cover tesis susi - repository.ipb.ac.id filetinjauan pustaka diabetes melitus diabetes melitus (dm)...

15
TINJAUAN PUSTAKA Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada seseorang, ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Dalimartha 2003). Seseorang dapat menderita penyakit DM karena berbagai faktor berikut ini (Utami et al. 2003): (1) Faktor genetik atau keturunan (2) Virus dan bakteri (3) Bahan toksik atau beracun (4) Nutrisi Secara klinis DM dibedakan menjadi Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau DM tergantung insulin (DMTI) dan Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau DM tidak tergantung insulin (DMTTI). Penyebab DM adalah aktivitas insulin yang tak memadai baik karena sekresi insulin yang berkurang (DMTI) atau karena adanya resistensi insulin pada jaringan yang peka insulin (DMTTI). Akhir-akhir ini pada sebagian penderita DMTTI yang disebut MODY (maturity onset diabetes of the young), selain terdapatnya resistensi insulin juga ditemukan pula cacat (defect) pada sekresi insulin. Namun pada MODY sekresi insulin masih dapat ditingkatkan dengan pemberian obat hipoglikemik oral (OHO), sedangkan pada DMTI kekurangan insulin hanya dapat diatasi dengan pemberian insulin eksogen atau dengan transplantasi. Berikut ini adalah klasifikasi DM dan gangguan toleransi glukosa menurut WHO (2008): A. Kelas klinis I. Diabetes Melitus (DM) 1. DM tipe I atau DM Tergantung Insulin (DMTI) 2. DM tipe II atau DM Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) 3. DMTM (DM Terkait Malnutrisi) 4. DM tipe lain yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu

Upload: lekhanh

Post on 12-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TINJAUAN PUSTAKA

Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada

seseorang, ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal

(hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif

(Dalimartha 2003). Seseorang dapat menderita penyakit DM karena berbagai

faktor berikut ini (Utami et al. 2003):

(1) Faktor genetik atau keturunan

(2) Virus dan bakteri

(3) Bahan toksik atau beracun

(4) Nutrisi

Secara klinis DM dibedakan menjadi Insulin Dependent Diabetes Mellitus

(IDDM) atau DM tergantung insulin (DMTI) dan Non-Insulin Dependent

Diabetes Mellitus (NIDDM) atau DM tidak tergantung insulin (DMTTI).

Penyebab DM adalah aktivitas insulin yang tak memadai baik karena sekresi

insulin yang berkurang (DMTI) atau karena adanya resistensi insulin pada

jaringan yang peka insulin (DMTTI).

Akhir-akhir ini pada sebagian penderita DMTTI yang disebut MODY

(maturity onset diabetes of the young), selain terdapatnya resistensi insulin juga

ditemukan pula cacat (defect) pada sekresi insulin. Namun pada MODY sekresi

insulin masih dapat ditingkatkan dengan pemberian obat hipoglikemik oral

(OHO), sedangkan pada DMTI kekurangan insulin hanya dapat diatasi dengan

pemberian insulin eksogen atau dengan transplantasi.

Berikut ini adalah klasifikasi DM dan gangguan toleransi glukosa menurut

WHO (2008):

A. Kelas klinis

I. Diabetes Melitus (DM)

1. DM tipe I atau DM Tergantung Insulin (DMTI)

2. DM tipe II atau DM Tidak Tergantung Insulin (DMTTI)

3. DMTM (DM Terkait Malnutrisi)

4. DM tipe lain yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu

9

II. Gangguan Toleransi Glukosa (GTG)

Penderita gangguan toleransi glukosa (GTG) dinyatakan dengan

adanya peningkatan kadar glukosa darah pada tes toleransi glukosa oral

(TTGO) dimana nilainya ada di daerah perbatasan yaitu di atas normal,

tetapi di bawah nilai diagnostik untuk DM (Dalimartha 2003).

III. DM pada kehamilan (gestational DM)

Pada waktu hamil, akan terjadi perubahan-perubahan biokimia akibat

kehamilan seperti adanya hormon plasenta yang bersifat insulin antagonis

dan meningkatnya pemecahan insulin oleh plasenta, merupakan faktor

diabetogenik (Adam 1987).

B. Kelas resiko statistik

Semua orang dengan toleransi glukosa normal tetapi mempunyai resiko

yang lebih besar untuk mengidap DM. Penderita yang termasuk dalam

golongan ini adalah penderita yang kedua orang tuanya menderita DM, pernah

menderita GTG kemudian normal lagi, pernah melahirkan bayi dengan berat

badan lebih dari 4 kg (Dalimartha 2003).

Gambar 1 Mekanisme kerja insulin dalam menjaga homeostasis glukosa darah

(www.google.com)

DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat

dikontrol. Untuk mengendalikan penyakit DM, Perkumpulan Endokrionologi

Indonesia (Perkeni) menetapkan empat pilar utama dalam penatalaksanaan DM,

yang meliputi perencanaan diet, latihan jasmani, penyuluhan atau pendidikan

10

kesehatan, dan pemberian obat hipoglikemia oral atau pemberian insulin. Pada

penderita DM tipe II, obat hanya perlu diberikan, bila setelah melakukan diet dan

latihan jasmani secara maksimal tetapi tidak berhasil mengendalikan kadar

glukosa darah. Ada dua macam obat hipoglikemik berdasarkan cara

pemberiannya, yaitu berupa suntikan dan berupa tablet yang disebut obat

hipoglikemik oral atau antidiabetes oral.

Menurut Rayfield dan Valentine (2006), obat hipoglikemik secara oral

mempunyai beberapa cara kerja dalam menurunkan kadar glukosa darah.

Mekanisme kerja obat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:

a. Menurunkan penyerapan glukosa dalam usus

b. Meningkatkan penyerapan glukosa pada sel

c. Menurunkan produksi glukosa oleh hati

d. Meningkatkan sekresi insulin

Penggunaan obat-obat hipoglikemik dapat menyebabkan beberapa efek

samping, diantaranya yaitu penggunaan obat acarbose dapat menyebabkan

flatulensi dan diare karena acarbose dapat menghasilkan metabolit berupa gas

dari karbohidrat yang tidak terabsorbsi di kolon (Buchanan 1988), penggunaan

metformin dapat menimbulkan efek samping seperti pusing, sakit perut dan diare

(Rayfield dan Valentine 2006) sedangkan penggunaan insulin yang tidak tepat

jumlahnya juga dapat menyebabkan terlalu rendahnya kadar gula dalam tubuh

(hipoglikemik). Fenomena saat ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih

cenderung menggunakan tanaman obat dalam mengatasi berbagai gejala penyakit

termasuk penyakit diabetes.

Minuman Fungsional Berbasis Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus B1. Miq)

Salah satu pemanfaatan tanaman obat adalah dengan mengolahnya menjadi

pangan fungsional. Badan POM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)

mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang secara alamiah maupun

telah mengalami proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan

kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi secara fisiologis tertentu yang

bermanfaat bagi kesehatan. Pangan fungsional dapat berupa makanan dan

minuman yang berasal dari hewani atau nabati. Beberapa persyaratan yang harus

11

dimiliki oleh suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional

adalah: (1) Harus merupakan produk pangan (bukan berbentuk kapsul, tablet, atau

bubuk) yang berasal dari bahan alami; (2) Dapat dan layak dikonsumsi sebagai

bagian dari diet atau menu sehari-hari; (3) Mempunyai fungsi tertentu pada saat

dikonsumsi, serta dapat memberikan peran dalam proses tubuh tertentu, seperti

memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, mencegah penyakit tertentu,

membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit, menjaga kondisi fisik dan

mental, serta memperlambat proses penuaan.

Dari konsep yang telah dikembangkan, jelas bahwa pangan fungsional tidak

sama dengan food supplement atau obat. Pangan fungsional dibedakan dari

suplemen makanan atau obat berdasarkan penampakan dan pengaruhnya terhadap

kesehatan. Pangan fungsional dapat dikonsumsi tanpa dosis tertentu dan bisa

dinikmati sebagaimana makanan pada umumnya, serta lezat dan bergizi. Peran

dari pangan fungsional bagi tubuh semata-mata bertumpu pada komponen gizi

dan non-gizi yang terkandung di dalamnya yang merupakan komponen bioaktif.

Bila fungsi obat terhadap penyakit bersifat kuratif, maka pangan fungsional lebih

bersifat pencegahan terhadap penyakit, rehabilitatif dan promotif.

Walaupun konsep pangan fungsional baru populer beberapa tahun

belakangan, sesungguhnya banyak jenis makanan tradisional Indonesia yang

memenuhi persyaratan sebagai pangan fungsional. Banyak produk makanan dan

minuman tradisional Indonesia yang mengandung rempah-rempah atau tanaman

obat sebagai bahan penyusunnya bermanfaat bagi kesehatan (Antara 1997).

Minuman fungsional berbasis ekstrak daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus

B1. Miq) merupakan hasil formulasi yang dilakukan oleh Herold (2007), dengan

memanfaatkan beberapa jenis rempah dan tanaman herrbal atau obat. Formula

minuman tersebut mengandung beberapa jenis ekstrak tanaman obat yaitu daun

kumis kucing, kayu secang, rimpang jahe, rimpang temulawak dan buah jeruk

lemon dengan komposisi ekstrak daun kumis kucing lebih banyak dibandingkan

ekstrak tanaman obat lainnya. Bahan tambahan pangan yang terdapat dalam

minuman tersebut adalah sukrosa (gula pasir) sebagai pemanis, CMC

(karboksimetil selulosa) sebagai penstabil, dan kalium sorbat atau benzoat sebagai

pengawet.

12

Formula minuman dengan kombinasi ekstrak daun kumis kucing a %,

ekstrak jahe b %, ekstrak kayu secang c %, ekstrak buah jeruk lemon d %, dan

ekstrak temulawak e % (dari total campuran ekstrak dalam minuman) dipilih

sebagai minuman dengan formula optimal yang memiliki aktivitas antioksidan

cukup baik (621.78 ppm Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity,

disingkat AEAC) dan tidak berbeda nyata dibandingkan aktivitas antioksidan

tertinggi yang mampu dicapai komponen tunggalnya. Minuman formula optimal

tersebut terbukti memiliki aktivitas antioksidan yang secara nyata lebih tinggi

dibandingkan aktivitas antioksidan beberapa produk minuman fungsional berbasis

rempah komersil, dengan skor kesukaan panelis yang cukup baik (Herold 2007).

Kordial (2009), telah melakukan modifikasi proses pasteurisasi serta

mengganti salah satu ingredien minuman yaitu ekstrak buah jeruk lemon dengan

ekstrak buah jeruk purut sehingga dapat meningkatkan umur simpan minuman

fungsional berbasis ekstrak daun kumis kucing tersebut. Ekstrak buah jeruk purut

dipilih dari buah jeruk lainnya untuk menggantikan buah jeruk lemon dari

formulasi sebelumnya berdasarkan skor kesukaan aroma dan rasa. Setelah

dilakukan penambahan ekstrak jeruk purut, pengemasan dengan botol gelas steril

berwarna gelap, dan pasteurisasi pada suhu 80˚C selama 30 menit, maka dapat

diperoleh minuman fungsional berbasis kumis kucing dengan umur simpan

minimal 3 bulan pada suhu ruang.

Penelitian yang dilakukan oleh Diana (2010), menunjukkan bahwa minuman

fungsional berbasis ekstrak daun kumis kucing tersebut (dengan melakukan

modifikasi pada pemanis yang digunakan dalam formula, yaitu mengganti sukrosa

dengan sukralosa) mempunyai kemampuan inhibisi α-glukosidase dan α-amilase

dengan IC50 sebesar 217.12 dan 217.41 mg/ml (in vitro). Ekstrak dalam minuman

yang diduga berperan dalam inhibisi α-glukosidase minuman adalah kayu secang

(IC50 0.54 mg/ml) dan buah jeruk purut (IC50 26.33 mg/ml), sedangkan ekstrak

lainnya seperti daun kumis kucing dan jahe gajah tidak memiliki kemampuan

inhibisi α-glukosidase. Ekstrak dalam minuman yang berperan dalam inhibisi α-

amilase minuman diduga diperoleh dari ekstrak buah jeruk purut (IC50 15.08

mg/ml), sedangkan ekstrak lainnya seperti daun kumis kucing, kayu secang, dan

jahe gajah tidak mempunyai kemampuan inhibisi α-amilase. Jahe gajah justru

13

memiliki potensi dalam mengaktivasi enzim α-amilase.

Minuman fungsional berbasis ekstrak daun kumis kucing ini mampu

meningkatkan penyerapan glukosa oleh sel diafragma mencit sebesar 37.48 µg

glukosa/g sel (ex vivo). Kemampuan minuman dalam meningkatkan penyerapan

glukosa diduga diperoleh dari jahe gajah dan jeruk purut yang dapat

meningkatkan penyerapan glukosa sebanyak 17.91 dan 35.16 µg glukosa/g sel.

Peningkatan penyerapan glukosa oleh ekstrak buah jeruk purut dan minuman

fungsional tidak berbeda nyata terhadap kontrol positifnya yaitu insulin (31.77 µg

glukosa/g sel). Ekstrak lainnya dalam minuman yaitu daun kumis kucing dan kayu

secang, tidak dapat meningkatkan penyerapan glukosa pada sel diafragma mencit.

Minuman fungsional berbasis ekstrak daun kumis kucing lebih berpotensi dalam

stimulasi penyerapan glukosa dari saluran darah ke dalam sel-sel tubuh

dibandingkan dengan inhibisi enzim α-glukosidase dan α-amilase, sehingga

minuman ini lebih berpotensi dalam menurunkan kadar glukosa darah yang tinggi

(Diana 2010).

Ekstrak Tanaman Obat dalam Minuman Fungsional Berbasis Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus B1. Miq)

Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus)

Tanaman kumis kucing termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, sub

divisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, keluarga Lamiaceae, genus

Orthosiphon, dan spesies Orthosiphon spp. Tanaman ini mempunyai sinonim

nama latin yaitu Orthosiphon stamineus Bent. Tanaman ini disebut kumis kucing

karena kumpulan sari bunganya yang panjang dan menjulur dari dua sisi yang

berbeda sehingga mirip dengan kumis kucing. Terdapat dua jenis kumis kucing

yaitu kumis kucing dengan bunga berwarna ungu dan kumis kucing dengan bunga

berwarna putih.

Tanaman yang umumnya tumbuh liar ini, kini banyak ditanam di

pekarangan rumah sebagai tanaman obat. Bagian tanaman kumis kucing yang

umumnya digunakan sebagai obat adalah bagian daunnya terutama bagian pucuk

daun karena bagian ini memiliki kandungan bahan obat lebih tinggi dibanding

dengan bagian yang lain (Puspita 2007). Hal ini didukung oleh penelitian Harinu

14

(1989) yang menunjukkan bahwa daun muda tanaman kumis kucing memiliki

khasiat diuretik yang lebih tinggi dibandingkan dengan daun tua.

Tanaman kumis kucing mempunyai khasiat untuk penyakit yang berkaitan

dengan saluran urin, hipertensi, reumatik, diabetes melitus, peradangan, dan

kelainan menstruasi (Awale et al. 2003). Kumis kucing juga mempunyai

kemampuan sebagai antioksidan. Kapasitas antioksidan dari kumis kucing adalah

90.21% dengan DPPH dan 77.72% dengan sistem β-karoten (Khamsah et al.

2006). Menurut Khamsah et al. (2006), kemampuan kumis kucing dalam

menangkap radikal bebas tidak hanya disebabkan oleh komponen fenol (9.71

mg/g bobot kering), tetapi juga oleh komponen terpenoid lainnya.

Penelitian lebih lanjut terhadap kemampuan kumis kucing sebagai

antidiabetes telah banyak dilakukan. Berdasarkan penelitian Minggawati (1990),

pemberian infus daun kumis kucing 0.129 g/kg bb tidak dapat menurunkan kadar

glukosa darah kelinci, sedangkan pemberian infus daun sambiloto 0.3 g/kg bb

dapat menurunkan kadar glukosa darah kelinci secara nyata. Namun, pemberian

infus kombinasi (daun kumis kucing 0.129 g/kg bb dan daun sambiloto 0.3 g/kg

bb) mempunyai efek penurunan yang lebih besar dibandingkan dengan infus daun

sambiloto saja. Hal ini menunjukkan adanya efek sinergisme antara kumis kucing

dan sambiloto sebanding dengan glibenklamid.

Penelitian Sriplang et al. (2007) menunjukkan bahwa ekstrak air dari kumis

kucing, yang mengandung komponen fenol dan flavonoid masing-masing sebesar

13.24 mg/g dan 1.73 mg/g, memiliki pengaruh signifikan dalam menurunkan

kadar glukosa plasma darah dan meningkatkan HDL plasma dengan pemberian

ekstrak 0.5 g/kg selama 14 hari dan 1.0 g/kg berat badan tikus pada OGTT

mendekati glibenklamid 5 mg/kg BB. Sriplang et al. (2007) juga menyatakan

bahwa pemberian ekstrak sebanyak 100 µg/ml secara in situ pada pankreas

berpotensi dalam menginduksi sekresi insulin.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Myint et al. (2003), pemberian

ekstrak air kumis kucing dari 25 gram daun kumis kucing secara signifikan

menurunkan kadar glukosa darah penderita diabetes sebesar 35% jika

dibandingkan dengan kontrol. Kemampuan antioksidan dari kumis kucing juga

diduga dapat mencegah atau memperlambat perkembangan penyakit diabetes dan

15

komplikasinya (Jung et al. 2006).

Jahe (Zingiber officinale)

Jahe merupakan tanaman yang termasuk dalam famili Zingiberaceae dan

genus Zingiber. Terdapat 3 varietas utama jahe di Indonesia berdasarkan bentuk,

ukuran dan warna rimpangnya, yaitu jahe gajah, jahe emprit, dan jahe merah

(Hamiudin 2007). Rimpang jahe telah dimanfaatkan secara luas sebagai bumbu

masak dan tanaman obat untuk menanggulangi berbagai kondisi (Kimura et al.

2005).

Umur panen untuk rimpang jahe yang akan dimanfaatkan sebagai tanaman

obat adalah 10-12 bulan karena mempunyai kandungan senyawa aktif yang tinggi

(Hamiudin 2007). Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, jahe

mempunyai kemampuan dalam memodifikasi kerja sistem pencernaan, sistem

kardiovaskular dan sebagai antiemetik (mencegah muntah), antiradang,

kemoprotektif, hipolipidemik, antimikroba, serta penghilang stress (Kimura et al.

2005).

Menurut Ali et al. (2007), komponen pemberi rasa pedas pada jahe segar

adalah gingerol dengan komponen utama [6]-gingerol, sedangkan pemberi rasa

pedas pada jahe kering adalah [6]-shogaol yang merupakan produk dehidrasi dari

[6]-gingerol. Jahe kering mengandung 0.6-1.1 % b/b [6]-gingerol dan 0.05-0.1%

b/b shogaol, sedangkan jahe segar mengandung 0.2-0.7% b/b [6]-gingerol dan

0.3-0.7% b/b shogaol. Hal ini disebabkan karena gingerol berubah menjadi

shogaol pada suhu tinggi (Kano 1987 dalam Kimura et al. 2005).

Jahe juga dikenal karena kemampuannya sebagai antioksidan. Kandungan

antioksidan pada jahe adalah 40.9 mEq/kg dengan kandungan total polifenol

sebesar 60.1 ± 0.14 mg% (Chanwitheesuk et al. 2004). Penelitian Kikuzaki dan

Nakatani (1993) menunjukkan bahwa [6]-gingerol memiliki efisiensi dalam

inhibisi autooksidasi asam linoleat yang lebih rendah jika dibandingkan dengan

[6]-shogaol. Penelitian tentang kemampuan jahe dalam mengatasi diabetes telah

banyak dilakukan. Sharma dan Sukla (1977) telah menunjukkan bahwa jahe yang

diperas segar mempunyai kemampuan menurunkan kadar glukosa darah pada

tikus diabetes.

16

Penelitian Kar et al. (2003) menunjukkan bahwa ekstrak etanol dari jahe

dapat menurunkan kadar glukosa darah secara signifikan pada tikus diabetes

dengan pemberian ekstrak sebanyak 500 mg/kg selama 2 minggu. Kadar glukosa

serum darah pada tikus diabetes dapat menurun sebanyak 50% dengan pemberian

ekstrak jahe dan kemampuan antioksidan dari jahe diduga berperan dalam

mengurangi kerusakan oksidatif atau nitrosatif pada jaringan ginjal (Al-Qattan et

al. 2008). Penelitian Akhani et al. (2004) menyatakan bahwa kemampuan

antidiabetik jahe mungkin disebabkan oleh perannya pada reseptor serotonin (5-

hidroksitriptamin (5-HT)) dalam pengendalian glikemik pada tikus. Ekstrak jahe

diduga bekerja pada reseptor serotonin sehingga memiliki aktivitas antiserotonin

yang menyebabkan penurunan serotonin dan mengakibatkan peningkatan sekresi

insulin.

Kayu Secang (Caesalpinia sappan)

Kayu secang merupakan bagian lignin dari tanaman kelas Magnoliopsida

dan genus Caesalpinia. Kayu secang banyak digunakan sebagai pewarna pada

minuman. Kayu secang bewarna jingga (brazilin) saat awal setelah ditebang dan

dengan cepat berubah warna menjadi merah (brazilein) karena terekspos dengan

oksigen. Ekstrak kayu secang juga digunakan sebagai indikator asam basa karena

pada suasana asam brazilin bewarna kuning (pH 2-5) dan pada suasana basa

brazilein bewarna merah (pH 6-7) (Adawiyah dan Indriati 2003).

Kayu secang memiliki aktivitas farmakologi seperti relaksasi pembuluh

darah, antiaterosklerosis (anti penebalan dinding arteri), analgesik (penahan sakit),

hipoglikemik, antiinflammasi, sitotoksik, antibakteri, antiviral, dan antioksidan

(Jun et al. 2008). Komponen fenol yang terkenal dengan kemampuan antioksidan

yang terdapat pada kayu secang umumnya adalah homoisoflavonoid dan

komponen turunannya, protosappanin A, protosappanin B, brazilin, dan brazilein.

Jun et al. (2008) menyatakan bahwa komponen ini memiliki kemampuan

antioksidan yang berbeda-beda. Ekstrak kayu secang, protosappanin A dan

protosappanin B menunjukkan inhibisi yang lebih besar terhadap MDA dan

hidrogen peroksida sedangkan brazilein menunjukkan kemampuan dalam

menangkap radikal hidroksil.

17

Ekstrak kayu secang secara tradisional digunakan sebagai obat diabetes oleh

masyarakat di Kalimantan Barat. Ekstrak methanol dari kayu secang

menunjukkan aktivitas antihiperglikemik dengan metode toleransi glukosa

(Widiyanto 2006). Menurut penelitian Moon et al. (1990), brazilin secara

signifikan dapat menurunkan kadar glukosa pada plasma darah tikus diabetes

dengan meningkatkan sensitivitas insulin dan tidak terdapat kenaikan dalam kadar

insulin. Selain itu, terdapat kenaikan pada sintesis glikogen, glikolisis, dan

oksidasi glukosa pada otot pada hewan diabetes yang diberi brazilin 3 x 500 mg

sehari selama 14 hari. Komponen kaesalpin P, sappankalkon, 3-deoksisappanon,

brazilin, dan protosappanin A telah diidentifikasi sebagai inhibitor terhadap enzim

aldosa reduktase yang dapat menyebabkan komplikasi pada diabetes, dimana

pemberian sappankalkon dengan dosis sebesar 105 mol/l dapat menghambat

aldosa reduktase sebesar 84% (Moon 1986 dan Morota et al. 1990 dalam Li et al.

2004) sehingga dapat menghambat terjadinya diabetes neuropati.

Jeruk Purut (Citrus histryx DC) dan Jeruk Nipis (Citrus aurantiifolia)

Jeruk purut dan jeruk nipis merupakan tanaman dari kingdom plantae, ordo

Sapindales, famili Rustaceae, dan genus Citrus. Genus Citrus kemudian dibagi

kembali menjadi dua sub genus yaitu Eucitrus dan Papeda. Papeda mempunyai

rasa yang pahit, berbunga ungu, dan perkecambahan epigeous yang membuat

jenis jeruk ini berbeda dengan subgenus Eucitrus. Subgenus Papeda kemudian

dibagi lagi menjadi Papeda dan Papedocitrus. Jeruk yang termasuk dalam

Papedocitrus adalah C. ichangensis, C. latipes, C. junos dan C. wilsonii,

sedangkan jeruk yang termasuk dalam Papeda antara lain C. celebica, C.

macrophylla, C. macroptera, C. combara, C. kerrii, C. excels, C. micrantha dan

C. hystrix (Wiart 2001).

Jeruk purut banyak dimanfaatkan sebagai tanaman obat sebagai obat sakit

perut akibat gangguan pencernaan serta dimanfaatkan untuk berbagai masakan

(ekstrak buah dan daun). Jeruk purut memiliki ukuran lebih kecil dari kepalan

tangan, berbentuk buah pir, banyak tonjolan sehingga bentuknya susah

dipertahankan. Kulit buahnya tebal dan berwarna hijau, hanya buah yang masak

benar yang akan berwarna sedikit kuning. Daging buahnya berwarna hijau

18

kekuningan, rasanya sangat masam dan kadang pahit.

Citrus aurantiifolia dikenal dengan nama jeruk nipis, memiliki sinonim

yaitu lain yaitu Limonia aurantifolia Christm., Limon spinosum Mill., Citrus

limonia Osbeck, Citrus lima Luman, Citrus spinosissima G.F.W. Meyer, Citrus

acida Roxb., Citrus aurantium. Buahnya berbentuk bulat sebesar bola pingpong

dengan diameter 3,5-5 cm berwarna (kulit luar) hijau atau kekuning-kuningan.

Tanaman jeruk nipis mempunyai akar tunggang. Buah jeruk nipis yang sudah tua

rasanya asam. Jeruk nipis Citrus aurantiifolia (Cristm.) Swingle mengandung

unsur-unsur senyawa kimia yang bemanfaat, seperti asam sitrat, asam amino

(triptofan, lisin), minyak atsiri (sitral, limonen, felandren, lemon kamfer, kadinen,

geranilasetat, linalilasetat, aktilaldehid, nonildehid), damar, glikosida, asam sitrat,

lemak, kalsium, fosfor, besi, belerang vitamin B1 dan C. Selain itu, jeruk nipis

juga mengandung senyawa saponin dan flavonoid yaitu hesperidin (hesperetin 7-

rutinosida), tangeretin, naringin, eriositrin, eriositrosida. Jeruk nipis juga

mengandung 7% minyak esensial yang mengandung sitral, limonen, terpineol,

bisabolene, dan terpenoid lainnya (Budipratama et al. 2011).

Buah jeruk nipis berkhasiat sebagai obat batuk, obat penurun panas, dan

obat pegal linu. Selain itu, buah jeruk nipis juga bermanfaat sebagai obat disentri,

sembelit, ambeien, haid tidak teratur, difteri, jerawat, kepala pusing/vertigo, suara

serak batuk, menambah nafsu makan, mencegah rambut rontok, ketombe,

flu/demam, menghentikan kebiasaan merokok, amandel, penyakit anyang-

anyangan, mimisan, radang hidung (getahnya), dan lain sebagainya (Budipratama

et al. 2011).

Beberapa jenis jeruk seperti C. aurantium atau C.aurantifolia, C. sinensis

dan C. grandis telah terbukti mempunyai kemampuan anti-diabetes (Abo et al.

2008 dan Kim et al. 2009). Serat tak larut dari ekstrak kulit buah jeruk C. sinensis

dapat meningkatkan absorpsi glukosa dan menghambat aktivitas enzim α-amilase

secara in vitro sehingga diduga dapat menurunkan kadar glukosa darah (Chau et

al. 2003).

Flavonoid dari juice lemon dapat menekan terjadinya stress oksidatif pada

mencit diabetes (Miyake et al. 1998). Senyawa golongan flavonoid jeruk yaitu

naringin dan hesperidin dapat memperbaiki kondisi hiperlipidemia dan

19

hiperglikemia pada hewan diabetes tipe-2 dengan mengatur sebagian metabolisme

asam lemak dan kolesterol, serta mempengaruhi ekspresi gen untuk enzim-enzim

metabolisme glukosa (Jung et al. 2006). Hesperidin juga memiliki aktivitas

antihiperglikemik sehingga dapat menghambat terjadinya komplikasi pada otak

mencit diabetes (Ibrahim 2008).Senyawa flavonoid jeruk lainnya yaitu naringenin

dapat menekan produksi glukosa hepatik (Purushotham et al. 2008).

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

Tanaman temulawak merupakan tanaman asli Indonesia yang termasuk

salah satu jenis temu-temuan dari famili Zingiberales. Eksistensi temulawak

sebagai tumbuhan obat telah lama diakui, terutama di kalangan masyarakat Jawa,

rimpang temulawak merupakan bahan pembuatan obat tradisional yang paling

utama, disamping sebagai upaya pemeliharaan kesehatan, peningkatan kesehatan,

atau pengobatan penyakit. Dalam hal ini temulawak umumnya digunakan dalam

bentuk ramuan jamu (Sidik et al. 2005).

Kandungan kimia rimpang temulawak dibedakan atas beberapa fraksi, yaitu

fraksi pati, fraksi kurkuminoid, dan fraksi minyak atsiri. Kandungan fraksi pati

merupakan kandungan terbesar dalam rimpang temulawak. Fraksi kurkuminoid

merupakan komponen pemberi warna kuning pada rimpang dan diketahui

memiliki aktivitas biologik dalam spektrum yang luas. Fraksi minyak atsiri

temulawak terdiri dari senyawa turunan monoterpen dan seskuiterpen. Fraksi

minyak atsiri ini juga diketahui memiliki aktivitas biologik dengan spektrum luas

yang dalam beberapa hal bekerja sinergistik dengan fraksi kurkuminoid (Sidik et

al. 2005).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ekstrak temulawak ternyata

mempunyai efek antioksidan. Jitoe et al. (1992) mengukur efek antioksidan dari

sembilan jenis rimpang temu-temuan dengan metode Tiosianat dan metode Asam

Tiobarbiturat (TBA) dalam sistem air-alkohol. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa aktivitas antioksidan ekstrak temulawak ternyata lebih besar dibandingkan

dengan aktivitas tiga jenis kurkuminoid yang diperkirakan terdapat dalam

temulawak sehingga diduga ada zat lain selain ketiga kurkuminoid tersebut yang

mempunyai efek antioksidan. Selanjutnya Masuda et al. (1992) berhasil

20

mengisolasi analog kurkumin baru dari rimpang temulawak, yaitu: 1-(4-hidroksi-

3,5-dimetoksifenil)-7-(4-hidroksi-3-metoksifenil)-(1E.6E)-1,6-heptadien-3,4-dion.

Senyawa tersebut ternyata menunjukkan efek antioksidan melawan auto-oksidasi

asam linoleat dalam sistem air-alkohol.

Penelitian yang dilakukan oleh Meghana (2007), menunjukkan bahwa

kurkumin memiliki aktivitas melindungi sel β pankreas terhadap kerusakan

oksidatif akibat induksi streptozotocin. Kurkumin juga dapat menghambat

produksi glukosa hepatik (Fujiwara et al. 2008).

Streptozotocin

Hewan coba seperti mencit, tikus, kelinci maupun monyet telah digunakan

secara luas sebagai hewan model dalam penelitian diabetes. Penggunaan hewan

model tersebut dapat menggambarkan dengan baik berbagai keadaan diabetes

pada manusia baik dari aspek fisiologi, morfologi maupun heterogenitas

genetiknya. Hewan model juga merupakan sarana yang baik untuk memanipulasi

beberapa keadaan yang tidak memungkinkan dilakukan pada manusia (Andayani

2003).

Hewan model untuk percobaan diabetes diantaranya dapat diperoleh dengan

cara menggunakan bahan kimia diabetonik seperti aloksan dan streptozotocin

dengan dosis yang dapat menyebabkan kerusakan selektif terhadap sel-sel β

pankreas (Szkudelski 2001). Sifat diabetonik aloksan maupun streptozotocin

dimediasi oleh senyawa oksigen reaktif yang terbentuk melalui cara yang berbeda.

Aloksan secara selektif dapat merusak sel-sel β pankreas. Mekanisme toksisitas

aloksan diawali dengan masuknya aloksan ke dalam sel-sel beta pankreas dan

kecepatan pengambilan akan menentukan sifat diabetonik aloksan. Kerusakan

pada sel-sel β terjadi melalui beberapa proses secara bersamaan, yaitu melalui

oksidasi gugus sulfidril dan pembentukan radikal bebas (Szkudelski 2001).

Mekanisme kerja aloksan menghasilkan kerusakan pada sel-sel β pankreas

terutama menyerang senyawa-senyawa seluler yang mengandung gugus sulfidril,

asam-asam amino sistein dan protein yang berikatan dengan dua gugus SH

(termasuk enzim yang mengandung gugus SH). Aloksan bereaksi dengan dua

gugus SH yang berikatan pada bagian sisi dari protein atau asam amino

21

membentuk ikatan disulfida sehingga menginaktifkan protein yang berakibat pada

gangguan fungsi protein tersebut (Szkudelski 2001).

Mekanisme kerja aloksan lainnya adalah menginduksi pembentukan radikal

bebas karena bersifat polar sehingga dapat memberikan satu elektronnya kepada

oksigen. Melalui reaksi redoks, asam dialurat dibentuk sebagai hasil reduksi

aloksan dengan menghasilkan metabolit intermediet radikal aloksan (HA*). Asam

dialurat kemudian dioksidasi kembali membentuk aloksan sehingga menghasilkan

radikal ion superoksida (O2*). Anion superoksida dapat mengalami reaksi

dismutasi oleh enzim SOD menjadi hidrogen peroksida. Radikal bebas tersebut

dapat menyerang komponen penyusun sel sehingga menyebabkan kerusakan sel.

Aloksan sering digunakan untuk membuat keadaan diabetes pada hewan

percobaan secara eksperimental dengan dosis yang dapat menyebabkan kerusakan

selektif pada sel-sel β pankreas sehingga menghasilkan hiperglikemia permanen

yang merupakan salah satu etiologi dari IDDM (diabetes tipe 1).

Streptozotocin (STZ,2-deoksi-2-(3-metil-3-(nitrosoureido)-D-glukopiranosa)

disintesis oleh Streptomycetes achromogenes dan biasanya digunakan untuk

menginduksi DM tipe 1 maupun DM tipe 2. Sifat diabetonik STZ diduga terjadi

karena kerusakan DNA dalam sel-sel β pankreas. Elsner et al. (2002), melaporkan

bahwa penyebab kematian sel-sel β pankreas hasil induksi STZ adalah proses

alkilasi DNA. Disamping itu, kerusakan DNA pada sel-sel β pankreas juga akibat

aktivitas senyawa oksigen reaktif yang dihasilkan dari nitrogen oksida (NO)

bersumber dari STZ. Dalam mitokondria NO akan meningkatkan aktivitas xantin

oksidase dan menurunkan konsumsi oksigen yang berdampak pada gangguan

produksi ATP mengakibatkan kerusakan DNA (Szkudelski 2001).

Pada mencit dewasa, pemberian STZ dengan dosis rendah secara berulang

(40 mg/kg, selama 5 hari) dapat menginduksi diabetes tergantung insulin yang

sangat mirip dengan bentuk autoimun (inflamasi pulau Langerhans dan kematian

sel β) pada diabetes tipe 1. (Fr’’ode dan Medeiros 2008). Pemberian STZ dengan

dosis tungal antara 60 dan 100 mg/kg juga dapat menginduksi diabetes tergantung

insulin tetapi tidak memiliki profil autoimun (Yu et al. 2000 dalam Fr’’ode dan

Medeiros 2008 ). Streptozotocin dapat menginduksi kondisi diabetes yang lebih

22

stabil dan kerusakan pulau Langerhans yang permanen dibandingkan dengan

aloksan (Andrade et al. 2000).

Gambar 2 Struktur kimia streptozotocin (Konrad et al. 2001)