case report asma
TRANSCRIPT
ASMA BRONKIAL
1. Definisi
Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran pernapasann
yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang
reversible dan gejala pernapasan.1 Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis,
fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode
sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan
fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah
episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada
ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran
napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas.2
2. Epidemiologi
Asma bronkial merupakan salah satu penyakit alergi dan masih menjadi
masalah kesehatan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Prevalensi
dan angka rawat inap penyakit asma bronkial di negara maju dari tahun ke tahun
cenderung meningkat. Perbedaan prevalensi, angka kesakitan dan kematian asma
bronkial berdasarkan letak geografi telah disebutkan dalam berbagai penelitian.
Selama sepuluh tahun terakhir banyak penelitian epidemiologi tentang asma
bronkial dan penyakit alergi berdasarkan kuisioner telah dilaksanakan di berbagai
belahan dunia. Semua penelitian ini walaupun memakai berbagai metode dan
kuisioner namun mendapatkan hasil yang konsisten untuk prevalensi asma
bronkial sebesar 5-15% pada populasi umum dengan prevalensi lebih banyak pada
wanita dibandingkan laki-laki. Di Indonesia belum ada data epidemiologi yang
pasti namun diperkirakan berkisar 3-8%.3
Dua pertiga penderita asma bronkial merupakan asma bronkial alergi (atopi)
dan 50% pasien asma bronkial berat merupakan asma bronkial atopi. Asma
bronkial atopi ditandai dengan timbulnya antibodi terhadap satu atau lebih alergen
seperti debu, tungau rumah, bulu binatang dan jamur. Atopi ditandai oleh
peningkatan produksi IgE sebagai respon terhadap alergen. Prevalensi asma 1
2
bronkial non atopi tidak melebihi angka 10%. Asma bronkial merupakan interaksi
yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Data pada penelitian saudara
kembar monozigot dan dizigot, didapatkan kemungkinan kejadian asma bronkial
diturunkan sebesar 60-70%.3
3. Patogenesis
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang melibatkan beberapa sel.
Pada asma terjadi mekanisme hiperresponsif bronkus dan inflamasi, kerusakan sel
epitel, kebocoran mikrovaskuler, dan mekanisme saraf. Hiperresponsif bronkus
adalah respon bronkus yang berlebihan akibat berbagai rangsangan dan
menyebabkan penyempitan bronkus. Peningkatan respon bronkus biasanya
mengikuti paparan alergen, infeksi virus pada saluran nafas atas, atau paparan
bahan kimia. Hiperesponsif bronkus dihubungkan dengan proses inflamasi saluran
napas. Pemeriksaan histopatologi pada penderita asma didapatkan infiltrasi sel
radang, kerusakan epitel bronkus, dan produksi sekret yang sangat kental.
Meskipun ada beberapa bentuk rangsangan, untuk terjadinya respon inflamasi
pada asma mempunyai ciri khas yaitu infiltrasi sel eosinofil dan limfosit T disertai
pelepasan epitel bronkus.4
Kerusakan sel epitel saluran napas dapat disebabkan oleh karena basic
protein yang dilepaskan oleh eosinofil atau pelepasan radikal bebas oksigen dari
bermacam-macam sel inflamasi dan mengakibatkan edema mukosa. Sel epitel
sendiri juga mengeluarkan mediator. Kerusakan pada epitel bronkus merupakan
kunci terjadinya hiperresponsif bronkus, ini mungkin dapat menerangkan berbagai
mekanisme hiperresponsif bronkus oleh karena paparan ozon, infeksi virus, dan
alergen. Kerusakan epitel mempunyai peranan terhadap terjadinya hiperresponsif
bronkus melalui cara pelepasan epitel yang menyebabkan hilangnya pertahanan,
sehingga bila terinhalasi, bahan iritan akan langsung mengenai submukosa yang
seharusnya terlindungi. Pelepasan epitel bronkus meningkatkan kepekaan otot
polos bronkus terhadap bahan spasmogen.4
Mekanisme kebocoran mikrovaskuler terjadi pada pembuluh darah venula
akhir kapiler. Beberapa mediator seperti histamin, bradikinin, dan leukotrin dapat
3
menyebabkan kontraksi sel endotel sehingga terjadi ekstravasasi makromolekul.
Kebocoran mikrovaskuler mengakibatkan edema saluran napas sehingga terjadi
pelepasan epitel, diikuti penebalan submukosa. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tahanan saluran napas dan merangsang konstraksi otot polos bronkus.
Adrenalin dan kortikosteroid dapat mengurangi kebocoran mikrovaskuler pada
saluran napas. Penurunan adrenalin dan kortikosteroid pada malam hari
mengakibatkan terjadinya pelepasan mediator dan peningkatan kebocoran
mikrovaskuler, hal ini berperan dalam terjadinya asma pada malam hari. 4
Pengaruh mekanisme saraf otonom pada hiperresponsif bronkus dan
patogenesis asma masih belum jelas, hal ini dikarenakan perubahan pada tonus
bronkus terjadi sangat cepat. Peranan saraf otonom kolinergik, adrenergik, dan
nonadrenergik terhadap saluran napas telah diidentifikasi. Beberapa mediator
inflamasi mempunyai efek pada pelepasan neurotransmiter dan mengakibatkan
terjadinya reaksi reseptor saraf otonom. Saraf otonom mengatur fungsi saluran
nafas melalui berbagai aspek seperti tonus otot polos saluran napas, sekresi
mukosa, aliran darah, permeabilitas mikrovaskuler, migrasi, dan pelepasan sel
inflamasi. Peran saraf kolinergik paling dominan sebagai penyebab
bronkokonstriksi pada saluran napas. Beberapa peneliti melaporkan bahwa
rangsangan yang disebabkan oleh sulfur dioksida, prostaglandin, histamin dan
bradikinin akan merangsang saraf aferen dan menyebabkan bronkokonstriksi.
Bronkokonstriksi lebih sering disebabkan karena rangsangan reseptor sensorik
pada saluran napas (reseptor iritan, C-fibre) oleh mediator inflamasi.4
4. Faktor Risiko2
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan.
1. Faktor Genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,
4
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan
faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut kurang lebih
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor risiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran
napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan
asma, dapat mempengaruhi gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan.
2. Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari dan spora jamur).
3. Faktor Lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin,
tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain-lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
5
Stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala
asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami
stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih
sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok,
sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang
dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada
usia dini.
f. Polusi udara dari dalam dan luar ruangan
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga
tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling
mudah menimbulkan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi
segera setelah selesai aktivitas tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca yang lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya
serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari
beterbangan).
i. Status ekonomi
5. Diagnosis dan Klasifikasi
Asma akut merupakan kegawatdaruratan medis yang harus segera
didiagnosis dan diobati. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1 Diagnosis penyakit asma bronkial
perlu dipikirkan apabila ada gejala batuk yang disertai dengan wheezing (mengi)
yang karakteristik dan timbul secara episodik. Gejala batuk terutama terjadi pada
6
malam atau dini hari, dipengaruhi oleh musim, dan aktivitas fisik. Adanya riwayat
penyakit atopik pada pasien atau keluarganya memperkuat dugaan adanya
penyakit asma. Dermatitis atopik dan alergi makanan merupakan penyakit alergi
yang pertama kali muncul pada usia tahun pertama anak, kemudian dapat
berkembang menjadi alergi respiratorik.2
Pada pemeriksaan fisik terutama ditujukan kepada keadaan umum pasien.
Pasien dengan kondisi sangat berat akan duduk tegak. Penggunaan otot-otot
tambahan untuk membantu bernapas juga harus menjadi perhatian, sebagai
indikator adanya obstruksi yang berat. Adanya retraksi otot
sternokleidomastoideus dan suprasternal menunjukkan adanya kelemahan fungsi
paru.1
Frekuensi pernapasan (RR) > 30 x/menit, takikardi > 120 x/menit atau
pulsus paradoxus > 12 mmHg merupakan tanda vital adanya serangan asma akut
berat. Lebih dari 50% pasien dengan asma akut berat, frekwensi jantungnya
berkisar antara 90-120 x/menit. Umumnya keberhasilan pengobatan terhadap
obstruksi saluran pernapasan dihubungkan dengan penurunan frekwensi denyut
jantung, meskipun beberapa pasien tetap mengalami takikardi oleh karena efek
bronkotropik dari bronkodilator.1
Pengukuran saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SpO2) perlu dilakukan
pada seluruh pasien asma akut untuk mengeksklusi hipoksemia. Pengukuran SpO2
diindikasikan saat kemungkinan pasien jatuh ke dalam gagal napas dan kemudian
memerlukan penatalaksanaan yang lebih intensif. Target pengobatan ditentukan
agar SpO2 92% tetap terjaga.1
Pemeriksaan radiologis dilakukan hanya untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya penyakit paru lain. Pemeriksaan patologi ditemukan adanya
hipertrofi otot polos bronkus, peningkatan sekresi mukus dalam lumen bronkus,
edema pada mukosa saluran nafas, inflamasi pada dinding dan lumen saluran
napas dengan infiltrasi sel eosinofil dan netrofil.2
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat
yang diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan
persisten berat seperti ditunjukkan pada tabel 1.
7
Berdasarkan beratnya serangan1
1. Serangan asma ringan : sesak nafas saat berjalan, berbicara kalimat,
kesadaran mungkin agitasi, frekuensi nafas meningkat, terdapat
penggunaan otot bantu napas, mengi terdengar keras, nadi 100-120
kali/menit, pulsus paradoksus tidak ada, APE sesudah terapi awal > 80%,
PaO2 normal, PaCO2 < 45 mmHg dan saturasi O2>95%.
2. Serangan asma sedang
Sesak napas saat berbicara dan lebih suka duduk, berbicara kata-kata,
kesadaran biasanya agitasi, frekuensi napas meningkat, penggunaan otot
napas ada, mengi terdengar tanpa stetoskop, nadi 100-120x/menit, pulsus
paradoksus mungkin ada, APE sesudah terapi awal 60-80%, PaO2 > 60
mmHg, PaCO2 < 45 mmHg dan saturasi O2 91-95%.
3. Serangan asma berat
Sesak napas saat istirahat dan duduk membungkuk, berbicara kata demi
kata, kesadaran biasanya agitasi, frekuensi 30x/menit, penggunaan otot
napas ada, mengi terdengar keras, nadi 120x/menit, pulsus paradoksus
sering ada >25 mmHg, APE sesudah terapi awal < 60% < 100 L/menit,
PaO2 < 60 mmHg, PaCO2 > 45 mmHg dan saturasi O2<90%.
6. Penatalaksanaan
8
Tujuan pengobatan asma bronkial adalah agar penderita dapat hidup normal,
bebas dari serangan asma serta memiliki faal paru senormal mungkin, mengurangi
reaktifasi saluran napas, sehingga menurunkan angka perawatan dan angka
kematian akibat asma. Suatu kesalahan dalam penatalaksanaan asma dalam jangka
pendek dapat menyebabkan kematian, sedangkan jangka panjang dapat
mengakibatkan peningkatan serangan atau terjadi obstruksi paru yang menahun.
Untuk pengobatan asma perlu diketahui juga perjalanan penyakit, pemilihan obat
yang tepat, cara untuk menghindari faktor pencetus. Dalam penanganan pasien
asma penting diberikan penjelasan tentang cara penggunaan obat yang benar,
pengenalan dan pengontrolan faktor alergi. Faktor alergi banyak ditemukan dalam
rumah seperti tungau debu rumah, alergen dari hewan, jamur, dan alergen di luar
rumah seperti zat yang berasal dari tepung sari, jamur, polusi udara. Obat aspirin
dan anti inflamasi non steroid dapat menjadi faktor pencetus asma. Olah raga dan
peningkatan aktivitas secara bertahap dapat mengurangi gejala asma. Psikoterapi
dan fisioterapi perlu diberikan pada penderita asma.5
Obat asma digunakan untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala
dan obstruksi saluran pernafasan. Pada saat ini obat asma dibedakan dalam dua
kelompok besar yaitu reliever dan controller. Reliever adalah obat yang cepat
menghilangkan gejala asma yaitu obstruksi saluran napas. Controller adalah obat
yang digunakan untuk mengendalikan asma yang persisten. Obat yang termasuk
golongan reliever adalah agonis beta-2, antikolinergik, teofilin,dan kortikosteroid
sistemik. Agonis beta-2 adalah bronkodilator yang paling kuat pada pengobatan
asma. Agonis Beta-2 mempunyai efek bronkodilatasi, menurunkan permeabilitas
kapiler, dan mencegah pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Golongan
agonis beta-2 merupakan stabilisator yang kuat bagi sel mast, tapi obat golongan
ini tidak dapat mencegah respon lambat maupun menurunkan hiperresponsif
bronkus. Obat agonis beta-2 seperti salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol
dan isoprenalin, merupakan obat golongan simpatomimetik. Efek samping obat
golongan agonis beta-2 dapat berupa gangguan kardiovaskuler, peningkatan
tekanan darah, tremor, palpitasi, takikardi dan sakit kepala. Pemakaian agonis
beta-2 secara reguler hanya diberikan pada penderita asma kronik berat yang tidak
dapat lepas dari bronkodilator.6
9
Antikolinergik dapat digunakan sebagai bronkodilator, misalnya
ipratropium bromid dalam bentuk inhalasi. Ipratropium bromid mempunyai efek
menghambat reseptor kolinergik sehingga menekan enzim guanilsiklase dan
menghambat pembentukan cGMP. Efek samping ipratropium inhalasi adalah rasa
kering di mulut dan tenggorokan. Mula kerja obat ini lebih cepat dibandingkan
dengan kerja obat agonis beta-2 yang diberikan secara inhalasi. Ipratropium
bromid digunakan sebagai obat tambahan jika pemberian agonis beta-2 belum
memberikan efek yang optimal. Penambahan obat ini terutama bermanfaat untuk
penderita asma dengan hiperaktivitas bronkus yang ekstrem atau pada penderita
yang disertai dengan bronkitis yang kronis.6
Obat golongan xantin seperti teofilin dan aminofilin adalah obat
bronkodilator yang lemah, tetapi jenis ini banyak digunakan oleh pasien karena
efektif, aman, dan harganya murah. Dosis teofilin peroral 4 mg/kgBB/kali, pada
orang dewasa biasanya diberikan 125-200 mg/kali. Efek samping yang
ditimbulkan pada pemberian teofilin peroral terutama mengenai sistem
gastrointestinal seperti mual, muntah, rasa kembung dan nafsu makan berkurang.
Efek samping yang lain ialah diuresis. Pada pemberian teofilin dengan dosis
tinggi dapat menyebabkan terjadinya hipotensi, takikardi dan aritmia, stimulasi
sistem saraf pusat .5,6
Obat yang termasuk dalam golongan controller adalah obat anti inflamasi
seperti kortikosteroid, natrium kromoglikat, natrium nedokromil, dan antihistamin
aksi lambat. Obat agonis beta-2 aksi lambat dan teofilin lepas lambat dapat juga
digunakan sebagai controller. Natrium kromoglikat dapat mencegah
bronkikonstriksi respon cepat atau lambat, dan mengurangi gejala klinis penderita
asma. Natrium kromoglikat lebih sering digunakan pada anak karena dianggap
lebih aman daripada kortikosteroid. Perkembangan terbaru natrium kromoglikat
menghasilkan natrium nedoksomil yang lebih poten. Obat ini digunakan sebagai
tambahan pada penderita asma yang sudah mendapat terapi kortikosteroid tetapi
belum mendapat hasil yang optimal.6
Antihistamin tidak digunakan sebagai obat utama untuk mengobati asma,
biasanya hanya diberikan pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit atopik
10
seperti rinitis alergi. Pemberian antihistamin selama 3 bulan pada sebagian
penderita asma dengan dasar alergi dapat mengurangi gejala asma.5
Kortikosteroid merupakan anti inflamasi yang paling kuat. Kortikosteroid
menekan respons inflamasi dengan cara mengurangi kebocoran mikrovaskuler,
menghambat produksi dan sekresi sitokin, mencegah kemotaksis dan aktivitas sel
inflamasi, mengurangi sel inflamasi, dan menghambat sintesis leukotrin.
Kortikosteroid dapat meningkatkan sensitifitas otot pernafasan yang dipengaruhi
oleh stimulasi beta-2 melalui peningkatan reseptor beta adrenergik. Pemberian
steroid dianjurkan dengan dosis seminimal mungkin. Pemberian kortikosteroid
peroral dapat diberikan secara intermiten beberapa hari dalam sebulan atau dosis
tunggal pagi selang sehari (alternate day), atau dosis tunggal pagi hari.4
Pemberian kortikosteroid peroral sering menimbulkan efek samping pada
saluran cerna seperti gastritis, penurunan daya tahan tubuh, osteoporosis,
peningkatan kadar gula darah dan tekanan darah, gangguan psikiatri, hipokalemi,
moonface, retensi natrium dan cairan, obesitas, cushing syndrom, bullneck dan
yang paling ditakutkan adalah terjadinya supresi kelenjar adrenal. Efek samping
timbul terutama pada pemberian sistemik dalam jangka lama, maka lebih baik
diberikan obat steroid kerja pendek misalnya prednison, hidrokortison, atau
metilprednisolon. Prednison diberikan 40-60 mg/hari/oral, kemudian diturunkan
secara bertahap 50% setiap 3-5 hari. Hidrokortison diberikan 4 mg/kgBB secara
bolus diikuti 3 mg/kgBB/6jam. Metilprednisolon diberikan 50-100 mg/6 jam
secara intravena. Sekarang ini tersedia kortikosteroid dalam bentuk inhalasi
seperti budesonide, fluticasone. Dosis budesonide inhalasi untuk orang dewasa
bervariasi, dosis awal yang dianjurkan adalah 400-1600 mikrogram/hari dibagi
dalam 2-4 dosis, sedangkan untuk anak dianjurkan 200-400 mikrogram/hari
dibagi dalam 2-4 dosis. Pemberian kortikosteroid secara inhalasi lebih baik
dibandingkan pemberian secara sistemik, karena konsentrasi obat yang tinggi
pada tempat pemberian langsung dibawa melalui pernafasan dan bekerja langsung
pada saluran napas sehingga memberikan efek samping sistemik yang lebih kecil.
Penelitian dari Agertoft dan Pedersen menunjukkan bahwa pemakaian budesonide
tidak mengganggu pertumbuhan anak. Penggunaan kortikosteroid inhalasi
merupakan pilihan pertama untuk menggantikan steroid sistemik pada penderita
11
asma kronik yang berat. Efek samping yang sering ditimbulkan dapat berupa
kandidiasis orofaring, refleks batuk, suara serak, infeksi paru, dan kerusakan
mukosa. Pernah dilaporkan efek samping dispnoe dan bronkospasme pada
penggunaan kortikosteroid inhalasi. Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa
penggunaan kortikosteroid secara inhalasi tidak menyebabkan terjadinya
osteoporosis, gangguan pertumbuhan, dan gangguan toleransi glukosa.4
Pemberian kortikosteroid sistemik lebih sering menimbulkan efek samping,
maka sekarang dikembangkan pemberian obat secara inhalasi. Keuntungan
pemberian obat inhalasi yaitu mula kerja yang cepat karena obat bekerja langsung
pada target organ, diperlukan dosis yang kecil secara lokal, dan efek samping
yang minimal. Dengan demikian untuk mengatasi asma kortikosteroid inhalasi
merupakan pilihan yang lebih baik.4
ILUSTRASI KASUS
12
IDENTITAS PASIEN:
Identitas Pasien
Nama : Ny. Zainab
Umur : 57 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Status : Menikah
Alamat : Lereng
Masuk PKM : 31 Agustus 2013
ANAMNESIS
Autoanamnesis
Keluhan Utama
Sesak nafas sejak 30 menit sebelum masuk puskesmas
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 3 hari sebelum masuk puskesmas pasien mengeluhkan sesak nafas.
Sesak nafas bertambah bila pasien batuk, batuk (+) disertai dahak dan
nafas berbunyi ‘ngik’. Pasien berobat ke puskesmas dan keluhan
berkurang, namun sesak muncul kembali setelah obat habis.
Sejak 30 menit sebelum masuk puskesmas sesak nafas yang dirasakan
pasien semakin berat, pada pernafasan terdengar bunyi ‘ngik’ semakin
keras, pasien lebih suka posisi duduk daripada berbaring, pasien masih
bisa berbicara. Pasien juga mengeluhkan batuk-batuk berdahak, dahak
bewarna putih, tidak berdarah, demam(-), nyeri dada (-), bengkak pada
kaki (-), pasien dibawa ke IGD Puskesmas Kuok dan diberi pengasapan,
karena belum tampak perubahan, pasien dirawat inap.
Riwayat Penyakit Dahulu
13
Pasien memiliki riwayat asma dari kecil, sesak nafas timbul bila pasien
terpapar debu, asap rokok, dan udara dingin. Gejala sesak lebih kurang 2
kali dalam seminggu, gejala sesak napas malam >2x dalam sebulan. Sesak
napas dirasakan mengganggu aktivitas dan tidur
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung
Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah pasien menderita asma.
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan
Pekerjaan pasien ibu rumah tangga
Ventilasi di rumah pasien baik
Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Komposmentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 72x/i
Nafas : 32x/menit
Suhu : 36,70C
Pemeriksaan Fisik
Kepala
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat, isokor,
diameter 3 mm, refleks cahaya +/+
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thoraks
Paru
Inspeksi : Bentuk dan gerakan dada kanan = kiri, pernapasan
torakoabdominal, gerakan otot bantu napas (+), sela iga melebar (-),
retraksi iga (-)
Palpasi : sulit dinilai
Perkusi : Sonor
14
Auskultasi : Ekspirasi memanjang, wheezing (+/+), ronkhi (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus kordis teraba lemah di RIC V 1 jari medial LMCS
Perkusi : Batas-batas jantung
Kanan : RIC V linea sternalis dextra
Kiri : RIC V 1 jari medial linea mid clavicula sinistra
Auskultasi : bunyi jantung normal, bising jantung (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut datar , venectasi (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan dan nyeri lepas (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas (Superior et inferior)
Akral hangat, pitting udem(-), clubbing finger (-)
Resume
Pasien Ny. Z, 57 tahun, masuk melalui IGD pada tanggal 31 Agustus 2013
pukul 03.00 WIB dengan keluhan utama sesak nafas sejak 30 menit sebelum
masuk puskesmas. Pada pernafasan terdengar bunyi ‘ngik’ semakin keras, pasien
lebih suka posisi duduk daripada berbaring, pasien masih bisa berbicara. Pasien
juga mengeluhkan batuk-batuk berdahak, dahak bewarna putih, tidak berdarah,
pasien dibawa ke IGD Puskesmas Kuok dan diberi pengasapan, karena belum
tampak perubahan, pasien dirawat inap
Pada pemeriksaan fisik ditemukan penggunaan otot bantu pernapasan (+),
ekspirasi memanjang (+) dan wheezing (+/+).
DAFTAR MASALAH
15
Asma bronkial sedang pada asma persisten ringan
RENCANA PEMERIKSAAN
Spirometri
Analisa gas darah
Rencana Penatalaksanaan
Non Farmakologi
- Istirahat
- hindari faktor pemicu
- menjaga kebersihan kamar tidur agar tidak banyak debu menumpuk
Farmakologi
- IVFD D5% 20 tts/i + aminofilin drip 1 ampul
- O2 5 L/i
- Nebulizer ventolin 3x1
- Salbutamol 2x2 mg
- Dexamethasone 3x1 ampul
- Ambroxol 3x1 cth
- Ranitidin 2x1 gr
Follow Up
1 September 2013
S : sesak nafas berkurang, batuk berdahak (+)
O : TD 120/70 mmHg, nadi 70x/i, nafas 24x/i, wheezing (+/+)
A : Asma bronkial ringan pada asma persisten ringan
P : IVFD D5% 20 tts/i + aminofilin drip 1 ampul
- Salbutamol 2x1 mg
- Ambroxol 3x1 cth
- Dexamethasone 3x1 ampul
- Ranitidin 2x1 gr
2 September 2013
16
S : Sesak nafas berkurang, batuk kadang-kadang ada dan berdahak putih
O : TD 120/80 mmHg, nadi 80x/i, nafas 20x/menit
A : Asma bronkial ringan pada asma persisten ringan
P :
- Salbutamol 2x2 mg
- Ambroxol 3x1 cth
- Dexamethasone 3x0,5 mg
Pasien boleh pulang
PEMBAHASAN
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis asma bronkial sedang pada asma
persisten ringan karena adanya keluhan sesak nafas yang timbul bila pasien
terpapar debu dan asap rokok. Bila sesak nafas timbul terdengar suara ‘ngik’.
Sesak terutama timbul pada malam hari. Gejala sesak nafas > 1 kali dalam
seminggu, gejala sesak nafas malam > 2 kali dalam sebulan, sesak nafas
mengganggu aktivitas da tidur. Hal ini sesuai dengan kriteria klasifikasi derajat
asma persisten ringan berdasarkan gambaran klinis. Pasien lebih suka posisi
duduk, sesak bertambah jika pasien berbicara dan pasien hanya dapat
mengucapkan beberapa kata ketika berbicara. Hal ini sesuai dengan kriteria
beratnya serangan asma yaitu serangan asma sedang. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan adanya ekspirasi memanjang dengan wheezing terdengar pada kedua
lapangan baru.
Asma bronkial dicirikan sebagai suatu penyakit kesulitan bernafas, batuk,
dada sesak dan adanya suara wheezing. Gejala asma dapat terjadi secara spontan
atau mungkin diperberat dengan pemicu yang berbeda antar pasien. Frekuensi
asma mungkin memburuk pada malam hari oleh karena tonus bronkomotor dan
reaktivitas bronkus mencapai titik terendah antara jam 3-4 pagi, meningkatkan
gejala bronkokontriksi.
Terapi pengobatan asma meliputi beberapa hal diantaranya yaitu menjaga
saturasi oksigen arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi
jalan nafas dengan pemberian bronkodilator inhalasi kerja cepat (beta-2 agonis
17
dan antikolinergik) dan mengurangi inflamasi saluran napas serta mencegah
kekambuhan dengan pemberian kortikosteroid sistemik lebih awal.
Penyuluhan:
Pencegahan kekambuhan asma dilakukan dengan pencegahan sensitisasi
alergi. Penderita sebaiknya mengurangi pajanan dengan beberapa alergen indoor
dan outdoor. Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah emosi-stres, terlalu
lelah dan faktor lain. Pasien diupayakan untuk dapat memahami sistem
penanganan asma secara mandiri. Anti inflamasi merupakan pengobatan rutin
yang bertujuan mengontrol penyakit serta mencegah serangan dikenal sebagai
pengontrol. Bronkodilator merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi
serangan dikenal sebagai pelega dan pasien juga dianjurkan untuk berolahraga
misalnya senam asma.
DAFTAR PUSTAKA
1. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi saluran pernapasan akut. Dalam: buku
ajar ilmu penyakit dalam jilid II ed.4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. Hal. 978-87.
18
2. Rengganis I. Diagnosis dan tatalaksana asma bronkial. Majalah
Kedokteran Indonesia. 2008;58(11):444-51.
3. Sastrawan IGP, Suryana K, Rai IBN. Prevalensi asma bronkial atopi pada
pelajar di Desa Tenganan. Jurnal Penyakit Dalam. 2008;9(1):48-53.
4. Meiyanti, Mulia JI. Perkembangan patogenesis dan pengobatan asma
bronkial. Jurnal Kedokteran Trisakti. 2000;19(3):125-32.
5. Amin M, Alsagaff H, Saleh T. Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University press: 1989 ;1-11.
6. Manurung P, Yunus F, Wiyono WH, Jusuf A, Murti B. Hubungan antara
Eosinofil sputum dengan Hiperaktivitas Bronkus pada Asma Persisten
Sedang. Jurnal Respirologi Indonesia: 2006;1-45.