identitas dan kebanggaan - repository.uinjkt.ac.id
TRANSCRIPT
Dr. M. Amin Nurdin, MA
Dr. Ahmad Rido, DESA
Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin
(HIPIUS)
2020
IDENTITAS
DAN KEBANGGAAN Menjadi Orang Minangkabau: Pengalaman
Perantau Minang asal Nagari Sulit Air
IDENTITAS DAN KEBANGGAAN
Menjadi Orang Minangkabau: Pengalaman
Perantau Minang Asal Nagari Sulit Air
Dr. M. Amin Nurdin, MA
Dr. Ahmad Rido, DESA
Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin
(HIPIUS)
2020
ii
IDENTITAS DAN KEBANGGAAN
Menjadi Orang Minangkabau: Pengalaman Perantau Minang Asal Nagari
Sulit Air
Edisi Pertama, Cetakan ke-1
ISBN: 978-623-93985-1-4
Penulis: Dr. M. Amin Nurdin, MA dan Dr. Ahmad Rido, DESA
Penerbit: Hipius (Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin)
Cetakan I, September 2020
Redaksi:
Gedung Fakultas Ushuluddin Lt. 2, UIN Jakarta
Jl. Ir. H. Juanda No. 95
Ciputat, Tangerang Selatan
Tlp (021) 7493677, Fax (021) 7493579
Email: [email protected]
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip dan menyalin sebagian atau seluruh isi buku ini dalam
bentuk apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin
tertulis dari Penerbit.
iii
Kata Pengantar
Laporan hasil penelitian tentang persoalan identitas dan kebanggaan
masyarakat Minangkabau ini dengan mengambil organisasi Sulit Air Sepakat (SAS)
sebagai studi kasus. Persoalan kebangkitan etnis setelah era Reformasi menarik untuk
dikaji, khususnya pada masyarakat Minangkabau.
Penelitian ini dilaksanakan oleh unit Puslitpen dibawah Lembaga Penelitian
dan Pengabdian untuk Masyarakat (LP2M) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan mata anggaran tahun 2020.
Untuk itu, kami mengucapkan terimakasih kepada Lembaga Penelitian dan
Pengabdian untuk Masyarakat (LP2M) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu terwujudnya penelitian ini. Begitu pula
kami mengucapkan terimakasih kepada unit Puslitpen UIN Jakarta yang telah
memberikan arah dan pedoman penelitian. Tak lupa pula kami capkan terimakasih
kepada Dr. Addiarrahman yang telah memberi bantuan bahan-bahan referensi tentang
Minangkabau sehingga memudahkan kami dalam proses penulisan penelitian.
Terakhir, kami juga sampaikan terimakasih kepada pihak organisasi Sulit Air
Sepakat (SAS) dan Ikatan Pemuda Sulit Air (IPSA) yang telah sudi untuk dilakukan
sebagai sumber pertama hasil penelitian ini. Dan juga terimakasih kepada Dekan
Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta Dr. Yusuf Rahman yang telah ikut mendukung
penelitian sebagai bentuk kegiatan intelektual dan kepada Penerbit Hipius yang telah
menerbitkan buku ini.
Jakarta, 20 Agustus 2020
Dr. M. Amin Nurdin, MA.
Dr. Ahmad Ridho, DESA
iv
Daftar Isi
Kata Pengantar…………………………………………………………………….iii
BAB I: Pendahuluan ............................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... 4
D. Studi Terdahulu ............................................................................................ 4
E. Landasan Teori ............................................................................................. 5
F. Metode Penelitian ........................................................................................ 7
G. Sistematika Pembahasan .............................................................................. 7
BAB II: Pasang Surut Identitas dan Kebanggaan Kaum Perantau
Minangkabau……………………………………………………………..9
A. Sejarah Sosial Masyarakat Minangkabau ..................................................... 9
1. Periode Pra Islam ..................................................................................12
2. Periode Pra Kolonial .............................................................................13
3. Periode Kolonial ...................................................................................15
4. Periode Paska Kolonial .........................................................................17
B. Pergumulan Islam dan Adat di Minangkabau ..............................................19
C. Orientasi Nilai Budaya Minangkabau ..........................................................23
D. Merantau sebagai Bagian dari Proses Pembentukan Identitas Kul-
tural………………………………………………………………………...25
BAB III: Sejarah Perkumpulan SAS ...................................................................31
A. Sejarah Sosial Masyarakat Minangkabau………………………………….31
B. Sejarah Nagari Sulit Air (Suliek Aie) dan Setting Sosial Budaya dan Ekonomi
Masyarakat Sulit Air ...................................................................................33
v
C. Sejarah Perkumpulan Sulit Air Sepakat .......................................................38
D. Ikatan Pemuda Pelajar Sulit Air ..................................................................40
E. Peran Kaum Perantau……………………………………………….. …….42
BAB IV: Orang Minang Sulit Air: Pembentukan Jati Diri dan Kebanggaan
Bernagari………………………………………………………………...48
A. Identitas dan Kebanggaan Etnis dalam Pentas Politik……………………..48
B. Proses Pembentukan Identitas dan Kebanggaan Perantau Sulit…………...50
1. Pengenalan Budaya Minangkabau……………………………………....50
2. Tingkat Kecintaan dan Kebanggaan Menjadi Orang Minangkabau……53
3. Penggunaan Bahasa Minangkabau ........................................................54
C. SAS dan Jejaring Sosial Perantau Sulit Air Lainnya ...................................55
D. Filantropi SAS dan Kebanggaan Menjadi Orang Sulit Air……………….. 62
E. Dewan Dakwah Risalah ...............................................................................65
BAB V Penutup .....................................................................................................69
A. Kesimpulan .................................................................................................69
B. Saran ...........................................................................................................70
Daftar Pustaka ........................................................................................................71
1
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Masyarakat Minangkabau merupakan salah satu etnis di Indonesia yang
banyak dikaji peneliti dalam dan luar negeri. Ragam kehidupan etnisnya diteliti mulai
dari tradisi matrineal, adat istiadat, merantau, kontroversi budaya, dan Islam dalam
perkembangan di masa dahulu dan sekarang.1 Terbentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia, belakangan memberikan pergeseran dalam tubuh masyarakat
Minangkabau itu sendiri yang sebelumnya berhadap-hadapan dengan kolonialisme.
Sakali aie gadang, sakali tapian barubah; (sekali air bah, sekali tepain berubah)
adalah ekspresi keterbukaan dan kedinamisan masyarakat Minangkabau terhadap
perubahan yang terjadi. Tidak hanya itu, konflik dimaknai sebagai dinamika sosial
yang positif, karena basilang kayu ditungku, sinan api mangko ka hiduik (bersilang
kayu ditungku, di situ api akan hidup). Meskipun demikian, konflik tidak boleh
memecah keutuhan karena biduak lalu kiambang batawik.
Salah satu kajian sosiologis yang menarik adalah pencarian identitas. Di
antara kegelisahan masyarakat Minangkabau saat ini adalah kehilangan identitas/jati
diri. Sebelumnya mereka bangga dengan etnisnya yang dikenal sebagai orang cerdas,
gesit, tangkas, dan pandai memanfaatkan peluang. Banyak tokoh terkenal dijadikan
contoh seperti Bung Hatta, Natsir, Hamka, dll., menjadi kebanggaan Orang Minang.
Hampir 60% tokoh-tokoh masa pra-Kemerdekaan dan paska-Kemerdekaan berasal
dari etnis Minang.
Namun trauma kekalahan PRRI di tahun 1950an sangat membekas dalam hati
mereka, sehingga banyak yang merantau dan menyembunyikan identitas
keminangannya.2 Mereka seolah malu dengan identitasnya; orang tuapun memberi
nama asing, seperti “Kardinal”, “Edward” dll. Di era Orde Baru, trauma krisis ini
mulai mereda sejak pemberian penghargaan Prasamnya Purnakarya Nugraha oleh
Presiden Soeharto kepada Provinsi Sumatera Barat (1984). Identitas dan kebanggaan
etnis Minang bangkit kembali. Ini seakan menjadi pemicu kebangkitan identitas dan
kebanggaan melalui konsolidasi baik secara organisatoris maupun individu.
1 Azyumardi Azra, "Kata Pengantar", dalam Safroedin Bahar dan Zulfan Tadjoedin,
Masih Ada Harapan: Posisi Sebuah Etnik Minoritas dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara
(Jakarta: Yayasan Sepuluh Agustus), 2004, h. vii.
2 Mochtar Naim, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabu (Jakarta: Sinar
Harapan), 2001, h. 263-264; Lihat juga dialog Taufik Abdullah dalam Gusnawirta Taib dan
Abrar Yusra (ed.), Tantangan Sumatera Barat (Jakarta: Citra Pendidikan), 2001, h. 83.
2
Identitas Minangkabau terbentuk dari pergumulan antara adat dan Islam, yang
belakang dipengaruhi oleh sistem negara-bangsa dalam proses yang panjang.3
Institusi merantau yang lahir dari nilai-nilai adat, ikut menentukan dalam proses
pembentukan identitas; seseorang dianggap belum ‘berguna’ jika belum merantau.
Akan tetapi, mobilisasi dan interaksi dengan etnik lain, mempengaruhi perubahan
identitas Minangkabau.4 Nicola Maher menegaskan bahwa identitas perantau
Minangkabau, sebagaimana yang dia teliti di Sydney, sangat ditentukan oleh relasi
mereka dengan kampung halaman, keterlibatan dalam komunitas, dan lingkungan
keluarga.5
Penelitian ini coba memeriksa kembali faktor-faktor pembentuk identitas
perantau Minangkabau, khususnya yang berasal dari Nagari Sulit Air, Kabupaten
Solok, Sumatera Barat. Kebanggaan sebagai orang Sulit Air, tetap melekat meskipun
di antara perantau tersebut, lahir dan tumbuh besar di daerah yang multikultural,
plural, hedonis dan individualis atau juah dari kampung halamannya, Sulit Air.
Perubahan identitas merupakan suatu keniscayaan, namun bagaimana kebanggaan
menjadi orang Sulit Air terus terbawa, bahkan ikut membentuk proses identifikasi
budaya, menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji. Lebih dari itu, keberadaan dan
dinamika dalam Perkumpulan SAS sebagai organisasi perantau Sulit Air, ikut
membentuk identitas dan kebanggaan tersebut.
Tahun 1912 disepakati sebagai tahun berdirinya SAS di kota Padang oleh
segenap perantau Sulit Air dan diresmikan pada tanggal 3 Juli 1970. Konfrensi
pembentukan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) SAS pertama 3-5 Juli 1970 di Villa Aida
Ciloto, Puncak Jawa Barat. Pada 8 Maret 2007 barulah organisasi SAS ditetapkan
sebagai organisasi berbadan hukum berbentuk perkumpulan. Secara tertulis, Surat
Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. C-19.HT.01.03.TH.2007 menjadikan
organisasi ini sebagai bukti berbadan hukum. Adapun AD/ART SAS disahkan
berdasarkan akta notaris No. 27 tanggal 28 Februari 2006 dan akta No. 7 tanggal 11
Oktober 2006 yang dibuat dihadapan notaris Drs. Zarkasi Nurdin, SH.6
Sulit Air dengan luas wilayah 80 km2 dan topografi wilayahnya itu, diakui
sebagai karunia dan rahmat Allah. Bagi masyarakatnya, Sulit Air diibaratkan seperti
sebuah pohon beringin: akarnya seluk-berseluk, pucuknya hempas menghempas,
seikat bak sirih, serumpun bak serai, sehina semalu. Meskipun banyak warganya pergi
merantau, namun tetap mencintai masyarakat dan tanah pusakanya Sulit Air; wujud
manifestasi kecintaan terhadap bangsa dan tanah air, Indonesia. Berkumpul dalam
satu ikatan organisasi adalah cara merapatkan barisan, memperkuat tenaga untuk
3 Franz dan Keebet von Benda-Beckmann, “Ambivalent identities: Decentralization
and Minangkabau political communities,” 1 Januari 2007, 417–42,
https://doi.org/10.1163/22134379-90002980. 4 Syafwan Rozi, “Konstruksi Identitas Agama dan Budaya Etnis Minangkabau di
Daerah Perbatasan: Perubahan Identitas dalam Interaksi Antaretnis di Rao Kabupaten
Pasaman Sumatera Barat,” Masyarakat Indonesia 39, no. 1 (30 Juni 2013): 215–45,
https://doi.org/10.14203/jmi.v39i1.317. 5 Nicola Maher, “Minangkabau Migration: Developing an Ethnic Identity in a
Multicultural Society,” Australian Geographical Studies 32, no. 1 (1994): 58–68,
https://doi.org/10.1111/j.1467-8470.1994.tb00660.x. 6 Suara SAS, No. 03 April 2007 s/d Oktober 2007, h. 5
3
membangun masyarakat dan nagari Sulit Air. Begitulah mukaddimah yang tertuang
dalam AD/ART SAS.
Awal tahun 1912 itu, SAS masih berbentuk hanya sebatas untuk
memperingati kematian, ungkap alm. Jamluddin Tambam semasa hidupnya. Pada
masa itu, yaitu di tahun 1910-1920-an masyarakat Sulit Air masih memberikan
penghormatan kepada orang yang telah meninggal dunia. Kenduri dan selametan
dilakukan sebagai wujud penghormatan. Dengan masuknya Muhammadiyah di tahun
1930-an dan berdirinya Sumatera Thawalib yang dirintis oleh ayah Buya Hamka,
Syekh Abdul Karim Amrullah sejak tahun 1925, barulah kebiasaan itu mulai
memudar dalam kehidupan masyarakat. Sebagai seorang yang begitu keras
mengusung pembaharuan, upaya yang dilakukan oleh Syekh Abdul Karim Amrullah,
seorang propagandis Muhammadiyah yang paling berhasil dalam pembaharuan
pemikiran Islam sehingga organisasi ini cepat menyebar di seluruh wilayah
Minangkabau.7 Sejak itu, kegiatan SAS diarahkan untuk pemberdayaan masyarakat
Sulit Air, baik di rantau maupun di kampung halaman.
Tahun 1912 merupakan era yang menurut sebagian besar sejarawan adalah
masa kebangkitan nasional. Pada dekade itu, Boedi Utomo lahir pada 20 Mei 1908.
Serikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1911. Muhammadiyah dicetus pula pada 18
November 1912 oleh Ki Ahmad Dahlan. Pada masa-masa itu pula, berdiri organisasi
persukuan seperti Minangkabau Saiyo di Bandung dan Medan. Begitu pula Atjeh
Sepakat. Ini membuktikan bahwa semangat kebangkitan nasional juga mendorong
masyarakat Indonesia berkumpul, menyatukan kekuatan dan kemampuan yang ada.
Adalah wajar bila organisai perantau Sulit Air ini diberi nama “Sulit Air Sepakat”,
karena semangat mendirikan perkumpulan rantau-rantau sepakat, sedang
menggelora di waktu itu.
Perkumpulan Sulit Air Sepakat (SAS) saat ini telah memiliki 97 cabang
tersebar di setiap provinsi dan kota-kota besar di luar negeri. Perkumpulan SAS
memiliki kebanggaan identitas dan tradisi filantropi yang berkontribusi besar pada
pembangunan nagarinya.8 SAS menjadi contoh organisasi perantau Minangkabau
dengan semangat filantropi tersebut.9 Keberhasilan membangun masyarakat dan
nagari adalah wujud kebanggaan sebagai orang Sulit Air (identity).
Banyak manfaat keberadaan SAS bagi perantau dan masyarakat Sulit Air.
Tidak hanya bisa menyambung silaturahim, keberadaannya memberikan manfaat bagi
peningkatan kualitas ekonomi, infrastruktur, pendidikan, seni, dan budaya Sulit Air.
Lebih dari itu, dalam panggung politik keberadaan SAS di beberapa cabang daerah
sangat diperhitungkan karena jumlah warganya yang sangat banyak dan jaringan
perdagangan yang cukup luas. Meskipun secara tegas organisasi SAS bukanlah
7 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor
Sejarah (Jakarta: Gramedia), 2002.
8 I. Huri, Filantropi kaum perantau: studi kasus kedermawanan sosial organisasi
perantau Sulit Air Sepakat (SAS), Kabupaten Solok, Sumatera Barat (Padang: Piramedia),
2006
9 Addiarrahman, A., “Kearifan Lokal dan Aktifitas Filantropi Perantau Sulit Air
Sepakat (SAS)”, dalam. INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 2019, 013(1), h.
177–200.
4
organisasi politik dan tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis. Adapun
secara individu, menjadi hak dan kewajiban warga Sulit Air sebagai bagian warga
Indonesia.
Penelitian ini mengamati kembali faktor-faktor pembentuk identitas perantau
Minangkabau, khususnya yang berasal dari Nagari Sulit Air, Kabupaten Solok,
Sumatera Barat.
II. Rumusan Masalah
Penelitian ini berupaya menjawab pertanyaan penelitian (research question),
yaitu bagaimana peran perkumpulan SAS dalam melestarikan identitas dan
kebanggaan pada keminangannya?
III. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana peran
perkumpulan SAS dalam melestarikan identitas dan kebanggaan pada
keminangannya.
IV. Kajian Terdahulu
Dalam menghadapi perubahan sosial atau krisis yang terjadi di tengah
masyarakat, perantau Minangkabau, cenderung menggunakan norma budaya; baik
yang berasal dari kampung halaman maupun yang ada di tempat mereka merantau,
secara bergantian. Hal ini dimaksudkan agar mereka mendapatkan hak-hak tertentu
yang telah disediakan oleh dua budaya tersebut. Dengan demikian, perantau
Minangkabau dapat mempertahankan identitas lama dan asli, di samping juga mampu
bertahan dengan identitas baru dari budaya yang berbeda. Di samping itu, interaksi
dalam dua dualisme budaya tersebut, membuat perantau Minangkabau cenderung
memodifikasi adat Minangkabu10
Maher menegaskan bahwa identitas perantau Minangkabau di Sydney sangat
unik dan bersifat individual. Ia ditentukan oleh bagaimana seorang perantau
berinteraksi dengan negeri asal, membaur di komunitas lokal, dan kondisi lingkungan
keluarga. Pengalaman mengenai pembentukan dan perubahan identitas bersifat
individual, sehingga pendekatan yang digunakan untuk memahaminya harus
fleksibel11. Identitas budaya perantau Minangkabau juga diekspresikan dalam
aktivitas ekonomi, seperti simbol-simbol rumah gadang pada rumah makan padang.
Hal ini dilakukan sebagai strategi adaptif di perantauan.12
10 Wibawarta, B. Elfira, M, & Christomy, T., Minangkabau perantau and the
negotiation of identity: “moved in and out’’ of the position of an outsider and insider.”
Dipresentasikan pada Scholar Summit, 2017. Diambil dari
https://scholar.ui.ac.id/en/publications/minangkabau-perantau-and-the-negotiation-of-
identity-moved-in.
11 N. Maher, “Minangkabau Migration: Developing an Ethnic Identity in a
Multicultural Society” dalam Australian Geographical Studies, 32 (1), 58–68.
https://doi.org/10.1111/j.1467-8470.1994.tb00660.x
12Andoni, H., & Ekomadyo, A., Interpretasi Identitas Budaya Diaspora Masyarakat
Minangkabau: Sebuah Kajian Semiotika pada Rumah Makan Padang di Bandung, 2016.
5
Perkembangan sosial media, ikut mempengaruhi identitas budaya perantau
Minangkabau. Penggunaan gambar, peribahasa, dan topik-topik adat dan budaya pada
forum diskusi virtual, seperti grup facebook Palanta Urang Awak Minangkabau,
cukup menarik perhatian publik dan membentuk identitas budaya perantau
Minangkabau.13 Perkumpulan SAS juga memanfaatkan sosial media, seperti
WhatsApp dan Facebook sebagai media informasi dalam banyak kasus untuk
menghimpun potensi filantropi kaum perantau.
Penelitian ini mengadopsi model Nicola Maher dalam memahami
pembentukan dan perubahan identitas perantau Minangkabau. Akan tetapi, tidak
hanya terfokus pada interaksi dengan kampung halaman, keaktifan dalam organisasi
SAS, dan kondisi lingkungan keluarga, penelitin ini secara lebih dalam berupaya
memahami bagaimana interaksi dan ekspresi identitas dan kebanggaan perantau Sulit
Air di perantauan. Pada kasus tertentu, juga berupaya memahami institusi perkawinan,
ekonomi, dan politik, ikut mempengaruhi identitas dan kebanggaan sebagai orang
Sulit Air.
V. Landasan Teori
Identitas Minangkabau selalu dalam keadaan ambivalensi14. Ia akan terus
berkelindan antara adat, Islam, dan negara15. Aktifitas merantau bagi masyarakat
Minangkabau, bukan hanya perpindahan atau mobilitas sosial untuk meningkatkan
taraf pendidikan, ekonomi, dan atau status sosial. Lebih dari itu, ia merupakan proses
pembentukan identitas16. Oleh sebab itu, adopsi dan adaptasi selalu bersifat dinamis
dalam proses tersebut. Dengan kata lain, identitas Minangkabau meskipun bukanlah
sesuatu yang primordialisme, karakter primordialis tersebut tetap melekat melalui
proses negosiasi.
Institusi merantau, dengan demikian, meneguhkan adanya keterkaitan antara
ruang dan identitas suatu kelompok (space and group identity)17. Kebanggaan (pride)
terhadap suatu kelompok, menurut persepktif rasionalis, ditentukan oleh keuntungan-
keuntungan material yang disediakan oleh suatu kelompok. Di sisi lain, keberadaan
13 Franzia, E., Piliang, Y. A., & Saidi, A. I, “Manifestation of Minangkabau Cultural
Identity through Public Engagement in Virtual Community”, dalam Procedia-Social and
Behavioral Sciences, 2015, 184, 56–62. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.05.053
14 Franz, & Benda-Beckmann, K. von, Ambivalent identities: Decentralization and
Minangkabau political communities, 2007, 417–442. https://doi.org/10.1163/22134379-
90002980
15 Franz, & Benda-Beckmann, K. von, Ambivalent identities: Decentralization and
Minangkabau political communities, 2017, 417–442. https://doi.org/10.1163/22134379-
90002980
16 A. Murad, Merantau: aspects of outmigration of the Minangkabau people, 1978.
Diambil dari https://openresearch-repository.anu.edu.au/handle/1885/117421
17 Gleason, M., (2013). Space, pride, and identity. Dalam C. Venet & B. Baranes
(Ed.), European Identity through Space: Space Activities and Programmes as a Tool to
Reinvigorate the European Identity, 2013, h. 33–43. https://doi.org/10.1007/978-3-7091-
0976-2_4
6
kelompok lain, juga ikut mempengaruhi kebanggaan individu terhadap
kelompoknya18.
Keterkaitan merantau dengan pembentukan identitas, berkaitan erat dengan
ruang (daerah) di mana seseorang merantau. Membawa identitas budaya asal,
tentunya memerlukan kemampuan beradaptasi. Akan tetapi, bagaimana identitas asal
tetap melekat dan membentuk kebanggaan, hal ini belum terjelaskan melalui teori di
atas. Di sisi lain, dalam konteks penelitian ini, kebanggaan sebagai orang Suliek Aie
(Sulit Air), tidaklah ditentukan oleh seberapa besar keuntungan material diperoleh
oleh seseorang dari organisasinya. Sebaliknya, seberapa besar seseorang mampu
berbuat, berkontribusi, dan memberikan manfaat untuk organisasinya “perkumpulan
SAS” dan untuk masyarakat Sulit Air, baik di rantau maupun di kampung halaman.
Namun, menjadikan organisasi lain (perantau lain) ikut membentuk kebanggaan
menjadi orang Sulit Air juga menjadi tesis dalam penelitian ini.
Oleh sebab itu, penelitian ini meminjam perspektif analisis Maher tentang
proses pembentukan identitas perantau Minangkabau. Identitas dan kebanggaan
perantau Sulit Air adalah himpunan dinamis antara hubungan dengan ranah,
keterlibatan dengan perkumpulan SAS, lingkungan keluarga, dan memaknai menjadi
orang berguna. Dalam banyak kasus, keberhasilan perantau Sulit Air di bidang yang
ia geluti, tidak menjadi suatu kebanggaan manakala dia belum mampu berbuat untuk
urang kampuang; baik di rantau maupun di kampung halaman.
18 Gleason, M., “Space, pride, and identity” dalam C. Venet & B. Baranes (Ed.),
European Identity through Space: Space Activities and Programmes as a Tool to Reinvigorate
the European Identity, 2013, h. 33–43. https://doi.org/10.1007/978-3-7091-0976-2_4
7
VI. Metode Penelitian
Penelitian merupakan penelitian etnografi yang terfokus untuk memahami
pembentukan identitas dan kebanggaan perantau Sulit Air. Perantau Sulit Air tersebar
di seluruh wilayah Indonesia dan juga luar negeri. Hal ini dibuktikan dengan
keberadaan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Sulit Air Sepakat yang berjumlah 97
cabang dan tersebar di dalam dan luar negeri (seperti: Sydney, Melbourne, Malaysia).
Akan tetapi, penelitian ini terfokus di wilayah DKI Jakarta sebagai tempat kedudukan
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) SAS. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
wawancara mendalam (indepth interview), berbagi cerita (sharing), dan diskusi
kelompok terarah (Focus Group Discussion).
Informan kunci penelitian ini adalah pengurus DPP SAS, tokoh perantau Sulit
Air, dan tokoh perantau Minangkabau lainnya. Tidak hanya melalui wawancara, data
yang diperoleh melalui informan ini juga dikumpulkan melalui proses berbagi cerita.
Adapun FGD dilakukan dengan pengurus Ikatan Pemuda Pelajar Sulit Air (IPPSA)
yang merupakan organisasi Pemuda-Pelajar perantau Sulit Air. Ini dimaksudkan
untuk mengetahui bagaimana generasi mellenial memaknai identitas dan kebanggaan
mereka menjadi orang Minangakabau; menjadi orang Sulit Air.
Perlu ditegaskan bahwa pandemic covid 19 mengubah pelaksanaan penelitian
ini. Semula, seluruh proses pengumpulan data dilaksanakan dengan tatap muka
langsung. Akan tetapi, peneliti hanya bisa melaksanakannya secara daring melalui
aplikasi zoom cloud meeting, khususnya dalam proses FGD. Adapun wawancara dan
sharing pengalaman, dilaksanakan melalui telepon langsung dan atau video
conference dengan aplikasi WhatsApp. Meskipun demikian, penelitian ini mampu
mengungkap informasi yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan penelitian ini.
VII. Sistematika Pembahasan
Pembahasan dalam penelitian ini dimulai dengan mengelaborasi kerangka
berfikir yang melatari riset ini dilakukan. Selanjutnya, peneliti menganalisis sejarah
sosial perantau Sulit Air dan Perkumpulan Sulit Air Sepakat (SAS). Hal ini
dimaksudkan untuk mendapatkan pemaknaan yang komprehensif tentang makna
merantau menurut perantau Sulit Air. Pada bab selanjutnya, peneliti mulai
mengidentifikasi faktor-faktor yang membentuk identitas dan kebanggaan perantau
Sulit Air dengan memahami bagaimana pola interaksi dan adaptasi perantau Sulit Air
terhadap lingkungan di mana ia merantau. Institusi keluarga, perkumpulan SAS,
nagari, dan folkor Minangkabau, akan dipahami secara dinamis, sehingga bisa
diidentifikasi faktor yang membentuk identitas dan kebanggaan tersebut. Sebelum
diakhiri dengan Bab penutup, pembahasan dalam penelitian ini juga menganalisis
implikasi strategis identitas dan kebanggaan perantau Sulit Air terhadap
pembangunan daerah atau nagari.
8
VIII. Target
Penelitian ini menjelaskan bagaimana hubungan identitas sebuah suku bangsa
dengan adat istiadat dan perkembangan agama (Islam) khususnya di Sumatera Barat.
Sejarah Etnis Minang penuh warna, mulai dari sikap perlawanan terhadap penjajah
Belanda berlanjut dengan reformasi pendidikan Islam hingga mundurnya tradisi surau
bahkan sampai ‘tarandam’. Krisis berlanjut dengan kekalahan PRRI di tahun 1950an
yang berakibat pada hilangnya jati diri masyarakat Minangkabau. Di sini, peneliti
menjelaskan bagaimana krisis identitas terjadi pada masa sebelumnya dan kemudian
bangkit lagi di masa pertengahan rezim Orde Baru hingga kini.
Kasus perkumpulan warga nagari Sulit Air dengan organisasi SAS-nya
merupakan kasus yang bisa dijadikan contoh bagaimana suatu etnis bisa
mengembalikan marwah identitas dan kebanggaan keminangannya dengan
melakukan berbagai penguatan dan aktualisasi orientasi nilai-nilai baru. Penelitian ini
diharapkan tidak hanya berguna bagi ilmu pengetahuan, tetapi juga akan
dipublikasikan di jurnal berreputasi nasional dan internasional.
9
BAB II
ISLAM DAN ADAT SEBAGAI PEMBENTUK IDENTITAS
MINANGKABAU
A. Sejarah Sosial Masyarakat Minangkabau
Orang Minangkabau merupakan salah satu dari kelompok etnis yang relatif
kecil dibandingkan jumlah penduduk suku-suku lainnya di Indonesia, seperti Jawa
dan Madura. Mereka berdiam di bagian tengah pulau Sumatera yang sebagian
besarnya merupakan wilayah provinsi Sumatera Barat. Penduduk Minangkabau yang
berdiam di Sumatera Barat berjumlah sekitar lebih 5 juta jiwa lebih menurut Badan
Pusat Statistik (BPS) 2018, sedangkan jumlah orang Minang yang merantau lebih
kurang 4 juta orang, suatu jumlah yang cukup besar, hampir sepertiga jumlah
penduduk DKI Jakarta. Masyarakat Minangkabau merupakan suku yang unik karena
sistem sosial mereka berdasarkan garis keturunan ibu (matrineal) yang terbesar di
antara etnis-etnis matrilineal lainnya yang ada di dunia. Keunikan lainnya adalah
relasi adat dan agama merupakan pedoman hidup (way of life) masyarakat
Minangkabau yang dirumuskan dalam bentuk ‘Adat bersendi syara’, Syara’ bersendi
Kitabullah (ABS-BSK)’.
Daerah Minangkabau terdiri dari kesatuan geografis, politik ekonomi, sosio-
historis yang disebut ranah ‘pesisir’, ‘darek’, dan ‘rantau’. Disebut ‘pesisir’ karena
terletah di dataran rendah yang bersebelahan dengan barat Bukit Barisan dan
berbatasan dengan Samudera Indonesia. Daerah ‘pesisir’ berada di tengah-tengah
daerah pegunungan Bukit Barisan, sedangkan dareah rantau. Dalam perkembangan
selanjutnya, terbentuklah tida luhak besar, yaitu luhak Agam, luhak Lima Puluh Koto,
dan luhak Tanah Datar. Ketiga luhak besar ini disebut “Luhak nan Tigo’. Meski
berbeda luhak, namun adat dan agama merupakan sumber nilai dan norma Bersama
yang telah disepakati.1
Konsep filsafat adat Minangkabau dan Islam adalah kristalisasi dari ajaran
hukum alam berupa sunnatullah. Adat adalah kebiasaan yang terpola dan membudaya,
sementara syariat yang menjadi hukum Islam adalah ketentuan dari melalui wahyu
Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi Muhammad. Persentuhan antara adat dan Islam
telah menciptakan ikatan yang kuat antara perilaku budaya masyarakat Minang dan
Islam yang datang kemudian melengkapi dan menyempurnakan adat sebagai
1 M.D. Mansoer, dkk., Sejarah Minangkabau (Jakarta: Bhratara), 1970, h. 2-4.
10
pedoman sumber nilai dan norma dalam kehidupan sosial. Karena itu sintesa antara
adat dan syariat ditetapkan bahwa adat harus merujuk kepada syariat.2
Adat budaya Minang selama berabad-abad telah menjadi pedoman yang
diwarisi oleh nenek moyang sampai ke generasi sekarang dan sekaligus merupakan
ketentuan dan undang-undang yang mengatur kehidupan masyarakat manusia. Adat
budaya Minang juga dikatakan sebagai ketentuan alam (alam takambang jadi guru)
yang dijelmakan menjadi pepatah-petitih yang dipakai dalam menyusun adat sebagai
suatu sistem sosial yang mengatur masyarakat.3
Sebagai sistem sosial, adat Minang tidak hanya sebagai kebanggaan orang
Minang tetapi juga daya dorong yang potensial dalam membangun etos sosial
keagamaan yang mengantarkan warganya membangun kesuksesan dalam berbagai
bidang di dunia perantauan baik ekonomi, politik, dan sosial budaya. Hal ini
dibuktikan oleh lahirnya tokoh-tokoh cendekiawan besar baik sebelum kemerdekaan
maupun setelah kemerdekaan dan hingga generasi berikutnya di abad ke-21 ini.
Nama-nama seperti Bung Hatta, H. Agus Salim, Sutan Syahrir, Natsir, Hamka, Tan
Malaka dll di masa kemedekaan, dan nama-nama di zaman sesudahnya seperti Emiel
Salim, Azwar Anas, Mochtar Naim hingga Prof. Dr. Azyumardi Azra yang
memperoleh gelar Sir (BCE) dari Ratu Elizabeth, dan satu-satunya tokoh yang
memperoleh gelar tersebut di Asia Tenggara.
Ada enam prinsip adat Minangkabau yang secara tradisional dianggap
berlaku pada masyarakat, yaitu:
1. Yang melahirkan anak dan yang punya anak adalah perempua
(ibu/mande)
2. Yang punya kuasa dan wewenang terhadap kaum perempuan dan anak
adalah laki-laki.
3. Keturunan ditarik dan ditelusuri melalului garis perempuan (matrineal).
4. Anggoat kelompok-keturunan (suku, payuang, paruik, kampuang, dan
rumah gadang) diangkat atau direkrut melalui garis perempuan.
5. Pewarisan harta pusaka, rumah gadang, gelar, kedudukan, dan kekuasaan
politik dilaksanakan melalui garis perempuan.
6. Perkawinan eksogami-kelompok (eksogami suku, payuang, atau paruik)
adalah satu keharusan.
7. Sebaliknya, perkawinan endogami (endogami suku, payuang, atau
paruik) adalah incest taboo.4
Semua prinsip kekerabatan di atas diakui dan dijalankan di Ranah Minang
secara konsekuen pada suatu masa dahulu. Orang Minang menyebut norma-norma
2 Mochtar Naim, ‘Dengan ABS-SBK (Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi
Kitabullah Kembali ke Jati Diri’, dalam CH. N. Latief Dt. Bandaro, dkk. (ed.), Minanagkabau
yang Gelisah (Bandung: CV. Lubuk Agung Bandung), 2004, h. 48. 3 Syaiful Bahri Chatib Basa, ‘ABS nan Memprihatinkan’, dalam CH. N. Latief Dt.
Bandaro, dkk. (ed.), Minanagkabau yang Gelisah, h. 187. 4 Amri Marzali, Kompleks Minang!, dalam CH. N. Latief Dt. Bandaro, dkk. (ed.),
Minanagkabau yang Gelisah, h. 64.
11
yang berasal dari prinsip-prinsip di atas dengan istilah adat. Bila prinsip tersebut tidak
ditaati, itu namanya melanggar adat. Sebaliknya bila prinsip tersebut ditaati, itu
namanya patuh pada adat. Orang beradat harus patuh pada adat.
Namun demikian, ada persoalan yang muncul dalam hubungan antara Islam
dan adat baik dalam bentuk perdebatan maupun konflik gagasan. Pada dasarnya
substansi perdebatan dan latar belakang konfliknya, pada dua tema besar yang secara
berlanjut terdapat dalam masyarakat Minangkabau, yaitu 1. perdebatan intelektual dan
konflik mengenai pelaksanaan hukum waris adat serta tanah ulayat; dan 2. perdebatan
intelektual dan konflik mengenai hubungan antara kaidah adat Minangkabau dengan
ajaran agama Islam. Perdebatan intelektual dan konflik mengenai dua tema besar
tersebut telah mewarnai hampir seluruh sejarah Minangkabau, yang langsung atau
tidak langsung selain telah menguras energi masyarakat juga telah menghambat
terwujudnya suasana saling percaya-mempercayai antara warga dan kelompok
masyarakat yang satu dengan warga dan kelompok masyarakat yang lain.5 Namun
khususnya bila terjadi konflik antara adat dan Ajaran Islam, maka elemen baru yang
bertabrakan dengan adat, maka adat dapat berubah sehingga muncul sesuatu yang
mengandung dua elemen, yang baru dan yang lama.
Di Minangkabau, konflik tidak hanya diakui tetapi dilembagakan dalam
sistem itu sendiri. Konflik dipandang secara dialektik sebagai hal yang esensial untuk
mencapai integrasi masyarakat. Islam tidak memulai konversi Minangkabau dengan
mengatasi masalah struktural. Pada tahap awal proses, Islam pada dasarnya adalah
'anti-struktur' jika adat dapat dianggap mewakili 'struktur'. Mengutip pendapat Taufik
Abdullah di sini menggunakan dua istilah antropolog Victor Turner, struktur dan anti-
struktur. Ia membagi dua struktur, yaitu ada struktur 'biasa' (dalam hal ini adat) dan
sesuatu yang bertentangan bertabrakan dengannya, anti struktur (dalam hal ini agama
Islam). Muncul jenis struktur baru yang berisi kedua elemen. Pernyataan ‘adat
didasarkan pada syarak (Syariah), syarak didasarkan pada kitabullah (Qur'an) adalah
hasil dari proses kedua elemen tersebut.6
Pendekatan lain dilakukan Alexander Stark dengan mengutip metode
Frederick Errington Frederick Errington dalam membuat perbedaan bahwa adat
memiliki elemen inti dan pinggiran: Elemen periferal biasanya dapat dibiarkan
berubah selama elemen inti tetap sama secara fundamental. Sebuah contoh dapat
menggambarkan hal ini: Orang-orang harus menghormati kepala klan (panghulu). Ini
adalah elemen inti. Cara orang menghormati orang semacam itu bisa berbeda-beda
karena itu merupakan unsur sampingan. Namun elemen inti (penghormatan) tetap
tidak tersentuh.7 Selanjutnya, Stark membagi sejarah Sumatera Barat dalam empat
periode sebagai berikut:
5Nurmatias, Konflik dalam Budaya Minangkabau),
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/konflik-dalam-budaya-minangkabau/. 6 Alexander Stark, ‘The Matrilineal System of the Minangkabau and its Persistence
Throughout History: A Structural Perspective’, dalam Southeast Asia: A Multidisciplinary
Journal, Vol 13, 2013, pp 1–13 © FASS, UBD, h. 3-3. 7 Alexander Stark, ‘The Matrilineal System of the Minangkabau and its Persistence
Throughout History: A Structural Perspective’, h. 3-4.
12
1. Periode pra-Islam
2. Periode pra-kolonial (pada abad ke-18 dan 19)
3. Periode kolonial
4. Periode pasca-kolonial.
1. Periode Pra-Islam
Berdasarkan sumber-sumber lama, pada pertengahan abad ke-14
Adityawarman adalah Raja pertama kerajaan Pagaruyung/Minangkabau. Banyak
prasasti dan dan bukti-bukti tertulis yang ditinggalkan Raja Pagaruyung ini. Raja
Adityawarman berasal dari perwira utusan Kerajaan Hindu-Budha Majapahit datang
untuk menaklukan kerajaan Minangkabau. Kehadiran Adityawarman diterima oleh
kepala kaum adat Minangkabau Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk
Ketemanggungan. Sebagai bukti penerimaannya, Adityawarman menikah dengan
anak Datuk Perpatih nan Sabatang bernama Dara Petak. Perkawinan raja ini dengan
putri Minangkabau semakin memperkuat posisi Adityawarman sebagai raja
Minangkabau.
Raja Adityawarman merasa kekuasaannya semakin kuat dengan menguasai
Sebagian besar pulau Sumatera dan Semenajung Malaka lalu melepaskan diri dari
kerajaan Majapahit. Tahun 1409, Majapahit mengirim tentara untuk menyerang
Minangkabau, namun Adutyawarman berhasil mengalahkannya dalam suatu
peperangan di Padang Sibusuk.
Setelah Adityawarman wafat di tahun 1375, tidak jelas siapa penggantinya.
Dua abad kemudian diceritakan Kerajaan Minangkabau dipimpin oleh Sultan Alif (lk.
tahun 1560) yang sudah beragama Islam dan dengan sendirinya Islam berkembang
dengan cepat sejak masuk ke Minangkabau di abad XV. Pengaruh Kerajaan Kerajaan
Hindu-Budha di bawah Raja Adityawarman telah memberikan berpengaruh kepada
pandangan masyarakat tradisional, yaitu kepercayaan animisme menerima elemen-
elemen baru Hindu-Budha, kehidupan demokrasi nagari berubah menjadi otokrasi
sultan yang berlawanan dengan adat yang lebih demokratis, dan klan matrilineal
berubah bentuk menjadi klan patrilineal keluarga para sultan. Hal ini terlihat dari
paparan 6 tabel yang disampaikan peneliti Alexander Stark.8
Pndangan Hidup
Masyarakat Trasional
Elemen Baru (Kerajaan
Hindu/Budha)
kepercayaan animisme lama Hindu/Buddha
kehidupan demokrasi nagari otokrasi para Sultan
klan matrilineal organisasi patrilineal keluarga para
sultan
Tabel 1: Dikhotomi selama priode Pra-Islam
8 Alexander Stark, ‘The Matrilineal System of the Minangkabau and its Persistence
Throughout History: A Structural Perspective’, h. 4-8.
13
Pada abad XIII, Dt. Perpatih Nan Sabatang dan Dt. Ketemanggungan sebagai
orang tertua dalam pemangku adat melakukan pembaharuan dan penyempurnaan
sistem kehidupan bermasyarakat seperti yang sekarang terdapat dalam adat
Minangkabau. Salah satu yang menonjol di dalam adat yang diperbaharui itu adalah
persyaratan untuk berdirinya suatu nagari harus meliputi wilayah itu minimal terdiri
dari 4 suku, di samping harus adanya sarana dan prasarana ekonomi dan perundangan-
undangan.
Maka sejak zaman itu berkembanglah lima suku besar di ranah Minang
bersamaan dengan meluasnya pemukiman, yang sampai sekarang mencapai jumlah
lebih dari 100 nama suku.9 Pada akhir abad XX, rantau orang Minangkabau sudah
semakin luas dan jauh. Orang Minang sudah banyak yang merantau ke seluruh
pelosok Nusantara Indonesia, dengan membawa nilai-nilai budaya yang mereka
warisi dari leluhurnya.
2. Periode Pra-Kolonial (pada abad ke-18 dan ke-19)
Pada periode ini agama baru Islam memainkan peran penting dalam
masyarakat Minangkabau. Kesultanan Aceh memainkan peran penting dalam
islamisasi pantai barat Sumatera. Emas dan lada sangat penting bagi Aceh dan
diusahakan untuk mengontrol perdagangan mereka. Oleh karena itu Sultan Alau'd Din
Ri'ayat Shah (1537–68) dari Aceh mengirim putranya Mughal ke pelabuhan
Pariaman. Bersamanya muncul satu agama baru di Sumatera Barat, yaitu agama
Islam.
Untuk penyebaran Islam lebih lanjut, persaudaraan (tarekat) memainkan
peran utama. Mereka memiliki jaringan sendiri dan perlahan-lahan para ulama
membangun jaringan mereka sendiri juga. Seorang ulama bisa menjadi ahli hukum
Islam, sementara yang lain bisa menjadi ahli dalam bahasa Arab. Para siswa berpindah
dari satu tempat ke tempat lain untuk belajar. Langkah demi langkah agama baru
menyebar dari satu daerah ke daerah lain.10
Strategi dakwah diwujudkan dalam masyarakat Minangkabau dengan bentuk
suku sebagai suatu organisasi massa terkecil yang lengkap. Lengkap dalam arti bahwa
suku itu mempunyai struktur kepemimpinan yang jelas, dengan pembagian tugas
masing-masing jabatan yang jelas pula, seperti Datuk, Angku, Sutan, Pakih, dan
Malin.11
Namun demikian, situasi perkembangan dakwah di dataran tinggi
Minangkabau tidak aman bagi para pedagang dan pelancong. Perampokan dan
pencurian adalah kejadian sehari-hari. Akibatnya ulama menjadi semakin tegas dalam
9 Suku berarti seperempat bagian. Secara etimologis suku mengandung makna
sekaki, seperempat bagian seperti kambing, sapi atau kerbau. Karena suku di Minangkabau
pada mulanya terdiri dari empat suku utama, yakni Bodi, Caniago, Koto, dan Piliang. Lihat
Gusti Aman, Kamus Sejarah Minangkabau (Padang: Pusat Pengkajian Islam dan
Minangkabau-PPIM), 2003, hal. 306. 10 Hamka, Ayahku (Jakarta: Djajamurni), 1963, h. 23. 11 H. J. Dt. Malako nan Putih, ‘Matrilineal dalam Adat Minangkabau’, dalam CH. N.
Latief Dt. Bandaro, dkk. (ed.), Minanagkabau yang Gelisah, h. 291.
14
menerapkan syariat Islam. Kemudian pada abad XVI para ulama dan kaum Adat
menyempurnakan adat menjadi “adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah’,
sehingga penerapan sistem menjadi kuat.
Kebangkitan dan reformasi agama dalam masyarakat Minangkabau terus
berlanjut dengan datangnya kaum alim ulama dari Timur Tengah yang membawa ide-
ide pemurnian Islam melawan nilai-nilai adat yang bertentangan dengan ajaran Islam
dan amalan sesat lainnya seperti takhayul, khurat, dan bid’ah. Ide-ide yang mereka
sebarkan membawa perubahan dan akibatnya membawa destabilisasi yang serius pada
masyarakat. Dan ini bukanlah hal baru di Minangkabau karena situasi yang
mengalami perubahan baik dari segi ekonomi, politik, dan budaya. Ini merupakan
gambaran dari masyarakat tradisional yang tidak berubah yang sedang
menegosiasikan dengan perkembangan zaman dengan melakukan akomodasi.
Korelasi antara perubahan dan kebangkitan agama di Minangkabau pada akhir abad
kedelapan belas adalah sesuatu yang baru. Karena itu, ada satu pertanyaan yang
muncul: apakah begitu besarnya perubahan masyarakat Minangkabau yang
diakibatkan oleh penetrasi gerakan keagamaan puritan yang dibawa dari gurun timur
Arab?12
Kebangkitan agama di awal pada abad ke-19 dengan munculnya gerakan
Padri yang semakin berpengaruh dan banyak pengikutnya. Pendirinya adalah Tuanku
Sumanik, Tuanku Piobang, dan Tuanku Miskin yang baru datang dari Mekkah
membawa ide pemurnian agama dan ingin menghapus adat. Mereka mengamankan
kekuasaan di wilayah tertentu. Akhirnya seorang pemimpin Padri Tuanku Lintau
memutuskan untuk mengadakan pesta dimana dia dan para pengikutnya membunuh
sebagian besar keluarga Sultan. Dua dari putranya melarikan diri dan meminta
bantuan Belanda. Belanda memutuskan untuk campur tangan. Ini adalah awal perang
Padri (1821–1837). Gerakan Padri yang meletus menjadi ‘perang saudara’ telah
memaksa masyarakat Minangkabau merevisi lagi definisi dari dunianya, dari ‘alam
minangkabau’. Selanjutnya dikatakan ‘agama mengata, adat memakai.’ Sejak itu
secara struktural dan definisi kultural merupakan salah satu tema pokok dalam sejarah
Minangkabau.13
“Alam Minangkabau’, tidak saja harus dianggap sebagai dunia yang
berlandaskan adat dan Islam, tetapi hirarki dari keduanya telah pula diperjelas. Tidak
lagi adat dan Islam yang paling mendukung, tetapi ‘adat bersandar syarak, syarak
bersandar Kitabullah.’ Proses ini tidaklah berjalam dengan mudah, ada perdebatan
dan konflik (dikhotomi), khususnya menyangkut kekuasaan, siapa yang harus
berkuasa. Pemasukan unsur keulamaan dalam struktur kekuasaan sebagai bagian
dalam keangotaan di dalam ‘balai adat’ merupakan pelebaran elit, sedangkan
kekuasaan pada kenyataan tetap di tangan pemangku adat. Konsekuensi lain
munculnya persoalan pemurnian (orthodoksi) dari praktek masyarakat yang bisa
12 Lihat Christine Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy
Central Sumatra, 1784-1847 (London and Malmo Curzon Press Ltd), h. 8. 13 Taufik Abdullah, ‘Studi Adat sebagai Pantulan Perubahan Sosial Minangkabau’, h.
x.
15
menodai ketauhidan. Dengan demikian definisi Alam Minangkabau diperluas dengan
adanya pemurnian ajaran Islam itu sendiri.14
Jika kita melihat peristiwa ini dari sudut pandang struktural, maka sejumlah
dikotomi dapat dilihat:
Masyarakat Pra-Islam Elemen Baru (Islam)
Panghulu Imam
Hukum adat Hukum Islam
adat jahiliyah adat islamiyah
pakaian adat panghulu (hitam) Baju Islam Imam (putih)
Gelar adat (Datuak) Gelar Islam di Sumatera
Barat (Tuanku)
Tabel 2: Dikhotomi selama periode pra-kolonial (pada abad ke-18 dan
ke-19)
Pada priode ini elemem-elemen baru Islam mempengaruhi nilai-nilai dan
norma-norma adat masyarakat Minangkabau. Bila sebelumnya hanya dikenal
penghulu, maka sekarang dikenal istilah imam, begitu pula hukum Islam, adat
berdasarkan hukum Islam, termasuk symbol warna pakaian antara hitam dan putih
yang menandakan antara adat dan Islam, Setahap demi setahap elemen-elemen Islam
memasuki ruang adat. Misalnya klan mulai lebih memperhatikan nilai-nilai Islam dan
oleh karena itu anak-anak harus mengenyam pendidikan Islam di surau. Adat dapat
menerima unsur-unsur baru selama unsur-unsur inti tertentu tetap tidak tersentuh.
3. Periode kolonial
Kehadiran pemerintah kolonial Belanda telah mengakibatkan terdegdarasinya
pamor dan kedudukan penghulu adat. Berdasarkan catatan sejarah, dengan staatsblad
1874 No.94b, tanggal 1 Nopember 1874, pemerintah Hindia Belanda menghapuskan
hak kekuasaan penghulu adat dalam memutuskan perkara anak nagari. Kekuasaan itu
berpindah kepada hakim gubernemen Belanda yang dikepalai oleh hakim Belanda,
Namun nagari-nagari yang telah ada tetap diakui dan diberi dasar hukum formal
dengan keluarnya Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten (IGOB) tahun
1938.15
14 Taufik Abdullah, ‘Studi Adat sebagai Pantulan Perubahan Sosial Minangkabau’, h.
xi.
15 Novil Ardi, ‘Pemerintahan Nagari dan Kelembagaan Adat Minangkabau’, dalam
CH. N. Latief Dt. Bandaro, dkk. (ed.), Minanagkabau yang Gelisah, h. 150.
16
Berakhirnya Perang Padri pada tahun 1837 tidak semerta persoalan selesai,
tetapi juga ada tuntutan pemecahan dalam system sosial dan hukum, namun yang lebih
penting lagi di awal abad XX munculnya dominasi politik dan militer Belanda.
Belanda menjadi berpengaruh di dataran tinggi Sumatera Barat. Mereka memutuskan
untuk memperkuat perwakilan adat. Yang terpenting bagi kekuasaan kolonial adalah
mendapatkan keuntungan yang tinggi. Kebijakan baru dibuat yang membantu
mengontrol perdagangan kopi.
Dunia Minangkabau menjadi bagian dari perekonomian dunia dengan
diperkenalkannya perdagangan berbasis uang. Ide dan ideologi baru didatangkan ke
pedalaman Sumatera Barat. Ide komunis menyebar luas yang berpuncak pada
pemberontakan komunis pada tahun 1927.
Menghadapi situasi yang didominasi Belanda, para penghulu adat
Minangkabau, kaum cerdik pandai dan guru agama (alim ulama) yang berdiam di
rantau merespon hal ini dengan penuh kekhawatiran dengan sikap segera pulang ke
kampung halaman untuk untuk mempertahankan gagasan sakral tentang identitas
Minangkabau, yang dianggap sebagai gabungan konsep nilai-nilai adat dan Islam.
Pemeliharaan identitas ini sangat menonjol dalam menghadapi serangan ideologis dan
politis dari kebijakan Belanda.16 Maka mereka pun membangun sekolah kerajinan
wanita, sekolah-sekolah, dan penerbitan surat kabar, termasuk surat kabar wanita).
Pada waktu itu dikenal dengan istilah ‘kemajuan’ yang harus dicapai masyarakat
Minangkabau agar dapat mencapai ‘dunia yang maju’. Dalam suasana ini pendidikan
Barat atau Islam ‘modern’ berkembang cukup pesat di Minangkabau. Suasana ini
bukan saja menyebabkan dimulainya tradisi merantau yang baru, yaitu menuntut ilmu
modern ke tanah Jawa (tanah Jao) atau bahkan ke negeri Belanda. Menurut statistik
pemerintah Hindia Belanda, Minangkabau sebagai ‘daerah Islam’ yang paling
berpendidikan dibandingkan daerah-daerah lainya, seperti Jawa.17
Di tingkat agama ada gagasan reformasi baru yang segera menjadi sangat
populer. generasi muda (kaum mudo) mempromosikan ide-ide pembaharuan
berdasarkan agama Islam. Umumnya kaum mudo adalah generasi yang berumur 30-
40 tahun yang mencoba mendekatkan nilai-nilai dan norma-norma adat dengan
perkembangan nilai Islam sehingga tidak ada pertentangan antara adat dan agama,
seperti terlihat dalam tabel berikut18
a) Ada elemen yang masuk ke dalam masyarakat 'tradisional' dengan cara yang lebih
energik:
16 Taufik Abdullah, Identity Maintenance and Crisis of Identity in Minagkabau
(Jakarta-Leknas LIPI), 1978., h. 2. 17 Taufik Abdullah, ‘Studi Adat sebagai Pantulan Perubahan Sosial Minangkabau’, h.
xiii. 18 Hamka, Ayahku, 1963.
17
Tabel 3: Dikhotomi pada Masa Kolonial (di Sumatera Barat secara
keseluruhan)
b) Tingkat kedua diilhami dari dunia luar, tetapi berkembang lebih jauh di
dalam masyarakat
Masyarakat Pra-kolonial Elemen Baru (dari kekuasaan
kolonial Belanda)
Masyarakat/budaya
Minangkabau
Masyarakat/budaya Belanda
posisi adat lama posisi adat baru
Ekonomi sub-sistem Ekonomi dunia
adat ideal Ideologi Barat
Tabel 4: Dikhotomi Masa Kolonial (dalam masyarakat Minangkabau
sendiri)
Masyarakat Minangkabau menjadi lebih kompleks dan hal ini dapat dilihat
pada tabel di atas. Adat itu sendiri menjadi terbagi, tetapi masih berpengaruh dan
dapat mempertahankan gaya hidup 'tradisional'.
4. Periode Paska-Kolonial
Gerakan kemerdekaan sangat berpengaruh di kalangan intelektual
Minangkabau. Mereka adalah hasil dari modernisasi pendidikan dengan dibuka
politik etis di tahun 1902. Sekolah-sekolah, madrasah dan bahkan surau masuk dalam
pendidikan modern yang ditawarkan Belanda untuk mencapai ‘kemajuan’. Belanda.
Banyak pahlawan kemerdekaan terkenal seperti Sutan Syahrir, Haji Agus Salim atau
Mohammad Hatta lahir di Sumatera Barat. Mereka adalah hasil dari kenyataan bahwa
Belanda yang mempromosikan sistem sekolah modern di daerah itu. Sistem sekolah
Barat di Sumatera Barat sangat berpengaruh luas sehingga pada waktu itu banyak
orang Minang yang terdidik dibandingkan daerah Jawa yang pada umumnya
berpendidikan rendah.
Pada tahun-tahun berikutnya Minangkabau adalah bagian dari Indonesia yang
lebih besar. Pada tahun 1945 ada proklamasi kemerdekaan, dan ketika Indonesia
akhirnya bebas dari cengkeraman penjajah pada tahun 1949, tidak mudah bagi mereka
untuk menyesuaikan cara hidup 'tradisional' mereka dalam sebuah negara yang lebih
besar. Sebagai akibatnya, muncul ketidakpuasan dari daerah khususnya sikap
pemerintah pusat yang terlalu sentral dan kurangnya peran daerah di dalam mengelola
pemerintahannya sendiri. Untuk itu tidaklah mengherankan munculnya protes-protes
Ideologi yang ada
(dalam komunitas
nagari)
Gerakan Reformasi
Baru
kaum tuo kaum mudo
kaum tuo sekuler kaum mudo agama
kaum tuo agama kaum mudo agama
18
dari daerah, bahkan pernah terjadi gerakan separatisme Republik Maluku Selatan dan
pemberontakan pada tahun 1958 yang dilakukan Pemerintahan Revolusioner
Indonesia (PRRI) dan Permesta di Sulawesi Utara yang bermotif ketidakadilan
pemerintah pusat terhadap daerah sehingga diperlukan otonomi daerah, tetapi
gerakan-gerakan tersebut berhasil dipadamkan dalam waktu singkat.
Situasi perkembangan etnis di Indonesia semakin mundur di masa Orde Baru
di bawah pimpina Presiden Soeharto. Semua kehidupan etnisitas dihegomonisasi
dengan jargon persatuan Indonesia.19 Terlebih pada tahun 1979, pemerintah
mengeluarkan undang-undang no. 5 tahun 1979 tentang penyeragaman konsep desa
di seluruh Indonesia. Sikap pemerintah tersebut betul-betul menghancurkan dan
merusak nilai-nilai adat di Minangkabu selama ini berbasis nagari. Gaya hidup dalam
enam puluh tahun terakhir tampaknya telah berubah secara dramatis. Akibatnya adat
menjadi kurang penting dan secara perlahan semakin tidak berpengaruh. Akibat lain,
jumlah rumah tradisional pun menurun dan pentingnya dewan 'tradisional' tampaknya
melemah.
Setelah rezim Presiden Soeharto runtuh, muncul era reformasi di bawah
kepemimpinan B.J. Habibie pada tahun 1998, kehidupan demokrasi dibuka secara
luas. Perkembangan etnisitas dengan segala problem masa lalu bangkit dengan
keluarnya kebijakan pemerintah tentang otonomi daerah, bahkan otonomi khusus.
Terlebih setelah peraturan daerah no. 13 tahun 1983 dicabut pemerintah dengan
sebutan nama ‘desa’ dan dikembalikan seperti keadaan semula sesuai dengan karakter
daerah masing-masing (nagari). Karena itu, pemerintah provinsi memperkenalkan
mata pelajaran sekolah yang mengajarkan budaya Minangkabau. Buku-buku sekolah
tersebut memuat bagian-bagian budaya Minangkabau yang berbeda yang diajarkan di
sekolah-sekolah degan harapan generasi muda Minangkabau mengenal budaya dan
jati diri mereka. Pengaruh demokratisasi lebih lanjut adalah gelar dan nama suku
seperti Datuak kembali digunakan dan terhormat di tengah kaumnya masing-masing.
Di samping tu semakin banyak gedung-gedung pemerintah menggunakan arsitektur
'tradisional'.20
Struktur pembangunan pascakolonial dapat dibagi menjadi dua tingkatan:
a) Tingkat yang berada di bawah pengaruh langsung pemerintah pusat.
Tabel 5: Dikhotomi masyarakat Minangkabau (dalam kaitannya dengan
negara nasional yang lebih luas)
19 Syafuan Rozi, dkk (ed.), Politik Identitas: Problematika dan Paradigma Solusi
Keetnisan Versus Keindonesiaan di Aceh, Riau, Bali, dan Papua (Jakarta: Bumi Aksara),
2019, h. 12. 20 Alexander Stark, ‘The Matrilineal System of the Minangkabau and its Persistence
Throughout History: A Structural Perspective’, h. 7.
Policy on the Village Level Policy on the Level of the National
State
regional adat policy central government policy
adat rules national law
19
b. Tingkatan yang berada dalam masyarakat nagari tempat kebijakan
pemerintah pusat akan dilaksanakan.
Elemen Administrasi Tradisional
Elemen Administratif Baru
posisi adat seperti panghulu
posisi pemerintah seperti
walikota
nagari (‘traditional’ village commu-
nity concept
pendidikan nasional di sekolah
nagari (konsep masyarakat nagari
'tradisional')
desa (konsep pemerintah desa)
warisan adat dan hukum properti
Hukum warisan dan properti
Indonesia
Tabel 6: Dikhotomi dalam komunitas nagari (pada periode paska-kolonial).
Elemen-elemen yang tidak tersentuh memungkinkan dan bahkan
melembagakan konflik untuk menjadi tidak dapat disangkal. Jika elemen baru
muncul, maka dipastikan akan ada penolakan dari pihak adat, maka adat tetap tidak
tersentuh. Beberapa elemen baru akan sepenuhnya ditolak, sementara yang lain akan
diintegrasikan. Ini bagian dari teori konsep inti dan pinggiran, di mana konsep inti
tetap dipertahankan. Dengan teori ini, konsep dualistik seperti itu keberlangsungan
hidup 'tradisional' bisa bertahan dan elemen-elemen baru dapat menjadi bagian
darinya. Hal ini terlihat dalam tingkatan adat sebagai jalan keluar, yaitu mana ‘adat
nan sabana adat’. Adat ini merupakan akar dari cara hidup orang Minangkabau yang
tidak bisa diubah. Ini terkait dengan agama. Ini berarti ia mengatur apa yang diizinkan
atau dilarang menurut agama, tetapi juga mengandung cara hidup matrilineal.
Tingkatan yang lain adalah ‘Adat nan diadatkan’ (adat yang dibuat menjadi adat).
Bagian dari adat ini mengambil nilai-nilai dasar ungkapan yang disampaikan oleh
leluhur Dt. Perpatih nan Sabatang dan Dt. Katumanggungan. Sebagian dari adat ini
tidak pernah berubah. Itu semua bisa dianggap sebagai elemen inti. Namun ada juga
elemen yang fleksibel yang disebut sebagai ‘adat istiadat nan teradat’ (adat yang
secara tidak sengaja menjadi adat).21
B. Pergumulan Islam dan Adat di Minangkabau
Perlu disadari, Islam masuk ke Minangkabau tidak dapat dipastikan kapan
waktu, dan di mana mulanya. Banyak versi yang tersebar dengan pendekatan masing-
masing ahli sejarah. Ada yang menganggap Islam masuk pada abad keenambelas,
namun ada pula yang berpendapat lebih awal. Hamka misalnya. Dia berpendapat
bahwa pada tahun 684, agama Islam telah masuk ke negeri-negeri Melayu (termasuk
Minangkabau). Hamka menyatakan bahwa sejak tahun itu, telah ada koloni Arab di
Sumatera Barat.22 Dari segi tempat, ada yang menyatakan pantai Barat Sumatera
21 Alexander Stark, ‘The Matrilineal System of the Minangkabau and its Persistence
Throughout History: A Structural Perspective’, h. 9. 22 Hamka, Sedjarah Umat Islam, (Djakarta-Bukittinggi : Nusantara), 1961
20
Barat, Ulakan, Pariaman dan ada pula yang menyatakan tempat lain. Setiap versi
memiliki argumen dan bukti tersendiri, sehingga sulit untuk menentukan yang terkuat
di antaranya.
Secara historis, jelas Hayati Nizar, ketika Islam belum masuk dan mengakar
dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, adat bersandar kepada alua dan patuik.
Alua artinya jalan atau tempat yang biasa dilewati; patuik berarti pantas dalam
pandangan masyarakat.23 Ini memperlihatkan sebuah corak masyarakat yang sangat
kuat dengan nilai dan norma yang diyakini secara bersama.
Memang ada benarnya bila disebutkan bahwa nilai-nilai tersebut relatif,
karena kelumrahan dan kepantasan dalam pandangan masyarakat sangat terbingkai
oleh waktu dan tempat. Namun, pada nyatanya masyarakat Minang membagi adat
mereka menjadi: adat nan sabana adat, adat nan taradat, dan adat nan diadatkan.
Yang pertama merupakan hukum alam yang tak bisa berubah (adat nan babuhua
mati), sedang dua terakhir adalah adat yang bersifat relatif (adat nan babuhua sintak).
Ketiga jenis adat itu, bersumber dari alam.
Panakiak pisau sirauik (Penakik pisau untuk meraut)
Patungkek batang lintabuang (Kayu larus, dikadikan tongkat)
Salodong ambiak ka Niru (Sembilu bambu, jadikan niru)
Satitiak jadikan lauik (Yang setitik, jadikan laut)
Sakapa jadkan gunuang (Yang segenggam jadikan gunung)
Alam takambang jadikan guru (Alam terkembang, jadikan guru)
Menurut A.A Navis, hukum alam; misalnya, adaik api mahanguihkan, adaik
aie mambasahi, itulah adat yang sebenarnya (adat nan sabana adat), yang boleh
dikatakan sebagai hukum yang sebenarnya. Ia memperkuat pendapatnya dengan
mengutip pendapat Koentjaraningrat ketika berbicara pada sebuah kongres Bahasa
Indonesia di Medan pada tahun 1954 yang mengatakan bahwa pepatah petitih
Minangkabau adalah “Levende Rechtstaal” atau bahasa hukum yang hidup.24
Terjadi perubahan pandangan filosofis, ketika Islam masuk dan mengakar
dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Lewat pertarungan yang panjang bahkan
hingga menimbulkan perang saudara: Perang Paderi (1821-1837), terbentuklah
pandangan hidup dalam ungkapan: adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah,
syara’ mangato adaik mamakai (adat bersendi syarak, syara bersendi kitabullah,
syarak mengatakan, adat menggunakan). Sumpah Sakti di Bukit Marapalam menjadi
mesteri sekaligus pengikat erat perpaduan antara adat dan syari’at Islam.
Kenyataan seperti itu, oleh Hamka diibaratkan bukanlah mencampurkan
minyak dengan air melainkan bak menyatukan air dan minyak ke dalam susu.
Pengibaratan yang seolah memposisikan adat sebagai nila, dan syari’at sebagai susu.
Namun, hal itu diterima dan menjadikan Islam semakin kuat mengakar dalam budaya
23 Hayati Nizar, Bundo Kanduang dalam Kajian Islam dan Budaya, (Padang : PPIM),
2004, hal. 1-2 24 A.A Navis, Pepatah, Petitih, Petuah, dan Mamangan, disadur oleh Dewis Natra
dari Buletin Sungai Pua, No. 46 April 1994, dikutip dari:
http://www.cimbuak.net/content/view/24/7/, accessed 26 Juli 2010
21
Minangkabau. Pandangan Hamka ini seiring dengan pendapat M. Nasrun yang
menyatakan bahwa adat Minangkabau terbentuk dari kearifan (wisdom) dan Islam
mengakomodir kearifan-kearifan tersebut.25 Berbeda dengan pandangan Snouck
Hurgronje yang menganggap adat dan Islam bertentangan sehingga hukum akan
hidup bila yang berlaku adalah hukum adat. Adapun ajaran Islam bisa hidup bila
sesuai dengan adat masyarakat.
Terlepas dari semua itu, adat dan Islam tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan sosial masyarakat Minangkabau. Alih-alih kita menganggap adat sebagai
sesuatu yang bertentangan dengan syari’at, masyarakat Minang pada kenyataannya
akan naik pitam bila disebut “orang tak beradat” meskipun kualitas keislamannya
rendah. Ini memperlihatkan begitu kuatnya pandangan hidup yang berlandaskan pada
nilai-nilai kearifan alam yang belakangan berpadu dengan nilai-nilai Islam. Lebih
dari itu, alampun pada hakikatnya merupakan sumber ajaran Islam; ayat al-kauniyah.
Mengenai keterpaduan ini, menarik kita simak penjelasan dari Hayati Nizar berikut:
Keterpaduan antara adat dan syara’ secara eksplisit tercermin dalam tata
kehidupan masyarakat di mana ada istilah tigo tungku sajarangan atau tigo
tali sapilin yang menata kehidupan dalam masyarakat yakni niniak mamak,
alim ulama, dan cadiak pandai. Istilah ini pada hakikatnya tidak hanya
mencerminkan pihak-pihak yang menata kehidupan, tetapi secara filosofis
berimplikasi ke dalam kehidupan tiap pribadi Minangkabau. Artinya, setiap
orang Minangkabau harus mengetahui tiga hal atau dengan kata lain tiga
pengetahuan, yaitu pengetahuan terhadap adat istiadat, pengetahuan
terhadap agama, dan pengetahuan terhadap ilmu. Ilmu dalam ajaran adat
terdiri dari empat macam, yaitu tahu pada diri, tahu pada orang lain, tahu
pada alam, dan tahu pada Allah. Untuk tahu pada semua itu, maka kuncinya
adalah kemampuan membaca dan menulis, karena keduanya itu merupakan
gerbang untuk sampai kepada ilmu pengetahuan secara umum. Dari ini dapat
dipahami bahwa setiap pribadi Minangkabau harus tahu membaca dan
menulis.26
Alam, bagi masyarakat Minangkabau adalah guru pertama dan utama. Ini
menjadikan masyarakatnya senantiasa memperhatikan fenomena alam, baik sosial
maupun non-sosial sebagai pedoman hidup. Alam Minangkabau secara adat dibagi
menjadi dua; darek dan rantau. Darek identik dengan daerah pedalaman,
pegunungan, sedangkan rantau identik dengan kawasan pesisir pantai (terbagi dua;
hilir dan mudik). Daerah darek dibagi menjadi tiga luhak, yang diyakini sebagai
daerah inti, tempat orang Minangkabau berasal dan rantau adalah daerah perluasan.
Luhak yang tiga itu adalah: luhak nan tuo (Tanah Datar), luhak nan tonga (Agam),
dan luhak nan bunsu (Limo Puluah Koto).27 Ketiga luhak ini disimbolkan dengan
25 Taufik Abdullah, “Adat and Islam : an Examination of Conflict in Minangkabau,”
Indonesian Journal, Vol. 2, Oktober 1966, hal. 3 26 Hayati Nizar, Bundo Kanduang dalam Kajian Islam dan Budaya, hal. 2-3 27 Mengenai bagaimana kondisi geografis terhadap pola ekonomi dapat dibaca dalam
Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, (Yogyakarta: Ombak), 2007.
22
warna kuning, merah, dan hitam. Luhak adalah daerah yang terletak di pedalaman
Minagkabau.
Ketiga luhak juga menjadi simbol bahwa orang Minangkabau harus
memenuhi tiga kebutuhan pokok, yaitu: ilmu pengetahuan (luhak nan tuo), agama
dan adat (luhak nan tonga), dan ekonomi (luhak nan bunsu). Tidaklah cukup bila
hidup mengandalkan harta, sedang qalbu hampa otak pun kosong. Atau sebaliknya,
iman diperkuat namun perut lapar dan berfikir tak sanggup. Juga naif bila keseharian
hanya sibuk dengan ilmu pengetahuan, sedang iman menipis, perut pun kelaparan.
Ketiganya harus berimbang. Ilmu dicari, iman diperkuat, ekonomi disejahterakan.
Rantau juga memainkan peran yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat Minangkabau. Boleh dikatakan antara rantau dan darek tidak bisa
dipisahkan: ibarat dua sisi mata uang yang saling memberikan nilai. Rantau menjadi
tempat berlabuhnya para pedagang atau pun penyebar agama (syari’at). Di
Minangkabau, pesisir pantainya seperti Ulakan, adalah tempat persinggungan antara
dunia perdagangan dan penyebaran ajaran Islam yang dilakukan oleh para pedagang,
termasuk oleh para guru tarekat. Tegasnya rantau menjadi tempat bermulanya
syari’at Islam tersebar keseluruh ranah Minangkabau. Berbeda dengan darek yang
menjadi sentra tata, nilai, dan norma adat yang berkembang dan dipegang teguh oleh
masyarakat Minangkabau. Cupak nan duo: cupak usali (takaran yang asli) dan cupak
buatan, (takaran buatan), memainkan peranan yang sangat penting setelah adat dan
Islam berpadu.
Adat menurun, syari’at mendaki (adaik manurun, syara’ mandaki), begitu
masyarakat Minangkabau mengungkapkan fenomena itu. Ungkapan ini bila
dicermati berisikan pandangan filosofis yang begitu dalam. Sifat adat menurun,
bermakna bahwa adat memiliki kecenderungan mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan alam dan sosial yang baru. Dari darek ke rantau. Adapun syari’at
mendaki; memiliki makna bahwa syari’at bersumberkan pada yang ‘azali; Allah swt.
Sebab itulah, adat dan syari’at saling mengisi antara yang satu dan yang lain. Dengan
bahasa lain, antara yang normatif dan historis tak dapat dipisahkan, meskipun teks
memiliki kekekalan dalam bentuknya. Jumlah ayat, surat dalam al-Qur’an sampai
kapan pun takkan pernah berkurang atau bertambah, namun pemahaman terhadapnya
pasti akan mengalami perubahan. Hanya cupak usali saja yang tidak mengalami
perubahan.
Persoalannya apakah nilai-nilai adat dan Islam di bumi Minangkabau masih
sejalan seperti sediakalanya, sungguh menyita banyak perhatian. Memang adat
sendiri menyadari bahwa sakalie aie gadang, sakali tapian barubah, namun
barubahnyo di sinan juo. Artinya setiap perubahan zaman, maka akan menuntut
terjadinya perubahan terhadap adat, namun adat yang sebenar adat (nilai-nilai
prinsipil), tetap pada relnya. Namun fakta menunjukkan hal lain. Terlalu banyak
penyimpangan yang terjadi. Tidak sedikit nilai dan norma dinistakan. Fitnah
bertebar, aib merabak. Arus globalisasi sungguh merubah sendi-sendi kehidupan
yang selama ini dipegang teguh.
Muhammad Sholihin, teman penulis yang aktif pada lembaga Nagari
Institute yang concern terhadap studi budaya dan Islam di Minangkabau dan penulis
buku Pengantar Metodologi Ekonomi Islam, menyampaikan hasil studi yang
dilakukan oleh lembaga tersebut kepada penulis. Sholihin menjelaskan bahwa ada
23
tiga faktor utama pudarnya nilai-nilai kearifan lokal di Minangkabau. Pertama,
hilangnya peran tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan. Kedua, kekuatan kapital
atau merabaknya kehidupan kapitalisme. Ketiga, demokrasi liberal yang merusak
tatanan kearifan lokal yang dahulu berpegang pada prinsip musyawarah untuk
mufakat dan tercermin dalam pepatah: bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek
mufakat, kok bulek samo digilingkan, kok picak samo dilayangkan, saciok bak ayam,
sadanciang bak basi, (bulat air karena pembuluh [pipa], bulat kata karena mufakat,
jika bulat sama-sama digulingkan, jika lempeng sama-sama dilayangkan, sekokok
seperti ayam, sama berdenting seperti besi).
Kapitalisme dan demokrasi liberal menjadi bagian yang sangat merusak
tatanan kearifan lokal. Atau dengan kata lain, arus globalisasi telah merubah sikap dan
etika sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Ini pula agaknya yang menjadikan
masyarakat Minangkabau terbilang lamban dalam pembangunan. Bahkan beberapa
kasus politik, korupsi telah merusak citra Minangkabau sendiri sebagai ranah
baradaik. Patut disambut gembira beberapa dekade belakang banyak usaha yang
dilakukan pemerintah daerah Sumatera Barat untuk menghidupkan kembali nilai-nilai
kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat, setelah sekian lama dijajah oleh cara-cara
kapitalis. Bagaimana hasilnya masih menunggu jawaban dan jawabannya takkan
pernah berhenti pada satu titik, melainkan terus mencari bentuknya.
C. Orientasi Nilai Budaya Minang
Nilai dasar yang menjadi pedoman masyarakat Minangkabau dapat diketahui
melalui apa yang dikatakan mereka tentag diri mereka, masyarakat mereka dan
lingkungan dan siakp mereka. Dengan pandangan mereka tersebut dapat diidentifikasi
apa yang menjadi pedoman dan filosofi tentan makna hidup, makna waktu, makna
alam, dan makna kerja. Hal ini dapat diperoleh melalui budaya Minangkabau yang
tercermin dalam bentuk pepatah-petitih, petuah, tambo, dan kaba, sebagai refleksi
simbolik makna kehidupan dan lingkungan social serta alam yang mengelilingi
mereka yang menghasilkan nila-nilai dan norma-norma yang berbeda dengan daerah
lainnya.
Nilai dasar yang menjadi pegangan masyarakat Minangkabau adalah mereka
pertama kali harus belajar dari pengalaman. Dari pengalaman inilah mereka belajar
dari alam yang memantulkan aspek keteraturan dan keseimbangan serta perubahan
yang menjadi arah kehidupan tentang apa yang harus dilakukan dan diperbuat dalam
proses menghadapi tujuan dan makna hidup sebagai masyarakat Minangkabau.
Sistem nilai budaya befungsi sebagai pedoman dan pendorong perilaku manusia.
Sistem nilai budaya juga memberi arah kepada anggota-anggota suatu masyarakat.
Untuk memahami nilai utama masyarakat Minangkabau, bisa dipinjam teori
Kluckhohn, yaitu 5 orientasi nilai budaya, yaitu:
1. Hakekat hidup manusia
2. Hakekat kerja manusia
3. Hakekat kedudukan manusia dalam ruang waktu
4. Hakekat hubungan manusia dengan alam.
5. Hakekat hubungan manusia dengan sesamanya.
24
Seorang pakar Minang, Azmi, mencoba menggambarkan orientasi nilai
budaya Minangkabau yang hidup dalam masyarakat Minangkabau yang
mempengaruhi perilaku dalam melihat bagamana hubungan manusia dengan alam,
pandangan tentang kerja, tentang waktu, dana bagaimana bentu interaksi sosial dalam
kehdupan sehari-harisebagaimana berikut.28
1. Hakekat Hidup
Dalam keyakinan hidup orang Minang memandang bahwa hakekat itu tidaklah
buruk, tetapi hidup itu baik dan penuh perjuangan. Karena tujuan hidup itu adalah
untuk berbuat baik dan saling berbagi satu sama lain. Dalan pantun Minang dikenal
dengan istilah ‘hiduik bajaso, mati bapusako’. Analog dengan pepatah ‘gajah mati
meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, masnusia mati
meninggalkan namo’. Hal ini menggambarkan bahwa setiap orang harus kerja keras
sehingga dapat meninggalkan warisan untuk anak dan kemanakannya.
2. Hakekat Kerja Manusia
Sejalan dengan hakekat hidup manusia menurut keyakinan Minangkabau,
kerja adalah kewajiban manusia. Nilai dasar hidup itu baik memunculkan etos kerja
sejalan dengan pantun masyarakat Minangkabau ‘kayu hutan bukan andaleh, elok
dibuek ka lamari, tahan hujan barani bapaneh, baitu urang mencari rasaki’. Pantun
ini mendorong masyarakat Minangkabau untuk selalu berusaha dalam hidup dengan
etos kerja yang menghargai kerja keras.29
Tempat kerja, tempat meningkatkan hidup. Bagi orang Minang tempat kerja
tidak terikat pada satu tempat saja. Kemana pun mereka merantau untuk meningkatan
kesejahteraan. Keterbukaan orientasi kerja seperti ini dilambangkan dari pantun di
atas mendorong anak-anak muda untuk pergi merantau untuk berdagang atau mencari
ilmu dan pengalaman.
3. Hakekat Kedudukan Manusia dalam Ruang dan Waktu
Orang Minangkabau sangat sadar akan eksistensinya dalam menghargai
ruang dan waktu. Persoalan disiplin waktu diajarkan melalui ritual agama,
dinalogikan dengan ritual shalat lima waktu yang menjadi kewajiban bagi umat Islam.
Shalat lima waktu dilakukan pada waktu yang telah ditentukan Nabi Muhammad
sehingga masa-masa pengunaan waktu sangat terencana. Bila tidak mengenal waktu,
maka jadwal shalat akan terlalaikan dan dan tidak bisa tergantikan. Karena itu,
masyarakat Minang sangat terkenal menjalankan syariat agama dan sangat
28 Azmi, ‘Pelestarian Adat dan Budaya Minangkabau’, dalam CH. N. Latief Dt.
Bandaro, dkk. (ed.), Minanagkabau yang Gelisah h. 85, Sebagai bandingan lihat juga
Basyral Hamidi Harahap dan Hotman M. Siahaan, Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak
(Jakarta: Sanggar Willem Iskander), 1987, h. 239-249. 29 Amir M.S. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang (Jakarta:
PT. Mutiara Sumber Waidya), 1999, h. 108.
25
menghargai waktu. Gurindam Minang menyebutkan ‘jiko duduak marauik ranjau,
jiko tagak maninjau jarak, jiko bajalan bamukasuik’.
4. Hakekat Hubungan Manusia dengan alam
Dalam pembicaraan tentang hakekat hidup manusia, kerja (karya), dan
kedudukan manusia, telah tergambar perilaku manusia orang Minang yang
memandang hidup, kerja, ruang dan waktu sebagai sesuatu yang penting tidak dan
berharga dalam hidupnya. Hubungan manusia Minangkabau dengan alam terekam
dalam ungkapan tradisional, yang memberikan citra keterkaitan mereka dengan alam
sepanjang sejarah perjalanan hidupnya.
Mereka tidak tunduk kepada alam. Mereka memanfaat alam ini sebagai
sesuatu anugerah dari Tuhan dan harus dijaga dan dipelihara. Karena itu mereka
berusaha mengetahui rahasia-rahasia yang terkandung dalam alam untuk kepentingan
hidup di dunia agar bermanfaat bagi manusia sebagai khalifah di bumi. Dengan
menjadikan alam takambang menjadi guru, masyarakat Minang belajar bagaimana
alam ini memberikan keteraturan dan keseimbangan disertai perubahan-perubahan
yang selalu dinamis. Karena itu mereka harus menyesuiakan diri dengan perubahan,
seperti yang disebut dalam pepatah Minang ‘sakali aie gadang, sakali tapian
barubah’. Mereka menyesuaikan diri secara kreatif di manapun mereka bertempat
tinggal, ‘Dima bumi dipijak, disinan langik dijunjung’.
5. Hakekat Hubungan Manusia dengan Sesamanya
Hubungan antar manusia orang Minangkabau menduduki tempat pertama di
antara empat orientasi budaya lainnya. Masyarakat Minang dikenal dengan budaya
egaliter dan tidak mengenal budaya feodal. Masing-masing saling menghormati status
dan kedudukan seseorang tanpa harus melihat latar-belakang sosio-budaya dan
ekonomi orang tersebut. Karena itu ada gurindam Minang yang menyebutkan ‘duduak
ssamo randah, tagak samo tinggi’. Meski demikian, mereka tetap menghormati
hirarki kekuasaan: ada rakyat, ada pemimpin. Dalam hal ini seorang mamak adalah
seorang pemimpin yang mengawal anak kemanakannya agar tetap sesuai pelaksanaan
nilai-nilai adat dan ajaran Islam (ABS-SBK).30
D. Merantau sebagai Bagian dari Proses Pembentuk Identitas Kultural
Masyarakat Minangkabau terkenal dengan kegiatan merantau. Hal ini sudah
dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu, baik untuk berdagang, bekerja maupun
bersekolah. Mereka kerapkali diidentifikasikan dengan etnis Tionghoa yang juga
melakukan kegiatan merantau secara massif. Namun, tidak serta-merta memiliki
kesamaan motivasi dan landasan pemikiran yang sama. Gagasan penulis dalam
30 Amir M.S. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, h. 111-
114.
26
makalah ini ialah merantau dalam masyarakat Minangkabau didorong oleh faktor
ekonomi dan budaya, yang mana, kedua faktor itu berpijak pada pepatah alam
takambang dijadikan guru. Pepatah ini menjadi inspirasi bagi dinamika sosial
masyarakat Minangkabau di samping agama Islam.
Surau merupakan bagian yang teramat penting bagi kehidupan sosial
masyarakat Minangkabau, selain lapau dan rantau. Ketiga lembaga ini memainkan
peran dalam pembentukan karakter masyarakat Minangkabau, terlebih bagi kaum
laki-laki. Di usia menginjak remaja, mereka malu bila masih tidur dirumah orang tua
mereka, dan surau adalah tempat yang begitu berharga. Adapun lapau atau warung
bagi masyarakat Minangkabau adalah tempat bertukar wacana. Ia menjadi simbol
ekonomi, sama halnya dengan rantau namun juga tempat bertukar pikiran,
berdialektika, mencari informasi atas apa saja yang sedang terjadi.
Lapau juga memberikan teladan bagi para generasi muda. Mereka akan malu
di tengah masyarakat bila malas bekerja, namun di samping itu mereka mempunyai
hobi duduk di lapau sambil minum kopi dan bermain domino. Cerita-cerita yang
mereka sampaikan, dianggap carito lapau yang tak perlu didengar, karena
mengandung kebohongan. Di tengah masyarakat, mereka akan dianggap sarok balai
(sampah pasar), bila melakukan tindakan yang mengganggu ketenangan masyarakat.
Berbeda dengan parewa, yang meskipun dianggap “freeman” namun masih
memegang teguh nilai-nilai adat yang hidup dalam masyarakat. Djamil Djambek dan
Hamka adalah ulama Minangkabau yang semasa remaja hidup sebagai parewa
sekaligus senang tidur di surau.
Adapun rantau adalah bagian yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan
masyarakat Minangkabau. Bahkan ia menjadi identitas sosial, sehingga marantau
adalah keniscayaan yang harus mereka lakukan. Seorang laki-laki dianggap tidak
berguna di kampung halamannya jika belum pergi merantau. Adalah aib bagi seorang
laki-laki bila telah menginjak usia dewasa belum pula pergi merantau menempa diri
menjadi lebih baik. Berikut ini pepatah Minang yang mendorong orang Minang untuk
pergi merantau.
Ka rantau Madang di hulu (Ke rantau Madang di hulu)
Babuah babungo balun (Berbuah berbunga belum)
Marantau bujang dahulu (Merantau bujang dahulu)
Di rumah baguno balun (Di rumah berguna belum)
Pepatah di atas, entah sejak kapan adanya menjadi inspirasi bahkan boleh
dikatakan sebagai “firman” yang mewajibkan kaum laki-laki Minangkabau untuk
pergi merantau. Badan dianggap tak berguna bila hanya menetap di kampung. Diri
dianggap dibesarkan orang, bila besar di kampung. Berbeda dengan di rantau.
Meskipun pahit penanggungan hidup, namun akan dihargai dan dihormati karena
memiliki nilai juang. Terselip tanggung jawab moral untuk membangun kampung
halaman.
Laguah laga bunyi padati (Elok bunyinya, suara pedati)
Padati nak urang ka Padang (Pedati membawa orang ke Padang)
Ganto kabau babunyi juo (Ganto kerbau berbunyi pula)
Walau sapiriang dapek pagi (Walau sepiring dapat di pagi hari)
27
Sapiriang dapek patang (Sapiring pula di petangnya)
Minangkabau dikana juo (Minangkabau tetap dikenang juga)
Menurut Tsuyoshi Kato, marantau merupakan satu di antara tiga karakteristik
utama masyarakat Minangkabau. Ketiga karakter itu adalah memiliki keyakinan yang
kuat terhadap Islam, praktik marantau (migrasi keluar), dan khususnya, menganut
sistem matrilineal. Kato menulis, Three characteristics of these people are a strong
faith in Islam (in contrast to the more syncretic Javanese, the practice of marantau
(out-migration), and, especially, a matrilineal family system.31
Apa yang diutarakan oleh Kato, mirip yang diungkapkan oleh Muchtar Naim.
Menurut Naim, marantau bagi masyarakat Minangkabau merupakan identitas
sosialnya baik dilakukan dalam rentang waktu yang lama, atau pun hanya sementara.
Para perantau Minangkabau, jelas Naim sebagaimana dikutip oleh Joel S. Kahn, tetap
membawa identitas budayanya di mana pun mereka merantau. Hal ini, oleh Kahn
dianggap sebagai keistimewaan tradisi marantau yang dilakukan oleh masyarakat
Minangkabau.32
Lebih lanjut Christine Dobbin menjelaskan bahwa Marantau merupakan
sebuah lembaga sosial bagi sejumlah besar pemuda meninggalkan desa setiap tahun
atau bahkan selama beberapa tahun dengan tujuan menjual hasil kerajinan desa dan
berdagang barang-barang lain.33 Dobbin memahami tradisi marantau sebagai cara
bagi masyarakat Minangkabau yang berada di darek menjual hasil-hasil bumi yang
mereka miliki. Terlebih pada waktu sekitar abad ke-16, pesisir pantai Sumatera Barat
sebagai wilayah rantau sibuk dengan lalu lintas pedagangan.34
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa marantau
merupakan bagian dari identitas sosial-kultural masyarakat Minangkabau. Seorang
laki-laki Minang, merasa tidak puas bila belum pergi merantau, hidup mandiri
mencari nafkah untuk kemudian mengambangkan kampung halamannya. Ini pula
yang menjadi faktor utama derasnya arus marantau yang dilakukan oleh masyarakat
Minangkabau.
Meski bukan termasuk derah pesisir, Sulit Air pada dasarnya juga merupakan
daerah rantau. Batang (sungai) Katialo merupakan anak sungai yang menghubungkan
jalur perdagangan dari daerah Riau melewati aliran sungai Kuantan hingga ke
Umbilin di pinggiran danau Singkarak. Namun beriring waktu, Sulit Air kehilangan
potensi karena hasil sumber daya alam yang dimilikinya tidak banyak mendukung.
Aktifitas marantau pun pada dasarnya telah dimulai pada waktu itu. Namun, secara
pasti kapan dimulai tidak ada data yang membuktikan. Hanya beberapa penghulu
yang memiliki gelar dari luar, seperti: Dt. Palembang, Dt. Tan Aceh, Dt. Malin Aceh,
Dt. Malaka Kayo, Dt. Malako Sutan, Dt. Malako Bongsu, dan Dt. Incek Malako,
31 Tsuyoshi Kato, “Rantau Pariaman: Minangkabau Coastal Merchants in the
Nineteenth Century,” The Journal of Asian Studies, Vol. XXXIX, No. 4, Augus 1980 32 Joel S. Kahn, Minangkabau Social Formation: Indonesian Peasants and the
World-economy, (Cambridge: Cambridge University Press), 2007, hal. 29-31 33 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, hal. 47 34 Tsuyoshi Kato, “Rantau Pariaman.” Lihat juga, Gusti Asnan, Dunia Maritim
Pantai Barat Sumatera.
28
menurut Hamdullah Salim menjadi bukti bahwa Sulit Air dan daerah sekitarnya
merupakan kawasan perdagangan yang cukup makmur, dahulunya.35
Hamdullah Salim menulis, salah seorang di antara pendatang yang berasal
dari Aceh, bernama Jahid merupakan ulama dan dianggap sebagai penyebar Islam
yang pertama di Sulit Air. Ia menikah dengan Bayuria, adik kandung Dt. Rangkayo
Basa. Tempat tinggal mereka hingga sekarang dikenal sebagai Kampuang Bayuo.
Atas jasanya itu, Jahid diangkat sebagai penghulu dengan gelar Dt. Malin Aceh.36
Diakui, sulit untuk membenarkan apa yang ditulis oleh Hamdullah Salim,
sesulit kita membantahnya. Tradisi bakaba dan tambo atau menyampaikan informasi
secara lisan, menjadi sebab utamanya. Namun, setidaknya data-data yang tersebut
dikaitkan dengan apa yang hingga saat ini masih hidup dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat. Misalnya persoalan pemberian suku.
Untuk itu dapat dimengerti bahwa faktor utama masyarakat Sulit Air
merantau adalah kondisi kampung halaman yang tidak menjanjikan untuk perbaikan
kesejahteraan ekonomi. A. Maude, seorang sarjana dari School of Social Science
Flindes University, Adelaide Australia, ketika melakukan penelitian terhadap 11
Nagari di Sumatera Barat pada tahun 1976, termasuk Sulit Air, mengungkapkan
bahwa orang-orang Minangkabau pergi merantau disebabkan beberapa faktor. Yaitu:
faktor ekonomi (61,1%), mencari pengalaman baru (13,9%), tradisi (5,4%),
ketidakpuasan hidup di desa (4,2%), adat (3%), lain-lain (10,11%). Dan secara
khusus, Maude mencatat bahwa orang Sulit Air dan Rao-rao pergi merantau adalah
karena dorongan tradisi.37
Berdasarkan data peneltian tersebut, Salim menyimpulkan bahwa orang-
orang Sulit Air pergi merantau disebabkan karena mendengar keberhasilan dan
keberuntungan hidup saudara-saudaranya di rantau orang, maka timbulah dorongan
hati untuk merantau. Di rantau mereka diajari berdagang atau apa saja yang bisa
menghasilkan nafkah untuk hidup. Lebih dari itu, Salim menulis: 38
...walau Sulit Air yang luasnya 80 kilometer persegi, tapi bukanlah
merupakan lahan yang subur bagi pertanian. Sekelilingnya merupakan bukit-
bukit yang hanya basah di waktu musim hujan, berbentuk “kuali
tertelungkup”. Dua sungainya, yakni Batang Katialo dan Batang Balam, jauh
berada di bawah, hanya sebagaian kecil sawah dan ladang saja yang dapat
diairinya. Karena penduduk semakin bertambah jua, sawah dan ladang yang
terbatas tersebut tidak sanggup lagi memberikan makanan yang cukup kepada
mereka, menyebabkan mereka sedikit demi sedikit meninggalkan Sulit Air,
35 Hamdulullah Salim, “Sejarah Perantauan dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”
Folisa, Forum Peduli Adat dan Budaya Sulit Air, Edisi Perdana, 2004, hal. 29 36 Hamdulullah Salim, “Sejarah Perantauan dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”
Folisa, Forum Peduli Adat dan Budaya Sulit Air, hal. 29 37 Hamdulullah Salim, “Sejarah Perantauan dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”
Folisa, Forum Peduli Adat dan Budaya Sulit Air, hal. 28 38 Hamdulullah Salim, “Sejarah Perantauan dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”
Folisa, Forum Peduli Adat dan Budaya Sulit Air, hal. 29
29
mencari kehidupan yang labih baik di rantau, hingga menjadi tradisi seperti
disebutkan di atas.
Irdam Huri berkesimpulan bahwa marantau merupakan jawaban bagi
masyarakat Sulit Air terhadap kondisi alam yang tak mendukung. Kondisi itu, menjadi
push factor atau faktor pendorong masyarakat Sulit Air pergi merantau. Huri juga
menegaskan bahwa perantau asal nagari Sulit Air didorong oleh faktor ekonomi dan
keinginan mendapatkan hidup yang layak. Ini didukung oleh hasil wawancaranya
dengan salah seorang tokoh Sulit Air, Zarkasi yang mengatakan:
“Secara pasti kapan waktunya orang Sulit Air merantau saya tidak
mengetahui. Menurut cerita, orang tua saya merantau dimulai sejak zaman
Belanda dan arus merantau lebih deras ketika PRRI. Masyarakat nagari Sulit
Air merantau lebih disebabkan oleh kondisi lahan pertanian yang sempit dan
kurang subur dengan topografi daerah yang berbukit-bukit. Merantau
merupakan suatu jawaban dari kondisi alam nagari Sulit Air yang tidak
mendukung. Ekonomi merupakan faktor utama orang Sulit Air pergi
merantau. Saya lahir, dibesarkan dan sekolah di rantau, yaitu Yogyakarta.
Keluarga saya merantau sudah lebih dari 60 tahun.”39
Tapi Hamdullah Salim agaknya mencoba menggugat anggapan Zarkasyi dan
pendapat lain yang senada bahwa faktor ekonomilah yang mendorong masyarakat
Sulit Air pergi merantau. Hal ini didasarkan atas keberhasilan proyek pemanfaatan
lahan kritis melalui tanaman holtikultura yang dilakukan oleh pemerintah yang waktu
itu diresmikan oleh Syafiruddin Baharsyah, selaku Menteri Muda Pertanian pada
tahun 1992. Proyek itu terbilang sukses namun tidak dilanjutkan oleh masyarakat.
“Angek-angek cik ayam”40 dan “demam merantau” adalah sebabnya, kata Salim.
Salim juga menganggap hal itu sebagai petanda mulai merendahnya budaya dan etos
masyarakat Sulit Air.41
Terakhir, peneliti sendiri dalam beberapa kesempatan ketika bertemu dengan
teman-teman yang notabene putus sekolah, baik SD, SLTP, maupun SLTA, bertanya
heran kepada peneliti: “Buat apa kamu kuliah tinggi-tinggi bila hanya menghabiskan
uang orang tua, apalagi nanti setelah kuliah tak dapat pekerjaan dan menganggur
dan akhirnya manggaleh (berdagang) seperti saya?” Diakui, peneliti cukup
terhenyak dengan pertanyaan itu, meskipun sudah sering didengar. Namun ketika
peneliti menjawab bahwa “hidup yang akan kita hadapi ke depan, tidak sesederhana
yang kamu pikirkan, uang tidak bisa menjawab seluruh permasalahan yang ada,
meskipun ia penting bagi kehidupan kita.” Jawaban ini membuat yang diwawancarai
merasa kecut. Dengan nada yang rendah ia menjawab; “Betul kata kamu. Sebenarnya
saya juga menyesal tidak melanjutkan kuliah. Ternyata manggaleh jo marantau tidak
39 Irdah Huri, Filantropi Kaum Perantau: Studi Kasus Kedermawanan Sosial
Organisasi Perantau Sulit Air Sepakat (SAS), Kabupaten Solok, Sumatera Barat, (Jakarta:
Piramedia, 2006), hal. 55-56 40 Ungkapan terhadap etos kerja yang hanya semangat di awal, namun berikutnya
tidak bergairah lagi. 41 Hamdullah Salim, Peta Bumi Sulit Air, Flora dan Fauna...hal. 13
30
seenak yang dipikirkan. Tapi buat apa saya menyesal, saya harus tetap berjuang
untuk masa depan saya.”
Dari uraian diatas, terdapat satu titik persinggungan antara budaya merantau,
adat, dan Islam. Sama sekali tidak ada pengaruh Islam secara langsung terhadap pola
hidup merantau masyarakat Minangkabau, khususnya masyarakat Sulit Air. Islam
atau yang dipahami sebagai syara’ oleh masyarakat Minangkabau menyesuaikan diri
di tengah warna-warni adat. Begitupun adat, turut menyesuaikan diri dengan
lingkungan baru yang dihadapi, sesuai dengan pergantian zaman. Namun keduanya
saling berpadu mempertahankan yang usali (asal).
Sebagai daerah rantau, terlebih dengan kondisi alam yang tak
menguntungkan, marantau merupakan jawaban bagi masyarakat Sulit Air untuk
mensejahterakan hidup mereka. ‘Mancari sehelai kain penutup badan, sesuap nasi
penahan lapar, dan pengalaman hidup untuk memperkuat keimanan,’ begitu sering
terdengar dalam upacara tasyakuran. Marantau agaknya merupakan efek dari
pandangan hidup masyarakat Minangkabau yang berdasarkan pada adat basandi
syara’, syara’ basandi kitabullah, dan alam takambang jadikan guru.
Banyak alasan lain yangg dikemukakan para ahli, namun bila diperhatikan
daerah lain di Minangkabau seperti Luhak nan tigo, alam mereka tampak mendukung
dengan hasil pertanian memuaskan, tetapi arus merantau tetap kuat. Kato dan Naim
menjelaskan bahwa marantau merupakan karakteristik utama masyarakat
Minangkabau dan telah menjadi identitas sosio-kultural mereka.42
42 Wawancara pribadi dengan intelektual Mochtar Naim, Jakarta, 24 Agustus 2020.
31
BAB III
SEJARAH PERKUMPULAN SULIT AIR SEPAKAT (SAS)
A. Sejarah Sosial Perantau Sulit Air
Sulit Air adalah sebuah nagari yang terletak di Kecamatan X Koto Di
Atas, Kabupaten Solok yang luasnya sekitar 80 km2 dan karena luasnya, maka ia
termasuk nagari yang terluas di seluruh nagari Sumatera Barat. Ia merupakan
dataran tinggi yang berjarak sekitar 20 km dari danau Singkarak. Topografi
alamnya tandus; terdiri dari bebatuan granit, batu hijau dan batu bara yang belum
layak diproduksi. Terdapat sungai (batang) katialo yang membelah nagari Sulit
Air; namun debit airnya tidak terlalu cukup untuk kepentingan sawah dan
perkebunan. Masyarakat nagari Sulit Air, hidup dan berkembang dengan berbagai
ciri khas yang unik. Di daerah yang memang sulit memperoleh air, masyarakatnya
tumbuh dengan kecintaan yang begitu besar terhadap kampung halamannya.
Toponimi (asal-usul nama) nagari Sulit Air, atau Suliek Aie terbentuk
melewati cerita yang unik. Sebuah tambo1 menceritakan bahwa Dt. Mulo Nan
Kawi dan isterinya Puti Anggo Ati beserta rombongan merupakan orang pertama
yang menjajaki tanah Sulit Air. Rombongan ini pindah dari daerah asalnya
Pariangan Padang Panjang. Sebuah daerah yang terletak di bawah kaki Gunung
Singgalang.
Tujuan mereka adalah Solok, daerah yang terletak tidak jauh dari kaki
Gunung Talang. Menurut cerita, pada waktu itu ia mendapat kaba2 dari teman-
1 Tambo adalah adalah penulisan sejarah tradisonal Minangkabau. Ada dua jenis
tambo, yaitu tambo alam dan tambo adat. Tambo alam mengisahkan asal-usul nenek moyang
serta perjalanan sejarah Minangkabau. Sebaliknya , tambo adat mengisahkan adat atau
system norma serta aturan social kemasyarakatan dan tata pemerintahan Minangkabau. Lihat
Gusti Aman, Kamus Sejarah Minangkabau (Padang: Pusat Pengkajian Islam dan
Minangkabau-PPIM), 2003, h. 339. 2 Kaba adalah adalah genre sastra tradisional Minangkabau berupa prosa. Kaba
dapat dibacakan maupun didendangkan. Bentuknya berupa pantun lepas maupun pantun
berkait disertai ungkapan pepatah-petitih, mamangan, pameo, kiasan, dan sebagainya. Kaba
berfungsi untuk menyampaikan cerita atau amanat. Biasanya tokoh dalam kaba tidak jelas
dan nama-namanya cenderung bersifat simbolik.
Kaba yang disampaikan oleh seorang tukang kaba. Pertunjukan kaba berbeda-beda
bergantung daerah Minangkabau. Ada yang menyampaikan kaba dengan randai, ilau, atau
dengan nyanyian yang disebut basijobang. Sesudah Perang Dunia I, kaba mulai
dipertunjukkan sebagai sandiwara dan diterbitkan. Kaba pertama kali ditulis dalam bahasa
32
teman dan saudaranya bahwa daerah Solok memiliki tanah yang subur, cocok
untuk pertanian seperti persawahan. Sampai saat ini, memang Solok terkenal
sebagai daerah penghasil beras yang berkualitas. Orang Minangkabau pasti
mengenal nama-nama beras seperti anak daro, ceredek yang terkenal berkualitas
tinggi berasal dari Solok.
Dimulailah tapak perjalanan menuju Solok. Ditempuh jalan ke Timur
menyisiri tepian danau Singkarak. Rimba belantara ditembus, naik gunung turun
gunung tak mengurungkan niat mereka, hingga tibalah di tepian batang Umbilin.
Kehidupan di sana sudah tumbuh, meski terbilang sepi. Entah kebetulan atau
tidak, pada waktu itu musim hujan melanda daerah tersebut. Banyak piringan
sawah yang terendam pasir (kosiek) dan batu-batu kerikil. Untuk mengingat-ingat
tempat itu, Dt. Mulo Nan Kawi memberi nama daerah itu Sawah Kosiek.
Banyak daerah yang ditempuh Dt. Mulo Nan Kawi, isteri, dan
rombongannya. Sebanyak itu pula ia memberikan nama terhadap daerah yang
disinggahinya. Setelah melewati Sawah Kosiek di Batang Umbilin, rombongan
Dt. Mulo nan Kawi terus ke utara hingga sampai ke daerah Pasilihan, berasal dari
kata “Pasie Bailien” yang disebut oleh Puti Anggo Ati. Setelah itu, mereka tetap
melanjutkan perjalanan hingga berkemah di sebuah tempat yang sekarang
bernama Kolok. Nama daerah ini terambil dari peristiwa takolok, atau tertidurnya
rombongan Dt. Mulo nan Kawi hingga matahari terbit tinggi.
Melewati perjalanan yang jauh, tibalah rombongan Dt. Mulo Nan Kawi
di sebuah dataran luas dan kembali beristirahat di sana. Daerah ini belakangan
disebut sebagai Koto Tuo. Dari dataran ini Puti Anggo Ati merasa puas dengan
pemandangan indah yang dilihatnya. Terlihat dua bukit bersandingan (sibumbun
jantan dan sibumbun betina). Terlihat pula penorama gunung berwarna Merah
dan Putih di bagian Timurnya. Berkeyakinanlah Puti Anggo Ati untuk menetap
di daerah yang menurut dia diapit oleh bukit-bukit ajaib itu.
Di bawah terik matahari yang begitu indah, Puti Anggo Ati menulusuri
lurah (bandar) di bawah kaki bukit yang dikenal Guok Taroguong (Bukit
Teragung). Niat hati ingin bermain air, mandi membersihkan badan tapi
kekecewaan yang diraih. Mereka hanya mendapati aliran air yang kecil berdesak-
desakan dari bebatuan. Namun, lain halnya dengan Puti Anggo Ati. Ia merasa
senang melihat air tersebut berdesak indah menghasilkan suara gemercik air yang
tak putus-putus. Puti Anggo Atu berkata: “tuan, lieklah suliknyo ayie kalua li!”
(tuan, lihatlah betapa sulitnya air itu keluar) tapi Dt. Mulo nan Kawi menjawab
dengan nada sinis: “Iyo suliek ayie disiko, inggo indak mungkin kito tingga di
siko.” (Benar-benar sulit air di sini, hingga rasanya tidaklah mungkin kita tinggal
di sini). Sejak saat itu, daerah yang dikelilingi oleh perbukitan itu, terkenal dengan
nama Suliek Aie, atau Sulit Air.3
Melayu dengan huruf Latin sehingga berkembang sebagai cerita yang bertema aktual. Cerita
kaba selalu diawali kisah tambo yang memaparkan asal usul Minangkabau. Lihat
id.wikipedia.org/wiki/Kaba. 3 Lebih lanjut baca: Rozali Rangkayo Sutan dan Hamdullah Salim, Sebuah Tambo:
Asal Usul Negeri dan Persukuan Sulit Air, (Jakarta: Rora Karya), 1975.
33
B. Sejarah Nagari Sulit Air (Sulik Aie) dan Setting Sosial Budaya, Ekonomi
Masyarakat
Chritine Dobbin dalam bukunya Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam
dan Gerakan Paderi di Minangkabau menulis bahwa “desa-desa di daerah Sulit
Air, yang tanah persawahannya sedikit sekali, hanya bisa menyediakan makanan
bagi penambang-penambangnya dengan harga tinggi. Karena harus membeli
makanan dengan harga tinggi, mereka terpaksa menghabiskan semua keuntungan
kecil yang bisa mereka peroleh. 4
Catatan sejarah berdasarkan tambo tadi tentu tidak serta merta
menegaskan bahwa nagari Sulit Air adalah negeri tandus yang sangat sulit
memperoleh air. Tidaklah demikian adanya. Hanya saja, daerah ini memiliki
topografi tanah yang tidak menguntungkan. Sebagian besar daerahnya merupakan
perbukitan. Lembah-lembah tersebar dengan kadar air yang hanya cukup
mengairi sedikit sawah. Itupun tidak sedikit pula sawah yang sekedar
mengandalkan air hujan (sawah tadah hujan). Namun, di tengah-tengah nagari
Sulit Air terbentang aliran sungai yang tak pernah kering airnya bernama Batang
Katialo. Beberapa anak sungai (lurah), juga menjadi pendukung pengairan sawah
penduduk.5
Simaklah catatan sejarah yang ditorehkan Dobbin. Ketika Raffles
melewati daerah pertambangan utama di sekitar Suruaso dan Sulit Air, jelas
Dobbin, ia melihat galian luas, bekas dikerjakan oleh para penambang. Namun,
ini tidak bisa dianggap sebagai tambang-tambang biasa. Hasil yang diperoleh pun
tidak bisa dinilai sangat berharga. Tegasnya, kandungan emas yang ada di Sulit
Air tidak begitu menguntungkan secara ekonomi. Terlebih untuk
mengerjakannya, masyarakat Sulit Air harus bekerja sama dan itupun atas bantuan
orang luar.6
Selain itu, menurut catatan Dobbon, daerah-daerah perbukitan di
Minangkabau terkenal dengan hasil pabrik dan bumi khusus. Juga terdapat
beberapa produk “ekonomi kreatif” yang dihasilkan penduduk di daerah
perbukitan. Di daerah Silungkang berada pada bagian tenggara Tanah Datar,
terkenal dengan penghasil tenun. Di daerah Agam, terkenal dengan usaha
mencelup dan menenun kain sutra dan katun. Adapun Sulit Air, sebagai daerah
yang tak subur terkenal sebagai desa pemahat kayu. Hasil pahatan penduduk
daerah ini menghiasi rumah-rumah keluarga besar di desa-desa lain dengan ukiran
yang diwarnai dengan warna merah, putih dan hitam.7
4 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi
Minangkabau 1784-1847, terj. (Jakarta: Komunitas Bambu), 2008, h. 41 5 Hamdullah Salim, “Peta Bumi Sulit Air, Flora dan Fauna,” dalam Silaturahmi
Pemangku Adat Nagari Sulit Air, diselenggarakan di Gedung SAS Bandung, Sabtu, 5 Januari
2008, h. 5-13 6 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, h. 41-43 7 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, h. 43.
52-53
34
Kondisi Wilayah Nagari Sulit Air Berdasarkan Peruntukan Guna Tata
Lahan
No Potensi Wilayah Luas (Ha2)
1 Tegalan 30
2 Sawah 70
3 Bangunan 160
4 Perladangan 45
5 Lahan Terlantar 120
6 Lain-lain 30
Total 455
Sumber: Kantor Wali Nagari Sulit Air.
Sungguh minim potensi wilayah yang dimiliki nagari Sulit Air. Tapi, ini
tidaklah menjadi penghalang bagi mereka untuk terus berusaha membangun
perekonomian demi kesehteraan. Dari data yang ada, 54,85% penduduk Sulit Air,
tetap berprofesi sebagai petani. Ini membuktikan bahwa meskipun memiliki kadar
air yang kurang, pertanian cukup diminati. Tidak hanya pada bidang persawahan,
tapi juga bidang perkebunan, seperti cengkeh dan 24,21% menggeluti dunia
perdagangan. Adapun sisanya tersebar sebagai Pegawai Negeri, pensiunan, ojek,
pertukangan, dan kerajinan industri rumah tangga.
Penduduk Sulit Air Berdasarkan Jenis Pekerjaan
No. Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase (%)
1 Petani 2.723 54,85
2 Pegawai Negeri 107 2,15
3 Pedagang 1.202 24,21
4 Pensiunan 49 0,98
5 Ojek 310 6,24
6 Pertukangan 425 8,56
7 Kerajinan Industri Rumah Tangga 148 2,98
Jumlah 4.964 100
Sumber: Kantor Wali Nagari Sulit Air
Tabel di atas menjelaskan bahwa jenis usaha yang dilakukan oleh
masyarakat Sulit Air, tidak begitu beragam. Bidang pertanian dan perdagangan
menjadi dominan, sedangkan yang lainnya memiliki persentase yang sedikit.
Kehidupan di nagari Sulit Air terbilang unik. Di hari-hari biasa, sedikit
sekali kegiatan ekonomi dilakukan. Nyaris seperti daerah kosong tak bertuan.
Terlebih di malam harinya. Para orang tua, sejak pagi hingga sore hari, sibuk
mengolah sawah-sawah mereka. Bila musim kemarau tiba, mereka terlihat sedikit
santai karena hanya disibukkan tugas mencari rumput untuk makanan ternak. Itu
pun bagi mereka yang memiliki hewan ternak. Adapun anak-anak remaja, dari
pagi hingga siang hari menuntut ilmu di sekolah.
35
Dari segi pendidikan Nagari Sulit Air merupakan satu-satunya nagari di
Minangkabau yang memiliki institusi sekolah yang cukup lengkap. Mulai dari
Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi. Faktor ini pula yang
menyebabkan beberapa tokoh masyarakat Sulit Air berkeinginan menjadikan
Sulit Air sebagai pusat pendidikan di Sumatera Barat.
Para pemuda bila tidak membantu orang tuanya bekerja di sawah,
beberapa di antaranya berprofesi sebagai tukang ojek. Ada juga yang sibuk
mencari madu liar di hutan. Kami sendiri masih ingat pernah ikut mencari madu
(saloba), bila tidak ada tugas membajak sawah. Adapun di sore hari, para pemuda
maupun remaja yang tinggal di kampung sibuk berolah raga dan mengaji di surau
di malam harinya. Meskipun, ironisnya belakangan peran surau sebagai institusi
pendidikan dan agama telah memudar. Tidak hanya di Sulit Air, bahkan di nagari-
nagari lain di Minangkabau sehingga novelis A.A. Navis menulis sebuah karya
berjudul Robohnya Surau Kami untuk menggambarkan hal tersebut.
Kehidupan ekonomi di nagari Sulit Air tidak bergerak secara dinamis
seperti halnya nagari-nagari lainnya di daerah Sumatera Barat. Hal ini disebabkan
oleh sebagian penduduknya telah berusia lanjut, sedangkan penduduk berusia
muda telah pergi merantau mengikuti generasi pendahulunya. Karena itu, tidaklah
mengherankan bahwa sebagian tanah Garapan dibiarkan ‘menganggur’ dan tidak
produktif, di samping sedikitnya saluran irigasi dan sebagian persoalan pemilikan
tanah yang berstatus tanah pusako. Karena itu adalah wajar di era 1990-an, Sulit
Air terkenal sebagai “kota wesel” karena penduduknya menerima kiriman wesel
yang sangat besar di bandingkan daerah lain di Kabupaten Solok, atau bahkan di
seluruh daerah Sumatera Barat. Kondisi seperti ini, mendorong Rainal Rais, Dt.
Rajo Satie nan Mulie, sebagai ketua umum organisasi perantau Sulit Air yang
bernama Sulit Air Sepakat (SAS), mendirikan lembaga keuangan BPR Surya
Katialo (kata “Surya” berarti Sulit Air Jaya). Pendirian BPR ini sekaligus
merubah etos kerja masyarakat Sulit Air, yang terbiasa diberi ‘ikan’ namun pada
waktu itu diubah menjadi ‘kail’.8
BPR Surya Katialo di mata Rainal Rais merupakan “hujan berkah yang
turun meluncur dari angkasa Sulit Air”. Saham-sahamnya dimiliki oleh segenap
warga Sulit Air. Namun berkah itu bukan hanya untuk warga Sulit Air, tetapi juga
buat nagari-nagari lain yang berada di sepanjang batang Katialo. Tepatnya bagi
suluruh masyarakat X Koto Di Atas.9 Proyek yang sedikit mirip dengan apa yang
dilakukan Muhammad Yunus di Pakistan, namun belakang tidak memiliki
pengaruh yang cukup signifikan.
Rainal Rais, disebut-sebut telah berhasil meningkatkan taraf hidup
masyarakat Sulit Air. Atas dasar itu pula, ia dianugerahi gelar Dt. Rajo Satie nan
Mulie. Keberhasilannya tidak terlepas dari peran dan fungsinya sebagai ketua
umum organisasi perantau Sulit Air Sepakat (SAS). Tri Program Kerja SAS yang
ia rumuskan pada Mukernas SAS ke-IX untuk periode kepengurusan 1986-1989,
berhasil dilaksanakannya selama enam periode masa jabatan (1986-1998). Ketiga
8 Rhian D’Kincai, Rainal Rais: Abdi Organisasi, (Jakarta: Rora Karya, 2003), h. 45 9 Rainal Rais, Goresan-goresan Pemikiran dan Perubahan Selama Sembilan Tahun
Mendayung Perahu “Sulit Air Sepakat”, (Jakarta: Rora Karya, tth.), h. 171-174
36
program kerja itu adalah pertama, pembenahan organisasi; kedua, menggairahkan
semangat persatuan, pembaharuan, dan pembangunan; serta ketiga, merintis
upaya-upaya bagi tercapainya tujuan SAS dalam bidang sosial, budaya, ekonomi,
agama, dan pendidikan.10
Akhir-akhir ini, di nagari Sulit Air disibukkan kembali keinginan
mengolah pertambangan yang ada di bumi Sulit Air. Ini terbukti dengan adanya
pertambangan batu hijau di Jorong Rawang. Namun, kekayaan ini malah menjadi
sumber petaka. Konflik marak terjadi. Harmonasisi hubungan mulai menipis.
Kekuatan modal menjadi biang pekara dan perseteruan politik pun terjadi. Para
pemangku adat, dijajah oleh hasrat menguasai kekayaan tambang yang tertimbun
di tanah ulayat kaum persukuannya.
Padahal, peran mereka bukanlah sebagai penggadai harta kekayaan anak
kemenakan mereka. Para pemangku adat terpecah. Sebagian tetap konsisten
mengurusi anak kemenakan, sedangkan sebagian lagi lebih senang mengurusi
peluang pertambangan yang ada. Ini juga disebabkan oleh pengangkatan
penghulu yang tidak lagi sesuai dengan ukuran (ukua) dan jangkauan (jangko)
yang ditetapkan adat. Mereka yang lahir dan besar di rantau orang, namun tidak
begitu paham persoalan adat Sulit Air, tidak sedikit diangkat sebagai penghulu.
Pemilihan mereka lebih ditekankan pada ukuran ekonomi. Tak ayal, peran
penghulu mengalami disorientasi yang berakibat pada kemunduran tatanan sosial
kehidupan adat masyarakat Sulit Air secara simultan.
Mantan Ketua DPP SAS Zarkasyi Nurdin mencatat bahwa kandungan
batu hijau yang terletak di nagari Sulit Air, tidaklah memiliki nilai ekonomi tinggi.
Kalaupun diolah sebagai pertambangan rakyat maka akan terbentur persoalan
modal. Butuh modal yang besar untuk pengadaan alat-alat berat dan teknologi
guna mengeluarkan batu hijau yang tertimbun jauh di dalam tanah. Jadi, tegas
Zarkasyi dengan nada sedikit nyentrik, “buat apa para pemangku kepentingan di
kampung halaman Sulit Air berebutan pepesan kosong seperti yang terjadi
belakangan ini. Bahkan karena tidak waspada, telah terkecoh dan kecolongan
dengan skandal yang memakan korban segala?” Apalagi, kalau bukan semua itu
karena, hijau mato...e...!!!11
10 Rainal Rais, Goresan-goresan Pemikiran dan Perubahan Selama Sembilan Tahun
Mendayung Perahu “Sulit Air Sepakat”, h. 3 11 Hijau mato e atau hijau matanya merupakan ungkapan yang menjelaskan sebuah
perilaku yang rakus, tamak terhadap harta kekayaan atau juga digunakan untuk mengomentari
roman muka seseorang yang yang berbinar-binar tatkala melihat sesuatu yang menggoda,
menggairahkan, dan menarik hati. Lebih lanjut baca: Zarkasyi Nurdin, “Hijau Mato E...”
dalam Suara SAS, Nomor 4, Juli 2009 s/d Maret 2010, h. 46-47
37
Sumber: KAN Sulit Air
38
C. Sejarah Organisasi Sulit Air Sepakat (SAS)
Tahun 1912 disepakati sebagai tahun berdirinya SAS di kota Padang oleh
segenap perantau Sulit Air dan diresmikan pada tanggal 3 Juli 1970. Konfrensi
pembentukan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) SAS pertama 3-5 Juli 1970 di Villa
Aida Ciloto, Puncak Jawa Barat. Pada 8 Maret 2007 barulah organisasi SAS
ditetapkan sebagai organisasi berbadan hukum berbentuk perkumpulan. Secara
tertulis, Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. C-
19.HT.01.03.TH.2007 menjadikan organisasi ini sebagai bukti berbadan hukum.
Adapun AD/ART SAS disahkan berdasarkan akta notaris No. 27 tanggal 28
Februari 2006 dan akta No. 7 tanggal 11 Oktober 2006 yang dibuat dihadapan
notaris Drs. Zarkasi Nurdin, SH.12
Sulit Air dengan luas wilayah 80 km2 dan topografi wilayahnya itu, diakui
sebagai karunia dan rahmat Allah. Bagi masyarakatnya, Sulit Air diibaratkan
seperti sebuah pohon beringin: akarnya seluk-berseluk, pucuknya hempas
menghempas, seikat bak sirih, serumpun bak serai, sehina semalu. Meskipun
banyak warganya pergi merantau, namun tetap mencintai masyarakat dan tanah
pusakanya Sulit Air; wujud manifestasi kecintaan terhadap bangsa dan tanah air,
Indonesia. Berkumpul dalam satu ikatan organisasi adalah cara merapatkan
barisan, memperkuat tenaga untuk membangun masyarakat dan nagari Sulit Air.
Begitulah mukaddimah yang tertuang dalam AD/ART SAS.
Awal tahun 1912 itu, SAS masih berbentuk hanya sebatas untuk
memperingati kematian, ungkap alm. Jamluddin Tambam semasa hidupnya. Pada
masa itu, yaitu di tahun 1910-1920-an masyarakat Sulit Air masih memberikan
penghormatan kepada orang yang telah meninggal dunia. Kenduri dan selametan
dilakukan sebagai wujud penghormatan. Dengan masuknya Muhammadiyah di
tahun 1930-an dan berdirinya Sumatera Thawalib yang dirintis oleh ayah Buya
Hamka, Syekh Abdul Karim Amrullah sejak tahun 1925, barulah kebiasaan itu
mulai memudar dalam kehidupan masyarakat. Sebagai seorang yang begitu keras
mengusung pembaharuan, upaya yang dilakukan oleh Syekh Abdul Karim
Amrullah, seorang propagandis Muhammadiyah yang paling berhasil dalam
pembaharuan pemikiran Islam sehingga organisasi ini cepat menyebar di seluruh
wilayah Minangkabau.13 Sejak itu, kegiatan SAS diarahkan untuk pemberdayaan
masyarakat Sulit Air, baik di rantau maupun di kampung halaman.
Tahun 1912 merupakan era yang menurut sebagian besar sejarawan
adalah masa kebangkitan nasional. Pada dekade itu, Boedi Utomo lahir pada 20
Mei 1908. Serikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1911. Muhammadiyah dicetus
pula pada 18 November 1912 oleh Ki Ahmad Dahlan. Pada masa-masa itu pula,
berdiri organisasi persukuan seperti Minangkabau Saiyo di Bandung dan Medan.
Begitu pula Atjeh Sepakat. Ini membuktikan bahwa semangat kebangkitan
nasional juga mendorong masyarakat Indonesia berkumpul, menyatukan
12 Suara SAS, No. 03 April 2007 s/d Oktober 2007, h. 5 13 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor
Sejarah, (Jakarta: Gramedia), 2002.
39
kekuatan dan kemampuan yang ada. Adalah wajar bila organisai perantau Sulit
Air ini diberi nama “Sulit Air Sepakat”. Karena semangat mendirikan
perkumpulan rantau-rantau sepakat, sedang menggelora di waktu itu.
Hamdulallah Salim berpendapat bahwa penggagas berdirinya SAS adalah
Mahyuddin Dt. Sutan Maharajo nan Besar alias Datuk Bangkik. Putra Dt. Sutan
Bandaharo atau Tuanku Laras II, pemimpin Sulit Air jelang akhir abad ke-19 ini
besarta adiknya Indomo Sutan, menyelesaikan sekolah Belanda di Solok. Selepas
ayahnya meninggal, Datuk Bangkik berprofesi sebagai wartawan. Karirnya
sebagai seorang pengacara ia tinggalkan. Bermula terbitnya surat kabar Pelita
Kecil, berkat bakat kewartanannya, ia mampu melahirkan Oetoesan Melajoe di
Pasar Gadang, Padang. Ia diangkat sebagai Tokoh Pers Nasional dan Perintis
Jurnalistik Melayu di Indonesia. Bapak Jurnalistik Melayu adalah gelar yang
diberikan oleh Ph. S. Van Rokel seorang pakar berkebangsaan Belanda,
kepadanya sebagai seorang perintis penerbitan media cetak di tanah air. Karena
itu acara HUT PWI ke-43 pada tanggal 9 Februari 1989, peringatan Hari Pers
Nasional dipusatkan di nigari Sulit Air.14 Akan tetapi, menurut Addiarrahman,
tidak ada bukti otentik terbentuknya SAS yang diprakarsai oleh Dt. Sutan
Maharadja. Sebab, sebagai seorang jurnalis, tidak ada satu informasi jurnalistik
pun yang menjelaskan hal itu.15
SAS dibentuk dengan berasaskan Islam dan Pancasila. Secara khusus
tujuannya terkonsentrasi di bidang sosial, yakni untuk memajukan dan
mensejaterakan kehidupan masyarakat Sulit Air dalam rangka pembangunan
bangsa dan tanah air Indonesia. Untuk mencapainya tujuan organisasi tersebut,
upaya penanaman dan memupuk rasa kesadaran berkeluarga, bermasyarakat,
berorganisasi dan berkumpul, bernegara, dan kesadaran beragama sesama
anggota ditingkatkan. Peningkatan kesejahteraan sosial, ekonomi, pendidikan dan
kebudayaan masyarakat Sulit Air merupakan tujuan organisasi SAS. Tujuan lain
secara umum adalah menggali dan membina segenap potensi yang ada dalam
masyarakat Sulit Air dalam upaya mencapai Sulit Air Jaya, seirama dengan
bangsa dan tanah air Indonesia.16
Dalam perkembangannya sanpai saat ini, SAS telah memiliki 99 cabang.
Tiga di antaranya berada di luar negeri: Malaysia, Sidney, dan Melbourne.
Perjuangan Syamsul Bahri Nur (Bujang Sati), Jamaluddin Tambam, Rosma Rais,
dan Rozali Usman, telah membesarkan nama organisasi SAS. Terlebih setelah
perjuangan itu dilanjutkan oleh tokoh-tokoh muda seperti: Rozali Usman, Rainal
Rais, Marjohan Djamin, Kamardi Arif, dan Mukhlis Listo, SAS mengorbit
sebagai organisasi yang terkenal di Sumatera Barat dan di antara perantau
Minangkabau. Bahkan, ketika menyebut nama Rainal Rais orang akan langsung
ingat dengan SAS. Rainal identik dengan SAS dan masyarakat Sulit Air pada
14 Hamdullah Salim, “Sejarah Perantau dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”h. 35-36 15 Addiarrahman Addiarrahman, “Kearifan Lokal Dan Aktifitas Filantropi Perantau
Sulit Air Sepakat (SAS) Dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0,” INFERENSI: Jurnal
Penelitian Sosial Keagamaan 13, no. 1 (20 Juli 2019): 177–200,
https://doi.org/10.18326/infsl3.v13i1.177-200. 16 AD/ART SAS, Pasal II dan III
40
umumnya, menurut Zulherfin Zubir, yang pernah menduduki jabatan Ketua
Umum sebanyak 12 kali berturut-turut.17
Banyak manfaat keberadaan SAS bagi perantau dan masyarakat Sulit Air.
Tidak hanya bisa menyambung silaturahim, keberadaannya memberikan manfaat
bagi peningkatan kualitas ekonomi, infrastruktur, pendidikan, seni, dan budaya
Sulit Air. Lebih dari itu, dalam panggung politik keberadaan SAS di beberapa
cabang daerah sangat diperhitungkan karena jumlah warganya yang sangat
banyak dan jaringan perdagangan yang cukup luas. Meskipun secara tegas
organisasi SAS bukanlah organisasi politik dan tidak boleh terlibat dalam
kegiatan politik praktis. Adapun secara individu, menjadi hak dan kewajiban
warga Sulit Air sebagai bagian warga Indonesia.
D. Ikatan Pemuda Pelajar Sulit Air (IPPSA)
Jauh sebelum SAS ditetapkan sebagai sebuah organisasi pada tahun 1970,
organisasi Ikatan Pemuda Pelajar Sulit Air telah terbentuk, pada tanggal 2 Juli
1951, beberapa pelajar dan pemuda Sulit Air, berhimpun dan mengikatkan diri
menjadi sebuah organisasi yang tujuan awalnya adalah sebagai wadah silitaruhim
pemuda dan pelajar Sulit Air. Silaturahim yang dimaksud tidak hanya dikemas
dalam bentuk komunikasi biasa antar mereka yang berada di rantau maupun di
kampung, tapi juga sebagai sarana untuk bertukar pikiran, pengetahuan, dan ide-
ide kreatif pengembangan nagari Sulit Air ke depannya.
Sejarah berdirinya organisasi pemuda IPPSA tidak terlepaskan dari
setting social masyarakat Indonesia sejak era paska kemerdekaan Indonesia
dengan munculnya kesadaran baru masyarakat untuk meningkatkan ilmu dengan
menuntut ilmu ke berbagai kota besar, seperti Jakarta dan Yogyakarta. Karena
pada saat yang sama, angka buta huruf masyarakat Indonesia melebihi 90%.
Hampir seluruh masyarakat Indonesia tidak bisa menulis dan membaca. Kondisi
ini tidak bisa terelakkan, mengingat pada masa penjajahan Belanda hanya
golongan tertentu saja yang bisa mengenyam pendidikan yang layak. Sebaliknya,
akses masyarakat biasa sulit untuk mendapat pendidikan sehingga muncul gap
pendidikan antara kelas sosial yang berbeda.
Di Sulit Air, terjadi penambahan sekolah untuk memenuhi kebutuhan itu.
Tercatat, terdapat 9 Sekolah Rakyat (Gouvernement School). Pada era 1954-an
itu, juga berdiri Sekolah Guru B yang mulanya didirikan di Koto Tuo, kemudian
pindah ke Potai Lobek, dan akhirnya berada di Kacang Baririk. Saat ini di lokasi
tersebut berdiri SLTP N 1 X Koto Di Atas. Berdiri juga Sekolah Sambungan
Wanita (Meisyes Vervolg School) atau lazim dikenal sebagai Sekolah Meses yang
mengajarkan berbagai keterampilan bagi para gadis, seperti menjahit, memasak,
dan lain sebagainya.18
Yang lebih menarik, jauh sebelum kemerdekaan tepatnya pada tahun
1925, para pemuka Sulit Air berkumpul dan memutuskan mendirikan dua badan
17 Lebih lanjut baca: Irdam Huri, Filantropi Kaum Perantau, h. 62-63 18 Baca, Hamdullah Salim, “Sejarah IPPSA”, Tunas Muda, Edisi I, Juni-Desember
2006, h. 7-8. Lihat juga, Hamdullah Salim, “Profile Pendidikan di Sulit Air dalam Lintasan
Masa”, Suara SAS, Edisi No. 2, Agustus 2006 s/d Maret 2007, h. 4-6
41
yang bergerak untuk memajukan sektor pendidikan dan ekonomi. Yaitu: pertama,
Vereniging Studiefons Sulit Air (VSSA) yang bergerak di bidang pendidikan
dengan memberikan beasiswa dan kemudahan bagi putra-putri Sulit Air yang
ingin menuntut ilmu. Badan ini dahulu dipimpin oleh Nurdin Rajo Mudo alias
Nurdin Dt. Rajo Mansur setelah dianggap sebagai penghulu. Kedua, Handel
Vereniging (HV) yang belakang disebut NKO Handel. Di bawah pimpinan Dt.
Sindo Sutan, badan ini bergerak di bidang ekonomi dan membuka sebuah toko di
Sulit Air dengan nama “Toko Handbal”.
VSSA, tetap bertahan hingga saat sekarang. Namanya diganti menjadi
Pendidikan Sekolah Agama (PSA). Di tahun 1967, berdiri juga Madrasah
Tsanawiyah Muhammadiyah. Sebuah sekolah yang meskipun menggunakan
nama Muhammadiyah, namun dibangun atas filantropi masyarakat Sulit Air, baik
yang ada di rantau maupun di kampung halaman.
Meskipun memiliki fasilitas pendidikan yang mencukupi kebiasaan
merantau tidaklah luntur. Sebaliknya, arus merantau semakin kuat pasca
kemerdekaan Republik. Setelah menyelesaikan Sekolah Rakyat, banyak generasi
muda Sulit Air yang melanjutkan pendidikannya ke luar, seperti Solok, Padang,
Padang Panjang, bahkan sampai ke Jogjakarta. Pada era 1950-an itu, ungkap
Salim, terjadi “exodus” besar-besaran warga Sulit Air meninggalkan kampung
halaman menuju tanah rantau di berbagai daerah.
Berdirinya IPPSA, tak lepas dari jasa sosok Darussalam Dt. Samarajo
yang pada tahun 1951 menjadi Kepala Dinas Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan (PP&K) Kab. Solok. Dt. Samarajo mengumpulkan para pelajar Sulit
Air yang berada di Solok dan mendorong mereka untuk membentuk organisasi
pemuda pelajar Sulit Air dan disarankan bernama IPPSA. Tempat berhimpunnya
pemuda yang merantau dengan tujuan berwiraswasta dan pemuda yang merantau
guna menuntut ilmu. Mengisi liburan puasa pada tanggal 2 Juli 1951, IPPSA
didirikan di Sekolah Rakyat I Koto Tuo Sulit Air. Salim Thaib, selaku Wali
Nagari pada waktu itu, mengesahkannya secara langsung.
Sebagai sebuah organisasi, IPPSA memberikan banyak kontribusi bagi
pembangunan nagari Sulit Air. Terutama di bidang surek kaba (surat kabar).
Majalah-majalah seperti al-Munawwarah, Tjanang Gunungpapan, Tunas Muda,
Koba Gunung Merah, Obor Pemuda, Lembah Katialo, Sarosa, Suwarsa, Sarunai
Sriwijaya, dan lainnya merupakan kekuatan dan kreatifitas yang dimainkan oleh
pemuda dan pelajar Sulit Air pada waktu itu. Di sisi lain, adat, seni dan budaya
Sulit Air tetap dilestarikan. Karena bagi generasi muda yang lahir dan besar di
rantau, melalui IPPSA mereka dapat mengenal adat dan budaya serta identitas
kultural mereka.
Pemuda dan pelajar, sebagaimana diungkap Yudi Latif merupakan
tempat dan wadah lahirnya kreatifitas. Di tangan mereka perubahan terjadi baik
dalam jejaring sosial Pendidikan, ekonomi dan pemeliharaan budaya. Dan atas
kreatifitas dan kekuatan mereka, negeri ini dapat bersatu, seiya sekata. Tapi,
IPPSA juga mengalami masih surut dan naik. Bahkan kini berada dalam posisi
yang cukup mengkhawatirkan. Nasrullah menyebut IPPSA telah berada dalam
kondisi Quo Vadis. Berada di “ujung tanduk” ungkap Ade Harto. Generasi muda
42
Sulit Air, di mata Wahyu Fernando, ketua umum IPPSA periode 2009-2012,
adalah “generasi prihatin”.
E. Peran Kaum Perantau
Surau merupakan bagian yang teramat penting bagi kehidupan sosial
masyarakat Minangkabau, selain lapau dan rantau. Ketiga lembaga ini
memainkan peran dalam pembentukan karakter masyarakat Minangkabau,
terlebih bagi kaum laki-laki. Di usia menginjak remaja, mereka malu bila masih
tidur dirumah orang tua mereka, dan surau adalah tempat yang begitu berharga.
Adapun lapau atau warung bagi masyarakat Minangkabau adalah tempat bertukar
wacana. Ia menjadi simbol ekonomi, sama halnya dengan rantau namun juga
tempat bertukar pikiran, berdialektika, mencari informasi atas apa saja yang
sedang terjadi.
Lapau juga memberikan teladan bagi para generasi muda. Mereka akan
malu di tengah masyarakat bila malas bekerja, namun di samping itu mereka
mempunyai hobi duduk di lapau sambil minum kopi dan bermain domino. Cerita-
cerita yang mereka sampaikan, dianggap carito lapau yang tak perlu didengar,
karena mengandung kebohongan. Di tengah masyarakat, mereka akan dianggap
sarok balai (sampah pasar), bila melakukan tindakan yang mengganggu
ketenangan masyarakat. Berbeda dengan parewa, yang meskipun dianggap
“freeman” namun masih memegang teguh nilai-nilai adat yang hidup dalam
masyarakat. Djamil Djambek dan Hamka adalah ulama Minangkabau yang
semasa remaja hidup sebagai parewa sekaligus senang tidur di surau.
Adapun rantau adalah bagian yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan
masyarakat Minangkabau. Bahkan ia menjadi identitas sosial, sehingga marantau
adalah keniscayaan yang harus mereka lakukan. Seorang laki-laki dianggap tidak
berguna di kampung halamannya jika belum pergi merantau. Adalah aib bagi
seorang laki-laki bila telah menginjak usia dewasa belum pula pergi merantau
menempa diri menjadi lebih baik. Berikut ini pepatah Minang yang mendorong
orang Minang untuk pergi merantau.
Ka rantau Madang di hulu (Ke rantau Madang di hulu)
Babuah babungo balun (Berbuah berbunga belum)
Marantau bujang dahulu (Merantau bujang dahulu)
Di rumah baguno balun (Di rumah berguna belum)
Pepatah di atas, entah sejak kapan adanya menjadi inspirasi bahkan boleh
dikatakan sebagai “firman” yang mewajibkan kaum laki-laki Minangkabau untuk
pergi merantau. Badan dianggap tak berguna bila hanya menetap di kampung.
Diri dianggap dibesarkan orang, bila besar di kampung. Berbeda dengan di
rantau. Meskipun pahit penanggungan hidup, namun akan dihargai dan dihormati
karena memiliki nilai juang. Terselip tanggung jawab moral untuk membangun
kampung halaman.
43
Laguah laga bunyi padati (Elok bunyinya, suara pedati)
Padati nak urang ka Padang (Pedati membawa orang ke Padang)
Ganto kabau babunyi juo (Ganto kerbau berbunyi pula)
Walau sapiriang dapek pagi (Walau sepiring dapat di pagi hari)
Sapiriang dapek patang (Sapiring pula di petangnya)
Minangkabau dikana juo (Minangkabau tetap dikenang juga)
Menurut Tsuyoshi Kato, marantau merupakan satu di antara tiga
karakteristik utama masyarakat Minangkabau. Ketiga karakter itu adalah
memiliki keyakinan yang kuat terhadap Islam, praktik marantau (migrasi keluar),
dan khususnya, menganut sistem matrilineal. Kato menulis, Three characteristics
of these people are a strong faith in Islam (in contrast to the more syncretic
Javanese, the practice of marantau (out-migration), and, especially, a matrilineal
family system.19
Apa yang diutarakan oleh Kato, mirip yang diungkapkan oleh Muchtar
Naim. Menurut Naim, marantau bagi masyarakat Minangkabau merupakan
identitas sosialnya baik dilakukan dalam rentang waktu yang lama, atau pun
hanya sementara. Para perantau Minangkabau, jelas Naim sebagaimana dikutip
oleh Joel S. Kahn, tetap membawa identitas budayanya di mana pun mereka
merantau. Hal ini, oleh Kahn dianggap sebagai keistimewaan tradisi marantau
yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau.20
Lebih lanjut Christine Dobbin menjelaskan bahwa Marantau merupakan
sebuah lembaga sosial bagi sejumlah besar pemuda meninggalkan desa setiap
tahun atau bahkan selama beberapa tahun dengan tujuan menjual hasil kerajinan
desa dan berdagang barang-barang lain.21 Dobbin memahami tradisi marantau
sebagai cara bagi masyarakat Minangkabau yang berada di darek menjual hasil-
hasil bumi yang mereka miliki. Terlebih pada waktu sekitar abad ke-16, pesisir
pantai Sumatera Barat sebagai wilayah rantau sibuk dengan lalu lintas
pedagangan.22
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa marantau
merupakan bagian dari identitas sosial-kultural masyarakat Minangkabau.
Seorang laki-laki Minang, merasa tidak puas bila belum pergi merantau, hidup
mandiri mencari nafkah untuk kemudian mengambangkan kampung halamannya.
Ini pula yang menjadi faktor utama derasnya arus marantau yang dilakukan oleh
masyarakat Minangkabau.
Meski bukan termasuk derah pesisir, Sulit Air pada dasarnya juga
merupakan daerah rantau. Batang (sungai) Katialo merupakan anak sungai yang
menghubungkan jalur perdagangan dari daerah Riau melewati aliran sungai
19 Tsuyoshi Kato, “Rantau Pariaman: Minangkabau Coastal Merchants in the
Nineteenth Century,” The Journal of Asian Studies, Vol. XXXIX, No. 4, Augus 1980 20 Joel S. Kahn, Minangkabau Social Formation: Indonesian Peasants and the
World-economy, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h. 29-31 21 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, h. 47 22 Tsuyoshi Kato, “Rantau Pariaman...”. Lihat juga, Gusti Asnan, Dunia Maritim
Pantai Barat Sumatera...
44
Kuantan hingga ke Umbilin di pinggiran danau Singkarak. Namun beriring waktu,
Sulit Air kehilangan potensi karena hasil sumber daya alam yang dimilikinya
tidak banyak mendukung. Aktifitas marantau pun pada dasarnya telah dimulai
pada waktu itu. Namun, secara pasti kapan dimulai tidak ada data yang
membuktikan. Hanya beberapa penghulu yang memiliki gelar dari luar, seperti:
Dt. Palembang, Dt. Tan Aceh, Dt. Malin Aceh, Dt. Malaka Kayo, Dt. Malako
Sutan, Dt. Malako Bongsu, dan Dt. Incek Malako, menurut Hamdullah Salim
menjadi bukti bahwa Sulit Air dan daerah sekitarnya merupakan kawasan
perdagangan yang cukup makmur, dahulunya.23
Hamdullah Salim menulis, salah seorang di antara pendatang yang
berasal dari Aceh, bernama Jahid merupakan ulama dan dianggap sebagai
penyebar Islam yang pertama di Sulit Air. Ia menikah dengan Bayuria, adik
kandung Dt. Rangkayo Basa. Tempat tinggal mereka hingga sekarang dikenal
sebagai Kampuang Bayuo. Atas jasanya itu, Jahid diangkat sebagai penghulu
dengan gelar Dt. Malin Aceh.24
Diakui, sulit untuk membenarkan apa yang ditulis oleh Hamdullah Salim,
sesulit kita membantahnya. Tradisi bakaba dan tambo atau menyampaikan
informasi secara lisan, menjadi sebab utamanya. Namun, setidaknya data-data
yang tersebut dikaitkan dengan apa yang hingga saat ini masih hidup dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat. Misalnya persoalan pemberian suku.
Untuk itu dapat dimengerti bahwa faktor utama masyarakat Sulit Air
merantau adalah kondisi kampung halaman yang tidak menjanjikan untuk
perbaikan kesejahteraan ekonomi. A. Maude, seorang sarjana dari School of
Social Science Flindes University, Adelaide Australia, ketika melakukan
penelitian terhadap 11 Nagari di Sumatera Barat pada tahun 1976, termasuk Sulit
Air, mengungkapkan bahwa orang-orang Minangkabau pergi merantau
disebabkan beberapa faktor. Yaitu: faktor ekonomi (61,1%), mencari pengalaman
baru (13,9%), tradisi (5,4%), ketidakpuasan hidup di desa (4,2%), adat (3%), lain-
lain (10,11%). Dan secara khusus, Maude mencatat bahwa orang Sulit Air dan
Rao-rao pergi merantau adalah karena dorongan tradisi.25
Berdasarkan data peneltian tersebut, Salim menyimpulkan bahwa orang-
orang Sulit Air pergi merantau disebabkan karena mendengar keberhasilan dan
keberuntungan hidup saudara-saudaranya di rantau orang, maka timbulah
dorongan hati untuk merantau. Di rantau mereka diajari berdagang atau apa saja
yang bisa menghasilkan nafkah untuk hidup. Lebih dari itu, Salim menulis: 26
23 Hamdulullah Salim, “Sejarah Perantauan dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”
Folisa, Forum Peduli Adat dan Budaya Sulit Air, Edisi Perdana, 2004, h. 29 24 Hamdulullah Salim, “Sejarah Perantauan dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”
Folisa, Forum Peduli Adat dan Budaya Sulit Air, 2004, h. 29 25 Hamdulullah Salim, “Sejarah Perantauan dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”
Folisa, Forum Peduli Adat dan Budaya Sulit Air, h. 28 26 Hamdulullah Salim, “Sejarah Perantauan dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”
Folisa, Forum Peduli Adat dan Budaya Sulit Air, h. 29
45
“...walau Sulit Air yang luasnya 80 kilometer persegi, tapi bukanlah
merupakan lahan yang subur bagi pertanian. Sekelilingnya merupakan
bukit-bukit yang hanya basah di waktu musim hujan, berbentuk “kuali
tertelungkup”. Dua sungainya, yakni Batang Katialo dan Batang Balam,
jauh berada di bawah, hanya sebagaian kecil sawah dan ladang saja yang
dapat diairinya. Karena penduduk semakin bertambah jua, sawah dan
ladang yang terbatas tersebut tidak sanggup lagi memberikan makanan
yang cukup kepada mereka, menyebabkan mereka sedikit demi sedikit
meninggalkan Sulit Air, mencari kehidupan yang labih baik di rantau,
hingga menjadi tradisi seperti disebutkan di atas.”
Irdam Huri berkesimpulan bahwa marantau merupakan jawaban bagi
masyarakat Sulit Air terhadap kondisi alam yang tak mendukung. Kondisi itu,
menjadi push factor atau faktor pendorong masyarakat Sulit Air pergi merantau.
Huri juga menegaskan bahwa perantau asal nagari Sulit Air didorong oleh faktor
ekonomi dan keinginan mendapatkan hidup yang layak. Ini didukung oleh hasil
wawancaranya dengan salah seorang tokoh Sulit Air, Zarkasi yang mengatakan:
“Secara pasti kapan waktunya orang Sulit Air merantau saya tidak
mengetahui. Menurut cerita, orang tua saya merantau dimulai sejak
zaman Belanda dan arus merantau lebih deras ketika PRRI. Masyarakat
nagari Sulit Air merantau lebih disebabkan oleh kondisi lahan pertanian
yang sempit dan kurang subur dengan topografi daerah yang berbukit-
bukit. Merantau merupakan suatu jawaban dari kondisi alam nagari Sulit
Air yang tidak mendukung. Ekonomi merupakan faktor utama orang Sulit
Air pergi merantau. Saya lahir, dibesarkan dan sekolah di rantau, yaitu
Yogyakarta. Keluarga saya merantau sudah lebih dari 60 tahun.”27
Tapi Hamdullah Salim agaknya mencoba menggugat anggapan Zarkasyi
dan pendapat lain yang senada bahwa faktor ekonomilah yang mendorong
masyarakat Sulit Air pergi merantau. Hal ini didasarkan atas keberhasilan proyek
pemanfaatan lahan kritis melalui tanaman holtikultura yang dilakukan oleh
pemerintah yang waktu itu diresmikan oleh Syafiruddin Baharsyah, selaku
Menteri Muda Pertanian pada tahun 1992. Proyek itu terbilang sukses namun
tidak dilanjutkan oleh masyarakat. “Angek-angek cik ayam”28 dan “demam
merantau” adalah sebabnya, kata Salim. Salim juga menganggap hal itu sebagai
petanda mulai merendahnya budaya dan etos masyarakat Sulit Air.29
Terakhir, peneliti sendiri dalam beberapa kesempatan ketika bertemu
dengan teman-teman yang notabene putus sekolah, baik SD, SLTP, maupun
27 Irdah Huri, Filantropi Kaum Perantau: Studi Kasus Kedermawanan Sosial
Organisasi Perantau Sulit Air Sepakat (SAS), Kabupaten Solok, Sumatera Barat, (Jakarta:
Piramedia), 2006, h. 55-56 28 Ungkapan terhadap etos kerja yang hanya semangat di awal, namun berikutnya
tidak bergairah lagi. 29 Hamdullah Salim, Peta Bumi Sulit Air, Flora dan Fauna, h. 13
46
SLTA, bertanya heran kepada peneliti: “Buat apa kamu kuliah tinggi-tinggi bila
hanya menghabiskan uang orang tua, apalagi nanti setelah kuliah tak dapat
pekerjaan dan menganggur dan akhirnya manggaleh (berdagang) seperti saya?”
Diakui, peneliti cukup terhenyak dengan pertanyaan itu, meskipun sudah sering
didengar. Namun ketika peneliti menjawab bahwa “hidup yang akan kita hadapi
ke depan, tidak sesederhana yang kamu pikirkan, uang tidak bisa menjawab
seluruh permasalahan yang ada, meskipun ia penting bagi kehidupan kita.”
Jawaban ini membuat yang diwawancarai merasa kecut. Dengan nada yang
rendah ia menjawab; “Betul kata kamu. Sebenarnya saya juga menyesal tidak
melanjutkan kuliah. Ternyata manggaleh jo marantau tidak seenak yang
dipikirkan. Tapi buat apa saya menyesal, saya harus tetap berjuang untuk masa
depan saya.”
Dari uraian diatas, terdapat satu titik persinggungan antara budaya merantau,
adat, dan Islam. Sama sekali tidak ada pengaruh Islam secara langsung terhadap pola
hidup merantau masyarakat Minangkabau, khususnya masyarakat Sulit Air. Islam
atau yang dipahami sebagai syara’ oleh masyarakat Minangkabau menyesuaikan diri
di tengah warna-warni adat. Begitupun adat, turut menyesuaikan diri dengan
lingkungan baru yang dihadapi, sesuai dengan pergantian zaman. Namun keduanya
saling berpadu mempertahankan yang usali (asal).
Sebagai daerah rantau, terlebih dengan kondisi alam yang tak
menguntungkan, marantau merupakan jawaban bagi masyarakat Sulit Air untuk
mensejahterakan hidup mereka. ‘Mancari sehelai kain penutup badan, sesuap nasi
penahan lapar, dan pengalaman hidup untuk memperkuat keimanan,’ begitu sering
terdengar dalam upacara tasyakuran. Marantau agaknya merupakan efek dari
pandangan hidup masyarakat Minangkabau yang berdasarkan pada adat basandi
syara’, syara’ basandi kitabullah, dan alam takambang jadikan guru.
Banyak alasan lain yangg dikemukakan para ahli, namun bila diperhatikan
daerah lain di Minangkabau seperti Luhak nan tigo, alam mereka tampak mendukung
dengan hasil pertanian memuaskan, tetapi arus merantau tetap kuat. Kato dan Naim
menjelaskan bahwa marantau merupakan karakteristik utama masyarakat
Minangkabau dan telah menjadi identitas sosio-kultural mereka.
Faktor merantau yang mendorong untuk mencari ilmu, ekonomi, dan
pengalaman yang didorong oleh adat-istiadat Minangkabau bukanlah berarti
meninggalkan kampung selama-lamanya, tetapi merantau dalam arti pergi sementara,
sementara jiwa dan rohnya tetap ada di nagari. Karena factor ini selalu melekat dalam
jiwa orang Minang, maka motif kebanggaan masyarakat Minang didasarkan pada
filantropi pembangunan dan nagari dan masyarakat. Dalam adat Minangkabau dikenal
tradisi “anak dipangku, kemanakan dibimbing, dan dipategangkan jan binasa.”
Maksudnya secara adat matrilineal masing-masing pribadi bertanggung jawab atas
keturunannya dan selalu memikirkan dan membantu pembagunan nigari dan
masyarakat yang menetap di kampung.
Istilah ‘jan binasa’ adalah suatu ungkapan yang mengingatkan perantau
Minang untuk selalu berbagi (sharing) –meski sebenggol-- sehingga hasil jerih payah
selama kepergiannya dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Bila adat ini ditinggalkan,
maka secara pribadi ia telah meninggalkan adat-istiadat. Istilah lain yang menjadi
motif keikutsertaan orang Minang untuk berbagai adalah “sato sakaki.” Kalimat ini
47
menyatakan seberapapun yang ia mampu dan miliki, ia tetap memberikan sebagai
tanda eksistensi kebanggaan menjadi ‘seorang Minang.’ Sebagai salah satu contoh
sebagaimana disebutkan di atas, bagaimana seorang pengusaha bernama Yendra
Fahmi berbagi untuk pembangunan nagari dan masyarakat baik di kampung ataupun
di perantauan, meski ia tidak dilahirkan di nagari asalnya dan tidak berayahkan asal
nagari Sulit Air.
Motif lain adalah agama Islam itu sendiri sebagai bagian dari budaya
Minangkabau. Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa kualitas iman tertinggi adalah
fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan), seperti yang tercantum dalam
al-Qur’an surat Fathir ayat 32. Fastabiqul khairat tidak hanya terbatas bagi masyarakat
Minang saja, namun juga untuk kemakmuran masyarakat Indonesia. Karena itu
perantau Minang asal Sulit Air memberikan bantuan pendirian masjid
Muhammadiyah di Yogyakarta sebanyak 30 Milyar sebagai amal jariyah sekaligus
memberikan nama masjid tersebut dengan nama ibunya yang berasal dari Sulit Air.
Hal ini mengungkapkan kebanggan seorang Minang dan ikatannya yang kuat pada
tanah halamannya.
48
BAB IV
ORANG MINANG SULIT AIR: PEMBENTUKAN JATI DIRI DAN
KEBANGGAAN BERNAGARI
A. Identitas dan Kebanggaan Etnis dalam Pentas Politik
Kelompok etnis merupakan bagian dalam kelompok primordial, yang
menurut Clifford Geertz hadir sesebagai sesuatu yang given dari hasil konstruksi
social yang cukup lama.1 Komunitas etnis adalah sebuah ascriptive criteria yang
membedakan antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Etnisitas merupakan
sebuah pertalian primordial dalam makna sesuatu yang terkait dengan hal yang tidak
bisa dilepaskan dalam kehidupan seseorang dan secara tradisional ada di tengah-
tengah masyarakat, sesuatu yang terus menerus hadir di masa lampau hingga sasat ini,
dan sebagai sesuatu kesadaran kolektif.2
Akar-akar identitas primordial sekarang semakin mengemuka di berbagai
belahan dunia seperti yang dikemukakan oleh Fukuyama dalam bukunya Identity: The
Demand for Dignity and the Politics Resentmen merupakan sinyal bagi kebangkitan
suatu entitas agama, etnis, ras, dan politik. Emosi etnis bermunculan sebagai bagian
dari politic of recognition yang menyangkut kehormatan (dignity).3 Di sini ada unsur
spiritualitas yang dirasakan sakral yang mampu menggerakkan masyarakat untuk
bangkit melawan arogansi suatu kekuasaan yang dominan.
Dalam kasus di Indonesia, identitas dan kebanggaan etnis kembali bangkit
setelah dihegominisasi sejak Orde Baru (Orba), bahkan lebih jauh di zaman ini demi
persatuan (ika) lebih dipentingkan, sementara bhinneka diabaikan. Era reformasi
memberikan angin segar bagi kebangkitan tersebut dengan berbagai regulasi (otonomi
daerah).
Problematika etnisitas di Indonesia telah berlangsung sejak masa-masa awal
kemerdekaan. Hal ini telah terbukti dengan meletusnya sebuah pemberontakan
bernuansa etnik, tepat lima tahun setelah repbulik ini berdiri. Munculnya Republik
Maluku Selatan (RMS) di tahun 1950, manjadi bukti awal sebuah upaya serius
1 Clifford Geertz, The Interpretation of Culture (New York: 1973), h. 259-263. 2 Syafuan Rozi, dkk (ed.), Politik Identitas: Problematika dan Paradigma Solusi
Keetnisan Versus Keindonesiaan di Aceh, Riau, Bali, dan Papua (Jakarta: Bumi Aksara),
2019, h. 19. 3 Francis Fukuyama, Identity: The Demand for Dignity and the Politics Resentmen
(New York: Farra. Dtraus & Giroux), 2018.
49
separatisme. Meski pada masa-masa selanjutnya uapaya menonjolkan identitas
keatnisan tidak begitu saja menyurut, di negara yang diamanatkan untuk berdiri di
atas keragaman etnik.
Munculnya potensi menguatnya identitas primordial selepasnya masuknya
sebuah negara kemerdekaan seolah membenarkan tesis Cliffor Geertz. Tidak
proporsionalnya keterwakilan etnis dalam pemerintahan dalam pemerintahan,
menjadi faktor pemicu kebangkitan etnik. Hal ini bisa dilihat adanya isu hangat
tentang ‘Jawa’ dan ‘non-Jawa’ pada waktu itu. Selain faktor itu, etnis juga dihadapkan
pada faktor kemunduran ekonomi, pertarungan ideologis, maupun kepentingan elite
lokal yang mendorong muncunya bibit sentiment keetnisan.
Adanya kekuatan etnis di beberapa daerah seperti Aceh, Riau, Jawa Barat,
Sulawasi Utara, Maluku, Bali dan Papua menunjukan eksistensinya dan ‘menan-tang
keberadaan keindonesiaan hingga berakhirnya Orde Lama. Kekuatan etnis ini
menunjukkan betapa semakin kuatnya identitas keetnisan membuktikan tesis Cliffort
Geertz, meski Indonesia telah mencapai era kemerdekaan.
Memasuki masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto upaya
kebangkitan etnisitas justeru semakin meredup. Hal ni disebabkan oleh kebijakan
pemerintah yang didukung pihak militer untuk menghegomenisasi keetnisan dalam
kerangka modernisasi pembagunan ekonomi dan politik. Semua bidang kehidupan
masyarakat ditafsirkan sebagai deideologisasi dan penyeragaman. Sikap pemerintah
yang mengedapankan hasil pembangunan ekonomi dan politik dalam batas-batas
tertentu mampu meredam kekecewaan dan ledakan kekuatan etnis.4
Meski kekuatan etnis melemah, namun kemudian muncul masalah baru, yaitu
persoalan ketimpangan daerah dan eksploitasi sumber daya alam (SDA). Hal ini
menyebabkan kemunculan kesadaran baru di kalangan etnis sebagai ‘korban’ dari
pihak pemerintah pusat. Cara-cara otoriter, represif, dan berorientasi ‘top down’ yang
dilakukan pemerintahan Orde Baru terhadap persoalan tersebut semakin menekan
kekuatan etnis sehingga melahirkan sikap ‘dendam kolektif’ yang pada gilirannya
akan melemahkan fondasi kesatuan bangsa itu sendiri.
Lahirnya era baru reformasi dengan tumbangnya rezim Orde Baru di tahun
1989 dan munculnya Habibie sebagi presiden baru telah membuka kran demokrasi
yang luas di tanah air Indonesia. Hal ini tidak saja melahirkan suasana baru dalam
kehidupan masyarakat baik dalam kehidupan sosial budaya, politik, ekonomi, tetapi
juga kebijakan pemerintah dengan keluarnya regulasi otonomi daerah (otda).
Dengan lahirnya otonomi daerah (otda), maka daerah memiliki kewenangan
dalam proses pembuatan kebijakan baik dalam konteks daerah maupun kebijakan di
tingkat pusat. Bahkan lebih luas lagi, pemberian status otonomi khusus (otsus) bagi
Aceh dan Papua oleh pemerintah pusat sebagai bagian dari tuntutan perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Diiringi pula pembentukan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) di badan legislatif nasional meski dengan fungsi minimal hingga terbentuknya
perwakilan independen dalam pemilihan kepala daerah. Dari segi kebudayaan, bahasa
daerah semakin banyak diperkenalkan dalam lembaga-lembaga pedidikan daerah dan
digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.
4 Syafuan Rozi, dkk (ed.), Politik Identitas: Problematika dan Paradigma Solusi
Keetnisan Versus Keindonesiaan di Aceh, Riau, Bali, dan Papua, h. 12.
50
Proses demokrasi yang berlangsung marak setelah era reformasi telah
membangkitkan primordialisme dan keetnisan sehingga masing-masing daerah
kembali mencari jati diri dan identitas yang disesuaikan dengan perkembangan waktu
dan zaman serta tetap menjaga dalam kerangka kesatuan nasional Republik Indonesia.
Hal ini di satu pihak menjadi pilar penting dalam pengukuhan eksistensi daerah; dan
di lain pihak memperkuat rasa persatuan bangsa seperti yang tercermin dalam
semboyan Tunggal Ika, yang tidak hanya mementingkan persatuan tetapi juga negara
menjamin pemeliharan dan perlindungan terhadap keberagaman etnis dan kultural
dalam masyarakat.
Kebangkitan identitas keetnisan di era reformasi dalam wilayah Indonesia
merupakan sebuah fenomena baru setelah beberapa dekade terabaikan. Tidak
terkecuali daerah Sumatera Barat, persoalan identitas muncul kembali dalam bentuk
menata ulang kegiatan organisasi dan nilai-nilai filosofis Minangkabau baik dalam
pemerintahan maupun pemangku adat.
B. Proses Pembentukan Identitas dan Kebanggaan Perantau Sulit Air
Untuk mengetahui sejauhmana tingkat pencarian pembentukan jati diri dan
kebanggaan terhadat etnis Minangkabau yang mereka miliki, peneliti telah melakukan
Focus Group Discussion (FGD) dalam bentuk wawancara dan diskusi kepada anak-
anak muda kaum milenial yang menjadi Pengurus Ikatan Pemuda Sulit Air berjumlah
29 orang yang tersebar di 25 provinsi melalui teknologi audio visual Zoom Meeting.
Sebagian besar dari mereka adalah kelahiran di rantau dan hanya beberapa kali pulang
kampung baik dalam bentuk ‘pulang basamo’ atau pulang bersama keluarga.
Daftar pertanyaan kepada responden yang umumnya lahir di tahun 1990-an
berkisar sekitar latarbelakang keluarga, pendidikan, ekonomi dan tempat tinggal.
Pertanyaan difokuskan berorientasi kepada pembentukan jati diri dan kebanggaan
kepada nagari asal mereka meski lahir di perantauan. Konstruksi pengalama hidup
mereka mereka bisa dijadikan sebagai jawaban atas penelitian bagaimana identitas
dan kebanggaan sebagai orang Minang terbentuk. Berikut ini adalah beberapa tabel
hasil penelitian yang menunjukkan indicator tersebut.
1. Pengenalan Budaya Minang
Untuk menekankan kesadaran jati diri di dalam kelompok-kelopok etnis
dalam menyimpam kenangan masa lalu adalah melalui media komunikasi sosial.
Melalui konsumsi media berbahasa Minang, anggota msyarakat Minangkabau bisa
menembus ‘batas khayal’. Media juga berfungsi mempertanyakan kepastian akar
yang menepatkan masyarakat di tempat atau daerah tertentu. Dengan demikian media
adalah perangkat sosial yang memungkinkan masyarakat Minangkabau yang pergi
merantau untuk menemukan jati diri pribadi, budaya, dan etnis mereka.
Media komunikasi menyediakan cara untuk mempertahankan kelangsungan
budaya meskipun terlepas dari tempat asal, suatu cara untuk memperbaharui Kembali
tradisi dalam konteks yangbaru dan beragam, melalui pengalihan bentuk lambing
yang disampaikan melalui media. Hal ini penting untuk menarik kembali memori
tradisi bagi masyarakat yang telah menetap dan merantau serta menggunakan Bahasa
berbeda dan memiliki adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda dengan mereka.
51
Hal ini terlihat dalam tabel 1, sebagian besar warga nagari Sulit Air yang lahir dan
besar di rantau (25%) melihat bahwa wadah yang menjadi pengenalan budaya
Minangkabau adalah melalui media komunikasi social. Media social yang digunakan
adalah media yang mudah diperoleh dan dimiliki, seperti Handphone (HP), video,
yang memuat drama, nyanyian, dan film.
Tabel 1. Wadah Mengenal Budaya Minang
No. Wadah Mengenal budaya Minang Jumlah
(orang)
Persentase
1. Orang tua 7 25%
2. Organisasi Minang 7 25%
3. Pergaulan 4 15%
4. Media komunikasi sosial 11 35%
Media lain sebagai wadah pengenalan budaya seperti tampak dalam tabel 1
adalah orang tua (25%) yang selalu menamani mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Kesadaran orang tua atas keberlangsungan suatu budaya diajarkan dan diwariskan
secara turun temurun kepada anak cucu mereka sehingga mereka mengendapkan
memori secara perlahan tentang adat istiadat Minangkabau dan agama Islam baik
secara konseptual maupun praktis.
Pengenalan budaya tersebut melalui orang tua sangat berkaitan dengan tanah
pusaka dan garis keturuna ibu (matrilineal) misalnya, mereka akan mengenal tanah
pusaka dan tanah warisan hasi usaha oranag tua sekaligus mengenal keluarga besar
baik dari garis ibu ataupun ayah sebagai bako anak-anaknya.
Adapun wadah lain terhadap pengenalan budaya Minangkabau adalah
melalui organisasi anak perantauan Minang (25%). Organisasi beridentitas Minang
berfungsi untuk mengikat dan mensosialisasikan budaya di antara masyarakat
sehingga muncul kecintaan dan kebanggan menjadi orang Minang. Dalam
perkumpulan ini diajarkan berbagai macam konsep, nilai, dan norma budaya Minang
dan berbagai macam tari, Bahasa Minang, jaringan sosial organisasi yang tersebar di
berbagai provinsi di seluruh Indonesia, bahkan ada di luar negeri. Bila dibandingkan
dengan orang tua mereka yang berumur rata-rata 40 tahun keatas, faktor organisasi
SAS merupakan berperan besar dari faktor-faktor lainnya dalam membangun identitas
dan kebanggaan terhadap bagari Sulit Air.
52
Rumah Gadang Sitinjau Lawik (Minangkabau Village). Lokasi: Padang Sarai,
Silayiang Bawah Nagari Bukit Surungan-Padang Panjang. Fungsi: pusat Informasi
dan dokumentasi. Minangkabau. Sumber: Hasmurdi Hasan, Ragam Rumah Adat
Mianagkabau- Falsafah, Pembangunan, dan Kegunaan (Jakarta: Yayasan Citra
Pendidikan Indonesia), 2004: h.154.
Minimnya partisipasi kelompok milenial perantau Sulit Air dalam organisasi
SAS atau IPPSA, sudah dikhawatirkan sejah tahun 1980-an. Ini disebabkan oleh
keberadaan generasi baru (Gen Y) yang tidak lagi lahir dan besar di nagari Sulit Air.
Akan tetapi, keberadaan orang tua mereka yang masih aktif di organisasi SAS-IPPSA,
ikut serta dalam kegiatan perantau (pengajian, olahraga, pulang basamo) di mana
anak-anak mereka juga dilibatkan, menjadi faktor penentu pengenalan budaya. Ini
sekaligus menjadi wadah pembentukan identitas dan kebanggaan menjadi orang
Minangkabau.
Pada dasarnya, bagi pemuda-pelajar Sulit Air yang lahir setelah tahun 1995
(Gen Z/millennial), perkumpulan SAS-IPPSA juga menjadi wadah yang penting bagi
mereka untuk mengenal budaya Minangkabau (Sulit Air). Hanya saja, tantangan yang
mulai dirasakan sejak tahun 1990-an, terlebih tahun 2000-an adalah menarik simpati
mereka untuk bergabung dalam kegiatan IPPSA. Ini diakui oleh peserta FGD dari
berbagai daerah maupun ketua umum IPPSA sendiri. Artinya, isunya bergeser dari
apakah perkumpulan SAS-IPPSA mampu menjadi wadah pengenalan budaya
Minangkabau, menjadi apakah para orang tua mampu mengajak putera-puterinya
untuk bergabung dalam kegiatan dua organisasi yang dibanggakan oleh perantau Sulit
Air ini.
Tidak hanya itu, isu penting lainnya terkait dua organisasi ini adalah
kemampuan merumuskan program atau kegiatan yang mampu menarik perhatian
generasi millennial, khususnya organisasi IPPSA. Karena tidak sedikit juga peserta
53
FGD menyatakan bahwa program-program yang diselenggarakan oleh IPPSA kurang
menarik dan tidak sejalan dengan karakter generasi millennial perantau Sulit Air
sendiri. Pada saat yang sama, banyak organisasi-organisasi luar yang justeru lebih
menarik perhatian; khususnya untuk pengembangan potensi atau karir.
Lingkungan sosial merupakan aspek yang sangat penting bagi penyebaran
budaya Minang. Lingkungan sosial bisa mencakup pergaulan antar sesama keluarga
besar, tetapi juga mencakup pergaulan antar teman-teman sebaya yang menjadi alat
‘transmisi budaya’ keminangan dalam kehidupan sehari-hari. Tukar menukar ide dan
pengalaman masing-masing individu dan antar kelompok dalam interaksi sosial
merupakan pembentukan jati diri dan kebanggaan sebagi etnis Minang.
Transmisi budaya melalui media sosial online pada dasarnya berakar
tunggang dengan tradisi jurnalisme masyarakat Sulit Air. Hanya saja, bila sebelum
tahun 1990an, majalah Suara SAS mampu menarik perhatian masyarakat Sulit Air,
maka untuk saat ini, mulai kehilangan pamor. Ada upaya oleh pengurus DPP SAS
menerbitkan Suara SAS berbasi website, namun informasi yang tersedia seringkali
telah dimuat di media sosial, seperti WhatsApp, Facebook, dan lainnya. Selain itu,
berita atau informasi yang disajikan tidak lagi ditulis dalam bahasa jurnalistik, seperti
pada saat Suara SAS terbit dalam versi luring.
Terlepas dari itu, media sosial online tidak hanya menjadi wadah transmisi
budaya Minangkabau kepada generasi millennial. Ia juga menjadi media yang penting
pembentukan kebanggaan mereka menjadi generasi Sulit Air. Ini terlihat jelas pada
saat ada informasi, baik yang disampaikan melalui program televisi, channel youtube,
dan lainnya, pada umumnya perantau Sulit Air, membagikan informasi tersebut
dengan tulisan di beranda “bangga menjadi urang Suliek Air”; “Ini kampungku” dan
lain sebagainya. Hal ini sejalan dengan temuan FGD sebagaimana diulas pada poin 2
berikut ini.
2. Tingkat Kecintaan dan Kebanggaan Menjadi Orang Minang
Dalam tabel 2 terlihat bahwa saat ditanyakan bagaiman bentuk kecintaan dan
kebanggaan yang mereka miliki terhadap kepemilikan budaya Minang, sebagian besar
menjawab sangat cinta dan bangga menjadi orang Minang. Hanya 15% yang
menjawab cukup bangga dengan keminangannya karena sebagian besar dari mereka
lebih banyak bergaul dengan teman-teman yang berlatarbelakang beragam etnis dan
bertempat tinggal jauh dari pemukiman orang sekampung serta jarang mengikuti
perkumpulan organisasi Minang. Merasa cukup bangga dengan keminangannya
didasarkan pada kehebatan masyarakat tokoh-tokoh Minang terdahulu dan kepintaran
dan kegigihan kaum perantau Minang dalam berdagang. Sedangkan yang menjawab
tidak merasa bangga menjadi orang Minang mendapat angka 0%.
No. Kecintaan dan Kabanggaan menjadi
Orang Minang
Jumlah
(orang)
Persentase
1. Sangat kuat 23 80%
2. Cukup kuat 6 20%
3. Kurang kuat 0 0%
54
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kebanggan menjadi orang Sulit
Air sering diekspresikan melalui media sosial. Terutama melalui postingan tentang
keberhasilan, liputan tentang nagari Sulit Air, atau informasi lainnya. Sebagai contoh
saat nama Kahrudin Yunus dibahas oleh akun Tarli Nugroho yang kemudian direspon
dengan menshare postingan tersebut. Pada momen Idul Fitri tahun ini, SAS
mengadakan acara Halal bi Halal SAS Sedunia. Kegiatan ini disambut riuh oleh
perantau Sulit Air, melalui akun media sosialnya.
Gambar 1. Capture Status Facebook Perantau Sulit Air
3. Penggunaan Bahasa Minang
No. Menggunakan Bahasa Minang dalam
kehidupan sehari-hari
Jumlah
(orang)
Persentase
1. Sangat bisa 8 30%
2. Cukup bisa 11 35%
3. Tidak bisa, hanya mengerti 7 25%
4. Tidak bisa dan tidak mengerti 3 15%
55
Penggunaan Bahasa Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari baik dalam
lingkungan rumah tangga maupun lingkungan pergaulan dengan sesama kawan atau
orang Minang merupakan identitas etnis yang signifikan dalam memelihara nilai-nilai
Minang tetapi juga menghidupkan ‘raso pareso’ filosofi adat istiadat Minangkabau
dan ajaran agama Islam. Jumlah 30% dan 35% yang sangat bisa dan cukup bisa
berbahasa Minang merupakan indikator bahwa budaya Minang cukup berhasil dalam
menanamkan dan memupuk kepemilikan bahasa daerah, tempat asalnya sebagai
bagian dari jati diri mereka. Sementara 25% hanya mengerti dan bisa sedikit-sedikit
mengerti beberapa kosa kata Bahasa Minang. Sedangkan angka 15% yang sama sekali
tidak bisa berbahasa Minang lebih banyak disebabkan karena kurangnya pedulian
orang tua di lingkungan keluarga untuk menjaga kelestarian budaya Minang.
C. SAS dan Jejaring Sosial Perantau Sulit Air Lainnya
Masyarakat Sulit Air dikenal sukses dalam perdagangan di rantau, tapi juga
ada kebanggaan dalam memberi bantuan bagi pembangunan nagarinya. Bila diteliti
banyak lagu-lagu Minang yang menggambarkan hal ini. Dalam percakapan pribadi
dan kelompok, Fachry Ali, seorang pengamat politik dan budaya, mengatakan bahwa
‘Indonesia’ dalam pandangan kaum Minang adalah ‘proyeksi etnik’ mereka. Jadi,
‘pusat’-nya tetap Minangkabau. Hatta, Tan Malaka, Agus Salim dan lain-lain, dengan
demikian, mereka adalah ‘dubes’ Minang. Terdapat lagu-lagu yang
mengumandangkan ‘membalik’ pusat ke Jawa (Tanah Jao). ‘Jawa’ bisa menjadi
‘koloni’. Tetapi sekaligus ‘medan pertempuran’. Eksistensi seseorang ditentukan
ditentukan oleh kejayaan yang berhasil diraih di Jawa. Tetapi, keberhasilan tersebut
bersifat ‘ekonomis’. Salah satu indikasinya adalah sang perantau tetap bertekad
mengirimkan dana ke kampung (Minangkabau) ‘walau hanya sebenggol,’ kata lagu-
lagu itu. Ini yg menguatkan pandangan bahwa Jawa adalah ‘koloni’. Sementara,
kerinduan tetap berlabuh ke kampung halaman.
Perlu ditekankan di sini bahwa keberhasilan para perantau bukan hanya
semata keberhasilan ekonomis, tetapi kebanggaannya terletak bagaimana mereka
‘berbagi’ dalam bentuk praktik filantropi yang selama ini dilakukan oleh masyarakat
Sulit Air dalam rangka membangun kampung halamannya. Filantrofi yang dilakukan
para perantau sangat penting sebagai alat transformasi prinsip-prinsip dasar ekonomi
Islam dalam pengembangan ekonomi umat, khususnya dengan menggunakan
instrumen filantropi Islam.
Didorong oleh pandangan hidup adat Minangkabau dan didesak oleh
kebutuhan ekonomi, mereka meninggalkan kampung halaman pergi ke rantau
menjadi keharusan. Merantau bukan berarti melepaskan identitas sosial, melainkan
semacam upaya, ikhtiar meraih kehidupan yang layak. Orientasi merantau untuk
memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik secara filsofis menurut adat adalah
untuk kembali ke kampung, tempat ia dilahirkan atau tanah asal keluarganya.
Ada nilai yang dibawa ke rantau orang. Sanak saudara ditinggalkan, di rantau
harus mendapat gantinya. Hiyu bali balanak bali, ikan panjang bali dahulu. Ibu cari
dunsanak cari, induak samang cari dahulu (Hiyu dibeli, balanak pun dibeli, ikan
panjang beli dahulu; Ibu dicari dunsanak dicari, induk semang cari dahulu). Secara
simbolik, merantau bukan berarti kehilangan segala sesuatu yang ada di kampung
56
halaman. Lebih dari itu, harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
Inggok mancakam, tabang manumpu (Hinggap mencekam dahan, jika terbang
bertumpu dengan dahan tersebut).
Proses merantau ke kota-kota yang ada di daerah Sumatera atau pun Jawa
dimulai dengan mencari induk semang yang biasanya berasal dari keluarga yang
terlebih dahulu merantau. Merantau bagi seorang laki-laki Minangkabau tidak diiringi
dengan membawa modal atau uang yang berlimpah. Melainkan membawa tulang nan
ampek karek, tubuah nan tigo runggo.5 Dengan cara ‘magang’ dengan keluarga yang
sudah ada di rantau ia belajar berdagang dan memulai ‘mengintip’ jenis dagangan,
apakah ia nantinya akan membuka jenis perdagangan yang serupa atau membuka
usaha baru yang lebih menguntungkan. Biasanya ‘magang’ dilakukan selama 2 atau
3 tahun dan setelah itu ia akan berusaha sendiri. Prinsip regenerasi perdagangan
seperti ini selalu dilakukan antar generasi.
Situasi jaringan kerja ekonomi perantau Minang menuntut para perantau agar
bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat dia merantau. Meski hidup
merantau di negeri orang, namun identitas keminangannya tetap terbawa sebagai
identitas dan jati diri, seperti melaksanakan ajaran agama Islam dan adat-istiadat yang
telah menjadi bagian dari falsafah hidup orang Minang. Pepatah Minag mengatakan
cupak nan tatagak (adat istiadat) di rantau orang ditaati dan diikuti. Di ma bumi
dipijak, di sinan langik dijunjuang. Menghormati dan ikut berpartisipasi dalam
kehidupan sosial masyarakat rantau, sesuai dengan adat istiadat mereka.
Hidup di perantauan yang jauh dari anak dan isteri telah membuat eratnya
hubungan kekerabatan masyarakat Sulit Air dan mendorong mereka untuk berkumpul
membentuk organisasi sosial guna menjaga hubungan silaturahim sesama mereka.
Tidak sekedar itu, organisasi yang mereka bentuk tanpa disadari telah membentuk
jejaring sosial yang kuat sehingga bisa dijadikan modal sosial (social capital) bagi
masyarakat Sulit Air untuk mengembangkan perekonomian, atau membangun
kampung halaman mereka. Melihat suasana kegotongroyongan masyarakat Sulit Air,
Prof. Ahmad Syafii Maarif yang juga berasal dari Minang, dalam buku otobiografinya
memuji kekompakan dan keharmonisan organisasi perantau asal Sulit Air.
Secara historis sangat banyak organisasi yang dibentuk oleh perantau Sulit
Air. Bahkan ada juga yayasan-yayasan sosial yang juga mereka bentuk, seperti
Yayasan Gunung Merah Yogyakarta, Yayasan Yaraja, Yayasan Rosma Rais, Yayasan
Haji, dan lain sebagainya. Namun, organisasi warga Sulit Air yang terkenal adalah
Sulit Air Sepakat (SAS), khusus untuk mereka yang telah berkeluarga; sedangkan
Ikatan Pemuda Pelajar Sulit Air (IPPSA) untuk para pemuda dan pelajar Sulit Air,
baik yang merantau atau yang lahir dan besar di rantau orang. Tak ketinggalan,
berdirinya Dewan Dakwah Risalah (DDR) pada tahun 2005 dalam rangka
memperkuat rancangan bagi pengembangan dakwah dan lembaga pendidikan Islam
nagari Sulit Air ke depan.
5 Tulang nan ampek karek, artinya tulang yang empat bagian: dua tangan dan kaki.
Adapun tubuah nan tigo runggo, artinya tubuh yang terdiri dari tiga rongga: kepala, dada, dan
perut. Dada merupakan simbol ilmu pengetahuan, dada adalah tempat bersemayamnya
keimanan, dan perut adalah kesejahteraan ekonomi.
57
Transformasi SAS pada Era 4.0
Keberadaan SAS sebagai organisasi perkumpulan perantau Minangkabau
yang cukup solid tidak terlepas dari kemampuannya melakukan transformasi dengan
perkembangan zaman. Sebagaimana temuan Addiarrahman, perkumpulan SAS secara
perlahan mampu melakukan adaptasi terhadap perkembangan teknologi informasi.6
Ini dapat terlihat dari program-program kegiatan pengurus DPP SAS Periode 2017-
2021 di bawah pimpinan H. Samsuddin Muchtar. Sekalipun tidak termasuk dalam
rekomendasi musyawarah besar (Mubes SAS 2017), ketua umum DPP SAS sangat
responsive menjawab kebutuhan berorganisasi dan bermasyarakat.
“Saya ini pebisnis. Dituntut mampu melihat perkembangan yang ada. Jika
tidak, maka kita kalah. Online ini kemutlakan. Kita harus sikapi. Saat ini saja
kita sudah ketinggalan berpuluh langkah. Jika tidak disakapi, maka kita akan
terbelakang.”7
Komitmen Samsuddin agar SAS mampu merespon perkembangan informasi
dan digitalisasi, tercerminkan pada program kegiatan yang dilaksanakannya. Berikut
adalah laporan kegiatan yang disampaikan pada kegiatan musyarakat kerja nasional
pada tahun 2019.
1. Bidang Hubungan Kerjasama Antar Lembaga
Pemakaian Narkoba dikalangan masyarakat belakangan ini sering kita
dengan dan telah menelan beberapa korban jiwa dikalangan remaja termasuk di
Sulit Air, sebelum kita melangkah untuk melakukan kerjasama dengan pihak
BNN, perlu kepedulian dan perhatian serius dari semua pihak dalam masyarakat
baik dari pemerintah Nagari, Alim Ulama dan datuk-datuk/penghulu kepala kaum
terutama dari pihak sekolah yaitu secara rutin memberikan pengertian kepada
anak didik dan para remaja dan masyarakat diluar sekolah mengenai bahaya
narkoba, jika langkah ini tidak berhasil maka perlu kita adakan kerjasama dengan
pihak BNN.
DPP SAS melalui Ketua Bidang Hubungan Kerjasama Antar Lembaga
juga telah melakukan kerjasama dan koordinasi dengan pemerintahan Nagari
Sulit Air, Kecamatan X Koto Diatas, Pemda Kab. Solok, dan Pemda Sumatera
Barat. Oleh sebab itu, DPP SAS juga ikut berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan
penting yang bersentuhan langsung dengan masyarakat Sulit Air, seperti:
6 Addiarrahman Addiarrahman, “Kearifan Lokal Dan Aktifitas Filantropi Perantau
Sulit Air Sepakat (SAS) Dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0,” INFERENSI: Jurnal
Penelitian Sosial Keagamaan 13, no. 1 (20 Juli 2019): 177–200,
https://doi.org/10.18326/infsl3.v13i1.177-200. 7 Wawancara pribadi dengan Bpk. Samsudin Mukhtar, 20 Maret 2020.
58
a. Kegiatan Tentara Manunggal Membangun Desa/Nagari;
b. Mendukung secara aktif program Pemda Sumbar yang telah menetapkan
Nagari Sulit Air sebagai Nagari Binaan Kerjasama Rantau;
c. Melakukan kerjasama dengan lembaga pendidikan/ Perguruan Tinggi baik
swasta maupun negeri, untuk memperoleh beasiswa atau minimal keringanan
pembayaran uang kuliah bagi putra-putri Sulit Air yang kuliah di PT tersebut.
Untuk saat ini, DPP SAS telah menandatangani Naskah Kesepahaman (MoU)
dengan UIN Imam Bonjol Padang;
d. Pada tanggal 26 April 2019, DPP SAS berkunjung ke Kantor Gubernur
Sumatera Barat dalam rangka kerjasama antar lembaga dan diterima oleh
Asisten II Gubernur, Bapak Benny dan Kepala Bidang Bina Rantau, Ibu
Hilma;
e. Melakukan kerjasama dengan Yayasan, perkumpulan, dan badan lainnya
terutama dalam bidang sosial kemasyarakatan, seperti: pengumpulan dana
untuk korban bencana alam dan kebakaran dari warga Sulit Air, baik di
rantau maupun di kampung halaman;
f. Kerjasama dengan travel dan biro perjalanan haji dan umrah, seperti dengan
PDA Travel di Pekanbaru, Sianok Travel di Padang
2. Bidang Pemuda dan Olahraga
Wafatnya Ketua Bidang Pemuda dan Olahraga, sedikit menghambat
kinerja pada bidang ini. Namun, trobosan utama yang telah dilakukan adalah
pendirian Akademi Sepak Bola (ASB) di Sulit Air yang pada mulanya dibiayai
sepenuhnya oleh DPP SAS. Melihat perkembangan dan kemajuan SSB,
masyarakat luas menjadi antusias dan ikut memberikan dukungan dana setiap
bulannya untuk operasional ASB. Di samping itu, Bpk. Muslim sebagai pengganti
almarhum Drs. H. Firdaus Syam, telah berperan aktif dalam membantu IPPSA
melaksanakan LDK.
Gambar 2. Coaching Clinic ASB Bersama Robby Mariandi
59
3. Bidang Penelitian dan Pengembangan
Kami telah melakukan diskusi-diskusi dan konsultasi dengan lembaga-
lembaga yang bergerak dibidang pendidikan dan penyaluran tenaga kerja, antara
lain dengan Enleght, salah satu lembaga di Australia (Sydney) yang bergerak
dalam bidang agensi pendidikan dan tenaga kerja di Australia. Australia masih
sangat membutuhkan tenaga kerja yang bersifat Skill seperti Dokter, Perawat,
tenaga mekanikal dan keahlian lainnya. Untuk bidang pendidikan Enlight juga
memberikan konsultasi dan mencarikan perguruan tinggi yang berkualitas untuk
warga Indonesia khususnya warga Sulit Air yang ingin melanjutkan study ke
Jenjang S2 di Australia. Mahasiswa yang belajar di Australia diberikan
kesempatan oleh pemerintah Australia untuk bekerja 18 jam/minggu dengan upah
berkisar antara 20 s.d 40 Dollar/jam, sehingga mahasiswa dapat membiayai hidup
sendiri sembari menuntut ilmu.
4. Bidang Pariwisata, Sosial, Adat dan Budaya
Program unggulan pada bidang ini adalah SAS Peduli. Hingga saat ini,
DPP SAS melalui program SAS Peduli telah berperan aktif dalam meringankan
beban korban bencana alam, seperti: kebakaran, gempa bumi, sunami, angina
putting beliung, dan lainnya. Total dana yang telah disalurkan adalah sebesar: Rp.
246.990.000 (Dua ratus empat puluh enam juga sembilan ratus Sembilan puluh
juta rupiah). Adapun rinciannya, sebagai berikut:
▪ Kebakaran Ujung Batu terkumpul sebesar Rp.10.500.000;
▪ Kebakaran di Kerinci dan Way Halim telah terkumpul Rp.24.840.000 untuk
9 keluarga;
▪ Kebakaran di Pasar Natar dan Angin Puting Beliung di Sulit Air telah
terkumpul dana sebesar Rp.103.750.000 (Termasuk dari YTMP
Rp.12.800.000) telah disalurkan sbb. :
a. Untuk warga SAS Natar Rp.74.650.000 (Incl Transportasi)
b. Untuk warga di Sulit Air Rp.27.900.000 (Incl Transportasi)
▪ Musibah angin Puting beliung dan badai serta kebakaran Rumah Ibu
Nurhayati di Linawan telah terkumpul dana sebesar Rp.16.900.000;
▪ Bantuan utk Warga SAS KCS Yen Marnis yang terkena Kanker
Rp.14.600.000;
▪ Bantuan Gempa Lombok Rp.18.850.000 dan 500 kg Rendang;
▪ Gempa dan Tsunami Palu dan Donggala Rp.31.200.000;
▪ Bantuan Kebakaran Warga SAS Petamburan Rp.10.600.000 tanggal 29
Januari 2019;
▪ Bantuan Kebakaaran warga SAS Tanah Abang Rp.2.250.000 tanggal 29
Januari 2019;
▪ Bantuan Kebakaran warga SAS Pekanbaru Rp.4.500.000;
▪ Bantuan Computer untuk MAM Sawitan Rp.9.000.000 (5 unit computer);
▪ Bantuan musibah kebakaran dan banjir di Bengkulu, diserahkan tanggal 7
Mei 2019 uang sejumlah Rp. 11.650.000 dan rendang dari pemda Sumbar
sebanyak 12 Kotak.
60
5. Bidang Hukum dan Perlindungan Anggota
Masalah utama yang dihadapi dalam bidang ini adalah kesadaran
masyarakat tentang hukum dan advokasi hukum. Sdr. Afdhal Muhammad, SH
sebagai ketua bidang hukum dan perlindungan anggota senantiasa menghimbau
bahwa advokasi hukum bukanlah melindungi orang yang salah, melainkan
melindungi hak-hak hukum setiap anggota/ warga Sulit Air yang mengalami
masalah hukum. Oleh sebab itu, yang diperlukan adalah kesadaran warga Sulit
Air untuk mematuhi setiap peraturan/ hukum yang telah ditetapkan oleh
pemerintah.
6. Bidang Pembinaan Asset
Tugas utama bidang pembinaan asset adalah melakukan balik nama
kepemilikan Gedung DPP SAS menjadi milik “Perkumpulan SAS”. Program ini
telah terlaksana dengan baik sesuai dengan limit waktu yang ditetapkan oleh
Mubes SAS 2017. Awalnya, banyak pihak yang meragukan kemampuan DPP
SAS melakukan hal itu karena biaya yang diperlukan terbilang cukup besar. Jika
berpatokan pada nilai NJOP, DPP SAS harus menyiapkan dana + Rp.
970.000.000. Namun, dalam proses balik nama, dengan berbagai upaya yang telah
dilakukan, proses balik nama tersebut bisa terwujud dengan hanya menghabiskan
biaya Rp. 265.000.000,-.
Terhitung sejak tanggal 27 Desember 2017 dengan Nomor Sertifikat Hak
Guna Bangunan: 00702/Manggarai Selatan telah resmi menjadi milik
Perkumpulan SAS. Oleh sebab itu, DPP SAS telah menghimbau agar seluruh
cabang melakukan hal yang sama melalui Surat Edaran Nomor SE.11/DPP
SAS/XII/2017 tertanggal 08 Desember 2017.
Sampai saat ini, ada DPC SAS yang telah melakukan balik nama, yaitu:
DPC SAS Kebayoran, Ciledug, dan Sekitarnya (KCS), Parung Panjang, Muara
Dua, Kota Bumi, Petamburan, dan Padang. Adapun yang masih dalam proses,
yaitu: DPC SAS Palembang, Bandar Jaya, Kepahiang, Pulau Beringin, Liwa, dan
Bandung.
7. Bidang Media, Informasi dan Teknologi
Penerbitan Suara SAS sebagaimana yang di amanat Mubes SAS 2017
adalah dalam bentuk cetak. Hal ini telah dilakukan dengan diterbitkannya Suara
SAS Edisi 1 Tahun 2018. Akan tetapi, masalah utama terbitan majalah dalam
versi cetak saat ini adalah informasi yang disajikan relatif telah usang atau
kadaluarsa. Keberadaan social media, seperti WhatsApp, Facebook, Twitter,
menyebabkan setiap informasi tersebar secara real time. Oleh sebab itu, dan atas
pertimbangan efisiensi dan efektifitas, DPP SAS memutuskan menghentikan
majalah Suara SAS dalam versi cetak. Sebagai gantinya, DPP SAS membuat
laman informasi versi daring yang dapat diakses melalui https://www.sas.or.id.
Website ini berfungsi sebagai Sistem Informasi SAS (Sinfo-SAS) yang memuat
61
menu-menu utama, seperti: Suara SAS, Kaba Nagari, KAN, IPPSA, dan lainnya.
Di samping itu, pada link tersebut juga tersedia online library (e-Library) yang
menyediakan referensi-referensi penting tentang Sulit Air, sehingga memudahkan
siapapun yang hendak melakukan kajian tentang Sulit Air. Menu lainnya yang
sedang dikembangkan adalah laman Lazis SAS. Pada laman ini, warga SAS dapat
mengakses informasi berkaitan dengan pengelolaan dana Zakat, Infaq, dan
Shadaqah; baik dari aspek pengumpulan dan pemanfaatannya. Seluruh sistem
informasi tersebut dapat diakses melalui telepon pintar dan saat ini, sedang
dilakukan pembuatan aplikasi yang akan tersedia di google playstore sehingga
setiap warga dapat mengaksesnya secara cepat. Di samping itu, bidang ini juga
telah membuat youtube channel Perkumpulan SAS.
Gambar 3. Homepage sas.or.id
62
D. Filantropi SAS dan Kebanggaan Menjadi Orang Sulit Air
Kaluak paku asam balimbian,
tampuruang lenggang-lenggokkan,
dibaok urang ka saruaso,
anak dipangku kamanakan dibimbiang,
urang kampuang dipatenggangkan,
tenggang nagari jan binaso
Pepatah ini baik dilafazkan maupun tidak menjadi inspirasi bagi perantau
Minangkabau, khususnya Sulit Air, untuk membangun kampung halaman mereka.
Tenggang nagari jan binaso, bukan sekedar menjaga nagari dari kemaksiatan dan
kejahatan, namun melakukan pembangunan dalam segala lini kehidupan. Mulai dari
ekonomi, sosial, seni, budaya, politik, hukum, hingga kehidupan beragama. Bagi
masyarakat Sulit Air, kepedulian terhadap kampung halaman, sanak famili terungkap
dalam pepatah berikut:
Apo gunonyo kabau batali (Apa gunanya kerbau bertali)
Usah dipawik di pematang (Jangan diikat di pematang)
Pawikkan sajo di tangah padang (Ikatkan saja di tengah padang)
Apo gunonya badan mancari (Apa gunanya badan mencari)
Iyo pamaga sawah jo lading (Untuk memagar sawah dan ladang)
Nak mambela sanak kanduang (Untuk membela sanak kandung)
Bekerja keras di rantau orang. Siang malam pagi dan petang. Tak lain adalah
bertujuan untuk pamaga (memelihara) sawah dan ladang (nagari, kampung halaman).
Banyak cara yang dilakukan. Mulai dari memberikan bantuan uang buat sanak famili,
hingga membangun berbagai fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat. Misal,
pembangunan surau, masjid, jalan, sekolah, dan lain sebagainya.
Perantau Sulit Air, baik secara pribadi maupun organisasi, melalui SAS,
IPPSA, DDR, dan inisiatif warga Sulit Air di perantauan, memiliki kedermawanan
sosial yang tinggi dalam rangka membangun Sulit Air. Sikap fiantropi yang mereka
miliki menjadi social capital yang sangat bermanfaat untuk mensejaterahkan
kehidupan masyarakat Sulit Air pada umumnya. Hal ini merupakan refleksi dorongan
adat dan agama yang begitu kuat tertanam dalam diri mereka.
Masjid-masjid dan surau-surau yang ada di Sulit Air, pada dasarnya
dibangun atas swadaya masyarakat perantau dan juga yang ada di kampung. Bahkan
ada pula yang dibangun atas sponsor individu, yang manfaatnya dirasakan oleh
masyarakat secara keseluruhan. Berdasarkan data, terdapat 10 masjid dan 30 surau di
nagari Sulit Air. Belum termasuk beberapa bangunan surau yang telah lama berdiri
dan nyaris terbengkalai di beberapa pelosok jorong-jorong yang ada di nagari Sulit
Air. Keberadaan masjid dan surau ini, sangat membantuk kehidupan keagamaan
masyarakat meskipun peran dan fungsi surau saban hari kian memudar.
Dari aspek Pendidikan, saat ini terdapat 12 Sekolah Dasar, 3 SLTP dan 3
SLTA (termasuk Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah). PSA merupakan sekolah
pertama yang didirikan atas kepedulian kaum perantau Sulit Air. Bangunan sekolah
63
ini, setiap tahun direnovasi sesuai dengan kebutuhan sekolah termasuk dalam hal
pengadaan fasilitas; labor komputer, perpustakaan dan lain sebaginya. Madrasah
Tsanawiyah Muahammadiyah dan Madrasah Aliyah Muhammadiyah juga didirikan
atas kepedulian perantau Sulit Air, di samping juga dibantu oleh pemerintah melalui
Departemen Agama.
Guru-guru SLTP N X Koto Di Atas, ada yang dikuliahkan atas sponsor
Yayasan Gunung Merah Yogyakarta. Abrar Miin, selaku sekretaris harian yayasan ini
mengungkapkan, telah banyak bantuan terhadap guru, baik honorer maupun PNS
untuk melanjutkan studi mereka. Guru-guru di PSA pun juga demikian. Tidak
ketinggalan murid-murid yang berprestasi juga diberikan beasiswa dari yayasan yang
didirikan oleh masyarakat perantau Sulit Air. Seperti Yayasan Gunung Merah,
Yayasan Haji, Yayasan SAS Sidney, Yayasan Yaraja, dan lain sebagainya. Bantuan-
bantuan yang diberikan itu sangat membantu operasional sekolah dalam
menyelenggarakan program-program di bidang pendidikan. Tak terlupakan, secara
personal banyak pula perantau yang memberikan bantuan kepada sekolah-sekolah
mereka, selaku alumni.
Di bidang ekonomi, juga menjadi pusat perhatian perantau. Banyak program
yang telah dicanangkan dan dilaksanakan oleh perantau Sulit Air. Pada masa Rainal
Rais Dt. Rajo Satie nan Mulie, misalnya. Ketika kondisi ekonomi masyarakat Sulit
Air di kampung sedang merosot, sehingga terkenal sebagai “kota wesel.” Ia berupaya
mendirikan BPR Surya Katialo yang modalnya dimiliki oleh masyarakat Sulit Air,
manfaatnya pun sangat dirasakan oleh masyarakat; di seluruh kecamatan X Koto Di
Atas.
Bantuan program pengolahan lahan kritis, holtikultura tidak terlepas dari lobi
kaum perantau Sulit Air. Pemberian 500 ekor sapi untuk diternakkan juga atas
dukungan kaum perantau yang sama sekali tidak mengharapkan imbal balik dari
hasilnya. Oesman Sapta, mantan Ketua Sewan Perwakilan Daerah (DPD) baru-baru
ini setelah memperoleh gelar Datuk Kehormatan, Dt. Bandaro Sutan Nan Kayo dari
kaum suku Limo Panjang, juga banyak memberikan bantuan kepada nagari Sulit Air.
Di antaranya perbaikan Rumah Gadang, Balairungsari, dan termasuk menyerahkan
bantuan 500 ekor sapi. Ketika diwawancarai oleh Hamdullah Salim, program ini telah
sering dilakukan namun selalu saja mengalami kegagalan. Sapta menjawab: “Kalau
gagal, itu sudah nasib saya.” Sebelumnya dia menjelaskan secara tegas bahwa
“dengan kegiatan pengembalaan sapi ini, saya bermaksud ingin membangun suatu
sistem lapangan kerja. Jangankan ajak orang Sulit Air jadi pengemis atau peminta,
ajaklah mereka jadi orang pemberani.8
Ketika diwawancarai oleh redaksi DDR, Mohammad ‘Azzam Manan, perihal
bagaimana membangun ekonomi Sulit Air yang kompetitif, Rainal Rais Dt. Rajo Satie
Nan Mulie memberikan banyak penjelasan. Menurutnya, kehidupan rantau tidak serta
merta menjamin kesejahteraan masyarakat Sulit Air. Untuk itu perlu upaya lain yang
harus dilakukan, misal dengan mengoptimalkan industri rumah tangga (home
industri). Semasa menjabat sebagai Ketua Umum DPP, hal ini telah dilakukannya.
Yaitu usaha pembuatan perangkap tikus dan pemanggang daging yang terbuat dari
8 Hamdullah Salim, “Dr. Oesman Sapta Dt. Bandaro nan Kayo,” Media DDR
Membangun Masyarakat Madani dengan Etos Islam, Edisi 3, Januari 2009, h. 78
64
kawat. Mulanya memberikan prospek yang baik tapi hilang di tengah jalan begitu saja.
Keberadaan Lumbung Pitih Nagari dan BPR Surya Katialo, di mata Rainal merupakan
solusi terhadap persoalan modal untuk menjalankan kegiatan ekonomi.9
Rainal Rais tentu hanya satu di antara sekian banyak perantau Sulit Air yang
peduli terhadap kampung halamannya. Bila disimak gebrakan yang dilakukan DDR
melalui program pendirian Pondok Pesantren Modren Gontor Cabang 9 Sumatera
Barat di Sulit Air merupakan salah satu bukti nyata pendirian lembaga pendidikan
agama yang diharapkan pemenuhan sekolah agama yang modern serta ikut
mengharumkan nama nagari Sulit Air. Saifullah Sirin Dt. Rajo Mangkuto sebagai
Ketua Pembangnan Pondok Moden Gontor Cabang 9 yang dibentuk DDR adalah
seorang pengusaha di Bandung tanpa ragu memberikan bantuan senilai satu milyar
lebih. Baginya bantuan seperti itu sama halnya dengan berinvestasi untuk akhirat.
Laiknya juga bantuan beasiswa yang Dt. Rajo Mangkuto memberikan kepada
beberapa siswa berprestasi Sulit Air untuk melanjutkan kuliah ke Universitas al-Azhar
di Kairo, Mesir. Selain itu, ia juga pernah diberikan beasiswa kepada peneliti Addi
Arrahman oleh Datuk Rajo Mangukuto ini. Waktu itu dengan sederhana beliau
bertanya “apa yang akan kamu berikan kepada masyarakat Sulit Air melalui
pendidikan yang kamu timba sekarang”. Ungkapan yang tersebut dirasakan penerima
beasiswa sebagai wujud kedermawanan dan kesalehan sosial terhadap masyarakat.
Pembangunan Pesantren Modern Gontor di Sulit Air, bagi Saifullah Sirin
adalah upaya menyiapkan bekal jalan pulang ke rahmatullah. Bagi Yendra Fahmi
beserta isterinya, Sarimeidina Hanifah Fahmi Dina, angka satu milyar yang ia
dermakan buat pembangunan PPM Gontor merupakan wujud syukur atas harta yang
dititipkan Allah SWT kepada mereka. Di rumah Fahmi, selalu stand by uang zakat,
infak dan shadaqah untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
Hal ini membuat sosok Dt. Rajo Mangkuto terkagum-kagum kepada Fahmi. Baginya,
Fahmi adalah sosok pemuda yang tak takut miskin.
Suatu peristiwa yang benar-benar mencitrakan sikap kesalehan sosial
ditampakan lagi oleh Fahmi. Ini juga yang membuat Dt. Rajo Mangkoto selalu
mengingat kebaikannya. Datuk Mangkuto bercerita, ketika itu, Fahmi melihat seorang
kakek ahli saum yang hidup sebatang kara. Melihat kondisi kakek tersebut, Fahmi
membangunkan sebuah rumah buat si kakek yang telah dianggap guru dan juga orang
tuanya itu.10 Terakhir pada tahun 2020, Fahmi dengan menyumbangkan dana bantuan
sebanyak 30 Milyar untuk pembangunan sebuah Mesjid bagi oganisasi
Muhammadiyah di Yogyakarta dengan nama ibunya di masjid tersebut.
Sikap kedermawanan atau filantropi para perantau Sulit Air, tidak terbatas
pada bantuan rumah-rumah ibadah dan lembaga pendidikan agama, tetapi juga dalam
bentuk bantuan dana warga yang kena musibah, sakit, tidak mampu, dan hambatan-
hambatan lain yang bersifat urgen dan darurat. Hal ini dilakukan baik secara secara
terencana maupun insidental. Keberadaan SAS, IPPSA, DDR, dan beberapa yayasan
9 Mohammad ‘Azzam Manan, “Wawancara Membangun Ekonomi Sulit Air yang
Kompetitif,” Media DDR Membangun Masayrakat Madani dengan Etos Islam, Edisi 1,
Februari 2008, h. 10-11 10 Bambang Trimansyah, “Tidak Takut Miskin,” Media DDR Membangun
Masyarakat Madani dengan Etos Islam, Edisi 4, Maret 2009, h. 27-28
65
telah menunjukkan peran serta mereka membantu pembangunan nagari Sulit Air. Hal
ini merupakan social capital yang sangat bermanfaat untuk mensejahterakan umat.
Dan masih banyak catatan lain tentang kedermawanan perantau Sulit Air terhadap
kampung halaman mereka.
Sikap kedermawanan para perantau Sulit Air merupakan bentuk kesalehan
sosial yang tumbuh dan menjadi identitas kultural dari masyarakat yang memiliki
kearifan lokal. Local wisdom yang mereka pegang dan sekaligus telah menjadi
worldview, telah membimbing mereka menjadi sosok yang memiliki kesalehan sosial.
Bagi perantau Minangkabau, khususnya Sulit Air, mereka merasa malu meskipun
telah sukses di rantau orang, bila belum bisa berbuat untuk kemajuan kampung
halaman mereka. Hal ini tampak dalam goresan puisi yang ditulis oleh Rainal Rais
Dt. Rajo Satie Nan Mulie berikut:
Siapapun anda, seorang sarjana, pengusaha ataukah seorang kepala keluarga
yang bahagia. Ataukah seorang yang pernah menikmati diri kami. Kini tiba
saatnya, kami menuntut, menuntut anda. Pandang dan lihatlah kami, atau
setidaknya, sisihkanlah sedikit waktu anda untuk kami, SULIT AIR.11
E. Dewan Dakwah Risalah (DDR)
Dari namanya, lembaga ini sudah dapat dipastikan bergerak di bidang dakwah
islamiyah. Keprihatinan melihat kondisi masyarakat yang semakin menurun kualitas
pendidikan pada satu sisi, dan kurangnya da’i atau ulama yang menyampaian syi’ar
Islam di masyarakat Minangkabau, khususnya Sulit air, memicu beberapa tokoh dan
generasi muda membentuk lembaga ini. Fokus utamanya adalah pengembangan
dakwah dan pendidikan warga Sulit Air dan membangun sinergi dalam memenuhi
kebutuhan keagamaan dan pendidikan, baik dalam peningkatan pemahaman maupun
praktek keagamaan.
Konsekuensi dan implikasi modernitas atau lumrah dipahami
“pembangunan” mengguras kearifan dan mengikis sendi-sendi kehidupan beragama
masyarakat Sulit Air khususnya dan Minangkabau pada umumnya. Beriringan dengan
itu pula, perubahan juga terjadi dalam ‘arus pemikiran Islam melalui fenomena
kebangkitan Islam. DDR pada kancah ini, ingin ikut memberikan paradigma baru bagi
pengembangan dakwah dan pendidikan di Sulit Air.
Tergerak merubah kondisi yang telah memprihatinkan itu, DDR memiliki visi
untuk menjadikan dakwah sebagai usaha untuk meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman agama yang benar dalam rangka membentuk kehidupan Islami warga
Sulit Air khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sebuah visi yang
benar-benar mencitrakan begitu terperosoknya kehidupan keagamaan masyarakat
Sulit Air sehingga dakwah yang benar jadi jawabannya.
DDR diprakarsai oleh Buya H. Salim Amani; H. Bungkarmin Durin;
Syafrizal Anas, S.Ag. MM; Drs. H. Zafrullah Salim, MH; Dr. H. Mohammad Amin
11 Rainal Rais, Goresan-goresan Pemikiran dan Perubahan Selama Sembilan Tahun
Mendayung Perahu “Sulit Air Sepakat”, h. Ii.
66
Nurdin; Drs. H. Hamdullah Salim; H. Mohammad Emnis Anwar, Lc., MA; Drs.
Mohammad ‘Azzam Manan, MA; H. Nazlir Ahmad, dan Dr. Fisher Zulkarnaen.
Dewan Dakwah Risalah (DDR) yang menggagas pendirian Pondok Modern Gontor
Cabang 9, berdiri pada tanggal 5 Agustus 2005 di kediaman H. Zafril, Jl. Balai Pustaka
Barat No. 51, Rawamangun, Jakarta Timur, DDR didekralasikan. Ikut dalam
pendekralasian itu, antara lain. Prof. Dr. H Jurnalis Udin; Drs. H. Rainal Rais Dt. Rajo
Satie Nan Mulie; H. Helmi Panuh Dt. Pono Marajo, SH; H. Ridwan Liun; dr. H.
Hermansyah Salim, S.Pm; Drs. H. Zulkarnaen Djamin; dan H. Zafril.
Berdirinya Pondok Modern Darussalam Gontor Cabang 9 (dulu Cabang 11)
diawali di tahun 2010 dari sebuah ‘mimpi’ karena berkaitan dengan lahan tanah dan
biaya pembangunan gedung dan sarana pendukung lainnya yang nilainya tidaklah
sedikit.12 Menurut Dr. Emnis Anwar, salah satu ketua DDR, menyebutkan bahwa ini
adlah pekerjaan yang mudah, karena salah satu syarat untuk membangun Cabang
Pondok Gontor harus menyediakan tanah minimal sebanyak 7 ha, sedangkan tanah
adat dimiliki dimiliki oleh suatu kaum yang jumlah ratusan orang.
Ide dasar pendirian Pondok tersebut berangkat sebagai bagian dari
‘mambakiak batang tarandam’. Dulu di Sumatera Barat, dikenal konsep surau sebagai
wahana pendidikan agama bagi masyarakat di nagari sebagai ‘bekal’ bila nanti pergi
merantau. Namun dlam perjalanan waktu, surau kini bukan hanya telah roboh, tetapi
juga juga telah ‘terkubur’ oleh berbagai dampak globalisasi. Akibat lebih jauh, sering
dibicarakan orang bahwa orang Minang saat ini telah kehilangan jati diri atau identitas
mereka. Konsep ‘Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah (ABS-SBK)
yangmenjadi falsafah dan nilai-nilai pedoman hidup orang Minang tidak lagi menjadi
pedoman hidup. Minangkabau yang dulu terkenal sebagai produsen kaum ulama,
cadiak pandai di tingkat nasional maupun internasional kini tinggal nama dan
kenangan. Kebanggan menjadi orang Minang hanyalah kebanggaan masa lalu.
Pendirian Cabang Pondok Gontor di nagari Sulit Air merupakan perwujudan
pengembangan sektor pendidikan agama sebagai bagian dari dasar pengembangan diri
dan peradaban masyarakat Minangkabau serta masyarakat Indonesia pada umumnya.
Berdirinya Pondok Gontor menjadi kebanggaan masyarakat Sulit Air dan masyarakat
Minang pada umumnya. Selain itu, yang lebih penting lagi adalah membangun masa
depan generasi ketiga dan keempat Sulit Air yang dekat dan cinta dengan nagarinya
melalui sarana Pendidikan, khususnya dalam pendidikan agama.13
Dengan visi dakwahnya, DDR memiliki enam misi utama yang kemudian
dituangkan dalam bentuk program kerja. Keenam misi ini, betul-betul diarahkan
kepada upaya mewujudkan dakwah islamiyah agar tercipta masyarakat madani
dengan etos Islam. Keenam misi itu adalah:
Pertama, meningkatkan pemahaman keagamaan dan menyediakan fasilitas
layanan bagi praktik ibadah keagamaan warga Sulit Air dan masyarakat muslim pada
umumnya; Kedua, meningkatkan kuantitas dan kualitas da’i warga Sulit Air dalam
mencapai tujuan dakwah agar sesuai dengan komunitas sasaran dakwah; Ketiga,
menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga keagamaan warga Sulit Air di wilayah
12 Wawancara pribadi dengan Emnis Anwar, Ketua DDR, 20 Maret 2020. 13 Wawancara pribadi dengan Emnis Anwar, Ketua DDR, 20 Maret 2020.
67
Jabodetabek dan lembaga keagamaan Islam yang lain dalam usaha membangun
jaringan (networking) dan membina sinergi; Keempat, melaksanakan dakwah,
pendidikan, dan pengajaran dalam dimensi luas, baik yang bersifat teoritis maupun
aplikatif; Kelima, merintis, mengembangkan, dan memberdayakan lembaga-lembaga
pendidikan warga Sulit Air sesuai dengan tujuan dakwah. Keenam, membangun
jaringan sistem informasi dalam bentuk media cetak maupun media elektronik agar
dapat diakses oleh komunitas sasaran dakwah di manapun mereka berada.
Ide mendirikan PPM mendapatkan respon positif di kalangan perantau yang
berasal dari Sulit Air. Berbagai pertemuan diselenggarakan dan pada akhirnya
terbentuklah Panitia Pembangunan Pendirian Pondok Moderen Gontor yang diketuai
oleh Bapak Rainal Rais Dt. Rajo Satie Nan Mulie. Pekerjaan pun dimulai dengan
melakukan negosiasi denga pimpinan Pondok Gontor Pusat yang berada di Gontor
Ponorogo. Ide ini disambut gembira oleh pimpinan Pondok Gontor yang juga
kebetulan mempunyai ide untuk membuat seribu cabang Gontor di Indonesia. Bak
gayung bersambut, sosialisasi pendirian Pondok Gontor disambut gembira warga
Sulit Air. Tetapi seiring dengan perjalanan waktu persoalan tanah yang akan menjadi
lahan pendirian pondok tidaklah mudah. Barulah pada tahap berikutnya saat Ketua
Pembangunan Pendirian Gontor dipimpin oleh Bapak Saiful Sirin Dt. Rajo Mangkuto
berhasil mendapatkan tanah wakaf yang diberikan oleh Kaum Suku Simabue Ilie yang
diajukan oleh seorang tokoh Sulit Air bernama Ali Ridwan Liun.
Ide pendirian Pondok semakin menggelinding dan sampai pada puncaknya
saat launching pendirian Pondok Modern Gontor Cabang 11 di Sulit Air pada tanggal
5 Februari 2009. Acara launching disambut gembira oleh warga nagari dan perantauan
yang dihadiri oleh pimpinan Pondok Modern Gontor Pusat, Menteri Perhutanan H.S
Ka’ban, Gubernus Sumatera Barat Gamawan Fauzi beserta para Bupati dan Walikota
dari kota kabupaten Sumatera Barat, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din
Syamsuddin, tokoh-tokoh akademik seperti Prof Bakhtiar Effendi, Indra Samego, dan
para pengusaha-pengusaha Minang asal SulittAir dan juga didukung oleh warga
nagari lainnya, Pariaman.
Walhasil dari acara tersebut terkumpul dana sebanyak Rp 3.546.418.000,-(3.5
Milyar) lebih untuk mensukseskan pembagunan Pondok Gontor tersebut. Suatu
jumlah yang menakjubkan bagaimana para pengusaha dan warga nagari berlomba-
lomba memberikan bantuan agar cita-cita mengembalikan tanah Minangkabau
Kembali menjadi pencetak ulama-ulama dan kaum cerdik pandai di tengah
masyarakat Minangkabau. Bagi orang Minang ini adalah sebuah kebanggaan
‘menjadi orang Minang’ yang tidak hanya sekedar memperoleh keberkahan
ekonomis, tetapi juga merupakan dakwah Islamiyah untuk kembali ‘mambakiak
batang tarandam’ tanah Minang.14
Berita terakhir di tahun 2020, jumlah santri dan guru sebanyak 345 orang
yang berasal dari warga asal nagari Sulit Air dan perantauan dan dari Sebagian
provinsi yang terdapat di Indonesia, seperti Jakarta, Bengkulu, Jambi dan Palembang,
bahkan di antara santri ada yang datang dari luar negeri, yaitu Malaysia. Jumah
bangunan terdiri 36 lokal, rumah kiai, kamar tamu, dan sebuah masjid yang indah
14 Lihat Media DDR, Komitmen Bantuan Donatur untuk Pembangunan
Pembangunan Pondok Gontor Cabang 11 Sulit Air (Jakarta: DDR), 2010, h. 46-49.
68
bernama Daarussalam, tempat para santri dan para guru serta tamu yang datang untuk
melakukan ibadah.
Dampak keberadaan Pondok Pesantren Modern Gontor (PPM) di Sulit Air
sebagai bagian dari yang membanggakan dan mengharumkan nama kampung Sulit
Air memberikan implikasi tidak hanya pada dunia Pendidikan, tetapi juga berimbas
pada aspek lainnya, di antaranya yaitu:
1. Partisipasi. Masyarakat Sulit Air, termasuk yang tinggal di perantauan dan
masyarakat Minang serta daerah dari provinsi lainnya memiliki alternatif
Pendidikan yang berbasis model Pendidikan agama modern dan boarding
school (berasrama). Partisipasi mereka ke depan dapat menciptakan peluang
untuk menjadi produsen ulama dan intelektual dari kalngan masyarakat
Minang yang saat ini semakin langka dan merosot.
2. Jejaring (Networking). Keberadaan Pondok Modern Pesantren Modern bisa
menjadi pusat pembelajaran bermutu (Center of Exellent Learning) yang
menyediakan jaringan sekaligus sinergi dengan wadah-wadah Pendidikan
yang ada di Sulit Air, seperti Pendidikan Sekolah Agama (PSA), Madrasah
Thanawiyah dan Madrasah ‘Aliyah. Jejaring ini menjadi pendorong (striving
force) bagi peningkatan kualitas endidikan yang sekarang merosot.
3. Rekrutmen. PPM Gontor dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah yang
cukup signifikan untuk menjadi tenaga pengajar (bila sudah tamat), alumni-
alumni PPM, tenaga konsumsi dapur santri, pemasok dan distributor logistic,
tenaga keamanan dan lalin-lain jenis pekerjaan.
4. Etos Baru. Keberadaan PPM Gontor bisa menciptakan etos budaya baru bagi
pembangunan citra tentang kualitas Pendidikan di Sulit Air dan Minangkabau
pada umumnya cenderung menurun.
5. Infrastruktur. Dengan berdirinya PPM infrastruktur baru dibangun oleh
pemerintah daerah maupun provinsi seperti jalan yang beraspal, jalur listrik
baru, dan sumber air bagi keperluan santri yang akan dibangun PUPR
Sumatera Barat.
6. Destinasi Wisata Religi. Letak pondok yang ada di sebuah bukit memiliki
panorama yang indah dan diapit oleh tiga gunung yang berselimut awan serta
di rentang paling bawah nagari sekitarnya terdapat Danau Singkarak yang
menjadi salah satu ikon pariwisata Sumatera Barat.
7. Ekonomi. Dengan jumlah santri yang cukup banyak, maka geliat ekonomi
masyarakat dengan sendiri akan menggeliat untuk memenuhi kebutuhan para
santri dan para guru. Permintaan akan keperluan pangan sehari-hari dan
mobilitas trasportasi yang meningkat akan mengangkat ekonomi penduduk
nagari. Aspek ekonomi lainnya adalah keperluan homestay di sekitar pondok
bagi tamu orang tua murud/wali murid yang mengunjungi anaknya karena
belum tersedianya guesthouse bagi tamu yang menginap di lingkunga
pondok.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Identitas (identity) dan kebanggaan (pride) yang melekat pada diri seseorang atau
komunitas merupakan proses budaya yang berkaitan erat dengan bagaimana individu
atau kelompok mengekspresikan sistem nilai yang ia yakini. Masyarakat
Minangkabau terbentuk dalam proses dialektik antara Islam dan adat (‘urf) yang
kemudian dikristalisasi ke dalam falsafah Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi
Kitabullah. Akan tetapi, keberadaan negara menjadikan relasi kedua entitas ini
mengalami anomali-anomali atau penyimpangan; yang pada ujungnya juga
memengaruhi eksistensi identitas dan kebanggaan orang Minangkabau. Keadaan ini
terus mengalami pasang-surut, seiring dengan arus politik dan ekonomi yang
berkembang.
Perkumpulan Sulit Air Sepakat adalah satu di antara organisasi perantau
masyarakat Minangkabau yang terus berkembang. Tidak hanya di dalam negeri,
cabang organisasi ini juga sudah di luar negeri, seperti: Malaysia, Melbourne, Sydney,
dan lainnya. Tentunya, keberadaan SAS dan Ikatan Pemuda Pelajar Sulit Air (IPPSA),
menjadi wadah yang sangat penting dalam proses pembentukan identitas dan
kebanggaan menjadi orang Minagkabau; menjadi orang Sulit Air. Pada titik ini,
penelitian ini menemukan bahwa:
Pertama, SAS dan IPPSA merupakan wadah yang sangat penting dalam
keberlanjutan proses pembentukan identitas dan kebanggaan generasi Sulit Air yang
ada di rantau. Kemampuan kedua organisasi ini memanfaatkan teknologi (Sosial
Media) menjadi wadah pengenalan budaya, bahasa dan pembentuk kecintaan terhadap
adat dan budaya Minangkabau. Akan tetapi, keberadaan keluarga (orang tua) juga
menentukan keterlibatan generasi millennial Sulit Air di rantau untuk bergabung dan
aktif dalam kegiatan SAS atau IPPSA.
Kedua, aktifitas filantropi kaum perantau melalui perkumpulan SAS dan
IPPSA merupakan wadah yang cukup penting dalam membentuk rasa bangga menjadi
orang Sulit Air. Ini sangat terlihat dalam aktifitas media sosial perantau Sulit Air
dalam merespon prestasi perantau Sulit Air dalam aktifitas sosial, seperti:
pembangunan masjid, sekolah, bantuan sosial, dan lain sebagainya.
Ketiga, keberhasilan SAS dan IPPSA dalam memelihara identitas dan
kebanggaan menjadi orang Minangkabau tidak terlepas dari kemampuannya
membangun relasi yang kuat dan berkesinambungan dengan kampung halaman, Sulit
Air. Adanya konflik dan pertentangan sebagai dinamika dalam berorganisasi sama
70
sekali tidak membahayakan eksistensi SAS sebagai organisasi perantau. Sebaliknya,
dalam banyak hal justeru memancing ide dan gagasan baru untuk berbuat bagi
terwujudnya Sulit Air Jaya.
B. Saran
Temuan di atas sangat penting ditindaklanjuti oleh perkumpulan SAS dan IPPSA
agar terus mampu memelihara identitas dan kebanggaan menjadi orang Minangkabau
bagi perantau Sulit Air. Untuk itu, penelitian ini merekomendasikan agar:
1. SAS dan IPPSA mampu melakukan perubahan transformatif dalam tata kelola
organisasi dengan tetap mempertahankan nilai-nilai perekat sosial yang telah
melekat kuat dalam organisasi ini;
2. SAS bisa menjadi organisasi perantau cum filantropi yang mampu melakukan
pemberdayaan terhadap masyarakat. Ini akan semakin memperkuat kebanggaan
perantau menjadi orang Sulit Air;
3. Perlu perubahan yang cukup serius untuk menjadikan IPPSA bisa menarik
perhatian generasi millennial Sulit Air di rantau, khususnya di daerah urban,
seperti Jakarta, Pekanbaru, Palembang, dan lainnya. Ini diperlukan mengingat
kecepatan generasi millennial dalam mengakses informasi yang tentunya akses
mereka terhadap budaya luar semakin cepat.
71
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, “Adat and Islam: An Examination of Conflict in
Minangkabau,” Indonesian Journal, Vol. 2, Oktober 1966,
______________, Identity Maintenance and Crisis of Identity in Minagkabau
(Jakarta-Leknas LIPI), 1978.
______________. (2013). Baragiah Ka Kampuang: Spirit Filantropis Perantau
Sulit Air. TURAST; JURNAL PENELITIAN DAN PENGABDIAN, 1(1)
_____________, A. (2019). Kearifan Lokal dan Aktifitas Filantropi Perantau
Sulit Air Sepakat (SAS) dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0.
INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 13(1),
https://doi.org/10.18326/infsl3.v13i1.177-200
Andoni, H., & Ekomadyo, A.. Interpretasi Identitas Budaya Diaspora
Masyarakat Minangkabau : Sebuah Kajian Semiotika pada Rumah Makan
Padang di Bandung, 2016.
Amir M.S. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang
(Jakarta: PT. Mutiara Sumber Waidya), 1999
Azmi, ‘Pelestarian Adat dan Budaya Minangkabau’, dalam CH. N. Latief Dt.
Bandaro, dkk. (ed.), Minanagkabau yang Gelisah (Bandung: CV. Lubuk
Agung Bandung), 2004.
Azra, Azyumardi, "Kata Pengantar", dalam Safroedin Bahar dan Zulfan
Tadjoedin, Masih Ada Harapan: Posisi Sebuah Etnik Minoritas dalam Hidup
Berbangsa dan Bernegara (Jakarta: Yayasan Sepuluh Agustus), 2004,
_____________, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan
Aktor Sejarah (Jakarta: Gramedia), 2002
Asnan, Gusti, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, (Yogyakarta: Ombak), 2007
____________,Kamus Sejarah Minangkabau (Padang: Pusat Pengkajian
Islam dan Minangkabau-PPIM), 2003
Dobbin, Christine, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi
Minangkabau 1784-1847, terj. (Jakarta: Komunitas Bambu), 2008,
Fukuyama, Francis, Identity: The Demand for Dignity and the Politics
Resentmen (New York: Farra. Dtraus & Giroux), 2018.
Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture (New York: 1973)
Hamidi Harahap, Basyral dan Hotman M. Siahaan, Orientasi Nilai-nilai
72
Budaya Batak (Jakarta: Sanggar Willem Iskander), 1987
Hamka, Ayahku (Jakarta: Djajamurni), 1963
Huri, I., Filantropi kaum perantau: studi kasus kedermawanan sosial
organisasi perantau Sulit Air Sepakat (SAS), Kabupaten Solok, Sumatera
Barat. (Padang: Piramedia), 2006..
Kahn, S. Joel, Minangkabau Social Formation: Indonesian Peasants and the
World-economy, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007),
Kato, T. Rantau Pariaman: The world of Minangkabau coastal
merchants in the nineteenth century. The Journal of Asian Studies, 39(4), 729
Kincai, Rhian D., Rainal Rais: Abdi Organisasi, (Jakarta: Rora Karya, 2003)
Mansoer, M.D., dkk., Sejarah Minangkabau (Jakarta: Bhratara), 1970
Naim, M.. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau Edisi III, (Jakar-
ta, PT RajaGrafindo Persada), 2013.
Rangkayo. Sutan dan Hamdullah Salim, Sebuah Tambo: Asal Usul Negeri dan
Persukuan Sulit Air, (Jakarta: Rora Karya)
Rozi, Syafuan, dkk (ed.), Politik Identitas: Problematika dan Paradigma
Solusi Keetnisan Versus Keindonesiaan di Aceh, Riau, Bali, dan Papua
(Jakarta: Bumi Aksara), 2019
Hamdulullah Salim, “Sejarah Perantauan dan Organisasi-organisasi Sulit Air,”
Folisa, Forum Peduli Adat dan Budaya Sulit Air, Edisi Perdana, 2004,
Stark, Alexander, ‘The Matrilineal System of the Minangkabau and its
Persistence Throughout History: A Structural Perspective’, dalam Southeast
Asia: A Multidisciplinary Journal, Vol 13, 2013, pp 1–13 © FASS, UBD.
Sumber elektronik:
- Benda-Beckmann, F. von, & Benda-Beckmann, K. von. (2012). Identity in
dispute: law, religion, and identity in Minangkabau. Asian Ethnicity, 13(4),
341–358. https://doi.org/10.1080/14631369.2012.710073
- Franzia, E., Piliang, Y. A., & Saidi, A. I. (2015). Manifestation of
Minangkabau Cultural Identity through Public Engagement in Virtual
Community. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 184,
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.05.053
73
- Gleason, M. (2013). Space, pride, and identity. Dalam C. Venet & B. Baranes
(Ed.), European Identity through Space: Space Activities and Programmes as
a Tool to Reinvigorate the European Identity. https://doi.org/10.1007/978-3-
7091-0976-2_4
- Franz, & Benda-Beckmann, K. von. (2007). Ambivalent identities:
Decentralization and Minangkabau political communities.
https://doi.org/10.1163/22134379-90002980
- Maher, N. (1994). Minangkabau Migration: Developing an Ethnic Identity in
a Multicultural Society. Australian Geographical Studies, 32(1), 58–68.
https://doi.org/10.1111/j.1467-8470.1994.tb00660.x
- Murad, A. (1978). Merantau : aspects of outmigration of the Minangkabau
people. Diambil dari https://openresearch-
repository.anu.edu.au/handle/1885/117421
- Navis, A.A., Pepatah, Petitih, Petuah, dan Mamangan, disadur oleh Dewis
Natra dari Buletin Sungai Pua, No. 46 April 1994, dikutip dari:
http://www.cimbuak.net/content/view/24/7/, accessed 26 Juli 2010
- Rozi, S.. Konstruksi Identitas Agama dan Budaya Et-
Nis Minangkabau di Daerah Perbatasan: Perubahan Identitas dalam Interaksi
Antaretnis di Rao Kabupaten Pasaman Sumatera Barat. Masyarakat
Indonesia, (2013), 39(1), 215–245. https://doi.org/10.14203/jmi.v39i1.317
- Rusdiana, D., & Saidi, Z., Diaspora giving: An agent of change in Asia
Pacific communities, 2008. . ht-tp://asianphianthrpy.
rg/APPC/DiaspraGiving-cnference-2/DiaspraGiving-Indnesia-28. pdfpp.
- Wibawarta, B., Elfira, & Christomy, T. (2017). Minangkabau perantau and
the negotiation of identity: “moved in and out’’ of the position of an outsider
and insider.” Dipresentasikan pada Scholar Summit 2017. Diambil dari
https://scholar.ui.ac.id/en/publications/minangkabau-perantau-and-the-
negotiation-of-identity-moved-in-.