repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/satu...

218

Upload: others

Post on 28-Oct-2019

26 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id
Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

SATU ISLAM, BANYAK JALAN:

Corak-corak Pemikiran Modern

dalam Islam

Editor :

Dr. M. Amin Nurdin, MA.

Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

SATU ISLAM, BANYAK JALAN:

Corak-corak Pemikiran Modern

dalam Islam

Editor :

Dr. M. Amin Nurdin, MA.

Kontributor :

Prof. Din Syamsuddin

Prof. Syafi’i Maarif

Prof. Dr. Zainun Kamal

Prof. Dr. Nasarudin Umar

Prof. Dr. Amany Lubis

Prof. Dr. Hafizh Anshari

Dr. Noorwahidah Haisy

Prof. Dr. Ahmad Rofiq

Prof. Dr. Najmuddin Zuhdi

Dr. Abdul Moqsith Ghazali

Dr. Media Zainul Bahri

Dr. Cecep

Dr. Mukhyar Sani

Dr. Afifi Fauzi Abbas

Dr. Sulaiman Abdullah

Dr. Suryan Jamrah

Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

ii

Nurdin,M. Amin, ed,. 2018.

Satu Islam, Banyak Jalan: Corak-corak Pemikiran Modern Islam

Jakarta, Hipius bekerjasama dengan Lembaga Nusa Damai

Lay-out dan Design Cover : Ahmad

Penerbit Hipius bekerjasama dengan Lembaga Nusa Damai, 2018

Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

ii

KATA PENGANTAR

Buku ini merupakan kumpulan makalah yang ditulis oleh para penulis

yang banyak terlibat dalam pemikiran Islam dan berasal dari berbagai

universitas Islam di Indonesia. Buku ini juga merupakan buku teks mata

kuliah Pemikiran Modern dalam Islam (PMDI) yang diajarkan di Fakultas

Ushuluddin UIN Jakarta sebagai mata kuliah dasar kefalkutasan.

Buku ini dirasa sangat penting karena dapat dijadikan sebagai

referensi dasar bagi mahasiswa dalam membuka pintu cakrawala dunia

pembaharuan dalam dunia Islam. Buku ini bukan saja menjelaskan sejarah

munculnya pembaharuan Islam di dunia Islam disertai tokoh-tokohnya, tetapi

juga memaparkan isu-isu kontemporer seperti kontroversi sistem politik

Khilafah, Islam Wasathiyah (Islam Moderat), ideologi Pancasila sebagai

ijtihad ulama Indonesia, emansipasi wanita, dan lain-lain.

Saya mengucapkan terimakasih kepada para penulis atas pemuatan

tulisannya dalam buku ini, yaitu Prof. Din Syamsuddin, Prof. Dr. Zainun

Kamal, Prof. Dr. Nasarudin Umar, Prof. Dr. Amany Lubis, Prof. Dr. Hafizh

Anshari, Dr. Noorwahidah Haisy. Prof. Dr. Ahmad Rofiq, Prof. Dr.

Najmuddin Zuhdi, Dr. Abdul Moqsith Ghazali, Dr. Media Zainul Bahri, Dr.

Cecep, Dr. Mukhyar Sani, Dr. Afifi Fauzi Abbas, Dr. Suryan Jamrah, dan Dr.

Sulaiman Abdullah.

Semoga buku ini bermanfaat bagi mahasiswa dalam mempelajari

perkembangan pemikiran modern dalam Islam baik di dunia Islam maupun di

Indonesia sehingga dengan segera mereka memiliki jawaban-jawaban dalam

melihat masalah kontemporer.

Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

iii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.……………………………………………………………...i

Daftar Isi………………………………………………………………….....ii

BAB I : PENDAHULUAN…………………………………………1

BAB II : PEMBAHARUAN ISLAM PRA ZAMAN MODERN

A. Pembaharuan dalam Islam………………………………9

B. Muhammad Abd Wahhab dan Gerakan Wahabiyah…...15

C. Ekspedisi Napoleon ke Mesir dan Pengaruhnya terhadap

Islam……………………………………………………20

BAB III : PEMBAHARUAN ISLAM PASKA ZAMAN

MODERN

A. Muhammad Ali: Usaha-usaha Pembaharuannya……….28

B. Al-Tahtawi : Ide dan Pembaharuannya…………………32

C. Jamaluddin al-Afghani: Ide-ide Pembaharuan dan

Kegiatan Politik………………………………………....38

D. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional…………….. 47

E. Rasyid Ridha: Ide-ide Pembaharuannya……………..... 55

F. Abduh dan Ridha: Perbedaan antara Murid dan Guru….63

BAB IV : ISU-ISU GAGASAN NASIONALISME, EMANSIPASI

WANITA, KHILAFAH, NEO-MODERNISME, ISLAM

MODERAT, IJTIHAD IDEOLOGI PANCASILA,

ISLAM , DAN JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)

A. Qasim Amin: Kesetaraan Gender………………………92

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

iii

B. Mustafa Kami: Nasionalisme Mesir…………………...103

C. Ali Abd Raziq: Kontroversi Sistem Politik Khilafah….109

D. Neo-Modernisme Islam dan Islam di Indonesia:

Mempertimbangkan Fazlur Rahman………………….120

E. Nurcholish Majid: Sekularisasi dan Politik Agama……130

F. Wasatiyyat Islam Untuk Peradaban Dunia: Konsep dan

Implementasi……………………………………………134

G. Islam Wasatiyyah dan Ijtihad Pancasila……………….158

H. Islam Nusantara………………………………………...164

I. Jaringan Intelektual Muda Islam Liberal (JIL): Ruh

Hidup dalam Jasad Kaku……………………………….178

- DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………...206

- Tentang Editor…………………………………………………………..211

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

“Kemajuan hanya dimengerti sejauh kemunduran turut dimengerti.”

(Adorno)

Sejarah Islam dalam periode modern dimulai sejak tahun 1800 M

ditandai dengan munculnya gagasan-gagasan dan gerakan-gerakan

pembaharuan. Zaman ini disebut juga zaman kebangkitan Islam, karena

ummat Islam yang sebelumnya beku, statis dan jumud kini sadar dan bangun

kembali untuk mengejar ketinggalan dan keterbelakangannya. Pada periode

ini, negara-negara Islam yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan

penjajah, mulai berusaha membebaskan diri dan membangun dirinya sendiri

menuju masa depan yang cerah dan lebih baik. Usaha-usaha pembebasan diri

tersebut menunjukan hasil yang gemilang pada abad ke-20 dengan

merdekanya negara-negara Islam satu persatu, sehingga di penghujung abad

ini dapat dikatakan bahwa tidak ada satu negara Islam pun atau mayoritas

penduduknya beragama Islam pun yang masih terjajah.

Salah satu faktor yang terpenting yang membawa kepada kebangkitan

ummat Islam dan lahirnya gerakan-gerakan pembaharuan adalah ekspedisi

Napoleon ke Mesir pada tahun 1798-1801. Ekspedisi ini menyadarkan

ummat Islam akan kelemahan dan kemunduran mereka dan membuka mata

ummat Islam akan kemajuan yang dicapai oleh dunia Barat (Nasution, 1985:

88). Di samping itu, Napoleon datang ke Mesir tidak hanya sekedar

menjajah, tetapi juga membawa ide-ide baru yang bermanfaat besar bagi

perkembangan Islam khususnya di Mesir.

Ide-ide baru tersebut menjadi cambuk bagi ummat Islam Mesir,

terutama kaum intelektualnya, untuk bangkit melakukan pembaharuan dan

memperbaiki keadaan. Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan

pembaharuan ini bergema ke seluruh dunia Islam.

Sejarah modernisme dimulai dengan kebangkitan ilmu pengetahun di

dunia Barat dengan istilah renaisans. Renaissance adalah kata Perancis yang

berarti “kelahiran kembali” atau “kebangkitan kembali”. Yaitu “kelahiran

kembali semangat Yunani dan Romawi dan kebangkitan kembali belajar

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

2

ilmiah”. Istilah Renaissance menunjukkan suatu gerakan yang meliputi suatu

zaman di mana orang merasa dilahirkan kembali dalam keadaban. Di dalam

kelahiran kembali itu orang kembali kepada sumber-sumber yang murni bagi

pengetahuan dan keindahan. Zaman Renaissance juga berarti zaman yang

menekankan otonomi dan kedaulatan manusia dalam berpikir, mengadakan

eksplorasi, eksperimen, mengembangkan seni, sastra, dan ilmu pengetahuan

di Eropa.

Manifestasi renaisans terlihat dalam beberapa hal, antara lain :

a) Gerakan Humanisme, yaitu mencari nilai-nilai kemanusiaan dengan

menerjemahkan sumber-sumber Yunani dan Romawi, kontras dengan

tradisi skolastisisme dan otoritas religius.

b) Penolakan tradisi Aristotelian Abad Pertengahan dan kebangkitan

Platonisme.

c) Terbuka kepada ilmu-ilmu yang baru mulai terbentuk.

d) Ketidakpuasan pada kemapanan yang mengarah kepada Reformasi

Protestan.

Periode modern di Barat (Eropa) dimulai sejak abad ke-17 sampai

sekarang, yang didominasi oleh sains. Abad modern, menurut Bertrand

Russel, ditandai dua hal: melemahnya otoritas gereja dan meningkatnya

otoritas sains. Pada zaman modern, sektor budaya lebih dikuasai orang awam

ketimbang para pemuka agama. Negara menggantikan gereja dalam bidang

kepemerintahan.

Menurut Marshall Hodgson, hakikat Abad Modern adalah

“Teknikalisme” dengan tuntutan efisiensi kerja yang tinggi, yang diterapkan

kepada semua bidang kehidupan. Karena itu, Abad Modern lebih tepat

disebut Abad Teknik. Teknikalisme mendorong timbulnya Revolusi Industri

di Inggris, sedangkan implikasi kemanusiaannya timbul dalam bentuk

Revolusi Perancis pada abad ke-18. Kedua revolusi ini menjadi tonggak

kemodernan, tapi aspek kemanusiaan Revolusi Perancis, dengan slogan

“kebebasan, persamaan, persaudaraan” lebih berperan dalam meletakkan

dasar-dasar Abad Modern.

Kontak Islam dengan Dunia Barat-Kristen sudah dimulai sejak awal

abad ke-8 M. Kontak ini semakin intensif melalui Perang Salib selama dua

abad (1095-1291). Ketika Dunia Islam dalam kegemilangan, Dunia Barat-

Kristen sedang dalam “Abad Kegelapan”. Maka, banyak pelajar Kristen yang

belajar di universitas-universitas di Dunia Islam, khususnya di Andalusia

(Spanyol). Selain di Andalusia, pada masa kejayaan Dinasti Turki Usmani di

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

3

bawah kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni (1520-1566 M) wilayah

kekuasaannya mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Syria, dan Hijaz di Asia;

Mesir, Libia, Tunisia, dan Aljazair di Afrika; Bulgaria, Yunani, Yugoslavia,

Albania, Hongaria dan Rumania di Eropa.

Terlepasnya wilayah-wilayah kekuasaan Turki Usmani di Eropa

Timur pada abad ke-18 dan keberhasilan ekspedisi Napoleon di Mesir pada

tahun 1798 menyadarkan masyarakat Muslim bahwa mereka telah tertinggal

dari Barat (Eropa) di bidang militer dan ilmu pengetahuan. Kesadaran

tersebut memicu para penguasa dan intelektual-ulama di negeri Muslim

bangkit melakukan pembaruan. Banyak istilah yang digunakan terkait dengan

pembaruan dalam Islam, antara lain, tajdid, islah, reformasi, ashriyah,

modernisasi, revivalisasi, dan resurgensi.

Tajdid sering diartikan sebagai islah dan reformasi yang berarti

menghidupkan dan membangkitkan kembali ilmu dan amal sebagaimana

yang dikandung dalam al-Qur’an dan Sunnah. Istilah modernisasi atau

ashriyah berarti menyesuaikan kembali paham-paham lama atau adat istiadat

dan institusi-institusi lama yang tidak sesuai lagi dengan semangat

perkembangan sains dan teknologi modern. Istilah revivalisasi dan

resurgensi atau renaisans berarti tegak kembali atau bangkit kembali.

Revivalisasi berbeda dengan resurgensi. Revivalisasi berarti bangkit kembali,

tetapi berorientasi ke masa lampau, sedangkan resurgensi lebih berorientasi

ke masa depan.

Mengapa Islam maju di zaman klasik. Hal ini dapat kita lihat dari

beberapa sebab, yaitu a. Penghargaan terhadap kedudukan akal, b. Menganut

faham kebebasan manusia dalam kemauan dan menciptakan perbuatan (free

will), c. Kebebasan berpikir, hanya terikat pada al-Qur’an dan Sunnah, d.

Percaya pada sunnatullah atau hukum kausalitas, e. Mengambil arti metaforis

dari teks wahyu, f. Dinamis dan kreatif dalam sikap berpikir.

Respon ulama-ulama besar pada abad ke-19 dan awal abad ke-20,

seperti Sayyid Ahmad Khan dan Amir Ali (India), Jamaluddin al-Afghani,

Muhammad Abduh (Mesir), dan Namik Kemal (Turki) sangat antusias

dengan pembaharuan Islam dan berpendapat bahwa strategi pembaharuan

dalam Islam, yaitu penggalakan sains dan penanaman semangat ilmiah

seperti yang terjadi di Barat. Padahal, di antara kelima intelektual tersebut

hanya Namik Kemal saja, dari tahun 1867 sampai 1871, yang benar-benar

pernah belajar di Barat (Eropa).

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

4

Kelima tokoh pembaharuan tersebut berpandangan:

1. Suburnya perkembangan sains dan semangat ilmiah di kalangan

ummat Islam abad ke-9 dan ke-10 adalah buah dari usaha memenuhi

tuntunan al-Qur’an agar manusia mengkaji alam semesta.

2. Bahwa pada Abad Pertengahan semangat penyelidikan ilmiah di

Dunia Islam telah merosot.

3. Barat telah menggalakkan kajian ilmiah yang sebagian besar

merupakan pinjaman dari kaum Muslim, dan karena itu memperoleh

kemakmuran, bahkan menjajah negeri-negeri Muslim.

4. Karena itu, kaum Muslim dalam mempelajari kembali sains dari Barat

yang telah berkembang, berarti menemukan kembali masa lalu

mereka dan memenuhi kembali perintah al-Qur’an yang selama ini

terabaikan.

Pembaharuan Islam di Indonesia

Ada dua teori tentang akar pembaruan Islam, namun belum ada

kesepakatan di antara para sarjana Islam Indonesia. Teori pertama, sudah

lazim diketahui, bahwa pembaharuan Islam di Indonesia dimulai saat awal

abad ke-20 atau menjelang akhir abad ke-19 dengan munculnya lembaga

pendidikan modern, tokoh-tokoh-tokoh pembaru dengan lembaga agama

seperti Muhammadiyah yang lebih modernis, dan NU lebih tradisionalis,

Sarekat Dagang Islam (SDI) dll. Namun belakangan, ada teori kedua yang

berpendapat, seperti yang ditulis Azyumardi Azra, pembaruan Islam di

Indonesia dimulai pada pada abad ke-17 dengan adanya jaringan ulama di

Haramayn dan Mesir, kemudian menyebarkan ide pembaruan mereka melalui

murid-muridnya.

Hal ini tentu saja memberikan dampak yang serius terhadap wacana

pembaruan, terutama mengenai sejarah intelektual Islam di Indonesia. Jika

kita sepakat pembaruan pemikiran Islam muncul pada pendapat pertama,

maka data-data sejarah intelektual Islam pada abad sebelumnya hanya

menjadi “pengembira” dalam kajian intelektual Islam.

Sebaliknya, jika kita mulai dengan pendapat kedua, maka tugas kita

selanjutnya adalah menulis kontiunitas sejarah Intelektual Islam setelah abad

tersebut. Yang diambil oleh para pionir pembaru di Indonesia adalah

semangat dan model pembaruan melalui pengembangan pikiran tokoh dan

media surat kabar (jurnal). Dalam konteks ini, pembaruan masih sebatas

menghadang arus kolonialisme, Kristenisasi yang dijalankan para penjajah,

dan “pembetulan” perilaku ibadah ummat Islam yang telah “terjerat” Taklid,

Bid’ah dan Churafat.

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

5

Misi pembaruan ini tentu saja tidak bertahan lama, sebab menjelang

kemerdekaan dan paska kemerdekaan, energi tokoh Islam lebih “terkuras”

dalam perdebatan dasar negara, hubungan agama dan negara, dan arah politik

Indonesia yang sedikit banyak telah “dikuasai” oleh kelompok nasionalis

sekular. Bahkan menjelang keruntuhan era Orde Lama, pemikiran Islam

sangat sulit sekali dikembangkan, sebab perhatian bangsa ini masih tertuju

pada bagaimana “mencuci piring” akibat ulah PKI.

Pemikiran Islam baru berkembang pada era 1970-an. M. Dawam

Rahardjo dalam bukunya, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik

Bangsa, menuturkan bahwa faktor objektif yang menghadirkan gejala

kecendekiawanan Muslim adalah aktivitas pemikiran dan gejolak pemikiran

di sekitar paham pembaharuan oleh kalangan muda di tahun 1970-an yang

dimotori oleh Nurcholish Madjid. Kelompok muda menginginkan agar

ummat Islam tidak lagi mengingat memori tentang kekuatan politik ummat

Islam pada era Orde Lama. Karena itu, mereka menginginkan agar

perjuangan ummat Islam lebih diarahkan kepada substansi ajaran Islam

melalui pemodernan pemahaman Islam.

Kehadiran intelektual saat itu, merupakan respon terhadap isu

pembangunanisme (modernisasi) oleh pemerintah Orde Baru yang menutup

kekuatan politik Islam dengan menggeser ideologi politik yang bersifat

primodialisme.

Hal ini menyadarkan kelompok muda Islam, agar ideologi politik

Islam tidak perlu lagi digembar-gemborkan, sebagaimana digelorakan

kelompok tua yang merasa dirugikan oleh pemerintah Orde Lama.

Respon pikiran generasi muda era 1970 terhadap Orde Baru telah

mendapat tempat yang layak dalam studi pemikiran Islam di Indonesia.

Implikasi dari pemikiran tersebut ternyata telah merubah kebijakan

pemerintah Orde Baru terhadap ummat Islam. Misalnya, bentuk kebijakan

yang bersifat akomodatif. Bahtiar Effendy memaparkan bahwa tanggapan

akomodatif negara ini dapat terlihat dalam empat bidang, yaitu akomodasi

struktural, legislatif, infrastruktural, dan kultural.

Dalam bidang struktural, bentuk akomodasi yang paling mencolok

adalah direkrutnya para pemikir dan aktivis Islam politik generasi baru ke

dalam lembaga-lembaga eksekutif. Akomodasi legislatif dapat dilihat dari

produk undang-undang atau peraturan yang agak “berpihak” kepada Islam.

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

6

Akomodasi infrastruktural adalah dibangunnya beberapa bangunan

sebagai “proyek kegamamaan” dan adanya pengakuan pemerintah terhadap

keberadaan Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991.

Terakhir, akomodasi kultural dimana para pejabat sudah mulai

memakai idiom-idiom Islam dalam acara kenegaraan.

Peran Kampus IAIN Jakarta

Kancah intelektual Islam pada era 1970-an juga dipicu oleh figur

Harun Nasution yang mencoba “membumikan” pemikiran Mu’tazilah di

Indonesia. Kendati pada awalnya, ditentang oleh banyak kalangan, namun

upaya Harun Nasution melalui IAIN Jakarta telah banyak menghasilkan

sarjana pemikiran Islam pada era 1980-an dan 1990-an. Peran sentral Harun

dalam membuka diskursus pemikiran Islam di Indonesia cukup terasa

impaknya bagi bagi generasi berikut.

Tokoh berjasa lain dalam menelurkan pemikir muda pada era 1970-an

adalah Mukti Ali. Melalui diskusi Limited Group di Yogyakarta, tidak sedikit

para pemikir muda ikut andil di dalamnya. Karena itu, sampai sekarang,

peran Mukti Ali, sebagai sebagai penggagas studi Perbandingan Agama di

IAIN-- sekarang Studi Agama-agama (SAA), juga sebagai pendobrak

semangat kelompok muda di Yogyakarta, seperti Ahmad Wahib (alm), M.

Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan lain-lain.

Peran organisasi, lembaga, atau yayasan menjadi “kendaraan”

sekaligus menjadi “transmitter” pembaruan bagi generasi di era 1990-an. Ada

beberapa “kendaraan” yang menjadi “lokomotif” gerakan pemikiran pada era

1980-an. Pertama, Yayasan Paramadina. Yayasan ini merupakan salah satu

“kendaraan” yang me-ngusung pemikiran Cak Nur secara independen.

Kedua, LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat). Lembaga ini memang

amat berjasa dalam mensosialisasikan pikiran pembaharuan pemikiran Islam

pada era 1980-an melalui berbagai kegiatan ilmiah, yang dipimpin M.

Dawam Rahardjo.

Pembaharuan Islam sebagai Anti-tesa “Degenerasi Ummat”

Kajian Pembaharuan dalam Islam di atas, seakan menimbulkan

pertayaan, apakah pembaharuan yang dilakukan itu menyangkut “degenerasi

ummat Islam” dalam hal pemahaman keagamaannya, baik yang terpatri

secara primodial maupun yang sudah berkaloborasi dengan hal-hal

pemahaman yang berlatar belakang sosial politik kehidupannya. Sejarah

mencatat bahwa periode awal ummat Islam, yaitu pada masa Nabi

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

7

Muhammad disebut sebagai periode formalistik di mana ajaran-ajarannya

yang menyangkut seluruh kehidupan ummat Islam merujuk kepada nabi

Muhammad dan kitab suci al-Qur’an yang kemudian mengalami kristalisasi

dalam bentuk yang komprehensif dan universal; sedangkan periode dua abad

paska Nabi merupakan periode alternatif di mana ajaran-ajaranya bercampur

baur dengan pemikiran filsafat Yunani dan ajaran sufistik (Lapidus,

2000:32).

Sepanjang pergaulan ajaran-ajaran Islam dalam panggung sejarah

dunia, sejauh ini ia dimengerti dan dipahami oleh para penganut-penganutnya

banyak mengalami perubahan yang cukup signifikan baik dalam tataran

akidah –hubungan manusia dengan Tuhan- maupun tataran mashlahatul

fiqhiyah –hubungan manusia dengan sesamanya.

Perubahan-perubahan tersebut disinyalir sebagai suatu gerakan

pembaharuan atau reformasi yang merubah dan merombak tatanan atau

tradisi yang dianggap oleh ummat Islam sebagai pengekangan kebebasan

ekspresi, sehingga menimbulkan “degenerasi ummat”. Gerakan-gerakan

pembaharuan itu muncul secara mencolok terutama pada masa imperium

dinasti Umayyah, di kala ummat Islam merubah bentuk pemerintahan

menjadi otokrasi yang dirasakan oleh ummat terlalu opresif sehingga

melahirkan berbagai macam aksi dan protes sosial yang dilakukan sesama

ummat. Salah satu gerakan ketika itu adalah gerakan sufisme yang mencoba

membawa manusia menuju kedalaman spiritual (Donohue dan Esposito,

1999:7)

Gerakan sufisme ini boleh dikatakan sebagai reaksi terhadap

penafsiran dan pemahaman keIslaman yang menekankan aspek hukum yang

begitu totalitas terhadap kehidupan. Padahal hukum itu hanya mengarah

kepada aspek eksternal manusia, sehingga mereka meragukan validitas

pemahaman keIslaman tersebut yang dikembangkan oleh para fuqoha atau

para ahli hukum (Donohue dan Esposito, 1999:8)

Bagi mereka Islam bukan hanya sejumlah aturan-aturan hukum atau

dokrin yang sudah dikebiri menjadi sebuah sistem politik yang memberikan

kekuatan justifikasi terhadap keberadaan elitisme, nepotisme, dan eksploitasi

sehingga memberikan bias bagi dekadensi moral ummat, baik secara pribadi

maupun golongan. Untuk itu penekanan terhadap aspek internal manusia,

yaitu aspek spiritual adalah merupakan alternatif yang akan memberikan

dimensi moral ketuhanan sehingga ummat Islam selalu bertedensi ke arah

Tuhan dan dapat mengaplikasikannya didalam kehidupan.

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

8

Seiring perjalanannya, sufisme juga mengkristal di dalam ummat

Islam ketika itu, sehingga ummat Islam melupakan kehidupan dunia konkrit

untuk berbaur terhadap kehidupan sosial, dan terlalu cenderung kepada hal-

hal yang sifatnya asketik dan esoterik, maka ummat Islam mengalami

degenerasi ilmu pengetahuan dan tekhnologi dibandingkan dengan dunia

Barat, yang ketika itu dapat membebaskan dirinya dari belenggu gereja –

dimulai sejak renaisans Itali. Dan juga sufisme dalam penyebarannya ke

seluruh dunia bercampur baur dengan budaya-budaya lokal, sehingga

memunculkan budaya baru dalam Islam. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, modern berarti “terbaru”, “mutakhir”, “sikap dan cara berpikir

serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman”. Modernisasi berarti proses

pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa sesuai

dengan tuntutan masa kini. Kata modern, modernisasi, dan modernisme

berasal dari Dunia Barat (Eropa). Modernisme sebagai paham dan gerakan di

Dunia Barat tidak lepas dari gerakan Renaissance pada abad ke-14 sampai

abad ke-16 di Italia dan Perancis.

Maka dalam suasana stagnasi ketauhidan tersebut, muncullah seorang

pembaharu Islam pada masa peralihan abad ke-13 ke abad ke-14, yaitu Ibnu

Taimiyah yang mengkritik sufisme akan ajaran-ajarannya yang dianggap

menimbulkan permasalahan akidah. Ia juga mengkritik fuqaha-fuqaha salaf

yang telah mentotalisasikan hukum Islam pada hal permasalahan ummat

Islam yang begitu kompleks dan memerlukan formulasi-formulasi baru guna

menyelesaikan permasalahan ummat yang dihadapinya. Revitalisasi

pemahaman keagamaan ummat Islam hanya dapat dilakukan dengan

membuka kembali pintu ijtihad, dengan merujuk kembali kepada al-Quran

dan Sunnah Rasulullah dan juga menarik suatu benang merah antara keadilan

sosial dengan kehidupan pribadi ummat melalui penekanan bahwa manusia

dengan segala tugas-tugasnya merupakan makhluk sosial yang

mengembangkan kewajiban kolektif untuk menciptakan kesejahteraan

bersama.

Dari perjalanan historis pemahaman keagamaan di atas dapatlah

diketahui bahwa suatu gerakan pembaharuan muncul sebagai anti-tesa dari

“degenerasi ummat Islam” dengan memberikan suatu sintesis baru yang

dianggap memberikan jawaban dan alternatif guna kesinambungan

kehidupan ummat Islam baik dalam aspek sosial dan politik. John L Esposito

dalam Bukunya Dinamika Kebangunan Islam, mengatakan bahwa tradisi

pembaharuan dalam Islam merupakan gaya dan cara khusus dalam

mengungkapkan keyakinan, terutama mengenai kehidupan penganut

komunitas masyarakat muslim. Dan dalam kesinambungan revitalisasi

tersebut terjawantahkan dalam suatu proses, yaitu pertama, seruan untuk

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

9

kembali kepada atau penerapan ketat al-Quran dan Hadis, kedua, penegasan

akan hak untuk mengadakan analisa mandiri (ijtihad), ketiga, penegasan

kembali keaslian dan keunikan pemahaman al-Qur’an yang berbeda-beda

dengan cara sintesa dan keterbukaan pada tradisi Islam lainnya (Esposito,

2001:26).

Penelitian buku teks pembaharuan pemikiran Islam bertujuan agar

mahasiswa menangkap roh dan jiwa ajaran Islam yang cocok di segala

tempat dan waktu. Untuk itu perlu penafsiran ulang dan penyegaran terhadap

ajaran Islam melalui pemahaman sejarah biografi tokoh-tokoh pemabaharu

Islam dan apa saja isi pesan pembaharuan yang mereka sampaikan ke tengah

masyarakat. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

merupakan ujung tombak pusat pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia

mempunyai tugas untuk mengembangkan ide-ide segar sebagai refleksi

ajaran Islam dalam memecahkan persoalan-persoalan baru yang dihadapi

masyarakat Indonesia sehingga dapat memperoleh solusi yang terbaik.

Penelitian buku ini berdasarkan kumpulan makalah yang dibuat oleh

para sarjana Islam yang telah mengasuh mata kuliah yang berkaitan dengan

perkembangan pemikiran modern dalam Islam dengan tokoh-tokoh

pembaharunya baik di tingkat dunia maupun di Indonesia. Setelah makalah

dikumpulkan lalu diklasisfikasi sesuai dengan masing-masing tema secara

sistematis sehingga kronologi alur pemikiran isi pembaharuan dapat

tergambar secara historis. Dengan demikian, penulisan buku ini lebih bersifat

historis dan teologis. Adapun para penulis makalah dalam buku ini berasal

dari berbagai universitas Islam di Indonesia.

Berikut nama-nama penulisnya dan judul makalahnya:

1. Wasatiyyat Islam Untuk Peradaban Dunia: Konsep dan Implementasi

ditulis oleh yaitu Prof. Dr. Din Syamsuddin.

2. Prof. Syafi’i Maarif

3. Muhammad Abd Wahhab dan Gerakan Wahabiyah ditulis oleh Prof. Dr.

Zainun Kamal

4. Al-Tahtawi : Ide dan Pembaharuannya ditulis oleh Prof. Dr. Amany

Lubis

5. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional ditulis oleh Prof. Dr. Ahmad

Rofiq

6. Abduh dan Ridha: Perbedaan antar Murid dan Guru ditulis oleh Prof. Dr.

Nasarudin Umar

7. Jamaluddin al-Afghani: Ide-ide Pembaharuan dan Kegiatan Politik ditulis

oleh Prof. H.A. Hafizh Anshari,

8. Ali Abd Raziq: Kontroversi Sistem Politik Khilafah ditulis oleh Prof. Dr.

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

10

Najmudin Zuhdi

9. Islam Indonesia sebagai Poros Wasathiyah Islam Dunia ditulis oleh Dr.

M. Amin Nurdin

10. Nurcholish Majid: Sekularisasi dan Politik Agama ditulis oleh Dr. M.

Amin Nurdin, MA

11. Ekspedisi Napoleon di Mesir dan Ide-ide yang Dibawa ditulis oleh Dr.

Noorwahidah Haisy

11. Rasyid Ridha: Ide-ide Pembaharuannya ditulis oleh Dr. Cecep

12. Qasim Amin: Emansipasi Wanita ditulis oleh Dr. Sulaiman Abdullah

13. Mustafa Kamil: Nasionalisme Mesir ditulis oleh Dr. Afifi Fauzi Abbas

14. Muhammad Ali: Usaha-usaha Pembaharuannya ditulis oleh Dr. Mukhyar

Sani

15. Pembaharuan Islam ditulis oleh Dr. Suryan Jamrah

16. Islam Nusantara ditulis oleh Dr. Abdul Moqsith Ghazali.

17. Jaringan Intelektual Muda Islam Liberal Indonesia (JIL) ditulis oleh Dr.

Media Zainul Bahri

Sistematika penelitian buku ini terdiri dari empat bab, masing-masing

mempunyai sub bab yang menggambarkan isi bab yang dibahas. Berikut ini

sistematika penelitian buku teks pemikiran modern dalam Islam.

Buku ini berisikan kata pengantar dan daftr isi. Bab I berisikan

pendahuluan dengan alasan pemilihan judul penelitian dan kenapa perlu

dilakukan penelitian. Bab II berisikan makna pembaharuan secara luas dan

sebab-sebab terjadinya pembaharuan serta tokoh-tokohnya sebelum pra-

modern yang dimulai sejak abad ke-14 hingga abad ke-18 dengan ditandai

datangnya ekspedisi Napoleon ke Mesir yang menginspirasi munculnya

pembaharu-pembaharu muslim di dunia Arab. Bab III berisikan sejarah

tokoh-tokoh pembaru Islam di masa paska modern disertai ide-ide mereka

yang kemuadian banyak mempengaruhi dunia Islam, termasuk Indonesia.

Bab IV berisikan gagasan tokoh-tokoh pembaharu menyangkut isu-isu yang

sangat relevan dengan dunia modern, seperti sistem politik Khilafah,

emansipasi wanita, Islam wasathiyah (Islam Moderat), dan ideologi Pancasila

sebagai ijtihad ulama-ulama Indonesia.

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

11

PEMBAHARUAN DALAM ISLAM

Oleh

Suryan Jamrah

A. Pendahuluan

Memasuki abad ke-17 dan ke-18 dunia Islam semakin bertambah

mundur ditandai dengan terpukulnya tiga kerajaan besar Islam yang tersisa,

yaitu Kerajaan Turki Usmani mengalami kekalahan berkali-kali oleh Eropa,

demikian pula Kerajaan Safawi dan Mughal yang berada di Persia dan India

bernasib sama. Sementara itu dunia Barat semakin maju, baik dalam bidang

pemikiran dan dinamika intelektual maupun dalam bidang teknologi. Karena

itu mereka berusaha menguasai dunia Islam yang sedang lemah yang

disebabkan oleh problema religio-politico yang tidak stabil. Dari sinilah

mulai muncul penjajahan terhadap dunia Islam.

Walaupun begitu, hakikat dan semangat ajaran Islam tidaklah berarti

padam; ia bagaikan nyala api yang tidak putus menghangatkan intelektual

dan perjuangan. Nyala dan cahaya al-Qur’an itu tetap hidup membakar

semangat para ulama untuk keluar dari problema yang dihadapi ummat

dengan cara melakukan penyegaran dan pembaharuan terhadap ajaran Islam

agar sesuai dengan perkembangan zaman. Tajdid atau pembaharuan tersebut

dirintis oleh Ibn Taimiyah setelah melihat kevacuman selama berabad-abad

dalam bidang akidah dan intelektual.

Rintisan awal Ibn Taimiyah mengilhami para pembaharu pada abad

ke-18 sampai abad ke-20 ini, seperti Muhammad bin Abd Wahab,

Jamaluddin al-Afghani, Abduh, dan lain-lainnya, sesuai dengan berbagai

bidang dan garapan masing-masing di mana mereka berada. Dari kalangan

mereka ada yang disebut mujaddid, ada yang disebut muslih, ada juga yang

disebut reformer, modernis, dan lain sebagainya. Gerakan-gerakan

pembaharu inilah yang selanjutnya menumbuhkan kembali dinamika

intelektual kaum muslimin dengan cara membersihkan agama dari subversi

syirk, kurafat dan bid’ah dengan mengadopsi pemahaman dan metodologi

baru yang dikembangkan oleh orang-orang Barat setelah ummat Islam

mengadakan kontak dengan dunia Barat sehingga ummat Islam tersadar akan

kemundurannya (Nasution, 2010:32).

B. Arti Pembaharuan dalam Islam

Banyak sekali istilah yang digunakan para penulis yang dalam bahasa

Indonesia berkonotasi pembaharuan, seperti tajdid, Islah, reformasi, asriyah,

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

12

modernisasi, revivalisasi, resursensi (resurgensce), reasersi (reassertion), dan

renaisans. Istilah-istilah tersebut muncul bukan sekedar perbedaan semantik

belaka, akan tetapi juga dapat dilihat dari isi pembaharuan itu sendiri.

1. Tajdid, Islah, dan Reformasi

Tajdid sering diartikan sebagai islah dan reformasi; karena itu

gerakannya disebut gerakan tajdid, gerakan islah, dan gerakan reformasi.

Tajdid menurut bahasa al-I’adah wa Al- Ihya’, mengembalikan dan

menghidupkan. Tajdid al-din, berarti mengembalikannya kepada apa yang

pernah ada pada masa salaf, generasi muslim awal. Tajdid al-din menurut

istilah ialah menghidupkan dan membangkitkan ilmu dan amal yang telah

dijelaskan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Tajdid mencakup penyebaran ilmu,

pemecahan solusi secara Islam terhadap problema yang muncul dalam

kehidupan manusia dan menentang segala yang bid’ah. Tajdid dapat diartikan

pula—sebagaimana diuraikan ulama salaf-- menghidupkan kembali ajaran

salafus saleh, memelihara nash-nash, dan meletakkan kaidah-kaidah yang

disusun untuknya serta meletakkan metode yang benar untuk memahami

nash tersebut dalam mengambil makna yang benar yang sudah diberikan oleh

ulama (Sa’ud, 1984:25-30).

Dari definisi di atas tampak, bahwa tajdid mendorong ummat Islam

agar kembali kepada al-Qur’an dan sunnah serta mengembangkan ijtihad.

Tajdid seperti ini pula yang dikatakan sebagai islah atau reformasi dalam

Islam. Istilah reformasi itu sendiri, berdasarkan sejarahnya, muncul akibat

modernisasi; sedangkan puritan muncul sebagai reaksi atas reformasi.

Reformasi adalah vis a vis modernisasi. Reformasi lahir akibat adanya

penyimpangan agama dan teologi yang disebabkan oleh adanya sekularisme

modern (Eliade, 1987:244).

2. Asriyah dan Modernisasi

Istilah Modernisasi atau Asriyah dalam bahasa Arab diberikan oleh

kaum Orientalis terhadap gerakan Islam tanpa membedakan isi gerakan itu

sendiri (Atjeh, 1970: 6). Modernisasi dalam masyarakat Barat mengandung

arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk merubah faham-faham,

adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan

dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi modern. Tatkala ummat Islam melakukan kontak dengan Barat,

maka modernisasi dari Barat membawa kepada ide-ide baru ke dunia Islam,

seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan lain sebagainya (Nasution,

1982:11).

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

13

Penyesuaian ajaran seperti di atas disebut modern karena dalam

sejarah agama Katholik dan Protestan berarti penyesuaian diri dengan ilmu

pengetahuan dan falsafat modern. Sayangnya, modernisasi di Barat akhirnya

membawa sekulerisasi. Kata ’modern’ bisa juga membawa berdampak

negatif terhadap pemahaman agama bila tidak disertai filter-filter tertentu

untuk menyaringnya, sebagaimana yang terjadi di Barat. Untuk itu, Harun

Nasution tidak begitu sreg menggunakan kata modern; sebagai gantinya

dipilih kata pembaharuan.

3. Revivalisasi, Resurgensi, Renaisans, Reasersi

Semua peristilahan di atas mengandung arti tegak kembali atau

bangkit kembali. Istilah revivalisasi pada dasarnya banyak sekali digunakan

oleh para penulis. Fazlurrahman, misalnya, menggunakan istilah ini, bahkan

ia membaginya kepada dua bagian yaitu revivalis pra-modern dan revivalis

Neo-modernis (Nasution dan Azra, 1985:70-71).

Penulis lain mengungkapkan kebangkitan kembali dengan istilah

resurgence. Chandra Muzaffar yang mengemukakan istilah ini dalam

tulisannya Resurgence : A Global View, menyatakan bahwa adanya

perbedaan antara istilah revivalis dengan resurgence. Resurgence adalah

tindakan bangkit kembali yang di dalamnya mengandung unsur (a)

kebangkitan yang datang dari dalam Islam sendiri dan Islam dianggap

penting karena dianggap mendapatkan kembali prestisenya; (b) Ia kembali

kepada masa jayanya yang lalu yang pernah terjadi sebelumnya; (c) bangkit

kembali untuk menghadapi tantangan, bahkan ancaman dari mereka yang

berpengalaman lain (Nasution dan Azra, 1985:70-71).

Revivalisme juga berarti bangkit kembali, tetapi kembali ke masa

lampau, bahkan keinginan untuk menghidupkan kembali yang sudah usang.

Renaisans berarti sebuah gerakan pembaharuan yang mereformasi ajaran-

ajaran agama yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Renaisans

dalam Islam bisa juga berarti tajdid. Karena itu, barangkali, mengapa banyak

para penulis menggunakan renaisans dalam menerangkan tajdid atau

pembaharuan dalam Islam (Nasr, 1983:203-206). Fazlur Rahman, misalnya

dalam bukunya Islam: Challenges and Opportunities, menulis tentang

renaisans Islam. Istilah ini digunakan pula oleh editor buku A History Of

Islamic Philisophy, M.M. Sharif, tatkala menerangkan tokoh-tokoh

pembaharuan dunia Islam, seperti Muhammad ibn Abd al-Wahab

Muhammad Abduh, dan yang lainnya dibawah judul Modern Renaissans

(Sharif, 1966:146). Sementara itu reassertion berarti tegak kembali, tetapi

tidak mengandung tantangan terhadap sosial yang ada.

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

14

Para ahli bukan hanya sekedar berbeda pendapat dalam hal istilah

yang digunakan, akan tetapi dalam makna dan isi pembaharuan itu sendiri.

Itulah sebabnya orang sering mengatakan bahwa istilah pembaharuan dalam

Islam masih merupakan hal yang kontroversial. Dan itu pula sebabnya,

mengapa Harun Nasution tidak banyak menggunakan istilah-istilah tersebut,

kecuali menggunakan istilah pembaharuan dan tajdid. Karena yang penting

adalah isi dan tujuan dari pembaharuan itu sendiri kembali kepada ajaran-

ajaran dasar dan memelihara ijtihad.

C. Sebab Terjadinya Pembaharuan

Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya pembaharuan dalam

Islam, yaitu dorongan ajaran Islam itu sendiri dan akibat adanya asimilasi

dengan kebudayaan baru, baik yang bersifat lokal, regional maupun

internasional, khususnya dengan Barat.

Mengenal sebab pertama, banyak ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis

Rasul yang menerangkan tentang penelitian ilmiah dan perlunya memelihara

ajaran Islam sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah. Salah satu hadis yang

menerangkan perlunya tajdid adalah sabda nabi yang berbunyi :

”Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk ummat ini, setiap

penghujung seratus tahun, orang yang memperbaharui agamanya” (Daud,

1952:424).

Hadis ini menerangkan secara eksplisit, bahwa adanya mujaddid, reformer,

juru islah, dan mujahid akan selalu muncul pada setiap awal atau penghujung

seratus tahun (abad). Ini artinya pada setiap generasi akan ada seorang

Mujaddid.

Berkaitan dengan sebab pertama ini, ummat Islam pada setiap generasi dan tempat tertentu akan menghadapi persoalan yang berbeda;

ummat selalu berkembang, tantangan zaman semakin kompleks.

Di kalangan ummat Islam, mujaddid pertama yang muncul adalah Ibn

Taimiyah. Di masa hidupnya ia melihat ummat banyak yang melakukan

penyelewengan dalam agama sehingga mengakibatkan akidah, ibadah,

muamalah, dan akhlak menjadi rusak, seperti syirik, khurafat, dan bid’ah;

taklid merajalela dan ijtihad dianggap haram. Apa yang dialami oleh Ibn

Taimiyah, dialami pula oleh Muhammad bin Abd al-Wahab. Semasa mereka

hidup, politik dunia Islam sedang kacau akibat serbuan tentara Mongol di

satu pihak dan penetrasi Barat ke dunia Islam di pihak lainnya. Pembaharuan

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

15

yang muncul setelah Muhammad bin Abdul al-Wahab sebagai akibat

penetrasi Barat modern ke dunia Islam.

Tekanan dari masing-masing pembaharuan berbeda, dari satu generasi

ke generasi yang lain, dan juga dari satu tempat ke tempat yang lainnya.

Namun para pembaharu itu mempunyai tujuan yang sama, yaitu memurnikan

ajaran Islam dan atau membangkitkan nama baik Islam. Dalam pada itu yang

diperbaharui hanyalah ajaran yang tidak bersifat mutlak -- qat’i (Nasution,

1985:70-71). Syarat-syarat untuk menjadi pembaharu harus adalah orang-

orang yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pikiran yang jernih, wawasan

yang luas, sikap yang konsisten, kemampuan menganalisa hal-hal mana yang

melampaui batas, dan mana yang memiliki kekuatan berpikir, berani dan

pantang mundur dalam menghadapi tantangan zaman, memiliki kemampuan

memimpin, kemampuan ijtihad, membangun dan membina masyarakat, dapat

membedakan ajaran Islam dan ajaran jahiliyah, dan seorang muslim yang

memiliki keimanan, pandangan, pemahaman, dan perasaan yang benar

tentang Islam (Maududi, 1984:43).

Masa dan jenis pembaharu menurut Fazlur Rahman, ada 3 macam,

yaitu revivalis pra-modernis, modernis klasik, dan neo-revivalisme.

Revivalisme pra-modernis seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abd al-

wahab dan Gerakan Sanusiyah. Gerakan ini timbul karena (i) keprihatinan

yang mendalam terhadap kemerosotan moral dan sosial ummat; (ii) sebagai

himbauan untuk kembali ke Islam yang orisinal, meninggalkan khufarat dan

tahayul, meninggalkan taklid dan mendorong ijtihad; (iii) menghimbau untuk

membuang beban yang menghancurkan, berupa pandangan tentang takdir

sebagai akibat teologi Asy’ariyah, (iv) melaksanakan perubahan bila perlu

dengan kekuatan bersenjata.

Adapun sebab yang mendorong bangkitnya semangat pembaharuan

pada tingkat ini antara lain : datangnya dari Islam sendiri sebagai respon dan

kritik terhadap sufisme yang menjauhi tugas-tugas dalam pergaulan sosial

dan dunia konkrit sehingga diperlukan rekonstruksi sosio-moral dan sosio-

etik dalam masyarakat Islam agar sesuai atau paling tidak mendekati Islam

ideal. Referensi gerakan pembaharuan yang utama adalah al-Qur’an dan al-

sunnah serta menekankan semangat ijtihad, yaitu dengan menggunakan akal

pikiran untuk memecahkan masalah yang timbul dalam masyaratkat Islam

(Amin Rais, 1984:vii).

Setelah itu, pada pertengahan abad ke-19, muncul kelompok

pembaharuan yang oleh Fazlur Rahman disebut modernis klasik. Yang

dianggap termasuk kelompok ini antara lain, Sayyid Ahmad Khan, Jamaludin

al-Afghani, dan Abduh. Mereka mewarisi tradisi muslim masa pertengahan

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

16

berupa, filsafat rasional dari al-Farabi, Ibn Sina, dan lainnya, dengan

menumbuhkan semangat ijtihad dan penolakan taklid. Yang dianggap baru

dari pembaharuan ini ialah perluasan ijtihad. Pembaharuan ini berkembang

meliputi pemahaman akal budi dan hubungannya dengan iman, pembaharuan

sosial, pendidikan, status wanita, pembaharuan politik, dan lain sebagainya

(Amin Rais, 1984:26).

Cara penafsiran kaum modernis klasik didasarkan pada al-Qur’an dan

kerangka dasar sunnah historis dan bukan pada hal yang teknis. Di antara

mereka ada yang menolak hadis secara hati-hati seperti Muhammad Abduh,

dan ada pula yang menolak hadis secara terang-terangan, menafsirakan Islam

secara liberal, seperti Sayyid Ahmad Khan (Amin Rais, 1984:29).

Setelah modernis klasik ini, muncullah apa yang dinamakan Rahman

sebagai neo-Revivalisme yang gerakannya terartikulasi dalam bentuk

gerakan-gerakan politik. Ia berbeda, baik dengan kaum revivalis pra-

modernis maupun dengan kaum modernis klasik. Reaksi mereka terhadap

modernis cukup tajam, bahkan tidak dapat dibedakan dengan pra-modernis.

Mereka menuduh bahwa kaum modernis klasik itu identik dengan

pambaratan (westernized). (Amin Rais, 1984:32).

Dalam pada itu penting pula ditambahkan di sini bahwa ide

pembaharuan dalam arti modernis klasik di kalangan muslimin, banyaknya

pelajar muslim yang belajar di Barat atau mendapat pengaruh dari pendidikan

Barat. Dengan ide pembaharuannya itu mereka ingin menyamai barat dalam

kemajuan, dan atau mengusir penjajah Barat dari dunia Islam. Hasilnya ada

yang kebarat-baratan, ada yang memilah-milah kebudayaan Barat dan ada

pula yang membedakan sama sekali.

D. Tujuan Pembaharuan

Sesuai dengan klarifikasi pembaharuan di atas, maka implikasi dan

tujuan umum pembaharuan yang dilakukan mereka, yaitu:

1. memurnikan ajaran Islam

2. membolehkan ijtihad dan melarang taklid

3. kembali kepada ajaran-ajaran dasar: al-Qur’an dan al-sunnah,

4. mengembalikan citra ummat Islam, dan

5. memperbaiki sosial-ekonomi dan politik ummat.

Mereka mengelaborasi ide tersebut melalui kegiatan ilmiah dan

amaliah, baik secara formal dan non-formal. Muhammad bin abd al-Wahab

mengembangkan ide pembaharuannya melalui masyarakat dan pemerintah

dan kelompok elit. Al-Afghani mengembangkan idenya melalui jalur-jalur

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

17

pendidikan dan politik; sementara Muhammad Abduh lebih menekankan

kepada pendidikan. Muhammad Abd al-Wahab berhasil mengubah pola fikir

ummat dan membangun Negara, yaitu Negara Wahabi, Saudi Arabia. Al-

Afghani dan Muhammad Abdul berhasil mengembangkan berpikir rasional

sehingga merubah citra al-Azhar menjadi universitas bergengsi,

dibandingkan dengan masa sebelumnya yang masih bersifat tradisional. Para

pembaharu yang hidup sesudah mereka mengikuti corak pemikiran mereka.

Ada yang mengikuti corak Muhammad bin abd al-Wahab, ada yang

mengikuti ide al-Afghani, dan ada pula yang mengikuti pikiran Muhammad

Abduh.

Di Indonesia corak pemikiran mereka diikuti pula oleh gerakan Padri

di Summatra Barat, Ahmad Syurkati dengan al-Irsyad, Ahmad Dahlan

dengan Muhammadiyah, A. Hasan dengan PERSIS, dan Abdul Halim dengan

PUI (Atjeh, 1970:11-169).

E. Tokoh-Tokoh Pembaharu

Pada dasarnya penulis menemui kesulitan menyebut pembaharu

secara definitif, hal ini karena berbeda sudut pandang para penilai dan juga

mereka yang dianggap pembaharu itu tidak menyebut dirinya sebagai

pembaharu secara eksplisit. Di samping itu adakalanya seseorang yang

dianggap sebagai pembaharu oleh yang lainnya, sementara penilai yang lain

menyebutnya sebagai mulhid, kafir, murtad, dan gelaran-gelaran yang

lainnya.

Namun lepas dari perbedaan-perbedaan penilaian tersebut di atas,

berdasarkann literatur-literatur yang ditemukan menyatakan, bahwa yang

dianggap pembaharu itu antara lain, Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abd al-

Wahab, Syekh Waliyullah al-Dahlawi, Muhammad Abduh, al-Afghani, dan

Muhammad Rasyid Ridha. Di Indonesia, pada masa perjuangan, kita

mengenal Cokroarimoto, H.Ahmad Dahlan, A. Hasan, Ahmad Syurkati dan

abdul Halim. Malahan menurut penilaian abdul A’la al-Maududi, yang

dianggap pembaharu adalah : Umar bin Abd al-azizi, imam mazhab yang

empat, Ibn Taimiyah, Syekh Ahmad Sirhindi, imam wali Allah al-Dahlawi,

Sayid Ahmad Al-Barbaelani, dan Syekh Ismail (Maududi, 1984:55-119).

Alasan mereka dianggap pembaharu karena jasa-jasa mereka dalam

menggugah kebangkitan ummat, baik secara intelektual moral, dan lain

sebagainya. Termasuk pula tokoh-tokoh pembaharu seperti Muhammad Ali,

al-Tahtawi, Qasim Amin, Musatfa Kamil, Ali Abd Raziq, Toha Husen,

Hasan al-Banna, Jamal Abd al-Naser, dan lainnya muncul di kalangan

Kristen, yaitu al-Bustami, dll.

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

18

F. Aspek-Aspek Pembaharuan

Secara implisit aspek-aspek pembaharuan pada dasarnya sudah

disinggung di atas, namun perlu dijelaskan lebih lanjut secara eksplisit.

1. Pra-Modernis

Para pembaharu pra-modernis dan yang seide dengannya lebih

menekankan pada aspek pemurnian ajaran Islam dalam bidang akidah,

syariah, dan akhlaq dari subversi ajaran yang bukan Islam dan tidak dapat

diIslamkan, walaupun mereka tidak melupakan aspek politik dan sosial

ekonomi.

2. Modernis Klasik

Para modernis klasik sudah jauh melangkah dari yang diperjuangkan

pra-modernis. Mereka bukan hanya sekedar merekonstruksi bidang teologi,

akidah, dan ibadah, akan tetapi sudah membicarakan apa yang disebut ajaran

dasar dan tidak dasar. Mereka melakukan reaktualisasi penafsiran dan

pemahaman kitab suci dan juga mempertanyakan keotentikan hadis lebih

tajam lagi. Di antara mereka ada yang bersikap hati-hati terhadap penerima

hadis, seperti Muhammad Abduh dan ada yang menolak hadis sama sekali.

Dari kalangan mereka muncul golongan yang disebut golongan Quraniyah,

seperti Sayyid Ahmad Khan. Kaum modernis ini berbicara masalah ekonomi.

kenegaraan, penafsiran, kontekstual, dan mengambil metode modern dalam

kajian-kajiannya.

3. Paska Modernis

Paska modernis dapat pula disebut sebagai neo-revivalisme yang

menekankan pembaharuan pada bidang politik dan pendidikan. Para

pembaharu ingin memiliki identitas khusus yang Islami; mereka berbeda

dengan kaum modern klasik dan pra-modern.

G. KESIMPULAN

Demikianlah pembaharuan dalam Islam dengan berbagai variasinya,

dapat membangkitkan ummat Islam dari kevacuman intelektual dan

kerusakan akidah. Pembaharuan yang dimulai di dunia Arab

menghembuskan angin segar ke seantero dunia Islam, sehingga kaum

muslimin menemukan kembali indentitas dirinya dan mampu pula

membebaskan dirinya dari penjajahan dan kolonialisme Barat.

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

19

MUHAMMAD IBN ABD AL-WAHAB

DAN GERAKAN WAHABIYAH

Oleh

Zainun Kamal

I

Dari waktu ke waktu senantiasa ada usaha pembaharuan, atau

penyegaran, atau pemurnian pemahaman ummat kepada agamanya, adalah

sesuatu yang telah menyatu dalam sistem Islam dalam sejarah. Nabi sendiri

dalam sebuah hadits mengisyaratkan kepada adanya hal itu. Sabda Rasulullah

:

رواه أبو داود ) إن اهلل يبعث هلذه األمة على رأس كل مائة سنة من جيدد هلا دينها (ىف السنن

”Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk ummat ini, setiap

penghujung seratus tahun, orang yang memperbaharui agamanya”

Maka dari sudut tinjauan ini adalah suatu kejadian yang wajar saja, bahwa

pada abad ke-18, Jazirah Arab menyaksikan usaha tajdid yang militan, yang

dilancarkan oleh Syekh Muhamad Ibn Abd al-Wahab, yang melahirkan apa

yang dinamakan gerakan Wahabi.

II

SEJARAH HIDUP ABD AL-WAHAB

Ia adalah Muhammad Ibn Abd a-Wahab al-Najd al-Hanbali, dari bani

Tamim. Ia lahir di al-Uyainah di Nejed pada tahun 1115/1703M. Awal

pendidikannya bermula dari belajar kepada para ahli fikih kaum Hanbali,

yang terkenal dengan berpegang teguh kepada sunnah dan mencela bid’ah

(Mut’al :437).

Kemudian untuk melanjutkan pendidikannya ia pergi ke Madinah.

Setelah itu, ia melakukan perjalanan ke beberapa negara Islam, dengan tujuan

untuk menambah ilmu pengetahuan. Ia menetap selama empat tahun di

Baghdad, satu tahun di Kurdistan, dua tahun di Hamdan, kemudian ia pergi

ke Ashfahan dan di sana ia mempelajari falsafat isyraq (iluminasi) dan tasauf,

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

20

kemudian ia meneruskan perjalanan ke Qum (Amin, 1979:10). Disebutkan

juga bahwa ia juga mengunjungi negara-negara Turki, Aleppo di Damaskus,

al-Quds (Palestina) dan Mesir (Nashir, 1983:31). Setelah melakukan

perjalanan panjang, ia kembali ke Nejed, lalu ia tampil dengan menyerukan

pemikiran-pemikiran baru.

Tetapi penulis-penulis Arab modern berpendapat bahwa Abd al-

Wahab dalam perjalannya tidak pernah keluar dari kawasan dunia Arab

(Nashir, 1983:31). Wahabiyah adalah suatu nama gerakan yang dipimpin

oleh Abd al-Wahab pada abad ke-18. Nama ini diberikan oleh musuh-musuh

Abd al-Wahab dan orang-orang Eropa; dan akhirnya menjadi umum dipakai.

Sedangkan pendukung pendukung Abd al-Wahab menamakan gerakan

mereka dengan al-Muwahhidin atau al-Muslimin (Amin, 1979:10)

Gerakan Wahabiyah adalah merupakan perkembangan dari aliran

Salafiyah, yang berpangkal pada pemikiran-pemikiran Imam Ahmad ibn

Hanbal, yang kemudian dikonstruksikan dengan secara sistematis oleh Ibn

Taimiyah, dan terakhir dimapankan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah.

Tidak ada sesuatu yang baru pada gerakan Wahabiyah, selain dari

usaha penerapan ajarannya dengan lebih ekstrim, dan memperdalam

pengertian syirik dan bid’ah. Hal ini adalah akibat wajar dari situasi

masyarakat dan Jazirah Arab yang penuh dengan aneka ragam khurafat dan

bid’ah pada masa itu.

III

IDE-IDE TAJDID ABD AL-WAHHAB

Ide-ide tajdid Abd al-Wahhab berdiri diatas beberapa prinsip, di

antaranya adalah :

Pertama, Kembali kepada ajaran Islam yang murni seperti yang ada pada

masa Rasulullah dan para sahabat. Karena kemurnian ajaran dan akidah itu

Islam menjadi besar dan memperoleh kemenangan serta cepat meluas keluar

Jazirah Arab. Tetapi setelah akidah ummat turun ke tingkat syirik, mereka

mengalami kemunduran dan ditimpa kehancuran. Dari situ, Abd al-Wahab

mengembalikan sebab kelemahan ummat Islam dan kemunduran mereka

adalah karena kelemahan akidah, yang telah bercampur dengan syirik.

Karena itu, Abd al-Wahab berusaha untuk memurnikan akidah mereka

dengan cara kembali secara langsung kepada al-Qur’an al-Karim dan al-

Sunnah al-Nabawiyah. Setiap yang berbeda dari keduanya dianggap sebagai

bid’ah, suatu ajaran yang kemudian masuk ke dalam Islam (Al-Muhafazhah,

1978:40). Semboyan gerakan wahabiyah adalah “Back to the Qur’an !” dan

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

21

“Back to the Sunnah !” dalam artian, “Back to the God of the Sunnah and it’s

exhilaration,” (Smith, 1977:44).

Kedua, Tauhid yang diformulasikan dalam kalimat syahadat “ ال إله اال اهلل “ .

Menurut Abd al-Wahab, tauhid ada dua macam. Tauhid Rububiyah dan

Tauhid Ulluhiyah. Tauhid Rububiyah adalah mempercayai bahwa Allah

sendirian dalam menciptakan alam dan mengaturnya. Tetapi kepercayaan

kepada tauhid Rububiyah tidak menjadikan seseorang menjadi muslim. Yang

menjadikan seseorang muslim adalah kepercayaan terhadap tauhid uluhiyah,

yaitu mempercayai bahwa tidak ada yang disembah kecuali Allah. Orang

yang menyembah Allah dan juga menyembah berhala, atau nabi Isa, atau

malaikat, tidaklah disebut mentauhidkan Allah; walaupun ia percaya bahwa

sang pencipta dan pemberi Rezeki hanyalah Allah (Ghannam, 1961:299).

Di dalam kitab Kasyf al-Syububat, Abd al-Wahab mempertegas

pengertian tauhid bhwa “tauhid adalah pembenaran di dalam hati, diucapkan

dengan lidah, dan dilakukan dengan perbuatan. Jika kurang satu dari hal itu,

maka ia tidaklah termasuk orang Islam. Jika ia mengetahui tauhid tetapi ia

tidak mengerjakannya dalam perbuatan, maka ia termasuk orang kafir dan

pembangkang seperti Fir’aun dan Iblis”. (Ghannam, 1961:299).

Bertolak dari pengertian prinsip tauhid itu, Abd al-Wahab menyerang

dan memberantas semua adat kebiasaan yang terdapat di dunia Arab. Minta

berkah kepada para wali, mendekatkan diri kepada Allah dengan cara

menziarahi kuburan orang-orang saleh sebagai tawassul, adalah syirik. Orang

musyrik di zaman kita sekarang ini, kata Abd al-Wahab, lebih kafir daripada

di zaman Nabi Muhammad ” (Ghannam, 1961:303). Demikian juga Abd al-

Wahab berpendapat bahwa menziarahi kuburan adalah bid’ah, termasuk

kuburan Nabi Muhammad di Madinah (Al-Muhafazhah, 1978:42). Ia tidak

cukup dengan berpendapat bid’ah saja, tetapi sekaligus menghancurkan dan

meratakan kuburan-kuburan, kubah-kubah para sahabat dan wali-wali Allah

(Zahrah, 1976:507-508).

Tauhid adalah masalah dasar dalam pemikiran Abd al-Wahab, karena

hal itu marupakan ajaran inti Islam yang dikristalisasikan dalam kalimat Laa

Ilaaha Illallah, dan sekaligus sebagai pembeda antara Islam dengan non-

Islam. Nabi Muhammad diutus adalah untuk pembenaran tauhid, melarang

menyembah kepada berhala, patung, orang tua, nenek moyang, para wali,

para pimpinan, dan lain sebagainya. Itulah sebabnya pengikut-pengikut Abd

al-Wahab menamakan diri mereka al-Muwahhidun.

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

22

Seperti yang sudah disinggung di atas, Abd al-Wahab berpendapat,

bahwa Islam berkembang dengan pesat sekali pada masa Rasulullah dan para

sahabat karena mengamalkan ajaran Islam yang murni. Tetapi setelah ummat

Islam meninggalkan ajaran Islam yang murni dan mencampuradukkan akidah

tauhid dengan bid’ah dan syirik, akibatnya mereka mengalami kemunduran.

Dalam artian, penyakit yang menimpa ummat Islam adalah kerusakan akidah

tauhid. Itulah sebabnya Abd al-Wahab berpendapat bahwa untuk sembuh

kembali, ummat Islam harus kembali secara konsekuen kepada ajaran Islam

yang murni seperti yang terdapat pada masa Rasulullah dan para sahabat.

Atau dikenal dengan masa kaum Salafus Shalih.

Ketiga, mempelajari ilmu yang tidak disandasarkan pada al-Qur’an dan

Sunnah, atau yang hanya bersumberkan kepada akal semata, dianggapnya

kufur. Termasuk juga kufur mengingkari “qadar” dan menafsirkan al-Qur’an

dengan jalan Ta’wil (Al-Muhafazhah, 1978:42).

Kempat, dalam bidang hukum, Abd al-Wahab berpendapat bahwa untuk

menentukan halal dan haramnya sesuatu hanya bersumber pada al-Qur’an

dan al-Sunnah. Pendapat para teologi dalam bidang akidah, dan para ahli

fikih dalam bidang hukum tidaklah dapat dijadikan dalil; sebab setiap orang

berhak untuk berijtihad, bila memenuhi persyaratannya )Amin, 1979:14).

Hal-hal yang dianggap bid’ah dan haram hukumnya serta wajib

diberantas, di antaranya adalah mengadakan upacara maulid nabi, wanita

mengiringi jenazah, mengadakan perkumpulan-perkumpulan dzikir, seperti

praktek para sufi. Dikategorikan juga ke dalam bid’ah dan haram hukumnya

adalah merokok, lelaki berpakaian sutera, berfoto; dan makruh hukumnya

memotong jenggot. Kadang-kadang soal kecil pun dianggap bid’ah

(Mushtafa, 1976:31).

Di samping itu, memerintah dengan paksa kepada orang-orang Islam

untuk mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, dan melaksanakan rukun

Islam lainnya. Ini dimaksudkan untuk membangun masyarakat yang Islami

(Al-Muhafazhah, 1978:42).

Kelima, menyerukan dibukanya pintu ijtihad. Bagi orang-orang yang

memenuhi syarat berijtihad. Ia berhak berijtihad secara langsung dalam

memahami al-Qur’an dan al-Sunnah. Ditutupnya pintu ijtihad, menurut Abd

al-Wahab adalah sebuah kemunduran bagi orang-orang Islam; karena

kehilangan kepribadian dan daya nalar mereka, dan menyebabkan

terpecahnya ummat Islam kepada aliran-aliran yang saling mencaci maki.

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

23

Mereka menjadi orang yang statis dan taklid, yang hanya mengkaji pendapat-

pendapat dan fatwa-fatwa dari ulama yang ditaklidinya. Maka untuk

menyelamatkan ummat dari bahaya yang buruk ini, menurut Abd al-Wahab,

adalah dengan membuka pintu ijtihad, dan kembali secara langsung

memahami agama dari sumber aslinya, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah (Amin,

1979:14).

IV

PENGARUH GERAKAN WAHABIYAH

Aliran Wahabiyah menjadi mazhab resmi di kerajaan Saudi Arabia

sampai saat ini. Sedangkan di luar Jazirah Arab ajaran-ajaran Wahabiyah

disebarkan dan dikembangkan oleh kaum muslimin yang pulang ke

negerinya masing-masing setelah bermukim dan menunaikan ibadah haji di

Mekah.

Di anak benua India, tepatnya di Punjab (India Utara) ajaran-ajaran

Wahabi disiarkan oleh Sayyid Ahmad, yang melakukan ibadah haji pada

tahun 1822-1823 M. Dia mendirikan Negara Wahabiyah, dan memaklumkan

jihad terhadap orang yang tidak mempercayai dakwahnya, dan tidak masuk

barisannya.

Gerakan “Ishlah” Muhammad bin Ali al-Sanusi di abad ke-19, di

Afrika Utara yang bermarkas di Libya, adalah mengambil model dari gerakan

Salafiyah Wahabiyah; demikian juga gerakan Muhammad Ahmad al-Mahdi

di Sudan, dan gerakan mujahid muslim Usman Danfudyu di pedalaman

Afrika. Mereka mengenal ide-ide pembaharuan gerakan Wahabiyah di saat

menunaikan ibadah haji di tanah suci (Fathiyah, 1983:229-230).

Adapun di Indonesia gerakan Wahabiyah pertama sekali terdapat di

Minangkabau, Summatra Barat, yaitu dengan pulangnya tiga orang haji dari

Saudi Arabia di awal abad ke-19 (tahun 1802 M). Mereka adalah Haji

Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang (Hamka, 1963:26). Mereka

bermukim di Saudi Arabia di saat berkembangnya gerakan wahabiyah, dan

mempelajarinya dengan seksama. Mereka berkesimpulan, sebab keberhasilan

gerakan Wahabiyah adalah karena adanya pemaduan kekuatan lisan dan

senjata dalam menjalankan dakwah.

Setelah kembali ke Summatra Barat, mereka memulai menjalankan

dakwah dengan memberikan pengajian halakah dan pelajaran-pelajaran

agama Islam di Surau-surau dan di Mesjid-mesjid. Mereka mengajak ummat

Islam untuk menjalankan agama Islam sebagaimana yang dilakukan oleh

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

24

para salaf yang shaleh (Rajab, 1954:9). Mereka mencegah dari yang munkar

dan dari adat dan tradisi masyarakat yang bertentangan dengan ajaran Islam,

seperti minum arak (khamr), berjudi dan mengadu ayam (Sckriche, 1973:3),

dan melarang wanita keluar rumah dengan kepala terbuka. Orang yang

melanggar larangan tersebut ini akan diperlakukan kepadanya hukuman mati

(Hamka, 1963:28).

Gerakan ini kemudian mendapat dukungan dari ulama-ulama

Summatra Barat. Maka terbentuklah sebuah gerakan dibawah delapan orang

ulama, yang kemudian terkenal dengan nama “Harimau nan Salapan”, yang

dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh (Hamka, 1963:28).Tujuan terakhir dari

gerakan mereka adalah untuk mendirikan sebuah Negara Islam Salafiyah

(Pane, 1970:84).

Gerakan ini kemudian menjelma menjadi gerakan Perang Paderi yang

melawan penjajahan Belanda yang pro kepada kaum adat. Gerakan Paderi

merupakan permulaan gerakan kebangkitan ummat Islam Indonesia dan

merupakan gerakan Islam yang terpenting dalam menghadapi musuh-musuh

Islam, baik dari dalam maupun dari luar Indonesia (Ricklef, 1981:155). Ia

kemudian memberikan pengaruh dan inspirasi yang besar atau gerakan dan

kebangkitan ummat Islam Indonesia (Stoddard, 1966:298).

Adapun gerakan Muhammadiyah awal berdirinya juga terpengaruh

oleh gerakan Wahabiyah, karena tokoh utamanya, KH. Ahmad Dahlan (w.

1923/1340 H) mendirikan organisasi ini setelah ia kembali dari tanah suci.

V

KESIMPULAN

Dari beberapa ide pembaharuan Muhammad Ibn Abd al-Wahab yang

sudah dikemukakan di atas dapat dilihat bahwa pembaharuan yang

dilancarkan tanpa sedikitpun ada persinggungan dengan kemoderenan dari

Barat. Namun demikian, seperti dikatakan Nurcholish Majid, gerakan ini

merupakan satu-satunya gerakan pembaharuan keagamaan yang paling

sukses secara politik, yaitu setelah bergabung dengan dinasti Sa’ud.

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

25

EKSPEDISI NAPOLEON DI MESIR:

IDE-IDE BARU DAN PENGARUHNYA

Oleh

Noorwahidah Haisy

A. Pendahuluan

Periode modern dalam sejarah Islam yang dimulai sejak tahun 1800

M ditandai dengan lahirnya ide-ide dan gerakan-gerakan pembaharuan.

Zaman ini disebut juga zaman kebangkitan Islam, karena ummat Islam yang

sebelumnya beku, statis dan jumud kini sadar dan bangun kembali untuk

mengejar ketinggalan dan keterbelakangannya. Pada periode modern ini,

Negara-negara Islam yang sebelumnya berada di bawah telapak kaki

penjajah, mulai berusaha membebaskan diri dan membangun dirinya sendiri

menuju masa depan yang cerah dan lebih baik. Usaha-usaha pembebasan diri

tersebut menunjukan hasil yang gemilang pada abad ke-20 dengan

merdekanya negara-negara Islam satu persatu, sehingga di penghujung abad

ke-20 ini dapat dikatakan bahwa tidak ada satu negara Islam atau mayoritas

penduduknya beragama Islam pun yang terjajah.

Salah satu aspek penting yang membawa kepada kebangkitan ummat

Islam dan lahirnya gerakan-gerakan pembaharuan adalah ekspedisi Napoleon

ke Mesir pada tahun 1798-1801 M. Ekspedisi ini menyadarkan ummat Islam

akan kelemahan dan kemunduran mereka dan membuka mata ummat Islam

akan kemajuan yang dicapai oleh dunia Barat (Nasution, 1985:88). Di

samping itu, Napoleon datang ke Mesir tidak hanya sekedar menjajah, tetapi

juga membawa ide-ide baru yang bermanfaat besar bagi perkembangan Islam

khususnya di Mesir.

Ide-ide baru tersebut menjadi cambuk bagi ummat Islam Mesir,

terutama kaum intelektualnya, untuk bangkit melakukan pembaharuan dan

memperbaiki keadaan. Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan

pembaharuan ini bergema ke seluruh dunia Islam.

B. Riwayat Hidup Napoleon

Napoleon adalah seseorang jenderal dan kaisar Perancis yang besar.

Kehadirannya di pentas dunia tidak hanya berpengaruh terhadap

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

26

Perkembangan Perancis dan Eropa, tetapi juga berpengaruh besar terhadap

perjalanan sejarah ummat manusia. Karena itu, Michael H. Hart

menempatkannya pada urutan ke-34 dari seratus tokoh yang paling

berpengaruh dalam sejarah, di dalam karya besarnya yang terkenal The 100,

a Ranking Of The Most Influential Persons In History (Hart, 1984:193-199).

Nama lengkap Napoleon Bonaparte. Ia adalah anak ke empat dari

pasangan Carlo Buonaparte dan Letizia Ramolino. Ia dilahirkan di Ajaccio,

salah satu desa di wilayah Corsica, Perancis, pada tanggal 15 Agustus 1769,

dan meninggal dan meninggal dunia di St. Helena pada tanggal 5 Mei 1821

(Preece, 1970:1).

Karir militer Napoleon sangat menonjol. Ia masuk akademi militer

Perancis di usia muda. Dalam usia lima belas tahun ia tamat dari akademi ini

dan memperoleh pangkat letnan artileri. Dalam usia 24 tahun, ia

membuktikan kepiawaiannya di bidang militer dengan menghancurkan dan

mengusir tentara Inggris di Toulun sehingga daerah ini dapat dikuasai

Perancis kembali.

Ia juga berhasil mematahkan pemberontakan Royalis di Paris pada

tahun 1796. Pada tahun 1976 ia diangkat sebagai komandan pasukan Perancis

di Italia. Perkawinannya dengan Josephine de Beauharnais tidaklah

menghalanginya untuk menghancurkan pasukan Austria-Sardinia di Italia

antara tahun1796-1797 (Shadily, 1983:2334). Keberhasilannya dalam

berbagai pertempuran membuat namanya makin terkenal. Pada tahun 1797,

ketika ia kembali ke Perancis, ia disambut sebagai seorang pahlawan.

Pada tahun 1798 ia bersama pasukannya melakukan ekspensi ke

Mesir. Dalam waktu singkat, Mesir dapat dikuasainya. Namun, setahun

kemudian (1999) ia kembali ke Perancis, sementara pasukannya tetap tinggal

di Mesir (Hart, 1984:194).

Ambisinya untuk menjadi penguasa tertinggi di Perancis sangat besar.

Karena itu, sebulan setelah ia berada di Perancis sekembalinya dari Mesir, ia

melakukan kudeta bersama Abbe Sieyes pada tanggal 9 November 1799.

Kudeta ini berhasil sukses dan menghantarkan Napoleon ke puncak

kekuasaan. Pemerintahan yang baru dibentuk ini disebut Consulate, dan

Napoleon diangkat sebagai konsul pertama. Selama berada dalam tampuk

kekuasaan, ia melakukan perombakan besar-besaran dalam sistem

administrasi pemerintahan dan hukum. Ia merombak struktur keuangan dan

kehakiman. Ia mendirikan bank dan Universitas Perancis. Karya besarnya

yang berpengaruh sampai sekarang ialah Code Napoleon yang merupakan

dasar hukum Perancis.

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

27

Code ini dalam banyak hal, mencerminkan ide-ide revolusi Perancis.

Revolusi itu sendiri terjadi pada tahun 1789, dan ketika revolusi ini pecah,

Napoleon bergabung dengan kaum Jacobins (Shadily, 1983: 2334).

Pada tahun 1804 Napoleon memproklamasikan dirinya sebagai kaisar.

Meskipun angkatan laut Napoleon kalah dengan armada Inggris dalam

pertempuran Trafalgar (1805), namun di medan tempur darat yang lain,

pasukannya tetap unggul. Napoleon berhasil mengalahkan pasukan sekutu

Eropa dalam perang Austerliz (1805), Jena (1806), dan Friedland (1807). Ia

juga dapat mengakhiri kerajaan Romawi Suci (1806), dan berkuasa hampir di

seluruh Eropa (Shadily, 1983:2334).

Katika Napoleon menyerang Rusia pada tahun 1812, pasukannya

mendapat pukulan yang hebat. Tidak sampai 10 persen tentaranya yang dapat

keluar dari Rusia dalam keadaan hidup. Kelemahan Perancis ini

membangkitkan kesadaran Negara-negara Eropa lainnya seperti Austria dan

Rusia. Mereka pun bangkit menggalang persatuan untuk menyerang Perancis.

Dalam pertempuran dahsyat di Leipzig (1813), pasukan Napoleon dipukul

mundur. Tahun 1814 Perancis diserbu dan Napoleon dimakzulkan. Ia

diasingkan ke pulau Elba, sebuah pulau kecil di lepas pantai Italia. Namun,

pada tahun 1815 ia dapat melarikan diri dan berkuasa kembali di Perancis

selama 100 hari. Kekuatan Eropa pun bergabung untuk memukul Napoleon,

sehingga dalam pertempuran di Waterloo, Napoleon mengalami kekalaham

paling besar. Ia ditangkap oleh pasukan Inggris dan dibuang ke Saint Helena,

sebuah pulau kecil di Selatan Samudera Atlantik. Dalam penjara St. Helena

inilah ia menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tahun 1821 karena

Kanker (Hart, 1984:199).

C. Pendudukan Mesir dan Ide-Ide Baru yang Dibawa

Ambisi Napoleon untuk memiliki wilayah dan kekuasaan yang besar

sangat mencolok. Ia tidak saja berusaha menguasai seluruh daratan Eropa,

tetapi juja berusaha merambah ke daerah Timur. Pada tahun 1798 ia berhasil

menguasai Mesir yang ketika itu berada di bawah kekuasaan dinasti

Mamalik.

Keadaan Mesir sebelum diserbu Napoleon memang sangat parah,

terutama pada akhir abad ke-18. Seorang pengembara Perancis, Founier,

setelah melakukan kunjungan ke Mesir pada akhir abad ke-18, mengatakan,

“Kebodohan di Mesir adalah suatu gejala yang umum, sama dengan keadaan

di seluruh Turki, meliputi semua lapisan. Hal itu tampak jelas di bidang

literature, ilmu alam, dan teknik, bahkan juga di bidang kerajinan tangan

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

28

yang paling sederhana. Anda jarang menemukan reparasi arloji di Kairo.

Kalaupun ada tentu ia orang Eropa (Amin t.t.,:129).

Penaklukan Napoleon atas Mesir berjalan sangat cepat. Pasukan

dinasti Mamalik tidak mampu mempertahankan kedaulatannya dengan baik,

sehingga hanya dalam beberapa hari seluruh wilayah Mesir berada di bawah

pasukan Napoleon. Pada tanggal 2 Juli 1798, pasukan Perancis ini mendarat

di Alexandria. Kota pelabuhan yang penting ini dapat dikuasai hanya dalam

waktu satu hari. Kota berikutnya yang jatuh ialah Rasyid terletak di sebelah

timur Alexandria. Kejatuhannya berjarak waktu hanya sembilan hari dari

kejatuhan Alexandria. Daerah piramid dekat Kairo dapat dicapai oleh

pasukan Napoleon pada tanggal 21 Juli. Pasukan Mamalik yang tidak mampu

menghadang pasukan Perancis ini mundur ke Kairo, namun masyarakat

Kairo tidak memperdulikannya. Terpaksa mereka mundur lagi ke Selatan.

Dengan kekalahan pasukan Mamalik ini, tepat pada tanggal 22 Juli 1798,

praktis seluruh wilayah Mesir dikuasai Napoleon (Nasution, 1988:29).

Operasi militer Napoleon yang demikian cepat terhadap Mesir

disebabkan beberapa factor, antara lain :

1. Persenjataan pasukan Napoleon lebih canggih dan lebih dan lebih

mutakhir dibanding dengan persenjataan kaum Mamalik.

2. Pasukan Napoleon memiliki kemampuan dan kemahiran berperang

yang lebih baik daripada pasukan Mamalik. Pasukan ini didukung

oleh pengalaman perang yang banyak di berbagai medan tempur,

dalam berbagai cuaca, dengan berbagai bangsa dan Negara. Sejak

meletusnya revolusi Perancis pada tahun 1789, Perancis tidak pernah

sepi dari peperangan.

3. Rakyat Mesir tidak membantu kaum Mamalik. Hubungan mereka

dengan dinasti Mamluk ini sangat rapuh akibat perlakuan kasar

penguasa Mamalik yang menyakitkan masyarakat. Di samping itu,

pada umumnya kaum Mamalik tidak pandai berbahasa Arab sehingga

komunikasi di antara mereka tidak terjalin baik.

Di samping faktor-faktor di atas, kondisi ummat Islam pada saat itu

memang berada pada puncak kemundurannya, sementara Eropa, khususnya

Perancis dan Inggris sedang menanjak maju. Ditemukannya benua Amerika

oleh Colombus pada tahun 1492 dan Tanjung Harapan di Afrika Selatan oleh

Vasco de Gama sekitar tahun 1498, telah mengangkat Eropa ke percaturan

perdagangan internasional. Monopoli perdagangan dunia Islam antara Barat

dan Timur yang sebelumnya dimiliki Islam telah berubah. Dengan penemuan

benua Amerika dan Tanjung Harapan itu, hubungan dagang Barat dan Timur

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

29

dapat dilakukan tanpa melewati dunia Islam. Keadaan ini melemahkan

perekonomian Islam, sekaligus melemahkan kekuatan politik ummat Islam.

Ditambah lagi dengan kondisi dalam negeri Islam sendiri yang sudah

sangat rapuh akubat perebutan kekuasaan dan kekurangan perhatian terhadap

ilmu pengetahuan dan teknologi.

Gambaran umum terhadap keadaan dunia Islam abad ke-18 diungkapkan

oleh Lothrop Stoddard, antara lain sebagai berikut :

Pada abad ke XVIII dunia Islam dijatuhkan ke reruntuhan jang terdalam. Di manapun tidak ada tanda adanya tenaga sehat dan dimana-mana terdapat kematjetan

dan pembekuan. Kerusakan budi dan moral amatlah parahnja. Apa jang masih

tinggal dari kebudajaan Arab lenjap ditelan kemewahan jang diluar batas dari

segolongan ketjil, jang sama dengan degradasi jang diluar batas pula dari golongan

besar. Pengadjaran terhenti. Sedjumlah ketjil Universitas jang masih ada terdampar

kepada pembekuan, hidup miskin dan tak diatjuhkan. Pemerintahan mendjadi

despotis, kadang-kadang terdjadi anarchi dan berbagai tjara pembunuhan. Disana-

sini penguasa despotis luarbiasa seperti Sultan Turki atau “Maharadja Mongol”

India, sekaligus pembesar-pembesar provinsi selalu berusaha mendirikan

pemerintahan sendiri, seperti radjanja di atas asas kesewenang-wenangan dan

tangan besi. Kebalikannja, pembesar itu selalu pula harus bertindak terhadap

kepala-kepala daerah jang tidak patuh dan terhadap bandit jang banyak jumlahnya,

bertjokol di desa-desa. Disamping itu, pegawai-pegawai pemerintahan jang tjurang

memeras pula dan merampas rakjat habis-habisan. Petani dan orang kota patah

semangatnja untuk bekerdja dan berusaha. Baik pertanian maupun perdagangan

djatuh merosot sekali (Stoddard, 1966:29).

Keadaan dunia Islam sebagaimana digambarkan di atas sangat

berbeda dengan keadaan di Eropa. Eropa, dengan semangat renaissance,

berkembang maju. Amerika, sebagai benua yang baru ditemukan,

menghasilkan devisa yang sangat banyak. Kekayaan alamnya berupa emas,

ditambah dengan terbukanya jalur perdagangan langsung Timur-Barat, telah

memberikan sumbangsih yang besar terhadap peningkatan Ekonomi Eropa.

Kemajuan yang dicapai Eropa, tidak terbatas hanya di bidang ekonomi dan

politik saja, tetapi juga di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Nasution,

1987:9).

Meskipun kondisi ummat Islam sudah sangat parah pada abad ke-18,

namun kesadaran mereka akan kelemahan dan kemundurannya baru muncul

secara jelas ketika Napoleon menguasai Mesir dalam waktu singkat, padahal

Mesir adalah salah satu pusat dunia Islam, yang sebelumnya dikenal sangat

kuat dan kokoh. Bagi Napoleon sendiri, ekspedisi ke Mesir dimaksudkan

untuk menjadikan Mesir sebagai batu loncatan guna menguasai Timur,

khususnya India yang pada waktu itu sudah mulai berada di bawah pengaruh

kekuasaan Inggris (Nasution, 1979:94). Namun cita-cita Napoleon untuk

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

30

menguasai wilayah Timur ini kandas di tengah jalan. Dalam pertempuran di

Palestina, pasukannya kalah, sehingga pada tanggal 18 Agustuns 1799 M, ia

kembali ke Perancis (Nasution 1979: p. 94). Di samping itu,

berkembanganya politik di Perancis menghendaki kehadirannya. Ia kembali

ke Paris. Ekspedisi yang dibawanya ditinggalkannya, dan pimpinan

diserahkan kepada Jendral Kleber. Ekspedisi ini akhirnya meninggalkan

Mesir pada tanggal 31 Agustus 1801 setelah pasukan Perancis mengalami

kekalahan dalam pertempuran laut dengan armada Inggris (Nasution, 1987:

30).

Bagi masyarakat Mesir, sekalipun kedatangan Napoleon untuk

menjajah, namun ekspedisi ini memberikan semangat baru bagi kehidupan

mereka. Napoleon telah membawa ide-ide baru yang sangat bermanfaat bagi

Mesir, bahkan dunia Islam pada umumnya. Ide-ide baru yang dibawa

Napoleon itu, sebagaimana disebutkan oleh Harun Nasution, ialah sistem

pemerintahan republik, persamaan hak (egalite) dalam pemerintahan, dan

kebangsaan -Nasionalisme (Nasution, 1987:31-32).

Bagi masyarakat Mesir yang selama ini hanya mengenal sistem

kekhalifahan, kerajaan, atau kesultanan, maka sistem pemerintahan republik

yang dibawa Napoleon merupakan hal yang baru. Di dalam sistem kerajaan,

kekuasaan dipegang secara turun menurun, kekuasaan raja bersifat absolut,

tidak ada konstitusi yang membatasi kekuasaannya, tidak ada batas waktu

berkuasa, dan tidak ada perlemen yang mengontrol segala kebijaksanaan dan

tindakan raja. Sedangkan dalam pemerintahan republik kepala Negara

ditentukan melalui pemilihan, kekuasaan kepala negara terbatas, kepala

negara harus tunduk kepada undang-undang dasar dan bisa dijatuhkan oleh

parlemen, dan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.

Ide sistem pemerintahan seperti ini merupakan perwujudan dari cita-

cita revolusi Perancis yang menentang absolutisme penguasa. Bentuk

pemerintahan republik yang dibawa oleh Napoleon pun nampaknya tidak

terlepas dari bentuk pemerintahan yang dicanangkan oleh Montesquieu (18

Januari 1689-10 Februari1755). Montesquieu, yang nama lengkapnya adalah

Charles Louis De Secondat Montesquieu, adalah seorang ahli filsafat politik

Perancis yang sangat terkenal. Teorinya tentang pemisahan kekuasaan badan-

badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, atau dikenal dengan teori trias

politica, diuraikan dalam karyanya yang terkenal De L’espirit des Lois (Jiwa

perundang-undangan) di tahun 1748 (Shadily, 1983:2266). Bentuk

pemerintahan seperti ini sama sekali tidak dikenal di Mesir. Karena itu, pada

mulanya ide sistem pemerintahan republik tersebut agak sulit diterima,

namun akhirnya justru menjadi pemicu untuk lahirnya gerakan pembaharuan.

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

31

Ide persamaan (egalite) yang di kembangkan oleh Napoleon di Mesir

ialah persamaan kedudukan dan turut sertanya rakyat dalam soal

pemerintahan (Nasution, 1987:32). Ide ini nampaknya merupakan

perwujudan dari sitem pemerintahan republik yang dibawanya. Dengan

sistem ini rakyat banyak ikut serta terlibat langsung di dalam pemerintahan

melalui wakil-wakil mereka.

Wujud dari ide persamaan ini diperlihatkan Napoleon dengan

dibentuknya sebuah badan kenegaraan dan diwan al-Ummah. Badan

kenegaraan bertugas (1) membuat undang-undang (2) memelihara ketertiban

umum, (3) menjadi perantara antara penguasa-penguasa Perancis dengan

rakyat Mesir. Anggota-anggota terdiri dari para ulama al-Azhar, tokoh-tokoh

pedagang dari Kairo dan daerah-daerah. Sedangkan Diwan al-Ummah

bertugas untuk membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang

berkaitan dengan kepentingan nasional. Anggotanya berjumlah 180 orang.

Tiap-tiap daerah mengirimkan sembilan orang wakilnya yang terdiri dari

golongan ulama 3 orang, golongan pedagang 3 orang, petani 1 orang kepala

desa dan kepala suku bangsa Arab masing-masing 1 orang. Diwan ini

melaksanakan sidang pertamanya pada tanggal 5 sampai dengan 20 Oktober

1798 dengan putusan yang diambil “menganjurkan perubahan peraturan

pajak yang ditetapkan kerajaan Usmani” (Nasution, 1987:9). Memang,

meskipun secara de facto yang menguasai Mesir sebelum Napoleon adalah

dinasti Mamalik, namun secara de jure daerah ini berada di bawah kekuasaan

Turki Usmani.

Di samping pembentukan dua institusi di atas, Napoleon juga

memperkenalkan sistem pemilihan terhadap orang yang dilakukan secara

langsung, bebas, dan rahasia. Caranya, setiap anggota pemilih diberikan

kertas kosong, dan tiap mereka bebas menuliskan nama seorang yang dipilih,

tanpa diketahui dan dipengaruhi oleh orang lain. Praktek pemilihan seperti ini

diperlihatkan ketika Diwan al-Ummah dalam menetapkan ketua. Anggota

diwan, sebagaimana biasanya, menunjuk dan menyebut nama seseorang.

Ketika itu yang ditunjuk ialah Syekh al-Syarqawi, seorang ulama terkemuka

yang sangat dihormati mereka. Namun cara penunjukan semacam itu ditolak

oleh penguasa Perancis sambil menjelaskan tata cara pemilihan yang baik

dan demokratis, sebagaimana cara yang dikemukakan di atas. Bagi rakyat

Mesir, cara pemilihan seperti ini tidak lazim, namun mereka dapat

menerimanya.

Ide baru yang juga sangat penting yang dibawa oleh Napoleon ialah

ide kebangsaan. Di sini Napoleon menegaskan kepada orang-orang Mesir

bahwa Perancis adalah satu bangsa (nation), orang-orang Mesir juga satu

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

32

bangsa, sementara kaum Mamluk adalah orang asing yang datang dari

Kaukakus ke Mesir (Nasution, 1987:9). Antara orang Mesir dengan kaum

Mamluk memang sama-sama Islam, tetapi mereka berbeda bangsa,

sebelumnya ummat Islam Mesir tidak mempersoalkan perbedaan bangsa ini

terlalu mendalam, karena mereka mempunyai konsep al-Ummah al-

Islamiyah (Ummat Islam) yang hanya dihadapkan kepada non-Muslim. Jadi,

mereka hanya menyadari perbedaan agama dan tidak begitu sadar akan

perbedaan bangsa dan suku bangsa (Nasution, 1987:33).

Di samping ide-ide sebagaimana tersebut di atas, Napoleon juga

membangkitkan semangat rasionalisasi (Robinson, 1987:130) dengan

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia datang ke Mesir bukan

hanya membawa pasukan militer, tetapi juga disertai orang-orang sipil

sebanyak 1000 orang, 160 orang di antaranya adalah para ilmuwan dari

berbagai bidang, dua set percetakan dengan huruf latin, Arab, dan Yunani,

dan alat-alat ilmu pengetahuan yang dipakai dalam eksperimen-eksperimen

ilmiah (Nasution, 1987:96).

Para ilmuwan yang dibawa Napoleon ialah ilmuwan-ilmuwan

spesialis yang terbagi dalam empat kelompok (1) kelompok khusus di bidang

matematika yang bertugas membuat rencana tentang kota Kairo dan

menyiapkan peta bagi proyek Suez Kanal dan menetapkan jumlah pajak yang

harus dipungut oleh sultan Mamalik dari penduduk, (2) kelompok ahli fisika,

mencurahkan perhatiannya kepada pembuatan statistik kedokteran mengenai

jenis penyakit di Mesir dan cara penanggulannya serta membuat statistik

tentang jumlah kelahiran dan kematian. Kelompok ini mengharuskan

pemerintah setempat segera melaporkan penyakit apa saja yang ada di setiap

daerah dan kota, (3) kelompok ahli kesusteraan yang kegiatannya dicurahkan

kepada pengadaan perpustakaan untuk melayani para ahli ilmu pengetahuan

dan siapa saja yang berminat membaca pada waktu-waktu tertentu, dan (4)

kelompok ahli ekonomi yang mencurahkan perhatiannya terhadap bidang

ekonomi, antara lain masalah paspor, penetapan kewajiban pembagian harta

warisan kepada para ahli waris yang berhak, dan lain-lain. Di samping itu,

ada pula ahli-ahli kimia yang bekerja membuat rencana penyaringan air

sungai Nil dan menghilangkan kadar garamnya yang larut dari rerumputan

dan pepohonan (Amin, t.t:130).

Untuk kepentingan ilmiah, ekspedisi Napoleon dilengkapi dengan

sebuah lembaga ilmiah Institut d’ Egypte. Lembaga ini terdiri dari empat

bagian (1) bagian ilmu pasti, (2) bagian ilmu alam, (3) bagian ekonomi-

politik, dan (4) bagian sastra-seni. Dalam prakteknya, lembaga ini tidak

hanya digunakan untuk keperluan ilmiah, tetapi juga untuk membantu

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

33

Nepoleon dalam memerintah Mesir dengan hasil-hasil penyelidikan para

ahlinya (Nasution, 1987: 96).

Institut ini terbuka untuk orang-orang Mesir sehingga banyak ulama

terkemuka yang mengunjunginya, antara lain Abd al-Rahman al-Jabarti,

seorang ulama dari al-Azhar dan penulis sejarah. Ketika ia mengunjungi

lembaga ini di tahun 1799, ia sangat tertarik dengan perpustakaan besarnya.

Buku-buku yang tersedia di sini terdiri dari berbagai macam bahasa : Eropa,

Arab, Persia, dan Turki. Alat-alat ilmiahnya pun dipandang oleh Al-Jabarti

sangat mengagumkan, seperti teleskop, mikroskop, alat-alat untuk percobaan

kimiawi, dan lain-lain. Demikian juga cara kerja orang-orang Perancis dan

percobaan-percobaan yang dilakukan di lembaga ini membuat al-Jabarti

terkagum-kagum, sehingga ia mengatakan “saya lihat di sana benda-benda

dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hal yang besar untuk

dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita” (Nasution,

1987:30-31).

Ide-ide baru yang dibawa Napoleon dan aktivitas-aktivitasnya selama

ia menguasai Mesir telah membangunkan kesadaran ummat Islam sehingga

lahir ide-ide dan gerakan pembaharuan. Meskipun gerakan itu tidak begitu

kentara muncul pada saat Napoleon berkuasa di Mesir, tetapi pengaruhnya

jelas terlihat pada abad ke-19 dan 20. Gerakan pembaharuan yang dilakukan

Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Tahtawi, dan lain-lain di Mesir

tidak bisa dipisahkan dari pengaruh ekspedisi Napoleon.

D. KESIMPULAN

Penjajahan, bagaimanapun bentuknya, sering digambarkan sebagai

sesuatu yang menakutkan. Dalam istilah penjajahan terkandung bayangan

penindasan, perbudakan, pemaksaan, penganiayaan, dan hal-hal yang negatif

bagi bangsa terjajah. Tetapi ekspansi yang dilakukan Napoleon Bonaparte ke

Mesir, sekalipun tentu tidak luput dari hal-hal negatif tersebut, ternyata

memberi makna yang besar bagi perkembangan Islam dan masyarakat Mesir

sendiri. Dengan ekspedisinya, kesadaran ummat Islam untuk bangun

membenahi dirinya telah muncul, sehingga lahir gerakan-gerakan

pembaharuan, tidak hanya di Mesir, tetapi juga di berbagai negara Islam yang

lain.

Dengan ekspedisi ini, kontak antara dunia Islam dengan Barat telah

terjadi secara langsung. Napoleon juga membawa ide-ide baru yang

menggugah semangat masyarakat Islam di Mesir untuk melakukan perubahan

pada dirinya. Meskipun di awal abad ke-19, ide-ide itu pada mulanya

ditentang oleh sebagian ulama tradisional, namun akhirnya, secara perlahan

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

34

dapat di terima dan dipraktekan. Ide sistem pemerintahan republik yang tidak

membenarkan absolutisme kekuasaan kepala negara dan menjadikan kepala

negara mempunyai kekuasaan tidak tak terbatas, merupakan ide baru yang

menarik untuk dipelajari dan dikembangkan oleh para kaum intelektual.

Demikian pula ide persamaan kedudukan dan keikutsertakan rakyat dalam

pemerintahan, serta ide nasionalisme, yang sebelumnya tidak begitu disadari

oleh rakyat Mesir, merupakan ide-ide yang menggugah mereka untuk

melakukan pembaharuan di Mesir. Ide-ide baru inilah yang antara lain

memberikan inspirasi sejumlah tokoh pembaharu Mesir dan dunia Islam,

sehingga gema pembaharuan dan kebangkitan Islam berdengung di mana-

mana.

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

35

MUHAMMAD ALI:

USAHA-USAHA PEMBAHARUAN

Oleh

Mukhyar Sani

A. PENDAHULUAN

Sejak Napoleon Bonaparte mendarat di Alexandria (Mesir) pada

tanggal 2 Juli 1798 M. dengan maksud menjadikan Mesir sebagai batu

loncatan untuk menguasai Timur terutama India (Nasution, 1979:96) ummat

Islam di negeri itu semakin berada di bawah pengaruh Eropa. Kendatipun

ekspedisinya ke Mesir berlangsung tidak lama (1798-1801 M) namun

dampak positif yang ditinggalkannya bagi perkembangan Mesir selanjutnya

di luar dugaan sama sekali, sehingga P. M. Holt dan kawan-kawan

menggambarkannya sebagai an episode of decisive importance (Holt, dkk.,

1970:381).

Ekspedisi Napoleon itu secara tidak langsung membangunkan rakyat

Mesir dari tidur panjang untuk mengejar ketertinggalan mereka dari Eropa

melalui gerakan pembaharuan yang dipelopori Muhammad Ali, seorang

perwira Turki yang turut berperang melawan tentara Perancis. Setelah

Perancis keluar dari Mesir, ia dapat merebut tampuk kekuasaan, dan menjadi

penguasa tunggal di negeri itu dari tahun 1805 sampai 1849 M. (Nasution

1987: p.10)

Muhammad Ali adalah keturunan Turki. Ia lahir di Kawala

Macedonia, Yunani tahun 1769 M. dan meninggal 2 Agustus 1849 di

Iskandaria Mesir dalam usia 80 tahun. Dia adalah The Founder Of Modern

Egypte (Houtsma, dkk., 1919:681, 683).

Pada waktu kecil karena kesibukannya bekerja sebagai pedagang

tembakau, ia tidak sempat menikmati pendidikan di bangku sekolah,

akibatnya ia tidak pandai menulis dan membaca, tetapi sebuah sumber

menyebutkan ia baru mulai belajar di usia empat puluhan (William 1973:

610). Setelah dewasa ia bekerja sebagai pemungut pajak, dan karena

kecakapannya dalam pekerjaan ini, ia menjadi kesayangan Gubernur Usmani

setempat. Akhirnya ia diangkat sebagai menantu oleh Gubernur tersebut dan

sejak itu bintangnya terus menaik (Nasution, 1975:34). Muhammad Ali memasuki dinas militer pada tahun 1799 ketika itu pasukan Albania

mendarat di Mesir, dan selanjutnya tahun 1800 ia ditunjuk sebagai salah

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

36

seorang komandan pasukan tersebut dan karirnya terus menanjak sehingga

memperoleh pangkat kolonel (Houtsma, dkk., 1919:681, 683).

Peluang terbuka bagi Muhammad Ali ketika tentara Perancis

meninggalkan Mesir 1801 dan Mesir mengalami kekosongan kekuasaan, lalu

mengatur strategi dalam rangka mencapai puncak kekuasaan. Kaum Mamluk

kembali ke Kairo dan Pasya dengan Sultan Usmani datang dari Istanbul yang masing-masing bermaksud untuk meraih kembali kekuasaan lama (Edward,

1958:74-75). Muhammad Ali mengadu domba antara kedua saingannya itu.

Ia mulai dengan memukul saingan yang terlemah. Pasukan yang dikirim

sultan ia kepung. Pasya menyerah dan dipaksa kembali ke Istanbul.

Muhammad Ali mengangkat dirinya sebagai Pasya yang baru, dan akhirnya

terpaksa diakui oleh Sultan Usmani pada tahun 1805 (Nasution, 1979:35).

Mulai saat itu ia berkuasa di Mesir dengan cara memonopoli sumber daya

alam untuk kepentingan pemerintahannya sendiri (Savory, 1976:150).

Selama 45 tahun memerintah, Muhammad Ali telah melakukan upaya

pembaharuan di Mesir, baik dalam bidang militer, ekonomi, pendidikan

maupun di bidang lainnya, sekalipun tidak semua usahanya itu berhasil baik.

Karena itu pengaruhnya di mata rakyat Mesir sangat besar, akibatnya ia dapat

mewariskan kekuasaannya kepada keturunannya dengan penguasa terakhir

Raja Faruq yang bertahta selama 16 tahun - 1936-1952 (Hitti, 1974:432).

Dengan demikian dinasti Muhammad Ali di tanah Mesir dapat

berkuasa selama setengah abad.

B. IDE-IDE PEMBAHARUANNYA

Mesir pada saat kehadiran ekspedisi Napoleon benar-benar kurang

dari satu bulan, tentara Napoleon berhasil menjarah seluruh Mesir, yang

ketika itu masih berada di bawah kekuasaan Turki Usmani. Kebudayaan,

ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping alat-alat peperangan yang

dibawa Napoleon dalam ekspedisinya, jauh lebih tinggi dari yang ada di

Mesir pada waktu itu (Nasution, 1979:9). Keadaan seperti ini membuat

Muhammad Ali tidak tinggal diam, ia berupaya mengadakan pembaharuan

untuk mengejar ketertinggalan itu.

Dalam rangka memperbaharui bidang kemiliteran, Muhammad Ali

menunjuk seorang kolonel berkebangsaan Perancis, Seves, yang kemudian

setelah menganut agama Islam berganti nama dengan Sulaiman Pasha untuk

ikut ambil bagian dalam menaklukan Suriah dan mengatur secara modern

Angkatan Bersenjata Mesir dan seorang insinyur yang dipercayakan

membangun angkatan laut (Hitti, 1974:724). Angkatan Bersenjata yang

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

37

diatur Seves untuk pertama kali tahun 1811 beroperasi dalam rangka

memenuhi seruan Konstantinopel menyerang kekuatan Wahabi di mana

keberangkatannya oleh Muhammad Ali serta rakyatnya dirayakan di sebuah

gedung yang dibangun Saladin di pinggiran kota Kairo (Hitti, 1974:724).

Muhammad Ali melihat perlunya bala tentara yang loyal, berdedikasi

dan berdisiplin tinggi sebagaimana tentara-tentara Eropa, guna menangkal

serangan dari dalam dan luar. Karena itu dibangunlah kementerian angkatan

laut. Di Iskandaria dibangun sebuah industri bahari dan sekolah perwira

angkatan laut. At First He Ad Ships Built In France And Italy And Bombay,

But Soon Alexandria Itself Get Its Yard. After The Destruction Of The

Egyptian Fleet At Navarine Ship-Building Began Again And Quite A Number

Of French And Italian Officers Employed In The Egyptian Navy After 1831

(Hitti, 1974:724).

Laju pertumbuhan bidang kemiliteran selalu mengalami peningkatan

dengan rata-rata pertahun (1821-1838) kurang lebih 8.000 orang. Dari 16.000

orang ditahun 1821, menjadi 62.150 di tahun 1829, dan 83.000 di tahun 1832

menjadi 100.000 di tahun 1829, dan 83.000 di tahun 1832 menjadi 100.000

ditahun 1833 dan 157.000 orang di tahun 1838 (Houtsma, dkk., 1919:681-

683). Hal ini barangkali karena pengaruh didirikannya Sekolah Militer di

Mesir dan arena sebagian besar pelajar (35%) yang dikirim ke luar negeri

mendapat tugas mempelajari masalah kemiliteran.

Dalam rangka mengatur dan memodernisasi militer berikut Mesir

pada umumnya, Muhammad Ali berkiblat ke Barat. Karenanya pelatih militer

dan tenaga pengajar di sekolah-sekolah yang dibangunnya mayoritas

didatangkan dari Barat, sistem dan kurikulumnya menurut Barat, bahkan

pembangunan angkatan bersenjatanya sebagaimana disebutkan sebelumnya

juga diserahkan kepada tenaga yang berasal dari Barat. Sekolah-sekolah yang

pertama dibangun adalah sekolah militer dan sekolah-sekolah yang

mendukung peningkatan bidang kemiliteran. Besarnya perhatian Muhammad

Ali terhadap masalah kemiliteran dapat dipahami berkaitan dengan ambisinya

mempertahankan kekuasaan.

Karena itu dapat dilihat dari titik perbedaan kebijaksanaan militer

yang ditempuh Muhammad Ali dari kebijakan tradisional sebelumnya.

Muhammad Ali menempuh sikap keterbukaan dan bersahabat dengan Eropa,

mengadakan pembaharuan militer dari segi sistem dan persenjataan dengan

tenaga pelatih dari Barat, dan ia mengambil petani sebagai anggota angkatan

bersenjata, sedang sebelumnya dari para budak.

Mesir adalah negeri pertanian, dan untuk mempertinggi hasil-hasil

pertanian, Muhammad Ali disamping memperbaiki irigasi lama, mengadakan

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

38

irigasi baru, memasukan penanaman kapas dari India dan Sudan (1821-1822)

dan mendatangkan ahli pertanian dari Eropa untuk memimpin pertanian.

Untuk kemajuan ekonomi ia juga membawa perbaikan dalam bidang

pengangkutan (Nasution, 1979:36). Di Kairo terutama di bagian utara

dibangun tanggul-tanggul guna menahan air terusan, khususnya di tahun-

tahun kurang terjadi banjir. Di beberapa daerah terusan-terusan dan pompa

uap memberikan peluang bagi petani meningkatkan produksi pertanian

mereka (Nettleton, 1967:284). Terusan Mahmudiah yang menampung arus

perdagangan sungai Nil dan Iskandariyah mengalami perkembangan pesat.

Dalam perkembangan berikutnya, Iskandariyah menjadi salah satu kota

perdagangan laut Tengah, sehingga banyak orang Eropa yang tinggal di sana

dan akhirnya penduduknya bertambah dari 15.000 orang di tahun 1805

menjadi 150.000 orang di tahun 1847 (Nettleton, 1967:284). Pengolahan

katon meningkatkan dengan cepat produksi pertanian yang merupakan salah-

satu sumber devisa negeri Mesir dan Muhammad Ali juga mengimpor pabrik

tekstil dan gula (Hitti, 1974:432).

Muhammad Ali menyita harta kekayaan kaum Mamluk dan demikian

pula harta-benda orang Mesir yang berada di bawah kekuasaannya (Nasution,

1979:36). Pada tahun 1815 ia mulai menguasai hasil kapas, rami dan batang

lenan di Sudan. Dua tahun kemudian ia kuasai pula hasil nila, bijan dan

tumbuh-tumbuhan minyak lainnya. Kemudian ia membentuk tim penyelidik

yang bertugas menyelidiki keabsahan harta milik tetap. Pemilik tanah yang

menurut penyelidikan tidak sah, maka sejak itu, ia mengelola lahannya

sebagai petani dan bukan pemilik tanah, sebab tanah itu jatuh menjadi milik

Pasya (Brockelman, 1974:544).

Dari upaya-upaya dilakukan ini, Muhammad Ali bermaksud

melakukan gebrakan-gebrakan besar dalam rangka meningkatkan

perekonomian rakyat Mesir. Akan tetapi bagi mereka upaya-upaya itu masih

terlalu dini, mereka belum siap menyambut kehidupan modern karena masih

terpengaruh dengan budaya lama, santai dan senang dengan kehidupan

sederhana. Akhirnya usaha Muhammad Ali berakhir dengan kegagalan,

karena kekurangan tenaga ahli dan ketiadaan pasaran (Nasution, 1979:36).

Dalam rangka membenahi bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan,

Muhammad Ali mendirikan kementerian pendidikan dan Council of

Education (Hitti, 1974:724). Ia mendirikan sekolah Teknik (1816), Sekolah

Kedokteran (1829), Sekolah Pertambangan (1834), Sekolah Pertanian di

tahun 1836 (Nasution, 1979:38). Boleh dikatakan bahwa sekolah-sekolah

serupa ini barulah pertama kali didirikan di dunia Islam, sekolah-sekolah

yang jauh berlainan dengan sekolah-sekolah tradisional yang ada pada waktu

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

39

itu (Nasution, 1979:38). Sekalipun demikian he did not creat a national

education system. For his school were tied to very limited goals : the staffing

of his administration and his military machine (Savory, 1976:150).

Seirama dengan pembenahan di bidang pendidikan ini, Muhammad

Ali mengirim pelajar-pelajar Mesir untuk belajar ke Eropa terutama ke Paris.

Pertama kali para pelajar dikirim tahun 1809 antara tahun 1809 sampai 1826

sejumlah 20 orang pelajar dikirim ke Itali, Perancis, dan Inggris untuk

mempelajari percetakan, kelautan, teknik dan yang berkaitan dengan itu.

Orang yang pertama kali dikirim adalah Niqula Nasabki yang pernah belajar

percetakan di Roma pada tahun 1815-1820, yang kemudian ditunjuk sebagai

direktur percetakan Bulak (1821-1831). Kedua adalah Utsman Nur al-Din

yang mempelajari ilmu pengetahuan kemiliteran dan kelautan di Italia dan

Perancis (1809-1817 M) yang kemudian menjadi admiral angkatan laut Mesir

(Lughod, 1963:35).

Menurut Ibrahim Abu Lughod, 35% dari pelajar yang dikirim,

mempelajari bidang kemiliteran dan ilmu kelautan, 27% bidang teknik

industri, 18% bidang engineering, 7% bidang pengobatan, 6% bidang

administrasi, hukum dan politik, 4% bidang pertanian dan 3% mempelajari

bidang chemistry. Umumnya yang mempelajari bidang kemiliteran dan

kelautan adalah keluarga Muhammad Ali sendiri (Lughod, 1963 p.35).

Menurut statistik di antara tahun 1813 dan 1849 M., Muhammad Ali

mengirim 313 pelajar Mesir ke Italia, Perancis dan Austria. Di Paris didirikan

satu rumah Mesir untuk menampung pelajar-pelajar itu (Nasution, 1979:37)

Pengiriman para pelajar itu menghabiskan biaya sebesar LE. 272.360 (Hitti,

1974:724).

Dampak negatif pembaharuan di bidang pendidikan ini, terutama

dengan didirikannya sekolah-sekolah modern, adalah melemahnya peran

lulusan sekolah-sekolah tradisional dan para ulama, karena lapangan kerja

lebih terbuka bagi lulusan sekolah modern. Para lulusan sekolah tradisional

dan ulama tidak mengetahui ilmu pengetahuan modern dan bahasa asing,

yang pada gilirannya menyempitnya lapangan kerja bagi mereka baik di

lapangan pemerintah maupun swasta. Selain itu atmosfir Mesir yang

sebelumnya tidak tersentuh oleh kebudayaan Barat kemudian mengalami

perkembangan yang cukup pesat dengan adanya pembaharuan di bidang

pendidikan.

Muhammad Ali dengan bantuan tenaga-tenaga ahli bahasa asing dan

orang yang bekerja di Dewannya melakukan usaha penerjemahan buku-buku

Eropa ke dalam bahasa Arab. Upaya ini pad mulanya tidak berhasil dengan

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

40

baik, karena para penerjemah bukanlah ahli dalam ilmu-ilmu yang

terkandung dalam buku-buku yang perlu diterjemahkan itu. Hasil terjemahan

tidak sempurna dan juga karena penterjemahan tersebut dilakukan secara

sambilan (Nasution, 1979:39). Oleh sebab itu, pada tahun 1836 ia mendirikan

Sekolah Penterjemah, yang kemudian diserahkan kepada Rifa’ah al-Tahtawi

yang pernah belajar di Paris untuk memimpinnya dan sejak itu penerjemahan

berjalan lancar. Sekolah penerjemahan ini tahun 1841 menjadi sekolah

Bahasa-bahasa, administrasi, dan akuntansi dan tahun 1875 menjadi Sekolah

Hukum dan Administrasi (Lughod, 1963:32).

Penerjemahan di Sekolah Penerjemahan ini dibagi empat

bagian, bagian Ilmu Pasti, bagian Ilmu Kedokteran, Ilmu Phisika, Sastra dan

Bahasa Turki. Yang terakhir ini bertugas menerjemahkan buku-buku

pedoman militer yang akan dipakai oleh perwira-perwira Turki yang terdapat

dalam Angkatan Perang Muhammad Ali (Nasution, 1979:37). Di antara

buku-buku yang diterjemahkan adalah A History Of Italy, Histoire De I’

Empire De Russie Sous Purre Le Grans, Travels in America, Travels in

India, The Pince, Apercu Historique Sules Moeurs Et Coutomes Des Nations

dan Naopelon Code (Lughod, 1963:32).

Adapun para penerjemah adalah Abdullah Aziz, Hasan Abu

al-Su’ud, M. M. Bayya, Abduh Khalifah Mahmud, H. Al-Jubayli, Hasan

Qasim, Ahmad Abid al-Tahtawi, Abdullah Husayn, R. R. Tahtawi, Sa’ad

Niam dan Utsman Jalal (Lughod, 1963:32).

Dengan adanya penerjemahan ini pandangan orang Mesir

mulai kenal dengan negara-negara Barat, negara-negara di Timur jauh dan

Amerika. Dunia yang digambarkan buku-buku Barat itu jauh berlainan dari

dunia yang mereka kenal dari buku-buku karangan orang Islam di abad

pertengahan. Juga mereka mulai kenal dengan filsafat Yunani, adat istiadat

Barat yang jauh berlainan dengan adat istiadat Islam (Lughod, 1963:32).

Di samping gerakan penerjemahan buku-buku asing, Muhammad Ali

juga menerbitkan untuk pertama kalinya (1828) surat kabar resmi dalam

bahasa Arab yang bernama Al-Waqa’I al-Mishriyah (Hitti, 1974:724).

Bidang kesehatan dan kebersihan tidak luput dari perhatian

Muhammad Ali. Di Iskandaria ia membangun sebuah karantina dan

menunjuk konsul-konsul asing menjadi suatu Dewan Kebersihan yang

mendapat suntikan dana dan wewenang penuh dari pemerintah. Sesudah

tahun 1840 kedatangan wabah penyakit dapat dikurangi, kesehatan rakyat

semakin membaik dan produksi pertanian juga mengalami peningkatan

(Nettleton, 1967:432).

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

41

C. KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa usaha-usaha

pembaharuan yang dilakukan Muhammad Ali mulai dari pembenahan militer

lengkap dengan teknik persenjataan modern, industrialisasi perekonomian,

modernisasi sistem pendidikan, penerjemahan buku-buku Eropa sampai

kepada masalah kesehatan dan kebersihan. Sekalipun demikian tidak semua

usahanya itu berhasil baik, karena sebagian terlalu dini bagi rakyat Mesir dan

mereka masih terpaksa dengan kebiasaan-kebiasaan lama seperti senang

hidup sederhana dan lain lain.

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

42

AL-TAHTAWI DAN IDE-IDE PEMBAHARUANNYA

Oleh

Amany Lubis

A. Riwayat Hidup al-Tahtawi

Rifa’ah Badawi Rafi al-Tahtawi umumnya dikenal dengan sebutan al-

Tahtawi (1216-1290 h./1801-1873) hidup dalam masa empat orang Pasya

yang hidup di Mesir, yaitu Muhammad Ali (1805-1848), Abbas (1848-1854),

dan Said (1854-1863) dan Ismail (1863-1875). Al-Tahtawi berasalah dari

Tahta di Mesir Selatan. Orangtuanya petani pemilik tanah yang diambil oleh

Muhammad Ali Pasya ketika dilancarkan pengambil-alihan tanah-tanah milik

rakyat oleh Raja, sehingga untuk membiyai sekolah al-Tahtawi dibantu oleh

keluarga ibunya.

Pendidikan dasar diselesaikan di kota kelahirannya, kemudian masuk

Al-Azhar pada usia 16 tahun. Kecerdasan dan ketekunan al-Tahtawi menarik

perhatian salah seorang ulama al-Azhar, Syeikh Hasan al-Attar, yang banyak

bergaul dengan tentara Perancis yang datang bersama Napoleon. Al-Tahtawi

juga berkenalan mereka. Perkenalan ini akhirnya membawa tumbuhnya

wawasan baru dalam pandangan al-Tahtawi mengenai perlunya mempelajari

ilmu pengetahaun umum dan teknik, disamping pelajaran-pelajaran

keagamaan yang diperolehnya di al-Azhar.

Keadaan Mesir seperti halnya keadaan negeri Islam lainnya ketika itu

jauh tertinggal dengan kemajuan yang telah dicapai oleh Eropa, terutama

Perancis yang mengusai Mesir. Lembaga pendidikan di Mesir hanya

menekankan pengajaran dan pendidikan keagamaan. Tidak mengherankan

bila masyarakat dan bahkan kalangan terpelajar merasa asing dengan

peralatan-peralatan yang dibawa ekspedisi Napoleon ke Mesir, seperti

teleskop, mikroskop, alat-alat untuk percobaan kimia dan lain sebagainya.

Lembaga-lembaga pendidikan di Mesir di waktu itu belum memungkinkan

para pelajarnya mengenali atau menggunakan alat-alat tersebut.

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

43

Dalam kondisi masyarakat yang demikian, perkenalan al-Tahtawi

dengan para ahli Perancis telah menumbuhkan dorongan yang besar untuk

mempelajari ilmu pengetahuan lebih jauh yang membawa kemajuan Eropa

umumnya dan Perancis khususnya. Setelah al-Tahtawi menamatkan

pendidikan di al-Azhar (1817-1822), ia dipercaya mengemban tugas

mengajar di almamaternya sendiri, tetapi dua tahun kemudian dia mendapat

tugas baru sebagai imam tentara. Ketika Muhammad Ali mengirim pelajar-

pelajar Mesir ke Perancis untuk belajar dalam bidang-bidang militer, teknik,

kedokteran dan lain-lain, al-Tahtawi termasuk salah seorang di antara mereka

dengan tugas sebagai imam mahasiwa. Dari tangan mereka inilah tumbuh

pemikiran baru di Mesir di mana al-Tahtawi turut memainkan perannya.

Al-Tahtawi sangatlah gemar membaca dan mempelajari ilmu-ilmu yang

baru baginya. Dengan tekun ia mempelajari ilmu-ilmu yang baru baginya.

Dengan tekun ia mempelajari bahasa Perancis secara otodidak atau

memanggil guru privat ke rumahnya setelah ia tinggal di Paris. Dengan

modal pengusaan bahasa yang baik, ia dapat mempelajari berbagai cabang

ilmu pengetahuan dari buku-buku berbahasa Perancis. Ia juga mempelajari

teknik penerjemahan. Al-Tahtawi pernah mendapat hadiah dua buku

karangan Silvestre de Sacy atas keunggulannya dalam penguasaan bahasa

Perancis; kemudian kedua buku tersebut diterjemahkan oleh al-Tahtawi

sendiri ke dalam bahasa Arab. Pada ujian akhir setelah lima tahun tinggal di

Paris al-Tahtawi melahirkan 12 buku terjemahan hasil karyanya sendiri, di

antaranya Kitab al-Ma’ad dan Nubzah fi Tarikh Iskandar Al-Akbar.

Tiba di Kairo al-Tahtawi diangkat sebagai guru bahasa Perancis dan

penerjemah di Sekolah Kedokteran. Tidak lama kemudian Muhammad Ali

memindahkannya ke sekolah Artileri untuk mengepalai bagian terjemah,

khususnya bidang-bidang teknik, geometri, dan militer. Atas hasil jerih payah

dan kontribusi al-Tahtawi dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan, ia

diberi gelar kehormatan Bek.

Pada tahun 1835 al-Tahtawi mendapat tugas medirikan sekolah

Terjemah (Qalam Al-Tarjamah) yang kemudian namanya berubah menjadi

sekolah Bahasa-Bahasa Asing (Al-Alsun). Beberapa bahasa yang diajarkan

adalah bahasa Perancis, Italia, Turki, Persia, dan Bahasa Arab sendiri. Selain

mata pelajaran bahasa diajarkan pula ilmu teknik, sejarah, dan ilmu bumi.

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

44

Kegiatan menerjemah bahasa di sekolah ini dilakukan oleh staf khusus dan

para mahasiswanya. Menurut keterangan sekitar 2000 buku yang berhasil

diterjemahkan ke bahasa Arab dan Turki oleh lembaga ini dari tahun 1822-

1842.

Selain tugas sebagai penerjemah dan mengepalai sekolah militer, al-

Tahtawi juga memimpin penerbitan majalah sastra Raudah al-Madaris. Ia

pernah meminpin surat kabar al-Waqai’ al-Misriah yang bukan hanya

memuat berita-berita resmi, tetapi juga pengetahuan-pengetahuan tentang

kemajuan Barat. Al-Tahtawi adalah seorang penulis yang aktif; ia tak pernah

berhenti menulis dan menerjemah hingga akhir hayatnya di tahun 1873. Atas

jasa al-Tahtawi akhirnya Mesir mempunyai banyak penerjemah, intelektual,

insinyur, baik mereka itu muridnya langsung atau pemikir-pemikir yang

berpengaruh oleh karya-karya yang sangat berguna itu.

A. Ide-ide Pembaharuan al-Tahtawi

Gerakan pembaharuan yang jelas terlihat di Mesir bermula setelah

terusirnya pasukan Perancis di tahun 1801. Pengaruhnya yang paling besar

adalah masuknya peradaban Barat ke negara-negara Arab, khususnya Mesir.

Aspek-aspek yang menyebabkan timbulnya gerakan pembaharuan di abad

XIX adalah berdirinya sekolah-sekolah modern dan nilai-nilai baru dan

lembaga-lembaga seperti yang terdapat di Barat, seperti percetakan, pers,

semangat kebebasan pribadi, lembaga-lembaga sastra dan ilmiah,

perpustakaan umum, museum, dan seni sandiwara. Posisi al-Tahtawi dalam

gerakan ini jelas sangat kuat. Ia adalah seorang pemikir dan sastrawan,

sehingga ia dijuluki bapak pembaharuan di Mesir karena jasanya yang besar

dalam memasukan ide-ide dan kebudayaan Barat ke Mesir.

Dalam buku Takhlis al-Ibriz, ia menyatakan gagasan-gagasannya

mengenai soal-soal kehidupan secara umum : politik, sosial, ekonomi,

pendidikan, dan militer yang bersumber dari pengalamnya selama tinggal di

Perancis. Ia mengungkapkan bahwa ciri-ciri kehidupan modern adalah

kebebasan pribadi (al-hurriyah al-syakhsiah). Pengaruh konsep ini besar

sekali di dunia Arab, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran yang bebas

sehingga membuka mata rakyat untuk menuntut persamaan hak dan

kewajiban. Jiwa kebebasan ini telah diterapkan oleh pelajar-pelajar Mesir

yang dikirim Muhammad Ali ke Paris; terlihatlah mereka selalu berusaha

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

45

melepaskan diri dari adat kebiasaan yang menghantarkan kepada

kemunduran. Al-Tahtawi juga menyatakan bahwa keadilan adalah dasar dari

kemajuan Negara dan menjamin ketentraman antara penguasa dan rakyat.

Secara terselubung ia mengeritik keadaan sosial di Mesir di mana tersebarnya

kezaliman dan pungli. Rakyat terlalu banyak dibebani pajak, sehingga

mereka selalu mengeluh.

Sebenarnya al-Tahtawi setibanya di Paris sangat kaget melihat ilmuwan

di sana menyatakan bahwa bumi itu bulat, tapi akhirnya diyakininya juga.

Doktrin baru ini disampaikan kepada rakyat Mesir dengan sangat hati-hati,

agar para pembacanya tidak menolaknya atau tidak menertawakannya. Jadi,

dalam mengungkapkan ide-ide baru ia bersikap sebagai penerjemah saja

tanpa menyatakan pendapat pribadinya, apakah ia setuju atau tidak.

Al-Tahtawi berpendapat bahwa memajukan ekonomi adalah penting

karena ia menyadari itulah sebab kemakmuran. Kesejahteraan seperti di

Eropa akan tercapai dengan memajukan ekonomi. Al-Tahtawi ingin merobah

kebiasaan yang dipengaruhi oleh ajaran tarekat untuk tidak mementingkan

dunia agar taraf hidup dapat dinaikkan.

Dalam bukunya Manahij al-Bab al-Alba al-Tahtawi mengatakan

bahwa raja yang baik ialah yang mampu menjalankan kekuasaannya dengan

baik, tetapi agar kekuasaan itu tidak menimbulkan kesewenang-wenangan

perlu dibatasi oleh syariat dan syura ulama. Raja harus tunduk pada

ketentuan-ketentuan syariat dan menjadikan ulama sebagai sebagai

pembantunya agar dapat memberikan tuntunan yan sesuai dengan tuntunan

syariat. Di samping ulama pun harus melengkapi pengetahuannya sejalan

dengan ilmu dan teknik agar dapat memahami ajaran-ajaran syariat dengan

benar dan sesuai dengan perkembangan zaman. Sejak ummat Islam

mengalami kemunduran sesuadah Baghdad jatuh, ummat Islam semakin

sempit pandangannya dengan membatasi diri untuk mempelajari soal-soal

keagamaan saja dan meninggalkan falsafat , aljabar, kimia, sejarah, dan ilmu

pengetahuan lain yang pernah berkembang di zaman keemasan Islam.

Akibatnya negeri-negeri Islam tertinggal dari kemajuan yang dicapai di

Eropa. Menyadari hal ini al-Tahtawi berjuang keras untuk mengembangkan

ilmu pengetahuan melalui penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa

Arab dan menulis sediri beberapa buku.

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

46

Dalam bagian lain bukunya Manahij al-Bab al-Misriah, al-Tahtawi

mengemukakan konsep Plato mengenai Negara yang menyatakan bahwa

Negara tersusun dari 4 golongan yaitu, raja, ulama, dan para cendikiawan,

tentara, dan kaum produsen. Keempat golongan ini merupakan komponen

yang saling melengkapi satu sama lain. Raja sebagai penguasa harus

didampingi ulama dan cendikiawan yang membantu pelaksanaan kekuasaan

raja sesuai dengan tujuan yang benar. Dua golongan yang lain adalah

golongan yang diperintah, harus memiliki loyalitas dan ketaatan pada

golongan yang memerintah. Mengingat konsep kerajaan merupakan sistem

yang berlaku di seluruh dunia Islam pada waktu itu, maka al-Tahtawi dalam

teori politiknya banyak menggambarkan sistem kerajaan yang ideal.

Kemudian ia melanjutkan bahwa pemerintah kerajaan akan mengalami

stagnasi karena tidak mendapatdukungan dan ketaatan dari rakyat. Sedang

untuk menjaga agar ketaatan benar-benar terwujud dalam kehidupan

“bernegara”, harus dikembangkan hubungan antara yang memerintah dan

yang diperintah secara baik; masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.

Sekalipun raja memduduki tahtanya bukan dipilih oleh rakyat, dalam

hal ini golongan tentara dan kaum produsen, jadi raja tidak bertanggung

jawab kepada mereka (tanggung jawab raja semata kepada Allah). Namun

raja tidak boleh melupakan rakyat, tidak boleh bersikap zalim dan sewenang-

wenang kepada rakyat sebab hal itu bertentangan dengan ketentuan syariat

Allah. Untuk itu raja harus mengerahkan tenaga dan pikiran untuk

memajukan perekonomian dan perdagangan, pertanian dan pendidikan.

Produksi bahan-bahan kebutuhan bagi kehidupan rakyat harus pula

dikembangkan untuk mencapai kesejahteraan dan kemajuan perekonomian.

Demikian pula produksi peralatan militer dan pendidikan personil harus

mendapat perhatian raja untuk menjamin terwujudnya tentara yang mampu

menangkal serangan musuh dan menjamin keamanan nasional.

Al-Tahtawi menulis buku al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin

dalam bidang pendidikan. Ia mengemukakan pentingnya pendidikan bagi

wanita agar dapat mengetahui hak dan kewajiban sosial yang menjadi

tanggung jawab dalam hubungan dengan lawan jenis maupun hak dan

kewajiban sesama mereka sendiri. Wanita harus diajarkan baca tulis,

berhitung, dan pengetahuan lain. Dengan pendidikan wanita akan lebih

cerdas dan beradab, sehingga mereka mampu mendampingi suami sebagi istri

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

47

maupun sebagai kawan berdiskusi untuk menyelesaikan masalah-masalah

rumah tangga atau kemasyarakatan. Menurut al-Tahtawi, penekanan

terhadap wanita hanya untuk memenuhi kebutuhan suami sebenarnya adalah

warisan jahiliah sebelum Islam. Dikatakan selanjutnya bahwa pendidikan

wanita akan menyebabkan mereka memiliki budi pekerti yang baik dan

terpuji yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap pendidikan anak-

anak mereka. Tentang pendidikan wanita ini al-Tahtawi mendasarkan

argumentasinya kepada hadis Nabi yang artinya menyatakan bahwa baca

tulis adalah mubah. Demikian pula pembaruan dengan kalangan pria dalam

kelas juga tidak dilarang sepanjang hal itu bersifat wajar dan sesuai dengan

kodrat masing-masing.

Al-Tahtawi adalah pemikir Mesir pertama yang menyatakan dengan

jelas pentingnya pendidikan wanita. Setelah ia wafat masalah hak dan

kedudukan wanita sering diangkat menjadi topik pembahasan dalam artikel-

artikel dan ceramah-ceramah. Adapun masalah kerudung wanita tidak banyak

dibahas di masa itu sampai Qasim Amin menulis bukunya Tahrir al-Mar’ah.

Hal ini disebabkan oleh karena kebanyakan pembela wanita setelah al-

Tahtawi adalah kaum Nasrani. Konsep pendidikan yang dikemukakan al-

Tahtawi ini pada dasarnya adalah anjuran emansipasi wanita (Tahrir al-

Mar’ah) seperti yang dikemukakan Qasim Amin, tetapi al-Tahtawi

mengemukakan konsep ini 30 tahun lebih dulu, sejak dia berada di Perancis.

Di bagian lain dari buku-buku yang ditulisnya al-Tahtawi

melontarkan ide baru tentang hubungan al-wathan (patriotisme). Konsep

pemikiran ini untuk pertama kali muncul di dunia Islam, terutama bila

dikaitkan dengan pendidikan, yaitu bahwa tujuan pendidikan bukanlah

semata-mata pengajaran ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga

untuk membentuk sikap kepribadian dan patriotism. Pemikiran yang mapan

kala itu ialah bahwa seluruh dunia Islam adalah tanah air (watan) bagi orang

muslim. Dengan konsep cinta tanah air ini al-Tahtawi menawarkan

pandangan baru mengenai konsep tanah air yang tidak berdasarkan pertalian

agama, sebagaimana pandangan yang berlaku ketika itu. Ditekankannya

bahwa Mesir adalah tanah air orang-orang Mesir, sekalipun mereka tidak

beragama Islam. Tumbuh pemikiran alternatif untuk mengembangkan ikatan

persaudaraaan; yang pertama ikatan berdasarkan kesamaan agama dan yang

kedua berdasarkan ikatan tanah air. Tidak dipersoalkan mana yang penting,

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

48

sebab kedua-keduanya sama penting. Tetapi, dalam perkembangan

selanjutnya persaudaraan setanah air lebih banyak dianut di negeri-negeri

Islam dari pada persaudaraan seagama, ikatan setanah air berdirinya Negara-

negara Islam dewasa ini.

Salah satu pengalaman al-Tahtawi yang lain selama tinggal di

Perancis ialah sikap masyarakat yang tidak mempercayai qada dan qadar

Tuhan, mereka tidak mempercayai ketergantungan manusia kepada Tuhan.

Tentang hal ini al-Tahtawi tidak sependapat. Sebaliknya dia melihat

masyarakat Mesir bersikap fatalistik. Menyerahkan semua soal kehidupan

kepada qada dan qadar Tuhan tanpa melakukan ikhtiar terlebih dahulu. Al-

Tahtawi mencela kedua-duanya. Manusia tidak boleh menyerahkan bulat-

bulat semua soal kehidupannya kepada Tuhan tanpa mau berusaha; demikian

pula manusia tidak boleh menolak adanya qada dan qadar Tuhan sebab hal

itu menyalahi kodrat manusia sendiri.

B. Kesimpulan

Sebagai penerjemah seringkali al-Tahtawi hanya menyampaikan ide-

idenya kepada masyarakat tanpa menyatakan pendapatanya sendiri ; seperti

yang dilakukannya dalam cabang ilmu geografi atau mengenai konsep

demokrasi. Jadi, konsep demokrasi yang dibawanya belum bisa berpengaruh

karena di Perancis sendiri di kala itu belum juga mantap. Al-Tahtawi hanya

membahas masalah-masalah tersebut, bukan harus untuk diterapkan

langsung; barulah di kemudian hari konsep-konsep ini berkembang dan

diterapkan. Meniru langkah yang dilakukan al-Tahtawi, akhirnya para

pembaharu mulai meninggalkan tradisi taklid dan menghasilkan karya-karya

bebas. Al-Tahtawi telah berhasil mempengaruhi kaum terpelajar di Mesir,

khususnya para ulama al-Azhar.

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

49

JAMALUDDIN AL-AFGHANI

IDE-IDE PEMBAHARUAN DAN KEGIATAN POLITIK

Oleh

H.A. Hafizh Anshari

A. Pendahaluan

Di dalam sejarah perkembangan modern di dunia Islam, nama Sayyid

Jamaluddin al-Afghani tercatat sebagai salah seorang tokoh besar dan

pemimpin pembaharuan yang sangat berpengaruh. Ide-ide pembaharuan yang

dilontarkannya bergema di seluruh dunia Islam, sehingga di mana-mana

kaum muslimah bangkit berjuang membebaskan diri dari cengkeraman

kolonialisme dan berusaha memperbaiki keadaan mereka.

Ia, putera Safdar, keturunan Husain bin Ali bin Abi Talib, yang lahir

di As’adabad, dekat Konar, wilayah Kabul, Afghanistan, pada tahun 1254

H/1839, telah mencurahkan hidup dan perhatiannya untuk kebangkitan dan

kejayaan ummat Islam (Lewis, dkk., 1965:416-417). Ia sangat prihatin

terhadap dominasi Barat di dunia Timur, despotisme sejumlah penguasa

muslim, dan kelemahan serta kemunduran ummat Islam. Karena itu, ia

melanglang buana dari satu negara ke negara lain menyerukan persatuan

Islam, mengingatkan kaum muslimin akan bahaya imperialisme Barat, dan

membangkitkan semangat mereka untuk berjuang mewujudkan kejayaan

sebagaimana kejayaan yang pernah diperoleh ummat Islam pada zaman

klasik (650-1250).

”Di mana pun ia berada,” kata Ahmad Amin, “saya melihat api yang

menyala-nyala, pemikiran-pemikiran yang bangkit, tuntutan-tuntutan yang

menggebu-gebu, dan pemerintahan yang terguncang. Ia telah menetapkan

tujuan hidupnya dan mencurahkan segenap kemampuannya untuk mencapai

tujuan tersebut, yaitu membangkitkan negara-negara Islam dari kelemahan,

membuka pandangan bangsa-bangsa akan hak-hak mereka, melepaskan

belenggu bangsa asing dari mereka, menetapkan batas-batas penguasa dan

rakyat, dan mengikat negara-negara Islam dengan satu ikatan kekhalifahan di

Istambul (Amin, 1965:291).

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

50

Aktivitasnya Sayyid Jamaluddin al-Afghani (selanjutnya

disebut al-Afghani) memang tidak terbatas di tempat kelahirannya,

Afghanistan. Ia juga bergelut dalam dunia politik di berbagai negara. Ia

pernah tinggal di India, Mesir, Turki, Iran, Inggris, dan Perancis. Bahkan,

pengaruh terbesar yang ditinggalkannya bukan di negerinya sendiri,

melainkan di Mesir; sekalipun ia berada di negara ini hanya sekitar delapan

tahun atau di tahun 1871-1879 (Nasution, 1988:51-53). Selama ia berada di

Mesir, banyak tokoh yang dekat dan menjadi muridnya, antara lain

Muhammad Abduh, Sa’ad Zaglul (pemimpin kemerdekaan Mesir), Ibrahim

al-Laqani, Ibrahim al-Halbawi, Mahmud Sami al-Barudi, Ibrahim al-

Muwailihi, dan Adib Ishak (Amin, 1965:292).

Dalam kepastiannya sebagai filosof, penulis, orator, dan jurnalis

(Gibb dan Kramers, 1953:85), di samping politikus uang ulung, di tambah

dengan pengalaman yang banyak dan kedalaman ilmu pengetahuan yang

dimilikinya, di mana pun ia berada, ia selalu mendapat simpati dan

memperoleh banyak pengikut, sekaligus dibenci dan dimusuhi oleh sebagian

yang lain. Ia dibenci karena di mana pun ia berada, ia selalu meneriakkan

penentangan terhadap kolonialisme dan despotisme penguasa. Karenanya,

kaum imperialis dan para penguasa despotis tidak senang terhadapnya. Ia

juga menyerukan pembaharuan pemahaman dan iterpretasi ajaran-ajaran

Islam agar ajaran agama tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi

perkembangan zaman. Seruan terakhir ini membuat sebagian tokoh agama,

khususnya kelompok tradisional, tidak menyukainya karena hal itu dianggap

dapat menodai ajaran agama.

Perjalanan hidup al-Afghani yang cukup panjang penuh dihiasi

dengan aktivitas dan perjuangan untuk kemajuan dan kejayaan Islam. Sampai

ia wafat di Istambul (Turki) pada tanggal 9 Maret 1897 karena kanker yang

menyerang rahang, kemudian menjalar ke lehernya (Adams, 1933:12). Ide-

ide baru yang dibawa dan aktivitas politik yang dilakukannya memberikan

pengaruh yang besar terhadap gerakan pembaharuan dan perlawanan

terhadap kolonialisme di periode sesudahnya.

B. Ide-ide pembaharuan

Apabila ide pembaharuan Muhammad Ali Pasya (1765-1849) yang

lebih menonjol adalah pembaharuan di bidang pranata sosial dan melahirkan

sejumlah kaum intelektual berpendidikan Barat dan Rafi’ al-Tahtawi (1801-

1873) di bidang pemikiran, maka ide pembaharuan al-Afghani yang pokok

adalah di bidang politik. Karena itu, beberapa penulis lebih menempatkan al-

Afghani sebagai pemimpin politik ketimbang pemimpin dan pembaharu

dalam Islam. “Tetapi”, demikian Prof. Dr. Harun Nasution, “tak boleh

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

51

dilupakan bahwa kegiatan politik yang dijalankan al-Afghani sebenarnya

didasarkan pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam Islam. Kegiatan

politik itu timbul sebagai akibat yang semestinya dari pemikiran-

pemikirannya tentang pembaharuan” (Nasution, 1988:54).

Jika dilihat kapasitas ilmu agama yang dimiliki al-Afghani dan latar

belakang aktivitas politik yang dilakukannya, apa yang dikemukakan oleh

Harun Nasution di atas cukup beralasan, antara lain karena :

1. Aktivitas politik yang dilakukan al-Afghani menentang dominasi Barat

dan despotisme penguasa didasarkan pada kenyataan bahwa dominasi

Barat dan despotisme penguasa tersebut sangat merugikan ummat Islam

dan membawa mereka kepada kemiskinan, kebodohan, dan

keterbelakangan. Ummat Islam sendiri ketika itu bersifat statis dan

fatalistis, menyerahkan diri kepada nasib,dan tak berbuat apa-apa kecuali

taat dan patuh kepada penguasa (Amin, 1965:294). Kenyataan ini

merupakan salah satu faktor penyebab lemah dan mundurnya mereka.

Fatalisme dan statisme itu terjadi antara lain karena kekeliruan

pemahaman terhadap ajaran agama, khusunya pemahanan tentang qada

dan qadar. Bagi al-Afghani qada dan qadar mestilah mestilah difahami

sebagai hukum kausalitas (Nasution 1988:55), bukan pasrah tanpa

berbuat apa-apa,

2. Dominasi Barat dan despotisme penguasa yang menyebabkan kaum

muslimin menderita dan sengsara adalah suatu perbuatan aniaya. Tuhan

tidak membenarkan orang berbuat zalim dan memerintahkan ummat

Islam untuk memerangi kezaliman.

3. Slogan perjuangan yang dibawa al-Afghani ialah firman tuhan

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali

mereka sendiri yang mengubah keadaan mereka (surah al-Ra’d ayat 11).

Selama beberapa abad, ayat ini seperti tidak mendapat perhatian. Ummat

Islam telah terjebak ke dalam jurang kejumudan dan kepasrahan yang

naïf.

4. Aktivitas politik dan ide-ide pembaharuan al-Afghani bertujuan untuk

kepentingan dan kemajuan ummat Islam. Memperhatikan ummat Islam

dan berusaha memperbaiki keadaan mereka merupakan bagian dari ajaran

Islam. Tidak ada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa kegiatan politik

al-Afghani bertujuan untuk mengantarkannya ke puncak kekuasaan

tertinggi.

5. Disamping ahli politik, al-Afghani juga ahli agama, bahkan dalam usia

relatf muda, 18 tahun, dapat dikatakan bahwa segala ilmu pengetahuan

Islam telah dipelajari dan diketahuinya (Adams, 1933:4). Sejak kecil ia

rajin menuntut ilmu. Pada usia lima sampai sepuluh tahun ia belajar di

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

52

sekolah di kampungnya. Sejak umur sepuluh tahun ke atas ia belajar di

berbagai daerah di Iran dan Afghanistan. Dalam usia 18 tahun, disamping

pengetahuan agama, ia juga telah mempelajari dan mengetahui logika,

filsafat, fisika, metafisika, matematika, astronomi, kedokteran, anotomi,

dan lain-lain. Ia juga pandai berbahasa Afgan, Persia, Turki, dan Arab, di

usia tersebut. Dalam usia 18 tahun ini pula ia berangkat ke India untuk

menambah ilmu pengetahuan. Ia mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan

Barat dan metodologi berfikir mereka serta belajar bahasa Inggris, dan

tinggal di India selama sekitar satu setengah tahun (Adams, 1933:5).

Dengan beberapa alasan di atas, adalah logis bila dikatakan bahwa ide-

ide pembaharuan dan aktivitas yang dilakukan al-Afghani tidak terlepas dari

kerangka keagamaan. Aktivitas politik yang dilakukannya serta ide-ide yang

terkandung di dalamnya merupakan wujud dari pembaharuan yang

dicanangkannya.

Al-Afghani adalah pelopor gerakan salafiyah modern (Lewis dkk.,

1965:416). Ide-ide pembaharuannya nampaknya tercermin pada pemikiran-

pemikiran yang terkandung di dalam gerakan Salafiyahnya ini. Salafiyah,

menurut H. Munawir Sadzali, MA, adalah suatu aliran keagamaan yang

berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaannya, ummat Islam

harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu

diamalkan oleh generasi pertama Islam, yang biasa disebut salaf (pendahulu)

yang saleh” (Sjadzali, 1990:124). Pemikiran-pemikiran yang terkandung di

dalam gerakan Salafiyah al-Afghani ini meliputi tiga komponen utama :

1. Keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya

mungkin terwujud kalau ummat Islam kembali kepada ajaran Islam

yang masih murni, dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi,

khususnya Al-Khulafa al-Rasyidun.

2. Perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik,

ekonomi, maupun kebudayaan.

3. Pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam bidang ilmu dan

teknologi, dan karenanya ummat Islam harus belajar dari Barat dalam

dua bidang tersebut, yang pada hakikatnya hanya mengambil kembali

apa yang dahulu disumbangkan oleh dunia Islam kepada Barat, dan

kemudian secara selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi

Barat itu untuk kejayaan kembali dunia Islam (Sjadzali, 1990:125).

Ide pembaharuan yang terkandung dalam komponen pertama di atas

tampaknya adalah keperluan akan adanya interpretasi baru terhadap ajaran-

ajaran Islam, sehingga ajaran tersebut sesuai dengan perkembangan zaman.

Pada komponen kedua terkandung ide anti-kolonialisme dan dominasi Barat

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

53

yang melahirkan gagasan al-Afghani tentang persatuan ummat Islam atau

lebih popular dengan sebutan pan-Islamisme. Sedangkan pada komponen

ketiga terkandung pemikiran tentang pengambil-alihan ilmu dan teknologi

dari Barat ke dunia Islam. Berikut ini akan dibahas ide-ide tersebut secara

ringkas.

1. Interpretasi Baru terhadap Ajaran Islam

Salah satu faktor penyebab kemunduran ummat Islam, menurut

pandangan al-Afghani, adalah ditinggalkannya ajaran Islam yang sebenarnya

dan mengikuti ajaran-ajaran yang datang dari luar lagi asing bagi Islam

(Nasution, 1988:51-53). Hal ini antara lain karena ummat Islam terbelenggu

oleh taklid dan tertutupnya pemikiran untuk melakukan ijtihad.

Kecenderungan terhadap taklid mengakibatkan mereka dengan mudah

dipermainkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawan sehingga

ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya hanya tinggal di atas kertas. Apa yang

dikatakan oleh orang-orang terdahulu (ulama atau tokoh tertentu yang

dikagumi) dipegang erat-erat tanpa dilakukan penilaian kritis dan

penyelidikan akan kebenaran pendapat itu. Akibatnya banyak ajaran Islam

yang difahami secara keliru.

Salah satu contoh yang dikemukakan al-Afghani ialah pemahaman

tentang qada dan qadar. Akibat pemahaman yang tidak tepat, kepercayaan

terhadap qada dan qadar membawa kepada sikap statis dan fatalistik.

Padahal, ummat Islam di zaman klasik dapat maju, bersikap dinamis,

melahirkan peradaban yang tinggi, sehingga dikagumi oleh dunia

internasional, karena keyakinan dan kepercayaan mereka terhadap adanya

qada dan qadar. Bagi ummat Islam di masa lampau, keyakinan kepada qada

dan qadar justru memupuk keberanian dan kesabaran mereka dalam

menghadapi berbagai macam bahaya dan kesukaran sehingga mereka dapat

keluar sebagai pemenang dan memperoleh kejayaan. Menurut al-Afghani,

“qada dan qadar sebenarnya mengandung arti bahwa segalau sesuatu terjadi

menurut ketentuan sebab-musabab. Kemauan manusia merupakan salah satu

dari mata rantai sebab-musabab itu” (Nasution, 1988:51-53).

Penulis tidak menemukan uraian lengkap tentang qada dan qadar

menurut di-Afghani; namun, dari penjelasan singkat di atas dapat dikatakan

bahwa al-Afghani tetap mempercayai adanya kada dan kadar, hanya

pengertiannya yang tidak sama dengan pemahaman mayoritas ummat ketika

itu. Mayoritas kaum muslimin memahami qada dan qadar sebagai suatu

ketentuan Tuhan yang bersifat mutlak dan tidak bisa diubah. Segala-galanya

sudah ditetapkan-Nya. Manusia hanya menjalani apa yang sudah menjadi

ketetapan Tuhan itu. Bagi al-Afghani qada dan qadar adalah hukum

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

54

kausalitas (sebab-akibat) yang disebut oleh Ahmad Amin sebagai sunnatullah

(Amin, 1965:138). Karena itu, apa pun yang terjadi pada diri manusia

tergantung kepada usaha manusia itu sendiri.

Karena pemahaman keagamaan yang berkembang di zamannya

ternyata membawa ummat Islam kepada sikap statis dan fatalistis sehingga

mereka berada dalam kemunduran dan keterbelakangan, maka al-Afghani

melontarkan ide pembaharuan berupa dorongan untuk melakukan interpretasi

baru terhadap ajaran agama. Dengan interpretasi baru ini, Islam akan mampu

menjawab setiap tantangan zaman. Idenya ini nampaknya didasari oleh

keyakinannya bahwa Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa,

semua zaman, dan semua keadaan (Nasution, 1988:54). Konsekuensi dari

pandangan dan keyakinannya ini adalah keharusan ummat Islam melakukan

ijtihad. Memang, baginya pintu ijtihad tidak tertutup (Nasution, 1988:55).

sebagaimana diyakini oleh mayoritas ummat ketika itu. Di samping itu, al-

Afghani adalah salah seorang penentang taklid yang gigih berjuang

membebaskan kaum muslimin dari belenggu taklid (Enayat, 1982:56).

Jalan fikiran al-Afghani sebagaimana tercermin dalam conth qada dan

qadar di atas menunjukkan bahwa ia adalah seorang rasional. Memang, jika

dilihat pemikiran-pemikiran dan aktivitas serta gerakan pembaharuan yang

dilakukannya, al-Afghani nampaknya juga meniupkan angin rasionalisasi ke

dunia Islam; angin yang selama berabad-abad tidak berhembus. Tetapi,

rasionalisme yang dikembangkan al-Afghani tidaklah liberal, dalam arti

bebas nilai sama sekali. Rasionalisasinya yang dikembangkannya tetap

terikat dengan ajaran dasar agama. Dalam hal emansipasi wanita, misalnya,

ia memandang kemampuan intelektual wanita tidak berbeda dengan laki-laki.

Ia berpendapat, wanita boleh saja bekerja di luar rumah jika memang

diperlukan, tetapi harus didasari oleh niat dan tujuan yang baik. Ia juga tidak

melarang wanita membuka tutup kepalanya, asal tidak sampai menimbulkan

hal-hal yang negatif (Amin, 1965:114). Karena itu, wanita mempunyai hak

yang sama untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana laki-laki. Namun,

perlu dicatat di sini bahwa al-Afghani tidak mencetuskan konsep emansipasi

wanita. Ia hanya bicara sedikit mengenai masalah ini.

2. Pan-Islamisme

Ide pembaharuan al-Afghani yang terpenting adalah gagasan tentang

persatuan ummat Islam (Pan-Islamisme). Beberapa penulis menyebutkan

bahwa persatuan ummat Islam yang dimaksudkan oleh al-Afghani ialah

persatuan di bawah naungan seorang khalifah. Charles C. Adams, misalnya

mengatakan, tujuan utama yang ingin dicapai oleh al-Afghani dalam

perjuangannya ialah menegakkan persatuan seluruh ummat Islam di bawah

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

55

satu pemerintahan Islam yang dikepalai oleh seorang khalifah yang berkuasa

penuh, sebagaimana di zaman keemasan Islam dahulu (Adams, 1933: 13).

Hal senada juga dikemukakan oleh H.A.R Gibb dan J.H. Kramers (Gibb dan

Kramers, 1953:85). Bahkan, Ahmad Amin lebih tegas menyebutkan bahwa

ikatan negara-negara Islam menjadi satu yang dikehendaki oleh al-Afghani

adalah ikatan kekhalifahan di Istambul (Amin, 1965:291). Pernyataan-

pernyataan ini menggambarkan seolah-olah al-Afghani ingin mengembalikan

sistem kekhalifahan di dunia Islam sebagaimana zaman kejayaan Islam

dahulu. Benarkah demikian, kiranya perlu dikaji kembali. Pernyataan-

pernyataan tersebut barangkali muncul dari kesimpulan adanya gerakan

Salafiyah yang dipelopori oleh al-Afghani karena Salafiyah, sesuai dengan

namanya, berorientasi kepada masa lampau, dan masa lampau itu memakai

sistem kekhalifahan.

Karena al-Afghani tidak memberikan penegasan khusus dalam

masalah ini, maka untuk memahami maksud al-Afghani dapat dilihat dari

pendiriannya tentang pemerintahan. Ini dapat ditelusuri dalam tulisan Prof.

Dr. Harun Nasution berikut :

Corak pemerintahan otokrasi (menurut al-Afghani, pen.) harus dirubah dengan co-

rak pemerintahan demokrasi. Kepala Negara harus mengadakan syura dengan

pemimpin-pemimpin masyarakat yang banyak mempunyai pengalaman.

Pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali. Islam dalam pendapat al-

Afghani, menghendaki pemerintahan republik yang di dalamnya terdapat

kebebasan mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala negara tunduk kepada

undang-undang dasar (Nasution, 1988:56).

Ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian dari tulisan di atas,

yaitu demokrasi dan republik yang merupakan ide pemerintahan ideal

menurut al-Afghani. Demokrasi biasanya diartikan “bentuk atau sistem

pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan

perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat” (Moeliono, 1989:195). Republik

berarti “pemerintahan yang berkedaulatan rakyat dan dikepalai oleh seorang

presiden” (Moeliono, 1989:195). Apabila diperhatikan sejarah khalifah-

khalifah sejak zaman al-Khulafa’a al-Rasyidun hingga zaman Turki Usmani

tidak akan ditemukan sistem pemerintahan sebagaimana pengertian

demokrasi dan republik di atas. Karena itu, kalau al-Afghani ingin

mengembalikan sistem kekhalifahan, dalam arti sebagaimana kekhalifahan di

masa lampau berarti bertentangan dengan pendiriannya tentang bentuk

pemerintahan yang dikehendakinya.

Dengan demikian, Pan-Islamisme yang dicanangkan oleh al-Afghani

bukanlah dimaksudkan untuk mengumpulkan kekuasaan di tangan seorang

khalifah sebab hal itu sangat sulit dilakukan karena beberapa hal, antara lain :

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

56

1. Ummat Islam sudah terpecah-pecah ke dalam berbagai Negara dan telah

memiliki pemerintahan sendiri-sendiri.

2. Meskipun kesadaran nasionalisme belum tumbuh subur di zaman al-

Afghani, namun pengaruh etnis yang ditunjang oleh eksistensi

pemerintahan masing-masing, menyebabkan timbulnya kesulitan

mempersatukan ummat Islam di bawah satu pemerintahan.

3. Para penguasa muslim yang berasal dari berbagai macam latar belakang

rata-rata berambisi untuk menjadi penguasa tertinggi sehingga sulit

diharapkan mereka bersedia tunduk kepada perintah satu orang.

4. Tidak ada figur pemersatu yang bisa diterima secara mutlak oleh semua

pihak.

Al-Afghani sendiri nampaknya tidak menghendaki kekuasaan berada

di tangan satu orang. Yang dikehendakinya ialah ummat Islam seluruhnya

tunduk kepada al-Qur’an dan menjadikan agama sebagai penunjuk jalan.

Tiap Negara Islam yang sudah ada hendaknya berusaha sekuat tenaga

membela Negara Islam yang lain karena wujud Negara Islam yang satu

berkaitan erat dengan eksistensi Negara Islam yang lain (Amin, 1965:84).

Dengan demikian, Pan-Islamisme yang dibawa al-Afghani merupakan suatu

ikatan politik yang mempersatukan ummat Islam seluruhnya yang didasarkan

atas solidaritas akidah Islam dengan tujuan membina kesetiakawanan dan

persatuan ummat Islam (Sjadzali, 1990:125-126).

Ummat Islam yang ingin dipersatukan oleh al-Afghani lewat gagasan

Pan-Islamismenya ini tidak terbatas hanya untuk kaum Sunni saja, tetapi

seluruh kaum muslimin dari aliran apa pun, termasuk kaum Syi’ah. Karena

itu, al-Afghani dikenal sebagai tokoh yang berusaha mempersatukan Sunni-

Syi’ah. bahkan, menurut Hamid Enayat, al-Afghani lebih taat asas di banding

dengan pemersatu yang lain (dalam hal ini Muhammad Abduh) karena latar

belakangnya sendiri yang berakar pada tradisi Sunni maupun Syi’ah dan

karena statusnya yang “tak bernegara” sehingga ia mampu menyerukan

toleransi supra-mazhab (Enayat, 1982:83).

Gagasan Pan-Islamisme al-Afghani ini ditanggapi positif oleh Ahmad

Amin sehingga ia mengecam Sa’ad Azhlul yang mengatakan, “Nol ditambah

no sama dengan nol,” Artinya, Negara terjajah biarpun bersatu tetap tidak

akan bisa berbuat apa-apa. Pernyataan Sa’ad Zaglul itu, kata Ahmad Amin,

tidak benar. Yang bena ialah, “Minus lima dikali minus lima sama dengan

plus dua puluh lima”. Satu Negara jajahan mungkin tidak mempunyai arti

apa-apa, tetapi kalau semua negara jajahan bersatu tentu sanggup

menghadapi kolonialisme Eropa (Amin, 1965:139).

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

57

Al-Afghani menganggap perlu ummat Islam bersatu karena ia melihat

bahwa salah satu faktor lemahnya ummat Islam adalah karena mereka tidak

bersatu itu. “Tali persaudaraan Islam telah terputus, bukan di kalangan awam

saja, tetapi juga di kalangan alim ulama. Ulama Turki tidak kenal lagi pada

ulama Hejaz, demikian pula ulama India tidak mempunyai hungan dengan

ulama Afghanistan. Tali persaudaraan antara raja-raja Islam juga sudah

terputus” (Amin, 1965:139). Di samping itu, ide Pan-Islamisme ini muncul

tentu tidak lepas dari gerakan politik yang dilakukannya: Menentang

imperialisme dan dominasi Barat dan despotisme para penguasa. Ia dikenal

seorang yang sangat anti terhadap kolonialisme dan merupakan orang Islam

pertama yang menyadari sepenuhnya akan bahaya dominasi Barat (Stoddard,

1921:63).

Untuk mewujudkan ide Pan-Islamismenya, al-Afghani menggunakan

segala kemampuan yang dimilikinya, baik berpidato, menulis, berorganisasi,

maupun melalui jalur pengajian dan diskusi-diskusi dan pendekatan dengan

para tokoh terkemuka. Namun, usahanya itu tidak berhasil (Nasution.

1988:56), barangkali karena beberapa hal :

1. Para penguasa muslim dan ummat Islam belum siap menerima gagasan

Pan-Islamisme yang dilontarkannya.

2. Jalan yang ditempuh oleh al-Afghani adalah cara-cara revolusioner. Dan

ini nampaknya merupakan sikapnya yang tidak bisa diubah sehingga ia

disebut sebagai seorang revolusioner Islam yang tidak hanya menyerukan

perlawanan terhadap para penguasa muslim yang despotis (Fernau,

1955:67). Hal ini tentu tidak bias diterima oleh para penguasa muslim

yang berambisi untuk tetap bertahan di atas singgasana kekuasaannya,

padahal, bagaimanapun, keberhasilan Pan-Islamisme, pada akhirnya

banyak tergantung pada para penguasa muslim itu.

3. Al-Afghani, sekalipun seorang tokoh besar, tetapi tidak semua orang

dapat menerimanya. Bahkan golongan ulama pun ada yang menolaknya

seperti ulama-ulama konservatif di Mesir karena usahanya yang ingin

menghidupkan pelajaran filsafat, suatu ilmu yang dianggap musuh oleh

mereka (Adams, 1933:7). Akibatnya, tentu gagasan-gagasannya tidak

bisa berjalan mulus.

4. Pengaruh Barat sangat kuat di dunia Islam, terutama pengaruh terhadap

para penguasa muslim, sehingga dalam beberapa hal, al-Afghani tidak

bisa berbuat banyak. Ia diusir dari Mesir pada tahun 1879 Khedewi

Taufiq atas tekanan Inggris menunjukkan kuatnya pengaruh Barat

terhadap penguasa Mesir itu (Nasution, 1988:52).

5. Di dunia Islam tidak ada pemimpin atau penguasa yang dapat diterima

menjadi pemimpin dunia Islam dan dapat dijadikan tokoh sentral.

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

58

6. Belajar dari Barat. Meskipun al-Afghani sangat anti kolonialisme dan

dominasi Barat, namun di pihak lain ia menganjurkan ummat Islam agar

mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai oleh bangsa-

bangsa Barat. Ia berpendapat, untuk mencapai tujuan kaum muslimin

(persatuan ummat Islam dan melepaskan diri dari cengkeraman bangsa

Barat), mereka harus memiliki teknik kemajuan Barat dan mempelajari

rahasia-rahasia kekuatan Eropa (Stoddard, 1921:65). Kemajuan yang

dicapai oleh Barat, baik di bidang militer, politik, ekonomi, maupun

kebudayaan, tidak lain karena mereka menguasai dunia ilmu

pengetahuan. Karena itu, untuk bias maju, ummat Islam juga harus

mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi mereka.

Dalam janga waktu yang cukup lama, banyak ulama-ulama Islam yang

tidak membenarkan kaum muslimin mempelajari sesuatu dari Barat karena

Barat bukan beragama Islam sehingga apa pun produk mereka tidak bisa

diterima. Ketika itu memang yang dikenal oleh ummat Islam adalah “Islam”

dan “kafir”.

Sebenarya, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi Barat sudah

diperkenalkan oleh Napoleon Bonaparte ketika ia melakukan ekspedisi ke

Mesir (1798-1801 M) dan ketika Muhammad Ali Pasya berkuasa di Mesir

(1805-1849 M), ia banyak mengirim mahasiswa ke Eropa serta mendirikan

beberapa lembaga pendidikan yang diilhami oleh kemajuan Eropa, namun

sampai pada+ zaman al-Afghani masih banyak ditemui ulama-ulama

konservatif yang tidak menyukai dipelajarinya ilmu pengetahuan Barat itu.

Untuk mengatasi masalah ini, al-Afghani menegaskan bahwa ilmu

pengetahuan dan teknologi yang dimiliki Barat sekarang berasal dari orang

Islam. Karena itu, mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat

pada hakikatnya adalah mengambil kembali milik ummat Islam itu (Sjadzali,

1990:125).

3. Kegiatan Politik

Dalam perjalanan sejarah hidup al-Afghani sejak usia remaja hingga

akhir hayatnya, ia selalu terlibat dalam kegiatan politik. Ini tentu tidak bisa

terlepas dari tujuan pokok yang ingin diperjuangkannya, yaitu kemerdekaan

kaum muslimin dari dominasi Barat dan ummat Islam memperoleh

kejayaannya kembali. Ia menyadari bahwa tujuan itu bisa dicapai melalui

proses yang panjang lewat jalur pendidikan dan adaptasi ajaran agama Islam

dengan keadaan zaman, namun ia yakin pula bahwa aksi revolusioner tidak

dapat dihindarkan (Antonius, 1981:69). Karena itulah, dimana pun ia berada,

ia selalu menyulut api revolusi menentang dominasi Barat dan despotisme

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

59

penguasa karena despotisme penguasa pada dasarnya juga merupakan faktor

lemah dan mundurnya ummat Islam.

Aktivitas politiknya nampaknya dimulai setelah ia kembali dari

menunaikan ibada haji tahun 1857. Ia diangkat menjadi pegawai Pangeran

Dost Muhammad Khan, Amir yang memerintah di Afghanistan ketika itu.

Dost Muhammad Khan sendiri memerintah di Afghanistan sejak tahun 1819

s.d. 1863. Ia digantikan oleh Shir Ali Khan dari 1863 hingga 1866 (Robinson,

1987:2). Pada masa pemerintahan Shil Ali ini, ia diangkat menjadi penasehat

di tahun 1864 (Nasution, 1988:51). Ketika terjadi perang saudara antara Shir

Ali dengan Muhammad A’zam Khan, al-Afghani berpihak kepada

Muhammad A’zam, dan berhasil menang. Muhammad A’zam naik tahta, al-

Afghani pun diangkat menjadi Perdana Menteri saat ia berumur 27 tahun

(Adams, 1933:5). Tak lama kemudian perang saudara pecah lagi. Kali ini

dengan bantuan tentara dan emas dari Inggris Shir Ali menang, Muhammad

A’zam diusir dan meninggal dunia.

Meskipun al-Afghani berfihak kepada Muhammad A’zam, namun

karena ia seorang sayyid yang sangat berpengaruh, Shir Ali tidak berani

memusuhinya secara terang-terangan. Namun, demi keamanannya, al-

Afghani berangkat ke India (1869). Tapi, di sini ia tidak lama karena tekanan

pemerintah setempat yang dimotori oleh Inggris karena India ketika itu sudah

di bawah kekuasaan Inggris. Pada tahun 1879 ia pindah ke Mesir dan tinggal

disana sampai 1879. Kegiatan politik yang menonjol yang dilakukannya di

sini ialah menghubungi para tokoh dan pejabat, menulis artikel di media-

media cetak yang ada, berbicara di berbagai forum pertemuan dan majelis-

majelis tertentu, dan memberikan pelajaran politik di tempat mana pun ia

berada (Amin, 1965:292). Disamping itu, ia juga mendirikan partai Al-Hizb

al-Wathani yang bertujuan untuk memperjuangkan pendidikan universal,

kemerdekaan pers, dan pemasukan unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi

penting dalam militer. Salah seorang anggota partai ini, Khedewi Taufiq,

berhasil naik tahta, berkat dukungan al-Hizb al-Wathani, setelah Khedewi

Ismail, ayahnya, digulingkan, Khedewi Taufiq yang naik tahta 25 Juni 1876

diharapkan dapat berbuat banyak sesuai dengan tuntutan partai, ternyata tidak

seperti yang diharapkan. Akibat tekanan Inggris, al-Afghani sendiri diusir

oleh Khedewi Taufiq, September 1879 (Adams, 1933:7).

Dari Mesir sekali lagi al-Afghani pergi ke India dan tinggal di

Hyderabad Deccan. Di sini ia menulis sebuah karya berjudul The Refutation

of the Materialist (Bantahan Terhadap Golongan Materialis) dalam bahasa

Parsi yang berisi pembelaan tehadap Islam dari serangan kaum Dahriah.

Kemudian ia pergi ke Eropa dan menetap di Paris sekitar tiga tahun. Disini ia

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

60

membentuk sebuah perkumpulan bernama Al-‘Urwah al-Wusqa yang

bertujuan untuk memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam, dan

membawa ummat Islam kepada kemajuan. Anggota-anggotanya adalah kaum

muslimin yang berasal dari India, Mesir, Rusia, Afrika Utara, dan lain-lain.

Perkumpulan ini selanjutnya menerbitkan sebuah majalah dengan nama yang

sama Al-‘Urwah al-Wusqa (Nasution, 1988:53). Namun majalah ini hanya

sempat terbit 18 edisi. Edisi pertama diterbitkan pada tanggal 15 Jumadil

Awwal 1301 H/ 12 Maret 1883 dan yang terakhir tanggal 26 Zulhijjah 1301

H/17 Oktober 1883 (Amin, 1965:82) karena peredarannya di negeri-negeri

Islam dihalangi oleh penguasa colonial (Sjadzali, 1990:118). Kegiatan politik

lain yang cukup penting bagi al-Afghani ialah keterlibatannya dalam usaha

penyelesaian sengketa Rusia-Persia yang timbul akibat politik pro-Inggris

pemerintah Persia. Tapi karena terjadi perselisihan faham dengan Syah Nasir

al-Din, al-Afghani akhirnya meninggalkan Persia. Yang terakhir ia tinggal di

Istambul (Nasution, 1988:53). Ia datang ke sini karena diundang oleh Sultan

Abdul Hamid pada tahun 1892 (Stoddard, 1921:64). Sultan Abdul Hamid

tertarik dengan ide Pan-Islamisme al-Afghani. Karena itu, segera al-Afghani

diangkat menjadi Kepala Biro Propaganda Pan-Islamisme (Nasution,

1988:54).

Meskipun pada mulanya kerja sama kedua tokoh ini berjalan baik,

namun akhirnya hubungan mereka merenggang, karena terdapat perbedaan

prinsip yang mendasar di antara keduanya. Al-Afghani mempunyai

pemikiran yang demokratis, sementara Sultan Abdul Hamid ingin

mempertahankan otokrasi lamanya. Al-Afghani tidak dapat keluar dari

Istambul karena dilarang Sultan, sampai ia wafat pada tahun 1897.

C. Penutup

Ide pembaharuan terpenting dari al-Afghani adalah pembaharuan di

bidang politik yang didasari oleh pemikiran-pemikiran keagamaan. Meskipun

idenya, semacam Pan-Islamisme tidak berhasil baik, namun, pengaruhnya

sangat besar di kemudian hari dengan lahirnya usaha-usaha pembebasan diri

dari kolonialisme. Bahkan pengaruh itu menjalar sampai ke Indonesia yang

tercermin dari perjuangan Syarikat Islam.

Ide-ide pembaharuan yang dicetuskan oleh al-Afghani yang diikuti

dengan aktivitas politik tanpa henti merupakan wujud dari kerinduannya

yang dalam akan kejayaan dan keagungan Islam seperti yang pernah dialami

di masa klasik. Ia juga meninggalkan sejumlah warisan hidup yang tak

ternilai harganya, antara lain Syekh Muhammad Abduh, murid terkasihnya.

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

61

MUHAMMAD ABDUH :

TEOLOGI RASIONAL DAN IDE-IDE PEMBAHARUAN

Oleh

Ahmad Rofiq

Pendahuluan

Dalam peta pembaharuan dalam Islam, Muhammad Abduh (1849-

1905) boleh jadi merupakan tokoh yang paling berpengaruh, bukan saja di

Mesir yang menjadi wilayah garapannya melalui Universitas Al-Azhar, tetapi

juga di seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia. Di dunia Arab, menurut J.L.

Esposito, ia dicatat sebagai bapak modernisme Islam (Esposito, 1988:132).

Muhammad Abduh, memang bukan yang pertama melakukan gerakan

pembaharuan, tetapi ide-idenya yang mencakup aspek-aspek politik, agama,

dan khususnya pendidikan serta reformasi sosial melahirkan gaung

pembaharuan yang masih terasa hinga kini. Di Indonesia, gerakan

pembaharuan yang dimotori oleh al-Irsyad dan Muhammadiyah, tampaknya

juga dipengaruh Muhammad Abduh melalui tulisan-tulisannya dan karya-

karya muridnya. Lebih dari itu atas pengaruh pemikirannya, telah melahirkan

ulama-ulama modern, seperti Mustafa al-Maraghy, Mustafa abd al-Raziq,

Farid Wajdi, dan lain-lain.

Basis pemikiran pembaharuan Abduh, adalah pandangannya bahwa

agama dan akal saling melengkapi, agama dan sains tidak ada pertentangan

(Esposito, 1988:132). Namun menurut Abduh, hal ini tidak mendapat

perhatian yang memadai dari ummat Islam. Ummat Islam telah tenggelam

dalam samudra taklid dan bid’ah yang menjadikan mereka tertidur

berkepanjangan. Islam sebagai ajaran, menurut Abduh, sebenarnya

diturunkan kepada ummat Islam yang berpikir jauh kedepan karena

kemampuan akalnya. Ketika Abduh terlibat polemik dengan Ernest Renan,

Filosuf Prancis. Abduh sempat mendesak Renan tentang keunggulan ajaran

Islam. Tetapi ketika Renan menanyakan ummat mana di antara ummat Islam

yang merupakan gambaran Islam yang hebat itu. Muhammad Abduh pun

bagai tanduk terkesima dan dengan sedih berkata bahwa ummat Islam

mundur karena meninggalkan ajaran agamanya. Sebaliknya orang-orang

Kristen Eropa maju karena meninggalkan ajaran agamanya (Esposito,

1988:15).

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

62

Sebagai tokoh pembaharu kiranya tidak perlu diperdebatkan, corak

pemikirannya menjadi dasar ide-ide pembaharuannya mempengaruhi dunia

Islam, termasuk di Indonesia (Nasution, 1987:97). Tulisan ini akan mencoba

mengungkap pemikiran teologi dan ide-ide pembaharuannya.

Biografi Singkat Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 bertepatan dengan tahun

1265 H di daerah perkampungan wilayah Mesir. Bapaknya bernama Abduh

Khairullah pernah masuk penjara karena dituduh terlibat sebagaimana

kakeknya, menentang pemerintahan Muhammad Ali. Abduh mula-mula

dibesarkan di Mahallat Nasr, dengan kegiatan menulis dan membaca di

rumah. Dilanjutkan belajar menghapal al-Qur’an dan bisa diselesaikan dalam

tempo dua tahun. Pada usia 14 tahun, ia dikirim oleh orang tuanya ke Tanta

untuk meluruskan bacaannya di masjid al-Ahmadi. Selain itu, Abduh juga

belajar bahasa Arab dan fiqh, namun karena metode menghafal yang tidak

disertai dengan penjelasan, meski satu setengah tahun ia tempuh, ia masih

belum mengerti apa-apa (Nasution, 1987:97). Dan tampaknya hal ini

membawa akibat yang kurang menguntungkan bagi dirinya. Ia tinggalkan

Tanta dan pulang ke Mahallat Nasr dengan niat tidak akan belajar lagi.

Tahun 1292 H/1366 ia kawin dan 40 hari setelah itu, oleh orang

tuanya, Abduh dipaksa kembali ke Tanta. Konsisten dengan niatnya, ia

memilih lari ke Kanisah Urin, dan bertemulah dengan seorang sufi kerabat

ayahnya Syeikh Daswisy Khadr. Ahmad Amin melukiskan, kalau saja Abduh

tidak bertemu dengan Syeikh Darwisy, Abduh yang terkenal itu adalah

Abduh sebagai petani yang hanya dikenal di kampungnya yang terdaftar

dalam buku mutasi penduduk yang tercatat dalam daftar kelahiran dan

kematian (Amin, 1965:283). Atas bimbingan dan dorongan Syeikh Darwisy,

Abduh bangkit dari keputusasaan dan mulailah ke Tanta, ia telah dapat

memahami apa yang diberikan gurunya dan yang ia baca sendiri. Beberapa

bulan kemudian ia pergi ke al-Azhar, yang dianggap sebagai pusat kajian

Islam. Di al-Azhar, Abduh tampaknya juga kecewa, karena metode

pengajarannya tidak jauh berbeda dengan di Tanta yaitu menghapal, dan

mempelajarinya terbatas terbatas ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab, Logika,

Matematika, Ilmu ukur dan sebagainya tidak dipelajari (Nasution, 1987:12).

membaca buku biografi, ilmu alam atau falsafah adalah haram malahan

memakai sepatu adalah bid’ah (Nasution, 1987:13). Meskipun Muhammad

Ali dan al-Tahtawi, telah merintis pembaharuan pendidikan modern, bahkan

berkiblat ke Barat, dan juga merangkul akademisi al-Azhar, dikhotomi

pendidikan tampaknya tak dapat dihindarkan; sayap tradisional begitu kokoh

dengan pendiriannya, sementara pendidikan sekuler – jika boleh dikatakan

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

63

demikian – berjalan didukung kekuasaan politik dan militer yang bertambah

mapan. Di mata rakyat awam, citra Muhammad Ali terasa menakutkan, maka

rakyat termasuk ayah Muhammad Abduh berpindah-pindah tempat.

Bagi ulama al-Azhar, ilmu-ilmu umum atau sains dipandang termasuk

fardu kifayah dan cukup diajarkan oleh ulama di luar al-Azhar (Aqqad t.t:39),

seperti Syeikh Hasan al-Jabarti, karena itu al-Azhar telah terlepas dari

kewajiban mengajarkan ilmu-ilmu demikian. Segala sesuatu yang datang dari

Eropa dipandang haram dan membawa kekafiran.

Menghadapi kenyataan demikian, Abduh, meski tetap menuntul ilmu

di al-Azhar, tetapi berusaha mencari ilmu-ilmu dunia di luar al-Azhar. Di

antaranya ia belajar kepada Syeikh Hasan al-Tawil, yang tahu filsafah,

logika, ilmu ukur, soal-soal dunia dan politik (Nasution, 1987:13). Selain itu

Abduh lebih suka membaca buku-buku yang dipilihnya di perpustakaan al-

Azhar. Abduh juga belajar falsafah, matematika, teologi dan lain-lain kepada

Jamaluddin al-Afghani yang datang ke Mesir di penghujung tahun 1286 H/

1870. Bahkan ia sempat mempengaruhi banyak temannya untuk belajar

kepada tokoh pembaharu dari Afghanistan ini. Perkenalan intelektualnya ini

nanti banyak mewarnai karirnya, dan bekerja sama dalam menyebarkan

gagasan-gagasan pembaharuan. Kecenderungan teologinya sempat

menggoncangkan tokoh-tokoh di al-Azhar, karena ia menyebarkan pemikiran

Mu’tazilah. Ia sempat dituduh ingin menghidupkan kembali aliran Islam

liberal. Tekadnya untuk membasmi taklid dan Abduh tidak ingin melakukan

taklid baik kepada Asy’ari maupun Mu’tazilah. Yang Abduh utamakan

adalah bagaimana membangun argumen yang kuat (Ridha, 1931:134).

Di tengah-tengah kesibukan belajarnya, Abduh sejak perkenalannya

dengan al-Afghani, telah memulai menulis artikel-artikel di harian al-Ahram

yang baru saja didirikan (Nasution, 1987:15), meliputi sains, sastra Arab,

politik, agama dan sebagainya. Tahun 1877 Abduh menyelesaikan studinya

di al-Azhar, dengan hasil “baik”, penilaian yang dinilai tidak fair, karena

penguji-pengujinya tidak senang, bahkan berniat menjatuhkannya.

Seharusnya Abduh mendapat predikat amat baik. Bahkan kalau saja ada

predikat cum laude, seharusnya ia memperoleh derajat akademik tertinggi ini

(Ridha, 1931:103).

Karir akademinya dilanjutkan sebagai pengajar kampus almamaternya

dan di Darul Ulum dan juga menjadikan rumahnya sebagai tempat belajar

bagi murid-muridnya. Di Azhar, ia mengajarkan logika, teologi dan falsafah.

Di Darul Ulum ia mengajar sejarah dengan buku Mukaddimah karya Ibnu

Khaldun sebagai buku referensi. Di rumah, ia mengajarkan etika dengan

merujuk buku Tahzib al-Akhlaq karya filosuf Islam Ibn Maskawaih, dan

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

64

Sejarah Peradaban Eropa karangan F. Guizot dari Perancis, Bagi Abduh,

sasaran pengajarannya adalah mendidik mahasiswa berpikir karena itulah

majlis pengajarannya selalu dikerumuni banyak mahasiswa. Selain mengajar,

tampaknya Abduh tidak bisa menolak keterlibatan politik, akibat pengaruh

gurunya al-Afghani. Hal ini karena penguasa Mesir, Khedewy Ismail, dalam

melancarkan modernisasi yang dirintis Muhamma Ali, merubah Kairo dan

Iskandariah bagaikan kota Eropa dengan pinjaman dana dari Inggris dan

Perancis. Untuk kepentingan program ini, Inggris dan Perancis turut campur

tangan soal urusan dalam negeri Mesir. Inilah, yang oleh al-Afghani

ditentang. Ia membentuk al-Hizb Watani (Partai Nasional Mesir) untuk

membangkitkan semangat cinta tanah air rakyat Mesir yang dirintis al-

Tahtawi (Nasution, 1987:61).

Muhammad Abduh sendiri tidak segan-segan membicarakan isu

nasionalisme di dalam kuliah-kuliah dan tulisannya di koran. Cara ini

tampaknya cukup efektif untuk membakar semangat nasionalisme Mesir,

melawan rezim Khedewy Ismail yang telah terperangkap dalam kekuasaan

Inggris dan Prancis. Karena terdesak, ia menyerahkan kekuasaannya kepada

anaknya Khedewy Tewfik. Penguasa baru mengusir al-Afghani dan Abduh

dari Mesir, 1879. Tetapi jiwa Nasionalisme telah tumbuh subur di kalangan

rakyat Mesir. Tahun 1882 pecah pemberontakan Urabi Pasya, tapi gagal.

Abduh sendiri tidak setuju dengan cara politik Urabi yang menuntut

parlemen. Karena Abduh tahu bahwa rakyat Mesir belum matang untuk

kehidupan parlemen. Bagi Abduh, yang terpenting justru pendidikan yang

baik, yang dapat mencerdaskan rakyat (Nasution, 1987:17).

Keterlibatannya dalam pemberontakan ini, menerima hukuman

dibuang ke luar negeri setelah ditahan selama 3 bulan. Mula-mula ia memilih

Beirut, kemudian atas undangan al-Afghani, ia datang ke Paris untuk

kemudian membentuk gerakan dan penerbitan al-Urwah al-Wusqa. Tema

sentralnya menentang kolonialisme Eropa di dunia Islam, meski hanya terbit

18 kali selama delapan bulan. Tahun 1885 Abduh berpisah dengan al-

Afghani dan kembali ke Beirut untuk kemudian memusatkan perhatian dan

kegiatannya pada ilmu dan pendidikan. Ia menafsirkan al-Qur’an sesuai

dengan ijtihadnya sendiri. Tanpa terikat kepada penafsir klasik. Ia juga

mengajar di madrasah Sultaniyah logika, teologi, sejarah Islam dan Fiqh.

Orang Nasrani juga ikut belajar di sini, selain orang Islam Sunni, Syi’ah dan

Druz. Ceramah-ceramahnya di madrasah Sultaniyah kelak menjadi buku

monumental Risalah al-Tauhid.

Tahun 1888 Abduh baru bisa kembali ke Mesir, atas lobbying

kalangan istana dengan Lord Cromer dari pihak Inggris, dan Ahmad Mukhtar

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

65

Pasya dari pihak kerjaan Usmani serta teman-teman Abduh di Kairo

(Nasution, 1987:19 dan Amin, 1965: 310). Tapi niatnya mengajar kembali di

Dar al-Ulum tak disetujui oleh Khedewy Tewfik karena dikhawatirkan

pemikiran politiknya akan mempengaruhi para mahasiswa.

Untuk itu ia diangkat sebagai hakim pengadilan negeri, mulanya di

Benha di Zagazig. Kemudian dipindahkan ke Kairo menjadi hakim

pengadilan negeri. Tahun 1890 diangkat menjadi Penasehat pada Mahkamah

Tinggi (Nasution, 1087:19). Keadilan menjadi pegangan utama dalam

menjalankan tugasnya sebagai hakim. Selain itu cita-citanya memperbaharui

kurikulum al-Azhar tetap mendapat perhatiannya.

Tahun 1899 Abduh diangkat menjadi mufti Mesir, suatu jabatan resmi

penting yang berwenang menafsirkan hukum syariah untuk seluruh Mesir,

dan fatwa-fatwa yang dikeluarkannya memiliki sifat mengikat. Produk

pemikiran hukumnya diwarnai kebebasan ijtihadnya dengan tidak terikat

dengan produk pemikiran hukum ulama-ulama sebelumnya. Pada tahun ini

juga ia diangkat menjadi Majlis Syura, dewan legislatif Mesir Majlis Syura

di saat hubungan dengan pemerintah tidak harmonis. Berkat ketekunan dan

cita-citanya mendidik rakyat memasuki kehidupan politik demokrasi

berdasarkan musyawarah, ia dapat menjadi mediator kedua lembaga di atas.

Pemerintah telah menaruh kepercayaan kepada Majlis Syura dalam

membahas rencana-rencana pembangunannya untuk kepentingan rakyat

Mesir. Meskipun demikian, keterlibatannya di kancah politik tampaknya

tidak sepenuhnya menjadi pilihannya. Bahkan ia menulis “aku berlindung

kapada Allah dari politik, kata dan arti politik” (Abduh, 1973 :100-1).

Apresiasinya terhadap kemajuan sains dan kebudayaan Barat,

ditunjuk melalui upaya memperluas cakrawala pengetahuannya. Pada usia 44

tahun, Abduh belajar bahasa Perancis. Begitu pentingnya bahasa untuk

mengetahui sains Barat, ia seakan mensyaratkan bahwa orang yang tidak

mengetahui salah satu bahasa Eropa di zaman modern, tidaklah bisa disebut

ulama (alim). Pilihannya kepada bahasa Perancis, karena di Mesir telah

didominasi kebudayaan Perancis. Setelah menguasai bahasa Perancis, ia

banyak membaca buku-buku Perancis meliputi falsafah, sosiologi,

pendidikan, psikologi, etika, matematika, ilmu alam, sejarah dan karya-karya

orientalis tentang Islam. Masa-masa liburan selama belajarnya digunakan

berkunjung ke Eropa mengunjungi Universitas Oxford dan Cambridge. Juga

menjumpai ilmuwan-ilmuwan Barat seperti Gustave Lebon, H. Spencer, W.

Blunt dan E. Brown. Yang terakhir ini bahkan menganggapnya sebagai guru.

Tahun 1905, tepatnya pada tanggal 11 Juli, Abduh harus memenuhi

panggilan Tuhan, setelah agak lama menderita kanker hati, dan belum sempat

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

66

menunaikan ibadah haji, karena faktor politis, yaitu kecurigaan Khedewy

Abbas di Mesir dan sultan Abdul Hamid Istambul (Nasution, 1987:27).

Teologi Rasional

Corak teologi Muhammad Abduh adalah teologi rasional. Corak

tersebut dapat ditelusuri melalui karya-karyanya, antara lain Risalah al-

Tauhid, Hasyiyah al-Syarh al-Dawwani li al-Aqaid al-Adudiah, dan Tafsir

al-Nanar. Di kalangan ilmuwan, sistem teologi Abduh tetap kontroversial.

C.C. Adams misalnya berkesimpulan bahwa ajaran teologi Muhammad

Abduh termasuk dalam teologi Ahlussunnah (Adams, 1933:115). Horten

sebagaimana dikutip Prof. Harun Nasution, menganggap Abduh mengikuti

Ahlussunnah secara ekstrim (Nasution, 1987:3).

Michel dan Abd al-Raziq yang menerjemahkan Risalah al-Tauhid ke

dalam bahasa Perancis cenderung menilai Abduh dalam sifat-sifat Tuhan

sebagai pengikut Asy’ari, dan dalam kebebasan memberi kritik sebagai

seorang Mu’tazilah modern (Nasution, 1987:3). Mereka yang menilai Abduh

sebagai Ahlus Sunnah umumnya berpegang kepada buku Risalah al-Tauhid,

yang ditulis pada tahun 1885 dari kumpulan ceramahnya di madrasah

Sultaniyah. Prof. Harun Nasution melalui penelitiannya yang intens dalam

tesis Ph. D-nya berkesimpulan bahwa corak teologi Muhammad Abduh

adalah Mu’tazilah (Nasution, 1987:92) atau paling tidak banyak

persamaannya dengan Mu’tazilah (Dunia, 1958:62). Sependapat dengan ini,

adalah Jomier, Usman Amin, Gardet dan Anawati, Caspar, Kerr dan

Sulaiman Dunia. Malahan yang terakhir ini menilai Abduh memberikan

kedudukan akal lebih tinggi daripada Mu’tazilah.

Akal menurut Abduh memiliki kemampuan bukan hanya empat

masalah; mengetahui tuhan, kewajiban mengetahui tuhan, mengetahui baik

dan buruk dan mengetahui kewajiban berbuat baik dan meninggalkan

kejahatan, tetapi mempunyai dua kelebihan, yaitu pertama, mengetahui

adanya kehidupan, tetapi mempunyai dua kelebihan, yaitu pertama,

mengetahui adanya kehidupan akhirat sesudah kehidupan dunia, dan kedua,

mengadakan hukum-hukum tentang apa-apa yang diketahui akal itu dan

mengajak manusia untuk tunduk kepada hukum itu (Nasution, 1987:92).

Karena memberikan kedudukan tinggi kepada akal, maka peran wahyu lebih

banyak berfungsi konfirmasi. Karena pada dasarnya antara akal dan agama

tidak terdapat pertentangan (Esposito, 1989:132). Ummat manusia saat Islam

datang --kata Abduh-- telah mencapai usia dewasa dan menghendaki agama

yang rasional (Nasution, 1987:45). Apa yang mereka cari terdapat dalam

Islam. Nabi juga berbicara kepada akal dan membuat akal menjadi hakim

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

67

antara apa yang benar dan apa yang salah. Di dalam Islam agama berteriak

kepada akal, sehingga ia tersentak dari tidurnya yang panjang (Nasution,

1987:148).

Bagi Abduh, pemikiran rasional adalah jalan untuk memperoleh iman

yang sejati. Iman tidak sempurna, kalau tidak didasarkan atas akal. Dan

akallah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan dan Ilmu serta

kemahakuasaan-Nya dan para Rasul (Nasution, 1987:124). Namun demikian,

kemampuan akal menurut Abduh, memiliki keterbatasan. Karena itu manusia

tetap memerlukan wahyu yang berfungsi pertama, untuk memberi penjelasan

tentang alam gaib yang penuh rahasia. Kedua, untuk mengatur masyarakat

manusia dengan baik – atas dasar prinsip keadilan. Maka nabi-nabi pun

dikirim Tuhan ke permukaan bumi (Nasution, 1987:60). Selain itu, wahyu

menjelaskan kepada akal cara beribadat dan berterima kasih kepada Tuhan,

mengetahui perincian kebaikan dan kejahatan, menguatkan pendapat akal

melalui sifat sakral dan absolut yang terdapat dalam wahyu (Nasution, 1987:

61).

Karena akal mendapat porsi yang tinggi, maka Abduh terlebih dahulu

mempelajari falsafah kemudian baru melihat teks ayat. Kalau teks ayat sesuai

dengan falsafah dan pemikirannya, arti harfiah ayat diterima. Tetapi kalau

tidak sesuai, teks ayat diberi arti metaforsis, atau setidak-tidaknya bahwa

yang dimaksud bukan arti harfiah dan menyerahkan kepada Allah maksud

dari ayat itu (Nasution, 1987:93).

Dalam kaitannya dengan masalah teologi Qadariyah dan Jabariyah,

Muhammad Abduh sepaham dengan teologi Mu’tazilah yang menganut

paham Qadariyah. Muhammad Abduh sangat menonjolkan bahwa Sunnah

Allah, hukum alam adalah ciptaan Tuhan.

Daya manusia untuk memilih dan melakukan perbuatannya, menurut

Abduh telah diciptakan Allah sejak lahir, sementara Mu’tazilah berpendapat

daya tersebut diciptakan Allah ketika sebelum melakukan perbuatan.

Selanjutnya dalam pembahasannya mengenai sifat-sifat Tuhan, keadilan

Tuhan, diciptakannya kalam Tuhan, kehendak mutlak Tuhan,

antropomorfisme dan melihat Tuhan di akhirat, dan perbuatan Tuhaan

Muhammad Abduh sejalan dengan Mu’tazilah (Nasution, 1987:95). Maka

wajar saja apabila orang lain menyebutnya sebagai Mu’tazilah. Tetapi

menurut orang Mu’tazilah sendiri, Muhammad Abduh jelas tidak cukup

syarat disebut sebagai Mu’tazilah. Karena kata ak-Khayyat, orang baru dapat

disebut Mu’tazilah adalah orang yang percaya kepada Ushul al-Khamsah

Mu’tazilah, yaitu tauhid, al-‘adl, al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

68

munkar (Nasution, 1987:52). Dengan demikina uraian di atas dapat

disimpulkan bahwa corak teologi Muhammad Abduh adalah teologi rasional.

Ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh

Ide-ide pembaharuan yang disampaikan Muhammad Abduh

sebenarnya telah mulai nampak sejak mudanya kala ia harus menimba ilmu

pengetahuan. Sikapnya yang tidak pernah puas menghadapi pola pengajaran,

baik ketika di Tanta maupun di al-Azhar, secara diam-diam telah coba

diatasinya melalui usahanya sendiri (otodidak). Lebih-lebih di al-Azhar yang

hanya memberikan pelajaran bahasa Arab dan ilmu agama, dan

mengharamkan sains dan falsafah yang datang dari Barat. Melalui

perpustakaan dan orang-orang yang dipandang kompeten seperti Syeikh

Hasal al-Tawil, ia mendapat banyak pengetahuan umum seperti logika,

falsafah, ilmu ukur, sejarah, politik dan lain-lain. Perkenalannya dengan

Syaikh Jamaluddin al-Afghani memberi nuansa baru bagi perjalanan

hidupnya. Selain sebagai guru al-Afghani juga sebagai sahabat terutama

dalam menerbitkan al-Urwa al-Wutsqa.

Ketika keduanya dalam pengasingan, keterlibatan Abduh dalam

bidang politik, dirasakannya sebagai penghambat untuk melancarkan ide-ide

pembaharuannya. Karena itu ia memilih memusatkan perhatiannya dalam

bidang pengajaran dan pendidikan. Muhammad al-Bahy, pemikir modern

Mesir, mencatat bahwa pemikiran Abduh di bidang pendidikan dan

pengajaran mencakup :

a. Perlawanan terhadap taklid dan kemazhaban.

b. Perlawanan terhadap buku-buku yang tendensius, untuk diperbaiki

dan disesuaikan dengan pemikiran rasional dan historis.

c. Reformasi al-Azhar yang merupakan jantung ummat Islam; jika ia

rusak maka rusaklah ummat, dan jika baik maka baiklah ummat;

d. Menghidupkan kembali buku-buku lama untuk mengenal

intelektualisme Islam yang ada dalam sejarah ummatnya, serta

mengikuti pendapat-pendapat yang benar disesuaikan dengan yang

ada (Bahy, 1986:84).

Prof. Harun Nasution, mencatat bahwa yang menjadi tujuan hidup

Muhammad Abduh adalah dua :

1. Membebaskan pemikiran dari ikatan taklid dan memahami ajaran

agama sesuai dengan jalan yang ditemupuh ulama zaman klasik

(salaf) zaman sebelum timbulnya perbedaan-perbedaan paham, yaitu

dengan kembali kepada sumber-sumber utamanya;

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

69

2. Memperbaiki bahasa Arab yang dipakai baik di instansi-instansi

pemerintah, maupun surat-surat kabar dan masyarakat pada umumnya

dalam surat-menyurat mereka (Nasution, 1983:24).

Dua kutipan di atas dengan jelas menunjukkan ide-ide

pembaharuan Muhammad Abduh, terutama dalam bidang pendidikan,

meskipun dalam kenyataan tidak bisa terlepas dari masalah-masalah

politik dalam rangka membangkitkan kesadaran bangsa Mesir

(Nasionalisme). Konsekuensinya, ia ditangkap, ditahan, dan

diasingkan merupakan pengalaman yang biasa dalam karir hidupnya.

Tetapi Abduh tidak pernah putus asa, termasuk juga dalam

menghadapi kelompok-kelompok tradisionalis yang selalu menentang

ide-ide pembaharuannya. Ia sering dituduh Mu’tazilah dan ingin

menghidupkan ajaran liberal yang pernah mencatat nuktah hitam

dalam sejarah pemikiran Islam yang terkenal dengan peristiwa

Mihnah.

3. Langkah konkret pembaharuannya telah dimulai sejak ia lulus dari al-

Azhar dan mendapat hak dan wewenang mengajar di al-Azhar. Ia

mulai mengajarkan pelajaran yang tergolong fardu kifayah menurut

kelompok tradisionalis, jika tidak malah diharamkan, seperti logika,

teologi, falsafah, sejarah, etika, dan peradaban Eropa. Agar ide-ide

pembaharuannya tidak hanya diserap oleh kalangan akademisi, ia

juga rajin menulis artikel-artikel di harian, terutama al-Ahram agar

dapat diserap oleh khalayak umum. Tulisannya mencakup sains, sastra Arab, jurnalistik, politik, agama, sosial dan sebagainya

(Nasution, 1983:24). Lahan untuk menyebarkan gagasan

pembaharuannya semakin luas, ketika ia pada tahun 1880 diangkat

menjadi pimpinan redaksi al-Waqai’ al-Misriyah.

4. Ia juga menulis artikel-artikel mengenai masalah sosial, politik,

hukum, agama, pendidikan dan kebudayaan (Nasution, 1983:15). Atas

gagasannya pada 15 Januari 1895, Khedewy Abbas mengeluarkan

keputusan tentang pembentukan dewan pimpinan al-Azhar, yang

terdiri dari ulama-ulama besar dari Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I

dan Hanbali. Ia diangkat sebagai wakil pemerintah Mesir, di mana ia

bertindak sebagai motor dan jiwa penggerak dari dewan ini (Nasution,

1983:20). Hal ini tidak lain sebagai penjabaran dari komitmennya

untuk memberantas taklid dan kejumudan serta bid’ah dan khurafat

yang membuat ummat menyeleweng dari ajaran Islam yang

sebenarnya. Bagi Abduh, ummat Islam harus kembali ke ajaran-ajaran

Islam yang otentik; ajaran Islam sebagaimana terdapat di zaman salaf,

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

70

yaitu zaman sahabat dan ulama-ulama besar (Nasution, 1987:63).

Namun demikian, ajaran Islam harus disesuaikan dengan keadaan

modern karena zaman telah berubah.

Karena itu diperlukan interpretasi baru, dan pintu ijtihad perlu dibuka.

Tapi tidak sembarang orang boleh berijtihad. Baginya seorang mujtahid perlu

memenuhi syarat. Pendapat ulama lama tidak mengikat. Ijtihad dijalankan

langsung dari al-Qur’an dan Hadis. Abdullah Mahmud Syahatain dalam

penelitiannya berkesimpulan bahwa metode penafsiran al-Qur’an yang

digunakan Abduh terdapat 9 poin (Syahataih, t.t:42). Bagi Muhammad

Abduh, al-Qur’an dan Hadis melarang ummat Islam bersifat taklid. Al-

Qur’an berbicara kepada manusia bukan semata kepada hatinya tetapi juga

kepada akalnya. Karena itu agama Islam adalah agama rasional. Wahyu tidak

membawa hal-hal yang bertentangan denga akal. Kalau zahir ayat

bertentangan dengan akal, haruslah dicari interpretasi yang membuat ayat itu

sesuai dengan pendapat akal.

Selain itu Abduh menonjolkan konsep sunnatullah (natural laws),

kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan (free will dan free act),

dan ummat Islam harus mempelajari dan mementingkan sains.

Konsekuensinya, ummat Islam harus mementingkan soal pendidikan. Dan ini

sudah ditempuh dalam perbaikan dan pembaharuannya pada Universitas al-

Azhar. Selain untuk al-Azhar yang telah dimodernisasi, ia juga memikirkan

untuk memasukkan pendidikan agama yang kuat pada sekolah-sekolah

pemerintah, seperti administrasi, militer, kesehatan, dan perindustrian. Atas

usulnya didirikanlah Majlis Pengajaran Tinggi ((Nasution 1983: p. 63-68).

Abduh tidak ingin terjadi dualisme pendidikan terus menerus berkelanjutan,

karena itu sedapat-dapatnya ia ingin memperkecil jurang pemisah antara

ulama dan ilmuwan. Jadi, bagi Muhammad Abduh faktor pendidikan adalah

segala-galanya. Artinya, untuk membangkitkan kesadaran nasional rakyat

Mesir adalah dengan mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan dengan jalan

politik, meski ia sama sekali tidak dapat melepaskan keterlibatannya dalam

politik.

Kesimpulan

Muhammad Abduh yang hidup akhir abad 19 dan awal 20 adalah

pemikir pembaharu Islam yang berpengaruh baik di dunia Arab maupun

dunia Islam pada umumnya. Corak teologinya serupa dengan Mu’tazilah,

bahkan dalam menempatkan akal lebih tinggi daripada Mu’tazilah itu. Meski

demikian, Muhammad Abduh menurut orang Mu’tazilah sendiri belum

cukup syarat untuk disebut sebagai Mu’tazilah. Ia memiliki corak teologi

rasional, karena tidak mau taklid kepada para ulama terdahulu.

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

71

Ide-ide pembaharuannya yang menonjol adalah di bidang pendidikan

dan pengajaran. Ia memasukkan pelajaran umum seperti sains, politik,

sejarah, falsafah, teologi, matematika, etika, kebudayaan Barat pada

kurikulum Universitas al-Azhar. Di samping itu juga memasukkan pelajaran

agama pada sekolah-sekolah umum. Hal ini ia maksudkan agar ummat Islam

tidak memisahkan antara urusan agama dan keduniaan. Dan semua itu untuk

kemajuan dan kepentingan ummat Islam dalam mengejar ketertinggalannya

dari dunia Barat.

Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

72

RASYID RIDHA DAN IDE-IDE PEMBAHARUANNYA

Oleh

Cecep

A. Riwayat Hidup Rasyid Ridha dan Langkah-langkah Perjuangannya

Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat.

Ia lahir pada tahun 1865 di al-Qalamun, suatu desa di Libanon yang letaknya

tidak jauh dari kota Tripoli (Suriah). Menurut keterangan ia berasal dari

keturunan al-Husain, cucu Nabi Muhammad. Oleh karena itu ia memakai

gelar al-Sayyid di depan namanya (Nasution, 1975:69).

Seperti halnya anak-anak seusianya, mula-mula Ridha dimasukkan ke

madrasah tradisional di kampungnya untuk belajar baca tulis, al-Qur’an, dan

dasar-dasar ilmu hitung. Setelah selesai ia meneruskan belajar ke sekolah al-

Rasyidiyyah, sekolah milik pemerintah di Tripoli. Disamping Nahwu Saraf

dan ilmu hitung, diajarkan pula ilmu-ilmu yang lainnya, seperti geografi,

teologi, hukum Islam dan yang lainnya. Adapun bahasa pengantar yang

dipergunakan ialah bahasa Turki sebab alumni sekolah ini dipersiapkan untuk

menjadi pegawai di pemerintahan Turki. Oleh karena Ridha tidak berminat

untuk menjadi pegawai Turki, segera ia meninggalkan sekolah ini padahal

baru satu tahun ia belajar di sekolah ini (Al-Adawi, t.t.:23).

Pada tahun 1882 ia meneruskan pelajarannya ke sekolah Nasional Islam

di Tripoli. Sebenarnya sudah sejak lama tertanam di benak Ridha keinginan

untuk bisa belajar di sekolah ini, namun ayahnya baru mengizinkan setelah

Ridha dipandang cukup dewasa untuk tidak terpengaruh dengan kehidupan

dan pergaulan kota. Sekolah ini jauh lebih maju ketimbang sekolah yang

disebut sebelumnya karena bukan hanya ilmu-ilmu agama Islam yang

dipelajarinya, ilmu-ilmu umumpun seperti mantiq, olahraga, fasafah juga

dipelajari. Bahasa pengantar yang dipergunakan adalah bahasa Arab

disamping bahasa Turki dan Perancis. Sekolah ini didirikan oleh Syaikh

Husain al-Jisr, seorang ulama berpikiran modern yang berpendapat bahwa

ummat Islam tidak akan maju kecuali dengan menguasai ilmu agama dan

ilmu dunia sekaligus dengan metode modern. Sekolah ini didirikan untuk

mengimbangi sekolah-sekolah Kristen dan Amerika di Suriah yang menarik

tidak sedikit anak-anak penduduk setempat. Hanya sekolah ini tidak berumur

panjang karena mendapat tantangan dari Turki Usmani (Al-Syirbasyi, t.t.:

121). Sungguhpun sekolah ini telah dibubarkan, Ridha meneruskan hubungan

baiknya dengan Syaikh al-Jisr dan berusaha mengikuti kuliah-kuliahnya di

Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

73

tempat lain, Madrasah al-Rahbiyyah di Tripoli, sehingga akhirnya ia berhasil

mendapatkan ijazah dan kewenangan untuk bisa mengajar.

Selain al-Jisr yang mempengaruhi perkembangan kepribadiannya, dua

tokoh idolanya, Jamaluddin dan Syaikh Muhammad Abduh, amat

mempengaruhi kepribadian dan perkembangan pemikirannya. Meskipun

pada awalnya pemikiran-pemikiran kedua tokoh dimaksud dicerna melalui

tulisan-tulisannya dalam Majalah Al-‘Urwah al-Wusqa yang diterbitkan oleh

keduanya di tempat isolasinya, Paris, konon Ridha tidak merasa puas

membaca majalah itu sebelum menyalin dengan tangannya sendiri dan

mendiskusikannya dengan al-Jisr. Timbullah dalam diri Ridha keinginan dan

kerinduan untuk bisa bergabung dengan kedua tokoh dimaksud namun tak

kesampaian, karena al-Afghani meninggal sebelum Ridha sempat

melaksanakan obsesinya.

Di bulan Syawal tahun 1897 belum lama setelah Jamaluddin al-Afghani

wafat. Ridha bermaksud Hijrah ke Mesir karena di Mesir dinilai lebih

memberikan harapan untuk dapat berkarya dan mengeluarkan gagasan-

gagasannya baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Lebih dari itu,

sebenarnya ia ingin berguru kepada orang yang paling dekat dengan al-

Afghani. Pada anggal 3 Januari 1898 Ridha tiba di Mesir melalui Iskandaria,

dan pada tanggal 23 dalam bulan yang sama ia menuju Kairo dan hari

berikutnya ia berjumpa dengan Syaih Muhammad Abduh di rumahnya (Al-

Syirbasyi t.t.:136). Sebelum ia datang di Mesir, sebenarnya Ridha pernah

mendapat kesempatan baik berjumpa dan berdialog dengan Muhammad

Abduh, sewaktu Abduh berada dalam pembuangannya di Beirut.

Perjumpaan-perjumpaan dan dialognya dengan Muhammad Abduh

meninggalkan kesan yang baik dalam dirinya. Pemikiran-pemikiran

pembaharuan yang diperolehnya dari Al-Jisr yang kemudian diperluas lagi

dengan ide-ide al-Afghani dan Abduh amat mempengaruhi jiwanya

(Nasution, 1975:70). Suatu waktu ia ditanya, mengapa anda memilih

meninggalkan tanah kelahiran sendiri, yang disana tidak kau jumpai

kemunkaran dan kata-kata kasar seperti di Mesir ini. Ridha menjawab, di

tanah airku aku tidak mempunyai kemerdekaan untuk mengutarakan yang

hak baik secara lisan maupun tulisan, padahal hati kecilku berkata

mengutarakan yang hak adalah kewajibanku. Seandainya aku mempunyai

kebebasan melakukan semua ini di negeriku tentu aku berada di sana.

Setelah agak lama berada di Mesir, sebagai langkah pertama, Ridha

mendesak dan meyakinkan gurunya, Muhammad Abduh agar mau

menerbitkan sebuah media Dakwah wa al-Islah untuk kemajuan ummat

Islam. Karena ide ini dinilai baik akhirnya guru setuju dan di bulan Sawal

Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

74

tanggal 22 tahun 1315 H/ 15 Maret 1898 terbitlah majalah perdana dengan

nama Majalah al-Manar.

Dalam nomor perdananya dijelaskan bahwa tujuan al-Manar sama

dengan al-‘Urwah al-Wusqa yakni sebagai media pembaharuan dalam bidang

agama, sosial, ekonomi, menghilangkan paham yang menyimpang dari Islam,

peningkatan mutu pendidikan dan membela ummat Islam dari ketidak adilan

politik Barat (Adams, 1933:181).

Ridha melihat bahwa al-Qur’an yang merupakan hidayah bagi manusia

harus dipahami untuk selanjutnya diaktualisasikan dalam realitas sosial. Al-

Qur’an yang masih merupakan konsep samawi itu perlu diinterprestasikan

secara modern. Itulah sebabnya, sebagai langkah kedua, ia mendesak

gurunya, Muhammad Abduh agar segera menafsirkan al-Qur’an secara

modern. Obsesi Ridha berhasil setelah di tahun 1896 guru mulai memberikan

kuliah mengenai tafsir modern di al-Azhar (Al-Syirbasyi, t.t.:14).

Keterangan-keterangan yang diberikan guru ia catat untuk seterusnya ia

susun dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia serahkan kepada

guru untuk diperiksa. Setelah mendapat persetujuan, karangan itu ia siarkan

dalam majalah al-Manar. Dengan demikian timbullah apa yang kemudian

dikenal dengan tafsir al-Manar. Muhammad Abduh memberikan kuliah-

kuliah Tafsir sampai ia meninggal di tahun 1905. Setelah guru meninggal,

murid meneruskan penulisan tafsir sesuai dengan jiwa dan ide yang

dicetuskan gurunya. Muhammad Abduh sempat memberikan tafsir sampai

dengan ayat 125 surat al-Nisa (Jilid III dari Tafsir Al-Manar) dan selanjutnya

adalah tafsiran murid sendiri (Nasution, 1985:71).

Sepeninggalan Muhammad Abduh, selain aktif menulis, Ridha juga aktif

dalam bidang politik dan dakwah. Tercatat tidak kurang dari delapan kali ia

melakukan kunjungan ke berbagai negara dalam rangka kegiatan politik dan

dakwah.

Di antaranya ke Istambul untuk mempersatukan kelompok Turki dan

kelompok Arab setelah Sultan Abdul Hamid turun tahta, sekaligus mencari

dukungan dana bagi pendirian Jam’iyyah wa al-Irsyad. Untuk maksud yang

sama ia juga pergi ke India dan berhasil mendapatkan sumbangan dana yang

cukup besar untuk proyeknya itu. Madrasah ini dengan segera didirikan

karena tersiar informasi dari berbagai penjuru khususnya dari Jawa, Sudan,

Singapura tentang kegiatan-kegiatan missionaris. Di tahun 1912 madrasah itu

secara resmi dibuka dan langsung menerima pendaftaran mahasiwa baru dari

seluruh dunia Islam dengan seleksi ketat dan prioritas bagi peserta yang

datang dari negara-negara yang sangat membutuhkan kader-kader dakwah.

Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

75

Pada tahun 1916 sementara Perang Dunia I masih berlangsung dia pergi

ke Hijaz untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus mengucapkan selamat

atas keberhasilan Syarif Husain memberontak terhadap kekuasaan Turki.

Pada tahun 1920 dia menjadi presiden Kongres Nasional Siria yang memilih

Faisal sebagai Raja Siria (Inayat, 1988:169).

Pada tahun 1925 dalam kapasitasnya sebagai seorang anggota Partai

Persatuan di Kairo ia pergi ke Jenewa untuk ikut serta dalam Kongres Suria

Palestina. Dalam tahun yang sama ia berkunjung ke Hijaz untuk yang kedua

kalinya untuk mengadiri Kongres Islam yang membicarakan soal

pemerintahan Islam dan jabatan Khalifah. Waktu itu Hijaz sudah dikuasai

oleh Raja Abdul Aziz bin Su’ud, setelah berhasil mengusir Syarif Husain.

Terakhir pada tahun 1931 ia pergi ke Palestina atas undangan seorang

sahabat dan muridnya, Amin Husaini, Mufti Palestina, untuk menghadiri

kongres yang membicarakan kehadiran masyarakat Yahudi di Palestina dan

kemungkinan mendirikan satu Universitas Islam di sana (Sjadzali, 1990:

124). Di masa tua, meskipun kesehatannya selalu terganggu, ia tidak mau

tinggal diam dan senantiasa aktif. Akhirnya ia meninggal dunia di bulan

Agustus 1935, sekembalinya mengantarkan Pangeran Su’ud dari kapal Suez

(Nasution, 1975:72).

IDE-IDE PEMBAHARUANNYA

Sebagai seorang intelektual yang merasa bertanggung jawab atas

keterbelakangan ummat Islam dan terpanggil untuk mencari terapi

penyembuhannya, Ridha berusaha keras melahirkan konsep-konsep untuk

memperbaiki kehidupat ummat Islam dengan melakukan analisis terlebih

dahulu apa sebab-sebab keterbelakangan ummat tersebut. Paling tidak ada

tiga masalah pokok, menurut Ridha, yang perlu segera diperbaharui, yaitu:

A. Bidang Agama

Ridha prihatin melihat kondisi ummat Islam yang jauh ketinggalan dari

Barat. Setelah sekian lama merenung, ia berkesimpulan bahwa

keterbelakangan ummat Islam ternyata bukanlah karena ajaran Islam itu

sendiri, tetapi justru karena ummat Islam telah salah memahami Islam. Islam

dianggap sebagai beban dan pengahalang dalam dinamika kehidupan,

padahal sebenarnya Islam sangatlah mudah dan sederhana untuk diamalkan,

tetapi karena sudah dimasuki upacara-upacara spiritual yang sifatnya

bukanlah merupakan prinsip Islam kelihatannya menjadi berat dan sekaligus

penghalang bagi dinamika kehidupan. Akhirnya aktifitas dan dinamika

Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

76

ummat Islam menjadi lemah dan tidak sesuai dengan jiwa semangat ajaran

Islam itu sendiri.

Dalam pandangan Ridha, telah masuk banyak bid’ah yang merugikan

bagi perkembangan dan kemajuan ummat Islam. Di antara bid’ah itu ialah

pendapat bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat

pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya, sedangkan

kebahagian di akhirat dan dunia sebenarnya diperoleh melalui hukum alam

yang diciptakan Tuhan (Nasution, 1975:72). Untuk itu Ridha berpendapat

bahwa ummat Islam harus dibawa kembali kepada ajaran Islam yang

sebenarnya, murni dari segala bid’ah, sederhana dalam ibadah dan sederhana

dalam muamalahnya. Dalam soal muamalah hanya dasar-dasar yang

diberikan seperti keadilan, persamaan, pemerintahan Syura. Perincian-

perincian dan pelaksanaan dari dasar-dasar itu diserahkan kepada ummat

untuk menentukannya (Nasution, 1975:73).

Islam, demikian Ridha, melarang manusia berlebih-lebihan dalam agama,

memberantas ajaran-ajaran penyiksaan diri demi agama. Ini dibuktikan

dengan diperbolehkannya memakan makanan yang lezat-lezat dan memakai

perhiasan yang indah dan elok asal tidak berlebih-lebihan dan tidak bersikap

sombong (Al-Syirbasyi t.t.:455).

Rasyid Ridha sebagai Muhammad Abduh, menghargai akal, namun

penghargaannya terhadap akal tidak setinggi penghargaan yang diberikan

guru (Al-Syirbasyi t.t.:74). Salah seorang teman Ridha bercerita bahwa pada

suatu waktu ia dan kawan-kawannya terlibat diskusi dalam masalah-masalah

politik, sehingga diskusi itu tidak menghasilkan kesimpulan. Ridha adalah

salah seorang dari peserta diskusi. Setelah ia melihat semua kawan-kawannya

tidak mampu memberikan jawaban, Ridha mencoba mengutarakan

pemahamannya dengan penuh kesungguhan. Ternyata jawaban Ridha itu

dinilai tepat dan memuaskan para peserta diskusi, sehingga keluarlah

komentar dari kawan-kawannya bahwa Ridha hafal secara lafazh dan makna

akan Sulam Hanafi. Padahal pengakuan Ridha sendiri apa yang ia utarakan,

hanya berdasar pemahaman akalnya. Sehingga sejak itulah, Ridha tidak mau

menerima sesuatu kecuali bisa dimengerti oleh akal (Adawi t.t.:73).

Kelihatannya Ridha percaya bahwa akal yang sehat dan merdeka bakal bisa

mencapai kebenaran yang hakiki.

Masih berhubungan dengan akal ini, lebih jauh Ridha berkata bahwa al-

Qur’an datang memberi petunjuk kepada seluruh pengikut mazhab dan

penganut agama-agama kuno, agar mereka mempergunakan akalnya disertai

perasaan dan hati nurani untuk sampai kepada ilmu dan petunjuk serta

Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

77

ketentraman dalam beragama. Agar tidak menganggap cukup hanya dengan

mengikuti saja jejak nenek moyangnya dalam bemazhab dan beragama,

sebab perbuatan taklid itu merupakan pelanggaran terhadap pitrah

kemanusiaan, pemerkosaan terhadap akal, fikiran dan kalbu, yang justru

dengan itu manusia jadi berbeda dan istimewa dibanding makhluk lain (Al-

Syirbasyi t.t.: p. 428). Ridha meyakini bahwa Islam itu adalah agama yang

menjunjung ilmu dan menganjurkan kebebasan berfikir dan dapat

diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari (Al-Syirbasyi t.t.:429). Tesis

Ridha ini menghargai kemerdekaan akal yang berujung pada masih

terbukanya kesempatan ijtihad, sekaligus mengecam sikap taklid yang hanya

akan memenjarakan ummat Islam dalam kejumudan.

Faktor utama keterbelakangan ummat Islam dalam pandangan Ridha

ialah adanya paham fatalisme di kalangan ummat Islam. Sebaliknya salah

satu sebab yang membawa masyarakat Eropa kepada kemajuan ialah paham

dinamika yang terdapat di kalangan mereka. Padahal Islam mengandung

ajaran dinamika. Orang Islam disuruh bersikap aktif. Dinamika dan sikap

aktif itu terkandung dalam kata jihad. Jihad dalam arti berusaha keras dan

bersedia mengorbankan harta bahkan jiwa untuk mencapai tujuan

perjuangan. Paham jihad serupa inilah yang menyebabkan ummat Islam di

zaman klasik dapat menguasai dunia (Nasution 1975:74).

Terhadap sikap fanatik yang terdapat di zamanya ia menganjurkan supaya

toleransi bermazhab dihidupkan. Menurutnya, yang perlu dipertahankan dan

tidak perlu diubah adalah yang berkaitan dengan ajaran dasar Islam (ushul),

sedangkan yang bukan ushul dan bersifat mualamat diberikan kemerdekaan

bagi setiap orang untuk menjalankannya sesuai dengan pilihannya (Nasution,

1975:37).

Kelihatannya Ridha masih mentolerir tentang keberadaan mazhab dan

menilai semua mazhab itu benar sejauh masih mempunyai landasan dalam al-

Qur’an dan hadis. Ridha sendiri menganut mazhab salaf yang dikembangkan

Taimiyyah dan dipelopori Ahmad Ibn Hanbal. Malah ada sumber yang

menyatakan bahwa Ridha adalah pengamal Thariqat Naqsyabandiyah (Al-

Syirbasyi t.t.:125). Sebelumnya ia banyak mengenal dunia tasawuf lewat

Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Gazali dan ternyata kitab Ihya ini

berpengaruh terhadap pola hidupnya.

B. PENDIDIKAN

Dalam upaya mengejar keterbelakangan dalam segala bidang Ridha

menilai bahwa pembaharuan dalam bidalng pendidikan adalah prinsip dan

Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

78

tidak perlu ditunda-tunda. Keberhasilan dalam bidang pendidikan merupakan

syarat mutlak untuk mencapai kemajuan. Pembaharuan dalam bidang

pendidikan, bagi Ridha, disamping fasilitas harus mencukupi, yang paling

penting adalah penyempurnaan dan pembaharuan dalam bidang kurikulum.

Untuk itu, Ridha berpendapat bahwa perlu ditambahkan ke dalam kurikulum

itu mata-mata pelajaran sebagai berikut: teologi, pendidikan moral, sosiologi,

ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung (matematika), ilmu kesehatan,

bahasa-bahasa asing dan ilmu mengatur rumah tangga (semacam pkk),

disamping fiqih, tafsir, hadis dan lain-lain yang biasa diberikan di madrasah-

madrasah (Nasution, 1975:71).

Peradaban barat modern, menurut Ridha, didasarkan atas ilmu

pengetahuan dan teknologi, yang sama sekali tidak bertentangan dengan

Islam. Demi kemajuan Islam, ummat harus mau menerima peradaban

Barat.Ia mengatakan bahwa kemajuan ummat Islam di zaman klasik karena

mereka menguasai bidang ilmu pengetahuan. Barat maju karena mereka

mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan ummat Islam. Dengan

demikian, mengambil ilmu pengetahuan barat modern sebenarnya berarti

mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki ummat Islam

(Nasution, 1975:100-101).

Dalam berbagai artikel yang dimuat dalam al-Manar, sering Ridha

mengungkap tentang kedudukan harta dalam Islam. Harta harus dijadikan

sarana untuk mencapai cita-cita haiki yaitu Ridha Tuhan. Harta tidak boleh

dijadikan tujuan dan sasaran hidup manusia. Dalam kaitannya dengan

masalah pendidikan, Ridha berpendapat bahwa ummat Islam harus berani

berkorban dengan harta untuk membangun sarana pendidikan. Membangun

sarana pendidikan lebih baik ketimbang membangun masjid. Baginya, masjid

tidak mempunyai nilai yang berarti apabila orang-orang yang saleh di

dalamnya hanyalah orang-orang yang bodoh. Menurutnya, pembangunan

sarana pendidikan adalah media yang dapat menghapus kebodohan. Satu-

satunya cara menuju kemakmuran adalah perluasan dan pemerataan

pendidikan secara umum (Adams, 1933:195-196).

Gagasan pembaharuan Ridha dalam bidang pendidikan ini nampaknya

tidak terlepas dari pengaruh dua tokoh yang mendahuluinya, yaitu al-Jisr dan

Abduh. Al-Jisr, misalnya, berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang harus

ditempuh ummat Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan ilmu-

ilmu keIslaman dan ilmu-ilmu sekuler dengan menggunakan metode modern

(Adawi t.t.:24 dan Al- Syirbasyi t.t.:121).

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

79

Demikian pula halnya Abduh, di mana ia mengatakan bahwa ummat

Islam harus mau mempelajari dan mementingkan ilmu pengetahuan, sekolah-

sekolah modern harus dibuka, di mana-mana ilmu pengetahuan modern perlu

diajarkan disamping pengetahuan agama. Dengan memasukkan ilmu

pengetahuan modern ke dalam al-Azhar dan dengan memperkuat pendidikan

agama di sekolah-sekolah pemerintah, demikian Abduh, bahaya dualisme dan

dikhotomi antara ilmu pengetahuan agama dan umum akan dapat diperkecil

(Nasution, 1987:67).

Pengaruh al-Jisr tampak lebih kentara ketika di tahun 1912 Ridha

mendirikan Madrasah al-Dakwah wa al-Irsyad. Kalau al-Jisr mendirikan

madrasah di Tripoli untuk mengimbangi missionaris Kristen, demikian juga

Ridha membangun Madrasah ini untuk menangkal missionaris Kristen dalam

sekala besar. Ridha berpendapat bahwa missionaris Kristen hanya akan bisa

di tangkal dengan penyebaran dai-dai profesional yang kelak akan dihasilkan

sekolah ini ke berbagai penjuru dunia. Dai-dai yang dicita-citakan Ridha

ialah mereka yang mampu dalam ilmu keagamaan secara baik dan mengenal

secara luas luas ilmu-ilmu dunia, disamping memiliki kepribadian yang

mantap. Dakwah yang dilaksanakan adalah dakwah dalam arti luas dengan

metode dan tekhnik yang cocok untuk setiap daerah.

C. Politik

Sebagaimana al-Afghani, Ridha melihat perlunya dihidupkan kembali

kesatuan ummat Islam. Salah satu sebab kemunduruan ummat Islam ialah

perpecahan yang terjadi di kalangan mereka. Kesatuan yang dimaksud

bukanlah kesatuan yang didasarkan atas kesatuan bahasa atau kesatuan

bangsa, tetapi kesatuan atas dasar keyakinan yang sama. Oleh karena itu, ia

tidak setuju dengan gerakan nasionalisme yang dipelopori Mustafa Kamil di

Mesir dan gerakan Nasionalisme Turki yang dipelopori Turki Muda. Ia

menganggap bahwa paham nasionalisme bertentangan dengan ajaran

persaudaraan selurut ummat Islam. Persaudaraan dalam Islam tidak kenal

pada perbedaan bahasa, tanah air dan perbedaan bangsa (Nasution1975: p.

74). Semua ummat bersatu dibawah satu keyakinan, satu sistem moral dan

satu sistem pendidikan dan tunduk pada satu sistem hukum. Hukum dan

undang-undang tidak dapat dijalankan tanpa kekuasaan pemerintah. Oleh

karena itu kesatuan ummat perlu mengambil bentuk negara. Negara yang

dianjurkan Rasyid Ridha ialah negara dalam bentuk kekhalifahan. Kepala

Negara ialah khalifah. Khalifah karena mempunyai kekuasaan legislatif harus

mempunyai sifat mujtahid tetapi dalam pada itu khalifah tidak boleh

mempunyai sifat absolut bangsa (Nasution, 1975:74).

Page 87: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

80

Ridha bukan hanya mempertahankan lembaga kekhilafahan, malah

mempertahankan lembaga khilafah ini agar tetap di tangan bangsa Turki. Al-

Manar, majalah yang dipimpinnya meskipun ide dasarnya sebagai media

pembaharuan, secara politis majalah ini merupakan sarana untuk mendukung

kekhalifahan Turki. Lebih dari itu, pengertian Jami’ah Islamiyyah bagi Ridha

ialah persatuan dan kesatuan ummat Islam dibawah kepemimpian Sultan

Abdul Hamid (Marakisy t.t.:114).

Sulit mencari alasan mengapa Ridha begitu loyal terhadap imperial

Turki, khususnya kepada Sultan Abdul Hamid. Rupa-rupanya dalam

kapasitasnya sebagai seorang pembaharu ia merasa perlu mendapatkan

dukungan moral dari penguasa, lebih-lebih setelah Ridha mendirikan

Madrasah al-Dakwah wa al-Irsyad, bukan hanya memerlukan dukungan

moral tetapi juga dukungan material, sungguhpun harapan yang disebut

terakhir ini tidak didapatinya kecuali dari India. Ridha adalah penganut Sunni

fanatik yang meyakini bahwa kedudukan Sultan Turki adalah sebagai

pengganti (khalifa) dan penerus Nabi yang secara syar’i wajib ditaati.

Mengulang betapa pentingnya mewujudkan khilafah dalam dunia

Islam, Ridha mengatakan bahwa mendirikan khilafah itu adalah kewajiban

yang berdasar atas syara, berdosa semua ummat bila tak seorangpun

mendirikannya. Malah ummat menempati posisi jahiliyyah bila mati tanpa

terwujud khilafah. Semua ummat dituntut untuk merealisasikannya. Suara

ummat ditampung dan diwakili oleh ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi. Jadi ahlu al-

halli wa al-‘aqdi inilah yang harus bertanggung jawab atas keberadaan

khilafah dan kemaslahatan ummat secara umum (Ridha t.t.:58).

Mengenai tesis Ridha ini, kalau boleh menilai, nampaknya profesi ini merupakan kesimpulan yang tegesa-gesa. Karena kalau kita kaji ayat-ayat

dalam al-Qur’an, seperti kata para ahli, tidak ada satupun yang menyatakan

bahwa negara itu harus mengambil bentuk khilafah. Memang benar dalam

hidup bermasyarakat tiap kelompok manusia memerlukan penguasa yang

mengatur dan melindungi kehidupan mereka, tetapi pemerintahan itu tidak

mesti mengambil bentuk khilafah, melainkan dapat beraneka ragam bentuk

dan sip\fatnya disesuaikan engan perkembangan zaman, sebab masalah ini

masalah ijtihadi, bisa berbentuk konstitusional, kekuasaan absolut, republik

atau bentuk lainnya. Kedudukan Negara dalam Islam adalah sebagai suatu

alat (instrumen) untuk membumikan cita-cita moral Islam berupa kebebasan,

keadilan, kemakmuran persamaan, persaudaraan dan sebagainya sesuai

dengan petunjuk al-Qur’an, namun al-Qur’an sendiri tidak menunjukkan

bentuk atau model pasti yang harus diambil. Itulah sebabnya ulama bersilang

Page 88: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

81

pendapat mengenai bentuk dan sistem instrumen tersebut. Dengan demikian,

mengenai sistem pemerintahan ini termasuk masalah ijtihad, sejauh tidak

bertentangan denga cita-cita moral Islam bentuk dan sifat manapun yang

diambil tidak dilarang dalam Islam.

Mengenai siapa ahlu al-halli wa al-aqdi ini, kelihatannya konsep

Ridah agak maju selangkah ketimbang pemikir klasik lainnya. Bagi Ridha

ahlu al-halli wa al-aqdi bukan hanya terdiri dari ulama mujtahid saja tetapi

jug dari pemuka-pemuka masyarakat di berbagai bidang, termasuk bidang

perdagangan, perindustrian dan sebagainya (Ridha t.t.:58). Tetapi baru

sampai batas itu konsep ahlu al-halli wa al-aqdi dalam pandangan Ridha. Ia

tidak menjelaskan lebih lanjut tentang bagaimana pengangkatan ahlu al-halli

wa al-aqdi itu, apakah dipilih oleh rakyat atau ditunjuk oleh khalifah.

Selanjutnya, ahlu al-halli wa al-aqdi ini tidak berakhir dengan usainya

pengangkatan Khalifah. Mereka terus berperan sebagai pengawas terhadap

jalannya pemerintahan dan harus menghalangi dari berbuat penyelewengan,

kalau perlu dengan jalan kekerasan. Menurut Ridha, mereka harus

mengadakan perlawanan terhadap kezhaliman dan ketidak-adilan Khalifah.

Dan kalau kepentingan ummat dibahayakan, mereka dapat mengakhiri

kekuasaannya dengan perang atau kekerasan sekalipun (Maharakisi t.t.:138

Sjadzali, 1990:135).

Ridha membedakan antara fungsi khalifah dan ahlu al-halli wa al-

aqdi. Fungsi khalifah ialah menyebarkan kebenaran, menegakkan keadilan,

memelihara agama dari serangan musuh dan bermusyawarah dalam hal-hal

yang tidak ada nasnya dalam al-Qur’an, dengan pengawasan ahlu al-halli wa

al-aqdi (Ridha t.t.:140). Begitu berat tugas Khalifah, maka khalifah haruslah

seorang mujtahid besar dan dibawah Khalifah serupa inilah kemajuan dapat

dicapai dan kesatuan ummat dapat diwujudkan. Dalam kesatuan ini termasuk

segala golongan ummat Islam. Untuk mewujudkan kesatuan ummat

meletakkan harapan pada kerajaan Usmani, tetapi harapan itu hilang setelah

Mustafa Kamil berkuasa di Istambul. Selanjutnya ia meletakkan harapan itu

pada kerajaan Saudi Arabia setelah Abdul Aziz berkuasa, tapi itupun tak jadi

kenyataan (Nasution, 1975:75).

D, PENUTUP

Setelah mengkaji prestasi, karir dan gagasan-gagasan Ridha dalam

pembaharuan agaknya penulis mempunyai kecenderungan untuk

menempatkan Ridha dalam kelompok pembaharu bercorak tradisional yang

bersifat moderat. Ide-ide Ridha, memang tidak jauh berbeda dengan apa yang

telah diungkap kedua gurunya, Al-Afghani dan Abduh. Namun dalam

Page 89: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

82

beberapa hal ide-ide Ridha dalam bidang pendidikan dan politik tampak lebih

jelas dan realistis. Dan ide-idenya, dalam bidang politik sangat berpengaruh

dalam masyarakat Indonesia.

Page 90: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

83

MUHAMMAD ABDUH DAN RASYID RIDHA

(PERBANDINGAN ANTARA GURU DAN MURID)

Oleh

Nasarudin Umar

I. Perbandingan Latar Belakang

Abduh dan Ridha menempati posisi yang amat penting dalam sejarah

pergerakan pemikiran dan pembaharuan dalam Islam, baik di Mesir maupun

dunia Islam pada umumnya. Ide-idenya begitu cepat meluas ke berbagai

pelosok dunia Islam.

Hubungan antara Abduh dan Ridha adalah sebagai guru dan murid. Ridha

mulai mengenal Abduh ketika Abduh berada dalam pembuangan di Beirut.

Namun demikian, Ridha sudah mengenal Abduh jauh lewat karya-karyanya

di dalam majalah Al-Urwah al-Wustqa.

Ia mencoba menjalankan ide-ide pembaharuannya ketika masih tinggal di

Suriah, tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari pihak kerajaan

Ustmani, karena merasa terikat dan tidak bebas, maka ia memutuskan untuk

ke Mesir bergabung dengan Muhammad Abduh pada bulan Januari 1898.

Beberapa bulan kemudian ia mulai menerbitkan majalah yang termasyur,

Al-Manar al-Wusqa, yakni mengadakan pembaharuan dalam bidang agama

sosial dan ekonomi, memberantas tahayul dan bid’ah yang masuk dalam

Islam, menghilangkan faham fatalisme dan faham-faham keliru lainnya yang

dibawa tarekat-tarekat tasawuf, meningkatkan mutu pendidikan dan membela

ummat Islam dari permainan politik negara Barat.

Apa yang termuat di dalam Al-Manar sesungguhnya tidak lain adalah ide-

ide Abduh, bahkan di antara artikel-artikel yang terdapat di dalamnya adalah

karangan-karangan atau bahan-bahan kuliah Abduh.

Meskipun demikian, tidak berarti Abduh identik dengan Ridha. Dalam

banyak hal pemikiran Abduh kelihatan jauh lebih liberal dibandingkan

dengan pemikrian Ridha, sebagaimana yang akan diuraikan nanti. Hal itu

mungkin disebabkan oleh latar belakang lingkungan keluarga, pendidikan,

pengalaman pribadi, dan yang tak kurang pentingnya adalah faktor

kecerdasan.

Page 91: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

84

Ayah Abduh termasuk keluarga yang sangat memperhatikan pendidikan.

Dalam tempo dua tahun Abduh sudah hafal Al-Qur’an ketika usianya baru

dua belas tahun, setelah itu Abduh diupayakan oleh orang tuanya untuk

melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi watak yang

keras Abduh menyebabkan ia berpindah-pindah dari satu sekolah ke sekolah

yang lain. Ia tidak puas terhadap sekolah yang hanya menerapkan metode

menghafal di luar kepala yang dinilainya tidak memberikan hasil seperti yang

diharapkan. Abduh mulai bergairah kembali belajar setelah diperkenalkan

metode baru oleh Syeikh Darwisy Khadr, seorang guru yang pernah

mengecap pendidikan di Mesir, Libia, dan Tripoli. Selanjutnya Abduh

melanjutkan pendidikannya di Al-Azhar dan di sanalah ia bertemu tokoh

idolanya, Jamaluddin al-Afghani.

Rasyid Ridha yang memakai gelar al-Sayyid di depan namanya karena ia

berasal dari keturunan al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Ia

melanjutkan pndidikan disebuah sekolah yang didirikan oleh Syeikh Husain

al-Jisr, yang telah dipengaruhi ide-ide modern. Sekolah tersebut sudah

memasukan mata kuliah Barat (bahasa Perancis dan sains). Namun demikian

materi pendidikan agama masih dipengaruhi secara mendalam oleh tulisan-

tulian al-Ghazali. Pada mulanya Ridha mencoba kehidupan spiritual dengan

menjalankan ajaran sufi sekalipun kemudian ia keluar karena ketidak-

setujuannya akan penekanan mereka pada tata-cara dan upacara eksotis.

Pikirannya mulai berubah dalam tahun 1893 setelah menemukan salinan-

salinan Al-Urwah al-Wusqa, di antara tumpukan buku-buku ayahnya dan

sejak itu Ridha mulai sangat tertarik pada ide-ide al-Afghani. Ridha tambah

bersemangat setelah sempat bertemu dan berdialog dengan murid Afghani,

yakni Muhammad Abduh.

Sepintas dapat dilihat adanya perbedaan latar belakang pendidikan dan

pengalaman keagamaan anatara Abduh dan Ridha. Abduh sejak kecil

nampaknya secara bebas menentukan model pendidikan yang disukainya.

Sedangkan Ridha sampai dalam usia 28 tahun masih terikat dengan pola

kehidupan sufistik.

Kecemerlangan Abduh dan Ridha tak dapat dipisahkan dengan pengaruh

Jamaluddin Afghani. Abduh tertarik dan banyak dipengaruhi oleh ide-ide

Afghani, sekalipun anatar keduanya sering terjadi perbedaan, demikian pula

Ridha, sekalipun ia tidak pernah bertemu dengan Afghani tetapi melalui

karya-karyanya ia banyak mengenal ide-ide Afghani.

Kalau Ridha tidak pernah bertemu langsung dengan Afghani, sebaliknya

Abduh beretemu langsung dengannya, bahkan seringkali terlibat secara

Page 92: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

85

bersama-sama dalam suatu masalah politik, ia seringkali turut memikul

akibat yang sesungguhnya disebabkan oleh Afghani, gurunya.

Afghani yang berpengaruh terhadap kedua tokoh yang kita bahas ini,

hingga sekarang belum ada kesepakatan tentang asal usulnya. G.H. Jansen

menduga bahwa dia adalah seorang anggota utama salah satu tarekat yang

bergerak dari suatu daerah ke daerah lain seperti di India, Persia, Mesir,

Turki, Inggris, Iran, dan Rusia. Dalam kapasitasnya pembawa misi tertentu,

ia terkadang bertindak sebagai guru atau da’i yang menarik dari Afghani

ialah kemana saja ia pergi di situ mempunyai murid dan pengikut. Murid-

muridnya pun bermacam-macam, ada yang menonjol sebagai politisi, seperti

Arabi Pasha, dan ada yang menonjol sebagai penulis seperti Adib Ishaq,

murid dan sekaligus sahabatnya yang paling menonjol dan paling memahami

ide-idenya ialah Muhmmad Abduh. Abduh sering kali menyertai lawatan

gurunya, termasuk ketika gurunya itu melakukan lawatan ke Paris. Dalam

lawatan ke Paris ini, Abduh merasa mendapat pengalaman berharga terutama

ia sempat mengikuti dialog antara gurunya dengan filosof dan sejarawan

Perancis terkenal, Ernest Renan, yang banyak mendalami karya-karya Ibn

Rusyd dan Ibn Sina.

Optimisme Afghani yang kemdian ditularkan kepada murid-muridnya

didasarkan pada kenyataan bahwa keunggulan Islam atas agama lain, dari

Hinduisme sampai Kristen dan Zoroasterianisme, terletak pada dogma-

dogmanya (Islam) yang fundamental yang sepenuhnya dapat dirasionalkan

dan bebas dari unsur-unsur rahasia. Konsep rasionalisasi dogma Afghani

selanjutnya berpengaruh kepada murid-muridnya. Abduh misalnya, secara

gamblang telah menguraikan hal tersebut ke dalam berbagai karyanya. Ridha

juga mencoba melanjutkan ide-ide tersebut dalam berbagai karyanya tetapi

kelihatan Ridha lebih hati-hati, seperti ketika ia membahas tentang fungsi

wahyu, soal perbuatan manusia, dan sifat-sifat Tuhan, kelihatan Abduh jauh

lebih liberal.

Abduh yang banyak melakukan perjalanan ke luar negeri dan menguasai

beberapa bahasa di Eropa seperti bahasa Perancis, demikian pula banyaknya

jabatan profesi yang pernah didudukinya, seperti Mufti Mesir, Anggota

Majlis Perwakilan (Legislative Concil), di samping kapasitasnya sebagai

seorang guru. Pengalaman-pengalaman yang padat yang pernah dilalui

memberinya wawasan yang luas. Sedangkan Ridha, meskipun juga

mempunyai banyak pengalaman tetapi tidak seluas pengalaman gurunya,

sekalipun masa hidup Ridha lebih lama (70 th) dibanding dengan Abduh (56

th). Kalau ide-ide Abduh dengan gurunya (Afghani) tidak dijumpai

Page 93: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

86

perbedaan yang mendasar tetapi Ridha dengan gurunya (Abduh) dapat

ditemukan beberapa perbedaan mendasar.

II. Perbandingan Metodologi

Kalau kita meminjam istilah dalam teologi, metodologi berfikir itu dapat

dibagi pada dua bagian, yaitu pola berfikir Mu’tazilah, yang memberikan

peran lebih besar kepada akal dan pola berfikir Asy’ariah yang memberikan

peran yang sangat kecil kepada akal. Mungkin pola ini kurang tepat, tetapi

dalam memudahkan permasalahan untuk sementara pola ini dipergunakan

pada kedua tokoh yang kita bahas; yakni Abduh menganut pola yang pertama

sedangkan Ridha menganut pola yang kedua.

Indikator yang dapat mendukung dasar kategori tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Sebagai halnya Ridha, Abduh mendasarkan pikirannya pada al-

Qur’an dan Hadits, tetapi Abduh, sebagaimana halnya mu’tazilah,

menerapkan ta’wil dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan

hanya berpegang kepada hadits-hadits mutawatir, sedangkan Ridha

tidak membenarkan ta’wil pada ayat-ayat mutajassimah dan bukan

hanya berpegang kepada hadits-hadits mutawatir tetapi juga

kepada hadits-hadits shahih.

2. Sebagaimana halnya Mu’tazilah, Abduh tidak mau terikat pada

salah satu aliran atau mazhab, sedangkan Ridha masih mengikuti

suatu mazhab, yaitu mazhab Ahmad ibn Hanbal dan pendapat-

pendapat Ibn Taimiyah dan Wahabiyah.

3. Dalam menafsirkan al-Qur’an, Abduh, sebagaimana halnya

Mu’tazilah, menekankan kepada penafsiran secara filosofis,

sehingga surga dan neraka misalnya, menurut Abduh tidak bersifat

fisik tetapi bersifat rohaniah, sedangkan Ridha banyak menghindar

kepada penafsiran secara filosofis, sehingga surga dan neraka

menurutnya sama dengan pendapat Asy’ariah, yaitu bersifat

jasmaniah.

III. Perbandingan Pemikiran

Perbedaan pokok Pemikiran antara Abduh dan Ridha dapat ditemukan

pada tiga hal pokok, yaitu mengenai fungsi wahyu dan kekuatan akal,

perbuatan dan kebebasan manusia, dan sifat-sifat Tuhan.

Page 94: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

87

1. Fungsi Wahyu dan Kekuatan Akal.

Perbedaan pandangan teologis antara Abduh dan Ridha dapat dianalisa

melalui pernyataan-pernyataan dan penafsiran-penafsirannya terhadap

beberapa ayat dalam al-Qur’an.

Abduh mengaggap kekuatan akal dapat mengetahui Tuhan dan sifat-

sifat-Nya, mengetahui adanya hidup di akhirat, mengetahui bahwa

kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan

berbuat baik, sedangkan kesengsaraanya bergantung pada tidak

mengenal Tuhan dan perbuatan jahat, mengetahui wajibnya mengenal

Tuhan, mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya

menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat, dan membuat

hukum-hukum untuk kewajiban itu.

Begitu besar peranan akal bagi Abduh sehingga tidak tampak fungsi

wahyu. Banhkan walau demikian pandangan teologis Abduh, berarti

Abduh jauh lebih liberal dari pada tokoh-tokoh Mu’tazilah lain

sebelumnya. Abduh mengemukakan enam poin dan bandingkan dengan

Asy’ary yang hanya mnegemukakan satu poin, Maturidi Bukhara dua

poin dan Maturidi Samarkan tiga poin.

Sebagai murid Abduh, Ridha juga memberikan peran akal yang

besar, yaitu mampu mengantarkan pada bukti-bukti adanya al-wajib al-

wujub, ilmu dan hikmahnya, kewajiban bersyukur dan mengagungkan

serta kewajiban beribadah kepada-nya. Bahkan menurut Ridha akal juga

dapat menerima ajaran tentang kekekalan jiwa. Sampai di sini belum

ditemukan perbedaan yang prinsip dengan gurunya, bahkan pada bagian

lain ketika Ridha menjelaskan fungsi wahyu, ia hanya menukil pendapat

gurunya tanpa memberikan komentar, misalnya ketika menjelaskan

tentang kebutuhan manusia pada Rasul.

Meskipun Ridha nampaknya menghargai kedudukan akal, tetapi

agaknya ia tidak konsisten. Terbukti ketika membahas ajaran-ajaran

yang bersifat ‘ubudiyah nampaknya menekankan penggunaan akal. Bagi

Ridha persoalan-persoalan seperti ‘ubudiyah tidak perlu diijtihadkan

lagi; ijtihad hanya diperlukan dalam soal hidup kemasyarakatan.

Demikian pula terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengandung arti

tegas, ijtihad tidak diperlukan lagi, akal hanya diperlukan pada ayat-ayat

dan hadis-hadis yang pengertiannya tidak tegas dan tidak mendapatkan

penjelasan dari ayat-ayat lain atau dari hadis.

Page 95: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

88

Perbandingan antara keduanya dapat pula dilihat ketika keduanya

memberikan komentar terhadap hadis-hadis Nabi tentang terpecahnya

ummat menjadi 73 golongan dan hanya satu golongan di antara golongan

tersebut yang dinyatakan masuk surga. Abduh tidak menegaskan siapa

yang satu golongan tersebut karena menurutnya semua golongan tersebut

tetap mendasarkan pandangan-pandangannya kepada Al-Qur’an dan

Hadits serta ijma’. Sedangkan Rida menegaskan bahwa golongan yang

selamat tersebut ialah golongan al-Hadis dan ulamanya yang mendapat

petunjuk dari orang-orang salaf, yakni ulama yang mendahulukan kalam

Allah dan Rasul-Nya atas segala sesuatu dan tidak mentakwilkannya.

Ridha memahami sikap gurunya yang tidak memberikan ketegasan

karena gurunya dianggap masih kurang menelaah kitab-kitab hadis, lagi

pula gurunya waktu itu masih sedang menekuni ilmu kalam, ditambah

lagi al-Azhar pada waktu itu sedang dikembangkan kebebasan berfikir

dan menentang fanatisme dan taklid.

Yang sangat kontradiksi dengan gurunya adaah mengenai ta’wil, Ridha

menolak penggunaan ta’wil sedangkan Abduh membolehkannya.

2. Perbuatan dan Kebebasan Manusia

Menurut Ridha, perbuatan manusia atas dasar kehendak dan

pilihannya sediri, apakah itu perbuatan baik atau buruk. Semua

perbuatan manusia, termasuk iman terjadi karena perbuatan dan

pilihannya, hanya saja yang menjadikan manusia mewujudkan

perbuatannya adalah iradah Allah. Kasb dan masyiah Allah, dengan

demikian, manusia tidak dapat membebaskan diri dari Allah ia

senantiasa membutuhkan taufik dan pertolongannya. Ridha beranggapan

bahwa Tuhan telah membuat sunnah Allah yang tidak berubah-ubah

yang berlaku untuk semua makhluk. Sunnah tersebut ia juga

menyebutnya dengan nidhzam al-‘am.

Ridha beranggapan bahwa daya (qudrah), kemampuan, dan iradah

manusia untuk berbuat adalah pemberian Allah dan dijadikan menurut

masyiah-Nya. Tuhan menciptakan manusia dengan daya yang terbatas

dan dengan masyiah yang berpangkal pada perbuatan yang dipilihnya

sendiri. Tuhan menjadikan sesuatu dengan qadar dan taqdir, yakni

menciptakan aturan yang di dalamnya berlaku hukum sebab akibat.

Ridha lebih jauh menjelaskan bahwa manusia itu tidak menciptakan

perbuatannya sendiri secara bebas tanpa masyiah Tuhan dan Sunnah-Nya

pada makhluk-Nya. Nampaknya menurut Ridha, pilihan manusia itu

terbatas hanya pada memilih hukum sebab akibat yang telah disediakan

Page 96: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

89

kepadanya, agaknya ia ingin mengatakan bahwa perbuatan itu bukan

semata-mata perbuatannya sendiri melainkan ada keterlibatan Tuhan di

dalamnya, tetapi ia juga enggan mengatakan bahwa perbuatan itu

sepenuhnya kehendak Allah. Yang jelas kita dapat lihat dalam uraian

tersebut bahwa manusia dalam melakukan perbuatannya adalah tidak

merdeka, karena perbuatan-perbuatannya tidak murni dari manusia tetapi

ada campur tangan Tuhan, karenanya, menurut pendapat ini, manusia itu

lemah dan bergantung kepada kehendak kekuasaan Allah dan dengan

demikian sesungguhnya Tuhanlah yang lebih aktif dalam mewujudkan

perbuatan manusia.

Pandangan teologis Ridha ketika menafsirkan ayat 123 Surah Hud,

mengigatkan kita pada konsep kasb-nya Asy’ary yang cenderung searah

dengan faham Jabariah. Ridha mengatakan bahwa :

Begitu pula ketika menafsirkan ayat 20 Surah Al-Baqarah ia mengatakan:Dari

uraian tersebut dapat dilihat betapa lemahnya posisi manusia dalam

menentukan dan melakukan perbuatannya di mata Ridha. Berbeda dengan

Abduh yang memandang manusia itu mempunyai kebebasan dalam kemauan

dan perbuatannya. Kebebasan manusia menurut Abduh hanya dibatasi oleh

perhitungan-perhitungannya sendiri dalam meraih sukses bukan karena

keterbatasan kemampuan yang Tuhan berikan kepadanya melainkan

kelemahan manusia dalam memperhitungkan perilaku Sunnah Allah. Jadi,

kegagalan manusia dalam meraih sukses bukan karena keterbatasan

kemampuan yang Tuhan berikan kepadanya melainkan kelemahan manusia

dalam memperhitungkan perilaku Sunnah Allah. Mengenai Sunnah Allah,

Ridha seolah-olah membayangkan Tuhan itu adalah bagaikan raja yang

absolut, bebas berbuat tanpa keterikatan dengan Sunnan yang sudah dibuatnya,

berbeda dengan Abduh, seolah-olah menganggap Sunnan Allah dibuat oleh

Tuhan dan juga dirinya.

3. Sifat-sifat Tuhan

Ridha dengan tegas mengakui adanya sifat-sifat Allah. Ia

menempatkan pengetahuan tentang Allah, sifat-sifat, dan perbuatanny,

sebagai ilmu yang fundamental bagi kesempurnaan manusia,

sebagaimana yang ia katakan:

ىن انه اعظم الوسائل لكمال العلم العلم بااهلل تعاىل ىف خلقه فهو وسيلة ومقصد، اع الذى قبله ومن قرب الطرق اليه واقوى االيات الدلة عليه

Lebih jauh Ridha mengatakan bahwa Allah sendirilah yang mentapkan

sifat-sifat itu bagi dirinya akan tetapi sifat-sifat itu tidak serupa dengan

Page 97: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

90

sifat-sifat yang ada pada makhluknya, semua sifat-sifat Allah

menunjukkan kepada kesempurnaan yang paripurna. Allah

mengunakan sifatnya dengan bahasa manusia agar manusia dapat

memahami sifat –sifat tersebut sesuai dengan tingkat kemampuannya;

namun, perbandingan antara sifat Tuhan dengan sifat makhluk nya

adalah ketidak serupaan pada essensinya.Ridha banyak menukil

pendapat Ahlu Sunnah dalam membela pendapat-pendapatnya tentang

adanya sifat-sifat Tuhan dengan mengatakan bahwa Allah itu Maha

Suci dari keserupaan dengan makhluknya, baik dalam zat, sifat,

maupun perbuatannya. Bagi Ridha, penggunaan nama yang sama tidak

mengharuskan persamaan pada sesuatu yang diberi nama tersebut.

Pendapat Ridha ini sangat berbeda dengan pendapat gurunya yang

cenderung kepada pendapat filosof yang meniadakan sifat-sifat Allah.

Ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat Tuhan, Ridha

cenderung melakukan penafsiran secara harfiah dengan berpegang

kepada tanzih, sebaliknya gurunya cenderung menafsirkannya secara

rasional dan filosofis, sebagai contoh, melihat Tuhan di akhirat, bagi

Ridha adalah suatu kenikmatan yang tertinggi dan sempurna, tentang

cara melihatnya, Ridha mengikuti pendapat ulama Salaf yakni ru’yah

bi la kaif. Sedangkan Abduh berpendapat bahwa melihat Tuhan di

akhirat adalah dengan suatu daya yang ada pada manusia ataupun daya

yang baru yang akan diciptakan dalam dirinya dan mungkin dalam

hatinya. Contoh lain mengenai al-arsy, Ridha menafsirkan sebagai

pusat pengendali alam semesta, sedangkan Abduh menafsirkan dengan

kerajaan atau kekuasaan.

Tentang Kalam Allah, Ridha memandangnya sebagai sifat

kesempurnaan Tuhan yang berkaitan dengan ilmu. Kalam adalah sifat

yang tetap bagi Allah, sedangkan essensi Kalam Allah adalah qadim

dan azali dan tidak dapat dikatakan sebagai mahluk atau baharu

(hadits). Sedangkan Abduh, kalam bukanlah sifat Tuhan melainkan

perbuatan Tuhan, dengan demikian, al-Qur’an adalah diciptakan.

Metode berfikir Ridha dapat dikategorikan masih terikat pada

metode berfikir tradisional, masih terikat pada salah satu aliran dan

mazhab salaf, sedangkan Abduh memakai metode berfikir rasional dan

tidak lagi terikat pada salah satu aliran atau mazhab.

Perbedaan pola fikir antar guru dan murid mungkin disebabkan

oleh perbedaan latar belakang lingkungan keluarga, pendidikan,

pengalaman, dan kecerdasan antara keduanya.

Page 98: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

91

Ridha masih dapat ditempatkan ke dalam deretan tokoh

pembaharu, karena sesungguhnya yang tradisional hanyalah

pemikirannya tetapi sikap-sikap yang ditampilkannya adalah sikap

dinamis. Mungkin karena itu Charles Adams menyebutkan sebagai

pembaharu yang konservatif.

Page 99: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

92

QASIM AMIN :

EMANSIPASI WANITA

Oleh

Sulaiman Abdullah

I. Pendahuluan

Gerakan pembaharuan di Mesir, sebenarnya telah dimulai pada

penghujung abad XVIII ketika Muhammad Ali Pasya berkuasa setelah

berhasil mengusir pasukan Napoleon ynag menduduki Mesir tanggal 22 Juli

1798 sampai 31 Agustus 1801 (Nasution, 1975:29-30). Kehadiran ekspedisi

Napoleon di Mesir, bagaimanapun telah membuka mata ummat Islam Mesir

akan kelemahan dan kemunduran mereka serta membangunkan mereka dari

tidur nyenyaknya, mengenali jati diri dan membenahi posisinya sebagai suatu

bangsa.

Pembaharuan yang dibawa oleh Muhammad Ali yang mulai berkuasa

penuh di Mesir 1811, tak dapat dilepaskan dari kepentingannya untuk

mempertahankan dan memperkokoh kekuasaannya. Oleh karena itu, ia mulai

mengadakan pembaharuan kekuatan militer yang didukung oleh kekuatan

ekonomi yang keduanya menghendaki ilmu-ilmu modern yang dikenal orang

di Eropa. Untuk itu ia bangun beberapa sekolah yang gurunya didatangkan

dari Barat, disamping mendorong siswa-siswa untuk belajar ke Eropa

(Nasution, 1975:29-30). Iapun mengadakan pembaharuan di bidang

administrasi negara.

Beberapa kemajuan yang dicapai Muhammad Ali, betapapun banyak

melahirkan orang orang pintar bangsa Mesir yang berwawasan luas dan

berjiwa nasionalis yang secara samar telah mulai dicetuskan oleh Rifa’ah

Badawi Rafi’ al-Tahtawi yang pengaruhnya sangat besar di pertengahan aba

XIX di Mesir, yaitu lahirnya beberapa tokoh pembaharu nasionalis Mesir

yang berjuang bagi kemerdekaan Mesir dari jajahan bangsa asing (Inggris

1882-1922).

Akan tetapi untuk mencapainya perlu dipersiapkan kondisi masyarakat;

pendidikannya, cara berpikir, kekuatan ekonominya serta kedudukan sosial

masyarakat, diperbaharui sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan

modern dan tidak menyimpang dari ajaran agama.

Salah satu titik lemah yang berada pada bangsa Mesir kala itu ialah

diskriminasi antara kedudukan lelaki dan wanita. Wanita diperlakukan secara

Page 100: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

93

tidak adil oleh belenggu adat istiadat yang ketat yang merendahkan derajat

wanita dan telah berlangsung selama berabad-abad. Jumlah wanita

berimbang dengan lelaki, sehingga seperdua dari keseluruhan potensi

nasional tidak dapat digerakkan dalam perjuangan memajukan bangsa.

Karena itu, usaha perbaikan kedudukan wanita adalah merupakan kegiatan

dari gerakan pembaharuan Mesir.

Beberapa tokoh pembaharu di Mesir merasa terpanggil untuk merubah

dan memperbaharui kedudukan wanita. Sebelumnya al-Tahtawi (1801-1873)

telah mengemukan pendapatnya yang termuat dalam bukunya al-Mursyid al-

Amin li al-Banat wa al-Banin bahwa wanitapun harus diberikan pendidikan

dan pengajaran sebagai yang diberikan kepada lelaki (Nasution 1975: p. 48).

Muhammad Abduh pun telah mengemukakan bahwa dalam Islam, wanita

mempunyai kedudukan tinggi, tetapi adat istiadat yang berasal dari luar Islam

merubah hal itu sehingga wanita Islam akhirnya mempunyai kedudukan

rendah dalam masyarakat (Nasution, 1975:79).

Akan tetapi yang mengupas secara meluas tentang ide persamaan

kedudukan antara lelaki dan wanita itu adalah Qasim Amin, salah seorang

murid dan pengikut Muhammad Abduh. Ia menyadari perlunya perbaikan

kedudukan wanita dengan membebaskannya dari belenggu adat yang

bertentangan dengan ajaran Islam. Ia menegaskan bahwa “perbaikan keadaan

suatu bangsa tak mungkin terwujud tanpa memperbaiki kedudukan wanita”

(Amin, 1978:27).

Ide inilah yang dikupas Qasim Amin dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah

(Emansipasi Wanita) yang diterbitkan pada tahun 1899. Menurut

pendapatnya, kemunduran ummat Islam disebabkan kaum wanita tidak

pernah memperolah pendidikan sekolah. Karena itu, ia menuntut agar kaum

wanita diberikan pendidikan dan pengajaran seperti yang diperoleh kaum

lelaki, supaya mereka dapat mengatur rumah tangga dengan baik dan

memberikan pendidikan bagi anak-anak. Ia pun menuntut pilihan kedua belah

pihak dalam soal perkawinan di mana wanitapun diberi hak dalam memilih

jodoh. Sejalan dengan itu, iapun menuntut supaya isteri diberi hak cerai.

Praktek poligami menurut pendapatnya, walaupun disebut dalam al-Qur’an

tidaklah dianjurkan, tetapi sebaliknya dianjurkan monogami.

Sebagaimana halnya terhadap setiap inovasi baru akan mendapat reaksi

pro-kontra, demikian pulalah halnya dengan ide emansipasi yang dilontarkan

Qasim Amin. Tidak sedikit tokoh-tokoh terkemuka Mesir yang

mengecamnya, lebih-lebih terhadap pernyataannya bahwa hijab (penutup

wajah wanita) bukan merupakan ajaran Islam, karena bukan merupakan aurat

Page 101: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

94

(Nasution, 1975:79). Tetapi cukup banyak pula pemuka Mesir yang

menyetujui dan mendukung pendapatnya itu.

Untuk menjawab tantangan dan kecaman pihak yang tak setuju tersebut,

Qasim Amin menulis bukunya ´Al-Mar’at al-Jadidah yang berisi ia tentang

perbandingan antara kemajuan wanita Eropa dan Amerika di satu pihak, dan

kemunduran wanita Mesir yang muslim di lain pihak.

Biografi Singkat Qasim Amin

Qasim Amin lahir di Iskandariyah pada tahun 1963 (Bahauddin, 1969:10

dan Farukh, 1969:10). Ayahnya, Muhammad Bek Amin, adalah keturunan

Turki, bekerja sebagai tentara yang didatangkan dari Iraq ke Mesir. Ibunya

adalah wanita Mesir dari al-Sha’id (Amin, 1978:11). Pendidikan dasarnya di

madrasah Ra’s al-tin Iskandariyah dan pendidikan menengah di madrasah Al-

Tajhiziyah di Kairo. Setamatnya dari sekolah menengah tersebut, ia

melanjutkan studi di Madrasah al-Huquq (Sekolah Tinggi Hukum) dan

memperoleh ijazah Lisence pada tahun 1881 (Farukh, 1969:10). Selain

pendidikan itu, ia bekerja pada kantor Pengacara Mustafa Fahmi di Kairo.

Kemudian ia berangkat ke Perancis untuk mendalami ilmu hukum di

Universitas Montpellier (Farukh, 1969:10).

Sebelum berangkat, ia telah ikut dalam persiapan revolusi Arab pimpinan

Urabi Pasya. Selama di Paris ia tetap mengikuti perkembangan keadaan di

Mesir. Revolusi yang dipimpin oleh Urabi Pasya dapat dipatahkan Inggris

yang merasa kepentingannya terancam, lalu menduduki Mesir tahun 1882.

Muhammad Abduh yang turut memainkan peranan ditangkap dan buang

pada penutup tahun 1882. Pada tahun 1884 ia pergi ke Paris dan bersama

sama dengan al-Afghani mengeluarkan majalah Al ‘Urwath al-Wusqa

(Nasution, 1975:61-62). Qasim Amin pun ikut ambil bagian mengisi

tulisannya. Qasim Amin ketika itu membantu Muhammad Abduh

mempelajari bahasa Perancis (Amin, 1978:12-13). Majalah Al-Urwah al-

Wusqa tidak berumur panjang karena pada tahun 1885 sudah dibredel oleh

pihak penjajah.

Pada tahun 1885 itu pula, Qasim Amin kembali ke Mesir dan diangkat

menjadi hakim pada al-Mahkamah al-Mukhtalathah (Tribunal Mixte).

Setelah berpindah pindah ke beberapa kota sebagai hakim, kemudian ia

diangkat menjadi Mustasyar (Hakim Agung) pada Mahkamah al-Isti’naf

pada tahun 1892 (Farukh, 1969:10).

Pekerjaannya sebagai hakim tidaklah menghalanginya untuk

memperhatikan kepentingan masyarakat umum. Maka pada pada tahun 1900

Page 102: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

95

ia mendirikan organisasi sosial Islam (Al-Jam’iyah al-Khairiyah al-

Islamiyah) dan tahun 1906 mendirikan Universitas Mesir (Al-Jami’ah al-

Mishriyah ) bersama sama dengan Sa’ad Zaglul, Ahmad Ramzi dll. (Farukh,

1973:176). Universitas ini dirubah namanya menjadi Universitas Fuad I pada

tahun 1940 dan menjadi Universitas Kairo (Jami’ah al-Qahirah) pada tahun

1952.

Kedudukannya sebagai Mustasyar pada Mahkamah al-Isti’naf dan

sebagai pekerja aktif dalam lapangan kemasyarakatan itu tetap diembannya

sampai akhir hayatnya pada tahun 1908 (Farukh 1969:10).

Dari data data tersebut di atas, jelaslah bahwa Qasim Amin adalah

seorang nasionalis dan patriot yang ikut dalam gerakan kemerdekaan

bangsanya, tetapi tidak mengikuti garis revolusioner seperti yang dijalankan

oleh Sa’ad Zaglul, seorang ahli hukum/hakim ulung, penulis yang

produktifm, seorang sastrawan yang menghayati keindahan dan aspirasi

masyarakat, yang memandang bahwa sebab terbesar dari kemunduran bangsa

Mesir adalah keterbelakangan mereka dari pengetahuan estetika, sendi dan

musik yang dapat mendidik sikap mental untuk mencintai keindahan dan

kesempurnaan (Amin, 1978:14). Dengan latar pendidikannya, ia berusaha

memadukan kebudayaan Perancis dengan kebudayaan Mesir tanpa

melanggar ketentuan agama yang dianutnya. Ide ide pembaharuannya

dituangkan dalam bentuk tulisan baik dalam bahasa Arab maupun dalam

bahasa Perancis. Buku-bukunya tang ditulis dalam bahasa Arab, ada tiga

buah: pertama, Tahrir al-Mar’ah, yang namanya popular; kedua, al-Mar’at

al-Jadidah, yang membahas secara luas tentang kebebasan wanita di Eropa

dan Amerika; ketiga, Asbab wa Nataij wa Akhlaq wa Mawa’zh yang

merupakan kumpulan dari artikel yang ditulisnya di beberapa majalah dan

surat kabar (Farukh, 1969:203).

II. Ide-ide Pembaharuan Qasim Amin

Ide pembaharuan Qasim Amin yang menonjol, adalah hasratnya untuk

meningkatkan harkat dan martabat wanita Mesir setara dengan kaum pria. Ia

merasa prihatin dan tersentuh menyaksikan keterbelakangan kaum wanita

Mesir sebagai akibat terbelenggu oleh adat kebiasaan yang menurutnya tak

sejalan dengan ajaran Islam, bukan karena ajaran Islam seperti yang

dituduhkan oleh seorang Perancis, Le Duc d’hartcourt dalam bukunya

L’Egypte et les Egyptiens (Farukh, 1969:204) yang bermaksud meburuk-

burukkan Mesir dan Islam. Oleh karena itu, Qasim Amin membantahnya

dengan menulis bukunya Les Egyptiens Response am Le Duc d’hartcourt di

mana dikemukakannya pembelaannya terhadap Islam yang dicap oleh

d’hartcourt sebagai penyebab kemunduran dan ketebelakangan bangsa Mesir.

Page 103: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

96

Keprihatinan itu mendorong Qasim Amin untuk memperbaiki kedudukan

wanita Mesir pada khususnya dan perbaikan kehidupan rakyat Mesir dan

Arab/Islam pada umumnya. Ia menyadari bahwa keterbelakangan masyarakat

Mesir dibandingkan dengan Eropa dan Amerika, disebabkan tingginya

pendidikan mereka tanpa membedakan antara lelaki-wanita dan keikut-

sertaan lelaki-wanita dalam kegiatan sosial ekonomi dan kegiatan lainnya.

Oleh karena itu, untuk memacu kemajuan Mesir sejajar dengan kemajuan

yang telah diperoleh Barat adalah dengan peningkatan pendidikan dan

pengajaran baik bagi lelaki maupun wanita. Karena di Mesir terdapat

perbedaan besar antara kedudukan hak wanita dengan lelaki, maka titik berat

perhatiannya terfocus pada perbaikan hak dan kedudukan kaum wanita Mesir

dan meningkatkan emansipasi wanita Mesir. Untuk itu, menurutnya, kaum

wanita Mesir harus dibebaskan dari belenggu ada istiadat yang keliru : hijab,

praktek perkawinan, poligami dan talak yang merugikan pihak wanita dan

merendahkan martabatnya baik dilihat dari sudut kemasyarakatan maupun

syariat Islam. Wanita harus mendapatkan pendidikan dan hak hak lain yang

didapatkan kaum lelaki.

Berikut ini, dikemukakan ide Qasim Amin terhadap perbaikan kedudukan

wanita.

1. Pendidikan dan pengajaran

Menurut Qasim Amin, pendidikan bagi wanita adalah sangat penting

sekali, karena wanita adalah juga manusia yang sama dengan lelaki baik

dalam bentuk tubuh, tugas, perasaan maupun pikiran. Perbedaannya hanya

terletak pada perbedaan kelamin (Amin, 1978:41) Kelebihan lelaki dari

wanita dalam kekuatan fisik dan mental, karena lelaki lebih dahulu diberikan

kesempatan bekerja dan berpikir, sedang wanita dilarang untuk menggunakan

dayanya bekerja dan berpikir.

Selanjutnya Qasim Amin menegaskan, bahwa menelantarkan pendidikan

bagi wanita sama halnya dengan membiarkan seperdua jumlah penduduk

berada dalam kegelapan dan kebodohan, sebab jumlah kaum wanita

diperkirakan sekitar setengah dari jumlah penduduk sesuatu negeri (Amin,

1978:43). Tertutupnya lapangan pendidikan, menyebabkan wanita Mesir

tidak dapat melakukan berbagai aktivitas seperti yang dilakukan oleh wanita

Barat dalam berbagai bidang: ilmu pengetahuan, kesenian, kesusasteraan,

perdagangan dan perindustrian. Sekiranya wanita Mesir diberikan pendidikan

dan dituntun dengan baik, niscaya memberi faedah besar bagi kemajuan

bangsanya. Dengan bekal pengetahuan intelektual dan bekal rohaniah yang

cukup, wanita Mesir akan dapat mengatur rumah tangga dengan baik dan

dapat memilih yang baik serta dapat membuang tahayul dan kepercayaan

Page 104: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

97

yang salah yang banyak melanda kaum wanita yang tak bependidikan (Amin,

1978:42).

Menurut pendapat Qasim Amin, kebodohan wanita Mesir termasuk para

isteri sudah demikian parahnya, sebagaimana digambarkannya:

…bahkan dalam urusan yang termasuk pekerjaannya dan wanita diciptakan

untuk itu, sang suami tidak melihat pada isterinya hal yang menarik hatinya.

Kebanyakan isteri tidak terbiasa menyisir rambutnya setiap hari, mandi tidak

lebih dari sekali setiap minggu, tidak tahu mempergunakan sikat gigi, tidak

memperhatikan keindahan dan kebersihan pakaiannya yang berpengaruh besar

dalam menggairahkan suami. Dan tidak tahu bagaimana menumbuhkan

keinginan pada suami, bagaimana memeliharanya dan bagaimana

memenuhinya. Itu disebabkan wanita yang bodoh, tidak mengetahui gerakan-

gerakan batin dalam jiwa. Apabila ingin menggairahkan suami, biasanya ia

berbuat kebalikannya (Amin, 1978:57).

Menurut Qasim Amin, pendidikan dan pengajaran yang diberikan pada

kaum wanita, minimal cukup tingkat dasar seperti yang diberikan kepada

anak lelaki (Amin, 1978:68). Akan tetapi jangan dibatasi pada pengetahuan

kerumah-tanggaan, seperti menjahit, menyetrika dan memasak saja (Amin,

1978:52). Pendidikan wanita harus mencakup pendidikan jasmani,

pendidikan moral dan intelektual. Wanita mesti diberikan kesempatan

berolah raga seperti wanita di Barat, karena tanpa olahraga wanita jadi

kurang sehat, mudah diserang penyakit, sangat menderita sewaktu hamil dan

melahirkan. Apabila wanita dikurung di dalam rumah, kondisi fisiknya lemah

karena tak sempat berolahraga, tidak kena cahaya matahari dan tdak

menghirup udara segar, sehingga ketika bersalin untuk pertama kalinya

banyak yang jatuh sakit bahkan meninggal dunia (Amin, 1978:157-159).

Kesehatan jasmani ibu perlu baginya dan bagi pencegahan penularan

penyakit ibu kepada anaknya.

Diperlukannya pendidikan moral bagi wanita terutama ibu, karena

mereka berperan besar dalam membentuk moral anak anaknya. Dengan

mengetahui akhlak yang baik, wanita dapat menjadi ibu yang saleh yang

pandai menanamkan budi pekerti yang baik dan kebiasaan yang benar pada

anak-anaknya (Amin, 1978:157-159).

Juga diperlukan pendidikan intelektual bagi wanita agar mereka

mengetahui alam sekitarnya termasuk dirinya. Dengan mengetahui hakikat

sesuatu ia dapat mengarahkan pekerjaannya kepada yang bermanfaat bagi

dirinya dan menikmati pengetahuan itu, sehingga hidupnya berbahagia

(Amin, 1978:160).

Page 105: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

98

Keinginan untuk menikmati ilmu pengetahuan itu sama bagi lelaki dan

wanita, mereka sama ingin mengetahui rahasia dan keajaiban alam dan sama

sama ingin mempelajari keadaan alam, masyarakat dan sejarahnya.

Memberikan pendidikan intelektual kepada wanita bukan berarti menjejali

otaknya mengahafal materi pengetahuan yang diberikan, tetapi yang lebih

penting ialah menanamkan rasa cinta kebenaran dan memberikan motivasi

agar tetap merindukannya dan mencarinya. Pendidikan ini bermanfaat bagi

wanita sebagai bekal mengatur ekonomi rumah tangga, menciptakan suasana

rumah tangga menyenangkan suami dan anak-anak, pendidikan seni dan

musik sebagai bagian pendidikan intelektual, diperlukan pula bagi wanita

untuk memperhalus perasaan, menyenangi sesuatu yang sempurna dan indah.

Bila ilmu pengetahuan mengajarkan hakikat itu karena tampak dalam bentuk

yang sempurna seperti yang digambarkan dalam lukisan. Seni musik

merupakan bahasa yang paling tepat dalam mengungkapkan isi hati dan

sesuatu yang terindah dalam pendengaran (Amin, 1978:157-161-162).

Sebagian besar masyarakat Mesir berpendapat bahwa pendidikan dan

pengajaran bagi wanita bukanlah merupakan kewajiban. Bahkan mereka

mempertanyakan apakah belajar tulis baca itu dibolehkan oleh syariat atau

diharamkan sama sekali (Amin, 1978:41). Sehingga tak mengherankan

apabila Qasim Amin menyadari bahwa sebahagian masyarakat Mesir

mengkhawatirkan pendidikan wanita dapat merusak akhlak mereka. Ini

merupakan kendala bagi idenya. Oleh karena itu anggapan masyarakat yang

tak benar itu dibantahnya dengan keras dengan mengemukakan argumentasi

bahwa pendidikan itu disertai dengan pendidikan akhlak. Lebih jauh ia

terangkan bahwa bila pendidikan intelektual diimbangi dengan pendidikan

akhlak, tentulah akan mengangkat harkat dan martabat wanita,

menyempurnakan akalnya sehingga membuatnya berfikir mengamati dalam

berhati-hati dalam menghadapi atau melakukan sesuatu pekerjaan. Wanita

yang baik akan bertambah kebaikan dan kesalehan serta ketakwaannya

dengan ilmu pengetahuan,. Mereka lebih berhati-hati dalam melakukan

pekerjaan dibanding wanita yang bodoh (Amin, 1978:73).

2. Pengertian Hijab

Menurut asalnya pengertian hijab ialah membungkus seluruh tubuh

wanita dari ujung rambut sampai tapak kaki, akan tetapi dalam prakteknya di

Mesir dan sebagian besar negeri Islam, diterapkan lebih luas, mencakup

pengekangan kebebasan wanita sehingga hidup terpenjara dalam rumah atau

dibalik tirai kereta dan tidak dapat berjalan keluar rumah untuk menuntut

ilmu atau melakukan kegiatan masyarakat lainnya, kecuali bila sudah

menjadi mayat terbungkus kain kafan untuk dikuburkan. Demikianlah

Page 106: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

99

keadaan yang berlaku bagi umumnya wanita Mesir dari golongan menengah

keatas (Amin, 1978:39 dan 168).

Adat hijab seperti inilah yang ditentang habis-habisan oleh Qasim Amin,

sebab tidak sesuai dengan ajaran Islam yang membolehkan wanita membuka

wajah dan kedua tapak tangannya dan membolehkan keluar melakukan

kegiatan sosial ekonomi. Islam hanya melarang wanita berduaan dengan

lelaki bukan muhrim di tempat yang dapat menimbulkan kecurigaan (Amin 1978: p. 84).

Qasim Amin tidak menuntut agar kaum wanita Mesir meniru cara

berpakaian wanita Barat seratus persen yang sudah diluar batas kesopanan

bahkan menarik nafsu syahwat. Ia hanya menuntut agar cadar yang menutupi

wajah dihilangkan dan kaum wanita diberi kebebasan untuk keluar rumah

baik untuk keperluan mengikuti pendidikan, bekerja, maupun untuk

berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat seperti halnya kaum

lelaki. Menurut Qasim Amin, “adat hijab” di mana wanita menutup wajahnya

dengan burqa’ (seperti topeng) atau dengan niqab (cadar tipis dan halus),

adalah adat istiadat lama yang sudah ada sebelum Islam dan dilanjutkan

setelah Islam, karena adat seperti ini tidak terkenal di negeri Islam bagian

Timur (Amin 1978: p. 88-89). Untuk membenarkan pendapatnya, ia kemukakan

bahwa dalam mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa wajah

dan dua tapak tangan wanita bukan aurat yang wajib ditutup (Amin 1978: p. 81-82).

Mengenai hijab dalam arti mengurung wanita di dalam rumah dan

melarangnya berinteraksi dengan kaum lelaki, Qasim Amin membaginya

kepada dua bagian :

a. Hijab yang khusus bagi isteri-isteri Nabi SAW.

b. Hijab bagi kaum wanita muslimah selain isteri Nabi SAW

Mengenai hijab bagi isteri-isteri Nabi SAW, menurut Qasim Amin, telah

disepakati oleh kitab-kitab Fikih dari semua mazhab dan kitab-kitab tafsir

bahwa hal itu dikususkan bagi para isteri Nabi SAW., karena mereka tidak

sama dengan kaum wanita muslimah lain, berdasarkan sebab turun ayat 53

surat al-Ahzab tentang hijab adalah khusus pada isteri-isteri Nabi SAW. Oleh

karena mengenai hijab bagi wanita muslimah lainnya tidaklah merupakan

fardhu dan kewajiban (Amin, 1978:90). Dari sudut kemasyarakatan, Qasim

Amin menilai bahwa kebiasaan mengungkung wanita sejak kecil (umur 12-

14) hanyalah kebiasaan adat istiadat yang diwarisi turun temurun dan diikuti

secara naluri tanpa pertimbangan rasio. Adat seperti itu tak dapat dibenarkan

mengingat anak pada usia tersebut berada pada tahap transisi dan perlu

Page 107: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

100

pengetahuan dan pengalaman hidup di mana mereka telah mengetahui

bangsa, agama, tanah airnya. Dalam usia seperti itu tampak ativitas dan

kreativitasnya, sehingga jika dikekang akan menyebabkannya mundur dan

kehilangan masa depannya. Mereka harus dilepaskan dari kungkungan serta

dibenarkan berkomunikasi dan berinteraksi dengan kaum lelaki.

Pengungkungan kaum wanita sekalipun dengan alasan menyayanginya, akan

merusak kesehatannya karena tidak mendapatkan udara segar dan cahaya

matahari (Amin, 1978:90-93).

Pendapat yang mengatakan bahwa wanita yang aktif berkomunikasi

dengan kaum lelaki mempunyai pikiran rendah yang menjurus kepada

perbuatan amoral ditentangnya, dengan mengatakan bahwa wanita yang biasa

bekerja dan belajar di tengah kaum lelaki lebih terhindar dari pikiran jelek

dibandingkan wanita yang dipingit. Alasannya, wanita yang terbiasa bebas

melihat lelaki dan mendengar bicaranya, tidaklah mudah tergerak nafsu

syahwatnya, betapapun gagahnya lelaki itu. Sebaliknya wanita yang terbiasa

terkurung, maka sekali ia melihat lelaki dengan cepat dan tanpa disadarinya,

tergerak pikirannya pada perbedaan seks (Amin, 1978:101-102). Selain dari

itu, dengan mengungkung kaum wanita samalah artinya dengan tidak

menaruh kepercayaan kepada mereka, kepada ibu kita, kepada isteri dan

puteri-puteri kita, bahwa mereka tahu menjaga kehormatan dirinya. Tentulah

tidak pantas kita menaruh kecurigaan kepada wanita wanita yang kita cintai

dan tidak mempercayai mereka dapat menjaga kehormatan dirinya,

kehormatan wanita tidak terletak pada pakaian yang membungkus badannya,

tetapi pada kesanggupan mereka memelihara diri. Sikap inilah yang

seharusnya ditanamkan sejak dini pada kaum wanita, dengan

membiasakannya berhubungan dengan lelaki baik dari kerabatnya maupun

bukan, dengan tetap memelihara batas-batas ketentuan syariat dan kesopanan,

atas bimbingan orang tuanya atau walinya (Amin, 1978:104 dan 106).

3. Perkawinan dan Talaq

Menurut pendapat Qasim Amin, praktek perkawinan dan perceraian yang

terjadi di kalangan masyarakat Mesir pada masanya, terdapat unsur

penghinaan dan perendahan martabat kaum wanita. Wanita diperlakukan tak

lebih dari objek yang tidak mempunyai hak untuk memilih calon jodohnya

dan dengan cara sewenang wenang dapat diceraikan oleh suaminya melalui

talak. Wanita dipandang sebagai alat pemuas seks semata dalam suatu

perkawinan. Di dalam buku-buku Fiqih, perkawinan didefinisikan sebagai

satu akad yang menyebabkan seseorang lelaki menguasai kehormatan wanita.

Definisi ini, dinilai Qasim Amin tidak memperlihatkan adanya kewajiban

kedua belah pihak dan tidak sesuai dengan penegasan al-Qur’an dalam surah

Page 108: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

101

al-Rum ayat 21 yang menempatkan perkawinan sakinah (ketenangan batin),

mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Penegasan ini nampaknya

telah dirubah oleh ulama fikih sebagai alat bersenang-senang kaum lelaki

(Amin, 1978:139). Oleh karena itu, maka untuk terjalinnya suatu mawaddah

dan rahmah sehingga menimbulkan sakinah, lelaki dan wanita yang akan

melakukan akad nikah dibenarkan untuk saling mengenal.

Di sini terlihat betapa seriusnya Qasim Amin untuk mengangkat derajat

kaum wanita dari hanya sekedar objek menjadi setara dengan derajat kaum

lelaki sebagai subjek. Ia tidak dapat menerima perkawinan yang dilaksanakan

tanpa proses perkenalan lebih dahulu walaupun dalam waktu singkat. Sulit

bagi seorang pria dan wanita yang sehat akalnya akan dapat hidup bersama

dengan bergaul dengan baik bila tidak saling mengenal sebelumnya. Pria

zaman now, tidak mau kawin dengan wanita yang tak dilihatnya. Mereka

ingin isteri yang mencintai dan dicintainya bukan pelayan wanita yang

melayani kebutuhannya (Amin, 1978:147).

Perkawinan poligami, menurut Qasim Amin berasal dari adat istiadat

kuno yang tersebar di masa lahirnya Islam dari berbagai penjuru dunia ketika

kaum wanita dianggap sebagai makhluk antara manusia dan binatang (Amin

1978: p. 148). Poligami merupakan bentuk penghinaan besar terhadap wanita.

Karena tak seorangpun lelaki yang rela dimadu. Betapapun keadaannya,

seorang wanita yang menghormati dirinya akan merasa pedih hatinya bila

melihat suaminya kawin dengan wanita lain. Ia merasa pedih karena

tempatnya yang masih tersisa telah runtuh dan tidak ada harapan baginya

untuk menegakkan kembali kedudukan yang terhormati itu (Amin, 1978:

149).

Qasim Amin menginginkan adanya pembatas yang ketat dalam poligami,

yaitu hanya dibolehkan dalam hal-hal yang sangat mendesak seperti isteri

sakit berkepanjangan sehingga tak dapat melayani kebutuhan biologis suami

atau bila isteri mandul sehingga keinginan kebanyakan suami untuk

mendapatkan turunan tak terpenuhi (Amin 1078: p. 152-153). Sungguhpun

demikian, Qasim Amin tidak senang juga bila suami dengan alasan tersebut

kawin lagi dengan wanita lain, karena hal itu bukan kesalahan isteri.

Sepatutnya suami turut merasakan penderitaan dan kesedihan isterinya (Amin

1978: p. 153). Hanya dua alasan itulah yang dibenarkan Qasim Amin untuk

diperbolehkan berpoligami, sedang alasan-alasan lain merupakan alasan

untuk memenuhi syahwat hayawaniyah (Amin 1978: p. 153). Mengenai ayat

yang membolehkan poligami, menurut Qasim Amin, mengandung kebolehan

dan larangan, boleh jika sanggup berlaku adil, dilarang jika tak sanggup

berlaku adil. Pendapat seperti ini telah lebih dahulu dikemukakan oleh al-

Page 109: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

102

Tahtawi dan Muhammad Abduh (Hourani 1962 p. 166). Jadi ia mengikuti

pendapat kedua pendahulunya.

Mengenai hal talaq, Qasim Amin mengemukakan perlunya diadakan

pembatasan yang ketat dalam penggunaannya oleh suami, sesuai dengan

ketentuan agama yang hanya membolehkan menjatuhkan talaq bila sudah

tidak mungkin lagi hidup rukun antara suami-isteri. Ia mengecam kebiasaan

mentalaq isteri secara sewenang-wenang tanpa suatu alasan yang dibenarkan

agama. Ia merasa prihatin melihat banyaknya perceraian yang terjadi di

Mesir seperti terjadi pada tahun 1898 dimana dari 12.000 perkawinan terjadi

3.300 perceraian (Amin 1298 H sampai tahun 1315 H.). Ia meminta agar

perceraian diputuskan melalui proses peradilan, tidak cukup dengan ucapan

talaq dari suami yang kadangkala diucapkan tanpa pertimbangan. Bahkan ia

menginginkan agar isteri juga mendapat hak cerai bila merasa dianiaya atau

dapat perlakuan kekerasan oleh suami.

IV. Kesimpulan

Ide emansipasi wanita yang dicanangkan dan diperjuangkan dengan

serius oleh Qasim Amin, namun sementara bagi pihak lain dianggap

berbahaya dan dapat menyebarkan kemorosatan akhlak di tengah masyarakat

dan melemahkan bangsa Mesir. Tantangan terhadap ide ini, antara lain

datang dari Tal’t Harb, seorang tokoh nasionalis Mesir dan dari Mustafa

Kamil. Pemimpin nasionalis Mesir. Qasim Amin dituduh sebagai agen

imperialis Eropa yang ingin merusak persatuan nasional, karena ia bukan

orang Mesir asli.

Akan tetapi tidak kurang pula yang mendukungnya agar terus

memperjuangkan idenya itu, antara lain dari Muhammad Rasyid Ridha, dari

sastrawan seperi penya’ir Syauqi Bek dan dari kalangan wanita terpelajar. Ide

ini disambut mereka dengan gagap gempita karena sejalan dengan ajaran

Islam yang menghargai kedudukan wanita dan mensejajarkannya dengan

kaum lelaki.

Ide emansipasi Qasim Amin ini akhirnya diterima dan dilaksanakan

dalam kehidupan wanita Mesir, yaitu :

1. Dilarangnya pemakaian cadar sejak tahun 1922.

2. Lahirnya organisasi wanita Mesir, “Jam’iyat al-Ittihad al-Nisa’I

al-Misri” pada tahun 1923, dibawah pimpinan Huda Sya’rawi.

3. Dibukanya sekolah menengah untuk anak-anak wanita sejak tahun

1925 yang kemudian terus berkembang sampai ke tingkat

perguruan tinggi.

Page 110: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

103

MUSTAFA KAMIL: NASIONALISME MESIR

Oleh

Afifi Fauzi Abbas

A. Riwayat Hidup Mustafa Kamil

Mustafa Kamil dilahirkan di Kairo pada tanggal 14 Agustus 1874 dan

meninggal pada tahun 1908. Kedua orangtuanya tergolong sebagai keluarga

terpelajar, ayahnya seorang ahli mesin. Mustafa Kamil merupakan produk

dari pendidikan modern yang telah dirintis oleh Moh. Ali Pasya. Ia masuk

sekolah hukum pada tahun 1891, dan pada tahun berikutnya 1892, bersamaan

dengan dibukanya Sekolah Hukum Perancis di Kairo, Mustafa Kamil masuk

ke sekolah ini. Kemudian Mustafa Kamil melanjutkan studinya ke Perancis

dan pada tahun 1894 ia memperoleh gelar licence dalam bidang hukum dari

Universitas Taulouse.

Sifat kepemimpinanya sudah terlihat sejak ia masih menjadi mahasiswa.

Sepulangnya dari Perancis pada tahun 1894 ia mendirikan Hizb-al-Wathan

(Partai Nasional). Dia pernah meminpin demonstrasi ke kantor surat kabar

harian Al-Muqattan, untuk memprotes sikap pimpinan harian ini yang

mendukung police Cromer, wakil Inggris di Mesir. Surat kabar tersebut

didirikan oleh orang Kristen Libanon, Nimer dan Sarrouf.

Untuk mengantisipasi berita dari al-Muqattan orang-orang Mesir

menerbitkan pula surat kabar, antara lain al-Mu’ayyad yang diterbitkan al-

Liwa. Al-Liwa diterbitkan dalam dua bentuk, dalam bentuk surat kabar

harian, diterbitkan pada tahun 1900 dan dalam bentuk majalah kuartalan

diterbitkan pada tahun 1902. Surat kabar al-Liwa juga diterbitkan dalam edisi

Inggris dan Perancis. Sirkulasi surat kabar ini cukup luas untuk ukuran Mesir

saat itu. Oplahnya mencapai 10.000 eksemplar atau 20.000 eksemplar dengan

edisi Inggris dan Perancis.

Kemahiran Mustafa Kamil dalam bidang jurnalistik dipupuknya lewat

persahabatan yang dalam dengan seorang jurnalis Perancis bernama Juliette

Adam.

Page 111: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

104

Pada tahun 1904 Sultan Abdul Hamid II memberikan gelar Pasya kepada

Mustafa Kamil, berkat dukungan yang diberikannya kepada kebijaksanaan

Turki tentang Pan-Islamisme. Dukungan tersebut dimanifestasikan dengan

mendukung rencana pembangunan jalan kereta api di Hejaz.

Ketika Khedewi Abbas II mengadakan pendekatan dengan Inggris

terutama ketika Cromer diberhentikan dan digantikan oleh Grost. Mustafa

Kamil melancarkan sikap oposisi dan membangkitkan sentimen nasional

rakyat Mesir. Hal ini terutama semakin berkobar ketika terjadi peristiwa

Danishway, 3 Juni 1906, di mana Inggris menginjak-injak hak-hak rakyat

Mesir. Sikap Inggris ini mendapat dukungan dari Khedewi Abbas II.

Peristiwa Danishway ini adalah bentrokan yang terjadi antara penduduk

desa Denishway dekat delta Nil dengan sekelompok serdadu Inggris yang

sedang berburu/menembak burung di sana. Perburuan serdadu-serdadu

Inggris ini suatu ketika menegenai seorang wanita desa Denishway. Para

petani desa tersebut menuntut balas dengan memukuli serdadu-serdadu

Inggris tersebut. Dalam peristiwa tersebut salah seorang serdadu Inggris mati

terbunuh ketika hendak berusaha melarikan diri. Cromer yang menjadi wakil

Inggris di Mesir memerintahkan untuk menghukum petani desa tersebut

tanpa ampun. Empat orang di antaranya dihukum gantung di depan umum

(tanggal 28 Juni 1906) dan tujuh orang dicambuk untuk kemudian

dimasukkan ke penjara.

Peristiwa ini menimbulkan kegoncangan kedudukan Inggris di Mesir.

Protes-protes bermunculan di mana-mana, terutama yang dipimpin oleh

Mustafa Kamil, sehingga memaksa Perdana Menteri Inggris Sir Campbell

Bannerman memerintahkan Cromer untuk mundur, dan menggantikannya

dengan Sir Eldon Grost. Peristiwa ini oleh Qasim Amin dinilai sebagai

pukulan bagi rakyat Mesir.

Mustafa Kamil meninggal dalam usia yang amat muda, yaitu 34 tahun. Ia

meninggal pada tanggal 10 Februari 1908 akibat dari penyakit ringan yang

dideritanya. Kematiannya meninggalkan bekas yang mendalam bagi rakyat

Mesir, sehingga gagasannya tentang nasionalisme Mesir akan tetap dikenang

oleh rakyat Mesir sepanjang zaman.

B. Nasionalisme Mesir

Konsep tentang tanah air (wathan) dan rasa cinta kepada tanah air

(patriotisme-wathaniyyah), yang berujung pada rasa kebangsaan Mesir yang

benihnya sudah mulai ditabur oleh al-Tahtawi. Tahtawi agaknya orang yang

Page 112: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

105

pertama yang mengenalkan kedua konsep tersebut ke dalam dunia Islam.

Ikatan yang berdasarkan persaudaraan setanah air inilah yang kemudian

melahirkan nasionalisme yang menjadi dasar berdirinya negara-negara Islam.

Gerakan kebangsaan Mesir ini semakin tumbuh dan berkembang akibat

terlalu jauhnya campur tangan orang-orang Eropa (Inggris dan Perancis)

dalam kehidupan politik dan keuangan Mesir . Hal ini dimanfaatkan oleh

Mustafa Kamil dan Saad Zaghlul untuk membangkitkan perasaan dan

kesadaran kebansaan rakyat Mesir. Zaghlul berjuang dalam kegiatan politik

praktis, sedangkan Kamil muda yang masih energik menampilkan

nasionalisme Mesir lewat pidato dan tulisan-tulisannya. Ini dimaksudkan

oleh Kamil agar bangsa Mesir dapat membebaskan dirinya dari kekuasaan

Inggris.

Patriotisme Mesir mempunyai arti sebagai upaya menyadarkan bangsa

Mesir sebagai suatu bangsa yang mandiri, bebas dari kekuasaan asing. Ide ini

dikembangkan oleh Kamil ketika ia menyaksikan Mesir berada di bawah

kekuasaan dan kontrol Inggris, meskipun dalam struktur pemerintahan Mesir

ada raja, ada badan perwakilan dan ada kabinet, akan tetapi hakikatnya

pemerintahan diatur dan dikendalikan oleh Inggris.

Mustafa Kamil tidak puas dengan keadaan ini. Bagi Kamil

kebudayaan Mesir tidak akan dapat bertahan lama pada waktu yang akan

datang, kecuali apabila dia berdiri atas usaha bangsa Mesir sendiri, dan

apabila orang Mesir menyadari bahwa manusia mempunyai hak moril untuk

hidup secara wajar, maka mencintai tanah air adalah suatu perasaan batin

yang sangat luhur. Bangsa yang tidak merdeka mengatur dirinya sendiri, pada

hakikatnya bangsa itu tidak ada di bumi ini. Cinta tanah airlah yang

mendorong suatu bangsa untuk dapat menuju puncak kemajuan dan

kemulian.

Mustafa Kamil mempunyai semboyan : “ Bangsa Mesir untuk Mesir dan

Mesir untuk bangsa Mesir”. Yang dituntut Kamil adalah kemerdekaan Mesir

dari kekuasaan asing. Mesir tidak akan mencapai kemajaun sesuai dengan

yang diinginkan manakala Mesir tidak dapat melepaskan diri dari

cengkeraman Inggris. Oleh karena itu menurut Kamil semua orang Mesir

berkewajiban memperjuangkan dan membebaskan tanah airnya dari

kekuasaan asing. Hal ini baru dapat tercapai apabila rakyat Mesir bersatu.

Persatuan dapat dibangun atas perasaan ikut memiliki Mesir dan ikut

bertanggung jawab terhadapnya dengan dasar setanah air. Jiwa patriotik

(wathaniyyah) adalah rahasia kekuatan orang Eropa dan menjadi dasar bagi

Page 113: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

106

kebudayaan mereka. Perasaan itu bukan berdasarkan bahasa, agama ataupun

kedudukan dalam ikatan wathaniyyah, akan tetapi tekanannya adalah pada

negeri tumpah darah Mesir.

Lebih lanjut Kamil mengungkapkan bahwa antara agama dan kehidupan

kebangsaan (nasionalisme) dapat berdampingan dan tidak akan menimbulkan

konflik, apabila disadari bahwa agama yang benar akan mengajarkan

patriotisme yang benar pula. Fokus utama pemikiran Kamil bukan Islam dan

bukan pula ummat, akan tetapi adalah negeri Mesir. Gejolak semangatnya ini

terpantul di antara pidatonya tentang Mesir sebagai berikut ;

“ Negeriku, oh negeriku, bagimu cinta dan kasihku.

Bagimu hidup dan keberadaanku. Bagimu jiwa dan darhku.

Bagimu fikiran dan ucapanku. Engkau . . . . engkaulah Mesir

hidup itu sendiri.

Dan tiada kehidupan kecuali dalam dirimu”.

Meskipun demikian bagi Kamil Islam tetap dipandang penting karena ia

merupakan agama rakyat Mesir, namun berada di bawah status aspek

kebudayaan nasional.

Esensi dari pemikiran Kamil adalah Mesirisme, suatu doktrin yang

menuntut pengabdian tanpa akhir terhadap keberlangsungan kebudayaan dan

tanah air Mesir. Pemikiran Kamil ini mendapat sambutan terutama ketika ia

pada tahun 1907 tampil sebagai tokoh dominan pada “Partai Nasional” dan

berhasil menghimpun pendukung penting dari kalangan mahasiswa dan

massa perkotaan.

Ide nasionalisme Kamil ini adalah suatu lompatan pemikiran yang jauh

pada waktu itu, sebab dunia Islam masih dilingkupi oleh pemikiran al-Jamiah

al-Islamiyah al-Afghani. Bagaimanapun konsep Afghani sehingga ia

mendapat kecaman dari pendukung-pendukung Abduh.

Sebagai konsekuensi idealismenya, Kamil menghendaki agar campur

tangan asing (Inggris) di Mesir suapaya segera diakhiri. Kamil menyadari

bahwa dengan bercokolnya Inggris dalam pemerintahan Mesir akan

menunjukkan bahwa Mesir belum mampu mengatur sendiri. Dalam

menyerukan pengusiran Inggris Kamil tidak mau minta belas kasihan pada

orang lain, namun secara praktis Kamil tidak mau menggerakan perjuangan

bersenjata, karena ia menyadari bahwa itu hanya akan merugikan diri dan

pengikutnya. Jadi Kamil tidak memobilisasi rakyat untuk melakukan

pemberontakan fisik, tapi hanya menganjurkan pemogokan umum.

Page 114: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

107

Disamping itu untuk menyebarkan faham nasionalismenya, Kamil tidak

lupa memperhatikan dunia pendidikan. Ia memperhatikan pendidikan bagi

generasi muda disekolah-sekolah dan kursus-kursus untuk menanamkan

kesadaran nasional. Kamil menanamkan kesadaran nasional terutama

patriotisme kepada masyarakat luas lewat perkumpulan-perkumpulan massa

yang terorganisir. Pendidikan dan kesadaran politik juga ia hembuskan

kepada kaum intelektual lewat al-Liwa.

Al-Liwa berfungsi sebagai alat penyebar ide-ide nasionalisme Partai

Nasional mendapat sambutan dari masyarakat, sehingga oplahnya dari waktu

ke waktu semakin besar jumlahnya. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat

Mesir sedang bergelora hatinya menuntut kemerdekaan, menentang

penjajahan dan ingin berdiri sendiri. Jadi Kamil mempunyai peran dana andil

yang cuckup besar dalam membentuk kesadaran berbangsa bagi rakyat

Mesir. Kesadaran bahwa Mesir adalah untuk bangsa Mesir dan bangsa Mesir

adalah untuk Mesir. Bangsa Mesir harus memegang kekuasaan di negerinya

sendiri. Kekuatan asing harus dilenyapkan dari Mesir. Untuk itu rakyat Mesir

harus bersatu tanpa harus membedakan agama, bahasa maupun asal muasal

masing-masing.

Disamping kegiatannya mengobarkan semangat cinta tanah air, Kamil

juga melahirkan gagasan-gagasan baru yang membawa kepada kemajuan

bangsa Mesir. Gagasan-gagasan itu antara lain adalahMesir perlu mengambil

apa yang berharga dari peradaban Barat, tetapi Mesir harus selektif dalam

menapaki jejak Barat tanpa harus melupakan prinsip Islam yang

diinterprestasikan secara benar. Bagi Kamil, Islam pada hakikatnya adalah

patriotisme, keadilan, perjuangan, persatuan, persamaan, dan toleransi. Ini

dapat dijadikan basis untuk membentuk cara kehidupan Islam yang

mengambil kekuatannya dari ilmu pengetahuan dan pemikiran yang luas dan

tinggi.

Meskipun mungkin banyak lagi yang dapat diperbuat oleh Kamil, namun

ia harus berhenti, karena ia keburu meninggal dunia dalam usia yang relatif

muda. Setelah kematiannya Saad Zaghlul tampil sebagai pemimpin

pergerakan nasional dan berhasil mendapat dukungan dari rakyat dan

membawa kemerdekaan bagi Mesir.

C. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa

konsep nasionalisme Mesir yang dicetuskan oleh Mustafa Kamil merupakan

ide baru bagi masyarakat Mesir pada waktu itu. Kalau Tahtawi dan

Page 115: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

108

Jamaluddin al-Afghani baru mencetuskan patriotisme, maka Kamil

mencetuskan nasionalisme Mesir. Nasionalisme yang dimaksud ialah faham

kebangsaan yang didasarkan atas kesatuan dan cinta tanah air, Nasionalisme

tidak disebabkan oleh bahasa, agama maupun status, ia pada prinsipnya

meliputi bagi semua orang yang hidup di tanah Mesir.

Bagi Kamil agama dan faham kebangsaan tetap dapat berdampingan,

karena menurut dia agama yang benar maupun kebangsaan yang benar sama-

sama mengajarkan patriotisme yang benar pula.

Meskipun Kamil anti kekuasaan asing, baginya upaya untuk mengusir

kekuatan asing dari Mesir, tidaklah mesti dengan perjuangan fisik/senjata,

tetapi dengan menyebarkan faham kebangsaan dan cinta tanah air kepada

seluruh rakyat Mesir. Dalam perjuangannya Kamil juga tidak berdiri dalam

kalangan elite pemerintahan seperti halnya Saad Zaghlul. Doktrin Mesirisme

Kamil pada dasarnya adalah akibat pengaruh dari produk pendidikan Barat

yang pernah ia peroleh di Perancis. Ia agak longgar terhadap ajaran Islam,

karena menurut pengamatannya, bagi Mesir masalah akidah tidak lagi

menjadi masalah. Akibatnya membuat ia tersesat ke dalam orbit pemikiran

Barat. Pengaruh Barat yang paling penting terhadap nasionalisme Mesir

adalah loyalitas dan prioritas baru yang disuntikan ke dalam kehidupan

rakyat Mesir. Cita pembentukan kekhalifahan sebagai media pengendali

ummat di bawah kendali Syariah, diganti dengan patriotisme regional, di

mana kemerdekaan tanah air dan institusi konstitusionalisme Barat liberal

menjadi sasaran utama.

Ini adalah wajar karena nasionalisme merupakan tema politik dominan di

Eropa di akhir abad XIX, dan sangatlah alamiah jika Kamil juga berupaya

mengembangkan Mesir dalam versi serupa, apalagi Mesir pada waktu itu

berada di bawah pendudukan Inggris.

Page 116: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

109

ALI ABD RAZIQ: KONTROVERSI SISTEM POLITIK KHILAFAH

Oleh

Najmudin Zuhdi

A. PENDAHULUAN

Rasulullah wafat pada tanggal 8 Juni 632 setelah menderita sakit kurang

lebih empat malam. Tak ada bukti yang kuat yang menunjukkan bahwa

beliau telah mempertimbangkan cara yang harus digunakan untuk

melanjutkan pemerintahannya setelah beliau wafat.

Setelah terjadi perdebatan yang seru, akhirnya ummat Islam memilih Abu

Bakar sebagai pemimpin mereka. Seusai dibaiat, Abu Bakar menyandang

gelar Khalifat Rasulullah. Saat itulah gelar Khalifah untuk pertama kali

dipakai oleh pemimpin tertinggi di kalangan ummat Islam dan dilestarikan

penggunanya sampai abad kedua puluh.

Sistem Khilafah mengalami kegoncangan saat Bagdad dihancurkan oleh

pasukan tentara dari Mongol yang dipimpim oleh Hulagu para tahun 1258,

untung saat itu dinasti Mamluk berhasil menyelamatkannya. Pada masa

kerjaan Usmani mencapai kejayaannya dan menjadi negara adi kuasa, sistem

khilafah mengalami jaya kembali, tetapi pada tahun 1924 sistem tersebut

sirna di muka bumi ini karena dihapuskan oleh Mustafa Kamal Atarturk.

Penghapusan khilafah di Turki tersebut menimbulkan pro dan kontra,

khsususnya di kalangan ulama Mesir dan di dunia Islam pada umumnya,

karena kebanyakan mereka menganggap bahwa sistem khilafah itu

merupakan ajaran agama. Oleh karena itu penghapusannya bertentangan

dengan ajaran agama Islam.

Ali Abd Raziq salah seorang ulama Mesir pada waktu itu berpendapat

lain, sistem khilafah itu bukan berasal dari agama dan tidak disinggung dalam

al-Qur’an maupun Hadis. Oleh karena itu dalam ajaran Islam tidak terdapat

ketentuan-ketentuan tentang corak pemerintahan. Nabi hanya memperoleh

tugas kerasulan dan dalam misinya tidak termasuk tugas pembentukan

negara. Abu Bakar yang dilantik setelah nabi wafat tidak mempunyai tugas

keagamaan, dia hanyalah kepala negara bukan kepala agama demikian pula

Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affam dan Ali.

Page 117: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

110

Soal corak dan bentuk pemerintahan bukanlah soal agama tetapi termasuk

soal duniawi dan diserahkan sepenuhnya kepada akal manusia untuk

menentukannya. Oleh karena itu tindakan Mustafa Kamal dalam

penghapusan khilafah bukanlah suatu tindakan yang bertentangan dengan

ajaran agama Islam.

B. RIWAYAT HIDUP ALI ABD RAZIQ

Ali Ibn Raziq dilahirkan di pedalaman propinsi Menia Mesir pada tahun

1888 dan dari keluarga yang kaya raya dan aktif dalam kegiatan politik

ayahnya bernama Hasan Abd Raziq. Ayahnya seorang pasya besar yang

mempunyai pengaruh besar di kalangan masyarakatnya.

Hasan Abd Raziq berkecimpung dalam dunia politik bahkan dia pernah

menjadi wakil ketua Hizb al-Ummah pada tahun 1907. Setelah revolusi tahun

1919, dibentuklah partai politik baru yang bernama Hizb al-Ahram al-

Dusturiyah, yang merupakan kelanjutan dari Partai Rakyat dan mempunyai

hubungan erat dengan Inggris. Pada waktu itu dia menjadi pejabat pada

kantor Sultan Husain yang merupakan agen Inggris pada masa perang dunia

ke-1. Pada tahun 1922 Hasan terbunuh ketika keluar dari rapat partai.

Ali Abd Raziq mempunyai saudara yang lain bernama Musthafa Abd

Raziq, kedua-duanya belajar di perguruan al-Azhar. Setelah menamatkan

perguruan tersebut, Musthafa Abd Raziq melanjutkan studinya ke Paris dan

pada tahun 1945 – 1947 diangkat menjadi rektor al-Azhar. Sedangkan Ali

Abd Raziq selain belajar di al-Azhar juga belajar di al-Jami’ah al-Mishriyyah

untuk memperluas ilmunya. Pada tahun 1911 dia lulus dari al-Azhar dan

setahun kemudian diangkat menjadi pengajar di almamaternya dalam mata

kuliah Retorika dan Bahasa Arab. Pada tahun 1912 dia berangkat ke Inggris

untuk melanjutkan studinya di Universitas Oxford. Di tempat ini Ali Abd

Raziq mendalami ilmunya di bidang ekonomi dan politik. Setelah belajar

selama satu tahun. Ali Abd Raziq pulang ke Mesir karena saat itu sedang

terjadi Perang Dunia I, meskipun studinya belum selesai.

Pada tahun 1915 Ali Abd Raziq memangku jabatannya yang pertama

sebagai Hakim pada Mahkamah Syar’iah di Mesir, mula-mula di Alexandria

kemudian pindah ke propinsi lainnya. Selama di Alexandria dia memberikan

perkuliahan di masjid dalam mata kuliah Sejarah dan Bahasa Arab. Pada

waktu itulah Ali Abd Raziq mengadakan penelitian dan hasil penelitiannya

dibukukan dalam bukunya al-Islam wa Ushlul al-Hukm, yang terbit terbit

pada tahun 1925.

Page 118: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

111

C. ALI ABD RAZIQ DAN SISTEM KHILAFAH

Khilafah secara bahasa merupakan mashdar dari kata ختلف. Seorang

dikatakan menggantikan orang lain apabila dia melaksanakan fungsi yang

telah diberikan orang itu kepadanya baik bersama-sama orang tersebut atau

sesudahnya. Jadi khilafah berarti menggantikan orang lain baik karena yang

digantikan itu meninggal dunia, tidak mampu melaksanakan tugas, atau

alasan-alasan lain. Adapun arti khilafah yang berlaku di kalangan kamu

muslimin yaitu kepemimpinan yang menyeluruh dalam persoalan yang

berkenaan dengan masalah keagamaan dan duniawi sebagaimana fungsi

Rasulullah.

Atas dasar definisi ini Abu Bakar yang dibaiat oleh kaum muslimin

sepeninggal Rasulullah diberi gelar khalifat Rasulullah. Gelar ini memiliki

wibawa, kekuatan dan pesona yang hebat dapat mendorong kaum muslimin

untuk tunduk kepadanya dalam bentuk keagamaan sebagaimana tunduk

mereka kepada Nabi. Kaum muslimin berusaha pula untuk mempertahankan

kekuasaan Abu Bakar sebagaimana yang mereka lakukan terhadap apa yang

akan menjatuhkan agama mereka.

Sementara itu Ibn Khaldun mengatakan bahwa khilafah merupakan

tanggung jawab umum yang sesuai dengan syariat Islam dengan tujuan

menciptakan kemaslahatan hidup ummat manusia di dunia ini dan di akhirat

kelak.

Sistem khilafah menurut para ulama wajib hukumnya dan sebagai

konsekuensinya berdosalah seluruh kaum muslimin apabila sistem tersebut

tidak diwujudkan. Meskipun banyak di antara mereka bersepakat atas

wajibnya sistem khilafah tapi mereka berselisih tentang dasar yang

mewajibkannya, di antaranya yaitu :

a. Wajibnya khilafah itu didasarkan atas ijma’ sahabat dan Tabi’in.

Setelah Rasullah meninggal, para sahabat memberikan baiatnya kepada Abu

Bakar dan mempercayakan semua urusan dan persoalannya kepada Abu

Bakar. Demikian pula yang terjadi pada masa-masa berikutnya, dan ummat

Islam tidak dibiarkan sesaat pun dalam keadaan kacau balau tanpa seorang

pemimpin dan dengan dasar ini pula mereka jadikan dasar atas wajibnya

sistem tersebut.

b. Adanya sistem khilafah itu sesuai dengan nash-nash ajaran agama

Islam, karena perintah amar ma’ruf dan nahy munkar yang wajib hukumnya

itu tidak dapat terlaksana dengan baik kecuali bila ada seorang pemimpin

atau khalifah. Bila tidak ada yang menduduki jabatan tersebut ummat tidak

Page 119: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

112

mungkin dapat diorganisir bahkan akan muncul pertentangan, kezhaliman

meraja lela, sikap bermusuhan sulit dihentikan, dan lain-lain. Oleh karena itu

tidak diragukan lagi wajibnya sistem khilafah.

c. Sementara itu sebagian ulama’ termasuk di dalamnya Rasyid Rida

menyatakan bahwa mendirikan khilafah itu merupakan keharusan agama

yang didasarkan atas ayat-ayat al-Qur’an seperti :

آمنوا أطيعوا اهلل وأطيعوا الرسول واوىل األمر منكمياأيها الذين Artinya :

Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasulnya dan ulil amri

di antara kamu.

واذا جآءهم أمر من األمن او اخلوف أذا عوابه ولوردوه اىل اوىل األمر منهم لعلمه الذين يستبطونه منهم

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun

ketakutan mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya

kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah mereka yang ingin

mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari Rasul dan Ulil

Amri.

Mengajak kebaikan dan melarang kemungkaran adalah wajib

hukumnya. Kewajiban ini tidak akan terlaksana dengan baik kecuali bila

disana ada pemimpin atau khalifah yang menanganinya.

d. Para ulama’ Mu’tazilah dan Khawarij berpendapat bahwa ummat

Islam tidak harus membentuk khilafah. Tugas khilafah adalah menegakkan

pelaksanaan hukum dan peraturan Syariat. Kalau Syariat sudah dapat

terlaksana dengan baik begitu pula keadilan, maka tidak diperlukan lagi

seorang khalifah.

Para ulama juga membicarakan perihal kedudukan khalifah, mereka

berpendapat bahwa khalifah, mereka berpendapat bahwa khalifah itu adalah

pengganti Nabi yang di waktu hidupnya menangani masalah-masalah

keagamaan yang diterima dari Allah. Setelah Nabi meninggal, para sahabat

Nabi menjadi penggantinya dalam memelihara kelestarian ajaran agama dan

mengurus persoalan duniawi. Mereka juga menambahkan bahwa kedudukan

khalifah di hadapan ummatnya sama dengan para rasul di tengah-tengah

Page 120: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

113

kaumnya. Khalifah memiliki kekuasaan yang menyeluruh, hak untuk ditaati,

wewenang untuk mengurus persoalan agama dengan demikian dia harus

melaksanakan fungsinya di tengah-tengah ummatnya dalam batas-batas yang

ditetapkan oleh agama. Khalifah juga memiliki hak untuk mengatur

persoalan-persoalan yang berkenaan dengan urusan duniawi mereka, oleh

karena itu ummat wajib menghormatinya dan mematuhi segala perintahnya.

Disamping itu mereka juga berpendapat bahwa khalifah itu memperoleh

kedaulatan dan kekuasaannya dari Allah bahkan mereka berpendapat bahwa

khalifah itu adalah bayangan Allah. Dalam hal ini khalifah Ja’far al-Manshur

sendiri mengagap dirinya sebagai sultan Allah di muka bumi ini. Pendapat ini

tersebar luas dan sering mereka lontarkan dalam ucapan syair-syair mereka

yang isinya dapat ditangkap bahwa Allah yang menjatuhkan pilihannya

terhadap seorang khalifah dan Dia-lah memberikan wewenang kekhalifahan

kepadanya, seperti :

من أمة إصالحها ورشادها# لقد أراد اهلل اذ والكها Allah telah memilihmu saat Dia memberimu kuasa untuk mengatur ummat

dan memberi mereka bimbingan.

اهلل لناس والذى به يتجلى عن كل أرض ظالمها هشام خيارHisyam pilihan Allah untuk manusia yang dengannya sirnalah kegelapan

yang menutupi bumi.

مساء برجى للمحمول غمامها# وأنت هلذا الناس بعد نبيهم Kaulah Hisyam penguasa mereka sesudah Nabi, tumpuan harapan untuk

melenyapkan awan.

Setelah mengemukakan pendapat para ulama tentang khilafah, Ali

Abd Raziq mulai mengemukakan pendapat-pendapatnya sendiri, yaitu

Khilafah ialah salah satu pola pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi dan

mutlak berada pada sorang kepala Negara atau pemerintahan dengan gelar

khalifah, pengganti Nabi dengan kewenangan untuk mengatur kehidupan dan

urusan ummat baik keagamaan maupun keduniaan yang hukumnya wajib

bagi ummat untuk taat dan patuh sepenuhnya.

Page 121: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

114

Seperti disinggung sebelumnya bahwa mendirikan kekhilafahan bagi

para ulama pada umumnya wajib hukumnya dan bila tidak ditegakkan ummat

menjadi dosa. Pernyataan tersebut oleh Ali Abd Raziq ditolak dengan

menyatakan bahwa pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah tidak terjadi

atas dasar ijma’ karena tidak semua sahabat ikut memberikan baiatnya. Di

antara sahabat yang tidak ikut memberikan baiatnya ialah Ali Ibn Abi Thalib

dan Saad Ibn Abi Ubadah.

Bila melihat sejarah, kita akan mengetahui bahwa sistem khilafah ini

menimbulkan perpecahan di kalangan mereka. Hal tersebut terbukti saat

kaum muslimin memerintah berbagai daerah yang mereka taklukkan, kaum

Anshar berkata kepada Muhajirin: “Sebaiknya kami mempunyai seorang

pemimpin sendiri begitu pula kalian”. Abu Bakar menjawab dengan tegas:

“Kamilah yang menjadi pimpinan, sedangkan kalian dari Anshar menjadi

pembantu kami “.

Selanjutnya Ali Abd Raziq menyatakan bahwa Yazid Ibn Mu’awiyah

karena kecintaannya terhadap jabatan khilafah, gairah yang tinggi, dan

tersedianya kekuatan yang besar menyebabkan dia menghalalkan tumpahnya

darah Husain Ibn Ali Ibn Abi Thalib dan memporak porandakan kota

Medinah. Malik Ibn Marwan yang berani menghancurkan Ka’bah karena

kecintaannya pada khilafah. Begitu pula Abu Abbas al-Saffah yang berubah

menjadi seorang yang haus darah karena cintanya kepada jabatan khilafah,

padahal darah yang ditumpahkan itu adalah darah kaum muslimin dari Bani

Umayyah,dan juga para khalifah lainnya dari berbagai dinasti.

Disamping itu Ali Abd Raziq juga berpendapat bahwa adanya sistem

khilafah itu tidak memiliki landasan yang kuat dari al-Qur’an, untuk

menguatkan pendapatnya ini dia mengemukakan alasan bahwa al-Qur’an

sama sekali tidak menyebutkan sistem khilafah dengan pengertian khusus

yang dikenal dalam sejarah. Semua ayat yang dianggap sebagai dalil

pendukung sistem khilafah dalam kenyataannya tidaklah demikian. Ayat-ayat

tersebut hanya memerintahkan kaum muslimin agar taat pada Allah, Rasul,

dan para Ulil amri, seperti firman Allah :

أطيعوا اهلل وأطيعوا الرسول واوىل األمر منكم

Ayat ini tidaklah mengandung sesuatu yang dapat dijadikan pegangan

sebagai dalil untuk itu. Selanjutnya Ali Abd Raziq menyatakan bahwa Ulil

Amri yang tertera pada ayat tersebut telah mendorong para mufassir untuk

menafsirkan para pemimpin kaum muslimin pada masa Rasulullah dan masa-

Page 122: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

115

masa sesudahnya termasuk para khalifah, para panglima perang, dan para

ulama, tetapi baginya Ulil Amri berarti: para pembesar sahabat yang

memahami seluk-beluk persoalan ummat atau yang menjadi pemimpin

mereka. Disamping itu dia menambahkan bahwa ayat tersebut sama sekali

tidak mengandung dalil yang cocok untuk diterapkan pada wajibnya khilafah,

melainkan ayat tersebut menunjukkan adanya keharusan bagi kaum muslimin

untuk memiliki sekelompok orang yang dapat dijadikan tempat rujukan bagi

persoalan yang mereka hadapi dan makna yang demikian itu lebih umum dan

luas dari pada arti khilafah.

Adapun hadis-hadis yang dianggap sebagai dasar wajibnya khilafah

ialah :

األئمة من قريش Para imam itu dari kalangan Quraisy.

تلزم مجاعة املسلمني Tetaplah berada dalam jamaah kaum muslimin.

من مات وليس ىف عنقه بيعة فقد مات ميتة جاهلةBarang siapa mati dan tidak pernah berniat, maka ia mati dalam keadaan

jahiliyah.

من بايع إماما فأعطاه صفتة يده ومثرة قلبه فليطعه ان استطاع فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق اآلخر

Barang siapa yang telah memberikan baiatnya kepada seorang imam dengan

sepenuh hati maka hendaknya ia mentaati imamnya itu bila dia mampu, dan

bila ada orang lain yang menentangnya. maka bunuhlah dia.

ااقتدوا بالذين من بعدى اىب بكر وعمر اخلIkutilah para pemimpin sesudahku Abu Bakar, Umar dan lain-lain.

Page 123: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

116

Ali Abd Raziq berpendapat bahwa hadis-hadis yang dikemukakan di

atas tadi sama sekali tidak mengandung petunjuk yang dapat dijadikan

argumentasi bagi pendapat mereka yang menyatakan bahwa syariat mengakui

adanya khilafah atau imamah.

Selain itu Ali Abd Raziq juga berpendapat bahwa Muhammad itu

hanyalah seorang Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran-ajaran agama.

Dengan dakwahnya kepada bangsa Arab mereka dapat bersatu tidak berpecah

belah. Persatuan mereka bukanlah persatuan politik dan tidak pula

mempunyai arti kerajaan atau pemerintahan, tetapi itu adalah persatuan

keimanan atau keagamaan. Oleh karena itu baginya Risalah itu tidak sama

dengan pemerintahan.

Selanjutnya Ali Abd Raziq menyatakan bahwa Muhammad adalah

semata-mata seoarang utusan Allah untuk menempatkan agama Islam tanpa

maksud untuk mendirikan negara. Nabi tidak mempunyai kekuasaan duniawi,

negara, maupun pemerintah. Dia adalah nabi sebagaimana para nabi

sebelumnya.

Oleh karena itu sepeninggalnya berhentilah tugas kerasulannya dan

kepemimpinanya dan tak seorang pun yang berhak menggantikan tugas

beliau yaitu menegakkan Risalahnya. Ali Abd Raziq menambahkan bahwa

kepimpinan sesudah Nabi merupakan kepemimpinan dalam bentuk baru dan

tak ada hubungan sedikitpun dengan tugas kerasulan dan bukan pula untuk

memelihara agama. Karena itu kepemimpinan tersebut adalah kepemimpinan

duniawi yang bercorak kekuasaan dan pemerintahan bukan kepemimpinan

agama. Menurutnya, Abu Bakar adalah raja pertama dalam sejarah Islam.

Barangkali ada beberapa faktor yang mendorong masyarakat

melakukan kesalahan hingga mereka menganggap pemerintahan Abu Bakar

itu bercorak agama.

Abu Bakar memang mempunyai kedudukan istimewa di sisi Nabi dan

menjadi pengikutnya yang paling setia. Dengan seluruh kemampuan yang

dimilikinya dia menjalankan roda pemerintahannya sesuai dengan ajaran

Islam. Oleh karena itu tidak diragukan lagi ketika melaksanakan tugasnya

sebagai kepala Negara yang baru, Abu Bakar selalu berusaha mewarnai

semua kegiatannya dengan warna Islami.

Gelar Khalifat Rasullah dengan berbagai atributnya merupakan salah

satu sebab yang melahirkan kesalahan di kalangan ummat Islam hingga

Page 124: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

117

mereka mengkhayalkan bahwa kekhilafan itu merupakan sesuatu yang

berkaitan dengan agama dan orang yang diserahi mengurus persoalan ummat

Islam dianggap memiliki kedudukan yang sama dengan Rasullah. Sejak masa

permulaan Islam banyak di antara mereka yang meyakini bahwa khalifah itu

merupakan jabatan yang bercorak agama sebagai pengganti Rasulullah.

Mempulerkan kesalahan semacam ini di tengah-tengah masyarakat

merupakan sesuatu yang menguntungkan bagi para khalifah atau raja,

sehingga mereka dapat memanfaatkan agama sebagai perisai untuk menolak

berbagai ancaman dari para pemberontak. Mereka menanamkan konsep di

tengah-tengah masyarakat bahwa mentaati khalifah berarti mentaati Allah

dan ingkar kepadanya berarti mengingkari Allah.

Barangkali dari sini masalah khilafah mejadi bagian yang tak

terpisahkan dari akidah agama dan ummat Islam menempatkan khilafah

sebagai bahan kajian yang sejajar dengan sifat-sifat Allah dan sifat-sifat

Rasullah, bahkan konsep khilafah dianggap sebagai bagian dua kalimat

Syahadat.

Kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa Islam tidak mengenal

sistem khilafah seperti yang selama ini dikenal oleh ummat Islam di seluruh

dunia. Sistem khilafah sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran

agama Islam, demikian halnya dengan masalah-masalah yang berkenaan

dengan politik. Agama Islam tidak mengenal lembaga semacam itu tetapi

juga tidak menolak wujudnya. Agama tidak memerintahkan dan juga tidak

melarangnya, semua itu terserah kepada manusia untuk

mempertimbangkannya sebagaimana masalah-masalah lainnya, seperti

organisasi kemiliteran dalam Islam, pemerintah daerah, dan lain-lain.

Disamping itu di dalam Islam tidak terdapat larangan bagi ummatnya

untuk berlomba dengan bangsa-bangsa lain di berbagai hal seperti ilmu,

militer, politik dan lain-lain. Untuk itu mereka diberi hak untuk menolak

sistem khilafah yang telah usang dan yang menjadi sebab kemunduran

mereka dan mereka bebas memilih landasan dan sistem apapun bagi

pemerintahan mereka, yaitu sistem yang dianggap cocok melalui berbagai

pengalaman dari berbagai bangsa di seluruh dunia.

Buku al-Islam wa Ushul al-Hukm karangan Ali Abd Raziq

menimbulkan pro dan kontra di kalangan ualama pada waktu itu di antara

mereka yang pro kepadanya ialah Bahauddin, Husain Heikal, Mahmud Pasya

Abd Raziq dan lain-lain. Dari berbagai artikel mereka dapat disimpulkan

sebagai berikut :

Page 125: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

118

a. Mereka menetapkan bahwa Ali Abd Raziq adalah pahlawan

bangsa sebab dia menentang Inggris yang bermaksud menegakkan

kekhilafahan Islam di Mesir.

b. Mereka juga menetapkan bahwa Ali Abd Raziq adalah pahlawan

kemerdekaan, pejuang konstitusi, dan pejuang demokrasi, sebab

dia berani menentang raja Fuad yang saat itu berada dalam puncak

kekuasaan dan berambisi untuk menegakkan kembali

kekhilafahan di Mesir setelah dihapuskan di Turki pada tanggal 3

Maret 1924.

c. Mereka juga menetapkan Ali Abd Raziq adalah Imam mujtahid,

pemikir hebat, dan Pembaharu sebab dia berani menentang para

ulama al-Azhar melalui pandangan barunya yang ditulis dalam

bukunya yang menghebohkan itu. Buku tersebut dapat mendobrak

kejumudan ummat Islam, membuka pintu ijtihad, dan

mengobarkan revolusi intelektual yang pengaruhnya tersebar ke

berbagai negara Islam di seluruh dunia.

Adapun di antara ulama yang menentang buku Ali Abd Raziq

ialah Rasyid Ridha, Syeikh M. Syakir, Syeikh Bukhait, Yusuf al-

Dajwa dan lain-lain. Karena banyaknya ulama yang menentang

bukunya, akhirnya Ali Abd Raziq diajukan ke pengadilan

mahkamah dengan tuduhan sebagai berikut :

a. Menjadikan Syariat Islam sebagai syariat yang semata-mata

bercorak spriritual yang tidak memiliki kaitan dengan hukum

duniawi.

b. Jihad yang dilaksanakan oleh Rasulullah itu untuk

mempertahankan kekuasaanya dan tidak dalam rangka

keagamaan dan bukan pula untuk menyampaikan dakwah ke

seluruh alam.

c. Sistem pemerintahan periode Nabi adalah suatu hal yang

kabur penuh dengan hal-hal yang meragukan, dan kurang

informasi semuanya ini menimbulkan kebingunggan bagi

ummat Islam sepeninggalnya.

d. Tugas Rasul hanyab menyampaikan syariat tanpa ada

kaitannya sedikitpun dengan masalah pemerintahan maupun

pelaksanaannya.

e. Ali Abd Raziq mengingkari ijma’ para sahabat yang berkenan

dengan wajibnya jabatan khilafah.

f. Ali Abd Raziq mengingkari peradilan yang merupakan tugas

syari’ah.

g. Ali Abd Raziq beranggapan bahwa pemerintahan Abu Bakar

dan para khulafa’ al-Rasyidun lainnya tidak bercorak agama.

Page 126: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

119

Atas dasar tujuh tuduhan tersebut di atas, Ali Abd Raziq

dikeluarkan dari barisan ulama al-Azhar oleh Syeikh al-Azhar

yang didukung oleh 24 ulama besar lainnya. Bahkan ada beberapa

ulama seperti Rasyid Rida, M. Syakir, Yusuf al-Dajwa, dan M.

Bukhait menyatakan bahwa Ali Abd Raziq telah murtad dari

Islam.

D. KESIMPULAN

a. Ali Abd Raziq adalah seorang ulama Mesir yang belajar di Oxford

Inggris hingga beberapa pemikirannya dipengaruhi oleh Barat.

b. Yang mula-mula menggunakan gelar khalifah adalah Abu Bakar

tetapi pengangkatannya tidak didasarkan atas ijma’ sahabat, di

mana masih ada beberapa sahabat yang tidak mau membaitnya.

c. Gelar Khalifat Rasulullah menimbulkan kesalahan di kalangan

ummat Islam, mereka beranggapan bahwa khilafah itu bagian dari

agama dan tak dapat dipisahkan darinya, dan mereka wajib

menegakkannya.

d. Sistem Khilafah tidak mempunyai landasan dari al-Quran dan

Hadis, bentuk dan corak pemerintahan ummat Islam diserahkan

seluruhnya kepada mereka untuk menentukannya. bagi

e. Berdirinya beberapa negara republik di berbagai negara, sedikit

banyak dipengaruhi oleh idenya.

Page 127: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

120

NEO-MODERNISME ISLAM DAN ISLAM DI INDONESIA:

Mempertimbangkan Fazlur Rahman

Oleh

Ahmad Syafii Maarif*)

Pendahuluan

Dalam lingkungan sosio-relijius Pakistan yang telah melahirkan tokoh

pemikir seperti Iqbal, ternyata konflik pemikiran antara kelompok pembaharu

dan kaum tradisional, atau antara kaum tradisional dan pemerintah sangat

sulit untuk dijembatani. Ambillah misalnya keluarga berencana yang di

Indonesia tampaknya tidak banyak mendapat tentangan di Pakistan pada

tahun 1960-an, oposisi ulama terhadapnya begitu sengit dan keras. Fazlur

Rahman yang antara 1962-1968 menjadi Direktur Lembaga Pusat Riset Islam

yang dibentuk oleh Pemerintah Ayub Khan, pada tahun 1971 menulis tentang

ini sebagai berikut :

Beberapa minggu menjelang meledaknya agitasi dari khalayak ramai terhadap

rejim Ayub Khan pada musim'semi 1963, seorang alim dalam suatu konferensi

besar. ulama di Rawalpindi menyatakan bahwa para Fir'aun menurut Al-Qur’an

telah menghabisi anak laki-laki Yahudi di Mesir tetapi anak perempuannya

dibiarkan hidup, sementara orang-orang Arab pagan dalam praktek pembunuhannya

terhadap anak-anak telah melakukan yang sebaliknya, Ayyub Khan lebih jahat dari

keduanya karena lewat program keluarga berencananya, ia memusnahkan baik laki-

laki maupun perempuan. (Rahman, Vol. No.4, November, 1971:12).

Retorika yang senada dengan itu dalam menghadapi kasus-kasus lain

seperti masalah bunga Bank, sembelihan dengan mesin, soal warisan, telah

menggusur kemungkinan dialogis antara pihak-pihak yang berbeda

pandangan. Dalam iklim yang serupa ini "perbedaan pendapat bukan lagi

rahmat, tapi malapetaka". Fazlur Rahman yang ingin melihat Islam itu benar-

benar dijalankan dalam kehidupan modern secara bertanggungjawab dalam

seluruh bidang kegiatan manusia, akhirnya kewalahan juga menghadapi aksi

massa yang tak terkendali ini. Akhirnya ia hijrah ke Chicago sejak 1970

sampai saat meninggalnya pada 26 Juli 1988. Dari Chicago-lah ia selama

lebih kurang delapan belas tahun melontarkan gagasan-gagasan pemikiran

keislamannya yang dipandang kontroversial itu.

_________

*) Disampaikan dalam seminar sehari Pikiran-Pikiran Fazlur Rahman, yang diselenggarakan

Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) Jakarta, 3 Desember 1988.

Page 128: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

121

Dalam makalah ini akan kita lihat secara kritis tentang pemikiran-

pemikiran Fazlur Rahman sebagai seorang intelektual, Muslim yang .gelisah,

gagasannya tentang neo-modernisme Islam sebagai alternatif yang

ditawarkannya; dan sebelum penutup akan kita kaitkan pula tinjauan dengan

iklim pemikiran Islam di Indonesia.

Fazlur Rahman: Cerminan Kegelisahan Intelektual yang Bertanggung-

jawab

Dalam salah satu kuliahnya di awal 1980-an Rahman mengatakan :

"Bila bahan bakar minyak lenyap dari dunia, mungkin akan ada gantinya.

Tapi bila Islam yang lenyap, gantinya tidak akan ada." Pernyataan ini adalah

pernyataan komitmen Rahman yang amat kuat dan dalam terhadap Islam.

Islam bila difahami secara benar dan cerdas akan dapat ditawarkan sebagai

dasar peradaban alternatif bagi dunia yang akan datang. Namun ia menyadari

sepenuhnya bahwa ummat Islam secara keseluruhan belum siap untuk itu.

Menurut perkiraannya pada tahun 1979 lalu, ummat Islam baru akan

memiliki suatu fondasi intelektualisme Islam yang kokoh dalam jangka

waktu 20-30 tahun (Kuliah tanggal 8 Juni 1979). Ia mengkui betapa kuatnya

keterkaitan ummat terhadap Islam, tapi "intelektualisme mereka adalah nol"

(Kuliah tanggal 8 Juni 1979). Fenomena inilah yang agak merisaukannya.

Oleh sebab itu ia mengimbau agar kita menempuh cara berpikir yang radikal

untuk menangkap maksud al-Qur’an. Ia mengatakan : "Study the Qur'an first,

then judge the past and present situation with it" (Kuliah tanggal 15 Mei

1979). Sikap yang sangat Qur'an Oriented inilah yang membedakan Rahman

dengan para pemikir Muslim lainnya, baik yang klasik maupun yang

kontemporer. Sampai di mana dia berhasil merumskan suatu metodologi

untuk memahami al-Qur’an dapat kita nilai dari beberapa karyanya, baik

dalam bentuk buku maupun masih berupa artikel (Rahman, 1982, 5-8;

Rahman, 1980; Rahman, 1986: 45-49; Rahman, terj. Taufik Adnan Amal,

1987:54-67). Di antara kritiknya terhadap kaum modernis Muslim, apalagi

kaum tradisionalis dan fundamentalis, adalah karena mereka tidak

menawarkan suatu metodologi yang sistematis dan padu dalam memahami

al-Qur’an. Pendekatan parsial dan ad hoc, menurut Rahman, terhadap al-

Qur’an, tidak mungkin membuahkan hasil yang dituntut oleh Kitab Suci ini

(Rahman, 1982: 5-8).

Kalaulah Rahman dapat mengendalikan diri untuk tidak

menggunakan ungkapan-ungkapan yang terlalu tajam untuk meredam lawan-

lawannya, dan ini di antara kelemahannya menurut hemat saya, gagasan-

gagasan pembaharuannya mungkin akan cepat mendapat pendukung yang

lebih luas dan merata. Metoda pendekatannya yang kurang persuasif dalam

melontarkan ide-idenya merupakan salah satu kendala mengapa radius

pengaruh pemikirannya masih terbatas pada sebagian elit intelektual Muslim.

Page 129: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

122

Sebagai ilustrasi dapat saya sebutkan di sini bahwa Catatan Pengantar untuk

buku Islam and Modernity yang a.l. berbunyi:

Di sini saya ingin mencatat bahwa dua tokoh intelektual Pakistan, Abu'l-A'la

Mawdudi dan Ishtiaq Husain Qureishi, meninggal bulan September 1979 dan

Januari 1981. Kepergian mereka adalah sebuah kehilangan bagi Islam, sentana

kritik saya keras terhadap mereka, dan saya percaya dapat dibenarkan sepenuhnya

(Rahman, 1982: 5-8).

Semula tidak akan dicantumkan. Adalah karena saran dari saudara

Wan Mohd. Nor Wan Daud (mahasiswa Rahman dari Kelantan, Malaysia),

sekadar penghargaan itu diberikan kepada Mawdudi dan Qureshi, dua nama

besar yang mendapat kritik tajam dari Rahman dalam buku di atas. Dalam

melumpuhkan argumentasi lawan, Rahman rupanya lupa akan satu diktum al-

Qur’an yang memerintahkan Musa dan saudaranya Harun agar berkata lunak

dan sopan (qaulan layyinan), (QS. Thaha:44), sekalipun terhadap musuh

beratnya Fir'aun. Saya berharap agar kritik-kritik keras dan tajam yang

mungkin telah melampaui etik al-Qur’an tidak merupakan ciri dari neo-

modernisme Islam, yang kini sedang menyeruak memasuki bursa pemikiran

ummat yang kreatif dan kritis. Sebuah iklim "berbeda dalam persaudaraan

atau bersaudara dalam perbedaan" perlu kita budayakan dalam kehidupan

ummat, teristimewa di lingkungan intelektual Muslim. Dengan cara ini

diharapkan agar model sengketa klasik antara al-Ghazali dan para filosuf atau

antara Ibn Taimiyah dengna kaum sufi, teolog dan juga filosuf, tidak kita

warisi di abad kita. Cara-cara semacam itu telah meninggalkan trauma

sejarah yang dalam dan sulit menghapusnya.

Rahman memang menghadapi tembok-tembok konservatisme yang

tebal dan kuat. Menurut pendapatnya, tembok-tembok itu harus dirubuhkan,

manakala Islam itu memang ingin ditegakkan secara berwibawa dalam

kehidupan modern. Maka perlawanan keras yang diterimanya dari para

ulama tradisional konservatif dan golongan fundamentalis telah

dijawabnya dengan cara yang tidak kurang tegar dan kerasnya. Cara-cara

semacam ini tampaknya merupakan bagian dari kegelisahan intelektualnya

yang teramat dalam dan mendasar. Kita kutip kritiknya terhadap dinding-

dinding tebal tradisionalisme :

Suatu masyarakat yang harus memulai hidup dalam kerangka masa lampau

betapapun manis kenangannya dan gagal dalam menghadapi realitas kekinian secara

jujur betapapun tidak seronoknya, ia pasti menjadi sebuah fosil; dan sudahlah

merupakan hukum Tuhan yang tetap bahwa fosil tidak tahan lama: "Bukanlah Kami

berbuat zalim terhadap mereka; merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri"

(XI: 101; VXI.-33, dl1.), (Rahman, 1965:176).

Page 130: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

123

Bagi Rahman tampaknya adalah sebuah kezaliman bila

mempertahankan tradisi yang sudah lapuk, yang telah kehilangan dinamika

dan kesegaran, atau untuk meninjau Rendra: sebuah budaya "kasur tua" yang

kumal dan apak. Dalam konteks hubungan antar kelompok modernis dan

tradisionalis Muslim di Pakistan, Rahman pernah merekamkan: "The

modernist accuses the traditionalist of worshipping history, not God

(Rahman, dalam Little (ed.),1976:301). Suatu cara polemik yang jelas tidak

sehat bila dilihat dari sisi etik al-Qur’an. Dalam pada itu dengan cara yang

tidak kurang pedasnya golongan konservatif lewat jurnalnya a.l. al-Bayyinat,

telah menuduh Rahman sebagai munkir Qur’an (penampik al-Qur’an),

(Rahman, dalam Little (ed.),1976:300), dengan alasan yang akan kita

jelaskan lebih jauh pada waktu kita membicarakan neo-modernisme Islam.

Yang mengherankan adalah bila Rahman kita jejerkan dengan Iqbal

dalam soal kritik-mengkritik ini. Iqbal dalam ungkapan-ungkapan yang jauh

lebih pedas tinimbang Rahman dalam mengeritik realitas ummat, tidak

mengundang perlawanan yang berarti. Apakah ini karena Iqbal

menyampaikannya dalam bahasa puisi yang menawan, sementara Rahman

dalam bahasa prosa yang langsung. Atau mungkin juga Iqbal terlalu besar

untuk dilawan. Allahu a'lam. Yang jelas ialah bahwa Iqbal diminati oleh

seluruh lapisan masyarakat konservatif, tradisional dan modernis. Sebenarnya

bukan saja diminati, tapi dipuja dan disenandungkan. Dalam perspektif ini

dapat kita katakan bahwa beruntunglah mereka yang mampu

menyampaikan ide-ide pembaharuan lewat bahasa puisi. Kasus Iqbal adalah

di antara bukti untuk ini. Inilah contoh kritik Iqbal terhadap mulia (ulama

tradisionalis) : (Agama Tuhan 1ebih dilecehkan ocehkan tinimbang

kekufuran, Gara-gara mulia, seorang mu'min, berdagang dalam kekafiran!),

(May, Vol XVIII, No.4 1978:21). Anehnya lagi adalah Rahman yang sering

mengutip sajak-sajak Iqbal yang berisi kritikan terhadap kaum ulama, yang

dimarahi bukan si penyairnya, tapi si pengutip!.

Puncak dari kemarahan publik Pakistan terhadap Rahman yang

memang disulut oleh para ulama terjadi pada bulan September 1968. Ini

beranjak dari pendapatnya tentang wahyu yang termuat dalam bukunya Islam

yang kemudian dilarang di negerinya. Rahman dituduh berpendapat bahwa

al-Qur’an adalah karya kerjasama antara Allah dan Muhammad, suatu posisi,

menurut Rahman, yang tidak mungkin dipegang oleh seorang Muslim pun.

Tapi akibatnya memang fatal. Para ulama bukan saja marah kepada Rahman,

tapi kepada Presiden Ayyub Khan yang telah memintanya untuk

merumuskan Islam dalam kerangka modern. Di Lahore bahkan ada poster-

poster dinding yang mengumumkan sebuah harga dari kepala Rahman (L.S.

May, Vol XVIII, No.4 1978:21), padahal yang bersangkutan baru saja keluar

dari Rumah Sakit akibat serangan jantung yang berat. Iklim anti Rahman ini

Page 131: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

124

juga terdapat di Dakka, Pakistan Timur (waktu itu), dengan corak yang tidak

kurang ganasnya.

Demi meredakan suasana yang sudah demikian mendidih, akhirnya

Fazlur Rahman mundur dari jabatannya sebagai Direktur Lembaga Pusat

Riset Islam untuk kemudian menatap di Chicago, sebagaimana yang telah

kita sebutkan sebelumnya. Itulah sebuah episode dari budaya anti-

intelektualisme Pakistan yang belum, dan mudah-mudahan tidak terjadi

Indonesia.

Neo-modernisme Islam : Sebuah Alternatif

Sampai kira-kira pertengahan 1970-an, Rahman, sepanjang sumber

yang saya ketahui, belum lagi berbicara tentang gagasan neo-modernisme

Islami. Bahkan sebenarnya Rahman tidak sering menggunakan ungkapan

neo-modernisme Islam itu, sekalipun ia menawarkannya sebagai pra-syarat

bagi kebangkitan Islam (Islamic Renaissance), Rahman, dalam Welch &

Cachia (eds.), 1979: 323-327). Neo-modernisme Islam tidak lain dari

modernisme Islam plus metodologi yang mantap dan benar untuk memahami

al-Qur’an dan sunnah nabi dalam perspektif sosio-historis. Bagi Rahman,

tanpa suatu metodologi yang tepat dalam memahami Islam dan seluruh

pesannya, orang akan sulit menangkap secara jelas dan tajam kaitan organik

antara fondasi teologisnya dengan persoalan dan nilai praktis kemanusiaan

dalam kehidupan kolektif. Oleh sebab itu Rahman berkali-kali menegaskan

bahwa, seperti yang telah kita kutip sebelumnya, al-Qur’an harus dijadikan

pedoman pertama dan utama dalam memahami Islam: "study the Qur'an first,

then judge the past and the present situation with it" (Kuliah Rahman, 15

Mei 1979). Dengan dasar inilah ia kemudian mempertanyakan secara sangat

serius tentang posisi Islam sejarah bila dihadapkan kepada Islam cita-cita. Di

mata kaum modernis Muslim Pakistan, kelompok tradisionalis sudah tidak

mampu lagi membedakan antara Islam sejarah dan Islam cita-cita, hingga

mereka demikian terpautnya dengan Islam yang menjadi sejarah itu. Mereka

kehilangan kemandirian dalam memahami Islam. Mereka "menyembah

sejarah, bukan Tuhan", (Rahman, dalam Little (ed.),1976:301). kata kaum

modernis. Fazlur Rahman dalam hal ini tampaknya sama-sama satu biduk

dengan kaum modernis dalam menilai kelompok tradisionalis berpikir itu.

Sebenarnya bukan saja kehilangan, tapi kemerdekaan berpikir itu mereka

pandang sebagai bahaya besar bagi Islam, yaitu Islam sebagaimana yang

mereka fahami.

Di samping alergi terhadap kemerdekaan berpikir, ada alasan lain

mengapa pihak tradisionalis tidak percaya kepada kaum modernis. Alasan itu

berkaitan dengan latar belakang pendidikan kaum modernis pada umumnya,

yaitu pendidikan Barat. Trauma sejarah dari masa kolonialisme Barat

memang merupakan beban psikologis tersendiri bagi ummat Islam. Islam

Page 132: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

125

memang selalu dihadapkan kepada apa saja yang bercorak Barat, kecuali

ilmu dan teknologi. Beban psikologis inilah yang turut bertanggungjawab

mengapa ummat Islam sangat curiga kepada Barat. Kecurigaan ini semakin

bertambah intens setelah menyaksikan hancurnya moral dan sistem famili di

sana.

Tapi apakah kaum modernis mau meniru Barat seperti yang

dituduhkan itu? Tidak selalu demikian, sekalipun tokoh seperti Ahmad Khan,

Ameer Ali dan beberapa nama yang lain memang terasa agak apologetik bila

mengaitkan Islam dengan Barat. Tapi tokoh-tokoh seperti Iqbal dan Fazlur

Rahman tidak dapat kita sama ratakan dengan mereka. Dala menyoroti

masalah sosial dan moral dalam masyarakat Barat, Rahman sepenuhnya

mengikuti jejak Iqbal, dan sampai batas tertentu tidak berbeda dengan

pandangan kaum tradisionalis. Salah satu sajak Iqbal yang menjadi favorit

Rahman menggambarkan betapa kritisnya ia membaca perkembangan sosial

dan moral di Barat yang dikatakan sebagai bagian dari utilitarianisme

sekuler. Sajak itu adalah :

Yang menakjubkan

Bukanlah terutama karena Anda memiliki

Seni penyembuhan mukjizati, penaka Yesus;

Yang lebih menakjubkan

Adalah karena si pasien anda

Bahkan lebih sakit tinimbang sebelumnya. (Kuliah Rahman, 15 Mei 1979); Rahman, dalam Little (ed.),1976:301); (Rahman,

dalam Little (ed.),1976:301).

Masyarakat Barat yang kehilangan orientasi etis-spiritual, melalui

sajak Iqbal itu, dinilai Rahman sebagai si pasien yang bertambah sakit,

sementara "seni penyembuhan mukjizati" yang ditawarkan adalah sia-sia

belaka. Tetapi kubu tradisionalis dan fundamental tidak mau melihat

kenyataan ini. Bagi mereka, produksi pendidikan Barat pasti membawa

"penyakit menular", betapapun sungguh dan seriusnya mereka mencintai 'dan

mempelajari. Islam. Bahkan dalam kasus Ahmad Khan yang dituduh

penghianat oleh al-Afghani misalnya, kita tidak boleh membernarkan

tuduhan itu secara semena-mena. Tokoh modernis ini dengan tradisi Aligarh-

nya telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi kebangkitan

intelektualisme Islam di anak benua India itu. Tidaklah dapat kita bayangkan

sebuah renaisans pemikiran Islam di Asia Selatan itu tanpa Aligarh dengan

Ahmad Khan, Syibli Nu'mani, Ameer Ali dan lain-lain. Pendekatan yang

bersifat "black and white" terhadap sejarah masa lampau adalah pendekatan

yang ceroboh dan sebuah intellectual myopia.

Sekarang kita lihat metodologi yang ditawarkan Rahman untuk

memahami Islam dengan al-Qur’an sebagai tolok ukurnya yang utama.

Page 133: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

126

Tawaran metodologi inilah yang memberikan cap khas kepada Neo-

modernisme-nya Rahman. Dengan metodologi ini diharapkan agar Islam

dapat menyelesaikan persoalan-persoalan, betapapun ruwetnya, yang

dihadapi ummat manusia dengan landasan moral yang solid. "... an Islam that

does not solve human problems has, at best, a precarious future, indeed!",

tulis Rahman dalam"' sebuah jurnal. Keprihatinan akan masa depan Islam

inilah yang memaksanya untuk mencari jalan keluar yang secara iman dapat

dibenarkan dan secara ilmu dapat dipertanggungjawabkan. Di bawah ini kita

ringkaskan metodologi itu.

Asumsi dasarnya adalah bahwa al-Qur’an harus difahami secara utuh

dengan mempertimbangkan secara kritis latar belakang sosio-historis

turunnya ayat (asbab al-nuzul). Bagi Rahman cita-cita moral (moral ideals)

al-Qur’an haruslah ditangkap lebih dulu sebelum merumuskan suatu

ketentuan hukum yang bersifat positif. Kasus-kasus warisan, poligami,

jumlah saksi wanita untuk suatu perkara misalnya, haruslah dilihat di bawah

sinar cita-cita moral al-Qur’an itu.

Kita ambil umpamanya soal poligami. Dalam al-Qur’an surat al-Nisa':

3 kita membaca suatu diktum tentang bolehnya seseorang beristeri lebih dari

satu asal dapat bersifat adil terhadap isteri-isterinya itu. Bila tidak, jumlah

isteri cukup satu saja. Kemudian pada surat yang sama ayat 129, al-Qur’an

menegaskan bahwa seseorang tak mungkin bersifat adil terhadap isteri-

isterinya, sekalipun ia ingin benar untuk berbuat demikian.

Tentang masalah ini Rahman menulis: "Kelihatannya ada satu

kontradiksi antara izin poligami sampai empat; tuntutan keadilan di antara

para isteri; dan deklarasi yang tegas bahwa keadilan yang semacam itu dalam

wujudnya tidaklah mungkin".

Bila demikian soalnya, mengapa masalah tuntutan akan kedilan ini

tidak dijadikan klausal pokok dalam menetapkan sistem perkawinan dalam

Islam? Rahman kemudian menegaskan : "Interpretasi tradisionalis adalah

bahwa klausal izin (untuk berpoligami) punya kekuatan legal sementara

tuntutan akan keadilan, sekalipun penting, diserahkan kepada kesadaran sang

suami". Pendapat yang semacam inilah yang dipandang tidak tepat oleh

golongan modernis. Bagi mereka, yang utama adalah tuntutan akan

keadilan dan deklarasi tentang tidak mungkinnya berbuat adil. Oleh sebab itu

menurut pendapat mereka bahwa izin poligami haruslah bersifat sementara

dan untuk satu maksud yang terbatas. Dengan pertimbangan ini, Rahman

kemudian berbicara tentang-cita moral al-Qur’an tentang masalah

perkawinan ini. Kita kutip : "Yang benar tampaknya adalah bahwa izin

poligami menjadi legal dengan sanksi-sanksi yang dikenakan atasnya adalah

dalam wujud suatu cita-cita moral ke arah mana masyarakat diharapkan

untuk bergerak, karena tidaklah mungkin menghapuskan poligami secara

legal dengna satu kali pukulan". Tegasnya Rahman berpendapat bahwa

Page 134: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

127

poligami secara berangsur, tapi pasti harus dihapuskan, kecuali dalam

menghadapi kasus-kasus yang sangat darurat. Dari sudut pendekatan ini,

penghapusan sistem poligami dalam Islam bukanlah karena ayat 3 surat al-

Nisa' itu tidak berlaku lagi, tapi karena evolusi pembumian cita-cita moral.

al-Qur’an menuntut kita untuk sampai kepada kesimpulan semacam itu. Hal

yang serupa dapat pula kita temui dalam kasus perbudakan dalam Islam yang

pada akhirnya harus kita temui dalam kasus perbudakan dalam Islam yang

pada akhirnya harus dihapuskan.

Pada halaman terdahulu kita telah menyinggung tentang tuduhan

ulama terhadap Rahman berkenaan dengna al-Qur’an sebagai wahyu Allah.

Rahman sama sekali tidak mengatakan bahwa al-Qur’an adalah: "... bahwa

al-Qur’an adalah seluruhnya kalam Allah sejauh ia bersifat sempurna dan

sepenuhnya bebas dari kesalahan, tetapi, sejauh ia turun ke hati Muhammad

dan kemudian (diucapkan) lewat lidahnya, ia seluruhnya adalah

perkataannya". Penegasan ini didasarkan Rahman atas pemahamannya

terhadap ayat: Al-Ruh al-Amin telah membawanya turun ke dalam hatimu

agar engkau menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi

peringatan. Dengan demikian jibril datang kepada Muhammad bukanlah

seperti tukang pos pengantar surat.

Persoalan di atas bukanlah persoalan murni "akademik", kata

Rahman, tapi ia punya konsekuensi-konsekuensi yang sangat jauh dan

mendasar tentang metoda penafsiran al-Qur’an. Rahman berpendapat tentang

terpisahnya gagasan keabadian dan sifat keTuhanan al-Qur’an dari gagasan

keabadian muatan hukumnya secara spesifik (the eternity of its specificlly

legal content). Ketentuan hukum seperti tentang poligami dan perbudakan

adalah di antara muatan hukum yang spesifik itu.

Ringkasnya, metodologi dalam memahami al-Qur’an yang

ditawarkan Rahman adalah seperti berikut ini. Dia mengistilahkannya

sebagai gerakan ganda : dari situasi kekinian ke masa al-Qur’an, kemudian

balik lagi ke masa kini. Ada dua langkah yang harus ditempuh untuk gerakan

pertama. 1. Orang harus memahami makna dari suatu pernyataan tertentu

dengan melihat situasi sejarah atau masalah yang kemudian diberi jawaban

oleh al-Qur’an. Langkah ini menuntut adanya pemahaman yang utuh tentang

makna al-Qur’an, disamping juga memahami terma-terma spesifik yagn

merupakan jawaban terhadap situasi spesifik. Langkah-langkah pertama

sebenarnya telah mengandung langkah kedua, dan akan mengarah ke sana.

Al-Qur’an secara keseluruhan punya sikap yang pasti terhadap hidup dan

punya suatu Weltanschauung yang konkrit. 2. Menggenerasasikan jawaban-

jawaban yang spesifik itu dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan

tentang tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat "disaring" dari teks-teks

spesifik dengan memperhatikan latar belakang sosio-historis dan rationes

legis yang sering dinyatakan.

Page 135: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

128

Gerakan kedua dari masa al-Qur’an ke masa kini mengandung makna

bahwa dari prinsip-prinsip umumhya diambilkan yang spesifik yang harus

dirumuskan dan direalisasikan sekarang. Artinya prinsip-prinsip umumnya

harus diwujudkan ke dalam konteks sosio-historis yang konkrit. Jelas ini

menuntut kajian yang cermat terhadap situasi sekarang. Dengan cara ini kita

menempatkan perintah-perintah al-Qur’an menjadi hidup dan efektif kembali.

Menurut Rahman, kerja ini adalah jihad intelektual yang secara tehnis disebut

ijtihad.

Bagaimana dengan pemikiran Islam di Indonesia bila ditempatkan

dalam pemikiran Rahman, akan kita bicarakan selintas dibawah ini.

Fazlur Rahman dan Iklim Pemikiran Islam di Indonesia

Arus pemikiran Islam di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh

arus pemikiran yang datang dari luar. Terakhir arus pemikiran Rahman mulai

kita rasakan di sini. Dengan kata lain, kita di Indonesia lebih banyak tampil

sebagai intelektual konsumen tinimbang yang mampu berfiklr orisinal. Tapi

menurut hemat saya, tidak ada yang perlu dirisaukan, asal kita secara

sungguh-sungguh berusaha untuk melahirkan pemikiran-pemikiran yang

mendekati orisinalitas dengan ramuan dari berbagai arus pemikiran yang

dapat dicerna.

Rahman telah menawarkan suatu metodologi untuk memahami al-

Qur’an dan cara melaksanakan ajaran-ajaannya dalam darah dan daging

sejarah pada waktu sekarang. Metodologi itu perlu kita tanggapi secara

apresiatif tapi kritis. Sikap yang diambil oleh Prof. Naquib al-Attas terhadap

Rahman tampaknya bukanlah sikap seorang kritis tapi sikap seorang yang a

priori antipati. Kita kutip Naquib: ...karena 30 tahun tinggal di Amerika,

Rahman tidak mengenal persoalan-persoalan Islam. Dia hanya melontarkan

pemikiran-pemikiran yang bersifat spekulatif."

Saya pernah menyatakan bahwa siapapun bebas untuk menerima atau

menolak pemikiran Rahman. Tapi sebelum sampai kepada kesimpulan

menerima atau menolak, seluruhnya atau sebagian, orang perlu lebih dulu

mempelajarinya secara mendalam. Saya mendapat kesan Prof. Naquib belum

mempelajari karya-karya Rahman secara menyeluruh, hingga dengan

demikian kritiknya belum punya landasan teoretik yang dapat dipertanggung

jawabkan.

Pemikiran Rahman tampaknya secara berangsur akan berpengaruh di

Indonesia, terutama melalui lembaga paska sarjana IAIN. Lembaga ini

menurut penglihatan saya adalah mereka yang pada umumnya cukup

potensial secara akademik. Mereka bukanlah tipe orang yang a priori-priori-

an. Metodologi yang ditawarkan Rahman agaknya akan menjadi bahan

pertimbangan untuk memahami Islam secara lebih bertanggung-jawab.

Page 136: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

129

Tentang masalah ini Rahman dapat dijadikan contoh. Setahu saya Rahman

dapat memahami bahasa-bahasa, aktif atau pasif, Persi, Turki, Urdu, Jerman,

Perancis, Greek, Arab, dan Inggris.

Penutup

Sebagai penutup saya rekamkan kembali pemikiran Fazlur Rahman

dalam bukunya Islamic Methodology in History dalam makalah ini: Suatu

masyarakat yang memulai dalam kerangka masa lampau betapapun manis

kenangannya dan gagal menghadapi realitas kekinian secara jujur betapapun

tidak seloroknya ia pasti menjadi sebuah fosil; dan sudahlah merupakan

hukum Tuhan yang tetap bahwa fosil tidak tahan lama: "Bukanlah kami

berbuat zalim terhadap mereka; merekalah yang menzalimi diri mereka

sendiri" (XI; 101; XVI; 33, dll.)

Page 137: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

130

Nurcholish Majid: Arus Baru Islam di Indonesia

Oleh

M. Amin Nurdin

Tak ada intelektual muslim di Indonesia saat ini yang hampir

sebagian besar hidupnya sarat dengan kontroversi seperti Nurcholish Majid.

Gagasan-gagasanya yang telah menimbulkan polemik yang cukup sengit itu

bukan hanya membentuk arus baru, tapi juga diterima oleh kalangan luas.

Sejak menyampaikan dua pemikirannya, yaitu “Keharusan

Pembaharuan Pemikiran dan Masalah Integritas Ummat” (14 Oktober 1970)

dan “menyegarkan faham keagamaan di Kalangan Ummat Islam Indonesia”

(28 Oktober 1972), Nurkholis memulai polemik panjang. Makalah yang

pertama mengelola dua gagasan utama “Islam Yes, Partai Islam No”, dan

konsep tauhid yang merupakan pangkal dari sekulerisasi. Dalam makalah

kedua, Nurkholis menolak gagasan Negara Islam.

Dengan tiga gagasan itu, ia adalah pemikir Islam Indonesia pertama

dengan gigih mencoba memisahkan Islam sebagai Agama dengan Islam

sebagai lembaga. Pemisahan demikian memang lazim bagi generasi Islam

sekarang. Tetapi ide itu, pada masanya, begitu sulit karena mengandung cara

pandang keagamaan yang lain sama sekali. Ummat Islam terlalu terbiasa

dengan penyetaraan antara Islam sebagai agama dengan Islam sebagai

lembaga partai politik. Dengan kata lain, terjadi sakralisasi atas lembaga.

Kesertaan seseorang dalam partai Islam, misalnya, menentukan apakah ia

Muslim atau kurang Muslim.

Sakralisasi semacam ini, dalam pandangan Nurcholish Majid, sama

sekali bertolak belakang dengan gagasan tauhid. Jika selama ini tauhid secara

sederhana dipahami sebagai pengesahan Allah, yaitu pengakuan akan Tuhan

sebagai satu-satunya yang layak disembah, maka nurkholis menarik lebih

jauh konsekuensi dari paham itu. Baginya, tauhid berarti mengesahkan Allah

sebagai satu-satunya sesembah yang sakral, sementara obyek-obyek lain

bersifat profan atau duniawi belaka. Ia sampai kepada suatu pendapat bahwa

tauhid adalah pangkalan dari sekulerisasi. Jika hanya Allah yang sakral, maka

yang lain tidak, termasuk lembaga-lembaga Islam. Ikatan pada partai Islam,

dengan demikian, bukanlah mutu keislaman seseorang. Pada saat partai Islam

Page 138: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

131

sebagai bagian integral dari agama itu sendiri, pandangan ini jelas

menggoncangkan.

Berangkat dari sana, ia menolak gagasan Negara Islam. Baginya

gagasan itu sejenis apologia yang muncul dari perasaan rendah diri ummat

terhadap Barat. Penolakan Nurcholish atas Negara Islam mengandung suatu

tafsiran yang menarik tentang kata dien (agama) itu sendiri. Sebagai

kalangan Islam, ia terpesana dengan ideologi-ideologi Barat modern yang

bersifat totaliter, yang “bersifat menyeluruh dan secara mendetail mengatur

setiap segi kehidupan, khususnya politik, sosial, ekonomi, budaya, dan lain-

lain”. Hal ini menimbulkan pikiran pada kalangan Islam yang ideologis itu

untuk membawa Islam sebagai dien sebagai sistem yang totaliter

bertentangan dengan kenyataan bahwa istilah itu dipakai bukan saja untuk

Islam, tetapi juga agama lain, seperti Yahudi dan Kristen. Kita bisa

mengatakan bahwa kedua Agama itu adalah dien, sebagai mana Islam.

Dengan demikian, dien bukanlah betara dengan ideologi yang bersifat

totaliter dan tertutup, seperti ideologi-ideologi sekuler yang lain. Dien,

sebagaimana dielaborasi oleh Nurcholish dalam gagasan-gagasannya yang

lanjut di tahun 1990-an, adalah sebentuk kepasrahan diri kepada Tuhan

adalah inti dari keberagaman yang otentik. Pengelolaan negara adalah bidang

duniawi, dimana ummat Islam dengan kemantapan hati bisa belajar dari

bangsa-bangsa lain yang unggul dalam bidang-bidang duniawi itu, meskipun

ada perbedaan dien atau agamanya.

Dengan gagagasan ini, Nurcholish sebenarnya memperkenalkan

keberislaman yan terbuka. Inilah sumbangan Nurcholish yang cukup besar

dalam membentuk kembali pandangan dunia ummat Islam Indonesia.

Pandangan ini jelas, jika kita sekarang menyaksikan golombang

keberagaman yang menekankan esensi agama ketimbang bentuk-bentuk

lahiriah dan semua dari agama itu; jika sekarang orang-orang bicara tentang

Islam yang inklusif, maka tanpa ragu kita akan menyebut Nurcholish sebagai

pemikir yang memungkinkan hal ini semua bisa terjadi. Ia telah

memperkenalkan cara keberIslaman baru. Setelah kehadiran Nurcholish,

keberIslaman Indonesia mempunyai corak yang lain.

Banyak orang mengira, bahwa dengan gagasannya menggendor

pandangan keagamaan yang telah mapan, Nurcholish sepenuhnya tercerabut

dari akar. Ia telah dianggap melawan tradisi, sekurang-kurangnya melawan

bentuk Islam murni sebagaimana dicontohkan oleh Nabi. Hal ini jelas keliru,

tetapi inilah tuduhan yang hampir selalu ditudingkan kekalangan pemikir

yang kerap disebut sebagai “pembaharu” dimana-mana. Pada tahun 1984, ia

menerbitkan esai panjang “Warisan Intelektual Islam” sebagai pengantar

Page 139: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

132

buku Khasanah Intelektual Islam. Di sana, ia menekankan pentingnya

semcam rasa hayat kesejarahan serta penghargaan terhadap kekayaan tradisi

intelektual Islam. Ia bahkan mengutip kebijaksanaan klasik yang masyhur,

al-muhafazhatu ‘ala al-qadim al-shalih, wa al-akhzdu bi al-jadid al-ashlah

(memelihara yang baik dari yang lama, serta mengambil hal-hal baru yang

lebih baik). Ia sendiri menulis disertasi tentang pemikiran klasik yang

dianggapnya terlalu apologetik, dan kurang memberikan apresiasi tradisi

pemikiran Islam klasik.

Sepulang dari studinya di University of Chicago, Amerika Serikat,

pada tahun 1984, ia bersama teman-teman pendukungnya mendirikan

Yayasan Paramadina dan mencurahkan tenaganya untuk sumber-sumber

klasik bagi upaya pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Melalui

lembaga baru ini, Nurcholish mencoba mendakwahkan suatu pola

keberIslaman yang selain terbuka atas tantangan-tantangan modern, juga

sadar atas kekayaan tradisi klasik Islam. Bagi Nurcholish, pengkajian atas

warisan klasik ini akan menimbulkan suatu sikap relativisme internal pada

ummat Islam, yaitu sikap untuk menerima setiap bentuk peradaban sebagai

bagian keberagaman ijtihad yang boleh jadi benar, boleh juga salah, dan oleh

karena itu sikap mutlak-mutlakan bukanlah sesuatu yang tepat dari sudut

pandang Islam.

Tema inilah yang ia kemukakan dalam pidato kebudayaan di Taman

Ismail Marzuki (TIM) pada 21 Oktober 1992 dengan judul Beberapa

Perenungan tentang Kehidupan Keagaaman di Indonesia untuk Generasi

Mendatang. Pidato ini menandai polemik tahap kedua dalam karir pemikiran

bagi Nurcholish. Dalam pidato itu, ia mempertajam gagasan-gagasannya

tentang Islam sebagai agama yang hanif atau inklusif, serta melakukan kritik

keras atas gejala fundamentalisme agama. Dalam pidato ini pula, ia

melontarkan gagasan tentang kepasrahan sebagai inti dasar keIslaman,

tentang Islam sebagai sebutan generis untuk semua bentuk keberagaman

yang berdasarkan pada kepasrahan terhadap kebenaran mutlak. Islam, dalam

pandangan Nurcholis, bukan saja sebutan khusus buat agama yang selama ini

membawa nama itu, tetapi juga sebutan yang berlaku untuk semua agama

dengan semangat kepasrahan itu. Dengan pandangan seperti ini, ia telah

memberikan definifisi baru atas Islam dalam cara yang sama sekali tak

konvesional.

Gagasan tentang Islam sebagai agama hanif dianggap oleh para

pengkritiknya sebagai usaha mengaburkan Islam itu sendiri. Tetapi, gagasan

Nucholish ini bukan tanpa suatu dasar yang kokoh dari tradisi itu sendiri. Ia

melandaskan idenya tentang Islam sebagai agama kepasrahan ini tak kurang

pada otoritas klasik yang kebetulan menjadi bahan disertasinya, yaitu Ibn

Page 140: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

133

Taimiyyah. Ia juga merujuk dua otoritas besar dalam Islam, yakni al-Qur’an

dan Hadis, yang dalam banyak kesempatan berbicara tentang warisan

Ibrahim yang mengalir dalam tiga agama besar, Yahudi, Islam, Kristen.

Warisan itu tak lain agama hanifiyyah-samhah, agama kepasrahan toleran.

Gagasan Nurcholish ini sesungguhnya adalah kelanjutan pikiran-

pikirannya di tahun 1970-an tentang desakaralisasi dan sekulerisasi. Baik

dulu atau sekarang, Nurcholish selalu ingin membedakan antara Islam

sebagai nilai yang universal dengan lembaga yang partikular. Ia selalu setia

pada yang pertama, dan mencoba mengatasi dampak-dampak buruk yang

timbul dari fanatisme buta kepada aspek Islam yang kedua itu. Saat

menyampaikan pidato di TIM itu, Nurcholish boleh jadi sadar benar, bahwa

fundamentalisme sudah menjadi gejala keagamaan yang meluas di kalangan

muslim perkotaan, dan itu adalah tantangan yang harus dipikirkan dengan

sungguh-sungguh oleh ummat Islam. Fundamentalisme telah membawa cara

keberagamaan yang tertutup, sehingga tidak menguntungkan dari sudut

pandang pengembangan hubungan harmonis antara ummat beragama.

Pemikir yang lahir di Jombang, 17 Maret 1939 ini memang bukan

seorang agama soliter yang hanya mengukung diri di kamar perpustakaan. Ia

adalah intelektual publik yang seluruh energi pemikirannya dikerahkan untuk

memikirkan soal-soal yang dihadapi oleh ummat Islam dalam konteks

Negara bahasa Indonesia.

Posisi inilah yang menyebabkan gagasan Nurcholish bukan saja

menjadi diskusi terbatas di ruang akademis yang sepi, tetapi juga menjadi

bagian percakapan publik yang ramai. Gagasan Nurcholish telah memberikan

kepekaan dalam keberIslaman, kepekaan atas keberagaman, baik internal

maupun eksternal. Pikiran-pikirannya telah melahirkan Islam baru Indonesia.

Nurcholish telah membentuk mazhab pemikiran yang sama sekali

berbeda dengan arus-arus sebelumnya. Ia adalah perintis, pembuka jalan.

Jalan itu, kini, boleh jadi telah menjadi jalan rutin yang dilalui oleh banyak

orang, sehingga seolah menjadi kehilangan arti pentingnya sebagai jalan

baru. Saat ini hampir semua orang telah menerima begitu saja kenyataan

bahwa Islam di Indonesia adalah Islam yang moderat, seolah-olah Islam yang

demikian itu sudah hadir dengan sendirinya, tanpa kerja keras tangan-tangan telaten para perintis. Kita layak menempatkan Nurkholis sebagai salah satu

nama yang penting, dalam deretan perintis-perintis yang memulai jalan

moderat.

Page 141: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

134

WASATIYYAT ISLAM UNTUK PERADABAN DUNIA:

KONSEPSI DAN IMPLEMENTASI

Oleh

Din Syamsuddin

I. PENDAHULUAN

Wasatiyyat Islam (berasal dari istilah Arab, Wasatiyyatul Islam, di

Indonesia dikenal dengan Islam Wasathiyah), adalah suatu corak

pemahaman dan praksis Islam. Ia juga merupakan suatu metode atau

pendekatan dalam mengkontekstualisasi Islam di tengah peradaban global.

Kehadiran Wasatiyyat Islam sangat perlu dan dibutuhkan baik di

lingkungan ummat Islam sendiri, maupun di tengah pergulatan Islam

dengan beragam agama dan sistem dunia lainnya. Dalam upaya

menyebarluaskan pemahaman, konsep dan praktik Wasatiyyat Islam,

vernakularisasi, indigenisasi dan kontekstualisasi Islam merupakan langkah

strategis untuk mengembangkan dan mengimplementasikan praktik

keIslaman wasatiyah. Pemahaman dan praksis keIslaman wasatiyah

menjadi keniscayaan di tengah tantangan krisis di banyak bagian Dunia

Muslim dan peradaban dunia yang disebabkan pemahaman dan praksis

keagamaan tidak wasatiyah dan perkembangan dunia yang tidak

berkeseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan seperti politik,

ekonomi, sosial-budaya, sains- teknologi, ilmu pengetahuan, lingkungan

hidup dan lain-lain.

Wasatiyyat Islam juga mendorong adanya islah (reformasi)

peradaban sebagaimana makna yang terkandung di dalamnya. Agenda

membangun peradaban dunia lebih damai, berkeadilan dan

berkeseimbangan merupakan agenda Wasatiyah Islam baik di Dunia

Muslim maupun lingkungan internasional lebih luas. Dalam agenda

membangun peradaban tersebut terdapat pilar-pilar peradaban seperti

agama dan spiritualitas, ekonomi, politik, sains, pranata sosial, dan

demografi yang perlu mendapat perhatian khusus.

Berbagai pilar tersebut mesti bersatupadu dan bersinergi untuk

membangun kembali peradaban baru. Tanpa agama yang mengandung

nilai spritualitas dan etika, niscaya peradaban damai, adil dan

berseimbangan tidak dapat terwujud. Dengan sains, berbagai inovasi dan

temuan yang berharga dan berguna bagi masyarakat mempercepat laju

kemajuan peradaban. Sains berkontribusi pada perkembangan politik dan

Page 142: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

135

ekonomi dan mengubah pola hidup masyarakat. Pranata sosial

merupakan prasyarat berikutnya berdirinya dan berkembangnya

peradaban. Lalu, demografi. Penduduk yang majemuk, terdiri dari berbagai

kelompok usia, turut menentukan dan menjadi pilar peradaban.

Konsultasi tentang Wasatiyat Islam kali ini bukanlah prakarsa

baru karena sudah luas dimaklumi adanya prakarsa-prakarsa terdahulu,

antara lain: Pertama, al-Azhar asy-Syarif di Kairo, Mesir, sebagai pusat

pendidikan dan kebudayaan Islam, yang memiliki pengaruh dalam

keberagaman ummat Islam di banyak negara. Luas diketahui, celupan

(shibghah) al-Azhar berwarna Wasatiyat Islam. Shibghah ini telah

mempengaruhi persebaran manhaj wasati sebagai arus utama pemikiran

keIslaman di dunia Islam. Kedua, Pangeran Ghazi ibn Talal dari Yordania

yang memprakarsai terbitnya Pesan Amman (Risalat Amman), sebagai

hasil kesepakatan ratusan ulama dan cendekiawan Muslim dunia, juga

menampilkan orientasi wasati. Prakarsa yang melahirkan gerakan pijakan

yang sama (kalimatun sawa) jelas berwarna wasati karena mengajak

ummat berbeda agama untuk menekankan persamaan daripada perbedaan.

Ketiga, Raja Abdullah bin Abdul Aziz dari Saudi Arabia lebih lanjut

menekankan signifikasi Wasatiyat Islam, yakni dengan mendirikan

Pusat Dialog Internasional (King Abdullah International Centre for

Interreligious and Intercultural Dialogue) yang berpusat di jantung

Eropa, Wina, Austria. KAICIID adalah salah satu gerakan dialog yang

inklusif dan aktif membangun upaya saling memahami dan saling

menghormati di dalam pemeluk agama dan budaya yang berbeda.

Keempat, dari Asia Tenggara, prakarsa Perdana Menteri Malaysia Tun

Najib Razak patut diapresiasi yaitu dengan pendirian Gerakan Kaum

Moderat Dunia (Global Movement of the Moderate). Gerakan ini secara

relatif ikut menampilkan citra Islam sebagai agama dengan prinsip

wasatiyah

Kelima, patut juga diketahui di Indonesia dari Indonesia,

Menteri Agama Tarmizi Taher pada tahun 1990-an pernah merevitalisasi

wawasan wasatiyat Islam yang sesungguhnya sudah secara historis dan

kultural menjadi warna dasar keberagaman ummat Islam di Indonesia. Hal

ini mengejawantah pada keberadaan ratusan ormas dan lembaga Islam yang

tersebar di seluruh pelosok Indonesia sekaligus menjadi ciri khas Islam di

Indonesia. Organisasi-organisasi Islam ini merupakan organisasi massa dan

gerakan kebudayaan sekaligus. Inilah yang telah menjadi tulang punggung

berdirinya negara Republik Indonesia yang rancang bangunnya pada

tingkat tertentu dapat dipandang sebagai manifestasi wasatiyat Islam.

Page 143: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

136

Konsultasi Bogor dimaksudkan sebagai upaya revitalisasi

semua prakarsa mencerahkan tersebut dalam konteks peradaban

global yang mengalami dekadensi dan kerusakan sehingga Wasatiyat

Islam dapat diajuka n sebagai solusi.

II. KONSEPSI WASATIYYAT ISLAM

Konsepsi Wasatiyyat Islam salah satu ajaran sentral dalam Islam

untuk pembentukan kepribadian dan karakter Muslim, baik

individual ataupun kolektif. Konsep ini melekat dengan konsep ummatan

wasathan. Konsep Wasatiyyat Islam berhubungan dengan ajaran Islam

secara keseluruhan. al-Quran dan Hadits juga berulangkali

menekankan pentingnya menjadi wasatiyyah. Konsep wasatiyyah

inheren (menyatu dan melekat dan sifat atau watak yang tidak dapat

dipisahkan) dalam ajaran Islam. Wasatiyyah yang dalam

bahasa Arab berasal dari kata ‘wasat’ berarti penengah, perantara, yang

berada di posisi tengah, pusat, jantung, mengambil jalan tengah atau cara

yang bijak atau utama, indah dan terbaik, bersifat teguh dalam pandangan,

berbuat adil. Dalam kajian Islam akademik, ‘Wasatiyyat

Islam’, sering diterjemahkan sebagai ‘justly-balanced Islam’, ‘the middle

path’ atau ‘the middle way’ Islam dan Islam sebagai mediating and

balancing power untuk memainkan peran mediasi dan pengimbang. Istilah-

istilah ini menunjukkan pentingnya keadilan dan keseimbangan serta jalan

tengah dalam Islam untuk tidak terjebak pada ekstremitas. Selama ini

konsep Wasatiyyat Islam dipahami, merefleksikan prinsip tawassut

(tengah), tasamuh, tawazun (seimbang), i`tidal (adil), iqtisad (sederhana).

Dengan demikian, istilah Ummatan Wasatan sering juga disebut sebagai ‘a

just people’ atau ‘a just community. yaitu masyarakat atau komunitas yang

menampilkan kriteria di atas.

Ada yang memahami bahwa watak Wasatiyyat Islam berhubungan

dengan posisi tengahan Islam antara dua agama samawi terdahulu, yaitu

Yahudi yang menekankan keadilan (din al-‘adalah) dan Kristen yang

menekankan kasih (din al-rahmah). Islam sebagai agama tengahan

memadukannya menjadi agama keadilan dan kasih sayang sekaligus

(din al-‘adalah rahmah). Dengan tidak terjebak ke dalam dua titik

ekstrimitas (al-ghuluw wa al-taqsir). Wasatiyyat Islam juga dipahami

sebagai jalan tengah antara dua orientasi beragama yang asketis-

spritualistik dan legalistik-formalistik. Hal ini menunjukkan bahwa

Wasatiyyat adalah watak dasar Islam sejak kelahirannya. Wasatiyyat Islam

dengan demikian adalah upaya untuk memadukan kehidupan dunia dan

Page 144: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

137

akhirat dan mencapai kebahagiaan duniawi dan ukhrawi (sa’adat al-

daraini).

Dalam perspektif di atas, ummatan wasatan adalah ‘komunitas

terbaik’ (khayr-ummah), yang dalam al-Qur’an menganjurkan pada

kebaikan dan mencegah kemunkaran, serta beriman kepada Allah.

Dengan demikian, ummatan wasatan sebagai khaira-ummah adalah

komunitas yang senantiasa berorientasi pada kualitas dan prestasi,

dengan demikian dapat memimpin perwujudan peradaban utama.

Berdasarkan penjelasan di atas dan mempertimbangkan pendapat

para ulama dan cendekiawan Muslim di dunia, para ulama Indonesia

melalui Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia pada tahun

2015, terdapat 12 Prinsip Wasatiyyat Islam, yaitu:

1. Tawassut (mengambil jalan tengah), yaitu pemahaman dan

pengamalan agama yang tidak ifrat (berlebih-lebihan dalam

beragama) dan tafrit (mengurangi ajaran agama).

2. Tawazun (berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan pengamalan

agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik

duniawi maupun ukhrawi; tegas dalam menyatakan prinsip yang

dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan) dan ikhtilaf

(perbedaan).

3. I’tidal (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada

tempatnya, melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban dan

tanggung jawab secara proporsional, bersikap tegas dan berpegang

teguh pada prinsip.

4. Tasamuh (toleransi), yaitu mengakui dan menghormati perbedaan,

baik dalam aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya

dan oleh karena itu wasatiyyat menuntut sikap fair dan berada di

atas semua kelompok/golongan.

5. Musawah (egaliter), yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang

lain disebabkan perbedaan keyakinan, status sosial-ekonomi,

tradisi, asal usul seseorang, dan atau gender.

6. Syura (musyawarah), yaitu menyelesaikan persoalan dengan jalan

musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan

kemaslahatan di atas segalanya.

Page 145: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

138

7. Ishlah (reformasi), yaitu mengutamakan prinsip reformatif

untuk mencapai keadaan lebih baik yang mengakomodasi

perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada

kemaslahatan umum (mashlahah ‘ammah) dengan tetap

berpegang pada prinsip al- muhafazah ‘ala al-qadimi al-salih wa

al-akhdzu bi al-jadid al-aslah.

8. Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu kemampuan

mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting harus diutamakan

untuk diimplementasikan dibandingkan dengan yang kepentingan

lebih rendah.

9. Tatawwur wa ibtikar (dinamis dan inovatif), yaitu selalu terbuka

melakukan perubahan sesuai dengan perkembangan zaman serta

menciptakan hal baru untuk kemaslahatan dan kemajuan ummat

manusia.

10. Tahadhdhur (berkeadaban), yaitu menjunjung tinggi akhlakul

karimah, karakter, identitas, dan integritas sebagai khair-ummah

dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban.

11. Wathaniyah wa muwathanah, yaitu penerimaan eksistensi

negara-bangsa (nation-state) di manapun berada dengan

mengedepankan orientasi kewarganegaraan.

12. Qudwatiyah, yaitu melakukan kepeloporan dalam prakarsa-

prakarsa kebaikan demi kemaslahatan hidup manusia (common

good and well-being) dan dengan demikian ummat Islam yang

mengamalkan Wasatiyat memberikan kesaksian (syahadah).

Prinsip-prinsip di atas seyogyanya mengkristal dalam paradigma dan

perilaku Muslim baik individual maupun kolektif dalam berbagai aspek

kehidupan. Wasatiyyat Islam adalah aktualisasi atau pengejawantahan

Islam Rahmatan lil ‘Alamin (QS.21: 107). Keadilan, misalnya, mendapat

tempat dalam praktik keseharian Rasulullah Saw dan generasi terdahulu.

Teladan keadilan Rasulullah adalah ketika beliau mengingatkan supaya

keadilan ditegakkan kepada siapa saja walaupun kepada keluarga sendiri.

Bila keadilan diabaikan karena yang melakukan ketidakadilan adalah

seorang tokoh atau pejabat, hal tersebut sudah menjadi ancaman binasanya

suatu kaum.

Salah satu contoh dari pengalaman dari prinsip wasatiyyat

adalah tentang mengatasi masalah dengan konsultasi dan musyawarah.

Dalam menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan sosial, ekonomi,

Page 146: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

139

dan politik, Rasulullah melakukan musayawarah dan konsultasi dengan

para sahabat. Dalam mengambil keputusan Rasulullah meminta pendapat

sahabat Abu Bakar dan Umar. Bahkan pendapat Umar sering dikukuhkan

dengan turunnya ayat terkait masalah yang ditanyakan. Ahl al-masyurah

dan ahl al-hall wal-aqd merupakan pranata sosial-politik yang

memberikan pertimbangan kepada pemimpin tertinggi ketika ada

masalah yang harus diselesaikan. Bentuk konsultasi dan musyawarah

dapat berupa keputusan, kontrak, perjanjian, dan kesepakatan. Contoh

penerapan jalan tengah dalam sejarah Islam adalah keberadaan

dokumen, seperti piagam (mitsaq), penjanjian gencatan senjata (hudnah),

perjanjian perdamaian (mu'ahadah), aliansi (hilf) perjanjian kerja sama

(ittifaq ta'awun). Bahkan terjadinya konsesi (tanazul) dan adanya

kompensasi (ta'wid) juga merupakan jalan tengah, apabila hal ini

merupakan jalan keluar yang adil dalam kondisi tertentu.

Selanjutnya, prinsip tasamuh dalam berbeda pendapat

dicontohkan Rasulullah dalam berbagai aspek seperti memberikan

kebebasan beragama dan tidak memaksakan kabilah atau seseorang untuk

pindah agama. Praktek tasamuh menjadi penting di tengah dunia yang

sedang dilanda saling curiga terhadap kelompok lain berbeda. Anggapan

yang mengatakan, Islam intoleran dan tidak menghargai jelas tidak

mendasar. Faktanya, ketika ummat Islam menjadi mayoritas di

wilayah tertentu, kelompok minoritas non-Muslim dapat dengan leluasa

melakukan aktivitas keagamaannya.

Sebagai contoh bagaimana Islam mengajarkan toleransi, dalam

hadits riwayat al-Bukhari menyatakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW

pernah berdiri menghormati jenazah seorang Yahudi yang melewatinya lalu

ditanya kenapa beliau berdiri. Beliau menjawab “Apakah dia bukan seo-

rang manusia?”. Dari hadits tersebut dapat dipahami, Rasulullah

bertoleransi dengan berdiri menghormati jenazah seseorang meskipun dia

Yahudi.

Wasatiyyat Islam juga berorientasi pada perilaku yang menghargai

etos keunggulan. Perilaku ini didasari atas posisi ilmu pengetahuan

(knowledge) yang sentral dalam Islam. Banyaknya kata dalam ayat

Al-Qur’an yang mengandung pentingnya proses berfikir seperti

ulul albab, afalaa yatadabbarun, afalaa ya’qiluun. Hal ini merefleksikan

nilai penting yang mendorong pada pencarian ilmu pengetahuan

berkesinambungan. Proses ini akhirnya menghasilkan keunggulan di

berbagai bidang. Kehadiran ilmuwan- ilmuwan Muslim dalam sejarah

kejayaan Islam merupakan manifestasi dari kecintaan pada ilmu

Page 147: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

140

pengetahuan yang tidak hanya memberi kontribusi positif pada

perkembangan infra struktur peradaban Islam di masa itu, tetapi juga

menjadi katalisator bagi perkembangan di Barat di era selanjutnya. Nama-

nama seperti Ibnu Sina, Ibnu Rushd, Ibnu Haitam telah menghasilkan

banyak temuan penting bagi perkembanngan sains moderen di bidang

kedokteran, matematika, astronomi, arsitektur dan lain-lain.

Selanjutnya, salah satu karakter dari wasatiyyat Islam adalah al-

hanifiyyah al-samhah, yaitu semangat mencari kebenaran yang disertai

dengan sikap terbuka, lapang dada, dan toleran. Konsep ini mengandung

dua arti.

Pertama, Islam melarang pemaksaan dalam menerima kebenaran (QS

2:256). Dalam sejarah pembebasan kota Mekkah di masa Nabi Muhammad

misalnya, masyarakat Quraisy tidak dipaksa untuk konversi ke Islam.

Kebijakan serupa juga ditemukan dalam pembebasan Palestina di masa al-

Khulafa al-Rasyidun. Ummat Nasrani dan Yahudi diberikan kebebasan untuk

tetap memeluk agamanya. Sikap semacam ini didasari pandangan bahwa

meskipun setiap manusia memiliki naluri mencari kebenaran, namun

pencarian kebenaran tersebut memerlukan proses bervariasi. Bagi mereka

yang terlahir dalam keluarga Muslim dan dibesarkan dalam pendidikan

Islami, proses menemukan kebenaran lebih mudah. Namun bagi mereka

yang terlahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang tidak mengenal

Islam, bisa jadi proses pencarian tersebut tidak mudah dan memerlukan

waktu tidak singkat. Oleh karena itu Islam menekankan untuk menghormati

proses yang tengah dilalui para pencari kebenaran dengan mengapresiasi

keberagamaan yang mereka anut.

Kedua, Islam menganjurkan untuk mencari kesamaan dalam

perbedaan (QS 3:64). Keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh

masyarakat adalah sesuatu yang alami dan harus dihormati lantaran semua

orang selalu berproses dalam mencari kebenaran. Oleh karena itu yang

perlu dibangun adalah pengelolaan kemajemukan. Upaya mencari titik

kesamaan dapat ditemukan dalam kepemimpinan Nabi Muhammad di

Madinah. Beliau menyatukan masyarakat Madinah yang majemuk dalam satu

kepentingan, yaitu melindungi Madinah dari serangan musuh dan

membangun masyarakat Madinah sesuai dengan landasan agama masing-

masing.

Page 148: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

141

III. WASATIYYAT ISLAM DALAM LINTASAN

SEJARAH PERADABAN ISLAM

Konsepsi Wasatiyyat Islam telah dielaborasi dalam berbagai

kajian dan referensi. Terdapat banyak pendapat mengenai ummatan

wasatan yang kemudian dikaitkan dengan Wasatiyyat Islam. Wasatiyyat

Islam dapat dimaknai sebagai justly-balanced. Sifat dan karakter ini

merupakan cerminan umma atau komunitas yang adil, komunitas terbaik,

dan komunitas tengahan (seimbang). Pada bagian ini, berbagai praktek

Wasatiyyat Islam dalam lintasan sejarah, sejak masa Ta’sis,

Tathwir, dan Tahdits, akan dielaborasi sebagai bagian dari upaya melihat

bahwa Wasatiyyat Islam merupakan warisan sejarah yang pantas dan layak

ditindaklanjuti ummat Islam saat ini.

1. Masa Pembentukan (Ta’sis)

Kedatangan Islam dan kerasulan Nabi Muhammad SAW merupakan

rahmat bagi semesta alam. Namun, kedatangan Islam dan kerasulan Nabi

Muhammad SAW bukan rahmat bagi ummat Islam saja, tetapi juga bagi

seluruh ummat manusia dan alam semesta. Islam sebagai agama rahmat

terbukti telah memberikan perbaikan nyata. Artinya, rahmat dalam konteks

ini bukan sekedar kasih sayang, namun juga perbaikan peradaban. Pada masa

pembentukan ini, praktek Wasatiyyat Islam selama rentang masa kenabian

selama 23 tahun, Rasulullah berhasil mengkader individu-individu dan

kelompok masyarakat dengan landasan keimanan yang kuat, dan

mengimplementasikan sebuah rancang bangun (blue-print) peradaban.

Sebagai tokoh yang sukses mengubah peradaban manusia, Rasul merupakan

figur yang wasat (adil dan seimbang). Dalam berbagai perjanjian dengan

kaum Quraisy, Rasul memprioritaskan nilai- nilai perdamaian dan mencari

jalan tengah untuk kebaikan bersama. Misalnya, dalam Perjanjian

Hudaibiyah Rasul menunjukkan jiwa besar dan kesabarannya. Kemudian,

Rasul juga pernah mempersilakan komunitas Kristen Najran untuk

melakukan sembahyang di Masjid Nabawi.

Contoh lainnya praktek Wasatiyyat Islam di masa Rasul ketika

menjadi pemimpin Negara Madinah dengan membangun komunitas

orang-orang beriman yang diikat dalam Piagam Madinah (Mitsaq al-

Madinah). Prinsip- prinsip dasar mengenai pembangunan masyarakat

majemuk terjamin di dalamnya seperti: larangan membunuh, kebebasan

beragama, kebebasan menyatakan pendapat, perlindungan harta benda,

kerjasama membangun masyarakat dan saling membantu saat menghadapi

peperangan. Inilah konstitusi modern pertama yang jauh lebih modern dari

zamannya.

Page 149: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

142

Selain itu, praktik Wasatiyyat Islam dapat disimak pada peristiwa

Fathu Makkah. Saat memasuki Makkah, Nabi mengedepankan sikap

ksatria dan terpuji dengan tidak menonjolkan sikap ego sebagai pemenang.

Sebagi pihak yang unggul, yang nasib dan takdir penduduk Mekkah berada

di genggaman tangan dan telapak kaki pasukannya, Rasul justru

memberikan amnesti kepada Quraisy Mekkah yang di masa sebelumnya

hendak membunuh, mengusir, menyakiti, membunuh, dan menganiaya

sahabat-sahabat Rasul. Memaafkan di saat kemenangan sudah diraih

merupakan cermin kebesaran jiwa yang tidak dikotori oleh dendam dan

dengki. Rasul mewariskan suatu teladan mengenai kebaikan, kemanusiaan,

keteguhan menepati janji serta bersikap adil.

Pada masa kekhalifahan, praktik Wasatiyyat Islam dapat dilihat

paska wafatnya Rasul. Pada era Khalifah Umar Ibn Khattab, setelah

penaklukan Yerusalem, Umar berkunjung ke kota suci ketiga ummat Islam

tersebut untuk penyerahan pribadi. Saat tiba, orang-orang Kristen

menyangka Khalifah Islam itu ingin melakukan shalat di dalam gereja

mereka yang paling suci sebagai tanda kemenangannya, tapi Umar

menolak. Umar mengatakan kepada orang- orang Kristen bahwa ummat

Islam akan hidup bersama, beribadah sesuai dengan keyakinan, dan

menetapkan contoh lebih baik. Jika orang-orang Kristen menyukai, silakan

bergabung. Jika tidak, biarkan saja. Allah telah mengatakan, tidak ada

paksaan dalam agama.

2. Masa Pengembangan (Tathwir)

Salah satu tonggak penting Wasatiyyat Islam pada masa ini adalah

yang terjadi di masa Umar ibn Ábd Aziz (wafat 101 H/720 M) dengan

upayanya mengembangkan inklusivisme intra-ummat dan mengakomodasi

kelompok Syiah dan merehabilitasi nama Ali ibn Abi Thalib melalui apa

yang dikenal dengan tarbi’, yaitu menyatakan bahwa khalifah yang sah

terdahulu, yang disebut al- Khulafa’al-Rasyidun, ada empat, yaitu Abu

Bakr, Umar, Utsman, dan Ali. Sebelumnya, terdapat tiga versi: bagi

kaum nawashib dari kalangan Umawi ialah Abu Bakr, Umar, dan

Utsman, tanpa Ali, tapi sebagian memasukkan Muawiyah; bagi kaum

Khawarij, hanya Abu Bakr dan Umar, sedangkan Utsman, Ali dan

Muawiyah semuanya kafir; bagi kaum Syiah Rafidah hanyalah Ali

seorang, sedang yang lain adalah perampas hak sah Ali yang telah

diwasiatkan Rasulullah Saw. Tarbi’ menjadi bentuk Wasatiyyat Islam dan

penyebutan tersebut tumbuh menjadi kebiasaan ummat, dan salah satu

lambang paham jamaah dan sunnah.

Page 150: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

143

Dalam bidang akidah al-Asy’ari menjadi penengah

nengah antara pertentangan paham Qadariyah dan Jabariyah dengan

memperkenalkan paham kasb (perolehan, acquisition) yang rumit.

Metodenya dianggap paling berimbang sehingga berkembang menjadi

paham Sunni di bidang akidah.

Di masa Dinasti Utsmani, praktik Wasatiyyat Islam mewujud dalam

sistem sosial yang melindungi dan menjamin kebebasan dan

kehidupan beragama yang bernama Millet. Millet merupakan sistem yang

mengatur hubungan antara komunitas beragama yang berbeda di

kekhalifahan. Sistem ini bertanggung jawab atas ritual keagamaan,

pendidikan, keadilan, amal, dan pelayanan sosial sendiri di tiap-tiap

kelompok agama. Hasilnya adalah terwujudnya Millet Yahudi, Millet

Armenia, Millet Komunitas Ortodoks Timur di bawah kekuasaan

Utsmani—selain tentu saja ummat Muslim. Masing-masing millet

menjalankan fungsi koordinatif di internal mereka dan melaporkan ke

Sultan bila terdapat isu atau masalah yang perlu diselesaikan.

Sultan mengayomi seluruh millet dan ummat Islam memiliki pemimpin

puncak sendiri yang disebut sebagai Syaikh al-Islam. Sistem millet

merupakan salah satu bentuk Wasatiyah Islam dalam pengelolaan

keragaman agama dan pemerintahan yang membentang hingga Eropa

Timur. Namun seiring kian melemahnya kekaisaran Utsmani di tahun

1700-1800, sistem millet tidak berlangsung hingga masa akhir

kekaisaran Utsmani dan digantikan dengan sistem sekular.

3. Masa Modernisasi (Tahdits)

Ekspresi wasatiyyat Islam dalam hal modernisasi dapat ditemukan

sejak perempatan terakhir abad 19. Periode ini adalah masa di mana

hampir seluruh dunia Islam seperti Mesir, India, dan Indonesia dijajah

negara-negara Eropa. Meskipun penjajahan menyebabkan hancurnya

kekuatan politik ummat Islam, tetapi di sisi lain juga menyebabkan

bangkitnya kesadaran ummat Islam mengenai pentingnya

mengembangkan melakukan tahdits dalam berbagai bidang sejak dari

kemiliteran, pemerintahan, pranata dan lembaga sosial, ekonomi,

kebudayaan dan pendidikan. Alih-alih menolak berbagai aspek

kemajuan Eropa penjajah, ummat Islam justru mempelajari dan

mengembangkannya. Karena dalam prinsip wasatiyyat Islam,

kemajuan yang bersumber dari ilmu pengetahuan adalah milik

Allah. Mencapai kemajuan melalui ilmu pengetahuan termasuk yang

berkembang di Eropa tidak menjadi halangan bagi ummat Islam. Atas

dasar pandangan itulah untuk mencapai kemajuan pelajar-pelajar terbaik

Page 151: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

144

dari dunia Islam dikirim ke negara-negara Eropa untuk mempelajari

ilmu pengetahuan.

Pada masa ini, praktik wasatiyyat memasuki era untuk

kembali mencapai kebangkitan (‘asrun nahdah). Intelektual-intelektual

Muslim melakukan pembaharuan dan mengejar ketertinggalan dari

bangsa Barat. Praktik wasatiyat mulai melangkah untuk mencapai

kemajuan dengan mengadopsi dan mengakomodasi peradaban Eropa. Masa

ini, bergeraklah berbagai tokoh pemikir dan aktivis gerakan pembaharuan

Islam moderen di seluruh dunia, Muhammad Ali Pasha, Rifa’ah Rafi Al-

Tahtawi, Nawawi Al-Bantani, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi,

Mahfudz Al-Termasi dan lain-lain.

Di Turki Usmani, ekspresi wasatiyyat Islam dalam hal

modernisasi mulai muncul sejak era Tanzimat. Tanzimat berarti mengatur,

menyusun, dan memperbaiki kembali (islah atau reform). Era ini

merupakan gerakan pembaharuan yang bermula sejak pertengahan abad 19.

Masa ini praktik wasatiyat ini ditandai dengan munculnya gerakan yang

dipelopori sejumlah tokoh pembaharuan Turki Usmani yang belajar dari

Barat dalam bidang pemerintahan, kemiliteran, hukum, administrasi,

pendidikan, keuangan dan perdagangan.

Era kebangkitan mendorong munculnya banyak tokoh pembaharu

di berbagai belahan dunia Islam. Karena itu fase ini disebut era

pembaharuan dan reformasi (tajdid wa al-islah). Era ini melahirkan tokoh

pembaharu seperti Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid

Ridha, Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Rahmah El-

Yunusiyah, Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Natsir dan lain-lain.

Era tajdid wa al-islah memberikan momentum bagi praktik

wasatiyyah yang belanjut di zaman mu’asharah. Di masa ini, tokoh-

tokohnya di dunia, antara lain; Mahmud Syaltut, Wahbah Zuhaili, Fazlur

Rahman, Mohammed Arkoun, Ismail Raji al-Faruqi, Mahmood Ayub,

Harun Nasution, Nurcholish Majid, Abdurrahman Wahid, Aisyah

Abdurrahman (bint Asy-Syati’), Seyyed Husein Nasr, Murtadha Muthahari,

Abdullah Badawi, Tuty Alawiyah dan lain-lain.

IV. WASATIYYAT ISLAM: TANTANGAN

DAN PELUANG DI TENGAH PERADABAN GLOBAL

Peradaban global saat ini mengalami situasi ketidakpastian

(uncertainty), kekacauan dan ketidakteraturan (disorder). Beberapa ahli juga

menyebutkan tentang sedang terjadinya great shift, big disruption. Semua

Page 152: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

145

ini mengakibatkan accumulative global damage. Pendapat semacam ini

mencerminkan trend yang menunjukkan resiko ke arah kembalinya Perang

Dingin dengan terbentuknya blok-blok kekuatan politik, militer dan

ekonomi baru di dunia. Selain itu, tantangan dunia juga terjadi berupa

munculnya fenomena post-truth society yang sesungguhnya menjadi

tantangan bagi agama- agama.

Selain itu, pasca Perang Dingin situasi dan keadaan di banyak

bagian Dunia Islam sendiri terjebak pada proxy war di antara

kekuatan-kekuatan global. Lebih jauh, masalah-masalah yang mendera

akibat terjadinya perang proxy adalah tetap tingginya indeks

keterbelakangan di negara-negara Dunia Muslim Islam dan terus terjadinya

konflik dan perang yang terkait kepentingan perang proxy.

Situasi ini tidak lepas dari gejala dunia yang mengalami

kekeringan nilai etik dan moral, dan kebajikan bersama (common good)

karena cara pandang dunia antroposentris dan mengabaikan ketuhanan, etika

dan moral (teosentrisme). Di tengah keadaan tidak menguntungkan itu,

Dunia Muslim yang kaya dengan sumber daya alam, sumber daya manusia,

serta sumber daya sejarah karena di masa silam memiliki sejarah peradaban

gemilang—memiliki potensi dan peluang untuk menjawab tantangan

kontemporer dengan membangun dunia dengan peradaban etik dan moral

(spiritualized world) melalui Wasatiyat Islam.

1. Tantangan

Dunia mengalami perkembangan, kemajuan dan percepatan di

berbagai bidang yang terkait dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Kemajuan manusia secara bertahap sudah terjadi sejak awal

peradaban manusia muncul dan berkembang hingga terus melalui revolusi

industri I, II, III, dan kini memasuki industri IV (4.0) di mana cyber-

physical-systems akan mewarnai arah materialisasi dunia yang akan

bertabrakan dengan tata-nilai dan etika global. Pada tahap ini, di

tengah perkembangan dan kemajuan di berbagai bidang, dunia internasional

tetap dihantui berbagai persoalan kemanusiaan yang muncul di berbagai

belahan dunia.

Berikut beberapa tantangan:

a. Global Disorder dan Hilangnya Public Civility/ Common Good

Perubahan sistem internasional yang ditandai dengan multipolaritas

dan kompetisi power telah menimbulkan banyak ketidakpastian. Pasca

krisis ekonomi dunia 1997-1998 dan 2008, kapasitas ekonomi negara-negara

Page 153: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

146

Great Power mengalami penurunan. Namun demikian, kondisi ini tidak

meredupkan hegemoni negara-negara ini secara global. Aliansi baru yang

mereplikasi blok- blok Perang Dingin menemukan momentumnya kembali

pada dinamika politik global di Asia Pasifik dan Arab Spring. Pendulum

ekonomi yang mulai bergerak ke wilayah Asia, telah membuat Great

Powers seperti Amerika Serikat terlibat dalam ketegangan di berbagai

penjuru dunia. Peningkatan ekonomi Tiongkok semakin menambah eskalasi

ketegangan di wilayah ini.

Sementara itu, dinamika Arab Spring membuka kembali

ketegangan antara aliansi AS-NATO dan Aliansi Rusia-Tiongkok di

Timur Tengah. Aliansi-aliansi ini juga membawa kembali negara-negara di

kawasan ke dalam pusaran konflik yang lebih kompleks. Konflik

Suriah merefleksikan kepentingan yang saling berbenturan.

Kekacauan dalam sistem internasional juga berkaitan dengan

migrasi internasional yang memunculkan persoalan menguatnya

konservatisme politik dan agama. Gelombang pengungsi internasional

ke Eropa dan Amerika menimbulkan babak baru ketegangan Dunia

Islam dan Barat. Sejumlah penelitian menunjukkan, keberadaan

pengungsi dan warga keturunan Muslim di Eropa dan AS menimbulkan

persoalan ekonomi dan sosial, seperti pengangguran dan peningkatan

kriminalitas. Ketidak-mampuan migran Muslim di Eropa dan Amerika

untuk berintegrasi dengan budaya lokal juga memberi kontribusi pada

gesekan-gesekan antara warga Asli Eropa dan Amerika dan migran

Muslim. Belakangan, home grown terrorism dalam bentuk serangan-

serangan bom di kota-kota Eropa, yang melibatkan warga migran

Muslim semakin menambah situasi ketidak-amanan dan meningkatkan

Islamophobia. Kondisi ini memicu respon negatif dari kalangan

konservatif di Eropa dan Amerika yang memanfaatkan situasi ini untuk

kepentingan politik populis anti migran dan anti Muslim. Populisme

politik dan agama juga berada di balik kemenangan Donald Trump di AS,

Brexit di Inggris dan menguatnya dukungan untuk partai-partai konservatif

di Perancis, Belanda dan Jerman.

Menguatnya populisme dan konservatisme politik dan agama

menyebabkan kian merosotnya public civility dan common good dalam

perilaku banyak kalangan masyarakat internasional. Jelas kecenderungan

ini menimbulkan dampak negatif dalam usaha merealisasikan perdamaian

global.

Page 154: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

147

b. Kesenjangan Global

Dominasi dan hegemoni kekuatan global yang menguasai berbagai

bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik, militer hingga sosial

budaya menimbulkan problematika rumit dan kompleks. Keadaan ini

menciptakan kesenjangan dan pola interaksi global asimetris. Selanjutnya

kondisi ini menimbulkan sederet persoalan seperti krisis ekonomi dan

finansial, kemiskinan, perdagangan manusia (human trafficking), krisis

lingkungan hidup.

Ketidakadilan dan kesenjangan dalam tahap ini dapat memicu

kemunculan berbagai kelompok radikal atas nama agama dan juga

kelompok anti-globalisasi. Aksi kekerasan mereka dan tindakan aparat

keamanan menimbulkan lingkaran dendam yang sulit untuk diselesaikan

(unbroken circles of revenge). Perkembangan teknologi juga memberi

dampak negatif dengan mudahnya penyebaran paham radikal melalui

internet dan media sosial. Keberhasilan ISIS misalnya merekrut ribuan anak

muda melalui media sosial harus mendapat perhatian serius. Di sisi

lain, perkembangan teknologi informasi yang fenomenal tidak diiringi

kemampuan negara-negara Muslim menguasai dan mengembangkan infra

dan suprastruktur sains dan teknologi. Sehingga mereka menjadi konsumen

teknologi semata.

Akibatnya, peradaban dunia saat ini mengalami apa yang

disebut sebagai, lack of moral values, lack of well-being, dan moral

illiteracy. Banyak kalangan masyarakat dunia mengalami berbagai

disorientasi dalam kehidupan. Hal ini membuat upaya menciptakan

perdamaian dunia kian tidak kondusif.

c. Lemahnya Fondasi Wasatiyyat

Kelemahan ini bersumber atau berkaitan dengan primordialisme yang

kuat serta orientasi sektarianisme yang tinggi dalam institusi sosial dan

politik di banyak bagian dunia Islam. Lemahnya tatakelola pemerintahan

yang baik (good governance) mengakibatkan meluasnya perbuatan mudharat

seperti korupsi, dan rendahnya sikap tasamuh dan toleran. Semua ini

memperlemah fondasi Wasatiyyat Islam. Kondisi ini akhirnya

memunculkan kepemimpinan otoriter dan korup. Primordialisme politik dan

orientasi yang sektarian melahirkan perpecahan semakin akut dalam entitas

politik dunia Islam.

Page 155: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

148

d. Civil Society di Dunia Muslim

Eksistensi dan peran civil society di banyak bagian Dunia Islam juga

masih sangat terbatas. Civil Society masih dianggap sebagai produk Barat

yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dalam beberapa kasus, kehadiran

civil society dianggap sebagai oposisi yang menciptakan instabilitas

keamanan dan mengancam legitimasi kepemimpinan. Jika civil society eksis,

perannya masih terbatas pada aktivitas filantrofis karitatif yang belum

menghasilkan efek pemberdayaan dan penguatan elemen masyarakat yang

memiliki civic culture dan civility.

2. Peluang

a. Solidaritas Ummah dan peningkatan kerjasama global

Transformasi sistem internasional moderen sejak awal abad 20

melahirkan negara bangsa (nation-state) di Dunia Islam dengan sistem

pemerintahan beragam. Akan tetapi, hal ini tidak serta merta membuat

lemahnya solidaritas ummah di kalangan masyarakat Muslim. Solidaritas

merupakan faktor pengikat yang membentuk identitas kolektif yang

bersifat transnasional. Karena itu, solidaritas dapat menjadi landasan

yang mengikat negara-negara Muslim dan komunitas Muslim yang

hidup dalam lokasi geografis berbeda-beda. Solidaritas ummah bisa

dirasakan sejak awal terbentuknya banyak negara bangsa di Dunia Islam.

Negara-negara Muslim saling memberi dukungan untuk perjuangan

kemerdekaan dan pengakuan internasional atas kedaulatan. Indonesia pada

1945 misalnya merupakan negara yang kemerdekaannya pertama kali diakui

negara-negara Muslim lain di Timur Tengah.

Solidaritas ummah membentuk jaringan global di kalangan

masyarakat Muslim yang dapat memberi manfaat luas. Kejadian-kejadian

penting di suatu negara Muslim mendapat respon cepat dari masyarakat

Muslim lain yang hidup di negara dan bentuk dukungan politik untuk

perjuangan rakyat Palestina atau Rohingya (Myanmar) misalnya merupakan

contoh sangat jelas solidaritas ummah. Dunia Islam juga terus memberi

perhatian khusus pada krisis kemanusiaan yang terjadi di Thailand

Selatan dan juga pada konflik Kashmir, Afghanistan dan Suriah. Masyarakat

Muslim global juga memberi perhatian pada Islamophobia yang

menimbulkan persoalan politik dan sosial pada komunitas Muslim yang

hidup di Barat. Solidaritas ummah bisa berfungsi sebagai fondasi untuk

mempererat kerjasama internasional di antara negara-negara Muslim.

Page 156: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

149

Perkembangan teknologi informasi membuat jaringan

solidaritas ummah kian menguat. Perkembangan teknologi juga telah

melahirkan kultur popular yang inklusif (inclusive digital ummah) di

kalangan generasi milenial Muslim. Di satu sisi, perkembangan ini semakin

merekatkan identitas ummah. Akan tetapi identitas ummah yang muncul ini

juga melahirkan diversitas dan pilihan-pilihan lifestyle beragam. Pharrell

Williams seorang bintang pop dan produser film merilis lagu berjudul happy

yang menjadi viral. Lagu ini menggambarkan ekspresi keragaman kehidupan

(lifestyle) Muslim di Inggris yang mampu menjaga diversitas dan hidup

bahagia (happy).

b. Pertumbuhan Kelas Menengah Muslim

Seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi di Negara-

negara Muslim, kelas menengah Muslim juga semakin tumbuh. Hal ini tidak

terlepas dari keberhasilan memadukan peningkatan ekonomi dengan nilai-

nilai Islam. Keberhasilan ini juga terkait dengan meningkatnya tingkat

pendidikan generasi muda dan interaksi mereka dengan modernisme.

Indonesia, Malaysia, India dan beberapa negara Muslim di Timur Tengah

dan Afrika memiliki kelas menengah yang terus meningkat secara

signifikan. Kelas menengah populasi Muslim juga sedang mengalami

peningkatan di Eropa dan Amerika.

Peningkatan kelas menengah Muslim juga diiringi dengan

tumbuhnya kesadaran pada identitas religious. Saat ini mudah menemukan

figur Muslim, di kalangan generasi milenial moderen, berpendidikan

tinggi dan a berbeda. Inisiatif-inisiatif bantuan kemanusiaan d a n

m e m i l i k i pekerjaan dengan income yang baik, sekaligus sangat asertif

mengekspresikan identitas Islam dalam berpakaian dan sikap kritis

menyikapi berbagai persoalan di Dunia Islam.

Indonesia secara khusus mengalami pertumbuhan ekonomi yang

relatif baik dalam tiga atau empat dasawarsa terakhir. Perkembangan ini

berkontribusi pada bertambahnya jumlah kelas menengah Muslim di

Indonesia. Kelas menengah Muslim Indonesia juga mencakup generasi

milenial yang progresif. Generasi ini memiliki pandangan terbuka, toleran

dan inklusif terhadap perbedaan.

Berbagai survei tentang peningkatan kelas menengah Muslim

menunjukkan bahwa mereka tidak hanya memberi perkembangan positif

pada pertumbuhan ekonomi negara-negara Muslim, tetapi juga memberi

pengaruh positif pada ekonomi global. Kelas menengah mendorong

pertumbuhan pelbagai industri menengah dan maju seiring dengan

Page 157: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

150

meningkatnya daya beli masyarakat Muslim. Pertumbuhan industri halal,

bank Islam, fashion Muslim dan turisme halal adalah beberapa contoh

penting efek positif yang dihasilkan peningkatan kelas menengah di Dunia

Muslim. Perkembangan kelas menengah Muslim dengan gaya hidup seperti

itu tidak terbatas pertumbuhannya di negara-negara Muslim, tetapi juga

mendapat perhatian besar di negara-negara non-Muslim di Eropa, Amerika

Utara, Asia seperti Thailand, Korea dan Jepang.

c. Kekuatan Kepemimpinan Dunia Islam yang Potensial

Dunia Islam merupakan komunitas global yang memiliki sumber

daya alam, sumber daya manusia, serta sumber daya sejarah yang kaya

karena di masa silam memiliki sejarah peradaban gemilang. Potensi ini bisa

menjadi modal bagi dunia Islam untuk tampil sebagai kekuatan yang

memayungi dan memberikan tawaran solusi atas berbagai permasalahan

global. Kekayaan etik dan moral berupa Wasatiyyat Islam sesungguhnya

merupakan kekuatan luar biasa. Seiring dengan meningkatnya laju

pertumbuhan ekonomi di Negara- negara Muslim, kelas menengah Muslim

juga semakin tumbuh. Hal ini tidak terlepas dari keberhasilan memadukan

peningkatan ekonomi dengan nilai-nilai Islam. Keberhasilan ini juga terkait

dengan meningkatnya tingkat pendidikan generasi muda dan interaksi

mereka dengan modernisme. Indonesia, Malaysia, India dan beberapa negara

Muslim di Timur Tengah dan Afrika memiliki kelas menengah yang terus

meningkat secara signifikan. Kelas menengah populasi Muslim juga

sedang mengalami peningkatan di Eropa dan Amerika.

Peningkatan kelas menengah Muslim juga diiringi dengan

tumbuhnya kesadaran pada identitas religious. Saat ini mudah menemukan

figur Muslim, di kalangan generasi milenial moderen, berpendidikan

tinggi dan a berbeda. Inisiatif-inisiatif bantuan kemanusiaan d a n

m e m i l i k i pekerjaan dengan income yang baik, sekaligus sangat asertif

mengekspresikan identitas Islam dalam berpakaian dan sikap kritis

menyikapi berbagai persoalan di Dunia Islam.

Indonesia secara khusus mengalami pertumbuhan ekonomi yang

relatif baik dalam tiga atau empat dasawarsa terakhir. Perkembangan ini

berkontribusi pada bertambahnya jumlah kelas menengah Muslim di

Indonesia. Kelas menengah Muslim Indonesia juga mencakup generasi

milenial yang progresif. Generasi ini memiliki pandangan terbuka, toleran

dan inklusif terhadap perbedaan.

Berbagai survei tentang peningkatan kelas menengah Muslim

menunjukkan bahwa mereka tidak hanya memberi perkembangan positif

Page 158: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

151

pada pertumbuhan ekonomi negara-negara Muslim, tetapi juga memberi

pengaruh positif pada ekonomi global. Kelas menengah mendorong

pertumbuhan pelbagai industri menengah dan maju seiring dengan

meningkatnya daya beli masyarakat Muslim. Pertumbuhan industri halal,

bank Islam, fashion Muslim dan turisme halal adalah beberapa contoh

penting efek positif yang dihasilkan peningkatan kelas menengah di Dunia

Muslim. Perkembangan kelas menengah Muslim dengan gaya hidup seperti

itu tidak terbatas pertumbuhannya di negara- negara Muslim, tetapi juga

mendapat perhatian besar di negara-negara non- Muslim di Eropa,

Amerika Utara, Asia seperti Thailand, Korea dan Jepang.

c. Kekuatan Kepemimpinan Dunia Islam yang Potensial

Dunia Islam merupakan komunitas global yang memiliki sumber daya alam,

sumber daya manusia, serta sumber daya sejarah yang kaya —karena di

masa silam memiliki sejarah peradaban gemilang. Potensi ini bisa menjadi

modal bagi dunia Islam untuk tampil sebagai kekuatan yang memayungi dan

memberikan tawaran solusi atas berbagai permasalahan global. Kekayaan

etik dan moral berupa Wasatiyyat Islam sesungguhnya merupakan kekuatan

luar biasa untuk memberi sumbangsih bagi peradaban dunia. Hal ini

menuntut p r a s y a r a t pekerjaan dengan income yang baik, sekaligus

sangat asertif mengekspresikan identitas Islam dalam berpakaian dan sikap

kritis menyikapi berbagai persoalan di Dunia Islam.

Indonesia secara khusus mengalami pertumbuhan ekonomi yang

relatif baik dalam tiga atau empat dasawarsa terakhir. Perkembangan ini

berkontribusi pada bertambahnya jumlah kelas menengah Muslim di

Indonesia. Kelas menengah Muslim Indonesia juga mencakup generasi

milenial yang progresif. Generasi ini memiliki pandangan terbuka, toleran

dan inklusif terhadap perbedaan.

Berbagai survei tentang peningkatan kelas menengah Muslim

menunjukkan bahwa mereka tidak hanya memberi perkembangan positif

pada pertumbuhan ekonomi negara-negara Muslim, tetapi juga memberi

pengaruh positif pada ekonomi global. Kelas menengah mendorong

pertumbuhan pelbagai industri menengah dan maju seiring dengan

meningkatnya daya beli masyarakat Muslim. Pertumbuhan industri halal,

bank Islam, fashion Muslim dan turisme halal adalah beberapa contoh

penting efek positif yang dihasilkan peningkatan kelas menengah di Dunia

Muslim. Perkembangan kelas menengah Muslim dengan gaya hidup seperti

itu tidak terbatas pertumbuhannya di negara- negara Muslim, tetapi juga

mendapat perhatian besar di negara-negara non- Muslim di Eropa,

Amerika Utara, Asia seperti Thailand, Korea dan Jepang.

Page 159: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

152

V. WASATIYYAT ISLAM: PENGALAMAN INDONESIA

Secara konseptual, Wasatiyyat Islam telah banyak dikaji dan

dibahas oleh para ahli pemikiran Islam, baik klasik maupun kontemporer.

Namun, nilai lebih yang dimiliki Indonesia adalah bagaimana penerapan

dan aktualisasi Wasatiyyat Islam telah berlangsung sejak lama sampai

sekarang dan ke masa depan. Wasatiyyat Islam adalah karakter dan

distingsi Islam Indonesia dan merupakan salah satu kekayaan khazanah

(legacy) Islam Indonesia. Penerapan Wasatiyyat Islam di Indonesia dapat

ditinjau dari empat ciri atau aspek. Pertama, corak pemahaman dan

praktek Islam; kedua, kultur atau budaya; dan ketiga, masyarakat sipil

(sosiologis dan historis). Ketiga, pendidikan. Keempat, negara.

Pertama, corak pemahaman dan praksis Islam Indonesia sejak

masa awal bersifat wasatiyah berkat penyebaran yang damai dan

berangsur-angsur selama beberapa abad. Hal ini tidak terlepas dari proses

masuknya Islam ke Indonesia yang apresiatif terhadap budaya lokal

seperti metode dakwah para guru sufi pengembara dengan mengadopsi

budaya lokal seperti wayang dan pranata sosial seperti dayah, surau dan

pesantren. Dari segi arsitektur, masjid yang dibangun oleh para Wali

penyiar Islam mengadopsi tradisi dan budaya khas setempat dan masa

itu, sebagaimana yang terdapat di Masjid Agung Demak dan juga

Masjid Sunan Kudus yang masih nampak pengaruh tradisi budaya pra-

Islam.

Selain itu, praktik Wasatiyyat Islam di tanah air dapat dari

sejarah adopsi tradisi lokal pra-Islam yang telah diIslamisasikan untuk

kepentingan dakwah. Sunan Kalijaga, salah seorang Wali Sanga, para

penyiar Islam di Jawa, menggunakan tradisi pra-Islam setelah sintesa

dengan ajaran Islam seperti wayang dan pesan pewayangan untuk

menyebarkan Islam. Sangat banyak contoh lain, tetapi poin terpenting

dalam hal ini adalah kesediaan para penyiar Islam dan ulama selanjutnya

mengakomodasi dan mengadopsi tradisi lokal melalui proses Islamisasi

tertentu. Karena itulah Islam Indonesia akrab dengan tradisi lokal. Hal ini

merupakan bentuk rekonsiliasi antara agama dan budaya yang berlangsung

dengan baik di Indonesia. Hal ini karena dalam proses akulturasi agama

dan budaya, para ulama tidak secara frontal menolak atau

membuangnya; bila ada hal yang masih sesuai diteruskan, bila ada yang

kurang dimodifikasi sesuai prinsip yang bermanfaat tetap diambil (ma la

yudraku kulluhu, la yutraku kulluhu).

Corak Islam Indonesia itu sejak abad 17 menghasilkan ortodoksi

Islam Indonesia yang terdiri dari tiga aspek: Pertama, kalam Asy’ariyah

Page 160: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

153

yang merupakan jalan tengah antara kalam khawarij literal

dan Mu’tazilah rasional-liberal; kedua, fiqh mazhab Syafi’i yang merupakan

jalan tengah antara fiqh Hanbali yang cenderung rigid dengan fiqh Hanafi

yang lebih rasional; ketiga, tasawuf Ghazalian yang merupakan jalan tengah

antara tasawuf falsafi yang teoritis-spekulatif dengan tasawuf antinomian

yang eksesif.

Warisan ortodoksi Islam Indonesia bisa ditemukan dalam

banyak literatur lokalyang menggunakan berbagai bahasa lokal. Dengan

begitu, kekayaan warisan intelektual Islam Indonesia mengalami

vernakularisasi—pengungkapan dalam bahasa lokal—yang kemudian

menciptakan proses indigenisasi dan kontekstualisasi. Proses-proses ini juga

memainkan peran instrumental dalam pertumbuhan dan penguatan tradisi

Wasatiyyat Islam di Indonesia.

Perkembangan dan dinamika kehidupan agama, pendidikan, sosial,

budaya dan politik dalam empat dasawarsa terakhir memperkuat tradisi

Islam yang cair (fluid) sejak zaman bahari. Fluiditas itu yang membuat

sektarianisme di antara mazhab dan aliran intra Islam tidak pernah kuat di

Indonesia. Dalam masa kontemporer, fluiditas itu pula menghasilkan

terjadinya ‘konvergensi’ keagamaan di antara berbagai tradisi Islam yang

sedikit berbeda dalam hal furu’iyah. Dengan konvergensi keagamaan itu

pula, Wasatiyyat Islam Indonesia menjadi kian terkonsolidasi.

Ortodoksi Islam Indonesia sebagai Wasatiyyat Islam—yang

juga disebut sebagai Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah—yang sudah menjadi

paradigma jumhur ulama Indonesia ini terus mengalami konsolidasi

sejak abad 17 melintasi masa penjajahan Belanda. Konsolidasi Islam

Wasatiyyat Indonesia menemukan momentumnya sejak awal abad 20

beriringan dengan bangkitnya pergerakan nasional menuju kemerdekaan

Indonesia.

Satu persatu ormas Islam pendukung dan penyebar Islam

wasatiyah muncul dan berkembang baik dengan cakupan nasional maupun

lokal. Mereka menjadi arus utama (mainstream) Islam Indonesia. Daftar

yang tidak exhaustive mulai dari Jamiat Khair (1905), Sarekat Dagang

Islam (SDI)/Sarekat Islam (SI, 1905/1911), Persatuan Ummat Islam (PUI,

1911)Muhammadiyah (1912), al- Irsyad (1914), Mathlaul Anwar (1916),

Thawalib Summatera (1920), Persatuan Islam (Persis 1923), Nahdlatul Ulama

(1926), Jam’iyatul Washliyah (1930), Tarbiyah Islamiyah (Perti 1930), al-

Khairat (1930), Masyumi (1937), Darud Dakwah wal Irsyad (1937),

Nahdlatul Wathan (NW, 1953), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia

(DDII, 1967), Dewan Masjid Indonesia (DMI, 1972) dan masih banyak

Page 161: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

154

lagi organisasi lain yang berskala nasional sehingga jumlahnya mencapai

lebih dari 100.

Ormas-ormas tersebut pada dasarnya adalah organisasi massa dan

organisasi kebudayaan yang menyebarkan dan memperkuat Wasatiyyat Islam

melalui berbagai usaha dakwah dan penyiaran Islam, pendidikan,

pelayanan sosial, pelayanan kesehatan, peningkatan sosial ekonomi dan

sebagainya. Kebanyakan berdiri sebelum kemerdekaan 17 Agustus 1945,

ormas-ormas Islam aktif sepenuhnya menegakkan dan berkomitmen pada

NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.

Selain itu, tidak kalah pentingnya adalah Islam Indonesia

memberikan posisi yang tinggi dan luas bagi aktualisasi peran perempuan.

Secara signifikan ini terlihat dengan adanya ratu (sultanah) di Kesultanan

Aceh pada abad 17 misalnya. Di masa Kerajaan Aceh tercatat nama-nama

besar seperti Sulthanah Syafiatuddin Syah dan Laksamana Malahayati

yang memimpin armada laut melawan kolonialisme Eropa. Empat Sultanah

Aceh menjadi patron para ulama dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Pada awal era modern ekspresi kaum perempuan Muslimah Indonesia terlihat

dengan kemunculan organisasi-organisasi perempuan; mereka melaksanakan

Kongres Wanita Indonesia pertama di tahun 1928. Kongres ini di kemudian

hari menjadi awal bangkitnya gerakan perempuan di Indonesia dalam

melawan penjajahan dan mencapai Indonesia Merdeka dan ditetapkan

sebagai Hari Ibu. Ormas-ormas Islam yang disebutkan di atas, juga memiliki

sayap ormas perempuan masing-masing.

Selanjutnya, ormas-ormas Islam tersebut juga aktif dan giat dalam

menggerakkan filantropi dan berkontribusi meningkatkan kesadaran filantropi

Islam di Indonesia. Filantropi yang semula bersifat charity dan sporadis

dengan pola pemberian langsung, kemudian berkembang menjadi lebih

produktif dan terlembagakan secara modern dan lebih tertata. Dana-dana

zakat, infaq, shadaqah, dan juga wakaf dimaksimalkan penggunaannya

tidak saja kepada ashnaf yang sebagaimana telah diatur al-Qur’an, namun

juga kepada ashnaf tafsirnya telah diperluas dan lebih kontekstual dengan

tantangan zaman. Gerakan filantropi Islam Indonesia juga kini tidak hanya

terfokus pada penanggulangan bencana alam dan kemanusiaan baik di dalam

ataupun luar negeri Myanmar seperti —seperti membangun rumah sakit di

Gaza.Palestina dan di Rakhine dan tetapi juga dalam mengembangkan

‘filantropi Islam untuk keadilan sosial’. Karena itu, filantrofi Islam

Indonesia kini aktif dalam upaya pemberdayaan ekonomi mikro dan

kecil, penguatan gender dan HAM, penciptaan perdamaian (peace camp)

Page 162: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

155

dan juga dalam program Sustainable Development Goals (SDGs) yang

diinisiasi PBB.

Kedua, Islam Indonesia memiliki ruang cukup besar dan lapang

untuk mengakomodasi budaya lokal. Islam Indonesia juga

mengadopsi banyak perayaan atau kegiatan sosial-keagamaan, sejak dari

slametan, tasyakuran atau ziarah, yang belakangan juga berkembang

dalam berbagai bentuk walimah. Beberapa walimah tidak hanya walimah

al-‘ursy, tapi juga walimah al-khitan, walimah al-safar, walimah al-haj,

walimah al-‘umrah. Semua tradisi sosial keagamaan ini memainkan peran

penting dalam memperkuat silaturahim, kohesi sosial dan juga saling

berbagi doa, makanan dan berkah.

Ketiga, yakni masyarakat sipil atau persisnya masyarakat sipil atau

masyarakat madani berbasis Islam (Islamic-based civil society).

Masyarakat sipil Islam Indonesia terdiri dari ormas-ormas Islam yang sudah

disebutkan di atas dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM, atau non-

government organizations/NGOs). Sesuai dengan definisi masyarakat sipil

mereka adalah ‘independen dari Negara, mengatur dan membiayai diri sendiri

dan menjadi mediasi dan kekuatan pengimbang antara negara dengan

masyarakat akar rumput. Islamic-based civil society Indonesia sangat

vibran dan dinamis memainkan berbagai peran, khususnya penguatan

Wasatiyyat Islam.

Eksistensi masyarakat sipil ini juga menjadi distingsi Islam

Indonesia yang membedakannya dengan negara-negara Muslim lain yang

tidak memiliki basis civil society sejak pra dan pasca-Perang Dunia II

khususnya. Akibatnya, tidak ada kekuatan penengah dan mediasi untuk

mencegah terjadinya konflik di antara negara dengan rakyat akar rumput.

Absennya civil society juga menjadi salah satu penyebab utama kenapa

transisi dari otoritarianisme ke demokrasi tidak bisa berlangsung baik di

banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Di luar ormas Islam dan LSM, masyarakat sipil yang

digerakkan alumni-alumni Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri

(PTKIN), Perguruan Tinggi Islam Swasta (PTAIS), dan juga Perguruan

Tinggi Umum Negeri (PTUN) dan Perguruan Tinggi Umum Swasta

(PTUS). Mereka yang memiliki latar pendidikan keIslaman atau

mempunyai komitmen keIslaman yang kuat menggerakkan organisasi non-

pemerintah yang mengusung dan mengkampanyekan nilai-nilai Wasatiyyat

Islam yang bersifat universal dan kosmopolit. Mereka mencoba mengajukan

Islam Indonesia yang wasatiyah ke dalam wacana pemikiran yang

terkontekstualisasi dengan norma-norma internasional baru. Mereka

Page 163: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

156

menerjemahkan kemanusiaan ke dalam perspektif Wasatiyyat Islam menjadi

kemanusiaan yang terbuka dengan keterbukaan, menerima Hak Asasi

Manusia (HAM),mengakomodasi ide kompatibilitas Islam dengan

demokrasi, kesetaraan gender, kewarganegaraan, pluralisme dan toleransi.

Pendidikan Islam Indonesia turut berperan mengembangkan

karakter Wasatiyyat Islam. Pendidikan Islam di pesantren, madrasah dan

sekolah Islam merupakan model sangat baik tentang bagaimana pendidikan

Islam dalam berkolaborasi dan adaptif terhadap kultur lokal dan sekaligus

dinamika perubahan. Dalam ilmu-ilmu yang dipelajari, ilmu-ilmu Islam

tradisional berspektif wasatiyah menjadi bagian integral di berbagai

lembaga pendidikan Islam ini, yang dipadukan dengan ilmu

pengetahun modern. Lembaga pendidikan Islam ini sulit ditemui di

negara-negara lain. Pendidikan Islam khas Indonesia ini turut berkontribusi

kepada pendidikan Islam yang mengajarkan Wasatiyyat Islam.

Dari aspek negara, negara yang dibayangkan dan dicita-citakan

para pendiri bangsa adalah negara yang sejalan dengan semangat Islam

rahmat bagi semesta dengan menderivasikannya ke dalam konstitusi dan

kebijakan negara. Negara turut mendorong penguatan Wasatiyyat Islam

dengan mengakomodasi aspirasi ummat Islam dengan mengadopsi Pancasila

yang ‘bersahabat’ dengan agama’ (religiously friendly) sebagai dasar negara.

Negara dan pemerintah juga hampir selalu mempertimbangkan aspirasi

ummat Islam dalam berbagai kebijakan Negara.

Dasar negara Pancasila merupakan konsekuensi logis dari sikap

Wasatiyyat para ulama dan intelektual Muslim yang lebih

memprioritaskan kemaslahatan bersama dengan komponen bangsa lain

dalam perdebatan dan pembahasan mengenai dasar negara Indonesia

yang dibayangkan merdeka seusai Perang Dunia II. Perdebatan para

pendiri bangsa di awal kemerdekaan saat menentukan dasar negara

merupakan peristiwa yang menentukan dalam sejarah bangsa. Sejak tahun

1920-1930-an, perdebatan diwarnai oleh dua kutub yang saling

berseberangan, nasionalisme dan Islam dengan dua tokoh terdepannya,

Soekarno dan Mohammad Natsir. Perdebatan yang dimulai di media

massa di tahun 1920-1930-an, berlanjut ke ruang-ruang PPKI dan

BPUPKI di tahun 1945 saat membahas mengenai asas negara.

Dalam perkembangan selanjutnya, para pimpinan dan tokoh ormas

menyatakan komitmen penuh pada Pancasila dan NKRI. NU secara resemi

menerima Pancasila melalui khittah 1926 yang diputuskan pada muktamar

1984 di Situbondo. Demikian pula Muhammadiyah melalui konsep sebagai

Negara Darul ‘Ahd wa al-Syahadah (Negara Pancasila sebagai tempat

Page 164: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

157

perjanjian dan kesaksian). Dokumen resmi dari masing-masing organisasi ini

menunjukkan hubungan antara agama dan Negara di Indonesia berjalan

akomodatif dan harmonis. Pancasila sendiri merupakan kristalisasi dari nilai-

nilai Islam. Mulai dari hadirnya aspek ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,

musyawarah, dan keadilan social, yang kesemuanya merupakan nilai-nilai

dasar ajaran agama.

Dengan berbagai faktor tadi, Wasatiyyat Islam Indonesia bukan tidak

menghadapi tantangan baik dari sudut politik domestik dan transnasional;

ketegangan, benturan dan kontestasi bukan tidak terjadi di lingkungan intra-

Islam, antar agama dan juga dengan pemerintah. Tetapi dengan karakter

Wasatiyyat Islam yangtelah mapan di Indonesia beserta budaya yang telah

embedded dalam Islam, sintesa-sintesa merupakan ‘jalan tengah’ baru yang

juga selalu dapat ditemukan. Mempertimbangkan semua ini, orang boleh

optimis dengan masa depan Wasatiyyat Islam sebagai berkembang dan terus

terkonsolidasi di Indonesia.

VI. PENUTUP

Sangat jelas Wasatiyat Islam adalah ajaran Islam yang sentral namun

dalam banyak hal masih bersifat potensial, belum aktual dalam kehidupan

ummat Islam baik dalam aspek ibadat maupun muamalat, baik pada skala

lokal maupun pada skala nasional dan global. Wasatiyyat Islam

mengandung dimensi keluasan, keluhuran dan keindahan. Ajaran ini

membawa kedamaian, keteraturan dan keharmonian.

Oleh karena itu, adalah tanggung jawab keagamaan ummat Islam di

seluruh dunia untuk mengamalkan Sepuluh Prinsip Wasatiyat Islam dalam

kehidupan nyata, terutama untuk mengeliminasi bahkan meniadakan

perilaku yang menyimpang dari sebagian kecil Muslim yang menampilkan

kekerasan bahkan dalam bentuk yang ekstrim seperti kekerasan semacam

pembunuhan manusia tak berdosa dan berbagai bentuk perbuatan merusak

lainnya.

Begitu pula Wasatiyat Islam dapat diajukan untuk menjadi

solusi bagi peradaban manusia yang mengalami berbagai bentuk krisis

(sejak krisis pangan, krisis energi, sampai kepada krisis lingkungan hidup).

Berbagai krisis tadi jelas berpangkal pada sistem dunia yang keliru, yang

berwajah antroposentrik dan jauh dari spiritualitas, etika dan moral. Oleh

karena itu, kini saatnya ummat Islam bangkit memperbaiki diri,

mengamalkan ajaran Islam yang sejati sehingga Islam dapat menjadi

penyelesai masalah peradaban (problem solver), bukan sebagai bagian dari

masalah, dan apalagi pencipta masalah peradaban dunia.

Page 165: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

158

ISLAM INDONESIA SEBAGAI POROS WASATHIYAH ISLAM

DUNIA

Oleh

M. Amin Nurin

Indonesia adalah sebuah negara yang unik dengan masyarakat

multikultural, terdiri dari 300 etnis dan berdiam di 17.508 pulau, masing-

masing memiliki budaya mereka sendiri dan menerima 6 agama besar dunia

sebagai agama resmi pemerintah. Yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu,

Buddha, dan Konghucu.

Indonesia adalah negara dengan berpenduduk Muslim terbesar di

dunia. Total jumlah penduduk adalah 260 juta: 87.18% adalah Muslim;

6.96% Protestan; 2.91% Katholik; 1.69% Hindu; 0.72% Buddha; 0.05%

Konghucu; dan 0.13 animis atau kepercayaan. Meski kaum Muslim adalah

penduduk mayoritas, namun Indonesia bukan negara Islam dan tidak pula

negara sekuler.

Kaum Muslim Indonesia terdiri dari 3 karakter, yaitu 1. karakter

Islam Indonesia adalah moderat, inklusif, dan toleran. 2. Islam di Indonesia

sangat kompatibel dengan ke-moderenan, demokrasi, dan fenomena lain dari

dunia kontemporer. 3. Islam tetap toleran dan inklusif sebagai karakter

mainstream Islam di Indonesia, meski akhir-akhir ini ada indikasi

kemunduran akibat perkembangan modernisasi dan globalisasi. (Azra, 2005:

2).

Akhir-akhir ini, isu tentang wasathiyah (moderatisme) Islam kerap

terdengar sejak berbagai peristiwa kekerasan maupun terorisme yang

dituduhkan kepada ummat Islam. Konflik sosial keagamaan yang disertai

kekerasan meningkat sejak Pasca Soeharto –Era Reformasi. Konflik

bernuansa agama tidak hanya antar agama (Islam vs Kristen), tetapi juga intra

agama, seperti kalangan Sunni vs Syi’ah di Lombok Timur; suku/etnis,

seperti kalangan Sunni vs Syi’ah di Lombok Timur; dan konflik kelompok

sosial dan suku/etnis, seperti penduduk pribumi dengan pendatang Bali di

Lampung. Konflik dan kekerasan banyak terkait dengan perebutan dan

kesenjangan penguasaan sumber ekonomi dan politik.

Page 166: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

159

Wasathiyah: Tawazzun dan I’tidal

Istilah wasathiyah tidak terlepaskan dari dua kata yang mengikatnya,

yaitu berimbang (tawazun/balance) dan keadilan (i’tidal/justice). Moderat

bukan berarti kita kompromi dengan prinsip-prinsip pokok (ushuliyah) ajaran

agama yang kita yakini demi bersikap toleran kepada agama lain. Moderate

berarti confidence, right balancing and justice. Tanpa keduanya seruan

moderasi beragama tidak akan efektif. Keduanya harus mendekat dan

mencari titik temu dan masing-masing pihak tidak boleh ekstrim.

Karakter Islam Indonesia adalah Wasathiyah. Tradisi mainstream

Muslim Indonesia adalah karakter wasathiyah dengan menekankan tawazun

dan i’tidal seperti yang dicerminkan oleh Muhammadiyah dan NU. Ummat

Islam Indonesia adalah ummatan washatan yg memberikan cukup ruang bagi

saling respek, toleransi, kompromi, dan akomodasi. Tradisi wasathiyah telah

berkembang berkat pemahaman berimbang (balance) terhadap sumber-

sumber Islam (al-Qur’an, Hadis, dan qaul ulama). Pemahaman dan praktek

Islam wasathiyah diperkuat dengan kontekstualisasi dan akomodasi tradisi

sosial budaya lokal yang pada dasarnya tidak bertentangan dengan akidah

dan ajaran pokok ajaran Islam.

Tradisi wasathiyah Indonesia kaya dengan berbagai tradisi sosial

budaya keagamaan lokal yang pada gilirannya tidak hanya memperkuat

ibadah keagamaan tetapi sekaligus juga memperkuat tali silaturahim dan

kohesi ummat-bangsa. Pertemuan wasathiyah Islam dengan tradisi lokal

Indonesia kemudian menjadi ijtihad para ulama dengan istilah Islam

Nusantara. Sementara Muhammadiyah menggunakan istilah Islam yang

Berkemajuan. Pandangan hidup masyarakat Indonesia ini kemudian menjadi

inspirasi para intelektual/ulama (a.l. Bassam Tibi dan Tariq Ramadhan) yang

hidup di Eropa agar kaum Muslim Eropa bisa hidup berdampingan dengan

masyarakat Eropa berkulit putih dengan damai tanpa ada kecurigaan dan

diskriminatif dengan melakukan ijtihad: Islam Nusantara Eropa (Euro-Islam

Norms). Dengan demikian Islam Wasathiyah Indonesia menjadi contoh

teladan bagi dunia internasional. Karena itu tradisi ini perlu disosialisasikan

ke segala penjuru dunia.

Pancasila Dan Bhinneka Tunggal Ika

Faktor pemersatu yang merukunkan bangsa Indonesia yang sangat

beragam adalah Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Pancasila adalah jalan tengah (wasathiyah) yang diambil oleh pemimpin

Indonesia beserta rakyat Indonesia sebagai ijtihad untuk mempersatukan

masyarakat Indonesia yang majmuk kedalam suatu kesatuan NKRI. Salah

Page 167: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

160

satu sumbangan wasathiyah Islam Indonesia terhadap bangsa Indonesia

adalah mencari kompabilitas Islam dan Demokrasi.

Pendekatan Islam Wasathiyah

Kemunculan kelompok moderat bukan untuk mengajak berpaling dari

perjuangan kelompok ummat yang tarzalimi karena tidak ada balance dan

justice, melainkan menolak penggunaan jalan pintas dlm proses perlawanan

dan pembebasan. Menurut Syafii Maarif, jalan pintas yang digunakan

kelompok Islam radikal itu sebagai harakiri. Sejarah peradaban manusia

menceritakan bhw radikalisme dlm bentuk teror berujung dg kegagalan

karena berpijak pada kebencian dan fanatisme (self defeating). Pendekatan

Islam moderat menawarkan wacana pembebasan yang mencerahkan dalam

bentuk elegan, sistematis, dan evolutif. Pendekatan dialog, khususnya “dialog

emansipatoris” secara terbuka dan pemahaman timbal balik dengan penuh

kejujuran, iktikad baik dan siap merubah persepsi yang keliru. (Nurdin dan

Ropi, 2011:20.)

Islam moderat merupakan usaha membangun peradaban dunia dan

sekaligus penyelamatan terhadap kondisi dunia saat ini. Namun tak dapat

dipungkiri, banyak kritikan terhadap kaum moderat yang dianggap kurang

tegas dalam menyikapi aksi-aksi kekerasan yan dilakukan kelompok garis

keras. Seringkali ormas-ormas arus utama ini dianggap ambigu dan

membiarkan kekerasan terjadi.

Kompatibilitas Islam dan Demokrasi: Titik Temu Islam Wasathiyah

Istilah demokrasi, menjadi perdebatan di kalangan ulama Islam:

Apakah Islam itu kompatibel (cocok) dengan demokrasi. Bagi Abul Ála al-

Maududi, Islam itu tidak kompatibel dengan demokrasi karena sudah ada

hukum Islam yang mengatur segala kehidupan ummat Islam. Begitu pula

Sayyid Qutub, diperlukan negara Islam/khilafah yang beradasarkan hukum

al-Qurán yang mengatur dengan prinsip syura yang disebut dengan hukum

syariat. Sementara ulama/intelektual Islam lain memandang Islam kompatibel

dengan demokrasi. Demokrasi di negara-negara Barat secara historis

mengambil bentuk sekularisme sebagai ideologi, sedangkan negara Islam

mengambil agama sebagai landasan hukum. Ada perbedaan mendasar antara

sekularisme dan negara Islam. Negara Islam meyakini ada hubungan vertikal

antara Tuhan dengan manusia yang disebut dengan kedaulatan Tuhan,

sedangkan sekularisme berdasarkan hubungan horizontal antara manusia

dengan manusia (kedaulatan rakyat). Dari perbedaan ini muncul dan

berkembang interpretasi di kalangan ulama/pemikir tentang politik

keagamaan di dalam membangun demokrasi dengan menggunakan konsep

Page 168: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

161

syura, ijma, dan ijtihad. Proses demokrasi yang sedang berlangsung di

Indonesia, bisa dijadikan sebuah model pembangunan kerangka politik

agama di antara pergumulan kompabilitas demokrasi dan Islam di dunia

Islam. Indonesia dianggap sebagai negara yang menerapkan demokrasi

terbaik ketiga di dunia setelah US dan India.

Hubungan Islam dengan Demokrasi: Tiga Pemikiran

Secara Umum ada tiga ada tiga kelompok pemikiran yang berbeda

tentang hubungan Islam dan demokrasi( M. Amin Nurdin, dkk., 2014:15) :

1. Kelompok yang menolak adanya hubungan antara Islam dan

demokrasi. Alasan penolakan:

a. Prinsip persamaan (kelas, ras, dan jender) tidak mungkin diterapkan

dalam Islam.

b. Islam merupakan pedoman hidup. Karena itu, Muslim tidak

memerlukanlegislasi lain. Tugas manusia hanya melaksanakan

hukum Tuhan di muka bumi, bukan menciptakan hukum baru.

c. Kedaulatan Tuhan di muka bumi berlaku baik melalui sunnatullah

maupun wahyu.

d. Syura tidak otomatis membawa pada demokrasi.

e. Prinsip mayoritas tidak otomatis selalu benar dan adil secara

moral.

f. Demokrasi, sebenarnya hanya sebagai alat Barat semata untuk

mendiskreditkan Islam.

Tokoh: Syakh Fadlallah Nuri, Sayyid Qutub, al Sya’rawi, Ali

Benhadj dan Thabathabai.

2. Kelompok yang menyetujui bahwa ada kemiripan dan perbedaan

antara sistem syura dalam Islam dan demokrasi. Alasannya:

a. Keduanya memiliki kesamaan dalam prinsip-prinsipnya seperti

keadilan, musyawarah, dan akuntabilitas penguasa.

b. Keduanya memiliki perbedaan, seperti konsep kedaulatan rakyat.

Jika pada sistem demokrasi yang ada sekarang ini kedaulatan rakyat

bersifat mutlak, sementara dalam Islam kedaulatan mereka dibatasi

oleh kedaulatan Tuhan atau syari’ah. Islam berada antara theokrasi

dan demokrasi. Karena, parlemen memiliki ruang untuk membuat

legislasi sepanjang tidak diatur oleh syariah.

Tokoh: Abu A’la al-Maududi dan Moh. Natsir

Page 169: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

162

3. Kelompok yang berpendapat bahwa Islam dan demokrasi dapat

dipadukan. Alasannya:

a. Keduanya sama baik dalam prinsip maupun prosedur kenegaraan.

b. Sistem demokrasi pertama dicanangkan oleh Islam.

Argumentasinya : “Islam menghendaki pemerintahan yang

disetujui rakyatnya, penolakan kediktatoran, pemilu sebagai

kesaksian rakyat, menjunjung tinggi keadilan dan toleransi, keyakinan

bahwa imamah merupakan kontrak sosial. Karena itu, demokrasi

berarti mengembalikan sistem sebagaimana yang dipraktekkan Nabi.

Titik Temu Pemikiran

Jawaban kelompok ketiga terhadap kritik dari dua kelompok

sebelumnya adalah:

a. Demokrasi tidak berarti menolak kedaulatan Tuhan

b. Mayoritas tidak identik dengan kesesatan

c. Legislasi tidak berarti menentang hukum Tuhan

d. Sistem multipartai dalam demokrasi menghindari kezaliman

e. Meminta kekuasaan itu dilarang, tapi mengajukan diri sebagai

kandidat dibolehkan sebagaimana Nabi Yusuf dan Sulaiman.

f. Hukum-hukum tertentu seperti hudud atau qishash bukanlah ajaran

murni Islam dan tidak berlaku sepanjang masa. Itu hanya sebagai

ajaran subsider dan transisional belaka. Karena ajaran itu hanya

merupakan akomodasi Islam terhadap ajaran ajaran sebelumnya.

Tokoh: Fahmi Huwaidi, Mahmoud Muhammed Abdullah An-Naim,

Mohammad Arkoun, dll.

Hubungan Agama dan Negara

Ada tiga macam hubungan agama dan negara dan masing-masing

memiliki alasan sendiri-sendiri seperti terlihat berikut ini.

1. Paradigma Integralistik: Agama dan negara tidak dapat dipisahkan.

Alasannya: Islam tidak mengenal pemisahan agama dan negara (Islam

din wa daulah). Pada konsep ini kehidupan bernegara diatur dengan

menggunakan hukum agama. Contoh: Iran, Arab Saudi, Pakistan dll.

2. Paradigma Simbiotik: Hubungan agama dan negara saling

membutuhkan dan timbal balik. Dalam konteks ini, agama

membutuhkan negara dalam rangka mengembangkan dan melestari-

Page 170: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

163

kan nilai-nilai agama, sementara negara membutuhkan agama karena agama

dapat menjadi penjaga moral dan spiritual warga negara. Contoh: Indonesia,

Malaysia, dll.

3. Paradigma Sekularistik: Ada pemisahan antara agama dan negara.

Menurut paradigma ini, agama dan negara memiliki garapan masing-masing

dan sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh intervensi.

Hukum negara didasarkan pada hukum positif dan konsensus. Contoh:

Turki.

Dengan penjelasan di atas terlihat Indonesia memilih bentuk nomor 2,

yaitu Paradigma Simbiotik, dimana agama dan negara saling membutuhkan

secara timbal balik.

Page 171: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

164

Tafsir Atas Islam Nusantara:

(Dari Islamisasi Nusantara Hingga Metodologi Islam Nusantara)

Oleh

Abdul Moqsith Ghazali

Pendahuluan

Sejak dicanangkan menjadi tema muktamar NU ke 33 di Jombang

Jawa Timur pada 1-5 Agustus 2015, Islam Nusantara sebagai sebuah ide atau

gagasan terus menjadi percakapan publik. Percakapan tentangnya begitu riuh.

Ada yang menyorot dari sudut linguistik. Tapi, tak sedikit juga yang

mempertanyakannya secara epistemologis dan metodologis. Intinya, gagasan

Islam Nusantara menimbulkan sikap pro dan kontra. Sejumlah buku dan

artikel pun ditulis untuk menjelaskan gagasan Islam Nusantara tersebut.

Namun, yang menarik, hingga artikel ini ditulis Pengurus Besar Nahdhatul

Ulama (PBNU) sebagai penyelenggara muktamar tak mengeluarkan satu

buku apapun tentang Islam Nusantara

Dengan ini, NU seakan ingin menyerahkan definisi dan batasan

termasuk metodologi Islam Nusantara ini ke publik akademik. Dari sinilah,

cikal bakal kesalah-pahaman mengenai Islam Nusantara bermula. Sejumlah

prasangka terus dilemparkan terutama terhadap Ketum PBNU, KH Said Agil

Siradj. Kiai Said dituduh hendak menciptakan agama baru dengan ide Islam

Nusantaranya. Bagi penentang Islam Nusantara jelas bahwa Islam tak perlu

dinusantarakan. Justru Nusantaralah yang harus diIslamkan. Sebab, sekiranya

Islam (al-Qur’an) merupakan wahyu yang bersifat sakral dan universal, maka

budaya nusantara adalah produk manusia yang profan dan partikular.

Argumen mereka jelas, tak mungkin yang sakral dan yang universal

ditundukkan pada sesuatu yang profan dan yang partikular. Justru yang harus

dilakukan adalah sebaliknya; mengIslamkan Nusantara. Sampai di sini, apa

yang dikemukakan pihak kontra itu tentu tak salah jika dilihat dari sudut

pandang agama Islam. Hanya pertanyaannya, bagaimana proses pengIslaman

Nusantara itu?

Page 172: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

165

KH Said Aqil Siradj menegaskan bahwa Islam Nusantara bukanlah

sekte atau aliran baru dan tidak dimaksudkan untuk mengubah doktrin Islam.

Menurutnya, Islam Nusantara adalah pemikiran yang berlandaskan pada

sejarah Islam yang masuk ke Indonesia tidak melalui peperangan, tetapi

melalui kompromi terhadap budaya (Sahal, 2015:15). Zainul Milal Bizawie

menegaskan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang khas Indonesia,

gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan

adat istiadat di Tanah Air. Bagi Bizawie, Islam Nusantara arif menyinergikan

ajaran Islam dengan adat istiadat lokal di Nusantara (Bizawie, 2016:3). Ini

selaras dengan cara berfikir NU yang mendorong munculnya ekspresi

keberIslaman yang toleran, damai, dan akomodatif terhadap budaya

nusantara (Sahal, 2015:15). Selanjutnya, bagaimana definisi, sejarah

Islamisasi Nusantara, dan metodologi Islam Nusantara, artikel ini coba

membantu menjelaskannya sehingga sejumlah kesalahpahaman perihal

gagasan Islam Nusantara itu bisa diminimalkan.

Pengertian Dasar Islam Nusantara

Menarik, sebagian kiai membahas Islam Nusantara dengan mengurai

frase “Islam Nusantara” itu dari sudut gramatika bahasa Arab. Dalam sebuah

forum diskusi di arena muktamar NU di Jombang, Kiai Afifuddin Muhajir

menjelaskan bahwa “Islam Nusantara” itu tarkib idhafi. Karena itu, Islam

Nusantara memiliki tiga kemungkinan makna. Pertama, Islam Nusantara

bermaka Islam yang dipahami dan dipratekkan kemudian menginternalisasi

dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Inilah pengertian Islam Nusantara

dengan memperkirakan adanya huruf jar “fi” pada frase Islam Nusantara

(Islam fi Nusantara).

Kedua, dengan memperkirakan huruf jar “ba`” di antara kata Islam

dan Nusantara, Islam bi Nusantara. Dengan ini, maka Islam Nusantara

menunjuk pada konteks geografis, yaitu Islam yang berada di kawasan

Nusantara. Lalu, apa yang dimaksud Nusantara itu? Nusantara bisa merujuk

pada wilayah Indonesia modern sekarang, yaitu negara dengan gugusan

pulau-pulau besar dan kecil yang membentang dari Sabang sampai Merauke.

Indonesia modern ini merupakan kelanjutan dari wilayah kekuasaan

penjajahan Belanda, di kenal sebagai “Hindia Belanda” atau Hindia Timur

Belanda (Dutch East Indies). Walau begitu cukup jelas bahwa Indonesia

bukan hasil bentukan Belanda atau pemerintah penjajah. Indonesia adalah

hasil perjuangan melawan penjajahan itu (Madjid, 2004:9). Nusantara yang

lebih besar dari Indonesia modern sekarang, mencakup Semenanjung

Melayu, Kalimatan bagian Utara, Mindanao, Thailand bagian selatan, hingga

Formusa dan Madagarskar.

Page 173: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

166

Dua makna Islam Nusantara di atas jelas menunjuk pada pengertian

Islam Nusantara yang bersifat antropologis dan sosiologis (Yusqi, 2015:5).

Karena itu, jenis keIslaman yang tumbuh dan berkembang di Nusantara bisa

berbeda dengan jenis keIslaman yang tumbuh dan berkembang di Timur

Tengah. Dua makna Islam Nusantara di atas meniscayakan kehadiran Islam

terus menerus yang berdialektika dengan kebudayaan masyarakat Nusantara.

Dalam proses dialektika itu tak jarang Islam Nusantara berhasil menciptakan

simbol-simbol keIslaman baru yang tak ada di kawasan Timur Tengah.

Contoh yang bisa ditunjuk dengan mudah adalah fenomena kebiasaan para

santri Nusantara mengenakan sarung. Padahal jelas, selain untuk kepentingan

menurut aurat, sarung itu tak pernah diteladankan Nabi Muhammad SAW

dan tak menunjuk secara langsung pada ajaran universal Islam. Namun,

sebagaimana diketahui, sarung secara kultural telah menjadi simbol

keIslaman di tanah air. Hingga sekarang, tradisi mengenakan sarung itu terus

dilestarikan oleh kalangan santri dan kaum nahdhiyyin. Bahkan, NU sering

disebut sebagai organisasi kaum sarungan.

Ketiga, pengertian Islam Nusantara dengan memperkirakan huruf jar

“lam” yang mengantarai kata “Islam” dan “Nusantara”. Dengan ini, maka

“Islam” tampak sebagai subyek, sementara “Nusantara” adalah obyek.

Dengan demikian, Islam Nusantara adalah pengejawantahan ajaran Islam

kepada masyarakat Nusantara. Dahulu misalnya para Wali Songo

mendakwahkan ajaran Islam yang ramah dan santun kepada masyarakat

Jawa. Nilai-nilai toleransi dan kemanusiaan yang bercorak sufistik itulah

yang membentuk corak keIslaman yang berkembang di tanah air.

Namun, yang penting diperhatikan dari pengertian Islam Nusantara

yang ketiga adalah kenyataan bahwa tingkat penerimaan masyarakat

Nusantara terhadap Islam tidaklah sama. Ada yang menerima ajaran Islam

secara “kaffah” dan ada yang menerimanya secara “setengah-setengah”. Di

sebagian masyarakat Islam Nusantara, ada keengganan untuk menerima

Islam secara “kaffah”, jika ajaran Islam itu memberangus tradisi masyarakat

yang sudah berjalan ratusan tahun. Salah satu peristiwa yang paling

representatif menggambarkan itu adalah pecahnya Perang Padri (1822-1823)

di Summatera Barat yang kemudian melahirkan satu tagline, “adat basandi

syara`, syara` basandi kitabullah” (adat bersendikan syara` dan syara`

bersendikan al-Qur’an).

Perbedaan tingkat dan dosis penerimaan penduduk Nusantara

terhadap ajaran Islam itu menyebabkan Islam Nusantara pun tidak tunggal.

Begitu juga sebaliknya; penerimaan Islam terhadap keragaman budaya yang

Page 174: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

167

tersebar di Nusantara tidaklah sama. Azyumardi Azra menjelaskan, tingkat

penerimaan Islam pada satu bagian atau bagian yang lainnya tergantung tidak

hanya pada waktu pengenalannya, melainkan juga pada watak budaya lokal

yang dihadapi Islam itu (Azra, 2002:17-18). Dari situ lahirlah ekspresi

keberIslaman yang plural. Ada Islam Jawa, Islam Sasak, Islam Minang, Islam

Bugis yang menunjukkan kebhinekaan Islam Nusantara. Perkembangan

Islam di Nusantara pun berbeda. Taufik Abdullah mencatat sekurangnya ada

empat macam model pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia,

yaitu model Aceh, model Minang, model Goa, dan model Jawa (Abdullah,

1987:32).

Jika demikian, maka pertanyaan berikutnya adalah; apakah yang

terjadi di Nusantara itu Islamisasi Nusantara atau Nusantarasasi Islam? Ini

jelas memiliki makna yang berbeda. Sekiranya Islamisasi Nusantara

bermakna mengIslamankan Nusantara, maka nusantaraisasi Islam bermakna

menusantarakan Islam; bahwa Islam perlu menyesuaikan diri dengan

kenyatataan-kenyataan sosial dan religius di Nusantara. Artinya, Nusantara

bukanlah satu entitas yang harus ditaklukkan untuk diselaraskan dengan

ajaran Islam melainkan Islamlah yang perlu menyelaraskan diri dengan

kehidupan Nusantara. Jika ditelusuri, semuanya ini terkait dengan pola-pola

dakwah pada periode awal Islam di Nusantara.

Islamisasi Nusantara

Islam masuk ke Nusantara tak menghancurkan seluruh kebudayaan

masyarakat. Wali Songo mendakwahkan Islam bahkan dengan menggunakan

strategi kebudayaan. Dalam beberapa kasus, Islam justru mengakomodasi

budaya yang sedang berjalan di masyarakat Nusantara. Tradisi sesajen yang

sudah berlangsung lama dibiarkan berjalan untuk selanjutnya diberi makna

baru. Sesajen dimaknai sebagai bentuk kepedulian kepada sesama bukan

sebagai pemberian terhadap dewa. Begitu juga tradisi nadran dengan

mengalirkan satu kerbau ke pantai Jawa tak dihancurkan, melainkan

diubahnya hanya dengan membuang kepala kerbau atau kepala sapi ke laut.

Nadran tak lagi dimaknai sebagai persembahan pada dewa, melainkan

sebagai wujud syukur kepada Allah. Hasil bumi yang terhidang dalam

upacara tak ikut dilarungkan ke laut, tapi dibagi ke penduduk.

Dalam menyampaikan ajaran Islam Wali Songo menggunakan cara-

cara persuasif bukan konfrontatif. Anasir-anasir Arab yang tak menjadi

bagian dari ajaran Islam tak dipaksakan untuk diterapkan. Sunan Kudus

membangun mesjid dengan menara menyerupai candi atau pura.

Memodifikasi konsep “Meru” Hindu-Budha, Sunan Kalijogo membangun

Page 175: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

168

ranggon atau atap mesjid dengan tiga susun yang menurut Abdurrahman

Wahid untuk melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim, yaitu

iman, Islam, dan ihsan. Ini kearifan dan cara ulama dalam memanifeskan

Islam sehingga ummat Islam tetap bisa ber-Islam tanpa tercerabut dari akar

tradisi mereka sendiri (Wahid, 2001:118).

Para Wali tak ragu meminjam perangkat-perangkat budaya sebagai

perangkat dakwah. Sunan Kalijogo menggunakan Wayang Kulit sebagai

media dakwah. Ia memasukkan kalimat syahadat dalam dunia pewayangan.

Doa-doa, mantera-mantera, jampi-jampi yang biasanya berbahasa Jawa

ditutupnya dengan bacaan dua kalimat syahadat. Dengan cara ini, kalimah

syahadat menjelma di hampir semua mantera-mantera yang populer di

masyarakat. Alih-alih mengharamkan wayang dan gamelan, para wali justru

menggunakan keduanya sebagai sarana dakwah Islam. Gamelan yang

dipadukan dengan unsur-unsur upacara Islam populer telah melahirkan tradisi

Sekatenan di pusat-pusat kekuasaan Islam seperti Cirebon, Demak,

Yogyakarta, dan Solo.

Yang paling spektakuler dari dialektika antara Islam dan budaya lokal

itu adalah adalah upacara peringatan untuk orang-orang yang sudah

meninggal dunia. Upacara itu dikenal dengan istilah Tahlilan, (hari pertama

sampai hari ketujuh dari kematian, lalu diperingati lagi pada hari ke 40, 100,

1000 hari). Upacara seperti sulit ditemukan contohnya pada zaman Nabi

Muhammad SAW. Akan tetapi, menurut Nurcholish Madjid, itu adalah cara

yang paling efektif untuk menanamkan jiwa tauhid dalam kesempatan

suasana keharuan yang membuat orang menjadi sentimentil (penuh perasaan)

dan sugestif -gampang menerima paham atau pengajaran (Madjid, 1995:

551). Namun, bagi kalangan Islam tradisional seperti kaum nahdhiyyin, lebih

dari sekedar pendidikan tauhid, tahlilan juga berfungsi untuk menghadiahkan

pahala (ihda` al-tswab) untuk orang yang sudah meninggal dunia.

Lepas dari itu, cara dakwah yang ditempuh para ulama Nusantara

ternyata efektif dalam mengubah masyarakat. Dalam berdakwah, para ulama

Nusantara sempurna mengamalkan firman Allah, ud`u ila sabili rabbika bil

hikmah wal maw`idhatil hasanah wa jadilhum billati hiya ahsan. Jika

dakwah dengan jalan hikmah dan mau`idhah hasanah tak menghasilkan

perubahan, maka jalan dialog yang dilakukan, bukan pentungan dan pedang

yang dihunjamkan.

Dengan cara dan strategi dakwah yang demikian, Islam dianut banyak

orang. Islam memang masuk ke Indonesia sejak abad ke 13, tapi

kenyataannya Islam betul-betul dipilih warga Nusantara secara luas baru

pada periode Wali Songo. Ini berkah dari dakwah penuh perdamaian para

Page 176: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

169

ulama. Jawa bisa diIslamkan tanpa pertumpahan darah. Begitu juga dengan

dakwah damai yang dilakukan para ulama Nusantara lain di Summatera

bagian utara, Kalimantan, Maluku, dan lain-lain bahkan hingga ke Melaka.

Cara-cara persuasif para ulama Nusantara dalam menyiarkan Islam

tersebut, menjadi “trademark” Islam Nusantara, yaitu Islam yang sanggup

berdialektika dengan kebudayaan masyarakat. Ajaran-ajaran Islam bisa

diserap masyarakat tanpa menumbangkan basis-basis tradisi masyarakat.

Hubungan Islam dan kebudayaan Nusantara adalah ‘alaqah jadaliyah

(hubungan dialektik) bukan ‘alaqah ikhdha’ (hubungan penundukan-

subordinatif) oleh satu pihak pada pihak lain. Islam Nusantara sekali lagi

lebih mendahulukan cara-cara persuasi daripada konfrontasi, lebih

mengutamakan jalan damai ketimbang jalan perang walau dalam beberapa

kasus perang tak terhindarkan terutama sejak kaum penjajah merampas

kedaulatan Nusantara.

Dengan menggunakan cara bil hikmah wal mau`idah al-hasanah wal

mujadalah bil husna, para ulama berhasil mengIslamkan Nusantara. Dengan

dakwah seperti ini, penduduk Nusantara--meminjam bahasa al-Qur’an--

yadkhuluna fi dini Allah afwaja (mereka berbondong-bondong masuk Islam).

Mungkin benar, Islam masuk ke Nusantra sejak abad ke 13 M. Namun, yang

memeluk Islam saat itu diperkirakan hanya para pedagang dari luar.

Sementara penduduk asli Nusantara masih memeluk agama-agama lama.

Berbagai sumber menyatakan bahwa pemelukan Islam secara masif dari

orang-orang Nusantara baru terjadi dua abad berikutnya, yaitu pada era Wali

Songo.

Keberhasilan dakwah wali songo itu mencengangkan dan menjadi

renungan para kiai NU dalam kurun waktu lama. Tak sedikit dari mereka

yang bertanya-tanya; apa yang istimewa dari dakwah para wali itu sehingga

banyak orang melepas agama lamanya dan berpindah ke agama baru, Islam.

Setelah mempelajari sejarah, para pengusung Islam Nusantara berkesimpulan

bahwa dakwah para wali itu mengikuti pola dakwah Nabi Muhammad; Islam

disebarkan dengan penuh rahmat dan kasih sayang. Para wali lebih

mendahulukan cara dialog ketimbang konfrontasi. Masyarakat kerap

dibiarkan menjalankan tradisi leluhurnya sambil sedikit demi sedikit ajaran

tauhid diinjeksikan ke dalamnya. Memberantas kemungkaran pun tak

dilakukan dengan cara-cara mungkar (al-nahyu `an al-munkar bi ghair al-

munkar).

Mengikuti pola turunnya wahyu yang tak sekaligus, para sufi

Nusantara tak memaksa orang-orang yang baru masuk Islam untuk langsung

Page 177: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

170

melaksanakan syariat secara penuh. Syariat Islam dijalankan setahap demi

setahap mengikuti tingkat kesiapan masyaratakat. Sebagaimana dicontohkan

Nabi Muhammad, Islam didakwahkan para wali itu secara bertahap (al-tadrij

fi al-tasyri`), tak memberatkan (`adam al-haraj), dan tak banyak beban (taqlil

al-takalif). Cara-cara ekstrem (tatharruf) dalam penyelesaian masalah dijauhi

para wali. Menurut KH Said Aqil Siroj, dalam menyebarkan Islam, para sufi

Nusantara berdiri di atas prinsip toleransi (tasamuh) dan moderatisme

(tawassuth). Dengan prinsip toleransi, Sunan Kudus pernah melarang ummat

Islam menyembelih sapi khusus daerah Kudus Jawa Tengah sebagai bentuk

penghormatan terhadap orang-orang Hindu yang memercayai kesucian

binatang tersebut.

Itulah kesimpulan para kiai ketika membaca metode dakwah dan

melihat ekspresi keberIslaman yang diteladankan para wali di Nusantara

dulu. Menurut saya, jika itu yang menjadi narasi utama Islam Nusantara,

maka pro-kontra di atas tak diperlukan. Sebab, baik yang pro maupun yang

kontra sesungguhnya tak sedang mempertentangkan sesuatu. Mereka hanya

membicarakan sesuatu dari ranah berbeda. Sekiranya kelompok kontra Islam

Nusantara berbicara pada tataran normatif-ideal, maka para pengusung Islam

Nusantara itu berbicara pada tataran riil-empirikal. Tentu, sesuatu yang ideal

itu tak boleh dibiarkan--meminjam bahasa Kiai Afifuddin Muhajir--“hanya

menggantung di langit”. Sesuatu yang ideal itu harus dibawa ke ruang yang

lebih realistis. Dalam konteks itu, para wali tak ragu untuk “menusantarakan”

hal-hal tertentu dalam Islam.

Disebut “hal-hal tertentu”, sebab tak semua hal dalam Islam bisa

dinusantarakan. Sebagaimana diketahui, Islam memiliki dua jenis ajaran.

Pertama, adalah ajaran yang tetap-tak berubah (al-tsawabit). Akidah adalah

salah satu hal dari al-tsawabit tersebut. Ummat Islam dimanapun misalnya

harus meyakini tentang keesaan Allah SWT, kenabian Muhammad SAW,

dan kewahyuan al-Qur’an al-Karim. Tak bisa dengan alasan budaya, ummat

Islam Nusantara menolak ajaran tauhid-monoteisme. Dimana pun berada,

syahadat ummat Islam adalah sama, asyhadu an la ilaha illa Allah wa

asyhadu anna Muhammadan Rasulullah. Dengan ini jelas, tak ada akidah

Islam Nusantara yang distingtif dengan akidah ummat Islam lain.

Contoh lain adalah soal shalat. Dalam pokok soal ini, Islam Nusantara

tak masuk pada syarat dan rukun shalat. Tak bisa dengan alasan budaya,

bacaan shalat diganti dengan tembang Nusantara. Terkait shalat, yang bisa

dinusantarakan adalah soal tempat pelaksanaan shalat dan pakaian penutup

aurat dalam shalat. Apakah ummat Islam misalnya boleh membangun mesjid

dengan desain dan arsitektur gereja atau pura. Begitu juga, soal bentuk

mukena dan pakaian yang menjadi penutup aurat seorang muslim dalam

Page 178: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

171

shalat. Dalam dua perkara itu, Islam bisa berdialektika dengan kebudayaan.

Di Jawa dan Madura misalnya laki-laki muslim biasanya mengenakan sarung

ketika shalat. Sunan Kudus membangun mesjid menyerupai bentuk pura di

Bali.

Kedua, adalah ajaran yang tidak tetap dan berubah (al-

mutaghayyirat). Jenis ajaran kedua ini sebagian besar berada pada domain

mu`amalah, siyasah (politik), dan `urf-ijtima`i (sosial-budaya). Pada bidang

ini, Islam sesungguhnya lebih banyak bicara mengenai prinsip-prinsip etis-

moral seperti tahqiq al-`adalah (mewujudkan keadilan), syura baynahum

(musyawarah), ishlah dzati al-bayn (perdamaian), mu`asyarah bi al-ma`ruf

(pergaulan yang baik), wujud al-taradhi (adanya kerelaan), izalah al-dharar

(menghilangkan kemudaratan), `adam al-ikrah (tak ada pemaksaan), dan

`adam al-gharar (tak ada penipuan). Intinya, seluruh hal terkait relasi antar

manusia, mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat hingga negara harus

didasarkan pada prinsip menarik maslahat (jalbu al-mashlahah) dan menolak

mafsadat (dar’u al-mafsadah).

Prinsip-prinsip itulah yang menjadi acuan etis para pengusung Islam

Nusantara dalam merespons problem-problem sosial-ekonomi dan politik di

masyarakat. Misalnya, ketika baru merdeka, Indonesia terjebak dalam dua

pilihan sulit; menjadikannya sebagai negara Islam atau sebagai negara

sekuler. Jika yang satu memaksakan negara Islam, maka yang lain

memaksakan negara sekular. Tarik menarik di antara keduanya cukup keras

hingga ditemukan satu traktat politik, Pancasila. Dengan Pancasila, Indonesia

bisa selamat dari ancaman perpecahan dan peperangan sesama anak bangsa.

Mengacu pada kaidah fikih, menolak terjadinya kemafsadatan harus

didahulukan daripada menarik kemaslahatan (dar’u al-mafasid muqaddam

`ala jalbi al-mashalih), NU menerima Pancasila.

Begitu juga ketika sebagian ummat Islam Indonesia gamang apakah

akan menerima konsep Hak Asasi Manusia atau menolaknya. Para kiai

berkumpul dan bersepakat bahwa ada sub bahasan di dalam kitab kuning

yang bisa menjadi rujukan hak asasi manusia dalam Islam yang disebut

dengan al-kulliyat al-khams (lima pokok ajaran), yaitu memelihara jiwa

(hifzh al-nafs), memelihara agama (hifzh al-din), memelihara akal (hifzh al-

`aql), memelihara harta (hifzh al-mal), memelihara kehormatan-keturunan

(hifzh al-`irdh wa al-nasab). Lima ajaran pokok ini di samping didasarkan

pada ayat-ayat al-Qur’an, juga dilandaskan pada pidato Nabi Muhammad

SAW pada Haji Wada` yang memerintahkan ummat Islam untuk menjaga

jiwa, harta, dan kehormatan (inna dima’akum wa amwalakum wa

Page 179: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

172

a`radhakum haramun `alaikum kahurmati yawmikum hadzi wa syahrikum

hadza wa baladikum hadza).

Dengan paparan di atas, maka tak seharusnya Islam Nusantara

ditampik. Di era Indonesia modern, Islam Nusantara telah berhasil

menjembatani sejumlah ketegangan antara Islam dan budaya, Islam dan

Negara Bangsa, Islam dan Pancasila, Islam dan Demokrasi, Islam dan Hak

Asasi Manusia. Keberhasilan ini bisa dicapai karena kecakapan Islam

Nusantara dalam meramu dalil normatif Islam (fiqh al-nushush) dengan

fakta-fakta empirik di lapangan (fiqh al-waqi`). Dengan demikian, dalam

mengoperasikan Islam Nusantara, para ulama perlu memperhatikan nash al-

Qur’an-hadits dan konteks sosial-ekonomi-politik secara sekaligus. Dengan

cara ini kiranya fatwa ulama Nusantara tak hanya membuahkan maslahat

bagi ummat Islam secara terbatas di Indonesia melainkan justru sebagai

rahmat bagi seluruh ummat manusia.

Hanya untuk pengembangan gagasan Islam Nusantara ke depan, tentu

ia membutuhkan perangkat metodologinya. Dengan kehadiran metodologi

itu, maka pengusung Islam Nusantara akan tahu obyek dan wilayah garapan

Islam Nusantara. Metodologi yang ditawarakan ini bukanlah metodologi

baru. Ia adalah penyederhanaan dari ushul fikih yang disusun para ulama

seperti Imam Syafii, Imam Ghazali, Imam Izzu al-Din ibn Abdi al Salam, al-

Syathibi, dan lain-lain.

Metodologi Islam Nusantara

Seperti dijelaskan pada paparan berikutnya, ide Islam Nusantara

datang bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin membentuk

tafsiran ajaran yang sesuai dengan ajaran universal Islam dan mencari cara

bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang

beragam. Upaya akademik pertama itu dalam ilmu ushul fikih disebut takhrij

al-manath, sedangkan upaya kedua disebut tahqiq al-manath. Penjelasan

sederhananya demikian. Pertama, takhrij al-manath sebagai kerja intelektual

untuk membuat tafsir Islam yang relevan dengan konteks zaman. Salah satu

hasil akademik dari kerja takhrij al-manath ini adalah dirumuskannya

Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Penetapan Pancasila

sebagai dasar negara dicapai berdasarkan konsensus di kalangan para pendiri

bangsa (founding fathers) setelah sebelumnya terjadi perdebatan panjang di

antara mereka. Nurcholish Madjid dengan meminjam bahasa al-Qur’an

menyebut Pancasila kalimah sawa’ (Madjid, 1995:76), atau common platform

yang merekatkan seluruh warga negara.

Page 180: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

173

Melalui penulusuran selintas bisa dikatakan bahwa yang

menyebabkan Pancasila dengan cepat diterima seluruh elemen bangsa,

karena di dalam Pancasila itu terdapat sila bahkan sila pertama, yaitu

Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, ada kekhawatiran sila pertama

menimbulkan kontroversi penafsiran, maka dengan cepat Soekarno

mengantisipasi melalui pidato politiknya tanggal 1 Juni 1945. Bung Karno

berkata:

“Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al-Masih; yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad Saw.; orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi, marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan” (Latif, 2014:2-3). Bung Karno tampaknya hendak menyerahkan soal ketuhanan kepada

setiap ummat beragama. Biarlah setiap ummat merumuskan konsep

ketuhanan sendiri-sendiri. Ketuhanan menurut Islam dirumuskan ummat

Islam. Begitu juga ketuhanan menurut Hindu, Budha, Kristen, Katolik,

Konghucu dan Aliran Kepercayaan lain hendaknya dirumuskan ummat

masing-masing.

Atas dasar itu, NU merumuskan satu deklarasi tentang Pancasila

termasuk tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Muktamar NU ke

27 di Situbondo, pada 16 Rabi’ul Awwal 1404 H/21 Desember 1983 M tahun

1983, NU menyatakan:

1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia

bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.

2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasad 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.

3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.

4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya ummat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.

Page 181: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

174

Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak (Keputusan Musyawarah Alim Ulama Nahdlatul Ulama, Nomor II/MAUNU/1404/1983 Tentang Pemulihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926).

Rumusan dekralasi itu bukan hanya menunjukkan sikap politik NU

untuk terus bertumpu pada Pancasila melainkan juga merupakan penjelasan

teologis NU kepada ummat Islam mengapa ummat Islam menerima Pancasila

dan mengapa juga mereka harus ikut merawat Pancasila. KH As`ad Syamsul

Arifin (Pengasuh PP Asembagus Situbondo) menyatakan bahwa

mengamalkan Pancasila meruapakan kewajiban bagi semua ummat (Feilard,

1999:239). Dalam perkembangannya, penerimaan NU terhadap Pancasila itu

diikuti ormas-ormas Islam lain seperti Muhammadiyah.

Tentang keunikan Pancasila, menarik memperhatikan penjelasan Izzat

Mufti (pejabat tinggi Arab saudi) sebagaimana dikutip As`ad Said Ali. Dalam

sebuah kunjungan ke Indonesia tahun 1980-an, setelah mendengarkan

penjelasan tentang Pancasila di Museum Satria Mandala, Izzat Mufti

menyatakan demikian:

“Arab Saudi menjadikan Alquran dan Hadis sebagai landasan bernegara karena seluruh warganya adalah muslim. Indonesia yang multiagama menjadikan Pancasila sebagai dasar negara di mana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu keputusan yang benar dan tidak bertentangan dengan Islam” (Ali, 2009:xi). Dengan ini bisa dinyatakan bahwa Pancasila merupakan hasil ijtihad

(takhrij al-manath) para pendiri bangsa Indonesia. Pancasila hanya ada di

Indonesia, tidak ada di negara-negara lain. Ia dianggap paling relevan untuk

menyatukan seluruh bangsa yang menganut agama yang berbeda-beda.

Dengan perkataan lain, Pancasila adalah semen yang merekatkan seluruh

warga negara yang berbeda latar belakang agama, budaya, bahasa, etnis, dan

suku.

Kedua, yaitu tahqiq al-manath yang dalam prakteknya bisa berbentuk

mashlahah mursalah, istihsan dan `urf. Dengan merujuk pada dalil, “apa

yang dipandang baik oleh kebanyakan manusia, maka itu juga baik menurut

Allah” (ma ra’ahu al-muslimuna hasanan fahuwa `inda Allah hasanun),

ulama Malikiyah tak ragu menjadikan istihsan sebagai dalil hukum. Dan kita

tahu, salah satu bentuh istihsan adalah meninggalkan hukum umum (hukm

kulli) dan mengambil hukum pengecualian (hukm juz’i)

Sekiranya istihsan banyak membuat hukum pengecualian, maka `urf

sering mengakomodasi kebudayaan lokal. Sebuah kaidah menyatakan, al-

Page 182: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

175

tsabitu bil `urfi kats tsabiti bin nash (sesuatu yang ditetapkan berdasar tradisi

“sama belaka kedudukannya” dengan sesuatu yang ditetapkan berdasar al-

Qur’an-Hadits). Kaidah fikih lain menyatakan, al-`adah muhakkamah (adat

bisa dijadikan sumber hukum). Tentang `urf atau tradisi, Abdul Wahab

Khallaf membuat pernyataan demikian: “Oleh karena itu para ulama berkata: al-`adat syari`ah muhakkamah (adat adalah syariat yang dijadikan hukum). Dan adat kebiasaan (`urf) dalam syara` harus dipertimbangkan. Imam Malik membangun banyak hukum dengan bertumpu pada perilaku penduduk Madinah. Imam Abu Hanifah dan para ulama pendukungnya berbeda pendapat dalam soal hukum yang diakibatkan perbedaan adat kebiasaan mereka. Setelah berdiam diri di Mesir, Imam Syafii mengubah sebagian pendapat hukumnya yang ditetapkan ketika dia berada Baghdad. Ini karena perbedaan tradisi (dua negeri itu). Karena itu, ia mempunyai dua pandangan hukum, yang lama (qaul qadim) dan yang baru (qaul jadid). Dan dalam fikih Hanafi banyak hukum yang didasarkan pada adat kebiasaan. …. Karena itu ada ungkapan-ungkapan populer, “al-ma`rufu `urfan ka al-masyruthi syarthan” (yang baik menurut adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan syarat yang harus dipenuhi); “al tsabit bi al-nash ka al-tsabiti bi al-nash” (apa yang ditetapkan oleh tradisi sama nilanya dengan apa yang ditetapkan berdasarkan nash -Qur`an atau Hadits (Khallaf, 1968:90).

Ini menunjukkan, betapa Islam sangat menghargai kreasi-kreasi

kebudayaan masyarakat. Sejauh tradisi itu tak menodai prinsip-prinsip

kemanusiaan, maka ia bisa tetap dipertahankan. Sebaliknya, jika tradisi itu

mengandung unsur yang mencederai martabat kemanusiaan, maka tak ada

alasan untuk melestarikan. Dengan demikian, Islam Nusantara tak

menghamba pada tradisi karena tradisi memang tak kebal kritik. Sekali lagi,

hanya tradisi yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan yang perlu

dipertahankan. Sementara tradisi yang bertentangan dengan universalitas

Islam, maka ia harus ditentang. Menurut Nurcholish Madjid, Islam adalah

agama yang menentang satu sikap yang secara a priori memandang bahwa

tradisi lelulur selalu baik dan harus dipertahankan serta diikuti. Menurutnya,

sikap kritis terhadap tradisi inilah yang menjadi unsur penyebab terjadinya

transformasi sosial masyarakat yang mengalami perjumpaan dengan Islam

(Madjid, 1995:552).

Ini karena Islam berpendirian bahwa tak boleh ada tradisi yang layak

dipertahankan sekiranya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan adalah soko guru hukum Islam.

Izzuddin ibn Abdis Salam dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam

menyatakan, tercapainya kemaslahatan manusia adalah tujuan dari seluruh

Page 183: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

176

pembebanan hukum dalam Islam -innama al-takalif kulluha raji’atun ila

mashalihil `ibad (Madjid, 1995:552). Demikian pentingnya kemaslahatan

tersebut, maka kemaslahatan yang tak diafirmasi oleh teks al-Qur’an-Hadits

pun bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Tentu dengan catatan,

kemaslahatan itu tak dinegasi nash al-Qur’an-Hadits. Itulah mashlahah

mursalah.

Dengan demikian jelas bahwa dalam penerapan al-Qur’an dan Hadits,

Islam Nusantara secara metodologis bertumpu pada tiga dalil tersebut, yaitu

mashlahah mursalah, istihsan, dan `urf. Tiga dalil itu dipandang relevan

karena sejatinya Islam Nusantara lebih banyak bergerak pada aspek ijtihad

tathbiqi ketimbang ijtihad istinbathi. Jika ijtihad istinbathi tercurah pada

bagaimana menciptakan hukum (insya’ al-hukm), maka ijtihad tathbiqi

berfokus pada aspek penerapan hukum (tathbiq al-hukm). Sekiranya ujian

kesahihan ijtihad istinbathi dilihat salah satunya dari segi koherensi dalil-

dalilnya, maka ujian ijtihad tathbiqi dilihat dari korespondensinya dengan

aspek kemanfaatan di lapangan (Ghazali dalam Sahal, 2015:106).

Contoh terang dari ijtihad tathbiqi adalah kebijakan Khalifah Umar

ibn Khattab yang tak memotong tangan para pencuri saat krisis, tak membagi

tanah hasil rampasan perang, tak memberi zakat pada para muallaf. Ketika

Khalifah Umar dihujani kritik karena kesukaannya mengubah-ubah

kebijakan, ia menjawab, “dzaka `ala ma qadhaina, wa hadza `ala ma

naqdhi” (itu keputusanku yang dulu, dan ini keputusanku yang sekarang).

Perubahan kebijakan ini ditempuh Khalifah Umar setelah memperhatikan

perubahan situasi dan kondisi di lapangan. Sebuah kaidah fikih menyebutkan,

“taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal

wa al-`adat” (perubahan hukum mengikuti perubahan situasi, kondisi, dan

tradisi).

Mengambil inspirasi dari kasus Sayyidina Umar ibn Khtattab

tersebut, Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah hukum waris al-

Qur’an misalnya. Namun, bagaimana hukum waris itu diimplementasikan

sekarang. Dalam kaitan implementasi itu, di Indonesia misalnya dikenal harta

gono-gini, yaitu harta rumah tangga yang diperoleh suami-istri secara

bersama-sama. Harta gono-gini biasanya dipisahkan terlebih dahulu sebelum

pembagian waris Islam dilakukan. Penyesuaian hukum ini dijalankan

masyarakat secara turun-temurun karena rupanya narasi keluarga Islam di

Indonesia berbeda dengan narasi keluarga Islam di Arab sana.

Page 184: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

177

Begitu juga, tak ada yang membantah bahwa menutup aurat adalah

perintah syariat. Namun, di kalangan para ulama terjadi perselisihan

mengenai batas aurat. Ada ulama yang longgar, tapi ada juga ulama yang

ketat dengan menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan bahkan suaranya

adalah bagian dari aurat yang harus disembunyikan. Keragaman pandangan

ulama mengenai batas aurat tersebut tak ayal lagi berdampak pada keragaman

ekspresi perempuan muslimah dalam berpakaian. Beda dengan pakaian istri

para ustad sekarang, istri tokoh-tokoh Islam Indonesia zaman dulu terlihat

hanya memakai kain-sampir, baju kebaya, dan kerudung penutup kepala.

Pakaian seperti itu hingga sekarang dilestarikan salah satunya oleh istri

almarhum Gus Dur, Ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid.

Penutup

Dengan paparan ini, maka penting dikatakan. Pertama,

kesalahanpahaman sebagian orang tentang Islam Nusantara tidak berdasar.

Jika ada yang berkata Islam Nusantara ingin mengubah wahyu, maka itu

tidak benar. Sebab, ummat Islam sekarang tak hidup di zaman wahyu. Pasca

era pewahyuan, tugas ummat Islam adalah bagaimana menafsirkan dan

mengimplementasikan wahyu tersebut dalam konteks masyarakat yang terus

berubah. Dalam kaitan itu, bukan hanya pluralitas penafsiran yang

merupakan keniscayaan. Keragaman ekpresi pengamalan Islam pun tak

terhindarkan. Itu bukan sebuah kesalahan, asal tetap dilakukan dengan

menggunakan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Kedua, di tengah kecenderungan sebagian ummat Islam untuk

mendakwahkan Islam dengan jalan kekerasan, maka “jalan damai Islam”

yang fondasinya telah diletakkan para ulama Nusantara bisa dijadikan solusi

untuk menyelesaikan konflik dan ketegangan. Harapannya, melalui jalan

damai ini kemajuan di berbagai aspek kehidupan bisa dicapai. Bukankah

dalam suasana damai, ummat Islam bisa bekerja lebih produktif dengan

mengembangkan ilmu pengetahuan, memperbaiki pereokonomian ummat,

dan lain-lain. Sebaliknya, dalam kekerasan yang tak berkesudahan, energi

ummat Islam akan terkuras untuk pekerjaan yang tak banyak gunanya bagi

kepentingan izzul Islam wal muslimin, izzu Nusantara wa nusantariyyin, izzu

Indonesia wa indunisiyyin.

Page 185: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

178

JARINGAN INTELEKTUAL MUDA ISLAM LIBERAL (JIL):

RUH HIDUP DALAM JASAD KAKU:

Oleh

Media Zainul Bahri

“Setiap orang adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam

masyarakat memiliki fungsi intelektual.” (Antonio Gramsci)

Pendahuluan

Boleh jadi, bagi sebagian Muslim muda Indonesia saat ini, mendengar

istilah Islam liberal atau Jaringan Islam Liberal (JIL) tidak terlalu familiar

lagi dibanding mendengar nama NU, Muhammadiyyah, atau Hizbut Tahrir

Indonesia yang masih populer. JIL saat ini masih eksis, dalam pengertian

masih menggelar diskusi-diskusi aktual keIslaman, namun suaranya

terdengar sayup-sayup saja. Padahal kelompok ini pernah menjadi primadona

dalam diskursus Islam Indonesia pada awal dan pertengahan tahun 2000.

Islam liberal adalah lumbung gagasan; sebuah wadah elit-intelektual muda

yang menyebarkan ide-ide Islam progresif dan intelektual. Ia memang

dirancang bukan sebagai organisasi massa. Meski telah melewati masa

keemasan periode pertama, jejak dan spirit Islam liberal masih terasa dalam

konstelasi keindonesiaan dan keIslaman. Dalam beberapa hal gagasan-

gagasan progresif Islam liberal masih kontekstual. Jika Islam liberal

mengkampanyekan pluralisme agama, toleransi, HAM, kesetaraan gender

dan menolak teokrasi, maka saat ini “rumah Indonesia” masih sesuai dengan

harapan mereka. Bersama-sama dengan NU dan Muhammadiyah, spirit

gagasan-gagasan pokok Islam liberal sesungguhnya telah memberi kontribusi

bagi wajah Indonesia modern. Artikel ini hanya berfokus pada isu-isu utama

Jaringan Islam liberal pada masa keemasan mereka pada periode pertama

(2001-2009) seperti gagasan mengenai ‘Islam yang hidup’, pluralisme

agama, menolak negara Teokrasi, dan penafsiran ulang mengenai kesucian

Kitab al-Quran. Artikel ini akan ditutup oleh penjelasan singkat mengenai

faktor-faktor meredupnya gerakan Islam liberal di Indonesia sejak 2010

hingga kini.

Page 186: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

179

Kemunculan Jaringan Islam Liberal

Secara khusus, Jaringan Islam Liberal (JIL) mulai aktif pada Maret

2001 dengan menggelar kelompok diskusi maya (milis) yang tergabung

dalam [email protected]. Kemudian gagasan-gagasan JIL juga

disebarkan lewat website www.Islamlib.com (Assyaukani, 2007:xvii dan 87).

Sejak Juni 2001, JIL mengisi satu halaman Jawa Pos Minggu,1 berikut

puluhan Koran jaringannya, dengan artikel dan wawancara seputar perspektif

Islam Liberal. Tiap kamis malam, JIL menyiarkan talkshow dan diskusi

interaktif dengan para kontributor dan tokoh Islam yang sepaham dengan

mereka, melalui kantor Berita Radio 68H Utan Kayu, dan disiarkan juga oleh

beberapa radio jaringannya (Husaini, 2002:4-5). Pada mulanya, kegiatan JIL

tidak bisa dipisahkan dengan dua figur: Luthfi Assyaukani2 (Universitas

Paramadina Mulya) dan Ulil Abshar Abdalla,3 yang saat itu bekerja di ISAI

(Institut Studi Arus Indonesia) dan Lakpesdam NU. Saat itu, Luthfi yang

memulai membuka website JIL dan membuat milisnya untuk diskusi terbuka,

dan Ulil—yang dianggap memiliki kemampuan intelektual dan retorika yang

bagus—dijadikan jurubicara ide-ide JIL.4 Terkait dengan ide-ide JIL yang

dimuat satu halaman penuh di Koran Jawa Pos, maka Goenawan Muhamad

adalah figur yang sangat berperan karena ia adalah salah satu pemilik saham

Jawa Pos.

Selain Luthfi dan Ulil, terdapat tiga tokoh perdana yang sangat aktif

di JIL, yaitu Akhmad Sahal, Hamid Basyaib dan Saiful Muzani. Secara

umum, mereka berlima yang menggerakkan diskusi, kajian dan kegiatan di

JIL. Mereka juga aktif menulis opini di Koran-koran nasional seperti

1 Sebagai contoh sebagian besar artikel-artikel Luthfi di Jawa Pos kemudian

diterbitkan menjadi buku, Islam Benar versus Islam Salah (2007). 2 Luthfi Assyaukani lahir di Jakarta 27 Agustus 1967. Menyelesaikan sekolah

Menengah dan Atas di sebuah pesantren di Bekasi, Jawa Barat. Menyelesaikan S-1 bidang

Hukum Islam dan Filsafat di University of Yordan, Amman-Yordania, meraih gelar master

dari International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malaysia, dan

mendapat Ph.D dalam bidang Pemikiran Politik Islam dari University of Melbourne,

Australia (2006). 3 Ulil Abshar Abdalla lahir di Pati, Jawa Tengah. Menyelesaikan Pendidikan

Menengah dan Atas di pesantren Maslakul Huda, Kajen-Pati pimpinan KH Sahal Mahfudz.

Menyelesaikan S-1 pada Fakultas Syariah Lembaga Pendidikan Islam dan Arab (LIPIA)

Jakarta dan pernah kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Mendapat gelar master di

Boston University, Amerika Serikat. 4 Ulil Abshar adalah Direktur Eksekutif JIL yang pertama. Ketika kemudian Ulil

mengambil S-2 di Amerika dan Luthfi kuliah S-3 di Australia, Hamid Basyaib menjadi

Direktur yang kedua. Setelah Luthfi selesai S-3, ia menjadi Direktur yang ke-3, lalu Moqsith

yang ke-4.

Page 187: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

180

Kompas, Media Indonesia, dan Koran Tempo, dengan perspektif Islam

Liberal. Di masa awal kegiatan-kegiatan di JIL, terdapat beberapa tokoh yang

aktif menjadi narasumber seperti Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra,

Bakhtiar Effendi, Kautsar Azhari Noer, Zainun Kamal, dan Nasaruddin Umar

dari UIN Jakarta, Said Aqiel Siraj5 dan Masdar Mas’udi dari NU, Jalaluddin

Rakhmat (tokoh Syiah Indonesia) dari Yayasan Muthahhari Bandung, dan

lain-lain.

Jika melihat proses ‘pematangan’ Islam intelektual para penggagas

JIL, maka sesungguhnya Ulil, Luthfi dan Sahal adalah santri-santri Muslim

yang berlatar belakang pesantren tradisional dengan penguasaan kitab-kitab

klasik Islam yang memadai. Pengetahuan Islam tradisional mereka kemudian

dipertajam dan diperluas dengan wawasan Filsafat Islam, Filsafat Barat,

Sosiologi modern dan Ilmu Politik yang mereka pelajari di perguruan tinggi.

Karena itu, JIL memiliki fondasi tradisional Islam yang kuat, tetapi mereka

“melampauinya” dengan pisau analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora

modern. Dalam pengertian ini, JIL bukanlah komunitas Muslim yang sedang

“bermain-main” dengan Islam atau hanya ingin tampil beda semata,

melainkan memang memiliki “citarasa” Islam intelektual.

Sebelum Islam liberal menjadi gerakan atau komunitas eksklusif,

Muslim Indonesia telah mengenal dua buku berbahasa Indonesia yang terbit

dengan memakai nama Islam liberal, yaitu Wacana Islam Liberal: Pemikiran

Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global (2001) karya Charles Kurzman,

dan Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme

Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid

1968-1980 (1999) karya Greg Barton. Dua buku itu diterbitkan oleh

Paramadina, salah satunya bekerjasama dengan Penerbit Pustaka Antara,

adalah sebuah Yayasan yang didirikan oleh Nurcholish Madjid. Jika buku

Kurzman memang judul aslinya adalah Liberal Islam: A Sourcebook (terbit

pada 1998), namun judul asli karya Barton (yang berasal dari Disertasinya di

Monash University, Australia), adalah A Textual Study Examining the

Writings of Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib and

Abdurrahman Wahid 1968-1980. Untuk lebih provokatif buku ini diberi judul

Gagasan Islam Liberal di Indonesia dengan studi empat tokoh yang disebut

Barton dalam disertasinya itu. Karena popularitas Penerbit Paramadina dan

wibawa intelektual Nurcholish Madjid, buku-buku terbitan Paramadina selalu

laris di pasaran, dan karena itu pula sejak tahun 2000, istilah Islam liberal

5 Said Aqil Siraj pernah aktif menjadi narasumber bulanan JIL sampai menjadi

ketua umum PBNU untuk kajian sufisme Ibn ‘Arabi. Wawancara dengan Abd. Moqsith

Ghazali, Jakarta, 5 Maret 2015.

Page 188: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

181

menjadi cukup hangat diperbincangkan oleh kaum Muslim muda Indonesia.

Pada saat inilah, kemunculan JIL dengan Ulil Abshar sebagai tokoh

utamanya berada pada momentum yang tepat.

Secara umum, kemunculan JIL dapat dibaca dengan banyak faktor.

Azhar Ibrahim (2014) misalnya, seorang peneliti tamu di National University

of Singapore, menjelaskan tujuh faktor kemunculan JIL (Ibrahim, 2014:234-

237). Bagi saya, terdapat empat faktor yang paling signifikan yang

memunculkan gerakan JIL secara agresif. Pertama, Konteks global. Saya

setuju dengan Zuly Qodir bahwa kemunculan Islam liberal Indonesia tak bisa

dilepaskan dari perkembangan global ketika banyak negara di planet bumi ini

mengalami perubahan besar dan mendasar, terutama tuntutan demokratisasi

dalam kehidupan sosial, politik dan keagamaan. Agama, dalam alam

demokrasi, harus diredefinisikan untuk sesuai dengan tuntutan kehidupan

yang demokratis seperti soal hubungan agama dan negara, kesetaraan jender,

pluralisme, hak asasi manusia, hubungan dengan non-Muslim dan lain-lain.

Hanya agama dalam definisi, spirit dan bentuknya yang progresif, setelah

direkonstruksi, yang dapat menyesuaikan diri dengan alam demokrasi. Dalam

pengertian inilah, para pemikir Muslim Indonesia, termasuk tokoh-tokoh JIL,

“mengidolakan” para sarjana Barat dan Timur ahli Islam yang dianggap

progresif dan liberal seperti Abdullah Ahmad an-Naim, Farid Esack, Hasan

Hanafi, Arkoun, Abid al-Jabiri, Hamid Abu Zayd, Abdul Karim Soroush,

Muhammad Syahrur, dan lain-lain (Qodir, 2010:89-90). Pemikiran keIslaman

mereka dianggap cocok dengan perubahan dunia yang sedang terjadi saat itu.

Kedua, era reformasi—dengan tumbangnya rezim Orde Baru (1998)

membuka kran kebebasan berekspresi dan berpendapat. Dalam kehidupan

keagamaan, banyak muncul paham Islam garis keras yang diimpor dari

Timur Tengah, suatu model Islam yang sebenarnya tidak cocok dengan

Indonesia. Pada momen ini fundamentalisme Islam menguat. Muslim

skripturalis terus menyuarakan pentingnya formalisme Islam (syariah) bagi

masyarakat Indonesia. Kemunculan JIL tidak semata karena euphoria

reformasi, melainkan juga usaha untuk melawan fundamentalisme dan

formalisme Islam itu. Karena itu, relevan ungkapan Luthfi bahwa salah satu

misi Islam liberal adalah “mengembalikan semangat kebangkitan pemikiran

Islam yang sejak satu abad silam telah dibajak oleh konservatisme dan

fundamentalisme agama.” Benar, di dunia Islam telah satu abad, tapi di

Indonesia baru beberapa tahun fundamentalisme Islam menguat. Bagi JIL,

fundamentalisme Islam ala Timur Tengah itu berlawanan dengan sejarah

berabad-abad Islam kultural Indonesia yang moderat dan toleran.

Secara politik, rezim otoriter Orde Baru yang berkuasa 32 tahun telah

mengontrol kegiatan sosial-politik ummat Islam di “pusat” supaya tetap

Page 189: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

182

terjaga “kemurniannya.” Karena itu, menurut Daniel S. Lev, perubahan

secara signifikan lebih mudah dilakukan di “pinggiran” daripada di “pusat.”

Masa reformasi adalah masa ketika sejarah terbuka untuk perubahan besar

karena negara sedang lemah, suasana sosial, politik dan intelektual sangat

labil, dan masyarakat mengharapkan perubahan (Lev dalam Assyaukani, ed.,

2002: p. xiii). JIL muncul di saat yang tepat. Tetapi di sisi lain, secara politik

juga isu-isu yang diangkat JIL seperti mengapresiasi pluralisme dan toleransi

serta menolak teokrasi sesungguhnya sangat menguntungkan pemerintah.

Karena itu, JIL tidak pernah dilarang secara resmi dan tidak dimusuhi

pemerintah.

Kedua, saya setuju dengan Ibrahim bahwa sejak tahun 1990-an

diskursus Islam intelektual telah menyebar luas di banyak IAIN di Indonesia

(sekarang UIN). Hal ini terjadi karena banyak dosen IAIN yang telah pulang

dari sekolah di Barat (Ibrahim, 2014:235-236). Selain membawa gelar Master

dan Doktor, mereka juga membawa isu-isu baru seperti Islam dan pluralisme,

Islam dan demokrasi, Islam dan hak asasi manusia, Islam dan konsep nation-

state, Islam dan dialog antar-agama dan lain-lain. Penting dicatat bahwa

dengan sumber daya manusia unggul, IAIN dan UIN di kota-kota besar di

Indonesia memainkan peran yang sangat signifikan dalam mengembangkan

kajian teoritis Studi keIslaman (Islamic studies) di satu sisi, dan menyebarkan

gagasan Islam moderat, bahkan Islam liberal di sisi lain. Tokoh-tokoh UIN,

terutama di Jakarta dan Yogyakarta, setelah Harun Nasution dan Mukti Ali,

seperti Azyumardi Azra dan Abdul Munir Mulkhan dengan isu Islam kultural

Indonesia, Komaruddin Hidayat dan Amin Abdullah dengan diskursus

Hermeneutik, Din Syamsuddin dan Bahtiar Effendi dengan politik Islam

Indonesia, dan Nasaruddin Umar dengan isu Islam dan kesetaraan gender

(Ibrahim, 2014:236), adalah para penopang yang kuat bagi eksistensi dan

masa keemasan JIL pada periode 2000-an. Mereka ‘dimanfaatkan’ JIL untuk

menjadi para kontributor utama dalam acara-acara yang digelar JIL. Tentu

saja, JIL mendapat dukungan dari tokoh senior seperti Abdurrahman Wahid

dengan NU, Nurcholish Madjid dengan Paramadina, dan dua tokoh senior

lain, Djohan Effendi dan Dawam Rahardjo. JIL dan para tokoh itu kemudian

menjadi semacam “elit Islam Indonesia” yang menjadi rujukan kaum muda

Muslim Indonesia yang progresif.

Ketiga, Islam kultural yang toleran yang selama ini dikampanyekan

oleh NU, Muhammadiyah dan Paramadina (Ibrahim, 2014:236), bagi JIL

adalah bagian dari kehidupan keseharian dan keIslaman mereka. Para tokoh

dan simpatisan JIL hampir seluruhnya adalah anak-anak muda yang

dibesarkan di lingkungan NU dan Muhammadiyah. Mereka tidak semata

merasa berkewajiban menjaga Islam kultural tetapi juga ingin

Page 190: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

183

mengembangkannya menjadi Islam intelektual dengan spektrum yang lebih

luas dan mendalam. Dalam konteks ini, harus dipahami bahwa tiga figur

senior, yaitu Harun Nasution dengan Islam Rasional, Nurcholish Madjid

dengan Islam Peradaban dan Kemodernan, dan Abdurrahman Wahid dengan

Pribumisasi Islam, dijadikan ikon-ikon yang banyak diapresiasi oleh tokoh-

tokoh JIL.

Pengertian Islam Liberal

Apa itu Islam liberal? Charles Kurzman—yang pada mulanya sering

dirujuk oleh para tokoh JIL—mendefinisikan Islam liberal sebagai kelompok

yang secara kontras berbeda dengan Islam adat (customary Islam) dan Islam

revivalis (revivalist Islam). Islam adat adalah Islam yang diekspresikan dalam

bentuk budaya-budaya lokal tempat Islam itu tumbuh, seperti Islam yang

merayakan ziarah kubur kepada orang-orang suci, membunyikan bedug,

tradisi musikal, menghormati roh orang mati, dan lain-lain. Sedangkan Islam

revivalis adalah kelompok Islam yang biasa disebut sebagai “Islam

Fundamentalis” atau “Wahhabisme.” Islam Revivalis suka menyerang Islam

adat karena dianggap Islam mereka tidak murni lagi. Sementara tradisi Islam

liberal adalah tradisi Islam yang menghadirkan masa lalu dalam konteks

modernitas, dan menyatakan bahwa Islam jika dipahami secara benar maka ia

akan sejalan dengan liberalisme Barat (Kurzman dalam Charles Kurzman,

ed., 1998:5-6).

Kurzman lalu menyebut tiga bentuk utama Islam liberal. Pertama,

syariah liberal (liberal shari’a). Model ini menyatakan bahwa syariah bersifat

liberal pada dirinya sendiri jika dipahami secara tepat. Kurzman menyebut

beberapa nama sarjana Muslim liberal untuk bentuk yang pertama ini seperti

Ali Bullac, Muslim liberal Turki; Syafique Ali Khan dari Pakistan, dan

Abdelkebir Alaoui M’Daghri dari Maroko yang berpendapat bahwa syariah

membangun kebebasan berpikir (Kurzman dalam Charles Kurzman, ed.,

1998:14). Kedua, Syariah yang diam (silent shari’a). Model ini menyatakan

bahwa syariah tidak memberi jawaban yang pasti tentang topik-topik tertentu.

Kaum Muslim bebas mengadopsi sikap liberal dalam hal-hal yang oleh

syariah dibiarkan terbuka untuk dipahami oleh akal budi dan kecerdasan

manusia (Kurzman dalam Charles Kurzman, ed.,1998:14-15). Ketiga, syariah

yang ditafsirkan (interpreted shari’a). Terdapat kesan bahwa syariah yang

bersifat ilahiah ditujukan bagi berbagai penafsiran manusia yang beragam.

Tidak ada tafsir tunggal terhadap syariah kecuali untuk beberapa doktrin

ibadah yang sudah pasti (qath’iy) (Kurzman dalam Charles Kurzman, ed.,

1998: 5-6) (Kurzman dalam Charles Kurzman, ed.,1998:16). Dalam batas-

batas tertentu JIL mengambil inspirasi dari definisi dan tiga model Kurzman

Page 191: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

184

itu. Selebihnya, JIL melangkah lebih jauh dengan mengambil referensi yang

luas untuk mengolah isu-isu keagamaan yang lebih kompleks.

Ulil sendiri dalam banyak kesempatan menjelaskan makna “liberal”

dan pengertian “Islam liberal” yang seringkali disalahpahami oleh banyak

Muslim Indonesia. Menurut Ulil, banyak Muslim yang memahami bahwa

istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa

batas, sebuah sikap permisif, ibahiyah (serba boleh), sikap menolelir setiap

hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang seperti ini, Islam

liberal dianggap sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah

terlembaga (Abdalla dalam Abd Moqsit Ghazali, ed.,2015:xviii), bahkan

dianggap sebagai “musuh” Islam itu sendiri. Padahal kata Ulil, tidak begitu

pengertian Islam liberal. Ulil menulis:

Bahwa dengan membubuh kata liberal pada Islam, sesungguhnya

saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang

jangkarnya adalah niat atau dorongan-dorongan emotif-subyektif

dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam ‘Islam

liberal’ dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata ‘liberal’ di sini tidak

tersangkut paut dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif

yang melawan kecenderungan ‘intrinsik’ dalam diri manusia itu sendiri.

Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempat-

kan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah

memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri (Abdalla dalam

Abd Moqsit Ghazali, ed.,2015:xix).

Menurut Ulil, kebebasan memiliki nilai yang tinggi dalam Islam

karena ia berhubungan langsung dengan penggunaan nalar dan keagungan

martabat manusia. Agama tidak diturunkan bagi keledai yang dungu, tapi

bagi manusia yang memiliki kemampuan untuk memaksimalkan akal dan

nalarnya. Nabi menyebut bahwa al-din huwal ‘aql. La dina liman la aqla

lahu: agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tidak

mempunyai akal. Dalam konteks penggunaan akal dan jaminan kebebasan

itu, maka seorang Muslim boleh tidak menjalankan syariat jika ia tidur

(pingsan), menjadi gila dan seorang anak kecil. Artinya hanya orang dewasa

dan berakal yang diberi beban untuk melaksanakan syariah (atau memilih

untuk menjalankan atau tidak). Menurut Ulil, yang terlihat menonjol di dunia

Muslim adalah ‘bahasa kewajiban’, yaitu tekanan-tekanan kewajiban

menjalankan syariah kepada Tuhan. Bahasa ‘hak dan kebebasan manusia’

jarang muncul. Dalam pengertian inilah, Islam liberal muncul untuk

menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak

(Abdalla dalam Abd Moqsit Ghazali, ed.,2015:xviii).

Page 192: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

185

Secara lebih spesifik, Luthfi menyebut istilah “Islam liberal” berarti

“pembebasan” kaum Muslim dari dua hal. Pertama, dari cengkraman

kolonialisme yang menguasai hampir seluruh dunia Islam di masa lalu.

Kedua, pembebasan kaum Muslim dari pola pikir dan sikap keagamaan yang

jumud yang menghambat kemajuan. Pembebasan yang kedua ini adalah yang

masih relevan dan kontekstual untuk terus dikembangkan. Pola pikir yang

jumud biasanya akan melahirkan sikap keagamaan yang konservatif dan

fundamentalis, dalam pengertiannya yang negatif. Karena itu menurut Luthfi,

‘musuh utama’ Islam liberal adalah konservatisme dan fundamentalisme

yang menghinggap sebagian besar kaum Muslim. Termasuk dalam

fundamentalisme adalah ide teokrasi yang ingin dipertahankan kaum Muslim

fundamentalis (Assyaukani, 2007:61-65).

Dalam menyebar gagasan-gagasannya, JIL memiliki beberapa agenda

pokok. Dalam milis resmi JIL, islib.com disebutkan beberapa agenda JIL,

yakni (a) Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, (b)

Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks, (c)

Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural, (d), Memihak pada

yang minoritas dan tertindas, (e) Meyakini kebebasan beragama, dan (f)

Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.

Luthfi, menyebut empat agenda utama yang harus menjadi perhatian para

pembaharu Muslim, termasuk JIL, yaitu (1) agenda politik. Ide negara

teokrasi harus dilawan. (2) hubungan Muslim dan non-Muslim. Untuk

memperkuat hubungan itu, ide tentang teologi pluralisme harus

dikembangkan. (3) memberdayakan peran perempuan. Untuk agenda ini,

kaum Muslim harus memikirkan kembali ajaran-ajaran Islam yang cenderung

merugikan dan mendiskreditkan kaum perempuan. (4) Kebebasan

berpendapat harus mendapat prioritas dalam kehidupan kaum Muslim

modern. Islam sangat menghormati HAM, dan karena itu juga, sangat

menghormati kebebasan berpendapat (Assyaukani, 2007:72-75).

Untuk menyuburkan kebebasan berpikir dalam Islam, maka Islam

liberal mendorong kreativitas ber-ijtihad. Moqsith Ghazali, tokoh JIL yang

lain, menegaskan bahwa Islam harus dikembalikan ke posisi awalnya sebagai

agama yang membebaskan dan mencerahkan. Islam harus liberatif untuk

mengatasi keterbelakangan kaum Muslim. Islam harus dibersihkan dari

beban-beban sejarah masa lalunya yang kelam. Islam, yang saat ini telah

banyak dimanupulasi oleh elit-elit ulama sehingga tampak kacau balau harus

dipulihkan kembali dengan cara menyemarakkan aktivitas ijtihad. Hanya

ijtihad cara yang paling efektif untuk menghidupkan kembali rasionalitas

Islam. Di sinilah relevansi dan signifikansi peran-peran intelektual JIL

Ghazali dalam Ijtihad Islam Liberal.

Page 193: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

186

Tiga Pionir Islam Liberal

Seperti telah disinggung, terdapat tiga figur senior, yaitu Harun

Nasution dengan Islam Rasional, Nurcholish Madjid dengan Islam Peradaban

dan Kemodernan, dan Abdurrahman Wahid dengan Pribumisasi Islam, yang

dijadikan ikon awal oleh tokoh-tokoh JIL. Karena itu, penting mengingat

kembali ide-ide pokok ketiga tokoh yang kelak pemikiran “Islam liberal”

yang sering disematkan kepada mereka kemudian menjadi institusi jaringan

Islam liberal.

Harun Nasution pada era 1970-1980-an dikenal sebagai tokoh Islam

Rasional. Ia yang merombak model perkuliahan di IAIN Jakarta yang kental

dengan corak fikih dan teologi Asy’ari yang fatalistik ke arah model Islam

rasional Mu’tazilah. Menurut Harun, kehidupan Muslim Indonesia tidak

berkembang karena kuatnya orientasi fikih dan teologi tradisional Asy’ari

yang jumud dan fatalistik. Padahal zaman keemasan Islam pada 650 hingga

1250 M adalah karena kaum Muslim mengembangkan Islam rasional.

Sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada masa 1250 hingga 1800

M. Islam rasional dapat berkembang karena tingginya kedudukan akal dalam

memahami al-Quran dan hadis serta perjumpaan Islam dengan filsafat

Yunani, Mesir dan Persia. Pada masa itu, pemikiran para filosof Muslim dan

penemuan-penemuan ulama-saintis tidak ada yang bertentangan dengan al-

Quran dan hadis. Filsafat, teologi dan sains berkembang bersamaan pada

masa keemasan Islam itu. Itulah masa Islam Rasional. Sebaliknya, pada

model pemikiran Islam tradisional, peran akal tidak begitu menentukan

dalam memahami ajaran al-Quran dan hadis. Pemikiran tradisional sulit

sekali menyesuaikan diri dengan perkembangan modern sebagai hasil dari

filsafat, sains, dan teknologi (Nasution, 1995:7-9).

Budhy Munawar Rachman, seorang kontributor JIL, ketika menulis

tentang Islam Rasional ala Harun Nasution menegaskan bahwa landasan

epistemologis dari Islam Rasional ini adalah keyakinan bahwa pada dasarnya

Islam itu bersifat rasional. Rasionalitas menjadi entitas paling akhir dan

paling menentukan untuk kebenaran sebuah proposisi Islam. Yang membuat

rasionalisme Islam menjadi “betul-betul rasional” adalah karena dalam

rasionalisme ini termuat sifat kritis, dengan penghargaan yang tinggi terhadap

peran akal. Kritisisme ini terlihat dalam tekanan yang kuat ketika membuat

distingsi-distingsi, kategori-kategori, analisa, dan sebagainya. Sifat analitik

inilah menurut Rachman, yang menjadikan “Islam Rasional” begitu kuat

sebagai sebuah teologi rasional (Rahman dalam Jurnal Ulumul Qur’an No. 3,

vol. VI, 1995:27). Secara umum, dalam teologi Islam rasional, Nasution

mendiskusikan soal fungsi wahyu bagi manusia, kebebasan manusia,

Page 194: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

187

hubungan antara keadilan dan kekuasaan Tuhan, serta perbuatan Tuhan

terhadap manusia.

Nurcholish Madjid, lokomotif pembaharuan Islam Indonesia, dikenal

luas karena gagasannya tentang sekularisasi, neo-modernisme Islam dan

belakangan soal pluralisme agama. Menurut Madjid, istilah sekular dan

sekularisasi berhubungan erat, tetapi tidak identik dengan sekularisme.

Sekular yang berarti dunia atau duniawi adalah istilah yang netral, tidak

positif tidak pula negatif. Sekular yang berarti duniawi berarti bahwa

manusia adalah makhluk duniawi, untuk menunjukkan bahwa ia hidup di

alam dunia sekarang ini, dan belum mati atau berpindah ke alam baka. Jika

kata ‘duniawi’ diganti dengan kata ‘sekular’, maka istilah bahwa ‘manusia

adalah makhluk sekular’ tidak saja benar melainkan juga sesuai dengan

kenyataan (Madjid, 1997:217). Dalam konteks ajaran Islam tentang dunia,

maka bagi Islam menurut Madjid, dunia bukanlah tempat yang rendah, hina

dan harus dimusuhi oleh kaum Muslim. Ummat Islam tidak boleh curiga atau

memandang pesimis terhadap dunia, apalagi lari dari problem-problem

duniawi. Hal itu sangat dilarang oleh Islam (Madjid, 1997:217).

Dari pemahaman sekular diatas, Madjid melangkah kepada soal

sekularisasi. Bagi Madjid, sekularisasi adalah proses ‘penduniawian,’ sebuah

proses membawa sesuatu ‘turun ke bumi,’ yang selama ini proses tersebut

telah lama disingkirkan dan digantikan oleh kebohongan-kebohongan atas

nama kesucian agama. Efek dari pemahaman sekularisasi bagi Madjid adalah

bahwa persoalan-persoalan duniawi harus diberi perhatian oleh ilmu

pengetahuan dan metodologinya. Hanya dengan cara ini dunia dan proses

penduniawian (sekularisasi) dapat dipahami secara tepat (Madjid, 1997:218).

Bagi Madjid, yang sakral atau yang harus disakralkan hanya Tuhan saja.

Selain Tuhan bersifat profan dan sekular. Dengan gagasan mengenai

sekularisasi pada era 1970 hingga 80-an, Madjid mengritik keras sikap

ummat Islam yang ‘mensakralkan’ atribut-atribut keagamaan, lembaga

agama dan partai agama, yang sebenarnya semua hal itu bersifat sekular dan

profan saja. Tetapi berkali-kali Madjid mengingatkan bahwa “sekularisasi

tidak sama dengan sekularisme.” Sekularisme adalah suatu paham tentang

keduniawian; bahwa yang duniawi adalah segala-galanya. Bagi Madjid,

sekularisme tidak hanya diharamkan oleh Islam tapi juga ditentang oleh

agama-agama dunia(Madjid, 1997:218). Sekali lagi bagi Madjid, sekularisasi

tidak otomatis mengarah kepada sekularisme apalagi identik dengan

sekularisme.

Dari diskursus mengenai sekularisasi, Madjid lalu mendiskusikan soal

modernisasi. Baginya, pengertian yang mudah mengenai modernisasi adalah

Page 195: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

188

pengertian yang hampir identik dengan rasionalisasi. Modernisasi berarti

merombak pola pikir dan tata kerja yang tidak rasional dan digantikan

dengan pola pikir dan kerja yang rasional. Menurut Madjid, sesuatu disebut

‘modern’ jika ia bersifat rasional, ilmiah, dan sesuai dengan hukum-hukum

alam (Madjid, 1997:174-175)). Karena modernisasi berarti penerapan ilmu

pengetahuan, maka modernisasi bagi Madjid adalah “suatu keharusan, malah

kewajiban yang mutlak. Modernisasi merupakan perintah dan ajaran Tuhan

YME.” Karena itu, keIslaman dan komodernan adalah sesuatu yang identik.

Modernitas (sikap modern) dalam pengertian yang lebih mendalam lagi, bagi

Madjid, adalah pendekatan kepada Kebenaran Mutlak, kepada Allah. Jadi,

modernitas berada dalam suatu proses, yaitu proses penemuan kebenaran-

kebenaran yang relative menuju ke Kebenaran Yang Mutlak, yaitu Allah.

Dan yang modern secara mutlak adalah yang benar secara mutlak, yaitu

Tuhan saja (Madjid, 1997:174-175).

Pada era 1990-an Madjid membuat banyak tulisan mengenai Islam

dan pluralisme agama. Pada masa inilah istilah ‘pluralisme agama’ menjadi

sangat populer di Indonesia. Menurut Madjid, kemajemukan agama adalah

takdir Tuhan yang tidak bisa dilawan, dan pluralitas komunitas keagamaan

adalah fakta yang tak mungkin dihindari. Al-Quran sendiri berkali-kali

menegaskan bahwa keseragaman dan kesatuan sejarah manusia tidak

diinginkan oleh Tuhan. Tuhan memang menghendaki bahwa tiap-tiap

komunitas keagamaan yang beragam telah memiliki orientasi kehidupan dan

keagamaan masing-masing (Madjid dalam Jurnal Ulumul Qur’an No. 3, vol.

VI, 1995:62). Meskipun berbeda-beda dalam doktrin dan dogma keagamaan,

namun para pemeluk agama yang beragam itu memiliki titik-temu dan

kesatuan substansial di antara ajaran keagamaan mereka. Kata Madjid, ibarat

roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari adalah jalan dari berbagai

agama. Artinya meskipun jalan-jalan keagamaan itu banyak dan beragam tapi

mereka menuju Pusat Tujuan yang sama, yaitu Tuhan, karena mereka

memang berasal dari Sumber yang sama, yaitu Tuhan Yang Esa itu. Menurut

Madjid, Islam itu bersifat inklusif, dan jika dipahami secara mendalam,

pemahaman akan Islam akan terus meluncur menjadi pluralis (Madjid dalam

Grose dan Hubbard 1998: xix). Bagi Madjid, doktrin pluralisme agama yang

dipahami dari ajaran Islam sesungguhnya sangat relevan dengan bangsa

Indonesia yang memiliki banyak agama dan kepercayaan. Juga sesuai dengan

ideologi Pancasila dan falsafah hidup berbangsa, yaitu Bhineka Tunggal Ika,

meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua (Madjid, 1997:64-65).

Abdurrahman Wahid, presiden keempat RI dan Ketua Umum PBNU

dua periode, adalah pembela gigih humanisme dan pluralisme, dan karena itu

ia dijuluki “Bapak pluralisme Indonesia modern. ”Selain banyak

Page 196: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

189

mendiskusikan soal pluralisme dan inklusivisme Islam, ia juga sangat

terkenal dengan gagasannya tentang ‘Pribumisasi Islam.’ Pribumisasi Islam

adalah lokal Islam atau bagaimana inti ajaran Islam diekspresikan dalam

bentuk budaya lokal. Tesis Pribumisasi bagi Wahid bermula dari sebuah

kenyataan bahwa Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam

sejarahnya. Dalam bidang teologi, fikih, politik dan unsur-unsur Islam

lainnya, Islam selalu mengalami pergumulan dan dialektika dengan budaya-

budaya diseluruh dunia tempat Islam datang dan disambut. Ruh Islam tetap

pada esensinya, namun bentuk-bentuk luarnya tidak harus selalu di

“Arabkan,” karena tidak adanya keharusan (kewajiban) hukum agama untuk

diseragamkan. Dalam konteks Islam Indonesia, Wahid bertanya: mengapa

harus menggunakan kata ‘shalat,’ kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah

benarnya? Mengapa harus ‘dimushalakan,’ padahal dahulu toh cukup langgar

atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan

‘milad.’ Dahulu tuan guru atau kiai sekarang harus ustadz dan syekh, baru

terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang

semula mendukung kehadirannya di Nusantara ini? (Wahid dalam Ismail, ed.,

2000:64 dan Wahid dalam majalah Tempo: 16 Juli 1983).

Menurut Wahid, yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi atau

ekspresi kehidupan Islam, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan

peribadatan formalnya. Tidak diperlukan adanya ‘al-Qur’an Batak’ atau

‘Hadis Jawa.’ Islam tetap Islam, di mana saja berada. Namun tidak berarti

semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya. Karena itu, sebagai bentuk

kecintaan kepada budaya-budaya yang telah lama berakar di Nusantara,

Wahid lagi-lagi bertanya secara retoris: salahkah jika Islam ‘dipribumikan’

sebagai manifestasi kehidupan? (Wahid dalam Ismail, ed.,2000:64 dan

Wahid dalam majalah Tempo: 16 Juli 1983). Tentu saja bagi Wahid, jawaban

atas pertanyaaan itu adalah bukan semata tidak salah melainkan juga perlu

demi menunjukkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, dimana rahmat-Nya

bisa “menyentuh” atau “mengakomodasi” kebudayaan ummat manusia yang

sejalan dengan esensi ajaran Islam, bahkan rahmat itu bisa mewujud dalam

wajah kebudayaan yang humanis.

Semasa hidupnya, Wahid aktif sebagai kontributor dalam acara-acara

JIL, terutama on air di Radio 68H setiap Sabtu pagi selama 4 tahun (2005-

2009), dengan acara khusus “Kongkow Bersama Gus Dur”.6 Dalam salah

6 Host acara ini adalah Muhammad Guntur Romli. Romli adalah alumni Pesantren

Al-Amin, Madura (1997) dan menyelesaikan Bachelor/LC di Universitas al-Azhar, Mesir

(2004). Ia bergabung dengan JIL pada 2005. Salah satu karyanya yang terkait dengan

aktivitasnya di JIL adalah Islam Tanpa Diskriminasi (2013). Tidak lama sebelum Romli

bergabung dengan JIL, terdapat anak-anak muda progresif yang telah bergabung dengan JIL

Page 197: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

190

satu acara on air bersama JIL (2006), Wahid pernah membuat pernyataan

yang menghebohkan. Ketika menjelaskan hubungan lelaki dengan

perempuan dalam al-Quran, Wahid berseloroh bahwa “al-Quran adalah kitab

suci paling porno di dunia.” Kontan saja, muncul reaksi keras dan kemarahan

sebagian Muslim Indonesia. Mereka meminta Wahid untuk meminta maaf

kepada ummat Islam karena dianggap telah “melecehkan” al-Quran. Namun,

Wahid enggan melakukannya dengan argumen bahwa ia sedang

membicarakan sesuatu yang faktual dalam al-Quran, dan bukan sedang

menghina al-Quran. Kejadian itu cepat berlalu, dan Wahid tetap dihormati

oleh sebagian besar warga NU karena kewibawaan intelektual dan spiritual

yang melekat pada dirinya.

Pemikiran tiga tokoh di atas: Nasution, Madjid dan Wahid, bagi

sebagian Muslim awam Indonesia dianggap ‘terlalu tinggi,’ dan sulit

dipahami. Kesulitan memahami mereka pada saat itu juga dihubungkan

dengan isu-isu emosional seperti ‘proyek orientalis’, ‘antek asing’ dan lain-

lain. Akhirnya, alih-alih merenungkan ide-ide keIslaman mereka, yang

seringkali muncul adalah kecurigaan, kecaman, dan kebencian terhadap

ketiga tokoh di atas, terutama dari kelompok Muslim skripturalis.

Bagaimanapun, dalam diskursus Islam Indonesia, ketiga tokoh itu bersama-

sama dengan Ahmad Wahib dan Djohan Effendi dianggap sebagai “tokoh

Islam liberal Indonesia” periode pertama.7 Dan karena itu, sulit memisahkan

pada 2002 seperti Anick HT, Burhanuddin Muhtadi dan Novriantoni Kahar. Novri adalah

alumni Pesantren Gontor, Jawa Timur (1996), menyelesaikan Bachelor/LC di Universitas al-

Azhar, Mesir pada 2001 dan S-2 di Universitas Indonesia pada 2005. Moqsith bergabung

pada 2003. Bisa dikatakan bahwa Anick, Burhan, Novri, Moqsith Ghazali, dan Guntur Romli

adalah generasi kedua JIL setelah Ulil Abshar- Abdalla. 7 Termasuk dalam tokoh liberal periode ini adalah Munawir Sjadzali (1925-2004),

mantan diplomat dan mantan Menteri Agama RI dua periode (1983-1993). Sjadzali

dibesarkan di sebuah pesantren di Solo, dan mendapat gelar Master di Amerika Serikat

dengan tesis tentang politik Islam Indonesia. Sjadzali dikenal luas setelah melontarkan

gagasan mengenai hukum waris Islam yang bersifat adil, yaitu laki-laki dan perempuan mendapat jatah waris yang sama. Padahal ketentuan waris al-Quran adalah laki-laki

mendapat dua, sedangkan perempuan mendapat satu. Gagsan Syadzali tentu mendapat reaksi

dan penolakan yang luas dari Muslim Indonesia karena dianggap bertentangan dengan teks

al-Quran. Dalam salah satu karyanya, Ijtihad Kemanusiaan (1997), Sjadzali kembali

menunjukkan karakternya sebagai Muslim liberal. Ia mengulas isu-isu kemanusiaan dan

keIslaman dengan perspektif kedudukan nalar yang tinggi. Teks-teks Islam dipahami oleh

Syadzali secara kontekstual. Syadzali banyak merujuk kepada Umar Ibn Khattab yang

dianggapnya liberal. Kasus-kasus Umar dengan Nabi dan para Sahabat menunjukkan bahwa

Umar “melampaui teks” dengan cara melihat konteks dan penggunaan nalar untuk

kemaslahatan ummat Islam. Syadzali dikenal dekat dengan tokoh-tokoh liberal seperti

Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Lihat Munawir Syadzali, Kontekstualisasi

Ajaran Islam (1995) dan Ijtihad Kemanusiaan (1997). Dalam menolak negara teokrasi dan

mengkampanyekan negara Pancasila, Sjadzali menulis satu buku berjudul Islam dan Tata

Page 198: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

191

kemunculan dan perkembangan JIL dengan gagasan ‘Islam progresif’ dari

kelima tokoh itu. JIL, terutama pada sosok Ulil Abshar-Abdalla, telah

mengambil banyak inspirasi, isu dan metodologi dari para tokoh Islam liberal

periode pertama. Di samping itu, seperti telah disebut--JIL juga mendapat

banyak pengaruh dari para sarjana Muslim global dari Barat dan Timur.

Mengkampanyekan Islam yang hidup, Pluralisme dan Menolak

Teokrasi

Pada 18 November 2002 panggung Islam Indonesia dihebohkan oleh

Tulisan Ulil di Harian Kompas. Di Koran dengan oplah terbesar di Indonesia

itu, Ulil menulis sebuah opini bertitel Menyegarkan Kembali Pemahaman

Islam. Dalam tulisan itu, Ulil terlihat “geram” sekali dengan kaum

fundamentalisme Islam. Ada empat hal pokok isi tulisan itu. Pertama, soal

jilbab, potong tangan, qishas, hukum rajam, jenggot dan jubah tidak wajib

diikuti oleh kaum Muslim karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di

Arab. Kedua, menurut Ulil, tidak ada “hukum Tuhan” dalam pengertian yang

biasa dipahami oleh ummat Islam. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum

universal yang disebut dengan maqashid al-syari’ah (tujuan umum syariat

Islam). Ketiga, kaum Muslim tidak wajib mengikuti Rasul secara harfiah,

sebab apa yang dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya menegosiasikan

antara nilai-nilai universal dengan situasi sosial Madinah dengan seluruh

kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara yang

“universal” dengan yang “partikular.” Lagi pula kata Ulil, Islam di Madinah

adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka bumi.

Keempat, adanya kecenderungan ummat Islam Indonesia yang “me-

monumenkan” Islam hingga Islam menjadi agama yang beku dan mati.

Seolah-olah Islam adalah “paket” Tuhan yang taken for granted; tidak bisa

dipikirkan dan diperdebatkan lagi. Karena itu, Ulil mengajak pembacanya

untuk mengembangkan Islam yang hidup, yang segar, yang cerah, yang lebih

dapat memenuhi maslahat ummat manusia (Abshar dalam Kompas, 18

November 2002).

Kontan saja, setelah tulisan itu tersebar luas, muncul kemarahan

ummat Islam di mana-mana dan menganggap Ulil telah “menghina” Islam.

Suara Hidayatullah, sebuah majalah bulanan milik Muslim konservatif

Negara (1990). Dalam buku itu, Sjadzali menegaskan bahwa Nabi di Madinah tidak pernah

membentuk negara Islam (teokrasi). Yang Ia bentuk adalah negara madani dengan konsep

pluralitas warganya. Piagam Madinah yang dibuat Nabi adalah aturan hidup bersama antara

kaum Muslim dan para penganut agama lain di Madinah. Piagam itu menurut Sjadzali,

sangat inklusif. Indonesia yang majemuk dengan ideologi Pancasila dan Bhineka Tunggal

Ika, menurut Sjadzali, sudah sangat sesuai dengan negara madani yang dibentuk oleh Nabi.

Page 199: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

192

membuat jajak pendapat dengan pertanyaan: setujukah bahwa tulisan Ulil

telah menghina Islam? Jawaban responden: 78.15% setuju, 17.68% tidak

setuju, dan 4.17% tidak tahu. Tulisan Ulil juga telah membuat 80 ulama Jawa

Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat yang tergabung dalam Forum Ulama-

Ummat Indonesia (FUUI) berkumpul di Bandung pada 1 Desember 2002.

Hasil dari pertemuan itu sangat mengejutkan. Para ulama menuntut Ulil—dan

siapapun yang telah menghina Islam, Allah dan Rasulullah untuk “dihukum

mati.” Untuk mengeksekusi tuntutan itu, FUUI kemudian melaporkan Ulil ke

Polri. Ulil sendiri mengaku merasa agak takut meskipun ia menilai “fatwa”

FUUI itu tidak kredibel karena NU dan Muhammadiyah tidak ikut

menandatangani. (Jurnal Dirosah Islamiyah, Vol. 1, No. 1,2003:7-9.

Peristiwa itu membuat JIL semakin populer dan menjadi buah bibir

ditengah masyarakat. Ulil dan JIL “dikutuk” di mana-mana namun juga

didukung oleh kaum muda Muslim progresif. Bagi kaum muda Muslim,

pemikiran Ulil dan para pembaharu yang lain adalah sebuah “harapan” akan

kelangsungan dan masa depan Islam itu sendiri. Agama yang hidup adalah

agama yang bisa beradaptasi menghadapi perubahan. Adaptasi dan reformasi

tafsir keagamaan tidak akan menghilangkan prinsip pokok ajaran agama.

Kaum beragama harus berusaha mengadaptasi dan memahami setiap konsep-

konsep baru yang berkembang di dunia modern untuk diselaraskan dengan

jiwa dan nilai agama. Jika mereka menemukan kontradiksi, mereka akan

menafsirkan ulang doktrin-doktrin lama yang mereka anut agar sesuai dengan

semangat zaman yang dihadapi.

Apakah setelah kegaduhan akibat fatwa FUUI Ulil menjadi bungkam?

Ternyata tidak. Tokoh-tokoh Muslim moderat di NU, Muhammadiyah, UIN

dan Paramadina kerap membelanya, sehingga Ulil merasa memiliki banyak

dukungan. Bagi Ulil, agama adalah suatu kebaikan buat ummat manusia; dan

karena manusia adalah organisme yang terus berkembang, baik secara

kuantitatif dan kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan diri

sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Karena itu, yang dibutuhkan adalah

“agama yang hidup” atau “Islam yang hidup” sebagai lawan dari “Islam yang

mati” milik kaum fundamentalis (Abshar dalam Kompas, 18 November

2002).

Salah satu bentuk Islam yang hidup adalah mengapresiasi pluralisme.

Untuk isu ini, Ulil memulai dengan cara mendekonstruksi pandangan kaum

Muslim bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan sempurna.

Menurut Ulil, pandangan ini begitu kuat di abad 20 ketika kaum Muslim

inferior di hadapan modernitas dan peradaban Barat yang unggul. Padahal,

jika menelaah tradisi penafsiran Quran pada periode klasik (yaitu antara abad

ke-8 hingga ke-12 Masehi, periode di mana kegiatan intelektual dalam dunia

Page 200: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

193

Islam mencapai puncak kreativitasnya), konsep “kelengkapan/

kesempurnaan” itu tidak terlalu mendapatkan perhatian yang khusus. Saat itu,

Islam sedang berada di puncak tertinggi peradaban. Karena itu, konsep

kesempurnaan tidak terlalu dimunculkan oleh para sarjana Muslim saat itu.

Menurut Ulil, menganggap Islam sebagai yang paling sempurna

seperti terlihat sangat mencolok di abad modern ini, melahirkan perasaan

“superior budaya.” Perasaan superior itu akan menyebabkan rasa “cukup

diri” (self sufficiency) secara kebudayaan, sehingga tak perlu belajar dari

golongan lain. Jika saya atau kami sudah cukup, kenapa mesti mengambil

dari yang lain? Dari superior budaya, lahirlah sikap tertutup (eksklusif), yang

sebenarnya sangat berbahaya. Sikap tertutup dan menutup diri itulah yang

sekarang menimpa kaum Muslim dimana-mana. Mereka tidak mau belajar

dan menerima kebenaran dari orang lain.

Ulil kemudian bertanya, apakah maksud kesempurnaan Islam adalah

bahwa agama ini telah menjelaskan semua pesoalan keagamaan dan

kehidupan yang kompleks ini? Tentu saja jawabannya: tidak! Persoalan-

persoalan keagamaan yang sederhana seperti bagaimana hukumnya merokok,

halal, haram atau makruh? Al-Quran tidak menjelaskan secara eksplisit.

Bagaimana hukumnya KB, bayi tabung, menikah jarak jauh (melalui

telepon), dan lain-lain, al-Quran juga tidak menjelaskan secara gamblang.

Apakah al-Quran dan hadis Nabi menjelaskan undang-undang penerbangan

sipil, undang-undang moneter dan fiskal, undang-undang migas dan batubara,

dan undang-undang mengenai perlindungan hutan, laut, dan kekayaan alam?

Tentu saja tidak. Menurut Ulil, setiap tahun ada ribuan undang-undang dan

peraturan yang dibuat oleh parlemen di seluruh dunia yang tidak ada

pedomannya di dalam agama.

Lalu mengapa kaum Muslim menganggap Islam sebagai agama yang

paling sempurna? Sempurna itu maksudnya apa? Menurut Ulil, kaum Muslim

harus merumuskan kembali konsep kesempurnaan itu melalui dua penafsiran

yang progresif. Pertama, kesempurnaan itu terletak pada aspek akidah dan

norma umum. Norma-norma umum ini yang kemudian dikembangkan lebih

jauh oleh para sarjana Muslim menjadi norma khusus. Misalnya, dalam al-

Quran ada ayat tentang pentingnya melakukan musyawarah diantara kaum

Muslim. Konsep musyawarah ini ternyata kompatibel dengan model

demokrasi modern. Kedua, watak kesempurnaan Islam artinya sebuah watak

dan sikap yang terbuka untuk menerima berbagai kebenaran dan kekayaan

dari berbagai agama dan tradisi lain. Jadi, kesempurnaan justru bermakna

kesanggupan untuk menampung berbagai kebenaran dari orang lain, bukan

malah ketertutupan. Karena itu menurut Ulil, kebenaran ada dimana-mana di

Page 201: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

194

luar kaum Muslim; ada di agama Zoroaster, Yahudi, Kristen dan lain-lain.

Dengan merujuk kepada Fazlur Rahman, justru ciri orang bertakwa adalah

rendah hati, yaitu sikap mau menerima hikmah (wisdom) dari orang lain.8

Menurut Ulil dengan mengutip Nurcholish Madjid, pada masa Nabi,

Islam tidak dikenal sebagai nama agama, tapi sebuah sikap ketundukan dan

kepasrahan kepada Tuhan. Pada mulanya, Islam adalah sebuah kualitas

personal, bukan agama institusional. Dalam pengertian kepasrahan ini, agama

Islam dengan agama lain sesungguhnya sejajar (Qodir, 2010:205) . Ulil

kemudian mengutip ayat al-Quran tentang ‘khataman nabiyyin’. Kaum

Muslim biasanya mengartikan ‘khatim’ sebagai penutup. Maksudnya Nabi

Muhammad adalah yang terakhir karena ia penutup para nabi. Tetapi, Ulil

lebih memilih membaca ayat itu sebagai ‘khatam’ yang berarti cincin. Nabi

Muhammad adalah jari di antara jari-jari yang ada, hanya saja “jari Nabi”

begitu istimewa karena mengenakan cincin kehormatan. Dengan tafsir ini,

maka Ulil meyakini bahwa sejarah kenabian tidak berakhir dengan

meninggalnya Nabi Muhammad. Karena itu, setiap Muslim adalah

“Muhammad-Muhammad kecil” yang mengemban sejarah profetis

sebagaimana Muhammad dulu. Tafsir ini menurut Ulil, lebih progresif

dibanding penafsiran kaum Muslim fundamentalis yang hanya ingin menjadi

“replika” atau “imitator” Nabi tanpa berusaha keras membuat sejarah yang

progresif (Abshar, 2007:77).

Terkait konsep pluralisme agama, Abd. Moqsith Ghazali,9 akademisi

UIN Jakarta yang pernah menjadi Direktur Eksekutif JIL periode 2008-2013,

menulis sebuah buku akademik berjudul Argumen Pluralisme Agama,

Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (2009). Buku ini adalah disertasi

Doktoral Moqsith dalam bidang Tafsir al-Quran. Moqsith mendiskusikan

tema-tema pokok yang cukup sensitif di kalangan kaum Muslim yaitu soal

8 Terkait pandangan-pandangan Ulil ini, saya ringkaskan dari dua artikel Ulil di

blog-nya, yaitu “Tentang Quran, Konsep Kelengkapan, dan Superioritas Budaya ( 9 Juli

2010),” dan “Memahami Kitab Kitab Suci Secara non-Apologetik (6 Agustus 2008)”. Lihat

www.Ulil.net 9 Moqsith adalah santri Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah, Situbondo, Jawa Timur,

yang diasuh oleh Kyai Romo As’ad Syamsul Arifin, tokoh besar NU. Ia tinggal di pesantren

itu hingga menyelesaikan S-1 pada Institut Agama Islam Ibrahimi (1995) milik pesantren itu.

Kemudian menyelesaikan S-2 (1999) dan S-3 (2007), keduanya pada Pascasarjana UIN

Jakarta. Moqsith diajak bergabung dengan JIL pada 2003 karena dianggap memiliki

kemampuan mendalam membaca dan menganalisis kitab-kitab klasik Islam, terutama

Hukum Islam dan Tafsir. Selain itu, retorikanya juga memukau. Saya kira penunjukkan

Moqsith menjadi Direktur Eksekutif JIL ke-4 adalah karena penguasaannya terhadap kitab

klasik Islam untuk memperkuat argumen eksistensi Islam liberal, karena kitab-kitab klasik

itu biasa menjadi rujukan kaum Muslim, terutama ulama-ulamanya.

Page 202: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

195

toleransi dan kebebasan beragama, pengakuan akan keselamatan ummat non-

Islam, doktrin tentang kafir, syirik, ahli kitab, kebolehan menikah dengan

pasangan non-Muslim, soal perbedaan jihad dan perang. Tema-tema itu

dieksplorasi menurut ayat-ayat al-Quran dan perspektif para mufasir.

Moqsith mengurai secara detail pandangan para ahli tafsir klasik dan modern,

baik yang eksklusif maupun yang inklusif, kemudian mengarahkan

pembicaraan ke arah tafsir al-Quran yang humanis dan progresif dalam

bingkai Islam yang pluralis. Yang istimewa dalam karya itu adalah bahwa

Moqsith berhasil menyajikan wawasan al-Quran dan perspektif para mufasir

mengenai doktrin Islam yang bersifat lokal-partikular dan ajaran lain yang

humanis-universal.

Gagasan pluralisme agama yang diusung Madjid, Wahid, Djohan

Effendi, dan diperkuat oleh tokoh-tokoh JIL di atas mengundang kemarahan

kaum Muslim konservatif. Bagi mereka, pandangan yang ingin menyetarakan

Islam dengan agama-agama lain, sangat membahayakan akidah kaum

Muslim. Melalui lobi-lobi mereka yang cukup intens kepada Majelis Ulama

Indonesia (MUI), akhirnya pada 2006 MUI mengeluarkan fatwa haram bagi

paham pluralisme agama. Dalam fatwa itu, MUI menjelaskan bahwa yang

dimaksud pluralisme agama adalah “suatu paham yang mengajarkan bahwa

semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah

relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa

hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah. Pluralisme

agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama yang berbeda-beda

akan masuk surga dan hidup berdampingan di dalamnya.” Dengan paham

seperti itu, maka bagi MUI “Pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama

adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.” “Ummat Islam

haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama”

(Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 2011:91-92). Bagi MUI jelas, secara

teologis, kebenaran dan keselamatan di akhirat hanya milik agama Islam

yang dibawa oleh Nabi Muhammad, dan hanya Islam satu-satunya agama

yang mendapat ridha Tuhan (Sekretariat Majelis Ulama Indonesia 2011:89-

90).

Segera setelah fatwa itu diumumkan, para tokoh Islam moderat dan

liberal berkumpul untuk memberikan reaksi yang sangat keras. Dalam

konferensi pers, secara bergantian, Wahid, Syafii Ma’arif, Azyumardi Azra,

dan Ulil Abshar memberikan pernyataan yang berisi keprihatinan atas fatwa

itu dan mengkritik keras MUI. Menurut Wahid, dengan fatwa itu MUI

seolah-olah menutup mata atas kemajemukan Indonesia, namun di sisi lain

ingin tetap hidup di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Ulil sendiri

Page 203: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

196

secara emosional menyebut para ulama dalam MUI bukanlah orang-orang

yang berilmu (ulama) melainkan orang-orang yang bodoh (juhala).

Fatwa hukuman mati bagi Ulil dan fatwa keharaman pluralisme

ternyata memiliki efek yang serius bagi munculnya teror dan kekerasan.

Dengan merujuk kepada fatwa-fatwa itu, beberapa laskar Islam seperti Forum

Ummat Islam (FUI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Front Pembela

Islam (FPI) mulai aktif berdemo menuntut kepada pemerintah bahwa JIL

harus dibubarkan. Ada banyak kampanye di media massa dan foster-foster

yang bertuliskan “Indonesia damai tanpa JIL.” FPI secara aktif juga

menyerang markas JIL di Utan Kayu dan menuntut markas itu untuk ditutup.

Ulil sendiri merasakan bahwa nyawanya dalam bahaya. Ia sering diintai oleh

orang-orang tak dikenal. Bahkan, seorang aktivis Islam, Iqbal Husaini telah

tiga kali mendatangi markas JIL di Utan Kayu dengan niat membunuh Ulil.

Namun sayang, ia tak memiliki kesempatan yang tepat untuk bisa membunuh

Ulil. Menurut Luthfi yang mengutip laporan majalah Tempo (2005), niat

pembunuhan terhadap Ulil itu didasarkan Husaini pada fatwa FUUI (2002)

yang mengeluarkan fatwa mati untuk Ulil (Assyaukani, 2007:147-148). Tak

diragukan, di satu sisi, aksi-aksi demonstrasi dan tindak kekerasan terhadap

tokoh-tokoh pengusung pluralisme dan liberalisme membuat suatu

kecemasan yang serius, namun di sisi lain hal itu membuat JIL semakin

populer. JIL dan tokoh-tokoh senior Muslim moderat yang membela Islam

liberal menjadi pembicaraan luas di kalangan Muslim Indonesia. Tindakan

pembunuhan tidak terjadi, dan segala kegaduhan akhirnya terhenti. Dalam

suatu cara yang “halus” kelihatannya beberapa tokoh di pemerintahan

berhasil “melindungi” tokoh-tokoh Muslim moderat-liberal.

Gagasan dan praktik mengenai Islam yang hidup dan pluralisme

agama tidak akan tumbuh berkembang di negara yang menganut ‘negara

Islam.’ Karena itulah, sejak awal JIL menolak konsep negara teokrasi dan

mendukung konsep negara-bangsa (nation state) dengan sistem demokrasi.

Menurut Luthfi, Islam liberal meyakini bahwa urusan pemerintahan dan

politik adalah persoalan ijtihad manusia, dan bukan sesuatu yang baku yang

datang dari masa silam dan dipaksa untuk diterapkan bagi manusia modern.

Argumen formalisme negara Islam tak lagi memadai untuk menjawab

kompleksitas kehidupan masyarakat modern yang mengidealkan pluralitas,

persamaan hak, dan demokrasi. Bagi Luthfi, Islam liberal meyakini bahwa

dasar negara harus dikembalikan kepada unsurnya yang paling luhur, yaitu

keadilan dan persamaan, dan bukan pada formalisme monolitik—seperti

yang dikampanyekan kaum Muslim fundamentalis, yang hanya akan

memecah belah masyarakat yang heterogen (Assyaukani, 2007:xxvi) .

Page 204: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

197

Mendekonstruksi Pandangan tentang Kesucian al-Quran

Bagi kaum Muslim dimanapun, al-Quran adalah kitab suci yang

sangat sakral dan harus diperlakukan secara sakral pula. Ia menjadi ‘pusat

fokus’ kaum Muslim dalam kehidupan material dan spiritual. JIL memiliki

perhatian serius mengenai posisi al-Quran ini. Dengan mengambil inspirasi

dari seorang ulama klasik ahli kajian al-Quran, Jalaluddin al-Suyuti, dan

beberapa sarjana Muslim modern seperti Fazlur Rahman dan Muhammad

Arkoun, tiga tokoh JIL: Ulil Abshar, Luthfi Assyaukani, dan Moqsith

Ghazali menulis beberapa artikel kritis tentang sejarah al-Quran, proses

kodifikasi al-Quran, kemungkinan kesalahan gramatik al-Quran dan

bagaimana seharusnya kaum Muslim memperlakukan al-Quran. Puncaknya,

tiga tokoh JIL itu menulis satu buku berjudul Metodologi Studi al-Quran

(2009). Menurut mereka, al-Quran harus dilihat dalam dua hal yang berbeda.

Pertama, ia adalah wahyu aural, wahyu yang didengarkan. Persis seperti

wahyu dalam Weda yang disebut Sruti, yang artinya “sesuatu yang

didengarkan” oleh orang-orang bijak yang dalam tradisi Hindu disebut rshi.

Al-Quran adalah wahyu yang didengarkan, lalu kemudian “dibaca” (dalam

bahasa Arab menjadi al-Quran, artinya bacaan). Kedua, al-Quran harus

dilihat sebagai kitab suci yang ditulis (scripture) dan dikodifikasi (Ghazali,

dkk.,2009:38-39). Ada proses manusiawi atau proses sejarah dalam penulisan

dan kodifikasi al-Quran.

Wahyu atau wahyu aural adalah sesuatu yang berada di alam ilahi

bukan di area manusiawi. Klaim penerimaan wahyu oleh kaum Muslim

adalah klaim subjektif yang berada di luar nalar ilmiah. Persoalan wahyu

sepenuhnya adalah persoalan keimanan, dan bukan persoalan ilmu

pengetahuan. Karena itu klaim keterjagaan al-Quran seperti firman-Nya,

“Kami yang menurunkan al-Quran dan Kami pula yang menjaganya (sura al-

Hijr: 9),” harus dipahami bukan dalam konteks manusiawi, tetapi dalam

konteks ilahi. Sebaliknya, berbeda dengan hal itu, menurut ketiganya,

penulisan dan kodifikasi al-Quran adalah proses panjang pengumpulan,

penyeleksian, pengeditan, dan percetakan hingga akhirnya menjadi sebuah

buku suci. Menjadi jelas bahwa penulisan adalah proses manusiawi yang bisa

diuji dan diverifikasi secara objektif. Proses penulisan kitab suci tak lebih

dari sekedar proses penulisan buku, melibatkan berbagai unsur: budaya,

bahasa, politik, dan kekuasaan.10

Dari sini harus dipahami, menurut tiga

10

Seperti diketahui secara umum oleh kaum Muslim bahwa Mushaf yang ada

sekarang disebut Mushaf Utsmani karena dikodifikasi secara seruagam oleh Khalifah

Utsman Ibn Affan. Kodifikasi itu tentu saja adalah sebuah ijtihad yang baik tapi tetap saja

melibatkan sisi subyektif Utsman dan adanya kekuasaan politik sang Khalifah. Misalnya

komisi yang dibentuk Utsman adalah Zayd Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Zubayr, Abdullah Ibn

Page 205: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

198

tokoh itu, sakralisasi al-Quran berkaitan erat dengan proses pembentukan dan

perjalanan wahyu sebagai kitab suci. Proses sakralisasi berkembang seiring

proses penulisan dan kodifikasi al-Quran. Dalam perkembangan itulah,

pensucian atau menganggap suci al-Quran adalah konstruksi sebuah

masyarakat. Al-Quran dianggap suci karena ada sekelompok masyarakat

yang menganggapnya suci(Ghazali, dkk.,2009:31-32) , tanpa pernah

memperhatikan secara kritis adanya proses-proses manusiawi didalamnya.

Menurut ketiga figur JIL, saat ini yang terjadi adalah kecenderungan

kaum Muslim untuk mensakralkan huruf, script atau tulisan al-Quran

dibanding semangat pembebasan dan pemuliaan manusia yang dikandung

Quran. Kaum Muslim telah meletakkan Quran hanya sebagai kitab suci yang

tertulis dan sebagai kitab hukum yang kaku dan rigid. Akibatnya, pertama,

terjadi penguatan skripturalisme yang eksesif, yaitu anggapan bahwa huruf

dan kalimat yang tertera dalam kitab suci harus dimengerti secara “harfiah”,

dan bahwa maksud Tuhan terkandung secara transparan dan langsung dalam

huruf itu. Kedua, al-Quran disempitkan menjadi sekedar dokumen hukum

yang kedudukannya tidak jauh berbeda dengan naskah hokum dalam

pengertian hukum positif modern saat ini (Ghazali, dkk.,2009:43-44).

Dengan kata lain, al-Quran dimerosotkan derajatnya hanya menjadi “huruf”

dan “kanon resmi”, menjadi kitab aturan, atau dalam bahasa Muhammad

Arkoun menjadi “korpus resmi yang tertutup”. Artinya, kanon resmi yang

dibaca dan dipahami menurut penafsiran tertentu yang dianggap otoritatif,

dan mengabaikan adanya pemahaman dan penafsiran lain yang beragam.

Padahal menurut ketiganya, al-Quran adalah kitab petunjuk, kitab ilham yang

membuka peluang banyak penafsiran. Al-Quran adalah sumber inspirasi yang

membebaskan, sebagai bagian dari ritual sosial, sebagai ilham dalam

penciptaan artistik, sebagai elemen yang juga ikut membentuk fantasi dan

harapan komunitas Muslim di sebuah tempat tertentu, pada waktu tertentu

pula(Ghazali, dkk.,2009:44-45) .

‘Amr Ibn ‘Ash dan Abdullah Ibn ‘Abbas. Nama-nama itu juga hasil seleksi Khalifah Utsman

yang dianggap mampu melakukan tugas besar, dan yang terpenting adalah loyal kepada

Khalifah. Sebenarnya ada tokoh senior seperti Ibn Mas’ud tapi tidak dipilih oleh Utsman

karena Ibn Mas’ud adalah tokoh senior yang keras kepala. Sebelum Mushaf Utsmani

dikodifikasi, sebenarnya terdapat 15 Mushaf primer, diantaranya Mushaf Umar Ibn Khattab,

Mushaf Ibn Mas’ud, Mushaf Ali Ibn Abi Thalib, Mushaf Ibn ‘Abbas dan lain-lain. Tetapi

Utsman, dengan segala kekuasaan politiknya, ingin agar Mushaf al-Quran milik ummat

Islam hanya satu saja. Maka terbentuklah Mushaf Utsmani. Ternyata, antara Mushaf

Utsmani dan Mushaf-Mushaf yang primer itu terdapat beberapa perbedaan dalam hal jumlah

Surat, ayat dan kalimat-kalimat ayat al-Quran. Lebih lanjut soal ini baca Taufik Adnan

Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran (Jakarta: Pustaka al-Vabet, 2013).

Page 206: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

199

Melalui pandangan diatas, JIL telah mengkritik sikap Bibliolatria11

kaum Muslim Indonesia, yaitu sikap memuja dan menyembah kitab suci.

Menurut Ulil, kesalahan fatal kaum Muslim adalah meyakini bahwa al-Quran

adalah kitab yang mengandung ketentuan yang seluruhnya bersifat permanen,

universal, dan abadi. Al-Quran dianggap sebagai kitab yang “selalu relevan

untuk semua waktu dan tempat.” Al-Quran diyakini sebagai kitab yang

sempurna, mengandung seluruh kata kunci penyelesaian atas semua masalah.

Pandangan ini seringkali dipakai sebagai ‘jargon politik’ oleh kelompok-

kelompok tertentu dan partai politik. Karena itu, pandangan ini harus

didekonstruksi. Kaum Muslim harus menyadari secara logis dan realistis

bahwa ada beberapa ajaran dari Quran yang bersifat permanen dan universal,

tetapi banyak juga yang bersifat temporer dan kontekstual. Adalah keliru

menganggap bahwa seluruh isi al-Quran bersifat permanen dan universal

(Ghazali, dkk.,2009:136-137) .

Menurut Ulil, universalisasi al-Quran adalah sama bahayanya dengan

universalisasi HAM dalam pandangan modern yang juga ditentang dimana-

mana. Alasannya sederhana: kehidupan manusia pada dasarnya bersifat

konkret, dan kehidupan semacam itu bersifat partikular bukan universal. Al-

Quran turun dalam konteks kehidupan Sahabat dan masyarakat Arab yang

partikular, sehingga tidak bisa dilakukan universalisasi al-Quran yang pada

mulanya turun kepada konteks yang konkret dan partikular. Bagi JIL, sikap

menguniversalkan al-Quran—yang melahirkan sikap bibliolatria--harus

dilawan (Ghazali, dkk.,2009:137). Sikap bibliolatria hanya ingin meletakkan

al-Quran semata-mata sebagai teks yang terisolasi dari kenyataan dunia

sekitarnya. Seolah-olah ummat Islam bisa dengan mudah ditarik mundur ke

zaman Nabi abad ke-7, dan al-Quran tidak bisa diajak berdialog dengan

kenyataan dan pengalaman hidup kaum Muslim di abad industri ini (Ghazali,

dkk.,2009:134). Menurut JIL, agar al-Quran sebagai wahyu aural dan sebagai

tulisan dapat menjadi kitab suci yang hidup, maka kaum Muslim harus dapat

menangkap visi etis al-Quran yang mencerahkan (Ghazali, dkk.,2009:138).

Al-Quran memiliki konsepsi yang cerah, optimis dan maju tentang manusia.

Karena itu, al-Quran berbicara tentang doktrin “takrim” atau pemuliaan

manusia; bahwa manusia dapat menjadi “agen” atau khalifah dalam

memakmurkan planet bumi (Ghazali, dkk.,2009:111).

Untuk dapat menangkap visi etis al-Quran, kaum Muslim harus berani

“menyebrangi teks” atau go beyond text. Menyebrangi teks tidak berarti

“meninggalkan teks”. Itu dua hal yang berbeda (Ghazali, dkk.,2009:135).

11

Kata Bibliolatry secara harfiah berarti “Penyembahan Bibel.” Secara umum kata

itu berarti “Pengagungan” Kitab Suci secara berlebihan sehingga menyerupai penyembahan.

Kata itu dikutip oleh Ulil dari buku T.H. Huxley, Science and Hebrew Tradition.

Page 207: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

200

Kaum Muslim menurut JIL, harus menyadari bahwa wahyu verbal dalam al-

Quran hanyalah separuh wahyu, separuh lainnya adalah wahyu non-verbal

berupa pengalaman sejarah manusia (Ghazali, dkk.,2009:138). Teks dan

konteks harus terus berdialog. Dengan cara itu, al-Quran benar-benar

memiliki fungsi inspiratif dan transformatif bagi kaum Muslim modern.

Apa yang dilakukan JIL diatas tidak semata mengkritik tapi juga ingin

mendekonstruksi cara pandang konvensional kaum Muslim terhadap al-

Quran, sebuah kitab yang sangat sakral bagi kaum Muslim. JIL ingin

mendekonstruksi bahwa al-Quran bukan segala-galanya bagi kehidupan

Muslim. Sejarah dan pengalaman hidup manusia juga memiliki nilai yang

penting untuk membangun hidup yang lebih baik. Kandungan al-Quran juga

tidak semuanya bersifat final, permanen dan universal. Kritik atau

dekonstruksi JIL ini tentu saja mendapat reaksi yang sangat keras dari

Muslim Indonesia. Sebagian besarnya adalah reaksi berupa amarah yang

tidak proporsional.

Salah satu kritik yang cukup “proporsional” dan “akademik” kiranya

muncul dari Eva Nugraha, seorang akademisi Studi al-Quran dan tafsir UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.12

Menurut Nugraha, JIL dalam Metodologi Studi

al-Quran (2009) tidak merujuk kepada karya-karya kesarjanaan tentang teori-

teori kitab suci, misalnya What Is Scripture (19) karya W.C. Smith dan The

Divine Inspiration of Holy Scripture (1981) karya William Abraham. Cara

pandang JIL terhadap al-Quran persis sama dengan cara pandang orang-

orang Barat atau Kristen Barat terhadap Al-Kitab yang menganggap kitab

suci sebagai buku hasil intervensi manusia. Jika JIL merujuk kepada Smith

dan William Abraham, maka akan dipahami bahwa apa yang disebut kitab

suci (scripture) adalah yang tertulis yang bermula dari wahyu aural dan oral,

lalu menjadi teks yang tertulis yang tetap memiliki sakralitas dan otoritas.

Dua hal ini yang amat penting: sakralitas dan otoritas. Kitab suci, meskipun

ia telah menjadi buku yang tertulis sebagai hasil intervensi manusia, namun

ia tidak kehilangan sakralitas dan otoritasnya bagi para pembacanya. Bagi

JIL, kitab suci, termasuk al-Quran—melalui proses kodifikasi yang

manusiawi--seolah-olah telah kehilangan sakralitas dan otoritasnya. Menurut

Nugraha, inilah letak kekeliruan pertama JIL.

Kedua, tulisan JIL tentang al-Quran terkesan seolah ingin membuat

perbandingan dengan karya-karya lain yang serupa, misalnya “Ketika Torah

menjadi Buku,” atau “Ketika Al-Kitab menjadi Buku.” Namun, menurut

12

Nugraha menulis disertasi tentang Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci: Studi

Industri Penerbitan Mushaf al-Quran di Indonesia (2015).

Page 208: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

201

Nugraha, yang tidak dipertimbangkan JIL secara cermat adalah adanya fakta

terdapat ratusan versi Al-Kitab yang akhirnya mengerucut kepada Al-Kitab

versi King James yang kemudian digunakan sampai sekarang. Fakta ini

berbeda dengan kasus al-Quran. Jika dibuat perbandingan dengan Al-Kitab

misalnya, maka naskah-naskah Mushaf yang dianggap valid dan otoritatif

yang kemudian “diseleksi” hingga menjadi Mushaf Utsmani seperti yang ada

saat ini jumlahnya tidak mencapai ratusan seperti dalam kasus Al-Kitab.

Taufik Adnan Amal misalnya, mencatat hanya terdapat 15 Mushaf primer

dan 13 Mushaf sekunder yang diseleksi oleh tim Utsman bin Affan (Amal,

174-175). Fakta ini mengisyaratkan dua hal. Pertama, secara prinsipil, tidak

terdapat pertentangan yang signifikan dalam hal makna dalam mushaf-

mushaf yang diseleksi, terutama pada mushaf-mushaf primer. Biasanya yang

terlihat berbeda adalah dalam hal lafadz atau ekspresinya, tidak dalam

maknanya. Karena itu, kedua, meskipun terdapat intervensi, namun intervensi

itu tidak terlalu jauh dan rumit. Hanya mencocokkan, memilah dan mengedit

mushaf-mushaf yang ada lalu dikerucutkan dan diputuskan satu mushaf saja

yang dianggap valid dan otoritatif, yaitu Mushaf Utsmani. Sekali lagi, proses

inipun bukan mengintervensi terlalu jauh dan kompleks karena mushaf-

mushaf yang ada secara umum sudah seirama dalam hal susunan, lafadz dan

maknanya.13

Menurut Nugraha, jika membaca karya JIL tentang al-Quran, akan

muncul kesan seolah hanya kitab al-Quran yang paling terkena intervensi

manusia dibanding kitab-kitab suci yang lain. Padahal faktanya sama saja.

Semua kitab suci selalu mengalami proses manusiawi. Dan yang terpenting,

meskipun telah menjadi buku suci tetapi kitab-kitab suci itu tetap tidak

kehilangan dua wataknya, yaitu sakralitas dan otoritas. Kritik JIL terhadap

ummat Islam yang mensakralkan kitab al-Quran dengan “tanpa pernah

memperhatikan secara kritis adanya proses-proses manusiawi didalam

pembentukannya menjadi buku suci” memberi kesan bahwa wahyu Allah

yang telah menjadi kitab suci al-Quran itu telah kehilangan sakralitasnya.

Menurut Nugraha, kritik JIL itu kurang tepat. JIL sesungguhnya masih bisa

mengingatkan kaum Muslim untuk lebih memahami isi dan spirit al-Quran

tanpa perlu “menghajar” proses kodifikasi Mushaf Utsmani. Karena proses

kodifikasi kitab suci semua agama pasti mengalami intervensi manusia.

Ketiga, dengan banyak mengutip al-Suyuthi, bagi Nugraha,

pandangan-pandangan JIL sesungguhnya bukan hal yang baru. Yang berbeda

adalah bahwa al-Suyuthi sejak abad 10 H atau 17 Masehi telah menceritakan

pandangan banyak orang tentang pewahyuan al-Quran dan beragam cara

13

Menurut Nugraha, proses.

Page 209: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

202

membacanya tanpa ada motivasi untuk “menghajar” kitab (buku) al-Quran

itu. Berbeda dengan JIL yang sedari awal sudah “curiga” dengan semua hal

(proses) manusiawi dalam formasi al-Quran. Keempat, JIL sering

menyatakan bahwa sejarah (kodifikasi) al-Quran adalah sejarah kekuasaan.

Menurut Nugraha, dalam kajian sejarah, telah sejak lama sejarah memang

“milik” penguasa. Dan Mushaf Utsmani sendiri memang lahir ketika

sebagian besar sejarah ditentukan oleh kekuasaan politik. Fenomena ini juga

menimpa sebagian besar sejarah dan perkembangan agama-agama ummat

manusia yang arahnya ditentukan oleh kekuasaan (termasuk formasi kitab-

kitab suci mereka). Baru di abad modern muncul secara kuat penulisan-

penulisan sejarah yang fokusnya pada masyarakat biasa (sejarah sosial), dan

bukan pada penguasa. Dengan model ini, sekarang masyarakat jadi pemilik

dan penentu sejarah. Namun sekali lagi menurut Nugraha, kritik JIL terhadap

kekuasaan Utsmani yang telah membukukan al-Quran memberi kesan yang

kuat seolah hanya al-Quran saja kitab suci sebagai hasil (produk) kekuasaan

dari karya tulis sejarah (historiografi).

Kritik-kritik lain terhadap JIL biasanya bersifat emosional. Beberapa

buku kemudian diterbitkan untuk mengkritik JIL, diantaranya Islam Liberal:

Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya karya Adian Husaini

dan Nuim Hidayat (2002), Melawan Konspirasi Jaringan Islam Liberal karya

Fauzan Anshori (2003), Membedah Islam Liberal: Memahami dan

Menyikapi Manuver Islam Liberal di Indonesia karya Adian Husaini dkk

(2003), Menangkal Bahaya JIL dan FLA (Fikih Lintas Agama) karya

Hartono Ahmad Jaiz dan Agus Hasan Bashori (2004) dan lain-lain. Biasanya

tulisan-tulisan dalam buku-buku itu adalah reaksi yang bersifat emosional,

berisi asumsi-asumsi dan tuduhan yang menghubungkan JIL dan tokoh-tokoh

senior pembaharu seperti Nurcholish Madjid dan Harun Nasution dengan

proyek Yahudi-Zionisme dan misi Kristenisasi. Adian Husaini misalnya,

seorang Islamis yang sangat aktif mengkritik JIL dan tokoh-tokoh pembaharu

menegaskan bahwa pemikiran teologi inklusif-pluralis, yang diusung oleh

Madjid dan JIL, adalah “hal yang sangat serius dalam penghancuran akidah

Islam” (Husaini dan Hidayat, 2002:82). Tentu saja, tuduhan Husaini itu

terlalu berlebihan, karena puluhan buku dan artikel yang ditulis oleh Madjid

dan tokoh pembaharu lainnya tidak pernah dimaksudkan untuk

menghancurkan akidah Islam kaum Muslim Indonesia. Sebaliknya, karena

mencintai Islam, Madjid dan Nasution misalnya--justru merumuskan model

Islam yang selaras dengan kemodernan dan keindonesiaan. Dalam buku

Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal (2002), kita menemukan puluhan

halaman berisi asumsi-asumsi dan tuduhan-tuduhan keduanya bahwa JIL dan

para tokoh pembaharu sangat terkait erat dengan penghancuran akidah Islam,

Page 210: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

203

penghancuran syariat Islam serta hubungan Islam liberal dengan

imperialisme Barat dan Zionisme.

Adanya kritik dan reaksi emosional terhadap JIL adalah sesuatu yang

lumrah dan dapat dipahami karena cara pandang dan referensi yang berbeda

dalam memahami Islam. Bacaan yang luas dan pengalaman bersentuhan

dengan banyak hal yang membentuk cakrawala dan horison yang luas tentu

berbeda dengan bacaan yang terbatas dan pengalaman terbatas dalam

berinteraksi dengan dunia yang luas dan kompleks. Dalam konteks ini, saya

setuju dengan catatan Zuly Qodir bahwa tema-tema yang diangkat dalam

diskursus JIL—dan para pembaharu senior—adalah tema-tema yang tidak

semua orang dapat mengikutinya. Tema-tema tersebut adalah khas kaum

intelektual yang telah dibekali dengan ilmu politik, sosiologi modern,

antropologi, filsafat dan ilmu sejarah. Di dalam kajian Islam sendiri, mereka

telah membaca ulumul qur’an, ulumul hadits, dan sirah nabawiyah. Karena

itu menurut Qodir, discourse Islam liberal memang discourse tingkat tinggi

yang membuat ‘orang awam’ kelabakan. Dan JIL sendiri memang bukan

komunitas “sembarangan,” tetapi kelompok eksklusif yang hendak

menawarkan discourse masa depan Islam Indonesia. Meski eksklusif

menurut Qodir, sisi positif dari discourse Islam liberal adalah sosialisasi

topik-topik keIslaman yang dahulu dianggap sangat “elitis” hanya milik

kaum ulama, para mujtahid dan intelektual Islam semata (Qodir, 2007:120-

122). Tema-tema keIslaman yang dahulu elitis itu kini disebarluaskan oleh

JIL, dan secara terbuka didiskusikan oleh publik Muslim dengan respons

yang sangat beragam.

Masa Redup dan Kemungkinan Masa Depan

Memasuki dasawarsa kedua era 2000, komunitas JIL dan istilah Islam

liberal tidak populer lagi. Sesekali terdengar nama itu secara sayup-sayup.

Mungkin ada faktor kritik keras, serangan, dan fatwa kaum ulama tentang

bahaya JIL bagi ummat Islam, tapi menurut Moqsith, hal itu tidak terlalu

signifikan. Moqsith Ghazali mengungkapkan setidaknya ada tiga hal pokok

yang sangat signifikan yang membuat JIL semakin lemah. Pertama, JIL

kalah cepat merespons isu-isu aktual keIslaman dari lembaga lain seperti NU

dan UIN. Kedua, ketiadaan lagi dukungan dana yang memadai untuk

kegiatan-kegiatan JIL. Tahun 2001 hingga 2005 JIL didanai oleh The Asia

Foundation (TAF). Setelah itu ada evaluasi dari TAF. Kabarnya TAF tidak

mengurusi lagi soal teologi, dan karena itu para Indonesianis yang menjadi

konsultan TAF menganggap tidak perlu lagi kerjasama dengan JIL

diteruskan. Indonesia dianggap sudah menjadi negara yang sangat

demokratis, sehingga lembaga-lembaga donor memindahkan proyeknya ke

Page 211: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

204

negara-negara yang penuh konflik seperti Afghanistan, Pakistan, Mesir,

Libya dan lain-lain (Wawancara dengan Moqsith Ghazali, Jakarta, 5 Maret,

2015).

Ketiga, JIL dan penyebutan ‘Islam liberal’ mendapat kritik dari

tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah, dan UIN yang dulu menjadi para

pendukungnya. Ada beberapa peristiwa kompleks yang bisa dijelaskan.

Ketika Islam radikal melakukan aksi terorisme di banyak tempat di Indonesia

dan menyedot perhatian publik, maka tokoh-tokoh Muslim moderat dari NU,

Muhammadiyah, dan UIN melakukan kritik tajam terhadap radikal Islam dan

mengkampanyekan Islam moderat. Namun bersamaan dengan mengkritik

Islam radikal (ekstrim kanan), mereka juga mengkritik Islam liberal (ekstrim

kiri) demi mengkampanyekan Islam moderat (Wawancara dengan Moqsith

Ghazali, Jakarta, 5 Maret, 2015).

Terkecuali Gus Dur, Madjid, Djohan Effendi dan Dawam Rahardjo,

beberapa tokoh terkemuka NU dan Muhammadiyah seperti Hasyim Muzadi,

Said Aqil Siraj dan Din Syamsuddin kerap mengkritik Islam liberal.

Beberapa tokoh UIN—yang dulu menjadi kontributor—mulai “menjaga

jarak” dengan JIL dan isu-isu Islam liberal karena alasan-alasan politis,

misalnya sekarang telah menjadi pejabat tinggi di universitas atau Kemenag

RI, atau menginginkan diterima sebagai pejabat tinggi di lembaga Islam lain.

Dalam persepsi banyak Muslim Indonesia, di tengah semangat kembalinya

Muslim Indonesia kepada Islam moderat, maka Islam liberal dianggap sama

bahayanya dengan Islam radikal. Dalam pengertian inilah, para tokoh itu

harus menjaga jarak dengan isu-isu Islam liberal (Wawancara dengan

Moqsith Ghazali, Jakarta, 5 Maret 2015).

Dari sisi keilmuan, diskursus yang kerap diusung JIL seperti

hubungan Islam dengan pluralisme, Hermeneutik, HAM dan kesetaraan

gender, sudah tidak banyak lagi didiskusikan. Tokoh-tokoh UIN seperti

Komaruddin Hidayat dan Amin Abdullah tidak lagi banyak mendiskusikan

hermeneutik. Hidayat lebih banyak menulis tentang spiritualitas Islam,

pentingnya agama bagi masyarakat, dan perlawanan terhadap fundamentalis

Muslim yang mengusung ide teokrasi.14

Sementara Abdullah lebih banyak

14

Karya terlaris Komar dalam satu dasawarsa terakhir adalah Psikologi Kematian

(2005). Karya ini sampai sekarang masih dicetak dan diperbincangkan dikalangan kelas

menengah Muslim awam perkotaan. Pada 2012 Komar menerbitkan bukunya yang lain

berjudul Agama Punya Seribu Nyawa. Sedangkan karya teranyar Komar adalah Kontroversi

Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila (2014), sebuah karya kumpulan tulisan Komar

dengan para sarjana Muslim Indonesia lainnya sebagai respons terhadap gerakan Hizbut

Tahrir Indonesia yang getol mengkampanyekan negara teokrasi.

Page 212: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

205

merumuskan integrasi ilmu-ilmu Islam dengan sains untuk pengembangan

keilmuan di universitas Islam.15

Nasaruddin Umar yang dulu sangat terkenal

dengan isu Islam dan kesetaraan gender, sekarang setelah menjabat sebagai

pejabat tinggi Kemenag RI lebih banyak menulis tentang pentingnya sufisme

Islam bagi Muslim Indonesia.16

Kiranya saat ini tema-tema yang dulu

diusung JIL sudah tidak relevan. Perubahan dan dinamika pemikiran dan

gerakan Islam Indonesia hari ini menyebabkan para pemikir Muslim senior

lebih senang mendiskusikan tema-tema yang sedang aktual. Secara umum

topik-topik seputar spiritualitas Islam dan normatif Islam masih menyedot

perhatian publik Muslim. Sebaliknya, diskursus tentang Islam progresif dan

isu-isu Islam yang lebih akademik-intelektual sudah kurang diberitakan oleh

media massa, kurang publikasi, karena itu kurang pula respons dari

masyarakat luas.

Momen pemilu 2004, terlebih lagi pada pemilu 2009 dan 2014,

sebagian besar anak-anak muda Muslim terlibat dalam politik praktis, baik

untuk menjadi anggota legislatif maupun menjadi pendukung calon-calon

presiden yang akan bertarung. Kini, anak-anak muda itu menjadi pragmatis.

Dalam tujuh tahun terakhir, perhatian masyarakat Muslim juga tersedot

terutama pada soal-soal sosial dan politik, sesekali terjadi perbincangan

keagamaan karena insiden intoleransi. Namun, diskursus Islam intelektual

dengan respons yang luas seperti pada masa 1990-an dan awal 2000-an sudah

melemah. Menurut Moqsith, JIL dan isu-isu Islam liberal semakin melemah

ketika tokoh-tokoh senior Muslim liberal seperti Madjid, Wahid meninggal,

Djohan dan Dawam sudah meninggal. Tidak ada generasi pertama setelah

mereka yang memiliki akar Islam sosial (pengikut) yang kuat seperti Wahid,

dan akar Islam institusional seperti Madjid. Ringkasnya, figur-figur muda

seperti Ulil, Luthfi, Ihsan Ali Fauzi, Saiful Muzani, Moqsith Ghazali dan

lain-lain kurang memiliki wibawa Islam intelektual dan spiritual seperti yang

dimiliki tokoh-tokoh senior di atas.

Masa depan gagasan-gagasan Islam liberal di Indonesia

sesungguhnya masih terbuka, namun harus dikemas dalam format yang bisa

diterima kaum Muslim secara luas. Sesungguhnya, meskipun JIL sudah

redup, namun tokoh-tokohnya masih aktif memberikan sumbangan pemikiran

bagi Indonesia, baik melalui tulisan-tulisan di media massa maupun dalam

15

Gagasan besar Amin Abdullah tentang hubungan agama dan sains dirumuskannya

dalam apa yang ia sebut Integrasi-Interkoneksi. Proyek besar Abdullah ini kemudian menjadi

“ benchmark” UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang diimplementasikan dalam kurikulum-

kurikulum yang dirancang dan bangunan fisik kampus. 16

Karya terbaru Nasaruddin Umar tentang tasawuf adalah Tasawuf, Gender dan

Deradikalisasi Tafsir Agama (2014).

Page 213: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

206

ceramah-ceramah yang mereka sampaikan di mana-mana. Sebagian ide-ide

besar Islam liberal sesungguhnya senafas dengan ide-ide Muslim moderat

yang ada di NU, Muhammadiyah, Paramadina dan UIN. Pandangan

keIslaman yang moderat dan liberal juga sejalan dengan nilai-nilai di dalam

Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Karena itu, pemerintah juga akan

“mendukung” ide-ide progresif mereka. Hanya saja, ide-ide progresif Islam

liberal harus muncul dengan nama lain yang simpatik, karena istilah ‘Islam

liberal,’ bagi sebagian besar Muslim Indonesia, sudah terlanjur menjadi hantu

yang menakutkan, sama menakutkannya dengan istilah ‘Islam radikal.’

Sepertinya, nama JIL sudah “tamat” bagi sebagian besar Muslim Indonesia.

Akhirul kalam, ide, pikiran, dan gagasan sejatinya tak akan pernah

mati. Ia seperti ruh; selalu hidup dalam alam yang abstrak namun denyut

kehidupannya selalu terasa dalam alam yang nyata. Karena itu, jika anak-

anak muda Muslim yang terdidik dalam Islam intelektual terus merawat

idealisme mereka untuk pembaharuan Islam, untuk Islam yang dinamis, dan

untuk Indonesia yang modern—dan dengan dukungan pendanaan yang

memadai, maka ruh dan gagasan-gagasan besar Islam liberal sesungguhnya

tidak pernah mati.

Page 214: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

207

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik,. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia,

Jakarta: LP3ES 1987

Adams, Charles C., Islam and Modernism in Egypt, Oxford university

Press. London, 1933

Ahmad, Kamaruzzaman Bustamam). Melacak Akar Sosial-Politik

Intelektual Islam Indonesia: Sebuah Survey Bibliografis, dalam

Culture and Literature, Kyoto Review of Southeast Asia, 8-9

March 2007

Ali, As`ad Said, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Jakarta:

LP3ES, 2009.

Ali, Fachry dan Effendy, Bahtiar, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi

Pemikiran Islam masa Orde Baru. Bandung: Mizan, 1986

Al-Salam, Izzu al-Din Ibn Abdi, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam,

Beirut: Dar al-Jil, Tanpa Tahun

Amin, Ahmad, Yaum al-Islam. Kairo: Maktabah al-Nahdah al-

Mishriyyah, t.t.

______, Zu’ama’ al-Ishlal fi al-‘Ashr al-Hadis, Kairo: Maktabah al-

Nahdah al-Mishriyyah, 1979

Amin, Qasim, Tahrir al-Mar’ah Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970

______, Al-Minhaj al-Jadidah fi al-Adab al-Arabiy, Jl.II, Dar al-‘ilm li al-

Malayin, Bairut, 1969

Antonius, George, The Arab Awakening : The Story of the Arab National

Movement. New York: Gordon Press, 1981

Anwari, Tontowi dan Rahmawati, Evi, Pembaruan Pemikiran Islam di

Indonesian. Jakarta: LSAF, 2011

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama, Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, ,1999

_____, ‘Teching Tolerance Through Education in Indonesia’,

Symposium International Paper in Cutivating Wisdom,

Harvesting Peace, Multy-Face Centre Graffith University, 10-13

Auguts 2005

Bahar, Saafroedin dkk (eds.), Risalah Sidang BPUPKI & PPKI 28 Mei 1945-

22 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995.

Russel, Bertrand , History of Western Philosophy. London: Routledge, 1966

Bizawie, Zainul Milal, Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring

Ulama Santri (1830-1945), Ciputat-Tangerang: Pustaka Compass,

2016

Page 215: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

208

Carl Brockelmann, History of The Islamic People. London: Routledge &

Kegan Paul, 1980

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988

Donohue, John J dan Esposito, John L. Islam dan pembaruan. Jakarta:

Rajawali Press, 1999

Enayat, Hamid, Modern Islamic Political Thought, The Macmillan Press,

London: LTD., 1982

Encyclopedia Britanica, USA: William Benton Publisher, vol.XV, 1970

Esposito, Jhon L., Dinamika kebangkitan Islam. Jakarta: Rajawali Press,

(2001).

Feilard, Andree, NU Vis a Vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna,

Yogyakarta: LKiS, 1999.

Fernau, F.W., Moslems on the March : People and Politics in the World of

Islam, London: Robert Hale Limited, (1955).

Gibb, H.A.R., dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam. New York:

Cornell University Press, 1953

Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975

Hourani, Albert, Arabic Thought in the Liberal Age. London: Oxford

University Press, 1962

Huntington, Samuel P., The Clash of Civilization: Remaking of the World

Order. New York: Simon and Schister. Lapidus, M. Ira “Sejarah sosial

Ummat Islam”. Rajawali Press, 1997

Jamhari dan Jahroni, Jajang (ed.). Gerakan Salafi Radikal di Indonesia.

Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004

Jan Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam, Jakarta: BPK Gunung

Mulia

Khallaf, Abdul Wahab, `Ilm Ushul al-Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da`wah al-

Islamiyah, 1968.

Lewis, B., dkk. (Editor), The Encyclopaedia of Islam, Leiden: volume II, E.J.

Brill, L., (1965).

Lorens Bagus, Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996

Madjid, Nurcholish, (1993). “Beberapa Renungan tentang Keagamaan untuk

Generasi Mendatang, dalam Ulumul Qur’an 1, IV, 1993

______, Indonesia Kita, Jakarta: Universitas Paramadina, 2004.

______, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru

Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995

______, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995.

______, Khazanah Intelektual Islam. 1995. Jakarta: Bulan Bintang.

May, L.S., Iqbal, the Humanist: In Memoriam. Iqbal Review, Vol XVIII,

No.4, 1978

Page 216: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

209

Moelino, Anton M. (Penyunting Penyelia), Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta, cetakan ke-2,

(1989).

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah dan Gerakan.

Jakarta: Bulan Bintang, 1984

Nurcholish Madjid. (1995).

Nurdin, M. Amin and Ropi, Ismatu, Respon Kelompok Non-Islam terhadap

Islam di Indonesia. Jakarta: Idayus, 2011

Panitia Muktamar NU, (1986). Hasil Muktamar Nahdaltul Ulama ke-27

Situbondo. Semarang: Sumber Barakah, 1986

Rahman, FazlurIslam dan Modernitas. Bandung: Pustaka, , 1985

______, Islam: SejarahPemikiran dan Peradaban. Jakarta: LSAF, 2017

______, Interpreting the Qur'an Inquiry, 1986.

______, Islamand Modernity:Transformatioan of an Intellectual Tradition,

Chicago & London: The University of Chicago Press, 1982

______, Islamic Methodology in History, Karachi: Central Institute of

Islamic Research ,1965

______, "Some Islamic Issues in the Ayyub Khan Era" dalam Donal P.

Little (ed.), Essays on Islimic Civilization: Presented to Niyazi

Berkes, Leiden: E.J. Brill, 1976

______, “Islam: Challenges and Opportunities,” dalam Alford T.Welch &

Pieree Cachia (eds.), Islam: Past Infeluence and Present Challenge,

Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979

______, Rahman, Fazlur, Major Themes of the Qur'an, Minneapolis-

Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980

______ , The Ideological Experience of Pakistan. Islam and the Modern

Age, Vol. No.4, 1971

Rippin, Andrew, “Interpreting the Bible Through the Qur’an.” Dalam

Hawting, G.R. dan Shareef Abdul-Kader A. (eds.). Approaches to the

Qur’an. London: Routledge, 1993

Ropi, Ismatu, “Wacana Inklusif Ahl al-Kitab.” Jakarta: Paramadina 1, no. 1,

1999.

Russel, Bertrand, History of Western Philosophy. London: Routledge, ,1966

Sahal, Ahmad, “Prolog: Kenapa Islam Nusantara”, dalam Akhmad Sahal

(ed.), Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan,

Bandung: Mizan, 2015.

Sidjabat, Bonar, Religious Tolerance and the Christian Faith: A Study the

Concept of Divine Omnipotence in the Indonesian Constitution in the

Light of Islam and Christianity. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1965

Sjadzali, Munawir, H.,MA., Islam dan Tata Negara : Ajaran Sejarah, dan

Pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1990

Tal’at harb, Tarbiyat al-Mar’at wa al-Hijab. Kairo: Dar al-Ma’arif, 1905

Page 217: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

210

Wahid, Abdurrahman, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia &

Transformasi Kebudayaan, Jakarta: The Wahid Institute, 2007

______, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara,

2001

Yudi Latif, Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan, Bandung:

Mizan, 2014

Yusqi, M. Isom, dkk, Mengenal Konsep Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka

STAINU, 2015

Page 218: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/Satu islam...repository.uinjkt.ac.id

211

TENTANG EDITOR

Dr. M. Amin Nurdin, MA adalah Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Alumni Pondok

Modern Gontor Ponorogo lalu melanjutkan kuliah di Fakultas Ushuluddin

Jurusan Perbandingan Agama IAIN Jakarta (sekarang UIN). Mengambil

Master dan Doktoral di UIN Jakarta dengan melakukan penelitian disetasi di

Universitas Melbourne Australia dengan judul Islam dan Multikulturalisme

di Australia pada tahun 1999-2000. Pada tahun 2016 menjadi peneliti tamu di

Univesitas Philipps Marburg Jerman dengan tema penelitian Islam di Eropa.