pengaturan hukum persaingan usaha terhadap...

86
PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP PERJANJIAN TERTUTUP PADA SINERGI BUMN STUDI KASUS PUTUSAN KPPU NO. 07/KPPU-I/2013 SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariahdan Hukum Untuk MemenuhiPersyaratanMemperoleh Gelar Sarjana Hukum(SH) Oleh: MUHAMMAD AZIZ BADARUDDIN NIM 113048000017 K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1438H/2017M

Upload: donhi

Post on 10-Apr-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP PERJANJIAN

TERTUTUP PADA SINERGI BUMN

STUDI KASUS PUTUSAN KPPU NO. 07/KPPU-I/2013

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariahdan Hukum

Untuk MemenuhiPersyaratanMemperoleh Gelar Sarjana Hukum(SH)

Oleh:

MUHAMMAD AZIZ BADARUDDIN

NIM 113048000017

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1438H/2017M

Page 2: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum
Page 3: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

ii

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang saya ajukan untuk memenuhi

Page 4: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

iii

RAK

Page 5: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

iv

ABSTRAK

Muhammad Aziz Badaruddin, NIM 1113048000017, ―PENGATURAN HUKUM

PERSAINGAN USAHA TERHADAP PERJANJIAN TERTUTUP PADA SINERGI

BUMN (STUDI KASUS PUTUSAN KPPU NO. 07/KPPU-I/2013)‖. Di bawah

Bimbingan Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, SH, MH. Konsentrasi Hukum Bisnis,

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/2017 M, xi + 79 halaman + hal lampiran

Penelitian ini menganalisis putusan KPPU NO. 07/KPPU-I/2013 tentang sinergi

antara PT Angkasa Pura II dengan PT Telekomunikasi Indonesia yang terbukti

melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian

yuridis normatif dengan studi kepustakaan. Dalam putusan KPPU NO. 07/KPPU-

I/2013, PT Angkasa Pura II dengan PT Telekomunikasi Indonesia terbukti melakukan

perjanjian tertutup yang diatur dalam Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. PT

Angkasa Pura II mewajibkan pelaku usaha yang menyewa ruang usaha di bandara

Soekarno-Hatta Menggunakan Layanan Epos yang disediakan oleh PT

Telekomunikasi Indonesia. Layanan Epos tersebut ditujukan untuk perhitungan biaya

konsesi terhadap penggunaan ruang usaha di Bandara Soekarno-Hatta. PT Angkasa

Pura II berdalih bahwa kerjasama yang dilakukan dengan Pt Telekomunikasi

Indonesia hanya untuk menjalankan sinergi antar BUMN yang merupakan perintah

Peraturan Menteri Negara BUMN Per-05/MBU/2008 Jo Per-15/MBU/2015 Tentang

Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa. Dengan demikian, perlu

adanya harmonisasi antara Hukum Persaingan Usaha dengan Sinergi Antar BUMN.

Kata Kunci : Perjanjian tertutup, Sinergi BUMN, Persaingan usaha tidak sehat

Pembimbing :Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, SH, MH

Daftar Pustaka : Tahun 1986 sampai Tahun 2016

Page 6: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat

serta anugerah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

―PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP PERJANJIAN

TERTUTUP PADA SINERGI BUMN (STUDI KASUS PUTUSAN KPPU NO.

07/KPPU-I/2013)‖. Sholawat serta salam peneliti sampaikan kepada junjungan alam

semesta Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman

kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.

Selama penulisan skripsi ini peneliti mendapatkan masukan dari beberapa

pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, saya

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. dan para Wakil Dekan.

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H.Ketua Program Studi Ilmu Hukum, dan

Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Atas kesabaran dan

dedikasinya untuk Program Studi Ilmu Hukum.

3. Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, SH, MH. pembimbing yang telah memberikan

banyak inspirasi, diskusi yang bermanfaat, saran, dan kritik sehingga memberikan

banyak motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Kedua orang tua yang tercinta Dr. Damiri Hasan SH, MH.dan Mutmakhinah,

yang senantiasa memberi limpahan curahan doa, kasih sayang, dan pengorbanan

yang tidak terhingga dan tiada batasnya kepada peneliti. Semoga ini menjadi salah

satu kado persembahan terindah.

Page 7: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

vi

5. Keluarga Besar Ilmu Hukum 2013 yang menjadi motivator dan teman

seperjuangan dalam menyelesaikan penelitian ini yang tidak bisa peneliti

sebutkan namanya satu persatu.

6. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN Sianida) di Desa Banyu Wangi,

terimakasih atas kebersamaannya, kekompakan, dan rasa persahabatannya,

semoga langgeng sampai nanti.

7. Maulani Ma’ruf, SH. yang telah berteman sejak awal OPAK hingga Munaqosah.

8. Amalia Suci Annisa, SAgr. yang telah sabar menemani dan membantu peneliti

menyelesaikan skripsi ini, semoga selalu dalam lindungan Allah SWT.

9. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu

dan berjasa dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Bapakdan Ibuserta teman-

teman semua dengan berlipat ganda. Akhir kata peneliti menyadari bahwa skripsi ini

masih belum sempurna, namun demikian peneliti berharap semoga karya ilmiah yang

sederhana ini bermanfaat bagi pengembang ilmu pengetahuan dan semua pihak yang

memerlukan.

Jakarta, 15 Juli 2017

Muhammad Aziz Badaruddin

Page 8: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

vii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii

ABSTRAK ............................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR .......................................................................................... v

DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

A.Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1

B.Pembatasan dan Rumusan Masalah ......................................................... 6

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 7

D.Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ...................................................... 8

E.Kerangka Teori dan Konseptual ............................................................... 9

F.Metode Penelitian ..................................................................................... 15

G.Teknik Penulisan ...................................................................................... 18

H.Sistematika Penelitian ............................................................................. 18

BAB II SEJARAH HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA .... 20

A.Pengertian Hukum Persaingan Usaha ................................................... 20

B.Perkembangan Hukum Persaingan Usaha ............................................ 22

C.Asas dan Tujuan Hukum Persaingan Usaha ......................................... 23

D.Regulasi Persaingan Usaha di Indonesia .............................................. 25

E.Prinsip-Prinsip Perjanjian dalam Hukum Persaingan Usaha .............. 29

BAB III PERJANJIAN TERTUTUP PADA BADAN USAHA MILIK

NEGARA PT ANGKASA PURA II ....................................................... 36

A.Maksud dan Tujuan Badan Usaha Milik Negara ................................. 36

B.Bentuk Badan Usaha Milik Negara PT Angkasa Pura II .................... 38

C.Struktur Organ BUMN PT Angkasa Pura II ......................................... 41

Page 9: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

viii

D.Tugas dan Wewenang Menteri BUMN ................................................. 44

E.Penyertaan Modal Negara ....................................................................... 45

F.Sinergi BUMN dalam Pengadaan Barang/Jasa..................................... 47

G.Perjanjian Tertutup................................................................................... 49

BAB IV PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN TERTUTUP

OLEH KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA .................. 51

A.Pengecualian Aturan Hukum Persaingan Usaha .................................. 51

B.Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ...................................... 55

C.Posisi Kasus .............................................................................................. 60

D.Penerapan Pasal 15 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 19999 tentang Larangan

aaPraktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terkait Perjanjian

aaTertutup ...................................................................................................... 63

E.Sinergi BUMN Tanpa Mekanisme Tender ........................................... 68

BAB V PENUTUP .................................................................................................... 72

A.Kesimpulan ............................................................................................... 72

B.Saran ........................................................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. ........67

Page 10: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan dinamika dunia bisnis yang

terjadi saat ini. Berjalannya dunia bisnis bersumber dari kegiatan usaha oleh para

pelaku usaha. Kegiatan usaha adalah setiap kegiatan dalam bidang ekonomi, yang

dilakukan oleh pelaku usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba.1

Kondisi tersebut menyebabkan para pelaku usaha melakukan persaingan dengan

lawan usaha dalam suatu pasar demi memperoleh laba atau keuntungan. Dalam

menjalankan kegiatan usaha, pelaku usaha biasanya menggunakan perusahaan

atau perseroan terbatas sebagai kendaraan bisnisnya.

Persaingan usaha antar pelaku usaha merupakan hal yang biasa terjadi

dalam dunia bisnis. Secara sederhana, salah satu persaingan usaha adalah para

pelaku usaha saling bersaing dalam mendapatkan konsumen dan pangsa pasar.

Dalam menguasai pangsa pasar pelaku usaha dipaksa menjadi perusahaan yang

efisien dengan menerapkan strategi yang tepat, yaitu penetapan harga yang

rendah, penggunaan inovasi dan teknologi yang dapat mengurangi ongkos

produksi. Jika tidak, pelaku usaha akan tersingkir secara alami dari arena pasar.2

Dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi Indonesia, ditemukan fakta bahwa

berlakunya hukum ekonomi pasar. Salah satu hukum ekonomi pasar adalah

bahwa perekonomian akan berjalan baik kalau mengambil untung sebanyak-

1 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan Keempat Revisi

(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), h. 2

2 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Jakarta: GTZ,

2009), h. 2

Page 11: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

2

banyaknya, atau untuk menang dalam persaingan dan sebagainya itu dapat

dikendalikan oleh ketentuan-ketentuan yang adil dan objektif.3

Masalah persaingan usaha merupakan urusan antar pelaku usaha, di mana

negara seharusnya tidak ikut campur. Adanya kompetisi inilah yang mendorong

pelaku usaha untuk saling bersaing dalam menguasai pasar dengan tujuan

memperoleh keuntungan yang maksimal, bahkan tidak menutup kemungkinan

dengan cara-cara yang tidak sehat agar bisa mematikan usaha pesaingnya. Di

sinilah pentingnya peran pemerintah untuk membuat regulasi yang mengatur

persaingan secara sehat. Kebijakan persaingan usaha dibuat dengan tujuan untuk

menumbuhkan dan melindungi para pelaku usaha bersaing secara sehat dalam

kegiatan bisnis.

Keberadaan perangkat hukum yang dapat mendukung persaingan usaha

yang sehat dan melarang praktek bisnis tidak sehat sangat dibutuhkan. Perangkat

hukum tersebut merupakan sarana pendukung demokrasi ekonomi, yang

memberikan kesempatan pada semua pelaku usaha untuk berpartisipasi dalam

melakukan kegiatan bisnis dalam mencapai keuntungan yang wajar. Salah satu

perangkat hukum tersebut adalah Undang-Undang Antimonopoli.

Tujuan pembentukan UU Antimonopoli yang termuat dalam Pasal 3

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah untuk menjaga

kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah

satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan iklim usaha

yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga

menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku Usaha

Besar, pelaku Usaha Menengah, dan pelaku Usaha Kecil, mencegah praktik

3 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 15.

Page 12: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

3

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku

usaha, dan terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini secara substansi materi di dalamnya

mengatur tentang prinsip-prinsip utama bagi terselenggaranya persaingan sehat,

yakni meliputi perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan penegakan hukum. Selanjutnya, untuk

melakukan pengawasan pelaksanaan Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini, maka

sebagaimana ketentuan Pasal 30 ayat (1) dibentuklah KPPU. Pembentukan

KPPU, susunan organisasi, tugas dan fungsinya diatur lebih lanjut dengan

Keputusan Presiden (Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat). Keberadaan

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memegang peranan penting, karena

menjadi ujung tombak dalam penegakan hukum anti monopoli. KPPU

mempunyai tugas salah satunya yaitu menyusun pedoman yang berkaitan dengan

Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat (Pasal 35), juga mempunyai kewenangan

melakukan pemeriksaan, memutus dan menjatuhkan sanksi terhadap adanya

dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini (Pasal 36).

Di era modern ini, industri transportasi udara menunjukkan perkembangan

yang signifikan. Kondisi tersebut menyebabkan area lahan bandara menjadi pasar

yang strategis dalam melakukan kegiatan usaha. Pengelolaan lahan bandara dan

pemberian konsesi di lahan tersebut merupakan kewenangan negara yang dikelola

oleh BUMN yang merupakan otoritas bandara, yaitu PT Angkasa Pura.

Pengelolaan bandara merupakan masalah viral pada sistem transportasi di

Indonesia. Negara Indonesia yang berbentuk kepulauan dengan jarak tempuh

Page 13: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

4

yang jauh membuat eksistensi transportasi udara sangat penting dalam

menghubungkan dan mempersingkat waktu tempuh transportasi. Menurut Pasal 1

ayat (1) PP No 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan, Bandar Udara adalah

lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas pesawat

udara, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat kargo dan/atau pos, serta

dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan sebagai tempat

perpindahan antar moda transportasi.

Bandara merupakan wilayah yang dilintasi banyak orang, sehingga

memungkinkan timbulnya peluang ekonomi. Dalam melaksanakan kegiatan

pelayanan bandara, pihak otoritas bandara dapat melakukan kerjasama dengan

pihak lain dengan pemberian izin. Konsesi diberikan kepada sektor swasta dengan

persetujuan pemerintah.4 Konsesi adalah suatu penetapan administrasi negara

secara yuridis sangat kompleks karena merupakan seperangkat dispensasi, izin,

lisensi, disertai pemberian semacam ―wewenang pemerintahan‖ terbatas kepada

konsesionaris.5

Kemajuan teknologi menyebabkan pembaruan dalam pelayanan dan usaha

di bandara. Saat ini, bandara menerapkan sistem electronic-point of sales (EPOS)

untuk mempermudah konsumen. Layanan EPOS adalah salah satu sistem untuk

mengetahui pemasukan dari tenan yang ada di Bandara Soetta. Berdasarkan

perjanjian kerja sama antara Angkasa Pura II dan tenan yang membuka usaha di

bandara, Angkasa Pura II berhak mendapatkan persenan dari keuntungan yang

4 Soetrisno P. H., Kapita selekta ekonomi Indonesia (Yogyakarta: Andi Offset, 1992), h. 100

5 Sri Pudyatmoko, Perizinan : Problem Dan Upaya Pembenahan (Jakarta: Gramedia, 2009),

h. 9

Page 14: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

5

diperoleh tenant. Sistem ini dimaksud untuk memastikan total royalti yang akan

diterima Angkasa Pura II.6

Pada penerapannya, PT Angkasa Pura II melakukan sinergi dengan PT

Telkom Indonesia yang merupakan BUMN penyedia layanan telekomunikasi. Hal

tersebut merupakan bentuk dari sinergi antar BUMN sebagaimana diatur dalam

Peraturan Menteri BUMN no 5/MBU/2008 sebagaimana diperbaharui dengan

Peraturan BUMN nomor 15 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa di

BUMN. Sinergi tersebut ditujukan dalam rangka peningkatan efisiensi BUMN

tersebut. Pelaksanaan sinergi itu dilakukan dengan cara penunjukan langsung

tanpa proses tender dalam pengadaan sistem EPOS.

Di sisi lain, ditemukan fakta bahwa terdapat persaingan usaha tidak sehat

dalam penggunaan EPOS ini. Para penyewa ruang usaha di bandara diharuskan

menggunakan layanan EPOS dengan provider Telkom Indonesia yang mengikat.

Indikasi tersebut menunjukkan bahwa terdapat dugaan pelanggaran Undang-

Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat.

Kasus ini telah diperiksa dan diputus oleh KPPU pada Perkara Nomor

07/KPPU- I/2013. Pada kasus ini diduga terlapor melanggar tiga Pasal Undang-

Undang No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat. Pasal-Pasal tersebut, yaitu Pasal 15 tentang perjanjian

tertutup, Pasal 17 tentang kegiatan monopoli, dan Pasal 19 tentang penguasaan

pasar. Namun, pada pembuktian di persidangan KPPU hanya terbukti melakukan

perjanjian tertutup yang dimuat pada Pasal 15 Undang-Undang No 5 tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

6 Hukumonline. KPPU Selidiki Dugaan Monopoli e-Pos di Bandara Soetta

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt523a5e2adb1be/kppu-selidiki-dugaan-monopoli-ie-pos-i-

di-bandara-soetta diakses pada 11 november 2016

Page 15: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

6

Berdasarkan putusan tersebut timbul masalah, dari beberapa Pasal yang

disangkakan hanya terbukti satu pelanggaran tentang perjanjian tertutup. Dari

uraian tersebut, menunjukkan bahwa adanya masalah yang mempunyai urgensi

untuk dijadikan tema penelitian. Oleh karena itu, peneliti tertarik menjadikan

permasalahan ini sebagai tema skripsi yang berjudul, ―Pengaturan Hukum

Persaingan Usaha terhadap Perjanjian Tertutup pada Sinergi Bumn. Studi

Putusan KPPU No.07/KPPU-I/2013”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan dari apa yang telah dipaparkan pada latar belakang,

terdapat beberapa masalah yang bermunculan. Dengan demikian, peneliti

harus memfokuskan masalah penelitian. Di samping itu, cakupan materi yang

dimuat dalam Undang-Undang No 5 tahun 1999 juga perlu dibatasi. Oleh

karena itu, pada penelitian ini peneliti memfokuskan pada pembahasan sinergi

antar BUMN dalam perspektif hukum persaingan usaha.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah

diuraikan di atas, maka permasalahan yang menjadi kajian peneliti dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pengaturan hukum persaingan usaha terhadap perjanjian

tertutup pada sinergi BUMN?

b. Bagaimana indikator yang harus dipenuhi agar pelaku usaha dianggap

melakukan perjanjian tertutup sehingga melanggar ketentuan Undang-

Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat?

Page 16: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pengaturan hukum persaingan usaha terhadap

perjanjian tertutup pada sinergi BUMN.

b. Untuk mengetahui indikator yang harus dipenuhi agar pelaku usaha

dianggap melakukan perjanjian tertutup sehingga melanggar ketentuan

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

2. Manfaat Penelitian

Selain tujuan yang ingin dicapai di atas, peneliti juga berharap ada

manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini. Adapun manfaat yang

diharapkan dalam penelitian ini, antara lain:

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini nantinya diharapkan sebisa mungkin

memperkaya dan menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang

hukum sehingga dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam

pengembangan dalam Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Persaingan

Usaha pada khususnya

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam menjelaskan

kepada masyarakat perihal perjanjian tertutup sebagai salah satu

perilaku yang dilarang karena dapat menciptakan persaingan usaha yang

tidak sehat.

Page 17: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

8

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Setelah peneliti melakukan peninjauan terhadap kajian terdahulu terdapat

beberapa kajian yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu, Skripsi berjudul

―Penyelengaraan Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) Ditinjau Dari

Hukum Persaingan Usaha (Studi UU No 5 Tahun 1999)‖, Penulis Ade Putra

Indrawan, tahun 2015, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang menjadi pembeda dari penelitian ini, yaitu lebih

memfokuskan pembahasan tentang penyalahgunaan monopoli oleh BPJS dan

penegakkan hukum oleh KPPU. Selain itu, peneliti juga membahas bentuk

harmonisasi peraturan penyelenggaraan BPJS terkait hak monopoli dengan

prinsip-prinsip persaingan usaha sehat

Setelah itu terdapat skripsi berjudul ―Penerapan Syarat-Syarat

Perdagangan (Trading Terms) oleh PT. Carrefour Indonesia Pasca Akuisisi PT.

Alfa Retalindo (Analisis Putusan Ma Nomor: 502 K/Pdt.Sus/2010)‖, Peneliti

Muhammad Aryadillah, tahun 2015, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang menjadi perbedaan pada

penelitian ini adalah lebih menitik beratkan pada pembahasan praktek monopoli

dan/atau persaingan usaha tidak sehat dalam pelaksanaan syarat perjanjian oleh

PT. Carrefour. Penelitian ini lebih membahas pada kegiatan syarat perjanjian yang

menimbulkan praktek monopoli.

Peneliti juga menemukan jurnal yang berjudul ―Azas Kebebasan

Berkontrak Menurut KUH Perdata dalam Kaitannya dengan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat‖ karya Sudiyono, SH, M.Hum, yang diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah

Fenomena pada tahun 2012. Jurnal tersebut membandingkan antara Azas

kebebasan berkontrak dengan perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang

Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat.

Page 18: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

9

Selanjutnya, peneliti menemukan buku yang berjudul ―Hukum Perjanjian

yang Dilarang dalam Hukum Persaingan Usaha‖ yang ditulis oleh Galuh

Puspaningrum SH, MH. yang diterbitkan oleh Aswaja Pressindo pada tahun 2015.

Buku tersebut membahas secara umum macam-macam perjanjian yang dilarang

dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Sebagai pembeda dan pembanding, peneliti akan memfokuskan penelitian

pada indikator, pendekatan dan pembuktian yang harus dipenuhi agar pelaku

usaha dianggap melakukan perjanjian tertutup. Selain itu, peneliti juga membahas

pertimbangan hakim dalam memutus perkara perjanjian tertutup.

E. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

a. Teori Ikatan dalam Hukum Persaingan Usaha

Teori Ikatan dalam Hukum persaingan Usaha, yaitu perjanjian

dalam hukum antimonopoli adalah ikatan. Yang menjadi pertanyaan

adalah kapan suatu ikatan berlaku secara hukum. Hal ini dibagi dua, yaitu;

Ikatan Hukum Suatu pihak terkait dengan hukum jika perjanjian yang

dilakukan mengakibatkan kewajiban hukum. Mengingat Komisi Pengawas

Persaingan Usaha (KPPU) maka perjanjian yang menghambat

persaingan usaha tidak mengikat menurut hukum karena dapat dibatalkan.7

Selain ikatan hukum, Pasal 1 angka 7 UU Nomor 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. juga

mencakup ikatan ekonomi. Ikatan ekonomi dihasilkan oleh suatu

perjanjian jika ada standar perilaku tertentu yang harus ditaati bukan

7 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di Indonesia,

(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 86

Page 19: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

10

karena persyaratan hukum, tetapi dalam rangka mencegah kerugian

ekonomi. Salah satu contoh adalah menentukan harga di bawah harga

pasar.

Dengan bahasa yang lebih sederhana, pelaku usaha harus ―ikut

arus‖ dengan ―permainan‖ yang telah disepakati jika tidak maka ia akan

mengalami kerugian atau ―tergilas.‖ Yang biasa terjadi adalah saling

memahami dengan melihat pasar sehingga dalam perjanjian hukum

persaingan usaha ada yang disebut dengan ―Express agreement‖

(perjanjian yang tegas dan nyata) dan ―tacit agreement‖ (perjanjian secara

diam-diam). Contoh express agreement adalah jika terdapat dan

pengakuan telah terjadi kesepakatan antar pelaku usaha, baik secara

tertulis maupun tidak. Adapun tacit agreement jika perilaku seorang atau

sekelompok pelaku usaha membuat pelaku usaha lain ―ikut‖ dengan

caranya, sehingga seolah-olah telah terjadi perjanjian.8

b. Doktrin Tindakan Negara (State Action Doctrine)

Khusus mengenai pemberian status pengecualian yang berkaitan

dengan negara dalam Hukum Persaingan dikenal adanya ―State Action

Doctrine‖ dimana perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh

pemerintah (atau yang diberikan kewenangan) dari atau mewakili

pemerintah akan dikecualikan dari ketentuan undang-undang hukum

persaingan. Doktrin yang dikenal di Amerika Serikat ini berasal dari

putusan MA AS dalam kasus Parker vs. Brown tahun 1943 sebagai respon

terhadap upaya untuk memberlakukan aturan hukum persaingan terhadap

usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah yang sebelumnya

tidak terbayangkan ketika Amerika Serikat mengundangkan Sherman Act

8 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di Indonesia,

(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 87-88.

Page 20: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

11

1890 .295 MA Amerika Serikat berpendapat bahwa doktrin ini sesuai

dengan keinginan Kongres bahwa tujuan undang-undang Hukum

Persaingan adalah untuk memproteksi persaingan tetapi dengan tidak

membatasi kewenangan Negara. Berdasarkan pemahaman inilah maka

terdapat beberapa kegiatan yang dikecualikan dari pengaturan undang-

undang hukum persaingan. Sejak saat itu ruang lingkup doktrin ini

diperluas dengan pertimbangan tujuan dari peraturan perundang-undangan

yang dimaksud apakah sudah dan memang sesuai dengan maksud dari

peraturan tersebut. Doktrin ini kemudian diperluas lagi dengan

mengijinkan pemberian status pengecualian yang lebih luas kepada badan

badan usaha yang dibentuk pemerintah yang bahkan bukan sepenuhnya

merupakan badan yang dibentuk pemerintah. 9

Doktrin ini terbukti banyak memberikan keuntungan kepada

pemerintah sepanjang status ini dipergunakan sesuai dengan tujuannya

terutama dari pendekatan efisiensi pada level nasional. Sejak itu melalui

berbagai putusan pengadilan di Amerika menetapkan beberapa kriteria

untuk menentukan siapa sajakah yang dapat dikecualikan menurut doktrin

ini yaitu:10

1. pihak yang melakukannya adalah Negara (state) itu sendiri;

2. pihak yang mewakili Negara atau institusi;

3. pihak ketiga atau swasta atau privat yang ditunjuk dan diberikan

kewenangan oleh Negara.

9 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Jakarta: Komisi

Pengawas Persaingan Usaha, 2009), h. 221.

10 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, h. 222.

Page 21: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

12

2. Kerangka Konseptual

Dalam pembahasan ini, akan diuraikan beberapa konsep-konsep

terkait terhadap beberapa istilah yang akan sering digunakan dalam penelitian

ini, yaitu:

a. Asas Hukum Persaingan Usaha

Asas dan tujuan akan memberi refleksi bagi bentuk pengaturan dan

norma-norma yang dikandung dalam suatu aturan. Selanjutnya

pemahaman terhadap norma-norma aturan hukum tersebut akan memberi

arahan dan mempengaruhi pelaksanaan serta cara-cara penegakan hukum

yang akan dilakukan.11

Asas dari UU No. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 2

bahwa: ―Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya

berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan

antar kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum‖. Asas demokrasi

ekonomi tersebut merupakan penjabaran Pasal 33 UUD 1945 dan ruang

lingkup pengertian demokrasi ekonomi yang dimaksud dahulu dapat

ditemukan dalam penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945.12

b. Badan Usaha Milik Negara

Menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 19 Tahun 2003, Badan

Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar

modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan modal secara langsung

yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan.13

11

Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha,

(Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), h. 45.

12 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Jakarta: GTZ,

2009), h. 15.

13 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan Keempat Revisi,

(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), h. 170.

Page 22: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

13

c. Pelaku Usaha

Menurut Pasal 1 huruf e UU Nomor 5 Tahun 1999, Pelaku usaha

adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk

badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan

atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

d. Perjanjian

Sebagaimana dalam Pasal 1313 Burgerlijk wetboek atau Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata: ―Suatu Perjanjian adalah perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang atau lebih‖.

Dengan kata lain perjanjian atau kontrak merupakan peristiwa

hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling

berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.14

e. Perjanjian Tertutup (Tying agreement)

Perjanjian tertutup (Tying agreement) terjadi apabila suatu

perusahaan mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha lainnya yang

berada pada level yang berbeda dengan mensyaratkan penjualan ataupun

penyewaan suatu barang atau jasa hanya akan dilakukan apabila pembeli

atau penyewa tersebut juga akan membeli atau menyewa barang lainnya.15

Terdapat beberapa tujuan dari tying agreement. Pertama untuk

mempersulit masuk kepasar. Kedua, untuk meningkatkan penghasilan

14

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak (Jakarta; Rajawali Press, 2010), h.

2.

15 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Jakarta:

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2009), h. 120.

Page 23: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

14

dengan menggunakan kekuatan monopoli pada salah satu barang atau jasa.

Terakhir adalah untuk menjaga kualitas barang.16

Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

menyatakan bahwa: ―pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan

pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang

dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain

dari pelaku usaha pemasok.‖ Dari Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 5

Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat juga dapat dilihat defenisi dari tying agreement yaitu

perjanjian yang dibuat di antara pelaku usaha yang memuat persyaratan

bahwa pihak yang menerima barang atau jasa tertentu harus bersedia

membeli barang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.17

Melihat rumusan Pasal di atas, maka kita ketahui bahwa Undang-

Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat bersikap cukup keras terhadap praktek

tying agreement , hal itu dapat dilihat dari perumusan Pasal yang mengatur

mengenai tying agreement dirumuskan secara Per Se, yang artinya bagi

pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk

melakukan suatu praktek tying agreement tanpa harus melihat akibat dari

praktek tersebut muncul, Pasal ini sudah secara sempurna dapat dikenakan

kepada pelaku usaha yang melanggarnya.18

16

Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, h. 121

17 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, h. 121

18 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, h. 122

Page 24: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

15

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, untuk

kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan

yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.19

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan

mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-

undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di

masyarakat atau yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di

masyarakat.20

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Pendekatan perundang-undangan (statue approach), karena isu hukum yang

ada pada skripsi ini tentang isu hukum dogmatis, sehingga pendekatan

perundang-undangan pasti digunakan dalam skripsi ini. Selain itu,

pendekatan perundang-undangan juga digunakan sebagai arahan untuk

menghindari kekeliruan dalam pengambilan konklusi. Selain pendekatan

perundang-undangan, peneliti juga menggunakan pendekatan konsep

19

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ke-3, (Jakarta: Universitas

Indonesia Press, 1986), h. 42.

20 Soerdjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam

Penelitian Hukum, (Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979), h. 18.

Page 25: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

16

(conceptual approach), yang digunakan untuk memahami konsep-konsep

penting yang akan dibahas dalam penelitian ini.21

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder yang

artinya data yang sebelumnya telah diolah oleh orang lain. Data sekunder

antara lain dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang

berbentuk laporan, buku harian, dan lain-lain.22

Data sekunder ini meliputi

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai

kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan. Selain

peraturan perundang-undangan, yang termasuk dalam bahan hukum

primer yaitu catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Peraturan

perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Perkom

Nomor 5 Tahun 2011 tentang Perjanjian Tertutup dan peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan Persaingan Usaha.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat kaitannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa,

memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer. Yang termasuk dalam

bahan hukum sekunder yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan

21

Zainuddin Ali, Metode Penelilitian Hukum, Cet.Ke-4, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.

175.

22 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.Ke-3, h. 12

Page 26: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

17

merupakan dokumen-dokumen resmi23

, misalnya dapat berupa hasil

karya dari kalangan hukum, penelusuran internet, majalah, surat kabar,

dan sebagainya.

c. Bahan Non-Hukum

Bahan non-hukum adalah bahan di luar bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum dapat

berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Filsafat,

Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang

mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-

hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas

wawasan peneliti.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan teknik pengumpulan

data yaitu teknik kepustakaan. Penelitian ini adalah penelitian dengan

mengumpulkan data dan meneliti melalui sumber bacaan, menganalisa,

peraturan perundang-undangan maupun dokumentasi lainnya seperti karya

ilmiah, surat kabar, internet dan sumber lainnya yang berhubungan dengan

judul skripsi ini.

5. Pengolahan dan Analisis Data

Data-data yang telah ada disusun secara sistematis kemudian dianalisis

secara perspektif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Cara

pengolahan sumber data dilakukan secara deduktif yakni menarik

kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap

permasalahan konkret yang dihadapi, sedangkan metode induktif dilakukan

dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik

23

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, (Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2010), h. 141.

Page 27: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

18

dalam skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan

penelitian yang telah dirumuskan.24

Selanjutnya sumber data yang telah diolah

lalu dianalisis dan dikaji untuk mengetahui bagaimana pendekatan

Pembuktian yang digunakan dalam membuktikan Perjanjian Tertutup.

G. Teknik Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, mengacu pada buku ―Pedoman Penulisan

Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum‖ yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2017.

H. Sistematika Penelitian

Untuk mempermudah penulis dalam mengkaji dan menelaah skripsi yang

berjudul ―Pengaturan Hukum Persaingan Usaha terhadap Perjanjian Tertutup pada

Sinergi Bumn. Studi Putusan KPPU No. 07/KPPU-I/2013‖. Dirasa perlu untuk

menguraikan terlebih dahulu sistematika penulisan sebagai gambaran singkat

skripsi, yaitu sebagai berikut:

BAB I Pada bab ini merupakan Pendahuluan, yang berisi Latar Belakang,

Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat

Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Kerangka Konseptual,

Metode Penelitian, dan Sistematika Penelitian.

BAB II Pada bab ini merupakan tinjauan umum perjanjian yang dilarang dalam

hukum persaingan usaha

BAB III Pada bab ini membahas mengenai aspek hukum sinergi antar BUMN

BAB IV Pada bab ini merupakan Penyelesaian Persaingan Usaha oleh

Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

24

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet.Ke-2, (Malang:

Bayumedia Publishing, 2006), h. 393

Page 28: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

19

BAB V Bab ini merupakan bab terakhir atau Penutup, yang berisi kesimpulan

dan saran.

Page 29: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

20

BAB II

SEJARAH HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA

A. Pengertian Hukum Persaingan Usaha

Secara umum dapat dikatakan bahwa Hukum persaingan usaha adalah

hukum yang mengatur tentang interaksi perusahaan atau pelaku usaha di pasar,

sementara tingkah laku perusahaan ketika berinteraksi dilandasi atas motif-motif

ekonomi. Oleh karena itu, untuk memahami apa dan bagaimana hukum

persaingan usaha berjalan dan dapat mencapai tujuan utamanya, maka diperlukan

pemahaman mengenai konsep dasar ekonomi yang dapat menjelaskan rasionalitas

munculnya perilaku-perilaku perusahaan di pasar.1

Hukum persaingan usaha merupakan prasyarat ekonomi pasar bebas yang

memberikan empat keuntungan dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Yaitu,

terciptanya harga yang kompetitif, peningkatan kualitas hidup oleh karena inovasi

yang terus-menerus, mendorong dan meningkatkan mobilitas masyarakat, serta

adanya efisiensi baik efisiensi produktif maupun alokatif. Namun demikian,

keuntungan tersebut dapat kita nikmati hanya jika terdapat faktor-faktor penentu,

yaitu; stabilitas dan prediktabilitas hukum, keadilan, pendidikan, dan kemampuan

aparat penegak hukum.2

Menurut Arie Siswanto, dalam bukunya yang berjudul ―Hukum

Persaingan Usaha‖ yang dimaksud dengan hukum persaingan usaha (competition

law) adalah instrument hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan

itu harus dilakukan. Meskipun secara khusus menekankan pada aspek

―persaingan‖, hukum persaingan juga menjadi perhatian dari hukum persaingan

1 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Komisi

Pengawas Persaingan Usaha, 2009), h. 21

2 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta:Kencana, Cet.

II, 2009), h. 2.

Page 30: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

21

yang mengatur persaingan sedemikian rupa, sehingga tidak menjadi sarana untuk

mendapatkan monopoli.3

Dalam Kamus Lengkap Ekonomi yang ditulis oleh Christoper Pass dan

Bryan Lowes, yang dimaksud dengan Competition Law (hukum persaingan)

adalah bagian dari perundang-undangan yang mengatur tentang monopoli,

penggabungan dan pengambilalihan, perjanjian perdagangan yang membatasi dan

praktik anti persaingan.4

Beberapa negara mengenal hukum persaingan dengan sebutan Antitrust

Law (hukum persaingan usaha) seperti di Amerika Serikat atau Antimonopoly

Law seperti di Jepang, atau Restrictive Trade Practices Law seperti di Australia.

Di Indonesia istilah yang sering digunakan adalah Hukum Persaingan atau

Hukum Antimonopoli. Terlepas dari penyebutan yang sangat bervariasi, secara

umum tujuan pokok dari hukum persaingan (hukum persaingan usaha) adalah (a)

menjaga agar persaingan antar pelaku usaha tetap hidup, (b) agar persaingan yang

dilakukan antar-pelaku usaha dilakukan secara sehat, dan (c) agar konsumen tidak

dieksploitasi oleh pelaku usaha. Tiga tujuan umum ini sebenarnya dalam rangka

mendukung sistem ekonomi pasar yang dianut oleh suatu negara. Tanpa adanya

hukum persaingan dalam sistem ekonomi pasar tidak akan dapat dihindarkan

praktek monopoli, oligopoly, penetapan harga, dan lain sebagainya.5

3 Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), h. 24.

4Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta:Kencana Cet.

II, 2009), h. 3.

5 Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. (Jakarta:Lentera Hati, Cet.

I, 2002), h. 53.

Page 31: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

22

B. Perkembangan Hukum Persaingan Usaha

Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Indonesia tidak

memiliki hukum persaingan yang komprehensif. Pengaturan tentang persaingan

terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan seperti Pasal 382bis KUHP

yang menerangkan tentang persaingan usaha yang dilakukan secara curang dan

tidak jujur dan berkaitan dengan perbuatan penipuan, kemudian Pasal 1365

KUHPerdata menjelaskan segala perbuatan yang membawa kerugian kepada

orang lain, mewajibkan orang yang bersalah untuk mengganti kerugian yang

diderita orang atau pelaku usaha tersebut.6

Antitrust Law (Hukum Persaingan Usaha) sering dianggap inheren ada di

sebuah negara yang menganut sistem ekonomi pasar. Eksistensi Hukum

Persaingan Usaha, sejak berlakunya Sherman Act di Amerika Serikat yang

merupakan bentuk formal pertama dari penegakan Hukum Persaingan Usaha,

telah melahirkan pro dan kontra. Golongan yang pro tentu menilai penting

Hukum Persaingan Usaha agar pasar tetap kompetitif dan konsumen terlindungi

dari pelaku-pelaku usaha yang bertindak kasar (abusive). Sedangkan golongan

yang kontra seringkali menganggap Hukum Persaingan Usaha justru melanggar

prinsip-prinsip dari ekonomi liberal dan cermin intervensi berlebihan negara

terhadap pasar.7

Dalam headlines KPPU, Pada rangkaian CPLG Meeting hari kedua yang

berlangsung pada tanggal 4 Februari 2013, terdapat presentasi dari Delegasi

Ekonomi APEC yang hadir dalam pembahasan agenda berupa Laporan Ekonomi

dan Presentasi dalam Update dan Perkembangan Kebijakan Persaingan. Ekonomi

6Udin Silalahi: Monopoli dan Perbuatan Curang. Diakses pada 17 Desember 2016 dari situs:

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8378/monopoli-dan-perbuatan-curang.

7Persaingan Usaha dan Peran Negara. Diakses pada 17 Desember 2016 dari situs :

http://law.ui.ac.id/v2/buletin/opini/67-persaingan-usaha-dan-perannegara

Page 32: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

23

APEC yang turut memberi presentasinya adalah Australia, Brunei Darussalam,

Chile, China, Indonesia, Jepang, Malaysia, Rusia, Chinesse Taipei, Thailand, dan

USA. Dalam presentasi ini, Delegasi Ekonomi APEC memberi pemaparan terkait

Pengenalan terhadap Hukum Persaingan dan Perubahan terhadap Kebijakan dan

Hukum Persaingan, serta Penegakan Kebijakan dan Hukum Persaingan yang

Disertai Kasus-kasus Terkait.8

C. Asas dan Tujuan Hukum Persaingan Usaha

Asas dan tujuan akan memberi refleksi bagi bentuk pengaturan dan

norma-norma yang dikandung dalam suatu aturan. Selanjutnya pemahaman

terhadap norma-norma aturan hukum tersebut akan memberi arahan dan

mempengaruhi pelaksanaan serta cara-cara penegakan hukum yang akan

dilakukan.9

Asas dari UU No. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 2 bahwa:

―Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan

demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antar kepentingan

pelaku usaha dan kepentingan umum‖. Asas demokrasi ekonomi tersebut

merupakan penjabaran Pasal 33 UUD 1945 dan ruang lingkup pengertian

demokrasi ekonomi yang dimaksud dahulu dapat ditemukan dalam penjelasan

atas Pasal 33 UUD 1945.10

Adapun tujuan dari UU No. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal

3 adalah untuk :

8Perkembangan Hukum Persaingan di Indonesia. Diakses pada 17 Desember 2016 dari situs:

http://www.kppu.go.id/id/2013/02/perkembangan-hukumpersaingan-di-indonesia/

9 Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha,

(Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), h. 45.

10 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Jakarta: GTZ,

2009), h. 15.

Page 33: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

24

1. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional

sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

2. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha

yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha

kecil;

3. mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang

ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan

4. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.11

Dua hal yang menjadi unsur penting bagi penentuan kebijakan (policy

objectives) yang ideal dalam pengaturan persaingan di negara-negara yang

memiliki Undang-Undang persaingan adalah kepentingan umum (public interest)

dan efisiensi ekonomi (economic efficiency). Ternyata dua unsur penting tersebut

(Pasal 3 (a)) juga merupakan bagian dari tujuan diUndangkannya UU No. 5

Tahun 1999.

Pasal 2 dan 3 tersebut di atas menyebutkan asas dan tujuan-tujuan utama

UU No. 5 Tahun 1999. Diharapkan bahwa peraturan mengenai persaingan akan

membantu dalam mewujudkan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 (Pasal 2) dan menjamin sistem persaingan usaha yang

bebas dan adil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menciptakan sistem

perekonomian yang efisien (Pasal 3). Oleh karena itu, mereka mengambil bagian

pembukaan UUD 1945 yang sesuai dengan Pasal 3 Huruf a dan b UU No. 5

Tahun 1999 dari struktur ekonomi untuk tujuan perealisasian kesejahteraan

nasional menurut UUD 1945 dan demokrasi ekonomi, dan yang menuju pada

sistem persaingan bebas dan adil dalam Pasal 3 Huruf a dan b UU No. 5 Tahun

1999. Hal ini menandakan adanya pemberian kesempatan yang sama kepada

11

Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), h. 76.

Page 34: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

25

setiap pelaku usaha dan ketiadaan pembatasan persaingan usaha, khususnya

penyalahgunaan wewenang di sektor ekonomi.12

D. Regulasi Persaingan Usaha di Indonesia

Regulasi atau pengaturan persaingan usaha baru terwujud pada tahun 1999

saat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disahkan. Kelahiran Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 tersebut ditunjang pula dengan tuntutan masyarakat akan reformasi

total dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk penghapusan

kegiatan monopoli di segala sektor.

Undang-Undang tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha

tidak sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan

perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk

menetapkan persaingan usaha yang sehat. Undang-Undang ini memberikan

jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan

ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai

implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945.13

Secara substansi, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur 3 (tiga)

larangan pokok, yaitu; (1) perjanjian yang dilarang, (2) kegiatan yang dilarang,

dan (3) larangan yang berkaitan dengan posisi dominan.14

12

Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Jakarta: GTZ,

2009), h. 15.

13Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, Cet. II, 2004), h. 78.

14Hikmahanto Juwana, Hukum ekonomi dan Hukum Internasional. (Jakarta: Lentera Hati, Cet.

I, 2002), h. 62

Page 35: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

26

1. Perjanjian Yang Dilarang

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa Perjanjian

adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri

terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis

maupun tidak tertulis. Adapun perjanjian yang dilarang adalah sebagai berikut.

a. oligopoli (Pasal 4)

b. Penetapan harga (price fixing)

1) Penetapan harga (Pasal 5)

2) Diskriminasi harga (Pasal 6)

3) Jual rugi (Pasal 7)

4) Pengaturan harga jual kembali (Pasal 8)

c. Pembagian wilayah / market allocation (Pasal 9)

d. Pemboikotan / boycott (Pasal 10)

e. Kartel / cartel (Pasal 11)

f. Trust (Pasal 12)

g. Oligopsoni (Pasal 13)

h. Perjanjian tertutup

1) Exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat (1))

2) Tying agreement (Pasal 15 ayat (2))

3) Vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat (3))

i. Perjanjian dengan pihak luar negeri15

2. Kegiatan Yang Dilarang

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 kegiatan yang dilarang

untuk dilakukan oleh pelaku usaha adalah sebagai berikut:

15

Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha,

(Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), h. 45.

Page 36: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

27

a. Monopoli (Pasal 17)

b. Monopsoni (Pasal 18)

c. Penguasaan pasar (Pasal 19, 20, 21)

d. Persekongkolan (Pasal 22, 23, 24)16

Perbedaan antara kegiatan yang dilarang dengan perjanjian yang dilarang

terletak pada jumlah pelaku usaha. Dalam perjanjian yang dilarang paling tidak

harus ada dua pelaku usaha karena suatu perjanjian menghendaki paling tidak dua

subjek hukum. Sementara dalam kegiatan yang dilarang, tidak tertutup untuk

dilakukan oleh satu pelaku.

Terhadap kegiatan yang dilarang diberi pengecualian, yaitu apabila

kegiatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil

atau kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani

anggotanya.17

3. Posisi Dominan

Larangan berikutnya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 adalah larangan yang berkaitan dengan posisi dominan. Secara esensial

pengertian posisi dominan adalah keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai

pesaing yang berarti, atau pelaku usaha mempunyai posisi lebih tinggi

dibandingkan dengan pesaingnya dalam hal kemampuan keuangan, kemampuan

akses pada pemasok atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan diri

dengan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.18

16

Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. (Jakarta: lentra Hati, Cet.

II, 2002), h. 60

17 Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. (Jakarta: lentra Hati, Cet.

II, 2002), h. 60-62.

18 Pasal 1 Angka (4), Indonesia, Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. No.5, LN No. 33 Tahun 1999.

Page 37: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

28

Menurut Undang-Undang Antimonopoli (UU No.5/1999) ada tiga bentuk

penyalahgunaan posisi dominan yang lazim sebagai berikut:19

a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan

atau menghalangi konsumen memperoleh barang atau jasa yang bersaing, baik

dari segi harga maupun kualitas.

b. Membatasi pasar dan atau teknologi.

c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjad pesaing untuk

memasuki pasar yang bersangkutan.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, bahwa

posisi dominan yang dilarang dalam dunia usaha dikategorikan dalam 4 (empat)

bentuk sebagai berikut:

a. Batasan posisi dominan (Pasal 25)

b. Jabatan rangkap (Pasal 26)

c. Pemilikan saham (Pasal 27) d. Penggabungan, peleburan, dan pengambil

alihan (Pasal 28 dan 29).20

Adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pelaku usaha tetap dapat

menjalankan usahanya walaupun tidak diperbolehkan melanggar Undang-Undang

tersebut. Jadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persainga Usaha Tidak Sehat ini bukan untuk mematikan

perusahaan-perusahaan besar, tapi justru mendorong perusahaan besar, asalkan

19

Suhasril, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di

Indonesia. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 143.

20 Suhasril, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di

Indonesia. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 144

Page 38: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

29

berjuang dengan kemampuannya sendri dan tidak melakukan praktik persaingan

usaha yang tidak sehat.21

Asas yang digunakan sebagai landasan dalam pembentukan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 berdasar ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999, yang merumuskan: ―pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan

kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan

keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum,‖

sebenarnya adalah demokrasi ekonomi.22

Dengan demikian kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan

yang sama kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah

timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat

lainnya dengan harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, di mana

setiap pelaku usaha dapat bersaing secara wajar dan sehat.23

E. Prinsip-Prinsip Perjanjian dalam Hukum Persaingan Usaha

Definisi prinsip dalam Kamus Bahasa Indonesia, Prinsip adalah asas,

kebenaran yang jadi pokok dasar orang berfikir, bertindak, dan sebagainya. Pada

dasarnya prinsip juga dimaknai sebagai asas. Kamus Besar Bahasa Indonesia

memberi arti untuk kata ―asas‖ sebagai (1) n akar, alas, basis, dasar, fondasi,

fundamen, hakikat, hukum, landasan, lunas, pangkal, pegangan, pilar, pokok,

prinsip, rukun, sandaran, sendi, teras, tiang tonggak; (2) n hukum, kaidah, kode

21

Tarita Kooswanto, dkk. Keadaan Pasar Indonesia Pasca Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.( Jurnal Private Law,

Volume 2, No. 1, Tahun 2013), h. 62

22 Rahadi Wasi Bintoro, Aspek Hukum Zonasi Pasar Tradisional dan Pasar Modern, (Jurnal

Dinamika Hukum, Volume 10, No. 3, Tahun 2010), h. 365

23 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2004), h. 80.

Page 39: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

30

etik, norma, patokan, pedoman, \pijakan, tata cara. Sedangkan kata ―prinsip‖

dimaknai sebagai (1) n asas, Dasar, etika, hakikat, pokok, rukun, sendi; (2)

filsafat, kepercayaan, keyakinan, kredo, mandu, opini, paham, pandangan,

pendapat, pendirian, sikap; (3) ajaran, dictum, dogma, doktrin, etik, hukum,

kaidah, patokan, pedoman, pijakan.24

Asas-asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif

dan yang oleh ilmu hukum tidak diperasalkan dari aturan-aturan yang lebih

umum. Asas-asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum

yang konkret, tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk

yang berlaku (HJ. Hommes). Sejalan dengan itu, Prof. Sudikno juga menyatakan

bahwa asas-asas hukum bukanlah kaidah hukum yang konkret, melainkan

merupakan latar belakang peraturan yang konkret dan bersifat umum/abstrak.25

Berdasarkan pada uraian di atas, dapat dikatakan bahwa prinsip dan asas

dikatakan memiliki persamaan makna, keduanya dimaknai sebagai dasar dari

suatu hal tertentu yang bersifat abstrak. Terkait dengan prinsip-prinsip perjanjian

dalam hubungan hukum antar pelaku usaha meskipun sebagai suatu yang abstrak

karena sebagai prinsip atau asas maka sudah seharusnya ditaati dan dipatuhi oleh

semua pihak yang terlibat dalam perjanjian. Sebagaimana telah diatur dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyebutkan beberapa

prinsip-prinsip perjanjian, di antaranya:26

24

Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha,

(Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), h. 60.

25Hasanuddin Rahman Daeng Naja, Contract Drafting, Edisi revisi-Cet. Kedua, (Bandung:

Citra Aditya, 2006), h. 7.

26Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha, h. 61.

Page 40: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

31

1. Prinsip Kebebasan berkontrak.

Prinsip kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari pasal 1338 KUH

Perdata.27

Kebebasan berkontrak ialah kebebasan seluas-luasnya yang oleh

undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian,

asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan

dan ketertiban umum.28

Ruang lingkup kebebasan berkontrak meliputi hal-hal

berikut.

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

b. Kebebasan untuk memilih dengan siapa ingin membuat perjanjian.

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang

akan dibuat.

d. Kebebasan untuk menentukan obyek penjanjian.

e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

f. Kebebasan n untuk menerima atau menyimpangi ketentuan-ketentuan

yang bersifat opsional.29

Prinsip kebebasan berkontrak memberikan pilihan bebas pada

seseorang untuk mengadakan perjanjian. Tetapi Pasal 1320 KUH Perdata

tentang syarat sahnya perjanjian yang membatasi asas kebebasan berkontrak

ini, yaitu mengenai kesepakatan, kecakapan para pihak dan obyek

perjanjian.30

27

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), Cet. 31, h. 84.

28 Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha, h.61.

29Yunirman Rijan & Ira Koesoemawati, Cara Mudah Membuat Surat Perjanjian, (Jakarta:

Raih Asa Sukses, 2009), h. 7.

30 Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha, h.61.

Page 41: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

32

2. Prinsip Konsensualisme

Perjanjian dapat lahir, terjadi, timbul, dan berlaku sejak saat

tercapainya kata sepakat diantara para pihak tanpa perlu adanya formalitas

tertentu. Asas ini disimpulkan dari kata "perjanjian yang dibuat secara sah‖

dalam Pasal 1338 ayat (1) jo Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata.31

Dengan

adanya kata sepakat (consensus). maka mengikat para pihak. Konsensualisme,

selain merupakan sifat hukum perikatan juga merupakan asas hukum

perianjian/kontrak. Kata sepakat/persesuaian kehendak harus dinyatakan

dalam bentuk tertulisllisan/tanda-tanda yang dapat diterjemahkan.32

Eigens, menyatakan bahwa sepakat berarti meng- ikat. Jika sudah

mengikat, hal itu merupakan tuntutan kepercayaan, yang apabila orang sudah

dipercaya, ia diangkat manabatnya sebagai manusia. Subekti, menyatakan jika

seseorang ingin dihargai manabatnya sebagai manusia, kata-katanya harus

dapat dipegang/dipercaya. Hal ini selain merupakan tuntutan kesusilaan juga

merupakan tuntutan kepastian hukum.33

Dengan demikian, asas konsensualismc lazim disimpulkan dalam

Pasal 1320 KUH Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat

syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri; cakap

31

Much. Nurachmad, Memahami & Membuat Perjanjian, (Jakarta: Transmedia Pustaka,

2010), h. 15.

32 Hasanuddin Rahman Daeng Naja, Contract Drafting, Edisi revisi-Cet. Kedua, (Bandung:

Citra Aditya, 2006), h. 8.

33 Hasanuddin Rahman Daeng Naja, Contract Drafting, Edisi revisi-Cet. Kedua, h. 8.

Page 42: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

33

untuk membuat suatu perjanjian; mengenai suatu hal tertentu; suatu sebab

yang halal.34

3. Prinsip Pacta Sunt Servanda

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa

"Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya".35

Pacta sunt servanda berasal dari bahasa Latin

yang berarti ―janji harus ditepati‖, prinsip ini merupakan prinsip dasar sistem

hukum civil law dan hukum internasional. Pada umumnya, prinsip ini

berkaitan dengan kontrak atau perjanjian yang dilakukan di antara para

individu, dengan menekankan bahwa perjanjian merupakan undang-undang

bagi para pihak yang membuatnya dan menyiratkan bahwa pengingkaran

terhadap kewajiban yang ada pada perjanjian merupakan tindakan melanggar

janji atau wanprestasi.36

Pengertian dari kalimat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya menunjukkan bahwa undang-undang sendiri mengakui dan

menempatkan posisi para pihak dalam kontrak sejajar dengan pembuat

undang-undang. Para pihak yang mengadakan perjanjian dapat secara mandiri

mengatur pola hubungan-hubungan hukum di antara mereka. Kekuatan

perjanjian yang dibuat secara sah akan berlaku seperti undang-undang yang

harus ditaati oleh para pihak. Di samping itu asas ini disebut dengan asas

kepastian hukum.37

34

Elsi Kartika Sari & Advendi Simanungson, Hukum dalam Ekonomi, Edisi 2 Revisi, (Jakarta:

Grasindo, 2008), h. 31.

35Iswi Hariyani ,Merger, akuisisi, konsolidasi, & pemisahan perusahaan : cara cerdas

mengembangkan & memajukan perusahaan (Jakarta: Visimedia, 2011), h. 48.

36. Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha,

(Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), h. 61.

37 Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha, h. 62.

Page 43: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

34

Kepastian hukum juga diberikan kepada kontrak jika terjadi sengketa

dalam pelaksanaannya. Jika salah satu pihak melakukan wanprestasi (ingkar

janji), hakim dengan putusannya dapat memaksa agar pihak yang melakukan

wanprestasi itu untuk melaksanakan kewajibannya. Dengan putusannya,

hakim bahkan dapat memerintahkan pihak yang ingkar janji itu untuk

membayar ganti rugi. Putusan hakim tersebut merupakan jaminan, bahwa hak

dan kewajiban para pihak dalam kontrak dilindungi oleh hukum.38

Karena asas ini disebut juga asas kepastian hukum, maka agar para

pihak mendapatkan kepastian hukum dalam perjanjian/kontrak tersebut,

pihak-pihaknya hams seimbang kedudukannya. yang apabila tidak se- imbang,

perjanjian/kontrak dapat dibatalkan. Woeker Ordonantie, menetapkan bahwa

dalam suatu perjanjian apabila antara para pihak terdapat ketidakseimbangan

yang sedemikian rupa sehingga melampaui batas kelayakan, undang-undang

memberi perlindungan bahwa perjanjian itu dapat dibatalkan. baik atas

pemintaan pihak yang dirugikan maupun oleh hakim karena jabatannya.

kecuali dapat dibuktikan bahwa pihak yang dirugikan telah menginsyafi akibat

yang timbul atau ia tidak bertindak bodoh.39

4. Prinsip Itikad Baik

Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian

harus dilaksanakan dengan itikad baik (regoeder trouw).40

Prinsip itikad baik

merupakan asas bahwa para pihak yaitu kreditur dan debitur harus

melaksanakan substansi dari perjanjian berdasarkan kepercayaan atau

38

Dadang Sukandar, Panduan Membuat Kontrak Bsinis, (Jakarta: Visimedia Pustaka, 2017),

h. 31.

39 Hasanuddin Rahman Daeng Naja, Contract Drafting, Edisi revisi-Cet. Kedua, (Bandung:

Citra Aditya, 2006), h. 12.

40Frans Satrio Wicaksana, Panduan Lengkap Membuat Surat-surat Kontrak,

(Jakarta:Transmedia Pustaka, 2008), h. 5.

Page 44: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

35

keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Para pihak tidak

hanya terikat oleh ketentuan yang ada dalam perjanjian dan undang-undang,

tetapi juga terikat oleh itikad baik pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Itikad

baik berarti bahwa kedua belah pihak harus berlaku terhadap yang lain

berdasarkan kepatutan diantara orang-orang yang sopan tanpa tipu daya, tanpa

tipu muslihat, tanpa akal-akalan dan tidak hanya melihat kepentingan diri

sendiri, tetapi juga kepentingan orang lain.41

Prinsip-prinsip perjanjian dalam hubungan hukum bagi pelaku usaha

menjadi dasar fundamental yang harus ditaati sebagai etika bisnis,

pengendalian diri dan pengembangan tanggung jawab sosial dalam rangka

menciptakan persaingan usaha yang sehat yang kemudian diimplementasikan

pada hubungan hukum antar pelaku usaha dan konsumen. Makna dari

prinsip—prinsip perjanjian yang berlaku bagi subjek hukum yang telah

memenuhi syarat sahnya perjanjian yakni yang pertama prinsip kebebasan

berkontrak, prinsip ini memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi

subjek hukum untuk mengadakan perjanjian atau kontrak dengan menentukan

isi, bentuk dan mum perjanjian serta menentukan pilihan dengan subjek

hukum lainnya yang akan dilibatkan langsung dalam perjanjian.42

41

Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha,

(Yogyakarta: AswajaPressindo, 2015), h. 63.

42 Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha, h. 63.

Page 45: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

36

BAB III

PERJANJIAN TERTUTUP PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA PT

ANGKASA PURA II

A. Maksud dan Tujuan Badan Usaha Milik Negara

Pengertian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dirumuskan dalam Pasal

1 angka 1 UU Nomor 19 Tahun 2003, berdasarkan ketentuan ini, Badan Usaha

Milik Negara (yang selanjutnya disebut ―BUMN‖) adalah badan usaha yang

seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan

modal secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan.1

BUMN memiliki dua tujuan utama, yaitu tujuan yang bersifat ekonomi

dan tujuan yang bersifat sosial. Dalam tujuan yang bersifat ekonomi, BUMN

dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis strategis agar tidak dikuasai

pihak-pihak tertentu. Bidang-bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang

banyak, seperti perusahaan listrik, minyak dan gas bumi, sebagaimana

diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Dengan adanya BUMN diharapkan

dapat terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat yang

berada di sekitar lokasi BUMN. Tujuan BUMN yang bersifat sosial antara lain

dapat dicapai melalui penciptaan lapangan kerja serta upaya untuk

membangkitkan perekonomian lokal. Penciptaan lapangan kerja dicapai melalui

perekrutan tenaga kerja oleh BUMN. Upaya untuk membangkitkan perekonomian

lokal dapat dicapai dengan jalan mengikut-sertakan masyarakat sebagai mitra

kerja dalam mendukung kelancaran proses kegiatan usaha. Hal ini sejalan dengan

1 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan Keempat Revisi,

(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), h. 170.

Page 46: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

37

kebijakan pemerintah untuk memberdayakan usaha kecil, menengah dan koperasi

yang berada di sekitar lokasi BUMN.2

Adapun maksud dan tujuan pendirian BUMN dirumuskan dalam Pasal 2

Ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 antara lain:

a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada

umumnya dan penerimaan Negara pada khususnya.

b. Mengejar keuntungan.

c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau

jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang

banyak.

d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha belum dapat dilaksanakan oleh

sektor swasta dan koperasi.

e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan

ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.

Adapun sumber permodalan BUMN diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU No.

19 Tahun 2003, penyertaan modal Negara dalam rangka pendirian atau

penyertaan pada BUMN bersumber dari:

a. Anggaran Pendapatan Belanja Negara, termasuk APBN yaitu proyek-proyek

pemerintah yang dikelola oleh BUMN atau piutang Negara yang dijadikan

penyertaan modal.

b. Kapitalisasi Cadangan adalah penambahan modal disetor yang berasal dari

cadangan.

c. Sumber lainnya, termasuk dalam kategori ini antara lain keuntungan revaluasi

aset.

2 Nanang Yusroni, Privatisasi Badan Usaha Milik Negara(BUMN) Eksistensi, dan Kinerja

Ekonomi Nasional dalam Sistem Ekonomi Pasar, (Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 2 No. 3, Univ

Wahid Hasyim Semarang, April 2007), h.1.

Page 47: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

38

B. Bentuk Badan Usaha Milik Negara PT Angkasa Pura II

Memperhatikan sifat usaha BUMN, yaitu untuk memupuk keuntungan dan

melaksanakan kemanfaatan umum, dalam UU No. 19 Tahun 2003, BUMN

disederhanakan menjadi dua bentuk yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) dan

Perusahaan Umum (Perum).

1. Perusahaan Umum (Perum)

Sebelum berbentuk persero, keberadaan Angkasa Pura II berawal dari

Perusahaan Umum dengan nama Perum Pelabuhan Udara Jakarta Cengkareng

melalui Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1984, kemudian pada 19 Mei

1986 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1986 berubah menjadi

Perum Angkasa Pura II.3

Pasal 1 Angka 4 UU No. 19 Tahun 2003, mengatakan bahwa:

Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang

seluruh modalnya dimiliki Negara dan tidak terbagi atas saham yang bertujuan

untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang

bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip

pengelolaan perusahaan.4 Perum dalam menjalankan kegiatannya mengacu

pada maksud serta tujuan antara lain tertuang dalam Pasal 36 UU No 19

Tahun 2003, yaitu:

a. Menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum

berupa penyediaan barang dan/jasa yang berkualitas dengan harga yang

3Sejarah Perusahaan Angkasa Pura II, http://www.angkasapura2.co.id/id/tentang/sejarah

diakses pada 31 Juni 2017

4 Zainal Asikin & Wira Pria Suhartana, Pengantar Hukum Perusahaan, (Jakarta:

Prenadamedia, 2016), h. 167.

Page 48: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

39

terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan

yang baik.

b. Untuk mendukung kegiatan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan

tersebut, dengan persetujuan Menteri, Perum dapat melakukan

penyertaan modal dalam badan usaha lain.5

Perum merupakan jenis perusahaan negara yang melayani kepentingan

umum sekaligus untuk memupuk keuntungan. Perusahaan ini diutamakan

berusaha di bidang pelayanan kemanfaatan umum, di samping untuk

mendapatkan keuntungan. Pengelolaan perusahaan ini sudah lebih mirip

dengan pengelolaan perusahan biasa, walaupun keberlangsungan perusahaan

masih tergantung pada subsidi pemerintah.6

Perum mempunyai nama dan kekayaan sendiri serta kebebasan

bergerak seperti perusahaan swasta untuk mengadakan atau masuk kedalam

suatu perjanjian, kontrak-kontrak, dan hubungan-hubungan perusahaan

lainnya, di mana Perum juga dapat dituntut dan menuntut dan hubungan

hukumnya diatur secara hubungan hukum perdata (privaatrechtelijk). Modal

Perum seluruhnya dimiliki oleh negara yaitu berupa kekayaan negara yang

dipisahkan serta dapat mempunyai dan memperoleh dana dari kredit-kredit

dalam dan luar negeri atau obligasi (dari masyarakat).7

Berbeda dengan perseroan terbatas yang seluruh modalnya terbagi atas

saham, namun modal perum tidak terbagi atas saham. Modal Perum tidak

dibagi-bagi atas saham sehingga tidak dimungkinkan kerjasama dengan

perusahaan asing dalam bentuk patungan (joint venture) yang dimungkinkan

5 Pasal 36 Undang–Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

6 Gunarto Suhardi, Revitalisasi BUMN, ( Yogyakarta: Univ. Atma Jaya, 2007), h.16.

7 I. G. Ray Widjaja, Hukum Perusahaan, (Bekasi: Kesaint Blanc, 2006), h. 102.

Page 49: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

40

hanya kerjasama dengan modal asing dalam bentuk bagi hasil (Production

Sharing) dan kontrak karya (Management Contracts).8

2. Perusahaan Perseroan (Persero)

Pada 17 Maret 1992 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun

1992 berubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Seiring perjalanan

perusahaan, pada 18 November 2008 sesuai dengan Akta Notaris Silvia Abbas

Sudrajat, SH, SpN Nomor 38 resmi berubah menjadi PT Angkasa Pura II

(Persero).9

Pasal 1 Angka 2 UU No. 19 Tahun 2003, menyatakan bahwa:

―Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang

berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang

seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki

oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar

keuntungan.‖10

Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang

berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Mengingat Persero pada

dasarnya merupakan perseroan terbatas , semua ketentuan Undang-Undang

Perseroan Terbatas, termasuk pula segala peraturan pelaksanaannya berlaku

juga bagi Persero.11

8 I. G. Ray Widjaja, Hukum Perusahaan, h. 102.

9Sejarah Perusahaan Angkasa Pura II, http://www.angkasapura2.co.id/id/tentang/sejarah

diakses pada 31 Juni 2017

10 Zainal Asikin & Wira Pria Suhartana, Pengantar Hukum Perusahaan, (Jakarta:

Prenadamedia, 2016), h. 161.

11 Mulhadi, Hukum Perusahaan: Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, (Bogor: Ghalia,

2010), h. 168.

Page 50: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

41

Persero merupakan jenis perusahaan negara yang tidak memiliki

fasilitas negara dimana persero dipimpin oleh suatu direksi yang pegawainya

berstatus sebagai pegawai perusahaan swasta biasa. Maksud dan tujuan

didirikannya Persero adalah:12

a. Menyediakan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing

kuat baik di pasar dalam negeri maupun internasional atau meningkatkan

nilai Persero

b. Memupuk keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan

c. Melaksanakan tugas khusus untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan

umum, dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan persero.

C. Struktur Organ BUMN PT Angkasa Pura II

1. BUMN Persero

Organ BUMN Persero terdiri atas Rapat Umum Pemegang Saham

(RUPS), direksi, dan dewan komisaris. Hal yang membedakan adalah

pengelolaan dan pemilihan orang yang tepat untuk ditempatkan sebagai

pejabat di BUMN Persero, termasuk cara melakukan pengawasannya.

Pengawasan pada perusahaan milik negara sering kali hanya formalitas.

Dewan komisaris maupun direksi tidak berusaha dengan sungguh-sungguh

dan tidak komitmen untuk mengurangi kebocoran, karena kebocoran sering

dilakukan atau dengan sepengetahuan direksi maupun dewan komisaris

sendiri.13

Direksi pada BUMN Persero telah digariskan sebagai perangkat yang

melakukan pengurusan, bahkan bertanggung jawab penuh untuk mengurus

12

Gunarto Suhardi, Revitalisasi BUMN, ( Yogyakarta: Univ. Atma Jaya, 2007), h. 18

13 Bonifasius Aji Kuswiratmo, Keuntungan & Risiko menjadi Direktur, Komisaris, dan

Pemegang Saham, (Jakarta: Visimedia Pustaka, 2016), h. 17.

Page 51: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

42

BUMN guna kepentingan dan tujuan BUMN Persero. Pengurusan merupakan

perbuatan yang lazim dilakukan sehari-hari dalam hubungannya dengan

tujuan persekutuan, dalam hal ini perseroan. Di samping bertugas melakukan

pengurusan terhadap perseroan. direksi juga mempunyai kewenangan untuk

melakukan tindakan penguasaan, seperti menjual atau menjaminkan aset dan

lainnya. Namun, karena pada BUMN Persero kepemilikan tunggal atau

sebagian besar atas saham berada di tangan negara, direksi tidak bebas

memutuskan sendiri dan wajib meminta persetujuan RUPS dalam hal

mengalihkan dan menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian aset

BUMN Persero.14

Seperti halnya dewan komisaris pada PT, dewan komisaris pada

BUMN juga bertugas melakukan pengawasan terhadap kebijakan direksi dan

memberikan nasihat dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas direksi.

Bahkan, pada saat melaksanakan rencana jangka panjang dan rencana kerja

serta anggaran perusahaan, dewan komisaris juga wajib mengawasi dan

memberikan nasihat kepada direksi. Anggaran dasar BUMN Persero dapat

menetapkan bahwa dewan komisaris dapat memberikan persetujuan atau

bantuan kepada direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu.15

Sementara itu, kedudukan, tugas, dan kewenangan pemegang saham

dan RUPS BUMN Persero berada di tangan Menteri BUMN, tetapi tidak

meliputi penatausahaan setiap penyertaan modal beserta perubahannya.

Seperti diketahui, negara dapat menjadi pemegang saham tunggal atau

pemegang saham mayoritas dalam BUMN Persero. Dengan demikian,

kedudukan negara akan menjadi RUPS jika negara menjadi pemegang saham

14

Bonifasius Aji Kuswiratmo, h. 18.

15 Bonifasius Aji Kuswiratmo,h. 18

Page 52: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

43

tunggal dan negara akan tetap menjadi pemegang saham mayoritas terhadap

pemegang-pemegang saham lainnya.16

2. BUMN Perum

Berdasarkan ketentuan Pasal 37 UU BUMN, Organ Perum terdiri dari

Menteri, Direksi dan Dewan Pengawas. Menteri memberikan persetujuan atas

kebijakan pengembangan usaha Perum yang diusulkan oleh Direksi.

Kebijakan pengembangan usaha Perum yang diusulkan oleh Direksi kepada

Menteri setelah mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas. Kebijakan

tersebut ditetapkan sesuai dengan maksud dan tujuan Perum yang

bersangkutan.17

Menteri selaku wakil pemerintah sebagai pemilik modal Perum

menetapkan kebijakan pengembangan Perum yang bertujuan menetapkan arah

dalam mencapai tujuan perusahaan, baik menyangkut kebijakan investasi,

pembiayaan usaha, sumber pembiayaannya, pengguna hasil usaha perusahaan,

maupun kebijakan pengembangan lain. Mengingat Dewan Pengawas akan

mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut, usulan Direksi kepada menteri

harus didahului dengan persetujuan dari Dewan Pengawas.18

Pasal 39 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan Menteri

tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum yang dibuat

Perum dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai

kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum, kecuali apabila

Menteri:

16

Bonifasius Aji Kuswiratmo,h. 18

17 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan Keempat Revisi,

(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), h. 191.

18 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, h.192.

Page 53: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

44

a. Baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan

Perum semata-mata untuk kepentingan pribadi;

b. Terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perum; atau

c. Baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan

kekayaan Perum.

D. Tugas dan Wewenang Menteri BUMN

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2003, kedudukan,

tugas, dan kewenangan Menteri Keuangan di bidang pembinaan dan pengawasan

BUMN sebagian dilimpahkan kepada Menteri BUMN. kedudukan, tugas, dan

kewenangan Menteri Keuangan yang dilimpahkan kepada Menteri BUMN adalah

yang mewakili pemerintah selaku:19

a. pemegang saham atau RUPS sebagaimana diatur dalam PP Nomor 12 Tahun

I998 tentang perusahaan perseroan (persero) sebagaimana telah diubah dengan

PP Nomor 4S Tahun 2001, dan pemegang saham perseroan terbatas yang

sebagian sahamnya dimiliki oleh negara Republik Indonesia;

b. wakil pemerintah pada perusahaan umum (perum) sebagaimana diatur dalam

PP Nomor l3 Tahun 1998 tentang perusahaan umum (perum); dan

c. pembina keuangan pada perusahaan jawatan (perjan) sebagaimana diatur

dalam PP Nomor 6 Tahun 2000 tentang Perusahaan Jawatan (Perjan)

Pelimpahan kedudukan, tugas, dan kewenangan Menteri Keuangan kepada

Menteri BUMN tidak meliputi hal-hal sebagai berikut.20

19

Iswi Hariyani dkk, Merger, akuisisi, konsolidasi, & pemisahan perusahaan : cara cerdas

mengembangkan & memajukan perusahaan (Jakarta: Visimedia, 2011), h. 321.

20 Iswi Hariyani dkk., h. 322.

Page 54: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

45

a. Penatausahaan setiap penyertaan modal negara berikut perubahannya ke dalam

persero/perseroan terbatas dan Perum, serta kegiatan penatausahaan kekayaan

negara yang dimanfaatkan oleh perjan;

b. pengusulan setiap penyertaan modal negara kc dalam persero/perseroan

terbatas dan perum yang dananya berasal dari APBN, serta pemanfaatan

kekayaan negara dalam perjan.

c. Pendirian persero, perum, atau perjan dan perubahan bentuk hukum perjan.

Pengurusan BUMN dilakukan oleh direksi yang bertanggung jawab penuh

atas pengurusan untuk kepentingan dan tujuan BUMN serta mewakili BUMN di

dalam dan di luar pengadilan. Pengawasan BUMN dilakukan oleh komisaris dan

dewan pengawas yang bertanggung jawab penuh atas pengawasan untuk

kepentingan dan tujuan BUMN. Dalam melaksanakan tugasnya, direksi,

komisaris, dan dewan pengawas harus mematuhi Anggaran Dasar BUMN dan

ketentuan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-

prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas,

pertanggungjawaban, serta kewajaran.21

E. Penyertaan Modal Negara

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara yang

menegaskan modal Badan Usaha milik Negara merupakan dan berasal dari

kekayaan negara yang dipisahkan. Sementara itu, penjelasannya menentukan

bahwa yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal

negara pada Badan Usaha Milik Negara untuk selanjutnya pembinaan dan

pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan

21

Iswi Hariyani dkk., h. 322.

Page 55: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

46

Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-

prinsip perusahaan yang sehat.22

Penyetoran modal negara sebagaimana diatur dalam Pasal angka 7 PP No.

4 Tahun 2005 tentang tata cara penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara

dengan Perseroan Terbatas. adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber

lain yang bisa dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau Perseroan Terbatas

lainnya, dan dikelola secara korporasi.

Pasal 1 angka 19 PP No.6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik

Negara/Daerah mengatur bahwa Penyertaan modal pemerintah pusat/daerah

adalah pengalihan kepemilikan barang milik negara/daerah yang semula

merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan

untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara atau daerah pada Badan Usaha

Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau badan hukum lainnya yang

dimiliki negara.

Pasal 1 angka 4 PP No. 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah

menyatakan Penyertaan Modal adalah bentuk investasi pemerintah pada badan

usaha dengan mendapat hak kepemilikan, termasuk pendirian Perseroan Terbatas

dan/atau pengambilalihan Perseroan Terbatas.

Pasal 1 angka 10 UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan

dalam keuangan negara, penyertaan modal negara menjadi kekayaan negara yang

dipisahkan yaitu kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero

dan/atau Perum serta Perseroan Terbatas lainnya.

22

Muhammad Djafar, Saidi. Hukum Keuangan Negara, Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers,

2011), h. 16

Page 56: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

47

F. Sinergi BUMN dalam Pengadaan Barang/Jasa

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat melakukan sinergi dalam

proses pengadaan barang dan/atau jasa, dengan cara melakukan penunjukan antar

BUMN yang terafilasi, antara anak dan induk perusahaan. Ketentuan ini

didasarkan pada Surat Edaran Menteri BUMN No.SE-03/MBU.S/2009 (SE

BUMN 03/2009) tanggal 15 Desember 2009 yang diterbitkan Kementerian

BUMN berkaitan dengan upaya mendukung sinergi antar sesama BUMN dan/atau

dengan anak-anak perusahaannya. Hal ini dilatarbelakangi oleh Peraturan Menteri

Negara BUMN Nomor 05/MBU/2008 tanggal 3 September 2008 khususnya Pasal

2 ayat (4) dan Pasal 13 ayat (2) yang mengatur hal-hal sebagai berikut.23

1. Pasal 2 ayat (4): Pengguna Barang dan Jasa mengutamakan sinergi antar

BUMN dan/atau Anak Perusahaan sepanjang barang dan jasa tersebut

merupakan hasil produksi BUMN dan/atau Anak Perusahaan yang

bersangkutan, dan sepanjang kualitas, harga, dan tujuannya dapat

dipertanggungjawabkan.

2. Pasal 13 ayat (2): Direksi BUMN wajib menyusun ketentuan internal

(Standard Operating and Procedure) untuk penyelenggaraan Pengadaan

Barang dan Jasa, termasuk prosedur sanggahan dengan berpedoman pada

Peraturan Menteri Negara BUMN ini.

Pada tahun 2012, Kementerian BUMN kembali mengeluarkan Peraturan

Menteri BUMN Nomor 15 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor 05/MBU/2008 tentang Pedoman

Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara

(Permen Nomor 15 Tahun 2012). Latar belakang penerbitan Permen Nomor 15

23

Anna Maria Tri Anggraini, Sinergi BUMN dalam pengadaan barang dan atau jasa dalam

perspektif persaingan usaha, Jurnal Mimbar Hukum volume 25, Nomor 3, Oktober 2013, h. 447.

Page 57: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

48

Tahun 2012 ini adalah sebagai bentuk dukungan dilakukannya sinergi BUMN,

anak perusahaan dan sinergi BUMN dengan anak perusahaan.24

Selanjutnya, Pasal 9 Permen BUMN Nomor 15 Tahun 2012 menyatakan,

bahwa penunjukan langsung hanya dapat dilakukan dengan persyaratan berikut:

a) Barang dan jasa yang dibutuhkan bagi kinerja utama perusahaan dan tidak

dapat ditunda keberadaannya (business critical asset);

b) Penyedia barang dan jasa dimaksud hanya satu-satunya (barang

spesifik);

c) Barang dan jasa yang bersifat knowledge intensive dimana untuk

menggunakan dan memelihara produk tersebut membutuhkan

kelangsungan pengetahuan dari penyedia barang dan jasa;

d) Bila pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dengan menggunakan cara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf (a) dan (b) telah dua kali

dilakukan namun peserta pelelangan atau pemilihan langsung tidak

memenuhi kriteria atau tidak ada pihak yang mengikuti pelelangan atau

pemilihan langsung, sekalipun ketentuan dan syarat-syarat telah memenuhi

kewajaran;

e) Barang dan jasa yang dimiliki oleh pemegang hak atas kekayaan intelektual

(HAKI) atau yang memiliki jaminan (warranty) dari original equipment

manufacture;

f) Penanganan darurat untuk keamanan, keselamatan masyarakat, dan aset

strategis perusahaan;

g) Barang dan jasa yang merupakan pembelian berulang (repeat order) sepanjang

harga yang ditawarkan menguntungkan dengan tidak mengorbankan kualitas

barang dan jasa;

24

Anna Maria Tri Anggraini, Sinergi BUMN dalam pengadaan barang dan atau jasa dalam

perspektif persaingan usaha, h.448.

Page 58: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

49

h) Penanganan darurat akibat bencana alam, baik yang bersifat lokal maupun

nasional;

i) Barang dan jasa lanjutan yang secara teknis merupakan satu kesatuan yang

sifatnya tidak dapat dipecah-pecah dari pekerjaan yang sudah dilaksanakan

sebelumnya;

j) Penyediaan barang/jasa adalah BUMN, anak perusahaan BUMN atau

perusahaan terafiliasi BUMN, sepanjang barang dan/atau jasa dimaksud

adalah merupakan produk atau layanan dari BUMN, anak Perusahaan

BUMN, Perusahaan Terafiliasi BUMN, dan/atau usaha kecil dan mikro, dan

sepanjang kualitas, harga, dan tujuannya dapat dipertanggungjawabkan, serta

dimungkinkan dalam peraturan sektoral;

k) Pengadaan barang dan jasa dalam nilai tertentu yang ditetapkan Direksi

dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris.

G. Perjanjian Tertutup

Perjanjian tertutup adalah perjanjian yang mengondisikan bahwa pemasok

dari produk akan menjual produknya hanya jika pembeli tidak akan membeli

produk pesaingnya atau untuk memastikan bahwa seluruh produk tidak akan

tersalur kepada pihak lain. Seorang pembeli (distributor) melalui perjanjian

tertutup mengkondisikan bahwa penjual atau pemasok produk tidak akan dijual

atau memasok setiap produknya kepada pihak tertentu atau tempat tertentu.25

Perjanjian tertutup dilarang oleh pasal 15 Undang-Undang No. 5 Tahun

1999, yakni sebagai berikut:

(1) ―Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang

memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya

25

Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di Indonesia,

(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.136.

Page 59: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

50

akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut

kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu.

(2) pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat

persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus

bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.

(3) pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan

harga tertentu atas barang dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa

pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari usaha pemasok:

a. Harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha

pemasok atau;

b. Tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari

pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

Melihat rumusan pasal diatas, maka kita ketahui bahwa Undang-undang

No. 5 Tahun 1999 bersikap cukup keras terhadap praktek perjanjian tertutup, hal

itu dapat dilihat dari perumusan pasal yang mengatur mengenai perjanjian tertutup

dirumuskan secara Per Se, yang artinya bagi pelaku usaha yang membuat

perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan suatu praktek perjanjian

tertutup tanpa harus melihat akibat dari praktek tersebut muncul, pasal ini sudah

secara sempurna dapat dikenakan kepada pelaku usaha yang melanggarnya.26

26

Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Komisi

Pengawas Persaingan Usaha, 2009), h.122.

Page 60: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

51

BAB IV

PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN TERTUTUP OLEH

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

A. Pengecualian Aturan Hukum Persaingan Usaha

Eksistensi ketentuan pengecualian dalam UU Nomor 5 Tahun 1999

sebenarnya dapat menimbulkan distorsi yang memiliki dampak terhadap efisiensi

ekonomi. Namun di sisi lain, pengecualian penerapan UU Nomor 5 Tahun 1999

dapat dan perlu dilakukan oleh Negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat

sebagai wujud dukungan terhadap politik ekonomi Indonesia sebagaimana

dinyatakan pada Pasal 33 UUD 1945.

Apabila dilihat secara keseluruhan, ketentuan pengecualian dalam UU

Nomor 5 Tahun 1999 dituangkan dalam Pasal 50 dengan menyatakan: Yang

dikecualikan dari ketentuan Undang-Undang ini adalah:

a. Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; atau

b. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti

lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian

elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan

dengan waralaba; atau

c. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak

mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau

d. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk

memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah

daripada harga yang telah diperjanjikan; atau

e. Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar

hidup masyarakat luas; atau

Page 61: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

52

f. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah republik

indonesia; atau

g. Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak

mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau

h. Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau

i. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani

anggotanya.1

Dari sekian pengecualian maka ketentuan pengecualian yang merupakan

wujud dukungan terhadap politik ekonomi Indonesia adalah ketentuan

pengecualian pada Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 tersebut. Meskipun

demikian sebenarnya ketentuan pengecualian tersebut memiliki potensi

menimbulkan permasalahan karena tidak menutup kemungkinan menimbulkan

kontradiksi terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh

karena itu dalam implementasinya, harus mempertimbangkan hal-hal sebagai

berikut:2

1. Sejauh mana hukum dan kebijakan di bidang persaingan usaha sebagai

prioritas yang harus diterapkan;

2. Jika ketentuan pengecualian yang harus diterapkan, maka harus jelas alasan

dan parameter yang menjadi dasar pemilihan ketentuan pengecualian tersebut;

dan

3. Dalam hal apa kebijakan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

yang lain dapat tetap dilaksanakan, meskipun tidak sejalan dengan Undang-

Undang nomor 5 tahun 1999,

1 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. II. 2012), h. 242.

2 Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 Huruf a Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat, h. 8.

Page 62: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

53

Ketentuan pengecualian dalam Pasal 50 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999, dimaksudkan untuk:3

1. Menyeimbangkan kekuatan ekonomi yang tidak sama, misalnya kegiatan

yang dilakukan oleh pelaku usaha kecil dalam rangka meningkatkan kekuatan

penawarannya ketika menghadapi pelaku usaha yang memiliki kekuatan

ekonomi lebih kuat. Dalam kasus yang demikian terhadap pelaku usaha kecil,

dapat diberikan pengecualian dalam penerapan hukum persaingan usaha.

2. Menghindari terjadinya kerancuan dalam penerapan Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999 apabila terjadi konflik kepentingan yang sama-sama ingin

diwujudkan melalui kebijakan yang diatur dalam berbagai peraturan

perundang-undangan.

3. Mewujudkan kepastian hukum dalam penerapan peraturan perundang-

undangan, misalnya pengecualian bagi beberapa kegiatan lembaga keuangan

untuk mengurangi risiko dan ketidakpastian. Sektor keuangan perlu dijaga

stabilitasnya, mengingat pentingnya peran sektor keuangan dalam proses

pengembangan ekonomi.

4. Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2), (3) dan ayat (4) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menyebutkan bahwa:

―Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau

pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta

cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan Undang-Undang

3 Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 Huruf a Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat, h. 8-9

Page 63: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

54

dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau

lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah‖.

Dengan demikian, Dalam Pasal 51 Undang-Undang Antimonopoli

ditetapkan bahwa monopoli negara masih diberi tempat (diizinkan) dengan

penetapan melalui suatu Undang-Undang. Pengecualian (monopoli) tersebut

diberikan khusus melakukan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan

atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi

yang penting bagi negara.4

Dalam melaksanakan Pasal tersebut, KPPU membuat Pedoman tentang

Pelaksanaan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Adapun ketentuan

Pasal 51 sebagaimana dimaksud diatas dapat diuraikan dam dijelaskan dalam

beberapa unsur yaitu:

1. Monopoli

Dalam Pasal 1 angka UU Nomor 5 Tahun 1999, defenisi monopoli:

―Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan

jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha‖

Berdasarkan definisi tersebut, monopoli pada dasarnya menggambarkan

suatu keadaan penguasaan pelaku usaha atas barang dan atau jasa tertentu yang

dapat dicapai tanpa harus melakukan ataupun mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat 5

4 M. Udin Silalahi, Perusahaan saling mematikan & bersekongkol, (Jakarta: Elex Media

Komputindo, 2007), h.66.

5 Pedoman Pelaksana Ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat, h.5

Page 64: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

55

2. Pemusatan Kegiatan

Unsur pemusatan kegiatan dalam Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999 dapat

didefinisikan sebagai pemusatan kekuatan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 1 angka 3 UU Nomor 5 Tahun 1999, yaitu : ―Penguasaan yang nyata atas

suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat

menentukan harga barang dan atau jasa.‖

Berdasarkan definisi tersebut, monopoli pada dasarnya menggambarkan

suatu keadaan penguasaan pelaku usaha atas barang dan atau jasa tertentu yang

dapat dicapai tanpa harus melakukan ataupun mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.6

B. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

KPPU merupakan lembaga negara komplementer (state auxiliary) yang

mempunyai wewenang berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 untuk

melakukan penegakan hukum persaingan usaha. Dasar hukum pembentukan

Komisi Pengawas adalah Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

yang menyatakan : ―untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang ini dibentuk

Komisi Pengawas Persaingan Usaha‖.7

Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai landasan kebijakan

persaingan diikuti dengan berdrinya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

guna memastikan dan melakukan pengawasan terhadap dipatuhinya ketentuan

dalam Undang-Undang Anti Monopoli tersebut. Kelembagaan KPPU diatur lebih

lanjut dengan Keputusan Presden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi

6 Pedoman Pelaksana Ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat, h.5-6

7 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. II. 2012), h. 277.

Page 65: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

56

Pengawas Persaingan Usaha sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden

Nomor 80 Tahun 2008.

KPPU sebagai lembaga pengawasan persaingan usaha merupakan

lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta

pihak lain. Tujuan pembentukan KPPU ini adalah untuk mengawasi pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat demi terwujudnya perekonomian Indonesia yang

efisien melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif dan kompetitif, yang

menjamin adanya kesempatan berusaha. Perlu ditekankan bahwa melalui

pengawasan yang dimilikinya, KPPU diharapkan dapat menjaga dan mendorong

agar sistem ekonomi pasar lebih efisiensi produksi, konsumsi, dan alokasi,

sehingga pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyat.8

Status Komisi diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Dalam ayat (3) disebutkan

bahwa: ‖Komisi bertangung jawab kepada presiden.‖ bertanggung jawab kepada

presiden disebabkan Komisi melaksanakan sebagian dari tugas-tugas pemerintah,

di mana kekuasaan tertinggi pemerintah berada di bawah presiden.9

KPPU adalah lembaga publik, penegak dan pengawas pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, serta wasit independen dalam rangka

menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan larangan monopoli dan

persangan usaha tidak sehat.10

Adapun tugas dan wewenang KPPU adalah sebagai

berikut.

8 Suyud Margono, Tantangan Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. (Jurnal

Hukum. Bisnis, Volume 19, Mei-Juni 2002), h. 5.

9 Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ―Presiden Republik

Indonesia memegang kekuasaan memerintah menurut Undang-Undang Dasar.‖

10 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana, Cet.

II, 2009), h. 75.

Page 66: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

57

1. Tugas KPPU

Atas kewenangan tersebut, maka komisi memiliki beberapa tugas

sebagaimana yang tertera dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yaitu:11

a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan

terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, seperti;

oligopoli, diskriminasi harga (price discrimination), penetapan harga (price

fixing/price predatory), pembagian wilayah (market allocation),

pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertical, perjanjian tertutup,

dan perjanjian dengan pihak luar negeri.

b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha

yang dilarang, seperti monopoli, monopsony, penguasaan pasar, dan

persekongkolan.

c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi

dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau

persaingan usaha yang tidak sehat, yang dapat timbul melalui posisi dominan,

jabatan rangkap, pemilikan saham, penggabungan, peleburan, serta

pengambilalhan.

d. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang

berkaitan dengan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

e. Menyusun pedoman dan/atau publikasi yang berkaitan dengan

UndangUndang Nomor 5 Tahun1999.

f. Memberi laporan secara berkala atas hasil kerja komisi kepada presiden dan

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

11

Abdul R. Saliman,dkk., Esensi Hukum Bisnis Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.

175-176.

Page 67: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

58

2. Wewenang KPPU

KPPU dalam kedudukannya sebagai pengawas, Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 Pasal 36 dan Pasal 47 telah memberikan kewenangan khusus kepada

Komisi. Secara garis besar, kewenangan Komisi dapat dibagi dua, yaitu

wewenang aktif dan wewenang pasif.12

Menurut Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bhawa

Wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah sebagai berikut.13

a. Menerima laporan dari masyarakat dan/atau dari pelaku usaha tentang dugaan

telah terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

b. Melakukan penelitian mengenai dugaan adanya kegiatan usaha atau tindakan

pelaku usaha yang dapat menimbulkan praktek monopoli dan /atau

persaingan persaingan usaha tidak sehat.

c. Melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap kasus-kasus dugaan

praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang didapatkan

karena laporan masyarakat, laporan pelaku usaha, ditemukan sendiri oleh

komisi pengawas dari hasil penelitian.

d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan/atau pemeriksaan tentang adanya

suatu praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

e. Melakukan pemanggilan terhadap pelaku usaha yang diduga telah melakukan

pelanggaran terhadap Undang-Undang Anti Monopoli.

12

Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. II. 2012), h. 78.

13Abdul R. Saliman,dkk., Esensi Hukum Bisnis Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.

176-177.

.

Page 68: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

59

f. Melakukan pemanggilan dan menghadirkan saksi-saksi, saksi ahli, dan setiap

orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan Undang-

Undang Anti Monopoli.

g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksisaksi,

saksi ahli atau pihak lainnya yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi

Pengawas.

h. Meminta keterangan dari nstansi pemerintah dalam kaitannya dengan

penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar

ketentuan dalam Undang-Undang Anti Monopoli

i. Mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain

guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.

j. Memberikan keputusan atau ketetapan tentang ada atau tidaknya kerugian

bagi pelaku usaha fair, atau masyarakat.

k. Menginformasikan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diiduga

melakukan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan adminstratif kepada pelaku usahayang

melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

3. Visi dan misi KPPU

Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya memerlukan adanya arah pandang yang jelas, sehingga apa yang

menjadi tujuannya dapat dirumuskan dengan seksama dan pencapaiannya dapat

direncanakan dengan tepat dan terinci. Adapun arah pandang KPPU tersebut

kemudian dirumuskan dalam suatu visi dan misi KPPU sebagai berikut:

b. Visi KPPU

Visi KPPU sebagai lembaga independen yang mengemban amanat UU

No. 5 Tahun 1999 adalah:―Terwujud Ekonomi Nasional yang Efisien dan

Berkeadilan untuk Kesejahteraan Rakyat‖.

Page 69: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

60

c. Misi KPPU

Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, maka dirumuskan misi KPPU

sebagai berikut:

1) Pencegahan dan Penindakan

2) Internalisasi Nilai-nilai Persaingan Usaha

3) Penguatan Kelembagaan

C. Posisi Kasus

Kasus ini bermula ketika Sekretariat KPPU melakukan kajian tentang

adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terkait

Penyediaan Jaringan Telekomunikasi dan Implementasi e-pos di Bandara

Soekarno Hatta. Dari hasil kajian tersebut KPPU menemukan dugaan pelanggaran

dan menetapkan untuk melanjutkan ke tahap penyelidikan.

Setelah KPPU menemukan bukti permulaan yang cukup Ketua Komisi

menerbitkan Penetapan Komisi Nomor 16/KPPU/Pen/VIII/2013 tanggal 23

Agustus 2013 tentang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 07/KPPU-I/2013

dengan PT Angkasa Pura II sebagai Terlapor I dan PT Telekomunikasi Indonesia

sebagai Terlapor II. Berdasarkan Penetapan Pemeriksaan Pendahuluan tersebut,

Ketua Komisi menetapkan pembentukan Majelis Komisi melalui Keputusan

Komisi Nomor 196/KPPU/Kep/IX/2013 tanggal 11 September 2013 tentang

Penugasan Anggota Komisi sebagai Majelis Komisi pada Pemeriksaan

Pendahuluan Perkara Nomor 07/KPPU-I/2013.

Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan PT

Angkasa Pura II didirikan dan melakukan kegiatan usaha di bidang pelayanan jasa

kebandarudaraan dan jasa terkait dengan bandar udara. Dalam prakteknya, PT

Angkasa Pura II mengkomersialkan wilayah atau lingkungan Bandara Soekarno-

Page 70: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

61

Hatta antara lain dengan cara menyewakan ruangan/counter kepada pelaku usaha

dengan imbalan pembayaran sewa serta konsesi usaha.

Bahwa dalam menyelenggarakan kegiatan usaha jasa kebandarudaraan,

PT Angkasa Pura II juga mewajibkan pelaku usaha yang melakukan kegiatan

usaha di lingkungan pengelolaan Bandara Soekarno-Hatta untuk membayar

imbalan adanya pengalihan hak pengelolaan usaha (concession right). Tarif

konsesi atas pengusahaan tanah dan ruangan 5% dari total pendapatan kotor per

konsesioner.14

Pada tanggal 30 Maret 2011 perjanjian kerjasama ―Penyediaan Layanan

Electronic Point of Sales (e-POS) di Bandara Soekarno-Hatta telah ditandatangani

oleh PT Angkasa Pura II dan PT Telekomunikasi Indonesia. Lingkup Kerja

Sama, dimana pada pokoknya meliputi;

1. Penyediaan, pengoperasian, pemeliharaan dan modernisasi fasilitas e-POS

pada lokasi di Bandara Soekarno-Hatta;

2. Fasilitas yang disediakan PT Telekomunikasi Indonesia meliputi: perangkat

software, link (koneksi jaringan internet) dan terminal client (hardware);

3. Jumlah fasilitas e-POS yang dipasang di Bandara Soekarno-Hatta adalah

sebanyak 400 (empat ratus) unit terminal client;

4. Jangka waktu perjanjian berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang.

Dalam melakukan kegiatan usaha penunjang dan/atau terkait dengan

Bandar Udara Soekarno-Hatta, PT Angkasa Pura II menetapkan atau melakukan

dengan instrumen perjanjian yang bersifat mengikat (perjanjian tertutup).

perjanjian yang bersifat mengikat (perjanjian tertutup) tersebut dilakukan oleh

Terlapor I terkait dengan perjanjian konsesi usaha dan sewa-menyewa ruangan

14

Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementrian Perhubungan Republik Indonesia,

Tarif Penggunaan Sarana Dan Prasarana Di Bandara Berdasarkan Tugas Dan Fungsi,

http://hubud.dephub.go.id/?id/news/detail/2527 diakses pada 3 Februari 2017

Page 71: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

62

dimana pihak yang menyewa ruangan di wilayah Bandara Soekarno-Hatta, juga

diwajibkan untuk membeli dan/atau membayar layanan e-POS.

Implementasi e-POS di Bandara Soekarno-Hatta pada awalnya

merupakan tindak lanjut dari pengajuan proposal layanan e-POS dari PT

Telekomunikasi Indonesia yang selanjutnya disepakati dengan PT Angkasa Pura

II untuk melakukan free trial di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta guna

keperluan monitoring transaksi online antara mitra usaha dePenawaran kerja sama

PT Telekomunikasi Indonesia terkait layanan e-POS tersebut

Kemudian dilakukan pembahasan antara PT Angkasa Pura II dengan PT

Telekomunikasi Indonesia hingga dilakukan sosialisasi kepada para tenant di

Bandara Soekarno-Hatta dimana pada akhirnya pada tanggal 18 Juli 2011 PT

Angkasa Pura II secara resmi menerbitkan Surat Edaran Tentang Kewajiban

Penggunaan dan Biaya Fasilitas ngan pengguna jasa Bandara Soekarno-Hatta.

Electronic Point of Sales (e-POS), dimana para Mitra Usaha diwajibkan untuk

menggunakan fasilitas Electronic Point of Sales (e-POS) sebagai alat monitoring

realisasi pendapatan usaha di tiap lokasi di Bandara Soekarno-Hatta dengan

dikenakan biaya sebesar Rp. 1.350.000,- per-unit per-bulan (belum termasuk

PPN) yang akan ditagihkan kepada para Mitra Usaha oleh PT Telekomunikasi

Indonesia.

Perjanjian kerjasama antara PT Angkasa Pura II dan PT Telekomunikasi

Indonesia tanggal 30 Maret 2011 tentang penyediaan Layanan Electronic Point of

Sales (e-POS) di Bandara Soekarno Hatta (PKS e-POS) adalah suatu perjanjian

yang dilandasi oleh Semangat sinergi antar BUMN sebagaimana diamanatkan

oleh Peraturan Menteri BUMN tentang pedoman umum pelaksanaan pengadaan

barang dan jasa badan usaha milik Negara (Peraturan Menteri BUMN);

PT Telekomunikasi Indonesia hanya membantu memenuhi kebutuhan PT

Angkasa Pura II akan sistem pelaporan data penjualan yang sifatnya real time,

Page 72: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

63

agar mempermudah pihak PT Angkasa Pura II dalam mengendalikan dan

mencegah terjadinya kebocoran atau kerugian finansial dalam hubungan

kerjasamanya dengan pihak tenant;

Perjanjian kerja sama e-POS yang dibuat oleh PT Angkasa Pura II dan PT

Telekomunikasi Indonesia adalah suatu perjanjian yang dibuat guna menjalankan

amanat suatu peraturan perundangundangan, yaitu peraturan Menteri BUMN

Nomor Per-05/MBU/2012 yang diperbahurui oleh Peraturan Menteri BUMN

Nomor Per-15/MBU/2012 tentang pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan

Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara yang bertujuan untuk

mengamanatkannya Sinergi antar BUMN guna mewujudkan sebesar-besarnya

manfaat ekonomi bagi Negara, yang ujungnya akan disalurkan guna

mengingkatkan kesejahteraan masyarakat;

Pada tanggal 8 Mei 2014 Majelis Komisi memutuskan bahwa PT Angkasa

Pura II dan PT telekomunikasi Indonesia secara sah dan meyakinkan melanggar

Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; Memerintahkan PT Angkasa Pura II

untuk membayar denda sebesar Rp3.402.000.000 (Tiga Milyar Empat Ratus Dua

Juta Rupiah); dan Memerintahkan PT Telekomunikasi Indonesia untuk membayar

denda sebesar Rp 2.109.240.000 (Dua Milyar Seratus Sembilan Juta Dua Ratus

Empat Puluh Ribu Rupiah).

D. Penerapan Pasal 15 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 19999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terkait Perjanjian

Tertutup

Pengaturan terhadap perjanjian tertutup dalam penyelenggaraan

kebandarudaraan tidak diatur secara khusus dalam suatu peraturan perundang-

undangan di Indonesia. Regulasi terhadap hukum persaingan usaha di sektor

Page 73: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

64

usaha kebandarudaraan oleh karenanya masih berada di bawah ketentuan

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan begitu, terhadap kasus perjanjian tertutup

Penyediaan Layanan e-POS di Bandara Soekarno-Hatta mengacu pada

pengaturan dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

Dalam menerapkan aturan perjanjian tertutup, harus dilihat pemenuhan

unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No 5 Tahun

1999, dan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2011

tentang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Unsur-unsur yang terpenuhi dalam Putusan KPPU No. 07/KPPU-I/2013, yaitu:15

1. Unsur Pelaku Usaha

Pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 adalah orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan

hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik

sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai

kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

PT Angkasa Pura II (Persero), merupakan badan usaha yang berbentuk

badan hukum yang didirikan di Indonesia berdasarkan Akta Pendirian Nomor

03 tanggal 2 Januari 1993 yang dibuat di hadapan Notaris Muhani Salim di

Jakarta, yang berkedudukan di Gedung 600 Bandara Soekarno Hatta,

Tangerang, Banten dan melakukan kegiatan usaha antara lain di bidang

penyelenggaraan dan pengelolaan bandar udara di Indonesia yang salah

satunya adalah Bandara Soekarno Hatta;

15

Putusan KPPU No. 07/KPPU-I/2013, h. 88-95.

Page 74: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

65

PT Telekomunikasi Indonesia,Tbk, merupakan badan usaha yang

berbentuk badan hukum yang didirikan di Indonesia berdasarkan Akta

Pendirian No128 tanggal 24 September 1991 yang dibuat di hadapan Notaris

Imas Fatimah, S.H. yang disetujui oleh Menteri Kehakiman Republik

Indonesia dengan urat Keutusan No. C2-6879.HT.01.01.Th.1991 tanggal 19

November 1992, yang berkedudukan di Jalan Japati Nomor 1 Bandung, Jawa

Barat dan melakukan kegiatan usaha antara lain di bidang Telekomunikasi.

2. Unsur Perjanjian dengan pihak lain

Perjanjian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-

Undang No. 5 Tahun 1999 adalah Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku

usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain

dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Perjanjian yang dimaksud dalam unsur ini adalah

PerjanjianSewaRuangan dan Konsesi Usaha antara PT Angkasa Pura IIdengan

penyewa. Dan 4pihak laindalamperkarainiadalah400 penyewadi wilayah

Bandar UdaraSoekarno Hatta.

3. Unsur Jasa

Jasa menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagaimana

diatur dalam pasal 1 angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan

atau prestasi yang diperdagangkan dalam asyarakat untuk dimanfaatkan oleh

konsumen atau pelaku usaha. Jasa yang diproduksi oleh PT Angkasa Pura II

yang berkaitan dengan perkara perjanjian tertutup adalah jasa sewa ruang

usaha sebagai jasa yang ditawarkan oleh PT Angkasa Pura II kepada penyewa

4. Unsur Pihak yang Menerima Barang dan atau jasa tertentu

Menurut Pedoman Pasal 15, pihak yang menerima adalah: ―Pelaku

usaha yang menerima pasokan berupa barang dan/atau jasa dari pemasok.

Page 75: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

66

Pelaku Usaha yang menerima pasokan dalam perkara ini adalah pelaku

usaha yang melakukan kerjasama dengan PT Angkasa Pura II yaitu Penyewa

ruang usaha. Adapun pasokanberupajasadalamperkara iniadalahjasaruang

usahasebagaijasayangmenjadi pokok perjanjian.

5. Unsur barang dan atau jasa lain

Barang dan/atau jasa lain adalah barang dan/atau jasa yang berbeda

baik dari sifat wujud, fisik, fungsi dan dari barang dan/atau jasa yang diterima

oleh pihak lain sedemikian rupa sehingga barang dan/atau jasa yang diterima

oleh pihak lain itu masih dapat dimanfaatkan tanpa harus bergantung pada

keberadaan barang dan/atau jasa lain tersebut.

Fakta persidangan menyebutkan ruang usaha yang disewakan oleh PT

Angkasa Pura II kepada penyewa mewajibkan kepada penyewa untuk

menggunakan layanan e-POS dan perangkat pendukungnya dan

membebankan biaya layanan e-POS dan perangkat pendukungnya kepada

para penyewa sehingga penyewa tidak bisa menggunakan provider lain .

Layanan e-POS tidak dibutuhkan oleh penyewa melainkan kebutuhan dari PT

Angkasa Pura II sendiri untuk mengawasi hasil konsesi dari penyewa ruang

usaha. Hal yang tidak berhubungan dengan penggunaan ruang usaha yang

diperjanjikan sebagai objek sewa.

Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dalam penerapannya

di dalam kasus tying arrangement menggunakan pendekatan per se illegal.16

Pendekatan secara per se illegal dalam penerapan Pasal 15 ayat (2) juga diatur

dalam Pedoman Pelaksanaan Pasal 15 yang dikeluarkan oleh KPPU. Di dalam

pedoman tersebut, KPPU menjelaskan bahwa suatu perbuatan secara cukup dan

patut dinyatakan terbukti apabila suatu perjanjian tertentu memenuhi kriteria

16

Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha,

(Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), h. 42.

Page 76: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

67

tertentu tanpa memerlukan pembuktian lebih lanjut dan perjanjian tertutup

tersebut harus dinyatakan telah memenuhi kriteria pelanggaran Pasal 15 Undang-

Undang No. 5 Tahun 1999.

Adapun kriteria yang harus terpenuhi adalah bahwa perjanjian tersebut

terdapat dua produk yang berbeda; perjanjian tertutup yang dilakukan harus

menutup volume perdagangan secara substansial dimana pengusaha memiliki

pangsa 10% atau lebih; perjanjian tertutup dilakukan oleh pelaku usaha yang

memiliki kekuatan pasar dengan pangsa pasar 10% atau lebih; dan pelaku usaha

yang memiliki kekuatan pasar melakukan ―paksaan‖ kepada pembeli untuk

membeli produk yang diikat.17

Pada tanggal 24 Februari 2014, Majelis Komisi melaksanakan Sidang

Majelis Komisi dengan agenda Pemeriksaan Saksi VII PT Dunkindo Lestari.

Saksi tidak mendapatkan paksaan untuk menggunakan sistem e-pos walaupun

dalam perjanjian dengan PT Angkasa Pura II diwajibkan agar sistem transaksi

secara online.18

Adapun saksi lain yang memberikan keterangan demikian, keterangan

Saksi PT Mitra Adi Perkasa menyatakan bahwa benar adanya klausul kewajiban

dalam konsesi untuk menyampaikan transaksi secara online dengan

menggunakan sistem e-pos tetapi tidak ada paksaan dari PT Angkasa Pura II

untuk menggunakan sistem tersebut sehingga Saksi tetap menggunakan sistem

keuangan sendiri.19

Dengan adanya keterangan saksi tersebut maka kriteria perjanjian tertutup

yang diatur dalam pasal 15 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 dan Pedoman

17

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup), h. 22.

18 Putusan KPPU No. 07/KPPU-I/2013, h.26.

19 Putusan KPPU No. 07/KPPU-I/2013, h.84.

Page 77: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

68

Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, seharusnya

tidak terpenuhi.

E. Penyelesaian Hukum

1. Proses Hukum Persaingan Usaha terhadap Perjanjian Tertutup

KPPU merupakan lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan

kasus monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hal tersebut dinyatakan

dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang

menyatakan : ―untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang ini dibentuk

Komisi Pengawas Persaingan Usaha‖. Perjanjian tertutup merupakan salah

satu bentuk persaingan usaha tidak sehat yang diatur dalam Undang-Undang

No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat.

Pada Putusan KPPU NO. 07/KPPU-I/2013 Majelis Komisi

memutuskan bahwa PT Angkasa Pura II dan PT telekomunikasi Indonesia

secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat (2) Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat; Memerintahkan PT Angkasa Pura II untuk membayar

denda sebesar Rp3.402.000.000 (Tiga Milyar Empat Ratus Dua Juta Rupiah);

dan Memerintahkan PT Telekomunikasi Indonesia untuk membayar denda

sebesar Rp 2.109.240.000 (Dua Milyar Seratus Sembilan Juta Dua Ratus

Empat Puluh Ribu Rupiah).

PT Angkasa Pura II dan PT Telekomunikasi Indonesia selanjutnya

mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Bandung.Tanggal 12

Februari2015 Pengadilan Negeri Bandung telah memberikan Putusan Nomor

01/Pdt.G/KPPU/2014/PN Bdg, yang amarnya sebagai berikut:

Page 78: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

69

a. Mengabulkan permohonan keberatan dari Pemohon Keberatan I dan

Pemohon Keberatan II untuk seluruhnya;

b. Membatalkan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

RepublikIndonesia (KPPU) Nomor 07/KPPU-I/2013, tanggal 8 Mei

2014;

c. Menghukum Termohon Keberatan untuk membayar biaya perkara

yang timbul dalam pemeriksaan ini, yang hingga putusan ini dibacakan

ditaksir sebesar Rp1.141.000,00 (satu juta seratus empat puluh satu ribu

rupiah);

KPPU selanjutnya melakukan upaya hukum kasasi terhadap Putusan

Banding tersebut. KPPU meyakini bahwa Unsur dan Kriteria Pasal 15 ayat (2)

Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang sudah terpenuhi. Namun demikian,

upaya hukum Kasasi yang diajukan oleh KPPU diputus dalam Putusan Nomor

482 K/Pdt.Sus-KPPU/2015. Amar putusan tersebut yaitu:

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi KOMISI PENGAWAS

PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA (KPPU RI) tersebut;

2. Menghukum Pemohon Kasasi/Pemohon Keberatan untuk membayar biaya

perkara pada tingkat kasasi yang ditetapkan sebesar Rp500.000,00 (lima

ratus ribu rupiah);

2. Sinergi BUMN Tanpa Mekanisme Tender

Prinsip dasar sistem pengadaan barang/jasa dalam perspektif hukum

persaingan usaha diantaranya adalah transparansi, non diskriminasi, dan

efisiensi, hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 05 Tahun

Page 79: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

70

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat.20

Dasar Hukum dalam pengadaan barang dan jasa di BUMN yang

pertama berlandaskan pada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Selain itu, pengadaan barang dan jasa BUMN yang dananya berasal dari dana

BUMN, tidak berlaku Perpres 54 Tahun 2010 jo Perpres 35 Tahun 2011

melainkan tunduk pada Peraturan Menteri Negara BUMN Per-05/MBU/2008

Jo Per-15/MBU/2015 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan

Barang dan Jasa.

Berkenaan dengan Sinergi BUMN dan penunjukan langsung dalam

pengadaan barang dan/jasa terdapat sebuah putusan KPPU Nomor 07/KPPU-

I/2013 tentang Penyediaan Jaringan Telekomunikasi dan Implementasi

―layanan Electronic Point of Sales (e-Pos)‖ di Bandar Udara Soekarno Hatta.

PT angkasa Pura II mendalilkan bahwa tindakan penunjukan langsung

kepada PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. sebagai penyedia jasa layanan e-

Pos termasuk kedalam pengecualian sebagaimana dimaksud dalam pasal 50

huruf ―a‖ UU No. 5 tahun 1999. Majelis komisi KPPU dalam hal ini

berpendapat bahwa sinergi BUMN tidak dapat dijadikan dasar untuk

mengecualikan pemberlakuan UU Nomor 5 Tahun 1999 karena BUMN pada

dasarnya memiliki posisi yang sama dengan swasta sehingga dalam sinergi,

proses formal tetap diperlukan agar BUMN dapat bersaing secara adil dengan

swasta.

Di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 terdapat 2 pasal terkait

pengecualian yakni Pasal 50 dan Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 50

UU Nomor 5 Tahun 1999 memberikan pengecualian yang sifatnya lebih luas

20

Anna Maria Tri Anggraini, Sinergi BUMN Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Dalam

Perspektif Hukum Persaingan Usaha, Mimbar Hukum, Volume 25, (Komisi Pengawas Persaingan

Usaha, Jakarta, 2013), h. 1.

Page 80: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

71

karena tidak dibatasi untuk pelaku usaha tertentu, berbeda halnya dengan

Pasal 51 UU nomor 5 Tahun 1999 khusus mengatur mengenai pengecualian

bagi BUMN atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah, dalam pasal 51 itu

sendiri terdapat batasan-batasan dalam melaksanakan monopoli sebagaimana

diatur dalam pedoman pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 2010, yang artinya

bahwa monopoli atau pemusatan kegiatan dapat dilakukan apabila produksi

dan/atau pemasaran barang dan/jasa tersebut menguasai hajat hidup orang

banyak serta bagi cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara,

sehingga tidak semua BUMN mendapat pengecualian.

Peneliti setuju dengan dilaksanakannya sinergi melalui mekanisme

penunjukan langsung, karena menimbulkan efisiensi. Selain itu, dengan

adanya sinergi diharapkan dapat menyejahterakan rakyat sebagaimana tujuan

utama dari dilaksanakannya sinergi BUMN.

Page 81: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

72

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas peneliti mengambil beberapa kesimpulan sebagai

berikut:

1. Sinergi BUMN merupakan program pemerintah yang tertuang dalam

Peraturan Menteri BUMN Nomor 15 Tahun 2012 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor 05/MBU/2008

tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan

Usaha Milik Negara. Sinergi BUMN tidak melanggar aturan hukum

persaingan usaha

2. BUMN dalam menjalankan kegiatan usahanya mendapat pengecualian yang

diatur dalam pasal 50 dan 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat.

3. Pelaku usaha dapat dikatakan melakukan perjanjian tertutup apabila

memenuhi beberapa indikator berupa unsur dan kriteria yang diatur dalam

Pasal 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat.

B. Saran

1. KPPU seharusnya mendukung Sinergi BUMN sebagaimana Visi dan Misi

KPPU, yaitu :―Terwujud Ekonomi Nasional yang Efisien dan Berkeadilan

untuk Kesejahteraan Rakyat‖ yang sejalan dengan tujuan dari Sinergi BUMN

tersebut.

2. Perlu adanya penguatan aturan hukum tentang sinergi BUMN yang pada saat

ini hanya diatur dalam Peraturan Menteri BUMN agar dapat diperkuat

Page 82: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

73

dengan aturan hukum yang hirarkinya lebih tinggi seperti Peraturan

Pemerintah.

3. Peningkatan pengawasan terhadap kegiatan ekonomi oleh KPPU agar dapat

melakukan tindakan preventif dalam praktek monopoli dan persaingan usaha

tidak sehat.

4. BUMN Ikut proaktif dalam memberikan informasi kepada KPPU selaku

pengawas hukum persaingan di Indonesia khususnya mengenai hal-hal yang

berkenaan dengan Sinergi BUMN dalam melakukan kegiatan usaha agar

tidak merugikan masyarakat.

Page 83: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

74

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum, Cet.Ke-4. Jakarta: Sinar Grafika.

2013.

Asikin, Zainal & Suhartana, Wira Pria. Pengantar Hukum Perusahaan, Jakarta.

Prenadamedia. 2016.

Hariyani, Iswi. Merger, akuisisi, konsolidasi, & pemisahan perusahaan : cara

cerdas mengembangkan & memajukan perusahaan. Jakarta: Visimedia.

2011.

Hermansyah. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta:

Kencana. Cet. II. 2009.

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet.Ke-2.

Malang: Bayumedia Publishing. 2006.

Juwana, Hikmahanto. Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. Jakarta:

Lentera Hati. Cet. I. 2002.

Kuswiratmo, Bonifasius Aji. Keuntungan & Risiko menjadi Direktur, Komisaris,

dan Pemegang Saham. Jakarta: Visimedia Pustaka. 2016.

Lubis, Andi Fahmi, dkk. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks.

Jakarta: GTZ. 2009.

Margono, Suyud. Hukum Anti Monopoli. Jakarta: Sinar Grafika. 2013.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, cetakan keenam. Jakarta: Kencana

Prenada Media Group. 2010.

Miru, Ahmadi. Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak Jakarta; Rajawali Press.

2010.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Cetakan Keempat

Revisi Bandung: Citra Aditya Bakti. 2010.

Mulhadi. Hukum Perusahaan: Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia. Bogor:

Ghalia. 2010.

Page 84: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

75

Naja, Hasanuddin Rahman Daeng, Contract Drafting, Edisi revisi-Cet. Kedua,

Bandung. Citra Aditya. 2006.

Nurachmad, Much., Memahami & Membuat Perjanjian. Jakarta: Transmedia

Pustaka. 2010.

P. H., Soetrisno. Kapita selekta ekonomi Indonesia Yogyakarta: Andi Offset.

1992.

Pudyatmoko, Sri. Perizinan: Problem Dan Upaya Pembenahan. Jakarta:

Gramedia. 2009.

Puspaningrum, Galuh. Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan

Usaha. Yogyakarta: Aswaja Pressindo. 2015.

Rijan, Yunirman & Koesoemawati, Ira. Cara Mudah Membuat Surat Perjanjian,

.Jakarta: Raih Asa Sukses. 2009.

Rokan, Mustafa Kamal. Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di

Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 2012.

Saidi, Muhammad Djafar. Hukum Keuangan Negara, Edisi Revisi. Jakarta:

Rajawali Pers. 2011.

Sari, Elsi Kartika & Simanungson, Advendi, Hukum dalam Ekonomi, Edisi 2

Revisi. Jakarta: Grasindo. 2008.

Saliman, Abdul R.,dkk. Esensi Hukum Bisnis Indonesia. Jakarta: Prenada Media.

2004.

Silalahi, M. Udin. Perusahaan Saling Mematikan & Bersekongkol. Jakarta: Elex

Media Komputindo. 2007.

Siswanto, Arie. Hukum Persaingan Usaha, Bogor: Ghalia Indonesia. 2004.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. Ke-3. Jakarta:

Universitas Indonesia Press. 1986.

Soekanto, Soerdjono dan Mahmudji, Sri. Peranan dan Penggunaan Kepustakaan

di Dalam Penelitian Hukum. Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas

Indonesia. 1979.

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet. 31.Jakarta: Intermasa, 2003.

Suhardi, Gunarto. Revitalisasi BUMN. Yogyakarta: Univ. Atma Jaya. 2007.

Page 85: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

76

Suhasril. Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.

Sukandar, Dadang, Panduan Membuat Kontrak Bsinis. Jakarta: Visimedia

Pustaka. 2017.

Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, Cet. II. 2004.

Wicaksana, Frans Satrio. Panduan Lengkap Membuat Surat-surat Kontrak,.

Jakarta:Transmedia Pustaka. 2008.

Widjaja, I. G. Ray. Hukum Perusahaan. Bekasi: Kesaint Blanc, 2006.

Jurnal

Anggraini, Anna Maria Tri. Sinergi BUMN dalam pengadaan barang dan atau

jasa dalam perspektif persaingan usaha, Jurnal Mimbar Hukum volume

25, Nomor 3, Oktober 2013.

Bintoro,Rahadi Wasi. Aspek Hukum Zonasi Pasar Tradisional dan Pasar

Modern, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 10, No. 3, Tahun 2010.

Kooswanto, Tarita dkk.. Keadaan Pasar Indonesia Pasca Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jurnal Private Law, Volume 2, No. 1,

Tahun 2013 .

Margono, Suyud. Tantangan Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia.

Jurnal Hukum. Bisnis, Volume 19, Mei-Juni 2002.

Yusroni, Nanang. Privatisasi Badan Usaha Milik NegaraBUMN) Eksistensi, dan

Kinerja Ekonomi Nasional dalam Sistem Ekonomi Pasar, Jurnal

Ekonomi dan Bisnis, Vol. 2 No. 3, Univ Wahid Hasyim Semarang, April

2007 .

Aturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Peraturan KPPU Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 50

Huruf a Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat.

Page 86: PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44208/1/MUHAMMAD...muhammad aziz badaruddin, nim 1113048000017, ―pengaturan hukum

77

Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksana an Pasal 51

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat.

Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah.

Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2005 tentang tata cara penyertaan dan

Penatausahaan Modal Negara dengan Perseroan Terbatas.

Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik

Negara/Daerah.

Peraturan Pemerintah No 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan.

Permen BUMN Nomor PER-15/MBU/2012 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas

Permen BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum

Pelaksanaan Pengadaan Barang Dan Jasa Badan Usaha Milik Negara.

Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat .

Undang–Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

Internet:

Angkasa Pura II. Sejarah Perusahaan Angkasa Pura II,

http://www.angkasapura2.co.id/id/tentang/sejarah diakses pada 31 Juni

2017

Hukumonline. KPPU Selidiki Dugaan Monopoli e-Pos di Bandara

Soettahttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt523a5e2adb1be/kppu-

selidiki-dugaan-monopoli-ie-pos-i-di-bandara-soetta diakses pada 11

November 2016

Perkembangan Hukum Persaingan di Indonesia. Diakses pada 17 Desember 2016

dari situs: http://www.kppu.go.id/id/2013/02/perkembangan-

hukumpersaingan-di-indonesia/

Persaingan Usaha dan Peran Negara. Diakses pada 17 Desember 2016 dari situs :

http://law.ui.ac.id/v2/buletin/opini/67-persaingan-usaha-dan-perannegara

Udin Silalahi: Monopoli dan Perbuatan Curang. dari situs:

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8378/monopoli-dan-

perbuatan-curang. Diakses pada 17 Desember 2016