Penelitian merupakan penelitian etnografi yang terfokus untuk memahami

pembentukan identitas dan kebanggaan perantau Sulit Air. Perantau Sulit Air tersebar

di seluruh wilayah Indonesia dan juga luar negeri. Hal ini dibuktikan dengan

keberadaan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Sulit Air Sepakat yang berjumlah 97

cabang dan tersebar di dalam dan luar negeri (seperti: Sydney, Melbourne, Malaysia).

Akan tetapi, penelitian ini terfokus di wilayah DKI Jakarta sebagai tempat kedudukan

Dewan Pimpinan Pusat (DPP) SAS. Pengumpulan data dilakukan dengan cara

wawancara mendalam (indepth interview), berbagi cerita (sharing), dan diskusi

kelompok terarah (Focus Group Discussion).

Informan kunci penelitian ini adalah pengurus DPP SAS, tokoh perantau Sulit

Air, dan tokoh perantau Minangkabau lainnya. Tidak hanya melalui wawancara, data

yang diperoleh melalui informan ini juga dikumpulkan melalui proses berbagi cerita.

Adapun FGD dilakukan dengan pengurus Ikatan Pemuda Pelajar Sulit Air (IPPSA)

yang merupakan organisasi Pemuda-Pelajar perantau Sulit Air. Ini dimaksudkan

untuk mengetahui bagaimana generasi mellenial memaknai identitas dan kebanggaan

mereka menjadi orang Minangakabau; menjadi orang Sulit Air.

Perlu ditegaskan bahwa pandemic covid 19 mengubah pelaksanaan penelitian

ini. Semula, seluruh proses pengumpulan data dilaksanakan dengan tatap muka

langsung. Akan tetapi, peneliti hanya bisa melaksanakannya secara daring melalui

aplikasi zoom cloud meeting, khususnya dalam proses FGD. Adapun wawancara dan

sharing pengalaman, dilaksanakan melalui telepon langsung dan atau video

conference dengan aplikasi WhatsApp. Meskipun demikian, penelitian ini mampu

mengungkap informasi yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan penelitian ini.

VII. Sistematika Pembahasan

Pembahasan dalam penelitian ini dimulai dengan mengelaborasi kerangka

berfikir yang melatari riset ini dilakukan. Selanjutnya, peneliti menganalisis sejarah

sosial perantau Sulit Air dan Perkumpulan Sulit Air Sepakat (SAS). Hal ini

dimaksudkan untuk mendapatkan pemaknaan yang komprehensif tentang makna

merantau menurut perantau Sulit Air. Pada bab selanjutnya, peneliti mulai

mengidentifikasi faktor-faktor yang membentuk identitas dan kebanggaan perantau

Sulit Air dengan memahami bagaimana pola interaksi dan adaptasi perantau Sulit Air

terhadap lingkungan di mana ia merantau. Institusi keluarga, perkumpulan SAS,

nagari, dan folkor Minangkabau, akan dipahami secara dinamis, sehingga bisa

diidentifikasi faktor yang membentuk identitas dan kebanggaan tersebut. Sebelum

diakhiri dengan Bab penutup, pembahasan dalam penelitian ini juga menganalisis

implikasi strategis identitas dan kebanggaan perantau Sulit Air terhadap

pembangunan daerah atau nagari.

Page 15: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

8

VIII. Target

Penelitian ini menjelaskan bagaimana hubungan identitas sebuah suku bangsa

dengan adat istiadat dan perkembangan agama (Islam) khususnya di Sumatera Barat.

Sejarah Etnis Minang penuh warna, mulai dari sikap perlawanan terhadap penjajah

Belanda berlanjut dengan reformasi pendidikan Islam hingga mundurnya tradisi surau

bahkan sampai ‘tarandam’. Krisis berlanjut dengan kekalahan PRRI di tahun 1950an

yang berakibat pada hilangnya jati diri masyarakat Minangkabau. Di sini, peneliti

menjelaskan bagaimana krisis identitas terjadi pada masa sebelumnya dan kemudian

bangkit lagi di masa pertengahan rezim Orde Baru hingga kini.

Kasus perkumpulan warga nagari Sulit Air dengan organisasi SAS-nya

merupakan kasus yang bisa dijadikan contoh bagaimana suatu etnis bisa

mengembalikan marwah identitas dan kebanggaan keminangannya dengan

melakukan berbagai penguatan dan aktualisasi orientasi nilai-nilai baru. Penelitian ini

diharapkan tidak hanya berguna bagi ilmu pengetahuan, tetapi juga akan

dipublikasikan di jurnal berreputasi nasional dan internasional.

Page 16: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

9

BAB II

ISLAM DAN ADAT SEBAGAI PEMBENTUK IDENTITAS

MINANGKABAU

A. Sejarah Sosial Masyarakat Minangkabau

Orang Minangkabau merupakan salah satu dari kelompok etnis yang relatif

kecil dibandingkan jumlah penduduk suku-suku lainnya di Indonesia, seperti Jawa

dan Madura. Mereka berdiam di bagian tengah pulau Sumatera yang sebagian

besarnya merupakan wilayah provinsi Sumatera Barat. Penduduk Minangkabau yang

berdiam di Sumatera Barat berjumlah sekitar lebih 5 juta jiwa lebih menurut Badan

Pusat Statistik (BPS) 2018, sedangkan jumlah orang Minang yang merantau lebih

kurang 4 juta orang, suatu jumlah yang cukup besar, hampir sepertiga jumlah

penduduk DKI Jakarta. Masyarakat Minangkabau merupakan suku yang unik karena

sistem sosial mereka berdasarkan garis keturunan ibu (matrineal) yang terbesar di

antara etnis-etnis matrilineal lainnya yang ada di dunia. Keunikan lainnya adalah

relasi adat dan agama merupakan pedoman hidup (way of life) masyarakat

Minangkabau yang dirumuskan dalam bentuk ‘Adat bersendi syara’, Syara’ bersendi

Kitabullah (ABS-BSK)’.

Daerah Minangkabau terdiri dari kesatuan geografis, politik ekonomi, sosio-

historis yang disebut ranah ‘pesisir’, ‘darek’, dan ‘rantau’. Disebut ‘pesisir’ karena

terletah di dataran rendah yang bersebelahan dengan barat Bukit Barisan dan

berbatasan dengan Samudera Indonesia. Daerah ‘pesisir’ berada di tengah-tengah

daerah pegunungan Bukit Barisan, sedangkan dareah rantau. Dalam perkembangan

selanjutnya, terbentuklah tida luhak besar, yaitu luhak Agam, luhak Lima Puluh Koto,

dan luhak Tanah Datar. Ketiga luhak besar ini disebut “Luhak nan Tigo’. Meski

berbeda luhak, namun adat dan agama merupakan sumber nilai dan norma Bersama

yang telah disepakati.1

Konsep filsafat adat Minangkabau dan Islam adalah kristalisasi dari ajaran

hukum alam berupa sunnatullah. Adat adalah kebiasaan yang terpola dan membudaya,

sementara syariat yang menjadi hukum Islam adalah ketentuan dari melalui wahyu

Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi Muhammad. Persentuhan antara adat dan Islam

telah menciptakan ikatan yang kuat antara perilaku budaya masyarakat Minang dan

Islam yang datang kemudian melengkapi dan menyempurnakan adat sebagai

1 M.D. Mansoer, dkk., Sejarah Minangkabau (Jakarta: Bhratara), 1970, h. 2-4.

Page 17: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

10

pedoman sumber nilai dan norma dalam kehidupan sosial. Karena itu sintesa antara

adat dan syariat ditetapkan bahwa adat harus merujuk kepada syariat.2

Adat budaya Minang selama berabad-abad telah menjadi pedoman yang

diwarisi oleh nenek moyang sampai ke generasi sekarang dan sekaligus merupakan

ketentuan dan undang-undang yang mengatur kehidupan masyarakat manusia. Adat

budaya Minang juga dikatakan sebagai ketentuan alam (alam takambang jadi guru)

yang dijelmakan menjadi pepatah-petitih yang dipakai dalam menyusun adat sebagai

suatu sistem sosial yang mengatur masyarakat.3

Sebagai sistem sosial, adat Minang tidak hanya sebagai kebanggaan orang

Minang tetapi juga daya dorong yang potensial dalam membangun etos sosial

keagamaan yang mengantarkan warganya membangun kesuksesan dalam berbagai

bidang di dunia perantauan baik ekonomi, politik, dan sosial budaya. Hal ini

dibuktikan oleh lahirnya tokoh-tokoh cendekiawan besar baik sebelum kemerdekaan

maupun setelah kemerdekaan dan hingga generasi berikutnya di abad ke-21 ini.

Nama-nama seperti Bung Hatta, H. Agus Salim, Sutan Syahrir, Natsir, Hamka, Tan

Malaka dll di masa kemedekaan, dan nama-nama di zaman sesudahnya seperti Emiel

Salim, Azwar Anas, Mochtar Naim hingga Prof. Dr. Azyumardi Azra yang

memperoleh gelar Sir (BCE) dari Ratu Elizabeth, dan satu-satunya tokoh yang

memperoleh gelar tersebut di Asia Tenggara.

Ada enam prinsip adat Minangkabau yang secara tradisional dianggap

berlaku pada masyarakat, yaitu:

1. Yang melahirkan anak dan yang punya anak adalah perempua

(ibu/mande)

2. Yang punya kuasa dan wewenang terhadap kaum perempuan dan anak

adalah laki-laki.

3. Keturunan ditarik dan ditelusuri melalului garis perempuan (matrineal).

4. Anggoat kelompok-keturunan (suku, payuang, paruik, kampuang, dan

rumah gadang) diangkat atau direkrut melalui garis perempuan.

5. Pewarisan harta pusaka, rumah gadang, gelar, kedudukan, dan kekuasaan

politik dilaksanakan melalui garis perempuan.

6. Perkawinan eksogami-kelompok (eksogami suku, payuang, atau paruik)

adalah satu keharusan.

7. Sebaliknya, perkawinan endogami (endogami suku, payuang, atau

paruik) adalah incest taboo.4

Semua prinsip kekerabatan di atas diakui dan dijalankan di Ranah Minang

secara konsekuen pada suatu masa dahulu. Orang Minang menyebut norma-norma

2 Mochtar Naim, ‘Dengan ABS-SBK (Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi

Kitabullah Kembali ke Jati Diri’, dalam CH. N. Latief Dt. Bandaro, dkk. (ed.), Minanagkabau

yang Gelisah (Bandung: CV. Lubuk Agung Bandung), 2004, h. 48. 3 Syaiful Bahri Chatib Basa, ‘ABS nan Memprihatinkan’, dalam CH. N. Latief Dt.

Bandaro, dkk. (ed.), Minanagkabau yang Gelisah, h. 187. 4 Amri Marzali, Kompleks Minang!, dalam CH. N. Latief Dt. Bandaro, dkk. (ed.),

Minanagkabau yang Gelisah, h. 64.

Page 18: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

11

yang berasal dari prinsip-prinsip di atas dengan istilah adat. Bila prinsip tersebut tidak

ditaati, itu namanya melanggar adat. Sebaliknya bila prinsip tersebut ditaati, itu

namanya patuh pada adat. Orang beradat harus patuh pada adat.

Namun demikian, ada persoalan yang muncul dalam hubungan antara Islam

dan adat baik dalam bentuk perdebatan maupun konflik gagasan. Pada dasarnya

substansi perdebatan dan latar belakang konfliknya, pada dua tema besar yang secara

berlanjut terdapat dalam masyarakat Minangkabau, yaitu 1. perdebatan intelektual dan

konflik mengenai pelaksanaan hukum waris adat serta tanah ulayat; dan 2. perdebatan

intelektual dan konflik mengenai hubungan antara kaidah adat Minangkabau dengan

ajaran agama Islam. Perdebatan intelektual dan konflik mengenai dua tema besar

tersebut telah mewarnai hampir seluruh sejarah Minangkabau, yang langsung atau

tidak langsung selain telah menguras energi masyarakat juga telah menghambat

terwujudnya suasana saling percaya-mempercayai antara warga dan kelompok

masyarakat yang satu dengan warga dan kelompok masyarakat yang lain.5 Namun

khususnya bila terjadi konflik antara adat dan Ajaran Islam, maka elemen baru yang

bertabrakan dengan adat, maka adat dapat berubah sehingga muncul sesuatu yang

mengandung dua elemen, yang baru dan yang lama.

Di Minangkabau, konflik tidak hanya diakui tetapi dilembagakan dalam

sistem itu sendiri. Konflik dipandang secara dialektik sebagai hal yang esensial untuk

mencapai integrasi masyarakat. Islam tidak memulai konversi Minangkabau dengan

mengatasi masalah struktural. Pada tahap awal proses, Islam pada dasarnya adalah

'anti-struktur' jika adat dapat dianggap mewakili 'struktur'. Mengutip pendapat Taufik

Abdullah di sini menggunakan dua istilah antropolog Victor Turner, struktur dan anti-

struktur. Ia membagi dua struktur, yaitu ada struktur 'biasa' (dalam hal ini adat) dan

sesuatu yang bertentangan bertabrakan dengannya, anti struktur (dalam hal ini agama

Islam). Muncul jenis struktur baru yang berisi kedua elemen. Pernyataan ‘adat

didasarkan pada syarak (Syariah), syarak didasarkan pada kitabullah (Qur'an) adalah

hasil dari proses kedua elemen tersebut.6

Pendekatan lain dilakukan Alexander Stark dengan mengutip metode

Frederick Errington Frederick Errington dalam membuat perbedaan bahwa adat

memiliki elemen inti dan pinggiran: Elemen periferal biasanya dapat dibiarkan

berubah selama elemen inti tetap sama secara fundamental. Sebuah contoh dapat

menggambarkan hal ini: Orang-orang harus menghormati kepala klan (panghulu). Ini

adalah elemen inti. Cara orang menghormati orang semacam itu bisa berbeda-beda

karena itu merupakan unsur sampingan. Namun elemen inti (penghormatan) tetap

tidak tersentuh.7 Selanjutnya, Stark membagi sejarah Sumatera Barat dalam empat

periode sebagai berikut:

5Nurmatias, Konflik dalam Budaya Minangkabau),

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/konflik-dalam-budaya-minangkabau/. 6 Alexander Stark, ‘The Matrilineal System of the Minangkabau and its Persistence

Throughout History: A Structural Perspective’, dalam Southeast Asia: A Multidisciplinary

Journal, Vol 13, 2013, pp 1–13 © FASS, UBD, h. 3-3. 7 Alexander Stark, ‘The Matrilineal System of the Minangkabau and its Persistence

Throughout History: A Structural Perspective’, h. 3-4.

Page 19: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

12

1. Periode pra-Islam

2. Periode pra-kolonial (pada abad ke-18 dan 19)

3. Periode kolonial

4. Periode pasca-kolonial.

1. Periode Pra-Islam

Berdasarkan sumber-sumber lama, pada pertengahan abad ke-14

Adityawarman adalah Raja pertama kerajaan Pagaruyung/Minangkabau. Banyak

prasasti dan dan bukti-bukti tertulis yang ditinggalkan Raja Pagaruyung ini. Raja

Adityawarman berasal dari perwira utusan Kerajaan Hindu-Budha Majapahit datang

untuk menaklukan kerajaan Minangkabau. Kehadiran Adityawarman diterima oleh

kepala kaum adat Minangkabau Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk

Ketemanggungan. Sebagai bukti penerimaannya, Adityawarman menikah dengan

anak Datuk Perpatih nan Sabatang bernama Dara Petak. Perkawinan raja ini dengan

putri Minangkabau semakin memperkuat posisi Adityawarman sebagai raja

Minangkabau.

Raja Adityawarman merasa kekuasaannya semakin kuat dengan menguasai

Sebagian besar pulau Sumatera dan Semenajung Malaka lalu melepaskan diri dari

kerajaan Majapahit. Tahun 1409, Majapahit mengirim tentara untuk menyerang

Minangkabau, namun Adutyawarman berhasil mengalahkannya dalam suatu

peperangan di Padang Sibusuk.

Setelah Adityawarman wafat di tahun 1375, tidak jelas siapa penggantinya.

Dua abad kemudian diceritakan Kerajaan Minangkabau dipimpin oleh Sultan Alif (lk.

tahun 1560) yang sudah beragama Islam dan dengan sendirinya Islam berkembang

dengan cepat sejak masuk ke Minangkabau di abad XV. Pengaruh Kerajaan Kerajaan

Hindu-Budha di bawah Raja Adityawarman telah memberikan berpengaruh kepada

pandangan masyarakat tradisional, yaitu kepercayaan animisme menerima elemen-

elemen baru Hindu-Budha, kehidupan demokrasi nagari berubah menjadi otokrasi

sultan yang berlawanan dengan adat yang lebih demokratis, dan klan matrilineal

berubah bentuk menjadi klan patrilineal keluarga para sultan. Hal ini terlihat dari

paparan 6 tabel yang disampaikan peneliti Alexander Stark.8

Pndangan Hidup

Masyarakat Trasional

Elemen Baru (Kerajaan

Hindu/Budha)

kepercayaan animisme lama Hindu/Buddha

kehidupan demokrasi nagari otokrasi para Sultan

klan matrilineal organisasi patrilineal keluarga para

sultan

Tabel 1: Dikhotomi selama priode Pra-Islam

8 Alexander Stark, ‘The Matrilineal System of the Minangkabau and its Persistence

Throughout History: A Structural Perspective’, h. 4-8.

Page 20: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

13

Pada abad XIII, Dt. Perpatih Nan Sabatang dan Dt. Ketemanggungan sebagai

orang tertua dalam pemangku adat melakukan pembaharuan dan penyempurnaan

sistem kehidupan bermasyarakat seperti yang sekarang terdapat dalam adat

Minangkabau. Salah satu yang menonjol di dalam adat yang diperbaharui itu adalah

persyaratan untuk berdirinya suatu nagari harus meliputi wilayah itu minimal terdiri

dari 4 suku, di samping harus adanya sarana dan prasarana ekonomi dan perundangan-

undangan.

Maka sejak zaman itu berkembanglah lima suku besar di ranah Minang

bersamaan dengan meluasnya pemukiman, yang sampai sekarang mencapai jumlah

lebih dari 100 nama suku.9 Pada akhir abad XX, rantau orang Minangkabau sudah

semakin luas dan jauh. Orang Minang sudah banyak yang merantau ke seluruh

pelosok Nusantara Indonesia, dengan membawa nilai-nilai budaya yang mereka

warisi dari leluhurnya.

2. Periode Pra-Kolonial (pada abad ke-18 dan ke-19)

Pada periode ini agama baru Islam memainkan peran penting dalam

masyarakat Minangkabau. Kesultanan Aceh memainkan peran penting dalam

islamisasi pantai barat Sumatera. Emas dan lada sangat penting bagi Aceh dan

diusahakan untuk mengontrol perdagangan mereka. Oleh karena itu Sultan Alau'd Din

Ri'ayat Shah (1537–68) dari Aceh mengirim putranya Mughal ke pelabuhan

Pariaman. Bersamanya muncul satu agama baru di Sumatera Barat, yaitu agama

Islam.

Untuk penyebaran Islam lebih lanjut, persaudaraan (tarekat) memainkan

peran utama. Mereka memiliki jaringan sendiri dan perlahan-lahan para ulama

membangun jaringan mereka sendiri juga. Seorang ulama bisa menjadi ahli hukum

Islam, sementara yang lain bisa menjadi ahli dalam bahasa Arab. Para siswa berpindah

dari satu tempat ke tempat lain untuk belajar. Langkah demi langkah agama baru

menyebar dari satu daerah ke daerah lain.10

Strategi dakwah diwujudkan dalam masyarakat Minangkabau dengan bentuk

suku sebagai suatu organisasi massa terkecil yang lengkap. Lengkap dalam arti bahwa

suku itu mempunyai struktur kepemimpinan yang jelas, dengan pembagian tugas

masing-masing jabatan yang jelas pula, seperti Datuk, Angku, Sutan, Pakih, dan

Malin.11

Namun demikian, situasi perkembangan dakwah di dataran tinggi

Minangkabau tidak aman bagi para pedagang dan pelancong. Perampokan dan

pencurian adalah kejadian sehari-hari. Akibatnya ulama menjadi semakin tegas dalam

9 Suku berarti seperempat bagian. Secara etimologis suku mengandung makna

sekaki, seperempat bagian seperti kambing, sapi atau kerbau. Karena suku di Minangkabau

pada mulanya terdiri dari empat suku utama, yakni Bodi, Caniago, Koto, dan Piliang. Lihat

Gusti Aman, Kamus Sejarah Minangkabau (Padang: Pusat Pengkajian Islam dan

Minangkabau-PPIM), 2003, hal. 306. 10 Hamka, Ayahku (Jakarta: Djajamurni), 1963, h. 23. 11 H. J. Dt. Malako nan Putih, ‘Matrilineal dalam Adat Minangkabau’, dalam CH. N.

Latief Dt. Bandaro, dkk. (ed.), Minanagkabau yang Gelisah, h. 291.

Page 21: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

14

menerapkan syariat Islam. Kemudian pada abad XVI para ulama dan kaum Adat

menyempurnakan adat menjadi “adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah’,

sehingga penerapan sistem menjadi kuat.

Kebangkitan dan reformasi agama dalam masyarakat Minangkabau terus

berlanjut dengan datangnya kaum alim ulama dari Timur Tengah yang membawa ide-

ide pemurnian Islam melawan nilai-nilai adat yang bertentangan dengan ajaran Islam

dan amalan sesat lainnya seperti takhayul, khurat, dan bid’ah. Ide-ide yang mereka

sebarkan membawa perubahan dan akibatnya membawa destabilisasi yang serius pada

masyarakat. Dan ini bukanlah hal baru di Minangkabau karena situasi yang

mengalami perubahan baik dari segi ekonomi, politik, dan budaya. Ini merupakan

gambaran dari masyarakat tradisional yang tidak berubah yang sedang

menegosiasikan dengan perkembangan zaman dengan melakukan akomodasi.

Korelasi antara perubahan dan kebangkitan agama di Minangkabau pada akhir abad

kedelapan belas adalah sesuatu yang baru. Karena itu, ada satu pertanyaan yang

muncul: apakah begitu besarnya perubahan masyarakat Minangkabau yang

diakibatkan oleh penetrasi gerakan keagamaan puritan yang dibawa dari gurun timur

Arab?12

Kebangkitan agama di awal pada abad ke-19 dengan munculnya gerakan

Padri yang semakin berpengaruh dan banyak pengikutnya. Pendirinya adalah Tuanku

Sumanik, Tuanku Piobang, dan Tuanku Miskin yang baru datang dari Mekkah

membawa ide pemurnian agama dan ingin menghapus adat. Mereka mengamankan

kekuasaan di wilayah tertentu. Akhirnya seorang pemimpin Padri Tuanku Lintau

memutuskan untuk mengadakan pesta dimana dia dan para pengikutnya membunuh

sebagian besar keluarga Sultan. Dua dari putranya melarikan diri dan meminta

bantuan Belanda. Belanda memutuskan untuk campur tangan. Ini adalah awal perang

Padri (1821–1837). Gerakan Padri yang meletus menjadi ‘perang saudara’ telah

memaksa masyarakat Minangkabau merevisi lagi definisi dari dunianya, dari ‘alam

minangkabau’. Selanjutnya dikatakan ‘agama mengata, adat memakai.’ Sejak itu

secara struktural dan definisi kultural merupakan salah satu tema pokok dalam sejarah

Minangkabau.13

“Alam Minangkabau’, tidak saja harus dianggap sebagai dunia yang

berlandaskan adat dan Islam, tetapi hirarki dari keduanya telah pula diperjelas. Tidak

lagi adat dan Islam yang paling mendukung, tetapi ‘adat bersandar syarak, syarak

bersandar Kitabullah.’ Proses ini tidaklah berjalam dengan mudah, ada perdebatan

dan konflik (dikhotomi), khususnya menyangkut kekuasaan, siapa yang harus

berkuasa. Pemasukan unsur keulamaan dalam struktur kekuasaan sebagai bagian

dalam keangotaan di dalam ‘balai adat’ merupakan pelebaran elit, sedangkan

kekuasaan pada kenyataan tetap di tangan pemangku adat. Konsekuensi lain

munculnya persoalan pemurnian (orthodoksi) dari praktek masyarakat yang bisa

12 Lihat Christine Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy

Central Sumatra, 1784-1847 (London and Malmo Curzon Press Ltd), h. 8. 13 Taufik Abdullah, ‘Studi Adat sebagai Pantulan Perubahan Sosial Minangkabau’, h.

x.

Page 22: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

15

menodai ketauhidan. Dengan demikian definisi Alam Minangkabau diperluas dengan

adanya pemurnian ajaran Islam itu sendiri.14

Jika kita melihat peristiwa ini dari sudut pandang struktural, maka sejumlah

dikotomi dapat dilihat:

Masyarakat Pra-Islam Elemen Baru (Islam)

Panghulu Imam

Hukum adat Hukum Islam

adat jahiliyah adat islamiyah

pakaian adat panghulu (hitam) Baju Islam Imam (putih)

Gelar adat (Datuak) Gelar Islam di Sumatera

Barat (Tuanku)

Tabel 2: Dikhotomi selama periode pra-kolonial (pada abad ke-18 dan

ke-19)

Pada priode ini elemem-elemen baru Islam mempengaruhi nilai-nilai dan

norma-norma adat masyarakat Minangkabau. Bila sebelumnya hanya dikenal

penghulu, maka sekarang dikenal istilah imam, begitu pula hukum Islam, adat

berdasarkan hukum Islam, termasuk symbol warna pakaian antara hitam dan putih

yang menandakan antara adat dan Islam, Setahap demi setahap elemen-elemen Islam

memasuki ruang adat. Misalnya klan mulai lebih memperhatikan nilai-nilai Islam dan

oleh karena itu anak-anak harus mengenyam pendidikan Islam di surau. Adat dapat

menerima unsur-unsur baru selama unsur-unsur inti tertentu tetap tidak tersentuh.

3. Periode kolonial

Kehadiran pemerintah kolonial Belanda telah mengakibatkan terdegdarasinya

pamor dan kedudukan penghulu adat. Berdasarkan catatan sejarah, dengan staatsblad

1874 No.94b, tanggal 1 Nopember 1874, pemerintah Hindia Belanda menghapuskan

hak kekuasaan penghulu adat dalam memutuskan perkara anak nagari. Kekuasaan itu

berpindah kepada hakim gubernemen Belanda yang dikepalai oleh hakim Belanda,

Namun nagari-nagari yang telah ada tetap diakui dan diberi dasar hukum formal

dengan keluarnya Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten (IGOB) tahun

1938.15

14 Taufik Abdullah, ‘Studi Adat sebagai Pantulan Perubahan Sosial Minangkabau’, h.

xi.

15 Novil Ardi, ‘Pemerintahan Nagari dan Kelembagaan Adat Minangkabau’, dalam

CH. N. Latief Dt. Bandaro, dkk. (ed.), Minanagkabau yang Gelisah, h. 150.

Page 23: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

16

Berakhirnya Perang Padri pada tahun 1837 tidak semerta persoalan selesai,

tetapi juga ada tuntutan pemecahan dalam system sosial dan hukum, namun yang lebih

penting lagi di awal abad XX munculnya dominasi politik dan militer Belanda.

Belanda menjadi berpengaruh di dataran tinggi Sumatera Barat. Mereka memutuskan

untuk memperkuat perwakilan adat. Yang terpenting bagi kekuasaan kolonial adalah

mendapatkan keuntungan yang tinggi. Kebijakan baru dibuat yang membantu

mengontrol perdagangan kopi.

Dunia Minangkabau menjadi bagian dari perekonomian dunia dengan

diperkenalkannya perdagangan berbasis uang. Ide dan ideologi baru didatangkan ke

pedalaman Sumatera Barat. Ide komunis menyebar luas yang berpuncak pada

pemberontakan komunis pada tahun 1927.

Menghadapi situasi yang didominasi Belanda, para penghulu adat

Minangkabau, kaum cerdik pandai dan guru agama (alim ulama) yang berdiam di

rantau merespon hal ini dengan penuh kekhawatiran dengan sikap segera pulang ke

kampung halaman untuk untuk mempertahankan gagasan sakral tentang identitas

Minangkabau, yang dianggap sebagai gabungan konsep nilai-nilai adat dan Islam.

Pemeliharaan identitas ini sangat menonjol dalam menghadapi serangan ideologis dan

politis dari kebijakan Belanda.16 Maka mereka pun membangun sekolah kerajinan

wanita, sekolah-sekolah, dan penerbitan surat kabar, termasuk surat kabar wanita).

Pada waktu itu dikenal dengan istilah ‘kemajuan’ yang harus dicapai masyarakat

Minangkabau agar dapat mencapai ‘dunia yang maju’. Dalam suasana ini pendidikan

Barat atau Islam ‘modern’ berkembang cukup pesat di Minangkabau. Suasana ini

bukan saja menyebabkan dimulainya tradisi merantau yang baru, yaitu menuntut ilmu

modern ke tanah Jawa (tanah Jao) atau bahkan ke negeri Belanda. Menurut statistik

pemerintah Hindia Belanda, Minangkabau sebagai ‘daerah Islam’ yang paling

berpendidikan dibandingkan daerah-daerah lainya, seperti Jawa.17

Di tingkat agama ada gagasan reformasi baru yang segera menjadi sangat

populer. generasi muda (kaum mudo) mempromosikan ide-ide pembaharuan

berdasarkan agama Islam. Umumnya kaum mudo adalah generasi yang berumur 30-

40 tahun yang mencoba mendekatkan nilai-nilai dan norma-norma adat dengan

perkembangan nilai Islam sehingga tidak ada pertentangan antara adat dan agama,

seperti terlihat dalam tabel berikut18

a) Ada elemen yang masuk ke dalam masyarakat 'tradisional' dengan cara yang lebih

energik:

16 Taufik Abdullah, Identity Maintenance and Crisis of Identity in Minagkabau

(Jakarta-Leknas LIPI), 1978., h. 2. 17 Taufik Abdullah, ‘Studi Adat sebagai Pantulan Perubahan Sosial Minangkabau’, h.

xiii. 18 Hamka, Ayahku, 1963.

Page 24: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

17

Tabel 3: Dikhotomi pada Masa Kolonial (di Sumatera Barat secara

keseluruhan)

b) Tingkat kedua diilhami dari dunia luar, tetapi berkembang lebih jauh di

dalam masyarakat

Masyarakat Pra-kolonial Elemen Baru (dari kekuasaan

kolonial Belanda)

Masyarakat/budaya

Minangkabau

Masyarakat/budaya Belanda

posisi adat lama posisi adat baru

Ekonomi sub-sistem Ekonomi dunia

adat ideal Ideologi Barat

Tabel 4: Dikhotomi Masa Kolonial (dalam masyarakat Minangkabau

sendiri)

Masyarakat Minangkabau menjadi lebih kompleks dan hal ini dapat dilihat

pada tabel di atas. Adat itu sendiri menjadi terbagi, tetapi masih berpengaruh dan

dapat mempertahankan gaya hidup 'tradisional'.

4. Periode Paska-Kolonial

Gerakan kemerdekaan sangat berpengaruh di kalangan intelektual

Minangkabau. Mereka adalah hasil dari modernisasi pendidikan dengan dibuka

politik etis di tahun 1902. Sekolah-sekolah, madrasah dan bahkan surau masuk dalam

pendidikan modern yang ditawarkan Belanda untuk mencapai ‘kemajuan’. Belanda.

Banyak pahlawan kemerdekaan terkenal seperti Sutan Syahrir, Haji Agus Salim atau

Mohammad Hatta lahir di Sumatera Barat. Mereka adalah hasil dari kenyataan bahwa

Belanda yang mempromosikan sistem sekolah modern di daerah itu. Sistem sekolah

Barat di Sumatera Barat sangat berpengaruh luas sehingga pada waktu itu banyak

orang Minang yang terdidik dibandingkan daerah Jawa yang pada umumnya

berpendidikan rendah.

Pada tahun-tahun berikutnya Minangkabau adalah bagian dari Indonesia yang

lebih besar. Pada tahun 1945 ada proklamasi kemerdekaan, dan ketika Indonesia

akhirnya bebas dari cengkeraman penjajah pada tahun 1949, tidak mudah bagi mereka

untuk menyesuaikan cara hidup 'tradisional' mereka dalam sebuah negara yang lebih

besar. Sebagai akibatnya, muncul ketidakpuasan dari daerah khususnya sikap

pemerintah pusat yang terlalu sentral dan kurangnya peran daerah di dalam mengelola

pemerintahannya sendiri. Untuk itu tidaklah mengherankan munculnya protes-protes

Ideologi yang ada

(dalam komunitas

nagari)

Gerakan Reformasi

Baru

kaum tuo kaum mudo

kaum tuo sekuler kaum mudo agama

kaum tuo agama kaum mudo agama

Page 25: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

18

dari daerah, bahkan pernah terjadi gerakan separatisme Republik Maluku Selatan dan

pemberontakan pada tahun 1958 yang dilakukan Pemerintahan Revolusioner

Indonesia (PRRI) dan Permesta di Sulawesi Utara yang bermotif ketidakadilan

pemerintah pusat terhadap daerah sehingga diperlukan otonomi daerah, tetapi

gerakan-gerakan tersebut berhasil dipadamkan dalam waktu singkat.

Situasi perkembangan etnis di Indonesia semakin mundur di masa Orde Baru

di bawah pimpina Presiden Soeharto. Semua kehidupan etnisitas dihegomonisasi

dengan jargon persatuan Indonesia.19 Terlebih pada tahun 1979, pemerintah

mengeluarkan undang-undang no. 5 tahun 1979 tentang penyeragaman konsep desa

di seluruh Indonesia. Sikap pemerintah tersebut betul-betul menghancurkan dan

merusak nilai-nilai adat di Minangkabu selama ini berbasis nagari. Gaya hidup dalam

enam puluh tahun terakhir tampaknya telah berubah secara dramatis. Akibatnya adat

menjadi kurang penting dan secara perlahan semakin tidak berpengaruh. Akibat lain,

jumlah rumah tradisional pun menurun dan pentingnya dewan 'tradisional' tampaknya

melemah.

Setelah rezim Presiden Soeharto runtuh, muncul era reformasi di bawah

kepemimpinan B.J. Habibie pada tahun 1998, kehidupan demokrasi dibuka secara

luas. Perkembangan etnisitas dengan segala problem masa lalu bangkit dengan

keluarnya kebijakan pemerintah tentang otonomi daerah, bahkan otonomi khusus.

Terlebih setelah peraturan daerah no. 13 tahun 1983 dicabut pemerintah dengan

sebutan nama ‘desa’ dan dikembalikan seperti keadaan semula sesuai dengan karakter

daerah masing-masing (nagari). Karena itu, pemerintah provinsi memperkenalkan

mata pelajaran sekolah yang mengajarkan budaya Minangkabau. Buku-buku sekolah

tersebut memuat bagian-bagian budaya Minangkabau yang berbeda yang diajarkan di

sekolah-sekolah degan harapan generasi muda Minangkabau mengenal budaya dan

jati diri mereka. Pengaruh demokratisasi lebih lanjut adalah gelar dan nama suku

seperti Datuak kembali digunakan dan terhormat di tengah kaumnya masing-masing.

Di samping tu semakin banyak gedung-gedung pemerintah menggunakan arsitektur

'tradisional'.20

Struktur pembangunan pascakolonial dapat dibagi menjadi dua tingkatan:

a) Tingkat yang berada di bawah pengaruh langsung pemerintah pusat.

Tabel 5: Dikhotomi masyarakat Minangkabau (dalam kaitannya dengan

negara nasional yang lebih luas)

19 Syafuan Rozi, dkk (ed.), Politik Identitas: Problematika dan Paradigma Solusi

Keetnisan Versus Keindonesiaan di Aceh, Riau, Bali, dan Papua (Jakarta: Bumi Aksara),

2019, h. 12. 20 Alexander Stark, ‘The Matrilineal System of the Minangkabau and its Persistence

Throughout History: A Structural Perspective’, h. 7.

Policy on the Village Level Policy on the Level of the National

State

regional adat policy central government policy

adat rules national law

Page 26: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

19

b. Tingkatan yang berada dalam masyarakat nagari tempat kebijakan

pemerintah pusat akan dilaksanakan.

Elemen Administrasi Tradisional

Elemen Administratif Baru

posisi adat seperti panghulu

posisi pemerintah seperti

walikota

nagari (‘traditional’ village commu-

nity concept

pendidikan nasional di sekolah

nagari (konsep masyarakat nagari

'tradisional')

desa (konsep pemerintah desa)

warisan adat dan hukum properti

Hukum warisan dan properti

Indonesia

Tabel 6: Dikhotomi dalam komunitas nagari (pada periode paska-kolonial).

Elemen-elemen yang tidak tersentuh memungkinkan dan bahkan

melembagakan konflik untuk menjadi tidak dapat disangkal. Jika elemen baru

muncul, maka dipastikan akan ada penolakan dari pihak adat, maka adat tetap tidak

tersentuh. Beberapa elemen baru akan sepenuhnya ditolak, sementara yang lain akan

diintegrasikan. Ini bagian dari teori konsep inti dan pinggiran, di mana konsep inti

tetap dipertahankan. Dengan teori ini, konsep dualistik seperti itu keberlangsungan

hidup 'tradisional' bisa bertahan dan elemen-elemen baru dapat menjadi bagian

darinya. Hal ini terlihat dalam tingkatan adat sebagai jalan keluar, yaitu mana ‘adat

nan sabana adat’. Adat ini merupakan akar dari cara hidup orang Minangkabau yang

tidak bisa diubah. Ini terkait dengan agama. Ini berarti ia mengatur apa yang diizinkan

atau dilarang menurut agama, tetapi juga mengandung cara hidup matrilineal.

Tingkatan yang lain adalah ‘Adat nan diadatkan’ (adat yang dibuat menjadi adat).

Bagian dari adat ini mengambil nilai-nilai dasar ungkapan yang disampaikan oleh

leluhur Dt. Perpatih nan Sabatang dan Dt. Katumanggungan. Sebagian dari adat ini

tidak pernah berubah. Itu semua bisa dianggap sebagai elemen inti. Namun ada juga

elemen yang fleksibel yang disebut sebagai ‘adat istiadat nan teradat’ (adat yang

secara tidak sengaja menjadi adat).21

B. Pergumulan Islam dan Adat di Minangkabau

Perlu disadari, Islam masuk ke Minangkabau tidak dapat dipastikan kapan

waktu, dan di mana mulanya. Banyak versi yang tersebar dengan pendekatan masing-

masing ahli sejarah. Ada yang menganggap Islam masuk pada abad keenambelas,

namun ada pula yang berpendapat lebih awal. Hamka misalnya. Dia berpendapat

bahwa pada tahun 684, agama Islam telah masuk ke negeri-negeri Melayu (termasuk

Minangkabau). Hamka menyatakan bahwa sejak tahun itu, telah ada koloni Arab di

Sumatera Barat.22 Dari segi tempat, ada yang menyatakan pantai Barat Sumatera

21 Alexander Stark, ‘The Matrilineal System of the Minangkabau and its Persistence

Throughout History: A Structural Perspective’, h. 9. 22 Hamka, Sedjarah Umat Islam, (Djakarta-Bukittinggi : Nusantara), 1961

Page 27: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

20

Barat, Ulakan, Pariaman dan ada pula yang menyatakan tempat lain. Setiap versi

memiliki argumen dan bukti tersendiri, sehingga sulit untuk menentukan yang terkuat

di antaranya.

Secara historis, jelas Hayati Nizar, ketika Islam belum masuk dan mengakar

dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, adat bersandar kepada alua dan patuik.

Alua artinya jalan atau tempat yang biasa dilewati; patuik berarti pantas dalam

pandangan masyarakat.23 Ini memperlihatkan sebuah corak masyarakat yang sangat

kuat dengan nilai dan norma yang diyakini secara bersama.

Memang ada benarnya bila disebutkan bahwa nilai-nilai tersebut relatif,

karena kelumrahan dan kepantasan dalam pandangan masyarakat sangat terbingkai

oleh waktu dan tempat. Namun, pada nyatanya masyarakat Minang membagi adat

mereka menjadi: adat nan sabana adat, adat nan taradat, dan adat nan diadatkan.

Yang pertama merupakan hukum alam yang tak bisa berubah (adat nan babuhua

mati), sedang dua terakhir adalah adat yang bersifat relatif (adat nan babuhua sintak).

Ketiga jenis adat itu, bersumber dari alam.

Panakiak pisau sirauik (Penakik pisau untuk meraut)

Patungkek batang lintabuang (Kayu larus, dikadikan tongkat)

Salodong ambiak ka Niru (Sembilu bambu, jadikan niru)

Satitiak jadikan lauik (Yang setitik, jadikan laut)

Sakapa jadkan gunuang (Yang segenggam jadikan gunung)

Alam takambang jadikan guru (Alam terkembang, jadikan guru)

Menurut A.A Navis, hukum alam; misalnya, adaik api mahanguihkan, adaik

aie mambasahi, itulah adat yang sebenarnya (adat nan sabana adat), yang boleh

dikatakan sebagai hukum yang sebenarnya. Ia memperkuat pendapatnya dengan

mengutip pendapat Koentjaraningrat ketika berbicara pada sebuah kongres Bahasa

Indonesia di Medan pada tahun 1954 yang mengatakan bahwa pepatah petitih

Minangkabau adalah “Levende Rechtstaal” atau bahasa hukum yang hidup.24

Terjadi perubahan pandangan filosofis, ketika Islam masuk dan mengakar

dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Lewat pertarungan yang panjang bahkan

hingga menimbulkan perang saudara: Perang Paderi (1821-1837), terbentuklah

pandangan hidup dalam ungkapan: adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah,

syara’ mangato adaik mamakai (adat bersendi syarak, syara bersendi kitabullah,

syarak mengatakan, adat menggunakan). Sumpah Sakti di Bukit Marapalam menjadi

mesteri sekaligus pengikat erat perpaduan antara adat dan syari’at Islam.

Kenyataan seperti itu, oleh Hamka diibaratkan bukanlah mencampurkan

minyak dengan air melainkan bak menyatukan air dan minyak ke dalam susu.

Pengibaratan yang seolah memposisikan adat sebagai nila, dan syari’at sebagai susu.

Namun, hal itu diterima dan menjadikan Islam semakin kuat mengakar dalam budaya

23 Hayati Nizar, Bundo Kanduang dalam Kajian Islam dan Budaya, (Padang : PPIM),

2004, hal. 1-2 24 A.A Navis, Pepatah, Petitih, Petuah, dan Mamangan, disadur oleh Dewis Natra

dari Buletin Sungai Pua, No. 46 April 1994, dikutip dari:

http://www.cimbuak.net/content/view/24/7/, accessed 26 Juli 2010

Page 28: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

21

Minangkabau. Pandangan Hamka ini seiring dengan pendapat M. Nasrun yang

menyatakan bahwa adat Minangkabau terbentuk dari kearifan (wisdom) dan Islam

mengakomodir kearifan-kearifan tersebut.25 Berbeda dengan pandangan Snouck

Hurgronje yang menganggap adat dan Islam bertentangan sehingga hukum akan

hidup bila yang berlaku adalah hukum adat. Adapun ajaran Islam bisa hidup bila

sesuai dengan adat masyarakat.

Terlepas dari semua itu, adat dan Islam tumbuh dan berkembang dalam

kehidupan sosial masyarakat Minangkabau. Alih-alih kita menganggap adat sebagai

sesuatu yang bertentangan dengan syari’at, masyarakat Minang pada kenyataannya

akan naik pitam bila disebut “orang tak beradat” meskipun kualitas keislamannya

rendah. Ini memperlihatkan begitu kuatnya pandangan hidup yang berlandaskan pada

nilai-nilai kearifan alam yang belakangan berpadu dengan nilai-nilai Islam. Lebih

dari itu, alampun pada hakikatnya merupakan sumber ajaran Islam; ayat al-kauniyah.

Mengenai keterpaduan ini, menarik kita simak penjelasan dari Hayati Nizar berikut:

Keterpaduan antara adat dan syara’ secara eksplisit tercermin dalam tata

kehidupan masyarakat di mana ada istilah tigo tungku sajarangan atau tigo

tali sapilin yang menata kehidupan dalam masyarakat yakni niniak mamak,

alim ulama, dan cadiak pandai. Istilah ini pada hakikatnya tidak hanya

mencerminkan pihak-pihak yang menata kehidupan, tetapi secara filosofis

berimplikasi ke dalam kehidupan tiap pribadi Minangkabau. Artinya, setiap

orang Minangkabau harus mengetahui tiga hal atau dengan kata lain tiga

pengetahuan, yaitu pengetahuan terhadap adat istiadat, pengetahuan

terhadap agama, dan pengetahuan terhadap ilmu. Ilmu dalam ajaran adat

terdiri dari empat macam, yaitu tahu pada diri, tahu pada orang lain, tahu

pada alam, dan tahu pada Allah. Untuk tahu pada semua itu, maka kuncinya

adalah kemampuan membaca dan menulis, karena keduanya itu merupakan

gerbang untuk sampai kepada ilmu pengetahuan secara umum. Dari ini dapat

dipahami bahwa setiap pribadi Minangkabau harus tahu membaca dan

menulis.26

Alam, bagi masyarakat Minangkabau adalah guru pertama dan utama. Ini

menjadikan masyarakatnya senantiasa memperhatikan fenomena alam, baik sosial

maupun non-sosial sebagai pedoman hidup. Alam Minangkabau secara adat dibagi

menjadi dua; darek dan rantau. Darek identik dengan daerah pedalaman,

pegunungan, sedangkan rantau identik dengan kawasan pesisir pantai (terbagi dua;

hilir dan mudik). Daerah darek dibagi menjadi tiga luhak, yang diyakini sebagai

daerah inti, tempat orang Minangkabau berasal dan rantau adalah daerah perluasan.

Luhak yang tiga itu adalah: luhak nan tuo (Tanah Datar), luhak nan tonga (Agam),

dan luhak nan bunsu (Limo Puluah Koto).27 Ketiga luhak ini disimbolkan dengan

25 Taufik Abdullah, “Adat and Islam : an Examination of Conflict in Minangkabau,”

Indonesian Journal, Vol. 2, Oktober 1966, hal. 3 26 Hayati Nizar, Bundo Kanduang dalam Kajian Islam dan Budaya, hal. 2-3 27 Mengenai bagaimana kondisi geografis terhadap pola ekonomi dapat dibaca dalam

Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, (Yogyakarta: Ombak), 2007.

Page 29: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

22

warna kuning, merah, dan hitam. Luhak adalah daerah yang terletak di pedalaman

Minagkabau.

Ketiga luhak juga menjadi simbol bahwa orang Minangkabau harus

memenuhi tiga kebutuhan pokok, yaitu: ilmu pengetahuan (luhak nan tuo), agama

dan adat (luhak nan tonga), dan ekonomi (luhak nan bunsu). Tidaklah cukup bila

hidup mengandalkan harta, sedang qalbu hampa otak pun kosong. Atau sebaliknya,

iman diperkuat namun perut lapar dan berfikir tak sanggup. Juga naif bila keseharian

hanya sibuk dengan ilmu pengetahuan, sedang iman menipis, perut pun kelaparan.

Ketiganya harus berimbang. Ilmu dicari, iman diperkuat, ekonomi disejahterakan.

Rantau juga memainkan peran yang sangat penting bagi kehidupan

masyarakat Minangkabau. Boleh dikatakan antara rantau dan darek tidak bisa

dipisahkan: ibarat dua sisi mata uang yang saling memberikan nilai. Rantau menjadi

tempat berlabuhnya para pedagang atau pun penyebar agama (syari’at). Di

Minangkabau, pesisir pantainya seperti Ulakan, adalah tempat persinggungan antara

dunia perdagangan dan penyebaran ajaran Islam yang dilakukan oleh para pedagang,

termasuk oleh para guru tarekat. Tegasnya rantau menjadi tempat bermulanya

syari’at Islam tersebar keseluruh ranah Minangkabau. Berbeda dengan darek yang

menjadi sentra tata, nilai, dan norma adat yang berkembang dan dipegang teguh oleh

masyarakat Minangkabau. Cupak nan duo: cupak usali (takaran yang asli) dan cupak

buatan, (takaran buatan), memainkan peranan yang sangat penting setelah adat dan

Islam berpadu.

Adat menurun, syari’at mendaki (adaik manurun, syara’ mandaki), begitu

masyarakat Minangkabau mengungkapkan fenomena itu. Ungkapan ini bila

dicermati berisikan pandangan filosofis yang begitu dalam. Sifat adat menurun,

bermakna bahwa adat memiliki kecenderungan mampu menyesuaikan diri dengan

lingkungan alam dan sosial yang baru. Dari darek ke rantau. Adapun syari’at

mendaki; memiliki makna bahwa syari’at bersumberkan pada yang ‘azali; Allah swt.

Sebab itulah, adat dan syari’at saling mengisi antara yang satu dan yang lain. Dengan

bahasa lain, antara yang normatif dan historis tak dapat dipisahkan, meskipun teks

memiliki kekekalan dalam bentuknya. Jumlah ayat, surat dalam al-Qur’an sampai

kapan pun takkan pernah berkurang atau bertambah, namun pemahaman terhadapnya

pasti akan mengalami perubahan. Hanya cupak usali saja yang tidak mengalami

perubahan.

Persoalannya apakah nilai-nilai adat dan Islam di bumi Minangkabau masih

sejalan seperti sediakalanya, sungguh menyita banyak perhatian. Memang adat

sendiri menyadari bahwa sakalie aie gadang, sakali tapian barubah, namun

barubahnyo di sinan juo. Artinya setiap perubahan zaman, maka akan menuntut

terjadinya perubahan terhadap adat, namun adat yang sebenar adat (nilai-nilai

prinsipil), tetap pada relnya. Namun fakta menunjukkan hal lain. Terlalu banyak

penyimpangan yang terjadi. Tidak sedikit nilai dan norma dinistakan. Fitnah

bertebar, aib merabak. Arus globalisasi sungguh merubah sendi-sendi kehidupan

yang selama ini dipegang teguh.

Muhammad Sholihin, teman penulis yang aktif pada lembaga Nagari

Institute yang concern terhadap studi budaya dan Islam di Minangkabau dan penulis

buku Pengantar Metodologi Ekonomi Islam, menyampaikan hasil studi yang

dilakukan oleh lembaga tersebut kepada penulis. Sholihin menjelaskan bahwa ada

Page 30: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

23

tiga faktor utama pudarnya nilai-nilai kearifan lokal di Minangkabau. Pertama,

hilangnya peran tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan. Kedua, kekuatan kapital

atau merabaknya kehidupan kapitalisme. Ketiga, demokrasi liberal yang merusak

tatanan kearifan lokal yang dahulu berpegang pada prinsip musyawarah untuk

mufakat dan tercermin dalam pepatah: bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek

mufakat, kok bulek samo digilingkan, kok picak samo dilayangkan, saciok bak ayam,

sadanciang bak basi, (bulat air karena pembuluh [pipa], bulat kata karena mufakat,

jika bulat sama-sama digulingkan, jika lempeng sama-sama dilayangkan, sekokok

seperti ayam, sama berdenting seperti besi).

Kapitalisme dan demokrasi liberal menjadi bagian yang sangat merusak

tatanan kearifan lokal. Atau dengan kata lain, arus globalisasi telah merubah sikap dan

etika sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Ini pula agaknya yang menjadikan

masyarakat Minangkabau terbilang lamban dalam pembangunan. Bahkan beberapa

kasus politik, korupsi telah merusak citra Minangkabau sendiri sebagai ranah

baradaik. Patut disambut gembira beberapa dekade belakang banyak usaha yang

dilakukan pemerintah daerah Sumatera Barat untuk menghidupkan kembali nilai-nilai

kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat, setelah sekian lama dijajah oleh cara-cara

kapitalis. Bagaimana hasilnya masih menunggu jawaban dan jawabannya takkan

pernah berhenti pada satu titik, melainkan terus mencari bentuknya.

C. Orientasi Nilai Budaya Minang

Nilai dasar yang menjadi pedoman masyarakat Minangkabau dapat diketahui

melalui apa yang dikatakan mereka tentag diri mereka, masyarakat mereka dan

lingkungan dan siakp mereka. Dengan pandangan mereka tersebut dapat diidentifikasi

apa yang menjadi pedoman dan filosofi tentan makna hidup, makna waktu, makna

alam, dan makna kerja. Hal ini dapat diperoleh melalui budaya Minangkabau yang

tercermin dalam bentuk pepatah-petitih, petuah, tambo, dan kaba, sebagai refleksi

simbolik makna kehidupan dan lingkungan social serta alam yang mengelilingi

mereka yang menghasilkan nila-nilai dan norma-norma yang berbeda dengan daerah

lainnya.

Nilai dasar yang menjadi pegangan masyarakat Minangkabau adalah mereka

pertama kali harus belajar dari pengalaman. Dari pengalaman inilah mereka belajar

dari alam yang memantulkan aspek keteraturan dan keseimbangan serta perubahan

yang menjadi arah kehidupan tentang apa yang harus dilakukan dan diperbuat dalam

proses menghadapi tujuan dan makna hidup sebagai masyarakat Minangkabau.

Sistem nilai budaya befungsi sebagai pedoman dan pendorong perilaku manusia.

Sistem nilai budaya juga memberi arah kepada anggota-anggota suatu masyarakat.

Untuk memahami nilai utama masyarakat Minangkabau, bisa dipinjam teori

Kluckhohn, yaitu 5 orientasi nilai budaya, yaitu:

1. Hakekat hidup manusia

2. Hakekat kerja manusia

3. Hakekat kedudukan manusia dalam ruang waktu

4. Hakekat hubungan manusia dengan alam.

5. Hakekat hubungan manusia dengan sesamanya.

Page 31: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

24

Seorang pakar Minang, Azmi, mencoba menggambarkan orientasi nilai

budaya Minangkabau yang hidup dalam masyarakat Minangkabau yang

mempengaruhi perilaku dalam melihat bagamana hubungan manusia dengan alam,

pandangan tentang kerja, tentang waktu, dana bagaimana bentu interaksi sosial dalam

kehdupan sehari-harisebagaimana berikut.28

1. Hakekat Hidup

Dalam keyakinan hidup orang Minang memandang bahwa hakekat itu tidaklah

buruk, tetapi hidup itu baik dan penuh perjuangan. Karena tujuan hidup itu adalah

untuk berbuat baik dan saling berbagi satu sama lain. Dalan pantun Minang dikenal

dengan istilah ‘hiduik bajaso, mati bapusako’. Analog dengan pepatah ‘gajah mati

meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, masnusia mati

meninggalkan namo’. Hal ini menggambarkan bahwa setiap orang harus kerja keras

sehingga dapat meninggalkan warisan untuk anak dan kemanakannya.

2. Hakekat Kerja Manusia

Sejalan dengan hakekat hidup manusia menurut keyakinan Minangkabau,

kerja adalah kewajiban manusia. Nilai dasar hidup itu baik memunculkan etos kerja

sejalan dengan pantun masyarakat Minangkabau ‘kayu hutan bukan andaleh, elok

dibuek ka lamari, tahan hujan barani bapaneh, baitu urang mencari rasaki’. Pantun

ini mendorong masyarakat Minangkabau untuk selalu berusaha dalam hidup dengan

etos kerja yang menghargai kerja keras.29

Tempat kerja, tempat meningkatkan hidup. Bagi orang Minang tempat kerja

tidak terikat pada satu tempat saja. Kemana pun mereka merantau untuk meningkatan

kesejahteraan. Keterbukaan orientasi kerja seperti ini dilambangkan dari pantun di

atas mendorong anak-anak muda untuk pergi merantau untuk berdagang atau mencari

ilmu dan pengalaman.

3. Hakekat Kedudukan Manusia dalam Ruang dan Waktu

Orang Minangkabau sangat sadar akan eksistensinya dalam menghargai

ruang dan waktu. Persoalan disiplin waktu diajarkan melalui ritual agama,

dinalogikan dengan ritual shalat lima waktu yang menjadi kewajiban bagi umat Islam.

Shalat lima waktu dilakukan pada waktu yang telah ditentukan Nabi Muhammad

sehingga masa-masa pengunaan waktu sangat terencana. Bila tidak mengenal waktu,

maka jadwal shalat akan terlalaikan dan dan tidak bisa tergantikan. Karena itu,

masyarakat Minang sangat terkenal menjalankan syariat agama dan sangat

28 Azmi, ‘Pelestarian Adat dan Budaya Minangkabau’, dalam CH. N. Latief Dt.

Bandaro, dkk. (ed.), Minanagkabau yang Gelisah h. 85, Sebagai bandingan lihat juga

Basyral Hamidi Harahap dan Hotman M. Siahaan, Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak

(Jakarta: Sanggar Willem Iskander), 1987, h. 239-249. 29 Amir M.S. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang (Jakarta:

PT. Mutiara Sumber Waidya), 1999, h. 108.

Page 32: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

25

menghargai waktu. Gurindam Minang menyebutkan ‘jiko duduak marauik ranjau,

jiko tagak maninjau jarak, jiko bajalan bamukasuik’.

4. Hakekat Hubungan Manusia dengan alam

Dalam pembicaraan tentang hakekat hidup manusia, kerja (karya), dan

kedudukan manusia, telah tergambar perilaku manusia orang Minang yang

memandang hidup, kerja, ruang dan waktu sebagai sesuatu yang penting tidak dan

berharga dalam hidupnya. Hubungan manusia Minangkabau dengan alam terekam

dalam ungkapan tradisional, yang memberikan citra keterkaitan mereka dengan alam

sepanjang sejarah perjalanan hidupnya.

Mereka tidak tunduk kepada alam. Mereka memanfaat alam ini sebagai

sesuatu anugerah dari Tuhan dan harus dijaga dan dipelihara. Karena itu mereka

berusaha mengetahui rahasia-rahasia yang terkandung dalam alam untuk kepentingan

hidup di dunia agar bermanfaat bagi manusia sebagai khalifah di bumi. Dengan

menjadikan alam takambang menjadi guru, masyarakat Minang belajar bagaimana

alam ini memberikan keteraturan dan keseimbangan disertai perubahan-perubahan

yang selalu dinamis. Karena itu mereka harus menyesuiakan diri dengan perubahan,

seperti yang disebut dalam pepatah Minang ‘sakali aie gadang, sakali tapian

barubah’. Mereka menyesuaikan diri secara kreatif di manapun mereka bertempat

tinggal, ‘Dima bumi dipijak, disinan langik dijunjung’.

5. Hakekat Hubungan Manusia dengan Sesamanya

Hubungan antar manusia orang Minangkabau menduduki tempat pertama di

antara empat orientasi budaya lainnya. Masyarakat Minang dikenal dengan budaya

egaliter dan tidak mengenal budaya feodal. Masing-masing saling menghormati status

dan kedudukan seseorang tanpa harus melihat latar-belakang sosio-budaya dan

ekonomi orang tersebut. Karena itu ada gurindam Minang yang menyebutkan ‘duduak

ssamo randah, tagak samo tinggi’. Meski demikian, mereka tetap menghormati

hirarki kekuasaan: ada rakyat, ada pemimpin. Dalam hal ini seorang mamak adalah

seorang pemimpin yang mengawal anak kemanakannya agar tetap sesuai pelaksanaan

nilai-nilai adat dan ajaran Islam (ABS-SBK).30

D. Merantau sebagai Bagian dari Proses Pembentuk Identitas Kultural

Masyarakat Minangkabau terkenal dengan kegiatan merantau. Hal ini sudah

dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu, baik untuk berdagang, bekerja maupun

bersekolah. Mereka kerapkali diidentifikasikan dengan etnis Tionghoa yang juga

melakukan kegiatan merantau secara massif. Namun, tidak serta-merta memiliki

kesamaan motivasi dan landasan pemikiran yang sama. Gagasan penulis dalam

30 Amir M.S. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, h. 111-

114.

Page 33: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

26

makalah ini ialah merantau dalam masyarakat Minangkabau didorong oleh faktor

ekonomi dan budaya, yang mana, kedua faktor itu berpijak pada pepatah alam

takambang dijadikan guru. Pepatah ini menjadi inspirasi bagi dinamika sosial

masyarakat Minangkabau di samping agama Islam.

Surau merupakan bagian yang teramat penting bagi kehidupan sosial

masyarakat Minangkabau, selain lapau dan rantau. Ketiga lembaga ini memainkan

peran dalam pembentukan karakter masyarakat Minangkabau, terlebih bagi kaum

laki-laki. Di usia menginjak remaja, mereka malu bila masih tidur dirumah orang tua

mereka, dan surau adalah tempat yang begitu berharga. Adapun lapau atau warung

bagi masyarakat Minangkabau adalah tempat bertukar wacana. Ia menjadi simbol

ekonomi, sama halnya dengan rantau namun juga tempat bertukar pikiran,

berdialektika, mencari informasi atas apa saja yang sedang terjadi.

Lapau juga memberikan teladan bagi para generasi muda. Mereka akan malu

di tengah masyarakat bila malas bekerja, namun di samping itu mereka mempunyai

hobi duduk di lapau sambil minum kopi dan bermain domino. Cerita-cerita yang

mereka sampaikan, dianggap carito lapau yang tak perlu didengar, karena

mengandung kebohongan. Di tengah masyarakat, mereka akan dianggap sarok balai

(sampah pasar), bila melakukan tindakan yang mengganggu ketenangan masyarakat.

Berbeda dengan parewa, yang meskipun dianggap “freeman” namun masih

memegang teguh nilai-nilai adat yang hidup dalam masyarakat. Djamil Djambek dan

Hamka adalah ulama Minangkabau yang semasa remaja hidup sebagai parewa

sekaligus senang tidur di surau.

Adapun rantau adalah bagian yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan

masyarakat Minangkabau. Bahkan ia menjadi identitas sosial, sehingga marantau

adalah keniscayaan yang harus mereka lakukan. Seorang laki-laki dianggap tidak

berguna di kampung halamannya jika belum pergi merantau. Adalah aib bagi seorang

laki-laki bila telah menginjak usia dewasa belum pula pergi merantau menempa diri

menjadi lebih baik. Berikut ini pepatah Minang yang mendorong orang Minang untuk

pergi merantau.

Ka rantau Madang di hulu (Ke rantau Madang di hulu)

Babuah babungo balun (Berbuah berbunga belum)

Marantau bujang dahulu (Merantau bujang dahulu)

Di rumah baguno balun (Di rumah berguna belum)

Pepatah di atas, entah sejak kapan adanya menjadi inspirasi bahkan boleh

dikatakan sebagai “firman” yang mewajibkan kaum laki-laki Minangkabau untuk

pergi merantau. Badan dianggap tak berguna bila hanya menetap di kampung. Diri

dianggap dibesarkan orang, bila besar di kampung. Berbeda dengan di rantau.

Meskipun pahit penanggungan hidup, namun akan dihargai dan dihormati karena

memiliki nilai juang. Terselip tanggung jawab moral untuk membangun kampung

halaman.

Laguah laga bunyi padati (Elok bunyinya, suara pedati)

Padati nak urang ka Padang (Pedati membawa orang ke Padang)

Ganto kabau babunyi juo (Ganto kerbau berbunyi pula)

Walau sapiriang dapek pagi (Walau sepiring dapat di pagi hari)

Page 34: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

27

Sapiriang dapek patang (Sapiring pula di petangnya)

Minangkabau dikana juo (Minangkabau tetap dikenang juga)

Menurut Tsuyoshi Kato, marantau merupakan satu di antara tiga karakteristik

utama masyarakat Minangkabau. Ketiga karakter itu adalah memiliki keyakinan yang

kuat terhadap Islam, praktik marantau (migrasi keluar), dan khususnya, menganut

sistem matrilineal. Kato menulis, Three characteristics of these people are a strong

faith in Islam (in contrast to the more syncretic Javanese, the practice of marantau

(out-migration), and, especially, a matrilineal family system.31

Apa yang diutarakan oleh Kato, mirip yang diungkapkan oleh Muchtar Naim.

Menurut Naim, marantau bagi masyarakat Minangkabau merupakan identitas

sosialnya baik dilakukan dalam rentang waktu yang lama, atau pun hanya sementara.

Para perantau Minangkabau, jelas Naim sebagaimana dikutip oleh Joel S. Kahn, tetap

membawa identitas budayanya di mana pun mereka merantau. Hal ini, oleh Kahn

dianggap sebagai keistimewaan tradisi marantau yang dilakukan oleh masyarakat

Minangkabau.32

Lebih lanjut Christine Dobbin menjelaskan bahwa Marantau merupakan

sebuah lembaga sosial bagi sejumlah besar pemuda meninggalkan desa setiap tahun

atau bahkan selama beberapa tahun dengan tujuan menjual hasil kerajinan desa dan

berdagang barang-barang lain.33 Dobbin memahami tradisi marantau sebagai cara

bagi masyarakat Minangkabau yang berada di darek menjual hasil-hasil bumi yang

mereka miliki. Terlebih pada waktu sekitar abad ke-16, pesisir pantai Sumatera Barat

sebagai wilayah rantau sibuk dengan lalu lintas pedagangan.34

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa marantau

merupakan bagian dari identitas sosial-kultural masyarakat Minangkabau. Seorang

laki-laki Minang, merasa tidak puas bila belum pergi merantau, hidup mandiri

mencari nafkah untuk kemudian mengambangkan kampung halamannya. Ini pula

yang menjadi faktor utama derasnya arus marantau yang dilakukan oleh masyarakat

Minangkabau.

Meski bukan termasuk derah pesisir, Sulit Air pada dasarnya juga merupakan

daerah rantau. Batang (sungai) Katialo merupakan anak sungai yang menghubungkan

jalur perdagangan dari daerah Riau melewati aliran sungai Kuantan hingga ke

Umbilin di pinggiran danau Singkarak. Namun beriring waktu, Sulit Air kehilangan

potensi karena hasil sumber daya alam yang dimilikinya tidak banyak mendukung.

Aktifitas marantau pun pada dasarnya telah dimulai pada waktu itu. Namun, secara

pasti kapan dimulai tidak ada data yang membuktikan. Hanya beberapa penghulu

yang memiliki gelar dari luar, seperti: Dt. Palembang, Dt. Tan Aceh, Dt. Malin Aceh,

Dt. Malaka Kayo, Dt. Malako Sutan, Dt. Malako Bongsu, dan Dt. Incek Malako,

31 Tsuyoshi Kato, “Rantau Pariaman: Minangkabau Coastal Merchants in the

Nineteenth Century,” The Journal of Asian Studies, Vol. XXXIX, No. 4, Augus 1980 32 Joel S. Kahn, Minangkabau Social Formation: Indonesian Peasants and the

World-economy, (Cambridge: Cambridge University Press), 2007, hal. 29-31 33 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, hal. 47 34 Tsuyoshi Kato, “Rantau Pariaman.” Lihat juga, Gusti Asnan, Dunia Maritim

Pantai Barat Sumatera.

Page 35: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

28

menurut Hamdullah Salim menjadi bukti bahwa Sulit Air dan daerah sekitarnya

merupakan kawasan perdagangan yang cukup makmur, dahulunya.35

Hamdullah Salim menulis, salah seorang di antara pendatang yang berasal

dari Aceh, bernama Jahid merupakan ulama dan dianggap sebagai penyebar Islam

yang pertama di Sulit Air. Ia menikah dengan Bayuria, adik kandung Dt. Rangkayo

Basa. Tempat tinggal mereka hingga sekarang dikenal sebagai Kampuang Bayuo.

Atas jasanya itu, Jahid diangkat sebagai penghulu dengan gelar Dt. Malin Aceh.36

Diakui, sulit untuk membenarkan apa yang ditulis oleh Hamdullah Salim,

sesulit kita membantahnya. Tradisi bakaba dan tambo atau menyampaikan informasi

secara lisan, menjadi sebab utamanya. Namun, setidaknya data-data yang tersebut

dikaitkan dengan apa yang hingga saat ini masih hidup dan berkembang dalam

kehidupan masyarakat. Misalnya persoalan pemberian suku.

Untuk itu dapat dimengerti bahwa faktor utama masyarakat Sulit Air

merantau adalah kondisi kampung halaman yang tidak menjanjikan untuk perbaikan

kesejahteraan ekonomi. A. Maude, seorang sarjana dari School of Social Science

Flindes University, Adelaide Australia, ketika melakukan penelitian terhadap 11

Nagari di Sumatera Barat pada tahun 1976, termasuk Sulit Air, mengungkapkan

bahwa orang-orang Minangkabau pergi merantau disebabkan beberapa faktor. Yaitu:

faktor ekonomi (61,1%), mencari pengalaman baru (13,9%), tradisi (5,4%),

ketidakpuasan hidup di desa (4,2%), adat (3%), lain-lain (10,11%). Dan secara

khusus, Maude mencatat bahwa orang Sulit Air dan Rao-rao pergi merantau adalah

karena dorongan tradisi.37

Berdasarkan data peneltian tersebut, Salim menyimpulkan bahwa orang-

orang Sulit Air pergi merantau disebabkan karena mendengar keberhasilan dan

keberuntungan hidup saudara-saudaranya di rantau orang, maka timbulah dorongan

hati untuk merantau. Di rantau mereka diajari berdagang atau apa saja yang bisa

menghasilkan nafkah untuk hidup. Lebih dari itu, Salim menulis: 38

...walau Sulit Air yang luasnya 80 kilometer persegi, tapi bukanlah

merupakan lahan yang subur bagi pertanian. Sekelilingnya merupakan bukit-

bukit yang hanya basah di waktu musim hujan, berbentuk “kuali

tertelungkup”. Dua sungainya, yakni Batang Katialo dan Batang Balam, jauh

berada di bawah, hanya sebagaian kecil sawah dan ladang saja yang dapat

diairinya. Karena penduduk semakin bertambah jua, sawah dan ladang yang

terbatas tersebut tidak sanggup lagi memberikan makanan yang cukup kepada

mereka, menyebabkan mereka sedikit demi sedikit meninggalkan Sulit Air,

35 Hamdulullah Salim, “Sejarah Perantauan dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”

Folisa, Forum Peduli Adat dan Budaya Sulit Air, Edisi Perdana, 2004, hal. 29 36 Hamdulullah Salim, “Sejarah Perantauan dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”

Folisa, Forum Peduli Adat dan Budaya Sulit Air, hal. 29 37 Hamdulullah Salim, “Sejarah Perantauan dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”

Folisa, Forum Peduli Adat dan Budaya Sulit Air, hal. 28 38 Hamdulullah Salim, “Sejarah Perantauan dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”

Folisa, Forum Peduli Adat dan Budaya Sulit Air, hal. 29

Page 36: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

29

mencari kehidupan yang labih baik di rantau, hingga menjadi tradisi seperti

disebutkan di atas.

Irdam Huri berkesimpulan bahwa marantau merupakan jawaban bagi

masyarakat Sulit Air terhadap kondisi alam yang tak mendukung. Kondisi itu, menjadi

push factor atau faktor pendorong masyarakat Sulit Air pergi merantau. Huri juga

menegaskan bahwa perantau asal nagari Sulit Air didorong oleh faktor ekonomi dan

keinginan mendapatkan hidup yang layak. Ini didukung oleh hasil wawancaranya

dengan salah seorang tokoh Sulit Air, Zarkasi yang mengatakan:

“Secara pasti kapan waktunya orang Sulit Air merantau saya tidak

mengetahui. Menurut cerita, orang tua saya merantau dimulai sejak zaman

Belanda dan arus merantau lebih deras ketika PRRI. Masyarakat nagari Sulit

Air merantau lebih disebabkan oleh kondisi lahan pertanian yang sempit dan

kurang subur dengan topografi daerah yang berbukit-bukit. Merantau

merupakan suatu jawaban dari kondisi alam nagari Sulit Air yang tidak

mendukung. Ekonomi merupakan faktor utama orang Sulit Air pergi

merantau. Saya lahir, dibesarkan dan sekolah di rantau, yaitu Yogyakarta.

Keluarga saya merantau sudah lebih dari 60 tahun.”39

Tapi Hamdullah Salim agaknya mencoba menggugat anggapan Zarkasyi dan

pendapat lain yang senada bahwa faktor ekonomilah yang mendorong masyarakat

Sulit Air pergi merantau. Hal ini didasarkan atas keberhasilan proyek pemanfaatan

lahan kritis melalui tanaman holtikultura yang dilakukan oleh pemerintah yang waktu

itu diresmikan oleh Syafiruddin Baharsyah, selaku Menteri Muda Pertanian pada

tahun 1992. Proyek itu terbilang sukses namun tidak dilanjutkan oleh masyarakat.

“Angek-angek cik ayam”40 dan “demam merantau” adalah sebabnya, kata Salim.

Salim juga menganggap hal itu sebagai petanda mulai merendahnya budaya dan etos

masyarakat Sulit Air.41

Terakhir, peneliti sendiri dalam beberapa kesempatan ketika bertemu dengan

teman-teman yang notabene putus sekolah, baik SD, SLTP, maupun SLTA, bertanya

heran kepada peneliti: “Buat apa kamu kuliah tinggi-tinggi bila hanya menghabiskan

uang orang tua, apalagi nanti setelah kuliah tak dapat pekerjaan dan menganggur

dan akhirnya manggaleh (berdagang) seperti saya?” Diakui, peneliti cukup

terhenyak dengan pertanyaan itu, meskipun sudah sering didengar. Namun ketika

peneliti menjawab bahwa “hidup yang akan kita hadapi ke depan, tidak sesederhana

yang kamu pikirkan, uang tidak bisa menjawab seluruh permasalahan yang ada,

meskipun ia penting bagi kehidupan kita.” Jawaban ini membuat yang diwawancarai

merasa kecut. Dengan nada yang rendah ia menjawab; “Betul kata kamu. Sebenarnya

saya juga menyesal tidak melanjutkan kuliah. Ternyata manggaleh jo marantau tidak

39 Irdah Huri, Filantropi Kaum Perantau: Studi Kasus Kedermawanan Sosial

Organisasi Perantau Sulit Air Sepakat (SAS), Kabupaten Solok, Sumatera Barat, (Jakarta:

Piramedia, 2006), hal. 55-56 40 Ungkapan terhadap etos kerja yang hanya semangat di awal, namun berikutnya

tidak bergairah lagi. 41 Hamdullah Salim, Peta Bumi Sulit Air, Flora dan Fauna...hal. 13

Page 37: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

30

seenak yang dipikirkan. Tapi buat apa saya menyesal, saya harus tetap berjuang

untuk masa depan saya.”

Dari uraian diatas, terdapat satu titik persinggungan antara budaya merantau,

adat, dan Islam. Sama sekali tidak ada pengaruh Islam secara langsung terhadap pola

hidup merantau masyarakat Minangkabau, khususnya masyarakat Sulit Air. Islam

atau yang dipahami sebagai syara’ oleh masyarakat Minangkabau menyesuaikan diri

di tengah warna-warni adat. Begitupun adat, turut menyesuaikan diri dengan

lingkungan baru yang dihadapi, sesuai dengan pergantian zaman. Namun keduanya

saling berpadu mempertahankan yang usali (asal).

Sebagai daerah rantau, terlebih dengan kondisi alam yang tak

menguntungkan, marantau merupakan jawaban bagi masyarakat Sulit Air untuk

mensejahterakan hidup mereka. ‘Mancari sehelai kain penutup badan, sesuap nasi

penahan lapar, dan pengalaman hidup untuk memperkuat keimanan,’ begitu sering

terdengar dalam upacara tasyakuran. Marantau agaknya merupakan efek dari

pandangan hidup masyarakat Minangkabau yang berdasarkan pada adat basandi

syara’, syara’ basandi kitabullah, dan alam takambang jadikan guru.

Banyak alasan lain yangg dikemukakan para ahli, namun bila diperhatikan

daerah lain di Minangkabau seperti Luhak nan tigo, alam mereka tampak mendukung

dengan hasil pertanian memuaskan, tetapi arus merantau tetap kuat. Kato dan Naim

menjelaskan bahwa marantau merupakan karakteristik utama masyarakat

Minangkabau dan telah menjadi identitas sosio-kultural mereka.42

42 Wawancara pribadi dengan intelektual Mochtar Naim, Jakarta, 24 Agustus 2020.

Page 38: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

31

BAB III

SEJARAH PERKUMPULAN SULIT AIR SEPAKAT (SAS)

A. Sejarah Sosial Perantau Sulit Air

Sulit Air adalah sebuah nagari yang terletak di Kecamatan X Koto Di

Atas, Kabupaten Solok yang luasnya sekitar 80 km2 dan karena luasnya, maka ia

termasuk nagari yang terluas di seluruh nagari Sumatera Barat. Ia merupakan

dataran tinggi yang berjarak sekitar 20 km dari danau Singkarak. Topografi

alamnya tandus; terdiri dari bebatuan granit, batu hijau dan batu bara yang belum

layak diproduksi. Terdapat sungai (batang) katialo yang membelah nagari Sulit

Air; namun debit airnya tidak terlalu cukup untuk kepentingan sawah dan

perkebunan. Masyarakat nagari Sulit Air, hidup dan berkembang dengan berbagai

ciri khas yang unik. Di daerah yang memang sulit memperoleh air, masyarakatnya

tumbuh dengan kecintaan yang begitu besar terhadap kampung halamannya.

Toponimi (asal-usul nama) nagari Sulit Air, atau Suliek Aie terbentuk

melewati cerita yang unik. Sebuah tambo1 menceritakan bahwa Dt. Mulo Nan

Kawi dan isterinya Puti Anggo Ati beserta rombongan merupakan orang pertama

yang menjajaki tanah Sulit Air. Rombongan ini pindah dari daerah asalnya

Pariangan Padang Panjang. Sebuah daerah yang terletak di bawah kaki Gunung

Singgalang.

Tujuan mereka adalah Solok, daerah yang terletak tidak jauh dari kaki

Gunung Talang. Menurut cerita, pada waktu itu ia mendapat kaba2 dari teman-

1 Tambo adalah adalah penulisan sejarah tradisonal Minangkabau. Ada dua jenis

tambo, yaitu tambo alam dan tambo adat. Tambo alam mengisahkan asal-usul nenek moyang

serta perjalanan sejarah Minangkabau. Sebaliknya , tambo adat mengisahkan adat atau

system norma serta aturan social kemasyarakatan dan tata pemerintahan Minangkabau. Lihat

Gusti Aman, Kamus Sejarah Minangkabau (Padang: Pusat Pengkajian Islam dan

Minangkabau-PPIM), 2003, h. 339. 2 Kaba adalah adalah genre sastra tradisional Minangkabau berupa prosa. Kaba

dapat dibacakan maupun didendangkan. Bentuknya berupa pantun lepas maupun pantun

berkait disertai ungkapan pepatah-petitih, mamangan, pameo, kiasan, dan sebagainya. Kaba

berfungsi untuk menyampaikan cerita atau amanat. Biasanya tokoh dalam kaba tidak jelas

dan nama-namanya cenderung bersifat simbolik.

Kaba yang disampaikan oleh seorang tukang kaba. Pertunjukan kaba berbeda-beda

bergantung daerah Minangkabau. Ada yang menyampaikan kaba dengan randai, ilau, atau

dengan nyanyian yang disebut basijobang. Sesudah Perang Dunia I, kaba mulai

dipertunjukkan sebagai sandiwara dan diterbitkan. Kaba pertama kali ditulis dalam bahasa

Page 39: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

32

teman dan saudaranya bahwa daerah Solok memiliki tanah yang subur, cocok

untuk pertanian seperti persawahan. Sampai saat ini, memang Solok terkenal

sebagai daerah penghasil beras yang berkualitas. Orang Minangkabau pasti

mengenal nama-nama beras seperti anak daro, ceredek yang terkenal berkualitas

tinggi berasal dari Solok.

Dimulailah tapak perjalanan menuju Solok. Ditempuh jalan ke Timur

menyisiri tepian danau Singkarak. Rimba belantara ditembus, naik gunung turun

gunung tak mengurungkan niat mereka, hingga tibalah di tepian batang Umbilin.

Kehidupan di sana sudah tumbuh, meski terbilang sepi. Entah kebetulan atau

tidak, pada waktu itu musim hujan melanda daerah tersebut. Banyak piringan

sawah yang terendam pasir (kosiek) dan batu-batu kerikil. Untuk mengingat-ingat

tempat itu, Dt. Mulo Nan Kawi memberi nama daerah itu Sawah Kosiek.

Banyak daerah yang ditempuh Dt. Mulo Nan Kawi, isteri, dan

rombongannya. Sebanyak itu pula ia memberikan nama terhadap daerah yang

disinggahinya. Setelah melewati Sawah Kosiek di Batang Umbilin, rombongan

Dt. Mulo nan Kawi terus ke utara hingga sampai ke daerah Pasilihan, berasal dari

kata “Pasie Bailien” yang disebut oleh Puti Anggo Ati. Setelah itu, mereka tetap

melanjutkan perjalanan hingga berkemah di sebuah tempat yang sekarang

bernama Kolok. Nama daerah ini terambil dari peristiwa takolok, atau tertidurnya

rombongan Dt. Mulo nan Kawi hingga matahari terbit tinggi.

Melewati perjalanan yang jauh, tibalah rombongan Dt. Mulo Nan Kawi

di sebuah dataran luas dan kembali beristirahat di sana. Daerah ini belakangan

disebut sebagai Koto Tuo. Dari dataran ini Puti Anggo Ati merasa puas dengan

pemandangan indah yang dilihatnya. Terlihat dua bukit bersandingan (sibumbun

jantan dan sibumbun betina). Terlihat pula penorama gunung berwarna Merah

dan Putih di bagian Timurnya. Berkeyakinanlah Puti Anggo Ati untuk menetap

di daerah yang menurut dia diapit oleh bukit-bukit ajaib itu.

Di bawah terik matahari yang begitu indah, Puti Anggo Ati menulusuri

lurah (bandar) di bawah kaki bukit yang dikenal Guok Taroguong (Bukit

Teragung). Niat hati ingin bermain air, mandi membersihkan badan tapi

kekecewaan yang diraih. Mereka hanya mendapati aliran air yang kecil berdesak-

desakan dari bebatuan. Namun, lain halnya dengan Puti Anggo Ati. Ia merasa

senang melihat air tersebut berdesak indah menghasilkan suara gemercik air yang

tak putus-putus. Puti Anggo Atu berkata: “tuan, lieklah suliknyo ayie kalua li!”

(tuan, lihatlah betapa sulitnya air itu keluar) tapi Dt. Mulo nan Kawi menjawab

dengan nada sinis: “Iyo suliek ayie disiko, inggo indak mungkin kito tingga di

siko.” (Benar-benar sulit air di sini, hingga rasanya tidaklah mungkin kita tinggal

di sini). Sejak saat itu, daerah yang dikelilingi oleh perbukitan itu, terkenal dengan

nama Suliek Aie, atau Sulit Air.3

Melayu dengan huruf Latin sehingga berkembang sebagai cerita yang bertema aktual. Cerita

kaba selalu diawali kisah tambo yang memaparkan asal usul Minangkabau. Lihat

id.wikipedia.org/wiki/Kaba. 3 Lebih lanjut baca: Rozali Rangkayo Sutan dan Hamdullah Salim, Sebuah Tambo:

Asal Usul Negeri dan Persukuan Sulit Air, (Jakarta: Rora Karya), 1975.

Page 40: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

33

B. Sejarah Nagari Sulit Air (Sulik Aie) dan Setting Sosial Budaya, Ekonomi

Masyarakat

Chritine Dobbin dalam bukunya Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam

dan Gerakan Paderi di Minangkabau menulis bahwa “desa-desa di daerah Sulit

Air, yang tanah persawahannya sedikit sekali, hanya bisa menyediakan makanan

bagi penambang-penambangnya dengan harga tinggi. Karena harus membeli

makanan dengan harga tinggi, mereka terpaksa menghabiskan semua keuntungan

kecil yang bisa mereka peroleh. 4

Catatan sejarah berdasarkan tambo tadi tentu tidak serta merta

menegaskan bahwa nagari Sulit Air adalah negeri tandus yang sangat sulit

memperoleh air. Tidaklah demikian adanya. Hanya saja, daerah ini memiliki

topografi tanah yang tidak menguntungkan. Sebagian besar daerahnya merupakan

perbukitan. Lembah-lembah tersebar dengan kadar air yang hanya cukup

mengairi sedikit sawah. Itupun tidak sedikit pula sawah yang sekedar

mengandalkan air hujan (sawah tadah hujan). Namun, di tengah-tengah nagari

Sulit Air terbentang aliran sungai yang tak pernah kering airnya bernama Batang

Katialo. Beberapa anak sungai (lurah), juga menjadi pendukung pengairan sawah

penduduk.5

Simaklah catatan sejarah yang ditorehkan Dobbin. Ketika Raffles

melewati daerah pertambangan utama di sekitar Suruaso dan Sulit Air, jelas

Dobbin, ia melihat galian luas, bekas dikerjakan oleh para penambang. Namun,

ini tidak bisa dianggap sebagai tambang-tambang biasa. Hasil yang diperoleh pun

tidak bisa dinilai sangat berharga. Tegasnya, kandungan emas yang ada di Sulit

Air tidak begitu menguntungkan secara ekonomi. Terlebih untuk

mengerjakannya, masyarakat Sulit Air harus bekerja sama dan itupun atas bantuan

orang luar.6

Selain itu, menurut catatan Dobbon, daerah-daerah perbukitan di

Minangkabau terkenal dengan hasil pabrik dan bumi khusus. Juga terdapat

beberapa produk “ekonomi kreatif” yang dihasilkan penduduk di daerah

perbukitan. Di daerah Silungkang berada pada bagian tenggara Tanah Datar,

terkenal dengan penghasil tenun. Di daerah Agam, terkenal dengan usaha

mencelup dan menenun kain sutra dan katun. Adapun Sulit Air, sebagai daerah

yang tak subur terkenal sebagai desa pemahat kayu. Hasil pahatan penduduk

daerah ini menghiasi rumah-rumah keluarga besar di desa-desa lain dengan ukiran

yang diwarnai dengan warna merah, putih dan hitam.7

4 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi

Minangkabau 1784-1847, terj. (Jakarta: Komunitas Bambu), 2008, h. 41 5 Hamdullah Salim, “Peta Bumi Sulit Air, Flora dan Fauna,” dalam Silaturahmi

Pemangku Adat Nagari Sulit Air, diselenggarakan di Gedung SAS Bandung, Sabtu, 5 Januari

2008, h. 5-13 6 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, h. 41-43 7 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, h. 43.

52-53

Page 41: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

34

Kondisi Wilayah Nagari Sulit Air Berdasarkan Peruntukan Guna Tata

Lahan

No Potensi Wilayah Luas (Ha2)

1 Tegalan 30

2 Sawah 70

3 Bangunan 160

4 Perladangan 45

5 Lahan Terlantar 120

6 Lain-lain 30

Total 455

Sumber: Kantor Wali Nagari Sulit Air.

Sungguh minim potensi wilayah yang dimiliki nagari Sulit Air. Tapi, ini

tidaklah menjadi penghalang bagi mereka untuk terus berusaha membangun

perekonomian demi kesehteraan. Dari data yang ada, 54,85% penduduk Sulit Air,

tetap berprofesi sebagai petani. Ini membuktikan bahwa meskipun memiliki kadar

air yang kurang, pertanian cukup diminati. Tidak hanya pada bidang persawahan,

tapi juga bidang perkebunan, seperti cengkeh dan 24,21% menggeluti dunia

perdagangan. Adapun sisanya tersebar sebagai Pegawai Negeri, pensiunan, ojek,

pertukangan, dan kerajinan industri rumah tangga.

Penduduk Sulit Air Berdasarkan Jenis Pekerjaan

No. Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase (%)

1 Petani 2.723 54,85

2 Pegawai Negeri 107 2,15

3 Pedagang 1.202 24,21

4 Pensiunan 49 0,98

5 Ojek 310 6,24

6 Pertukangan 425 8,56

7 Kerajinan Industri Rumah Tangga 148 2,98

Jumlah 4.964 100

Sumber: Kantor Wali Nagari Sulit Air

Tabel di atas menjelaskan bahwa jenis usaha yang dilakukan oleh

masyarakat Sulit Air, tidak begitu beragam. Bidang pertanian dan perdagangan

menjadi dominan, sedangkan yang lainnya memiliki persentase yang sedikit.

Kehidupan di nagari Sulit Air terbilang unik. Di hari-hari biasa, sedikit

sekali kegiatan ekonomi dilakukan. Nyaris seperti daerah kosong tak bertuan.

Terlebih di malam harinya. Para orang tua, sejak pagi hingga sore hari, sibuk

mengolah sawah-sawah mereka. Bila musim kemarau tiba, mereka terlihat sedikit

santai karena hanya disibukkan tugas mencari rumput untuk makanan ternak. Itu

pun bagi mereka yang memiliki hewan ternak. Adapun anak-anak remaja, dari

pagi hingga siang hari menuntut ilmu di sekolah.

Page 42: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

35

Dari segi pendidikan Nagari Sulit Air merupakan satu-satunya nagari di

Minangkabau yang memiliki institusi sekolah yang cukup lengkap. Mulai dari

Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi. Faktor ini pula yang

menyebabkan beberapa tokoh masyarakat Sulit Air berkeinginan menjadikan

Sulit Air sebagai pusat pendidikan di Sumatera Barat.

Para pemuda bila tidak membantu orang tuanya bekerja di sawah,

beberapa di antaranya berprofesi sebagai tukang ojek. Ada juga yang sibuk

mencari madu liar di hutan. Kami sendiri masih ingat pernah ikut mencari madu

(saloba), bila tidak ada tugas membajak sawah. Adapun di sore hari, para pemuda

maupun remaja yang tinggal di kampung sibuk berolah raga dan mengaji di surau

di malam harinya. Meskipun, ironisnya belakangan peran surau sebagai institusi

pendidikan dan agama telah memudar. Tidak hanya di Sulit Air, bahkan di nagari-

nagari lain di Minangkabau sehingga novelis A.A. Navis menulis sebuah karya

berjudul Robohnya Surau Kami untuk menggambarkan hal tersebut.

Kehidupan ekonomi di nagari Sulit Air tidak bergerak secara dinamis

seperti halnya nagari-nagari lainnya di daerah Sumatera Barat. Hal ini disebabkan

oleh sebagian penduduknya telah berusia lanjut, sedangkan penduduk berusia

muda telah pergi merantau mengikuti generasi pendahulunya. Karena itu, tidaklah

mengherankan bahwa sebagian tanah Garapan dibiarkan ‘menganggur’ dan tidak

produktif, di samping sedikitnya saluran irigasi dan sebagian persoalan pemilikan

tanah yang berstatus tanah pusako. Karena itu adalah wajar di era 1990-an, Sulit

Air terkenal sebagai “kota wesel” karena penduduknya menerima kiriman wesel

yang sangat besar di bandingkan daerah lain di Kabupaten Solok, atau bahkan di

seluruh daerah Sumatera Barat. Kondisi seperti ini, mendorong Rainal Rais, Dt.

Rajo Satie nan Mulie, sebagai ketua umum organisasi perantau Sulit Air yang

bernama Sulit Air Sepakat (SAS), mendirikan lembaga keuangan BPR Surya

Katialo (kata “Surya” berarti Sulit Air Jaya). Pendirian BPR ini sekaligus

merubah etos kerja masyarakat Sulit Air, yang terbiasa diberi ‘ikan’ namun pada

waktu itu diubah menjadi ‘kail’.8

BPR Surya Katialo di mata Rainal Rais merupakan “hujan berkah yang

turun meluncur dari angkasa Sulit Air”. Saham-sahamnya dimiliki oleh segenap

warga Sulit Air. Namun berkah itu bukan hanya untuk warga Sulit Air, tetapi juga

buat nagari-nagari lain yang berada di sepanjang batang Katialo. Tepatnya bagi

suluruh masyarakat X Koto Di Atas.9 Proyek yang sedikit mirip dengan apa yang

dilakukan Muhammad Yunus di Pakistan, namun belakang tidak memiliki

pengaruh yang cukup signifikan.

Rainal Rais, disebut-sebut telah berhasil meningkatkan taraf hidup

masyarakat Sulit Air. Atas dasar itu pula, ia dianugerahi gelar Dt. Rajo Satie nan

Mulie. Keberhasilannya tidak terlepas dari peran dan fungsinya sebagai ketua

umum organisasi perantau Sulit Air Sepakat (SAS). Tri Program Kerja SAS yang

ia rumuskan pada Mukernas SAS ke-IX untuk periode kepengurusan 1986-1989,

berhasil dilaksanakannya selama enam periode masa jabatan (1986-1998). Ketiga

8 Rhian D’Kincai, Rainal Rais: Abdi Organisasi, (Jakarta: Rora Karya, 2003), h. 45 9 Rainal Rais, Goresan-goresan Pemikiran dan Perubahan Selama Sembilan Tahun

Mendayung Perahu “Sulit Air Sepakat”, (Jakarta: Rora Karya, tth.), h. 171-174

Page 43: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

36

program kerja itu adalah pertama, pembenahan organisasi; kedua, menggairahkan

semangat persatuan, pembaharuan, dan pembangunan; serta ketiga, merintis

upaya-upaya bagi tercapainya tujuan SAS dalam bidang sosial, budaya, ekonomi,

agama, dan pendidikan.10

Akhir-akhir ini, di nagari Sulit Air disibukkan kembali keinginan

mengolah pertambangan yang ada di bumi Sulit Air. Ini terbukti dengan adanya

pertambangan batu hijau di Jorong Rawang. Namun, kekayaan ini malah menjadi

sumber petaka. Konflik marak terjadi. Harmonasisi hubungan mulai menipis.

Kekuatan modal menjadi biang pekara dan perseteruan politik pun terjadi. Para

pemangku adat, dijajah oleh hasrat menguasai kekayaan tambang yang tertimbun

di tanah ulayat kaum persukuannya.

Padahal, peran mereka bukanlah sebagai penggadai harta kekayaan anak

kemenakan mereka. Para pemangku adat terpecah. Sebagian tetap konsisten

mengurusi anak kemenakan, sedangkan sebagian lagi lebih senang mengurusi

peluang pertambangan yang ada. Ini juga disebabkan oleh pengangkatan

penghulu yang tidak lagi sesuai dengan ukuran (ukua) dan jangkauan (jangko)

yang ditetapkan adat. Mereka yang lahir dan besar di rantau orang, namun tidak

begitu paham persoalan adat Sulit Air, tidak sedikit diangkat sebagai penghulu.

Pemilihan mereka lebih ditekankan pada ukuran ekonomi. Tak ayal, peran

penghulu mengalami disorientasi yang berakibat pada kemunduran tatanan sosial

kehidupan adat masyarakat Sulit Air secara simultan.

Mantan Ketua DPP SAS Zarkasyi Nurdin mencatat bahwa kandungan

batu hijau yang terletak di nagari Sulit Air, tidaklah memiliki nilai ekonomi tinggi.

Kalaupun diolah sebagai pertambangan rakyat maka akan terbentur persoalan

modal. Butuh modal yang besar untuk pengadaan alat-alat berat dan teknologi

guna mengeluarkan batu hijau yang tertimbun jauh di dalam tanah. Jadi, tegas

Zarkasyi dengan nada sedikit nyentrik, “buat apa para pemangku kepentingan di

kampung halaman Sulit Air berebutan pepesan kosong seperti yang terjadi

belakangan ini. Bahkan karena tidak waspada, telah terkecoh dan kecolongan

dengan skandal yang memakan korban segala?” Apalagi, kalau bukan semua itu

karena, hijau mato...e...!!!11

10 Rainal Rais, Goresan-goresan Pemikiran dan Perubahan Selama Sembilan Tahun

Mendayung Perahu “Sulit Air Sepakat”, h. 3 11 Hijau mato e atau hijau matanya merupakan ungkapan yang menjelaskan sebuah

perilaku yang rakus, tamak terhadap harta kekayaan atau juga digunakan untuk mengomentari

roman muka seseorang yang yang berbinar-binar tatkala melihat sesuatu yang menggoda,

menggairahkan, dan menarik hati. Lebih lanjut baca: Zarkasyi Nurdin, “Hijau Mato E...”

dalam Suara SAS, Nomor 4, Juli 2009 s/d Maret 2010, h. 46-47

Page 44: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

37

Sumber: KAN Sulit Air

Page 45: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

38

C. Sejarah Organisasi Sulit Air Sepakat (SAS)

Tahun 1912 disepakati sebagai tahun berdirinya SAS di kota Padang oleh

segenap perantau Sulit Air dan diresmikan pada tanggal 3 Juli 1970. Konfrensi

pembentukan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) SAS pertama 3-5 Juli 1970 di Villa

Aida Ciloto, Puncak Jawa Barat. Pada 8 Maret 2007 barulah organisasi SAS

ditetapkan sebagai organisasi berbadan hukum berbentuk perkumpulan. Secara

tertulis, Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. C-

19.HT.01.03.TH.2007 menjadikan organisasi ini sebagai bukti berbadan hukum.

Adapun AD/ART SAS disahkan berdasarkan akta notaris No. 27 tanggal 28

Februari 2006 dan akta No. 7 tanggal 11 Oktober 2006 yang dibuat dihadapan

notaris Drs. Zarkasi Nurdin, SH.12

Sulit Air dengan luas wilayah 80 km2 dan topografi wilayahnya itu, diakui

sebagai karunia dan rahmat Allah. Bagi masyarakatnya, Sulit Air diibaratkan

seperti sebuah pohon beringin: akarnya seluk-berseluk, pucuknya hempas

menghempas, seikat bak sirih, serumpun bak serai, sehina semalu. Meskipun

banyak warganya pergi merantau, namun tetap mencintai masyarakat dan tanah

pusakanya Sulit Air; wujud manifestasi kecintaan terhadap bangsa dan tanah air,

Indonesia. Berkumpul dalam satu ikatan organisasi adalah cara merapatkan

barisan, memperkuat tenaga untuk membangun masyarakat dan nagari Sulit Air.

Begitulah mukaddimah yang tertuang dalam AD/ART SAS.

Awal tahun 1912 itu, SAS masih berbentuk hanya sebatas untuk

memperingati kematian, ungkap alm. Jamluddin Tambam semasa hidupnya. Pada

masa itu, yaitu di tahun 1910-1920-an masyarakat Sulit Air masih memberikan

penghormatan kepada orang yang telah meninggal dunia. Kenduri dan selametan

dilakukan sebagai wujud penghormatan. Dengan masuknya Muhammadiyah di

tahun 1930-an dan berdirinya Sumatera Thawalib yang dirintis oleh ayah Buya

Hamka, Syekh Abdul Karim Amrullah sejak tahun 1925, barulah kebiasaan itu

mulai memudar dalam kehidupan masyarakat. Sebagai seorang yang begitu keras

mengusung pembaharuan, upaya yang dilakukan oleh Syekh Abdul Karim

Amrullah, seorang propagandis Muhammadiyah yang paling berhasil dalam

pembaharuan pemikiran Islam sehingga organisasi ini cepat menyebar di seluruh

wilayah Minangkabau.13 Sejak itu, kegiatan SAS diarahkan untuk pemberdayaan

masyarakat Sulit Air, baik di rantau maupun di kampung halaman.

Tahun 1912 merupakan era yang menurut sebagian besar sejarawan

adalah masa kebangkitan nasional. Pada dekade itu, Boedi Utomo lahir pada 20

Mei 1908. Serikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1911. Muhammadiyah dicetus

pula pada 18 November 1912 oleh Ki Ahmad Dahlan. Pada masa-masa itu pula,

berdiri organisasi persukuan seperti Minangkabau Saiyo di Bandung dan Medan.

Begitu pula Atjeh Sepakat. Ini membuktikan bahwa semangat kebangkitan

nasional juga mendorong masyarakat Indonesia berkumpul, menyatukan

12 Suara SAS, No. 03 April 2007 s/d Oktober 2007, h. 5 13 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor

Sejarah, (Jakarta: Gramedia), 2002.

Page 46: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

39

kekuatan dan kemampuan yang ada. Adalah wajar bila organisai perantau Sulit

Air ini diberi nama “Sulit Air Sepakat”. Karena semangat mendirikan

perkumpulan rantau-rantau sepakat, sedang menggelora di waktu itu.

Hamdulallah Salim berpendapat bahwa penggagas berdirinya SAS adalah

Mahyuddin Dt. Sutan Maharajo nan Besar alias Datuk Bangkik. Putra Dt. Sutan

Bandaharo atau Tuanku Laras II, pemimpin Sulit Air jelang akhir abad ke-19 ini

besarta adiknya Indomo Sutan, menyelesaikan sekolah Belanda di Solok. Selepas

ayahnya meninggal, Datuk Bangkik berprofesi sebagai wartawan. Karirnya

sebagai seorang pengacara ia tinggalkan. Bermula terbitnya surat kabar Pelita

Kecil, berkat bakat kewartanannya, ia mampu melahirkan Oetoesan Melajoe di

Pasar Gadang, Padang. Ia diangkat sebagai Tokoh Pers Nasional dan Perintis

Jurnalistik Melayu di Indonesia. Bapak Jurnalistik Melayu adalah gelar yang

diberikan oleh Ph. S. Van Rokel seorang pakar berkebangsaan Belanda,

kepadanya sebagai seorang perintis penerbitan media cetak di tanah air. Karena

itu acara HUT PWI ke-43 pada tanggal 9 Februari 1989, peringatan Hari Pers

Nasional dipusatkan di nigari Sulit Air.14 Akan tetapi, menurut Addiarrahman,

tidak ada bukti otentik terbentuknya SAS yang diprakarsai oleh Dt. Sutan

Maharadja. Sebab, sebagai seorang jurnalis, tidak ada satu informasi jurnalistik

pun yang menjelaskan hal itu.15

SAS dibentuk dengan berasaskan Islam dan Pancasila. Secara khusus

tujuannya terkonsentrasi di bidang sosial, yakni untuk memajukan dan

mensejaterakan kehidupan masyarakat Sulit Air dalam rangka pembangunan

bangsa dan tanah air Indonesia. Untuk mencapainya tujuan organisasi tersebut,

upaya penanaman dan memupuk rasa kesadaran berkeluarga, bermasyarakat,

berorganisasi dan berkumpul, bernegara, dan kesadaran beragama sesama

anggota ditingkatkan. Peningkatan kesejahteraan sosial, ekonomi, pendidikan dan

kebudayaan masyarakat Sulit Air merupakan tujuan organisasi SAS. Tujuan lain

secara umum adalah menggali dan membina segenap potensi yang ada dalam

masyarakat Sulit Air dalam upaya mencapai Sulit Air Jaya, seirama dengan

bangsa dan tanah air Indonesia.16

Dalam perkembangannya sanpai saat ini, SAS telah memiliki 99 cabang.

Tiga di antaranya berada di luar negeri: Malaysia, Sidney, dan Melbourne.

Perjuangan Syamsul Bahri Nur (Bujang Sati), Jamaluddin Tambam, Rosma Rais,

dan Rozali Usman, telah membesarkan nama organisasi SAS. Terlebih setelah

perjuangan itu dilanjutkan oleh tokoh-tokoh muda seperti: Rozali Usman, Rainal

Rais, Marjohan Djamin, Kamardi Arif, dan Mukhlis Listo, SAS mengorbit

sebagai organisasi yang terkenal di Sumatera Barat dan di antara perantau

Minangkabau. Bahkan, ketika menyebut nama Rainal Rais orang akan langsung

ingat dengan SAS. Rainal identik dengan SAS dan masyarakat Sulit Air pada

14 Hamdullah Salim, “Sejarah Perantau dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”h. 35-36 15 Addiarrahman Addiarrahman, “Kearifan Lokal Dan Aktifitas Filantropi Perantau

Sulit Air Sepakat (SAS) Dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0,” INFERENSI: Jurnal

Penelitian Sosial Keagamaan 13, no. 1 (20 Juli 2019): 177–200,

https://doi.org/10.18326/infsl3.v13i1.177-200. 16 AD/ART SAS, Pasal II dan III

Page 47: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

40

umumnya, menurut Zulherfin Zubir, yang pernah menduduki jabatan Ketua

Umum sebanyak 12 kali berturut-turut.17

Banyak manfaat keberadaan SAS bagi perantau dan masyarakat Sulit Air.

Tidak hanya bisa menyambung silaturahim, keberadaannya memberikan manfaat

bagi peningkatan kualitas ekonomi, infrastruktur, pendidikan, seni, dan budaya

Sulit Air. Lebih dari itu, dalam panggung politik keberadaan SAS di beberapa

cabang daerah sangat diperhitungkan karena jumlah warganya yang sangat

banyak dan jaringan perdagangan yang cukup luas. Meskipun secara tegas

organisasi SAS bukanlah organisasi politik dan tidak boleh terlibat dalam

kegiatan politik praktis. Adapun secara individu, menjadi hak dan kewajiban

warga Sulit Air sebagai bagian warga Indonesia.

D. Ikatan Pemuda Pelajar Sulit Air (IPPSA)

Jauh sebelum SAS ditetapkan sebagai sebuah organisasi pada tahun 1970,

organisasi Ikatan Pemuda Pelajar Sulit Air telah terbentuk, pada tanggal 2 Juli

1951, beberapa pelajar dan pemuda Sulit Air, berhimpun dan mengikatkan diri

menjadi sebuah organisasi yang tujuan awalnya adalah sebagai wadah silitaruhim

pemuda dan pelajar Sulit Air. Silaturahim yang dimaksud tidak hanya dikemas

dalam bentuk komunikasi biasa antar mereka yang berada di rantau maupun di

kampung, tapi juga sebagai sarana untuk bertukar pikiran, pengetahuan, dan ide-

ide kreatif pengembangan nagari Sulit Air ke depannya.

Sejarah berdirinya organisasi pemuda IPPSA tidak terlepaskan dari

setting social masyarakat Indonesia sejak era paska kemerdekaan Indonesia

dengan munculnya kesadaran baru masyarakat untuk meningkatkan ilmu dengan

menuntut ilmu ke berbagai kota besar, seperti Jakarta dan Yogyakarta. Karena

pada saat yang sama, angka buta huruf masyarakat Indonesia melebihi 90%.

Hampir seluruh masyarakat Indonesia tidak bisa menulis dan membaca. Kondisi

ini tidak bisa terelakkan, mengingat pada masa penjajahan Belanda hanya

golongan tertentu saja yang bisa mengenyam pendidikan yang layak. Sebaliknya,

akses masyarakat biasa sulit untuk mendapat pendidikan sehingga muncul gap

pendidikan antara kelas sosial yang berbeda.

Di Sulit Air, terjadi penambahan sekolah untuk memenuhi kebutuhan itu.

Tercatat, terdapat 9 Sekolah Rakyat (Gouvernement School). Pada era 1954-an

itu, juga berdiri Sekolah Guru B yang mulanya didirikan di Koto Tuo, kemudian

pindah ke Potai Lobek, dan akhirnya berada di Kacang Baririk. Saat ini di lokasi

tersebut berdiri SLTP N 1 X Koto Di Atas. Berdiri juga Sekolah Sambungan

Wanita (Meisyes Vervolg School) atau lazim dikenal sebagai Sekolah Meses yang

mengajarkan berbagai keterampilan bagi para gadis, seperti menjahit, memasak,

dan lain sebagainya.18

Yang lebih menarik, jauh sebelum kemerdekaan tepatnya pada tahun

1925, para pemuka Sulit Air berkumpul dan memutuskan mendirikan dua badan

17 Lebih lanjut baca: Irdam Huri, Filantropi Kaum Perantau, h. 62-63 18 Baca, Hamdullah Salim, “Sejarah IPPSA”, Tunas Muda, Edisi I, Juni-Desember

2006, h. 7-8. Lihat juga, Hamdullah Salim, “Profile Pendidikan di Sulit Air dalam Lintasan

Masa”, Suara SAS, Edisi No. 2, Agustus 2006 s/d Maret 2007, h. 4-6

Page 48: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

41

yang bergerak untuk memajukan sektor pendidikan dan ekonomi. Yaitu: pertama,

Vereniging Studiefons Sulit Air (VSSA) yang bergerak di bidang pendidikan

dengan memberikan beasiswa dan kemudahan bagi putra-putri Sulit Air yang

ingin menuntut ilmu. Badan ini dahulu dipimpin oleh Nurdin Rajo Mudo alias

Nurdin Dt. Rajo Mansur setelah dianggap sebagai penghulu. Kedua, Handel

Vereniging (HV) yang belakang disebut NKO Handel. Di bawah pimpinan Dt.

Sindo Sutan, badan ini bergerak di bidang ekonomi dan membuka sebuah toko di

Sulit Air dengan nama “Toko Handbal”.

VSSA, tetap bertahan hingga saat sekarang. Namanya diganti menjadi

Pendidikan Sekolah Agama (PSA). Di tahun 1967, berdiri juga Madrasah

Tsanawiyah Muhammadiyah. Sebuah sekolah yang meskipun menggunakan

nama Muhammadiyah, namun dibangun atas filantropi masyarakat Sulit Air, baik

yang ada di rantau maupun di kampung halaman.

Meskipun memiliki fasilitas pendidikan yang mencukupi kebiasaan

merantau tidaklah luntur. Sebaliknya, arus merantau semakin kuat pasca

kemerdekaan Republik. Setelah menyelesaikan Sekolah Rakyat, banyak generasi

muda Sulit Air yang melanjutkan pendidikannya ke luar, seperti Solok, Padang,

Padang Panjang, bahkan sampai ke Jogjakarta. Pada era 1950-an itu, ungkap

Salim, terjadi “exodus” besar-besaran warga Sulit Air meninggalkan kampung

halaman menuju tanah rantau di berbagai daerah.

Berdirinya IPPSA, tak lepas dari jasa sosok Darussalam Dt. Samarajo

yang pada tahun 1951 menjadi Kepala Dinas Pendidikan, Pengajaran dan

Kebudayaan (PP&K) Kab. Solok. Dt. Samarajo mengumpulkan para pelajar Sulit

Air yang berada di Solok dan mendorong mereka untuk membentuk organisasi

pemuda pelajar Sulit Air dan disarankan bernama IPPSA. Tempat berhimpunnya

pemuda yang merantau dengan tujuan berwiraswasta dan pemuda yang merantau

guna menuntut ilmu. Mengisi liburan puasa pada tanggal 2 Juli 1951, IPPSA

didirikan di Sekolah Rakyat I Koto Tuo Sulit Air. Salim Thaib, selaku Wali

Nagari pada waktu itu, mengesahkannya secara langsung.

Sebagai sebuah organisasi, IPPSA memberikan banyak kontribusi bagi

pembangunan nagari Sulit Air. Terutama di bidang surek kaba (surat kabar).

Majalah-majalah seperti al-Munawwarah, Tjanang Gunungpapan, Tunas Muda,

Koba Gunung Merah, Obor Pemuda, Lembah Katialo, Sarosa, Suwarsa, Sarunai

Sriwijaya, dan lainnya merupakan kekuatan dan kreatifitas yang dimainkan oleh

pemuda dan pelajar Sulit Air pada waktu itu. Di sisi lain, adat, seni dan budaya

Sulit Air tetap dilestarikan. Karena bagi generasi muda yang lahir dan besar di

rantau, melalui IPPSA mereka dapat mengenal adat dan budaya serta identitas

kultural mereka.

Pemuda dan pelajar, sebagaimana diungkap Yudi Latif merupakan

tempat dan wadah lahirnya kreatifitas. Di tangan mereka perubahan terjadi baik

dalam jejaring sosial Pendidikan, ekonomi dan pemeliharaan budaya. Dan atas

kreatifitas dan kekuatan mereka, negeri ini dapat bersatu, seiya sekata. Tapi,

IPPSA juga mengalami masih surut dan naik. Bahkan kini berada dalam posisi

yang cukup mengkhawatirkan. Nasrullah menyebut IPPSA telah berada dalam

kondisi Quo Vadis. Berada di “ujung tanduk” ungkap Ade Harto. Generasi muda

Page 49: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

42

Sulit Air, di mata Wahyu Fernando, ketua umum IPPSA periode 2009-2012,

adalah “generasi prihatin”.

E. Peran Kaum Perantau

Surau merupakan bagian yang teramat penting bagi kehidupan sosial

masyarakat Minangkabau, selain lapau dan rantau. Ketiga lembaga ini

memainkan peran dalam pembentukan karakter masyarakat Minangkabau,

terlebih bagi kaum laki-laki. Di usia menginjak remaja, mereka malu bila masih

tidur dirumah orang tua mereka, dan surau adalah tempat yang begitu berharga.

Adapun lapau atau warung bagi masyarakat Minangkabau adalah tempat bertukar

wacana. Ia menjadi simbol ekonomi, sama halnya dengan rantau namun juga

tempat bertukar pikiran, berdialektika, mencari informasi atas apa saja yang

sedang terjadi.

Lapau juga memberikan teladan bagi para generasi muda. Mereka akan

malu di tengah masyarakat bila malas bekerja, namun di samping itu mereka

mempunyai hobi duduk di lapau sambil minum kopi dan bermain domino. Cerita-

cerita yang mereka sampaikan, dianggap carito lapau yang tak perlu didengar,

karena mengandung kebohongan. Di tengah masyarakat, mereka akan dianggap

sarok balai (sampah pasar), bila melakukan tindakan yang mengganggu

ketenangan masyarakat. Berbeda dengan parewa, yang meskipun dianggap

“freeman” namun masih memegang teguh nilai-nilai adat yang hidup dalam

masyarakat. Djamil Djambek dan Hamka adalah ulama Minangkabau yang

semasa remaja hidup sebagai parewa sekaligus senang tidur di surau.

Adapun rantau adalah bagian yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan

masyarakat Minangkabau. Bahkan ia menjadi identitas sosial, sehingga marantau

adalah keniscayaan yang harus mereka lakukan. Seorang laki-laki dianggap tidak

berguna di kampung halamannya jika belum pergi merantau. Adalah aib bagi

seorang laki-laki bila telah menginjak usia dewasa belum pula pergi merantau

menempa diri menjadi lebih baik. Berikut ini pepatah Minang yang mendorong

orang Minang untuk pergi merantau.

Ka rantau Madang di hulu (Ke rantau Madang di hulu)

Babuah babungo balun (Berbuah berbunga belum)

Marantau bujang dahulu (Merantau bujang dahulu)

Di rumah baguno balun (Di rumah berguna belum)

Pepatah di atas, entah sejak kapan adanya menjadi inspirasi bahkan boleh

dikatakan sebagai “firman” yang mewajibkan kaum laki-laki Minangkabau untuk

pergi merantau. Badan dianggap tak berguna bila hanya menetap di kampung.

Diri dianggap dibesarkan orang, bila besar di kampung. Berbeda dengan di

rantau. Meskipun pahit penanggungan hidup, namun akan dihargai dan dihormati

karena memiliki nilai juang. Terselip tanggung jawab moral untuk membangun

kampung halaman.

Page 50: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

43

Laguah laga bunyi padati (Elok bunyinya, suara pedati)

Padati nak urang ka Padang (Pedati membawa orang ke Padang)

Ganto kabau babunyi juo (Ganto kerbau berbunyi pula)

Walau sapiriang dapek pagi (Walau sepiring dapat di pagi hari)

Sapiriang dapek patang (Sapiring pula di petangnya)

Minangkabau dikana juo (Minangkabau tetap dikenang juga)

Menurut Tsuyoshi Kato, marantau merupakan satu di antara tiga

karakteristik utama masyarakat Minangkabau. Ketiga karakter itu adalah

memiliki keyakinan yang kuat terhadap Islam, praktik marantau (migrasi keluar),

dan khususnya, menganut sistem matrilineal. Kato menulis, Three characteristics

of these people are a strong faith in Islam (in contrast to the more syncretic

Javanese, the practice of marantau (out-migration), and, especially, a matrilineal

family system.19

Apa yang diutarakan oleh Kato, mirip yang diungkapkan oleh Muchtar

Naim. Menurut Naim, marantau bagi masyarakat Minangkabau merupakan

identitas sosialnya baik dilakukan dalam rentang waktu yang lama, atau pun

hanya sementara. Para perantau Minangkabau, jelas Naim sebagaimana dikutip

oleh Joel S. Kahn, tetap membawa identitas budayanya di mana pun mereka

merantau. Hal ini, oleh Kahn dianggap sebagai keistimewaan tradisi marantau

yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau.20

Lebih lanjut Christine Dobbin menjelaskan bahwa Marantau merupakan

sebuah lembaga sosial bagi sejumlah besar pemuda meninggalkan desa setiap

tahun atau bahkan selama beberapa tahun dengan tujuan menjual hasil kerajinan

desa dan berdagang barang-barang lain.21 Dobbin memahami tradisi marantau

sebagai cara bagi masyarakat Minangkabau yang berada di darek menjual hasil-

hasil bumi yang mereka miliki. Terlebih pada waktu sekitar abad ke-16, pesisir

pantai Sumatera Barat sebagai wilayah rantau sibuk dengan lalu lintas

pedagangan.22

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa marantau

merupakan bagian dari identitas sosial-kultural masyarakat Minangkabau.

Seorang laki-laki Minang, merasa tidak puas bila belum pergi merantau, hidup

mandiri mencari nafkah untuk kemudian mengambangkan kampung halamannya.

Ini pula yang menjadi faktor utama derasnya arus marantau yang dilakukan oleh

masyarakat Minangkabau.

Meski bukan termasuk derah pesisir, Sulit Air pada dasarnya juga

merupakan daerah rantau. Batang (sungai) Katialo merupakan anak sungai yang

menghubungkan jalur perdagangan dari daerah Riau melewati aliran sungai

19 Tsuyoshi Kato, “Rantau Pariaman: Minangkabau Coastal Merchants in the

Nineteenth Century,” The Journal of Asian Studies, Vol. XXXIX, No. 4, Augus 1980 20 Joel S. Kahn, Minangkabau Social Formation: Indonesian Peasants and the

World-economy, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h. 29-31 21 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, h. 47 22 Tsuyoshi Kato, “Rantau Pariaman...”. Lihat juga, Gusti Asnan, Dunia Maritim

Pantai Barat Sumatera...

Page 51: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

44

Kuantan hingga ke Umbilin di pinggiran danau Singkarak. Namun beriring waktu,

Sulit Air kehilangan potensi karena hasil sumber daya alam yang dimilikinya

tidak banyak mendukung. Aktifitas marantau pun pada dasarnya telah dimulai

pada waktu itu. Namun, secara pasti kapan dimulai tidak ada data yang

membuktikan. Hanya beberapa penghulu yang memiliki gelar dari luar, seperti:

Dt. Palembang, Dt. Tan Aceh, Dt. Malin Aceh, Dt. Malaka Kayo, Dt. Malako

Sutan, Dt. Malako Bongsu, dan Dt. Incek Malako, menurut Hamdullah Salim

menjadi bukti bahwa Sulit Air dan daerah sekitarnya merupakan kawasan

perdagangan yang cukup makmur, dahulunya.23

Hamdullah Salim menulis, salah seorang di antara pendatang yang

berasal dari Aceh, bernama Jahid merupakan ulama dan dianggap sebagai

penyebar Islam yang pertama di Sulit Air. Ia menikah dengan Bayuria, adik

kandung Dt. Rangkayo Basa. Tempat tinggal mereka hingga sekarang dikenal

sebagai Kampuang Bayuo. Atas jasanya itu, Jahid diangkat sebagai penghulu

dengan gelar Dt. Malin Aceh.24

Diakui, sulit untuk membenarkan apa yang ditulis oleh Hamdullah Salim,

sesulit kita membantahnya. Tradisi bakaba dan tambo atau menyampaikan

informasi secara lisan, menjadi sebab utamanya. Namun, setidaknya data-data

yang tersebut dikaitkan dengan apa yang hingga saat ini masih hidup dan

berkembang dalam kehidupan masyarakat. Misalnya persoalan pemberian suku.

Untuk itu dapat dimengerti bahwa faktor utama masyarakat Sulit Air

merantau adalah kondisi kampung halaman yang tidak menjanjikan untuk

perbaikan kesejahteraan ekonomi. A. Maude, seorang sarjana dari School of

Social Science Flindes University, Adelaide Australia, ketika melakukan

penelitian terhadap 11 Nagari di Sumatera Barat pada tahun 1976, termasuk Sulit

Air, mengungkapkan bahwa orang-orang Minangkabau pergi merantau

disebabkan beberapa faktor. Yaitu: faktor ekonomi (61,1%), mencari pengalaman

baru (13,9%), tradisi (5,4%), ketidakpuasan hidup di desa (4,2%), adat (3%), lain-

lain (10,11%). Dan secara khusus, Maude mencatat bahwa orang Sulit Air dan

Rao-rao pergi merantau adalah karena dorongan tradisi.25

Berdasarkan data peneltian tersebut, Salim menyimpulkan bahwa orang-

orang Sulit Air pergi merantau disebabkan karena mendengar keberhasilan dan

keberuntungan hidup saudara-saudaranya di rantau orang, maka timbulah

dorongan hati untuk merantau. Di rantau mereka diajari berdagang atau apa saja

yang bisa menghasilkan nafkah untuk hidup. Lebih dari itu, Salim menulis: 26

23 Hamdulullah Salim, “Sejarah Perantauan dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”

Folisa, Forum Peduli Adat dan Budaya Sulit Air, Edisi Perdana, 2004, h. 29 24 Hamdulullah Salim, “Sejarah Perantauan dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”

Folisa, Forum Peduli Adat dan Budaya Sulit Air, 2004, h. 29 25 Hamdulullah Salim, “Sejarah Perantauan dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”

Folisa, Forum Peduli Adat dan Budaya Sulit Air, h. 28 26 Hamdulullah Salim, “Sejarah Perantauan dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”

Folisa, Forum Peduli Adat dan Budaya Sulit Air, h. 29

Page 52: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

45

“...walau Sulit Air yang luasnya 80 kilometer persegi, tapi bukanlah

merupakan lahan yang subur bagi pertanian. Sekelilingnya merupakan

bukit-bukit yang hanya basah di waktu musim hujan, berbentuk “kuali

tertelungkup”. Dua sungainya, yakni Batang Katialo dan Batang Balam,

jauh berada di bawah, hanya sebagaian kecil sawah dan ladang saja yang

dapat diairinya. Karena penduduk semakin bertambah jua, sawah dan

ladang yang terbatas tersebut tidak sanggup lagi memberikan makanan

yang cukup kepada mereka, menyebabkan mereka sedikit demi sedikit

meninggalkan Sulit Air, mencari kehidupan yang labih baik di rantau,

hingga menjadi tradisi seperti disebutkan di atas.”

Irdam Huri berkesimpulan bahwa marantau merupakan jawaban bagi

masyarakat Sulit Air terhadap kondisi alam yang tak mendukung. Kondisi itu,

menjadi push factor atau faktor pendorong masyarakat Sulit Air pergi merantau.

Huri juga menegaskan bahwa perantau asal nagari Sulit Air didorong oleh faktor

ekonomi dan keinginan mendapatkan hidup yang layak. Ini didukung oleh hasil

wawancaranya dengan salah seorang tokoh Sulit Air, Zarkasi yang mengatakan:

“Secara pasti kapan waktunya orang Sulit Air merantau saya tidak

mengetahui. Menurut cerita, orang tua saya merantau dimulai sejak

zaman Belanda dan arus merantau lebih deras ketika PRRI. Masyarakat

nagari Sulit Air merantau lebih disebabkan oleh kondisi lahan pertanian

yang sempit dan kurang subur dengan topografi daerah yang berbukit-

bukit. Merantau merupakan suatu jawaban dari kondisi alam nagari Sulit

Air yang tidak mendukung. Ekonomi merupakan faktor utama orang Sulit

Air pergi merantau. Saya lahir, dibesarkan dan sekolah di rantau, yaitu

Yogyakarta. Keluarga saya merantau sudah lebih dari 60 tahun.”27

Tapi Hamdullah Salim agaknya mencoba menggugat anggapan Zarkasyi

dan pendapat lain yang senada bahwa faktor ekonomilah yang mendorong

masyarakat Sulit Air pergi merantau. Hal ini didasarkan atas keberhasilan proyek

pemanfaatan lahan kritis melalui tanaman holtikultura yang dilakukan oleh

pemerintah yang waktu itu diresmikan oleh Syafiruddin Baharsyah, selaku

Menteri Muda Pertanian pada tahun 1992. Proyek itu terbilang sukses namun

tidak dilanjutkan oleh masyarakat. “Angek-angek cik ayam”28 dan “demam

merantau” adalah sebabnya, kata Salim. Salim juga menganggap hal itu sebagai

petanda mulai merendahnya budaya dan etos masyarakat Sulit Air.29

Terakhir, peneliti sendiri dalam beberapa kesempatan ketika bertemu

dengan teman-teman yang notabene putus sekolah, baik SD, SLTP, maupun

27 Irdah Huri, Filantropi Kaum Perantau: Studi Kasus Kedermawanan Sosial

Organisasi Perantau Sulit Air Sepakat (SAS), Kabupaten Solok, Sumatera Barat, (Jakarta:

Piramedia), 2006, h. 55-56 28 Ungkapan terhadap etos kerja yang hanya semangat di awal, namun berikutnya

tidak bergairah lagi. 29 Hamdullah Salim, Peta Bumi Sulit Air, Flora dan Fauna, h. 13

Page 53: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

46

SLTA, bertanya heran kepada peneliti: “Buat apa kamu kuliah tinggi-tinggi bila

hanya menghabiskan uang orang tua, apalagi nanti setelah kuliah tak dapat

pekerjaan dan menganggur dan akhirnya manggaleh (berdagang) seperti saya?”

Diakui, peneliti cukup terhenyak dengan pertanyaan itu, meskipun sudah sering

didengar. Namun ketika peneliti menjawab bahwa “hidup yang akan kita hadapi

ke depan, tidak sesederhana yang kamu pikirkan, uang tidak bisa menjawab

seluruh permasalahan yang ada, meskipun ia penting bagi kehidupan kita.”

Jawaban ini membuat yang diwawancarai merasa kecut. Dengan nada yang

rendah ia menjawab; “Betul kata kamu. Sebenarnya saya juga menyesal tidak

melanjutkan kuliah. Ternyata manggaleh jo marantau tidak seenak yang

dipikirkan. Tapi buat apa saya menyesal, saya harus tetap berjuang untuk masa

depan saya.”

Dari uraian diatas, terdapat satu titik persinggungan antara budaya merantau,

adat, dan Islam. Sama sekali tidak ada pengaruh Islam secara langsung terhadap pola

hidup merantau masyarakat Minangkabau, khususnya masyarakat Sulit Air. Islam

atau yang dipahami sebagai syara’ oleh masyarakat Minangkabau menyesuaikan diri

di tengah warna-warni adat. Begitupun adat, turut menyesuaikan diri dengan

lingkungan baru yang dihadapi, sesuai dengan pergantian zaman. Namun keduanya

saling berpadu mempertahankan yang usali (asal).

Sebagai daerah rantau, terlebih dengan kondisi alam yang tak

menguntungkan, marantau merupakan jawaban bagi masyarakat Sulit Air untuk

mensejahterakan hidup mereka. ‘Mancari sehelai kain penutup badan, sesuap nasi

penahan lapar, dan pengalaman hidup untuk memperkuat keimanan,’ begitu sering

terdengar dalam upacara tasyakuran. Marantau agaknya merupakan efek dari

pandangan hidup masyarakat Minangkabau yang berdasarkan pada adat basandi

syara’, syara’ basandi kitabullah, dan alam takambang jadikan guru.

Banyak alasan lain yangg dikemukakan para ahli, namun bila diperhatikan

daerah lain di Minangkabau seperti Luhak nan tigo, alam mereka tampak mendukung

dengan hasil pertanian memuaskan, tetapi arus merantau tetap kuat. Kato dan Naim

menjelaskan bahwa marantau merupakan karakteristik utama masyarakat

Minangkabau dan telah menjadi identitas sosio-kultural mereka.

Faktor merantau yang mendorong untuk mencari ilmu, ekonomi, dan

pengalaman yang didorong oleh adat-istiadat Minangkabau bukanlah berarti

meninggalkan kampung selama-lamanya, tetapi merantau dalam arti pergi sementara,

sementara jiwa dan rohnya tetap ada di nagari. Karena factor ini selalu melekat dalam

jiwa orang Minang, maka motif kebanggaan masyarakat Minang didasarkan pada

filantropi pembangunan dan nagari dan masyarakat. Dalam adat Minangkabau dikenal

tradisi “anak dipangku, kemanakan dibimbing, dan dipategangkan jan binasa.”

Maksudnya secara adat matrilineal masing-masing pribadi bertanggung jawab atas

keturunannya dan selalu memikirkan dan membantu pembagunan nigari dan

masyarakat yang menetap di kampung.

Istilah ‘jan binasa’ adalah suatu ungkapan yang mengingatkan perantau

Minang untuk selalu berbagi (sharing) –meski sebenggol-- sehingga hasil jerih payah

selama kepergiannya dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Bila adat ini ditinggalkan,

maka secara pribadi ia telah meninggalkan adat-istiadat. Istilah lain yang menjadi

motif keikutsertaan orang Minang untuk berbagai adalah “sato sakaki.” Kalimat ini

Page 54: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

47

menyatakan seberapapun yang ia mampu dan miliki, ia tetap memberikan sebagai

tanda eksistensi kebanggaan menjadi ‘seorang Minang.’ Sebagai salah satu contoh

sebagaimana disebutkan di atas, bagaimana seorang pengusaha bernama Yendra

Fahmi berbagi untuk pembangunan nagari dan masyarakat baik di kampung ataupun

di perantauan, meski ia tidak dilahirkan di nagari asalnya dan tidak berayahkan asal

nagari Sulit Air.

Motif lain adalah agama Islam itu sendiri sebagai bagian dari budaya

Minangkabau. Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa kualitas iman tertinggi adalah

fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan), seperti yang tercantum dalam

al-Qur’an surat Fathir ayat 32. Fastabiqul khairat tidak hanya terbatas bagi masyarakat

Minang saja, namun juga untuk kemakmuran masyarakat Indonesia. Karena itu

perantau Minang asal Sulit Air memberikan bantuan pendirian masjid

Muhammadiyah di Yogyakarta sebanyak 30 Milyar sebagai amal jariyah sekaligus

memberikan nama masjid tersebut dengan nama ibunya yang berasal dari Sulit Air.

Hal ini mengungkapkan kebanggan seorang Minang dan ikatannya yang kuat pada

tanah halamannya.

Page 55: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

48

BAB IV

ORANG MINANG SULIT AIR: PEMBENTUKAN JATI DIRI DAN

KEBANGGAAN BERNAGARI

A. Identitas dan Kebanggaan Etnis dalam Pentas Politik

Kelompok etnis merupakan bagian dalam kelompok primordial, yang

menurut Clifford Geertz hadir sesebagai sesuatu yang given dari hasil konstruksi

social yang cukup lama.1 Komunitas etnis adalah sebuah ascriptive criteria yang

membedakan antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Etnisitas merupakan

sebuah pertalian primordial dalam makna sesuatu yang terkait dengan hal yang tidak

bisa dilepaskan dalam kehidupan seseorang dan secara tradisional ada di tengah-

tengah masyarakat, sesuatu yang terus menerus hadir di masa lampau hingga sasat ini,

dan sebagai sesuatu kesadaran kolektif.2

Akar-akar identitas primordial sekarang semakin mengemuka di berbagai

belahan dunia seperti yang dikemukakan oleh Fukuyama dalam bukunya Identity: The

Demand for Dignity and the Politics Resentmen merupakan sinyal bagi kebangkitan

suatu entitas agama, etnis, ras, dan politik. Emosi etnis bermunculan sebagai bagian

dari politic of recognition yang menyangkut kehormatan (dignity).3 Di sini ada unsur

spiritualitas yang dirasakan sakral yang mampu menggerakkan masyarakat untuk

bangkit melawan arogansi suatu kekuasaan yang dominan.

Dalam kasus di Indonesia, identitas dan kebanggaan etnis kembali bangkit

setelah dihegominisasi sejak Orde Baru (Orba), bahkan lebih jauh di zaman ini demi

persatuan (ika) lebih dipentingkan, sementara bhinneka diabaikan. Era reformasi

memberikan angin segar bagi kebangkitan tersebut dengan berbagai regulasi (otonomi

daerah).

Problematika etnisitas di Indonesia telah berlangsung sejak masa-masa awal

kemerdekaan. Hal ini telah terbukti dengan meletusnya sebuah pemberontakan

bernuansa etnik, tepat lima tahun setelah repbulik ini berdiri. Munculnya Republik

Maluku Selatan (RMS) di tahun 1950, manjadi bukti awal sebuah upaya serius

1 Clifford Geertz, The Interpretation of Culture (New York: 1973), h. 259-263. 2 Syafuan Rozi, dkk (ed.), Politik Identitas: Problematika dan Paradigma Solusi

Keetnisan Versus Keindonesiaan di Aceh, Riau, Bali, dan Papua (Jakarta: Bumi Aksara),

2019, h. 19. 3 Francis Fukuyama, Identity: The Demand for Dignity and the Politics Resentmen

(New York: Farra. Dtraus & Giroux), 2018.

Page 56: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

49

separatisme. Meski pada masa-masa selanjutnya uapaya menonjolkan identitas

keatnisan tidak begitu saja menyurut, di negara yang diamanatkan untuk berdiri di

atas keragaman etnik.

Munculnya potensi menguatnya identitas primordial selepasnya masuknya

sebuah negara kemerdekaan seolah membenarkan tesis Cliffor Geertz. Tidak

proporsionalnya keterwakilan etnis dalam pemerintahan dalam pemerintahan,

menjadi faktor pemicu kebangkitan etnik. Hal ini bisa dilihat adanya isu hangat

tentang ‘Jawa’ dan ‘non-Jawa’ pada waktu itu. Selain faktor itu, etnis juga dihadapkan

pada faktor kemunduran ekonomi, pertarungan ideologis, maupun kepentingan elite

lokal yang mendorong muncunya bibit sentiment keetnisan.

Adanya kekuatan etnis di beberapa daerah seperti Aceh, Riau, Jawa Barat,

Sulawasi Utara, Maluku, Bali dan Papua menunjukan eksistensinya dan ‘menan-tang

keberadaan keindonesiaan hingga berakhirnya Orde Lama. Kekuatan etnis ini

menunjukkan betapa semakin kuatnya identitas keetnisan membuktikan tesis Cliffort

Geertz, meski Indonesia telah mencapai era kemerdekaan.

Memasuki masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto upaya

kebangkitan etnisitas justeru semakin meredup. Hal ni disebabkan oleh kebijakan

pemerintah yang didukung pihak militer untuk menghegomenisasi keetnisan dalam

kerangka modernisasi pembagunan ekonomi dan politik. Semua bidang kehidupan

masyarakat ditafsirkan sebagai deideologisasi dan penyeragaman. Sikap pemerintah

yang mengedapankan hasil pembangunan ekonomi dan politik dalam batas-batas

tertentu mampu meredam kekecewaan dan ledakan kekuatan etnis.4

Meski kekuatan etnis melemah, namun kemudian muncul masalah baru, yaitu

persoalan ketimpangan daerah dan eksploitasi sumber daya alam (SDA). Hal ini

menyebabkan kemunculan kesadaran baru di kalangan etnis sebagai ‘korban’ dari

pihak pemerintah pusat. Cara-cara otoriter, represif, dan berorientasi ‘top down’ yang

dilakukan pemerintahan Orde Baru terhadap persoalan tersebut semakin menekan

kekuatan etnis sehingga melahirkan sikap ‘dendam kolektif’ yang pada gilirannya

akan melemahkan fondasi kesatuan bangsa itu sendiri.

Lahirnya era baru reformasi dengan tumbangnya rezim Orde Baru di tahun

1989 dan munculnya Habibie sebagi presiden baru telah membuka kran demokrasi

yang luas di tanah air Indonesia. Hal ini tidak saja melahirkan suasana baru dalam

kehidupan masyarakat baik dalam kehidupan sosial budaya, politik, ekonomi, tetapi

juga kebijakan pemerintah dengan keluarnya regulasi otonomi daerah (otda).

Dengan lahirnya otonomi daerah (otda), maka daerah memiliki kewenangan

dalam proses pembuatan kebijakan baik dalam konteks daerah maupun kebijakan di

tingkat pusat. Bahkan lebih luas lagi, pemberian status otonomi khusus (otsus) bagi

Aceh dan Papua oleh pemerintah pusat sebagai bagian dari tuntutan perimbangan

keuangan pusat dan daerah. Diiringi pula pembentukan Dewan Perwakilan Daerah

(DPD) di badan legislatif nasional meski dengan fungsi minimal hingga terbentuknya

perwakilan independen dalam pemilihan kepala daerah. Dari segi kebudayaan, bahasa

daerah semakin banyak diperkenalkan dalam lembaga-lembaga pedidikan daerah dan

digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.

4 Syafuan Rozi, dkk (ed.), Politik Identitas: Problematika dan Paradigma Solusi

Keetnisan Versus Keindonesiaan di Aceh, Riau, Bali, dan Papua, h. 12.

Page 57: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

50

Proses demokrasi yang berlangsung marak setelah era reformasi telah

membangkitkan primordialisme dan keetnisan sehingga masing-masing daerah

kembali mencari jati diri dan identitas yang disesuaikan dengan perkembangan waktu

dan zaman serta tetap menjaga dalam kerangka kesatuan nasional Republik Indonesia.

Hal ini di satu pihak menjadi pilar penting dalam pengukuhan eksistensi daerah; dan

di lain pihak memperkuat rasa persatuan bangsa seperti yang tercermin dalam

semboyan Tunggal Ika, yang tidak hanya mementingkan persatuan tetapi juga negara

menjamin pemeliharan dan perlindungan terhadap keberagaman etnis dan kultural

dalam masyarakat.

Kebangkitan identitas keetnisan di era reformasi dalam wilayah Indonesia

merupakan sebuah fenomena baru setelah beberapa dekade terabaikan. Tidak

terkecuali daerah Sumatera Barat, persoalan identitas muncul kembali dalam bentuk

menata ulang kegiatan organisasi dan nilai-nilai filosofis Minangkabau baik dalam

pemerintahan maupun pemangku adat.

B. Proses Pembentukan Identitas dan Kebanggaan Perantau Sulit Air

Untuk mengetahui sejauhmana tingkat pencarian pembentukan jati diri dan

kebanggaan terhadat etnis Minangkabau yang mereka miliki, peneliti telah melakukan

Focus Group Discussion (FGD) dalam bentuk wawancara dan diskusi kepada anak-

anak muda kaum milenial yang menjadi Pengurus Ikatan Pemuda Sulit Air berjumlah

29 orang yang tersebar di 25 provinsi melalui teknologi audio visual Zoom Meeting.

Sebagian besar dari mereka adalah kelahiran di rantau dan hanya beberapa kali pulang

kampung baik dalam bentuk ‘pulang basamo’ atau pulang bersama keluarga.

Daftar pertanyaan kepada responden yang umumnya lahir di tahun 1990-an

berkisar sekitar latarbelakang keluarga, pendidikan, ekonomi dan tempat tinggal.

Pertanyaan difokuskan berorientasi kepada pembentukan jati diri dan kebanggaan

kepada nagari asal mereka meski lahir di perantauan. Konstruksi pengalama hidup

mereka mereka bisa dijadikan sebagai jawaban atas penelitian bagaimana identitas

dan kebanggaan sebagai orang Minang terbentuk. Berikut ini adalah beberapa tabel

hasil penelitian yang menunjukkan indicator tersebut.

1. Pengenalan Budaya Minang

Untuk menekankan kesadaran jati diri di dalam kelompok-kelopok etnis

dalam menyimpam kenangan masa lalu adalah melalui media komunikasi sosial.

Melalui konsumsi media berbahasa Minang, anggota msyarakat Minangkabau bisa

menembus ‘batas khayal’. Media juga berfungsi mempertanyakan kepastian akar

yang menepatkan masyarakat di tempat atau daerah tertentu. Dengan demikian media

adalah perangkat sosial yang memungkinkan masyarakat Minangkabau yang pergi

merantau untuk menemukan jati diri pribadi, budaya, dan etnis mereka.

Media komunikasi menyediakan cara untuk mempertahankan kelangsungan

budaya meskipun terlepas dari tempat asal, suatu cara untuk memperbaharui Kembali

tradisi dalam konteks yangbaru dan beragam, melalui pengalihan bentuk lambing

yang disampaikan melalui media. Hal ini penting untuk menarik kembali memori

tradisi bagi masyarakat yang telah menetap dan merantau serta menggunakan Bahasa

berbeda dan memiliki adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda dengan mereka.

Page 58: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

51

Hal ini terlihat dalam tabel 1, sebagian besar warga nagari Sulit Air yang lahir dan

besar di rantau (25%) melihat bahwa wadah yang menjadi pengenalan budaya

Minangkabau adalah melalui media komunikasi social. Media social yang digunakan

adalah media yang mudah diperoleh dan dimiliki, seperti Handphone (HP), video,

yang memuat drama, nyanyian, dan film.

Tabel 1. Wadah Mengenal Budaya Minang

No. Wadah Mengenal budaya Minang Jumlah

(orang)

Persentase

1. Orang tua 7 25%

2. Organisasi Minang 7 25%

3. Pergaulan 4 15%

4. Media komunikasi sosial 11 35%

Media lain sebagai wadah pengenalan budaya seperti tampak dalam tabel 1

adalah orang tua (25%) yang selalu menamani mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Kesadaran orang tua atas keberlangsungan suatu budaya diajarkan dan diwariskan

secara turun temurun kepada anak cucu mereka sehingga mereka mengendapkan

memori secara perlahan tentang adat istiadat Minangkabau dan agama Islam baik

secara konseptual maupun praktis.

Pengenalan budaya tersebut melalui orang tua sangat berkaitan dengan tanah

pusaka dan garis keturuna ibu (matrilineal) misalnya, mereka akan mengenal tanah

pusaka dan tanah warisan hasi usaha oranag tua sekaligus mengenal keluarga besar

baik dari garis ibu ataupun ayah sebagai bako anak-anaknya.

Adapun wadah lain terhadap pengenalan budaya Minangkabau adalah

melalui organisasi anak perantauan Minang (25%). Organisasi beridentitas Minang

berfungsi untuk mengikat dan mensosialisasikan budaya di antara masyarakat

sehingga muncul kecintaan dan kebanggan menjadi orang Minang. Dalam

perkumpulan ini diajarkan berbagai macam konsep, nilai, dan norma budaya Minang

dan berbagai macam tari, Bahasa Minang, jaringan sosial organisasi yang tersebar di

berbagai provinsi di seluruh Indonesia, bahkan ada di luar negeri. Bila dibandingkan

dengan orang tua mereka yang berumur rata-rata 40 tahun keatas, faktor organisasi

SAS merupakan berperan besar dari faktor-faktor lainnya dalam membangun identitas

dan kebanggaan terhadap bagari Sulit Air.

Page 59: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

52

Rumah Gadang Sitinjau Lawik (Minangkabau Village). Lokasi: Padang Sarai,

Silayiang Bawah Nagari Bukit Surungan-Padang Panjang. Fungsi: pusat Informasi

dan dokumentasi. Minangkabau. Sumber: Hasmurdi Hasan, Ragam Rumah Adat

Mianagkabau- Falsafah, Pembangunan, dan Kegunaan (Jakarta: Yayasan Citra

Pendidikan Indonesia), 2004: h.154.

Minimnya partisipasi kelompok milenial perantau Sulit Air dalam organisasi

SAS atau IPPSA, sudah dikhawatirkan sejah tahun 1980-an. Ini disebabkan oleh

keberadaan generasi baru (Gen Y) yang tidak lagi lahir dan besar di nagari Sulit Air.

Akan tetapi, keberadaan orang tua mereka yang masih aktif di organisasi SAS-IPPSA,

ikut serta dalam kegiatan perantau (pengajian, olahraga, pulang basamo) di mana

anak-anak mereka juga dilibatkan, menjadi faktor penentu pengenalan budaya. Ini

sekaligus menjadi wadah pembentukan identitas dan kebanggaan menjadi orang

Minangkabau.

Pada dasarnya, bagi pemuda-pelajar Sulit Air yang lahir setelah tahun 1995

(Gen Z/millennial), perkumpulan SAS-IPPSA juga menjadi wadah yang penting bagi

mereka untuk mengenal budaya Minangkabau (Sulit Air). Hanya saja, tantangan yang

mulai dirasakan sejak tahun 1990-an, terlebih tahun 2000-an adalah menarik simpati

mereka untuk bergabung dalam kegiatan IPPSA. Ini diakui oleh peserta FGD dari

berbagai daerah maupun ketua umum IPPSA sendiri. Artinya, isunya bergeser dari

apakah perkumpulan SAS-IPPSA mampu menjadi wadah pengenalan budaya

Minangkabau, menjadi apakah para orang tua mampu mengajak putera-puterinya

untuk bergabung dalam kegiatan dua organisasi yang dibanggakan oleh perantau Sulit

Air ini.

Tidak hanya itu, isu penting lainnya terkait dua organisasi ini adalah

kemampuan merumuskan program atau kegiatan yang mampu menarik perhatian

generasi millennial, khususnya organisasi IPPSA. Karena tidak sedikit juga peserta

Page 60: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

53

FGD menyatakan bahwa program-program yang diselenggarakan oleh IPPSA kurang

menarik dan tidak sejalan dengan karakter generasi millennial perantau Sulit Air

sendiri. Pada saat yang sama, banyak organisasi-organisasi luar yang justeru lebih

menarik perhatian; khususnya untuk pengembangan potensi atau karir.

Lingkungan sosial merupakan aspek yang sangat penting bagi penyebaran

budaya Minang. Lingkungan sosial bisa mencakup pergaulan antar sesama keluarga

besar, tetapi juga mencakup pergaulan antar teman-teman sebaya yang menjadi alat

‘transmisi budaya’ keminangan dalam kehidupan sehari-hari. Tukar menukar ide dan

pengalaman masing-masing individu dan antar kelompok dalam interaksi sosial

merupakan pembentukan jati diri dan kebanggaan sebagi etnis Minang.

Transmisi budaya melalui media sosial online pada dasarnya berakar

tunggang dengan tradisi jurnalisme masyarakat Sulit Air. Hanya saja, bila sebelum

tahun 1990an, majalah Suara SAS mampu menarik perhatian masyarakat Sulit Air,

maka untuk saat ini, mulai kehilangan pamor. Ada upaya oleh pengurus DPP SAS

menerbitkan Suara SAS berbasi website, namun informasi yang tersedia seringkali

telah dimuat di media sosial, seperti WhatsApp, Facebook, dan lainnya. Selain itu,

berita atau informasi yang disajikan tidak lagi ditulis dalam bahasa jurnalistik, seperti

pada saat Suara SAS terbit dalam versi luring.

Terlepas dari itu, media sosial online tidak hanya menjadi wadah transmisi

budaya Minangkabau kepada generasi millennial. Ia juga menjadi media yang penting

pembentukan kebanggaan mereka menjadi generasi Sulit Air. Ini terlihat jelas pada

saat ada informasi, baik yang disampaikan melalui program televisi, channel youtube,

dan lainnya, pada umumnya perantau Sulit Air, membagikan informasi tersebut

dengan tulisan di beranda “bangga menjadi urang Suliek Air”; “Ini kampungku” dan

lain sebagainya. Hal ini sejalan dengan temuan FGD sebagaimana diulas pada poin 2

berikut ini.

2. Tingkat Kecintaan dan Kebanggaan Menjadi Orang Minang

Dalam tabel 2 terlihat bahwa saat ditanyakan bagaiman bentuk kecintaan dan

kebanggaan yang mereka miliki terhadap kepemilikan budaya Minang, sebagian besar

menjawab sangat cinta dan bangga menjadi orang Minang. Hanya 15% yang

menjawab cukup bangga dengan keminangannya karena sebagian besar dari mereka

lebih banyak bergaul dengan teman-teman yang berlatarbelakang beragam etnis dan

bertempat tinggal jauh dari pemukiman orang sekampung serta jarang mengikuti

perkumpulan organisasi Minang. Merasa cukup bangga dengan keminangannya

didasarkan pada kehebatan masyarakat tokoh-tokoh Minang terdahulu dan kepintaran

dan kegigihan kaum perantau Minang dalam berdagang. Sedangkan yang menjawab

tidak merasa bangga menjadi orang Minang mendapat angka 0%.

No. Kecintaan dan Kabanggaan menjadi

Orang Minang

Jumlah

(orang)

Persentase

1. Sangat kuat 23 80%

2. Cukup kuat 6 20%

3. Kurang kuat 0 0%

Page 61: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

54

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kebanggan menjadi orang Sulit

Air sering diekspresikan melalui media sosial. Terutama melalui postingan tentang

keberhasilan, liputan tentang nagari Sulit Air, atau informasi lainnya. Sebagai contoh

saat nama Kahrudin Yunus dibahas oleh akun Tarli Nugroho yang kemudian direspon

dengan menshare postingan tersebut. Pada momen Idul Fitri tahun ini, SAS

mengadakan acara Halal bi Halal SAS Sedunia. Kegiatan ini disambut riuh oleh

perantau Sulit Air, melalui akun media sosialnya.

Gambar 1. Capture Status Facebook Perantau Sulit Air

3. Penggunaan Bahasa Minang

No. Menggunakan Bahasa Minang dalam

kehidupan sehari-hari

Jumlah

(orang)

Persentase

1. Sangat bisa 8 30%

2. Cukup bisa 11 35%

3. Tidak bisa, hanya mengerti 7 25%

4. Tidak bisa dan tidak mengerti 3 15%

Page 62: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

55

Penggunaan Bahasa Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari baik dalam

lingkungan rumah tangga maupun lingkungan pergaulan dengan sesama kawan atau

orang Minang merupakan identitas etnis yang signifikan dalam memelihara nilai-nilai

Minang tetapi juga menghidupkan ‘raso pareso’ filosofi adat istiadat Minangkabau

dan ajaran agama Islam. Jumlah 30% dan 35% yang sangat bisa dan cukup bisa

berbahasa Minang merupakan indikator bahwa budaya Minang cukup berhasil dalam

menanamkan dan memupuk kepemilikan bahasa daerah, tempat asalnya sebagai

bagian dari jati diri mereka. Sementara 25% hanya mengerti dan bisa sedikit-sedikit

mengerti beberapa kosa kata Bahasa Minang. Sedangkan angka 15% yang sama sekali

tidak bisa berbahasa Minang lebih banyak disebabkan karena kurangnya pedulian

orang tua di lingkungan keluarga untuk menjaga kelestarian budaya Minang.

C. SAS dan Jejaring Sosial Perantau Sulit Air Lainnya

Masyarakat Sulit Air dikenal sukses dalam perdagangan di rantau, tapi juga

ada kebanggaan dalam memberi bantuan bagi pembangunan nagarinya. Bila diteliti

banyak lagu-lagu Minang yang menggambarkan hal ini. Dalam percakapan pribadi

dan kelompok, Fachry Ali, seorang pengamat politik dan budaya, mengatakan bahwa

‘Indonesia’ dalam pandangan kaum Minang adalah ‘proyeksi etnik’ mereka. Jadi,

‘pusat’-nya tetap Minangkabau. Hatta, Tan Malaka, Agus Salim dan lain-lain, dengan

demikian, mereka adalah ‘dubes’ Minang. Terdapat lagu-lagu yang

mengumandangkan ‘membalik’ pusat ke Jawa (Tanah Jao). ‘Jawa’ bisa menjadi

‘koloni’. Tetapi sekaligus ‘medan pertempuran’. Eksistensi seseorang ditentukan

ditentukan oleh kejayaan yang berhasil diraih di Jawa. Tetapi, keberhasilan tersebut

bersifat ‘ekonomis’. Salah satu indikasinya adalah sang perantau tetap bertekad

mengirimkan dana ke kampung (Minangkabau) ‘walau hanya sebenggol,’ kata lagu-

lagu itu. Ini yg menguatkan pandangan bahwa Jawa adalah ‘koloni’. Sementara,

kerinduan tetap berlabuh ke kampung halaman.

Perlu ditekankan di sini bahwa keberhasilan para perantau bukan hanya

semata keberhasilan ekonomis, tetapi kebanggaannya terletak bagaimana mereka

‘berbagi’ dalam bentuk praktik filantropi yang selama ini dilakukan oleh masyarakat

Sulit Air dalam rangka membangun kampung halamannya. Filantrofi yang dilakukan

para perantau sangat penting sebagai alat transformasi prinsip-prinsip dasar ekonomi

Islam dalam pengembangan ekonomi umat, khususnya dengan menggunakan

instrumen filantropi Islam.

Didorong oleh pandangan hidup adat Minangkabau dan didesak oleh

kebutuhan ekonomi, mereka meninggalkan kampung halaman pergi ke rantau

menjadi keharusan. Merantau bukan berarti melepaskan identitas sosial, melainkan

semacam upaya, ikhtiar meraih kehidupan yang layak. Orientasi merantau untuk

memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik secara filsofis menurut adat adalah

untuk kembali ke kampung, tempat ia dilahirkan atau tanah asal keluarganya.

Ada nilai yang dibawa ke rantau orang. Sanak saudara ditinggalkan, di rantau

harus mendapat gantinya. Hiyu bali balanak bali, ikan panjang bali dahulu. Ibu cari

dunsanak cari, induak samang cari dahulu (Hiyu dibeli, balanak pun dibeli, ikan

panjang beli dahulu; Ibu dicari dunsanak dicari, induk semang cari dahulu). Secara

simbolik, merantau bukan berarti kehilangan segala sesuatu yang ada di kampung

Page 63: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

56

halaman. Lebih dari itu, harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.

Inggok mancakam, tabang manumpu (Hinggap mencekam dahan, jika terbang

bertumpu dengan dahan tersebut).

Proses merantau ke kota-kota yang ada di daerah Sumatera atau pun Jawa

dimulai dengan mencari induk semang yang biasanya berasal dari keluarga yang

terlebih dahulu merantau. Merantau bagi seorang laki-laki Minangkabau tidak diiringi

dengan membawa modal atau uang yang berlimpah. Melainkan membawa tulang nan

ampek karek, tubuah nan tigo runggo.5 Dengan cara ‘magang’ dengan keluarga yang

sudah ada di rantau ia belajar berdagang dan memulai ‘mengintip’ jenis dagangan,

apakah ia nantinya akan membuka jenis perdagangan yang serupa atau membuka

usaha baru yang lebih menguntungkan. Biasanya ‘magang’ dilakukan selama 2 atau

3 tahun dan setelah itu ia akan berusaha sendiri. Prinsip regenerasi perdagangan

seperti ini selalu dilakukan antar generasi.

Situasi jaringan kerja ekonomi perantau Minang menuntut para perantau agar

bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat dia merantau. Meski hidup

merantau di negeri orang, namun identitas keminangannya tetap terbawa sebagai

identitas dan jati diri, seperti melaksanakan ajaran agama Islam dan adat-istiadat yang

telah menjadi bagian dari falsafah hidup orang Minang. Pepatah Minag mengatakan

cupak nan tatagak (adat istiadat) di rantau orang ditaati dan diikuti. Di ma bumi

dipijak, di sinan langik dijunjuang. Menghormati dan ikut berpartisipasi dalam

kehidupan sosial masyarakat rantau, sesuai dengan adat istiadat mereka.

Hidup di perantauan yang jauh dari anak dan isteri telah membuat eratnya

hubungan kekerabatan masyarakat Sulit Air dan mendorong mereka untuk berkumpul

membentuk organisasi sosial guna menjaga hubungan silaturahim sesama mereka.

Tidak sekedar itu, organisasi yang mereka bentuk tanpa disadari telah membentuk

jejaring sosial yang kuat sehingga bisa dijadikan modal sosial (social capital) bagi

masyarakat Sulit Air untuk mengembangkan perekonomian, atau membangun

kampung halaman mereka. Melihat suasana kegotongroyongan masyarakat Sulit Air,

Prof. Ahmad Syafii Maarif yang juga berasal dari Minang, dalam buku otobiografinya

memuji kekompakan dan keharmonisan organisasi perantau asal Sulit Air.

Secara historis sangat banyak organisasi yang dibentuk oleh perantau Sulit

Air. Bahkan ada juga yayasan-yayasan sosial yang juga mereka bentuk, seperti

Yayasan Gunung Merah Yogyakarta, Yayasan Yaraja, Yayasan Rosma Rais, Yayasan

Haji, dan lain sebagainya. Namun, organisasi warga Sulit Air yang terkenal adalah

Sulit Air Sepakat (SAS), khusus untuk mereka yang telah berkeluarga; sedangkan

Ikatan Pemuda Pelajar Sulit Air (IPPSA) untuk para pemuda dan pelajar Sulit Air,

baik yang merantau atau yang lahir dan besar di rantau orang. Tak ketinggalan,

berdirinya Dewan Dakwah Risalah (DDR) pada tahun 2005 dalam rangka

memperkuat rancangan bagi pengembangan dakwah dan lembaga pendidikan Islam

nagari Sulit Air ke depan.

5 Tulang nan ampek karek, artinya tulang yang empat bagian: dua tangan dan kaki.

Adapun tubuah nan tigo runggo, artinya tubuh yang terdiri dari tiga rongga: kepala, dada, dan

perut. Dada merupakan simbol ilmu pengetahuan, dada adalah tempat bersemayamnya

keimanan, dan perut adalah kesejahteraan ekonomi.

Page 64: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

57

Transformasi SAS pada Era 4.0

Keberadaan SAS sebagai organisasi perkumpulan perantau Minangkabau

yang cukup solid tidak terlepas dari kemampuannya melakukan transformasi dengan

perkembangan zaman. Sebagaimana temuan Addiarrahman, perkumpulan SAS secara

perlahan mampu melakukan adaptasi terhadap perkembangan teknologi informasi.6

Ini dapat terlihat dari program-program kegiatan pengurus DPP SAS Periode 2017-

2021 di bawah pimpinan H. Samsuddin Muchtar. Sekalipun tidak termasuk dalam

rekomendasi musyawarah besar (Mubes SAS 2017), ketua umum DPP SAS sangat

responsive menjawab kebutuhan berorganisasi dan bermasyarakat.

“Saya ini pebisnis. Dituntut mampu melihat perkembangan yang ada. Jika

tidak, maka kita kalah. Online ini kemutlakan. Kita harus sikapi. Saat ini saja

kita sudah ketinggalan berpuluh langkah. Jika tidak disakapi, maka kita akan

terbelakang.”7

Komitmen Samsuddin agar SAS mampu merespon perkembangan informasi

dan digitalisasi, tercerminkan pada program kegiatan yang dilaksanakannya. Berikut

adalah laporan kegiatan yang disampaikan pada kegiatan musyarakat kerja nasional

pada tahun 2019.

1. Bidang Hubungan Kerjasama Antar Lembaga

Pemakaian Narkoba dikalangan masyarakat belakangan ini sering kita

dengan dan telah menelan beberapa korban jiwa dikalangan remaja termasuk di

Sulit Air, sebelum kita melangkah untuk melakukan kerjasama dengan pihak

BNN, perlu kepedulian dan perhatian serius dari semua pihak dalam masyarakat

baik dari pemerintah Nagari, Alim Ulama dan datuk-datuk/penghulu kepala kaum

terutama dari pihak sekolah yaitu secara rutin memberikan pengertian kepada

anak didik dan para remaja dan masyarakat diluar sekolah mengenai bahaya

narkoba, jika langkah ini tidak berhasil maka perlu kita adakan kerjasama dengan

pihak BNN.

DPP SAS melalui Ketua Bidang Hubungan Kerjasama Antar Lembaga

juga telah melakukan kerjasama dan koordinasi dengan pemerintahan Nagari

Sulit Air, Kecamatan X Koto Diatas, Pemda Kab. Solok, dan Pemda Sumatera

Barat. Oleh sebab itu, DPP SAS juga ikut berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan

penting yang bersentuhan langsung dengan masyarakat Sulit Air, seperti:

6 Addiarrahman Addiarrahman, “Kearifan Lokal Dan Aktifitas Filantropi Perantau

Sulit Air Sepakat (SAS) Dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0,” INFERENSI: Jurnal

Penelitian Sosial Keagamaan 13, no. 1 (20 Juli 2019): 177–200,

https://doi.org/10.18326/infsl3.v13i1.177-200. 7 Wawancara pribadi dengan Bpk. Samsudin Mukhtar, 20 Maret 2020.

Page 65: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

58

a. Kegiatan Tentara Manunggal Membangun Desa/Nagari;

b. Mendukung secara aktif program Pemda Sumbar yang telah menetapkan

Nagari Sulit Air sebagai Nagari Binaan Kerjasama Rantau;

c. Melakukan kerjasama dengan lembaga pendidikan/ Perguruan Tinggi baik

swasta maupun negeri, untuk memperoleh beasiswa atau minimal keringanan

pembayaran uang kuliah bagi putra-putri Sulit Air yang kuliah di PT tersebut.

Untuk saat ini, DPP SAS telah menandatangani Naskah Kesepahaman (MoU)

dengan UIN Imam Bonjol Padang;

d. Pada tanggal 26 April 2019, DPP SAS berkunjung ke Kantor Gubernur

Sumatera Barat dalam rangka kerjasama antar lembaga dan diterima oleh

Asisten II Gubernur, Bapak Benny dan Kepala Bidang Bina Rantau, Ibu

Hilma;

e. Melakukan kerjasama dengan Yayasan, perkumpulan, dan badan lainnya

terutama dalam bidang sosial kemasyarakatan, seperti: pengumpulan dana

untuk korban bencana alam dan kebakaran dari warga Sulit Air, baik di

rantau maupun di kampung halaman;

f. Kerjasama dengan travel dan biro perjalanan haji dan umrah, seperti dengan

PDA Travel di Pekanbaru, Sianok Travel di Padang

2. Bidang Pemuda dan Olahraga

Wafatnya Ketua Bidang Pemuda dan Olahraga, sedikit menghambat

kinerja pada bidang ini. Namun, trobosan utama yang telah dilakukan adalah

pendirian Akademi Sepak Bola (ASB) di Sulit Air yang pada mulanya dibiayai

sepenuhnya oleh DPP SAS. Melihat perkembangan dan kemajuan SSB,

masyarakat luas menjadi antusias dan ikut memberikan dukungan dana setiap

bulannya untuk operasional ASB. Di samping itu, Bpk. Muslim sebagai pengganti

almarhum Drs. H. Firdaus Syam, telah berperan aktif dalam membantu IPPSA

melaksanakan LDK.

Gambar 2. Coaching Clinic ASB Bersama Robby Mariandi

Page 66: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

59

3. Bidang Penelitian dan Pengembangan

Kami telah melakukan diskusi-diskusi dan konsultasi dengan lembaga-

lembaga yang bergerak dibidang pendidikan dan penyaluran tenaga kerja, antara

lain dengan Enleght, salah satu lembaga di Australia (Sydney) yang bergerak

dalam bidang agensi pendidikan dan tenaga kerja di Australia. Australia masih

sangat membutuhkan tenaga kerja yang bersifat Skill seperti Dokter, Perawat,

tenaga mekanikal dan keahlian lainnya. Untuk bidang pendidikan Enlight juga

memberikan konsultasi dan mencarikan perguruan tinggi yang berkualitas untuk

warga Indonesia khususnya warga Sulit Air yang ingin melanjutkan study ke

Jenjang S2 di Australia. Mahasiswa yang belajar di Australia diberikan

kesempatan oleh pemerintah Australia untuk bekerja 18 jam/minggu dengan upah

berkisar antara 20 s.d 40 Dollar/jam, sehingga mahasiswa dapat membiayai hidup

sendiri sembari menuntut ilmu.

4. Bidang Pariwisata, Sosial, Adat dan Budaya

Program unggulan pada bidang ini adalah SAS Peduli. Hingga saat ini,

DPP SAS melalui program SAS Peduli telah berperan aktif dalam meringankan

beban korban bencana alam, seperti: kebakaran, gempa bumi, sunami, angina

putting beliung, dan lainnya. Total dana yang telah disalurkan adalah sebesar: Rp.

246.990.000 (Dua ratus empat puluh enam juga sembilan ratus Sembilan puluh

juta rupiah). Adapun rinciannya, sebagai berikut:

▪ Kebakaran Ujung Batu terkumpul sebesar Rp.10.500.000;

▪ Kebakaran di Kerinci dan Way Halim telah terkumpul Rp.24.840.000 untuk

9 keluarga;

▪ Kebakaran di Pasar Natar dan Angin Puting Beliung di Sulit Air telah

terkumpul dana sebesar Rp.103.750.000 (Termasuk dari YTMP

Rp.12.800.000) telah disalurkan sbb. :

a. Untuk warga SAS Natar Rp.74.650.000 (Incl Transportasi)

b. Untuk warga di Sulit Air Rp.27.900.000 (Incl Transportasi)

▪ Musibah angin Puting beliung dan badai serta kebakaran Rumah Ibu

Nurhayati di Linawan telah terkumpul dana sebesar Rp.16.900.000;

▪ Bantuan utk Warga SAS KCS Yen Marnis yang terkena Kanker

Rp.14.600.000;

▪ Bantuan Gempa Lombok Rp.18.850.000 dan 500 kg Rendang;

▪ Gempa dan Tsunami Palu dan Donggala Rp.31.200.000;

▪ Bantuan Kebakaran Warga SAS Petamburan Rp.10.600.000 tanggal 29

Januari 2019;

▪ Bantuan Kebakaaran warga SAS Tanah Abang Rp.2.250.000 tanggal 29

Januari 2019;

▪ Bantuan Kebakaran warga SAS Pekanbaru Rp.4.500.000;

▪ Bantuan Computer untuk MAM Sawitan Rp.9.000.000 (5 unit computer);

▪ Bantuan musibah kebakaran dan banjir di Bengkulu, diserahkan tanggal 7

Mei 2019 uang sejumlah Rp. 11.650.000 dan rendang dari pemda Sumbar

sebanyak 12 Kotak.

Page 67: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

60

5. Bidang Hukum dan Perlindungan Anggota

Masalah utama yang dihadapi dalam bidang ini adalah kesadaran

masyarakat tentang hukum dan advokasi hukum. Sdr. Afdhal Muhammad, SH

sebagai ketua bidang hukum dan perlindungan anggota senantiasa menghimbau

bahwa advokasi hukum bukanlah melindungi orang yang salah, melainkan

melindungi hak-hak hukum setiap anggota/ warga Sulit Air yang mengalami

masalah hukum. Oleh sebab itu, yang diperlukan adalah kesadaran warga Sulit

Air untuk mematuhi setiap peraturan/ hukum yang telah ditetapkan oleh

pemerintah.

6. Bidang Pembinaan Asset

Tugas utama bidang pembinaan asset adalah melakukan balik nama

kepemilikan Gedung DPP SAS menjadi milik “Perkumpulan SAS”. Program ini

telah terlaksana dengan baik sesuai dengan limit waktu yang ditetapkan oleh

Mubes SAS 2017. Awalnya, banyak pihak yang meragukan kemampuan DPP

SAS melakukan hal itu karena biaya yang diperlukan terbilang cukup besar. Jika

berpatokan pada nilai NJOP, DPP SAS harus menyiapkan dana + Rp.

970.000.000. Namun, dalam proses balik nama, dengan berbagai upaya yang telah

dilakukan, proses balik nama tersebut bisa terwujud dengan hanya menghabiskan

biaya Rp. 265.000.000,-.

Terhitung sejak tanggal 27 Desember 2017 dengan Nomor Sertifikat Hak

Guna Bangunan: 00702/Manggarai Selatan telah resmi menjadi milik

Perkumpulan SAS. Oleh sebab itu, DPP SAS telah menghimbau agar seluruh

cabang melakukan hal yang sama melalui Surat Edaran Nomor SE.11/DPP

SAS/XII/2017 tertanggal 08 Desember 2017.

Sampai saat ini, ada DPC SAS yang telah melakukan balik nama, yaitu:

DPC SAS Kebayoran, Ciledug, dan Sekitarnya (KCS), Parung Panjang, Muara

Dua, Kota Bumi, Petamburan, dan Padang. Adapun yang masih dalam proses,

yaitu: DPC SAS Palembang, Bandar Jaya, Kepahiang, Pulau Beringin, Liwa, dan

Bandung.

7. Bidang Media, Informasi dan Teknologi

Penerbitan Suara SAS sebagaimana yang di amanat Mubes SAS 2017

adalah dalam bentuk cetak. Hal ini telah dilakukan dengan diterbitkannya Suara

SAS Edisi 1 Tahun 2018. Akan tetapi, masalah utama terbitan majalah dalam

versi cetak saat ini adalah informasi yang disajikan relatif telah usang atau

kadaluarsa. Keberadaan social media, seperti WhatsApp, Facebook, Twitter,

menyebabkan setiap informasi tersebar secara real time. Oleh sebab itu, dan atas

pertimbangan efisiensi dan efektifitas, DPP SAS memutuskan menghentikan

majalah Suara SAS dalam versi cetak. Sebagai gantinya, DPP SAS membuat

laman informasi versi daring yang dapat diakses melalui https://www.sas.or.id.

Website ini berfungsi sebagai Sistem Informasi SAS (Sinfo-SAS) yang memuat

Page 68: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

61

menu-menu utama, seperti: Suara SAS, Kaba Nagari, KAN, IPPSA, dan lainnya.

Di samping itu, pada link tersebut juga tersedia online library (e-Library) yang

menyediakan referensi-referensi penting tentang Sulit Air, sehingga memudahkan

siapapun yang hendak melakukan kajian tentang Sulit Air. Menu lainnya yang

sedang dikembangkan adalah laman Lazis SAS. Pada laman ini, warga SAS dapat

mengakses informasi berkaitan dengan pengelolaan dana Zakat, Infaq, dan

Shadaqah; baik dari aspek pengumpulan dan pemanfaatannya. Seluruh sistem

informasi tersebut dapat diakses melalui telepon pintar dan saat ini, sedang

dilakukan pembuatan aplikasi yang akan tersedia di google playstore sehingga

setiap warga dapat mengaksesnya secara cepat. Di samping itu, bidang ini juga

telah membuat youtube channel Perkumpulan SAS.

Gambar 3. Homepage sas.or.id

Page 69: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

62

D. Filantropi SAS dan Kebanggaan Menjadi Orang Sulit Air

Kaluak paku asam balimbian,

tampuruang lenggang-lenggokkan,

dibaok urang ka saruaso,

anak dipangku kamanakan dibimbiang,

urang kampuang dipatenggangkan,

tenggang nagari jan binaso

Pepatah ini baik dilafazkan maupun tidak menjadi inspirasi bagi perantau

Minangkabau, khususnya Sulit Air, untuk membangun kampung halaman mereka.

Tenggang nagari jan binaso, bukan sekedar menjaga nagari dari kemaksiatan dan

kejahatan, namun melakukan pembangunan dalam segala lini kehidupan. Mulai dari

ekonomi, sosial, seni, budaya, politik, hukum, hingga kehidupan beragama. Bagi

masyarakat Sulit Air, kepedulian terhadap kampung halaman, sanak famili terungkap

dalam pepatah berikut:

Apo gunonyo kabau batali (Apa gunanya kerbau bertali)

Usah dipawik di pematang (Jangan diikat di pematang)

Pawikkan sajo di tangah padang (Ikatkan saja di tengah padang)

Apo gunonya badan mancari (Apa gunanya badan mencari)

Iyo pamaga sawah jo lading (Untuk memagar sawah dan ladang)

Nak mambela sanak kanduang (Untuk membela sanak kandung)

Bekerja keras di rantau orang. Siang malam pagi dan petang. Tak lain adalah

bertujuan untuk pamaga (memelihara) sawah dan ladang (nagari, kampung halaman).

Banyak cara yang dilakukan. Mulai dari memberikan bantuan uang buat sanak famili,

hingga membangun berbagai fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat. Misal,

pembangunan surau, masjid, jalan, sekolah, dan lain sebagainya.

Perantau Sulit Air, baik secara pribadi maupun organisasi, melalui SAS,

IPPSA, DDR, dan inisiatif warga Sulit Air di perantauan, memiliki kedermawanan

sosial yang tinggi dalam rangka membangun Sulit Air. Sikap fiantropi yang mereka

miliki menjadi social capital yang sangat bermanfaat untuk mensejaterahkan

kehidupan masyarakat Sulit Air pada umumnya. Hal ini merupakan refleksi dorongan

adat dan agama yang begitu kuat tertanam dalam diri mereka.

Masjid-masjid dan surau-surau yang ada di Sulit Air, pada dasarnya

dibangun atas swadaya masyarakat perantau dan juga yang ada di kampung. Bahkan

ada pula yang dibangun atas sponsor individu, yang manfaatnya dirasakan oleh

masyarakat secara keseluruhan. Berdasarkan data, terdapat 10 masjid dan 30 surau di

nagari Sulit Air. Belum termasuk beberapa bangunan surau yang telah lama berdiri

dan nyaris terbengkalai di beberapa pelosok jorong-jorong yang ada di nagari Sulit

Air. Keberadaan masjid dan surau ini, sangat membantuk kehidupan keagamaan

masyarakat meskipun peran dan fungsi surau saban hari kian memudar.

Dari aspek Pendidikan, saat ini terdapat 12 Sekolah Dasar, 3 SLTP dan 3

SLTA (termasuk Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah). PSA merupakan sekolah

pertama yang didirikan atas kepedulian kaum perantau Sulit Air. Bangunan sekolah

Page 70: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

63

ini, setiap tahun direnovasi sesuai dengan kebutuhan sekolah termasuk dalam hal

pengadaan fasilitas; labor komputer, perpustakaan dan lain sebaginya. Madrasah

Tsanawiyah Muahammadiyah dan Madrasah Aliyah Muhammadiyah juga didirikan

atas kepedulian perantau Sulit Air, di samping juga dibantu oleh pemerintah melalui

Departemen Agama.

Guru-guru SLTP N X Koto Di Atas, ada yang dikuliahkan atas sponsor

Yayasan Gunung Merah Yogyakarta. Abrar Miin, selaku sekretaris harian yayasan ini

mengungkapkan, telah banyak bantuan terhadap guru, baik honorer maupun PNS

untuk melanjutkan studi mereka. Guru-guru di PSA pun juga demikian. Tidak

ketinggalan murid-murid yang berprestasi juga diberikan beasiswa dari yayasan yang

didirikan oleh masyarakat perantau Sulit Air. Seperti Yayasan Gunung Merah,

Yayasan Haji, Yayasan SAS Sidney, Yayasan Yaraja, dan lain sebagainya. Bantuan-

bantuan yang diberikan itu sangat membantu operasional sekolah dalam

menyelenggarakan program-program di bidang pendidikan. Tak terlupakan, secara

personal banyak pula perantau yang memberikan bantuan kepada sekolah-sekolah

mereka, selaku alumni.

Di bidang ekonomi, juga menjadi pusat perhatian perantau. Banyak program

yang telah dicanangkan dan dilaksanakan oleh perantau Sulit Air. Pada masa Rainal

Rais Dt. Rajo Satie nan Mulie, misalnya. Ketika kondisi ekonomi masyarakat Sulit

Air di kampung sedang merosot, sehingga terkenal sebagai “kota wesel.” Ia berupaya

mendirikan BPR Surya Katialo yang modalnya dimiliki oleh masyarakat Sulit Air,

manfaatnya pun sangat dirasakan oleh masyarakat; di seluruh kecamatan X Koto Di

Atas.

Bantuan program pengolahan lahan kritis, holtikultura tidak terlepas dari lobi

kaum perantau Sulit Air. Pemberian 500 ekor sapi untuk diternakkan juga atas

dukungan kaum perantau yang sama sekali tidak mengharapkan imbal balik dari

hasilnya. Oesman Sapta, mantan Ketua Sewan Perwakilan Daerah (DPD) baru-baru

ini setelah memperoleh gelar Datuk Kehormatan, Dt. Bandaro Sutan Nan Kayo dari

kaum suku Limo Panjang, juga banyak memberikan bantuan kepada nagari Sulit Air.

Di antaranya perbaikan Rumah Gadang, Balairungsari, dan termasuk menyerahkan

bantuan 500 ekor sapi. Ketika diwawancarai oleh Hamdullah Salim, program ini telah

sering dilakukan namun selalu saja mengalami kegagalan. Sapta menjawab: “Kalau

gagal, itu sudah nasib saya.” Sebelumnya dia menjelaskan secara tegas bahwa

“dengan kegiatan pengembalaan sapi ini, saya bermaksud ingin membangun suatu

sistem lapangan kerja. Jangankan ajak orang Sulit Air jadi pengemis atau peminta,

ajaklah mereka jadi orang pemberani.8

Ketika diwawancarai oleh redaksi DDR, Mohammad ‘Azzam Manan, perihal

bagaimana membangun ekonomi Sulit Air yang kompetitif, Rainal Rais Dt. Rajo Satie

Nan Mulie memberikan banyak penjelasan. Menurutnya, kehidupan rantau tidak serta

merta menjamin kesejahteraan masyarakat Sulit Air. Untuk itu perlu upaya lain yang

harus dilakukan, misal dengan mengoptimalkan industri rumah tangga (home

industri). Semasa menjabat sebagai Ketua Umum DPP, hal ini telah dilakukannya.

Yaitu usaha pembuatan perangkap tikus dan pemanggang daging yang terbuat dari

8 Hamdullah Salim, “Dr. Oesman Sapta Dt. Bandaro nan Kayo,” Media DDR

Membangun Masyarakat Madani dengan Etos Islam, Edisi 3, Januari 2009, h. 78

Page 71: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

64

kawat. Mulanya memberikan prospek yang baik tapi hilang di tengah jalan begitu saja.

Keberadaan Lumbung Pitih Nagari dan BPR Surya Katialo, di mata Rainal merupakan

solusi terhadap persoalan modal untuk menjalankan kegiatan ekonomi.9

Rainal Rais tentu hanya satu di antara sekian banyak perantau Sulit Air yang

peduli terhadap kampung halamannya. Bila disimak gebrakan yang dilakukan DDR

melalui program pendirian Pondok Pesantren Modren Gontor Cabang 9 Sumatera

Barat di Sulit Air merupakan salah satu bukti nyata pendirian lembaga pendidikan

agama yang diharapkan pemenuhan sekolah agama yang modern serta ikut

mengharumkan nama nagari Sulit Air. Saifullah Sirin Dt. Rajo Mangkuto sebagai

Ketua Pembangnan Pondok Moden Gontor Cabang 9 yang dibentuk DDR adalah

seorang pengusaha di Bandung tanpa ragu memberikan bantuan senilai satu milyar

lebih. Baginya bantuan seperti itu sama halnya dengan berinvestasi untuk akhirat.

Laiknya juga bantuan beasiswa yang Dt. Rajo Mangkuto memberikan kepada

beberapa siswa berprestasi Sulit Air untuk melanjutkan kuliah ke Universitas al-Azhar

di Kairo, Mesir. Selain itu, ia juga pernah diberikan beasiswa kepada peneliti Addi

Arrahman oleh Datuk Rajo Mangukuto ini. Waktu itu dengan sederhana beliau

bertanya “apa yang akan kamu berikan kepada masyarakat Sulit Air melalui

pendidikan yang kamu timba sekarang”. Ungkapan yang tersebut dirasakan penerima

beasiswa sebagai wujud kedermawanan dan kesalehan sosial terhadap masyarakat.

Pembangunan Pesantren Modern Gontor di Sulit Air, bagi Saifullah Sirin

adalah upaya menyiapkan bekal jalan pulang ke rahmatullah. Bagi Yendra Fahmi

beserta isterinya, Sarimeidina Hanifah Fahmi Dina, angka satu milyar yang ia

dermakan buat pembangunan PPM Gontor merupakan wujud syukur atas harta yang

dititipkan Allah SWT kepada mereka. Di rumah Fahmi, selalu stand by uang zakat,

infak dan shadaqah untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.

Hal ini membuat sosok Dt. Rajo Mangkuto terkagum-kagum kepada Fahmi. Baginya,

Fahmi adalah sosok pemuda yang tak takut miskin.

Suatu peristiwa yang benar-benar mencitrakan sikap kesalehan sosial

ditampakan lagi oleh Fahmi. Ini juga yang membuat Dt. Rajo Mangkoto selalu

mengingat kebaikannya. Datuk Mangkuto bercerita, ketika itu, Fahmi melihat seorang

kakek ahli saum yang hidup sebatang kara. Melihat kondisi kakek tersebut, Fahmi

membangunkan sebuah rumah buat si kakek yang telah dianggap guru dan juga orang

tuanya itu.10 Terakhir pada tahun 2020, Fahmi dengan menyumbangkan dana bantuan

sebanyak 30 Milyar untuk pembangunan sebuah Mesjid bagi oganisasi

Muhammadiyah di Yogyakarta dengan nama ibunya di masjid tersebut.

Sikap kedermawanan atau filantropi para perantau Sulit Air, tidak terbatas

pada bantuan rumah-rumah ibadah dan lembaga pendidikan agama, tetapi juga dalam

bentuk bantuan dana warga yang kena musibah, sakit, tidak mampu, dan hambatan-

hambatan lain yang bersifat urgen dan darurat. Hal ini dilakukan baik secara secara

terencana maupun insidental. Keberadaan SAS, IPPSA, DDR, dan beberapa yayasan

9 Mohammad ‘Azzam Manan, “Wawancara Membangun Ekonomi Sulit Air yang

Kompetitif,” Media DDR Membangun Masayrakat Madani dengan Etos Islam, Edisi 1,

Februari 2008, h. 10-11 10 Bambang Trimansyah, “Tidak Takut Miskin,” Media DDR Membangun

Masyarakat Madani dengan Etos Islam, Edisi 4, Maret 2009, h. 27-28

Page 72: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

65

telah menunjukkan peran serta mereka membantu pembangunan nagari Sulit Air. Hal

ini merupakan social capital yang sangat bermanfaat untuk mensejahterakan umat.

Dan masih banyak catatan lain tentang kedermawanan perantau Sulit Air terhadap

kampung halaman mereka.

Sikap kedermawanan para perantau Sulit Air merupakan bentuk kesalehan

sosial yang tumbuh dan menjadi identitas kultural dari masyarakat yang memiliki

kearifan lokal. Local wisdom yang mereka pegang dan sekaligus telah menjadi

worldview, telah membimbing mereka menjadi sosok yang memiliki kesalehan sosial.

Bagi perantau Minangkabau, khususnya Sulit Air, mereka merasa malu meskipun

telah sukses di rantau orang, bila belum bisa berbuat untuk kemajuan kampung

halaman mereka. Hal ini tampak dalam goresan puisi yang ditulis oleh Rainal Rais

Dt. Rajo Satie Nan Mulie berikut:

Siapapun anda, seorang sarjana, pengusaha ataukah seorang kepala keluarga

yang bahagia. Ataukah seorang yang pernah menikmati diri kami. Kini tiba

saatnya, kami menuntut, menuntut anda. Pandang dan lihatlah kami, atau

setidaknya, sisihkanlah sedikit waktu anda untuk kami, SULIT AIR.11

E. Dewan Dakwah Risalah (DDR)

Dari namanya, lembaga ini sudah dapat dipastikan bergerak di bidang dakwah

islamiyah. Keprihatinan melihat kondisi masyarakat yang semakin menurun kualitas

pendidikan pada satu sisi, dan kurangnya da’i atau ulama yang menyampaian syi’ar

Islam di masyarakat Minangkabau, khususnya Sulit air, memicu beberapa tokoh dan

generasi muda membentuk lembaga ini. Fokus utamanya adalah pengembangan

dakwah dan pendidikan warga Sulit Air dan membangun sinergi dalam memenuhi

kebutuhan keagamaan dan pendidikan, baik dalam peningkatan pemahaman maupun

praktek keagamaan.

Konsekuensi dan implikasi modernitas atau lumrah dipahami

“pembangunan” mengguras kearifan dan mengikis sendi-sendi kehidupan beragama

masyarakat Sulit Air khususnya dan Minangkabau pada umumnya. Beriringan dengan

itu pula, perubahan juga terjadi dalam ‘arus pemikiran Islam melalui fenomena

kebangkitan Islam. DDR pada kancah ini, ingin ikut memberikan paradigma baru bagi

pengembangan dakwah dan pendidikan di Sulit Air.

Tergerak merubah kondisi yang telah memprihatinkan itu, DDR memiliki visi

untuk menjadikan dakwah sebagai usaha untuk meningkatkan pengetahuan dan

pemahaman agama yang benar dalam rangka membentuk kehidupan Islami warga

Sulit Air khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sebuah visi yang

benar-benar mencitrakan begitu terperosoknya kehidupan keagamaan masyarakat

Sulit Air sehingga dakwah yang benar jadi jawabannya.

DDR diprakarsai oleh Buya H. Salim Amani; H. Bungkarmin Durin;

Syafrizal Anas, S.Ag. MM; Drs. H. Zafrullah Salim, MH; Dr. H. Mohammad Amin

11 Rainal Rais, Goresan-goresan Pemikiran dan Perubahan Selama Sembilan Tahun

Mendayung Perahu “Sulit Air Sepakat”, h. Ii.

Page 73: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

66

Nurdin; Drs. H. Hamdullah Salim; H. Mohammad Emnis Anwar, Lc., MA; Drs.

Mohammad ‘Azzam Manan, MA; H. Nazlir Ahmad, dan Dr. Fisher Zulkarnaen.

Dewan Dakwah Risalah (DDR) yang menggagas pendirian Pondok Modern Gontor

Cabang 9, berdiri pada tanggal 5 Agustus 2005 di kediaman H. Zafril, Jl. Balai Pustaka

Barat No. 51, Rawamangun, Jakarta Timur, DDR didekralasikan. Ikut dalam

pendekralasian itu, antara lain. Prof. Dr. H Jurnalis Udin; Drs. H. Rainal Rais Dt. Rajo

Satie Nan Mulie; H. Helmi Panuh Dt. Pono Marajo, SH; H. Ridwan Liun; dr. H.

Hermansyah Salim, S.Pm; Drs. H. Zulkarnaen Djamin; dan H. Zafril.

Berdirinya Pondok Modern Darussalam Gontor Cabang 9 (dulu Cabang 11)

diawali di tahun 2010 dari sebuah ‘mimpi’ karena berkaitan dengan lahan tanah dan

biaya pembangunan gedung dan sarana pendukung lainnya yang nilainya tidaklah

sedikit.12 Menurut Dr. Emnis Anwar, salah satu ketua DDR, menyebutkan bahwa ini

adlah pekerjaan yang mudah, karena salah satu syarat untuk membangun Cabang

Pondok Gontor harus menyediakan tanah minimal sebanyak 7 ha, sedangkan tanah

adat dimiliki dimiliki oleh suatu kaum yang jumlah ratusan orang.

Ide dasar pendirian Pondok tersebut berangkat sebagai bagian dari

‘mambakiak batang tarandam’. Dulu di Sumatera Barat, dikenal konsep surau sebagai

wahana pendidikan agama bagi masyarakat di nagari sebagai ‘bekal’ bila nanti pergi

merantau. Namun dlam perjalanan waktu, surau kini bukan hanya telah roboh, tetapi

juga juga telah ‘terkubur’ oleh berbagai dampak globalisasi. Akibat lebih jauh, sering

dibicarakan orang bahwa orang Minang saat ini telah kehilangan jati diri atau identitas

mereka. Konsep ‘Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah (ABS-SBK)

yangmenjadi falsafah dan nilai-nilai pedoman hidup orang Minang tidak lagi menjadi

pedoman hidup. Minangkabau yang dulu terkenal sebagai produsen kaum ulama,

cadiak pandai di tingkat nasional maupun internasional kini tinggal nama dan

kenangan. Kebanggan menjadi orang Minang hanyalah kebanggaan masa lalu.

Pendirian Cabang Pondok Gontor di nagari Sulit Air merupakan perwujudan

pengembangan sektor pendidikan agama sebagai bagian dari dasar pengembangan diri

dan peradaban masyarakat Minangkabau serta masyarakat Indonesia pada umumnya.

Berdirinya Pondok Gontor menjadi kebanggaan masyarakat Sulit Air dan masyarakat

Minang pada umumnya. Selain itu, yang lebih penting lagi adalah membangun masa

depan generasi ketiga dan keempat Sulit Air yang dekat dan cinta dengan nagarinya

melalui sarana Pendidikan, khususnya dalam pendidikan agama.13

Dengan visi dakwahnya, DDR memiliki enam misi utama yang kemudian

dituangkan dalam bentuk program kerja. Keenam misi ini, betul-betul diarahkan

kepada upaya mewujudkan dakwah islamiyah agar tercipta masyarakat madani

dengan etos Islam. Keenam misi itu adalah:

Pertama, meningkatkan pemahaman keagamaan dan menyediakan fasilitas

layanan bagi praktik ibadah keagamaan warga Sulit Air dan masyarakat muslim pada

umumnya; Kedua, meningkatkan kuantitas dan kualitas da’i warga Sulit Air dalam

mencapai tujuan dakwah agar sesuai dengan komunitas sasaran dakwah; Ketiga,

menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga keagamaan warga Sulit Air di wilayah

12 Wawancara pribadi dengan Emnis Anwar, Ketua DDR, 20 Maret 2020. 13 Wawancara pribadi dengan Emnis Anwar, Ketua DDR, 20 Maret 2020.

Page 74: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

67

Jabodetabek dan lembaga keagamaan Islam yang lain dalam usaha membangun

jaringan (networking) dan membina sinergi; Keempat, melaksanakan dakwah,

pendidikan, dan pengajaran dalam dimensi luas, baik yang bersifat teoritis maupun

aplikatif; Kelima, merintis, mengembangkan, dan memberdayakan lembaga-lembaga

pendidikan warga Sulit Air sesuai dengan tujuan dakwah. Keenam, membangun

jaringan sistem informasi dalam bentuk media cetak maupun media elektronik agar

dapat diakses oleh komunitas sasaran dakwah di manapun mereka berada.

Ide mendirikan PPM mendapatkan respon positif di kalangan perantau yang

berasal dari Sulit Air. Berbagai pertemuan diselenggarakan dan pada akhirnya

terbentuklah Panitia Pembangunan Pendirian Pondok Moderen Gontor yang diketuai

oleh Bapak Rainal Rais Dt. Rajo Satie Nan Mulie. Pekerjaan pun dimulai dengan

melakukan negosiasi denga pimpinan Pondok Gontor Pusat yang berada di Gontor

Ponorogo. Ide ini disambut gembira oleh pimpinan Pondok Gontor yang juga

kebetulan mempunyai ide untuk membuat seribu cabang Gontor di Indonesia. Bak

gayung bersambut, sosialisasi pendirian Pondok Gontor disambut gembira warga

Sulit Air. Tetapi seiring dengan perjalanan waktu persoalan tanah yang akan menjadi

lahan pendirian pondok tidaklah mudah. Barulah pada tahap berikutnya saat Ketua

Pembangunan Pendirian Gontor dipimpin oleh Bapak Saiful Sirin Dt. Rajo Mangkuto

berhasil mendapatkan tanah wakaf yang diberikan oleh Kaum Suku Simabue Ilie yang

diajukan oleh seorang tokoh Sulit Air bernama Ali Ridwan Liun.

Ide pendirian Pondok semakin menggelinding dan sampai pada puncaknya

saat launching pendirian Pondok Modern Gontor Cabang 11 di Sulit Air pada tanggal

5 Februari 2009. Acara launching disambut gembira oleh warga nagari dan perantauan

yang dihadiri oleh pimpinan Pondok Modern Gontor Pusat, Menteri Perhutanan H.S

Ka’ban, Gubernus Sumatera Barat Gamawan Fauzi beserta para Bupati dan Walikota

dari kota kabupaten Sumatera Barat, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din

Syamsuddin, tokoh-tokoh akademik seperti Prof Bakhtiar Effendi, Indra Samego, dan

para pengusaha-pengusaha Minang asal SulittAir dan juga didukung oleh warga

nagari lainnya, Pariaman.

Walhasil dari acara tersebut terkumpul dana sebanyak Rp 3.546.418.000,-(3.5

Milyar) lebih untuk mensukseskan pembagunan Pondok Gontor tersebut. Suatu

jumlah yang menakjubkan bagaimana para pengusaha dan warga nagari berlomba-

lomba memberikan bantuan agar cita-cita mengembalikan tanah Minangkabau

Kembali menjadi pencetak ulama-ulama dan kaum cerdik pandai di tengah

masyarakat Minangkabau. Bagi orang Minang ini adalah sebuah kebanggaan

‘menjadi orang Minang’ yang tidak hanya sekedar memperoleh keberkahan

ekonomis, tetapi juga merupakan dakwah Islamiyah untuk kembali ‘mambakiak

batang tarandam’ tanah Minang.14

Berita terakhir di tahun 2020, jumlah santri dan guru sebanyak 345 orang

yang berasal dari warga asal nagari Sulit Air dan perantauan dan dari Sebagian

provinsi yang terdapat di Indonesia, seperti Jakarta, Bengkulu, Jambi dan Palembang,

bahkan di antara santri ada yang datang dari luar negeri, yaitu Malaysia. Jumah

bangunan terdiri 36 lokal, rumah kiai, kamar tamu, dan sebuah masjid yang indah

14 Lihat Media DDR, Komitmen Bantuan Donatur untuk Pembangunan

Pembangunan Pondok Gontor Cabang 11 Sulit Air (Jakarta: DDR), 2010, h. 46-49.

Page 75: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

68

bernama Daarussalam, tempat para santri dan para guru serta tamu yang datang untuk

melakukan ibadah.

Dampak keberadaan Pondok Pesantren Modern Gontor (PPM) di Sulit Air

sebagai bagian dari yang membanggakan dan mengharumkan nama kampung Sulit

Air memberikan implikasi tidak hanya pada dunia Pendidikan, tetapi juga berimbas

pada aspek lainnya, di antaranya yaitu:

1. Partisipasi. Masyarakat Sulit Air, termasuk yang tinggal di perantauan dan

masyarakat Minang serta daerah dari provinsi lainnya memiliki alternatif

Pendidikan yang berbasis model Pendidikan agama modern dan boarding

school (berasrama). Partisipasi mereka ke depan dapat menciptakan peluang

untuk menjadi produsen ulama dan intelektual dari kalngan masyarakat

Minang yang saat ini semakin langka dan merosot.

2. Jejaring (Networking). Keberadaan Pondok Modern Pesantren Modern bisa

menjadi pusat pembelajaran bermutu (Center of Exellent Learning) yang

menyediakan jaringan sekaligus sinergi dengan wadah-wadah Pendidikan

yang ada di Sulit Air, seperti Pendidikan Sekolah Agama (PSA), Madrasah

Thanawiyah dan Madrasah ‘Aliyah. Jejaring ini menjadi pendorong (striving

force) bagi peningkatan kualitas endidikan yang sekarang merosot.

3. Rekrutmen. PPM Gontor dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah yang

cukup signifikan untuk menjadi tenaga pengajar (bila sudah tamat), alumni-

alumni PPM, tenaga konsumsi dapur santri, pemasok dan distributor logistic,

tenaga keamanan dan lalin-lain jenis pekerjaan.

4. Etos Baru. Keberadaan PPM Gontor bisa menciptakan etos budaya baru bagi

pembangunan citra tentang kualitas Pendidikan di Sulit Air dan Minangkabau

pada umumnya cenderung menurun.

5. Infrastruktur. Dengan berdirinya PPM infrastruktur baru dibangun oleh

pemerintah daerah maupun provinsi seperti jalan yang beraspal, jalur listrik

baru, dan sumber air bagi keperluan santri yang akan dibangun PUPR

Sumatera Barat.

6. Destinasi Wisata Religi. Letak pondok yang ada di sebuah bukit memiliki

panorama yang indah dan diapit oleh tiga gunung yang berselimut awan serta

di rentang paling bawah nagari sekitarnya terdapat Danau Singkarak yang

menjadi salah satu ikon pariwisata Sumatera Barat.

7. Ekonomi. Dengan jumlah santri yang cukup banyak, maka geliat ekonomi

masyarakat dengan sendiri akan menggeliat untuk memenuhi kebutuhan para

santri dan para guru. Permintaan akan keperluan pangan sehari-hari dan

mobilitas trasportasi yang meningkat akan mengangkat ekonomi penduduk

nagari. Aspek ekonomi lainnya adalah keperluan homestay di sekitar pondok

bagi tamu orang tua murud/wali murid yang mengunjungi anaknya karena

belum tersedianya guesthouse bagi tamu yang menginap di lingkunga

pondok.

Page 76: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

69

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Identitas (identity) dan kebanggaan (pride) yang melekat pada diri seseorang atau

komunitas merupakan proses budaya yang berkaitan erat dengan bagaimana individu

atau kelompok mengekspresikan sistem nilai yang ia yakini. Masyarakat

Minangkabau terbentuk dalam proses dialektik antara Islam dan adat (‘urf) yang

kemudian dikristalisasi ke dalam falsafah Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi

Kitabullah. Akan tetapi, keberadaan negara menjadikan relasi kedua entitas ini

mengalami anomali-anomali atau penyimpangan; yang pada ujungnya juga

memengaruhi eksistensi identitas dan kebanggaan orang Minangkabau. Keadaan ini

terus mengalami pasang-surut, seiring dengan arus politik dan ekonomi yang

berkembang.

Perkumpulan Sulit Air Sepakat adalah satu di antara organisasi perantau

masyarakat Minangkabau yang terus berkembang. Tidak hanya di dalam negeri,

cabang organisasi ini juga sudah di luar negeri, seperti: Malaysia, Melbourne, Sydney,

dan lainnya. Tentunya, keberadaan SAS dan Ikatan Pemuda Pelajar Sulit Air (IPPSA),

menjadi wadah yang sangat penting dalam proses pembentukan identitas dan

kebanggaan menjadi orang Minagkabau; menjadi orang Sulit Air. Pada titik ini,

penelitian ini menemukan bahwa:

Pertama, SAS dan IPPSA merupakan wadah yang sangat penting dalam

keberlanjutan proses pembentukan identitas dan kebanggaan generasi Sulit Air yang

ada di rantau. Kemampuan kedua organisasi ini memanfaatkan teknologi (Sosial

Media) menjadi wadah pengenalan budaya, bahasa dan pembentuk kecintaan terhadap

adat dan budaya Minangkabau. Akan tetapi, keberadaan keluarga (orang tua) juga

menentukan keterlibatan generasi millennial Sulit Air di rantau untuk bergabung dan

aktif dalam kegiatan SAS atau IPPSA.

Kedua, aktifitas filantropi kaum perantau melalui perkumpulan SAS dan

IPPSA merupakan wadah yang cukup penting dalam membentuk rasa bangga menjadi

orang Sulit Air. Ini sangat terlihat dalam aktifitas media sosial perantau Sulit Air

dalam merespon prestasi perantau Sulit Air dalam aktifitas sosial, seperti:

pembangunan masjid, sekolah, bantuan sosial, dan lain sebagainya.

Ketiga, keberhasilan SAS dan IPPSA dalam memelihara identitas dan

kebanggaan menjadi orang Minangkabau tidak terlepas dari kemampuannya

membangun relasi yang kuat dan berkesinambungan dengan kampung halaman, Sulit

Air. Adanya konflik dan pertentangan sebagai dinamika dalam berorganisasi sama

Page 77: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

70

sekali tidak membahayakan eksistensi SAS sebagai organisasi perantau. Sebaliknya,

dalam banyak hal justeru memancing ide dan gagasan baru untuk berbuat bagi

terwujudnya Sulit Air Jaya.

B. Saran

Temuan di atas sangat penting ditindaklanjuti oleh perkumpulan SAS dan IPPSA

agar terus mampu memelihara identitas dan kebanggaan menjadi orang Minangkabau

bagi perantau Sulit Air. Untuk itu, penelitian ini merekomendasikan agar:

1. SAS dan IPPSA mampu melakukan perubahan transformatif dalam tata kelola

organisasi dengan tetap mempertahankan nilai-nilai perekat sosial yang telah

melekat kuat dalam organisasi ini;

2. SAS bisa menjadi organisasi perantau cum filantropi yang mampu melakukan

pemberdayaan terhadap masyarakat. Ini akan semakin memperkuat kebanggaan

perantau menjadi orang Sulit Air;

3. Perlu perubahan yang cukup serius untuk menjadikan IPPSA bisa menarik

perhatian generasi millennial Sulit Air di rantau, khususnya di daerah urban,

seperti Jakarta, Pekanbaru, Palembang, dan lainnya. Ini diperlukan mengingat

kecepatan generasi millennial dalam mengakses informasi yang tentunya akses

mereka terhadap budaya luar semakin cepat.

Page 78: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

71

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, “Adat and Islam: An Examination of Conflict in

Minangkabau,” Indonesian Journal, Vol. 2, Oktober 1966,

______________, Identity Maintenance and Crisis of Identity in Minagkabau

(Jakarta-Leknas LIPI), 1978.

______________. (2013). Baragiah Ka Kampuang: Spirit Filantropis Perantau

Sulit Air. TURAST; JURNAL PENELITIAN DAN PENGABDIAN, 1(1)

_____________, A. (2019). Kearifan Lokal dan Aktifitas Filantropi Perantau

Sulit Air Sepakat (SAS) dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0.

INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 13(1),

https://doi.org/10.18326/infsl3.v13i1.177-200

Andoni, H., & Ekomadyo, A.. Interpretasi Identitas Budaya Diaspora

Masyarakat Minangkabau : Sebuah Kajian Semiotika pada Rumah Makan

Padang di Bandung, 2016.

Amir M.S. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang

(Jakarta: PT. Mutiara Sumber Waidya), 1999

Azmi, ‘Pelestarian Adat dan Budaya Minangkabau’, dalam CH. N. Latief Dt.

Bandaro, dkk. (ed.), Minanagkabau yang Gelisah (Bandung: CV. Lubuk

Agung Bandung), 2004.

Azra, Azyumardi, "Kata Pengantar", dalam Safroedin Bahar dan Zulfan

Tadjoedin, Masih Ada Harapan: Posisi Sebuah Etnik Minoritas dalam Hidup

Berbangsa dan Bernegara (Jakarta: Yayasan Sepuluh Agustus), 2004,

_____________, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan

Aktor Sejarah (Jakarta: Gramedia), 2002

Asnan, Gusti, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, (Yogyakarta: Ombak), 2007

____________,Kamus Sejarah Minangkabau (Padang: Pusat Pengkajian

Islam dan Minangkabau-PPIM), 2003

Dobbin, Christine, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi

Minangkabau 1784-1847, terj. (Jakarta: Komunitas Bambu), 2008,

Fukuyama, Francis, Identity: The Demand for Dignity and the Politics

Resentmen (New York: Farra. Dtraus & Giroux), 2018.

Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture (New York: 1973)

Hamidi Harahap, Basyral dan Hotman M. Siahaan, Orientasi Nilai-nilai

Page 79: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

72

Budaya Batak (Jakarta: Sanggar Willem Iskander), 1987

Hamka, Ayahku (Jakarta: Djajamurni), 1963

Huri, I., Filantropi kaum perantau: studi kasus kedermawanan sosial

organisasi perantau Sulit Air Sepakat (SAS), Kabupaten Solok, Sumatera

Barat. (Padang: Piramedia), 2006..

Kahn, S. Joel, Minangkabau Social Formation: Indonesian Peasants and the

World-economy, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007),

Kato, T. Rantau Pariaman: The world of Minangkabau coastal

merchants in the nineteenth century. The Journal of Asian Studies, 39(4), 729

Kincai, Rhian D., Rainal Rais: Abdi Organisasi, (Jakarta: Rora Karya, 2003)

Mansoer, M.D., dkk., Sejarah Minangkabau (Jakarta: Bhratara), 1970

Naim, M.. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau Edisi III, (Jakar-

ta, PT RajaGrafindo Persada), 2013.

Rangkayo. Sutan dan Hamdullah Salim, Sebuah Tambo: Asal Usul Negeri dan

Persukuan Sulit Air, (Jakarta: Rora Karya)

Rozi, Syafuan, dkk (ed.), Politik Identitas: Problematika dan Paradigma

Solusi Keetnisan Versus Keindonesiaan di Aceh, Riau, Bali, dan Papua

(Jakarta: Bumi Aksara), 2019

Hamdulullah Salim, “Sejarah Perantauan dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”

Folisa, Forum Peduli Adat dan Budaya Sulit Air, Edisi Perdana, 2004,

Stark, Alexander, ‘The Matrilineal System of the Minangkabau and its

Persistence Throughout History: A Structural Perspective’, dalam Southeast

Asia: A Multidisciplinary Journal, Vol 13, 2013, pp 1–13 © FASS, UBD.

Sumber elektronik:

- Benda-Beckmann, F. von, & Benda-Beckmann, K. von. (2012). Identity in

dispute: law, religion, and identity in Minangkabau. Asian Ethnicity, 13(4),

341–358. https://doi.org/10.1080/14631369.2012.710073

- Franzia, E., Piliang, Y. A., & Saidi, A. I. (2015). Manifestation of

Minangkabau Cultural Identity through Public Engagement in Virtual

Community. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 184,

https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.05.053

Page 80: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN - repository.uinjkt.ac.id

73

- Gleason, M. (2013). Space, pride, and identity. Dalam C. Venet & B. Baranes

(Ed.), European Identity through Space: Space Activities and Programmes as

a Tool to Reinvigorate the European Identity. https://doi.org/10.1007/978-3-

7091-0976-2_4

- Franz, & Benda-Beckmann, K. von. (2007). Ambivalent identities:

Decentralization and Minangkabau political communities.

https://doi.org/10.1163/22134379-90002980

- Maher, N. (1994). Minangkabau Migration: Developing an Ethnic Identity in

a Multicultural Society. Australian Geographical Studies, 32(1), 58–68.

https://doi.org/10.1111/j.1467-8470.1994.tb00660.x

- Murad, A. (1978). Merantau : aspects of outmigration of the Minangkabau

people. Diambil dari https://openresearch-

repository.anu.edu.au/handle/1885/117421

- Navis, A.A., Pepatah, Petitih, Petuah, dan Mamangan, disadur oleh Dewis

Natra dari Buletin Sungai Pua, No. 46 April 1994, dikutip dari:

http://www.cimbuak.net/content/view/24/7/, accessed 26 Juli 2010

- Rozi, S.. Konstruksi Identitas Agama dan Budaya Et-

Nis Minangkabau di Daerah Perbatasan: Perubahan Identitas dalam Interaksi

Antaretnis di Rao Kabupaten Pasaman Sumatera Barat. Masyarakat

Indonesia, (2013), 39(1), 215–245. https://doi.org/10.14203/jmi.v39i1.317

- Rusdiana, D., & Saidi, Z., Diaspora giving: An agent of change in Asia

Pacific communities, 2008. . ht-tp://asianphianthrpy.

rg/APPC/DiaspraGiving-cnference-2/DiaspraGiving-Indnesia-28. pdfpp.

- Wibawarta, B., Elfira, & Christomy, T. (2017). Minangkabau perantau and

the negotiation of identity: “moved in and out’’ of the position of an outsider

and insider.” Dipresentasikan pada Scholar Summit 2017. Diambil dari

https://scholar.ui.ac.id/en/publications/minangkabau-perantau-and-the-

negotiation-of-identity-moved-in-.