degradasi protein dan fermentasi tempe
DESCRIPTION
fdsfsdfTRANSCRIPT
DEGRADASI PROTEIN DAN FERMENTASI TEMPE
1. HASIL PENGAMATAN
Ragi
(gr)
Plastik
A B C
1 Coklat kehitaman Tidak kompak,
miselium tidak
terbentuk
Rasa : -
Aroma : bau busuk
2 Coklat kehitaman Tidak kompak,
miselium tidak
terbentuk
Rasa : -
Aroma : bau busuk
3 Coklat Tidak kompak,
miselium tidak
terbentuk
Rasa : -
Aroma : bau busuk
Ragi
(gr)
Daun Pisang
A B C
1 Coklat Tidak kompak,
miselium tidak
terbentuk
Rasa : -
Aroma : busuk
2 Coklat Tidak kompak,
miselium tidak
terbentuk
Rasa : tidak gurih
Aroma : kuarang
sedap
3 Coklat Tidak kompak,
miselium tidak
terbentuk
Rasa : gurih
Aroma : kurang
sedap
Ragi
(gr)
Petridish
A B C
1 Coklat Tidak kompak,
miselium tidak
terbentuk
Rasa : -
Aroma : bau tidak
enak
2 Coklat Tidak kompak,
miselium tidak
terbentuk
Rasa : -
Aroma : bau tidak
enak
3 Coklat Tidak kompak,
miselium tidak
terbentuk
Rasa : -
Aroma : bau tidak
enak
2. PEMBAHASAN
Fermentasi merupakan proses pengolahan bahan pangan yang melibatkan kapang atau
khamir. Proses fermentasi bertujuan untuk memperbanyak jumlah mikrobia, dan
menggiatkan metabolismenya di dalam makanan. Makanan yang mengalami fermentasi
biasanya mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi daripada bahan aslinya (Winarno,
1980).
Pada percobaan fermentasi tempe ini, bahan dasar yang kami gunakan adalah kacang
kedelai berwarna kuning. Menurut Iskandar (1995), jenis-jenis kedelai antara lain
kedelai hitam dan kedelai putih. Termasuk dalam kedelai putih adalah jenis-jenis yang
warnanya agak hijau, kuning atau kelabu. Kacang kedelai adalah salah satu bahan
makanan sumber protein nabati yang paling baik, karena mengandung 38% protein
(tertinggi dari segala kacang-kacangan lain) dan merupakan satu-satunya golongan
Leguminosa yang mengandung semua asam amino esential yang sangat diperlukan
tubuh manusia (Moehyi, 1992).
Tempe adalah bahan makanan yang dibuat dari kacang kedelai sebagai bahan dasar.
Menurut Sarwono (1996), kedelai yang diolah menjadi tempe adalah biji tanaman
kedelai (Glycine max). Tempe dibuat melalui proses fermentasi dengan menggunakan
jamur Rhizopus oligosporus atau Rhizopus oryzae.
Pada percobaan ini dibuat 3 macam tempe yang masing-masing berbeda bahan
pembungkusnya. Bahan pembungkus yang digunakan adalah plastik putih bening, daun
pisang dan petridish. Selain bahan pembungkus yang berbeda, jumlah massa laru tempe
yang ditaburkan pun berbeda-beda (1g, 2g, 3g). Menurut Sarwono (1996), ragi
(inokulum) tempe atau laru merupakan sekumpulan spora kapang tempe yang
digunakan untuk bahan pembibitan dalam pembuatan tempe.
Spora kapang ini dicamput dengan tepung (sebagai carrier), sehingga laru dapat
digunakan secara praktis dalam bentuk serbuk (powder). Dalam pembuatan tempe, laru
dicampurkan pada kedelai yang telah dimasak, ditiriskan dan didinginkan. Penggunaan
laru mempengaruhi tempe yang dihasilkan. Laru tempe mengandung paling sedikit tiga
spesies kapang, yaitu kapang Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus
stolonifer atau kapang Rhizopus Chlamydosporus.
Prinsip proses fermentasi tempe meliputi pra-fermentasi yaitu fermentasi awal yang
dilakukan oleh bakteri pembentuk asam, terutama bakteri asam laktat yang digunakan
untuk menurunkan pH biji sehingga sesuai dengan pH pertumbuhan jamur. Proses pra-
fermentasi dillakukan dengan perendaman biji di dalam air, sehingga terjadi proses
fermetasi secara alami. Sifat proses fermentasi ditentukan oleh kondisi pertumbuhan
dan sifat-sifat dari jamur itu sendiri.
Sebelum dimasukkan ke dalam bahan pembungkus, dalam percobaan kami kedelai
mengalami perlakuan : dicuci dan dibersihkan dari kotoran (membersihkan pasir dari
berbagai kotoran yang lain yang terdapat dalam kacang kedelai) direndam dalam air
(bertujuan agar kedelai mudah untuk dibuang kulitnya). Ketika direndam, pada kulit
kedelai telah berlangsung proses fermentasi oleh bakteri yang terdapat dalam air,
terutama bakteri asam laktat) dilepas kulit luarnya dikukus selama 0,5 – 1 jam.
Pengukusan ini bertujuan agar kepingan biji kedelai menjadi lunak sehingga lebih
mudah ditembus dan digerek oleh miselium kapng tempe ditiriskan dan didinginkan
sampai hangat-hangat kuku diinokulasi dengan laru. Dengan cara biji ditebarkan di
atas tampah dan diserakkan tipis-tipis agar kedelai tidak terlalu basah sehingga
kelembaban dapat sesuai dengan kebutuhan kapang tempe. dimasukkan ke dalam
bahan pembungkus (plastik, daun pisang, petridish). Setelah dibungkus, semua bahan
difermentasikan pada suhu kamar 38 –400 C di tempat yang agak gelap. Langkah-
langkah ini sudah benar karena sesuai dengan teori Sarwono (1996).
Adapun tujuan dari proses perebusan biji kedelai (Sarwono, 1996) :
Untuk membunuh bakteri kontaminan.
Mengaktifkan senyawa tripsin inhibitor.
Membantu membebaskan senyawa-senyawa dalam biji yang diperlukan untuk
pertumbuhan jamur.
Saat perebusan, dengan menyebutkan bahwa pada saat kedelai direbus pada suhu air
mendidih selama 40 menit, penghambat tripsin dan zat anti gizi yang tidak tahan panas
akan rusak total. Hemaglutinin dapat dihilangkan dengan pencucian karena larut dalam
air. Kombinasi pencucian dan pemanasan cukup mampu mengurangi keaktifan
hemaglutinin hingga 1% dari awal. Asam fitat bersifat larut dalam air, karena itu dengan
perendaman semalam dan pembilasan beberapa kali juga mampu mengurangi asam fitat
yang ada pada kedelai. Asam fitat terletak pada kulit dan lapisan bawah kulit, maka
penghilangan kulit kedelai akan menghilangkan atau menurunkan 30% asam fitat dari
jumlah awalnya. Peppler & Perlman (1979) Dari perbandingan antara percobaan dengan
dasar teori, maka dapat dikatakan bahwa langkah-langkah dalam percobaan ini sudah
benar.
Tempe merupakan hasil proses fermentasi. Dan kegiatan tersebut melibatkan 3 faktor
penting yang sangat berperan, yaitu bahan baku yang diurai (kedelai), mikroorganisme
(kapang tempe), dan keadaan lingkungan tumbuh (suhu, pH, kelembaban) (Sarwono,
1996).
Berdasarkan hasil percobaan, dikatakan bahwa percobaan fermentasi tempe tidak
berhasil (meskipun sudah diulang), baik pembungkus plastik, daun pisang, maupun
petridish, karena dari semua percobaan yang dilakukan, didapatkan hasil sebagai
berikut :
Warna tempe yang dihasilkan coklat, bahkan ada yang kehitam-hitaman.
Tekstur tempe tetap tidak kompak (meski sudah diperam) karena tidak terbentuk
miselium.
Aroma tempe yang dihasilkan berbau busuk dan kurang sedap.
Karena percobaan kelompok kami gagal, maka kami bergabung dengan kelompok lain
untuk uji organoleptik (tempe yang kelihatan jadi digoreng, lalu dirasakan). Dari hasil
penggorengan pun dinilai bahwa percobaan mayoritas mengalami kegagalan karena rasa
yang didapat adalah tidak gurih dengan aroma yang kurang sedap.
Seharusnya ciri tempe yang segar dan bagus adalah tempe yang tampak padat, apabila
dipegang terasa kenyal atau agak keras dan warnanya putih bersih. Kepingan-kepingan
kedelainya rata, sama besar dan tampak rapat antara satu dengan yang lainnya. Pada
tempe yang sudah jadi, miseliumnya tumbuh mengelilingi setiap keping kedelai
sehingga kepingan itu menjadi satu kesatuan yang kompak. Lebatnya miselium
memberikan wujud seperti wujud seperti kapas pada tempe yang dihasilkan. Kesatuan
miselium tersebut tidak rusak saat tempe dipotong-potong (Sarwono, 1996).
Setelah kami analisa, penyebab kegagalan pada percobaan fermentasi tempe mungkin
disebabkan karena :
Suhu tempat pemeraman yang tidak sesuai, karena menurut Fardiaz (1992), kapang
memerlukan kondisi udara yang relatif hangat dan lembab.
Kebutuhan pH bagi kapang Rhizopus sp dalam laru tidak sesuai. Menurut Fardiaz
(1992), kapang (termasuk Rhizopus sp) mempunyai pH optimum 5 – 7. Jika pH
tersebut tidak terpenuhi, maka dapat mengakibatkan pertumbuhannya terhambat.
Kadar air selama pencampuran tempe dengan laru yang tidak optimum. Menurut
Fardiaz (1992), nilai aw minimal untuk Rhizopus adalah 0,995- 0,98. Kadar air yang
kurang maupun berlebih menyebabkan pertumbuhan kapang tidak maksimal. Pada
percobaan yang kami lakukan, tampaknya kadar air pada kedelai terlalu banyak,
karena kedelai mungkin belum kering benar pada saat pencampuran laru.
Starter tempe yang digunakan kurang baik. Starter tempe itu sendiri adalah suatu
bahan yang mengandung biakan jamur tempe, yang mana sering digunakan sebagai
agensia pengubah kedelai rebus menjadi tempe akibat tumbuhnya jamur tempe pada
kedelai dan melakukan kegiatan fermentasi yang menyebabkan kedelai berubah sifat
karakteristiknya menjadi tempe. Tetapi inokulum dengan bubuk tempe pasar sebagai
starter mengandung bakteri lebih tinggi. Sifat fisik tempe kedelai penting dan
menentukan dari segi penampakan adalah kekompakan antar biji kedelai dalam
tempe. Sifat kekompakan ini berhubungan dengan kelebatan pertumbuhan miselium
dan penetrasi miselium ke dalam biji kedelai (Rahman, 1992). Karena pentingnya
peranan starter, maka dalam pembuatan fermentasi tempe hendaklah dipilih starter
yang benar-benar baik, karena menentukan jalannya proses fermentasi. beberapa
persyaratan untuk kualitas jamur tempe yang baik untuk dipakai sebagai starter
tempe antara lain (Kasmidjo, 1990) : mampu memproduksi spora dalam jumlah
yang banyak, mampu bertahan beberapa bulan tanpa mengalami perubahan genetis
maupun kemampuan tumbuhnya, memiliki prosentase perkecambahan spora yang
tinggi segera setelah diinokulasikan, mampu menghasilkan produk yang stabil yang
berulang-ulang. Pertumbuhan miselia setelah inokulasi harus kuat, lebat, berwarna
putih bersih, memiliki aroma spesifik tempe yang enak dan tidak mengalami
sporulasi terlalu awal.
Karena lubang yang dibuat saat ditusuk pada plastik terlalu banyak, maka
menyebabkan adanya aerasi udara yang berlebihan pada tempe sehingga
menyebabkan bagian-bagian hitam pada salah satu tempe (bagian yang pertama kali
terkena kontak dengan udara), hal itu yang menyebabkan massa kedelai menjadi
sangat besar. Dalam proses fermentasi tempe tidak luput dari keikutsertaan bakteri.
Hal ini disebabkan karena biasanya kedelai untuk pembuatan tempe tidak
mendapatkan perlakuan pemanasan dengan tekanan, agar tekstur yang dihasilkan
oleh tempe baik, sehingga bakteri yang tahan panas dan terutama bakteri pembentuk
spora akan bertahan pada pemanasan.
Beberapa spesies bakteri yang menghasilkan spora yang tahan panas adalah anggota
dari genus Bacillus. Dapat bertahan hidup jika perlakuan pemanasan tidak memadai.
Bakteri ini dapat hidup dalam keadaan anaerob pada bahan berasam rendah. Bakteri
tersebut tidak menimbulkan perubahan yang nyata terhadap kenampakan pangan,
tetapi melakukan fermentasi dan menghasilkan asam dan menimbulkan rasa yang
tidak enak pada makanan. Selama organisme tidak membentuk gas, kerusakan tipe
ini tidak dapat dideteksi sampai tempe tersebut dimakan (Winarno et al, 1980). Dari
teori ini dapat dijelaskan mengapa tempe yang digoreng terasa tidak enak dengan
bau busuk.
Keuntungan fermentasi tempe :
Bahan makanan yang dibuat melalui proses fermentasi umunya mempunyai daya
cerna yang tinggi (Moehyi, 1992).
Dengan adanya kapang Rhizopus sp yang diperoleh dari ragi, maka susunan kimia
kedelai (atau bhan lain) yang semula kompleks dan sulit dicerna, diubah menjadi
bahan yang lebih sederhana dan mudah diserap oleh tubuh (Astawan & Mita, 1991).
Dengan cara fermentasi kapang ini, juga diharapkan bau langu kedelai dapat
dihilangkan, sekaligus menciptakan aroma dan cita rasa yang khas (Astawan &
Mita, 1991).
Makanan-makanan yang mengalami fermentasi biasanya mempunyai nilai gizi yang
lebih tinggi daripada bahan asalnya. Hal ini tidak hanya disebabkan karena mikrobia
bersifat katabolik atau memecah komponen-komponen yang kompleks menjadi zat-
zat yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna, tetapi mikrobia juga dapat
mensintesa beberapa vitamin seperti riboflavin, vitamin B12 dan provitamin A.
Tempe kedelai mengandung protein sekitar 19, 5% selain itu tempe kedelai juga
mengandung lemak sekitar 4%, karbohidrat 9,4%, vitamin B12 antara 3,9 – 5 mg
per 100 gram tempe. Tempe dibuat dengan cara fermentasi atau peragian (Sarwono,
1996).
Pada percobaan yang kami lakukan, plastik yang digunakan ditusuk-tusuk dengan kawat
untuk memberikan aerasi udara pada kapang di dalam plastik, sehingga kapang
memperoleh supply udara dari luar, karena kapang tempe membutuhkan banyak oksigen
untuk pertumbuhannya. Perlakuan ini sesuai dengan teori menurut Sarwono (1996),
bahwa pada pembungkusan dengan plastik, plastik ditusuk-tusuk dengan kawat dengan
tujuan agar udara segar dapat masuk ke dalam tempe. Jadi perlakuan pada percobaan
sudah benar karena sesuai dengan teori.
Apabila pada percobaan fermentasi tempe ini berhasil, maka bahan pembungkus yang
paling tepat adalah pembungkus plastik yang dilubangi dan daun pisang, bukan
menggunakan petridish, karena kapang tempe membutuhkan banyak oksigen untuk
pertumbuhannya.
3. KESIMPULAN
Fermentasi merupakan proses pengolahan bahan pangan yang melibatkan kapang
atau khamir.
Laru tempe mengandung paling sedikit tiga spesies kapang, yaitu kapang Rhizopus
oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer atau kapang Rhizopus
Chlamydosporus.
Fermentasi tempe melibatkan faktor : yaitu bahan baku yang diurai (kedelai),
mikroorganisme (kapang tempe), dan keadaan lingkungan tumbuh (suhu, pH,
kelembaban).
Ciri tempe yang segar dan bagus adalah tempe yang tampak padat, apabila dipegang
terasa kenyal atau agak keras dan warnanya putih bersih.
Starter tempe yang dipilih harus benar-benar baik, karena menentukan jalannya
proses fermentasi.
Adanya aerasi udara yang berlebihan pada tempe sehingga menyebabkan bagian-
bagian hitam pada salah satu tempe.
Tempe terkontaminasi dengan bakteri Bacillus yang tahan terhadap pemanasan,
sehingga berasa tidak enak saat dimakan.
Pada pembungkusan dengan plastik, plastik ditusuk-tusuk dengan kawat dengan
tujuan agar udara segar dapat masuk ke dalam tempe.
Bahan pembungkus yang paling tepat adalah plastik yang dilubangi dan daun
pisang, karena kapang tempe membutuhkan banyak oksigen untuk pertumbuhannya.
4. DAFTAR PUSTAKA
Astawan, M & Mita, W. A. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akademika Pressindo. Bogor.
Iskandar, H. M. (1995). Teori Pengolahan Makanan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Moehyi, S. (1992). Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Bharata. Jakarta.
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Arcan. Jakarta.
Sarwono, B. (1996). Membuat tempe dan Oncom. Swadaya. Jakarta.
Winarno, F. G. (1993). Pangan Gizi, Teknologi, dan Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Winarno, F. G. ; Srikandi, F. & Dedi, F. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia. Jakarta.