diabetes melitus (pustaka)

Upload: lala-nurfadhilah

Post on 16-Jul-2015

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TINJAUAN PUSTAKADIABETES MELITUS

Diabetes Melitus (DM) merupakan golongan penyakit metabolik yang ditandai dengan keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronis pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis. Gangguan regulasi metabolik pada DM menyebabkan perubahan fisiologi pada berbagai sistem organ.1 Beberapa tipe DM muncul akibat interaksi yang kompleks antara faktor genetik, lingkungan dan gaya hidup.1 Insiden DM terus meningkat di berbagai negara karena makin panjang usia hidup manusia saat ini, mengakibatkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas di masa depan.2 Saat ini, angka diabetes melitus pada usia muda meningkat seiring dengan meningkatnya angka obesitas pada usia muda. 2 Tingkat kekerapan DM di Indonesia adalah sekitar 1,2-2,3% dari penduduk berusia diatas 15 tahun pada tahun 1980. Pada tahun 2000, prevalensi DM telah mencapai 4,6%, kurang lebih 5,6 juta penduduk Indonesia berusia diatas 20 tahun menderita DM. Berdasarkan pola pertumbuhan penduduk seperti saat ini, diperkirakan tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk diatas 20, dengan prevalensi 4,6% akan didapatkan 8,2 juta pasien diabetes melitus. Suatu jumlah yang sangat besar dan merupakan beban kesehatan dan perawatan yang berat.3 Metabolisme Glukosa4 Karbohidrat yang sudah ditelan akan dicerna menjadi monosakarida dan diabsorbsi, terutama dalam duodenum dan jejunum proksimal. Sesudah diabsorbsi kadar gula darah akan meningkat untuk sementara waktu dan akhirnya akan kembali lagi ke kadar semula. Pengaturan fisiologis kadar glukosa darah sebagian besar tergantung dari : ekstraksi glukosa sintesis glukosa

glikogenelisis dalam hepar energi mereka, sehingga jaringan ini pun turut berperan dalam

Selain itu, jaringan perifer otot dan adiposa juga mempergunakan glukosa sebagai sumber mempertahankan kadar glukosa darah. Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan yang dipergunakan oleh jaringan-jaringan perifer tergantung dari keseimbangan fisiologis beberapa hormon. Homon-hormon tersebut adalah : : : Insulin Glukagon, Epinefrin, 1. Hormon yang merendahkan kadar gluksa darah 2. Hormon yang meningkatkan kadar glukosa darah Glukokortikoid, Growth Hormone. Insulin merupakan hormon yang disekresi oleh sel-sel beta pulau langerhans pankreas. Glukagon merupakan hormon yang disekresi oleh sel-sel alfa pulau langerhans pankreas, Epinefrin disekresi oleh medula adrenal, glukokortikoid disekresi oleh korteks adrenal dan growth hormone oleh kelenjar hipofisis anterior. Keempat hormon tersebut membentuk suatu mekanisme counter-regulator yang mencegah timbulnya hipoglikemi akibat pengaruh insulin.

Klasifikasi Diabetes Melitus1 Dengan memahami etiologi dan patogenesis dari diabetes melitus, maka dapat disimpulkan klasifikasi diabetes melitus sebagai berikut :

I.

Diabetes Melitus Tipe 1 (destruksi sel , biasanya merupakan defisiensi insulin absolut) a. Immune-mediated b. Idiopatik

II.

Diabetes Melitus Tipe 2 (terutama akibat resistensi insulin dengan defisiensi insulin realif atau gangguan sekresi insulin dengan resistensi insulin)

III.

Diabetes Tipe lain a. Defek genetik dari fungsi sel , dengan karakteristk berupa mutasi pada : 1. Hepatocyte Nuclear Transcription Factor (HNF) 4 2. Glukokinase 3. HNF-1

4. Insulin Promoter Factor (IPF) 1 5. HNF-1 6. DNA Mitokondria 7. Proinsulin b. Defek genetik pada aksi insulin 1. Resistensi Insulin Tipe A 2. Leprechaunism 3. Rabson-Mendenhall Syndrome 4. Lipoatrophic Diabetes c. Penyakit pada system eksokrin pankreas (pankreatitis, pancreactomy, neoplasma, pancreopati) d. Endocrinopathies (acromegaly, Cushings syndrome, glucagonoma, pheocromocytoma, aldosteronoma) e. Drug- or chemical Induced (Vacor, pentamidine, asam nikotinat, glukokortikoid, hormone thyroid, diazoxide, agonist, blocker, thiazides, phenytoin, interferon, protease inhibitor, clozapine) f. Infeksi (rubella, CMV, coxsackie) g. Uncommon forms of immune-mediated Diabetes h. Sindroma genetik lain yang berhubungan dengan Diabetes III. Diabetes Melitus pada kehamilan(Dikutip dari Harrisons 15th edition, tabel 333-1)

:

cystic

fibrosis,

hemochromasitosis,

fibrocalculos

hyperthyroidism,

somatostatinoma,

Dasar dari DM adalah keadaan hiperglikemia, namun patogenesis yang mendasari terjadinya hiperglikemia pada DM sangat beragam. DM dapat diakibatkan oleh adanya defisiensi insulin absolut atau adanya defek genetik yang mengakibatkan menurunnya sekresi insulin. DM juga dapat diakibatkan oleh adanya resistensi insulin yang sesuai dengan etiologi yang mendasarinya.1,2 Saat ini, pembagian atau klasifikasi DM tidak hanya didasari oleh usia dan kebutuhan akan insulin seperti pembagian DM yang lama. Saat ini, pembagian utama DM adalah DM tipe 1 dan tipe 2. DM tipe 1 diakibatkan adanya destruksi sel pankreas akibat proses autoimun, namun mekanisme sehingga terjadi destruksi sel belum diketahui dengan pasti.1,2

DM tipe 2 biasanya terjadi akibat adanya resistensi insulin, terganggunya sekresi insulin dan produksi glukosa yang meningkat. Adanya defek genetik dan defek metabolisme pada aksi dan/ sekresi insulin merupakan hal yang sering mendasari DM tipe 2. Identifikasi yang jelas mengenai patogenesis yang mendasari DM tipe 2 yang terjadi dapat menjadi dasar dalam pemberian terapi, obat yang diberikan dapat sesuai dengan target organnya. Pembagian DM lama seperti Insulin Dependen Diabetes Mellitus(IDDM) dan NonInsulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) sudah kuno. Pembagian tersebut didasari adanya kebutuhan yang absolut akan insulin pada kategori IDDM, dimana saat ini banyak individu dengan DM tipe 2 yang membutuhkan insulin dalam mengontrol kadar glukosa darah mereka. Pembagian lama lainnya adalah adalah berdasarkan usia. Walaupun DM tipe 1 biasanya muncul sebelum usia 30 tahun, namun proses autoimun yang menyebabkan destruksi sel pankreas dapat timbul pada usia berapapun, begitupun sebaliknya, walaupun DM tipe 2 biasanya timbul pada usia tua, namun DM tipe 2 dapat muncul pada usia dewasa muda. Sehingga Pembagian berdasarkan usia tidak lagi digunakan dalam klasifikasi yang baru. Ada tipe-tipe lain pada DM. Tipe tersebut muncul akibat adanya etiologi lain seperti adanya defek genetik spesifik pada sekersi insulin, adanya metabolisme abnormal yang menyebabkan terganggunya sekresi insulin, dan adanya kondisi yang mendasari terganggunya toleransi glukosa. Maturity Onset Diabetes of the Young

(MODY) adalah subtipe DM yang memiliki ciri-ciri yaitu diturunkan secara autosomal dominan, onset hiperglikemianya pada usia muda dan dan adanya gangguan pada sekresi insulin. Diabetes Melitus juga dapat muncul pada kehamilan. Resistensi insulin terjadi akibat perubahan metabolisme pada kehamilan. Perubahan metabolisme tersebut meningkatkan kebutuhan insulin, menyebabkan terganggunya toleransi glukosa yang berakhir dengan keadaan hiperglikemia.1 Patogenesis1 DM tipe 2 merupakan penyakit yang memiliki etiologi yang kompleks dan berkembang akibat adanya faktor genetik dan lingkungan. Resistensi insulin dan sekresi insulin yang abnormal dianggap dua hal yang paling berperan dalam berkembangnya DM tipe 2.

DM tipe 2 memiliki komponen genetik yang kuat, namun mekanisme predisposisi genetik pada DM tipe 2 belum diketahui secara pasti. Seorang individu dengan riwayat DM pada ayah atau ibunya memiliki resiko yang tinggi untuk timbulnya diabetes, bahkan resiko bisa mencapai 40% bila kedua orang tua penderita diabetes. Pada saudara kembar, memiliki kemungkinan 70-90% untuk keduanya sama-sama menderita diabetes. Terdapat resiko timbulnya resistensi insulin pada pasien nondiabetes apabila terdapat riwayat DM pada saudara sekandung. Adanya faktor genetik pada diabetes tidak dapat berdiri sendiri, faktor lingkungan dan gaya hidup akan selalu mempengaruhi timbulnya diabetes melitus. DM tipe 2 memiliki patofisiologi abnormalitas yang khas, yaitu, sekresi insulin yang terganggu, resistensi insulin perifer dan produksi glukosa pada hepar yang berlebihan. Obesitas mempengaruhi resistensi insulin. Jaringan adiposa mensekresi beberapa produk (leptin, free fatty acid) yang berperan dalam beberapa proses modulasi tubuh seperti sekresi dan kerja insulin serta pengaturan berat badan, oleh sebab itu obesitas berperan dalam timbulnya resistensi insulin pada diabetes melitus. Pada stadium awal terjadinya resistensi insulin, kadar toleransi glukosa masih normal akibat adanya kompensasi dari sel beta pankreas yang meningkatkan produksi insulin. Dengan berjalannya proses penyakit, keadaan hiperinsulinemia berkembang, hingga sel beta pankreas tidak dapat lagi mengkompensasi. Keadaan tersebut dinamakan IGT (Impaired Glucose Tolerance), yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah postprandial. Dengan terus menurunnya sekresi insulin dan meningkatnya produksi glukosa hepar maka berkembanglah diabetes melitus dengan hiperglikemia pada pemeriksaan kadar glukosa puasa. Mekanisme tersebut menunjukkan kaitan antara sensitivitas dan sekresi insulin. Keadaan akhir dari perjalanan penyakit tersebut adalah kegagalan fungsi sel beta pankreas. Resistensi insulin adalah ketidakmampuan insulin bekerja pada target organ perifer (terutama pada hepar dan otot). Resistensi insulin mengakibatkan terganggunya pemakaian timbulnya puasa, insulin pada organ-organ pada DM. yang sensitif terhadap insulin di dan hepar meningkatnya produksi glukosa hepar. Dimana kedua hal tersebut berperan pada hiperglikemia Meningkatnya produksi glukosa mengakibatkan hiperglikemia pada FPG (Fasting Plasma Glucose)/glukosa darah sedangkan menurunnya pemakaian glukosa di perifer mengakibatkan

hiperglikemia pada pemeriksaan glukosa darah postprandial. Penggunaan glukosa pada organ yang tidak sensitif insulin tidak berkurang pada DM tipe 2. Obesitas dapat berperan dalam patogenesis diabetes melitus melalui beberapa cara. Free Fatty Acid dapat mengganggu pemakaian glukosa pada otot-otot lurik, merangsang pembentukan glukosa di hepar dan mengganggu fungsi sel beta pankreas. Hepar menjaga kadar glukosa darah pada keadaan puasa melalui glikogenolisis dan glukoneogensis. Insulin menyebabkan penyimpanan glukosa dalam hepar dalam bentuk glikogen dan menekan glukoneogenesis. Dengan ada resistensi insulin maka tidak ada yang menekan proses glukoneogenesis dan mengurangi penyimpanan glukosa di hepar.

Faktor Resiko pada DM Tipe 2(1,2) 1. Riwayat DM dalam keluarga (orang tua atau saudara sekandung)

2. Obesitas (BMI 27 kg/m2)3. Usia 45 tahun

4. Ras/Etnis 5.Individu dengan IFG (Impaired Fasting Glucose) atau IGT (Impaired Glucose Tolerance) 6. Riwayat DM pada kehamilan atau riwayat melahirkan dengan BB bayi lahir > 4,5 kg 7. Hipertensi (tekanan darah 140/90 mmHg)

8. Kadar kolersterol HDL 35 mg/dL dan/atau kadar trigliserida 250 mg/dL9. Plycistic Ovary syndrome.

Diagnosis1 Diagnosis terbaru diabetes melitus berdasarkan konsensus dari National Diabetes Data Group dan WHO : (atau) (atau) Gejala khas diabetes dengan kadar GDS 200 mg/dL FPG/kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL Glukosa darah 2 jam postprandial 200 mg/dL

Klasifikasi toleransi glukosa berdasarkan kadar Gula Darah Puasa FPG 110 mg/dL = Normal FPG 126 mg/dL = IFG (impaired Fasting Glucose) FPG 126 mg/dL = DM

:1,2

Klasifikasi toleransi glukosa berdasarkan kadar Gula Darah 2 jam PP

:

GD 2 jam PP 140-200 mg/dL = IGT (Impaired Glucose Tolerance)

Individu dengan IFG atau IGT memiliki resiko tinggi untuk berkembang menjadi DM tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler. Kriteria baru tersebut menunjukkan keunggulan penggunaan pengukuran kadar gula darah puasa dalam diagnosis diabetes melitus, terutama pada pasien-pasien yang asimptomatik. Kadar GDS 200 mg/dL disertai dengan gejala khas diabetes melitus (polyuri, polydipsia dan berat badan yang menurun) cukup untuk menegakkan diagnosis DM. 2 jam-PP 140 200

N110 GDP 126

IGT

IFG

IFG/IGT

DM

Pemeriksaan glukosa darah puasa sebagai skrining sudah luas digunakan dan sangat dianjurkan, hal tersebut diakibatkan oleh beberapa alasan, yaitu mereka adalah penderita DM DM tipe 2 sudah berkembang lebih dari satu dekade hingga saat diagnosis ditegakkan, dan : Banyaknya pasien asimptomatik dan tidak menyadari bahwa sebenanya

hampir 50% individu telah menderita satu atau lebih komplikasi kronis dari diabetes melitus saat terdiagnosis.1,2

Dianjurkan skrining kadar glukosa darah setiap 3 tahun pada semua individu yang berusia > 45 tahun dan skrining pada usia lebih muda pada individu yang memiliki faktor resiko. Pemeriksaan HbA1c (hemoglobin A1c) sedang dikembangkan dalam penegakkan diagnosis DM. Sel darah merah memiliki daur hidup kurang lebih 3 bulan. Dalam tubuh glukosa melekat pada protein yaitu HbA1c. Sehingga, dengan mengukur kadar HbA1c makan akan dapat diperkirakan berapa kadar glukosa selama kurang lebih 3 bulan. Normal 4-5,9%. Pada DM tidak terkontrol angka tersebut bisa mencapai 8% atau lebih. Keuntungan dari pemeriksaan HbA1c adalah menilai kadar glukosa dalam jangka waktu tertentu(3 bulan) dengan hasil yang lebih stabil dibandingkan dengan pengukuran gula darah plasma sewaktu.4

A1c(%) 6 7 8 9 10 11 12

Mean blood sugar (mg/dl) 135 170 205 240 275 310 345

Pengelolaan3 Tujuan pengelolaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup. Tujuan pengelolaan jangka pendek adalah menghilangkan keluhan diabetes melitus dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat. Tujuan pengelolaan jangka panjang adalah mencegah dan menghambat progresitivitas komplikasi mikro dn makroangiopati serta neuropati dengan tujuan akhir menurunnya angka morbiditas dan mortilitas pada DM.

1. Edukasi Diabetes Melitus Tipe 2 pada umumnya terjadi pada saat seseorang telah memiliki pola hidup yang kokoh. Keberhasilan pengelolaan DM membutuhkan kerjasama dari pasien dan keluarganya. Untuk mencapai keberhasilan pengelolaan dibutuhkan edukasi : yang komprehensif. Edukasi tersebut meliputi pemahaman tentang Penyakit DM Makna perlunya penanganan DM Penyulit DM Intervensi farmakologis dan non-farmakologis Hipoglikemia Masalah khusus yang dihadapi Cara mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan ketrampilan Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

2. Perencanaan Makan Perencanaan makan merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes melitus. Faktor yang berpengaruh pada respons glikemik makanan adalah cara memasak, proses penyiapan makanan dan bentuk serta komposisi makanan. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi Karbohidrat Protein Lemak 60-70% 10-15% 20-25% :

Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh dan membatasi asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat 25g/hari, diutamakan serat larut. Pasien diabetes dengan hipertensi sebaiknya membatasi konsumsi garam. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, ada tidaknya stres akut, dan kegiatan jasmani.

Untuk penetuan status gizi, dapat digunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) atau rumus Brocca. Klasifikasi IMT = BB (kg)/TB (m2) BB kurang BB Normal BB lebih Dengan Resiko Obesitas I Obesitas II < 18,5 18,5 22,9 23 23 24,9 25 29,9 30

Untuk mengetahui kebutuhan kalori, dapat digunakan rumus Brocca, yaitu: Berat Badan Idaman (BBI) = (TB-100) x 10% Status Gizi = BB Aktual x 100%/TB (cm)-100 BB < 90% BBI BB 90-110% BBI BB 110-120% BBI BB > 120% BBI

BB Kurang BB Normal BB Lebih Gemuk

Penghitungan kebutuhan kalori diawali dengan penghitungan kalori basal (30 kkal/kgBBI pada Pria, 25 kkal/kgBBI pada Wanita). Pada individu berusia > 40 tahun, dikurangi 5% dari kalori basal. Adanya stres, kebutuhan kalori ditambah 20-30% dari kalori basal. Aktivitas diperhitungkan, kebutuhan kalori ditambah sesuai aktivitas yang dilakukan. Perhitungan kalori6 Kalori basal Usia >40 tahun -5% x a Aktivitas : Ringan Sedang Berat Badan :20% x a :30% x a =.............kalori (a) =-............kalori =+...........kalori =+...........kalori =-............kalori

: Gemuk -20% x a

Kurus +20% x a Total kebutuhan 3. Latihan Jasmani

=+...........kalori =..............kalori

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani teratur, 3-4 kali seminggu, selama kurang lebih 30 menit, merupakan salah satu pilar pengelolaan DM tipe 2. Latihan Jasmani dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas terhadap insulin. Latihan jasmani yang dimaksud adalah jalan, bersepeda santai, jogging, dan berenang. 4. Intervensi Farmakologis Intervensi farmakologis diberikan bila sasaran glukosa darah tidak tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Obat Hiperglikemik Oral (OHO) Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi tiga golongan:

Pemicu sekresi insulin (Insulin Secretagogue) Sulfonilurea dan Glinid. Penambah sensitivitas terhadap insulin Metformin, Tiazolidindion Penghambat absorbsi glukosa Penghambat glukosidase alfa

:

:

:

Pemicu sekresi insulin

a. Sulfonilurea Obat golongan ini meliki efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada keadaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardovaskular tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea jangka panjang seperti klorpropamid. b. Glinid Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari dua macam obat yaitu Repaglinid dan Nateglinid. Obat ini

diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Penambah sensitivitas terhadap Insulin a. Metformin Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati, disamping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal. Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluha tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. b. Tiazolidindion Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan obat tunggal. Penghambat Alfa Glukosidase (acarbose) jumlah pentranspor glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Saat ini tiazolidindion tidak digunakan sebagai

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Insulin Insulin diperlukan pada keadaan : Penurunan berat badan yang cepat Hiperglikemia berat yang disertai ketosis Ketoasidosis diabetik Hiperglikemik hiperosmolar non ketosis Hiperglikemia dengan asidosis laktat Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, dll) DM gestational Gangguan fungsi hati dan ginjal Kontraindikasi atau alergi terhadap OHO

Komplikasi Kronis1

Komplikasi kronis pada DM melibatkan banyak organ dan merupakan penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada DM. Komplikasi Kronis Dibagi Menjadi Komplikasi Vaskuler :

Mikrovaskuler

Retinopati Neuropati (Sensorik, Motorik, Autonom) Nefropati

Makrovaskuler

Coronary Artery Disease

Penyakit Pembuluh Darah Perifer Penyakit Cerebrovaskuler

Komplikasi Nonvaskuler

Gastroparesis Disfungsi Seksual Perubahan/kelainan pada kulit

Resiko timbulnya komplikasi kronik meningkat seiring dengan meningkatnya kadar glukosa darah. DM tipe 2 memiliki periode asimptomatik yang panjang, hal itu menyebabkan saat seseorang terdiagnosa DM, seseorang tersebut sudah menderita komplikasi kronis. Keadaan hiperglikemia diabetes melitus, merupakan etiologi terjadinya komplikasi kronis pada dapat

namun

mekanisme

bagaimana

keadaan

hiperglikemi

mempengaruhi dan mengganggu fungsi organ tubuh belum jelas diketahui. Terdapat tiga teori yang diperkirakan berperan dalam mekanisme terjadinya komplikasi kronis. Teori pertama, peningkatan kadar glukosa darah meningkatkan terbentuknya AGEs (Advanced Glycosylation End Products). AGEs tersebut yang dipercaya menjadi bagian dari mekanisme terjadinya komplikasi kronis. AGEs dapat mempercepat terjadinya atherosclerosis, menyebabkan disfungsi dari glomerolus dan endotel, merubah struktur matriks ekstraseluler. Kadar AGEs sebanding dengan kadar glukosa, dengan meningkatnya kadar glukosa, meningkat pula kadar AGEs. AGEs juga terakumulasi dalam darah dengan menurunnya fungsi glomerolus.

Teori

kedua

mengatakan

bahwa

keadaan

hiperglikemia

dapat

menyebabkan

terjadinya komplikasi kronik melalui jalur sorbitol. Glukosa didalam sel mengalami metabolisme berupa fosforilasi dan glycolisis, namun dengan meningkatnya glukosa didalam sel, maka glukosa tersebut di metabolisme menjadi sorbitol. Peningkatan kadar sorbitol mempengaruhi fisiologi seluler tubuh yang akan berakhir dengan disfungsi seluler. Teori ketiga mengatkan bahwa peningkatan kadar glukosa darah akan meningkatkan pembentukan diacylglycerol yang akan merangsang aktivasi dari PKC (protein kinaseC), dimana PKC akan mempengaruhi fungsi seluler tubuh.

Hiperglikemia

glukosa intrasel

Sorbitol AGE DAG

Abnormalitas fungsi protein

AGE dalam sirkulasi

Gangguan pada osmolaritas myoinositol

Aktivasi PKC

Gangguan fungsi sel

- Efek pada Ginjal, Pembuluh darah - Sitokin, growth factor

Gangguan fungsi enzim Gangguan fungsi sel

Gangguan pada gen

Growth factor

Komplikasi pada diabetes

(Dikutip dari Harrisons 15th edition, figure 333-7)

Komplikasi Kronis Pada DM

:

Retinopati Diabetikum1,2 Kebutaan pada diabetes melitus merupakan akibat dari retinopati diabetikum yang progresif. Terdapat dua stadium pada retinopati diabetikum, nonproliferatif dan proliferatif.

Retinopati

diabetikum pada

non-proliferatif darah

ditandai retina dan

dengan cotton wool

adanya spots.

mikroaneurisma

pembuluh

Patofisiologi pada retinopati non-proliferatif adalah akibat meningkatnya permeabilitas pembuluh darah retina, hilangnya perisit pada retina dan terganggunya aliran darah retina, semua itu berakhir dengan terjadinya iskemia pada retina. Adanya neovaskularisasi akibat hipoksia pada retina merupakan ciri khas retinopati proliferatif. Neovaskularisasi dapat terjadi pada nervus optikus dan/makula dan dapat ruptur. Jika neovaskularisasi tersebut ruptur maka akan terjadi perdarahan pada vitreous, kemudian akan terjadi fibrosis dan perlengketan retina. Retinopati proliferatif dapat timbul dalam lima tahun, sedangkan retinopati non-proliferatif pada tahun ke-20. Sehingga alangkah baiknya untuk melakukan pencegahan dengan mengontrol kadar glukosa darah. Selain mengontrol kadar gula darah, sebaiknya individu dengan diabetes melitus melakukan pemeriksaan mata secara teratur.1

Nefropati Diabetikum Proteinuria pada pasien diabetes melitus berhubungan dengan menurunnya angka keselamatan dan meningkatnya resiko timbulnya penyakit kardiovaskuler. Sebagian besar pasien diabetes melitus dengan nefropati juga mengalami retinopati. Pada tahun pertama diabetes melitus, terjadi hiperperfusi glomerolus dan hipertrofi ginjal yang terlihat dengan meningkatnya GFR (glomerular filtration rate). Selama perjalanan lima tahun terjadi penebalan membran basalis glomerolus dan pengembangan volume mesangial, sehingga GFR kembali ke normal. Perjalanan penyakit berlanjut dengan ekskresi sejumlah kecil albumin ke dalam urin (mikroalbuminuria). Dikatakan mikroalbuminuria bila pada pemeriksaan didapatkan albumin 30-300 mg/dl dalam urin 24 jam. Namun pada DM tipe 2 mikroalbuminuria biasanya sudah terjadi saat diagnosis diabetes melitus ditegakkan, hal tersebut menunjukkan lamanya periode asimptomatik pada DM tipe 2. Sehingga pola perjalanan nefropati pada diabetes melitus tipe 2 sulit diperkirakan.

Pada saat mikroalbuminuria perjalanan penyakit masih reversibel, diharapkan adanya perbaikan fungsi seluler glomerolus dengan terkontrolnya kadar glukosa darah. Jika proteinuria nyata telah terjadi, akan terjadi penurunan GFR dan pada saat ini perjalanan penyakit sudah irreversibel. Kesulitan pada DM tipe 2 adalah mikroalbuminuria sulit digunakan untuk memprediksikan terjadinya proteinuria nyata. Selain itu, kesulitan lain yang timbul adalah adanya kemungkinan mikroalbuminuria pada DM tipe 2 adalah sekunder dari faktor-faktor yang tidak berhubungan langsung dengan dibetes melitus seperti hipertensi, CHF atau infeksi. Seperti halnya pada retinopati, pengobatan terbaik adalah pencegahan. Deteksi dini mikroalbumniuria akan mempermudah pemberian terapi yang efektif. Intervensi yang dapat dilakukan untuk mencegah berkembangnya mikroalbuminuria menjadi proteinuria nyata adalah dengan mengontrol kadar glukosa darah dan terapi farmakologi berupa ACE inhibitor. Diet pasien juga harus diperhatikan, pada pasien dengan mikroalbuminuria diberikan diet rendah protein sebanyak 0,8 gram/kgBB/hari. Sedangkan pada pasien dengan proteinuria masif diberikan diet rendah protein sebanyak 0,6 gram/kgBB/hari. 1 Nefropati pada DM dapat mengakibatkan terjadinya insufisiensi renal. Jika insufisiensi renal harus diperhatikan penggunaan insulin. Degradasi insulin terjadi di ginjal, sehingga dengan menurunnya fungsi ginjal maka menurun pula dosis insulin.1

Urinalisis untuk protein Urinalisis untuk protein +

Tes untuk mikroalbuminuria Tes untuk mikroalbuminuria Hilangkan kemungkinan adanya kondisi yang sebabkan peningkatan ekskresi albumin

+

Hilangkan kemungkinan adanya kondisi yang sebabkan peningkatan ekskresi albumin

Pemeriksaan kuantitatif protein pada urin 24 jam

Ulangi pemeriksaan mikroalbuminuria setiap 3-6 bulan

Nefropati (pasti )

Tdk Mikroalbuminuria +2/+3 (awal nefropati )

ya treatment

(Dikutip dari Harrisons 15th edition, figure 333-10)

Selain itu, nefropati pada diabetes melitus juga dapat berakhir pada keadaan akhir penyakit ginjal (ESRD/End Stage Renal Disease) yang hanya dapat diatasi dengan dialysis atau transplantasi.7

Neuropati Diabetikum1 Neuropati diabetikum muncul pada hampir 50% penderita diabetes melitus. Manifestasi dari neuropati diabetikum dapat beupa polineuropati, mononeuropati, dan/atau neuropati otonomik. Seperti halnya komplikasi DM lainnya, proses neuropati juga berhubungan dengan lamanya perjalanan penyakit dan kadar glukosa darah. Neuropati yang khas dari DM tipe 2 adalah polineuropati distal dan simetris. Biasanya disertai dengan kehilangan rangsangan sensoris. Dengan berjalannya proses neuropati, parestesi timbul dengan keluhan berupa rasa baal, rasa seperti tertusuk-tusuk atau terbakar yang berawal pada kaki dan bergerak ke proksimal. Rasa nyeri yang timbul biasanya pada ekstremitas inferior, timbul saat istirahat dan terasa lebih berat pada malam hari. Neuropati otonomik biasanya mempengaruhi sistem kardiovaskuler, yaitu dengan manifestasi berupa takikardi saat istirahat dan hipotensi otrostatik.

Gangguan pengosongan vesika urinaria dan adanya gastroparesis juga dapat timbul akibat adanya neuropati otonomik. Hiperhidrosis pada ekstremitas superior dan anhidrosis pada ekstremitas inferior timbul akibat disfungsi simpatis. Anhidrosis pada ekstremitas inferior dapat menyebabkan kulit kering dan pecah-pecah, sehingga meningkatkan resiko terjadinya ulkus. Bahaya yang terjadi akibat neuropati otonomik adalah jika terjadi gangguan pada regulator hormon, sehingga tubuh tidak dapat mendeteksi terjadinya hipoglikemia, sehingga meningkatkan resiko terjadinya hipoglikemia pada DM. Terapi pada neuropati sangat sulit. Mengontrol kadar glukosa darah akan menambah kecepatan konduksi pada sistem saraf, namun keluhan neuropati belum tentu mengalami perubahan. Suplementasi dengan pemberian vitamin B6, B12 dan folat serta teapi simptomatis adalah pengobatan yang sampai saat ini dapat dilakukan. Oleh sebab itu, perhatian dan perawatan tubuh yang baik dapat mencegah timbulnya kelainan (fisur atau ulkus) akibat neuropati.

Disfungsi Gastrointestinal dan Genitourinaria1 Penyakit DM yang sudah berlangsung lama dapat menyebakan gangguan pada saluran pencernaan atau pada saluran kemih. Komplikasi utama pada saluran pencernaan adalah gangguan pengosongan lambung dan gangguan motilitas usus. Gejala yang timbul berupa anoreksia, nausea, muntah, dan kembung. Disfungsi parasimpatis juga berperan penting dalam timbulnya gangguan pengosongan lambung. Gangguan motilitas ditandai dengan diare berulang disertai konstipasi. Neuropati otonomik berperan dalam timbulnya komplikasi pada saluran kemih, berupa cystopati, disfunsi erektil dan disfungsi seksual. Gangguan cystopati muncul dengan gejala tidak dapat merasakan keinginan untuk buang air kecil dan seringnya muncul perasaan tidak puas atau lega setelah buang air kecil. Hal tersebut mengakibatkan terganggunya kontraktilitas vesika urinaria dan meningkatnya volume residu pada vesika urinaria. Keadaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia dan meningkatkan resiko infeksi saluran kemih. Penatalaksanaannya adalah dengan pengaturan kadar glukosa darah. Diet makanan yang mudah dicerna (lunak atau cair) dan diet rendah lemak dan serat dapat mengurangi keluhan gastroparesis. Jika terjadi diare pada

diabetes tanpa ada pertumbuhan bakteri, terapi dapat simptomatis saja. Bila terdapat pertumbuhan bakteri pada diare, dapat diberikan terapi antibiotik. Pada cistopati dapat dilakukan pelatihan waktu buang air kecil. Pengobatan farmakologi sering tidak efektif pada pengobatan cistopati.

Gangguan Kardiovaskuler1 Resiko timbulnya penyakit kardiovaskuler meningkat pada pasien diabetes melitus. Pasien DM memiliki resiko tinggi menderita penyakit pembuluh darah perifer, CHF, CAD dan MCI. Dengan dasar tersebut, pada pasien dengan DM harus dilakukan skrining adanya atherosklerosis. Silent Ischemia biasa terjadi pada pasien dengan diabetes melitus. Sehingga, evaluasi menyeluruh pada sistem kardiovaskuler sangat diperlukan pada pasien DM. Faktor resiko penyakit makrovaskuler pada pasien diabetes melitus adalah dislipidemia, hipertensi, obesitas, aktivitas fisik yang rendah, dan merokok. Faktor resiko tambahan yaitu mikroalbuminuria, gross proteinuria, peningkatan kadar kreatinin darah, dan terganggunya fungsi trombosit. Pola dislipidemia pada DM berupa hipertrigliserida dan menurunnya HDL dalam darah. DM tidak meningkatkan kadar LDL, namun kadar LDL yang sedikit pada pasien DM lebih bersifat atherogenik karena LDL pada DM lebih mudah teroksidasi. Hipertensi dapat mempercepat timbulnya komplikasi lain pada diabetes melitus, terutama komplikasi pada sistem kardiovaskuler dan nefropati. Penatalaksanaan yang pertama disarankan adalah perubahan pola hidup, yaitu melaksanakan pola hidup sehat dengan mengurangi berta badan pada individu yang obesitas, olah raga, mencegah timbulnya stres dan diet rendah garam. Dengan meningkatnya resistensi insulin, maka meningkat pula resiko timbulnya gangguan kardiovaskuler. Pada pasien dengan resistensi insulin, terdapat peningkatan PAI (Plasminogen Activating Inhibitor)-1 dan fibrinogen yang berperan dalam proses koagulasi serta mengganggu proses fibrinolisis sehingga mempermudah timbulnya trombosis.

Pada individu dengan diabetes melitus memiliki insiden yang lebih tinggi untuk menderita multifaktorial, CHF (congestive heart failure). Etiologi iskemia miokardium akibat hal tersebut mencakup atherosklerosis,

hipertensi serta gangguan fungsi sel miokardium akibat hiperglikemia kronik. Pada dasarnya, penanganan penyakit koroner pada pasien dengan diabetes melitus tidak berbeda dengan penderita penyakit jantung koroner lainnya. Terapi yang digunakan adalah terapi antitrombosis, dengan asam asetilsalisilat (dosis 80-325 mg).

Komplikasi pada Ekstremitas Inferior Diabetes Melitus merupakan penyebab utama amputasi non-traumatik pada ekstremitas inferior. Ulkus dan infeksi pada ekstremitas inferior juga berperan dalam meningkatnya angka morbiditas pada DM. Komplikasi pada ekstremitas inferior memiliki patogenesis yang kompleks. Merupakan gabungan dari beberapa proses seperti neuropati, gangguan pada pembuluh darah perifer dan penanganan luka yang buruk. Neuropati sensorik mengganggu fungsi proteksi sehingga individu dengan neuropati mudah terkena trauma baik ringan maupun berat yang berulang. Gangguan proprioseptis menyebabkan gangguan penahanan berat badan saat berjalan sehingga mudah timbul kalus atau ulkus. Neuropati otonomik menyebabkan anhidrosis sehingga kulit menjadi kering dan mudah timbul ulkus. Adanya gangguan pembuluh darah perifer dan penanganan luka yang buruk memperlambat penyembuhan luka, memperlebar luka bahkan dapat menyebabkan luka menjadi terinfeksi. Prinsip intervensi penanganan ulkus atau gangraen diabetikum mencakup pencegahan, debridement, pembalutan luka, pemakaian antibiotika yang tepat, revaskularisasi dan amputasi. Pencegahan merupakan terapi yang utama. Edukasi kepada pasien berupa pemilihan alas kaki yang baik, inspeksi pada ekstremitas inferior setiap hari, menjaga kebersihan kaki, menghindari kebiasaan buruk seperti berjalan tanpa alas kaki, dan segera berobat bila ada kelainan dapat membantu proses pencegahan. Jika luka sudah ada, pencegahan trauma mekanik berulang

pada luka juga membantu menghilangkan salah satu faktor yang berperan dalam perlambatan penyembuhan luka. Debridemen pada luka dengan neuropati merupakan penanganan yang penting dan efektif, namun modalitas lain yang dibutuhkan dalam pembersihan luka seperti enzim menjadi berkurang dengan debridemen. Debridemen dilakukan bila terdapat jaringan nekrotik yang luas, infeksi dan tidak ada perkembangan penyembuhan luka setelah pemakaian antibiotika yang tepat. Pembalutan luka berperan dalam penyembuhan dengan menciptakan lingkungan yang lembut dan melindungi luka. Pemakaian antiseptik atau antibiotika lokal harus dihindari. Infeksi pada ulkus akibat dari berbagai organisme dan dapat pula timbul gas gangraen. Kultur yang baik akan didapat dengan mengambil sediaan dari pus atau jaringan nekrotik pada ulkus. Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk melihat kemungkinan terjadinya osteomielitis. Infeksi ringan atau infeksi yang tidak melibatkan tulang dapat diberi dan antibiotika quinolon), oral (sefalosporin, dengan klindamicin, amoxicillin/kalvulanat, disertai

debridemen jaringan nekrotik dan perawatan luka yang baik. Ulkus yang lebih berat atau gangraen memerlukan antibiotika intravena. Antibiotika intravena yang digunakan adalah yang antibiotika biasa broad-apectrum, digunakan adalah mencakup cefotetan, Staphylococcus aureus, streptococcus, bakteri gram negatif maupun bakteri anaerob. Antibiotika ampicillin/sulbactam, atau kombinasi klindamisin dan kuinolon. Infeksi yang tidak mengalami perubahan dalam 48 jam dengan terapi antibiotika, perlu penilaian ulang pemakaian antibiotika, pemikiran ulang untuk dilakukan debridemen dan revaskularisasi. Sebaliknya, bila terjadi kemajuan penyembuhan luka, antibiotika intravena dapat diganti dengan antibiotika oral disertai dengan perawatan luka yang intensif.

Infeksi1 Pasien dengan diabetes melitus memiliki resiko dan frekuensi yang lebih tinggi terjadinya infeksi. Hal tersebut disebabkan adanya abnormalitas pada imunitas seluler dan fungsi fagosit akibat keadaan hiperglikemia. Selain itu juga akibat

terganggunya vaskularisasi. Hiperglikemia mungkin meningkatkan kolonisasi dan pertumbuhan berbagai macam organisme. Infeksi yang sering terjadi pada diabetes melitus adalah pneumonia, tuberkulosis, infeksi saluran kemih, dan infeksi pada kulit dan jaringan lunak. Kuman yang sering sebabkan infeksi saluran kemih pada DM adalah Eschericia coli. Gangguan cystopati juga berperan dalam timbulnya infeksi saluran kemih.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Braunwald, E.; Fauci, A. S.; Kasper, D. L.; Hauser, S. L.;

Longo, D. L.; Jameson, J. L. Harrisons Principles of Internal Medicine 15th edition. McGraw Hill. India: 2001.

2. 3. 4. 5. 6. 7.

http://www.emedicine.com Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Pengelolaan

Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PB PERKENI. Jakarta: 2002. Price, A. S.; Wilson, L. M. Patofisiologi, Konsep Klniis

Proses-Proses Penyakit. EGC. Jakarta: 1995. http://www.webmd.com Noer, H. M. S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi

Ketiga. Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 1996. Noer, H. M. S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi

Ketiga. Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 1996.

8.

Almatsier, M. MIMS Volume 6 Nomor 2 Edisi Bahasa

Indonesia. CMPMedica. Jakarta: 2005.

CASE DAN REFERAT

Pembimbing

:

Dr. Mona Albaar, Sp. PD

Disusun Oleh Stephanie Arum S

: 030.00.228

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Rumah sakit Umum Daerah Bekasi Periode 20 Maret 2006-27 Mei 2006 Faklutas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta