css rhinosinusitis

69
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rhinosinusitis (RS) adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasalis yang terjadi akibat perluasan atau penyebaran suatu rhinitis. Rhinosinusitis juga merupakan permasalahan kesahatan yang penting karena dapat mengganggu kualitas hidup, penurunan produktivitas, maupun keuangan. Istilah RS akhir-akhir ini sering digunakan untuk mengganti istilah sinusitis karena jarang peradangan mukossa sinus yang berdiri sendiri. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Arivalagan dkk di RSUP Haji Adam Malik tahun 2013 insidensi RS sering terjadi pada rentang usia 31-45 tahun, lebih sering terjadi pada perempuan yaitu sekitar 54,2%. Rhinosinusitis dapat pula terjadi pada anak-anak, menurut Analysis of US National Health satu dari tujuh anak mengalami RS. Rhinosinusitis lebih dari 75% disebabkan oleh alergi dan ketidakseimbangan pada sistim saraf otonom yang menimbulkan perubahan pada muosa sinus. Rhinosinusitis telah terbukti berkaitan dengan asma dan ekzema atopik, suatu penelitian dari sekelompok mahasiswa dengan RS alergika bahwa 17 hingga 19 persen dari mereka juga menderita asma. Reaksi alergi dianggap

Upload: winda

Post on 15-Dec-2015

241 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

css rhinosinusitis

TRANSCRIPT

Page 1: Css Rhinosinusitis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rhinosinusitis (RS) adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasalis

yang terjadi akibat perluasan atau penyebaran suatu rhinitis. Rhinosinusitis juga

merupakan permasalahan kesahatan yang penting karena dapat mengganggu

kualitas hidup, penurunan produktivitas, maupun keuangan. Istilah RS akhir-akhir

ini sering digunakan untuk mengganti istilah sinusitis karena jarang peradangan

mukossa sinus yang berdiri sendiri.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Arivalagan dkk di RSUP Haji

Adam Malik tahun 2013 insidensi RS sering terjadi pada rentang usia 31-45

tahun, lebih sering terjadi pada perempuan yaitu sekitar 54,2%. Rhinosinusitis

dapat pula terjadi pada anak-anak, menurut Analysis of US National Health satu

dari tujuh anak mengalami RS. Rhinosinusitis lebih dari 75% disebabkan oleh

alergi dan ketidakseimbangan pada sistim saraf otonom yang menimbulkan

perubahan pada muosa sinus. Rhinosinusitis telah terbukti berkaitan dengan asma

dan ekzema atopik, suatu penelitian dari sekelompok mahasiswa dengan RS

alergika bahwa 17 hingga 19 persen dari mereka juga menderita asma. Reaksi

alergi dianggap diperantarai oleh immunoglobulin, yang berkaitan dengan

mekanisme Rs alergika.

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan RS antara lain ISPA akibat

virus, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti

deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM),

infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan immunologik, diskinesia silia seperti pada

sindroma Kartagener.

Page 2: Css Rhinosinusitis

BAB II

ANATOMI

2.1. Hidung

2.1.1. Anatomi Hidung

Hidung terdiri dari dua bagian, yaitu:

Hidung luar dan hidung dalam, hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang

dan tulang rawan, sedangkan hidung bagian dalam dimulai dari os

internum di bagian anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan

rongga hidung dengan nasofaring.

a. Tulang

Kedua os nasale, processus frontalis maxillae, pars nasalis ossis

frontalis.

b. Tulang rawan

2 cartilagines nasi laterales, 2 cartilagines alares, 1 cartilagines septi

nasi.

Pada permukaan inferior terdapat 2 lubang yaitu nares anterior yang

terpisah satu dari yang lain oleh septum nasi.

1. Septum nasi

Sebagian berupa tulang dan sebagian lagi berupa tulang rawan.

Page 3: Css Rhinosinusitis

Membagi cavitas nasi menjadi 2 rongga kanan dan kiri.

Terdiri dari:

a. Lamina perpendicularis ossis ethmoidalis membentuk bagian

atas septum nasi.

b. Vomer membentuk bagian posteroinferior septum nasi.

c. Cartilago septi nasi

Gambar 2.1. Anatomi tulang hidung

2. Cavitas nasi

Dapat dimasuki lewat nares anterior berhubungan dengan nasofaring

melalui kedua choana.

Dilapisi oleh membrane mukosa kecuali vestibulum nasi dilapisi oleh

kulit.

- 2/3 inferior membrane mukosa area respiratori

- 1/3 superior membrane mukosa area olfactory.

Batas-batas

- Atap dibedakan 3 bagian frontonasal, ethmoidal, sphenoidal.

- Dasar processus palatines maxillae dan lamina horizontal ossis

palatine.

- Dinding medial septum nasi.

Page 4: Css Rhinosinusitis

- Dinding lateral concha nasalis.

3. Concha nasalis

Dibagi menjadi concha nasalis superior, media, dan inferior.

Membagi cavitas nasi menjadi 3 lorong, yaitu:

a. Meatus nasalis superior

- Sebuah lorong sempit antara concha nasalis superior dan

media.

- Tempat bermuaranya sinus ethmoidalis superior melalui 1 atau

lebih lubang.

b. Meatus nasalis media

- Bagian anterosuperior berhubungan dengan infundibulum

(jalan penghantar ke sinus frontalis) melalui duktus

frontonasalis.

- Sinus maxillaries juga bermuara ke meatus ini.

c. Meatus nasalis inferior

- Sebuah lorong horizontal yang terletak inferolateral terhadap

concha nasalis inferior.

- Ductus nasolacrimalis bermuara di bagian anterior meatus ini.

Page 5: Css Rhinosinusitis

Gambar 2.2 Hidung bagian dalam.

4. Vaskularisasi dan Persarafan

a. Perdarahan dinding medial dan lateral cavitas nasi terjadi melalui:

- Cabang arteri sphenopalatina, arteri ethmoidalis anterior, arteri

palatine major, arteri labialis superior (area Kiesslbach), arteri

ethmoidalis posterior, rami lateralis arterial facialis.

- Plexus venosus menyalurkan darah kembali ke vena

sphenopalatina, vena facialis, vena ophthalmica.

Gambar 2.3. Pembuluh darah hidung

b. Persarafan

- 2/3 inferior membrane mukosa nerve nasopalatinus cabang

maxillary.

- Bagian anterior nerve ethmoidalis anterior cabang nerve

nasociliaris yang merupakan cabang ophthalmica.

- Dinding lateral cavitas nasi melalui rami nasals nervi maxillary,

nerve palatines major, nerve ethmoidalis anterior.

Page 6: Css Rhinosinusitis

Gambar 2.3. Persarafan hidung

2.1.2. Fisiologi Hidung

Hidung memiliki beberapa fungsi yaitu

1. Sebagai jalan napas.

2. Pengatur kondisi udara dengan mengatur kelembaban udara (dilakukan

oleh palut lendir) dan mengatur suhu.

3. Sebagai penyaring dan pelindung rambut, silia, dan palut lender.

4. Indra penghidu.

5. Resonansi suara.

6. Proses bicara pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut

tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.

7. Refleks nasal bersin.

Page 7: Css Rhinosinusitis

2.2 Sinus Paranasal

2.2.1 Anatomi

Sinus Paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit

dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada setiap individu. Sinus

Paranasal adalah perluasan bagain respiratorius cavitas nasi yang berisi udara,

kedalam ossacranii berikut: os frontale, os ethmoidale, os spenoidale, dan maxilla.

Nama sinus-sinus ini adalah sesuai dengan nama tulang-tulang yang ditempatinya.

1. Sinus Frontalis

Terletak anatara tabula eksterna dan tabula interna ossis frontalis,

dibelakang arcus superciliaris dan akar hidung. Masing-masing sinus

berhubungan melalui ductus frontonasalis dengan infundibulum yang

bermuara di meatus nasalis medius. Sinus frontalis dipersarafi oleh cabang

kedua nervus supra-orbitalis.

2. Sinus Ethmoidalis

Terdiri dari beberapa rongga yang kecil, cellulae ethmoidales, di dalam

massa lateral os ethmoidale, antara cavitas nasi dan orbita. Cellulae

ethmoidales anterior dapat berhubungan secara tidak langsung dengan

meatus nasalis medius melalui infundibulum.sinus etmoidalis dipersarafi

oleh nervus ethmoidalis anterior dan nervus ethmoidalis posterior cabang

nervus nasociliaris.

3. Sinus Sphenoidalis

Yang terpisah oleh sebuah sekat tulang, terletak didalam corpus ossis

sphenoidalis dan dapat meluas kedalam ala major dan ala minor ossis

sphenoidalis. Sinus spenoidalis terpisah dari beberapa struktur penting

hanya oleh lembaran-lembaran tulang yang tipis. Nervus ethmoidalis

posterior dan arteria ethmoidalis posterior mengurus persarafan dan

pendarahan sinus sphenoidalis.

4. Sinus Maxilaris

Merupakan sinus yang terbesar dari semua sinus paranasales. Rongga-

rongga ini berbentuk seperti limas,menempati seluruh badan

masing0masing maksila. Puncak sinus maksilaris menjulang ke arah os

Page 8: Css Rhinosinusitis

zygomaticum, alas limas membentuk bagian inferior dinding lateral

cavitas nasi. Atap sinus dibentuk oleh dasar orbita, dan dasarnya yang

sempit, dibentuk oleh bagian alveolar maxilla.

Gambar 2.4. Sinus paranasal

Muara sinus, yaitu:

1. Sinus grup anterior bermuara ke meatus media:

- Sinus maksilaris

- Sinus frontalis

- Sinus ethmoidalis anterior

2. Sinus grup posterior bermuara ke meatus superior:

- Sinus ethmoidalis posterior

- Sinus sphenoidalis

3. Canalis nasolacrimalis bermuara ke meatus inferior

Page 9: Css Rhinosinusitis

Gambar 2.5 Sinus Paranasalis & meatus

2.2.2 Fisiologi Paranasal Sinus

1. Sebagai pengatur kondisi udara sebagi ruang tambahan untuk

memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi.

2. Sebagai penahan suhu penahan panas, melindungi orbita dan fossa

serebri dari suhu rongga hidung yang beruba-ubah.

3. Membantu keseimbangan kepala mengurangi berat tulang muka.

4. Membantu resonansi suara mempengaruhi kualitas suara.

5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara pada waktu bersin atau

membuang ingus.

6. Membantu produksi mucus efektif untuk membersihkan partikel yang

turut masuk dengan udara inspirasi.

Page 10: Css Rhinosinusitis

BAB III

RHINITIS

3.1. Rinitis Alergik

3.1.1. Definisi

Rhinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi

alergi pada pasien atopik yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen

yang sama serta terjadi pelepasan mediator kimia ketika paparan ulangan dengan

allergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986)

Rinitis alergi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on

Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,

rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang

diperantarai oleh IgE.

3.1.2. Epidemiologi

Terdapat 10-25 % populasi dengan prevalensi yang semakin meningkat

sehingga berdampak pada kehidupan sosial, kenerja di sekolah serta produktivitas

kerja. Diperkirakan biaya yang dihabiskan baik secara langsung maupun tidak

langsung akibat rinitis alergi ini sekitar 5,3 miliar dolar Amerika pertahun.

Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 40 juta orang menderita rinitis

alergi atau sekitar 20% dari populasi. Secara akumulatif prevalensi rinitis alergi

sekitar 15% pada laki-laki dan 14% pada wanita, bervariasi pada tiap negara. Ini

mungkin diakibatkan karena perbedaan geografik, tipe dan potensi alergen.

Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras, prevalensinya berbeda-beda

tergantung perbedaan genetik, faktor geografi, lingkungan serta jumlah populasi.

Dalam hubungannya dengan jenis kelamin, jika rinitis alergi terjadi pada masa

kanak-kanak maka laki-laki lebih tinggi daripada wanita namun pada masa

dewasa prevalensinya sama antara laki-laki dan wanita. Dilihat dari segi onset

rinitis alergi umumnya terjadi pada masa kanak-kanak, remaja dan dewasa muda.

Dilaporkan bahwa rinitis alergi 40% terjadi pada masa kanak-kanak. Pada laki-

Page 11: Css Rhinosinusitis

laki terjadi antara onset 8-11 tahun, namun demikian rinitis alergi dapat terjadi

pada semua umur.

3.1.3. Etiologi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi

genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat

berperan pada ekspresi rinitis alergi.

Alergen yang menyebabkan rhinitis alergi musiman biasanya berupa

serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) : debu tungau,

Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang

peliharaan, kecoa dan binatang pengerat.

Berdasarkan masuknya alergen dibagi atas:

1. Alergen inhalan: masuk bersamaan dengan udara pernapasan.

Contoh: tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis),

kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan

(Bermuda grass), jamur (Aspergillus, Altermaria).

2. Alergen ingestan: masuk melalui saluran cerna melalui makanan.

Contoh: susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, kacang.

3. Alergen injektan: masuk melalui suntikan atau tusukan.

Contoh: penisilin dan sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan: masuk melalui kontak kulit/jaringan mukosa.

Contoh: bahan kosmtik, perhiasan.

3.1.4. Klasifkasi

Berdasarkan sifat berlangsungnya, rinitis alergi dibedakan dalam 2

macam, yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).

Gejala klinik: hidung (rinore) dan mata (mata merah, gatal disertai

lakrimasi).

Biasanya terdapat di negara yang memiliki 4 musim.

Alergen: tepungsari (pollen) dan spora jamur.

Page 12: Css Rhinosinusitis

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).

Gejala timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim.

Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative

ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu:

1. Intermitten (kadang-kadang): gejala < 4 hari/minggu atau < 4 minggu

2. Persisten/menetap: gejala > 4 hari/minggu atau > 4 minggu.

Berdasarkan tingkat berat-ringan penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan: bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yg mengganggu.

2. Sedang-berat: bila terdapat 1 atau lebih dari gangguan tsb di atas.

3.1.5. Patofisiologi

Terdapat 3 fase yang terjadi pada proses alergi. Fase sensitisasi, fase

aktivasi dan fase efektor. Pada fase sensitisasi, awal terjadinya reaksi alergi

dimulai dengan respon pengenalan alergen/antigen oleh sel darah putih yang

dinamai sel makrofag, monosit dan atau sel dendrit. Sel-sel tersebut berperan

sebagai sel penyaji (antigen presenting cell/sel APC), dan berada di mukosa

saluran pernafasan. Antigen yang menempel pada permukaan mukosa tersebut

ditangkap oleh sel-sel APC, kemudian dari antigen terbentuk fragmen peptida

imunogenik. Fragmen pendek peptida ini bergabung dengan MHC-II yang berada

pada permukaan sel APC. Komplek peptida-MHC-II ini akan dipresentasikan ke

limfosit T yang diberi nama Helper-T cells (TH0). Apabila sel TH0 memiliki

reseptor spesifik terhadap molekul komplek peptida-MHC-II tersebut, maka akan

terjadi penggabungan kedua molekul tesebut.

Sel APC akan melepas sitokin yang salah satunya adalah IL-1. IL-1 akan

mengaktivasi TH0 menjadi TH1 dan TH2. Sel TH2 melepas sitokin antara lain IL-3,IL-

4, IL-5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13 akan ditangkap resptornya pada permukaan

limfosit-B, akibatnya akan terjadi aktivasi limfosit-B. Limfosit-B aktif ini

Page 13: Css Rhinosinusitis

memproduksi IgE. Molekul IgE beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki

jaringan dan ditangkap oleh reseptor IgE pada permukaan sel mast melalui FcεR.

Pada fase aktivasi, terjadi ikatan silang antara dua atau lebih IgE melalui

FcεR yang mengakibatkan aktivasi sel mast dan basofil. Maka akan terjadi

degranulasi sel mast dengan akibat terlepasnya mediator alergis. Mediator yang

terlepas terutama histamin. Histamin menyebabkan kelenjar mukosa dan goblet

mengalami hipersekresi, sehingga hidung beringus. Histamin juga merangsang

nervus vidianus sehingga terjadi gatal hidung dan bersin-bersin. Histamin juga

menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga

mengakibatkan pembengkakan mukosa dan terjadi gejala sumbatan hidung.

Fase efektor terdiri dari reaksi fase akut cepat dan reaksi fase akut lambat.

Reaksi alergi yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan reaksi alergi

fase cepat (RAFC), yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan

alergen dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang RAFC sel mast

juga melepas molekul-molekul kemotaktik yang terdiri dari ECFA (eosinophil

chemotactic factor of anaphylatic) dan NCEA (neutrophil chemotactic factor of

anaphylatic). Kedua molekul tersebut menyebabkan penumpukkan sel eosinofil

dan neutrofil di organ sasaran.

Reaksi alergi fase cepat ini dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase

lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian. Tanda khas RAFL adalah

terlihatnya pertambahan jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yang berakumulasi di

jaringan sasaran dengan puncak akumulasi antara 4-8 jam. Sel yang paling

konstan bertambah banyak jumlahnya dalam mukosa hidung dan menunjukkan

korelasi dengan tingkat beratnya gejala pasca paparan adalah eosinofil.

3.1.6. Diagnosis

Bagian ini terutama membahas alergi dalam kaitannya dengan jaringan

hidung dan sinus paranasalis. Respon alergi biasanya ditandai oleh bersin,

kongesti hidung, dan renore yang encer dan banyak. Tidak ada demam dan sekret

biasanya tidak mengental ataupun menjadi purulen seperti yang terjadi pada

rhinitis infeksiosa. Awitan gejala timbul cepat setelah paparan alergen, dapat

Page 14: Css Rhinosinusitis

berupa mata atau palatum yang gatal berair. Biasanya dapat terungkap suatu pola

musiman atau kaitan dengan bulu binatang, debu, asap, atau inhalan lain. Gejala

penyerta seperti mual, bersendawa, kembung, diare, somnolen atau insomnia

dapat juga memberi kesan suatu alergen yang ditelan, serta membedakan pasien-

pasien ini dari penderita rhinitis virus. Perbedaan penting lainnya adalah rhinitis

alergika umumnya berlangsung lebih lama dari rhinitis virus. Pada pasien dengan

diatesis alergika, sering kali terdapat alergi atau asma dalam keluarga. Seperti

pada rinitis virus, maka sinusitis bakterialis akut juga dapat timbul sekunder

akibat sumbatan ostia dan pengumpulan sekret.

Diagnosis alergi hidung harus ditegakkan dengan pemeriksaan sistematik

termasuk anamnesis yang teliti serta sebagian atau semua hal-hal berikut ini :

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting karena hampir 50% diagnosis dapat

ditegakkan dari anamnesis saja dan sering kali serangan tidak terjadi dari

hasil pemeriksaan fisik.

Anamnesis dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit alergi

dalam keluarga. Pasien juga perlu ditanya mengenai gangguan alergi selain

yang menyerang hidung seperti asma, ekzema, urtikaria atau sensitivitas

obat. Saat-saat dimana gejala sering timbul dapat membantu menentukan

alergi musiman. Juga perlu mengaitkan awitan gejala dengan perubahan

lingkungan ditempat kerja atau di rumah. Sangat penting untuk

mengetahui riwayat pengobatan sebelumnya dan riwayat alergi makanan.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Wajah

- Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan

dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung.

- Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang

melalui setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan

menggosok hidung keatas dengan tangan.

b. Hidung

Page 15: Css Rhinosinusitis

- Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna

pucat atau livid disertai adanya banyak sekret yang encer, konka

tampak membengkak.

- Jika terdapat infeksi penyerta, sekret dapat bervariasi mulai dari

encer dan mukoid hingga kental dan purulent. Dan pada saat yang

sama mukosa menjadi merah dan meradang, terbendung atau

bahkan kering sama sekali.

- Tentukan karakteristik dan kuantitas mukus hidung. Pada rinitis

alergi mukus encer dan tipis. Jika kental dan purulen biasanya

berhubungan dengan sinusitis. Namun, mukus yang kental,

purulen dan berwarna dapat timbul pada rinitis alergi.

- Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi atau perforasi

septum yang dapat disebabkan oleh rinitis alergi kronis, penyakit

granulomatus.

- Periksa rongga hidung untuk melihat adanya massa seperti polip

dan tumor. Polip berupa massa yang berwarna abu-abu dengan

tangkai. Dengan dekongestant topikal polip tidak akan menyusut.

Sedangkan mukosa hidung akan menyusut.

c. Telinga, mata dan orofaring

- Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani, air-

fluid level, atau bubbles. Kelainan mobilitas dari membran timpani

dapat dilihat dengan menggunakan otoskopi pneumatik. Kelaianan

tersebut dapat terjadi pada rinitis alergi yang disertai dengan

disfungsi tuba eustachius dan otitis media sekunder.

- Pada pemeriksaan mata Akan ditemukan injeksi dan

pembengkakkan konjungtiva palpebral yang disertai dengan

produksi air mata.

d. Leher. Perhatikan adanya limfadenopati

e. Paru-paru. Perhatikan adanya tanda-tanda asma

f. Kulit. Kemungkinaan adanya dermatitis atopi

3. Pemeriksaan Sitologi Hidung

Page 16: Css Rhinosinusitis

Pemeriksaan laboratorium (in–vitro), pemeriksaan sitologi hidung,

walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai

pemeriksaan penyaring atau pelengkap terhadap pemeriksaan lain.

Ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan

alergi inhalen. Jika basofil mungkin disebabkan alergi makanan,

sedangkan jika ditemukan PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

4. Hitung eosinofil dalam darah tepi

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat meningkat atau normal.

Begitu juga dengan pemeriksaan IgE total (Prist-paper radio

immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal. Kecuali bila

tanda alergi pada pasien lebih dari satu penyakit, misalnya selain rinitis

alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini

berguna untuk predileksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil

dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna

adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent

test) atau ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay test)

5. Uji kulit

Alergen penyebab dapat juga dicari secara invivo dengan uji kulit.

Ada beberapa cara, yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau

berseri (skin end-point titration/SET), uji cukit (Prick Test), dan uji gores

(Scratch Test). Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua uji kulit (uji cukit

dan uji gores) sama. SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan

menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat

kepekaannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab, juga derajat

alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi

makanan, uji kulit seperti tersebut di atas kurang dapat diandalkan.

Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi

(“challenge test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam

waktu lima hari. Karena itu pada “challenge test”, makanan yang dicurigai

diberikan pada penderita setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya

diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali

Page 17: Css Rhinosinusitis

dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang

dengan meniadakan suatu jenis makanan. Uji kulit untuk alergi makanan

yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah provocative neutralization

test atau intra cutaneus provocative food test. (IPFT). Dengan lengkapnya

pemeriksaan ini, selain jenis alergen penyebab, juga dapat diketahui

besarnya konsentrasi alergen yang dapat menetralkan reaksi akibat alergen

tersebut.

6. Tes penunjang lainnya

Yang lebih bermakna namun tidak selalu dikerjakan adalah tes IgE

spesifik dengan RAST (Radio Immunosorbent test) atau ELISA (Enzyme

linked immuno assay). IgE total > 200 IgE RAST untuk alergen –alergen

dengan tingkat skor 1+ s/d 4+.

3.1.7. Penatalaksanaan Penatalaksanaan

Menurut ARIA penatalaksanaan rinitis alergi meliputi :

a. Penghindaran alergen.

Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan

untuk mencegah kontak antara alergen dengan IgE spesifik dapat dihindari

sehingga degranulasi sel mast tidak berlangsung dan gejalapun dapat

dihindari. Namun, dalam praktiknya sangat sulit mencegah kontak dengan

alergen tersebut. Masih banyak data yang diperlukan untuk mengetahui

pentingnya peranan penghindaran alergen.

b. Pengobatan medikamentosa

Cara pengobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau

menetralisasi kinerja molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel

inflamasi alergis dan atau mencegah pecahnya dinding sel dengan harapan

Page 18: Css Rhinosinusitis

gejala dapat dihilangkan. Obat-obat yang digunakan untuk rinitis pada

umumnya diberikan intranasal atau oral.

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang

bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan

merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini

pertama pengobatan rinitis alergi. Antihistamin diabsorbsi secara oral

dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons

fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi

obstruksi hidung pada fase lambat.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai

sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi denfgan

antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topiukal hanya boleh

untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis alergi

medikamentosa.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat

respons fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid

topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mast pada mukosa hidung,

mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi

aktifitas limfosit.

Preparat antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore,

karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.

Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi di masa yang akan datang

adalah anti leukotrien, anti IgE, DNA rekombinan.

Obat-obat tidak memiliki efek jangka panjang setelah dihentikan.

Karenanya pada penyakit yang persisten, diperlukan terapi pemeliharaan.

Tabel 3.1. Efek terapi terhadap gejala-gejala rinitis

Bersin Rinorea Sumbatan hidung

Gatal hidung

Keluhan mata

H1-antihistamin- oral- intranasal- intaokular

++++0

++++0

++0

+++++0

++0+++

Kortikosteroid

Page 19: Css Rhinosinusitis

- intranasal ++++ +++ +++ ++ ++Kromolin-Intranasal-Intraokular

+0

+0

+0

+0

0++

Dekongestan- Intranasal- Oral

00

00

+++++

00

00

Antikolinergik 0 ++ 0 0 0Anti-leukotrin 0 + ++ 0 ++

c. Imunoterapi spesifik

Imunoterapi spesifik efektif 80-90% jika diberikan secara optimal.

Imunoterapi subkutan masih menimbulkan pertentangan dalam efektifitas

dan keamanan. Oleh karena itu, dianjurkan penggunaan dosis optimal

vaksin yang diberi label dalam unit biologis atau dalam ukuran masa dari

alergen utama. Dosis optimal untuk sebagian besar alergen utama adalah 5

sampai 20 g. Imunoterapi subkutan harus dilakukan oleh tenaga terlatih

dan penderita harus dipantau selama 20 menit setelah pemberian subkutan.

Indikasi imunoterapi spesifik subkutan

- Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi

konvensional

- Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan

antihistamin H1 dan farmakoterapi

- Penderita yang tidak menginginkan farmakoterapi

- Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping

yang tidak diinginkan

- Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka

panjang.

Imunoterapi spesifik nasal dan sublingual dosis tinggi-imunoterapi

spesifik oral

- Dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali

lebih besar dari pada yang digunakan untuk imunoterapi subkutan.

- Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak

imunoterapi subkutan

Page 20: Css Rhinosinusitis

- Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subsukatan

Pada anak-anak, imunoterapi spesifik adalah efektif. Namun tidak

direkomendasikan untuk melakukan imunoterapi pada anak dibawah umur

5 tahun.

d. Imunoterapi non-spesifik

Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir

sama seperti pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu

sama-sama mampu menekan reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek

biomolekuler terdapat mekanisme yang sangat berbeda.

Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang

berada di dalam sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan

mempengaruhi DNA sehingga tidak membentuk mRNA. Akibat

selanjutnya menghambat produksi sitokin pro-inflammatory.

e. Edukasi

Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui

berkhasiat dalam menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya

terajadi pada peningkatan populasi limfosit TH yang berguna pada

penghambatan reaksi alergis, serta melalui mekanisme

imunopsikoneurologis.

f. Operatif

Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada

beberapa penderita yang sangat selektif. Seperti tindakan konkotomi

(pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi

berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai

AgNO3 25 % atau triklor asetat.

3.1.8. Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :

1. Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah

satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip

hidung. Polip hidung biasanya tumbuh di meatus medius dan merupakan

Page 21: Css Rhinosinusitis

manifestasi utama akibat proses inflamasi kronis yang menimbulkan

sumbatan sekitar ostia sinus di meatus medius. Polip memiliki tanda

patognomonis : inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi

yang luar biasa banyaknya (lebih-lebih eosinofil dan limfosit T CD4+),

hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.

Ditemukan juga mRNA untuk GM-CSF, TNF-alfa, IL-4 dan IL-5 yang

berperan meningkatkan reaksi alergis.

2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak

3. Sinusitis paranasal

Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi

akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema

mukosa ostia menyebabkan sumbatan ostia. Penyumbatan tersebut akan

menyebabkan penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan oksigenasi

dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan

pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob. Selain dari itu, proses

alergi akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat

dekstruksi mukosa oleh mediator-mediator protein basa yang dilepas sel

eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.

Pengobatan komplikasi rinits alergi harus ditujukan untuk menghilangkan

obstruksi ostia sinus dan tuba eustachius, serta menetralisasi atau menghentikan

reaksi humoral maupun seluler yang terjadi lebih meningkat. Untuk tujuan ini

maka pengobatab rasionalnya adalah pemberian antihistamin, dekongestan,

antiinflamasi, antibiotia adekuat, imunoterapi dan bila perlu operatif.

3.2. Rinitis Non-Alergika

3.2.1. Rhinitis Vasomotor

Gangguan vasomotor hidung adalah didapatkannya gangguan fisiologik

lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas

parasimpatis.

Page 22: Css Rhinosinusitis

Etiologi belum diketahui secara pasti, namun diduga sebagai akibat

gangguan keseimbangan fungsi vasomotor. Saraf otonom mukosa hidung berasal

dari nerve vidianus yang mengandung serat saraf simpatis dan parasimpatis

menyebabkan dilatasi pembuluh darah dalam konka serta meningkatkan

permeabilitas kapiler dan sekresi kelenjar. Sedangkan rangsangan pada serat saraf

simpatis menyebabkan efek sebaliknya.

Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang

berlangsung kontemporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara,

perubahan suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal

faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut. Pada

pasien rhinitis vasomotor, mekanisme pengaturan ini hiperaktif dan cenderung

saraf parasimpatis lebih aktif.

Faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor adalah :

a. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis seperti

ergotamine, clorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokontrktor

topical.

b. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban

udara yang tinggi dan bau yang merangsang dan makanan yang pedas dan

panas.

c. Faktor endokrin, seperti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti

hamil dan hipotiroidisme.

d. Faktor psikis, seperti cemas, tegang.

3.2.1.1 Manifestasi Klinis

Hidung tersumbat tergantung posisi pasien (bergantian kiri dan kanan),

rinore yang mucus/serus, jarang disertai bersin dan gatal pada mata, gejala

memburuk pada pagi hari atau baru bangun tidur(perubahan suhu, udara lembab,

asap rokok dan sebagainya). Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan

dibedakan mejadi dua golongan, yaitu golongan obstruksi dan golongan rinore.

Prognosis golongan obstruksi lebih baik daripada rinore.

Page 23: Css Rhinosinusitis

3.2.1.2 Diagnosis

1. Anamnesis dicari factor yang memepengaruhi keseimbangan

vasomotor, dan disingkirkan kemungkinan rhinitis alergi

2. Rhinoskopi anterior gambaran klasik berupa mukosa hidung edema,

konka merah gelap tetapi dapat juga pucat, permukaan konka licin atau

berbenjol, sekret mukoid biasanya sedikit. Namun pada golongan rinore,

secret yang ditemukan secret serosa yang banyak jumlahnya.

3. Laboratorum dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rhinitis

alergi. Kadang ditemukan juga eosinofil pada secret hidung akan tetapi

dalam jumlah sedikit.

4. Tes Kulit biasanya negatif

3.2.1.3 Penatalaksanaan

1. Menghindari penyebab

2. Pengobatan simtomatis

a. dekongestan oral

b. kauterisasi konka yang hipertrofi dengan memakai AgNO3 25% atau

triklor asetat,

c. kortikosteroid topikal seperti budesonide 2x1 dengan dosis 100-200

mikrogram sehari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 400 mikrogram

sehari. Hasilnya akan terlihat setelah pemakaian paling sedikit 2

minggu. Saat ini terdapat kortikosteroid topical baru dalam larutan

aqua seperti flutikason proprionat dengan pemakaian cukup satu kali

sehari dengan dosis 200 mcg.

3. Operasi

Dengan bedah beku, elektrokauterisasi dan konkotomi konka inferior

4. Neurektomi n. Vidianus.

Melakukan pemotongan pada nerve vidianus, bila dengan cara diatas tidak

memberikan hasil. Operasi ini tidaklah mudah, dapat menimbulkan

komplikasi seperti sinusitis, diploplia, buta, gangguan lakrimasi, neuralgia,

anestesis infraorbital dan anestesis palatum.

Page 24: Css Rhinosinusitis

3.2.2. Rhinitis Medikamentosa

3.2.2.1 Definisi

Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan

respon normal vasomotor, sebagai akibat pemakaian vasokonstriktor topikal (obat

tetes hidung atau obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan,

sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.

3.2.2.2 Etiologi

Hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse).

3.2.2.3 Patofisiologi

Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan

(iritant), sehingga harus berhati-hati memakai vasokonstriktor topikal. Obat

vasokonstriktor topikal dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus

nasal terganggu dan akan berfungsi kembali apabila pemakaian obat itu

dihentikan. Pemakaian vasokonstriktor topikal yang berulang dan dalam waktu

lama akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation)

setelah vasokonstriksi, sehingga timbul obstruksi. Dengan adanya gejala

obstruksi hidung ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi

memakai obat tersebut, sehingga efek vasokonstriksi berkurang, pH hidung

berubah, dan aktivitas silia terganggu, sedangkan efek balik akan menyebabkan

obstruksi hidung lebih hebat dari keluhan sebelumnya. Bila pemakaian obat

diteruskan, maka akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan. Kemudian terjadi

pertambahan mukosa jaringan dan rangsangan sel-sel mukoid, sehingga sumbatan

akan menetap dengan produksi sekret yang berlebihan.

Oleh karena itu, obat vasokonstriktor topikal sebaiknya yang isotonik

dengan sekret hidung yang normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5 serta

pemakaiannya tidak lebih dari satu minggu.

Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes

hidung dalam waktu lama, ialah:

1. silia rusak,

Page 25: Css Rhinosinusitis

2. sel goblet berubah ukurannya,

3. membrane basal menebal,

4. pembuluh darah melebar,

5. stroma tampak edema,

6. hipersekresi kelenjar mukus, dan

7. lapisan periosteum menebal.

3.2.2.4 Gejala dan Tanda

Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus-menerus dan berair. Pada

pemeriksaan tampak edema konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Apabila

diuji dengan adrenalin, edema konka tidak berkurang.

3.2.2.5 Terapi

1. Hentikan pemakaian obat tetes atau obat semprot hidung.

2. Untuk mengatasi sumbatan berulang (rebound congestion) beri

kortikosteroid secara penurunan bertahap (tapering off) dengan

menurunkan dosis sebanyak 5 mg setiap hari, (misalnya hari ke-1 = 40 mg,

hari ke-2 = 35 mg, dan seterusnya).

3. Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin).

Apabila dengan cara ini tidak ada perbaikan setelah 3 minggu, pasien

dirujuk ke dokter THT.

3.2.3. Rinitis Hipertrofi

3.2.3.1 Etiologi

Rinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dari rhinitis alergi

dan vasomotor.

3.2.3.2 Gejala dan Tanda

Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak,

mukopurulen, dan sering ada keluhan nyeri kepala.

Page 26: Css Rhinosinusitis

Pada pemeriksaan akan ditemukan konka hipertrofi, terutama konka

inferior. Permukaannya berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang hipertrofi.

Akibatnya saluran udara sangat sempit. Sekret mukopurulen yang banyak

biasanya ditemukan diantara konka inferior dan septum , dan juga di dasar rongga

hidung.

3.2.3.4 Terapi

Harus dicari faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya tinitis hipertrofi

dan kemudian memberikan pengobatan yang sesuai. Untuk mengurangi sumbatan

hidung akibat hipertrofi konka dapat dilakukan kauterisasi konka dengan zat

kimia (nitras argenti atau asam triklorasetat) atau dengan kauter listrik

(elektrokauter). Bila tidak menolong, dilakukan luksasi konka atau bila perlu

dilakukan konkotomi.

3.2.4. Rinitis Sika

3.2.4.1 Insidensi

Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang

bekerja di lingkungan yang berdebu, panas, dan kering. Juga ditemukan pada

pasien yang menderita anemia, peminum alcohol, dan gizi buruk.

3.2.4.2 Gejala dan Tanda

Pasien biasanya mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung yang

kadang-kadang disertai dengan epistaksis.

Pada rinitis sika ditemukan mukosa yang kering, terutama pada bagian

depan septum dan ujung depan konka inferior. Krusta biasanya sedikit atau tidak

ada.

3.2.4.3 Terapi

Pengobatan tergantung pada penyebabnya. Dapat diberikan pengobatan

lokal, berupa obat cuci hidung.

Page 27: Css Rhinosinusitis

3.2.5. Rinitis Spesifik

Rinitis karena infeksi spesifik, antara lain:

1. Rhinitis difteri

a. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Dapat

primer pada hidung atau sekunder dari tenggorok. Dapat akut atau

kronik.

b. Gejala

Gejala rhinitis difteri akut ialah demam, toksemia, terdapat

limfadenitis, dan mungkin ada paralisis.

Rinitis difteri kronis gejalanya lebih ringan dan akhirnya dapat sembuh

sendiri, tetapi dalam keadaan kronis masih menular.

c. Tanda

Pada hidung ada sekret yang bercampur darah, mungkin ditemukan

pseudomembran putih yang mudah berdarah, dan krusta coklat di nares

dan kavum nasi.

d. Diagnosis

Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan kuman dari sekret

hidung.

e. Terapi

Diberikan ADS (anti difteri serum), penisilin lokal dan intramuskuler.

Pasien harus diisolasi sampai pemeriksaan kuman negatif.

2. Rhinitis atrofi (ozaena)

a. Definisi

Rinitis atrofi merupakan penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai

adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis

mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering,

sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.

b. Insidensi

Page 28: Css Rhinosinusitis

Wanita lebih sering terkena, terutama usia dewasa muda. Sering

ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang

rendah dan sanitasi lingkungan yang buruk.

c. Etiologi

Banyak teori mengenai etiologi dan pathogenesis rhinitis atrofi, antara

lain:

- Infeksi oleh kuman spesifik. Yang tersering ditemukan adalah

spesies Klebsiella, terutama Klebsiella ozaena. Kuman lainnya

yang juga sering ditemukan adalah Staphilococcus, Streptococcus,

dan Pseudomonas aeruginosa.

- Defisiensi Fe

- Defisiensi vitamin A

- Sinusitis kronik

- Kelainan hormonal

- Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.

Mungkin penyakit ini terjadi karena kombinasi beberapa faktor

penyebab.

d. Gejala

Keluhan biasanya berupa napas berbau, ada ingus kental yang

berwarna hijau, ada kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit

kepala, dan hidung tersumbat.

e. Tanda

Pada pemeriksaan THT didapatkan rongga hidung sangat lapang,

konka inferior dan media hipotrofi atau atrofi, secret purulen berwarna

hijau, dan krusta berwarna hijau.

Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis

adalah pemeriksaan histopatologi yang berasal dari biopsy konka

media, pemeriksaan mikrobiologi dan ujiresistensi kuman, dan

tomografi computer (CT Scan) sinus paranasal.

f. Terapi

Page 29: Css Rhinosinusitis

Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum

ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan

menghilangkan gejala. Pengobatan yang diberikan dapat bersifat

konservatif, atau kalau tidak dapat menolong dilakukan pembedahan.

- Terapi konservatif

Diberikan antibiotika spektrum luas atau sesuai dengan uji

resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat. Lama pengobatan

bervariasi tergantung dari hilangnya tanda klinis berupa sekret

purulen kehijauan.

Untuk membantu menghilangkan bau busuk akibat hasil proses

infeksi serta sekret purulen dan krusta, dapat dipakai obat cuci

hidung. Larutan yang dapat digunakan adalah larutan garam

hipertonik. Larutan tersebut harus diencerkan dengan perbandingan

1 sendok makan larutan dicampur 9 sendok makan air hangat.

Larutan dihirup (dimasukkan) ke dalam rongga hidung dan

dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat atau yang

masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan 2 kali

sehari. Jika sukar mendapatkan larutan di atas, dapat dilakukan

pencucian rongga hidung dengan 100 cc air hangat tang dicampur

dengan 1 sendok makan (15 cc) larutan betadin atau larutan garam

dapur setengah sendok teh dicampur segelas air hangat. Dapat

diberikan vitamin A 3 kali 50.000 unit dan preparat Fe selama 2

minggu.

- Terapi operatif

Jika dengan pengobatan konservatif tidak ada perbaikan, maka

dilakukan operasi. Teknik operasi antara lain penutupan lubang

hidung atau penyempitan lubang hidung dengan implantasi atau

dengan jabir osteoperiosteal. Tindakan ini diharapkan akan

mengurangi turbulensi udara dan pengeringan secret, inflamasi

mukosa berkurang, sehingga mukosa akan kembali normal.

Penutupan rongga hidung dapat dilakukan pada nares anterior atau

Page 30: Css Rhinosinusitis

pada koana selama 2 tahun. Untuk menutup koana dipakai flap

palatum

Akhir-akhir ini bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) sering

dilakukan pada kasus rhinitis atrofi. Dengan melakukan

pengangkatan sekat-sekat tulang yang mengalami osteomyelitis,

diharapkan infeksi tereradikasi, fungsi fentilasi, dan drenase sinus

kembali normal, sehingga terjadi regenerasi mukosa.

g. Histopatologi

Tampak metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel

gepeng berlapis, silia menghilang, lapian submukosa menjadi lebih

tipis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi dan atrofi, serta jumlahnya

berkurang dan bentuknya menjadi kecil.

3. Rhinitis sifilis

a. Etiologi

Penyebab rhinitis sifilis ialah kuman Treponema pallidum.

b. Gejala

Rinitis sifilis yang primer dan sekunder gejalanya serupa dengan

rhinitis akut lainnya, hanya mungkin dapat terlihat adanya bercak pada

mukosa. Pada rhinitis sifilis tertier dapat ditemukan gumma atau ulkus,

yang terutama mengenai septum nasi dan dapat mengakibatkan

perforasi septum.

c. Tanda

Pada pemeriksaa klinis didapatkan secret mukopurulen yang berbau

dan krusta. Mungkin terlihat perforasi septum atau hidung pelana.

d. Diagnosis

Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologi dan

biopsy.

e. Terapi

Diberikan penisilin dan obat cuci hidung. Krusta harus dibersihkan

secara rutin.

4. Rhinitis tuberkulosa

Page 31: Css Rhinosinusitis

a. Definisi

Rinitis tuberkulosa merupakan infeksi tuberkulosa ekstra pulmoner.

Sering dengan peningkatan kasus tuberculosis (new emerging disease)

yang berhubungan dengan kasus HIV-AIDS, penyakit ini harus

diwaspadai keberadaannya.

b. Tanda

Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama

mengenai tulang rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi.

Pada pemeriksaan klinis terdapat secret mukopurulen dan krusta,

sehingga menimbulkan keluhan hidung tersumbat.

c. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA)

pada sekret hidung.

d. Histopatologi

Ditemukan sel datia Langerhans dan limfositosis

e. Terapi

Diberikan antituberkulosis dan obat pencuci hidung.

5. Rhinitis jamur

a. Definisi

Rinitis jamur dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan bersifat

invasif atau non-invasif. Rinitis jamur invasif dapat menyerupai

rinolith dengan inflamasi mukosa yang lebih berat. Rinolith ini

sebenarnya adalah bola jamur (fungus ball). Biasanya tidak terjadi

destruksi kartilago dan tulang.

b. Tanda

Tipe invasif ditandai dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina

propia. Jika terjadi invasif jamur pada submukosa dapat

mengakibatkan perforasi septum atau hidung pelana. Jamur sebagai

penyebab dapat dilihat dengan pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan

sediaan langsung, atau kultur jamur, misalnya Aspergillus, Candida,

Histoplasma, Fussarium, dan Mucor.

Page 32: Css Rhinosinusitis

Pada pemeriksaan hidung terlihat adanya secret mukopurulen,

mungkin terlihat ulkus atau perforasi pada septum disertai dengan

jaringan nekrotik berwarna kehitaman (black eschar).

c. Terapi

Terapi tipe non-invasif adalah mengangkat seluruh bola jamur.

Pemberian obat jamur sistemik maupun topical tidak diperlukan.

Terapi tipe invasif adalah mengeradikasi agen penyebabnya dengan

pemberian anti jamur oral dan topikal. Cuci hidung dan pembersihan

hidung secara rutin dilakukan untuk mengangkat krusta. Bagian yang

terinfeksi dapat diolesi dengan gentian violet. Untuk infeksi jamur

invasif, kadang-kadang disperlukan debridement seluruh jaringan yang

nekrotik dan tidak sehat. Kalau jaringan nekrotik sangat luas, dapat

terjadi destruksi yang memerlukan tindakan rekonstruksi.

Page 33: Css Rhinosinusitis

BAB IV

SINUSITIS

4.1 Sinusitis

4.1.1 Definisi

Suatu keadaan inflamasi yang melibatkan membran mukosa dari sinus

paranasal serta cairan yang terdapat pada sinus. Sesuai anatomi, sinus yang

terkena dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis frontal, dan sinusitis

sphenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila

mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.

Berdasarkan perjalanan penyakitnya sinusitis dibagi menjadi : sinusitis

akut (gejala < 4 minggu), sinusitis subakut (gejala 4-12 minggu), sinusitis kronik

(gejala > 12 minggu).

4.1.2. Etiologi

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,

bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil,

polip hidung kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,

Page 34: Css Rhinosinusitis

sumbatan kompleks Ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan

imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagener, dan di luar negeri

adalah fibrosis kistik.

Faktor lain yang dapat berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara

dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan

perubahan mukosa dan merusak silia.

4.1.3. Patofisiologi

Terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi patofisiologi dari penyakit

sinus, yaitu keutuhan dari ostia, fungsi silia, dan kualitas dari sekresi nasal.

Berkurangnya ukuran ostia akan menyebabkan berkurangnya kadar oksigen pada

sinus. Hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi pada sinus. Keadaan hipoksia

ini juga dapat mengganggu sistem imunitas akibat terganggunya fungsi sel PMN

dan produksi imunoglobulin serta pembersihan mukosilier. Hal yang

mempengaruhi keutuhan dari ostia antara lain nasal polyposis, deviasi septal,

edema mukosa, alergi, serta concha bullosa.

Rongga sinus tergantung pada sistem tranport mukosilier untuk

menciptakan lingkungan yang bebas bakteri. Sinus dilapisi oleh epitel kolumner

bertingkat semu. Epitel ini akan membersihkan dari mukus, bakteria serta zat-zat

asing dari area itu. Fungsi silia dapat terganggu pada keadaan hipoksia ( yang

terjadi pada obstruksi ostium). Sel bersilia dapat hilang atau rusak akibat polutan

pernafasan, trauma pembedahan dan penyakit sinus kronik.

Perubahan dari komposisi mukus dapat terjadi pada pasien dehidrasi atau

cyctic fibrosis. Produksi mukus dari sel goblet dapat meningkat akibat dari iritan

pernafasan, polutan, alergen serta udara dingin. Serta peningkatan viskositas dari

mukus. Hal ini dapat mengurangi efektivitas pembersihan silia dan menjadikan

media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.

Organ-organ yang membentuk Kompleks-osteomeatal (KOM), letaknya

berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu

sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi

tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi,

Page 35: Css Rhinosinusitis

mula-mula serous. Kondisi ini biasa dianggap sebagai rhinosinusitis non-bacterial

dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan

media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulent.

keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi

antibiotik.

Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi),

inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa

semakin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai

akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid, atau

pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan

operasi.

4.1.5. Klasifikasi

Klasifikasi sinusitis, yaitu :

1. Sinusitis akut

Bila gejala berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu.

2. Sinusitis subakut

Bila gejala berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan.

3. Sinusitis kronis

Bila gejala berlangsung lebih dari 3 bulan.

4.2. Sinusitis Akut

4.2.1. Definisi

Penyakit ini dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks oatiomeatal

oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi dapat merupakan penyebaran dari

infeksi gigi, berlangsung hingga kurang dari 4 minggu.

4.2.2. Manifestasi Klinis

4.2.3.1 Gejala Subjektif

Page 36: Css Rhinosinusitis

1. Gejala Minor

a. Nyeri pada wajah

b. hidung terasa penuh

c. hidung mampet

d. nasal discharge

e. hiposmia atau anosmia

f. Demam

g. purulent in nasal cavity

2 Gejala Minor

a. Sakit kepala

b. bau mulut

c. lesu

d. nyeri gigi

e. batuk

f. nyeri telinga, terasa penuh, terasa tertekan

Diagnosis dapat ditegakkan jika:

- > 2 gejala mayor

- 1 gejala mayor dan 2 gejala minor

- 3 gejala minor

Pada sinusistis maksilaris nyeri dirasakan dibawah kelopak mata dan

kadang-kadang menyebar ke alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih

dirasakan di dahi dan di telinga depan.

Nyeri pada sinusitis ethmoid di pangkal hidung dan kantus medius.

Kadang-kadang dirasakan nyeri di bola mata atau di belakangnya dan nyeri

akan tampak bila mata digerakan. Nyeri alih dirasakan di pelipis (parietal)

Pada sinusitis frontalis rasa nyeri terlokalisir di dahi atau dirasakan

nyeri di seluruh kepala.

Rasa nyeri pada sinusitis sphenoid di vertex, oksipital, di belakang

bola mata dan di daerah mastoid.

Page 37: Css Rhinosinusitis

4.2.3.2 Gejala Objektif

1. Pemeriksaan fisik

Tampak pembengkakan di daerah muka. Pembengkakan pada sinus

maksilaris terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada sinus frontalis

tampak pembengkakan pada kelopak mata atas, pada sinus ethmoid jarang

timbul pembengkakan kecuali bila ada komplikasi

2. Pemeriksaan rinoskopi anterior

Mukosa konka hiperemis, dan edema. Pada sinusitis maksilaris, sinusitis

frontalis, sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus

medianus. Sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sphenoid nanah

tampak keluar dari meatus superior

3. Pemeriksaan rinoskopi posterior

Tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip)

4.2.4. Diagnosis

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan transiluminasi

Sinus yang sakit menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi

bermaksa bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih

suram bila dibandingkan dengan sinus yang normal.

2. Pemeriksaan radiologik

Posisi Waters, PA dan lateral Akan tampak perselubungan atau penebalan

mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus yang sakit.

3. Pemeriksaan mikrobiologik

Sebaiknya diambil secret dari meatus medius atau meatus superior. Dapat

ditemukan flora normal atau kuman patogen

a. pneumococcus,

b. streptococcus,

c. Staphylococcus,

d. haemopilus influenza

e. virus atau jamur

Page 38: Css Rhinosinusitis

4.2.5. Penatalaksanaan

1. Medikamentosa

a. Antibiotik 10-14 hari, golongan penisillin

b. Dekongestan lokal berupa tetes hidung

Untuk memperlancar drainase sinus

c. Analgetika menghentikan rasa sakit

2. Pembedahan

Jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau

intracranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan

oleh sumbatan.

4.3. Sinusitis Subakut

4.3.1. Definisi

Sinusitis yang bila gejala berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan.

4.3.2. Manifestasi Klinis

4.3.2.1 Gejala Subjektif

Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut, hanya tanda-tanda radang

akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan sudah reda)

4.3.2.2 Gejala Objektif

1. Rinoskopi Anterior

tampak sekret purulen di meatus medius atau sueorior

2. Rinoskopi Posterior

tampak sekret purulen di nasofaring

3. Pemeriksaan transiluminasi

tampak sinus yang sakit suram atau gelap

4.3.3. Penatalaksanaan

Page 39: Css Rhinosinusitis

1. Mula-mula diberikan medikamentosa

a. Berupa antibiotik spektrum luas atau yang sesuai dengan tes resistensi

kuman selama 10-14 hari

b. Obat-obat simtomatis berupa dekongestan lokal (obat tetes hidung)

untuk memperlancar drainase. Obat tetes hidung hanya boleh diberikan

untuk waktu yang terbatas (5 sampai 10 hari) karena jika terlalu lama

menyebabkan rhinitis medikamentosa

c. Analgetik, antihistamin dan mukolitik

2. Tindakan diatermi

Dengan sinar gelombang pendek (ultra short waves diathermy) sebanyak

5-6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus.

3. Pencucian sinus

Pada sinus etmoid, frontal, dan sphenoid yang letak muaranya di

bawah,dapat dilakukan dengan cara proetz displacement therapy.

a. Pungsi dan irigasi sinus maksila

Dilakukan untuk mengeluarkan sekret yang terkumpul dalam rongga

sinus maksila. Caranya ialah dengan memakai trokar yang ditusukan di

meatus inferior, diarahkan ke sudut luar mata atau tepi atas daun

telinga. Selanjutnya dilakukan irigasi sinus dengan larutan garam

fisiologis. Sekret akan keluar melaui hidung atau mulut. Pungsi dan

irigasi dapat juga dilakukan melalui fosa kanina, Pada kasus yang

meragukan, pungsi dapat digunakan sebagai tindakan ada atau

tidaknya secret di sinus maksila.

b. Antrostomi

Dibuat lubang pada meatus inferior yang menghubungkan rongga

hidung dengan antrum (sinus maksila). Lubang itu diapakai untuk

penghisapan sekret dan ventilasi sinus maksila. Ada yang berpendapat

bahwa antrostomi bermanfaat untuk drainase secret karena aliran

sekret dalam maksila akan selalu menurut gerakan silia ke arah

ostiumnya di bagian atas dinding medial sinus.

c. Tindakan Pencucian Proetz

Page 40: Css Rhinosinusitis

Pada prinsipnya membuat tekanan negatif pada rongga hidung dan

sinus paranasal untuk dapat menghisap sekret keluar. Diteteskan

larutan vasokonstriksor (HCL efedrin 0,5-1,5%) untuk membuka

ostium yang kemudian masuk ke dalam sinus. HCL efedrin akan

mengurangi edema mukosa dan tercampur dengan sekret di dalam

rongga sinus, kemudian dihisap keluar. Sementara itu, pasien harus

mengatakan “kak-kak-kak” supaya palatum mole terangkat sehingga

ruangan antara nasofaring dan orofaring tertutup. Dengan demikian

cairan tidak dapat masuk ke orofaring. Sedangkan ruang nasofaring,

hidung, serta sinus menjadi satu rongga yang bertekanan negatif pada

saat penghisapan, sehingga sekret mudah keluar. Tindakan intranasal

lain yang mungkin diperlukan untuk menghilangkan faktor

predisposisi, operasi koreksi septum bila terdapat deviasi septum,

pengangkatan polip bila terdapat polip dan konkotomi parsial atau total

bila ada hipertropi konka. Prinsipnya ialah supaya drainase secret

menjadi lancar.

4.4. Sinusitis Kronis

4.4.1. Definisi

Sinusitis yang bila gejala berlangsung lebih dari 3 bulan. Sinusitis kronis

berbeda dari sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar disembuhkan

dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor

predisposisinya.

4.4.2. Etiologi

Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan

mukosa hidung. Perubahan mukosa hidung dapat juga disebabkan oleh alergi dan

defisiensi imunologik. Perubahan mukosa hidung akan mempermudah terjadinya

infeksi menjadi kronis apabila pengobatan pada sinusitis akut tidak sempurna.

Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka, sehingga drenase sekret akan

Page 41: Css Rhinosinusitis

terganggu. Drenase secret yang terganggu dapat menyebabkan siliarusak dan

seterusnya.

Gambar 4.1. Etiologi sinusitis kronis

4.4.3. Manifestasi Klinis

4.4.3.1 Gejala Subjektif

Gejala subjektif sangat bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari:

a. gejala hidung dan nasofaring, berupa secret di hidung dan secret pasca

nasal (post nasal drip)

b. gejala faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok

c. gejala teling, yaitu pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya tuba

Eustachius

d. adanya nyari/sakir kepala

e. gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis

f. gejala saluran napas, berupa batuk dan kadang-kadang terdapat komplikasi

di paru, berupa bronchitis atau bronkiektasis atau asma bronchial,

sehingga terjadi penyakit sinobronkitis

g. gejala di saluran cerna, oleh karena mukopus yang tertelan dapat

menyebabkan gastroenteritis, sering terjadi pada anak.

polusi udara

Silia rusak

infeksi kronis

gangguan drenase

perubahan mukosa

alergi dan defisiensi

imunologik

obstruksi mekanik

pengobatan infeksi akut yang tidak sempurna

Page 42: Css Rhinosinusitis

Kadang-kadang gejala sangat ringan hanya terdapat secret di nasofaring

yang mengganggu pasien. Sekret pasca nasal yang terus-menerus akan

mengakibatkan batuk kronik.

Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari dan akan

berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan

pasti, tetapi mungkin karena malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga

hidung dan sinus serta adanya stasis vena.

4.4.3.2Gejala Objektif

1. Pemeriksaan klinis

Tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan pada

wajah.

2. Rinoskopi anterior

Sekret kental purulen dari meatus medius atau meatus superior.

3. Rinoskopi posterior

Sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.

4. Pemeriksaan mikrobiologik

Biasanya merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam

mikroba, seperti kuman aerob S. aureus, S. viridians, H. influenza, dan

kuman anaerob Peptosteptokokus dan Fusobakterium.

4.4.4. Diagnosis

1. Aanamnesis yang cermat,

2. Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior

3. Pemeriksaan penunjang berupa transiluminasi untuk sinus maksila dan

sinus frontal

4. Pemeriksaanradiologik

5. Pungsi sinus maksila

6. Sinoskopi sinus maksila

7. Pemeriksaan histopatplogik dari jaringan yang diambil pada waktu

dilakukan sinoskopi

Page 43: Css Rhinosinusitis

8. Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan

naso-endoskopi

9. Pemeriksaan CT-Scan

4.4.5. Penatalaksanaan

1. Medikamentosa

a. Antibiotika untuk mengatasi infeksi

Diberikan selama sekurang-kurangnya 2 minggu

b. Obat-obat simtomatis

2. Diatermi gelombang pendek selama 10 hari di daerah sinus yang sakit

3. Tindakan untuk memperbaiki drenase dan pembersihan secret dari sinus

yang sakit.

4. Pembedahan

Untuk sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedangkan

untuk sinusitisetmoid, frontal, atau sfenois dilakukan tindakan pencucian

Proetz. Irigasi dan pencucian sinus dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila

setelah 5 atau 6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak

secret purulen, berarti mukosa sinus sudah tidak dapat kembali normal

(perubahan irreversible), maka perlu dilakukan operasi radikal

a. Pembedahan radikal

Bila pengobatan konservatif gagal, dilakukan terapi radikal, yaitu

mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drenase dari sinus

yang terkena. Untuk sinus maksila yang dilakukan operasi Caldwell-

Luc, sedangkan yang bisa dilakukan dari dalam hidung (intranasal)

atau dari luar (ekstranasal).

Drenase secret pada sinus frontal dapat dilakukan dari dalam

hidung (intranasal) atau dengan operasi dari luar (ekstranasal), seperti

pada operasi Killian. Drenase sinus sphenoid dilakukan dari dalam

hidung (intranasal)

b. Pembedahan tidak radikal

Page 44: Css Rhinosinusitis

Akhir-akhir ini dikembangkan operasi sinus paranasal dengan

menggunakan endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskopik

Fungsional (BSEF). Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan

daerah kompleks ostio-meatal yang menjadi sumber penymbatan dan

infeksi, sehingga ventilasi melalui ostium alami. Dengan demikian

mukosa sinus akan kembali normal.

4.4.6. Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya

antibiotika. Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis

kronis dengan eksaserbasi akut. komplikasi yang dapat terjadi ialah:

a. Osteomyelitis dan abses subperiosteal

Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada

anak-anak. Pada osteomyelitis sinus maksila dapat timbul fistula

ororantral.

b. Kelainan orbita

Disebabkan oleh sinu paranasal yang berdekatandengan mata (orbita).

Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan

maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan

perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra,

slulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, selanjutnya dapat terjadi

thrombosis sinus kavernosus.

c. Kelainan paru

Seperti bronchitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus

paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu

dapatjuga timbul asma bronchial.

4.5 Sinusitis Dentogen

4.5.1 Definisi

Merupakan salah satu penyakit penyebab penting sinusitis kronik.

Page 45: Css Rhinosinusitis

Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas,

sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar

gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas

Infeksi gigi rahang atas (infeksi apical akar gigi atau inflamasi jaringan

periodontal) mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh

darah dan limfe.

Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maxilla kronik yang

mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan nafas berbau busuk

4.5.2 Tatalaksana

• Gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat

• Antibiotic yang mencakup bakteri anaerob

• Seringkali dilakukan irigasi sinus maksila

4.6 Sinusitis Jamur

4.6.1 Definisi

Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan

yang tidak jarang ditemukan.

4.6.2 Etiologi

Aspergillus dan Candida

4.6.3 Insidensi

Angka kejadiannya meningkat dengan meningkatnya pemakaian antibiotic,

kortikosteroid, obat-obat imunosupresan, dan radioterapi

4.6.4 Faktor predisposisi

• Diabetes mellitus

• Neutropenia

• Penyakit AIDS

• Perawatan yang lama di rumah sakit

4.6.5 Tatalaksana

• Gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat

• Antibiotic yang mencakup bakteri anaerob

• Seringkali dilakukan irigasi sinus maksila

Page 46: Css Rhinosinusitis

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, penyunting. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.

2. Bailey, Byron J. Head and Neck Surgery – Otolaryngology. Edisi ke-3. Philladelphia: Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2001.

3. Hilger PA. Anatomi dan fisiologi terapan. Dalam : Boies, Adams, Higler, penyunting. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm. 173-88.

4. Stedman’s Medical Dictionary, Edisi ke-28. Lippincott William & Wilkins.

5. The Washington Manual Otolaryngology Survival Guide. Philladelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2006.

6. Meltzer EO, Hamilos DL. Rhinosinusitis Diagnosis and management for clinician: A Synopsis of Recent Consensus Guidlines. Mayo clin proc. 2011:86(5);427-43.

7. Emilia J, Idris N, Ilyas M, Liyadi F, Perkasa MF, Bahar B. Korelasi Variasi Anatomi Hidung dan Sinus Paranasalis berdasarkan Rhinosinusitis Kronik. FK Unhas. 2013:1-10.

8. Arivalagan P, Rambe A. Gambaran Rhinosinusitis Kronis di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2011. E-jurnal FK USU. 2013:1(1);1-6.